21
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Budaya Kata "kebudayaan" berasal dari istilah buddhayah (bahasa Sanskerta), yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal" (Koentjaraningrat, 1985). Sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Sedangkan kata budaya dikupas sebagai suatu perkembangan dari bentuk majemuk budi-daya, yang berarti "daya dari budi" yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Namun, dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama. E.B.Tylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain (Ratna, 2005). Sedangkan menurut ilmu antropologi, budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 1985). Hal tersebut mengartikan bahwa hampir seluruh aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena hanya sedikit sekali tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak memerlukan belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya mengartikan budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat. Koentjaraningrat (1985) berpendapat bahwa wujud budaya (kebudayaan) ada tiga macam, yaitu 1) sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, 9

Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

  • Upload
    -

  • View
    401

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tiada gading yang tak retak, begitu pula tulisan ini. Penulis hanyalah orang awam yang masih lemah ilmu pengetahuan dan masih belajar menulis jalan pikirannya sesuai pemahaman pengetahuannya dan beberapa tambahan teori hasil kutipan dari penulis lain yang lebih senior. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan diskusi yang membangun, guna penyempurnaan di masa yang akan datang..bismillah, semoga bermanfaat.. ^_^

Citation preview

Page 1: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Budaya

Kata "kebudayaan" berasal dari istilah buddhayah (bahasa Sanskerta),

yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal" (Koentjaraningrat,

1985). Sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan

dengan akal. Sedangkan kata budaya dikupas sebagai suatu perkembangan dari

bentuk majemuk budi-daya, yang berarti "daya dari budi" yang berupa cipta, karsa

dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.

Namun, dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya

dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama.

E.B.Tylor mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan aktivitas manusia,

termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan

kebiasaan-kebiasaan lain (Ratna, 2005). Sedangkan menurut ilmu antropologi,

budaya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia

dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar. (Koentjaraningrat, 1985). Hal tersebut mengartikan bahwa hampir seluruh

aktivitas manusia merupakan budaya atau kebudayaan karena hanya sedikit sekali

tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak memerlukan

belajar dalam membiasakannya. Sedangkan ahli sejarah budaya mengartikan

budaya sebagai warisan atau tradisi suatu masyarakat.

Koentjaraningrat (1985) berpendapat bahwa wujud budaya (kebudayaan)

ada tiga macam, yaitu 1) sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, peraturan,

9

Page 2: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

10

dan sebagainya; 2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari

manusia dalam masyarakat; dan 3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sedangkan untuk memudahkan pembahasan, kebudayaan dibagi menjadi tujuh

unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, meliputi:

1. Bahasa, dengan wujud ilmu komunikasi dan kesusteraan mencakup bahasa

daerah, pantun, syair, novel-novel, dan lain sebagainya.

2. Sistem pengetahuan, meliputi science (ilmu-ilmu eksak) dan humanities

(sastra, filsafat, sejarah, dsb).

3. Organisasi sosial, seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan, kematian).

4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, meliputi pakaian, makanan, alat-alat

upacara, dan kemajuan teknologi lainnya.

5. Sistem mata pencaharian hidup.

6. Sistem religi, baik sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa,

roh, neraka, surga, maupun berupa upacara adat maupun benda-benda suci

dan benda-benda religius (candi dan patung nenek moyang) dan lainnya.

7. Kesenian, dapat berupa seni rupa (lukisan), seni pertunjukan (tari, musik,)

seni teater (wayang), seni arsitektur (rumah, bangunan, perahu, candi, dsb),

berupa benda-benda indah, atau kerajinan yang lain.

B. Matematika sebagai Produk Budaya

Matematika tumbuh dan berkembang di berbagai belahan bumi ini, tidak

hanya di satu lokasi atau wilayah saja. Ada yang tumbuh dan berkembang di

wilayah India, Amerika, Arab, Cina, Eropa, bahkan Indonesia dan juga daerah

yang lain. Pertumbuhan dan perkembangan matematika terjadi karena adanya

Page 3: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

11

tantangan hidup yang dihadapi manusia di berbagai wilayah dengan berbagai latar

belakang budaya yang berbeda. Setiap budaya dan subbudaya mengembangkan

matematika dengan cara mereka sendiri. Sehingga matematika dipandang sebagai

hasil akal budi (pikiran) manusia dalam aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini

meyimpulkan bahwa matematika merupakan produk budaya yang merupakan

hasil abstraksi pikiran manusia, serta alat pemecahan masalah. Sebagaimana

diungkapkan oleh Sembiring dalam Prabowo (2010) bahwa matematika adalah

konstruksi budaya manusia.

