68
HUKUM KONSTITUSI Disusun Oleh SULAIMAN Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Abul Yatama Aceh Pengertian Konstitusi Konstitusi yang berasal dari kata constituer (Perancis) yang artinya membentuk, dilihat dari perspektif hukum tata negara artinya adalah membentuk organ-organ negara. Di samping istilah konstitusi kita mengenal pula istilah Undang-Undang Dasar (UUD) yang merupakan terjemahan dari “grondwet” (Belanda). Dalam bahasa Latin kata “konstitusi” merupakan gabungan dari dua kata yaitu “cume” dan “statuere”.Cume adalah sebuah kata depan (preposisi) yang berarti “bersama dengan”, sedangkan Statuere berasal dari kata Sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti “berdiri”. Dengan demikian kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Kata constitution sebagai bentuk tunggal berarti “menetapkan sesuatu bersama-sama”, sedangkanbentuk jamaknya yaitu constitusiones berarti “segala sesuatu yang telah ditetapkan”. ( Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR;Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya: Peraturan Menteri; Instruksi Menteri; dan lain-lain-nya. Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat pseudowetgeving); Keputusan Kepala BPK yang bersifat pengaturan (regeling);Peraturan Bank Indonesia; Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan (regeling); UUD 1945 dan Perubahannya; Ketetapan MPR; Undang- undang (UU)/Perpu; Peraturan Pemerintah (PP); Keppres dan Keputusan Ketua BPK yang bersifat pengaturan (regeling); Peraturan Bank Indonesia ) Dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut, Perpu diletakkan di bawah UU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 beserta Penjelasanya. Dalam Pasal 22 UUD

· Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

  • Upload
    lyhanh

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

HUKUM KONSTITUSIDisusun Oleh

SULAIMAN

Mahasiswa Fakultas HukumUniversitas Abul Yatama Aceh

Pengertian KonstitusiKonstitusi yang berasal dari kata constituer (Perancis) yang artinya membentuk, dilihat dari perspektif hukum tata negara artinya adalah membentuk organ-organ negara. Di samping istilah konstitusi kita mengenal pula istilah Undang-Undang Dasar (UUD) yang merupakan terjemahan dari “grondwet” (Belanda). Dalam bahasa Latin kata “konstitusi” merupakan gabungan dari dua kata yaitu “cume” dan “statuere”.Cume adalah sebuah kata depan (preposisi) yang berarti “bersama dengan”, sedangkan Statuere berasal dari kata Sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti “berdiri”. Dengan demikian kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”. Kata constitution sebagai bentuk tunggal berarti “menetapkan sesuatu bersama-sama”, sedangkanbentuk jamaknya yaitu constitusiones berarti “segala sesuatu yang telah ditetapkan”. (   Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan MPR;Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya:   Peraturan

Menteri; Instruksi Menteri;  dan lain-lain-nya.  Peraturan Mahkamah Agung (walaupun bersifat pseudowetgeving); Keputusan Kepala BPK yang bersifat  pengaturan (regeling);Peraturan Bank Indonesia; Keputusan Kepala/Ketua LPND yang bersifat pengaturan (regeling);  UUD 1945 dan Perubahannya;  Ketetapan MPR;  Undang-undang (UU)/Perpu; Peraturan Pemerintah (PP); Keppres dan Keputusan Ketua BPK yang bersifat pengaturan (regeling);  Peraturan Bank Indonesia ) Dalam Pasal 2 TAP MPR tersebut, Perpu diletakkan di bawah UU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 beserta Penjelasanya. Dalam Pasal 22 UUD 1945 dikatakan bahwaPerpu itu sebagai pengganti UU. Kata “pengganti” mengindikasikan bahwa Perpu itu setingkat UU. Sedangkan dalam Penjelasannya dikatakan dengan tegas bahwa Perpu mempunyai kekuatan (hukum) yang sama dengan UU. Dalam sejarah perkembangan konstitusi di Indonesia, Penjelasan Pasal 22 UUD 1945  ini kemudian“dituangkan” dalam Pasal 139 KRIS 1949 dan Pasal 96 UUDS 1950 dengan nama  “undang-undang darurat”, yang setingkat dan mempunyai kekuatan yang sama dengan UU. Dengan demikian para oundingfather/mother kita sejak rapat-rapat BPUPKI dan PPKI, penambahan Penjelasan UUD 1945 pada tahun 1946, dan kemudian dituangkan dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 menempatkan Perpu/undang-undang darurat sejajar dengan UU dan mempunyai kekuatan (hukum) yang sama dengan UU.Oleh karena itu, apapun alasannya penempatan Perpu di bawah UU tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 22 dan Penjelasannya). Dalam Pasal 4 ayat (2)  TAP MPR tersebut yang diawali denga kata “keputusan” atau “peraturan” dikaitkan dengan Pasal 5

Page 2: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

ayat (2), (3) dan (4) menimbulkan kerancuan apabila dikaitkan dengan hak uji (materiel) yang diberikan kepada MA (judicial review). Apabila dibaca Pasal 4 ayat (2), maka dimungkinkan adanya “Keputusan” Mahkamah Agung dan “Peraturan Mahkamah Agung” (Perma). Karena Perma bukan merupakan produk atau hasil dari hak uji materiel, maka hasil dari hak uji materiel  seharusnya adalah “Keputusan Mahkamah Agung” sebagaimana dikatakan dalam Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi: “Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.” Namun dengan melihat produk Mahkamah Agung tentang hak uji materiel suatu peraturan perundang-undangan, Mahkamah Agung tidak membuat “Keputusan”, tetapi  “Putusan” (vonis) pada tingkat kasasi.Oleh karena itu seharusnya kata “Keputusan” pada Pasal 5 ayat (4) TAP MPR tersebut harus diganti dengan kata “Putusan”.  Berkaitan dengan Perpu yang diletakkan di bawah UU maka di samping bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945 (dan Penjelasannya) sehingga melanggar asas hierarki peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, sebagaimana juga dimuat dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (7), dan Pasal 4 TAP MPR itu sendiri. Dengan demikian semakin tidak konsisten dan semakin rancu TAP MPR tersebut sehingga dapat dibatalkan (vernietigbaar) atau batal demi hukum (van rechtswege nietig) karena bertentangan dengan UUD 1945. Di samping itu pasal-pasalnya tidak harmonis kalau tidak mau dikatakan saling bertentangan (kontradiktif) satu sama lainnya, serta ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk maksud

yang sama yang tidak dapat dibenarkan secara teknik penyusunan peraturan perundang-undangan karena dapat menimbulkan berbagai interpretasi. Khusus penempatan Perpu di bawah UU,di samping bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945, Mahkamah Agung juga dapat menguji Perpu terhadap UU. Padahal Perpu itu adalah suatu “UU tertunda”.Apabila Perpu tersebut diuji oleh Mahkamah Agung dan diputuskan bertentangan dengan UU maka Perpu itu harus dicabut oleh Pemerintah, padahal dalam Pasal 22ayat (2) dan (3) UUD 1945 ditentukan bahwa kalau DPR tidak memberikan persetujuan terhadap suatu Perpu yang diajukan kepadanya, maka Perpu tersebut harus dicabut. Dalam Pasal 22 tersebut tidak dikatakan siapa yang harus mencabutnya namun dengan penapsiran dan logika hukum tentunya yang harus mencabutnya adalah yang membuatnya yaitu Pemerintah. Jadi pencabutan Perpu tersebut tidak perlu ada hak uji materiel dari Mahkamah Agung. Namun dengan ditempatkannya Perpu di bawah UU maka Mahkamah Agung dapat mengadakan hak uji materiel terhadap Perpu tersebut. Di sinilah kerancuan dari Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000.   Dalam Pasal 3 ayat (4) huruf b TAPMPR No. III/MPR/2000 dikatakan : “ DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;Ketentuan dalam huruf b jelas bertentangan atau paling tidak telah menambahkan suatu klausula yaitu “dengan tidak mengadakan perubahan”, yang memperluas ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Di samping itu akan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 yang menegaskan bahwa DPR adalah pembentuk UU atau yang memegang kekuasaan membentuk UU, sehingga akan menjadi tidak benar kalau pembentuk UU (legislator utama) tidak boleh

Page 3: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

mengubah produk hukum dari Presiden (legislator serta) yang diajukan kepada DPR.  Masalah lain yang mungkin timbul adalah apabila Mahkamah Agung dalam waktu yang bersamaan dengan pengajuan suatu Perpu kepada DPR mengadakan hak uji materiel terhadap Perpu dan kemudian menetapkan Perpu tersebut bertentangan dengan UU dan memerintahkan Pemerintah untuk mencabutnya, sedangkan DPR menyetujui Perpu untuk menjadi UU. Dalam hal ini  dapat menimbulkan implikasi politis dan yuridis dalam bentuk conflictof interest di antara lembaga tinggi negara.  Berdasarkan uraian diatas, perlu disepakati bahwa jenis peraturan perundang-undangan dan tata susunannya yang berlaku sekarang tidak hanya yang secara eksplisit dimuat dalamPasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000, akan tetapi juga di luar Pasal 2 TAP MPR tersebut baik secara tersurat maupun tersirat yang termuat dalam Pasal 3 ayat (7) dan Pasal 4 ayat (2) TAP MPR tersebut serta yang ditentukan dalam UU No.22/1999, sebagaimana diuraikan di atas, agar tidak membingungkan para pembentuk peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah.

Dasar-dasar Konstitusional Dan Tata Urutan Perundang-undanganDalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan, landasan konstitusional memegang peranan yang sangat penting dan strategis karena konstitusi adalah hukum dasar bagi suatu bangsa.Sebagai hukum dasar suatu bangsa atau negara maka secara hierarki semua peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh negara atau bangsa yang

bersangkutan haruslah dari dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.Indonesia adalah suatu negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana ditentukan dalamPenjelasan UUD 1945 yang kemudian “diangkat” ke dalam Pasal 1 ayat (3)Perubahan Ketiga UUD 1945 (2001) dengan rumusan: Negara Indonesia adalah negara hukum. Kemudian dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat TAP MPR No. III/MPR/2000). menempatkan Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 (dengan sila-silanya: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh Rakyat Indonesia), dan Batang Tubuh UUD 1945 (dan Perubahannya) sebagai  sumber hukum dasar nasional. Ketentuan dalam TAPMPR No. III/MPR/2000 ini menempatkan konstitusi (dalam hal ini UUD 1945 danPerubahannya)  Penjelasan UUD 1945 penulis analogikan dengan penjelasan suatu undang-undang. Apabila pembaca atau pengguna suatu undang-undang misalnya hakim, jaksa, atau pengacara, bahkan perancang peraturan perundang-undangan yang menyusun sejarah terbentuknya suatu undang-undang, maka pertama-tama yang akan dibaca adalah isi batang tubuhnya.Apabila tidak atau kurang jelas, maka dibaca penjelasannya. Apabila masih kurang jelas juga dan ingin mengetahui latar belakang serta situasi dan kondisi teks undang-undang tersebut dilahirkan, maka barulah dibaca kembali risalah-risalah pembahasan rancangan undang-undang tersebut di DPR,

Page 4: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

bahkan kalau ingin lebih lengkap lagi notula-notula pembahasannya di lingkungan pemerintah ketika mempersiapkan penyusunannya dan pembahasannya di Panitia Antar Dep. sehingga para pembaca dan pengguna undang-undang tersebut dapat dengan tepat mengetahui keinginan pembentuk undang-undang tersebut sehingga dapat menerapkan undang-undang tersebut dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya tanpa harus memberikan interpretasi sendiri-sendiri yang sering berbeda satu sama lain sesuai dengan selera dan kepentingannya masing-masing.Indonesia sebagai negara yang berasaskan konstitusionalisme, artinya semua tindakan Negara dan pemerintah (termasuk seluruh masyarakat), haruslah sesuai atau berlandaskan kepada konstitusi. Demikian pula peraturan perundang-undangan yang dibuat sebagai pelaksanaan atau penjabaran konstitusi haruslah mencerminkan isi dari konstitusi tersebut bukan malahan bertentangan dengan konstitusi (dalam hal ini UUD 1945 dan Perubahannya).  Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain (sesuai dengan aslinya).                         Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang Kewenangan atributif adalah diberikan/diciptakan oleh suatu UUD/UU kepada lembaga/pejabat negara tertentu untuk membuat peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan delegatif adalah dilimpahkan dari pemegang kewenangan atributif kepada lembaga/pejabat di bawahnya untuk membuat peraturan perundang-undangan.

Tujuan KonstitusiHukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan tujuan konstitusi itu sendiri.

 Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

 Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak asasi manusia yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti itu banyak termuat dalam undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan setempat. Contoh yang tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama sekali konstitusi tertulis tetapi tidak dapat

Page 5: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

dikatakan tidak ada aturan yang sifat dan kekuatannya tidak berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi.

 Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen yang terkenal yaitu “Magna Charta” yang merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi manusia. Pada saat itu raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna Charta tersebut. Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai pemegang puncak kekuasaan pemerintahan. Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam garis besarnya (pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan kemerdekaan bergerak semua orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris.

 Di samping itu dijamin dan dilindungi, antara lain:

1. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian dari siapapun tanpa membayar harganya seketika itu juga kecuali apabila si pemilik memberi izin menangguhkan pembayaran (pasal 28);

2. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau kendaraan dari seorang yang bebas (freeman) untuk keperluan pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30);

3. Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu untuk keperluan raja tanpa persetujuan si pemilik;

 Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain ditentukan:

1. Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan seorang di muka pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-orang yang dipercaya (pasal 38);

2. Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke dalam penjara atau dilarang berdiam di satu daerah tertentu kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau dibenarkan oleh aturan negara (pasal 39);

3. Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan pelaksanaan haknya atau peradilan (pasal 40).

 Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan menikmati kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam suasana damai tenteram sampai turun temurun atas itikad baik raja dan para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna Charta ini diulangi lagi oleh raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of England and Of The Liberties Of Forest”. Memang di Inggris pernah ada semacam konstitusi tertulis yaitu pada saat Cromwell memegang tampuk kekuasaan pemerintahan (1653-1660) dengan satu dokumen yang disebut “The Instrument Of Government”, tetapi berlaku hanya sekali saat itu.

