Upload
buianh
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
―Sejauh ini hanya 2 stasion
televisi nasional yang mampu
menyuguhkan info dan acara
secara lebih bijak,‖
Sejarah Budaya Sosial Kampus
G
RA
TIS..!!!
Edisi #4 Agustus 2008
4 TAHUN
OASE UPDATED BY:
BIMO ADRIAWAN a..k.a gommu KLIK GAMBAR DISAMPING UNTUK KEMBALI KE SINI.
TERSEDIA DI SEMUA BAGIAN BAWAH HALAMAN
DAFTAR ISI :
Hal 2 Mengubah Tradisi Kultural
Hal 5 Menjauh dari TV-mu….
Hal 8 Penyakit Dalam TV
Hal 11 5 Stasiun TV Terburuk
CLICK-ABLE!
Bulletin Mahasiswa Sejarah 1
PENGANTAR REDAKSI OASE
Alhamdulillah... Akhirnya Bulletin Oase edisi ke-4
bisa terbit juga. Ditengah ketidakkonsistenan intensitas
penerbitan dan keterbatasan dalam berbagai keahlian serta
energi, kita berusaha untuk hadir kembali, tentunya
dengan berbagai improvisasi yang baru karena kita selalu
berusaha untuk menghadirkan format terbaik agar bisa
menyuguhkan sesuatu yang segar bagi para pembaca.
Walaupun tak bisa dipungkiri, bahwa kenaikan BBM secara
tidak langsung ikut mempengaruhi produktivitas kita dalam
menulis. Maklum, asupan protein ke otak kurang,
berhubung harga daging mahal, imbasnya daya berpikir jadi
lemah, nulis pun sulit (he...he... Lebai deh..).
Terlepas dari itu semua, kali ini redaksi berusaha
menyuguhkan sedikit “kemarahan” terhadap kondisi yang
kian memuakan, melalui labirin teks yang tersusun dengan
berantakan, dan entahlah apa mampu memberi maanfaat
pada khalayak pembaca. Yang jelas kita hanya
menyuguhkan rangkaian opini, pembaca sendiri yang
meni la i . Mudah -mudahan dapat
menambah khazanah kita semua.
5 Menjauh dari TV Mu...!
2 Mengubah Tradisi Kultural
8 Tujuh Jenis Racun TV
11 Lima Stasiun TV Terburuk
Cover : www.computerart.com
Bulletin Mahasiswa Sejarah
Pemimpin Redaksi: H.G.Corleone
Redaktur : Bulky Rangga Permana
Wakil Redaktur : Teguh V. Andrew
Sidang Redaksi : Bulky, Yandri, Refki,
Rendi, Haq
Desain Visual : Ashari, Iman Santoso,
Arisa Prabowo, Yayang Heryana, Rizki
Adi, Agung, Wildan, Prasetyanto, Idham,
Komeng
Dokumentasi: Yeni, Dheti, Uni, Hani,
Krisna, Deni, Pramesta, Ferri, Wilman,
Fotografer: Reza Pahlevi, Sari, Hafidz,
Ardi, Rina, Nopida, AM
Pemasaran: Aji Moerdani, Didi, Alang,
Seno, Syamsir, Erik, Nizar, Dona, Reza
Kupret, Dea, Desi, Devita, Hilda, Wina
Penulis: Maul, Fadli, GB, Ade, Yandri,
Alamat Redaksi: Tidak menentu,
seperti tidak menentunya korban Lumpur
Lapindo.
E-mail: [email protected]
MENYEDIAKAN RUANG IKLAN
bag i y ang betm inat hubung i :
081322621927
Bulletin Mahasiswa Sejarah 2
S udah setengah abad lebih
Negara kita berdiri. Namun,
umum diketahui bahwa cita-cita yang telah kita
pancangkan di awal kemerdekaan, belum juga
dapat dicapai. Ia masih saja berupa angan-
angan, sesuatu yang masih menggantung di
langit malam. Lama kita menunggu, sambil
terus bertanya,” kapankah cita-cita itu tiba?”
Apakah penantian ini tak akan jadi seperti
menunggu godot …?” Lalu, entah karena tak
setia atau bosan menunggu, rasa pesimis itu
mulai merayap, mencengkram dan
menggerogoti keyakinan pada cita-
cita bersama kita, hingga akhirnya
yang tertinggal hanyalah
ketakacuhan akut. Kini, apabila
orang lain menyinggung tentang
cita-cita itu, wajah pesimis dan
ketakacuhan itu muncul dalam bentuk senyum
mengejek.
Namun,dulu ada sebuah masa
dimana dada kita masih penuh dengan bara
semangat dan binar mata optimis menatap
sebuah cita-cita yang akan dituju. Waktu itu -
tahun ’50-an, setelah negara kita resmi
menjadi NKRI dan menjadi bagian dari
bangsa-bangsa yang merdeka di dunia-
sebuah jalan panjang terbentang dihadapan
kita. Ia minta untuk dilalui dan diisi. Maka,
mulailah kita merajut rencana-rencana besar
bagaimana mewujudkan cita-cita tersebut.
Dengan segera, kita membangun sarana-
sarana fisik, teknologi-teknologi ,sistem
pemerintahan, perekonomian dll.
Tetapi, sejalan dengan berlalunya
waktu terlihat ada sesuatu yang keliru dengan
langkah yang kita ambil. Pembangunan yang
kita jalani jadi terlalu memusatkan pada
sesuatu yang bersifat fisik dan lahiriah,
sehingga kita gagal dalam menangkap apa
yang sungguh-sungguh esensial.
Seakan-akan dengan
transfer teknologi, penguatan
perekonomian dan demokrasi kita
bisa secara cepat mengejar negara-
negara maju dan mencapai cita-cita
kita. Kita lupa bahwa apa yang kita
lihat pada kemajuan negara-negara
barat –sebuah negara yang dalam
batas-batas tertentu kita jadikan sebagai
model— dengan teknologinya,
perekonomiannya, politiknya, dan ilmu
pengetahuannya, sebenarnya hanyalah
sebuah fenomena puncak gunung es dari
sesuatu yang ada dibawahnya. Kita lupa
bahwa apa yang kita lihat sebagai keunggulan
barat, sesungguhnya hanyalah buah dari
proses panjang –kadang getir dan berdarah—
yang telah dijalani oleh perkembangan
sejarahnya
Mengubah Tradisi Kultural
BUDAYA
Bulletin Mahasiswa Sejarah 3
Proses panjang itu adalah revolusi
kultural. Di sini ada sebuah perubahan paradigma
yang mendasar dan radikal pada pemahaman
barat terhadap konsepsi manusia dan alam
semesta. Barat melengserkan Tuhan dan alam
dari singgasananya sebagai pusat makna –suatu
paham yang menjadi ciri seluruh kebudayaan
tradisional-, untuk kemudian menggantikan posisi
lowong tersebut dengan manusia; yang teosentris
berubah menjadi antroposentris. ”Manusia-lah
ukuran segala-galanya,” ungkap Protagoras.
Dalam wadah seperti inilah, paham
humanisme lahir, untuk kemudian
dipertajam oleh liberalisme di masa
aufklarung. Humanisme dan liberalisme
memberikan cara pandang yang sama
sekali baru. Paham-paham ini
memberikan pemahaman dan keyakinan
bahwa manusia sendirilah yang bertanggung
jawab terhadap kehidupannya. Tak ada
kekuasaan takdir disini. Hasilnya, terlepas dari
sisi-sisi negatif yang kita tahu sekarang timbul dari
paham-paham diatas, humanisme dan
leberalisme-lah yang membuat karakter
masyarakat barat mandiri, tak lagi tergantung
pada alam, dinamis, juga kritis. Hal-hal inilah –
ditambah dengan rasionalisme, empirisme,
penemuan logika induktif, penggabungannya
dengan logika deduktif yang kemudian menjadi
standar bagi pengetahuan ilmiah— yang menjadi
dasar bagi seluruh kemajuan barat sekarang.
Kembali ke pembicaraan kita, hal inilah
saya kira yang dilupakan dalam proyek
pembangunan kita. Kita lupa untuk merubah
tradisi kultural masyarakat. Dunia yang kita diami
sejak awal abad ke-20 sampai sekarang adalah
sebuah dunia yang sama sekali berbeda; sebuah
dunia yang belum ada presedennya dalam
sejarah manusia manapun. Ia menuntut jawaban
yang berlainan dengan jawaban yang sanggup
diberikan oleh tradisi kita. Karena kebudayaan
dalam batas-batas tertentu pada hakikatnya
adalah sebuah cara untuk menanggapi.
Sebuah respon terhadap beragam
kebutuhan manusia dalam kaitannya
dengan kondisi lingkungan yang
ditinggalinya, maka sedikit-banyak kita
mesti berani menyesuaikan kebudayaan
kita agar dapat menjawab tantangan-
tantangan berupa persoalan yang
dilontarkan oleh apa yang kita sebut sekarang
sebagai dunia modern.
Memang, selalu ada kekhawatiran
terhadap hilangnya sebuah identitas kita sebagai
bangsa. Namun, dalam hubungannya dengan
kebudayaan modern, mau tak mau kita harus
melakukan sebuah kompromi, meskipun tindakan
ini tak bisa dipungkiri mengandung resiko yang
berbahaya. Bila tidak, maka kita tidak akan bisa
bertahan. Lebih baik melakukan kompromi
dengan sebuah rencana ditangan daripada
sebuah kompromi alamiah seperti yang kita lihat
sekarang dalam kehidupan generasi muda kita;
BUDAYA
Bulletin Mahasiswa Sejarah 4
gabungan antara budaya tradisional dan budaya
urban.
Lantas, bagaimanakah caranya ?
Sungguh ini merupakan sebuah pertanyaan sulit.
Disamping itu, merubah sebuah kultur adalah
suatu proses yang memakan waktu lama. Dalam
keseluruhannya, proses ini tidak berbicara dalam
bilangan tahunan, belasan tahun, atau puluhan
tahun, melainkan ratusan tahun. Barat
memerlukan waktu hampir 500 tahun lebih
sehingga bisa menjadi barat yang kita kenal
sekarang. Tetapi mungkin kita tak perlu sampai
selama itu untuk melakukannya. Ada sebuah
perbedaan kondisi antara masa sewaktu barat
memulai proses ini dengan kondisi kita sekarang.
Tetapi, dari sekian banyak alternatif
jawaban yang bisa disodorkan, ada sebuah
langkah awal yang mungkin bisa mengembalikan
rencana pembangunan kepada trek yang benar,
sekaligus membuang unsur-unsur dalam kultur
kita yang menghambat pada pencapaian cita-cita
bersama kita. Langkah itu adalah meyuburkan
dimensi kesenian kita, khususnya sastra.
Perubahan kultural adalah proses penyerapan
ide-ide progresif yang dilahirkan oleh pionir-pionir
cendikiawan yang tadinya hanya dimiliki oleh
segelintir elit, untuk kemudian diturunkan dan
ditangkap menjadi sebuah kesadaran kolektif
masyarakat. Proses menangkap ide-ide progresif
agar menjadi sebuah kesadaran kolektif
memerlukan sebuah instrument sebagai
perantaranya. Saya kira bentuk kesenian pada
umumnya, atau sastra pada khususnya-lah yang
bisa melakukan proses tersebut. Hal itu mungkin,
karena kesenian hakikatnya adalah sebuah gema
dari pantulan-pantulan suara realitas zamannya
yang ditangkap lewat sebuah abstraksi dan
pemaknaan, untuk kemudian dikeluarkan dalam
bentuk estetis.
Ketika realitas -yang didalamnya ide-ide
progresif itu mewujud- telah direproduksi menjadi
sebuah relitas baru yang diberi pemaknaan
dengan cara estetis, maka saya kira disinilah
penyemaian ide-ide progresif bisa dilakukan
hingga menjadi sebuah kesadara kolektif di
masyarakat. Bila akhirnya, kesadaran kolektif
masyarakat terhadap ide-ide progresif itu telah
dimiliki dan menjadi bagian yang sah dari tradisi
kebudayannya, maka perubahan kultural telah
menampakan hasilnya. Wallahu’alam. (Bulky ‘05)
BUDAYA
Bulletin Mahasiswa Sejarah 5
Menjauh Dari TV Mu..!
Kami ingin nampak putih
Sepersekian detik di muka TV dan kami frustasi (frustasi !!)
Kami ingin rambut lurus
Kami terjangkit phobia dangdut
Semenjak saksikan pariwara TV dan kami frustasi (frustasi !!)
Frustasi…ya..ya..ya..ya..
Kami ingin nampak ramping dapatkan fisik yang lebih cling
Seperti standar cantik di televisi, hingga frustasi (frustasi !!)
Fenomena yang kian
me mu a ka n ak h ir - ak h ir in i
mengingatkan saya pada sepenggal
lirik lagu lama The Upstairs dengan
titel Frustasi. Tak salah jika Jimmy
Multazam –sang vokalis— berteriak-teriak
frsustasi, karena memang demikian lah adanya
apa yang disuguhkan TV selama ini, dan hal
seperti ini pun mungkin sama seperti yang kita
semua rasakan (mungkin…?). Entahlah apa kata
frustasi sudah mampu mewakili rasa muak akibat
televisi, atau terlampau berlebihan? Yang pasti
keberadaan televisi telah bergeser dari hakikat
keberadaannya. Ya, memang apa yang kita
harapankan dari televisi adalah hiburan,
disamping tentunya sebagai media informasi dan
komunikasi. Namun apa jadinya jika sebagian
besar stasion televisi yang ada tidak lagi
menyajikan apa yang kita harapkan secara
proporsional? Televisi akhirnya menjadi media
pembodohan. Sejauh ini hanya 2
stasion televisi nasional yang mampu
menyuguhkan info dan acara secara
lebih bijak, walaupun terkadang
m e n i m b u l k a n k e b i n g u n g a n
pemirsanya karena topik yang terlampau berat
atau adu argumen yang sering memusingkan,
tetapi setidaknya mendidik penontonnya untuk
bisa berpikir kritis. Sementara itu sebagian besar
stasion televisi lagi-lagi berkutat dengan rating
dan acara-acara yang kian hari kian mencuci
identitas, tanpa disadari mengubah pola pikir,
menimbulkan pencitraan yang salah, serta
penyuguhan harapan serta realitas semu bagi
penontonnya. Seperti yang dikemukakan oleh
Jean Baudrillard bahwa penciptaan dunia
kebudayaan dewasa ini mengikuti suatu model
produksi yang disebut dengan ‗simulasi‘, yakni
penciptaan model-model nyata yang tanpa asal
usul atau realitas. Melalui model simulasi ini,
SOSIAL
Bulletin Mahasiswa Sejarah 6
manusia dijebak dalam satu ruang yang
disadar inya sebaga i nyata mesk ipun
sesungguhnya semu atau khayalan belaka.
Realitas semu ini merupakan satu ruang antitesis
dari representasi. Bahkan bisa dikatakan bahwa
manusia mendiami suatu ruang realitas, di mana
perbedaan antara yang nyata dan maya atau yang
benar dan yang palsu menjadi sangat tipis.
Kondisi seperti itu menjadi makanan
sehari-hari yang kita temui dalam televisi. Seperti
sinetron dan iklan, terutama sinetron yang
jumlahnya sudah di luar kendali dan semakin
menunjukan kekonyolan yang terlalu berlebihan.
