66
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan melalui upaya kesehatan. Upaya kesehatan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan, salh satunya yaitu oleh dokter. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Akan tetapi, dewasa ini marak tuntutan hukum yang diajukan masyarakat. Hal ini menunjukkan berkurangnya kepercayaan terhadap dokter Pada saat ini ilmu kedokteran banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar yang dapat menimbulkan kemungkinan tuntutan dari keluarga pasien. Ilmu kedokteraan ini dilakukan dengan metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah otopsi. Otopsi adalah suatu pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh ahli yang berkompeten.

Dr. Hadi Salim

Embed Size (px)

DESCRIPTION

refrat

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsure kesejahteraan yang harus diwujudkan melalui upaya kesehatan. Upaya kesehatan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan, salh satunya yaitu oleh dokter. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Akan tetapi, dewasa ini marak tuntutan hukum yang diajukan masyarakat. Hal ini menunjukkan berkurangnya kepercayaan terhadap dokter Pada saat ini ilmu kedokteran banyak melakukan percobaan dalam berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar yang dapat menimbulkan kemungkinan tuntutan dari keluarga pasien. Ilmu kedokteraan ini dilakukan dengan metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah otopsi. Otopsi adalah suatu pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh ahli yang berkompeten.Berdasarkan tujuannya, otopsi terbgai menjadi tiga, yakni otopsi anatomik, otopsi klinik, dan otopsi forensik. Otopsi klinik adalah otopsi yang dilakukan terhadap jenazah seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk mengetahui penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian yang pasti, menilai hasil usaha dari pemulihan kesehatan, penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya. Visum dan otopsi pada korban yang telah mati yang dikerjakan oleh seorang dokter merupakan salah satu cara untuk membuktikan perkara pidana. Selain itu, visum dan otopsi diharapkan dapat digunakan untuk menghindari tuduhan malpraktik kepada para dokter.Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana fungsi otopsi klinik dalam menegakkan diagnose postmortem pada kasus kasus yang masih belum terdiagnosis secara pasti sampai saat kematian pasien. 1.2 Batasan masalahReferat ini membahas tentang definisi, macam-macam, prosedur persiapan otopsi, teknik otopsi, fungsi otopsi klinik dalam penegakkan diagnose post mortem dan aspek medikolegal dari otopsi klinik.1.3 Metode Penulisan

Metode yang dipakai pada penulisan makalah ini adalah melalui tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literature dan contoh kasus.

1.4 Tujuan Penulisan Referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, macam-macam, prosedur persiapan otopsi, teknik otopsi, fungsi otopsi klinik dalam penegakkan diagnose post mortem dan aspek medikolegal dari otopsi klinik yang bertujuan untuk menyelesaikan kasus kasus yang mempunyai kemungkinan bersengketa.

BAB II PEMBAHASANII.1Definisi AutopsiAutopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, Autopsi berasal kata dari Auto = sendiri dan Opsis = melihat, yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.II.2Sejarah AutopsiAhli anatomi dan patologi zaman dahulu adalah pemburu, penjual daging, dan koki yang harus mengenali organ-organ dan menentukan organ tersebut dapat digunakan atau tidak. Di zaman Babylonia kuno, sekitar 3500 SM, pelaksanaan Autopsi pada hewan bertujuan untuk kepentingan mistik seperti memprediksi masa depan dengan berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Bangsa Mesir, Yunani, Romawi dan Eropa melakukan pembedahan hewan selain untuk alasan keagamaan juga untuk mempelajari susunan anatominya, namun hal ini tidak dilakukan secara sistematik.Pada zaman Yunani kuno (131-200 SM) Galen seorang filsuf yang sangat dihormati, berkuasa dan mempunyai pemikiran yang mendominasi bahkan sampai ratusan tahun kemudian, melakukan pembedahan binatang dan manusia untuk mempelajari susunan anatominya. Sikap umum masyarakat sebelum abad ke 17 terhadap autopsy tubuh manusia adalah negative. Pada sekitar akhir tahun 1200, Fakultas Hukum Universitas Bologan mempunyai dominasi yang besar, memerintahkan dilakukan autopsy untuk membantu memecahkan masalah-masalah hukum. Pada akhir tahun 1400 Paus Sixtus IV mengeluarkan aturan yang mengizinkan pembedahan tubuh manusia termasuk tindak kejahatan. Pada tahun 1500, Autopsi secara umum diterima oleh Gereja Katolik, sehingga pemeriksaan terhadap anatomi tubuh manusia dapat dilakukan secara sistemik. Sementara itu beberapa ahli saat itu, seperti Vesalius (1514-1564), Pare (1510-1590), Lancisi (1654-1720), dan Boerheave (1668-1771) mengembangkan Autopsi, Giovanni Bathista Morgagni ( 1682-1771) dianggap ahli Autopsi pertama terhebat. Selama observasinya selama 60 tahun, Morgagni menegaskan hubungan antara penemuan patologi dengan gejala klinis, hal ini menandai pertama kalinya Autopsi menyumbang banyak dalam ilmu kedokteran untuk memahami penyakit. Di jerman seorang ahli patologi Rudolph Virchow (1821-1902). Ia mempertimbangkan pemeriksaan mikroskopis sebagai pelengkap pemeriksaan Autopsinya. Virchow mengembangkan doktrin yang menyatakan keadaan patologi seluler adalah dasar penyakit. Dalam banyak hal, Virchow dapat dianggap ahli biologi molecular pertama. Di bawah kepemimpinan Virchow, Berlin menggantikan Vienna sebagai pusat utama pendidikan kedokteran.II.3Jenis-jenis AutopsiBerdasarkan tujuannya, autopsy terbagi atas :1. Autopsi klinikDilakukan terhadap jenazah seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk mengetahui penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian yang pasti, menilai hasil usaha dari pemulihan kesehatan, penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, menganalisis kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesis penyakit, dan sebagainya. Untuk autopsi ini mutlak diperlukan izin keluarga terdekat jenazah tersebut.Pelaksanaan Autopsi klinik diatur oleh UU RI nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 70 serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat bantu dan atau jaringan tubuh manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan pelaksanaan Autopsi kliniis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu hidup misalnya dalam surat wasiat) atu keluarga terdekat setelah pasien meninggal dunia. Namun dalam keadaan tertentu Autopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien menderita suatu keadaan yang membahayakan oranglain misalnya penyakit baru yang mematikan. Tempat dilakukan Autopsi klinik hanya boleh di Rumah Sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk itu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan (dokter spesialis forensic). Sebaiknya Autopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat dilakukan juga Autopsi parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat.2. Autopsi Forensik/ MedikolegalDilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Tujuan pemeriksaan autopsy forensik adalah untuk :a. Membantu penentuan identitas mayatb. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematianc. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.Hukum pelaksana Autopsi medikolegal adalah KUHAP pasal 133 dan 134, KUHP pasal 222 serta instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975. Pelaksanaan Autopsi medikolegal ini harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 133 KUHAP. Tujuannya untuk membantu penyidik menemukan kebenaran persetujuan dari keluarga berdasarkan KUHAP pasal 134 keluarga tidak mempunyai hak menolak namun mempunyai hak untuk diberitahu. Namun Undang-Undang memberikan kesempatan keluarga untuk berunding, bila tidak ada tanggapan dua hari dari pemberitahuan, maka penyidik dapat memerintahkan untuk melakukan Autopsi sebagai mana ketentuan yang dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 KUHAP.3. Autopsi AnatomiAutopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 70, serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan untuk pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya, Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, oleh mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia. Untuk autopsi ini diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau keluarganya. Dalam keadaan darurat, jika dalam 2x24 jam seorang jenazah tidak ada keluarganya maka tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk Autopsi anatomi.

