Upload
sirin-namirah
View
136
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISFUNGSI EREKSI PADA DIABETES MELITUS ASPEK PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS
Rahmawati, Dharma Lindarto, Chairul Bahri, O.K. Alfen Syukron, Sjafii Piliang, Nur Aisyah
PENDAHULUAN
Disfungsi Ereksi (DE) merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau
mempertahankan ereksi yang cukup untuk sanggama yang memuaskan.1 DE merupakan istilah
yang lebih tepat untuk disfungsi seksual daripada istilah impotensi yang dapat memberikan
konotasi negatif. 2
DE dapat disebabkan oleh faktor psikogenik, organik, maupun iatrogenik 1,3 Pada masa
lalu, faktor psikogenik dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya DE, sekarang ternyata
faktor organik lebih sering sebagai penyebab DE terutama pada laki-laki usia pertengahan dan
udia lanjut, 1,4 sedangkan DE akibat psikogenik lebih sering dijumpai pada usia di bawah 40
tahun. 5 Penyebab organik terletak pada kelainan neurogenik, vaskulogenik, dan endokrinologik. 1,3,5,6 di antara penyakit-penyakit yang menyebabkan DE organik, diabetes menempati urutan
tertinggi 2-5 kali lebih besar disbanding bukan diabetes. 7 DE organik juga dapat terjadi bersama-
sama dengan penyebab psikogenik.
Diperkirakan lebih dari 20 juta laki-laki di Amerika Serikat, 4 dan sekitar 2-3 juta laki-
laki di Inggris mengalami DE. 1 Prevalensi DE meningkat sesuai dengan pertambahan usia. 1,2,4,7,8
Massachussetts Male Aging Study (MMAS) melakukan penelitian terhadap laki-laki yang
berumur 40-70 tahun ternyata 52% mengalami DEdalam berbagai peningkatan, 9 sedangkan
laporan MMAS mengenai insidensi DE pada laki-laki yang mengunjungi klinik diabetes berkisar
antara 27-59%. 1 Khor dkk pada penelitian terhadap laki-laki berumur 40 tahun di rumah sakit
umum Penang bulan Mei 1999 mendapatkan hasil sebagian besar DE diakibatkan kelainan
organik yaitu akibat diabetes 42% dan hipertensi 20%. 10 Tan J dkk (Singapore, 1999) faktor
psikogenik (depresi) menempati urutan tertinggi terjadinya DE yaitu 83,7%, diikuti diabetes
sebanyak 74,8%. 11 Laporan mengenai DE di Indonesia masih jarang 5 Tjokoprawiro. A di
Surabaya tahun 1993 melaporkan prevalensi DE pada diabetes cukup tinggi yaitu 50,9%. 12
Prajono JN di Manado tahun 1998 melaporkan kejadian DE pada penderita diabetes sebesar
60,6%. 13
Untuk mengevaluasi fungsi ereksi, rosen dkk telah merancang suatu kuesioner indeks
fungsi ereksi (International Index of Erectile Function = IIEF). 14 IIEF ditujukan untuk menilai
fungsi seksual pada laki-laki yang mencakup fungsi, ereksi, orgasmus, hasrat seksual, kepuasan
dalam sanggama, dan kepuasan secara keseluruhan. IIEF-5 memiliki tingkan sensitifitas dan
spesifisitasyang tinggi dalam penilaian DE, utamanya dalam menilai kemajuan pengobatan. 14,15
Skor 22-25 dinyatakan sebagai fungsi ereksi yang normal, sedangkan skor 21 atau kurang
digunakan untuk mengidentifikasi berbagai tingkatan DE, apakah tergolong ringan, sedang, atau
berat. 2,15
ANATOMI DAN FISIOLOGI EREKSI 1
Ereksi merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari faktor psikologik, neuro-
endokrin dan mekanisme vaskuler yang bekerja pada jaringan ereksi penis.
Organ erektil penis terdiri dari sepasang kopora kavernosa dan pada bagian bawahnya
terdapat corpora spongiosa. Pada bagian dorsal penis dijumpai vena dorsalis interna dengan di
sisi lateralnya dijumpai arteri dorsalis penis dan nervus dorsalis penis. Jaringan erektil diliputi
oleh tunika albugenia, selanjutnya dibungkus oleh selaput kolagen yang disebut fasia Buck.
