EPIDERMOLISIS BULLOSA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Epidermolisis bulosa

Citation preview

EPIDERMOLISIS BULOSA

I. PENDAHULUANEpidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau timbul akibat trauma ringan. Penyakit ini ditandai dengan gangguan / ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif dibawahnya dengan manifestasi tendensi terbentuknya vesikel atau bula karena terkena trauma ringan atau gesekan ringan. Kobner mengemukakan istilah epidermolisis bulosa tersebut pada tahun 1986, sedangkan oleh Pearson penyakit ini disebut mehanobulous sesuai dengan terjadinya bula karena trauma. Kemudian diketahui juga bahwa bula tidak hanya terletak di epidermis, tetapi juga dapat mengenai mukosa.1,2Epidermolisis bulosa berbeda dengan penyakit vesikobulosa kronik lainnya yang nonherediter, seperti dermatitis herpestiformis Duhring, pemfigoid bulosa dan pemfigus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terjadinya penyakit dalam keluarga, gejala dan tanda klinis, pemeriksaan histopatologis untuk melihat letak bula terhadap stratum basal serta pemerikaan dengan imunoflorosens dan mikroskop elektron untuk melihat defek pada protein yang bisa digunakan untuk menentukan klasifikasi dari epidermolisis bulosa.2,3 Penyakit ini adalah penyakit genetik dan belum ditemukan pengobatan yang tepat. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dikontraindikasikan.4 Dikarenakan epidermolisis bulosa menyebabkan masalah, bukan hanya bula pada kulit, tetapi pada mukosa, akral, saluran cerna, mata dan lain-lain, maka penatalaksaan pasien pun harus multidisiplin dan secara holistik.1,2,4

II. EPIDEMIOLOGISelama tahun 1986-1990, prevalensi penyakit epidermolisis bulosa adalah sebesar 8 per satu juta populasi degan insiden 19 per 1 juta kelahiran hidup. Angka insiden per subtipe adalah, epidermolisis bulosa simplex (EBS) sebesar 11 per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa junctional (EBJ) sebesar 2 per satu juta kelahiran hidup, epidermolisis bulosa distrofik (EBD) subtipe dominan sebesar 3 per satu juta kelahiran hidup serta EBD subtipe resesif sebesar 2 per satu juta kelahiran hidup.2Menurut data dari Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of America (DebRA), insiden dari EBJ sebesar 3.86 per satu juta kelahiran hidup per tahun selama tahun 2007-2011.5 Pada studi yang dilakukan oleh Australasian EB Registry6 selama Januari 2006 hingga Desember 2008, dari total 259 pasien yang diikutsertakan dalam penelitian, yang menderita EBS sebanyak 139, EBJ sebanyak 28, EBD sebanyak 91, dan sindrom Kindler sebanyak 1 orang. Usia rata-rata pasien EBS dan EBD adalah 24.1 tahun dan rata-rata usia yang lebih muda ditemukan pada pasien EBJ.

III. ETIOPATOGENESISUntuk dapat mengerti etiopatogenesis dan klasifikasi epidermolisis bulosa maka penting untuk mengetahui struktur dan target protein di taut dermoepidermal (Basement Membrane Zone=BMZ).

