Distorsi Makna Jihad

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pengetahuan tentang makna jihad dan kesalahan sebagian orang memahami dari maknanya

Citation preview

DISTORSI MAKNA JIHAD :http://jaisyulghuroba.wordpress.com/2008/01/19/j-i-h-a-d-antara-definisi-syar%E2%80%99i-dan-usaha-distorsi/Saat ini, faridzah jihad merupakan faridzah yang paling banyak mendapat serangan baik dari orang-orang kafir maupun dari orang-orang Islam sendiri, baik kalangan pengikut orientalis bahkan juga sebagian ulama yang mukhlish tanpa mereka sadari ikut menikam jihad . Serangan-serangan ini hadir lewat berbagai pemahaman yang mereka sebarkan yang bertentangan dengan Al Quran, As Sunah, ijma salaful umah dan realita kehidupan umat Islam zaman keemasan mereka. Di antara sebagian pemahaman yang melenceng dalam memahami makna jihad ini adalah :A. Makna Jihad Secara Syari Bukan PerangAda sebagian orang saat ini yang mulai mengutak-atik makna jihad ini. Mereka memandang memaknai jihad dengan kata perang melawan orang-orang kafir merupakan pengertian yang picik, sempit dan justru semakin memojokkan Islam yang selalu dituduh pihak orientalis sebagai agama yang tesebar dengan pedang dan kekerasan, agama teroris dan sebagainya. Untuk itu, mereka mencari-cari dalil dari Al Quran dan As sunah, kiranya memperkuat pendapat mereka yang moderat tersebut. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah :Firman Alloh : Dan berjihadlah untuk Alloh dengan sebenar-benar jihad.(QS. Al-Hajj: 78). Dan jihadilah mereka dengannya (Al-Quran) dengan jihad yang besar. (QS.Al-Furqon: 52) Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Alloh. Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan lidah kalian. (Hadits shohih, HR. Abu Dawud no. 2504, An-Nasai 7/7 dan 51, Ahmad 3/124,153,251, Ad Darimi 2/132 no. 2436, Al Baghawino.3410). : .Jihad apa yang paling utama? Beliau menjawab, Berkata benar di hadapan pemerintah yang dholim. (HR Ahmad, Nasai 7/61, dihasankan Al Mundziri dalam At Targhiib wa at Tarhib 3/168]. : .Dari Ibnu Masud bahwasanya Rasulullah bersabda, Tak seorang nabi pun yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat shahabat dan penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. [H R . Muslim Bab Iman, no. 50]. Jihad itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.(HR. Abu Nuaim dalam Al Hilyah, hasan].Di antara para ulama yang mempunyai pemahaman ini adalah DR. Yusuf Qardhawi [dalam buku beliau Fiqhu az Zakat] Di sini hanya akan kita sebutkan pendapat Dr. Yusuf Qardhawi saja karena pendapat beliau sudah mewakili pendapat para ualama yang sependapat dengan beliau dalam hal ini. Alasan lain karena beliau termasuk ulama kontemporer yang kredibilitas keilmuan beliau diakui dan menjadi tempat rujukan umat Islam. Dr. Yusuf Qardhawi berkata, Oleh karena itu saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer[34]Sesungguhnya berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keislaman yang kami sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk menolong din Allah, membelanya dan melawan musuh musuhnya serta menegakkan kalimatullah di muka bumi.[35]Beliau juga berkata, Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar, diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah, pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya. Adapun yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan khilafah Islamiyyah, umat dan peradabannya. [36]Beliau lebih memperjelas pendapat ini, Sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah. [37]Jawaban Atas Berbagai Dalil di Atas :Definisi jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan kemampuan bisa tergolong jihadmenurut bahasa. Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syari. Ratusan kata jihad tersebar di dalam Al Quran dan As Sunah. Pelaksanaan dan hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah, Makna syari lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara, daripada pengertian bahasa maupun urf. [38]Telah kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Quran, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syari dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada qarinah (dalil/hal lain) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai dengan makna pokoknya.[39] Imam Ibnu Hajar berkata, Secara syari adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan.[40]. Imam Ibnu Rusydi berkata, Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri. [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syariyah 1/269].[41] Karena itu, bila sebagian besar umat Islam memahami jihad itu perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam. Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash.Bila dikatakan makna jihad secara syari adalah perang, bukan artinya kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah, tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan madrasah sebagai upaya pembangunan kader dai, pembangunan jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini, baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi. Adapun adanya mayoritas masyarakat umat Islam yang memahami jihad sebagai jihad dan tidak menamai aktifitas keislaman lain dengan kata jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut jihad maka umat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz ngajar di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat senjata) malah disebut teroris dst. Para ulama sendiri menyebut jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad. Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,Dakwah ada dua: Dakwah dnegan senjata yaitu perang dan dakwah dengan lisan yaitu tabligh. [Badai-u al Shanai 9/4304][42] Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau menyebut jihad dengan dakwah. Walahu Alam bish Shawab.Jadi, yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita pahami sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah hal-hal berikut :Memang benar ayat-ayat tadi menerangkan keutamaan dan arti penting jihad daawy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai jihadan kabiran (jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari pengertian ini, maksudnya bukan berarti dakwah itu jihad yang paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi masalah karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan umat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada. Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun menjelang hijrah beliau ke Madinah ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,Kita belum diperintahkan untuk itu. Yang diperintahkan saat itu adalah jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari ayat nihai dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum nihai. Orang yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini semua menunjukkan jihad itu makna syarinya perang. Dengan demikian setiap jihad itu berarti perang, meskipun tidak setiap perang itu masuk kategori jihad. [DR. Muhammad Khoir Haikal, Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar'iyah, 1/74-75]. Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah, demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu Hajar,Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah adalah jihad.[43] Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk makna selain jihad/perang : : : .Dari Abu Said ia berkata, Rasulullah bersabda, Tidak ada seorang hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu sejauh 70 tahun. [Bukharino.2840, Muslim no. 1153].Imam Ibnu Jauzi berkata, Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilullah maka maknanya adalah jihad.[44] Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok dst. Semua ulama memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang melawan orang kafir. Wallahu Alam.Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah merupakan jihad yang paling agung atau memaknai jihad secara syari dengan perang merupakan hal yang salah. Makna haditshadits tadi wallahu Alam adalah dakwah, amar maruf nahi munkar dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus amar maruf di hadapan sultan yang dzalim. Namun makna hadits-hadits ini juga bisa bahkan mungkin lebih pas bila diterapkan dalam jihad dnegan makna perang, di mana nyawa dan harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir merupakan jihad melawan hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukm-hukum fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dst, melebihi jihad qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu Alam.Dalam banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk menyimpulkan makna jihad secara syari bukan hanya perang saja, atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan : : : . : : . : : .Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ditanya, Amal apakah yang paling utama ? Beliau menjawab, Iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian beliau ditanya lagi, Lalu apa? Beliau menjawab, Jihad di jalan Allah. Kemudian beliau ditanya lagi, Lalu apa? Beliau menjawab, Haji yang mabrur. [Bukhari no. 1519 ] , : , : . : : . : : . .Dari Ibnu Masud, Saya bertanya kepada Rasulullah, Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama? Beliau menjawab, Shalat tepat pada waktunya. Saya bertanya lagi,Lalu apa? Beliau menjawab, Berbakti pada kedua orang tua. Saya bertanya lagi, Lalu apa? Beliau menjawab,Jihad di jalan Allah. [Bukharino.2782]. Dan hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas.Dalam berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu saat itu. Imam Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Masud tadi, Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan (penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad itu awal Islam adalah sebaik-baik amalan karena merupakan wasilah untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memngkinkan untuk melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya, namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk () dibuang, dan itulah yang dimaksudkan. [45]Dengan ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama inii. Kaidah yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut, Seutama-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim. Terkadang bersabda, Seutama-utama jihad adlah engkau berjihad melawan nafsumu demi Allah. Terkadang beliau bersabda,Orang yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah. Terkadang juga bersabda,Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian, tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan itulah makna syari dari kata jihad. Wallahu Alam.Agar jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas penggunaan berbagai istilah dalam Islam :Istilah Syari Dan PemakaiannyaDalam Islam, istilah-istilah syari selalu mempunyai dua makna; makna bahasa dan makna syari atau istilah. Dalam penggunaannya, makna yang dipakai pedoman dan penilaian adalah makna syari/istilah. Sebagai contoh :a). Sholat maknanya secara bahasa adalah doa, sedang secara syari perbuatan dan perkataa tertentu dengan aturan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa doa ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap kali kata sholat disbut maka yang langsung dipahami oleh siapapun adalah makna keduanya, makna syarinya. Saat sholat dhuhur tiba, misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur berjamaah, namun ada seseorang memojok dan tdak ikut sholat, ia berdiam diri dzikir atau membaca Al Quran. Ketika ditanya, kenapa tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa. Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian, karena ia mempermainkan istilah syariat.b). Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak berbicara namanya shaoum, tidak makan namanya shoum, tidak tidur namanya shaum,dst. Makna shaum secara syari adalah menahan diri dari makan, minum, jima dan seluruh pekerjaan lain yang membatalkan shoum menurut syariat sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.Demikian pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syari seperti telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu da lain-lain, atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa? Karna itu artinya bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun ponpes dengan membangun ponpes dst. Cukuplah jihad itu perang melawan orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dst, tapi itu kalau ada qarinah. [46]Kesimpulannya :Kata jihad diungkapkan dengan dua cara yaitu : (1) Dengan secara mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang melawan orang-orang kafir. Inilah makna syari yang dibicarakan seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan dzirwatu sanamil islam (puncak ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Nuhas[47] dan Ibnu Taimiyah[48]. Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka maknanya adalah jihad dalam artian perang ini. Jihad dalam pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardlu kifayah dan dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardlu ain. Adapun dakwah dst itu termasuk jihad dengan makna kedua, dan jihad tidak dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qarinah. Kesalahan sebagian pihak saat ini adalah memaksakan jihaddengan qarinah ini untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qarinah ini. Wallahu Alam.Oleh karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam mendudukkan persoalan ini mengatakan, Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri).[49] Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan dua kali di atas.Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyariatkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fi sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan farhdu ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga. [50]Ustadz Hasan Al-Banna berkata, Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. : Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid. Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad. [ QS : Al Hajj : 78 ]Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:Jihad adalah jalan kami.Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata, Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik. Lebih lanjut beliau berkata,Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan. [51]Seperti telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan bahwa melawan hawa nafsu, syetan, berdakwah dan sebagainya, itu termasuk jihad namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder. Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian jihad secara khusus ( syari/saat jihad disebut secara mutlaq ). Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fai, ghanimah, kharaj, ghulul, membunuh lawan, keutamaan mati syahid dan sebagainya, itu semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syari ( mutlaq ), bukan untuk dakwah dan sebagainya. Itulah kenapa makna jihad secara syarI menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan dakwah dan sebagainya. Karena kita tidak bisa artikan, misalnya, hadits orang mati syahid memberi syafaat 70 anggota keluarganya itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu sakit dan mati, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan makna syari, yaitu perang. Wallahu Alam.Perang Adalah Jihad Terbesar.Belakangan ini semakin banyak pihak yang menyatakan jihad dengan makna syari (perang) bukanlah jihad yang paling utama. Dengan berbagai dalil, mereka mencoba memperkuat pendapatnya, sebuah pendapat yang sama sekali tidak pernah dikenal salafush sholih. Ada yang mengatakan dawah, perjuangan diplomasi dan menjadi oposisi lewat jalur MPR / parlemen merupakan jihad terbesar, dengan hadits orang yang mengatakan kebenaran di hadapan pemerintah yang dzalim. Padahal jelas sekali banyak ayat dan hadits yang menerangkan jihad dengan makna syari perang adalah jihad yang paling utama dan tinggi, seperti firman Allah taala : * . Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk ( tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orqng-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang orang yang duduk satu derajat, kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik ( syurga) dan Allah melebihkan orangorang yang jihad atas orangorang yang duduk dengan pahala yang besar. Yaitu beberapa derajat, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang( An Nisa 95-96 ) . Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal (At Taubah ; 21-22 )Keterangan : Orang yang berjihad diutamakan atas orang yang duduk-duduk ( tidak berjihad ). Bisa jadi orang yang duduk-duduk ini melakukan jihad dakwah, amar maruf nahi munkar, jihad melawan hawa nafsu dan setan, karena Allah juga menjanjikan bagi mereka pahala dan kebaikan. Namun demikian tetap saja Allah melebihkan yang berjihad dengan derajat, maghfirah dan rahmat-Nya. Ini menunjukan jihad dengan makna perang adalah jihad terbesar dan paling utama. Hal ini juga menunjukkan bahwa makna jihad secara syari adalah perang, bukan dakwah dst.Rasulullah bersabda : . Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad. [52]Keterangan :Dalam hadits ini Rasulullah menempatkan jihad dengan makna perang sebagai amalan paling tinggi dalam Islam, kenapa makna perang? Karena shalat sendiri adalah jihad, namun beliau tidak menyebutnya dengan jihad. Dengan demikian, jihad di sini adalah perang. .Siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan lisan, bila tetap tidak mampu hendaklah dengan hati dan itulah selemah-lemah iman. [53]Keterangan : Kemungkaran yang paling besar di muka bumi ini adalah adanya kekafiran dan kesyirikan. Hadits ini menjelaskan tingkatan merubah kemungkaran mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah. Idealnya, merubah adalah dengan tangan. Kalau tidak bisa maka dengan lisan, kalau tetap tidak bisa maka dengan hati. Merubah dengan tangan termasuk di dalamnya adalah jihad. Dengan demikian, jihad dengan artian perang lebih utama dari jihad dawah, jihad melawan hawa nafsunya sendiri dan sebagainya. [54] Juga hadits Ibnu Masud tentang amar ma;ruf nahi mukar di atas, telah sebutan yang paling tinggi adalah amar makruf dengan tangan, termasuk di dalamnya jihad.Dari Abu Said Al-Khudri ra. ia berkata, Dikatakan kepada Rosululloh saw, Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ? Rosululloh saw. Menjawab, Orang mukmin yang berjihad di jalan Alloh dengan jiwa dan hartanya. Mereka bertanya lagi, Kemudian siapa? Beliau menjawab, Seorang mukmin yang (menyendiri) berada dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia karena kejahatan mereka . [55]Imam Ibnu Daqiq al Ied berkata, Qiyas menuntut jihad menjadi amalan dengan kategori wasilah yang paling utama, karena jihad merupakan sarana untuk meninggikan dan menyebarkan dien serta memadamkan kekafiran, sehingga keutamaannya sesuai dengan keutamaann hal itu. Wallahu Alam. [56]Dari Abu Huroiroh ra. Beliau berkata, Datang seseorang kepada Rosululloh saw. Lalu berkata, Tunjukkan padaku sebuah amalan yang bisa menyamai jihad !! Beliau menjawab,Aku tidak mendapatkannya. Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak berbuka? Orang tersebut berkata, Siapa yang mampu melakukan hal tersebut??? Abu Huroiroh berkata, Sesungguhnya bermainnya kuda seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan. [57]Imam Ibnu Hajar berkata, (Hadits) ini merupakan keutamaan yang jelas bagi mujahid fi sabilillah, yang menuntut tak ada amalan yang menyamai jihad. [58] : : .Qatadah berkata, Saya mendengar Anas bin Malik dari Nabi beliau bersabda, Tidak ada seorang pun masuk surga yang ingin kembali ke dunia padahal ia mempunyai (di surga) seluruh apayang ada di dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia berangan-angan kembali ke dunia dan terbunuh sepuluh kali, karena ia mengerti keutamaan (bila mati syahid di medan perang). [59]Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam An NasaI dan al Hakim. Imam Ibnu Bathal berkata,Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dalam menerangkan keutamaan mati syahid. Tidak ada amal kebaikan yang di dalamnya nyawa diprtaruhkan selain jihad, karena itu pahalanya pun besar. [60]Berkaitan dengan makna jihad ini, ada kekhawatiran mendalam yang kadang-kadang (dan sayangnya ini sudah menjadi realita) perluasan makna syari jihad dari perang menjadi thalabul ilmi juga jihad, tashfiyah juga jihad, dakwah juga jihad, membangun ponpes dan madrasah juga jihad, menyantuni anak yatim juga jihad, berjuang lewat parlemen/jalur konstitusi juga jihad dst ini dijadikan alasan untuk mencukupkan diri/ organisasi/ jamiyah/ partai/ jamaahnya dengan bidang yang digelutinya, tidak mengadakan idad (persiapan secara militer untuk jihad dengan makna syari perang) dengan beralasan bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah jihad. Lebih buruk lagi bila ditambah dengan menuduh orang yang mengartikan jihad dengan perang lalu mengadakan idad (persiapan militer) sebagai orang picik, tak berwawasan luas, teroris, merusak medan dakwah dll. Inilah yang mengundang kritik banyak ulama yang berusaha keras meluruskan berbagai penyimpangan ini.Sebenarnya perselisihan yang terjadi dalam masalah ini, tidaklah berbahaya kalau hanya ikhtilaful lafdzi (perbedaan dalam menggunakan istilah) saja. Artinya masing-masing pendapat tidak meninggalkan amalan yang dilakukan oleh yang lain, dan juga tidak mencampur adukkan dalil. Misalnya menggunakan dalil-dalil keutamaan perang untuk dakwah begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, perselisihan ini tidak menimbulkan perselisihan dalam beramal, kecuali pada masalah-masalah yang memang masih diperbolehkan untuk berijtihad dan berselisih pendapat. Sehingga yang berjihad dengan makna syari ( perang ) tidak mengabaikan dan meremehkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, begitu juga sebaliknya yang tidak berjihad tidak mengabaikan dan meremehkan kewajiban perang melawan orang-orang kafir. Wallahu Alam.B. Jihadun nafs dan jihadusy syaithon.Selain mengartikan jihad dengan berbagai amalan di luar perang melawan orang kafir, di kalangan kaum muslimin juga tersebar luas pemahaman bahwa perang melawan musuh adalah jihad ashghor sedangkan jihadun nafs adalah jihad akbar.Dalil yang dijadikan sandaran adalah :* Hadits : Kalian datang sebagai sebaik-baik pendatang, dan kalian datang dari jihad ashghor menuju jihad akbar yaitu jihad melawan hawa nafsu. Dalam riwayat lain : * Hadits : [61] Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka taat kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah [62]* Perkataan Imam Ibnu Qoyyim, Oleh karena jihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir itu adalah cabang dari jihad nafs karena Allah, sebagaimana sabda Nabi,Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka taat kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari larangan-larangan Allah. maka jihadun nafs lebih didahulukan dari melawan musuh yang dhohir, dan jihadun nafs adalah pokok dari pada jihad kuffar karena siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi ? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah. Seorang hamba diuji untuk berjihad melawan kedua musuh ini (musuh yang lahir dan bathin). Di antara kedua musuh tersebut masih ada lagi musuh ketiga, ia tidak akan mungkin memerangi kedua musuh tersebut kecuali bila dia (telah) bisa melawan musuh yang ketiga yang melemahkan semangatnya, menakut-nakuti dan selalu membuat khayalan baginya betapa beratnya jihad melawan keduanya dan hilangnya seluruh kesenangan. Ia tidak mungkin berjihad melawan kedua musuh tersebut musuh tersebut kecuali setelah melawan musuh yang ketiga ini. Karena itu jihad melawan musuh yang ketiga ini pokok dari jihad melawan kedua musuh di atas. Musuh yang ketiga ini adalah syaithon. Allah berfirman,Sesungguhnya syaithon itu musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh. Perintah untuk menjadikan syaiton sebagai musuh adalah peringatan supaya mengerahkan segala kemampuan untuk memeranginya, karena syaithan (merupakan) musuh yang tidak pernah berhenti untuk memerangi hamba setiap detak nafas, dengan demikian maka sebenarnya seorang hamba diperintah untuk memerangi tiga musuh ini.[63]Jawaban Atas Pernyataan Ini :1. Hadits pertama begitu terkenal di masyarakat kita. Untuk menjawabnya kita serahkan kepada para ulama pakar hadits. Komentar Ulama hadits tentang hadits ini ;Para ulama hadits yaitu imam Ibnu Muin, Al Baihaqi, Al-Iroqi dan Al Suyuti menyatakan bahwa sanad hadits ini dhoif sekali, bahkan sebagian ulama hadits lainnya seperti Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan hadits ini hadits palsu :Imam Al Iraqy berkata dalam takhrij Ihya Ulumi al Dien 2/6,Diriwayatkan oleh Al Baihaqy dalam kitab al Zuhdu dari riwayat Jabir, sanad hadits ini lemah.Imam Ibnu Hajar dalam takhrij al Kasyaf 4/114 berkata, Hadits ini dari riwayat Isa bin Ibrahim dari Yahya bin Yala dari Laits bin Abi Sulaim. Ketiga perawi ini lemah. Juga diriwayatkan oleh an Nasai dalam kitab al Kuna dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, seorang tabiin dari Syam.Dalam Tasdidu al Qaus, beliau juga berkata, Hadits ini begitu terkenal di kalangan mansyarakat, (padahal) merupakan perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, dalam kitab al Kuna karangan imam an Nasai.Syaikh Zakaria al Anshari dalam Taliq atas tafsir al Baidhawi menyatakan bahwa imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini, Tidak ada asalnya (hadits palsu). Ibnu Hajar berkata tentang perawi Yahya bin Al Ala, Dia tertuduh memalsukan hadits. Imam Ad Dzahabi berkata, Imam Abu Hatim berkata,Dia tidak kuat periwayatannya. Imam Ad-Daruqutni berkata,Dia matruk (tertuduh memalsu hadits). Imam Ahmad berkata, Dia adalah kadzdzaab ( pembohong/ pemalsu hadits). Syaikh Nashirudin al Albani menyatakan hadist ini munkar (sangat lemah).[64]Syaikhul Islam imam Ibnu Taimiyah berkata, Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa beliau Shallallahu Alaihi wa Salam datang dari perang Tabuk dan bersabda,Kita kembali dari al jihad al asghar menuju al jihad al akbar,maka tidak ada asalnya (hadits palsu) dan tak seorang ulama hadits pun yang meriwayatkannya. Jihad melawan orang-orang kafir adalah seutama-utama amalan bahkan amalan paling utama yang dikerjakan oleh manusia. Allah Taala berfirman : {95} Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar [ Q S An Nisa` : 95 ]. {19} {20} {21} {22}Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. (20) Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan. (21) Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, (22) mereka kekal di dalanya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.[Q S At Taubah: 19-22 ]. Beliau kemudian menyebutkan beberapa hadits yang menerangkan keutamaan jihad melawan orang kafir sebagai amalan yang paling utama.[65]Seperti disebutkan Imam Ibnu Hajar dan imam Adz Dhahabi, riwayat di atas bukanlah hadits melainkan perkataan seorang sighoru tabiin bernama Abu Ishaq Al Uqaili Ibrahim bin Abi Ablah. Seorang tabiit tabiin bernama Muhammad bin Ziyad Al Maqdisi berkata, Saya mendengar Ibnu Abi Ablah berkata kepada orang yang kembali dari medan perang, Kalian telah datang dari jihad asghar. Lantas apa yang kalian kerjakan dalam jihad akbar, yaitu jihadul qalb ?[66] Imam Al Hakim berkata, Saya bertanya kepada Imam ad Daruquthni, (Bagaimana status ) Ibrahim bin Abi Ablah ? Beliau menjawab, Jalan-jalan (sanad) kepadanya tidak bersih meskipun ia sendiri seorang yang tsiqah. [67]Hadits pertama ini jelas tidak bisa dijadikan landasan pernyataan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad paling utama dan terbesar, karena jelas sanadnya sangat lemah atau bahkan hadits palsu serta bertentangan dengan nash-nash Al Quran dan As Sunah. Memang melawan hawa nafsu dan senantiasa beramal sholih merupakan suatu kewajiban bagi setiap mujahid karena kemenangan dalam medan perang selalu berasal dari amal sholih, sebagaimana dikatakan shahabat Abu Darda, Kalian berperang (bermodalkan) amal kalian.[68] Namun demikian, jihad yang paling besar dan paling utama adalah perang melawan musuh-musuh Islam sebagaimana ditegaskan oleh Al Quran dan As Sunah, seperti yang diterangkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.2. Hadits kedua adalah hadits yang shahih. Cara memahami hadits ini sudah dijelaskan dalam keterangan terdahulu tentang cara memahami hadits-hadits yang menerangkan amal yang paling utama. Sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar, jawaban nabi ini disesuaikan dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu dan tempat saat itu. Barangkali si penanya masih bergelimang dosa, sehingga nabi menyatakan kepadanya bahwa berjuang mengalahkan hawa nafsu itu jihad terbesar baginya.Di sini akan kita ketengahkan penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa wali-wali Allah tidak mempuyai cirri khusus yang membedakan dengan hamba-hamba Allah lainnya. Wali Allah adalah orang yang bertakwa, sementara Al Quran dan As Sunah menunjukkan bahwa manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bertakqwa. Kemudian beliau mengatakan : Lafal al faqru (faqir) dalam syari kadang bermakna faqir (membutuhkan) harta dan kadang bermakna makhluk faqir (membutuhkan) Rabbnya. Sebagaimana Allah berfirman : {60}Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Muallaf yang dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Biajaksana. [QS. Al Taubah : 60].Allah juga berfirman : Wahai manusia, kalian faqir (membutuhkan) Allah.Dalam Al Quran Allah Taala telah memuji dua golongan fuqara yaitu: orang yang menerima sedekah dan orang yang menerima fai. Allah berfirman tentang kelompok fakir yang pertama: (Berinfaqlah) Bagi para faqir yang tertahan di jalan Allah (jihad), mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka itu orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta )Al Baqarah :273(Sedang bagi yang kedua yang merupakan kelompok yang lebih utama, Allah berfirman: Bagi para faqir yang berhijrah, yang diusir dari negerinya dan dari harta bendanya karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya serta menolong Allah dan Rassul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. )Al Hasyr: 8(Inilah sifat muhajirin yang berhijrah meninggalkan kejahatan dan berjihad melawan musuh-musuh Allah secara lahir dan batin. Sebagaimana sabda Nabi, Orang mukmin itu orang yang darah dan harta orang lain selamat dari gangguannya, orang muslim itu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, orang yang berhijrah itu orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah orang yang berjihad itu orang yang berjuang melawan hawa nafsunya demi Allah. [69]Dalam penjelasan ini, Syaikhul Islam menerangkan bahwa kaum fuqara yang berhijrah dan berjihad melawan orang-orang musyrik lebih utama dari kaum fuqara yang berjihad saja tanpa berhijrah. Beliau menyebutkan hadits kedua yang dijadikan landasan oleh sebagian pihak untuk menyatakan jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad paling besar dan utama dalam Islam. Jelaslah bahwa orang yang berjihad (dengan makna syari yaitu berperang melawan orang-orang kafir) berarti telah berhasil meninggalkan (berhijrah) kemaksiatan dan mengalahkan hawa nafsunya, nafsu cinta dunia, takut mati, sifat pengecut, dan akhlak-akhlak tercela lainnya. Orang yang berperang melawan orang-orang kafir telah menunjukkan kemenangan dia melawan hawa nafsu tersebut, terbukti dengan pencurahan nyawa dan hartanya demi mencapai ridho Allah, mengutamakan rasa cinta, takut dan pengharapan kepada Allah melebihi cinta, takut dan pengharapannya kepada kenikmatan duniawi, menampakkan kesabaran, ketawakalan, ukhuwah dengan sesama umat Islam dan seluruh aspek akhlak terpuji lainnya telah nampak dalam jihadnya melawan orang kafir. Karena itu, jelas perang melawan orang kafir merupakan jihad terbesar karena mencakup jihad lahir dan batin, sebagaimana penjelasan syaikhul Islam.3- Jawaban atas perkataan imam Ibnu Qayyim. Saat ini banyak kalangan yang memperalat perkataan Imam Ibnu Qayyim untuk menomor sekiankan perang melawan orang kafir. Mereka mengatakan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad terbesar dan paling utama. (mereka selalu berfikir) untuk apa memerangi orang kafir kalau hal itu hanyalah jihad asghar, bukankah lebih utama bila mereka jihad melawan hawa nafsunya dan setan ? (mereka selalu berfikir) Mereka tidak akan berjihad melawan orang kafir sampai mereka mengalahkan hawa nafsu, sampai iman dan aqidah mereka seperti iman para shahabat, sampai mereka bersih dari dosa. Untuk itu tidak boleh berjihad sampai mendapatkan tarbiyah dan tasfiyah, sampai akhirnya lulus dari dua program ini.Imam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pokok atau landasan dari jihad melawan orang kafir adalah jihad melawan hawa nafsu dan setan dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Orang yang mampu berjihad melawan orang-orang kafir hanyalah orang-orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Penjelasan beliau ini dengan jelas menunjukkan bahwa berjihad melawan orang kafir merupakan jihad terbesar dan paling agung, karena hanya bisa diraih oleh orang-orang yang lulus dari jebakan hawa nafsunya.Untuk memerangi hawa nafsu, imam Ibnu Qayyim menyebutkan tempat tahapan :a). Berjihad dengan mempelajari din yang haq ( Islam ).b). Berjihad dengan mengamalkan perintah perintah agama yang telah dipelajari.c). Berjihad dengan mendakwahkan agama Islam serta mengajarkannya kepada orang yang tidak tahu.d). Berjihad dengan bersabar terhadap rintangan-rintangan dakwah. [70]Sebagian pihak memperalat penjelasan beliau ini untuk menyibukkan umat Islam dari jihad melawan musuh-musuh Islam dengan alasan memerangi nafsu. Mereka mengharuskan kaum muslimin untuk belajar banyak ilmu dalam jangka waktu yang lama. Mereka mengharuskan umat Islam untuk mengkaji berbagai buku-buku aqidah, fiqih, hadits, akhlak dan ilmu-ilmu lainnya kepada para ulama. Baru setelah mereka menguasai seluruh ilmu ini, mereka kemudian mengamalkan ilmunya, kemudian berdakwah dan bersabar baru kemudian boleh berjihad. Selama belum melewati empat tahapan ini, mereka melarang kaum muslimin untuk berjihad. Akhirnya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk boleh berjihad.Untuk itu ke empat tahapan ini perlu didudukkan secara jelas sehingga tidak terdapat lagi kebingungan dalam memahami perkataan imam Ibnu Qayyim. Sesungguhnya ilmu ada dua : yaitu ilmu yang hukumnya fardhu ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim) dan ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib sebagian kaum muslimin mempelajarinya sampai tertangani secara baik sehingga kewajiban tersebut gugur atas kaum muslimin yang lain).(1). Ilmu fardhu ain. Ilmu ini juga ada dua jenis:(a). Ilmu aam atau musytarak yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh seluruh umat Islam seperti : rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, hal-hal yang diharamkan secara qathi dan lain-lain.(b). Ilmu khash yaitu mempelajari hukum-hukum secara mendetail bagi orang yang wajib atasnya untuk melaksanakannya. Contohnya : Orang yang tidak wajib membayar zakat dan melaksanakan haji karena tidak mempunyai harta yang mencapai nishob dan mencukupi untuk haji, ia tidak wajib untuk mempelajari detail-detail hukum zakat dan haji. Kewajiban mempelajari hukum-hukum haji dan zakat berlaku bagi orang yang memang mempunyai harta yang mencapai nishob dan cukup untuk melaksanakan haji.(2). Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh umat sebagai sebuah kesatuan, namun jika sebagian mereka mengerjakannya maka bagi yang mempelajarinya mendapat pahala dan kewajiban mempelajarinya gugur atas sebagian umat Islam yang lain. Namun jika tak ada sebagian yang mengerjakannya maka semuanya berdosa.[71]Jika hal ini diterapkan dalam orang yang berjihad, maka ilmu yang hukumnya fardhu ain atasnya adalah ilmu yang am (rukun Islam, rukun iman, hal-hal yang haram dan maksiat). Adapun ilmu yang wajib dipelajarinya adalah mempelajari hukum-hukum jihad yang berkaitan langsung dengan dirinya yaitu hak-hak Allah, hak-hak komandan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam perang melawan musuh. Adapun hukum-hukum ghanimah, fai, tawanan dan perjanjian damai atau gencatan senjata, maka tidak wajib atas dirinya namun wajib atas amir (komandan jihad).[72]Di bawah ini kita sampaikan perkataan para ulama salaf yang menerangkan hal ini :Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata, Barang siapa wajib atasnya haji dan zakat misalnya, kewajiban iman yang harus ia kerjakan adalah mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya dan ia mengimani bahwa Allah mewajibkan atasnya apa yang tidak wajib diimani oleh orang lain (berupa zakat dan haji karena tidak mampu melaksanakannyapent) kecuali secara mujmal (global). Dalam hal ini ia wajib mengimani secara mufashal (terperinci). Demikian juga seorang yang masuk Islam, kewajiban pertama kali adalah iqrar (membenarkan) secara mujmal. Jika datang waktu sholat ia wajib mengimani kewajiban sholat dan melaksanakannya. Dengan demikian, manusia tidak sama dalam iman yang diperintahkan kepada mereka.[73]Imam Syafii juga mengatakan, Ilmu ada dua ; ilmu umum di mana seorang baligh yang sehat akalnya harus mengetahuinya seperti sholat lima waktu dan Allah mewajibkan atas manusia shaum Ramadhan dan haji jika mampu serta zakat harta mereka, dan Allah mengharamkan atas mereka perbuatan zina, membunuh, mencuri dan minum khamr dan kewajiban yang semakna dengan hal ini di mana para hamba dikenai beban memahami, mengamalkan dan mencurahkan dari nyawa dan harta mereka, serta menahan diri dari apa yang diharamkan atas mereka.(Kemudian beliau berkata tentang fardhu kifayah) : Derajat ilmu ini tidak menjadi kewajiban seluruh manusia dan setiap individu. Siapa pun individu mampu mencapainya maka tidak boleh mereka semua menihilkannya (meninggalkannya). Jika sebagian individu sudah melaksanakannya sampai derajat mewakili, maka insya Allah yang lain tidak terkena dosa. Orang yang mengerjakannya mempunyai kelebihan atas yang meninggalkannya.[74]Ibnu Abdil Barr mengatakan, Para ulama telah sepakat bahwa ilmu ada yang hukumnya fardhu ain atas setiap individu dan adapula yang hukumnya fardhu kifayah jika sebagian telah melaksanakannya maka kewajiban melaksanakannya gugur atas masyarakat luas. Beliau lalu menukil perkataan para ulama salaf dalam hal ini, seperti imam Hasan Al Bashri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah dan Ishaq bin Rahawaih.[75]Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Mencari ilmu syari itu fardhu kifayah kecuali dalam hal-hal yang fardhu ain, seperti setiap individu mencari ilmu tentang apa yang diperintahkan dan dilarang Allah atasnya, maka hal seperti ini hukumnya fardhu ain sebagaimana diriwayatkan oleh kedua imam (bukhari dan muslim pent) dalam shahihain dari nabi beliau bersabda, Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka ia akan dijadikan faqih dalam dien. Setiap orang yang dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, pasti difaqihkan dalam dien. Barang siapa tidak dijadikan faqih dalam dien maka Allah tidak menghendaki kebaikannya. Dien adalah apa yang rasul diutus dengannya. Itulah yang wajib dibenarkan dan diamalkan oleh setiap orang. Maka setiap orang wajib membenarkan khabar yang diberitakan Rasulullah dan ia wajib mentatinya dalam apa yang diperintahkannya dengan pembenaran yang umum dan ketaatan yang umum. Jika kemudian ada khabar yang tsabit (tegas/jelas keshahihahnnya) maka ia wajib membenarkannya secara tafshili (terperinci/detail), dan jika berupa perintah yang harus dikerjakan maka ia harus mentaatinya dengan ketaatan mufashalah (detail).[76]Lebih jelas lagi beliau menyatakan : Ilmu-ilmu syari ada dua : ilmu ushul (pokok) dan ilmu furu (cabang). Ilmu ushul adalah marifatullah dengan keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan para rasul. Setiap mukallaf wajib mengetahuinya dan ia tidak boleh taqlid karena telah nampak jelasnya tanda-tanda kebesaran Allah. Allah berfirman, Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada ilah selain Allah. (QS. Muhammad :19). Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di ufuq dan dalam diri mereka sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah adalah haq. (QS. Fushilat :53).Adapun Ilmu furu adalah ilmu fiqih dan mengetahui hukum-hukum dien. Ini terbagi menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain contohnya ilmu tentang thaharah, sholat dan shaum. Setiap individu wajib mengetahuinya. Rasulullah bersabda, Menuntut ilmu itu wajib ats setiap individu. Demikian juga setiap ibadah yang diwajibkan syariat atas tiap individu, wajib hukumnya mengetahuinya seperti ilmu zakat jika ia mempunyai harta dan ilmu haji jika telah wajib atasnya.Adapun fardhu kifayah adalah mempelajari ilmu yang menyampaikan kepada derajat ijtihad dan fatwa. Jika penduduk sebuah negeri tidak mempelajarinya, mereka semua telah bermaksiat. Jika seorang di antara mereka telah mempelajarinya (dan telah mencukupipent) maka kewajiban itu gugur atas yang lain dan mereka semua harus bertaqlid kepada orang tersebut dalam perkara-perkara yang menimpa mereka (di bidang itupent). Allah berfirman, Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui. (QS. An Nahl :23).[77]Bila penjelasan mengenai ilmu ini sudah dipahami, maka jelaslah cara memahami keterangan imam Ibnu Qayyim di atas, dan jelas pula jawaban atas syubhat jihad hawa nafsu adalah jihad paling agung dan paling utama sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sebelum belajar dan menuntut ilmu ;- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu yang hukumnya fardhu ain, maka mempelajari rukun iman, rukun Islam, tauhid, hal-hal yang membatalkan keislaman dan hal-hal yang haram dan maksiat itu mudah tak memerlukan waktu yang lama. Mereka tidak wajib mengetahui dalil-dalilnya secara terperinci. Sebagaimana Imam Al Qurthubi mengatakan, Inilah pendapat para imam-imam pemberi fatwa dan para imam salaf sebelum mereka, dan sebagain mereka berhujah dengan pendapat yang telah lewat berupa pokok-poko fithrah dan juga berdasar riwayat mutawatir dari Rasulullah kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi keislaman orang yang masuk Islam dari penduduk arab pedalaman yang semula menyembah berhala. Mereka menerima dari penduduk arab tersebut pengakuan mereka dengan dua kalimat syahadat dan iltizam (komitmen) dengan hukum-hukum Islam tanpa mewajibkan mereka mempelajari dalil-dalinya. [78] Hal ini juga diterangkan oleh imam An Nawawi[79] dan para ulama lain.[80]- Jika yang mereka maksudkan adalah ilmu-ilmu yang hukumnya fardhu ain sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sampai menguasai kadar tertentu dari ilmu-ilmu syari, maka ini jelas batil karena :(a) Merubah hal yang hukumnya fardhu kifayah menjadi fardhu ain. Akibatnya meniadakan maslahat bagi umat Islam dengan memerintahkan mereka semua untuk belajar. Ini jelas bertentangan dengan firman Allah : _ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mumin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122]. Ayat ini membagi umat Islam menjadi dua kelompok : kelompok yang belajar dan kelompok yang tidak belajar, seperti firman Allah : maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui._ [QS. An Nahl :43, Al Anbiya :7]. Ayat ini menunjukkan kewajiban orang yang tidak mengerti (awam, kelompok yang tidak belajar) adalah bertanya kepada kelompok yang belajar (mutafaqih, ulama). Sementara kewajiban ulama dan mutafaqih adalah menjawab pertanyaan orang yang bertanya. Jika ulama dan mutafaqih melihat orang yang tidak tahu melakukan suatu perbuatan yang salah, maka kewajiban mereka adalah memberi peringatan dan pengertian seperti firman Allah : dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS. At Taubah :122]. _ Katakanlah, Kemarilah, aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan rabb kalian kepada kalian. [QS. Al Anam :151].(b) Menjadikan sesuatu yang bukan syarat jihad menjadi syarat jihad dengan mensyaratkan belajar terlebih dahulu kepada orang yang akan berjihad. Padahal sama sekali tidak ada dalil Al Quran dan As Sunah yang menyatakan belajar terlbih dahulu merupakan syarat jihad. Dengan demikian, persyaratan ini adalah bidah dholalah. Sirah Rasulullah, para shahabat dan para ulama salaf sesudah mereka juga tidak mensyaratkan menuntut ilmu terlebih dahulu atas setiap muslim yang akan berjihad. Mereka tidak menguji kemampuan ilmu syari setiap muslim yang akan berjihad.Rasulullah bersama 1400 shahabat dalam perjanjian Hudaibiyyah (tahun keenam H), bersama dengan 10.000 shahabat dalam fathu Makkah (tahun 8 H) dan sebulan kemudian beliau menerjuni perang Hunain bersama 12.000 shahabat, 2000 di antaranya adalah kaum Quraisy yang baru masuk Islam seulan sebelumnya. Kapan mereka belajar ilmu-ilmu syari kalau keislaman mereka baru berjalan satu bulan ? Apakah Rasulullah menyuruh mereka tinggal di Makkah dan melarang mereka untuk tidak berjihad dengan alas an belum menuntut ilmu syari ? Rasulullah justru melibatkan mereka dalam jihad dan mengajari mereka ilmu-ilmu syari dalam perjalan jihad, sebagaimana hadits :Abu Waqid Al Laitsy berkata, Kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain padahal kami baru saja keluar dari kekufuran. Orang-orang musyrik mempunyai sebatang pohon keramat tempat mereka berkumpul dan menggantungkan senjata, namanya dzatu anwath. Kami melewati pohon semisal, maka kami berkata, Ya Rasulullah, buatlah untuk kami dzatu anwath sebagaimana mereka juga mempunyai dzatu anwath. Maka beliau bersabda, Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini merupakan jalan (umat terdahulu). Demi Dzat yang nyawaku di tangan-Nya, seperti perkataan Bani Israil kepada Musa Buatlah untuk kami Ilah (tuhan sesembahan) sebagaimana mereka mempunyai banyak ilah (sesembahan). Terjemah QS. Al Araaf :138Kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.[81]Begitu juga sirah para khulafaur rasyidun. Kaum murtad yang diperangi pada masa kholifah Abu Bakar, mereka langsung dikirim ke medan jihad melawan Romawi dan Persia. Merekalah yang menaklukkan Syam dan Iraq. Khalifah sama sekali tidak memerintahkan kepada mereka untuk menuntut ilmu syari terlebih dahulu.Bahkan kalau ada orang yang tidak mempelajari ilmu-ilmu fardhu ain lantas ia ikut berjihad, ketidak belajarannya tetap tidak menghalangi untuk berjihad. Inilah sunah Rasulullah dan para khalifah selanjutnya : : : , : . , : .Dari Abu Ishaq ia berkata, Saya mendengar al Bara bin Azib berkata,Seorang laki-laki mendatangi Nabi sedang ia telah memakai helm besi untuk perang dan bertanya, Ya Rasulullah, saya masuk Islam dulu atau ikut perang dulu? Beliau menjawab, masuklah Islam baru kemudian ikut berperang? Maka ia masuk Islam dan ikut berperang, sampai akhirnya terbunuh. Maka Rasulullah bersabda, Ia beramal sdikit dan mendapat anyak pahala. [82]Ibnu Ishaq dalam al Maghazi dengan sanad yang shahih menyebutkan bahwa Amru bin Tsabit tidak mau masuk Islam. Ketika terjadi perang Uhud, ia ikut perang sampai terluka parah (padahal masih musyrik). Para shahabatnya (kaum anshar, sudah mukmin) bertanya kepadanya,Apa yang membuatmu ikut berperang, apakah karena sayang dengan kaummu atau karena ingin masuk Islam? Maka ia menjawab, Karena ingin masuk Islam. Maka Rasulullah bersabda, Ia termasuk penduduk surga. Imam Abu Daud dan al Hakim menyatakan ia tidak mau masuk Islam karena menolak pelarangan riba. Ia meninggal dalam perang Uhud dan masuk surga, padahal belum pernah melakukan sekalipun dari kewajiban shalat lima waktu.[83]Inilah sirah nabawiyah dan khulafaur rasyidin tentang menuntut ilmu bagi orang yang akan berjihad. Bila menuntut ilmu sudah jelas, maka maksud dari mengamalkannya pun sudah terang. Dari sini, jelas sekali bahwa perang melawan orang kafir adalah jihad terbesar dan paling utama. Adapun jihad melawan hawa nafsu maka bisa dikerjakan sebelum, saat sedang dan sesudah berjihad melawan orang kafir. Jadi, orang yang berjihad melawan orang kafir berarti telah berjihad lahir batin menghadapi musuh orang kafir dan musuh setan dan hawa nafsu. Sementara orang-orang yang hanya duduk-duduk belajar ilmu syarI yang banyak namun tidak kunjung berjihad dengan alas an jihad melawan setan dan hawa nafsu, tarbiyah dan tashfiyah, mereka itu sebenarnya tidak memahami ilmu apa yang seharusnya dituntut dan bagaimana mereka mengamalkannya. Dengan kata lain, mereka dipermainkan oleh setan dan hawa nafsunya. Wallahu Alam.Imam Ibnu Qayim menyebutkan 7 tingkatan jebakan setan yaitu:1) kekafiran. 