Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EKSPLORASI BUDAYA JAWA DAN KAITANNYA DALAM
PENCAPAIAN EFEKTIVITAS ORGANISASI
(Studi Kasus pada Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking
Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah)
Disusun Oleh :
FAQIH AMINUDDIN
115020207111004
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih
Derajat Sarjana Ekonomi
BIDANG MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
RIWAYAT HIDUP
Nama : Faqih Aminuddin
Tempat & Tanggal Lahir : Sukoharjo, 7 April 1993
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Agama : Islam
Alamat : Ngoro – oro RT 01 RW VI, Desa Malangan,
Kecamatan Bulu, Kab. Sukoharjo, Prov. Jawa
Tengah
E-Mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun
Keterangan
2011 – 2017
S1 Manajemen FEB-UB, Malang – Konsentrasi Manajemen
Sumber Daya Manusia
2008 – 2011
SMA Negeri 1 Sukoharjo
2005 – 2008
SMP Negeri 1 Tawangsari
1999 – 2005 SD Negeri Malangan 3 Bulu
viii
ABSTRAK
Eksplorasi Budaya Jawa Kaitannya Dalam Pencapaian Efektivitas
Organisasi
Oleh:
Faqih Aminuddin
Dosen Pembimbing:
Dr. Dodi W. Irawanto, SE., M.Com
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran budaya jawa dalam
pencapaian efektivitas organisasi dan untuk mengetahui budaya jawa apa saja yang
mempengaruhi efektivitas organisasi. Penelitian diawali dengan melakukan
observasi tentang proses pelaksanaan pelayanan masyarakat pada kantor desa.
Peneliti mengidentifikasi apakah budaya jawa masih diterapkan dan dipegang teguh
oleh Pamong Desa. Mengetahui apakah budaya jawa yang masih diterapkan itu
masih relevan dan berpengaruh terhadap efektivitas organisasi pada kantor desa
dalam menjalankan pemerintahan desa dan pelayanan terhadap masyarakat.
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif deskriptif dengan pendekatan
studi kasus dimana paneliti mendeskripsikan secara rinci pengaruh dari masih
diterapkannya budaya jawa oleh para pamong desa di Desa Malangan, Puron,
Ngasinan, dan Lengking terhadap pelaksanaan proses pemerintahan dan pemberian
pelayanan yang maksimal kepada masayarakat, dimana pengumpulan data
dilakukan terhadap pamong desa yang ditunjuk oleh kepala desa dan beberapa
Kepala Desa di Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan lengking yang memiliki
pengetahuan tentang Budaya Jawa. Selanjutnya observasi dilakukan selama 2
bulan.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa masih diterapkannya budaya jawa
berperan positif terhadap pencapaian efektifitas organisasi di kantor desa. Hal
tersebut terbukti dengan penerapan budaya jawa pada kantor desa Malangan, Puron,
Ngasinan dan Lengking pelayanan masyarakat menjadi maksimal. Budaya jawa
yang masih diterapkan oleh pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan
Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo yang perpengaruh positif
terhadap efektifitas organisasinya antara lain: (a) Memberikan suritauladan yang
baik, (b) Gotong royong, (c) Alon – alon penting kelakon, (d) Tanggungjawab, (e)
Tepa slira, (f) Ewuh perkewuh, (g) Melakukan pendekatan personal jika terjadi
pelanggaran.
Kata Kunci : Eksplorasi, Budaya Jawa, Budaya Organisasi, Efektivitas
Organisasi
ABSTRACT
The Cultural exploration of Java related on organizational effectiveness
achievement
By Faqih Aminuddin
Supervisor:
Dr. Dodi W. Irawanto, SE., M.Com
The research was purposed to find out the influence of java culture on
organizational effectiveness achievement and what kind of java culture
influencing on the organizational effectiveness. This research was initiated by
observing public service implementation at the Village office and identify whether
the java Culture was still implemented and adhered by the village officials and
also whether the implementation of java culture was still relevant to the
effectiveness achievement and influence to the effectiveness achievement at The
village office in performing village government and serving on society.
This research used qualitative analysis descriptive with case study
approach where the researcher describe in detail the influence of java culture
implementation by the village officials in Malangan Village, Puron Village,
Ngasinan Village, and Lengking Village to the performing of Government and the
provision of maximum service to the society. The collecting of the data was done
to the village officials who knew java culture by the chief Village appointment in
Malangan Village, Puron Village, Ngasinan Village, Leking Village. The
observation was done in 2 months.
The result of the research showed that the java culture which was still
implemented, influence positively to the organizational effectiveness at Village
office. It was proved by the java culture implementation in Malangan Village,
Puronan Village, Ngasinan Village, and Lengking village, which is their public
services become maximum. The java culture which was still implemented by the
village officials in Malangan Village, Puron Village, Ngasinan Village, And
lengking village, Bulu Sub-district, Sukoharjo Regency influence positively to the
organizational effectiveness, such are : a) giving good representative b)mutual
cooperation c)slowly but it has done as priority d)responsibility e) implementation
the condition of others as ourself f) polite awareness, g) conduct a personal
approach in case of violation.
Keywords : Exploration, Java Culture, Organizational Culture,
Organizational effectiveness
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan
Hidayah-Nya serta Syafaat Rasulullah SAW kepada kita semua,sehingga
penyusunan skripsi dengan judul “Eksplorasi Budaya Jawa Kaitannya dalam
Pencapaian Efektivitas Organisasi, Studi Kasus pada Pamong dibeberapa Desa
Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking pada Kecamatan Bulu, Kabupaten
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah” ini dapat penulis selesaikan tepat waktu. Adapun
tujuan penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar
Sarjana Ekonomi pada jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya Malang.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik
karena adanya dukungan, bimbingan dan doa dari banyak pihak. Oleh
karenanya,dari hati yang paling dalam penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Nurkholis, M.Buss., Ak., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya
2. Ibu Dr. Sumiati S.E., M.Si. selaku Ketua Jurusan Manajemen Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
3. Bapak Dr. Dodi W. Irawanto, SE., M.Com. selaku dosen pembimbing
skripsi yang selalu ikhlas membimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini
ii
4. Ibu Lily Hendrasti Novadjaya, SE., MM. selaku Dosen Penguji I dan Ibu
Nadiyah Hirfiyana Rosita, SE., MM. selaku Dosen Penguji II yang telah
memberikan saran perbaikan bagi skripsi ini
5. Segenap Dosen Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya khususnya konsentrasi Sumber Daya Manusia
6. Ayah, Ibu, serta seluruh keluargaku yang telah memberikan dukungan dan
doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini
7. Bapak Maryatno selaku Kepala Desa Malangan, Bapak Wahyu Riyanto
selaku Kepala Desa Puron, Bapak Ibnu Wiyatno selaku Kepala Desa
Ngasinan, Bapak Mulyanto Selaku Kepala Desa Lengking dan seluruh
pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lingking yang telah
membantu pelaksaan penelitian skripsi
8. Teman-teman Manajemen 2011 yang telah membantu dan memberikan
masukan kepada penulis
9. Teman-teman SKUTER (SUKOHARJO MAKMUR TERCINTA) yang
senantiasa memotivasi dan memberikan dukungan secara moril kepada
penulis
10. Pihak-pihak lain yang membantu penulisan skripsi ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
iii
Tiada yang mampu membalas kebaikan selain Allah SWT. Semoga Allah
SWT membalas kebaikan seluruh pihak yang telah membantu dengan balasan
yang sebesar-besarnya di dunia dan akhirat. Penulis berharap agar skripsi ini
nantinya dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Malang, 15 Juni 2015
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... vii
ABSTRAK ....................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 7
2.1 Landasan Teori .................................................................................................... 7
2.1.1 Budaya jawa ................................................................................................ 7
2.1.2 Budaya Organisasi .................................................................................... 12
2.1.3 Efektivitas organisasi ................................................................................ 15
2.2 Penelitian Terdahulu ......................................................................................... 18
BAB III METODELOGI PENELITIAN .......................................................................... 21
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................................. 21
3.2 Pendekatan Penelitian ....................................................................................... 22
3.3 Subjek dan Objek Penelitian ............................................................................. 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 26
3.5 Sumber Data dalam Penelitian .......................................................................... 29
3.6 Teknik Analisis Data ......................................................................................... 29
3.7 Kredibilitas Penelitian ....................................................................................... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 34
4.1 Gambaran Umum .............................................................................................. 34
4.1.1 Gambaran Umum Desa ............................................................................. 34
4.1.2 Visi dan Misi Desa .................................................................................... 37
4.1.3 Struktur Organisasi Desa .......................................................................... 39
4.1.4 Tupoksi Pamong Desa .............................................................................. 41
4.2 Hasil dan Pembahasan ...................................................................................... 42
4.2.1 Hasil Penelitian ......................................................................................... 43
4.2.2 Pembahasan ............................................................................................... 62
v
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 70
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 70
5.2 Saran ................................................................................................................. 71
5.2.1 Saran Praktis ............................................................................................. 71
5.2.2 Saran Akademis ........................................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 72
vi
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Gambar Hal
2.1 Pengaruh kultural terhadap efektivitas 11
2.2 Kerangka Berpikir 20
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
LAMPIRAN 1 Guide Interview 75
LAMPIRAN 2 Koding Wawancara 76
LAMPIRAN 3 Dokumentasi Kegiatan Pamong Desa 82
LAMPIRAN 4 Serat Keterangan Melakukan Penelitian
LAMPIRAN 5 Struktur Organisasi Desa Malangan, Puron,
Ngasinan, dan Lengking
90
LAMPIRAN 6 Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2006 tentang
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa
92
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi ini perkembangan teknologi sangatlah pesat. Kemajuan
teknologi tersebut membuat jarak dan waktu di seluruh dunia menjadi tidak berarti.
Perkembangan teknologi memacu modernisasi diberbagai aspek, contohnya
diaspek ekonomi, dan kehidupan sosial budaya. Disini peneliti lebih menekankan
pada aspek kehidupan sosial budaya. Karena proses modernisasi, budaya – budaya
lokal di Indonesia mulai terpinggirkan. Hal itu dikarenakan telah terjadi akulturasi
budaya dari berbagai belahan dunia.
Budaya merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa, sebuah tindakan serta
karya yang dihasilkan oleh manusia didalam kehidupannya yang bermasyarakat,
yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar. Indonesia adalah bangsa yang kaya
akan budaya. Budaya sendiri juga banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
tidak terkecuali dalam organisasi. Sebuah organisasi tidak akan lepas terhadap
aspek sumber daya manusianya. Pada bidang manajemen sumber daya manusia,
khususnya dalam budaya organisasi juga terpengaruh oleh proses akulturasi budaya
yang terjadi di Indonesia. Budaya-budaya lokal yang diterapkan dalam budaya
organisasi mulai tergantikan dengan budaya yang diadopsi dari budaya luar. Di lain
pihak budaya organisasi yang mengadopsi budaya lokal dengan baik dan diterapkan
dengan pas akan memudahkan pegawainya untuk menyesuaikan diri dengan
budaya organisasi pada organisasi atau instansi tersebut dan dapat bekerja
2
degan baik. Karena sejatinya budaya lokal adalah yang mencerminkan kepribadian
masyarakat setempat.
Setiap wilayah di Indonesia bisa dikatakan memiliki budaya sendiri yang
menjadi ciri khas tersindiri yang mencerminkan wilayah tersebut. Termasuk juga
di Jawa Tengah pada khusunya di daerah Sukoharjo. Sekoharjo masih berada
disekitar keraton kasunanan Surakarta. Masyarakat Sukoharjo masih memegang
erat budaya jawa yang luhur. Budaya jawa adalah budaya yang luhur, karena
budaya jawa menjunjung tinggi rasa menghargai orang lain. Masyarakat jawa
dalam melakukan tingkah laku selalu memperhatikan unggah – ungguh yang dalam
Bahasa Indonesia berarti sopan santun. Budaya luhur masyarakat jawa antara lain
gugur gunung (bergotong royong), tepa slira (mengukur sesuatu menurut apa yang
kita rasakan). Budaya tersebut sangat bagus apabila bisa diterapkan pada sebuah
organisasi.
Budaya sangat berpengaruh pada suatu organisasi dalam melakukan
aktivitasnya. Budaya yang dipakai pada suatu organisasi tercermin dalam budaya
organisasinya. Bagaimana setiap anggota akan mengapresiasikan diri mereka akan
sesuai dengan budaya yang mereka anut, orang Jawa akan mencerminkan
kejawaanya. Begitu pula organisasi di Jawa, akan terlihat budaya jawanya dalam
menjalankan organisasinya karena budaya organisasi adalah nilai-nilai dan
keyakinan bersama yang memungkinkan anggota-anggota untuk memahami peran
mereka dalam organisasi dan norma-norma organisasi (Luthans & Doh, 2014).
Selanjutnya menurut Schein sebagai suatu asumsi dasar bersama yang dipelajari
oleh kelompok, seperti memecahkan masalah atas adaptasi eksternal dan integrasi
3
internal, serta telah bekerja dengan cukup baik untuk dipertimbangkan dengan valid
dan karenanya diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk
memahami, berpikir, dan merasa dalam kaitannya dengan masalah – masalah
tersebut (Luthans & Doh, 2014). Sehingga budaya organisasi sangat vital
peranannya dalam organisasi untuk melangsungkan kehidupannya.
Schein juga meyakini arti penting budaya organisasi dalam organisasi karena
aneka fungsi yang dijalankannya, seperti menetapkan tapal batas, membawa
identitas anggota organisasi, mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas
dari kepentingan individual, meningkatkan kemantapan sistem sosial, serta
mekanisme pembuat makna dan kendali pembentuk sikap serta perilaku karyawan
(Robbins, 1996). Fungsi budaya organisasi sebagai tapal batas, maka setiap
organisasi memiliki budaya yang berbeda. Begitu pula disetiap organisasi di suatu
wilayah akan memiliki budaya organisasi yang berbeda pula dengan budaya
organisasi di organisasi di wilayah lain. Termasuk pada Pamong Desa Malangan,
Puron, Ngasinan dan Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten sukoharjo dengan
daerah yang lain.
