14
Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi sebagai Antiinflamasi di Tiga Suku Dayak, Kalimantan Selatan (Exploration and Inventarization of Indigenous Medicinal Plants as an Anti-Inflammatory in Three Dayak Tribes, South Kalimantan) Yuniarti Suryatinah 1 *, Mery Budiarti S. 2 , Nur Rahmawati Wijaya 2 , dan Dwi Hapsari Tjandrarini 3 1 Balai Litbang Kesehatan Tanah Bumbu, Jl. Loka Litbang Kawasan Perkantoran Pemda Tanah Bumbu, Tanah Bumbu 72171, Kalimantan Selatan, Indonesia Telp. (0518) 6076049; Faks. (0518) 6070020 *E-mail: [email protected] 2 Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Jl. Raya Lawu No. 11, Tawangmangu, Karanganyar 57792, Jawa Tengah, Indonesia 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Jl. Percetakan Negara No. 29. Jakarta 10560, Indonesia Diajukan: 17 April 2020; Direvisi: 6 Juni 2020; Diterima: 25 Juni 2020 ABSTRACT Medicinal plant usage as one of the alternative raw materials to substitute synthetic drugs in medication did not collected and completely saved, so it must inventory recipe traditional herb from ethnics. The objectives of this research were to explore and inventarization the local medicine plants as an antiinflamation purposes at three Dayak tribes in South Kalimantan. The study was carried out in 2015 in three Dayak tribes in South Kalimantan, such as Dayak Pitap, Dayak Deyah, and Dayak Harakit. The study used an explorative survey method with free variables of traditional healers in each tribe and the dependent variables (traditional medicinal herbs and medicinal plant), were used in inflammatory herbs, and local wisdom in the management of the use of medicinal plants. Data was collected by interviews with structured and free techniques. The results showed that 19 of indigenous medicinal plants potentially as an anti-inflammatory that used by the community of Dayak Pitap, Dayak Deyah, and Dayak Harakit, including Euphorbia tithymaloides L., Aleurites moluccanus (L.) Willd., Koompassia excelsa (Becc.) Taub., Cymbopogon citratus (DC.) Stapf., Cordyline fruticosa (L.) A. Chev., Mangifera foetida Lour., Vigna unguiculata (L.) Walp., Capsicum sp., Murraya koenigii (L.) Spreng., Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle, Myristica fragrans Houtt., and Lilium sp., Triumfetta rhomboidea Jacq., Solanum torvum Sw., Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., Bridelia glauca Blume, Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr., Pennisetum purpureum Schumach., Mangifera caesia Jack. and Sauropus androgynus (L.) Merr. Keywords: Medicinal plants, empirical, anti-inflammatory. ABSTRAK Pemanfaatan tumbuhan obat sebagai salah satu alternatif bahan baku pengganti obat sintetis masih belum terinventarisasi secara lengkap sehingga perlu dilakukan inventarisasi penggunaan ramuan yang digunakan oleh pengobat tradisional pada suku-suku setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi dan menginventarisasi tumbuhan obat lokal sebagai antiinflamasi pada tiga suku Dayak di Kalimantan Selatan. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 di tiga suku Dayak di Kalimantan Selatan, yaitu Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit. Penelitian menggunakan metode survei eksploratif dengan variabel bebas pengobat tradisional (battra) yang ada di setiap suku dan variabel tergantung yaitu ramuan obat tradisional, tumbuhan obat (TO) yang digunakan dalam ramuan inflamasi, serta kearifan lokal dalam pengelolaan pemanfaatan TO. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan teknik terstruktur dan bebas. Hasil eksplorasi diperoleh sembilan belas tumbuhan obat lokal yang berpotensi sebagai antiinflamasi yang digunakan oleh Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit di Kalimantan Selatan, yaitu penawar seribu atau Euphorbia tithymaloides L., kaminting atau Aleurites moluccanus (L.) Willd., kayu kusi atau Koompassia excelsa (Becc.) Taub., sarai atau Cymbopogon citratus (DC.) Stapf., halinjuang habang atau Cordyline fruticosa (L.) A. Chev., hambawang atau Mangifera foetida Lour., kacang panjang atau Vigna unguiculata (L.) Walp., lombok atau Capsicum sp., tengkutut asu atau Murraya koenigii (L.) Spreng., sangkurukut atau Triumfetta rhomboidea Jacq., terong pipit atau Solanum torvum Sw., limau kuit atau Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle, bubuta atau Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., hantata atau Bridelia glauca Blume, sungharus atau Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr., bakung atau Lilium sp., tibaran atau Pennisetum purpureum Schumach., binjai atau Mangifera caesia Jack., dan katuk atau Sauropus androgynus (L.) Merr. Kata kunci: Tumbuhan obat, empiris, antiinflamasi. Hak Cipta © 2020, BB Biogen Bul. Plasma Nutfah 26(1):63–76

Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi sebagai Antiinflamasi di Tiga Suku Dayak, Kalimantan Selatan

(Exploration and Inventarization of Indigenous Medicinal Plants as an Anti-Inflammatory in Three Dayak Tribes, South Kalimantan)

Yuniarti Suryatinah1*, Mery Budiarti S.2, Nur Rahmawati Wijaya2, dan Dwi Hapsari Tjandrarini3 1Balai Litbang Kesehatan Tanah Bumbu, Jl. Loka Litbang Kawasan Perkantoran Pemda Tanah Bumbu, Tanah Bumbu 72171,

Kalimantan Selatan, Indonesia Telp. (0518) 6076049; Faks. (0518) 6070020

*E-mail: [email protected] 2Balai Besar Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Jl. Raya Lawu No. 11, Tawangmangu, Karanganyar 57792,

Jawa Tengah, Indonesia 3Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Jl. Percetakan Negara No. 29. Jakarta 10560, Indonesia

Diajukan: 17 April 2020; Direvisi: 6 Juni 2020; Diterima: 25 Juni 2020

ABSTRACT

Medicinal plant usage as one of the alternative raw materials to substitute synthetic drugs in medication did not collected and completely saved, so it must inventory recipe traditional herb from ethnics. The objectives of this research were to explore and inventarization the local medicine plants as an antiinflamation purposes at three Dayak tribes in South Kalimantan. The study was carried out in 2015 in three Dayak tribes in South Kalimantan, such as Dayak Pitap, Dayak Deyah, and Dayak Harakit. The study used an explorative survey method with free variables of traditional healers in each tribe and the dependent variables (traditional medicinal herbs and medicinal plant), were used in inflammatory herbs, and local wisdom in the management of the use of medicinal plants. Data was collected by interviews with structured and free techniques. The results showed that 19 of indigenous medicinal plants potentially as an anti-inflammatory that used by the community of Dayak Pitap, Dayak Deyah, and Dayak Harakit, including Euphorbia tithymaloides L., Aleurites moluccanus (L.) Willd., Koompassia excelsa (Becc.) Taub., Cymbopogon citratus (DC.) Stapf., Cordyline fruticosa (L.) A. Chev., Mangifera foetida Lour., Vigna unguiculata (L.) Walp., Capsicum sp., Murraya koenigii (L.) Spreng., Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle, Myristica fragrans Houtt., and Lilium sp., Triumfetta rhomboidea Jacq., Solanum torvum Sw., Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., Bridelia glauca Blume, Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr., Pennisetum purpureum Schumach., Mangifera caesia Jack. and Sauropus androgynus (L.) Merr.

Keywords: Medicinal plants, empirical, anti-inflammatory.

ABSTRAK

Pemanfaatan tumbuhan obat sebagai salah satu alternatif bahan baku pengganti obat sintetis masih belum terinventarisasi secara lengkap sehingga perlu dilakukan inventarisasi penggunaan ramuan yang digunakan oleh pengobat tradisional pada suku-suku setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi dan menginventarisasi tumbuhan obat lokal sebagai antiinflamasi pada tiga suku Dayak di Kalimantan Selatan. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 di tiga suku Dayak di Kalimantan Selatan, yaitu Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit. Penelitian menggunakan metode survei eksploratif dengan variabel bebas pengobat tradisional (battra) yang ada di setiap suku dan variabel tergantung yaitu ramuan obat tradisional, tumbuhan obat (TO) yang digunakan dalam ramuan inflamasi, serta kearifan lokal dalam pengelolaan pemanfaatan TO. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan teknik terstruktur dan bebas. Hasil eksplorasi diperoleh sembilan belas tumbuhan obat lokal yang berpotensi sebagai antiinflamasi yang digunakan oleh Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit di Kalimantan Selatan, yaitu penawar seribu atau Euphorbia tithymaloides L., kaminting atau Aleurites moluccanus (L.) Willd., kayu kusi atau Koompassia excelsa (Becc.) Taub., sarai atau Cymbopogon citratus (DC.) Stapf., halinjuang habang atau Cordyline fruticosa (L.) A. Chev., hambawang atau Mangifera foetida Lour., kacang panjang atau Vigna unguiculata (L.) Walp., lombok atau Capsicum sp., tengkutut asu atau Murraya koenigii (L.) Spreng., sangkurukut atau Triumfetta rhomboidea Jacq., terong pipit atau Solanum torvum Sw., limau kuit atau Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle, bubuta atau Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., hantata atau Bridelia glauca Blume, sungharus atau Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr., bakung atau Lilium sp., tibaran atau Pennisetum purpureum Schumach., binjai atau Mangifera caesia Jack., dan katuk atau Sauropus androgynus (L.) Merr.