Pada keadaan flaccid (lemas), di dalam corpora kavernosa terlihat sinusoid mengecil,
arteri, dan arteriol berkontraksi dan venula dilatasi. Sebaliknya pada ereksi rongga sinusoid
dalam keadaan distensi, arteri, dan arteriol berdilatasi dan venula mengecil seperti terjepit di
antara dinding-dinding sinusoid dan tunika albugenia.
System perdarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang kemudian menjadi
arteri penis komunis dan kemudian bercabang menjadi arteri kavernosa, arteri dorsalis penis, dan
arteri bulbo uretralis. Arteri kavernosa memasuli korpora kavernosa dan membagi diri menjadi
arteriole-arteriole helisin yang bentuknya seperti spiral bila penis dalam keadaan lemas. Pada
keadaan ereksi arteriole-arteriole helisin berelaksasi sehingga menyebabkan aliran darah arteri
bertambahcepat dan mengisi rongga-rongga lakunar (gambar 2).
Pengaliran darah vena dari rongga lakunar melalui suatu pleksus yang terletak di bawah
tunika albugenia. Pleksus ini dapat terkompresi dan teregang akibat relaksasi otot polos. Venula
subtunika bergabung membentuk venula emisaria yang keluar dari corpora kavernosa dengan
menembus tunika albugenia dan bermuara ke vena yang lebih besar. Pengembalian darah dari
penis berjalan melalui vena superficial, vena intermedia, dan vena profunda (gambar 3).
Keadaan relaksasi atau kontraksi otot-otot polos trabekel dan arteriole menentukan penis
dalam keadaan ereksi atau lemas. Beberapa neurotransmitter berperan dalam memulai serta
mengakhiri ereksi penis dalam keadaan normal. Mekanisme ereksi dimediasi oleh oksida nitrit
(NO) via second messenger system melibatkan cGMP. Detumesensi adalah akibat dari
terganggunya cGMP oleh phospodiesterase tipe 5 (PDE-5). 1,4,5 Jadi neurotransmitter NO
memegang peranan penting dalam proses relaksasi otot polos dan ereksi penis.
Penis disarafi oleh sistem persarafan otonom (simpatik dan parasimpatik) serta
persarafan somatic (sensoris dan motoris). Serabut saraf parasimpatik yang menuju ke
penis timbul dari neuron pada kolumna intermediolateral segmen kolumna vertebralis S2-
S4. Saraf preganglioniknya memasuki pleksus pelviskus tempat bergabungnya dengan
saraf simpatik yang berasal dari pleksus hipogastrik dan membentuk nervus kavernosus.
Saraf simpatik berasal dari kolumna vertebrasil segmen T11-L2 dan turun ke pleksus
hipogastrik. Nervus kavernosus memasuki penis pada pangkalnya dan mensarafi otot-otot
polos trebekel. Saraf sensoris pada penis yang berasal dari reseptor sensoris pada kulit dan
glans penis bersatu membentuk nervus dorsalis penis yang bergabung dengan saraf-saraf
perineal lain membentuk nervus pudendus. Nervus pudendus ini naik ke radiks dorsalis
kolumna vertebralis S2-S4.
Proses ereksi mencakup beberapa keadaan hemodinamik yang berurutan dan terkoordinir
termasuk relaksasi otot polos trebekel, aliran arteri, serta oklusi vena. Sistem persarafan otonom
mengontrol komponen vaskuler dan sistem persarafan somatik mengontrol komponen otot
skelet.
Proses ereksi dapat dibagi ke dalam 8 fase : 1
1. Fase 0 : Fase flaccid (lemas). Dalam keadaan istirahat ini otot polos trebekel berkontraksi
dan akibatnya aliran darah arteri menjadi sedikit dan aliran vena menjadi cepat.
2. Fase 1 : Fase pengisian. Dalam fase ini terjadi stimulasi saraf parasimpatik yang
mengakibatkan relaksasi otot polos arteriole dan meningkatkan secara cepat aliran darah
arteri. Volume penis bertambah tetapi tekanan intrakavernosal belum terlalu menonjol.
