Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
159 | J u r n a l H a w a
J
JJjjagghg
Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
Muqarramah Sulaiman Kurdi UIN Antasari Banjarmasin
Info Artikel Abstract Diterima: Juli 2020 Disetujui: September 2020 Dipublikasikan: Desember 2020
Religious education is the most crucial thing for the growth and the development of Muslim children namely to become pious children. Good religious teaching will produce a generation of true Muslims, because aqeedah is the substance of morality and the implementation of religious law. The teaching of Islam cannot only be in the cognitive realm, because what is taught is a matter of the faith and daily life of a Muslim. In this case, how to teach Islamic aqeedah and etiquette for today's generation is a challenge, especially for the digital native generation, which means that religious education also needs to continue to develop and innovate in the way of its doctrine. In addition, in this present time, the global world has experienced difficult times due to the impact of the Corona Virus which requires children to learn at home or blended learning. This paper is a part of the study of the reconstruction of the doctrinal methodology for children related to how to instill aqeedah, the cultivation of morality and sharia (including also reciting and memorizing the Koran), without ignoring their essence as a digital native generation and challenges in the era pandemic.
Keyword
How to teach religion; young learners; doctrine; Islamic teachings; Muslim generation; pandemic.
Kata Kunci
Abstrak
How to teach religion; young learners; doktrin; ajaran Islam; generasi muslim; pandemi.
Pendidikan agama adalah hal yang paling krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan anak muslim yakni agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Pengajaran agama yang baik akan menghasilkan generasi muslim yang benar, karena aqidah adalah substansi dari bisa berakhlakul karimah dan implemetasi syariat agama. Pengajaran agama Islam tidak bisa hanya pada ranah kognitif semata, karena yang diajarkan adalah perkara keimanan dan keseharian seorang muslim. Dalam hal ini bagaimana mengajarkan aqidah dan adab Islami bagi generasi dewasa ini menjadi tantangan tersendiri, khususnya untuk generasi digital native, yang artinya pendidikan agama pun perlu terus berkembang dan berinovasi dalam cara doktrinnya. Selain itu di masa sekarang ini dunia global telah mengalami masa sulit karena dampak Virus Corona yang mengharusnya anak-anak belajar di rumah maupun blended learning. Tulisan ini merupakan bagian kajian rekonstruksi metodologi doktrin untuk anak-anakb terkait bagaimana menanamkan ke-aqidah-an, penanaman akhlakul karimah serta syariah/fiqh (termasuk juga membaca dan menghafal Alquran), dengan tidak mengenyampingkan esensi mereka sebagai generasi digital native dan tantangan di masa pandemi.
Alamat Korespodensi: Jalan Raden Fatah, Pagar Dewa, Kota Bengkulu Gedung Pelatihan lantai II E-mail: [email protected].
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
160 | P a g e
Pendahuluan
“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan
zamannya, karena mereka hidup bukan di
zamanmu” (Ali Bin Abi Thalib). Perkataan
Ali bin Abi Thalib tersebut menyegarkan
orangtua dan guru-guru bagaimana
mendidik agama kepada anak-anak dengan
tuntunan yang sesuai dengan agama
dengan inovasi pendidikan dengan
masanya. Sebagaimana diketahui,
pendidikan adalah suatu sarana tuntunan
dari tiap individu untuk meraih tingkat
kedewasaan ataupun pemahaman sehingga
ilmu yang didapat mampu
diimplementasikan dalam rangka
pembentukan karakter-nilai multikultural
(Kurdi, Mardiah, Kurdi, Usman, &
Taslimurrahman, 2020: 68) dan
mengarahkan jalan hidup menjadi pribadi
yang baik. Pembentukan karakter di dalam
Islam lahir dari kebiasaan, akhlak muncul
dari pembiasaan. Pembiasaan merupakan
proses penanaman kebiasaan, mendorong
seseorang agar mengupayakan
pengulangan suatu tindakan agar ia
terbiasa melakukannya sehingga terkadang
seseorang tidak menyadari apa yang
dilakukannya karena sudah menjadi
kebiasaan baginya (Shihab, 2016: 90). Oleh
karena itu, kondisi lingkungan yang tepat
akan mengantarkan sedikit banyak
pergaulan yang baik untuk penanaman
Aqidah dan pembiasaan akhlakul karimah
bagi anak-anak.
Sekarang dunia dan lingkungan
dikelilingi dengan stimulus media dan
visual, dan begitu juga anak-anak, mereka
adalah bagian dari generasi digital (digital
generation) (Jukes, McCain, and Crockett,
2010). Era digital telah menghantarkan
anak-anak muslim berinteraksi dengan
peralatan digital. Mereka terbiasa
beraktivitas secara Online. Sebagai bagian
generasi digital native, anak-anak muslim
berinteraksi di media sosial sebagai ruang
yang mereka kuasai, kehidupan dianggap
sebagai suatu permainan yang dijalani.
Tantangan hidup dihadapi dengan penuh
ekspresif, cepat, interaktif dan kolaboratif.
Bahkan eksistensi di ruang maya menjadi
hal yang penting. Oleh karena itu, kebijakan
pemerintah terkait Study at Home bagi anak-
anak dalam rangka memutus rantai
penularan Corrona Virus Disssease (Covid-
19) menjadikan guru dan orang tua
berjibaku dan harus lebih berinovasi dalam
sistem pembelajaran berbasis teknologi dan
internet. Pendidikan agama yang umumnya
di dapat di sekolah harus diganti dengan
pendidikan agama transformatif yang
mengakomodir dunia anak-anak generasi
digital native (Prensky, 2001; Mardina 2019),
tanpa menghilangkan diksi edukasi.
Orangtua memiliki peran dan
amanah dalam tanggungjawab dan
kewajiban mendidik anak-anak agar
senantiasa menjaga Aqidah dan berakhlakul
karimah. Dengan kebijakan untuk
melakukan kerja, ibadah, dan belajar di
rumah di masa pandemi sekarang ini,
artinya dengan serta merta telah
mengembalikan “khittah” peran orangtua
dan tanggungjawab mereka dalam
mendidik anak-anak dan beribadah kepada
Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt telah
memerintahkan orangtua untuk menjaga
diri dan keluarga dari siksa api neraka. “Hai
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
161 | J u r n a l H a w a
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”(QS. 66.
