55
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 1 Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1) Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah hingga 300-1.200 mg/dL; (2) Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis; dan (3) Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. 2 Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan 1

DM.doc

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangDiabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.1Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1) Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah hingga 300-1.200 mg/dL; (2) Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis; dan (3) Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.2Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik.2Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasa. Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan DM sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.3Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat sering dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat. Dengan referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman tentang Diabetes Melitus (DM) serta dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit metabolik yang paling sering di jumpai di masyarakat Indonesia.1,2BAB II

TINJAUAN PUSTAKA`2.1. Gambaran Umum Diabetes MelitusMeningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak diamati. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koronner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain.1 Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.1Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada jaringan termasuk hati.32.2. EpidemiologiDiabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun. 4Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik.5Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu.4Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural.4,5Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005 mencapai 12,5%.Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86-138%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di atas, maka dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan meningkat dengan drastis.5Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya :3,4a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat

2) Penduduk usia lanjut betambah banyak

3) Urbanisasi makin tak terkendalib. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi

2) Restoran siap santap

3)Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badanc. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang.2.3. EtiologiDiabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.2,6Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus (DM). Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus.5,62.4. PatofisiologiTubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.1,2Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.2Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel beta.Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.

Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan:3,5 Obesitas terutama yang berbentuk sentral

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Kurang gerak badan

Faktor keturunan (herediter)

2.5. Manifestasi KlinikGejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg.7Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.6.7Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2

DM Tipe 1DM Tipe 2

Onset (umur)Biasanya < 40 tahunBiasanya > 40 tahun

Keadaan klinis saat diagnosis BeratRingan

Kadar InsulinTak ada insulinInsulin normal atau tinggi

Berat badanBiasanya kurusBiasanya gemuk atau normal

PengobatanInsulin, diet, olahragaDiet, olahraga, tablet, insulin

2.6. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan kadar glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).7.8 Pemeriksaan kadar glukosa darah.

Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.

Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus (DM).

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase.8a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.

b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM), digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998.

Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM)Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD).6,8,9a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1.

b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB). Anti GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus (DM) muncul.Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan indicator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pancreas atau transplantasi sel-sel pulau pancreas.Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM)Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.8,9Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.Pemeriksaan HbA1CHbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan irevarsibel.Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity Chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri.a. Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mangganggu adalah adanya Hbs dan HbC yang bias memberikan hasil negatif palsu. b. Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metoce ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi

c. Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.d. Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang labih maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.

e. Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.

f. Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sample besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.

2.7. Diagnosis Diabetes MelitusDiagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.10 Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.7,10

2.8. Komplikasi

Komplikasi kronik diabetes mellitus yaitu :11,121. Mikrovaskular

a. Gangguan mata

Retinopathy

Makular edema

Katarak

Glaukoma

b. Neuropathy

Saraf sensory dan motorik

Saraf autonom

c. Nephropathy

2. Makrovaskular

a. Penyakit koroner

b. Penyakit pembuluh darah perifer

c. Penyakit cerebrovaskular

3. Kelainan lain

a. Gastroparesis dan diare

b. Uropathy dan disfungsi seksusalc. Kelainan dermatologi2.9. PenatalaksanaanTujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes Melitus (DM).10,11,12Tujuan penatalaksanaanA. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.

B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM.

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus

Edukasi :1. Terapi gizi medis

2. Latihan jasmani

3. Intervensi farmakologisPengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

I. Edukasi

Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang :10,11,12 Perjalanan penyakit DM

Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

Penyulit DM dan risikonya

Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain

Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia

Pentingnya latihan jasmani yang teratur

Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan)

Pentingnya perawatan diri

Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

II. Terapi gizi medis (TGM)

Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi10,11,12 prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :Karbohidrat

Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi

Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi

Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi

Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehariLemak

Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori

Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)

Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuhProtein

Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi

Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacang-kacangan, tahu, tempe Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.Garam

Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur

Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada mereka yang hipertensiSerat

Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larutPemanisa. Batasi penggunaan pemanis bergizib. Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasmac. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, penyakit infeksi.Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah sebagai berikut :

Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kgBBNormal : BB ideal 10 %

Kurus : < BBI 10 %

Gemuk : > BBI + 10 % Penentuan status gizi dapat digunakan BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca.