Kita bisa menerima manakala sinetron disajikan
secara wajar, tidak menyimpang makna
sebenarnya: hiburan. Tetapi bukan berarti
mengeliminasi unsur-unsur lainnya demi
tercapainya sebuah hiburan semata. Misalnya
sebuah sinetron mengabaikan amanat yang
disampaikan, jumlah episode yang terlampau
berlebihan, gaya dan perilaku yang tak patut di
contoh, adegan yang kadang irasional, dan
banyak lainnya yang jika dikemukakan akan
menelan unsur positif yang ada (kalau pun
memang ada unsur positifnya).
Keadaan ini diperparah lagi, saat
tayangan-tayangan yang muncul dikonsumsi oleh
anak-anak serta remaja dengan pola saring yang
buruk, bahkan kadang ditelan bulat-bulat.
Setidaknya ada 3 masalah besar yang di
timbulkan tayangan di televisi. Tak usah lah
mengaitkan jauh-jauh dengan kapitalisme, yang
paling terasa adalah masalah pencitraan yang
salah. Kebanyakan remaja akan tercuci pola
pikirnya saat menyaksikan tayangan di televisi,
khususnya sinetron yang mempertontonkan gaya,
perilaku yang pada dasarnya bukan panutan yang
baik. Secara tidak sadar mereka akan terjabak
dengan pencitraan yang mereka bayangkan
sendiri. Masuk dalam labirinnya sendiri yang
terbentuk atas berbagai tayangan yang ia tonton.
Contohnya, seorang remaja akan menganggap
cool gayanya Agnes Monica dengan tank top
putihnya dipadukan dengan Jeans super mini
sepaha serta rambut yang di cat tak keruan. Dari
sinilah kemudian muncul pencintraan yang
menganggap bahwa gaya yang demikian adalah
gaya yang modis, up to date, dan tentu saja patut
ditiru. Padahal kenyataannya busana seperti ini
hanya menyebabkan para pria tak enak duduk.
Contoh sederhana, misalnya gaya Cinta Laura
yang berlengak-lenggok plus cara bicara dan
fashionnya akan lebih ampuh untuk membentuk
“citra diri” dan “makna hidup” daripada
mempelajari filsafat modern yang ada untuk
mengkonstruksi dua hal tersebut. Buntutnya
adalah penggerogotan identitas kita sebagai
individu menjadi manusia yang penuh dengan
SOSIAL
Bulletin Mahasiswa Sejarah 7
dengan keseragaman yang salah.
Masalah kedua adalah suatu bentuk
pelarian dari kondisi yang ril. Tayangan di
televisi yang menawarkan mimpi-mimpi ditengah
kondis sosial yang kurang baik bahkan cenderung
menghimpit, bukan hadir untuk memberikan
enlightment atau solusi, justru cenderung
menawarkan suatu kontradiksi. Kehidupan
mewah, budaya yang serba instant, popularitas
seperti yang ditwarkan Indonesia Idol, Uang yang
melimpah seperti yang diperlihatkan Deal or No
Deal. Maka tidaklah mengherankan jika acara
seperti itu memiliki rating yang tinggi, karena
melaui tayangan yang ada menjadi sarana
eskapisme. Seperti yang dikemukakan oleh
Ashadi Siregar, bahwa mimpi yang ditawarkan
melalui tayangan-tayangan yang ada berfungsi
sebagai eskapisme bagi massanya, muncul dari
kenyataan yang ada. Karenanya, kita bisa
mengatakan bahwa kenyataan paling buruk akan
menghadirkan impian paling indah. Sehingga jika
kita sedikit berspekulasi, bisa jadi tingginya
rating sinetron karena keberadaannya sebagai
penawar dari kondisi sosial yang semakin
menghimpit. Orang yang ga punya duit akan
nyaman nongkrong di depan TV menyaksikan
Deal or No Deal, sementara orang yang
menginginkan popularitas akan nyaman
berkhayal sambil nonton Indonesian Idol, lalu
remaja yang memasuki masa pubernya tentu akan
asyik mengikuti sinetron percintaan remaja.
Akibatnya kita bukan keluar mencari solusi justru
terlarut dengan mimpi-mimpi.
Masalah ketiga adalah mental yang buruk.
Semakin banyak kita stay tune di depan TV,
semakin banyak pengaruh buruk pada mental
kita. Lagu-lagu cinta yang mendayu-dayu
semakin marak bermunculan seiring
menjamurnya band-band baru. Lagu-lagu yang
ada cenderung melarutkan pendengarnya pada
perasaannya. Orang yang sedang patah hati akan
terlarut dengan keadaanya ketika mendengar lagu
D‘Masiv yang konyol itu. Belum lagi reality
show percintaan yang mengumbar kegombalan.
Cowo seolah diperbudak cewe, dengan tololnya
mau saling tonjok untuk memperebutkan cewe.
Inget bung, perbandingan cowo ma cewe di dunia
ini 1:4. Mental yang lemah !! bung, kita hidup
bukan hanya untuk cinta, tetapi dihadapkan pada
masalah yang lebih pelik daripada itu. Arghhh...!
kita muak dengan semua itu. Sedikit solusi yang
bisa ditawarkan: (1) menjauh dari TV mu atau
kalau perlu matikan TV-mu, jika memang tidak
mampu bersikap kritis terhadap muatan yang
disuguhkan karena dalam keseharian kita akan
selalu dekat dengan hal itu; (2) budaya literasi,
biarkan dirimu mencari identitas secara
independent melalui berbagai bacaan yang
hinggap di kepala. (H.G.Corleone)
SOSIAL
Tujuh Jenis Racun dalam TV
Hal apa sajakah dari TV yang merusak perkembangan anak usia dini? Atau kandungan racun apa saja
yang ada di TV? Berikut riset kecil-kecilan untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, yang mau tidak
mau memaksa qrew Oase ikut menyelami lumpur kenistaan TV , tapi tak apa demi membukakan mata
kita semua atas biang ketololan yang disebabkan TV. Berikut 7 racun TV:
1. Sinetron/Film Televisi. Seingat saya hanya 2 buah sinetron berkualitas yang hingga kini melekat di
kepala, yakni Si Doel dan Keluarga Cemara (duh…sangat bersahaja). Semakin hari sinetron yang ada
hanya mengumbar ketololan, mulai dari cerita seputar anak SMA yang memuakan, pederitaan cewe
miskin yang tiba-tiba kaya mendadak, Istri yang ditinggal mati suami, kisah cinta sepasang
kekasih,dll. Uniknya kesemuanya memiliki plot yang sama, di mana si protagonist selalu ditindas
sepanjang episode dan baru bahagia di akhir episode. Satu lagi fenomena baru, yakni sinetron cinta
yang ―Islmai‖ menjadi komoditi semenjak AAC booming, sayangnya 11-12 dengan sinetron lainnya
sama-sama basi, kemasannya saja tampak meyakinkan.
Efek: hiburan yang bertransformasi menjadi pembodohan, pencitraan yang salah, contoh buruk bagi
pendidikan moral anak.
2. Infotainment, gossip. Sebetulnya agak sedikit bingung menempatkan infotainment di urutan kedua
setelah sinetron, padahal keduanya sama-sama berkadar racun tinggi. Penempatannya di urutan
kedua, tidaklain karena dari acara ini kita bisa melihat kebodohan yang diperbuat para selebriti untuk
setidaknya tidak dicontoh oleh kita. Enough…hanya di situ nilai positifnya. Sisanya bagaikan vitamin
C dosis tinggi yang dimakan 3 x sehari (pagi, siang, sore) dampaknya mencret-mencret deh…
Efek: fitnah, bergunjing, pokoknya salah satu penyakit hati
3. Live Show/Seleb Show dan sejenisnya. Soal beginian Indosiar yang layak ditempatkan di nomor
wahid. Durasi acara 5-6 jam, guyonan yang lama-kelamaan terasa ga penting, basi !! Anehnya acara
kayak gini masih banyak yang minat padahal kan buang-buang waktu, seolah mendikte pemirsanya
untuk terus manteng di depan TV-nya. Kita bisa menerima, apabila acara seperti ini disajikan secara
proporsional, tapi yang ada sungguh berlebihan: 7x seminggu, durasi 5-6 jam/episode. Wow..!!