At-Tahrim ayat 6)
Berdasarkan hal tersebut, perlu
adanya kajian narasi ilmiah terkait
bagaimana mengajarkan ajaran agama
Islam bagi anak-anak muslim di masa
pandemi Covid-19 dengan mengoptimalkan
pada media teknologi (digital). Hal ini
ditujukan untuk memberikan worldview
aktivitas digital teaching/learning bagi
generasi muslim saat ini dengan
mengafirmasi tiga domain dari pengajaran
agama, kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Metode Penelitian
Kajian ini merupakan sebuah mini
research dalam bentuk penelitian
kepustakaan (library research) dengan
menekankan pada meaning of creatifity
(Muhajir, 2011: 318) dengan jenis penelitian
kualitatif interpretatif (intersubjektif).
Tulisan ini merupakan deskripsi analisis
interstruktualitas interpretatif bersumber
dari buku – buku dan sumber daring yang
relevan dengan tulisan ini. Adapun tujuan
penelitian ini adalah memberikan wacana
nalar deskripsi dalam bentuk konstruksi
pengajaran agama di tengah pandemi
Covid-19 bagi anak-anak muslim yang sarat
dengan budaya digital dan melek teknologi.
Hasil dan Temuan
Dari penelitian ini diketahui bahwa
dunia pendidikan Islam dalam kerangka
mengajarkan ajaran agama mengintrodusir
pola/model pendidikan yang transformatif
kontekstual. Di mana pendidikan berbasis
teknologi sudah seharusnya dioptimalkan.
Dalam masa pandemi Covid-19, guru dan
orangtua tidak bisa menolak realitas
tentang pengajaran yang bersifat daring dan
beradaptasi secara totalitas dengan dunia
anak-anak generasi digital native. Tujuan,
doktrin, dan metodologi pengajaran agama
menjadi barometer corong utama dalam
melakukan reformulasi pengajaran agama
bagi anak-anak zaman “generasi Z” di masa
pandemi terkait bagaimana menanamkan
ke-aqidah-an, penanaman akhlakul karimah
serta syariah/fiqh (termasuk juga membaca
dan menghafal Alquran). Diharapkan
ketika menggunakan sarana seperti e-
learning, webinar, media sosial, aplikasi
audio-visual, blogging, e-book, smartbook dan
aplikasi game tidak mengenyampingkan
dunia anak-anak muslim sebagai bagian
generasi digital native dengan
memperhatikan tiga perspektif (teknis,
literasi kritis, dan literasi sosial-emosional)
dan juga sebagai bagian dari pengamalan
beragama dalam sosio religius-kultur
demografinya
Pembahasan
Pendidikan adalah alat pencetak
peradabana manusia (Hamid, 2011: 11).
Oleh karena itu dunia pendidikan memiliki
peran yang signifikan dalam kehidupan
umat manusia. Jika merujuk pada
dinamika sejarah umat manusia sejak
manusia mengenal dirinya, dapat diketahui
bahwa manusia menyadari bahwa ia harus
berusaha mengetahui jalan yang benar dan
tepat untuk meraih kemaslahatan diri dan
kelompoknya serta mengetahui pula yang
buruk untuk menghindarinya, dan sejalan
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
162 | P a g e
dengan perkembangan kehidupan
bermasyarakat, upaya mereka mulai terarah
pada hal-hal non-materi demi ketenangan
dan kesempurnaan hidup (Shihab, 2016:1-
2). Usaha dalam memperoleh pengetahuan
didapat melalui pendidikan. Anak-anak
harus diberi bekal berupa ilmu
pengetahuan, khususnya akhlak (Anisah,
2017: 70). Hal ini sebagai wujud afirmasi
juga dari Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 03 Nomor
20 Thaun 2003, yakni:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrat serta bertanggung jawab”
Pendidikan nasional tersebut
memiliki tujuan yang selaras dengan tujuan
dalam paradigma pendidikan Islam, yakni
menjadi insan kamil, bermoral, berbudi
pekerti luhur, berakhlakul karimah, dan
menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah Swt. Mediasi dalam
implementasi tujuan pendidikan dalam
Islam tidak hanya sebatas pada aspek
pengetahuan, tapi juga diharapkan anak-
anak setelah mampu mengetahuai,
memahami, dan selanjutnya juga
mengamalkan dalam kehidupan sehari-
hari, karena secara umum tujuan
pendidikan Islam adalah dalam rangka
pembentukan akhlak mulia, bekal
kehidupan dunia akhirat, menumbuhkan
semangat ilmiah dan profesionalisme
(Syafe’i, 2015: 156). pengamalan ini
merupakan proses pendidikan yang tidak
bisa instan, ia hadir dari pembiasaan. Anak-
anak perlu dibekali ilmu agama sesuai
dengan tuntutan zamannya, terlebih anak-
anak adalah aset sumber daya manusia
yang merupakan masa depan suatu bangsa,
sebagai generasi pemuda merekalah
harapan untuk memajukan bangsa
(Mawardi, 2000). Signifikansi penanaman
ilmu agama bagi anak-anak menjadikan
barometer utama dalam memahami
bagaimana pengajaran agama yang baik
untuk anak-anak muslim.
Pengajaran Agama
Pengajaran agama merupakan
bagian penting di dalam proses pendidikan.
Pendidikan (Tarbiyah) erat kaitannya
dengan pengajaran (Ta’lim). Pendidikan dan
pengajaran di dalam bahasa Arab disebut
sebagai Tarbiyah wa ta’lim, dan pendidikan
Islam disebut sebagai tarbiyah Islamiyyah
(Daradjat, 1996: 25). Kedua diksi ini
mengafirmasi transfer doktrin agama.
Mentransfer ilmu agama tidak bisa
sembarangan. Sebagaimana Azman
menyebutkan bahwa mengusai ilmu yang
akan diajarkan saja tidaklah cukup dan
tidak akan menjamin prestasi yang tinggi
bagi anak-anak yang diajar. Seorang
pendidik harus menguasai metodologi dan
teknik bagaimana caranya menyampaikan
isi pelajaran, sehingga ilmu tersebut
bermakna (Azman, 1987; Lubis dan Aspar,
2015: 142-143). Dalam perspektif pedagogis,
dalam mengajar ada dua kemampuan
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
163 | J u r n a l H a w a
pokok yang harus dikuasai oleh seorang
pendidik, yaitu : menguasai materi atau
bahan ajar yang akan diajarkan ( what to
teach ) dan menguasai metodologi atau cara
untuk membelajarkannya ( how to teach )
(Gilcman, 1991: 12). Kedua hal tersebut
menjadi bagian perfeksi pendidikan. Materi
yang diajarkan penting, begitu juga dengan
metode pengajarannya. Karena metode
yang tepat dalam pengajaran agama akan
menghantarkan anak didik kepada esensi
dari tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana
Zakiyah Drajat menyebutkan bahwa
pendidikan agama merupakan usaha
bimbingan dan usaha terhadap anak agar
kelak setelah selesai pendidikannya dapat
memahami dan mengamalkan ajaran Islam
serta menjadikannya pandangan hidup
(way of life) (Daradjat, 1996: 86).