3. Fase 2 : Fase tumensi. Volume penis terus bertambah dan tekanan intrakorporal mulai
meningkat serta oklusi vena terus bertambah akibat terkompresinya vena subtunika. Penis
mengalami elongasi.
4. Fase 3 : Fase ereksi penuh. Pada fase ini aliran darah arteri hamper tidak ada dan penis
menjadi kaku. Tekanan intrakavernosal terus meningkat kurang lebih sama dengan
tekanan darah sistolik.
5. Fase 4 : Fase ereksi rigid. Di bawah pengaruh nervus pudendus, otot ishiokavernosus
berkontraksi mengakibatkan tekanan intrakavernosal ereksi. Aliran arteri berhenti
6. Fase 5 : Fase detumesensi insial. Disini terjadi peningkatan tekanan intrakavernosal,
kemungkinan akibat stimulasi simpatik melawan aliran darah vena.
7. Fase 6 : Fase detumesensi lambat. Pada fase ini otot polos trabekula berkontraksi.
Arteriole helisin mengalami konstriksi dan tekanan intrakavernosalmenurun
menyebabkan meningkatnya aliran darah vena.
8. Fase 7 :Fase detumesensi cepat. Stimulasi simaptik menyebabkan penurunan yang cepat
aliran darah arteri dan tekanan intrakavernosal. Aliran darah vena dengan cepat pulih
kembali dan terjadi fase flaccid lagi.
ETIOLOGI DISFUNGSI EREKSI
Berdasarkan faktor penyebab DE dibagi ke dalam psikogenik, organic, dan iatrogenik. 1,3
1. Psikogenik :
- Ansietas
- Depresi
2. Organik :
a. Vaskulogenik
- Diabetes Melitus
- Hipertensi
- Hiperlipidemia
- Merokok
- Disfungsi mekanisme oklusi vena (Veno Occlusive Dysfunction)
b. Neurogenik
- Trauma
- Diabetes Melitus
- Multiple Sklerosis
- Operasi Pelvik
- Lesi diskus intervertebralis
c. Endokrinologik
- Hiperprolaktinemia
- Hipogonad
- Penyakit tiroid
3. Iatrogenik :
a. Obat-obatan :
- Golongan mayor Tranquilizer
- Antikolinergik
- Anti Androgen
- Beberapa golongan Anti Hipertensi
- Anti Depresan
- Ansiolitik
- Obat-obat Psikotropik
- Lain-lain : simetidin, digoksin, indometasin, klofibrat, dan lain-lain
b. Operasi
c. Radioterapi
ETIOLOGI DISFUNGSI EREKSI PADA DIABETES (DE-D)
a. Psikogenik
b. Organik :
- Neurogenik (neuropati)
- Vaskulogenik (angiopati)
c. Kombinasi
Mekanisme tejadinya DE akibat psikogenik belum jelas diketahui, namun pada keadaan
tertentu seperti ansietas yang menyolok kelihatannya terjadi aktifitas saraf simpatis yang
berlebihan mengakibatkan meningkatnya tonus otot polos kavernosus yang akhirnya
menyebabkan penis menjadi flaccid.