Page 6: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Ada beberapa aturan (undang-undang) lain di Inggris tertentu, antara lain: The Habeas Corpus Act 1670, The Bill Of Rights 1689, The Act Of Settlement 1700, The parliament Act 1911, The Statute Of Westminster 1931, The Representation Of The People Act (1928, 1945, 1948), The House Of Common Act 1944 dan The Parliament Act 1949.

Klasifikasi KonstitusiSebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa hampir semua negara memiliki konstitusi. Apabila dibandingkan antara satu negara dengan negara lain akan nampak perbedaan dan persamaannya. Dengan demikian akan sampai pada klasifikasi dari konstitusi yang berlaku di semua negara. Para ahli hukum tata negara atau hukum konstitusi kemudian mengadakan klasifikasi berdasarkan cara pandang mereka sendiri, antara lain K.C. Wheare, C.F. Strong, James Bryce dan lain-lainnya.

Dalam buku K.C. Wheare “Modern Constitution” (1975) mengklasifikasi konstitusi sebagai berikut:

a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak dalam bentuk tertulis (written constitution and unwritten constitution); 

b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rigid (flexible and rigid constitution) Konstitusi fleksibel yaitu konstitusi yang mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain:

a. Sifat elastis, artinya dapat disesuaikan dengan mudah

b. Dinyatakan dan dilakukan perubahan adalah mudah seperti mengubah undang-undang

Konstitusi rigid mempunyai ciri-ciri pokok, antara lain: a. Memiliki tingkat dan derajat yang lebih tinggi dari undang-undang; b. Hanya dapat diubah dengan tata cara khusus/istimewa  

c. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi derajat tidak derajat tinggi (Supreme and not supreme constitution)Konstitusi derajat tinggi, konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara (tingkatan peraturan perundang-undangan). Konstitusi tidak derajat tinggi adalah konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan seperti yang pertama. 

d. Konstitusi Negara Serikat dan Negara Kesatuan (Federal and Unitary Constitution)Bentuk negara akan sangat menentukan konstitusi negara yang bersangkutan. Dalam suatu negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah federal (Pusat) dengan negara-negara bagian. Hal itu diatur di dalam konstitusinya. Pembagian kekuasaan seperti itu tidak diatur dalam konstitusi negara kesatuan, karena pada dasarnya semua kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat.  

Page 7: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

e. Konstitusi Pemerintahan Presidensial dan pemerintahan Parlementer (President Executive and Parliamentary Executive Constitution) Konstitusi pemerintahan presidensial dan parlementer. Dalam sistem pemerintahan presidensial (strong) terdapat ciri-ciri antara lain:

Presiden memiliki kekuasaan nominal sebagai kepala negara, tetapi juga memiliki kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan

Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih

Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan pemilihan umum

Konstitusi dalam sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri (Sri Soemantri) :

Kabinet dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dibentuk berdasarkan kekuatan yang menguasai parlemen

Anggota kabinet sebagian atau seluruhnya dari anggota parlemen

Presiden dengan saran atau nasihat Perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.

 Konstitusi dengan ciri-ciri seperti itu oleh Wheare disebut “Konstitusi sistem pemerintahan parlementer”. Menurut Sri Soemantri, UUD 1945

tidak termasuk ke dalam kedua konstitusi di atas. Hal ini karena di dalam UUD 1945 terdapat ciri konstitusi pemerintahan presidensial, juga terdapat ciri konstitusi pemerintahan parlementer. Pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran.

Landasan Formal Dan Material KonstitusionalSebagaimana diuraikan diatas Indonesia sebagai negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) di mana semua peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang) harus didasarkan pada atau bersumber kepada UUD 1945. Semua peraturan perundang-undangan harus mencerminkan atau merupakan penjabaran dari sistem dan asas sosial. politik,dan hukum, yang ada dalam UUD 1945. Berdasarkan pemahaman ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap pembentukan undang-undang harus mendapatkan legitimasi dari UUD 1945 berupa landasan formal konstitusional dan landasan material konstitusional.  Landasan formal konstitusional dimaksudkan untuk memberikan legitimasi prosedural terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam konteks ini, untuk suatu undang-undang, maka landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memberikan sign terhadap prosedur pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Untuk UU, landasan formal konstitusionalnya adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 21 UUD 1945. Landasan formal konstitusional Perpu adalah Pasal 22 UUD 1945. Untuk Keppres adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.  

Page 8: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Landasan formal konstitusional PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang dituangkan dalam dasar hukum “mengingat”.Sedangkan “menimbang” suatu PP cukup satu butir saja yang memuat rumusan pasal delegasian suatu UU, sebagaimana ditentukan dalam butir 22 Lampiran I Keppres No. 44/1999 yang berbunyi:

Konsiderans Peraturan Pemerintah pada dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari undang-undang yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah 

 Klausula “undang-undang yang memerintahkan” juga digunakan dalam Pasal 3 ayat (5) TAP MPR No. III/MPR/2000 yang berbunyi: 

Peraturan Pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. 

Dengan demikian berdasarkan ketentuan tersebut tentunya tidak benar kalau Pemerintah mengeluarkan suatu PP yang tidak ada delegasi secara langsung (eksplisit) dari suatu UU. Ketentuan ini sebenarnya menyulitkan pemerintah sendiri, karena dapat saja suatu UU tidak mendelegasikan pembuatan PP untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan dalam pasal (-pasal) UU tersebut, namun kebutuhan  akan adanya peraturan pelaksanaan UU dalam bentuk PP sangat diperlukan. Oleh karena itu pada Era Orde Baru ada pemahaman bahwa walaupun suatu UU tidak mendelegasikan secara tegas (eksplisit) untuk mengatur lebih lanjut dalam PP, Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dapat saja mengeluarkan PP sepanjang sangat dibutuhkan dan “dicantelkan” kepada pasal (-pasal) UU yang relevan dengan

materi muatan PP tersebut. Kalau sekarang kebiasaan seperti itu ingin tetap dilaksanakan tentunya harus dengan sepengetahuan DPR yaitu dengan cara melaporkan pembuatan PP tersebut kepada DPR sebagai legislator utama yang memegang kekuasaan membentuk UU. Landasan formal konstitusional TAPMPR adalah Pasal 3 UUD 1945 (lama). Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR nantinya akan terdiri atas dua kamar (bikameral)  dan bukan lagi lembaga tertinggi negara dan tugasnya hanya mengubah dan menetapkan UUD dan meng-impeacht Presiden apabila terbukti melanggar UUD 1945 atau melakukan kejahatan sebagaimana disebutkan dalam UUD berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atas permintaan DPR. Menurut hemat penulis MPR nantinya tidak lagi mengeluarkan TAP MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di atas undang-undang. Untuk KeputusanPresiden yang bersifat pengaturan (regeling) adalah Pasal 4 ayat (1) UUD1945. Landasan formal konstitusional Perda adalah Pasal 18 ayat (6) Perubahan Kedua UUD 1945. Semua Pasal-pasal ini dicantumkan pada dasar hukum “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan, sesuai dengan jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk tersebut. Landasan Material konstitusional dimaksudkan untuk memberikan sign bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk tersebut merupakan penjabaran dari Pasal-pasal UUD 1945 (dan Perubahannya) yang juga dicantumkan dalam dasar hukum “mengingat”suatu peraturan perundang-undangan yang (akan) dibentuk. Pencantuman pasal-pasal UUD 1945 tersebut disesuaikan dengan materi muatan yang akan dijabarkan dalam batang

Page 9: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

tubuh peraturan perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh, misalnya akan dibentuk RUU (UU) tentang Partai Politik. Landasan material konstitusionalnya adalah Pasal 28 UUD 1945, karena pasal ini memuat hak-hak dasar manusia (dalam hal ini warga negara) untuk menyatakan ekspresinya dalam suatu kegiatan politik atau membentuk organisasi partai politik. Pencantuman Pasal 33 UUD 1945 dalam dasar hukum “mengingat” suatu RUU (UU) memberikan indikasi bahwa landasan material konstitusional RUU (UU) adalah yang berkaitan dengan kesejahteraan atau kegiatan di bidang ekonomi yang dijabarkan lebih lanjut dalam batang tubuh RUU (UU) tersebut.  Yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa substansi suatu RUU (UU) yang dijabarkan sejak konsiderans “menimbang”, penjabaran dalam batang tubuh sampai dengan penjelasan RUU (UU) tersebut tidak boleh bertentangan dengan landasan materail konstitusional tersebut. Artinya kalau kita mencantumkan Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan material konstitusional suatu RUU (UU), maka penjabarannya dalam “menimbang”, batang tubuh, sampai dengan Penjelasan RUU (UU) tersebut tidak boleh bertentangan dengan semangat dan jiwa atau esensi dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut.Landasan material konstitusional TAP MPR adalah Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 UUD 1945 (asli).Untuk UU adalah Pasal-pasal UUD 1945 yang memerintahkan diatur lebih lanjut dengan UU atau --walaupun tidak memerintahkan secara tegas-- berdasarkan asas konstitusionalisme dan negara hukum (rechtsstaat) perlunya pengaturan suatu substansi dengan UU, maka pasal (-pasal) UUD 1945 yang relevan dapat dijadikan landasan material konstitusional.  

Dalam butir 17 huruf b Lampiran I Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (selanjutnya disingkat Keppres No. 44/1999) dinyatakan bahwa :Konsiderans (“menimbang”) memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans undang-undang atau peraturan daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. Rumusan butir 17 huruf  b Lampiran I Keppres No. 44/1999 mengandung makna bahwa setiap peraturan perundang-undangan (khususnya undang-undang dan peraturan daerah) harus mencerminkan landasan konstitusional baik secara formal maupun material yang kemudian dituangkan dalam dasar hukum “mengingat”. Unsur-unsur filosofis yang harus termuat dalam latar belakang pembuatan suatu undang-undang merupakan hakekat dari landasan formal dan material konstitusional. Unsur-unsur filosofis ini terkandung dalamPembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945   (dan Perubahannya).  Dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD1945 termuat berbagai hak dasar manusia (HAM) yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh dalam setiap pembuatan undang-undang. Misalnya kita akan membuat suatu RUU (UU) yang berkaitan dengan kebebasan menyatakan pendapat, maka dalam “menimbang” harus diuraikan secara filosofis apa itu kebebasan menyatakan pendapat dan bagaimana cara menyampaikannya, dalam suatu uraian kalimat yang singkat,

Page 10: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

padat, dan dikaitkan dengan asas demokrasi dari sila ke-4 Pancasila. Contoh lain misalnya dalam UU Narkotika (UU No. 22/1997) latar belakang filosofisnya dikaitkan dengan kesejahteraan dan kesehatan rakyat dikaitkan dengan penggunaan narkotika secara benar dan akan merusak masyarakat, bangsa dan negara apabila digunakan secara salah. Merumuskan landasan filosofis dalam “menimbang” dikaitkan dengan landasan material konstitusional tidaklah semudah mengatakannya. Dalam berbagai pengalaman pembuatan undang-undang di DPR, patokan anggota DPR dalam merumuskan secara runtut “menimbang” suatu undang-undang dimulai dengan Pancasila, kemudian UUD 1945, dan nilai-nilai lain yang berlaku di masyarakat dikaitkan dengan substansi undang-undang yang dibentuk tersebut.  Sebagai contoh adalah “menimbang” UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang berbunyi:

a.bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati, saling menguntungkan, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, seperti yang tersirat di dalam Pancasila dan UUD 1945; b.bahwa sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; c. bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf b, Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah

melaksanakan hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional maupun internasional,  d. bahwa pelaksanaan kegiatan hubungan luar negeri, baik regional maupun internasional, melalui forum bilateral atau multilateral, diabadikan pada kepentingan nasional berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif; e. bahwa dengan makin meningkatnya hubungan luar negeri dan agar prinsip politik luar negeri sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf d dapat tetap terjaga, maka penyelenggaraan hubungan luar negeri perlu diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam suatu undang-undang; f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk (seharusnya membentuk)Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri.

 Pertimbangan huruf a dan b, merupakan konstatasi fakta filosofis yang melatar belakangi perlunya dibentuk UU Hubungan Luar Negeri. Pertimbangan huruf c dan d merupakan konstatasi fakta sosiologis, sedangkan pertimbangan huruf e merupakan konstatsi fakta sosiologis dan yuridis, sedangkan pertimbangan huruf f merupakan konstatsi fakta yuridis.  Bagi substansi yang tidak berkaitan langsung dengan Pancasila dan UUD 1945 maka Pembentuk UU (dalam hal ini Perancang Peraturan Perundang- undangan)  harus menerjemahkan dan menginterpretasikan sila-sila dalam Pancasila dan Pasal-pasal 

Page 11: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Batang Tubuh UUD1945 yang merupakan aturan (hukum) dasar yang dapat direfleksikan ke dalam substansi suatu RUU dengan suatu rumusan kalimat di “menimbang”,  sebagaimana contoh dalam UU No. 22/1997 tentang Narkotika yang landasan filosofisnya tidak mungkin mencantumkan kata “Pancasila” secara utuh, tetapi hanya diambil hakekat atau esensi dari salah satu silanya yaitu tentang kesejahteraan dan kesehatan rakyat secara umum. Latar belakang filosofis dalam “menimbang” suatu undang-undang dirumuskan dalam kalimat -kalimat yang menyuratkan atau menyiratkan nilai-nilai “keadilan”,“persamaan”, “kebenaran”, “kebaikan”, “keburukan” yang hidup dalam masyarak atau yang berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan asas-asas atau prinsip-prinsip yang tersurat atau tersirat dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.  Latar belakang sosiologis     dalam “menimbang” suatu undang-undang dirumuskan dalam kalimat -kalimat yang isinya memberikan indikasi (konstatasi) fakta, keadaan nyata atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.  Latar belakang yuridis dalam “menimbang” suatu undang-undang dirumuskan dalam “menimbang”  dalam kalimat kalimat yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi yang diatur dalam UU (RUU) yang bersangkutan biasanya dirumuskan pada pertimbangan terakhir dan pertimbangan sebelum pertimbangan terakhir.Dengan memahami sejarah dan isi UUD 1945 dan Perubahannya diharapkan para Perancang dalam membuat peraturan perundang-undangan baik secara prosedural maupun

substansial tidak akan bertentangan dengan Pancasiladan UUD 1945.   Foot Note :Dalam Pasal 1 TAP MPR No. III/MPR/2000 dikatakan bahwa :

1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan

2. Sumber hukum terdiri atas hukum tertulis dan tidak tertulis.

3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh UUD 1945.  

