42
ENDOMETRIOSIS I. DEFINISI Endometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Pada endometriosis jaringan ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium. Endometriosis merupakan penyakit hormonal-dependent, biasanya terjadi pada wanita usia reproduktif. Jaringan endometrial yang ditemukan di dalam miometrium dikenali sebagai adenomiosis. 1,2 II.EPIDEMIOLOGI Insiden endometriosis sulit untuk dinilai karena endometriosis umumnya bersifat asimtomatik dan modalitas pencitraan kurang sensitif untuk penegakan diagnosis. Metode primer untuk menegakkan diagnosis endometriosis adalah laparoskopi dan pemeriksaan biopsi. Dengan menggunakan standar diagnosis ini, insiden endometriosis dilaporkan sekitar 1,6 kasus per 1.000 perempuan yang berusia 1

Endometriosis 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

obgyn

Citation preview

ENDOMETRIOSISI. DEFINISIEndometriosis adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Pada endometriosis jaringan ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium. Endometriosis merupakan penyakit hormonal-dependent, biasanya terjadi pada wanita usia reproduktif. Jaringan endometrial yang ditemukan di dalam miometrium dikenali sebagai adenomiosis.1,2

II. EPIDEMIOLOGIInsiden endometriosis sulit untuk dinilai karena endometriosis umumnya bersifat asimtomatik dan modalitas pencitraan kurang sensitif untuk penegakan diagnosis. Metode primer untuk menegakkan diagnosis endometriosis adalah laparoskopi dan pemeriksaan biopsi. Dengan menggunakan standar diagnosis ini, insiden endometriosis dilaporkan sekitar 1,6 kasus per 1.000 perempuan yang berusia antara 15-49 tahun. Pada kasus asimtomatik, prevalensi endometriosis berkisar antara 2-22%.Pada kelompok perempuan infertil, prevalensi endometriosis berkisar antara 20-50% dan pada kelompok yang berkeluhan nyeri pelvis berkisar antara 40-50%.3Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. Angka kejadian antara 5-15 % dapat ditemukan antara semua operasi pelvik. Endometriosis jarang didapatkan pada orang-orang Negro, lebih sering didapatkan pada wanita-wanita dari golongan sosio ekonomi yang kuat. Yang menarik perhatian ialah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara siklus yang terus menerus tanpa diselingi oleh kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis.1Lesi-lesi tersebut biasanya ditemukan di atas permukaan peritoneum organ reproduksi dan struktur di sekitar pelvis, namun dapat terjadi di seluruh organ tubuh. Menurut urutan yang tersering endometrium ditemukan ditempat sebagai berikut:1,3,41. Ovarium2. Peritoneum dan Ligamentum sakro uterina, kavum Douglasi; dinding belakang uterus, tuba Falopii, plika vesikouterina, ligamentum rotundum dan sigmoid3. Septum rektovaginal4. Kanalis inguinalis5. Apendiks6. Umbilicus7. Serviks uteri, vagina, kandung kencing, vulva, perineum8. Parut laparotomi9. Kelenjar limfe; dan10. Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura dan pericardium.

Lokasi tersering pada endometriosis di daerah abdomen dan pelvik.