Untuk membedakan antara penyebab psikogenik dengan organik dapat dilihat bagan berikut ini : 4,16
Psikogenik Organik -Onset tiba-tiba -Onset perlahan-lahan -Situasi tertentu -Semua keadaan -Ereksi Nokturnal dan pagi hari normal -Ereksi Nokturnal dan pagi hari tidak ada -Libido menurun -Libido normal -Masalah selama perkembangan seksual -Perkembangan seksual normal
PATOFISIOLOGI DE - D
Patofisiologi DE-D diduga disebabkan mulifaktor, faktor neuropati dan arteriopati
dipercaya memegang peranan penting. 1,16
Patofisiologi DE-D adalah sebagai berikut : 1
1. Neurogik :
- Neuropati autogenik
- Neuropati perifer
2. Arteriogenik :
- peningkatan resiko aterosklerosis
- mikroangiopati
3. Endotel :
- Gangguan relaksasi otot polos tergantung endotel
4. Miogenik :
- Gangguan funsi otot polos
Ad. 1. Faktor Neurogenik
Patogenesis neuropati diabetik sampai saat ini belum seluruhnya jelas, neuropati
autonomic diabetic dapat melibatkan berbagai organ termasuk didalamnya system urogenital,
gastrointestinal, kardiovaskuler, dan lain-lain. Berbagai teori dijelaskan dalam hal terjadinya
neuropati diabetik diantaranya : 16
Teori Hormon
Dijumpai tiga hormone yang mempengaruhi fungsi saraf perifer yaitu tiroksin,
testosterone, dan insulin. Ternyata pemberian tiroksin dapat memperbaiki kecepatan hantaran
saraf motorik dan memperbaiki konsentrasi dan inositol pada tikus diabetes. Kastrasi pada tikus
diabetes akan mencegah berkurangnya collagen solubility dan bertambahnya permeabilitas
vaskuler tetapi tentunya cara ini tidak dapat dilakukan pada manusia. 3 Insulin di samping
berperan sebagai regulator gula darah juga berperan sebagai growth faktor pada sejumlah
jaringan saraf pusat maupun perifer. Dengan berkurangnya growth faktor tersebut maka terjadi
penurunan kemampuan proses regenerasi saraf sehingga mengakibatkan gangguan fungsi dari sel
saraf. Namun demikian pengalaman telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan langsung
antara terjadinya DE dengan insulin. Pemberian insulin saja ternyata tidak dapat memperbaiki
gangguan DE pada penderita diabetes. 17
Teori Hipoksia
Pemeriksaan terhadap saraf perifer dari tikus diabetes tampak adanya pengurangan aliran
darah di saraf perifer yang disebabkan oleh hiperviskositas dan mikroangiopati. Tekanan oksigen
endoneural akan berkurang dan akhirnya akan menyebabkan berkurangnya kecepatan hantaran
pada saraf motorik. 16
Teori Glikosilasi
Diketahui bahwa molekul glukosa akan melekat pada protein sesuai dengan konsentrasi
glukosanya. Kolekul glukosa yang melekat ini akan membentuk fluorescent cross linked protein.
Ikatan ini menyebabkan jumlah glikosilasi mielin meningkat 5 kali. Glikosilasi mielin ini
mempunyai reseptor yang spesifik dan dimakan oleh makrofag. Dengan demikian serangan
makrofag ini akan menambah hilangnya mielin pada saraf perifer.
Teori Vaskuler
Pada otopsi yang dilakukan diperoleh adanya iskemia dari saraf perifer yang
menyebabkan neuropati diabetic. Iskemia dapat terjadi akibat :
1. Kerusakan Vasa Vasorum akibat hiperglikemia
2. Edema neural diserat-serat saraf sensoris
Teori Edema Saraf (Teori Osmotik)
Saat ini banyak penulis menganut teori osmotik dalam hal terjadinya neuropati diabetik. 16
Spektroskopi resonansi magnetic sangant sensitive terhadap keadaan hidrasi dari jaringan
dan oleh karena itu dipakai untuk menentukan kadar air di saraf perifer. Pada pemeriksaan in
vivo menunjukkan bahwa hidrasi saraf lebih tinggi pada neuropati diabetik daripada nilai yang
didapatkan pada penderita control. Untuk menjelaskan teori edema saraf ini dikenal ada dua
teori: 16
1. Teori Inositol. Hiperglikemia diduga dapat menurunkan konsentrasi dari mioinositol
melalui dua jalan yaitu glukosa bersaing menghambat transport aktif dari mioinositol, dan
aktifitas polyol pathway di dalam sel-sel saraf merangsang hilangnya mioinositol dari sel
tersebut.
2. Teori Sorbitol. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa terjadinya penambahan kadar
glukosa, fruktosa, dan sorbitol di saraf perifer penderita diabetes. Bila terjadi
penambahan dari endoneural sorbitol ini maka osmotik gradient menyebabkan edema
saraf.
Ad. 2. Faktor Arteriogenik 1
Aterosklerosis pada arteri besar dan mikroangiopati lebih sering dan lebih cepat
muncul pada penderita diabetes disbanding bukan diabetes. Mikroangiopati ditandai
dengan penebalan kapiler basement membrane. Bila dilakukan arteiografi terlihat stenosis
di arteri pudenda interna. Dengan pemeriksaan ultrasound dupleks akan tampak diameter
arteri penis yang lebig kecil dan aliran darah lebih lambat. Banyak penelitian
membuktikan adanya hubungan yang erat antara DE-D dengan manifestasi vaskuler lain
pada diabetes seperti retinopati, penyakit jantung iskemik, klaudikasio intermiten, dan
resiko amputasi. 1,8 Penurunan aliran darah ke penis akan mengakibatkan iskemik dalam
corpora.