Kata kunci: Tumbuhan obat, empiris, antiinflamasi.

Hak Cipta © 2020, BB Biogen

Bul. Plasma Nutfah 26(1):63–76

Page 2: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 64

PENDAHULUAN

Banyak jenis tumbuhan lokal yang telah dimanfaatkan sejak lama sebagai tumbuhan obat suatu penyakit. Pengobatan tradisional di Indonesia sendiri dilakukan oleh para pengobat tradisional dari berbagai suku yang ada. Kekayaan alam dari hutan tropis Indonesia masih menyimpan banyak sekali tumbuhan yang berpotensi sebagai tumbuhan obat dan telah dibudidayakan oleh berbagai suku dengan tingkat kearifan lokal yang berbeda-beda. Budaya untuk mengonsumsi kembali bahan obat alami merupakan salah satu upaya melestarikan budaya leluhur bangsa Indonesia, sekaligus menun-jang bangkitnya ekonomi di bidang kesehatan, khususnya di bidang pemanfaatan tumbuhan lokal sebagai tumbuhan obat (Hidayat 2005).

Respons inflamasi adalah suatu reaksi lokal tubuh terhadap serangan atau cedera. Serangkaian reaksi kimia dan kejadian yang timbul disebabkan adanya cedera sel atau jaringan sebagai akibat dari adanya serangan pada tubuh (Karch 2011). Inflamasi merupakan respons kronik atau akut terhadap adanya infeksi, trauma, ataupun adanya kerusakan jaringan. Pada proses inflamasi terjadi peningkatan aliran darah dan masuknya leukosit ke dalam jaringan yang rusak, terdapat pembengkak-an, kemerahan, peningkatan temperatur, dan nyeri (Soedarto 2014). Gambaran klinis yang khas dihasilkan sebagai akibat adanya aktivitas respons inflamasi berupa peningkatan suhu tubuh, muncul-nya tumor (pembengkakan), adanya rubor (kemerahan), dan dolor (nyeri) merupakan reaksi inflamasi yang khas. Terdapat beberapa jenis obat dengan mekanisme kerja yang berbeda yang di-gunakan sebagai antiinflamasi, yaitu korti-kosteroid, antihistamin, salisilat, dan antiinflamasi nonsteroid (Karch 2011).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan sekitar 20.000 tumbuhan obat digunakan dalam jumlah yang sangat banyak di industri farmasi ataupun dalam obat-obat tradisional (Kar 2009). Sejarah kedokteran menunjukkan sebagian obat tradisional merupakan cikal bakal dari obat-obatan modern. Namun demikian, sebagian besar obat tradisional yang telah dikembangkan melalui seleksi alamiah tersebut dalam aplikasinya ternyata

belum cukup untuk memenuhi persyaratan ilmiah bagi pengobatan modern, sehingga perlu dilakukan berbagai penelitian agar pemakaian obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian ini sangat diperlukan, baik untuk tujuan mengidentifikasi komponen aktifnya maupun untuk menilai efektivi-tas dan keamanannya sebagai bagian dari uji klinis-nya (Mursito 2011). Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat asal hutan dapat meliputi beberapa aktivitas, seperti konservasi in situ dan ex situ, inventarisasi potensi tumbuhan obat hutan, identifi-kasi jenis dan kandungan kimia (kandungan bahan obat), teknik budi daya, pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat, dan pengetahuan tradisional masyarakat, pemasaran, teknologi pengembangan, dan industri tumbuhan obat hutan (Noorhidayah et al. 2006).

Saat ini kecenderungan gaya hidup back to nature masyarakat modern menggunakan tumbuh-an obat dan pengobatan herbal makin meningkat. Menurut Suparni dan Wulandari (2012), di antara faktor-faktor yang memengaruhinya adalah se-makin mahalnya harga obat-obatan sintetis, peng-obatan tradisional hampir tidak memiliki efek samping, mudahnya mendapatkan bahan-bahan alam di sekitar, mudahnya pengaplikasian peng-obatan tradisional, kepercayaan terhadap peng-alaman leluhur tentang keamanan pengobatan herbal dan pengemasan obat herbal melalui pem-buatan ekstrak-ekstrak ke bentuk pil atau kapsul, dan cairan membuat praktis saat menggunakannya.

Suparni dan Wulandari (2012) mengelom-pokkan tumbuhan obat berdasarkan bagian organ yang dimanfaatkan, yaitu akar, daun, umbi atau rimpang, batang, buah, dan biji, sedangkan peng-golongan tumbuhan obat berdasarkan fungsinya bagi tumbuhan dapat dibagi dua, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Tumbuhan obat yang tergolong dalam kelompok metabolit sekunder menyintesis senyawa potensial melalui proses biosintesis yang digunakan untuk menun-jang kehidupan, namun tidak sebagai fungsi vital. Metabolit sekunder inilah senyawa yang memiliki aktifitas farmakologi dan biologi sehingga dapat dijadikan kandidat obat (lead compound) untuk di-uji aktivitasnya sehingga dapat diperoleh senyawa aktif namun dengan toksisitas minimal. Dalam

Page 3: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

2020 Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi: Y. Suryatinah et al.

65

farmasi modern metabolit sekunder merupakan sumber molekul obat. Pada kimia medisinal meta-bolit sekunder dipelajari dan diteliti untuk diguna-kan sebagai kandidat obat modern (Saifudin 2014).

Noorhidayah et al. (2006) menyatakan Kalimantan memiliki kawasan hutan dengan potensi tumbuhan obat dari berbagai macam habitus dan bagian tumbuhan yang dapat diman-faatkan sebagai obat. Potensi yang ada dapat mem-berikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, diperlukan upaya untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat menjadi ancaman bagi ke-lestarian tumbuhan obat, yaitu kelangkaan spesies, kerusakan habitat, dan eksploitasi yang berlebihan (Noorhidayah et al. 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menginventarisasi bebe-rapa tumbuhan obat lokal yang berpotensi sebagai antiinflamasi di lokasi tiga suku Dayak, yaitu Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit di Provinsi Kalimantan Selatan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Tawangmangu pada tahun 2015 dengan mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BALITBANGKES), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Nomor: LB.02.01/5.2/KE.318-/2015. Penelitian dilakukan dengan metode survei eksploratif dengan variabel bebas pengobat tradisional (battra) yang ada di setiap suku dan variabel tergantung yang ditetapkan yaitu ramuan obat tradisional, tumbuhan obat (TO) yang di-gunakan dalam ramuan inflamasi, serta kearifan lokal dalam pengelolaan pemanfaatan TO.

Responden dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian dalam penyembuhan dan mengobati penyakit dengan menggunakan tumbuhan obat dalam ramuannya yang diakui oleh komunitasnya. Responden disampling dengan metode purposive sampling berdasarkan informasi dari penghubung, yang meliputi: tokoh masyarakat, kepala suku, kepala

desa, kepala kampung, tokoh informal, dinas ke-sehatan, dan puskesmas, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara melalui pen-dekatan emik dan etik yang dilakukan dengan teknik terstruktur dan bebas.

Lokasi pengumpulan data pada beberapa suku Dayak di Kalimantan Selatan difokuskan untuk Dayak Pitap di Kecamatan Tebing Tinggi (Kabupaten Balangan), Dayak Harakit di Kecamatan Piani (Kabupaten Tapin), dan Dayak Deyah di Kecamatan Upau dan Kecamatan Muara Uya (Kabupaten Tabalong). Informasi yang diper-oleh pada penelitian ini, antara lain nama lokal tumbuhan, bagian yang digunakan, dosis atau takaran, kegunaan, dan cara penyiapan ramuan. Beberapa sampel tumbuhan juga dilakukan koleksi sebagai spesimen herbarium dan didokumentasikan di instalasi Herbarium Tawangmanguensis di B2P2TOOT. Spesimen herbarium dan dokumentasi tumbuhan obat berupa foto selanjutnya digunakan dalam proses identifikasi oleh para pakar botani dari berbagai institusi di Indonesia.

