Upload
others
View
19
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA
PERSPEKTIF DRIYARKARA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
M. Sadad Mahmud
NIM 11140331000032
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021/1442 H
ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA
PERSPEKTIF DRIYARKARA
i
ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA
PERSPEKTIF DRIYARKARA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
M. Sadad Mahmud
NIM: 11140331000032
Dosen Pembimbing,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils
NIP: 19610827 199303 1 002
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021/1442 H
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 25 Juni 2021
M. Sadad Mahmud
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Etika Pancasila dan Implikasinya Perspektif Driyarkara telah
diajukan dalam sidang munaqasyah, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi
Aqidah dan Filsafat Islam.
Ciputat, 25 Juni 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dra. Tien Rahmatin, MA Banun Binangningrum, M.Pd
NIP:19680803 199403 2 002 NIP:19680618 199903 2 001
Anggota
Penguji I Penguji II
Dr. Kholid Al Walid, M.Ag. Dr. Edwin Syarif, MA
NIP: 19700920 200501 1 004 NIP. 19670691819997031 001
Dosen Pembimbing,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP:19610827 199303 1 002
iv
ABSTRAK
M. SADAD MAHMUD
ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA
Pancasila tidak lahir begitu saja untuk sekedar menjadi dalil legitimasi
moral belaka. Ada proses dan tahapan panjang untuk mengabstraksikan nilai-nilai
luhur yang sudah exist untuk menjadi sebuah philosophisce
grondslag/ideology/weltanschauung. Driyarkara adalah filsuf Indonesia yang
mempunyai pemikiran otentik, dengan sumbangan pemikiran tentang Pancasila
yang begitu besar. Bagi Driyarkara, hidup secara individu, sosial, korporasi
swasta maupun negara haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila karena hal
tersebut merupakan konsekuensi atas dijadikannya Pancasila sebagai ideologi
bangsa.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research)
dengan metode deskriptif-analitis. Sumber-sumber data primer diperoleh dari
buku kumpulan tulisan Driyarkara; Karya Lengkap Driyarkara, serta karya-karya
yang memuat pemikirannya dan pemikiran lain yang berkaitan dengan penelitian
ini diposisikan sebagai data pendukung.
Kesepakatan founding fathers memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa
membawa dampak besar dalam semangat berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti
mengisyaratkan bahwa Pancasila menjadi acuan nilai yang harus diresapi dan
dijalani secara praksis dalam keseharian sebagai konsekuensinya. Melihat
problem yang tersedia sampai saat ini mengantarkan kita pada dua titik yakni;
kesadaran bahwa implementasi Pancasila masih begitu jauh, dan dorongan untuk
melihat dan meresapi makna Pancasila secara lebih serius. Dalam hal ini,
Driyarkara mengajak kita untuk menyelami arti Pancasila, baginya Pancasila
merupakan realitas dari manusia Indonesia bahkan manusia secara umum dalam
setiap silanya. Menurut Driyarkara, setiap sila saling berkaitan satu sama lain,
tetapi sila Ketuhanan mendasari keberadaan sila lainnya yang bersifat hukum
organik (nilai-nilai kehidupan yang berbuah pasal perundang-undangan). Sila
Ketuhanan yang non organik merupakan sumber etika dan spiritualitas yang
penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Masing-masing sila setelah
sila Ketuhanan mempunyai peran horizontal (memanusiakan manusia) yang juga
berarti menjauhi perkara-perkara yang berbau eksploitatif, manipulatif,
disrespective.
Kata Kunci : Driyarkara, Pancasila
v
KATA PENGANTAR
Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim
Mahasuci Allah, sang pemilik dan pengatur eksistensi, sang awal dan sang
akhir, tempat kembalinya segala ciptaan yang ada. Tanpa kasih sayangnya,
mustahil segala yang ada dunia berjalan sedemikian tertata dan estetik. Tiada kata
yang pantas untuk disampaikan selain panjatan puja dan puji syukur atas segala
karunia dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan. Tanpa itu semua,
mustahil rasanya penulis dapat menyelesaikan penuyusunan tulisan ini sebagai
syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Aqidah dan Filsafat Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang menjadi seutama-utama para nabi dan wali, seagungnya para salik dan orang
suci. Demikian juga keluarga dan para sahabatnya. Semoga kita selalu termasuk
ke dalam bagian umatnya yang meneladani perjuangan dalam menyibak tirai
kejahilan, serta semoga kita semua merupakan golongan umat yang mendapatkan
syafaatnya ila yaumil kiyamah.
Melalui proses yang begitu panjang, dengan ini penulis menyadari betul
bahwa skripsi yang berjudul ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA
PERSPEKTIF DRIYARKARA tidak akan terselesaikan tanpa adanya sosok
yang senantiasa mendampingi baik secara langsung atau tidak langsung,
memberikan semangat dan sumbangsih moral maupun moril kepada penulis
vi
dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati,
penulis merasa wajib kiranya mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada:
1. Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,
serta Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Aqidah
dan Filsafat Islam sekaligus dosen Pembimbing Akademik penulis, serta
segenap jajaran pengurus proses administrasi dalam perkuliahan maupun
dalam penyelesaian skripsi.
3. Drs. Agus Darmaji, M.Fils selaku dosen pembimbing yang telah membuka
wawasan, memberikan masukan, mengoreksi dan memotivasi dalam
penulisan sampai akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis hanya
dapat menyampaikan permohonan maaf karena telah banyak menyita
waktu, perhatian dan tenaga, serta penulis yang terkadang mendadak
menghilang. Terimakasih atas jasa dan ilmu yang telah diberikan, akan
tetapi hanya doa terbaik yang dapat penulis panjatkan, semoga selalu
diberikan kesehatan karena Jurusan Aqidah dan Filsafat membutuhkan
dosen-dosen terbaik seperti beliau.
4. Prof. Dr. N. Driyarkara selaku tokoh yang penulis angkat sebagai judul
skripsi. Selama proses penulisan skripsi ini, penulis merasa sangat
menikmati pemikiran Driyarkara dan begitu membuka mata penulis atas
kekayaan intelektualitas filsuf Indonesia yang jarang dibicarakan orang,
vii
meskipun tidak menguasai secara utuh pemikiran Driyarkara, tapi hal ini
merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi penulis.
5. Ucapan terimakasih kepada seluruh dosen Aqidah dan Filsafat Islam,
khususnya Drs. Nanang Tahqiq, MA, dan Abdul Muthalib, Phd yang
wejangannya selalu melekat dalam memori. Serta segenap jajaran dosen
Fakultas Ushuluddin yang tidak akan terlupakan yang mana dengan
kebaikan dan kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar
mendorong penulis untuk pantang menyerah sebelum menang dalam
menggali kedalaman dan keindahan kitab suci al-Quran serta ke-Uswah-an
Nabi Muhammad SAW.
6. Teruntuk kedua orang tua Alm. Sam’ani Syadzili dan Almh. Suwarti
Abdul Wahid yang setiap hela nafas selalu mendoakan penulis serta selalu
memberi ridho dalam usaha tholabul ‘ilmi. Tanpa perjuangan dan kasih
sayangnya, mustahil rasanya penulis mampu menempuh pendidikan
perguruan tinggi dan menyelesaikan perkuliahan ini. Pesan-pesan beliau
bagaikan cahaya di tengah kegelapan, bagaikan air di tengah kekeringan,
serta selalu menjadi motivasi dan dorongan besar untuk terus maju dalam
kehidupan penulis.
7. Teruntuk kakak-kakak penulis, M. Abdul Aziz, Ummi Hanik, Fadly
Rizaldi, Abdul Ro’uf, serta M. Zuhruful Alam yang selalu mendampingi
secara moral dan moril selama masa studi.
8. Teruntuk rekan-rekan spesial dan seperjuangan di Ciputat, Laraswati,
Wildan Muzakki, Rizkia Permata R.A, Reynaldi Adi Surya, Ayu Alfiah
viii
Jonas, Abdullah Syits Heru, Ahmad Nidlomuddin. Bagaikan teman
psikologis dan analisis, banyak topik serius dan berat sampai hal kecil
sudah sering terlewati, dari kopi ke kopi, diskusi seputar akademik kampus
hingga kenyataan sehari-hari.
9. Tidak lupa untuk adik-adik kelas Ishlah Muhammad sang manusia
pesimis, dan Mukhtar Sya’bani yang sering menjadi teman diskusi lintas
topik, sampai tradisi musik.
10. Serta tidak lupa teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam
angkatan 2014.
Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu dalam
dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar senantiasa segala
kebaikan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal. Akhirnya,
penulis berharap semoga karya tulis ini senantiasa dapat memberikan tambahan
wawasan seputar keindonesiaan dan filsafat. Amiin
Ciputat, 25 Juni 2021
M. Sadad Mahmud
NIM. 1114033100003
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. v
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .…………………………………… 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .……………………………. 9
C. Tujuan Penelitian .………………………………………….. 10
D. Manfaat Penelitian .………………………………………… 10
E. Tinjauan Pustaka .………………………………………….. 11
F. Metode Penelitian .…………………………………………. 12
G. Sistematika Penulisan .………………………………………15
BAB II BIOGRAFI DRIYARKARA
A. Riwayat Hidup ..…………………………………………….. 17
B. Latar Belakang Pemikiran Driyarkara .……………………... 23
C. Karya-karya Driyarkara .……………………………………. 27
BAB III PANCASILA: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN ETIKA
A. Sejarah Pancasila dan Perkembangannya …………………... 33
B. Pancasila Sebagai Weltancshauung ………………………….43
C. Etika Secara Umum ………………………………………… 50
1. Pendekatan dalam etika ………………………………….57
1.1. Etika Deskriptif ….…………………………………. 57
1.2. Etika Normatif .…………………………………….. 58
1.3. Metaetika .………………………………………….. 59
2. Teori-Teori Umum Etika .………………………………. 61
2.1. Hedonism .…………………………………………. 62
2.2. Eudomonisme .…………………………………….. 62
2.3. Utilitarianisme .……………………………………. 63
2.4. Deontologi .………………………………………… 63
3. Filsafat Moral dalam Islam ……………………………... 64
D. Etika Pancasila ……………………………………………. 68
BAB IV IMPLIKASI PANCASILA PERSPEKTIF DRIYARKARA
A. Implikasi Dari Sila Pertama …………………………......... 75
x
B. Implikasi Dari Sila Kedua ……………………………........ 81
C. Implikasi Dari Sila Ketiga ……………………………........ 86
D. Implikasi Dari Sila Keempat ………………………............ 88
E. Implikasi Dari Sila Kelima …………………………........... 91
F. Analisis Kritis Perspektif Etika Islam .................................. 120
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………... 124
B. Saran ……………………………………………………..... 125
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari sekian banyak tema, kenapa harus Pancasila? Barangkali pertanyaan
demikian merupakan masalah awal yang perlu kita perjelas dalam skripsi ini,
terlepas dari eksistensi maupun relevansi ajaran Pancasila sampai saat ini, bukan
berarti membuat Pancasila menjadi tertutup untuk dikaji. Setidaknya, atas dasar
ini penulis merasa ada ruang aktualitas yang terbuka dalam tema ini.1
Pada dasarnya tulisan ini didorong oleh beberapa faktor atas temuan-
temuan kehidupan sehari-hari penulis. Kejenuhan atau kebosanan tampaknya
cukup representatif ketika penulis mendengar kata Pancasila, kejenuhan ini
mengantarkan pada dua persoalan yakni; persoalan dimana posisi Pancasila
sekilas hanya berlaku sebagai dalil legitimasi belaka, kemudian Pancasila yang
terlihat dekat sekaligus jauh.
Sebagai contoh atas rasa kejenuhan penulis misalnya saja banyaknya
ungkapan atau pernyataan yang penulis temui seperti “Sikap itu tidak Pancasilais
sekali” atau “kita sebagai masyarakat Indonesia harus bersikap Pancasilais” dan
berbagai macam bentuk lainnya lagi yang lumrah dijumpai terutama politisi,
dalam hal ini membuat sekilas tampak adalah posisi Pancasila sebagai dalil
1 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang terlibat
Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 834
2
legitimasi yang terkadang digunakan untuk menghakimi, serta di lain sisi
berfungsi sebagai pedoman abstrak belaka, yang membuat Pancasila “dekat
sekaligus jauh”. Sehingga dari sini memunculkan sebuah pertanyaan “lantas,
Pancasila itu yang bagaimana serta wujudnya apa?”
Selain alasan tersebut, tentu tema ini menjadi aktualisasi pembahasan-
pembahasan seputar keindonesiaan, yang mana sejalan dengan visi misi prodi
Aqidah dan Filsafat Islam yakni, Visi; unggul dan terkemuka dalam bidang kalam
dan filsafat Islam dengan mengintegrasikan keislaman, keilmuan dan
keindonesiaan dalam mewujudkan masyarakat madani. Maka dari itu,
pembahasan skripsi ini menjadi varian khazanah keilmuan bergenre
keindonesiaan di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.2
“Apakah Pancasila itu ada? Bagi saya Pancasila tidak ada”. Sebuah
pertanyaan sekaligus pernyataan yang dilontarkan oleh Sudjiwo Tejo dan Rocky
Gerung dalam forum diskusi publik.3 Bagi penulis, terlepas dari pertanyaan
sekaligus pernyataan yang bermotif diskusi tersebut, sudah selayaknya persoalan
fundamental tersebut untuk dikaji supaya masyarakat lebih mengerti agar
selanjutnya mampu memahami dan bukan sekedar digunakan sebagai dalil
legitimasi belaka. Tetapi, pada dasarnya skripsi ini bukan ditujukan untuk
menjawab persoalan yang disebutkan oleh kedua tokoh tersebut, melainkan
sebuah refleksi kritis tentang Pancasila.
2 Diakses dari https://afi.ushuluddin.uinjkt.ac.id/index.php/visi-dan-misi/ pada 14 Maret
2020, pkl. 19:10 WIB 3Artikel diakses dari https://pojoksatu.co.id/news/berita-nasional/2019/12/04/sudjiwo-
tedjo-bilang-pancasila-tidak-ada-rocky-gerung-presiden-gak-ngerti-pancasila/ pada 14 Maret 2020,
pkl. 18:53 WIB
3
Bangsa Indonesia telah melalui proses yang sangat panjang untuk
menentukan jalannya sendiri, sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit,
dan sebagainya sampai datangnya bangsa lain dalam misi penjajahan. Penjajahan
yang begitu lama dirasa dari generasi-kegenerasi, perlawanan dan perjuangan
rakyat Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai sebuah
kemerdekaan, sebuah kebebasan dalam bereksistensi. Tentu karena jalan yang
begitu panjang dan berat inilah kita mempunyai kewajiban untuk terus
merawatnya.4
Dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, “negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” harus dijaga dan dilestarikan terus-
menerus.5 Sudah menjadi kewajiban negara Indonesia yang merdeka pada 17
Agustus 1945. Kemerdekaan adalah pokok pikiran pertama sekaligus pesan
penting yang ditegaskan oleh founding fathers kita dalam menentukan sikap
mengejar tujuan-tujuan negara. Sementara persatuan mengandung misi negara
yang tetap utuh dan tidak terpecah belah; bersatu dalam satu paham kebangsaan.6
Dalam hal mengejar tujuan-tujuan negara seperti kata founding fathers di
atas, sudah barang tentu memuat gagasan, ide, atau cita-cita bangsa di dalamnya
sebagai role jalannya bangsa ini. Suatu bangsa tercipta melalui proses dan faktor-
faktor yang kompleks, yang mana faktor-faktor tersebut tak dapat ditentukan
jumlah dan pengaruhnya secara jelas. Suku, keadaan geografis, iklim, potensi dari
4 Prof. Dr. Kaelan. M.S, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, Edisi VIII,
2010), h.12 5 As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES,
2009), h.103 6 As’ad Said Ali. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, h.105
4
tanah yang diduduki, berbagai macam kejadian dalam sejarah, aksi dan reaksi
bersama, kesamaan nasib, semua itu berjalan dengan proses yang lama
menyebabkan segerombolan manusia (besar atau kecil) menjadi suatu bangsa.7
Dalam hidup bersama yang lama dengan keadaan dan kejadian yang dialami
bersama maka bersama itulah kebudayaan yang sama, kesadaran yang sama,
persamaan yang sama, cara hidup yang sama, atau yang biasa kita sebut dengan
Tumpah Darah atau Ibu Pertiwi.
Seruan berbagai kalangan seperti kata Soekarno dalam pidatonya pada 5
juli 1958, bahwa Pancasila tidak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.8 Memang dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah falsafah yang benar-
benar hadir dari akar kebudayaan masyarakat Indonesia. Pancasila tidak diambil
dari langit, Pancasila adalah rumusan realitas, bukan hanya realitas Indonesia
melainkan realitas manusia.9
Moh. Hatta menjelaskan bahwa pokok-pokok pikiran Pancasila sebagai
ideologi negara telah dirumuskan dalam pembukan UUD 1945. Selanjutnya,
permasalahan yang perlu dipikirkan adalah merumuskan Pancasila sebagai norma
etis kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang. Etika Pancasila adalah
norma etis sebagai pedoman pengamalan Pancasila bagi negara dan masyarakat
Indonesia. Dalam implementasinya, negara harus memberikan jaminan bagi
warga negara dalam hal menjalankan keyakinannya (agama) masing-masing,
7 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara, h.845 8 Ir. Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, (Yogyakarta: Media Pressindo,
2017), h.94 9 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.882
5
memperoleh penghidupan layak dan hak-hak kemanusiaannya, mendorong
terwujudnya persatuan dalam keberagaman, mengedepankan permusyawaratan
dan juga jauh dari sifat otoritarianisme, dan mewujudkan keadilan sosial melalui
politik dan ekonomi.10
Dalam sisi lainnya, kondisi kehidupan bangsa dan negara saat ini terasa
semakin jauh dari tujuan, cita-cita kemerdekaan bahkan juga ajaran etik yang
termuat dalam Pancasila. Dewasa ini, Indonesia terus dihadapkan dengan berbagai
persoalan yang tak kunjung reda, persoalan-persoalan tersebut berkutat pada
permasalahan anarkisme, konflik agama, ras, dan antar golongan, lemahnya
persatuan, rendahnya moral dan akhlak, korupsi dan politik transaksional yang
menjadi-jadi serta merosotnya disiplin juga wibawa hukum.11 dan nyatanya
masalah-masalah tersebut bisa menjadi beberapa indikator serius akan
problematika kita hari ini.
Dalam cerita lainnya, di zaman kemajuan yang serba teknologi ini
nyatanya masih menghembuskan isu-isu rasial. Baru-baru ini catatan cerita kelam
yang belum selesai di negara kita kembali diperpanjang oleh masalah penghinaan,
persekusi, umpatan dan makian rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya
dan Malang yang kemudian memicu demo besar dan berujung kericuhan di
10 Sri Soerprapto, Konsep Mohammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam
Perspektif Etika Pancasila, (Yogyakarta: Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 2, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, 2013), h. 99 11 Tan Swie Ling, Masa Gelap Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia (Depok: LKSI
& Ruas, 2014) h. VII
6
Papua, kembali memperburuk dan mengancam kerukunan dan kesatuan kita,
sampai membuat lupa bahwa kita dilahirkan oleh rahim yang sama.12
Selain problem tersebut, ada juga problem lain seperti
pengimplementasian Pancasila yang mana tidak semua masyarakat menjadikan
Pancasila sebagai tumpuan nilai dalam menimba semangat kebernegaraan dan
keberbangsaan, dan ini juga menjadi penyebab negeri ini terus terkoyak dan
mudah tergerus.13 Di lain hal juga problem Pancasila yang hanya berhenti dalam
tataran oral dan ingatan (sebatas hafalan) saja, dengan penghayatan yang masih
bisa dibilang cukup minim.
Pancasila adalah jawaban dan sekaligus sebagai dasar negara yang mampu
mengikat semua perbedaan yang ada di Indonesia. Dalam bentuk yang lebih maju,
Pancasila menjadi ideologi bangsa dan pandangan hidup masyarakat sehari-hari
yang akan terus relevan di segala zaman.14 Ideologi bangsa merupakan sebuah
kesatuan idea yang kompleks, yang mana Pancasila dalam posisinya tersebut
mempunyai konsekuensi bahwa orang Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari
Pancasila sebagai pandangan atau pendirian hidup yang dalam istilah jerman
disebut weltanschauung.15
Jika ditelisik lebih lanjut, dijadikannya Pancasila sebagai weltanschauung
tentu karena menyimpan sebuah ajaran-ajaran, pesan, atau nilai-nilai etika di
12 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190820074351-12-422904/polisi-selidiki-
oknum-pemaki-mahasiswa-papua-di-surabaya diakses pada 20 Agustus 2019, pkl. 11:13 WIB 13 Saddam Al-Jihad, Pancasila Ideologi Dunia Sintesis Kapitalisme, Sosialisme, dan
Islam, (Ciputat: Alvabet, 2018), h. 11 14 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.850 15 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.935
7
dalamnya untuk menjadi acuan dan dorongan bagaimana untuk bertindak.
Pancasila sebagai weltanschauung berarti nilai-nilai pancasila merupakan etika
kehidupan bersama bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut atau praksis kehidupan
di dalam masyarakat bangsa Indonesia diatur oleh nilai-nilai pencasila.16
Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat Indonesia mewujudkan di
dalam kehidupan sehari-harinya nilai-nilai pancasila seperti di dalam kegiatan
berketuhanan yang maha esa yang meminta toleransi serta menghargai sesama
yang berbeda keyakinan agamanya. Dia mempunyai rasa nasionalisme yang kuat
untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang Indonesia yang menjunjung tinggi
kedaulatan bangsa Indonesia dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa yang lain.
Selanjutnya, mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi dalam menghargai akan
nilai-nilai yang dimilikinya tetangganya sesamanya dan umat manusia di seluruh
dunia. Demikian pula mempunyai sikap yang demokratis yang tidak memutlakkan
pendapatnya sendiri tetapi mencari jalan sebaik-baiknya untuk kepentingan
bersama dan akhirnya dia adalah seorang yang mempunyai rasa keadilan sosial
yang menghargai akan nilai-nilai hidup manusia yang setara.17
Beberapa tokoh lokal Indonesia mempunyai kajian yang serius terkait
Pancasila. Seperti halnya Driyarkara yang membahas Pancasila secara filosofis,
lebih tepatnya pemikirannya bertitik tolak dari refleksinya mengenai manusia,
karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan semua
16 Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuh
Kembangkan Karakter Bangsa, (Jurnal Seminar Nasional Hukum, Vol. 2, Fakultas Hukum
UNNES, 2016) h.421 17 Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila, h.424
8
yang lain.18. Driyarkara merupakan pemikir besar Indonesia berlatar belakang
pendidikan humaniora dan filsafat yang mencoba menerjemahkan pemikiran-
pemikiran filsafat dengan bahasa dan ekspresi Indonesia dan menerapkannya
untuk pengembangan bangsa Indonesia.19 Pemikiran-pemikiran Driyarkara luas
meliputi wilayah kemanusiaan, kebudayaan, sosial, etika, Pendidikan dan
terutamanya tentang Pancasila.20
Sejalan dengan topik pembahasan sebelumnya. Atas dasar dijadikannya
Pancasila sebagai ideologi bangsa, berikut weltanschauung sebagai
konsekuensinya. Driyarkara menekankan bahwa manusia Indonesia harus
pancasilais yang mana tidak boleh acuh tak acuh terhadap sila pertama, tidak
boleh acuh tak acuh dengan demokrasi, keadilan sosial, dan sebagainya.21 Artinya,
jelas di sini bahwa posisi Pancasila yang sedemikan rupa, maka memunculkan
dorongan-dorongan atau implikasi yang nyata dalam kehidupan manusia. Secara
lebih kompleks, Driyarkara juga menguraikan implikasi-implikasinya dalam
masing-masing sila.
Konsentrasi Driyarkara dalam penggalian Pancasila tertuang jelas dalam
tulisan-tulisan atau esai-esai karyanya, termasuk juga karya-karya yang kemudian
dibukukan oleh para sahabatnya pasca dipanggilnya Driyarkara kepada sang
pencipta. Buku setebal 1501 halaman tersebut sekaligus menjadi referensi primer
dalam penulisan karya ilmiah ini. Dalam pembahasan Pancasila ini, ia tampak
18 Hardono P.Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius,
1994) h..36 19 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.5 20 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.9 21 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.937
9
sering menggunakan metode fenomenologi untuk memperlihatkan, bagaimana
sila-sila dalam Pancasila saling berkaitan satu sama lain.22
Skripsi ini ditulis untuk menambah khazanah dan pengkajian mengenai
etika pancasila yang secara spesifik berarti membicarakan nilai-nilai etika di
dalamnya berikut implikasinya sebagai bentuk kontekstualisasi akan masalah
masalah saat ini, dan alur pemikiran tokoh yang mempunyai bagian besar
terhadap bahasan filsafat Pancasila di Indonesia yakni Driyarkara, karena itulah
penulis memberi judul skripsi ini: “ETIKA PANCASILA DAN
IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penulis tidak akan membahas secara panjang lebar Pancasila dari segi
sejarah dan pergolakan Pancasila dan politik. Penulis berkonsentrasi membahas
tentang etika dalam Pancasila beserta implikasinya dalam tatanan sosial
masyarakat Indonesia yang terintegrasi dalam masing-masing sila beserta
penjabaran filosofisnya dalam perspektif Driyarkara.
Oleh karena itu, pandangan-pandangan mengenai objek studi lain tidak
dibahas dalam skripsi ini karena kurang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan. Agar pembahasan tidak melebar, maka dari itu rumusan masalah
diperjelas sebagai sebagai berikut: 1. Bagaimana ajaran etika Pancasila, 2.
Bagaimana implikasinya dalam kehidupan manusia.
C. Tujuan Penelitian
22 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.826
10
Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah:
1. Tujuan ilmiah, yaitu untuk mengetahui dan mendalami tentang etika
Pancasila dan implikasinya perspektif Driyarkara
2. Tujuan akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka
menyelesaikan studi tingkat Sarjana program Strata Satu (S1) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dengan gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian skripsi ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:
1. Untuk masyarakat sebagai sarana untuk mengenal, memahami, dan
menghayati Pancasila sebagai acuan untuk kehidupan sehari-hari.
2. Mengetahui dan memahami secara mendalam dalam dunia
akademisi
a. Sebagai tambahan untuk sumber bacaan tentang filsafat
Pancasila, khususnya etika Pancasila.
b. Sebagai sumber rujukan mengenai kajian etika Pancasila,
juga pemikiran filosof Indonesia Driyarkara.
E. Tinjauan Pustaka
11
Berdasarkan hasil penelusuran tentang karya ilmiah yang membahas
tentang filsafat Pancasila, penulis menemukan beberapa karya ilmiah seperti
skripsi atau thesis yang berkaitan dengan filsafat Pancasila, seperti skripsi yang
ditulis oleh Abdul Karim Habibullah mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta yang berjudul “Nilai-Nilai Filosofis Pancasila
Menurut Soekarno” yang dirilis pada 25 April 2019. Dalam skripsi tersebut lebih
menggali pada aspek pemikiran Soekarno tentang Pancasila dan juga
mengungkap beberapa nilai-nilai hubungan Pancasila dan Agama.23
Kemudian skripsi dari Darsita Suparno mahasiswa Tarjamah Bahasa Arab
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta dengan judul “Sejarah Perumusan
Pancasila dalam Hubungannya dengan Proklamasi”, skripsi tersebut menggali
sisi kesejarahan dalam perumusan Pancasila dalam sastra-sastra klasik para
pujangga Nusantara seperti kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang
menuliskan kata Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan persatuan bangsa
Indonesia.24
Kemudian penulis juga menemukan skripsi berjudul “Konsepsi Negara
Kesejahteraan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Skripsi
tersebut ditulis oleh Mamur Rizki mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Dalam skripsi tersebut meneliti
23 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/simple-search?query=pancasila diakses pada 20
Agustus 2019 pkl. 12.12 WIB 24 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/33981
diakses pada 20 Agustus 2019 pkl. 13.07 WIB
12
tentang konsep dan Praktik ideal negara kesejahteraan yang digali dalam
Pancasila dan UUD 1945.25
Berdasarkan beberapa penelusuran tentang Pancasila yang penulis
temukan di atas, maka ada banyak perbedaan antara judul-judul sebelumnya,
berikut beberapa point perbedaannya;
1. Dari ketiga judul skripsi di atas, penulis di sini mengenalkan
Driyarkara sebagai tokoh utama dalam penggalian etika Pancasila.
2. Berbeda dari beberapa judul di atas yang menggali dari sisi
kesejarahan, kemudian konsepsi ideal negara kesejahteraan dalam
Pancasila dan UUD 1945, maka di sini penulis mengungkapkan
Pancasila secara khusus pada angle atau sudut etikanya, bagaimana
Pancasila yang menjadi Weltanschauung atau ideologi menjadi
tuntutan perbuatan manusia Indonesia.
3. Kemudian dalam skripsi yang ditulis oleh Abdul Karim Habibullah
mempunyai perbedaan pada tokoh kajian yakni Soekarno dengan
Driyarkara, serta penggalian masalahnya juga berbeda karena dalam
skripsi tersebut lebih menggali pada nilai-nilai yang bermuatan
filosofis dalam Pancasila yang kemudian juga menyinggung relasinya
dengan agama.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
25 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/35311 diakses pada 20 Agustus
2019, pkl. 13.18 WIB
13
Jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah meneliti dan menganalisa
data-data dari sumber tertulis atau penelitian pustaka (library research) yang
bersifat kualitatif yang merujuk pada pustaka dan data-data dalam buku, makalah,
jurnal, skripsi, tesis dll.
2. Teknik Pengumpulan data
Penelitian ini sepenuhnya menggunakan library research, yaitu suatu
tehnik penelitian untuk mendapatkan data yang relevan dengan pokok masalah
mengenai etika Pancasila menurut Driyarkara,. Untuk mencapai tujuan
penelitian, penulis menggunakan data-data yang menjadi acuan utama
diantaranya;
2.1. Data Primer
Referensi utama dalam skripsi ini diambil dari buku berjudul “Karya
Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsanya”. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan-tulisan
langsung Driyarkara yang disunting rekan-rekannya sebagai bentuk penghargaan
dan penghormatan atas kepergian Driyarkara. Buku tersebut diterbitkan atas
kerjasama antara; PT. Kompas Media Nusantara, PT. Gramedia Pustaka Utama,
PT. Kanisus, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia.
Buku tersebut dicetak setebal 1501 halaman yang berisi banyak tema-
tema besar seperti; Filsafat Pendidikan, Persona dan Personifikasi (Filsafat
14
Manusia), Moral, Filsafat, dan tentunya Filsafat Pancasila serta masih banyak
tema-tema besar lainnya lagi.
2.2.Data Sekunder
Kemudian dalam penyusunan skripsi ini, penulis juga menggunakan
referensi-referensi sekunder seperti; Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila, buku
ini tersusun dalam 162 halaman, merupakan karya dari Dr. P. Hardono Hadi
yang diterbitkan oleh Kanisius cetakan pertama tahun 1994.
Selain itu, buku Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, karya A.M.W
Pranarka yang diterbitkan oleh CSIS. Buku setebal 519 halaman ini menjadi
tambahan rujukan data mengenai perkembangan, pemikiran, dan pengkajian
Pancasila. Kemudian buku Mengenal Filsafat Pancasila, Pendekatan Melalui
Metafisik Logika Etika” karya Sunoto yang diterbitkan oleh Hanindita
Yogyakarta, buku setebal 124 halaman tersebut memuat informasi-informasi
yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Buku tersebut menguraikan banyak hal
seperti, uraian tentang filsafat, uraian tentang Pancasila sebagai suatu filsafat
menurut pandangan para tokoh, serta uraian beberapa pendekatan filosofis
tentang Pancasila.
Selain beberapa buku tersebut, referensi-referensi tentang pembahasan
etika, juga menggunakan buku Etika karya K. Bertens terbitan Gramedia
Pustaka Utama tahun terbit 1997. Buku setebal 315 halaman ini memberikan
uraian-uraian etika secara umum meliputi istilah, kemudian tema-tema berikut
unsur-unsurnya.
15
3. Teknik Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan metode analitis-deskriptif. Deskriptif analitis
yaitu mendeskripsikan data-data yang telah ada baik primer maupun sekunder,
lalu menganalisanya sehingga menghasilkan kesimpulan/verifikasi. Dalam
penelitian deskriptif kita meneliti lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan
penelitian eksploratif sebab dalam penelitian deskriptif tidak hanya meneliti
variabel masalahnya saja melainkan variabel-variabel lain yang berhubungan
dengan masalah itu dan menguraikan faktor-faktornya. Model penelitian ini
biasanya menjawab pada pertanyaan dasar “bagaimana”.
Adapun tehnik penulisan dalam proposal skripsi ini menggunakan buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality
Development and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta cetakan ke II tahun 2007.
G. Sistematika Penelitian
Untuk mempermudah bahasan tentang penulisan yang sistematis, maka
penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub
bab, yaitu:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah
yang menjadi alasan pelaksanaan penelitian ini, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
16
sistematika penulisan. Hal ini penting dibahas untuk memperjelas apa masalah
yang diangkat, di mana batas masalahnya, dan bagaimana rumusannya.
Bab kedua berisi biografi, latar belakang pemikiran, beserta karya-karya
Driyarkara. Kemudian bab ketiga berisi uraian etika Pancasila meliputi; sejarah
pemikiran Pancasila, Pancasila sebagai weltanschauung, dan uraian tentang
etika. Pada bab keempat, membahas tentang implikasi Pancasila perspektif
Driyarkara yang meliputi penjelasan masing-masing sila.
Bab kelima adalah penutup dan saran. Bab ini merupakan tinjauan penulis
yang berisi studi komparasi dan kesimpulan dari apa yang penulis bahas tentang
tema skripsi ini, yaitu mengenai Pancasila. Bab ini terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah.
Sedangkan, saran-saran berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang penelitian
yang sudah dilakukan serta memberikan kemungkinan lain untuk penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan filsafat Pancasila
17
BAB II
BIOGRAFI DRIYARKARA
A. Biografi Driyarkara
Berbicara soal Driyarkara, banyak tokoh atau pemikir yang juga
mempunyai pendapat tentangnya, eksistensi dan pemikiran-pemikiran
reflektifnya membuat perhatian besar khalayak umum tertuju pada dirinya.
Driyarkara bukan hanya sekedar guru besar yang berhasil merangsang minat
berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis
filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai
philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang
inheren dalam kehidupan sehari-hari.1
Menurut Daud Joesoef dan Romo Franz Magnis Suseno, Driyarkara
adalah filsuf yang tidak memburu popolaritas. sedangkan menurut Soe Hok Gie,
Driyarkara adalah filsuf dalam arti sebenarnya, “Dia selalu meragukan postulat,
bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Tetapi,
dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai
tercipta kepastian-kepastian kecil”.2
Beberapa pemikir besar Indonesia lainnya seperti Soedjatmoko menyebut
Driyarkara membawa pemikiran filsafat modern, sekaligus pemberi makna atas
perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Nama Driyarkara sendiri mempunyai
1 Pendapat tersebut menurut Toeti Heraty (penulis dan penyair Indonesia), Mudji Sutrisno
(budayayawan sekaligus rohaniawan Katolik), Soerjanto Poespowardoyo.
https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 08/08/2019 pkl 11:25 WIB 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 04/08/2019 pkl 11:28
WIB
18
reputasi nasional atas sumbangannya berupa pemikiran filsafat yang meliputi
bidang yang sangat luas; manusia, etika, pendidikan, sosial, dan budaya serta
posisi-posisi penting yang ia duduki seperti anggota MPRS dan DPA pada
1965.3
Nicolaus Driyarkara adalah seorang pemikir besar Indonesia yang lahir
di Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo pada 13 Juni 1913 dan meninggal pada
usia 53 tahun 8 bulan di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah 11 Februari 1967
lalu.4 Nama kecilnya adalah Soehirman tetapi akrab dipanggil Djenthu yang
berarti kekar dan gemuk. Ketika ia masuk Girisonta tahun 1935 dan memulai
hidup baru dengan Serikat Jesus, barulah ia mengambil nama Driyarkara.5 Ia
dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atmasenjaya yang merupakan
keluarga sederhana dengan seorang kakak laki-laki dan dua kakak perempuan.
Menurut kamus Jawa Kuna-Indonesia kata Driyarkara merupakan
gabungan dua kata, yaitu “Driya” yang berarti mata dan “Kara” yang berarti
sinar cahaya atau tajam. Pemilihan nama ini bukanlah hal sembarangan, dengan
nama Driyarkara ia berharap menjadi pribadi yang memiliki penglihatan tajam
akan segala gejala/persoalan serta dapat menerangi banyak orang seperti halnya
sinar yang terang. Dari soal pemilihan nama, sudah terlihat bahwa filsafat adalah
jalan hidupnya.6
3 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang terlibat
Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. ix 4 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-dr-
n-driyarkara-sj diakses pada 11/07/2019 pukul 20:08 WIB 5 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xx 6 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/35-dari-djenthu-hingga-
driyarkara diakses pada 11/08/19 pkl.20;20
19
Mempunyai basic pendidikan filsafat, teologi, dan humaniora yang kuat
sedari Seminari Menengah yang merupakan sekolah menengah khusus calon
imam Katolik, atau setingkat dengan SMP dan SMA dengan program
Humaniora Gymnasium di Belanda yang kemudian dilanjut dengan pendidikan
tinggi calon imam dengan bergabung pada tarekat religius yang biasa disebut
Serikat Jesus dan anggotanya disebut Jesuit atau SJ dengan dua tahun sekolah
ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora (Bahasa Latin, Yunani kuno
serta kebudayaan Timur dan Barat) untuk studi filsafat.7
Dikenal dengan ajaran etik “manusia adalah kawan bagi sesama” atau
homo homini socius yang menjadi koreksi dan kritik sosialitas preman; sosialitas
yang saling mengerkah, saling sikut, dan saling membenci seperti yang kita
kenal dengan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).8
Dan mungkin kritik sosial ini relevan sampai sekarang, bahkan dalam bentuk-
bentuk atau bungkus yang lebih elit tetapi secara esensial yang sama.
Hampir seluruh waktunya digunakan untuk studi secara intensif
membuat tak banyak orang mengenal dirinya, ia banyak membuat catatan harian
yang ditulis sejak 1 Januari 1941 sampai awal 1950-an yang mana tulisannya tak
lepas dari persoalan aktual mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat
Indonesia.
Praba, sebuah majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di
Yogyakarta memuat karyanya yang ditulis dengan bahasa yang ringan dan tak
langsung filosofis. Kemudian disusul dengan Warung Podjok dengan nama
7 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir,, h. xx 8 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 11/07/2019 pukul 20:47
WIB
20
samaran pak Nala. Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang
Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat dengan cara penyajian
bergaya percakapan yang kemudian setapak demi setapak membawa pembaca ke
permenungan filosofis.9
Ketika dalam seminari menengah kelas 4 (setingkat dengan 1 SMA saat
ini) ia menciptakan sebuah nama majalah “Seminari Aquila” yang berarti
“Rajawali” yang mana merupakan akronim dari Augeamus Quam Impensissime
Laudem Altissimi yang merupakan bahasa Latin, dan kira-kira mempunyai arti
“Marilah kita tumbuh berkembang sekuat tenaga menambah keluhuran yang
maha tinggi”. Dan ketika kelas 5 seminari ia menjadi pemenang lomba
menerjemahkan kata-kata Latin Salus Vestra Ego Sum ke dalam bahasa Jawa
menjadi Ija Ingsun Karahajonira atau kurang lebih menjadi “Akulah
Keselamatanmu”.10
Driyarkara berusaha untuk memperkenalkan filsafat kepada masayarakat,
lewat tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah-majalah adalah salah satu akses
langsung untuk mendekatkan dan mengajak ke dalam permenungan filosofis.
Lewat majalah Basis dengan nama lengkap, Driyarkara menyentil polemik-
polemik yang sedang hangat, salah satu contohnya adalah tulisan yang
mengupas masalah “Gereja Katolik dan Poligami”;
“Disinggungnya suatu pendirian, tidak boleh menjadi keberatan,
sekalipun pendirian itu suci. Bahkan kita harus dapat menerima
dengan hati sabar dan besar, jikalau pendirian kita diserang! sebab kita
hidup dalam zaman modern, zaman kemerdekaan berpikir dan
mengeluarkannya! Akan tetapi setiap orang yang mengemukakan
9 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 24/07/2019 pukul 10:52
WIB 10 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxiv
21
pendirian pihak lain, harus menguraikan pendirian itu dengan cara
yang objektif; artinya pendirian atau ajaran pihak (atau agama) lain
harus dipaparkan sebagai diakui oleh pihak lain! Ini adalah tuntutan
keadilan. Keadilan terhadap pihak yang disinggung. Keadilan pula
terhadap khalayak umum, yang kita beri penerangan,”.11
Kemudian dalam majalah Praba yang sudah sempat disinggung di atas
dalam bahasa Jawa, selain dengan nama samaran Pak Nala, Driyarkara juga
muncul dengan nama Puruhita menyajikan karangan-karangan filosofis. Di awali
dengan renungan tentang “Selamat Tahun Baru”, kemudian disusul dengan
renungan atas pribadi manusia yang berjudul ”Apa dan Siapa” dalam empat
karangan, kemudian disusul dengan renungan atas kemerdekaan manusia dalam
lima karangan yang diberi judul “Sayap yang Berluka”, berikut ini adalah awal
uraiannya;
“Sudah lima kali kami hidangkan permenungan tentang
kemerdekaan manusia. Dalam pandangan yang melanjutkannya akan
diperlihatkan bahwa kemerdekaan kita itu seakan-akan merupakan
sayap, dengan mana kita dapat membumbung ke atas … Akan tetapi,
sayap itu adalah sayap yang sudah luka! Jika seekor burung menderita
luka pada sayapnya, meskipun belum luka-luka parah, tidakkah ia
mengalami kesukaran, jika hendak terbang? demikian juga kita!”.12
Dengan judul-judul yang menarik, Driyarkara menyajikan uraian-
uraian filosofisnya dengan gaya percakapan, dengan tujuan mengajak
pembaca setapak demi setapak masuk kedalam permenungan yang disajikan
olehnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan permenungan selanjutnya
dengan judul “Manusia dan Moral”, akan tetapi judul ini menjadi uraian
terakhirnya karena ia terlebih dahulu meninggal dunia.13
11 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxii 12 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxiii 13 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxiii
22
Meski terkadang tulisan Driyarkara bersifat introduktif atau sekedar
membicarakan persoalan secara umum dan tidak sangat detail, tetapi karya-
karya Driyarkara merupakan sumbangan pemikiran filosofis yang penting
dalam rangka pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Secara
ringkas pemikirannya menyangkut berbagai bidang yang signifikan dalam
pembentukan masyarakat dan bangsa, bidang-bidang tersebut meliputi
Pendidikan, kesusilaan, politik, dan kebudayaan. Nuansa humaniora sangat
terasa dalam tulisannya yang sarat dengan istilah Indonesia yang digali
sendiri dari khazanah literatur bangsa Indonesia, hal tersebut tampak dari
buku-buku bacaan yang dirujuknya, terutama kesusastraan Jawa seperti
Serat Centhini, Serat Cemporet dan sebagainya, yang sangat dikenal dan
menjadi inspirasinya.14
Driyarkara bukan hanya mencoba menyajikan pemikiran secara
kontekstual atau yang sejalan dengan alam pikiran Indonesia, tetapi juga
mengandung nilai-nilai filosofis yang bersifat universal. Maksud dari
karangan-karangan filsafat-filsafatnya lebih untuk menggugah pemikiran
kritis dan mengajak bangsa Indonesia agar berani terjun dalam wacana yang
lebih serius dan mendalam. motivasi didaktis tersebut merupakan langkah
besar ketika itu, karena filsafat masih merupakan barang asing bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya.15
B. Latar Belakang Pemikiran Driyarkara
14 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xvi 15 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xviii
23
Driyarkara mengalami berbagai proses panjang dalam membentuk
pemikirannya yang tajam, beberapa faktor utama seperti pendidikan menjadi
latar belakang yang mampu mengantarkan Driyarkara ke dalam permenungan-
permenungan filosofis dan menyentuh problem-problem masyarakat Indonesia.
Awal pendidikan Driyarkara dimulai ketika masuk Volksschool dan
Vervolgschool di Cangkrep. Kemudian diteruskan dengan masuk HIS atau
Hollandsch Inlandsche School di Purworejo dan Malang. Dari rumahnya ke
Cangkrep berjarak sekitar 5 km, sedangkan ke Purworejo berjarak sekitar 8 km
dan semua itu ditempuhnya dengan berjalan kaki.16
Dibantu pamannya Wiryasenjaya yang merupakan lurah Desa
Kedunggubah untuk biaya sekolahnya, kemudian sekitar tahun 1929 Driyarkara
masuk Seminari Menengah atau sekolah menengah khusus untuk calon imam
Katolik di Belanda.17 Setelah tamat sekolah menengah ini kemudian
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi untuk calon imam dengan bergabung
di tarekat religius atau Serikat Jesus. Kemudian melanjutkan dua tahun sekolah
ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora sebagai propedeusis18 untuk
studi filsafat di Girisonta.
Driyarkara kembali melanjutkan belajar filsafat selama kurang lebih 3
tahun di Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang dulu bernama Ignatius
College. Setelah tamat dari Ignatius College Driyarkara menjadi guru bahasa
16 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xx 17 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xx 18 Propaedeutics atau Propedeusis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti Pendidikan
persiapan atau istilah historis kursus pengantar ke dalam suatu disiplin ilmu,
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Propaedeutics&hl=id&sl=en
&tl=id&client=srp diakses pada 12/07/2019 pkl. 11.12 WIB
24
Latin dalam program humaniora selama setahun di Girisonta. Sekitar tahun 1942
pada bulan Maret situasi berubah pasca pemerintahan Hindia Belanda menyerah
tanpa syarat kepada bala tantara Jepang.19
Sekitar tahun 1942-1943 Driyarkara belajar teologi di Kolese Muntilan
bersama beberapa rekan Jesuitnya. Juli 1943 Kolese Muntilan ditutup oleh bala
tantara Jepang, ia sempat tinggal beberapa waktu di Mendut dekat Candi
Prambanan. Dari situ ia dipanggil kembali ke Yogyakarta untuk ditugasi
mengajar filsafat karena dosen-dosen filsafat sebelumnya merupakan misionaris
Belanda yang harus masuk interniran.20
Selama pendudukan/penguasaan Jepang, sampai pertengahan 1947 ia
menjadi dosen filsafat di seminari tinggi di Yogyakarta (Pendidikan tinggi calon
imam, dimana mempelajari filsafat selama 2 tahun dan teologi selama 4 tahun)
membuat ia mempunyai banyak waktu untuk belajar teologi sendiri untuk
ditahbiskan21 menjadi imam katolik. Tahbisan diberikan pada 6 Januari 1947
oleh Mgr. Soegijapranata yang membawahi umat katolik di sebagian Jawa
Tengah dan seluruh Yogyakarta.
Pasca perjanjian Linggajati 15 November 1946 sengketa antara Republik
Indonesia dan kerajaan Belanda secara prinsip dianggap sudah teratasi Mgr.
Soegijapranata dan para pimpinan Serikat Jesus di Indonesia, maka dari itu
19 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxi 20 Interniran adalah penahanan atau pengurungan orang-orang atau kelompok besar tanpa
pengadilan, istilah ini secara khusus digunakan untuk pengurungan musuh pada masa perang atau
pelaku terorisme. https://id.wikipedia.org/wiki/Interniran diakses pada 12/07/2019 pkl. 11.16 WIB 21 Tahbisan atau sakramen imamat pada dasarnya adalah panggilan sebagai imam dan
berlaku untuk semua orang yang sudah dibaptis, http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-
tahbisan/ diakses pada 12/07/2019, pkl. 11.26 WIB
25
Driyarkara ditugaskan berangkat ke Maastricht Belanda untuk menyelesaikan
studi teologinya, dan ia berangkat pada 24 Juli 1947.22
Setelah tamat dari Maastricht pada 1949 Driyarkara meneruskan
pelajaran tetang kehidupan rohani di Drongen dekat dengan Gent Belgia.
Kemudian tahun 1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doctoral di
Universitas Gregoriana Roma. Ia meraih gelar doctor dengan desertasi mengenai
ajaran filsuf Prancis Nicolas Malebranche (1630-1715) dengan judul
“Participationis Cognito In Existentia Dei Percipienda Secundum Malebranche
Ultrum Partem Habeat” dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia olehnya sendiri menjadi; “Peranan Pengertian Partisipasi dalam
Pengertian Tentang Tuhan menurut Malebranche”.23
Selama penyelesaian desertasinya, ia mengirim tulisan-tulisan ringan
untuk majalah Praba dengan seri “Serat Saking Rome”. Sekembalinya
Driyarkara ke Indonesia ia diangkat kembali menjadi dosen filsafat untuk
Ignatius College di Yogyakarta. Kemudian ia diangkat juga menjadi rektor di
PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma pada awal tahun
ajaran 1955-1956 yang kemudian berubah menjadi IKIP (Institiut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan) sampai ia meninggal.24
Sekitar tahun 1960 an ia juga merangkap menjadi Guru Besar Luar Biasa
untuk Universitas Indonesia dan Universitas Hasanuddin Makassar. Kemudian
sekitar tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar tamu di St. Louis
22 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxi 23 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxi 24 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxii
26
University, Missouri, USA.25 Mei 1966 menjadi awal Driyarkara mengisi forum-
forum diskusi Pancasila, ia menjadi pembicara dalam simposium “Kebangkitan
Angkatan 66” di Universitas Indonesia yang kemudian dimuat dalam majalah
Basis.26
Driyarkara akrab dengan karya-karya penulis besar seperti Sertillanges,
Danielou, Newman, Rousselot, Karl Rahner, Hugo Rahner, de Lubac, dan
banyak pengarang lainnya yang sedang menanjak di kalangan Gereja Katolik
sewaktu di Belanda. Bukan itu saja banyak filsuf-filsuf mempunyai andil yang
besar terhadap pemikirannya seperti; Martin Buber dengan Ich und Du nya,
Martin Heidegger dengan Sein und Zeit nya, Edmund Husserl dengan Ideen zu
einer reinen Phanomenologie und phanomenologieschen Philosophie nya,
William James antara lain dengan The Varietes of Religious Experience nya,
Gabriel Marcel dengan Etre et avoir, Maurice Merleau Ponty dengan
Phenomenologie de la Perceptio, Jean Paul Sartre dengan Letre el le neant, Max
Scheler dengan Der formalismus in der ethik und die materiale Wertethik, dan
lain sebagainya.27
Selain filsuf dan pemikir Barat di atas, Driyarkara juga akrab dengan
tulisan orang Indonesia seperti antara lain tulisan Soekarno, Moh. Hatta, Ph.
O.L. Tobing, Roeslan Abdulgani dan lain-lain. Ia juga akrab dengan tulisan
karya pepatah-pepatah dari tradisi Jawa seperti Serat Wedhatama, Serat Wulang
25 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 12/08/2019 pkl. 11:24
WIB 26 Materi yang disampaikan Driyarkara dimuat dalam majalah Basis dengan judul
“Kembali ke Pantjasila” Vol. XV (1965-1966) h. 257-267 27 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxv
27
Reh, Serat Centhini, Suluk Cebolek, dan juga tak ketinggalan referensi lainnya
seperti Bhagavad Gita.
C. Karya-karya Driyarkara
Eksistensi seorang pemikir besar kebanyakan akan meninggalkan jejak-
jejak keilmuan misalnya seperti tulisan, atau karya-karya, entah itu sifatnya teori
atau formulasi atas rekam problem sosial masyarakat umum. Sama halnya
dengan Driyarkara, ia juga banyak menulis atas problem masayarakat Indonesia
saat itu.
Agak susah untuk menemukan tulisan Driyarkara secara utuh dalam
formasi buku, karena ia lebih sering membuat esai-esai atau tulisan pendek yang
bermuatan filosofis dengan mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi
makna, dan menawarkan jalan keluar terkait situasi masyarakat Indonesia waktu
itu. Tetapi setiap aktivitas intelektualnya dibukukan oleh rekan-rekannya baik
ketika menjadi narasumber dalam diskusi umum dan siaran-siaran radio RRI
waktu itu.28
Salah satu tulisannya yang bisa disebut buku secara utuh adalah
desertasinya (Theoria participationis in Existensia Dei Percipienda secundum
Nicolaum Malebrenche) yang masih berbentuk manuskrip setebal 300 halaman
dalam bahasa Latin klasik yang tersimpan di Universitas Gregoriana, Roma.29
28 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-dr-
n-driyarkara-sj diakses pada 17/08/19 pkl.11:24 WIB 29 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxxvii
28
Naskah aslinya tersimpan di Roma, dan sekitar tahun 1954 diterbitkan versi
ringkasannya setebal 40 halaman.
Tetapi beberapa jejak pemikiran Driyarkara tidak susah untuk ditemukan
saat ini, berkat rekan-rekannya pasca meninggalnya Driyarkara misalnya saja
seperti siaran-siran radio di RRI yang kemudian dibukukan, kemudian renung
filsafatnya diterbitkan (PT. Pembangunan, Jakarta, 1962) menjadi buku
Pertjikan Filsafat.30 Sama halnya dengan tema Persona dan Personisasi yang
kemudian juga diterbitkan oleh Pertjikan Filsafat pada 1962.31
Yayasan Kanisus yang merupakan penerbit buku dari Yogyakarta juga
tak luput dalam menerbitkan tulisan-tulisannya dalam empat buku seperti;
Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Kebudayaan, Driyarkara
tentang Manusia32, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa.
Pemikirannya tentang Pancasila merupakan sebuah sumbangan yang tak
ternilai harganya meskipun belum sempat terselesaikan secara tuntas.
Pemikirannya dalam tema Pancasila dan Religi yang disampaikan dalam seminar
Pancasila di Yogyakarta pada 17 Februari 1959 merupakan uraian yang
mempunyai dampak besar. Yang mana uraian ini diterjemahkan dalam Bahasa
Inggris oleh Departemen Penerangan dan disebarluaskan oleh kedutaan-
kedutaan luar negeri. Seminar ini disetujui oleh Presiden Soekarno yang mencari
30 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-dr-
n-driyarkara-sj diakses pada 17/08/19 pkl. 11:20 WIB 31 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xii 32 Buku “Driyarkara tentang Manusia” yang diterbitkan oleh Kanisius semula
merupakan diktat kuliah untuk mahasiswa Sanata Dharma, Driyarkara, ed,. Karya Lengkap
Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xii
29
backing ilmiah untuk mendukung keputusan politik atau Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang akan diambilnya.33
Apa yang dituliskan oleh Driyarkara masih tetap relevan dengan keadaan
bangsa kita saat ini. Tanda kehormatan Bintang Jasa Utama adalah penghargaan
yang diberikan oleh Presiden ketiga Republik Indonesia, B.J. Habibie atas jasa-
jasa yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia.
Sebuah buku dengan judul Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat
Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya merupakan
kumpulan lengkap karya-karya Driyarkara yang dibukukan oleh teman-
temannya pasca meninggalnya sang filsuf. Inisiatif tersebut muncul dalam
pembicaraan antara Rama F. Danuwinata dan Jakob Oetama, keprihatinan akan
minimnya terobosan baru dalam pemikiran filosofis tentang bangsa dan negara
kala itu menjadi latar belakang pengumpulan karya-karya Driyarkara.34
Gagasan untuk menerbitkan ulang karya-karya sang filsuf disambut baik
dari berbagai pihak dan berencana untuk penerbitan bersama. Dari itu maka
diadakanlah rapat pertama kali pada tanggal 10 Mei 2005 di Universitas Sanata
Dharma yang dihadiri oleh 14 orang yang melibatkan beberapa pihak, yakni
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (Rama F. Danuniwanata, Rama
Sastrapratedja), Harian Kompas Jakarta (Sularto), Penerbit Gramedia Pustaka
Utama (Wandi S. Brata), Bank Naskah Gramedia Jakarta (Frans M. Parera),
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Rama Paul Suparno, Rama A. Sudiarja,
Rama G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim) dan Penerbit Kanisius
33 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxviii 34 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. v
30
Yogyakarta (Rama Sarwanto, Bapa FX Supri Harsono, Marsana Windhu, dan
Juan Sumampouw).35
Terlepas dari proses maupun metode pengumpulan dan penyusunan
semua karya Driyarkara menjadi satu buku, tentu sangat berarti dan sangat
membantu bagi penikmat filsafat dan tentunya semua kalangan intelektual,
termasuk juga bagi penulis dalam menguak segala kebutuhan dalam pembahasan
tema ini. Pemikiran-pemikiran luas Driyarkara setidaknya meliputi wilayah
kemanusiaan, kebudayaan, sosialitas, etika, kebudayaan, Pendidikan, filsafat,
kenegaraan, ideologi Pancasila, semua termuat dalam satu buku tersebut.36
Dalam buku tersebut terdapat dua kumpulan, yang mana kumpulan
pertama berisi filsafat sistematik yang tersusun dari enam buku. Buku pertama
bertema Persona dan Personisasi yang terbagi ke dalam tiga bab; 1). Fenomen
Manusia, 2). Persona dan Personisasi, 3). Badan dan Dinamika Manusia.
Kemudian buku kedua bertema Hominisasi dan Humanisasi yang terbagi dalam
tiga bab: 1). Problematika Pendidikan, 2). Fenomen Pendidikan, 3). Capita
Selecta Filsafat Pendidikan. Buku ketiga bertema Susila dan Kesusilaan dan
terbagi menjadi dua bab; 1). Problematika Moral, 2). Dasar-Dasar Kesusilaan.
Buku keempat bertema Homo Homini Socius yang terbagi dalam dua bab: 1).
Memasyarakat-Menegara, 2). Sosialitas Sebagai Eksistensial. Buku kelima
bertema Budaya Seni dan Religi yang terbagi dalam tiga bab; 1). Kebudayaan
dan kebebasan, 2). Kesenian dan Religi, 3). Ilmu Jiwa dan Agama. Kemudian
buku keenam bertema Menalar Dasar Negara Indonesia yang terbagi ke dalam
35 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. vi 36 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. ix
31
dua bab; 1). Pemikiran Pancasila Sebelum 1965, 2). Pemikiran Pancasila
Sesudah 1965.37
Selanjutnya bagian kumpulan kedua berisi tentang Pengantar, Sejarah,
dan Tokoh yang mana bagian ini tersusun dari empat buku. Buku pertama
bertema Pembimbing ke Filsafat yang terbagi dalam lima bab; 1). Apakah
Filsafat Itu, 2). Timbulnya Filsafat, 3). Pembagian Filsafat, 4). Kepentingan
Pelajaran Filsafat, 5). Ikhtisar Sejarah FIlsafat. Buku kedua bertema Sejarah
Filsafat Yunani yang terbagi dalam empat bab; 1). Permulaan Filsafat Yunani,
2). Perkembangan dan Keruntuhan Filsafat Yunani, 3). Perkembangan Baru
dan Penghabisan FIlsafat Yunani, 4). Ikhtisar. Kemudian dilanjutkan dengan
tulisan berjudul Ke Manakah Arah Sejarah?. Selanjutnya buku kesembilan
bertema Aliran dan Tokoh Kontemporer yang berisi dua bab; 1).
Eksistensialisme, 2). Fenomenologi. Kemudian buku kesepuluh yang tidak lain
merupakan sedikit uraian dalam desertasinya yang berjudul Apakah Menurut
Malebranche Paham Partisipasi Berperan Dalam Pengertian Mengenai Adanya
Allah kemudian di akhir berisi lampiran-lampiran dan indeks tema dan tokoh.38
Uraian-uraian filosofis yang disajikan Driyarkara, memperlihatkan
dinamika kreatif seorang pemikir yang mempunyai keterlibatan konkret pada
persoalan masyarakat dan bangsanya. Barangkali di sinilah sumbangan besar
Driyarkara bagi masyarakat Indonesia, meskipun jasa besarnya tidak terletak
pada penyajian konsep-konsep jadi untuk diterapkan, kecuali pemikirannya
mengenai pendidikan dan Pancasila yang khas, melainkan dalam merintis,
37 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. l 38 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. lii
32
menantang, dan menghidupkan pembicaraan yang serius dan mendalam untuk
menghadapi persoalan bangsa. Bukan saja karena keprihatinan terkait situasi
irasionalitas bangsa, tetapi ia juga memperlihatkan urgensinya filsafat untuk
dapat berpikir kritis, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan.39
39 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xviii
33
BAB III
PANCASILA: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN ETIKANYA
A. Sejarah Pancasila dan Perkembangannya
Secara historis, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara
kita ini.1 Setelah mengalami proses pergolakan pemikiran yang panjang dengan
tokoh-tokoh lain seperti Moh. Yamin, Soepomo dan lainnya. Tetapi Soekarno
sendiri mengakui bahwa ia bukanlah pencipta Pancasila itu sendiri, melainkan
perumus atau penggali.2 Kata Pancasila sendiri merupakan usulan Moh. Yamin,
bagi Soekarno, Pancasila adalah nilai-nilai yang sudah hidup di tengah
masyarakat, pola-pola yang ada dalam masyarakat dengan berbagai cara yang
kemudian memancarkan falsafah Pancasila.3
Tetapi sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh, setidaknya ada
beberapa hal yang perlu dipersoalkan seputar pengertian tentang kata Pancasila.
Berdasarkan pada uraian Kaelan dalam buku Pendidikan Pancasila, Pancasila
berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa
rakyat biasa adalah bahasa prakerta. Menurut Moh. Yamin, kata Pancasila
memiliki dua macam arti leksikal yaitu; “panca” artinya “lima”, “syila” vokal i
pendek artinya batu “sendi”, “alas”, atau “dasar”, “syiila” dengan vokal i panjang
artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
1 Kurnawi, Basyir, Pancasila dan Kewarganegaraan. (Surabaya: Sunan Ampel Press,
2013) h. 10 2 Ir. Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Pressindo,
Cet. II, 2017), h. 93 3 Andreas Doweng Bolo, Bartolomeus Samho. Stephanus Djunatan. Sylvester Kanisius
Laku. Pancasila Kekuatan Pembebas (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2012), h. 54
34
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa
diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. Maka dari itu
secara etimologis kata Pancasila yang dimaksud adalah istilah “panca syila”
dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau
secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila”
dengan huruf Dewanagari i bermakna lima aturan tingkah laku yang penting.4
Istilah Pancasila sebenarnya telah dikenal sejak zaman Majapahit pada
abad XIV, yaitu terdapat dalam buku Nagarakertagama dan juga buku Sutasoma.5
Kata Pancasila sendiri awalnya terdapat dalam kepustakaan Budha di India, yang
mana ajaran tersebut bersumber pada kitab suci Tri Pitaka, yang terdiri dari tiga
macam buku besar, yaitu; Suttha Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya Pitaka. Di
dalamnya terdapat ajaran moral untuk mencapai Nirwana dengan melalui
Samadhi, dan setiap golongan berbeda kewajiban moralnya, ajaran-ajaran moral
tersebut adalah sebagai berikut; Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyilla. Ajaran
Pancasyiila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five
moral principles yang harus ditaati, berikut adalah isi dari lima ajaran tersebut; 6
1). Panatipada veramani sikkapadam samadiyani, artinya “jangan
mencabut nyawa makhluk hidup” atau dilarang membunuh.
2). Dinna dana veramani shikapadam samadiyani, artinya “janganlah
mengambil barang yang tidak diberikan”, maksudnya dilarang mencuri.
4 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, Edisi kedelapan, 2010),
h. 21 5 Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, Cetakan ke-
10, 1991), h. 15 6 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 21
35
3). Kameshu micchacara veramani shikapadam samadiyani, artinya
“janganlah berhubungan kelamin, maksudnya adalah dilarang berzina.
4). Musawada veramani sikapadam samadiyani, artinya “jangalah berkata
palsu, atau dilarang berdusta.
5). Sura meraya masjja pamada tikana veramani, artinya “janganlah
meminum minuman yang menghilangkan pikiran, yang dimaksud adalah
dilarang minum minuman keras.7
Penyebaran agama Hindu dan Budha menjadi salah satu media masuknya
kebudayaan India ke Indonesia, maka hal tersebut menjadi faktor yang paling
memungkinkan ajaran Pancasyiila Budhisme masuk ke dalam kepustakaan Jawa,
terutama pada era Majapahit. Dalam khazanah kesusastraan nenek moyang kita
yaitu Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular,8
Perkataan Pancasila dapat dilacak. Sastra dalam masa keemasan keprabuan
Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dan maha patih Gadjah Mada tersebut
berupa kakawin (syair pujian) yang merupakan karya pujangga istana bernama
Empu Prapanca. Karya sastra tersebut selesai ditulis pada tahun 1365, dan dapat
ditemukan dalam sarga 53 bait kedua yang berbunyi; “Yatnagegwani pancasyiila
kertasangskarbhisekaka krama” yang artinya; raja menjalankan dengan setia
kelima pantangan (Pancasila) begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-
penobatan.9
Pasca keruntuhan Majapahit dan penyebaran agama Islam secara masif ke
seluruh Indonesia, bukan berarti apa yang ditinggalkan Majapahit hilang begitu
7 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 22 8 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 15 9 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 22
36
saja, tetapi ajaran moral Budha (Pancasila) masih juga dikenal dalam masyarakat
Jawa, yang mana disebut “lima larangan” atau “lima pantangan”, dan kelima
ajaran moral tersebut diawali dengan huruf “M” atau dalam bahasa Jawa “Ma”,
dan biasa disebut dengan “Ma lima”. Ma lima tersebut adalah; 1). Mateni, artinya
adalah membunuh, 2). Maling, artinya mencuri, 3). Madon, artinya main
perempuan atau berzina, 4). Mabok, meminum minuman keras atau menghisap
candu (yang secara prinsip dapat menghilangkan kesadar atau kemampuan akal),
5). Main, artinya berjudi.10
Selanjutnya, perihal sejarah perumusan Pancasila, Yudi Latif membaginya
dalam tiga fase; pertama adalah fase pembuahan, kedua adalah fase perumusan,
dan ketiga adalah fase pengesahan. Ketiga fase tersebut tidak berlangsung mulus
dan dihadapkan pada banyak tantangan yang menguras waktu, energi, dan
pikiran.11 Pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah Jepang meresmikan
terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tioosakai. Dimana tugas dari badan ini untuk
mempelajari dan menyelidiki terkait hal-hal penting yang berkaitan dengan
ekonomi, politik, tata pemerintahan dan lain sebagainya yang dibutuhkan dalam
usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.12
Diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat, BPUPKI beranggotakan
sebanyak enam puluh orang yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa, tetapi
10 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 23 11 Saddam Al-Jihad, Pancasila Ideologi Dunia; Sintesis Kapitalisme, Sosialisme, dan
Islam, (Ciputat: Alvabet, 2018), h. 147 12 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, Cetakan I,
1985), h. 25
37
terdapat beberapa dari Sumatra, Maluku, Sulawesi dan beberapa orang keturunan
Arab, Eropa, dan Cina, karena memang Badan Penyelidik tersebut diadakan oleh
Saikoo Sikikan Jawa.13 Selama tugasnya setidaknya BPUPKI mengadakan dua
kali sidang umum yang mana siding pertama digelar pada 29 Mei 1945 sampai 1
Juni 1945, kemudian sidang kedua digelar pada 10 Juli 1945 sampai 17 Juli 1945.
Sidang umum pertama membahas berbagai hal diantaranya meliputi syarat-syarat
hukum suatu negara, bentuk negara, pemerintahan negara dan dasar negara.14
Dalam pembahasan mengenai dasar negara, setidaknya Founding Fathers
di atas menyampaikan masing-masing gagasannya yaitu Muh. Yamin dalam
pidatonya pada 29 Mei 1945, Soepomo dalam pidatonya pada 31 Mei 1945, dan
Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Dalam pidato yang dikemukakan
Muh. Yamin setidaknya ia mengajuk;an lima hal yakni; 1). Peri Kebangsaan. 2).
Peri Kemanusiaan. 3). Peri Ketuhanan. 4). Peri Kerakyatan, 5). Kesejahteraan
rakyat.15
Dalam pidato tersebut Muh. Yamin juga menyampaikan pandangannya
bahwa Negara Indonesia harus didasarkan atas watak peradaban Indonesia,
berikut pidato yang disampaikannya dalam ejaan lama;
“rakjat Indonesia mesti mendapat dasar negara jang berasal
dari pada peradaban bangsa Indonesia; orang Timur pulang kepada
kebudajaan Timur…. kita tidak berniat lalu akan meniru sesuatu
susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa Indonesia masuk jang
beradab dan kebudajaan kita beribu-ribu tahun umurnja.”.16
13 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 36 14 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 26 15 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 26 16 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 27
38
Kemudian Soepomo menyampaikan pidatonya pada 31 Mei 1945.
Sebelum menyampaikan ide gagasannya, Soepomo terlebih dahulu mengulas
pembicaraan-pembicaraan yang sudah disampaikan oleh anggota-anggota
sebelumnya, dengan menyebutkan secara garis besar setidaknya ada tiga
permasalahan yang timbul dalam sidang;
“Pertama, apakah Indonesia akan berdiri sebagai persatuan
negara (eenheidstaat) atau negara serikat (Bondstaat) atau sebagai
persekutuan negara (Statesbond). Kedua, dipersoalkan perhubungan
antara negara dan agama, dan Ketiga, apakah Republik atau
Monarchi.”17
Soepomo menegaskan lebih lanjut bahwa kerangka pemikiran tersebut
terdapat beberapa ciri alam pikiran kebudayaan Indonesia, di antaranya; cita-cita
persatuan hidup, keseimbangan lahir batin, pemimpin yang bersatu jiwa dengan
rakyat, musyawarah, suasana persatuan antara rakyat dan pemimpinnya, antara
golongan rakyat yang satu dengan yang lain yang mana antar golongan tersebut
diselimuti oleh semangat gotong royong dan semangat kekeluargaan.
Dalam lanjutan pidatonya Soepomo juga menyinggung hubungan antara
agama dan negara;
“menurut aliran pikiran tentang negara jang saja anggap sesuai
dengan semangat Indonesia asli tadi, negara tidak mempersatukan
dirinja dengan golongan terbesar dalam masjarakat, pun tidak
mempersatukan dirinja dengan golongan jang paling kuat (golongan
politik atau ekonomi jang paling kuat), akan tetapi mengatasi segala
golongan dan segala seseorang, mempersatukan diri dengan segala
lapisan rakjat seluruhnja.
Akan tetapi, tuan-tuan jang terhormat, akan mendirikan negara
Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan mendirikan negara
17 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 28
39
persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan
negara jang akan mempersatukan diri dengan golongan jang besar,
jaitu golongan Islam.”18
Dari pidato yang diuraikan oleh Soepomo secara garis besar bisa dikatakan
senada dengan gagasan Muh. Yamin terkait dasar negara harus berasal dari
struktur masyarakat Indonesia itu sendiri.19 Selanjutnya, Parade pidato dalam
sidang terbuka BPUPKI yang terakhir dilanjutkan dengan penyampaian gagasan
oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Mengenai dasar-dasar negara Soekarno
mengajukan pandangannya; 1). Kebangsaan Indonesia. 2). Internasionalisme atau
Perikemanusiaan. 3). Mufakat atau Demokrasi. 4). Kesejahteraan Sosial. 5).
Ketuhanan yang berkebudayaan.20
Setelah Soekarno menguraikan pendapatnya tersebut, kemudian ia
berbicara tentang nama dasar negara itu, berikut yang disampaikan olehnya;
“Saudara-saudara! Dasar-dasar negara telah saja usulkan. Lima
bilangannja. Inikah Pantja Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma
tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita ini
membicarakan dasar ….. Namanja bukan Pantja Dharma, tetapi saja
namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita ahli Bahasa
namanja ialah Pantja Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan
abadi”21
Pada tanggal 22 Juni, sembilan tokoh nasional atau dikenal sebagai
Panitia Sembilan yang beranggotakan Soekarno, Wachid Hasyim, Muh.
Yamin, Mr. Maramis, Moh. Hatta, Soebardjo, Kyai Abdul Kahar Moezakir,
Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Panitia Sembila tersebut
18 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 30 19 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 29 20 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 27 21 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 33
40
mengadakan pertemuan terkait pembahasan pidato serta usul-usul mengenai
dasar negara yang telah dikemukakan sebelumnya. Dalam pertemua ini,
disusunlah sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta
yang mana di dalamnya terdapat rumusan dan sistematika Pancasila, yakni;
1). Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3). Persatuan
Indonesia, 4). Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, 5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.22
Selanjutnya dalam sidang BPUPKI kedua yang berlangsung pada 10-
16 Juli 1945, Soekarno sebagai ketua panitia kecil melaporkan hasil
pertemuannya, termasuk hasil pertemuan pada tanggal 22 Juni 1945 dengan
anggota-anggota Badan Penyeledik berjumlah 38 orang yang bertempat
tinggal di Jakarta.”23 Panitia Sembilan tersebut melakukan pertemuan secara
matang, di antaranya juga terkait penyelesaian dan persetujuan antara
golongan agama dengan golongan kebangsaan. Dalam proses ini, terdapat
beberapa keputusan penting yang dihasilkan, diantaranya meliputi
keputusan bentuk negara yakni berbentuk republik, tentang luas wilayah
negara baru, dan keputusan-keputusan lain yaitu untuk membahas panitia
kecil perihal; 1). Panitia perancangan Undang-Undang Dasar yang diketuai
oleh Soekarno, 2). Panitia ekonomi dan keuangan yang diketuai oleh Moh.
Hatta, dan 3). Panitia pembelaan tanah air yang diketuai oleh Abikoesno
22 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 29 23 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 41
41
Tjokrosoejoso. Dan selanjutnya pada 14 Juli Badan Penyelidik melakukan
sidang lagi dan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar melaporkan hasil
pertemuannya, yakni; a). pernyataan Indonesia merdeka, yang berupa
dakwaan di muka dunia atas penjajahan Belanda, b). Pembukaan yang
didalamnya memuat dasar negara Pancasila, dan c). Pasal-pasal Undang-
Undang Dasar.24
Pada 9 Agustus 1945 terbentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Inkai, yang mana sebelumnya
setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia terlihat jelas, maka Soekarno,
Moh. Hatta, dan Radjiman berangkat ke Jepang Atas panggilan Jenderal
Besar Terauchi terkait keperluan pembentukan panitia persiapan
kemerdekaan tersebut. Jenderal Terauchi memberikan tiga cap pada
Soekarno, yakni; a). Mengangkat Soekarno sebagai ketua, Moh. Hatta
sebagai wakil dan Radjiman sebagai anggota. Yang mana selanjutnya panita
tersebut tersusun atas 21 orang berikut Ketua dan Wakil Ketua, b). Panitia
Persiapan boleh mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus, c). Terkait cepat dan
tidaknya pekerjaan Panitia diserahkan sepenuhnya pada Panitia tersebut.25
Selanjutnya pada 17 Agustus 1945 digelarlah Proklamasi
Kemerdekaan bangsa Indonesia atas jajahan bangsa asing. Peran Panitia
Persiapan Kemerdekaan mempunyai fungsi yang sangat penting, Badan
yang pada mulanya merupakan buatan Jepang untuk menerima hadiah
kemerdekaan dari Jepang, akan tetapi setelah takluknya Jepang dan
24 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 42 25 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 43
42
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka Badan tersebut
menjadi Badan Nasional Indonesia yang mempunyai kedudukan dan
berfungsi yang sangat penting, yakni; a). Mewakili selurh bangsa Indonesia,
b). Sebagai pembentuk negara, c). menurut teori hukum, Badan seperti itu
mempunyai wewenang untuk meletakkan dasar negara.26
Selanjutnya, dalam sidang yang digelar pada 18 Agustus 1945, PPKI
yang telah disempurnakan kemudian mengesahkan Undang-Undang Dasar
1945 yang tersusun dalam dua bagian, yaitu; bagian pembukaan dan bagian
batang tubuh UUD yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan terdiri atas 4
pasal, 1 Aturan Tambahan terdiri dari 2 ayat. Dalam bagian pembukaan,
tersusun atas empat alinea, dan alinea keempat tercantum tentang
perumusan Pancasila yang berbunyi sebagai berikut; 1). Ketuhanan Yang
Maha Esa, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3). Persatuan Indonesia,
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, 5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.27
B. Pancasila Sebagai Weltanschauung
Pancasila adalah ideologi bangsa yang sudah final dan posisinya yang tak
bisa lagi diganggu gugat, lalu apakah masih perlu untuk dibahas lagi? Barangkali
pertanyaan samacam itu bukan persoalan yang susah untuk ditemui sampai hari
26 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 30 27 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 31
43
ini. Sejalan dengan kata Soekarno dalam seminar manipol di Bandung pada 28
Januari 1961 menjadi salah satu legitimasi yang jelas. Soekarno menghendaki
penarikan ke atas dan ke bawah ajaran Pancasila. Penarikan ke atas dimaksudkan
sebagai penggalian atau perumusan teori Pancasila, khususnya filsafat Pancasila.
Sedangkan yang dimaksud dengan penarikan ke bawah adalah tingkat penjabaran
dan implementasinya, atau bisa disebut juga sebagai sikap hidup atau way of life.28
Penyinggungan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa, Pancasila
sebagai dasar negara, dan Pancasila sebagai weltanschauung dalam waktu
bersamaan, akan memungkinkan adanya pembiasan yang bisa saja terlihat
inkonsisten dalam pembahasan ini. Tetapi pembahasan terkait hal-hal tersebut
menjadi penting untuk dihadirkan dan sedikit diuraikan karena akan memberi
kejelasan akan posisi yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Suatu ideologi umumnya bersumber kepada aliran filsafat, atau ideologi
adalah bentuk operasionalisasi sistem filsafat suatu bangsa, begitu pula dengan
ideologi Pancasila. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
bagaikan dua sisi dari satu mata uang, masing-masing menempati kedudukannya
sendiri tetapi keduanya dalam kesatuan fungsi dalam praktik ketatanegaraan.
Ideologi sebagai kerangka idealitas, sedangkan dasar negara sebagai kerangka
yuridis bagi terselenggaranya sistem ketatanegaraan untuk kelangsungan
kehidupan bangsa dan negara.29
28 Hardono P.Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius,
1994), h. 30 29 Iriyanto Widisuseno, Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara,
(Jurnal Humanika Vol. 20, No.2, 2014), h. 64
44
Menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara tidak langsung
menyinggung hubungan antara Pancasila dan sikap hidup. Hubungan tersebut ada
jika Pancasila merupakan pedoman, sedangkan hidup dilaksanakan dengan
bermacam-macam perbuatan. Maka, sesuatu yang menjadi pedoman hidup harus
merupakan pedoman perbuatan sehari-hari.30 Kompleksitas perbuatan manusia
dalam pelaksanaan hidup meliputi banyak sektor misalnya saja seperti sektor
religius dan moral, kebudayaan, politik (kenegaraan) ekonomi dan sosial. Sektor-
sektor tersebut tidak saling terpisah, melainkan sebuah kesatuan hidup.
Dijelaskan oleh Driyarkara, bahwa hidup manusia merupakan kesatuan
yang dilaksanakan dalam banyak bentuk perbuatan. Sebuah kesatuan yang saling
berintegrasi berupa; a). Sisi yang selalu dilihat dari sudut biologis, yang
setidaknya akan berkonsekuensi ke arah gestalt dari individu,31 b). Dilihat dari
sudut moral dan kultural. Tetapi kesatuan tersebut masih berupa karikatur atau
gambaran. Hidup barulah merupakan bhineka tunggal jika disatukan oleh
direction of life yaitu berupa ideologi.32
30 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang terlibat
Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 881 31 Istilah Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang menggambarkan suatu konfigurasi utuh.
Psikologi Gestalt berasal dari gerakan intelektual Jerman yang sangat dipengaruhi oleh berbagai
model akademi Wurzburg dan pendekatan fenomenologis terhadap ilmu pengetahuan. Gestalt
merupakan teori pembelajaran secara mendalam, menurut teori ini manusia adalah individu yang
merupakan kebulatan jasmani dan rohani. Manusia bereaksi atau berinteraksi dengan dunia luar
melalui caranya sendiri, reaksi manusia terhadap dunia luar tergantung pada bagaimana ia
menerima stimuli dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Belajar menurut
pskiologi Gestalt terjadi jika ada pengertian (insight), pengertian akan muncul apabila seseorang
setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul kejelasan dan
dimengerti maksudnya. Artikel diakses pada 20 Februari 2020 dari http://mahmud09-
kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-gestalt-pengertian.html 32 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 881
45
Dari gambaran tersebut, jelaslah bahwa ideologi mempunyai peranan yang
sangat penting, diibaratkan oleh Driyarkara bahwa dalam mengendarai mobil,
pesawat, perahu atau berbagai jenis transportasi lainnya, pengertian mempunyai
peranan yang penting. Pengertianlah yang ikut serta dalam menentukan direction,
serupa dengan itulah peranan ideologi dalam kehidupan manusia. Tetapi yang
menjadi catatan adalah, tidak semua ideologi dapat memainkan peran tersebut,
hanya ideologi yang riil (realis) yang mampu mengambarkan realitas yang ada
yaitu realitas manusia. Pancasila adalah ideologi yang realitas, kenapa disebut
realitas?, karena Pancasila tidak diambil dari langit, Pancasila bukan hanya
merumuskan realitas Indonesia saja tetapi juga realitas manusia bahkan secara
umum.33
Ideologi diambil dari realitas, tetapi kemudian juga harus dikembalikan ke
realitas, artinya harus menjiwai hidup dan berbagai macam-macam sektornya.
Secara sederhana, digambarkan oleh Driyarkara bahwa manusia itu berpikir
tentang realitasnya, dengan ini maka muncullah yang disebut ideologi. kemudian
setelah itu dia berkata: sekarang saya mau hidup sesuai dengan pengertianku yang
benar itu, kalau begitu, maka pikiranku tadi (idea atau ideologi), harus menjiwai
seluruh hidupku. Dengan gambaran tersebut, terlihat jelas bahwa ideologi muncul
dan kembali untuk direalisaikan. Tahap setelah ideologi kembali kepada hidup
manusia yang kemudian dijiwainya, yakni berupa mengadakan sikap dan
pendirian hidup atau selanjutnya disebut dengan weltanschauung.34
33 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 882 34 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 883
46
Hubungan Pancasila sebagai falsafah bangsa (philosophisce gronslag)
dengan weltanschauung sangat erat. Tetapi yang perlu menjadi catatan penting,
adalah, terdapat perbedaan pandangan atau aliran terkait hubungan antara filsafat
dengan weltanschauung seperti berikut; 1). Weltanschauung repels philosophy
(weltanschauung berbeda dengan filsafat). Hal ini dikemukakan oleh Kierkegaard
dan filsuf eksistensialis Karl Jaspers yang menulis buku phsycologie der
weltanschauungen. 2). Weltanschauung crown philosophy (weltanschauung
adalah mahkota dari filsafat). Menurut pandangan ini, weltanschauung adalah
manifestasi tertinggi dari filsafat karena tujuan filsafat adalah menjelaskan arti
kehidupan dan nilai yang dianut. Pandangan ini dianut oleh Neo Kantianism aliran
Baden (Ricket dan Wundt). 3). Weltanschauung flanks philosophy
(weltanschauung berdampingan dengan filsafat). Dalam pandangan ini
weltanschauung mempunyai keberadaan yang sah (legitimate) dan tidak boleh
dicampuradukkan dengan scientific philosophy yang bersifat bebas nilai. Aliran
ini dianut oleh H. Ricket, E. Husserl dan Max Weber. 4). Weltanschauung yields
philosophy (weltanschauung menghasilkan filsafat). Menurut pandangan ini
filsafat dihasilkan oleh weltanschauung. Aliran ini dianut oleh Dilthey dan Karl
Mannheim. 5). Weltanschauung equals philosophy (weltanschauung sebangun
dengan filsafat). Dianut oleh Friedrich Engels yang mengatakan bahwa,
“dialectical materialism is the truly scientific weltanschauung and therefore a
virtual synonym for philosophy”.35
35 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan?, artikel diakses pada 18 Februari
pkl. 1:08 WIB dari https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/
47
Dalam hal ini Driyarkara sejalan dengan Karl Jaspers bahwa filsafat harus
dibedakan dengan weltanschauung karena filsafat berada dalam lingkungan ilmu
pengetahuan, sementara weltanschauung berada dalam lingkungan hidup.36 Yudi
Latif juga senada dengan Driyarkara bahwa filsafat berkonotasi sebagai pemikiran
saintifik dan rasional dengan klaim validitas universalnya, maka berbeda halnya
dengan weltanschauung yang berkonotasi sebagai pandangan yang relatif lebih
personal, eksistensial, dan historikal. kemudian Soekarno, lebih condong dengan
Friedrich Engels yang memandang Pancasila sebagai weltanschauung sekaligus
sebagai philosophische grondslag yang berarti weltanschauung sebangun dengan
filsafat yang menyatu dalam ideologi. Dengan kata lain, ideologi adalah
pandangan dunia yang diteorisasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-
filosofis.37
Dari penjelasan di atas, kita sepakat bahwa Weltanschauung merupakan
istilah teknis yang mempunyai arti pandangan dunia, pandangan dunia, pendirian
hidup, sikap hidup, pedoman hidup, beberapa tokoh lain juga ada yang
menggunakan istilah teknis dalam bahasa Inggris yakni way of life.38 Lalu, apakah
yang dimaksud dengan pandangan hidup tersebut?, Pancasila yang mana dalam
konteks ini hadir sebagai dalil-dalil filsafat yang merumuskan realitas manusia
dalam semesta realitas, filsafat sebagai filsafat belumlah berupa atau menjadi
weltanschauung, dengan berfilsafat akan memunculkan hasrat seseorang untuk
memandang realitas sedalam-dalamnya. Dalam tahap ini manusia tidak lagi
36 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 855 37 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan?, artikel diakses pada 18 Februari
pkl. 1:08 WIB dari https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/ 38 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 16
48
memandang sisi praktis dalam kehidupan sebagai hal yang paling utama, tetapi
dalam tahap ini, manusia lebih mementingkan pengertian, di sini manusia
mengutamakan pandangan dan hendak mengetahui kebenaran. Karena memang
pada dasarnya yang mampu berpikir hanyalah manusia, ia berpikir tentang realitas
dirinya sendiri, maka ia terdorong untuk mengambil sikap untuk menetapkan
pendiriannya.39
Dengan demikian, pengertian yang bersifat abstrak (filsafat)
bertransformasi menjadi pandangan hidup, yang kemudian pandangan hidup
tersebut diterima dan dijalankan. Kehadiran weltanschauung sendiri tidak selalu
didahului oleh filsafat, misalnya saja, dapat ditemukan dalam berbagai kearifan
tradisional berbagai suku di Indonesia yang mana terkandung weltanschauung
meskipun tanpa rumusan filsafat di dalamnya. Selain itu ada juga weltanschauung
yang melahirkan rumusan filsafat, dan filsafat yang berbuah weltanschauung.40
Sebagaimana penjelasan di atas, Weltanschauung merupakan sebuah
konsekuensi yang harus diterima sebagai implikasi atas ideologi yang telah
disepakati secara bersama.41 Ajaran-ajaran maupun nilai filosofis Pancasila tidak
hanya berupa ekslusifitas yang jauh dari kehidupan karena berbentuk ideologi
karena tidak semua kalangan mengerti dan paham apa itu ideologi, Tetapi ajaran
dan nilai-nilai Pancasila dikembalikan dalam wilayah realitas untuk
diimplementasikan dan dijiwai.
39 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 855 40 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan?, artikel diakses pada 18 Februari
pkl. 1:08 WIB dari https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/ 41 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 935
49
Pancasila sebagai weltanschauung, berarti nilai-nilai Pancasila merupakan
etika kehidupan bersama bangsa Indonesia yang bersifat praksis, dalam artian
nilai-nilai tersebut hadir dan menjadi dorongan yang melahirkan perbuatan-
perbuatan sehari-hari.42 Nilai (value) sendiri termasuk dalam pengertian filsafat,
menilai berarti menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu untuk selanjutnya diambil sebuah keputusan. Keputusan nilai;
dapat mengatakan; berguna atau tidak berguna, baik atau buruk, benar atau tidak
benar, religius atau tidak religius. Hal-hal tersebut dihubungkan dengan unsur-
unsur yang ada pada manusia, yakni jasmani, cipta, rasa, dan karsa.43
Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna, benar (nilai
kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral/etis), dan religius (agama).
Dalam hal ini, Notonagoro membagi nilai menjadi tiga; 1). Nilai material, yaitu
segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. 2). Nilai vital, yaitu segala
sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau
aktivitas. 3). Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani
manusia yang meliputi; a). Nilai kebenaran/kenyataan yang bersumber pada unsur
akal (rasio, budi, cipta) manusia. b). Nilai keindahan yang bersumber pada rasa.
c). Nilai kebaikan atau moral yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan
manusia (will, karsa, ethics). d). Nilai religius atau kepercayaan.44
42 Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuh
Kembangkan Karakter Bangsa, (Jurnal Seminar Nasional Hukum, Vol. 2, Fakultas Hukum
UNNES, 2016), h. 424 43 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 50 44 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 51
50
Pada akhirnya, setelah melewati pembahasan-pembahasan yang agak
rumit di atas, maka selanjutnya menyisakan ruang etika Pancasila untuk dibahas,
karena etika Pancasila sendiri merupakan refleksi kritis untuk merumuskan
prinsip-prinsip kelayakan (kebaikan) dalam mengambil keputusan tindakan dalam
kehidupan bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara.45
C. Etika Secara Umum
“Mengkhotbahkan moralitas itu mudah, memberi dasar bagi moralitas
itulah yang sulit”, ungkapan Arthur Scopenhauer tersebut sepertinya sangat layak
untuk menjadi sebuah pengingat penting bagi kita. Betapa banyak orang yang bisa
memberi petuah, perintah tentang baik dan buruk, tetapi, pada soal “mengapa ini
boleh dan yang itu tidak boleh?” apakah petuah tersebut disertai dengan dasar
yang logis bukan hanya sekedar jawaban “karena itu memang tidak baik?”. 46
Etika bisa dikatakan sebagai suatu pembahasan dalam menganalisa
persoalan perbuatan manusia atau sebagai refleksi filosofis tentang moralitas.
Definisi etika secara etimologi berasal dari kata Yunani yakni ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Jika dilihat secara terminologi etika adalah cabang
filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam kaitannya
dengan persoalan baik buruk.47
45 Sri Soerprapto, Konsep Mohammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam
Perspektif Etika Pancasila, (Yogyakarta: Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 2, Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada, 2013), h. 115 46 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya di Era Postmodern, (Jurnal
Filsafat Vol. 23, Nomor 1, April 2013), h. 78 47 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2010), h. 218
51
Dalam kamus filsafat, term atau kata etika berarti ethikos, ethos yang
artinya adat, kebiasaan, praktek, Aristoteles menggunakan istilah ini dengan
mencakup ide “karakter” dan “disposisi” (kecondongan). Kemudian kata moralis
diperkenalkan ke dalam kosakata filsafat oleh Cicero, baginya kata ini sebanding
dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua kata istilah itu
menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis,48
K. Bertens dalam buku babonnya Etika, menjelaskan bahwa kata etika
dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata ethos dalam bentuk tunggal yang
mempunyai banyak makna seperti; tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang habitat, kebiasaan, adat, etika, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Jika
dalam bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat kebiasaan. Arti terakhir inilah
yang menjadi latar belakang atas terbentuknya istilah etika oleh Aristoteles yang
kemudian secara lebih lanjut dipakai untuk menjelaskan filsafat moral.49
Jadi, secara prinsip, filsafat moral adalah upaya mensistematisasikan
pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita,
sebagaimana yang diajukan oleh Sokrates “kita sedang membicarakan masalah
yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita hidup”.50 Pengertian etika yang
juga dipahami sebagai adat maupun cara berpikir, membuat etika dipahami
sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan individu
seseorang maupun kelompok dalam mengatur tingkah lakunya dalam lingkup
48 Nur Fatikhah, Kode Etik Mahaiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012-2015
Dalam Perspektif Etika, (Skripsi Prodi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), h.2 49 K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 4 50 James Rachels, Filsafat Moral, diterjemahkan oleh A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius,
2004), h. 17
52
perorangan maupun taraf sosial.51 Secara historis etika merupakan sebuah usaha
filsafat yang muncul atas situasi tatanan moral yang semakin merosot dan
dianggap rusak dalam lingkungan kebudayaan Yunani pada 2500 tahun yang
lalu.52 Para filsuf mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan
manusia, problem-problem tersebut tentu juga relevan sampai detik ini dan
problem tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa term yang dekat dan berkaitan dengan etika di antaranya seperti,
moral (akhlak dalam istilah Islam), dan etiket. Meskipun mempunyai kedekatan
makna tetapi pada dasarnya ada wilayah atau batasan tertentu yang
membedakannya secara jelas. Moral secara umum berasal dari Bahasa Latin Mos
jamaknya adalah Mores yang berarti adat atau cara hidup. Dalam hal ini,
meskipun hampir mempunyai kesamaan namun secara khusus letak penilaian
sehari-hari menunjukkan perbedaannya. Jika etika secara prinsip dipakai untuk
pengkajian sistem yang ada, maka moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai.53
Kemudian etika terkadang juga dicampuradukkan dengan etiket. Istilah
etiket atau etiquette (berasal dari Bahasa Prancis) mempunyai arti yang
menunjukkan sikap sopan santun, dianggap memiliki kesamaan karena keduanya
mengatur perilaku manusia secara normatif.54 Secara lebih lanjut jika mengutip K.
Bertenz ada garis besar yang membedakan antara etiket dengan etika. misalnya;
51 K. Bertens, Etika, h. 6 52 Franz Magnis Suseno. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Jakarta,
Pustaka Filsafat, 1985), h. 15 53 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, h.219 54 K. Bertens, Etika, h. 7
53
etiket lebih menyangkut “cara” dari suatu perbuatan yang harus dilakukan
seseorang diantara berbagai cara yang mungkin dilakukan, etiket menunjukkan
cara yang tepat serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu, misalnya; jika
seseorang hendak menyerahkan sesuatu kepada atasan, maka seseorang tersebut
harus menyerahkannya dengan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket jika hal
tersebut dilakukan dengan tangan kiri. Sedangkan etika memberi norma tentang
perbuatan itu sendiri, etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh
dilakukan atau tidak. Jika A menyerahkan amplop kepada B dengan cara yang
sangat sopan, tetapi si B adalah seorang hakim dan si A adalah orang yang
mempunyai perkara di pengadilan tersebut dan amplop tersebut berisikan
sejumlah uang yang diberikan untuk menyuap hakim tersebut, maka perbuatan
tersebut sangat tidak etis, meskipun dari sudut etiket dilakukan secara sempurna.55
Selain batasan di atas, ada gambaran lain pula yang bisa memperjelas
batasan antara etika dengan etiket. Misalnya saja seperti, etiket hanya berlaku
dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata maka
etiket tidak berlaku, misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara
makan atau cara berpakaian. Etiket juga bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan
dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Kemudian etiket hanya memandang manusia dari sisi lahiriah saja, sedangkan
etika menyangkut manusia dari segi dalam,56 misalnya seorang pejabat yang
luarnya sangat rapi dalam berpakaian kemudian dalam menjaga sikap dan
berbicara tetapi dia melakukan korupsi, disuap atau menyuap. Gambaran tersebut
55 K. Bertens, Etika, h. 8 56 K. Bertens, Etika, h. 9
54
menunjukkan sisi lahiriah yang sangat sempurna dan sesuai dengan etiket tapi
melanggar etika dalam pekerjaannya.
Franz Magnis Suseno menjelaskan perbedaan pengertian antara etika
dengan moral berdasarkan ajaran. Ajaran moral yakni ajaran, khutbah, wejangan,
peraturan lisan maupun tulisan yang meliputi persoalan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak supaya menjadi manusia yang baik. Ajaran
moral bersumber langsung dari hal-hal yang meliputi orang-orang yang
mempunyai posisi berwenang misalnya saja seperti orang tua, guru, pemuka
masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Sedangkan etika bukanlah
sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan sebuah filsafat atau pemikiran
kritis yang fundamental tentang ajaran dan pandangan moral. Etika bukanlah
merupakan ajara tapi ilmu. Jadi, dengan penjelasan tersebut etika dengan moral
tidak berada dalam tingkat yang sama.57
Kajian etika sebagai cabang filsafat, secara garis besar merupakan
pembahasan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang baik dan
buruk. Dasar filsafat etika yakni etika individual sendiri, maka setidaknya suatu
perbuatan itu dinilai dari tiga tingkat, yakni; 1). Tingkat Pertama; sesuatu yang
belum menjadi perbuatan, yaitu bisa saja berupa niat atau rencana dalam hati, 2).
Tingkat kedua; perbuatan nyata atau pekerti, 3). Tingkat ketiga; akibat atau hasil
dari perbuatan tersebut = baik atau buruk. Dengan demikian, maka setidaknya
dalam persoalan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam kehidupan manusia
sangat tergantung pada tiga hal mendasar, yaitu; 1). Cara berpikir yang melandasi
57 Franz Magnis Suseno. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, h. 16
55
manusia dalam berperilaku, 2). Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya
norma sosial, 3). Cara merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan
pokok dalam bertindak.58
Pada akhirnya, tentang baik buruk tersebut dan orang yang tidak bermoral
adalah sesorang yang tidak dipimpin oleh rasionya. Orang yang tidak bermoral
adalah orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, hatinya hanya penuh dengan
perasaan dan jiwanya dibelenggu oleh keinginan.59 Selanjutnya, dalam lingkup
kajian etika, kita akan banyak menjumpai banyak unsur-unsur penting dalam etika
beberapa di antaranya seperti;
1. Hati Nurani
Oleh Driyarkara, hati nurani atau suara batin adalah ukuran manusia
untuk memahami mana yang baik dan mana yang buruk karena suara
batin itu adalah dorongan manusia yang mengatasi pengalaman. Dan
suara batin dimiliki oleh semua manusia dan berlaku universal, suara
batin menjadi kriteria moral dikarenakan ia merupakan sebuah
panggilan dari Tuhan Yang Maha Esa.60
2. Kebebasan dan Tanggung Jawab
Di antara dua kata tersebut, terdapat sebuah hubungan timbal-balik
namun tidak sama perihal pengertiannya. Sehingga seseorang yang
mengatakan “manusia itu bebas” maka dengan sendirinya juga telah
58 Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2000), h. 4 59 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya, h. 78 60 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya, h. 81
56
menerima “manusia itu bertanggung jawab”.61 Tanggung jawab
merupakan hukum kodrat manusia, karena hal tersebut merupakan
principium identitatis yang artinya manusia adalah manusia, maka
harus berperilaku sebagai manusia, jika tidak maka ia tetaplah manusia
tetapi ia memungkiri kemanusiaannya.62
3. Nilai dan Norma
Unsur nilai dianggap menjadi paling penting, sebab merupakan
kumpulan sikap, perasaan ataupun anggapan terhadap segala hal yang
meliputi persoalan baik buruk, benar-salah, patut-tidak patut, mulia-
hina, ataupun penting-tidak penting, karenanya nilai berperan dalam
suasana apresiatif.63 Sedangkan, norma merupakan peraturan atau
kaidah sebagai suatu indikator atau tolak ukur untuk mencapai sesuatu
yang membatasi gerak manusia yang bisa saja berbentuk larangan atau
patokan, dasar atau ukuran, aturan-aturan yang memuat sanksi dengan
maksud untuk mendorong atau menekan individu dalam usaha
mencapai nilai-nilai sosial.64
4. Hak dan Kewajiban
Persoalan hak memegang peranan penting sampai detik ini. Hak
berkaitan erat dengan posisi manusia terhadap negara dan dengan
manusia sebagai subyek hukum, disamping itu juga, hak berhubungan
erat dengan manusia sebagai makhluk moral dan secara lebih lanjut
61 K. Bertens, Etika, h. 91 62 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 556 63 K. Bertens, Etika, h. 140 64 K. Bertens, Etika, h. 148
57
juga ada hubungan khusus antara hak dan kewajiban.65 Kewajiban
pada dasarnya adalah kebaikan dengan keharusan yang dibebankan
pada kehendak kita sebagai manusia merdeka untuk dilaksanakan.
Kewajiban memang tidak selalu dan harus dikaitkan dengan hak, tetapi
bisa juga dikaitkan dengan ruang tanggung jawab, karena tanggung
jawab juga merupakan kerangka acuan untuk pembahasan kewajiban.
66
1. Pendekatan Dalam Etika
Setelah sedikit disinggung terkait gambaran jelas definisi etika, moral, dan
etiket, maka etika yang merupakan ilmu menyelidiki tingkah laku moral,
selanjutnya terdepat pembagian atau pendekatan non filosofis yakni etika
deskriptif, dan pendekatan etika filosofis yakni etika normatif, dan metaetika.67
1.1. Etika Deskriptif
Mengutip penjelasan oleh Bertenz, bahwa etika deskriptif
melukiskan tangkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Misalnya, ia melukiskan adat
mengayau kepala yang ditemukan dalam masyarakat yang disebut primitif,
tapi ia tidak mengatakan bahwa adat semacam itu dapat diterima atau
harus ditolak.68 Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada
65 K. Bertens, Etika, h. 177 66 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 555 67 K. Bertens, Etika, h. 15 68 K. Bertens, Etika, h. 16
58
individu-individu atau personal morality dan tingkah laku kelompok atau
social morality dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur
yang tertentu, dalam periode sejarah, dan sebagainya. Penganalisaan atas
bermacam-macam aspek dari tingkah laku manusia seperti motif, niat, dan
tindakan-tindakan tersebut tetapi hanya bersifat deskriptif tentang apa
yang terjadi.69
1.2. Etika Normatif
Etika normatif merupakan kamar terpenting dalam etika, karena di
sini berlangsung diskusi-diskusi paling menarik tentang masalah-masalah
moral. Di sini ahli bersangkutan tidak seperti dalam etika deskriptif yang
hanya bertindak sebagai penonton netral, tetapi lebih melibatkan diri
dengan mengemukakan penilaian tentang manusia. Etika normatif tidak
melukiskan adat mengayau yang pernah terdapat dalam kebudayaan masa
lampau, tetapi ia menolak adat itu karena bertentangan dengan martabat
manusia. Misalnya juga dalam hal prostitusi dalam suatu masyarakat, ia
tidak lagi membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi, tetapi
menolak prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan
martabat wanita, meskipun dalam tataran praktek belum tentu dapat
diberantas sampai tuntas. Penilaian tersebut dibentuk atas dasar norma-
69 Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, penerjemah H.M. Rasjidi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 141
59
norma, “Martabat manusia harus dihormati” dapat dianggap sebagai
contoh tentang norma semacam itu.70
Etika normatif bersifat preskriptif (memerintahkan), tidak hanya
melukisakan namun menentukan benar tidaknya tingkah laku atau
anggapan moral. Untuk itu maka ia mengadakan argumentasi-argumentasi,
ia mengemukakan alasan-alasan mengapa suatu tingkah laku harus disebut
baik atau buruk dan mengapa suatu anggapan moral dapat disebut benar
atau salah. Sehingga pada akhirnya argumentasi-argumentasi tersebut akan
bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak
dapat ditawa-tawar lagi. Secara singkat, dapat dikatan bahwa etika
normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang kemudian dapat
dipertanggung jawabkan dengan cara rasional dan dapat dipraktikkan.71
1.3. Metaetika
Cara yang lain lagi dalam mempraktekkan etika sebagai ilmu
adalah metaetika. Awalan meta- (berasal dari Bahasa Yunani) mempunyai
arti “melebihi”, “melampaui”. Secara prinsip, istilah ini diciptakan untuk
menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara
langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dalam sisi moralitas. Seolah-olah
bergerak pada taraf lebih tinggi, metaetika bukan lagi berbicara mengenai
perilaku etis, melainkan pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang kita
70 K. Bertens, Etika, h. 17 71 K. Bertens, Etika, h. 18
60
pergunakan dalam bidang moral. Bisa dikatakan juga bahwa metaetika
mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.72
Filsuf Inggris George Moore misalnya, yang mempersoalkan kata
“baik” dalam analisis terhadap kata-kata penting dalam konteks etika. Ia
mengajukan pertanyaan tentang apakah arti kata baik jika digunakan
dalam wilayah etis, dan kemudian membandingkan kalimat “menjadi
donor organ tubuh adalah perbuatan yang baik” dengan jenis kalimat lain
seperti “mobil ini masih dalam keadaan baik”. Metaetika dapat
ditempatkan dalam rangka filsafat analitis, suatu aliran filsafat abad ke-20
yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas terpenting bagi filsafat,
menurut Bertenz sendiri, metaetika kadang-kadang disebut juga sebagai
etika analitis.73 Demikian juga dengan yang diungkapkan oleh Bertenz
bahwa, salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah
the is/ought question, yang dipersoalkan di sini adalah apakah ucapan
normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau
kalau sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat
disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif).
Dengan menggunakan peristilahan logika dapat juga dipertanyakan apakah
dari dua premis deskriptif bisa ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Dan
kalau satu premis preskriptif dan premis lain deskriptif, maka
kesimpulannya pasti preskriptif. Contohnya;
72 K. Bertens, Etika, h. 19 73 K. Bertens, Etika, h. 20
61
- Setiap manusia harus menghormati orang tuanya (premis
preskriptif).
- Lelaki ini adalah orang tua saya (premis deskriptif).
- Jadi, lelaki ini harus saya hormati (kesimpulan preskriptif).
Tetapi soalnya adalah, apakah dua premis deskriptif pernah dapat
membuahkan kesimpulan preskriptif. Para filsuf yang mendalami masalah
ini umumnya sepakat bahwa hal tersebut tidak mungkin, dan kesimpulan
preskriptif hanya dapat ditarik dari premis yang sekurang-kurangnya untuk
sebagian yang bersifat preskriptif.74 Pada akhirnya, menjadi sebuah catatan
tentang hubungan antara metaetika dan etika normatif, walaupun di sini
dibedakan tetapi tidak berarti juga keduanya selalu bisa dipisahkan. Hal itu
di karenakan jika kita berbicara tentang bahasa moral, dengan mudah kita
akan beralih ke dalam apa yang ditunjukkan bahasa itu, yaitu perilaku
moral itu sendiri.
2. Teori-Teori Etika
Jika diibaratkan rumah, etika setidaknya memiliki banyak ruang-ruang
dengan sistemnya sendiri. Ruang-ruang tersebut tersedia karena sistem filsafat
moral memberi uraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan
peranannya dalam hidup manusia.
2.1. Hedonisme
74 K. Bertens, Etika, h. 21
62
Berasal dari bahasa Yunani, hedone mempunyai arti kesenangan. Istilah
ini pada awalnya digunakan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1781. Pada
prinsipnya, aliran ini menganggap bahwa sesuatu dianggap baik jika sesuai
dengan kesenangan yang dihasilkannya. Dan sesuatu yang mendatangkan
kesusahan atau penderitaan, diniai tidak baik dalam aliran ini.75 Secara prinsip,
hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) yang
merupakan seorang murid Sokrates, yang kemudian dilanjutkan oleh Epikuros
tetapi dalam konsep yang lebih maju dari Aristoppos, bahwa kesenangan
merupakan tujuan kehidupan manusia, yaitu kesenangan yang melingkupi badani
dan rohani, keresahan rohani misalnya seperti terbebas dari keresahan jiwa.76
2.2. Eudomonisme
Berasal dari bahasa Yunani Eudaemonismos yang berarti bahagia/happy,
secara prinsip ajaran dari aliran ini menilai baik buruknya sesuatu dinilai dari ada
atau tidaknya kebahagiaan yang di datangkannya. Bisa dibilang antara
eudomonisme dan hedonism merupakan aliran dalam teleologis. Meski begitu,
pengertian bahagia di sini tidak sama dengan kesenangan dalam aliran hedonisme.
Karena bahagia lebih menitik beratkan pengertiannya pada segi rasa atau psyche,
meskipun dalam usahanya untuk mendapatkan rasa bahagia itu harus melalui jalan
yang menyusahkan bukanlah menjadi masalah, dan cara ini dinilai baik dalam
aliran ini.77
2.3. Utilitarianisme
75 Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2012), h. 222 76 K. Bertens, Etika, h. 237 77 Burhanuddin Salam, Etika Individual, h. 222
63
Berasal dari kata utilitas yang berarti useful, yang berguna, berfaedah. Di
sini penilaian baik buruknya sesuatu, susila atau tidak susilanya sesuatu berdasar
pada kegunaan atau faedah yang dihasilkannya.78
Utiliraianisme merupakan sebuah teori yang dikemukakan David Hume
dan dirumuskan secara definitif oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Oleh
Bentham, moralitas bukanlah soal menyenangkan hati Allah ataupun soal
kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan suatu upaya untuk sedapat
mungkin memperoleh kebahagiaan di dunia ini. Prinsip utilitas menuntut agar
setiap kali kita menghadapi pilihan dari tindakan-tindakan alternatif atau
kebijakan sosial, kita mengambil satu pilihan yang berkonsekuensi paling baik
bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.79
2.4. Deontologi
Sitem moral ini tidak bersifat konsekuensialistis, karena pengukuran baik
buruknya suatu tindakan tidak didasarkan pada hasilnya, melainkan berdasarkan
maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. sitem etika ini bisa juga
dikatakan bahwa ia tidak lagi menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau
keputusan kita, melainkan pada wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita.
Deon merupakan kata Yunani yang berarti; apa yang harus dilakukan; kewajiban).
Immanuel Kant yang merupakan pencipta sistem moral ini menjelaskan bahwa,
yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik.
Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau bersyarat, sebagai misal,
78 Burhanuddin Salam, Etika Individual, h. 216 79 James Rachels, Filsafat Moral, h. 169
64
kesehatan, kekayaan, intelegensi, adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh
kehendak manusia, tetapi jika hal tersebut digunakan oleh kehendak jahat, semua
hal itu menjadi sangat buruk.80
3. Filsafat Moral dalam Islam
Bukan sedang terjebak dalam dikotomi antara barat dan timur, tetapi
pembahasan ini dirasa perlu untuk dihadirkan, selain menjadi salah satu varian
pembahasan, tentu juga sebagai bentuk kekayaan dalam pembahasan etika.
Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah
ilmu yang mempersoalkan perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang
dinilai baik atau buruk. Etika dalam bahasa Arab disebut akhlaq yang merupakan
jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab
dan agama.81
Dalam sejarah filsafat Islam, banyak pemikir dari berbagai genre telah
berupaya merumuskan konsep etika, termasuk di dalamnya seperti ulama hukum,
teolog, mistikus, dan tentunya filsuf. Tentu hal ini dikarenakan etika atau akhlak
merupakan salah satu inti ajaran Islam. Etika dalam Islam setidaknya didasarkan
pada empat prinsip, pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat
universal dan fitri. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan.
Ketiga, tindakan etis dipercaya pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan
bagi subjeknya. Keempat, tindakan etis bersifat rasional.82 Ada banyak filsuf
80 K. Bertens, Etika, h. 255 81 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 17 82 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih, Jurnal Aqlam: Journal of Islam and Plurality
Volume 1, No. 1 (Juni 2016). h. 36
65
muslim yang membahas tentang moral mulai dari tokoh paripatetik seperti Al-
Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn Miskawaih, Mulla Shadra, dan masih banyak
lainnya lagi.83 Ibn Miskawaih merupakan tokoh paling dikenal dalam bidang etika
daan dijuluki sebagai bapak etika Islam, dan bangungan etikanya dimulai dengan
pembahasan tentang jiwa.
Bagi Ibn Miskawaih, jiwa (an nafs) bukan berupa jism, jiwa adalah jauhar
yang tidak tertangkap panca indra dan tidak berubah dan hancur sebagaimana
jism. Ibn Miskawaih mengklasifikasikan potensi jiwa pada tiga tingkatan,
pertama, (al quwwah an natiqah) yang merupakan tingkat tertinggi, dimana
kekuatan berpikir untuk membedakan hakikat sesuatu, dan dinamakan al mulkiah
dan tempatnya berada di otak. Kedua, (al quwwah al ghadabiah) yang merupakan
tingkat pertengahan, dimana kekuatan untuk marah, menolong, keberanian,
kecenderungan untuk menguasai dan keinginan untuk dihormati, atau disebut as
suba’iyyah dan terletak di hati. Ketiga, (syahwatal quwwah al syahwatiyah)
merupakan tingkat terendah, dimana kekuatan syahwat yang cenderung ke
makanan, minuman, dan seksual yang disebut al bahamiyyah dan tempatnya
berada di jantung.84
Oleh Ibn Miskawaih, etika dapat dikembalikan dalam dua bagian, yaitu;
pertama, kepada tabiat atau fitrah, dan kedua, dengan jalan usaha yang kemudian
berubah menjadi kebiasaan. Tetapi, Ibn Miskawaih cenderung yang kedua, yaitu
seluruh etika semuanya adalah hasil usaha (muktasabah), ia memandang bahwa
83 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 13 84 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih. h. 38
66
manusia memiliki potensi untuk beretika apa saja. Atas dasar itu, memunculkan
kemungkinan bahwa manusia bisa mengalami perubahan akhlak. Dari segi inilah,
diperlukan adanya aturan syariat, nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran
tentang sopan santun. Masalah-masalah pokok yang diajukan oleh Ibn Miskawaih
dalam kajian akhlak meliputi kebaikan (al khair), kebahagiaan (al sa’adah), dan
keutamaan (al fadhilah).85
Konsep kebaikan yang merupakan salah satu instrumen dari bangunan
etika Ibn Miskawaih, mengambil konsep kebaikan mutlak Aristoteles yang
tersusun dari dua jenis, yaitu, kebaikan secara umum yang secara prinsip
merupakan kebaikan dari seluruh manusia dengan ukuran-ukuran kebaikan yang
bersifat konsensus, dan kebaikan secara khusus yang merupakan kebaikan bagi
seseorang secara pribadi. Dan kebaikan secara khusus ini yang akan
mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati.86
Tentang kebahagiaan, setidaknya ada dua pandangan pokok yang pertama
diwakili oleh Plato, bahwa hanya jiwa yang mengalami kebahagiaan. Maka dari
itu, selama manusia masih berhubungan dengan badan, maka ia tidak akan
memperoleh kebahagiaan. Sedangankan pandangan yang kedua dipelopori
Aristoteles, bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia, meskipun jiwanya
masih terhubung dengan badan. Dari dua pandangan pokok tersebut, Ibn
Miskawaih mencoba mengkompromikan kedua padangan yang kontradiktif
dengan mengajukan pandangan bahwa, dikarenakan dalam diri manusia terdapat
85 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih. h. 39 86 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 209
67
dua unsur yakni jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya
saja, kebahagiaan badan mempunyai tingkat yang rendah dan sifatnya tidak abadi,
karena kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kebahagiaan yang dapat
menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Sedangkan
kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna.87
Dalam teori keutamaan (fadhilah) Ibn Miskawaih, sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya atas pembagian tiga macam potensi jiwa, yaitu bahimiyah
atau syahwiyah yang mengejar kelezatan-kelezatan jasmaniah, sabu’iyah yang
berhubungan dengan emosional, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat
segala sesuatu. Jika dari ketiga hal tersebut dapat berjalan dengan seimbang, maka
keutamaan dan kebaikan pada manusia akan tercapai. Tiga potensi jiwa
tersebutlah yang selanjutnya menjadi keutamaan-keutamaan dasar dan jika
diantara ketiganya selaras maka akan menimbulkan kesempurnaan dari tiga
keutamaan tersebut. Dengan demikian, keutamaan jiwa menjadi empat macam,
yaitu; 1). Kebijaksanaan (hikmah) yang merupakan keutamaan jiwa cerdas, 2).
Kesucian (‘iffah) yang merupakan keutamaan nafsu syahwat (an-nafs asy-
syahwiyahi) yang mana keutamaan ini muncul jika dapat menyalurkan
syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal sehat sehingga terbebas dari
perbudakan syahwat. 3). Keberanian (syaja’ah), keutamaan ini muncul jika
manusia dapat menundukkannya kepada jiwa natiqah dan menggunakannya
sesuai dengan tuntutan akal sehat dalam menghadapi persoalan-persoalan. 4).
Keadilan (‘adalah) merupakan keutamaan yang dihasilkan dari kselarasan atas
87 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih. h. 39
68
ketiga keutamaan sebelumnya dan sejalan dengan akal sehat, sehingga masing-
masing potensi tersebut dapat terkendalikan, dan dengan demikianlah manusia
akan mampu untuk bersikap adil terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.88
D. Etika Pancasila
Sejarah telah menunjukkan, bahwa manusia terus berkembang dan selalu
menata hidup bersama berdasarkan gagasan-gagasan pokok yang kemudian
menjadi dasar penting bagi cara hidupnya. Gagasan-gagasan tersebut merupakan
seperangkat keyakinan nilai-nilai hidup yang menjadi sumber pendirian dan sikap
hidup dalam menghadapi dunia yang juga bersifat vertikal atau hubungan sesama
makhluk dan horizontal atau keyakinan tentang hirarki nilai keluhuran hidup.89
Etika Pancasila merupakan refleksi kritis terkait prinsip-prinsip kelayakan
atau kebaikan dalam pengambilan sebuah putusan tindakan dalam lingkup
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan kualifikasi isi
dari sila-sila Pancasila. Sebuah prinsip yang didasarkan pada nilai hidup
berketuhanan, berperikemanusiaan, berpersetuan, berkerakyatan, dan berkeadilan
sosial. Setidaknya refleksi kritis etika Pancasila meliputi tiga bidang. Pertama,
refleksi kritis tentang norma dan nilai moralitas yang telah dianut oleh bangsa
Indonesia selama ini agar dapat dirumuskan menjadi prinsip-prinsip kelayakan
hidup sehari hari, nilai tersebut misalnya terdapat dalam benda-benda peninggalan
bersejarah, karya sastra, bahkan cerita rakyat. Kedua, refleksi kritis tentang situasi
88 Ahmad Azhar Basyir, Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika
Pancasila, (Jurnal Filsafat, UGM), h. 19 89 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam
Perspektif Etika Pancasila, (Jurnal Filsafat UGM Vol. 23, Nomor 2, Agustus 2013), h. 100
69
khusus kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala keunikan dan
kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang multipaham yang dianut manusia
atau kelompok masyarakat tentang kehidupan, misalnya seperti paham tentang
Tuhan, paham tentang manusia, alam, masyarakat, sistem politik, sistem kerja,
dan sebagainya.90
Terkait refleksi kritis etika Pancasila tersebut, setidaknya ada tiga teori
etika yang berhubungan dalam menilai perilaku yang baik secara moral, yaitu
etika deontologis, etika teleologis, dan etika keutamaan. Dalam sudut etika
deontologis, dimana tindakan dikatakan baik jika memang baik menurut
pertimbangan dari dalam dirinya sendiri dan wajib dilakukan, misalnya saja
tindakan menghargai sesama dan alam merupakan tindakan baik secara moral,
maka hal itu wajib dilakukan. Etika Pancasila dalam scope etika deontologis
berarti juga sebagai etika yang menjadi penuntun untuk menumbuhkan kesadaran
ber-Pancasila bagi generasi muda di masa sekarang dan mendatang, dan tentunya
supaya adaptif terhadap nilai-nilai kebudayaan yang dibawa oleh jalan modernitas
tetapi dengan sosio kultural yang sesuai.91
Etika Pancasila sebagai etika teleologis menunjukkan kehidupan
berbangsa dan bernegara mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita proklamasi
kemerdekaan, yang kemudian juga menimbulkan dinamika kehidupan bangsa.
Etika teleologis telah menggariskan persoalan baik buruk yang berdasar pada hasil
dari suatu tindakan yang bersifat situasional dan subjektif. Dalam scope ini etika
90 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 102 91 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 104
70
Pancasila berupa pedoman bagi masyarakat Indonesia dalam usaha mencapai
tujuan hidup berbangsa dan bernegara di masa depan. Persoalan-persoalan terkait
nilai, norma atau gaya hidup yang disebabkan oleh modernisasi misalnya, menjadi
salah satu titik fokus dalam pembahasannya, karena bagaimanapun, nilai-nilai
substansial Pancasila merupakan nilai-nilai utama yang menjadi kepribadian dan
keunikan bangsa.92
Sedangkan etika Pancasila sebagai etika keutamaan, tersusun dari nilai-
nilai keutamaan dan moral bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut diantaranya
meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai-
nilai tersebut merupakan hasil dari pikiran-pikiran dan gagasan dasar bangsa
Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri,
sesama dan lingkungan hidup, juga ketaatan kepada Tuhan, yang mana nilai-nilai
tersebut merupakan tata nilai yang menopang kehidupan sosio kultural dan
kehidupan kerohanian bangsa yang kemudian memberi corak, watak, ciri khas
masyarakat Indonesia.93
Pada akhirnya pembahasan etika Pancasila kembali pada ralitas manusia
itu sendiri. Bagi Driyarkara, Pancasila merupakan filsafat tentang kodrat manusia
yang di dalamnya termuat nilai-nilai universal manusia dan hidup bersama.
Permenungan Pancasila oleh Driyarkara bertitik tolak pada eksistensi manusia
sebagai manusia, sebagaimana disebutkan olehnya bahwa “dengan memandang
kodrat manusia qua talis (manusia sebagai manusia) kita akan sampai kepada
92 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 103 93 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 103
71
Pancasila sejati”.94 Dihadirkan juga olehnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial
seperti “Apakah manusia dan bagaimana kedudukannya dalam realitas?”, sebuah
pertanyaan yang diajukan oleh Max Scheler yang kemudian menyasar pada soal
bagaimanakah sebenarnya tempat manusia dalam keseluruhan yang ada,
keseluruhan dunia dan terhadap Tuhan?, barangkali pertanyaan tersebutlah dasar
untuk memahami manusia qua talis dan diyakini oleh Driyarkara sebagai dalil-
dalil filosofis yang memuat jawabannya.
Oleh Driyarkara, manusia bisa dikatakan tidak bisa berdiri sendiri, terpisah
dari segala sesuatu, ia bukanlah monad tanpa hubungan dengan apapun seperti
yang diungkapkan oleh Leibniz, kita tidak bisa mengerti manusia kecuali sebagai
serba terhubung dalam segala-galanya.95 Tentang manusia, Driyarkara mengambil
istilah dari Martin Heidegger (in-der-welt-sein), yakni Manusia terhubung (ada-
bersama) dengan alam jasmani, manusia lainnya, dan itu dipahami dalam
hubungannya dengan yang mutlak.96 Ketiga hubungan tersebut merupakan satu
kesatuan yang berdasar pada cinta kasih dari dan kepada Tuhan. Persoalan cinta
kasih tersebut merupakan persoalan primer dalam kehidupan manusia, dan dari
cinta kasih inilah akan terlihat hubungan antar sila, yang pada akhirnya sila
ketuhanan sebagai dasar semua sila. Dari hal-hal tersebut maka prinsip adaku
dapat dirumuskan sebagai berikut;97
94 Christian Triyudo, Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari https//.academia.edu
pada 12 Maret 2020 95 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 834 96 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 839 97 Christian Triyudo, Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari https//.academia.edu
pada 12 Maret 2020
72
1. Aku, manusia, mengakui adaku merupakan ada bersama dengan cinta
kasih. Jadi, adaku harus dijalankan sebagai wujud cinta kasih pula.
Cinta kasih dalam kesatuanku dengan sesama manusia, atau disebut
perikemanusiaan
2. Perikemanusiaan harus kujalani dalam bersama-sama menciptakan,
memiliki, dan menggunakan barang-barang dunia yang berguna
sebagai syarat-syarat, alat dan perlengkapan hidup. Kelanjutan dari
perikemanusiaan ini menjadi keadilan sosial.
3. Perikemanusiaan harus juga kulaksanakan dalam memasyarakat.
Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya. Agar kesatuan
karya itu benar-benar merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan,
setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama
haknya. Cara melaksanakan perikemanusiaan dalam hal ini disebut
demokrasi. Cara ini harus dijalankan dengan baik dalam masyarakat
kecil maupun masyarakat dalam lingkup besar.
4. Perikemanusiaan harus juga kulakukan dalam hubungan dengan
kesatuan, yang dalam proses ditimbulkan oleh sejarah, keadaan
tempat, keturunan, kebudayaan, peradaban, dan faktor lain. Kesatuan
itu ikut serta menentukan dan membentuk diriku sebagai manusia yang
konkret dengan perasaanya, semangatnya, pikirannya, dan sebagainya.
Ada bersama pada konkretnya berupa hidup dalam kesatuan tersebut.
Jadi hidup dalam kesatuan itu harus merupakan pelaksanaan dari peri
kemanusiaan. Kesatuan yang besar itulah yang disebut kebangsaan.
73
5. Pengakuan ada bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba
tergantung. Jadi, adaku itu tidak sempurna, tidak atas kekuatan sendiri.
Jadi, aku bukanlah sumber dari adaku. Semua hal yang ada bersifat
terbatas, justru karena terbatasnya (sama dengan aku) tidak mungki
merupakan sumber adaku, karena tidak mungki memberi keterangan
yang terakhir dari adaku. Pada akhirnya satu-satunya yang merupakan
sumber adaku hanyalah ada yang mutlak, sang maha ada. Sang maha
ada itu bukanlah sesuatu, melainkan pribadi yang sempurna, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.98
Pada dasarnya etika Driyarkara dapat dikategorikan sebagai etika
deontologi, tetapi deontologi yang mempunyai dimensi teologis, humanis-
naturalis, dan aksiologis sehingga etika Driyarkara juga dapat dikatakan
teleologis. Bangunan etika deontologis sekaligus teleologis tersebut bisa dijadikan
alternatif dasar moralitas yang cukup kokoh.99
98 Christian Triyudo, Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari https//.academia.edu
pada 12 Maret 2020 99 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya di Era Postmodern, h. 77
97
BAB IV
IMPLIKASI PANCASILA PERSPEKTF DRIYARKARA
Dalam pembahasan sebelumnya sudah sedikit diuraikan terkait gambaran
Pancasila secara definitif, historis, serta posisinya dalam berbangsa dan bernegara,
berikut juga pembahasan tentang etika. Maka selanjutnya adalah penggambaran
akan implikasi yang dituntut dalam masing-masing sila, yakni sebuah gambaran
manusia berdasarkan muatan etika Pancasila.
Kenapa harus gambaran manusia Pancasila? seperti yang telah diuraikan
sebelumnya, pada dasarnya uraian tentang Pancasila oleh Driyarkara dibangun
dengan bertitik tolak pada manusia. Pemikiran Driyarkara tentang Pancasila
terilhami oleh jalan eksistensialisme dan fenomologi, jadi bukan perkara aneh jika
terkadang ia juga menggunakan istilah-istilah luar, atau misalnya mengajukan
pertanyaan eksistensial, dan penggunaan sudut pandang fenomenologis dalam
upaya menunjukkan bagaimana sila-sila dalam Pancasila saling terkait satu sama
lain.1
Jika setiap adanya ideologi mengharuskan adanya gambaran-gambaran
manusia yang ditujukan, maka demikian juga dengan Pancasila. Gambaran
manusia Pancasila yang diketengahkan oleh Driyarkara menjelaskan manusia
sebagai makhluk dinamis yang berelasi dengan manusia lain dalam masyarakat,
dengan alam lingkungannya, dan dengan Tuhan Penciptanya, yang secara tidak
1 Driyarkara. ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta; Gramedia, 2006), h. 826
98
langsung berarti Pancasila memberi implikasi etis dan moral kepada manusia.2
Dengan demikian, kata implikasi di sini dimaksudkan sebagai keterlibatan yang
yang menunjukkan adanya dampak, akibat, atau konsekuensi. Dalam hal ini,
penulis berusaha menunjukkan bagaimana Pancasila yang mempunyai peranan
dan tuntutan penting yang harus dijalankan sebagai bentuk konsekuensi atas
kesepakatan bersama yang menetapkan Pancasila sebagai landasan bernegara kita.
A. Implikasi Dari Sila Pertama
Apakah Pancasila sebagai filsafat dan weltanschauung bertentangan
dengan religi (agama)? tampaknya pertanyaan yang diajukan oleh Driyarkara
ketika memulai uraiannya dalam tulisan Pancasila; Dorongan Kereligian
nampaknya terus eksis dan dapat kita temui sampai hari ini. Secara tegas dan
jelas, Driyarkara mengatakan bahwa hal tersebut sama sekali tidak bertentangan,
kenapa demikian? karena pada dasarnya Pancasila merupakan eka sila, yaitu cinta
kasih kepada Tuhan. Dengan demikian Pancasila berkata bahwa manusia itu
merupakan dorongan ke religi.3
Sebagai tambahan, ada beberapa catatan penting terkait soal ini bahwa,
religi sekalipun tidak bisa dipaksakan oleh negara, sebab religi berdasarkan atas
keyakinan dan keyakinan tidak bisa dipaksakan. Jadi negara sekalipun tidak bisa
mengatur dan memerintah terkait tata cara beribadah, bersembahyang, berpuasa,
dan sebaginya karena hal tersebut merupakan urusan kebatinan manusia secara
2 Driyarkara. ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 828 3 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 857
99
individu, dan peraturan semacam itu bertentangan dengan azas demokrasi dan
perikemanusiaan.4
Oleh Driyarkara, manusia pada dasarnya mempunyai visi (penglihatan)
mengenai diri sendiri, atau realitasnya sendiri. Ada visi yang bisa membawa
manusia ke penciptanya juga ada visi yang menutupi jalan itu. Lalu bagaimanakah
visi benar tentang manusia yang bisa membawa ke Tuhan itu? visi yang
menampakkan manusia serta realitas lainnya sebagai relative being, sebagai
makhluk yang terhubung dengan tak sempurna. Dalam penjelasan lebih lanjutnya,
Driyarkara mengutip sebuah buku Jawa klasik (Suluk Ngasmara), bahwa being
yang demikian itu disebut napi nakirah dan hanane kalawan teduh (adanya
dengan menunjuk) karena nora mudjud nora makdum (ada betul-betul penuh,
tetapi juga bukan nothingness). Jadi, ada yang dependent, tergantung dalam
adanya. Dia muncul, dia berkembang, dia surut dan akhirnya mati, dan tiap-tiap
saat dia bisa mati. Itulah manusia dan tiap-tiap makhluk hidup lainnya. Hal itulah
yang menunjukkan sebagai tanda bahwa dia tidak ada atas adanya sendiri, dan
dengan jalan inilah manusia bisa sampai ke Tuhan.5
Meskipun dalam praktek konkret secara umum manusia tidak mengambil
jalan filsafat ini untuk kemudian mengakui Tuhan, tetapi bisa juga berupa
pemahaman tentang Tuhan yang diwarisi oleh tradisi, dari agamanya, dan
sebagainya. Demikian pula dengan pengertian manusia tentang Tuhan, yang di
antaranya telah disumbang oleh masyarakat, demikian pun dengan masyarakat
(tradisi, agama, aliran zaman) yang memiliki suatu gambaran tertentu tentang
4 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 862 5 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 904
100
Tuhan. Karena memang pada dasarnya tabiat manusia dalam hidup sedari kanak-
kanak sampai tua memiliki variasi dan mengalami evolusi atas pengertian ide
tentang Tuhan.6
Sebagaimana yang telah disinggung oleh Notonagoro bahwa tentang inti
tiap-tiap sila yang ada, bisa dikatakan jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa inilah
yang sulit lantaran sila ini merupakan sila yang paling banyak menjadi persoalan.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, gejolak sosial bisa sangat meningkat
dan berbahaya kalau sudah menyentuh perihal kepekaan masalah agama dan
keyakinan.7
Selanjutnya, Driyarkara menjelaskan tentang alasan mengapa manusia itu
biasanya menempatkan Tuhan sebagai dasar dari segala-galanya, dari seluruh
hidupnya, dan dari semua perbuatannya. Tetapi supaya tidak meninggalkan sifat
skematik, yang umumnya dibicarakan orang pada wilayah imanen dan transenden
tentang Tuhan. maka satu-satunya jalan adalah dengan mengakui sepenuhnya baik
imanensi maupun transendensi Tuhan. Deus intimior intimo meo dan superior
supreme meo, (dalam diriku lebih dalam dari hatiku sendiri, tetapi juga lebih
tinggi dari pada yang tertinggi pada diriku), sebuah kata yang dikutip dari
Agustinus. Jadi secara garis besar, andaikata dunia lepas dari Tuhan dan ada
sendiri di luar Tuhan, maka dunia tak tergantung dari Tuhan, jadi dunia sejajar
dengan Tuhan! dan itu tidaklah mungkin, maka harus diakui bahwa dunia dijiwai
oleh Tuhan (imanensi). Tetapi, jika Tuhan hanya menjiwai, maka dunia dan
Tuhan merupakan satu substansi, satu being. Hal tersebut juga tidaklah mungkin,
6 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 905 7 Hardono, P. Hadi, Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisisu, 1994),
h. 106
101
maka secara bersama-sama Tuhan dalam imanensi dan transendensi harus diakui.
Singkatnya, bagi kita atas dasar keyakinan ini manusia bisa memandang dan
menempatkan Tuhan sebagai dasar dari segala upayanya, berikut juga daya upaya
bersama yang merupakan kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.8
Tampaknya alasan-alasan kenapa sila ketuhanan menjadi soal fundamental
dan kompleks sudah agak terang, dan apa-apa yang disinggung Driyarkara, jika
kita melihat uraian Yudi Latif tampaknya juga agak sebangun dimana menurutnya
Pancasila sebagai keyakinan sesungguhnya telah memiliki landasan normatif dan
preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dan haluan
kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dalam nilai-nilai Ketuhanan
(religiusitas) merupakan sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-
transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara.9
Sebagaimana penjelasan di atas, bagi Driyarkara, sistem kita adalah
humanisme, tetapi humanisme yang bersifat reigius dan sosialistis. Humanisme
kita itu mempunyai dasar dan tujuan mutlak yakni Tuhan itu sendiri. Pengakuan
kita atas Tuhan sebagai sumber dari segala upaya kita termasuk sumber menegara.
Kenapa demikian? ia mengutip Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis
bahwa manusia itu hanya bisa menyerahkan diri kepada toi (sesama), karena pada
akhirnya dalam sesama itu dia melihat Tuhan. Kata sesama menunjukkan adanya
hubungan horizontal atau interaksi sosial sesama manusia dalam lingkup banyak
hal, dalam bersama-sama membangun kebudayaan, maka kita tidak hanya melihat
8 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 906-907 9 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan? (Bagian 7), (diakses dari
https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-7/ pada..)
102
manusia saja, tetapi lebih jauh kita akan memandang Tuhan.10 Dalam tulisannya
yang lain Driyarkara juga mengetengahkan kutipan sastra Jawa lama sebagai
berikut;
Adapena mukanira iku/marang ing katon
Iya iku kabeh rarahine/angelangi rahining dumadi
Rarahi kang luwih/kang katon sawegung11
Dari uraian-uraian di atas, setidaknya telah terlihat sikap yang menjadi
konsekuensi atas diterimanya sila ketuhanan, yaitu sanggup menjiwai dirinya
dengan kebenaran tersebut, manusia sanggup, siap sedia, ready of reaction karena
sila pertama tersebut. Bagi Driyarkara, dalam sikap ini tentu terdapat variasi baik
secara individu maupun komunal, hal ini disebabkan karena adanya degrees
menurut religius attitudees, menurut ketekunan, kesungguhan, dan rahmat Tuhan
dalam penyerahan manusia. Menurutnya, tidak harus dirumuskan dan disadari
terang-terangan, misalnya seperti seorang ibu yang bekerja keras dan berkorban
demi bayinya yang tidak terlalu sadar tentang cinta kasihnya, tidak merumuskan
gagasannya tetapi dia betul-betul mencintai anaknya. Demikian halnya dengan
manusia yang tidak perlu secara nyata menghadap Tuhan lewat doa, untuk lebih
mengenal Tuhan, tetapi beserta doa yang dipanjatkan juga harus ada perbuatan
praktis yaitu melaksanakan kewajiban sehari-hari dengan baik terutama kewajiban
yang langsung berkaitan dengan pengabdian kepada sesama manusia.12
Pada dasarnya negara Pancasila bukanlah organisasi agama dan tidak
mengambil agama manapun sebagai dasarnya, tetapi juga tidak memaksakan
10 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 908 11 Artinya: Hadapkanlah mukamu kepada semua yang tampak. Itulah wajah-Nya yang
mahasempurna, tersembunyi di belakang alam semesta. Driyarkara, ed, Karya Lengkap
Driyarkara, h. 848 12 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 908-909
103
agama manapun kepada anggotanya. Artinya Ketuhanan sebagaimana pengertian
yang telah diuraikan sebelumnya bersifat representatif dan pengakuan atas
kebudayaan manusia yang mengakui keberadaan Tuhan. Tetapi, pada wilayah
pemilihan keyakinannya dikembalikan kepada manusia itu sendiri karena hal
tersebut merupakan hak orang yang bersangkutan, bahkan jika seseorang memilih
hidup sebagai ateis, negara tidak bisa melarang dan menghukumnya, seorang ateis
tersebut baru bisa dihukum jika ia melanggar ketentuan-ketentuan hukum saja,
misalnya jika ia mencuri, merampok, atau menteror. Ada hal yang perlu menjadi
catatan, meskipun negara tidak berkuasa memaksa, tetapi bukan berarti bahwa
negara tidak mempunyai kewajiban perihal ketegasan dalam lapangan politik,
negara wajib melarang ikut sertanya aliran-aliran yang pada dasarnya menyangkal
sila ketuhanan sehingga pada akhirnya akan menyangkal seluruh Pancasila.13
Bagi Driyarkara, sila ketuhanan tidak tercantum sebagai hukum organik
seperti sila-sila lainnya. Artinya sila Ketuhanan bukan sebagai pasal undang-
undang yang mengatur penegaraan secara organisatoris, maka di sini sangat jelas
bahwa sila Ketuhanan tidak boleh diformulasikan untuk menata cara-cara atau
ritual tertentu untuk melaksanakan suatu ibadah, karena jika negara hadir untuk
memerintahkan suatu cara dan mewajibkan tindakan, maka hal tersebut
bertentangan dengan Pancasila karena dengan demikian negara bertindak sebagai
negara agama. Implementasi Pancasila secara konkret dikembalikan kepada warga
negara sesuai dengan hati nurani mereka, dan setiap warga negara wajib
menghormati dan menghargai keyakinan dan praktek dari sesamanya, karena pada
13 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 878
104
prinsipnya kita harus menghormati freedom dan hati nurani setiap manusia. Tiap
bentuk keagamaan yang ada harus dihormati sebagai suatu usaha jalan menuju
Tuhan. dan hal demikianlah apa yang kita sebut sebagai toleransi itu muncul.14
Jika sedikit kita review, bagaimana sila Ketuhanan sangat berperan untuk
manusia itu sendiri, menjadi faktor fundamental dalam setiap ekspresi kasih
sayang kepada sesama umat manusia. Seperti apa yang diungkapkan oleh
Soekarno bahwa, nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai-
nilai Ketuhanan berkebudayaan dan berkeadaban, sebuah nilai-nilai etis
Ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama-agama yang bersifat
membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan, sebuah Ketuhanan yang
lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka
pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.15
B. Implikasi Dari Sila Kedua
Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Driyarkara berarti kita
sedang berbicara mengenai humanisme16. Humanisme berimplikasi bahwa kodrat
manusia diakui sebagai sesuatu yang spesifik, yang berarti mempunyai structure,
corak, cara hidup, dan kerja tersendiri. Oleh hal-hal tersebut, maka dengan
sendirinya juga mempunyai perkembangan dan penyempurnaan tersendiri pula.
14 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 909-910 15 Yudi Latif, Mata Air Keteladanan; Pancasila Dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan,
Cetakan ke-3, 2016), h. 118 16 Humanisme di sini diartikan sebagai; (1). Aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2). Paham yang
menganggap manusia sebagi objek terpenting, (3). Aliran zaman Renaissance sebagai dasar
seluruh peradaban manusia, (4). Kemanusiaan. Rukiyati, Percikan Pemikiran Pendidikan Humanis
Religius, (e-Journal Humanika, UNY)
105
Secara lebih lanjut, wujud dari penyempurnaan ini di antara lain meliputi
penyelenggaraan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknik, kebudayaan, moral, serta
keagamaan.17
Jika kita menilik pada beberapa arti atau pengertian yang ditawarkan oleh
Driyarkara, maka setidaknya terdapat tiga arti. Pertama, perikemanusiaan adalah
persaudaraan dari seluruh bangsa manusia di seluruh dunia berdasarkan human
nature, dan tidak jarang disebut juga sebagai internasionalisme misalnya
Soekarno. Kedua, perikemanusiaan disebut sebagai humanisme, tetapi humanisme
yang masih berhubungan dengan arti yang pertama tadi, humanisme disini berarti
membangun kebudayaan bersama, membangun rumah bersama untuk seluruh
warga dunia. Ketiga, perikemanusiaan berarti perwujudan cinta kasih kepada
sesama berdasarkan kesatuan keluarga itu. Tetapi secara prinsip ketiga arti
tersebut bukanlah arti yang saling terpisah.18
Lalu apa artinya dijadikannya perikemanusiaan sebagai dasar negara? Dari
pertanyaan semacam ini, bagi Driyarkara setidaknya perihal ketertiban,
kedamaian, keadaan material yang baik, kesejahteraan umum, dan sebagainya
diselenggarakan oleh negara, dan sebagiannya yang diselenggarakan negara
misalnya saja seperti pelayanan publik ditujukan pada prinsip dari
perikemanusiaan. Tetapi yang perlu menjadi catatan penting juga ialah bahwa
yang aktif menyelenggarakan perkara apapun dalam motif perikemanusiaan
17 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 956 18 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 900
106
bukanlah negara semata, tetapi lebih kompleks yakni seluruh lapisan masyarakat
dan tiap individu manusia yang ada.19
Dalam hal ini, negara hadir dalam berbagai variasi kebijakan dalam
berbagai bidang seperti ekonomi, keuangan yang sehat, administrasi yang jelas,
pemerintahan yang efisien, penyelenggaraan kesehatan yang rakyat yang cukup,
pengajaran manusia yang bermutu, dan sebagainya, yang mana sebagai usaha
untuk menciptakan kondisi yang diperlukan, negara berhak mengatur
masyarakatnya. Tetapi kehadiran negara tidak bisa lebih jauh dalam mewajibkan
atau mengatur seseorang dalam bidang keagamaan, karena pada prinsipnya
semakin spiritual bidangnya maka peranan negara juga semakin berkurang, dan
pada wilayah ini negara hanya wajib mengakui kebebasan mutlak yang melekat
pada manusia, perihal seseorang yang memeluk agama atau tidak, tetap dalam
agama semula atau pindah, negara tidak bisa dan tidak boleh campur tangan
sedikitpun.20
Sebagai sedikit tambahan, jika kita mengaca pada konsen hak-hak asasi
manusia secara global, maka ide-ide seputar kedamaian, keadaan material yang
baik, kesejahteraan umum, terjaminnya pendidikan, dan pilihan jalan spiritualitas
(agama) yang disebut oleh Driyarkara dalam sila ini tentu serta sila-sila lainnya,
merupakan beberapa soal fundamental dalam isu-isu hak asasi manusia, yang
mana pada prinsipnya merupakan hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang melekat
pada manusia dan tidak bisa dikurangi (non-derogable).21
19 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 957 20 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 957 21 T. Mulya Lubis, dkk., Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia: Isu dan
Tindakan, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. xiii
107
Problem-problem seputar hak-hak manusia yang bersifat derogable dapat
kita jumpai dalam tulisan Richard B. Lillich yang berjudul Hak-hak Sipil. Dimana
berdasarkan deklarasi universal terkait hak sipil dari individu-individu di
antaranya seperti; hak atas kehidupan, kebebasan, kemanan pribadi (pasal 3),
terbebas dari perbudakan dan kerja paksa (pasal 4), larangan terhadap
penganiayaan, hukuman yang kejam atau tidak manusiawi atau merendahkan
martabat (pasal 5), hak atas pengakuan hukum (pasal 6), hak atas persamaan di
hadapan hukum (pasal 7), ha katas pemulihan (pasal 8), larangan terhadap
penangkapan, penahanan atau pengasinan sewenang-wenang (pasal 9), hak atas
pengadilan yang adil (pasal 10), praduga tidak bersalah dan larangan terhadap
hukum ex post facto (pasal 11), ha katas privasi (pasal 12), hak atas kebebasan
bergerak (pasal 13), hak atas asilum (pasal 14), hak memiliki kewarganegaraan
(pasal 15), hak untuk menikah dan membangun rumah tangga (pasal 16), hak
untuk memiliki kekayaan (pasal 17), dan hak atas kebebasan berpikir, berhati
nurani dan beragama (pasal 18).22
Selanjutnya adalah tentang perikemanusiaan dan idea of man. Pada tahap
ini, menurut Driyarkara bahwa manusia yang mengikrarkan perikemanusiaan
adalah manusia yang melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang dengan rasio
dan kemerdekaannya harus menyempurnakan dirinya, bersama-sama dengan
sesama manusia dalam masyarakat. Di sini yang perlu digaris bawahi adalah,
bahwa manusia itu harus dijunjung tinggi martabatnya, sehingga impact nya
adalah menolak segala macam bentuk penindasan, kesedihan, dan eksploitasi
22 Richard, B. Lillich, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia: Isu dan
Tindakan, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 69
108
manusia. Karena sikap perikemanusiaan inilah yang kemudian membentuk
dirinya dan membudayakan manusia sehingga berbahasa, bertingkah laku sebagai
manusia, dan dipantaskan sesuai dengan martabat manusia tanpa pandang strata
sosial, warna kulit atau ras.23
Selanjutnya, Driyarkara menatap persoalan tentang bagaimana pemeluk
perikemanusiaan tersebut memandang negara. Baginya, negara dan pemerintah
bukanlah suatu tujuan, melainkan sebuah sarana yang harus diadakan bersama.
Pada dasarnya, negara dan pemerintah adalah suatu keharusan, tetapi di waktu
yang bersamaan negara dan pemerintah juga bisa menjadi ancaman dan
berbahaya. Pemegang kekuasaan diperlukan, tetapi setiap penguasa juga bisa
main kuasa yang disebabkan oleh kebodohannya atau karena motif-motif politis.
Oleh sebab itu, pemeluk perikemanusiaan selalu bersikap kritis terhadap negara
dan penguasa pemerintah. Jadi, di satu sisi menghormati kekuasaan, tetapi
memandang penguasa sebagai petugas yang harus dikontrol.24
Dari uraian Driyarkara tentang sila kedua ini telah menunjukkan kepada
kita, bagaimana Pancasila sebagai cita-cita ideal berusaha mengembalikan
kesadaran manusia sebagai manusia. Ada satu hal menarik yang disampaikan oleh
Frans Magnis Suseno dalam sebuah wawancara khusus oleh tim STF Driyarkara.
Menurut Magnis, salah satu pemikiran Driyarkara tentang Pancasila adalah ia
menganggap sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagai sila
paling penting dalam Pancasila, dimana menurut Magnis, Driyarkara melihat
23 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 958 24 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 959
109
semua sila yang ada harus dijiwai oleh sila kedua ini, kenapa demikian? Magnis
melihat pemikiran tersebut sangat relevan sampai sekarang sebab, bila Ketuhanan
saja dijalani tanpa beradab, maka bisa jatuh ke fundamentalisme. Bila kerakyatan
saja dijalani tanpa keadilan bisa menjadi tirani mayoritas.25
C. Implikasi Dari Sila Ketiga
Perihal sila Persatuan Indonesia yang mana oleh Driyarkara disebut
sebagai sila kebangsaan. Pada dasarnya dengan pengikraran akan suatu
kebangsaan, maka sama halnya dengan pengakuan seseorang atas identitas bangsa
itu. Artinya, tanpa meniadakan berbagai macam corak khas yang ada pada suku,
orang mengakui bahwa sejumlah manusia yang ada merupakan suatu kesatuan
sosiologis, kebudayaan, ekonomi, sejarah bangsa, cita-cita, dan sebagainya.26
Lalu bagaimana tanah air bisa menjadi argumen untuk alasan persatuan?
Dalam hal ini, Driyarkara menunjukkan adanya hubungan antara kebangsaan dan
tanah air yang tidak bisa dipisahkan, hal tersebut bisa ditunjukkan, misalnya pada
prakteknya suatu bangsa yang tentu mempunyai daerah. Selanjutnya ia
menunjukkan dengan menawarkan beberapa kata lain yang masih berkaitan,
sebutlah kata tanah air jika diganti dengan ibu pertiwi, di sana akan terlihat dalam
cara kita memandang apa yang disebut tanah air atau tanah tumpah darah itu
dianggap sebagai ibu. Oleh sebab itu, tanah air, tanah tumpah darah, bisa juga
diganti dengan tanah kandung. Tanah itu dipandang sebagi tempat dimana ia
25 Kurniawan, SJS, Driyarkara dan Sila Kedua, (Jurnal Tempo edisi 1 September 2013),
atau lihat wawancara dalam https://youtu.be/_Z1AuHO4Mwg (Driyarkara Filsuf Dari
Kedunggubah) 26 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 952
110
mendapatkan keamanan, kenyamanan, keintiman, kebahagiaan, duka cita, air
mata, dan karena hal-hal tersebutlah yang memunculkan rasa cinta dan rindu
kepada tanah airnya.27
Terkait identitas kebangsaan Indonesia yang kompleks, menurut
Driyarkara justru karena bermacam-macam suku dengan keragaman rupa dan
warna, hal tersebutlah yang menjadi dasar negara, dan bertujuan pada kesatuan
yakni Bhineka Tunggal Ika tanpa kehilangan keragaman tersebut. Ada satu yang
menjadi catatan menarik, dimana Driyarkara dengan tegas dan jelas menyebutkan
bahwa dalam perkara ini kadang-kadang terdapat orang yang berusah menolak
perbedaan yang ada dan gila akan keseragaman dan kesatuan, oleh Driyarkara hal
itu disebut sebagai mentalitas primitif.28
Sampai di sini, jika kita mencoba menilik argumentasi yang dibangun oleh
Driyarkara, kita bisa menarik sedikit kesimpulan bahwa persatuan Indonesia
terbangun dan terjalin dengan kuat atas segala perbedaan yang ada, lebih dari itu
persatuan tersebut pada akhirnya menjadi sebuah keunikan tersendiri sekaligus
identitas bangsa Indonesia. Jika kita menilik Hakikat dan Muatan Filsafat
Pancasila karya Hardono P. Hadi, kita bisa menemukan Pancasila sebagai jati diri
bangsa Indonesia yang terbangun atas kesatuan yang utuh dan seimbang dari
suatu masyarakat atau manusia, dan kesatuan tersebut setidaknya merangkum tiga
aspek yakni; kesatuan yang terbentuk atas interaksi masyarakat beserta nilai-nilai
yang mempersatukan sekaligus mengikat individu yang mengarahkan jalannya
kehidupannya (kepribadian), unsur kesamaan yang memberi ciri khas kepada
27 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 953 28 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 954
111
masyarakat dari waktu ke waktu (identitas diri), kekhasan yang dimiliki dalam
pergaulannya (keunikan).29
Pada akhirnya, kita sampai pada soal gambaran yang dituntut oleh sila ini.
Menurut Driyarkara, atas persinggungan kebangsaan dan tanah air tadi, membuat
putra bangsa memandang kebangsaan sebagai pemberi nilai kehidupan. Dalam
konteks ini, dia melekatkan diri kepada tanah air dengan cinta yang membangun,
cinta yang membangun bisa diartikan sebagai cinta yang menyebabkan putra
bangsa tersebut turut andil dalam semua penyelenggarakan kebaikan dan
perbaikan di negara itu dalam berbagai lapangan. Dalam soal dedikasi inilah
menunjukkan bahwa gagasan yang mengharuskan segala-galanya diseragamkan
jelas telihat non-sens, karena dalam pelaksanaan membangun itu harus ada
bhineka tunggal.30
D. Implikasi Dari Sila Keempat
Sila keempat atau disebut oleh Driyarkara sebagai sila demokrasi.
Baginya, hal pertama tentang demokrasi adalah tentang pengakuan pribadi
manusia (person), berikut juga demokrasi kekeluargaan yang melekat dalam alam
kita, berakar dari pengakuan manusia secara person. Bagi driyarkara, manusia
demokratik adalah manusia yang melihat dirinya sendiri juga manusia lainnya,
dalam alam kebudayaan Indonesia pandangan ini berarti melihat sesama sebagai
anggota dari suatu keluarga. Ia melukiskan bagaimana hubungan itu berada
29 Hardono, P. Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius,1994), h. 66
30 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 955
112
seperti desa zaman dulu dengan keadaan sederhana, tempat dimana sekelompok
manusia hidup bersama dan diikat oleh hubungan keluarga.31
Perihal semangat dan rasa kesatuan di Indonesia ini bagi Driyarkara
menyisakan sisi positif dan negatif. Dalam sisi negatif misalnya, tenggelamnya
manusia individual dalam kesatuan, individu disini merujuk pada beraninya
seseorang dalam mengungkapkan pikiran sendiri, pendapat pribadi, pola-pola
perbuatan lahir dari tekanan sudut pandang keumuman, orang tidak berani berdiri
sendiri, segan bertukar pikiran dan berselisih argumen. Tetapi kembali lagi,
menurutnya semua itu menunjukkan kurangnya kedewasaan.32 Kemampuan-
kemampuan individu tersebut terkurung dan cenderung kalah dari hal-hal yang
bersifat mayoritas. Dalam hal ini jika bertolak dari uraian tersebut, setidaknya
sebagai contoh kita akan melihat bagaimana kontestasi poltik akhir-akhir ini
seakan-akan menyita kebebasan pendapat seseorang kedalam dua zona, antara
hitam atau putih, antara pasangan nomor satu atau pasangan nomor dua.
Dalam wilayah hubungan demokrasi dengan dasar negara. Driyarkara
memandang soal ini dengan menunjukkan akan adanya bermacam-macam pola
dan tindakan yang ditimbulkan oleh demokrasi. Misalnya, satu norma yang
muncul disebabkan oleh alam demokrasi bahwa segala sesuatu berdasarkan
hukum, maka dari itu kekerasan tidak boleh mendapatkan tempat. Berikut juga
dengan ancaman misalnya, jika suatu orde pemerintahan, dalam kasus ini
Driyarkara mengambil contoh orba yang dikritik dengan cara yang rasional dan
31 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 947 32 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 948
113
objektif, maka sudah seharusnya tidak boleh ada ancaman atau menganiaya
wartawan, atau masayarakat sipil sekalipun, berikut pula dengan penganut
kekuasaan tidak boleh main paksa dengan menggunakan dalil keadilan dan
kebenaran. Singkatnya dari norma ini, tidak boleh menggunakan kekerasan
sedikitpun, dan bertindak sesuai hukum, sabar, dan menerima pendapat orang
lain.33
Jika kita menilik sedikit tentang apa yang disampaikan oleh Matthew
Lippman terkait isu penganiayaan dalam hak-hak asasi manusia, bahwa
penganiayaan dipergunakan oleh rezim-rezim dengan satu atau banyak tujuan,
misalnya mencari informasi dari orang yang tutup mulut, atau juga sebagai upaya
rezim yang kurang mendapat dukungan rakyat untuk menanamkan suatu iklim
ketakutan dan apatis politik pada populasi umum.34
Terkait apa yang kita sebut sebagai musyawarah, khususnya dalam
wilayah orang-orang yang duduk dalam kursi legislatif dalam persidangan,
Driyarkara menegaskan bahwa musyawarah pada dasarnya adalah hal yang sangat
baik, tetapi orang tidak boleh mengatas namakan musyawarah untuk menghindari
atau takut berselisih pendapat, dan menutupi sifat kurang dewasa.35 Kenapa
demikian? Karena baginya, hal ini cenderung membuat orang mudah
berkompromi dan segan debat-mendebat, karena dalam debat-mendebat
merupakan sebuah usaha untuk mencari dan melihat persoalan seluas-luasnya.
33 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 949 34 Mathew Lippman dkk., Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia; Isu dan
Tindakan, diterjemahkan oleh Ahmad Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993),
h. 42 35 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 949
114
Dalam corak selanjutnya, demokrasi melukiskan sifat dan sikap gotong
royong. Driyarkara mengajukan contoh seperti kehidupan di desa, terlepas dari
perubahan-perubahan yang ada, kita dapat menemukan bagaimana orang-orang
bagaimana orang saling bahu-membahu membangun jembatan, menggali selokan,
menebang pohon, membangun rumah, dan sebagainya. Di sini yang perlu menjadi
catatan adalah, bagaimana orang-orang mengadakan kesatuan kerja, dan jiwanya
tertanam rasa kesanggupan untuk membuat kesatuan kerja atau bekerja sama.
Dalam semangat kesatuan yang bersifat kekeluargaan inilah idealitas yang harus
dipunyai tiap manusia Indonesia, bukan hanya para angota DPR, MPR, dan badan
eksekutif yang ada.36
Pada akhirnya, idealitas yang terungkap dalam sila ini adalah pandangan
keseluruhan bangsa manusia sebagai keluarga besar. Bagi Driyarkara, keseluruhan
tersebut dilihat dan dialami sebagai teamwork, dalam usaha cara-cara kerjanya,
tentu dengan penakanan bahwa dia bekerja sebagai manusia, hal ini penting
karena dengan begitu akan mengakui dan menjujung tinggi manusia dan
muncullah apa yang kita sebut sebagai rasa saling menghormati. Tetapi, perihal
permasalahan yang meyangkut kepentingan sesama manusia, maka tidak boleh
segan-segan untuk bertukar pikiran dan berselisih argument, tetapi tentu dengan
cara dan rule yang baik dan halus. Karena adanya rasa hormat tadi, maka tidak
boleh menghalangi pendapat orang lain, harus bisa menerima jika pendapatnya
tidak diterima, dan suatu kritikan harus dipandang sebagai hal yang biasa. Karena
36 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 950
115
pada dasarnya, alam demokrasi adalah tempat dimana sebuah kedewasaan
berada.37
E. Implikasi Dari Sila Kelima
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menunjukkan kepada
kita akan adanya hubungan antar manusia serta dengan dunianya. Dari sini
tergambar bagaimana corak manusia yang menurut kodratnya dituntut supaya
menjalankan Keadilan Sosial. Tentang hal ini, Driyarkara memberi penjelasan
bahwa tiap-tiap manusia menurut strukturnya Bersatu dengan manusia lainnya,
dan tidak bisa tanpa manusia lainnya. Hal ini menunjukkan jika manusia tidak
hanya lahir dan dibesarkan oleh orang tua dan masyarakatnya, tetapi juga
menunjukkan bahwa manusia itu hanya bisa berkembang sebagai manusia dan
mencapai kesempurnaannya dalam kesatuan dengan sesama.38
Driyarkara menggaris bawahi bahwa manusia itu berupa pribadi roh
(person), hal ini menjadi pokok dari manusia karena merupakan sebab harus
adanya keadilan sosial. Manusia yang berdasarkan sifatnya adalah makhluk sosial,
dalam hal kerja sama ini pula manusia tidak boleh dijadikan objek, dan tidak
boleh direndahkan. Karena pada dasarnya, manusia sebagai person mencerminkan
Tuhan, oleh sebab itu tugas berat yang dituntut dari sifat besar itu, manusia tidak
bisa meletakkan kedudukan manusia dengan rendah.39
37 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 951 38 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 941 39 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 942
116
Terkait gambaran dasar manusia yang dituntut dalam sila keadilan sosial,
ada beberapa uraian penting yang diajukan olehnya. Pertama, pada dasarnya
manusia yang menyelenggarakan keadilan sosial itu mengakui sesamanya sebagai
person, dari itu maka akan terjalin hubungan yang kita sebut kerja sama, karena
dari inilah akan terlihat bahwa manusia tidak tergambarkan sebagai individu
melainkan sebagai anggota masyarakat, dan secara bersama-sama dalam
masyarakat ia akan menyelenggarakan hubungannya dengan alam materi, dan
secara lebih jauh, hal ini bertujuan untuk kebahagiaan bersama.
Menurutnya, hal-hal tersebut diselenggarakan dalam berbagai macam
institusi dan struktur yang berbeda dengan alam liberalisme. Dimana pada
prinsipnya Keadilan Sosial misalnya saja dalam alam kaum buruh, yakni dengan
membuang pandangan manusia yang dijadikan objek belaka oleh manusia
lainnya, ketika dimana industri tumbuh dan membuat pekerjanya tidak
mempunyai hak, tidak bisa menuntut, karena para pekerja seolah-olah hanya
sebatas tungku produksi dan pada akhirnya tidak ada aturan pekerjaan dengan
jelas, sedangkan penguasa mencari untung sebesar-besarnya sedangkan upah
diturunkan serendah-rendahnya. Atau contoh lain misalnya, dimana semua
manusia dipandang sama di mata hukum tanpa peduli status sosial yang ada.40
Bagi Driyarkara, dalam alam Pancasila berbagai macam institusi dan
struktur ekonomi yang sedemikian itu, dimana manusia yang satu tidak dijadikan
objek oleh manusia lainnya, maka di situ pada hakikatnya ada kesamaan hak dan
derajat. Meskipun tentu saja terdapat perbedaan fungsi, perbedaan kekayaan,
40 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 944
117
tetapi dalam idealitasnya keseluruhan masyarakat Pancasila ditujukan untuk
melaksanakan kemakmuran bersama. Atas dasar ini, Driyarkara menekankan
bahwa fungsi dari kekuasaan tidak berarti keleluasaan untuk menjadikan manusia
sebagai alat, melainkan mengatur dan menyelenggarakan kerja sama atas berbagai
macam perbedaan fungsi dalam hierarkis yang ada menjadi sebuah kesatuan.
Singkat kata, orang dalam struktur terendah tidak bersikap sebagai kuli,
sedangkan atasan pun tidak bersikap sebagai penjajah.41
Ada satu hal lagi yang menjadi perhatian serius Driyarkara, tepatnya pada
soal Keadilan Sosial dan Swasta. Segala macam institusi yang ada tentu harus
diarahkan pada kesejahteraan umum, tentu saja pemilik modal berhak
mendapatkan keuntungan yang layak, tetapi sebuah keuntungan terlalu besar yang
didapat dari kerugian masayarakat yang pada akhirnya menyebabkan timbunan
kekayaan pada perorangan. Jika menggunakan dalil ini saja, maka akan tampak
bahwa seseorang telah melanggar sila Keadilan Sosial, jika perusahaannya
berjalan dengan baik, tetapi pembayaran gaji pekerja yang tidak mencukupi.
Bukan hanya itu saja, tetapi sila Keadilan Sosial juga menuntut Keadilan Sosial
dalam setiap transaksi dimanapun tempatnya, di pasar, di warung, ongkos
kendaraan sekalipun.
Tetapi jika kita melihat praktek di negara kita ini, mungkin kita akan
menjumpai fakta yang begitu menyedihkan dan begitu kontradiktif. Dimana kita
akan menemui semangat menjual dengan harga semahal-mahalnya, penimbunan
barang kebutuhan sehari-hari atau apapun itu yang menimbulkan kelangkaan dan
41 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 945
118
melepasnya ke pasaran ketika harga melambung tinggi, kemudian kecenderungan
penipuan. Driyarkara juga menujukkan bagaimana orang berlaku kontradiktif,
dimana orang-orang berteriak-teriak tentang sosialisme dan keadilan sosial tetapi
pada praktek kesehariannya begitu jauh dengan apa yang diteriakkan.42
Atas berbagai situasi tersebut, Driyarkara menekankan bahwa, negaralah
yang wajib menciptakan berbagai macam struktur sosial yang ada berjalan sesuai
dengan fungsi dan bernaung di bawah struktur alam Pancasila. Tetapi tindakan-
tindakan negara saja tidak akan pernah cukup jika tanpa tiap-tiap perorangan itu
sendiri tidak mempunyai semangat sosial. Dan tidak mungkin juga jika segala-
galanya dalam hidup manusia diatur oleh negara, karena pada prakteknya,
sebagian besar kehidupan kita tergantung pada pada diri kita sendiri. Pada
akhirnya, Driyarkara hendak menyampaikan sebuah pesan pada kita bahwa;
“Bila kita terus saja bersemangat menghisap,
bersemangat mencari untung kita sendiri sebesar-besarnya,
dengan siap sedia untuk mengorbankan orang lain, maka sila
Keadilan Sosial tetaplah cita-cita yang hampa belaka. Maka,
manusia Indonesia wajib betul-betul menyadari gambaran
manusia yang dituntut oleh sila kelima itu. Tetapi, lebih dari itu
dia dibebani atau wajib untuk menciptakan kemakmuran
bersama sedapat-dapatnya dalam semua kerja sama.
Janganlah kita merasa lepas dari wajib ini, sekalipun
dalam hal-hal yang kecil”.43
Pada akhirnya, uraian panjang yang begitu kompleks serta sarat nilai
luhur dalam masing-masing sila telah membuka ruang pertanyaan besar untuk
kita ajukan. Jika sedemikian luhur cita-cita bangsa kita, sedang kita hari ini
dihadapkan pada realitas yang cukup membuat kita mengerenyitkan dahi.
42 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 946
43 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 947
119
Pertanyaan tersebut adalah, bagaimana cita-cita luhur tersebut dapat
diimplementasikan secara efektif untuk kita semua?
Memang dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah refleksi manusia itu
sendiri, dengan penekanan tiap-tiap individu sebagaimana yang telah
disinggung oleh Driyarkara, bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan begitu
saja, melainkan cita-cita tersebut dapat terwujud dengan kehadiran pemerintah.
Mengutip uraian Yudi Latif bahwa, jalan untuk mencapai keadilan sosial
menghendaki partisipasi pelaku usaha dan masyarakat dalam mengembangkan
kesejahteraan, tentu dengan kapasitasnya masing-masing, mereka harus
bergotong royong dalam memajukan kesejahteraan umum, mengembangkan
jaminan pelayanan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melakukan
pembangunan berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian dengan karakter
kemandirian, sikap hemat, etos kerja, serta ramah lingkungan.44
Berdasarkan urain-uraian panjang Driyarkara tentang Pancasila,
rasanya ajaran-ajaran dan visi kehidupan yang diketengahkan olehnya bersifat
universal dan tidak terbatas pada ajaran agama manapun, tetapi lebih kepada
manusia dan kehidupan secara kompleks. Dengan demikian, sudah selayaknya
manusia Indonesia benar-benar meresapi dan menjankan Pancasila secara riil
dan tidak sebatas slogan atau legitimasi kosong belaka.
44 Yudi Latif, Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan, 2014)
h. 595
120
F. Analisis Kritis Perspektif Etika Islam
Secara umum, uraian mengenai Pancasila yang dibangun Driyarkara
dimaksudkan untuk mingkatkan budi luhur serta ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Sebagaimana telah disinggung pada bab III, pembahasan ini
akan lebih menarik dan variatif jika menghadirkan argumen etika Islam untuk
meninjau muatan etika Pancasila.
Pada dasarnya, prinsip etika Pancasila di dalamnya memuat tentang
hubungan hak dan wajib, dengan penekanan yang lebih pada penunaian
kewajiban. Pada titik ini, manusia yang bermoral adalah manusia yang
menunaikan kewajiban, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, Tuhan, dan
alam lingkungan. Terkait hal ini, rasanya menghadirkan Ibn Miskawaih
sebagai kacamata peninjau atas prinsip-prinsip etika di atas menjadi alasan
yang logis, jika dilihat dari track dan karyanya yang fenomenal yakni
Tahdzibul Akhlak serta julukannya sebagai bapak etika Islam.45
Jika Driyarkara menunjukkan bahwa dasar Pancasila adalah cinta kasih
kepada Tuhan dan sesama.46 Maka hal tersebut dapat juga ditemukan pada
konsep mahabbah (cinta) yang merupakan unsur dari bangunan etika Ibn
Miskawaih. Cinta dalam tatanan ini, terbagi pada dua macam: pertama, cinta
kepada Allah, kedua, cinta kepada sesama manusia (terutama cinta murid
45 Agus Darmaji “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn
Miskawaih” (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 25 46 Driyarkara. ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta; Gramedia, 2006), h. 857
121
kepada gurunya).47 Selain itu, etika Pancasila yang digali oleh Driyarkara
bersifat relijius tetapi dalam sila Ketuhanan itu sendiri tidak bersumber pada
salah satu ajararn agama manapun. Sedangkan etika yang dibangun Ibn
Miskawaih juga sangat relijius dan tentu bermuara pada ajaran Islam.
Terkait sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam uraian etika Ibn
Miskawaih, keadilan juga termasuk dalam unsur penting dalam bangunan
teoritiknya, keadilan oleh Ibn Miskawaih didefinisikan sebagai kesempurnaan
dan pemenuhan ketiga keutamaan yakni: kesucian diri, keberanian, dan
kebijaksanaan yang hasilnya adalah keseimbangan (al-i’tidal) atau persesuaian
(al-nisbat) antara ketiga macam potensi jiwa: al-bahimiyyat, al-ghadabiyyat,
dan al-nathiqat.48 Tiga keutamaan tersebut pada dasarnya bersumber pada
ajaran jalan tengah (al-wasath), ajaran jalan tengah ini di artikan antara lain
sebagai keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah
atara dua ekstrem. Tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan
moral secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan
dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Di mana jiwa manusia
oleh Ibn Miskawaih diklasifikasikan pada tiga fakultas yakni; jiwa al-
bahimiyyat, jiwa al-ghadabiyat, dan jiwa al-nathiqat. Dari tiga klasifikasi
tersebut kemudian memunculkan posisi tengah dari jiwa al-bahimiyyat adalah
menjaga kesucian diri (al-iffat). Posisi tengah jiwa al-ghadabiyat adalah
keberanian (al-Syaja’at). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksanaan
47 Ahmad Azhar Basyir “Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika Pancasila” h. 21 48 Agus Darmaji “Laporan Penelitian Pengaruh Etika, . 41
122
(al-hikmat). Dan gabungan dari posisi tengah ketiganya disebut dengan
keadilan. 49
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa manusia yang adil bukan hanya
memperoleh keseimbangan atau harmoni pribadi melainkan juga dengan orang
lain. Adapun keadilan yang kaitannya dengan orang lain, Ibn Miskawaih
membaginya pada tiga hal; 1. Pembagian harta dan kehormatan (al-karamat), 2.
Muamalah yang disengaja (al-mu’amalat al-iradiyyat), 3. Pembagian sesuatu.
Terkait cara untuk memperoleh keadilan dalam pembagian harta dan kehormatan,
dapat menggunakan perbandingan ilmu hitung.50
Menurut Ibn Miskawaih keadilan yang diupayakan manusia diarahkan
kepada keadilan terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Pada kedua arah
keadilan ini masing-masing mempunyai tingkatan kesulitan tersendiri. Keadilan
untuk diri sendiri berarti keseimbangan dan keharmonisan masing-masing jiwa
yang ada di dalam dirinya. Sementara itu, cara memperoleh keadilan terhadap
orang lain dapat diacapai melalui berbagai pendekatan seperti bilangan, atau
persesuaian yang berarti harus tercapainya suatu kesamaan atau kesetaraan. Pada
akhirnya, secara garis besar yang dimaksudkan oleh Ibn Miskawaih adalah
terciptanya keserasian pribadi dengan lingkungannya yang meliputi sesama
manusia, alam, dan Tuhan.51
Menyangkut upaya untuk mencapai posisi tengah masing-masing jiwa
manusia, bagi Ibn Miskawaih di sinilah fungsi syari’at dan filsafat dihadirkan, dan
49 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 26 50 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 45 51 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 47
123
menempati posisi penting pada tempatnya masing-masing. Syari’at berfungsi
untuk terciptanya posisi tengah dari jiwa al-bahimiyyat, dan al-ghadabiyyat.
Sedangkan filsafat berfungsi untuk terciptanya posisi tengah jiwa al-nathiqat,
argumen ini didasarkan atas kecenderungan jiwa al-bahimiyyat dan al-
ghadabiyyat pada materi, sedangkan jiwa al-nathiqat berlawanan dari kedua jiwa
tersebut.52
Berdasarkan sketsa tersebut, secara umum uraian-urian yang diberikan Ibn
Miskawaih tentu lebih komprehensif, melihat bagiamana posisi dan unsur-unsur
yang saling berkaitan, dengan titik tolak pada jiwa dan potensi manusia.
Keseimbangan yang dihasilkan antara ekstrem negatif dan ekstrem positif, akan
menyelamatkan seseorang pada sesuatu yang berlebihan. Nilai-nilai tersebut
dinamis dan sangat relevan sampai detik ini. Semangat keberagamaan misalnya,
jika tanpa rasa keadilan yang beradab akan membawa orang pada fanatisme
ekstrim dan ekslusif, dan tentu masih banyak lagi sisi-sisi sosial aplikatif lainnya.
Pada tahap ini, rasanya dapat dikatakan bahwa uraian etika Pancasila yang
dibangun Driyarkara tidak berlawanan dengan ajaran Islam terutama pada
hubungan vertikal (hubungan kepada Tuhan) dan horizontal (hubungan kepada
sesama manusia, dan alam).
52 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 50
124
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelukisan Pancasila sebagai weltanschauung oleh Driyarkara, berarti
sedang membicarakan nilai-nilai Pancasila yang merupakan etika kehidupan
bersama bangsa bangsa Indonesia yang bersifat praksis, dalam artian nilai-nilai
tersebut hadir dan menjadi dorongan yang melahirkan perbuatan-perbuatan sehari-
hari. Etika Pancasila merupakan refleksi kritis terkait prinsip-prinsip kelayakan
atau kebaikan dalam pengambilan sebuah putusan tindakan dalam lingkup
kehidupan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan kualifikasi isi
dari sila-sila Pancasila.
Dalam etika Pancasila, setidaknya terdapat tiga teori pendekatan; pertama,
deontologis sebagai pertimbangan kebaikan sebagai kewajiban serta
penuntuntunan kepada kesadaran ber-Pancasila dari masa ke masa yang adaptif
terhadap nilai kebudayaan baru. Kedua, teleologis berupa pedoman bagi
masyarakat Indonesia dalam mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara.
Ketiga, keutamaan berupa susunan nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia tentang
kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri, sesama,
lingkungan hidup, serta ketaatan kepada Tuhan.
Sebagai nilai luhur sekaligus cita-cita ideal, bagi Driyarkara sila
Ketuhanan Yang Maha Esa berimplikasi pada kesadaran manusia atas realitas
125
dirinya, penghambaan kepada Tuhan meciptakan asas cinta kasih dan menjadi
asas dasar untuk berperilaku kepada diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidup.
Sila kedua berimplikasi pada kesadaran manusia sebagai manusia serta dorongan
untuk berbuat adil dan beradab kepada diri sendiri, kepada sosial, kepada
religiusitas, dan segala aspek kehidupan. Sila ketiga berimplikasi pada kesadaran
dan rasa persatuan yang dirajut oleh segala macam perbedaan yang ada dan
mendorong manusia untuk saling menghormati dan bekerja sama. Sila keempat
mendorong manusia demokratik yang berarti melihat dirinya juga manusia
lainnya, artinya manusia demokratik menghargai pendapat dan mendukung hak
orang lain sekaligus menolak berbagai kekerasan serta intimidasi, demokratik juga
melukiskan sifat dan sikap gotong royong. Sila kelima mendorong manusia untuk
menjalankan perannya sebagai makhluk sosial dalam segala lini dan segala strata
sosial, dalam sila Keadilan Sosial, manusia dituntut untuk tidak menjadikan
sesama manusia lainnya sebagai objek dan mengeksploitasi hak-hak non-
derogable nya, sila ini juga menuntut manusia untuk tidak bersemangat
‘menghisap’ dan mencari keuntungan sendiri sebanyak-banyaknya.
B. Saran
Dari hasil penelitian tersebut tentang etika Pancasila dan implikasinya
persprektif Driyarkara, kajian ini belum memetakan pemikiran Driyarkara tentang
Pancasila secara utuh dalam berbagai sudut bahasan serta pengaruh pemikiran
Driyarkara dalam dunia intelektualitas di Indonesia. Oleh karena itu masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memetakan pengaruh pemikirannya.
126
Tujuan akhir dari sebuah pemikiran tidak hanya menjadi bahan diskusi secara
filosofis, tetapi menjadi bukti praksis bagi kehidupan bermasyarakat.
Hal-hal yang telah dipaparkan dalam skripsi ini hanyalah sebagian dari
pemikiran Driyarkara. Skripsi ini bermaksud dan diharapkan sebagai salah satu
usaha untuk menguak sedikit dari pemikiran Driyarkara. Penyusun berharap
penelitian yang sangat terbatas ini dilanjutkan, karena penyusun merasa penelitian
ini masih jauh dari kata sempurna, kritik yang sekiranya membangun sangat
dinantikan. Semoga bermanfaat.
100
DAFTAR PUSTAKA
Alfan. Muhammad, Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011
Al-Jihad, Saddam. Pancasila Ideologi Dunia; Sintesis Kapitalisme, Sosialisme,
dan Islam. Ciputat: Alvabet, 2018
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
Basyir, Ahmad Azhar. Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika
Pancasila. (Jurnal Filsafat, UGM)
Bolo, Andreas Doweng. Bartolomeus Samho. Stephanus Djunatan. Sylvester
Kanisius Laku. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: PT. Kanisius,
2012
Dahri Tiam, Sunardji. Berkenelan Dengan Filsafat Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 2001
Darmaji, Agus “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn
Miskawaih” (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999)
Darmodiharjo, Darji. dkk, Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, Cetakan
ke-10, 1991
Darmosoegondo, Soesanto. Falsafah Pancasila, Bandung: Alumni, 1977.
Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang
terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2006
101
Facruddin, Azis Anwar. Polemik Tafsir Pancasila. Yogyakarta: CRCS, 2018.
Fatikhah. Nur, Kode Etik Mahaiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012-2015 Dalam Perspektif Etika. Skripsi Prodi Aqidah Filsafat Fakultas
Ushuluddin UIN Jakarta
Hadi, P. Hardono. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Kanisius,
1994
Ihsan, H.A Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2010
Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, Edisi kedelapan,
2010
Kurnawi, Basyir, Pancasila dan Kewarganegaraan. Surabaya: Sunan Ampel
Press, 2013
Latif, Yudi. Revousi pancasila, Jakarta: Mizan 2017
Latif, Yudi. Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan, Jakarta: Mizan
2016.
Lubis, T. Mulya. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia; Isu dan
Tindakan. Jakarta: Yayasan Obor & USAID, 1993
Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih, Jurnal Aqlam : Journal of Islam and
Plurality Volume 1, No. 1 Juni 2016
Notonagoro. Pancasila Dasar falsafah Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984
102
Pranarka, A.M.W. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS,
Cetakan I, 1985)
Rachels, James. Filsafat Moral, diterjemahkan oleh A. Sudiarja. Yogyakarta:
Kanisius, 2004
Said Ali. As’ad, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:
LP3ES, 2009
Salam, Burhanuddin. Etika Individual. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2000
Soerprapto, Sri. Konsep Mohammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila
Dalam Perspektif Etika Pancasila. Yogyakarta: Jurnal Filsafat Vol. 23,
Nomor 2, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 2013
Sukarno. Ir, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media
Pressindo, Cet. II, 2017
Sukmono, Banin Diar. Etika Driyarkara dan Relevansinya di Era Postmodern.
Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 1, April 2013
Sunoto, Mengenal Filsafat pancasila: pendekatan melalui Metafisika, Logika,
Etika, Yogyakarta: Hanindita, 1985.
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Jakarta, Pustaka Filsafat, 1985
Swie Ling. Tan, Masa Gelap Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia. Depok:
Ruas, 2014
103
Rozak, Abdul. A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, Jakarta: Prenadamedia Group. 2012
Team Pembinaan Penataran dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia,
Bahan Penataran: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila, Jakarta, 1981
Titus. Harold H. dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, penerjemah H.M. Rasjidi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Widisuseno, Iriyanto. Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar
Negara. Jurnal Humanika Vol. 20, No.2, 2014
Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
1999
Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuh
Kembangkan Karakter Bangsa, (Jurnal Seminar Nasional Hukum, Vol.
2, Fakultas Hukum UNNES, 2016),
LAMAN INTERNET
https://afi.ushuluddin.uinjkt.ac.id/index.php/visi-dan-misi/
http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-tahbisan/
http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/35-dari-djenthu-
hingga-driyarkara diakses pada 11/08/19
http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-
prof-dr-n-driyarkara-sj diakses pada 11/07/2019 pukul 20:08
104
https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Propaedeuti
cs&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp
https://id.wikipedia.org/wiki/Interniran diakses pada 12/07/2019
https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 08/08/2019
http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-gestalt-
pengertian.html
https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/
Triyudo, Christian. Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari
https//.academia.edu
https://pojoksatu.co.id/news/berita-nasional/2019/12/04/sudjiwo-tedjo-bilang-
pancasila-tidak-ada-rocky-gerung-presiden-gak-ngerti-pancasila/