Upload
vuongnhu
View
395
Download
22
Embed Size (px)
Citation preview
Diktat
TEORI SASTRA JAWA
DR. PURWADI, M.HUM
PENDIDIKAN BAHASA DAERAH
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Telp: 0274-550843-12; Email: [email protected]
Februari 2013
1
KATA PENGANTAR
Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata
Kuliah Teori Sastra Jawa di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa
dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para leluhur perlu sekali
disebarluaskan untuk diketahui oleh generasi muda, dengan harapan supaya dapat
dijadikan sebagai pegangan hidup sehari-hari.
Diktat ini tentu akan mempertebal wawasan jati diri dan nilai kebangsaan
kita dewasa ini yang berguna bagi para mahasiswa, dalam mempelajari seluk
beluk kesusastraan Jawa.
Yogyakarta, 02 Februari 2013
Dr. Purwadi, M.Hum
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................... 1
Daftar Isi ................................................................................................. 2
BAB I Memahami Kesusastraan Jawa .................................................. 3
BAB II Sastra Jawa Prosa ..................................................................... 6
BAB III Sastra Jawa Puisi ...................................................................... 21
BAB IV Mutiara Luhur Dalam Sastra Lisan ........................................... 24
BAB V Sastra Dalam Bentuk Bahasa Perlambang ................................. 27
BAB VI Mengasah Keindahan Bahasa Kesusastraan ............................. 32
BAB VII Pengaruh Sastra Modern ......................................................... 34
Daftar Pustaka ......................................................................................... 44
Lampiran Silabus .................................................................................... 45
Lampiran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ........................................ 48
Biografi Penyusun ................................................................................... 52
3
BAB I
MEMAHAMI KESUSASTRAAN JAWA
Pendidikan Sastra
Kesusastraan berasal dari kata dasar sastra. Kata sastra berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu “sas” yang artinya mengajar dan “tra” yang artinya alat. Oleh
karena itu sastra dapat diartikan sebagai alat untuk mengajar. Contoh: buku, pena
dan tulisan. Adapun kesusastraan bermakna: Alat untuk mengajarkan ilmu. Buah
karya yang disusun dengan bahasa yang baik. Sedangkan bentuk kesusastraan ada
dua, yaitu: Kesusastran lesan yang berwujud dongeng, syair, puisi, peribahasa,
dan lain-lain. Kesusastraan tulis yang berwujud novel, naskah, babad, dan juga
puisi, syair dan lain-lain yang sudah ditulis.
Pendidikan kesusasteraan merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh
umum, lebih-lebih kalangan pegawai istana dan pemuka masyarakat (Zoetmulder,
1985: 179). Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahasa, sastra,
sejarah, antropologi, kemanusiaan, kema-syarakatan, keagamaan, dan tata negara
telah memberi inspirasi para pejabat kerajaan untuk mendirikan, mengem-
bangkan, dan membantu proses pendidikan.
Kesusastraan tulis di nusantara berkembang sejak jaman adanya tulisan.
Tulisan pada jaman dahulu berwujud prasasti, misalnya prasasti di Candi
Prambanan dan prasasti Candi Ratu Boko. Setelah ada daun rontal, maka mulai
ada kesusastraan yang berupa kekawin yang ditulis di atas daun rontal tadi.
4
Proses Kreatif
Karya sastra yang paling tua adalah Sêrat Canda-karana yang dibuat pada
masa dinasti Çailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka. Sêrat
Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan (Poerbatjaraka, 1957: 1).
Proses kreatif kepengarangan Jawa selalu mengalami perkembangan. Setelah
berkembang sedemikian rupa hingga saat ini, maka kesusastraan tulis dapat
dibedakan menjadi dua golongan besar yakni: Gancaran (Prosa) dan Geguritan
(Puisi).
Prosa adalah karya sastra yang disusun dengan bahasa tutur biasa.
Kalimat-kalimatnya seperti dalam kalimat tutur keseharian. Adapun yang
termasuk prosa adalah dongeng, babad, wiracarita, novel, essei, dan sandiwara.
Kesusastraan yang padat berisi dan diolah dengan bahasa indah disebut geguritan
atau puisi. Keindahan bahasa puisi Jawa terletak pada tiga macam yaitu Wilet,
wirama dan purwakanthi.
Wilet yaitu kelak-kelok suara agar ajeg, beruntun dan memiliki makna
yang tinggi. Wirama yaitu panjang pendek, keras liat dan tinggi rendah jatuhnya
suara. Purwakanthi termasuk salah satu jenis puisi Jawa. Purwakanti atau dhong
dhinging suara. Puisi merupakan kesusastraan yang sangat disenangi oleh
masyarakat sejak jaman kuno sampai sekarang. Puisi di jaman kuno disebut
kekawin karena mempergunakan bahasa kawi.
Sastra dan budaya Jawa yang adiluhung sangat berpengaruh di seluruh
pelosok nusantara. Bahkan di kawasan regional Asia Tenggara, kebudayaan Jawa
menempati posisi yang sangat vital. Penyebaran orang Jawa di berbagai benua
5
pasti membawa tradisi dan adat istiadatnya. Oleh karena itu, kebudayaan Jawa
secara aktif menyesuaikan diri dengan arus globalisasi. Hal ini ditandai dengan
adanya pergaulan yang kosmopolit dalam percaturan internasional. Tanah Jawa
misuwur sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, didukung oleh tanahnya
yang sangat subur. Topografi yang relatif datar dan penduduknya yang terdidik,
serta seni budaya yang edi peni membuat tanah Jawa senantiasa menjadi impian
bagi seluruh penduduk dunia.
Dalam konsteks historis, tanah Jawa menjadi pusat diplomasi luar negeri
bagi seluruh penduduk nusantara. Dari interaksi lokal merambah kawasan
nasional, regional dan internasional. Benua Eropa, Australia, Amerika Afrika dan
Asia, semuanya kasmaran dengan keelokan tanah Jawi. Ketika nusantara
dipersatukan kembali dalam negara kesatuan Republik Indonesia, orang-orang
Jawa tampil terdepan dalam kepemimpinan nasional. Ciri kepemimpinan nasional
pun terpengaruh dengan gaya kepemimpinan Jawa. Dengan demikian, dalam
rangka memajukan kebudayaan nasional, budaya Jawa memberikan sumbangsih
yang besar sekali maknanya. Misalnya saja, semboyan negara Bhinneka Tunggal
Ika, adalah berasal dari kata mutiara yang dirangkai oleh Empu Tantular, seorang
pujangga istana Majapahit.
Perbendaharaan sastra Jawa terus mengalami kemajuan setelah hadirnya
agama Islam. Keraton Demak Bintara, Pajang, Mataram, Surakarta, Yogyakarta,
Mangkunegaran dan Pura Pakualaman aktif mengembangkan sastra budaya.
Kitab-kitab Jawa kuna disalin dan diterjemahkan dalam metrum baru, sehingga
isinya lebih mudah untuk dilakukan sebagai obyek pengkajian.
6
BAB II
SASTRA JAWA PROSA
Dongeng
Dongeng adalah cerita fiksi yang bernilai pendi-dikan budi pekerti. Tokoh
yang dipakai adalah hewan, kayu, batu, dan bisa juga manusia. Jenis-jenis
dongeng antara lain: Fabel, yakni dongeng tentang binatang; misalnya kancil
mencuri timun, kancil dan buaya, burung gagak dan kura-kura. Mite, yakni
dongeng tentang mitologi, misalnya dongeng Nyi Rara Kidul. Legenda, yakni
dongeng tentang asal mula kejadian. Misalnya dongeng asal mula Gunung Bromo,
dongeng Jaka Tengger, asal mula Rawa Pening, asal mula kota Banyuwangi, dan
masih banyak lagi.
Adapun buku-buku dongeng terkenal antara lain: Tantu Panggelaran,
Hikayat Kalilah dan Dimnah, dan Calon Arang. Dongeng berbahasa Jawa yang
telah diterbitkan antara lain: Prawira Sudirdja: Cariyos Tanah Pareden Diyeng
(1912). Reksa Kusuma: Cariyos Bengawan Solo (1916). Sastra Mintardja:
Cariyos Sendhang ing Tawun (1922). Yasa Suparta: Cariyos Redi Lawu (1936).
Kuswadiardja: Rara Kadreman (1916). Adisusastra: Kartimaya (1917). Di bawah
ini contoh-contoh dongeng berbahasa Jawa yang dapat digunakan sebagai sarana
untuk menyebarkan suri tauladan dan keutamaan:
7
Rara Jonggrang
Cinarita, ana priya kang duwe sipat ambeg sura ajejuluk Bandung
Bandawasa. Bandung Bandawasa iku sekti mandraguna. Bandung kepengin
nglamar wanudya kang ayu sulistya aran Rara Jonggrang, putrine Prabu Boko.