Pembelajaran matematika di sekolah pada dasarnya dapat menjadi awal

pembentukan masyarakat maju. Dalam pembelajaran matematika guru tidak

selayaknya hanya memberikan simbol-simbol abstrak dan teorema yang

membosankan bagi sebagian besar siswa, karena melalui penyampaian tujuan

pembelajaran yang jelas dan pendekatan realistis, matematika akan menjadi teman

keseharian siswa. Pembelajaran matematika di sekolah selayaknya dibelajarkan

kepada siswa sesuai dengan realitasnya, bahwa matematika merupakan produk

budaya. Sehingga perlu dikaitkan dengan permasalahan kontekstual yang ada

dalam masyarakat dengan menyertakan konteks budaya.

C. Nilai Matematika bagi Masyarakat

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat dan

menakjubkan secara tidak langsung telah berhutang kepada matematika. Setiap

orang yang diuntungkan dari fasilitas teknologi dan sains harus mengetahui paling

tidak sedikit matematika agar berhasil dan baik dalam menggunakannya.

Page 4: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

12

Namun disayangkan selama ini pemahaman tentang nilai-nilai dalam

pembelajaran matematika yang disampaikan para guru belum menyentuh ke

seluruh aspek yang mungkin. Matematika dipandang sebagai alat untuk

memecahkan masalah-masalah praktis dalam dunia sains saja, sehingga

mengabaikan pandangan matematika sebagai kegiatan manusia (Soedjadi, 2007)

Kedua pandangan itu sama sekali tidaklah salah, keduanya benar dan sesuai

dengan pertumbuhan matematika itu sendiri. Namun akibat atau dampak dari

rutinitas pengajaran matematika selama ini, maka pandangan yang menyatakan

matematika semata-mata sebagai alat menjadi tidak tepat dalam proses pendidikan

anak bangsa. Banyak terjadi guru lebih menekankan mengajar alat, guru

memberitahu atau menunjukkan alat itu, bagaimana alat itu dipakai, bagaimana

anak belajar menggunakannya, tanpa tahu bagaimana alat itu dibuat ataupun tanpa

mengkritisi mengapa alat itu dipakai. Bahkan, tidak sedikit guru yang terpancing

untuk memenuhi target nilai ujian yang tinggi sehingga banyak nilai-nilai lain

yang jauh lebih penting bagi siswa terlupakan. Proses pendidikan matematika

seperti itu sangat memungkinkan anak hanya mengahafal tanpa mengerti, padahal

semestinya boleh menghafal hanya setelah mengerti.

Sebenarnya dengan seringnya guru memaparkan dan menggali nilai-nilai

matematika dalam pembelajaran, maka diyakini motivasi siswa akan terus tumbuh

dan timbul ketertarikan pada matematika, sehingga siswa baik dengan bantuan

guru, maupun dengan sendirinya mampu memahami dasar dan alasan mengapa

matematika ada dan bagaimana matematika diterapkan dalam kehidupan sehari-

hari, termasuk dalam pembentukan pola pikir. Ada tujuh nilai yang dapat secara

Page 5: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

13

bertahap kita sampaikan kepada siswa atau mereka yang sedang belajar

matematika, diantaranya:

1. Nilai Praktis dan Nilai Guna

Nilai praktis meliputi kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-

hari dan kegunaan matematika untuk mempelajari cabang ilmu yang lain.

Seperti perlunya mempelajari matematika saat mempelajari pola pertumbuhan

penduduk dalam ilmu Geografi, mempelajari bagaimana kecepatan sebuah

benda jatuh akibat pengaruh grafitasi dalam ilmu Fisika, dan lainnya.

