Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 147
EKSISTENSI EUTHANASIA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh:
Eko Setiawan
Alumnus Program Pascasarjana Sosiologi
Universitas Brawijaya Malang
Email: [email protected]
Abstraksi
Euthanasia merupakan upaya yang dilakukan untuk dapat
membantu seseorang dalam mempercepat kematiannya secara
mudah akibat ketidakmampuan menanggung derita yang panjang
dan tidak ada lagi harapan untuk hidup atau disembuhkan. Hal
tersebut memunculkan kontroversi yang menyangkut isu etika
euthanasia (perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang
yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja
santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi telah
merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.
Kata kunci: Eksistensi, Euthanasia, Hukum Islam
Pendahuluan
Perkembangan moral dan etika di tengah-tengah
masyarakat akhir-akhir ini semakin pesat. Tak sampai disitu saja,
perkembangan ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pola pikir dan pilihan yang diambil oleh mereka, bentuk
dan perkembangan moral dan etika yang terjadi di masyarakat
bermacam-macam dan salah satunya adalah euthanasia.
Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru.
Bahkan euthanasia telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari
Yunanilah euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa
negara di dunia, baik itu di Benua Eropa sendiri, Amerika
maupun di Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss, euthanasia
Eko Setiawan
148 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
itu sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan
euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana1.
Di dalam Al-Qur’an surat Al Mulk2 ayat 2, diingatkan
bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan. Karena itu Islam
sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan
manusia sejak ia berada di rahim ibunya sampai sepanjang
hidupnya. Dan untuk melindungi keselamatan hidup dan
kehidupan manusia itu, Islam menetapkan berbagai norma
hukum pidana dan perdata beserta sanksi-sanksi hukumannya,
baik di dunia berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman
mati, diyat (denda), atau ta’zir, ialah hukuman yang ditetapkan
oleh lembaga peradilan, maupun hukuman di akhirat berupa
siksaan Tuhan di neraka kelak. Karena hidup dan mati ditangan
Tuhan, maka Islam melarang orang melakukan pembunuhan,
baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri3.
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami
siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran,
kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya dan
diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas,
kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri
yang sangat besar. Sampai saat ini kematian merupakan misteri
yang paling besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil
menguaknya. Satu-satunya jawaban tersedia di dalam ajaran
agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di
dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang
berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk
mempercepat waktu kematiannya.
Dewasa ini banyak sekali berbagai permasalahan dan
problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan
1 Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam (
Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996) 7. 2 Dinamakan Al Mulk yang berarti Kerajaan di ambil dari kata Al Mulk yang
yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Surat ini disebut juga dengan At Tabaarak yang berarti Maha Suci.
3 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Gunung Agung,1996) 161.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 149
masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit dari
mereka yang kesulitan untuk mengatasi problematika dan
mengontrol perkembangan tersebut. Contoh konkrit dalam
dinamika kehidupan yang mengalami perkembangan yang sangat
pesat adalah perkembangan dalam bidang ilmu kedokteran, ini
terbukti dengan terjadinya perubahan yang sangat cepat dalam
masalah kehidupan sosial budaya manusia. Karena sebab
perkembangan teknologi dibidang kedokteran inilah para dokter
dan para petugas kesehatan yang lain menghadapi sejumlah
masalah yang cukup berat jika ditinjau dari sudut pandang etis
dan yuridis. Masalah yang dihadapi mereka antara lain:
transplantasi organ manusia, cloning, bayi tabung, aborsi,
euthanasia dan masih banyak yang lainnya. Dari permasalahan
diatas, euthanasia merupakan pilihan yang sangat sulit bagi
tenaga medis dan yang bersangkutan secara langung. Sampai
sekarang permasalahan ini masih terus menjadi bahan perdebatan
baik dari para ahli dibidang agama, medis yang masih belum ada
satu kesepakatan.
Dengan adanya pengetahuan yang canggih dan modern,
dokter dapat memprediksi penyakit yang ada pada seseorang
untuk bisa sembuh total, lebih lama sembuh atau mungkin tidak
dapat ditolong lagi. Ketika prediksi tersebut menyatakan bahwa
penyakit yang diderita oleh seorang pasien tidak dapat
disembuhkan, maka timbul dalam dalam pikiran bahwa usaha
apapun yang akan dilakukan akan menjadi sia-sia dan hanya akan
menghabiskan biaya, sehingga menyebabkan timbulnya keingin-
an untuk mengakhiri hidupnya. Usaha-usaha atau tindakan-
tindakan untuk mempercepat kematian guna meng-akhiri
penderitaan karena penyakit itulah yang disebut dengan istilah
euthanasia. Teknologi kedokteran merupakan teknologi yang
berkaitan langsung dengan hidup matinya manusia4.