Ratu Boko ngerti yen Bandung mau dudu priyagung kang duwe tumindak becik,
mula lamaran mau ditolak. Bandung muntab banjur Prabu Boko dipejahi. Asma
Ratu Boko iku saiki kanggo tetenger petilasan ing Gunung Saragedug, sakidule
Candhi Prambanan.
Iba sedhihe Rara Jonggrang ngerti yen ramane diprajaya dening Bandung
Bandawasa. Dheweke ora bisa selak nampani panglamare Bandung amarga ora
ana maneh kang bisa nulungi. Mula lamaran mau katrima dening Rara Jonggrang
kanthi pamundhut supaya digawekake candhi kanthi sewu reca ing sajroning
sawengi. Pamundhut mau kaya-kaya mokal, pancene supaya kersane Bandung
nggarwa dheweke mau cabar.
Ananging, dudu Bandung Bandawasa yen ora bisa nyembadani
pamundhut mau. Kanthi kadigdayan sing gedhe, Bandung ngetokake bala
prewangan arupa jin setan peri prayangan saengga sadurunge jago kluruk candhi
mau wis meh rampung cacah 999 reca kurang 1 maneh.
Ngerti yen candhine meh rampung, Rara Jonggrang wara-wara marang
wong sadesa supaya enggal nutu pari lan ngeculake jago supaya pada kluruk.
Kesaru swaraning jago, candhi mau cabar bubar tanpa dadi. Bandung ngerti yen
jago kluruk mau saka pokale Rara Jonggrang kang culika. Mulane sang putri disot
8
dadi reca kanggo nggenepi reca kang kaping 1.000. Reca iku mau yaiku reca
Durga Mahesa Sura Mardini sing mapan ing Candhi Siwa sisih lor.
Babad
Babad yaitu prosa yang biasanya menceritakan sejarah atau kisah seorang
tokoh. Babad yang berisi sejarah yaitu Babad Tanah Jawa, Babad Giyanti, Babad
Tanah Pasundan, Babad Mataram, Babad Kartasura, Babad Kediri, Babad
Madura, Babad Pacina, Babad Pakepung, Babad Ngayogyakarta. Adapun yang
berisi biografi misalnya: Babad Diponegoro, Babad Cakranegara, dan
sebagainya.
Riwayat
Riwayat yaitu cerita yang menguraikan riwayat hidup seseorang. Contoh
buku riwayat: Ki Padmasusastra: Biografi Raden Ng. Ranggawarsita. MA
Candranegara: Lampahanipun RMA Purwa Lelana (1865). Suwignya: Kyai Ageng
Pandanaran (1938). Contoh sastra riwayat yang menceritakan perjalanan
Pangeran Prawirareja Bupati Madiun:
Kacariyos, lalampahanipun Pangeran Rangga Prawiradirja, bupati ing
Madiun, bawah karaton ing Ngayogyakarta, kaleres mantu kaliyan kanjeng sultan
ing Ngayogyakarta, pinuju badhe malebet grebeg ing wulan rabingulawal.
Mangka manawi lumampah dhateng nagari Ngayogya tumpakanipun aneh sanget,
inggih punika satunggiling amben kajeng jati, wiyaripun cekap dipun enggeni
tiyang kalih dasa, sapirantosipun sadaya, amben wau kadekekaken pawon utawi
9
pakiwan, payunipun motha mawi kapageran kepang, sarta mawi senthong-
senthongan, dipun rembat tiyang kawandasa. Ing wektu wulan Rabingulawal
tanggal nem mesthi sowan garebeg Mulut. Sang pangeran sagarwa putra santana
sami numpak amben wau, miwah sangkep sadadameling aprang. Sareng
lampahipun dumugi ngepos Delanggu Surakarta, ingkang angrembat amben sami
leren ngaso.
Kocap putranipun sang pangeran kakung taksih timur amonthah nedha
menda gibas buntutipun meh klangsrah ing siti kathahipun wolu. Sang pangeran
andangu dhateng demang pos ing Delanggu. Demang matur, ‘Menda punika
gadhahanipun demang patuh ing Delanggu.’
Enggalipun demang Delanggu katimbalan, sampun sowan, pangeran
Madiun ngandika, ‘E, demang, iku wedhus apa nyata duwekmu?’
Demang matur, ‘Nuwun bandara, punika menda kagunganipun kanjeng
gusti pangeran adipati Mangkunagara, abdidalem amung angreksa kemawon.’
‘E, demang, sarehne anakku raden mas timur amonthah jaluk wedhus iku,
kabeneran kagungane kanjeng gusti, aku anjaluk siji, besuk yen aku wis tutug
Ngayogja, wedhus mau dakbalekake marang kowe, ing Ngayogja akeh kang
duwe, supaya raden mas mariya gone monthah.’
Raden ayu inggih dherek ngandika, ‘Iya, demang, wenehna siji, yen kowe
matur aku kang jaluk temtu ora dadi ing panggalihe, mengko aku bakal maringi
ganjaran marang kowe.’
Demang matur, ‘Bendara, mugi sampun andadosaken duka dalem, awit
abdidalem boten saged angaturaken, karana abdidalem sampun tampi dhawuh
10
papacakipun kanjeng gusti: Sinten-sinten para gusti amundhut menda punika,
abdidalem boten kalilan angaturaken. Bilih abdidalem anerak papacak wau
amesthi dipun ukum sarta kapocot saking kademangan kawula, mila, bandara,
sanget ajrih kawula.’
E, demang, wis ora. Prakara wedhuse siji bae nganti dadi dukane, malah
dadi danganing panggalihe. Ewadene manawa kowe nganti nemu duka, gedhene
kapocot, kowe enggal tekaa ing Madiun, aku bakal paring kalungguhan
sandhuwure pangkat demang, iya iku pangkat mantri, lungguh bumi limang jung.’
‘Nuwun, bandara, kawula boten saged ngaturaken.’
Sang pangeran tuwuh dukanipun, ngandika sora, ‘E, demang, kowe iku ora
ngrasakake kandhane uwong, mung atimu dhewe koturuti, cekake yen kowe ora
angulungake wedhus mau, mesthi endhasmu dak bedhil.’
Demang Delanggu sareng mireng pangandikanipun sang pangeran ingkang
kasar, sanalika boten darbe ajrih matur purun, ‘Dhuh, dhuh, bandara, kula punika
asal saking tiyang sudra papa, bangsaning tiyang narakarya, mangka sapunika
ngantos dados demang patuh, punika namung saking antep temen kula ing gusti,
saha boten perlu panjenengan dalem ngandika pangancam dhateng kula, awit kula
sanes lare alit.’
Sang pangeran sareng mireng wangsulanipun demang Dlanggu enggal
angasta sanjata buwis ingkang sampun dipun iseni, ‘Lah, saiki pecating
nyawamu!’
Demang boten kumelap manahipun, pangeran enggal anyentil buwisipun,
mimis angengingi dhadhanipun demang, tatu tembus aneratas tanpa sambat
11
dhawah lajeng pejah, rah sumamburat kados pancuran. Sang pangeran dhawah
bidhal dhateng Ngayogja.
Kacariyos, para warisipun demang ambekta mayit dhateng
Mangkunagaran, kacaosaken kanjeng gusti pangeran adipati Mangkunagara, saha
matur purwa madya wasananipun demang Dlanggu manggih pejah. Kanjeng gusti
sanget dukanipun, lajeng sowan dhateng karesidenan, saha mayit kabekta.
Sampun apapanggihan kaliyan kanjeng tuwan residen, kanjeng gusti matur
wiwitan dumugi wekasan, saha angaturaken mayitipun demang Dlanggu. Tuwan
residen enggal animbali tuwan mestri ing loji ageng, boten dangu tuwan mestri
sampun dhateng ing karesidenan. Tuwan residen enggal angandika dhateng tuwan
mestri kadhawuhaken amariksa mayitipun demang Dlanggu, sarta adamela serat
papriksan leresipun pejah kenging dadamel sanjata. Sasampunipun tuwan mestri
adamel serat papriksan, nyatakaken pejahing mayit dipun aniaya tiyang sarana
labet kasanjata, serat papriksan kaaturaken tuwan residen.
Tuwan residen ngandika, ‘Kanjeng gusti, kula badhe angaturi serat
dhateng residen Ngayogyakarta, kula anedha dhatengipun ing Surakarta pangeran
Madiun. Bilih sampun dhateng ing Sala, saderenging kapancas prakawisipun
amesthi kula tahan wonten ing loji ageng, nanging kula kedah nyuwun lilah
rumiyin kaliyan kanjeng tuwan ageng guprenur jendral.’
‘Kula inggih nyumanggakaken kanjeng tuwan residen kemawon,
minggahipun dhateng pangadilan luhur.’
‘Kanjeng tuwan residen ngandika, ‘Sampun mesthi, awit prakawis
rajapejah.’ Lajeng atatabean.