Seseorang yang menganggap matematika berguna baginya akan berusaha

mempelajari dan melaksanakannya walaupun ia tidak tertarik. Dalam kondisi

ini tampak bahwa motivasi yang terjadi merupakan motivasi ekstrinsik,

namun pada akhirnya pemahaman yang terbentuk dari pembelajaran

matematika yang tidak diminati tersebut akan membawa seseorang cenderung

mengembangkan ilmu matematika dan penerapan ilmu tersebut dalam

kehidupan sehari-harinya. Bagi pada pekerja terlatih, seperti seorang petugas

kebersihan, pembantu rumah tangga, kuli bangunan, dan lainnya adalah hal

mudah untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan baik tanpa belajar

membaca dan menulis, tetapi mereka tidak akan bisa bekerja dengan sangat

baik tanpa mempelajari ilmu berhitung, sebagai bagian dari matematika.

2. Nilai Kedisiplinan

Nilai disiplin matematika tumbuh akibat penerapan aturan berupa

aksioma, rumus, atau dalil secara ketat dalam belajar matematika, sehingga

membentuk pola pikir yang disiplin, sistematis dan teratur. Kebiasaan siswa

Page 6: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

14

menganalisis dengan teliti suatu situasi sebelum pengambilan keputusan

sangat membantu dalam situasi hidup yang kompleks, di mana pengambilan

keputusan menjadi makin sulit. Pengetahuan matematika membantu anggota

masyarakat untuk mengorganisasi idenya lebih logis dan mengungkapkan

pemikirannya secara lebih akurat. Matematika melatih anggota masyarakat

tidak take for granted (langsung membenarkan) terhadap suatu hal, tetapi

menyandarkan pada pemberian alasan.

3. Nilai Budaya

Nilai budaya matematika terpancar dari peran matematika dalam

dunia seni, serta penampakan matematika dalam menunjukkan tingkat

peradaban manusia. Mode hidup anggota masyarakat sangat besar ditentukan

oleh kemajuan teknologi dan sains, yang pada gilirannya tergantung pada

kemajuan dan perkembangan matematika. Oleh karena itu, perubahan gaya

hidup dan begitu pula budaya secara kontinyu terpengaruhi oleh kemajuan

matematika. Selain itu, matematika juga membantu dalam pemeliharaan dan

penerusan tradisi budaya kita.

4. Nilai Sosial

Matematika membantu menyesuaikan organisasi dan memelihara

suatu struktur sosial yang berhasil. Matematika berperan penting dalam

menyusun institusi sosial seperti bank, koperasi, rel kereta, kantor pos,

perusahaan asuransi, industri, pengangkutan, navigasi dan lain sebagainya.

Transaksi bisnis yang efektif, ekspor dan impor, perdagangan dan komunikasi

Page 7: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

15

kini tak dapat berlangsung tanpa matematika. Kesuksesan seseorang dalam

sebuah masyarakat tergantung sebaik apa dia dapat menjadi bagian

masyarakat, kontribusi apa yang dapat dia berikan bagi kemajuan masyarakat,

dan sebagus apa dia dapat diuntungkan oleh masyarakat. Saat ini, keberadaan

sosial kita secara total diatur oleh pengetahuan sains dan teknologis yang

hanya dapat diperoleh dengan studi matematika. Berbagai metode dan logika

matematika digunakan untuk menyelidiki, menganalisis, dan menyimpulkan

mengenai pembentukan berbagai aturan sosial dan pemenuhannya. Nilai-nilai

diperoleh melalui pembelajaran matematika akan membantu seseorang

melakukan penyesuaian diri dan membimbingnya pada keselarasan hidup.

5. Nilai Moral

Studi matematika menolong siswa dalam pembentukan karakternya

lewat berbagai cara. Matematika membentuknya ke sikap yang sesuai, seperti

tidak ada ruang untuk perasaan yang merugikan, pandangan yang

menyimpang, diskriminasi, dan berpikir tak masuk akal. Matematika

membantunya dalam analisis obyektif, memberikan alasan yang benar,

kesimpulan yang valid (sah) dan pertimbangan yang tak berat sebelah. Nilai-

nilai moral ini tertanam dalam pikiran karena perulangan dan membantunya

menjadi anggota masyarakat yang berhasil.

