27
55 1 Disampaikan pada Workshop Nasional “Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin”, Bogor, 22 Pebruari 2006 2 Laboratorium Ekologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB - Bogor. EVALUASI DAN PENYESUAIAN SISTEM SILVIKULTUR HUTAN RAWA GAMBUT, KHUSUSNYA JENIS RAMIN (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) DI INDONESIA 1) Oleh : Istomo 2) ABSTRACT Indonesia ranks as the fourth largest in the world in terms of possession of tropical peat land. Originally, most of the peat land was in the form of production forest, managed under forest concession system (HPH) or which is now referred to as IUPHHK (permit for utilization of wood forest product). Peat swamp forest is famous and their wood is exploited due to existence of one commercial tree species, namely ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.). Silvicultural systems used in utilization of peat swamp forest were Indonesian selective cutting (TPI) (year 1972), Indonesian selective cutting and planting (TPTI) (year 1989), and improved silvicultural system in year 1996. However, inconsistence in the application of silvicultural system, over exploitation, weak supervision by the government, lack of concern by the forest concession company in sustainable forest management, illegal logging, forest conversion and forest fire, makes most peat swamp forest in Indonesia become degraded forest. Degradation of peat swamp forest causes not only the reduction of productivity and function, social function and environmental function. Even, each year, such degraded forest become sources of disaster in the form of forest fire (smoke) and flood (destruction of hydrology system). Therefore, for maintaining the existing forest and rehabilitating the degraded forest, there is a need for appropriate silvicultural system and practices, particularly for salvaging and cultivating ramin species (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) to prevent extinction. Rehabilitation of such degraded peat swamp forest should become a part of strategy and action plan for Peat Land Sustainable Management, which is now under preparation Kata kunci : Degradasi, rehabilitasi, sistem silvikultur intensif, penanaman jalur dan ramin. PENDAHULUAN Indonesia mempunyai hutan rawa gambut terbesar keempat di dunia setelah Canada, Rusia, dan Amerika Serikat, namun Indonesia menempati urutan pertama untuk luasan gambut tropika di Dunia. Jika luas lahan

EVALUASI DAN PENYESUAIAN SISTEM ... - forda-mof.org · dalam bentuk kandungan mineral atau unsur hara yang disimpan pada bagian tumbuhan dalam bentuk biomassa di atas tanah. Hutan

  • Upload
    phamdan

  • View
    234

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

55

1 Disampaikan pada Workshop Nasional “Policy Option On The Conservation And Utilization Of Ramin”,Bogor, 22 Pebruari 2006

2 Laboratorium Ekologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB - Bogor.

EVALUASI DAN PENYESUAIAN SISTEMSILVIKULTUR HUTAN RAWA GAMBUT,KHUSUSNYA JENIS RAMIN (Gonystylusbancanus (Miq.) Kurz.) DI INDONESIA1)

Oleh : Istomo2)

ABSTRACT

Indonesia ranks as the fourth largest in the world in terms of possession of tropical peatland. Originally, most of the peat land was in the form of production forest, managedunder forest concession system (HPH) or which is now referred to as IUPHHK (permit forutilization of wood forest product). Peat swamp forest is famous and their wood isexploited due to existence of one commercial tree species, namely ramin (Gonystylusbancanus (Miq.) Kurz.). Silvicultural systems used in utilization of peat swamp forestwere Indonesian selective cutting (TPI) (year 1972), Indonesian selective cutting andplanting (TPTI) (year 1989), and improved silvicultural system in year 1996. However,inconsistence in the application of silvicultural system, over exploitation, weaksupervision by the government, lack of concern by the forest concession company insustainable forest management, illegal logging, forest conversion and forest fire, makesmost peat swamp forest in Indonesia become degraded forest. Degradation of peatswamp forest causes not only the reduction of productivity and function, social functionand environmental function. Even, each year, such degraded forest become sources ofdisaster in the form of forest fire (smoke) and flood (destruction of hydrology system).Therefore, for maintaining the existing forest and rehabilitating the degraded forest, thereis a need for appropriate silvicultural system and practices, particularly for salvaging andcultivating ramin species (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.) to prevent extinction.Rehabilitation of such degraded peat swamp forest should become a part of strategy andaction plan for Peat Land Sustainable Management, which is now under preparation

Kata kunci : Degradasi, rehabilitasi, sistem silvikultur intensif, penanaman jalur dan ramin.