Analisis dilakukan dengan terlebih dahulu memilih kelengkapan data tumbuhan obat yang telah berhasil diidentifikasi nama spesiesnya oleh tim pakar botani, kemudian dilanjutkan dengan memilih data tumbuhan obat yang secara tunggal berkhasiat sebagai antiinflamasi berdasarkan nama penyakit dan gejala spesifik untuk dianalisis lebih lanjut melalui studi literatur terkait potensi dan kandungan senyawa bioaktif pada tumbuhan ter-sebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil eksplorasi keragaman tumbuhan obat yang dilanjutkan dengan identifikasi taksonomi dan karakterisasi potensi sebagai obat penyakit tertentu berdasarkan penelusuran studi pustaka diperoleh sebanyak sembilan belas spesies tumbuhan obat yang secara empiris digunakan dalam pengobatan inflamasi oleh masyarakat di tiga suku Dayak di Provinsi Kalimantan Selatan, khususnya Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit.

Tabel 1 menunjukkan sembilan belas spesies tumbuhan obat beserta hasil identifikasi nama ilmiah untuk masing-masing spesies tersebut. Ber-

Page 4: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 66

dasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa 19 spesies tumbuhan yang digunakan sebagai antiinflamasi terdiri atas 11 famili. Spesies yang paling banyak digunakan berasal dari famili Euphorbiaceae sebanyak 15,79% (3 spesies), sedangkan paling sedikit berasal dari Asparagaceae, Malvaceae,

Rubiaceae, dan Liliaceae masing-masing sebanyak 5,26%.

Tumbuhan anggota famili Euphorbiaceae banyak ditemukan karena memiliki sebaran luas di Indonesia dengan masa pembungaan dan pem-buahan yang terjadi sepanjang tahun

Tabel 1. Ragam spesies tumbuhan obat untuk pengobatan inflamasi secara tradisional di Provinsi Kalimantan Selatan.

No. Nama lokal Famili Nama ilmiah hasil identifikasi dan foto tumbuhan di lapangan

1 Penawar seribu Euphorbiaceae

Euphorbia tithymaloides L.

2 Kaminting Euphorbiaceae

Aleurites moluccanus (L.) Willd. 3 Kayu kusi* Fabaceae Koompassia excelsa (Becc.) Taub.

4 Sarai Gramineae

Cymbopogon citratus (DC.) Stapf.

5 Halinjuang habang Asparagaceae

Cordyline fruticosa (L.) A. Chev.

6 Hambawang Anacardiaceae

Mangifera foetida Lour. 7 Kacang panjang* Fabaceae Vigna unguiculata (L.) Walp. 8 Lombok* Solanaceae Capsicum sp.

9 Tengkutut asu Rutaceae

Murraya koenigii (L.) Spreng.

10 Sangkurukut Malvaceae

Triumfetta rhomboidea Jacq.

11 Terong pipit Solanaceae

Solanum torvum Sw.

12 Limau kuit Rutaceae

Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle

Page 5: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

2020 Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi: Y. Suryatinah et al.

67

(Djawarningsih 2012). Tumbuhan anggota famili tersebut mudah tumbuh sehingga dapat ditemukan di berbagai tempat (Sari et al. 2015). Rentang habitat yang luas mengakibatkan Euphorbiaceae mengalami stres lingkungan sehingga membentuk dan mengakumulasi berbagai komponen kimia sehingga memiliki berbagai potensi aktivitas bioaktif (Ahmad et al. 2011; Mwine dan van Damme 2011; Ahmad dan Blomquist (2004) dalam Mwine dan van Damme 2011).

Tabel 2 menunjukkan data lengkap terkait bagian tumbuhan yang digunakan, pemanfaatan, cara penyiapan, dan pemakaian masing-masing spesies untuk pengobatan tradisional inflamasi. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa bagian tumbuhan yang umum digunakan untuk mengobati inflamasi, antara lain kulit batang (4 spesies), daun/pucuk daun (6 spesies), akar (3 spesies), buah/pucuk buah (2 spesies), umbi (2 spesies), biji

(1 spesies), dan getah/eksudat (1 spesies). Mayoritas pengobat tradisional di tiga suku Dayak, Provinsi Kalimantan Selatan, memilih bagian daun sebagai bahan utama untuk pembuatan ramuan antiinflamasi. Salah satu alasan pemilihan bagian tumbuhan untuk bahan obat adalah kemudahan proses pengambilan dan pengolahannya. Daun tidak hanya memiliki kelebihan dalam proses panen dan pengolahan, tetapi juga memiliki sifat regenerasi yang tinggi sehingga memberikan keuntungan pada kelestarian tumbuhan tersebut. Bagian daun juga merupakan pusat metabolisme tumbuhan sehingga diperkirakan menjadi tempat akumulasi senyawa organik yang bersifat bioaktif dan berpotensi untuk pengobatan (Ahmad et al. 2014; Tounekti et al. 2019; Tugume dan Nyakoojo 2019).

Tabel 1. Lanjutan.

No. Nama lokal Famili Nama ilmiah hasil identifikasi dan foto tumbuhan di lapangan 13 Bubuta Euphorbiaceae

Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

14 Hantata Phyllanthaceae

Bridelia glauca Blume

15 Sungharus Rubiaceae

Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr.

16 Bakung Liliaceae

Lilium sp.

17 Tibaran Gramineae

Pennisetum purpureum Schumach.

18 Binjai Anacardiaceae

Mangifera caesia Jack.

19 Katuk* Euphorbiaceae Sauropus androgynus (L.) Merr.

Page 6: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 68

Tabel 2. Informasi kearifan lokal pengobatan menggunakan tumbuhan obat lokal sebagai antiinflamasi pada tiga suku Dayak di Provinsi Kalimantan Selatan.

No. Nama lokal Nama ilmiah Bagian tumbuhan yang digunakan Manfaat Pemakaian Cara penyiapan

1 Penawar seribu Euphorbia tithymaloides L. Getah batang

Saat disengat tawon/keracunan dengan gejala bengkak, merah, gatal pada bagian yang disengat

Bahan mentah/segar

Batang penawar seribu dipotong sehingga keluar getahnya. Getah dioleskan di bagian yang terkena sengatan secukupnya atau kurang lebih 5 tetes.

2 Kaminting Aleurites moluccanus (L.) Willd. Kulit batang

Obat sakit gigi, mulut/sariawan, dengan gejala bibir pecah dan gusi bengkak

Bahan mentah/segar

Kulit batang kaminting diambil sebanyak satu telapak tangan, bagian luar kulit batang dibuang dengan cara dikerik, sedangkan kulit bagian dalam dikunyah dan ampasnya dibuang

3 Kayu kusi Koompassia excelsa (Becc.) Taub. Kulit batang

Obat sakit gigi, mulut/sariawan, dengan gejala bibir pecah dan gusi bengkak

Bahan mentah/segar

Kulit batang kayu kusi diambil bagian dalamnya sekitar satu telapak tangan, dikerik kulit luarnya, dikunyah, ampasnya dibuang

4 Sarai Cymbopogon citratus (DC.) Stapf. Daun

Obat sakit gigi, mulut, sakit gigi dengan gusi bengkak, tapi tidak berlubang

Diolah dengan direbus

Tiga lembar daun serai direbus dengan air, didinginkan sampai suam-suam kuku, kemudian dikumur-kumur

5 Halinjuang habang Cordyline fruticosa (L.) A. Chev. Kulit batang

Obat sakit gigi, mulut/radang gusi, dengan gejala gusi bengkak dan sakit

Bahan mentah/segar

Kulit batang halinjuang habang dikikis sepanjang kurang lebih 5 cm, ditambah sejumput garam, dioleskan di tempat yang sakit

6 Hambawang Mangifera foetida Lour. Kulit batang Obat sakit gigi dan mulut Diolah dengan direbus

Kulit batang hambawang dipotong kurang lebih setelapak tangan, direbus, kemudian dikumur-kumur/dikulum sekitar 10 menit, lalu dibuang. Diulangi lagi bila masih terasa sakit.

7 Kacang panjang Vigna unguiculata (L.) Walp.

Pucuk kacang panjang

Obat sakit kulit/bisul dengan gejala benjol, nyeri, dan peradangan pada kulit

Bahan mentah/segar

Pucuk kacang panjang sebanyak 3 lembar diremas dengan 3 tetes minyak goreng sampai tercampur, kemudian dioleskan pada bisul

8 Lombok Capsicum sp. Pucuk daun Obat sakit kulit/bisul dengan gejala benjol dan nyeri akibat peradangan pada kulit

Bahan mentah/segar

Tiga lembar pucuk daun lombok diremas dengan sejumput kapur, dan ditempelkan pada bisul

9 Tengkutut asu Murraya koenigii (L.) Spreng. Akar

Obat sakit gigi, mulut, dengan gejala gigi nyeri, berlubang, dan gusi bengkak

Bahan mentah/segar

Akar tengkutut asu dibersihkan, kemudian dihaluskan, lalu ditempelkan ke dalam gigi atau gigi yang berlubang

10 Sangkurukut Triumfetta rhomboidea Jacq. Akar

Obat sakit gigi, mulut, dengan gejala gigi berlubang, nyeri pada gigi, sakit kepala, dan pipi bengkak

Diolah dengan direndam

Akar sangkurukut dibersihkan, kemudian direndam dalam air hangat, lalu langsung di kumur-kumur

11 Terong pipit Solanum torvum Sw. Akar

Obat asam urat/rematik dengan gejala nyeri sendi pada bagian kaki disertai pembengkakan

Diolah dengan direndam

Akar terong pipit dibersihkan, kemudian direndam di air hangat, kemudian airnya diminum

12 Limau kuit Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle Buah

Obat asam urat/rematik dengan gejala nyeri sendi dan bengkak

Bahan mentah/segar

Buah dari limau kuit dibelah, kemudian diperas dapat dicampur dengan air. Air tersebut yang diminum.