6. Nilai Estetika (Seni/Keindahan)

Matematika makin kaya dengan daya tarik keindahannya. Kerapian

dan kecantikan hubungan matematis menyentuh emosi kita, lebih seperti

Page 8: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

16

musik dan seni yang dapat mencapai kedalaman jiwa dan membuat kita

merasa benar-benar hidup. Kehalusannya, keharmonisannya, kesimetrian

segala sesuatunya menambah kecantikannya. Musik atau seni adalah keluaran

sederhana dari kecantikan abadi ini.

7. Nilai Rekreasi (Hiburan)

Matematika memberikan suatu ragam peluang hiburan untuk

mendewasakan orang sebagaimana anak-anak. Matematika menghibur orang

lewat aneka puzzle, permainan, teka-teki, dan lain-lain. Permainan video

komputer modern juga dibangun melalui penggunaan matematika yang

semestinya. Arti penting dari jenis rekreasi matematis adalah ia

memampukan seseorang membangun imajinasinya, menajamkan

intelektualitasnya dan mengukir rasa puas pada pikirannya. Otak manusia

adalah sebuah organ yang makin baik dengan berlatih. Studi matematika

dengan begitu memberikan latihan yang cukup bagi otak seseorang. Untuk

beberapa praktisi matematik, kesenangan harian menguraikan hubungan

matematis yang aneh selalu menjadi hal yang menghibur.

Dalam dunia yang sudah melek teknologi ini, kita tidak dapat

memikirkan suatu masyarakat yang bebas matematika. Masyarakat harus

membuka mata dan mengakui kebaikan dan manfaat matematika. Hal inilah yang

akan membuat masyarakat kita maju dengan kekuatan yang dahsyat. Harus ada

pergeseran dari matematika yang cuma digeluti guru dan akademisi menuju ke

matematika yang memasyarakat, yaitu matematika yang tidak hanya diajarkan

tetapi juga dibelajarkan, khususnya dalam hal nilai sosial-budayanya.

Page 9: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

17

D. Riwayat dan Peta Masyarakat Sidoarjo

Sidoarjo adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang

berbatasan dengan Kabupaten Surabaya dan Gresik di utara, Selat Madura di

timur, Kabupaten Pasuruan di selatan, serta Kabupaten Mojokerto di barat.

Berdasarkan hasil wawancara kepada pak Wiyono, Kepala Seksi Pembinaan

Pengembangan Kebudayaan Sidoarjo, pada masa kolonialisme Belanda, daerah

Sidoarjo bernama Sidokare, yang merupakan bagian dari Kabupaten Surabaya.

Kemudian tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Belanda No. 9/1859

tanggal 31 Januari 1859, daerah Kab. Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu

Kab. Surabaya dan Kab. Sidokare. Selanjutnya, tanggal 28 Mei 1859, nama Kab.

Sidokare, yang memiliki konotasi kurang bagus diubah menjadi Kab. Sidoarjo.

Sidoarjo disebut sebagai Kota Delta, karena berada di antara dua sungai

besar pecahan Sungai Brantas, yaitu Sungai Mas dan Sungai Porong. Kabupaten

Sidoarjo terdiri atas 18 kecamatan, meliputi Kecamatan Krembung, Porong,

Jabon, Tulangan, Prambon, Tarik, Balong Bendo, Krian, Wonoayu, Sukodono,

Taman, Waru, Sedati, Gedangan, Buduran, Sidoarjo, Candi, dan Tanggulangin.

Gambar 2.1 Peta Masyarakat Sidoarjo

Page 10: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

18

Perikanan, pertanian, industri, dan jasa merupakan sektor perekonomian

utama Sidoarjo. Selat Madura di sebelah Timur merupakan daerah penghasil

perikanan, diantaranya ikan, udang, dan kepiting. Logo Kabupaten menunjukkan

bahwa Udang dan Bandeng merupakan komoditi perikanan yang utama kota ini.

Sidoarjo dikenal pula dengan sebutan "Kota Petis". Oleh-oleh makanan khas

Sidoarjo adalah Bandeng Asap dan Kerupuk Udang.