12
Kocapa kanjeng tuwan residen ing Surakarta enggal angaturi serat dhateng
kanjeng tuwan residen ing Ngayogyakarta, turi serat dhateng kanjeng tuwan
residen ing Ngayogyakarta, suraosipun anedha dhatengipun pangeran rangga
Prawiradirja bupati ing Madiun, ingkang sapunika wonten ing kadhaton
Ngayogyakarta, awit kadakwa dening kanjeng gusti pangeran adipati Mangku-
nagara ing Surakarta, sampun amejahi demang Delanggu, sarana dipun sanjata,
karana badhe kapriksa kanyatan-ipun.
Sareng kanjeng tuwan residen ing Ngayogja anampeni serat saking residen
Surakarta, enggal anitih kareta malebet ing kadhaton sowan kanjeng sultan,
kapanggihan wonten pandhapi ageng, angaturaken serat saking residen Surakarta,
ingkang sampun kajawekaken. Sasampuning kawaos kanjeng Sultan angandika,
‘Inggih, bapa residen, leres pangeran Madiun wonten ing karaton kula, nanging
ing sapunika saweg ginanjar sakit panas, manawi sampun sakeca enggal kula
aturaken dhumateng bapa.’
Kanjeng tuwan residen pamit mundur, lajeng tatabean. Sasampuning
rawuh ing dalem karesidenan, lajeng nyerat wangsulan dhateng residen ing
Surakarta, bilih pangeran Madiun sapunika saweg ginanjar sakit panas, manawi
sampun saras enggal kula aturaken dhateng Surakarta.
Kacariyos kanjeng Sultan enggal animbali pangeran rangga Prawiradirja,
bupati ing Madiun, sampun sowan ingarsa nata. Sang aprbu angandika, ‘E,
rangga, dhek mau tuwan residen sowan marang kadhaton, awit wus anampani
layang saka tuwan residen Surakarta, surasane sira digugat marang pangeran
adipati Mangkunagara, yen sira tinarka wus amateni demang ing Dlanggu, sarana
13
sira bedhil. Lah saiki kepriye kang dadi karepira, apa sira mringkus apa bregagah.
Yen sira wani bregagah saiki ingsun paringi sangu saleksa, lan pametune bumi
Madiun ingsun paringake marang sira minangka prabeya ingoning prajurit, yens
sira mringkus enggal sira ingsun tampakake marang residen.’
‘Kawula nuwun, gusti, abdidalem suka bingah ambregagah.’
‘Lah mengko bengi sira lolosa saka kadhaton, yen sira wus teka ing
Madiun angadegna baris, angrayutana bumi kiwa tengening Madiun.’
Pangeran rangga matur sandika, saha lajeng nyungkemi sampeyanipun
sang prabu nyuwun pangestu, lajeng lengser saking ngarsa dalem. Pangeran
rangga sampun papanggihan kaliyan ingkang garwa raden ayu, badhe lolos
dhateng Madiun, angadegaken baris balela kaliyan kumpeni Walandi, awit
piyambakipun mogok katarik residen Surakarta, saha sampun kaiden kanjeng
sultan, dene raden ayu dipun tilar wonten ing Ngayogja. Ingkang garwa matur
kaliyan muwun, pejah gesang badhe andherekaken, nanging sang pangeran boten
pareng mindhak angriribedi, benjing manawi jinurung ing Gusti Allah badhe
kapurugan. Pangeran rangga lajeng anglem-pakaken sentana tuwin wadya
balanipun, ing dalu wau lolos medal redi kidul.
Enggaling cariyos sampun dumugi ing Madiun, tumunten anglempakaken
wadya bala Madiun, sanalika sampun saged nglempak prajurit kalih ewu langkep
sadadamelipun, lajeng angangkati kawula warganipun dados panewu mantri
kaliwon utawi pangkat bupati, baris ngadeg wonten ing Pethik, ajujuluk pangeran
rangga ing Pethik.
14
Kanjeng sultan sampun angwunigani bilih Pangeran Rangga lolos saking
kadhaton, enggal dhawuh dhateng abdi anggandhek kinen asuka wuninga dhateng
karesidenan yen pangeran rangga bupati wadana Madiun sampun lolos saking
karaton, lajeng balela badhe apacak baris wonten ing Madiun, kula enggal badhe
utusan prajurit anggebag ingkang amucuki dados kraman, saha nyuwun bantu
prajurit Walandi, mumpung dereng ageng pabarisipun.
Sareng tuwan residen Ngayogja tampi katrangan saking kanjeng sultan
ingkang makaten, enggal-enggal asuka wuninga dhumateng residen ing Surakarta.
tuwan residen Surakarta atampi katrangan bilih pangeran rangga Madiun balela,
sampun awit damel reresah wonten ing dhusun Pethik Madiun, tuwan residen
enggal ngaturi wuninga ing kanjeng sunan kinen sedhiya prajurit anggebag
kraman wau.
Kacariyos barisipun pangeran rangga sampun ageng, wadya balanipun
boten kirang saking saleksa, sampun wiwit adamel reresah, ananging pangeran
rangga lajeng manggih gerah sanget boten dangu seda, layonipun kakubur ing
Madiun, wadya bala kraman lajeng sami bibar. Kanjeng Sultan sampun tampi
lapuran saking Madiun pangeran rangga sampun ajal jalaran sakit panas sanget.
Kanjeng sultan enggal asuka wuninga dhumateng tuwan residen ajalipun pangeran
rangga ing Madiun, para kraman sampun sami bibar sadaya.
Wiracarita
Wiracarita yaitu cerita yang isinya keperwiraan dan kepahlawanan.
Wiracarita disebut juga epos. Misalnya yaitu Serat Baratayudha, Cerita Panji,
15
Serat Menak, dan Serat Rengganis. Di bawah ini dikutipkan Serat Rama karya
Pujangga Yasadipura I yang menceritakan kepahlawanan Prabu Ramawijaya
beserta bala tentaranya:
Dhandanggula
Tabuh sapta nujya Buda Manis Wulan Sura kaping tigang dasa Ing mangsa kapat wukune Kurantil Je kang taun Sirneng tata pandhita siwi Sangkala duk manurat Agnya maha nurun Mangun langening carita Caritane Bathara Rama ing kawi Jinarwakken ing krama Mardya kawuryan ing krama niti Manawung mangka sekar macapat Ingkang rinengga kandhane Nenggih reksasa Prabu Ing Ngalengka prajanira di Sumbageng tri bawana Prakoswa dibya nung Winongwong karataonira Angluwihi kumalungkung aneng bumi Tan ana kang tumimbang Kasudiranira anggeteri Risang Buminata ing Ngalengka Kusut para ratu kabeh Ditya reksasa diyu Myang ratuning manuswa sami Tan ana kang kuwawa Lumawan ing kewuh Nadyan Dewa Suralaya Batharendra rebut reh kasoran dening Lan Sri Maha Yaksendra Bisikanira Sri Narapati Buminata Ngalengka Rawana Dasamuka peparabe Nenggih kang darbe turun Saking bapa manuswa yekti
16
Ambek Nata pandhita Eyang lawan buyut Sira Bagawan Wisrawa Sang Wisrawa putrane padma anenggih Padma pustreng Pulastha Pangkur Gumandhul ana ing epang Tathakakya namane kang raseksi Ngrerusak karyanipun Ngarubiru pratapan Memateni si Tathakakya puniku Balane Prabu Dasaswa Prayitna satriya kalih Sang Rama sigra amenthang Arasira mangekapadaneki Umepas sanjata mamprung Pedhot tenggake kena Tathakakya tiba gembunge gumebrug Kadya parbata anakan Tibane anggegirisi Suka kang cantrik sadaya Dene sirna ditya kang mbebayani Kabeh saisining gunung Samya suka sadaya Pitik iwen sato ilang geringipun Kidang sangsam andaka Manuk memreng miwah kancil Nadyan gajah samya susah Tan ana kang wani angalap bukti Bala sato samya kuru Tan antuk amemangsa Amung warak kang mendhem kang misih lemu Sanadyan kayu wowohan Tan kober awoh barindhil Mangkya sato samya luwar Labuh brata enggar angalap bukti Myang wowohan samya mendhuh Sekar-sekar umekar Samya eca tyasira Sang Maha Wiku
17
Sawusnya nir kang bebaya Mangkana satriya kalih Dinusan munggeng palangka Tinuturan marang Sang Maha Resi ‘Heh, rungunen putraningsun iya pituturingwang sira uga panjanmane Sang Hyang Wisnu sinungan karya rumeksa rahayuning bumi-bumi tan ana sangsayanira iya ngendi ana wong bakal luwih tan ana sandhunganipun sawatara kewala marma sira sinung widagda dibya nung dening mbangun turutira mring bapa rumekseng resi Asmarandana Tan wuwusan ing tulis Rerenggan sang pinangantyan Pan sampun pinanggihaken Putri Mantilidiraja Lawan putra Ngayodya Sinembahken putri jalu Raring rama prabu kalihnya Saestu Sang Rama Ratih Carya kang samya angayap Ndulu ri sang pinanganten Miwah apsari sawarga Anggung selar-seluran Kayungyun samya tumurun Ring pureng Mantilidiraja Sagunging kang para bibi Myang para cethi sadaya Miyat ing sang pinanganten Supe anadhah anendra Kacaryan dennya mulat Ing sangkepe kalihipun Tan pantes tinon ing janma
18
Sayekti para apsari Siniweng Endrabawana Datan winuwus resmine Cinendhak ingkang carita Mburu lampahing kandha Risang Dasarata Prabu Pamit angendhuh kang putra Busekan nagri Mantili Punggawa ingkang pinatah Umiring sang pinanganten Mangkana Sri Dasarata Saking Mantili budha Swaraning bala gumuruh Prapta sajawining kitha Kusut nagari Mantili Kadya koncatan sesotya Coplok saking embanane Sinta minangka sesotya Nagri Mantilidiraja Sayekti embananipun Marma lum Mantilidiraja Mijil Lamun sira madeg narapati Yayi wekasingong Apan ana ing Prabu ugere Sastra cetha ulatana nuli Omahna den pasti Wulanging sastreku Rehning janma tama nguni-uni Kang mengku kaprabon Ingkang nistha kawruhana kabeh Miwah madya utama ywa lali Liring siji-siji Den kena ywa tungkul Tindaking nistha mangka wewedi Temah tan anggepok Ingkang madya resepana bae Mring utama sira den kepengin Den kadi sira mrih
19
Sengseming dyah ayu Nistha iku tindak walang ati Saliring pakewoh Iya bela-bela ing ciptane Mring santana myang punggawa mantri Anggung sangga runggi Andhedher pakewuh Tan wun ing reh ing don neniwasi Ambek kang mangkono Ing madyane ilangena kabeh Den patitis awrat sangga runggi Utamane yayi Kabeh den kacakup Ala ayu pan darbenireki Ing rat tan pakewoh Ingkang ala ya prihen becike Pinet ing suka dinanan ugi Waregana ping-ping Jejelana wuruk Ing kadarman wruhna pakenaning Peten sukaning wong Barang karya ana bebukane Wineweka ing reh ingkang isi Ala lawan becik Tuwin gampang ewuh
Sandiwara
Sandiwara atau disebut drama yaitu cerita yang berupa dialog antara tokoh
satu dan lainnya. Yang termasuk drama yaitu: kethoprak, wayang, dhagelan,
opera, dan yang terkenal adalah monolog. Contoh sandiwara yang populer adalah
ludruk.