III. ETIOLOGI DAN PATOMEKAN1SMEWalaupun penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui, terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan.3A. Teori Menstruasi RetrogradTeori yang paling awal dan paling banyak diterima secara meluas berhubungan dengan menstruasi retrograd melalui tuba fallopi dengan penyebaran jaringan endometrial di dalam kavum peritoneal. Teori menstruasi retrograd atau juga dikenal sebagai teori transplantasi yang pertama kali dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927. .Menurut teori ini, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.5,6,7B. Teori Penyebaran Limfatik atau HematogenBukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran limfatik atau vaskular dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis di lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori ini. Daerah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang banyak. Dengan demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan implantasi peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang terisolasi, diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun teori ini tetap menarik, namun sedikit studi yang melakukan eksperimen untuk mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini.3,5,8C. Teori Metaplasia SelomikTeori ini menyatakan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan pluri potensial yang bisa mengalami perubahan metaplasia sehingga secara histologi jaringan tersebut sulit dibedakan dengan endometrium yang normal.5,6,7Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita premenarke dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini.3Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh Robert Meyer. Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori dari Robert Meyer akhir-akhir ini semakin banyak penantangnya. Di samping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari endometrium pada saat operasi.1D. Teori induksiTeori induksi menjelaskan bahwa beberapa hormon dan faktor biologis dapat menginduksi diferensiasi sel-sel dalam jaringan endometrium. Substansia-substansia ini dapat bersifat eksogen atau dapat dikeluarkan langsung dari endometrium. Suatu studi in vitro yang dilakukan oleh Matsuura, 1999 menemukan bahwa epitel permukaan ovarium berpotensial mengalami transformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respon dari rangsangan estrogen.3,5,6Teori Baru: 1. Hormonal DependenceSalah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan endometriosis adalah faktor hormon estrogen. Walaupun sebagian besar estrogen. diproduksi oleh ovarium namun beberapa jaringan perifer juga diketahui membentuk estrogen melalui aromatisasi androgen ovarium dan adrenal. Implantasi endometriosis menghasilkan aromatase dan 17 -hidroksi steroid dehidrogenase tipe 1 yang merupakan suatu enzim yang berperan dalam konversi androstenedion menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Implant tersebut bersifat defisit 17 -hidroksi steroid dehidrogenase tipe 2 yang merupakan estrogen inaktif. Kombinasi enzim-enzim ini menyebabkan implant berada pada lingkungan estrogenic (fenomena intrakrin).3Sebaliknya, endometrium normal tidak menghasilkan aromatase dan memiliki kadar 17 -hidroksisteroiddehidrogenase tipe 2 yang lebih tinggi sebagai respon terhadap progesteron. Progesteron bekerja secara antagonis dengan melemahkan efek estrogen di endometrium normal selama fase luteal pada siklus menstruasi. Endometriosis adalah keadaan dimana terjadi manifestasi resistensi relatif terhadap progesteron sehingga stimulasi estrogen pada jaringannya tidak dihambat.3Prostaglandin E2 (PGE2) adalah penginduksi aktivitas aromatase paling poten di sel stroma endometrium. Estradiol diproduksi sebagai respon peningkatan aktivitas aromatase melalui stimulasi jalur siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel endometrium uterus. Keadaan ini memicu umpan balik positif terhadap efek estrogen di endometrium.32. Peranan sistem imunEndometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas inflamasi. Peningkatan petanda inflamasi pada serum dan cairan peritoneum telah diamati pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis merupakan salah satu gejala endometriosis yang dapat diredakan melalui pemberian obat anti-inflamasi sehingga hal ini mendukung adanya kontribusi inflamasi kronik terhadap patogenesis endometriosis.3Walaupun sebagian besar perempuan pernah mengalami menstruasi retrograde namun hanya pada beberapa perempuan yang berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstruasi dan endometrium yang mengalami refluks ke dalam cavum peritoneum umumnya akan dibersihkan oleh sel-sel imunitas seperti makrofag, natural killer (NK) cells, dan limfosit. Adanya disfungsi sistem imun dapat memicu terjadinya endometriosis. Kegagalan imunitas humoral, seluler, growth