Upload
alsa-indonesia
View
221
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Â
Citation preview
ZAHRAH RIDINIA (E1A013039) dan PRISTA ALISA RAMADHANI (E1A114059)
DARI ALSA LC UNSOED
DILEMA ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH
ATARA PEMBANGUNAN DAN TUDUHAN KORUPSI
A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir publik menyaksikan pengungkapan atas tuduhan
korupsi yang dilakukan oleh pejabat biasa, pegawai negeri, penegak hukum, kepala daerah,
menteri hingga pimpinan lembaga tinggi negara. Berawal dari pengakuan atas anggaran
pemerintah daerah namun dibalik kertas ada sebuah perubahan anggaran untuk dilakukannya
korupsi. Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap anggaran DPR sejak
2004 hingga 2008, terlihat berbagai catatan praktik penganggaran yang buruk. Padahal
ekonomi sedang melambat, rupiah melemah, pengangguran juga bertambah, salah satu solusi
agar ekonomi bergerak adalah mempercepat penyerapan anggaran dan pelaksanaan program
pembangunan, ujarnya.
PP Nomor 61 Tahun 1990 tentang Perjalanan Dinas DPR tentu sudah sangat lama. PP
ini dibuat sebelum Indonesia mereformasi sistem keuangan publik dari sistem tradisional ke
sistem berbasis kinerja. Sistem anggaran tradisional sendiri dikenal sangat lemah, sarat
pemborosan, dan berorientasi menghabis-habiskan anggaran. Sistem kontrol internal terhadap
anggaran di DPR bahkan lebih lemah dari kementerian atau lembaga pemerintah yang
diawasinya. Karena catatan BPK terkait anggaran DPR cukup serius dan terus berulang,
seharusnya ada bagian di dalam sistem kelembagaan parlemen yang dapat mengevaluasi dan
memberi peringatan awal untuk mencegah hal ini terjadi. Harus diakui pemberantasan
korupsi yang dilakukan secara masif itu di satu sisi akan membuat orang berpikir ulang untuk
melakukan korupsi, namun pada bagian lain telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan
pejabat dalam menggunakan anggaran dan melaksanakan program pembangunan.
Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri menyebutkan sebanyak Rp 672
triliun uang sudah ada di daerah yang disalurkan melalui dana perimbangan daerah namun
daya serapnya lambat. Daya serapnya lambat disebabkan adanya kekhawatiran dan ketakutan
pemegang anggaran terhadap resiko hukum.1
B. Rumusan Masalah
Mengapa Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan anggaran daerah untuk pembangunan
daerah tetapi ragu akan adanya tuduhan korupsi?
Semakin banyak kepala daerah dan anggota legislatif daerah di Indonesia tersangkut
kasus korupsi berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Dalam melaksanakan setiap
aktifitas, pemerintah daerah selalu membutuhkan dana, akan tetapi dana pemerintah daerah
terbatas. Karena keterbatasan anggaran pemerintah daerah, sementara fungsinya penting,
maka dibutuhkan skala prioritas, mendahulukan yang satu dibanding lainnya. Dengan
demikian, membelanjakan uang merupakan wujud pernyataan kebijakan konkret pemerintah
daerah dalam menjalankan fungsinya.
Sejak tahun 2002 lalu telah terjadi gelombang pengungkapan kasus dugaan korupsi
DPRD di berbagai daerah berawal dari maraknya pemberitaan tentang korupsi DPRD
propinsi Sumatera Barat dan menjalar ke berbagai wilayah lain seperti Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Barat, Lampung dan kemudian hampir merata di berbagai wilayah Indonesia
lainnya. Berdasarkan data Kejati seluruh Indonesia sampai dengan bulan September 2006
terdapat 265 kasus korupsi DPRD dengan jumlah tersangka atau terdakwa atau terpidana
sebanyak 967 orang anggota DPRD yang ditangani oleh 29 Kejati. Pada periode yang sama,
telah dikeluarkan ijin pemeriksaan untuk anggota legislatif: 327 orang anggota DPRD
propinsi dan 735 DPRD kabupaten kota.2
1 Dilema Anggaran Parlemen. Kompas, 8 Desember 2010 2 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Laporan Pelaksanaan Tugas Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah,
2006.
Di Indonesia, desentralisasi meliputi politik, administrasi dan fiskal atau keuangan.
Dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam batas tertentu
mendapatkan dan mengalokasikan dana untuk menjalankan fungsinya. Pencapaian
desentralisasi tidaklah mudah, karena bersinggungan dengan otoritas pemerintah pusat dalam
negara kesatuan, tarik menarik kepentingan elit-elit daerah serta mentalitas aparatur
pemerintah daerah yang terbiasa dengan pola sentralistis.
Persoalan yang dihadapi dalam penganggaran adalah komposisi penggunaan dana
yang lebih banyak digunakan untuk operasional pemerintah dibanding tugas melayani dan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Para pejabat dan aparaturnya dari tingkat pusat sampai
daerah lebih banyak menggunakan dana untuk operasional dirinya sendiri dibanding
pelayanan. Sehingga terjadi apa yang disebut sebagai predatory state, di mana negara
menggunakan lebih banyak uang untuk dirinya sendiri dibanding untuk rakyatnya.
Sistem anggaran pemerintah daerah tertuang dalam Permendagri No. 59 Tahun 2007
sebagai pedoman penyususnan APBD. Sistem ini sangat ketat prosedurnya, setiap belanja
terdapat mata anggaran dan dirinci sampai pada satuan pembiayaan. Ketatnya sistem ini
kadang menyulitkan pengambil kebijakan untuk mengalokasikan anggaran kepada kebutuhan
yang riil dan kontekstual sesuai kondisi lapangan yang berubah, karena semua detil item telah
ditetapkan. Sistem tersebut mengacu pada konsep output oriented, prinsipnya adalah
performance budgeting atau anggaran berbasis kinerja, di mana setiap keberhasilan diukur
dari keluaran berupa barang atau jasa, dan mengabaikan prosesnya.
Dengan kata lain, praktek korupsi secara konsisten terjadi sejak lama sebelum
kebijakan desentralisasi diterapkan. Yang baru dan fenomenal adalah fakta bahwa dalam 5
tahun terakhir terjadi fenomena terungkapnya dugaan kasus korupsi dan munculnya aktor-
aktor dari masyarakat yang secara konsisten mendorong dan menuntut agar kasus-kasus
tersebut dapat diselesaikan. Jika merujuk pada pandangan Karklins di mana, “Anti-corruption
work among public administrator and high level official can help, but in the long run, the
mobilization of democratic forces from below and the forging of civil society is the decisive
way to contain corruption in democratic society”,3 maka dapat disimpulkan bahwa
3 Karklins, Rasma, Anti-Corruption Incentives and Constituencies in the Post-Communist Region, Paper for Workshop 1: Creating a
Trustworthy State, Collegium Budapest, Draft, September 2002, Page.1.
berdasarkan pengalaman berbagai negara, terlepas dari sistem pemerintahan yang diterapkan,
menguatnya partisipasi publik akan berdampak pada terjadinya transparansi dan akuntabilitas
pemerintahan.
Daftar Pustaka
1. Dilema Anggaran Parlemen. Kompas, 8 Desember 2010
2. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Laporan Pelaksanaan Tugas Panja
Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah, 2006.
3. Karklins, Rasma, Anti-Corruption Incentives and Constituencies in the Post-
Communist Region, Paper for Workshop 1: Creating a Trustworthy State,
Collegium Budapest, Draft, September 2002, Page.1.