Adapun dalam ajaran Islam banyak
menggunakan cara pembiasaan guna
meraih akhlak mulia atau meninggalkan
akhlak buruk (Shihab, 2016: 93) Bentuk
pembiasaan seperti yang diajarkan oleh
Rasulullah Saw., yakni memerintahkan
orangtua agar menyuruh anak-anaknya
shalat sejak berusia tujuh tahun (Shihab,
2016). Hal ini menunjukkan betapa
pengamalan ajaran agama bagi anak-anak
muslim sangat dipengaruhi dengan apa
yang ada pada diri dan sekitarnya. Hal ini
sebagaimana disebutkan bahwa ada banyak
faktor dalam berperilaku, misal: faktor
pembawaan, faktor keluarga, dan faktor
pengalaman dalam masyarakat sekitar
(Gunarsa, 2015: 69).
Faktor-faktor tersebut mendukung
dalam ajaran agama Islam, di mana
pendidikan Islam adalah proses
transinternalisasi pengetahuan dan nilai
Islam melalui upaya pengajaran,
pembiasaan, bimbingan, pengasuhan,
pengawasan, dan pengembangan
potensinya guna mencapai keselarasaan
dan kesempurnaan hidup di dunia dan di
akhirat. Di sini ditekankan bahwa tugas
pendidikan Islam adalah dalam rangka
membantu mengembangkan potensi anak-
anak muslim agar sejalan dengan fitrah
yang dibawa sejak lahir, yakni
kecenderungan manusia untuk berbuat
kebaikan dan kebajikan (Arifin, 1987;
Syafe’i, 2015: 154-155).
Ada beberapa model pengajaran
agama yang bisa dilakukan sebagai
stimulus dalam perannya sebagai sarana
terlaksananya tugas pendidikan agama.
Model-model tersebut adalah bagian teori
pendidikan dan dipandang sebagai
framework yang mampu membuat guru
agama (dan orang tua) mengintegrasikan
elemen-elemen yang berbeda dari teori
pendidikan, dan sebagai hasil,
mengkonstruksi dan mengartikulasi basis
yang lebih solid aktivitas pengajaran.
Tujuan utama dari pendidikan agama
adalah sebagai pengembangan kapabilitas
anak-anak dalam membuat keputusan
dalam keberagamaan dan moral mereka,
dan yang paling utama adalah mereka
akhirnya mengetahui tentang agama
mereka. Ada empat model yang mampu
merepresentasikan tujuan dari pendidikan
agama, yakni: (1) model pendidikan
terbuka (the open education model); (2) model
akademik (the academic model); (3) model
pendidikan teknologi (the educational
technology model); (4) model keadilan sosial
(the social justice model) (Newton, 1981: 2).
Model-model pengajaran agama tersebut
merupakan bagian afirmasi dari
pendekatan humanistik. Pendekatan
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
164 | P a g e
humanistik mengintrodusir penekanan
pada pentingnya emosi dan dikembangkan
kualitas semua domain, yakni domain
kognitif, domain afektif, dan psikomotorik
(Kurdi, 2018: 128). Domain-domain tersebut
menjadi inti dalam metodologi pengajaran
agama.
Berdasarkan metodologi pengajaran
agama oleh Kementerian Agama
khittah/esensi dari tujuan pengajaran agama
(dengan prinsip pendidikan Islam) adalah
“kepribadian muslim” yakni kepribadian
yang semua aspek kehidupan dijiwai oleh
ajaran agama Islam, dengan kata lain
pengajaran diarahkan agar tiap individu
menjadi muttaqien atau manusia yang
bertaqwa (Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1982: 61). Oleh karena itu,
dalam pengajaran agama terhadap generasi
muslim diarahkan pada tujuan membentuk
akhlakul karimah, memperkenalkan posisi
manusia dan tanggungjawabnya dalam
hidup, mengenalkan anak-anak bahwa
mereka adalah bagian dari makhluk sosial,
dan mengenalkan dan memahamkan
tentang penciptanya, alam semesta dan
memanfaatkan alam dengan sebaik-
baiknya, serta mempersiapkan anak-anak
muslim dengan berbuat kebaikan dan
kebajikan untuk kehidupan dunia dan
akhirat. Kebaikan dan kebajian yang
dilakukan adalah dalam kerangka relasinya
kepada Allah Swt, relasinya kepada sesama
manusia, dan relasinya kepada alam
semesta. Dengan pengajaran agama
tersebut anak memahami secara
komprehensif substansi bagaimana
beragama.
Agama bagi Anak-Anak
Agama merupakan hal yang
mendasar yang diajarkan kepada anak-anak
muslim, secara sosial psikologis, agama
sangat diperlukan oleh tiap individu bagi
kehidupannya. Selain itu, sebagai affirmative
action manusia juga dipandang sebagai
homo religious atau makhluk yang beragama
(Djalaluddin dan Ramayulis, 1998: 70).
Perwujudan agama dalam perilaku
lahiriyah merupakan bagian warna dari
pengaruh nilai-nilai agama yang dipegang
teguh. Pendidikan dan pengalaman yang
dilalui anak-anak sangat menentukan
perkembangan agama anak dari usia 0-12
tahun (Daradjat, 1976: 58-59). Menurut
Ernest Harms yang disebutkan oleh
Jalaluddin dalam psikologi agama bahwa
agama bagi anak-anak dalam
perkembangannya melewati tiga fase,
yakni:
1. The fairy tale stage (tingkat
dongeng; usia 3-6 tahun): konsep
mengenai Tuhan lebih banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan
emosi. Penghayatan konsep ke-
Tuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya
yang diliputi oleh dongeng-
dongeng yang kurang masuk
akal;
2. The realistic stage (tingkat
kenyataan; usia sekolah dasar
hingga usia adolesense): ide ke-
Tuhanan sudah mencerminkan
konsep yang didasari pada
kenyataan atau realis. Lembaga
keagamaan dan pengajaran
agama berpengaruh besar pada
fase ini. Segala amaliyah
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
165 | J u r n a l H a w a
keagamaan diikuti dan dipelajari
dengan penuh minat;
3. The individual stage (tingkat
individu; tingkat kepekaan
emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia
mereka). Konsep keagamaan
bersifat individualis, dan fase ini
terbagi dalam tiga kelompok
dalam hal konsep ke-Tuhanan,
yaitu: (a) Konvensional dan
konservatif; (b) Murni bersifat
personal; (c) Bersifat etos-
humanistik (Jalaluddin, 1996: 66-
67).
