Upload
doantram
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DUMADINE BATURRADEN
~ Tresnaku dadi Pengeling-eling ~
LEGENDA BATURRADEN
Cinta yang Terabadikan
WN Setiyawan
2
DUMADINE BATURRADEN
Tresnaku dadi Pengeling-eling
Oleh: WN Setiyawan
Copyright © 2014 by WN Setiyawan
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Edisi e-Book : 2016
Edisi Paperback : 2017
Desain sampul:
WN Setiyawan
Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com
3
“Jika ada buku yang benar-benar ingin dibaca
namun belum pernah ditulis, maka Anda sendiri
yang harus menulisnya.”
~ Toni Morrison ~
4
UCAPAN TERIMA KASIH
Matur nuwun sanget dhumateng
Hani, Izet, lan Mba Uut
5
DAFTAR ISI
1. DUA SENYUMAN ITU ….. 7
2. TURANGGA SETA ….. 12
3. TAMU DARI KARANG BARUNG ….. 16
4. ULAR PAGAK ….. 23
5. SUATU PERTANDA(?) ….. 30
6. ANAK SEORANG UNDHAGI ….. 35
7. KUNJUNGAN DUA ORANG GADIS ….. 39
8. PENCULIKAN ….. 45
9. PERONDA PENGGANTI ….. 49
10. SIASAT ….. 55
11. PRAJURIT SANDI ….. 60
12. SEORANG SAINGAN ….. 65
13. SEBUAH RENCANA BESAR ….. 70
14. LAMARAN ….. 77
15. TUGAS PERTAMA ….. 82
16. KE KADIPATEN KARANG BIBIS ….. 88
17. BATIK BALASAN ….. 96
18. CINTA YANG TERPENDAM ….. 102
6
19. KEJANGGALAN DAN KEBETULAN ….. 109
20. TEMAN SEPERJALANAN ….. 117
21. DUA PEMBELA ….. 121
22. KERANGKENG ….. 128
23. KISIM ….. 134
24. DI SEBUAH GUBUK ….. 140
25. BENDERA PUTIH ….. 146
26. TIGA MATA AIR ….. 156
27. MBEGOD ….. 162
28. JAMUAN MAKAN MALAM ….. 170
29. PANGERAN ARUNA PRATANGGA ….. 176
30. BATIK SENGKALAN ….. 183
31. SEBUAH GELAR ….. 188
32. TIGA SETENGAH BULAN KEMUDIAN ….. 205
cerita ini fiktif, merupakan imajinasi bebas penulis dengan mempertimbangkan kisah-kisah tentang
Baturraden yang telah beredar di masyarakat
7
1. DUA SENYUMAN ITU
Hari masih pagi. Dingin dan berkabut. Tapi
suasana di Kadipaten Karang Lesung sudah tampak sibuk.
Suta, pemuda gagah itu, tengah menyikat badan seekor kuda. Kuda tinggi besar milik Adipati Nareswara.
Seorang pemuda lain, berbadan kurus, berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Suta.
“Wis apa durung, Kang Suta?1” ujar pemuda kurus tadi.
Suta berpaling. “Sopar? Dela maning2, Par. Ana apa sih?3” tanya
Suta, dengan nada heran. Ia memandang sejenak wajah Sopar yang tampak cemas. Pemuda ceking itu masih takut-takut. Baru dua hari ini Sopar mengabdi pada Adipati Nareswara di Kadipaten Karang Lesung itu, sebagai pengurus taman, menggantikan ayahnya yang sudah dipensiun.
1. Sudah atau belum, Kak Suta? 2. Sebentar lagi. 3. Ada apa sih?
8
“Kanjeng Adipati wis arep tindak, Kang4,” sahut Sopar. “Inyong5 diutus supaya menanyakan kuda Beliau, sudah siap apa belum.”
“Oh kaya kuwe6,” kata Suta “Ini sudah selesai, kok. Sebentar lagi aku bawa ke depan pendopo.”
“Ya, Kang. Kanjeng Adipati menunggu di pendopo. Ya sudah, Kang. Aku mau kerja lagi.”
“Kesuwun7 ya Par.” “Iya, Kang. Sama-sama,” sahut Sopar sambil
berlalu. Sebentar kemudian Suta menuntun kuda itu ke
depan pendopo. Di sana sudah berdiri Adipati Nareswara, bersama seorang gadis cantik. Gadis itu adalah Roro Inten, putri tunggal Sang Adipati.