4 Muhammad Kartono, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap
Bioetika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 1.
Eko Setiawan
150 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Secara umum, kematian adalah suatu pembahasan yang
sangat ditakuti oleh publik, akan tetapi tidak demikian di dalam
dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan
modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang
secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang
dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan
hal tersebut terjadi. Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur
secara spesifik mengenai euthanasia (mercy killing). Euthanasia
atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri
sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang.
Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan
yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju
tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia dapat
dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki
hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan
segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya
yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup,
maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri
hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan
euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak
untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati
adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat
oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut
pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi
alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari
perbuatan euthanasia. Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas,
mendorong keingintahuan penulis untuk mengkaji lebih jauh
mengenai euthanasia.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 151
Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari kata yunani yaitu eu dan
thanatos. Kata eu berarti indah, bagus, terhormat, atau gracefully
and dignity, sedangkan thanatos berarti mati, mayat. Jadi secara
etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik (a
good death). Seorang penulis romawi yang bernama Seutonis,
dalam bukunya yang berjudul Vitaceasarum, mengatakan bahwa
euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita” 5.
Meminjam istilah Philo, seorang filsuf kenamaan (50-20
SM), euthanasia merupakan mati dengan tenang dan baik.
Sementara dalam analisis St. Thomas, euthanasia adalah bentuk
pengakhiran hidup orang penuh sengsara secara bebas dan
dengan berhenti makan atau dengan minum racun yang
membinasakan. Sejak abad 19, terminologi euthanasia dipakai
untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada
umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan
pertolongan dokter. Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan
penderitaan hebat menjelang kematiannya6.
Pemakaian terminologi euthanasia ini mencakup tiga kategori,
yaitu :
1. Pemakaian secara sempit
Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan
menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi
kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang
bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah
sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
hukum, etika, atau adat yang berlaku.
5 Ari Yunanto, Hukum Pidana Malpraktik Medik, (Yogyakarta: CV Andi Offset,
2010) 57. 6 M.Ali.Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995) 145.
Eko Setiawan
152 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
2. Pemakaian secara lebih luas
Secara lebih luas, terminologi euthanasia dipakai untuk
perawatan yang menghindari rasa sakit dalam penderitaan
dengan resiko efek hidup diperpendek
3. Pemakaian paling luas
Dalam pemakaian paling luas ini, euthanasia berarti
memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect,
melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan
pasien. Menurut kode etik kedokteran Indonesia, kata eutahanasia
dipergunakan dalam tiga arti :
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan menyebut nama Allah di
bibir.
2.Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit
dengan memberinya obat penenang.
3.Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Macam-Macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:
1. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat
kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh
pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit
pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium
akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi
bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya
dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan
hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan
mengurangi sakit yang memang sudah parah. Contoh euthanasia
aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan
rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan.
Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal
dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi
(overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 153
2. Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter
menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras,
yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian
pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena
keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang
dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,
yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien
yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan
yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana
pengobatan yang sangat tinggi. Contoh euthanasia pasif, misalkan
penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan
penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya7.
Berbagai Bentuk Euthanasia
1. Euthanasia murni
Adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang
tanpa memperpendek hidupnya. Di situ termasuk semua
perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati
dengan baik.
2. Euthanasia pasif
Adalah kalau tidak dipergunakan semua kemungkinan
teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk
memperpanjang kehidupan
7 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003) 178-179.
Eko Setiawan
154 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
3. Euthanasia tidak langsung
Adalah usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping bahwa pasien barangkali meninggal dalam waktu lebih
cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika,
hipnotika8, dan anelgetika yang barangkali secara de facto
memperpendek kehidupan walaupun hal itu disengaja.
4. Euthanasia aktif (mercy killing)
Adalah proses kematian diringankan dengan
memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam
euthanasia aktif ini masih perlu dibedakan, apakah pasien
menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak berada
dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.
Euthanasia dalam Dunia Kedokteran
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam
pengabdiannya kepada sesama manusia dan tanggung jawab
dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang
dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap
dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemuliaan
profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut
diinsyafi oleh para dokter di seluruh dunia, dan hampir tiap-tiap
negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri.
Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah
Hipocrates9 yang dirumuskan kembali dalam pernyataan
himpunan dokter sedunia di London bulan Oktober tahun 1949
dan diperbaiki oleh sidang ke 22, himpunan tersebut di Sydney
bulan Agustus tahun 196810.