Ad. 3. Faktor Endotel dan Miogenik
Pada tahun 1992 Sanzes dan Tejadin menemukan secara rinci mekanisme
terjadinya ereksi, dimana peran endotel sel pembuluh darah dan sel otot polos
kavernosummemegang peranan penting. 17 Penderita dengan diabetes menunjukkan
perubahan-perubahan yang nyata pada fungsi endotel. Endotel mempunyai peranan
penentu dalam mengatur kontraktilitas dinding pembuluh darah dengan mensekresi
bahan-bahan vasoaktif. Sel-sel endotel yang rusak mula-mula mengurangi pelepasan
neurotransmitter yang menyebabkan vasorelaksasi terutama NO. Produksi prostasiklin
juga berkurang pada sel-sel endotel penderita diabetes. Glukosa mempunyai efek
langsung pada sel-sel endotel. Kadar glukosa yang tinggi dapat menghambat proliferasi
sel-sel endotel dan meningkatkan permiabelitas lapisan sel endotel sehingga
menyebabkan influks lebih besar bahan-bahan dari darah yang beredar ke dalam tunika
interna dan media. 18 Jadi gangguan relaksasi otot polos tergantung endotel dan gangguan
neurogenikdapat disebabkan oleh : 1
1. Hiperglikemia
2. Produksi radikal bebas yang berlebihan
3. Produksi sorbitol yang meningkat
4. Pembentukan Advance Glycation End Products (AGEs)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar berikut :
Saat ini teori AGEs merupakan yang paling popular. AGEs adalah hasil reaksi
non enzimatik antara glukosa dan asam amino dari protein jaringan. Peningkatan AGEs
tidak hanya berhubungan dengan diabetes tetapi juga berhubungan dengan usia.
DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis DE-D terlebih dahulu harus dibuktikan bahwa
penderita mengidap diabetes dengan memakai criteria baru hasil konsensus pengelolaan
diabetes mellitus di Indonesia tahun 1998. 19
Adapun pemeriksaaan yang harus dilakukan adalah :
1. Anamnesis
Setelah dilakukan anamnesis secara umum, terhadap penderita disampaikan
beberapa pertanyaan sederhana dan bersifat hari-hati mengenai masalah yang
berhubungan dengan fungsi seksual. Anamnesis mengenai cara terjadinya DE, libido
dan ereksi pagi hari sangat penting ditanyakan untuk membedakan apakah kelainan
organic atau psikogenik.
Rosen dkk telah merancang suatu kuisoner tentang indeks fungsi ereksi yang
terdiri dari 5 pertanyaan yang dikenal dengan International Index of Erectile Function
(IIEF-5). IIEF-5 telah digunakan secara luas di seluruh dunia dalam meneliti
terjadinya DE, dan penelitian membuktikan bahwa IIEF begitu mudah digunakan
dalam klinik. 2 IIEF-5 digunakan untuk menilai fungsi seksual pada laki-lakiyang
mencakup fungsi ereksi, orgasmus, hasrat seksual, kepuasaan dalam sanggama dan
kepuasaan secara keseluruhan.IIEF-5 memiliki tingakat sensitifitas dan spesifisitas
yang tinggi dalam penilaian DE, disamping itu juga sangat membantu pasien dan
dokter dalam proses komunikasi. 2,14,15 Untuk setiap pertanyaan telah tersedia pilihan
jawaban. Skor 22-25 menandakan fungsi ereksi normal, sedangkan skor kurang atau
sama dengan 21 menunjukkan adanya gejala-gejala DE yang dibagi dalam DE ringan
(12-21). DE sedang (8-11), dan DE berat (5-7).
2. Pemeriksaan Fisik meliputi : 1,3
- Pemeriksaan umum seperti berat badan, tinggi badan, tekanan darah, pemeriksaan
organ tiroid, kardiovaskuler, traktus respiratorius, gastrointestinal, refleks
neurologis, ciri-ciri seks sekunder maupun tanda-tanda hipogonad.
