179
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit. 1 Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia. 2 Di antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat 1 Ali Ghufron Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia, Transplantasi Ginjal, Dan Operasi Kelamin dalam tinjauan Medis, hukum, dan Agama Islam, cet, ke.1 (Yogyakarta: Aditya Media,1993), hlm.28. 2 Thomas A Shannon, Pengantar Bioetika, terj, K. Bartens, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 7 1

euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Citation preview

Page 1: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam abad XX ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi

semakin pesat, karena muncul berbagai penemuan yang sangat bermanfaat bagi

manusia. Khususnya di bidang kedokteran telah banyak penemuan obat-obatan, alat-

alat mekanik, serta cara-cara perlindungan terhadap penyakit.1

Hampir semua aspek kehidupan manusia tersentuh oleh teknologi, harus

disadari bahwa teknologi telah membawa banyak manfaat untuk umat manusia.2 Di

antara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya

perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di

bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan

rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut,

diagnose mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan.

Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan

kedokteran yang modern itu,rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup

seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, dengan

memasang sebuah “ respirator “. Bahkan perhitungan saat kematian penderita

penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat.

Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu

pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu:1 Ali Ghufron Mukti dan Adi Heru Sutomo, Abortus, Bayi Tabung, Euthanasia,

Transplantasi Ginjal, Dan Operasi Kelamin dalam tinjauan Medis, hukum, dan Agama Islam, cet, ke.1 (Yogyakarta: Aditya Media,1993), hlm.28.

2 Thomas A Shannon, Pengantar Bioetika, terj, K. Bartens, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 7

1

Page 2: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.

2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar.

3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter.3

Yang menjadi persoalan ialah jenis kematian yang ketiga, yaitu kematian

dalam kategori euthanasia atau biasa disebut juga mercy killing. Euthanasia biasa

didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan tenang. Hal ini dapat terjadi

karena dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya,

karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir, atau tindakan membiarkan saja

oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa

memberikan pertolongan pengobatan seperlunya.

Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam

pengakhiran hidupnya, bagi banyak negara masih menjadi perdebatan yang sengit.

Sampai sekarang ini, kaidah non hukum yang manapun (agama, moral, kesopanan),

menentukan: membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan

yang bersangkutan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh adalah perbuatan

yuang tidak baik.4

Pada dasarnya masalah euthanasia ini timbul dari adanya suatu dilema,

apakah seorang dokter mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas

permintaan pasien itu sendiri atau dari keluarganya, dengan dalih untuk

menghilangkan atau mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu

3 Djoko Prakoso dan Djaman Andi nirwanto, Euthanasia hak asasi manusia dan hukum pidana, cet. ke-1 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 9-10

4 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm.106

2

Page 3: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Dalam hal ini dokter tersebut menghadapi

konflik bathin, dimana sebagai manusia biasa sang dokter tidak sampai hati menolak

permintaan dari pasien dan keluarganya itu. Apalagi keadaan si pasien yang sekarat

berbulan-bulan dan dokter tahu bahwa pengobatan yang diberikan itu maka dokter

telah melanggar hukum, disamping itu juga telah pula melanggar sumpah dokter

yang telah diucapkannya sebelum menjalankan profesi sebagai seorang dokter.

Dalam memecahkan masalah ini, ada cara yang cukup unik yaitu bila keadaan

antara hidup dan mati (maribundity), maka proses dan usaha medis jika tiada

berpotensi lagi, penyembuhan harus dihentikan. Dengan perkataan lain, bahwa dalam

keadaan demikian maka pembunuhan karena kasihan/karena terpaksa yang diijinkan

oleh dokter diperbolehkan. Dalam hubungan itu, bahkan ada dokter yang

berpendapat bahwa dokter itu boleh mengeluarkan atau mencabut alat yang

diperjuangkan untuk memperpanjang hidup dari seorang pasien yang dalam keadaan

expiration of the soul, yaitu apabila proses kematian sudah mulai nampak.5

Menurut dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia),

seperti dikutip Akh Fauzi Aseri. Ia mengatakan seseorang dianggap mati apabila

batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.

Tegasnya, batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau

matinya seseorang yang sudah tidak sadar. Dari sini mesin-mesin pembantu seperti

pemacu jantung dapat dicabut tanpa dituduh melakukan euthanasia terhadap

penderita.6

5 Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia, hlm. 59

6 Akh. Fauzi Aseri, "Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam," dalam Chuzaimah T. Yanggo dan HA. Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm.66

3

Page 4: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Lahir dan mati adalah takdir, demikianlah pendapat dari sebagian besar

masyarakat Indonesia, dan tidak ada seorangpun yang dapat

menghindari/menentukan mengenai kelahiran dan kematian. Kematian dapat terjadi

baik dikehendaki, maupun tidak dikehendaki, karena uzur, penyakit, kecelakaan,

bunuh diri, bahkan dibunuh oleh orang lain, semua menurut sebagian besar

masyarakat Indonesia adalah takdir.

Pada umumnya, kelahiran selalu membawa kebahagiaan, dan kematian selalu

membawa kesedihan. Kematian secara alamiah, dapat selalu diterima sebagai sesuatu

hal yang wajar, sebab manusia pada saatnya akan mati, tetapi mati tidak secara

alamiah adalah mati yang tidak diharapkan.

Pada mati tidak secara alamiah, apakah itu pengakhiran hidup dengan bunuh

diri (zelfmoord) atau minta “dibunuh” (diakhiri hidupnya – selanjutnya euthanasia),

akan ada hubungannya dengan hak seseorang untuk mati secara tidak alamiah

(selanjutnya “hak untuk mati”) dari seseorang.7

Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati, adalah hak asasi manusia,

hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of

selfdetermination –TROS), sehingga penolakan atas pengakuan terhadap hak atas

mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia.8

Euthanasia dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang menyangkut kepada

suatu tindakan untuk penghentian kehidupan seseorang, walaupun dengan kerelaan

dan atas permintaan orang itu sendiri, maka perbuatan ini bisa dimasukan sebagai

7 Wila Chanrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, hlm.102

8 Ibid., hlm.103.

4

Page 5: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

jarimah pembunuhan. Karena pembunuhan adalah peniadaan atau perampasan

nyawa seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh

anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama menggerakan tubuh.

Dalam Islam masalah kematian manusia merupakan hak prerogatif Allah

SWT. Jadi perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada tindakan untuk menghentikan

hidup seseorang itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendakNYA.

Allah SWT melarang perbuatan yang mengarah kepada kematian dalam bentuk

apapun, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, termasuk di dalamnya

euthanasia, karena tindakan pembunuhan secara euthanasia ini merupakan

pembunuhan tanpa hak, Allah berfirman dalam al-Qur'an:

9 0رحيما بكم كان الله ان أنفسكم تقتلوا ال

ذالكم بالحق اال الله حرم التى النفس تقتلوا وال10 0تعقلون لعلكم به وصاكم

االرض في فساد أو نفس بغير نفسا قتل من11 0جميعا الناس قتل فكانما

ان يحييكم ثم يميتكم ثم أحياكم الذي وهو12 لكفور االنسان

Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa pembunuhan

(mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari

tiga sebab:

9An-Nisa (4): 29 10Al-An'am.(6): 151

11 Al-Maidah (5): 32

12 Al-Hajj (22): 66

5

Page 6: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.

2. Janda (yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh

empat orang saksi (dengan mata kepala sendiri).

3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jamaah

Islam.13

Jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas maka terjadinya tindakan

euthanasia tidak ada satupun karena alasan bil haq.

Jadi tindakan euthanasia merupakan tindakan pembunuhan dengan unsur

kesengajaan dan direncanakan, walaupun ada unsur kerelaan dari pasien. Dalam

unsur euthanasia terdapat tiga hal yaitu dokter sebagai pelaku euthanasia, keluarga

sebagai pihak pemberi izin dan sisakit sebagai korban euthanasia. Tindakan

euthanasia dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dengan adanya unsur

perencanaan. Jadi dalam masalah euthanasia ini merupakan tindakan pembunuhan

yang disengaja dan direncanakan

Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu

penyebab kebolehan pembunuhan, karena kerelaan korban itu bukan merupakan

unsur jarimah pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau

keluarganya berhak memaafkan sanksi qisas atau diyat atau keduanya.

Allah melarang adanya pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang

lain. Pada dasarnya Allah memberikan hukuman qisas bagi pembunuhan, yang

merupakan hak Tuhan, tetapi pihak keluarga diberikan hak atas tuntutan tindak

pidana baik itu pembunuhan maupun pelukaan berupa hukuman diyat atau dimaafkan

13 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1971), XI:43. Riwayat Ibnu Masud.

6

Page 7: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

secara mutlak. Karena hal ini sangat berguna untuk kelangsungan hidup pihak

keluarga korban maupun pihak pelaku kejahatannya.

Permasalahan Euthanasia ini sampai sekarang masih menimbulkan pro dan

kontra baik pada pandangan hukum, etika, agama, budaya dan lain-lain pada

umumnya dan juga pada pandangan Islam dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam)

khususnya, dalam menentukan hukumnya. Untuk itu penyusun berusaha meneliti

masalah Euthanasia ini dalam Prespektif Fiqh Jinayah.

B. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan pokok

masalah sebagai berikut:

Apakah euthanasia merupakan tindak pidana dalam tinjauan Fiqh Jinayah?

C. Tujuan dan Kegunaan

Sesuai dengan pokok masalah di atas, penyusunan skripsi ini bertujuan untuk:

Menjelaskan bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah

euthanasia.

Adapun kegunaan yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah :

Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di dalam

menambah khasanah pengetahuan tentang hukum Islam khususnya yang

berkaitan dengan permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah.

D. Telaah Pustaka

7

Page 8: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Kajian tentang Euthanasia dalam prespektif medis, hukum, psikologi, etika

dan ham banyak dibicarakan oleh banyak praktisi, seperti ulama, ahli hukum, ahli

medis, psikolog.

Ada beberapa buku yang telah membahas tentang masalah euthanasia,

diantaranya: dalam buku Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, karya

Petrus Yoyo Karyadi. Buku ini meninjau dan menyoroti permasalahan euthanasia

dari segi HAM, diantaranya mengemukakan tentang apakah tindakan euthanasia

merupakan hak asasi manusia?. Dan juga menjelaskan bahwa dalam hak asasi

manusia terdapat hak untuk hidup dan hak untuk mati.

Dalam buku Mengapa Euthanasia ?: Kemajuan Medis dan Konsekuensi

Yuridis, karya F.Tengker, buku ini menjelaskan bahwa Euthanasia atau kematian

baik adalah demi kepentingan pasien semata-mata bukan untuk kenyamanan orang-

orang yang sehari-hari berada di sekelilingnya. Euthanasia harus berlangsung atas

dasar suka rela, yaitu atas permintaan pasien itu sendiri tanpa adanya campur tangan

dari pihak lain. Dan dari segi yuridis dalam masalah euthanasia ini. Jika dokter

melakukan tindakan euthanasia secara non alami maka dokter bisa dituntut pasal 344

karena bersalah menghilangkan nyawa orang atas permintaan, dan pasal 354 karena

menolong orang bunuh diri.

Dalam buku Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, karya

Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, buku ini menjelaskan kedudukan

Euthanasia dengan Hak Asasi Manusia, yang memuat tentang Hak untuk Mati

Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, cet.ke-1, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001)

F. Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis dan Konsekuensi Yuridis, (Bandung:

Nova, t.t)

8

Page 9: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

seseorang dan kaitannya dengan hukuman mati. Dan hal ini juga dilihat dari

prespektif hukum pidana; bagaimana kedudukan Euthanasia dalam KUHP dan juga

bagaimana prospeknya di masa depan dalam KUHP.

Dalam Skripsi yang berjudul "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia

yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", hasil karya Imawan Mukhlas

Abadi, yang merupakan study analisis komparatif terhadap KUHP dan hukum Islam

tentang pelaku euthanasia yang dipaksa . Dalam karya tulis tersebut menekankan

cara dilakukannya euthanasia yang ada unsur paksaannya dan sanksi hukum terhadap

pelaku euthanasia yang dipakai, hubungannya dengan HAM, sebagian yang kontra

menganggap hak untuk hidup sebagai dasarnya, bagi yang pro menganggap selain

punya hak untuk hidup manusia juga mempunyai hak untuk mati.

Dalam skripsi yang berjudul "Euthanasia dalam Prespektif Etika Situasi",

karya Anna Iffah Akmala, yang merupakan pandangan Etika situasi terhadap

Euthanasia yang meliputi manusia dalam sudut pandang Etika Situasi, kehidupan dan

kematian yang manusiawi serta pandaangan Etika Situasi terhadap Euthanasia. Juga

terdapat perkembangan euthanasia di berbagai negara dan ethanasia dalam tinjauan

berbagai agama.

Di sekian penelitian yang ada yang membahas euthanasia ini semuanya

mengacu pada permasalahan medis sebagai objek penelitian dasarnya, dan

Djoko Prakoso dan Djaman Andi NIrwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia Dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah, 1984)

Imawan Mukhlas Abadi, "Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Euthanasia yang dipaksa menurut KUHP dan Hukum Islam", Skripsi Strata Satu Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (1999)

Anna Iffah Akmala, "Euthanasia Dalam Prespektif Etika Situasi", Skripsi Strata Satu Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga (2002).

9

Page 10: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

penelitian-penelitian di atas merupakan bentuk-bentuk macam penelitian dalam segi

medis ditinjau dari berbagai aspek. Yang membedakan antara penelitian yang peneliti

lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam penelitian ini peneliti meneliti

permasalahan euthanasia dalam prespektif Fiqh Jinayah, yang mana tindakan

euthanasia yang terdapat suatu unsur tindakan pembunuhan, yang dilakukan secara

suka rela atas permintaan sendiri dikarenakan sakit. Dalam Skripsi ini akan dibahas

apakah tindakan euthanasia ini termasuk pembunuhan dan dapat dikenai sanksi,

sebagaimana tindakan pembunuhan pada umumnya, dalam prespektif Fiqh Jinayah.

Sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian yang meninjau dari

segi Hukum Pidana Positif, Komparasi Hukum Islam dengan Hukum Pidana Positif

dalam masalah euthanasia yang dipaksa, HAM, Konsekwensi Yuridis dan kajian

Etika.

E. Kerangka Teoretik

Euthanasia merupakan istilah untuk pertolongan medis agar kesakitan atau

penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal dunia diperingan. Juga

berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan

hebat menjelang kematiannya.14

Menurut Petrus Yoyo Karyadi, euthanasia adalah dengan sengaja dokter atau

bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga ahli lainnya melakukan

suatu tindakan medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat

14 Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1987), Vol.2:978, Artikel Euthanasia.

10

Page 11: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

proses kematian pasien atau tidak melakukan tindakan medis untuk memperpanjang

hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit

untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan dan atau keluarga sendiri,

demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.15

Euthanasia pada garis besarnya ada dua, yakni euthanasia aktif dan euthanasia

pasif. Definisi euthanasia aktif ialah sengaja diambil tindakan yang berakibat

kematian, sedang euthanasia pasif ialah membiarkan perawatan yang dapat

memperpanjang kehidupannya.16

Dalam euthanasia aktif, sukarela atau tidak sukarela, kematian merupakan

tujuan tindakan seseorang. Tindakan yang diambil, seperti dosis besar obat tidur atau

suntikan racun, dimaksudkan untuk mengakhiri kehidupan pasien. Sedangkan

euthanasia pasif berusaha untuk memecahkan masalah-masalah moral mengenai

perawatan pasien yang tidak ada harapan lagi atau yang sudah mendekati ajalnya

dengan menghentikan segala terapi, sehingga bisa berlangsung penyelesaian secara

alamiah.17

Euthanasia aktif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara

sengaja melakukan suatu tindakan untuk memperpendek hidup pasien atau untuk

mengakhiri hidup pasien tersebut.

Berdasarkan akibatnya, euthanasia aktif kemudian dibagi menjadi dua

golongan, yaitu euthanasia aktif langsung terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan

15 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia. hlm.28

16 Abdul Jamali, dkk, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter dalam Menangani Pasien (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990), hlm.132.

17 Thomas A Shanon. terj. K Bartens. pengantar bio etika, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 69-71.

11

Page 12: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

lainnya melakukan suatu tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien

sedemikian rupa sehingga secara logis dapat diperhitungkan bahwa hidup pasien

diperpendek atau diakhiri. Euthanasia aktif tidak langsung terjadi bila dokter atau

tenaga kesehatan lainnya tanpa maksud untuk memperpendek hidup pasiennya,

melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien dengan

mengetahui adanya risiko bahwa tindakan medik ini dapat mengakibatkan

diperpendek/ diakhiri hidup pasiennya.18

Euthanasia aktif adalah proses kematian diringankan dengan memperpendek

kehidupan secara terarah dan langsung. Dalam euthanasia aktif ini masih perlu

dibedakan, apakah pasien menginginkannya, tidak menginginkannya, atau tidak

berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat diketahui.

Menurut Yusuf Qardawi yang dimaksud euthanasia aktif (taisir maut al-faal)

ialah tindakan memudahkan kematian si sakit, karena kasih sayang yang dilakukan

oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), sedangkan euthanasia pasif

(taisir maut al-munfa'il) tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif

untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetepi ia hanya dibiarkan tanpa diberi

pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.19

Dalam masalah euthanasia ini tidak terlepas dari beberapa pihak, yaitu pasien

sebagai yang di euthanasia, dokter sebagai pelaku (pengeksekusi) euthanasia, dan

keluarga sebagi pihak penyetuju tindakan euthanasia. Dan yang diteliti dalam

masalah euthansia ini adalah euthanasia aktif secara langsung yang dilakukan atas

18 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.3119 Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), II:749-

750.

12

Page 13: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

permintaan pasien, yang dibebankan kepada pelaku euthansia yaitu dokter sebagai

pihak pengeksekusi euthanasia.

Dalam hal ini permintaan pasien harus mendapat perhatian yang tegas agar

tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya permintaan yang

tegas dan sungguh-sungguh, harus dibuktikan dengan adanya saksi atau pun oleh

alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti lainnya yaitu: kesaksian-kesaksian, surat-surat,

pengakuan dan isyarat-isyarat.20

Hukum Islam atau Fiqh Islam, telah mengatur perikehidupan manusia secara

menyeluruh mencakup segala macam aspeknya, diantaranya adalah masalah-masalah

hukum yang berhubungan dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan

pidana dengan ancaman pidana disebut al-jinayah.

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa euthanasia khususnya

euthanasia aktif, itu merupakan suatu perbuatan jarimah pembunuhan karena sudah

memenuhi unsur-unsur jinayah yakni:

1. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuaatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal” (ar-Rukn asy- Syar’i)

2. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukaan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material” (ar-Rukn al-Maddi)

3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur moral” (ar-Rukn al-Adabi)21

20 Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia, hlm.71-72

21 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.3.

13

Page 14: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Dalam konteks di atas jelas bahwa pelaku euthanasia aktif bisa dikenai

sanksi pembunuhan sengaja. Berbicara tentang pembunuhan, maka perlu diberikan

klasifikasinya agar mudah menempatkan/ memposisikan suatu tindak pidana

pembunuhan menurut kadar ukurannya. Pembunuhan adakalanya terjadi karena

disengaja oleh pelaku dan adakalanya tidak disengaja. Berkenaan dengan ini, terjadi

perbedaan pendapat di antara para ulama dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk

pembunuhan. Perbedaan pengklasifikasian tersebut adalah:

1. Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-'amd) dan kekeliruan (qatl al khata').

2. Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja (syibh al-'amd) dan kekeliruan.

3. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikanya menjadi empat (ruba'i), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata').

4. Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu: pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, serupa kekeliruan, dan pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub).22

Untuk mengetahui arti dari jenis-jenis pembunuhan ini maka perlu diperjelas

artinya yaitu sebagai berikut:

1. pembunuhan sengaja (qatl al-'amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan

terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Jadi,

matinya korban merupakan bagian yang dikehendaki si pembunuh.

2. pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-'amd), yaitu perbuatan penganiayaan

terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuhnya tetapi

22 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm.9. Lihat juga Abd al-Qadir 'Awdah, at-Tasyri' al-Jina'I al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'I, (Bayrut: Muassasat ar-Risalat, 1992), II: 7-9.

14

Page 15: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

mengakibatkan kematian. Perbuatan itu sendiri sengaja dilakukan dalam

objek yang dimaksud, namun sama sekali tidak menhendaki kematian si

korban.

3. pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata'), yaitu kesalahan dalam berbuat

sesuatu yang mengakibatkan matinya seseorang. Walaupun disengaja,

perbuatan tersebut tidak ditujukan terhadap korban. Jadi matinya korban sama

sekali tidak diniati.23

4. pembunuhan serupa kekeliruan (ma jara majr al-khata'), pelaku sama sekali

tidak bermaksud melakukan suatu aktivitas tertentu, akan tetapi di luar

kesadarannya menyebabkan kematian orang lain.

5. pembunuhan secara tidak langsung (qatl bi at-tasabbub), pelaku membuat

sarana yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mencelakakan orang

lain, tetapi karena kelalaiannya, pada akhirnya menyebabkan kematian orang

lain.24

Dari jenis-jenis pembunuhan di atas, bila melihat kepada maknanya

euthanasia yaitu suatu perbuatan penghilangan nyawa seseorang atas permintaan

orang itu sendiri, berarti hal ini termasuk dalam pembunuhan disengaja, karena telah

ada unsur perbuatannya dan unsur tujuannya yaitu agar orang tersebut mati. Tetapi

dalam hal ini yang perlu dipertanyakan apakah unsur kerelaan atas si terbunuh

termasuk ke dalam unsur pembunuhan disengaja.

23 Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung, CV Pustaka Setia, 2000), cet ke-1 desember 2000, hal 117. Lihat juga A. Djajuli, Fiqh JInayat (upaya menaggulangi Kejahatan Dalam Islam, cet. ke-2, (Jakarrta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 123

24 Jaih Mubarok, kaidah fiqh jinayah. hlm.17.

15

Page 16: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Apabila euthanasia aktif itu didukung oleh kerelaan si pasien maka yang

demikian disebut tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui orang

lain..

Masalah euthanasia merupakan masalah yang sangat sulit, dan masalah ini

biasanya timbul oleh alasan bahwa pasien sudah tidak tahan lagi menanggung derita

yang berkepanjangan atau tidak ingin meninggalkan beban ekonomi atau tidak punya

harapan untuk sembuh.

Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia25,

lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi

mengatakan, bahwa kehidupan seseorang bukanlah miliknya sendiri, karena dia tidak

menciptakan dirinya (jiwanya), anggota tubuhnya, ataupun selnya. Dirinya hanyalah

titipan yang dititipkan Allah. Karena itu ia tidak boleh mengabaikannya, apalagi

memusuhinya atau memisahkannya dari kehidupan.26

Manusia dituntut untuk memelihara jiwanya (hifz an-nafs). Karena

memelihara nyawa manusia merupakan salah-satu tujuan utama dari lima tujuan

syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Jiwa meskipun merupakan hak asasi

manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah Swt. Oleh karenanya, seseorang sama sekali

tidak berwenang dan tidak boleh melenyapkannya tanpa kehendak dan aturan Allah

sendiri.27

F. Hipotesis25 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994), hlm.161.

26 Yusuf Qardawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, cet.ke-1, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hlm. 379.

27 Akh. Fuzi Aseri, Euthanasia…, hlm.69.

16

Page 17: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Euthanasia adalah istilah dalam dunia medis yang merupakan keputusan

dokter terhadap keadaan penyakit yang dialami pasien, bahwa penyakit yang diderita

pasien tidak dapat disembuhkan lagi dan diberikan jalan pintas yaitu dengan jalan

medis juga, biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya

melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi syaraf dalam dosis tertentu

(neurasthenia).

Memutuskan hukum dalam masalah euthanasia ini bukan merupakan hal yang

mudah, dalam al-Qur'an tidak ada ayat yang menyinggung terhadap masalah

euthanasia ini secara khusus. Namun karena masalah euthanasia ini berhubungan

masalah pembunuhan, walaupun terdapat unsur kerelaan dari pihak siterbunuh maka

perbuatan tersebut termasuk perbuatan jarimah, dan hal ini dilarang oleh Allah

dengan ancaman neraka jahannam. Dan sanksi pembunuhan ini adalah hukum Qisas

sesuai dengan kadar dan jenis pembunuhannya

Perbuatan euthanasia sama dengan bunuh diri yang dilakukan dengan

meminjam tangan orang lain, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan yang

menentang takdir Tuhan. Maka euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang.

Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari pencipta-Nya,

yaitu Allah SWT.

G. Metode Penelitian

1.Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah kepustakaan (literatur)

2.Sifat penelitian

17

Page 18: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu meneliti permasalahan euthanasia

sebagai suatu permasalahan baru, sesuai dengan perkembangan zaman yang

disesuaikan dengan keadaan sekarang, yang mana euthanasia yang terdapat

dalam dunia medis diteliti dengan prespektif fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam),

dan dalam penyelesaiannya dibantu dengan pendapat-pendapat para ahli dan para

mujtahid

3.Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, ialah pendekatan

normatif. Artinya dalam pembahasannya melakukan pendekatan terhadap

permasalahan yang dititikberatkan pada aspek-aspek hukum, dalam hukum Islam

lebih khusus dalam Fiqh Jinayah (Hukum Pidana Islam).

4.Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data dalam penyusunan skripsi ini, ialah menggunakan

penelitian kepustakaan (library research). Penyusun menelusuri bahan penelitian

yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti. Dalam rangka

pengumpulan data, penyusun menggunakan teknik dokumentasi, yaitu penyusun

melakukan observasi terhadap sumber-sumber data yang berupa dokumen baik

primer ataupun sekunder, kemudian dikumpulkan dan diolah sedemikian rupa

sehingga menghasilkan data yang diperlukan.

5. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara berfikir

deduktif. Deduktif artinya meneliti dan menganalisa macam-macam bentuk

euthanasia, kemudian ditentukan, jenis euthanasia yang termasuk kedalam

18

Page 19: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

perbuatan jarimah, serta pelaku tindakan euthanasia dan juga sanksi hukum apa

yang harus diterapkan bagi perbuatan euthanasia ini.

H. Sistematika Pembahasan

Agar tidak terjadi tumpang tindih dan untuk konsistensi pemikiran, penulis

membuat sistematika pembahasan yang terdiri dari bab-bab yang saling berhubungan

dan saling menunjang yang satu dengan yang lainnya secara logis.

Pada bab pertama, dimulai dengan pendahuluan yang menjelaskan latar

belakang permasalahan yang akan dicari jawabannya, tujuan dan kegunaan

penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

Setelah bab pertama merupakaan pendahuluan ialah bab kedua, tinjauan

umum dan masalah sekitar euthanasia, bab ini membicarakan mengenani pengertian

euthanasia serta permasalahannya yang sangat erat hubungannya dengan euthanasia,

yakni tentang macam-macam euthanasia, sebab-sebab yang memungkinkan

dilakukannya euthanasia, dan juga beberapa tinjauan baik dari segi Medis, HAM dan

Hukum Pidana Positif (KUHP).

Pada bab ketiga berisi tentang Prinsip-prinsip Fiqh Jinayah terhadap

Euthanasia yang meliputi pengertian Hukum Pidana Islam, jarimah Qisas-diyat,

tujuan Fiqh Jinayah serta aspek kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah, sebagai acuan

dalam meninjau permasalahan pidana khususnya dalam masalah euthanasia.

19

Page 20: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Pada bab keempat berisi tentang Praktek Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh

Jinayah yang meliputi Euthanasia aktif sebagai jarimah, Serta sanksi hukum bagi

pelaku euthanasia.

Bab kelima, pada bab yang terakhir ini, memuat tentang kesimpulan dan

saran-saran. Setelah diuraikan secara panjang lebar dan terperinci pada bab-bab

sebelumnya, langkah selanjutnya adalah mengambil suatu kesimpulan dari apa yang

telah menjadi pokok pembahasan dalam karya ilmiah ini. Sedangkan saran-saran

diajukan pula, demi perbaikan dan kesempurnaan dari pengaturan masalaah

euthanasia yang telah ada serta pandangan untuk masa-masa yang akan datang.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EUTHANASIA

A. Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu

berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan

cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering disebut juga

dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan tenang).28

Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati). Hak untuk

mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis diperdebatkan.

Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang sangat manusiawi,

sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai

moral, etika dan agama.

28 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ, (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, buku ke-4, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 64.

20

Page 21: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Euthanasia atau hak mati bagi pasien sudah ratusan tahun dipertanyakan.

Sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu telah mencoba membahas euthanasia dari

berbagai sudut pandang, namun demikian pandangan medis, etika, agama, sosial dan

yuridis masih mengundang berbagai ketidakpuasan, sulit dijawab secara tepat dan

objektif.

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,

maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk

menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan

orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu

euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan

dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi

kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang

yang bersangkutan menghendakinya.29

Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih

menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut

pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan

yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan

penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang

menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah

yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena

definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.

29 J. Chr Purwa Widyana, "Euthanasia" beberapa soal moral berhubungan dengan quintum, (Antropologi Teologis II, 1974), hlm.25

21

Page 22: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Agar persoalan euthanasia ini dapat dibahas dengan sewajarnya sebaiknya arti

kata-katanya diuraikan dengan lebih seksama lagi. Secara etimologis di zaman kuno

berarti kematian tenang tanpa penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi

memakai arti asli, melainkan lebih terarah pada campur tangan ilmu kedokteran yang

meringankan orang sakit atau orang yang berada pada sakarotul maut, bahkan

kadang-kadang disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya. Akhirnya

kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit sehingga makna dan artinya adalah

mematikan karena belas kasihan.30

Sejak abad ke-19, terminologi euthanasia dipakai untuk menyatakan

penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang

menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Pemakaian terminologi euthanasia

ini mencakup tiga kategori, yaitu:31

1. Pemakaian secara sempit

Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari

penderitaan dalam menghadapi kematian.

2. Pemakaian secara luas

Secara luas, terminologi euthanasia dipakai untuk perawatan yang

menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup

diperpendek.

3. Pemakaian paling luas

30 Piet Go O. Carm, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, (Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989), hlm. 5-6

31 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam prespektif hak asasi manusia, cet. ke-1, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm.26-27.

22

Page 23: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memendekkan hidup

yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk

menghilangkan penderitaan pasien.

Beberapa ahli membedakan ketiga cara tersebut, tetapi pada hemat penulis

apapun istilahnya ketiga cara tersebut adalah tindakan euthanasia.

Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:32

a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis,

hukum dan psikologi, euthanasia diartikan:

1). Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang

pasien.

2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk

memperpanjang hidup pasien

3). Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas

permintaan atau tanpa permintaan pasien.

b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan

dalam tiga arti:33

1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa

penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.

2). Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan

memberinya obat penenang.

32 Ibid., hlm.27.

33 Oemar Seno Adji, Etika profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter. (Jakarta: Erlangga.1991). hlm.176

23

Page 24: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja

atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur

euthanasia adalah sebagai berikut:

1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup

pasien.

3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

3). Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

4). Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

B. Macam-macam Euthanasia

Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari

mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.

Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu

euthanasia aktif dan euthanasia pasif

Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:

1. euthanasia aktif

2. euthanasia pasif

3. euthanasia volunter

4. euthanasia involunter34

34 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan (Jakarta: Widya Medika,1997), hlm.66-67.

24

Page 25: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

1. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter

untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya

dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.

Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:35

a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui

tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup

pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang

segera mematikan.

b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan

medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien,

tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup

pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

2. Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala

tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,

sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan

dihentikan.

3. Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat

kematian atas permintaan sendiri.

35 Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap Bioetika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.31.

25

Page 26: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

4. Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien

dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.

Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian

bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.

Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai

macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans

magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka

menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya,

yaitu:

1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang

tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua

usaha perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".

2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian

dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.

Di sini ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik,

hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek

kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja.36

3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau

permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan

pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

36 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.67-68

26

Page 27: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan

keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga

(misalnya keluarga), atau atas keputusan pemerintah.37

C. Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia

Euthanasia mempunyai arti yang berdekatan dengan “membiarkan datangnya

kematian” (letting die). Dalam literatur, euthanasia dibedakan antara yang aktif dan

yang pasif. Euthanasia aktif diartikan melakukan suatu tindakan tertentu sehingga

pasien meninggal, misalnya dengan mengakhiri pemberian nafas buatan melalui

respirator atau mencabut ventilator dalam arti penghentian pemberian pernafasan

artifisial. Sedang euthanasia pasif diartikan sebagai tidak dimulainya melakukan

tindakan untuk memperpanjang hidupnya, tetapi yang tidak begitu bermanfaat lagi,

bahkan akan menambah beban penderitaan (not initiating life support treatment).

Misalnya tidak memberikan shock terapi dan tidak menyambung pernafasan dengan

ventilator sesudah pasien manula penderita jantung kronis yang mendapat serangan

jantung untuk kesekian kalinya dan sudah tidak sadarkan diri untuk waktu yang agak

lama.38

Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, kemajuan dalam bidang ilmu

dan tekhnologi kedokteran telah menambah beberapa konsep fundamental tentang

mati. Kalau dahulu mati didefinisikan sebagai berhentinya denyut jantung dan

pernafasan, maka dengan ditemukannya alat bantu pernafasan (respirator) dan alat

37 Ibid., hlm.30.38 J. Guwandi, Kumpulan Kasus Bioethics & biolaw, (Jakarta: FK UI, 2000), hlm. 40

27

Page 28: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

pacu jantung (pace maker), maka seseorang yang oleh karena suatu hal mengalami

henti nafas mendadak (respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest), masih

ada kemungkinan ditolong dengan menggunakan alat tersebut, artinya pasien belum

meninggal.

Persoalan yang kemudian timbul adalah sampai berapa lama orang itu

bertahan dengan alat bantu tersebut. Keadaan semacam ini berlangsung berhari-hari,

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun tanpa di ketahui kapan akan berakhir, yang

jelas kehidupannya tergantung kepada alat, dan kalau alat tersebut dicabut

kemungkinan besar ia akan segera mati.

Secara medis sekarang diketahui jika rekaman otak masih menunjukkan

fungsi yang baik, maka ada harapan orang tersebut akan siuman kembali, tetapi bila

otak sudah tidak berfungsi, maka hampir tidak mungkin dia hidup tanpa bantuan alat

tersebut, dengan kata lain dia hanya hidup secara vegetatif, yakni sel-sel tubuh saja

yang masih menunjukkan tanda kehidupan. Dengan demikian sekarang dikenal

istilah mati otak (brain death), yang menunjukkan bahwa otak sudah tidak berfungsi

lagi.

Dalam keadaan seperti ini tidak jarang keluarga pasien meminta dokter untuk

segera mengakhiri penderitaan pasien dengan cara melepas semua alat bantu, yang

menjadi persoalan adalah: pertama, sampai hatikah seorang dokter dengan sengaja

melepas alat bantu yang nota bene akan mengakhiri kehidupan seseorang?. Kedua,

apakah dokter mempunyai hak untuk melakukan hal itu tanpa ia dikenai sanksi

hukum?. Akan lebih rumit lagi apabila permintaan pasien (keluarganya) adalah

dengan alasan sosial ekonomi (biaya) sehingga keluarga memaksa untuk membawa

28

Page 29: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

pulang pasien, pada yang terakhir ini jelas yang harus mencabut segala alat bantu

adalah dokter (dokter yang bertanggungjawab).39

Di Negara Belanda, tepatnya di daerah Rotterdam, seorang dokter tidak di

hukum dalam melakukan euthanasia, Pengadilan Negeri Rotterdam mempunyai

kriteria bahwa seorang dokter tidak dihukum dalam melakukan euthanasia, sebagai

berikut:

1. Harus ada penderitaan fisik atau psikis yang tidak terpikulkan dan dahsyat

dialami pasien.

2. Baik penderitaan ini maupun keinginan untuk mengakhiri kehidupan

berlangsung tiada henti-hentinya.

3. Pasien memahami betul situasinya sendiri maupun kemungkinan-

kemungkinan alternatif yang tersedia dan mampu menimbang-nimbang antara

pelbagai kemungkinan yang ada dan sesungguhnya telah pula melakukan

pilihannya.

4. Tidak ada pemecahan rasional lain yang dapat memperbaiki situasi.

5. Dengan kematian ini tidak ada orang lain yang dirugikan atau menderita

tanpa alasan.

6. Keputusan untuk memberikan bantuan tidak diambil oleh satu orang saja.

7. Pada keputusan untuk memberikan bantuan harus selalu melibatkan seorang

dokter, yang akan mengeluarkan resep mengenai obat atau bahan yang akan

dipakai.

39 H.R. Siswo Sudarmo, "Euthanasia, Bagaimana sikap seorang dokter?" Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis, (Yogyakarta: FKMPY, 1990), hlm.3-4

29

Page 30: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

8. Pada keputusan untuk memberikan bantuan, demikian pula pada bantuan itu

perlu diperhatikan kecermatan dan ketelitian yang semaksimal mungkin

sesuai dengan kepatutan yang berlaku (misalnya dengan mengikutsertakan

dalam perembukan beberapa teman sejawat dan ahli-ahli lainnya.40

D. Euthanasia dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak asasi mausia (HAM) mungkin merupakan kata yang telah ditulis dalam

ratusan ribu halaman kertas, buku, artikel atau surat kabar dan siaran televisi maupun

radio, juga menarik perhatian sejumlah besar ahli, politikus, jurnalis, lawyer dan

sebagainya. Ia seolah-olah menjadi "trademark" peradaban modern saat ini. Sebagai

basis dari pemikiran manusia, mengarahkan perbuatan manusia dan mengatur

masyarakat.

Hak-hak asasi manusia sebagaimana dikenal dewasa ini dengan nama antara

lain "human rights, the Right of man" hal mana pada prinsipnya dapat dirumuskan

sebagai "hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat

dipisahkan dari hakekatnya dan karena itu bersifat suci". Jadi, hak asasi dapat

dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugerah

Tuhan yang dibawa sejak lahir. Hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi

pribadi manusia itu sendiri. Dari pemahaman yang demikian maka sebenarnya

perjuangan untuk membela hak-hak kemanusiaan tersebut mungkin seumur umat

manusia itu sendiri.41

40 F. Tengker, Mengapa euthanasia? Kemampuan medis & konsekuensi Yuridis, (Bandung: Nova, t.t), hlm. 95.

41 Imron Halimi, Euthanasia Cara Mati Terhormat Orang modern, (Solo: CV. Ramadhani, 1990), hlm. 129.

30

Page 31: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Sebagai contoh bahwa Nabi Musa berusaha menyelamatkan umatnya dari

penindasan Fir'aun. Nabi Muhammad dengan mu'jizatnya; al-Qur'an, banyak

mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa, bijaksana,

menerapkan kasih sayang, dan lain sebagainya. Islam mengajarkan belas kasihan

sebagai suatu nilai kemanusiaan yang pokok dan satu dari kebajikan yang

fundamental bagi orang yang mengaku dirinya muslim.

Hak-hak Asasi manusia secara umum mencakup hak pribadi, politik,

perlakuan yang sama dalam hukum, sosial dan kebudayaan, serta untuk mendapatkan

perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan hukum. Dalam hak-hak asasi

manusia, terdapat bermacam dokumen, diantaranya Declarations des Droits de'l

Homme et du Citoyen (1789) di Perancis dan The Four Freedoms of F.D. Roosevelt

(1941) di Amerika Serikat, dari kedua dokumen tersebut terdapat semboyan, yaitu:

1. Liberte (kemerdekaan),

2. Egalite (kesamarataan),

3. Fraternite (kerukunan atau persaudaraan),

4. Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat),

5. Freedom of Religion (kebeasan beragama),

6. Freedom from Fear (kebebasan dari ketakutan), dan

7. Freedom from Want (kebeasan dari kekurangan).42

Dari kedua dokumen tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia

mencakup:

a. Hak kemerdekaan atas diri sendiri,

42 Djoko Prakoso dan Djaman Andi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indah. 1984), hlm.32-33.

31

Page 32: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

b. Hak kemerdekaan beragama,

c. Hak kemerdekaan berkumpul,

d. Hak menyatakan kebebasan dari rasa takut,

e. Hak kemerdekaan pikiran.

Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, terutama dalam hak

kemerdekaan atas diri sendiri, maka akan terlintas dalam benak pikiran bahwa "hak

untuk hidup" atau the right to life, adalah termasuk didalamnya. Dan dalam hak

untuk hidup ini juga tercakup pula adanya "hak untuk mati" atau the right to die.

"The right to die" ini berkaitan dengan munculnya "revolusi biomedis" dan tentunya

berkaitan pula dengan masalah euthanasia.43

Mengenai hak untuk hidup, memang telah diakui oleh dunia yaitu dengan

dimasukannya dan diakuinya Universal Declaration of Human Right oleh

perserikatan bangsa-bangsa tanggal 10 desember 1948. Sedangkan mengenai "hak

untuk mati", karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia,

maka masih merupakan perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai

bidang dunia, seperti diperagakan dalam "peradilan semu" dalam rangka Konperensi

Hukum Se-Dunia di Manila.44

Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat masalah "hak untuk mati"

sudah diakui, dan bahkan di Negara-negara bagian ada yang mengaturnya secara

jelas dalam berbagai undang-undang. Kendatipun telah diakui dalam berbagai

undang-undang, namun masih harus diakui pula bahwa "hak untuk mati" itu tidak

43 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 137

44 Imron Halimi, Euthanasia, hlm. 141

32

Page 33: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi

penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat diharapkan lagi penyembuhannya

dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi.45

Penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut diakui dan

diperbolehkan menggunakan "hak untuk mati"-nya, dengan jalan meminta pada

dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya,

ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang

tinggi. Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya

tersebut akan segera mati dengan tenang. Dan lagi Negara yang telah mengakui

adanya "hak untk mati", maka perbuatan dokter yang telah memebantu untuk

melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti diuraikan di

atas memounyai kekebalan terhadap "criminal liability" maupun terhadap "civil

liability".46

Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa masalah hak-hak asasi

manusia itu bukanlah semata-mata merupakan persoalan yuridis semata, melainkan

bersangkut paut dengan masalah nilai-nilai etis, moral yang ada di suatu masyarakat

tertentu. Oleh sebab itu masalah "hak untuk mati" yang dihadapkan sebagai suatu

kasus hukum, maka pemecahannya haruslah disesuaikan dengan masalah moral, etis,

kondisi dan kebiasaan yang ada dalam suatu negara

E. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran

1. Konsep tentang Mati

45 Ibid.

46 Ibid., hlm. 42

33

Page 34: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Untuk dapat memahami lebih jauh timbulnya masalah euthanasia, maka perlu

difahami tentang konsep mati yang dianut dari dulu hingga kini. Perubahan

pengertian ini berkaitan dengan adanya alat-alat resusitasi, berbagai alat atau mesin-

mesin penopang hidup dan kemajuan dalam perawatan intensif. Dahulu, apabila

jantung dan paru-paru sudah tidak bekerja lagi, orang sudah dinyatakan mati dan

tidak perlu diberi pertolongan lagi. Kini keadaan sudah berubah, dalam perawatan

intensif (di rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan ahlinya) jantung yang sudah

berhenti dapat dipacu untuk bekerja kembali dan paru-paru dapat dipompa agar

kembali kembang kempis.47Bila demikian, apa yang dimaksud dengan "mati"?.

Penting bagi para dokter untuk memperjelas arti mati, maka dari itu perlu

dijelaskan arti "mati".

Pada umumnya dikenal beberapa konsep tentang mati:

a. Berhentinya darah mengalir

Konsep ini bertolak dari kriteria mati berupa berhentinya jantung, organ yang

memompa darah mengalir keseluruh tubuh. Dari hal ini dinyatakan bahwa mati

adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.48 Karena nafas dan darah bahan

yang menandakan kehidupan, maka bila tidak terjadi lagi pernafasan dan

peredaran darah, itu berarti bahwa kematian sudah menjadi kenyataan.49

b. Pemisahan tubuh dan jiwa

47 Amri Amir. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, cet. ke-1, (Jakarta: Widya Medika, 1997), hlm.68

48 Ibid., hlm.69

49 Thomas A. Shanon. Terj. K. Bartens; Pengantar Bioetika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.58.

34

Page 35: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Manusia sebagai kesatuan tubuh dan jiwa atau kesatuan materi dan bentuk. Jiwa

atau bentuk menjiwai tubuh atau materi, sehingga tersusunlah makhluk yang unik

yang disebut manusia. Kematian berlangsung, jika dua unsur ini dipisahkan.

Kematian berarti terputusnya kesatuan tubuh dan jiwa.50

c. Kematian otak

Kriteria ini adalah: tidak sanggup menerima rangsangan dari luar dan tidak ada

reaksi atau rangsangan, tidak ada gerak sepontan atau pernafasan, tidak ada

refleks; dan situasi ini diteguhkan oleh elektroensefalogram (EEG).51

Dasar untuk menetapkan bahwa otak tidak berfungsi lagi adalah:52

1). Pasien tidak berfungsi lagi bereaksi (unreceptive and unresponsive)

terhadap stimulus (sentuhan, rangsangan) dari luar, termasuk stimulus

yang sangat menyakitkan.

2). Tidak ada tanda-tanda terjadinya pernafasan spontan, paling sedikit

selama satu jam.

3). Tidak ada refleks, dan Elektroensefalogram (EEG)-nya datar.

Kematian seluruh otak (batang otak, cortex dan neo cortex) berarti kematian

manusia, karena tanpa organ ini bagi manusia tidak mungkin mempertahankan

integrasi biologisnya dan karena itu juga integrasi sosialnya.

2. Hak-Hak Pasien

50 Ibid., hlm.58-59

51 Electroencephalogram (EEG) adalah: pencatatan terhadap keaktivan otak. Dan juga erat kaitannya dengan Electrokardiogram; pencatat gerakan jantung dari gelombang listrik, dan kedua jenis ini terdapat pada alat oscillograf (alat catat getaran gelombang).

52 Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Bioetika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.1992) hlm.11

35

Page 36: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Berkembangnya etika pelayanan kesehatan sebagai suatu bidang khusus dan

pencarian pelbagai hak melalui pengadilan telah membantu untuk menetapkan

banyak hak dalam konteks pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah penghormatan

atas hak pasien. Dalam hal ini penghormatan atas hak pasien untuk penentuan nasib

sendiri masih memerlukan pertimbangan dari seorang dokter terhadap

pengobatannya. Pasien harus diberi kesempatan yang luas untuk memutuskan

nasibnya tanpa adanya tekanan dari pihak manapun setelah diberi informasi yang

cukup, sehingga keputusannya diambil melalui pertimbangan yang jelas.53

"hak pasien", dua buah kata bagi sebagian negara adalah kata-kata yang

mewah, sebab masih banyak negara yang tidak atau belum mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan hak pasien itu. Berbicara tentang "hak pasien" yang dihubungkan

dengan pemeliharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak

untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan (the right to health care). Hak untuk

mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar

pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan dan bantuan dari tenaga

kesehatan, yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.54

Dalam pelaksanaan untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan, pasien

mempunyai hak-hak lainnya, sebagai misal antara lain hak untuk mendapatkan

informasi tentang penyakitnya, hak untuk mendapatkan pendapat kedua.

Agar lebih jelas dapat diuraikan hak-hak pasien yaitu sebagai berikut:55

53 Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan. (Jakarta: Widya Medika, 1997), hlm.71.

54 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: CV. Mandar Maju 2001), hlm.12.

55 Thomas A. Shanon. Terj K. Bartens . Pengantar Bioetika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm.147-148.

36

Page 37: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

a. Hak atas informasi

Agaknya hak yang paling penting adalah hak atas informasi. Jika seseorang

tidak tahu, ia tidak bisa memilih, tidak bisa membuat rencana, tidak dapat

menguasai situasi. Kemungkinan untuk memperoleh informasi merupakan

syarat untuk menjalankan otonomi, dan jika pasien tidak mempunyai

kemungkinan itu, ia tetap tinggal korban paternalisme.

b. Hak atas persetujuan

Hak untuk enentukan diri sendiri (the right of self determination) juga

terproses sejalan dengan perkembangan dari hak asasi manusia.

Dihubungkan dengan tindakan medik, maka hak untuk menentukan diri

sendiri diformulasikan dengan apa yang dikenal dengan persetujuan atas

dasar informasi (informed consent). Adalah hak asasi pasien untuk

menerima atau menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter,

setelah dokter memberikan informasi.56

c. Hak untuk menolak pengobatan

Jika seseorang mempunyai hak untuk memberi persetujuan dengan suatu

pengobatan_atas dasar informasi yang diberikan sebelumnya, maka tidak

bisa dihindarkan konsekuensi bahwa ia mempunyai hak juga untuk menolak

pengobatan. Penolakan seperti ini sebagai perwujudan otonomi pasien

dalam hak menentukan dirinya.

d. Hak atas privacy

56 Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, hlm.18.

37

Page 38: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Konfidensialitas dan perlindungan informasi yang diperoleh tenaga medis

dalam hubungan dengan pasiennya adalah sangat penting. Jika

konfidensialitas tidak dapat dijamin, maka orang akan enggan mencari

bantuan medis, hal ini sebagai dasr bagi relasi antara dokter dan pasien.

e. Hak atas pendapat kedua

Yang dimaksud dengan pendapat kedua ialah adanya kerjasama antara

dokter pertama dengan dokter kedua. Dokter pertama akan memberikan

seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas

inisiatif dokter yang pertama, tetapi atas inisiatif pasien.57

f. Catatan medis di rumah sakit

Rekam medik adalah berkas yang berisi catatan, dan dokumen tentang

identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakandan pelayanan lain

kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

Kebutuhan pasien atas catatan medis sebagai dasar pengetahuan untuk

melaksanakan hak otonominya.

3. Pandangan Kode Etik Kedokteran

Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesama

manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan

yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu

menghayati etika kedokteran , sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap

terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan,

harus memenuhi segala syarat keahlian dan pengertian tentang susila jabatan.

57 Ibid., hlm. 20.

38

Page 39: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Keahlian dibidang ilmu dan teknik baru dapat memberi manfaat yang sebesar-

besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal

tersebut diinsyafi oleh para dokter diseluruh dunia. Dan pastinya di setiap Negara

mempunyai kode etik kedokteran sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut

didasarkan pada sumpah Hippocrates.58 Di antara sumpah Hippocrates adalah sebagai

berikut:59

Ilmu kedokteran adalah upaya untuk menaggulangi penderitaan si sakit, menyingkirkan penyakit, dan tidak mengobati kasus-kasus yang tidak memerlukan pengobatan.Saya tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun dimintanya, atau menganjurkan kepada mereka untuk tujuan itu.Manusia pada akhirnya akan mati, dokter tidak dapat berharap ia akan dapat menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas ketika penyembuhan tidakberdaya lagi. Dokter harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya, bahkan sebagai seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha untuk menyembuhkannya, karena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya…….

Dari pandanag Hippocrates tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dokter

tidak lagi mengobati penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak perlu diobati atau

tidak membohongi pasien yang sebenarnya sudah tidak memerlukan obat. Misalnya

dengan memberikan resep tetentu atau dengan memberikan medikasi lainnya. Dan

berarti hippocrates tidak akan memberikan obat yang memetikan sekalipun pasien

telah memeintanya. Dalam situasi apapun keadaan pasien, Hippocrates tetap menolak

tindakan euthanasia aktif. Disamping itu dokter tidak harus terus berupaya mengobati

penyakit-penyakit yang tidak dapat disembuhkan kembali. Apabila pengobatan atau

58 Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm. 79.

59 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm. 83-84.

39

Page 40: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

perawatan sudah tidak ada gunanya, maka dokterpun sudah tidak berkompeten lagi

untuk melakukan medikasi terhadap pasiennya.

Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan dengan

masalah euthanasia, adalah pasal 9 yang berbunyi:

"Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi

hidup makhluk insani."60

Dalam penjelasan pasal 9 di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap

si sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya

dokter harus mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu

kadang-kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang

membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa

tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan, yang

selalu mengandung resiko.

Naluri terkuat dari makhluk hidup termasuk manusia adalah mempertahankan

hidupnya. Untuk itu manusia diberi akal, kemampuan berfikir dan mengumpulkan

pengalamannya. Dengan demikian, membangun dan mengembangkan ilmu untuk

menghindarkan diri dari bahaya maut adalah merupakan tugas dokter. Ia harus

berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani. Hal ini, berarti

doktert dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu

kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh.

60 Ratna Suprapti Samil (ed.), Kode Etik Kedokteran Indonesia, (Jakarta: Metro Kencana. 1980), hlm.35.

40

Page 41: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Jadi, jelas bahwa Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan

euthanasia aktif. Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t

play god). Medical ethics must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang

menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan

kehidupan itu sendiri (life savers, not life judgers).61

Sebetulnya kode etik kedokteran Indonesia sudah lama berorientasi pada

pandangan-pandangan Hippocrates yang telah lama menerima euthanasia pasif.

Begitu juga dengan kode etik kedokteran Indonesia, berarti ia juga menerima

euthanasia dalam bentuk pasif.

Bila dirasakan penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka

lebih baik dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu

mengakhiri hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan

kehidupannya, karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi,

perawatan (pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan. Asalkan jangan mengada-

ada melakukan tindakan medik (yang sebetulnya tindakan medik itu sudah tidak

diperlukan lagi), apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya mencari keuntungan

sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.62

Adalah tugas ilmu kedokteran untuk memebantu meringankan penderitaan

pasien, atau bahkan berusaha menyembuhkan penyakit selama masih dimungkinkan.

Pasien yang benar-benar menderita atas penyakitnya, sudah menjadi tugas dokter

untuk ikut membantu meringankan penderitaanya, walaupun kadang-kadang dari

61 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.86

62 Ibid.

41

Page 42: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

tindakan peringanan tersebut dapat mengakibatkan hidup pasien diperpendek secara

perlahan-lahan (euthanasia tidak langsung).

5. Euthanasia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada

pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang

euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal

keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal

yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-

satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang

membicarakan masalah kejahatan nterhadap nyawa manusia, yang dapat dijumpai

dalam Bab XIX, buku II, dari pasal 338 sampai pasal 350 KUHP.63

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal yang

menyinggung masalah euthanasia ini secara pasti tidak ada, tetapi satu-satunya pasal

yang lebih mengena yaitu pasal 344, pada Bab XIX, buku II, yaitu:64

Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.Dalam pasal di atas, kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan

kesungguhan hati” harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh (ernstig),

jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa,65 dan haruslah mendapatkan

63 Imron Halimi, Euthanasia, hlm.149-150.

64 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hlm.243

65 Ibid.

42

Page 43: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang

melakukannya dapat dipidana berdasar pasal 344 KUHP atau tidak. Agar unsur ini

tidak disalahgunakan, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah

melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas

(unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan

adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti lainnya.66

Masalah euthanasia ini merupakan masalah yang kompleks dari segi sifatnya,

maka agar lebih mudah untuk difahami perlu diterangkan dan dibagi secara lebih

terperinci.

Ditinjau dari segi yuridis, euthanasia dapat diuraikan sebagai berikut:67

a.Euthanasia aktif

Euthanasia aktif terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya secara

sengaja melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri atau memeperpendek

(mengakhiri) hidup pasien. Euthanasia aktif terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Euthanasia aktif atas permintaan pasien

Pasal. 344 KUHP

2) Euthanasia aktif tanpa permintaan pasien

Pasal. 340 KUHP

3) Euthanasia aktif tanpa sikap dari pasien

Pasal. 340, 338, KUHP

4) Euthanasia tidak langsung

66Djoko Prakoso, Euthanasia, hlm.71.

67 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia, hlm.54-71

43

Page 44: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Euthanasia tidak langsung terjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya

tanpa maksud mengakhiri hidup pasien melakukan tindakan medis untyuk

meringankan penderitaan pasien, walaupun dengan mengetahui adanya resiko bahwa

dari tindakan medik tersebut dapat mengakibatkan hidup sipasien diperpendek.

Seperti halnya dengan euthanasia aktif, euthanasia tidak langsung terbagi kedalam

tiga kelompok, yaitu:

a). Euthanasia tidak langsung atas permintaan pasien

Pasal. 344, 359

b). Euthanasia tidak langsung tanpa permintaan pasien

Pasal. 340, 359

c). Euthanasia tidak langsung tanpa sikap pasien

Pasal. 304, 359

b. Euthanasia pasif

Euthanasia pasif terjadi terrjadi apabila dokter atau tenaga medis lainnya

secara sengaja tidak memberikan bantuan medik terhadap pasien yang dapat

memperpanjang hidupnya. Untuk dapat memudahkan euthanasia pasif ini juga

dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1). Euthanasia pasif atas permintaan pasien

Tidak dihukum

2). Euthanasia pasif tanpa permintaan pasien

Pasal. 304 jo 306 (2)

3). Euthanasia pasif tanpa sikap pasien

44

Page 45: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Pasal. 304 jo 306 (2)

Maka agar dapat mengetahui hukuman atas tindakan tersebut perlu

disebutkan pasal-pasalnya, pasal-pasal tersebut adalah:68

Pasal. 304 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membuarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut operjanjian, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.

Pasal. 306 KUHP:

"Kalau salah satu perbuatan ini menyebabkan orang mati, sitersalah itu

dihukum penjara selam-lamanya sembilan tahun."

Pasal. 338 KUHP:

"Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum,

karena makar mati, dengan hukumkan penjara selama-lamanya lima belas

tahun."

Pasal. 344 KUHP:

"Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu

sendiri, yang disebutkannya denagn nyata dan dengan sungguh-sungguh,

dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun."

Pasal. 359 KUHP:

"Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum

penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu

tahun."

68 R. Soesilo, KItab undang-undang. hlm.223-248

45

Page 46: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa

manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya

pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap

bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap

perbuatan apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam

keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu

kejahatan yang besar oleh negara.

Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama,

ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia

Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah

euthanasia ini.

46

Page 47: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

BAB III

PRINSIP-PRINSIP FIQH JINAYAH

A. Pengertian Fiqh Jinayah

Salah satu kesempurnaan syariat Islam adalah adanya aturan-aturan yang

berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja,

melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-

Qur'an maupun as-Sunah terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus ditegakan

di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Hal ini terlihat, diantaranya dari aturan-

aturan yang berkenaan dengan jarimah az-zina (perzinaan), al-qadžaf (tuduhan zina),

as-sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), syurb al-khamr (minum-minuman

keras), al-bughat (pemberontakan), ar-riddah (keluar dari Islam atau murtad), al-

jarah (penganiayaan atau pelukaan), dan al-qatl (pembunuhan). Aturan-aturan

tersebut dikelompokan oleh para ulama dalam bab fiqh dengan nama al-hudud, ad-

dima, al-qisas dan al-jarah.69

Istilah yang umum bagi aturan tersebut adalah al-jinayat yang sering kali

diartikan dengan Hukum Pidana Islam. Kata al-Jinayat memiliki makna sempit dan

makna luas. Makna sempit al-Jinayat sejajar dengan makna al-qisas, ad-dima atau

al-jarah, yaitu setiap perbuatan yang dilarang (haram) berkenaan dengan

penganiayaan terhadap tubuh dan penghilangan jiwa manusia. Sedangkan makna al-

jinayat secara luas sejajar dengan al-jarimat, yaitu setiap perbuatan yang dilarang,

69Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (asas-asas hukum pidana Islam), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004) hlm.1.

47

Page 48: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

baik berkenaan dengan tubuh, jiwa, maupun dengan hal-hal lainnya seperti

kehormatan, harta, keturunan, akal, dan agama.70

Dalam mempelajari Fiqh Jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih dahulu

harus dipahami, Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah.

Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu,

istilah yang satu menjadi muradif (sinonim) bagi istilah lainnya atau keduanya

bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan

kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan

difahami agar penggunaannya tidak keliru.

Jinayah, pada dasarnya kata jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah

atau jahat. Jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang

diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara' (Hukum Islam).

Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan

agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.71

Abdul Qadir Audah dalam kitabnya at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami menjelaskan

arti kata jinayah sebagai berikut:

70 Abd al-Qadir 'Awdah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wadh'i, (Beirut: Muassasat al-Risalat, 1992), II:.4.

71 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (fiqh jinayah), (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2001) hlm.12

48

Page 49: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

اكتسب ما شر من المرء يجنيه لما اسم لغة الجناية

الفعل وقع سواء شرعا محرم لفعل اسم واصطالحا

72 ذالك غير او مال او نفس على

Kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi

pengertian jarimah secara harfiyah sama halnya dengan pengertian jinayah. Adapun

pengertian jarimah segala tindakan yang diharamkan syari'at. Allah ta'ala mencegah

terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud (hukum syar'i), atau ta'zir

(sanksi disiplin) kepada pelakunya.73

Jarimah bisa dipakai sebagai perbuatan dosa –bentuk, macam, atau sifat dari

perbuatan dosa tersebut. Misalnya, pencurian, pembunuhan, perkosaan, atau

perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan

istilah jarimah yang kemudian dirangkaikan dengan satuan sifat perbuatan tadi.

Seperti jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah perkosaan dan lain-lain.74

Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih umum

(luas), yaitu ditujukan bagi sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan

manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu,

pembahasan fiqh yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang

72 Abd Qadir Audah, at-Tasyri', II: 4

73 Imam al-Mawardi, al-Ahkam as Sultaniyah (Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, terj. Fadhli Bakri, (Jakarta: Darul Falah. 2000), hlm. 358.

74 Rahmat Hakim, Hukum, hlm.15

49

Page 50: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku tersebut disebut

Fiqh jinayah bukan Fiqh jarimah.75

Secara umum, ada tiga unsur seseorang dianggap telah melakukan perbuatan

jarimah, yaitu unsur formal (ar-rukn asy-syar'i), unsur material (ar-rukn al-madi),

dan unsur moral (ar-rukn al-adabi). Unsur formal adalah adanya nas yang melarang

perbuatan-perbuatan tertentu disertai dengan ancaman hukuman atas perbuatan-

perbuatan tersebut. Unsur material adalah adanya perbuatan pidana, baik melakukan

perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Unsur

moral adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut terkena taklif atau

orang yang telah mukallaf.76

Dilihat dari sanksi yang telah ditetapkan atau tidak oleh syara', jarimah dapat

dibedakan menjadi tiga. Pertama, jarimah hudud yaitu jarimah yang hukumannya

telah ditetapkan baik bentuk maupun jumlahnya oleh syara'. Ia menjadi hak Tuhan;

hakim tidak mempunyai kewenangan untuk mempertinggi atau memperendah

hukuman bila si pelaku telah terbukti melakukan jarimah tersebut. Jarimah yang

termasuk jarimah hudud adalah jarimah zina, menuduh zina, minum-minuman keras,

mencuri, merampok, keluar dari Islam dan memberontak.

Kedua, jarimah qisas yaitu jarimah yang hukumannya telah ditetapkan oleh

syara', namun ada perbedaan dengan jarimah hudud dalam hal pengampunan. Pada

jarimah qisas, hukuman bisa berpindah kepada ad-diyat (denda) atau bahkan bebas

dari hukuman, apabila korban atau wali korban memaafkan pelaku. Perbuatan yang

75 Ibid.

76 Abd Qadir Audah, at-Tasyri', hlm. 110-111.

50

Page 51: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

termasuk dalam jarimah qisas adalah pembunuhan dan pelukaan. Pembunuhan

terbagi kepada tiga, yaitu pembunuhan sengaja, semi sengaja, dan kekeliruan.

Sedangkan pelukaan terbagi menjadi dua, yaitu pelukaan sengaja dan kekeliruan.77

Ketiga, jarimah ta'zir78 yaitu jarimah yang hukumannya tidak ditetapkan baik

bentuk maupun jumlahnya oleh syara', melainkan diberikan kepada negara

kewenangannya untuk menetapkannya sesuai dengan tuntutan kemaslahatan.

Para fuqaha mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditemukan dalam al-

Qur'an dan al-Hadis yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan

hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan

mencegahnya supaya tidak mengulangi kejahatan serupa.79

B. Jarimah Qisas-Diyat

1. Qisas

Kata qisas kadang-kadang dalam hadis disebut dengan kata qawad.

Maksudnya adalah semisal, seumpama (al-Mumasilah). Adapun maksud yang

77 Para ulama berbeda pendapat dalam membagi jarimah qisas. Ulama Malikiyah membaginya menjadi dua, yaitu: pembunuhan sengaja dan kekeliruan. Jumhur membaginya menjadi tiga dengan menambahkan pembunuhan semi sengaja. Sebagian Hanafiyah membaginya menjadi empat, dengan menambahkan pembunuhan serupa kekeliruan. Sebagian Hanafiyah lainnya membaginya menjadi lima dengan menambahkan pembunuhan secara tidak langsung. Lihat abd al-qadir 'awdah, at-Tasyri', II: 7-9.

78Ta'zir berasal dari 'azzara, yang menurut bahasa berarti mencela, sedang menurut istilah berarti peraturan larangan yang perbuatan-perbutan pidananya dan ancaman hukumannya tidak secara tegas-tegas disebutkan dalam al-Qur'an, tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim/penguasa, lihat. Anwar Harjono, Hukum Islam keluasan dan keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm.159

79 A. Djazuli. Fiqh jinayah. (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam).(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.161.

51

Page 52: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

dikehendaki syara' adalah kesamaan akibat yang ditimpakan kepada pelaku tindak

pidana yang melakukan pembunuhan atau penganiayaan terhadap korban. Dalam

ungkapan lain adalah pelaku akan menerima balasan sesuai dengan perbuatan yang

dia lakukan. Dia dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau

menghilangkan anggota badan orang lain. Abdul Qadir Audah mendefinisikan qisas

sebagai keseimbangan atau pembalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan

sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya.80

Qisas diakui keberadaannya dalam al-Qur'an, as-Sunnah, demikian pula akal

memandang bahwa disyariatkannya qisas adalah demi keadilan dan kemaslahatan.

Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an:81

.لبابألا اولى يا حياة القصاص فى لكم و

Qisas adalah hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek sasaran

jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh,

melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk

jarimah ini ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.82

Sanksi pokok dalam pembunuhan sengaja yang telah di-naskan dalam al-

Quran dan al-Hadis adalah qisas. Hukuman ini disepakati oleh para ulama. Bahkan

ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja harus diqisas

(tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari kedua pihak. Ulama

80 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, hlm.125.

81 Al-Baqarah (2): 179

82 Rahmat Hakim. Hukum pidana Islam. hlm. 125

52

Page 53: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Syafi'iyyah menambahkan bahwa disamping qisas pelaku pembunuhan juga wajib

membayar kaffarah.83

Ulama berbeda pendapat tentang sanksi bagi pembunuhan sengaja yang

berupa kaffarah, menurut jumhur ulama bahwa kaffarah dalam pembunuhan sengaja

tidak wajib karena kaffarah adalah ketentuan syariah untuk beribadah, maka

tempatnya juga terbatas yaitu hanya pada pembunuhan karena kesalahan. Sedangkan

pembunuhan sengaja adalah neraka jahannam. Di dalam al-Quran sendiri tidak

mewajibkan kaffarah, seandainya bagi pelaku pembunuhan sengaja wajib membayar

kaffarah, pasti al-Quran menjelaskan secara detail.84

Ada beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakannya qisas

yaitu:85

a. Syarat-syarat bagi pembunuh

Syarat-syarat bagi pembunuh ada tiga yaitu:

1). Pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka tidaklah qisas

apabila pelakunya adalah anak kecil atau orang gila, karena perbuatannya

tidak dikenai taklif.86 Begitu juga dengan orang yang tidur/ayan, karena

mereka tidak punya niat/maksud yang sah.

2). Pembunuh menyengaja perbuatannya, dalam al-Hadis disebutkan:87

83 Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh al-Islam wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991) VI:261

84 Ibid., hlm.296

85 Wahbah az-Zuhaili. al fiqh, VI: 297

86 Abu Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-Syairazi, al-Muhazzab, (Semarang: Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan, t.t.), II:173

87Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, kitab ad-Diyah, Bab Man Qatala fi 'immiya baina qaumain (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), IV: 183. hadis nomor; 4539, riwayat sufyan dari amr dan tawus

53

Page 54: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

قود فهو عمدا قتل من

3). Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika

membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak diqisas,

tetapi menurut jumhur tetap diqisas walaupun dipaksa.

b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh/korban

Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban) ada tiga, yaitu:

1). Korban adalah orang yang dilindungi darahnya. Adapun yang dipandang

tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi, murtad, pezina muhsan,

penganut zindiq dan pemberontak; jika orang muslim atau zimmi

membunuh mereka, maka hukum qisas tidak berlaku.

2). Korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada hubungan bapak dan anak),

tidak diqisas ayah/ibu, kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya

sampai derajat kebawah berdasarkan pada hadis:

88 ألابيك ومالك أنت

89 بالولد الوالد يقاد ال

3). Korban sama derajatnya dengan membunuh dalam Islam dan

kemerdekaannya, statemen ini dikemukakan oleh jumhur (selain

88Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab at-Tijaroh. Bab ma li ar rajul min ma li waladih, (Beirut: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.t.), II: 769. hadis nomor: 2291. riwayat jabir ibn Abdullah.

89Al-Hafiz Ibnu Hajar al-'Asqalani, Bulug al-Maram, Kitab al-Jinayah. (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.), hlm.245. hadis nomor 1191, (riwayat at-Tirmidzi dan ibn Majah).

54

Page 55: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Hanafiyah). Dengan ketentuan ini maka tidak diqisas seorang Islam yang

membunuh orang kafir, orang merdeka yang membunuh budak.90

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan persamaan dalam kemerdekaan dan

agamanya, tapi cukup persamaan dalam kemanusiaannya, mereka berargumen

dengan keumuman ayat qisas yang tidak mendiskriminasikan antara satu dengan

yang lainnya. Allah berfirman:

91 القتلى في القصاص عليكم كتب أمنوا الذين أيها يا

92 بالنفس النفس ان فيها عليهم كتبنا و

Menurut Hanafiyah, ayat di atas menunjukkan bahwa dalam qisas tidak

harus ada kesetaraan. Sebab, kalimat jiwa dibalas dengan jiwa" menunjukan bahwa

dasar qisas itu adalah hilangnya jiwa atau nyawa sehingga tidak ada perbedaan antara

orang merdeka dengan hamba atau muslim dengan kafir. Adapun hadis nabi yang

menyatakan bahwa "muslim tidak diqisas karena membunuh kafir", kafir yang

dimaksud adalah kafir harbi, bukan kafir zimmi atau musta'min.93 Hal ini dikuatkan

oleh sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi pernah melaksanakan qisas terhadap

muslim yang membunuh Yahudi, sebagaimana terlihat dalam hadis berikut:

90 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh jinayah. hlm165.

91 Al-Baqarah.(2): 178.

92 Al-Maidah (5): 45

93 Jaih Mubarok, Kaidah fiqh jinayah. Hlm. 167.

55

Page 56: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

قتل مسلما أقاد وسلم عليه الله صلي النبي أن

أحق أنا وقال بذمي مسلما أقاد الرمادي وقال يهوديا

94بذمته وفي من

Sedangkan ayat yang dijadikan landasan oleh jumhur yang menyatakan

bahwa "orang merdeka dengan orang merdeka"; "hamba dengan hamba"; dan wanita

dengan wanita"; tidak menunjukkan adanya kafaah. Ayat tersebut menjelaskan

bahwa orang yang harus diqisas adalah pembunuhnya, meskipun kedudukannya lebih

rendah. Kalimat "orang merdeka dengan orang merdeka"; "hamba dengan hamba";

dan "wanita dengan wanita"; hanya sekedar mencontohkan pelaku dan korbannya

dengan tidak menafikan kebalikannya. Sebab ayat tersebut dimaksudkan untuk

menjawab kebiasaan jahiliyah yang menerapkan qisas secara berlebihan.

Pada masa jahiliyah, wali korban dari suatu kabilah (terutama kabilah yang

kuat) meminta balasan yang lebih dari seharusnya. Misalnya, korban yang terbunuh

dari suatu kabilah adalah laki-laki merdeka, sedangkan pembunuhnya (dari kabilah

lain) adalah seorang wanita. Wali korban beserta kabilahnya meminta balasannya

tidak sekedar wanita yang membunuh tetapi ditambah dengan laki-laki merdeka.

94Ali bin 'Amr Abu al-Husayn al-Daruqutni al-Bagdadi, Sunan ad-Daruqutni, Kitab al-Hudud wa ad-Diyyat wa Gairuh, (Bayrut: Alam al-Kutb, 1982), III: 135.

56

Page 57: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Permintaan ini seringkali menimbulkan konflik (bahkan sampai terjadi peperangan)

antar kabilah jika tidak dipenuhi.95

Adapun berkenaan dengan laki-laki muslim dengan perempuan muslim, para

fuqaha sepakat bahwa di antara mereka tidak ada perbedaan. Kedudukan mereka

setara dalam hal qisas. Tidak ada perbedaan antara tua dengan muda atau sehat

dengan sakit. Hal ini didasarkan atas keumuman ayat yang menyatakan bahwa "jiwa

dibalas denga jiwa" dan sabda Nabi saw berikut:

96 دماؤهم أتتكاف المسلمون

c. Syarat-syarat bagi perbuatannya

Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qishas, tindak pidana

pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana langsung bukan bukan

karena sebab tertentu, jika tidak langsung, maka hanya dikenai membayar

diyat.

Sedangkan jumhur tidak mensyaratkan itu, baik pembunuhan itu langsung

atau karena sebab, pelakunya wajib dikenai qishas karena keduanya berakibat

sama.97

d. Syarat-syarat bagi wali korban

95 Jaih mubarok, kaidah fiqh jinayah. hlm. 167-168.Lihat Muhammad 'abd al-Hamid Abu Zayd, al-Qisas wa al-Hayat: Dirasah Muqaranah bain asy-Syari'ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Wad'i, (Dar al-Nahdah al-Arabi, 1986), h. 93-94.

96 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab aj-Jihad, Bab fi as-Sariyyah, riwayat Kutaibah bin Sa'id dari ibn Ishaq dan Yahya bin Sa'id. III: 80.

97 Abddul Qadir Audah, at-Tasyri', II: 132.

57

Page 58: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk mengqisas haruslah

orang yang diketahui identitasnya, jika tidak, maka tidak wajib diqisas,

karena tujuan dari diwajibkanya qisas adalah pengokohan dari pemenuhan

hak. Sedangkan pembunuhan dari orang yang tidak diketahui identitasnya

akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaanya.

Berpijak pada keterangan tentang syarat-syarat qishas ada beberapa hal yang

menghalangi dilaksanakannya qisas. Ini terjadi karena adanya kemungkinan

masuknya unsur syubhat sehingga qisas tidak bisa dilaksanakan, yaitu ada enam hal:

1) Keberadaan pembunuh sebagai orang tua korban

Menurut para Fuqaha Mazhab, keberadaan pembunuh sebagai orang tua si

terbunuh menghalangi dilaksanakannya qisas, tetapi Ulama Malikiyah

memberi batasan, hal ini selama tidak ada maksud membunuh yang dapat

dibuktikan dengan qat'i. Jika ternyata ada maksud membunuh, maka orang

tua korban juga harus diqisas. Adapun hubungan suami isteri tidak menjadi

halangan dilakukannya qisas.

2) Perbedaan derajat antara pelaku dan korban pembunuhan dalam keIslaman

dan kemerdekaannya. Ini menurut jumhur fuqaha kecuali Hanafiyah.

3) Ketidakadilan membunuh sesuai dengan yang telah disepakati, apabila ada

kesepakatan untuk melakukan pembunuhan, tetapi ternyata tidak semua yang

menyepakati ikut hadir dalam pembunuhan, atau ia hanya memberikan

semangat, bantuan, dan tidak melakukan secara langsung, maka menurut

jumhur ulama orang yang tidak melakukan langsung itu hanya dita'zir.

Berbeda dengan pendapat ulama malikiyah yang menyatakan bahwa orang

58

Page 59: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

yang hadir atau membantu walaupun tidak melakukan secara langsung,

seperti pengintai atau penjaga pintu, tetap dikenai qisas jika terlibat dalam

kesepakatan kejahatan itu. Dan tiga syarat lagi menurut Hanafiyah yaitu:

4) Pembunuhan itu terjadi secara tidak langsung (karena satu sebab tertentu)

5) Wali korban majhul (tidak diketahui identitasnya)

6) Pembunuhannya terjadi di Dar al-kuffar98

Qisas wajib dikenakan setiap pembunuh, kecuali jika dimaafkan oleh wali

korban. Para ulama madzhab sepakat bahwa sanksi yang wajib bagi pelaku

pembunuhan sengaja adalah qisas. Sesuai dengan ayat:

القتلى في القصاص عليكم كتب أمنوا الذين أيها يا

99 بالعبد العبد و بالحر الحر

100 قود فهو عمدا قتل من

Kedua dalil ini dengan tegas menyatakan bahwa hukum qisas bagi pembunuh

adalah tertentu/pasti. Logika dari statement ini adalah: jika wali korban memaafkan

secara mutlak (tidak menuntut diyat), maka tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk

membayar diyat, tetapi pembunuh dengan kesadarannya, hendaknya membayar diyat

sebagai kompensasi pemberian maafnya wali. Tetapi tidak berarti wali terbatas dalam

menentukan sikapnya.

98 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh. VI: 274-275.

99 Al-Baqarah, (2). 178

100 Abu Dawud, Sunan. IV: 183

59

Page 60: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Mereka boleh mengqisas/memaafkannya secara mutlak atau memaafkan dari

qisas dengan membebani diyat sebagai penggantinya.

Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan sengaja

tidak hanya qisas, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu: jika mereka

menghendaki qisas, maka dilaksanakanlah hukum qisas tetapi jika menginginkan

diyat maka wajiblah membayar diyat tanpa menunggu keridlaan pembunuh. Artinya,

jika wali korban mengampuni, wajib bagi pelaku membayar diyat.

Dasar hukum yang digunakan adalah hadis rasulullah SAW:

اما و يؤدي ان اما النظرين بخير فهو قتيل له قتل من

101 يقاد ان

Dan firman Allah swt dalam al-Qur'an:

واداء بالمعروف فاتباع شيئ أخيه من له عفي فمن

102 باحسان اليه

Dari ayat ini dapat dipahami, jika terjadi pembunuhan hendaklah pelakunya

diselidiki. Dan jika ternyata wali korban memaafkan secara mutlak, pelaku tetap

berkewajiban membayar diyat. Hal ini karena mereka berpendapat bahwa diyat

adalah salah satu dari kerusakan jiwa, bahkan pengganti dari qisas.

101Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja'fi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab ad-Diyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VIII: 38.

102 Al-Baqarah (2) : 178

60

Page 61: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Kemudian dari redaksi ayat tersebut berarti Allah mewajibkan al-Itba' karena

adanya pemberian maaf dari wali. Seandainya Allah mewajibkan qisas saja, tentu

Allah tidak mewajibkan diyat apabila ada ampunan atau maaf wali secara mutlak.

Tuntutan hukuman qisas merupakan hak para wali (keluarga korban), namun

keabsahan keluarga korban untuk melaksanakan ada dibawah wewenang hakim.

Artinya tuntutannya ini harus melalui pengadilan. Karena dalam kaidah dasar syara'

yang telah disepakati disebutkan bahwa pelaksanaan sanksi hudud, qisas, maupun

ta'zir merupakan hak hakim.103

Selanjutnya apabila pelaksanaan qisas akan dilakukan oleh para wali sendiri

(bukan oleh hakim dan algojonya), maka menurut Abu Hanifah, Hanabilah dan qaul

rajihnya asy-Syafi'i yang berhak mengqisas adalah setiap ahli waris yang berhak

mewarisi harta si korban baik zawil furud maupun asabah, laki-laki maupun

perempuan, suami atupun isteri.104

Sedangkan menurut ulama Malikiyah yang berhak mengqisas adalah keluarga

dari pihak ayah yang laki-laki, semua asabah bin nafsi dengan prioritas, keluarga

yang dekat didahulukan dari pada keluarga yang jauh. Perempuan tidak boleh

mengqisas karena qisas itu menghilangkan fitnah, maka dikhususkan kepada asabah

seperti dalam perwalian pernikahan.

Tetapi Malikiyah memberikan kelonggaran, yaitu perempuan boleh bertindak

sebagai pelaksana qisas dengan tiga persyaratan:

103 Sayid Sabiq, fikih sunnah, alih bahasa H.A Ali (Bandung: PT. al-Maarif, 1997), X: 67

104 Abd Qadir Audah, at-Tasyri', II: 140

61

Page 62: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

a. Perempuan itu merupakan ahli waris terbunuh, seperti anak dan

saudara kandung, sehingga bibi dari pihak ayah /ibu tidak boleh.

b. Derajat atau kekuatan ahli waris perempuan tadi lebih kuat

dibanding para asib, misalnya anak perempuan kandung

bersama dengan adanya paman, itu dapat melaksanakan qishas.

Tetapi jika anak perempuan kandung bersama adanya ayah, ia

tidak dapat mengqisas.

c. Perempuan itu dalam derajatnya mempunyai laki-laki yang

asabah, maka dikecualikan saudara perempuan (tidak dapat

mengqisas) karena adanya ibu.105

Jika yang mengqisas masih kecil/gila maka ditunggu sampai

kesempurnaannya dan diserahkan kepada hakim. Dan menurut Malikiyah, tidak usah

menunggu sampai baligh/sadarnya demi kemaslahatan pelaksanaan qisas itu

sendiri.106

Hukuman qisas menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut:

a. Matinya pelaku kejahatan

Kalau orang yang akan menjalani qisas telah mati terlebih dahulu, maka

gugurlah qisas atasnya, karena jiwa pelakulah yang menjadi sasarannya.

Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diyat yang diambilkan dari

harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali si terbunuh. Pendapat

ini menurut Imam Ahmad serta salah satu pendapat Imam Syafii.

105 Ibid., hlm. 141.

106 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI: 280.

62

Page 63: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafiyah tidak wajib diyat, sebab

hak dari mereka (para wali) adalah jiwa, sedangkan hal tersebut telah

tiada. Dengan demikian tidak ada alasan bagi para wali menuntut diyat

dari harta peninggalan si pembunuh yang kini telah menjadi milik para

ahli warisnya.

b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat

pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.

c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dan wali korban.107

d. Adanya penuntutan qisas.108

e. Adanya kerelaan/ izin korban.109

Dalam hal adanya kerelaan/izin korban, pada dasarnya para fuqaha

sepakat bahwa adanya kerelaan korban untuk dibunuh tidak

membolehkan seseorang melakukan pembunuhan, seperti kasus

euthanasia. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang posisi kerelaan

tersebut dengan pemaafan korban atau wali korban yang dapat

menggugurkan qisas atau diyat (bila dimaafkan secara mutlak).

Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

Menurut Hanafiyah:

عليه المجني برضا القصاص يسقط

107 Perbedaannya dengan al-Afwu (pengampunan) adalah kalau sulh itu pengguguran qisas dengan ganti rugi (kompensasi), sedangkan al-Afwu terkadang pengampunan qisas secara mutlak.

108 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri', I: 777-778 dan lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI: 294.

109 Jaih mubaraok, Kaidah fiqh jinayah. Hlm.171

63

Page 64: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Gugurnya qisas disebabkan karena adanya kerelaan atau izin korban

yang dapat dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman

berpindah kepada diyat. Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang

dapat menggugurkan hudud.110

Pendapat Malikiyah yang rajih dan sebagian Syafi'iyah:

عليه المجني برضا القصاص يسقط ال

Kerelaan korban tidak dapat dipersamakan dengan pemaafan karena

kerelaan itu ada sebelum terjadi jarimah pembunuhan, sedangkan

pemaafan ada setelah terjadi jarimah. Oleh karena itu, pembunuhan

tersebut tetap merupakan pembunuhan sengaja yang harus dihukum

dengan qisas.111

Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi'iyah:

برضا والدية القصاص عقوبتى يسقط

عليه المجني

Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukum

asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih

utama dari pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi

korban.112

110 Abd al-Qadir awdah. al-Tasyri', I: 440-441, lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, hlm.260.

111 Ibid.

112 Ibid.

64

Page 65: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

2. Diyat

Diyat113 adalah:

امتناع فإذا القصاص لعقوبة األولى البدلية العقوبة

لسباب او االمتناع اسباب من لسبب القصاص

114 أيضا عنها الجانى يعف مالم وجبت السقوط

Dengan definisi ini berarti diyat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau

yang semakna dengannya; artinya pembayaran diyat itu terjadi karena berkenaan

dengan kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang.

Adapun dalil disyariatkannya diyat adalah firman Allah SWT:

دية و مؤمنة رقبة فتحرير أخط مؤمنا قتل ومن

115قوا يصد ان اال اهله الى مسلمة

113 Menurut bahasa, diyat artinya membayar tebusan dengan sejumlah harta benda karena perbuatan: 1. Pembunuhan terhadap jiwa; dan 2. pencederaan badan. Sedangkan definisi menurut syar'i ialah wajibnya membayar sejumlah harta benda yang telah ditentukan syariat karena pembunuhan jiwa atau karena pencederaan badan.

114 Abd Qadir 'Audah, at-Tasyri', II:261

115 An-Nisa (5): 92

65

Page 66: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Walaupun ayat ini dalam konteks pembunuhan bersalah namun para ulama

sepakat akan wajibkan diyat dalam pembunuhan sengaja apabila qisas gugur karena

suatu sebab.

Pada mulanya pembayaran diyat menggunakan unta tetapi jika sulit

didapatkan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti emas,

perak, uang, pakaian, dan lain sebagainya, yang kadar nilainya disesuaikan dengan

unta.

Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah seratus ekor unta bagi

pemilik unta. Dua ratus ekor sapi bagi pemilik sapi, dua ratus ekor domba bagi

pemilik domba, seribu dinar untuk pemilik emas, dua belas ribu dirham untuk

pemilik perak, dan dua ratus stel pakaian untuk pemilik pakaian.116

Diyat ada dua macam, yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Adapun

diyat mugalazah menurut jumhur dibebankan kepada pelaku pembunuhan sengaja

dan menyerupai sengaja. Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku

pembunuhan sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang

membunuh anaknya.117

Jumlah diyat mugalazah adalah seratus ekor unta, yang empat puluh di

antaranya sedang mengandung. Sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda:118

116 Sayyid Sabiq, fikih sunnah. X: 93

117 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI. 304.

118 An-Nasa'i, Sunan an-Nasa'i, (Mesir: al-Bab al-Halabi, 1994), VIII: 36 diriwayatkan dari Qasim bin Rabi'ah.

66

Page 67: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

و العصا و بالسوط العمد شبه أالخط قتيل نوإ اال

بازل الى شنية اربعون هافي االبل من مائة الحجر

خلفة كلهن عمها

Jadi seratus ekor unta itu bila diperinci adalah:

a. 30 ekor hiqqah (unta berumur 4 tahun)

b. 30 ekor jad'ah (unta berumur 5 tahun)

c. 40 ekor khilfah (unta yang sedang mengandung)

Adapun diyat mukhafafah itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan

kesalahan, hal ini berdasarkan riwayat Ibn Mas'ud, Nabi bersabda:119

جذعة وعشرون حقة عشرون اخماس أالخط دية

لبون بنات وعشرون مخاض بنات وعشرون

لبون بني وعشرون

Jadi ketentuannya adalah sebagai berikut:

a. 20 ekor bintu ma'khad (unta betina berumur 2 tahun)

b. 20 ekor ibnu ma'khad (unta jantan berumur 2 tahun)

c. 20 ekor binti labun (unta betina berumur 3 tahun)

d. 20 hiqqah, dan

119 Muhammad ibn Ismail ibn Shalah al-Amir al-Kahlani al-Shan'ani, Subul as-Salam Syarah Bulug al-Maram, "Kitab al-Jinayat", "Bab ad-Diyat", (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), III: 248. hadis no.2, HR. ad-Daruqutni dari Ibn Mas'ud.

67

Page 68: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

e. 20 jad'ah

Selanjutnya ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa

pembunuhan tersalah dapat dikenai diyat mugalazah apabila:

a. Pembunuhan itu terjadi di tanah haram Mekkah

b. Pembunuhan itu terjadi di bulan haram; zul Qa'dah, zul Hijjah, Muharram dan

Rajab

c. Pembunuhan itu terhadap mahram seperti: ibu dan saudara perempuan.120

Jadi diyat pembunuhan sengaja adalah diyat mugalazah yang dikhususkan

pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara kontan. Sedangkan

diyat pembunuhan syibhu amd adalah diyat mugalazah yang pembebanannya tidak

hanya pada pelaku, tetapi juga pada 'aqilah (wali/keluarga pembunuh), dan dibayar

secara berangsur-angsur selama tiga tahun.

Menurut Hanafiyah, baik pembunuhan sengaja, tidak sengaja, maupun

kesalahan, pembayaran diyatnya secara berangsur-angsur selama tiga tahun. Hanya

bagi 'amid (pembunuh sengaja) lebih diperberat dengan kewajiban membayar diyat

mughaladzah dengan hartanya sendiri.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa diyat pembunuhan sengaja

harus dibayar kontan dengan hartanya karena diyat merupakan pengganti qisas, jika

qisas dilakukan sekaligus maka diyat penggantinya juga harus secara kontan dan

pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan, padahal 'amid pantas

dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya 'amid membayar diyat dengan

120 Wahbah az-Zuhaili. al-Fiqh,VII: 305-306

68

Page 69: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

hartanya sendiri bukan dari 'aqilah. Karena keringanan (pemberian tempo) itu hanya

berlaku bagi 'aqilah.121

Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada para

pembunuh dengan hartanya sendiri. 'Aqilah tidak menanggungnya karena setiap

manusia dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dan tidak dapat dibebankan

kepada orang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah swt:

122 رهين كسب بما امرئ كل

Adapun jika pembunuhan disengaja itu dilakukan oleh anak kecil atau orang

gila, Malik dan Syafi'i menyatakan diyatnya anak kecil adalah setengah kecuali

pemerintah membebankan pada aqilahnya. Mereka menjelaskan bahwa sengaja atau

kesalahannya anak kecil itu sama dengan argumant ada orang gila menerkam seorang

laki-laki dengan pisau kemudian memukulnya..123

Menurut Syafiiyah bahwa yang jelas perbuatan anak kecil itu dianggap

sengaja apabila ia telah mumayyiz, jika belum mumayyiz maka dianggap kesalahan

(khata') secara pasti. Tetapi baik ia sudah mumayyiz atau belum ia tidak dapat di

qisas, karena tidak ada baginya taklif secara syara'. Hanya saja ia dibebankan diyat

dari hartanya sendiri dan 'aqilah tidak menanggung jika ia (pada saat berbuat jahat)

sudah mumayyiz.124

121 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh, VI: 307.

122At-Tur (52): 21.

123 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t), II.: 297

124 Asy-Syairazi, al-Muhazzab, II:173-174.

69

Page 70: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

C.Tujuan Fiqh Jinayah

Pembuat hukum tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariah

tanpa tujuan apa-apa. Melainkan di sana ada tujuan tertentu yang luas. Dengan

demikian untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu mengetahui apa

tujuan dari ketentuan itu.

Para ahli hukum Islam mengklasifikasi tujuan-tujuan dari fiqh jinayah yang

merupakan tujuan-tujuan yang luas dari syariah sebagai berikut:125

Tujuan pertama

Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup. Ini merupakan hal-hal

di mana kehidupan manusia sangat tergantung sehingga tidak dapat dipisahkan.

Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan dan

ketidaktertiban di mana-mana. Kelima kebutuhan hidup yang primer ini (daruriyyat)

dalam keputusan hukum Islam disebut dengan istilah al-Maqasid asy-Syari'ah al-

Khamsah (tujuan-tujuan syariah), yaitu:

a. Hifz ad-Dĩn (memelihara agama);

b. Hifz an-Nafsi (memelihara jiwa);

c. Hifz al-'Aqli (memelihara akal pikiran);

d. Hifz al-Nasli (memelihara keturunan);

e. Hifz al-Mãl (memelihara harta).

125 Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: asy Syaamil, 2001), hlm.130-131

70

Page 71: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap-tiap

kebutuhan itu dan menegaskan ketentuan-ketentuan yang yang berkaitan dengannya

sebagai ketentuan yang esensial.

Tujuan kedua

Tujuan berikutnya adalah menjamin keperluan-keperluan hidup (keperluan

sekunder) atau disebut hajiyyat. Ini mencakup hal-hal yang penting bagi ketentuan

itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban

tanggungjawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak

menyebabkan kekacauan dan ketidak tertiban, akan tetapi dapat menambah

kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini

terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan

membuat hidup mudah bagi mereka.

Tujuan ketiga

Tujuan ketiga dari perundang-undangan Islam adalah membuat perbaikan-

perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan

menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik

(keperluan sekunder) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak

membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan-kebutuhan

hidup; juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-

kesulitan dan membuat hidup mudah.

71

Page 72: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

D. Aspek Kemanusiaan dalam Fiqh Jinayah

Salah satu kesempurnaan syari'at Islam adalah adanya aturan-aturan yang

berkenaan dengan hukum publik. Islam tidak sekedar mengajarkan ajaran moral saja,

melainkan juga menyediakan aturan-aturan yang bersifat imperatif. Baik dalam al-

Qur'an maupun dalam as-Sunnah, terdapat sanksi-sanksi yang mengikat yang harus

ditegakan di dunia, bukan sekedar ancaman di akhirat. Istilah yang umum bagi

aturan-aturan tersebut adalah al-Jinayat yang sering kali diartikan dengan Hukum

Pidana Islam.

Ketika mendengar kata "Hukum Pidana Islam" (fiqh Jinayah), yang langsung

terbayang di benak kebanyakan orang adalah potong tangan, dilempar batu sampai

meninggal (dirajam), dipukul dengan menggunakan kayu (dijilid), atau dibunuh

(diqisas). Sering kali bayangan tersebut terhenti di situ, sehingga kesan bahwa hukum

pidana Islam bersifat kejam dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Padahal apa

yang dibayangkan tersebut hanya merupakan salah satu bagian saja dari hukum

pidana Islam. Itupun baru dapat ditegakkan setelah seluruh unsur-unsur jarimahnya

(tindak pidananya) terpenuhi. Selebihnya terdapat asas-asas serta konsep-konsep

lainnya yang luput dari perhatian.

Hukum Pidana Islam (fiqh jinayat) ini mengatur setiap perbuatan manusia

yang dilarang yang berkenaan dengan tubuh, jiwa maupun dengan hal-hal lainnya

seperti kehormatan, harta, keturunan, akal dan agama, yang semuanya merupakan

maqasid asy-Syar'i.

Untuk menyelesaikan problem ini, Allah swt telah menetapkan hukum yang

terdiri tiga tingkatan yaitu: qisas (balasan setimpal), denda-damai (diyat), atau

72

Page 73: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

permintaan maaf). Dan jika semuanya tidak terpenuhi maka ulil amri sebagai

penguasa negara berhak memberikan hukuman atas pertimbangan kemaslahatan

umat berupa hukuman ta'zir.

Kejahatan-kejahatan yang oleh syariat telah ditetapkan jenis hukumannya,

merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Yakni hal-hal yang berkaitan dengan

kehormatan agama, keturunan dan ketenteraman umum. Inilah yang disebut

hududullah (batas-batas hukum Allah). Sedangkan kejahatan yang berkaitan dengan

kehormatan jiwa manusia, merupakan pelanggaran terhadap hak hamba. Inilah yang

mengandung konsekuensi hukum qisas.

Sepintas, hukum qisas nampak kejam. Memang ia hukuman yang kejam,

bahkan sangat kejam. Lihatlah, karena ambruknya wibawa dan penegakan hukum,

nyawa manusia jadi sangat murah. Mana pri kemanusiaan yang dipunyai manusia?.

Bila kejahatan ini terus dibiarkan, eksistensi kehidupan manusia akan terancam.

Karena itu Allah memperingatkan dalam al-Qur'an:126

األلباب اولى يا حياة القصاص فى لكم و

Kekejaman memang harus dihentikan dengan hukuman yang setimpal agar

bisa menjerakan. Dengan qisas, maka pelaku sebelum berbuat jahat akan pikir-pikir

dahulu, karena korban atau ahli warisnya (bila korban meninggal) berhak membalas

dengan perlakuan setimpal.

Bagi sebagian orang, jenis hukuman dinilai tidak manusiawi, primitif, barbar,

atau ketinggalan zaman. Karenanya, orang-orang yang telah menjadi korban

penyesatan opini semacam ini, menjadi benci terhadap hukum Islam lalu memilih

126 Al-Baqarah (2): 179

73

Page 74: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

hukum lain (KUHP). Padahal penyakit sosial yang bernama pembunuhan hanya

efektif dicegah dengan obat yang disediakan oleh yang menciptakan nyawa manusia,

yaitu dengan qisas.

Sebagai contoh kasus Tomy Suharto sebagai terpidana pembunuhan atas

hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN)

Jakarta Pusat hanya mengganjar Tomy dengan hukuman penjara 15 tahun. Dan

tanggapan kedua isterinya sebagai ahli waris korban (waliyuddam) sangat kecewa

karena putusan itu tidak sesuai dengan harapan. Apalagi jika dibandingkan dengan

penderitaan yang mereka alami sepeninggal sang suami, jelas tidak sepadan. Mereka

telah kehilangan suami sekaligus pemimpin rumah tangga dan pencari nafkah bagi

keluarganya. Anak-anakpun kehilangan sosok sang ayah yang biasa membimbing

mereka sehari-hari. Alhasil putusan hakim itu belum memenuhi rasa keadilan yang

mereka tuntut.127

Namun kedua isterinya hanya pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa selain

trerpaksa menerima keputusan tersebut. Mengingat keduanya tidak berhak dan tidak

bisa keputusan Hakim tersebut.

Dari kasus ini dapat dibandingkan bahwa ternyata KUHP kurang sesuai

dengan tindakan yang diperbuat, tidak ada rasa keadilan atas tindakan yang

dilakukan dan juga bagi keluarga korban tidak punya hak apa-apa untuk menuntut

hak mereka. Bila hal ini diselesaikan denga hukum Islam maka yang akan terjadi,

jika Tomy meminta maaf, dan keluarga memaafkan maka ia akan terbebas dari

127 Abdurrahman Madjrie dan Fauzan Al-Anshari, Qisas pembalasan yang hak, (Jakarta: Khairul Bayan, sumber pemikiran Islam, 2003), hlm.2

74

Page 75: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

hukum qisas dan berganti kepada diyat sebagai ganti rugi atas tuntutan keluarga. Di

sinilah aspek keadilan dan kemanusiaan dalam hukum Islam.

Maka dapat ditarik kesimpulan dari keutamaan Hukum Pidana Islam ini

sebagi hikmah yang harus disyukuri, yaitu:128

1. Untuk menegakkan hukum Allah sebagai bukti ketaatan kaum muslimin

kepada hukum Allah.

2. untuk membasmi kejahatan di muka bumi dan kemaksiatan lainnya yang

sering dilakukan oleh para penjahat. Minimal dapat mencegah

merebaknya kejahatan dan kerusakan di muka bumi.

3. untuk menjaga keamanan dan keselamatan jiwa dan kehidupan manusia

di dunia.

4. untuk memberikan pelajaran dan peringatan yang keras bagi orang-orang

yang ada niatan berbuat kejahatan agar tidak meneruskan keinginannya.

5. sebagai mekanisme pengamanan bagi semua warga negara yang tinggal

di negeri yang memberlakukan hukum Allah sebagai konstitusinya.

Sebagaimana pernah terjadi pada era kehidupan Rasulullah dan

pemerintahan khalifah penggantinya.

128 Ibid., hlm.91-92

75

Page 76: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

BAB IV

PRAKTEK EUTHANASIA DALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH

A. Euthanasia Aktif sebagai Jarimah

Masalah menjaga kesehatan dalam Islam sangat diperhatikan. Terlebih-lebih

menjaga atau memelihara jiwa atau an-nafs. Artinya, segala upaya diusahakan untuk

memberi pelayanan kesehatan agar dapat memperhatikan kehidupan seorang

manusia. Oleh karenanya setiap orang diharuskan untuk menjalani segala perbuatan

yang dapat membahayakan dirinya atau orang lain. Atau dengan kata lain manusia

tidak dibolehkan untuk menghilangkan jiwanya atau jiwa orang lain. Sebab masalah

hidup dan mati itu merupakan urusan Allah SWT. Di antara firman Allah

menyinggung hal jiwa atau nafs adalah sebagai berikut:

129 الوارثون نحن و نميت و نحي لنحن انا و

130 احي و امات هو انه و

Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan

yang mengarah kepada tindakan untuk menghilangkan jiwa manusia akan diancam 129Al-Hijr (15): 23 130 An-Najm (53): 44.

76

Page 77: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

dengan hukuman qisas-diyat atau ta'zir. Dalam hubungan ini euthanasia, khususnya

euthanasia aktif dapat dikategorikan sebagai perbuatan untuk menghilangkan jiwa

atau penghentian kehidupan manusia, dan oleh karenanya pula hal tersebut

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah swt.

Masalah kematian setiap manusia itu sudah ditentukan batasannya oleh Allah

swt, maka apabila telah datang kematiannya tidak seorangpun yang dapat

mengundurkan atau memajukan walau sesaatpun. Sebagai mana firman Allah:

ساعة خرونأيست ال أجلهم جاء فاذا أجل أمة لكل و

131 يستقدمون ال و

بما خبير الله و أجلها جاء اذا نفسا الله يؤخر لن و

132 تعملون

Dapat difahami dari ayat di atas bahwa urusan mati sepenuhnya merupakan

hak Allah swt. Sehingga kalau sampai terjadi seseorang lain yang mengusahakan

kematian untuk orang lain, ini bisa dikategorikan sebagai pembunuhan. Dan bila ada

terjadi seseorang berusaha untuk dirinya sendiri untuk mendapatkan kematian, maka

perbuatan demikian bisa dikategorikan sebagai bunuh diri dengan meminjam tangan

orang lain.133

131 Al-A'raf (7): 34

132 Al-Munafiqun (63): 11

133 Imron Halimi, Euthanasia cara mati terhormat orang moderen (Solo: cv. Ramadhani.1990) hlm.116

77

Page 78: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Akibat dari pesatnya perkembangan teknologi kedokteran modern akan dapat

memberikan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik bagi usaha perpanjangan umur

pasien yang menderita sakit parah. Ini mengandung arti bahwa dokter atau tim medis

telah dapat menunda beberapa saat waktu kematiannya.

Kemudian apakah dokter dalam memberikan tindakan medis (misal;

memasang infus, respirator, EEG dan lain-lain), itu tidak berarti menghalangi hak

Allah sebagai penentu kematian manusia ?.

Dalam konteks di atas, tindakan dokter itu tidak berarti melangkahi hak Allah

atau takdirnya, sebab tindakan medis itu manifestasi dari ikhtiar untuk menolong

pasien. Dan memang seharusnya begitu, seorang dokter berkewajiban untuk

mengobati, meringankan penderitaan pasien dengan segala kemampuannya, baik

dengan obat-obatan atau memberikan nasihat. Betapapun sudah diduga umur si

pasien tidak lama lagi.

Berbicara masalah euthanasia (qatl ar-rahmah atau taisir al-maut), yang

definisinya menurut Qardawi ialah tindakan memudahkan kematian seseorang

dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan

meringankan penderitaan si sakit.134 Khususnya lagi euthanasia aktif (taisir al-maut

al-fa'al) yang definisinya ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih

sayang yang dilakukan dokter dengan menggunakan instrumen (alat).135

Dalam Islam euthanasia aktif itu secara eksplisit dan tegas belum pernah

ditemukan hukumnya. Akan tetapi karena euthanasia aktif merupakan tindakan untuk

134 Yusuf Qardawi, fatwa-fatwa kontemporer, alih bahasa: As'ad yasin, cet.ke-2, (Jakarta: Gema Insani Press. 1996), II:749.

135 Ibid.

78

Page 79: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

mempercepat kematian seseorang, maka hal ini bisa diklasifikasikan kedalam

jarimah pembunuhan.136

Namun demikian apakah bisa begitu saja tindakan euthanasia aktif itu

digolongkan sebagai jarimah pembunuhan?. Dalam hal ini tentunya diperlukan

beberapa tahapan untuk menjawabnya, yakni sebagai berikut:

1. Dalam fiqh Islam suatu perbuatan barulah dikatakan sebagai jarimah apabila

perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah, yakni:

a. Unsur formal atau unsur syar'i

Yang dimaksud dengan unsur formal atau unsur syar'i adalah adanya

ketentuan syara' atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang

dilakukan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat

dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap

perbuatan yang dimaksud.

b. Unsur material atau rukun maddi

Yang dimaksud dengan unsur material adalah adanya perilaku yang

membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau

adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.

c. Unsur moril atau Rukun Adaby

Unsur ini juga disebut dengan al-mas'uliyyah al-jinayyah atau

pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau

pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat

jarimah (tindak pidana, delik) haruslah orang yang dapat memahami

136 Ibid., hlm.751

79

Page 80: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima isi beban tersebut.

Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah arang-orang

yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitab

(panggilan) pembebanan (taklif).137

2. Tindakan euthanasia aktif itu apakah telah memenuhi unsur-unsur jarimah

ataukah tidak?. Jika telah memenuhi tentunya ada kesinkronan antara aspek-

aspek terjadinya euthanasia aktif dengan unsur-unsur jarimah. Adapun

aspek-aspek terjadinya euthanasia aktif ialah sebagai berikut:

a. Bahwa euthanasia aktif itu merupakan tindakan pembunuhan.

Sehingga euthanasia aktif dilihat dari aspek definisinya sudah

memenuhi unsur jarimah pertama, ialah unsur formil (ar-rukn asy-

syar'i), yakni adanya nas yang jelas-jelas melarang pembunuhan baik

diri sendiri ataupun orang lain. Seperti tercantum dalam beberapa ayat

al-Qur'an sebagai berikut:

138 0رحيما بكم كان الله ان أنفسكم تقتلوا ال

ذالكم بالحق اال الله حرم التى النفس تقتلوا وال139 0تعقلون لعلكم به وصاكم

b. Adanya tindakan atau perbuatan yang mendukung terjadinya

euthanasia aktif, yakni biasanya dengan mencabut selang respirator

137 Rahmat Hakim. Hukum pidana Islam (fiqh jinayah), cet. ke-1, (Bandung: Pustaka Setia.2000). hlm.52-53.lihat juga A. djajuli. fiqh jinayah (upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam), cet. ke-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997). hlm.3.

138An-Nisa (4): 29 139Al-An'am.(6): 151

80

Page 81: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

atau melalui suntikan dengan bahan pelemah saraf dalam dosis

tertentu (neurasthenia), dan sebagainya. Dalam aspek ini juga telah

memenuhi unsur jarimah kedua yakni unsur materill (ar-rukn al-

maddi).

c. Adanya pelaku euthanasia aktif yang dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana, yaitu dokter atau tim medis lainnya,

pasien, dan keluarga pasien. Dari aspek inipun telah memenuhi unsur

jarimah ketiga, yakni unsur moril (ar-rukn adabi)

Jadi jelas dalam konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif

itu merupakan jarimah pembunuhan.

Dalam hukum Pidana Islam (fiqh jinayah), tindak pidana pembunuhan ini

(al-qatl) disebut juga al-jinayah 'ala al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa

manusia). Para ulama berbeda pendapat dalam mengklasifikasikan bentuk-bentuk

pembunuhan. Perbedaan tersebut adalah:140

1) Ulama Malikiyah mengklasifikasikan bentuk-bentuk pembunuhan menjadi

dua yaitu: pembunuhan sengaja (qatl al-'amd) dan kekeliruan (qatl al-

khata').

2) Jumhur mengklasifikasikannya menjadi tiga (sulasi), yaitu pembunuhan

sengaja, semi sengaja (syibh al-'amd) dan kekeliruan.

140 Jaih Mubaraok dan Enceng Arif Faizal. Kaidah fiqh jinayah (asas-asas hukum pidana Islam) (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm.9. lihat juga Abd Qadir 'Audah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Wad'i, (Beirut: Muassasat ar-Risalat, 1992), II: 7-9.

81

Page 82: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

3) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi empat (ruba'i), yaitu:

pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan, dan serupa kekeliruan (ma

jara majr al-khata').

4) Sebagian Hanafiyah mengklasifikasikannya menjadi lima (khumasi), yaitu:

pembunuhan sengaja, semi sengaja, kekeliruan dan serupa kekeliruan, dan

pembunuhan secara tidak langsung (al-qatl bi al-tasabbub).

Dari macam jarimah pembunuhan di atas, tindakan euthanasia aktif bisa

digolongkan kedalam pembunuhan sengaja. Hal ini sesuai dengan definisinya, yakni;

suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk

menghilangkan nyawanya,141 atau sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dan

memang akibat perbuatan itu dikehendaki pula.

Terjadinya tindakan euthanasia aktif sangat dipengaruhi oleh alasan atau

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:142

a) Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan

lagi menderita sakit. Oleh karena penyakit yang dideritanya sangat (accut),

dan telah lama dialami, maka ia meminta dokter untuk melakukan euthanasia.

Pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban

ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga, akibat biaya pengobatan yang

mahal. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah di ambang pintu, paling

tidak, harapan sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit,

dia meminta jalan yang lebih "nyaman", yaitu melalaui euthanasia.

141 A. Djazuli. Fiqh Jinayah.hlm.121

142 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana, dan Hukum Islam, dalam Chuzaimah T Yanggo dan Hafidz Anshary. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Cet. ke-3, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), hlm.71.

82

Page 83: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

b) Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.

Apabila jika pasien tampaknya tidak tahan menanggung sakitnya, baik karena

terlalu lama, ataupun karena amat ganasnya jenis penyakit yang

menyerangnya. Bisa juga euthanasia terjadi karena permintaan keluarga yang

tidak sanggup lagi memikul biaya pengobatan, sementara harapan untuk

sembuh tidak ada lagi.

c) "Kemungkinan lain" bisa terjadi, bahwa pihak keluarga (tertentu)

bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien, karena

menginginkan harta/milik pasien dan faktor amoral lainnya.

B. Sanksi Hukum bagi Pelaku Euthanasia

Dalam ajaran agama Islam tidak terdapat ajaran yang mutlak mengenai

euthanasia, namun bila ingin mempelajari dan memahami arti euthanasia secara

mendalam, maka akan jelas hukumnya dengan berdasarkan al-Qur'an sebagai salah

satu sumber hukum Islam. Euthanasia hakikinya adalah membunuh yang dilakukan

dalam rumah sakit oleh dokter ahli pada penderita karena penyakit tertentu seperti

kanker atau kecelakaan yang merusak tubuhnya hingga berdasarkan ilmu dan

teknologi kedokteran tidak mungkin sembuh.

Agar manusia tidak memandang murah terhadap jiwa manusia, maka Allah

memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkannya. Tindakan merusak

ataupun menghilangkan jiwa orang lain maupun jiwa diri sendiri adalah perbuatan

melawan hukum Allah.

83

Page 84: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Euthanasia merupakan salah satu bentuk pembunuhan dan termasuk dalam

kategori jinayat. Dalam terminologi fiqh, jinayat adalah setiap perbuatan yang

diharamkan dan tercela yang dilarang oleh Tuhan, perbuatan itu bisa merugikan

agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.143

Allah melarang melakukan pembunuhan, karena pada dasarnya

menghilangkan nyawa seseorang merupakan perbuatan dosa besar sebagai mana

tercantum dalam al-Qur'an:

فيها خالدا جهنم فجزاؤه متعمدا مؤمنا يقتل من و

144 اعظيم عذابا لهَاعد و لعنه و عليه الله غضب و

Secara umum hukum Islam diamalkan untuk menciptakan kemaslahatan

hidup dan kehidupan manusia, sehingga aturan diberikan secara rinci, khusus yang

berkaitan dengan hukum pidana, Islam ditetapkan aturan yang ketat yaitu Qisas

(pembunuhan), had dan diyat.

Syaikh Muhammad Yusuf al-Qardawi, sebagaimana dikutip oleh Akh. Fauzi

Aseri menga ِatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi,

sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya), organ tubuhnya, ataupun sel-

selnya. Diri manusia pada hakekatnya adalah barang ciptaan yang diberikan Allah,

oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.145

Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan

143 Sayid Sabiq, fikih sunnah, alih bahasa H.A Ali (Bandung: PT. al-Maarif. 1997), X:11.144An-Nisa (4): 93.

145 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia. hlm.73.

84

Page 85: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

mempercepat kematiannya, baik dengan bunuh diri maupun dengan minta dibunuh.

Bahkan berdo'a meminta dimatikanpun tidak diperbolehkan. Tetapi Allah menyuruh

umatnya bila dalam keadaan sakit agar disamping berusaha juga berdoa agar diberi

kesembuhan, sebagaimana firman Allah swt:

146يشفين فهو مرضت واذ

Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, bahwa pembunuhan (mengakhiri

hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:147

1. Karena pembunuhan oleh seseorang secara zalim.

2. Janda yang pernah bersuami) secara nyata berbuat zina, yang

diketahui oleh empat orang saksi.

3. Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang

jama'ah Islam.

Jika dibandingkan dengan alasan-alasan yang mendorong terjadinya

euthanasia seperti disebutkan terdahulu, maka tidak ada satupun yang berkaitan

dengan alasan bilhaq di atas. Maka agar dapat ditentukan sanksi hukumnya dalam

masalah euthanasia ini, perlu diperjelas secara terperinci karena masalah euthanasia

ini merupakan masalah yang kompleks, baik dari segi sebabnya maupun pelaku

terjadinya euthanasia.

Karena euthanasia ini merupakan jenis pembunuhan maka kiranya perlu

dijelaskan sanksi-sanksinya. Sebelum menginjak kepada sanksi-sanksi pelaku

146 As-Syu'ara' (26): 80

147Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1971). XI: 43.

85

Page 86: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

euthanasia perlu disebutkan terlebih dahulu sanksi-sanksi dalam pembunuhan. Dalam

pembunuhan, ada beberapa jenis sanksi, yaitu; hukuman pokok, hukuman pengganti

dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pembunuhan adalah qisas. Bila dimaafkan

oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat. Akhirnya jika

sanksi qisas atau diyat dimaafkan, maka hukuman penggantinya adalah ta'zir.

Menurut sebagian ulama, yakni Imam Syafi'i, ta'zir tadi ditambah kaffarah. Hukuman

tambahan sehubungan dengan ini adalah pencabutan atas hak waris dan hak wasiat

harta dari orang yang dibunuh, terutama jika antara pembunuh dengan yang dibunuh

mempunyai hubungan kekeluargaan.148

Dokter sebagai seorang anggota masyarakat, penuh aktif, berinteraksi dan

memelihara masyarakat. Tugas dokter tidak hanya melakukan pengobatan penyakit

dan mencegah timbulnya penyakit. Tetapi juga sebagai seorang manusia dokter juga

dituntut untuk tolong-menolong dalam hal kebaikan apapun bentuknya.149

Dalam masalah euthanasia ini, jika melihat kembali kepada fungsi dokter

sebagai penolong untuk mengobati, menolong dan membantu pasien dari

penyakitnya supaya sembuh, apakah secara batin dia tega melakukan euthanasia

terhadap pasiennya. Pasti dia mempunyai tekanan batin dan juga menghadapi

konsekuensi hukum.

148 A. Djazuli, Fiqh Jinayat, hlm, 135-136

149 Kode Etik kedokteran Islam, terj. Sudibyo Soepardi, cet.ke-4, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2001), hlm. 41.

86

Page 87: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Dalam hal ini, jika dokter melakukan euthanasia berarti dokter telah

melakukan pembunuhan, karena pembunuhan berarti menghilangkan nyawa

seseorang, sepeti dikatakan oleh Wahbah az-Zuhaili:150

"Pembunuhan adalah suatu perbuatan mematikan; atau perbuatan seseorang

yang dapat menghilangkan nyawa; artinya pembunuhan itu dapat

menghancurkan bangunan kemanusiaan."

Allah telah memberikan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan qisas.

Hal ini tercantum dalam al-Qur'an:

في القصاص عليكم كتب آمنوا الذين أيها يا

151 القتلى

152 بالنفس النفس أن فيها عليهم كتبنا و

Jadi berdasarkan ayat di atas dokter sebagai pelaku pembunuhan harus

dihukum qisas, hal ini sebagai konsekuensi pertama yang dihadapi oleh dokter

sebagai pihak pembunuh. Pada dasarnya Allah melarang pembunuhan apapun

jenisnya, dan Allah memberikan hukuman berupa qisas yang merupakan hak Allah

atas manusia, karena Allah sebagai sang khaliq menyuruh umatnya agar senantiasa

memelihara jiwa, sebagai unsur utama kehidupan manusia, tetapi Allah juga

150 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, cet ke-3 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VI: 217.

151 Al-Baqarah (2): 178.

152 Al-Maidah (5): 45.

87

Page 88: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

memberikan hak kepada keluarga si terbunuh dengan tuntutan, tuntutan itu bisa

berupa qisas (sebagai balasan), diyat (bila pembunuh dimaafkan) dan bisa juga

dimaafkan secara mutlak. Hal ini tergantung tuntutan apa yang akan dilakukan pihak

keluarga atau ahli warisnya. Dalam hal ini dokter mempunyai suatu dispensasi dari

pihak pasien (si terbunuh) berupa (kerelaan atau izin), dan persetujuan dari pihak

keluarga.

Dalam hal ini si pasien sebagai pemilik jiwa telah merelakan atau memberi

izin kepada dokter. Masalah yang timbul adalah, apakah pelaku (dokter) terkena

hukuman atau tidak dalam kasus euthanasia yang mana si korban sebagai pemilik

jiwa, atau keluarga sebagai wali ad-dam telah merelakan bahkan menganjurkannya.

Dalam hal ini Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa

para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang

disuruh sendiri oleh si korban dengan disetujui walinya. Di antara mereka ada yang

berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qisas terhadap pelaku.153

Menurut Hanafiyah:

عليه المجني برضا القصاص يسقط

Gugurnya qisas disebabkan oleh adanya kerelaan atau izin korban yang dapat

dipersamakan dengan pemaafan. Oleh karena itu, hukuman berpindah kepada diyat.

Selain itu, kerelaan itu menjadi syubhat yang dapat menggugurkan hudud.154

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hanifah, Abu yusuf dan Muhammad mereka

153 Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia. hlm.74.

154 Abdul al-Qadir Audah, al-tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-wad'i (Beirut: Muassasat ar-Risalat,1992) I: 440-441

88

Page 89: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

sama-sama memberikan sanksinya berupa diyat, karena adanya pemberian izin, dan

pemberian izin itu menimbulkan syubhat (kesamaran).155

Pendapat ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah, yakni:

156 بالشبهات الحدود ادرؤوا

Pendapat Malikiyah yang arjah (lebih kuat) dan sebagian Syafi'iyah:

المجني برضا الدية و القصاص عقوبتى يسقط

عليه

Kerelaan korban dapat dipersamakan dengan pemaafan baik dari hukuman

asli (qisas) maupun penggantinya (diyat). Pemaafan dari korban itu lebih utama dari

pada keluarga sebab pemaafan itu menjadi hak bagi korban.157

Menurut ulama Syafi'iyah dan Imam Ahmad dalam kasus euthanasia ini tidak

ada sanksi qisas dan diyat, meskipun tidak berarti menghapuskan hukuman ta'zir.

Karena si pasien telah memaafkan dari sanksi dan rela untuk dibunuh itu sama

dengan memberi maaf.158

Dari pendapat-pendapat di atas, semuanya tidak ada yang menetapkan sanksi

hukum atas kerelaan atau izin ini dengan sanksi qisas (hukuman asli), walaupun Abu

155 Ibid., hlm. 441-442

156ِِAl-Hafid Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Kitab al-Hudud Bab az-Zina, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), hlm. 260, Hadis nomer. 1247, HR Baihaqi dari Ali RA

157 Abd Qadir 'Audah. At-Tasyri, hlm.441-442.

158 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. ke-5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 191

89

Page 90: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Hanifah (beserta pengikutnya) Abu Yusuf dan Muhammad menetapkan hukum atas

adanya unsur kerelaan ini dengan diyat (hukuman pengganti).

Diyat ada dua macam yaitu diyat mugalazah dan diyat mukhafafah. Menurut

Malikiyah pada pembunuhan disengaja dikenakan diyat mugalazah apabila

waliyuddam menerimanya. Dan jumlah dari pembayaran diyat mugalazah adalah

seratus ekor unta yang empat puluh di antaranya sedang bunting.

Dari hal ini, jika melihat hal di atas berarti dokter yang mengeuthanasia

mendapat hukuman berupa diyat mughaladzhah karena telah dimaafkan oleh pihak

keluarga, tetapi dalam hal ini apakah dokter sebagai orang lain bagi pasien dan

keluarga yang sudah melaksanakan euthanasia atas permintaan pasien dan

persetujuan keluarga sehingga mendapat hukuman diyat, mau menerima hukuman

tersebut, jika dia sudah tahu akan konsekuensinya. Sedangkan jumlah yang harus

dikeluarkan dari ketentuan diyat sendiri tidak sedikit, yaitu berupa seratus ekor unta

yang empat puluh diantaranya sedang bunting, atau harta (uang atau barang ) yang

senilai dengannya. Otomatis dokter tidak akan mau jika harus membayar diyat,

karena berarti dokter sebagai pihak yang membantu malah mendapatkan kerugian.

Jadi dari hal ini dokter terbebas dari hukuman qisas (sebagai hukuman asli) juga

diyat (sebagai hukuman pengganti). Karena fungsi diyat adalah untuk kemaslahatan

keluarga si pasien (si terbunuh). Sedangkan tindakan dokter telah disetujui pihak

keluarga pasien. Dan pihak keluarga atau ahli warisnya juga telah memaafkan secara

mutlak maka tidak ada hukuman diyat baginya.

Pada dasarnya hukuman qisas tidak dapat diganti dengan hukuman yang

dibuat oleh manusia, namun pihak korban atau ahli warisnya diberi hak tuntutan,

90

Page 91: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

oleh karena itu hak Allah yang berupa qisas dapat diganti dengan hukuman diyat

yang merupakan hak manusia. Allah berfirman dalam al-Qur'an:

و بالمعروف فاتباع شيئ أخيه من له عفي فمن

159 باحسان اليه اداء

Adanya hukuman pengganti pada jarimah qisas ini disebabkan adanya

pemaafan dari sikorban atau wali atau ahli warisnya. Hal itu dimungkinkan, sebab

jarimah qisas merupakan hak adami hak perseorangan. Oleh karena itu, kalau

sikorban (masih hidup) atau ahli waris (jika korban mati) memaafkan pembuat

jarimah, hukuman qisaspun menjadi gugur digantikan dengan hukuman diyat.

Apabila korban atau keluarganya memaafkan diyat ini, dapat dihapus dan sebagai

penggantinya hakim akan menjatuhkan hukuman ta'zir.160 Singkatnya, sanksi ta'zir

dapat dijatuhkan terhadap pembunuh, maka sanksi qisas tidak dapat dilaksanakan

karena tidak memenuhi syarat.

Dalam tindak pidana pembunuhan. hukum Islam memberikan kedudukan

kepada keluarga korban secara bijaksana untuk turut ambil bagian di dalam

menentukan kebijaksanaan hukuman terhadap pelaku pembunuhan dengan

memberikan kesempatan kepada pelakunya apakah harus diqisas atau diyat, atau juga

memberi maaf secara mutlak. Keterlibatan keluarga pihak korban, ini sangat berarti

bagi pelaku tindak pidana maupun bagi keluarga si korban. karena korban (si pasien)

atau walinya mempunyai hak untuk membebaskan pembunuh dari sanksi hukuman

159 Al-Baqarah (2): 178

160 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, hlm126

91

Page 92: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

qisas dan diyat, baik kedua-duanya atau diganti dengan sanksi lain. Dengan melihat

bahwa izin (persetujuan) dapat menghapuskan hukuman, maka izin tersebut

merupakan pemaafan yang didahulukan.

Hukuman ta'zir yang diberikan kepada pembunuh sengaja yang dimaafkan

dari qisas dan diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Karena

pembunuhan itu tidak hanya berurusan dengan hak perseorangan, melainkan juga hak

jamaah. Maka ta'zir itulah sebagai sanksi hak masyarakat. Dan ta'zir itu tergantung

kepada kemaslahatan:161

المصلحة مع يدور التعزير

Adanya kaidah ini merupakan wujud dinamisasi hukum pidana Islam dalam

menjawab bentuk-bentuk kejahatan baru yang belum ada aturannya sehingga setiap

bentuk kejahatan baru yang dianggap telah merusak ketenangan dan ketertiban

umum dapat dituntut dan dihukum.

161 A. Djazuli, Fiqh Jinayah. hlm. 162.

92

Page 93: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

EUTHANASIADALAM PRESPEKTIF FIQH JINAYAH

93

Page 94: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU

DALAM ILMU HUKUM ISLAM

OLEH:

MUKHLISIN9937 3425

PEMBIMBING

DRS. OMAN FATHUROHMAN SW, M. AgDRS. SLAMET KHILMI

JURUSAN JINAYAH SIYASAHFAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA

2004

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an

Al-Qur'an Karim, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1404. H

Hadis

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Ja'fi al-, Sahih al-Bukhari, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Daruquthni, Ali bin 'Amr Abu al-Husyain al-, Sunan al-Daruqutni, 3 jilid, Beirut:

Dar al-Ma'rifah, 1996.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.

94

Page 95: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, 2 jilid, Beirut: Dar Ihya al-Kitab al-Arabiyah, t.t.

Maraghi, Musthafa al-, Tafsir al-Maraghi, 30 jilid, Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, 1971.

Nasai', Abd ar-Rahman Ahmad ibn Suaib ibn Ali ibn Bahr an-, Sunan an-Nasai', 8 jilid, Mesir: al-Bab al-Halabi wa al-Audah, 1994.

San'ani, Muhammad ibn Ismail ibn Salah al-Amir al-Kahlani al-, Subul as-Salam Syarah Bulug al-Maram, Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.

Fiqh dan Usul Fiqih

Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri' al-Jina'i al-Islami Muqaranah bi al-Qanun al-Wad'i, 2 jilid, Beirut: Muassasat ar-Risalat, 1992.

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menaggulangi kejahatan dalam Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.Anwar Harjono, Hukum Islam (keluasan dan keadilannya), Jakarta: Bulan Bintang,

1968.

Charis, Zubir A., Etika Rekayasa menurut konsep Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Haliman, Hukum Pidana Syari'at Islam menurut ajaran ahlus sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.

Ibnu Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Qurtuby, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, 2 jilid, Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.

Jaih mubarok, dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Madjrie, Abdurrahman dan Fauzan al-Anshari, Qisas pembalasan yang hak, Jakarta: Khairul Bayan, 2003.

Mawardi, Imam al-, al-Ahkam as-Sultaniyah, (Prinsip-prinsip penyelenggaraan Negara Islam), alih bahasa: Fadhli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2000.

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV Haji Masagung, 1994.

95

Page 96: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Mukti, Ali Ghufron dan Adi Heru Sutomo, Abortus, bayi tabung, Euthanasia, transplantasi ginjal, dan operasi kelamin, dalam tinjauan medis, hukum, dan agama Islam, Yogyakarta: Aditya media,1993.

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. Qardhawi, Yusuf al-, Fatwa-fatwa kontemporer, alih bahasa As'ad Yasin, Jakarta:

Gema Insani Press, 1996.

…., Halal dan Haram dalam Islam, terj. Oleh Drs. Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Jakarta: Robbani Press, 2000.

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung: Pustaka Setia, 2000. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, alih bahasa A. Ali, Bandung: PT. al-Ma'arif, 1997.

Supriadi, Wila Chandrawila, hukum kedokteran, Bandung: Mandar Maju, 2001.

Syairazi, Abi Ishaq Ibrahim ibn Ali ibn Yusuf al-Fairuz Abadi asy-, al-Muhazzab, Surabaya: Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan, t.t.

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy-Syamil Press, 2001.

Yanggo, Chuzaimah T. dan A. Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer edisi ke-4 edisi revisi, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002.

Zuhaili, Wahbah az-, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 8 jilid, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

Buku lain-lain

Abdul Jamali, dkk, Tanggung jawab Hukum Seorang Dokter dalam menangani Pasien, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1990.

Adji, Oemar Seno, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Jakarta: Erlangga, 1991.

Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Jakarta: Widya Medika, 1997.

Djoko Prakoso, dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.

96

Page 97: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

F.Tengker, Mengapa Euthanasia? Kemampuan Medis & Konsekuensi Yuridis, Bandung: Nova, t.t.

R. Soesilo, Kitab undang-undang hukum pidana ( KUHP) serta komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politeia, 1996.

Ali Akbar, Etika Kedokteran Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1988.

Carm, Piet Go O, Euthanasia Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik, Malang: Analekta Keuskupan Malang, 1989.

Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1987), Vol.2 : 978, Artikel Euthanasia

Guwandi J, Kumpulan Kasus Bioethics & Biolaw, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.

Imron Halimi, Euthanasia cara mati terhormat orang modern, Solo: CV. Ramadhani, 1990.

Kartono Mohamad, Teknologi Modern Dan Tantangannya Terhadap Bioetika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.

Sudibyo Soepardi, Kode Etik Kedokteran Islam (Islamic code of medical ethics), Jakarta: Akademika Pressindo, 2001.

Samil, Ratna Suprapti, ed, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Metro Kencana, 1980.

Shannon, Thomas A,Pengantar Bioetika, alih bahasa. K Bartens, Jakarta: Gramedia, 1995.

Sudarmo, H.R. Siswo, Euthanasia Bagaimana Sikap Seorang Dokter, Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis. Yogyakarta: FKMPY, 1990.

Widyana, J. Chr Purwa, "Euthanasia" beberapa soal moral berhubungan dengan quantum, Antropologi Teologis II, 1974.

97

Page 98: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Drs. Oman Fathurohman SW, M AgDosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan KalijagaNOTA DINAS

Hal : Skripsi Saudara Mukhlisin Kepada Yth :

Dekan fakultas Syari’ah

UIN Sunan Kalijaga

Di Yogyakarta

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka

menurut kami skripsi saudara:

Nama : Mukhlisin

NIM : 9937 3425

Judul : “Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah”

Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar

sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk

itu kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 3 Rajab 1425 H

98

Page 99: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

19 Agustus 2004

Pembimbing I

Drs. Oman Fathurohman SW, M.Ag

NIP: 150 222 295

Drs. Slamet Khilmi

Dosen Fakultas Syari’ahUIN Sunan KalijagaNOTA DINAS

Hal : Skripsi Saudara Mukhlisin Kepada Yth :

Dekan Fakultas Syari’ah

UIN Sunan kalijaga

Di Yogyakarta

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka

menurut kami skripsi saudara:

Nama : Mukhlisin

NIM : 9937 3425

Judul : “Euthanasia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah”

Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar

sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqosyahkan. Untuk

itu kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 3 Rajab 1425 H

19 Agustus 2004

Pembimbing II

Drs. Slamet Khilmi NIP: 150 252 260

99

Page 100: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

PENGESAHAN

Skripsi berjudul

“Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah”

yang disusun oleh

MUKHLISIN

NIM: 9937 3425

Telah dimunaqosyahkan di depan sidang munaqosyah pada tanggal 25 September 2004/10 Sya'ban 1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.

Yogyakarta, 10 Sya'ban 1425 H

25 September 2004

Dekan Fakultas Syari’ah

Drs. H. Malik Madany, MA

NIP: 150 182 698

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Drs. H. Fuad Zein, MA Fatma Amilia NIP: 150 228 207 NIP: 150 277 618

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Oman Fathurohman SW. MAg Drs. Slamet Khilmi NIP: 150 222 295 NIP: 150 252 260

Penguji I Penguji II

Drs. Oman Fathurohman SW. MAg Drs. H. Fuad Zein. MA NIP: 150 222 295 NIP: 150 228 207

100

Page 101: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman

pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987

I. Konsonan Tunggal

Huruf ArabNama Huruf Latin N a m a

ابتثجحخدذرزسشصضطظعغفقكلمنو هـ

ء

Alif

bâ’

tâ’

s|â’

jim

ha

khâ’

dâl

zal

râ’

zai

sin

syin

Sâd

dâd

tâ’

dad

‘ain

gain

fâ’

qâf

kâf

lâm

mim

nûn

waû

hâ’

hamzah

tidak dilambangkan

b

t

S

j

h

kh

d

Z

r

z

s

sy

S

d

t

Z

g

f

q

k

l

m

n

w

h

`

tidak dilambangkan

be

te

es (dengan titik di atas)

je

ha (dengan titik di bawah)

ka dan ha

de

zet (dengan titik di atas)

er

zet

es

es dan ye

es (dengan titik di bawah)

de (dengan titik di bawah)

te (dengan titik di bawah)

zet (dengan titik di bawah)

koma terbalik di atas

ge

ef

qi

ka

`el

`em

`en

w

ha

apostrof

101

Page 102: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

ي yâ’ y ye

II. Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap

متعmددة

عدmة

ditulis

ditulis

muta`addidah

`iddah

III. Ta’ marbutah di akhir kata

1. Bila dimatikan ditulis h

حكمة

علة

ditulis

ditulis

hikmah

`illah

(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

2. Bila diikuti dengan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis dengan h.

األولياء كرامةditulis

karâmah al-aûliyâ`

3. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan dammah ditulis

t atau h.

الفطر زكاةditulis

zakâh al-fitri

IV. Vokal Pendek

_َ__

فعل

fathah

kasrah

ditulis

ditulis

a

fa’ala

102

Page 103: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

___

ذكر

__ُ_

يذهب

dammah

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

i

zukira

u

yazhabu

V. Vokal Panjang

1

2

3

4

fathah + alif

جاهليةfathah + yâ’ mati

تنسىkasrah + yâ’ mati

كـريمdammah + waû mati

فروض

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

â

jâhiliyyah

â

tansâ

i

karîm

û

furûd

VI. Vokal Rangkap

1

2

fathah + yâ’ mati

بينكم

fathah + waû mati

قول

ditulis

ditulis

ditulis

ditulis

ai

bainakum

qaûl

VII. Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

أأنتم

تأعد

شكرتم لئن

ditulis

ditulis

ditulis

A’antum

u’iddatla’in syakartum

103

Page 104: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

VIII. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf “l”.

القرآن

القياس

ditulis

ditulis

al-Qur`ân

al-Qiyâs

2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el) nya.

السمآء

الشمس

ditulis

ditulis

as-Samâ`

asy-Syams

IX. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat

Ditulis menurut penulisannya.

الفروض ذوي

السنة أهل

ditulis

ditulis

zawi al-furûd

ahl as-sunnah

LAMPIRAN I

NO

1

2

HLM

6

FOOTNOTE

10

11

BABBAB IJanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar, demikian itu yang diperintahkan

104

Page 105: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

3

4

12

13

oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Dialah (Allah) yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar.

5

6

7

89

10

11

12

1314

15

16

17

50

53

54

55

56

57

5860

61

4

13

19

2021

23

24

26

2831

32

33

34

BAB IIIJinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan syara', baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta benda, maupun selain jiwa dan harta benda.Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka baginya hukum qawad (qisas).Kamu dan hartamu milik (kepunyaan) bapakmu.Tidak diqawad (hukum qissas) bapak (karena membunuh) anak.Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.Dan Kami telah tetapkan kepada mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.Rasulullah Muhammad SAW mengqisas seorang muslim karena ia membunuh orang yahudi, menurut ar-Ramady diqawad muslim karena membunuh dzimmi. Dan Rasul bersabda Aku lebih berhak memutuskan terhadap orang (muslim) dan terhadap dzimi dalam hal ini.Orang-orang Islam terpelihara darahnya.Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba.Barang siapa menghukum bunuh terhadap orang yang telah membunuhnya maka baginya dua pilihan yang baik; ada kalanya ia meminta diat dan ada kalanya ia menghukum qisas.Barang siapa yang membunuh maka ia dihadapkan kepada dua pilihan adakalanya dimaafkan dan adakalanya diqawad.

105

Page 106: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

18

19

20

21

22

23

66

67

68

70

46

47

50

51

54

58

Hukuman pertama sebagai pengganti hukum qisas, baik karena sebab-sebab yang menghalangi hukum qisas ataupun sebab-sebab yang telah ditetapkan, maka apabila memperoleh pemaafan maka menjadi pembayaran diat.Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.Dalam pembunuhan tersalah, serupa sengaja, dengan cambuk, tongkat dan batu, diatnya adalah seratus ekor unta yang di dalamnya, 40 syaniyah sampai tahunnya sempurna dan khalifah.Diat kesalahan adalah lima bagian, 20 hiqqah, 20 jadz'ah, 20 banat makhadz, 20 banat labun, dan 20 bani labun. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.

24

25

26

27

28

29

30

77

78

85

87

1

2

3

4

14

16

19

BAB IVDan sesungguhnya benar-benar Kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan Kami (pulalah) yang mewarisi.Dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan mengidupkan.Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka apabila telah datang ajalnya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakannya azab yang besar baginya.Dan apabila aku sakit Dialah yang menyembuhkan aku.Dan Dialah (Allah) yang telah menghidupkan kamu,

106

Page 107: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

31

32

33

34

35

3637

88

90

92

9396

20

23

24

28

31

3339

kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar.Janganlah kamu membunuh dirimu (saudaramu). Sesungguhnya Allah Penyayang kepadamu.Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.Dan telah Kami tetapkan didalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa.Hindari (penjatuhan) hukuman had (karena) adanya kesamaran (syubhat).Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.Ta'zir berputar karena kemaslahatannya.Tidak diqawad (qisas) ayah (karena membunuh) anak.

LAMPIRAN II

BIOGRAFI ULAMA

Abd Qadir 'Audah

Beliau adalah seorang ulama terkenal alumnus Fakultas Hukum Universitas al-Azhar Cairo pada tahun 1930, dan sebagai mahasiswa terbaik, beliau juga seorang tokoh ulama dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai Hakim yang disegani rakyat, beliau turut mengambil bagian dalam memutuskan revolusi Mesir yang berhasil

107

Page 108: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

gemilang pada tahun 1952, dipelopori oleh kolonel Gamal Abdul Nasher. Beliau meninggal ditiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan politiknya pada tanggal 8 desember 1954. Diantara hasil karyanya ialah kitab at-Tasyri' al-Jina'I al-Islami.

Al-Bukhari

Beliau nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail ibn Ibrahim al-Mughirah binj Bardzibaz al-Ja'far al-Bukhari, lahir di Bukhara pada tanggal 13 Syawal 194 H/ 810 M. Dan wafat pada tahun 256 H. Kemudian beliau pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada para fuqaha dan muhaddisin. Lalu bermukim di Madinah dan menyusun kitab at-Tarik al-Kabir. Pada masa mudanya beliau telah hafal 70.000 hadis beserta sanadnya, karyanya yang paling terkenal adalah kitab hadis shahih al-Bukhari. Guru-guru beliau adalah: Ibrahim al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Ali bin al-Madani dan Ibnu Ruhuwaih.

As-Sayid Sabiq

Beliau adalah seorang ulama terkenaldari Universitas al-Azhar Cairo, beliau dilahirkan tahun 1365 H. Banyak menulis berbagai kitab baik mengenai masalah agama ataupun politik. Beliau sebagai penganjur ijtihad yang mengajarkan kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Pada tahun 1950 an M, beliau mendapat gelar profesor dalam jurusan Ilmu Hukum Islam pada Universitas Fuad I. Karyanya yang terkenal adalah kitab Fiqh Sunnah.

Yusuf al-Qardawi

Beliau nama lengkapnya ialah Yusuf Abdullah al-Qardawi, dilahirkan pada tahun 1926 di desa Sifit Turab, Mesir. Yusuf kecil sudah bisa hafal al-Qur'an 30 juz, dengan fasih dan sempurna tajwidnya pada usia 10 tahun. Setelah menamatkan sekolah Dasar, Yusuf melanjutkan ke Ma'had Tanta, terus dilanjutkan lagi di Universitas al-Azhar Cairo. Bidang study yang diambilnya adalah bidang study Agama Fakultas Ushuluddin, setelah tamat pada tahun 1953, kemudian beliau melanjutkan lagi ke Ma'had al-Buhus wad Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah, sampai mendaptkan Diploma tinggi di bidang bahasa dan sastra, pada saat yang sama juga mengambil bidang study al-Qur'an dan as-Sunnah, dan selesai pada tahun 1960 pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar Mesir dan dilanjutkan pada program Doktoral dengan Disertasi berjudul Fiqhuz Zakat, dengan mendapatkan predikat Cumlaude. Beberapa karyanya telah dipublikasikan diantaranya: al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, al-Iman wa al-Hayat, al-Ibadat fi al-Islam, Muskilat al-Fakr wa kaifa alajaha al-Islam dan Fatwa-Fatwa kontemporer.

108

Page 109: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

LAMPIRAN III

CURRICULUM VITAE

1. Nama : Mukhlisin

2. Tempat Tanggal Lahir : Cilacap, 19 Mei 1981

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Agama : Islam

5. Alamat Asal : Suru Sunda 02/III Karang Pucung Cilacap 53255

6. Alamat di Yogyakarta : Jl.Manggis 64. Wisma Gasenwa Gaten CC

7. Nama Ayah : Maktubillah Muhammad

8. Pekerjaan : PNS.

9. Nama Ibu : Supriyatni

10. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

109

Page 110: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Riwayat Pendidikan :

1. SD Islam al-Hidayah, masuk tahun 1986, lulus tahun 1992.

2. Madrasah Muallimin Al-Hikmah Bumiayu, masuk tahun 1992, sampai tahun

1994.

3. MTs El-Bayan Bendasari Majenang, masuk tahun 1994, lulus tahun 1995.

4. MA Al-Hikmah 1 Bumiayu, MA Muhammadiyah Majenang, MA El-Bayan

Majenang, ketiganya pada tahun yang sama (tahun 1995 sampai 1996) dan

tidak lulus.

5. MAN Cigaru Majenang, Cilacap, masuk pada tahun 1996, lulus tahun 1999.

6. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, masuk tahun 1999.

Skripsi berjudul

“Euthanasia Dalam Prespektif Fiqh Jinayah”

yang disusun oleh

MUKHLISIN

NIM: 9937 3425

Telah dimunaqosyahkan di depan sidang munaqosyah pada tanggal 25 September 2004/10 Sya'ban 1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.

Yogyakarta, 10 Sya'ban 1425 H

25 September 2004

Dekan Fakultas Syari’ah

Drs. H. Malik Madany, MA

NIP: 150 182 698

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

110

Page 111: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Dr. H. Fuad Zein, MA Fatma Amilia NIP: 150 228 207 NIP: 150 277 618

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Oman Fathurohman SW. MAg Drs. Slamet Khilmi NIP: 150 222 295 NIP: 150 252 260

Penguji I Penguji II

Drs. Oman Fathurohman SW. MAg Drs. H. Fuad Zein. MA NIP: 150 222 295 NIP: 150 228 207

MOTO

"Tuhan berikan manusia berupa raga, dengan raga manusia dapat bergerak tetapi Tuhan juga memberi kita jiwa, dengan jiwa manusia lebih berarti bahwa dia seorang manusia, tetapi kadang manusia lupa, dia terlena oleh buaian duniawi, baik harta, kuasa, rasa; kadang manusia ingin lebih dari apa yang ada padanya, maka Tuhan juga memberi kita fikiran agar bisa melindungi diri." "Dunia itu hampa tanpa ilmu, percuma apa yang ada didunia jika ilmu tak menghiasinya."

"Carilah sesuatu yang baik dari apa yang engkau alami disekitarmu"

"Tuangkanlah apa yang ada dihati dan difikiran dengan tanganmu lewat penamu supaya orang bisa menimba dari apa yang kamu bisa."

111

Page 112: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

KATA PENGANTAR

الرحيم الرحمن الله بسم

أمور على نستعين , وبهالعالمين ربm لله الحمد الحق الملك الله إال إله ال أن الدين, أشهد و الدنيا

المبعوث رسوله و عبده محمدا أن أشهد المبين, و اشرف على والسmالم الصmالة للعالمين, و رحمة واصحابه اله وعلى محمد ينوالمرسل األنبياء

: أمmابعد,اجمعينSelesainya penyusunan skripsi ini, yang bagi penyusun merupakan beban

yang sangat berat, karena menguras banyak tenaga dan pikiran, memberikan

kebahagiaan yang tak ternilai bagi penyusun.

Oleh karena itu, sebuah hal yang sangat wajar apabila penyusun

mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

bantuannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Untuk lebih rincinya penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak. Drs. H. A. Malik Madany, MA, sebagai Dekan Fakultas Syari’ah.

112

Page 113: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

2. Bapak. Drs. Oman Fathurohman SW, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I, atas

waktunya untuk membimbing dan memberi dorongan, sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan.

3. Bapak. Drs. Slamet Khilmi, selaku Dosen Pembimbing II, atas waktu dan

bimbingan, baik tekhnis maupun isi serta arahan-arahan dalam penyusunan

skripsi ini, sehingga skripsi ini selesai.

4. Kedua Oarang Tua, (Bapa) Maktubillah Muhammad dan (Ibu) Supriyatni. Dan

Adikkku, Kamilatu Syifa. Atas dukungannya baik do'a, moril, maupun materiil.

5. Sahabat-sahabatku, Afiyah Solikhakh, Mas Arifin, Sayarif Hidayat, Eggi, Imam,

Iwan dan teman-temanku yang lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas

bantuannya dan dukungannya.

6. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas bantuannya dan

dukungannya, penyusun hanya dapat membalas dengan doa, semoga perbuatan

baik tersebut diterima Allah SWT dan mendapat balasan yang berlipat ganda.

Penyusun menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan

masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik maupun saran yang bersifat

membangun sangat kami harapkan dan akan kami terima dengan kerendahan hati

guna memperbaiki tugas kami selanjutnya

Harapan kami adalah semoga skripsi ini dapat menambah wawasan keilmuan

dan bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penyusun dan pembaca pada

umumnya. Amin.

Yogyakarta, 17 Jumadil Akhir 1425 H 4 Agustus 2004

113

Page 114: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Penyusun

MukhlisinNIM: 9937 3425

ABSTRAK

Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, menjadikan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Di antara sekian banyaknya penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan perkembangan teknologi di bidang kedokteran, diagnose mengenai penyakit dapat lebih sempurna dilakukan. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif.

Dengan peralatan kedokteran yang modern itu, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien pun dapat diperpanjang untuk sesuatu jangka waktu tertentu, bahkan perhitungan saat kematian seorang pasien dapat dilakukan secara lebih tepat. Dari hal inilah kemudian banyak pasien yang karena penyakitnya yang akut, dengan dukungan keluarga, memutuskan untuk mengakhiri kehidupannya dengan jalan euthanasia.

Secara umum euthanasia dibedakan menjadi dua, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif, yaitu tindakan terapi dengan harapan dapat mempercepat kematian pasien. Euthanasia pasif, yaitu perbuatan yang membiarkan pasien meninggal. Biasanya dilakukan penghentian terapi yang memperpanjang hidupnya, misalnya menghentikan pemberian infus, menunda operasi, membawanya pulang, dan sebagainya.

Euthanasia, terutama euthanasia aktif merupakan suatu tindakan pembunuhan walaupun atas dasar persetujuan si terbunuh, karena makna pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa seseorang yang dapat menghancurkan bangunan hidup manusia. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena sakit yang sangat akut dan menderita atau biaya yang amat terbatas, maka dapat dilakukan dua cara: 1. menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah; 2. membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.

Euthanasia adalah sebagai bentuk pembunuhan yang disengaja, apapun bentuknya pembunuhan, Allah melarang melakukannya, dan Allah mengingatkannya dengan bentuk ancaman dalam al-Qur'an yaitu berupa neraka jahannam.

Dalam al-Qur'an tidak ada satupun ayat yang jelas yang menyinggung masalah euthanasia ini. Dalam fiqh jinayah euthanasia termasuk ke dalam jenis pembunuhan, yaitu telah memenuhi unsur maddi, syar'i dan adabi. Dan euthanasia ini merupakan jenis pembunuhan sengaja, maka sanksi atas tindakan euthanasia ini, adalah qisas.

114

Page 115: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

Dokter mendapatkan sanksi berupa qisas, tetapi tindakan dokter dilakukan atas izin dari pasien dan atas persetujuan dari keluarga pasien. Maka dokter tidak dihukum qisas, karena salah satu yang menyebabkan gugurnya hukum qisas adalah adanya kerelaan atau izin dari siterbunuh. Dan juga unsur kerelaan dalam pembunuhan merupakan syubhat yang dapat menggugurkan hukuman. Tetapi mengingat masalah euthanasia ini tidak hanya berimbas bagi orang perseorangan melainkan juga bagi masyarakat sekitar maka kemudian hakim atau ulul amri berhak memberikan hukuman berupa ta'zir.

115

Page 116: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah menguraikan dan menjelaskan dalam bab-bab sebelumnya mengenai

"Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah", dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Dalam pandangan Fiqh Jinayah, euthanasia termasuk kedalam bentuk

pembunuhan, walaupun atas permintaan si terbunuh, karena dalam masalah

euthanasia ini terdapat unsur penghilangan nyawa, sedangkan makna

pembunuhan tersebut adalah: "Perbuatan perampasan atau peniadaan nyawa

seseorang oleh orang lain yang mengakibatkan tidak berfungsinya seluruh

anggota badan disebabkan ketiadaan roh sebagai unsur utama untuk

menggerakan tubuh". Dan tindakan atas euthanasia tetap dilarang, tetapi sanksi

hukumnyanya adalah ta'zir, karena perbuatan euthanasia terdapat unsur

syubhat yang dapat menghilangkan hukuman asli (qisas) dan juga hukuman

pengganti (diyat) karena terdapat persetujuan keluarga, sedangkan fungsi diyat

tersebut untuk ganti rugi atas tindakan yang telah dilakukan pelaku untuk

kelangsungan hidup pihak wali atau ahli waris terbunuh.

116

Page 117: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

B. SARAN-SARAN

Setelah menguraikan dan menjelaskan serta menyimpulkan tentang skripsi

yang berjudul tentang "Euthanasia dalam Prespektif Fiqh Jinayah", maka dapat

diberi saran-saran, antara lain:

1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih

baik tidak memungkinkan lagi, baik karena sakit yang sangat akut dan

menderita atau biaya yang amat terbatas, maka dapat dilakukan dua cara: 1)

menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien ke rumah; 2)

membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud

melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.

2. Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang

memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan

yang datang dari Allah. Hal itu hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran

dan tawakal.

3. Perlu kiranya dalam Fiqh Jinayah diberikan kompilasi dan kodifikasi hukum

Islam atas persoalan-persoalan jinayah (pidana) kontemporer, agar

masyarakat lebih tahu akan sikap yang akan dilakukan dan sebagai bahan

pendidikan bagi masyarakat muslim yang mempelajarinya khususnya.

117

Page 118: euthanasia dalam perspektif fiqih jinayah

118