Upload
natsuyaki-yuichi
View
64
Download
26
Embed Size (px)
DESCRIPTION
efek kafein
Citation preview
EFEK AKUT KONSUMSI KOPI BERKAFEIN TERHADAP PENINGKATAN TEKANAN INTRAOKULER
PADA MAHASISWA JURUSAN KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
Bunga Wiharning Setia Putri*; dr. Wahid Heru Widodo, Sp. M**, dr. Evy
Sulistyoningrum, M. Sc***
ABSTRAK Latar Belakang: Kafein terkandung dalam berbagai makanan dan minuman. Konsumsi kafein telah menjadi kebudayaan harian di seluruh dunia. Kafein memiliki efek yang kompleks pada tubuh, salah satunya meningkatkan tekanan intraokuler. Masih banyak kontroversi mengenai efek kafein terhadap tekanan intraokuler. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek akut konsumsi kopi berkafein terhadap peningkatan tekanan intraokuler pada mahasiswa Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman. Metode: Desain penelitian menggunakan randomized clinical trial dengan double blinding. Subjek penelitian merupakan 74 orang mahasiswa Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subyek diminta mengonsumsi kopi berkafein 80 mg bagi kelompok perlakuan dan kopi dekafein 4 mg bagi kelompok kontrol. Tekanan intraokuler diukur sebelum dan menit ke-60 serta 90 setelah mengonsumsi kopi dengan menggunakan tonometer Schiotz. Hasil pengukuran tekanan intraokuler dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara peningkatan tekanan intraokuler sebelum dengan menit ke-60 dan 90 setelah mengonsumsi kopi berkafein (p = 0,000 dan 0,000). Peningkatan tekanan intraokuler pada menit ke-60 dan 90 sebesar 1, 28 dan 2,30 mmHg. Kesimpulan: Terdapat peningkatan tekanan intraokuler pada menit ke-60 dan 90 setelah mengonsumsi kopi berkafein. Kata kunci: Tekanan intraokuler; kopi; kafein * Mahasiswa Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ** Dokter Spesialis Mata Margono Soekardjo Purwokerto *** Dosen Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
ACCUTE EFFECT OF CAFFEINATED COFFEE CONSUMPTION ON INCREASING INTRAOCULAR PRESSURE
IN MEDICAL STUDENT OF JENDERAL SOEDIRMAN UNIVERSITY
Bunga Wiharning Setia Putri*; dr. Wahid Heru Widodo, Sp. M**, dr. Evy Sulistyoningrum, M. Sc***
ABSTRACT
Background: Many foods and beverages contain caffeine. Caffeine consumption becomes a daily culture around the world. Caffeine has complex effects on the body, one of them it can increase intraocular pressure. There are many controversions about effects of caffeine on intraocular pressure. Purpose: The aim of this study was to describe accute effect of caffeinated coffee consumption on increasing intraocular pressure in medical student of Jenderal Soedirman University. Methods: In this randomized clinical trial with double blinding, subjects were 74 medical students of Jenderal Soedirman University who met the inclusion and exclusion criteria. The subjects were asked to consume caffeinated coffee 80 mg (experimental groups) and decaffeinated coffee 4 mg (control groups). Intraocular pressure was measured before and at 60, 90 minutes after coffee consumption using Schiotz tonometer. Measurement result of intraocular pressure were analyzed by Mann-Whitney test. Results: There was a significant difference increasing in intraocular pressure before with 60 and 90 minutes after consumed caffeinated coffee (p = 0.000 and 0,000). Intraocular pressure was increasing in 60 minute and 90 at 1, 28 and 2.30 mmHg. Conclusion: There was an increasing on intraocular pressure at 60 and 90 minutes after consumed caffeinated coffee. Key Words: Intraocular pressure; coffee; caffeine * Mahasiswa Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ** Dokter Spesialis Mata Margono Soekardjo Purwokerto *** Dosen Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
PENDAHULUAN
Konsumsi kafein telah menjadi kebudayaan harian di seluruh dunia. Whalen et al.
(2008) menyatakan bahwa 75-98% golongan muda mengonsumsi setidaknya minimal satu
minuman berkafein setiap hari. Kafein semakin populer di kalangan remaja terutama
mahasiswa karena memiliki jadwal kuliah dan kegiatan yang padat (Lee et al., 2009)
sehingga membutuhkan kafein agar dapat mengurangi letih, meningkatkan energi dalam
tubuh, dan meningkatkan konsentrasi dalam belajar (McIlvain, 2008). Kafein terkandung
dalam berbagai minuman dan makanan, seperti kopi, teh, minuman ringan, minuman
berenergi, cokelat, dan beberapa obat pereda nyeri serta suplemen diet. Produk minuman
berkafein yang paling sering dikonsumsi di seluruh dunia dan memiliki kandungan kafein
yang tinggi yaitu kopi (Heckman et al., 2010).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kafein dapat meningkatkan tekanan
intraokuler, sehingga para dokter menyarankan kepada penderita glaukoma untuk
menghindari konsumsi kafein (Li et al., 2011) karena peningkatan tekanan intraokuler
dapat memperburuk penyakit glaukoma (Heijl et al., 2002). Peningkatan tekanan
intraokuler dapat menyebabkan gangguan saraf optik pada glaukoma sehingga terjadi
kebutaan (Yanagi et al., 2011). Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua di dunia
setelah katarak. Angka kebutaan akibat glaukoma di Indonesia memiliki prevalensi yang
cukup tinggi, yaitu 0,16% (Departemen Kesehatan, 2010).
Masih terdapat beberapa kontroversi tentang hubungan konsumsi kafein dengan
tekanan intraokuler. Beberapa penelitian mengatakan bahwa konsumsi kafein dapat
meningkatkan tekanan intraokuler (Chandrasekaran et al., 2005; Li et al., 2011). Beberapa
penelitian justru mengatakan bahwa orang yang sering mengonsumsi kafein memiliki
tekanan intraokuler yang lebih rendah daripada orang yang jarang mengonsumsi kopi
(Yoshida et al., 2003; Ilechie & Tetteh, 2011).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian randomized controlled trial dengan
double blinding. Populasinya adalah Mahasiswa Jurusan Kedokteran Unsoed. Teknik
pengambilan menggunakan purposive sampling disesuaikan dengan kriteria inklusi dan
eksklusi yang telah ditetapkan. Kriteria inklusi meliputi berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan, usia 18-25 tahun dan bersedia menjadi sampel penelitian. Sedangkan
responden diekslusi jika tekanan intraokuler > 21 mmHg, menderita kelainan papil saraf
optik, tekanan darah tinggi, diabetes melitus, obesitas, miopia > -3D, trauma mata,
inflamasi mata, dalam pengobatan penyakit mata, memiliki riwayat keluarga glaukoma,
merokok dan berolahraga 1 jam sebelum pengukuran tekanan intraokuler, mengonsumsi
kafein dalam sepuluh jam sebelum diukur tekanan intraokuler, memiliki riwayat alergi dan
dispepsia terhadap kopi, dan tidak kooperatif pada saat pengukuran. Jumlah sampel
sebanyak 74 orang dan pengambilan data dilakukan pada pukul 08.00-11.00 WIB.
Tekanan intraokuler diukur sebelum mengonsumsi kopi dan menit ke-60 serta 90
setelah mengonsumsi kopi dengan kandungan kafein 80 mg untuk kelompok perlakuan dan
4 mg untuk kelompok kontrol. Tekanan intraokuler diukur menggunakan tonometer
Schiotz. Data diuji dengan menggunakan uji Mann-Whitney.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tekanan intraokuler dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel Kontingensi Karakteristik Responden
Karakteristik Responden(*) Kelompok Perlakuan
(N : 37)
Kelompok Kontrol
(N : 37)
Jenis Kelamin:
a. Laki-laki
b. Perempuan
14 (37,84 %)
23 (62.16%)
15 (40.54%)
22 (59.46%)
Usia 21,11 tahun 21,41 tahun
Index Massa Tubuh (IMT) 21,8 kg/m2 21,2 kg/m2
Tekanan Darah Sistole 111,4 mmHg 113,2 mmHg
Tekanan Darah Diastole 75 mmHg 76 mmHg
Gula Darah Sewaktu (GDS) 87,7 mg/dL 89,4 mg/dL
* Untuk variabel kategorik menggunakan n (%)
Untuk variabel numerik menggunakan rerata
Perbedaan jumlah responden antara laki-laki dan perempuan terjadi karena pada
Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman jumlah mahasiswa perempuan lebih
banyak daripada mahasiswa laki-laki.Karakteristik responden berdasarkan usia tidak
terdapat perbedaan rerata usia antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hal
tersebut dikarenakan mayoritas responden yang mengikuti penelitian adalah mahasiswa
dari angkatan 2009 yang sebagian besar berusia 21 tahun. Rerata indeks massa tubuh
(IMT) pada kelompok perlakuan dan kontrol termasuk dalam IMT normal. Rerata tekanan
darah sistole dan diastole responden termasuk dalam tekanan darah normal. Kelompok
perlakuan dan kontrol memiliki rerata gula darah sewaktu (GDS) yang normal, namun
cenderung rendah karena pemeriksaan dilakukan pada pagi hari dimana terdapat banyak
responden yang belum sarapan pagi.
Gambar 1. Hasil Pengukuran Tekanan Intraokuler
Keterangan: * p=0,001 pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol pada uji Mann-Whitney + p=0,000 pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol pada uji Mann-Whitney
Berdasarkan Gambar 4.1. didapatkan hasil terdapat perbedaan rerata tekanan
intraokuler pada menit ke-60 dan 90 dengan p=0,001 dan p=0,000. Hal tersebut
menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna rerata tekanan intraokuler pada menit
ke-60 dan 90 setelah mengonsumsi kopi antara kelompok perlakuan dan kontrol.
*13.81
12.4912.53 12.44
+14.83
12.38
12
12.5
13
13.5
14
14.5
15
Perlakuan Kontrol
TIO
sebelum
perlakuan
TIO menit
ke-60
TIO menit
ke-90
mmHg
Gambar 2. Perbedaan Tekanan Intraokuler Menurut Jenis Kelamin
Keterangan:
TIO1 : tekanan intraokuler sebelum perlakuan; TIO2 : tekanan intraokuler menit ke-60; TIO3: tekanan intraokuler
menit ke-90
Berdasarkan Gambar 2., dapat dilihat rerata tekanan intraokuler sebelum
mengonsumsi kopi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Rerata tekanan
intraokuler setelah mengonsumsi kopi dekafein cenderung sama dan tidak mengalami
peningkatan.
Uji Mann-Whitney dipilih untuk melihat perbedaan selisih tekanan intraokuler
sebelum dengan menit ke-60 dan 90 setelah mengonsumsi kopi antara kelompok
perlakuan dan kontrol. Data yang dianalisis adalah selisih antara tekanan intraokuler
sebelum dan menit ke-60 (TIO2-TIO1), selisih antara tekanan intraokuler sebelum dan
menit ke-90 (TIO3-TIO1), serta selisih antara tekanan intraokuler menit ke-60 dan
menit ke-90 (TIO3-TIO2) setelah mengonsumsi kopi. Hasil uji Mann-Whitney dapat
dilihat pada gambar 3.
12.61
14.34
15.16
12.48
13.50
14.63
12.59
12.6512.57
12.43 12.2912.25
12.00
12.50
13.00
13.50
14.00
14.50
15.00
15.50
KAFEIN LAKI
KAFEIN
PEREMPUA
N
NONKAFEIN
LAKI
NONKAFEIN
PEREMPUA
N
TIO1 TIO2 TIO3
mmHg
TIO1 TIO2 TIO3
mmHg
Perlakuan
Laki-laki
Perlakuan
Perempuan
Kontrol
Laki-laki
Kontrol
Perempuan
Gambar 3. Hasil Uji Mann-Whitney pada selisih tekanan intraokuler
Keterangan:
Delta TIO12 : Tekanan intraokuler menit ke-60 dikurangi tekanan intraokuler sebelum perlakuan;
Delta TIO13 : Tekanan intraokuler menit ke-90 dikurangi tekanan intraokuler sebelum perlakuan * p=0,000 pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol pada uji Mann-Whitney + p=0,000 pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol pada uji Mann-Whitney
Berdasarkan Gambar 3., dapat dilihat terdapat perbedaan yang bermakna selisih
tekanan intraokuler sebelum mengonsumsi kopi dengan menit ke-60 dan 90 setelah
mengonsumsi kopi antara kelompok perlakuan dan kontrol dengan nilai p sebesar
0,000 dan 0,000 (p<0,05). Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan
rerata selisih tekanan intraokuler yang bermakna antara kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol pada menit ke 60 dan 90 setelah mengonsumsi kopi. Rerata selisih
tekanan intraokuler kelompok perlakuan pada menit ke-60 dan 90 setelah
mengonsumsi kopi lebih tinggi daripada kelompok kelompok kontrol. Rerata
peningkatan tekanan intraokuler pada kelompok perlakuan pada menit ke 60 dan 90
setelah mengonsumsi kopi sebesar 1,28 ± 0,24 mmHg dan 2,30 ±0,35 mmHg,
sedangkan pada kelompok kontrol justru mengalami penurunan tekanan intraokuler
sebesar 0,05 ± 0,15 mmHg dan 0,10 ± 0,21 mmHg.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kafein meningkatkan tekanan intraokuler
pada menit ke-60 dan 90, sehingga hipotesis penelitian ini dapat diterima. Hasil
tersebut sesuai dengan Ajayi & Ukwade (2001), menyatakan terdapat peningkatan
tekanan intraokuler sebesar 3,34 mmHg dan 3,92 mmHg dalam menit ke-60 dan 90
setelah pemberian kopi berkafein 50 mg kepada responden normal dengan p=0,038.
*1.28
-0.05
+2.3
-0.1
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
Perlakuan Kontrol
Delta TIO 12
Delta TIO 13
mmHg
Jiwani et al. (2012) juga menyatakan hal serupa bahwa terdapat peningkatan tekanan
intraokuler sebesar 0,99 mmHg dan 1,06 mmHg pada menit ke-60 dan ke-90 dengan
pemberian kopi dengan kandungan kafein 182 mg pada responden glaukoma dan
normal. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Okuno et al.
(2002) dan Ozkan et al. (2008), dengan pemberian kafein kapsul 100 mg dan tablet 300
mg tidak terdapat perubahan tekanan intraokuler yang signifikan.
Hasil penelitian ini membuktikan teori yang sudah dipaparkan sebelumnya
mengenai mekanisme peningkatan tekanan intraokuler karena kafein, yang pertama
dengan menghambat aliran humor akuos, sehingga pengeluaran humor akuos
terhambat. Kafein berikatan dengan reseptor adenosin, kemudian memblokir reseptor
adenosin, terutama reseptor A1 yang terdapat di epitel badan siliaris, serat simpatis,
dan trabekula Meshwork. Peningkatan tekanan intraokuler terjadi saat penghambatan
kerja reseptor A1 oleh kafein berupa penutupan pori-pori trabekula sehingga aliran
keluar humor akuos menurun (Polska et al., 2003).