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai hutan rawa gambut terbesar keempat di duniasetelah Canada, Rusia, dan Amerika Serikat, namun Indonesia menempatiurutan pertama untuk luasan gambut tropika di Dunia. Jika luas lahan

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

56

gambut tropika di dunia sekitar 40 juta ha, maka sekitar 20 juta ha (50 %)berada di Indonesia (Euroconsult, 1984). Hutan rawa gambut mempunyaifungsi dan peranan yang tidak kecil baik pada aspek ekonomi maupunekologi. Hutan rawa gambut menghasilkan berbagai macam produk kayudan hasil hutan non kayu, menyimpan dan menyediakan air, pengendalibanjir dan manfaat lainnya terutama sebagai ekosistem yang menyimpankeanekaragaman hayati yang khas. Salah satu jenis pohon yang terkenalbernilai ekonomi tinggi hanya di temukan di hutan rawa gambut yaitu jenisramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.), yang sejak tahun 2004 telahmasuk Appendix II CITES. Demikian pula jenis satwa yang endemikKalimantan dan termasuk dilindungi yaitu orang utan (Pongo pygmaeus)umumnya terdapat di hutan rawa gambut. Hutan rawa gambut juga sangatpenting peranannya dalam peningkatan pemanasan global, karenamenyimpan sekitar 120 milliar ton karbon (C) atau sekitar 5 % dari karbondi atas permukaan bumi.

Namun lebih dari 30 tahun terakhir hutan rawa gambut telah mengalamikerusakan dan menjadi hutan terdegradasi akibat dari pengelolaan hutanyang tidak berdasarkan prinsip kelestarian, praktek-praktek konversi hutanrawa gambut menjadi lahan pertanian. Sekitar 50 % hutan rawa gambuttelah terdegradasi akibat penebangan legal maupun illegal yang seringdiikuti dengan pembuatan kanal untuk proses pengangkutan kayu. Meskipuntelah diketahui bahwa lahan gambut sangat miskin hara untuk pertanian,tetapi telah 5-6 juta ha lahan gambut telah dibuka dan dikeringkan untukpertanian dan perkebunan, terutama perkebunan sawit, HTI untuk pulp dantanaman pertanian lainnya. Banyak program pertanian tersebut yang telahmengalami kegagalan baik proyek pertanian pasang surut maupun megaproyek lahan gambut (PLG) lebih dari satu juta ha di Kalimantan Tengah.

Dalam kondisi masih alami hutan rawa gambut tahan terhadap kebakaran,namun jika telah terganggu sistem tata airnya (water table) akibatpembuatan kanal drainase maka sangat rentan terhadap kebakaran baikkebakaran permukaan maupun kebakaran bawah permukaan. Dalam kurunwaktu 10 tahun terakhir diperkirakan 2,5 juta ha hutan rawa gambut diwilayah Asia Tenggara, terutama Indonesia telah terbakar hebat dandiperkirakan 2-3 milliar ton karbon yang tersimpan dalam gambut telah dikeluarkan ke udara yang menyebabkan asap dan awap pekat. Asap danawan pekat akibat kebakaran hutan gambut terjadi hampir setiap musimkemarau tidak saja mengganggu kesehatan dan transportasi masyarakatlokal tetapi sampai negara tetangga Malaysia dan Singapura. Malaysia telahmenghitung kerugian akibat bencana asap akibat kebakaran hutan padakurun waktu Agustus – Oktober 1997 sebesar US $ 300 juta dan untukwilayah Asia Tenggara sampai US $ 9 milliar pada musim kebakaran 1997-1998.

57

Bahkan tanpa adanya kebakaranpun, kerusakan/degradasi lahan gambutdipercepat dengan adanya subsidensi akibat pembuatan saluran (overdrainage). Bahaya subsidensi pada gambut dalam berdampak pada banjir,kerusakan infrastruktur dan dampak negatif ikutan lainnya. Pada gambutdangkal subsidensi menyebabkan tanah-tanah potensial sulfat masam danmenghilangkan lapisan gambut dan air tanah sehingga menjadi tanah sulfatmasam yang tidak memungkinkan untuk pertanian dan pemukimanpenduduk.

Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan lahan gambut yangtergedradasi tersebut negara-negara ASEAN telah melakukan serangkaiankegiatan baik pada tingkat nasional maupun regional terutama untukmelakukan kontrol dan pemantauan kebakaran gambut, mempromosikanpemanfaatan lahan gambut lestari terutama penekanan pada aspeksubsidensi gambut, pengendalian banjir dan penyebab kerusakan lahangambut lainnya. Negara-negara ASEAN telah mempunyai kesepakatanuntuk Regional Haze Action Plan and the ASEAN Agreement onTrasboundary Haze Pollution. Pada tahun 2003 negara-negara ASEAN telahmembuat kerangka kerja ASEAN Peatland Management Initiative dandiharapkan setiap negara di kawasan ASEAN membuat Strategi danRencana Tindak Pengelolaan Gambut Berkelanjutan (SRTPLG). Saat ini diIndonesia telah terbentuk draft SRTPLG di Indonesia oleh suatu kelompokkerja (Pokja) dengan anggota Tim Pokja dari berbagai instansi pemerintah,perguruan tinggi dan LSM.

Sesungguhnya pada 10 tahun terakhir, sejak kegagalan Mega Proyek LahanGambut di Kalimantan Tengah, lembaga donor internasional telahmelakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan bencana salahpengelolaan lahan gambut tersebut terutama masalah kebakaran dan asap.Lembaga donor seperti ADB, Eurpean Union, JICA, GTZ, CIDA, pemerintahBelanda dan GEF. Demikian pula proyek-proyek dalam negeri yangbersumber dari APBN/APBD. Namun kegiatan tersebut tampaknya belumterkoordinasi dengan baik karena belum adanya payung kegiatan yangberupa Strategi dan Rencana Tindak Pengelolaan Lahan Gambut yangBerkelanjutan yang berlaku secara nasional.

Pada kenyataannya di Indonesia lahan gambut dikelola oleh berbagai pihak(instansi) terutama Departemen Kehutanan (mengelola kawasan hutanproduksi dan kawasan konservasi), Departemen Pertanian (lahan gambutuntuk pertanian dan perkebunan), Departemen Dalam Negeri bersamapemerintah daerah (lahan gambut untuk pemukiman/transmigrasi) danlahan gambut milik masyarakat.

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

58

Departemen Kehutanan telah mengusahakan hutan rawa gambut sejaktahun 1970-an oleh pengusaha swasta dalam dan luar negeri.yangmengelola lebih dari 13 juta ha hutan rawa gambut. Pada awalnyapengusahaan hutan rawa gambut dilakukan karena adanya satu jenis pohonyang terkenal dan bernilai ekonomis tinggi yaitu pohon ramin (Gonystylusbancanus). Namun pengusahaan hutan yang kurang memperhatikan aspekregenerasi dan karakteristik hutan rawa gambut telah menyebabkankerusakan hutan rawa gambut. Kerusakan hutan dan lahan gambutdipercepat oleh adanya tuntutan kebutuhan hasil-hasil hutan kayu dan nonkayu, kebutuhan lahan untuk berbagai keperluan yang mempercepat danmemperparah kerusakan hutan dan lahan gambut.

Jika pada tahun 1983 luas lahan gambut yang berpotensi ramin lebih dari 13juta ha dikelola oleh lebih dari 220 HPH, maka saat ini tinggal beberapa HPHyang masih aktif dan sejak jenis ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.)telah dimasukkan kedalam Appendix II CITES hanya satu HPH yang diijinkanuntuk pemanfaatan ramin. Ratusan eks HPH yang telah dicabut dandikembalikan ke pemerintah telah menjadi lahan gambut tidak bertuan danterus mengalami degradasi akibat penebangan liar dan kebakaran hutan.Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi harus segera dilakukan paling tidakuntuk menghambat kerusakan lingkungan lebih lanjut. Agar tidakmengulangi kesalahan yang sama rehabilitasi hutan dan lahan gambutharus memperhatikan beberapa aspek terutama aspek ekologi, ekonomidan sosial budaya masyakarat sekitarnya dengan pendekatan ekosistemyang melibatkan para pihak terkait (stakeholder). Sistem silvikultur yangtepat untuk mengelola lahan gambut yang masih baik maupun sistemsilvikultur untuk mengelola lahan gambut yang terdegradasi harusditemukan terutama untuk menyelamatkan jenis ramin dari kepunahan.

TINJAUAN SISTEM-SISTEM SILVIKULTUR DIINDONESIA

Sistem-sistem Silvikultur di IndonesiaSesuai dengan surat Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35 tahun 1972, diIndonesia diterapkan tiga sistem silvikultur, yaitu : Tebang Pilih Indonesia(TPI), Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA) dan Tebang Habisdengan Permudaan Buatan.

Menurut Manan (1998) Sistem silvikultur ialah serangkaian prosedur yangdilaksanakan dalam rangka penggantian sebuah hutan, baik secara alamimaupun buatan mencakup permudaan dan penanaman, pemeliharaannyamulai dari tahap semai hingga pohon dewasa, serta penebangan panenanuntuk menghasilkan produk tertentu, seperti kayu pulp, gergajian, finir dan

59

sebagainya. Sedangkan menurut Surat Keputusan Menteri Kehutanan(1989) dan Dirjen Pengusahaan Hutan (1989) sistem silvikultur adalahserangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputipenebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjaminkelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya.

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indoensia (TPTI)Sistem silvikultur Tebang pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalahpengembangan dari Sistem Silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) tahun1972. Sistem silvikultur TPT/TPTI meliputi cara penebangan dengan batasdiameter dan permudaan hutan.

Dari aspek ekologi telah diketahui bahwa kesuburan tanah di hutan tropikatidak ditentukan oleh kesuburan tanah, tetapi bagian terbesar kesuburandalam bentuk kandungan mineral atau unsur hara yang disimpan padabagian tumbuhan dalam bentuk biomassa di atas tanah. Hutan tropika yangselalu hijau terdiri dari berbagai lapisan tajuk pohon yang lebat dan rapat,sehingga tidak ada ruangan yang kosong yang terisi tumbuhan merupakancadangan hara. Keadaan iklim yang basah karena curah hujan yang tinggi,diikuti oleh suhu yang panas sepanjang tahun menyebabkan kegiatan jasadrenik (pengurai) sangat aktif, sehingga proses pembusukan serasah hutanberlangsung sangat cepat dan proses humifikasi segera dilanjutkan denganproses mineralisasi. Akibat hujan yang banyak, pencucian hara mineralberjalan intensif, terutama di tempat-tempat terbuka, bahaya erosi setiapsaat dapat terjadi. Lapisan humus yang tipis menyebabkan tanah mineralcepat terbuka bila pohon ditebang. Di Indonesia bahaya menurunnyakesuburan tanah hutan selain karena terputusnya siklus hara tertutuptersebut juga akan diperberat dengan seringnya terjadi kebakaran hutanakibat perladangan berpindah, sehingga pada akhirnya lapangan akanditumbuhi alang-alang.

Berdasarkan uraian tadi maka sistem silvikultur yang tepat, dipandang darisegi ekonomi dan ekologi serta teknologi pada bagian terbesar hutan tropikabasah di Indonesia adalah Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang mulai tahun1989 disebut TPTI.