dengan waktu sebanyak itu kita bisa bikin origami sekarung kali…. Efek : buang-buang waktu,
sedikit mendikte manajemen waktu, ga penting…
Bulletin Mahasiswa Sejarah
8
SOSIAL
4. Reality Show percintaan. Entahlah acara gini apakah hasil acting atau
beneran….yang jelas gombalannya itu lho.. ga nahan..!! bikin geli yang nontonnya. Ini nih yang
merusak mental, seolah hidup hanya untuk cinta. Belum lagi kelakuan cowo-cowo yang dengan
tololnya adu jotos demi seorang cewe. Cewe banyak bos..1:4 di dunia ini. Mungkin bagi kita anak
kuliahan udah bisa menimbang kebodohan yang disuguhkan, tapi keterlaluan jika masih
menyempatkan nonton yang beginian. Efek: budaya ngegombal, mental yang lembek, cara pikir yang
dangkal
5. Band-band baru dengan nama yang konyol. Ha..hai.. ini nih yang bikin perut kita geli, bukan
hanya gara-gara namanya yang aneh-aneh tapi juga oleh lirik yang mendayu-dayu Melayu dan bikin
lesu. Apa tuh..ST12, Kangen Band, D’Masiv, Vagetoz, Wali, Angkasa..dll ha..ha..ha.. semuanya emang
meroket (bolehlah dibilang begitu) dengan lagu yang menjual. Tapi sayang, menjual belum tentu bagus
choy…semua lagu yang disuguhkan kebanyakan mengumbar cinta dan kesedihan yang mendayu-dayu.
Kapan negara ini maju, pemuda-pemudanya dicekokki yang beginian. Coba gabung poin no 4 ma no
5, reality show dengan kegombalan + lagu-lagu cinta mendayu-dayu = mental yang lembek.
Efek: terlarut-larut dengan perasaan, mental yang lembek, video klip yang bikin geli
6. Iklan-iklan kecantikan. Gunakan P**DS untuk kulit putih bersinar. Jargon-jargon sejenis seperti
itu merupakan bukti bagaimana mudahnya publik termanipulasi oleh produk dan pencitraan. Entahlah
apakah memang terbukti atau hanya mengumbar kebohongan, yang jelas iklan produk kecantikan
telah berhasil membangun frame berpikir kita bahwa cewe putih itu, cantik. (emang sih…cewe putih
itu kesannya gimana gitu…) tapi bukan berarti pula harus membuat semua cewe pengen tampil putih.
Akhirnya yang ada adalah ketidakbanggaan akan identitas serta pola konsumtif.
Efek : serba konsumtif, masalah pencitraan yang kurang tepat
7. Info kriminal yang berlebihan. Sergap, Patroli, Buser, dan acara sejenisnya kuranglah esensial
bagi masyarakat, walaupun mungkin masih lebih baik dibanding gossip dan sinetron. Namun
keberadaannya kadang hanya mempertontonkan praktek-praktek kekerasan dan kriminalitas yang
berlebihan dan mengesampingkan pesan yang disampaikan. Bahkan menjadi contoh pada praktek
kriminalitas lainnya.