Ludruk merupakan seni sandiwara khas yang tumbuh di Jawa Timur.
Sesuai dengan karakter masyarakat Jawa Timur, ludruk sungguh mewakili dan
mudah sekali dikenali. Syarat pementasan ludruk telah disepakati bersama, yaitu
20
menggunakan dialek Surabayan. Meskipun menggunakan bahasa Jawa krama,
tetap terdapat warna kental bahasa Jawa Timuran. Bahasa ini dikenal agak kasar,
namun merakyat. Ludruk yang terkenal misalnya Ludruk Kopasgad Trisuladarma,
Enggal Tresna, Sari Murni, Mahamurni dan Pancamarga.
Selain ludruk contoh sandiwara adalah ketoprak. Cerita ketoprak banyak
diambil dari Babad Demak, Babad Pajang, Babad Majapahit, Babad Tanah Jawi,
Babad Kraton, Babad Kartasura, Babad Mangkubumi dan Babad Dipanagara.
Unsur ketauladanan dan kepahlawanan para bangsawan Jawa mendominasi lakon
ketoprak. Bagi kebanyakan orang Jawa, ketoprak merupakan sumber inspirasi
nasionalisme sekaligus sarana nostalgia pada kehidupan masa lampau. Contoh
paguyuban kethoprak yang terkenal misalnya Siswo Budoyo, PS Bayu dan
kethoprak Mataram.
Seni sandiwara lainnya yaitu wayang wong. Kesenian ini mengambil
cerita dari epos Ramayana dan Mahabharata. Paguyuban wayang wong yang
masih berlangsung terus hingga sekarang contohnya adalah wayang wong
Sriwedari di Surakarta.
21
BAB III
SASTRA JAWA PUISI
Kekawin
Kekawin dari kata dasar kawi yang artinya syair. Di jaman kuno orang
yang pintar membuat kesusastraan kekawin dinamai kavya. Ciri-ciri kekawin itu:
Satu bait terdiri dari empat baris. Tiap baris jumlah suku katanya sama.
Pembacaan kekawin itu terikat oleh suara berat yang disebut “guru” dan
suara ringan yang disebut “lagu”. Nama-nama kekawin: Sardula Wikridita,
Garirangsi, Sikarini, Jagadita, Praharsini, Kusumawicitra, Lalitawisama,
Aswalalita, Wasantatilaka dan Ragakusuma.
Kidung
Pada jaman tengahan, kira-kira jaman kepujanggaan Majapahit akhir ada
genre puisi yang disebut kidung. Banyak kitab yang digubah dengan metrum
kidung sebagai contoh: Kidung Harsawijaya, Kidung Subrata, Kidung
Sundayana, Kidung Sorandaka, Kidung Ranggalawe, Wangbang Wideya, Kidung
Panji.
Tembang
Tembang merupakan puisi yang dinyanyikan. Jenis tembang ada tiga
macam, yaitu: Macapat, Tengahan dan tembang Gedhe.
22
Parikan
Parikan juga termasuk puisi. Kata parikan ada hubungannya dengan kata
pari, atau pantun. Puisi Jawa yang berupa parikan ada hubungannya juga dengan
pantun dalam kesusastraan Indonesia. Akan tetapi, parikan Jawa lebih bebas
dibanding pantun.
Wangsalan
Wangsalan juga termasuk puisi dan merupakan puisi yang sangat indah,
karena susunan kata-katanya kait berkait secara semu. Jika dirasakan, kadang-
kadang mirip dengan cangkriman. Wangsalan ada tiga jenis yaitu: Wangsalan
pacelathon, wangsalan edi peni dan wangsalan yang berupa tembang.
a. Wangsalan Pacelathon
Atis hawa, ampun lali pecel Nganjuk.
Atis hawa: sejuk – Nganjuk.
Balung klapa, ethok-
ethok ora ngerti. Balung klapa: bathok –
ethok-ethok.
Balung jagung, punika tanggel jawab kawula.
Balung jagung: janggel – tanggel jawab.
b. Wangsalan Edi Peni
Ancur kaca, kaca kocak munggwing netra. Wong wruh rasa, tan mamak ing tata krama.
Ancur kaca: rasa; kaca kocak mung-gwing netra: tesmak.
Ari Sena, Sena gelung minangkara. Ngesthi-harja, luhur darajating praja.
Ari Sena: Harjuna; Sena: Werkudara
23
Bibis tasik, tasik wanda winor tirto. Maju mundur tangeh kasil kang sinedya.
Bibis tasik: undur-undur; Tasik suku kata winor tirta: parem.
c. Wangsalan Tembang
Pangkur
Singgang gung kang piniyara
Mardi siswa kekawining estri.
Wineh winulangaken wadu.
Peputhut mong Pregiwa
Kang sumewa pasewakaning
kadangun.
Pangrantamireng pradangga.
Sesendhon genti-genti.
Singgang gung piniyara: winih.
Mardi siswa: mudang.
Kekawining estri: wadu.
Peputhut mong Pregiwa: Janaloka.
Pangrantamireng pradangga: sendhon.
24
BAB IV
MUTIARA LUHUR DALAM SASTRA LISAN
Paribasan
Paribasan adalah untaian kalimat yang bentuknya tertentu dan bermakna
kias. Akan tetapi, ada yang maknanya tidak tentu, malah ada yang maknanya
harus diurai untuk menemukan isinya. Yang termasuk paribasan adalah:
Bebasan Panyandra
Seloka Pepindhan
Cangkriman Isbat
Pasemon Sanepa
Wangsalan
Bebasan
Bebasan adalah peribahasa yang bermakna kias. Contoh:
Adigang, adigung
adi-guna.
Orang yang mengagungkan kekuatan,
keluhuran dan kepintaran
Adol lenga kari busik Orang membagi tapi tidak kebagian.
Saloka
Saloka adalah peribahasa yang bermakna kias, dengan perbandingan pada
bentuk metafor makhluk hidup atau keadaan.
Aji godhong garing. Hal yang tidak berharga sama sekali.
25
Ana gula ana semut. Tempat yang banyak rejekinya pasti
banyak yang mendatangi.
Pepindhan
Pepindhan yaitu perumpamaan yang bermakna denotatif. Contoh:
Abange kaya godhong katirah.
Abang kumpul padha abang kaya alas kobong.
Banyake pepati kaya babadan cacing.