Gambar 1. Susunan skematis taut dermoepidermalSumber : Inherited epidermolysis bullosa: New diagnostic criteria and classification.Epidermolisis bulosa terbagi menjadi 4 tipe, yaitu epidermolisis bulosa simplex (EBS), epidermolisis bulosa junctional (EBJ), epidermolisis bulosa distrofik (EBD) dan sindrom Kindler. Target protein dari EBS berada di desmosom yang menghubungkan keratinosit yang satu dengan yang lainnya. Sebagian besar target protein yang terlibat di EB di temukan di taut dermoepidermal. EBS memiliki bula intraepidermal sebab memiliki target protein keratin 5 (K5) dan 14 (K14) serta K15 dan K17 yang terletak di basal keratinosit di taut dermoepidermal. Dengan adanya mutasi pada gen keratin menyebabkan terbentuknya struktur filamen keratin interseluler yang tidak stabil dan mudah rusak. Selain itu, EBS dapat terjadi akibat pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein abnormal yang sensitif terhadap perubahan suhu. Sitolisis keratinosit dan bula intradermal terjadi karena abnormalitas keratin.7 Diduga juga terjadi defisiensi enzim galatomsylhidroxylysyl-glocosyltransferase dan gelatinase (enzim degradase kolagen). Selain itu juga terjadi mutasi pada gen plektin. Plektin adalah proein yang terdapat di membran basal pada attachment plaque/hemidesmosom yang berfungsi sebagai penghubung filamen intermediate ke membran plasma. Hampir semua tipe EBS diturunkan secara autosomal dominan kecuali pada EBS dengan muscular dystrophy, EBS letal autosomal resesif dan kemungkinan EBS lokalisata.8 Bula yang terjadi pada EBJ terletak di intralamina lusida karena target protein utamanya adalah laminin-332 yang menyusun anchoring filaments, serta kolagen tipe XVII dan integrin 64. Integrin tersebut terdapat di hemidesmosom yang merupakan molekul adhesi laminin yang menyebabkan attachment plaque tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid bulosa 2 (BPA-2) dijumpai pada EB junctional ringan yang disertai atrofi.. Pearson dan Scachner menduga EBJ terjadi akibat membran abnormal sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk celah di lamina lusida.1EBD mempunyai target protein kolagen tipe VII yang menyusun anchoring fibrils di sublamina densa,8 sehingga bula pada EBD terbentuk di sublamina densa. Pada EBD resesif terjadi peningkatan aktifitas kolagenase, sedangkan pada yang dominan umumnya tidak terjadi. Pada sindrom Kindler, bula terbentuk pada lebih dari satu lapisan, yaitu di intralamina lusida dan sublamina densa.

IV. GEJALA KLINISGejala klinis dari EB adalah adanya bula, dan bula terbentuk di tempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma yang ringan, misalnya trauma jalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih, kadang hemoragik, pada penyembuhan perlu diperhatikan, apakah meninggalkan bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa juga ikut terkena, seperti mukosa oral, nasofaringeal, okular, genitourinaria, gastrointestinal, atau sistem respirasi, demikian pula kuku dapat mengalami distrofik. Pada tipe distrofik resesif dapat disertai retardasi mental dan pertumbuhan, kontraktur dan perlekatan (fusi) jari-jari tangan.4Evaluasi ukuran, lokasi dan karakteristik bula. Biasanya bula superfisial bermanifestasi sebagai erosi berkrusta, bula intradermal terasa flaccid dan bisa bertambah besar dengan tekanan. Bula intralamina lucida terasa kencang dan menyembuh dengan atrofi tapi tanpa jaringan parut. Bula sublamina densa menyembuh dengan jaringan parut dan pembentukan milier. a. Epidermolisis bulosa simplexEpidermolisis bulosa simpleks adalah kumpulan dari gangguan keratin ditandai dengan bula intraepidermal dengan keterlibatan internal yang relatif ringan. Lesi biasanya sembuh tanpa jaringan parut. Paling umum, penyakit ini diwariskan secara dominan. Bentuk yang lebih parah termasuk subtipe Koebner, Dowling-Meara, dan bentuk Weber-Cockayne. 1. Epidermolisis bulosa simplex ringanSubtipe Weber-Cockayne adalah bentuk paling umum dari epidermolisis bulosa simplex. Bula biasanya dipicu oleh peristiwa traumatis yang jelas. Bula yang terbentuk bisa ringan sampai berat dan paling sering terjadi pada telapak tangan dan kaki. Hiperhidrosis dapat muncul bersamaan dengan gangguan ini. Weber-Cockayne ditunjukkan pada gambar di bawah.

