20
Ensefalitis viral : Etiologi, Tampilan Klinis, Diagnosis dan Manajemen Pendahuluan Ensefalitis merupakan inflamasi parenkim otak biasanya disebabkan bakteri atau virus, dan sering berhubungan dengan meningitis. Virus bervariasi dalam potensialnya untuk menyebabkan infeksi sistem saraf pusat (SSP); misalnya, virus rabies pasti dan secara khusus menyebabkan penyakit SSP, sedangkan ensefalitis kurang umum manifestasi dari infeksi disebabkan herpes simpleks atau virus varisela zoster. Spektrum keterlibatan otak dan dampak penyakit tergantung tidak hanya pada patogen spesifik namun juga tingkat imunologi dari host dan pada faktor lingkungan. Kami akan memfokuskan review ini pada agent yang paling relevan dari ensefalitis viral yang penting secara klinis: Herpes simpleks virus 1 (HSV-1), varicella zoster virus (VZV), enterovirus, Epstein barr virus (EBV), tick borne (TBE), human herpes virus 6 (HHV-6), measles virus (MV, agen dari sklerosis subakut, panensefalitis, SSPE), rabies, West Nile Virus (WNV), Human Immunodeficiency Virus (HIV). Kami tidak akan mempertimbangkan virus yng saat ini dijelaskan seperti virus ensefalitis Nipah atau Jepang, seperti yang saat ini diperiksa pada review terbaru. Tabel daftar 1a-c agen utama dari ensefalitidis viral. Epidemiologi Ensefaliis viral merupakan perhatian kesehatan masyarakat dunia karena tingginya mortalitas dan morbiditas seperti kerugian ekonomi. Insidensi bervariasi antar studi namun umumnya antara 3,5-7,4 per 100.000 pasien tahun [1], dan lebih tinggi pada anak- anak. Walaupun kedua gender terkena, kebanyakan studi menunjukkan sedikit predominasi pada laki-laki. Sayangnya, beberapa studi berbasis populasi telah dilakukan, penyakit dilaporkan, dan banyak kasus yang masih kabur. Data pada insidensi dari agen berbeda adalah kontradiksi. Misalnya studi kolaborasi yang

Ensefalitis Viral

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ensefalitis Viral

Ensefalitis viral : Etiologi, Tampilan Klinis, Diagnosis dan Manajemen

Pendahuluan

Ensefalitis merupakan inflamasi parenkim otak biasanya disebabkan bakteri atau virus, dan sering berhubungan dengan meningitis. Virus bervariasi dalam potensialnya untuk menyebabkan infeksi sistem saraf pusat (SSP); misalnya, virus rabies pasti dan secara khusus menyebabkan penyakit SSP, sedangkan ensefalitis kurang umum manifestasi dari infeksi disebabkan herpes simpleks atau virus varisela zoster. Spektrum keterlibatan otak dan dampak penyakit tergantung tidak hanya pada patogen spesifik namun juga tingkat imunologi dari host dan pada faktor lingkungan. Kami akan memfokuskan review ini pada agent yang paling relevan dari ensefalitis viral yang penting secara klinis: Herpes simpleks virus 1 (HSV-1), varicella zoster virus (VZV), enterovirus, Epstein barr virus (EBV), tick borne (TBE), human herpes virus 6 (HHV-6), measles virus (MV, agen dari sklerosis subakut, panensefalitis, SSPE), rabies, West Nile Virus (WNV), Human Immunodeficiency Virus (HIV). Kami tidak akan mempertimbangkan virus yng saat ini dijelaskan seperti virus ensefalitis Nipah atau Jepang, seperti yang saat ini diperiksa pada review terbaru. Tabel daftar 1a-c agen utama dari ensefalitidis viral.

Epidemiologi

Ensefaliis viral merupakan perhatian kesehatan masyarakat dunia karena tingginya mortalitas dan morbiditas seperti kerugian ekonomi. Insidensi bervariasi antar studi namun umumnya antara 3,5-7,4 per 100.000 pasien tahun [1], dan lebih tinggi pada anak-anak. Walaupun kedua gender terkena, kebanyakan studi menunjukkan sedikit predominasi pada laki-laki. Sayangnya, beberapa studi berbasis populasi telah dilakukan, penyakit dilaporkan, dan banyak kasus yang masih kabur. Data pada insidensi dari agen berbeda adalah kontradiksi. Misalnya studi kolaborasi yang dilakukan di Finlandia menggunakan amplifikasi gen untuk mendeteksi berbagai virus pada sampel LCS dari 3231 pasien dengan ensefalitis, meningitis, dan mielitis, dilaporkan VZV sebagai agen terlibat yang paling sering (29% kasus). HSV dan enterovirus dicatat 11% dari kasus dan virus influenza A untuk 7% kasus [2]. Sebaliknya, laporan terakhir dari Turku (Finlandia) dari 144 dewasa dengan ensefalitis atau meningitis aseptik, etiologi virus didapatkan pada 72 pasien; 46% dari kasus ini enterovirus, 31% HSV-2, 11% VZV, dan 4% HSV-1 [3]. Perbedaan mungkin sebagian dijelaskan oleh fakta bahwa pada tulisan terakhir, penulis memeriksa hanya dewasa imunokompeten, pasien dengan meningitis dan ensefalitis dianalisis terpisah, dan pada studi 5 tahun cukup lama untuk mengurangi efek epidemik dan variasi musim. HSV-1/2 menyebabkan bentuk paling berat dari infeksi otak manusia. Saat ini herpes simplex ensefalitis (HSE) diperkirakan terjadi kira-kira 1 dari 250.000 sampai 1 dari 500.000 individu per tahun [4]. Di US dperkirakan insidensi 1 dalam 300.000 individu [4], mirip di Inggris [5] dan Swedia [6]. HSE terjadi sepanjang tahun dan pada segala usia. Sekitar 1/3 kasus terjadi antara 6 bulan dan 20 tahun; kira-kira setengah dari pasien lebih dari 50 tahun [7]. Kedua gender hampir sama terkena.