Banyake pepeti kaya sulung mlebu geni.
Ali-aline nggunung sapitul.
Antenge kaya temanten ditemokake.
Ayune kaya Dewi Ratih.
Sanepa
Sanepa adalah paribasan yang berisi perumpamaan tapi bermakna terbalik.
Contoh:
1. Ambune arum jamban. = bacin sekali.
2. Awake kuru semangka. = gendut sekali.
3. Balunge atos debog. = lunak sekali.
4. Barange aji godhong garing. = tak berharga.
5. Bobote abot kapuk. = ringan sekali.
26
Panyandra
Salah satu cara menghidupkan suasana dalam kesusastraan adalah dengan
melukiskan keindahan, kebagusan, dan kebaikan melalui ibarat atau disebut
panyandra. Fungsi panyandra dengan demikian adalah yaitu untuk
menggambarkan keadaan yang baik supaya kelihatan mengesankan. Contoh:
1. Alise nanggal sepisan.
2. Astane nggendhewa gadhing.
3. Athi-athine ngudhup turi.
4. Bangkekane nawon kemit.
5. Bathuke nyela cendhani.
6. Bokonge manjang ilang.
27
BAB V
SASTRA DALAM BENTUK BAHASA PERLAMBANG
Cangkriman
Cangkriman yaitu kalimat susunan kata untuk tebak-tebakan. Biasanya
cangkriman terjadi dalam bahasa lesan. Bentuk cangkriman ada yang tetap dan
ada yang berubah-ubah. Cangkriman ada yang berupa wancahan, pepindhan dan
ada yang berupa tembang.
a. Cangkriman Wancah
Bot ginawa theng, teng
ginawa bot
= Klobot ginawa entheng,
genteng ginawa abot.
Burnas kopen = Bubur panas kokopen.
Leng pak dhewot = Celeng gupak dhedhe
nguwot.
Linak litu lingga lilur = lali anak putu lali tangga
lali sedulur.
b. Cangkriman Pepindhan
Anake gelungan, ibune ngrembyang. (pakis)
Disuguh opak angin. (ora disuguh)
Emboke dielus-elus, anake diidak-idak. (andha)
Gajah nguntal sangkrah. (pawon)
28
Ing ndhuwur wayangan, ing ngisor jedhoran (undhuh krambil)
c. Cangkriman untuk sindiran
Aku sowan adoh-adoh kok mung disuguh anggur. (dianggurake).
Akeh wong adol pitik disrimpungi, wong adol mbako diambungi.
Ana banyu pahit yen tetes legi.
Sapa kang gelem ngukur meja, pancen wong hebat.
d. Cangkriman berwujud tembang atau cerita. Contoh:
Ana titah duwe sikil papat ananging ora bisa mlaku. Apa iku? (Meja)
Ana titah duwe gulu tanpa sirah, duwe awak tanpa tangan. Anehe kok
duwe cangkem. Apa iku? (Botol).
Ana titah, yen dikethok mundhak dhuwur. Apa? (Kathok)
Pucung
Bapak pucung, dudu punthuk dudu gunung Manggon ing salira Dedegira datan inggil Yen wis mangsa Pak Pucung kuthah ludira. (kukul)
Pasemon
Pasemon disebut juga perlambang. Gunanya untuk mengutarakan maksud
dengan sopan, atau untuk menyindir dengan cara halus. Jika kurang hati-hati,
bisa-bisa orang yang disindir tidak paham maksudnya. Contoh:
29
Catur rana semune segara asat.
Melambangkan negara empat, yaitu Kedhiri, Jenggala, Singasari dan
Ngurawan yang selalu bertikai, akhirnya sama-sama ruskanya.
Ganda kenthir semune liman pepeka.
Melambangkan raja Sri Pamekas di Pajajaran yang melabuh putranya yang
bernama Siung Wanara akhirnya tewas karena kurang berhati-hati.
Masih banyak pasemon lainnya yang biasa untuk pembicaraan sehari-hari.
Misalnya dalam acara lamaran calon pengantin. Pada acara lamaran banyak
kalimat-kalimat dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang berupa
pasemon untuk menghaluskan maksud.
Sandiasma
Di tanah Jawa, banyak sekali pujangga yang terkenal. Semuanya bisa
untuk tauladan bagi bangsa di seluruh dunia, terutama bangsa Indonesia, tidak
hanya orang Jawa saja. Para pujangga tadi ketika hidupnya banyak menulis karya-
karya sastra yang besar sekali manfaatnya. Akan tetapi banyak yang ketika
menulis, dalam rangka tidak mau menonjolkan diri, tidak bersedia menyebut
namanya dengan jelas. Biasanya nama pujangga yang pengarang disamarkan
dengan sandiasma. Contoh tembang yang memuat sandiasma:
Rarasing kang sekar sarkara mrih
Den aksama de ning kang sudyarsa
Ngawikani wengkuning reh
Beraweng para ratu
30
Ilanga kang sesangker sarik
Rongas westhining angga
Gagating tyas antuk
Wartaning kang parotama
Sinung tengran sembah trus sukaning budi
Tataning kang carita
(Ranggawarsita, Serat Witaradya)
Sengkalan
Kalimat bermakna angka yang digunakan untuk menyebut angka tahun
disebut sengkalan. Menurut bentuknya sengkalan ada dua, yaitu 1) sengkalan
lamba, yaitu sengkalan bisa berbentuk untaian kata atau kalimat, 2) sengkalan
memet, yaitu sengkalan yang berbentuk bangunan atau gambar pada dinding.
Sedangkan menurut tahun yang digunakan, ada tahun yang menurut
hitungan matahari disebut surya-sengkala, dan tahun menurut hitungan rembulan
disebut candrasengkala. Contoh sengkalan di dalam serat-serat kuno:
No Kitab Sengkalan Artinya
1. Serat Bharatayuda Sanga kudha sudha candrama 1079
2. Suluk Wujil – Sunan Bonang Panerus tingal tataning nabi 1529
3. Serat Niti Praja – Sultan
Agung
Geni rasa eka driya 1563
4. Serat Wiwaha-jarwa – Yasadi-
pura I
Tasik sonya giri juga 1704
31
5. Serat Centhini – Paku Buwana
V
Paksa suci sabda ji 1742
Sengkalan lain yang memuat peristiwa sejarah:
No Kejadian Sengkalan Artinya
1. Adege Kraton Majapahit Rupa luhur mantrining ratu 1303
2. Ing pasareyane Putri Cempa,
Trowudan
Kaya wulan putri iku 1313
3. Rusake negara agung
Majapahit
Sirna ilang kertaning bumi
1400
4. Adege Kraton Demak Rupa luhur karyaning wong 1401
5. Adege Kraton Pajang Guna luhur tataning ratu
1503
Sengkalan Memet
No Tempat Bunyi sengkalan Artinya
1. Ing Tratag rambat Kraton
Ngayogyakarta
Pancagana salira tunggal 1865
2. Ing Kraton Ngayogyakarta
sisih kidul
Dwi naga rasa tunggal 1682
3. Ing Kraton Surakarta Naga muluk tinitihan janma 1708
4. Ing Panggung Kraton Surakarta Panggung sanggabuwana 1708
32
BAB VI
MENGASAH KEINDAHAN
BAHASA KESUSASTRAAN
Tembung Camboran
Tembung camboran atau kata majemuk adalah dua kata atau lebih yang
dirangkap menjadi satu dan membentuk arti baru. Tembung camboran, dibagi
menjadi dua:
a) Camboran Wutuh
uler kambang bimaputra
semar mendem rimbatmaja
nagasari janurkuning
jaran goyang dhandhanggula
bibit kawit bapa biyung
b) Camboran Tugel
bangjo : abang ijo
barji barbeh : bubar siji bubar kabeh
byarpet : mak byar mak pet
dhegus : gedhe tur bagus
dhekwur : siji cendhek siji dhuwur
33
Tembung Dasa Nama
Tembung dasa nama yaitu bermacam kata-kata yang artinya sama. Contoh:
abang : abrit, mbranang, dadu, jingga, merah, rekta putra, sunu, siwi,
tanaya, weka, yoga
angin : bayu, braja, pawana, sindhung riwut, samirana, maruta
arep : arep, arsa, ayun
ati : kalbu, galuh, driya, panggalih, prana, tyas, wardaya, nala
awak : rada, badan, angga
Tembung Entar
Tembung entar yaitu dua kata atau lebih yang digabung menjadi satu dan
bermakna kiasan atau tidak sebenarnya. Contoh:
abang kupinge : masah
abang-abang lambe : lamis
abot sanggane : berat
adol ayu : pamer kecantikan
adol bagus : pamer ketampanan
Tembung Saroja
Tembung Saroja adalah dua kata yang artinya hampir sama dan digabung
menjadi satu. Contoh:
adas pulawaras
adhem ayem
34
BAB VII
PENGARUH SASTRA MODERN
Novel
Novel juga disebut roman. Banyak yang membedakan antara roman
dengan novel, tetapi sesungguhnya sama saja. Novel-novel modern lebih banyak
yang kemudian difilmtelevisikan menjadi telenovela. Contoh-contoh kutipan
novel berbahasa Jawa dapat dilihat di bawah ini:
Ngulandara
“…………….., judheg aku!” Punika angluhipun satunggaling priyantun
ngadeg, cancut, wonten ngiringanipun mobil oto ingkang sampun kabikak
tutupipun. Wironipun kablesekaken menginggil, ngantos kathokipun ketingal
sekedhik, jasipun sampun kabikak, kantun ngangge rangkepan. Pacaking badan
methentheng ragi mbungkuk. Nering pandulu tumuju dhateng mesining oto. Sajak
migatosaken sanget dhateng kawontenaning motor punika.