“Silakan, Kanjeng Adipati. Kudanya sudah siap,” kata Suta sopan.
“Ya, Suta.” Adipati Nareswara melompat ke atas punggung
kuda. Kuda itu meringkik, lalu mendengus, mengembuskan napas yang berkabut. Sang Adipati lalu menyentakkan tali kekang. Kuda itu pun melangkah meninggalkan halaman pendopo. Suta dan Roro Inten memandang kepergian Adipati Nareswara beberapa saat.
4. Kanjeng Adipati sudah akan pergi, Kak. 5. Saya. 6. Oh begitu. 7. Terima kasih.
9
Roro Inten merapatkan kain yang menutupi pundaknya. Tampaknya ia sedang kedinginan.
Kemudian Suta dan Roro Inten tanpa sengaja saling tatap. Keduanya tersenyum.
Sopar yang tengah menyapu halaman pendopo di dekat mereka melihat peristiwa itu. Ia sedikit terkesiap. Pandangan Suta pada Roro Inten, dan sebaliknya, pandangan Roro Inten pada Suta terlihat istimewa. Mereka seperti dua orang yang tengah memendam rasa.
“Maaf, Kanjeng Putri. Saya permisi dulu,” kata Suta tiba-tiba.
Roro Inten hanya mengangguk dan memandang kepergian Suta.
“Ini tidak boleh terjadi,” batin Sopar. “Aku harus memperingatkan Kang Suta. Kalau tidak, dia akan mendapat kesulitan.”
*
Langit senja berwarna jingga menghiasi
Kadipaten Karang Lesung. Senja itu Suta dan Sopar berjalan pulang
bersama. “Ngapura8, ya Kang,” ujar Sopar. “Bukan
maksudku mencampuri urusan orang.” 8. Maaf.
10
“Tidak apa-apa, Par,” kata Suta. Ia menghela napas. “Aku tahu kedudukanku. Aku tahu, aku hanyalah seorang batur9, dan Kanjeng Putri adalah seorang raden10. Kami dipisahkan oleh jurang tradisi yang sangat lebar dan dalam. Tapi… ”
“Sudahlah, Kang. Aku ini tidak sedang mengajari. Tapi menurutku, mulai sekarang lupakanlah Roro Inten. Dia bukan untukmu.”
Suta dan Sopar terus melangkah. Mereka berdiam diri.
“Par,” ujar Suta, memecahkan kebekuan sesaat itu. “Pernahkah kau… jatuh cinta?”
“A… apa?” Sopar tergagap. “Ya, pernahkah kau merasa jatuh cinta?” “Maksud Kakang, pernahkah aku merasa suka
pada seseorang?” “Ya, Par. Suka yang teramat sangat.” Gantian Sopar yang menghela napas. “Aku suka memerhatikan gadis-gadis desa, Kang.
Ada beberapa yang aku suka. Tapi… yah, hanya sebatas suka. Aku sadar aku bukan siapa-siapa. Mana ada gadis yang mau sama pemuda jelek seperti aku.”
Ucapan Sopar terdengar getir. 9. Pembantu. 10. Bangsawan.
11
“Aku sangat mencintai Roro Inten, Par,” kata Suta kemudian. “Itulah yang membuat aku semangat bekerja di kadipaten. Tiap kali aku melihatnya, aku merasa gugup. Jantungku sampai deg-degan tak karuan.”
Kali ini Sopar hanya terdiam. Ia membayangkan kejadian tadi pagi di mana Suta dan Roro Inten saling pandang dan kemudian saling melempar senyum. Dua senyuman itu…
“Kita sudah sampai, Par,” kata Suta. Mereka berdua tiba di sebuah halaman di depan
dua buah rumah kayu sederhana yang berdampingan.
“Kita berangkat bersama lagi besok pagi, ya,” tambah Suta.
“Iya, Kang,” sahut Sopar pendek.
*
12
2. TURANGGA SETA
Roro Inten, putri tunggal Adipati Nareswara,
tengah duduk-duduk di pendopo kecil di tengah taman sari. Ia ditemani oleh pengasuhnya, Bibi Emban.