factor, dan cytokin signaling dapat ditemukan pada jaringan endometriosis. Fasciani dkk menunjukkan secara in vitro bahwa sel endometrium yang mengalami eksplantasi akan berproliferasi dan menginvasi secara 3 dimensi matriks fibrin sehingga mencetus formasi kelenjar, stroma, dan vaskuler baru. Makrofag yang berperan sebagai sel fagosit akan meningkat jumlahnya pada cavum peritoneum penderita endometriosis. Walaupun secara teori makrofag berperan untuk menghambat proliferasi jaringan endometium namun pada keadaan ini, makrofag sebaliknya memberi efek stimulasi pada jaringan endometrium. Hal ini dihubungkan dengan gangguan fungsi makrofag (bukan penurunan jumlah).3Natural killer (NK) cells adalah sel imun yang memiliki sifat sitotoksik terhadap benda asing. Pada penderita endometriosis, jumlah natural killer (NK) cells di cairan peritoneum tidak berubah namun aktivitasnya yang terhambat. Imunitas selular juga mempengaruhi perkembangan endometriosis. Normalnya, jumlah kadar limfosit pada cairan peritoneum sama dengan kadar pada pembuluh darah perifer namun pada penderita endometriosis terjadi peningkatan kadar limfosit pada cairan peritoneum disertai gangguan fungsi limfosit.3Imunitas humoral juga dapat berperan pada perkembangan endometriosis. Antibodi endometriosis IgG meningkat pada penderita endometriosis. Suatu penelitian mengidentifikasi autoantibodi IgA dan IgG pada endometrium, jaringan ovarium, serviks, dan sekresi vagina penderita endometriosis. Hal ini dapat mengarahkan endometriosis sebagai bagian dari penyakit imunitas.3Sitokin merupakan faktor imun yang larut dan dirangsang oleh sel imun lainnya secara parakrin dan autokrin. Jumlah sitokin, khususnya interleukin, berperan pada patogenesis endometriosis. Meningkatnya kadar interleukin-1 (IL-l) didapatkan pada cairan endometrium yang menderita endometriosis. Selain itu, kadar 1L-6 di stroma endometrium juga meningkat pada penderita endometriosis. Kadar IL-6 serum lebih besar dari 2 pg/mL dan kadar tumor necrotic factor-(TNF-) cairan peritoneum lebih besar dari 15 pg/mL dapat ditemukan pada penderita endometriosis. Demikian pula kadarIL-8 pada cairan peritoneum meningkat dan menstimulasi proloferasi sel stroma endometrium.3Sitokin non-interleukin dan faktor pertumbuhan dihubungkan pula dengan patogenesis endometriosis. Contohnya, monocyte chemo attractantprotein-1 (MCP-1) dan regulated on activation, normal T-cell expressed and secreted (RANTES) adalah kemotraktan monosit. Kadar sitokin-sitokin ini meningkat pada cairan peritoneum penderita endometriosis dan berkorelasi positif dengan tingkat keparahan penyakit.Selain itu, vascular endothelial growth/actor (VEGF) adalah faktor angiogenik yang diregulasi oleh estradiol di sel stroma endometrium dan makrofag cairan peritoneum. Kadar faktor ini meningkat pada cairan peritoneum penderita endometriosis. Meskipun peran nyata sitokin-sitokin ini belum jelas, namun aktivitasnya mendukung peran sistem imun pada pathogenesis endometriosis.3IV. DIAGNOSISDiagnosis biasanya dibuat atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Kuldoskopi kurang bermanfaat terutama jika kavum Douglasi ikut serta dalam endometriosis. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vagina posterior, perineum, paru laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.1A. AnamnesisWanita dengan endometriosis bisa tanpa gejala, namun ada juga wanita dengan endometriosis yang memberikan gejala-gejala yang sering dan tipikal seperti nyeri pelvik kronik dan infertilitas. Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini ialah seperti 1) nyeri perut bawah yang progresif dan dekat paha yang terjadi pada dan selama haid (dismenore); 2) dispareunia; 3) nyeri waktu defekasi, khususnya pada waktu haid; 4) polimenorea dan hipermenorea; 5) infertilitas.6,7B. Pemeriksaan FisisEndometriosis merupakan penyakit yang sering bermanifestasi di daerah pelvis .Biasanya tidak ditemukan kelainan saat inspeksi visual.Tapi pada beberapa kasus bisa ditemukan lesi endometriosis di dalam jaringan sikatriks akibat episiotomi maupun operasi, lebih sering ditemukan pada insisi P fannenstiel. Endometriosis jarang muncul spontan di daerah perineum atau perianal.3Pada pemeriksaan bimanual, dapat ditemukan nyeri tekan pada nodul di forniks posterior vagina dan ligament uterosakral serta nyeri saat gerakan uterus. Posisi uterus mungkin menetap dan retroversi karena adhesi pada kavum Douglasi. Pemeriksaan spekulum juga dapat dilakukan untuk menitiadakan ada tidaknya lesi kebiruan atau kemerahan pada serviks atau forniks posterior. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi, dan sebagainya, biopsi dapat memberikan kepastian mengenai diagnosis.1,3Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada pemeriksaan vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uteus dalam retrofleksi dan terfiksasi.1