13 Bubuta Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg. Daun

Obat asam urat/rematik dengan gejala nyeri dan bengkak pada persendian

Bahan mentah/segar

Daun bubuta dibersihkan, kemudian dihaluskan ditambah dengan minyak, kemudian dioleskan ke sendi

14 Hantata Bridelia glauca Blume Daun Obat sakit kulit atau bisul Bahan mentah/segar

Daun hantata ditumbuk, kemudian dicampur dengan minyak. Minyaknya diambil kemudian dioleskan ke bagian yang mengalami bisul.

15 Sungharus Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr. Daun

Obat bisul/bengkak dengan gejala benjolan pada tubuh disertai nyeri, biasanya karena benturan

Bahan mentah/segar

Dua lembar daun sungharus diambil, dibersihkan, dan digerus. Setelah itu, dioleskan pada daerah yang bengkak.

16 Bakung Lilium sp. Umbi

Obat bengkak dengan gejala pembesaran pada tubuh yang biasanya merah dan nyeri, dapat disebabkan benturan

Bahan mentah/segar

Satu buah umbi bakung diambil, dibersihkan, dan dikupas kulit umbi, dipotong-potong, dihancurkan lalu ditempelkan pada daerah yang bengkak

17 Tibaran Pennisetum purpureum Schumach. Umbi

Obat bengkak dengan gejala bengkak pada tubuh berisi cairan, tidak nyeri, dan bukan karena trauma

Diolah dengan dibakar dan direndam

Satu buah umbi tibaran diambil, dibersihkan, dan dibakar di atas api. Setelah itu, hasil bakaran direndam dengan air sebanyak satu gelas, lalu diminumkan. Ramuan dapat diulang setiap hari satu kali sampai bengkak hilang.

18 Binjai Mangifera caesia Jack. Biji Obat bengkak dengan gejala benjolan pada tubuh yang disertai nyeri dan merah

Diolah dengan dibakar dan direndam

Satu buah biji binjai diambil, lalu dibakar sampai menjadi arang. Kemudian ditambah air bersih kira-kira 10 mm, kemudian dioleskan pada bagian yang bengkak.

19 Katuk Sauropus androgynus (L.) Merr. Daun Obat bengkak dengan gejala

benjolan pada tubuh dan nyeri Bahan mentah/segar

Dua lembar daun katuk diambil dan diremas-remas sambil diputar dengan tangan. Sedikit garam ditambahkan, lalu ditempelkan pada daerah yang bengkak. Selain ditempelkan, hasil remasan tersebut dapat mengeluarkan cairan yang dapat diteteskan pada daerah yang bengkak.

Sumber: Data Primer Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) tahun 2015.

Page 7: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

2020 Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi: Y. Suryatinah et al.

69

Pemanfaatan tumbuhan sebagai antiinflamasi empiris yang digunakan oleh masyarakat di bebe-rapa suku Dayak, Provinsi Kalimantan Selatan, terdiri atas empat macam pengolahan, di antaranya dalam kondisi segar/mentah (13 spesies), direbus (2 spesies), direndam (2 spesies), dan dibakar ke-mudian direndam (2 spesies) (Tabel 2). Informasi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan tumbuh-an obat dalam kondisi segar atau mentah cenderung lebih diminati oleh masyarakat lokal, yaitu se-banyak 68,42%. Fakta tersebut memberikan infor-masi bahwa pengetahuan pengobatan tradisional masyarakat lebih meyakini bahwa khasiat tum-buhan segar untuk pengobatan lebih efektif di-bandingkan setelah melalui tahapan pengolahan lain. Penelitian eksplorasi etnobotani lain meng-ungkapkan hal yang sama bahwa ketergantungan pengobatan tradisional berbasis tumbuhan dalam kondisi segar lebih tinggi daripada bahan yang telah melalui pengeringan ataupun pengolahan lain. Mayoritas masyarakat lokal percaya bahwa bahan segar belum mengalami perubahan terhadap kandungan komponen aktif sehingga memiliki efektifitas yang lebih tinggi (Tsobou et al. 2016; Jima dan Megersa 2018).

Penelusuran referensi terhadap 19 spesies tumbuhan obat terkait deskripsi tumbuhan, man-faat, dan senyawa metabolit sekunder untuk men-dukung data hasil eksplorasi dilakukan dengan studi pustaka.

1. Euphorbia tithymaloides L.

Tumbuhan ini berupa semak yang berukuran 1,2–1,8 m dengan cabang sukulen yang berbentuk zig zag (Blanco et al. 2012). E. tithymaloides L. yang memiliki sinonim Pedilanthus tithymaloides L. termasuk dalam famili Euphorbiaceae. Tum-buhan ini ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Penelitian menunjukkan bahwa tumbuhan ini telah digunakan secara luas dalam dunia pengobatan, di antaranya sebagai antiinflamasi, antibiotik, antisep-tik, antihaemorhagik, antivirus, dan antitumor. Beberapa senyawa bioaktif yang memegang peran-an dalam bidang medis, antara lain sikloartenol, dammaronol A, dotriakontan-1-ol, friedelanol, hetriakontan-1-ol, dan sitosterol. Getah biasanya mengandung euforbin, cerin, mirisin, resin, dan

minyak lemak. Satu senyawa yang diketahui me-miliki aktivitas sebagai antiinflamasi adalah pedilanthain, suatu protease dan berhasil diisolasi dari getahnya (Dhar et al. 1988; Adzu et al. 2008; Vardhana 2008; Nalini et al. 2016).

2. Aleurites moluccanus (L.) Willd.

Tumbuhan ini berupa pohon dengan tinggi hingga 20 m dan diameter hingga 0,9 m. Batang berwarna cokelat abu-abu dengan garis vertikal halus. Daun berwarna hijau dengan panjang 10–20 cm dengan tepi bergelombang. Pada tumbuhan muda daun berbentuk delta hingga bulat telur, permukaan atas berwarna keperakan halus, dan menjadi hijau gelap ketika semakin tua. Bunga beraroma wangi, terdiri atas bunga jantan dan betina berwarna putih kehijauan dalam satu pohon. Buah berwarna hijau hingga kecokelatan, berben-tuk oval dengan 2–3 biji berwarna hitam dan keras (Krisnawati et al. 2011).

Cesca et al. (2012) mengungkapkan bahwa A. moluccanus (L.) Wild. telah umum digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai penghilang nyeri, demam, inflamasi, asma, hepatitis, sakit ke-pala, usus buntu, gangguan kulit, dan sebagainya. Kandungan senyawa bioaktif yang berhasil di-isolasi dari tumbuhan ini adalah moluccanin, moretenone, moretenol, alfa-amirin, betasitosterol, alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, polifenol, lipid, dan protein. Bagian kulit batang dari A. moluccanus (L.) Wild. diketahui memiliki aktivitas antimikroba dan umumnya digunakan untuk obat luka (Prasad et al. 2011; Cesca et al. 2012; Alimboyoguen et al. 2014; Windyasawari et al. 2015).

3. Koompassia excelsa (Becc.) Taub.

Tumbuhan berupa pohon besar dengan tinggi mencapai 88 m. Kulit batang berwarna abu-abu dengan semburat hijau. Daun berwarna hijau dengan panjang 6–7,5 cm, dengan bulu-bulu tipis pada permukaan atas (Soepadmo dan Wong 2007). Komponen fitokimia pada K. excelsa (Becc.) Taub. terdiri atas flavonoid dan fenol (Nga et al. 2014). Antioksidan tinggi pada tumbuhan ini dapat men-cegah infeksi, mengobati luka bakar, bisul, dan

Page 8: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 70

borok, serta mengobati penyakit diabetes, bahkan mampu mematikan sel kanker (Muslim dan Suryanto 2016). Tumbuhan K. excelsa (Becc.) Taub. tersebar di Sumatra dan Kalimantan. Selain sebagai pohon inang penghasil madu, tumbuhan ini juga dikenal sebagai antibakteri (Rayan 2009).