Dari fase tersebut, dapat dilihat juga
bahwa sifat agama pada diri anak-anak
yakni: (1) unreflective (tidak mendalam); (2)
egosentris (terkait keagamaan anak
menonjolkan kepentingan dirinya dan telah
menuntut konsep keagamaan yang
dipandang dari kesenangan pribadinya); (3)
Anthromorphis (konsep ke-Tuhanan
menggambarkan aspek kemanusiaan,
berasal dari hasil pengalaman berinteraksi
dengan orang lain); (4) Eksperimental,
inisiatif, spontanitas (kesadaran tentang
makna keagamaan ataupun konsep Tuhan
didengar anak dari orangtua, keadaan,
tempat, dan situasi serta mimik
kesungguhan. Semula tidak menjadi
perhatian utama, kemudian menjadi
perhatian dan bertambah rasa ingin tahu);
(5) Ucapan dan praktik (verbalis dan
ritualis), (6) Suka meniru (imitatif, tindak
keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak
diperoleh dari hasil melihat perbuatan
lingkungan) (Jalaluddin, 2004). Berdasarkan
hal tersebut, menjadi hal yang perlu
digarisbawahi bahwa agama bagi anak-
anak sangat ditentukan oleh lingkungan
rumah, sekolah, dan masyarakat. Oleh
karena itu, setidaknya menurut Quraish
Shihab ada beberapa hal yang menjadi
perhatian bagi guru dan orangtua dalam
memahami agama bagi anak-anak dalam
memahamkannya kepada mereka (Shihab,
2014), yaitu:
Pertama, memahami pertanyaan
anak-anak dan meluruskannya jika keliru.
Banyak pertanyaan yang tidak wajar dan
bahkan salah jika ditanyakan. Misalnya
pertanyaan “Siapa yang menciptakan
Allah”. Meluruskan pertanyaan ini sejak
semula lebih penting daripada
menjawabnya.
Kedua, pemahaman agama yang
diberikan kepada anak-anak harus
disesuaikan dengan kemampuan nalar dan
rasa mereka. Pemahaman agama harus
sesuai dengan daya tangkap anak. Contoh
perumpamaan adalah salah satu cara yang
sangat membantu dalam memahamkan
agama kepada anak. Misalnya
menganalogikan kenikmatan surga jauh
melebihi kenikmatan es krim.
Ketiga, memahamkan agama kepada
anak tidak dapat mengelak dari
keterjerumusan dalam pilihan kata-kata
yang dapat dinilai bertentangan/tidak
dibenarkan oleh ketentuan aqidah/syariah.
Misalnya menggunakan kalimat
menyangkut Allah yang sepintas terbaca
sebagai “mempersamakan Allah dengan
makhluk”. Contohnya “Allah turun” “Dia
yang Dilangit” atau gambaran
“kegembiraan” Allah terhadap orang yang
bertaubat bahwa Allah bergembira melebihi
kegembiraan seseorang di padang pasir
yang kehilangan unta bersama bekalnya,
tapi tak lama kemudian yang kehilangan
unta dan bekal itu muncul di hadapannya.
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
166 | P a g e
Contoh-contoh tersebut serasa
menyamakan allah dengan makhluk.
Keempat, sebagaimana Imam Al-
Ghazali dalam kitab al-Istiqad yang
menyatakan bahwa keyakinan tentang
kebenaran kebenaran satu ide oleh pihak
yang diyakinkan dapat berhasil dengan
berbagai cara selama sesuai dengan sikap
yang hendak diyakinkan, karena ada orang
yang yakin bukan berdasarkan argumentasi
akliyah, tetapi karena apa yang hendak
diyakinkan kepadanya sejalan dengan
kecenderungan hatinya. Ada lagi yang
percaya tanpa argumentasi akibat
kepercayaan dan kekagumannya terhadap
siapa yang menyampaikan. Oleh karena itu,
guru dan orangtua sangat berperan dalam
hal memperoleh kepercayaan dan
kekaguman anak. Agama bagi anak-anak
bisa jadi tidak memuaskan bagi orang
dewasa, tetapi itu dalam pemahaman
mereka agama yang dimengerti bisa
mengafirmasi hilangnya masalah agama
yang dialami oleh Anak.
Masih menurut Iman Al-Ghazali,
banyak argumentasi akliyah, walau dalam
Alquran, yang jika diteliti lebih jauh,
sifatnya tidak sepenuhnya meyakinkan
ilmuwan, kendati argumentasi itu
meyakinkan banyak orang. Sebagaimana
juga Syekh Abdul Halim Mahmud dalam
kitabnya al-Islâm wa al-‘Aql yang
menyebutkan seseorang tidak perlu
bertepuk tangan kepada orang-orang yang
membuktikan wujud Tuhan melalui nalar,
karena dengan nalar juga orang lain dapat
membuktikan sebaliknya. Jadi, agama yang
dipahami anak-anak boleh jadi tidak
memuaskan bagi orang dewasa, tapi
membuat anak-anak paham.
Kelima, sejak dini sudah ditanamkan
kepada anak, bahwa kemampuan menalar
sesuatu dan membuktikan kebenaran tidak
sama dengan kemampuan
menggambarkannya dalam benak. Bisa jadi
seseorang dapat membuktikan sesuatu
secara ilmiah yang didukung oleh nalar
yang lurus, tetapi benak tidak dapat
menggambarkannya kendati sudah dewasa
dan berpengetahuan, apalagi anak-anak.
Hal ini harus ditekankan bahwa menalar
adalah menjangkau sesuatu dengan nalar,
sedangkan menggambarkan sesuatu adalah
menghadirkan nya dalam benak.
Berdasarkan hal tersebut di atas,
membangun sisi spiritual anak merupakan
hal yang tidak bisa dipandang sederhana.