Page 2: Ensefalitis Viral

Patogenesis dan Histopatologi

Virus mencapai SSP dengan jalur neuronal atau hematogen [8-10]. Yang terakhir merupakan paling umum dan pada infeksi melalui arthropoda dihubungkan dengan perubahan sawar darah otak. Pada TBE viremia transien mengikuti replikasi virus pada kulit setelah gigitan serangga, dengan akibat invasi dari sistem retikuloendotelial. Viremia sekunder memulai infeksi dari organ lain, termasuk SSP. Dalam ensefalitis viral akut, temuan patologi hebat adalah infiltrasi dari sel radang mononuklear dalam spasial Wirchow-Robin dan pada mening sekitar dinding pembuluh darah (cuffing perivascular). Dengan progres penyakit lanjut, proliferasi astrositosis, dan hipertrofi sel mikroglial dengan formasi aggragasi mikroglial (nodul mikroglial) dan neuronofagia (kumpulan sel mikroglial mengitari neuron mati) menjadi temuan histopatologi yang penting. Mayoritas adalah intranuklear namun yang patognomonik adalah intrasitoplasmik badan Negri pada rabies. Perubahan patologik yang dipicu replikasi HSV termasuk ballooning dari sel yang terinfeksi eosinofilik amorf atau badan mirip droplet dikelilingi halo yang jelas, dengan marginasi kromatin pada membran nuklear (Cowdry tipe A). Inklusi intranuklear tipe A mirip pada HSV, VZV, dan CMV; identifikasi yang lebih baik dari partikel virus diperoleh melalui mikroskopi elektron, imunohistokimia dan teknik hibridisasi in situ. Sebuah influks dari sel mononuklear pada jaringan yang terinfeksi terjadi kemudian. HSE dihubungkan dengan inflamasi akut, kongesti, dan/atau perdarahan, paling menonjol pada lobus temporal dan biasanya asimetris pada dewasa. Area limbik yang berdekatan jugaterlibat, dan menings yang mendasari lobs ttemporal mungkin tertimbun darah. Sekitar 2 minggu kemudian nekrosis yang nyata dari area otak yang terlibat terjadi.

Akses ke SSP oleh jalur intraneuronal terjadi secara khusus pada rabies (sistem limbik), dan pada infeksi HSV. Sekali virus mencapai otak, ini mungkin masih terbatas pada beberapa sel atau menyebar jaringan yang berdekatan baik transmisi sel ke sel atau melalui ruang ekstraseluler; kemudian HSV mungkin masih pada fase laten dalam SSP [11,12].

Walaupun diinvestigasi besar-besaran, patogenesis HSE pada anak lebih dari 3 bulan, remaja, dan dewasa masih tidak jelas. Baik HSV primer (sekitar 1/3 kasus, umumnya kurang dari 18 tahun) dan HSV rekuren dapat menyebabkan ensefalitis. Dari 2/3 kasus yang terjadi pada adanya antibodi yang sudah ada sebelumnya, hanya 10% pasien memiliki riwayat herpes labialis rekuren. Pasien dengan antibodi yang sudah ada sebelumnya dipikirkan memiliki HSE sebagai konsekuensi dari reaktivasi HSV [13]. Menariknya, saat isolasi genom DNA dari perifer (labial) dan SSP dibandingkan dengan analisis restriksi, biasanya identik, namun juga isolasi berbeda ditemukan [14]. Akses dari HSV ke SSP pada infeksi primer masih diperdebatkan, dengan baik nervus olfaktori dan trigeminal ditemukan sebagai jalur yang kuat. Pada pasien dengan HSE, partikel HSV telah ditunjukkan dengan mikroskopi elektron sepanjang traktus olfaktori pada beberapa individu [15,16]. Model binatang mendukung pandangan bahwa traktus olfaktorius menyediakan jalur masuk ke SSP yang kemudian menyebabkan lokalisasi infeksi pada regio otak analog dengan struktur medial temporal pada manusia [17,18]. Dimana reaktivasi virus laten terjadi? Reaktivasi dalam jaringan otak tidak ditunjukkan. Walaupun dikatakan bahwa kejadian

Page 3: Ensefalitis Viral

ini terjadidi bulbus olfaktorius atau ganglion trigeminal, kemudian transmisi neuronal ke SSP [17], ini sebaiknya dicatat bahwa HSE jarang berhubungan dengan herpes rekuren labialis. Bagaimana dengan imunitas pejamu? Ini dapat dibayangkan bahwa SSP rentan terhadap infeksi HSV karena penyebaran intraneuronal menyembunyikan virus dari mekanisme pertahanan tubuh p ejamu. Gambaran yang lebih rumit dengan observasi bahwa prevalensi HSE adalah sama baik pada pejamu normalmaupun immunosupresi. Namun, presentasi tidak khas pada individu imunosupresi dengan jalan subakut dan kemunduran progresif [19].

Prersentasi Klinis

Ensefalitis Viral dapat muncul dalam bentuk derajat ringan atau sedang yang sembuh sepontan atau pada bentuk yang lebih agresif dengan prognosis buruk dan sekuel neurologis berat pada yang bertahan. Tanda dan gejala prodromal adalah mirip infeksi klasik viral: demam dan nyeri kepala, mungkin disertai dengan limfadenopati, nausea, atau muntah. Setelah beberapa hari, gejala keterlibatan SSP menjadi manifestasi dengan perubahan status mental, iritabilitas yang dipertimbangkan dan agitasi, perubahan persnalitas; kejang (fokal atau general) mungkinterjadi, kadang disertai dengan tanda neurologis fokal. Pasien mungkin menjadi letargi atau koma; kemudian meninggal. Kaku kuduk merupakan tanda keterlibatan mening.