Nitik tetesing kringetipun saking bathuk tuwin saking gulu, dalah telesing
rangkepan ingkang wingking, cetha yen priyantun wau sampun kepara dangu
tumandang damel awrat. Saboten-botenipun inggih kaesuk ngong-sronging
manah.
Priyantun wau umuripun udakawis seketan taun, nanging kebekta saking
saening badan, lan saged ugi saking anggenipun boten alitan manah, ketingalipun
saweg umur kawan dasa taun.
35
Ing salebetipun oto wau ingkang linggih ing bak wingking sisih kiwa
priyantun estri, umur tigang dasa gangsal taun, ingkang wonten sisih tengen ugi
priyantun estri wetawis saweg pitulasan taun.
Memperipun priyantun estri ingkang wonten sisih kiwa punika bojonipun,
ingkang wonten tengen anakipun. Ing salebetipun priyantun wau uthek madosi
ingkang njalari mogok otonipun, ingkang estri ketingal suntrut. Tanga-nipun
tengen sedhakep, badan kasendhekaken ing cagaking tendha, sirahipun
kabantalaken tangan kiwa. Kados boten mokal yen ta kawastanana saweg susah
manahipun.
Nanging anakipun boten makaten. Linggihipun sendhen, ketingal sajak
sasekecanipun, sumelehing pasemon kenging dipun wastani mesem ajegan.
Tangan-ipun tansah ngolak-alik kacunipun sutra ingkang sinulam peni.
Ngantos sawetawis dangu priyantun tetiga wau boten sami cecriyosan,
dumadakan ingkang estri sumela sanjang dhateng ingkang jaler semu netah, “Ta,
pak! Biyen mula aku rak wis kandha yen wong ngingu oto kuwi akeh
kesusahane.”
“Hem! Ibune mono wasis yen mung nutuh.”
Anakipun nyelani, “Yah, ibu ki! Punapa inggih oto menika namung
murugaken kesusahan thok? Wong lagi sepisan bae dingendikakake akeh!”
“Lah ya kuwi Tien nek ibumu.”
“Nyatane nek kaya ngene iki kepriye hara? Mangka neng tengah bulak,
wis jam setengah nem, kathik atise kaya ngene. Gunung Sumbing wis kemul
36
ampak-ampak, dalah ingkang Kledhung ya wis meh putih, dhasar dalane
sumengka, kok jebul otone bobrok!”
“Yah, ibune ki ta! Rak ya lumrah ta yen oto kuwi sok mogok, ora kok
banjur bobrok ngono. Iki rak mung saka ana adon-adon sing durung mathuk
utawa mlesed saka mesthine. Ana oto isih kincling-kincling ngene jare bobrok.”
“Ingkang risak menika napanipun ta pak? Mangke gek dipun paeka sopir
ingkang mentas medal menika.”
“Mempere ya ngono Tien, nanging bapakmu ora priksa.”
“Hara ta ibune kuwi rak tanduk maneh olehe nutuh ….. Nek pangiraku
ora. Sabab metune kuwi jalaran dheweke dadi lurah desa, tur maneh neng
jajahanku, dadi mesthine ora gelem gawe wisuna menyang aku.”
“Ngona-ngonoa kae nyatane! Nek kaya ngene iki banjur priye hara?”
“Sawise, kepriye, lah ya kudu nrima. Mengko yen ana oto saka Wanasaba
utawa saka Parakan sing wis ngglondhang, ya padha nunggang kuwi bae.”
“Inggih pak, terkadhang mangke wonten saestu, nanging sewanipun inggih
lajeng awis.
Ibunipun nyambeti, “Prakara laranging sewan kuwi dudu barang-barang,
balik anane bae durung karuwan! Mangka dina iki ora kebener pasaran Kreteg
utawa Parakan, kathik wis wayah ngene, bisane ana saka ngendi?” Wedaling
wicanten makaten wau kanthi sugal, mratandhani saya sanget anyeling manahipun
lan kados dene sampun telas pangajeng-ajengipun ... (Margana Djajaatmadja,
1932).
37
Geguritan
Perkembangan sastra Jawa juga tak luput dari pengaruh dalam bentuk
puisi. Puisi modern dalam sastra Jawa disebut geguritan gagrak anyar. Geguritan
gagrak anyar keluar dari aturan-aturan seperti dalam tembang, parikan,
wangsalan, dan lain-lainnya. Berkembangnya geguritan gagrak anyar bersamaan
dengan perkembangan kesusastraan Indonesia.
Keindahan puisi modern atau geguritan gagrak anyar tidak pada pergulatan
bahasa, tetapi lebih pada isinya untuk mengekspresikan perasaan jiwa. Jelas sekali
bahwa geguritan merupakan pengaruh puisi modern. Contoh geguritan gagrak
anyar:
Mbarang
Bocah cilik manis, kakang adi Runtang-runtung nyang endi-endi Nyangking angklung saka bumbung Mlebu lurung metu lurung Bocah cilik manis, kedhana-kedhini Runtang-runtung mbarang separan-paran Ngupa boga nyambung panguripan sadulitan Nambal nista kang lunga teka wira-wiri, nrenyuhi Nembangi lagu-lagu, memelasi Mbukak babad ngenesi ati Koncatan bapa biyung, dheweke tininggal keri Bocah cilik manis, kedhana-kedhini Runtang-runtung nyang endi-endi Dina-dina uripe kaliput ayang-ayangane mega.
Pengarang geguritan gagrak anyar sampai sekarang berkembang dengan
subur. Contohnya: Group Diskusi Sastra Blora: Napas-napas Tlatah Cengkar,
Tepungan Karo Omah Lawas, Esmiet, Poer Adhie Prawoto dan Anjrah Lelana
38
Brata dan (Suripan Sadi Hutama, 1984: 17). Pertumbuhan sastra Jawa baik prosa
maupun puisi berkembang melalui koran, majalah, buletin dan buku-buku
modern. Bahkan sekarang dengan media elektronik para pecinta geguritan
menuangkan buah pikirnya dengan lebih bebas.
Cerita Cekak
Cerita cekak atau disingkat dengan Cerkak biasanya dipublikasikan
melalui majalah berbahasa Jawa. Di bawah ini contoh-contoh cerkak:
Pelaut Lan Gegantilaning Ati
Cerkak ini karya Oskandar R yang diterbitkan oleh majalah Djayabaya
Minggu Wage, 6 Februari 1966 no. 20.
Denpasar, Malem Minggu.
Sawijining toko kang gedhe dhewe ing kutha iki.
Ing pojokan, cedhak lawang, ana priya ngadeg. Tangane sing kwia njagang
ing meja kaca, dene sing tengen dolnan dhompet konci mobil. Mripate maetr
mandeng sawenehing wanita manganggo blus kuning enom. Lan wanita mau,
najan katone katrem nguwasi piranti ngadisara ing njeron lemari kaca, ngerti yen
disawang. Raine ngatonake mangkel ngatine wong wadon kang wani-wani wedi.
Wanita mau mingser nengen, menyang panggonan kain-kain lan ramening
wong kang bisa ngaling-ngalingi dheweke saka pamandenge priya mau. Nanging
39
nalika dheweke takon-takon regane kain marang pelayan nuli mengo ngiwa,
dheweke sumurup blegere priya mau kang wis ngadeg ing pojokaning meja.
Wanita mau nyoba mesem. Manis eseme. Untune kang pindha mutiara
rintik-rintik apik. Lan rikala priya mau genti mesem, eseme sakala mbleret.
Saiki dijajal maneh mandeng mripate priya mau. Mripate sing dipandeng
kaya nembus-nembusa. Lan pranyata wanita mau kasoran.
Saiki si wanita ngadeg ing ngarepe kasir, arep mbayar barang-barang sing
dituku. Priya mau ora adoh saka kono. Nuli ing papan njupuk barang-barang.
Priya mau iya ora adoh saka kono.
Rikala lumaku ing trotoar, ngetan wanita mau noleh lan weruh si priya
nrombol ramening wong liwat klawan sajak kesusu.