Nilai dalam budaya organisasi erat kaitannya dengan efektivitas organisasi
karena mempengaruhi pola bekerja yang terbentuk pada organisasi tersebut, sikap
dan perilaku anggota organisasi. Dan pembentukan budaya organisasi sangat
dipengaruhi oleh budaya lokal yang dimiliki oleh para pegawai. Seperti penelitian
Hofstade yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya negara para pegawai memiliki
pengaruh yang signifikan pada kinerja operasional mereka, dan bahwa nilai-nilai
para pegawai yang mereka bawa ke tempat kerja tidak mudah diubah oleh
4
organisasi (Luthans & Doh, 2014). Selanjutnya juga menurut Robert Kreitner dan
Angelo Kunicki dalam terdapat pengaruh Budaya lokal dalam bentuk adat istiadat
yang mempengaruhi nilai pada setiap individu dan lingkungan organisasi sehingga
mempengaruhi efektifivitas organisasi. (Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1996).
Efektivitas organisasi adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atau
diusahakan bersama. Bagaimana organisasi dapat mencapai tujuan dengan
menggunakan sumber daya yang terdapat dalam organisasi tersebut (Gibson,
Ivancevich, & Donnelly, 1996). Konsep efektivitas organisasi terdiri dari dua
pendekatan yaitu pendekatan tujuan dan pendekatan sistem (Gibson, Ivancevich, &
Donnelly, 1996). Pendekatan tujuan untuk menentukan dan mengevaluasi
efektivitas didasari pada gagasan bahwa organisasi diciptakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Sedangkan dalam pendekatan sistem, organisasi dipandang
sebagai suatu unsur dari sejumlah unsur yang saling berhubungan dan saling
ketergantungan satu sama lain. Pendekatan ada dua yaitu Arus masuk (input) dan
keluaran (output) merupakan titik tolak dalam organisasi. Organisasi mengambil
sumber (input) dari sistem yang lebih luas (lingkungan), memproses sumber ini dan
mengembalikannya dalam bentuk yang sudah diubah (output). Oleh karena itu,
ketika suatu organisasi mencapai keefektifannya dalam kasus ini pamong desa,
maka akan memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, sehingga
masyarakat akan puas akan kualitas pelayanan publik yang diberikan.
Pentingnya budaya bagi suatu organisasi sebagai tapal batas pembeda dengan
organisasi lain dan menentukan bagaimana organisasi tersebut berjalan. Begitu pula
bagi pamong desa, budaya organisasi dijadikan dasar untuk mewujudkan pelayanan
5
masyarakat yang baik sehingga dapat tercapai efektivitas organisasinya. Ditengah
gempuran modernisasi, budaya oraganisasi pada pemerintahan desa juga
mengalami pergeseran nilai. Budaya jawa mulai bergeser dan ditinggalkan. Tetapi,
tidak terjadi pada para pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking
Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Pamong desa
tersebut senantiasa menjaga dan melestarikan nilai – nilai jawa yang luhur dan
dijadikan budaya organisasi yang diterapkan. Diharapkan dengan penelitian ini
dapat diketahui budaya jawa apa saja yang yang berpengaruh terhadap pencapaian
efektivitas organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi
dengan judul “Eksplorasi Budaya Jawa Kaitannya dalam Pencapaian Efektivitas
Organisasi, Studi Kasus pada Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan
Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.”
1.2 Perumusan Masalah
Menurut uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
a. Apakah budaya jawa berperan dalam pencapaian efektivitas organisasi pada
Pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking Kecamatan Bulu,
Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah?
b. Budaya jawa apa saja yang menjadi pembentuk efektivitas organisasi pada
Pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking Kecamatan Bulu,
Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah?
6
1.3 Tujuan Penelitian
Menurut uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui peranan budaya jawa dalam pencapaian efektivitas
organisasi pada Pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking
Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.
b. Untuk mengetahui Budaya Jawa apa saja yang mempengaruhi pencapaian
efektivitas Organisasi pada Pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan
Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dibidang
manajemen sumberdaya manusia tentang eksplorasi budaya jawa kaitannya dalam
pencapaian dalam kaitannya pada pembentukan kepuasan kerja.
b. Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat di gunakan oleh pihak Pemerintah Desa
Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten
Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah untuk mengetahui budaya jawa apa saja yang
mempengaruhi efektivitas organisasi agar pamong desa dapat bekerja dengan
optimal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Budaya jawa
2.1.2.1 Pengertian budaya
Kata budaya berasal dari Bahasa latin Cultura, yang terkait dengan pemujaan
atau ibadah. Dalam arti paling luas, istilah tersebut mengacu pada interaksi
manusia. Budaya (culture) memerlukan pengetahuan yang orang perlukan untuk
menginterpretasikan pengalaman dan menghasilkan perilaku sosial. Pengetahuan
tersebut membentuk nilai, menciptakan sikap, dan mempengaruhi perilaku
(Luthans & Doh, 2014). Budaya juga merupakan sebuah sistem gagasan dan rasa,
sebuah tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia di dalam kehidupannya
yang bermasyarakat, yang dijadikan kepunyaannya dengan belajar
(Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, 1985). Indonesia
kaya akan budaya.
Budaya yang diterapan pada lokasi penelitian adalah budaya jawa. Karena
lokasi penelitian terdapat dikalangan Masyarakat Jawa jawa yang menghasilkan
budaya jawa. Budaya jawa masih diterap secara baik dikalangan pamong Desa
Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking, Kecamatan Bulu Kabupaten
2
Sukoharjo. Budaya jawa masih senantiasa digunakan sebagai dasar untuk
menjalankan pemerintahan desa dan pelayanan masyarakat.
2.1.2.2 Budaya jawa
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari manusia yang terikat oleh suatu
sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996). Masyarakat Jawa merupakan salah
satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang
yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai ragam
dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto, 2005). Di Jawa
sendiri selain berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda,
Madura, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat
Jawa tidak hanya mendiami Pulau Jawa saja, tetapi kemudian menyebar di hamper
seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas
Jawa akibat adanya program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah.
Masyarakat Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan
masyarakat – masyarakat lainnya, seperti masyarakat Sunda, masyarakat Madura,
masyarakat Minang, dan lain sebagainya.
Karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran,
akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan
kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut (Herusatoto, 2005):
1. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning
Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya;
3
2. Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil
(bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural)
serta cenderung ke arah mistik;
3. Lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual;
4. Mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar
manusia;
5. Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah;
6. Bersifat konvergen dan universal;
7. Momot dan non-sektarian;
8. Cenderung pada simbolisme;
9. Cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan
10. Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
Pamong desa sebagai bagian dari masyarakt jawa juga memiliki ciri seperti
masyarakat jawa pada umumnya. Budaya tersebut diilhami dalam kehidupan sehari
– hari sehingga dijadikan dasar untuk mengambil suatu tindakan yang diambil.
Tidak hanya dalam kesehariaannya, dalam bekerja pamong desa senantiasa
menjalankan budaya luhur jawa dalam melakukan proses pemerintahan desa dan
proses pelayanan masyarakat. Pamong desa dapat mencerminkan budaya jawa
bahwa masyarakat jawa itu suka bergotong royong, guyub, rukun, dan damai.
Pamong desa juga melakukan kegiatan pelayanan masyarakat dengan dasar cinta
kasih agar masyarakat merasa terayomi. Begitu pula, hubungan antar para pamong
desa disana juga berdasarkan dengan budaya jawa seperti tepa slira dan ewuh
perkewuh.
4
2.1.2.3 Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan
seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka,
yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif
mengenai tatanan. Dengan kata lain etos adalah aspek evaluatif sebagai sikap
mendasar terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupannya
(Khasanah, 2004). Menurut Geertz Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri
dan dunia yang dipancarkan hidup. Sikap disini digambarkan sebagai prinsip
masing-masing individu yang sudah menjadi keyakinannya dalam mengambil
keputusan (Abdullah, 1986).
Para pamong desa memiliki etos kerja yang mencerminkan mereka adalah
masyarakat jawa. Pamong desa bekerja dengan cara bergotong royong. Pamong
desa menyalesaikan semua masalah secara bersama – sama dan menganut prinsip
alon – alon penting kelakon serta melakukan pekerjaannya dengan bertanggung
jawab. Alon – alon penting kelakon disini berarti tidak melakukan pekerjaan
dengan pelan – pelan tatapi dengan melakukan pekerjaan dengan seksama dan teliti
sampai tercapai tujuannya. Para pamong desa bertanggung jawab sekali dalam
melayani masyarakat agar masyarakat merasa terayomi.
2.1.2.4 Pengaruh budaya jawa terharap efektivitas
Terdapat kepercayaan bahwa organisasi cenderung moderat atau menghapus
dampak budaya nasional. Pada kenyataanya, bukti yang terkumpul menyatakan
justru sebaliknya yang mungkin benar. Riset Hostede menemukan bahwa nilai-nilai
budaya negara para karyawan memiliki pengaruh yang signifikan pada kinerja
5
operasional mereka, dan bahwa nilai-nilai para karyawan yang mereka bawa ke
tempat kerja tidak mudah diubah oleh organisasi (Luthans & Doh, 2014).
Selanjutnya, menurut Robert Kreitner dan Angelo Kunicki terdapat pengaruh
Budaya lokal dalam bentuk adat istiadat yang mempengaruhi nilai pada setiap
individu dan lingkungan organisasi sehingga mempengaruhi efektifivitas organisasi
(Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1996). Gambar berikut ini adalah pengaruh
budaya jawa (adat istiadat) terhadap efektivitas organisasi.
Gambar 2.1 Pengaruh Kultural Terhadap Efektivitas
Diadaptasi dari Robert Kreitner and Angelo Kunicki, Organizational Bahavior
(1992:694)
Sumber: (Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1996)
Kultur Nasional
Nilai
Sikap
Keyakinan
ADAT ISTIADAT
Kepercayaan
Bahasa
Tempat Kerja/Pekerja
Nilai
Sikap
Keyakinan
Norma – norma
Tujuan
EFEKTIVITAS ORGANISASI
Produksi
Mutu
Efisiensi
Fleksibel
Kepuasan
Kemampuan bersaing
Pengembangan
Kelangsungan hdup
Kultur Organisasi
Nilai
Sikap
Keyakinan
Norma – norma
6
2.1.2 Budaya Organisasi
Budaya organisasi kini menjadi topik bahasan yang penting, karena budaya
organisasi berhasil membuat organisasi lebih stabil, lebih maju dan lebih antisipatif
terhadap perubahan lingkungan. Budaya organisasi dapat menjadi alat organisasi
yang ampuh untuk membentuk efektivitas keseluruhan perusahaan dan
keberhasilan jangka panjang perusahaan.
Budaya organisasi, adalah filosofi dasar organisasi yang memuat keyakinan,
norma-norma, dan nilai-nilai bersama yang menjadi karateristik inti tentang
bagaimana cara melakukan sesuatu dalam organisasi (Wibowo, 2010). Menurut
Jerald Greenderg dan Robert A. Baron menyatakan bahwa budaya organisasi
merupakan kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma
perilaku dan harapan yang diterima bersama oleh anggota organisasi (Wibowo,
2010).
Budaya organisasi adalah sistem keyakinan kolektif yang dimiliki orang
dalam organisasi tentang kemampuan mereka bersaing di pasar, dan bagaimana
mereka bertindak dalam sistem keyakinan tersebut untuk memberikan nilai tambah
produk dan jasa di pasar (pelanggan) sebagai imbalan atas penghargaan finansial
(Want, 2006).
Dari definisi yang dikemukakan oleh para tokoh budaya organisasi diatas
terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi sebagai berikut:
a. Asumsi dasar
Budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi
sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi
untuk berperilaku.
7
b. Keyakinan yang dianut
Budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksankan
oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang
dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi
atau perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha.
c. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya
organisasi.
Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh
pemimpin organisasi atau perusahaan atau kelompok tertentu dalam
organisasi atau perusahaan tersebut.
d. Pedoman mengatasi masalah
Sebuah organisasi atau perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang
sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi
internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan
keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.
e. Berbagai nilai (sharing of value)
Budaya organisasi perlu berbagai nilai terhadap apa yang paling di
inginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
f. Pewarisan (learning proses)
Asumsi dasar keyakinan yang di anut oleh anggota organisasi
perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dlam organisasi sebagai
pedoman akan bertindak dan berperilaku dalam organisasi atau
perusahaan tersebut.
8
g. Penyesuaian (adaptasi)
Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma
yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi
atau perusahaan terhadap perubahan lingkungan.
Sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri
organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar
organisasi; (4) orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6)
masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi
dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya.
Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun
memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima
nilai-nilai baru dalam organisasi (Ndraha, 2007).
Budaya organisasi di kantor Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking
Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo yang diterapkan oleh para pamong desanya
adalah budaya jawa. Dimana budaya jawa diterapkan untuk menjadi tapal batas
(sebagai pembeda dengan organisasi lain), sebagai pedoman untuk mengatasi
masalah, sebagai warisan yang akan selalu dijaga dan dilestarikan agar tetap
ditetapkan oleh generasi mendatang. Budaya jawa yang diterapkan oleh para
pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan lengking adalah budaya yang
handal. Budaya yang dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang timbul.
Permasalahan horizontal maupun vertikal dapat diselesaikan dengan budaya jawa.
9
2.1.3 Efektivitas organisasi
Efekif merupakan terjadinya suatu akibat yang dikehendaki ketika melakukan
suatu perbuatan. Dalam pelaksanaan kegiatan, faktor efektivitas selalu mendasari
setiap usaha untuk upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini karena
faktor efektivitas merupakan alat pengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam
melakukan kegiatan dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Berkaitan dengan definisi dari istilah efektivitas, efektivitas dapat
didefiniskan sebagai keefektifan organisasi sebagai tingkatan pencapaian
organisasi atas tujuan jangka pendek (tujuan) dan jangka panjang (cara) (Robbin,
1994).
Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai
terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang dalam arti
melaksanakan perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendakinya,
maka orang tersebut dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat yang mempuanyai
maksud sdebagai mana yang tidak dikehendaki oleh orang tersebut maka dikatakan
tidak efektif (Koentjaraningrat, 1993). Dengan demikian efektivitas merupakan
suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kualitas, kuantatitas, waktu
yang telah dicapai dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian efektivitas dapat
diartikan suatu ukuran dimana sebuah organisasi dapat mencapai tujuannya.