Gambar 2. Epidermolisis bulosa simplex subtipe Weber-CockayneSumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217

2. Epidermolisis bulosa simplex beratBiasanya, onset terjadiya bula pada saat lahir atau segera setelah lahir. Tangan, kaki, dan ekstremitas adalah tempat yang paling sering. Hiperkeratosis palmoplantar dan erosi sering terjadi, khususnya pada subtipe Koebner. Pada subtipe Dowling-Meara terdapat keterlibatan mukosa oral dan bermanifestasi sebagai bula yang herpetiform. Subtipe Koebner ditunjukkan pada gambar di bawah. Gambar 3. Bula herpetiform pada EBS Dowling-MearaSumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217 Gambar 4. Papul hiperkeratosis dan plak pada telapak tangan EBS KoebnerSumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217

3. Epidermolisis bulosa dengan distrofi ototKondisi ini ditandai awalnya oleh bula yang bervariasi, diikuti oleh onset distrofi otot di kemudian hari. Tingkat aktivitas bula tidak berkorelasi dengan tingkat distrofi otot. Gangguan ini kadang-kadang dapat dikaitkan dengan atresia pilorus. Beberapa pasien memiliki kelainan gigi.44. Epidermolisis bulosa dengan atresia pilorusKondisi ini selalu dikaitkan dengan atresia pilorus saat lahir dan biasanya disertai dengan bula seluruh tubuh yang parah. Pada kebanyakan pasien, prognosis buruk meskipun telah dikoreksi atresia pilorus. Subtipe ini biasanya berakibat fatal pada masa bayi.4b. Epidermolisis bulosa junctionalEBJ adalah kumpulan penyakit yang ditandai dengan bula intralamina lusida. Subtipe utama termasuk subtipe mematikan yang disebut Herlitz atau junctional letalis epidermolysis bullosa, subtipe yang tidak mematikan disebut epidermolysis bullosa junctional mitis, dan generalized atrophic benign epidermolysis bullosa.1. Lethal junctional epidermolysis bullosa (Herlitz)Subtipe ini ditandai dengan bula generalisata saat lahir serta erosi periorifisial sekitar mulut, mata, dan lubang hidung, sering disertai dengan hipertrofi jaringan granulasi. Terdapat keterlibatan multisistemik dari kornea, konjungtiva, trakeobronkial, faring, esofagus, dubur, dan genitourinari. Komplikasi internal penyakit ini termasuk suara serak, batuk, dan kesulitan pernapasan lainnya. Pasien dengan Herlitz beresiko terkena sepsis atau komplikasi lain dan biasanya, mereka tidak bertahan hidup pada masa bayi.

Gambar 5. Bayi dengan EBJ subtipe HerlitzSumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a02172. Nonlethal junctional epidermolysis bullosa mitisPasien dengan EBJ mitis adalah pasien EBJ dengan bula generalisata yang bertahan hidup pada masa bayi dan klinis membaik dengan usia. Biasanya, pasien ini tidak menangis serak atau memiliki gejala pernapasan lain yang signifikan seperti halnya pasien dengan bentuk Herlitz. Sebaliknya, kelainan kulit kepala, kuku, dan gigi lebih jelas terlihat. Erosi Periorificial dan hipertrofi jaringan granulasi bisa ada. Membran mukosa sering terkena erosi, sehingga mengalami striktur. Beberapa pasien dengan EBJ Mitis bisa memiliki bula lokal di daerah intertriginosa.3. Generalized atrophic benign epidermolysis bullosa (non-Herlitz)Ini adalah subtipe yang relatif ringan ditandai dengan bula generalisata dan muncul saat lahir. Bula diperparah dengan meningkatnya suhu lingkungan, dan bula sembuh dengan penampilan atrofi yang khas. Keterlibatan ekstrakutan jarang, dengan pengecualian gigi. Hipoplasia enamel menyebabkan kerusakan gigi yang signifikan. Distrofi kuku dan alopecia adalah manifestasi klinis umum lainnya.