8 Hipnotika atau obat tidur berasal dari kata hypnos yang berarti tidur,
adalah obat yang diberikan malam hari dalam dosis terapi dapat mempertinggi keinginan tubuh normal untuk tidur, mempermudah atau menyebabkan tidur
9 Sumpah Hipocrates merupakan sumpah historis yang diambil oleh sumpah dokter untuk praktek kedokteran secara etis. Hal ini diyakini telah ditulis oleh Hipocrates yang dianggap sebagai bapak kedokteran barat, di ionik Yunani (akhir abad ke-5 SM).
10 Aris Wibudi, Euthanasia, (Bogor: ITB, 2002) 12.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 155
Khusus untuk di Indonesia, pernyataan semacam ini secara
tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia,
yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan
surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : Pernyataan
berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23
Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus
tahun 1969 Nomor 55/WSKN/1969. Semua perbuatan yang
dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia
harus memberi pertolongan guna mempertahankan dan
memeliharan kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia
terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, akan
tetapi tindakan ini di ambil setelah di pertimbangkan secara
mendalam bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa,
supaya pasien dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun
dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh sebab
itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan
persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya11.
Karena naluri terkuat dari manusia adalah memper-
tahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas
seorang dokter, maka menurut etika kedokteran, dokter tidak
diperbolehkan melakukan hal-hal:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus),
Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah
abortus provocatus ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang.
Sebagai contoh dapat kita lihat dalam pasal 346 KUHP, yang
menyatakan sebagai berikut: “Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”. Walaupun abortus provocatus ini merupakan
perbuatan yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos
11 Djoko Prakoso, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan Hukum,
(Medan: Pustaka Bangsa Press. 1984) 81.
Eko Setiawan
156 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
oleh seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan dan
apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk
menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan melakukan
abortus provocatus ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua
dokter, dengan persetujuan tertulis daripada perempuan yang
hamil dan suaminya, atau keluarganya yang terdekat. Abortus
jenis ini disebut sebagai : abortus provocatus therapeuticus.
b. Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan
pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (Euthanasia).
Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan
mustahil pasien yang penyakitnya sudah tidak mungkin
disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja. Sampai
sebegitu jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip euthanasia.
Para dokter pun begitu halnya. Pada umumnya kelompok yang
menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi
religius. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu
yang dialami oleh manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan
harus dipikul oleh manusia, karena hal itu mengandung makna
dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti penderitaan
seseorang dalam sakit yang tengah dideritanya, walau
bagaimanapun keadaannya memang sudah menjadi kehendak
Tuhan. Oleh sebab itu mengakhiri hidup seseorang yang sedang
menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan.
Euthanasia Dalam Pengaturan Hukum Pidana Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah
sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat
pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal
344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan
bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-
pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan
memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan euthanasia.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 157
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara
kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa
pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat
oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
euthanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini
belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang
dalam masyarakat Indonesia. Euthanasia hingga saat ini tidak
sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar
hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP12.
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia
menjadi beban tersendiri bagi pakar hukum. Sebab pada
persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara.
Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif
memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia
akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan
tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena
munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Patut menjadi
catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif
di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia
yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri dan
euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran
terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur
dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”
12 Simorangkir, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di Indonesia, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003) 29.
Eko Setiawan
158 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib
memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah”13.
Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa
seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap
orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan
membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya
membayangkan seseorang yang sampai hati “membunuh’ atau
dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi
yang dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan
yang bersangkutan yang tengah menderita sakit parah yang tak
tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit lagi, kalau ini dikaitkan
lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun
dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil
permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani
atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan nyawanya
dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit
untuk dihindari14.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan Pasal 304 KUHP
tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan dengan sengaja
membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap
diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam
konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam
konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan
dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap
13 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2005) 115. 14 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1982) 117.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 159
dikualifikasikan sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut. Bahwa seseorang telah melanggar suatu peraturan
hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal
dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat dan
kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan
sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak
berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa,
jangan sampai ia mendapatkan hukuman yang terlalu berat, tidak
seimbang dengan kesalahannya15.