BB ( Kg )

IMT =

TB ( M2 )

Klasifikasi IMT :

BB Kurang

< 18,5 BB Normal

18,5 22,9 BB lebih

23,0 Dengan risiko

23,0 24,9 Obes I

25,0 29,9 Obes II

30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

Jenis kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB

Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun

Aktifitas fisik atau pekerjaan

Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50 % dengan aktifitas sangat berat

Berat badan

Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 1600 kkal / hari untuk pria.Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.III. Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang sifatnya CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).10 Continous

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa istirahat. Rytmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.

Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb. Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit.

Sasaran Heart Rate= 75-85 % dari Maksimum Heart Rate

Maksimum Heart Rate= 220-umur Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda.

Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga.Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb :

DNM = 220 Umur ( dalam Tahun )Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4 kali seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.

IV. Terapi Farmakologis Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani.10,11,121. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO )

A. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :

B. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid

C. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion

D. Penghambat glukoneogenesis : metformin

E. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase

A. Golongan Insulin SecretagoguesInsulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

1) SulfonilureaDigunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.2) GlinidKerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya.

Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari.B. Golongan Insulin Sensitizing1) BiguanidSaat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut.Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam.Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan. Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah.Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal.Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.2) GlitazoneMerupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan sebagai obat tunggal.C. Penghambat Glukoneogenesis

1) MetforminObat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose )

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen.Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral:

a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara bertahap.

b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam).c. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat.

d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.

e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.BAB III

METODE PENELITIAN3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan survei deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional dimana variabel bebas (penderita DM) dan variabel terikat (neuropati diabetik, nefropati diabetik, retinopati diabetik, hipertensi, penyakit jantung, obat-obat yang digunakan oleh pasien) lalu dikumpulkan secara bersamaan. Artinya tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan.133.2. Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1.Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 09 April sampai 02 Mei 2015.

3.2.2.Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang berobat di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang periode 09 April sampai 02 Mei tahun 2015.

3.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang menderita Diabetes Melitus.

3.3.3 Sampel dan Besar Sampel

Sampel dari penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang menderita Diabetes Melitus. Pada penelitian ini peneliti mengambil sampel sejumlah 50 orang pasien yang menderita Diabetes Melitus.

3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

A. Kriteria Inklusi

1. Bersedia untuk mengikuti prosedur penelitian2. Pasien merupakan penderita Diabetes Melitus yang berobat jalan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.B. Kriteria Eksklusi1. Pasien yang menolak prosedur penelitian.

3.4 Variabel Penelitian

3.4.1 Variabel Bebas (independent Variable)

Merupakan variabel yang mempengaruhi atau mengikat terhadap variabel lain atau merupakan akibat dari adanya variabel bebas, variabel tergantung pada penelitian ini yaitu penderita Diabetes Melitus.

3.4.2 Variabel Terikat (Dependent Variable)

Merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, variabel terikat pada penelitian ini adalah :

neuropati diabetik, nefropati diabetik, retinopati diabetik, hipertensi, penyakit jantung, obat-obat yang digunakan oleh pasien3.5Cara Pengumpulan Data

3.5.1Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden melalui pertemuan atau percakapan. Data primer pada penelitian ini diambil dengan beberapa cara yaitu:

Dengan melakukan wawancara yaitu dilakukan kepada pasien poli klinik PDL RSMP yang menderita Diabetes Melitus.3.6Metode Teknis Analisis Data

Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantaranya, adalah :

a. Editing yaitu melihat kelengkapan pengisian dan kejelasan untuk setiap kuesioner.

b.Processing adalah melakukan pemindahan atau memasukkan data dari kuesioner kedalam computer untuk diproses secara komputerisasi.

c. Tabulating yaitu mentabulasi data jawaban yang telah diberikan ke dalam bentuk tabel.

3.7Alur Penelitian

Gambar : Diagram Alur PenelitianBAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1.1. Deskripsi Sampel

Responden dari penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang memenuhi kriteria pemilihan, dimana pada penelitian ini didapatkan total sampel yaitu berjumlah 50 responden.

Subjek penelitian ini terdiri dari 50 responden yang rentang usia antara 21-72 tahun. Dari 50 responden tersebut kemudian dilakukan identifikasi terhadap penyakit diabetes mellitus yang diderita, komplikasi lain yang diderita yaitu neuropati, retinopati, nefropati, penyakit jantung, hipertensi, ulkus diabetikum serta obat yang diminum oleh pasien, hasil dari analisis tersebut kemudian disajikan dalam tabel distribusi frekuensi berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Klasifikasi Diabetes Mellitus yang Diderita Oleh Responden.