Efektivitas organisasi adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atau
diusahakan bersama. Bagaimana organisasi dapat mencapai tujuan dengan
menggunakan sumber daya yang terdapat dalam organisasi tersebut (Gibson,
10
Ivancevich, & Donnelly, 1996). Konsep efektivitas organisasi terdiri dari tiga
pendekatan yaitu:
a. Pendekatan Tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan
mengevaluasi efektivitas merupakan pendekatan tertua dan paling luas
digunakan. Menurut pendekatan ini, keberadaan organisasi dimaksudkan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan tujuan menekankan
peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai kriteria untuk menilai
efektivitas serta mempunyai pengaruh yang kuat atas pengembangan
teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi, tetapi sulit
memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap pendekatan
tujuan ini adalah pendekatan teori sistem.
b. Pendekatan Teori Sistem. Teori sistem menekankan pada pertahanan
elemen dasar masukan-proses-pengeluaran dan mengadaptasi terhadap
lingkungan yang lebih luas yang menopang organisasi. Teori ini
menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar,
diman organisasi menjadi bagiannya. Konsep organisasi sebagian suatu
sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar memperkenalkan
pentingnya umpan balik yang ditujukan sebagai informasi
mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau serangkaian tindakan oleh
seseorang, kelompok atau organisasi. Teori sistem juga menekankan
pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem dapat disimpulkan: (1)
Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus masukan-proses-
keluaran, bukan keluaran yang sederhana, dan (2) Kriteria efektivitas
harus mencerminkan hubungan antar organisasi dan lingkungn yang
11
lebih besar dimana organisasai itu berada. Jadi: (1) Efektivitas organisasi
adalah konsep dengan cakupan luas termasuk sejumlah konsep
komponen. (3) Tugas manajerial adalah menjaga keseimbangan optimal
antara komponen dan bagiannya.
c. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini adalah perspepktif
yang menekankan pentingnya hubungan relatif di antara kepentingan
kelompok dan individual dalam hubungan relatif diantara kepentingan
kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini
memungkinkan pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan
kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini
memungkinkan mengkombinasikan tujuan dan pendekatan sistem guna
memperoleh pendekatan yang lebih tepat bagi efektivitas organisasi.
12
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu organisasi
dikatakan efektif apabila tujuannya tercapai. Maka, Pemerintah desa dikatakan
efektif ketika pemerintah desa dapat mencapai tujuannya. Efektivitas organisasi
sebagai suatu tingkat dimana suatu organisasi dapat merealisasikan tujuannya
(Robbins, 1996). Maka, pemerintah desa dikatakan efektif ketika masyarakat
mendapat pelayanan yang prima dan maksimal dan pemerintahan desa dapat
menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Pemerintah Malangan, Puron, Ngasinan
dan Lengking sudah dapat mencapai tujuannya dengan bantuan penerapan budaya
jawa sebagai dasar untuk mengambil tindakan yang mendasari kegiatan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Pengukuran efektivitas dengan itu
dipakai oleh peneliti karena organisasi yang diteliti oleh peneliti adalah organisasi
nirlaba. Organisasi nirlaba adalah organisasi yang tidak berorientasi untuk
mendapatkan keuntungan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan dengan panalitian yang akan peneliti
lakukan:
Pada jurnal yang disusun oleh Dede Mariana dan Caroline Paskarina tahun
2009 tentang kebangkitan lokal menjawab tantangan globalisasi: revitalisasi nilai –
nilai Budaya Sunda Bagi pencapaian local good governance di Jawa Barat. Jurnal
ini membahas mengenai globalisasi yang sudah menyerang semua sisi di Indonesia
termasuk dalam ranah pemerintah daerah. Pada penerapannya globalisasi
memunculkan berbagai friksi. Friksi yang timbul salah satunya terjadi dengan
13
budaya lokal. Tidak semua budaya lokal memiliki kekuatan untuk bersaing dengan
globalisasi. dan pada akhirnya globalisasi berakibat adanya pembentukan budaya
baru yang meminggirkan benerapan budaya lokal.
Penerapan budaya baru tersebut membuat orang – orang sunda mulai
kehilangan kesundaanya dan mulai menerapkan budaya modern sebagai gantinya.
Orientasi budaya yang mulai bergeser itu menyebabkan apatisme politik oleh
masyarakat sunda. Revitalisasi budaya sunda dilakukan untuk menjadi solusi
penyelarasan fungsi pemerintah dan masyarakt serta menyelesaikan masalah yang
timbul (Mariana & Paskarina, 2009).
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah sama meneliti
mengenai terpinggirnya budaya lokal dengan budaya modern, dan kesimpulannya
sama budaya lokal harus tetap dijaga dan berjalan dengan selaras dengan
perkembangan budaya modern. perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi
tempat penelitian berbeda.
Jurnal selanjutnya, jurnal yang disusun oleh Chairuman Armia tahun 2002
mengenai pengaruh budaya terhadap efektivitas organisasi dengan menggunakan
dimensi Hofstede. Jurnal ini memberikan suatu kerangka pemikiran mengenai
pengaruh budaya (dengan menggunakan dimensi Hofstede) terhadap efektivitas
organisasi dengan memasukkan beberapa faktor antara yang secara tidak langsung
menjembatani hubungan antara keduanya. Faktor yang menjembatani budaya dan
efektivitas organisasi adalah motivasi dan kepuasan kerja.
14
Kasus yang diangkat dalam jurnal ini berkaitan dengan efektivitas organisasi
dalam institusi pendidikan. Intitusi pendidikan pada umumnya merupakan suatu
organisasi nirlaba. Karakteristik organisasi nirlaba pada umumnya bertujuan tidak
untuk mencari keuntungan. Evaluasi terhadap kinerja organisasi nirlaba ini tetap
dilakukan dalam rangka untuk mempertahankan kelangsungan hidup organisasi
dengan cara yang efektif dan efisien. Efektif dalam arti dapat mencapai tujuan yang
telah ditetapkan yaitu memberikan pelayanan, baik kepada masyarakat luas maupun
pihak – pihak internal organisasi, yaitu karyawan. Efisien berarti menggunakan
sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan output yang maksimal.
Kesimpulan dari jurnal ini adalah menjelaskan pengujian efektivitas organisasi
yang dikaitkan dengan dimensi Hofstede (1980). Variabel – variabel budaya budaya
yang diturunkan dari norma – norma sosial setiap dimensi budaya, yaitu power
distance, uncertainty avoidance, individualism atau collectivism, dan masculinity
atau femininity. Sedangkan indikator – indikator untuk mengukur efektivitas
organisasi yang dikembangkan oleh Robbins (1990). Pengukuran ini dipilih karena
menggunakan indikator yang komprehensif yaitu menggunakan indikator non
keuangan. Pengukuran ini sesuai dengan kasus yang dibahas yaitu pengujian
efektivitas organisasi nirlaba yang bertujuan tidak untuk mencari keuntungan tetapi
melakukan peningakatan kualitas pendidikan (Armia, 2002).
15
2.3 Kerangka Berpikir
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Sumber: diolah, 2017
Budaya Organisasi
Efektivitas Organisasi
Organisasi
Budaya Jawa
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini
digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang
memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu
tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993). Selanjutnya
peneliti akan memberikan gambaran secara cermat tentang eksplorasi budaya
jawa kaitannya dalam pencapaian efektivitas organisasi pada pamong desa
Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten
Sukoharjo. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007).
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2007). Selanjutnya
dijelaskan oleh David Williams (1995) mengemukakan bahwa penelitian
kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan
metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah
(Moleong, 2007). Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran
seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.
2
Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau
kepercayaan orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.
Selanjutnya peneliti akan memberikan gambaran secara cermat tentang
eksplorasi budaya jawa kaitannya dalam pencapaian efektivitas organisasi pada
Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking, Kecamatan Bulu,
Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualititif deskriftif karena
membutuhkan penelitian yang mendalam. Dengan penelitian kualitatif dapat
menjelaskan secara cermat dan mendalam tentang apakah budaya jawa berpengaruh
terhadap pencapaian efektivitas organisasi pada jaman sekarang dan menjabarkan
peranan budaya jawa dalam pencapaian efektivitas organisasi pada jaman sekarang.
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus
melibatkan mendalam, kontekstual analisis situasi yang sama di organisasi lain, di
mana sifat dan definisi masalah kebetulan sama dengan pengalaman dalam situasi
saat ini. Seperti dalam studi hipotetis-deduktif, hipotesis dapat dikembangkan
dalam studi kasus juga. Studi kasus sebagai suatu teknik pemecahan masalah,
tidak sering dilakukan dalam organisasi. Studi kasus biasanya menyediakan data
kualitatif daripada kuantitatif untuk analisis dan interpretasi (Sekaran, 2003).
Studi kasus adalah suatu penyelidikan empiris yang menelaah fenomena
kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, terutama ketika batas-batas antara
fenomena dan konteks tidak jelas terlihat. Penyelidikan studi kasus berupaya
dengan situasi teknis yang berbeda di mana akan ada banyak variabel lebih
3
menarik dari titik data, dan sebagai salah satu hasil mengandalkan banyak sumber
bukti, dengan data perlu untuk berkumpul dalam model triangulating, dan sebagai
akibat lain manfaat dari pengembangan sebelumnya proposisi teoritis untuk
memandu pengumpulan data dan analisis (Yin, 2003).
Tujuan penelitian studi kasus ini adalah untuk memahami suatu kasus
sebagai kesatuan holistik serta memahami lebih dalam suatu pekerjaan. Dalam
hal ini, pendekatan studi kasus berupaya untuk menyediakan laporan secara detail
dari eksplorasi budaya jawa kaitanya dan kaitannya dalam pencapaian efektivitas
organisasi pada pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking pada
Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Hasil akhir penelitian akan
mendeskripsikan secara luas dan detail bagaimana budaya jawa berperan dalam
pencapaian efektivitas dalam sebuah organisasi dan budaya jawa apa saja yang
berperan dalam pencapaian efektivitas organisasi.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian studi kasus ini antara
lain:
a. Melibatkan diri (berpartisipasi) dalam lingkungan objek yang sedang di
teliti. Hal ini bertujuan untuk melakukan observasi terhadap objek
penelitian sehingga mengetahui fenomena yang terjadi. Peneliti
melakukan observasi denga melakukan pengamatan terhadap aktifitas
yang dilakukan oleh pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan dan
Lengking.
b. Membuat catatan lapangan dari hasil observasi sekaligus
menganalisisnya. Peneliti melakukan pencatatan pada pengamatan
4
kegiatan yang yang dilakukan pamong desa dan juga mencatat informasi
yang didapat dari selain informan yang sudah ditetapkan oleh peneliti.
c. Memilih informan yang tepat dan melakukan wawancara mendalam
(in-depth interview) baik secara formal maupun informal. Informan
adalah pekerja yang terlibat langsung serta memahami dengan benar
tentang kasus yang sedang diteliti. Informan berjumlah lebih dari satu
orang, tujuannya adalah untuk mendapatkan data yang sesuai dengan
kebutuhan peneliti. Peneliti melakukan wawancara kepada informan
yang ditunjuk oleh Kepala desa di setiap desa yang dianggap
berkompetan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti. Informan yang diwawancarai oleh peneliti adalah sebagai
berikut:
- Kepala Desa Malangan Bapak Maryatno, SE.
- Kepala Dusun Malangan Bapak Suparno
- Kepala Dusun Puron Bapak Eko Sulistyo
- Kepala Desa Ngasinan Bapak Ibnu Wiyatno
- Kepala Dusun Ngasinan Bapak Drs. Ngadimin
- Kepala Desa Lengking Bapak Mulyatno
- Kepala Dusun Lengking Bapak Sarmin
d. Membuat catatan wawancara dan laporan hasil wawancara yang
telah diinterpretasi. Peneliti membuat transkip hasil wawancara dari
semua informan yang diwawancara.
e. Untuk mendukung kelengkapan data, diperlukan dokumentasi (data
berupa dokumen-dokumen). Data ini dapat diperoleh melalui dokumen
5
yang dimiliki oleh perusahaan ataupun internet. Peneliti meminta data
pendukung penelitian berupa profil desa, susunan struktur organisasi
desa dan tugas pokok pamong desa sebagai data sekunder.
f. Melakukan analisis data yaitu pengkodean data yang telah diperoleh.
Peneliti melakukan koding dari hasil transkrip wawancara yang sudah
dibuat.
g. Menemukan jawaban dari sebuah studi kasus. Peneliti melakukan
analisis terhadap hasil koding dengan pendekatan studi kasus sehingga
dapat merumuskan penelitian eksplorasi budaya jawa kaitannya dalam
pencapaian efektivitas organisasi.
3.3 Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti.
Objek penelitian adalah obyek yang dijadikan penelitian atau yang menjadi
titik perhatian suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek
penelitian adalah Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking
Kecamatan bulu, Kabupaten Sukoharjo yang sudah ditunjuk oleh kepala desa
masing – masing desa berjumlah 7 orang yang sudah peneliti sebutkan di point
diatas, yang menjadi objek penelitian yaitu eksplorasi budaya jawa kaitannya
dalam pencapaian efektivitas organisasi pada Pamong Desa Malangan, Puron,
Ngasinan dan Lengking Kecamatan bulu, Kabupaten Sukoharjo.
Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama
dalam pengumpulan data adalah pemilihan informan. Teknik sampling yang
digunakan oleh peneliti adalah purposive sample. Purposive sample adalah teknik
6
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2009). Pemilihan
sampel secara purposive pada penelitian ini akan berpedoman pada syarat-syarat
yang harus dipenuhi sebagai berikut (Arikunto, 2010):
a. Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri, sifat atau karakteristik
tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b. Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang
paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key
subjectis).
c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi
pendahuluan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa pemilihan informan pertama
merupakan hal yang sangat utama sehingga harus dilakukan secara cermat, karena
penelitian ini mengkaji tentang peran budaya jawa dalam pencapaian efektivitas
organisasi pada Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking
Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo maka peneliti memutuskan informan
pertama atau kunci yang paling sesuai dan tepat ialah Kepala Desa di setiap Desa.
Dari informan kunci ini selanjutnya diminta untuk memberikan rekomendasi untuk
memilih informan-informan berikutnya, dengan catatan informan-informan
tersebut merasakan dan menilai kondisi lingkungan kerja sehingga terjadi
sinkronisasi dan validasi data yang didapatkan dari informan pertama.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan peneliti untuk
mendapatkan data dalam suatu penelitian. Pada penelitian kali ini peneliti
7
memilih jenis penelitian kualitatif maka data yang diperoleh haruslah mendalam,
jelas dan spesifik. Selanjutnya pengumpulan data dapat diperoleh dari hasil
observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi. Pada penelitian ini
peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi,
dokumentasi, dan wawancara (Sugiono, 2009).
a. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik penelitian
yang sangat penting. Pengamatan itu digunakan karena berbagai alasan.
Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara
berperan serta, pada pengamatan tanpa peran serta pengamat hanya
melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Sedangkan
pengamat berperan serta melakukan dua peranan sekaligus, yaitu
sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota resmi dari kelompok
yang diamatinya (Moleong, 2007). Teknik observasi ini digunakan
untuk mengamati secara langsung dan tidak langsung tentang eksplorasi
budaya jawa kaitannya dalam pembentukan efektivitas organisasi pada
Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking Kecamatan
Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Observasi ini dilakukan dengan mengamati
dan mencatat langsung terhadap objek penelitian, yaitu dengan
mengamati kegiatan-kegiatan yang ada di kantor Desa Malangan,
Puron, Ngasinan dan Lengking kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.
Sehingga peneliti dapat menentukan informan yang akan diteliti
dan juga untuk mengetahui jabatan, tugas/kegiatan, alamat, nomor
8
telepon dari calon informan sehingga mudah untuk mendapatkan
informasi untuk kepentingan penelitian.
b. Wawancara
Dalam teknik pengumpulan menggunakan wawancara hampir
sama dengan kuesioner. Wawancara itu sendiri dibagi menjadi 3
kelompok yaitu wawancara terstruktur, wawancara semi-terstruktur, dan
wawancara mendalam (in-depth interview).
Namun disini peneliti memilih melakukan wawancara mendalam, ini
bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang kompleks, yang
sebagian besar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi (Basuki,
2006). Untuk menghindari kehilangan informasi, maka peneliti meminta
ijin kepada informan untuk menggunakan alat perekam. Sebelum
dilangsungkan wawancara mendalam, peneliti menjelaskan atau
memberikan sekilas gambaran dan latar belakang secara ringkas dan
jelas mengenai topik penelitian.
Peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap informan dengan
panduan guide interview yang sudah dibuat.
c. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu (Sugiono,
2009). Dokumen yang digunakan peneliti disini berupa foto, gambar,
serta data-data mengenai Pamong Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan
Lengking kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian dari
observasi dan wawancara akan semakin sah dan dapat dipercaya apabila
didukung oleh foto-foto.
9
Peneliti mendokumentasikan proses wawancara dengan voice
recorder dan memfoto kegiatan pamong desa dokumen mengenai profil
desa dan perda tentang tupoksi pamong desa.
3.5 Sumber Data dalam Penelitian
a. Data Primer, adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh
subjek yang dapat dipercaya, yakni subjek penelitan atau informan yang
berkenaan dengan variabel yang diteliti atau data yang diperoleh dari
responden secara langsung (Arikunto, 2010). Data primer peneliti adalah
informasi hasil wawancara terhadap informan.
b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari teknik pengumpulan data
yang menunjang data primer. Dalam penelitian ini diperoleh dari hasil
observasi yang dilakukan oleh penulis serta dari studi pustaka. Dapat
dikatakan data sekunder ini bisa berasal dari dokumen-dokumen grafis
seperti tabel, catatan, SMS, foto dan sebagainya. (Arikunto, 2010). Data
sekunder peneliti adalah catatan data observasi yang dilakukan oleh
peneliti dan dokumen yang diperoleh dari kantor desa berupa foto, profil
desa, struktur organisai dan tugas pamong desa.
3.6 Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bognan dan Biklen (1982) adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah –
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
10
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2007).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah awal dari analisis
data adalah mengumpulkan data yang ada, menyusun secara sistematis, kemudian
mempresentasikan hasil penelitian kepada orang lain.
McDrury (Collaborative Group Analysis of Data, 1999) menyampaikan
tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai berikut (Moleong, 2007):
a. Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang
ada dalam data,
b. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema
yang berasal dari data.
c. Menuliskan ‘model’ yang ditemukan.
d. Koding yang telah dilakukan.
Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan
informan kunci, yaitu seseorang yang benar-benar memahami dan mengetahui
situasi obyek penelitian. Setelah melakukan wawancara, analisis data dimulai
dengan membuat transkrip hasil wawancara, dengan cara memutar kembali
rekaman hasil wawancara, mendengarkan dengan seksama, kemudian
menuliskan kata-kata yang didengar sesuai dengan apa yang ada direkaman
tersebut.
Setelah peneliti menulis hasil wawancara tersebut kedalam transkrip,
selanjutnya peneliti harus membaca secara cermat untuk kemudian dilakukan
reduksi data. Peneliti membuat reduksi data dengan cara membuat abstraksi,
yaitu mengambil dan mencatat informasi-informasi yang bermanfaat sesuai
11
dengan konteks penelitian atau mengabaikan kata-kata yang tidak perlu sehingga
didapatkan inti kalimatnya saja, tetapi bahasanya sesuai dengan bahasa informan.
Abstraksi yang sudah dibuat dalam bentuk satuan-satuan yang kemudian
dikelompokkan dengan berdasarkan taksonomi dari domain penelitian. Analisis
Domain adalah memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh dari
obyek/penelitian atau situasi sosial. Peneliti memperoleh domain ini dengan cara
melakukan pertanyaan grand dan minitour (Sugiono, 2009). Sementara itu, domain
sangat penting bagi peneliti, karena sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya.
Mengenai analisis taksonomi yaitu dengan memilih domain kemudian
dijabarkan menjadi lebih terinci, sehingga dapat diketahui struktur internalnya.
3.7 Kredibilitas Penelitian
Setiap penelitian harus memiliki kredibilitas sehingga dapat
dipertanggungjawabkan. Kredibilitas penelitian kualitatif adalah keberhasilan
mencapai maksud mengeksplorasi masalah yang majemuk atau keterpercayaan
terhadap hasil data penelitian.
Upaya untuk menjaga kredibiltas dalam penelitian adalah melalui
langkah-langkah sebagai berikut (Sugiono, 2009):
a. Perpanjangan pengamatan
Peneliti kembali lagi ke lapangan untuk melakukan pengamatan
untuk mengetahui kebenaran data yang telah diperoleh maupun untuk
menemukan data-data yang baru.
b. Meningkatkan ketekunan
12
Melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan.
Dengan meningkatkan ketekunan tersebut, maka peneliti akan
melakukan pengecekan kembali apakah data yang telah ditemukan
salah atau tidak.
c. Triangulasi
Pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara,
dan berbagai waktu.
d. Analisis kasus negatif
Peneliti mencari data yang berbeda atau yang bertentangan
dengan temuan data sebelumnya. Bila tidak ada lagi data yang berbeda
atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah
dapat dipercaya.
e. Menggunakan bahan referensi
Bahan referensi yang dimaksud adalah adanya pendukung untuk
membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Sebagai
contoh, data hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman
wawancara.
f. Mengadakan member check
Member check adalah proses pengecekan data yang diperoleh
peneliti kepada pemberi data. Apabila data yang ditemukan disepakati
oleh para pemberi data berarti data tersebut sudah valid, sehingga
semakin kredibel atau dipercaya, tetapi apabila data yang ditemukan
peneliti dengan berbagai penafsirannya tidak disepakati oleh pemberi
data, maka peneliti perlu melakukan diskusi dengan pemberi data,
13
dan apabila perbedaannya tajam, maka peneliti harus merubah
temuannya, dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh
pemberi data.
14
1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
4.1.1 Gambaran Umum Desa
A. Desa Malangan
Desa Malangan merupakan Pemerintah desa yang terdiri 4 Dusun, 7 Dukuh,
9 Rukun Warga (RW) 20 Rukun Tetangga (RT) terletak di wilayah kecamatan
Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Indonesia. Luas wilayah 315.1280 Ha
jumlah penduduk 4776 jiwa/orang. Rata-rata warga Kelurahan malangan bekerja
merantau ke luar kota, ada juga sebagai petani, pegawai dan pegawai swasta serta
ada juga yang menjadi Pegawai Negeri Sipil
Desa malangan memiliki batas wilayah di Sebelah utara Desa Dalangan
Kecamatan Tawangsari dan Desa Lengking Kecamatan Bulu, di sebelah timur Desa
Ngasinan Kecamatan Bulu, di sebelah selatan Desa Puron Kecamatan Bulu, dan di
sebelah barat Desa Lorog Kecamatan Tawangsari dan Desa Kateguhan Kecamatan
Tawangsari.
Pemerintah Desa Malangan dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih
langsung oleh masyarakat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari dibantu oleh
Perangkat Desa yang terdiri dari seorang Sekretaris Desa, 4 Kepala Dusun dan 4
Kepala Urusan. Wilayah Desa Malangan dibagi 4 Dusun yaitu, Dusun 1 yaitu
Dusun Malangan yang terdiri dari Dukuh Malangan (2 RW 5 RT) dan Dukuh
Mranggen (1 RW, 2 RT), Dusun 2 yaitu Dusun Gatak yang terdiri dari Dukuh Gatak
2
(1 RW 2 RT) dan Dukuh Pundungsari (1 RW 2 RT), Dusun 3 yaitu Dusun
Gunungsudo yang terdiri dari Dukuh Ngoro-oro (1 RW 2 RT) dan Dukuh
3
Gunungsudo (1 RW 3 RT), Dusun 4 yaitu Dusun Gunungan yang terdiri dari Dukuh
Gunungan (2 RW 4 RT).
B. Desa Puron
Desa Puron terletak diwilayah administrasi kecamatan Bulu, Kabupaten
Sukoharjo. Desa puron memiliki luas wilayah 2,4 km2 dan memiliko jmlah
penduduk 2.873 jiwa.Di desa Puron terdapat 5 dusun yaitu dusun Platar, Puron,
Sambiloto, nogo sasran, sumber mulyo dan tegal mulyo.
Secara geografis Desa Puron berbatasan dengan beberapa desa. Disebalah
utara berbatasan dengan Desa Malangan kecamatan Bulu, barat dengan Desa Lorog
kecamatan Tawangsari, selatan dengan Desa Pundungrejo kecamatan Tawangsari
dan Desa Kunden Kecamatan Bulu, timur dengan Desa Kunden dan Ngasinan
Kecamatan Bulu.
Warga Desa Puron memiliki beberapa profesi, diantaranya merantau kekota,
bercocoktanam, pegawai kanto, dan bekerja di bidang lainnya.
C. Desa Ngasinan
Ngasinan adalah desa di kecamatan Bulu, Sukoharjo, Jawa Tengah,
Indonesia. Desa Ngasinan adalah desa yang terletak di Kecamatan Bulu Kabupaten
Sukoharjo yang secara geografis terletak di bagian selatan dari Provinsi Jawa
Tengah yaitu terletak pada 7,745 LS dan 110,83 BT yang di sebelah utara
berbatasan dengan aliran sungan Bengawan Solo, di sebelah timur dengan Desa
Karangasem Kecamatan bulu dan Desa Lawu Kecamatan Nguter, di sebelah selatan
dengan Desa Bulu, Kecamatan Bulu, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Puron, Desa Malangan, Desa Lengking Kecamatan Bulu.
4
Desa Ngasinan terbagi menjadi 4 dusun yaitu : Mloyo, Ngasinan, Kedung
Bathang dan Gampingan yang mana pada setiap distrik dusun dipimpin oleh
seorang Bayan (Kadus) yang bertanggung jawab kepada Kepala Desa (Kades).
Wilayah Desa Ngasinan terbagi menjadi 11 Rukun Warga (RW) dan 30 Rukun
Tetangga (RT). Desa Ngasinan sebagian besar adalah wilayah datar dengan
beberapa bukit kecil di beberapa wilayah seperti di wilayah Mloyo dan Gampingan
serta Pager Gunung. Selain itu Desa Ngasinan juga mempunyai wilayah
persawahan yang sebagian besar terletak di sebelah barat daerah permukiman
warga.
Desa Ngasinan mempunyai luas wilayah 3.79 km2 dengan jumlah penduduk
5.682 jiwa per 2011. Penduduk di Desa Ngasinan sebagian besar adalah pekerja
"boro" yang mengais rejeki di kota-kota besar seperti : Jakarta, Bandung, Surabaya
dan juga sebagian wilayah di luar pulau Jawa. Disamping itu profesi penduduk desa
sendiri adalah petani, tukang kayu dan batu serta sebagian diantaranya adalah
pekerja pada instansi - instansi pemerintah maupun swasta dan juga Pegawai Negeri
Sipil.
D. Desa Lengking
Desa Lengking terletak diwilayah administrasi kecamatan Bulu, Kabupaten
Sukoharjo. Desa puron memiliki luas wilayah 2,13 km2 dan memiliko jmlah
penduduk 3.613 jiwa.
Secara geografis Desa Lengking berbatasan dengan beberapa desa. Disebalah
utara berbatasan dengan Desa Tanjung kecamatan Nguter, barat dengan Desa
Kenteng kecamatan Tawangsari, selatan dengan Desa Malangan kecamatan Bulu,
timur dengan Desa Ngasinan Kecamatan Bulu.
5
Warga Desa Lengking memiliki beberapa profesi, diantaranya merantau
kekota, bercocoktanam, pegawai kantor, dan bekerja di bidang lainnya.
4.1.2 Visi dan Misi Desa
4.1.1 Desa Malangan
Visi
Terwujudnya masyarakat desa yang aman, tertib, damai, sejahtera lahir dan
batin yang disokong oleh semua elemen masyarakat
Misi
1. Pemerataan pembangunan yang berkelanjutan;
2. Meningkatkan keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat Desa
Malangan;
3. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar kebutuhannya
terpenuhi;
4. Mengupayakan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
masyarakat Desa Malangan yang bertumpu pada IPTEK dan IMTAQ
(Ilmu Pengetahuan Terknilogi serta Beriman dan Taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa);
5. Mengupayakan terciptanya lapangan kerja dan peningkatan ekonomi
rakyat;
6. Meningkatkan peran dan kemampuan wanita dalam semua aspek
kehidupan;
7. Meningkatkan kesehatan lingkungan masyarakat Desa Malangan;
8. Meningkatkan produksi pertanian.
6
4.1.2 Desa Puron
Visi
Bergotong-royong menciptakan desa yang sehat, aman, dan sejahtera serta
berprestasi dengan merangkul segala elemen desa, mulai pamong, PKK dan
masyarakat
Misi
1. Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat;
2. Mengembangkan potensi desa melalui PKK;
3. Merangkul segala lapisan masyarakat untuk menciptakan keamanan
dengan mengedepankan toleransi;
4. Meningkatkan kesehatan masyarakat melali program posyandu;
5. Melakukan pemerataan pembangunan inrastruktur secara
berkelanjutan;
6. Meningkatkan produksi pertanian.
4.1.3 Desa Ngasinan
Visi
Unggul dalam kinerja berlandaskan taqwa dan jiwa Pancasila, beriman,
bermartabat, serta berbudaya
Misi
1. Melaksanakan kinerja secara efektif, optimal, sesuai potensi desa;
2. Menumbuhkan keunggulan desa secara intensif kepada warga desa;
3. Memberdayakan solidaritas agama yang dianut dan budaya masyarakat,
sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak
7
4. Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh elemen
masyarakat.