- Pemeriksaan neurologik : kepekaan terhadap rasa di daerah general dan perianal,
kepekaan rasa fibrasi ujung-ujung jari tangan dan kaki serta genital. Beberapa tes
tertemtu dapat dilakukan untuk mendiagnosis terjadinya neuropati autonom
kardiovaskuler seperti tes valsava, respon frekuensi jantung pada waktu berdiri,
variasi detik jantung dan respon tekanan darah pada waktu berdiri.
- Pemeriksaan Urogenitalis :
Penis : ukuran, fimosis, hipospadia
Testis : jumlas, konsistensi
Epididimis : besar, konsistensi
Vas Deferens : teraba / tidak, pengerasan
Skrotum : hidrokel, hernia
Vesika Seminalis : teraba / tidak
Prostat : teraba / tidak
3. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu dilakukan untuk menunjang pemeriksaan lainnya diantaranya pemeriksaan
urin, darah rutin, kadar gula darah, profil lemak, faal hati dan ginjal, pemeriksaan
hormone FSH/LH, prolaktin, testosterone maupun T3/T4.
4. Pemeriksaan Khusus : 3,4
1. Nocturnal Penile Tumescence (NPT) Testing : pemeriksaan ini menggunakan
snap-gauge band dan rigiscan device untuk membuktikan adanya ereksi malam
hari guna membedakan antara DE psikogenik dengan organik.
2. Colour Doppler Imaging : pemeriksaan ini membantu memberikan petunjuk
mengenai hemodinamik penis setelah relaksasi otot polos maksimal yang di
induksi oleh obat vasoaktif. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya
insufisiensi arterial guna membedakan dengan DE psikogenik. Kecepatan aliran
darah dari arteri kavernosa dapat diukur selama sistilok dan diastolik.
3. Pharmacocavernosography. Pemeriksaan ini untuk mengukur aliran darah vena
keluar dari penis dengan melakukan injeksi zat kontras ke dalam corpora.
KESIMPULAN
Diabetes menenmpati urutan tertinggi dalam menyebabkan DE organik.
Patofisiologi DE-D dapat diterangkan sebagai akibat kelainan neurogenik,
arteriogenik, kerusakan endotel, dan miogenik.
Kuesioner IIEF-5 mempunyai tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi
dalam penilaian DE.
Perlu anamnesis yang teliti untuk membedakan apakah DE organic atau
psikogenik, walaupun DE organik dapat terjadi bersama-sama dengan DE
psikogenik.
Pemeriksaan khusus dapat menentukan DE akibat kelainan organik atau
psikogenik.
KEPUSTAKAAN
1. Eardley I, Sethia K. Erectile Disfunction : Current Investigation and Management, London,
Mosby-Wolfe, 1998 : 1-38
2. Asian-Edact. The International Index for Erectile Function 5 (IIEF-5). Understanding The
Development and Clinical use of the IIEF-5, 1998
3. Arsyad KM. Penatalaksanaan Impotensi Dexa Media, 1997, 3(10) : 4-13
4. Holmes S, Kirby R, Carson C. Male Erectile Dysfunction. Oxford, Health Press, 1997 : 5-24
5. Ikatan Dokter Indonesia. Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi. Materi Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan, 1999
6. Fabberi A, Aversa A, Isodori A. Erectile Dysfunction ; An Overview. Hum Reprod Update
(Abstract), 1997 ; 3 (5) : 455-466
7. Adimoelja A.Terobosan Baru Pengelolaan Impotensi Diabetik. Dalam : Tjokoprawiro A,
Hendromartono, Ari S dkk (ed). Naskah Lengkap Surabaya Diabetes Update III, Surabaya,