Ora let suwe priya mau wis mlaku ing sandhinge. Sok-sok iya kambi
nadah pangesuke wong-wong liwat sing arep nyenggol wanita mau. Nuli,
“Sugeng dalu!” tembunge.
Wanita mau mung tumoleh.
Sumambunge, “Mbok aja sombong-sombong … kok ora gelem
mangsuli!”
Ngawuningani menawa kapeksan alus, wanita mau mangsuli klawan
mangke, “Sugeng dalu!”
“Nah, ngono rak ya apik.” Kandhane priya mau.
Saiki kekarone nyabrang dalan. Tetumpakan pating sliri. Tanpa sengaja
kekarone gandheng tangan. Bareng kelingan, wanita mau enggal-enggal narik
tangane dhewe. Mlaku ing trotoar maneh.
40
Ujug-ujug, “Panjenengan, pelaut?” pitakone si wanita.
“Pirsa saka ngendi?” si pria gumun.
“Potongan panjenengan. Cukuran panjenengan. Dompet panjenengan.”
“Oh?” si pria ngambali suwara gumune kambi nglirik dompet kang ana
tulisane AL. Dudu DK. Nuli tembunge, “Umurku telung puluh loro ora ana
samondra sing durung dak ambah. Aku duwe sesanti: ing ngendia wae aku
nemoni sawijining wanita sing bisa ngrikatake kegeging jantungku, mesthi
dakgoleki, najan tekan poncote jagad, nek durung tepung, ndakparani kambi
kandha, “Saudari, aku kepengin tepungan karo sliramu. Tenan, aku kepengin
tepungan.”
Wanita mau gumuyu tumengkling, nuli kandheg sadhela, bebarengan
nyawang wong-wong sing padha nggrombol nonton dokar ketabrak montor.
“Apa kabeh pelaut nakale sliramu kaya panjenengan?” pitakone wanita,
bareng wis jumangkah maneh neruske laku.
“Ya kabeh pelaut nakale kaya aku. Nanging ora kabeh sesantine padha
karo aku. Uga ora kabeh pelaut sing umure telung puluh loro durung kawin.”
“Pamer!” wanita mau ngelokake. “Kesempatan baik untuk memamerkan
diri bahwa anda belum punya istri. Dakkira ora kabeh pelaut wani nyedhaki
sawijining wanita, nuli kandha ‘Saudari, aku kepengin tepung karo sliramu’!”
“Ya, ora kabeh pelaut wani mara lan nyedhaki sawijining wanita, nuli
kandha, ‘Saudari, aku kepengin tepung karo sliramu’.”
“Aku kagum!” ujare wanita mau.
“Sliramu kagum?”
41
“Priya ngendi wae mesti seneng banget mrang wanita sing gelem kagum.
Kagum iya kagum, nanging aku duwe sesanti: ing ngendia wae aku nemoni
sawijining wanita sing bisa ngrikatake kegeging jantungku, mesthi dakgoleki,
najan tekan poncote jagad, nek durung tepung, ndakparani kambi kandha,
“Saudari, aku kepengin tepungan karo sliramu. Tenan, aku kepengin tepung karo
sliramu.! Kepriye panemumu?”
Iki iya mujudake peksan alus. Wanita mau ngguyu dhisik cekikikan saking
geline, nuli mangsuli, “Jenengku Kartika!”
“Kartika? Apik banget jenengmu! Arep dak undang Ika!”
“Aja! Undangen aku Tik, kaya pangundange kanca-kancaku!”
“Wis ta, aku lilanana ngundang sliramu Ika. Saya ingin mengistimewakan
engkau.”
Kekarone lumaku terus. Nyabrang ing prapatan Bali Hotel. Banjur nliwati
dalan sing sepi. Tekan ing prapatan sacedhake museum, wanita mau kandha,
“Awake dhewe kudu pisah ing kene. Aku ora gelem panjenengan terake tekan
ngomah!”
“Nanging kapan bisa ketemu maneh? Sesuk sore ing ngarep toko kae
maneh, priye?”
Wanita mau manthuk.
Mangkono, sabanjure kekarone tansah bebarengan. Boncengan scooter
biru langit rina wengi. Sore-sore ngadeg ing pesisir Sanur nyawang ombak kang
gumulung, utawa ndlusup-ndlusup ing alas gaweyan ing sacedhake villa-villa
Sanur. Numpak sekoci wong loro ing tlaga Berantan, oyak-oyakan ing dalan
42
menyang Istana Tampak Siring, ndeleng wong gawe reca ing Ubud. Saiki
kekarone katon ing Batur nyawang gunung gundul, sesuke ing Ujung, ing tilas
lahare Gunung Agung. Terkadang wis sore repet-repet kae isih lumaku
gegandhengan tangan ing sawah-sawah antarane Belangsinga lan Sukawati.
Nanging saben sapatemon mesti dipungkasi dening pepisahan.
Priya mau, kambi ngetokake sirahe saka cendela bis, kandha, “Kariya
basukyarja, Ika!”
Wanita mau arawat eluh, umik-umik, Panjenengan bakal dak pethuk
sakondure saka operasi. Aku mesti bakal seneng banget tetepungan karo calon
garwa panjenengan. Panjenengan kudu emut. Aja ginubel dening kenangan-
kenangan kang endah thok. Panjenengan iku perwira laut. Amrih cocoge, garwa
panjenengan kudu ayu. Lan, lan …”
Kambi nutupi tutuke wanita mau, si priya nuli kandha, “Rungokna! Aku
iki priya sing wis mateng. Yen deleng riwayatmu, sliramu iki pancen wanita sing
nakal dhewe sajagad. Nanging aku ora maelu apa sing klakon sadurunge kita
ketemu. Perihana kahananmu kaya esuk iki dina ingkang kawitan. Sing
dakanggep, dina iki lan sabanjure! Sliramu ngerti?”
“Aja! Aja ginubel dening kenangan-kenangan! Aku lalekna wae! Emuta!
Isih akeh kenya-kenya sing gelem dadi sisihan panjenengan, dudu aku!”
Nalika bis Damri wiwit nggereng, wanita mau mbengok setengah nangis,
“Emuta, aku wis randha!” Suara mau isih dumeling. Lan pancen saben dina,
sasuwene priya mau ngentekake cutine ing Bali iki, tetembungan mau tansah
dibolan-baleni dening si wanita.
43
Saiki wanita sing memelas mau lumaku sepoyongan ing dalan kang sepi.
Ing sangisore lampu listrik dheweke mandheg lan sumendhe ing cagak sing anyes.
Saka dhadhane diwetokake layang sasuwek. Layang saka priya mau kang
dikongkon maca manawa priya mau wis budhal.
Dheweke maca:
Saiki awake dhewe wis padha adohe. Yen sliramu arep ninggal aku,
tinggalen! Nanging sadurunge, tancepna sawijining keris ing ingone villa Sanur.
Keris sing bakal dak anggo mateni sakabehe kenangan manis sasuwene kita
sesrawungan. Kenangan mau saiki isih angrem ing sirahku.
Si wanita ngremet layang mau banjur ditekem ing dhadhane. Dheweke tiba
ndhodhok, jalaran sikile ora kuwat nyangga anggane. Lan manuk-manuk esuk
padha nembang: kabeh wis malih ireng, kabeh wis malih ireng!
44
DAFTAR PUSTAKA Any Asmara, 1952. Inderawati Prawan Bali. Surabaya: Panyebar Semangat.
_________, 1967. Ambyar Sadurunge Mekar. Sala: F.a. Penerbit Keluarga Soebarno.
Bu Hodo, 1966. Bemo Dengkul. Sala: FA Kartika. Eny Soemargo, 1967. Kembang Alamanda. Yogyakarta: Mekar Sari.
Margana Djajaatmadja, 1957. Ngulandara. Jakarta: Balai Pustaka. Moch. Soedjadi Madinah, 1953. Sambekalaning Bebrayan. Yogyakarta: Sinta-
Riskan. Oskandar R, 1966. Pelaut lan Geganthilaning Ati. Surabaya: Djayabaya.
Paku Buwana IV, 1982. Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Surabaya: Citra Jaya Murti:.
Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan. Purwadhi ATM, 1963. Sapine Katlisut. Surabaya: Djayabaya.
Ranggawarsita, 1980. Serat Kalatidha. Alihaksara Kamajaya, Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Soedharmo KD, 1966. Ditodhong Pistul Kopong. Sala: P. Kondang. Suripan Sadi Hutama, 1984. Telaah Sastra Jawa Modern. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Sutrisminah, 1943. Siasat Kang … Mleset. Surabaya: Panyebar Semangat.
Suwarna Pragolapati, 1981. Titising Kadurakan. Widi Widayat, 1966. Prawan Keplayu. Sala: U.P. Kantcil Mas.
Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Jakarta: Balai Pustaka. Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.