Kompleksitas dari spiritualisme anak
merupakan hal yang perlu menjadi
perhatian utama, karena dengan pondasi
religius yang kuat akan memberi pengaruh
yang besar bagi anak-anak dalam menjalani
kehidupan secara positif. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa doktrin ajaran Islam
bagi anak-anak muslim di era digital dan
pandemi haruslah dicapai dengan kacamata
kontekstual dan tidak menghilangkan
karakter anak dalam beragama.
Pembahasan
Budaya telah melakukan transisi,
begitu pula karakteristik generasi sekarang.
Diksi gadget, handphone, dan media sosial
tidak asing di telinga anak-anak, karena itu
adalah bagian dari mereka, di mana
teknologi telah menjadi satu kesatuan dan
melekat dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Generasi yang sedari lahir sudah
terbiasa hidup dan dikelilingi teknologi
sebagai alat bantu dalam aktivitas
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
167 | J u r n a l H a w a
Cara mengajar Agama bagi Generasi digital
native di masa pandemi
Bahan pengajaran Agamai
Tujuan dari Pengajaran Agama bagi generasi digital native
kehidupan keseharian disebut sebagai
generasi digital native (Prensky, 2001).
Berdasarkan pendapat penggagas teori
generasi digital native tersebut, menyatakan
bahwa generasi yang lahir pada era 80-an
dan sesudahnya adalah generasi yang lahir
pada lingkungan teknologi digital. Generasi
yang paling melekat dengan istilah generasi
digital native adalah generasi Z (Internet
Generation yang lahir tahun 1994 hingga
sekarang). Karena itu pendekatan doktrin
yang dilakukan kepada generasi digital
native haruslah menggunakan pendekatan
yang komprehensif karena doktrin ajaran
agama terhadap anak-anak tidak hanya
dilihat pada ranah fase perkembangan dan
karakteristiknya saja, namun juga aspek
lingkungan dan perubahan yang
mempengaruhinya. Berdasarkan hal
tersebut Zakiah Daradjat menekankan
bahwa multi approach adalah pendekatan
dalam metode yang bisa dilakukan, yakni
pendekatan religius (fitrah), pendekatan
filosofis (rasionalitas), sosio-kultural, dan
pendekatan scientific yang mewujudkan
munculnya domain kognitif, afektif dan
psikomotorik (Daradjat, dkk, 2001: 72).
Pendekatan-pendekatan tersebut
merupakan afirmasi daalm mendukung
doktrin ajaran Islam bagi anak-anak muslim
sekarang ini.
Lingkungan sekarang ini adalah
lingkungan millenial, di mana teknologi
telah menjadi “makanan sehari-hari” bagi
anak-anak. Peningkatan dan akrabnya
dalam penggunaan teknologi digital, media,
dan komunikasi yang sifatnya daring
menjadi hal yang wajar. Oleh karenanya
pendekatan multi approach harus menjadi
tolak ukur dalam implementasi bagaimana
mengajarkan agama kepada anak-anak.
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis
memetakan doktrin ajaran Islam bagi
generasi digital native di masa CoVid-19 ini
dengan dideskripsikan dalam 3 (tiga) hal
utama, sebagaimana grafik visual berikut:
Gambar 1. Grafik Visual Doktrin
Ajaran Islam
bagi Generasi Digital Native di masa
Pandemi
Dari gambar tersebut di atas, model
pendidikan agama berbasis teknologi
menjadi kerangka aplikatif dalam
implementasi doktrin ajaran agama bagi
generasi digital native di tengah wabah
CoVid-19. Model pendidikan teknologi (the
educational technology model) dalam
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
168 | P a g e
mendoktrin ajaran Islam terhadap generasi
digital native ini dalam tujuannya adalah
menghasilkan perubahan religiusitas anak
dalam berperilaku, berprinsip pada tujuan
yang jelas, penekanan pada hal-hal positif
dalam rangka pertumbuhan agama,
pergerakan pembelajaran yang mudah dan
efektif, dan penilaian berfokus pada
perubahan sikap. Model ini memiliki
paradigma ynag kuat karena outcomes dari
model ini adalah sikap anak-anak yang bisa
diamati dan doktrin yang efektif sesuai
zaman—dalam rangka menjadi individu
yang religius—dengan cara yang aman dan
tidak menghilangkan kewajiban protokol
kesehatan dalam pendidikan di masa
pandemi. Model ini mengafirmasi nilai
interaktif, edukatif, inovatif dan efektif di
tengah pandemi dalam pengajaran agama
tanpa mengaburkan esensi doktrin agama.
Seiring perkembangan teknologi
banyak inovasi yang bisa dilakukan dengan
akses daring dalam pengajaran agama.
Mengajar/mendidik tentang ajaran Islam
kepada anak-anak di masa CoVid-19 bisa
dilakukan dengan aman tanpa
menghilangkan esensi karakteristik anak
concrete operational thought (Desmita, 2005:
156), dunia bermain (Hogg & Blau, 2004:
112), literasi digital (Ng, 2012; Martin, 2006)
dan pembelajaran yang bermakna (Ausubel,
; Gunstone, 2015). Gadget dan internet bisa
dijadikan sebagai sarana positif dalam
doktrin ajaran agama Islam kepada generasi
digital native. Partisipasi anak-anak dalam
lingkungan yang serba digital bisa
diupayakan dalam kerangka meningkatkan
pengetahuan atau wawasan dalam
beragama serta amaliyah dalam religiusitas
mereka. Aktivitas keagamaan, konsep ke-
Tuhanan, ibadah ritual dan interaksi dalam
ibadah sosial, dan contoh/ keteladan bagi
anak-anak muslim dalam beragama bisa
didukung melalui teknologi informasi,
visual, audio, literasi media, literasi
komunikasi dan media interaktif. Hal ini
sejalan dengan sosio religius-kultur
demografi anak-anak muslim dalam
konteksnya sebagai generasi digital native.
Berdasarkan sosio religius-kultur
demografi, dalam memberi pemahaman
agama kepada anak-anak, setidaknya ada
tiga dimensi yang diimplementasikan,
yaitu: (1) dimensi modeling force
(memberikan contoh dalam mendoktrin);
(2) dimensi cognitive force (pembentukan
pengetahuan agama bersifat eksklusif semi-
totalistik untuk kaitannya tentang ke-
Tuhanan, dan inklusif –humanis-komunal
dalam aspek sosial bermasyarakat); (3)
Conditional force (kultur yang dibangun
kental dengan nuansa aktivitas keagamaan).