Sektor pertanian di Sidoarjo sudah mulai berkurang, karena mulai

berkembangnya sektor industri. Beberapa daerah kecamatan yang masih

mengembangkan usaha di sektor pertanian diantaranya kawasan Sidoarjo bagian

tengah, meliputi daerah Krembung, Tulangan, Prambon, Wonoayu, Sukodono dan

Gedangan. Sektor industri di Sidoarjo berkembang cukup pesat karena lokasi yang

berdekatan dengan pusat bisnis kawasan Indonesia Timur (Surabaya), dekat

dengan Pelabuhan Laut Tanjung Perak maupun Bandara Juanda, memiliki sumber

daya manusia yang produktif serta kondisi sosial politik dan keamanan yang

relatif stabil. Sektor industri kecil juga berkembang cukup baik, diantaranya sentra

industri kerajinan tas dan koper, serta kain bordir di Tanggulangin, sentra industri

batik tulis di Kampung Jetis, Sidoarjo dan Kenanga, Tulangan, sentra industri

sandal dan sepatu di Wedoro, Waru dan Tebel, Gedangan, sentra industri kerupuk

di Rejeni dan Kandangan, Krembung serta Telasih, Tulangan.

E. Pengertian Etnomatematika

Istilah ethnomathematics yang selanjutnya disebut etnomatematika

diperkenalkan oleh D'Ambrosio, seorang matematikawan Brasil pada tahun 1977.

Definisi etnomatematika menurut D'Ambrosio adalah:

Page 11: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

19

The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to

the socialcultural context and therefore includes language, jargon,

and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of

mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to

understand, and to do activities such as ciphering, measuring,

classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived from

techné, and has the same root as technique (Rosa & Orey 2011)

Secara bahasa, awalan “ethno” diartikan sebagai sesuatu yang sangat luas

yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode

perilaku, mitos, dan symbol. Kata dasar “mathema” cenderung berarti

menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti

pengkodean, mengukur, mengklasifikasi, menyimpulkan, dan pemodelan.

Akhiran “tics “berasal dari techne, dan bermakna sama seperti teknik. Sedangkan

secara istilah etnomatematika diartikan sebagai:

"The mathematics which is practiced among identifiable cultural

groups such as national-tribe societies, labour groups, children of

certain age brackets and professional classes" (D'Ambrosio, 1985)

Artinya: “Matematika yang dipraktekkan di antara kelompok budaya

diidentifikasi seperti masyarakat nasional suku, kelompok buruh,

anak-anak dari kelompok usia tertentu dan kelas profesional"

(D'Ambrosio, 1985).

Istilah tersebut kemudian disempurnakan menjadi:

"I have been using the word ethnomathematics as modes, styles, and

techniques ( tics ) of explanation, of understanding, and of coping

with the natural and cultural environment ( mathema ) in distinct

cultural systems ( ethnos )" (D'Ambrosio, 1999, 146).

Artinya: "Saya telah menggunakan kata Etnomatematika sebagai

mode, gaya, dan teknik (tics) menjelaskan, memahami, dan

menghadapi lingkungan alam dan budaya (mathema) dalam sistem

budaya yang berbeda (ethnos)" (D'Ambrosio, 1999, 146).

Dari definisi tersebut etnomatematika dapat diartikan sebagai matematika

yag dipraktikkan oleh kelompok budaya, seperti masyarakat perkotaan dan

pedesaan, kelompok buruh, anak-anak dari kelompok usia tertentu, masyarakat

Page 12: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

20

adat, dan lainnya. D'Ambrosio (1985) menyatakan bahwa tujuan dari adanya

etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam

melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika

akademik yang dikembangkan oleh berbagai sektor masyarakat serta dengan

mempertimbangkan modus yang berbeda di mana budaya yang berbeda

merundingkan praktek matematika mereka (cara mengelompokkan, berhitung,

mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya).

Ada beberapa istilah yang digunakan para peneliti yang merujuk

matematika yang tidak dikembangkan secara formal di sekolah, antara lain istilah

matematika informal (gerdes, 1994), "m" (Pinxten, 1994), matematika di luar

sekolah (Nunes, 1992), matematika budaya (Shirley, 1995), matematika yang

mengandung muatan lokal Keneddy, Tip, Redresel, dkk dalam Munaldus, 1998

atau D’Ambrosio dan Bishop, 1994 dengan istilah "Etnomatematika"nya.