Sang Putri terlihat sedang melamun. “Apa yang sedang dipikirkan, Den?” tanya Bibi
Emban lembut. Roro Inten tersenyum lemah. “Tidak sedang berpikir apa-apa, Bibi.” “Nyuwun pangapunten11, Den. Sudah beberapa
hari ini Den Roro Bibi lihat sering melamun,” ujar Bibi Emban khawatir. “Kalau ada masalah, ceritakan saja sama Bibi. Siapa tahu Bibi bisa membantu.”
“Aku ingin belajar naik kuda, Bi.” Bibi Emban terlonjak. Ia tidak menduga Roro
Inten akan menjawab demikian. “Oalah, oalah… Bibi jadi kaget,” ujar Bibi Emban
sambil mengelus dada. “Belajar naik kuda? Menopo diparengaken12 sama Kanjeng Adipati?”
11. Mohon maaf (lebih halus dari ngapura). 12. Apakah diperbolehkan.
13
“Bagaimana caranya agar dibolehkan sama Romo Adipati, ya Bi?” ujar Roro Inten dengan nada penuh tekad.
“Wah, Bibi tidak tahu, Den.” “Kalau begitu biar aku coba minta ijin sama
Romo, ya Bi. Aku sangat berharap Romo mau mengabulkannya.”
“Inggih sumonggo13, Den Roro. Semoga Kanjeng Adipati tidak marah.”
*
“Apa?! Belajar naik kuda?!” ujar Adipati
Nareswara dengan nada tinggi. “Nduk14, kamu ini anak perempuan. Buat apa belajar naik kuda segala?”
“Tapi Romo… ,” ujar Roro Inten dengan suara menahan tangis.
“Ya, ya, ya… sudah, jangan menangis,” kata Adipati buru-buru. Ia tak tega putri satu-satunya itu bersedih hati. “Romo ijinkan kamu belajar naik kuda. Tapi jangan berkuda jauh-jauh dari rumah kadipaten, ya?”
Seketika wajah Roro Inten berubah sumringah. Ternyata ia diijinkan Romo-nya belajar naik kuda!
13. Iya silakan. 14. Nak (untuk anak perempuan)
14
“Ngati-ati yo Nduk15,” Nyai Nareswara, Ibunda Roro Inten, ikut bicara. “Mengko angger kowe tiba kepriwe16?”
“Saya akan hati-hati, Ibu,” janji Roro Inten. “Nanti aku minta Suta untuk mengajarimu,” kata
Sang Adipati. Roro Inten buru-buru sungkem kepada Romo-
nya. “Terima kasih, Romo. Terima kasih.”
*
Secara khusus, Adipati Nareswara kemudian
membelikan seekor kuda putih sebagai kuda tunggangan buat Roro Inten.
“Aku namakan dia Turangga Seta. Artinya kuda putih,” kata Roro Inten pada Suta. Mereka berdua tengah berada di gedhogan17.
“Nggih18, Den,” ujar Suta. “Nama yang bagus. Cocok sekali dengan kudanya.”
“Katanya Romo menyuruhmu untuk mengajari aku menunggang kuda,” kata Roro Inten.
“Benar, Den. Mulai hari ini Den Roro akan saya ajari menunggang kuda.”
15. Hati-hati ya Nak. 16. Nanti kalau kamu jatuh bagaimana? 17. Kandang kuda. 18. Ya.
15
“Bagaimana caranya naik ke atas kuda?” “Itu nanti, Den,” kata Suta. “Pertama-tama kita
belajar menuntun kuda terlebih dahulu. Kita bawa hilir mudik di halaman sekitar rumah kadipaten. Setelah Den Roro dan Turangga Seta sama-sama nyaman, barulah naik ke punggungnya.”
Maka mulailah Roro Inten menuntun kuda, didampingi Suta. Mereka berjalan hilir mudik di pekarangan kadipaten.
Sopar, yang mulai terbiasa membereskan pekarangan, melihat Roro Inten menuntun kuda putih dikawal oleh Suta.
“Kuda baru itu ternyata milik Roro Inten, toh? Tampaknya Suta diberi tugas untuk mengajarinya menunggang kuda. Wah, mereka akan bertambah dekat kalau begitu,” gumam Sopar. “Aku sudah memperingatkan Suta untuk menjaga jarak dengan Roro Inten. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tapi, aku tahu, itu bukan salah Suta.”
Suta dan Roro Inten tampak sangat bahagia. Wajah mereka cerah ceria. Sesekali keduanya saling pandang, lalu tersenyum. Sementara Sopar hanya bisa mengamati mereka.