Dengan kata lain, dalam memahamkan
ajaran agama adalah dengan kerangka
doktrin yang positif. Artinya, doktrin
dilakukan berdasarkan prinsip objektif,
reflektif, observatif, tidak dogmatis, dan
tidak fanatik buta (Kurdi, 2018: 239)
Dimensi pemahaman agama bagi
anak-anak digital native tersebut secara tidak
langsung juga mengharuskan generasi
muslim memiliki kompetensi multi literasi.
Penguasaan menggunakan
komputer/program, mengakses internet
dan website, membaca teks dari screen,
memahami informasi dan pengetahuan
agama secara audio-visual, dan etika dalam
dunia cyber menjadi satu kesatuan
simpulan perhatian dalam implementasi
doktrin ajaran Islam kepada anak-anak
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
169 | J u r n a l H a w a
generasi generasi Z. Berdasarkan data yang
dikumpulkan setidaknya ada beberapa
macam sarana dan cara yang bisa dilakukan
dalam pengajaran agama Islam bagi anak-
anak “kekinian” secara menarik dan
menyenangkan (edutainment) dengan tetap
berpedoman pada nilai-nilai ajaran Islam
dan memperhatikan Surat Edaran Nomor 4
Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan
Pendidikan dalam Masa Darurat
Penyebaran Covid-19, protokol kesehatan,
masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala
Besar), lockdown, isolasi, physical distancing,
social distancing, dan role usaha memutus
rantai penyebaran virus Corona dalam
kerangka Study from Home (SFH) maupun
bagian usaha blended learning di dalam
kerangka model pendidikan teknologi (the
educational technology model),. Adapun
sarana dan cara tersebut bisa dilihat pada
Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Sarana dan Cara Pengajaran
Agama Islam
Bagi Generasi Digital Native di Era
CoVid-19
N
o.
Sarana/Me
dia
Keterangan
Sarana/Cara
1. E-Learning
dan
Webinar
Membuat sebuah sarana
setting kelas dan
kelompok diskusi
dengan cara
membangun jaringan
lewat aplikasi LMS
(Learning Management
System) dan
microblogging seperti
Ruang Guru, Google
Classroom, Rumah Belajar,
Qupper, Zenius, Edmodo,
Moodle, Itslearning,
Skillshare, KelasKita,
Edublogs, Skype, Brainly,
Wikispaces, Schoology,
Classdojo, Aku Pintar,
Hangouts, Openstudy,
Quora, Pinterest,
SEVIMA Edlink, Zoom,
Google Meet atau akses
Claroline, Dokeos. Diskusi
kelas Online, membuat
materi pelajaran agama,
upload dan berbagi
catatan/file/dokumen,
pemberian tugas dan
kuis, sharing
pengaalaman terkait
agama, dll.
2. Media
Sosial
Mengajarkan anak
tentang agama lewat
media aplikasi Facebook,
Instagram, Line,
Whatsapp, Twitter,
Telegram, Ask.fm,
Snapchat, Skype, dll.
Dengan inovasi untuk
menyampaikan materi
ajar, berdiskusi/
bertanya/
berkomentar/berkomun
ikasi, video
call/conference,
bersosial/pertemanan/
silaturahmi, berbagi
kreasi
foto/video/gambar/
informasi dan sharing
thread serta pusat
informasi
3. Aplikasi
Audio-
Membuat Video
ataupun menonton
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
170 | P a g e
Visual YouTube dan situs web
berbagi video lainnya.
Dengan cara mengakses
informasi/pengetahuan
agama untuk anak-anak
dan film edukasi
animasi/kartun
bernuansa islami
seperti: Upin dan Ipin,
Nussa Official, Syamil
dan Dodo, Adit Sopo
Jarwo, Omar dan Hana,
Ali and Sumaya, Riko
the series, Alif Alya,
Joseph the King of
Dreams, Kisah Nabi,
Muslim Kids TV, Yufid
Kids, Kastari Sentra
Animation dll) . Inovasi
doktrin agama Islam
dengan cara mengakses
tontonan dan film
edukasi islami (dan
memperhatikan
keterangan usia yang
bisa mengakses channel)
memberikan nilai
edukasi anak Islami,
kesempatan belajar
agama dengan basis
edutainment misal
belajar membaca
Alquran, belajar huruf
hijaiyyah, belajar bahasa
Arab,mengikuti dan
menyanyi lagu religi
dan lagu islami anak,
menghafal Alquran,
menghafal Asmaul
Husna, menambah
wawasan Islam dan cara
beribadah, sketsa lucu
islami, mengenalkan
perilaku Islami, bermain
puzzle islami, dan
meneladani kisah moral
berkarakter. Adapun
aplikasi untuk mebuat
video kreatifitas terkait
ajaran Islam, sosial
experiment adab dan
akhlak, dan pengamalan
ibadah misalnya: Adobe
Premier Clip, Corel Video
Studio, Camtasia, AVS
Video Editor, Windows
Movie Maker, OpenShot
VideoShow, Snack Video,
Vidio, TikTok, InShot,
FunVideoApp,
KineMaster,
VivaVideo,VideoShow,
Filmorago, dll
4. Blogging, E-
Book dan
buku pintar
Menulis tugas, opini,
cerita, pengalaman
inspiratif, diskusi dan
sharing ilmu agama
serta membaca dan
mendengarkan
wawasan Islami dan
pendidikan agama
Islam/ibadah di dalam
Open access, e-book,
WordPress, Medium,
Penzu, Webs, Weebly,
Wix, Bogger, Postach.io,
Pen.io, Tumblr,
Livejournal, Buku Sekolah
Digital, E-Book, Buku
pintar layar sentuh
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
171 | J u r n a l H a w a
Pengetahuan agama Islam,
Smartbook Alquran,
Murottal Audio Digital,
Buku digital Islami, Buku
Playpad Edukasi Islami,
Buku Aktivitas Seru Anak
Islam, Buku Aktivitas
Anak Sholeh, Komik anak
Islam Pdf , Pinterest baca
Buku Online, dll.