Sedangkan bidang yang dapat dikembangkan dalam etnomatematika ada tiga

macam (Bishop, 1994). Pertama, ilmu matematika dalam konteks budaya

tradisional. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Asher (1991), Zaslavsky

(1973), Lean (1986) dan Harris (1991) yang menggunakan pendekatan

antropologi. Kedua, perkembangan matematika dalam masyarakat di negera-

negara yang bukan Negara Barat. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Ronan

dan Needham (1981), Yoseph (1991), dan Gerdes (1991). Penelitian tersebut

menggunakan pendekatan sejarah yang didasarkan pada dokumen-dokumen masa

lampau. Ketiga, ilmu matematika yang dimiliki oleh berbagai kelompok.

Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Lave (1984), Saxe (1990), Deabreu

Page 13: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

21

(1988), dan Carraher (1985). Penelitian tersebut menggunakan pendekatan

psikologi sosial, yang fokusnya menekankan pada penggunaan matematika dalam

situasi kehidupan nyata. (Sayu, 1999)

Dengan demikian, sebagai hasil dari sejarah budaya matematika dapat

memiliki bentuk yang berbeda-beda dan berkembang sesuai dengan

perkembangan masyarakat pemakainya. Etnomatematika menggunakan konsep

matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika,

meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan

atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya.

F. Etnomatematika dan Geometri

Salah satu contoh dari kajian historis-etnomatematika menganalisis dan

merekontruksi tradisi Sona. Tradisi ini dikembangkan oleh Chokwe dari timur

laut Angola dan masyarakat terkait. Budaya Chokwe terkenal karena seni

dekoratif ornamennya pada anyaman tikar dan keranjang, hasil karya dari besi,

keramik, seni pahat dan ukiran pada Calabash, lukisan di dinding rumah, dan

gambar di pasir yang disebut "Sona" (tunggal/singularis, dari kata "Lusona").

Sebagian besar Sona Chokwe adalah simetris dan monolinear.

Monolinear berarti terdiri hanya satu garis, sebuah bagian dari garis yang

mungkin dapat berseberangan dengan bagian lain dari garis itu, tetapi tidak pernah

menjadi bagian dari garis yang tidak berpotongan bagian lain. Gambar berikut

menunjukkan simetri dan ketunggalan garis lurus memainkan peran penting

sebagai nilai-nilai budaya.

Page 14: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

22

Gambar 2.2 Geometri Sona

Bandingkan dengan lukisan suku Asmat yang juga monolinier. Ternyata

lukisan suku Asmat merupakan bagian dari garis yang mungkin dapat

berseberangan dengan bagian lain dari garis itu, tetapi tidak pernah menjadi

bagian dari garis yang tidak berpotongan dengan bagian lain (Gambar kiri),

pasangan garis yang mempunyai satu titik potong (Gambar kanan).

Gambar 2.3 Lukisan Kayu Suku Asmat

Demikian juga ornamen rumah Tanah Toraja berbentuk persegi atau

belah ketupat dengan gambar yang simetris. Dibagian lain ornamen berbentuk

lingkaran dengan gambar yang juga simetris.

Gambar 2.4 Ornamen Rumah Tanah Toraja

Page 15: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

23

Berikut ini motif kain khas Bengkulu yang dapat digunakan untuk

pembelajaran berkaitan dengan etnomatematika Bengkulu.

Gambar 2.5 Motif Kain Khas Bengkulu

Motif kain ini dapat digunakan sebagai model matematika pada materi

translasi si SMA maupun pengenalan geometri fractal. Pola simetris pada Gambar

2.5. dapat digunakan sebagai materi pembelajaran pencerminan maupun

pengubinan untuk anak siswa SMP. Tidak hanya Bengkulu, motif kain khas Jawa

pun dapat digunakan untuk pembelajaran berkaitan dengan etnomatematika Jawa.

Seperti beberapa contoh motif berikut.

Gambar 2.6 Motif Kain Khas Jawa

Sedangkan bagian-bagian dari rumah adat ini dapat digunakan untuk

menjelaskan konsep bangun ruang prisma maupun bangun datar seperti

Page 16: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

24

jajargenjang, persegipanjang, trapezium, segitiga atau persegi, dimana bangun-

bangun tersebut mempunyai simetri lipat maupun putar.