Demam merupakan tampilan paling sering dan absennya demam sebaiknya membuang keraguan dari diagnosis. Prognosis lebih buruk pada bayi kurang dari 1 tahun dan dewasa lebih dari 55 tahun. Anak-anak mungkin memiliki jalur hebat untuk beberapa hari karena odem cerebrii berat.

Enterovirus Ensefalitis

Enterovirus tampaknya menjelaskan untuk mayoritas kasus ensefalitis viral baik pada anak dan dewasa[20]. Infeksi merupakan musiman pada iklim hangat (puncak musim panas dan musim gugur) namun tinggi pada tahunan pada iklim tropis dan subtropis. Walaupun ensefalitis enteroviral mungkin disertai dengan manifestasi mukokutan, termasuk vesikel lokal (misalnya tangan, kaki, mulut), herpangina, dan ruam makulopapular generalisata, gejala ini dapat tidak muncul. Lebih dari 10 tahun terakhir, wabah neurovirulen enterovirus 71 dilaporkan dari jepang, malaysia, dan taiwan. Angka mortalitas tinggi (19,3%) telah dilaporkan dari Taiwan pada anak kurang dari 5 tahun [21].

Dampak yang tidak diinginkan (kematian atau sekuel neurologis) dari ensefalitis enteroviral telah dihubungkan dengan usia lebih muda (<4 tahun), puncak tinggi jumlah leukosit (>13.000/mm3), kejang, ruam kulit, sentalan mioklonik, hasil virus LCS yang lebih rendah, ulkus mulut, enterovirus 71 sebagai agen etiologi [21].

Ensefalitis Herpes Simpleks (HSE)

Pada HSE, disfungsi substansi gricea dari lobus temporal dan frontal merupakan fitur dominan, dan penyakit muncul dengan perubahan personalitas, bingung, dan disorientasi. Kejang terjadi

Page 4: Ensefalitis Viral

pada setengah pasien, tanda neurologi fokal (hemiparesis) sekitar sepertiga. Karena prognosis tergantung pada inisiasi awal pengobatan, terdapat keperluan untuk diagnosis segera dan akurat. Untuk alasan ini, pungsi lumbal sebaiknya disertai dengan neuroimaging hanya saat tanda neurologi fokal muncul. LCS abnormal lebih dari 95% kasus; pleositosis sedang diemukan, biasanya baik sel darah putih mononuklear dan sel darah merah, pada akhirnya karena perdarahan alami dari proses infeksi.

Ensefalitis Varisela Zoster

Ensefalitis VZV terjadi terutama pada dewasa muda dan bayi [22]. Kejang terjadi pada 29-53% kasus. Abnormalitas neurologi fokal termasuk ataksia, hipertonia atau hipotonia, hemiparesis, dan respon plantar positif. Mortalitas bervariasi dari 5-1)% [23]. Inklusi intranuklear dannekrosis hemoragik, sugestif ensefalitis varisela, telah dilaporkan juga pada pasien imunocompromised dan pada neonatus [24].

Epstein Barr virus (EBV) Ensefalitis

Ensefalitis EBV mungkin tidak hanya melibatkan lobus temporal namun juga bagian lain termasuk korteks, batang otak dan ganglia basalis. Yang penting, gejala dan tanda dari mononukleosis infeksius seperti faringitis, adenopati, splenomegali, dan limfositosis atipikal sering tidak ada [25,26]. IgM melawan antigen capsid virus dapat tidak terdeteksi [27]. Abnormalitas LCS, jika ada, hanya ringan, dengan peningkatan ringan pada tekanan, pleositosis mononuklear ringan (< 300 sel/mm3 pada satu seri) [26] dan sedikit peningkatan protein. Diagnosis dianjurkan oleh keadaan, pada lebih dari sepertiga pasien, dari gangguan gerakan, seperti korea dan gangguan fokal (hemiparesis) [26]. Walaupun ensefalitis EBV berjalan sering ringan, sekuel mungkin terjadi [26] dan penyakit dapat seringkali fatal [27].

Human Herpesvirus 6 (HHV-6) Ensefalitis

HHV-6, agen penyebab dari exanthema subitum, menginfeksi hampir semua anak tiga tahun; terdapat 2 varian A dan B, telah diidentifikasi [28]. Keduanya merupakan neurotropik in vivo dan tinggal laten pada otak dewasa, mempersulit upaya untuk menghubungkan HHV-6 dengan penyakit neurologi [29]. Namun HHV-6 dipertimbangkan sebagai penyebab yang mungkin pada ensefalitis pada anak dengan imunosupresan. Pada pasien dalam transplantasi stem sel allogenic hemapoetik, bentuk ensefalitis limbik akut (ditandai dengan amnesia anterograde, sindrom sekresi ADH yang tidak sesuai, pleositosis LCS ringan, abnormalitas EEG temporal) telah dihubungkan dengan HHV-6 [30]. Akhir-akhir ini, HHV-6 yang dihubungkan dengan rhomboensefalitis, muncul dengan kejang, ataksia, dan mioklonus, telah dijelaskan pada anak dengan imunokompeten [31]. Kasus jarang ensefalitis telah dikaitkan dengan HHV-6 pada dewasa [32-37].