Gambar 6. Gigi pasien dengan EBJ Generalized non-HerlitzSumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217

c. Epidermolisis bulosa distrofikEBD adalah sekelompok penyakit yang disebabkan oleh defek dari anchoring fibril. Gejalanya adalah pembentukan bula di sublamina densa, dan bula yang sembuh akan diikuti oleh pembentukan jaringan parut yang distrofik. Terdapat juga pembentukan milia (papul berukuran 1- 4 mm) akibat dari kerusakan folikel rambut. EBD memiliki 2 subtipe, yaitu yang diwariskan secara dominan dan resesif.1. Epidermolisis bulosa distrofik tipe dominanOnset penyakit biasanya pada saat lahir atau selama masa kanak-kanak, dengan bula generalisata. Sebuah varian umum yang digambarkan oleh Cockayne-Touraine memiliki distribusi di akral. Varian lain yang dijelaskan oleh Pasini yaitu gambaran bula lebih luas, papula seperti jaringan parut di badan (lesi albopapuloid), dan keterlibatan mukosa mulut dan gigi. Tidak adanya kuku atau kuku yang mengalami dstrofik adalah gejala yang umum lainnya2. Epidermolisis bulosa distrofik tipe resesifGejala penyakit berkisar dari ringan sampai berat. Bentuk lokal, yang disebut EBD resesif mitis sering melibatkan daerah akral dan kuku tetapi juga menunjukkan sedikit keterlibatan mukosa. Subtipe ini juga menunjukkan manifestasi klinis yang mirip dengan bentuk dominan. Bentuk yang berat, biasanya menunjukkan bula seluruh tubuh saat lahir dan selanjutnya muncul distrofik jaringan parut yang luas yang paling menonjol pada permukaan akral. Hal ini dapat menyebabkan polisindaktil tangan dan kaki. Terdapat kontraktur dari fleksi ekstremitas. Kuku dan gigi juga bisa dipengaruhi. Keterlibatan mukosa internal dapat mengakibatkan striktur esofagus, uretra dan stenosis anal, fimosis, dan jaringan parut kornea. Malabsorpsi biasanya menyebabkan anemia yang disebabkan dari kurangnya penyerapan zat besi, dan kekurangan gizi secara keseluruhan dapat menyebabkan gagal tumbuh.

Gambar 7. Polisindaktil pada pasien dengan EBDSumber: http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217

d. Sindrom Kindler (SK)SK adalah genofotodermatosis yang jarang, dijelaskan pertama kali pada tahun 1954 oleh Theresa Kindler. Gambaran yang menonjol termasuk bula karena trauma dan fotosensitif yang biasanya dimulai pada masa bayi. Dengan bertambahnya usia, poikiloderma progresif dan atrofi kulit timbul.9 Gambar 8. Sindrom Kindler dengan poikiloderma (kiri) dan bula (kanan)Sumber: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-kindler.pdf

e. Sindrom BARTBula terbentuk di bagian dermal membran basal menyebabkan erosi di bagian ekstremitas, intertriginosa, leher dan bokong. Sembuh spontan dan meninggalkan bekas hipopigmentasi. Nama lain dari sindrom Bart adalah EB dengan Congenital Localized Atrophic of Skin.3

Gambar 9. Lengan penderita sindrom BARTSumber: http://www.merckmedicus.com

f. Epidermolisis bulosa akuisita Mirip dengan epidermolisis bulosa pada anak-anak, perbedaannya adalah penyakit ini didapatkan pada usia dewasa. Penyakit ini jarang, dan dihubungkan dengan autoantibodi dari imunoglobulin G terhadap kolagen tipe VII. Penyebabnya tidak diketahui. Bula terletak di subepidermal di bawah membrana basalis, mengenai telinga, siku, tangan, lutut, mukosa dan kuku mengalami distrofi. Patologi menunjukan bula subepidermal, fibrosis, pembentukan milia, dan deposit IgG positif di taut dermoepidermal.11

V. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Darah lengkapPemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk melihat apakah terjadi infeksi bakteri atau virus yang menyertai EB serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, dengan melihat jumlah leukosit dan hitung jenis. Darah lengkap juga digunakan untuk melihat apakah pasein sedang menderita anemia yang biasanya ada pada pasien EBD resesif.b. EndoskopiEndoskopi dilakukan untuk mengevaluasi disfungsi gastrointestinal, untuk melihat apakah terdapat striktur esofagus yang berhubungan dengan EBJ, EBD, atau atresia pilorus terkait dengan EBJ. c. Mikroskop imunoflorosensDengan kemajuan ilmu di bidang patologi, telah banyak ditemukan antibodi untuk masing-masing target protein yang mengalami defek pada EB. Dengan pemeriksaan ini, maka dapat ditentukan klasifikasi dari EB berdasarkan target proteinnya. Pemeriksaan ini dilaporkan memiliki sensitivitas dan spesitifitas yang lebih baik dibandingkan mikroskop elektron (97% vs 71%) dan (100% vs 81%).12d. Mikroskop elektronPemeriksaan dengan mikroskop elektron memiliki kelebihan, karena mampu melihat ultrastruktur, serta protein-protein di taut dermoepidermal yang mengalami defek. Dengan diketahuinya hal tersebut dapat ditentukan klasifikasi tipe EB. 1 Kelemahan dari pemeriksaan mikroskop elektron adalah biayanya yang mahal dan hanya laboratorium tertentu yang memilikinya, serta dibutuhkan tenaga spesialis yang berpengalaman untuk melihat ultrastruktur di taut dermoepidermal tersebut.9e. Pemeriksaan DNAPemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya mutasi pada gen pengkode protein pada DNA. DNA pasien dan kedua orang tua diambil dan diekstrak untuk dlakukan pemeriksaan mutasi tersebut. Dengan pemeriksaan ini, berbagai diagnosis subtipe EB dapat ditegakkan, khususnya dari kelompok dengan penurunan autosom dominan seperti mutasi K5 dan K14 pada EBS, dan mutasi kolagen tipe VII pada EBD subtipe dominan.9

f. DIAGNOSISKunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang terbentuk, yaitu di tempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma yang ringan. Lokalisasi bula ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik secara lengkap ditujukan untuk menilai kelainan pada mukosa mulut, mata, serta kuku dan akral yang biasanya menyertai EB. Untuk pemeriksaan penunjang, diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan dengan mikroskop elektron untuk melihat letak bula terhadap membrana basalis, pemeriksaan imunoflorosens untuk melihat target protein yang mengalami defek serta untuk menentukan klasifikasi atau pemeriksaan mutasi DNA untuk melihat mutasi pada gen yang spesifik dari subtipe epidermolisis bulosa. Untuk saat ini, pemeriksaan yang menjadi gold standart untuk menegakkan diagnosis epidermolisis bulosa adalah pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop elektron.9

VIII. DIAGNOSIS BANDINGEpidermolisis bulosa memiliki gejala yang mirip dengan penyakit kulit lainnya, seperti:a. Impetigo neonatorumMerupakan varian dari impetigo bulosa pada neonatus. Gejalanya adalah bula hipopion yang lokasinya menyeluruh dan dapat disertai demam.13

Gambar 10. Impetigo neonatorumSumber: http://classconnection.s3.amazonaws.com b. Pemfigoid bulosaPenderita biasanya usia lanjut (>60 tahun), keadaan umum baik, atau sakit ringan. Sering disertai gatal. Kelainan kulit terutama bula yang bercapur dengan vesikel, berdinding tegang, kadang hemoragik dengan daerah sekitar kemerahan. Lokasinya di daerah fleksor seperti ketiak dan lipat paha.13