Euthanasia dan Kedudukannya dalam Hukum Islam
Euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia
kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan
terhadap pasien yang sedang kritis (akut) atau menderita penyakit
menahun serta tipis harapannya untuk sembuh kembali. Seorang
pasien yang sedang sakit parah dan tidak sanggup lagi, lalu
bermohon agar dokter mengakhiri hayatnya, maka
dikabulkannya permohonan itu atas pertimbangan pasien tersebut
tipis harapannya untuk dapat sembuh. Kalau pada orang seperti
ini dimatikan maka kita melakukan euthanasia, yang sekarang ini
tidak atau belum diterima di Indonesia, dan negara-negara lain
pun masih ada yang belum menerimanya. Meskipun euthanasia
itu juga demi rasa kemanusiaan yakni membebaskan orang yang
hidup padahal tidak ada harapan lagi untuk hidup. Kehidupan
orang secara vegetatif ini membutuhkan juga perawatan, biaya dan
sebagainya. Itu alasan-alasan yang dipertimbangkan
bagi euthanasia16. Esensi dari pada dilakukan euthanasia ini
adalah untuk meringankan penderitaan si pasien yang telah
mengalami penyakit menahun (akut) dan sudah tipis harapan
untuk sembuh. Di samping itu alasan-alasan yang dipertim-
bangkan sehingga terjadi euthanasia adalah untuk dapat
15 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta:
Refika Aditama. 1977) 16. 16 Ahmad Watik, Islam Etika dan Kesehatan, (Jakarta: Rajawali, 1986) 41.
Eko Setiawan
160 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
meringankan pula keluarga pasien yang ditinggalkan apalagi
kalau kehidupan mereka tergolong ekonomi lemah.
Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam
Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Namun
diantara sekian banyak ulama yang menantang euthanasia ini, ada
beberapa ulama yang mana mendukungnya. Menurut pendapat
para ulama, bahwa euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap
penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa disembuh-
kan. Pendapat Ibrahim Hosen ini disandarkan kepada suatu
kaidah ushul fiqh: Al Irtifaqu Akhaffi Dlarurain, melakukan yang
teringan dari dua mudlarat. Jadi katanya, langkah ini boleh dipilih
karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama,
penderita mengalami penderitaan. Kedua, jika menular
membahayakan sekali. Artinya dia menjadi penyebab orang lain
menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa besar. Dan
beliau bukan hanya menganjurkan euthanasia pasif tapi juga
euthanasia aktif17.
Di beberapa negara Eropa dan Amerika sudah mulai
banyak terdengar suara yang pro euthanasia, mereka mengadakan
gerakan untuk mengukuhkannya ke dalam undang-undang.
Sebaliknya mereka yang kontra euthanasia, bahwa tindakan
demikian sama dengan pembunuhan. Kita di Indonesia ini
sebagai umat beragama dan ber Pancasila percaya kepada
kekuasaan yang mutlak dari Tuhan Yang Esa segala sesuatu yang
diciptakanNya dan penderitaan yang dibebankan kepada
makhlukNya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter
harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya
untuk meringankan penderitaan dan juga memelihara hidup akan
tetapi tidak untuk mengakhirinya18.
Para ulama telah sepakat bahwa apapun alasannya, apabila
tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan
mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih
17 Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih
Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) 180. 18 Oemarsono Adji, Profesi Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991) 219.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 161
menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharam-
kannya. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari
kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama
sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju dengan
tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan
klasik. Mereka percaya bahwa yang berhak menentukan kematian
itu hanyalah Allah SWT. Tugas manusia hanya berikhtiar, seorang
dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke
pengadilan karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan permintaan pasien. Tetapi
kelompok yang mana menyetujui praktik euthanasia ini lebih
melihat pada sisi maslahat19 dan keadaan yang menuntut. Seorang
penderita secara kronis, hanyalah akan terus menderita tanpa bisa
disembuhkan. Satu-satunya cara untuk meringankan beban pasien
dalam kondisi semacam itu adalah memberikan kepadanya
kematian yang damai (mercy killing). Tanpa tindakan ini, para
dokter dan kerabat keluarga hanya akan menyiksa atau
membiarkan penderitaan sang pasien.
Konsep Euthanasia dalam Hukum Islam
Kontroversi yang mana menyangkut isu etika euthanasia
(perilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang
menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan) tidak saja
santer didiskusikan di kalangan dunia medis, tetapi telah
merambah ke mana-mana terutama para ulama Islam. Isu
euthanasia selalu muncul, salah satunya karena praktik tersebut
bukan hanya melibatkan pertimbangan hidup mati. Tetapi,
termasuk juga pertimbangan hukum, perasaan dan etika
kedokteran. Selama jenis penyakit pada manusia terus
berkembang dan penyembuhan terhadapnya diyakini mustahil
(apalagi dengan kadar penularan yang tinggi), para ahli medis
19 Maslahat secara etimologi berasal dari kata shalah, yang berarti
manfaat.Setiap sesuatu yang memberikan manfaat secara langsung atau melalui perantara, dapat disebut maslahat.
Eko Setiawan
162 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
dan hukum mulai melirik kemungkinan-kemungkinan eutha-
nasia.