5. Aplikasi
Game (Game
Mobile)
Game Anak Islami bisa
digunakan agar tidak
menghilangkan esensi
anak-anak dalam
bermain sambil belajar
agama Islam. Aplikasi
game tersebut misalnya:
Game Anak Sholeh,
Rumah Amalia, Marbel
MuslimKids, Marbel Doa
Islam, Game Tajwid,
Belajar Huruf Hijaiyah,
Game Tajwid Petualangan,
Moslem Kids Puzzle,
Game Edukasi Belajar Iqro,
Marbel Mengaji / Marbel
Learns Quran for Kids,
Islamic Girl Puzzle
Toodlers, Video Lagu Anak
Islam, Asah Otak anak
Muslim, Muslim
Millionaire Quiz, Kuis
Anak Muslim, Islamic
Puzzle Game, Soleh Super
Jump, Belajar Bahasa Arab
+ Suara, dll.
Data bersumber dari berbaga sumber website
dan playstore
Platform digital berbasis teknologi
di atas merupakan sarana yang bisa
dimanfaatkan dalam pengajaran agama
Islam dengan metodologi pengajaran yang
jauh dari unsur konvensional. Aplikasi,
game dan situs-situs tersebut juga sebagai
affirmative action dalam menghargai ruang
Online bagi generasi digital native. Guru dan
orangtua harus adaptif dengan perubahan
zaman dan harus memiliki kesadaran tinggi
dalam memberi rasa aman bagi anak-anak
untuk belajar agama di masa pandemi
Covid-19. Zaman berubah maka
pendekatan juga berubah, kontekstual
dalam doktrin agama tidak bisa dipaksakan
dengan tradisi ceramah saja, namun juga
dengan inovasi dan reformulasi metodologi
pembelajaran agama. Analoginya
sebagaimana mobil dan handphone selalu
berubah dengan fitur dan fasilitas yang
semakin canggih dari tahun ke tahun demi
efektifitas dan kenyamanan dalam
beraktivitas. Maka begitu pula dengan
pengajaran agama Islam, doktrin tetap
sama, sumber utama Alquran dan hadits
tetap menjadi pegangan, namun metode
pengajaran semakin dikembangkan,
sehingga ilmu agama yang didapat terpatri
dalam hati, bermakna dan bermanfaat bagi
keseharian anak-anak muslim.
Mengajarkan ajaran agama Islam
kepada anak-anak muslim di masa pandemi
dengan melibatkan kebermanfaatan
teknologi menurut pemikiran penulis
merupakan kekuatan besar bagi
pendidikan agama Islam, karena secara
implisit dapat dilihat bahwa aplikasi, game
online islami, dan situs-situs pendukung
pengajaran agama sebagaimana yang
disebutkan dalam tabel 1 mampu
memunculkan proses edukatif. Dengan
inovasi dalam pengajaran agama ataupun
pembelajaran agama akan terlihat
mengedepankan nilai-nilai proses edukatif
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
172 | P a g e
yakni proses interaksi multiarah, proses
komunikasi verbal dan tulisan, proses
refleksi makna agama dan beragama, dan
proses eksplorasi pengetahuan agama
hingga proses aktivasi karakter dalam
kehidupan sehari-hari.
Proses pengajaran daring di rumah
maupun blended learning di masa pandemi
ini tidak akan menghilangkan makna
pembelajaran layaknya di sekolah, namun
malah menjadi nilai plus karena pendidikan
yang bermakna akan lebih muncul ketika
ada support di lingkup keluarga. Dengan
mengoptimalkan platform digital yang ada
memungkinkan untuk muncul tidak hanya
ranah akademik intelektual saja, tetapi juga
life skill dan karakter (akhlakul karimah)
yang didukung dengan uswah, qudwah dan
mauidzah dari orangtua. Keteladan dan
nasihat dari orangtua memungkinkan
orangtua menjadi role model dalam
beragama dan pengamalan Aqidah,
akhlakul karimah, dan Syariah. Tidak ada
yang paling bisa diikuti dalam beragama
bagi anak-anak kecuali dengan mencontoh
dan didampingi, diarahkan, dan
dikembangkan oleh orangtuanya. Oleh
karenaya, hal positif yang diperoleh dengan
mengoptimalkan sarana tersebut adalah
maka pengajaran agama akan memiliki
nuansa yang menarik, menyenangkan,
edutainment, kreatif, interaktif, edukatif,
muncul rasa koriusitas yang cukup tinggi,
inspiratif, meaningful learning dan nilai-nilai
positif lainnya.
Berdasarkan keseluruhan hal di atas,
ada 3 (tiga) perspektif yang menjadi
perhatian sebagai analisis akhir, yakni
teknis, literasi kritis, dan literasi sosial-
emosional dalam pengajaran agama bagi
anak-anak generasi digital native di era
pandemi.
1. Dalam perspektif teknis: (1)
Perlu adanya pengetahuan yang
baik dalam penggunaan
komputer dan program; (2)
Efektifitas, efisiensi dan
optimalisasi waktu yang
digunakan harus diperhatikan,
tidak boleh digunakan dalam
kurun durasi waktu yang lama
dan terus menerus tanpa batasan
karena akan mengganggu
kesehatan fisik dan indera jika
tidak ada batasan, dan bahkan
berdampak pada kecanduan
gadget/game; oleh karenanya,
manajemen waktu beribadah,
belajar dan bersosial/bermain
menjadi perhatian (3)
Diperlukan variasi dalam
implementasi pengajaran agama
dengan platform digital yang
tersedia;
2. Dalam perspektif literasi kritis:
(1) Terbangunnya pemahaman
dengan gaya belajar yang varian
dan bersifat multiple intelligence,
dengan begitu tantangannya
adalah tingkat kematangan
beragama, tingkat intelektual,
dan perbedaan karakteristik
individu anak patut menjadi
pertimbangan; (2) Keterampilan
dalam membaca teks melalui
layar gadget/ screen
memungkinkan anak menjadi
kritis dalam berpikir,
mereproduksi karya
(lisan/tulisan/aksi), dan
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
173 | J u r n a l H a w a
melakukan konstruksi dan
sintesa dari
bacaan/pengetahuan;
3. Dalam perspektif literasi sosial-
emosional, (1) Virtual Reality dan
Augmented reality
memungkinkan anak menjadi
tidak bisa bersosial secara offline,
oleh karena itu manajemen
penggunaan gadget/internet
harus diimplementasikan secara
optimal, karena dalam faktanya
dunia realitas tidak akan sama
dengan dunia virtual,
manajemen emosi dalam intra-
personal dan interpesonal akan
memungkinkan anak-anak
ketika pengajaran agama
memiliki sisi kepekaan yang
positif dalam memecahkan
masalah bagi dirinya maupun
ketika di masyakat; (2)
Pengunaan platform situs dan
aplikasi/game seyogyanya
berperspektif adil gender dan
memperhatikan anak-anak
disabilitas; (3) Bijak
menggunakan platform yang
ada sehingga tidak
menghadirkan dampak negatif
dari penggunaan flatform yang
ada khususnya dalam kerangka
doktrin agama bagi anak-anak.