Pada masa Orde Baru, berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 yang dicabut oleh TAP MPR No. III/MPR/2000 dikatakan bahwa :“Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum ”. Ketentuan ini telah menimbulkan kontroversi karena dapat ditapsirkan bahwa hukum agama pun bersumber dari Pancasila. Oleh karena itu dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 dalam ketentuan ini diubah menjadi “Pancasila dan UUD 1945 adalah sumber hukum dasar nasional”. salah satu alasan penghapusan Penjelasan UUD 1945 adalah :

Page 12: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

apabila substansi atau norma hukum yang ada dalam Penjelasan diangkat ke dalam Batang Tubuh UUD 1945, maka Penjelasan tersebut dihapus. Alasan ini dikemukakan oleh beberapa Anggota MPR dalam SidangUmum MPR, yang dimuat dalam Buku Kedua Jilid 6 tentang Risalah Rapat Badan Pekerja Panitia Ad Hoc III Sidang Umum MPR-RI Tahun 1999, yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI, Jakarta, 1999, hal.4-12. Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22 D dikatakan:

1. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

2. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

 Peraturan Bank Indonesia adalah :ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan mengikat setiap orang atau badan dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”,  jisPasal 2 ayat (5), Pasal 3 ayat

(2), Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), Pasal14 ayat (5), Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 23 ayat(5), Pasal 25 ayat (2), dan Pasal 30 ayat (3), Bank Indonesia dapat mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang merupakan bentuk/jenis peraturanperundang-undangan karena isinya mengikat secara umum dan diundangkan di Lembaran Negara Republik Indonesia. UU No. 23/1999 ini dikeluarkan pada masa BJ Habibie menjadi Presiden. Pembentuk peraturan perundang-undangan tingkat Daerah pada Angka 9 s/d 13 didasarkan pada Pasal 18ayat (1) huruf d, jis Pasal 69, 70, 71, 72, 73, 113, dan 114 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini dikeluarkan pada masa BJ Habibie menjadi Presiden, sebagai pelaksanaan dari TAP MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan SumberDaya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dasar hukum pembentukan peraturan perundang-undangan Daerah di samping TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (untuk Perda), Pasal 72 UU No. 22/1999 untuk Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan (regeling), dan Pasal 104 dan Pasal 105 UU No. 22/1999 sertaPasal 3 ayat (7) huruf c untuk Peraturan Desa (yang sejenis misalnya Nagari).Menurut penulis Peraturan Desa merupakan jenis peraturan perundang-undangan karena dibuat oleh Badan Perwakilan Desa yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat desa.

Page 13: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Pemisahan/Pembagian KekuasaanHampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau tergambar keberadaan suatu pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/undang-undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang (eksekutif/administratif) dan kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu negara harus ada pemisahan kekuasaan anatar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of Power). Montesquieu adalah hakim Perancis yang melarikan diri ke Inggris dan gagasan pemisahan kekuasaan saat ia melihat praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas bahwa materi muatan hampir setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan politik di Inggris, walaupun Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis.  Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu:

1). Kekuasaan perundang-undangan 2). Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang mencakup pemerintahan dan peradilan, dan 3). Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara atau warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari berbagai orang-orang atau kelompok.  John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain. Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu

hal urusan dalam negeri” kiranya Locke lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undang-undang.  Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu peraturan/undang-undang.  Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan sebagai tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara. Berbeda pandangan adalah C. Van Vollenhoven dalam buku “Staatsrecht Over Zee” yang menyatakan dalam suatu negara ada 4 (empat) macam kekuasaan yaitu:

 1). Pemerintahan (Bestuur), 2).Perundang-undangan, 3).Kepolisian dan, 4).Pengadilan  Van Vollenhoven pada dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua bagian yaitu:

1. Kepolisian sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan jika diperlukan dengan tindakan memaksa (toezicht en dwang/pengawasan dan pemaksaan) dan

Page 14: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

2. Pemerintahan yang tidak mengandung unsur mengawasi dan memaksa. Apabila dikaitkan dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu kejaksaan (kekuasaan menuntut perkara pidana) sebagai kekuasaan yang ada di antara kekuasaan kepolisian dan pengadilan di muka hakim. Hal ini karena secara jelas kekuasaan kejaksaan terpisah dari kekuasaan kepolisian dan pengadilan.  

Prosedur Serta Sistem Perubahan Undang-Undang DasarPada umumnya, undang-undang dasar atau konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu :

1. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganegara. Dalam Undang Undang Dasar 1945, hal ini diantaranya terdapat pada Pasal 27, Pasl 28, Pasal 29, Pasal 31,dan pasal 37.

2. ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifaf fundamental. Untuk mencapai tujuan negara, sidang BUPK telah sepakat untuk menetapkan adanya enam lembaga dalam Undang-Undang Dasar. Dalam UUD 1945 juga ditetapkan bentuk pemerintahan, yaitu Republik. Materi ini diatur dalam Pasal 1, 2, 4, 6, 7, 8, 16, 17, 18, 19, 23, dan 24.

3. adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas serta wewenang ketatanegaraan terdapat dalam pasal 3, 5, 10, 11, 23, 32, 34, 37.

Ahli-ahli hukum tata negara dan atau hukum konstitusi mengklasifikasikan kosntitusi dalam beberapa golongan. Berdasarkan klasifikasi itu, Penulis menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 termasuk konstitusi tertulis dalam arti dituangkan dalam sebuah dokumen (writen or documentary constitution), konstitusi derajat tinggi (supreme constitution), konstitusi kesatuan, karena Negara Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, dan konstitusinya menganut sistem pemerintahan campuran. Undang-Undang Dasar 1945 yang dapat disebut juga dengan hukum dasar (fundamental law) juga digolongkan Penulis dalam konstitusi yang ‘rigid’ (halaman 88), yang mempunyai ciri-ciri pokok :

mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain

hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa 

Prosedur Serta Sistem Perubahan Undang-Undang Dasar Apabila prosedur perubahan konstitusi-konstitusi yang termasuk rijid digolong-golongkan, diperoleh empat macam cara perubahan :

perubahan konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislatif, tetapi menurut pembatasan-pembatasan tertentu.

perubahan konstitusi dilakukan oleh rakyat melelui referendum

perubahan konstitusi yang dilakukan oleh sejumlah negara-negara bagian.

Page 15: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

perubahan konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga-negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

 Perubahan Undang-Undang Dasar 1945Perubahan Undang-Undang Dasar diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :

Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir

Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir Dari pasal tersebut, perlu di kemukakan bahwa: pertama, Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa menetapkan serta mengubah Undang-Undang Dasar berada di tangan satu lembaga-negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga-negara ini menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 diberi kekuasaan melaksanakan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas mengatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Kedaulatan yang berada di tangan rakyat ini dilakukan hanya dan oleh satu badan atau lembaga-negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Itulah sebabnya, oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tentang Sistem Pemerintahan Negara dikatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. 

Kedua, menurut sistem ketatanegaraan seperti dianut Undang-Undang Dasar, MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai tugas serta wewenang tertentu. Salah satu wewenangnya seperti dinyatakan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata-Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah mengubah Undang-Undang Dasar, disamping terdapat kewenangan yang lain yang tidak terdapat dalam Undang-Undang dasar 1945. Menurut pendapat Penulis, wewenang ini merupakan tambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. (halaman 146)Ketetapan MPR adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang kedudukan dan derajatnya berada dibawah Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, Penulis berpendapat bahwa tidak tepat apabila prosedur penetapan UUD tersebut diatur dalam ketetapan MPR. Ketiga, mengenai prosedur pengambilan keputusan tentang perubahan UUD yang tidak melalui Pasal 37 UUD. Dalam Pasal 37 UUD diatur bahwa perubahan Undang-Undang Dasar sah apabila diterima oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Namun, di dalam Ketatapan MPR-RI Nomor I/MPR/1983 juga menentukan bahwa pengambilan keputusan secara lain, yaitu mufakat disamping dengan suara terbanyak. Penulis mengemukakan bahwa suara terbanyak yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 3 merupakan lex genaralis, sedangkan Pasal 37 merupakan lex specialis.

Page 16: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

 Mengenai arti “perubahan” dalam pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, dikemukakan bahwa “perubahan” yang juga disebut dengan “amandemen” tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam undang-undang dasar, tetapi juga “mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya”.) wewenang MPR untuk mengubah Undang-Undang dasar termasuk dalam lingkup Hukum Tata Negara Indonesia dan atau Hukum Konstitusi Indonesia. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan Undang-Undang Dasar adalah masalah hukum. Namun, MPR sebagai pelaksana kekuasaan (dalam) negara dapat memaksa pihak lain untuk mematuhi keputusan-keputusannya. Dengan demikian, kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar juga merupakan bidang studi ilmu politik. Jadi, wewenang mengubah Undang-Undang Dasar adalah masalah hukum yang mengandung aspek politik. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat ketentuan tentang pembatasan dalam mengubah undang-undang dasarnya. Namun demikian, sulit dinyatakan bahwa tanpa adanya perturan tentang pembatasan, berarti semua bagian dari konstitusi dapat diubah. Hal itu juga belum berarti dapat diubahnya bagian-bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945. Ditinjau dari segi politik, dapat diubah atau tidaknya bagian-bagian tertentu dari

Undang-Undang Dasar 1945 bergantung kepada baik kekuatan-kekuatan politik yang terdapat dalam masyarakat maupun yang terdapat dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat.  ada dua macam kemungkinan jalan yang dapat ditempuh untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 :

1. Usul perubahan undang-undang dasar yang diajukan oleh Dewan Perwakilan RakyatApabila beberapa anggota DPR berpendapat perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, maka mereka dapat mengajukan usul perubahan dalam sidang-sidang DPR. Usulan tersebut dibahas dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila usulan diterima, usulan disampaikan dalam bentuk memorandum ke Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk selanjutnya disiapkan oleh Badan Pekerja MPR, dengan membentuk Panitia Negara yang bertugas mempelajari dan mempersiapkan rancangan keputusan tentang perubahan, dan hasilnya dilaporkan kembali ke Badan Pekerja MPR. Laporan yang diterima dari panitia tadi kemudian dipelajari dan dibahas oleh Badan Pekerja MPR. Badan Pekerja MPR dapat menolak atau menerima memorandum DPR. Memorandum yang diterima oleh Badan Pekerja MPR disampaikan dalam Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR, untuk selanjutnya dibahas. Perubahan UUD 1945

Page 17: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

sah bila disetujui oleh ¾ dari peserta rapat majelis yang memenuhi kuorum 

2. Usul perubahan undang-undang dasar yang diajukan oleh Majelis Permusyawaratan RakyatAnggota-anggota MPR (45 orang) mengajukan usul perubahan UUD ke Majelis Permusyawaratan Rakyat. Apabila diterima, usulan diteruskan ke Badan Pekerja MPR untuk dipersiapkan. Badan Pekerja MPR membentuk Panitia Negara guna mempelajari dan mempersiapkan rancangan keputusan, dan hasilnya dilaporkan ke badan Pekerja MPR. Usulan perubahan disampaikan dalam Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR, untuk selanjutnya dibahas. Perubahan UUD 1945 sah bila disetujui oleh ¾ dari peserta rapat majelis yang memenuhi kuorum.

Tugas untuk menetapkan UUD serta wewenang untuk mengubah UUD berada dalam satu lembaga, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Walaupun demkian, dengan dicantumkannya tugas untuk menetapkan UUD dalam satu pasal, dan bab tersendiri mempunyai arti bahwa penetapan Undang-Undang dasar hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali apabila Undang-Undang Dasar yang sedang berlaku diganti dengan yang baru. Dengan demikian, MPR menetapkan Undang-Undang Dasar dalam kedudukannya sebagai Konstituante atau

Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar dan bukan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, Pasal 37 dan Pasal 3 berisi dua kekuasaan MPR yang terpisah. Tugas MPR adalah untuk menetapkan UUD dan wewenang MPR untuk mengubah UUD. Menetapkan UUD dalam Pasal 3 tersebut berarti juga membuat Undang-Undang dasar yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Oleh karena itu, perubahan Undang-Undang Dasar tidak mungkin diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk Undang-Undang Dasar. Ini berarti bahwa dalam Negara republik Indonesia hanya dimungkinkan adanya satu Undang-Undang Dasar. (halaman 234) Di samping itu, perubahan undang-undang dasar tidak dapat dituangkan atau diatur dalam Ketetapan MPR karena Ketetapan MPR merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat/ditetapkan oleh MPR yang derajatnya lebih rendah dari Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, agar perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 merupakan “lampiran” dari padanya. Dengan demikian, Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 tetap seperti yang dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan undang-undang dasar yang

Page 18: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

tercantumsebagai”lampiran” merupakan satu kesatuan dengan pembukaan dan Undang-Undang Dasarnya dan tidak dapat dipisahkan.Dikarenakan baik bentuk Undang-Undang Dasar maupun Ketetapan MPR tidak mungkin dipergunakan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk menuangkan perubahan Undag-Undang dasar, maka harus diciptakan ‘bentuk baru” atau “tidak diberi bentuk sama sekali”. Dalam hubungan ini dapat dipikirkan ‘bentuk baru’ dengan nama : Perubahan atau Amandeman. Dengan demikian, apabila Undang-Undang dasar 1945 diubah, maka perubahan tersebut merupakan ‘lampiran’ dari padanya dan dapat diberi nama Perubahan/Amandeman Pertama, Perubahan/Amandemen Kedua, Perubahan/Amandemen Ketiga, dan seterusnya. Dalam hubungan ini Penulis cenderaung menggunakan istilah amandeman.Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur keharusan untuk mengumumkan keputusan-keputusan MPR, termasuk amandemen. Namun, agar keputusan-keputusan MPR dapat segera diketahui rakyat Indonedia, maka seharusnya amandeman setelah diumumkan dalam Lembaran Negara, secara serentak diumumkan melalui media masa. Karena belum ada atruannya, perlu diadakan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.  