Gambar 11. Pemfigoid bulosaSumber: http://www.internetmedicin.se c. Pemfigus foliaseusMerupakan penyakit kronik dan remisinya temporer. Penyakit dimulai dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding kendur yang kemudian pecah menjadi erosi dan eksudatif. Ciri khasnya adalah eritema menyeluruh disertai banyak skuama kasar, dengan bula kendur hanya sedikit. Penderita mengeluh gatal dan badan menjadi berbau busuk. Lokasinya biasa di daerah kepala, wajah, dada, daerah seboroik, bersifat simetris. 13

Gambar 12. Pemfigus foliaseusSumber: http://classconnection.s3.amazonaws.com

IX. PENATALAKSANAANa. PromotifUntuk penatalaksanaan promotif adalah dengan memberikan edukasi pada masyarakat tentang apa itu epidermolisis bulosa dan bagaimana mengenali gejala dari penyakit ini. Diedukasikan juga bagi keluarga yang memiliki riwayat epidermolisis bulosa untuk melakukan konseling genetik bagi yang hendak memiliki anak.4b. PreventifLakukan konseling genetik pada pasangan yang memiliki riwayat penyakit epidermolisis bulosa di keluarganya. Untuk sekarang, pengambilan sampel dapat dilakukan dari vili korionik pada minggu 8-10 atau cairan amnion pada kehamilan trimester kedua. Dengan melakukan konseling genetik, dapat dilihat apakah janin menderita epidermolisis bulosa dan apakah janin viabel atau tidak.4 Untuk keluarga yang memiliki anak dengan epidermolisis bulosa, sebaiknya diedukasikan mengenai kondisi dan perawatan yang diperlukan oleh anak, pencegahan trauma dengan memakai bantalan pada ekstremitas untuk mencegah terjadinya bula, serta nutrisi yang baik yang diperlukan oleh anak untuk mencegah terjadinya erosi mukosa oral dan esofagus. Untuk pencegahan masalah di mulut, kunjungan teratur ke dokter gigi sangat disarankan karena pasien dengan EBJ dan EBD sering mengalami masalah gigi karena defek enamel.4c. Kuratif1. Medikamentosaa) TopikalSebagai pengobatan topikal dapat diberikan kortikosteroid dan antibiotik bila terdapat infeksi sekunder. Glutaraldehid 5% 3 kali sehari berfungsi sebagai pelumas dan dapat membantu mengurangi gesekan pada tangan dan kaki.14 Untuk masalah lesi pada mata, bisa diberikan antibiotik topikal bila ada erosi kornea. Pasien EBS subtipe weber-Cockayne dan Dowling-Meara dapat mengalami blefaritis yang berulang dan bisa menyebabkan ektropion sikatrik dan keratitis. Lubrikasi mata dengan tetes mata artifisial sering digunakan. b) SistemikPemberian antibiotik sistemik hanya kalau ada indikasi saja. Pemberian kortikosteroid sistemik bermanfaat pada kasus yang berat dan fatal, antara lain untuk mencegah mutilasi, distrofik dan life saving. Akan tetapi pemberian kortikosteroid jangka panjang dikontraindikasikan, karena efek samping yang tidak diinginkan.4 Diberikan prednison 140-160 mg/hari lalu segera dilakukan tappering off. Terapi lainnya adalah pemberian vitamin E 600-2000 iu/hari atau difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/kgBB/hari yang bertujuan untuk menghambat aktivitas kolagenase.1 Terapi juga perlu diperhatikan pada kasus yang mengenai jaringan mukosa, yang paling sering adalah masalah di esofagus (pada Hallopeau-Siemens dan EBD inversa, Dowling-Meara, dan sebagian besar subtipe EBJ) yang membuat anak sulit makan. Terapi yang bisa diberikan adalah fenitoin dan steroid oral sirup untuk mengurangi gejala disfagia. 2. BedahTata laksana secara bedah diperlukan apabila sudah terjadi striktur esofagus, fusi jari-jari tangan atau pseudosindaktil, dan karsinoma sel skuamosa.4 3. PerawatanDijelaskan kepada keluarga pasien mengenai kondisi pasien. Sebisa mungkin hindari terjadinya gesekan dan trauma yang bisa memicu terjadinya bula. Hindari menggunakan plester, karena bisa memicu terjadinya bula. Bula dipecahkan dengan jarum steril yang ditusukkan dan atapnya dibiarkan. Pada anak-anak, sebaiknya dipilihkan jenis sepatu yang lunak dan hindari sepatu yang sempit. Kaos kaki dari bahan katun untuk membantu menyerap keringat dan menghindari gesekan. Hindari gosokan pada saat memandikan pasien. Suhu lingkungan diupayakan agar cukup dingin, karena bula mudah terjadi pada suhu panas. Bagian yang erosi diolesi krim atau salep antibiotik, perawatan jari tangan harus hati-hati, upayakan mencegah terjadinya kontraktur dan fusi jari-jari dengan menggunakan bidai jari-jari tangan pada saat malam hari.1,44. DietSebaiknya diberikan makanan tinggi kaori dan tinggi protein dalam bentuk lunak yang mudah ditelan, terutama apabila terdapat luka di daerah mulut. Penggonaan dot dihindarkan, karena bisa menembukan gelembung dan luka di mulut, untuk mencegah trauma, bayi disuapi dengan sendok. Penelitian mengkonfirmasi, bahwa kekurangan gizi pada anak dengan epidermolisis bulosa akan menghambat penyembuhan luka.1,4d. RehabilitatifPasien dengan epidermolisis bulosa perlu mendapatkan perawatan yang ketat untuk luka dan nutrisinya. Inaktivitas karena nyeri dan pembentukan jaringan parut dapat memicu terjadinya kontraktur. Terapi fisik diperlukan untuk mencegah terjadinya kontraktur ekstremitas. Whirlpool therapy bisa digunakan untuk membantu membersihkan luka, sehingga membantu penyembuhan luka.

X. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi kulit sekunder karena kuman Staphylococcus atau Streptococcus. Pembentukan jaringan parut dan milia terjadi akibat pembentukan bula yang dalam. Epidermolisis bulosa yang berat bisa menyebabkan fibrosis di tangan dan menyebabkan pseudosindaktil sehingga mengurangi ruang gerak dari palmar dan digiti. Karena luka dan fibrosis di kaki, pasien dengan epidermolisis bulosa akan mengalami kesulitan berjalan, Banyak pasien epidermolisis bulosa yang kehilangan kukunya. Pasien dengan keterlibatan mukosa bisa mengalami striktur esofagus, sehingga mengurangi asupan gizi pada anak. Akhirnya epidermolisis bulosa bisa menyebabkan anak gagal bertumbuh. Komplikasi yang fatal lainnya adalah terjadinya karsinoma sel skuamosa akibat dari luka kronis dan jaringan parut, terutama pada tipe epidermolisis bulosa yang diturunkan secara autosom resesif.4

XI. PROGNOSISEBS mempunyai prognosis yang baik. Pasien akan bertambah baik seiring dengan usia, namun pada EBS subtipe herpetiformis yang menyerang neonatus, mempunyai prognosis yang buruk karena bula generalisata yang luas. Pasien dengan EB juctional subtipe Herlitz mempunyai angka mortalitas sebesar 87% dalam 1 tahun pertama kehidupan. Penyebab kematian adalah sepsis, gagal bertumbuh dan komplikasi trakeolaringeal.5 Prognois buruk juga dialami pasien EBJ dengan atresia pilorus. Pada pasien dengan EBJ non-letal, akan mengalami perbaikan klinis seiring dengan pertambahan usia. Pada pasien dengan EBD tipe resesif, prognosisnya sulit ditentukan karena gejala klinisnya lebih berat dari EBS tapi lebih ringan dari EBJ. Pada pasien epidermolisis bulosa yang telah melewati masa anak-anak, penyebab kematian paling banyak adalah karsinoma sel skuamosa. Kanker ini terjadi khususnya pada pasien dengan EB yang diturunkan secara resesif, yang paling sering terjadi pada usia 15-35 tahun.15

XII. KESIMPULAN Epidermolisis bulosa adalah penyakit yang jarang dan bila ditemukan maka pasien harus diawasi dengan ketat. Tata laksana secara holistik dan multidisiplin diperlukan oleh pasien. Dikarenakan penyakit ini adalah penyakit kronis, maka edukasi pada pasien dan keluarga mutlak diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA1. Aisah Siti. Epidermolisis bulosa. Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor: Ilmu penyakit kulit dan kelamin; edisi ke 5. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 2007 : 218-25.2. Fine JD. Inherited epidermolysis bullosa. Orphanet J Rare Dis 2010; 5: 12.3. Lizbeth R.A. Intong, MD, Dde F. Murrell, MA, BMBCh. Inherited epidermolysis bullosa: New diagnostic criteria and classification. Clinics in Dermatology 2012; 30: 7077. 4. Marinkovich Peter. Epidermolysis bullosa. 2014. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1062939-clinical#a0217 Diakses pada 2 Mei 2015.5. Kelly-Mansuco G, Kopelan B, Azizkhan RG, Lucky AW. Junctional epidermolysis bullosa incidence and survival; 5-year experience of the Dystrophic Epidermolysis Bullosa Research Association of America (DebRA) nurse educator, 2007-2011. Pediatr Dermatol 2014; 31-159.6. Kho YC, Rhodes LM, Robertson SJ, et al. Epidemiology of epidermolysis bullosa in the antipodes: the Aaustralasian Epidermolysis Bullosa Registry with a focus on Herlitz junctional epidermolysis bullosa. Arch Dermatol 2010; 146: 635.7. Hurwitz S. Bullous disorder of childhood. Dalam Clinical pediatric dermatology, a textbook of skin disorders of chidhood and adolesence; edisi ke-2. Philadelphia : W.B. Sauders. Co. 1993 : 432-5, 439-41.8. Atherton DJ. Epidermolysis bullosa. Dalam Harper J. Oranje A, Prose N, editor : Textbook of Pediatric Dermatology. London: Blackwell Science Ltd. 2000 : 1075-80.9. Mahajan VK, Sharma NL and Sharma RC, Kindler syndrome. Orphanet Encyclopedia. Mars 2005. Diunduh dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-kindler.pdf Diakses pada 2 Mei 201510. White GM, Cox-Neil H. Disease of the skin. Pediatric dermatology. 2002. Diunduh dari http://www.merckmedicus.com Diakses pada 5 Mei 2015.11. Woodley TD, Chen Mei. Epidermolysis bullosa acquisita. Dalam Fitzpatrick TB, Eizem AZ, Wolf K, freedberg and Austen KFs : Dermatology in general medicine; edisi ke-7. New York : Mc.Graw-Hill Company. 2008 : 494 12. Yiasemides E, Walton J, Marr P, et al. A comparative study between transmission electron microscopy and immunofluorescence mapping in the diagnosis of epidermolysis bullosa. Am J Dermatopathol 2006;28: 387-94.13. Siregar RS. Epidermolisis bulosa. Dalam Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta : EGC. 2005 : 141-4.14. Tjipta GD, Nasution A. Epidermolisis Bullosa, Laporan kasus. 2001. Diunduh dari http://www.kalbe.co.id Diakses pada 3 Mei 2015.15. ARisser J, Lewis K, Weinstock MA. Mortality of bullous skin disorders from 1979-2002 in the United States. Arch Dermatol. Sep 2009; 145(9): 1005-8.

1