Upload
salman-hasibuan
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/24/2019 Eksistensi Anak Dan Euforia Batu Cincin
1/2
EKSISTENSI ANAK DAN EUFORIA BATU CINCIN
Penulisa : Salman Hasibuan*
Euforia batu cincin kini melanda banyak wilayah di negeri ini, termasuk Sumatera Utara.
Kegemaran terhadap batu pun tidak mengenal usia serta jabatan, mulai dari masyarakatawam, pejabat hingga pemuka agama. Para lansia, remaja bahkan anak-anak pun turut
menggemari beragam jenis bebatuan yang dijajal di pinggir trotoar jalan maupun pertokoan.
Namun ada hal menarik perhatian, ketertarikan anak-anak terhadap batu ternyata mendapat
ragam komentar dari para orang dewasa, bahkan mereka kerap dibully dengan mengatakan
bahwa anak-anak belum pantas pakai cincin, masih kecil sudah terlalu tua, masih anak-anak
sudah bertingkah pakai cincin dan ragam cibiran lainnya.
Fenomena tersebut tentu menarik ditinjau dari aspek sosiologis dan psikologis. Cara orang
dewasa memandang keberadaan anak perlu dikritisi dan dievaluasi. Orang dewasa masihmenganggap anak sebagai individu yang kecil, lemah dan masih bergantung dengan orang
dewasa. Padahal, anak merupakan anggota dari komunitas masyarakat, sehingga perlu dilihat
eksistensinya dalam kehidupan sosial.
Paradigma Baru
Perlu gerakan yang menggugah kesadaran sosial agar tercipta paradigma baru memandang
anak sebagai agency (mengutip pandangan Buckingham) dalam komunitas masyarakat.
Agency berarti individu yang otonom serta independen untuk berbuat, bertindak dan bersikap
sesuai yang diinginkan untuk memenuhi kebutuhan personal maupun sosial.
Pemenuhan kebutuhan personal berarti keingintahuan anak yang tinggi serta ketertarikan
untuk mengetahui serta memiliki sesuatu yang diinginkan berdasarkan apa yang ia amati di
lingkungannya. Dalam konteks batu cincin, maka kehadiran anak-anak dalam euforia batu
cincin harus mendapat sambutan positif, bahwa tindakan itu merupakan bagian dari eksistensi
diri sebagai individu yang juga ingin melihat, menerawang batu dengan senter bahkan
membelinya.
Adapun kebutuhan sosial berarti keinginan anak untuk melihat serta terlibat dalam peristiwa
sosial yang ada di lingkungan sekelilingnya. Orang dewasa layak memberi apresiasi kepada
anak, memahami bahwa kebutuhan sosial bagi individu agar turut meramaikan semangat
memiliki batu juga layak diberikan kepada anak. Melalui paradigma baru ini, berarti
persoalan memiliki batu cincin adalah hak bagi setiap anggota masyarakat, baik lansia, orang
tua, remaja bahkan anak-anak, sehingga tidak ada lagi ruang isolasi bagi aktivitas anak
sebagai manusia di ruang-ruang publik, yang hanya melahirkan sebuah diskriminasi dalam
dimensi kehidupan sosial.
Anggapan bahwa anak-anak belum layak ikut campur atau hadir dalam ruang-ruang orang
dewasa atau publik, merupakan sebuah stigma yang sangat diskriminatif. Fenomena demikian
juga terjadi di Amerika dan Eropa, terdapat suara-suara komunitas yang menyerukan zonabebas anak (child-free zone) yang menginginkan anak-anak disingkirkan dari ruang publik
7/24/2019 Eksistensi Anak Dan Euforia Batu Cincin
2/2
karena mengganggu privasi orang dewasa. Bahkan lebih buruk, perusahaan pesawat
Singapura, Scoot Airlines menawarkan layanan zona bebas anak untuk mewujudkan mimpi
orang dewasa yang menginginkan hal serupa.
Komoditas Politik
Suara-suara mengenai kepedulian terhadap hak-hak anak, masih sering menjadi komoditas
politik. Pada ruang-ruang kampanye, janji-janji untuk memperhatikan permasalahan anak
masih cukup seksi, karena jargon-jargon yang dibawa atas nama anak sangat mulia.
Mungkin masih sering terdengar dengan baik di telinga kita, anak adalah masa depan bangsa,
masa depan bangsa ada di tangan anak-anak, anak-anak penerus cita-cita dan harapan bangsa
dan masih banyak lagi. Namun pada kenyataan, ucapan tersebut tidak muncul dalam
praktiknya.
Secara logika, menyuarakan jargon anak sebagai penerus masa depan bangsa, berarti orangdewasa melihat anak sebagai individu yang otonom, sehingga pantas untuk diberi mandat
yang sangat besar dan berat yakni menyelamatkan bangsa di masa akan datang.
Begitu juga bagi para lembaga-lembaga pemerintahan dan non-pemerintahan, masih
menempatkan anak sebagai objek bukan subjek, menganggap anak berada pada posisi yang
rentan dalam situasi sosial.
Kelalaian Pemerintah
Kelalaian serta skeptisme masih wajar diarahkan kepada pemerintah, karena cenderung
menutup mata melihat eksistensi anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak sebagai subjek
bergerak, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam entitas masyarakat, yang perlu
diperhatikan dan dipenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam kehidupan bersosial mereka.
Pemerintah cenderung terus mengutamakan penyediaan fasilitas bagi orang dewasa,
universitas yang luas bagi orang dewasa. Pada sisi lain, sangat minim fasilitas infrastruktur
yang luas dibangun sebagai sarana anak-anak bermain dan belajar, yang konon digaungkan
sebagai penerus masa depan bangsa.
Lihat saja, bagaimana kebun binatang di tengah kota sebagai sarana rekreasi yang sangat
bermanfaat bagi tumbuh-kembang anak, dipindahkan ke pinggiran kota yang sulit dijangkau
anak. Lapangan-lapangan luas sebagai sarana olah raga bermain sepak bola, juga telah
terganti oleh perumhan-perumahan, sehingga anak kian terisolasi dalam ruang-ruang publik.
Lantas apa lagi yang tersisa dari eksistensi diri anak ?
*Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi USU
Pemerhati permasalahan anak,