Euthanasia, tidak ubahnya dengan menghabisi pasien yang
menderita tanpa sama sekali mengakhiri penderitaan mereka.
Dengan kata lain, pengobatan terhadap rasa sakit atau nyeri yang
tak terbendung bukan semata dapat dilakukan dengan
pembunuhan, tetapi dapat pula ditempuh dengan terapi lain.
Tentu saja faktor agama akan sangat menentukan sikap seseorang
terhadap derita sakit dan juga nyeri yang dialamainya. Filsafat
Budha menyatakan bahwa derita sakit bersumber dari frustasi.
Bagi kaum Hindu yang menyakini bahwa pain (rasa sakit dan
nyeri yang berasal dari bahasa Latin poena) berarti siksaan akan
lebih merasakan penderitaan nyeri dibanding seorang muslim
yang menilai penderitaan sebagai cobaan dari Tuhan atau bahkan
pembersihan diri sebelum menghadap kepadaNya20.
Ketika orang-orang yang mana pro euthanasia
menganggap bahwa kebebasan untuk melakukan apa saja
terhadap diri seseorang adalah hak yang paling utama bagi
mereka yang berdaya tinggi. Sebagaimana saya berhak memilih
kapal untuk berlayar, atau rumah untuk dihuni, sayapun berhak
untuk memilih kematian untuk dapat meninggalkan kehidupan
ini. Maka Islam justru tidak sejalan dengan filosofis tersebut. Islam
mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak
tersebut merupakan anugerah Allah SWT kepada manusia. Hanya
Allah SWT yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan
kapan ia mati. Bagi mereka yang menderita bagaimanapun bentuk
dan kadarnya Islam tidak membenarkan merenggut kehidupan
baik melalui praktik euthanasia apalagi bunuh diri.
Islam akan menghendaki kepada setiap muslim hendaknya
selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Sebab seorang
mukmin dicipta justru untuk berjuang, bukanlah untuk tinggal
diam, dan untuk berperang bukan untuk lari. Iman dan budinya
20 Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999) 169.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 163
tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap
mukmin mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu senjata
iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi para
penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai
sarana pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa. Agar supaya
meringankan derita sakit seorang muslim diberi pelipur lara oleh
Nabi Muhammad SAW. Dengan sabdanya, jika seseorang dicintai
Tuhan maka ia akan dihadapkan kepada cobaan yang beragam.
Lain halnya dengan mereka yang tidak mendapatkan alternatif
lain dalam mengatasi penderitaan dan rasa putus asa, Islam
memberi jalan keluar dengan menjanjikan kasih sayang dan
rahmat Tuhan. Disinilah pentingnya peranan hukum Islam dalam
menetapkan hal-hal yang halal dan haramnya suatu sikap yang
diambil dalam hal euthanasia. Ketika orang diombang-ambing
oleh keadaan yang sangat mendesak, karena dipengaruhi oleh
tuntutan zaman atau kemajuan teknologi, dimana orang
seenaknya saja bertindak, yang asalkan menurut mereka hal itu
merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah tindakan
mereka itu benar atau tidak menurut hukum, agama maupun
etika.
Dalam berbagai studi dan literatur Islam, mengenai
pandangan terhadap tindakan euthanasia, nampaknya ada suatu
kesepakatan atau paling tidak terdapat kesamaan persepsi
mengenai pengertian euthanasia. Euthanasia adalah suatu upaya
yang dilaksanakan untuk dapat membantu seseorang dalam
mempercepat kematiannya secara mudah akibat ketidak-
mampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada lagi
harapan untuk hidup atau disembuhkan.
Begitu pula dari para tokoh Islam di Indonesia, seperti
Amir Syarifuddin bahwa euthanasia adalah pembunuhan
seseorang bertujuan menghilangkan penderitaan si sakit.
Euthanasia yang sering terjadi pada umumnya dalam dunia
kedokteran misalnya tindakan dokter dengan memberi obat atau
suntikan. Para tokoh Islam juga sepakat bahwa eutahanasia ada
dua macam yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthansia
Eko Setiawan
164 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
aktif adalah tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang
bersangkutan masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan21.
Sedangkan euthanasia pasif adalah tindakan tindakan yang
dilakukan oleh dokter atau orang lain untuk tidak lagi
memberikan bantuan medis yang memperpanjang hidup pasien.
Rumusan euthanasia yang dirumuskan di atas sejalan
dengan pengertian yang dirumuskan oleh komisi dari fatwa MUI,
bahwa euthanasia adalah pembunuhan dengan didampingi oleh
pertimbangan medis bagi seorang penderita atau mengidap
penyakit yang mana tidak mungkin lagi disembuhkan. Nyawa
merupakan barang titipan Allah SWT, oleh karenanya tidak boleh
diabaikan apalagi untuk menghilangkan secara sengaja. Islam
menghendaki setiap muslim untuk dapat selalu optimis sekalipun
ditimpa suatu penyakit yang sangat berat. Jadi Islam pulalah
memahami bahwa euthanasia adalah suatu keinginan dalam
usaha mempercepat kematian akibat ketidakmampuan menahan
penderitaan.
Jadi euthanasia merupakan suatu usaha untuk membantu
seseorang yang sedang mengalami sakit atau penderitaan yang
tidak mungkin disembuhkan untuk dapat mempercepat kematian
dengan alasan membantu menghilangkan penderitaan yang kian
dirasakan, padahal sama sekali tidak dapat mengakhiri
penderitaannya. Jadi hukum Islam dalam menanggapi euthanasia
secara umum ini memberikan suatu konsep bahwa untuk
menghindari terjadinya euthanasia, utamanya euthanasia aktif
umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada
kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk
penderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah SWT.
Hal ini hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan
tawakal. Dan diharapkan kepada dokter untuk tetap berpegang
kepada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya. Dan
beberapa ulama memberikan suatu konsep tentang euthanasia
secara khusus bagi penderita yang penyakitnya menular.
21 Chuzaimah Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT.
Pustaka Firdaus, 1995) 62.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 165
Contohnya saja bagi penderita AIDS, menurut AF. Ghazali dan
salah seorang Ketua MUI Pusat HS. Prodjokusumo mengatakan
bahwa, mengisolasi penderita AIDS dipandang penyelesaian yang
terbaik ketimbang harus dihilangkan nyawanya/ di euthanasia22.
Hal ini berarti bahwa kalau sedapat mungkin euthanasia dapat
dihindari, mengapa tidak dilakukan. Karena pepatah mengatakan
di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan. Kalau dokter sudah
menyerah untuk mengobati pasiennya lebih baik dikembalikan
kepada keluarganya tanpa bermaksud untuk menghentikan
bantuan kepada si pasien.
Ada beberapa pendapat tentang euthanasia, di antaranya
adalah adanya yang mengatakan bahwa euthanasia adalah suatu
pembunuhan yang terselubung dan sebuah tindakan yang
bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dikarenakan dalam hal ini
manusia tidak mempunyai kewenangan untuk memberi hidup
dan atau menentukan kematian seseorang, seperti dijelaskan di
dalam QS: Yunus, 56:
ت رج عون و إ ل يه و ي يتۦيى هو
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-
lah kamu dikembalikan”.
Pendapat lain yang menyatakan bahwa euthanasia
dilakukan dengan tujuan baik yaitu untuk menghentikan
penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman
pendapat ini adalah kaidah manusia tidak boleh dipaksa untuk
menderita. Para pendukung euthanasia ini berargumentasi bahwa
memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupan penuh derita
adalah sesuatu yang irasional. Euthanasia bisa terjadi karena
permintaan dari pasien sendiri, tim medis atau berasal dari pihak
keluarga pasien. Meski tindakan tersebut secara lahirilah
sepertinya dapat membantu meringankan/menghilangkan
penderitaan pasien. Akan tetapi dikarenakan menggunakan cara-
cara yang tidak benar dan akan mempunyai potensi untuk
22 Majalah Panji Masyarakat, (No. 846, 01-15 Januari 1996) 61.
Eko Setiawan
166 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
menghilangkan nyawa seseorang maka hal itu termasuk kategori
pembunuhan.
Bagaimana jika euthanasia tersebut dilakukan atas dasar
persetujuan pihak keluarga, dalam persoalan dan implikasi
hukumnya terhadap hukum jinayah yang ditinjau dalam fikih
Imam Syafi’i. Sementara dalam hukum jinayah Islam23 yang
dalam fikih Imam Syafi’i dikategorikan dalam tiga bagian yaitu
pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan sengaja tapi ada unsur
kesalahan. Dari ketiga kategori jinayah tersebut ada pembagian
hukum nya. Dalam keterkaitannya kasus diatas maka dibahas
mengenai kesamaan antara euthanasia dan hukum jinayah dalam
Islam.