Ensefalitidis Tick-Borne

Page 5: Ensefalitis Viral

Virus ditransmisikan ke manusia dengan gigitan kutu merupakan penyebab penting dari infeksi SSP di dunia. TBE disebabkan oleh 2 flavivirus yang semata-mata namun secara biologis berbeda. Wabah musiman terjadi di daerah pedesaan Rusia (Russia Spring Summer Encephalitis, RSSE) dan Eropa Tengah (Central European Encephalitis, CEE); transmisi dimediasi oleh kutu berat Ixodes persulatus dan Ixodes ricinus ( I.ovatus dan I. Gibosus mungkin vektor tambahan). Masa inkubasi adalah 2-28 hari. Presentasi klinis dari RSSE dan CEE mirip namun RSSE umumnya monofasik sedangkan RSSE normalnya terjadi pada 2 fase. Kasus berat lebih sering pada RSSE. Yang penting, sekitar 30% pasien TBE tidak mengatakan gigitan kutu [38]. CEE, dikatakan demam beberapa hari, nyeri kepala, dan nyeri otot, diikuti dengan masa asimptomatik 92-10 hari0; selanjutnya gejala dan tanda dari ensefalitis. Angka kematian RSSE mencapai 25% sedangkan CEE tidak lebih dari 4% [39]. Penyembuhan dari kasus berat lambat, dan 20% pasien mngkin memiliki sekuel neurologi berat.

Ensefalitis Measles

Pada infeksi MV, keterlibatan SSP dapat terjadi awal atau akhir setelah measles akut, menyebabkan bentuk akut dan subakut dari ensefalitis. Measles akut pasca infeksi umumnya terjadi apda pasien imunokompeten (sering pada anak dan remaja) selama fase exantematik dan dalam 8 haru setelah onset klinik [40]. Angka kematian antara 10-20% sementara sekuel diamati dalam 20-40% pasien yang sembuh [40]. Onset dari ensefalitis pada fase akhir mengakibatkan baik measles inclusion body ensephalitis (MIBE) atau dalam subacute sclerosing panencephalitis (SSPE). MIBE merupakan penyakit neurologik subakut/kronik yang mungkin diamati pada anak dengan imunosupresan dan dewasa muda.

SSPE merupakan penyakit demielisasi SSP terjadi beberapa tahun (umumnya 6-8 tahun) setelah infeksi measles akut, dengan prevalensi 1 dalam 100.000 sampai 1 dalam 1 juta anak terinfeksi. Penyakit memiliki onset tiba-tiba ditandai dengan kemunduran kognitif, penampilan buruk d sekolah, ataksia, perubahan tingkah laku, mioklonis,, mungkin kejang, dan korioretinitis dengan defisit visual parsial. Walaupun progresi berbeda dalam waktu dan remisi mungkin terjadi, kematian terjadi dalam1-3 tahun [41]. Strain MV mutan (SSPE virus) dapat disembuhkan dari jaringan otak pada pasien SSPE.

Rabies

Rabies merupakan infeksi hanya pada manusia menyebabkan ensefalitis akut dengan mendekati 100% angka kematian. Masa inkubasi bervariasi dari 5hari sampai lebih dari 6 bulan, namun biasanya 20-60 hari [42]. Setelah masa prodromal dari malaise, kecemasan, nyeri atau gatal pada sisi yang digigit, dan demam, pasien berkembang menjadi ensefalopati (hiperaktivitas dan tanda spasme hidrofobik dari sternomastoid, diafragma dan otot pernapasan, khas sehingga disebut “furious rabies”) atau tanda neurologik paralitik. Kegagalan napas dan jantung mengikuti spasme hidrofobik mematikan pada sepertiga kasus. Temuan klinis lainnya termasuk napas Cheyne-stokes, palsy nervus kranial III, IV, dan IX dan tanda kerusakan nukleus amigdaloid. Episode

Page 6: Ensefalitis Viral

intermiten dari halusinasi dan tingkah laku maniak juga diamati. Tanpa pengobatan intensif, penyakit dapat menyebabkan koma, paralisis flaksid dan kematian beberapa hari dari onset.

West Nile Virus

West Nile virus, sebuah flavivirus yang ada di dunia pada sebuah siklus enzootik dan ditransmisikan secara primer antara pejamu unggas dan vektor nyamuk (genus Culex), dapat suatu saat menginfeksi manusia, namun kebanyakan individu masih asimtomatis. Gejala dapat berkembang pada 20-40% subjek [43-44] setelah masa inkubasi 2-14 hari. Mayoritas gejala pasien muncul dengan gejala mirip flu (demam West Nile) misalnya demam, nyeri kepala, malaise, mialgia, fatigue, ruam kulit, limfadenopati, muntah, diare [45]. Kurang dari 1% dari individu yang terinfeksi berkembang menjadi penyakit neuroinvasif, misalnya meningitis, ensefalitis, dan/atau paralisis flaksid akut. Walaupun tampilan klinis sindrom ini dapat bertindihan pada pasien yang sama, studi besar dari 228 pasien ditemukan bahwa kebanyakan pasien dapat dikelompokkan seperti memiliki meningitis atau ensefalitis dan bahwa pasien dengan memiliki angka mortalitas lebih tinggi dan komplikasi yang lebih berat [46].

Ensefalitis West Nile mengikuti neuroinvasi selektif pada populasi sel tertentu (substansia nigra pada batang otak, ganglia basalis [47] dan serebelum) dan ditandai dengan perubahan kesadaran, disorientasi, tanda dan gejala neurologis fokal (disartria, kejang, tremor, ataksia, gerakan involunter, parkinsonisme) [46,47].

Human Immunodeficiency Virus

Selama infeksi HIV primer, manifestasi neurologis, berkisar dari nyeri kepaala berat dan menetap ke tanda klinis sugestif ensefalitis dan/atau meningitis, dapat terjadi. Nyeri kepala dan demam merupakan gejala yang menonjol [48]. Kadar HIV-RNA tinggi pada LCS. Walaupun sembuh tanpa obat anti retroviral biasanya mengikuti, ini dapat diberikan untuk mencoba dan mempercapat.

Pasien dengan infeksi HIV kronik dapat juga, sekalipun jarang, berkembang menjadi sindrom neurologik akut sementara memiliki peningkatan load HIV pada LCS. Resolusi gejala setelah perubahan pada, atau inisasi dari terapi antiretroviral dilakukan [49].