NoKlasifikasi DMJumlahPersentase

1DM tipe 100 %

2DM tipe 250100 %

3

4DM tipe lain

DM Gestasional0

00 %

0 %

Total50100 %

Tabel diatas menunjukkan bahwa pada saat penelitian, peneliti hanya mendapatkan pasien rawat jalan di poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang yang menderita Diabetes Melitus tipe 2. Hal ini menegaskan teori yang mengatakan bahwa di Indonesia jenis diabetes mellitus yang paling banyak adalah DM tipe 2.6Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien Diabetes Mellitus.NoJenis KelaminJumlahPersentase

1Laki-laki1836 %

2Perempuan3264 %

Total50100 %

Tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat lebih dari setengah jumlah responden yaitu sebanyak 32 responden (64 %) adalah perempuan, sedangkan laki-laki hanya 18 responden (36 %). Artinya jumlah penderita DM pada perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Menurut teori faktor resiko terjadinya diabetes mellitus pada perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki, hal ini disebabkan karena pola kebiasaan sehari-hari. Salah satunya adalah duduk lama dan kurang gerak, tetapi para ilmuan dan peneliti belum menemukan alasan mengapa hal tersebut tidak terjadi pada laki-laki.

Riset dari America Journal of Preventive Medicine yang melakukan penelitian terhadap laki-laki dan perempuan tentang kebiasaan dan hubungan dengan penyakit DM, didapatkan hasil wanita cenderung duduk selama 4 sampai 7 jam setiap hari. Wanita yang duduk paling lama cenderung memiliki kadar insulin lebih tinggi. Kadar insulin yang tinggi dalam tubuh menunjukkan adanya resisten terhadap hormone dan perkembangan diabetes.

Bahkan peneliti juga mencatat adanya kadar lebih tinggi pada C-Reactive Protein (CRP), leptin, adinopectin dan interleukin-6, dimana semua bahan kimia tersebut dilepaskan oleh jaringan lemak di perut dan dapat memicu timbulnya peradangan. Peneliti mengatakan kemungkinan hal ini disebabkan karena perempuan lebih mungkin untuk ngemil ketimbang laki-laki, dan mungkin karena laki-laki lebih banyak bergerak dibandingkan perempuan.2,9Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Usia Pada Penderita Diabetes Mellitus.

NoUsiaJumlahPersentase

1< 40 tahun816 %

2340 60 tahun

> 60 tahun27

1554 %30 %

Total50100 %

Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 50 responden, didapatkan 8 orang responden yang menderita Diabetes Mellitus berusia < 40 tahun (16 %), sebanyak 27 orang responden (54 %) berusia 40 - 60 tahun, dan sebanyak 15 responden (30 %) berusia > 60 tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian Diabetes Mellitus adalah usia lanjut. Meningkatnya resiko ini kemungkinan ada kaitannya dengan semakin gemuknya seseorang seiring dengan bertambahnya usia. Gaya hidup santai, aktifitas menurun, dan berkurangnya massa otot.11Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Komplikasi dan Penyakit Penyerta Pada Pasien Diabetes Mellitus.NoKomplikasi dan Penyakit PenyertaJumlah

1Neuropati Diabetika12

2Nefropati Diabetika10

3Retinopati Diabetika3

4

5Katarak

Hipertensi2

31

67Jantung

Ulkus Diabetika1

2

Tabel diatas menunjukan bahwa sebanyak 31 responden menderita hipertensi (pengobatan : amlodipin, candesartan, valesco, spironolakton, noperten), 12 responden menderita neuropati diabetika dengan gejala pasien merasa kesemutan didaerah ektremitas (pengobatan : mecobalamin), penegakan diagnosis ini berdasarkan konsultasi dengan spesialis neurologi. Didapatkan sebanyak 10 orang responden yang menderita nefropati diabetika, hal ini diketahui dengan melihat hasil pemeriksaan laboratorium yaitu ureum, creatinin dan protein urin positif. Sebanyak 3 orang responden menderita retinopati diabetika, hal ini didapatkan dari hasil pemeriksaan responden di poli mata, 2 responden juga menderita ulkus diabetika dan 2 orang menderita katarak. Pada responden juga ada yang menderita penyakit jantung yaitu penyakit jantung koroner.