45
LAMPIRAN SILABUS
SILABUS
MATA KULIAH : TEORI SASTRA JAWA
SIL/FBS-PBD/223 Revisi : 00 02 Februari 2013 Hal
1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa 2. Mata Kuliah & Kode : Teori Sastra Jawa Kode : PBD 223 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS
: Sem : Ganjil (l) Waktu : 16 pertemuan 4. Mata kuliah Prasyarat & Kode : ....................................... 5. Dosen : Dr. Purwadi I. DESKRIPSI MATA KULIAH Mahasiswa memiliki kemampuan membuat deskripsi, analisis dan interpretasi tentang teori sastra Jawa yang meliputi : sastra Jawa prosa, sastra Jawa puisi, dan kandungan ajarannya. Dengan memahami teori sastra Jawa diharapkan mahasiswa mampu memberi apresiasi terhadap nilai kearifan lokal warisan para pujangga.
II. STANDARISASI KOMPETENSI MATA KULIAH
Mahasiswa mampu memberi deskripsi, analisis dan interpretasi atas teori sastra Jawa dari masa ke masa. Dengan demikian mahasiswa akan mampu memberi penghargaan atas seluk beluk sastra Jawa.
III. POKOK BAHASAN DAN RINCIAN POKOK BAHASAN
Minggu ke
Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu
I Budaya Jawa Purba Memberi penjelasan tentang Budaya Jawa Purba
100’
II Memahami kesusasteraan Jawa
Memberi penjelasan tentang pemahaman kesusasteraan Jawa
200’
III Sastra Jawa prosa Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa prosa
200’
IV Sastra Jawa puisi Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa puisi
200’
V Mutiara luhur dalam sastra lisan
Memberi penjelasan tentang Mutiara luhur dalam sastra lisan
200’
VI Sastra dalam bentuk Memberi penjelasan tentang 300’
46
bahasa perlambang Sastra dalam bentuk bahasa perlambang
VII Mengasah keindahan bahasa kesusateraan
Memberi penjelasan tentang Mengasah keindahan bahasa kesusateraan
300’
VIII Ujian akhir 100’ IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN A. Wajib: Abdullah Ciptoprawiro, 1986, Filsafat Jawa, Gramedia, Jakarta. Graaf, 1987. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta:
Grafiti Pers. Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang.
Jakarta: Djambatan. Kamajaya. 1980. Pujangga Ranggawarsita. Yogya: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Mangkunegara IV, 1982, Serat Tripama, Garapan Kamajaya. Yayasan Centhini :
Yogyakarta. ______________, 1983, Serat Wedhatama, Garapan Anjar Any. Aneka Ilmu :
Semarang. Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari
Emporium sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia. Simuh, 1996, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa,
Bentang, Yogyakarta. Sri Mulyono,1982, Wayang dan Filsafat Nusantara, Haji Masagung, Jakarta. ___________, 1989, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Haji Masagung,
Jakarta. Sudewa, 1989. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi dan Transformasi.
Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM. Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Balai Pustaka : Jakarta. Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan. _______________1991. Manunggaling Kawula Gusti. Terjemahan Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia.
B. Anjuran :
Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Padmasoekatja, 1990, Memetri Basa Jawi. Citra Jaya Murti: Surabaya. ______________, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-III. Citra
Jaya Murti : Surabaya. Paku Buwana IV, 1982, Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Citra Jaya
Murti : Surabaya.
47
Poerbatjaraka, 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta. Purwadi, 2000. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. Kreasi Wacana :
Yogyakarta. Ranggawarsita, 1980, Serat Kalatidha, alihaksara Kamajaya, Yayasan Centhini,
Yogyakarta. ___________________, 1988. Serat Wirid Hidayat Jati. Garapan Simuh. UI
Press : Jakarta. Rass, 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti Press : Jakarta. Ricklefs, 1974. Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the
Division of Java. London: Oxford University Press.
V. EVALUASI
No Komponen Evaluasi Bobot (%)
- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian
tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan
sebagai berikut.
NA = T + S + 2A 4
100 %
Jumlah 100% Yogyakarta, 02 Februari 2013 Mengetahui, Dosen, Ketua Jurusan PBD
48
LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
MATA KULIAH : TEORI SASTRA JAWA
RPP/FBS-PBD/223 Revisi : 00 02 Februari 2013 Hal.
1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa 2. Mata Kuliah & Kode : Teori Sastra Jawa Kode : PBD 223 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS
: Sem : Gasal () Waktu : 16 pertemuan
4. Standar Kompetensi : Mahasiswa memiliki kemampuan membuat deskripsi, analisis dan interpretasi tentang teori sastra Jawa yang meliputi : sastra Jawa prosa, sastra Jawa puisi, dan kandungan ajarannya. Dengan memahami teori sastra Jawa diharapkan mahasiswa mampu memberi apresiasi terhadap nilai kearifan lokal warisan para pujangga.
5. Kompetensi Dasar : Mahasiswa mampu memberi deskripsi, analisis dan interpretasi atas teori sastra Jawa dari masa ke masa. Dengan demikian mahasiswa akan mampu memberi penghargaan atas seluk beluk sastra Jawa.
6. Indikator Ketercapaian : Setelah mengikuti program perkuliahan ini
mahasiswa mampu (1) memberi apresiasi atas teori sastra Jawa; (2) membuat analisis sastra Jawa prosa; (3) membuat analisis tentang sastra Jawa puisi.
7. Materi Pokok/Penggalan Materi : karya sastra Jawa dan literatur pendukung
49
8. Kegiatan Perkuliahan :
Tatap Muka Komponen Langkah
Uraian Kegiatan Estimasi Waktu
Metode Media Sumber Bahan/Ref
erensi Budaya Jawa Purba
Memberi penjelasan tentang Budaya Jawa Purba
4 pertemuan x 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
A dan B
Memahami kesusasteraan Jawa
Memberi penjelasan tentang pemahaman kesusasteraan Jawa
4 pertemuan x 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
A dan B
Sastra Jawa prosa
Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa prosa
4 pertemuan x 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
A dan B
Sastra Jawa puisi
Memberi penjelasan tentang Sastra Jawa puisi
1 x tatap muka atau 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
A dan B
Mutiara luhur dalam sastra lisan
Memberi penjelasan tentang Mutiara luhur dalam sastra lisan
1 x tatap muka atau 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
A dan B
Sastra dalam bentuk bahasa perlambang
Memberi penjelasan tentang Sastra dalam bentuk bahasa perlambang
4 pertemuan x 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
Mengasah keindahan bahasa kesusateraan
Memberi penjelasan tentang Mengasah keindahan bahasa kesusateraan
4 pertemuan x 100 menit
Teori dan diskusi
OHP dan alat tulis
Ujian akhir DAFTAR PUSTAKA Abdullah Ciptoprawiro, 1986, Filsafat Jawa, Gramedia, Jakarta. Graaf, 1987. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta:
Grafiti Pers. Haryanto, 1992. Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang.
Jakarta: Djambatan. Kamajaya. 1980. Pujangga Ranggawarsita. Yogya: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
50
Mangkunegara IV, 1982, Serat Tripama, Garapan Kamajaya. Yayasan Centhini : Yogyakarta.
______________, 1983, Serat Wedhatama, Garapan Anjar Any. Aneka Ilmu :
Semarang. Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-Raja
Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Padmasoekatja, 1990, Memetri Basa Jawi. Citra Jaya Murti: Surabaya. ______________, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-III. Citra
Jaya Murti : Surabaya. Paku Buwana IV, 1982, Serat Wulangreh. Garapan Daru Suprapto. Citra Jaya
Murti : Surabaya. Poerbatjaraka, 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta. Purwadi, 2000. Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata. Kreasi Wacana :
Yogyakarta. Ranggawarsita, 1980, Serat Kalatidha, alihaksara Kamajaya, Yayasan Centhini,
Yogyakarta. ___________________, 1988. Serat Wirid Hidayat Jati. Garapan Simuh. UI
Press : Jakarta. Rass, 1985, Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Grafiti Press : Jakarta. Ricklefs, 1974. Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A History of the
Division of Java. London: Oxford University Press. Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900, dari
Emporium sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia. Simuh, 1996, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa,
Bentang, Yogyakarta. Sri Mulyono,1982, Wayang dan Filsafat Nusantara, Haji Masagung, Jakarta. ___________, 1989, Simbolisme dan Mistikisme Dalam Wayang, Haji Masagung,
Jakarta. Sudewa, 1989. Serat Panitisastra: Tradisi, Resepsi dan Transformasi.
Yogyakarta: Disertasi Pascasarjana UGM.
51
Yasadipura I, 1920. Serat Babad Giyanti. Balai Pustaka : Jakarta. Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang.
Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan. _______________1991. Manunggaling Kawula Gusti. Terjemahan Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Yogyakarta, 02 Februari 2013
Mengetahui, Dosen,
Ketua Jurusan PBD
52
BIODATA PENYUSUN
DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk,
Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA
diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra
UGM yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada
Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh
pada tahun 2001.
Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap
Raya 36 Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020. Email: