121
ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag) Oleh: M. Sadad Mahmud NIM 11140331000032 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021/1442 H

ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA

PERSPEKTIF DRIYARKARA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)

Oleh:

M. Sadad Mahmud

NIM 11140331000032

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021/1442 H

Page 2: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA

PERSPEKTIF DRIYARKARA

Page 3: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA
Page 4: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

i

ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA

PERSPEKTIF DRIYARKARA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

M. Sadad Mahmud

NIM: 11140331000032

Dosen Pembimbing,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils

NIP: 19610827 199303 1 002

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS

ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021/1442 H

Page 5: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

ii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 25 Juni 2021

M. Sadad Mahmud

Page 6: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Etika Pancasila dan Implikasinya Perspektif Driyarkara telah

diajukan dalam sidang munaqasyah, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S. Ag) pada Program Studi

Aqidah dan Filsafat Islam.

Ciputat, 25 Juni 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Dra. Tien Rahmatin, MA Banun Binangningrum, M.Pd

NIP:19680803 199403 2 002 NIP:19680618 199903 2 001

Anggota

Penguji I Penguji II

Dr. Kholid Al Walid, M.Ag. Dr. Edwin Syarif, MA

NIP: 19700920 200501 1 004 NIP. 19670691819997031 001

Dosen Pembimbing,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils.

NIP:19610827 199303 1 002

Page 7: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

iv

ABSTRAK

M. SADAD MAHMUD

ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

Pancasila tidak lahir begitu saja untuk sekedar menjadi dalil legitimasi

moral belaka. Ada proses dan tahapan panjang untuk mengabstraksikan nilai-nilai

luhur yang sudah exist untuk menjadi sebuah philosophisce

grondslag/ideology/weltanschauung. Driyarkara adalah filsuf Indonesia yang

mempunyai pemikiran otentik, dengan sumbangan pemikiran tentang Pancasila

yang begitu besar. Bagi Driyarkara, hidup secara individu, sosial, korporasi

swasta maupun negara haruslah dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila karena hal

tersebut merupakan konsekuensi atas dijadikannya Pancasila sebagai ideologi

bangsa.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research)

dengan metode deskriptif-analitis. Sumber-sumber data primer diperoleh dari

buku kumpulan tulisan Driyarkara; Karya Lengkap Driyarkara, serta karya-karya

yang memuat pemikirannya dan pemikiran lain yang berkaitan dengan penelitian

ini diposisikan sebagai data pendukung.

Kesepakatan founding fathers memilih Pancasila sebagai ideologi bangsa

membawa dampak besar dalam semangat berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti

mengisyaratkan bahwa Pancasila menjadi acuan nilai yang harus diresapi dan

dijalani secara praksis dalam keseharian sebagai konsekuensinya. Melihat

problem yang tersedia sampai saat ini mengantarkan kita pada dua titik yakni;

kesadaran bahwa implementasi Pancasila masih begitu jauh, dan dorongan untuk

melihat dan meresapi makna Pancasila secara lebih serius. Dalam hal ini,

Driyarkara mengajak kita untuk menyelami arti Pancasila, baginya Pancasila

merupakan realitas dari manusia Indonesia bahkan manusia secara umum dalam

setiap silanya. Menurut Driyarkara, setiap sila saling berkaitan satu sama lain,

tetapi sila Ketuhanan mendasari keberadaan sila lainnya yang bersifat hukum

organik (nilai-nilai kehidupan yang berbuah pasal perundang-undangan). Sila

Ketuhanan yang non organik merupakan sumber etika dan spiritualitas yang

penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Masing-masing sila setelah

sila Ketuhanan mempunyai peran horizontal (memanusiakan manusia) yang juga

berarti menjauhi perkara-perkara yang berbau eksploitatif, manipulatif,

disrespective.

Kata Kunci : Driyarkara, Pancasila

Page 8: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

v

KATA PENGANTAR

Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim

Mahasuci Allah, sang pemilik dan pengatur eksistensi, sang awal dan sang

akhir, tempat kembalinya segala ciptaan yang ada. Tanpa kasih sayangnya,

mustahil segala yang ada dunia berjalan sedemikian tertata dan estetik. Tiada kata

yang pantas untuk disampaikan selain panjatan puja dan puji syukur atas segala

karunia dan hidayah-Nya yang senantiasa penulis rasakan. Tanpa itu semua,

mustahil rasanya penulis dapat menyelesaikan penuyusunan tulisan ini sebagai

syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Aqidah dan Filsafat Islam UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW

yang menjadi seutama-utama para nabi dan wali, seagungnya para salik dan orang

suci. Demikian juga keluarga dan para sahabatnya. Semoga kita selalu termasuk

ke dalam bagian umatnya yang meneladani perjuangan dalam menyibak tirai

kejahilan, serta semoga kita semua merupakan golongan umat yang mendapatkan

syafaatnya ila yaumil kiyamah.

Melalui proses yang begitu panjang, dengan ini penulis menyadari betul

bahwa skripsi yang berjudul ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA

PERSPEKTIF DRIYARKARA tidak akan terselesaikan tanpa adanya sosok

yang senantiasa mendampingi baik secara langsung atau tidak langsung,

memberikan semangat dan sumbangsih moral maupun moril kepada penulis

Page 9: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

vi

dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati,

penulis merasa wajib kiranya mengungkapkan rasa terimakasih itu kepada:

1. Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Tien Rohmatin, MA selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,

serta Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Aqidah

dan Filsafat Islam sekaligus dosen Pembimbing Akademik penulis, serta

segenap jajaran pengurus proses administrasi dalam perkuliahan maupun

dalam penyelesaian skripsi.

3. Drs. Agus Darmaji, M.Fils selaku dosen pembimbing yang telah membuka

wawasan, memberikan masukan, mengoreksi dan memotivasi dalam

penulisan sampai akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis hanya

dapat menyampaikan permohonan maaf karena telah banyak menyita

waktu, perhatian dan tenaga, serta penulis yang terkadang mendadak

menghilang. Terimakasih atas jasa dan ilmu yang telah diberikan, akan

tetapi hanya doa terbaik yang dapat penulis panjatkan, semoga selalu

diberikan kesehatan karena Jurusan Aqidah dan Filsafat membutuhkan

dosen-dosen terbaik seperti beliau.

4. Prof. Dr. N. Driyarkara selaku tokoh yang penulis angkat sebagai judul

skripsi. Selama proses penulisan skripsi ini, penulis merasa sangat

menikmati pemikiran Driyarkara dan begitu membuka mata penulis atas

kekayaan intelektualitas filsuf Indonesia yang jarang dibicarakan orang,

Page 10: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

vii

meskipun tidak menguasai secara utuh pemikiran Driyarkara, tapi hal ini

merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi penulis.

5. Ucapan terimakasih kepada seluruh dosen Aqidah dan Filsafat Islam,

khususnya Drs. Nanang Tahqiq, MA, dan Abdul Muthalib, Phd yang

wejangannya selalu melekat dalam memori. Serta segenap jajaran dosen

Fakultas Ushuluddin yang tidak akan terlupakan yang mana dengan

kebaikan dan kemurahan hatinya baik secara sadar dan tidak sadar

mendorong penulis untuk pantang menyerah sebelum menang dalam

menggali kedalaman dan keindahan kitab suci al-Quran serta ke-Uswah-an

Nabi Muhammad SAW.

6. Teruntuk kedua orang tua Alm. Sam’ani Syadzili dan Almh. Suwarti

Abdul Wahid yang setiap hela nafas selalu mendoakan penulis serta selalu

memberi ridho dalam usaha tholabul ‘ilmi. Tanpa perjuangan dan kasih

sayangnya, mustahil rasanya penulis mampu menempuh pendidikan

perguruan tinggi dan menyelesaikan perkuliahan ini. Pesan-pesan beliau

bagaikan cahaya di tengah kegelapan, bagaikan air di tengah kekeringan,

serta selalu menjadi motivasi dan dorongan besar untuk terus maju dalam

kehidupan penulis.

7. Teruntuk kakak-kakak penulis, M. Abdul Aziz, Ummi Hanik, Fadly

Rizaldi, Abdul Ro’uf, serta M. Zuhruful Alam yang selalu mendampingi

secara moral dan moril selama masa studi.

8. Teruntuk rekan-rekan spesial dan seperjuangan di Ciputat, Laraswati,

Wildan Muzakki, Rizkia Permata R.A, Reynaldi Adi Surya, Ayu Alfiah

Page 11: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

viii

Jonas, Abdullah Syits Heru, Ahmad Nidlomuddin. Bagaikan teman

psikologis dan analisis, banyak topik serius dan berat sampai hal kecil

sudah sering terlewati, dari kopi ke kopi, diskusi seputar akademik kampus

hingga kenyataan sehari-hari.

9. Tidak lupa untuk adik-adik kelas Ishlah Muhammad sang manusia

pesimis, dan Mukhtar Sya’bani yang sering menjadi teman diskusi lintas

topik, sampai tradisi musik.

10. Serta tidak lupa teman-teman seperjuangan Aqidah dan Filsafat Islam

angkatan 2014.

Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terimakasih yang begitu dalam

dan seuntai doa senantiasa penulis haturkan kepada mereka agar senantiasa segala

kebaikan dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal. Akhirnya,

penulis berharap semoga karya tulis ini senantiasa dapat memberikan tambahan

wawasan seputar keindonesiaan dan filsafat. Amiin

Ciputat, 25 Juni 2021

M. Sadad Mahmud

NIM. 1114033100003

Page 12: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iii

ABSTRAK ..................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. v

DAFTAR ISI ……………………………………………………………..... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .…………………………………… 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .……………………………. 9

C. Tujuan Penelitian .………………………………………….. 10

D. Manfaat Penelitian .………………………………………… 10

E. Tinjauan Pustaka .………………………………………….. 11

F. Metode Penelitian .…………………………………………. 12

G. Sistematika Penulisan .………………………………………15

BAB II BIOGRAFI DRIYARKARA

A. Riwayat Hidup ..…………………………………………….. 17

B. Latar Belakang Pemikiran Driyarkara .……………………... 23

C. Karya-karya Driyarkara .……………………………………. 27

BAB III PANCASILA: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN ETIKA

A. Sejarah Pancasila dan Perkembangannya …………………... 33

B. Pancasila Sebagai Weltancshauung ………………………….43

C. Etika Secara Umum ………………………………………… 50

1. Pendekatan dalam etika ………………………………….57

1.1. Etika Deskriptif ….…………………………………. 57

1.2. Etika Normatif .…………………………………….. 58

1.3. Metaetika .………………………………………….. 59

2. Teori-Teori Umum Etika .………………………………. 61

2.1. Hedonism .…………………………………………. 62

2.2. Eudomonisme .…………………………………….. 62

2.3. Utilitarianisme .……………………………………. 63

2.4. Deontologi .………………………………………… 63

3. Filsafat Moral dalam Islam ……………………………... 64

D. Etika Pancasila ……………………………………………. 68

BAB IV IMPLIKASI PANCASILA PERSPEKTIF DRIYARKARA

A. Implikasi Dari Sila Pertama …………………………......... 75

Page 13: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

x

B. Implikasi Dari Sila Kedua ……………………………........ 81

C. Implikasi Dari Sila Ketiga ……………………………........ 86

D. Implikasi Dari Sila Keempat ………………………............ 88

E. Implikasi Dari Sila Kelima …………………………........... 91

F. Analisis Kritis Perspektif Etika Islam .................................. 120

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………... 124

B. Saran ……………………………………………………..... 125

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dari sekian banyak tema, kenapa harus Pancasila? Barangkali pertanyaan

demikian merupakan masalah awal yang perlu kita perjelas dalam skripsi ini,

terlepas dari eksistensi maupun relevansi ajaran Pancasila sampai saat ini, bukan

berarti membuat Pancasila menjadi tertutup untuk dikaji. Setidaknya, atas dasar

ini penulis merasa ada ruang aktualitas yang terbuka dalam tema ini.1

Pada dasarnya tulisan ini didorong oleh beberapa faktor atas temuan-

temuan kehidupan sehari-hari penulis. Kejenuhan atau kebosanan tampaknya

cukup representatif ketika penulis mendengar kata Pancasila, kejenuhan ini

mengantarkan pada dua persoalan yakni; persoalan dimana posisi Pancasila

sekilas hanya berlaku sebagai dalil legitimasi belaka, kemudian Pancasila yang

terlihat dekat sekaligus jauh.

Sebagai contoh atas rasa kejenuhan penulis misalnya saja banyaknya

ungkapan atau pernyataan yang penulis temui seperti “Sikap itu tidak Pancasilais

sekali” atau “kita sebagai masyarakat Indonesia harus bersikap Pancasilais” dan

berbagai macam bentuk lainnya lagi yang lumrah dijumpai terutama politisi,

dalam hal ini membuat sekilas tampak adalah posisi Pancasila sebagai dalil

1 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang terlibat

Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 834

Page 15: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

2

legitimasi yang terkadang digunakan untuk menghakimi, serta di lain sisi

berfungsi sebagai pedoman abstrak belaka, yang membuat Pancasila “dekat

sekaligus jauh”. Sehingga dari sini memunculkan sebuah pertanyaan “lantas,

Pancasila itu yang bagaimana serta wujudnya apa?”

Selain alasan tersebut, tentu tema ini menjadi aktualisasi pembahasan-

pembahasan seputar keindonesiaan, yang mana sejalan dengan visi misi prodi

Aqidah dan Filsafat Islam yakni, Visi; unggul dan terkemuka dalam bidang kalam

dan filsafat Islam dengan mengintegrasikan keislaman, keilmuan dan

keindonesiaan dalam mewujudkan masyarakat madani. Maka dari itu,

pembahasan skripsi ini menjadi varian khazanah keilmuan bergenre

keindonesiaan di Prodi Aqidah dan Filsafat Islam.2

“Apakah Pancasila itu ada? Bagi saya Pancasila tidak ada”. Sebuah

pertanyaan sekaligus pernyataan yang dilontarkan oleh Sudjiwo Tejo dan Rocky

Gerung dalam forum diskusi publik.3 Bagi penulis, terlepas dari pertanyaan

sekaligus pernyataan yang bermotif diskusi tersebut, sudah selayaknya persoalan

fundamental tersebut untuk dikaji supaya masyarakat lebih mengerti agar

selanjutnya mampu memahami dan bukan sekedar digunakan sebagai dalil

legitimasi belaka. Tetapi, pada dasarnya skripsi ini bukan ditujukan untuk

menjawab persoalan yang disebutkan oleh kedua tokoh tersebut, melainkan

sebuah refleksi kritis tentang Pancasila.

2 Diakses dari https://afi.ushuluddin.uinjkt.ac.id/index.php/visi-dan-misi/ pada 14 Maret

2020, pkl. 19:10 WIB 3Artikel diakses dari https://pojoksatu.co.id/news/berita-nasional/2019/12/04/sudjiwo-

tedjo-bilang-pancasila-tidak-ada-rocky-gerung-presiden-gak-ngerti-pancasila/ pada 14 Maret 2020,

pkl. 18:53 WIB

Page 16: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

3

Bangsa Indonesia telah melalui proses yang sangat panjang untuk

menentukan jalannya sendiri, sejak zaman kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit,

dan sebagainya sampai datangnya bangsa lain dalam misi penjajahan. Penjajahan

yang begitu lama dirasa dari generasi-kegenerasi, perlawanan dan perjuangan

rakyat Indonesia membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai sebuah

kemerdekaan, sebuah kebebasan dalam bereksistensi. Tentu karena jalan yang

begitu panjang dan berat inilah kita mempunyai kewajiban untuk terus

merawatnya.4

Dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945, “negara Indonesia yang

merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” harus dijaga dan dilestarikan terus-

menerus.5 Sudah menjadi kewajiban negara Indonesia yang merdeka pada 17

Agustus 1945. Kemerdekaan adalah pokok pikiran pertama sekaligus pesan

penting yang ditegaskan oleh founding fathers kita dalam menentukan sikap

mengejar tujuan-tujuan negara. Sementara persatuan mengandung misi negara

yang tetap utuh dan tidak terpecah belah; bersatu dalam satu paham kebangsaan.6

Dalam hal mengejar tujuan-tujuan negara seperti kata founding fathers di

atas, sudah barang tentu memuat gagasan, ide, atau cita-cita bangsa di dalamnya

sebagai role jalannya bangsa ini. Suatu bangsa tercipta melalui proses dan faktor-

faktor yang kompleks, yang mana faktor-faktor tersebut tak dapat ditentukan

jumlah dan pengaruhnya secara jelas. Suku, keadaan geografis, iklim, potensi dari

4 Prof. Dr. Kaelan. M.S, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, Edisi VIII,

2010), h.12 5 As’ad Said Ali, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa (Jakarta: LP3ES,

2009), h.103 6 As’ad Said Ali. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, h.105

Page 17: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

4

tanah yang diduduki, berbagai macam kejadian dalam sejarah, aksi dan reaksi

bersama, kesamaan nasib, semua itu berjalan dengan proses yang lama

menyebabkan segerombolan manusia (besar atau kecil) menjadi suatu bangsa.7

Dalam hidup bersama yang lama dengan keadaan dan kejadian yang dialami

bersama maka bersama itulah kebudayaan yang sama, kesadaran yang sama,

persamaan yang sama, cara hidup yang sama, atau yang biasa kita sebut dengan

Tumpah Darah atau Ibu Pertiwi.

Seruan berbagai kalangan seperti kata Soekarno dalam pidatonya pada 5

juli 1958, bahwa Pancasila tidak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik

Indonesia.8 Memang dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah falsafah yang benar-

benar hadir dari akar kebudayaan masyarakat Indonesia. Pancasila tidak diambil

dari langit, Pancasila adalah rumusan realitas, bukan hanya realitas Indonesia

melainkan realitas manusia.9

Moh. Hatta menjelaskan bahwa pokok-pokok pikiran Pancasila sebagai

ideologi negara telah dirumuskan dalam pembukan UUD 1945. Selanjutnya,

permasalahan yang perlu dipikirkan adalah merumuskan Pancasila sebagai norma

etis kehidupan bangsa Indonesia di masa mendatang. Etika Pancasila adalah

norma etis sebagai pedoman pengamalan Pancasila bagi negara dan masyarakat

Indonesia. Dalam implementasinya, negara harus memberikan jaminan bagi

warga negara dalam hal menjalankan keyakinannya (agama) masing-masing,

7 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara, h.845 8 Ir. Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, (Yogyakarta: Media Pressindo,

2017), h.94 9 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.882

Page 18: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

5

memperoleh penghidupan layak dan hak-hak kemanusiaannya, mendorong

terwujudnya persatuan dalam keberagaman, mengedepankan permusyawaratan

dan juga jauh dari sifat otoritarianisme, dan mewujudkan keadilan sosial melalui

politik dan ekonomi.10

Dalam sisi lainnya, kondisi kehidupan bangsa dan negara saat ini terasa

semakin jauh dari tujuan, cita-cita kemerdekaan bahkan juga ajaran etik yang

termuat dalam Pancasila. Dewasa ini, Indonesia terus dihadapkan dengan berbagai

persoalan yang tak kunjung reda, persoalan-persoalan tersebut berkutat pada

permasalahan anarkisme, konflik agama, ras, dan antar golongan, lemahnya

persatuan, rendahnya moral dan akhlak, korupsi dan politik transaksional yang

menjadi-jadi serta merosotnya disiplin juga wibawa hukum.11 dan nyatanya

masalah-masalah tersebut bisa menjadi beberapa indikator serius akan

problematika kita hari ini.

Dalam cerita lainnya, di zaman kemajuan yang serba teknologi ini

nyatanya masih menghembuskan isu-isu rasial. Baru-baru ini catatan cerita kelam

yang belum selesai di negara kita kembali diperpanjang oleh masalah penghinaan,

persekusi, umpatan dan makian rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya

dan Malang yang kemudian memicu demo besar dan berujung kericuhan di

10 Sri Soerprapto, Konsep Mohammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam

Perspektif Etika Pancasila, (Yogyakarta: Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 2, Fakultas Filsafat

Universitas Gadjah Mada, 2013), h. 99 11 Tan Swie Ling, Masa Gelap Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia (Depok: LKSI

& Ruas, 2014) h. VII

Page 19: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

6

Papua, kembali memperburuk dan mengancam kerukunan dan kesatuan kita,

sampai membuat lupa bahwa kita dilahirkan oleh rahim yang sama.12

Selain problem tersebut, ada juga problem lain seperti

pengimplementasian Pancasila yang mana tidak semua masyarakat menjadikan

Pancasila sebagai tumpuan nilai dalam menimba semangat kebernegaraan dan

keberbangsaan, dan ini juga menjadi penyebab negeri ini terus terkoyak dan

mudah tergerus.13 Di lain hal juga problem Pancasila yang hanya berhenti dalam

tataran oral dan ingatan (sebatas hafalan) saja, dengan penghayatan yang masih

bisa dibilang cukup minim.

Pancasila adalah jawaban dan sekaligus sebagai dasar negara yang mampu

mengikat semua perbedaan yang ada di Indonesia. Dalam bentuk yang lebih maju,

Pancasila menjadi ideologi bangsa dan pandangan hidup masyarakat sehari-hari

yang akan terus relevan di segala zaman.14 Ideologi bangsa merupakan sebuah

kesatuan idea yang kompleks, yang mana Pancasila dalam posisinya tersebut

mempunyai konsekuensi bahwa orang Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari

Pancasila sebagai pandangan atau pendirian hidup yang dalam istilah jerman

disebut weltanschauung.15

Jika ditelisik lebih lanjut, dijadikannya Pancasila sebagai weltanschauung

tentu karena menyimpan sebuah ajaran-ajaran, pesan, atau nilai-nilai etika di

12 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190820074351-12-422904/polisi-selidiki-

oknum-pemaki-mahasiswa-papua-di-surabaya diakses pada 20 Agustus 2019, pkl. 11:13 WIB 13 Saddam Al-Jihad, Pancasila Ideologi Dunia Sintesis Kapitalisme, Sosialisme, dan

Islam, (Ciputat: Alvabet, 2018), h. 11 14 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.850 15 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.935

Page 20: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

7

dalamnya untuk menjadi acuan dan dorongan bagaimana untuk bertindak.

Pancasila sebagai weltanschauung berarti nilai-nilai pancasila merupakan etika

kehidupan bersama bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut atau praksis kehidupan

di dalam masyarakat bangsa Indonesia diatur oleh nilai-nilai pencasila.16

Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat Indonesia mewujudkan di

dalam kehidupan sehari-harinya nilai-nilai pancasila seperti di dalam kegiatan

berketuhanan yang maha esa yang meminta toleransi serta menghargai sesama

yang berbeda keyakinan agamanya. Dia mempunyai rasa nasionalisme yang kuat

untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang Indonesia yang menjunjung tinggi

kedaulatan bangsa Indonesia dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa yang lain.

Selanjutnya, mempunyai rasa kemanusiaan yang tinggi dalam menghargai akan

nilai-nilai yang dimilikinya tetangganya sesamanya dan umat manusia di seluruh

dunia. Demikian pula mempunyai sikap yang demokratis yang tidak memutlakkan

pendapatnya sendiri tetapi mencari jalan sebaik-baiknya untuk kepentingan

bersama dan akhirnya dia adalah seorang yang mempunyai rasa keadilan sosial

yang menghargai akan nilai-nilai hidup manusia yang setara.17

Beberapa tokoh lokal Indonesia mempunyai kajian yang serius terkait

Pancasila. Seperti halnya Driyarkara yang membahas Pancasila secara filosofis,

lebih tepatnya pemikirannya bertitik tolak dari refleksinya mengenai manusia,

karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan semua

16 Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuh

Kembangkan Karakter Bangsa, (Jurnal Seminar Nasional Hukum, Vol. 2, Fakultas Hukum

UNNES, 2016) h.421 17 Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila, h.424

Page 21: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

8

yang lain.18. Driyarkara merupakan pemikir besar Indonesia berlatar belakang

pendidikan humaniora dan filsafat yang mencoba menerjemahkan pemikiran-

pemikiran filsafat dengan bahasa dan ekspresi Indonesia dan menerapkannya

untuk pengembangan bangsa Indonesia.19 Pemikiran-pemikiran Driyarkara luas

meliputi wilayah kemanusiaan, kebudayaan, sosial, etika, Pendidikan dan

terutamanya tentang Pancasila.20

Sejalan dengan topik pembahasan sebelumnya. Atas dasar dijadikannya

Pancasila sebagai ideologi bangsa, berikut weltanschauung sebagai

konsekuensinya. Driyarkara menekankan bahwa manusia Indonesia harus

pancasilais yang mana tidak boleh acuh tak acuh terhadap sila pertama, tidak

boleh acuh tak acuh dengan demokrasi, keadilan sosial, dan sebagainya.21 Artinya,

jelas di sini bahwa posisi Pancasila yang sedemikan rupa, maka memunculkan

dorongan-dorongan atau implikasi yang nyata dalam kehidupan manusia. Secara

lebih kompleks, Driyarkara juga menguraikan implikasi-implikasinya dalam

masing-masing sila.

Konsentrasi Driyarkara dalam penggalian Pancasila tertuang jelas dalam

tulisan-tulisan atau esai-esai karyanya, termasuk juga karya-karya yang kemudian

dibukukan oleh para sahabatnya pasca dipanggilnya Driyarkara kepada sang

pencipta. Buku setebal 1501 halaman tersebut sekaligus menjadi referensi primer

dalam penulisan karya ilmiah ini. Dalam pembahasan Pancasila ini, ia tampak

18 Hardono P.Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius,

1994) h..36 19 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.5 20 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.9 21 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.937

Page 22: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

9

sering menggunakan metode fenomenologi untuk memperlihatkan, bagaimana

sila-sila dalam Pancasila saling berkaitan satu sama lain.22

Skripsi ini ditulis untuk menambah khazanah dan pengkajian mengenai

etika pancasila yang secara spesifik berarti membicarakan nilai-nilai etika di

dalamnya berikut implikasinya sebagai bentuk kontekstualisasi akan masalah

masalah saat ini, dan alur pemikiran tokoh yang mempunyai bagian besar

terhadap bahasan filsafat Pancasila di Indonesia yakni Driyarkara, karena itulah

penulis memberi judul skripsi ini: “ETIKA PANCASILA DAN

IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Penulis tidak akan membahas secara panjang lebar Pancasila dari segi

sejarah dan pergolakan Pancasila dan politik. Penulis berkonsentrasi membahas

tentang etika dalam Pancasila beserta implikasinya dalam tatanan sosial

masyarakat Indonesia yang terintegrasi dalam masing-masing sila beserta

penjabaran filosofisnya dalam perspektif Driyarkara.

Oleh karena itu, pandangan-pandangan mengenai objek studi lain tidak

dibahas dalam skripsi ini karena kurang relevan dengan penelitian yang akan

dilakukan. Agar pembahasan tidak melebar, maka dari itu rumusan masalah

diperjelas sebagai sebagai berikut: 1. Bagaimana ajaran etika Pancasila, 2.

Bagaimana implikasinya dalam kehidupan manusia.

C. Tujuan Penelitian

22 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h.826

Page 23: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

10

Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah:

1. Tujuan ilmiah, yaitu untuk mengetahui dan mendalami tentang etika

Pancasila dan implikasinya perspektif Driyarkara

2. Tujuan akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang

merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka

menyelesaikan studi tingkat Sarjana program Strata Satu (S1) di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas

Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dengan gelar Sarjana

Agama (S.Ag)

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian skripsi ini dapat diambil manfaat sebagai berikut:

1. Untuk masyarakat sebagai sarana untuk mengenal, memahami, dan

menghayati Pancasila sebagai acuan untuk kehidupan sehari-hari.

2. Mengetahui dan memahami secara mendalam dalam dunia

akademisi

a. Sebagai tambahan untuk sumber bacaan tentang filsafat

Pancasila, khususnya etika Pancasila.

b. Sebagai sumber rujukan mengenai kajian etika Pancasila,

juga pemikiran filosof Indonesia Driyarkara.

E. Tinjauan Pustaka

Page 24: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

11

Berdasarkan hasil penelusuran tentang karya ilmiah yang membahas

tentang filsafat Pancasila, penulis menemukan beberapa karya ilmiah seperti

skripsi atau thesis yang berkaitan dengan filsafat Pancasila, seperti skripsi yang

ditulis oleh Abdul Karim Habibullah mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam

Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta yang berjudul “Nilai-Nilai Filosofis Pancasila

Menurut Soekarno” yang dirilis pada 25 April 2019. Dalam skripsi tersebut lebih

menggali pada aspek pemikiran Soekarno tentang Pancasila dan juga

mengungkap beberapa nilai-nilai hubungan Pancasila dan Agama.23

Kemudian skripsi dari Darsita Suparno mahasiswa Tarjamah Bahasa Arab

Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta dengan judul “Sejarah Perumusan

Pancasila dalam Hubungannya dengan Proklamasi”, skripsi tersebut menggali

sisi kesejarahan dalam perumusan Pancasila dalam sastra-sastra klasik para

pujangga Nusantara seperti kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang

menuliskan kata Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan persatuan bangsa

Indonesia.24

Kemudian penulis juga menemukan skripsi berjudul “Konsepsi Negara

Kesejahteraan dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Skripsi

tersebut ditulis oleh Mamur Rizki mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fakultas

Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Dalam skripsi tersebut meneliti

23 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/simple-search?query=pancasila diakses pada 20

Agustus 2019 pkl. 12.12 WIB 24 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/33981

diakses pada 20 Agustus 2019 pkl. 13.07 WIB

Page 25: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

12

tentang konsep dan Praktik ideal negara kesejahteraan yang digali dalam

Pancasila dan UUD 1945.25

Berdasarkan beberapa penelusuran tentang Pancasila yang penulis

temukan di atas, maka ada banyak perbedaan antara judul-judul sebelumnya,

berikut beberapa point perbedaannya;

1. Dari ketiga judul skripsi di atas, penulis di sini mengenalkan

Driyarkara sebagai tokoh utama dalam penggalian etika Pancasila.

2. Berbeda dari beberapa judul di atas yang menggali dari sisi

kesejarahan, kemudian konsepsi ideal negara kesejahteraan dalam

Pancasila dan UUD 1945, maka di sini penulis mengungkapkan

Pancasila secara khusus pada angle atau sudut etikanya, bagaimana

Pancasila yang menjadi Weltanschauung atau ideologi menjadi

tuntutan perbuatan manusia Indonesia.

3. Kemudian dalam skripsi yang ditulis oleh Abdul Karim Habibullah

mempunyai perbedaan pada tokoh kajian yakni Soekarno dengan

Driyarkara, serta penggalian masalahnya juga berbeda karena dalam

skripsi tersebut lebih menggali pada nilai-nilai yang bermuatan

filosofis dalam Pancasila yang kemudian juga menyinggung relasinya

dengan agama.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

25 http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/35311 diakses pada 20 Agustus

2019, pkl. 13.18 WIB

Page 26: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

13

Jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah meneliti dan menganalisa

data-data dari sumber tertulis atau penelitian pustaka (library research) yang

bersifat kualitatif yang merujuk pada pustaka dan data-data dalam buku, makalah,

jurnal, skripsi, tesis dll.

2. Teknik Pengumpulan data

Penelitian ini sepenuhnya menggunakan library research, yaitu suatu

tehnik penelitian untuk mendapatkan data yang relevan dengan pokok masalah

mengenai etika Pancasila menurut Driyarkara,. Untuk mencapai tujuan

penelitian, penulis menggunakan data-data yang menjadi acuan utama

diantaranya;

2.1. Data Primer

Referensi utama dalam skripsi ini diambil dari buku berjudul “Karya

Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam

Perjuangan Bangsanya”. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan-tulisan

langsung Driyarkara yang disunting rekan-rekannya sebagai bentuk penghargaan

dan penghormatan atas kepergian Driyarkara. Buku tersebut diterbitkan atas

kerjasama antara; PT. Kompas Media Nusantara, PT. Gramedia Pustaka Utama,

PT. Kanisus, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia.

Buku tersebut dicetak setebal 1501 halaman yang berisi banyak tema-

tema besar seperti; Filsafat Pendidikan, Persona dan Personifikasi (Filsafat

Page 27: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

14

Manusia), Moral, Filsafat, dan tentunya Filsafat Pancasila serta masih banyak

tema-tema besar lainnya lagi.

2.2.Data Sekunder

Kemudian dalam penyusunan skripsi ini, penulis juga menggunakan

referensi-referensi sekunder seperti; Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila, buku

ini tersusun dalam 162 halaman, merupakan karya dari Dr. P. Hardono Hadi

yang diterbitkan oleh Kanisius cetakan pertama tahun 1994.

Selain itu, buku Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, karya A.M.W

Pranarka yang diterbitkan oleh CSIS. Buku setebal 519 halaman ini menjadi

tambahan rujukan data mengenai perkembangan, pemikiran, dan pengkajian

Pancasila. Kemudian buku Mengenal Filsafat Pancasila, Pendekatan Melalui

Metafisik Logika Etika” karya Sunoto yang diterbitkan oleh Hanindita

Yogyakarta, buku setebal 124 halaman tersebut memuat informasi-informasi

yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Buku tersebut menguraikan banyak hal

seperti, uraian tentang filsafat, uraian tentang Pancasila sebagai suatu filsafat

menurut pandangan para tokoh, serta uraian beberapa pendekatan filosofis

tentang Pancasila.

Selain beberapa buku tersebut, referensi-referensi tentang pembahasan

etika, juga menggunakan buku Etika karya K. Bertens terbitan Gramedia

Pustaka Utama tahun terbit 1997. Buku setebal 315 halaman ini memberikan

uraian-uraian etika secara umum meliputi istilah, kemudian tema-tema berikut

unsur-unsurnya.

Page 28: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

15

3. Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan metode analitis-deskriptif. Deskriptif analitis

yaitu mendeskripsikan data-data yang telah ada baik primer maupun sekunder,

lalu menganalisanya sehingga menghasilkan kesimpulan/verifikasi. Dalam

penelitian deskriptif kita meneliti lebih luas dan terperinci dibandingkan dengan

penelitian eksploratif sebab dalam penelitian deskriptif tidak hanya meneliti

variabel masalahnya saja melainkan variabel-variabel lain yang berhubungan

dengan masalah itu dan menguraikan faktor-faktornya. Model penelitian ini

biasanya menjawab pada pertanyaan dasar “bagaimana”.

Adapun tehnik penulisan dalam proposal skripsi ini menggunakan buku

Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality

Development and Assurance) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta cetakan ke II tahun 2007.

G. Sistematika Penelitian

Untuk mempermudah bahasan tentang penulisan yang sistematis, maka

penulis menyusun ke dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub

bab, yaitu:

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah

yang menjadi alasan pelaksanaan penelitian ini, batasan dan rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

Page 29: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

16

sistematika penulisan. Hal ini penting dibahas untuk memperjelas apa masalah

yang diangkat, di mana batas masalahnya, dan bagaimana rumusannya.

Bab kedua berisi biografi, latar belakang pemikiran, beserta karya-karya

Driyarkara. Kemudian bab ketiga berisi uraian etika Pancasila meliputi; sejarah

pemikiran Pancasila, Pancasila sebagai weltanschauung, dan uraian tentang

etika. Pada bab keempat, membahas tentang implikasi Pancasila perspektif

Driyarkara yang meliputi penjelasan masing-masing sila.

Bab kelima adalah penutup dan saran. Bab ini merupakan tinjauan penulis

yang berisi studi komparasi dan kesimpulan dari apa yang penulis bahas tentang

tema skripsi ini, yaitu mengenai Pancasila. Bab ini terdiri dari kesimpulan dan

saran-saran. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari rumusan masalah.

Sedangkan, saran-saran berisi beberapa rekomendasi lanjutan tentang penelitian

yang sudah dilakukan serta memberikan kemungkinan lain untuk penelitian

selanjutnya yang berkaitan dengan filsafat Pancasila

Page 30: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

17

BAB II

BIOGRAFI DRIYARKARA

A. Biografi Driyarkara

Berbicara soal Driyarkara, banyak tokoh atau pemikir yang juga

mempunyai pendapat tentangnya, eksistensi dan pemikiran-pemikiran

reflektifnya membuat perhatian besar khalayak umum tertuju pada dirinya.

Driyarkara bukan hanya sekedar guru besar yang berhasil merangsang minat

berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis

filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai

philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang

inheren dalam kehidupan sehari-hari.1

Menurut Daud Joesoef dan Romo Franz Magnis Suseno, Driyarkara

adalah filsuf yang tidak memburu popolaritas. sedangkan menurut Soe Hok Gie,

Driyarkara adalah filsuf dalam arti sebenarnya, “Dia selalu meragukan postulat,

bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Tetapi,

dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai

tercipta kepastian-kepastian kecil”.2

Beberapa pemikir besar Indonesia lainnya seperti Soedjatmoko menyebut

Driyarkara membawa pemikiran filsafat modern, sekaligus pemberi makna atas

perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Nama Driyarkara sendiri mempunyai

1 Pendapat tersebut menurut Toeti Heraty (penulis dan penyair Indonesia), Mudji Sutrisno

(budayayawan sekaligus rohaniawan Katolik), Soerjanto Poespowardoyo.

https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 08/08/2019 pkl 11:25 WIB 2 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 04/08/2019 pkl 11:28

WIB

Page 31: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

18

reputasi nasional atas sumbangannya berupa pemikiran filsafat yang meliputi

bidang yang sangat luas; manusia, etika, pendidikan, sosial, dan budaya serta

posisi-posisi penting yang ia duduki seperti anggota MPRS dan DPA pada

1965.3

Nicolaus Driyarkara adalah seorang pemikir besar Indonesia yang lahir

di Kedunggubah, Kaligesing, Purworejo pada 13 Juni 1913 dan meninggal pada

usia 53 tahun 8 bulan di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah 11 Februari 1967

lalu.4 Nama kecilnya adalah Soehirman tetapi akrab dipanggil Djenthu yang

berarti kekar dan gemuk. Ketika ia masuk Girisonta tahun 1935 dan memulai

hidup baru dengan Serikat Jesus, barulah ia mengambil nama Driyarkara.5 Ia

dilahirkan sebagai anak bungsu dari keluarga Atmasenjaya yang merupakan

keluarga sederhana dengan seorang kakak laki-laki dan dua kakak perempuan.

Menurut kamus Jawa Kuna-Indonesia kata Driyarkara merupakan

gabungan dua kata, yaitu “Driya” yang berarti mata dan “Kara” yang berarti

sinar cahaya atau tajam. Pemilihan nama ini bukanlah hal sembarangan, dengan

nama Driyarkara ia berharap menjadi pribadi yang memiliki penglihatan tajam

akan segala gejala/persoalan serta dapat menerangi banyak orang seperti halnya

sinar yang terang. Dari soal pemilihan nama, sudah terlihat bahwa filsafat adalah

jalan hidupnya.6

3 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang terlibat

Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. ix 4 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-dr-

n-driyarkara-sj diakses pada 11/07/2019 pukul 20:08 WIB 5 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xx 6 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/35-dari-djenthu-hingga-

driyarkara diakses pada 11/08/19 pkl.20;20

Page 32: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

19

Mempunyai basic pendidikan filsafat, teologi, dan humaniora yang kuat

sedari Seminari Menengah yang merupakan sekolah menengah khusus calon

imam Katolik, atau setingkat dengan SMP dan SMA dengan program

Humaniora Gymnasium di Belanda yang kemudian dilanjut dengan pendidikan

tinggi calon imam dengan bergabung pada tarekat religius yang biasa disebut

Serikat Jesus dan anggotanya disebut Jesuit atau SJ dengan dua tahun sekolah

ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora (Bahasa Latin, Yunani kuno

serta kebudayaan Timur dan Barat) untuk studi filsafat.7

Dikenal dengan ajaran etik “manusia adalah kawan bagi sesama” atau

homo homini socius yang menjadi koreksi dan kritik sosialitas preman; sosialitas

yang saling mengerkah, saling sikut, dan saling membenci seperti yang kita

kenal dengan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya).8

Dan mungkin kritik sosial ini relevan sampai sekarang, bahkan dalam bentuk-

bentuk atau bungkus yang lebih elit tetapi secara esensial yang sama.

Hampir seluruh waktunya digunakan untuk studi secara intensif

membuat tak banyak orang mengenal dirinya, ia banyak membuat catatan harian

yang ditulis sejak 1 Januari 1941 sampai awal 1950-an yang mana tulisannya tak

lepas dari persoalan aktual mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat

Indonesia.

Praba, sebuah majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di

Yogyakarta memuat karyanya yang ditulis dengan bahasa yang ringan dan tak

langsung filosofis. Kemudian disusul dengan Warung Podjok dengan nama

7 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir,, h. xx 8 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 11/07/2019 pukul 20:47

WIB

Page 33: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

20

samaran pak Nala. Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang

Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat dengan cara penyajian

bergaya percakapan yang kemudian setapak demi setapak membawa pembaca ke

permenungan filosofis.9

Ketika dalam seminari menengah kelas 4 (setingkat dengan 1 SMA saat

ini) ia menciptakan sebuah nama majalah “Seminari Aquila” yang berarti

“Rajawali” yang mana merupakan akronim dari Augeamus Quam Impensissime

Laudem Altissimi yang merupakan bahasa Latin, dan kira-kira mempunyai arti

“Marilah kita tumbuh berkembang sekuat tenaga menambah keluhuran yang

maha tinggi”. Dan ketika kelas 5 seminari ia menjadi pemenang lomba

menerjemahkan kata-kata Latin Salus Vestra Ego Sum ke dalam bahasa Jawa

menjadi Ija Ingsun Karahajonira atau kurang lebih menjadi “Akulah

Keselamatanmu”.10

Driyarkara berusaha untuk memperkenalkan filsafat kepada masayarakat,

lewat tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah-majalah adalah salah satu akses

langsung untuk mendekatkan dan mengajak ke dalam permenungan filosofis.

Lewat majalah Basis dengan nama lengkap, Driyarkara menyentil polemik-

polemik yang sedang hangat, salah satu contohnya adalah tulisan yang

mengupas masalah “Gereja Katolik dan Poligami”;

“Disinggungnya suatu pendirian, tidak boleh menjadi keberatan,

sekalipun pendirian itu suci. Bahkan kita harus dapat menerima

dengan hati sabar dan besar, jikalau pendirian kita diserang! sebab kita

hidup dalam zaman modern, zaman kemerdekaan berpikir dan

mengeluarkannya! Akan tetapi setiap orang yang mengemukakan

9 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 24/07/2019 pukul 10:52

WIB 10 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxiv

Page 34: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

21

pendirian pihak lain, harus menguraikan pendirian itu dengan cara

yang objektif; artinya pendirian atau ajaran pihak (atau agama) lain

harus dipaparkan sebagai diakui oleh pihak lain! Ini adalah tuntutan

keadilan. Keadilan terhadap pihak yang disinggung. Keadilan pula

terhadap khalayak umum, yang kita beri penerangan,”.11

Kemudian dalam majalah Praba yang sudah sempat disinggung di atas

dalam bahasa Jawa, selain dengan nama samaran Pak Nala, Driyarkara juga

muncul dengan nama Puruhita menyajikan karangan-karangan filosofis. Di awali

dengan renungan tentang “Selamat Tahun Baru”, kemudian disusul dengan

renungan atas pribadi manusia yang berjudul ”Apa dan Siapa” dalam empat

karangan, kemudian disusul dengan renungan atas kemerdekaan manusia dalam

lima karangan yang diberi judul “Sayap yang Berluka”, berikut ini adalah awal

uraiannya;

“Sudah lima kali kami hidangkan permenungan tentang

kemerdekaan manusia. Dalam pandangan yang melanjutkannya akan

diperlihatkan bahwa kemerdekaan kita itu seakan-akan merupakan

sayap, dengan mana kita dapat membumbung ke atas … Akan tetapi,

sayap itu adalah sayap yang sudah luka! Jika seekor burung menderita

luka pada sayapnya, meskipun belum luka-luka parah, tidakkah ia

mengalami kesukaran, jika hendak terbang? demikian juga kita!”.12

Dengan judul-judul yang menarik, Driyarkara menyajikan uraian-

uraian filosofisnya dengan gaya percakapan, dengan tujuan mengajak

pembaca setapak demi setapak masuk kedalam permenungan yang disajikan

olehnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan permenungan selanjutnya

dengan judul “Manusia dan Moral”, akan tetapi judul ini menjadi uraian

terakhirnya karena ia terlebih dahulu meninggal dunia.13

11 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxii 12 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxiii 13 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxiii

Page 35: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

22

Meski terkadang tulisan Driyarkara bersifat introduktif atau sekedar

membicarakan persoalan secara umum dan tidak sangat detail, tetapi karya-

karya Driyarkara merupakan sumbangan pemikiran filosofis yang penting

dalam rangka pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Secara

ringkas pemikirannya menyangkut berbagai bidang yang signifikan dalam

pembentukan masyarakat dan bangsa, bidang-bidang tersebut meliputi

Pendidikan, kesusilaan, politik, dan kebudayaan. Nuansa humaniora sangat

terasa dalam tulisannya yang sarat dengan istilah Indonesia yang digali

sendiri dari khazanah literatur bangsa Indonesia, hal tersebut tampak dari

buku-buku bacaan yang dirujuknya, terutama kesusastraan Jawa seperti

Serat Centhini, Serat Cemporet dan sebagainya, yang sangat dikenal dan

menjadi inspirasinya.14

Driyarkara bukan hanya mencoba menyajikan pemikiran secara

kontekstual atau yang sejalan dengan alam pikiran Indonesia, tetapi juga

mengandung nilai-nilai filosofis yang bersifat universal. Maksud dari

karangan-karangan filsafat-filsafatnya lebih untuk menggugah pemikiran

kritis dan mengajak bangsa Indonesia agar berani terjun dalam wacana yang

lebih serius dan mendalam. motivasi didaktis tersebut merupakan langkah

besar ketika itu, karena filsafat masih merupakan barang asing bagi

masyarakat Indonesia pada umumnya.15

B. Latar Belakang Pemikiran Driyarkara

14 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xvi 15 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xviii

Page 36: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

23

Driyarkara mengalami berbagai proses panjang dalam membentuk

pemikirannya yang tajam, beberapa faktor utama seperti pendidikan menjadi

latar belakang yang mampu mengantarkan Driyarkara ke dalam permenungan-

permenungan filosofis dan menyentuh problem-problem masyarakat Indonesia.

Awal pendidikan Driyarkara dimulai ketika masuk Volksschool dan

Vervolgschool di Cangkrep. Kemudian diteruskan dengan masuk HIS atau

Hollandsch Inlandsche School di Purworejo dan Malang. Dari rumahnya ke

Cangkrep berjarak sekitar 5 km, sedangkan ke Purworejo berjarak sekitar 8 km

dan semua itu ditempuhnya dengan berjalan kaki.16

Dibantu pamannya Wiryasenjaya yang merupakan lurah Desa

Kedunggubah untuk biaya sekolahnya, kemudian sekitar tahun 1929 Driyarkara

masuk Seminari Menengah atau sekolah menengah khusus untuk calon imam

Katolik di Belanda.17 Setelah tamat sekolah menengah ini kemudian

melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi untuk calon imam dengan bergabung

di tarekat religius atau Serikat Jesus. Kemudian melanjutkan dua tahun sekolah

ascetika (kehidupan rohani), satu tahun humaniora sebagai propedeusis18 untuk

studi filsafat di Girisonta.

Driyarkara kembali melanjutkan belajar filsafat selama kurang lebih 3

tahun di Sekolah Tinggi Filsafat di Yogyakarta yang dulu bernama Ignatius

College. Setelah tamat dari Ignatius College Driyarkara menjadi guru bahasa

16 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xx 17 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xx 18 Propaedeutics atau Propedeusis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti Pendidikan

persiapan atau istilah historis kursus pengantar ke dalam suatu disiplin ilmu,

https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Propaedeutics&hl=id&sl=en

&tl=id&client=srp diakses pada 12/07/2019 pkl. 11.12 WIB

Page 37: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

24

Latin dalam program humaniora selama setahun di Girisonta. Sekitar tahun 1942

pada bulan Maret situasi berubah pasca pemerintahan Hindia Belanda menyerah

tanpa syarat kepada bala tantara Jepang.19

Sekitar tahun 1942-1943 Driyarkara belajar teologi di Kolese Muntilan

bersama beberapa rekan Jesuitnya. Juli 1943 Kolese Muntilan ditutup oleh bala

tantara Jepang, ia sempat tinggal beberapa waktu di Mendut dekat Candi

Prambanan. Dari situ ia dipanggil kembali ke Yogyakarta untuk ditugasi

mengajar filsafat karena dosen-dosen filsafat sebelumnya merupakan misionaris

Belanda yang harus masuk interniran.20

Selama pendudukan/penguasaan Jepang, sampai pertengahan 1947 ia

menjadi dosen filsafat di seminari tinggi di Yogyakarta (Pendidikan tinggi calon

imam, dimana mempelajari filsafat selama 2 tahun dan teologi selama 4 tahun)

membuat ia mempunyai banyak waktu untuk belajar teologi sendiri untuk

ditahbiskan21 menjadi imam katolik. Tahbisan diberikan pada 6 Januari 1947

oleh Mgr. Soegijapranata yang membawahi umat katolik di sebagian Jawa

Tengah dan seluruh Yogyakarta.

Pasca perjanjian Linggajati 15 November 1946 sengketa antara Republik

Indonesia dan kerajaan Belanda secara prinsip dianggap sudah teratasi Mgr.

Soegijapranata dan para pimpinan Serikat Jesus di Indonesia, maka dari itu

19 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxi 20 Interniran adalah penahanan atau pengurungan orang-orang atau kelompok besar tanpa

pengadilan, istilah ini secara khusus digunakan untuk pengurungan musuh pada masa perang atau

pelaku terorisme. https://id.wikipedia.org/wiki/Interniran diakses pada 12/07/2019 pkl. 11.16 WIB 21 Tahbisan atau sakramen imamat pada dasarnya adalah panggilan sebagai imam dan

berlaku untuk semua orang yang sudah dibaptis, http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-

tahbisan/ diakses pada 12/07/2019, pkl. 11.26 WIB

Page 38: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

25

Driyarkara ditugaskan berangkat ke Maastricht Belanda untuk menyelesaikan

studi teologinya, dan ia berangkat pada 24 Juli 1947.22

Setelah tamat dari Maastricht pada 1949 Driyarkara meneruskan

pelajaran tetang kehidupan rohani di Drongen dekat dengan Gent Belgia.

Kemudian tahun 1950-1952 ia melanjutkan studi filsafat program doctoral di

Universitas Gregoriana Roma. Ia meraih gelar doctor dengan desertasi mengenai

ajaran filsuf Prancis Nicolas Malebranche (1630-1715) dengan judul

“Participationis Cognito In Existentia Dei Percipienda Secundum Malebranche

Ultrum Partem Habeat” dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa

Indonesia olehnya sendiri menjadi; “Peranan Pengertian Partisipasi dalam

Pengertian Tentang Tuhan menurut Malebranche”.23

Selama penyelesaian desertasinya, ia mengirim tulisan-tulisan ringan

untuk majalah Praba dengan seri “Serat Saking Rome”. Sekembalinya

Driyarkara ke Indonesia ia diangkat kembali menjadi dosen filsafat untuk

Ignatius College di Yogyakarta. Kemudian ia diangkat juga menjadi rektor di

PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma pada awal tahun

ajaran 1955-1956 yang kemudian berubah menjadi IKIP (Institiut Keguruan dan

Ilmu Pendidikan) sampai ia meninggal.24

Sekitar tahun 1960 an ia juga merangkap menjadi Guru Besar Luar Biasa

untuk Universitas Indonesia dan Universitas Hasanuddin Makassar. Kemudian

sekitar tahun 1963-1964 ia mengajar sebagai Guru Besar tamu di St. Louis

22 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxi 23 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxi 24 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxii

Page 39: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

26

University, Missouri, USA.25 Mei 1966 menjadi awal Driyarkara mengisi forum-

forum diskusi Pancasila, ia menjadi pembicara dalam simposium “Kebangkitan

Angkatan 66” di Universitas Indonesia yang kemudian dimuat dalam majalah

Basis.26

Driyarkara akrab dengan karya-karya penulis besar seperti Sertillanges,

Danielou, Newman, Rousselot, Karl Rahner, Hugo Rahner, de Lubac, dan

banyak pengarang lainnya yang sedang menanjak di kalangan Gereja Katolik

sewaktu di Belanda. Bukan itu saja banyak filsuf-filsuf mempunyai andil yang

besar terhadap pemikirannya seperti; Martin Buber dengan Ich und Du nya,

Martin Heidegger dengan Sein und Zeit nya, Edmund Husserl dengan Ideen zu

einer reinen Phanomenologie und phanomenologieschen Philosophie nya,

William James antara lain dengan The Varietes of Religious Experience nya,

Gabriel Marcel dengan Etre et avoir, Maurice Merleau Ponty dengan

Phenomenologie de la Perceptio, Jean Paul Sartre dengan Letre el le neant, Max

Scheler dengan Der formalismus in der ethik und die materiale Wertethik, dan

lain sebagainya.27

Selain filsuf dan pemikir Barat di atas, Driyarkara juga akrab dengan

tulisan orang Indonesia seperti antara lain tulisan Soekarno, Moh. Hatta, Ph.

O.L. Tobing, Roeslan Abdulgani dan lain-lain. Ia juga akrab dengan tulisan

karya pepatah-pepatah dari tradisi Jawa seperti Serat Wedhatama, Serat Wulang

25 https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 12/08/2019 pkl. 11:24

WIB 26 Materi yang disampaikan Driyarkara dimuat dalam majalah Basis dengan judul

“Kembali ke Pantjasila” Vol. XV (1965-1966) h. 257-267 27 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxv

Page 40: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

27

Reh, Serat Centhini, Suluk Cebolek, dan juga tak ketinggalan referensi lainnya

seperti Bhagavad Gita.

C. Karya-karya Driyarkara

Eksistensi seorang pemikir besar kebanyakan akan meninggalkan jejak-

jejak keilmuan misalnya seperti tulisan, atau karya-karya, entah itu sifatnya teori

atau formulasi atas rekam problem sosial masyarakat umum. Sama halnya

dengan Driyarkara, ia juga banyak menulis atas problem masayarakat Indonesia

saat itu.

Agak susah untuk menemukan tulisan Driyarkara secara utuh dalam

formasi buku, karena ia lebih sering membuat esai-esai atau tulisan pendek yang

bermuatan filosofis dengan mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi

makna, dan menawarkan jalan keluar terkait situasi masyarakat Indonesia waktu

itu. Tetapi setiap aktivitas intelektualnya dibukukan oleh rekan-rekannya baik

ketika menjadi narasumber dalam diskusi umum dan siaran-siaran radio RRI

waktu itu.28

Salah satu tulisannya yang bisa disebut buku secara utuh adalah

desertasinya (Theoria participationis in Existensia Dei Percipienda secundum

Nicolaum Malebrenche) yang masih berbentuk manuskrip setebal 300 halaman

dalam bahasa Latin klasik yang tersimpan di Universitas Gregoriana, Roma.29

28 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-dr-

n-driyarkara-sj diakses pada 17/08/19 pkl.11:24 WIB 29 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xxxvii

Page 41: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

28

Naskah aslinya tersimpan di Roma, dan sekitar tahun 1954 diterbitkan versi

ringkasannya setebal 40 halaman.

Tetapi beberapa jejak pemikiran Driyarkara tidak susah untuk ditemukan

saat ini, berkat rekan-rekannya pasca meninggalnya Driyarkara misalnya saja

seperti siaran-siran radio di RRI yang kemudian dibukukan, kemudian renung

filsafatnya diterbitkan (PT. Pembangunan, Jakarta, 1962) menjadi buku

Pertjikan Filsafat.30 Sama halnya dengan tema Persona dan Personisasi yang

kemudian juga diterbitkan oleh Pertjikan Filsafat pada 1962.31

Yayasan Kanisus yang merupakan penerbit buku dari Yogyakarta juga

tak luput dalam menerbitkan tulisan-tulisannya dalam empat buku seperti;

Driyarkara tentang Pendidikan, Driyarkara tentang Kebudayaan, Driyarkara

tentang Manusia32, Driyarkara tentang Negara dan Bangsa.

Pemikirannya tentang Pancasila merupakan sebuah sumbangan yang tak

ternilai harganya meskipun belum sempat terselesaikan secara tuntas.

Pemikirannya dalam tema Pancasila dan Religi yang disampaikan dalam seminar

Pancasila di Yogyakarta pada 17 Februari 1959 merupakan uraian yang

mempunyai dampak besar. Yang mana uraian ini diterjemahkan dalam Bahasa

Inggris oleh Departemen Penerangan dan disebarluaskan oleh kedutaan-

kedutaan luar negeri. Seminar ini disetujui oleh Presiden Soekarno yang mencari

30 http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-prof-dr-

n-driyarkara-sj diakses pada 17/08/19 pkl. 11:20 WIB 31 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir h. xii 32 Buku “Driyarkara tentang Manusia” yang diterbitkan oleh Kanisius semula

merupakan diktat kuliah untuk mahasiswa Sanata Dharma, Driyarkara, ed,. Karya Lengkap

Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xii

Page 42: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

29

backing ilmiah untuk mendukung keputusan politik atau Dekrit Presiden 5 Juli

1959 yang akan diambilnya.33

Apa yang dituliskan oleh Driyarkara masih tetap relevan dengan keadaan

bangsa kita saat ini. Tanda kehormatan Bintang Jasa Utama adalah penghargaan

yang diberikan oleh Presiden ketiga Republik Indonesia, B.J. Habibie atas jasa-

jasa yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia.

Sebuah buku dengan judul Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat

Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya merupakan

kumpulan lengkap karya-karya Driyarkara yang dibukukan oleh teman-

temannya pasca meninggalnya sang filsuf. Inisiatif tersebut muncul dalam

pembicaraan antara Rama F. Danuwinata dan Jakob Oetama, keprihatinan akan

minimnya terobosan baru dalam pemikiran filosofis tentang bangsa dan negara

kala itu menjadi latar belakang pengumpulan karya-karya Driyarkara.34

Gagasan untuk menerbitkan ulang karya-karya sang filsuf disambut baik

dari berbagai pihak dan berencana untuk penerbitan bersama. Dari itu maka

diadakanlah rapat pertama kali pada tanggal 10 Mei 2005 di Universitas Sanata

Dharma yang dihadiri oleh 14 orang yang melibatkan beberapa pihak, yakni

Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta (Rama F. Danuniwanata, Rama

Sastrapratedja), Harian Kompas Jakarta (Sularto), Penerbit Gramedia Pustaka

Utama (Wandi S. Brata), Bank Naskah Gramedia Jakarta (Frans M. Parera),

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Rama Paul Suparno, Rama A. Sudiarja,

Rama G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim) dan Penerbit Kanisius

33 Driyarkara, ed,. Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xxxviii 34 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. v

Page 43: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

30

Yogyakarta (Rama Sarwanto, Bapa FX Supri Harsono, Marsana Windhu, dan

Juan Sumampouw).35

Terlepas dari proses maupun metode pengumpulan dan penyusunan

semua karya Driyarkara menjadi satu buku, tentu sangat berarti dan sangat

membantu bagi penikmat filsafat dan tentunya semua kalangan intelektual,

termasuk juga bagi penulis dalam menguak segala kebutuhan dalam pembahasan

tema ini. Pemikiran-pemikiran luas Driyarkara setidaknya meliputi wilayah

kemanusiaan, kebudayaan, sosialitas, etika, kebudayaan, Pendidikan, filsafat,

kenegaraan, ideologi Pancasila, semua termuat dalam satu buku tersebut.36

Dalam buku tersebut terdapat dua kumpulan, yang mana kumpulan

pertama berisi filsafat sistematik yang tersusun dari enam buku. Buku pertama

bertema Persona dan Personisasi yang terbagi ke dalam tiga bab; 1). Fenomen

Manusia, 2). Persona dan Personisasi, 3). Badan dan Dinamika Manusia.

Kemudian buku kedua bertema Hominisasi dan Humanisasi yang terbagi dalam

tiga bab: 1). Problematika Pendidikan, 2). Fenomen Pendidikan, 3). Capita

Selecta Filsafat Pendidikan. Buku ketiga bertema Susila dan Kesusilaan dan

terbagi menjadi dua bab; 1). Problematika Moral, 2). Dasar-Dasar Kesusilaan.

Buku keempat bertema Homo Homini Socius yang terbagi dalam dua bab: 1).

Memasyarakat-Menegara, 2). Sosialitas Sebagai Eksistensial. Buku kelima

bertema Budaya Seni dan Religi yang terbagi dalam tiga bab; 1). Kebudayaan

dan kebebasan, 2). Kesenian dan Religi, 3). Ilmu Jiwa dan Agama. Kemudian

buku keenam bertema Menalar Dasar Negara Indonesia yang terbagi ke dalam

35 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. vi 36 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. ix

Page 44: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

31

dua bab; 1). Pemikiran Pancasila Sebelum 1965, 2). Pemikiran Pancasila

Sesudah 1965.37

Selanjutnya bagian kumpulan kedua berisi tentang Pengantar, Sejarah,

dan Tokoh yang mana bagian ini tersusun dari empat buku. Buku pertama

bertema Pembimbing ke Filsafat yang terbagi dalam lima bab; 1). Apakah

Filsafat Itu, 2). Timbulnya Filsafat, 3). Pembagian Filsafat, 4). Kepentingan

Pelajaran Filsafat, 5). Ikhtisar Sejarah FIlsafat. Buku kedua bertema Sejarah

Filsafat Yunani yang terbagi dalam empat bab; 1). Permulaan Filsafat Yunani,

2). Perkembangan dan Keruntuhan Filsafat Yunani, 3). Perkembangan Baru

dan Penghabisan FIlsafat Yunani, 4). Ikhtisar. Kemudian dilanjutkan dengan

tulisan berjudul Ke Manakah Arah Sejarah?. Selanjutnya buku kesembilan

bertema Aliran dan Tokoh Kontemporer yang berisi dua bab; 1).

Eksistensialisme, 2). Fenomenologi. Kemudian buku kesepuluh yang tidak lain

merupakan sedikit uraian dalam desertasinya yang berjudul Apakah Menurut

Malebranche Paham Partisipasi Berperan Dalam Pengertian Mengenai Adanya

Allah kemudian di akhir berisi lampiran-lampiran dan indeks tema dan tokoh.38

Uraian-uraian filosofis yang disajikan Driyarkara, memperlihatkan

dinamika kreatif seorang pemikir yang mempunyai keterlibatan konkret pada

persoalan masyarakat dan bangsanya. Barangkali di sinilah sumbangan besar

Driyarkara bagi masyarakat Indonesia, meskipun jasa besarnya tidak terletak

pada penyajian konsep-konsep jadi untuk diterapkan, kecuali pemikirannya

mengenai pendidikan dan Pancasila yang khas, melainkan dalam merintis,

37 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. l 38 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. lii

Page 45: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

32

menantang, dan menghidupkan pembicaraan yang serius dan mendalam untuk

menghadapi persoalan bangsa. Bukan saja karena keprihatinan terkait situasi

irasionalitas bangsa, tetapi ia juga memperlihatkan urgensinya filsafat untuk

dapat berpikir kritis, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan.39

39 Driyarkara, ed., Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir, h. xviii

Page 46: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

33

BAB III

PANCASILA: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN ETIKANYA

A. Sejarah Pancasila dan Perkembangannya

Secara historis, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang

BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara

kita ini.1 Setelah mengalami proses pergolakan pemikiran yang panjang dengan

tokoh-tokoh lain seperti Moh. Yamin, Soepomo dan lainnya. Tetapi Soekarno

sendiri mengakui bahwa ia bukanlah pencipta Pancasila itu sendiri, melainkan

perumus atau penggali.2 Kata Pancasila sendiri merupakan usulan Moh. Yamin,

bagi Soekarno, Pancasila adalah nilai-nilai yang sudah hidup di tengah

masyarakat, pola-pola yang ada dalam masyarakat dengan berbagai cara yang

kemudian memancarkan falsafah Pancasila.3

Tetapi sebelum melanjutkan pembahasan lebih jauh, setidaknya ada

beberapa hal yang perlu dipersoalkan seputar pengertian tentang kata Pancasila.

Berdasarkan pada uraian Kaelan dalam buku Pendidikan Pancasila, Pancasila

berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa

rakyat biasa adalah bahasa prakerta. Menurut Moh. Yamin, kata Pancasila

memiliki dua macam arti leksikal yaitu; “panca” artinya “lima”, “syila” vokal i

pendek artinya batu “sendi”, “alas”, atau “dasar”, “syiila” dengan vokal i panjang

artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.

1 Kurnawi, Basyir, Pancasila dan Kewarganegaraan. (Surabaya: Sunan Ampel Press,

2013) h. 10 2 Ir. Sukarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Yogyakarta: Media Pressindo,

Cet. II, 2017), h. 93 3 Andreas Doweng Bolo, Bartolomeus Samho. Stephanus Djunatan. Sylvester Kanisius

Laku. Pancasila Kekuatan Pembebas (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2012), h. 54

Page 47: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

34

Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa

diartikan “susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. Maka dari itu

secara etimologis kata Pancasila yang dimaksud adalah istilah “panca syila”

dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau

secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila”

dengan huruf Dewanagari i bermakna lima aturan tingkah laku yang penting.4

Istilah Pancasila sebenarnya telah dikenal sejak zaman Majapahit pada

abad XIV, yaitu terdapat dalam buku Nagarakertagama dan juga buku Sutasoma.5

Kata Pancasila sendiri awalnya terdapat dalam kepustakaan Budha di India, yang

mana ajaran tersebut bersumber pada kitab suci Tri Pitaka, yang terdiri dari tiga

macam buku besar, yaitu; Suttha Pitaka, Abhidama Pitaka, dan Vinaya Pitaka. Di

dalamnya terdapat ajaran moral untuk mencapai Nirwana dengan melalui

Samadhi, dan setiap golongan berbeda kewajiban moralnya, ajaran-ajaran moral

tersebut adalah sebagai berikut; Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyilla. Ajaran

Pancasyiila menurut Budha adalah merupakan lima aturan (larangan) atau five

moral principles yang harus ditaati, berikut adalah isi dari lima ajaran tersebut; 6

1). Panatipada veramani sikkapadam samadiyani, artinya “jangan

mencabut nyawa makhluk hidup” atau dilarang membunuh.

2). Dinna dana veramani shikapadam samadiyani, artinya “janganlah

mengambil barang yang tidak diberikan”, maksudnya dilarang mencuri.

4 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, Edisi kedelapan, 2010),

h. 21 5 Darji Darmodiharjo, dkk, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, Cetakan ke-

10, 1991), h. 15 6 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 21

Page 48: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

35

3). Kameshu micchacara veramani shikapadam samadiyani, artinya

“janganlah berhubungan kelamin, maksudnya adalah dilarang berzina.

4). Musawada veramani sikapadam samadiyani, artinya “jangalah berkata

palsu, atau dilarang berdusta.

5). Sura meraya masjja pamada tikana veramani, artinya “janganlah

meminum minuman yang menghilangkan pikiran, yang dimaksud adalah

dilarang minum minuman keras.7

Penyebaran agama Hindu dan Budha menjadi salah satu media masuknya

kebudayaan India ke Indonesia, maka hal tersebut menjadi faktor yang paling

memungkinkan ajaran Pancasyiila Budhisme masuk ke dalam kepustakaan Jawa,

terutama pada era Majapahit. Dalam khazanah kesusastraan nenek moyang kita

yaitu Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular,8

Perkataan Pancasila dapat dilacak. Sastra dalam masa keemasan keprabuan

Majapahit di bawah raja Hayam Wuruk dan maha patih Gadjah Mada tersebut

berupa kakawin (syair pujian) yang merupakan karya pujangga istana bernama

Empu Prapanca. Karya sastra tersebut selesai ditulis pada tahun 1365, dan dapat

ditemukan dalam sarga 53 bait kedua yang berbunyi; “Yatnagegwani pancasyiila

kertasangskarbhisekaka krama” yang artinya; raja menjalankan dengan setia

kelima pantangan (Pancasila) begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-

penobatan.9

Pasca keruntuhan Majapahit dan penyebaran agama Islam secara masif ke

seluruh Indonesia, bukan berarti apa yang ditinggalkan Majapahit hilang begitu

7 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 22 8 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 15 9 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 22

Page 49: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

36

saja, tetapi ajaran moral Budha (Pancasila) masih juga dikenal dalam masyarakat

Jawa, yang mana disebut “lima larangan” atau “lima pantangan”, dan kelima

ajaran moral tersebut diawali dengan huruf “M” atau dalam bahasa Jawa “Ma”,

dan biasa disebut dengan “Ma lima”. Ma lima tersebut adalah; 1). Mateni, artinya

adalah membunuh, 2). Maling, artinya mencuri, 3). Madon, artinya main

perempuan atau berzina, 4). Mabok, meminum minuman keras atau menghisap

candu (yang secara prinsip dapat menghilangkan kesadar atau kemampuan akal),

5). Main, artinya berjudi.10

Selanjutnya, perihal sejarah perumusan Pancasila, Yudi Latif membaginya

dalam tiga fase; pertama adalah fase pembuahan, kedua adalah fase perumusan,

dan ketiga adalah fase pengesahan. Ketiga fase tersebut tidak berlangsung mulus

dan dihadapkan pada banyak tantangan yang menguras waktu, energi, dan

pikiran.11 Pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah Jepang meresmikan

terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tioosakai. Dimana tugas dari badan ini untuk

mempelajari dan menyelidiki terkait hal-hal penting yang berkaitan dengan

ekonomi, politik, tata pemerintahan dan lain sebagainya yang dibutuhkan dalam

usaha pembentukan negara Indonesia merdeka.12

Diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat, BPUPKI beranggotakan

sebanyak enam puluh orang yang kebanyakan berasal dari pulau Jawa, tetapi

10 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 23 11 Saddam Al-Jihad, Pancasila Ideologi Dunia; Sintesis Kapitalisme, Sosialisme, dan

Islam, (Ciputat: Alvabet, 2018), h. 147 12 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, Cetakan I,

1985), h. 25

Page 50: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

37

terdapat beberapa dari Sumatra, Maluku, Sulawesi dan beberapa orang keturunan

Arab, Eropa, dan Cina, karena memang Badan Penyelidik tersebut diadakan oleh

Saikoo Sikikan Jawa.13 Selama tugasnya setidaknya BPUPKI mengadakan dua

kali sidang umum yang mana siding pertama digelar pada 29 Mei 1945 sampai 1

Juni 1945, kemudian sidang kedua digelar pada 10 Juli 1945 sampai 17 Juli 1945.

Sidang umum pertama membahas berbagai hal diantaranya meliputi syarat-syarat

hukum suatu negara, bentuk negara, pemerintahan negara dan dasar negara.14

Dalam pembahasan mengenai dasar negara, setidaknya Founding Fathers

di atas menyampaikan masing-masing gagasannya yaitu Muh. Yamin dalam

pidatonya pada 29 Mei 1945, Soepomo dalam pidatonya pada 31 Mei 1945, dan

Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Dalam pidato yang dikemukakan

Muh. Yamin setidaknya ia mengajuk;an lima hal yakni; 1). Peri Kebangsaan. 2).

Peri Kemanusiaan. 3). Peri Ketuhanan. 4). Peri Kerakyatan, 5). Kesejahteraan

rakyat.15

Dalam pidato tersebut Muh. Yamin juga menyampaikan pandangannya

bahwa Negara Indonesia harus didasarkan atas watak peradaban Indonesia,

berikut pidato yang disampaikannya dalam ejaan lama;

“rakjat Indonesia mesti mendapat dasar negara jang berasal

dari pada peradaban bangsa Indonesia; orang Timur pulang kepada

kebudajaan Timur…. kita tidak berniat lalu akan meniru sesuatu

susunan tata negara negeri luaran. Kita bangsa Indonesia masuk jang

beradab dan kebudajaan kita beribu-ribu tahun umurnja.”.16

13 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 36 14 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 26 15 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 26 16 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 27

Page 51: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

38

Kemudian Soepomo menyampaikan pidatonya pada 31 Mei 1945.

Sebelum menyampaikan ide gagasannya, Soepomo terlebih dahulu mengulas

pembicaraan-pembicaraan yang sudah disampaikan oleh anggota-anggota

sebelumnya, dengan menyebutkan secara garis besar setidaknya ada tiga

permasalahan yang timbul dalam sidang;

“Pertama, apakah Indonesia akan berdiri sebagai persatuan

negara (eenheidstaat) atau negara serikat (Bondstaat) atau sebagai

persekutuan negara (Statesbond). Kedua, dipersoalkan perhubungan

antara negara dan agama, dan Ketiga, apakah Republik atau

Monarchi.”17

Soepomo menegaskan lebih lanjut bahwa kerangka pemikiran tersebut

terdapat beberapa ciri alam pikiran kebudayaan Indonesia, di antaranya; cita-cita

persatuan hidup, keseimbangan lahir batin, pemimpin yang bersatu jiwa dengan

rakyat, musyawarah, suasana persatuan antara rakyat dan pemimpinnya, antara

golongan rakyat yang satu dengan yang lain yang mana antar golongan tersebut

diselimuti oleh semangat gotong royong dan semangat kekeluargaan.

Dalam lanjutan pidatonya Soepomo juga menyinggung hubungan antara

agama dan negara;

“menurut aliran pikiran tentang negara jang saja anggap sesuai

dengan semangat Indonesia asli tadi, negara tidak mempersatukan

dirinja dengan golongan terbesar dalam masjarakat, pun tidak

mempersatukan dirinja dengan golongan jang paling kuat (golongan

politik atau ekonomi jang paling kuat), akan tetapi mengatasi segala

golongan dan segala seseorang, mempersatukan diri dengan segala

lapisan rakjat seluruhnja.

Akan tetapi, tuan-tuan jang terhormat, akan mendirikan negara

Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan mendirikan negara

17 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 28

Page 52: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

39

persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan

negara jang akan mempersatukan diri dengan golongan jang besar,

jaitu golongan Islam.”18

Dari pidato yang diuraikan oleh Soepomo secara garis besar bisa dikatakan

senada dengan gagasan Muh. Yamin terkait dasar negara harus berasal dari

struktur masyarakat Indonesia itu sendiri.19 Selanjutnya, Parade pidato dalam

sidang terbuka BPUPKI yang terakhir dilanjutkan dengan penyampaian gagasan

oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Mengenai dasar-dasar negara Soekarno

mengajukan pandangannya; 1). Kebangsaan Indonesia. 2). Internasionalisme atau

Perikemanusiaan. 3). Mufakat atau Demokrasi. 4). Kesejahteraan Sosial. 5).

Ketuhanan yang berkebudayaan.20

Setelah Soekarno menguraikan pendapatnya tersebut, kemudian ia

berbicara tentang nama dasar negara itu, berikut yang disampaikan olehnya;

“Saudara-saudara! Dasar-dasar negara telah saja usulkan. Lima

bilangannja. Inikah Pantja Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma

tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita ini

membicarakan dasar ….. Namanja bukan Pantja Dharma, tetapi saja

namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita ahli Bahasa

namanja ialah Pantja Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas

kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan

abadi”21

Pada tanggal 22 Juni, sembilan tokoh nasional atau dikenal sebagai

Panitia Sembilan yang beranggotakan Soekarno, Wachid Hasyim, Muh.

Yamin, Mr. Maramis, Moh. Hatta, Soebardjo, Kyai Abdul Kahar Moezakir,

Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim. Panitia Sembila tersebut

18 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 30 19 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 29 20 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 27 21 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. h. 33

Page 53: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

40

mengadakan pertemuan terkait pembahasan pidato serta usul-usul mengenai

dasar negara yang telah dikemukakan sebelumnya. Dalam pertemua ini,

disusunlah sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta

yang mana di dalamnya terdapat rumusan dan sistematika Pancasila, yakni;

1). Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3). Persatuan

Indonesia, 4). Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, 5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.22

Selanjutnya dalam sidang BPUPKI kedua yang berlangsung pada 10-

16 Juli 1945, Soekarno sebagai ketua panitia kecil melaporkan hasil

pertemuannya, termasuk hasil pertemuan pada tanggal 22 Juni 1945 dengan

anggota-anggota Badan Penyeledik berjumlah 38 orang yang bertempat

tinggal di Jakarta.”23 Panitia Sembilan tersebut melakukan pertemuan secara

matang, di antaranya juga terkait penyelesaian dan persetujuan antara

golongan agama dengan golongan kebangsaan. Dalam proses ini, terdapat

beberapa keputusan penting yang dihasilkan, diantaranya meliputi

keputusan bentuk negara yakni berbentuk republik, tentang luas wilayah

negara baru, dan keputusan-keputusan lain yaitu untuk membahas panitia

kecil perihal; 1). Panitia perancangan Undang-Undang Dasar yang diketuai

oleh Soekarno, 2). Panitia ekonomi dan keuangan yang diketuai oleh Moh.

Hatta, dan 3). Panitia pembelaan tanah air yang diketuai oleh Abikoesno

22 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 29 23 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 41

Page 54: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

41

Tjokrosoejoso. Dan selanjutnya pada 14 Juli Badan Penyelidik melakukan

sidang lagi dan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar melaporkan hasil

pertemuannya, yakni; a). pernyataan Indonesia merdeka, yang berupa

dakwaan di muka dunia atas penjajahan Belanda, b). Pembukaan yang

didalamnya memuat dasar negara Pancasila, dan c). Pasal-pasal Undang-

Undang Dasar.24

Pada 9 Agustus 1945 terbentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Inkai, yang mana sebelumnya

setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia terlihat jelas, maka Soekarno,

Moh. Hatta, dan Radjiman berangkat ke Jepang Atas panggilan Jenderal

Besar Terauchi terkait keperluan pembentukan panitia persiapan

kemerdekaan tersebut. Jenderal Terauchi memberikan tiga cap pada

Soekarno, yakni; a). Mengangkat Soekarno sebagai ketua, Moh. Hatta

sebagai wakil dan Radjiman sebagai anggota. Yang mana selanjutnya panita

tersebut tersusun atas 21 orang berikut Ketua dan Wakil Ketua, b). Panitia

Persiapan boleh mulai bekerja pada tanggal 9 Agustus, c). Terkait cepat dan

tidaknya pekerjaan Panitia diserahkan sepenuhnya pada Panitia tersebut.25

Selanjutnya pada 17 Agustus 1945 digelarlah Proklamasi

Kemerdekaan bangsa Indonesia atas jajahan bangsa asing. Peran Panitia

Persiapan Kemerdekaan mempunyai fungsi yang sangat penting, Badan

yang pada mulanya merupakan buatan Jepang untuk menerima hadiah

kemerdekaan dari Jepang, akan tetapi setelah takluknya Jepang dan

24 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 42 25 Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila, h. 43

Page 55: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

42

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka Badan tersebut

menjadi Badan Nasional Indonesia yang mempunyai kedudukan dan

berfungsi yang sangat penting, yakni; a). Mewakili selurh bangsa Indonesia,

b). Sebagai pembentuk negara, c). menurut teori hukum, Badan seperti itu

mempunyai wewenang untuk meletakkan dasar negara.26

Selanjutnya, dalam sidang yang digelar pada 18 Agustus 1945, PPKI

yang telah disempurnakan kemudian mengesahkan Undang-Undang Dasar

1945 yang tersusun dalam dua bagian, yaitu; bagian pembukaan dan bagian

batang tubuh UUD yang berisi 37 pasal, 1 Aturan Peralihan terdiri atas 4

pasal, 1 Aturan Tambahan terdiri dari 2 ayat. Dalam bagian pembukaan,

tersusun atas empat alinea, dan alinea keempat tercantum tentang

perumusan Pancasila yang berbunyi sebagai berikut; 1). Ketuhanan Yang

Maha Esa, 2). Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3). Persatuan Indonesia,

4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan, 5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.27

B. Pancasila Sebagai Weltanschauung

Pancasila adalah ideologi bangsa yang sudah final dan posisinya yang tak

bisa lagi diganggu gugat, lalu apakah masih perlu untuk dibahas lagi? Barangkali

pertanyaan samacam itu bukan persoalan yang susah untuk ditemui sampai hari

26 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 30 27 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 31

Page 56: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

43

ini. Sejalan dengan kata Soekarno dalam seminar manipol di Bandung pada 28

Januari 1961 menjadi salah satu legitimasi yang jelas. Soekarno menghendaki

penarikan ke atas dan ke bawah ajaran Pancasila. Penarikan ke atas dimaksudkan

sebagai penggalian atau perumusan teori Pancasila, khususnya filsafat Pancasila.

Sedangkan yang dimaksud dengan penarikan ke bawah adalah tingkat penjabaran

dan implementasinya, atau bisa disebut juga sebagai sikap hidup atau way of life.28

Penyinggungan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa, Pancasila

sebagai dasar negara, dan Pancasila sebagai weltanschauung dalam waktu

bersamaan, akan memungkinkan adanya pembiasan yang bisa saja terlihat

inkonsisten dalam pembahasan ini. Tetapi pembahasan terkait hal-hal tersebut

menjadi penting untuk dihadirkan dan sedikit diuraikan karena akan memberi

kejelasan akan posisi yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya.

Suatu ideologi umumnya bersumber kepada aliran filsafat, atau ideologi

adalah bentuk operasionalisasi sistem filsafat suatu bangsa, begitu pula dengan

ideologi Pancasila. Kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara

bagaikan dua sisi dari satu mata uang, masing-masing menempati kedudukannya

sendiri tetapi keduanya dalam kesatuan fungsi dalam praktik ketatanegaraan.

Ideologi sebagai kerangka idealitas, sedangkan dasar negara sebagai kerangka

yuridis bagi terselenggaranya sistem ketatanegaraan untuk kelangsungan

kehidupan bangsa dan negara.29

28 Hardono P.Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius,

1994), h. 30 29 Iriyanto Widisuseno, Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara,

(Jurnal Humanika Vol. 20, No.2, 2014), h. 64

Page 57: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

44

Menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, secara tidak langsung

menyinggung hubungan antara Pancasila dan sikap hidup. Hubungan tersebut ada

jika Pancasila merupakan pedoman, sedangkan hidup dilaksanakan dengan

bermacam-macam perbuatan. Maka, sesuatu yang menjadi pedoman hidup harus

merupakan pedoman perbuatan sehari-hari.30 Kompleksitas perbuatan manusia

dalam pelaksanaan hidup meliputi banyak sektor misalnya saja seperti sektor

religius dan moral, kebudayaan, politik (kenegaraan) ekonomi dan sosial. Sektor-

sektor tersebut tidak saling terpisah, melainkan sebuah kesatuan hidup.

Dijelaskan oleh Driyarkara, bahwa hidup manusia merupakan kesatuan

yang dilaksanakan dalam banyak bentuk perbuatan. Sebuah kesatuan yang saling

berintegrasi berupa; a). Sisi yang selalu dilihat dari sudut biologis, yang

setidaknya akan berkonsekuensi ke arah gestalt dari individu,31 b). Dilihat dari

sudut moral dan kultural. Tetapi kesatuan tersebut masih berupa karikatur atau

gambaran. Hidup barulah merupakan bhineka tunggal jika disatukan oleh

direction of life yaitu berupa ideologi.32

30 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang terlibat

Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 881 31 Istilah Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang menggambarkan suatu konfigurasi utuh.

Psikologi Gestalt berasal dari gerakan intelektual Jerman yang sangat dipengaruhi oleh berbagai

model akademi Wurzburg dan pendekatan fenomenologis terhadap ilmu pengetahuan. Gestalt

merupakan teori pembelajaran secara mendalam, menurut teori ini manusia adalah individu yang

merupakan kebulatan jasmani dan rohani. Manusia bereaksi atau berinteraksi dengan dunia luar

melalui caranya sendiri, reaksi manusia terhadap dunia luar tergantung pada bagaimana ia

menerima stimuli dan bagaimana serta apa motif-motif yang ada padanya. Belajar menurut

pskiologi Gestalt terjadi jika ada pengertian (insight), pengertian akan muncul apabila seseorang

setelah beberapa saat mencoba memahami suatu masalah, tiba-tiba muncul kejelasan dan

dimengerti maksudnya. Artikel diakses pada 20 Februari 2020 dari http://mahmud09-

kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-gestalt-pengertian.html 32 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 881

Page 58: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

45

Dari gambaran tersebut, jelaslah bahwa ideologi mempunyai peranan yang

sangat penting, diibaratkan oleh Driyarkara bahwa dalam mengendarai mobil,

pesawat, perahu atau berbagai jenis transportasi lainnya, pengertian mempunyai

peranan yang penting. Pengertianlah yang ikut serta dalam menentukan direction,

serupa dengan itulah peranan ideologi dalam kehidupan manusia. Tetapi yang

menjadi catatan adalah, tidak semua ideologi dapat memainkan peran tersebut,

hanya ideologi yang riil (realis) yang mampu mengambarkan realitas yang ada

yaitu realitas manusia. Pancasila adalah ideologi yang realitas, kenapa disebut

realitas?, karena Pancasila tidak diambil dari langit, Pancasila bukan hanya

merumuskan realitas Indonesia saja tetapi juga realitas manusia bahkan secara

umum.33

Ideologi diambil dari realitas, tetapi kemudian juga harus dikembalikan ke

realitas, artinya harus menjiwai hidup dan berbagai macam-macam sektornya.

Secara sederhana, digambarkan oleh Driyarkara bahwa manusia itu berpikir

tentang realitasnya, dengan ini maka muncullah yang disebut ideologi. kemudian

setelah itu dia berkata: sekarang saya mau hidup sesuai dengan pengertianku yang

benar itu, kalau begitu, maka pikiranku tadi (idea atau ideologi), harus menjiwai

seluruh hidupku. Dengan gambaran tersebut, terlihat jelas bahwa ideologi muncul

dan kembali untuk direalisaikan. Tahap setelah ideologi kembali kepada hidup

manusia yang kemudian dijiwainya, yakni berupa mengadakan sikap dan

pendirian hidup atau selanjutnya disebut dengan weltanschauung.34

33 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 882 34 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 883

Page 59: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

46

Hubungan Pancasila sebagai falsafah bangsa (philosophisce gronslag)

dengan weltanschauung sangat erat. Tetapi yang perlu menjadi catatan penting,

adalah, terdapat perbedaan pandangan atau aliran terkait hubungan antara filsafat

dengan weltanschauung seperti berikut; 1). Weltanschauung repels philosophy

(weltanschauung berbeda dengan filsafat). Hal ini dikemukakan oleh Kierkegaard

dan filsuf eksistensialis Karl Jaspers yang menulis buku phsycologie der

weltanschauungen. 2). Weltanschauung crown philosophy (weltanschauung

adalah mahkota dari filsafat). Menurut pandangan ini, weltanschauung adalah

manifestasi tertinggi dari filsafat karena tujuan filsafat adalah menjelaskan arti

kehidupan dan nilai yang dianut. Pandangan ini dianut oleh Neo Kantianism aliran

Baden (Ricket dan Wundt). 3). Weltanschauung flanks philosophy

(weltanschauung berdampingan dengan filsafat). Dalam pandangan ini

weltanschauung mempunyai keberadaan yang sah (legitimate) dan tidak boleh

dicampuradukkan dengan scientific philosophy yang bersifat bebas nilai. Aliran

ini dianut oleh H. Ricket, E. Husserl dan Max Weber. 4). Weltanschauung yields

philosophy (weltanschauung menghasilkan filsafat). Menurut pandangan ini

filsafat dihasilkan oleh weltanschauung. Aliran ini dianut oleh Dilthey dan Karl

Mannheim. 5). Weltanschauung equals philosophy (weltanschauung sebangun

dengan filsafat). Dianut oleh Friedrich Engels yang mengatakan bahwa,

“dialectical materialism is the truly scientific weltanschauung and therefore a

virtual synonym for philosophy”.35

35 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan?, artikel diakses pada 18 Februari

pkl. 1:08 WIB dari https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/

Page 60: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

47

Dalam hal ini Driyarkara sejalan dengan Karl Jaspers bahwa filsafat harus

dibedakan dengan weltanschauung karena filsafat berada dalam lingkungan ilmu

pengetahuan, sementara weltanschauung berada dalam lingkungan hidup.36 Yudi

Latif juga senada dengan Driyarkara bahwa filsafat berkonotasi sebagai pemikiran

saintifik dan rasional dengan klaim validitas universalnya, maka berbeda halnya

dengan weltanschauung yang berkonotasi sebagai pandangan yang relatif lebih

personal, eksistensial, dan historikal. kemudian Soekarno, lebih condong dengan

Friedrich Engels yang memandang Pancasila sebagai weltanschauung sekaligus

sebagai philosophische grondslag yang berarti weltanschauung sebangun dengan

filsafat yang menyatu dalam ideologi. Dengan kata lain, ideologi adalah

pandangan dunia yang diteorisasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-

filosofis.37

Dari penjelasan di atas, kita sepakat bahwa Weltanschauung merupakan

istilah teknis yang mempunyai arti pandangan dunia, pandangan dunia, pendirian

hidup, sikap hidup, pedoman hidup, beberapa tokoh lain juga ada yang

menggunakan istilah teknis dalam bahasa Inggris yakni way of life.38 Lalu, apakah

yang dimaksud dengan pandangan hidup tersebut?, Pancasila yang mana dalam

konteks ini hadir sebagai dalil-dalil filsafat yang merumuskan realitas manusia

dalam semesta realitas, filsafat sebagai filsafat belumlah berupa atau menjadi

weltanschauung, dengan berfilsafat akan memunculkan hasrat seseorang untuk

memandang realitas sedalam-dalamnya. Dalam tahap ini manusia tidak lagi

36 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 855 37 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan?, artikel diakses pada 18 Februari

pkl. 1:08 WIB dari https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/ 38 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 16

Page 61: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

48

memandang sisi praktis dalam kehidupan sebagai hal yang paling utama, tetapi

dalam tahap ini, manusia lebih mementingkan pengertian, di sini manusia

mengutamakan pandangan dan hendak mengetahui kebenaran. Karena memang

pada dasarnya yang mampu berpikir hanyalah manusia, ia berpikir tentang realitas

dirinya sendiri, maka ia terdorong untuk mengambil sikap untuk menetapkan

pendiriannya.39

Dengan demikian, pengertian yang bersifat abstrak (filsafat)

bertransformasi menjadi pandangan hidup, yang kemudian pandangan hidup

tersebut diterima dan dijalankan. Kehadiran weltanschauung sendiri tidak selalu

didahului oleh filsafat, misalnya saja, dapat ditemukan dalam berbagai kearifan

tradisional berbagai suku di Indonesia yang mana terkandung weltanschauung

meskipun tanpa rumusan filsafat di dalamnya. Selain itu ada juga weltanschauung

yang melahirkan rumusan filsafat, dan filsafat yang berbuah weltanschauung.40

Sebagaimana penjelasan di atas, Weltanschauung merupakan sebuah

konsekuensi yang harus diterima sebagai implikasi atas ideologi yang telah

disepakati secara bersama.41 Ajaran-ajaran maupun nilai filosofis Pancasila tidak

hanya berupa ekslusifitas yang jauh dari kehidupan karena berbentuk ideologi

karena tidak semua kalangan mengerti dan paham apa itu ideologi, Tetapi ajaran

dan nilai-nilai Pancasila dikembalikan dalam wilayah realitas untuk

diimplementasikan dan dijiwai.

39 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 855 40 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan?, artikel diakses pada 18 Februari

pkl. 1:08 WIB dari https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/ 41 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 935

Page 62: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

49

Pancasila sebagai weltanschauung, berarti nilai-nilai Pancasila merupakan

etika kehidupan bersama bangsa Indonesia yang bersifat praksis, dalam artian

nilai-nilai tersebut hadir dan menjadi dorongan yang melahirkan perbuatan-

perbuatan sehari-hari.42 Nilai (value) sendiri termasuk dalam pengertian filsafat,

menilai berarti menimbang yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu

dengan sesuatu untuk selanjutnya diambil sebuah keputusan. Keputusan nilai;

dapat mengatakan; berguna atau tidak berguna, baik atau buruk, benar atau tidak

benar, religius atau tidak religius. Hal-hal tersebut dihubungkan dengan unsur-

unsur yang ada pada manusia, yakni jasmani, cipta, rasa, dan karsa.43

Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila berguna, benar (nilai

kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral/etis), dan religius (agama).

Dalam hal ini, Notonagoro membagi nilai menjadi tiga; 1). Nilai material, yaitu

segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. 2). Nilai vital, yaitu segala

sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau

aktivitas. 3). Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani

manusia yang meliputi; a). Nilai kebenaran/kenyataan yang bersumber pada unsur

akal (rasio, budi, cipta) manusia. b). Nilai keindahan yang bersumber pada rasa.

c). Nilai kebaikan atau moral yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan

manusia (will, karsa, ethics). d). Nilai religius atau kepercayaan.44

42 Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuh

Kembangkan Karakter Bangsa, (Jurnal Seminar Nasional Hukum, Vol. 2, Fakultas Hukum

UNNES, 2016), h. 424 43 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 50 44 Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, h. 51

Page 63: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

50

Pada akhirnya, setelah melewati pembahasan-pembahasan yang agak

rumit di atas, maka selanjutnya menyisakan ruang etika Pancasila untuk dibahas,

karena etika Pancasila sendiri merupakan refleksi kritis untuk merumuskan

prinsip-prinsip kelayakan (kebaikan) dalam mengambil keputusan tindakan dalam

kehidupan bermasyrakat, berbangsa, dan bernegara.45

C. Etika Secara Umum

“Mengkhotbahkan moralitas itu mudah, memberi dasar bagi moralitas

itulah yang sulit”, ungkapan Arthur Scopenhauer tersebut sepertinya sangat layak

untuk menjadi sebuah pengingat penting bagi kita. Betapa banyak orang yang bisa

memberi petuah, perintah tentang baik dan buruk, tetapi, pada soal “mengapa ini

boleh dan yang itu tidak boleh?” apakah petuah tersebut disertai dengan dasar

yang logis bukan hanya sekedar jawaban “karena itu memang tidak baik?”. 46

Etika bisa dikatakan sebagai suatu pembahasan dalam menganalisa

persoalan perbuatan manusia atau sebagai refleksi filosofis tentang moralitas.

Definisi etika secara etimologi berasal dari kata Yunani yakni ethos yang berarti

watak kesusilaan atau adat. Jika dilihat secara terminologi etika adalah cabang

filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam kaitannya

dengan persoalan baik buruk.47

45 Sri Soerprapto, Konsep Mohammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam

Perspektif Etika Pancasila, (Yogyakarta: Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 2, Fakultas Filsafat

Universitas Gadjah Mada, 2013), h. 115 46 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya di Era Postmodern, (Jurnal

Filsafat Vol. 23, Nomor 1, April 2013), h. 78 47 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2010), h. 218

Page 64: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

51

Dalam kamus filsafat, term atau kata etika berarti ethikos, ethos yang

artinya adat, kebiasaan, praktek, Aristoteles menggunakan istilah ini dengan

mencakup ide “karakter” dan “disposisi” (kecondongan). Kemudian kata moralis

diperkenalkan ke dalam kosakata filsafat oleh Cicero, baginya kata ini sebanding

dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua kata istilah itu

menyiratkan hubungan dengan kegiatan praktis,48

K. Bertens dalam buku babonnya Etika, menjelaskan bahwa kata etika

dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata ethos dalam bentuk tunggal yang

mempunyai banyak makna seperti; tempat tinggal yang biasa, padang rumput,

kandang habitat, kebiasaan, adat, etika, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Jika

dalam bentuk jamaknya ta etha yang berarti adat kebiasaan. Arti terakhir inilah

yang menjadi latar belakang atas terbentuknya istilah etika oleh Aristoteles yang

kemudian secara lebih lanjut dipakai untuk menjelaskan filsafat moral.49

Jadi, secara prinsip, filsafat moral adalah upaya mensistematisasikan

pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang dituntut dari kita,

sebagaimana yang diajukan oleh Sokrates “kita sedang membicarakan masalah

yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita hidup”.50 Pengertian etika yang

juga dipahami sebagai adat maupun cara berpikir, membuat etika dipahami

sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan individu

seseorang maupun kelompok dalam mengatur tingkah lakunya dalam lingkup

48 Nur Fatikhah, Kode Etik Mahaiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012-2015

Dalam Perspektif Etika, (Skripsi Prodi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta), h.2 49 K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 4 50 James Rachels, Filsafat Moral, diterjemahkan oleh A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius,

2004), h. 17

Page 65: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

52

perorangan maupun taraf sosial.51 Secara historis etika merupakan sebuah usaha

filsafat yang muncul atas situasi tatanan moral yang semakin merosot dan

dianggap rusak dalam lingkungan kebudayaan Yunani pada 2500 tahun yang

lalu.52 Para filsuf mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan

manusia, problem-problem tersebut tentu juga relevan sampai detik ini dan

problem tersebut sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Beberapa term yang dekat dan berkaitan dengan etika di antaranya seperti,

moral (akhlak dalam istilah Islam), dan etiket. Meskipun mempunyai kedekatan

makna tetapi pada dasarnya ada wilayah atau batasan tertentu yang

membedakannya secara jelas. Moral secara umum berasal dari Bahasa Latin Mos

jamaknya adalah Mores yang berarti adat atau cara hidup. Dalam hal ini,

meskipun hampir mempunyai kesamaan namun secara khusus letak penilaian

sehari-hari menunjukkan perbedaannya. Jika etika secara prinsip dipakai untuk

pengkajian sistem yang ada, maka moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan

yang sedang dinilai.53

Kemudian etika terkadang juga dicampuradukkan dengan etiket. Istilah

etiket atau etiquette (berasal dari Bahasa Prancis) mempunyai arti yang

menunjukkan sikap sopan santun, dianggap memiliki kesamaan karena keduanya

mengatur perilaku manusia secara normatif.54 Secara lebih lanjut jika mengutip K.

Bertenz ada garis besar yang membedakan antara etiket dengan etika. misalnya;

51 K. Bertens, Etika, h. 6 52 Franz Magnis Suseno. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Jakarta,

Pustaka Filsafat, 1985), h. 15 53 H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, h.219 54 K. Bertens, Etika, h. 7

Page 66: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

53

etiket lebih menyangkut “cara” dari suatu perbuatan yang harus dilakukan

seseorang diantara berbagai cara yang mungkin dilakukan, etiket menunjukkan

cara yang tepat serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu, misalnya; jika

seseorang hendak menyerahkan sesuatu kepada atasan, maka seseorang tersebut

harus menyerahkannya dengan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket jika hal

tersebut dilakukan dengan tangan kiri. Sedangkan etika memberi norma tentang

perbuatan itu sendiri, etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh

dilakukan atau tidak. Jika A menyerahkan amplop kepada B dengan cara yang

sangat sopan, tetapi si B adalah seorang hakim dan si A adalah orang yang

mempunyai perkara di pengadilan tersebut dan amplop tersebut berisikan

sejumlah uang yang diberikan untuk menyuap hakim tersebut, maka perbuatan

tersebut sangat tidak etis, meskipun dari sudut etiket dilakukan secara sempurna.55

Selain batasan di atas, ada gambaran lain pula yang bisa memperjelas

batasan antara etika dengan etiket. Misalnya saja seperti, etiket hanya berlaku

dalam pergaulan. Jika tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata maka

etiket tidak berlaku, misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara

makan atau cara berpakaian. Etiket juga bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan

dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.

Kemudian etiket hanya memandang manusia dari sisi lahiriah saja, sedangkan

etika menyangkut manusia dari segi dalam,56 misalnya seorang pejabat yang

luarnya sangat rapi dalam berpakaian kemudian dalam menjaga sikap dan

berbicara tetapi dia melakukan korupsi, disuap atau menyuap. Gambaran tersebut

55 K. Bertens, Etika, h. 8 56 K. Bertens, Etika, h. 9

Page 67: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

54

menunjukkan sisi lahiriah yang sangat sempurna dan sesuai dengan etiket tapi

melanggar etika dalam pekerjaannya.

Franz Magnis Suseno menjelaskan perbedaan pengertian antara etika

dengan moral berdasarkan ajaran. Ajaran moral yakni ajaran, khutbah, wejangan,

peraturan lisan maupun tulisan yang meliputi persoalan tentang bagaimana

manusia harus hidup dan bertindak supaya menjadi manusia yang baik. Ajaran

moral bersumber langsung dari hal-hal yang meliputi orang-orang yang

mempunyai posisi berwenang misalnya saja seperti orang tua, guru, pemuka

masyarakat dan agama, dan tulisan para orang bijak. Sedangkan etika bukanlah

sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan sebuah filsafat atau pemikiran

kritis yang fundamental tentang ajaran dan pandangan moral. Etika bukanlah

merupakan ajara tapi ilmu. Jadi, dengan penjelasan tersebut etika dengan moral

tidak berada dalam tingkat yang sama.57

Kajian etika sebagai cabang filsafat, secara garis besar merupakan

pembahasan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang baik dan

buruk. Dasar filsafat etika yakni etika individual sendiri, maka setidaknya suatu

perbuatan itu dinilai dari tiga tingkat, yakni; 1). Tingkat Pertama; sesuatu yang

belum menjadi perbuatan, yaitu bisa saja berupa niat atau rencana dalam hati, 2).

Tingkat kedua; perbuatan nyata atau pekerti, 3). Tingkat ketiga; akibat atau hasil

dari perbuatan tersebut = baik atau buruk. Dengan demikian, maka setidaknya

dalam persoalan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam kehidupan manusia

sangat tergantung pada tiga hal mendasar, yaitu; 1). Cara berpikir yang melandasi

57 Franz Magnis Suseno. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, h. 16

Page 68: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

55

manusia dalam berperilaku, 2). Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya

norma sosial, 3). Cara merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan

pokok dalam bertindak.58

Pada akhirnya, tentang baik buruk tersebut dan orang yang tidak bermoral

adalah sesorang yang tidak dipimpin oleh rasionya. Orang yang tidak bermoral

adalah orang yang dikalahkan oleh hawa nafsunya, hatinya hanya penuh dengan

perasaan dan jiwanya dibelenggu oleh keinginan.59 Selanjutnya, dalam lingkup

kajian etika, kita akan banyak menjumpai banyak unsur-unsur penting dalam etika

beberapa di antaranya seperti;

1. Hati Nurani

Oleh Driyarkara, hati nurani atau suara batin adalah ukuran manusia

untuk memahami mana yang baik dan mana yang buruk karena suara

batin itu adalah dorongan manusia yang mengatasi pengalaman. Dan

suara batin dimiliki oleh semua manusia dan berlaku universal, suara

batin menjadi kriteria moral dikarenakan ia merupakan sebuah

panggilan dari Tuhan Yang Maha Esa.60

2. Kebebasan dan Tanggung Jawab

Di antara dua kata tersebut, terdapat sebuah hubungan timbal-balik

namun tidak sama perihal pengertiannya. Sehingga seseorang yang

mengatakan “manusia itu bebas” maka dengan sendirinya juga telah

58 Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2000), h. 4 59 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya, h. 78 60 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya, h. 81

Page 69: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

56

menerima “manusia itu bertanggung jawab”.61 Tanggung jawab

merupakan hukum kodrat manusia, karena hal tersebut merupakan

principium identitatis yang artinya manusia adalah manusia, maka

harus berperilaku sebagai manusia, jika tidak maka ia tetaplah manusia

tetapi ia memungkiri kemanusiaannya.62

3. Nilai dan Norma

Unsur nilai dianggap menjadi paling penting, sebab merupakan

kumpulan sikap, perasaan ataupun anggapan terhadap segala hal yang

meliputi persoalan baik buruk, benar-salah, patut-tidak patut, mulia-

hina, ataupun penting-tidak penting, karenanya nilai berperan dalam

suasana apresiatif.63 Sedangkan, norma merupakan peraturan atau

kaidah sebagai suatu indikator atau tolak ukur untuk mencapai sesuatu

yang membatasi gerak manusia yang bisa saja berbentuk larangan atau

patokan, dasar atau ukuran, aturan-aturan yang memuat sanksi dengan

maksud untuk mendorong atau menekan individu dalam usaha

mencapai nilai-nilai sosial.64

4. Hak dan Kewajiban

Persoalan hak memegang peranan penting sampai detik ini. Hak

berkaitan erat dengan posisi manusia terhadap negara dan dengan

manusia sebagai subyek hukum, disamping itu juga, hak berhubungan

erat dengan manusia sebagai makhluk moral dan secara lebih lanjut

61 K. Bertens, Etika, h. 91 62 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 556 63 K. Bertens, Etika, h. 140 64 K. Bertens, Etika, h. 148

Page 70: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

57

juga ada hubungan khusus antara hak dan kewajiban.65 Kewajiban

pada dasarnya adalah kebaikan dengan keharusan yang dibebankan

pada kehendak kita sebagai manusia merdeka untuk dilaksanakan.

Kewajiban memang tidak selalu dan harus dikaitkan dengan hak, tetapi

bisa juga dikaitkan dengan ruang tanggung jawab, karena tanggung

jawab juga merupakan kerangka acuan untuk pembahasan kewajiban.

66

1. Pendekatan Dalam Etika

Setelah sedikit disinggung terkait gambaran jelas definisi etika, moral, dan

etiket, maka etika yang merupakan ilmu menyelidiki tingkah laku moral,

selanjutnya terdepat pembagian atau pendekatan non filosofis yakni etika

deskriptif, dan pendekatan etika filosofis yakni etika normatif, dan metaetika.67

1.1. Etika Deskriptif

Mengutip penjelasan oleh Bertenz, bahwa etika deskriptif

melukiskan tangkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan,

anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang

diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Misalnya, ia melukiskan adat

mengayau kepala yang ditemukan dalam masyarakat yang disebut primitif,

tapi ia tidak mengatakan bahwa adat semacam itu dapat diterima atau

harus ditolak.68 Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada

65 K. Bertens, Etika, h. 177 66 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 555 67 K. Bertens, Etika, h. 15 68 K. Bertens, Etika, h. 16

Page 71: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

58

individu-individu atau personal morality dan tingkah laku kelompok atau

social morality dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur

yang tertentu, dalam periode sejarah, dan sebagainya. Penganalisaan atas

bermacam-macam aspek dari tingkah laku manusia seperti motif, niat, dan

tindakan-tindakan tersebut tetapi hanya bersifat deskriptif tentang apa

yang terjadi.69

1.2. Etika Normatif

Etika normatif merupakan kamar terpenting dalam etika, karena di

sini berlangsung diskusi-diskusi paling menarik tentang masalah-masalah

moral. Di sini ahli bersangkutan tidak seperti dalam etika deskriptif yang

hanya bertindak sebagai penonton netral, tetapi lebih melibatkan diri

dengan mengemukakan penilaian tentang manusia. Etika normatif tidak

melukiskan adat mengayau yang pernah terdapat dalam kebudayaan masa

lampau, tetapi ia menolak adat itu karena bertentangan dengan martabat

manusia. Misalnya juga dalam hal prostitusi dalam suatu masyarakat, ia

tidak lagi membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi, tetapi

menolak prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan

martabat wanita, meskipun dalam tataran praktek belum tentu dapat

diberantas sampai tuntas. Penilaian tersebut dibentuk atas dasar norma-

69 Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, penerjemah H.M. Rasjidi,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 141

Page 72: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

59

norma, “Martabat manusia harus dihormati” dapat dianggap sebagai

contoh tentang norma semacam itu.70

Etika normatif bersifat preskriptif (memerintahkan), tidak hanya

melukisakan namun menentukan benar tidaknya tingkah laku atau

anggapan moral. Untuk itu maka ia mengadakan argumentasi-argumentasi,

ia mengemukakan alasan-alasan mengapa suatu tingkah laku harus disebut

baik atau buruk dan mengapa suatu anggapan moral dapat disebut benar

atau salah. Sehingga pada akhirnya argumentasi-argumentasi tersebut akan

bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak

dapat ditawa-tawar lagi. Secara singkat, dapat dikatan bahwa etika

normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang kemudian dapat

dipertanggung jawabkan dengan cara rasional dan dapat dipraktikkan.71

1.3. Metaetika

Cara yang lain lagi dalam mempraktekkan etika sebagai ilmu

adalah metaetika. Awalan meta- (berasal dari Bahasa Yunani) mempunyai

arti “melebihi”, “melampaui”. Secara prinsip, istilah ini diciptakan untuk

menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara

langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dalam sisi moralitas. Seolah-olah

bergerak pada taraf lebih tinggi, metaetika bukan lagi berbicara mengenai

perilaku etis, melainkan pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang kita

70 K. Bertens, Etika, h. 17 71 K. Bertens, Etika, h. 18

Page 73: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

60

pergunakan dalam bidang moral. Bisa dikatakan juga bahwa metaetika

mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.72

Filsuf Inggris George Moore misalnya, yang mempersoalkan kata

“baik” dalam analisis terhadap kata-kata penting dalam konteks etika. Ia

mengajukan pertanyaan tentang apakah arti kata baik jika digunakan

dalam wilayah etis, dan kemudian membandingkan kalimat “menjadi

donor organ tubuh adalah perbuatan yang baik” dengan jenis kalimat lain

seperti “mobil ini masih dalam keadaan baik”. Metaetika dapat

ditempatkan dalam rangka filsafat analitis, suatu aliran filsafat abad ke-20

yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas terpenting bagi filsafat,

menurut Bertenz sendiri, metaetika kadang-kadang disebut juga sebagai

etika analitis.73 Demikian juga dengan yang diungkapkan oleh Bertenz

bahwa, salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah

the is/ought question, yang dipersoalkan di sini adalah apakah ucapan

normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau

kalau sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat

disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif).

Dengan menggunakan peristilahan logika dapat juga dipertanyakan apakah

dari dua premis deskriptif bisa ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Dan

kalau satu premis preskriptif dan premis lain deskriptif, maka

kesimpulannya pasti preskriptif. Contohnya;

72 K. Bertens, Etika, h. 19 73 K. Bertens, Etika, h. 20

Page 74: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

61

- Setiap manusia harus menghormati orang tuanya (premis

preskriptif).

- Lelaki ini adalah orang tua saya (premis deskriptif).

- Jadi, lelaki ini harus saya hormati (kesimpulan preskriptif).

Tetapi soalnya adalah, apakah dua premis deskriptif pernah dapat

membuahkan kesimpulan preskriptif. Para filsuf yang mendalami masalah

ini umumnya sepakat bahwa hal tersebut tidak mungkin, dan kesimpulan

preskriptif hanya dapat ditarik dari premis yang sekurang-kurangnya untuk

sebagian yang bersifat preskriptif.74 Pada akhirnya, menjadi sebuah catatan

tentang hubungan antara metaetika dan etika normatif, walaupun di sini

dibedakan tetapi tidak berarti juga keduanya selalu bisa dipisahkan. Hal itu

di karenakan jika kita berbicara tentang bahasa moral, dengan mudah kita

akan beralih ke dalam apa yang ditunjukkan bahasa itu, yaitu perilaku

moral itu sendiri.

2. Teori-Teori Etika

Jika diibaratkan rumah, etika setidaknya memiliki banyak ruang-ruang

dengan sistemnya sendiri. Ruang-ruang tersebut tersedia karena sistem filsafat

moral memberi uraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan

peranannya dalam hidup manusia.

2.1. Hedonisme

74 K. Bertens, Etika, h. 21

Page 75: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

62

Berasal dari bahasa Yunani, hedone mempunyai arti kesenangan. Istilah

ini pada awalnya digunakan oleh Jeremy Bentham pada tahun 1781. Pada

prinsipnya, aliran ini menganggap bahwa sesuatu dianggap baik jika sesuai

dengan kesenangan yang dihasilkannya. Dan sesuatu yang mendatangkan

kesusahan atau penderitaan, diniai tidak baik dalam aliran ini.75 Secara prinsip,

hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) yang

merupakan seorang murid Sokrates, yang kemudian dilanjutkan oleh Epikuros

tetapi dalam konsep yang lebih maju dari Aristoppos, bahwa kesenangan

merupakan tujuan kehidupan manusia, yaitu kesenangan yang melingkupi badani

dan rohani, keresahan rohani misalnya seperti terbebas dari keresahan jiwa.76

2.2. Eudomonisme

Berasal dari bahasa Yunani Eudaemonismos yang berarti bahagia/happy,

secara prinsip ajaran dari aliran ini menilai baik buruknya sesuatu dinilai dari ada

atau tidaknya kebahagiaan yang di datangkannya. Bisa dibilang antara

eudomonisme dan hedonism merupakan aliran dalam teleologis. Meski begitu,

pengertian bahagia di sini tidak sama dengan kesenangan dalam aliran hedonisme.

Karena bahagia lebih menitik beratkan pengertiannya pada segi rasa atau psyche,

meskipun dalam usahanya untuk mendapatkan rasa bahagia itu harus melalui jalan

yang menyusahkan bukanlah menjadi masalah, dan cara ini dinilai baik dalam

aliran ini.77

2.3. Utilitarianisme

75 Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2012), h. 222 76 K. Bertens, Etika, h. 237 77 Burhanuddin Salam, Etika Individual, h. 222

Page 76: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

63

Berasal dari kata utilitas yang berarti useful, yang berguna, berfaedah. Di

sini penilaian baik buruknya sesuatu, susila atau tidak susilanya sesuatu berdasar

pada kegunaan atau faedah yang dihasilkannya.78

Utiliraianisme merupakan sebuah teori yang dikemukakan David Hume

dan dirumuskan secara definitif oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Oleh

Bentham, moralitas bukanlah soal menyenangkan hati Allah ataupun soal

kesetiaan pada aturan-aturan abstrak, melainkan suatu upaya untuk sedapat

mungkin memperoleh kebahagiaan di dunia ini. Prinsip utilitas menuntut agar

setiap kali kita menghadapi pilihan dari tindakan-tindakan alternatif atau

kebijakan sosial, kita mengambil satu pilihan yang berkonsekuensi paling baik

bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya.79

2.4. Deontologi

Sitem moral ini tidak bersifat konsekuensialistis, karena pengukuran baik

buruknya suatu tindakan tidak didasarkan pada hasilnya, melainkan berdasarkan

maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. sitem etika ini bisa juga

dikatakan bahwa ia tidak lagi menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau

keputusan kita, melainkan pada wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita.

Deon merupakan kata Yunani yang berarti; apa yang harus dilakukan; kewajiban).

Immanuel Kant yang merupakan pencipta sistem moral ini menjelaskan bahwa,

yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik.

Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau bersyarat, sebagai misal,

78 Burhanuddin Salam, Etika Individual, h. 216 79 James Rachels, Filsafat Moral, h. 169

Page 77: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

64

kesehatan, kekayaan, intelegensi, adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh

kehendak manusia, tetapi jika hal tersebut digunakan oleh kehendak jahat, semua

hal itu menjadi sangat buruk.80

3. Filsafat Moral dalam Islam

Bukan sedang terjebak dalam dikotomi antara barat dan timur, tetapi

pembahasan ini dirasa perlu untuk dihadirkan, selain menjadi salah satu varian

pembahasan, tentu juga sebagai bentuk kekayaan dalam pembahasan etika.

Perkembangan pengertian etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika adalah

ilmu yang mempersoalkan perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang

dinilai baik atau buruk. Etika dalam bahasa Arab disebut akhlaq yang merupakan

jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab

dan agama.81

Dalam sejarah filsafat Islam, banyak pemikir dari berbagai genre telah

berupaya merumuskan konsep etika, termasuk di dalamnya seperti ulama hukum,

teolog, mistikus, dan tentunya filsuf. Tentu hal ini dikarenakan etika atau akhlak

merupakan salah satu inti ajaran Islam. Etika dalam Islam setidaknya didasarkan

pada empat prinsip, pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat

universal dan fitri. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan pada keadilan.

Ketiga, tindakan etis dipercaya pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan

bagi subjeknya. Keempat, tindakan etis bersifat rasional.82 Ada banyak filsuf

80 K. Bertens, Etika, h. 255 81 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 17 82 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih, Jurnal Aqlam: Journal of Islam and Plurality

Volume 1, No. 1 (Juni 2016). h. 36

Page 78: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

65

muslim yang membahas tentang moral mulai dari tokoh paripatetik seperti Al-

Kindi, Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn Miskawaih, Mulla Shadra, dan masih banyak

lainnya lagi.83 Ibn Miskawaih merupakan tokoh paling dikenal dalam bidang etika

daan dijuluki sebagai bapak etika Islam, dan bangungan etikanya dimulai dengan

pembahasan tentang jiwa.

Bagi Ibn Miskawaih, jiwa (an nafs) bukan berupa jism, jiwa adalah jauhar

yang tidak tertangkap panca indra dan tidak berubah dan hancur sebagaimana

jism. Ibn Miskawaih mengklasifikasikan potensi jiwa pada tiga tingkatan,

pertama, (al quwwah an natiqah) yang merupakan tingkat tertinggi, dimana

kekuatan berpikir untuk membedakan hakikat sesuatu, dan dinamakan al mulkiah

dan tempatnya berada di otak. Kedua, (al quwwah al ghadabiah) yang merupakan

tingkat pertengahan, dimana kekuatan untuk marah, menolong, keberanian,

kecenderungan untuk menguasai dan keinginan untuk dihormati, atau disebut as

suba’iyyah dan terletak di hati. Ketiga, (syahwatal quwwah al syahwatiyah)

merupakan tingkat terendah, dimana kekuatan syahwat yang cenderung ke

makanan, minuman, dan seksual yang disebut al bahamiyyah dan tempatnya

berada di jantung.84

Oleh Ibn Miskawaih, etika dapat dikembalikan dalam dua bagian, yaitu;

pertama, kepada tabiat atau fitrah, dan kedua, dengan jalan usaha yang kemudian

berubah menjadi kebiasaan. Tetapi, Ibn Miskawaih cenderung yang kedua, yaitu

seluruh etika semuanya adalah hasil usaha (muktasabah), ia memandang bahwa

83 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 13 84 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih. h. 38

Page 79: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

66

manusia memiliki potensi untuk beretika apa saja. Atas dasar itu, memunculkan

kemungkinan bahwa manusia bisa mengalami perubahan akhlak. Dari segi inilah,

diperlukan adanya aturan syariat, nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran

tentang sopan santun. Masalah-masalah pokok yang diajukan oleh Ibn Miskawaih

dalam kajian akhlak meliputi kebaikan (al khair), kebahagiaan (al sa’adah), dan

keutamaan (al fadhilah).85

Konsep kebaikan yang merupakan salah satu instrumen dari bangunan

etika Ibn Miskawaih, mengambil konsep kebaikan mutlak Aristoteles yang

tersusun dari dua jenis, yaitu, kebaikan secara umum yang secara prinsip

merupakan kebaikan dari seluruh manusia dengan ukuran-ukuran kebaikan yang

bersifat konsensus, dan kebaikan secara khusus yang merupakan kebaikan bagi

seseorang secara pribadi. Dan kebaikan secara khusus ini yang akan

mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati.86

Tentang kebahagiaan, setidaknya ada dua pandangan pokok yang pertama

diwakili oleh Plato, bahwa hanya jiwa yang mengalami kebahagiaan. Maka dari

itu, selama manusia masih berhubungan dengan badan, maka ia tidak akan

memperoleh kebahagiaan. Sedangankan pandangan yang kedua dipelopori

Aristoteles, bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia, meskipun jiwanya

masih terhubung dengan badan. Dari dua pandangan pokok tersebut, Ibn

Miskawaih mencoba mengkompromikan kedua padangan yang kontradiktif

dengan mengajukan pandangan bahwa, dikarenakan dalam diri manusia terdapat

85 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih. h. 39 86 Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, h. 209

Page 80: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

67

dua unsur yakni jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya

saja, kebahagiaan badan mempunyai tingkat yang rendah dan sifatnya tidak abadi,

karena kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kebahagiaan yang dapat

menghambat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Sedangkan

kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna.87

Dalam teori keutamaan (fadhilah) Ibn Miskawaih, sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya atas pembagian tiga macam potensi jiwa, yaitu bahimiyah

atau syahwiyah yang mengejar kelezatan-kelezatan jasmaniah, sabu’iyah yang

berhubungan dengan emosional, dan nathiqah yang selalu berpikir tentang hakikat

segala sesuatu. Jika dari ketiga hal tersebut dapat berjalan dengan seimbang, maka

keutamaan dan kebaikan pada manusia akan tercapai. Tiga potensi jiwa

tersebutlah yang selanjutnya menjadi keutamaan-keutamaan dasar dan jika

diantara ketiganya selaras maka akan menimbulkan kesempurnaan dari tiga

keutamaan tersebut. Dengan demikian, keutamaan jiwa menjadi empat macam,

yaitu; 1). Kebijaksanaan (hikmah) yang merupakan keutamaan jiwa cerdas, 2).

Kesucian (‘iffah) yang merupakan keutamaan nafsu syahwat (an-nafs asy-

syahwiyahi) yang mana keutamaan ini muncul jika dapat menyalurkan

syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal sehat sehingga terbebas dari

perbudakan syahwat. 3). Keberanian (syaja’ah), keutamaan ini muncul jika

manusia dapat menundukkannya kepada jiwa natiqah dan menggunakannya

sesuai dengan tuntutan akal sehat dalam menghadapi persoalan-persoalan. 4).

Keadilan (‘adalah) merupakan keutamaan yang dihasilkan dari kselarasan atas

87 Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih. h. 39

Page 81: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

68

ketiga keutamaan sebelumnya dan sejalan dengan akal sehat, sehingga masing-

masing potensi tersebut dapat terkendalikan, dan dengan demikianlah manusia

akan mampu untuk bersikap adil terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.88

D. Etika Pancasila

Sejarah telah menunjukkan, bahwa manusia terus berkembang dan selalu

menata hidup bersama berdasarkan gagasan-gagasan pokok yang kemudian

menjadi dasar penting bagi cara hidupnya. Gagasan-gagasan tersebut merupakan

seperangkat keyakinan nilai-nilai hidup yang menjadi sumber pendirian dan sikap

hidup dalam menghadapi dunia yang juga bersifat vertikal atau hubungan sesama

makhluk dan horizontal atau keyakinan tentang hirarki nilai keluhuran hidup.89

Etika Pancasila merupakan refleksi kritis terkait prinsip-prinsip kelayakan

atau kebaikan dalam pengambilan sebuah putusan tindakan dalam lingkup

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan kualifikasi isi

dari sila-sila Pancasila. Sebuah prinsip yang didasarkan pada nilai hidup

berketuhanan, berperikemanusiaan, berpersetuan, berkerakyatan, dan berkeadilan

sosial. Setidaknya refleksi kritis etika Pancasila meliputi tiga bidang. Pertama,

refleksi kritis tentang norma dan nilai moralitas yang telah dianut oleh bangsa

Indonesia selama ini agar dapat dirumuskan menjadi prinsip-prinsip kelayakan

hidup sehari hari, nilai tersebut misalnya terdapat dalam benda-benda peninggalan

bersejarah, karya sastra, bahkan cerita rakyat. Kedua, refleksi kritis tentang situasi

88 Ahmad Azhar Basyir, Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika

Pancasila, (Jurnal Filsafat, UGM), h. 19 89 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila Dalam

Perspektif Etika Pancasila, (Jurnal Filsafat UGM Vol. 23, Nomor 2, Agustus 2013), h. 100

Page 82: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

69

khusus kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala keunikan dan

kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang multipaham yang dianut manusia

atau kelompok masyarakat tentang kehidupan, misalnya seperti paham tentang

Tuhan, paham tentang manusia, alam, masyarakat, sistem politik, sistem kerja,

dan sebagainya.90

Terkait refleksi kritis etika Pancasila tersebut, setidaknya ada tiga teori

etika yang berhubungan dalam menilai perilaku yang baik secara moral, yaitu

etika deontologis, etika teleologis, dan etika keutamaan. Dalam sudut etika

deontologis, dimana tindakan dikatakan baik jika memang baik menurut

pertimbangan dari dalam dirinya sendiri dan wajib dilakukan, misalnya saja

tindakan menghargai sesama dan alam merupakan tindakan baik secara moral,

maka hal itu wajib dilakukan. Etika Pancasila dalam scope etika deontologis

berarti juga sebagai etika yang menjadi penuntun untuk menumbuhkan kesadaran

ber-Pancasila bagi generasi muda di masa sekarang dan mendatang, dan tentunya

supaya adaptif terhadap nilai-nilai kebudayaan yang dibawa oleh jalan modernitas

tetapi dengan sosio kultural yang sesuai.91

Etika Pancasila sebagai etika teleologis menunjukkan kehidupan

berbangsa dan bernegara mempunyai tujuan mewujudkan cita-cita proklamasi

kemerdekaan, yang kemudian juga menimbulkan dinamika kehidupan bangsa.

Etika teleologis telah menggariskan persoalan baik buruk yang berdasar pada hasil

dari suatu tindakan yang bersifat situasional dan subjektif. Dalam scope ini etika

90 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 102 91 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 104

Page 83: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

70

Pancasila berupa pedoman bagi masyarakat Indonesia dalam usaha mencapai

tujuan hidup berbangsa dan bernegara di masa depan. Persoalan-persoalan terkait

nilai, norma atau gaya hidup yang disebabkan oleh modernisasi misalnya, menjadi

salah satu titik fokus dalam pembahasannya, karena bagaimanapun, nilai-nilai

substansial Pancasila merupakan nilai-nilai utama yang menjadi kepribadian dan

keunikan bangsa.92

Sedangkan etika Pancasila sebagai etika keutamaan, tersusun dari nilai-

nilai keutamaan dan moral bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut diantaranya

meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Nilai-

nilai tersebut merupakan hasil dari pikiran-pikiran dan gagasan dasar bangsa

Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri,

sesama dan lingkungan hidup, juga ketaatan kepada Tuhan, yang mana nilai-nilai

tersebut merupakan tata nilai yang menopang kehidupan sosio kultural dan

kehidupan kerohanian bangsa yang kemudian memberi corak, watak, ciri khas

masyarakat Indonesia.93

Pada akhirnya pembahasan etika Pancasila kembali pada ralitas manusia

itu sendiri. Bagi Driyarkara, Pancasila merupakan filsafat tentang kodrat manusia

yang di dalamnya termuat nilai-nilai universal manusia dan hidup bersama.

Permenungan Pancasila oleh Driyarkara bertitik tolak pada eksistensi manusia

sebagai manusia, sebagaimana disebutkan olehnya bahwa “dengan memandang

kodrat manusia qua talis (manusia sebagai manusia) kita akan sampai kepada

92 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 103 93 Sri Soeprapto, Konsep Muhammad Hatta. h. 103

Page 84: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

71

Pancasila sejati”.94 Dihadirkan juga olehnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial

seperti “Apakah manusia dan bagaimana kedudukannya dalam realitas?”, sebuah

pertanyaan yang diajukan oleh Max Scheler yang kemudian menyasar pada soal

bagaimanakah sebenarnya tempat manusia dalam keseluruhan yang ada,

keseluruhan dunia dan terhadap Tuhan?, barangkali pertanyaan tersebutlah dasar

untuk memahami manusia qua talis dan diyakini oleh Driyarkara sebagai dalil-

dalil filosofis yang memuat jawabannya.

Oleh Driyarkara, manusia bisa dikatakan tidak bisa berdiri sendiri, terpisah

dari segala sesuatu, ia bukanlah monad tanpa hubungan dengan apapun seperti

yang diungkapkan oleh Leibniz, kita tidak bisa mengerti manusia kecuali sebagai

serba terhubung dalam segala-galanya.95 Tentang manusia, Driyarkara mengambil

istilah dari Martin Heidegger (in-der-welt-sein), yakni Manusia terhubung (ada-

bersama) dengan alam jasmani, manusia lainnya, dan itu dipahami dalam

hubungannya dengan yang mutlak.96 Ketiga hubungan tersebut merupakan satu

kesatuan yang berdasar pada cinta kasih dari dan kepada Tuhan. Persoalan cinta

kasih tersebut merupakan persoalan primer dalam kehidupan manusia, dan dari

cinta kasih inilah akan terlihat hubungan antar sila, yang pada akhirnya sila

ketuhanan sebagai dasar semua sila. Dari hal-hal tersebut maka prinsip adaku

dapat dirumuskan sebagai berikut;97

94 Christian Triyudo, Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari https//.academia.edu

pada 12 Maret 2020 95 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 834 96 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 839 97 Christian Triyudo, Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari https//.academia.edu

pada 12 Maret 2020

Page 85: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

72

1. Aku, manusia, mengakui adaku merupakan ada bersama dengan cinta

kasih. Jadi, adaku harus dijalankan sebagai wujud cinta kasih pula.

Cinta kasih dalam kesatuanku dengan sesama manusia, atau disebut

perikemanusiaan

2. Perikemanusiaan harus kujalani dalam bersama-sama menciptakan,

memiliki, dan menggunakan barang-barang dunia yang berguna

sebagai syarat-syarat, alat dan perlengkapan hidup. Kelanjutan dari

perikemanusiaan ini menjadi keadilan sosial.

3. Perikemanusiaan harus juga kulaksanakan dalam memasyarakat.

Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya. Agar kesatuan

karya itu benar-benar merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan,

setiap anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama

haknya. Cara melaksanakan perikemanusiaan dalam hal ini disebut

demokrasi. Cara ini harus dijalankan dengan baik dalam masyarakat

kecil maupun masyarakat dalam lingkup besar.

4. Perikemanusiaan harus juga kulakukan dalam hubungan dengan

kesatuan, yang dalam proses ditimbulkan oleh sejarah, keadaan

tempat, keturunan, kebudayaan, peradaban, dan faktor lain. Kesatuan

itu ikut serta menentukan dan membentuk diriku sebagai manusia yang

konkret dengan perasaanya, semangatnya, pikirannya, dan sebagainya.

Ada bersama pada konkretnya berupa hidup dalam kesatuan tersebut.

Jadi hidup dalam kesatuan itu harus merupakan pelaksanaan dari peri

kemanusiaan. Kesatuan yang besar itulah yang disebut kebangsaan.

Page 86: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

73

5. Pengakuan ada bersama, serba terhubung, serba tersokong, serba

tergantung. Jadi, adaku itu tidak sempurna, tidak atas kekuatan sendiri.

Jadi, aku bukanlah sumber dari adaku. Semua hal yang ada bersifat

terbatas, justru karena terbatasnya (sama dengan aku) tidak mungki

merupakan sumber adaku, karena tidak mungki memberi keterangan

yang terakhir dari adaku. Pada akhirnya satu-satunya yang merupakan

sumber adaku hanyalah ada yang mutlak, sang maha ada. Sang maha

ada itu bukanlah sesuatu, melainkan pribadi yang sempurna, yaitu

Tuhan Yang Maha Esa.98

Pada dasarnya etika Driyarkara dapat dikategorikan sebagai etika

deontologi, tetapi deontologi yang mempunyai dimensi teologis, humanis-

naturalis, dan aksiologis sehingga etika Driyarkara juga dapat dikatakan

teleologis. Bangunan etika deontologis sekaligus teleologis tersebut bisa dijadikan

alternatif dasar moralitas yang cukup kokoh.99

98 Christian Triyudo, Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari https//.academia.edu

pada 12 Maret 2020 99 Banin Diar Sukmono, Etika Driyarkara dan Relevansinya di Era Postmodern, h. 77

Page 87: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

97

BAB IV

IMPLIKASI PANCASILA PERSPEKTF DRIYARKARA

Dalam pembahasan sebelumnya sudah sedikit diuraikan terkait gambaran

Pancasila secara definitif, historis, serta posisinya dalam berbangsa dan bernegara,

berikut juga pembahasan tentang etika. Maka selanjutnya adalah penggambaran

akan implikasi yang dituntut dalam masing-masing sila, yakni sebuah gambaran

manusia berdasarkan muatan etika Pancasila.

Kenapa harus gambaran manusia Pancasila? seperti yang telah diuraikan

sebelumnya, pada dasarnya uraian tentang Pancasila oleh Driyarkara dibangun

dengan bertitik tolak pada manusia. Pemikiran Driyarkara tentang Pancasila

terilhami oleh jalan eksistensialisme dan fenomologi, jadi bukan perkara aneh jika

terkadang ia juga menggunakan istilah-istilah luar, atau misalnya mengajukan

pertanyaan eksistensial, dan penggunaan sudut pandang fenomenologis dalam

upaya menunjukkan bagaimana sila-sila dalam Pancasila saling terkait satu sama

lain.1

Jika setiap adanya ideologi mengharuskan adanya gambaran-gambaran

manusia yang ditujukan, maka demikian juga dengan Pancasila. Gambaran

manusia Pancasila yang diketengahkan oleh Driyarkara menjelaskan manusia

sebagai makhluk dinamis yang berelasi dengan manusia lain dalam masyarakat,

dengan alam lingkungannya, dan dengan Tuhan Penciptanya, yang secara tidak

1 Driyarkara. ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat

Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta; Gramedia, 2006), h. 826

Page 88: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

98

langsung berarti Pancasila memberi implikasi etis dan moral kepada manusia.2

Dengan demikian, kata implikasi di sini dimaksudkan sebagai keterlibatan yang

yang menunjukkan adanya dampak, akibat, atau konsekuensi. Dalam hal ini,

penulis berusaha menunjukkan bagaimana Pancasila yang mempunyai peranan

dan tuntutan penting yang harus dijalankan sebagai bentuk konsekuensi atas

kesepakatan bersama yang menetapkan Pancasila sebagai landasan bernegara kita.

A. Implikasi Dari Sila Pertama

Apakah Pancasila sebagai filsafat dan weltanschauung bertentangan

dengan religi (agama)? tampaknya pertanyaan yang diajukan oleh Driyarkara

ketika memulai uraiannya dalam tulisan Pancasila; Dorongan Kereligian

nampaknya terus eksis dan dapat kita temui sampai hari ini. Secara tegas dan

jelas, Driyarkara mengatakan bahwa hal tersebut sama sekali tidak bertentangan,

kenapa demikian? karena pada dasarnya Pancasila merupakan eka sila, yaitu cinta

kasih kepada Tuhan. Dengan demikian Pancasila berkata bahwa manusia itu

merupakan dorongan ke religi.3

Sebagai tambahan, ada beberapa catatan penting terkait soal ini bahwa,

religi sekalipun tidak bisa dipaksakan oleh negara, sebab religi berdasarkan atas

keyakinan dan keyakinan tidak bisa dipaksakan. Jadi negara sekalipun tidak bisa

mengatur dan memerintah terkait tata cara beribadah, bersembahyang, berpuasa,

dan sebaginya karena hal tersebut merupakan urusan kebatinan manusia secara

2 Driyarkara. ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 828 3 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 857

Page 89: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

99

individu, dan peraturan semacam itu bertentangan dengan azas demokrasi dan

perikemanusiaan.4

Oleh Driyarkara, manusia pada dasarnya mempunyai visi (penglihatan)

mengenai diri sendiri, atau realitasnya sendiri. Ada visi yang bisa membawa

manusia ke penciptanya juga ada visi yang menutupi jalan itu. Lalu bagaimanakah

visi benar tentang manusia yang bisa membawa ke Tuhan itu? visi yang

menampakkan manusia serta realitas lainnya sebagai relative being, sebagai

makhluk yang terhubung dengan tak sempurna. Dalam penjelasan lebih lanjutnya,

Driyarkara mengutip sebuah buku Jawa klasik (Suluk Ngasmara), bahwa being

yang demikian itu disebut napi nakirah dan hanane kalawan teduh (adanya

dengan menunjuk) karena nora mudjud nora makdum (ada betul-betul penuh,

tetapi juga bukan nothingness). Jadi, ada yang dependent, tergantung dalam

adanya. Dia muncul, dia berkembang, dia surut dan akhirnya mati, dan tiap-tiap

saat dia bisa mati. Itulah manusia dan tiap-tiap makhluk hidup lainnya. Hal itulah

yang menunjukkan sebagai tanda bahwa dia tidak ada atas adanya sendiri, dan

dengan jalan inilah manusia bisa sampai ke Tuhan.5

Meskipun dalam praktek konkret secara umum manusia tidak mengambil

jalan filsafat ini untuk kemudian mengakui Tuhan, tetapi bisa juga berupa

pemahaman tentang Tuhan yang diwarisi oleh tradisi, dari agamanya, dan

sebagainya. Demikian pula dengan pengertian manusia tentang Tuhan, yang di

antaranya telah disumbang oleh masyarakat, demikian pun dengan masyarakat

(tradisi, agama, aliran zaman) yang memiliki suatu gambaran tertentu tentang

4 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 862 5 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 904

Page 90: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

100

Tuhan. Karena memang pada dasarnya tabiat manusia dalam hidup sedari kanak-

kanak sampai tua memiliki variasi dan mengalami evolusi atas pengertian ide

tentang Tuhan.6

Sebagaimana yang telah disinggung oleh Notonagoro bahwa tentang inti

tiap-tiap sila yang ada, bisa dikatakan jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa inilah

yang sulit lantaran sila ini merupakan sila yang paling banyak menjadi persoalan.

Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, gejolak sosial bisa sangat meningkat

dan berbahaya kalau sudah menyentuh perihal kepekaan masalah agama dan

keyakinan.7

Selanjutnya, Driyarkara menjelaskan tentang alasan mengapa manusia itu

biasanya menempatkan Tuhan sebagai dasar dari segala-galanya, dari seluruh

hidupnya, dan dari semua perbuatannya. Tetapi supaya tidak meninggalkan sifat

skematik, yang umumnya dibicarakan orang pada wilayah imanen dan transenden

tentang Tuhan. maka satu-satunya jalan adalah dengan mengakui sepenuhnya baik

imanensi maupun transendensi Tuhan. Deus intimior intimo meo dan superior

supreme meo, (dalam diriku lebih dalam dari hatiku sendiri, tetapi juga lebih

tinggi dari pada yang tertinggi pada diriku), sebuah kata yang dikutip dari

Agustinus. Jadi secara garis besar, andaikata dunia lepas dari Tuhan dan ada

sendiri di luar Tuhan, maka dunia tak tergantung dari Tuhan, jadi dunia sejajar

dengan Tuhan! dan itu tidaklah mungkin, maka harus diakui bahwa dunia dijiwai

oleh Tuhan (imanensi). Tetapi, jika Tuhan hanya menjiwai, maka dunia dan

Tuhan merupakan satu substansi, satu being. Hal tersebut juga tidaklah mungkin,

6 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 905 7 Hardono, P. Hadi, Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisisu, 1994),

h. 106

Page 91: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

101

maka secara bersama-sama Tuhan dalam imanensi dan transendensi harus diakui.

Singkatnya, bagi kita atas dasar keyakinan ini manusia bisa memandang dan

menempatkan Tuhan sebagai dasar dari segala upayanya, berikut juga daya upaya

bersama yang merupakan kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.8

Tampaknya alasan-alasan kenapa sila ketuhanan menjadi soal fundamental

dan kompleks sudah agak terang, dan apa-apa yang disinggung Driyarkara, jika

kita melihat uraian Yudi Latif tampaknya juga agak sebangun dimana menurutnya

Pancasila sebagai keyakinan sesungguhnya telah memiliki landasan normatif dan

preskriptif yang jelas dan visioner. Pokok-pokok moralitas dan haluan

kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dalam nilai-nilai Ketuhanan

(religiusitas) merupakan sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertikal-

transendental) dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara.9

Sebagaimana penjelasan di atas, bagi Driyarkara, sistem kita adalah

humanisme, tetapi humanisme yang bersifat reigius dan sosialistis. Humanisme

kita itu mempunyai dasar dan tujuan mutlak yakni Tuhan itu sendiri. Pengakuan

kita atas Tuhan sebagai sumber dari segala upaya kita termasuk sumber menegara.

Kenapa demikian? ia mengutip Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis

bahwa manusia itu hanya bisa menyerahkan diri kepada toi (sesama), karena pada

akhirnya dalam sesama itu dia melihat Tuhan. Kata sesama menunjukkan adanya

hubungan horizontal atau interaksi sosial sesama manusia dalam lingkup banyak

hal, dalam bersama-sama membangun kebudayaan, maka kita tidak hanya melihat

8 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 906-907 9 Yudi Latif, Mengapa Pancasila Suatu Keharusan? (Bagian 7), (diakses dari

https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-7/ pada..)