Ensefalopati Inflamasi Pasca Infeksius Dimediasi Imun

Sebagai tambahan pada kerusakan otak akut karena virus, ensefalopati inflamasi dimediasi imun dapat diamati beberapa hari sampai minggu setelah infeksi virus (rubella, mumps, measles, EBV, VZV, influenza) atau infeksi bakteri, namun juga setelah vaksinasi, khususnya dengan vaksin smallpox dan rabies.

Kondisi ini dinamakan Ensefalomielitis diseminated (ADEM), harus dibedakan dari ensefalitis infeksi dan non infeksi. ADEM khas monofasik, dengan gejala multifokal muncul dalam hari atau kemudian dalam berminggu-minggu, baik muncul atau absennya demam dan meningismus

Page 7: Ensefalitis Viral

[50]/ gejala neurologik (termasuk defisis motorik dan sensorik fokal, neuritis optik, neuropati kranial, kejang, mioklonus dan ataxia), terutama berkorelasi dengan perubahan demielisasi substansia alba pada MRI otak, walaupun foci inflamasi mengenai substansia gricea korteks dan subkorteks. Varian akut dari ADEM dinamakan leukoensefalomielitis hemoragik akut, ini jarang dan biasanya kondisi fatal. ADEM dan variannya sebaiknya dibedakan dari lesi mirip demielisasi, iskemik dan hemoragik yang diamati pada arteritis pembuluh darah besar dan kecil disebabkan oleh infeksi VZV, dan, selain itu, dari penyakit demielinisasi lain, termasuk sindrom mirip multipel sklerosis yang berhubungan dengan infeksi primer HHV-6. Pada kasus yang jarang, melalui mielitis, neuritis optik, dan neuromielitis optika terjadi pada manifestasi terisolasi dari ADEM. Rentang komplikasi neurologis pasca-infeksi tidak terbatas pada SSP, namun termasuk juga variasi bulbar dari neuropati demielinisasi inflamasi akut (AIDP) setelah infeksi VZV, dan plexopati brachial akut pada pasien dengan penyakit CMV yang mendahului [51]. Kelainan ini sebaiknya dibedakan juga dari paralisis flaksid akut sekunder karena flavivirus dari kompleks TBE, enterovirus non-polio, coxsackie virus, dan rabies paralitik.

Penyakit infeksi menyerupai Ensefalitis Viral

Spektrum luas dari kondisi medis akut, subakut, dan kronik melibatkan SSP muncul dengan gejala dan tanda neurologis yang mungkin bertindihan dengan mereka yang diamati pada perjalanan ensefalitis viral, myelitis dan ensefalomielitis (tabel 2).

Sementara diskusi yang dijelaskan dari gangguan ini diluar pandangan dari ulasan ini, kami manujukan petunjuk spesifik pada presentasi klinis, temuan pencitraan dan hasil laboratorium yang mungkin membantu diagnosis banding. Pada pendekatan pasien dengan suspek ensefalitis, ini penting untuk menjelaskan sindrom neurologis, menilai apakah perubahan fungsi atau struktura SSP yang diamati melibatkan substansia alba atau grisea atau keduanya, memperoleh bukti inflamasi, dan menyingkirkan kondisi non infeksi. Khususnya, ensefalitis viral muncul sebagai penyakit febris akut ditandai dengan nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang fokal, dan tanda neurologis fokal, seperti tanda inflamasi SSP. Dalam kondisi ini, ensefalitis viral akut dapat dengan mudah dipisahkan, pada dasar klinis, dari kelainan yang menyebabkan meningitis aseptik, yang bermanifestasi dengan demam, neri kepala, nyeri leher dan kaku kuduk. Bagaimanapun, diagnosis banding tidak semudah seperti yang mungkin muncul. HSE, misalnya, memiliki umumnya onset tiba-tiba dengan kebingungan, gangguan berat memori episodik dan semantik, kejang temporal uni atau bilateral, sering disertai denga tanda fokal lain. Pada kasus yang jarang, demam dapat tidak muncul [52]. Namun, onset klinik tampilan klinis diatas- yang mencerminkan keterlibatan regio otak orbito-frontal dan lobus temporal medial – dapat sebagian bertumpang-tindih dengan mereka yang diamati pada kelainan transien seperti gegar otak, kondisi psikiatrik, amnesia global transien dan kejang temporal [53].

Selain itu, jumlah kelainan statis dari lobus temporal, termasuk vaskuler, neoplastik, dan kondisi infeksius, dapat hampir mirip dengan fenotip florid dari HSE [53]. Sebagian, ensefalitis limbik autoimun (sindrom neurologis subakut yang ditandai dengan gangguan kognitif, halusinasi,

Page 8: Ensefalitis Viral

kejang epileptik, depresi, defisit memori berat) harus dipertimbangkan pada diagnosis banding [54]. Tumpang tindih selanjutnya dengan HSE dan, bergantian, dengan ensefalitis limbik dapat terjadi pada pasien dengan ensefalopati responsif steroid berhubungan dengan tiroiditis autoimun (SREAT), juga dirujuk sebagai ensefalitis Hashimoto (kelainan pleomoftik ditandai dengan tingginya titer antibodi antitiroid, hiperproteinorachia, dan perubahan variabel EEG) [55]. Pasen dengan SREAT muncul dengan mioklonus akut/subakut, perubahan kesadaran, kejang, perubahan neuropsikiatrik, kemunduran mirip stroke. Yang penting, respon steroid merupakan khas pada SREAT dan kelainan ensefalopatik lain termasuk kelompok dari ‘meningoensefalitis nonvaskulitik autoimun’ (NAIM) [56], seperti sindrom Sjogren dan Lupus Eritematosis Sistemik.