4. Cymbopogon citratus (DC.) Stapf.

Tumbuhan berupa semak tidak berkayu, beruas pendek dengan tinggi 50–100 cm. Daun tunggal berbentuk lanset, tepi rata dengan panjang 25–75 cm dan lebar 0,5–1,5 cm (Departemen Kesehatan 2000). Komposisi kimia C. citratus terdiri atas saponin, tanin, antrakuinon, flavonoid, fenol, alkaloid, terpena, aldehida, dan ester. Komponen lain yang terdeteksi yaitu mirsen, geranial, geraniol, limonen, burneol, sitronellol, nerol, α-terpineol, elemisin, katekol, luteolin, 6-C and 7-C-glikosida, asam kafeat, apigenin, kaempferol, kuersetin, asam klorogenat, and geranil asetat. Fumesol, furfurol, isopulegol, aldehida isovalerik, L-linalool, metilheptenon, n-decyclic aldehyde, nerol, terpineon, asam p-kumarat, dan ester valerik. Tumbuhan ini me-miliki daun berwarna hijau berbentuk ramping yang panjang (Ekpenyong et al. 2015).

5. Cordyline fruticosa (L.) A. Chev.

Tumbuhan ini berupa perdu, berwarna putih, keras, dengan tinggi mencapai 10 m. Daun tunggal, berwarna hijau, menempel pada batang, bagian pangkal dan ujung runcing dengan tepi rata. Panjang daun 20–60 cm, lebar 10–13 cm dan pe-lepah berukuran 5–10 cm (Departemen Kesehatan 2000).

Salah satu sinonim dari C. fruticosa (L.) A. Chev. adalah C. terminalis (L.) Kunth. Tumbuhan ini umumnya digunakan sebagai antipertik, analgesik, antibakteri infeksi paru-paru, gangguan menstruasi, dan disentri. Komponen utama yang terdapat dalam C. fruticosa (L.) A. Chev. adalah golongan flavonol, flavon, flavanon, flavanol, antosianin, dan isoflavon. Beberapa senyawa lain yang juga terdapat pada daun C. fruticosa yaitu ferrol, quercetin helichrysoside, apigenin 8-C-β-D-glukopiranosida, isokuersesitrin, dan rutin.

C. fruticosa (L.) A. Chev. merupakan tumbuhan monokotil dengan dengan penebalan pada bagian batang dan rhizoma (Lense 2012; Fouedjou et al. 2016; Reddy et al. 2016).

6. Mangifera foetida Lour.

Tumbuhan berupa pohon tegak berkayu, ber-warna hijau kecokelatan dengan tinggi mencapai 20 m. Daun tunggal berseling, berwarna hijau, bentuk daun lonjong dengan tepi rata dan pangkal meruncing. Panjang daun 16–30 cm dan lebar 5–8 cm (Departemen Kesehatan 1994).

Penelitian mengungkapkan bahwa M. foetida Lour. memiliki aktivitas antidiabetik, antioksidan, antivirus, kardiotonik, hipotensi, dan antiinflamasi. Di samping itu, beberapa penelitian lain juga menginformasikan bahwa tumbuhan tersebut memiliki sifat sebagai antibakteri, antijamur, antelmintik, antiparasit, antitumor, anti-HIV, antipiretik, antialergi, imunomodulator, antimikroba, dan sebagainya (Shah et al. 2010). Kulit batangnya diketahui memiliki kandungan asam protokatekin, katekin, mangiferin, alanin, glisin, asam -amnionutirat, asam kinik, asam sikimat, indikosid A dan B, manghopanal, mangoleanon, friedelin, mangsterol, manglupenon, mangokumarin, dan sebagainya. Mangostin dalam kulit batang berhasil diisolasi bersama senyawa golongan flavonoid lainnya. Buah pada tumbuhan ini mengandung asam fenol utama antara lain asam galat, asam protokatekin, dan asam vanili (Shah et al. 2010; Khoo et al. 2016).

7. Vigna unguiculata (L.) Walp.

Tumbuhan ini memiliki batang tumbuhan berongga dan tidak berbulu dengan panjang 10 cm dan lebar 8 cm. Daun berbentuk bulat telur dan tidak berbulu. Bunga berrwarna ungu atau putih dan berbentuk lonceng. Biji berbentuk ginjal dengan 6–13 biji per polong (Sheahan 2012). V. unguiculata mengandung senyawa fenol berupa ester protokatekat (protocathecuic), serta fenolik lain di antaranya tanin, asam ferulat, dan asam p-kumarat (Haliza et al. 2007). Kandungan polifenol dalam V. unguiculata (L.) Walp. memegang peranan sebagai antiinflamasi,

Page 9: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

2020 Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi: Y. Suryatinah et al.

71

imunoregulator, dan antioksidan. Di samping polifenol, terdapat senyawa lain yang turut ber-peran, yaitu fenol dan tanin (Siska 2013).

8. Capsicum sp.

Tumbuhan ini berupa perdu, berwarna hijau, berbuku-buku dengan tinggi tumbuhan 1–1,5 m. Daun berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan ujung dan pangkal meruncing. Panjang daun 5–20 cm, dan lebar 2–5 cm (Departemen Kesehatan 2000). Genus Capsicum sp. terdiri atas lebih dari 200 varietas dan buahnya memiliki berbagai variasi dalam ukuran, bentuk, dan rasa. Capsicum sp. me-miliki beragam kandungan senyawa bioaktif dengan khasiat antioksidan, di antaranya karotenoid, capsaiconoid, dan senyawa fenolik khususnya flavonoid, kuersetin, dan luteolin. Kapsaisin merupakan senyawa penyusun utama yang memiliki aroma yang menyengat, termasuk dalam golongan alkaloid lipofilik dan dikenal me-miliki aktivitas analgesik dan antiinflamasi (Zimmer et al. 2012).

9. Murraya koenigii (L.) Spreng.

Tumbuhan ini berupa perdu, permukaan berbulu dengan tinggi 4,5–6 m. Daun majemuk menyirip dengan helaian hijau berbentuk elips, tepi bergerigi dan ujung meruncing. Ukuran helaian daun berukuran panjang 1,5–6,5 cm dan lebar 1–3 cm. Akar bertipe tunggang (Departemen Kesehatan 2006).

Kandungan kimia yang terkandung pada M. koenigii (L.) Spreng. adalah alkaloid karbazol me-rupakan komponen utama tumbuhan ini. Kandung-an kimia lain meliputi pinena, karen, sabinen, kariofilen, kadinol, dan kadinen. Bagian akar M. koenigii (L.) Spreng. dalam berbagai jenis fraksi diketahui mengandung alkaloid, flavonoid, karbohidrat, sterol, dan asam amino (Vermaa et al. 2013). Sindhu dan Sandeep (2014) juga mengung-kapkan bahwa ekstrak kloroform akar M. koenigii (L.) Spreng. berpotensi sebagai antiinflamasi.

10. Triumfetta rhomboidea Jacq.

Tumbuhan ini berupa semak kecil bercabang. Daun berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan duduk daun berseling. Bunga berukuran kecil, berwarna kuning, dan berkelompok. Buah berduri berbentuk kait dan dengan diameter 0,5 cm (Motooka et al. 2003).

T. rhomboidea Jacq. umumnya digunakan untuk mengobati penyakit infeksi, luka pada bagian perut, dan sebagai agen antiinflamasi. Bagian akar biasanya digunakan sebagai afrodisiak, disentri, diuretik, luka lambung, dan antibakteri. Kandungan metabolit sekunder T. rhomboidea Jacq. di antara-nya glikosida karbohidrat, fitosterol, steroid, flavonoid, tanin, senyawa fenolik, dan triterpenoid (Devmurari et al. 2010; Joy et al. 2011; Estella et al. 2017).

11. Solanum torvum Sw.

Tumbuhan ini berupa semak. Daun berben-tuk oval, bagian pangkal seperti jantung atau mem-bulat, dengan ukuran 5,5–30 cm. Bunga memiliki tangkai pendek, bercabang dengan banyak bunga, mahkota berwarna putih dan pada bagian dalam berwarna kuning (Backer dan van den Brink 1965a).

S. torvum Sw. umumnya digunakan sebagai antioksidan, antiinflamasi, antivirus, dan anti-mikroba. Khusus bagian batang dan akar memiliki aktivitas antitumor, antibakteri, antivirus, dan antiinflamasi. Beberapa kandungan senyawa meta-bolit sekunder dalam tumbuhan ini antara lain alkaloid, saponin, sapogenin, flavonoid, dan glikosida (Yousaf et al. 2013; Varghese et al. 2017).

12. Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle

Tumbuhan ini berupa semak dengan batang yang kuat dan dahan berduri. Daun majemuk menyirip berdaun satu dengan duduk daun tersebar. Daun berbentuk bulat telur, tepi beringgit dengan panjang helaian 2,5–9 cm dan lebar 1,5–5,5 cm (Kementerian Kesehatan RI 2011).