Hukum jinayah menurut Imam Syafi’i jinayah dibagi
menjadi tiga yaitu pembunuhan disengaja, pembunuhan tidak
sengaja dan pembunuhan disengaja. Pembunuhan sengaja adalah
membunuh seseorang dengan sesuatu yang bisa menyebabkan
kematian dan dengan adanya niat untuk membunuh. Dalam
kasus ini pembunuh dikenai qishas, tetapi jika keluarga korban
memaafkan, maka pembunuh harus membayar diyat besar dan
harus dibayar langsung dari harta pembunuh. Pembunuhan tidak
sengaja adalah melempar sesuatu dan mengenai oarang yang
menyebabkan meninggal karena lemparan tersebut dan tidak ada
unsur sengaja. Dalam kasus ini pembunuh tidak dikenai qishas,
tetapi pembunuh harus membayar diyat kecil kepada keluarga
korban. Sedangkan pembunuhan sengaja, tetapi ada unsur
kesalahan adalah melempar sesuatu dengan benda yang biasanya
menyebabkan kematian dan membuat sesorang meninggal.
Dalam kasus ini pembunuh tidak dikenai qishas, tetapi harus
membayar diyat besar kepada keluarga korban dan dapat
diangsur selama 3 tahun.
23 Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan
hukum pidana Islam.Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana qisas, hudud, dan ta’zir.
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 167
Pembunuhan adalah dosa besar dan perbuatan yang tercela,
Allah berfirman dalam QS. An-Nisa24’: 39
ر و الي وم ب الله آم نوال وع ل يه مو م اذ ا ع ل يماب ماللهو ك ان اللهر ز ق همم او أ ن ف قواالخ
Dan hadits Nabi Muhammad: “ Membunuh jiwa adalah
dilarang oleh Allah, kecuali dengan cara yang baik (HR.
Muslim dari Abu Hurairah).
Hukum jinayah adalah segala ketentuan hukum
nengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban),
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum yang terperinci
dari Al-Qu’ran dan hadits.
Imam Syafi’i membagi jinayah dalam tiga kategori:
1. Pembunuhan sengaja yaitu jika seseorang melempar sesuatu
yang memang benda itu biasanya digunakan untuk
membunuh dan dengan niat akan membunuh maka dalam
kasus ini pembunuh dikenai qishas dan harus membayar diyat
besar kepada keluarga korban dari harta yang dimiliki
pembunuh
2. Pembunuhan tidak sengaja yaitu jika seseorang melempar
seseorang dengan benda yang tidak biasanya digunakan untuk
membunuh dantidak ada niatan untuk membunuh maka
dalam kasus ini tidak ada qishas bagi pembunuh tapi harus
membayar diyat kecil kepada keluarga korban.
3. Pembunuhan sengaja tetapi ada unsur kesalahan yaitu jika
seseorang melempar dengan benda yang tidak biasanya
digunakan membunuh dan tidak ada niatan membunuh tapi
mengakibatkan orang yang terkena lemparan itu meninggal,
dalam kasus ini tidak ada qishas bagi pembunuh tapi harus
membayar diyat kecil kepada keluarga korban dan dapat
diangsur selama tiga tahun.
24 Dinamakan An- Nisa (wanita) karena dalam surat ini banyak dibicarakan
hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surah yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surah-surah yang lain.
Eko Setiawan
168 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Pengertian Diyat dalam Fikih Imam Syafi’i
Diyat adalah sejumlah harta harta yang wajib dibayar oleh
pelaku kepada pihak korban atau walinya disebabkan karena
perbuatan jinayat (kriminal). Diyat disyari'atkan dengan maksud
mencegah perampasan jiwa atau penganiayaan terhadap manusia
yang harus dipelihara keselamatan jiwanya.
Firman Allah SWT :
يصدقوااناهلهالىمسلمةوديةمؤمنةرقبةفتحريرخطأمؤمناقتلومن
"Dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah,
(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu) kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah".
(QS. An-Nisa: 92).
Imam Syafi'i berpendapat bahwa diyat itu terbagi 2 macam
saja, yaitu: diyat ringan yang dikenakan pada pembunuhan
tersalah dan diyat berat yang dikenakan pada pembunuhan
sengaja dan mirip sengaja. Imam Syafi'i berpendapat bahwa pada
dasarnya diyat itu adalah 100 ekor unta. Tindakan euthanasia
dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal
pengkategorian tindakan pembunuhan yang mana merupakan
suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan
dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi
unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua
unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud
dengan unsur-unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada
setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya
ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis
jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah
adalah sebagai berikut: Pertama, unsur formal, merupakan adanya
nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini
sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak
terjadi bila sebelum dinyatakan dalam nash. Kedua, unsur material,
merupakan adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah
dilakukan. Ketiga, unsur moral, merupakan adanya niat pelaku
untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 169
tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang
mukallaf dalam keadaan bebas dari unsur keterpaksaan atau
ketidaksadaran penuh25.
Unsur khusus dari jarimah26 merupakan unsur yang
membedakan antara jarimah satu dengan jarimah yang lain.
Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur
jarimah pencurian, zina, dan sebagainya. Dalam hukum Islam,
pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu: pertama,
pembunuhan sengaja (Alqathl al-’amd), suatu perbuatan yang
direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud
menghilangkan nyawa. Kedua, pembunuhan semi sengaja (Al-
qathl sibhu al-’amd), suatu perbuatan penganiayaan terhadap diri
seseorang tidak dengan suatu maksud membunuhnya, tetapi
mengakibatkan kematian. Ketiga, pembunuhan karena kesalahan
(Al-qathl al-khatta), pembunuhan yang terjadi karena adanya
kesalahan dan tujuan perbuatannya27. Dalam hukum Islam,
hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang
eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam
jarimah atau bukan. Hal tersebut berbeda dengan Hukum Pidana
Indonesia sebagaimana terkandung di dalam Pasal 344 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disebut
KUHP), di mana dijelaskan bahwa melakukan euthanasia
merupakan suatu tindakan pidana.
Meskipun di dalam hukum Islam itu belum ada kejelasan
atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia
termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia
aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa
adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan
25 Ahmad Azar Basyir, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta:
UII Press, 2001) 8. 26 Dalam pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sangsi
hukumannya disebut dengan istilah jarimah atau uqubah. Jarimah dibagi menjadi dua, yaitu jinayat dan hudud.
27 Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) 123.
Eko Setiawan
170 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan
untuk dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat
demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu
telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam
qishash, antara lain: 1. pembunuhan adalah orang yang baligh,
sehat, dan berakal; 2. ada kesengajaan membunuh; 3. ikhtiyar
(bebas dari paksaan); 4. pembunuh bukan anggota keluarga
korban; 5. jarimah dilakukan secara langsung28.
Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia aktif ada
suatu perbedaan yang mendasar, meski secara teknis ada
persamaan. Dalam pembunuhan sengaja, terdapat suatu maksud
atau tujuan yang cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan
dalam euthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan
secara sengaja dan terencana. Namun pembunuhan ini dilakukan
atas kehendak dan permintaan pasien atau korban kepada dokter
yang merawat dan maksud atau tujuan yang terdapat didalamnya
cenderung pada suatu pertolongan, yang dalam hal ini menolong
meringankan beban yang diderita oleh pasien.
Kesimpulan
Euthanasia adalah istilah yang didapati dalam dunia
kedokteran, diartikan sebagai pembunuhan tanpa penderitaan
terhadap pasien yang sedang kritis (akut) atau menderita penyakit
menahun serta tipis harapannya untuk sembuh kembali. Para
tokoh Islam Indonesia sangat menentang dilakukannya
euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang
menantang euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mana
mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa
euthanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit
menular apalagi kalau tidak bisa disembuhkan.
Tinjauan hukum Islam mengenai euthanasia, terutama
yaitu euthanasia aktif adalah
28 Ibid, Basyir, 2001, 16
Eksistensi Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam
Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015 171
diharamkan. Karena euthanasia aktif ini dikategorikan sebagai
perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam oleh Allah
SWT dengan hukuman neraka selama-lamanya. Karena yang
berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh
karena itu orang yang mengakhiri hidupnya atau orang yang
membantu mempercepat suatu kematian seseorang sama saja
dengan menentang ketentuan agama.
Eko Setiawan
172 Al-Ahwal, Vol. 7, No. 1 April 2015
Daftar Pustaka
Adji, Oemarsono.. Profesi Dokter. (Jakarta: Erlangga, 1991).
Assyaukanie, Luthfi, Politik, HAM, Dan Isu-Isu Teknologi Dalam
Fikih Kontemporer. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)
Basyir, Ahmad Azar, Ikhtisar Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2001).
Djazuli, Fiqh Jinayat Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan
Islam, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996).
Hasan, M.Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995).
Kartono, Muhammad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Majalah Panji Masyarakat, No. 846. Tgl. 01-15 Januari 1996. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1982). Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2005). Prakoso, Djoko, Euthanasia Hak Azasi Manusia, Manusia Dan
Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 1984). Prodjodikoro,Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia.
Jakarta: Refika Aditama, 1977. Shihab, Alwi. Islam Inklusif. (Bandung: Mizan, 1999). Simorangkir, Euthanasia Dan Penerapan Hukumnya Di Indonesia.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Utomo, Setiawan Budi, Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003). Watik, Ahmad, Islam Etika dan Kesehatan, (Jakarta: Rajawali, 1986). Wibudi, Aris, Euthanasia, (Bogor: ITB, 2002). Yanggo, Chuzaimah, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995). Yunanto, Ari, Hukum Pidana Malpraktik Medik, (Yogyakarta: CV
Andi Offset, 2010). Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah. (Jakarta : PT. Gunung Agung,
1996).