Efek : budaya kekerasan,
Lima Stasiun TV Terburuk
Bulletin Mahasiswa Sejarah 9
Lima Stasiun TV Terburuk
Bulletin Mahasiswa Sejarah 10
Monotonnya paketan siaran TV tanpa
muatan materi yang memberikan edukasi dan
informasi, serta mempunyai efek brain wash
yang merecoki mental bangsa merupakan
realitas di tengah himpitan globalisasi. Dilihat
dari sisi negatifnya, TV telah menghadirkan
sebuah kontradiksi yang membuat orang
terlena sehingga mereka candu dan lupa akan
dirinya. apa jadinya dengan bangsa yang
dulunya terbelakang -agak maju- dan semakin
terbelakang pada saat ini, dengan sejuta
program TV, yang tak kunjung memberikan
pencerahan di tengah keremangan.
Banyak stasiun TV saat ini
cenderung untuk mengikuti trend pasar yang
tentunya juga mengadopsi trend pasar luar
negeri. Di Indonesia sendiri, langsung
mengambil trend pasar tersebut tanpa
fileterisasi akan apa yang di adopsi, di telan
bulat-bulat kemudian keluar lagi dengan utuh
sebagai sebuah produk budaya yang tercipta
dengan proses yang instan, serta tidak
memiliki akar kebudayaan yang kuat untuk
menjadi identitas sebuah bangsa.
Kemunculan berbagai siaran televisi,
seperti sinetron yang manyajikan kisah
percintaan remaja atau reality show memberi
gambaran kepada masyarakat --dengan
ekonomi yang pas-pasan-- bagaimana cara
mendapatkan uang dan menjadi kaya dengan
cara yang instan. Adapun informasi yang
disajikan oleh stasiun televisi cenederung
mengekspose berita yang tak terlalu memiliki
kontribusi terhadap kebutuhan informasi yang
di butuhkan oleh publik. Semua yang
ditayangkan tidak memiliki arti yang penting
terhadap adanya TV sebagai alat untuk
memberikan informasi, edukasi, dan hiburan
yang layak untuk di konsumsi oleh
masyarakat.
Keberadaan stasiun TV yang
memiliki pola siaran yang sama, munkin tidak
terlepas dari motif pasar yang hanya
memikirkan keuntungan bagi para pemilik
modal dan dengan latar belakang demikian
juga hadir dilayar kaca berdasarkan kepada
trend, di mana publik membutuhkan hal-hal
yang bisa melepaskan mereka dari kesibukan
profesi masing-masing. Sedangkan yang
terjadi di Indonesia adalah tindakan yang
berlebihan dari pemilik stasiun TV yang hanya
mengejar keuntungan semata tanpa
memikirkan arti TV sebagai sarana informasi,
edukasi, dan hiburan yang layak bagi
masyarakat yang tentunya di sesuaikan dengan
situasi dan kondisi pemirsanya.
Bulletin Mahasiswa Sejarah 11
Berikut ini adalah rating sebagian kecil acara dari berbagai stasiun TV, yang menurut publik memiliki
rating tinggi dan laku di pasaran, namun menurut penilaian redaksi merupakan 5 stasion TV terburuk,
bukan hanya dilihat dari hiburannya, tetapi khusus dari aspek edukasi dan informasi. (Yandri ‘05)
Nama stasiun Nama acara Rating keterangan
Mama Mia StarDut Seleb Show Layar Indonesia Sinema utama Sinema pilihan
2.5
* acara di bagi
kedalam beberapa
jenis; sinetron,
infotainment,live
show, reality show,
info kriminal * setiap acara
merupakan sample
yang dilihat
berdasarkan kepada
aspek informasi,
edukasi, dan
hiburan * nilai yang tertulis
merupakan
penilaian yang
berdasarkan kepada
motif acara tiap
stasiun TV hampir
sama dan alur yang
disajikan monoton
Inbox Kasak kusuk Cinlok Cookies Gala sinetron Halo selebriti Ada gossip Gala sinema
3
Dadakan 3 dangdut mania
Layar asyik Go show Play DVDut KDI
Sidik
Si Entong
3.5
Mega sinetron
Go spot Silet Cek & ricek
Kabar kabari Deal or no deal Indonesian Idol
Sergap
4
I gosip pagi, siang Asal usul Empat mata TKP WB kids
5