II.4Autopsi klinikAutopsi (bedah mayat) klinik merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.Autopsi ini tidak kurang pentingnya dan ini secara langsung bermanfaat kepada keluarga korban dan masyarakat sekeliling. Yang penting dalam autopsi ini adalah mencari penyakit apa saja yang terdapat pada mayat itu dan apakah yang menyebabkan kematian. Dalam hal ini masyarakat menentang karena autopsi ini dianggap sebagai bertujuan ilmiah atau penyelidikan semata-mata dan tidak ada manfaatnya kepada ahli waris.Autopsi klinis harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan autopsi (bedah mayat) dengan membuka rongga kepala, dada dan perut, serta melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan sebab kematian. Namun bila pihak keluarga berkeberatan untuk dilakukannya autopsy klinik lengkap, masih dapat diusahakan untuk melakukan autopsy klinik parsial, yaitu yang terbatas pada satu atau dua rongga badan tertentu. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat diusahakan dilakukannya suatu needle autopsy terhadap organ tubuh tertentu, untuk kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi.

II.5Manfaat Autopsi KlinikPelaksanaan autopsy klinis akan membawa manfaat bagi keluarga, institusi penyelenggara pelayanan kesehatan dan individu didalamnya serta membawa manfaat bagi masyarakat luas.Bagi keluarga manfaat yang diperoleh antara lain :1. Diperolehnya informasi mengenai adanya kemungkinan kelainan genetic atau kelainan yang sifatnya diturunkan pada generasi berikutnya dalam garis keluarga.2. Mengkonfirmasi penyebab kematian, dan memantau adanya kemungkinan kelalaian medik dalam pelayanan3. Berpartisipasi dalam pendidikan dan penelitian kedokteran

Bagi institusi penyelenggara pelayanan kesehatan bermanfaat untuk :1. Mengkonfirmasi diagnosis klinis yang dibuat selama pengobatan dan perawatan2. Mengetahui asal penyakit dan perjalanan penyakit yang diderita pasien.3. Mendidik dokter dan perawat hingga pada gilirannya meningkatkan kualitas pelayanan4. Merancang obat dan pengobatan yang efektif5. Mengidentifikasi sebagai akibat dari pengobatan Bagi masyarakat, manfaat yang diperoleh adalah: 1. Mengevaluasi teknologi pemeriksaan kedokteran yang baru2. Menilai efektifitas metode pengobatan yang diberikan kepada pasien3. Menyelidiki adanya penyakit terkait kondisi lingkungan kerja atau lingkungan tinggalPerbedaan Autopsi Klinik dan Autopsi ForensikA. Klinik A. Forensic

Tujuan 1. Untuk konfirmasi diagnosis klinis yang dibuat selama pengobatan dan perawatan 2. Mengetahui asal penyakit dan perjalanan penyakit yang diderita pasien 3. Merancang obat dan pengobatan yang efektif4. Mengidentifikasi sebagai akibat dari pengobatan 5. Menilai efektifitas metode pengobatan yang diberikan kepada pasien 6. Menyelidiki adanya penyakit terkait kondisi lingkungan kerja atau lingkungan tinggal1. Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas2. Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian3. Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan4. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum

Undang-Undang1. Undang-undang RI No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, pasal 119, 121, 1242. Peraturan pemerintah No. 18 tahun 1981KUHAP pasal 131, 179

Persetujuan KeluargaMutlak Tidak bergantung pada persetujuan keluarga

Pemohon visum 1. Pasien sendiri sebelum meninggal2. Keluarga pasien 3. Institusi kesehatanPolisi dalam hal ini penyidik, dengan pangkat minimal AIPDA

Teknik Hampir mirip autopsi forensic, namun dalam beberapa hal dapat dilakukan autopsy hanya pada beberapa organ saja atau dapat pula dilakukan Needle autopsyPemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam ( membuka bagian tubuh keseluruhan )