C. aurantifolia (Christm.) Swingle telah umum digunakan sebagai antibakteri, antikanker,

Page 10: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 72

antidiabetes, antijamur, antihipertensi, antiinflamasi, antilipidemia, dan antioksidan (Narang dan Wannee 2016). Kandungan kimia yang terkandung dalam bunga dan tunas yaitu asam amino: asam L-aspartat, L-leusin, L-treonin, dan L-triptofan. Buah mengandung asam askorbat, fruktosa, glukosa, sukrosa, pektin, y-aminobutirat, dan asam 9, 16-dihidroksi-10-oksoheksadekanoat, asam jasmonat, dan metilester yang terdiri atas eriodiktiol, hesperetin 7-rutinosida dan naringenin. Biji mengandung 6,7-dimetoksikumarin dan tengeretin. Daun mengandung bergapten, sitropen, krisoeriol-7-rutinosida, eriositrin, isopimpinelin, limetin, asam deoksirionukleat, dan pati. Minyak atsiri pada daun jeruk yaitu sitronela, sitronelol, geranial, geranil asetat, isopulegol, limonen, linalool, mirsen, nerol dan asetat, osimen, dan metilhentenon. Kulit batang mengandung 1,3-β-glukon sintase dan xantiletin. Buah jeruk nipis digunakan secara tradisional untuk mengobati sariawan, batuk, jerawat, dan demam. Daun jeruk digunakan untuk obat gatal dan penyegar badan (Kementerian Kesehatan RI 2011).

13. Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg.

Tumbuhan ini berupa pohon berukuran sedang dengan tinggi 3–10 m. Daun berwarna hijau, lebar dengan ukuran 5,5–27 cm. Ketika masih muda daun berambut halus. Bunga berwarna hijau kekuningan. Buah berwarna ungu kekuning-an, berbentuk bulat, dan berpasangan (Backer dan van den Brink 1965b).

Ragasa dan de Jesus (2014) mengungkapkan bahwa daun M. tanarius (L.) Müll. Arg. telah ba-nyak digunakan sebagai antiinflamasi, di mana se-nyawa yang berperan aktif adalah tanarifuranonol, tanariflavanon C, dan tanariflavanon D yang diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Phommart et al. 2005; Ragasa dan de Jesus 2014).

14. Bridelia glauca Blume

Daun berbentuk bulat telur memanjang, ujung daun tumpul, atau bundar. Bunga berwarna kuning-hijau (Backer dan van den Brink 1965a). Tumbuhan B. glauca Blume di dunia pengobatan

diketahui memiliki aktivitas antiamebik, antianemia, antibakteri, antidiabetik, antidiare, antiinflamasi, antimalaria, antivirus, hipoglikemia, mengobati sakit perut, dan penyakit kelamin. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam daun di antaranya bridelionosida dan brideliosida (Ngueyem et al. 2009).

15. Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr.

Daun tumbuhan ini berbentuk elips hingga lanset. Bunga berwarna putih dengan tabung mahkota. Buah berwarna kuning-cokelat dengan ukuran 7–8 mm (Backer dan van den Brink 1965a). Salah satu manfaat tumbuhan ini adalah sebagai obat luka (Silalahi et al. 2019).

16. Lilium sp.

Tumbuhan ini berupa herba dengan batang yang tumbuh tegak. Daun terdapat sepanjang batang, tersusun spiral. Bunga terletak pada ujung batang atau bagian yang lebih rendah (Backer dan van den Brink 1965a). Wang et al. (2015) meng-ungkapkan bahwa umbi tumbuhan bergenus Lilium sp. memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, dan sedatif. Adapun senyawa bioaktif yang berpe-ran pada sifat antioksidan adalah asam fenolat dan flavonoid, sedangkan antiinflamasi dan sedatif adalah saponin (Wang et al. 2015).

17. Pennisetum purpureum Schumach.

Tumbuhan ini berupa rumput perennial dengan tinggi hampir 4 m. Batang tumbuhan ber-cabang dan terdapat buku-buku berwarna kebiruan. Daun berbentuk lonjong, berwarna hijau kebiruan dengan panjang 1 m dan lebar 3 cm (Langeland et al. 2008).

P. purpureum Schumach. diketahui memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tanin, dan fenol. Senyawa yang termasuk flavonoid, antara lain antosianin, kaempferol, rutin, katekin, tanin, lunamarin sebagai alkaloid, dan fenol. Golongan senyawa flavonoid memiliki sifat biokimia dan farmakologi yang luas dalam suatu sistem biologis, seperti antiinflamasi, antioksidan, antialergik, antivirus, antikarsinogenik, dan hepatoprotektor (Brantley et al. 2015).

Page 11: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

2020 Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi: Y. Suryatinah et al.

73

18. Mangifera caesia Jack.

M. caesia Jack. merupakan tumbuhan ber-bentuk pohon, tinggi 20–40 m, kulit batang ber-warna abu-abu, daun oval, tulang daun menyirip, panjang daun 22–31 cm, lebar daun 7–10 cm, ujung daun meruncing, dan tepi rata. Bunga ber-warna ungu tua, bagian tepi berwarna putih, dan berukuran kecil dengan karangan bunga berbentuk malai. Buah berbentuk oval, panjang 12–19 cm, diameter 6–10 cm, kulit berwarna cokelat muda agak kekuningan, daging buah berwama kuning kotor, dan aroma buah khas menyengat. Biji besar dengan bentuk bulat memanjang (Asikin 2014).

M. caesia Jack. berasal dari famili Anacardiaceae dan genus Mangifera yang akar dan batangnya terbukti mengandung metabolit sekun-der berupa flavonoid. Flavonoid adalah salah satu metabolit yang mempunyai efek antioksidan, antibakteri, dan antiinflamasi (Adham et al. 2019).

19. Sauropus androgynus (L.) Merr.

Tumbuhan ini berupa semak kecil dengan tinggi sampai dengan 3 m. Batang yang muda berwarna hijau sedangkan yang tua berwarna cokelat. Batang memiliki alur-alur dengan kulit yang agak licin. Daun menyusun selang seling pada satu tangkai, seolah-olah terdiri atas daun majemuk, padahal sesungguhnya daun tunggal dengan jumlah daun per cabang 11–21 helai, ben-tuk helaian daun lonjong sampai bundar (Santoso 2014).

Daun S. androgynus (L.) Merr. diketahui memiliki kandungan mengandung saponin, flavonoid, dan tanin pada bagian daun flavonoid. Flavonoid berperan dalam berbagai aktivitas di dalam tubuh seperti sebagai antioksidan, antiradang, antiplatelet, antitrombotik, dan antialergi (Santoso 2014).

Berdasarkan kajian pustaka diketahui bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut telah dilakukan penelitian sebelumnya terkait fungsinya sebagai antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi yang dimiliki oleh tumbuhan obat tersebut tidak terlepas dari kandungan senyawa bioaktif tertentu. Adapun senyawa-senyawa yang berperan sebagai antiinflamasi pada tumbuhan-tumbuhan tersebut

dapat digolongkan ke dalam golongan flavonoid, saponin, senyawa fenolik, tanin, alkaloid, dan terpenoid. Metabolit sekunder flavonoid diduga memiliki fungsi sebagai antiinflamasi (Ramadhani dan Sumiwi 2016). Mekanisme flavonoid sebagai antiinflamasi dalam bidang kedokteran gigi karena mampu memodulasi aktivitas enzim dan mempe-ngaruhi berbagai sistem sel. Beberapa mekanisme aktivitas antiinflamasi yang melibatkan flavonoid di antaranya melalui penghambatan biosintesis prostanoid, penghambatan pelepasan histamin, penghambatan kerja fosfodiesterase, penghambatan kerja protein kinase, dan aktivasi proses transkripsi (Sabir 2003; Rathee et al. 2009).

KESIMPULAN

Riset ekplorasi terhadap ragam tumbuhan yang berpotensi sebagai antiinflamasi berdasarkan bukti empiris di tiga suku Dayak, Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu Dayak Pitap, Dayak Deyah, dan Dayak Harakit berhasil mengumpulkan informasi sebanyak sembilan belas spesies tumbuhan obat, yaitu Euphorbia tithymaloides L., Aleurites moluccanus (L.) Willd., Koompassia excelsa (Becc.) Taub., Cymbopogon citratus (DC.) Stapf., Cordyline fruticosa (L.) A. Chev., Mangifera foetida Lour., Vigna unguiculata (L.) Walp., Capsicum sp., Murraya koenigii (L.) Spreng., Citrus aurantiifolia (Christm.) Swingle, Myristica fragrans Houtt., Lilium sp., Triumfetta rhomboidea Jacq., Solanum torvum Sw., Macaranga tanarius (L.) Müll. Arg., Bridelia glauca Blume, Neonauclea calycina (Bartl. ex DC.) Merr., Pennisetum purpureum Schumach., Mangifera caesia Jack., dan Sauropus androgynus (L.) Merr.