4.1.4 Desa Lengking
Visi
Hadir Lebih dekat untuk melayani masyarakat serta bersama masyarakat
melaksanakan pembangunan baik fisik maupun non fisik, menuju Desa Lengking
yang bermartabat, yang menjunjung tinggi nilai norma keagamaan dan norma
kehidupan dalam masyarakat
Misi
1. Mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintah desa dengan
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien,
tanpa membeda-bedakan;
2. Menciptakan kehidupan beragama yang lebih baik.
3. Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, melaksanakan dan
meningkatkan pembangunan infrastruktur yang ada di Wilayah Desa
Lengking;
4.1.3 Struktur Organisasi Desa
A. Desa Malangan
Desa Malangan dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih langsung
oleh masyarakat Desa Malangan bernama Maryatno, S.E. kepala desa dalam
penyelenggaraan administrasi desa dibantu oleh Sekretaris desa (Carik) yang
bertanggung jawab langsung kepada Kepala desa. Sekretaris Desa Malangan adalah
Edy Suyitno, S.E. sekretaris desa dibantu oleh 5 kaur yaitu Kaur Pemerintahan,
8
Kaur Pembangunan, Kaur Kesra, Kaur Keuangan, dan Kaur Umum. Dalam bidang
pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh 4 Kepala Dusun (Kadus/Bayan). Struktur
organisasi kantor Desa Malangan terlampir.
B. Desa Puron
Desa Puron dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih langsung oleh
masyarakat Desa Puron bernama Wahyu Riyanto. kepala desa dalam
penyelenggaraan administrasi desa dibantu oleh Sekretaris desa (Carik) yang
bertanggung jawab langsung kepada Kepala desa. Sekretaris Desa Malangan adalah
Sukimin. sekretaris desa dibantu oleh 5 kaur yaitu Kaur Pemerintahan, Kaur
Pembangunan, Kaur Kesra, Kaur Keuangan, dan Kaur Umum. Dalam bidang
pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh 4 Kepala Dusun (Kadus/Bayan). Struktur
organisasi kantor Desa Puron terlampir.
C. Desa Ngasinan
Desa Ngasinan dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih langsung
oleh masyarakat Desa Ngasinan bernama Ibnu Wiyatno kepala desa dalam
penyelenggaraan administrasi desa dibantu oleh Sekretaris desa (Carik) yang
bertanggung jawab langsung kepada Kepala desa. sekretaris desa dibantu oleh 5
kaur yaitu Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesra, Kaur Keuangan,
dan Kaur Umum. Dalam bidang pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh 4 Kepala
Dusun (Kadus/Bayan). Struktur organisasi kantor Desa Ngasinan terlampir.
D. Desa Lengking
Desa Lengking dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dipilih langsung
oleh masyarakat Desa Lengking bernama Mulyanto kepala desa dalam
penyelenggaraan administrasi desa dibantu oleh Sekretaris desa (Carik) yang
bertanggung jawab langsung kepada Kepala desa. Sekretaris Desa Malangan adalah
9
Sutrisno. sekretaris desa dibantu oleh 5 kaur yaitu Kaur Pemerintahan, Kaur
Pembangunan, Kaur Kesra, Kaur Keuangan, dan Kaur Umum. Dalam bidang
pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh 4 Kepala Dusun (Kadus/Bayan). Struktur
organisasi kantor Desa Lengking terlampir.
4.1.4 Tupoksi Pamong Desa
Tugas Wewenang dan Kewajiban Perangkat Desa menurut Peraturan
Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 4 tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa secara garis besar, secera lengkap
disampaikan di lampiran.
a. Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan;
b. Sekretaris desa bertugas mengkoordinasikan penyusunan program kerja,
evaluasi dan pelaporan;
c. Kepala Urusan Pemerintahan bertugas melaksanakan kegiatan
administrasi kependudukan dan catatan sipil;
d. Kepala Urusan Pembangunan bertugas merencanakan pelaksanaan
pembangunan, menjaga dan memelihara prasarana fisik di lingkungan
Desa;
e. Kepala Urusan Keuangan bertugas mengelola administrasi keuangan
Desa;
10
f. Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat bertugas melakukan
pembinaan organisasi pemuda, organisasi kemasyarakatan, melakukan
bimbingan keagamaan dan kerukunan umat beragama;
g. Kepala Urusan Umum bertugas melakukan urusan surat – menyurat,
menyimpan, memelihara dan menemukan kembali asip-arsip kantor;
h. Kepala Dusun bertugas membantu pelaksanaan tugas Kepala Desa di
wilayahnya;
4.2 Hasil dan Pembahasan
Keseluruhan data maupun kegiatan yang dilakukan para pamong desa di
Kecamatan Bulu akan disajikan dalam bentuk uraian deskripsi. Hal ini bertujuan
untuk mempermudah proses interpretasi data dan pemahaman terhadap hasil
penelitian.
Penelitian dilakukan mulai tanggal 28 Septemben 2015 – 28 November 2015.
Proses penelitian diawali dengan melakukan pengamatan (observasi) terhadap
kegiatan - kegiatan yang ada di kantor-kantor kelurahan yang dijadikan sampel.
Hasil observasi didokumentasikan dalam bentuk foto dan catatan lapanagan yang
selanjutnya dilakukan pengkodean. Selain melakukan pengamatan peneliti juga
melakukan wawancara dengan pamong kantor Desa yang dianggap berkompeten
pada bidang yang diteliti. Hasil wawancara tersebut didokumentasiakan dalam
bentuk rekaman selanjutnya dilakukan pengkodean.
11
4.2.1 Hasil Penelitian
Tugas Pamong Desa
Tugas utama pamong desa adalah melayani masyarakat. Pelayanan
masyarakat oleh pamong desa dibagi menjadi dua, yaitu tugas administratif dan
tugas kewilayahan. Pembagian tersebut berdasarkan pada setiap jabatan yang
diemban oleh Pamong desa seperti yang tercantum pada Peraturan Daerah
Kabupaten Sukoharjo Nomor 4 tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Pamong Desa bertanggung jawab
langsung pada Kepala Desa.
Tugas administrasi para Pamong Desa meliputi pelayanan masyarakat
mengenai bidang administrasi di dalam kantor. Tugas administrasi meliputi :
4.2.1.1.1 Kepala desa
Kepala desa bertugas untuk menyelengarakan pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan. Kepala Desa Menyelenggarakan pemerintahan desa meliputi
memimpin penyelenggaraan pemerintah desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan BPD. Kepala desa melakukan tugasnya senantiasa memperhatikan
ketetapan BPD. Memperhatikan ketetapan BPD merupakan salah satu bentuk
penerapan demokrasi di tingkat desa.
Kepala desa bertugas mengajukan rancangan peraturan desa kepada BPD
untuk selanjutnya akan dimusyawarahkan. Setelah dicapai kesepakatan dengan
BPD maka Kepala Desa akan menetapkan peraturan tersebut.
Tugas Kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan desa selanjutnya
adalan menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa
untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD. Jadi setiap keputusan yang diambil
12
oleh Kepala desa mengenai penyelenggaraan Pemerintahan Desa melalui tahapan
musyawarah dengan BPD. Kepala desa melakukan itu karena kepala desa ingin
mendengarkan setiap suara masyarakatnya melalui BPD. Kepala desa juga harus
mengontrol dan bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan desa agar anggaran
yang dibuat dapat maksimal.
Dalam pelaksanaan pembangunan Kepala Desa bertugas untuk
mengkoordinasikan pembangunan desa secara parsitipatif. Kepala desa
memberdayakan masyarakat untuk melakukan pembangunan di lingkungan desa.
Dalam pembangunan desa, kepala desa memperhatikan potensi desa yang dimiliki.
Kepala Desa bertugas untuk mendorong pembangunan infrastruktur di desa untuk
memakmurkan masyarakatnya.
Tugas kepala desa di bidang kemasyarakatan adalah membina kehidupan
masyarakat desa agar menjadi lebih baik. Tugas kemasyarakatan Kepala desa
memiliki arti yang luas. Kepala Desa harus menjadi suritauladan yang baik untuk
masyarakatnya, mendamaikan jika terdapat persilisihan pada masyarakatnya dan
mencarikan jalan keluar yang baik.
4.2.1.1.2 Sekretaris Desa
Tugas Sekretaris Desa sebagian besar adalah urusan rumah tangga desa.
Tugas – tugas Sekretaris Desa meliputi mengkoordinasikan penyusunan, evaluasi
dan pelaporan program kerja bersama Kepala Desa, melakukan pengelolaan
kekayaan/asset desa sesuai dengan tujuan desa, dan melaksanakan administrasi
13
untuk bagian pemerintahan, pembangunan, keuangan, kesejahteraan masyarakat
dan umum.
4.2.1.1.3 Kepala Urusan Pemerintahan
Tugas Kepala Urusan Pemerintahan adalah membantu tugas Sekretaris Desa
pada urusan pemerintahan. Tugas dari Kepala Urusan Pemerintahan meliputi
melakukan pembinaan wilayah dan masyarakat, melakukan kegiatan administrasi
pertanahan, melaksanakan kegiatan administrasi kependudukan dan catatan sipil.
4.2.1.1.4 Kepala Urusan Pembangunan
Tugas Kepala Urusan Pembangunan adalah membantu tugas Sekretaris Desa
pada urusan pembangunan. Tugas dari Kepala Urusan Pembangunan adalah untuk
merencanakan pelaksanaan pembangunan, menjaga dan memelihara prasarana fisik
di lingkungan Desa, melakukan pelayanan masyarakat di bidang pembangunan dan
perekonomian masyarakat, melaksanakan bimbingan kepada pengusaha ekonomi
lemah, koperasi dan kegiatan perekonomian lainnya, melakukan kegiatan untuk
meningkatkan swadaya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.
Kepala Urusan Pembangunan harus merencanakan pembangunan yang
berkelanjutan dan partisipatif. Pembangunan yang menunjang kemajuan desa agar
lebih makmur adalah tujuan.
4.2.1.1.5 Kepala Urusan Keuangan
Tugas Kepala Urusan Keuangan adalah membantu tugas Sekretaris Desa
pada urusan Keuangan. Tugas Kepala Urusan Keuangan adalah mengelola
administrasi keuangan Desa dengan transparan, menerima, menyimpan,
mengeluarkan dana atas persetujuan dan seijin Kepata Desa, membuktikan dan
mempertanggungjawabkan keuangan Desa, mengendalikan pelaksanaan Anggaran
14
Pedapatan dan Belanja Desa, melakukan tugas-tugas kedinasan di luar urusan
keuangan yang di berikan oleh Kepala Desa.
4.2.1.1.6 Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat
Tugas Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat adalah membantu tugas
Sekretaris Desa pada urusan Kesejahteraan Masyarakat. Tugas dari Kepala Urusan
Kesejahteraan Masyarakat adalah melakukan pembinaan organisasi pemuda,
organisasi kemasyarakatan lainnya, melakukan bimbingan keagamaan dan
kerukunan umat beragama, melakukan bimbingan hidup sehat dan keluarga
berencana, melakukan kegiatan penyuluhan, kursus, pelatihan dan pendidikan
lainnya;
4.2.1.1.7 Kepala Urusan Umum
Tugas Kepala Urusan Umum adalah membantu tugas Sekretaris Desa pada
urusan yang umum meliputi melakukan urusan surat – menyurat, menyimpan,
memelihara dan menemukan kembali asip-arsip kantor, merencanakan,
mengadakan dan memelihara inventaris Desa, mempersiapkan sarana
rapat/pertemuan, upacara resmi dan lain-lain.
4.2.1.1.8 Kepala Dusun
Kepala Dususn berkedudukan sebagai pelaksana tugas Kepala Desa di bagian
wilayah Desa. Tugas Kepala Dusun adalah membantu pelaksanaan tugas Kepala
Desa di wilayahnya, melaksanakan tugas pemerintah di bidang pembangunan dan
kemasyarakatan serta ketentraman dan ketertiban di wilayah kerja, melaksanakan
keputusan dan kebijakan Kepala Desa, Membantu Kepala Desa dalam kegiatan
pembinaan kerukunan warga di wilayahnya, membina dan meningkatkan swadaya
gotong-royong masyarakat di wilayahnya, melakukan penyuluhan program
15
pemerintahan di wilayahnya, memelihara dan mengembangkan adat istiadat yang
berlaku di wilayahnya.
Budaya Jawa yang dipraktekkan oleh Pamong Desa
Dalam melaksanakan tugas sebagai pamong desa, mereka akan melakukan
tugas sesuai dengan budaya organisasi yang ada Kantor Desa tempatnya bekerja.
Para pamong pasti juga akan terpengaruh oleh budaya mereka sehari – hari. Semua
itu terjadi karena menurut Hostede budaya pada suatu organisasi dipengaruhi oleh
budaya lokal yang dimiliki oleh anggotanya (Luthans & Doh, 2014). Maka para
pamong desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo menerapkan budaya lokal yang melekat pada kesehariannya
yaitu budaya jawa.
Budaya jawa berpengaruh secara signifikan terhadap budaya organisasi yang
diterapkan pada pamong desa se-Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo. Dalam
penerapannya ada beberapa budya jawa yang masih diterapkan di kantor desa –
kantor desa di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo. Budaya budaya ini masih
diterapkan oleh para pamong desa karena budaya jawa dapat menjadi jawaban atas
segala permasalahan yang dihadapi oleh pamong desa. Mulai dari permasalahan
yang sederhana seperti ketika ada pamong yang izin tidak masuk sampai kemasalah
kompleks yang terjadi. Budaya jawa yang diterapkan oleh pamong desa dapat
tercermin pada aspek dibawah ini:
a. Kepemimpinan
b. Etos Kerja
c. Hubungan Antar Pamong
d. Punishment
16
4.2.1.2.1 Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting dalam sebuah organisasi.