1997 : 153-158
8. Alexander WD, Cummings M. Erectile Dysfunction and Its Treatment, In : Shaw KM.
Diabetic Complications, New York, John Wiley & Sons, 1990 : 67-100
9. Fieldman HA, Goldstein I, Hatzichristou DG, Krane RJ. Impotence and Its Medical and
Psychosocial Correlates : Result of the Massachusetts Male Aging Study. J Urology
(Abstract), 1994 ; 151 (1) : 54-61
10. Khor TG, Khaw PG. result of Slidenafil Citrate in The Treatment of Erectile Dysfunction at
Penang General Hospital (Abstract), Malaysian Urological Conference, Penang, December
1999
11. Tan JKN, Hong CY. Erectile Dysfunction : a Study on the Knowledge. Health Belief and
Health Seeking Behavior of Elderly Males in Singapore (Abstract), Malaysian Urological
Conference, Penang, December 1999
12. Tjokoprawiro A. Diabetes Mellitus : Kapita Selekta 1998-D. Dalam : Kumpulan Makalah
Kongres Nasional IV Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADI), Denpasar, 1998 : 29 -39
13. Prajogo JN, Sumual AR. Disfungsi Ereksi pada Pasien Diabetea Mellitus di RSUP Manado.
Kumpulan Makalah Kongres Nasional IV Persatuan Diabetes Indonesia (PERSADI),
Denpasar, 1998 : 215-220
14. Rosen RC, Riley A, Wagner G, Osterloh IH, Kirkpatrick J, Mishra A. The International
Index of Erectile Function (IIEF) : a multidimensional scale for assement of erectile
dysfunction. Urology (Abstract), 1997, 49 : 822-830
15. Rosen RC, Capellery JC, Smith MD, Lipsky J, Pena BM. Development and Evaluation of an
Abriged, 5 – item version of the International Index of Erectile Function (IIEF-5) as a
diagnostic tool for erectile dysfunction. Int J Impot Res (Abstract), 1999, 11 : 319-326
16. Poewardi T. Neuropati Diabetik. Dalam : Tjokoprawiro A, Sukahatya M, Budhianto FX,
Sutjahyo A, Tandra H. (ed) Kongres Nasional II Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI), Surabaya, 1989 : 192-212
17. Adimoelja A. Pengobatan Disfungsi Seksual pada DM dengan suntikan obat vasoaktif dan
oral dengan Protodioscin. Dalam : Adam JF, Sanusi H, Tandean P, Lawrence G, Aman M.
Kumpulan Naskah Lengkap Kongres Nasional II Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
(PERKENI), Ujung Pandang, 1997 : 7-11
18. Piliang S. Perananan Diabetes Mellitus pada Disfungsi Endotel. Dalam : Buletin PAPDI
Cabang Sumatera Utara, 1999, 1 :4-9
19. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di Indonesia 1998
Lampiran : EVALUASI FUNGSI SEKSUAL PRIA
International Index of Erectile Function – 5 (IIEF-5)
Selama lebih dari 6 bulan terakhir :
1. Bagaimana derajat keyakinan Anda bahwa Anda dapat ereksi serta terus bertahan untuk
melakukan ssanggama ?
[1] sangat rendah
[2] rendah
[3] cukup
[4] tinggi
[5] sangat tinggi
2. Pada saat Anda ereksi setelah mengalami perangsangan seksual, seberapa sering penis
Anda cukup keras untuk dapat masuk ke dalam vagina pasangan Anda?
[0] tidak melakukan sanggama
[1] tidak pernah atau hampir tidak pernah
[2] sesekali (kurang dari 50%)
[3] kadang-kadang (sekitar 50%)
[4] sering (lebih dari 50%)
[5] selalu atau hamper selalu
3. Setelah penis masuk ke dalam vagina pasangan Anda, seberapa sering Anda mampu
mempertahankan penis tetap keras?
[0] tidak melakukan sanggama
[1] tidak pernah atau hampir tidak pernah
[2] sesekali (kurang dari 50%)
[3] kadang-kadang (sekitar 50%)
[4] sering (lebih dari 50%)
[5] selalu atau hampir selalu
4. Ketika melakukan sanggama, seberapa sulitkah mempertahankan ereksi sampai
ejakulasi?
[0] tidak mencoba melakukan sanggama
[1] sangat sulit sekali
[2] sangat sulit
[3] sulit
[4] sedikit sulit
[5] tidak sulit
5. Ketika Anda melakukan sanggama, seberapa sering Anda merasa puas?
[0] tidak melakukan sanggama
[1] tidak pernah atau hampir tidak pernah
[2] sesekali (kurang dari 50%)
[3] kadang-kadang (sekitar 50%)
[4] sering (lebih dari 50%)
[5] selalu atau hampir selalu