C. Pemeriksaan tambahan dan penunjang1. Pemeriksaan LaboratoriumPada endometriosis, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri pelvik. Pemeriksaan darah rutin, urin rutin, kultur urin dan vaginal swab mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi atau penyakit menular seksual penyakit infeksi panggul.3Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberikan tanda yang khas. Hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing. Sigmoidoskopi dan sistoskopi dapat memperlihatkan tempat perdarahan pada waktu haid.12. Pemeriksaan RadiologiPembuatan foto Roentgen dengan memasukkan barium dalam kolon dapat memberikan gambaran dengan filling defect pada rektosigmoid dengan batas-batas yang jelas dan mukosa yang utuh. Laparoskopi merupakan pemeriksaan yang sangat berguna untuk membedakan endometriosis dari kelainan-kelainan di pelvis. Untuk menentukan berat ringan endometriosis digunakan klasifikasi dari American Fertility Society.1,9Ultrasonografi transabdominal dan transvaginal telah digunakan dalam membantu mendiagnosis endometriosis.Walaupun USG transvaginal digunakan untuk mengevaluasi gejala terkait endometriosis dan akurat dalam mendeteksi endometrioma, gambaran endometriosis superfisial dan adhesi endometriotik yang didapatkan tidak adekuat. Teknik radiologi lainnya seperti CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan hanya untuk sebagai konfirmasi tambahan saja, tapi tidak dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis utama, karena selain biaya lebih mahal dari USG, informasi yang diberikan masih dapat kurang jelas.33. Pemeriksaan LaparoskopiDiagnosis pasti endometriosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologik. Gambaran dari endometriosis pada pemeriksaan laparoskopi ini sangat variable dan bisa ditemukan berwarna merah, putih dan hitam. Lesi berwarna gelap karena adanya pigmentasi oleh penumpukan hemosiderin dari debris menstruasi yang terperangkap. Lesi merah dan putih sering dihubungkan dengan temuan histologik pada endometriosis. Lesi endometriosis juga dapat berbeda secara morfologi dan bisa ditemukan secara superfisial maupun menginvasi jauh ke peritoneum dan organ pelvis. Gambaran klasik endometriosis yaitu kista berwarna blue-black powder-burn. Selain itu, dapat juga ditemukan lesi non-klasik yaitu gambaran lesi berwarna merah, putih, tidak berpigmen dan vesikuler. Lesi merah merupakan tipe endometriosis yang aktif.101