Mayoritas spesies tersebut termasuk dalam famili Euphorbiaceae dengan persentase 15,79%. Bagian tumbuhan yang umum digunakan sebagai bahan pengobatan adalah daun dan sebagian besar digunakan secara langsung tanpa pengolahan atau segar. Studi literatur menunjukkan bahwa ragam tumbuhan tersebut diketahui masing-masing memiliki kandungan senyawa bioaktif yang ber-tanggung jawab pada aktivitas antiinflamasi.

Page 12: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 74

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada battra selaku responden yang telah membagi infor-masi terkait pengetahuan pengobatan tradisional dalam riset ini, tim Riset Tanaman Obat dan Obat Tradisional (RISTOJA) yang telah mengumpulkan data di lokasi riset, para ahli botani dari berbagai institusi yang membantu proses identifikasi tum-buhan, dan Laboratorium Manajemen Data BALITBANGKES yang membantu pengelolaan data. Kepala BALITBANGKES yang telah meng-ijinkan penggunaan data tersebut, Kepala B2P2TOOT yang membantu kelancaran pelaksana-an riset tersebut dan Kepala Balai LITBANGKES Tanah Bumbu yang memberikan kemudahan dalam penulisan publikasi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adham, D., Taufiqurrahman, I. & Helmi, Z.N. (2019) Flavonoid level analysis of binjai leaf extract (Mangifera caesia) in ethanol, methanol, and N hexane solvents. Dentino, 4 (1), 46–49.

Adzu, B., Adamu, M., Zakariya, S.T., Auta, I.K. & Katsayal, U.A. (2008) Assesing the potency of pedilanthus tithymaloides latex againts Plasmodium berghei infected mice. International Journal of Biological and Chemical Sciences, 2 (2), 216–219. doi: 10.4314/ijbcs.v2i2.39742.

Ahmad, I., Aqil, F. & Owais, M. (eds.) (2011) Modern phytomedicine: Turning medicinal plants into drugs. New York, Wiley-VCH.

Ahmad, M., Sultana, S., Fazl-i-Hadi, S., Ben Hadda, T., Rashid, S., Zafar. M., Khan, M.A., Khan, M.P.Z. & Yaseen, G. (2014) An ethnobotanical study of medicinal plants in high mountainous region of Chail valley (District Swat-Pakistan). Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine, 10 (36), 1–18. doi: 10.1186/1746-4269-10-36.

Alimboyoguen, A.B., De Castro-Cruz, K.A., Shen, C.C., Li, W.T. & Ragasa, C.Y. (2014) Chemical constituents of the bark of Aleurites moluccanus (L.) Willd. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research, 6 (5), 1318–1320.

Asikin, S. (2014) Keanekaragaman tumbuhan hutan rawa dan pemanfaatannya sebagai pestisida nabati. Dalam: Mukhlis, Noor, M., Alwi, M., Thamrin, M., Nursyamsi, D. & Haryono (editor) Biodiversiti Rawa. Banjarbaru, IARRD Press, hlm. 124–145.

Backer, C.A. & van den Brink, R.C.B. (1965a) Flora of Java. Volume 2 Part 2. Netherland, Noordhoff Press.

Backer, C.A. & van den Brink, R.C.B. (1965b) Flora of Java. Volume 1 Part 2. Netherland, Noordhoff. Press.

Blanco, T., Galetto, L. & Machado, I. (2012) Nectar regulation in Euphorbia tithymaloides L., a hummingbird-pollinated Euphorbiaceae. Plant Biology, 15 (5), 910–918. doi: 10.1111/j.1438-8677.2012.00695.x.

Brantley, A., Akaninwor, J. & Amadi, B. (2015) Phytochemical composition and antidiabetic properties of aqueous stem extract of Pennisetum purpureum on alloxan–Induced diabetic wistar-albino rats. Journal of Pharmacy and Pharmacology, 3 (6), 72–79.

Cesca, T.G., Faqueti, L.G., Rocha, L.W., Meira, N.A., Meyre-Silva, C., de Souza, M.M., Quintã, N.L.M., Silva, R.M.L., Filho, V.C. & Bresoliln, T.M.B. (2012) Antinociceptive, antiinflammatory and wound healing features in animal models treated with a semisolid herbal medicine based on Aleurites moluccanus (L.) Willd. Euforbiaceae leaf extract: semisolid herbal. Journal of Ethnopharmacology, 143, 355–362. doi: 10.1016/j.jep.2012.06.051.

Departemen Kesehatan (1994) Inventaris tanaman obat Indonesia III. Jakarta, Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan (2000) Inventaris tanaman obat Indonesia I Jilid 1. Jakarta, Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan (2006) Inventaris tanaman obat Indonesia (IV). Jakarta, Departemen Kesehatan RI.

Devmurari, V., Ghodasara, T. & Jivani, N. (2010) Antibacterial activity and phytochemical study of ethanolic extract of Triumfetta rhomboidea Jacq. International Journal of PharmTech Research, 2 (2), 1182–1186.

Dhar, S., Ray, S.M., Roy, A. & Dutta, S.K. (1988) Oral anti-inflammatory activity of pedilanthain: A new proteolytic enzyme from Pedilanthus tithymaloides. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences, 50 (5), 281–283.

Djawarningsih (2012) Jenis-jenis Euphorbiaceae (jarak-jarakan) yang berpotensi sebagai obat tradisional. Bogor, Herbarium Bogoriense (LIPI).

Ekpenyong, C., Akpan, E. & Nyoh, A. (2015) Ethnopharmacology, phytochemistry, and biological activities of Cymbopogon citratus (DC.) Stapf extracts. Journal of Natural Medicines, 13 (5), 321–337.

Estella, T.F., Charles, F., Gary, H., Barkwan, S., Bathelemy, N., Marthe, T., Tomkins, P., Nwabo Herve, K.A. & Bonaventure, N. (2017) Evaluation of the cytotoxicity of two Cameroonian herbal plants of genus Triumfetta rhomboidea and Dorstenia elliptica using the MTT and neutral red assays.

Page 13: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

2020 Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal Berpotensi: Y. Suryatinah et al.

75

Journal of Diseases and Medicinal Plants, 3 (6), 97–103. doi: 10.11648/j.jdmp.20170306.11.

Fouedjou, R., Nguelefack-Mbuyo, E. & Ponou, B. (2016) Antioxidant activities and chemical contituents of extraxts from Cordiline fruticosa (L.) A. Chev. (Agavaceae) and Eriobotrya japonica (Thunb) Lindl, (Rosaceae). Pharmacologia, 7 (2–3), 102–113. doi: 10.5567/pharmacologia.2016.103.113.

Haliza, W., Puerwani, E. & Thahir, R. (2007) Pemanfaatan kacang-kacangan lokal sebagai substitusi bahan baku tempe dan tahu. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian, 3, 1–8.

Hidayat, S. (2005) Ramuan tradisional ala 12 etnis Indonesia. Jakarta, Penerbit Penebar Swadaya.

Jima, T.T. & Megersa, M. (2018) Ethnobotanical study of medicinal plants used to treat human diseases in Berbere District, Bale Zone of Oromia Regional State, South East Ethiopia. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 2018, 1–16. doi: 10.1155/2018/8602945.

Joy, J.M., Madhavan, V., Murali, A., Yoganarasimhan, S.N. & Saravanakumar, A. (2011) Diuretic activity of the roots of Triumfetta rhomboidea Jacq. Asian Journal of Pharmaceutical Science & Technology, 1 (2), 33–37.

Kar, A. (2009) Farmakognosi dan farmakobioteknologi. Volume 1, Edisi 2. Jakarta, EGC.

Karch, A. (2011) Buku ajar farmakologi keperawatan. Edisi 2. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kementerian Kesehatan RI (2011) Vademekum tumbuhan obat untuk saintifikasi jamu. Jilid 3. Jakarta, Kementerian Kesehatan RI.

Khoo, H., Azlan, A., Kong, K.W. & Ismail, A. (2016) Phytochemicals and medicinal properties of indigenous tropical fruits with potential for commercial development. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, Article ID 7591951, 1–20. doi: 10.1155/2016/7591951.

Krisnawati, H., Kallio, M. & Kanninen, M. (2011) Aleurites moluccana (L.) Willd. ecology, silviculture and productivity. Bogor, CIFOR.

Langeland, K.A., Cherry, H.M., McCormick, C.M. & Burks, K.A.C. (2008) Identification and biology of non-native plants in Florida’s natural areas. Second edition. Gainesville (Florida-USA), University of Florida IFAS Extension.

Lense, O. (2012) The wild plants used as traditional medicines by indigenous people of Manokwari, West Papua. Biodiversitas, 13 (2), 98–106.

Motooka, P., Castro, L., Nelson, D., Nagai, G. & Ching, L. (2003) Weeds of Hawaii’s pastures and natural areas: An identification and management guide. Manoa, College of Tropical Agriculture and Human Resources (University of Hawaii).