Pasda gejala ensefalitis limbik merupakan disfungsi sekunder dari sistem limbik (hipokampus, amigdala, hipotalamus, insula, dan korteks singula) sebagai akibat dari serangan autoimun selular dan/atau humoral [57]. Ensefalitis limbik biasanya paraneoplastik dan kebanyakan berhubungan dengan tumor jauh dan tersembunyi, termasuk small cell carcinoma paru, seminoma testikuler, nonseminomoatous tumor sel germ, dan limfoma. Yang penting pada beberapa pasien, ensefalitis limbik tidak berhubungan dengan kanker dan pada kasus tertentu ini mungkin merespon baik dengan pengobatan [58]. Diagnosis dari ensefalitis limbik autoimun dengan tegas diperoleh dengan menunjukkan keberadaan autoantibodi sirkulasi yang mengenali (a) baik antigen onkoneural intraselular (misalnya Hu, Ma2, amfifisin, dan CRMP5/CV2), atau (b) antigen membran neuronal (misalnya reseptor N-methyl-D-aspartat, voltage-gated potassium channel0 [54, 58].

Perekamann EEG, MRI dari otak, dan pemeriksaan LCS merupakan langkah pertama yang esensial untuk membedakan infeksi viral dari ensefalitis limbik, SREAT, NAIM, penyakit granulomatous, dan vaskulitis primer. Pada kasus dimana MRI sedikit membantu, scan Positron Emission Tomography (PET) otak dapa menyediakan petunjuk diagnostik. Menariknya, sindrom ensefalitis limbik, dengan kebingugnan, gangguan tidur, kejang temporal, gangguan memori telah dilaporkan pada pasien imunocompromised, transplantasi dengan reaktivasi HHV-6 [59].

Kondisi paraneoplasti, seperti ensefalitis batang otak, harus disingkirkan dalam diagnosis kerja pasien dengan rhombencephalitis, sindrom batang otak yang jarang muncul dengan myoklonik, ataxia, tumor, gangguan okuler, parese nervus cranialis, retensio urin, dan pada kasus yang fatal, udem pulmonal neurogenik, dan syok. Rhombencephalitis biasanya dihubungkan dengan infeksi bakteri, termasuk Listeri monositogen, Mycoplasma pneumoniae, dan Borrelia burgdorferi. Bentuk sporadik, self limited dan jinak juga dikaitkan dengan infeksi HSV, influenza A, adenovirus, echovirus, dan flavivirus. Sebaliknya, perjalanan yang cepat dan fatal dapat terjadi mengikuti infeksi EBV dan VZV. Yang terbaru, wabah fatal dari enterovirus 71 rhombencephalitis juga dilaporkan [60].

Deteksi

Page 9: Ensefalitis Viral

Rangkaian Virus pada Sampel LCS

Walaupun lebih dari 100 agen virus dapat menyebabkan ensefalitis, pada praktek klinik identifikasi dari agen penyebab masih jarang. Diagnosis dilakukan sekali dengan menunjukkan antibodi antiviral yang diproduksi intrathekal. Namun, assay antibodi terbatas pada beberapa laboratorium referensi, memerlukan waktu yang dipertimbangkan, dan interpretasi hasil diperumit dengan rendahnya kadar antibodi yang ditemukan di LCS seperti transfer pasif antibodi dari darah. Ini membuat penentuan wajib rasio antibodi LCS/Serum.

Saat ini, teknologi asam nukleat (NA) dapat –secara prinsip- mendeteksi genom dari spesies viral apapun. Metode molekuler ditandai dengan sensitivitas tinggi dan cepat (< 6 jam) yang akan memberikan inisiasi terapi antiviral yang cepat. Memang pada sampel LCS teknologi asam nukleat memelihara sensitivitas untuk beberapa waktu setelah inisiasi antivirus [61]. Karena hitungan jumlah kopi genom dapat menjadi marker dari derajat penyakit dan sering memprediksi dampak klinis, metode kuantitatif menjadi meningkat aplikasinya untuk memperkirakan viral load dan untuk memonitor, untuk beberapa virus (misal HSV), efek dari antiviral [62].

Diagnosis laboratorium dimulai dengan ekstraksi NA dari LCS (jarang dari biopsi otak). Kemudian, metode komersial dipilih untuk efektivitasnya dan standarisasinya. Akhir-akhir ini diperkenalkan, metode otomatis berdasar partikel NA-binding magnetic ditandai dengan tingginya kemurnian NA yang diekstraksi. Dalam pengalaman kami, metode manual berlanjut memuaskan karena jumlah rendah dari spesimen yang biasanya diserahkan ke laboratorium untuk suspek ensefalitis. NA biasanya diekstraksi dengan metode yang didedikasikan baik DNA maupun RNA.

Sementara kebanyakan laboratorium menggunakan peralatan ekstraksi NA dengan performa yang mirip, metode amplifikasi gen sangat berbeda. PCR merupakan teknik paling umum, namun –untuk agen apapun- beberapa alat primer yang menargetkan gen berbeda telah diajukan oleh beberapa penulis yang berbeda. Selain itu, protokol membedakan dengan memandang kondisi reaksi, teknik untuk memastikan produk yang diamplifikasi, strain virus yang digunakan sebagai kontrol positif. Lebih dadri beberapa tahun terakhir, metode komersial untuk agen viral paling umum telah diperkenalkan dengan perusahaan diagnostik mayor dan sedang dievaluasi di dunia. Tabel 3 menampilkan agen ensefalitis (beberapa tidak diperiksa pada ulasan ini) dengan metode diagnostik molekuler yang dipilih dan referensi yang relevan. Hasil PCR positif harus selalu dipertimbangkan dalam hubungan dengan gejala dan tanda klinis sebelum menetapkan diagnosis. Hasil RT-PCR negatif menunjukkann hanya absennya agen yang diperiksa pada sampel namun tidak menyingkirkan diagnosis yang dicurigai. Hasil yang samar adalah yang jatuh antara batas terendah deteksi dan kadar sebelumnya. Ini tidak dapat ditentukan positif atau negatif. PCR kualitatif dan RT-PCR adalah metode amplifikasi paling sering digunakan. Keudanya menggunakan Polimerase DNA termostabil, set primer khusus, dan profil termocycling yang didedikasikan. Amplicons dideteksi dengan gel elektrophoresis dan/ atau hibridisasi dengan probe berlabel. Amplifikasi waktu riil (teknik yang mampu menghitung