Seorang pemimpin memiliki karakteristik yang berbeda – beda. Pada masyarakat
jawa terdapat falsafah atau nilai ketaladanan dalam proses kepamimpinan. Fasafah
itu adalah Falsafah Asta Brata (Asta=Delapan,Brata=Keutamaan), yakni delapan
sikap atau anjuran tentang kepemimpinan Jawa (Fananie, 2005). Falsafah ini
mengangkat sifat positif dari simbol - simbol alam yang berupa: Surya, Candra,
Kartika, Angkasa, Maruta, Baruna, Dahana, dan Bumi. Penjelasannya
a. Laku Hambeging Surya (Matahari)
Laku artinya bertindak, hambeg artinya watak/sifat. Pemimpin
hendaknya memiliki sifat – sifat seperti matahari yang mampu
memberikan penerangan, semangat, dan kekuatan pada kehidupan yang
penuh dinamika dan sebagai sumber energi.
b. Laku Hambeging Candra (Bulan)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti bulan yaitu
mempu memberikan pencerahan bagi rakyatnya yang berada dalam
kebodohan dan kesusahan dan menampilkan wajah yang penuh
kesejukan dan penuh simpati dan empati.
c. Laku Hambeging Kartika (Bintang)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti bintang yaitu
memancarkan sinar kemilau, berada ditempat yang tinggi sehingga
dapat dijadikan untuk petunjuk arah, sehingga seorang pemimpin
hendaknya menjadi teladan untuk berbuat kebaikan.
17
d. Laku Hambeging Angkasa (Langit)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti langit yaitu luas
tak terbatas, hingga dapat menampung apa saja yang datang kepadanya.
Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan
kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyat
yang bermacam – macam.
e. Laku Hambeging Maruta (Angin)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti angina yaitu
selalu ada dimana – mana tanpa membedakan tempat serta selalu
mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya
selelu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan
martabatnya.
f. Laku Hambeging Samudra (Laut)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti laut yaitu
betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk
menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap
rakyatnya.
g. Laku Hambeging Dahana (Api)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti api yaitu
mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan
dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani
menegakkan kebenaran secara tegas dan tanpa pandang bulu.
18
h. Laku Hambeging Bumi (Bumi/Tanah)
Pemimpin hendaknya memiliki sifat – sifat seperti bumi atau tanah
yaitu bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberikan hasil kepada
yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani)
pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan yang diberikan
oleh rakyatnya.
Menilik dari falsafah asta brata yang dijelaskan diatas, seorang pemimpin
yang memegang teguh budaya jawa hendaknya senantiasa mengangkat harkat dan
martabat kemanusiaan. Proses kepemimpinan dalam konteks menuju kedewasaan
dimulai dari pola instruksional (leadership by power), dan berlanjut pada pola
keteladanan (leadership by sample) dan akhirnya deperlukan pola kepemimpinan
yang mendukung dan pemberian contoh ketika keteladanan lebih mengemuka.
Dengan begitu, Seorang pemimpin yang memegang teguh budaya jawa dalam
memimpin organisasi memiliki sifat sebagai berikut:
a. Memberi suritauladan yang baik
Dalam budaya jawa ketika menjadi seorang pemimpin haruslah memberi
suritauladan yang baik. Memberi tauladan yang baik adalah memberikan contoh
yang baik kepada bawahannya. Dengan memberi suri tauladan yang baik kepada
bawahanya maka diharapkan para bawahannya akan mencontoh hal – hal baik yang
telah dilakukan oleh kepala desa ataupun para pamong desa terhadap masyarakat.
Kepala desa sebagai pemimpin Desa memberikan katauladanan melalui hal – hal
kecil seperti dengan menjaga kebersihan dan tanggap terhadap masalah yang
dihadapi akan senantiasa meningkatkan kinerja para pamongnya. Para Pamong
19
Desa akan memberikan timbal balik yang baik dengan keteladanan yang diberikan
oleh Kepala Desa. Seperti yang dijelaskan oleh Bayan Malangan sebagai berikut:
“Justru Pak Lurah kita ini agak istimewa saya kira,dibandingkan Lurah yang lain.
Kadang-kadang beliau itu justru, missal di hari biasa seperti melihat keadaan, kan
waktu ini kan pas musim kemarau jadi kelihatannya bersih mas. Tetapi, waktu
musim penghujan kan rumput tumbuh dimana-mana. Kadang-kadang kita itu malah
kurang peduli. Terkadang Pak Lurah itu langsung ambil cangkul apa sabit. Nah
ketika itu, kita-kita yang tau langsung (membantu). Kita kan ndak enak sama Pak
Lurah. Pak Lurah saja bersih-bersih. Masak iya kita diam saja. Seperti ketika Pak
Lurah menyapu ya kita kalau tau pasti diminta. Tapi juga kadang Pak Lurah juga
tidak boleh. “ora usah muk nyapu semene wae kok, koyo gawean abot wae”
begitu.”(Suparno, 2015)
Penjelasan dari Bayan Malangan Bapak Suparno menjelaskan bahwa seorang
pemimpin harus memberikan suritauladan yang baik. Dengan begitu secara
sendirinya para pamong desa akan mencontoh apa yang sudah dicontohkan oleh
Bapak Kepala Desa. Penyataan itu diperkuat dengan pernyataan selanjutnya oleh
Bapak Suparno:
“Beliau punya keteladanan, memberikan contoh sebelum memerintah dan
seharusnya besok-besok sebelum Pak Lurah turun tangan kita sebagai pamong harus
tanggap.” (Suparno, 2015)
Begitu pula yang terjadi ketika para pamong Desa dijadikan tauladan atau
contoh bagi para masyarakat. Masyarakat akan senantiasa mencontoh apa yang para
pamong lakukan dan untuk kedepannya masyarakat akan dengan sendirinya
melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh para Pamong Desa. Seperti yang
dijelaskan oleh Bayan Ngasinan Bapak Sarmin:
“Kalau di masyaralat jawa jika pimpinannya baik maka yang dipimpin akan ikut
baik juga, itu semua karena adanya keteladanan yang baik dan disertai sifat ewuh
perkewuh yang dimiliki masyarakat jawa. Contohnya mas, jika kita sebagai Pamong
Desa menjaga kebersihan disekitar rumah kita, maka para masyarakat akan
mengikuti. Mosok yo ora isin karo pak bayan, omahe pak bayan we resik mosok
awak e dewe ora isin.”(Sarmin, 2015)
20
Keteladanan sangat penting dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi tersebut. Dengan memberikan keteladanan sebagai seorang pemimpin,
Kepala Desa maupun para Pamong Desa dapat saling bersinergi dengan untuk
memberikan pelayanan yang prima terhadap masyarakat sehingga keefektifan
organisasi tercapai.
b. Mengayomi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Mengayomi berarti melindungi.
Seorang pamong desa bertugas untuk melayani masyarakat, selain itu mereka harus
senantiasa mengayomi masyarakatnya. Pamong desa harus memberikan rasa
nyaman terhadap masyarakat yang meminta pelayanan. Dengan berusaha
mengayomi masyarakat maka tugas – tugas para pamong desa akan lebih mudah.
Seperti yang sudah dijalaskan oleh Kepala Desa Malangan Bapak Maryatno seperti
berikut:
”Tapi perangkat desa sebenarnya pada umumnya di wilayah-wilayah desa seperti
khususnya di Desa Malangan ini tetep dia harus ada di kantor, karena apabila ada
warganya yang datang ke kantor desa, warganya merasa diayomi. oh pak Bayan ada,
itu kan sedikit banyak yang menumbuhkan rasa kepercayaan diri masyarakat. Jadi
masyarakat yang dating ke balai Desa atau kantor Desa itu tidak ada rasa gek engko
kepiye, gek engko menghadap sinten, perkewuh berubah menjadi
biasa.”(Maryatno,2015)
Dengan adanaya kepala setiap dusun di kantor desa maka masyarakat yang
akan meminta pelayanan, tahu kepada siapa mereka menghadap dan tidak was –
was lagi ketika mereka ke kantor desa. Dengan memberikan pengayoman terhadap
masyarakat dan juga Kepala Desa terhadap para pamong maka tugas melayani
masyarakat akan prima.
21
4.2.1.2.2 Etos Kerja
Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan
hidup. Menurut Geertz (1983) Sikap disini digambarkan sebagai prinsip masing-
masing individu yang sudah menjadi keyakinannya dalam mengambil keputusan
(Abdullah, 1986). Jadi Etos kerja adalah sebuah prinsip masing – masing individu
yang sudah menjadi keyakinan dalam melakukan sebuah pekerjaan. Prinsip disini
adalah sebuah prinsip yang digunakan pamong kerja dalam melakukan
pekerjaannya. Dalam melakukan pekerjaannya masyarakat jawa mengenal
beberapa etos kerja yang juga diterapkan oleh para pamong desa. Budaya tersebut
adalah:
a. Gotong royong
Masyarakat jawa terkenal memiliki etos kerja dengan gotong royong.
Bergotong royong adalah melakukan sebuah kegiatan bersama – sama agar
kegiatan itu menjadi lebih ringan. Gotong royong menjadi ciri dari masyarakat jawa
karena pada dasarnya masyarakat jawa sudah mempunyai dasar yang luhur.
Masyarakat jawa itu adalah masyarakat yang saling menghargai dan saling tolong
menolong. Penyataan itu disampaikan oleh Kepala Dusun Desa Puron Bapak Eko
sebagai berikut:
“Orang jawa itu saling meghargai dan saling tolong menolong antar sesama.” (Eko,
2015)
Tidak hanya saling menghargai dan tolong – menolong, ciri pokok
masyarakat jawa juga dengan adanya rembuk (diskusi) dalam menyelesaikan
masalah. Penyetaan tersebut juga disampaikan oleh Kepala Dusun Desa Puron
Bapak Eko sebagai berikut:
22
“Yang menjadi ciri orang jawa itu kan adanya rembuk mas. Kesepakatan bersama
untuk menyelesaikan masalah.” (Eko, 2015)
Dalam kegitan pada kantor desa, para pamong melakukan gotong royong
dalam melakukan tugasnya dalam melayani masyarakat. Budaya gotong royong
dipegang teguh oleh para pamong desa. Seperti yang dikatakan oleh Kapala Desa
Malangan Bapak Maryatno sebagai berikut:
“kalau di sini tidak bisa seperti itu mas. Gotong royong sangat dipegang teguh.”
(Maryatno, 2015)
Di Desa Malangan gotong royong masih dipegang teguh itu di kuatkan
dengan pernyataan Kepala Dusun Malangan Bapak Suparno seperti berikut:
“Gotong royong saling kerja sama kalau di kantor kelurahan seperti ini khususnya
di desa malangan itu masih lumayan bagus.”(Suparno,2015)
Begitu juga yang dilakukan di Desa Puron gotong royong masih dilakukan
dengan baik, disampaikan juga bahwa gotong adalah suatu hal yang pokok untuk
masyarakat jawa. Dengan prinsipnya sedoyo mukti sedoyo pati, yang artinya kalau
ada kesulitan mari kita kerjakan bersama untuk menyelesaikannya dan kalau ada
kebaikannya kita nikmati bersama. Pernyataan itu disampaikan oleh Kepala Dusun
Puron Bapak Eko seperti berikut:
“Yang namanya gotong royong untuk orang jawa itu adalah hal yang pokok mas.
Untuk di desa puron namanya satu instansi kita adalah satu keluarga ya satu tim.
Prinsipnya disini begini mas sedoyo mukti sedoyo pati, yang artinya kalau ada
kesulitan mari kita kerjakan bersama untuk menyelesaikannya dan kalau ada
kebaikannya kita nikmati bersama.”(Eko, 2015)
Bapak Kepala Desa Malangan juga memperjelas lagi jika sebenarnya
Pemerintah Desa itu dibagi menjadi dua, yaitu bagian kewilayahan dan
administrasi. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersama – sama sesuai
porsinya.
23
“Sebenarnya rumah tangga di pemerintahan Desa ada dua. Bagian kewilayahan dan
bagian administrasi. Tetapi dalam prakteknya yang mana bisa kita lakukan ya ayo
kita lakukan bersama.”(Maryatno, 2015)
Gotong royong adalah budaya yang sudah turun temurun dilakukan oleh
masyarakat jawa. Gotong royong dilakukan dalam berbagai hal. Hal tersebut masih
diuri – uri (dijaga) sampai sekarang. Dengan bergotong royong pekerjaan akan
lebih ringan dan efektif. Semua itu didukung oleh pernyataan Kepala Dusun
Ngasinan Bapak Sarmin berikut:
“Orang jaman dulu dari jaman dahulu sudah suka melakukan gotong royong,
misalnya membangun rumah tidak bisa sendiri maka dilakukan bersama sama
dengan tetangga, dan sampai sekarang budaya itu masih berlangsung di masyarakat.”
(sarmin, 2015)
Kegiatan gotong royong sangat banyak sekali manfaatnya. Dengan
melakukan gotong royong pelayanan masyarakat menjadi lebih efektif. Tidak ada
pelayanan masyarakat yang terbengkalai.
b. Alon – alon penting kelakon
Budaya alon alon asal kelakon adalah budaya dimana masyarakat jawa
melakukan suatu kegiatan dengan pelan – pelan. Pelan – pelan disini bukan dalam
artian lelet melainkan dengan hati – hati dengan penuh perhitungan dan
pertimbangan. Filosofi masyarakat jawa ini berisikan pesan tentang keamanan dan
keselamatan. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati – hatian, waspada,
istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang bagaimana agar segala sesuatu tetap
selamat sampai tujuannya (Sumodiningrat & Wulandari, 2013). Dengan filosofi
alon – alon waton kelakon pekerjaan yang dilakukan akan mendapat hasil yang
maksimal dan sesuai keinginan. Sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Kepala
Dusun Ngasinan Bapak Ngadimin berikut:
24
“Tapi kalau orang jawa itu ada suatu istilah ngremet-ngremet asal slamet tetapi
hasilnya kalau dibandingkan dengan statement orang lain akan juga beda hasilnya.
Yang lain secara tidak langsung kalau menurut pengalaman saya mereka yang alon-
alon tetapi nanti juga selesai pada tujuan itu lebih baik dari pada yang mereka hanya
duduk manis tidak punya suatu etos kerja yang ada kemauan sekalipun hanya pelan-
pelan.”(Ngadimin, 2015)
Para pamong desa juga seperti itu dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya dalam melayani masyarakat. Mereka teliti dan tekun dalam melayani
masyarakat. Dengan begitu tugas yang dikerjakan akan terselesaikan dengan baik
dan optimal.
c. Tanggungjawab
Selain tugas secara struktural yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Sukoharjo Nomor 4 tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata
Kerja Pemerintah Desa. Pamong Desa bertanggung jawab langsung pada Kepala
Desa, pamong desa juga memiliki tanggungjawab kemasyarakatan yang bersifat tak
tertulis.
Tanggungjawab kemasyarakatan dilakukan dalam rangka untuk mengayomi
masyarakat. Tanggungjawab ini meliputi membantu ketika ada masyarakat yang
sakit untuk mencari rujukan, mencarikan dokumen yang dibutuhkan untuk
masyarakat yang sakit dan kurang mampu, among tamu (mempersilahkan tamu
pada sebuah perjamuan pernikahan), memento mengurusi ketika ada warga yang
meninggal. Dengan segala tanggungjawabnya dapat dikatakan bahwa Pamong Desa
bekerja 24 jam, setiap masyarakat desa membutuhkan pelayanan maka Pamong
Desa siap malayaninya. Itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bayan Malangan
Bapak Suparno sebagai berikut:
“Bisa dibilang iya mas, kita bisa bekerja selama 24 jam. tetapi itu tidak selalu terjadi
setiap hari. Jelas benar. Siapapun pamongnya ya ketika masyarakat meminta
pelayanan bahkan jam dua malam pun kalau memang itu dibutuhkan pamong ndak
bisa menolak.”(Suparno, 2015)
25
Jadi setiap pamong desa harus siap sedia ketika dibutuhkan masyarakat
kapanpun. Sehingga tanggungjawab yang dimiliki pamong desa sangat dipegang
teguh untuk dilaksanakan sebaik mungkin.
4.2.1.2.3 Hubungan antar pamong
Dalam sebuah organisasi pasti terjadi interaksi antar anggotanya. Maka dari
itu terjadi hubungan antar anggota organisasi tersebut. Pada kantor desa juga terjadi
antara hubungan antar pamong desa. Ada beberapa cerminan budaya jawa yang
mendasari hubungan antara para pamong desa. Budaya jawa tersebut antara lain:
a. Tepa slira
Tepa slira berarti mengukur atau menimbang segala sesuatu menurut diri kita
(Sumodiningrat & Wulandari, 2013). Segala sesuatu yang ada di alam ini teratur
dalam sebuah keselarasan yang timbal balik. Apa bila kita senang jika kita
diperlakukan dengan baik, maka kita juga harus memulai memerlakukan orang lain
dengan baik. Sebagai contoh jika kita tidak suka dicubit, maka jangan mencubit
orang lain. Apa saja yang membuat kita senang kita harus melakukan kepada orang
lain dan apa saja yang kita tidak suka maka jangan kita lakukan kepada orang lain
(Sumodiningrat & Wulandari, 2013). Semua itu juga sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Kepala Dusun Puron Bapak Eko sebagai berikut:
“Orang jawa itu sikapnya luwes mas. Jadi mau dia itu mau bagaimana sing
penting tidak merugikan orang lain dan menghargai oranglain, tradisi jawa
kan seperti itu. Yen di jiwit kie loro yo ojo njiwit kan tradisinya seperti itu.” (Eko,2015)
Budaya jawa adalah budaya yang luhur, dalam budaya jawa mengajarkan
bahwa kita harus menempatkan diri kita terhadap orang lain. Dalam budaya jawa
26
kita diajarkan untuk menghargai orang lain sebagai mana mestinya. Seperti yang
disampaikan oleh Bapak Sarmin berikut:
“Dalam istilah jawa nguwongke uwong yang artinya menghargai orang lain sebagai
mana mestinya.” (sarmin, 2015)
Sebagai orang jawa kita harus saling menghargai, itulah pokok inti dari tepa
slira. Budaya tersebut dijaga dan masih diterapkan oleh masyarakat jawa sampai
sekarang. Tepa slira masih dijaga dengan kuat di kalangan para pamong. Seperti
yang dikatakan oleh Kepala Desa Malangan tentang budaya jawa apa saja yang
masih diterapkan oleh para pamong desa Se-kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
sebgai berikut:
“Ya misalnya ada budaya tepa slira, gotong royong, itukan kerja sama yang baik
dalam pemerintahan desa. Itukan sangat perlu. Jadinya gotong royong itu sendiri
terus tepo sliro, tepo sliro itu saling menghargai kinerja orang lain, saling asah, saling
asih, saling asuh itu kan harus dimiliki oleh sesama perangkat.” (Maryatno, 2015)
Dalam penerapannya tepa slira adalah budaya yang baik. Degan menerapkan
tepa slira keadaan dalam organisasi akan lebih kondusif. Hubungan antara atasan
dan bawahan akan berjalan dengan baik. Bawahan akan merasa tidak enak ketika
mereka tidak memberikan yang terbaik dalam melakukan pekerjaannya. Seperti
yang dijelaskan oleh Bapak Kepala Dusun Lengking, Bapak Sarmin berikut:
“Tepo sliro dalam penerapannya itu baik mas. Dalam penerapannya akan selelu
beriringanan dengan rasa ewuh perkewuh mas. Jadi rasa menghormati terhadap
orang yang lebih tua atau yang jabatannya lebih tinggi itu berdampak positif. Bagi
yang menjadi bawahan akan menghormati dan mencontoh sesuatu yang baik yang
dilakukan atasan. Dan atasan pun akan ewuh atau isin sendiri mas sama bawahannya
kalu kalau atasan itu akan melakukan kesalahan.” (Sarmin, 2015)
Budaya tepa slira adalah budaya yang baik. Tepa slira membuat hubungan
dalam organisasi menjadi stabil. Hubungan timbal balik antar pamong desa berjalan
27
dengan baik dengan adanya budaya tepa slira. Dengan demikin budaya tepa slira
memberikan dampak positif jika diterapkan pada sebuah organisasi.
b. Ewuh pakewuh
Ewuh perkewuh adalah norma yang tidak tertulis namun sudah merekat erat
dengan kehidupan masyarakat jawa. Ewuh dalam Bahasa sansekerta berarti “repot”
sedangkan pakewuh berarti tidak enak perasaan (Purwadi & Purnomo, 2008). Ewuh
pakewuh masih senantiasa dipraktikan oleh masyarakat jawa. Masyarakat jawa juga
harus menjaga budaya ewuh pakewuh. Kalau tidak menjaga ewuh pakewuh
masyarakat jawa akan kehilangan jawanya. Hal ini di sampaikan oleh Bapak
Ngadimin sebagai berikut:
“Orang jawa itu jangan meninggalkan budayanya. Kalau budaya ditinggalkan orang
jawa akan kehilangan jawanya. Mereka tidak lagi mengenal tepo sliro, unggah
ungguh, ewuh perkewuh. Seharusnya dalam kegiatan sehari hari masyarakat jawa itu
harus menjaga gotong royong, kerukunan dan toleransi.” (Ngadimin,2015)
Selanjutnya, disampaikan juga oleh Bapak Sarmin dibawah ini bahwa dengan
penerapan budaya ewuh pakewuh pada pamong desa diharapkan pamong desa dapat
dijadikan contoh untuk masyarakat dan antar pamong sendiri.
“Bepegang teguh pada profesionalisme itu sudah tentu dalam melaksanakan tugas.
Karena kita bekerja di lingkungan orang jawa yang masih kental dengan budaya
jawa. Namun dalam penerapannya jadi penerapannya kita tidak meninggalkan
budaya jawa yang masih kental di masyarakat. Seperti budaya ewuh perkewuh dan
menciptakan keteladanan jadi disamping profesionalisme bekerja kita menciptakan
keteladanan yang baik untuk masyarakat. Maka dengan adanya budaya ewuh
perkewuh maka masyarakat dapat meneladani apa yang kita contohkan karena
merasa ewuh atau malu kepada para pamong yang memberi keteladanan. Begitu juga
yang terjadi pada kantor desa mas.” (Sarmin,2015)
Jadi penerapan ewuh pakewuh dapat menciptakan atmosfer yang baik bagi
pamong desa. Dengan berusaha tidak merepotkan antar pamong dan memberikan
contoh yang baik agar dapat dicontoh oleh pamong yang lain dan juga oleh
masyarakat.
28
4.2.1.2.4 Punishment
Dalam sebuah organisasi pasti ada sebuah sistem pengendalian pegawai agar
pegawainya tidak seenaknya sendiri. Bagaimana para pamong desa menanggulangi
pelanggaran peraturan, dalam kantor desa.
a. Pendekatan personal
Dalam penanganan permasalahan dalan lingkup kantor desa, para pamong
desa menggunakan pendekatan personal dalam menyelesaikan masalahnya.
Dimana ketika salah satu pamong menyimpang atau melakukan kesalahan maka
akan diselesaikan secara personal dengan yang bertanggung jawab. Seperti yang
dicontohkan oleh Bapak Maryatno dibawah ini. Sebagai seorang Kepala Desa
beliau melakukan pendekatan personal kepada pamong yang melakukan
pelanggaran. Pamong yang melakukan pelanggaran dinasehati dan diperingatan
dengan baik dengan tidak dipermalukan.
“Contoh lagi ini selaku saya sebagai kepala desa membawahi perangkat – perangkat.
Suatu saat ada perangkat melakukan kesalahan atau dipandang oleh teman-temannya
tidak bagus atau lepas dari konteks dia bekerja. Saya harus mengingatkan. Kalau
budaya jawa di pakai, tentu saja mengingatkan itu dipanggil mas. Tidak di depan
perangkat yang lain langsung dibilang, kamu salah ini itu. Kalau seperti itu perasaan
malu, benci, dendam pasti ada. Itu namanya membuka aib orang lain didepan orang
banyak. Bicara baik-baik jangan sampai ada orang yang tahu.” (Maryatno, 2015)
Pendekatan personal memberikan dampak yang baik terhadap orang yang
melakukan kesalahan. Dengan pendekatan personal pamong yang melakukan
kesalahan akan merasa sungkan karena ditegur secara personal oleh pimpinannya.
Dengan perasaan sungkan tersebut maka pamong yang melakukan kesalahan akan
berubah menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Maryatno sebagai berikut:
29
“Dia itu tidak hanya sungkan dengan pimpinannya saya. Sungkan saya harus bisa
berubah menjadi lebih baik.” (Maryatno, 2015)
Terdapat pula penyataan dari Bapak Ngadimin tentang pendekatan personal
dalam penanganan seseorang yang bermasalah. Dicontohkan oleh Bapak Ngadimin
terdapat warga yang mengingkari tanggungjawab yang diperolehnya pada kegiatan
tarub dengan memberikan sejumlah uang kepada orang lain untuk menggantikan
tanggung jawabnya. Hal tersebut sebenarnya tidak etis dikarenakan tanggungjawab
tersebuat sebenarnya akan mendapat timbal baliknya ketika orang yang
bersangkutan mempunyai hajat tarub. Sehingga sebagai pamong desa yang
dituakan Bapak Ngadimin harus mengingatkan warga yang menyimpang tersebut
dengan cara berkunjung secara persolan kerumahnya dan mengingatkan dengan
halus kalau apa yang dilakukannya itu kurang tepat. Pernyataan Bapak Ngadimin
sebagai berikut:
“Dengan melakukan pendekatan saja mas, seperti saya seorang bayan ada warga
yang kurang tanggungjawab dalam sebuah tarub. Kan sebenarnya tanggungjawab itu
akan mendapatkan timbal baliknya ketika dia memunyai hajat nanti. Ada suatu
kejadian dimana seorang warga memberikan sejumlah uang kepada warga yang lain
untuk menggantikan tugasnya. Untuk mengatasinya agar kejadian itu tidak terulang
kembali maka saya pada hari lain akan datang berkunjung kerumahnya untuk
mengingatkan bahwa apa yang dia lakukan itu tidak baik.” (Ngadimin,2015)
Dengan pendekatan personal penanganan terhadap pamong desa maupun
warga yang bermasalah menjadi lebih efektif. pamong yang melakukan
pelanggaran akan mudah ditangani. Pamong yang melakukan pelanggaran tidak
harus menanggung malu ketika kesalahannya di ungkap di depan pamong yang lain
atau didepan banyak warga. Akan tetapi dengan perasaan sungkan yang dimiliki
terhadap pimpinan (orang yang bertanggung jawab) atau orang yang dituakan
mereka akan berubah menjadi lebih baik dan tidak akan mengulangi pelanggaran
30
lagi. Hal tersebut yang peneliti dapatkan pada saat penelitian di desa Malangan,
Puron, Ngasinan dan Lengking.
4.2.2 Pembahasan
Relevansi Budaya Jawa dalam Budaya Organisasi Jaman Sekarang
Budaya merupakan sebuah gagasan sistem dan rasa, sebuah tindakan serta
karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupannya yang bermasyarakat, yang
dijadikan kepercayaan dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985). Dapat dikatakan
bahwa budaya adalah buah pikiran dan tindakan yang dipercaya dan dilaksanakan
oleh masyarakat tertentu. Terdapat banyak budaya di Indonesia, salah satunya
adalah budaya jawa.
Budaya jawa adalah budaya yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa.
Masyarakat jawa adalah masyarakat yang hidup dan berkembang mulai jaman
dahulu hingga sekarang yang secara turun – temurun menggunakan Bahasa Jawa
dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian pulau jawa (Herusatoto,
2005). Budaya jawa adalah budaya yang adiluhung yang selama ini diterapkan oleh
masyarakat jawa dalam kehidupan kesehariannya. Akan tetapi, pada zaman
sekarang kita berada pada zaman globalisasi dimana budaya modern mulai
meminggirkan dan menggerus eksistensi budaya lokal.
Globalisasi budaya modernitas membawa perubahan terhadap sistem nilai
yang selama ini dianut oleh masyarakat. Sehingga mengarah pada berkembangnya
sistem sosial baru yang bisa jadi sangat berlainan dengan budaya lokal masyarakat
(Mariana,Paskarina,2009). Budaya modern yang dimaksud memiliki ciri yang
dikemukakan oleh sebagai berikut (Soemardjan, 1982):
31
a. Hubungan yang terjadi antar manusia lebih didasarkan atas kepentingan
– kepentingan pribadi;
b. Hubungan dengan masyarakat – masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dalam suasana saling pengaruh mempengaruhi, kecuali
terhadap beberapa penemuan baru yang bersifat rahasia;
c. Adanya kepercayaan yang kuat terhadap ilmu pengetahuan dan
teknolohi sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia;
d. Masyarakat terbagi – bagi menurut profesi dan keahlian masing –
masing yang dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga – lembaga
pendidikan, keterampilan, dan kejuruan;
e. Adanya tingkat pendidikan formal yang relatif tinggi dan merata;
f. Hukum yang diberlakukan merupakan hokum tertulis yang sangat
kompleks;
g. Sistem ekonomi yang dikembangkan merupakan sistem ekonomi pasar
yang berdasarkan alat penggunaan uang dan alat – alat pembaharuan
yang lain.