II.6Teknik AutopsiUntuk autopsi tidak diperlukan alat khusus dan mahal, cukup: timbangan besar untuk menimbang mayat, timbangan kecil untuk menimbang organ, pisau : dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam, gunting berujung runcing dan tumpul, pinset : anatomis dan bedah, gergaji : gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel, forseps atau cunam untuk melepaskan duramater, gelas takar 1 liter, pahat, palu, meteran, jarum dan benang, sarung tangan, baskom dan ember, dan air yang mengalir.II.7Cara OtopsiCara melakukan otopsi klinik dan otopsi forensik kurang lebih sama, yaitu:1. Pemeriksaan luar.Seluruh bagian luar dari tubuh jenazah, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki diperiksa dengan teliti.2. Pemeriksaan dalam, terdiri atas:a. Insisi (pengirisan), yaitu untuk membuka rongga kepala, leher, rongga dada, rongga perut, rongga panggul, dan bagian-bagian lain yang diperlukan.b. Pengeluaran organ dalam.Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan organ-organ dalam, yaitu: Teknik VirchowSetelah dilakukan pembukaan rongga tubuh, organ-organ dikeluarkan satu persatu dan langsung diperiksa. Manfaatnya kelainan-kelainan yang terdapat pada organ dapat langsung diperiksa. Kelemahannya hubungan anatomik antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang. Teknik RokitanskySetelah rongga tubih dibuka, organ-organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan beberapa irisan secara in-situ, baru kemudian seluruh organ-organ tersebut dikeluarkan dalam kumpulan organ (en-bloc). Teknik LetullePada teknik Letulle, setelah organ dibuka, organ-organ leher, dada, diafragma, dan perut dikeluarkan sekaligus (en masse) kemudian diletakkan di atas meja dengan permukaan posterior menghadap ke atas. Dengan pengangkatan organ-organ tubuh secara en masse ini, hubungan antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh. Kerugian dari teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa asisten serta agak sukar dalam penanganan karena panjangnya kumpulan organ-organ yang dikeluarkan bersama-sama ini. Teknik GhonSetelah rongga tubuh dibuka, organ dada dan leher, hati, limpa, dan organ-organ pencernaan, serta organ-organ urogenital diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ-organc. Pemeriksaan tiap-tiap organ satu persatu.d. Pengembalian organ tubuh ke tempat semula.e. Menutup dan menjahit kembali.3. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang diperlukan jika dari pemeriksaan yang telah disebutkan di atas belum dapat menjawab seluruh persoalan yang muncul dalam proses peradilan pidana. Pemeriksaan penunjang tersebut misalnya pemeriksaan laboratorium sederhana, toksikologik, mikroskopik, serologik, DNA, dan sebagainya.Untuk pemeriksaan toksikologik diperlukan bahan untuk mengawetkan sampel, yaitu etil alkohol. Jika tidak ada dapat digunakan wiski atau es kering (dry ice). Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap diperlukan minimal 4 buah botol dari gelas berwarna gelap dengan mulut lebar. Botol pertama diisi contoh bahan pengawet sebagai pembanding, botol kedua diisijaringan traktus digestivus, botol ketiga traktus urinarius, dan botol ke empat diisi jaringan lain.Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan bahan pengawet berupa cairan formalin 10% dan sampel jaringan yang dicurigai ada kelainan dipotong-potong dalam ukuran yang tidak terlalu besar (1cm x 1 cm x 2,5 cm) karena daya tembus formalin terbatas.Dalam hal pemeriksaan penunjang tersebut tidak dapat dilakukan di tempat dilakukannya otopsi, maka dokter wajib memberitahukan serta menyerahkan sampel dengan berita acara kepada penyidik. Selanjutnya penyidiklah yang harus mengajukan permohonan pemeriksaan penunjang kepada laboratorium yang dapat melakukan pemeriksaan.

II.8 InsisiTerdapat beberapa jenis insisi yang dapat digunakan untuk membuka tubuh. Pada dasarnya, semua jenis insisi menggunakan pendekatan dari midline anterior, namun berbeda pada diseksi leher. Terlepas dari jenis insisi yang dipilih, tubuh jenazah sebaiknya diletakkan dalam posisi supinasi dan bahu ditopang oleh balok agar leher terekstensi. Jenis insisi yang digunakan diharapkan aman bagi operator dan dapat memberikan lapang pandang yang maksimal dengan tetap mempertertimbangkan aspek rekonstruksi dari tubuh jenazah.Teknik pembukaan dapat menggunakan teknik insisi I atau insisi Y. Keuntungan teknik insisi I adalah mudah dikerjakan dan daerah leher dapat diperiksa lapis demi lapis sehingga semua kelainan yang ada dapat dilihat, tetapi keburukannya ialah dari segi estetika karena ada irisan pada daerah leher. Sedangkan keuntungan teknik insisi huruf Y ialah tidak adanya irisan di daerah leher, tetapi teknik ini agak sulit dan memerlukan ketrampilan tinggi.Insisi I dimulai di bawah tulang rawan krikoid di garis tengah sampai prosesus xifoideus kemudian 2 jari paramedian kiri dari pusat sampai simfisis, dengan demikian tidak perlu melingkari pusat.Insisi Y dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah mayat.Ada dua macam insisi Y, yaitu:1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision), yang dilakukan pada tubuh pria, buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian tengah (incissura jugularis), lanjutkan sayatan, dimulai dari incissura jugularis ke arah bawah tepat di garis pertengahan sampai ke symphisis os pubis; dengan menghindari daerah umbilicus. Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati, sampai ke rahang bawah; tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat untuk pertama kali Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam rongga mulut dan leher dikeluarkan, Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan yang biasa dilakukan pada bedah mayat biasa.2. insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan pada tubuh wanita, buat sayatan yang letaknya tepat di tepi bawah buah dada, dimulai dari bagian lateral menuju bagian medial (processus xyphoideus); bagian lateral di sini dapat dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan garis ketiak depan (linea axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain. Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai ke symphisis os pubis, dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang berada dalam rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila dibandingkan dengan insisi Y yang dangkal.

Insisi U:Insisi dimulai dari 1 cm di belakang meatus acusticus externa, menyusuri aspek lateral leher dan melewati klavikula di sepertiga luar. Insisi yang sama dilakukan di sisi yang lain dan bertemu dengan insisi sebelumnya di atas angulus sternalis. Insisi di lanjutkan melalui garis tengah depan, menghindari umbilikus sampai ke mons pubis.Teknik lain yang dapat digunakan adalah single midline incision. Pada single line incision, insisi dimulai dari prominensia laryngeal sampai ke mons pubis. Penggunaan single midline incision dapat berbahaya bagi operator karena tidak dapat menyediakan ruangan yang cukup untuk diseksi lidah dan leher.Pada saat tidak adanya persetujuan untuk membuka leher (dan thorax), tubuh dapat dibuka dengan menggunakan insisi T subcostal. Insisi dimulai dari processus xyphoideus sampai ke mons pubis. Kulit dan otot abdomen selanjutnya diinsisi sepanjang batas costochondral.Pilihan teknik ini diserahkan sepenuhnya kepada dokter yang hendak melakukan otopsi, tetapi pada kasus dengan trauma pada leher harus dilakukan dengan teknik insisi I.

Gambar 1. Contoh insisiII.9Pembukaan rongga tubuhDada:Kulit dan otot dibebaskan dari costae, dan dijaga agar muskulus intercostalis tidak rusak. Payudara dapat diperiksa saat jaringan lunak telah dibebaskan dari tulang iga. Untuk pemeriksaan payudara, dilakukan palpasi dari luar dan dalam, lalu jaringan payudara dapat diiris dari dalam dengan interval ketebalan tidak lebih dari 10 mm.Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari sambungannya dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan bagian tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan iga dan dengan tangan yang lainmenekan pada punggung pisau. Pemotongan dimulai dari tulang rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma kanan dan kiri kemudian dilepaskan mediastenum anterior. Rongga paru-paru diperiksa adanya perlekatan, darah, pus, atau cairan lain kemudian diukur.Kemudian pisau dalam tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-paru, bagian tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no. 1 dan tulang rawan dipotong sedikit ke lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke sendi sternokavikularis dengan menggerak-gerakkan sternum, sendi dipisahkan. Prosedur diulang untuk sendi yang lainnya.Pemotongan costa dapat juga dilakukan sejajar dengan linea axillaris anterior, hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang lebih luas untuk pemeriksaan isi rongga dada dan memberikan akses yang lebih baik dalam pemeriksaan medulla spinalis.Mediastenum anterior diperiksa adanya timus persisten. Perikardium dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan pericardium, normal sebanyak kurang lebih 50 cc dengan warna agak kuning. Apex jantung diangkat, dibuat insisi di bilik dan serambi kanan diperksa adanya embolus yang menutup arteria pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan serambi kiri. Jantung dilepaskan dengan memotong pembuluh besar dekat pericardium.

Gambar 2. Pembukaan rongga dada dan perut serta pembukaan perikardium.

Seksi Jantung:Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava inferior sampai keluar di vena kava superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar dai insisi bilik kanan dan bagian ini dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteria pulmonalis dan otot jantung mulai dari apex dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum.Ujung pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pulmonalis kiri dab bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mitral keluar di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian dimasukkan melalui katup aorta dan otot jantung dari apex dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup, otot kapiler, chorda tendinae, foramen ovale, dan septum interventrikulorumArteria koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm mulai dari lubang di katup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan sejajar dengan epikardium dan endokardium, demikian pula dengan septum interventrikulorum.

Gambar 3. Cara pembukaan jantung.Paru-paru:Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong ronkhi dan pembuluh darah di hilus, seteah pericardium diambil. Vena pulmonalis dibuka dengan gunting, kemudian bronki, dan terakhir arteria pulmonalis. Paru-paru diiris longitudinal dari apex sampai basis.

Gambar 4. Pengirisan longitudinal dari apex sampai basis

Pemeriksaan Pneumothorax:Setelah kulit dan otot dada dilepas dari tulang iga, dibuatlah suatu kantong yang berisi air, kemudian otot interkostal ditusuk dengan ujung pisau. Adanya udara yang bertekanan dalam rongga paru-paru, gelembung udara akan keluar melalui lubang.Emboli udara:Tulang rawan iga dipotong mulai dari no. 3 sampai ke bawah, kemudian sternum digergaji setinggi kosta no. 2, sternum dilepaskan dari diafragma dan mediastenum anterior. Perikardium dibuka dengan Y terbalik, kemudian perikardium dipegang dengan cunam dan diisi air. Vena kava interior ditusuk kemudian serambi kanan dan kiri.

Perut:Usus halus dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan, duodenum, dan diikat ganda kemudian dipotong.Limpa: dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel, dan septa.

Gambar 5. Pelepasan usus Esofagus-lambung-duodenum-hati:Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus diikat ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan unit hati tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya melekat pada hati dilepaskan terlebih dahulu.Esofagus dibuka terus ke kurvatora mayor terus ke duodenum. Perhatikan isi lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kantung empedu ditekan, bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan gunting ke arah papila Vater, kemudian dibuka ke arah hati, lalu kantung empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu.Buluh kelenjar ludah perut dibuka dari papila Vater ke pankreas. Pankreas dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.Hati: perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian potong longitudinal.Usus halus dan usus besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan mukosa dan isinya, cacing.

Gambar 6. Pelepasan blok hepar dan pemeriksaan ususGinjal, ureter, rektum, dan kandung urine:Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjak dengan satu insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh darah di hilus, kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung urine dan rektum dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari kandung urine dan dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang rektum. Kemudian dilakukan sama dengan sebelahnya. Tempat bertemunya kedua jari telunjuk dibesarkan hingga 4 jari kanan dan kiri dapat bertemu, kemudian bagian jari kelingking dinaikkan ke atas, dengan demikian rektum lepas dari sakrum.Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan longitudinal dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai kandung urine, kapsul ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya. Pada laki-laki rektum dibuka dari belakang dan kandung urine melalui uretra dari muka. Rektum dilepaskan dari prostat, dengan demikian terlihat vesika seminalis. Prostat dipotong transversal, perhatikan besarnya penampang.Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal, perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal tubuli seminiferi dapat ditarik seperti benang.

Gambat 7. Pelepasan organ panggul dan testisUrogenital PerempuanKandung urine dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus dibuka dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan dan ke kiri, ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak 1-1,5 cm. Uterus diinsisi longitudinal.

Gambar 8. Pemeriksaan kandung urine dan uterus Leher:Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring, dan tonsil dikeluarkan sebagai satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar gondok, dan tonsil. Pada kasus cekik, tulang lidah harus dibersihkan dan diperiksa adanya patah tulang.

Gambar 9. Pemeriksaan organ leher dan insisi pada kulit kepala

Kepala:Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri dengan mata pisau menghadap ke luar supaya tidak memotong rambut terlalu banyak. Kulit kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan tempurung tengkorak dilepaskan dengan cara menggergajinya. Pahat dimasukkan dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa ketukan tempurung lepas dan dapat dipisahkan. Duramater diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji. Falx serebri digunting di bagian muka. Otak dipisah dengan memotong pembuluh darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata. Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam, otak kecil dipisah dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris transversal, demikian pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala perhatikan adanya edema, kontusio, dan laserasi serebri.

Gambar 10. Pengeluaran otakTengkorak neonatus:Kulit kepala dibuka seperti biasa, tengkorak dibuka dengan menggunting sutura yang masih terbuka dan tulang ditekan ke luar, sehingga otak dengan mudah dapat diangkat.

Gambar 11. Cara pembukaan rongga tengkorak pada neonatusII.10 Fotografi dalam lensa hukumSebagai petunjuk, sebuah foto hendaknya memiliki sifat alamiah yang kuat dari setiap dimensi yang terekam di dalamnya sehingga foto tersebut dapat bercerita tentang setiap detil kejadian dengan baik, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang menyesatkan alur penyelidikan maupun penyidikan.Fotografi forensik adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan sampai pengadialan. Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat, dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyelidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan. Termasuk kegiatan di dalam kegiatan fotografi forensik adalah pemilihan pencahayaan yang benar, sudut pengambilan lensa yang tepat, dan pengembilan gambar dari berbagai titik pandang. Skala seringkali digunakan dalam gambar yang diambil sehingga dimensi sesungguhnya dari objek foto dapat terekam. Biasanya digunakan penggaris atau perekat putih yang berskala sentimeter diletakkan berdekatan dengan lesi atau perlukaan sebagai referensi ukuran. Pada bagian yang tidak terekspos atau kurang memberikan gambaran yang signifikan, dapat digunakan probe (alat pemeriksa luka) atau jari sebagai penunjuk dengan posisi yang semestinya.II.11Medikolegal Bedah Mayat Klinis (Otopsi Klinis)II.11.1. Pelaksanaan Otopsi Klinik di IndonesiaOtopsi klinik dilaksanakan setelah adanya permintaan dan persetujuan tertulis dari pasien sendiri sebelum meninggal, atau dari keluarga terdekatnya, atau yang mewakilinya secra hokum. Istri, suami, ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak(sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak yang telah dewasa dari penderitadengan mempertimbangkan urutan kedekatannya menurut hukum.Otopsi klinik dapat dilakukan tanpa persetujuan dari penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya. Permintaan otopsi klinik juga dapat diajukan oleh institusi penyelenggara peayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, klinik atau penyelenggara pelayanan kesehatan resmi yang lain), institusi pendidikan dan penelitian, atau dari otorita kesehatan RI (departemen kesehatan atau dinas kesehatan) dengan persetujuan dari pasien sendiri atau keluarga terdekatnya atau yang mewakilinya secara hukum.Otopsi klinik ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelaksnaan tindakan medis tersebut dilakukan dengan memerhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat ayitu norma hokum, norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Otopsi klinis harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan otopsi dengan membuka rongga kepala, dada, dan perut, serta pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentuan sebab kematian.Hasil laporan otopsi kinik, dapat dimasukkan dalam rekam medis, dan dapat diketahui oleh keluarga dan pihak peminta otopsi klinis dengan mengingat batasan aturan menenai rekam medis yang tercantum dalam PERMENKES 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis.

II.11.2. Regulasi Hukum Otopsi Klinis di IndonesiaSesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1981 bahwa untuk melaksanakan bedah mayat klinis (otopsi klinis) perlu diadakan ketentuan ketentuan yang mengatur hal tersebut agar dapat berjalan dengan baik. Pada PP nomor 18 tahun 1981 Pasal 1 disebutkan bahwa Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan. Ketentuan ketentuan pelaksanaan bedah mayat klinis (otopsi klinik) diatur dalam PP nomor 18 tahun 1981 pada Pasal 2. Ketentuan terebut meliputi:a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti; b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2x24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit. Secara definisi dapat diketahui bahwa otopsi klinik adalah otopsi yang dilakukan terhadap jenazah dari penderita penyakit yang dirawat dan kemudian meninggal dunia di Rumah Sakit. Oleh karena itu, Otopsi klinik hanya dapat dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan untuk keperluan tersebut.Selain itu, pelaksanaan otopsi kinis dalam praktek kedokteran, juga berpijak pada landasan Undang-Undang R.I nomor 36 tahun 2009.Pasal 119(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit(2) Bedah mayat klinis sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosa dan/atau menyimpulkan penyebab kematian(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk meneggakan diagnose dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 121(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannyaPasal 124(1) Tindakan bedah mayat oelh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.

II.12 Sengketa MedikSengketa menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran perbantahan atau dapat diartikan sebagai pertikaian atau perselisihan. Jadi sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah mencapai ekskalasi tertentu atau mengemuka Pemicu teradinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan pendapat, ketidakjelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan,tindakan yang tidak patut, curang, tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan dan terjadinya keadaan yang tidak terduga. Dengan demikian dapat disimpulkan sengketa medik merupakan pertentangan antara pasien dengan dokter dan/atau rumah sakit.Sengketa medik dapat berupa pelanggaran kode etik kedokteran, pelanggaran hukum orang lain (perdata) maupun pelanggaran kepentingan masyarakat (pidana). Sengketa medik dapat berwujud pengaduan dapat disertai atau tanpa malpraktik.Berdasarkan UU no 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran disebutkan bahwa proses penegakan hkum yang dilakukan oleh pihak yang berwenang di bidang kesehatan dilaksanakan melalui pendekatan yang selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat profesi tenaga kesehatan, asas praduga tak bersalah, hubungan dokter dan tenaga kesehtan lain dengan pasien sebagai ubungan kepercayaan harus sama-sama dilindungi kepentingan hukumnya, tidak meresahkan tenaga kesehatan dan tidak menggangu pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Maka ketika suatu lembaga penyelesaian sengketa medik menangani suatu kasus, maka lembaga tersebut harus bersifat netral tidak berat sebelah dan harus mementingkan kepentingan keduanya.Pada UU no 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran juga disebutkan bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum pada penerima pelyanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktek kedokteran, maka setiap masyarakat baik sebagai pasien atau sebagai tenaga medis semua mendapatkan perlindungan hukum jika diperlukan.II.13 MalpraktikSengketa medis dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik. Sebenarnya dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi kesehatan saja tetapi juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai digunakan di luar negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi kesehatan. Pengertian malpraktik adalah any professional misconduct or unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct.Pemahaman malpraktik sampai sekarang masih belum seragam. Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum), penanganan dan penyelesaian masalah malpraktik juga menjadi tidak pasti. Masalah tersebut ditambah dengan belum adanya (dan hampir tidak mungkin dilakukan) standarisasi standar pelayanan profesi kesehatan. Hal itu disebabkan masalah kesehatan amat kompleks, mulai dari dampak penerapan pelayanan kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda sampai dengan beragamnya teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan setiap komunitas dokter atau tenaga kesehatan lainnya.Tidak adanya standar pelayanan profesi kesehatan yang legal dan banyaknya rumah sakit yang menerbitkan standar yang berbeda dengan rumah sakit lainnya akan menyebabkan kesulitan dalam membedakan malpraktik dengan kelalaian, kecelakaan dan kegagalan di lapangan. Lebih lanjut hal tersebut juga menyebabkan pembuktian malpraktik akan semakin sulit jika pasien berpindah-pindah rumah sakit.Dengan demikian yang paling tepat dan berhak menentukan pengingkaran atas standar pelayanan profesi kesehatan adalah Komite Medik di rumah sakit yang bersangkutan. Komite Medik mengetahui secara rinci standar komunitas dokter, tenaga kesehatan lainnya dan teknologi yang tersedia. Keadaan yang terjadi sekarang, sentimen korps kesehatan yang saling melindungi sesama profesional akan menyulitkan upaya pengusutan yang obyektif, sehingga kasus-kasus malpraktik tersebut hanya masuk peti es dan tidak ditangani lagi. Hal tersebut mengakibatkan pihak pasien berpendapat bahwa tenaga kesehatan kebal hukum dan selalu berlindung di balik etika tenaga kesehatan agar terlepas dari tanggung jawab yang seharusnya.Sebaliknya, kalangan kesehatan berpendapat bahwa pihak pasien sangat kuat kedudukannya sehingga dapat dengan begitu saja menuntut atau menggugat tenaga kesehatan untuk suatu hasil pengobatan yang negatif atau tidak memenuhi harapan pasien. Padahal dampak tuntutan itu terkadang sudah merupakan pembunuhan karakter atau character assassination terhadap tenaga kesehatan yang dituntut atau digugat. Pada kenyataannya tidak selalu hasil negatif itu merupakan kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan yang merawat. Bahkan seringkali, pihak pasien (melalui pengacaranya) telah mempublikasikan kasus yang digugatnya sebagai malpraktik, padahal hal itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas asas praduga tak bersalah, mengingat dalam beracara dipengadilan gugatan malpraktik tersebut masih harus dibuktikan dan ditetapkan melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan perbuatan merupakan malpraktik atau tidak, harus dilakukan dengan pendekatan (yang bersifat khusus) kedokteran atau kesehatan dan ilmu hukum secara proporsional. Dalam hal tersebut profesinya menjadi terlalu sangat berhati-hati dan timbul yang dinamakan negative defensive professional practice, yang mengurangi kreatifitas dan dinamika profesional.Pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan mempunyai hak dan kewajiban seperti halya dengan dokter dan rumah sakit. Dalam hubungan tersebut hak dan kewajiban mereka tidak selalu selaras dalam pelaksanaannya karena adanya permasalaha yang muncl dalam hubungan tersebut. Hal tersebut berpotensi menjadi sengketa antara pasien dengan dokter dan/atau rumah sakit.Istilah Malpraktik merupakan istilah yang sifatnya sangat umum dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Berasal dari kata mal yang berarti salah dan praktik yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga arti harfiahnya adalah pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian, tetapi lazimnya istilah tersebut hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi (professional misconduct), sedangkan profesi mempunyai makna pekerjaan atau mata pencaharian walaupun dalam batas yang wajar dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah seperti misalnya profesi medik atau hukum.Malpraktek adalah sikap tindak yang tidak bermoral atau tidak pantas dalam menjalankan tugasnya yang dilakukan, baik secara sengaja, secara ceroboh atau dengan pengabaian.Dengan demikian istilah malpraktik bukan hanya untuk bidang profesi dokter saja namun semua profesi baik itu profesi hakim, notaris, pengacara, polisi, perawat, bidan, akuntang dan sebagainya. Di dalam perkembangannya, malpratilk lebih popular di masyarakat untuk bidang profesi dokter yang dikenal dengan malpraktik medik. Malpraktik medik merupakan isu hukum yang timbul terkait dengan atau sebagai akibat medis bagi pasien. Dalam peraturan perundang-udangan tidak ditemukan istilah malpraktik. Istila malpraktik ditemukan dalam pendapat-pendapat para ahli hukum.Menurut Gunawan (1992) malpraktik adalah kelalian kaum profesi yang teradisewaktu melaksanakan profesinya sedangkan Guwandi (2004) menyataka bahwa malpraktik adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat ketrerampilan dan pengetahuan di dalam pemberian pelayanan, pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di wilayah lingkungan yang sama. Kelalaian adalah sikap yang kurang hati-hati yaitu tidak melakukan sesuatu yang seharusnya seseorang lakukan dengan sikap hati-hati tetapi tidak dilakukannya dalam situasi tersebut.Menurut Dahlan (2001), tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang kedokteran disebut malpraktik medik (medical malpractice). Malpraktik dibedakan menjadi kesalahan dari sudut pandang etika yang disebut dengan ethical malpractice dan malpraktik dari sudut pandang ukum yang disebut legal malpractice. Legal malpractice masih dibagi lagi menjadi malpraktik perdata (civil malpractice) dan malpraktik administrasi (administrative malpractice).Disebut malpraktik perdata jika dokter tidak melaksanakan keajibannya (ingkar janji) yatu tidak memberikan prestasinya sebagaiana yang disepakati. Ada 4 elemen yag harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktik atau kelalaian telah terjadi :1. Duty atau kewajiban: Kewajiban bisa berdasarkan perjanjian atau menurut undang-undang. Kewajiban dokter untuk bekerja berdasarkan standar profesi. Kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakanya.2. Dereliction of that duty (penyimpangan kewajiban): Mengabaikan, menelantarkan kewajiban sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian kepada pasien. Istilah lainnya adalah breach of duty atau wanprestasi. Wanprestasi mengandung arti tidak memenuhinya standar profesi. Penentuan adanya penyimpangan dari standard profesi medik adalah sesuatu yang harus didasarkan atas fakta-fakta secara kasusistik yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli.3. Damage: Kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, financial, emosional, atau berbagai dalam kategor lainnya.4. Direct causal relationship: Harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dan kerugian yang diderita.Pembuktian adanya malpraktik pda gugatan penggantian kerugian akibat kelalaian meliputi :1. Adanya suatu kewajian bagi dokter terhadap pasien2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang laim dipergunakan3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya4. Secara factual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standarDalam peraturan perundang-undangan tidak ditemukan istilah malpraktik. Peraturan perundang-undangan tidak ditemukan istilah malpraktik. Peraturan perundang-undangan lebih berkaitan dngan pelanggaran hak dan kewajiban di dalam hubungan pelayanan kesehatan beserta ancaman sanksi hukumnya. Hak dan kewajiban diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang-undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-undang Rumah sakit no. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit.Dalam UU no 36 tahun 2009 pasal 24 ayat (1) dan pasal 58 ayat (2) dinyatakan sebagai berikut :a. Pasal 2 ayat (1) Tenaga kesehatan yang berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar procedural operasional.b. Pasal 58 ayat (1) Setiap orang berak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.c. Pasal 58 ayat (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.Hak-hak pasien yang diatur dalam UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan terdapat di dalam pasal 5, 6, 7, 8, sedangkan kewajiban tenaga kesehatan terdapat di dalam pasal 22, 23, 24.Tanggung jawab hukum rumah sakit dapat ditemui dalam pasal 6 UU no. taun 2009 tentang Rumah sakit yang menyatakan bahwa umah Sakit bertanggungjawab secara hukum terdapat semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan olah tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Masih di dalam UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa rumah sakit tidak bertanggungjawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif. Dalam pasal 45 ayat (2), rumah Sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.II.14. Informed ConsentPengertian Informed ConsentInformed Consent teridiri dari dua kata yaitu informed yang berarti informasi atau keterangan dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan. Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut.Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.Dasar Hukum Informed ConsentPersetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu : Pasal 11. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidakterganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuatkeputusan secara bebas.Pasal 21. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.Pasal 31. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara Dokter dan pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran. 125. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.Fungsi dan Tujuan Informed ConsentFungsi dari Informed Consent adalah :1. Promosi dari hak otonomi perorangan;2. Proteksi dari pasien dan subyek;3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri;5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi tiga, yaitu:a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.c. Yang bertujuan untuk terapiTujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.Bentuk Persetujuan Informed ConsentA. Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :1. Implied Consent (dianggap diberikan)Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.2. Expressed Consent (dinyatakan)Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi. B. Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna.2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.Pemberi Informasi dan Penerima PersetujuanPemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnyauntuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.Pemberi PersetujuanPersetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai berikut:1) Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.2) Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.3) Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang normalnya kompeten, dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan kompetensinya dalam memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan kompleksitas tindakan.Penolakan Pemeriksaan/ TindakanPasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya.Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.Penundaan PersetujuanPersetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.Pembatalan Persetujuan Yang Telah DiberikanPrinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan pasien.

Lama Persetujuan BerlakuTeori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.

BAB IIIPEMBAHASANContoh kasus 1Kronologi kasus dr. Ayu oleh Kementerian Kesehatan dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).Pasien Ny. SM 26 tahun G2P1A0 mendatangi puskesmas, kemudian dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengetahui kemajuan proses persalinan bayinya. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, pasien didiagnosis hamil anak kedua 40 41 minggu, dalam persalinan kala pertama, Janin tunggal hidup letak kepala, yang selanjutnya direncanakan menjalani persalinan secaraal amiah (Partus per vaginam), tetapi pada anamnesis didapatkan adanya riwayat tindakan vacuum pada persalinan sebelumnya, makapuskesmas pun merujuk pasienke RS Prof dr Kandou untuk mendapatkan tinndakan yang lebih intensif. Di rumah sakit itu, dokter memimpin mengejan 8 jam kemudian, saat pasien memasuki kala II. Tiga puluh menit kemudian, tidak didapatkan kemajuan dalam proses persalinan (partus tak maju) dan ditemukan adanya tanda-tanda gawat janin (meconium) sehingga diambil sikap operasi sectio caesarian. 2 Jam kemudian, operasi dimulai. Saat insisi keluar darah kehitaman dan lahir bayi wanita 4100 gr. Pasca operasi kondisi pasien memburuk, 20 menit pasca operasi pasien meninggalEmboli Air KetubanEmboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan shock. Pada 25% wanita yang menderita keadaan ini meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli cairan ketuban jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak terdiagnosis yang dibuat adalah shock obstetrik, perdarahan post partum atau edema pulmoner akut. Cara masuknya cairan ketuban melalui dua tempat utama masuk cairan ketuban ke dalam sirkulasi darah maternal adalah vena endocervical (yang dapat terobek sekalipun pada persalinan normal) dan daerah uteroplasenta. Ruptur uteri meningkat kemungkinan masuknya cairan ketuban. Abruption plasenta merupakan peristiwa yang sering dijumpai, kejadian ini mendahului atau bersamaan dengan episode emboli.Menurut dr. Irsjad Bustaman, SpOG Emboli air ketuban (EAK) adalah masuknya cairan ketuban beserta komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu. Yang dimaksud komponen di sini ialah unsur-unsur yang terdapat di air ketuban seperti lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisanlemak janin, dan musin/cairankental.Kasus EAK yang paling sering terjadi justru saat persalinan atau beberapa saat setelah ibu melahirkan (postpartum) .Baik persalinan normal atau sesar tidak ada yang dijamin 100% aman dari risiko EAK, karena pada saat proses persalinan, banyak vena-vena ygterbuka, yang memungkinkan air ketuban masuk ke sirkulasi darah ibu. Emboli air ketuban merupakan kasus yang berbahaya yang dapat membawa pada kematian. PatofisiologiPatofisiologi dari EAK yang kurang dipahami. Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis selama dilatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya kemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung .Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan rahim atoni dan Coagulation Intaravakuler Diseminata( DIC ). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.Kasus dr. Ayu ditinjau dari KUH PidanaJulia Fransiska Matakey meninggal dunia dengan sebab emboli udara pada bilik jantung sebagai komplikasi persalinan. Akan tetapi, keluarga Julia Fransiska Matakey, khususnya ibunya, tidak menerima kepergian anaknya tersebut karena dia menilai bahwa dokter Ayu Sasiary dan dua orang rekannya yang bertindak sebagai operator sempat membiarkan Julia tanpa melakukan tindakan apapun saat proses persalinan berlangsung. Dokter Ayu dan kedua rekan dokternya dituntut oleh pihak keluarga karena dianggap melanggar pasal 359 KUHP yang berbunyi, Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.Kejadian ini terjadi pada tahun 2010. Pada bulan September 2011, atas dasar kematian karena sebab yang tidak diketahui oleh dokter, Pengadilan Negeri Manado memutuskan bahwa dr. Ayu dan rekan-rekannya bebas murni. Akan tetapi, kasus ini kembali muncul pada tahun 2012 ketika mereka masuk dalam Daftar Pencarian Orang dan memuncak pada bulan November 2013 di mana dr. Ayu dijatuhkan vonis 10 bulan penjara oleh Mahkamah Agung atas dasar pelanggaran KUHP pasal 359.Jika dicermati isi dari KUHP tersebut, dr. Ayu dinyatakan bersalah jika Julia mati akibat kesalahannya. Akan tetapi, pada hasil otopsi, Julia dinyatakan meninggal akibat emboli udara pada bilik jantung kanannya yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter. Bahkan pada Februari 2013, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) telah menegaskan bahwa dr. Ayu tidak melakukan kesalahan ataupun kelalaian dari sisi etika. Secara teknis, Julia tidak mati akibat kinerja dr. Ayu yang salah sehingga seharusnya dr. Ayu terbebas dari tuduhan ini. Secara medikolegal, hal ini bukan merupakan malpraktek, tetapi merupakan medical error.Di lain pihak, hal yang memberatkan dr. Ayu dkk. adalah tidak adanya surat izin praktek (SIP) untuk melakukan operasi sebagaimana yang mereka lakukan dan memalsukan tanda tangan pasien pada lembar persetujuan atau informed consent. Secara implisit, memang kedua hal ini merupakan kesalahan yang dilakukan mereka sehingga jaksa penuntut dapat berkata mereka melanggar KUHP. Akan tetapi, hal ini serta merta secara langsung berkaitan dengan meninggalnya Julia Makatey. Bahkan menurut Ketua Komisi Yudisial (KY) Gorontalo Suparman Marzuki, jika dilihat dari undang-undang kesehatan dan kode etik kedokteran, mungkin hal ini belum tentu bersalah. Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Budi Supriyanto juga berpendapat bahwa KUHP yang menjerat dr. Ayu perlu ditinjau ulang karena terdapat dualism di mana ada pula undang-undang yang mengatur tentang praktik kedokteran. Budi Supriyanto juga menegaskan bahwa kasus seperti ini seharusnya dibawa ke pengadilan khusus terlebih dahulu, yaitu Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI).