Click here to load reader
Upload
marisa-riyanti
View
340
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ACARA III
EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP
MINYAK GORENG
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Produk minyak kelapa sawit sebagai bahan makanan mempunyai
dua aspek kualitas. Aspek pertama berhubungan dengan kadar dan
kualitas asam lemak, kelembaban dan kadar kotoran. Aspek kedua
berhubungan dengan rasa, aroma dan kejernihan serta kemurnian produk.
Kelapa sawit bermutu prima (SQ, Special Quality) mengandung asam
lemak (FFA, Free Fatty Acid) tidak lebih dari 2% pada saat pengapalan.
Kualitas standar minyak kelapa sawit mengandung tidak lebih dari 5%
FFA. Setelah pengolahan, kelapa sawit bermutu akan menghasilkan
rendemen minyak 22,1% - 22,2% (tertinggi) dan kadar asam lemak bebas
1,7% - 2,1% (terendah). Istilah mutu minyak sawit dapat dibedakan
menjadi dua arti, pertama, benar-benar murni dan tidak bercampur
dengan minyak nabati lain. Mutu minyak sawit tersebut dapat ditentukan
dengan menilai sifat-sifat fisiknya, yaitu dengan mengukur titik lebur
angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua, pengertian mutu sawit
berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur berdasarkan
spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air,
kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, dan ukuran pemucatan.
Kebutuhan mutu minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku
industri pangan dan non pangan masing-masing berbeda. Oleh karena itu
keaslian, kemurnian, kesegaran, maupun aspek higienisnya harus lebih
diperhatikan. Rendahnya mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh
banyak faktor. Faktor-faktor tersebut dapat langsung dari sifat induk
pohonnya, penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan
dan pengangkutan.
2. Tujuan
Tujuan dari praktikum acara “Evaluasi Bilangan Peroksida dan
Titik Asap Minyak Goreng” ini adalah :
1. Menentukan bilangan peroksida dan titik asap pada minyak goreng.
2. Mengetahui pengaruh bilangan peroksida dan titik asap terhadap
kualitas minyak goreng.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan bahan
Minyak goreng yang mengandung asam lemak esensial atau asam
lemak tak jenuh jamak, bila digunakan untuk menggoreng (suhu 150-
180oC), maka asam lemak esensial atau asam lemak tidak jenuhnya akan
mengalami kerusakan (teroksidasi oleh udara dan suhu tinggi). Demikian
pula beta-karoten (provitamin A) yang terkandung dalam minyak goreng
tersebut akan mengalami kerusakan. Selama digunakan untuk menggoreng
sifat fisio-kimia minyak akan berubah, semakin lama digunakan semakin
banyak perubahan yang terjadi. Misalnya minyak tersebut akan semakin
kotorakibat terbentuknya warna coklat (reaksi browning) , semakin kental
(akibat terjadinya polimerisasi asam-asam lemak) dan kadar peroksidanya
bertambah.Minyak jelantah yang digunakan untuk menggoreng bahan
makanan berprotein, akan menurunkan nilai gizi proteinnya bahkan
minyak jelantah yang sudah terlalu lama digunakan dapat membahayakan
kesehatan tubuh, karena banyak mengandung senyawa peroksida (radikal)
serta asam lemak tidak jenuh trans (Muchtadi, 2009).
Minyak jelantah (bahasa Inggris: waste cooking oil) adalah minyak
limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya
minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, minyak ini
merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya,
dapat di gunakan kembali untuk keperluaran kuliner akan tetapi bila
ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-
senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses
penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang
berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit
kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi
berikutnya. Untuk itu perlu penanganan yang tepat agar limbah minyak
jelantah ini dapat bermanfaat dan tidak menimbulkan kerugian dari aspek
kesehatan manusia dan lingkungan, kegunaan lain dari minyak jelantah
adalah bahan bakar biodisel (Anonim, 2011).
Minyak goreng yang baik memiliki titik asap yang cukup tinggi
yaitu tidak kurang dari 215 derajat celcius. Namun bila minyak tersebut
digunakan secara berulang-ulang, titik asapnya akan menurun sehingga
senyawa akrolein semakin cepat terbentuk.
Selain membentuk akrolien yang menyebabkan gatal dan batuk,
menggoreng pada suhu di atas titik asap juga akan mengubah asam lemak
tak jenuh pada minyak menjadi asam lemak jenuh yang akan menambah
kolesterol dalam darah. Itu sebabnya minyak goreng sebaiknya tidak Anda
pakai secara berulang-ulang. Maksimal tiga kali dipakai dan setelah itu,
jelantah atau minyak goreng bekas itu harus segera dibuang (Anonim,
2011).
Minyak kelapa sawit berasal dari pulp buah pohon kelapa,
umumnya tumbuh di Malaysia, barat dan Afrika Tengah dan Indonesia.
Minyak dipisahkan dengan berbagai cara termasuk dengan merebus
buahnya, sentrifugasi dan pressing. Dalam industri, minyak sawit
digunakan untuk berbagai tujuan, misalnya, pembuatan sayuran dan untuk
beberapa tujuan non-pangan, misalnya, oleokimia, dan produk lainnya.
Baru-baru ini Malaysia Palm Oil (MPOB) telah memperkenalkan produk
minyak sawit baru yang dikenal sebagai Red Palm Oil (RPO), yang
digunakan sebagai minyak nabati. Ini adalah semi padat pada suhu biasa
(70-90 ° F). Asam lemak utama di Red Palm Oil adalah Asam palmitat dan
oleat. Ditemukan bahwa Red Palm Oil merupakan sumber β-karoten untuk
memerangi kekurangan vitamin A (Fazllulah, 2004).
Minyak sawit (Crude Palm Oil) adalah salah satu jenis trigliserida
yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan gliserin dan asam
lemak, disamping minyak inti sawit (Crude Palm Hemel Oil), minyak
kelapa kopra (Crude Coconut Oil). Masing-masing trigliserida tersebut
diatas memiliki spesifikasi yang berbeda-beda dan dapat dipilih sebagai
bahan baku sesuai dengan produk asam lemak yang ingin dihasilkan dari
proses hidrolisa (Yusuf, 2004).
2. Tinjauan Teori
Jika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tertentu, dia akan
mulai mengalami dekomposisi, menghasilkan kabut berwarna biru atau
menghasilkan asap dengan bau karakteristik yang menusuk. Kebanyakan
lemak dan minyak mulai berasap pada suhu diatas 200oC. Umumnya,
minyak nabati mempunyai titik asap lebih tinggi daripada lemak hewani.
Dekomposisi trigliserida menghasilkan sejumlah kecil gliserol, dan asam
lemak. Gliserol mengalami dekomposisi lebih lanjut menghasilka senyawa
yang dinamakan akrolein. Proses dekomposisi ini tidak dapat berlangsung
balik (irreversible) dan sewaktu mengguanakan lemak atau minyak untuk
menggoreng hendaknya suhu penggorengan agar selalu dibawah titik asap.
Titika asap bermanfaat dalam menentukan lemak atau minyak yang sesuai
untuk keperluan menggoreng. Pemanasan ulang lemak atau minyak atau
terdapatnya bagian-bagian makanan yanag hangus akan menurunkan titik
asap. Pemanasan ulang juga akan mengakibatkan akumulasi substansi
yang akan memberikan flavour yang tidak disukai pada makananya
(Gaman dan Sherrington, 1992).
Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa
gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng
ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai
terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa
gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak
jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap makin baik mutu
minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar
gliserol bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik
asapnya akan turun karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena
itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak
sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya.
Pada umumnya suhu penggorengan adalah 177-221°C (Winarno, 1991).
Pada umumnya senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh
panas, sehingga lemak yang telah dipanaskan hanya mengandung sejumlah
kecil peroksida. Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat
mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan
berlemak (misalnya vitamin A, C, D, E, K dan sejumlah kecil vitamin B).
Peroksida juga dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor
yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida dalam
bahan pangan (lebih besar dari 100) akan bersifat sangat beracun dan tidak
dapat dimakan, disamping bahan pangan tersebut mempunyai bau yang
tidak enak (Ketaren, 1986).
Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi
akibat adanya asam – asam lemak berantai pendek akibat kerusakan
minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh
persenyawaan beta ionone (Ketaren, 1986).
Bilangan peroksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang
telah mengalami oksidasi. Untuk menentukan bilangan peroksida dari
produk C1499 , dengan 30ml campuran aseton dan kloroform (3:2) yang
akan dialirkan gas nitrogen selama 2 menit untuk menggantikan udara
pada Erlenmeyer. Kemudian dimasukkan KI jenuh sebanyak 1 ml dengan
pipet tetes, ditutup dan dikocok selama 1 menit. Dibiarkan selama 5 menit
dalam ruangan gelap. Ditambahkan air destilat kira – kira 200 ml,
kemudian dititrasi larutan tersebut dengan larutan 0,01 N Na2S2O3
menjadi larutan kuning pucat. Kemudian ditambahkan amilum sebagai
indicator menjadi larutan warna hitam keungguan, dititrasi lagi dengan
larutan 0,01 Na2S2O3 sampai menjadi larutan putih bening. Kemudian
dihitung bilangan peroksidanya. Untuk produk C1499 bilangan peroksida
di PT. SOCI Medan maksimal 1 mg.eq (Anonim, 2011).
C. Metodologi
1. Alat
a. Pipet tetes
b. Pipet 20 ml
c. Pipet 1 ml
d. Buret 50 ml
e. Gelas ukur 100 ml
f. Gelas piala 200 ml
g. Hot plate
h. Termometer
i. Neraca analitik
j. Erlenmeyer 250 ml
2. Bahan
a. Minyak sawit
b. Asam asetat glacial
c. Kloroform
d. KI jenuh
e. Aquadest
f. Na-tiosulfat 0,01 N
3. Cara Kerja
a. Penentuan Bilangan Peroksida
Dibuat penetapan untuk blanko
Ditambahkan 0,5 ml indikator amilum
Dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,01N
Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil digoyang
Ditambahkan 30 ml aquadest
Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sampel minyak larut
Ditimbang 5 gr sampel minyak ke dalam Erlenmeyer 250 ml
b. Penentuan Titik Asap
D. Hasil dan Pembahasan
Pembahasan:
Praktikum acara III Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap
Minyak Goreng, dilakukan dengan menggunakan 4 buah sampel, yaitu
minyak sawit baru, minyak sawit bekas (coklat), minyak sawit bekas (hitam)
dan minyak sawit baru yang ditambah air panas. Penentuan bilangan
peroksida dilakukan dengan menimbang sejumlah sampel (5 gr) yang
ditambahkan 30 ml pelarut (terdiri atas 60% asam asetat glacial dan 40%
kloroform) dan kemudian dikocok hingga seluruh minyak larut. Selanjutnya
ditambahkan 0,5 ml kalium iodide jenuh, diamkan selama 2 menit dalam
ruangan gelap, tambahkan 30 ml aquades. Kelebihan iod selanjutnya dititrasi
dengan Na-thiosulfat 0,01 N.
Metode iodometri, merupakan cara yang sering digunakan untuk
menentukan bilangan peroksida berdasarkan pada reaksi antara alkali iodida
dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada
reaksi ini kemudian dititrasi dengan Na-Thiosulfat (Ketaren, 1986).
Praktikum yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat
kerusakan minyak. Minyak atau lemak sangat rentan terhadap kerusakan,
terutama ketengikan, hidrolisis dan oksidasi. Ketengikan disebabkan oleh
autooksidasi radikal asam emak tidak jenuh dalam lipid. Dengan keberadaan
oksigen, radikal bebas akan membentuk peroksida aktif yang selanjutnya
akan berubah menjadi hidroperoksida yang bersifat tidak stabil dan mudah
Ditaruh ke dalam gelas piala 200 ml
Dipanaskan minyak di atas hot plate
Dicatat waktu mulai terbentuknya asap
Diambil 100 ml sampel minyak
pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek yang
menyebabkan bau tengik pada minyak (Winarno, 1997).
Bilangan peroksida didefiniskan sebagai jumlah meq peroksida dalam
setiap 1000 g (1 kg) minyak atau lemak. Bilangan peroksida ini menunjukan
tingkat kerusakan lemak atau minyak (Rohman, 2007).
Mutu minyak kelapa sawit yang baik mempunyai kadar air kurang
dari 0,1 persen dan kadar kotoran lebih kecil dari 0,01 persen, kandungan
asam lemak bebas serendah mungkin (kurang lebih 2 persen atau kurang),
bilangan peroksida di bawah 2, bebas dari warna merah dan kuning (harus
berwarna pucat) tidak berwarna hijau, jernih, dan kandungan logam berat
serendah mungkin atau bebas dari ion logam (Ketaren, 1986).
Kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator dan peringatan
bahwa minyak akan berbau tengik. Pembentukan peroksida akan bertambah
dengan bertambahnya derajat ketidakjenuhan, pembentukan peroksida ini
mempunyai korelasi dengan tipe dan jumlah radikal bebas dalam lemak.
Akumulasi peroksida juga bergantung dari tipe radikal bebas yang
dihasilkan, suhu iridiasi, dan penyimpanan (Wibowo, 2008). Selain itu
perlakuan panas maupun penambahan air pada minyak sawit juga diketahui
dapat meningkatkan angka peroksida yang mengindikasikan minyak
mengalami hidrolisis dan menjadi rusak.
Minyak sawit yang ditambah air akan memiliki angka peroksida lebih
tinggi daripada minyak sawit yang diberi perlakuan panas. Hal ini
disebabkan karena kerusakan oleh hidrolisis lebih besar daripada kerusakan
oleh panas, sebab saat ditambahkan air akan terjadi oksidasi juga hidrolisis
sekaligus. Semakin lama sampel yang telah ditambah air ini dibiarkan terlalu
lama, maka akan terjadi oksidasi secara cepat karena komponen lemak telah
terpecah menjadi komponen yang lebih sederhana dan dan tidak stabil.
Minyak jelantah (bahasa Inggris: waste cooking oil) adalah minyak
limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya
minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya, minyak ini
merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya,
dapat di gunakan kembali untuk keperluaran kuliner [1] akan tetapi bila
ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-
senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses
penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang
berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit
kanker, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi
berikutnya (Anonim, 2011).
Semakin lama minyak digunakan, berarti terjadi pemanasan secara
terus-menerus. Pemanasan akan menyebabkan polimerisasi yang
mengakibatkan tekstur minyak menjadi kental. Secara visual polimerisasi
pasca pemanasan terus menerus ini juga akan menyebabkan minyak
mengental dan berangsur-angsur berubah warna menjadi coklat dan
menghitam. Pemanasan yang terus menerus akan mengakibatkan bilangan
peroksida semakin meningkat karena minyak mengalami dekomposisi asam
lemak, menyebabkan ketidakjenuhannya semakin meningkat yang berarti
minyak semakin rusak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi bilangan peroksida antara lain
derajat ketidakjenuhan dan tipe serta jumlah radikal bebas. Perlakuan
pemanasan dan penambahan air juga akan berpengaruh terhadap bilangan
peroksida. Semakin lama minyak digunakan, maka bilangan peroksida juga
akan semakin meningkat dan minyak semakin rusak.
Tabel 3.1 Penentuan Titik Asap Minyak Goreng
Sumber : Laporan Sementara
Pembahasan:
Percobaan penentuan titik asap ini menggunakan empat jenis sampel
yaitu minyak sawit A, minyak sawit bekas (coklat), minyak sawit bekas
(hitam) dan minyak sawit yang ditambah air panas. Perbedaan jenis sampel
ini dimaksudkan untuk mengetahui titik asap pada beberapa perlakuan
minyak. Salah satu parameter mutu minyak goreng ditentukan oleh titik
asapnya.
Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa
gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng
Kel. Sampel Suhu Waktu (menit)
1, 3, 9Miyak sawit baru A 164 oC 51
13, 17, 21
2, 4, 10 Minyak sawit bekas (coklat)
≥150 oC 4214, 18, 22
5, 7, 11 Minyak sawit bekas (hitam)
150 oC 4015, 19, 23
6, 8, 12 Minyak sawit+air panas
83 oC10
16, 20, 24 95 oC
ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai
terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh
atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap makin baik mutu minyak
goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol
bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan
turun karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk
menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya
dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada
umumnya suhu penggorengan adalah 177-221°C (Winarno, 1991).
Bila suatu lemak dipanaskan, pada suhu tertentu timbul asap tipis
kebiruan. Titik ini disebut titik asap (smoke point). Bila pemanasan
diteruskan akan tercapai flash point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat
nyala). Jika minyak sudah terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu
terjadinya smoke point ini bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah asam
lemak bebas. Jika asam lemak bebas banyak, ketiga suhu tersebut akan
turun. Demikian juga bila berat molekul rendah, ketiga suhu itu lebih
rendah. Ketiga sifat ini penting dalam penentuan mutu lemak yang
digunakan sebagai minyak goreng (Winarno, 2002).
Penentuan titik asap dilakukan dengan mengambil 100 ml sampel
minyak yang ditaruh dalam gelas piala. Sampel minyak kemudian
dipanaskan diatas hot plate dan diamati suhunya hingga mulai terbentuk
asap. Dari tabel 3.1 diatas dapat diketahui bahwa titik asap tertinggi
didapatkan dengan sampel minyak sawit baru yaitu sebesar 164oC dengan
waktu yang juga paling lama dibandingkan dengan sampel lainnya yaitu
selama 51 menit. Selanjutnya diikuti oleh minyak sawit bekas (coklat)
sebesar 150oC selama 42 menit, minyak sawit bekas (hitam) dengan titik
asap yang sama dengan waktu 40 menit dan yang terakhir minyak sawit
ditambah air panas yang memiliki titik asap 83oC dan 95oC dalam waktu 10
menit.
Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik asap maka
mutu minyak semakin baik. Sesuai teori, minyak yang diberikan perlakuan
panas atau sudah digunakan serta penambahan air akan mengakibatkan
menurunnya mutu minyak sehingga titik/suhu saat terbentuknya asap juga
akan menurun.
Minyak goreng yang baik memiliki titik asap yang cukup tinggi yaitu
tidak kurang dari 215 derajat celcius. Namun bila minyak tersebut
digunakan secara berulang-ulang, titik asapnya akan menurun sehingga
senyawa akrolein semakin cepat terbentuk.
Selain membentuk akrolien yang menyebabkan gatal dan batuk,
menggoreng pada suhu di atas titik asap juga akan mengubah asam lemak
tak jenuh pada minyak menjadi asam lemak jenuh yang akan menambah
kolesterol dalam darah. Itu sebabnya minyak goreng sebaiknya tidak Anda
pakai secara berulang-ulang. Maksimal tiga kali dipakai dan setelah itu,
jelantah atau minyak goreng bekas itu harus segera dibuang (Anonim, 2011)
Hasil praktikum yang didapat sudah sesuai dengan teori, dengan urutan
titik asap mulai tertinggi hingga terendah secara berurutan ialah minyak
sawit baru, minyak sawit bekas (coklat), minyak sawit bekas (hitam) dan
terakhir minyak sawit yang ditambah air panas. Namun untuk hasil titik asap
minyak sawit baru yang didapat masih dibawah titik asap dari referensi
(215oC) yaitu hanya 180oC. Hal ini kemungkinan diakibatkan sampel
minyak sawit baru sudah mengalami sedikit kerusakan, baik itu hidrolisi
maupun oksidasi, yang menyebabkan titik asapnya menurun, meskipun
masih tergolong cukup tinggi.
Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas.
Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun,
karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu, untuk menekan
terjadinya hidrolisis pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan
pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu
penggorengan adalah 177-221oC. Menurut Winarno(1997), lemak dapat
terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak dengan adanya air. Reaksi ini
dipercepat dengan adanya asam, basa, dan enzim. Hidrolisis sangat
menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang telah terhidrolisis akan
menurun smoke point-nya, bahan-bahan menjadi cokelat dan lebih banyak
menyerap minyak.
Gambar.3.1 Reaksi pembentukan asam lemak dan gliserol.
Waktu terjadinya titik asap juga menjadi indikator mutu suatu jenis
minyak. Semakin lama waktu yang diperlukan suatu minyak untuk
mencapai titik asapnya, maka berarti mutu minyak tersebut semakin baik.
Minyak bekas telah mengalami pemanasan berulang dimana hal ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan titik asap sehingga menurunkan kualitas
minyak. Pemanasan berulang juga akan mengakibatkan perubahan oksidatif
dan hidrolitik pada lemak dan mengakibatkan akumulasi substansi yang
akan memberikan flavour yang tidak disukai pada makanannya.
E. Kesimpulan
Dari praktikum “Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap Minyak
Goreng” yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan:
1. Kualitas dari minyak goreng dapat dinilai dari angka peroksida dan titik
asap-nya.
2. Semakin tinggi angka peroksida maka kualitas minyak semakin buruk.
3. Semakin tinggi titik asap minyak maka kualitas minyak semakin baik.
4. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik asap, maka
kualitas minyak semakin baik.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi bilangan peroksida antara lain derajat
ketidakjenuhan, tipe dan jumlah radikal bebas, serta perlakuan pemanasan
dan penambahan air.
6. Pencapaian titik asap tertinggi terdapat pada minyak sawit baru yaitu pada
suhu 180oC dengan waktu 51 menit, sedangkan titik asap terendah terdapat
pada minyak sawit ditambah air panas pada suhu 83oC dan 95oC dengan
waktu 10 menit.
7. Titik asap terbesar sampai terendah terdapat pada minyak sawit baru,
diikuti oleh minyak sawit bekas (coklat), minyak sawit bekas (hitam) dan
terakhir minyak sawit ditambah air panas.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. http://library.usu.ac.id/. Diakses tanggal 26 Mei 2011.
Anonim. 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_jelantah. Diakses tanggal 26 Mei 2011.
Anonim. 2011. http://id.shvoong.com/. Diakses tanggal 26 Mei 2011.
Gaman, P. M. Dan K. B. Sherrington. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan,
Nutrisi dan Mikrobiologi Edisi Kedua. UGM Press. Yogyakarta.
Khan, Bangash Fazlullah. 2004. Effects of Irradiation on the Storage Stability of
Red Palm Oil. Journal of the Chinese Chemical Society.
Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Muchtadi. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Alfabeta. Bandung.
Pasaribu, Nurhida. 2004. Minyak Buah Kelapa Sawit. Universitas Sumatera Utara.
Rohman, Abdul dan Soemantri, 2007. Analisis Makanan, UGM Press,
Yogyakarta.
Ritonga, Yusuf. 2004. Pengaruh Bilangan Asam Terhadap Hidrolisa Minyak
Kelapa Sawit. Universitas Sumatera Utara.
Wibowo, Panji. 2008. Penentuan Bilangan Peroksida Asam Miristat Dari Unit
Fraksinasi di PT. Soci Medan.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13863/1/09E00354.pdf
(Diakses tanggal 26 Mei 2011).
Winarno, F.G. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.