Page 10: Ensefalitis Viral

produk yang diamplifikasi) memerlukan satu atau lebih set primer ditambah probe pemancar foto, atau, selain itu , sebuah set primer ditambah pewarna fluorescent yang mengikat DNA rantai ganda (misal SYBR Hijau). Metode yang diajukan terbaru adalah amplifikasi isothermal yan g dimediasi loop (LAMP) assay. LAMP menggunakan 6 primer atau lebih yang menuju satu gen.. efektivitas, sensitivitas, dan kemudahannya telah dibuktikan untuk CMV [63]/

Pada praktik klinis, diagnosis laboratorium dari ensefalitis viral masih sulit karena memerlukan variasi agen yang luas dalam waktu singkat. Metode PCR multiplex ( adalah metode yang mampu mendeteksi target multipel pada tes tunggal) telah diajukan [64-67], namun jarang digunakan. Terutama, satu sistem akan mampu deteksi simultan dari banyak tipe enterovirus, beberapa herpesvirus dan flavivirus tertentu [65]. Spesifisitas dan sensitivitas sistem ini, bagaimanapun, tidak didokumentasikan.

Neuroimaging

Neuroimaging memainkan peran penting dalam mendeteksi lesi inflamasi otak dan mening, karena visualisasi dari pola lesi khusus berperan untuk diagnosis.

Pada CT scan otak HSE mengungkapkan lesi hipodens, penyangatan kontras pada temporal antero dan medial dan pada regio frontal inferior. Oedem dan efek massa terjadi pada 80% kasus. MRI otak lebih baik daripada CT scan dalam mendeteksi nekrosis di orbitofrontal dan lobus tempoal medial, dan pada insula. Nekrosis ditunjukkan dengan peningkatan sinyal dalam 48 jam pertama pada T2-weighted (T2WI) atau fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) [68] (gambar 1), dengan penurunan sinyal T1 dan penyangatan variabel. Diffusion-weighted imaging (DWI) bahkan lebih sensitif daripada T2WI atau FLAIR dalam mendeteksi lesi awal korteks pada HSE, baik pada bayi maupun dewasa [69]. Abnormalitas difusi hilang dalam 14 hari setelah onset, sedangkan hiperintensitas pada T2WI masih ada [69].

Pada ensefalitis HHV-6, MRI menunjukkan abnormalitas predominan pada lobus temporal mesial, termasuk hiperintensitas sinyal T2 dan penurunan volume awal di hippocampus [70,71]. DW-MRI merupakan alat yan gmenjanjikan untuk deteksi dini dan untuk prediksi hasil [72].

Ensefalitis EBV pada pasien imunokompeten dewasa menghasilkan otak normal atau sedikit membengkak pada MRI, sementara pada bayi, karena karakteristik tropisme pada nukleus gricea dalam, pola dari peningkatan sinyal T2WI pada thalamus bilateral dan ganglia basalis didapatkan.

Pada ensefalitis measles akut, T2WI mengungkapkan udem korteks dan lesi hiperintense bilateral simetris pada putamen dan nukleus caudats seperti pada centrum semiovale. Penyangatan kontras dapat muncul pada area korteks dan leptomeninges [73]. Pada tahap awal dari SSPE, spektroskopi MR menunjukkan peningkatan rasio cholin/creatin sugestif dari inflamasi asimetris pada regio kortikosubkortikal parieto-oksipital. Pada tahap akhir, MRI konvensional mengungkap perubahan hiperintense simetris periventrikular pada T2WI [74].

Page 11: Ensefalitis Viral

Pada pasien dengan TBE, perubahan patologis T2-weighted dan MRI FLAIR dapat diamati pada hampir 20% kasus. Keterlibatan thalamus bilateral, dan abnormalitas serebelum, batang otak, ganglia basalis, medula spinalis didapatkan [75,76].

Walaupun diagnosis rabies kebanyakan secara klinis, MRI dapat membantu. Bentuk paralitik dan ensefalitik memiliki distribusi mirip dari hiperintensitas T2 ringan melibatkan batang otak, hippocampus, hipotalamus, substansia alba dalam dan subkortikal, substansia gricea korteks serebral, dan ganglia basalis. Perubahan bervariasi pada tahap pernyakit yang berbeda [77].

Manajemen

Manajemen umum pada dasarnya suportif dan pada kasus berat harus di ICU. Kejang fokal dan general perlu ditangani secara efektif dengan antikonvulsan intravena. Peningkatan TIK harus ditangani dengan manitol dan/atau steroid intravena. Pda kasus peningkatan TIK yang cepat dengan perburukan klinis yang tidak responsif terhadap pengobatan medis, dekompresi bedah dapat menyelamatkan jiwa. Komplikasi lain seperti infeksi bakteri sekunder, pneumonia aspirasi, gagal nafas, abnormalitas kardiak, imbalans cairan dan elektrolit harus dideteksi dini dan ditangani dengan tepat.

Ensefalitis yang berhubungan dengan herpesvirus dapat ditangani dengan terapi antiviral yang efektif. Pemberian asiklovir (dalam 48 jam pertama dari onset gejala) pada dosis 10mg/kgBB intravena tiga kali sehari untuk 14 hari (21 hari pada pejamu imunokompromise) mengurangi angka kematian dan akibat neurologis berat jangka panjang pada pasien dengan HSE [78,79]. Namun, angka kematian tetap tinggi (14%, meningkat sampai 25,4% pada akhir tahun pertama setelah pengobatan di Swedia lebih dari 11 tahun) [80], khususnya pada pasien dengan GCS kurang dari 6. Pasien dibawah 30 tahun dan dengan GCS di atas 10 memiliki hasil yang paling baik. Pada pasien dengan imunokompeten, resistensi herpesvirus karang dan umumnya tidak berkorelasi dengan hasil klinis [81]. Steroid dosis tinggi dapat membantu pada kasus tertentu pada anak, khususnya saat perjalanan bifasik atau terjadi relaps [82, 82].

Pada ensefalitis VZV, keuntungan pengobatan dari penggunaan rutin asiklovir pada kompeten imunologik anak tidak dibuktikan. Methylprednisolon dapat diberikan pada pasien yang muncul dengan defisit neurologis dengan jeda setelah onset (>7hari) seperti ini cenderung kasus pada ADEM.

Ensefalitis EBV tidak memiliki terapi efektif (agen antiviral, imunogobulin dan steroid dan kurang inefektif). Antiviral berbeda (gansiklovir, foscarnet, dan cidofovir) telah dilaporkan berguna pada beberapa kasus dari ensefalitis HHV-6, namun tidak ada penelitian klinis yang dipublikasikan [84]. Belum ada terapi untuk ensefalitis enteroviral, walaupun obat pleconaril antipicornavirus spektrum luas mungkin menjadi pilihan di masa yang datang [85].

Berbagai macam antiviral dan agen imunomodulatory telah digunakan untuk menangani SSPE dengan hasil yang kontradiksi. Hasil yang mendorong dilaporkan pada studi multicenter dengan

Page 12: Ensefalitis Viral

follow-up 6 bulan mengevaluasi inosipleks oral (isoprinosine) saja atau dikombinasikan dengan terapi intraventrikular IFN α2b [86], namun studi lain diperlukan untuk memastikan data ini.

Ensefalitis rabies progresif dan fatal, dan terapi hanya paliatif. Walaupun kelangsungan hidup dilaporkan pada kasus yang diisolasi pada pasien dengan gejala, semua pasien yang menerima baik pre atau pasca paparan profilaksis dan tidak ada yang memiliki tes positif untuk virus rabies [87-92]. Sekuel disabilitas neurologik diikuti hampir pada semua yang bertahan hidup. Pada 2005, Willoughby dan teman-teman menjelaskan kelangsungan hidup dari wanita muda nonvaksinasi dengan ensefalitis rabies setelah penanganan agresif yang termasuk terapi koma, terapi antiviral, dan penanganan suportif intensif [93]. Strategi, dikenal dengan Protokol Milwaukee, melibatkan pemberian ketamin, midazolam, amantadine, ribavirin, dan fenobarital, dan berdasarkan pendapat bahwa, diberikan dalam waktu cukup, terapi antiviral dan antieksitatori akan membiarkan klirens viral dan penyembuhan klinis. Namun pada kasus yang dijelaskan oleh Willoughby dan teman-taman, virus rabies tidak pernah diisolasi dan deteksi antibodi virus antirabies darah dan LCS. Enam kasus tambahan rabies manusia ditangani dengan Protokol Milwaukee telah dijelaskan [94-97]. Tidak ada pasien yang menerima profilaksis pasca paparan, semua pasien muncul dengan penyakit klinis, dan tidak mampu bertahan. Walaupun deteksi antibodi antirabies pada pasien ini dan bukti dari klirens viral, otopsi dari kebanyakan pasien masih mengungkapkan keberadaan virus rabies. Pada kesimpulannya, pada ensefalitis rabies saat ini harus lanjut dianggap sebagai kondisi yang tidak dapat sembuh.

KESIMPULAN

Ensefalitis virus berlanjut menjadi banyak kesulitan dalam diagnosis dan manajemen. Walaupun pencitraan yang modern dan metode molekular sudah tersedia, terlalu sering penyebabnya tidak teridentifikasi. Terapi suportif untuk mengendalikan kejang, gagal nafas, udem serebri dan untuk mencegah trombosis vena dalam, pneumonia aspirasi, infeksi bakteri, perdarahan gastrointestinal seperti DIC masih menjadi andalan pengobatan. Patogenesis masih sulit dipahami dan hanya satu bentuk (HSE) dapat berguna dari pengobatan. Penggunaan steroid sebagai terapi ajuvan masih kontroversial, walaupun sejumlah laporan menunjukkan keuntungan klinis. Metode novel telah diajukan untuk identifikasi virus; kemudian diharapkan bahwa amplifikasi acak DNA berpasangan pada teknik molekuler lain [87,88] akan mampu mendeteksi agen multipel dari ensefalitis.

Banyak kebutuhan yang dilakukan untuk meningkatkan prognosis ensefalitis viral. Sayangnya, jarangnya penyakit akan lebih mencegah usaha penting dengan pabrik obat untuk mengembangkan novel dan terapi yang lebih bertarget.

STRATEGI PENELITIAN DAN KRITERIA SELEKSI

Data untuk ulasan ini diidentifikasi dengan penelitian Medline, Current Contents, dan referensi dari artikel relevan; beberapa artikel diidentifikasi melalui penelitian dari data-data ekstensif dari penulis. Istilah penelitian adalah”ensefalitis” atau “viral ensefalitis” dan “etiologi”,

Page 13: Ensefalitis Viral

“patogenesis”, “diagnosis”, “gejala”, “investigasi”, “radiologi”, computerised tomography”, “investigasion”, “nuclear magnetic resonance”, “positron emission tomography”, “single photon emission tomography”, “pathology”, “therapy”, “antiviral therapy”, “polymerase chain reaction”, virology”, “cerebrospinal fluid”, “EBV”, “enteroviruses”, “herpes simpleks virus”, “herpes zoster virus”, “HHV-6”, “measles”, “rabies”, “SSPE”, “West Nile Virus” atau “tick borne”. Hanya tulisan bahasa inggris dipublikasikan dari 1960 sampai september 2008 yang diulas.