Literasi Etika Online dan Literasi
Cyber safety dalam hal surfing,
browsing, dan menggunakan
platform gaming harus
berdasarkan etika dunia internet,
sehingga informasi yang diserap
murni untuk menimba ilmu
agama yang sifatnya sesuai
dengan koridor etika beragama
dan dasar Ahli Sunnah wal
Jamaah, inklusifitas beragama,
penuh kehati-hatian, selektif dan
digunakan dalam hal dan cara
positif/bermanfaat.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa dunia pendidikan
Islam dalam kerangka mengajarkan ajaran
agama mengintrodusir pola/model
pendidikan yang transformatif kontekstual.
Di mana pendidikan berbasis teknologi
sudah seharusnya dioptimalkan. Dalam
masa pandemi Covid-19, guru dan
orangtua tidak bisa menolak realitas
tentang pengajaran yang bersifat daring dan
beradaptasi secara totalitas dengan dunia
anak-anak generasi digital native. Tujuan,
doktrin, dan metodologi pengajaran agama
menjadi barometer corong utama dalam
melakukan reformulasi pengajaran agama
bagi anak-anak zaman “generasi Z” di masa
pandemi terkait bagaimana menanamkan
ke-aqidah-an, penanaman akhlakul karimah
serta syariah/fiqh (termasuk juga membaca
dan menghafal Alquran). Diharapkan
ketika menggunakan sarana seperti e-
learning, webinar, media sosial, aplikasi
audio-visual, blogging, e-book, smartbook dan
aplikasi game tidak mengenyampingkan
dunia anak-anak muslim sebagai bagian
generasi digital native dengan
memperhatikan tiga perspektif (teknis,
literasi kritis, dan literasi sosial-emosional)
dan juga sebagai bagian dari pengamalan
beragama dalam sosio religius-kultur
demografinya.
Daftar Pustaka
Muqarramah Sulaiman Kurdi : Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi
174 | P a g e
Anisah, Ani. Siti. 2017. Pola asuh orang tua
dan implikasinya terhadap
pembentukan karakter anak. Jurnal
Pendidikan UNIGA, 5(1), 70-84.
As. Gilcman. 1991. Keterampilan Dasar
Mengajar Guru. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cornu, B. 2011. Digital Natives: How Do
They Learn? How to Teach Them?
Moscow, Russian Federation:
UNESCO Institute for Information
Technologies in Education.
Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagan
Agama Islam. 1982. Metodologi
Pengajaran Agama Islam. Jakarta:
Pembinaan Sarana dan Prasarana
Perguruan Tinggi Islam.
Gunstone, Richard. 2015. Meaningful
Learning. Australia: Monash
University
https://www.researchgate.net/pu
blication/302567262.
Hamid, Sholeh Moh. 2011. Metode Edu
Tainment, Yogyakarta: Diva Pres.
Jalaluddin & Ramayulis. 1998. Pengantar
Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam
Mulia.
Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
________. 2004. Psikologi Agama. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Jukes, I., McCain, T., dan Crockett, L. 2010.
Understanding the Digital Generation:
Teaching and Learning in the New
Digital Landscape. Thousand Oaks,
USA: Corwin Press.
Juliane, C., Arman, A. A., Sastramihardja,
H. S., & Supriana, I. 2017. Digital
Teaching Learning for Digital Native;
Tantangan dan Peluang. Jurnal Ilmiah
Rekayasa dan Manajemen Sistem
Informasi, 3(2), 29-35.
Kurdi, M. S., 2018. Madrasah Ibtidaiyah
dalam Pandangan Dunia: Isu-Isu
Kontemporer dan Tren dalam
Pendidikan. Al Ibtida: Jurnal
Pendidikan Guru MI, 5(2), pp.231-
248.
Kurdi, M. S., 2018. Evaluasi Implementasi
Desain Pendidikan Karakter
Berbasis Pendekatan
Humanistik. Elementary: Jurnal
Ilmiah Pendidikan Dasar, 4(2),
pp.125-138.
Kurdi, M. S., Mardiah, M., Kurdi, M. S.,
Usman, M. I. G., &
Taslimurrahman, T. T. 2020.
Speaking Activities In Madrasah
Ibtidaiyah: A Meta Narrative
About Character Building And
Jurnal Hawa Vol. 2 No. 2 Juli-Desember 2020
175 | J u r n a l H a w a
Multiculturalism Point Of
View. Al-Bidayah: Jurnal Pendidikan
Dasar Islam, 12(1), 55-82.
Lubis, M. A., & Aspar, R. 2005. Kaedah
pengajaran pengetahuan agama
Islam di Brunei Darussalam. Jurnal
Pendidikan, 30, 141-150.
Mardina, R. 2019. Literasi Digital Bagi
Generasi Digital Natives. Diakses
dari https://www. researchgate.
net/publication/326972240_Literasi_D
igital_bagi_Generasi_Digital _Natives
Martin, A. 2006. Literacies for the Digital Age:
Preview of Prt 1. In Martin, A., (Ed).
Digital Literacies Learning. London:
Facet Publishing. hlm. 3-25
Mawardi. 2000. IAD,ISD,IBD. Bandung:
Pustaka Setia.
Muhadjir, Noeng. 2011. Metodologi
Penelitian, Jakarta: Rake Sarasen.
Newton, Robert R. 1981. Four Models of
Teaching Religion. PACE. Volume
11, 17. USA: Boston College
University Libraries.
http:hdl.handle.net/2345/2429
Ng, W. 2012. Can We Teach Digital Natives
Digital Literacy?. Computers &
Education, 59. hlm. 1065-1078
Prensky, M. 2001. Digital Natives, Digital
Immigrant on the Horizon. MCB
University Press, Vol. 9 No. 5
Singgih D.Gunarsa. 2015. Psikologi Untuk
Membimbing. Cet. VII. Jakarta: PT.
Gunung Mulia.
Syafe'i, Imam. 2015. Tujuan Pendidikan
Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal
Pendidikan Islam, 6(2), 151-166.
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang
Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan
dalam Masa Darurat Penyebaran
Covid-19.
Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem pendidikan nasional dan
Penjelasnnya. Yogyakarta, Media
Wacana Press, 2003.