Mekanisme kedua, kafein dapat meningkatkan produksi humor akuos. Kafein
sebagai penghambat fosfodiesterase yang dapat meningkatkan cAMP yang berfungsi
sebagai second messenger intrasel pada badan siliaris, sehingga terjadi peningkatan
produksi humor akuos oleh badan siliaris (Jiwani et al., 2012). cAMP dihidrolisis oleh
fosfodiesterase dan dibentuk dari ATP oleh adenilil siklase pada permukaan dalam
membran sel (Murray et al., 2009). Kafein dapat menyebabkan perubahan pada epitel
tidak berpigmen badan siliaris yang mengakibatkan peningkatan transpor humor akuos
(Goel et al., 2010) yang melibatkan enzim Na+K+ ATPase pada membran sel sehingga
tekanan intraokuler meningkat (Lubis, 2009). Energi untuk transpor aktif ion pada
humor akuos dihasilkan dari hidrolisis ATP menjadi ADP yang diaktivasi oleh Na+ dan
K+ dengan perantara enzim Na+ K+ ATP ase yang terletak di epitel siliaris tidak
berpigmen pada badan siliaris (Goel et al., 2010).
Mekanisme ketiga, kafein dapat meningkatkan tekanan darah, (Klein et al., 2005)
kemudian terjadi peningkatan tekanan kapiler di korpus siliaris dan mempengaruhi
tekanan vena episklera yang berperan dalam pengaturan aliran humor akuos di
trabekula Meshwork menuju ke kanalis Schlemm sehingga meningkatkan tekanan
intraokuler (Ajayi & Ukwade, 2001).
KESIMPULAN
1. Terdapat perbedaan tekanan intraokuler sebelum dan menit ke-60, menit ke-90 setelah
mengonsumsi kopi antara kelompok perlakuan dan kontrol
2. Terdapat perbedaan peningkatan tekanan intraokuler pada menit ke-60 dan 90 setelah
mengonsumsi kopi antara kelompok perlakuan dan kontrol
SARAN
1. Perlakuan dan pengukuran sebaiknya diberikan secara berkepanjangan dan terdapat
follow-up, sehingga dapat diketahui efek kafein secara kronik pada tekanan intraokuler.
2. Pengukuran tekanan intraokuler sebaiknya menggunakan tonometer udara yang
memiliki ketelitian lebih tinggi, lebih obyektif, dan lebih mudah digunakan.
3. Kandungan kafein dalam kopi sebaiknya diukur terlebih dahulu untuk memastikan
kandungan kafein yang lebih akurat.
4. Bagi klinisi, penderita glaukoma disarankan untuk menghindari konsumsi kafein
karena dapat meningkatkan tekanan intraokuler yang dapat memperburuk penyakit
glaukoma.
5. Bagi masyarakat, hindari konsumsi kafein karena dapat meningkatkan tekanan
intraokuler secara akut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menggunakan dana pribadi untuk melakukan penelitian ini dari awal sampai akhir.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian FKIK
Universitas Jenderal Soedirman. Dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih
kepada Universitas Jenderal Soedirman, pembimbing skripsi penulis yaitu dr. Wahid Heru
Widodo, Sp.M dan dr. Evy Sulistyoningrum, M. Sc, penelaah skripsi penulis yaitu dr. Tuti
Sukarningsih Supono, Sp.M, dan wakil tim komisi pada seminar skripsi penulis yaitu dr.
Anton Budhi Darmawan, Sp. THT, M.Kes serta pihak Rumah Sakit Margono Soekarjo
Purwokerto.
DAFTAR PUSTAKA
Whalen, D.J., Jennifer S. S., Mara S., Erika E.F., Neal D.R., Axelson, D.A., Birmaher, B. & R.E. Dahl. 2008. Caffeine consumption, sleep, and affect in the natural environments of depressed youth and healthy controls. Journal of Pediatric Psychology. 33[4]: 358-367.
Lee, K.H., Human G.P., Fourie J.J., Louw W.A.N., Larson C.O., & Joubert G. 2009. Medical students’ use of caffeine for ‘academic purposes’ and their knowledge of its benefits, side-effects and withdrawal symptoms. South African Family Practice. 51(4): 322-327.
McIlvain, G.E. 2008. Caffeine consumption patterns and beliefs of College Freshmen.