Terdapat lesi endometriosis berwarna merah dan putih yang ditemukan pada saat laparoskopi di daerah peritoneum pelvik.

Lesi tipikal berwarna hitam dengan hipervaskularisasi dan vesikel polipoid jingga.

Lesipolipoid berwarna merah dengan hipervaskularisasi.

4. Pemeriksaan HistopatologikGambaran mikroskopik dari endometriosis sangat bervariasi. Lokasi yang sering ialah pada ovarium, dan biasanya didapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat atau endometrioma).1Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan akut abdomen.Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rectum seringkali ditemukan benjolan yang berwarna kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar kavum Douglasi.1Pada pemeriksaan histopatologik ditemukan ciri-ciri khas endometriosis, yaitu kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit pigmen hemosiderin dan sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi jaringan normal di sekelilingnya (jaringan endometriosis).1,3

Endometriosis kolonik.Tampak kelenjar dan stroma endometrium pada submukosakolon.

D. KlasifikasiCara yang paling utama untuk mendiagnosis endometriosis adalah dengan visualisasi lesi endometriosis dengan laparoskopi, dengan atau tanpa pemeriksaan histologi. Sistem klasifikasi yang paling luas digunakan adalah klasifikasi dari American Fertility Society. Sistem ini berdasarkan gambaran klinis, ukuran dan kedalaman implantasi pada ovari dan peritoneum; tampilan, penjalaran dan tipe adhesi adneksa; derajat obliterasi cul-de-sac. Parameter seperti derajat nyeri dan infertilitas tidak dimasukkan. Tambahan pula identifikasi visual endometriosis ini tidak akurat pada kebanyakan kasus; oleh itu sistem klasifikasi ini hanya untuk penggunaan praktis harian.3,10

Klasifikasi Endometriosis oleh 'The American Fertility Society

Sedangkan klasifikasi Endometriosis menurut Acosta 1973: 1. Ringan : a. Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior atau posterior cavum Dougiasi / permukaan ovarium / peritoneum pelvis. 2. Sedang :a. Endometriosis pada 1 atau kedua ovarium disertai parut dan retraksi atauendometrioma kecil.b. Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami endometriosisc. Endometriosis pada anterior atau posterior cavumDouglasi dengan parut dan retraksi atau perlekatan tanpa implantasi di kolon sigmoid. 3. Berat:a. Endometriosis pada 1 atau 2 ovarium ukuran lebih dari 2x2 cm2.b. Perlekatan1atau2ovarium/tubafallopi/cavumDouglasikarena endometriosis.c. Implantasi/perlekatan usus dan/atau traktusurinarius yang nyata.

V. DIAGNOSIS BANDINGAdenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterinum. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista ovarium, sedang endometriosis dari rektosigmoid perlu dibedakan dari karsinoma.1VI. PENANGANANPenanganan endometriosis terdiri atas pencegahan, pengawasan saja,terapi hormonal, pembedahan dan radiasi.1A. PencegahanMeigs berpendapat bahwa kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, oleh karena hal itu dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.1B. Observasi dan pemberian analgetikaPengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala.3Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita-wanita dengan gejala dan kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah agak berumur, pengawasan itu bisa dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang sendiri. Sikap yang sama dapat diambil pada wanita yang lebih muda, yang tidak mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang ingin mempunyai anak, jika setelah ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap ekspektatif. Dalam masa observasi ini dapat diberi pengobatan paliatif berupa pemberian analgetika untuk mengurangi rasa nyeri.1Terapi analgesik yang sering digunakan untuk penderita endometriosis adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID).NSAID menghambat siklooksigenaseisoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan dalam kelompok ini, COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-2 isoenzim.Enzim ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin yang terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan endometriosis. Obat anti-inflamasi non steroid menjadi lini pertama terapi pada wanita dengan dismenorea primer atau nyeri panggul sebelum konfirmasi laparoskopi endometriosis, dan pada wanita dengan gejala rasa sakit yang minimal atau ringan yang berhubungan dengan endometriosis diketahui. Jenis NSAID yang umum digunakan yaitu ibuprofen dan asam mefenamat.3C. Pengobatan hormonalSebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, dikontrol oleh hormon-hormon steroid.Hal ini didukung oleh data klinik maupun laboratorium. Data klinik tersebut adalah:1a) Endometriosis sangat jarang timbul sebelum menarche,b) Menopause, baik alami maupun karena pembedahan, biasanya menyebabkan kesembuhan,c) Sangat jarang terjadi kasus endometriosis baru setelah menopause, kecuali jika ada pemberian estrogen eksogen.Prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Dengan demikian dapat dihindari timbulnya sarang endometriosis yang baru karena transport retrograd jaringan endometrium yang lepas serta mencegah pelepasan dan perdarahan jaringan endometrium yang menimbulkan rasa nyeri karena rangsangan peritoneum.1Prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progestogen (progesterone sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.11. AndrogenPreparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5 mg sampai 10 mg per hari.Kerugian terapi ini adalah dapat menyebabkan maskulinisasi terutama pada dosis jangka panjang.Selain itu masih mungkin terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada dosis 5 mg perhari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.12. Gonadotropin-releasing Hormon Analog (GnRH analog)GnRH analog telah digunakan secara efektif untuk membebaskan nyeri dan mengurangi ukuran dari implantasi endometriosis. Obat ini menekan produksi estrogen oleh ovarium dengan menghambat sekresi hormon pengatur dari kelenjar pituitari. Sebagai akibatnya, periode-periode menstruasi berhenti, seperti menopause. Agonis GnRH mensuplai stimulasi secara konstan pada reseptor LHRH. Ini menghambat aksispituitari-ovarium dan menyebabkan sekresi FSH dan LH berkurang sekaligus kadar estrogen dan progesteron turut berkurang. Ini menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi dan hipoestrogenik. Dosis yang dianjurkan adalah leuprolinasetat 3,75 mg/bulan secara injeksi intramuskular selama 6 bulan. Terapi ini dilimitasi selama 6 bulan untuk menghindari efek samping yang dapat terjadi karena keadaan hipoestrogenik seperti sakit kepala, hot flushes, depresi, pengurangan densitas tulang, perubahan mood dan perubahan profil lipoprotein.63. Pil Kontrasepsi KombinasiPil Kontrasepsi Kombinasi (estrogen dan progestron) dapat digunakan untuk terapi endometriosis. Obat ini berkerja dengan cara menghambat aksis hipotalamik-ovarii. la menghambat hormon luteinizing (LH) dan hormon stimulasi folikel (FSH), menghalangi ovulasi dan menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi.3Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 mg norgestrel per hari. Bila terjadi breakthrough, dosis ditingkatkan menjadi 0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau maksimal 0,08 mg etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari. Pemberian tersebut terus menerus setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan ada yang menganjurkan minimal satu tahun dan bila perlu dilanjutkan sampai 2-3 tahun.14. ProgestogenProgestogen atau progestin adalah nama umum semua senyawa progesterone sintetik. Progestin mempunyai efek antiendometriotik yang menyebabkan desidualisasi danatrofipada jaringan endometrium. Progestin juga menghambat ovulasi dengan menghambat luteinizing hormon (LH) dan mungkin dapat menyebabkan amenore.Dosis yang diberikan adalah medroksiprogesteronasetat 30-50 mg per hari atau noerestisteronasetat 30 mg per hari.Pemberian parenteral dapat menggunakan medroksiprogesteronasetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan. Penghentian terapi parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga cara ini tidak menguntungkan bagi mereka yang ingin segera mempunyai anak. Lama pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan adalah 6-9 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah 'breakthrough bleeding', perubahan mood, perdarahan ireguler, amenore, muntah, pertambahan berat badan dan retensi cairan. Terapi ini sesuai untuk penderita endometriosis yang tidak segera ingin hamil.1,3,6

5. DanazolDanazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen rendah. Dosis yang digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2) atau sedang (stadium 3) adalah 400 mg perhari sedangkan untuk endometriosis yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg perhari. Lama pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12 minggu sebelum terapi pembedahan konservatik dilakukan. Danazol memilki efek samping berupa akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan, dan edema. Kehamilan dan menyusui merupakan kontrindikasi absolut dari pemakaian danazol.1,6D. Pengobatan dengan pembedahanHarus selalu diingat bahwa adanya jaringan ovarium yang berfungsi merupakan syarat mutlak untuk tumbuhnya endometriosis. Oleh karena itu pada waktu melakukan pembedahan, harus dapat menentukan apakah fungsi ovarium harus dipertahankan dan bila fungsi ovarium dapat dihentikan. Sudah jelas bahwa fungsi ovarium harus dipertahankan pada endometriosis yang dini, pada endometriosis yang tidak memberikan gejala, dan pada endometriosis pada wanita muda dan yang masih ingin punya anak. Sebaliknya fungsi ovarium dihentikan apabila endometriosis sudah mengadakan penyerbuan yang luas dalam pelvis, khususnya pada wanita yang berusia lebih lanjut.1Sebaiknya dalam melakukan pengobatan endometriosis kita bersikap konservatif berdasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut: 1) endometriosis umumnya menjalar lambat dan memerlukan waktu bertahun-tahun; 2) endometriosis bukanlah penyakit ganas dan jarang sekali menjadi ganas; dan 3) endometriosis menjadi regresi pada waktu menopause. Umumnya pada terapi pembedahan yang konservatif sarang-sarang endometriosis diangkat dengan meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang sehat, dan pelekatan sedapat-dapatnya dilepaskan.1Pembedahan konservatif ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yakni: laparotomi atau laparoskopioperatif. Laparoskopioperatif mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan laparotomi. Pertama, lama tinggal di rumah sakit lebih pendek. Kedua, kembalinya aktifitas kerja lebih cepat. Ketiga, ongkos perawatan lebih murah. Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis yang umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita penyakit yang luas disertai dengan banyak keluhan. Operasi yang paling radikal ialah histerektomi total, salpingo-ooforektomi bilateral, dan pengangkatan semua sarang-sarang endometriosis yang ditemukan akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun dapat dipertimbangkan, untuk meninggalkan sebagian dari jaringan ovarium yang sehat. Hal ini mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul gejala-gejala premenopause dan juga mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis.1,11