Pada beberapa responden ada yang menderita 2 atau lebih komplikasi atau penyakit penyerta. Dari teori memang banyak komplikasi serta penyakit penyerta yang bisa terjadi pada pasien Diabetes Mellitus. Komplikasi yang bisa terjadi yaitu mulai dari mikrovaskular (gangguan mata, gangguan saraf dan gangguan ginjal), makrovaskular (penyakit koroner, penyakit cerebrovaskular), dan kelainan lain (gastroparesis, diare, uropati, disfungsi seksual dan kelainan dermatologi).11, 12 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Obat yang di GunakanNoJenis TerapiJumlahPersentase

1Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Metformin

Glimepirid

Acarbose (Glucobay)11

10

756 %

2

3Injeksi Insulin Rapid (Novorapid, Humalog, Apidra)

Long (Lantus, Levemir)

Kombinasi (OHO dan Insulin)139

26 %

18 %

Total50100 %

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa responden yang menggunakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) paling banyak yaitu sebanyak 28 responden (56 %). Kedua terbanyak adalah responden yang menggunakan terapi injeksi insulin yaitu sebanyak 13 responden (26 %), sedangkan sejumlah 9 responden (18 %) menggunakan terapi kombinasi antara OHO dan injeksi insulin.Dari tabel diatas menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden merupakan pasien golongan pengelolaan DM tahap 1. Algoritma pengelolaan pasien Diabetes Mellitus terdiri dari 3 tahap :7, 10 Tahap 1

Pasien dianjurkan untuk melakukan GHS (Gaya Hidup Sehat) dan tanpa menggunakan obat-obatan untuk DM. Tahap 2

Selain pasien dianjurkan untuk melakukan GHS (Gaya Hidup Sehat), pasien juga diberikan obat untuk DM. Algoritma yang diberikan adalah pasien di anjurkan melakukan GHS ditambah obat hipoglikemik oral, atau pasien dianjurkan melakukan GHD ditambah obat hipoglikemik oral dan injeksi insulin. Tahap 3

Pada pasien dengan algoritma tahap 3 terapi yang diberikan adalah insulin.

Indikasi pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) adalah pasien dengan DM tipe 2, berat badan pasien normal atau gemuk, pasien yang menderita DM kurang dari 5 tahun, dan pasien yang belum pernah mendapatkan terapi insulin atau pernah tetapi kurang ari 40 UI.7,10Penggunaan terapi insulin diberikan dengan indikasi-indikasi yaitu, pasien yang menderita Diabetes Mellitus tipe 1, pasien yang gagal mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal selama 3 6 bulan. Selanjutnya pasien Diabetes Mellitus tipe 2 yang rawat jalan dengan kehamilan, infeksi paru (tuberculosis), kaki diabetic terinfeksi, fluktuasi glukosa darah yang tinggi (brittle). Terapi Insulin ini juga diberikan kepada pasien dengan riwayat ketoasisdosis berulang, dan riwayat pankreotomi. Selain indikasi diatas, terdapat beberapa kondisi tertentu yang memerlukan pemakaian insulin, seperti penyakit hati kronis, gangguan fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi.7,10Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang digunakan oleh responden pada penelitian ini adalah golongan biguanid yaitu metformin, golongan sulfonilurea yaitu glimepirid, dan golongan penghambat glukosidase alfa yaitu acarbose (glucobay). Obat golongan biguanid mempunyai fungsi untuk menekan produksi glukosa hati dan menambah sensitifitas terhadap insulin (insulin sensitizer). Obat golongan sulfonilurea berfungsi untuk sekresi insulin oleh sel beta pancreas (insulin secretaque). Obat golongan penghambat glukosidase alfa mempunyai fungsi untuk menghambat absobsi glukosa.4.2. Keterbatasan penelitianKeterbatasan pada penelitian ini adalah terletak pada waktu dan responden yang tidak beragam. Maksudnya karena waktu yang terlalu singkat dan waktu pengambilan sampel yang tidak terjadwal mengakibatkan peneliti tidak mendapatkan pasien rawat jalan dengan menderita Diabetes Mellitus tipe 1, Diabetes tipe lain dan Diabetes Gestasional. Penelitian ini akan lebih baik jika pasien rawat jalannya beragam.

