Upload
dangdieu
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ETIKA PRANIKAH MENURUT MANGKUNEGARA IV
DALAM SERAT WARAYAGNYA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Kolik Koirudin
(1113033100016)
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ABSTRAK
Etika Pranikah Menurut Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya
Oleh: Kolik Koirudin
Tingginya angka perceraian di Indonesia salah satunya disebabkan
ketidaksiapan setiap pasangan dalam menjalani kehidupan berumah tangga yang
memang sebelumnya belum pernah mereka jalani. Jika tingginya angka perceraian
ini terus dibiarkan, maka dapat merusak tatanan masyarakat dan negara. Keluarga
adalah unit terkecil dalam sebuah negara yang mempunyai peranan penting dalam
mewujudkan tatanan masyarakat dan negara yang berkualitas. Anak-anak sebagai
generasi masa depan tumbuh dan berkembang dari keluarga. Untuk itu perlu
adanya bekal bagi mereka yang akan menjalani kehidupan berumah tangga.
Mangkunegara IV telah menulis buku yang bernama Serat Warayagnya yang
berisi ajaran tentang persiapan untuk berumah tangga. Ajaran ini disampaikan
dalam bentuk tembang macapat mengambil bentuk dandhanggula sebanyak 10
bait yang dibuat pada tahun 1856 M.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui etika pranikah menurut
Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya dan relevansinya dengan ajaran
Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan
merujuk kepada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Melalui penelitian yang penulis lakukan, diketahui etika pranikah yang
diajarkan oleh Mangkunegara IV tidak lepas dari pandangan orang Jawa yang
ingin mencapai keselarasan dan pemeliharaan ketertiban. Menjadikan moral dan
kasusilaan sebagai nilai utama dalam menjalani kehidupan di dalam keluarga dan
masyarakat yang mengatur tindak tanduknya sehari-hari. Serat Warayagnya juga
mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Seperti keseimbangan dalam pengambilan
hak dan kewajiban antara suami-istri dan dalam memilih calon pasangan harus
hati-hati serta teliti, jangan sampai tergoda hanya karena dia cantik, kaya serta
berpangkat.
Meskipun dalam Serat Warayagnya lebih banyak berisi tuntunan bagi laki-
laki dalam memilih calon istri, yang menempatkan perempuan sebagai objek yang
dipilih daripada subjek yang memilih, ini tidak lain sesuai dengan tradisi
masyarakat waktu itu. Namun, bukan berarti hanya laki-laki saja yang berhak
menentukan pilihannya, perempuan pun juga berhak menentukan pilihannya.
Dengan kata lain perempuan berhak menolak permintaan laki-laki apabila ia tidak
menyukainya.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Robbi yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa serta memelihara keduanya. Karena pertolongan-Nya penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam terhaturkan kepada insan
mulia, suri tauladan terbaik, Nabi Muhammad Shalallah „Alaihi wa Sallam dan
semoga kita senantiasa istiqomah mengikuti ajaran-ajarannya dan termasuk
golongan yang beruntung di hari akhir.
Skripsi dengan judul “Etika Pranikah Menurut Mangkunegara IV dalam
Serat Warayagnya” adalah dibuat untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk
mencapai Sarjana Agama (S. Ag.) di Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu terlaksananya penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si. dan Drs. Ramlan A. Gani, M.A.,
selaku dosen pembimbing, yang telah dengan baik hati dan tulus ikhlas
membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Raden Mas (R.M.) Agus Wardani dan seluruh staff Perpustakaan Rekso
Pustoko Pura Mangkunegaran yang telah membantu dan memudahkan penulis
dalam mencari data demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Terkhusus
kepada Ibu Darweni yang telah menerjemahkan Serat Warayagnya dari
bahasa Jawa Kawi ke dalam bahasa Indonesia.
3. Dra. Tien Rohmatin, M.A., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
beserta jajarannya yang telah dengan setia melayani penulis dalam mengurus
segala keperluan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Almarhum ayah tercinta, Abdul Karim, ibu terkece, Ayu Partin, dan adik
terbaik, Shoim Syahroni, yang selalu mendukung dan tidak pernah putus doa
keselamatan serta kesuksesan kepada penulis selama menempuh pendidikan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ajeng Sarah, sosok yang telah menemani, menginspirasi dan memberi
dukungan moral selama penulisan skripsi, dan telah memberi asupan gizi pada
jiwa penulis sehingga menjadi tata, titi, tentrem kerta raharja.
6. Lia Nurrohmatin, sahabat pena penulis yang menjadi tempat bercerita dan
berkeluh kesah.
iii
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
F. Metode Penelitian....................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 13
BAB II ETIKA PRANIKAH
A. Pengertian Etika ......................................................................................... 14
B. Pengertian Pranikah ................................................................................... 20
C. Pengertian Etika Pranikah .......................................................................... 25
BAB III MANGKUNEGARA IV DAN SERAT WARAYAGNYA
A. Biografi KGPAA Mangkunegara IV ......................................................... 29
B. Karya-Karya KGPAA Mangkunegara IV .................................................. 40
C. Serat Warayagnya ...................................................................................... 47
BAB IV ETIKA PRANIKAH MENURUT MANGKUNEGARA IV
DALAM SERAT WARAYAGNYA
A. Etika dalam Bingkai Keharmonisan .......................................................... 65
B. Nilai Kasusilaan dan Budaya ..................................................................... 68
C. Nilai Ajaran Islam ...................................................................................... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 82
B. Saran-Saran ................................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 85
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 90
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
ẖ h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis dibawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ʹ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h wa ھ
apostrof ء
y ye ي
Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a fatẖah َـ
i kasrah َـ
u ḏammah َـ
vi
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي َـ ai a dan i
و َـ au a dan u
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas آ
î i dengan topi di atas إى
û u dengan topi di atas أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (َـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata
.tidak ditulis aḏ-darûrah melainkan al-darûrah الضرورۃ
Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut
diikuti oleh kata sifat (naʹt) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
ودوحدۃالوج 3 waẖdat al-wujûd
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, Muharam
Marzuki, bahwa angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan. Dari
sekitar 2 juta pasangan menikah, 15-20 persen di antaranya bercerai. Angka
perceraian yang diputus pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia tahun
2014 mencapai 344.237, naik sekitar 100.000 kasus dibandingkan pada 2010
sebanyak 241.208 kasus. 1
Berikut data statistik nikah, talak dan cerai, serta
rujuk dari tahun 2012-20142:
Jumlah
2012 2013 2014
Nikah 2.289.648 2.210.046 2.110.776
Talak dan Cerai 297.841 324.527 344.237
Rujuk 11 4 63
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat perceraian di
Indonesia tergolong mengerikan. Jika ini dibiarkan dan angka perceraian terus
meningkat, maka akan hancur tatanan masyarakat dan negara. Keluarga
merupakan unit terkecil dari masyarakat dan negara. Jika unit-unit keluarga
1Bas, “Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim di Indonesia,” artikel diakses pada 07
November 2016 dari balitbangdiklat.kemenag.go.id 2 Tim Badan Pusat Statistik, “Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012-2014,” artikel
diakses pada 03 Februari 2017 dari www.bps.go.id/linkTabelDinamis/view/id/893
2
berkembang dengan baik, maka kehidupan masyarakat dan negara juga akan
berjalan dengan baik. Keluarga mempunyai peranan penting dalam
mewujudkan tatanan masyarakat dan bangsa yang berkualitas karena anak-
anak sebagai generasi masa depan tumbuh dan berkembang dari keluarga.
Disinilah keluarga menempati peran strategis sebagai pembangun generasi
bangsa.
Adapun penyebab terjadinya perceraian sangat beragam, seperti data di
bawah ini:3
No
Penyebab
Perceraian
2009
2010
2011
2012
2013
1
Tidak ada
keharmonisan
72.274
91.841
51.882
91.388
97.615
2
Tidak ada
tanggung jawab
61.128
78.407
42.701
81.227
81.266
3 Ekonomi 43.309 67.891 35.480 70.427 74.559
4
Gangguan pihak
ketiga
16.077
20.199
12.082
23.690
25.310
5
Cemburu
8.284
10.029
5.824
10.524
9.338
6
Krisis akhlak
6.486
7.641
4.217
8.537
10.649
7
Kawin paksa
2.064
2.185
1.140
2.071
3.380
8
KDRT
1.965
2.191
1.605
3.697
4.439
3 Prof. Dr. Abdul Jamil, MA, Bimas Islam dan Majlis Ta‟lim, paparan materi
dipresentasikan dalam Musyawarah Kerja Nasional Himpunan Daiyah dan Majlis Ta’lim Muslimat
NU (HIDMAT MNU), Jakarta, 31 Mei 2014.
3
9
Poligami tidak
sehat
1.196
1.389
758
1.876
1.951
10
Cacat
biologis
865
678
440
737
1.247
11
Menyakiti
mental
587
560
432
1.108
1.491
12
Dihukum
459
418
143
392
714
13 Politis
402
334
327
423
2.094
14
Kawin di bawah
umur
384
550
184
432
600
15
Lain-lain
806
871
364
1.312
4.413
Jumlah
216.286
285.184
158.119
297.841
324.527
Data di atas menunjukkan beragam faktor yang menyebabkan
perceraian, kasus yang dominan adalah karena tidak ada keharmonisan dalam
keluarga dan tidak ada tanggung jawab. Oleh sebab itu perlu diberikan bekal
kepada calon pengantin bagaimana mewujudkan keharmonisan dalam
keluarga dan tanggung jawab suami istri dalam keluarga. Dengan bekal yang
memadai, diharapkan pasangan yang akan menikah siap untuk mengarungi
bahtera rumah tangga, siap menghadapi masalah yang mungkin terjadi serta
sudah siap dengan solusinya.
Pendidikan bagi calon pengantin merupakan upaya untuk
mempersiapkan individu yang akan melangsungkan pernikahan dan
membentuk keluarga, sehingga dapat mewujudkan keluarga yang harmonis,
4
bahagia lahir dan batin, melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat.
Menurut Undang-Undang Perkawinan (UUP) No. 1 Tahun 1974: Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.4 Dapat juga dikatakan
sebagai pertalian antara dua manusia pria dan wanita yang berisi persetujuan
hubungan dengan maksud bersama-sama menyelenggarakan kehidupan yang
lebih akrab menurut syarat-syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan
pencipta alam.5 Suami dan istri perlu untuk menjaga hubungan baik, berkasih
sayang dan menciptakan nuansa yang harmonis, yaitu dengan menciptakan
saling pengertian, saling menjaga, saling menghormati, dan saling
menghargai, serta saling memenuhi kebutuhan masing-masing.6 Apabila
sebuah rumah tangga dibangun bukan atas dasar kasih sayang, maka tidak
akan terwujud kebahagiaan.
Hal yang harus dihindari dalam kehidupan berumah tangga adalah
perceraian. Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan atau kehidupan
berumah tangga. Perceraian tidak sejalan dengan tujuan diadakannya
pernikahan, yaitu terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal. Masalah perceraian dalam rumah tangga adalah hal yang kerap terjadi
di masyarakat, dan menurut penulis perceraian menjadi masalah yang serius
4 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publising, 2012), h. 21. 5 H.S.M. Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan Problematika Seputar Keluarga dan Rumah
Tangga (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), h. 13. 6 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), h.
434.
5
dalam sebuah rumah tangga. Dampak perceraian bukan hanya melibatkan
kedua belah pihak, suami dan istri, tetapi juga anak-anak dan keluarga yang
bersangkutan. Secara umum, perceraian kerap terjadi dikarenakan pasangan
tersebut tidak siap menghadapi tantangan yang muncul dalam kehidupan
berumah tangga.7 Ketidaksiapan para pasangan disebabkan kurangnya
pengetahuan mereka tentang hidup pernikahan, yang sebenarnya memang
belum mereka jalankan. Pemahaman tentang pernikahan atau pendidikan
pranikah sangat diperlukan, sebab upaya menyelamatkan pernikahan
sebaiknya tidak dilakukan setelah hidup pernikahan itu berjalan, tetapi jauh
sebelum pernikahan itu terjadi. Alangkah baiknya bila setiap pasangan dengan
rasa tanggung jawab atas pilihan hidup yang diambil, mempersiapkan diri
sebaik-baiknya bagi hidup pernikahan mereka.
Mangkunegara IV (1811-1881 M.), seorang Raja dari keturunan
Mataram, telah menulis buku tentang pedoman pranikah. Karya
Mangkunegara IV tentang pra nikah ialah Serat8 Warayagnya. Ia juga menulis
Serat Darmalaksita yang berisi tentang ajaran menjadi suami istri yang baik
dalam kehidupan berumah tangga.9 Dalam Serat Warayagnya disebutkan dua
bekal utama dalam pernikahan yaitu: akal sehat dan berdasar hukum. Seperti
pada bait ke-2 dalam Serat Warayagnya berikut:
“Kakung putri ing reh palakrami // Sumawana kang sami
jajak // Tan wun têmbe pikramane // Marma tinalyeng wuwus
7 Widya Risnawaty, “Perlukah Pendidikan Pra Nikah?,” artikel diakses pada 25 Maret 2017
dari untar.ac.id/fp/perlukah-pendidikan-pranikah/?lang=id 8Istilah “Serat” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti buku/kitab.
9 Wawancara Pribadi dengan Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016.
6
// Wasitane mêngku pawastri // Ywa dumeh yen wong priya //
Misesa andhaku // Ring darbekireng wanodya // Palakrama
nalar lan kukum kang dadi // Yen tinggal têmah nistha.”
Terjemahannya:
“Bagi putra dan putri yang telah menghajatkan pedoman
berumah tangga // demikian pulan khususnya yang masih
bujangan // apabila kelak tiba saat perkawinannya //
janganlah asal berbicara saja (tentang nikah) // tetapi
perhatikan petunjuk bagaimana memperlakukan istri // jangan
hanya karena kamu laki-laki // lalu merasa berkuasa //
terhadap harta milik perempuan // berumah tangga itu yang
dijadikan pedoman ialah nalar (akal) yang sehat dan hukum
yang berlaku // jika keduanya ditinggalkan niscaya
mengakibatkan kenistaan.”
Apa yang disampaikan oleh Mangkunegara IV ini sangat rasional,
karena tidak ada orang yang akalnya sehat mau menikah dengan orang yang
tidak sehat akalnya. Mangkunegara IV menempatkan akal sehat sebagai syarat
pertama sebelum kedua mempelai menikah. Dalam khazanah Islam,
perbedaan manusia dengan hewan adalah pada akal. Sebagian filosuf muslim
mendefinisikan manusia sebagai al-ḥayawān al-nāṭiq (hewan yang berakal).
Apabila manusia tidak lagi menggunakan akalnya maka sesungguhnya dia
bukan manusia. Ajaran Mangkunegara IV ini sangat rasional. zaman era
globalisasi seperti saat ini, etika rasionalis sangat diperlukan. Gagasan-
gagasan etik lainnya tentang pranikah dalam Serat Warayagnya tampaknya
perlu dikaji lebih dalam.
Secara sosiologis Serat Warayagnya di daerah Jawa terutama di daerah
Solo, Sragen, Ngawi dan sekitarnya sering kali diudarakan lewat radio-radio
7
lokal pada siang hari, waktu sore dan malam hari. Banyak dari mereka yang
mendengarkan tapi tidak mengerti arti dan maksud dari serat tersebut,
mengingat bahasa Jawa yang digunakan pada serat tersebut berbeda dengan
bahasa Jawa yang sekarang karena perbedaan waktu penggunaan yang
terlampau jauh. Perlu adanya kajian secara ilmiah mengenai serat ini agar
diketahui isi kandungannya. Dalam konteks inilah latar belakang
dilakukannya penulisan skripsi dengan judul “Etika Pranikah Menurut
Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas maka penulis dalam melakukan
penelitian ini akan membatasi masalah agar dalam penelitian ini lebih terfokus
dan tidak melebar dari koridor penelitian yang penulis lakukan. Pembatasan
antara lain hanya terfokus pada Serat Warayagnya.
Adapun perumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana etika pranikah menurut Mangkunegara IV dalam Serat
Warayagnya?
2. Adakah relevansi antara etika pranikah menurut Mangkunegara IV dalam
Serat Warayagnya dengan ajaran dalam Islam?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada pertanyaan di atas, maka dapat dirumuskan tujuan dari
penelitian ini antara lain, adalah:
8
1. Meneliti untuk mengetahui secara mendalam etika pranikah yang
diajarkan oleh Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya.
2. Meneliti untuk mengetahui relevansi antara etika pranikah menurut
Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya dengan ajaran dalam Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dengan penulisan skripsi ini diharapkan akan bisa melengkapi dan
memperkaya khazanah pemikiran intelektual Jawa. Dalam skripsi ini
diungkapkan salah satu hasil pemikiran intelektual Jawa pada abad ke-19,
yaitu Serat Warayagnya karya Mangkunegara IV.
2. Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis, antara
lain:
- Masyarakat umum dapat mengetahui bahwa Mangkunegara IV menulis
pedoman praktis persiapan putra-putri sebelum meniti kehidupan berumah
tangga.
- Setiap orang bisa menggunakan hasil tulisan ini untuk diterapkan dalam
mempersiapkan diri sebelum berumah tangga.
9
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil penelitian perpustakaan yang telah peneliti lakukan
terkait tentang judul “Etika Pranikah Menurut Mangkunegara IV dalam Serat
Warayagnya”, bahwa yang sejauh penulis lakukan belum ada yang menulis
dan mengkaji judul ini dalam bentuk skripsi dan hal serupa di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Namun, penulis menemukan Skripsi yang ditulis oleh An Nisa Lestyana
pada tahun 2015 dengan judul “Etika Perkawinan Menurut Mangkunegaran
IV (dalam Serat Warayagnya dan Serat Darmalaksita). Diterbitkan di
Yogyakarta oleh Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta. Yang
banyak menjelaskan tentang pergaulan suami istri, pengelolaan harta gana-
gini dan non gana-gini, serta bagaimana mengelola rumah tangga agar
berjalan lancar dan cara menjaga kehormatan nama suami dan keluarga.
Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), penulis menemukan
Tesis yang ditulis oleh Indraswari Pikatan pada tahun 2012 dengan judul
“Ajaran-Ajaran Berumah Tangga bagi Wanita Jawa dalam Serat Candrarini
Karya Ranggawarsita (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Diterbitkan di Surakarta
oleh Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam
pembahasannya banyak membahas tentang ajaran-ajaran berumah tangga yang
meliputi: merawat diri, mempertahankan rumah tangga, pemaaf, setia, ikhlas,
berbicara manis, rendah hati, merasa memiliki, berhias, berbakti kepada
mertua, dan wanita sebagai pendidik dalam keluarga.
10
Penulis juga menemukan Disertasi oleh Mohammad Ardani dengan
judul “Konsep Sembah dan Budiluhur dalam Pemikiran Mangkunegara IV
Surakarta ditinjau dari Pandangan Islam (Studi mengenai Serat-Serat
Piwulang)” pada tahun 1989, yang kemudian oleh PT. Dana Bhakti
Primayasa, Yogyakarta, 1995, diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul
“Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang)”.
Membahas secara keseluruhan Serat Piwulang karya Mangkunegara IV, yang
berisi ajaran Tasawuf tentang sembah (Sembah Raga, Sembah Cipta, Sembah
Jiwa, dan Sembah Rasa), ajaran tentang budi luhur, serta prinsip-prinsip ibadat
dan akhlak dalam Islam.
Dari tinjauan kepustakaan sebagaimana tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa belum ditemukan kajian secara khusus dan mendalam
mengenai Serat Warayagnya karya Mangkunegara IV, dalam hal ini adalah
ajaran pranikah.
F. Metode Penelitian
Metodologi adalah cara seorang peneliti untuk melakukan penelitian,
yang digunakan untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam
penelitian.10
Adapun langkah-langkah yang akan penulis lakukan adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
10
Jan Joker, dkk., Metodologi Penelitian: Panduan untuk Master dan Ph.D. di Bidang
Manajemen (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 14.
11
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan cara library
research. Library research atau studi kepustakaan adalah segala usaha
yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti.11
Informasi itu
dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-
karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-
ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik
tercetak maupun elektronik lain. Pengumpulan data terdiri dari data primer
dan data sekunder.
- Data Primer
Adalah data yang langsung dikumpulkan peneliti dari sumber
pertama atau pokok.12
Data primer yang penulis gunakan adalah
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, Transkripsi
oleh Mulyadi Mulyo Hutomo dan Muhammad Husodo, (Solo: Rekso
Pustoko, 1980).
- Data Sekunder
Adalah data penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung
atau menguatkan data primer, sehingga kebutuhan informasi terpenuhi.
Data primer ini meliputi buku, jurnal, majalah, koran dan lain-lain
yang dianggap relevan dengan pembahasan pada penelitian ini.
11
Basri MS, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan Teori dan Praktek) (Jakarta:
Restu Agung, 2016), h. 63. 12
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 84-85.
12
Diantaranya adalah karya Moh. Ardani yang berjudul Al-Qur‟an dan
Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang) yang
diterbitkan pada tahun 1998.
2. Analisa Data
Metode yang digunakan dalam penelitian dalam pengolahan data
adalah deskriptif, historis, dan analisa. Deskriptif adalah pemaparan atau
penggambaran atas data yang telah diperoleh dengan kata-kata secara jelas
dan terperinci.13
Historis adalah menguraikan sejarah hidup tokoh, mulai
dari budaya sosial kehidupan, karakter, pemikiran, sehingga dapat
diketahui secara jelas tujuan dan latar belakang terciptanya sebuah karya
dari tokoh tersebut. Analisa adalah menyelidiki terhadap suatu peristiwa
baik berupa karangan, perbuatan maupun pemikiran untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya. Tujuan yang ingin dicapai adalah diketahui
maksud sebenarnya dari pemikiran yang ada dalam sebuah karya tokoh
tersebut, dalam hal ini adalah Mangkunegara IV.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Akademik Program Strata 1 2013/2014 yang dikeluarkan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013. Pada metode transliterasi, penulis
menggunakan buku pedoman yang digunakan oleh Jurnal Ilmu
Ushuluddin terbitan HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
13
Soeharso, Aan Ratnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Semarang: Widya Karya,
2005), h. 37
13
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini, penulis membagi menjadi V Bab. Bab 1 adalah
Pendahuluan. Pendahuluan ini berisi gambaran umum tentang yang
melatarbelakangi ditulisnya skripsi ini. Yang bertujuan untuk menunjukkan
alasan mengapa pentingnya ditulisnya skripsi ini.
Bagian berikutnya adalah Bab II, Etika Pranikah. Bagian ini berisikan
pengertian umum tentang etika, pranikah dan etika pranikah. Yang bertujuan
untuk menunjukkan secara umum pengertian etika, pranikah, dan etika
pranikah.
Bagian berikutnya adalah Bab III, KGPAA Mangkunegara IV dan Serat
Warayagnya. Bagian ini berisi latar belakang kehidupan Mangkunegara IV,
baik secara sosial budaya lingkungan tempat ia tinggal, karakter,
pemikirannya, dan hubungannya dengan Serat warayagnya. Bertujuan untuk
mengetahui latarbelakang terbentuknya pemikiran Mangkunegara IV yang
tertuang dalam karya-karyanya, terutama dalam Serat warayagnya.
Bagian selanjutnya adalah Bab IV, Hasil Kajian Etika Pranikah KGPAA
Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya. Bagian ini berisi analisis secara
menyeluruh terhadap teks untuk mengetahui makna secara bahasa dan maksud
tujuan dari tokoh pembuat teks tersebut dan nilai-nilai apa saja yang
terkandung di dalamnya.
Bagian terakhir adalah Bab V, Penutup. Berisi kesimpulan yang
merupakan jawaban dalam permasalahan tulisan. Bagian ini bertujuan untuk
14
memberikan indikasi keberhasilan atau tidak berhasilnya penulis dalam
menjawab rumusan masalah.
14
BAB II
ETIKA PRANIKAH
A. Pengertian Etika
Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa Yunani,
yaitu ethos yang berarti adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin,
kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan.14
Dalam Bahasa Indonesia
kata ethos sendiri banyak digunakan, seperti dalam kombinasi etos kerja, etos
profesi, etos imajinasi, etos dedikasi, etos kinerja, dan lain-lain.15
Etika
termasuk dalam ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang berarti
juga:
1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan
kewajiban.
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.
3. Nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk dan
kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.
Etika bisa didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala
soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran
dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai
14
Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 4. 15
Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 6.
15
tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.16
Etika menggunakan refleksi dan
metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam
etika dan menerapkan pada situasi kehidupan konkret. Etika tidak hanya
membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab, melainkan
membahas tata sifat dasar, atau adat-istiadat yang terkait tentang baik dan
buruk dalam tingkah laku manusia. Miskawaih dalam karyanya Tahdzid Al-
Akhlāq mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh watak-
watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral
benar secara terorganisir dan tersistem. Kebajikan muncul sebagai
kesempurnaan aspek jiwa yang menggambarkan esensi kemanusiaan, yakni
akal yang membedakan manusia dengan bentuk-bentuk eksistensi lainnya.
Kebaikan manusia meningkat selama mengembangkan dan memperluas
kemampuan yang dimiliki untuk mengasah dan menerapkan akal pada
kehidupan sehari-hari.17
Menurut K. Bertens etika mempunyai tiga cakupan18
,
yaitu:
1. Etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Dalam hal ini etika tidak dimaksudkan “ilmu”, melainkan bisa dirumuskan
juga sebagai “sistem nilai”. Sistem nilai ini bisa berfungsi dalam hidup
manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Misalnya, “etika suku-suku
Indian”, “etika agama Budha”, “etika suku Jawa”, dan lain-lain.
16
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogjakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996), h.
62. 17
Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003), h. 313. 18
K. Bertens, Etika (Yogjakarta: Penerbit Kanisius, 2013), h. 5.
16
2. Etika adalah kumpulan asas atau nilai moral, atau bisa disebut dengan
kode etik. Misalnya pada periode pemerintahan 2004-2009, DPR pernah
mempersiapkan RUU Etika Penyelenggaraan Negara. Di sini “etika” pasti
dipakai juga dalam arti kode etik.
3. Etika adalah ilmu tentang baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila
keyakinan-keyakinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap
baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat menjadi
bahan refleksi kritis bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika
sebagai ilmu dapat membantu juga untuk menyusun kode etik. Etika
dalam arti ketiga ini sering disebut “filsafat moral”.
Etika seringkali dikaitkan dengan filsafat moral, yaitu membahas
moralitas manusia secara kefilsafatan.19
Etika dan moral sama artinya, tetapi
dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau Moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.20
Kita mengatakan, misalnya, bahwa
perbuatan seseorang itu tidak bermoral. Dengan itu dimaksud, kita
menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis
yang berlaku dalam masyarakat, atau kita mengatakan bahwa kelompok
pemakai narkotika mempunyai moral yang buruk, artinya, mereka berpegang
pada nilai dan norma yang tidak baik.
19
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2008),
h. 20. 20
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 13.
17
Menurut istilah (terminologi) para ahli berbeda-beda pendapat mengenai
definisi etika yang sesungguhnya. Masing-masing mempunyai pandangan
sebagai berikut:
1. Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia,
menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya
diperbuat.21
2. Asmaran AS mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik atau
buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran
manusia.22
3. H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai
kesusilaan secara ilmiah.23
4. M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari
tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai teori
perbuatan baik dan buruk (ethics atau „ilm al-akhlāq al-karīmah),
praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.24
21
Ahmad Amin, Etika (Imu Akhlak), Terj. KH Farid Ma’ruf, judul asli Al-Akhlaq, Cet. 3,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 3. 22
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1992), h. 7. 23
H. Devos, Pengantar Etika, (Yogjakarta: Tirta Warna, 1997), h. 4. 24
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 15.
18
5. Poedjawijatna mengertikan etika sebagai ilmu yang mencari kebenaran. Ia
mencari keterangan benar yang sedalam-dalamnya. Tugas etika adalah
mencari ukuran baik buruknya tingkah laku manusia.25
Etika membicarakan tentang perbuatan manusia, mengenai baik dan
buruk suatu perbuatan manusia dengan pertimbangan akal pikiran. Perbuatan
manusia dinilai oleh orang lain berdasarkan atas tindakan yang
dilakukannya.26
Tindakan ini bisa nilai ketika keluar dari diri manusia secara
sadar atas pilihannya.27
Inilah yang disebut pilihan sadar seorang manusia.
Etika menaruh perhatian pada pembicaraan mengenai prinsip pembenaran
tentang keputusan yang telah ada. Etika menyelidiki segala perbuatan manusia
menetapkan hukum baik atau buruk. Akan tetapi, bukanlah semua perbuatan
itu dapat diberi hokum, perbuatan manusia ada yang timbul bukan karena
kehendak (bernafas, bersin, dan lain-lain) dan ini bukan persoalan etika dan
tidak dapat memberi hukum pokok persoalan etika. Etika pada hakikatnya
mengamati realitas sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia secara
kritis. Etika tidak memberikan ajaran ataupun ideologi, melainkan memeriksa,
merefleksi, mengevaluasi, dan menganalisa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai,
norma-norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis.
Etika menuntut agar ajaran-ajaran moral dapat dipelajari dan dihayati
oleh setiap manusia, kemudian dapat dilaksanakan dalam kehidupannya secara
25
Rosyadi Ruslan, Etika Kehumanan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 32. 26
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, h. 33. 27
Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2003), h.
13.
19
nyata, dan dipertanggungjawabkan di hadapan dirinya, orang lain, alam
semesta, dan Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, etika dengan metode
pendekatan kritisnya, berusaha untuk menjernihkan persoalan-persoalan moral
secara benar dan proporsional. Etika dipandang selain menunjukkan sikap
lahiriah seseorang, juga meliputi kaidah-kaidah dan motif-motif perbuatan
seseorang itu.28
Etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan
keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama yang mengenai gerak
gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai
mengenai tujuannya dalam melakukan perbuatan. Moral adalah suatu tindakan
yang sesuai dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial
atau lingkungan tertentu. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa
memerlukan pertimbangan dan pemikiran.29
Yang menjadi sumber akhlak
adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela kalau
dalam Islam adalah Al-Qur’an dan sunah. Apabila dalam etika untuk
menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk tolak ukur yang
digunakan atau sumbernya adalah akal pikiran atau rasio (filsafat), sedangkan
dalam pembicaraan moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma
yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Etika, moral, dan akhlak dilihat dari fungsi dan peranannya dapat
dikatakan sebagai penentu hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang
dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya. Objek dari etika, moral,
28
Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h. 13. 29
Oemar Bakri, Akhlak Muslim (Bandung: Angkasa, 1981), h. 23.
20
akhlak, dan adat istiadat yaitu perbuatan manusia, ukurannya adalah baik dan
buruk.
B. Pengertian Pranikah
Pranikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan
dengan sebelum menikah,30
Yang cakupannya saat dia pacaran, melamar,
bertunangan dan saat-saat sebelum melangsungkan pernikahan. Pernikahan
sendiri merupakan awal terbentuknya sebuah keluarga yang merupakan unit
terkecil dari masyarakat dan negara. Apabila unit-unit keluarga berkembang
baik, maka kehidupan masyarakat dan negara juga akan berjalan dengan baik.
Keluarga mempunyai peran penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat
dan bangsa yang berkualitas, karena anak-anak sebagai generasi masa depan
tumbuh dan berkembang mulai dari keluarga. Disinilah keluarga menempati
peran strategis untuk menyemai generasi bangsa. Mengingat begitu besar dan
strategisnya peran keluarga, maka sudah semestinya calon pengantin yang
akan membangun keluarga menyiapkan diri dengan berbagai bekal yang
memadai.31
Pendidikan bagi calon pengantin merupakan upaya untuk
mempersiapkan individu yang akan melangsungkan pernikahan dan
membentuk keluarga, sehingga dapat mewujudkan keluarga yang harmonis,
bahagia lahir bathin, melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat.
Menurut Widya Risnawaty, Pakar Psikologi Klinis Dewasa, pranikah
merupakan suatu bentuk pendidikan bagi para pasangan yang akan menikah
30
“Arti Kata Pranikah”, diakses pada 19 Juli 2017 dari kbbi.web.id/pranikah 31
Suririn dan Moh Muslim, “Pendidikan bagi Calon Pengantin,” Jurnal Bimas Islam, vol. 7
no. 2 (Jakarta, 2014): h. 224.
21
dengan tujuan untuk mempersiapkan pasangan dalam memasuki hidup
pernikahan.32
Pranikah adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan penumbuhan kesadaran kepada usia nikah dan calon
pengantin tentang kehidupan rumah tangga dan keluarga. Pranikah merupakan
hal yang sangat penting dan bersifat vital sebagai bekal bagi kedua calon
pasangan untuk memahami secara substansial seluk beluk kehidupan keluarga
rumah tangga, apalagi kedua calon tersebut masih remaja dan baru-baru
mencapai puncak yang dinamakan pubertas. Pranikah merupakan suatu bentuk
proses pendidikan yang memiliki cakupan yang sangat luas dan memiliki
makna yang sangat strategis dalam rangka pembangunan masyarakat dan
bangsa Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan adanya pranikah ini maka para calon pengantin bisa belajar,
bagaimana cara untuk mengarungi atau menempuh sebuah rumah tangga. Ada
beberapa persiapan khusus bagi calon pengantin, di antaranya:
1. Persiapan Fisik
Pertumbuhan jasmani dalam fase kehidupan manusia akan
mengalami perkembangan yang sangat signifikan ketika memasuki usia
remaja, karena pada usia sudah mulai tumbuh dan berfungsi organ
reproduksinya. Pertumbuhan fisik akan semakin kuat saat mengakhiri usia
remaja, dan semakin matang ketika memasuki fase dewasa. Faktor usia
menjadi prasyarat dalam melangsungkan pernikahan yang salah satu
32
Widya Risnawaty, “Perlukah Pendidikan Pra Nikah?,” artikel diakses pada 25 Maret
2017 dari untar.ac.id/fp/perlukah-pendidikan-pranikah/?lang=id
22
tujuannya adalah melanjutkan generasi penerus. Di Indonesia menerapkan
bahwa batasan minimal usia menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan
16 tahun untuk perempuan.33
Namun demikian, usia ideal untuk laki-laki
antara usia 25-30 tahun dan perempuan antara usia 20-25 tahun. Ini adalah
usia ideal, di mana usia calon pengantin sudah cukup dewasa. Sangat
beralasan ketika Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKBN) membagi tiga fase terkait upaya mewujudkan generasi yang
berkualitas dengan 3 hal:
a. Menunda perkawinan dan kehamilan di bawah usia 20 tahun.
b. Masa menjarangkan kehamilan pada usia 20-35 tahun.
c. Masa mencegah kehamilan di atas usia 35 tahun. 34
Tidak hanya kesiapan fisik yang dibutuhkan, akan tetapi juga perlu
memahami fungsi dan peran reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi
perempuan, karena dapat mempengaruhi keturunan yang akan melanjutkan
generasi ke depan. Dengan demikian pendidikan kesehatan reproduksi
bagi calon pengantin menjadi wajib diberikan.
2. Persiapan Mental
33
Ahmad Tholabi Kharrlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
202. 34
Adzlan, “Pendewasaan Usia Perkawinan,” artikel diakses pada 05 Juni 2017 dari
http://lampung.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?
23
Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, tenteram dan bahagia,
perlu persiapan mental, antara lain:35
seiman; adanya pemahaman yang
sama tentang tujuan pernikahan; bekal pengetahuan dan wawasan yang
seimbang; dan mempunyai bekal ilmu parenting.
3. Persiapan Sosial dan Ekonomi
Selain persiapan fisik dan mental (psikis), maka harus pula
dipersiapkan secara sosial dan ekonomi. Diantara persiapan dalam lingkup
sosial dan ekonomi adalah:36
a. Latar belakang sosial keluarga. Latar belakang keluarga dapat dilihat
dari pendidikan dalam rumah, bukan pendidikan di sekolah, hal ini
dikarenakan untuk mengetahui kebiasaan calon pasangan ketika telah
menjadi pasangannya kelak.
b. Latar belakang budaya.
c. Pergaulan. Dengan mengetahui lingkungan, teman pergaulan dan
aktivitas memudahkan calon suami dan istri beradaptasi dengan
anggota keluarga kedua belah pihak, tetangga, masyarakat dan
lingkungan.
d. Calon suami dan istri sebaiknya telah mandiri secara ekonomi dan ulet
dalam mencari nafkah.
35
Suririn dan Moh Muslim, “Pendidikan bagi Calon Pengantin,” h. 233-234. 36
Suririn dan Moh Muslim, “Pendidikan bagi Calon Pengantin,” h. 234.
24
e. Mempunyai keterampilan. Calon pasangan suami istri perlu
mempunyai keterampilan, diantaranya: memasak; menjahit; mengurus
rumah tangga; membersihkan dan memperbaiki kerusakan peralatan
dan barang-barang.
Adapun dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia ditemukan
tiga kategori hak dan kewajiban suami dan istri,37
yakni: (1) hak dan
kewajiban bersama, (2) kewajiban-kewajiban suami, dan (3) kewajiban-
kewajiban istri. Adapun yang masuk kategori atau kelompok kewajiban
bersama adalah, (1) sama-sama wajib menegakkan rumah tangga dan
mengenai hal-hal yang penting dalam rumah tangga diputuskan bersama oleh
suami dan istri. (2) Sama-sama mempunyai hak dan kedudukan yang
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat.
(3) Sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. (4) Bermusyawarah
bersama dalam menentukan tempat tinggal (rumah). (5) Wajib saling
mencintai, menghormati, dan seling membantu. (6) Sama-sama mempunyai
hak gugat apabila salah satu melalaikan kewajibannya. (7) Harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (8) Masing-masing
berhak untuk menguasai dan menggunakan harta bawaan, hadiah, dan warisan
masing-masing. (9) Harus persetujuan bersama untuk menggunakan harta
bersama, dan kalau terjadi perceraian, harta bersama diatur menurut hukum
masing-masing. (10) Keduanya harus memiliki tempat kediaman yang tetap.
Dengan adanya pranikah maka diharapkan semua ini dapat dipahami secara
37
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I (Yogjakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2005),
h. 277.
25
baik dan benar oleh setiap mereka yang akan menempuh kehidupan berumah
tangga. Saat seseorang mencari pasangan, ia harus menyadari bahwa tidak ada
seseorang yang sempurna, setiap orang pasti memiliki kesalahan dan
kelemahan. Indahnya pernikahan justru di saat menemukan suami atau istri
yang dapat menjadi teman dalam pencarian spiritual, mitra membangun hidup
dan pelipur, meskipun dia mempunyai kelemahan.38
Untuk itu konseling
pernikahan atau pendidikan pranikah dirasa penting untuk memberi
pemahaman ini.
Pendidikan pranikah merupakan upaya untuk mempersiapkan diri
seseorang yang ingin membangun rumah tangga. Sehingga dapat mewujudkan
keluarga yang harmonis, bahagia lahir batin, melahirkan generasi yang
berkualitas dan bermartabat.
C. Pengertian Etika Pranikah
Etika merupakan ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia
dalam soal kebaikan dalam hidupnya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa
yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuan
perbuatannya.39
Pranikah merupakan suatu bentuk pendidikan bagi mereka
yang akan menempuh kehidupan berumah tangga dengan tujuan untuk
mempersiapkan diri dalam memasuki hidup pernikahan.40
Maka penulis
menyimpulkan etika pranikah adalah adat istiadat atau ajaran moral yang
38
Sofyan S. Wilis, Konseling Keluarga (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 165. 39
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, h. 62. 40
Widya Risnawaty, “Perlukah Pendidikan Pra Nikah?,” diakses pada 25 Maret 2017 dari
untar.ac.id/fp/perlukah-pendidikan-pranikah/?lang=id
26
berlaku di masayarakat tempat ia tinggal yang baiknya dilakukan oleh mereka
yang akan menempuh kehidupan berumah tangga.
Dengan adanya etika pranikah ini diharapkan terwujudnya tujuan dari
pernikahan itu sendiri, yaitu terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41
Tidak mudah
untuk mendefinisikan keluarga bahagia, sebagaimana menyamakan keluarga
bahagia dengan keluarga harmonis. Secara umum keluarga bahagia diartikan
dengan keluarga yang sakīnah mawaddah wa raḥma wa maṣlaḥah, yang
merupakan tujuan perkawinan. Perkawinan merupakan langkah awal untuk
membentuk sebuah keluarga. Oleh karenanya pembahasan tentang perkawinan
tidak akan lepas dari pembahasan mengenai keluarga.42
Fakta dalam satu
keluarga hampir pasti adanya sebuah konflik antara suami dan istri maupun
orang tua dan anak. Dengan adanya konflik tersebut kondisi rumah tangga
akan goyah dan mengalami guncangan. Suasana rumah tangga yang guncang
ada yang bisa pulih dan normal kembali karena kedua suami istri telah siap
menghadapi problematika hidup, sehingga menemukan solusinya. Namun
tidak jarang dijumpai pasangan suami istri yang tidak siap menghadapi konflik
dalam rumah tangga dan menemui jalan buntu, hingga akhirnya berujung pada
perceraian. Oleh sebab itu perlu adanya pemahaman dari para calon pengantin
mengenai etika pranikah agar nantinya dapat mewujudkan keharmonisan
dalam keluarga serta memahami tanggungjawab sebagai suami istri dalam
keluarga. Dengan etika pranikah para calon pengantin diharapkan akan siap
41
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 21. 42
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 24.
27
untuk mengarungi bahtera rumah tangga, siap menghadapi masalah yang
mungkin terjadi serta sudah siap dengan solusinya.
Mangkunegara IV menjelaskan dalam Serat Warayagnya agar sebelum
kita menempuh kehidupan berumah tangga hendaknya tidak meninggalkan
petunjuk dalam memilih calon istri. Lebih jauh lagi ia menjelaskan syarat-
syarat apa saja yang harus dimiliki dalam sebuah pernikahan, yaitu akal sehat
dan berdasar hukum. Ia menilai siapa yang meninggalkan petunjuk ini
pernikahannya menjadi hina atau tidak akan bahagia.43
“Kakung putri ing reh palakrami // Sumawana kang sami
jajak // Tan wun têmbe pikramane // Marma tinalyeng wuwus
// Wasitane mêngku pawastri // Ywa dumeh yen wong priya //
Misesa andhaku // Ring darbekireng wanodya // Palakrama
nalar lan kukum kang dadi // Yen tinggal têmah nistha.”
Terjemahannya:
“Bagi putra dan putri yang telah menghajatkan pedoman
berumah tangga // demikian pulan khususnya yang masih
bujangan // apabila kelak tiba saat perkawinannya //
janganlah asal berbicara saja (tentang nikah) // tetapi
perhatikan petunjuk bagaimana memperlakukan istri //
jangan hanya karena kamu laki-laki // lalu merasa berkuasa //
terhadap harta milik perempuan // berumah tangga itu yang
dijadikan pedoman ialah nalar (akal) yang sehat dan hukum
yang berlaku // jika keduanya ditinggalkan niscaya
mengakibatkan kenistaan.”
Peran etika pranikah juga dapat memberi pengetahuan kepada seorang
yang nantinya akan menjadi calon orang tua yang sebagai peran utama dalam
43
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang),
(Yogjakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 201.
28
keluarga dalam mendidik anaknya. Banyak kita lihat pada sekarang ini terjadi
kekerasan terhadap anak. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menunjukkan bahwa setiap tahunnya kekerasan terhadap anak di
dalam rumah tangga terus meningkat. Pada tahun 2012 terdapat 3.332 laporan
kasus, dengan 60% diantaranya merupakan kekerasan seksual kepada anak-
anak yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang-orang yang terdekat
kepada anaknya. Sementara pada tahun 2013 dari bulan Januari sampai Maret
telah tercatat 919 kasus pengaduan tindak kekerasan pada anak.44
Dengan
adanya etika pranikah ini salah satunya diharapkan calon mempelai yang akan
membangun rumah tangga bisa mendidik anaknya dengan baik sebagaimana
yang telah mereka pelajari mengenai cara mendidik anak yang baik di dalam
sebuah keluarga.
44
Suririn dan Moh Muslim, “Pendidikan bagi Calon Pengantin,” Jurnal Bimas Islam, vol. 7
no. 2 (Jakarta, 2014): h. 230.
29
BAB III
MANGKUNEGARA IV DAN SERAT WARAYAGNYA
A. Biografi KGPAA Mangkunegara IV
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV lahir
pada pukul 11 malam hari Minggu Legi tanggal 1 Sapar tahun Jimakir 1736
windu Sancaya atau 3 Maret 1811 Masehi di kediaman Hadiwijayan,
Kartasura. Lahir dari orang tua yang bernama Kanjeng Pangeran Harya
Hadiwijaya I (ayah) dan Raden Ajeng Sekeli (Ibu). Ia merupakan anak ke-7
atau anak laki-laki ke-3. Dari pihak ayah ia merupakan cucu dari Bendara
Raden Mas Tumenggung Harya Kusumadiningrat, cicit (buyut) dari Kanjeng
Pangeran Harya (KPH) Hadiwijaya yang terkenal dengan sebutan Hadiwijaya
Seda Kaliabu (Hadiwijaya yang gugur di Kaliabu) saat melawan Kompeni
Belanda atau VOC. Dari pihak ibu ia merupakan cucu dari KGPAA
Mangkunegara II, cicit (buyut) dari KGPAA Mangkunegara I yang terkenal
dengan sebutan Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, yang
merupakan sebutan karena ketangkasannya dalam perang. Mangkunegara IV
saat kecil mempunyai nama Sudira.45
Sudira lahir dan besar di keluarga
bangsawan Jawa.
Sudira ketika masih bayi telah diangkat menjadi putra angkat kakeknya
yaitu Mangkunegara II. Pada masa kecilnya ia tidak mendapat pendidikan
dalam bentuk formal, karena pada waktu itu di Surakarta belum ada sistem
45
Anjar Any, Menyingkap Serat Wadatama (Semarang: Aneka Ilmu, 1986), h. 83.
30
pendidikan formal. Ia mendapat didikan secara langsung dari Mangkunegara
II dan selain itu juga ia diberikan pendidikan secara privat dengan cara
mendatangkan guru-guru untuk memberikan pelajaran secara pribadi di Pura
Mangkunegaran.46
Namun, bangsawan Jawa di Surakarta pada waktu itu
belum dapat dikatakan mendapat pendidikan dan pengajaran dalam arti
modern. Pendidikan dan pengajaran pada masa itu bagi bangsawan Jawa
adalah dijalankan dengan caranya sendiri. Tujuan akhir dari pengajaran yang
diberikan tidak mutlak untuk memasukkan berbagai ilmu dan pengetahuan,
akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk jalan peningkatan dan
pengembangan kepribadian.47
Dapat dikatakan apabila pendidikan dan
pengajaran pada waktu itu dilaksanakan dengan lebih banyak membaca dan
merenungi cerita dari sejarah Jawa dan pewayangan Jawa.
Sudira juga mendapat didikan dari orang-orang Belanda yang
didatangkan oleh Mangkunegara II. Di antara orang-orang Belanda itu adalah
J. C. F. Dr. Gericke dan C. F. Winter. Mangkunegara II juga sering mengajari
cucunya tentang ilmu kanuragan (kebatinan), sebagai usaha untuk
menyempurnakan pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru-guru
yang didatangkan. Pendidikan dan pengajaran yang langsung dalam
pengawasan Mangkunegara II dilakukan sampai ia berumur 10 tahun.
Pelajaran yang diberikan antara lain menulis, membaca, bahasa, berbagai
cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya.
46
Serat Wadhatama, (Surakarta: Yayasan Mangadeg Surakarta, 1975), h. 74. 47
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga,
(Semarang: Aneka Ilmu, 2006), h. 78.
31
Setelah umur 10 ia diserahkan kepada Sarengat atau Pangeran Rio yang
kelak akan menjadi Mangkunegara III. Selama 5 tahun ia tekun belajar
dibawah bimbingan Pangeran Rio. Mendidik dengan cara dititipkan sebagai
keluarga kerabat yang telah menjadi priyayi tingkat tinggi merupakan strategi
untuk memperoleh kesempatan memasuki birokrasi kepegawaian. Pola ini
merupakan tradisi pendidikan pada semua tingkat sosial bagi masyarakat
Jawa. Langkah tersebut menempuh tiga proses sebagai jenjang pendidikan
yang menyatu dalam pola kekeluargaan priyayi.48
Pertama adalah ngenger
atau nyuwita (mengabdi), kedua dengan magang atau membantu dan ketiga
adalah kinula wasida atau diwisuda untuk menduduki suatu jabatan atau naik
pangkat.
Pada masa mudanya ia sangat tertarik kepada pelajaran agama, lalu ia
berguru kepada para ulama sampai mengenai aturan ibadah haji. Dalam hal ini
ia didorong oleh perasaan cemas tentang kehidupan pada hari akhir kelak.
Namun, belum cukup sempurna menuntut pelajaran agama, ia telah dipanggil
untuk menerima tugas mengabdi kepada pemerintah. Seperti pengakuannya
sendiri dalam Serat Wedhatama pupuh Sinom bait ke-12, yaitu:
“Saking duk maksih taruma // Sadhela wus angklakoni //
Aberag marang agama // Maguru anggering kaji // Sawadine
tyas mami // Banget wedine ing besuk // Pranata ngakir
jaman // Tan tutug kaselak ngabdi // Nora kober sembahyang
gya tinimbalan.”
48
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h. 38.
32
Terjemahannya:
“Sejak masih muda // Sebentar telah mengalami //
Mempelajari agama // Berguru menurut aturan haji //
Sebenarnya rahasia hatiku // Sangat takut kelak kemudian //
Aturan di akhir zaman // Belum sampai mengabdikan diri //
Tak sempat sembahyang segera dipanggil.”49
Pada usia 15 tahun ia mengikuti pendidikan militer dan menjadi taruna
infantri legium Mangkunegaran. Khusus untuk para bangsawan pendidikan ini
hanya berlangsung selama 1 tahun. Pada tahun 1826 ia diangkat menjadi
perwira baru dengan pangkat Letnan. Saat terjadi perang antara Kompeni
Belanda melawan Pangeran Diponegara dalam perang Jawa (1825-1830 M)
legium Mangkunegaran terlibat aktif membantu Pemerintah Belanda. Sudira
dalam perang ini menunjukkan kecakapannya dan beberapa kali kompi yang
dipimpinnya memperoleh kemenangan. Pada tahun 1828 ia dinaikkan
pangkatnya dari Letnan menjadi Kapten Infantri. Setelah kakaknya, Raden
Mas (RM) Soebekti dipromosikan menjadi Mayor, ia ditugaskan sebagai
komandan perang untuk mempertahankan benteng Gombong, Klaten.50
Sudira
sangat gigih dan bertanggungjawab dalam setiap tugasnya.
Seusai perang Jawa pada tahun 1831, ia kembali ke Surakarta dan
menikah dengan putri Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Suryamataram dan
mendapat sebutan baru Raden Mas Harya (RHM) Gandakusuma. Karena
memiliki kecakapan dan bobot kepemimpinan ia diangkat menjadi pembantu
dekat Mangkunegara III, dimulai dengan menjadi Pepatih Dalem (Patih Raja
49
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Wedhatama (Semarang: Dahara Prize, 1994), h. 35. 50
Daryono, Etos Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV, h. 73.
33
dalam urusan dalam), menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan
infantri Legium Mangkunegaran dengan pangkat Mayor. Sampai akhirnya ia
dinikahkan dengan putri Mangkunegara III yang sulung, Bendara Raden
Ajeng (BRA) Dunuk.51
Karena kepribadiannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya
yang jauh, kewibawaannya dalam kemeliteran, ketrampilan dalam birokrasi
atau pemerintahan, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya, ia
diangkat dengan sebutan Prabu Prangwadana Letnan Kolenel Infantri Legium
Mangkunegaran pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781 atau
tanggal 24 Maret 1853 menggantikan Mangkunegara III yang telah wafat.
Adapun gelar KGPAA Mangkunegara IV diraihnya pada hari Rabu Kliwon 27
Sura tahun Jimakir 1786 atau 16 Agustus 1857 M pada usia 47 tahun.52
Mangkunegara IV telah mencapai kematangan dalam berbagai bidang sejak
sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab itu setelah ia menduduki
jabatan tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam bidang politik,
pemerintahan, ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, ia meneliti kembali dan
kemudian mempertegas wilayah kekuasaan Mangkunegaran. Sekalipun
wilayah kekuasaan negeri ini tidak cukup luas namun ia memiliki otonomi
penuh mengenai urusan ke dalam seperti halnya Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogjakarta. Ia berhak mengatur pemerintahan sendiri, mengatur
51
Serat Wedhatama, h. 73. 52
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
18.
34
rakyatnya, menjamin ketentraman dan kesejahteraan mereka sebagai seorang
penguasa penuh. Secara hukum, pada masa sebelumnya, Mangkunegara I,
dalam kedudukannya sebagai Pangeran, berkewajiban menghadap Sunan
secara rutin pada hari-hari tertentu.53
Ia tidak lebih hanya sebagai seorang
Pangeran yang dianugerahi apanage (tanah) oleh Sunan Surakarta, daerah-
daerah Keduwang, Laroh, Metasih dan Gunung Kidul yang pada waktu itu
berada di bawah kekuasaan Sunan. Namun, dalam praktik ia bersikap sebagai
penguasa penuh di daerah-daerah tersebut. Akhirnya ia merasa sebagai raja
ketiga di samping Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta. Selanjutnya
wilayah Mangkunegaran bertambah luas dengan diberikannya daerah
Sukawati (Sragen) kepada Mangkunegara II berkat bantuannya kepada
pemerintahan Inggris dalam menundukkan perlawanan Sultan Yogyakarta.
Pada masa Mangkunegara III organisasi pemerintahan ditata dan diatur
kembali menurut suatu tatanan kados adeging praja sejati (susunan
pemerintahan seperti tegak berdirinya negara sebenarnya). Selanjutnya
Mangkunegaran memiliki Lagium yang dipimpin seorang kolonel yang
diangkat Gubernur Jendral tanpa melalui Sunan, maka Pura Mangkunegaran
mempunyai hak kekuasaan turun temurun tanpa seizin Sunan. Di samping itu
Pura Mangkunegaran mempunyai wilayah kekuasaan dan perangkat
pemerintahan sendiri. Namun, batas-batas wilayahnya masih kabur, organisasi
pemerintahan belum teratur. Oleh karena itu Mangkunegara IV mengadakan
53
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2015), h.
249.
35
perubahan organisasi pemerintahan dan mempertegas batas wilayah
Mangkunegaran.
Mangkunegaran adalah kerajaan ketiga sesudah Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kerajaan kecil ia dalam posisi terjepit
antara dua kerajaan besar Surakarta dan Yogyakarta. Di luar ketiga kerajaan
itu terdapat kekuasaan Gubernur Jendral di Batavia yang menguasai ketiganya
terutama dalam urusan luar negeri dan terkadang mencampuri urusan dalam.
Keinginan memperkuat diri dari pihak Mangkunegaran bertemu dengan
keinginan pihak Gubernur Jendral untuk membentuk legium dari pribumi,
maka muncullah legium Mangkunegaran dengan belanja sepenuhnya dari
Gubernur Jendral. Pihak Gubernur Jendral memperoleh keuntungan dengan
terjaminnya ketenteraman, keamanan dan kepentingan pemerintahan Batavia
dalam mengatasi berbagai kekacauan dan perlawanan. Seperti pada masa
Mangkunegara I yang menggagalkan perlawanan dari Kasunanan Surakarta.
Pada masa Mangkunegara II terjadi perlawanan Sultan Yogyakarta kepada
Gubernur Jendral di Batavia yang pada waktu itu dikuasai oleh Inggris. Atas
bantuan legium Mangkunegara II, calon Mangkunegara III (Pangeran Rio) dan
calon Mangkunegara IV (Sudira atau Gandakusuma) Perang Jawa oleh
Pangeran Diponegara dapat dipadamkan, terutama di daerah Klaten.54
Pihak
Mangkunagaran dengan dibentuknya legium ini meraih beberapa keuntungan.
Dengan mengabaikan semangat nasionalisme Indonesia yang belum muncul
waktu itu dan lebih mengutamakan kepentingan Mangkunegaran di atas
54
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
22.
36
kepentingan lainnya. Sekalipun secara lahiriah membantu Belanda, namun
pada hakikatnya ia memperteguh kekuasaan dan kekuatannya sendiri.
Kehadiran legium di bawah pimpinan Mangkunegara, merupakan kekuatan
pendukung bagi tegaknya kekuasaan.
Untuk meningkatkan kejayaan, Mangkunegara IV mengadakan
perubahan organisasi pemerintahan dan mempertegas batas wilayah, menjaga
keutuhan dan kekompakan keluarga, punggawa, mantri dan prajurit serta
memberikan perhatian kepada aktivitas ekonomi dan budaya. Berikut
kemajuan-kemajuan pada masa pemerintahan Mangkunegara IV:
1. Bidang Pemerintahan
Mangkunegara IV melakukan perombakan sistem birokrasi
pemerintahan. Ia merestrukturisasi sistem birokrasi menjadi struktur baru
yang berorientasi kepada rincian tugas. Ia memperkenalkan konsep tugas,
tanggungjawab suatu institusi, wewenang dan rincian tugas.55
Diantaranya
adalah:
a. Kemantren Kepolisian, tugasnya menerima dan memeriksa perkara
dan menjaga undang-undang Mangkunegara.
b. Kemantren Margatama, tugasnya meneliti dan memperbaiki jalan-
jalan, jembatan dan tanggul atau bendungan.
55
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga, h. 144.
37
c. Kemantren Kejaksaan, tugasnya menyelesaikan perkara dan
memelihara undang-undang.
2. Bidang Ekonomi
Mangkunegara IV menciptakan usaha komersil yang menjadi
pendapatan utama dan juga sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi
rakyat Mangkunegaran. Usaha-usaha tersebut antara lain dengan
mendirikan pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu, mendirikan pabrik
sisal di Mentotulakan, mendirikan pabrik bungkil di Polokarto, mendirikan
pabrik bata dan genteng di Kemiri, mengolah perkebunan karet, teh, kopi,
kina di lereng Gunung Lawu, Wonogiri, serta mendirikan perumahan-
perumahan untuk disewakan di daerah Surakarta dan Semarang.56
Dasar
pemikiran Mangkunegara IV itu dilandasi kesadaran yang dalam bahwa
dengan pembangunan ekonomi diharapkan akan mampu menjadi tiang
topang keuangan Mangkunegaran yang selama ini bahwa para
pendahulunya bergantung dengan Pemerintahan Kolonial Belanda. Ia juga
berharap bahwa dengan pembangunan ekonomi, rakyat akan semakin
sejahtera. Suatu langkah yang inovatif dan maju, karena pada waktu itu
belum pernah dilakukan oleh para pendahulunya dan oleh para raja Jawa.
3. Bidang Hukum
Sejak VOC berkuasa dan kemudian di bawah Pemerintahan Hindia
Belanda, hukum yang berlaku adalah hukum mereka, yang tidak dipahami
56
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga, h. 185.
38
tetapi harus ditaati oleh orang pribumi (Jawa). Di bidang hukum orang
Jawa seringkali diperlakukan tidak adil, misalnya hukum pajak, hukuman
pelanggaran, semuanya ditetapkan berdasarkan keinginan pemerintah
Kolonial Belanda. Atas dasar itu maka Mangkunegara IV
memperjuangkan dalam bidang hukum, agar orang Jawa memperoleh
haknya sesuai dengan jati dirinya. Ia berhasil meyakinkan Residen
Surakarta dan dengan surat Residen Surakarta kepada Gubernur Jendral
No. 3515, tanggal 25 April 1873, usul Residen Surakarta atas perjuangan
Mangkunegara IV agar di Kasunanan dan Mangkunegaran dibentuk
Pradoto Kabupaten dikabulkan oleh Gubernur Jendral.57
Dengan demikian
pelaksanaan keamanan diserahkan kepada Kepala Kabupaten yaitu Bupati
untuk wilayah Kasunanan dan Bupati Anom untuk wilayah
Mangkunegaran.
4. Bidang Budaya
Sebagai manifesti dari keluhuran leluhurnya dan layaknya suatu
kerajaan yang berdikari (walaupun kecil), pemerintahan Mangkunegaran
dilengkapi dengan segala macam peralatan kerajaan. Seperti perhiasan-
perhiasan, meja kursi yang berukir, berbagai jenis lampu duduk dan
gantung, arca-arca, permadani-permadani sampai pada peralatan
kebutuhan rumah tangga. Kesemuanya itu dipesan dan dibelinya dari luar
negeri seperti Itali, Jerman, Persia, Cina, dan lain-lain. Semua serba indah,
57
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga, h. 216.
39
megah dan memesona, hingga kini sebagian besar segala sesuatunya
tersebut masih dapat disaksikan di dalam Pura Mangkunegaran.58
Mangkunegara IV memerintah selama 28 tahun mulai 1853 M sampai
1881 M. Pada masa ini Mangkunegaran mengalami zaman keemasan,
sehingga dikenal kala sumbaga (masa kemasyuran atau kejayaan). Di samping
perbaikan dalam pemerintahan, ia meningkatkan dan menggalakkan
pengembangan berbagai tanaman export terutama perkebunan kopi dan tebu.
Kemajuan dalam bidang ekonomi ia diimbangi dengan usahanya memajukan
pemikiran dan seni budaya. Pemikiran-pemikiran Mangkunegara IV banyak
diungkapkan dalam karya-karya sastra yang kesemuanya mengambil bentuk
tembang (syair/puisi) berbahasa Jawa. Ia hidup sezaman dengan pujangga
Ranggawarsita dan Sunan Pakubuwana IX, mereka mempunyai hubungan
akrab. Bersama-sama pimpinan Dewan Ahli Sastra Jawa seperti Pakubuwana
IX, Ranggawarsita, Wiryakusuma dan Jayasarassa, tokoh-tokoh ini aktif
berdiskusi, bertukar pikiran, mengadu kedalaman ilmu batin dalam rangka
memperdalam ilmu agama, seni, sastra dan lain-lain.59
Pada tanggal 8 Sapar tahun Jimakir yang bertepatan tanggal 2
September 1881 Mangkunegara IV wafat pada usia 70 tahun (1811-1881 M)
di Surakarta dan makamkan di Astama Girilayu, Karangayar. Residen
Surakarta, Jeekel, dalam suratnya yang dikirim ke Gubernur Jendral pada
September 1881 mengungkapkan rasa kehilangan seorang pemuka pribumi
58
Sabdacarakatama, Serat Wedhatama, (Yogjakarta: Narasi, 2010), h. 14. 59
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
17.
40
yang berkemampuan luar biasa, bersemangat tinggi dan bekerja secara
sistematis, contoh yang jarang didapatkan di kalangan pribumi. Mangkunegara
IV mempunyai arti yang amat besar bagi gubermen Belanda. Ia merupakan
tokoh besar, seorang yang setia dan menepati janji, seorang kepala
pemerintahan yang cakap yang berkemauan keras dan giat bekerja.60
Masyarakat Mangkunegaran juga merasa kehilangan dengan wafatnya raja
mereka.
B. Karya-Karya KGPAA Mangkunegara IV
Karya-karya Mangkunegara IV tidak kurang dari 35 buku. Karya-karya
tersebut dapat dikategorikan menurut isi kandungannya menjadi 5, yaitu:
1. Serat Piwulang, berisi nasihat dan pelajaran.
2. Serat Babad, berisi riwayat atau sejarah.
3. Serat Iber, berupa surat-surat kiriman.
4. Serat Penembrama, berisi nyanyian untuk penyambutan.
5. Serat Rerepen dan Manuhara, berisi pepatah, teka-teki dan percintaan
yang menggunakan bahasa cukup sopan.
Yang akan dibahas dan diuraikan pokok-pokok isinya sesuai dengan inti
masalah yang merupakan kelompok pertama, yaitu serat piwulang.
Mangkunegara IV menulis karyanya dalam serat piwulang dengan
60
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
26.
41
menggunakan tembang macapat. Dalam khazanah sastra Jawa dikenal 3
bentuk syair tembang, yaitu: tembang macapat, tembang tengahan dan
tembang gedhe atau ageng. Dalam tembang macapaat ada 11 bentuk tembang,
yaitu:61
1. Kinanti, digunakan untuk menyampaikan cerita atau ajaran yang
mengandung pengharapan dan cinta kasih, disampaikan dengan santai
supaya dapat menghibur.
2. Pucung, mengandung sindiran dalam menyampaikan pesan yang
disampaikan secara bebas dan dapat juga berisi teka-teki lucu dan
menyenangkan.
3. Asmaradhana, berisi sesuatu yang penuh pesona, sedih atau prihatin
karena gejolak asmara.
4. Mijil, berisi cerita tentang keprihatinan.
5. Maskumambang, penyampaian ajaran dengan nada sedih dan prihatin.
6. Pangkur, penyampaian ajaran dengan nada serius.
7. Sinom, penyampaian ajaran yang sederhana.
8. Dandhanggula, penyampaian pesan atau ajaran serius dengan santai, baik
tentang kesedihan atau kegembiraan.
61
Mangkunegara IV, Serat Wedhatama (Semarang: Efhar dan Dahara Prize, 1994), h. 12.
42
9. Durma, penyampaian ungkapan kekesalan dan kemarahan gejolak hati
serta nafsu.
10. Gabuh, penyampaian tentang penjelasan pesan dan informasi.
11. Megatruh, penyampaian rasa susah.
Mengkunegara IV dalam serat piwulang membuat 12 karya, yaitu:
1. Serat Warayagnya
Serat ini mengambil bentuk dandhanggula sebanyak 10 bait yang
dibuat pada tahun 1856 M. Berisi pelajaran dan nasihat Mangkunegara IV
kepada putra-putrinya tentang persiapan untuk berumah tangga. Kepada
putra-putrinya yang sudah mulai dewasa ia menasihatkan tentang etika
berumah tangga. Selanjutnya serat ini akan dikaji lebih mendalam dalam
penjelasan berikutnya.
2. Serat Wirawiyata
Serat ini dibuat tahun 1860 M, berisi nasihat dan pelajaran bagi para
prajurit Mangkunegara. Serat ini berisi 56 bait yang terdiri dari 2 macam
pupuh (lagu) sinom dan pangkur. Pupuh yang pertama terdiri dari 42 bait
sedang yang kedua berisi 14 bait.62
Dalam serat ini Mangkunegara IV
menegaskan nasihat dan petunjuknya kepada kerabat dan rakyat
Mangkunegaran terutama yang berfungsi sebagai prajurit tentang hal-hal
yang berkenaan dengan:
62
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga, h. 257.
43
a. Sikap disiplin, setia dan patuh serta kesediaan menjaga kehormatan
diri.
b. Pekerjaan yang dipandang mulia banyak dan beragam. Namun, antara
menjadi prajurit dan bertapa di atas gunung, menjadi prajurit lebih
utama.
c. Seorang prajurit hendaknya berhati mantap dan bertekad bulat, jangan
bimbang dan ragu, jangan memikirkan soal kematian.
d. Dalam perang, seorang prajurit harus tunduk pada perintah panglima
sebagai wujud perbuatan lahiriah, namun dalam hati hendaklah
berserah diri kepada Tuhan.
3. Serat Sriyatna
Berisi harapan bagi keselamatan negara dan nasihat kepada anak
cucu, terdiri dari 15 bait yang berbentuk nyanyian dandhanggula dibuat
pada tahun 1861 M. Serat ini melukiskan usaha Mangkunegara IV
membimbing keluarga dan rakyatnya ke arah kedewasaan, ketenangan dan
keselamatan. Dengan selalu memohon pertolongan dan perlindungan
kepada Tuhan dan melaksanakan jabatan dengan tanggungjawab sesuai
bidang keahlian, bersikap dewasa tanpa bergantung pada orang tua.
Memiliki sifat tidak menyakiti hati orang lain, tidak sombong, realistis,
44
tidak menuruti kemauan hawa nafsu dan gemar untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan.63
4. Serat Nayakawara
Berisi petunjuk kepada Punggawa Mantri (pimpinan pegawai
pemerintah Mangkunegaran), berupa tembang yang berjumlah 33 bait,
terdiri dari pupuh pangkur 21 bait dan pupuh dandhanggula 12 bait.
Mangkunegara IV menasihatkan bagaimana seorang Punggawa Mantri
seharusnya bersikap dan berbuat untuk pemerintahan dan prajanya.
Jabatan ini diwariskan kepada keturunan masing-masing, setelah sekian
lama terjadi pergeseran sikap dan perilaku yang negatif.
5. Serat Paliatma
Terdiri dari pupuh dandhanggula yang berjumlah 18 bait. Berisi
petunjuk-petunjuk untuk putra-putri Mangkunegara IV dari istri tua Raden
Ajeng (RA) Gandakusuma yang telah wafat, agar memelihara kerukunan
dan menjaga keselamatan calon putra mahkota Suyitno sesaudara (yang
berasal dari ibu yang lain). Serat ini bernada penyampaian wasiat yang
disertai dengan sumpah.64
63
Sabdacarakatama, Serat Wedhatama, h. 10. 64
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
33.
45
6. Serat Paliwara
Terdiri dari pupuh dandhanggula sebanyak 6 bait dan pupuh sinom
sebanyak 7 bait, berisi pelajaran dan petunjuk untuk putranya khususnya
putra mahkota Suyitno. Pokok-pokok isinya mengenai kepamongprajaan
dengan menggunakan bahasa teka-teki.
7. Serat Palimarma
Terdiri dari pupuh mijil sebanyak 11 bait dan pupuh pucung
sebanyak 11 bait, berisi pelajaran dan peringatan keras terhadap sanak
famili dan keluarga Mangkunegaran yang dikenakan hukuman penahanan
karena mengacau keamanan dan membuat kerusuhan. Mangkunegara IV
menegaskan pelajaran dan peringatan keras terhadap pelaku kejahatan
yang mengancam ketentraman dan keamanan negara.
8. Serat Salokatama
Terdiri dari pupuh mijil sebanyak 31 bait, berisi pelajaran kepada
para pemuda yang ingin meraih kejayaan dan kemuliaan. Mangkunegara
IV menekankan pentingnya perilaku mulia dan keprihatinan dalam upaya
mencapai cita-cita. Ia mengajarkan bagi yang merasa berdosa harus
memberanikan diri meminta maaf dan bagi pemuda yang gagal, jangan
lekas putus asa, akan tetapi harus terus berusaha menebus kegagalan.65
9. Serta Darmalaksita
65
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga, h. 259.
46
Terdiri dari pupuh dandhanggula sebanyak 12 bait, pupuh kinanti
sebanyak 10 bait dan pupuh mijil sebanyak 18 bait. Berisi petunjuk
bagaimana bersikap dan berperilaku dalam mencapai kehidupan yang
baik. Petunjuk tersebut dapat dibedakan menjadi 2, yaitu petunjuk yang
berlaku umum dan petunjuk yang berlaku khusus. Petunjuk yang berlaku
umum ini untuk siapa saja yang ingin meraih keberhasilan dalam hidup
duniawi, terpenuhi kebutuhan utama secara wajar. Petunjuk yang berlaku
khusus ini hanya untuk siapa yang sudah berkeluarga sebagai suami dan
istri. Petunjuk yang pertama disebut astagina (delapan faedah), sebagai
kunci meraih sukses apa yang dihajatkan seseorang. Dan yang kedua apa
yang disebut wulang estri, petunjuk khusus bagi kaum perempuan yang
hendak berkeluarga. Petunjuk ini menyangkut hubungan suami-istri dan
pengelolaan harta bawaan dan harta bersama serta gana-gini.66
10. Serat Tripama
Terdiri dari pupuh dandhanggula sebanyak 7 bait, berisi tentang
contoh teladan bagi prajurit dengan memperlihatkan 3 orang tokoh, yaitu:
kisah raja Arjuna Sasrabau dengan patihnya Suwanda (Praramayana),
kisah Kumbakarna (Ramayana) dan kisah perang tanding Adipati Karna
yang menjadi Senopati Korawa dengan Arjuna dari Pandawa
(Mahabarata).
11. Serat Yogatama
66
Soetomo Siswokartono, Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga, h. 258.
47
Terdiri dari pupuh dandahanggula sebanyak 4 bait dan pupuh kinanti
sebanyak 7 bait. Dalam serat ini Mangkunegara IV hendak
memperlihatkan ciri keluarga keturunan Mataram sebagai putra utama,
yaitu memiliki rasa cinta sejati kepada negara dan tanah air negeri tumpah
darah serta senantiasa mengharapkan limpahan rahmat dan anugerah
Tuhan.
12. Serta Wadhatama
Terdiri dari pupuh pangkur sebanyak 14 bait, pupuh sinom sebanyak
18 bait, pupuh pucung sebanyak 15 bait dan pupuh gambuh sebanyak 25
bait. Berisi pelajaran dan petunjuk bagi golongan tua dan muda, bagi
orang yang ingin menuntut ilmu lahir dan ilmu bathin, orang yang ingin
mendapat limpahan anugerah Tuhan dan orang yang ingin menyembah
Tuhan dengan segenap daya dan rohaninya.67
C. Serat Warayagnya
1. Arti dan Tujuan Pembuatan Serat Warayagnya
Warayagnya terdiri dari kata wara dan yagnya. Wara mempunyai
arti: tutur, gunem dan linuweh. Yagnya mempunyai arti: bungah, tuladan
dan budi. Warayagnya berarti budi linuweh yang mempunyai makna budi
yang baik, seperti halnya kata warastra berarti panah linuweh atau panah
67
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
38.
48
bertuah dan dalam kata wara Bisma berarti Bisma yang sakti.68
Warayagnya terdiri dari 10 bait tembang dandhanggula. Pada bait ke-1
diterangkan pembuatan serat dengan penyebutan Sangkala yang berbunyi:
“nyatur slira memulang mreng sunu”, yang berarti tahun 1784 (tahun
Jawa) atau bertepatan tahun 1856 M.
Mangkunegara IV menerangkan pada bait ke-1 bahwa serat ini
ditunjukkan untuk putra putri Mangkunegara IV. Serta pada bait ke-2
dijelaskan tujuan penulisan dari serat adalah sebagai petunjuk untuk putra-
putrinya ketika akan menempuh kehidupan rumah tangga dan anjuran
untuk tidak meninggalkan petunjuk tentang cara memilih istri.
2. Naskah Serat Warayagnya
a. Bait 1
Warayagnya wêdharing palupi // pinandara macapat
sarkasa // ing nalika panitrane // Senên ping kalihlikur //
sasi Saban Dhêsta Be warsi // sangkala Nyatur Slira
Mumulung mring Sunu // (n)Jêng Gusti Pangran Dipatya
// Arya Prabu Prangwadana kang amarni // winahya
mring pra putra.69
Terjemahannya:
Warayagnya adalah buku yang berisi ajaran // yang
diuraikan dalam lagu macapat dandhanggula // saat
penulisan // pada hari Senin // tanggal 8 Sa‟ban tahun Be
68
Soekimin, “Sabdatama KGPAA Mangkunegara IV dalam Karya Sastra Jawa”,
Cakrawala Pendidikan No. 3, (Juli, 1983), h. 31. 69
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, Transkripsi oleh Mulyadi
Mulyo Hutomo dan Muhammad Husodo (Solo: Rekso Pustoko, 1980), h. 1.
49
// 1784 // penulis KGPAA Mangkunegara IV // ajaran ini
ditujukan untuk putra putri.70
b. Bait 2
Kakung putri ing reh palakrami // sumawana kang sami
jajaka // tan wun têmbe pikramane // marma tinalyeng
wuwus // wasitane mêngku pawastri // ywa dumeh yen
wong priya // misesa andhaku // mring darbekireng
wanodya // palakrama nalar lan kukum kang dadi // yen
tinggal têmah nistha.71
Terjemahannya:
Bagi putra dan putri yang telah menghajatkan pedoman
berumah tangga // demikian pulan khususnya yang masih
bujangan // apabila kelak tiba saat perkawinannya //
janganlah asal berbicara saja (tentang nikah) // tetapi
perhatikan petunjuk bagaimana memperlakukan istri //
jangan hanya karena kamu laki-laki // lalu merasa
berkuasa // terhadap harta milik perempuan // berumah
tangga itu yang dijadikan pedoman ialah nalar (akal) yang
sehat dan hukum yang berlaku // jika keduanya
ditinggalkan niscaya mengakibatkan kenistaan.72
c. Bait 3
Wuryaning reh priya kang rumiyin // lamun arsa
angupaya garwa // den-patitis pamilihe // aywa kasêsèng
kayun // mbokmanawa kêduwung wuri // ya bênêr yen
wong lanang // wênang duwekipun // rabiya ping pat
sadina // kêna uga wuruk karêpe pribadi // nanging ta tan
mangkana.73
Terjemahannya:
Bermula tata aturan pria masa dahulu // jika ia hendak
mencari istri // memilihnya diteliti dengan saksama //
janganlah dengan hati yang terburu nafsu // boleh jadi
membawa penyesalan kelak // ya memang betul jika laki-
70
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 71
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1. 72
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 73
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1.
50
laki mau // ia memiliki kesempatan // untuk menikah
empat kali sehari // mungkin untuk menuruti keinginan
dirinya // namun janganlah kamu berbuat demikian itu.74
d. Bait 4
Dadi ora ana ala bêcik // ngilangakên istiyaring gêsang //
yen ngarah-apa tekade // andarung kadalurung // ngelmu
sarak denorak-arik // (m)buwang ajining badan // lumuh
reh rahayu // tur upama kalakonna kasangsara
kaduwunge anêkani // manglah nunutuh driya.75
Terjemahannya:
Jadi tidaklah baik // meniadakan ikhtiar dalam kehidupan //
jika seseorang telah mantap hati untuk menikah // jangan
terus menerus menuruti nafsu // melanggar ilmu syariat //
membuang harga diri // mengabaikan keselamatan //
andaikata terlaksana (menikah secara demikian) niscaya ia
hidup sengsara // lalu menyesal dan menyalahkan diri
sendiri.76
e. Bait 5
Aja nganti mangkana ta kaki // bêcik apa cinacad sasama
// wong gêndhak kalakuwane // sapa kang duwe sunu //
wadon aweh sira rabènni // kiraku nora nana // kêjaba
kêbutuh // ala rinabenan Koja // bêcik bangsa wit tan
duwe putu Êncik // mung iku ciptanira.77
Terjemahannya:
Oleh karena itu jangan begitu // tidak baik dicela sesama
masyarakat // orang yang jelek tabiatnya tidak akan
diterima masyarakat // bahkan siapa pun yang memiliki
anak perempuan dilamar orang tersebut // tidak akan
diberikan // kecuali memang sangat dibutuhkan mendesak
// sungguh hina wanita yang menikah dengan orang yang
74
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 75
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1. 76
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 77
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1.
51
tabiatnya jelek tersebut // lebih baik pepohonan yang tidak
memiliki anak cucu // begitulah.78
f. Bait 6
Kawruhana kaduwunging ati // jalaranne mung patang
prakara // wong anom dadi brangtane // dhingin myat
warna ayu // kaping pindho melik wong sugih // kaping tri
kawibawan // lan kaping patipun // kêna sambang
sarawungan // rokok kinang winèhkên lan ujar manis //
rinukêt mrih asmara.79
Terjemahannya:
Ketahuilah terjadinya penyesalan hati // sebabnya hanya
karena empat perkara // bagi anak muda hal itu harus
diwaspadai // pertama karena melihat wajah yang ayu
(cantik) // kedua karena menginginkan orang kaya //
ketiga karena kewibawaan atau kekuasaan // dan
keempatnya // karena saling berkunjung untuk saling
bergaul dan sambung rasa // menyuguhkan rokok gambir
siri dan tanda mata kain yang bagus // dipererat terus
hubungan keduanya agar tetap hangat hubungan
asmaranya.80
g. Bait 7
Wêkasane ya kêna sayêkti // ngadatira wong anom
mangkana // keh rabi dudu niyate // yen kêna sutaningsun
// arabiya jalaran bêcik // aja rabi pasogan // nistha yen
dinulu // angapêskên yayah-rena // wruhanira manungsa
neng dunya iki // yen kêna kang tinêdha.81
Terjemahannya:
Yang akhirnya kena rayuan tersebut // hal yang seperti itu
// biasanya bukan niatnya untuk menikah // oleh karena itu
anakku // menikahlah dengan wanita baik-baik // jangan
menikah dengan wanita bayaran // sungguh itu perbuatan
nista // akan menurunkan martabat keluarga // ketahuilah
78
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 79
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1. 80
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 81
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1.
52
orang hidup di dunia ini memiliki harapan baik // yang
selalu ingin dicapai.82
h. Bait 8
Ingkang dhingin rahayuning dhiri // kinalisna sakehing
prakara // myang sak-sêrik sasamane // kapindho
badanipun // aja kambah barang panyakit // kaping tri aja
tansah // susah manahipun // kaping pat arsa darbeya //
anak lanang kang mursid minangka wiji // (n)dawakkên
turunnira.83
Terjemahannya:
Pertama mengharap terwujudnya keselamatan diri // agar
terhindar dari segala masalah yang menyulitkan dirinya //
serta jangan sampai dibenci oleh masyarakat sekitarnya //
kedua harapannya adalah badannya terhindar dari segala
penyakit // ketiga harapannya jangan sampai menemukan
// kesedihan atau hidup susah // keempat mengharapkan
memiliki anak // anak laki-laki yang sempurna // yang
mampu meneruskan sejarah hidup keluarga dan
memberikan keturunan yang baik.84
i. Bait 9
Mula nora gampang wong arabi // kudu milih wanodya
kang kêna // ginawe rewang uripe // sarana ngudi tuwuh //
myang ngupaya kang sandhang bukti // wiwilangane ana
// catur upayeku // yogyane kawikannana // dhingin bobot
pindho bebet katri bibit // kaping pat tatariman.85
Terjemahannya:
Maka tidak mudah orang hendak beristri // ia harus
memilih wanita yang dapat menjadi teman hidup //
menjadi sarana memperoleh keturunan // dan juga dalam
usaha mencari nafkah // syaratnya (wanita yang dimaksud)
memenuhi jumlah bilangan empat perkara hendaklah
diupayakan itu // seyogyanya kamu ketahui // yaitu
82
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 83
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 1. 84
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 85
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 2.
53
pertama berbobot // kedua keturunan orang baik // ketiga
bakal berketurunan // yang keempat bersifat suka
menerima.86
j. Bait 10
Papat iku iya uga kanthi // dhingin warna kapindhone
brana // kaping tri kawibawane // catur pambêkanipun //
êndi ingkang sira-sênêngi // aja nganti angawang //
manawa kêduwung // karana milih wanodya // datan kêna
den-mupakatkên sasami // wuruk neng karsanira.87
Terjemahannya:
Dari keempat hal itu masih perlu ditambah syarat yang
melengkapi // yaitu yang pertama // memilih wanita yang
cantik // kedua wanita yang kaya // ketiga wanita yang
berwibawa // keempat wanita yang berkarakter atau
tabiatnya baik // dari keempat syarat tersebut kamu harus
memilih dari salah satu yang kemu senangi // jangan
sampai ngawur // yang akhirnya membuat kamu menyesal
// karena memilih wanita sebagai istri // tidak bisa
dimusyawarahkan dengan orang lain // keputusan pilihan
hanya di tanganmu sendiri.88
3. Isi Kandungan Serat Warayagnya
a. Warayagnya adalah buku ajaran untuk putra-putri dari Mangkunegara
IV yang dibuat pada tahun 1856 (bait 1).
b. Seorang laki-laki ketika menjadi suami jangan merasa lebih berkuasa,
lalu berbuat sewenang-wenang, menguasai diri istri dan harta
bawaannya, harus memperhatikan ajaran luhur tentang berumah tangga
(bait 2).
86
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016. 87
KGPAA Mangkunegara IV, Serat Piwulang Warna-Warni, h. 2. 88
Terjemahan oleh Darweni, Surakarta, 31 Oktober 2016.
54
c. Bahwa berumah tangga itu bukan untuk menuruti asmara semata,
tetapi juga harus didasarkan pertimbangan nalar (pikiran) yang
mendalam dan hukum yang berlaku (bait 2).
d. Jika seorang laki-laki hendak mencari istri, harus memilihnya dengan
tepat. Ia jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu, karena akan
mendatangkan kekecewaan di kemudian hari. Walaupun laki-laki
bebas menuruti kemauannya, namun jangan berlaku demikian (bait 3).
e. Tidak ada salahnya orang berikhtiar mengupayakan apa yang
diinginkannya yang dipandang baik, demi kebaikan hidupnya di masa
depan. Ia harus mengindahkan aturan syariat, menjaga kehormatan diri
dan keselamatan hidupnya. Karena jika tidak demikian, ia berbuat
semena-mena, melanggar aturan syariat, mengabaikan harga diri dan
keselamatan hidup, akhirnya menyengsarakan hidupnya dan menyesal
selama-lamanya (bait 4).
f. Orang yang memiliki tabiat buruk tidak akan diterima dalam pergaulan
masyarakat. Ketika ia melamar anak perempuan pada orang tuanya,
tidak akan diterima. Karena merupakan aib ketika perempuan menikah
dengan orang yang mempunyai tabiat jelek. Lebih baik tidak memiliki
anak cucu (bait 5).
g. Bahwa penyesalan akan terjadi di kemudian hari dalam masalah
pernikahan disebabkan karena seseorang laki-laki ketika memilih
perempuan hanya karena melihat kecantikannya, kekayaannya,
55
martabat keturunannya dan keakraban dalam bergaul serta berbagi
pemberian yang menarik untuk lebih memikat asmara (bait 6).
h. Seorang laki-laki, jika terpengaruh empat perkara itu, bukan mustahil
ia menikahi seorang perempuan bukan yang diniatkannya, bukan
berdasarkan hati. Janganlah menikah secara demikian, tetapi
menikahlah secara baik-baik, bukan dengan perempuan bayaran. Hal
yang demikian tidak baik dan memalukan orang tua (bait 7).
i. Ketahuilah apa yang diharapkan dalam hidup di dunia ini ialah
keselamatan dan terhindar dari segala masalah, terhindar dari
kedengkian dan kebencian masyarakat, sehat badannya, bahagia dalam
hidup dan memperoleh anak laki-laki yang saleh yang akan
melanjutkan generasi keluarga (bait 8).
j. Tidak mudah orang berumah tangga. Laki-laki harus bisa memilih
perempuan yang bisa dijadikan teman hidup, yang mampu
memberikan keturunan dan membantu dalam mencari nafkah keluarga.
Perempuan seperti itu memiliki 4 ciri utama: pertama ia berkualitas
baik (bobot), kedua berasal dari keluarga baik-baik (bebet), ketiga ia
akan dapat melahirkan anak atau berketurunan (bibit) dan keempat
mempunyai sifat bisa menerima keadaan apapun yang terjadi (tariman)
(bait 9).
k. Dan untuk memberi daya tarik, maka wanita yang memiliki 4 ciri
utama hendaknya pula dilengkapi dengan keadaan lahiriah yang cukup
56
cantik, mempunyai harta yang memadai, pangkat dan derajat yang
pantas, mempunyai watak dan budi yang luhur (bait 10).
l. Dalam memilih perempuan untuk calon istri janganlah semaunya
sendiri dan asal dapat saja, meskipun dalam memilih calon istri lebih
di titik beratkan atas kehendak diri sendiri, bukan didasarkan atas
permufakatan keluarga atau orang lain (bait 10).
4. Etika Pranikah Serat Warayagnya
a. Dasar Utama Bersuami-Istri
Pada bait ke-2 dalam Serat Warayagnya dijelaskan laki-laki dan
perempuan yang hendak menempuh kehidupan berumah tangga
hendaknya tidak meninggalkan 2 bekal utama, yaitu: akal sehat (nalar atau
pikiran) dan hukum yang berlaku.
Kakung putri ing reh palakrami // sumawana kang sami
jajaka // tan wun têmbe pikramane // marma tinalyeng wuwus
// wasitane mêngku pawastri // ywa dumeh yen wong priya //
misesa andhaku // mring darbekireng wanodya // palakrama
nalar lan kukum kang dadi // yen tinggal têmah nistha.
Suami dan istri perlu adanya pengertian akan hak dan kewajiban.
Hak suami berarti tanggungjawab istri dan tanggungjawab suami berarti
hak istri, dalam pengambilan hak dan kewajiban ini diperlukan
kedewasaan agar berjalan secara seimbang dan adil. Suami harus
memperhatikan bagaimana cara memperlakukan istri, jangan semaunya
sendiri. Kematangan cara berpikir sangat diperlukan dalam
57
pelaksanaannya. Suami tidak bisa semena-mena dengan berkuasa dan
menguasai segala milik istrinya, harus memperhatikan hukum yang
berlaku. Untuk itu laki-laki harus memperhatikan bagaimana cara hidup
berumah tangga (wasitane mêngku pawastri). Ada sejumlah aturan hidup
yang perlu diperhatikan dan dihormati dalam kehidupan berumah tangga,
yaitu:
1. Aturan agama. Peraturan keagamaan yang mengatur seluk-beluk
perkawinan bagi pihak-pihak yang bersuami-istri.
2. Aturan adat. Adat tata cara yang masih mengakar dalam kehidupan
yang mewarnai dan mengatur tatacara perkawinan bagi pihak-pihak
yang bersuami-istri, baik adat yang berlaku dalam lingkungan keluarga
dan masyarakat sekitarnya.
3. Aturan sosial masyarakat. Berupa pedoman, peraturan pemerintah,
undang-undang yang mengatur seluk-beluk perkawinan bagi orang-
orang yang bersuami-istri.
Laki-laki dan perempuan dalam memilih pasangan tidak hanya
berdasarkan cinta kasih semata, namun, juga harus berdasarkan
kematangan nalar dan kesadaran hukum yang menandai kedewasaannya
(palakrama nalar lan kukum kang dadi) agar dalam pengambilan hak dan
kewajiban dalam kehidupan berumah tangga berjalan secara seimbang.
b. Godaan Yang Harus Dihindari
58
Laki-laki yang hendak memilih calon istri haruslah teliti, jangan
tergesa-gesa dan menuruti hawa nafsu, harus memilih secara tepat.
Meskipun ia mampu menikah sampai 4 kali dalam sehari, namun
janganlah menuruti kemauan sendiri, agar tidak menyesal di kemudian
hari. Ini terdapat dalam bait ke-3:
Wuryaning reh priya kang rumiyin // lamun arsa angupaya
garwa // den-patitis pamilihe // aywa kasêsèng kayun //
mbokmanawa kêduwung wuri // ya bênêr yen wong lanang //
wênang duwekipun // rabiya ping pat sadina // kêna uga
wuruk karêpe pribadi // nanging ta tan mangkana.
Seorang laki-laki haruslah secara cermat dan hati-hati dalam memilih
calon istri (den-patitis pamilihe, aywa kasêsèng kayun). Mengingat
menurut kebiasaannya pemuda lebih aktif dalam mendekati wanita, lebih
berani dan tidak malu-malu, namun, pemuda terkadang mudah terpesona,
hingga akhirnya salah menentukan pilihan dan menyesal di kemudian hari.
Seorang pemuda jangan mudah tergoda dan terpesona, haruslah tetap
waspada dan bersikap awas dalam memilih calon istri, dan dalam
menghadapi segala cobaan (wong anom dadi brangtane). Dalam hal ini
ada 4 godaan yang sering membuat pemuda menjadi ceroboh dan salah
memilih pasangan, yaitu: melihat kecantikan wanita; melihat kekayaannya;
melihat derajatnya yang tinggi; dan karena pergaulan dan sambung rasa
dengannya. Ini diungkapkan dalam bait ke-6:
Kawruhana kaduwunging ati // jalaranne mung patang
prakara // wong anom dadi brangtane // dhingin myat warna
ayu // kaping pindho melik wong sugih // kaping tri
59
kawibawan // lan kaping patipun // kêna sambang
sarawungan // rokok kinang winèhkên lan ujar manis //
rinukêt mrih asmara.
Rasa kagum atas harta, kecantikan, dan pangkat, apalagi disertai
pemberian hadiah itu wajar, namun, kalau sampai menghilangkan akal
sehatnya maka itu tidak benar, karena pikirannya dikalahkan perasaan dan
emosinya.
c. Ikhtiar Dalam Hidup
Adakan usaha secara lahiriah ketika telah mantap niatnya untuk
menikah. Memikirkan dan mempertimbangkan masak-masak, menyusun
langkah-langkah ke arah sasaran yang diinginkan. Jangan menjatuhkan
harga diri dan mengabaikan keselamatan dengan menurutkan hawa nafsu
pribadi, dan melanggar syariat. Ini terdapat dalam bait ke-4:
Dadi ora ana ala bêcik // ngilangakên istiyaring gêsang //
yen ngarah-apa tekade // andarung kadalurung // ngelmu
sarak denorak-arik // (m)buwang ajining badan // lumuh reh
rahayu // tur upama kalakonna kasangsara kaduwunge
anêkani // manglah nunutuh driya.
Orang yang meninggalkan usaha dalam hal memilih calon istri,
lantas menuruti hawa nafsu dan kesenangan hati semata, bukan mustahil ia
lalu cenderung melanggar hukum syariat atau agama (ngelmu sarak
denorak-arik). Ia mengabaikan kehormatan dirinya dan kebahagiaan masa
depannya demi menuruti kesenangan sesaat ((m)buwang ajining badan,
lumuh reh rahayu), maka kesengsaraan yang akan diperoleh, yang
60
membuatnya menyesal dan menyalahkan diri sendiri (kasangsara
kaduwunge anêkani, manglah nunutuh driya).
Masyarakat tidak akan menerima laki-laki yang mempunyai perilaku
buruk yang hanya menjadi sampah dan beban dalam masyarakat (wong
gêndhak kalakuwane, sapa kang duwe sunu). Akibatnya ketika ia melamar
perempuan tidak akan diterima oleh orang tuanya, karena dianggap hina
seorang yang menikah dengan orang yang tabiatnya jelek (ala rinabenan
Koja). Ini terdapat pada bait ke-5:
Aja nganti mangkana ta kaki // bêcik apa cinacad sasama //
wong gêndhak kalakuwane // sapa kang duwe sunu // wadon
aweh sira rabènni // kiraku nora nana // kêjaba kêbutuh // ala
rinabenan Koja // bêcik bangsa wit tan duwe putu Êncik //
mung iku ciptanira.
Menikah haruslah dengan perempuan baik-baik, bukan menikah
dengan perempuan bayaran, karena ini tidak baik dan dapat menurunkan
martabat keluarga. Orang hidup haruslah memiliki harapan baik dalam
menjalani kehidupan dengan melakukan pernikahan. Ini ada dalam bait ke-
7 dan 8:
Wêkasane ya kêna sayêkti // ngadatira wong anom
mangkana // keh rabi dudu niyate // yen kêna sutaningsun //
arabiya jalaran bêcik // aja rabi pasogan // nistha yen dinulu
// angapêskên yayah-rena // wruhanira manungsa neng
dunya iki // yen kêna kang tinêdha.
Ingkang dhingin rahayuning dhiri // kinalisna sakehing
prakara // myang sak-sêrik sasamane // kapindho badanipun
// aja kambah barang panyakit // kaping tri aja tansah //
susah manahipun // kaping pat arsa darbeya // anak lanang
kang mursid minangka wiji // (n)dawakkên turunnira.
61
Harapan-harapan baik itu diantaranya adalah, (1) terwujudnya
keselamatan diri dan terhindar dari segala masalah yang menyulitkan
dirinya, serta jangan sampai dibenci oleh masyarakat sekitarnya. (2)
Harapannya adalah badannya terhindar dari segala penyakit. (3) Jangan
sampai menemukan kesedihan atau hidup susah. (4) Memiliki anak laki-
laki yang sempurna, yang mampu meneruskan sejarah hidup keluarga dan
memberikan keturunan yang baik. Inilah pentingnya memilih calon istri
haruslah hati-hati dan teliti, karena ia akan menjadi teman hidup dalam
suka dan duka, teman hidup dalam mencari penghidupan, teman hidup
dalam mengembangkan keturunan dan teman hidup dalam mengabdi
kepada Tuhan.
d. Kriteria Utama Calon Pasangan
Calon istri haruslah memiliki 4 sifat utama, yaitu: bobot (berbobot
atau bermutu); bebet (keturunan orang baik); bibit (subur, sehat atau akan
berketurunan); dan tariman (sifat suka menerima apa yang ada, tidak
banyak tuntutan). Adapun penjelasannya sebagai berikut:89
1. Bobot dalam rambu-rambu pranikah selengkapnya berbunyi “bobot
kang mitayani” dan berkaitan dengan “ajining calon penganten”, yang
mempunyai maksud harga diri calon pengantin yang terpercaya untuk
menegakkan kehidupan berumah tangga. Syarat harga diri terpercaya
89
Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Gaya
Surakarta dan Yogyakarta), h. 3.
62
ini ada pada pasangan calon pengantin dengan merujuk pada berbagai
aspek kekuatan hidup. Diharapkan agar rumah tangga yang dibangun
menjadi kokoh dan sejahtera.
2. Bebet dalam rambu-rambu pranikah selengkapnya berbunyi “bebet
kang utama”, ini lebih mengacu pada kepribadian, yang acuannya
bukan saja pada calon pasangan, tetapi juga orang tuanya. Watak dan
keseharian orang tua sangat berpengaruh pada anak-anak mereka,
dengan merujuk aspek kepribadian ini diharapkan keluarga yang akan
dibangun akan menjadi keluarga yang terhormat.
3. Bibit dalam rambu-rambu pranikah ini selengkapnya berbunyi “bibit
kang becik”, dalam hal ini yang menjadi acuan utamanya adalah
kesehatan jasmani dari calon pasangan. Dengan memperhatikan aspek
ini diharapkan akan melahirkan keturunan yang sehat secara jasmani.
4. Tariman dalam aspek ini yang menjadi perhatian adalah karakter atau
sikap dalam menjalani hidup. Dengan memiliki pasangan yang
mempunyai sikap mampu menerima segala keadaan diharapkan bisa
menjadi teman hidup serta teman mencari nafkah yang baik demi
terwujudnya keluarga yang bahagia dan kekal.
Selain adanya 4 sifat tersebut, masih perlu dilengkapi juga secara
lahiriah untuk menjadi lebih menarik, yaitu: kecantikan yang cukup; harta
yang cukup; pangkat atau kewibawaan yang cukup di dalam masyarakat;
dan mempunyai tabiat atau karakter yang baik. Dari ke-4 hal tersebut kita
63
bisa memilih salah satu yang disenangi untuk dapat melengkapi 4 sifat
utama. Namun, janganlah ngawur atau asal pilih, yang akhirnya membuat
diri menyesal. Dalam berumah tangga tidaklah mudah, seperti yang
diungkapkan dalam bait ke-9 dan 10:
Mula nora gampang wong arabi // kudu milih wanodya kang
kêna // ginawe rewang uripe // sarana ngudi tuwuh // myang
ngupaya kang sandhang bukti // wiwilangane ana // catur
upayeku // yogyane kawikannana // dhingin bobot pindho
bebet katri bibit // kaping pat tatariman.
Papat iku iya uga kanthi // dhingin warna kapindhone brana
// kaping tri kawibawane // catur pambêkanipun // êndi
ingkang sira-sênêngi // aja nganti angawang // manawa
kêduwung // karana milih wanodya // datan kêna den-
mupakatkên sasami // wuruk neng karsanira.
Berumah tangga ditujukan untuk mendapatkan sakīnah (ketentraman
dan kesejahteraan), diperlukan usaha-usaha sebelum dan sesudah menikah.
Salah satunya adalah dengan memilih calon istri berdasarkan 4 sifat utama
tersebut untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang sejahtera. Oleh
karena itu tidaklah gampang orang menikah dalam arti yang sebenarnya
(mula nora gampang wong arabi), yaitu menikah bukan karena tergila-gila
atau kekaguman atas apa yang melekat pada dirinya, tetapi menikah atas
dasar pertimbangan yang matang.
e. Berdasar Pilihan Sendiri
Memilih calon istri haruslah berdasarkan keputusan diri sendiri, tidak
bisa dimusyawarahkan dengan orang lain. Karena kitalah yang akan
menjalani kehidupan berumah tangga ke depan, bukan orang lain, jadi
64
harus memilih calon istri secara cermat, teliti, hati-hati, dan tidak
berdasarkan nafsu pribadi. Inilah penting letaknya kedewasaan dan
kematangan diri dalam memilih dan meniti kehidupan berumah tangga.
Seperti pada potongan nasihat bait ke-10:
... karana milih wanodya, datan kêna den-mupakatkên
sasami, wuruk neng karsanira.
Manakala proses pemilihan calon istri berjalan lancar sesuai dengan
petunjuk-petunjuk di atas, maka setelah perkawinan dilangsungkan, tidak
dengan sendirinya kebahagiaan rumah tangga muncul dengan tiba-tiba,
tetapi membutuhkan pembinaan cinta dan kasih sayang antara keduanya
secara terus menerus tanpa henti dengan mengenyampingkan berbagai
godaan yang menimpa.
65
BAB IV
ETIKA PRANIKAH MENURUT MANGKUNEGARA IV
DALAM SERAT WARAYAGNYA
A. Etika dalam Bingkai Keharmonisan
Pandangan dunia Jawa mengajarkan agar manusia mengenal dirinya
sendiri secara mendalam. Manusia dalam hal ini terdiri dari lahir dan batin
yang keduanya harus seimbang dan saling berhubungan.90
Menjadi kewajiban
moral bagi setiap manusia untuk menciptakan suasana yang selaras antara
keduanya, agar kehidupan ini dapat selaras dengan prinsip katunggalan
pamungkas.91
Karena hal ini orang Jawa memiliki anggapan bahwa kehidupan
sosial itu sudah digariskan dan hal ini tertuang dalam pranata tradisi, etika dan
agama formal.
Dalam pranata tradisi dan etika, orang harus memenuhi darma
(kewajiban) mereka dengan taat dan nrima, yaitu menerima situasi kehidupan
dan nasibnya dengan penuh syukur. Upaya mencapai keselarasan dan
pemeliharaan ketertiban adalah aspek yang menonjol. Hasrat, ambisi dan
nafsu pribadi merupakan ancaman terhadap keselarasan yang ada di dalam
masyarakat serta kekacauan dan percekcokan suatu yang amat tidak disukai.
Menurut pandangan orang Jawa, ketidakharmonisan muncul karena dirusak
90
Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), h. 19. 91
Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, h. 21.
66
oleh rasa egois dan ketidakmampuan dalam mengekang nafsu. Munculnya
kekacauan dan percekcokan disebabkan oleh pengejaran dan ambisi pribadi.
Dalam kehidupan sehari-hari yang diutamakan adalah hubungan sosial
yang menyenangkan, damai dan ramah serta memperhatikan kesatuan tujuan.
Dengan kata lain, hubungan itu harus dicirikan dengan semangat rukun,
semangat dalam keharmonisan, tenang dan damai. Hubungan ideal ini terjalin
di dalam masyarakat, persahabatan dan keluarga. Semangat hidup yang
bersatu dalam tujuan seraya menanamkan rasa kepedulian dan saling
menolong. Inilah kehidupan komunal yang dijiwai oleh spirit rukun yang
mengimplikasikan penghalusan perbedaan, kerja sama, saling menerima dan
kesediaan dalam berkompromi.
Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya mengajarkan bahwa untuk
menjalani kehidupan berumah tangga harus memperhatikan ajaran-ajaran yang
ada dan tidak bertingkah semaunya sendiri, karena jika demikian
keharmonisan dalam berumah tangga dan bermasyarakat tidak akan dicapai.
Nilai keharmonisan dan saling kerja sama menjadi sangat penting dalam
kehidupan berumah tangga. Keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga
ini dapat dicapai dengan tidak meninggalkan akal dan hukum yang berlaku di
masyarakat, baik hukum adat dan syariat.
Dalam mencari pasangan tidak boleh tergesa-gesa dan terburu nafsu
serta meninggalkan pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang akan
membuat kita menyesal di kemudian hari. Dalam mencari pasangan harus
67
berikhtiar mengupayakan apa yang diinginkan yang dipandang baik, demi
kebaikan hidupnya di masa depan. Untuk itu ia harus mengindahkan aturan
syariat, menjaga kehormatan diri dan keselamatan hidupnya. Jika tidak
demikian, maka ia berbuat semena-mena, melanggar aturan syariat,
mengabaikan harga diri dan keselamatan diri, akhirnya menyengsarakan
hidupnya, memalukan keluarga dan menyesal selama-lamanya.
Di dalam masyarakat bagi mereka yang tidak memperhatikan pranata-
pranata hidup yang ada tidak akan diterima dalam pergaulan sehari-hari.
Akhirnya, ketika ia melamar anak perempuan pada orang tuanya, tidak akan
diterima. Karena ini merupakan aib bagi keluarga ketika perempuan menikah
dengan orang yang memiliki tabiat jelek dan lebih baik tidak memiliki anak
dan cucu. Hal ini dikarenakan idealitas dan harmoni manusia dengan Tuhan
hadir sebagai model bagi hubungan manusia dengan masyarakat. Menjalani
hidup menurut kewajiban dan pranata ketertiban sosial berarti harus mematuhi
kehendak Tuhan, dan sikap demikian akan membentuk takdir orang itu
sendiri, dalam hal ini adalah terciptanya kehidupan rumah tangga yang
harmonis di dalam masyarakat. Orang yang telah memenuhi kewajiban di
dunia ini, berarti ia telah memuliakan Tuhan dan inilah langkah awal menuju
tujuan hidup yang hakiki.
Hasrat, ambisi dan nafsu pribadi merupakan ancaman bagi keharmonisan
yang ada di dalam keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu diupayakan
terciptanya kemanunggalan dengan alam dan Tuhan, sehingga ia dituntut
untuk mengetahui cara-cara yang beradab dan sepenuhnya sadar dalam
68
kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Karena gagasan kesatuan
menyiratkan keteraturan, untuk itu perlu untuk mengenal dan tahu tatanan
serta tidak keluar dari aturan tradisi dan etika rukun. Dengan demikian dapat
tercapai keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat.
B. Nilai Kasusilaan dan Budaya
Dalam filsafat Barat, filsafat umumnya diartikan dengan cinta kearifan,
dan dalam filsafat Jawa, filsafat umumnya diartikan cinta kesempurnaan atau
ngudi kawicaksanan. Filsafat Barat lebih menekankan sebagai hasil renungan
dengan rasio dan berarti pengetahuan berbagai bidang yang dapat memberi
petunjuk pelaksanaan sehari-hari. Di dalam filsafat Jawa, kesempurnaan
berarti mengerti akan awal dan akhir hidup atau wikan sangkan paran.92
Moral atau kasusilaan adalah nilai yang sebenarnya bagi masyarakat Jawa,
yang mengatur tindak tanduknya sehari-hari di dalam masyarakat dan rumah
tangga. Dengan kata lain moral atau kasusilaan merupakan kesempurnaan
manusia sebagai manusia dalam masyarakat Jawa.93
Kasusilaan adalah
tuntutan kodrat manusia, orang Jawa menyebutnya dengan istilah budi pekerti,
unggah-ungguh, sopan santun dan tata krama.
Moral atau tata kelakuan merupakan mencerminkan sifat-sifat yang
hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas,
secara sadar maupun tidak oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya.
Tata kelakukan tersebut di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain
92
Abdullah Ciptoprawiro, Falsafah Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 82. 93
Abdullah Ciptoprawiro, Falsafah Jawa, h. 90.
69
pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan suatu alat supaya
anggota-anggotanya menyesuaikan perbuatannya dengan tata kelakuan
tersebut.
Mangkunegara IV dalam Serat Waraygnya mengenai memilih pasangan,
ia memberi pedoman jika dalam memilih pasangan hanya melihat
keelokannya, kekayaannya, martabat keturunannya dan keakraban dalam
bergaul serta hadiah-hadiah hanya untuk memikat hati saja, maka akan
mengakibatkan penyesalan di kemudian hari. Karena itu hanya menuruti nafsu
lahiriah saja, dalam memilih pasangan haruslah dilakukan secara baik-baik
agar tidak memalukan orang tua dan keluarga. Kemudian mangkunegara IV
memberi pedoman untuk memilih pasangan yang memiliki 4 ciri utama, yaitu:
berkualitas baik (bobot), berasal dari keluarga baik-baik (bebet), dapat
melahirkan anak atau berketurunan (bibit), dan mempunyai sifat mampu
menerima keadaan apapun yang terjadi (tariman). Hal ini dimaksudkan agar
pasangan suami-istri dalam kehidupan berumah tangga bukan hanya menjadi
teman hidup, tapi juga akan melahirkan keturunan yang membanggakan
keluarga dan dapat saling membantu dalam mencari nafkah serta pandai dalam
mengolah harta milik keluarga.
Pada umumnya manusia mempunyai pengetahuan adanya baik dan
buruk, pengakuan akan hal ini disebut kesadaran moral atau moralitas. Moral
adalah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam.
Pada akhirnya, orang yang patuh pada nilai-nilai kasusilaan atau moral akan
beruntung dan sebaliknya orang yang suka melanggar akan merugi. Kriteria
70
perbuatan susila adalah kehendak sendiri atas keputusan akal yang baik, serta
penyesuaian dengan hakikat manusia.94
Mangkunegara IV dalam bait terakhir
dalam Serat Waraygnya menekankan bahwa dalam memilih calon pasangan
janganlah semaunya sendiri dan asal dapat saja, memilih calon pasangan harus
dipertimbangkan masak-masak serta berdasar pilihan sendiri, bukan
didasarkan atas musyawarah keluarga atau orang lain.
Dalam masyarakat Jawa, pesan-pesan moral atau kasusilaan
disampaikan dengan media seni, dongeng, tembang, pitutur, piweling dari
para orang tua secara turun-temurun. Masyarakat Jawa mempunyai nilai-nilai
tertentu sebagai warna yang mengatur kehidupannya. Hal ini dapat dilacak
dengan banyaknya sastra piwulang, mengenai pranikah sendiri salah satunya
terdapat dalam Serat Warayagnya.
Upaya mencari norma-norma yang mengatur hubungan antar individu
ini adalah tujuan dari penyelidikan etika. Ajaran moral mengatakan bagaimana
seorang harus hidup, sedang etika adalah bagaimana mengerti mengapa
seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang
dapat mengambil sikap yang bertanggungjawab berhadapan dengan ajaran
moral. Moral atau kasusilaan merupakan ajaran tentang baik dan buruk
perbuatan dan kelakuan manusia.95
Digunakan sebagai pedoman dalam
menjalani kehidupan di masyarakat untuk dapat menciptakan keselarasan dan
94
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogjakarta: Narasi, 2003), h. 77. 95
Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 81.
71
tujuan hidup.96
Mangkunegara IV dalam Serat Warayagnya menjelaskan
bahwa tujuan dari orang hidup adalah keselamatan dari berbagai masalah,
terhindar dari kedengkian dan kebencian orang-orang, sehat badannya,
bahagia hidupnya serta memperoleh anak laki-laki atau keturunan yang baik
yang akan melanjutkan generasi keluarga.
C. Nilai Ajaran Islam
Mangkunegara IV dalam Serat Warayganya mengajarkan mengenai
seorang suami yang tidak bisa semena-mena dengan berkuasa menguasai
segala milik istrinya, perlu adanya pengambilan hak dan kewajiban antara
suami-istri secara seimbang, serta antara keduanya melakukan kerjasama
dalam hal kehidupan berumah tangga dan mencari nafkah. Islam sebagai
agama sempurna juga mengajarkan adanya pengambilan hak dan kewajiban
dalam berumah tangga secara seimbang.97
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
96
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogjakarta: Narasi, 2003), h. 80. 97
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 492.
72
Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir.
Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa)
itu, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan. Dan mereka (para
perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah
Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah: 228)
Ayat ini dapat dijadikan sebagai pengumuman Al-Qur’an terhadap hak-
hak perempuan.98
Para suami harus dapat mengetahui saat-saat di mana
istrinya membutuhkannya, dengan memenuhi kebutuhan mereka itulah maka
para istri tidak perlu melihat pria lain, karena suaminya telah mencukupinya.99
Dalam konteks hubungan suami istri, ayat ini menunjukkan bahwa istri
mempunyai hak dan kewajiban terhadap suami, sebagaimana suami pun
mempunyai hak dan kewajiban terhadap istri, keduanya dalam keadaan
seimbang, bukan sama. Dengan demikian perlu adanya kerja sama yang baik
dan adil antara suami dan istri agar pengambilan hak dan kewajiban berjalan
secara harmonis. Seperti halnya dalam bekerja atau mencari nafkah, meskipun
suami mempunyai tugas utama dalam hal ini, bukan berarti istri tidak
diharapkan bekerja juga, apalagi ketika penghasilan suami dirasa kurang untuk
memenuhi kebutuhan hidup bersama. Di sisi lain, meskipun pada umumnya
istri mempunyai tugas membersihkan rumah, mencuci, memasak dan
pekerjaan rumah tangga lainnya, bukan berarti suami membiarkannya tanpa
berusaha untuk membantu.
98
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol. 1,
h. 492. 99
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (3), penerjemah Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 273.
73
Dalam hal memilih calon pasangan, Mangkunegara IV mengajarkan
harus teliti, tidak tergesa-gesa menuruti hawa nafsu dan harus memilihnya
secara tepat. Seorang laki-laki harus secara cermat dan hati-hati dalam
memilih calon istri (den-patitis pamilihe, aywa kasêsèng kayun). Mengingat
menurut kebiasaannya pemuda lebih aktif dalam mendekati wanita, lebih
berani dan tidak malu-malu, namun, pemuda terkadang mudah terpesona,
hingga akhirnya salah menentukan pilihan dan menyesal di kemudian hari.
Seorang pemuda jangan mudah tergoda dan terpesona, harus tetap waspada
dan bersikap awas dalam memilih calon istri, dan dalam menghadapi segala
cobaan (wong anom dadi brangtane). Dalam hal ini ada 4 godaan yang sering
membuat pemuda menjadi ceroboh dan salah memilih pasangan, yaitu:
melihat kecantikan wanita; melihat kekayaannya; melihat derajatnya yang
tinggi; dan karena pergaulan dan sambung rasa dengannya. Rasa kagum atas
harta, kecantikan, dan pangkat, apalagi disertai pemberian hadiah itu wajar,
namun, kalau sampai menghilangkan akal sehatnya maka itu tidak benar,
karena pikirannya dikalahkan perasaan dan emosinya.100
Ini sejalan dengan
surat Al-Baqarah ayat 221 yang melarang menikahi wanita musyrik sekalipun
kecantikannya, hartanya, dan kedudukannya sangat tinggi.
100
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
202.
74
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang
(laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 221)
Pemilihan pasangan adalah batu pertama pondasi bangunan rumah
tangga, yang harus kuat untuk menopang bangunan yang ada di atasnya.101
Pondasi yang kuat ini tidak berasal dari kecantikan dan ketampanan, karena
keduanya bersifat relatif dan cepat pudar. Bukan juga harta, karena harta
mudah didapat sekaligus mudah lenyap. Bukan pula status sosial atau
kebangsawanan karena yang ini pun sementara dan dapat lenyap seketika.
Dalam ayat ini dijelaskan pondasi yang kokoh tersebut adalah berdasar iman
kepada Yang Maha Esa.102
Firman ini merupakan pemberitahuan bahwa
budak perempuan yang beriman adalah lebih baik daripada seorang wanita
musyrik, meskipun wanita musyrik ini mempunyai kedudukan dan kekayaan,
101
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol. 1,
h. 472. 102
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol. 1,
h. 473.
75
menarik hatimu dengan keindahannya dan yang lainnya.103
Pernikahan
dimaksudkan agar terjalin hubungan yang harmonis, minimal antara pasangan
suami istri dan anak-anaknya. Ini bisa dicapai ketika mereka mempunyai nilai-
nilai hidup yang sama. Nilai-nilai inilah yang akan mewarnai pikiran dan
tingkah laku seseorang. Inilah pentingnya memilih calon istri secara hati-hati
dan teliti, karena ia akan menjadi teman hidup dalam suka dan duka, teman
hidup dalam mencari penghidupan, teman hidup dalam mengembangkan
keturunan dan teman hidup dalam mengabdi kepada Tuhan.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 223 mengibaratkan istri sebagai ladang,
yang harus diolah dengan baik agar menghasilkan panen yang baik.
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladang-ladangmu itu
kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik)
untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak)
akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang
beriman.” (Q.S. Al-Baqarah: 223)
Laki-laki dan perempuan harus pandai-pandai memilih calon
pasangannya. Istri adalah ladang, jika ladangnya bagus, maka benih yang
ditanam akan tumbuh dengan baik, begitu pun sebaliknya, jika ladangnya
tidak bagus, jangan harapkan benih yang telah ditanam akan tumbuh dengan
baik. Namun, setelah benih itu tumbuh dengan baik perlu juga untuk dirawat
103
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (3), penerjemah Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 150.
76
dengan baik pula.104
Perempuan merupakan tempat menyemai keturunan,105
untuk mendapatkan istri yang baik atau ladang yang bagus untuk tempat
bercocok-tanam perlu adanya usaha untuk mendapatkannya, tidak bisa
sembarangan dan memilih secara asal-asalan.
Dalam Islam perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk memilih
pasangannya. Seperti yang diisyaratkan dalam surah An-Nûr ayat 32, yang
terjemahannya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan
juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan mereka dengan karunia-Nya. Dan allah Maha Luas (pemberian-
Nya), Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nûr: 32)
Ayat ini juga termasuk ke dalam masalah bertabir dan memperbaiki diri.
Maksudnya, nikahkanlah orang-orang yang tidak memiliki pendamping
diantara kalian, laki-laki dan perempuan, sebab itu merupakan jalan untuk
memelihara kesucian diri.106
Dan prinsip yang benar menurut Islam dalam
memilih calon istri dan suami adalah unsur ketakwaan, sebagai ukuran yang
paling utama dan tidak bisa digantikan dengan ukuran yang lain.107
Seperti
yang ada dalam surah Al-Hujarât ayat 13, yang terjemahannya:
“Wahai manusia, sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling
104
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol. 1,
h. 480. 105
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (3), penerjemah Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 202. 106
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (17), penerjemah Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 600. 107
Mahmud ash-Shabbagh, Keluarga Bahagia dalam Islam (Solo: CV. Pustaka Mantiq,
1993), h. 63.
77
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Al-Hujarât: 13)
Berumah tangga ditujukan untuk mendapatkan sakinah (ketentraman dan
kesejahteraan), diperlukan usaha-usaha sebelum dan sesudah menikah. Salah
satunya adalah dengan memilih calon istri berdasarkan 4 sifat utama
menciptakan kehidupan rumah tangga yang sejahtera. 4 sifat utama tersebut
yaitu: bobot (berbobot atau bermutu); bebet (keturunan orang baik); bibit
(subur, sehat atau bisa berketurunan); dan tariman (sifat suka menerima apa
yang ada, tidak banyak menuntut).108
Tidaklah gampang orang menikah dalam
arti yang sebenarnya (mula nora gampang wong arabi), yaitu menikah bukan
karena tergila-gila atau kekaguman atas apa yang melekat pada dirinya, tetapi
menikah atas dasar pertimbangan yang matang.
Dalam hadis Nabi, kita menikahi perempuan karena 4 perkara, yaitu
kecantikannya, keluarganya, kekayaannya, dan agamanya. Namun, kita akan
selamat ketika menikahi wanita karena agamanya, bukan karena kecantikan,
keluarga, dan kekayaan.
“Perempuan dinikahi karena empat hal, yaitu: hartanya, kedudukannya,
kecantikannya dan agamanya. Pilihlah perempuan karena agamanya, niscaya
engkau akan beruntung.” (Dikutip dari Kitab Mukhtarul Hadits, no. 21).
Agama yang dimaksud di sini adalah komitmen dan kesungguhan dalam
menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang
akan langgeng. Kekayaan suatu ketika akan lenyap dan kecantikan suatu
108
Moh. Ardani, Al-Qur‟an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), h.
205.
78
ketika dapat pudar demikian pula kedudukan, suatu ketika akan hilang.
Kecantikan, keluarga dan kekayaan memang patut untuk diperhatikan. Hanya
yang menjadi pertimbangan utama ialah keteguhan dalam beragama atau
akhlak, bukan fisik, nasab, kekayaan, jabatan atau sesuatu yang lain.109
Manakala proses pemilihan calon istri berjalan lancar sesuai dengan petunjuk-
petunjuk di atas, maka setelah perkawinan dilangsungkan, tidak dengan
sendirinya kebahagiaan rumah tangga muncul dengan tiba-tiba, tetapi
membutuhkan pembinaan cinta dan kasih sayang antara keduanya secara terus
menerus tanpa henti dengan mengenyampingkan berbagai godaan yang
menimpa.
Sama halnya dalam surah Al-Rûm ayat 21 yang menyatakan bahwa
salah satu tanda kekuasaan Allah ialah manusia disediakan jodoh dari jenisnya
sendiri agar mereka hidup tenteram, seraya ia tumbuhkan rasa cinta mencintai
dan sayang menyayangi antara keduanya.
“Dan di antara tanda-tanda (kebesarann)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Rûm: 21)
109
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h.
16.
79
Pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri yang
satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan
harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan
menghembuskan nafas.110
Allah menciptakan perempuan dan laki-laki untuk
berpasangan dan berkasih sayang satu sama lain.111
Pernikahan merupakan
penyatuan ruhani dan jasmani, sehingga pasangan suami istri masing-masing
merasakan ketenangan di samping pasangannya serta cenderung kepadanya.
Mawaddah adalah kelapangan dan kekosongan, jalan menuju
diabaikannya segala godaan kenikmatan duniawi dan tidak memutuskan
hubungan suami istri, apapun yang terjadi. Kesediaan suami untuk membela
istri, kesediaan seorang perempuan untuk hidup bersama seorang laki-laki dan
meninggalkan keluarga, serta keduanya saling membuka rahasia paling dalam.
Semua ini adalah hal yang tidak mudah untuk terlaksana tanpa adanya kuasa
Allah mengatur hari suami istri.112
Rahmat pada suami istri lahir bersamaan
dengan lahirnya anak, atau ketika pasangan suami istri itu telah mencapai usia
lanjut.113
Betapapun baik rahmat maupun mawadah keduanya adalah anugerah
Allah yang sangat nyata diberikan kepada pasangan suami istri, kapan pun dan
di mana pun ia berada.
110
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol.
11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 34. 111
Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (14), penerjemah Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 40. 112
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol.
11, h. 36. 113
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol.
11, h. 37.
80
Dalam Serat Warayagnya ini lebih banyak dijelaskan tata cara memilih
pasangan yang memang sejalan dengan ajaran Islam, tetapi tidak dijelaskan
bagaimana cara melamar pasangan. Islam sebagai agama menganggap
pernikahan selain memberi manfaat bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga
untuk keluarga, masyarakat dan bangsa. Jika kita belum mampu untuk
menikah, maka dianjurkan untuk berpuasa.114
Islam mengatur pernikahan
dengan sangat lengkap, mulai dari memilih pasangan, melamar, pernikahan,
rumah tangga sampai pada perceraian dan pembagian waris. Untuk melamar
sendiri akan penulis bahas karena sangat dekat dengan pembahasan yang
tengah dikaji. Dalam Islam dikenal dengan apa yang disebut dengan khitbah
(peminangan).115
Khitbah secara etimologi bermakna permintaan. Khitbah
(peminangan) secara sederhana diartikan dengan: penyampaian kehendak
untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Secara terminologi mempunyai arti
menunjukkan (menyatakan) permintaan untuk perjodohan dari seorang laki-
laki pada seorang perempuan atau sebaliknya.116
Dengan demikian dapat
disimpulkan khitbah mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Khitbah dimulai dengan suatu permintaan (penyampaian kehendak).
2. Khitbah bisa dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan
secara langsung atau diwakilkan.
114
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 16. 115
Mahmud ash-Shabbagh, Keluarga Bahagia dalam Islam, h. 60. 116
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, h. 17.
81
3. Khitbah bisa juga dilakukan oleh pihak perempuan kepada seorang laki-
laki melalui seorang perantara.
4. Khitbah dilakukan dengan cara yang baik.
Khitbah ini dimaksudkan sebagai pendahulaun dalam pernikahan, agar
calon suami-istri saling kenal mengenal, sehingga perkawinan yang akan
mereka tempuh betul-betul didasarkan pada saling pengertian dan
keterusterangan yang pada akhirnya dapat memperkuat ikatan perkawinan
yang diadakan sesudah itu. Seperti dalam sepotong hadis yang terjemahannya:
“Melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan ikatan
perkawinan.” (Hadits Nabi dari Al-Mughirah bin Syu’bah yang dikeluarkan
Tirmidzi dan Nasa’i).117
117
Ibnu Hajar, Bulughul Maraam (Surabaya: Al-Hidayah, tt), h. 200.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam Serat Warayagnya penulis menemukan bahwa etika pranikah
yang diajarkan oleh Mangkunegara IV tidak lepas dari pandangan orang Jawa
yang ingin mencapai keselarasan dan pemeliharaan ketertiban. Di dalam
masyarakat, harus memperhatikan pranata-pranata hidup yang ada agar dapat
diterima dalam pergaulan. Hasrat, ambisi dan nafsu pribadi merupakan
ancaman bagi keharmonisan yang ada di dalam keluarga dan masyarakat.
Moral dan kasusilaan merupakan nilai utama dalam menjalani kehidupan di
dalam keluarga dan masyarakat yang mengatur tindak tanduknya sehari-hari.
Serat Warayagnya juga mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Seperti
keseimbangan dalam pengambilan hak dan kewajiban antara suami-istri.
Suami yang tidak bisa begitu saja memperlakukan istrinya semena-mena,
seperti yang tertuang dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 128. Kemudian dalam
memilih calon pasangan harus hati-hati dan teliti, jangan sampai tergoda
hanya karena dia cantik, kaya serta berpangkat, seperti yang dijelaskan dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 221. Pernikahan dimaksudkan agar terjalin hubungan
yang harmonis serta mendapat ketentraman hidup serta berkasih sayang antara
keduanya, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. Ar-Rûm ayat 21. Dalam
pemilihan calon pasangan merupakan pondasi awal untuk dapat mencapai
tujuan tersebut.
83
Dalam Serat Warayagnya memang lebih banyak berisi tuntunan bagi
laki-laki dalam memilih calon istri, yang menempatkan perempuan sebagai
objek yang dipilih daripada subjek yang memilih, ini tidak lain sesuai dengan
tradisi masyarakat waktu itu. Namun, bukan berarti hanya laki-laki saja berhak
menentukan pilihannya, perempuan pun juga berhak menentukan pilihannya.
Dengan kata lain perempuan berhak menolak permintaan laki-laki apabila ia
tidak menyukainya, seperti diisyaratkan dalam permulaan Serat Warayagnya
bait ke-2 yang menyatakan bahwa serat ini ditujukan kepada putra dan putri
yang akan menikah (kakung putri ing reh palakrami, sumawana kang sami
jajaka, tan wun têmbe pikramane).
B. Saran-Saran
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi penulis pribadi. Penulis menerima segala kritik dan saran yang
bersifat membangun, untuk dapat menyempurnakan kepenulisan skripsi ini.
Penulis mempunyai beberapa saran bagi peneliti selanjutnya yang ingin
meneliti di tema yang sama, yaitu:
1. Mangkunegara IV mempunyai 2 karya tulis yang bertemakan pernikahan
dan rumah tangga, yaitu Serat Warayagnya dan Serat Darmalaksita.
Untuk peneliti selanjutnya dapat menyempurnakan skripsi ini (Serat
Warayagnya) dengan mengombinasikan Serat Darmalaksita, atau meneliti
secara khusus dan mendalam mengenai Serat Darmalaksita.
84
2. Selain Mangkunegara IV ada Raden Ngabehi Ronggowarsito yang hidup
semasa dan juga menulis karya dengan tema pernikahan dan rumah
tangga, yaitu Serat Candrarini. Untuk peneliti selanjutnya dapat
menyempurnakan skripsi ini (Serat Warayagnya) dengan
mengombinasikan Serat Candrarini dan Serat Darmalaksita, atau meneliti
secara khusus dan mendalam mengenai Serat Candrarini.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Filsafat Etika Islam. Bandung: Mizan, 2002.
Abdullah, Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006.
Adzlan. “Pendewasaan Usia Perkawinan.” Artikel diakses pada 05 Juni 2017 dari
http://lampung.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?
Agoes, Artati. Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa
(Gaya Surakarta dan Yogyakarta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001.
Al-Hayati, Ra’d Kamil Musthafa. Membina Rumah Tangga yang HarmoniI.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Terj. KH Farid Ma’ruf, judul asli Al-Akhlaq,
Cet. 3. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Any, Anjar. Menyingkap Serat Wadatama. Semarang: Aneka Ilmu, 1986.
_____________. Perkawinan Adat Jawa Lengkap. Surakarta: PT. Pabelan, 1986.
Ardani, Mohammad. Al-Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat
Piwulang). Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Ash-Shabbagh, Mahmud. Keluarga Bahagia dalam Islam. Solo: Pustaka Mantiq.
1993.
Asmaran. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1992.
Bailharz, Pater. Teori-Teori Sosial; Observasi Kritis Terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2002.
Bakri, Oemar. Akhlak Muslim. Bandung: Angkasa, 1981.
86
Bas. “Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim di Indonesia.” Artikel diakses pada
07 November 2016 dari balitbangdiklat.kemenag.go.id
Bertens, K. Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013.
Biro Kepegawaian Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI. Agama Islam:
Modul Orientasi Pembekalan Calon PNS. Jakarta: Departemen Agama RI,
2004.
Ciptoprawiro, Abdullah. Falsafah Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Daryono. Etos Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV.
Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Devos, H. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tirta Warna, 1997.
Joker, Jan. dkk. Metodologi Penelitian: Panduan untuk Master dan Ph.D. di
Bidang Manajemen. Jakarta: Salemba Empat, 2011.
Khalil, Ahmad. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. Malang:
UIN-Malang Press, 2008.
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Latif, Nasaruddin. Ilmu Perkawinan Problematika Seputar Keluarga dan Rumah
Tangga. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Mangkunegaran IV, KGPAA. Serat Piwulang Warna-Warni. Transkripsi oleh
Mulyadi Mulyo Hutomo dan Muhammad Husodo. Solo: Rekso Pustoko.
1980.
_____________. Serat Wedhatama. Semarang: Dahara Prize, 1994.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.
2016.
87
Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang. 1974.
Nasr, Seyyed Hossein, Oliver Leaman. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Bandung: Mizan, 2013.
Basri. Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan Teori dan Praktik). Jakarta:
Restu Agung, 2016.
Mustofa, Ahmad. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan,
1996.
Nasution, Khoiruddin. Hukum Perkawinan I. Yogyakarta: ACAdeMIA &
Tazzafa, 2005.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT). Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur‟an Tematik). Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009.
Poedjawiyatna. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,
2003.
Poerwadarminta. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Poespoprodjo. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Penerbit Pustaka Grafika, 1999.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia
Legal Center Publising, 2012.
Purwadi. Tasawuf Jawa. Yogjakarta: Narasi, 2003.
Qurthubi. Tafsir Al-Qurthubi. Penerjemah: Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007.
88
Ramulyo, Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2004.
Raper, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah,
1996.
Ricklefs, M. C.. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2015.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali
Pers, 2013.
Rusdi, Rohmani. Manipulasi Hidup: Tragedi Harta, Tahta, dan Wanita. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1995.
Ruslan, Rosyadi. Etika Kehumanan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Sabdacarakatama. Serat Wedhatama. Yogjakarta: Narasi, 2010.
Salam, Burhanuddin. Etika Individual. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.
Serat Wadhatama. Surakarta: Yayasan Mangadeg Surakarta, 1975.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an.
Volume 1. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
_____________. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an.
Volume 11. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Siswokartono, Soetomo. Sri Mangkunegara IV Sebagai Penguasa dan Pujangga.
Semarang: Aneka Ilmu, 2006.
Soeharso, dan Ratnoningsih, Aan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang:
Widya Karya, 2005.
Soekimin. “Sabdatama KGPAA Mangkunegara IV dalam Karya Sastra Jawa.”
Cakrawala Pendidikan no. 3 (Juli, 1983): h. 29-43.
Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 1997.
89
Susurin, dan Muslim, Moh. “Pendidikan bagi Calon Pengantin.” Jurnal Bimas
Islam vol. 7 no. 2 (Jakarta, 2014): h. 223-246.
Tinus, Harold H. Persoalan-Persoalan Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Wawancara Pribadi dengan Translitor Perpustakaan Reksa Pustaka
Mangkunegaran Ibu Darweni. Surakarta, 31 Oktober 2016.
Widjajanti, Rosmaria, Sjafariah. Etika. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
2008.
Widya, Risnawaty. “Perlukah Pendidikan Pra Nikah?.” Artikel diakses pada 25
Maret 2017 dari untar.ac.id/fp/perlukah-pendidikan-pranikah/?lang=id
Wilis, Sofyan. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta, 2009.
Yaswirman. Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: PT RajaFrafindo
Persada, 2013.
Zubair, Ahmad, dan Charris. Kuliah Etika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1995.
90
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Serat Warayagnya
Dhandhanggula
1. Warayagnya wêdharing palupi, pinandara macapat sarkasa, ing nalika
panitrane, Senên ping kalihlikur, sasi Saban Dhêsta Be warsi, sangkala
Nyatur Slira, Mumulung mring Sunu, (n)Jêng Gusti Pangran Dipatya,
Arya Prabu Prangwadana kang amarni, winahya mring pra putra.
2. Kakung putri ing reh palakrami, sumawana kang sami jajaka, tan wun
têmbe pikramane, marma tinalyeng wuwus, wasitane mêngku pawastri,
ywa dumeh yen wong priya, misesa andhaku, mring darbekireng
wanodya, palakrama nalar lan kukum kang dadi, yen tinggal têmah
nistha.
3. Wuryaning reh priya kang rumiyin, lamun arsa angupaya garwa, den-
patitis pamilihe, aywa kasêsèng kayun, mbokmanawa kêduwung wuri,
ya bênêr yen wong lanang, wênang duwekipun, rabiya ping pat sadina,
kêna uga wuruk karêpe pribadi, nanging ta tan mangkana.
4. Dadi ora ana ala bêcik, ngilangakên istiyaring gêsang, yen ngarah-apa
tekade, andarung kadalurung, ngelmu sarak denorak-arik, (m)buwang
ajining badan, lumuh reh rahayu, tur upama kalakonna kasangsara
kaduwunge anêkani, manglah nunutuh driya.
5. Aja nganti mangkana ta kaki, bêcik apa cinacad sasama, wong gêndhak
kalakuwane, sapa kang duwe sunu, wadon aweh sira rabènni, kiraku
nora nana, kêjaba kêbutuh, ala rinabenan Koja, bêcik bangsa wit tan
duwe putu Êncik, mung iku ciptanira.
6. Kawruhana kaduwunging ati, jalaranne mung patang prakara, wong
anom dadi brangtane, dhingin myat warna ayu, kaping pindho melik
wong sugih, kaping tri kawibawan, lan kaping patipun, kêna sambang
sarawungan, rokok kinang winèhkên lan ujar manis, rinukêt mrih
asmara.
7. Wêkasane ya kêna sayêkti, ngadatira wong anom mangkana, keh rabi
dudu niyate, yen kêna sutaningsun, arabiya jalaran bêcik, aja rabi
pasogan, nistha yen dinulu, angapêskên yayah-rena, wruhanira
manungsa neng dunya iki, yen kêna kang tinêdha.
8. Ingkang dhingin rahayuning dhiri, kinalisna sakehing prakara, myang
sak-sêrik sasamane, kapindho badanipun, aja kambah barang panyakit,
91
kaping tri aja tansah, susah manahipun, kaping pat arsa darbeya, anak
lanang kang mursid minangka wiji, (n)dawakkên turunnira.
9. Mula nora gampang wong arabi, kudu milih wanodya kang kêna,
ginawe rewang uripe, sarana ngudi tuwuh, myang ngupaya kang
sandhang bukti, wiwilangane ana, catur upayeku, yogyane
kawikannana, dhingin bobot pindho bebet katri bibit, kaping pat
tatariman.
10. Papat iku iya uga kanthi, dhingin warna kapindhone brana, kaping tri
kawibawane, catur pambêkanipun, êndi ingkang sira-sênêngi, aja nganti
angawang, manawa kêduwung, karana milih wanodya, datan kêna den-
mupakatkên sasami, wuruk neng karsanira.
B. Pura Mangkunagaran
Sumber: surakarta.co.id/puramangkunegaran
92
C. Makam KGPAA Mangkunegara IV
Sumber: kompasiana.com/dokter.kusmanto
D. Perpustakaan Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran
Sumber: puramangkunegaran.com/perpustakaan