University of Kentucky. Tersedia dalam: http://uknowledge.uky.edu/gradschool_diss/638 [diakses 29 September 2012].
Heckman, M.A., Jorgeweil, & de Mejia, E.G. 2010. Caffeine (1, 3, 7-trimethylxanthine) in
foods: a comprehensive review on consumption, functionality, safety, and regulatory matters. Journal Of Food Science. 75[3]: 77-87.
Li, M., Min W., Wenyi G., Jiajian W. & Xinghuai S. 2011. The effect of caffeine on
intraocular pressure: a systematic review and meta-analysis. Graefe’s Archive of Clinical and Experimental Ophthalmology. 249: 435–442.
Heijl, A., Leske M.C., Bengtsson B, Hyman L, Bengtsson B, & Hussein M. 2002.
Reduction of intraocular pressure and glaucoma progression: results from the Early Manifest Glaucoma Trial. Archives of Ophthalmology. 120: 1268-79.
Yanagi, M., Kawasaki R., Wang J.J., Wong T.Y., Crowston J. & Kiuchi Y. 2011. Vascular
risk factors in glaucoma: a review. Clinical and Experimental Ophthalmology. 39: 252–258.
Departemen Kesehatan. 2010. Gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan.
Terdapat dalam: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/845-gangguan-penglihatan-masih-menjadi-masalah-kesehatan.pdf. [diakses 29 September 2012].
Chandrasekaran, S., Rochtchina E., & Mitchell P. 2005. Effects of caffeine on intraocular
pressure: the Blue Mountains Eye Study. Journal of Glaucoma. 14: 504–507. Yoshida, M., Ishikawa, M., Kokaze, A., Sekine Y., Matsunaga N., Uchida, Y., &
Takashima, Y. 2003. Association of life-style with intraocular pressure in middle-aged and older Japanese residents. The Japanese Journal of Ophthalmology. 47: 191–198.
Ilechie, A.A., & Tetteh, S. 2011. Acute effects of consumption of energy drinks on
intraocular pressure and blood pressure. Clinical Optometry. 3: 5-12. Ajayi, O.B., & Ukwade, M.T. 2001. Caffeine and intraocular pressure in a Nigerian
population. Journal of Glaucoma. 10[1]: 25–31. Jiwani, A.Z., Rheel, D.J., Brauner, S.C., Gardiner, M.F., Chen, T.C., Shen, L.Q., et al.
2012. Effects of caffeinated coffee consumption on intraocular pressure, ocular perfusion pressure, and ocular pulse amplitude: a randomized controlled trial. Eye. 26: 1122–1130.
Ozkan, B., Yuksel N., Anik Y., Altintas O., Demirci A., & Caglar Y. 2008. The effect of
caffeine on retrobulbar hemodynamics. Current Eye Research. 33: 804–809.
Okuno, T., Sugiyama T., Tominaga M., Kojima S., Ikeda T. 2002. Effects of caffeine on microcirculation of the human ocular fundus. The Japanese Journal of Ophthalmology. 46: 170–176.
Polska, E., Ehrlich P., Luksch A., Fuchsja G.G., & Schmetterer L. 2003. Effects of
adenosine on intraocular pressure, optic nerve head blood flow, and choroidal blood flow in healthy humans. Investigative Ophthalmology & Visual Science. 44: 3110–3114.
Murray, R.K., Granner D. K., & Rodwell V. W. 2009. Biokimia Harper. Edisi 27. EGC,
Jakarta. Goel, M., Renata G.P., Richard K.L. & Sanjoy K.B. 2010. Aqueous Humor Dynamics: A
Review. The Open Ophthalmology Journal. 4: 52-59. Lubis, R.R. 2009. Aqueos Humor. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik. 23 hal. Klein, B.E.K., Klein R., & Knudtson M.D. 2005. Intraocular pressure and systemic blood
pressure: longitudinal perspective: the Beaver Dam Eye Study. British Journal of Ophthalmology. 89: 284–287.