Pergeseran budaya itu juga ditemui pada masyarakat Desa Malangan, Puron,
Ngasinan dan Lengking. Pergeseran budaya jawa mulai terasa pada kehidupan
bermasyarakat pada Desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan Lengking. Seperti yang
dijelaskan oleh bapak Ngadimin bahwa rasa gotong royong beberapa warga di Desa
Lengking mulai berkurang, serta pola pikir warga mulai berorientasi pada
kepentingan keuntungan pribadi masing – masing. Pernyataan Bapak Ngadimin
sebagai berikut:
32
“Dengan pengaruh globalisasi, masyarakat dalam melakukan kegiatan tarub. Kan
pada kegiatan tersebut ada pembagian tugasnya buat masing – masing warga. Ada
yang bertugas di jayengan membuat air minum, ada yang among tamu dan lainya.
Ada suatu kejadian pada suah tarub ada salah satu warga melimpahkan pekerjaanya
kepada orang lain dengan imbalan uang.” (Ngadimin,2015)
Samahalnya yang disampaikan oleh bapak Eko. Di Desa Puron juga terjadi
hal yang sama. Dikarenakan terpengaruh budaya modern yang memintingkan
kepentingan pribadi dan juga hidup berorientasi matrerialistis ada beberapa warga
yang mulai memudar rasa gotong royongnya. Sama dengan yang terjadi di Desa
Ngasinan ada beberapa warga yang memilih membayar denda tidak mengikuti
kegiatan kerja bakti dari pada mengikutinya. Pernyataan Bapak Eko sebagai
berikut:
“Kalau dampak dari modernisasi pasti ada mas. Seperti contohnya ada beberapa
warga yang mulaii enggan mengikuti kegiatan kerja bakti. Mereka lebih memilih
untuk membayar uang denda dari pada mereka mengikuti kerja bakti.” (Eko,2015)
Itulah dampak yang terjadi di kehidupan masyarakat jawa, yang terjadi di
daerah yang dilakukan penelitian. Uraian diatas menimbulkan sebuah kepercayaan
bahwa budaya organisasi modern akan semakin meminggirkan dan menggerus
eksistensi budaya nasional atau lokal. Pada kenyataanya, bukti yang terkumpul
menyatakan justru sebaliknya yang mungkin benar. Riset Hostede menemukan
bahwa nilai-nilai budaya negara para karyawan memiliki pengaruh yang signifikan
pada kinerja operasional mereka, dan bahwa nilai-nilai para karyawan yang mereka
bawa ke tempat kerja tidak mudah diubah oleh organisasi (Luthans & Doh, 2014).
Bertahannya budaya lokal terhadap eksistensi budaya organisasi modern dalam hal
ini budaya jawa, berjalan secara positif.
33
Akan tetapi para pamong desa mencoba untuk memelihara budaya jawa
dengan tetap menjaga dan senantiasa menerapkannya. Mereka senantiasa
menerapkan Budaya Jawa dalam melakukan kegiatan pemerintahan maupun
melakukan pelayanan kepada msyarakat. Budaya Jawa adalah nilai tambah yang
dimiliki masyarakat jawa untuk mewujudkan efektivitas organisasi. Penerapan
Budaya Jawa Sebagai budaya lokal berperan positif terhadap pencapaian efektivitas
organisasi. Dengan penerapan Budaya Jawa masyarakat Jawa dapat menjalankan
organisasinya dengan lebih baik. Dalam penelitian ini para pamong desa dapat
melayani masyarakat dengan lebih efektif dan maksimal.
Hal itu ditunjukkan dengan masih diterapkan budaya jawa pada proses
pelayanan masyarakat pada kantor desa di Desa Malangan, Puron, Ngasinan dan
Lengking yang berimbas positif. Dengan penerapan budaya jawa pelayanan
masyarakat menjadi lebih maksimal. Budaya jawa masih diterapkan dan dianggap
relevan untuk pelayanan dan pemerintahan Desa, pernyataan tersebut disampaikan
oleh bapak Maryatno sebagai berikut:
“Kalau budaya Jawa itu sampai kapanpun mas itu tetap relevan dan harus dijadikan
pegangan dalam bekerja, karena apa, implementasi dari pada aturan-aturan
mengadopsinya dari apa yang ada di jawa itu hlo mas” (Maryatno,2015)
Penyataan tersebut juga di dukung oleh pernyataan oleh pernyataan Bapak
Suparno yang menyampaikan bahwa budaya jawa masih relevan diterapkan pada
masa sekarang, dan juga memberikan contoh seperti budaya gotong royong adalah
salah satu budaya jawa yang masih sangat relevan pada masa sekarang. Dengan
melaksanakan gotong royong pembangunan di Desa Malangan menjadi lebih
lancar.
34
“iya mas, penerapan budaya jawa masih relevan dan berdampak bagus terhadap
pelayanan kepada masyarakat. Seperti contohnya penerapan budaya gotong royong
sangat membantu dalam proses kelancaran khususnya pembangunan ditingkat desa
oleh masyarakat.” (Suparno,2015)
Bapak Ibnu Wiyatno juga menyampaikan bahwa budaya jawa yang
diterapkan oleh para pamong untuk pelayanan masyarakat dan pelaksanaan
pemerintah desa seperti pamong desa melakukan pendekatan terhadap warga
masyarakat dengan melakukan musyawarah secara kekeluargaan untuk
mewujudkan visi, misi dan tujuan desa. Berikut pernyataan bapak Ibnu Wiyatno:
“Karena dengan tetap menerapkan budaya jawa, aparat desa dapat melakukan
pendekatan kepada warga masyarakat melalui musyawarah, kekeluargaan. Sehingga
antara warga masyarakat dan pamong desa sayeg saeka kapti wewujudkan visi, misi
dan tujuan desa.” (Wiyatno,2015)
Dalam penelitian ini Budaya jawa masih relevan jika diterapkan pada jaman
sekarang. Hal ini terbukkti dengan penerapan budaya jawa oleh pamong desa dapat
melakukan pelayanan terhadap masyarakat dan menjalankan pemerintahan desa
dengan baik dan efektif. Hingga sekarang budaya jawa dapat digunakan oleh
pamong desa untuk pedoman untuk menjalankan roda pemerintahan desa, dasar
pelayanan masyarakat, hubungan antar pamong desa sehingga dapat mengatasi
masalah yang dihadapi pada jaman sekarang.
Budaya Jawa Yang mempengaruhi efektivitas Organisasi
Menurut hasil penelitian yang telah dijalaskan oleh peneliti di bab
sebelumnya, budaya – budaya jawa yang berpengaruh posotif efektivitas organisasi
yang didapat dari hasil penelitian . antara lain:
a. Memberi suritauladan yang baik
b. Mangayomi
c. Gotong royong
35
d. Alon – alon penting kalakon
e. Tanggung jawab
f. Tapa slira
g. Ewuh perkewuh
h. Melakukan pendekatan personal ketika terjadi pelanggaran
Integrasi Budaya Jawa dan Efektivitas Organisasi
Dalam penelitian ini Budaya Jawa masih dipegang teguh dan diterapkan oleh
pamong desa, karena Budaya Jawa masih relevan hingga sekarang. Penerapan
Budaya Jawa dalam kantor desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking, budaya
jawa dapat menjadi solusi dari permasalahan yang muncul dalam proses pelayanan
masyarakat dan pelaksanaan program pemerintah desa. Budaya jawa adalah budaya
yang mencerminkan budaya organisasi yang dianut oleh pamong desa Malangan,
Puron, Ngasinan dan lengking, karena budaya organisasi adalah filosofi dasar
organisasi yang memuat keyakinan, norma – norma, dan nilai – nilai bersama yang
menjadi karakteristik inti tentang bagaimana cara melakukan sesuatu dalam
organisasi (Wibowo, 2010).
Riset Hostede menemukan bahwa nilai-nilai budaya negara para karyawan
memiliki pengaruh yang signifikan pada kinerja operasional mereka, dan bahwa
nilai-nilai para karyawan yang mereka bawa ke tempat kerja tidak mudah diubah
oleh organisasi (Luthans & Doh, 2014). Riset tersebut sesuai dengan apa yang
terjadi pada subyek penelitian. Terbukti dengan masih diterapkannya budaya jawa
sebagai budaya organisasi pada pemerintah desa tempat peneliti melakukan
penelitian. Segala bentuk penerapan budaya jawa yang dilakukan, banyak
36
keuntungan yang didapatkan oleh para pamong desa. Penerapan budaya jawa
membuat jalannya proses pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat menjadi
lebih stabil dan efektif. Sehingga budaya jawa berpengaruh positif terhadap
pencapaian efektivitas organisasi di kantor Desa Malangan, Puron, Ngasinan, dan
Lengking. Pencapaian Efektivitas organisasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor
lingkungannya (Armia, 2002). Faktor lingkungan yang dimaksud adalah budaya
yang di terapkan oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut juga didukung oleh Robert
Kreitner dan Angelo Kunicki terdapat pengaruh Budaya lokal dalam bentuk adat
istiadat yang mempengaruhi nilai pada setiap individu dan lingkungan organisasi
sehingga mempengaruhi efektifivitas organisasi (Gibson, Ivancevich, & Donnelly,
1996).
Budaya jawa adalah budaya yang unik karena dapat bertahan dari gumpuran
proses modernisasi yang terjadi pada pemerintah desa. Para pamong
mengesampingkan ego pribadi untuk mencapai tujuan individual dan memilih
mengedepankan kepentingan masyarakat dan kepentingan bersama untuk dapat
melayani masyarakat dengan baik dan maksimal serta melaksanakan pemerintahan
desa dengan baik. Dengan terjaganya budaya tersebut, para pamong dapat
menjalankan roda pemerintahan desa dengan stabil dan mencapai tujuan yang telah
ditentukan yakni memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan maksimal.
37
1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti mengenai eksplorasi
Budaya Jawa kaitanya dalam pencapaian efektivitas organisasi yang telah
dijabarkan peneliti pada hasil dan pembahasan dan berikut adalah kesimpulannya:
1. Budaya jawa berperan positif terhadap efektivitas organisasi. Budaya jawa
masih juga masih relevan digunakan oleh pemong desa. Terbukti dengan
masih dijalankannya budaya jawa oleh para pamong desa. Pelayanan tehadap
masyarakat menjadi lebih efektif. penerapan budaya jawa menberikan
pengaruh yang positif bagi efektivitas organisasi di kantor desa, terutama di
desa Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking Kecamatan Bulu, Kabupaten
Sukoharjo.
2. Budaya jawa yang mempengaruhi efektivitas organisasi meliputi:
a. Memberikan suritauladan yang baik
b. Gotong royong
c. Alon – alon penting kelakon
d. Tanggungjawab
e. Tepa slira
f. Ewuh perkewuh
g. Melakukan pendekatan personal jika terjadi pelanggaran
2
5.2 Saran
5.2.1 Saran Praktis
Saran yang disampaikan pada penelitian ini terutama untuk Pamong Desa
Malangan, Puron, Ngasinan dan Lengking yaitu agar para Pamong Desa tetap
menjaga dan melestarikan Budaya Jawa yang masih dijaga dan diterapkan hingga
sekarang, karena penerapan budaya jawa berperan positif terhadap jalannya
pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
5.2.2 Saran Akademis
Dalam penelitin ini masih banyak kekurangan dari segi isi, sitematika dan
teori yang dipakai peneliti dalam menganalisa permasalahan yang coba dijelaskan.
Saran untuk peneliti selanjutnya untuk bisa menelaah lebih dalam mengenai
penerapan Budaya Jawa yang masih relevan dan berpengaruh terhadap efektivitas
organisasi dikarenakan Budaya Jawa adah budaya yang kopleks. Mungkin masih
banyak budaya jawa yang lain yang masih berperan terhadap pencapaian efektivitas
suatu organisasi. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengisi kekurangan dari
penelitian ini terutama dalam pengeksplorasian budaya jawa yang lain pada
penelitian selanjutnya.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T. (1986). Etos Kerja dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES &
Yayasan Obor.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Edisi
Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Armia, C. (2002). Pengaruh Budaya Yerhadap Efektivitas Organisasi, Dimensi
Budaya Hofstede.
Basuki, S. (2006). Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Bogdan, R., & Taylor, S. J. (1975). Introduction to Qualitative Research
Methode. New York: John Willey and Sons.
Fananie, Z. (2005). Restrukturisasi Budaya Jawa - Prespektif KGPAA MN.1.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1996). Organisasi, Perilaku,
Struktur, Proses. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Greetz, C. (1983). Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Herusatoto, B. (2005). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita
Graha Widia.
KBBI Online. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (online).
http://kbbi.web.id/eksplorasi. Diakses pada 12 Juni 2015 Pukul 22.00.
Khasanah, U. (2004). Etos Kerja Sarana Menuju Puncak Potensi. Yogyakarta:
Harapan Utama.
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pusaka Utama.
Koentjaraningrat. (1993). Metode - Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia Pusaka Utama.
Koentjaraningrat. (1996). Pengantar Ilmu Antropologi (Jilid 1). Jakarta: Rineka
Cipta.
Luthans, F., & Doh, J. P. (2014). Manajemen Internasional: Budaya, Strategi dan
Perilaku. Jakarta: Salemba Empat.
Mariana, D., & Paskarina, C. (2009). Kebangkitan Lokal Menjawab Tantangan
Globalisasi : Revitalisasi Nilai - Nilai Sunda Bagi Penciptaan Local Good
Governance Di Jawa Barat.
73
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.
Ndraha, T. (2007). Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwadi, & Purnomo, E. P. (2008). Kamus Sansekerta Indonesia. Yogyakarta:
BudayaJawa.com.
Robbin, S. P. (1994). Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi (Alih
Bahasa Jusuf Udaya). Jakarta: Arcan.
Robbins, S. P. (1996). Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi dan Aplikasi
Edisi Enam (Alih Bahasa Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer.
Sekaran, U. (2003). Research Metods For Business: Skill Building Aproach. New
York: John Wiley and Sons.
Soemardjan, S. (1982). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sugiono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sumodiningrat, G., & Wulandari, A. (2013). Pitutur Luhur Budaya Jawa.
Yogyakarta: Pusaka Narasi.
Suyanto. (1990). Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Want, J. (2006). Corporate Culture. New York: St. Martin's Press.
Wibowo. (2010). Manajemen Kinerja (Edisi Ketiga). Jakarta: Rajawali Pers.
Yin, R. K. (2003). Studi Kasus: Desain Metode (Alih Bahasa M. Djauzi
Mudjakir). Jakarta: Raja Grafindo Persada.