VII. PROGNOSISKonseling yang tepat pada penderita endometriosis memerlukan perhatian pada beberapa aspek penyakit tersebut.Yang paling penting adalah penilaian awal derajat penyakit secara operatif. Gejala dan keinginan pasien untuk mendapatkan anak turut menjadi penentu jenis terapi yang sesuai. Perhatian jangka panjang harus dilakukan karena semua terapi memberikan perbaikan namun tidak menyembuhkan, walaupun setelah terapi definitif, endometriosis masih dapat muncul kembali. Namun resikonya cukup rendah (kira-kira 30%).10Terapi pengganti estrogen tidak meningkatkan resiko secara signifikan. Selain itu, setelah terapi konservatif, dilaporkan kadar kekambuhan bervariasi namun umumnya lebih 10% dalam 3 tahun dan lebih 35% dalam 5 tahun. Kadar rekurensi setelah terapi medis juga bervariasi dan dilaporkan hampir sama dengan terapi pembedahan. Walaupun banyak penderita mengetahui endometriosis mempunyai sifat progresif yang lama, namun terapi konservatif dapat mencegah histerektomi pada kebanyakan kasus. Penyebab endometriosis pada setiap individu tidak dapat langsung diprediksi dan modalitas terapi akan datang harus lebih baik dari terapi yang ada saat ini.10DAFTAR PUSTAKA1. Wiknjosastro H. Endometriosis. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editors, llmu Kandungan. 2 ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo; 2008. p. 314-327.2. Leyland N, Casper R, Laberge P, Singh SS. Endometriosis: Diagnosis and Management. Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada 2012;32:4-27.3. Schorge, Scaffer, Halvorson, Hoffman, Bradshaw, Cunningham. Endometriosis. In: Williams Gynecology. London: The McGraw-Hill Companies; 2008.4. Fischer CJR. Diagnosis & Management of Endometriosis: Pathophysiology to Practice. APGO Educational Series on Women's Health Issues 2012:6-25.5. D'HoogheTM, Hill JA. Endometriosis. In: Berek JS, editor. Berek& Novak's Gynecology. 14 ed. California: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 1138-1174.6. Yates M, Vlahos N. Endometriosis. In: Former KB, Szymanski LM, Fox HE, Waliach EE, editors. Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. 3 ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 403-411.7. Kennedy S, Koninckx P. Endometriosis. In: Edmons DK, editor. Dewhurst's Textbook of Obstetrics &Gynaecology. 7 ed. London: Blackwell Publishing; 2007. p. 430-439.8. Lobo RA. Endometriosis. In: Katz VL, Lentz GM, Lobo RA, Gershenson DM, editors. Comprehensive Gynecology. 5 ed. Philadelphia: Mosby; 2007.9. SofoewanMS. Endometrium dan Desidua. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editors, llmu Kebidanan. 3 ed. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo; 2008. p. 130-138.10. AghajanianP. Endometriosis. In: DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10 ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies; 2006.11. Schenken RS. Endometriosis. In: Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard IE, editors. Danforth's Obstetrics and Gynecology. California: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. p. 717-724p.