Page 92: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

102

manusia saja, tetapi lebih jauh kita akan memandang Tuhan.10 Dalam tulisannya

yang lain Driyarkara juga mengetengahkan kutipan sastra Jawa lama sebagai

berikut;

Adapena mukanira iku/marang ing katon

Iya iku kabeh rarahine/angelangi rahining dumadi

Rarahi kang luwih/kang katon sawegung11

Dari uraian-uraian di atas, setidaknya telah terlihat sikap yang menjadi

konsekuensi atas diterimanya sila ketuhanan, yaitu sanggup menjiwai dirinya

dengan kebenaran tersebut, manusia sanggup, siap sedia, ready of reaction karena

sila pertama tersebut. Bagi Driyarkara, dalam sikap ini tentu terdapat variasi baik

secara individu maupun komunal, hal ini disebabkan karena adanya degrees

menurut religius attitudees, menurut ketekunan, kesungguhan, dan rahmat Tuhan

dalam penyerahan manusia. Menurutnya, tidak harus dirumuskan dan disadari

terang-terangan, misalnya seperti seorang ibu yang bekerja keras dan berkorban

demi bayinya yang tidak terlalu sadar tentang cinta kasihnya, tidak merumuskan

gagasannya tetapi dia betul-betul mencintai anaknya. Demikian halnya dengan

manusia yang tidak perlu secara nyata menghadap Tuhan lewat doa, untuk lebih

mengenal Tuhan, tetapi beserta doa yang dipanjatkan juga harus ada perbuatan

praktis yaitu melaksanakan kewajiban sehari-hari dengan baik terutama kewajiban

yang langsung berkaitan dengan pengabdian kepada sesama manusia.12

Pada dasarnya negara Pancasila bukanlah organisasi agama dan tidak

mengambil agama manapun sebagai dasarnya, tetapi juga tidak memaksakan

10 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 908 11 Artinya: Hadapkanlah mukamu kepada semua yang tampak. Itulah wajah-Nya yang

mahasempurna, tersembunyi di belakang alam semesta. Driyarkara, ed, Karya Lengkap

Driyarkara, h. 848 12 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 908-909

Page 93: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

103

agama manapun kepada anggotanya. Artinya Ketuhanan sebagaimana pengertian

yang telah diuraikan sebelumnya bersifat representatif dan pengakuan atas

kebudayaan manusia yang mengakui keberadaan Tuhan. Tetapi, pada wilayah

pemilihan keyakinannya dikembalikan kepada manusia itu sendiri karena hal

tersebut merupakan hak orang yang bersangkutan, bahkan jika seseorang memilih

hidup sebagai ateis, negara tidak bisa melarang dan menghukumnya, seorang ateis

tersebut baru bisa dihukum jika ia melanggar ketentuan-ketentuan hukum saja,

misalnya jika ia mencuri, merampok, atau menteror. Ada hal yang perlu menjadi

catatan, meskipun negara tidak berkuasa memaksa, tetapi bukan berarti bahwa

negara tidak mempunyai kewajiban perihal ketegasan dalam lapangan politik,

negara wajib melarang ikut sertanya aliran-aliran yang pada dasarnya menyangkal

sila ketuhanan sehingga pada akhirnya akan menyangkal seluruh Pancasila.13

Bagi Driyarkara, sila ketuhanan tidak tercantum sebagai hukum organik

seperti sila-sila lainnya. Artinya sila Ketuhanan bukan sebagai pasal undang-

undang yang mengatur penegaraan secara organisatoris, maka di sini sangat jelas

bahwa sila Ketuhanan tidak boleh diformulasikan untuk menata cara-cara atau

ritual tertentu untuk melaksanakan suatu ibadah, karena jika negara hadir untuk

memerintahkan suatu cara dan mewajibkan tindakan, maka hal tersebut

bertentangan dengan Pancasila karena dengan demikian negara bertindak sebagai

negara agama. Implementasi Pancasila secara konkret dikembalikan kepada warga

negara sesuai dengan hati nurani mereka, dan setiap warga negara wajib

menghormati dan menghargai keyakinan dan praktek dari sesamanya, karena pada

13 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 878

Page 94: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

104

prinsipnya kita harus menghormati freedom dan hati nurani setiap manusia. Tiap

bentuk keagamaan yang ada harus dihormati sebagai suatu usaha jalan menuju

Tuhan. dan hal demikianlah apa yang kita sebut sebagai toleransi itu muncul.14

Jika sedikit kita review, bagaimana sila Ketuhanan sangat berperan untuk

manusia itu sendiri, menjadi faktor fundamental dalam setiap ekspresi kasih

sayang kepada sesama umat manusia. Seperti apa yang diungkapkan oleh

Soekarno bahwa, nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai-

nilai Ketuhanan berkebudayaan dan berkeadaban, sebuah nilai-nilai etis

Ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama-agama yang bersifat

membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan, sebuah Ketuhanan yang

lapang dan toleran yang memberi semangat kegotong-royongan dalam rangka

pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.15

B. Implikasi Dari Sila Kedua

Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Driyarkara berarti kita

sedang berbicara mengenai humanisme16. Humanisme berimplikasi bahwa kodrat

manusia diakui sebagai sesuatu yang spesifik, yang berarti mempunyai structure,

corak, cara hidup, dan kerja tersendiri. Oleh hal-hal tersebut, maka dengan

sendirinya juga mempunyai perkembangan dan penyempurnaan tersendiri pula.

14 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 909-910 15 Yudi Latif, Mata Air Keteladanan; Pancasila Dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan,

Cetakan ke-3, 2016), h. 118 16 Humanisme di sini diartikan sebagai; (1). Aliran yang bertujuan menghidupkan rasa

perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik, (2). Paham yang

menganggap manusia sebagi objek terpenting, (3). Aliran zaman Renaissance sebagai dasar

seluruh peradaban manusia, (4). Kemanusiaan. Rukiyati, Percikan Pemikiran Pendidikan Humanis

Religius, (e-Journal Humanika, UNY)

Page 95: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

105

Secara lebih lanjut, wujud dari penyempurnaan ini di antara lain meliputi

penyelenggaraan ilmu pengetahuan, ekonomi, teknik, kebudayaan, moral, serta

keagamaan.17

Jika kita menilik pada beberapa arti atau pengertian yang ditawarkan oleh

Driyarkara, maka setidaknya terdapat tiga arti. Pertama, perikemanusiaan adalah

persaudaraan dari seluruh bangsa manusia di seluruh dunia berdasarkan human

nature, dan tidak jarang disebut juga sebagai internasionalisme misalnya

Soekarno. Kedua, perikemanusiaan disebut sebagai humanisme, tetapi humanisme

yang masih berhubungan dengan arti yang pertama tadi, humanisme disini berarti

membangun kebudayaan bersama, membangun rumah bersama untuk seluruh

warga dunia. Ketiga, perikemanusiaan berarti perwujudan cinta kasih kepada

sesama berdasarkan kesatuan keluarga itu. Tetapi secara prinsip ketiga arti

tersebut bukanlah arti yang saling terpisah.18

Lalu apa artinya dijadikannya perikemanusiaan sebagai dasar negara? Dari

pertanyaan semacam ini, bagi Driyarkara setidaknya perihal ketertiban,

kedamaian, keadaan material yang baik, kesejahteraan umum, dan sebagainya

diselenggarakan oleh negara, dan sebagiannya yang diselenggarakan negara

misalnya saja seperti pelayanan publik ditujukan pada prinsip dari

perikemanusiaan. Tetapi yang perlu menjadi catatan penting juga ialah bahwa

yang aktif menyelenggarakan perkara apapun dalam motif perikemanusiaan

17 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 956 18 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 900

Page 96: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

106

bukanlah negara semata, tetapi lebih kompleks yakni seluruh lapisan masyarakat

dan tiap individu manusia yang ada.19

Dalam hal ini, negara hadir dalam berbagai variasi kebijakan dalam

berbagai bidang seperti ekonomi, keuangan yang sehat, administrasi yang jelas,

pemerintahan yang efisien, penyelenggaraan kesehatan yang rakyat yang cukup,

pengajaran manusia yang bermutu, dan sebagainya, yang mana sebagai usaha

untuk menciptakan kondisi yang diperlukan, negara berhak mengatur

masyarakatnya. Tetapi kehadiran negara tidak bisa lebih jauh dalam mewajibkan

atau mengatur seseorang dalam bidang keagamaan, karena pada prinsipnya

semakin spiritual bidangnya maka peranan negara juga semakin berkurang, dan

pada wilayah ini negara hanya wajib mengakui kebebasan mutlak yang melekat

pada manusia, perihal seseorang yang memeluk agama atau tidak, tetap dalam

agama semula atau pindah, negara tidak bisa dan tidak boleh campur tangan

sedikitpun.20

Sebagai sedikit tambahan, jika kita mengaca pada konsen hak-hak asasi

manusia secara global, maka ide-ide seputar kedamaian, keadaan material yang

baik, kesejahteraan umum, terjaminnya pendidikan, dan pilihan jalan spiritualitas

(agama) yang disebut oleh Driyarkara dalam sila ini tentu serta sila-sila lainnya,

merupakan beberapa soal fundamental dalam isu-isu hak asasi manusia, yang

mana pada prinsipnya merupakan hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang melekat

pada manusia dan tidak bisa dikurangi (non-derogable).21

19 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 957 20 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 957 21 T. Mulya Lubis, dkk., Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia: Isu dan

Tindakan, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. xiii

Page 97: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

107

Problem-problem seputar hak-hak manusia yang bersifat derogable dapat

kita jumpai dalam tulisan Richard B. Lillich yang berjudul Hak-hak Sipil. Dimana

berdasarkan deklarasi universal terkait hak sipil dari individu-individu di

antaranya seperti; hak atas kehidupan, kebebasan, kemanan pribadi (pasal 3),

terbebas dari perbudakan dan kerja paksa (pasal 4), larangan terhadap

penganiayaan, hukuman yang kejam atau tidak manusiawi atau merendahkan

martabat (pasal 5), hak atas pengakuan hukum (pasal 6), hak atas persamaan di

hadapan hukum (pasal 7), ha katas pemulihan (pasal 8), larangan terhadap

penangkapan, penahanan atau pengasinan sewenang-wenang (pasal 9), hak atas

pengadilan yang adil (pasal 10), praduga tidak bersalah dan larangan terhadap

hukum ex post facto (pasal 11), ha katas privasi (pasal 12), hak atas kebebasan

bergerak (pasal 13), hak atas asilum (pasal 14), hak memiliki kewarganegaraan

(pasal 15), hak untuk menikah dan membangun rumah tangga (pasal 16), hak

untuk memiliki kekayaan (pasal 17), dan hak atas kebebasan berpikir, berhati

nurani dan beragama (pasal 18).22

Selanjutnya adalah tentang perikemanusiaan dan idea of man. Pada tahap

ini, menurut Driyarkara bahwa manusia yang mengikrarkan perikemanusiaan

adalah manusia yang melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang dengan rasio

dan kemerdekaannya harus menyempurnakan dirinya, bersama-sama dengan

sesama manusia dalam masyarakat. Di sini yang perlu digaris bawahi adalah,

bahwa manusia itu harus dijunjung tinggi martabatnya, sehingga impact nya

adalah menolak segala macam bentuk penindasan, kesedihan, dan eksploitasi

22 Richard, B. Lillich, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia: Isu dan

Tindakan, diterjemahkan oleh A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 69

Page 98: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

108

manusia. Karena sikap perikemanusiaan inilah yang kemudian membentuk

dirinya dan membudayakan manusia sehingga berbahasa, bertingkah laku sebagai

manusia, dan dipantaskan sesuai dengan martabat manusia tanpa pandang strata

sosial, warna kulit atau ras.23

Selanjutnya, Driyarkara menatap persoalan tentang bagaimana pemeluk

perikemanusiaan tersebut memandang negara. Baginya, negara dan pemerintah

bukanlah suatu tujuan, melainkan sebuah sarana yang harus diadakan bersama.

Pada dasarnya, negara dan pemerintah adalah suatu keharusan, tetapi di waktu

yang bersamaan negara dan pemerintah juga bisa menjadi ancaman dan

berbahaya. Pemegang kekuasaan diperlukan, tetapi setiap penguasa juga bisa

main kuasa yang disebabkan oleh kebodohannya atau karena motif-motif politis.

Oleh sebab itu, pemeluk perikemanusiaan selalu bersikap kritis terhadap negara

dan penguasa pemerintah. Jadi, di satu sisi menghormati kekuasaan, tetapi

memandang penguasa sebagai petugas yang harus dikontrol.24

Dari uraian Driyarkara tentang sila kedua ini telah menunjukkan kepada

kita, bagaimana Pancasila sebagai cita-cita ideal berusaha mengembalikan

kesadaran manusia sebagai manusia. Ada satu hal menarik yang disampaikan oleh

Frans Magnis Suseno dalam sebuah wawancara khusus oleh tim STF Driyarkara.

Menurut Magnis, salah satu pemikiran Driyarkara tentang Pancasila adalah ia

menganggap sila kedua “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” sebagai sila

paling penting dalam Pancasila, dimana menurut Magnis, Driyarkara melihat

23 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 958 24 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 959

Page 99: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

109

semua sila yang ada harus dijiwai oleh sila kedua ini, kenapa demikian? Magnis

melihat pemikiran tersebut sangat relevan sampai sekarang sebab, bila Ketuhanan

saja dijalani tanpa beradab, maka bisa jatuh ke fundamentalisme. Bila kerakyatan

saja dijalani tanpa keadilan bisa menjadi tirani mayoritas.25

C. Implikasi Dari Sila Ketiga

Perihal sila Persatuan Indonesia yang mana oleh Driyarkara disebut

sebagai sila kebangsaan. Pada dasarnya dengan pengikraran akan suatu

kebangsaan, maka sama halnya dengan pengakuan seseorang atas identitas bangsa

itu. Artinya, tanpa meniadakan berbagai macam corak khas yang ada pada suku,

orang mengakui bahwa sejumlah manusia yang ada merupakan suatu kesatuan

sosiologis, kebudayaan, ekonomi, sejarah bangsa, cita-cita, dan sebagainya.26

Lalu bagaimana tanah air bisa menjadi argumen untuk alasan persatuan?

Dalam hal ini, Driyarkara menunjukkan adanya hubungan antara kebangsaan dan

tanah air yang tidak bisa dipisahkan, hal tersebut bisa ditunjukkan, misalnya pada

prakteknya suatu bangsa yang tentu mempunyai daerah. Selanjutnya ia

menunjukkan dengan menawarkan beberapa kata lain yang masih berkaitan,

sebutlah kata tanah air jika diganti dengan ibu pertiwi, di sana akan terlihat dalam

cara kita memandang apa yang disebut tanah air atau tanah tumpah darah itu

dianggap sebagai ibu. Oleh sebab itu, tanah air, tanah tumpah darah, bisa juga

diganti dengan tanah kandung. Tanah itu dipandang sebagi tempat dimana ia

25 Kurniawan, SJS, Driyarkara dan Sila Kedua, (Jurnal Tempo edisi 1 September 2013),

atau lihat wawancara dalam https://youtu.be/_Z1AuHO4Mwg (Driyarkara Filsuf Dari

Kedunggubah) 26 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 952

Page 100: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

110

mendapatkan keamanan, kenyamanan, keintiman, kebahagiaan, duka cita, air

mata, dan karena hal-hal tersebutlah yang memunculkan rasa cinta dan rindu

kepada tanah airnya.27

Terkait identitas kebangsaan Indonesia yang kompleks, menurut

Driyarkara justru karena bermacam-macam suku dengan keragaman rupa dan

warna, hal tersebutlah yang menjadi dasar negara, dan bertujuan pada kesatuan

yakni Bhineka Tunggal Ika tanpa kehilangan keragaman tersebut. Ada satu yang

menjadi catatan menarik, dimana Driyarkara dengan tegas dan jelas menyebutkan

bahwa dalam perkara ini kadang-kadang terdapat orang yang berusah menolak

perbedaan yang ada dan gila akan keseragaman dan kesatuan, oleh Driyarkara hal

itu disebut sebagai mentalitas primitif.28

Sampai di sini, jika kita mencoba menilik argumentasi yang dibangun oleh

Driyarkara, kita bisa menarik sedikit kesimpulan bahwa persatuan Indonesia

terbangun dan terjalin dengan kuat atas segala perbedaan yang ada, lebih dari itu

persatuan tersebut pada akhirnya menjadi sebuah keunikan tersendiri sekaligus

identitas bangsa Indonesia. Jika kita menilik Hakikat dan Muatan Filsafat

Pancasila karya Hardono P. Hadi, kita bisa menemukan Pancasila sebagai jati diri

bangsa Indonesia yang terbangun atas kesatuan yang utuh dan seimbang dari

suatu masyarakat atau manusia, dan kesatuan tersebut setidaknya merangkum tiga

aspek yakni; kesatuan yang terbentuk atas interaksi masyarakat beserta nilai-nilai

yang mempersatukan sekaligus mengikat individu yang mengarahkan jalannya

kehidupannya (kepribadian), unsur kesamaan yang memberi ciri khas kepada

27 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 953 28 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 954

Page 101: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

111

masyarakat dari waktu ke waktu (identitas diri), kekhasan yang dimiliki dalam

pergaulannya (keunikan).29

Pada akhirnya, kita sampai pada soal gambaran yang dituntut oleh sila ini.

Menurut Driyarkara, atas persinggungan kebangsaan dan tanah air tadi, membuat

putra bangsa memandang kebangsaan sebagai pemberi nilai kehidupan. Dalam

konteks ini, dia melekatkan diri kepada tanah air dengan cinta yang membangun,

cinta yang membangun bisa diartikan sebagai cinta yang menyebabkan putra

bangsa tersebut turut andil dalam semua penyelenggarakan kebaikan dan

perbaikan di negara itu dalam berbagai lapangan. Dalam soal dedikasi inilah

menunjukkan bahwa gagasan yang mengharuskan segala-galanya diseragamkan

jelas telihat non-sens, karena dalam pelaksanaan membangun itu harus ada

bhineka tunggal.30

D. Implikasi Dari Sila Keempat

Sila keempat atau disebut oleh Driyarkara sebagai sila demokrasi.

Baginya, hal pertama tentang demokrasi adalah tentang pengakuan pribadi

manusia (person), berikut juga demokrasi kekeluargaan yang melekat dalam alam

kita, berakar dari pengakuan manusia secara person. Bagi driyarkara, manusia

demokratik adalah manusia yang melihat dirinya sendiri juga manusia lainnya,

dalam alam kebudayaan Indonesia pandangan ini berarti melihat sesama sebagai

anggota dari suatu keluarga. Ia melukiskan bagaimana hubungan itu berada

29 Hardono, P. Hadi, Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius,1994), h. 66

30 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 955

Page 102: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

112

seperti desa zaman dulu dengan keadaan sederhana, tempat dimana sekelompok

manusia hidup bersama dan diikat oleh hubungan keluarga.31

Perihal semangat dan rasa kesatuan di Indonesia ini bagi Driyarkara

menyisakan sisi positif dan negatif. Dalam sisi negatif misalnya, tenggelamnya

manusia individual dalam kesatuan, individu disini merujuk pada beraninya

seseorang dalam mengungkapkan pikiran sendiri, pendapat pribadi, pola-pola

perbuatan lahir dari tekanan sudut pandang keumuman, orang tidak berani berdiri

sendiri, segan bertukar pikiran dan berselisih argumen. Tetapi kembali lagi,

menurutnya semua itu menunjukkan kurangnya kedewasaan.32 Kemampuan-

kemampuan individu tersebut terkurung dan cenderung kalah dari hal-hal yang

bersifat mayoritas. Dalam hal ini jika bertolak dari uraian tersebut, setidaknya

sebagai contoh kita akan melihat bagaimana kontestasi poltik akhir-akhir ini

seakan-akan menyita kebebasan pendapat seseorang kedalam dua zona, antara

hitam atau putih, antara pasangan nomor satu atau pasangan nomor dua.

Dalam wilayah hubungan demokrasi dengan dasar negara. Driyarkara

memandang soal ini dengan menunjukkan akan adanya bermacam-macam pola

dan tindakan yang ditimbulkan oleh demokrasi. Misalnya, satu norma yang

muncul disebabkan oleh alam demokrasi bahwa segala sesuatu berdasarkan

hukum, maka dari itu kekerasan tidak boleh mendapatkan tempat. Berikut juga

dengan ancaman misalnya, jika suatu orde pemerintahan, dalam kasus ini

Driyarkara mengambil contoh orba yang dikritik dengan cara yang rasional dan

31 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 947 32 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 948

Page 103: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

113

objektif, maka sudah seharusnya tidak boleh ada ancaman atau menganiaya

wartawan, atau masayarakat sipil sekalipun, berikut pula dengan penganut

kekuasaan tidak boleh main paksa dengan menggunakan dalil keadilan dan

kebenaran. Singkatnya dari norma ini, tidak boleh menggunakan kekerasan

sedikitpun, dan bertindak sesuai hukum, sabar, dan menerima pendapat orang

lain.33

Jika kita menilik sedikit tentang apa yang disampaikan oleh Matthew

Lippman terkait isu penganiayaan dalam hak-hak asasi manusia, bahwa

penganiayaan dipergunakan oleh rezim-rezim dengan satu atau banyak tujuan,

misalnya mencari informasi dari orang yang tutup mulut, atau juga sebagai upaya

rezim yang kurang mendapat dukungan rakyat untuk menanamkan suatu iklim

ketakutan dan apatis politik pada populasi umum.34

Terkait apa yang kita sebut sebagai musyawarah, khususnya dalam

wilayah orang-orang yang duduk dalam kursi legislatif dalam persidangan,

Driyarkara menegaskan bahwa musyawarah pada dasarnya adalah hal yang sangat

baik, tetapi orang tidak boleh mengatas namakan musyawarah untuk menghindari

atau takut berselisih pendapat, dan menutupi sifat kurang dewasa.35 Kenapa

demikian? Karena baginya, hal ini cenderung membuat orang mudah

berkompromi dan segan debat-mendebat, karena dalam debat-mendebat

merupakan sebuah usaha untuk mencari dan melihat persoalan seluas-luasnya.

33 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 949 34 Mathew Lippman dkk., Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia; Isu dan

Tindakan, diterjemahkan oleh Ahmad Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993),

h. 42 35 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 949

Page 104: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

114

Dalam corak selanjutnya, demokrasi melukiskan sifat dan sikap gotong

royong. Driyarkara mengajukan contoh seperti kehidupan di desa, terlepas dari

perubahan-perubahan yang ada, kita dapat menemukan bagaimana orang-orang

bagaimana orang saling bahu-membahu membangun jembatan, menggali selokan,

menebang pohon, membangun rumah, dan sebagainya. Di sini yang perlu menjadi

catatan adalah, bagaimana orang-orang mengadakan kesatuan kerja, dan jiwanya

tertanam rasa kesanggupan untuk membuat kesatuan kerja atau bekerja sama.

Dalam semangat kesatuan yang bersifat kekeluargaan inilah idealitas yang harus

dipunyai tiap manusia Indonesia, bukan hanya para angota DPR, MPR, dan badan

eksekutif yang ada.36

Pada akhirnya, idealitas yang terungkap dalam sila ini adalah pandangan

keseluruhan bangsa manusia sebagai keluarga besar. Bagi Driyarkara, keseluruhan

tersebut dilihat dan dialami sebagai teamwork, dalam usaha cara-cara kerjanya,

tentu dengan penakanan bahwa dia bekerja sebagai manusia, hal ini penting

karena dengan begitu akan mengakui dan menjujung tinggi manusia dan

muncullah apa yang kita sebut sebagai rasa saling menghormati. Tetapi, perihal

permasalahan yang meyangkut kepentingan sesama manusia, maka tidak boleh

segan-segan untuk bertukar pikiran dan berselisih argument, tetapi tentu dengan

cara dan rule yang baik dan halus. Karena adanya rasa hormat tadi, maka tidak

boleh menghalangi pendapat orang lain, harus bisa menerima jika pendapatnya

tidak diterima, dan suatu kritikan harus dipandang sebagai hal yang biasa. Karena

36 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 950

Page 105: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

115

pada dasarnya, alam demokrasi adalah tempat dimana sebuah kedewasaan

berada.37

E. Implikasi Dari Sila Kelima

Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia menunjukkan kepada

kita akan adanya hubungan antar manusia serta dengan dunianya. Dari sini

tergambar bagaimana corak manusia yang menurut kodratnya dituntut supaya

menjalankan Keadilan Sosial. Tentang hal ini, Driyarkara memberi penjelasan

bahwa tiap-tiap manusia menurut strukturnya Bersatu dengan manusia lainnya,

dan tidak bisa tanpa manusia lainnya. Hal ini menunjukkan jika manusia tidak

hanya lahir dan dibesarkan oleh orang tua dan masyarakatnya, tetapi juga

menunjukkan bahwa manusia itu hanya bisa berkembang sebagai manusia dan

mencapai kesempurnaannya dalam kesatuan dengan sesama.38

Driyarkara menggaris bawahi bahwa manusia itu berupa pribadi roh

(person), hal ini menjadi pokok dari manusia karena merupakan sebab harus

adanya keadilan sosial. Manusia yang berdasarkan sifatnya adalah makhluk sosial,

dalam hal kerja sama ini pula manusia tidak boleh dijadikan objek, dan tidak

boleh direndahkan. Karena pada dasarnya, manusia sebagai person mencerminkan

Tuhan, oleh sebab itu tugas berat yang dituntut dari sifat besar itu, manusia tidak

bisa meletakkan kedudukan manusia dengan rendah.39

37 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 951 38 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 941 39 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 942

Page 106: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

116

Terkait gambaran dasar manusia yang dituntut dalam sila keadilan sosial,

ada beberapa uraian penting yang diajukan olehnya. Pertama, pada dasarnya

manusia yang menyelenggarakan keadilan sosial itu mengakui sesamanya sebagai

person, dari itu maka akan terjalin hubungan yang kita sebut kerja sama, karena

dari inilah akan terlihat bahwa manusia tidak tergambarkan sebagai individu

melainkan sebagai anggota masyarakat, dan secara bersama-sama dalam

masyarakat ia akan menyelenggarakan hubungannya dengan alam materi, dan

secara lebih jauh, hal ini bertujuan untuk kebahagiaan bersama.