Sehubungan dengan pelaksanaan wewenang mengubah Undang-Undang Dasar, pembicaraan tentang perubahan undang-undang dasar harus dilakukan dalam sidang-sidang dengan acara khusus untuk itu agar memberi kesempatan kepada para anggota MPR untuk mempelajari pikiran-pikiran yang hidup di kalangan masyarakat. Dengan kata lain, segala hal yang dikemukakan dalam sidang-sidang MPR akan mempunyai landasan yang cukup kuat. Sebaliknya, Keputusan MPR yang ditetapkan tanpa prosedur khusus dimaksud harus dinyatakan tidak sah karena usul perubahan undang-undang dasar tersebut tidak diberitahukan lebih dahulu kepada para anggota MPR sehingga tidak mendapat cukup kesempatan untuk mempelajari masak-masak usul tersebut.

Penetapan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik IndonesiaDalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 resmi disahkan berlaku sebagai konstitusi negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan[1]. Padahal, apabila kita mengkaji asal-usul konstitusi, secara praktis konstitusi disusun dan diadopsi karena rakyat ingin membuat permulaan yang baru, sejauh berkaitan dengan sistem pemerintahan

Page 19: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

mereka[2]. Pada saat itu, Undang-Undang Dasar 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. Atau dengan kata lain, Undang-Undang Dasar 1945 hanya ditempatkan sebagai alat kelengkapan suatu negara yang baru saja menyatakan kemerdekaanya, oleh karena itu Undang-Undang Dasar 1945 dikenal juga dengan Undang-Undang Dasar Proklamasi. Hal ini juga bisa terlihat dari pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia sebagai hasil perjuangann politik di masa lampau yang termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara 1945. Seperti telah sebutkan di atas, Penulis mengemukakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya memang dimaksudkan sebagai Undang-Undang sementara yang menurut istilah Ir. Soekarno, sebagai Ketua PPKI, merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Pernyataan “kesementaraan” ini juga dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Pasal I dan II Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri yang berbunyi

1. Dalam enam bulan sesudah ahirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini

2. Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.

 Adanya ketentuan Pasal II Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai Undang-Undang Dasar 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada berdasarkan Undag-Undang Dasar 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., sebagai seorang guru besar hukum tata negara yang dikenal sangat kritis, terus menerus menyampaikan pendapatnya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 harus lebih dulu ditetapkan menurut ketentuan pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, barulah kemudian diubah sesuai ketentuan Pasal 37. Prof. Dr. H. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H., dalam bukunya tersebut tidak mengemukakan prosedur untuk menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebelum diadakan perubahan. Untuk permasalahan ini, Penyusun memilih berpendapat untuk setuju dengan pendapat Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H. dan pendapat di kalangan akademis yang menyatakan bahwa sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dapat diadakan perubahan, terlebih dulu harus ditetapkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Page 20: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Undang-Undang 1945 Sebagai Konstitusi Yang LuwesSetiap negara yang ada di dunia mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Apabila semua konstitusi-konsitusi semua negara diperbandingkan satu dengan yang lain, dapat dilakukan penggolongan atau klasifikasi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Ahli-ahli hukum tata negara dan atau hukum konstitusi berusaha mengadakan klasifikasi yang menurut anggapan mereka dapat dipertanggung jawabkan. Salah satu metode pengklasifikasian konstitusi dimaksud adalah klasifikasi menurut metode yang dengannya konstitusi dapat diamandemen. Metode pengklasifikasian ini biasanya digambarkan sebagai pengklasifikasian ke dalam konstitusi yang fleksibel dan konstitusi yang kaku (rigid), sebuah pengklasifikasian yang berasal dari Lord Bryce dan dijelaskan dalam bukunya Studies in History of Jurisprudence. Ketika tidak ada proses khusus yang diperlukan untuk mengandemen Konstitusi, maka konstitusi itu disebut fleksibel, namun sebaliknya, apabila dalam mengandemen konstitusi diperlukan proses khusus maka konstitusi itu disebut kaku. Berbeda dengan pendapat Penulis yang menggolongkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam konstitusi yang rigid, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengemukakan bahwa secara teoritis dan normatif Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi yang bersifat ‘fleksibel’ atau tidak ‘rigid’. Undang-Undang Dasar 1945 hanya memuat ketentuan yang bersifat umum, maka kosntitusi itu kadang-kadang disebut ‘soepel’ dalam arti lentur dalam penafsirannya. Makin ringkas susunan suatu Undang-Undang Dasar, maka makin ‘soepel’ dan ‘fleksibel’ penafsiran Undang-Undang Dasar itu sebagai hukum dasar.

Dalam kaitan ini, Penyusun sependapat dengan pendapat terakhir. Empat perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945, yaitu ada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang dilaksanakan ‘tanpa’ proses khusus menambah keyakinan Penyusun bahwa Undang-Undang Dasar 1945 termasuk dalam klasifikasi konstitusi yang flexible atau tidak kaku (rigid).

Kelemahan Undang-Undang Dasar 1945Terlepas dari persoalan apakah Undang-Undang Dasar 1945 masih bersifat sementara ataukah dianggap sebagai Undang-Undang Dasar tetap, Undang-Undang Dasar 1945 memiliki berbagai kelemahan yang melekat di dalamnya. Berbagai kelemahan itu menyebabkan kegagalan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penjaga dasar pelaksanaan prisnsip demokrasi dan negara berdasar atas hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia :

Struktur Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, disamping hak konstitusioal khusus (hak prerogratif)

Struktur Undang-Undang Dasar 1945 tidak cukup memuat sistem check and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang.

Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi,

Page 21: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

misalnya tentang pemilihan kembali presiden, “kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” yang dapat memandang Dewan Perwakilan Rakyat tidak melakukan kedaulatan rakyat, dan ketentuan lainnya.

Sruktur Undang-Undang Dasar 1945 banyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik) tanpa disertai arahan tertentu materi muatan yang harus dipedomani. Akibatnya, dapat terjadi perbedaan-perbedaan antara undang-undang organik yang serupa atau obyek yang sama, meskipun sama-sama dibuat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.

Tidak ada kelaziman Undang-Udang Dasar memiliki penjelasan yang resmi. Apalagi kemudian, baik secara hukum atau kenyataan, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Padahal, Penjelasan Undang-Undang 1945 bukan hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 (BPUPKI dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo.  Disamping itu, dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga dijumpai beberapa kekosongan : muatan tentang hak asasi manusia yang sangat terbatas, tidak ada ketentuan yang mengatur pembatasan kembali sebagai presiden, tidak ada aturan pembatasan waktu pengesahan RUU yang telah disetujuai DPR. Sebagi akibat dari berbagai kelemahan tersebut, pengalaman praktis politik selama orde lama dan orde baru, Undang-Undang

dasar 1945 telah menjadi instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan berkembangnya otoritarianisme yang menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kedudukan MPR Dan Perubahan UUD 1945Kedudukan Majelis Permusyawaratan RakyatSebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada saat Penulis menyusun buku berkenaan, Majelis Permus Sekarang, dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah Perubahan Kempat, Organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga yang sederajad levelnya dengan lembaga-lembaga lain seperti DPR, DPD, Priseden/Wakil Presiden, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam fungsinya, organ MPR dapat dikatakan bukanlah organ yang yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas, MPR sebagai lembaga negara memang harus ada, tetap dalam arti yang aktual atau nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada pada saat kewenangan atau fungsinya sedang dilaksanakan. Kewenangan itu adalah mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, memberhentikan priseden atau wakil presiden untuk mengisi lowongan jabatan presiden, dan melantik presiden dan/atau wakil presiden.yawaratan Rakyat mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga inilah presiden, sebagai

Page 22: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

kepala negara sekaligus kepala pemerintahan bertunduk dan bertanggung jawab. Dalam lembaga ini pula kedaulatan rakyat Indonesia telah terjelma seluruhnya, dan lembaga ini pula yang dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dari lembaga tertinggi MPR inilah, mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya sesuai prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai MPR dirumuskan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri dari atas DPR dan DPD, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD. Kewenangan MPR tersebut di atas tidak tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR atau DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil menganai keempat hal tersebut sama sekali bukanlah sidang gabungan antara DPR dan DPD, melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri Perubahan Undang-Undang Dasar 1945Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Hal ini membuktikan bahwa bangsa dan negara Indonesia, pada akhirnya, dapat menerima gagasan yang disuarakan oleh Penulis bahwa perubahan Undang-Undang Dasar merupakan suatu keniscayaan. Faktor utama yang menentukan pembaharuan Undang-Undang Dasar adalah berbagai (pembaharuan) keadaan di masyaraka. Dorongan demokratisasi, pelaksanaan paham negara

kesejahteraan, perubahan pola dan sistem ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjadi pendorong utama pembaharuan Undang-Undang dasar. Demikian pula peranan Undang-Undang Dasar itu sendiri juga sangat tergantung pada masyarakatnya. Hanya masyarakat yang berkehendak dan mempunyai tradisi menghormati dan menjunjung tinggi Undang-Undang Dasar (konstitusi pada umumnya), yang akan mennetukan Undang-Undang dasar tersebut akan dijalankan sebagaimana mestinya. Pada dasarnya, perubahan konstitusi atau undang-undang dasar harus berlandaskan pada nilai-nilai paradigmatik yang timbul dari tuntutan perubahan itu sendiri. Paradigma itu mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip penting yang mendasar atau jiwa perubahan konstitusi. Kemana perubahan Undang-Undang Dasar mau dibawa, sangat tergantung pada paragdima yang dominan saat itu. Pembaharuan Undang-Undang Dasar dimanapaun di dunia ini terutama tidak ditentukan oleh tata cara resmi (formal) yang harus dilalui. Pembaharuan Undang-Undang Dasar dapat terjadi dengan berbagai cara, selain dengan tata cara formal, pembaharuan UUD dapat terjadi melalui hukum adat, konvensi, putusan hakim-atau peraturan perundang-undangan biasa, seperti ketetapan MPR atau undang-undang. Tata cara resmi Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam Pasal 37. Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam acara yang membahas perubahan UUD 1945 di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (15/4) menyampaikan bahwa jika ingin mengubah UUD 1945 secara komprehensif yang harus dilakukan adalah

Page 23: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

merubah pasal 37 UUD 1945. Menurut Mahfud dalam pasal 37 UUD 1945 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa perubahan hanya dilakukan pada pasal-pasal yang dianggap perlu diubah dan tidak secara satu paket yang komprehensif. Selanjutnya, perubahan pasal 37 UUD 1945 dimaksud diarahkan pada dua alternatif yakni : pertama, perubahan UUD ditetapkan oleh MPR tetapi naskahnya disiapkan oleh sebuah komisi negara yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD. MPR tinggal melakukan pemungutan suara tanpa membahas lagi rancangan yang telah disiapkan oleh komisi negara tersebut. Komisi negara ini, harus terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan. Komisi negara dapat dibentuk oleh MPR yang anggotanya dapat diusulkan oleh presiden, masyarakat, dan lembaga-lembaga lainnya Kedua, perubahan UUD dapat dilakukan secara referendum atas rancangan perubahan yang disiapkan oleh komisi negara yang dibentuk oleh presiden. MPR harus mengesahkan hasil referendum tanpa pemungutan suara lagi. Jika alternatif ini yang dipilih maka bersamaan dengan perubahan atas pasal 37 harus pula diubah ketentuan pasal 2 ayat (3) yang menentukan bahwa segala keputusan MPR ditetapkan berdasarkan suara yang terbanyak agar terbuka kemungkinan untuk MPR langsung menyetujui hasil referendum. 

Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia

STUDI SOSIO-LEGAL ATAS KONSTITUANTE 1956-1959 

A. Langkah-Langkah menuju Pemerintahan Konstitusional

Buku ini merupakan hasil studi disertasi dari Adnan Buyung Nasution mengenai Konstituante Indonesia yang bersidang sejak tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 untuk menyusun undang-undang dasar yang definitive bagi negara Republik Indonesia, namun seperti yang kita ketahui bahwa setelah bersidang hampir selama 3 tahun dan juga tugasnya belum selesai, Konstituante ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Pemikiran dasar mengenai pembentukan Konstituante ini adalah untuk menyusun UUD yang menjamin kebebasan politik dalam kerangka negara konstitusional setelah Indonesia mencapai kemerdekaan politik dari penjajah asing. Seluruh usaha yang dilakukan Konstituante adalah merupakan wujud lain dari kehendak untuk mencapai kemerdekaan, yaitu untuk memperoleh kebebasan ke dalam, yaitu kebebasan politik bagi warga negara Indonesia di dalam negara yang mereka miliki. Diharapkan undang-undang dasar yang akan dihasilkan Konstituante dapat menjamin kebebasan politik dengan pembentukan negara konstitusional. Konstituante merupakan suatu badan pembuat undang-undang dasar yang dipilih oleh rakyat atau dengan kata

Page 24: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

lain Konstituante adalah (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante ini merupakan suatu hasil pemilihan umum rakyat Indonesia pada tanggal 15 Desember 1955 setelah sebelumnya pada tanggal 29 September 1955 rakyat Indonesia juga telah melaksanakan pemilihan umum yang bertujuan untuk membentuk badan perwakilan. Pemilu yang dilaksanakan untuk pembentukan Konstituante ini menunjukan partisipasi yang tinggi dari rakyat Indonesia dalam menggunakan hak pilihnya, yaitu hampir 90 % dari seluruh pemilih yang terdaftar memberikan suaranya untuk pemilu ini. Tingkat partisipasi yang tinggi dari rakyat Indonesia pada saat itu disebabkan antara lain tekanan-tekanan sosial di kalangan rakyat dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat. Sebagai hasil pemilu dan merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat dalam penyusunan suatu undang-undang dasar, maka bisa dikatakan bahwa Konstituante merupakan salah satu perwujudan dari aspirasi seluruh rakyat dalam usahanya membentuk suatu negara yang konstitusional secara bebas sebagai perwujudan kebebasan politiknya. Langkah – langkah yang dilakukan guna perwujudan suatu pemerintahan konstitusional pada saat awal kemerdekaan Negara Indonesia telah dilakukan oleh para pemimpin bangsa pada saat itu, yaitu

1. Memperluas partisipasi politikpada saat itu Sjahrir sebagai pemimpin gerakan bawah tanah menganggap bahwa pemerintah

Indonesia yang masih muda masih tercemar oleh fasisme Jepang, oleh karena itu ia menuntut untuk mendirikan pemerintahan yang demokratis, dengan melibatkan rakyat banyak dalam lingkungan pemerintahan, yaitu dengan membangun dewan-dewan perwakilan rakyat dari desa hingga ke puncak pemerintahan; negara Republik Indonesia harus dijadikan alat perjuangan demokratis, yaitu dengan membentuk undang-undang dasardemorasi yang tulen yang menerapkan sebagai pokok segala susunan negara adalah hak-hak pokok rakyat, yaitu kemerdekaan berpikir, berbicara, turut membentukdan menentukan susunan dan urusan negara,hak memilih dan dipilih untuk segala badan yang mengurus negara;

2. Memberi kekuasaan legislatif kepada wakil-wakil rakyatlangkah penting yang diambil menuju demokrasi adalah dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X yang memutuskan bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. 

3. Menolak pemerintahan otoriteryaitu seruan Sjahrir supaya kebebasan dan demokrasi dijadikan isi perjuangan nasional Indonesia menuju kemerdekaan dengan penolakan terhadap pemerintahan yang otoriter sebagai pengaruh dari penjajahan Jepang atas pendidikan dan propagandanya, yang mungkin tertanam dalam jiwa rakyat dan para pemimpin nasional 

4. Tekad untuk memelihara kemerdekaan ke luar

Page 25: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membuat kesadaran bangsa Indonesia memuncak menjadi kemauan yang bulat untuk mewujudkan kedaulatannya dengan mempertahankan kemerdekaan yang telah diprolamasikan itu dari negara-negara penjajah yang ingin menguasai kembali negara Indonesia 

5. Tekad untuk menjamin kebebasan ke dalamyaitu memberikan kepada rakyat Indonesia untuk menyatakan pikirannya secara merdeka, merdeka memilih keyakinan agamanya, bebas dari sewenang-wenang, bebas dari kekurangan, yang akan diwujudkan dengan pelaksanaan pemilu yang hasilnya akan terwujud suatu pemerintah dan undang-undang dasar yang sesuai dengan kehendak rakyat banyak. 

6. Tekad untuk menjamin asas-asas universal pemerintahan yang baikdengan adanya pengakuan kemerdekaan negara Indonesia di dunia internasional, maka Indonesia akan mengambil alih semua tugas yang sesuai dengan statusnya sebagai negara yang merdeka 

7. Membentuk sistem multipartailangkah untuk menegakkan demokrasi dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan maklumat wakil presiden Yang ditandatangani Hatta dengan menyerukan pembentukan partai-partai politik yang akan menghapuskan negara yang berpartai tunggal 

8. Menetapkan pertanggungjawaban pemerintah kepada wakil rakyat

langkah selanjutnya adalah pembentukan kabinet parlementer, yaitu bahwa menteri-menteri bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai perwujudan dari wakil rakyat 

9. Pengakuan terhadap asas pemilihan bebaspemerintah juga mengumukan bahwa penyelenggaraan pemilu akan dapat memilih wakil-wakil rakyat secara bebas yang akan dapat mengambil bagiam dalam menjalankan politik pemerintahan dan dalam menentukan garis-garis besar kebijakan Suatu negara yang konstitusional adalah suatu negara yang penguasanya perlu dibatasi yaitu dengan hukum, sehingga kekuasaannya harus diperinci secara tegas dan jelas, oleh karena itu suatu konstitusionalisme (negara dengan konstitusioanal) mendahului dari konstitusi itu sendiri. Menurut Sri Soemantri bahwa pengertian konstitusionalisme berasal dari konstitusi yang berarti suatu kerangka dari suatu masyarakat politik. Konstitusionalisme sebagai suatu paham bisa dikatakan sebagai hal ihwal konstitusi. Oleh karena setiap negara mempunyai konstitusi dan UUD , maka negara dan konstitusi merupakan dua institusi yang tidak dapat dipatahkan satu sama lain. Sedangkan dalam konteks mengenai pembentukan konstitusi suatu negara ada beberapa bentuk yang yang dapat dibedakan sesuai dengan bentuk negara tersebut, yaitu :

1. Spontaneous State, Konstitusinya disebut Revolutionary Constitustion

Page 26: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Dalam hal ini pengertiannya adalah negara yang timbul atau terbentuk akibat dari suatu revolusi, oleh karena konstitusi yang dihasilkan bersifat revolusioner, misalnya Konstitusi Amerika dan Konstitusi Perancis 

2. Negotiated State, Konstitusinya disebut Parlementarian Constitutionialah negara yang berdasarkan pada kebenaran relative, dan bukan berdasarkan absolute waarheid. Konstitusi dengan bentuk ini duhasilkan dari suatu negosiasi dari pihak-pihak pembentuk konstitusi tersebut, masing-masing pihak dalam pembuatan konstitusi ini ingin memperoleh keuntungan sebanyak mungkin an tidak lagi mencari kebenaran. Adanya parlemen yang tercermin dalam konstitusi negara yang bersangkutan merupakan cirri negotiated state. Oleh karena itu konstitusinya disebut parlementarian constitution. 

3. Derivative State, Konstitusinya disebut Neo National Constitutionadalah negara yang konstitusinya mengambil pengalaman dari negara-negara yang sudah ada (neo-national).Dalam negara semacam ini nasionalisme berdasarkan pada kolonialisme, yaitu nasionalisme yang timbul karena penjajahan. Oleh karena itu konstitusinya harus disesuaikan juga dengan kondisi dan keadaan negara tersebut dan tidak semata-mata meniru dari negara bekas penjajahnya. Indonesia dalam hal ini merupakan negara yang menggunakan konstitusi dengan model seperti ini. Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa asing juga menggunakan Konstitusi sebagai dasar negara dalam menjalankan roda

pemerintahan yang terbentuk pada saat itu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945 UUD untuk pertama kalinya dijadikan dasar negara Indonesia adalah sebagai hasil dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekeaan yang terbentuk pada saat Indonesia masih dibawah kekuasaan Jepang.  Oleh karena itu pembentukan dan pengesahan Undang Undang Dasar 1945 sebagai Undang Undang Dasar Negara Indonesia dianggap sah karena Undang Undang Dasar ini merupakan hasil dari sebuah revolusi bangsa Indonesia terhadap penjajahan bangsa asing, dan keadaaan pada saat itu memang belum memungkinkan pembentukan Undang Undang dasar yang sesuai dengan aspirasi rakyat Indonesia secara keseluruhan. Walaupun Undang Undang Dasar tersebut hanya dibuat oleh para tokoh bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), tetapi bisa dikatakan juga bahwa tokoh-tokoh itu juga mewakili berbagai elemen yang ada di masyarakat Indonesia pada saat itu, karena mereka mewakili sebagian golongan-golongan dan etnis yang ada di Indonesia. Oleh karena itu sebagai suatu keinginan bersama dari masyarakat, maka konstitusi disusun oleh masyarakat secara bersama-sama baik secara langsung atau melalui perwakilan-perwakilan, dan yang akan membawa aspirasi dari masyarakat yang diwakilinya. Sehingga apabila hal ini dihubungkan dengan pembentukan Undang Undang Dasar 1945, maka hal ini juga bisa dikatakan bahwa “the founding fathers” yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Page 27: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

(BPUPK) merupakan perwakilan dari keinginan masyarakat Indonesia pada saat itu yang masih dalam penjajahan Jepang dan BPUPK ini bisa dikatakan juga sebagai lembaga yang sah pada saat itu untuk membuat sebuah konstitusi atau undang-undang dasar.Tetapi Presiden Soekarno pada saat itu juga menyadari bahwa, walaupun UUD 1945 disusun oleh para tokoh bangsa pada saat itu yang terdiri dari berbagai perwakilan dan golongan yang tergabung dalam BPUPK, UUD 1945 tersebut disusun secara darurat dan merupakan pokok-pokoknya saja, sehingga beliau juga mengatakan bahwa UUD 1945 tersebut merupakan UUD yang sifatnya sementara.  Oleh karena itu untuk bangsa Indonesia yang baru saja merdeka masih membutuhkan Undang Undang Dasar yang sifatnya tetap, yang disusun oleh segenap aspirasi rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum yaitu suatu badan pembuat undang-undang dasar yang dikenal dengan nama Konstituante. Badan inilah yang diharapkan dapat mencipta sebuah undang-undang dasar atau konstitusi sesuai dengan kondisi sosial bangsa Indonesia pada saat itu.  Dalam Konstituante yang terbentuk tersebut, banyak sekali perdebatan diantara wakil-wakil rakyat yang merupakan wakil dari partai-partai politik yang ada pada saat itu, yaitu tentang materi yang akan terkandung dalam undang-undang dasar yang ingin disusun. Perdebatan yang alot dan yang pada akhirnya menemui jalan buntu untuk masalah dasar negara dan terjadinya pergolakan politik diluar Konstituante, itulah yang mendasar keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri

riwayat Konstituante, yang dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya, dan pemerintah selanjutnya memberlakukan kembali UUD1945 sebagai Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Karena UUD 1945 itulah yang dianggap paling sesuai untuk bangsa Indonesia pada saat itu. Dari perspektif lain dalam pembentukan konstitusi suatu negara ada lima macam bentuk konstitusi seperti yang dikutip oleh Dahlan Thaib dkk dari pendapat Djokosutono dalam bukunya Hukum Tata Negara, yaitu- Konstitusi dibuat oleh raja- Konstitusi dibuat bersama-sama raja dan rakyat- Konstitusi dibuat oleh rakyat seluruhnya- Konstitusi dibuat oleh badan konstituante- Konstitusi dibuat oleh pemerintah dictator Dari aspek hukum, maka konstitusi mempunyai derajat tertinggi (supremasi), dasarnya adalah karena :

1. Konstitusi dibuat oleh badan pembuat undang-undang atau lembaga-lembaga

2. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasal dari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin oleh rakyat, dan ia harus dilaksanakan langsung kepada masyarakat untuk kepentingan mereka

3. dilihat dari sudut hukum yang lebih sempit yaitu bahwa konstitusi ditetapkan oleh lembaga atau badan yang diakui keabsahannya

  B. Pemilihan Umum dan Pembentukan KonstituanteDalam sejarah konstitusi Indonesia Soekarno-lah yang pertama kali menekankan pentingnya sebuah konstitusi disusun oleh badan yang sah yang terdiri atas wakil-wakil

Page 28: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

rakyat, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang menjadi dasar pelaksanaan pemilihan umum bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Maklumat ini merupakan maklumat wakil presiden Republik Indonesia yang pada saat itu memegang tampuk kekuasaan yang terpadu dan berwenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara, untuk merancang dan mensahkan undang-undang, dan menjalankan pemerintahan tanpa campur tangan dari pihak lain. Dengan dikeluarkannya maklumat ini maka tugas dan wewenang pembuatan undang dan garis garis besar haluan negara (kekuasaan legislatif) yang sebelumnya hanya berada di tangan pemerintah, beralih ke Komite Nasional Pusat sampai terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, dimana pekerjaan sehari-hari komite ini dilaksanakan oleh Badan Pekerja.  Setelah mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut, kemudian Pemerintah mengeluarkan pemilu Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang isinya agar rakyat membentuk partai-partai politik untuk dapat memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat. Pada awalnya yang pertama akan diselenggarakan pada bulan Januari 1946 oleh Kabinet Sjahrir sesuai dengan pengumuman pemerintah tangal 3 November 1945 tersebut, tetapi terpaksa tertunda beberapa kali dikarenakan kekacauan akibat revolusi fisik yang terjadi pada kurun waktu tersebut. Pada saat Kabinet Hatta (1949-1950) juga akan diselenggarakan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante dan badan perwakilan, yang diharapkan Konstituante yang akan terbentuk akan dapat menentukan

bentuk negara menjadi suatu negara federasi atau negara kesatuan. Tetapi rencana inipun tidak terlaksana karena terjadinya perkembangan-perkembangan yang ada yang mengarah pada pembentukan suatu negara kesatuan. Akhirnya suatu pemilihan umum yang pertama dapat dilaksanakan pada saat Kabinet Burhanuddin, pemilihan umum untuk membentuk badan perwakilan dilaksanakan pada tanggal 29 September1955 dan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955. Dasar yang digunakan dalam pelaksanaan pemilihan umum ini yaitu Undang-undang pemilu tahun 1953 (UU No. 7 tahun 1953) yang disahkan pada tanggal 1 April 1953, yang rancangannya disusun sejak periode Kabinet Wilopo (1952-1953).  Pendaftaran pemilih dimulai sejak bulan Mei 1954 dan selesai sampai dengan bulan November 1954, dan tercatat sebanyak 43.104.464 rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih.Aspek-aspek yang bisa dilihat dengan pelaksanaan pemilihan umum ini adalah adanya aspek positif dan aspek negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan pemilihan umum tersebut. Aspek positifnya yaitu partisipasi yang tinggi dari rakyat dalam pemilihan umum (91,54 % untuk pemilihan badan perwakilan dan 90 % untuk pemilihan konstituante) dan juga motivasi dari pemilih yaitu karena faktor tekanan-tekanan sosial di kalangan rakyat dan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat.  Sedangkan aspek negatif yang timbul yaitu berkaitan dengan lama dan intensitas kampanye besar-besaran yang