Gambar 2.7 Rumah Adat Bengkulu

Gambar 2.8 Rumah Adat Jawa

Para ahli lukisan mengembangkan seluruh rangkaian algoritma geometris

untuk pembuatan desain monolinear dan simetris. Gambar di bawah menampilkan

dua monolinear Sona sesuai kelas-kelas yang sama, dalam arti bahwa meskipun

pola-pola dimensi yang mendasari berbeda, kedua sona tersebut digambar dengan

menerapkan algoritma geometris yang sama.

Gambar 2.9 Desain Monolinear Sona

Berikut ini gambar kukusan (alat menanak nasi dari bambu) yang dapat

digunakan sebagai motivasi pembelajaran berkaitan dengan materi kerucut.

Page 17: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

25

Gambar 2.10 Kukusan (Alat Menanak Nasi dari Bambu Khas Jawa)

Selain Bengkulu dan Jawa, Ethnomatematika juga telah ada dalam

kehiduan masyarakat Bali. Hal ini ditinjau dari sejarah mengenai arsitektur Bali

yang ternyata memiliki dimensi khusus yang hanya dimiliki masyarakat Bali

untuk melakukan aktivitas matematika yaitu pengukuran dalam perancangan suatu

bangunan. Pembangunan bagunan harus sesuai dengan tata cara yang ditulis

dalam sastra Asta Kosala Kosali yang merupakan Fengshui-nya Bali, yaitu sebuah

tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta

bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis,

Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan,

hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan yadnya.

Pada jaman tersebut masyarakat Bali belum mendapatkan pendidikan

mengenai matematika formal. Sehingga untuk melakukan pengukurannya pun

lebih menggunakan ukuran dari tubuh pemilik rumah dan mereka tidak

menggunakan meter tetapi menggunakan satuan lokal seperti Hasta (ukuran

sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangansampai

ujung jari tengah yang terbuka), Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang

tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan), dan lainnya. Adapun ilustrasi dari

dimensi pengukuran tradisional Bali dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 18: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

26

Gambar 2.11 Dimensi-dimensi Tradisional Bali

Dimensi-dimensi inilah yang digunakan oleh masyarakat Bali

untuk pengukuran dalam merancang dan membangun suatu bangunan baik itu

tempat tinggal maupun tempat ibadah. Untuk pembangunan tempat tinggal,

digunakan ukuran tubuh dari pemilik rumah, sedangkan untuk pembangunan

tempat ibadah yang dalam hal ini mengkhususkan pada Umat Agama Hindu yang

dikenal dengan nama Pura, digunakan ukuran tubuh dari Sulinggih selaku

pengemong Pura tersebut. Tidak hanya Bengkulu dan Bali daerah Indonesia

lainpun memiliki unsur budaya yang dapat dikaji secara matematika, termasuk

daerah Sidoarjo, karena pada dasarnya Indonesia merupakan negeri yang kaya

akan budaya.

Page 19: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

27

G. Gagasan Etnomatematika dalam Pembelajaran di Sekolah

Matematika bukanlah sesuatu yang bebas budaya dan bebas nilai.

Matematika telah menyatu, dipraktikkan dan menjadi tradisi dalam seluruh aspek

kehidupan masyarakat budaya (Sayu, 1999). Penelitian pendidikan matematika

yang sudah ada umumnya lebih terfokus pada ruang kelas. Namun, terdapat

temuan baru yang menunjukkan bahwa banyak pengetahuan matematika yang

juga dapat diperoleh di luar sekolah, salah satunya temuan tentang

etnomatematika.