*
16
3. TAMU DARI KARANG BARUNG
Beberapa hari kemudian Kadipaten Karang
Lesung kedatangan tamu dari Kadipaten Karang Barung. Keluarga Adipati Naradipa berkunjung ke keluarga Adipati Nareswara.
“Suatu kehormatan, Kanjeng Adipati Naradipa sekeluarga berkunjung ke kadipaten kami,” kata Adipati Nareswara.
“Suatu kehormatan juga, kami disambut dengan baik, meskipun kedatangan kami tanpa pemberitahuan terlebih dahulu,” balas Adipati Naradipa.
“Tidak apa-apa, Kanjeng. Ini kejutan yang membahagiakan,” kata Adipati Nareswara.
Adipati Naradipa datang bersama istri dan kedua anaknya. Anak pertamanya seorang gadis bernama Roro Nawangsih, anak keduanya seorang pemuda bernama Raden Panji.
“Kalau anak kami masih semata wayang saja, Kanjeng,” kata Adipati Nareswara. “Tapi maaf, dia sedang tidak di rumah. Roro Inten sedang berlatih menunggang kuda. Mungkin sebentar lagi pulang.”
“Menunggang kuda, Kanjeng?” tanya Raden Panji heran.
17
“Benar, Nak. Roro Inten sering meminta sesuatu yang tak terduga. Yang terakhir ini, dia minta diajari cara menunggang kuda.”
Adipati Naradipa, ayah Raden Panji, tertawa. “Ya, sebenarnya tak apa-apa. Menurut saya itu tidak menyalahi adat. Di kerajaan-kerajaan besar, ada juga prajurit-prajurit wanita yang berkuda. Mereka tak kalah gesit dibanding para prajurit pria.”
Adipati Nareswara mengangguk-angguk. “Maka dari itu, saya mengijinkannya belajar mengendarai kuda, meskipun dengan berat hati. Karena dia putri kami satu-satunya. Sebagai orang tua, tentu kami merasa khawatir. Dia bisa jatuh, atau apa, yang membahayakannya.”
“Ya, ya, saya paham,” kata Adipati Naradipa. Seorang pelayan wanita mendatangi Nyai
Nareswara dan berbicara dengan suara pelan. Nyai Nareswara mengangguk-angguk.
“Nuwun sewu19, caosan dhaharanipun20 sudah siap,” kata Nyai Nareswara. “Sumonggo, sedoyo dipun aturi dhahar rumiyin21."
Maka kedua keluarga bangsawan itu pindah ke ruang makan. Perbincangan pun terus berlanjut.
“Ngomong-ngomong kapan nih Nyai mantu?” ujar Nyai Nareswara kepada tamunya, Nyai Naradipa.
19. Permisi/maaf. 20. Hidangan makanan. 21. Silakan, semuanya dipersilakan supaya bersantap dahulu.
18
Nyai Naradipa tersenyum. “Syukur Kepada Yang Mahakuasa, Nawangsih sudah dilamar minggu kemarin. Beberapa bulan lagi kami akan mantu. Iya kan, Nawang?”
Roro Nawangsih tersenyum malu. “Oh, kami ikut senang mendengarnya,” kata
Nyai Nareswara. “Yah, sekarang tinggal Raden Panji,” kata Adipati
Nareswara, nimbrung pembicaraan istrinya “Bagaimana, Nak Panji? Kau sudah punya kekasih atau belum?”
Raden Panji tersenyum tipis. “Anak ganteng seperti Nak Panji tentu banyak
gadis yang suka,” kata Nyai Nareswara. “Dia sih bilangnya belum punya,” ujar Nyai
Naradipa. “Tapi biasalah anak laki-laki. Mengakunya belum punya, tapi ternyata kekasihnya tidak bisa dihitung dengan jari.”
Semuanya tertawa. Dan perjamuan pun berlanjut dengan bincang-bincang yang akrab.
Beberapa waktu kemudian, tamu dari Kadipaten Karang Barung minta diri, berpamitan untuk pulang. Kedua keluarga bangsawan itu berkumpul di pelataran pendopo, di dekat sebuah kereta kuda. Bersamaan dengan itu, di pintu gerbang muncul dua orang penunggang kuda. Mereka Suta dan Roro Inten.
“Itu dia Roro Inten,” ujar Adipati Nareswara. “Wah, pas sekali dia datang.”