Page 29: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

mulai pada bulan pertama tahun 1953 dan hampir berlangsung selama 3 tahun sampai dengan saat pemilihan umum akan dilakukan. Kampanye yang lama dan intensitas yang tinggi ini menimbulkan polarisasi ideologi yang ada dalam masyarakat yang akhirnya terbentuk 3 kelompok yang masing-masing mendukung falsafah negara tertentu, yaitu

a. Blok Pancasila, yang menganggap bahwa kelima sila – Ketuhanan, Perikemanusian, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial – merupakan dasar Negara

b. Blok Islam , yang mengajukan Islam sebagai dasar Negara

c. Blok Sosial Ekonomi yang mengajukan ekonomi sosialis dan demokrasi sesuai dengan pasal 33 dan pasal 1 UUD 1945 sebagai dasar negara

Pemilihan Umum untuk memilih anggota badan perwakilan dan konstituante tersebut diikuti oleh 34 partai politik yang terdiri dari 4 (empat) partai politik besar, seperti PNI ( Partai Nasional Indonesia). Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), NU (Nahdlatul Ulama) dan PKI (Partai Kominis Indonesia) dan partai-partai politik yang kecil. Seperti telah diuraikan didepan bahwa Konstituante yang merupakan hasil pemilihan umum pada Tahun 1955 telah menghasilkan perwakilan-perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia. Konstituante yang terbentuk ini dilantik pada tanggal 10 November 1956 dan merupakan satu-satunya badan yang berwenang menyusun Undang-Undang Dasar. Anggota Konstituante terdiri dari wakil partai-partai politik yang terpilih dari hasil pemilu sebanyak 514 orang ditambah 30 orang yang mewakili golongan

minoritas ( 12 orang wakil keturunan cina, 12 orang wakil golongan Indo-Eropa, dan 6 orang mewakili wilayah yang masih diduduki Belanda yaitu Irian Barat)  C. Struktur Organisasi KonstituanteDalam UUD Sementara 1950 tidak diatur mengenai struktur organisasi Konstituante, tetapi dalam pasal 136 UUDS 1950 tersebut menetapkan bahwa semua pasal dalam UUD 1950 tentang DPR dapat diterapkan pada Kontituante. Oleh karena itu sesuai prinsip kedaulatan rakyat, Konstituante bebas untuk menetapkan dan untuk menentukan struktur organisasi, kepemimpinan, aparat serta Peraturan Tata Tertib Konstituante (PTTK). Dalam penyusunan Peraturan Tata Tertib Konstituante (PTTK), organ-organ yang terbentuk dalam Konstituante yaitu :

Sidang Plenomerupakan badan tertinggi Konstituante yang membuat keputusan mengenai rancangan undang-undnag dasar dan hal-hal yang berkaitan dengannya, diadakan sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun, dan diadakan secara terbuka untuk umum, kecuali ketua menganggap perlu dialkukan secara tertutup dan keputusannya diambil secara terbuka. 

Pemimpin, yakni ketua dan wakil-wakil ketuaKonstituante dipimpin oleh seorang ketua dan lima orang wakil ketua yang dipilih dari anggota Konstituante dalam rapat terbuka dan para pemimpin tersebut disahkan oleh Presiden. Susunan pemimpin Konstituante yang terpilih pada saat itu adalah sebagai berikut : Wilopo (PNI) dipilih

Page 30: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

sebagai ketua, sedang wakil wakilnya yaitu Prawoto Mangkusasmito (Masyumi), Fatchurahman Kafrawi (NU), Leimena (Parkindo), Sakirman (PKI) dan Hidajat Ratu Aminah (IPKI) 

Panitia Persiapan KonstitusiPanitia ini merupakan salah satu organ penting dalam Konstituante yaitu mewakili semua golongan dan aliran pemikiran yang terdapat di dalam Konstituante. Sidang panitia ini ditutup untuk umum, tetapi terbuka bagi anggota Konstituante yang bukan anggota panitia itu sendiri. Pekerjaan dari Panitia Persiapan Konstitusi dilaporkan kepada sidang pleno. 

Komisi-komisi KonstitusiDalam menjalankan tugasnya Panita Persiapan Konstitusi diberi wewenang untuk membentuk komisi-komisi konstitusi dengan tugas-tugas tertentu dan disahkan oleh sidang pleno Konstitusi.Setiap komisi sekurang-kurangnya terdiri atas tujuh orang anggota yang mewakili berbagai aliran golongan atau pemikiran.

Panitia MusyawarahPanitia musyawarah terdiri atas ketua Konstituante (sebagai anggota sekaligus ketua panitia), wakil-wakil ketua Konstituante dan antara 13 hingga 17 anggota Konstituante lainnya yang mewakili berbagai golongan dan aliran serta diangkat oleh Panitia Persiapan Konstitusi. 

Panitia-panitia lain (pasal 40 (2) PTTK)

Selama sidang-sidang pleno Konstituante beberapa panitia terbentuk untuk membuat kesimpulan dari pembahasan dari masalah tertentu, menyusun konsep bagi keputusan yang akan diambil, dan juga merumuskan pembagian fungsi badan-badan Konstituante. Panitia tambahan yang terbentuk itu antara lain panitia perumus, panitia redaksi, dan panitia istilah 

Sekretariat.Panitia Rumah Tangga

 D. Rangkuman Perdebatan yang Terjadi pada Sidang KonstituanteKonstituante sebagai hasil pemilu merupakan perwakilan dari rakyat Indonesia dari berbagai macam partai politik dan aliran pemikiran yang ada dan tumbuh dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam setiap pembicaraan dan pembahasan materi yang akan dimuat dalam rancangan undang-undang dasar yang akan menjadi tugasnya, seringkali dan bahkan selalu terjadi perdebatan yang sengit diantara wakil-wakil rakyat tersebut. Hal tersebut memang yang diharapkan dalam pembentukan suatu undang-undang dasar bagi negara Indonesia yang hasilnya nanti benar-benar merupakan aspirasi dari rakyat Indonesia yang telah merdeka dan untuk menentukan masa depan negara Indonesia. Perdebatan penting yang menjadi perhatian, terutama adalah perdebatan mengenai Dasar Negara (1957), perdebatan mengenai hak-hak asasi manusia (1958) dan perdebatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 (1959). Perdebatan-perdebatan ini dianggap penting dan

Page 31: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

perlu mendapat perhatian terutama dalam perspektif pembentukan suatu pemerintahan yang konstitusional, yaitu perdebatan mengenai dasar negara dan hak-hak asasi manusia.Perdebatan tentang Dasar Negara secara formal menyangkut Pancasila, Islam dan Sosial Ekonomi sebagai dasar negara. Perdebatan tentang hal ini sifatnya abstrak dan jauh dari masalah praktis yang diperlukan untuk menciptakan kerangka pengaturan negara. Perdebatan ini menunjukkan betapa tekanan ideologi atau fiksasi atas tujuan-tujuan substantif (cita-cita kesempurnaan masyarakat) telah mengorbankan nilai-nilai prosedural, yakni etika cara mencapai tujuan. Padahal justru tentang cara mencapai tujuan-lah yang menjadi ciri (karekteristik) negara konstitusional yang berdasarkan pada pengakuan HAM dan kontrol terhadap penggunaan kekuasaan.  Dalam perdebatan tentang dasar negara dikemukakan dua konsep negara, yaitu negara integralistik yang memakai legitimasi kebudayaan Indonesia dan Pancasila sebagai ideologi, serta negara berdasarkan Islam, dalam sejumlah aspek yang penting kedua konsep tersebut bertentangan dengan negara konstitusional, yaitu bahwa kedua konsep itu menolak suatu pembedaan antara negara dan masyarakat, padahal tanpa pembedaan tersebut, kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat menjadi tidak berarti.  Padahal kontrol dan pembatasan kekuasaan oleh rakyat tersebut ditambah dengan pengakuan HAM adalah ciri khas suatu negara konstitusional. Kondisi yang terjadi

pada saat itu bahwa pendukung negara konstitusional (baik golongan nasionalis maupun Islam) juga adalah sekaligus menginginkan suatu negara integralistik atau negara Islam, hal ini menunjukkan suatu inkonsistensi dalam wawasan yang disebabkan karena kelemahan konseptual, yaitu konsep tentang makna negara konstitusional.  Perdebatan tentang dasar negara diatas segala-galanya adalah suatu konfrontasi antar ideologi, antara pandangan hidup yang berbeda, yang bagi penganutnya masing-masing hal ini merupakan suatu kebenaran mutlak, sehingga perdebatan yang dilakukan hanya mampu lebih meyakinkan diri sendiri dan golongan yang sepaham, tetapi menjadikan kesepakatan yang semakin menjauh dari pihak lawan, yang akibatnya akan menimbulkan perdebatan yang antagonis, dan kompromi yang diharapkan akan dapat dicapai menjadi sesuatu kemustahilan; pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan polarisasi dan rasa permusuhan satu sama lain. Perdebatan kedua yaitu perdebatan tentang HAM, merupakan perdebatan yang bersifat konkrit dan terarah pada perlindungan nilai-nilai kemanusian yang mudah dilanggar, perlindungan terhadap hak-hak orang lemah dan juga pencegahan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah dan golongan kuat dalam masyarakat. Dalam perdebatan di Konstituante juga terdapat sejumlah perbedaan pendapat yang berkaitan dengan : kebebasan beragama khususnya kebebasan berpindah agama dan peraturan agama mengenai perkawinan, tentang kemungkinan penyalahgunaan hak-hak asasi oleh modal raksasa dan orang kaya. Tetapi perbedaan dalam

Page 32: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

perdebatan Konstituante ini tidak mengurangi arti kesepakatan fundamental tentang makna penting dari jaminan terhadap hak-hak asasi dalam konstitusi. Dalam sidang plenonya Konstituante menyimpulkan bahwa bab tentang HAM merupakan salah satu bab terpenting dari UUD yang baru, karena pemerintahan konstitusional yang diinginkan rakyat Indonesia adalah pemerintahan yang dibatasi oleh hukum dan HAM. Sedangkan perdebatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 pada sidang pleno Konstituante adalah perdebatan yang sangat penting, karena didalamnya para anggota dengan jelas menyuarakan kekhawatiran mereka mengenai kemungkinan kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah otokratik dan otoriter serta cara-cara untuk mencegah terjadinya kemungkinan tersebut.  Perdebatan mengenai pemberlakuan UUD 1945 ini diawali pada saat Presiden Soekarno berpidato dihadapan para anggota Konstituante pada tanggal 22 April 1959 yang secara emosional mendesak supaya Konstituante menerima dan mendukung UUD 1945 tanpa amandemen sebagai Undang Undang Dasar Republik Indonesia. Alasan yang dikemukakan Presiden Soekarno atas hal ini yaitu :

1. pertama bahwa dengan keadaan negara yang genting, UUD 1945 merupakan salah satu cara untuk mengatasi krisis;

2. makna simbolik UUD 1945 yang sangat besar yaitu bahwa UUD 1945 berakar pada kebudayaan Indonesia dan merupakan perwujudan ideologi Indonesia yang sesungguhnya, karena undang-

undang tersebut sanggup menyatukan rakyat Indonesia;

3. bahwa sruktur organisasi negara seperti yang tercantum dalam UUD 1945 akan memperlancar jalannya pemerintahan yang efektif;

4. pembenaran hukum untuk kembali kepada UUD 1945 sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dan dengan cara-cara yang benar menurut hukum. 

E. Kondisi Politik dan Pemerintahan yang Terjadi di luar KonstituanteHal-hal lain menjadi perhatian pada saat Konstituante melakukan persidangan adalah situasi yang terjadi diluar sidang Konstituante, hal ini perlu mendapat perhatian karena proses kegagalan sidang Konstituante selain karena menemui jalan buntu dalam perdebatan, juga kondisi diluar konstituante juga mempengaruhi keberhasilan Konstituante. Pada saat Konstituante terbentuk, Undang–Undang Dasar yang digunakan pada saat itu adalah UUD Sementara Tahun 1950, dan sistem pemerintahan menggunakan sistem parlementer.  Dalam sistem ini keberadaan kabinet tergantung dukungan dari parlemen. Sehingga kalau ada partai politik yang mempunyai anggota di kabinet menarik anggotanya dari kabinet, kabinet akan jatuh dan Presiden akan menunjuk pimpinan partai besar untuk menjadi formatur. Dalam Pemerintahan saja kabinet yang terbentuk atau yang menjalankan pemerintahan dalam kurun waktu tersebut terjadi pergantian kabinet selama 7 (tujuh) kali, dengan rincian sebagai berikut :

Kabinet Moh. Natsir ( 6 September 1950 – 21 Maret 1951 )

Page 33: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1953 ) Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 – 30 Juli 1953 ) Kabinet Ali-Wongso-Arifin (30 Juli 1953 – 12

Agustus 1955) Kabinet Burhanuddin Harahap ( 12 Agustus 1955 –

3 Maret 1956 ) Kabinet Ali-Roem-Idham (24 Maret 1956 – 14

Maret 1957 ) Kabinet Djuanda ( 9 April 1957 – 10 Juli 1959 )