Pengajaran matematika bagi setiap orang seharusnya disesuaikan dengan

budayanya (D’ambrosio dalam Shirley, 1995). Untuk itu diperlukan suatu

jembatan yang menghubungkan antara matematika di luar sekolah dengan

matematika di dalam sekolah. Salah satu caranya dengan memanfaatkan

etnomatematika sebagai awal dari pembelajaran matematika formal yang sesuai

dengan tingkat perkembangan peserta didik yang berada pada tahapan operasional

konkret. Pada dasarnya peserta didik, telah memiliki pengetahuan awal (konsep

awal) yang diperoleh dari lingkungan sosial budayanya. Hanya saja pengetahuan

tersebut masih perlu digali, dibangun dan dikembangkan selama proses belajar

mengajar, sehingga menghasilkan pengetahuan baru yang lebih aktual. Sedangkan

memahami konsep awal peserta didik merupakan kegiatan yang tidak mudah,

karena konsep awal peserta didik bersifat individual. Namun, jika guru tidak

memperhatikan konsep awal tersebut akan berakibat munculnya kesulitan belajar.

Dalam pembelajaran di sekolah, guru dapat memotivasi siswa agar lebih

tertarik mempelajari matematika dengan mengaitkan materi yang akan diajarkan

Page 20: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

28

dengan contoh konkret model matematika materi tersebut dalam kehidupan

sehari-hari. Misalnya, guru mengajarkan materi geometri dengan terlebih dahulu

memberikan contoh model matematika benda hasil budaya yang telah siswa

ketahui dalam lingkungan budayanya sebagai pengetahuan awal siswa. Bagi

sebagian besar siswa yang telah memiliki pengetahuan awal tentang benda

tersebut, hal ini akan menjadi konsep awal mereka untuk mempelajari materi.

Sedangkan kemungkinan akan sebagian kecil siswa yang belum mengetahui

tentang model matematika tersebut, walaupun dalam lingkungan budayanya sudah

ada, siwa akan merasa tertantang untuk mencari tahu keberadaan dan wujud benda

tersebut, apakah benar sesuai dengan apa yang telah guru sampaikan merupakan

salah satu model matematika materi yang telah mereka pelajari atau tidak. Secara

tidak langsung hal ini akan memberikan motivasi belajar untuk lebih memahami

materi ajar yang telah guru sampaikan sekaligus mengenal lingkungan budayanya.

Dengan berbagai usaha yang dilakukan dalam proses pembelajaran

matematika di sekolah, maka diharapkan matematika tidak lagi dipandang secara

parsial oleh siswa, guru, masyarakat, atau pihak lain. Melainkan mereka dapat

memandang matematika secara utuh yang pada akhirnya dapat memacu dan

berpartisipasi membangun peradaban dunia demi kemajuan sains dan teknologi.

Strategi yang dapat digunakan guru untuk mengajarkan matematika berbasis

etnomatematika adalah dengan cara menerapkan pembelajaran Contextual

Teaching and Learning atau pembelajaran matematika dengan pendekatan

matematika realistik Indonesia (PMRI). Keduanya merupakan konsep belajar

yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi

Page 21: Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo (Chapter 2)

29

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota

keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih

bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk

kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru

ke siswa. Selain itu salah satu cara lain memanfaatkan pengetahuan

etnomatematika dalam pembelajaran di sekolah adalah dengan menjadikan

pengetahuan tetatang etnomatematika tersebut sebagai bahan rujukan dalam

penyampaian materi maupun pembuatan soal-soal pemecahan masalah

kontekstual yang sesuai dengan latar belakang budaya siswa.

Cara terbaik memasukkan etnomatematika dalam pembelajaran

memerlukan kreativitas para guru dalam memanfaatkan lingkungan setempat.

Salah satunya dengan mengembangkan pengetahuan dasar etnomatematika siswa

menjadi salah satu alternatif pembelajaran matematika di luar kelas. Misalnya,

guru secara kreatif dapat mengelola kegiatan belejar mengajarnya menjadi

pembelajaran berbasis etnomatematika melalui bentuk permainan tradisional.

Siswa akan secara aktif dan langsung terlibat dalam pembelajaran,

mempraktikkan sekaligus memahami konsep matematika yang diajarkan guru

melalui kegiatan pembelajaran matematika di luar kelas tersebut. Siswa akan

merasa lebih bebas berekspresi dan menyatakan idenya dalam pembelajaran

karena tidak lagi terbatasi oleh ruang kelas, sehingga tidak hanya pengetahuan

matematika yang akan siswa pelajari, tetapi juga kemampuan komunikasi dan

kerjasamanya dalam permainan.