Kemudian pada penelitian ini, peneliti tidak mengambil data lamanya perjalanan penyakit Diabetes Mellitus yang diderita oleh responden, sehingga obat-obatan yang sudah pernah diminum oleh pasien tidak terdata. BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Seluruh penderita Diabetes Mellitus yang berobat ke poli klinik PDL Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang adalah penderita Diabetes Mellitus tipe 2.

2. Komplikasi dan penyakit penyerta terbanyak dari DM tipe 2 yaitu, hipertensi, neuropati diabetika, nefropati diabetika, retinopati diabetika, ulkus diabetika, katarak dan penyakit jantung koroner.

3. Tatalaksana pada pasien Diabetes Mellitus tidak hanya bisa dengan penggunaan obat tetapi harus dilakukan pemantauan terhadap pengaturan makanan, pengaturan jasmani (olahraga) dan pengaturan intervensi farmakologis.4. Obat Hiperglikemik Oral yang paling banyak digunakan oleh responden adalah Metformin (11 responden), Glimepirid (10 responden), dan Acarbose (7 responden). OHO paling banyak digunakan, sedangkan terapi insulin digunakan sebanyak 13 responden dan obat kombinasi digunakan sebanyak 9 responden.5.2. SaranBerdasarkan hasil penelitian diatas, peneliti menyarankan beberapa hal :

1. Bagi Institusi Rumah Sakit dan Petugas KesehatanMengingat tingginya persentase pasien Diabetes Mellitus yang berobat, hendaknya pasien tidak hanya diberikan terapi secara farmakologis tetapi pasien juga harus diberi tahu cara untuk bagaimana mengatur makanan (ahli gizi) dan bagaimana cara untuk latihan jasmani yang baik untuk pengobatan Diabetes Mellitus.2. Bagi Peneliti selanjutnya

Melakukan penelitian lanjutan dengan bukan hanya pasien rawat jalan di poli klinik, tetapi bisa dilakukan pada pasien di rawat inap dan IGD. Diharapkan pasien yang didapatkan lebih beragam. Melakukan pemeriksaan gula darah kepada responden untuk menilai apakah gula darah responden terkontrol atau tidak terkontrol. Melakukan penimbangan berat badan responden untuk menilai apakah gizi dan makanan yang dikonsumsi responden sudah sesuai atau belum. Melakukan pemantauan kegiatan latihan jasmani terhadap responden dengan cara melihat apakah responden melakukan senam diabet baik dilakukan di rumah sakit atau di rumah.

DAFTAR PUSTAKA1. Deliana, Melda. Diabetes Mellitus Tipe 2. 2007. Seminar Ilmiah Divisi Endokrinologi. FK.USU.2. Ellsworth, A.; Witt, D.; Dugdale, D. Mosbys Medical Drug Reference. USA. Elsevier Mosby. 2005.3. Evaria. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Edisi 14. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer. 2013 : 337-349.4. Fauci, Anthony S., et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States: McGraw-Hill Professional, 2008.5. Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2007 : 481-495.6. Gustaviani R. diagnosis dan klasifikasi diabetes mellitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006: 1857-63.7. Handoko T,Suharto B. Insulin, Glukagon dan Anti Diabetik Oral. Dalam : Gan S, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi, Edisi Empat. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p:467-79. 2003.8. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe II di Indonesia. Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe II. Jakarta. Pengurus Besar PERKENI. 2006.9. Powers AC. Diabetes Mellitus. Dalam : braunwald E, fauci AS, kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principle og Internal Medicine. 15th edition. New york : McGraw-Hill Medical Publishing Division 2001 :2109-37.10. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian Glikemia Diabetes Mellitus Tipe 2. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006: 1860-3.11. Tjokroprawiro Askandar, 2001. Diabetes Millitus Klasifikasi Diagnosa dan Terapi. PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.12. Yunir E, Soebardi S. Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Melitus. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p: 1864-6. 200613. Sastroasmoro, S. Sofyan Ismail. 2011. Dasar-dasar Metedologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto.Pengumpulan Data Awal

Pengambilan data awal berupa jumlah pasien yang akan dijadikan responden

Kriteria Inklusi

Seluruh pasien rawat jalan yang memenuhi kriteria inklusi

Populasi dan Sampel

Pelaksanaan Penelitian

Melakukan wawancara kepada pasien Diabetes Melitus

Pengolahan dan Analisis Data

Data dikumpulkan, dan dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

Hasil Penelitian

37