2) Bidah. 3) Dosa besar. 4) Dosa kecil. 5) Menyibukkan dengan hal-hal mubah. 6). Menyibukkan dengan amalan yang kurang utama atass amalan yang lebih utama. 7). Berbagai tekanan, intimidasi fisik dan perang dengan mengerahkan tentara setan, yaitu orang-orang kafir.[84]Setan mengenal betul skala prioritas (fiqih maratibu al amal). Ia memulai menjebak manusia dengan kekafiran, bila gagal dengan bidah, bila gagal dengan dosa besar, dst. Seorang muslim yang cerdik akan bisa menyatakan yang pertama kali harus diberantas adalah kekafiran dan kemusyrikan, baru kemudian bidah, setelah itu dosa besar, lalu dosa kecil, dst. Hari ini, tak kurang dari 5 milyar umat manusia masih kufur dan musyrik. Bukan itu saja, mereka juga meraja lela di dunia ini dengan mengatur dunia sesuka hati mereka, dengan aturan setan dan menindas serta membantai Islam dan kaum muslimin. Bila seseorang gagal dijebak oleh setan dengan enam jebakan pertama maka ia kan dihadapi setan dengan cara kekerasan, yaitu perang fisik antara wali Allah dan wali setan. Dengan demikian, perang melawan orang-orang kafir merupakan tingkatan yang paling utama dan paling tinggi. Tingkatan tertinggi ini oleh imam Ibnu Qayyim disebut sebagai ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh khawashul arifin. Ubudiyah ini disebut sebagai Ubudiyah Muraghamah, ibadah yang membuat musuh-musuh Allah marah dan takut. Beliau menyebutkan beberapa dalil hal ini, antara lain: {100}Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. An Nisa:100], dan surat {120} {121}Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, (121) dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[At Taubah : 120-121]. {29}Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mumin).Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.[Al Fath: 29].[85]Memerangi orang-orang kafir adalah salah satu ajaran dinul haq, harus diamalkan dan didakwahkan. Benarkah membersihkan batin dan hati dari maksiat itu lebih utama dari membersihkan bumi dari kesyirikan dan kekafiran ? Membersihkan batin memang penting sekali, sebagai wasilah untuk memebersihkan bumi dari syirik dan orang penganut-penganutnya. Tapi tidak boleh berhenti sampai di tingkatan wasilah saja, kapan ghayahnya dicari?Sholat itu ghayah, wudhu wasilahnya. Kalau ada orang berwudlu, setiap kali selesai berwudlu, dia ulang lagi dari awal hingga waktu sholat habis dan lewat sedang ia belum sholat, maka ia bermaksiat kepada Allah. Demikian juga dengan jihad melawan orang kafir. Ia berawal dari melawan hawa nafsu dan setan. Namun bukan berarti kalau belum mampu mengalahkan setan dan hawa nafsunya ia tidak boleh berperang. Justrru bila berpikiran demikian, ia telah terjebak dalam jebakan setan karena melawan hawa nafsu dan setan itu sepanjang umur kita. Akhirnya kita tak akan pernah melawan orang kafir dengan alasan iman kita belum benar, aqidah kita belum sekokoh shahabat dst.Menyibukkan diri dengan jihad melawan hawa nafsu (dengan pemahaman yang salah tadi : tidak memerangi orang kafir sampai mumpuni dalam berbagai ilmu syari, sampai imannya betul-betul kokoh), dan menjadikannya alasan tidak berjihad bahkan mengatakan jihad nafs itu jihad akbar, tapi belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, merupakan suatu sikap yang sangat berbahaya sekali. Apalagi jika mati dalam keadaan demikian : Barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, maka kalau mati ia mati pada salah satu cabang kemunafikan.[86]Dari sini kita akan memahami orang yang berjihad justru merupakan orang yang telah mengalahkan hawa nafsu dan setan, orang yang tidak berjihad tanpa udzur syari berarti kalah dengan nafsu dan setan. Inilah makna perkataan Ibnu Qayyim di atas, siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi? Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah. [87]Dengan jelas sekali, imam Ibnu Taimiyah berkata, Jihad merupakan puncaknya amal, karena didalamnya mencakup puncak dari segala keadaan yang baik, didalamnya puncak dari kecintaan, sebagaimana firman Allah Ta`ala : {54}Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[ Q S Al Maidah : 54]. Dan didalamnya puncak dari kesabaran dan tawakkal, dikarenakan mujahid merupakan orang yang paling bersabar dab tawakkal kepada Allah, sebagaimana firman Allah: {59}(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Rabbnya.[ Q S Al Ankabut : 59 ]. {128}usa berkata kepada kaumnya:Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.[ Q S Al A`raf : 128 ]. Oleh karena itu sabar dan yakin merupakan sumbernyatawakkal.untukitu jihad mengharuskan bagi pelakunya untuk mendapatkan hidayah, sebagaimana firman Allah Ta`ala : {69}Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalanKami.Dansesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Oleh karena itu Imam Abdullah bin Mubarak dan Ahmad bin Hambal dan yang lainnya berkata : Jika manusia berselisih didalam sesuatu maka lihatlah (kembalikan) kepada ahli syugur, karena kebenaran ada pada mereka; karena Allah telah berfirman : {69}Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalanKami.Dansesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Dan didalam jihad pula hakekat zuhud terhadap dunia yang sebenarnya, dan didalamnya hakekat keikhlasan yang sebenarnya, maka orang yang disebut berjihad dijalan Allah, bukanlah yang berperang untuk mendapatkan kekuasaan, harta maupun yang lainnya akan tetapi yang disebut fi sabilillah adalah yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dan menjadikan dien hanya milik Allah semata.Tingkatan ikhlas yang paling tinggi dan agung adalah menyerahkan jiwa dan harta untuk yang di ibadahi, sebagaimana firman Allah Ta`ala : Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mumin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh Q S At Taubah : 111].[88]Dari penjelasan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah diatas, telah jelas bahwa jihad merupakan bentuk tazkiyatun nafs yang paling tinggi dan paling puncak, bentuk jihadun nafsi dan jihadus syaitan. Yang paling sempurna dan utama.Allah berfirman: . .Tidaklah sama antara orang mukmin yang tak mempunyai udzur yang duduk saja (tidak berjihad) dengan mujahidin fi sabililah dengan harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk saja (tidak berjihad) dengan satu derajat. Kepada masing-masing Allah menjanjikan kebaikan. Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka dengan pahal yang besar. yaitu beberapa derajat, ampunan dan rahmat Allah.) Al Nisa: 95-96(Dalam hadits disebutkan : Sesungguhnya di janah ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.(Al-Bukhori No. 2790, Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235). Dalam riwayat Imam A Tirmidzi, Antara dua derajat selama seratus tahun. Dalam riwayat Imam Al Thabrani, lima ratus tahun..[89]Ini baru makna derajat, belum rahmah, maghfirah dan ajrun adzim yang dijanjikan Allah, yang semuanya tertera dalam buku-buku hadits. Dengan demikian, keutamaan yang berperang di jalan Allah jauh di atas orang yang hanya jihadun nafs (tasfiyah, tarbiyah dst) saja tanpa jihad.Kondisi umat Islam saat ini sama persis dengan kondisi zaman Rasulullah hidup. Umat Islam dibantai di mana-mana, medan jihad terbuka luas. Orang Islam yang mampu mestinya berjihad ke medan perang, bukannya kita haruskan untuk belajar dulu bertahun-tahun sampai aqidah dan ibadahnya lurus. Cara ini sama sekali bertentangan dengan sunah nabawiyah. Justru dengan adanya perang (jihad), masyarakat di tempat jihad yang sebelumnya masih tenggelam dengan kemaksiatan, sama sekali jauh dari aqidah tauhid bisa dibenahi dengan hadirnya sebagian kecil umat Islam yang sudah mengenal tauhid dan ibadah yang benar serta memahami Islam secara baik. Dari sini kita harus membedakan antara teori dengan praktek, antara dirasah aqidah dengan aqidah itu sendiri. Belajar aqidah maknanya mempelajari kitab-kitab aqidah mutabarah karangan para ulama salaf, adapun aqidah maka itu terbukti di medan jihad di mana tawakal, khauf, raja, shabar terbukti. Di medan nyata inilah terlihat siapa yang gugur siapa yang tangguh. Betapa banyak para ulama dan kyiai kita yang pertama kali mengungsi bersama keluarganya dan tak pernah kembali, meninggalkan masyarakat yang awam tak mengenal aqidah dan ibadah yang benar berjuang melawan orang-orang kafir sendirian. Kalau begitu, mana jihadu nafs yang selama ini diteriakkan?.Justru, orang yang berperanglah yang sesungguhnya berjuang melawan hawa nafsu dan syaithan. Buktinya, ia berjuang agar bisa shabar, tawakal, zuhud, cinta akhirat, tak takut mati, taat kepada pimpinan dalam kebaikan, selalu menjaga darah, harta dan agama kaum muslimin dst. Sedang yang thalabul ilmi dan tasfiyah (amalan-amalan sunah), ia tak akan mengerti betul apa itu sabar, tawakal dst, karena tantangan yang dihadapinya relatif kecil bila dibandingkan mereka yang berjihad melawan musuh dan menantang maut. Ini, sekali lagi bukan mengecilkan arti jihad melawan nafsu dan setan, bukan, namun untuk mendudukkan masalah ini secara proporsional.4. Sebagaimana disebutkan DR. Idris Muhammad Ismail dan DR. Muhammad Khalid Isthanbuli, pembagian jihad menjadi jihad asghar (melawan orang kafir) dan akbar (melawan hawa nafsu dan setan) ini merupakan musibah terbesar yang ditimpakan musuh-musuh Islam atas jihad fi sabilillah. Mereka mengetahui dengan adanya jihad (perang melawan orang kafir), Islam akan senantiasa jaya dan mengalahkan orang kafir. Karena itu mereka menjebak umat Islam dengan cara halus dan damai, melalui cara ini. Mereka pintar, mengetahui bahwa selama manusia masih hidup ia tak akan pernah lepas dari serangan hawa nafsu dan setan. Dengan semikian umat Islam akan sibuk bertasfiyah, melakukan berbagai amalan sunah, thalabul ilmi dan riyadhah agar lepas dari hawa nafsu dan setan. Akhirnya waktunya habis dan musuh-musuh Islam bisa melenggang ringan menyebarkan kekafiran di seluruh penjuru dunia. [90]Dari sini jelaslah kemurnian pemaham salafu al sholih, di mana saat menyebutkan kitab jihad mereka hanya menyebutkan perang, hukum-hukum perang, anjuran mencari syahid dst. Mereka tidak melalaikan jihad melawan hawa nafsu, namun mereka meletakkannya dalam kitab tersendiri yang mereka namai kitab al Zuhdu dan al Raqaiq. Mereka tidak mencantuman tarbiyah wa tashfiyah ini dalam bab jihad. Inilah fiqih salafu al sholih yang mesti kita ikuti.[91]Wallahu Alam bish Shawab.[1] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/48, menyimpulkan dari Lisanu al Arab 4/107, Taaju al Arus 2/329,al Mujamu al Wasith /142, Al Shihah 1/457, Mujamu Maqayisi al Lughah 1/486 dll[2]Ibid[3] lihat Min Wasaili Dafi al Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 13-14[4] Fi al Jihadi Adabun wa Ahkamun hal. 5[5] Taujihat Nubuwah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh 2/312-213[6]HR.Ahmad4/114 dengan sanad shohih no:17152hal:1225,, mempunyai syawahid dalam Silsilah Ahadits al Shahihah no. 551 jilid 2/92.[7]. HR. Ahmad 3/483 no:16054hal:1127, Shahih al Jami al Shaghir 1/338 no. 1652/736.[8] HR. Al-Bukhori No. 2785 Kitabul jihad was Sair, DarusSsalamcet.ke-1th.1998M/1417H, NasaI 6/19 Maktabah Ilmiyah, Ahmad 2/344., Ibnu Abi Syaibah 5/199).[9] Al-Bukhori no. 2786, Kitab jihad Wassair, hal: 566 Darussalam Riyadh cet ke-1th: 1997M/1417H.[10] Ibid no : 2790,hal: 566[11] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal. 5[12] Ibid[13] Lihat Al Lajnah al Syariyah hal. 46[14] Lihat Min Wasaaili Dafil Ghurbah, Syaikh Salman Fahd Audah hal 21, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal.6[15] Lihat Fil Jihadi Adaabun wa Ahkamun Dr. Abdulloh Azzam hal. 5-6[16] Lihat Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam hal. 6[17] LihatFil Jihad Adabun wa Ahkam hal. 5-6[18] Lihat Min wasaili Dafil Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 14[19] Fi al Jihad Adabun wa Ahkamun hal. 6[20] Ilhaq bi al Qafilah, Dr. Abdulloh Azzam hal. 46[21] Al Jihadu Sabiluna, Abdul Baqi Romdlon hal. 13[22] Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49[23] Waqfatun Maa Al Duktur al Buthi fi Kitabihi an al Jihad. Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 11[24] Ahammiyatu al Jihad fi Nasyri al Dawah al Islamiyah hal. 116[25] Min Wasaili Dafi al Gurbah hal. 21[26] Terjemahan tenerbitan At Tibyan, Solo[27] HR Nasai 7/161[28] Muslim no. 5[29] Waqfat maa Ad-Duktur Al-Buthi fii Kitaabihi anil Jihadha.12[30] Tahdzibu Syarh Al-aqidah ath Thahawiyah, Abdul akhir Hammad Al-Ghoinamihal.360[31] Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64, Penerbit Massasah Arrisalahcet.ke-3th 1998M/1419H[32]Sunan Abi Dawud : 2502[33] Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa,hal.168-169[34] . Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qordlowi 2/657 Cet: 8 1405 H/ 1985 M, Muassasah Ar Risalah.[35] . Ibid, 2/658[36] Ibid.2/666-667[37] Ibid 2/668[38] Taisiru al Wushul ila al Ushul, hal. 296[39] Al Lajnatu al Syariyatu hal. 47, Ulyani hal. 116-117, Al Ghunaimi hal 11, Azzam dll[40] Fathu al Bari 6/5[41] Lihat Min WasaI Dafil Ghurbah, hal. 21, Fil Jihadi Adaab Wa Ahkaam, hal 6[42] Waqfatun Maa Al Duktur al Buthi fi Kitabihi an al Jihad. Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 16[43] Fathu al Bari 6/22[44] Fathul Bari 6/59[45] Fathul Bari 2/9[46] Lihat Fil Jihadi Fiqhun Wa Ijtihadun, Dr. Abdullah Azzam III/108[47] Masyariul Asywaaq 1/141[48] Majmu Fatawa 35/37[49] Tahdzibu ath Thahawiyah hal.hal.360[50] Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64 Cet : 3. 1419 H/ 1998 M. Muassasah Ar Risalah.[51] Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa,hal.168-169[52] HR. Tirmidzi no. 2616, Al Hakim 2/76[53] HR. Muslim no. 49, Abu Daud no. 1140 dan 4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah no. 1275, Ahmad 3/54, NasaI 8/111[54] Lihat penjelasan hadits ini dalam Jamiu al Ulum wa al Hikam hal[55] HR. Bukhori no. 2786[56] Fathu Al Bari : 6/5, Syarh hadits 2785[57] HR. Bukhori no. 2785[58] Fathu Al Bari : 6/5, Kitab jihad dan sair, bab keutamaan jihad dan sair[59] HR. Bukhari no. 2817[60] Fathu Al Bari : 6/5, bab angan-angan seorang mujahid untuk kembali kedunia.[62] Musnad Imam Ahmad : 6/20 no. 24451, Silsilah Ahadits Shahihah no. 549, Shahih Jami` Shagir no. 6679.[63] Zaadul Maad : 3/5-6, tentang petunjuk Nabi saw dalam jihad, maghazi, saroya, dan buuts.[64] Silsilatu al Ahaditsu al Dhaifah wa al Maudhuah 5/478-480 no. 2460, Dhaifu al Jami al Shaghiru hal. 595 no. 4080[65] Majmu Fatawa 11/197[66] Siyaru Alami an Nubala : 6/325, bab Ibrahim bin Abi Ablah.[67] Siyaru Alam 6/324[68] Fathul Bari : 6/30, bab amal shaleh sebelum berperang.[69] Majmu Fatawa : 11/196-197.[70] Zadul Maad : 3/9, tentang marotib jihad an-nafs[71] . Al Umdah fi Idadil Uddah hal. 351, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz.[72] . Al Umdah fi Idadil Uddah hal. 351.[73]. Syarhu Thahawiyah hal. 377-378, Al Maktabul Islamy, 1403 H.[74] . Ar Risalah hal. 357-360, tahqiq : Ahmad Syakir.[75]. Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 9-12.[76] . Majmu Fatawa 28/80.[77]. Syarhu Sunah 1/289-290, tahqiq Syuaib Al Arnauth.[78] . Fathul Baari 13/320.[79] . Al Majmu Syarhul Muhadzab I/45, Daarul Fikr dengan tahqiq ; Dr. Mahmud Muthraji.[80] . Mukhtashor Minhajil Qasidin hal. 14, Ddaarul Fikr.[81] . HR. Tirmidzi no. 1871, Shahih.[82]. HR. Bukhari Kitabu Jihad sebuah bab, Amalun Sholihun qabla al Qital {amal sholih sebelum perang}. no. 2808[83]. Fathu al Bari 6/31, bab amal shaleh sebelum berperang[84]. Madariji Al Salikin 1/245-248, tentang tingkatan jebakan setan[85] Madariji Al Salikin 1/249[86] HR. Muslim[87] Zaadul Maad : 3/5-6, memerangi musuh-busuh Allah termasuk dari jihad hawa nafsu.[88] Majmu` Fatawa 28/441-443.[89] Fathu al Bari : 6/15,[90] Lihat Tahqiq atas Masyariu al Aswaq ila Mashorii al Usyaq 1/29-31[91] Masyariu al Aswaq 1/34