 Dalam sistem pemerintahan yang parlementer ini Presiden tidak mempunyai kekuasaan yang riil, melainkan kekuasaan nominal saja yaitu kedudukannya hanya sebagai Kepala Negara saja. Dalam hal ini Presiden soekarno pada saat itu menganggap seorang presiden hanya sebagai Presiden stempel saja. Kekuasaan yang sebenarnya berada pada Kabinet yang dikuasai oleh wakil-wakil dari partai politik, oleh karena itu Presiden dalam hal ini adalah sebagai Kepala Negara saja. Pada awalnya keadaan politik seperti ini, yaitu dengan membentuk suatu Konstituante yang bertujuan untuk membuat konstitusi yang sesuai dengan aspirasi rakyat sangat didukung oleh para pemimpin pemerintahan pada saat itu, yaitu dukungan dari Presiden Soekarno yang mengharapkan dengan terbentuknya Konstituante ini akan dapat menciptakan UUD yang menggantikan UUD yang ada pada saat itu yaitu UUDS 1950 dan menyebutkan bahwa UUD yang telah dibuat sejak awal kemerdekaan negara Indonesia yaitu mulai UUD 1945 merupakan suatu UUD yang sifatnya sementara, karena hanya dibuat oleh para ahli hukum atas permintaan pemerintah dan bukan merupakan aspirasi dari seluruh

rakyat Indonesia yang telah merdeka dari penjajahan bangsa asing. Tetapi pada waktu kurun tiga tahun, saat mulai terbentuknya Konstituante (1956) sampai tahun 1959 badan tersebut belum juga dapat menghasilkan konstitusi yang menjadi harapan bersama. Banyak hal yang menjadi pertanyaan, mengapa Konstituante tidak segera menyelesaikan tugasnya, tetapi pada akhirnya malahan menyetujui pidato Presiden Soekarno tanggal 22 April 1959 dengan menetapkan kembali UUD 1945 sebagai Undang-Undang dasar yang tetap. Kondisi politik dan pemerintahan yang terjadi diluar Konstituante yang mempengaruhi terhadap sidang-sidang Konstitusi pada tahun 1956 sampai dengan 1959 antara lain :

1. Kemerosotan ekonomi yang sangat cepat2. Perpecahan bangsa yang semakin meruncing3. Bangkitnya Angkatan Darat sebagai kekuatan

organisasi utama dalam negara4. Timbulnya Demokrasi Terpimpin sebagai rumusan

politik yang mengganti cita-cita negara Konstitusional Kondisi kemerosotan ekonomi yang sangat cepat dan perpecahan bangsa telah menciptakan krisis legitimasi politik yang disebabkan karena sistem politik partai dan pemerintahan parlementer, hal ini karena pemerintahan kabinet parlementer pada saat itu tidak dapat mengatasi keadaan yang timbul. Sedangkan konsep Demokrasi Terpimpin yang diajukan oleh Presiden Soekarno dianggap sebagai sebuah resep untuk memperoleh pemerintahan yang kuat yang sanggup mengatasi krisis dan

Page 34: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

memulihkan ketertiban negara. Dengan diterimanya konsep ini oleh Angkatan Darat, maka hal ini merupakan peristiwa yang akan mengakhiri periode demokrasi konstitusional yang menentukan nasib Konstituante selanjutnya. Kemerosotan EkonomiKemerosotan ekonomi yang terjadi di Negara Indonesia pada saat itu disebaban karena :Politisasi ekonomiPerampasan hak milik dan pengusiran warga negara BelandaMenurunnya kegiatan ekonomiInflasi dan kesulitan yang semakin besar bagi rakyatPerpecahan bangsa yang semakin meruncing Beberapa sumber yang menyebabkan terjadinya perpecahan nasional yang mempertajam krisis legitimasi politik adalah

a. Kesatuan nasional yang rawan dan adanya pertentangan Jawa –Luar Jawa

b. Pertentangan politik dan ideologisc. Mundurnya Hatta dari jabatan wakil presidend. Pertentangan di dalam tubuh Angkatan Darate. Intervensi asing

 Bangkitnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik utama dalam NegaraAngkatan Darat sebagai kekuatan militer yang sangat berperan dalam politik nasional negara Indonesia, dalam hubungannya dengan konsep Demokrasi Terpimpin yang dikemukakan Presiden Soekarno pada saat itu, Angakatan Darat merupakan kekuatan pendorong, sehingga paham

tersebut dapat mengalahkan pemikiran mengenai negara konstitusional yang tengah diusahakan perwujudannya oleh Konstituante.  Kondisi ini timbul karena pada saat itu banyak timbul gerakan di Jawa dan juga di daerah yang tidak puas dan tidak percaya dengan kepemimpinan pemerintah pusat. Oleh karena itu inisiatif pemerintah pusat untuk menjaga kestabilan politik sangat didukung oleh Angakatan Bersenjata yaitu Angkatan Darat khususnya, Angkatan Darat menganggap bahwa kondisi ini terjadi karena sistem parlementer yang digunakan pada saat itu tidak menjamin kestabilan politik negara Indonesia, yaitu dengan mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945.   Timbulnya Demokrasi Terpimpin sebagai rumusan politik yang menggantikan cita-cita Negara KonstitusionalPada tanggal 21 Februari 1957 Presiden menyampaikan konsep politiknya di Istana Negara yaitu berupa Konsepsi Presiden, Konsepsi Presiden tersebut yang berisi tentang pembentukan Kabinet Gotong Royong dan pembentukan Dewan Nasional akhirnya dikenal dengan konsep Demokrasi Terpimpin. Konsep Demokrasi Terpimpin ini pada awalnya dimaksudkan untuk menangani masalah-masalah yang ada tetapi kemudian berkembang menjadi alat kekuasaan ekstra konstitusional, konsep ini merupakan suatu konsep alternatif untuk mengganti konsep negara konstitusional yang sedang dibahas di Konstituante, dan juga sekaligus penolakan terhadap hal tersebut (konsep negara konstitusional).

Page 35: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

 Konsep Demokrasi Terpimpin ini merupakan suatu konsep politik Presiden Soekarno dihadapan para pemimpin partai politik dan tokoh politik lain termasuk panglima angkatan bersenjata dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angakatan Udara dan Kepolisian . Hal-hal yang mendasari munculnya konsep Demokrasi Terpimpin ini yaitu :

a. Anti dengan Demokrasi Liberalb. Kembali ke Kepribadian Indonesiac. Meneruskan Revolusi

 Dengan jatuhnya Kabinet Ali Sastrosmidjojo Kedua dan pemberlakuan hukum darurat perang menjadi pendorong bagi Presiden Soekarno untuk meneruskan konsep Demokrasi Terpimpin dengan membentuk Kabinet Gotong Royong yang terdiri orang-orang non partai dan juga membentuk Dewan Nasional yang anggota-anggotanya adalah “golongan fungsional” dimana Angkatan Darat adalah golongan fungsional yang termasuk didalamnya.  F. Kegagalan Konstituante dan Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959Pada hakekatnya Konstituante yang terbentuk pada saat itu, telah melaksanakan tugasnya dengan membuat rancangan undang-undang dasar yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Rancangan undang-undang dasar yang berhasil terutama mengenai hak asasi manusia, para anggota Konstituante mempunyai keyakinan yang sama bahwa HAM merupakan bagian inti dari kodrat manusia dan terdapat dalam setiap peradaban manusia, HAM merupakan tujuan negara dan merupakan substansi yang

penting dalam suatu undang-undang dasar. Kesepakatan yang dicapai dalam Konstituante mengenai masalah HAM dan perlindungan terhadap HAM merupakan hasil kerja Konstituante yang paling utuh dan dianggap sebagai norma konstitusional yang substantif bagi Republik Indonesia. Sedangkan pembahasan dan perdebatan mengenai dasar negara menjadi sesuatu yang berlarut-larut yang tidak mendapatkan titik temu/kompromi antara pandangan-pandangan dan ideologi yang ada di Konstituante. Masing-masing pendukung ideologi tersebut saling mempertahankan pandangannya dan menganggap bahwa pandangan dan ideologinya adalah yang benar yang akan digunakan sebagai dasar negara. Pendekatan yang rasional untuk menyelesaikan masalah ini tidak berhasil untuk mengatasi perbedaan pandangan tersebut. Perbedaan pandangan ini akhirnya terpolarisasi menjadi pandangan negara Islam di satu sisi dan pandangan negara integralistik di sisi yang lain. Dan mengenai perdebatan dasar inilah, Konstituante menemui jalan buntu sehingga perdebatan dan pembicaraan dalam sidang Konstituante menjadi berlarut-larut, tanpa menghasilkan suatu kesepakatan, sampai masa reses tiba perdebatan mengenai dasar negara ini belum mencapai kesepakatan, sedangkan kondisi diluar Konstituante sangat berharap agar Konstituante segera menyelesaikan tugas.  Dengan dasar inilah Pemerintah pada saat itu mengeluarkan wacana untuk kembali kepada UUD 1945, karena para wakil rakyat di Konstituante belum juga berhasil membentuk Undang-Udang Dasar yang baru.

Page 36: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

 Untuk perdebatan mengenai pemberlakuan UUD 1945 diawali dengan pidato Presiden Soekarno dihadapan Konstituante mengenai krisis yang terjadi diluar Konstituante, yaitu yang dialami oleh Pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia. Perdebatan ini menganggap bahwa dengan kembali ke UUD 1945 diharapkan dapat mengatasi keadaan tersebut. Perdebatan mengenai hal ini merupakan perdebatan yang cukup alot, sehingga saat dilakukan sidang pleno tiga kali berturut-turut untuk masalah ini tidak mencapai kesepakatan bersama, yaitu dukungan mayoritas atau 2/3 suara Konstituante untuk pemungutan suara mengenai pemberlakuan UUD 1945. Kesepakatan bersama yang belum tercapai tersebut kemudian dihentikan sementara dikarenakan Konstituante pada saat itu memasuki masa reses, dan saat itulah menjadi akhir dari riwayat sebuah Konstituante yaitu suatu badan konstistusional yang mencerminkan aspirasi kehendak rakyat dalam penyusunan undang-undang dasar. Dengan hasil akhir dari Konstituante yang belum berhasil mencapai kesepakatan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 dan kondisi politik yang terjadi pada saat itu, maka dengan dukungan Angkatan Darat yang menginginkan kembali kepada UUD 1945, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarakan Dekrit Presiden yang isinya adalah sebagai berikut:1. Pembubaran Konstituante Republik Indonesia2. Tidak berlakunya lagi UUD Sementara 19503. Berlakunya kembali UUD 19454. Pembentukan MPR Sementara dan DPR Sementara 

Maka dengan munculnya dekrit tersebut Konstituante yang saat itu sedang reses, menjadi reses untuk selama-lamanya. Dan sidang sidang yang telah dilaksanakan untuk mewujudkan suatu negara konstitusional yang menjadi harapan seluruh rakyat sebagai sebuah negara yang merdeka sepenuhnya menjadi sia-sia dan tidak terwujudkan. Ada beberapa pendapat yang menyebabkan pembubaran Konstituante dan akhirnya muncul Dekrit Presiden 5 Juli 1959, seperti yang dikemukakan Bintan R.Saragih, bahwa ada 4 faktor yang menjadi latar belakangnya yaitu 1. Faktor Kabinet yang tidak bertahan lamaSistem Parlementer yang dianut pada saat itu, mengakibatkan bahwa keberadaan kabinet tergantung dari dukungan parlemen, sehingga setiap ada mosi tidak percaya dari parlemen atau partai politik, maka partai politik yang mempunyai anggota dalam kabinet akan menarik anggotanya dan akhirnya kabinet jatuh. Hal seperti terjadi pada saat itu dimana pada kurun waktu 6 September 1950 sampai dengan 9 April 1959 terdapat enam kabinet yang silih berganti 2. Faktor Presiden (konstitusional) SoekarnoBahwa sesuai dengan ketentuan pasal 83 UUDS 1950 bahwa Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat, dan menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah , maka presiden hanya sebagai kepala negara saja atau disebut Presiden Konstitusional, dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pemimpin bangsa yang diakui, yang mempunyai kharisma dan panutan rakyat pada saat itu kurang senang dengan kondisi seperti itu, ditambah dengan pengunduran

Page 37: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

diri wakil presiden Moh.Hatta, mendasari keluarnya Konsepsi Presiden. Isi dari Konsepsi tersebut yaitu: mengganti sistem demokrasi parlementer dengan demokrasi yang cocok dengan dengan kepribadian bangsa Indonesia yaitu Demokrasi Terpimpin (Demokrasi Gotong Royong), Pembentukan Kabinet Gotong Royong, pembentukan Dewan Nasional, Pembentukan kabinet kaki empat ( anggota dari empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi, PKI) 3. Faktor ABRIABRI dalam hal ini adalah Angkatan Darat yang lahir pada saat revolusi merasa bertangung jawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, oleh karena itu melihat kondisi Konstituante yang tidak berhasil mencapai kesepakatan untuk pembentukan UUD maka Pimpinan ABRI pada saat itu mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945 4. Kegagalan Konstituante sendiri mencapai 2/3 dalam pemungutan suara yang dilakukan dalam rapat-rapatSetelah terjadi kegagalan dalam pemungutan suara terhadap usulan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 sebanyak tiga kali, yaitu tidak mencapai 2/3 dari anggota Konstituante yang hadir. Sampai dengan masa resesnya Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk hal ini, sehingga dengan resesnya Konstituante pada saat itu mengakhiri juga sejarah badan pembuat Undang Undang Dasar tersebut, karena kemudian Konstituante dibubarkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebelum Konstituante sempat bersidang lagi. 

Pada akhirnya sesuatu yang bisa ditarik kesimpulan dari Disertasi berjudul Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia Studi Sosio-Legal atas Konstiuante 1956-1959 yaitu antara lain : 1. Hasil yang diapai oleh Konstituante :Pada hakekatnya konstituante telah memberikan sumbangan yang besar dalam membuat keputusan-keputan dengan cita-cita pembentukan negara konstitusional, yaitu dengan penegasan mengenai komitmen terhadap demokrasi, penegasan terhadap HAM, dan juga pengakuan atas masalah kekuasaan yaitu untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah guna mencegah kemungkinan penyalahgunaannya 2. Konsep Pemerintahan Konstitusionalyaitu membayangkan terbentuknya negara yang menjalankan fungsi normative tertentu, yang melakukan perlindungan terhadap HAM serta pengaturan dan pengendalian terhadap kekuasaan, dan juga pemerintah yang dibatasi oleh hukum 3. Mengapa Konstituante tidak berhasilKondisi yang terjadi diluar Konstituante mempunyai pengaruh besar terhadap kegagalan konstituante. Sikap Presiden dan Angkatan darat yang tidak melakukan dukungan terhadap Konstituante merupakan sebab yang utama 4. Kekurangan-kekurangan KonstituanteWalaupun Konstituante melaksanakan perdebatan yang panjang lebar mengenai ide-ide konsep negara, tetapi pada perkembangannya ide-ide tersebut tidak sesuai

Page 38: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

dengan konsep pemerintahan konstitusionalisme, dimana para pengusung ideologi bersaing untuk dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan negara. Dan sebenarnya hal inilah yaitu perdebatan yang tidak menemukan jalan keluar yang akhirnya membawa pada pembubaran Konstituante  Amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002 sebagai suatu proses pembentukan dan perubahan sebuah Konstitusi (sebagai perbandingan dengan proses yang dilakukan dalam Konstituante) Pada saat Konstituante terbentuk sistem pemerintah pada saat itu adalah dengan menggunakan sistem parlementer, dan seperti maklumat pemerintah pada saat itu, bahwa timbul banyak partai yang ikut dalam pemilu. Rakyat diberi kebebasan untuk menciptakan partai yang akan mewakili aspirasinya di badan perwakilan (DPR) atau di Konstituante. Oleh karena itu Konstituante yang terbentuk merupakan wakil-wakil dari partai yang berjumlah 514 orang dan 20 anggota tambahan. Konstituante yang terbentuk ini tidak berhasil membuat Undang Undang Dasar yang baru yang permanen, hal itu karena wakil-wakil rakyat pada saat itu mengalami perdebatan jalan buntu, yaitu untuk masalah-masalah yang krusial yaitu Dasar Negara yang akan digunakan dalam Undang-Undang Dasar. Walaupun sebenarnya permasalahan lain dalam perdebatan menemukan pemecahannya sebagai unsur dalam suatu undang-undang dasar, tetapi kondisi yang tidak memungkinkan terbentuknya suatu undang undang dasar yang baru, maka seakan akan hasil jerih payah dari Konstituante selama lebih kurang 3 tahun menjadi tidak ada artinya,dan

perubahan undang–undang dasar yang diharapkan tidak tercapai. Konstituante sebagai badan yang terbentuk untuk mengubah UUD 1945 bisa dikatakan sebagai bagian dari proses reformasi Konstitusi (Constitusional Reform) yang dilakukan pada saat itu, dimana peristiwa tersebut didasari oleh keinginan bersama bangsa Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu aspirasi dari seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu bisa dikatakan pada kurun waktu tahun 1956 -1959 merupakan proses reformasi konstitusi yang dilakukan oleh Konstituante Kondisi seperti itu bisa kita bandingkan dengan munculnya orde Reformasi di tahun 1998. Dimana diawali dengan jatuhnya kondisi perekonomian Indonesia pada saat itu, yang diikuti dengan peristiwa sosial politik hingga jatuhnya Pemerintahan Suharto, maka pada saat itu juga timbul keinginan yang besar untuk melakukan reformasi konstitusi dengan perubahan/amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal-hal yang mendasari timbulnya keinginan perubahan UUD 1945 adalah yang bisa disejajarkan dengan proses pembentukan UUD yang dilakukan oleh Konstituante antara lain : Alasan HistorisUUD 1945 adalah Undang Undang Dasar yang sifatnya sementara, oleh karena itu perlu dibuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan Sempurna Alasan Filosofis

Page 39: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

Dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, antara faham kedaulatan rakyat dan faham integralistik, antara negara hukum dan negara kekuasaan Alasan TeoritisSecara konstitusional bahwa UUD seharusnya membatasi kekuasaan negara agar tidak sewenang-wenang, tetapi hal itu dalam UUD 1945 hal tersebut tidak jelas atau kurang menonjol  Alasan Yuridisbahwa untuk perubahan UUD telah tercantum ketentuannya dalam pasal 37 UUD 1945 Alasan politik Praktisbanyaknya penyimpangan yang dilakukan pada kurun waktu 1959 -1998 akibat multi intepretasi yang sesuai dengan penguasa pada saat itu Alasan-alasan tersebut diatas yang dapat menjadi dasar mengapa perlunya perubahan ataupun amandamen atas UUD 1945 dilakukan, selain dengan adanya euforia dari reformasi yang terjadi pada saat itu yang secara popular dituntut pada saat itu oleh para mahasiswa adalah :- Adili Soeharto- Hapuskan Dwi Fungsi ABRI- Amandemen UUD 1945 Dalam bukunya Modern Constitutions KC. Wheare menyatakan bahwa suatu perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan melakukan Amandemen Formal, yang

di dalam proses amandemen itu harus didasari dengan beberapa pandangan antara lain untuk :1. Konstitusi diubah dengan karena alasan yang matang, bukan sederhana atau serampangan2. Rakyat diberi kesempatan mengungkapkan pandangannya sebelum dilakukan perubahan3. Dalam sistem federal, kekuasaan unit pemerintah pusat tidak bisa diubah oleh satu pihak4. Hak individu atau masyarakat, misal hak minoritas dalam bahasa, agama atau kebudayaan harus dilindungi Proses Amandemen yang telah dilakukan terhadap UUD 1945 adalah sebagai proses politik dan kenegaraan yang awalnya terjadi dengan proses reformasi yang berhasil menjatuhkan pemerintahan Soeharto, yang kemudian disusul dengan terbuka kondisi politik dengan terbentuknya banyak partai yang mengikuti Pemilu 1999, dimana para wakil rakyat yang terpilih pada pemilu tersebut yang duduk menjadi anggota DPR dan sekaligus anggota MPR ditambah dengan Utusan Golongan dan TNI/Polri yang melakukan amandemen UU 1945 dalam sidang-sidangnya. Pemilu 1999 merupakan pemilu yang demokratis sejak masa Orde Baru, dimana sistem pemerintahan pada saat itu adalah Presidensil yang membedakan dengan kondisi pada saat Konstituante terbentuk, hal ini karena pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik sebagai kontestannya. Partai-partai tersebut lahir sebagai pencerminan dari aspirasi yang ada dalam masyarakat, yang ternyata mempunyai keinginan politik yang bermacam. Hal ini bisa dikatakan sebagai aspirasi politik yang tiba-tiba

Page 40: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

terbuka lebar, setelah sebelumnya di jaman Orde Baru, keinginan itu ditutup rapat-rapat oleh Pemerintah. Pemilu pada tahun 1999 ini menghasilkan 9 fraksi dalam MPR yang ditambah dengan Fraksi Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri melakukan proses amandemen UUD 1945 sampai dengan amandemen IV sebagai hasil akhirnya. Walaupun hasil sampai amandemen IV tersebut masih menyisakan beberapa PR yang mungkin akan dapat diselesaikan dengan suatu amandemen lagi.  Proses Amandemen UUD 1945 bila dihubungkan dengan pendapat KC Wheare mengenai pembentukan suatu UUD / Konstistusi tersebut diatas dapat kita lihat bahwa Amandemen yang telah dilakukan terlihat :

1. Tergesa-gesa dan parsial yang masih sarat dengan kepentingan politik dan bukan dengan pemikiran yang matang dan alasan yang bisa dijelaskan kepada rakyat. Sehingga hasil amandemennya menjadi tidak sinkron satu pasal dengan pasal lainnya 

2. Kurang dilibatkannya rakyat dalam proses amandemen tersebut, walaupun dalam proses amandemen ini MPR juga telah melibatkan Tim Ahli dari para akademisi, namun masih tampak besarnya kekuatan politik sangat berpengaruh dalam proses amandemen tersebut, sehingga aspirasi rakyat yang seharusnya bisa tersuarakan dalam pembuatan amandemen tersebut, menjadi kalah dengan aspirasi politik dari partai-partai, yang belum tentu sama aspirasinya dengan aspirasi rakyat tersebut.

 3. Walaupun masih banyak kekurangan dalam

melaksanakan tugasnya, apa yang dilakukan oleh MPR periode 1999-2002 dalam melakukan amandemen telah membuat desakralisasi UUD 1945. Sehingga UUD 1945 sejak pertama kali digunakan oleh Negara Indonesia, dan proses perubahan dan pergantian UUD yang digunakan, pada saat inilah baru berhasil melakukan perubahan UUD 1945 melalui amandemen.  

Sedangkan Konstituante yang terbentuk pada tahun 1956-1959 tidak memberikan hasil perubahan dalam pembuatan UUD yang baru maupun amandemen UUD.

1. Konstituante sebagai badan pembentuk Undang Undang Dasar, walaupun tidak berhasil melakukan tugasnya yaitu membentuk Undang-Undang Dasar, telah berhasil memberikan sumbangan yang besar dalam membuat keputusan-keputusan dengan cita-cita pembentukan negara konstitusional, yaitu dengan penegasan mengenai komitmen terhadap demokrasi, penegasan terhadap HAM, dan juga pengakuan atas masalah kekuasaan yaitu untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah guna mencegah kemungkinan penyalahgunaannya. Konstituante telah meletakkan dasar-dasar dalam pembentukan suatu konstitusi, yaitu merupakan prinsip-prinsip demokrasi yang mencerminkan aspirasi dari rakyat. 

2. Dalam konteks Amandemen UUD 1945 (Constitutional Reform) yang dilakukan oleh MPR pada periode 1999 – 2002, bisa dikatakan bahwa

Page 41: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

proses amandemen ini bisa disamakan dengan proses yang dilakukan oleh Konstituante, karena sebenarnya UUD 1945 hasil amandemen sangat jauh berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, sehingga bisa dikatakan bahwa proses amandemen ini juga telah melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Walaupun hasil dari kedua institusi tersebut berbeda, dimana Konstituante gagal membentuk UUD yang baru sedangkan MPR pada saat itu berhasil melakukan amandemen sampai Ke-4, yang bisa dikatakan bahwa UUD amandemen sudah sangat berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen 

3. Dalam Proses penyusunan UUD terjadi perdebatan yang tajam diantara anggota Konstituante, hal ini pun terjadi juga dalam sidang-sidang di MPR untuk proses amandemen UUD 1945. Didalam Konstituante perdebatan itu pada akhirnya menemui jalan buntu, terutama perdebatan tentang dasar negara, sedangkan pada MPR walaupun pada awalnya diragukan apakah bisa melakukan amandemen, tetapi pada akhirnya walaupun dengan hasil amandemen yang masih banyak kekurangannya, proses amandemen dapat dilaksanakan 

Dalam melaksanakan suatu perubahan atau penggantian UUD diperlukan badan tersendiri atau suatu Komite yang lepas dari kepentingan politik sesaat dari partai-partai yang ada, badan ini diharapkan dapat menyusun perubahan atau pun penggantian UUD secara lebih integral dalam materi-materi yang termuat dalam UUD

yang dalam rumusan hasilnya harus disetujui oleh rakyat secara mufakat. Jadi walaupun ketentuan tentang perubahan (perubahan pasal-pasal) UUD 1945 telah tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 amandemen IV, tetapi dalam pembuatan dan pembahasannya tidak hanya dilakukan oleh PAH BP MPR, yaitu sedapat mungkin bahan-bahan tersebut telah dipersiapkan oleh suatu badan atau Komisi yang bertugas untuk melakukan penyusunan tentang amandemen UUD yang anggotanya merupakan cermin wakil rakyat dan juga kalangan akademis.  Sebenarnya badan atau komisi semacam ini juga telah ada dalam penyusunan amandemen UUD 1945 yang lalu, tetapi karena faktor politik maka hasil kerja dari badan atau komisi tidak sepenuhnya menjadi acuan bagi PAH di Badan Pekerja MPR dalam menyusun amandemen UUD 1945. Badan atau komisi ini diharapkan dapat meneruskan peranan Konstituante yang lalu yang belum berhasil untuk melakukan perubahan UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan karena hasil amandemen IV UUD 1945 masih banyak kekurangannya dan adanya ketidaksinkronan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain, badan atau panitia atau komisi ini harus dipersiapkan agar hasil dari amandemen UUD bisa mencerminkan aspirasi rakyat dan bukan aspirasi partai sesaat .UUD 1945 hasil amandemen juga tidak secara tegas melakukan tahapan-tahapan agenda setting, development design, dan approval, sehingga tidak ada konsep awal kemana amandemen UUD 1945 akan diarahkan. Oleh karena itu diperlukan kajian yang lebih mendalam, terutama dari para

Page 42: · Web viewDalam konteks ini, ... Dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, ... untuk dapat membentuk UUD dengan penuh kesadaran sebagai suatu

akademisi, untuk melakukan peninjauan terhadap amandemen UUD 1945 agar dapat lebih memenuhi kondisi yang bangsa Indonesia sekarang ini.  DAFTAR PUSTAKABusroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990 Fajar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta,2006 Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005 Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008 KC Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (terjemahan oleh M.Hardani), Pustaka Eureka,Jakarta, 1975 Malian, Sobirin, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Jakarta, 2001Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi edisi II, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,2001 Saragih, Bintan R, Pemikiran-Pemikiran yang Melatarbelakangi Kembali ke UUD 1945, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996 Suharizal, dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002 (Beberapa Gagasan Menuju

Amandemen Kelima UUD 1945), PT.Citra Aditya Abadi,Bandung, 2007 UUD Negara Negara Republik Indonesia 1945 Mahfud,MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia “Studi tentang interaksi politik dan kehidupan ketatanegaraan”, Rineka Cipta, Jakarta, 2000 Busroh, Abu Daud, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1990 Thaib, Dahlan dkk, Teori dan Hukum Konstitusi edisi II, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,2001Saragih, Bintan R, Pemikiran-Pemikiran yang Melatarbelakangi Kembali ke UUD 1945, Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996 Fajar, Abdul Mukthie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta,2006ibid hal 9 KC Wheare Modern Constitutions(Konstitusi-Konstitusi Modern terjemahan oleh Muhmmad Hardani), Pustaka Eureka, 2003 Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada : Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,2008, hal.5.  

……………Good Luck…………..