177
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peraturan Daerah atau Perda merupakan produk hukum yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah yakni untuk Pemerintah Daerah Provinsi dibentuk oleh Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi dan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota. Perda sebagai produk hukum daerah merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Substansi dari perda tersebut haruslah merupakan penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum. Dalam masyarakat daerah, peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan agar dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda yang dibentuk sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi. Pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945) menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-

dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Peraturan Daerah atau Perda merupakan produk hukum yang dibentuk

oleh Pemerintahan Daerah yakni untuk Pemerintah Daerah Provinsi dibentuk oleh

Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi dan untuk Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD

Kabupaten/Kota. Perda sebagai produk hukum daerah merupakan bentuk hukum

yang tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.

Substansi dari perda tersebut haruslah merupakan penjabaran dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan memperhatikan

kekhususan masing-masing daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum. Dalam

masyarakat daerah, peraturan daerah dibentuk dengan tujuan mengatur

masyarakat daerah secara umum, agar dapat berperilaku sesuai dengan apa yang

diharapkan agar dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda yang dibentuk

sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan desentralisasi.

Pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945) menyatakan Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-

Page 2: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

2

undang. Hal ini berarti negara mengakui adanya pemerintahan di daerah yang

diawali dengan adanya suatu desentralisasi. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) tersebut

masih bersifat umum, tetapi mengenai bentuk dan susunan Pemerintah Daerah itu

belumlah diketahui, karena segala sesuatunya akan diatur lebih lanjut dengan

Undang-undang yakni Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), (selanjutnya

disingkat UU No. 32 Thn 2004).1 Pada pasal ini juga menekankan pemerintah

diwajibkan melaksanakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas

pembantuan yang semuanya diatur dengan Undang-Undang organik.2

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), selanjutnya

disingkat UU No. 23 Thn 2014 maka UU 32 Thn 2004 dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku kembali. Penulis tetap mempergunakan UU No. 32 Thn 2004

sebagai objek dan materi kajian mengingat UU No. 23 Thn 2014 baru saja berlaku

dan masih berada pada masa transisi menuju ke UU No. 23 Thn 2014. Selain itu

dengan belum dibentuknya peraturan pelaksana dari UU No. 23 Thn 2014 maka

akan terjadi kekosongan hukum agar hal ini tidak terjadi maka dengan berbagai

pertimbangan penulis tetap mempergunakan UU No. 32 Thn 2004 sebagai materi

pengaturannya.

1Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan Wilayah

Adminstratif, Bandung CV. Armico, h. 24.

2Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta, Edisi

Pertama, Cetakan Pertama, BPFE, h. 16.

Page 3: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

3

Salah satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah

menguatnya eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah

yang memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat

payung yuridis yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan

Local Wet, yang mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang

(Wet) di tingkat pusat, dilihat dari ruang lingkup materi muatan, cara perumusan,

pembentukan dan pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis)

peraturan perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya

berlakunya sebagai norma hukum.

Dalam pembentukan Perda, ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh pihak-

pihak yang terlibat agar Perda tersebut memberikan hal yang positif bagi

masyarakat daerah. Perda sebagai produk hukum di daerah, hendaknya mampu

mengarahkan masyarakat daerah ke arah yang lebih baik dan mampu mengayomi

masyarakat. Jika disimak pendapat dari Meuwissen yang menyataan bahwa

hukum mempunyai keberlakuannya apabila mampu berlaku secara sosiologis,

berlaku secara yuridis dan berlaku secara moral.3 Perda yang baik hendaknya

mencerminkan aspek filosofis yang berkaitan dengan prinsip bahwa Perda akan

menjamin keadilan, sosiologis berkaitan dengan harapan bahwa Perda yang

dibentuk merupakan keinginan masyarakat daerah, dan yuridis berkaitan dengan

harapan bahwa Perda memenuhi dan menjamin kepastian hukum seperti halnya

pembentukan Undang-undang.4

3B. Arief Sidharta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan, Refika Aditama, Bandung, h. 46-47.

Page 4: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

4

Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234),

(selanjutnya disingkat UU PPPU) menentukan materi muatan Peraturan Daerah

Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung

kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Selain materi muatan yang terkandung pada setiap

pembentukannya, Perda dalam pembentukannya juga harus memuat asas yang

telah diatur dalam Pasal 5 UU PPPU, dan Pasal 137 UU No. 32 Thn 2004.

Apabila Perda tersebut mengandung unsur bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan

umum maka Pemerintah dapat membatalkan suatu Perda tersebut. Pembatalan

suatu Perda merupakan kewenangan Pemerintah dalam kaitannya dalam

melaksanakan proses pengawasan kepada Daerah. Pengawasan terhadap Perda ini

lahir dari kewenangan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan

Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

khususnya mengenai Peraturan yang dibuat Daerah.

Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Daerah terdapat dua bentuk yakni, pengawasan preventif dan pengawasan

represif. Pengawasan preventif melalui tahap evaluasi kepada Rencana Perda

(Ranperda) Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan

4Bagir Manan, 1991, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Yogyakarta, Gajah

Mada University Press, h. 14. (Selanjutya disebut Bagir Manan I).

Page 5: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

5

retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang yang didasarkan pada UU No.

32 Thn 2004.

Pengawasan terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD),

pajak daerah dan retribusi daerah, serta Peraturan Daerah tata ruang

Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur, sedangkan pengawasan preventif

terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah dan

retribusi daerah serta Peraturan Daerah tata ruang dilakukan oleh Pemerintah

dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri. Sementara pengawasan represif

dilakukan oleh Pemerintah terhadap seluruh Peraturan Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota yang pada dasarnya sesudah dilakukannya pengawasan preventif.

Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini

dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004

lama, Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi

seperti Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan

dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32

Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga

masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan

kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta

kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Page 6: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

6

Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

Pemerintah, serta Pasal 145 ayat (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60

(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Hal ini diperjelas kembali dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor

4593), (selanjutnya disingkat PP 75 Tahun 2005). Pasal 37 ayat (4) Peraturan

Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.

Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004, apabila hasil evaluasi tidak

ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan

rancangan Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang

penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri

(Mendagri) membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus

menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya, dan dengan Pasal 40 ayat

(2) PP 79 Tahun 2005. Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana

pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan

Page 7: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

7

kepala daerah, Mendagri dapat membatalkan peraturan daerah dan peraturan

kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri.

Sama halnya dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang

dibahas sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 2014

Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, (selanjutnya disingkat Pemendagri

1 Thn 2014) Pasal 80 ayat (3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil

evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi

Perda dan/atau peraturan gubernur, Mendagri membatalkan Perda dan peraturan

gubernur dengan Peraturan Menteri. Proses pembatalan ini merupakan tahapan

evaluasi yang dilakukan oleh Mendagri kepada Daerah Provinsi. Proses evaluasi

ini dilakukan terhadap Raperda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan

Tata Ruang.

Pada Pasal 90 ayat (3) Hasil klarifikasi Perkada sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan

perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh Menteri

Dalam Negeri. Ayat (4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

ditetapkan dengan Permendagri. Proses ini merupakan tahapan klarifikasi

terhadap Perda Provinsi. Proses klarifikasi ini dilakukan terhadap Perda APBD,

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang. Dimana pada tahap ini

Mendagri dapat membatalkan Perda dengan mengacu pada Pasal 90 ayat (3) dan

(4) Permendagri 1 Thn 2014 yang menyatakan Hasil klarifikasi Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila tidak sesuai dengan hasil evaluasi

maka Perda dimaksud dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Page 8: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

8

Pasal 91 ayat (4) apabila pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil

klarifikasi terkait pembatalan perda, maka Mendagri mengajukan permohonan

kepada Presiden untuk membatalkan Perda. Jika kita lihat sebenarnya

kewenangan pembatalan Perda tetap berada pada Presiden. Sehingga dapat kita

teliti produk hukum pembatalan Perda yakni, Peraturan Presiden terhadap seluruh

Perda.

Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan pemerintah

dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah, baik pengawasan

secara preventif maupun pengawasan secara represif. Sehingga dalam asas

desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari Pemerintah Pusat sehingga

Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari Pemerintah Pusat. Karena asas

desentralisasi tidak berarti daerah dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya

sendiri tetapi tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam

pembatalan perda berkaitan pengawasan secara represif terdapat dua model

pembatalannya yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

1. Pembatalan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden terhadap seluruh

perda tanpa terkecuali.

2. Pembatalan oleh Mendagri dengan Permendagri terhadap Raperda

APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan perda tata ruang provinsi

dalam proses evaluasi dan pada tahap klarifikasi bentuknya sudah

Perda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan perda tata ruang

provinsi.

Page 9: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

9

Hal inilah yang mendasari adanya dualisme pembatalan peraturan daerah

provinsi yang mana dua lembaga yang berada pada ranah eksekutif memiliki

kewenangan untuk membatalkan perda. Karena seperti yang kita ketahui perda

tersebut tidak ada pembedaan baik dalam perencanaan, penyusunan hingga

pengundangannya, namun dalam pembatalannya terdapat perbedaan pembatalan

oleh pemerintah pusat, yakni berkaitan pada tahap klarifikasi yang bentuknya

sudah menjadi Perda dan merupakan proses pengawasan secara represif yang pada

UU No. 32 Thn 2004, PP No. 79 Thn 2005 dan Permendagri 1 Thn 2014

merupakan kewenangan Presiden dan juga kewenangan Menteri Dalam Negeri

sebagaimana yang diatur pada Permendagri 1 Thn 2014.

Ketika terjadi permasalahan berkaitan dengan Pembatalan Perda yang

melibatkan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, yang masing-masing

memiliki penafsiran berbeda akan sebuah Perda serta untuk menemukan suatu

kejelasan maksud daripada suatu Perda, diberikan suatu upaya penyelesaian

dengan mengajukan keberatan terhadap pembatalan perda oleh pemerintah pusat

kepada Mahkamah Agung. Pengajuan keberatan terhadap Perda yang dibatalkan

oleh pemerintah pusat tersebut ke Mahkamah Agung sebagai upaya untuk

memperoleh keadilan serta penafsiran yang tepat mengenai Perda yang dibatalkan

oleh Presiden. Dengan diajukannya keberatan pembatalan perda ke Mahkamah

Agung akan memberikan kejelasan tentunya berkaitan pembatalan yang sejatinya

pertimbangan dalam pembatalan suatu Perda serta apakah memang benar-benar

perda tersebut melanggar ketentuan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 atau

tidak terjadi pelanggaran terhadap Pasal tersebut, serta menolak pembatalan perda

Page 10: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

10

yang dilakukan oleh Presiden. Mahkamah Agung bukan hanya menguji keberatan

tetapi juga berwenanga menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah

Undang-undang termasuk Perda ketika bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-undang.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis ungkapkan

sebelumnya, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah hukum ini dalam

bentuk tesis yang berjudul : “DUALISME PEMBATALAN PERATURAN

DAERAH PROVINSI DENGAN PERATURAN PRESIDEN DAN

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diungkapkan

sebelumnya, rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini yakni

berkaitan dengan :

1. Bagaimanakah pengaturan pembatalan Perda Provinsi yang dilakukan

dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Dalam Negeri?

2. Apakah akibat hukum pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Mengenai ruang lingkup permasalahan ini berkaitan dengan pembatalan

Perda, Perda yang dimaksudkan adalah Perda Provinsi yang dibatalkan oleh

Presiden dengan Peraturan Presiden dan Perda APBD, Pajak daerah dan Retribusi

daerah serta tata ruang yang dibatalkan oleh Mendagri pada proses evaluasi dan

klarifikasi melalui Permendagri yang mengacu pada Pasal Pasal 145 ayat (3) UU

Page 11: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

11

No. 32 Thn 2004, Pasal 37 ayat (4) PP 79 Tahun 2005, serta Pasal 91 ayat (4)

Permendagri No. 1 Tahun 2014 serta Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004,

Pasal 40 ayat (2) PP 79 Tahun 2005 dan Pasal 80 ayat (3) dan Pasal 90 ayat (3)

Permendagri 1 Thn 2014, untuk melihat pengaturan, kejelasan, kepastian serta

prosedur pembatalan hingga akibat hukum dibatalkannya Perda tersebut.

Kewenangan Mendagri tidak hanya pada proses preventif yakni berkaitan dengan

evaluasi Ranperda bahkan juga represif dengan proses klarifikasi yang mana

seharusnya untuk tindakan represif yakni berkaitan denggan pembatalan perda

merupakan kewenangan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

a. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

b. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.

c. Untuk mengetahui adanya dualisme Pembatalan Perda Provinsi.

d. Untuk memberikan penjelasan terhadap adanya dualisme tersebut.

e. Untuk memberikan pemahaman terkait akibat hukum adanya

pembatalan Perda.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui sejauhmana kewenangan pengaturan oleh

pemerintah pusat pembatalan terhadap Perda Provinsi.

b. Untuk mengetahui alasan pembatalan Perda Provinsi sebagai upaya

pengawasan dalam negara kesatuan.

Page 12: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

12

c. Untuk mengetahui sejauhmana upaya yang dapat ditempuh Pemerintah

Daerah Provinsi akibat adanya suatu pembatalan Perda Provinsi.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

a. Dapat mengetahui hubungan antara pemerintah pusat dengan

pemerintah daerah dalam bentuk negara kesatuan

b. Dapat mengetahui bentuk hukum serta akibat hukum pembatalan Perda

Provinsi.

c. Dapat mengetahui dasar kewenangan pembatalan Perda serta upaya

yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah Provinsi akibat adanya

suatu pembatalan Perda.

1.5.2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sumber berkaitan penelitian mengenai pembatalan

Perda.

b. Dapat memberikan pemahaman dalam penyusunan dan pembentukan

perda sehingga tidak lagi suatu perda tersebut dibatalkan.

c. Dapat memberikan penjelasan kepada Pemerintah Provinsi berkaitan

upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap pembatalan Perda tersebut.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Berkaitan mengenai Peraturan Daerah (Perda) sebenarnya sudah pernah

diteliti oleh beberapa penulis yang menjadikan Perda sebagai kajian permasalahan

hukumnya, namun penulis juga berupaya menjadikan Perda sebagai objek

permasalahan yang akan diteliti. Permasalahan berkaitan dengan Perda yang

Page 13: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

13

penulis teliti ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah ada

sebelumnya seperti :

1. Tesis yang ditulis oleh Putu Novarisna Wiyatna dengan judul

“Wewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Tentang Retribusi Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah” dalam tesis ini mengangkat

permasalahan :

a. Bagaimanakah bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah tentang

Retribusi?

b. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah

terhadap keputusan pembatalan Peraturan Daerah tentang Retribusi

Daerah?

Jika melihat dari judul serta rumusan masalah yang diteliti tersebut

berbeda dengan yang akan penulis teliti mengingat pada tesis tersebut

menekankan kepada bentuk hukum pembatalan Perda serta mengenai tindakan

hukum yang dapat dilakukan pemerintah daerah ketika dibatalkannya Perda yang

telah dibuat tersebut. Sedangkan penulis lebih menekankan kepada terjadinya

dualisme pembatalan Perda dengan Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri

Dalam Negeri serta lembaga manakah yang berwenangan membatalkan suatu

Perda.

2. Tesis yang ditulis oleh I Made Sutama dengan judul “Pengawasan

Pemerintah Daerah dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten

Badung dibidang lingkungan hidup, dalam tesis ini mengangkat

permasalahan :

Page 14: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

14

a. Bagaimanakah Pmerintah Daerah mengatur kewenangan

pengawasan dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung

dibidang lingkungan hidup?

b. Apakah fungsi pengawasan telah dilaksankan dalam menegakan

Peraturan Daerah Kabupaten Badung dibidang Lingkungan Hidup?

c. Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam melaksankan

pengawasan pada penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung

diidang lingkungan hidup?

Permasalahan yang diteliti penulis pada tesisnya sangat berbeda dengan

apa yang akan penulis buat, meningat pada tesis tersebut menekankan kepada

upaya penegakan Peraturan Daerah sementara penulis akan menekankan

mengenai pembatalan Perda serta lembaga manakah yang berwenangan

membatalkan suatu Perda.

3. Tesis yang ditulis oleh I Ketut Suta dengan judul “Kajian sanksi

paksaan pemerintahan dalam penegakan Peraturan Daerah tentang

bangun-bangunan di Kota Denpasar. Dengan permasalahan yang diteliti

yakni :

a. Apakah yang menjadi dasar hukum dari kewenangan Pemerintah

Kota Denpasar untuk menerapkan sanksi paksaan pemerintahan

dalam penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar dibidang bangun-

bangunan?

b. Upaya perlindungan hukum apa yang dapat dan telah ditempuh para

pihak terhadap penerapan sanksi paksaan pemerintahan dalam

Page 15: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

15

penegakan Peraturan Daerah Kota Denpasar dibidang bangun-

bangingan yang dirasakan merugikan.

Permasalahan yang diteliti dari tersebut juga berbeda dengan apa yang

akan penulis teliti. Mengingat pada tesis tersebut menekankan kepada pelaksanaan

paksaan pemerintahan dalam menegakan Peraturan Daerah mengenai bangun-

bangunan dan bukan mengenai pembatalan Perda yang akan penulis teliti.

4. Tesis yang ditulis oleh Ni Ketut Adiani dengan judul “Pergeseran

wewenang membentuk Peraturan Daerah setelah perubahan Undang-

Undang Dasar Negara Tahun 1945”. Pada tesis ini mengakat masalah :

a. Elemen-elemen/unsur-unsur apakah yang mengalami pergeseran

berkaitan dengan wewenang membentuk Peraturan Daerah?

b. Apakah implikasi konstitusional dan ketatanegaraan dari pergeseran

elemen-elemen wewenangan membentuk Peraturan Daerah?

Tesis inipun berbeda dengan apa yang akan penulis teliti mengenai

permasalahan hukumnya. Pada tesis ini menekankan pada pembentukan Perda

setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sementara penulis

akan meneliti permasalahan hukum mengenai Pembatalan Perda, yang dimana

antara peermasalahan hukum yang akan penulis teliti sangat berbeda dengan tesis

tersebut.

1.7. Landasan Teoritis

Untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas pada tesis ini

dipergunakanlah beberapa teori, konsep, asas serta pandangan dan pendapat para

ahli hukum sebagai pisau analisis untuk mengkaji serta memberikan argumentasi

Page 16: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

16

bahkan memberikan pembenaran berkaitan dengan permasalahan tersebut.

Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan

abstraksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan

mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.5

Asas-asas hukum berfungsi memberikan pedoman bagi suatu perilaku, sekalipun

tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-

asas hukum menjelaskan dan menjastifikasikan norma-norma hukum, yang di

dalamnya terkandung (bertumpu) ideologi tertib hukum.6 Teori, konsep, dan asas

yang dipergunakan untuk membahas permasalah tersebut seperti :

1. Negara Hukum

2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan

3. Teori Kewenangan

4. Asas Desentralisasi

5. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

6. Konsep Pengawasan

7. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan

1.7.1. Negara Hukum

Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan pendapat Bellefroid

dalam N.H.T. Siahaan7

bahwa:“Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang

secara kekal menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan

5Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, h.

19-22. 6 Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum

Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.82.

7Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, h.

92.

Page 17: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

17

kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”. Selanjutnya pada

penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita hukum bukan

sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu selain korporasi yang

berbeda dari tata pembentuknya (anggaran dasarnya)”.8

Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli hukum

Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl menyebut

dengan istilah rechtstaat, sedangkan A.V. Dicey yang merupakan ahli hukum

Anglo Saxon menyebut dengan istilah rule of law.9 Unsur dari Rechstaat :

a. Adanya perlindungan hak asasi manusia.

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika.

c. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid van bestuur).

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan Rule of Law seperti yang diungkapkan oleh A.V. Dicey, unsurnya :

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada

kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya

berdasarkan pada hukum.

2. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan

yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).

3. Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu yang didasarkan

pada Konstitusi (the constitution based on individual rights).10

8Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia

Jakarta, h. 226.

9Meriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 113.

10

A.V. Dicey, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi,

Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, h. 251-261.

Page 18: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

18

Selanjutnya Ridwan yang mengambil inti sari dari pendapat Ten Berge

dalam W. Riawan Tjandra, menguraikan prinsip-prinsip yang harus terpenuhi

dalam negara hukum11

, yaitu:

1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh Pemerintah)

harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan

peraturan umum yang merupakan peraturan umum. Undang-undang

secara umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari

tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai

jenis tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ

pemerintahan harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang

tertulis, yakni undang-undang formal.

2. Perlindungan hak asasi;

3. Pemerintah terikat pada hukum;

4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum.

Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar.

Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat

instrument yuridis penegakan hukum. Pemerintah dapat memaksa

seseorang yang melanggar hukum melalui sistem peradilan negara.

Memaksakan hukum publik secara prinsip merupakan tugas

pemerintah.

5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum yang dapat

ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ

pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap negara hukum diperlukan

pengawasan oleh hakim yang merdeka.

Dengan kenyataan bahwa secara konstitusional Negara Indonesia

menganut prinsip “Negara hukum yang dinamis” atau Welfare State, maka dengan

sendirinya tugas pemerintah Indonesia begitu luas. Pemerintah wajib berusaha

memberikan perlindungan kepada masyarakat baik dalam bidang politik maupun

dalam sosial dan ekonominya. Konsep negara hukum selanjutnya berkembang

menjadi dua sistem hukum yakni, sistem hukum eropa kontinental dengan istilah

rechtsstaat dan sistem anglo saxon (rule of law).12

Konsep Negara hukum,

11

W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma

Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 12-13.

Page 19: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

19

Pemerintah memiliki fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kekuasaan

menyelenggarakan pemerintahan bukan berarti Pemerintah dapat bertindak

sewenang-wenang sebab Negara hukum (rechtstaat) sebagaimana yang

disebutkan oleh Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burken : “Adalah Negara

yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan Negara dan penyelenggaraan

kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan

hukum“.13

Hal ini dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan bahwa

tujuan dari pada hukum ialah “Untuk mencapai ketertiban, keadilan dan kepastian

hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara“.14

Mengingat

Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI

Tahun 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Negara hukum yang dianut Indonesia bukanlah negara hukum dalam artiaan

formal melainkan negara hukum dalam artian materiil yakni negara kesejahteraan

(welfarestate).

Konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia yakni negara hukum

Pancasila. Negara hukum Pancasila menurut Padmo Wahyono adalah suatu

kehidupan bangsa Indonesia atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan

didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas

12

Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi

Pustaka Pblisher, Jakarta, h. 162.

13

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.18.

(Selanjutnya disebut Ridwan H.R. I).

14

Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam

Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2.

Page 20: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

20

dalam arti merdeka, berdaulat, adil dan makmur yang didasarkan atas hukum baik

hukum tertulis maupun hukum tak tertulis sebagai wahana untuk ketertiban dan

kesejahteraan dalam arti menegakan demokrasi, perikemanusiaan dan

perikeadilan.15

Kemudian untuk menindak lanjuti apa yang dimaksudkan UUD

NRI Tahun 1945 maka setiap tindakan harus didasarkan atas hukum. Hukum

disini harus telah diatur untuk itu hukum disini bentuknya tertulis dan tidak

tertulis.

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan

atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam konsep negara hukum, asas legalitas

merupakan unsur yang utama dalam sebuah negara hukum.16

Asas legalitas

berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum.17

Selanjutnya menurut Sri Soemantri, ada 4 (empat) hal yang dapat dijumpai dalam

suatu Negara Hukum, yakni:

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya

harus berdasarkan atas hukum atau peraturan atau peraturan perundang-

undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan negara;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterilije control).18

Negara hukum merupakan dasar suatu negara dalam melaksanakan

tindakan yang menempatkan asas legalitas sebagai dasar tindakan dari suatu

15

Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, h.153-

155.

16

A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h.59.

(Selanjutnya disebut A. Mukthie Fadjar I).

17

H. Mustamin DG. Matutu, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di

Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h 8.

18

Sri Soemantri M, 1992, Bunga rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni,

Bandung, h.29-30.

Page 21: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

21

negara. Dalam melaksanakan pemerintahan Pemerintahan Indonesia yang

menggambarkan negara hukum haruslah sesuai dengan unsur-unsur yang telah

dikemukakan tadi, sehingga nantinya apabila pemerintah daam melaksankan

tindakannya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan memiliki dasar

pembenaran, maupun ketika tindakannya itu menyimpang dapat diajukan suatu

upaya hukum sebagaimana unsur dari negara hukum lainnya yakni peradilan

administrasi, sebagai suatu lembaga yang diberikan kepada masyarakat untuk

melawan serta memperoleh keadilan ketika berhadapan dengan negara. konsep

negara hukum ini sendiri erat kaitannya dengan asas legalitas yang memberikan

dasar serta kepastian akan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah serta

memudahkan masyarakat untuk mengontrol tindakan pemerintah tersebut apakah

telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Adanya peradilan administrasi merupakan suatu bentuk pengawasan yang

dilaksanakan oleh lembaga yudikatif yang dalam hal ini merupakan tujuan

daripada adanya suatu pengawasan. Pengawasan dalam rangkan pelaksanaan

pemerintahan yang berada pada bidang eksekutif dilaksanakan oleh pemerintah

pusat sebagai bagian adanya pelaksanaan desentralisasi. Sehingga kepada daerah

dengan adanya desentralisasi tidak berarti daerah bisa bertindak semuanya

mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang dimana dalam suatu negara

tidak ada negara lagi yang berbeda dengan negara federal. Oleh karenanya maka

pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada

daerah yang dimana erat kaitannya dengan fungsi peradilan dalam hal ini

pengawasan.

Page 22: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

22

Pengawasan ini dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah daerah tetap

berada dalam koridor NKRI yang mana walaupun daerah diberikan kewenangan

dan kebebasan untuk mengurus sendiri rumah tangga pemerintahanya namun

tidak lantas pemerintah daerah bebas tanpa batas. Pelaksanaan otonomi daerah

oleh pemerintah daerah tetap harus dalam koridor NKRI dan di bawah

pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka pembinaan

terhadap pemerintahan daerah agar terwujud good government. Dasar hubungan

antara pusat dan daerah adalah bahwa pemerintah pusat menyerahkan sebagian

wewenang pemerintahannya kepada daerah untuk diatur dan diurus sendiri

sebagai urusan rumah tangga daerah (otonom).19

Selanjutnya agar wewenang

yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah agar tidak disalahgunakan, maka

digunakan instrumen pengawasan.

Diana Halim Koencoro, menyebutkan pengawasan dalam perspektif HAN

adalah mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari

apa yang telah digariskan (preventif) dan menindak atau memperbaiki

penyimpangan yang terjadi (represif).20

Secara harfiah, pengawasan/kontrol

mengandung arti penilikan dan penjagaan; pengawasan (umum) berarti

pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap segala kegiatan

pemerintah daerah. Dalam bahasa Inggris pengawasan disebut dengan

“controlling” (yang berarti pengawasan, termasuk didalamnya ada pengendalian).

19

Widodo Ekathahjana, 2008, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan Sistem

Peradilannya di Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta, h. 39.

20

S.F.Marbun 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press

Jogjakarta, h. 267. (selanjutnya disebut S.F. Marburn I).

Page 23: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

23

Pengawasan atau kontrol ini dapat dibedakan atas pertama kontrol yang

bersifat intern dan kontrol bersifat ekstern. Kontrol intern disini diartikan bahwa

pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris/struktural

masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri. Bentuk kontrol semacam

ini dapat digolongkan dalam jenis teknis-administratif atau disebut pula built-in

control.21

Dan jenis kontrol yang kedua adalah kontrol yang bersifat eksternal

yaitu kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan

(judicial control) dalam hal terjadinya persengketaan atau perkara dengan pihak

Pemerintah. Pengawasan juga dapat dibedakan dari dua sisi, yaitu pengawasan

dari sisi saat/waktu pelaksanaan dan pengawasan dari sisi obyek.

a. Pengawasan dari sisi saat/waktu

Control priori dan control a-posteriori. control priori dilakukan bilamana

pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu putusan atau ketetapan

pemerintah atau pun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi

wewenang Pemerintah. Sedangkan dalam control aposteriori dilakukan bilamana

pengawasan itu baru dilakukan sesudah dikeluarkannya keputusan/ketetapan

Pemerintah atau sesudahterjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah.22

b. Pengawasan dari sisi objek

Kontrol dari sisi hukum (rechmatigheidstoetsing) dan kontrol dari sisi

kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing). Kontrol dari sisi hukum ini pada

prinsipnya menitikberatkan pada segi legalitas, yaitu penilaian tentang sah atau

tidaknya suatu perbuatan pemerintah. Sedangkan kontrol dari sisi kemanfaatan

21

Widodo Ekathahjana, Op.Cit, h. 41

22

Ibid

Page 24: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

24

disini ialah pada prinsipnya menilai perbuatan pemerintah berdasarkan benar

tidaknya perbuatan tersebut dari segi pertimbangan kemanfaatannya, khususnya

dalam kerangka pencapaian kesejahteraan masyarakat.23

Khusus terkait dengan pengawasan terhadap satuan pemerintahan otonomi,

Bagir Manan menyatakan ada dua model pengawasan terkait yaitu pengawasan

preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht).24

Kedua model pengawasan ini ditujukan berkaitan pengawasan produk hukum

yang dihasilkan daerah maupun pengawasan terhadap tindakan tertentu dari organ

pemerintahan daerah, yang dilakukan melalui wewenang mengesahkan

(goedkeuring) dalam pengawasan preventif maupun wewenang pembatalan

(vernietiging) atau penangguhan (schorsing) dalam pengawasan represif. Bila

dikaitkan dengan model pengawasan di atas dengan implementasi pengawasan

peraturan daerah sebagai salah satu produk penyelenggaraan pemerintahan

otonomi, maka model pengawasan preventif ini dilakukan dengan memberikan

pengesahan atau tidak memberi (menolak) pengesahan Perda yang disusun oleh

Pemerintah Daerah. Menurut hemat penulis pengawasan yang dilakukan oleh

pemerintah pusat kepada daerah merupakan pengawasan internal yang hanya

berada pada ranah eksekutif.

1.7.2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan

Berkembangnya teori hukum berjenjang (stufenbou theory) tidak dapat

dipisahkan dari tiga nama ahli hukum, yaitu Adolf Merkl, Hans Kelsen, dan Hans

23

Ibid, h. 42 24

Ibid, h. 43.

Page 25: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

25

Nawiansky.25

Mengenai teori pertanggan Peraturan Perundang-undangan

sebagaimana yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan “stufenbou theorie

yang menganut aliran hukum murni”.26

Menurut Hans Kelsen norma hukum itu

berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki yang dimana norma hukum yang

lebih rendah itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi, norma hukum

yang lebih tinggi itu bersumber dari norma hukum yang lebih tinggi lagi demikian

seterusnya hingga akhirnya sampai kepada norma yang tidak dapat lagi untuk

ditelusuri lagi pembentukannya yakni norma dasar (grundnorm).27

Berdasarkan teori tersebut mengklasifikasikan bahwa norma yang ada

pada suatu negara yakni berjenjang, berlapis-lapis dimana norma yang paling

tinggi adalah norma yang menjiwai setiap norma lain yang berada pada tingkatan

yang lebih rendah. Norma yang paling tinggi itu disebut grundnorm dan norma

yang paling rendah disebut dengan norm.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPPU Jenis dan hierarki Peraturan

Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

25

Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak Dan Retribusi, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 147.

26

Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan Implikasi

Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press

Citra Media, Jakarta-Yogyakarta, h. 50-53. (Selanjutnya disebut Jazim Hamidi I).

27

Maria Farida Indrati S., 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan, Cet. 13, Kansius Yogyakarta, h.26-27. (Selanjutnya disebut Maria Farida I).

Page 26: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

26

UUD NRI Tahun 1945 merupakan suatu grundnorm yang menjadikan

konstitusi sebagai suatu produk hukum tertinggi yang dijadikan sumber tertinggi

dari suatu peraturan perundang-undangan. Menurut Wheare “Constitutions as

primarly and almost exclusively a legal document in which, therefore, there is a

place for rules of law but for practically manifiesto, a confenssion of faith, a

statement of charter of the land”.28

Sehingga peraturan yang lebih tinggi

kedudukannya harus menjiwai peraturan yang lebih rendah dan peraturan yang

lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dalam pertanggaan Peraturan perundang-undangan akan terlihat

kedudukan Perda sebagai bagian dari suatu peraturan perundangan yang diakui

dalam hukum Indonesia. Dengan diletakannya Perda sebagai bagian dari hirarki

peraturan perundang-undangan maka perda tersebut hendaknya tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga apabila terjadi

pertentangan maka sudah sewajarnya perda tersebut dapat dibatalkan dan

dinyatakan tidak berlaku. Dimana jika dinalisis dengan teori ini akan diketahui

letak dari hirarki suatu Perda serta untuk melihat terjadinya pertentangan Perda

tersebut dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dengan alasan tersebut

dipergunakanlah teori ini untuk membahas permasalahan tersebut sehingga

nantinya akan ditemukan dengan peraturan manakah suatu Perda tersebut

bertentangan.

28

KC. Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford, p. 32.

Page 27: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

27

1.7.3. Teori Kewenangan

Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari

hukum tata negara dan hukum administrasi negara.29

Pemerintahan (administrasi)

baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya,

artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen).30

Tanpa adanya

kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak

dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan, menurut

Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan,

“Yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang

menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintahan atau kekuasaan yang

menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy

exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik

negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak)”.31

Ateng syafrudin menerangkan kewenangan adalah apa yang disebut

kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

undang–undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Dalam beberapa sumber menerangkan,

bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam

istilah Belanda. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa “wewenang terdiri atas

sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum

29

HM Arief Muljadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam

Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, h 61.

30

Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok HukumAadmiistrasi, Laksbang

Presindo, Yogyakarta. h. 49.

31

Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima Aksara,

Jakarta, h.30.

Page 28: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

28

dan komformitas hukum”.32

Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum

dimaksudkan, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum, sedangkan

komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah

mempunyai standar. Menurut Philipus M. Hadjon,33

ruang lingkup keabsahan

tindakan pemerintahan dan Keputusan Tata Usaha Negara meliputi: wewenang,

substansi dan prosedur. Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi

legalitas formal. Bagir Manan34

menyatakan : Di bidang otonomi Perda dapat

mengatur segala urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang tidak

diatur oleh pusat. Di bidang tugas pembantuan Perda tidak mengatur substansi

urusan pemerintahan atau kepentingan masyarakat. Perda di bidang tugas

pembantuan hanya mengatur tata cara melaksanakan substansi urusan

pemerintahan atau suatu kepentingan masyarakat.

Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika berbicara mengenai

keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa hukum

ada karena kekuasaan yang sah.35

Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan

hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada

dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada kekuasaan yang sah.

32

Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum Administrasi

tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”, Surabaya, h. 2. (Selanjutnya disebut

Philipus M. Hadjon I).

33

Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan

ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta h.1. (Philipus M. Hadjon II).

34

Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat Studi

Hukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta h.185-186. (Selnajutnya disebut Bagir Manan II).

35

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 25.

Page 29: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

29

Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum

tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak

untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak

dan kewajiban (rechten en plichten).

Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian

kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri

(zelfhestuten),36

sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk

menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti

kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan

Negara secara keseluruhan.37

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan

mandat.38

Kewenangan yang sumbernya dari peraturan perundang-undangan

disebut dengan kewenangan konstitusionalisme yang merupakan sejumlah

ketentuan hukum yang tersusun secara sistematis untuk menata dan mengatur

struktur dan fungsi-fungsi lembaga negara.39

Mengenai atribusi, delegasi dan

mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :

1. Atribusi adalah kewenangan yang diperoleh oleh organ pemerintahan

secara langsung dari peraturan perundang-undangan

2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan

kepada organ pemerintahan lainnya.

36

Philipus M. Hadjon I).op.cit, h.79.

37

Ridwan, HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 73. (Selanjutnya disebut Ridwan HR II).

38

Ibid, h. 104.

39

Jazim Hamidi dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka

Publisher. h.11. (Selanjutnya diesebut Jazim Hamidi II)

Page 30: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

30

3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya

dijalankan oleh organ lain atas namanya.40

Pada Atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh

suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau

diciptakan suatu wewenang pemerintahan baru. Dapat diberi uraian bahwa

ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan yang

disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan atau Pejabat Tata Usaha

negara (TUN) yang diberi wewenang pemerintah, jadi dasar wewenang tersebut

dinamakan bersifat atributif.41

Sedangkan pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang

telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh

suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau jabatan Tata

Usaha Negara lainnya. Dengan demikian, suatu delegasi selalu di dahului oleh

adanya atribusi wewenang, adalah sangat penting untuk mengetahui apakah suatu

Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara itu pada waktu mengeluarkan suatu

keputusan yang berisi suatu pendelegasian wewenang berdasarkan suatu

wewenang pemerintah atributif yang sah atau tidak. Dalam hal mandat, maka

tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang yang telah ada,

yang ada hanya suatu hubungan intern, pemberi mandat (mandans) menugaskan

penerima mandat (mandataris) untuk atas nama mandans melakukan suatu

tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan Tata

40

Ridwan HR II,op.cit, h. 105.

41

A. Siti Soetami, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika Aditama,

Bandung, h. 4.

Page 31: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

31

Usaha Negara tertentu. Jadi pada mandat, wewenang pemerintahan tersebut

dilakukan oleh mandataris atas nama dan tanggung jawab mandans.

Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan

diperoleh, yaitu pertama, kekuasaan diperoleh melalui attributie. Setelah itu

dilakukan pelimpahan dan dilakukan dalam dua bentuk yaitu delegatie dan

mandaat. Di sisi lain pelimpahan wewenang pusat kepada daerah didasarkan pada

teori kewenangan, yaitu pertama kekuasaan diperoleh melalui atribusi oleh

lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan, setelah

menerima kewenangan atribusi berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 untuk

kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dapat dilakukan melalui dua

cara yaitu delegasi dan mandat, delegasi dapat diturunkan kembali hanya sampai

pada sub-sub delegasi.42

Dalam hal atribusi tanggung jawab wewenang ada pada penerima

wewenang tersebut (atributaris), pada delegasi tanggung jawab wewenang ada

pada penerima wewenang (delegans) dan bukan pada pemberi wewenang

(delegataris), sementara pada mandat tanggung jawab wewenang ada pada

pemberi mandat (mandans) bukan penerima mandat (mandataris). Jika dilihat dari

sifatnya wewenang itu dapat dibedakan menjadi tiga yakni :

1. Wewenang yang sifatnya terikat yakni terjadi apabila telah dirumuskan

secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus

dilaksanakan serta telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya

diambil.

2. Wewenang fakultatif yakni wewenang tersebut tidak wajib

dilaksanakan karena masih ada pilihan sekalipun pilihan itu hanya dapat

42

I Ketut Suardita, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan Pajak

daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, h. 23.

Page 32: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

32

dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan

pada peraturan dasarnya.

3. Wewenang bebas yakni wewenang yang dapat dilakukan ketika

peraturan dasarnya memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata

usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan

diambilnya.43

Kewenangan pembentukan Perda merupakan sumber kewenangan atribusi,

karena pembentukan Perda merupakan pemberian atribusi untuk mengatur

daerahnya sesuai dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004, di samping itu

pembentukan Perda merupakan suatu pelimpahan wewenangan (delegasi) dari

suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah.44

Serta pendelegasian kewenangan

Pemerintah (Presiden) kepada pembantunya yakni Mendagri dalam rangka

melaksanakan urusan pemerintahan daerah. Karena jika kita lihat pada Pasal 145

ayat (2) perda dibatalkan oleh pemerintah, jika kita menafsirkan Pasal 1 angka 1

yang disebut Pemerintahan Pusat adalah Pemerintah pusat, selanjutnya disebut

Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga yang

membatalkan perda adalah Presiden dan bukan Mendagri.

43

Ridwan HR II, loc.cit.

44

Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik

Penyusunan), Kansius, Yogyakarta, h. 23. (Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati S. III).

Selanjutnya disebut Maria Farida Indrati II).

Page 33: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

33

1.7.4. Asas Desentralisasi

Istilah desentralisasi dari bahasa latin “de” yang berarti lepas dan

“centrum” yang berarti pusat.45

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintah kepala daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia. Pemberian

wewenang ini dimaksudkan untuk dapat menjamin efektifitas maupun efisiensi

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka memberikan pelayanan

kepada warga masyarakat dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan antar

susunan pemerintahan, potensi yang ada serta keanekaragaman daerah, hak-hak

asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam arti ketatanegaraan

desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-

daerah, yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonomi).

Desentralisasi ketatanegaraan dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam :

1. Desentralisasi teritorial yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur

dan mengurus rumah tangga daerah masing-masing (otonom).

2. Desentralisasi fungsional, yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur

dan mengurus sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. 46

Konsepsi pemerintahan daerah bukanlah dalam artian sebuah lembaga, melainkan

menunjuk pada tempat proses penyelenggaraan urusan atau tugas negara, yakni di

daerah sebagai perpanjangan penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah

45

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah, Pustaka Bani

Quraisy, Bandung, h. 89.

46

Juanda, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan

Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung, h. 119.

Page 34: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

34

Pusat.47

Dalam hal pemerintahan daerah yang menjadi fokus perhatian adalah asas

otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah, sebagaimana yang ditulis oleh Yamin, bahwa:

“Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan

pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian

kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi

tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan

segala-galanya pada pusat pemerintahan.”48

Setelah lahirnya otonomi daerah, dalam rangka untuk menampung aspirasi

masyarakat di daerah, kepentingan umum dalam penafsirannya harus disesuaikan

dengan masyarakat setempat, sikap pemerintah tidak dibenarkan secara parsial

memihak bagi golongan tertentu saja, tetapi dilakukan secara menyeluruh untuk

kepentingan masyarakat.49

Otonomi mengandung arti perundangan (regeling), dan

pemerintahan (bestuur). Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan

(staatsrechtelijke), bukan hanya tatanan administrasi negara

(administratiefrechtelijke). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan

dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara.50

Sebagai

konsekwensi pelaksanaan asas desentralisasi menciptakan local self goverment.

Dalam negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintahan pusat tetap

mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom.51

Dengan demikian

47

I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar, h. 37.

48

Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada, h. 92. 49

Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan

Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 49.

50

Ibid, h. 23.

Page 35: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

35

maka daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengatur dan

mengurus urusan rumah tangganya sendiri secara nyata dan bertanggung jawab

dengan diberikannya hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Jika kita amati asas desentralisasi ini akan melahirkan adanya otonomi dan

tugas pembantuan pada otonomi itu akan melahirkan adanya suatu hak dan

kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

pada tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau

desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari

pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sehingga dengan adanya otonomi dan tugas pembantuan akan melahirkan suatu

pemerintahan daerah yang didasarkan pada kekhususan yang dimiliki oleh suatu

daerah hingga pada pemerintahan desa. Dalam rangka menjalankan pemerintahan

daerah tersebut maka pemerintah daerah akan membentuk suatu peraturan daerah

yang dijadikan sumber hukum untuk melaksanakan wewenangnya yang

bersumber pada kewenangan atribusi pemerintah pusat yang kemudian di

delegasikan kepada pemerintah daerah. Perda sebagai bagian daripada

desentralisasi ini merupakan aturan hukum yang termasuk ke dalam Hirarki

peraturan perundang-undangan yang materi muatannya tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

51

Josef Riwo Kaho, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia

(Identifikasi Beberapa yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya), Cet. 6, PT. Raja Grafindo

Persada, h.5.

Page 36: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

36

1.7.5. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Agar suatu Peraturan Perundang-undangan itu dapat diterima dan berlaku

dalam pembentukannya haruslah memenuhi beberapa asas yang menjadi dasar

pembentukannya, asas-asas tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Van der

Vlies membagi asas tersebut ke dalam asas formal dan materiil.

1. Asas Formal terdiri atas :

a. Asas kejelasan tujuan, mencakup ketetapan peraturan perundang-

undangan dengan kebujakan pemerintah, tujuan khusus peraturan

yang dibentuk, tujuan dari bagian yang akan dibentuk.

b. Asas kelembagaan/organ pembentuk yang tepat, menetapkan

kejelasan organ yang menetapkan peraturan perundang-undangan

tersebut.

c. Asas perlunya pengaturan, menentukan alternatif maupun relevansi

dibetuknya aturan untuk menyelesaikan permasalahan pemerintahan.

d. Asas dapat dilaksanakan, peraturan yang dibuat dapat ditegakan.

e. Asas kedayagunaan dan keberhasilgunaan,

f. Asas konsensus, kesepakatan rakyat untuk menaati aturan sebagai

konskwensi ditetapkannya aturan.

2. Asas materiil terdiri atas :

a. Asas terminologi/sistematika yang benar, setiap peraturan dipahami

oleh masyarakat.

b. Asas pelaksanaan yang sama dalam hukum, hal ini untuk

memberikan keadilan dalam praktik pelayanan dan penegakan

hukum.

c. Asas kepastian hukum, peraturan yang dibuat mengandung aspek

konsistensi.

d. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual, memberikan

penyelesaiaan khusus menyangkut kepentingan individual.52

Pada Pasal 5 UU PPPU, Dalam membentuk Peraturan Perundang-

undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

52

Hamzah Halim, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis Menyusun dan

MerancangPeraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual) Konsepsi

Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 34-35.

Page 37: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

37

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan

Dalam pembentukan setiap Peraturan Perundang-undangan hendaknya

asas tersebut menjiwai setiap peraturan perundang-undangan sehingga

kemungkinan untuk dibatalkannya suatu peraturan perundang-undangan tersebut

akan sangat kecil, yang dimaksud pada asas-asas tersebut dapat ditemukan pada

Penjelasan Pasal 5.

Pertama yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa

setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan

yang jelas yang hendak dicapai.

Kedua yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk

yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat

oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau

batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak

berwenang.

Ketiga yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan

materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

Page 38: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

38

undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai

dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Keempat yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa

setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan

efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik

secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Kelima yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”

adalah bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar-

benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara.

Keenam yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa

setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,

serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Ketujuh yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat

transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

Khusus mengenai Perda asas-asas tersebut juga tidak dapat dipisahkan

sebagaimana yang tertuang pada Pasal 137 UU No. 32 Thn 2004 Tentang

Page 39: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

39

Pemerintahan Daerah Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan

perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat

dipergunakan sebagai suatu analisis terhadap keterberlakuan suatu peraturan

perundang-undangan khususnya Perda untuk menilai apakah suatu Perda tersebut

telah memenuhi apa yang diharapkan oleh masyarakat, sehingga dengan

dibentuknya Perda tersebut memberikan keadilan, kepastian serta kemanfaatan

yang merupakan tujuan dibentuknya hukum. Asas-asas ini juga dapat

dipergunakan untuk mengkaji suatu Perda apabila asas-asas ini tidak terpenuhi

dalam pembentukan suatu Perda, maka Pemerintah dapat membatalkan Perda

tersebut sesuai dengan mekanisme yang diamanatkan dalam Peraturan perundang-

undangan.

Manfaat dari asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang

baik bagi penyusun peraturan perundang-undangan (legal drafter) akan dapat

menghasilkan rancangan produk hukum yang memiliki dasar pikiran yuridis yang

kuat. Namun perlu disadari juga bahwa legal drafter yang dituntut memiliki

Page 40: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

40

pengetahuan hukum yang mendalam dari pengetahuan lainnya secara

interdisipliner, serta kehatihatian dan kecermatan akan prosedur serta penguasaan

akan materi muatan produk hukum yang dirancang. Karena apabila asas-asas

diabaikan atau dilanggar dapat berakibat fatal. Yakni peraturan tersebut

dinyatakan batal demi hukum , dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat dalam rangka pengujian formal dan/atau materiil

(judicial review).

1.7.6. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan

Hak menguji berasal dari terjemahan Toetsingrechts yang berarti hak

untuk menguji atau kewenangan untuk menguji. Jika hak atau kewenangan

menguji ini diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan maka akan dikenal

dengan istilah dalam bahasa Inggris Judicial Review. Pengertian Judicial Review

dapat dilihat dalam kamus hukum yang menyatakan Judicial review is a court’s

power to review the action of other branches or levels of goverment, esp, the

court power to invalidate legislative an executive action as being un

constitutional.53

Mengenai pengujian (toetsingrechts)54

ada dua macam pengujian

yakni :

1. Hak menguji formal (formale toetsingrechts), dan

2. Hak menguji material (material toetsingrechts).

Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif

seperti Undang-undang misalnya yang terjelma melalui cara-cara sebagaimana

53

Bryan A, Garner, 1999, Black’s Law Dictionary Seventh Edition, In chief West

GruopSt. Paul, Minn, p. 852.

54

Ph. Kleintjes sebagaimana dikutip Sri Soemantri, 1997, Hak Menguji Di Indonesia¸Ed.

2, Alumni, Bandung, h. 1.

Page 41: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

41

telah ditentukan dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku.55

Pengujian

formal biasanya lebih kepada menekankan pada kompetensi lembaga yang

membentuknya. Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki

dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan

berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.56

Sebagai kontrol normatif, pengujian dapat dilakukan oleh lembaga

pembuatnya atau juga dapat dilakukan oleh lembaga di luar lembaga pembuat

peraturan tersebut. Pengujian yang dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan

tersebut disebut dengan pengujian internal, dan pengujian yang dilakukan oleh

lembaga lain dari pembuat peraturan disebut pengujian eksternal. Berkaitan

dengan pembentuk peraturan tersebut apabila peraturan tersebut terletak pada

legislatif, maka kontrol normatif pengujian tersebut disebut dengan legislatif

review, dan apabila pembentuk peraturan tersebut dibentuk oleh eksekutif maka

kontrol normatifnya disebut eksekutif review. Berkaitan dengan pengjian yang

dilakukan oleh legislatif review dan eksekutif review maka ini disebut dengan

pengujian internal. Sedangkan pengujian eksternal dilakukan oleh lembaga lain

yakni lembaga yang berwenang melakukan pengujian tersebut adalah Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki kewenangan

untuk melakkan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

undang terhadap Undang-undang. Sedangkan Mahkamh Konstitusi memiliki

kewenangan uji materi Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan

55

Ibid

56

Ibid, h. 11.

Page 42: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

42

demikian berkaitan mengenai kewenangan menguji peraturan Perundang-

undangan ada pada 2 cabang yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan hak pengujian yang dilakukan oleh hakim dalam hal ini

Mahkamah Agung, diberikan kewenangan secara atribusi dalam peraturan

perundang-undangan yakni Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenangan mengadili pada tingkat

kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang

terhadap Undang-undang dan memiliki kewenangan lainnya yang diberikan oleh

Undang-undang. Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 5076) menentukan Mahkamah Agung berwenang

menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang. pasal 20 ayat (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan

perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf b, dapat diambil baik berhubungan dengan pemerinksaan tingkat kasasi

maupun berdasarkan pemohonan langsung kepada Mahkamah Agung.

Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359), (selanjutnya disingkat UU

MA).

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-

undang.

Page 43: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

43

(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan

dengan pemerinksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan

pemohonan langsung kepada Mahkamah Agung.

Mengingat jika dianalisis Perda merupakan suatu Peraturan Perundang-

undangan yang diakui dalam hirarki peraturan perundang-undangan kemudian

jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Perda tersebut

dapat dibatalkan. Pembatalan Perda tersebut dapat dilakukan oleh Mahkamah

Agung ketika terjadi pemahaman yang berbeda mengenai penafsiran dari pada

suatu perda. Perbedaan ini muncul ketika Perda tersebut telah lebih dahulu

dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini kaitannya dengan Pembatalan

dengan Peraturan Presiden maupun Permendagri. Dengan adanya pembatalan

yang dilakukan oleh pemerintah pusat, apabila Pemerintah Daerah keberatan

dengan hasil pembatalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dapat mengajukan

uji materiil terhadap suatu Perda ke Mahkamah Agung ketika Perda tersebut

dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang maupun untuk mengetahui serta

memberikan kejelasan serta keadilan untuk membuktikan apakah perda tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

Page 44: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

44

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.57

Ada beberapa pengertian penelitian hukum yang dikemukakan oleh para

ahli diantaranya : menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran

tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum

tertentu, dengan jalan menganalisanya.58

Soetandyo Wignyosoebroto, peneletian

hukum adalah seluruh upaya untuk mencari dan menemukan jawaban yang benar

(right answer) dan/atau jawaban yang tidak sekali-kali keliru (true answer)

mengenai suatu permasalahan.59

Apabila hukum dilihat dari aspek yuridis

normatif dan yuridis empiris maka dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu

ilmu hukum tentang kaidah, ilmu hukum tentang segi hukum yang dicita-citakan,

dan ilmu hukum tentang kenyataan yang hidup di masyarakat. Oleh Morris L.

Cohen dan Kent C. Olson hukum dikatakan “The law consits of those

recordedrules that society will enforce and the procedures that can implement

them”.60

Penelitian hukum itu berdasarkan tujuannya terdiri atas pertama; penelitian

hukum normatif, yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum,

57

Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h.38.

58

H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.

59

Ibid.

60

Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, St. Paul,

Minn, p.2.

Page 45: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

45

penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf

sinskronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian

perbandingan hukum. Kedua; penelitian hukum sosiologis atau empiris,

yang mencakup, penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan

penelitian terhadap efektifitas hukum.61

Dalam tesis ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum secara

Normatif. Adapun penelitian hukum secara normatif adalah suatu pendekatan

masalah yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan

Peraturan Perundang-undangan yang digunakan adalah terkait dengan

permasalahan yang dibahas yang kemudian dilakukan pemecahan masalah dengan

menganalisa atau mengkaji pengaturan yang berlaku sebagai dasar dari

pemecahan masalah. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, ilmu

hukum memiliki karakteristik yang khas, ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya

yang normatif.62

1.8.2. Jenis Pendekatan

Penelitian Hukum Normatif mengenal lima (5) jenis pendekatan yakni:

1. Pendekatan Undang-undang (The Statue Approach)

2. Pendekatan kasus (cases approach)

3. Pendekatan Sejarah (historical approach)

4. Pendekatan komparatif (comparatif approach)

5. Pendekatan konseptual (conceptual approach)63

Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan, Pendekatan kasus (cases approach), dan Pendekatan

analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual Approach).

61

A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. h. 153. (Selanjiutnya disebut A. Mukthie Fajar II)

62

Philipus M. Hadjon II, op.cit, h. 11.

63

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana Prenada

Media Gruop, Jakarta, h. 93. (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I).

Page 46: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

46

1. (The Statue Approach) peraturan perundang-undangan merupakan titik

fokus dari penelitian tersebut dan karena sifat hukum yang mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut :

a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya

terkait anatara satu dengan yang lainnya secara logis.

b. All-inclusive, artinya bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup

mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak

ada kekosongan hukum.

c. Systematic, yaitu bahwa di samping bertautan antara satu dengan

yang lainnya, norma-norma hukum tersebut tersusun secara hirarkis.

2. Pendekatan kasus (cases approach), dalam penelitian hukum normatif

bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam pratik hukum.

3. Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual

Approach). Pendekatan analitis ini dilakukan dengan mencari makna

pada istilah-istilah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan, dengan begitu peneliti memperoleh gambaran pengertian

atau makna baru dari istilah-istilah hukum dan menguji penerapan

secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.

Pendekatan konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau

pendekatan bagi analitis penelitian hukum, karena akan banyak muncul

konsep-konsep bagi suatu fakta hukum.64

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum terbagi menjadi dua, yaitu bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini ditulis dari sumber bahan hukum

antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau

kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.65

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang bersifat

mengikat.66

64

A. Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad II, op.cit, 184-191.

65

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta, h.141.

(Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II).

Page 47: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

47

Bahan hukum primer dalam penelitian ini diantaranya : Peraturan

Perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas seperti :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang

No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah

dan retribusi daerah, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undang, Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang

Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,

Permendagri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah,

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer, misalnya rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, dan sebagainya.67

Bahan hukum sekunder juga semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-

buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.68

66

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas Indonesia

(UI-Press), Jakarta, h. 52.

67

Ibid.

68

Ibid.

Page 48: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

48

3. Bahan Hukum Tertier bahan hukum penunjang yang berupa kamus-

kamus hukum.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam hal penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi

pustaka terhadap bahan-bahan hukum dengan cara membaca, melihat,

mendengarkan maupun dengan media internet. 69

Pengumpulan bahan hukum ini

menggunakan teknik Bola salju (snowbaal method)70

. Metode bola salju adalah

metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu pada peraturan

perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan

dengan Pembatalan Peraturan Daerah.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis menggunakan teknik deskripsi, teknik argumentasi, teknik

sistematisasi. Teknik analisis secara deskripsi berarti menguraikan apa adanya

terhadap suatu kondisi hukum mengenai pelaksanaan pembatalan perda oleh

Mendagri. Teknik argumentasi berarti penilaian harus didasarkan pada alasan-

alasan yang bersifat penalaran hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya

mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara

peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.

Berkaitan dengan adanya suatu pertentangan suatu peraturan perundang-

undangan atau terjadinya konflik norma penyelesaiaannya dapat dilakukan dengan

mempergunakan asas preferensi yakni :

69

A. Muktie Fajar dan Yulianto Ahmad II, op.cit, h. 160.

70

I Made Wahyu Candra, 2013, Tesis : Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem

Peradilan Pidana, h. 35.

Page 49: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

49

1. Lex Specialis Derogat Legi Generalis (Ketentuan yang bersifat khusus

mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum).

2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori (Peraturan yang lebih baru

mengesampingkan peraturan yang terdahulu).

3. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (Ketentuan yang lebih tinggi

tingkatannya mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah).71

71

Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan Penegakan

Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, h. 59-60.

Page 50: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

50

BAB II

TINJAUAN UMUM DUALISME

PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

2.1. Pengertian Dualisme

Dualisme merupakan suatu istilah untuk menunjukan adanya dua

perbedaan aliran maupun pemahaman terhadap suatu objek, maupun suatu model

penerapan akan suatu objek yang sama namun dipandang dengan cara yang

berbeda. Dualisme berasal dari suku kata “dua” dan ditambah dengan akhiran “-

isme”. Dua berarti bilangan satu dengan satu. Sufiks –isme berasal dari bahasa

yunani –ismos. Pada mulanya sufiks –isme memang dipungut dari bahasa asing,

ismus, Perancis Kuna –isme, dan Inggris –ism.72

Akhiran ini menandakan suatu

faham atau ajaran atau kepercayaan, akan tetapi lambat laun afiks itu menjadi

produktif, sehingga bentuk –isme dianggap layak diterapkan juga pada dasar kata

Indonesia.73

Sementara berkaitan dengan perda harus dilihat dari kata yang

membentuknya yakni peraturan dan daerah. Dualisme menurut kamus Bahasa

Indonesia :

1. ajaran yang berdasar dua asas yang bertentangan (seperti kebaikan ada

pula kejahatan);

2. Sifat mendua, yaitu satu sama lain saling bertentangan (tidak

sependapat).74

72

Hasan Alwi et al., 2003, Tata Bahasa Baku Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 103.

73

Ibid.

Page 51: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

51

Dualisme juga berarti :

1. Faham bahwa dikehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan

(seperti ada kebaikan ada pula kejahatan, ada terang ada gelap);

2. Keadaan bermuka dua, yaitu satu sama lain saling bertentangan atau

tidak sejalan.75

Jika kita kaitkan antara dualisme dengan pembatalan perda akan dilihat

bahwa dualisme pembatalan perda merupakan suatu pandangan yang berbeda

terhadap suatu model pembatalan perda, dimana kedua model pembatalan perda

tersebut tetap berlaku dan dilaksanakan dalam rangka menganalisis suatu perda

hingga pada keputusan suatu pembatalan. Dualisme pembatalan perda ini dilihat

dari pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri dalam bentuk Permendagri

dan Presiden dalam bentuk Peraturan Presiden.

Dalam pembatalan perda yang menjadi objek pembatalan adalah perda

Provinsi. Pembatalan yang dilakukan dengan Perpres dan Permendagri ini dapat

dikatakan dualisme karena Pembentukan Perda merupakan satu kesatuan dimana

proses awalnya dimulai dengan pembentukan ranperda hingga menjadi suatu

perda. Proses pembentukan Ranperda kemudian dibatalkan oleh Mendagri dengan

Permendagri sementara perda itu sendiri dibatalkan oleh Presiden dengan

peraturan Presiden hal inilah yang dimaksudkan dengan dualisme yang

seharusnya tidak terjadi pembedaan dalam proses pembatalannya dan dilakukan

74

W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai

Pustaka, Jakarta, h.303.

75

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dualisme, diakses 8 Agustus 2014

Page 52: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

52

oleh organ pemerintahan yang sama dan dengan bentuk hukum yang sama apakah

Perpres ataukah Permendagri.

2.2. Pemerintahan Daerah

Sejarah tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia sudah ada sejak tahun

1948.76

Perkembangan tentang pemberian otonomi kepada Pemerintah Daerah

terutama mengalami perubahan adalah sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun

1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dimana di dalam Undang-

Undang tersebut telah dicanangkan tentang penekanan pemberian otonomi kepada

Daerah Tingkat II dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar isi

dan prosedur pembentukannya tidak bertentangan dengan prinsip negara kesatuan

dan hukum nasional, maka terhadap Perda perlu diadakan pengawasan.

Dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan Indonesia, Perda

merupakan bentuk hukum terakhir dimana menurut UU No. 32 Thn 2004,

pembatalan Perda dilakukan oleh Presiden (dengan Peraturan Presiden). Pasal 18

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 18 ayat 1 ini

menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang menurut C.F.

Strong negara kesatuan adalah negara yang diorganisir di bawah satu

76

P. Rosodjatmiko, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito, Bandung,

1982, h. 1.

Page 53: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

53

pemerintahan pusat.77

Dalam rangka menjalankan pemerintahan dalam kaitannya

melakukan pemerataan pembangunan pemerintah pusat memberikan sebagian

kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk lebih mengoptimalkan serta

mengefisiensikan serta mempercepat pembangunan.

Dasar hukum otonomi daerah adalah Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun

1945 yang mengamanatkan Pemerintahan Daerah provinsi, daerah kabupaten dan

kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan. Penyerahan kewenangan kepada daerah ini tidak lagi

pemerintahan yang sifatnya sentralistik yang hanya terpusat oleh pemerintah pusat

semata dengan bergesernya kewenangan serta daerah diserahi tugas untuk

mengatur daerahnya prinsip desentralisasi ini menjadi sangat penting sehingga

akan melahirkan otonomi daerah dan prinsip tugas pembantuan. Desentralisasi

dalam arti Self goverment menurut Smith dalam Khairul Muluk berkaitan dengan

adanya subsidi teritori yang memiliki self goverment melalui lembaga politik

yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yurisdiksinya.78

Maksudnya bahwa pemilihan anggota DPRD serta kepala daerah merupakan

suatu cermin dari adanya pemilihan yang demokratis yang rakyat di daerah

tersebut yang memilih siapa saja wakil serta kepala daerahnya. Meningat Kepala

daerah dan DPRD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk

77

C. F. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang Sejarah dan

Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA Teamwork, penerbit Nuansa dengan Penerbit

Nusamedia, Bandung, h. 87.

78

Smith, dalam Kharul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah,

Bayumedia Publishing, Malang, h. 8.

Page 54: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

54

melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan

pemerintah daerah.79

Penyerahan urusan pemerintahan menjelaskan bahwa

desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi, dengan kata lain bahwa

desentralisasi merupakan pengotonomian menyangkut proses memberikan

otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. 80

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah selanjutnya diganti dengan UU No. 32 Thn 2004, telah

membawa perubahan besar dalam setiap segmen penyelenggaraan pemerintahan

daerah sebagaimana yang diungkapkan Soekarwo Dasar

Pertimbangan/Konsideran huruf (a) UU No. 32 Thn 2004 sebagaimana dapat

dilihat bukunya dalam Akmal Boedianto81

. Dalam penjelasan umum UU No. 32

Thn 2004 juga menegaskan bahwa:

Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar

susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan

keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan

selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam

persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang

seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

negara.

79

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan Kewenangan

antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, h. 117. (Selanjutnya disebut Juanda II).

80

Siswanto Sunarno, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 8.

81

Akmal Boedianto, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda APBD

Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 1.

Page 55: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

55

Pada hakekatnya desentralisasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1

angka 7 UU No. 32 Thn 2004 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang

pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Otonomi daerah yang tertuang pada Pasal 1 angka 5 UU No. 32 Thn

2004 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga

desentralisasi merupakan wewenang pemerintahan yakni berkaitan dengan

pendelegasian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah

untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan kekhususan yang dimiliki oleh

daerah tersebut, sementara otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban daerah

untuk melaksankan pemerintahan tersebut sehingga dengan adanya otonomi

daerah pemerintah daerah secara bertanggung jawab mengelola urusan

pemerintahan yang telah didelegasikan tersebut secara penuh tanggung jawab.

Dalam pelaksanaan desentralisasi tersebut munculnya tugas pembantuan

yang berarti penugasan pemerintah yang secara langsung kepada daerah hingga

langsung pada pemerintahan desa berkaitan dengan tugas tertentu sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 32 Thn 2004 Tugas pembantuan

adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah

provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten

kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam hal pemberian

otonomi kepada daerah tentu berimplikasi pada berhaknya tiap-tiap daerah dalam

Page 56: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

56

mengurus dan mengatur sendiri pemerintahan daerah secara otonom atau mandiri,

salah satu implikasi yang menjadi titik berat disini adalah di mana daerah diberi

hak untuk membentuk dan menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk

melaksanakan otonomi daerah.

Otonomi daerah diadakan bukan hanya untuk meningkatkan efisiensi

penyelenggaraan pemerintahan, namun juga merupakan cara untuk memelihara

negara kesatuan.82

Otonomi berarti pemerintahan sendiri (Autos = sendiri, Nomos

= aturan)83

. Sehingga otonomi berarti pengundangan sendiri (zelfwetgiving) atau

pemerintahan sendiri (zelfbestuur).84

Dalam perkembangan sejarah di Indonesia

otonomi juga mengandung arti perundangan (regeling) dapat juga berarti

pemerintahan (bestuur). Jadi pada dasarnya urusan pemerintahan otonomi adalah

bersifat pelayanan,85

karena itu otonomi merupakan titik balik pergeseran

pemerataan pembangunan serta untuk meningkatkan daerah ke arah yang lebih

baik jika pemerintahan di daerah mampu mengelola dengan baik kewenangannya

dengan menciptakan suatu program-program yang sangat diharapkan oleh

masyarakat di daerah karena daerah tidak lagi menunggu pusat yang memberikan

pelayanan, mengingat dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah lebih

cepat serta lebih mengetahui kebutuhan daerahnya karena awalnya semua bermula

dari daerah.

82

Bagir Manan, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)

Hukum UII, Yogyakarta, h. 3. (Selanjutnya disebut Bagir Manan III).

83

Amrah Muslimin, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, h. 6.

84

Abdurahman 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana

Press, h. 9.

85

Bagir Manan III, op.cit, h. 247.

Page 57: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

57

Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban yang melekat pada otonomi

daerah tersebut pemerintahan daerah selaku penyelenggara urusan pemerintahan

yang terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD bersama-sama melakukan

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1

angka 2 Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan

dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Tujuan dari pembentukan pemerintahan daerah dapat dilihat dari aspek

pembagian tugas, fungsi dan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Unsur pemerintahan daerah yakni Pemerintah Daerah pada tingkat

provinsi yang terdiri dari Gubernur dan pada tingkat kabupaten/kota yakni

Bupati/Walikota dan unsur lainnya yakni DPRD provinsi dan DPRD

Kabupaten/kota.dalam kaitannya menjalankan pemerintahan daerah dengan prisip

asas desentralisasi, otonomi dan tugas pembantuan dengan tujuan untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya daerah dapat membentuk suatu

produk hukum daerah yakni berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri

(Permendagri) No. 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum

Daerah. Dalam Pasal 2 produk hukum daerah terdiri atas :

a. Peraturan Daerah

b. Peraturan Kepala Daerah

c. Peraturan Bersama Kepala Daerah

d. Keputusan Kepala Daerah dan

e. Instruksi Kepala Daerah

Page 58: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

58

Dari jenis produk hukum daerah sebagaimana yang disebutkan dalam

Permendagri tersebut nampak jelas bahwa produk hukum itu terdiri atas produk

legislasi dan regulasi. Produk legislasi pada prinsipnya dapat diartikan sebagai

aturan hukum yang pembentukannya melibatkan badan legislatif, untuk tingkat

daerah bentuknya Peraturan Daerah, sedangkan regulasi adalah produk hukum

daerah yang dimana badan legislatif tidak terlibat dalam pembentukannya.. untuk

tingkat daerah akan dijumpai pada peraturan kepala daerah, yang mengatur hal-hal

yang secara umum, sedangkan hal-hal yang bersifat lebih kongkret individual

disebut dengan keputusan kepala daerah (order atau Beschiking). 86

Regulasi

adalah produk badan eksekutif atau pemerintah, dan badan legislatif tidak ikut

campur dalam pembentukannya. Hukum pada pokoknya adalah produk

pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara

yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa

larangan (prohibere) atau keharusan (obigatere) ataupun kebolehan.87

Produk

hukum daerah adalah peraturan daerah yang diterbitkan oleh kepala daerah dalam

rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu bentuk

produk hukum daerah adalah keputusan kepala daerah. Dalam produk hukum

yang bersifat penetapan salah satunya adalah keputusan gubernur, satuan kerja

perangkat daerah melakukan penyusunan produk hukum daerah sesuai dengan

tugas dan fungsi masing-masing.

86

I Gusti Ngurah Wairocana, 2005, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dan

Implementasinya di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Bali, Disertasi, Universitas

Airlangga, Surabaya, h. 199. (Selanjutnya disebut Wairocana I).

87

Jimly Asshiddiqie, 2008, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press dengan Syaamil

Cipta Media, Jakrta h. 9. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I).

Page 59: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

59

2.3. Peraturan Daerah

2.3.1. Pengertian Peraturan Daerah

Pengertian Perda umumnya dapat kita jumpai dalam beberapa peraturan

perundang-undangan diantaranya :

a. UU No. 32 Thn 2004 Pasal 1 angka 10 Peraturan daerah selanjutnya

disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan

daerah kabupaten/kota.

b. UU 28 Tahun 2009 Pasal 1 Peraturan Daerah adalah Peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Provinsi dan/atau

daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.

c. UU PPPU Pasal 1 angka 7 Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Pasal 1 angka

8 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

d. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 25 Peraturan Daerah

yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain

adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.

Dengan melihat beberapa penegertian Perda yang dimuat dalam beberapa

peraturan perundang-undangan maka dapat dilihat beberapa unsur dari Perda

tersebut yakni :

a. Merupakan suatu bentuk peraturan,

Page 60: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

60

b. Adanya persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah

c. Berlaku hanya di daerah yang membentuknya

d. Perda Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi bersama-sama dengan

Gubernur dan Perda Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD

Kabupaten/Kota dengan Bupati/Walikota.

Sebagai pembanding pengertian Perda di Indonesia hampir sama dengan

pengertian Delegate Legislation di Ingris yang juga merupakan negara kesatuan

yang mempunyai daerah otonom, dimana Delegate Legislation diartikan sebagai

Local authorities in the form bylaws to regulate their locallity according localized

need.88

Berdasarkan prinsip-prinsip dalam otonomi daerah di Indonesi, yaitu

otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, salah satu urusan yang

menjadi urusan pemerintahan daerah adalah dalam bidang legislasi, yakni atas

prakarsa sendiri membuat peraturan daerah beserta aturan-aturan pelaksananya. 89

Dalam perkembangan pemerintahan daerah otonom, eksistensi peraturan daerah

ternyata banyak memberikan warna bagi masing-masing pelaksanaan

pemerintahan daerah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan begitu banyaknya

peraturan daerah yang dihasilkan oleh masing-masing pemerintah daerah dengan

memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perihal adanya pemerintahan

daerah otonom, tentu saja terkait dengan pembentukan suatu peraturan

pemerintahan daerah iru sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie:90

88

Hilaer Barnett, 2002, Constitutional And Administrative Law, Queen Mary,

University,of London Cavendish Publishing Limited, London, p. 484.

89

Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, sinar Grafika,

Jakarta, h. 9.

Page 61: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

61

Dalam keadaan yang normal, sistem norma hukum diberlakukan berdasarkan

undang-undang dasar dan perangkat peraturan perundang-undangan yang

secara resmi diadakan untuk mengatur berbagai aspek yang berkenaan dengan

penyelenggaraan kegiatan bernegara pada umumnya, akan tetapi kadang-

kadang kurang terbayangkan bahwa aka nada keadaan lain yang bersifat tidak

normal, dimana sistem hukum yang biasa itu tidak dapat diharapkan efektif

untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri.

2.3.2. Sejarah Pengaturan Peraturan Daerah

Secara historis, pengaturan dimaksud dapat diketahui dari berbagai produk

peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah seperti dibawah

ini, yaitu:91

a. Decentralisatie wet Tahun 1903;

b. Bestuur S.H.ervorming Tahun 1922;

c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945;

d. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan di Daerah;

e. Undang-Undang No. 44 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah-

daerah Indonesia Timur;

f. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah;

g. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah;

h. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960;

i. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah;

j. Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

di Daerah;

k. Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;

l. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

beserta berbagai peraturan pelaksanaannya yang ditetapkan pada tahun

1999 dan tahun 2000;

m. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan

pelaksanaannya;

n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya sampai sekarang.

90

Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 1. (Selanjtnya disebut Jimly Asshidiqie II).

91

Jimly Asshiddiqie, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca

Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, hal. 395-396. (Selanjutnuya

disebut Jimly ASShiddiqie III).

Page 62: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

62

o. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta peraturan-peraturan

pelaksananya.

p. Undang-undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati dan Walikota.

q. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Penyelenggaraan desentralisasi dalam sejarah Indonesia telah berlangsung jauh

sebelum Decentralisatie Wet ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1903. Awalnya

desentralisasi diatur dalam Regering Reglement yang disingkat RR yang

ditetapkan pada tahun 1854. RR ini kemudian diganti dengan Wet op de

Staatsinrichting van Nederlands-Indie yang biasa disebut Indische Staatsregeling

(IS) Tahun 1925.92

Pada tahun 1948 diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22

Tahun 1948 tentang Peraturan Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok

Mengenai Pemerintahan Sendiri Dari Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan

Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia No. 22 tahun 1948 tersebut menegaskan bahwa daerah Negara Republik

Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu: provinsi, kabupaten (kota besar)

dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri. Setiap wilayah tersebut otonom atau dalam

istilah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1948 disebut swatantra

(menyelenggarakan pemerintah sendiri) dan masing-masing disebut Daerah

Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III (Dati III) sama dengan desa

(kota kecil) nagari, marga dan lain-lain dalam Undang-Undang Republik

Indonesia No. 22 Tahun 1948.

92

Ibid, h. 396-397

Page 63: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

63

Selanjutnya setelah Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun

1948 tentang Pemerintahan di Daerah dicabut dan selanjutnya diganti dengan

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah. Setelah berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945

dengan Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959, sistem demokrasi berubah dengan

demokrasi terpimpin. Dampak langsungnya terhadap otonomi daerah adalah

diberlakukannya Penpres (penetapan presiden) No. 6 Tahun 1959 dan Penpres

(Penetapan Presiden) No. 5 Tahun 1960.

Adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1965 tentang

Pemerintahan Daerah menggantikan posisi Undang-Undang Republik Indonesia

No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah serta melanjutkan

ide Penpres No. 6 Tahun 1959. Bahkan ketentuan didalam Penpres No. 6 Tahun

1959 dan Penpres No. 5 Tahun 1960, seluruhnya diadopsi ke dalam Undang-

Undang Repubik Indonesia No. 18 Tahun 1965 ini, yang mengacu kepada konsep

demokrasi terpimpin dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang ini membagi wilayah negara dalam tingkatan daerah-daerah

otonom (Pasal 2 ayat (1) yang terdiri atas provinsi atau kotapraja sebagai dati I,

kabupaten atau kotamadya sebagai Dati II dan kecamatan atau kotapraja sebagai

Dati III.

Selanjutnya adanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun

1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menggantikan posisi Undang-

Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan di Daerah. Prinsip penting yang dianut dalam Undang-Undang No.

Page 64: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

64

5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah adalah otonomi

daerah. Dalam Undang-Undang ini dengan jelas ditentukan bahwa: “tujuan

pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan

hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan

pembangunan dan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan

pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa”.

Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

menggantikan posisi UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

di Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebagai jawaban terhadap krisis pada

tahun 1998 yang menyebabkan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Undang-Undang ini melakukan perubahan mendasar dalam pola

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Desentralisasi dikonstruksikan dengan

otonomi seluas-luasnya. Hubungan provinsi dan kabupaten ditentukan tidak lagi

bersifat hierarkis, seperti dalam Undang-Undang sebelumnya.

UU No. 32 Thn 2004 gubernur dan bupati/walikota memiliki hubungan

hierarkis satu dengan yang lain, selain itu dalam UU No. 32 Thn 2004 ini juga

mengatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerahyang

diinterpretasikan sebagai pemilihan secara langsung yakni rakyatlah yang memilih

calon kepala daerah dan wakil kepala daerahnya. Pasal 136 ayat (1) UU No. 32

Thn 2004 juga mengatur mengenai rancangan peraturan daerah yang berasal dari

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau gubernur atau bupati/walikota

selaku kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Pengaturan

penyelenggaraan pemerintahan daerah secara tidak langsung juga mengatur

Page 65: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

65

peraturan daerah yang menjadi suatu dasar pijakan dalam mengambil kebijakan

atau tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, sebagaimana yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Sebagai manifestasi dari upaya tinjauan historis

mengenai peraturan daerah.

Undang-undang No. 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang

perimimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, untuk mendukung

penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan

bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan

pengaturan, pemanfaatan, sumber daya nasional yang berkeadilan, serta

pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Serta pengaturan pengelolaan

keuangan daerah untuk pelaksanaan desentralisasi dan keuangan yang diberikan

pemerintah pusat untuk daerah untuk melaksanakan dekonsentrasi. Sumber

pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pusat dan

daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas

pembantuan (medebewind).

2.3.3. Materi Muatan Peraturan Daerah

Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota

berwenang untuk membuat perda dan peraturan kepala daerah, guna

menyelenggarakan urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Substansi atau

penjabaran dari perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi yang substansi yang diatur dalam perda dilarang bertentangan dengan

Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan

kepentingan umum. Perda sebagai bagian dari Peraturan Perundang-undangan

Page 66: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

66

dalam pembentukan serta penyusunannya tetap berpedoman kepada teknik

penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini, Yuliandri menegaskan

bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat

dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila

didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat

semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.93

Suatu bentuk keberlakuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini

adalah kaidah hukum, memiliki bentuk keberlakuan yuridik, sebagaimana

pendapat Arief Sidharta, keberlakuan yuridik dimaksudkan bahwa suatu kaidah

hukum dibentuk sesuai aturan-aturan hukum prosedur yang berlaku oleh badan

yang berwenang dan bahwa ia juga lebih dri itu dalam aspek lain secara

substansial tidak bertetangan dengan kaidah hukum lainnya (kaidah yang lebih

tinggi).94

Pendapat Jimmly Asshidiqie, yang menyebutkan bahwa kegiatan

legislasi dan pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu

kegiatan-kegiatan kenegaraan dan pemerintahan yang tercakup dalam bidang

hukum tata negara dan tata usaha negara atau administrasi negara.95

Mengingat perda merupakan salah satu jenis hirarki peraturan perundang-

undangan sebagaimana tertuang pada UU PPPU Pasal 7 ayat (1) Perundang-

undangan terdiri atas:

93

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 2.

94

Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum, Refika aditama, Bandung, h. 47.

95

Jimmly Asshidiqie IV, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan

Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, h. 45. (Selanjutnya disebut Jimmly Asshidiqie IV).

Page 67: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

67

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Sehingga asas dan materi muatan yang diatur dalam perda tetap mengacu pada

UU PPPU yang dijadikan pedoman dalam penyusunan dan pembentukan suatu

perda baik perda Provinsi dan perda Kabupaten/Kota. Pasal 5 UU PPPU mengatur

mengenai asas-asas yang ada pada suatu perda yakni “Dalam membentuk

Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi”:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Penjelasan Pasal 5 UU PPPU yang menjelaskan dari asas-asas yang tertuang

dalam Pasal 5 UU PPPU maksud dari asas-asas tersebut yakni ;

a. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan

yang jelas yang hendak dicapai.

b. Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk

yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan

harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan

Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan

tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh

lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan

materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan

yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan.

Page 68: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

68

d. Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan

efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat,

baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

e. Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah

bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang

benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f. Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap

Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata

atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

g. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,

penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan

pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,

seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-

luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Sementara Pasal 6 UU PPPU mengamanatkan materi muatan yang diatur

dalam perda adalah ayat

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan

Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang

hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Penjelasan Pasal 6 memberikan penjelasan maksud dari materi muatan dalam

peraturan perundang-undangan diantaranya :

Page 69: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

69

Pada Pasal 6 ayat (1)

a. Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi

Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan

pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

b. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan

pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan

martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.

c. Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan

watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan

keputusan.

e. Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa

memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah

merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

f. Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa

Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan

keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus

daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

g. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan

secara proporsional bagi setiap warga negara.

h. Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial.

i. Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah

bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan

kepastian hukum.

j. Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan

bangsa dan negara.

Page 70: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

70

Pada Pasal 6 ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang

hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa

kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain,

asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih khusus

mengenai Perda diatur dalam UU No. 32 Thn 2004, mengingat perda merupakan

produk hukum daerah yang tidak terlepas dari pemerintahan daerah yang dengan

adanya asas desentralisasi menyebabkan daerah memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus daerahnya berdasarkan faktor kekhasan yang dimiliki

daerah. Pasal 1 angka 13 UU PPPU Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai

dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.

Mengenai materi muatan dalam perda dapat ditemukan dalam Pasal 137 Perda

dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Pasal 138

(1) Materi muatan Perda mengandung asas:

Page 71: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

71

a. pengayoman;

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhineka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

(3) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat asas

lain sesuai dengan substansi Perda dapat yang bersangkutan.

Selain asas dan metode dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan menurut Kant dalam LG Saraswati dkk, adalah prinsip kebebasan,

prinsip kesetaraan dan prinsip otonomi.96

Selanjutnya diuraikan bahwa prinsip

kebebasan adalah pemerintah disini adalah yang memikirkan kebahagiaan

rakyatnya, untuk prinsip kesetaraan, bahwa setiap anggota masyarakat berhak

untuk menolak hukum-hukum yang tidak disepakati dan prinsip otonomi sebagai

anggota masyarakat ataupun sebagai legislator, harus bebas dan setara dalam

menyepakati hukum.

2.3.4. Pembentukan Peraturan Daerah

Dalam UU PPPU pembentukan undang-undang berbeda dengan

pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan

pemerintah dan peraturan daerah.97

Peraturan daerah merupakan peraturan

pelaksana dari undang-undang, dimana proses pembentukan peraturan daerah

provinsi, peraturan daerah kabupaten/kota memiliki kemiripan dengan

pembentukan Undang-undang. Ketentuan mengenai pembentukan pearturan

96

L. G. Saraswati, dkk, 2006, Hak Asasi Manusia, filsafat –UI Press, Jakarta, h. 83-84.

97

Jimly Ashidiqqie, 2010, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.

184. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie V).

Page 72: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

72

daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten dan peraturan daerah kota dalam UU

PPPU mengatur beberapa tahapan seperti :

1. Tahap perencanaan;

2. Tahapa penyusunan;

3. Tahap pembahasan dan penetapan;

4. Tahap pengundangan;

5. Tahap penyebarluasan.

Tahap perencanaan peraturan daerah provinsi diatur pada Pasal 32 sampai

dengan Pasal 38, untuk peraturan daerah kabupaten/kota tahap perencanaannya

diatur pada Pasal 39sampai dengan 41. Untuk tahap penyusunan peraturan daerah

provinsi kabupaten/kota diatur mualai dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 56.

Sementara untuk tahap pembahasan penetapan rancangan peraturan daerah diatur

mulai dari Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 serta Pasal 78 sampai dengan Pasal

80. Tahapanberikutnya yakni tahapan pengundangan diatur dari Pasal 81 sampai

dengan Pasal 86. Tahapan terakhir yakni berkaitan dengan penyebarluasan perda

diatur pada Pasal 92 sampai dengan 95.

Penyusunan pembentukan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah

kabupaten/kota dimulai dengan penyusunan suatu program legislasi daerah

(Prolegda). Prolegda memuat rancangan peraturan daerah provinsi atau

kabupaten/kota, materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan

perundang-undangan lainnya, dimana materi yang diatur tersebut setelah melalui

pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah akademik.

Page 73: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

73

Pengaturan mengenai peraturan daerah dalam UU No. 32 Thn 2004 diatur

secara khusus dalam BAB VI mengenai peraturan daerah dan peraturan kepala

daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut tahapan yang harus dilewati dalam

pembentukan peraturan daerah yakni :

1. Tahap persiapan;

2. Tahap pembahasan, persetujuan bersama dan penetapan/pengesahan;

3. Tahap penyebarluasan;

4. Tahap klarifikasi dan evaluasi;

5. Tahap pengundangan.

Ketentuan proses pembentukan peraturan daerah pada tahap persiapan,

pembahasan, penyebarluasan, dan partisipasi publik pada dasarnya tidak ada

pembedaan dengan UU PPPU. Pada tahap klarifikasi dan evaluasi inilah yang

membedakan tahapan proses pembentukan peraturan daerah dalam UU PPPU dan

UU No. 32 Thn 2004 yang berimplikasi pada proses pengesahan dan

pengundangan peraturan daerah.

Mengingat Perda ini merupakan hasil kerjasama Kepala Daerah dan

DPRD maka gagasan perumusannya dapat melalui Kepala Daerah maupun

DPRD. Dalam membentuk Perda tersebut harus ditinjau dari unsur pemerintahan

daerah tersebut : 98

a. Unsur DPRD

Perda adalah suatu bentuk produk legislatif tingkat daerah, karena itu

tidak dapat terlepas dari DPRD. Keikutsertaan DPRD dalam

pembentukan Perda tidak terlepas dari kewenangan DPRD dibidang

legislatif.

98

Ni’matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, h.86-87. (Selanjutnya disebut

Ni’matul Huda I).

Page 74: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

74

b. Unsur Kepala Daerah

Keikutsertaan Kepala Daerah dalam pembentukan Perda mencakup

kegiatan-kegiatan :1). Bersama-sama DPRD membahas Ranperda; 2)

Menetapkan Ranperda yang telah disetujui DPRD menjadi Perda; 3)

pengundangan.

c. Unsur Partisipasi

Partisipasi bermaksud sebagai keikutsertaan pihak-pihak di luar DPRD

dan Pemerintah Daerah dalam penyusunan dan pembentukan Ranperda

atau Perda.

Proses klarifikasi dan evaluasi ini merupakan konskwensi dari

kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh pemerintah pusat.99

Ketentuan

tentang tata cara mempersiapkan rancangan perda yang berasal dari gubernur atau

Bupati/Walikota, diatur dengan peraturan Presiden, sedangkan tata cara

mempersiapkan rancangan perda oleh DPRD diatur dalam peraturan tata tertib

DPRD. Untuk rancangan perda mendapat masukan oleh masyarakat maupun

pakar maka dilaksanakan oleh oleh sekretariat DPRD dan disebarluaskan oleh

sekretariat daerah. Perda dapat memuat suatu ketentuan tentang pembebanan

biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagaian kepada pelanggar.

Paksaan penegakan hukum itu umumnya berwujud mengambil atau meniadakan,

mencegah, melakukan, atau memperbaiki segala sesuatu yang telah dibuat,

diadakan, dijalankan, dialpakan, atau ditiadakan yang bertentangan dengan

hukum.100

Khusus Perda APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah

yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Perda

tertentu mengatur tentang pajak daerah , retribusi daerah APBD, Perubahan

APBD dan tata ruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi oleh

99

Anis Ibrahim, 2008, Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Plotik Hukum

dalam Pembentukan Hukum di Daerah, In Trans Publishing, Malang, h. 146.

100

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2002, Otonomi Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 20.

Page 75: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

75

pemerintah. Hal ini ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi

kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau Perda lainnya, terutama perda

mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.

Rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur,

atau Bupati/Walikota, disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur, atau

Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian rancangan perda

tersebut, dilakukan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari terhitung sejak

tanggal persetujuan bersama. Rancangan perda ditetapkan oleh Gubernur, atau

Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.

Apabila rancangan perda yang tidak ditetapkan oleh Gubernur, atau

Bupati/Walikota dalam waktu 30 hari, perda tersebut sah menjadi perda dan wajib

diundangkan dalam lembaran daerah. Pengesahan perda harus dirumuskan dengan

kalimat pengesahan yang berbunyi “Perda ini dinyatakan sah”, dengan

mencantumkan tanggal sahnya dan kalimat itu harus dibubuhkan pada halaman

terakhir perda, sebelum pengundangan naskah perda ke dalam lembaran daerah.

Sebagai upaya pengawasan terhadap perda oleh pemerintah, paling lama

tujuh hari setelah ditetapkan, perda tersebut harus disampaikan kepada

pemerintah. Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan

bertentangan dengan kepentingan umum dapat dibatalkan oleh pemerintah.

Keputusan pembatalan perda tersebut ditetapkan dengan dengan peraturan

presiden dan peraturan menteri dalam negeri paling lama 60 hari sejak

diterimanya perda yang dimaksud. Paling lama tujuh hari setelah keputusan

Page 76: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

76

pembatalan perda yang dimaksud, kepala daerah harus memberhentikan

pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut perda

yang dimaksud.

Proses pembuatan perda, masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan perda.

Rancangan perda harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan Perda

ditetapkan oleh Kepala Daerah dan atas persetujuan dari Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam

pembentukannya, setiap peraturan daerah dapat dipastikan akan melalui proses

pembahasan yang dilakukan secara bersama-sama antara Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Selanjutnya UU PPPU, dalam

Pasal 32 sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa Perencanaan

penyusunan Perda Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”, kemudian pada

Pasal selanjutnya yaitu Pasal 33 UU PPU menegaskan:

(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program

pembentukan Perda Provinsi dengan judul Rancangan Perda Provinsi,

materi yang diatur dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-

undangan lainnya

(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-

undangan lainnnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

keterangan mengenai konsepsi rancangan Perda yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang ingin diwujudkan;

c. Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan

d. Jangkauan dan arah pengaturan

(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah

melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam naskah

akademik.

Page 77: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

77

Kemudian pada Pasal selanjutnya dipaparkan lebih jelas lagi terutama

mengenai Perda APBD, yaitu :

Pasal 34

(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan

Pemerintah Daerah Provinsi.

(2) Prolegda Provinsi ditetapkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun

berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Perda Provinsi.

(3) Penyusunan dan Penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun

sebelum penetapan Rancangan Perda Provinsi tentang Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.

Pasal 35

Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan Perda Provinsi didasarkan atas:

a. Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;

b. Rencana pembangunan daerah;

c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan

d. Aspirasi masyarakat daerah.

Pasal 36

(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah

Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat

kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi

dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus

menangani bidang legislasi.

(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah

Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat

mengikutsertakan instansi vertical terkait.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda

Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda

Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 37

(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan

Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36

ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam

Rapat Paripurna DPRD Provinsi.

(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Keputusan DPRD Provinsi.

Page 78: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

78

Pasal 38

(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang

terdiri atas :

a. Akibat putusan Mahkamah Agung; dan

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat

mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda

Provinsi:

a. Untuk mengatsi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana

alam;

b. Akibat kerja sama dengan pihak lain; dan

c. Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas

suatu Rancangan peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui

bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus

menangani bidang legislasi dan biro hukum.

Untuk melaksanakan perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan

kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala

daerah. Peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah, dilarang

bertentangan dengan kepentingan umum, perda, dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Peraturan kepala daerah diundangkan dalam berita

daerah yang dilakukan oleh sekretaris daerah.

2.3.5. Pembatalan Peraturan Daerah

Telah banyak peraturan daerah yang dibatalkan, pembatalan ini

dikarenakan seperti yang tertuang dalam Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004,

Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih tinggi

seperti Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,

Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Berkaitan dengan bertentangan

dengan kepentingan umum berdasarkan Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32

Page 79: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

79

Thn 2004 adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga

masyarakat, kebijakan yang berakibat terganggunya pelayanan umum, dan

kebijakan yang berakibat terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta

kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam perspektif

kajian pembatalan peraturan daerah APBD ditingkat provinsi melalui Peraturan

Mendagri juga merupakan suatu upaya pembangunan atau pembinaan hukum di

Negara Indonesia. Pembinaan hukum bahkan harus diawali dengan adanya suatu

kajian mengenai konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal ini

ditegaskan oleh Satjipto Rahardjo, yang menegaskan bahwa:

”Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan hukum dalam arti yang

lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentulah

tidak dapat diharapkan berbicara tentang pembinaan hukum secara

bersungguh-sungguh, apabila hanya mempersoalkan tentang bagaimana

meningkatkan efisisensi suatu peraturan yang ada serta meningkatkan

efisiensi kerja dari lembaga-lembaga hukum. Pada suatu ketika, usaha

untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan

peraturannya sendiri. Dengan demikian, akan dijumpai wilayah-wilayah

tempat kaitan antara pembangunan, perubahan, dan pembinaan hukum

tersebut bertemu”.101

Menurut Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn 2004. Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

Pemerintah, serta Pasal 145 ayat (3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60

(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

101

Satjipto Rahardjo, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta, h. 16.

Page 80: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

80

Hal ini diperjelas kembali dengan PP 79 Tahun 2005. Pasal 37 ayat (4) Peraturan

Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.

Pada Pasal 185 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004 Apabila hasil evaluasi tidak

ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan Gubernur tetap menetapkan

rancangan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan rancangan

Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan

Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur

dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya, dan

dengan Pasal 40 ayat (2) PP 75 Tahun 2005. Apabila Gubernur tidak

menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1) dan tetap menetapkan, menjadi

peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, Menteri Dalam Negeri dapat

membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan

peraturan Menteri.

Jika melihat Pasal 158 ayat (4) dan (5) UU PDRD pada ayat (4)

berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,

Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah

dimaksud kepada Presiden, ayat (5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden Paling

lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya peraturan daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1). Sehingga dapat kita teliti produk hukum pembatalan

Perda yakni pada UU No. 32 Thn 2004 :

Page 81: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

81

a. Peraturan Presiden terhadap seluruh Perda kecuali Perda APBD, pajak

daerah, dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang.

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri terhadap Perda APBD, pajak daerah,

dan retribusi daerah serta Peraturan Daerah Tata Ruang

Pembatalan Perda tersebut merupakan bagian dari kewenangan pemerintah

dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah. Sehingga dalam

asas desentralisasi Pemerintah Daerah tidak lepas dari Pemerintah Pusat sehingga

Pemerintah Daerah masih tetap dalam kontrol dari Pemerintah Pusat. Karena asas

desentralisasi tidak berarti daerah dapat bertindak sesuai dengan kehendaknya

sendiri tetapi tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketika

terjadi permasalahn berkaitan dengan Pembatalan Perda ini yang melibatkan

Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat yang masing-masing meiliki penafsiran

berbeda akan sebuah Perda serta untuk menemukan suatu kejelasan maksud

daripada suatu Perda. Diberikan suatu upaya penyelesaian dengan mengajukan

hak uji materiil kepada Mahkamah Agung.

Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota, tidak dapat menerima keputusan

pembatalan perda yang dimaksud dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh

peraturan perundang-undangan kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung. Jika keberatan itu dikabulkan sebagian atau seluruhnya,

putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwa peraturan presiden

menjadi batal dan tidak memiliki kekuatan hukum. Demikian pula apabila

pemerintah tidak mengeluarkan peraturan presiden untuk membatalkan perda

yang dimaksud, perda dinyatakan tetap berlaku.

Page 82: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

82

BAB III

PENGATURAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

3.1. Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dalam Kerangka Negara

Kesatuan

Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dalam hubungan antar

pemerintahan dikenal adanya konsep sentralisasi dan desentralisasi. Konsep

sentralisasi menunjukan karakter bahwa semua kewenangan penyelenggaraan

pemerintahan berada pada pemerintah pusat sedangkan, konsep desentralisasi

menunjukan karakter bahwa sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang

menjadi kewajiban pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah. Indonesia

menganut sistem desentralisasi hal ini dapat kita temukan pada Pasal 18 ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945.

Sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat maka penyelenggaraan

pemerintahan di daerah bukanlah bersifat mandiri sebagaimana negara federal,

tetapi merupakan kelanjutan dari urusan negara/pemerintah pusat yang

diamanatkan pada alenia IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Secara normatif

pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dilakukan melalui peraturan

perundang-undangan yang berlaku, sehingga tanpa adanya wewenang tersebut,

pemerintah daerah tidak dapat melakukan tindak hukum maupun mengadakan

hubungan hukum.

Berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah dalam sistem

pemerintahan negara kesatuan ukuran untuk menerapkan

Page 83: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

83

sentralisasi/desentralisasi adalah efisiensi.102

Dalam pelaksaan pemerintahan,

pemerintah pusat membagi tugas baik secara horozontal maupun secara vertical

untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. pembagian secara vertical dapat

dilihat dari adanya pembagian tugas dan wewenang antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah. Pembagian wewenang ini kaitannya juga dengan

tanggung jawab, oleh karenanya pembagian tugas juga merupakan pembagian

wewenang.103

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan adapun tujuan

dilakukannya pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah adalah untuk dapat memberikan pelayanan yang efektif dan efisien

terhadap setiap warga negara, mengingat luasnya wilayah negara Republik

Indonesia dan jumlah penduduk yang begitu besar menjadikan susahnya

memenuhi kebutuhan akan pelayanan dan pembangunan untuk itu perlunya

adanya pembagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada pemerintahan

daerah.

Otonomi daerah dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip

otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dengan demikian, seperti halnya

penyelenggaraan negara oleh pemerintah pusat penyelenggaraan pemerintahan

daerah juga harus berdasarkan hukum sebagai amanat dari Pasal 1 ayat (3) UUD

NRI Tahun 1945 yang menegaskan Indonesia adalah negara hukum.

102

A. W. Widjaja, 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.3. (Selanjutnya disebut H. A. W. Widjaja I).

103

Soebekti, 2000, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta h. 93.

Page 84: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

84

Sebagai konskwensi dari sebuah negara hukum maka negara Indonesia

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menggunakan prinsip hukum

dan demokrasi menimbulkan distribusi kewenangan sesuai dengan prinsip

keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pada UU No. 32 Thn 2004 daerah

memiliki kewenangan untuk membentuk perda sebagai hukum, instrumen dan

tolak ukur keabsahan tindakan pemerintah daerah sebagai pelaksanaan tugas dan

kewenangan sebagai penyelenggara pemerintahan negara dalam upaya

melaksanakan pelayanan dan pembangunan di daerah. Seperti yang diamnatkan

dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 Pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

otonomi dan tugas pembantuan

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai wujud dari demokrasi yang

merupakan bagian dalam konsep negara hukum dilaksanakan dengan penyerahan

urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah.

Konsepsi hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang

demokratis dengan memberikan kewenangan urusan dalam penyelenggaraan

pemerintahan kepada pemerintahan daerah. Kewenangan yang menjadi urusan

pemerintahan daerah adalah kewenangan terbatas pada urusan rumah tangga

daerah. Dalam implementasinya diselenggarakan atas kebebasan, kemandirian,

serta prakarsa daerah sendiri sebagai upaya partisipasi masyarakat sesuai dengan

keadaan dan potensi daerah serta kebutuhan masyarakat sebagai ujung tombak

dari pembangunan dan pelayanan yang semakin dekat dengan masyarakat.

Page 85: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

85

Menurut soemitri dalam M. R. Khairul Muluk Undang-undang tentang

Pemerintahan Daerah telah mengatur sebaik-baiknya tentang otonomi dan

madebewind.104

Urusan-urusan yang diserahkan kepada daerah-daerah adalah

dalam bidang yang tidak termasuk kepentingan umum yang diurus oleh

pemerintah pusat karena telah diatur dalam peraturan tersendiri dan urusan sisa

yang tidak menjadi urusan daerah otonom sebagaimana yang diamantkan pada

UU No. 32 Thn 2004.

Pasal 13

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah

provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial;

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah

termasuk lintas kabupaten/kota;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; pelayanan administrasi

umum pemerintahan;

m. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas

kabupaten/kota; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang

belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan urusan wajib

lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,

kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

104

M. R. Khairul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan daerah, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 134.

Page 86: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

86

Pasal 14

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota

meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi

urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,

kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal

11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Penyelenggaraan pemerintahan negara dalam pemerintahan daerah yang

bersifat otonom, menurut Hestu B. Handoyo menyebutkan bahwa pemerintahan

daerah otonom (local state goverment), yakni satuan-satuan pemerintahan lokal

yang berada di bawah pemerintahan pusat yang berhak atau berwenang

menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

setempat dengan ciri-ciri :

1. Urusan-urusan pemerintahan atau wewenang pemerintahan yang

diselenggarakan oleh pemerintahan lokal otonom adalah urusan atau

wewenang yang telah menjadi urusan rumah tangga sendiri;

2. Penyelenggaraan pemerintahan lokal otonom dijalankan oleh pejabat-

pejabat yang merupakan pegawai pemerintahan lokal itu sendiri atau

Page 87: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

87

dengan kata lain pejabat-pejabat tersebut diangkat dan diberhentikan

oleh pemerintahan lokal otonom itu sendiri;

3. Penyelenggaraan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal

otonom adalah hubungan yang bersifat pengendalian dan pengawasan

atau hubungan kemitraan (partnerships).105

Kewenangan atau kekuasaan yang ada pada pemerintahan daerah bersifat

derivatif (tidak langsung) dan sering dalam bentuk otonomi yang luas.106

Hal ini

merupakan salah satu ciri dari negara kesatuan mengingat bentuk dari negara

Republik Indonesia adalah negara kesatuan. Menurut C.F. Strong :

“The two essential qualities of unitary state may there for be said ; (1) the

supremacy of the central parliament and (2) the absence of susdiary

souvereign bodie”.107

Dua ciri yang mendasar melekat pada suatu negara

kesatuan; (1) adanya supremasi tertinggi pada Dewan Perwakilan Pusat

dan (2) tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.

Salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah untuk

meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, terutama

dalam tujuan otonomi derah yakni pelaksanaan pembangunan dan layanan

terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan

kesatuan bangsa.108

Tujuan kebijakan otonomi daerah diantaranya :

1. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan daerah;

2. Pemberdayaan masyarakat dan daerah;

3. Peningkatan kualitas layanan masyarakat;

4. Peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan;

5. Terselenggaranya tata kelola kepemerintahan yang baik;

105

Hestu B. Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atma Jaya,

Yogyakarta, h. 288.

106

Moh Kusnadi dan B. Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, h.

108.

107

C. F. Strong, 1966, Modern Political Constitutional, Sidgwick 7 Jackson Limited

London E. L. B. S. EditionFirst Publised, p. 84.

108

H. A. W. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka

Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 208. (Selanjutnya disebut H. A. W. Widjaja II).

Page 88: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

88

6. Terbebasnya praktek penyelenggaraan pemerintahan dari malpraktek,

baik berupa korupsi, kolusi , dan nepotisme.109

Dalam kaitannya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berwenang

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya untuk itu dibentuklah

suatu peraturan daerah yang bertujuan untuk mengatur serta menjadi penilaainn

terhadap tindak pemerintahan daerah. Perda sebagai bagian dari peraturan

perundang-undangan dalam pembentukannya terjadi karena dua hal yakni karena

kewenangan atribusi dan karena kewenangan delegasi.

Secara atribusi pembentukan peraturan daerah dapat kita lihat pada Pasal

18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 Pemerintahan daerah berhak menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan. Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan.

Dalam pembentukan Peaturan perundang-undangan kaitannya dengan

kewenangan atribusi mengandung unsur-unsur :

1. Penciptaan wewenang (baru) untuk membuat peraturan perundang-

undangan;

2. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk Undang-UndangDasar

atau pembentuk Undang-undang kepada suatu lembaga;

3. Lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas

pelaksanaan wewenang tersebut.

Dalam pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan memuat

unsur :

1. Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan;

2. Wewenang tersebut diserahkan oleh pemegang wewenang atribusi

(delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris);

3. Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab

atas pelaksaan wewenang tersebut.110

109

Joko Widodo, 2008, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media Publishing,

Malang, h. 6.

Page 89: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

89

Syarat yang harus dipenuhi dalam membuat peraturan perundang-

undangan termasuk juga perda adalah :111

1. Dibuat oleh organ /pejabat yang berwenang;

2. Tidak ada kekurangan yuridis;

3. Diberi bentuk tertentu dan sesuai dengan prosedur dan tat cara

pembentukannya.

4. Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.

Ada juga syarat yang lain yang harus dipenuhi dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan dan keputusan syarat tersebut dibedakan menjadi

syarat formal dan syarat materiil.112

Syarat formal :

1. Syarat-sarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan diabuatnya

keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus

dipenuhi;

2. Keputusan harus diberi bentuk tertentu yang ditentukan;

3. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya

keputusan harus dipenuhi;

4. Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang

menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan tidak

boleh dilewati.

Syarat materiil : Alat negara yang membuat keputusan itu harus berwenang;

1. Dalam kehendak alat negara yang membuat keputusan itu tidak boleh

ada kekurangan;

2. Keputusan harus dibuat berdasarkan suatu keadaan tertentu;

110

I Nyoman Suyatna, 2006, Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Konteks

Kepentingan Lokal, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 31 No. 2. Juli

2006, h. 60

111

Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak

Pemerintahan (Bestuurhendeling), Djumali, Surabaya, h.8. (Selanjutnya disebut Philipus M.

Hadjon III).

112

Ibid, h.9-10.

Page 90: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

90

3. Keputusan harus dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan lain, serta

isi dan tujuan harus sesuai dengan peraturan yang menjadi dasar

keputusan tersebut.

Berpijak pada persyaratan yang telah diuangkap di atas pada prinsipnya

menekankan pada kewenangan, isi,/materi, bentuk maupun hirarki perundang-

undangan. Berkaitan dengan pembentukan perda yang harus dicermati adalah

materi yang dijadikan muatan perda tersebut menjadi wewenangnya atau tidak

apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dan atau kepentingan umum, apakah prosedurnya telah sesuai dengan apa

yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sehingga akan

berpengaruh terhadap keabsahan tindak ataupun keputusan yang dikeluarkan

tersebut.

Apabila kita mengkaji mengenai keabsahan legislasi daerah, diatur dengan

jelas di dalam UU No. 32 Thn 2004, bahwa pembentukan perda merupakan tugas

dan wewenang Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kewenangan Kepala Daerah membentuk Perda diatur dalam Pasal 25 huruf b dan

huruf c Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: mengajukan rancangan

Perda; menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.

Sementara wewenang DPRD dalam kaitannya dengan membentuk Perda diatur

pada Pasal 42 ayat (1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:

a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat

persetujuan bersama;

b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama

dengan kepala daerah;

Page 91: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

91

Perda sebagai suatu produk hukum daerah hendaknya juga mencerminkan

tiga aspek yang menjadi dasar berlakunya hukum di masyarakat. Ketiga dasar

kekuatan berlakunya hukum yakni mencerminkan aspek filosofi, sosiologi dan

yuridis. Berlakunya hukum secara filosofi, artinya hukum itu berlaku sesuai

dengan cita-cita hukum itu sebgai nilai yang positif yang tertinggi. Dalam arti

bahwa hukum itu sendiri memiliki nilai kebenaran, keadilan. Berlakunya hukum

secara sosiologis maksudnya apabila kaidah-kaidah yang diatur dalam hukum

tersebut diterima oleh masyarakat. Landasan ini merupakan pencerminan

kenyataan hidup dalam masyarakat yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian.

Berlakunya hukum secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah

yang tingkatannya lebih tinggi, dibentuk oleh lembaga yang berwenang, dibuat

dalam bentuk tertentu, serta dilakukan menurut tata cara yang telah ditetapkan.

Landasan inilah yang sering menjadi acuan terhadap perda yang dibentuk

oleh daerah. Karena pada landasan ini seringkali pembentukan perda maupun

raperda menjadi permasalahan. Pemerintah pusat yang masih memiliki

kewenangan untuk mengawasi daerah terkait pembentukan perda sering kali

menemukan adanya pertentangan perda dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi. Untuk itu agar suatu raperda dan perda ini tidak mengalami

permasalahan serta menimbulkan akibat hukum setelah berlaku untuk itu perlunya

pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap perda yang dibentuk

oleh pemerintah daerah.

Page 92: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

92

3.2. Pengawasan Pemerintah Pusat kepada Daerah

Dalam rangka melaksanakan otonomi, dalam kewenangan untuk mengatur

dan mengurus urusan rumah tangga daerah, Perda tidak boleh bertentangan

dengan prinsip Negara kesatuan dan hukum nasional. Oleh karena itu, maka harus

tetap dimungkinkan adanya pengawasan terhadap Perda. Pengawasan diperlukan

untuk memastikan bahwa Perda tidak bertentangan dengan prinsip Negara

kesatuan dan hukum nasional. Berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi, jika kita melihat pembentukan perda seharusnya pemerintah pusat tidak

perlu lagi melakukan pengawasan terhadap perda, mengingat pada tahapan

pembentukannya perda tersebut dibahas secara bersama-sama oleh kepala daerah

dan DPRD untuk selanjutnya disahkan dan ditetapkan menjadi perda. Ketika

suatu perda itu ditetapkan kiranya telah memenuhi unsur aspirasi, demokrasi dan

rasa keadilan masyarakat daerah tersebut. Namun dalam kaitannya dengan negara

kesatuan dimana pemerintah pusat tetap melakukan pengawasan terhadap daerah.

Hal ini dimaksudkan untuk semua aktivitas pelaksanaan pemerintahan daerah

tidak terlepas dari prinsip negara kesatuan serta menjaga keutuhan NKRI.

Pengawasan juga berfungsi untuk melindungi rakyat dari kesewenangan

penguasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan113

yang menyatakan

Prinsip-prinsip negara berotonomi adalah:

a. Otonomi adalah perangkat dalam negara kesatuan. Jadi seluas-luasnya

otonomi tidak dapat menghilangkan arti, apalagi keutuhan negara

kesatuan.

b. Isi otonomi bukanlah pembagian jumlah (quantum) urusan

pemerintahan antara pusat dan daerah. Pembagian urusan harus dilihat

dari sifat dan kualitasnya. Urusan-urusan rumah tangga daerah selalu

113

Bagir Manan III, op.cit, h. 185-186.

Page 93: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

93

lebih ditekankan pada urusan pelayanan (services). Otonomi luas harus

lebih diarahkan pada pengertian kemandirian (Zelfstandigheid) yaitu

kemandirian untuk secara bebas menentukan cara-cara mengurus rumah

tangganya sendiri, menurut prinsip-prinsip umum negara berotonomi.

c. Dalam setiap otonomi, selalu disertai dengan sistem dan mekanisme

kendali dari pusat. Kendali itu adalah kendali pengawasan dan kendali

keuangan.

Salah satu hubungan pusat dan daerah yaitu dalam hal pengawasan. Pada

umumnya pemakaiaan pengertian pengawasan lebih sering dipergunakan dalam

hubungannya dengan manajemen, oleh karena itu secara terminologis istilah

pengawasan disebut juga dengan istilah controlling, evaluating, appraising,

correcting maupun control.114

George R. Terry mendefinisikan pengawasan

adalah “Control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply

corrective measure, if needed to ensure result in keeping with the plan”

(pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan

menetapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan hasil yang sesuai dengan

rencana).115

Pengawasan terhadap pemerintah adalah upaya untuk menghindari

terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja ataupun tidak, sebagai usaha

preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu

sebagai usaha represif.116

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses

kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan

114

Muh Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan

Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 90.

115

John Salihendo, 1995, Pengawasan Melekat aspek-aspek Terkait dan Implementasinya,

Bumi Aksara, Jakarta, h. 25.

116

Paulus Effendi Lotulung, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum

terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.56-57.

Page 94: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

94

dengan sesuai rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pengawasan terhadap segala tindak pemerintah termasuk keputusan

kepala daerah dan peraturan daerah merupakan suatu akibat mutlak dari adanya

Negara Kesatuan. Dalam Negara Kesatuan tidak mengenal bagian yang lepas dari

atau sejajar dengan Negara, tidak pula mungkin ada Negara dalam Negara. untuk

menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah dan rencana pembangunan

pada umumnya, maka fungsi pengawasan memiliki nilai yang sangat penting,

dimana pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjamin kelancaran

penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna, serta agar

kesatuan negara tetap terpelihara. Pengawasan adalah sebagaian dari kewenangan

pemerintah secara menyeluruh, karena pada tingkat akhir pemerintah pusatlah

yang harus bertanggung jawab mengenai seluruh penyelenggaraan pemerintahan

Negara dan Daerah.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan pasal

218 ayat (1) UU No. 32 Thn 2004 dilaksanakan oleh pemerintah meliputi duan

bentuk pengawasan yakni :

1. Pengawasan atas pelaksaan urusan pemerintahan di daerah;

2. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan

yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan

rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan

atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh pemerintah, Gubernur,

dan Bupati/Walikota. Pengawasan dimaksud adalah proses kegiatan yang

Page 95: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

95

ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pemerintahan desa berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pengawasan ini dilakukan oleh aparat pengawas intern

pemerintah sesuai dengan bidang kewenangannya masing-masing. Adapun

pengawasan yang dimaksud berdasarkan Pasal 28 PP No.79 Tahun 2005

dilaksanakan melalui :

a. Pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah;

b. Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu;

c. Pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari

unit/satuan kerja;

d. Pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi

penyimpangan, korupsi, kolusi, dan nepotisme;

e. Penilaiaan atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan

program dan kegiatan;

f. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah

dan pemerintahan desa.

Pengawasan terhadap segala tindakan pemerintahan daerah, termasuk juga

produk hukum daerah menurut sifatnya digolongkan menjadi :

1. Pengawasan umum

2. Pengawasan preventif

3. Pengawsan represif.117

Pengawasan umum adalah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat

terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh

pemerintah pusat kepada daerah. Pengawasan umum meliputi :

1. Bidang pemerintahan

2. Bidang kepegawaiaan

3. Bidang keuangan dan peralatan

4. Bidang pembangunan

117

Irawan Soetjito, 1993, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan

Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, h. 11.

Page 96: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

96

5. Bidang perumahan daerah

6. Bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Mendagri.118

Untuk menjaga kewibawaan Pemerintah Daerah dan kepentingan daerah

serta menghindarkan atau memperkecil kemungkinan-kemungkinan terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan atau kelalaian dalam adminsistrasi yang dapat

merugkan daerah dan/atau negara, maka dianggap perlu untuk menyelenggarakan

pengawasan secara preventif. Pengawasan preventif ini berbentuk memberi

pengesahan atau tidak memberi pengesahan atau menolak pengesahan. Sesuai

sifatnya pengawasan preventif dilakukan sebelum keputusan itu mulai berlaku.

Pengawasan preventif hanya dilakukan terhadap keputusan Kepala daerah dan

Peraturan daerah yang berisi atau yang mengatur materi-materi tertentu.

Berbeda dengan pengawasan preventif yang hanya dapat dilakukan

terhadap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tertentu, yang disebut

dalam peraturan Undang-undangan atau Peraturan Pemerintah, pengawasan

represif dapat dilakukan terhadap semua peraturan daerah dan atau keputusan

kepala daerah apabila peraturan atau keputusan kepala daerah tersebut dianggap

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau

bertentangan dengan dengan kepentingan umum. Pengawasan repersif

menyangkut penangguhan atau pembatalan perundang-undangan yang

tingkatannya lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang

berwenang terhadap segala peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

Pengawasan represif itu berwujud :

118

Kansil dan Christine Kansil, 2001, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum

Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, h.13.

Page 97: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

97

1. Menangguhkan berlakunya suatu peraturan daerah atau keputusan

kepala daerah;

2. Membatalkan suatu peraturan daerah dan atau keputusan kepala

daerah.119

Pemerintah dalam melakukan pengawasan melalui proses evaluasi

terhadap Ranperda jika bermasalah maka memberikan suatu perintah kepada

pemerintah daerah untuk tidak mengeluarkan Ranperda (Muatan materi tertentu)

menjadi Peraturan Daerah, dan Ranperda tersebut dikembalikan lagi kepada

pemerintah daerah untuk dikoreksi kembali dan dibahas bersama kembali untuk

menjadi Ranperda yang memenuhi ketentuan yang berlaku. Peraturan daeraha

yang menyimpang dari hukum dapat setiap saat dibawakan ke Mahkamah Agung

untuk dapat dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah Agung.120

UU No. 32 Thn 2004 mengatur tentang pengawasan Peraturan Daerah

secara preventif melalui evaluasi rancangan peraturan daerah dan pengawasan

represif melalui klarifikasi. Evaluasi terhadap rancangan Peraturan Daerah diatur

di dalam Ketentuan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 189. Klarifikasi terhadap

Perda diatur di

dalam Pasal 145. Dengan kata lain dapat dikatakan pembatalan perda oleh

Mendagri pada tahap klarifikasi merupakan pengawasan yang sifatnya represif

yang dimana kewenangan pembatalan perda juga menjadi kewenangan daripada

Presiden. Sehingga dalam pembatalan perda terdapat dua kewenangan pembatalan

119

Irawan Soetjito, op.cit, h. 51

120

Jimly Asshiddiqie, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,

Jakarta, h. 38. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VI).

Page 98: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

98

yang dilakukan oleh Presiden dan Mendagri yang dimana hal ini yang

dimaksudkan terdapat dualisme pembatalan perda.

Pengawasan tersebut merupakan implikasi dari adanya hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah apalagi skema-skema hubungan itu

kemudian ternyata menggiring pada persoalan bagaimana kontrol atau

pengendalian pemerintah pusat terhadap daerah melalui instrumen pengawasan,

yang baik langsung maupun tidak langsung telah menyeret fungsi pemerintah

sebagai badan eksekutif masuk ke ranah fungsi yudisial yang lazimnya menjadi

otoritas badan yudikatif.121

Ditinjau dari hubungan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, pengawasan merupakan “pengikat” kesatuan, agar kebebasan

berotonomi tidak bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam

kesatuan apabila “pengikat” tersebut ditarik begitu kencang, napas kebebasan

desentralisasi akan terkurangi bahkan mungkin terputus.

Apabila hal itu terjadi, pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari

desentralisasi tetapi menjadi “pembelenggu” desentralisasi. Untuk itu,

pengawasan harus disertai pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan

tersebut akan mencakup pembatasan macam atau bentuk pengawasan, yang

sekaligus mengandung pembatasan tata cara menyelenggarakan pengawasan, dan

pejabat atau badan yang berwenang melakukan pengawasan. Pada umumnya

dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah

termasuk Perda dan Keputusan Kepala Daerah merupakan suatu akibat mutlak

dari adanya negara kesatuan. Di dalam negara kesatuan kita tidak mengenal

121

Widodo Ekathahjana, Op.Cit, h. 37.

Page 99: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

99

bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara, tidak pula mungkin ada negara

di dalam negara.122

Pengawasan pemerintah terhadap pemerintah daerah dengan mekanisme

pembatalan Perda yang oleh pemerintah dinilai bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan

umum, kemudian dianggap menjadi metode kontrol pemerintah pusat yang efektif

untuk mengawasi dan mengendalikan setiap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan

oleh pemerintah daerah tidak cukup hanya presiden yang membatalkan, tetapi

Mendagri pun juga memiliki kewenangan untuk membatalkan produk-produk

hukum daerah tersebut. Terhadap Perda yang bermasalah tersebut dapat dilakukan

executive review oleh pemerintah dengan melihat apakah Perda tersebut

bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi.

Executive Review terhadap suatu Perda, apabila secara murni mengacu

pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 bukanlah

menjadi suatu permasalahan, karena Pemerintah Daerah merupakan bagian dari

Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Pemerintah daerah

merupakan bagian dari pemerintah pusat atau berada di bawah pemerintah pusat.

Sehingga, pemerintah pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan

membatalkan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Pengujian

terhadap suatu peraturan daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah

dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintahan daerah.

122

Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara Pemerintah

Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Hukum No.

Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009, h. 5. (Selanjutnya disebut Ni’matul Huda II).

Page 100: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

100

Pembatalan-pembatalan perda yang dilakukan oleh pemerintah secara teoritikal

berada dalam kerangka teori tentang hubungan antara pusat dengan daerah.

Dasar hubungan antara pusat dan daerah adalah bahwa pemerintah pusat

menyerahkan sebagian wewenang pemerintahannya kepada daerah untuk diatur

dan diurus sendiri sebagai urusan rumah tangga daerah (otonom).123

Selanjutnya

agar wewenang yang telah diserahkan oleh pusat kepada daerah agar tidak

disalahgunakan, maka digunakan instrumen pengawasan yang dalam praktiknya

dapat membatalkan produk-produk hukum atau kebijakan daerah berupa perda-

perda. Dengan demikian praktik pembatalan perda secara inklusif melekat pada

fungsi pengawasan pusat terhadap daerah.

Pertama tentang istilah dari pengawasan itu sendiri, istilah pengawasan

disini dapat dijumpai dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang

pemerintahan daerah. Pada intinya pengawasan terhadap pemerintahan daerah

dibedakan menjadi dua, yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif.124

Model pengawasan preventif ini dilakukan dengan memberikan pengesahan atau

tidak memberi (menolak) pengesahan Perda yang disusun oleh Pemerintah

Daerah. Dimana dalam pengawasan preventif ini, suatu Perda yang dihasilkan

hanya dapat berlaku apabila telah terlebih dahulu disahkan oleh penguasa yang

berwenang mengesahkan. Model pengawasan preventif ini pada prinsipnya hanya

dilakukan terhadap Perda yang mengatur sejumlah materi-materi tertentu yang

ditetapkan sebelumnya melalui peraturan perundang-undangan.

123

Widodo Ekatjahjana, op.cit. h. 39.

124

Ibid

Page 101: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

101

Berbeda dengan model pengawasan preventif, pengawasan represif

dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu menangguhkan berlakunya suatu perda atau

membatalkan suatu Perda. Model pengawasan represif ini dapat dijalankan

terhadap semua peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan

kepentingan umum. Khusus untuk penangguhan, sebenarnya instrumen ini

merupakan suatu usaha persiapan dari proses pembatalan, dimana penangguhan

suatu aturan terjadi karena sedang dilakukan pertimbangan untuk membatalkan

Perda dimaksud. Namun demikian tidak semua pembatalan harus melalui proses

penangguhan, dimungkinkan pejabat yang memiliki kewenangan ini dapat

langsung membatalkan perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau bertentangan dengan

kepentingan umum.

Ketentuan tentang pengawasan Peraturan Daerah di dalam UU No. 32 Thn

2004 dijabarkan lebih lanjut ke dalam PP 79 Tahun 2005. Secara umum isi PP 79

Tahun 2005 adalah sama dengan isi UU No. 32 Thn 2004. Hal baru yang diatur di

dalam PP 79 tahun 2005, yang merupakan penjabaran terhadap ketentuan Pasal

145 UU No. 32 Thn 2004, adalah kepada Gubernur dan Bupati/Walikota

diberikan waktu 15 hari kerja sejak diterimanya pembatalan untuk mengajukan

keberatan kepada Mahkamah Agung. (Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) Jo. Pasal 39

PP No.79 Tahun 2005). Ketentuan Pasal 42 PP No.79 Tahun 2005 menyatakan

:”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan

Page 102: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

102

peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 39

diatur dengan Peraturan Menteri”. Permendagri 53 tahun 2007 tentang

Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang saat ini telah

diganti dengan Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah, dan dirubah kembali dengan Permendagri No. 1 tahun 2014

tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Pengawasan represif disebut juga sebagai executive review, sedangkan

pengawasan preventif disebut sebagai executive preview. Konsep pengujian

memiliki beberapa jenis yang mana diantaranya adalah toetsingsrecht dan judicial

review.125

Pemerintah Pusat mempunyai dasar untuk melakukan pengujian

terhadap perda, yaitu bertentangan dengan kepentingan umum dan bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

1. Pengujian perda bertentangan dengan kepentingan umum

Kewenangan Pemerintah Pusat, masih sangat luas cakupannya. Istilah

kepentingan umum bisa diartikan sebagai kepentingan umum nasional

ataukah kepentingan umum lokal (daerah). Maksud bertentangan dengan

kepentingan umum adalah kebijakan yang mengakibatkan terganggunya

kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan

terganggunya ketentraman ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat

diskriminatif. Mengingat Peraturan Daerah merupakan peraturan

perundang-undangan yang bersifat lokal (local wet), maka yang dimaksud

125

Ibid, h.40

Page 103: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

103

dengan istilah kepentingan umum, tidak lain merupakan kepentingan

umum yang hanya mencakup daerah setempat.

2. Pengujian perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

Pengujian ini berpedoman pada asas lex superior derogate lex inferiori

yang intinya adalah hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih

rendah tingkatannya. Jadi peraturan yang secara hirarki berada pada tingkatan

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,

sehingga harmonisasi hierarki perundang-undangan dapat terjaga dan tidak terjadi

konflik norma. Mengenai hierarki peraturan perundang-undangan ditegaskan pada

Pasal 7 ayat (1) UU PPPU jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. KetetapanMajelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pembuatannya perda juga harus memperhatikan asas larangan

penyalahgunaan wewenang, artinya bahwa suatu wewenang tidak boleh

digunakan untuk tujuan dan maksud lain, selain yang ditetapkan. Untuk dapat

dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang dapat dilakukan pengujian

terhadap ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan suatu

perda maka dapat dipergunakan suatu peraturan yang memberikan wewenang

tersebut atau menggunakan peraturan dasar yang melahirkan wewenang tersebut.

Page 104: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

104

Dalam pembatalan Perda itu sendiri terjadi dualisme, maksud dualisme ini

adalah pembatalan Perda Provinsi itu sendiri dilakukan oleh dua instansi

pemerintah pada ranah administrasi. Karena jika mengacu pada Pasal 145 dan

Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 terlihat pembatalan itu dapat dilakukan oleh

Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden dan dilakukan oleh Mendagri

dengan instrumen Peraturan Menteri Dalam Negeri.

3.3. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004

UU Pemda sebagai landasan hukum penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah, yang menyerahkan wewenang pemerintahan kepada Daerah untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri sesuai aspirasi masyarakat sebagai upaya untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah.

Sehubungan dengan penyerahan kewenangan kepada daerah, Kepala Daerah dan

DPRD diberikan kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah yang berfungsi

sebagai instrumen hukum yang memberikan, mengatur dan sekaligus mengawasi

pelaksanaan wewenang pemerintahan, serta sebagai alat uji keabsahan tindakan

penyelenggara pemerintahan di daerah dalam menyelenggarakan urusan

Pemerintahan di daerah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 136 UU No. 32

Thn 2004.

Pasa1 136

(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan

bersama DPRD.

(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

Page 105: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

105

(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.

(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan

yang lebih tinggi.

(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah

diundangkan dalam lembaran daerah.

Mengenai bertentangan dengan peraturan perundang-undngan yang lebih

tinggi yang diuraikan pada Pasal 136 ayat (4) seperti Undang-undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan

Presiden. Berkaitan dengan bertentangan dengan kepentingan umum berdasarkan

Penjelasan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Thn 2004 adalah kebijakan yang

berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, kebijakan yang

berakibat terganggunya pelayanan umum, dan kebijakan yang berakibat

terganggunya ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat

diskriminatif.

Untuk memastikan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepala Daerah

dan DPRD tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi maka dilakukan pengawasan terhadap

Peraturan Daerah dimaksud, sebagaimana dikatakan oleh S. Prayudi Atmosudirjo

dan Muchsan bahwa Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap

Peraturan Daerah pada hakikatnya merupakan upaya Pemerintah untuk

mencocokan materi muatan Peraturan Daerah yang dibuat itu sesuai tidak dengan

materi muatan peraturan perundang-undangan di atasnya. Ketika dalam

pembentukannya perda terdapat ketidak sinkronan yang menimbulkan suatu perda

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan

Page 106: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

106

kepentingan umum baik perda provinsi maupun perda kabupaten/kota maka perda

tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah.

Berkaitan dengan pembatalan perda ada mekanisme yang harus ditempuh

oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Salah satu terhadap pembatalan

perda provinsi salah satu aturan yang mengatur pembatalan perda provinsi adalah

UU No. 32 Thn 2004 yang diatur pada Pasal 145 yang mengatur sebagai berikut :

(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan.

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.

(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)

hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan

pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah

rnencabut Perda dimaksud.

(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan

pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan

yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala

daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan

;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai

kekuatan hukum.

(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda

dimaksud dinyatakan berlaku.

Pengaturan lain pembatalan Perda Provinsi sebagaimana yang diatur

dalam UU No. 32 Thn 2004 yang menjabarkan kewenangan Mendagri untuk

membatalkan Perda Provinsi diantaranya :

Pasal 185

(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama

dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum

Page 107: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

107

ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan

kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh

Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas)

hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan

Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang

penjabaran APBD sudah sesuai dengan kepantingan umum dan

peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur

menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan

Gubernur.

(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan

Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang

penjabaran APBD bertentangan dengan kepentingan umum dan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersarna

DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung

sejak diterimanya hasil evaluasi.

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD,

dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan

rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi

Perda dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan

Perda dan Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan

berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.

Ketentuan Pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 memberi wewenang kepada

Menteri Dalam Negeri membatalkan Raperda Provinsi tentang APBD dan

Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBD yang bertentangaran dengan

kepentingan umum atau perataturan perundang-undangan yang lebih tinggi

setelah Gubernur tidak mengindahkan hasil evaluasi.

Pasal 186

(1) Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui

bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran

APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga)

hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota

paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan

Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bapati/Walikota

tentang Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang

APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran

APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan

Page 108: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

108

perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota menetapkan

rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota.

(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang

APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran

APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama

DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya hasil evaluasi.

(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan

DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda

tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang

penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan Bupati/Walikota,

Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota

dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun

sebelumnya.

(6) Gubernur menyampaikan hasil, evaluasi rancangan Perda

kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan

Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam

Negeri.

Ketentuan Pasal 186 UU No. 32 Thn 2004 memberi wewenang kepada

Gubernur untuk membatalkan Raperda Kabupaten/ Kota tentang APBD dan

Peraturan Bupati/ Walikota tentang Penjabaran APBD yang bertentangan dengan

kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi setelah

Bupati/ Walikota tidak mengindahkan hasil evaluasi.

Pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 menetapkan kewenangan pembatalan

perda ada pada Presiden dengan instrumen Perpresnya. Kemudian pada pasal 185

UU No. 32 Thn 2004 menyatakan Mendagri memiliki kewenangan untuk

membatalkan perda juga, tetapi kewenangan pembatalan yang dimiliki oleh

Mendagri di sini terbatas hanya pada perda APBD, pajak daerah dan retribusi

daerah, dan RTRW.

Berdasarkan ketentuan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 189 UU No. 32 Thn

2004, Peraturan Daerah tentang APBD, Tata Ruang Daerah, Pajak Daerah

Page 109: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

109

Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan bersama Kepala Daerah

dan DPRD, sebelum disahkan oleh Kepala Daerah, harus dimintakan evaluasi

terlebih dahulu kepada Mendagri untuk Perda Provinsi atau kepada Gubernur

untuk Perda Kabupaten/Kota. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada

ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 harus sudah disampaikan oleh Mendagri atau

Gubernur kepada Pemerintah Daerah paling lambat 15 (lima belas) hari sejak

diterimanya Perda.

Jika membedah UU No. 32 Thn 2004 sebagai dasar pembatalan perda

maka yang akan dapat ditemukan dalam UU No. 32 Thn 2004 ini adalah :

1. Mengatur mengenai pembatalan perda provinsi dengan instrumen

hukum pembatalannya adalah Peraturan Presiden terhadap seluruh

Perda baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota kecuali Perda

APBD, Perda pajak daerah dan retribusi daerah dan perda RTRW,

Provinsi maupun Kabupaten/Kota, sebagaimana yang diamanatkan

pada Pasal 145.

2. Mengatur mengenai pembatalan Raperda Provinsi terbatas pada

Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW dengan

melalui tahap evaluasi terlebih dahulu oleh Mendagri, sebagaimana

yang dimaksud pada Pasal 185, dengan instrumen hukumnya yakni

Peraturan Menteri Dalam Negeri.

3. Mengatur mengenai pembatalan Raperda Kabupaten/Kota terbatas pada

Raperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW dengan

Page 110: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

110

melalui tahap evaluasi terlebih dahulu oleh Gubernur sebagaimana yang

dimaksud pada Pasal 186.

3.4. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009

Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) (selanjutnya

disingkat UU PDRD). Mengatur khusus mengenai Pajak daerah dan Retribusi

Daerah yang jika kita lihat mengacu pada UU Pemda merupakan kewenangan

pembatalan yang ada pada Menteri Dalam Negeri. Sebagaimana yang di atur

dalam Pasal 185 bahwa Pajak daerah dan Retribusi daerah terlebih dahulu

melewati tahapan evaluasi baik Perda Pajak daerah dan Retribusi daerah Provinsi

maupun Perda Pajak daerah dan Retribusi daerah Kabupaten/Kota. Pengaturan

mengenai tahapan evaluasi Raperda hingga tahapan pembatalannya diatur pada

Pasal 157 dan Pasal 158.

Pasal 157

(1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi

yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi

sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan

Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak

tanggal persetujuan dimaksud.

(2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan

Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan

DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan disampaikan kepada

gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja

terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.

(3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji

kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-

Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-

undangan lain yang lebih tinggi.

(4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian

Page 111: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

111

Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini,

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang

lebih tinggi.

(5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi

dengan Menteri Keuangan.

(6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau

penolakan.

(7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh

Menteri Dalam Negeri kepada gubernur untuk Rancangan Peraturan

Daerah provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/walikota untuk

Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu

paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan

Peraturan Daerah dimaksud.

(8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

disampaikan dengan disertai alasan penolakan.

(9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung

ditetapkan.

(10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud

pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki

oleh gubernur, bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan,

untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri

dan Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi

dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan untuk Rancangan

Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Pasal 158

(1) Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota

disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan

paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

(2) Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, Menteri

Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

(3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan

kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan paling lambat 20 (duapuluh) hari kerja sejak tanggal

diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri

Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan

pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.

(5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam

Page 112: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

112

puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

(6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus

memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya

DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.

(7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan

pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan

perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung.

(8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan

sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai

kekuatan hukum.

(9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5),

Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.

Pengaturan pembatalan Perda pajak daerah dan retribusi daerah

sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 158 memang menjadi

kewenangan Menteri Dalam negeri jika mengacu pada Pasal 185 dan Pasal 186

UU Pemda meningat Pajak daerah dan Retribusi daerah merupakan bagian dari

perda yang harus melalui tahapan evaluasi dan klarifikasi.

Tahapan evaluasi itu menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri terhadap

Raperda yang disampaikan oleh Gubernur. Begitu pula halnya dengan Gubernur

yang melakukan evaluasi terhadap Raperda yang diajukan oleh Kabupaten/Kota,

berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah dengan berkoordinasi dengan

Menteri Keuangan. Apabila hasil evaluasi menunjukan pada Raperda yang

disampaikan oleh Gubernur untuk Raperda Provinsi dan Bupati/Walikota untuk

Raperda Kabupaten/Kota tidak terjadi permasalahan maka dapat diteruskan untuk

selanjutnya menjadi Perda. Akan tetapi ketika Raperda yang disampaikan oleh

Gubernur tersebut ditolak oleh Menteri Dalam Negeri dan Raperda yang

Page 113: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

113

disampaikan oleh Bupati/Walikota ditolak oleh Gubernur dengan alasan bahwa

Raperda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum, maka Gubernur dan

Bupati/Walikota harus menyempurnakan kembali Raperda tersebut.

Tahapan Klarifikasi itu menjadi kewenangan Presiden untuk membatalkan

Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota. Perda Provinsi dan Perda

Kabupaten tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan

proses klarifikasi. Hasil Klarifikasi Perda Pajak Daerah dan Retribusi daerah yang

dilakukan oleh Menteri Keuangan tersebut dapat berupa persetujuan terhadap

perda maupun penolakan terhadap Perda. Ketika hasil klarifikasi menunjukan

persetujuan maka Pemerintah Daerah dapat menentapkannya menjadi Perda,

tetapi jika hasil klarifikasi menunjukan penolakan maka Menteri Keuangan

merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya Menteri Dalam

Negeri mengajukan permohonan pembatalan Perda kepada Presiden untuk

membatalkan Perda yang dimaksud. Pada undang-undang ini juga memberikan

kesempatan kepada daerah untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah

Agung apabila tidak menerima keputusan Pembatalan Perda.

Jadi kewenangan pembatalan Perda yang terdapat pada UU PDRD ada

pada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden. Menteri Dalam Negeri

maupun Gubernur memiliki kewenangan pembatalan hanya pada tahapan evaluasi

yang bentuknya masih Raperda dan bukan Perda.Uuntuk Provinsi pembatalannya

ada pada Menteri Dalam Negeri dan Kabupaten/Kota pembatalannya menjadi

kewenangan Gubernur. Sementara Menteri Keuangan pada tahapan evaluasi dan

Page 114: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

114

klarifikasi hanya sebatas memberikan rekomendasi semata dan bukan

memberikan keputusan pembatalan.

Dengan diundangkannya UU No. 23 Thn 2014 maka ketentuan Pasal 157,

Pasal 158, dan Pasal 159 juga dinyatakan tidak berlaku dan embatalan mengenai

pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kewenangan dari Mendagri.

3.5. Pembatalan Perda Provinsi dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014

Diundangkannya UU No. 23 Thn 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

maka dengan itu UU No. 32 Thn 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak

berlaku kembali, oleh karenanya aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah

yang masih mengacu pada UU No. 32 Thn 2004 harus menyesuaikan kepada UU

No. 23 Thn 2014. Terdapat perbedaan dan persamaan pengaturan mengenai

pembatalan perda yang diatur pada masing-masing Undang-undang tersebut.

Pengaturan pembatalan perda pada UU No. 23 Thn 2014 dapat dilihat pada :

Pasal 245

(1) Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD,

APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,

pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat

evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur.

(2) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang

pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda

Provinsi tentang tata ruang daerah berkoordinasi dengan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang.

(3) Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD,

RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan

APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus

mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum

ditetapkan oleh bupati/wali kota.

(4) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam melakukan evaluasi

rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pajak daerah dan retribusi

daerah berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri

Page 115: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

115

berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan bidang keuangan, dan untuk evaluasi rancangan Perda

Kabupaten/Kota tentang tata ruang daerah berkonsultasi dengan

Menteri dan selanjutnya Menteri berkoordinasi dengan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang. Hasil

evaluasi rancangan Perda Provinsi dan rancangan Perda

Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)

jika disetujui diikuti dengan pemberian nomor register.

Pasal 245 ini menentukan bahwa Menteri Dalam Negeri memiliki

kewenangan dalam rangka mengevaluasi Ranperda Provinsi yang mengatur

tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah, yang

mana terdapat penambahan yakni berkaitan dengan RPJPD dan RPJMD yang

pada UU No. 32 Thn 2004 tidak diatur. Pada UU No. 32 Thn 2004 hanya

mengatur mengenai Ranperda APBD, PDRD, dan RTRW.

Pasal 250

(1) Perda atau Perkada sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 249 ayat

(1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan.

(2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) meliputi :

a. Terganggunya kerukunan antar warga masyarakat;

b. Terganggunya akses terhadap pelayanan publik;

c. Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum;

d. Terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat; dan/atau

e. Diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar

golongan, dan gender.

Pengaturan pada Pasal ini sama dengan apa yang diatur dalam Pasal 136

UU 32 Thn 2004 yakni mengatur alasan pembatalan Perdayang hanya terdapat

penambahan pada bertentangan dengan kesusilaan semata.

Page 116: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

116

Pasal 251

(1) Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.

(2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang

lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak

membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali

kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda

Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.

(4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan

pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

(5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan

pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah

mencabut Perda dimaksud.

(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana

dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus menghentikan

pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada

dimaksud.

(7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak dapat

menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur tidak

dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat

dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur

dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat

belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur

diterima.

(8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak

dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan

bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan

peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan

perundang-undangan, bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan

kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan

pembatalan Perda Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota

diterima.

Page 117: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

117

Pasal ini dengan tegas menjabarkan kewenangan Menteri Dalam Negeri

yang berkaitan dengan pembatalan perda provinsi serta perda kabupaten/kota

apabila Gubernur yang memiliki kewenangan untuk membatalkan perda tersebut

tidak melakukan pembatalan. Mendagri juga memiliki kewenangan untuk

menerima keberatan penyelenggara Kabupaten/Kota terhadap pembatalan Perda

yang dilakukan oleh Gubernur, kewenangan Mendagri ini sangatlah lebih besar

jika dibandingkan saat pengaturanya pada UU No. 32 Thn 2004.

Mengingat sebelumnya pembatalah Perda dalam kaitannya pengawasan

secara represif yang sebelumnya pada UU 32 Thn 2004 Pasal 145 merupakan

kewenangan Presiden kini dengan adanya UU 23 Thn 2014 kewenangan

pembatalan Perda semua beralih menjadi kewenangan Mendagri sehingga

pembatalan perda bukan lagi menjadi kewenangan Presiden. Proses Ranperda

hingga pada tahap Perda mekanisme pembatalannya semua dilakukan oleh

mendagri terhadap seluruh perda tanpa terkecuali sebagaimana yang diatur pada

Pasal 251 UU 23 Thn 2014 tersebut.

Pasal 267

(1) Rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD dan RPJMD yang telah

disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi sebelum

ditetapkan oleh gubernur paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak

persetujuan bersama disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi.

(2) Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang RPJPD dan RPJMD yang

telah disetujui bersama oleh bupati/wali kota dan DPRD

Kabupaten/Kota sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota paling lama

3 (tiga) Hari terhitung sejak persetujuan bersama disampaikan kepada

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk dievaluasi.

Pasal 268

(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD yang

dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat

(1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan RPJPN dan

Page 118: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

118

rencana tata ruang wilayah provinsi, kepentingan umum dan/atau

ketentutan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri

kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari sejak Rancangan

Perda diterima.

(3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi

tentang RPJPD tidak sesuai dengan RPJPN dan rencana tata ruang

wilayah provinsi, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan

penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil evaluasi

diterima.

(4) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan DPRD

serta gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang RPJPD

menjadi Perda, Menteri membatalkan Perda dimaksud.

Pasal 269

(1) Evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD yang

dilakukan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267 ayat

(1) dilaksanakan untuk menguji kesesuaian dengan RPJPD Provinsi

dan RPJMN, kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

(2) Hasil evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi tentang RPJMD

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri kepada

Gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari sejak rancangan Perda

dimaksud diterima.

(3) Apabila Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda Provinsi

tentang RPJMD tidak sesuai dengan RPJPD provinsi dan RPJMN,

kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi, gubernur bersama DPRD melakukan

penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari sejak hasil evaluasi

diterima.

(4) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan

DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang

RPJMD menjadi Perda, Menteri membatalkan Perda dimaksud.

Pembatalan terhadap Ranperda RPJPD dan RPJMD Provinsi merupakan

kewenangan baru yang dimiliki Mendagri karena sebelumnya pada UU No. 32

Thn 2004 pengaturan pembatalan Ranperda ini tidak pernah ada.

Pasal 314

(1) Rancangan Perda Provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama

dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum

ditetapkan oleh gubernur, paling lama 3 (tiga) Hari, disampaikan

Page 119: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

119

kepada Menteri untuk dievaluasi, dilampiri RKPD, serta KUA dan

PPAS yang disepakati antara kepala daerah dan DPRD.

(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi

tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran

APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk

menguji kesesuaian rancangan Perda Provinsi tentang APBD dan

rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD dengan:

f. ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

g. kepentingan umum;

h. RKPD serta KUA dan PPAS; dan

i. RPJMD.

(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh

Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung

sejak rancangan Perda Provinsi dan rancangan peraturan gubernur

dimaksud diterima.

(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang

penjabaran APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan

PPAS, serta RPJMD, gubernur menetapkan rancangan dimaksud

menjadi Perda dan peraturan gubernur.

(6) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

Provinsi tentang APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang

penjabaran APBD tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, RKPD, KUA dan

PPAS, serta RPJMD, gubernur bersama DPRD melakukan

penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil

evaluasi diterima.

(7) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan

DPRD dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang

APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD

menjadi Perda dan peraturan gubernur, Menteri membatalkan seluruh

atau sebagian isi Perda dan peraturan gubernur dimaksud.

(8) Dalam hal pembatalan dilakukan terhadap seluruh isi Perda Provinsi

tentang APBD dan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD

sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberlakukan pagu APBD tahun

sebelumnya.

Hal ini merupakan kewenangan Mendagri dalam melakukan evaluasi

terhadap APBD yang diajukan oleh Gubernur, seperti halnya yang terdapat pada

UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) pada saat evaluasi dilakukan oleh

Mendagri pembatalannya sifatnya masih preventif.

Page 120: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

120

Pasal 324

(1) Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah

yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh gubernur paling

lama 3 (tiga) Hari disampaikan kepada Menteri untuk dievaluasi.

(2) Menteri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Provinsi

tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) untuk menguji kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh

Menteri kepada gubernur paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung

sejak rancangan Perda Provinsi dimaksud diterima.

(4) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau

kepentingan umum, gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi

dimaksud menjadi Perda Provinsi.

(5) Dalam hal Menteri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan/atau

kepentingan umum, gubernur bersama DPRD melakukan

penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak hasil

evaluasi diterima.

(6) Dalam hal hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur dan

DPRD, dan gubernur menetapkan rancangan Perda Provinsi tentang

pajak daerah dan retribusi daerah menjadi Perda, Menteri

membatalkan seluruh atau sebagian isi Perda Provinsi dimaksud.

(7) Menteri dalam melakukan evaluasi rancangan Perda Provinsi tentang

pajak daerah dan retribusi daerah berkoordinasi dengan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan.

Merupakan kewenangan Mendagri untuk membatalkan pada proses

evaluasi yang bentuknya masih pengawasan secara preventif seperti halnya

pengaturan yang terdapat pada UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) jo Pasal

189.

UU No. 23 Thn 2014 memiliki berbagai perbedaan dan persamaan

berkaitan materi yang diatur khususnya mengenai Pembatalan Perda. Persamaan

dari pengaturan pembatalan perda ini dapat dilihat pada kewenangan yang

dimiliki oleh Mendagri yakni Mendagri memiliki kewenangan pembatalan

Page 121: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

121

terhadap Ranperda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta rencana tata

ruang yang diatur pula dalam UU No. 32 Thn 2004 Pasal 185 ayat (4) jo Pasal

189.

Perbedaan yang signifikan terjadi ketika melihat kewenangan Mendagri

yakni adanya penambahan pembatalan yang masih bentuknya Ranperda pada

Ranperda RPJPD dan RPJMD serta mengenai kewenangan yang dimiliki Presiden

dalam Pembatalan Perda. Sebelumnya dalam UU No. 32 Thn 2004 Presiden

membatalkan seluruh Perda tanpa terkecuali pada UU No. 23 Thn 2004 ini

kewenangan tersebut dilimpahkan kepada Mendagri sehingga mendagrilah yang

memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda. Presiden hanya memiliki

kewenangan terhadap keberatan yang diajukan pemerintah daerah terhadap

pembatalan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Selain itu Mendagri juga

berwenangan untuk membatalkan perda apabila Gubernur tidak melakukan

pembatalan terhadap Perda yang diajukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota serta

menerima keberatan yang diajukan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap

pembatalan perda yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

3.6. Pembatalan Perda Provinsi dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun

2005

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 145, Pasal 185, dan Pasal 186 UU No. 32

Thn 2004 dibentuklah PP 79 tahun 2005. PP ini mengatur mengenai pejabat yang

memiliki kewenangan pembatalan Perda, bentuk hukum pembatalan perda dan

produk hukum daerah yang dibatalkan. Lebih lanjut pengaturan mengenai

pembatalan Perda dapat dijumpai pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 42.

Page 122: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

122

Pasal 37

(1) Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada

Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan.

(2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan

Peraturan Kepala Daerah.

(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Menteri.

(4) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan

Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri.

(5) Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan

dengan Peraturan Menteri.

Pasal 38

(1) Peraturan Presiden tentang pernbatalan Peraturan Daerah ditetapkan

paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Daerah diterima

oleh Pemerintah.

(2) Peraturan Menteri tentang pembatalan Peraturan Kepala Daerah

ditetapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Peraturan

Kepala Daerah diterima oleh Menteri.

Pasal 39

(1) Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah, Peraturan, Kepala Daerah tentang penjabaran

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi dan

rencana tata ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah

disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

(2) Menteri melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi dan

rancangan peraturan Gubernur tentang anggaran pendapatan dan

belanja daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah.

(3) Gubernur melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah

kabupaten/kota dan rancangan peraturan. Bupati/Walikota tentang

anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, retribusi

daerah dan tata ruang daerah.

(4) Evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala

daerah sebagaimana diatur pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling

lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan

dimaksud.

Pasal 40

(1) Gubernur dan Bupati/Walikota menindaklanjuti hasil evaluasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) paling

lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterima.

Page 123: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

123

(2) Apabila Gubernur tidak menindaklanjuti sebagaimana pada ayat (1)

dan tetap menetapkan, menjadi peraturan daerah dan/atau peraturan

kepala daerah, Menteri dapat membatalkan peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan Menteri.

(3) Apabila Bupati/Walikota tidak menindaklanjuti sebagaimana pada

ayat (1) dan tetap menetapkan menjadi peraturan daerah dan/atau

peraturan, kepala daerah, Gubernur dapat membatalkan peraturan

daerah dan peraturan kepala daerah tersebut dengan peraturan

Gubernur.

Pasal 41

(1) Apabila Gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan

peraturan daerah dan peraturan-kepala daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 39 dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan

perundang-undangan, Gubernur dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak

diterimanya pembatalan.

(2) Apabila Bupati/Walikota tidak dapat menerima.keputusan pembatalan

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 40, dengan alasan yang dibenarkan oleh peraturan

perundang-undangan, Bupati/ Walikota dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung paling lambat 15 (lima belas) hari kerja

sejak diterimanya pembatalan.

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan peraturan daerah dan

peraturan kepala daerah serta evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan

peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 39

diatur dengan Peraturan Menteri.

Pengaturan dalam PP ini mulai membedakan pengawasan perda APBD,

Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang dengan perda di luar empat jenis

perda tersebut. Pembedaan pengawasan perda ini juga berimplikasi pada

kewenangan pejabat yang membatalkan. Pengawasan dan pembatalan perda

APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang dilakukan secara berjenjang

oleh Gubernur untuk perda kabupaten/kota dan oleh Mendagri untuk perda

provinsi.

Page 124: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

124

Gubernur dapat membatalkan Raperda Kabupaten/Kota terhadap Raperda

APBD, Pajak daerah dan Retribusi Daerah dan RTRW saat berada pada tahapan

evaluasi dan apabila sudah berada pada tahapan klarifikasi jika dirasakan Perda

yang diajakan oleh Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum Gubernur

membatalakan Perda tersebut dengan Peraturan Gubernur. Sedangkan Mendagri

dapat membatalkan Raperda Provinsi yang diajukan oleh Gubernur untuk Raperda

APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah dan RTRW setelah melalui tahapan

evaluasi dan membatalakan Perda Provinsi berkaitan dengan APBD, Pajak Daerah

dan Retribusi daerah dan RTRW setelah melalui tahapan Klarifikasi melalui

Peraturan Menteri.

Sementara untuk perda selain perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi

daerah dan RTRW tersebut tidak melalui tahapan evaluasi dan Klarifikasi

melainkan langsung dapat dibatalkan setelah dinilai oleh Mendagri selaku yang

mengawasi daerah menilai bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan

umum pembatalannya dilakukan melalui Peraturan Presiden berdasarkan usulan

Mendagri. Ketentuan lebih lanjut dan lebih rinci terkait dengan pengawasan atau

pembatalan perda diatur dalam Permendagri 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan

Produk Hukum Daerah.

Page 125: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

125

3.7. Pembatalan Perda Provinsi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.

1 Tahun 2014

Pembentukan Permendagri ini merupakan penjabaran dari UU No. 32 Thn

2004 dan PP Nomor 79 Tahun 2005. Permendagri 1 Tahun 2014 mengatur

sebagai berikut:

1. Istilah pengawasan represif yang telah lazim disebutkan sebagai

pengawasan setelah sahnya peraturan diganti dengan istilah klarifikasi.

2. Wewenang melaksanakan klarifikasi terhadap Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/ Wlikota yang sebelumnya

menurut PP No.79 Tahun 2005 merupakan wewenang Mendagri,

dilimpahkan kepada Gubernur (Pasal 3).

Pelimpahan wewenang ini bertentangan dengan asas “delegatus non potest

delegare” yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang yang menerima

kekuasaan secara delegasi tidak boleh mendelegasikan kembali kekuasaan

tersebut kepada pihak lain (bertentangan dengan asas kepercayaan).

Permendagri mengatur dua model pengawasan yaitu klarifikasi untuk

perda dan evaluasi untuk ranperda. Evaluasi dilakukan untuk empat jenis perda.

Ketentuan yang mengatur tentang pengawasan berjenjang dan pejabat yang

membatalkan perda APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang tidak

banyak berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah.

Namun untuk pengawasan perda di luar empat jenis perda, Permendagri

melakukan pengaturan lebih rinci terkait dengan mekanisme pengawasan dan

pejabat yang berwenang membatalkan.

Page 126: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

126

Tahapan evaluasi Raperda Provinsi dan Raperda Kabupaten/Kota

mengenai APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan RTRW diatur pada Pasal

76 sampai dengan pasal 85.

Pasal 76

(1) Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi tentang APBD,

perubahan APBD, pertanggungjawaban APBD, pajak daerah, retribusi

daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan persetujuan

bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan gubernur

tentang penjabaran APBD, penjabaran perubahan APBD dan

penjabaran pertanggungjawaban APBD kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Direktur Jenderal Keuangan Daerah untuk mendapatkan

evaluasi.

(2) Gubernur menyampaikan Rancangan Perda provinsi tentang tata

ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapatkan

persetujuan bersama dengan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Direktur Jenderal Pembangunan Daerah untuk mendapatkan

evaluasi.

Pasal 77

(1) Menteri Dalam Negeri membentuk tim evaluasi Rancangan Perda.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan rancangan

perda tentang retribusi daerah;

b. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang tata ruang daerah; dan

c. Tim evaluasi Rancangan Perda tentang APBD, Perubahan APBD

dan Pertanggungjawaban APBD.

(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh

Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri.

(4) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Pembangunan Daerah atas nama Menteri Dalam

Negeri.

(5) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh

Direktur Jenderal Keuangan Daerah atas nama Menteri Dalam Negeri.

(6) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) keanggotaannya terdiri atas

komponen lingkup Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian

terkait sesuai kebutuhan.

Page 127: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

127

Pasal 78

(1) Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) melakukan

evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah

berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

(2) Tim evaluasi sebagaimana dalam Pasal 77 ayat (4) berkoordinasi

dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.

(3) Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

dijadikan sebagai bahan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 79

(1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 melaporkan hasil

evaluasi Rancangan Perda provinsi kepada Menteri Dalam Negeri.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam

berita acara sebagai bahan keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 80

(1) Menteri Dalam Negeri menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda

provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) kepada

gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak

diterimanya rancangan dimaksud.

(2) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil

evaluasi.

(3) Apabila gubernur tidak menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi Perda dan/atau

peraturan gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan

peraturan gubernur dengan Peraturan Menteri.

Berdasarkan pengaturan pada Pasal 76 sampai dengan Pasal 80 merupakan

pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda Provinsi berkaitan dengan APBD,

Pajak daerah dan Retribusi daerah yang dievaluasi oleh Mendagri dengan

berkoordinasi dengan Menteri keuangan dan Perda RTRW oleh Menteri Dalam

Negeri dengan berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang.

Apabila hasil evaluasi menunjukan penolakan terhadap raperda yang diajukan

oleh Gubernur Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan

Gubernur dengan Peraturan Menteri.

Page 128: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

128

Pasal 81

Bupati/walikota menyampaikan Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD,

perubahan APBD, dan pertanggungjawaban APBD,dan pajak daerah, retribusi

daerah serta tata ruang daerah paling lama 3 (tiga) hari setelah mendapat

persetujuan bersama dengan DPRD termasuk rancangan peraturan bupati/walikota

tentang penjabaran APBD/penjabaran perubahan APBD kepada gubernur untuk

mendapatkan evaluasi.

Pasal 82

(1) Gubernur membentuk tim evaluasi untuk melakukan evaluasi terhadap

Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal

81, yang keanggotaannya terdiri atas SKPD sesuai kebutuhan.

(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

Keputusan Gubernur.

Pasal 83

(1) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 melaporkan hasil

evaluasi Rancangan Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 81 kepada gubernur.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam

berita acara untuk dijadikan bahan keputusan gubernur.

Pasal 84

(1) Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Perda tentang pajak daerah

dan retribusi daerah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri

Keuangan dan tentang tata ruang daerah dengan Menteri yang

membidangi urusan tata ruang.

(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan bahan

Keputusan Gubernur.

Pasal 85

(1) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi Rancangan Perda

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2)

kepada bupati/walikota paling lambat 15 (lima belas) hari kerja

terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.

(2) Bupati/walikota menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

diterimanya hasil evaluasi.

(3) Apabila bupati/walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tetap menetapkan menjadi

Perda atau peraturan bupati/walikota, gubernur membatalkan Perda

dan/atau peraturan bupati/walikota dengan peraturan gubernur.

Page 129: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

129

Berdasarkan pengaturan pada Pasal 81 sampai dengan Pasal 85 merupakan

pengaturan mengenai tahapan evaluasi Raperda Kabupaten/Kota berkaitan dengan

APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah yang dievaluasi oleh Gubernur dengan

berkoordinasi dengan Menteri keuangan dan Perda RTRW oleh Gubernur dengan

berkoordinasi dengan Menteri yang membidangi urusan tata ruang. Apabila hasil

evaluasi menunjukan penolakan terhadap raperda yang diajukan oleh

Bupati/Walikota Gubernur membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota

dengan Peraturan Gubernur.

Tahapan Klarifikasi atas hasil evaluasi Raperda Provinsi dan atau

Kabupaten/Kota mengenai APBD Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan RTRW

diatur pada Pasal 86 sampai dengan Pasal 87

Pasal 86

(1) Gubernur menyampaikan Perda tentang pajak daerah, Perda tentang

retribusi daerah, Perda tata ruang daerah, Perda tentang APBD, Perda

tentang Perubahan APBD dan Perda tentang Pertanggungjawaban

APBD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diundangkan kepada

Menteri Dalam Negeri.

(2) Klarifikasi terhadap Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh tim evaluasi.

(3) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila

tidak sesuai dengan hasil evaluasi maka Perda dimaksud dibatalkan

oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 87

(1) Pembatalan Perda tentang Perda tentang pajak daerah, Perda tentang

retribusi daerah, Perda tata ruang daerah, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 86 ayat (3) paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterimanya

pembatalan harus dihentikan pelaksanaannya.

(2) Pembatalan Perda tentang APBD, perubahan APBD dan

pertanggungjawaban APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86

ayat (3) sekaligus dinyatakan berlaku pagu APBD tahun anggaran

sebelumnya/APBD tahun anggaran berjalan.

Page 130: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

130

Klarifikasi yang dimaksud pada Pasal 86 dan Pasal 87 merupakan

klarifikasi atas hasil evaluasi sebelumnya berkaitan dengan Raperda Provinsi

maupun Kabupaten/Kota yang sebelumnya telah mendapatkan penolakan oleh

Mendagri terhadap Raperda Provinsi dan penolakan oleh Gubernur terhadap

Raperda Kabupaten/Kota.

Tahapan Klarifikasi berikutnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 88

sampai dengan Pasal 98 merupakan bentuk pengawasan represif oleh pemerintah

pusat berkaitan dengan pembentukan produk hukum daerah Provinsi maupun

Kabupaten/Kota berkaitan dengan APBD, pajak daerah dan retribusi daerah dan

RTRW.

Pasal 88

(1) Gubernur menyampaikan Perda provinsi dan peraturan gubernur

kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal paling lama

7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.

(2) Bupati/walikota menyampaikan Perda kabupaten/kota dan peraturan

bupati/walikota kepada gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Sekretaris Jenderal paling lama 7 (tujuh) hari setelah

ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.

Pasal 89

(1) Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri membentuk tim

klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas komponen lingkup

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian terkait sesuai kebutuhan.

(2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 90

(1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 melakukan

klarifikasi Perda dan Perkada.

(2) Hasil klarifikasi Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa:

a. hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan yang lebih tinggi; dan

b. hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan yang lebih tinggi.

Page 131: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

131

(3) Hasil klarifikasi Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan

perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan pembatalan oleh

Menteri Dalam Negeri.

(4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan

Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 91

(1) Sekretaris Jenderal atas nama Menteri Dalam Negeri menerbitkan

surat kepada kepala daerah yang berisi pernyataan telah sesuai

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a.

(2) Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat hasil klarifikasi kepada

kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b

yang berisi rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan

penyempurnaan Perda dan/atau melakukan pencabutan Perda.

(3) Tindak lanjut terhadap penyempurnaan dan/atau pencabutan Perda,

Perkada dan Peraturan DPRD dalam bentuk perubahan Peraturan

daerah, perubahan Perkada dan perubahan Peraturan DPRD dengan

mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan hasil klarifikasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Dalam Negeri

mengusulkan kepada Presiden untuk pembatalan.

Pengaturan Klarifikasi sebagai bentuk pengawasan represif pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah untuk Provinsi untuk Perda APBD, pajak daerah

dan retribusi daerah dan RTRW hasil klarifikasi dapat berbentuk persetujuan

bahwa Perda Provinsi dinyatakan tidak bertentangan dengan kepentingan umum

dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau perda provinsi tersebut

dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi yang selanjutnya Mendagri membatalkan Perda

Provinsi tersebut dengan Peraturan Mendagri dan meminta daerah untuk

melakukan penyempurnaan dan/atau mencabut perda yang telah dibatalkan

tersebut. Akan tetapi jika pemerintah daerah tidak mengindahkan hasil klarifikasi

Page 132: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

132

dan tetap menetapkannya menjadi Perda maka Mendagri akan meminta kepada

Presiden untuk membatalkan Perda tersebut.

Pasal 92

(1) Gubernur membentuk tim klarifikasi yang keanggotaannya terdiri atas

SKPD sesuai kebutuhan.

(2) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 93

(1) Tim klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 melakukan

klarifikasi Perda kabupaten/kota dan Peraturan bupati/walikota.

(2) Hasil klarifikasi Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dapat berupa:

a. hasil klarifikasi yang sudah sesuai dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan yang lebih tinggi; dan

b. hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan yang lebih tinggi.

(3) Hasil klarifikasi peraturan bupati/walikota sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda

dan peraturan perundangan yang lebih tinggi untuk dijadikan bahan

usulan gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk pembatalan.

Pasal 94

(1) Sekretaris Daerah provinsi atas nama gubernur menerbitkan surat

kepada bupati/walikota yang berisi pernyataan telah sesuai

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a.

(2) Gubernur menerbitkan surat kepada bupati/walikota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b yang berisi rekomendasi

agar pemerintah daerah melakukan penyempurnaan Perda dan/atau

melakukan pencabutan Perda.

(3) Tindak lanjut terhadap penyempurnaan dan/atau pencabutan Perda,

Perkada dan Peraturan DPRD dalam bentuk perubahan peraturan

daerah, perubahan Perkada dan perubahan Peraturan DPRD dengan

mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak melaksanakan

hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Gubernur

melalui Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk

pembatalan.

(5) Apabila Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari tidak

mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda

Page 133: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

133

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perda dimaksud dinyatakan

berlaku.

Pasal 95

(1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dan ayat

(3) terhadap sebagian atau seluruh materi Perda kabupaten/kota

ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

(2) Sebagian materi Perda kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) berupa pasal dan/atau ayat.

Pasal 96

(1) Pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 disertai dengan

alasan.

(2) Alasan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan

menunjukkan pasal dan/atau ayat yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi.

(3) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan paling

lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda kabupaten/kota.

Pasal 97

Paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya peraturan pembatalan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3), kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan

Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.

Pengaturan Klarifikasi sebagai bentuk pengawasan represif pemerintah

pusat kepada pemerintah daerah untuk Kabupaten/Kota untuk Perda APBD, pajak

daerah dan retribusi daerah dan RTRW hasil klarifikasi dapat berbentuk

persetujuan bahwa Perda Kabupaten/Kota dinyatakan tidak bertentangan dengan

kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

perda Kabupaten/Kota tersebut dinyatakan bertentangan dengan kepentingan

umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hal ini dijadikan

dasar pertimbangan Gubernur sebagai usulan kepada Menteri Dalam Negeri untuk

pembatalan Perda Kabupaten/Kota tersebut dan meminta daerah untuk melakukan

penyempurnaan dan/atau mencabut perda yang telah dibatalkan tersebut. Akan

tetapi jika pemerintah Kabupaten/Kota tidak mengindahkan hasil klarifikasi dan

Page 134: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

134

tetap menetapkannya menjadi Perda maka Gubernur melalui Menteri dalam

Negeri akan meminta kepada Presiden untuk membatalkan Perda tersebut.

Pasal 98

(1) Dalam hal pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota tidak dapat

menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 97, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah

Agung.

(2) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan

sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung menyatakan

Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Upaya untuk memperoleh keadilan tidak berhenti hanya pada kewenangan

pengawasan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah lewat

pengawasan preventif dan pengawasan represif semata. Pemerintah daerah

Provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota masih dapat melalukukan

permohonan kepada Mahkamah Agung untuk mengajukan keberatan atas

pembatalan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Permohonan keberatan ini

bukan lagi berada pada ranah ecsecutive review tetapi sudah berada pada ranah

judicial review yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan. Nantinya Mahkamah

Agung-lah yang menentukan apakah mengabulkan keberatan dari pemerintah

daerah atau menolak keberatan yang disampaikan oleh pemerintah daerah.

Page 135: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

135

BAB IV

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERATURAN DAERAH PROVINSI

4.1. Bentuk Hukum Pembatalan Peraturan Daerah Provinsi

Pelaksanaan otonomi dengan konsep desentralisasi di Indonesia

berhubungan dengan konsep pembagian urusan yang menjadi kewenangan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, karena dalam pelaksanaan

desentralisasi senantiasa terdapat dua komponen yang sangat penting yaitu

pembentukan daerah otonomi dan penyerahan kewenangan secara yuridis dari

pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus

bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan.

Kewenangan dalam arti yuridis yang diberikan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.126

Dalam

konsep hukum publik wewenang merupakan suatu konsep inti dalam hukum tata

negara dan hukum administrasi.127

Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan atau

wewenang berkaitan dengan kekuasaan formal/legal, yaitu kekuasaan yang

bersumber dari ketentuan-ketentuan hukum kewenangan selalu berkenaan dengan

tindak hukum publik. Seperti yang kita ketahui atribusi delegasi dan mandat

merupakan sumber kewenangan yang penting dalam negara demokrasi yang salah

satu asasnya menekankan tindak pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Asas

126

Indrohato, 1991, Usaha Memahami Undang-UndangTentang Peradilan tata Usaha

Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68.

127

Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid)

dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI, h. 90. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon IV).

Page 136: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

136

demikian lazimnya disebut asas legalitas atau Rechtmatigheid van bestuur.128

Tindak pemerintahaan harus didasarkan pada wewenang. Karena wewenang

menjadi dasar keabsahan atas tindak pemerintahan. Wewenang yang diperoleh

dari peraturan perundang-undangan merupakan legalitas formal, artinya yang

memberi legitimasi terhadap tindak pemerintahan. Maka dikatakan bahwa

substansi dari peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan prinsip

negara hukum meletakan undang-undang sebagai sumber kewenangan.129

Berpijak pada hukum administrasi, dasar-dasar wewenangan pemerintahan ini

lazimnya diperoleh dari hukum positif, yakni peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Ketentuan tersebut yakni UU PPPU yang mengatur mengenai tata urutan

peraturan perundang-undangan dapat dijadikan dasar wewenang pemerintahan.

Tindak pemerintahan (bestuurschandeling) adalah tindakan atau perbuatan

yang dilakukan oleh administrasi negara dalam melaksanakan tugas

pemerintahan.130

Tindak pemerintahan pada dasarnya dapat dibagi atas dua

macam, yaitu tindak pemerintahan berdasarkan atas fakta (vetelijkehendeling) dan

tindak berdasar atas hukum (rechtshandeling).131

Tindakan nyata adalah tindakan-

tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak

menimbulkan akibat-akibat hukum.132

128

SF. Marburn, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 158. (Selanjutnya disebut SF. Marburn II).

129

Sadjijono, op.cit, h.49.

130

Philipus M. Hadjon II, op.cit, h.1

131

I. G. N. Wairocana, 2006, Tindak Pemerintahan (Suatu Orientasi Singkat, Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 7. (Selanjutnya disebut Wairocana II).

132

Ridwan HR. II, op.cit, h. 113

Page 137: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

137

Tindakan hukum merupakan suatu tindakan yang dimaksudkan untuk

menciptakan hak dan kewajiban.133

Tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum

adalah tindakan-tindakan yang mempunyai pengaruh hukum secara langsung, atau

tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum secara

langsung.134

Tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum dapat digolongkan

menjadi dua yaitu tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum privat dan tindak

pemerintahan berdasarkan hukum publik. Tindak pemerintahan berdasarkan atas

hukum publik dapat dibedakan menjadi tiga bagian yakni beschiking

(mengeluarkan keputusan), regeling (mengeluarkan peraturan), dan materiele

daad (melakukan perbuatan materil).135

Tindakan pemerintahan berdasarkan hukum publik berupa beschiking atau

mengeluarkan keputusan dapat dibedakan atas tindakan sepihak (eenzijdig) dan

berbagai pihak (meerzijdig).136

Tindakan hukum sepihak dibagi lagi menjadi dua

yaitu pertama interne beschiking, yaitu keputusan yang dibuat untuk

menyelenggarakan hubungan-hubungan dalam lingkungan alat negara yang

membuatnya, dan kedua (externe beschiking) yaitu keputusan yang dibuat untuk

menyelenggarakan hubungan-hubungan antara dua atau lebih alat-alat negara.

Keputusan Tata Usaha Negara merupakan contoh dari tindak hukum sepihak yang

merupakan externe beschiking.137

133

Ibid

134

I. G. N. Wairocana, loc.cit.

135

Lutfi Efendi, 2003, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia Publishing,

Malang, h. 42-43.

136

Philipus M.Hadjon IV, op.cit, h. 3

Page 138: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

138

Perda dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan kepentingan dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan suatu adagium “lex

superiori derogate legi inferiori”, yang artinya peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi dapat membatalkan peraturan yang lebih rendah (hukum yang

tingkatannya lebih tinggi dapat membatalkan hukum yang tingkatannya lebih

rendah). Hal ini sejalan dengan konsep dan pemikiran Hans Kelsen dengan

stufenbou therorie, yang menyatakan bahwa hukum suatu negara itu berjenjang

dan berlapis-lapis sehingga norma hukum yang lebih rendah tidak dapat

bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi dan norma hukum yang

lebih rendah tersebut merupakan penjabaran dari norma hukum yang lebih tinggi

tingkatannya. Sehingga apabila perda bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi maka dapat dibatalkan, tentunya dengan mekanisme

dan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Jika menganalisis berkaitan dengan pengaturan pembatalan perda seperti

yang sudah dibicarakan sebelumnya ada beberapa instrumen hukum yang

dijadikan untuk membatalkan perda diantaranya :

4.1.1. Peraturan Presiden

Dalam kaitannya dengan pembatalan Perda kewenangan yang akan

digunakan teori wewenang atribusi dan delegasi dalam menentukan kewenangan

Presiden dan Mendagri dalam membatalkan Perda. Atribusi adalah wewenang

untuk membuat keputusan yang langsung bersumber kepada Undang-undang

dalam arti materiil. Sehingga kewenangan yang diperoleh oleh suatu institusi

137

Ibid

Page 139: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

139

pemerintah merupakan kewenangan asli. Atribusi sendiri merupakan wewenang

pembentukan peraturan perundang-undangan yang memuat unsur :

a. Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-

undangan

b. Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUUD NRI Tahun 1945

atau pembentuk Undang-undang kepada suatu lembaga.

c. Lembaga yang menerima wewenang tersebut bertanggung jawab atas

pelaksaan wewenang tersebut.

Atribusi dimaksudkan hanya dapat dilakukan oleh pembentuk peraturan

perundang-undangan orisinil ialah pembentuk Undang-Undang Dasar, Dewan

perwakilan (pembentuk Undang-undang dalam arti formal) bersama-sama dengan

Presiden. Pembentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan terdiri

dari menteri-menteri, organ-organ pemerintahan yang dilakukan secara bersama-

sama. Maka yang dapat disebut sebagai pembentuk Peraturan perundang-

undangan orisinil adalah :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) karena berwenang

menetapkan Undang-Undang Dasar.

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden, karena

membentuk Undang-Undang.

3. Presiden, karena berwenang membentuk Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang (Perpu) .

Sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan adalah :

Page 140: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

140

a. Presiden yang berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden.

b. Menteri Negera atau yang setingkat yang berwenang membentuk

menetapkan Peraturan Menteri dan Keputusan menteri.

c. Pemerintah Daerah (Kepala Daerah bersama dengan Dewan

Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) yang berwenang menetapkan

Peraturan Daerah).

d. Kepala daerah yang berwenang menetapkan Peraturan Kepala Daerah

dan Keputusan Kepala Daerah.

Tentunya dengan konsekwensi bahwa para pejabat di atas yang berwenang

melakukan atribusi di Indonesia. Dalam atribusi pembentuk wewenang dan

distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945.

Pembentuk wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan

oleh peraturan perundang-undangan.

Peraturan Presiden sebagai salah satu instrumen yang dapat membatalkan

perda, hal ini dapat ditemukan dalam UU No. 32 Thn 2004 yang mengatur dengan

jelas kewenangan Presiden untuk membatalkan perda yakni pada Pasal 145 ayat

(2) mengatur tentang kewenangan pemerintah untuk membatalkan perda apabila

perda bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjuk pada struktur tapi tidak

menyebutkan secara jelas pejabat yang berwenang untuk membatalkan perda.

Pada ketentuan berikutnya, Pasal 145 ayat (3) mengatur bahwa pembatalan perda

dilakukan melalui peraturan Presiden.

Page 141: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

141

Menurut ketentuan umum Pasal 1 angka 6 UU PPPU ditetapkan bahwa

yang dimaksud dengan Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan

yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan

Pemerintahan. Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang

dibuat dan ditetapkan oleh Presiden. Itu berarti Peraturan Presiden dalam

ketentuan Pasal 145 ayat (3) UU No. 32 Thn 2004 adalah peraturan perundang-

undangan yang dibuat dan ditetapkan oleh Presiden untuk membatalkan Peraturan

Daerah. Hal ini menunjukan bahwa kewenangan membuat Peraturan Presiden

merupakan konsekwensi dari jabatan sebagai Presiden, yang tidak menjabat

sebagai Presiden tidak berwenang membuat Peraturan Presiden.

Sebagaimana dikatakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa dari jabatan lahir

wewenang organ administrasi negara untuk melakukan tindakan Pemerintahan,

seseorang yang tidak memangku suatu jabatan tidak dapat melakukan suatu

tindakan Pemerintahan dan kalau dilakukan tindakan tersebut sama sekali tidak

membawa akibat hukum.138

Untuk itu, pembentukan Peraturan Presiden untuk

membatalkan Peraturan Daerah merupakan wewenang atributif yang melekat pada

jabatan Presiden. Dari aspek sinkronisasi materi muatan peraturan perundang-

undangan maka dilakukan penafsiran gramatikal terhadap kata Pemerintah dalam

ketentuan Pasal 145 ayat (2) dengan mengunakan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku guna memperjelas kewenangan organ administrasi negara

yang berwenang melakukan pembatalan Peraturan Daerah. Dalam ketentuan Pasal

138

Philipus M. Hadjon IV, op.cit, h. 10

Page 142: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

142

1 angka 1 UU No. 32 Thn 2004 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan

Pemerintah adalah Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah

Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No. 79 Tahun 2005

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat, selanjutnya

disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka 1 UU No. 32 Thn 2004 maupun Pasal 1 angka 1 PP No. 79 Tahun

2005 ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah adalah Presiden.

Untuk itu, kata Pemerintah dalam ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Thn

2004 adalah Presiden. Mengacu pendapat dari A. Hamid Atamimi yang

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pemerintah ialah organ yang

dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia sebagai penyelenggara tertinggi,

dengan bagian-bagiannya yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah

tingkat I, dan Pemerintah daerah tingkat II.139

Dengan demikian sesuai

pengaturan Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No. 32 Thn 2004 dimaksud maka

pembatalan Peraturan Daerah merupakan wewenang atribusi dari Presiden.

Komponen dasar hukum, dapat diartikan bahwa prinsip negara hukum

menentukan setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan pada aturan hukum

139

Ridwan H.R. I, Loc.cit.

Page 143: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

143

yang berlaku termasuk tindakan Pemerintah membatalkan Peraturan Daerah. Oleh

sebab itu, sesuai ketentuaun Pasal 145 ayat (2) dan (3) UU No. 32 Thn 2004

menjadi dasar hukum kewenangan Presiden untuk melakukan pembatalan

Peraturan Daerah. Komponen Pengaruh dikaitkan dengan wewenang pembatalan

Peraturan Daerah dapat dimaksudkan bahwa wewenang yang diberikan kepada

Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah adalah sebagai upaya

mengendalikan perilaku Kepala Daerah dan DPRD selaku subjek hukum agar

dalam membentuk Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsekwensi

dari Peraturan Daerah yang dibentuk bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan pengendalian

melalui pembatalan terhadap Peraturan Daerah dimaksud oleh Presiden.

Kewenangan yang diberikan kepada Presiden menjadi alat ukur keabsahan

tindakan pembatalan Peraturan Daerah sebagai bentuk penerapan asas legalitas

dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagai negara hukum. Dalam negara hukum, setiap tindakan penyelenggaraan

negara harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pengaturan dimaksud, itu berarti

pengunaan standar wewenang umum pembatalan Peraturan Daerah merupakan

kewenangan Presiden, standar wewenang umum pembatalan Peraturan Daerah

merupakan kewenangan Presiden apabila tidak ada Rancangan Peraturan Daerah

yang dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah baik oleh Gubernur

maupun Bupati/Walikota. Aspek Prosedur, menjadi proses penting bagi

Page 144: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

144

Pemerintah dalam mengambil tindakan berkaitan dengan penyelenggaraan

Pemerintahan termasuk pembatalan terhadap suatu Peraturan Daerah. Tindakan

Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden terhadap suatu Peraturan Daerah harus

melalui usulan dari Mendagri sesuai hasil pengawasan yang dilakukan oleh

Gubernur terhadap Peraturan Daerah Kabupaten/Kota maupun Mendagri terhadap

Peraturan Daerah Provinsi. Dari usulan Mendagri tersebut maka Presiden

membentuk Peraturan Presiden untuk menetapkan pembatalan Peraturan Daerah

dimaksud.

Aspek Substansi, dapat dimaksudkan bahwa Presiden diberikan wewenang

untuk membatalkan seluruh Peraturan Daerah yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Namun pemberian kewenangan kepada Presiden tersebut apabila berada dalam

kondisi normal, artinya tidak adanya pemaksaan penetapan Rancangan Peraturan

Daerah yang dikembalikan untuk diperbaiki menjadi Peraturan Daerah, karena

apabila ada paksaan dari Pemerintah Daerah maka akan menjadi kewenangan

Mendagri.

Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden tersebut akan menimbulkan

akibat hukum bahwa perda yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota batal dan tidak memiliki kekuatan hukum yang

mengikat dan Pemerintah Daerah harus mencabut dan tidak memberlakukan

kembali perda yang dibatalkan tersebut. Mengingat eksekutif review berakhir pada

keputusan yang diberikan oleh Presiden. Pembatalan yang dilakukan oleh

Presiden ini juga dilakukan kepada Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi

Page 145: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

145

Daerah dan Tata Ruang Daerah saat pemerintah daerah tidak menindak lanjuti

hasil klarifikasi yang dilakukan oleh Mendagri serta tetap memberlakukan perda

tersebut maka Mendagri akan memohonkan pembatalan yang ditujukan kepada

Presiden untuk membatalkan Perda tersebut, hal ini diatur pada Pasal 95 ayat (1)

Permendagri No. 1 Thn 2014.

Apabila Pemerintah Daerah bersikukuh untuk menolak keputusan

pembatalan tersebut sebagaimana yang diatur pada Pasal 145 ayat (5) Apabila

provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh

peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung.

4.1.2. Peraturan Menteri Dalam Negeri

Sebagaimana yang diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah

bahwa perihal pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan

penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terahadap peraturan daerah

dan peraturan kepala daerah. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan

peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara

sebagai berikut:

1. Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) yaitu

terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,

retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala

daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk

raperda provinsi dan oleh gubernur terhadap raperda kabupaten/kota.

Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal tersebut dapat

mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah yang tersebut di atas,

yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam

Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/kota untuk

Page 146: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

146

memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan

dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat

dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.140

Ketentuan Pasal 185 ayat (5), dan Pasal 186 ayat (5) UU No. 32 Thn 2004

Pasal 158 UU PDRD menjadi dasar hukum kewenangan Mendagri untuk

melakukan pembatalan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak,

retribusi, dan tata ruang, yang Rancangan Peraturan Daerah tersebut pada waktu

dilakukan evaluasi dikembalikan untuk perbaikan tetapi dipaksakan penetapannya

menjadi Peraturan Daerah. Standar wewenang khusus pembatalan Peraturan

Daerah menjadi kewenangan Mendagri terhadap Peraturan Daerah tentang APBD,

pajak, retribusi, dan tata ruang, yang rancangannya dikembalikan untuk

diperbaikan namun dipaksakan penetapannya menjadi Peraturan Daerah.

Apabila dalam kondisi yang tidak normal atau ada pemaksaan penatapan

Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan tata ruang, yang

harus diperbaiki tetapi ditetapkan menjadi Peraturan Daerah maka lahirnya

wewenang Mendagri untuk membatalkan Peraturan Daerah dimaksud. Dengan

demikian apabila Gubernur maupun Bupati/Walikota tidak memaksakan

penetapan suatu Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, pajak, retribusi, dan

tata ruang, yang harus diperbaiki karena bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka tidak ada

kewenangan dari Mendagri untuk membatalkan Peraturan Daerah.

Negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensil merupakan

sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala

140

HAW. Widjaja II, h. 147-148.

Page 147: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

147

pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden Republik Indonesia

menurut Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memegang kekuasaan

pemerintahan negara menurut UUD, inilah yang disebut sebagai prinsip

“constitutional government”. Rumusan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI

Tahun 1945, yaitu: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan negara menurut undang-undang dasar”. Selanjutnya dalam ayat (2),

yaitu: “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang wakil

presiden”. Juga dalam Pasal 17 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan bahwa,

“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, dan dalam ayat (2), menegaskan,

“Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, berdasarkan hal

tersebut, maka para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada

presiden sebagai satu kesatuan institusi.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk pula menteri,

sebagaimana yang diatur dalam bab V tentang Kementerian Negara, yaitu pada

Pasal 17 adalah:

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

(4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara

diatur dalam undang-undang.

Walaupun demikian, menteri-menteri dalam melaksanakan tugasnya tetap

bergantung adanya pendelegasian kewenangan, jadi tidak serta merta memiliki

kekuasaan, namun tetap adanya penyerahan kewenangan dari Presiden kepada

Page 148: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

148

menteri-menterinya. Selanjutnya kajian berikut adalah terkait pada sistem

pemerintahan di negara Indonesia.

Dalam rumusan ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan bahkan dalam judul bab V

UUD NRI Tahun 1945 jelas dipakai istilah menteri negara dan kementerian

negara untuk pengertian yang bersifat umum dan berlaku untuk semua menteri.

Hanya saja ada yang memimpin departemen atau biasa diistilahkan dengan

menteri dengan portofolio, dan ada menteri yang tanpa portofolio. Pembedaan

keduanya sangat penting karena berkaitan dengan jangkauan luas dan

wewenangnya sebagai pejabat publik pembantu presiden. Menteri dengan

portofolio departemen memiliki aparatur pemerintahan pendukung yang

menjangkau sampai ke lapisan pemerintahan di daerah melalui aparatur

dekonsentrasi di tingkat provinsi dan/atau bahkan sampai ke tingkat

kabupaten/kota. Sedangkan menteri tanpa portofolio departemen tidak memiliki

jaringan aparatur sampai ke daerah-daerah.

Semua pejabat pelaksana undang-undang sepanjang tegas diberi

kewenangan untuk mengatur atau kewenangan regulatif/legislatif oleh undang-

undang (delegation of rule-making power by statute) , dapat pula mengeluarkan

produk-produk peraturan tersendiri yang bersifat spesifik, khusus, ataupun yang

hanya berlaku secara internal. Syaratnya adalah bahwa kewenangan semacam itu

harus dengan tegas dinyatakan dalam undang-undang yang bersangkutan kepada

pejabat atau lembaga negara yang bersangkutan. Inilah yang biasa dinamakan

dengan “delegation of rule making power”.

Page 149: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

149

Terkadang, kewenangan yang diperoleh dari pendelegasian tersebut

(delegated power for legislation or rule making) memberikan lagi kewenangan

untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang didelegasikan itu kepada instansi atau

pejabat yang diberi delegasi. Misalnya undang-undang memberi delegasi

kewenangan pengaturan presiden. Atas dasar itu, presiden menetapkan suatu

Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah

atau Peraturan Presiden tersebut memberikan lagi delegasi kewenangan

pengaturan atau kewenangan regulasi kepada Menteri yang diberi delegasi

kewenangan. Proses pemberian kewenagan tingkat kedua ini biasa disebut juga

dengan “sub delegasi” atau “sub-delegation of rule making power” berdasarkan

kewenangan sub delegasi itulah, maka dikenal pula adanya bentuk-bentuk

peraturan, seperti peraturan menteri dan sebagainya yang juga bersifat mengatur

dan mengikat juga untuk umum.141

Oleh karena itu, sebagaimana uraian di atas maka tentunya yang diteliti

apakah dalam hal pembatalan peraturan daerah yang dibatalkan oleh Mendagri

melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut telah sesuai dengan adanya

pendelegasian wewenang dari Presiden selaku pemegang wewenang atribusi,

namun kenyataannya secara normatif dari aturan kewenangan yang timbul,

menunjukkan tidak adanya dasar kewenangan bagi Mendagri untuk dapat

membatalkan suatu peraturan daerah, walaupun di dalam UU No. 32 Thn 2004

yang menyebutkan kewenangan dari Menteri, namun terbatas hanya dalam hal

evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah untuk rancangan peraturan daerah

141

Jimly Asshiddiqie IV, op.cit, h. 341

Page 150: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

150

provinsi dan evaluasi oleh Gubernur untuk rancangan peraturan daerah

kabupaten/kota, yang difokuskan terhadap rancangan peraturan daerah yang

mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR. Selanjutnya hal

tersebut dilakukan untuk memperoleh klarifikasi.

Jadi jelaslan pembidangan kewenangan dan instrumen hukum dalam

pembatalan perda ini. Tetapi dalam praktek ditemukan ketidaksesuaian dan

ketidakkonsistenan pemerintah dalam melakukan pembatalan perda dengan

peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam praktek pembatalan perda

selama ini dilakukan sepenuhnya oleh Mendagri. Padahal sudah jelas Mendagri

hanya berwenang membatalkan Ranperda APBD, pajak, retribusi, RTRW dan

juga peraturan kepala daerah, selebihnya perda diluar itu pembatalannya adalah

kewenagan presiden. Terlebih hal ini ditambah lagi dengan tidak konsistennya

pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum pembatalan perda.

Selama ini pembatalan perda menggunakan Kepmendagri padahal sudah

jelas diatur dalam Pasal 145 ayat (3) bahwa pembatalan perda menggunakan

Perpres. Di dalam pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 menetapkan kewenangan

pembatalan perda ada di tangan Presiden dengan instrumen perpresnya. Kemudian

pada pasal 185 UU No. 32 Thn 2004 menyatakan Mendagri memiliki kewenangan

untuk membatalkan Raperda juga, tetapi kewenangan pembatalan yang dimiliki

oleh Mendagri di sini terbatas hanya pada perda APBD, pajak, retribusi dan

RTRW. Pasal 185 ini kemudian dijabarkan lebih lanjut pada UU No. 32 Thn 2004

telah mengatur dua hal terkait dengan pembatalan Perda, yaitu wewenang

Page 151: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

151

pembatalan perda, jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk

membatalkan perda.

Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Perpres, Permendagri atau Pergub

untuk membatalkan Perda, maka Perda tersebut dinyatakan tetap berlaku. Namun

meskipun secara peraturan perundang-undangan pembatalan perda dalam bentuk

Kepmendagri merupakan kekeliruan hukum, pemerintah daerah cenderung

mematuhi Kepmendagri tersebut meskipun sebenarnya dapat melakukan upaya

hukum pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung. Jadi jelaslah pemerintah tidak

konsisten dalam menggunakan instrumen hukum pembatalan perda. Dalam Pasal

145 ayat 7 menyatakan apabila tidak dikeluarkan Perpres untuk membatalkan

perda yang bermasalah, maka perda tersebut dapat tetap berlaku. Jadi implikasi

hukum dari pembatalan menggunakan Kepmendagri adalah tidak tepat karena

tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga hal

tersebut berimplikasi tetap dapat berlakunya perda yang dibatalkan.

Namun kewenangan yang diberikan kepada Presiden untuk mengendalian

prilaku Kepala Daerah dan DPRD yang membentuk Peraturan Daerah yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi tidak dilakukan oleh Presiden tetapi dilakukan oleh Mendagri.

Hal ini terlihat dari Mendagri telah membatalkan Peraturan Daerah. Padahal

sesuai ketentuan Pasal 37 ayat (4) PP No. 79 Tahun 2005 dan Pasal 91 ayat (4)

Permendagri 1 Tahun 2014 Mendagri hanya diberikan kewenangan untuk

melakukan pengawasan Peraturan Daerah dan mengusulkan baik hasil

pengawasan kepada Presiden untuk melakukan pembatalan apabila Peraturan

Page 152: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

152

Daerah itu dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan

perundng-undangan yang lebih tinggi.

Pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri yang sebelumnya

pengaturannya pada UU No. 32 Thn 2004 merupakan semata-mata pembatalan

Ranperda terhadap APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Tata Ruang

Daerah yang merupakan tahapan evaluasi dalam kaitannya melaksanakan

pengawasan secara preventif sebagaimana yang diatur pada Pasal 185, memiliki

kewenangan pembatalan pada tahapan klarifikasi yang merupakan pengasawasan

secara represif terhadap Perda APBD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan

Tata Ruang Daerah seperti yang diatur pada Pasal 90 ayat (3) dan (4) Permendagri

No. 1 Thn 2014. Namun pembatalan yang mengacu pada Permendagri No. 1 Thn

2014 ini hanya sebatas jika Pemerintah Daerah mau mencabut dan tidak

memberlakukan kembali Perda yang dibatalkan oleh Mendagri, tetapi jika

Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang dibatalkan tersebut

sebagaimana yang diatur pada Permendagri tersebut Mendagri akan memohonkan

pembatalan kepada Presiden untuk membatalkan Perda yang dibatalkan tersebut.

Keputusan pembatalan perda yang dilakukan oleh Mendagri sejatinya

tidak menimbulkan akibat hukum yakni hanya menimbulkan konskwensi

pembatalan yang hanya menegaskan bahwa perda yang dibentuk tersebut

melanggar Pasal 136 UU 32 Thn 2004 mengingat pemerintah daerah dapat tetap

memberlakukan perda yang dibatalkan oleh Mendagri tersebut. Ketika hal ini

terjadi keputusan pembatalan yang dilakukan oleh mendagri tidak memiliki

kekuatan hukum yang mengharuskan Perda tersebut dicabut dan tidak mengikat,

Page 153: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

153

sehingga ketika pemerintah daerah tetap memberlakukan perda yang dibatalkan

tersebut perda tersebut dapat tetap berlaku sampai ada keputusan pembatalan yang

dikeluarkan oleh Presiden berdasarkan permohonan pembatalan yang dilakukan

oleh Mendagri. Jadi dapat dikatakan akibat hukum terhadap Perda yang

bertentangan dengan Pasal 136 UU No. 32 Thn 2004 adalah Perda tersebut dapat

dibatalkan dan pembatalannya dilakukan oleh Presiden dengan Peraturan Presiden

sebagaimana diatur pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 dan bukan dengan

Peraturan Menteri Dalam Negeri, mengingat Peraturan Menteri Dalam Negeri

hanya membatalakan Ranperda APBD, Pajak daerah dan retribusi daerah serta

Rencana Tata Ruang sebagaimana yang diatur pada Pasal 185 UU No. 32 Thn

2004.

4.2. Konskwensi Hukum terhadap Pembatalan Perda Provinsi

Keabsahan suatu pembatalan peraturan daerah provinsi melalui Peraturan

Presiden dan Permendagri, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur mekanisme

pembatalan peraturan daerah itu sendiri, yaitu pada Pasal 145 ayat (3) dan Pasal

185 UU No. 32 Thn 2004, yang intinya menegaskan bahwa keputusan pembatalan

peraturan daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan terhadap Perda

APBD, Pajak daerah dan Retribusi daerah dan RTRW dibatalkan dengan

Permendagri. Dari kedua instrumen hukum di atas yang paling tepat dalam

membatalkan Perda akan dibahas selanjutnya. Menurut Philipus M. Hadjon,

keabsahan tindakan pemerintah pada hakekatnya ditentukan oleh 3 (tiga) unsur

utama, yaitu wewenang, prosedur dan substansi, dengan menggunakan parameter

peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Page 154: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

154

Perihal 3 (tiga) unsur utama, keabsahan tindakan pemerintah sebagaimana yang

dikemukakan di atas, maka dijabarkan lebih lanjut:

1. Wewenang, Dalam hal ini pihak yang mengambil atau melakukan suatu

tindakan haruslah pihak yang memiliki kewenangan baik atributif

maupun delegatif.

2. Prosedur, Keabsahan tindakan pemerintah harus memenuhi prosedur

sebagaimana ditetapkan dalam tata cara atau prosedur tindakan

pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Substansi, Substansi tindakan pemerintah pada hakekatnya tidak boleh

bertentangan dengan segala bentuk peraturan perundangan, konsepsi

Hak Asasi Manusia, maupun norma-norma yang ada dan hidup di

masyarakat.

Ketiga unsur utama keabsahan tindakan pemerintah dapat diukur dengan

tolok ukur berupa peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum

pemerintahan yang baik. Dengan demikian setiap unsur dari tindakan pemerintah

disatu sisi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan di

sisi lain harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

Apabila pada salah satu unsur keabsahan tindakan pemerintah terbukti

bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, maka keabsahan suatu

tindakan pemerintah tidak akan terpenuhi, demikian juga apabila tindakan

pemerintah tidak memenuhi atau bertentangan dengan AAUPB, maka keabsahan

tindakan tersebut juga tidak akan terpenuhi.

Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),

menurut Philipus M. Hadjon dalam Ridwan HR bahwa:

“AAUPB haruslah dipandang sebagai norma-norma hukum tidak tertulis,

yang senantiasa harus ditaati o9leh pemerintah, yang meskipun arti yang

tepat dari AAUPB bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat

dijabarkan dengan teliti. Dapat dikatakan, bahwa AAUPB adalah asas-asas

Page 155: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

155

hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan tertentu dapat ditarik

aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan”.142

Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang

mengasumsikan bahwa norma tersebut memiliki kekuatan mengikat (binding

forces) terhadap orang yang perilakunya diatur. Suatu aturan adalah hukum dan

hukum yang valid adalah norma oleh karenanya hukum adalah norma yang

memberikan sanksi.143

Bahasan mengenai keabsahan itu sendiri setara jika

berbicara mengenai keberadaan hukum, sebagaimana pendapat Sudikno

Mertokusumo bahwa hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang

sahlah yang menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan

kekuasaan yang sah pada dasarnya bukanlah hukum, jadi hukum bersumber pada

kekuasaan yang sah.144

Di dalam ketentuan Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 disebutkan bahwa

Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

Pemerintah. Vernietigbaar Menurut E. Utrecht suatu peraturan yang dapat

dibatalkan berarti bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap

ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain

yang berkompeten.145

142

Ridwan HR II, h. 237.

143

Jimly Asshidiqqie, dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, h.36. (Selanjutnya disebut Jimly Asshidiqie

VII). 144

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, h. 25

Page 156: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

156

Mengenai dapat dibatalkannya suatu perda, pengertian mengenai batal,

batal demi hukum, dan dapat dibatalkan penjelasannya sebagai berikut :

1. Batal (nienig) berarti bahwa bagi hukum perbuatan yang dilakukan

tidak ada. Jadi, bagi hukum, akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah

ada.

2. Batal karena hukum (nietig van rechtswege) berarti akibat sesuatu

perbuatan untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya, bagi hukum

dianggap keputusan suatu badan pemerintah lain yang berkompetensi

untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya akibat itu.

3. Dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah bahwa bagi hukum perbuatan

yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu pembatalan

oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompeten

(pembatalan itu dilakukan karena perbuatan tersebut mengandung

sesuatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu

pembatalannya dan oleh sebab itu segala akibat yang ditimbulkan

antara waktu mengadakannya sampai waktu pembatalannya menjadi

sah (terkecuali dalam hal Undang-undang menyebut beberapa bagian

akibat itu tidak sah). 146

Kewenangan Mendagri tentang pembatalan Perda, yang seolah-olah

bertentangan dengan perintah Undang-Undang, adalah termasuk aturan kebijakan

untuk mengatasi kemacetan pelaksanaan pemerintahan dalam rangka pelayanan

umum kepada masyarakat. Berdasarkan asas praesumptio iustae causa (asas

praduga rechtmatigheid), maka Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang

Pembatalan Perda melalui klarifikasi adalah sah sepanjang belum ada pembatalan.

Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 mengatur konsekuensi dari pembatalan Peraturan

Daerah oleh Pemerintah, yaitu pemerintah daerah yang menerima pembatalan

Peraturan Daerahnya harus mencabut Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut

yang sebelumnya didahului dengan penghentian pelaksanaan Peraturan Daerah

145

E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4, (Bandung:

Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Pajajaran, h.78. (selanjutnya

disebut E. Utrecht I).

146

E. Utrecht, 1994, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta

Mas, Surabaya, h. 110-111. (Selanjutnya disebut E. Utrecht II).

Page 157: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

157

paling lama 7 hari setelah pembatalan. Pemerintah Daerah yang tidak dapat

menerima pembatalan Peraturan Daerahnya dengan alasan yang dibenarkan oleh

peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan

kepada Mahkamah Agung.

Jika kita cermati pengaturan pembatalan Perda yang ada pada Permendagri

1 Tahun 2014 yang merupakan pengaturan lebih jauh dari peraturan yang

memberikan amanat berkaitan dengan pembatalan Perda yakni UU No. 32 Thn

2004 dan PP. No. 79 Tahun 2005 yang merupakan dasar pengawasan dari

pemerintah pusat kepada daerah terhadap pelaksanaan otonomi daerah sebagai

buah hasil dari desentralisasi pada akhirnya muara pembatalan suatu perda adalah

pada tangan Presiden dengan instrumen Peraturan Presidennya. Seperti halnya

pengaturan pada Pasal 145 UU No. 32 Thn 2004 bahwa pembatalan perda baik

perda Provinsi maupun Perda Kabupaten/Kota merupakan kewenangan dari

Presiden untuk membatalkannya. Begitu juga sebaliknya pada UU PDRD bahwa

yang membatalkan Perda PDRD sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 158

adalah Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden.

Pada UU No. 32 Thn 2004 kewenangan Mendagri untuk membatalkan

Perda hanya pada Raperda Pemerintah Provinsi dan kabupaten/Kota hanya pada

tahap evaluasi sebagai bagian pengawasan preventif dan hasil dari tindakan

klarifikasi semata. Apabila daerah tidak mematuhi pembatalan yang didasarkan

pada hasil klarifikasi Mendagri harus mengajukan permohonan pembatalan

kepada Presiden dengan instrumen Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda.

Begitu juga pada UU PDRD kewenangan Mendagri dalam pembatalan perda

Page 158: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

158

hanya sebatas pada hasil evaluasi Raperda dan hasil klarifikasi apabila Perda

PDRD dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. Akan tetapi apabila daerah

tidak menerima pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri, Mendagri harus

mengajukan usulan pembatalan Kepada Presiden untuk melakukan pembatalan

terhadap Perda PDRD tersebut.

Apabila Pemerintah Daerah tetap memberlakukan Perda yang telah

dibatalakan oleh Presiden tindakan Pemerintah Daerah yang tetap memberlakukan

Peraturan Daerah yang telah dibatalkan seluruh tindakan dan akibatnya sejak

pembatalan mempunyai kekuatan hukum mengikat dianggap tidak pernah ada.

Masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh tindakan Pemerintahan yang tidak

didasarkan kepada hukum yang sah dapat menuntutnya ke Pengadilan dengan

alasan bahwa Pemerintah Daerah telah bertindak sewenang-wenang. Agar

Pemerintah Daerah dan masyarakat tidak dirugikan, seyogyanya pelaksanaan

Peraturan Daerah tidak diberhentikan ketika Kepala Daerah masih mengajukan

keberatan kepada Mahkamah Agung.

Presiden dapat memberikan mandat kepada Mendagri selaku pembantu

Presiden untuk melakukan pembatalan terhadap Peraturan Daerah diluar substansi

yang Rancangan Peraturan Daerah yang dipaksakan penetapannya oleh Gubernur.

Apabila Menteri Dalam Negari mendapatkan mandat dari Presiden untuk

melakukan pembatalan Peraturan Daerah maka secara redaksional Keputusan

pembatalan Peraturan Daerah dicantumkan Atas Nama Presiden, tetapi yang

menandatangani keputusan pembatalan Peraturan Daerah itu adalah Mendagri.

Page 159: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

159

Tetapi faktanya Keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang dilakukan

oleh Mendagri tidak satupun Keputusan Pembatalan Peraturan Daerah

mengunakan redaksional Atas Nama Presiden. Itu berarti Presiden tidak

memberikan mandat kepada Mendagri untuk melakukan pembatalan terhadap

Peraturan Daerah tersebut. Dengan demikian tindakan pembatalan yang dilakukan

oleh Mendagri terhadap Peraturan Daerah merupakan “tindakan melanggar

wewenang” (onbevoegdheid), yang oleh Waline disebutkan sebagai

onbevoegdheid ratione materiae (organ administrasi negara melakukan tindakan

dalam bidang yang tidak termasuk wewenangnya).147

Dengan demikian pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut

adalah tidak sah. Untuk itu konsekwensi hukum dari keputusan pembatalan

Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Mendagri dianggap tidak pernah ada tanpa

perlu adanya suatu keputusan yang membatalkan tindakan pembatalan yang

dilakukan oleh Mendagri tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka dapat

dimaksudkan bahwa para menteri negara tunduk dan bertanggung jawab kepada

presiden sebagai satu kesatuan institusi. Prinsip yang bersifat umum adalah

administrasi pemerintahn pusat pada umumnya ditempatkan di bawah

kewenangan menteri atau diorganisasikan sebagai kementerian atau departemen.

Menteri dan kementerian negara dibedakan. Menteri adalah jabatan politik,

sedangkan kementerian negara diisi oleh pegawai negeri sipil dengan jabatan-

jabatan yang diisi melalui pengangkatan dan pemberhentian secara administratif.

147

Philipus M. Hadjon IV, h. 120.

Page 160: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

160

Dalam suatu pelaksanaan pemerintahan esensi keteraturan dalam

administrasi akan tampak pada hubungan pemerintahan yang berlangsung secara

fungsional yang diciptakan oleh para subjek administrasi sebagai pemerintah

dengan para subjek yang diatur sebagai pihak yang diperintah.148

Dengan melihat akibat huum yang ditimbulkan terhadap perda yang

dibatalkan tersebut maka akan menimbulkan konskwensi harus dicabut dan

dinyatakan tidak berlakunya Perda yang dibatalakan oleh Presiden tersebut.

Apabila pemerintah daerah bersikukuh untuk tetap memberlakukan perda yang

dibatalkan tersebut dan mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung maka

perda tersebut belum dapat dicabut dan masih memiliki kekuatan hukum mengikat

sampai ada putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung apakah

mengabulkan keberatan atau menolak keberatan yang diajukan oleh pemerintah

daerah. Jika Mahkamah Agung mengabulkan keberatan yang diajukan oleh

pemerintah daerah maka Perda yang dibatalkan oleh Presiden tersebut tetap

berlaku. Tetapi jika keberatan Pemerintah daerah tersebut ditolak maka Perda

tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat.

4.3. Pengujian Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung

Pada negara-negara yang menganut sistem hukum sipil (civil law), obyek

judicial review hanyalah produk pengaturan saja, mulai dari Undang-undang

sampai ke peraturan-peraturan (regels) yang ada di bawahnya. Sedangkan dalam

sistem anglo saxon , sebagaimana hal di Inggris maupun amerika Serikat

148

Faried Ali, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.3.

Page 161: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

161

pengertian judicial riview, luas cakupannya, termasuk gugatan yang berkenaan

dengan norma hukum yang kongkret dan individual, seperti yang dikenal dalam

sistem peradilan tata usaha negara.149

Wewenang Mahkamah Agung sebagai

lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman diberi kewenangan oleh

UUDNRI Tahun 1945 untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan

di bawah undang-undang terhadap undang-undang kewenangan demikian ini

kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan

perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Pengujian peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dilakukan oleh

Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan

atributif yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945; Pasal 11 ayat (2)

huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman;

Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas

Undang-undang No.14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; Pasal 31A

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; dan Pasal 1 Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Dalam

ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian

terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut

kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan

149

Jimly Asshiddiqie, 2005, Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jendral Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, h. 150-151. (Selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie VII).

Page 162: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

162

perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung,

kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan juga dimiliki oleh

Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikenal dengan istilah constitutional review

berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Apabila dikaitkan dengan

jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU

PPPU, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: 1) Peraturan

Pemerintah, 2) Peraturan Presiden, dan 3) Peraturan Daerah.

Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis

peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai

dari dasar konstitusional dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945,

kemudian Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004,

tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya Pasal 31 ayat (2) Undang-undang

Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun

1985, tentang Mahkamah Agung, menentukan standar ukuran suatu peraturan di

bawah undang-undang dapat dibatalkan, atas alasan: 1) karena bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materiil); atau

2) pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).

Dalam Pasal 31A ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009,

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang

Mahkamah Agung, ditegaskan ”uraian mengenai perihal yang menjadi dasar

permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1) materi muatan ayat, pasal,

dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

Page 163: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

163

dan/atau 2) pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi

ketentuan yang berlaku;”

Dasar permohonan pada bagian pertama dikenal dengan istilah pengujian

aspek materiil. Apabila dikaitkan dengan pengujian Peraturan Daerah, maka

landasan bagi Mahkamah Agung untuk menguji Peraturan Daerah terhadap

undang-undang, adalah materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi

Peraturan Daerah. Sedangkan pada bagian kedua, dikenal dengan istilah pengujian

aspek formil, yang dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004,

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang

Mahkamah Agung, ditegaskan pula bahwa “Mahkamah Agung menyatakan tidak

sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.”

Apabila suatu peraturan daerah dipandang bahwa materi muatan ayat,

pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah bertentangan dengan undang-

undang, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Peraturan

Daerah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dimungkinkan dapat terjadi dalam proses pengujian, Mahkamah Agung hanya

menemukan satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam

Peraturan Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi. Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal,

dan/atau bagian dari Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai

Page 164: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

164

kekuatan hukum mengikat. Keadaan ini seperti halnya dalam pengujian aspek

formil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-

undangan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1999, tentang Hak Uji Materiil yang dinyatakan tidak berlaku dan

digantikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang

Hak Uji Materiil. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004

mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah Agung yang oleh UUD

dan undang-undang diberi kewenangan menguji materiil dan formil peraturan

perundang-undangan, menjadi hanya melakukan pengujian materiil terhadap

materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung

tidak memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kondisi demikian

terkesan bertindak di luar kewenangan, yakni membatasi kewenangan sendiri

yang juga merupakan bagian dari kewajiban hukum dan kepastian hukum itu

sendiri.

Erat kaitannya dengan fungsi Mahkamah Agung yang bersifat yudisial

(justitiele functie), kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian

Peraturan Daerah lahir dari kewenangan yang disebut judicial review. Dalam

keadaan demikian, maka Mahkamah Agung adalah lembaga kehakiman yang

diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari lahirnya suatu produk

peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Daerah. Dalam menjalankan

Page 165: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

165

fungsi demikian itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menunggu diajukannya

permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah.

Standar pengujian yang digunakan Mahkamah Agung dalam menguji

Peraturan Daerah adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Peraturan Daerah: a)

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau b)

pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Apabila suatu

Peraturan Daerah yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan pemerintah

daerah bersama dengan DPRD untuk mencabut Peraturan Daerah tersebut paling

lama dalam waktu 90 hari. Terhadap putusan pembatalan Peraturan Daerah yang

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali (PK).

Dalam tinjauan normatif terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil, ditentukan bahwa Peraturan Daerah atau

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya, hanya dapat

diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung dalam

tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan tersebut.

Batasan waktu ini berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk

mengajukan permohonan pengujian Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah

di kemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2004 tersebut. Hal yang perlu dicermati sebagai kelemahan dalam

pemberian batas waktu 180 hari yang ditentukan tersebut, tidak ada pilihan waktu

Page 166: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

166

lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari. Dimungkinkan dapat terjadi Peraturan

Daerah yang sudah berlaku selama 180 hari dianggap tidak bermasalah oleh

masyarakat, kemudian satu tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya

Peraturan Daerah menimbulkan masalah sosial, sehingga apabila hal tersebut

terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan

keberatan karena aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.

Di samping itu perlu dicermati kelemahan tidak diaturnya batas waktu

proses pengujian peraturan perundang-undangan, berapa lama waktu penunjukan

majelis hakim dilakukan dan berapa lama waktu maskimal yang dapat digunakan

oleh majelis hakim untuk memeriksa perkara pengujian peraturan perundang-

undangan. Di satu sisi tidak ada batas waktu proses pengujian peraturan

perundang-undangan oleh Mahkamah Agung, di sisi lain Mahkamah Agung

membatasi waktu hak warga negara untuk mengajukan permohonan keberatan.

Ketiadaan ketentuan batas waktu pengujian peraturan perundang-undangan oleh

Mahkamah Agung, berpotensi menjadikan Peraturan Daerah yang sedang diuji

terabaikan kepastian hukum penerapannya di daerah.

Selain itu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tidak

terdapat rumusan pengaturan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi

jalannya proses pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung.

Terlihat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 dalam proses

pengujian oleh Mahkamah Agung bersifat tertutup, sedangkan objek yang sedang

disengketakan adalah objek yang terkait dengan kepentingan publik, yaitu suatu

peraturan (regeling) yang berlaku umum di masyarakat.

Page 167: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

167

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dengan berpedoman

kepada hasil penelitian terhadap permasalahan yang menjadi kajian yang telah

diuraikan dari bab sebelumnya memperoleh kesimpulan berupa :

1. Bahwa kewenangan pengaturan pembatalan Perda Provinsi ada pada

Presiden dengan bentuk hukum Peraturan Presiden dan bukan dengan

Peraturan Mendagri. Mendagri hanya berwenangan membatalkan

Rancangan Peraturan Daerah terbatas hanya pada APBD, PDRD dan

RTRW dengan bentuk hukum Peraturan Menteri Dalam Negeri

sebagaimana yang diatur pada UU 32 Thn 2004, PP 79 Thn 2005 dan

Permendagri 1 Thn 2014. Diundangkannya UU 23 Thn 2014 telah

menjawab dualisme pembatalan perda provinsi tersebut karena pada

UU ini Presiden tidak lagi memiliki kewenangan pembatalan perda

karena semua kewenangan pembatalan perda yang dimilikinya

didelegasikan kepada Mendagri untuk membatalkan Ranperda RPJPD,

RPJMD, APBD, PDRD, dan RTRW serta pembatalan seluruh Perda

tanpa terkecuali dengan bentuk hukum Keputusan Menteri Dalam

Negeri.

2. Bahwa akibat hukum jika suatu perda bertentangan dengan Pasal 136

yakni bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih

tinggi dan kepentingan umum yang kemudian dibatalkan oleh Presiden

Page 168: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

168

dengan Peraturan Presiden akan menimbulkan konskwensi untuk

mencabut dan menyatakan perda tersebut tidak memiliki kekuatan

mengikat, serta apabila Pemerintah daerah berkeberatan dengan

pembatalan perda tersebut, pemerintah daerah dapat mengajukan

keberatan kepada Mahkamah Agung.

5.2. Saran

1. Agar terdapat penegasan kewenangan Mendagri hanya terbatas pada

proses preventif melalui tahap evaluasi dan pada proses represif tetap

menjadi kewenangan Presiden selaku pemerintahan pusat dan pemegang

kekuasaan Pemerintahan, atau Presiden tidak lagi memiliki kewenangan

pembatalan Perda dan melimpahkan kepada Mendagri dengan

pendelegasian kewenangan yang jelas sehingga Mendagri tidak dianggap

melakukan penyaalhgunaan kewenangan.

2. Agar keputusan pembatalan perda tersebut baik saat dibatalkan oleh

pemerintah maupun pengajuan keberatan ke Mahkamah Agung terlaksana

dengan cepat sehingga segera menimbulkan kepastian hukum bagi

masyarakat sehingga masyarakat tidak merasa dirugikan ketika terjadinya

pembatalan perda tersebut.

Page 169: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

169

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdurahman 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Media Sarana

Press

Ali, Faried, 2004, Filsafat Administrasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Alwi, Hasan et al., 2003, Tata Bahasa Baku Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jendral Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia

_______, dan Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta.

_______, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,

Jakarta.

_______, Jimly, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

_______, Jimly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca

Reformasi, Jakarta PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

_______, Jimly, 2008, Perihal Undang-undang, Konstitusi Press dengan Syaamil

Cipta Media, Jakarta.

_______, Jimmly, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan

Kedua, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

_______, Jimly, 2010, Perihal Undang-undang, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Barnett, Hilaer, 2002, Constitutional And Administrative Law, Queen Mary,

University,of London Cavendish Publishing Limited, London

Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam,

Jakarta.

Boedianto, Akmal, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah (Pembentukan Perda

APBD Partisipatif) Laksbang Pressindo, Yogyakarta.

Page 170: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

170

Budiardjo, Meriam, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan

Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Budiono, Herlin, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia

(Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Cohen, Morris L. and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, St.

Paul, Minn.

Dicey, A.V., diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum

Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung.

Efendi, Lutfi, 2003, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia

Publishing, Malang.

Ekathahjana, Widodo, 2008, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dan

Sistem Peradilannya di Indonesia, Pustaka Sutra, Jakarta.

Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang.

_______, dan Yulianto Ahmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fauzan, Muh, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan

Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, UII Press, Yogyakarta

Garner, Bryan A,, 1999, Black’s Law Dictionary Seventh Edition, In chief West

GruopSt. Paul, Minn.

Hadjon, Philipus M., 1985, Pengertian-pengertian Dasar Tentang Tindak

Pemerintahan (Bestuurhendeling), Djumali, Surabaya.

_______, Philipus M., 1998, “Tentang Wewenang Bahan Penataran Hukum

Administrasi tahun 1997/1998 Fakultas Hukum Universita Airlangga”,

Surabaya.

Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid)

dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI.

_______, dan Tatiek Sri Djatmiati, 2008, Argumentasi Hukum, Cetakan ketiga,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Halim, Hamzah, dan Kemal Redindo Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis

Menyusun dan MerancangPeraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis dan

Page 171: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

171

Praktis Disertai Manual) Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Hamidi, Jazim, 2006, Revolusi Hukum Indonesia-Makna Kedudukan dan

Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem

Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press Citra Media, Jakarta-Yogyakarta.

_______, dan Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Prestasi Pustaka

Publisher, Jakarta.

Handoyo, Hestu B. Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas

Atma Jaya, Yogyakarta.

HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

_______, 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Huda, Hj. Ni’matul, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press,

Yogyakarta.

Husein, Harun M., 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan

Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.

Ibrahim, Anis, 2008, Legislasi dan Demokrasi, Interaksi dan Konfigurasi Plotik

Hukum dalam Pembentukan Hukum di Daerah, In Trans Publishing,

Malang.

Indrohato, 1991, Usaha Memahami Undang-UndangTentang Peradilan tata

Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Hubungan

Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung.

_______, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan

Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, PT. Alumni, Bandung.

Kaho, Josef Riwo, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia

(Identifikasi Beberapa yang Mempengaruhi Penyelenggaraanya), Cet. 6,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Kansil dan Christine Kansil, 2001, Pemerintahan Daerah di Indonesia Hukum

Administrasi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta.

Page 172: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

172

Kelsen, Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum

Normatif Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi,

Bee Media Indonesia Jakarta.

Kusnadi, Moh dan B. Saragih, 1988, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam

Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung.

Lotulung, Paulus Effendi, 1993, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum

terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung.

M., Sri Soemantri, 1992, Bunga rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Almuni,

Bandung.

_______, 1997, Hak Menguji Di Indonesia¸ Ed. 2, Alumni, Bandung.

Magnar, Kuntana, 1984, Pokok-pokok Pemerintahan Daerah Otonom dan

Wilayah Adminstratif, Bandung CV. Armico.

Manan, Bagir, 1991, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta.

_______, Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum

(PSH) Hukum UII, Yogyakarta.

_______, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Pusat Studi

Hukum (PSH) Fak Hukum UII, Yogyakarta.

Marburn, SF., 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

_______, 2004 dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press

Jogjakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Kencana

Prenada Media Gruop, Jakarta.

_______, 2008, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana, Jakarta.

Matutu, H. Mustamin DG., 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi dan

Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta

Mertokusumo, Sudikno, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit

Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

Page 173: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

173

Muljadi, H.M. Arief, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah

Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka.

Muluk, M. R. Khairul, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan daerah,

Bayumedia Publishing, Malang.

Muslimin, Amrah, 1982, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni,

Bandung.

Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,

Balai Pustaka, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2009, Membangun Dan Merombak Hukum Indonesia, Genta

Publishing, Yogyakarta.

Rosodjatmiko, P., 1982, Pemerintahan di Daerah Dan Pelaksanaanya, Tarsito,

Bandung.

S., Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses Dan Teknik

Penyusunan), Kansius, Yogyakarta.

_______, 2012, Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,

Cet. 13, Kansius Yogyakarta.

Sadjijono, 2008, Memahami, Beberapa Bab Pokok Hukum Admiistrasi, Laksbang

Presindo, Yogyakarta.

Salihendo, John, 1995, Pengawasan Melekat aspek-aspek Terkait dan

Implementasinya, Bumi Aksara, Jakarta.

Salman, Otje dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama,

Bandung.

Sidharta, B. Arief, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu

Hukum, Teori hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan, Refika Aditama,

Bandung.

_______, 2008, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung.

Situmorang, Victor, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bima

Aksara, Jakarta.

Smith, dalam Kharul Muluk, 2005, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah,

Bayumedia Publishing, Malang.

Page 174: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

174

Soebechi, Imam, 2012, Judicial Review Perda Pajak Dan Retribusi, Sinar

Grafika, Jakarta.

Soebekti, 2000, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. 6, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah,

Yogyakarta, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE.

Soekanto, Soerjono, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke 3, Universitas

Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Soetami, A. Siti, 2009, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Refika

Aditama, Bandung.

Soetjito, Irawan, 1993, Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan

Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta.

Strong, C. F., 1966, Modern Political Constitutional, Sidgwick 7 Jackson Limited

London E. L. B. S. EditionFirst Publised.

_______, C. F., 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Kajian Tentang

Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Penerjemah SPA

Teamwork, penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung.

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Sunarno, Siswanto, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

_______, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, sinar Grafika,

Jakarta

Sunggono, Bambang, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta.

Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah,

Pustaka Bani Quraisy, Bandung.

Tjandra, W. Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas

Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

Page 175: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

175

Tutik, Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia,

Prestasi Pustaka Pblisher, Jakarta.

Utama, I Made Arya, 2007, Hukum Lingkungan, Pustaka Sutra, Denpasar.

Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cet. 4,

(Bandung: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas

Negeri Pajajaran.

_______, 1994, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta

Mas, Surabaya.

Wairocana, I Gusti Ngurah, 2005, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik)

dan Implementasinya di Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

di Bali, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya.

_______, I. G. N., 2006, Tindak Pemerintahan (Suatu Orientasi Singkat, Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Denpasarar.

Wahyono, Padmo, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta.

Wheare, KC., 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press, Oxford.

Widodo, Joko, 2008, Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja, Bayu Media

Publishing, Malang.

Widjaja, H. A. W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

_______, H. A. W., 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam

Rangka Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yamin dalam Mahfud, 2009, Politik Hukum, PT. Rja Grafindo Persada.

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang

Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

2. Karya Ilmiah

Suardita, I Ketut, 2009, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Menetapkan

Pajak daerah Dalam Melaksanakan Otonomi Berdasarkan Undang-

undang No. 32 Tahun 2004, (Tesis), Program Pasca Sarjana Universitas

Udayana.

Page 176: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

176

3. Jurnal

Hadjon, Philipus M., 1998, Tentang wewenang Pemerintahan (Bestuurbevogheid)

dimuat dalam dalam Projustisia, Tahun XVI.

Ni’Matul Huda, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah Antara

Pemerintah Dengan Pemerintah Daerah Dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober

2009.

Suyatna, I Nyoman, 2006, Materi Muatan Peraturan Daerah Dalam Konteks

Kepentingan Lokal, Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Vol. 31 No. 2. Juli 2006.

4. Internet

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/dualisme, diakses 8 Agustus

2014

5. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No.

14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, (Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4359)

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125, Tambahan

Lemabaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 130,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049)

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran

Negara Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076)

Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234)

Page 177: dualisme pembatalan peraturan daerah provinsi dengan peraturan

177

Undang-undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang

Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,

Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 4593).

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 Tahun 2006 Tentang Jenis dan Bentuk

Produk Hukum Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Produk

Hukum Daerah.