Mursito, B. (2011) Sehat di usia lanjut dengan ramuan tradisional. Jakarta, Penebar Swadaya.

Muslim, T. & Suryanto (2016) Vegetasi penyusun habitat bangeris (Koompassia excelsa) di kawasan Hutan Lindung Gunung Lumut, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 2 (2), 193–197. doi: 10.13057/psnmbi/m020213.

Mwine, J.T. & van Damme, P. (2011) Why do Euphorbiaceae tick as medicinal plants? A review of Euphorbiaceae family and its medicinal features. Journal of Medicinal Plants Research, 5 (5), 652–662.

Nalini, M. Sumathi, P., Lena, M. & Sundaravadivelan, C. (2016) Analysis of phytochemical constituents of Euphorbia tithymaloides and Artemisia nilagirica (C.B. Clarke) Pamp. BAOJ Chemistry, 2 (3), 1–4.

Narang, N. & Wannee, J. (2016) Anticancer activity of key lime, Citrus aurantifolia. Pharmacognosy Review, 10 (20), 118–122.

Nga, W., Ken, K. & Kumar, R. (2014) In vitro screening of Malaysian honey from different floral sources for antibacterial activity on human pathogenic bacteria. African Journal of Traditional Complementary and Alternative Medicine, 11 (2), 315–318. doi: 10.4314/ajtcam.v11i2.14.eCollection 2014.

Ngueyem, T.A., Brusotti, G., Caccialanza, G & Vita Finzi, P. (2009) The genus Bridelia: A phytochemical and ethnopharmacology review. Journal of Ethnopharmacology, 124, 339–349. doi: 10.1016/j.jep.2009.05.019.

Noorhidayah, Sidiyasa, K. & Hajar, I. (2006) Potensi dan keanekaragaman tumbuhan obat di hutan Kalimantan dan upaya konservasinya. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 3 (2), 95–107. doi: 10.20886/jakk.2006.3.2.95-107.

Phommart, S., Sutthivaiyakit, P., Chimnoi, N., Ruchirawat, S. & Sutthivaiyakit, S. (2005) Constituents of the leaves of Macaranga tanarius. Journal of Natural Products, 68 (6), 927–930. doi: 10.1021/np0500272.

Prasad, B.D., Kanth, B.C., Babu, B.R., Kumar, K.P. & Sastry, V.G. (2011) Screening of wound healing activity of bark of Aleurites moluccanus (L.) Willd. International Journal of Pharmaceutical Research and Analysis, 1 (1), 21–25.

Ragasa, C.Y. & de Jesus, J. (2014) Porphrins and polyprenol from Macaranga tanarius. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences, 5 (3), 701–708.

Ramadhani, N. & Sumiwi, S. (2016) Aktivitas antiinflamasi berbagai tumbuhan diduga berasal dari flavonoid. Jurnal Farmaka, Suplemen 14 (2), 1–12. doi: 10.24198/jf.v14i2.10816.

Rathee, P., Chaudary, H., Rathee, S., Rathee, D., Kumar, V. & Kohli, K. (2009) Mechanism of action of

Page 14: Eksplorasi dan Inventarisasi Tumbuhan Obat Lokal

Buletin Plasma Nutfah Vol. 26 No. 1, Juni 2020:63–76 76

flavonoid as anti-inflammatory agents: A review. Inflammation & Allergy–Drug Targets, 8 (3), 229–235. doi: 10.2174/187152809788681029.

Rayan (2009) Pembiakan vegetatif stek jenis Koompassia excelsa (Becc.) Taub. sistem KOFFCO. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 4 (2), 141–146. doi: 10.20886/jphka.2009.6.2.141-146.

Reddy, B.C., Noor, A., Sabareesh, V. & Vijayalakshmi (2016) Preliminary screening of potential flavonoid-subclasses in Myristica fragrans and Cordyline terminalis by LC-ESI-MS. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry, 5 (6), 437–450.

Sabir, A. (2003) Pemanfaatan flavonoid di bidang kedokteran gigi. Dental Journal, TIMNAS III, 81–87.

Saifudin, A. (2014) Senyawa alam metabolit sekunder: Teori, konsep, dan teknik pemurnian. Cetakan 1. Yogyakarta, Deepublish.

Santoso, U. (2014) Katuk, tumbuhan multi khasiat. Bengkulu, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.

Sari, A., Lida, R. & Lovadi, I. (2015) Pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat suku Dayak Jangkang Tanjung di Desa Ribau, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau. Protobiont, 4 (2), 1–8.

Shah, K.A., Patel, M.B., Patel, R.J. & Parmar, P.K. (2010) Mangifera indica (Mango). Pharmacognosy Review, 4 (7), 42–48. doi: 10.4103/0973-7847.65325.

Sheahan, C. (2012) Plant guide for cowpea (Vigna unguiculata). Cape May (NJ-USA), USDA-Natural Resources Conservation Service.

Silalahi, M., Purba, E.C. & Mustaqim, W.A. (2019) Tumbuhan obat Sumatera Utara. Jilid II: Dikotiledon. Jakarta, UKI Press.

Sindhu, R. & Sandeep, A. (2014) Anti-inflammatory potential of different extracts isolated from the root of Ficus lacor Buch. Hum and Murraya koenigii L. Spreng. Arch Biology Science, 66 (3), 1261–1270. doi: 10.2298/ABS1403261S.

Siska, K.P. (2013) Anti-inflammatory effect of Vigna unguiculata (L.) polyphenols in raw 264.7 macrophages. Master Thesis. Texas A & M University.

Soedarto (2014) Kamus bergambar alergi dan imunologi. Jakarta, CV Sagung Seto.

Soepadmo, E.& Wong, K. (2007) Tree flora of Sabah and Serawak. Kuala Lumpur, Research Institute Malaysia.

Suparni, I. & Wulandari, A. (2012) Herbal nusantara: 1001 ramuan tradisional asli Indonesia. Yogyakarta, Rapha Publishing.

Tounekti, T., Mahdhi, M. & Khemira, H. (2019) Ethnobotanical study of indigenous medicinal plants of Jazan Region, Saudi Arabia. Evidence-Based

Complementary and Alternative Medicine, 2019, 1–45. doi: 10.1155/2019/3190670.

Tsobou, R., Mapongmetsem, P.M. & Van Damme, P. (2016) Medicinal plants used for treating reproductive health care problems in Cameroon, Central Africa. Economic Botany, 70 (2), 145–159. doi: 10.1007/s12231-016-9344-0.

Tugume, P. & Nyakoojo, C. (2019) Ethno-pharmacological survey of herbal remedies used in the treatment of paediatric diseases in Buhunga Parish, Rukungiri District, Uganda. BMC Complementary and Alternative Medicine, 19 (1), 1–10. doi: 10.1186/s12906-019-2763-6.

Vardhana (2008) Direct uses of medicinal plants and their identification. New Delhi, Sarup and Sons.

Varghese, L.S., Ambilil, P., Antony, V.T., Joy, K. & Mayamol, M.S. (2017) Effect of bioactive compounds extracted from the root of Solanum torvum Swartz on the growth of bacteria of importance to humans and animals. World Journal of Pharmaceutical and Medical Reasearch, 3 (1), 256–259.

Vermaa, R., Chauhana, A. & Padaliaa, R. (2013) Phytochemical diversity of Murraya koenigii (L.) Spreng. from Western Himalaya. Chemistry & Biodiversity, 10 (1), 628–641.

Wang, T., Huang, H., Zhang, Y., Li, X., Li, H., Jiang, Q. & Gao, W. (2015) Role of effective composition on antioxidant, anti-inflammatory, sedative-hypnotic capacities of 6 common edible lilium varieties. Journal of Food Science, 80 (4), 857–868. doi: 10.1111/1750-3841.12787.

Windyasawari, A., Faramayuda, F. & Ratnasari, D. (2015) Kajian pendahuluan potensi antikanker dengan uji toksisitas metode Brine Shrimp Test (Bslt) terhadap ekstrak etanol dan fraksi-fraksi dari kulit batang kemiri Aleurites Moluccana (L.) Willd. Kartika: Jurnal Ilmiah Farmasi, 3 (1), 36–42. doi: 10.26874/kjif.v3i1.95.

Yousaf, Z., Wang, Y. & Elias, B. (2013) Phytochemistry and pharmacological studies on Solanum torvum Swartz. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 3 (04), 152–160. doi: 10.7324/JAPS.2013.3428.

Zimmer, A.R., Leonardi, B., Miron, D., Schapoval, E., de Oliveira, J.R. & Gosmann, G. (2012) Antioxidant and anti-inflammatory properties of Capsicum baccatum: From traditional use to scientific approach. Journal of Ethnopharmacology, 139 (1), 228–233. doi: 10.1016/j.jep.2011.11.005.