Menurutnya, hal-hal tersebut diselenggarakan dalam berbagai macam

institusi dan struktur yang berbeda dengan alam liberalisme. Dimana pada

prinsipnya Keadilan Sosial misalnya saja dalam alam kaum buruh, yakni dengan

membuang pandangan manusia yang dijadikan objek belaka oleh manusia

lainnya, ketika dimana industri tumbuh dan membuat pekerjanya tidak

mempunyai hak, tidak bisa menuntut, karena para pekerja seolah-olah hanya

sebatas tungku produksi dan pada akhirnya tidak ada aturan pekerjaan dengan

jelas, sedangkan penguasa mencari untung sebesar-besarnya sedangkan upah

diturunkan serendah-rendahnya. Atau contoh lain misalnya, dimana semua

manusia dipandang sama di mata hukum tanpa peduli status sosial yang ada.40

Bagi Driyarkara, dalam alam Pancasila berbagai macam institusi dan

struktur ekonomi yang sedemikian itu, dimana manusia yang satu tidak dijadikan

objek oleh manusia lainnya, maka di situ pada hakikatnya ada kesamaan hak dan

derajat. Meskipun tentu saja terdapat perbedaan fungsi, perbedaan kekayaan,

40 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 944

Page 107: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

117

tetapi dalam idealitasnya keseluruhan masyarakat Pancasila ditujukan untuk

melaksanakan kemakmuran bersama. Atas dasar ini, Driyarkara menekankan

bahwa fungsi dari kekuasaan tidak berarti keleluasaan untuk menjadikan manusia

sebagai alat, melainkan mengatur dan menyelenggarakan kerja sama atas berbagai

macam perbedaan fungsi dalam hierarkis yang ada menjadi sebuah kesatuan.

Singkat kata, orang dalam struktur terendah tidak bersikap sebagai kuli,

sedangkan atasan pun tidak bersikap sebagai penjajah.41

Ada satu hal lagi yang menjadi perhatian serius Driyarkara, tepatnya pada

soal Keadilan Sosial dan Swasta. Segala macam institusi yang ada tentu harus

diarahkan pada kesejahteraan umum, tentu saja pemilik modal berhak

mendapatkan keuntungan yang layak, tetapi sebuah keuntungan terlalu besar yang

didapat dari kerugian masayarakat yang pada akhirnya menyebabkan timbunan

kekayaan pada perorangan. Jika menggunakan dalil ini saja, maka akan tampak

bahwa seseorang telah melanggar sila Keadilan Sosial, jika perusahaannya

berjalan dengan baik, tetapi pembayaran gaji pekerja yang tidak mencukupi.

Bukan hanya itu saja, tetapi sila Keadilan Sosial juga menuntut Keadilan Sosial

dalam setiap transaksi dimanapun tempatnya, di pasar, di warung, ongkos

kendaraan sekalipun.

Tetapi jika kita melihat praktek di negara kita ini, mungkin kita akan

menjumpai fakta yang begitu menyedihkan dan begitu kontradiktif. Dimana kita

akan menemui semangat menjual dengan harga semahal-mahalnya, penimbunan

barang kebutuhan sehari-hari atau apapun itu yang menimbulkan kelangkaan dan

41 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 945

Page 108: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

118

melepasnya ke pasaran ketika harga melambung tinggi, kemudian kecenderungan

penipuan. Driyarkara juga menujukkan bagaimana orang berlaku kontradiktif,

dimana orang-orang berteriak-teriak tentang sosialisme dan keadilan sosial tetapi

pada praktek kesehariannya begitu jauh dengan apa yang diteriakkan.42

Atas berbagai situasi tersebut, Driyarkara menekankan bahwa, negaralah

yang wajib menciptakan berbagai macam struktur sosial yang ada berjalan sesuai

dengan fungsi dan bernaung di bawah struktur alam Pancasila. Tetapi tindakan-

tindakan negara saja tidak akan pernah cukup jika tanpa tiap-tiap perorangan itu

sendiri tidak mempunyai semangat sosial. Dan tidak mungkin juga jika segala-

galanya dalam hidup manusia diatur oleh negara, karena pada prakteknya,

sebagian besar kehidupan kita tergantung pada pada diri kita sendiri. Pada

akhirnya, Driyarkara hendak menyampaikan sebuah pesan pada kita bahwa;

“Bila kita terus saja bersemangat menghisap,

bersemangat mencari untung kita sendiri sebesar-besarnya,

dengan siap sedia untuk mengorbankan orang lain, maka sila

Keadilan Sosial tetaplah cita-cita yang hampa belaka. Maka,

manusia Indonesia wajib betul-betul menyadari gambaran

manusia yang dituntut oleh sila kelima itu. Tetapi, lebih dari itu

dia dibebani atau wajib untuk menciptakan kemakmuran

bersama sedapat-dapatnya dalam semua kerja sama.

Janganlah kita merasa lepas dari wajib ini, sekalipun

dalam hal-hal yang kecil”.43

Pada akhirnya, uraian panjang yang begitu kompleks serta sarat nilai

luhur dalam masing-masing sila telah membuka ruang pertanyaan besar untuk

kita ajukan. Jika sedemikian luhur cita-cita bangsa kita, sedang kita hari ini

dihadapkan pada realitas yang cukup membuat kita mengerenyitkan dahi.

42 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 946

43 Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara, h. 947

Page 109: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

119

Pertanyaan tersebut adalah, bagaimana cita-cita luhur tersebut dapat

diimplementasikan secara efektif untuk kita semua?

Memang dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah refleksi manusia itu

sendiri, dengan penekanan tiap-tiap individu sebagaimana yang telah

disinggung oleh Driyarkara, bukan berarti pemerintah bisa lepas tangan begitu

saja, melainkan cita-cita tersebut dapat terwujud dengan kehadiran pemerintah.

Mengutip uraian Yudi Latif bahwa, jalan untuk mencapai keadilan sosial

menghendaki partisipasi pelaku usaha dan masyarakat dalam mengembangkan

kesejahteraan, tentu dengan kapasitasnya masing-masing, mereka harus

bergotong royong dalam memajukan kesejahteraan umum, mengembangkan

jaminan pelayanan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melakukan

pembangunan berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian dengan karakter

kemandirian, sikap hemat, etos kerja, serta ramah lingkungan.44

Berdasarkan urain-uraian panjang Driyarkara tentang Pancasila,

rasanya ajaran-ajaran dan visi kehidupan yang diketengahkan olehnya bersifat

universal dan tidak terbatas pada ajaran agama manapun, tetapi lebih kepada

manusia dan kehidupan secara kompleks. Dengan demikian, sudah selayaknya

manusia Indonesia benar-benar meresapi dan menjankan Pancasila secara riil

dan tidak sebatas slogan atau legitimasi kosong belaka.

44 Yudi Latif, Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan, (Jakarta: Mizan, 2014)

h. 595

Page 110: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

120

F. Analisis Kritis Perspektif Etika Islam

Secara umum, uraian mengenai Pancasila yang dibangun Driyarkara

dimaksudkan untuk mingkatkan budi luhur serta ketaqwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Sebagaimana telah disinggung pada bab III, pembahasan ini

akan lebih menarik dan variatif jika menghadirkan argumen etika Islam untuk

meninjau muatan etika Pancasila.

Pada dasarnya, prinsip etika Pancasila di dalamnya memuat tentang

hubungan hak dan wajib, dengan penekanan yang lebih pada penunaian

kewajiban. Pada titik ini, manusia yang bermoral adalah manusia yang

menunaikan kewajiban, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, Tuhan, dan

alam lingkungan. Terkait hal ini, rasanya menghadirkan Ibn Miskawaih

sebagai kacamata peninjau atas prinsip-prinsip etika di atas menjadi alasan

yang logis, jika dilihat dari track dan karyanya yang fenomenal yakni

Tahdzibul Akhlak serta julukannya sebagai bapak etika Islam.45

Jika Driyarkara menunjukkan bahwa dasar Pancasila adalah cinta kasih

kepada Tuhan dan sesama.46 Maka hal tersebut dapat juga ditemukan pada

konsep mahabbah (cinta) yang merupakan unsur dari bangunan etika Ibn

Miskawaih. Cinta dalam tatanan ini, terbagi pada dua macam: pertama, cinta

kepada Allah, kedua, cinta kepada sesama manusia (terutama cinta murid

45 Agus Darmaji “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn

Miskawaih” (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), h. 25 46 Driyarkara. ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat

Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta; Gramedia, 2006), h. 857

Page 111: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

121

kepada gurunya).47 Selain itu, etika Pancasila yang digali oleh Driyarkara

bersifat relijius tetapi dalam sila Ketuhanan itu sendiri tidak bersumber pada

salah satu ajararn agama manapun. Sedangkan etika yang dibangun Ibn

Miskawaih juga sangat relijius dan tentu bermuara pada ajaran Islam.

Terkait sila kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam uraian etika Ibn

Miskawaih, keadilan juga termasuk dalam unsur penting dalam bangunan

teoritiknya, keadilan oleh Ibn Miskawaih didefinisikan sebagai kesempurnaan

dan pemenuhan ketiga keutamaan yakni: kesucian diri, keberanian, dan

kebijaksanaan yang hasilnya adalah keseimbangan (al-i’tidal) atau persesuaian

(al-nisbat) antara ketiga macam potensi jiwa: al-bahimiyyat, al-ghadabiyyat,

dan al-nathiqat.48 Tiga keutamaan tersebut pada dasarnya bersumber pada

ajaran jalan tengah (al-wasath), ajaran jalan tengah ini di artikan antara lain

sebagai keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah

atara dua ekstrem. Tetapi ia tampak cenderung berpendapat bahwa keutamaan

moral secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan

dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Di mana jiwa manusia

oleh Ibn Miskawaih diklasifikasikan pada tiga fakultas yakni; jiwa al-

bahimiyyat, jiwa al-ghadabiyat, dan jiwa al-nathiqat. Dari tiga klasifikasi

tersebut kemudian memunculkan posisi tengah dari jiwa al-bahimiyyat adalah

menjaga kesucian diri (al-iffat). Posisi tengah jiwa al-ghadabiyat adalah

keberanian (al-Syaja’at). Posisi tengah jiwa al-nathiqat adalah kebijaksanaan

47 Ahmad Azhar Basyir “Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika Pancasila” h. 21 48 Agus Darmaji “Laporan Penelitian Pengaruh Etika, . 41

Page 112: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

122

(al-hikmat). Dan gabungan dari posisi tengah ketiganya disebut dengan

keadilan. 49

Ibn Miskawaih berpendapat bahwa manusia yang adil bukan hanya

memperoleh keseimbangan atau harmoni pribadi melainkan juga dengan orang

lain. Adapun keadilan yang kaitannya dengan orang lain, Ibn Miskawaih

membaginya pada tiga hal; 1. Pembagian harta dan kehormatan (al-karamat), 2.

Muamalah yang disengaja (al-mu’amalat al-iradiyyat), 3. Pembagian sesuatu.

Terkait cara untuk memperoleh keadilan dalam pembagian harta dan kehormatan,

dapat menggunakan perbandingan ilmu hitung.50

Menurut Ibn Miskawaih keadilan yang diupayakan manusia diarahkan

kepada keadilan terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Pada kedua arah

keadilan ini masing-masing mempunyai tingkatan kesulitan tersendiri. Keadilan

untuk diri sendiri berarti keseimbangan dan keharmonisan masing-masing jiwa

yang ada di dalam dirinya. Sementara itu, cara memperoleh keadilan terhadap

orang lain dapat diacapai melalui berbagai pendekatan seperti bilangan, atau

persesuaian yang berarti harus tercapainya suatu kesamaan atau kesetaraan. Pada

akhirnya, secara garis besar yang dimaksudkan oleh Ibn Miskawaih adalah

terciptanya keserasian pribadi dengan lingkungannya yang meliputi sesama

manusia, alam, dan Tuhan.51

Menyangkut upaya untuk mencapai posisi tengah masing-masing jiwa

manusia, bagi Ibn Miskawaih di sinilah fungsi syari’at dan filsafat dihadirkan, dan

49 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 26 50 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 45 51 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 47

Page 113: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

123

menempati posisi penting pada tempatnya masing-masing. Syari’at berfungsi

untuk terciptanya posisi tengah dari jiwa al-bahimiyyat, dan al-ghadabiyyat.

Sedangkan filsafat berfungsi untuk terciptanya posisi tengah jiwa al-nathiqat,

argumen ini didasarkan atas kecenderungan jiwa al-bahimiyyat dan al-

ghadabiyyat pada materi, sedangkan jiwa al-nathiqat berlawanan dari kedua jiwa

tersebut.52

Berdasarkan sketsa tersebut, secara umum uraian-urian yang diberikan Ibn

Miskawaih tentu lebih komprehensif, melihat bagiamana posisi dan unsur-unsur

yang saling berkaitan, dengan titik tolak pada jiwa dan potensi manusia.

Keseimbangan yang dihasilkan antara ekstrem negatif dan ekstrem positif, akan

menyelamatkan seseorang pada sesuatu yang berlebihan. Nilai-nilai tersebut

dinamis dan sangat relevan sampai detik ini. Semangat keberagamaan misalnya,

jika tanpa rasa keadilan yang beradab akan membawa orang pada fanatisme

ekstrim dan ekslusif, dan tentu masih banyak lagi sisi-sisi sosial aplikatif lainnya.

Pada tahap ini, rasanya dapat dikatakan bahwa uraian etika Pancasila yang

dibangun Driyarkara tidak berlawanan dengan ajaran Islam terutama pada

hubungan vertikal (hubungan kepada Tuhan) dan horizontal (hubungan kepada

sesama manusia, dan alam).

52 Agus Darmaji “Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn Miskawaih” h. 50

Page 114: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

124

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelukisan Pancasila sebagai weltanschauung oleh Driyarkara, berarti

sedang membicarakan nilai-nilai Pancasila yang merupakan etika kehidupan

bersama bangsa bangsa Indonesia yang bersifat praksis, dalam artian nilai-nilai

tersebut hadir dan menjadi dorongan yang melahirkan perbuatan-perbuatan sehari-

hari. Etika Pancasila merupakan refleksi kritis terkait prinsip-prinsip kelayakan

atau kebaikan dalam pengambilan sebuah putusan tindakan dalam lingkup

kehidupan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan kualifikasi isi

dari sila-sila Pancasila.

Dalam etika Pancasila, setidaknya terdapat tiga teori pendekatan; pertama,

deontologis sebagai pertimbangan kebaikan sebagai kewajiban serta

penuntuntunan kepada kesadaran ber-Pancasila dari masa ke masa yang adaptif

terhadap nilai kebudayaan baru. Kedua, teleologis berupa pedoman bagi

masyarakat Indonesia dalam mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara.

Ketiga, keutamaan berupa susunan nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia tentang

kehidupan yang dianggap baik dalam menghadapi diri sendiri, sesama,

lingkungan hidup, serta ketaatan kepada Tuhan.

Sebagai nilai luhur sekaligus cita-cita ideal, bagi Driyarkara sila

Ketuhanan Yang Maha Esa berimplikasi pada kesadaran manusia atas realitas

Page 115: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

125

dirinya, penghambaan kepada Tuhan meciptakan asas cinta kasih dan menjadi

asas dasar untuk berperilaku kepada diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidup.

Sila kedua berimplikasi pada kesadaran manusia sebagai manusia serta dorongan

untuk berbuat adil dan beradab kepada diri sendiri, kepada sosial, kepada

religiusitas, dan segala aspek kehidupan. Sila ketiga berimplikasi pada kesadaran

dan rasa persatuan yang dirajut oleh segala macam perbedaan yang ada dan

mendorong manusia untuk saling menghormati dan bekerja sama. Sila keempat

mendorong manusia demokratik yang berarti melihat dirinya juga manusia

lainnya, artinya manusia demokratik menghargai pendapat dan mendukung hak

orang lain sekaligus menolak berbagai kekerasan serta intimidasi, demokratik juga

melukiskan sifat dan sikap gotong royong. Sila kelima mendorong manusia untuk

menjalankan perannya sebagai makhluk sosial dalam segala lini dan segala strata

sosial, dalam sila Keadilan Sosial, manusia dituntut untuk tidak menjadikan

sesama manusia lainnya sebagai objek dan mengeksploitasi hak-hak non-

derogable nya, sila ini juga menuntut manusia untuk tidak bersemangat

‘menghisap’ dan mencari keuntungan sendiri sebanyak-banyaknya.

B. Saran

Dari hasil penelitian tersebut tentang etika Pancasila dan implikasinya

persprektif Driyarkara, kajian ini belum memetakan pemikiran Driyarkara tentang

Pancasila secara utuh dalam berbagai sudut bahasan serta pengaruh pemikiran

Driyarkara dalam dunia intelektualitas di Indonesia. Oleh karena itu masih

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memetakan pengaruh pemikirannya.

Page 116: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

126

Tujuan akhir dari sebuah pemikiran tidak hanya menjadi bahan diskusi secara

filosofis, tetapi menjadi bukti praksis bagi kehidupan bermasyarakat.

Hal-hal yang telah dipaparkan dalam skripsi ini hanyalah sebagian dari

pemikiran Driyarkara. Skripsi ini bermaksud dan diharapkan sebagai salah satu

usaha untuk menguak sedikit dari pemikiran Driyarkara. Penyusun berharap

penelitian yang sangat terbatas ini dilanjutkan, karena penyusun merasa penelitian

ini masih jauh dari kata sempurna, kritik yang sekiranya membangun sangat

dinantikan. Semoga bermanfaat.

Page 117: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

100

DAFTAR PUSTAKA

Alfan. Muhammad, Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011

Al-Jihad, Saddam. Pancasila Ideologi Dunia; Sintesis Kapitalisme, Sosialisme,

dan Islam. Ciputat: Alvabet, 2018

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997

Basyir, Ahmad Azhar. Perbandingan Antara Etika Ibnu Miskawaih dan Etika

Pancasila. (Jurnal Filsafat, UGM)

Bolo, Andreas Doweng. Bartolomeus Samho. Stephanus Djunatan. Sylvester

Kanisius Laku. Pancasila Kekuatan Pembebas. Yogyakarta: PT. Kanisius,

2012

Dahri Tiam, Sunardji. Berkenelan Dengan Filsafat Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 2001

Darmaji, Agus “Laporan Penelitian Pengaruh Etika Aristoteles pada Etika Ibn

Miskawaih” (Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999)

Darmodiharjo, Darji. dkk, Santiaji Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, Cetakan

ke-10, 1991

Darmosoegondo, Soesanto. Falsafah Pancasila, Bandung: Alumni, 1977.

Driyarkara, ed, Karya Lengkap Driyarkara Esai-Esai Filsafat Pemikir yang

terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2006

Page 118: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

101

Facruddin, Azis Anwar. Polemik Tafsir Pancasila. Yogyakarta: CRCS, 2018.

Fatikhah. Nur, Kode Etik Mahaiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2012-2015 Dalam Perspektif Etika. Skripsi Prodi Aqidah Filsafat Fakultas

Ushuluddin UIN Jakarta

Hadi, P. Hardono. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Kanisius,

1994

Ihsan, H.A Fuad. Filsafat Ilmu. Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2010

Kaelan, M.S, Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma, Edisi kedelapan,

2010

Kurnawi, Basyir, Pancasila dan Kewarganegaraan. Surabaya: Sunan Ampel

Press, 2013

Latif, Yudi. Revousi pancasila, Jakarta: Mizan 2017

Latif, Yudi. Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan, Jakarta: Mizan

2016.

Lubis, T. Mulya. Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia; Isu dan

Tindakan. Jakarta: Yayasan Obor & USAID, 1993

Nizar, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih, Jurnal Aqlam : Journal of Islam and

Plurality Volume 1, No. 1 Juni 2016

Notonagoro. Pancasila Dasar falsafah Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1984

Page 119: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

102

Pranarka, A.M.W. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS,

Cetakan I, 1985)

Rachels, James. Filsafat Moral, diterjemahkan oleh A. Sudiarja. Yogyakarta:

Kanisius, 2004

Said Ali. As’ad, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:

LP3ES, 2009

Salam, Burhanuddin. Etika Individual. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2000

Soerprapto, Sri. Konsep Mohammad Hatta Tentang Implementasi Pancasila

Dalam Perspektif Etika Pancasila. Yogyakarta: Jurnal Filsafat Vol. 23,

Nomor 2, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 2013

Sukarno. Ir, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta: Media

Pressindo, Cet. II, 2017

Sukmono, Banin Diar. Etika Driyarkara dan Relevansinya di Era Postmodern.

Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 1, April 2013

Sunoto, Mengenal Filsafat pancasila: pendekatan melalui Metafisika, Logika,

Etika, Yogyakarta: Hanindita, 1985.

Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.

Jakarta, Pustaka Filsafat, 1985

Swie Ling. Tan, Masa Gelap Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia. Depok:

Ruas, 2014

Page 120: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

103

Rozak, Abdul. A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat

Madani, Jakarta: Prenadamedia Group. 2012

Team Pembinaan Penataran dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia,

Bahan Penataran: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila, Jakarta, 1981

Titus. Harold H. dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, penerjemah H.M. Rasjidi.

Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Widisuseno, Iriyanto. Azas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar

Negara. Jurnal Humanika Vol. 20, No.2, 2014

Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Ciputat: Logos Wacana Ilmu,

1999

Yudistira, Aktualisasi & Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Menumbuh

Kembangkan Karakter Bangsa, (Jurnal Seminar Nasional Hukum, Vol.

2, Fakultas Hukum UNNES, 2016),

LAMAN INTERNET

https://afi.ushuluddin.uinjkt.ac.id/index.php/visi-dan-misi/

http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-tahbisan/

http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/35-dari-djenthu-

hingga-driyarkara diakses pada 11/08/19

http://www.driyarkara.ac.id/index.php/component/k2/item/55-biografi-singkat-

prof-dr-n-driyarkara-sj diakses pada 11/07/2019 pukul 20:08

Page 121: ETIKA PANCASILA DAN IMPLIKASINYA PERSPEKTIF DRIYARKARA

104

https://translate.google.com/translate?u=https://en.wikipedia.org/wiki/Propaedeuti

cs&hl=id&sl=en&tl=id&client=srp

https://id.wikipedia.org/wiki/Interniran diakses pada 12/07/2019

https://id.wikipedia.org/wiki/Nicolaus_Driyarkara diakses pada 08/08/2019

http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2013/02/teori-belajar-gestalt-

pengertian.html

https://aktual.com/mengapa-pancasila-suatu-keharusan-bagian-6/

Triyudo, Christian. Drijarkara dan Pancasila, artikel diakses dari

https//.academia.edu

https://pojoksatu.co.id/news/berita-nasional/2019/12/04/sudjiwo-tedjo-bilang-

pancasila-tidak-ada-rocky-gerung-presiden-gak-ngerti-pancasila/