Sistem tebang pilih memang lebih sulit dan memerlukan kecakapanprofesional rimbawan, karena itu dalam TPTI berbeda dengan TPI harusdibentuk secara terpisah Bagian Pembinaan Hutan yang terlepas daribagian Eksploitasi atau Pembalakan. Di samping itu harus dicukupiperalatan dan fasilitasnya. Bagian Pembinaan hutan di setiap HPH harusdipimpin dan diisi dengan tenaga-tenaga berpendidikan kehutanan, jadirimbawan yang mengerti ilmu silvikultur dan tentu saja harus disediakananggaran operasional yang memadai.

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

60

Sesuai dengan asas kelestarian hasil yang mendasari pengelolaan hutanmaka pemilihan sistem silvikultur memerlukan pertimbangan yang seksamamencakup keadaan/tipe hutan, sifat silvik, struktur, komposisi, tanah,topografi, pengetahuan profesional rimbawan dan kemampuan pembiayaan.

Hutan tropika basah di Indonesia terdiri dari berbagai tipe hutan antara lainhutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan bakau, hutan rawa, hutanrawa gambut, hutan kerangas dan hutan pantai. Masing-masing hutantersebut mempunyai susunan jenis dan struktur yang berbeda. Demikianpula tanah-tanah tempat tumbuhnya serta ketinggian tempat daripermukaan laut. Oleh karena itu sistem silvikultur yang dipilih untukditerapkan pada masing-masing tipe hutan tersebut tidak perlu dan tidakdapat diseragamkan, jadi harus disesuaikan menurut kondisi tipe hutannya.

Baru-baru ini Departemen Kehutanan telah mengeluarkan PeraturanMenteri Kehutanan No. P.30/Menhut/2005 tentang Standar Sistem Silvikulturpada Hutan Alam Tanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa.Walapupun sangat terlambat peraturan tersebut telah menjawab keinginankebagian besar rimbawan dan penelitian sistem silvikultur untuk tidakmenyeragamkan sistem silvikultur di Indonesia. Maksud dari peraturantersebut adalah : (1) Mendorong pengelola KPHK dan atau pemegangIUPHHK pada hutan alam untuk dapat melaksanakan kegiatan pengelolaansumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan danlingkungannya serta berbasis kinerja dan (2) Diperolehnya acuan untukmemilih dan menerapkan sistem silvikultur yang tepat, efisien dan sesuaidengan kondisi spesifik KPHK atau IUPHHK pada hutan alam tanah keringdan atau hutan alam tanah basah/rawa. Sedangkan tujuannya adalahdiperolehnya hutan yang secara ekologis sehat dengan struktur tegakanyang stabil agar dapat menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi, baikkuantitas maupun kualitasnya, secara berkelanjutan, denganmempertimbangkan fungsi perlindungan dan sosial yang optimal sesuaikebutuhan masyarakat, modal kapital dan tenaga kerja.

Dengan peraturan tersebut pengelola KPHK atau IUPHHK dapat memilihsistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik ekosistem hutannya danmenjamin kelestarian pengelolaan sumberdaya hutan. Sistem silvikulturyang dipilih dan diterapkan harus memenuhi 4 prinsip yang merupakan satukesatuan utuh, meliputi:

1. Kesesuaian dengan karakteristik sumberdaya hutan dan lingkungannya;2. Pertimbangan yang lengkap dan menyeluruh terhadap nilai-nilai

sumberdaya hutan;3. Pertimbangan biaya dan manfaat ekonomi; dan4. Kesesuian dengan tujuan pengelolaan sumberdaya hutan.

61

untuk dapat memenuhi 4 prinsip sebagaimana dimaksud, maka sistemsilvikultur yang dipilih harus memenuhi kriteria dan indikator pengelolaanhutan letari.

Sedangkan pemilihan, penetapan dan penerapan sistem silvikultur yangdipilih harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Penamaan sistem silvikultur yang akan dipilih dan diterapkan mengacupada metode pemanenan dan penanaman atau pengkayaan tegakanyang akan dilakukan.

2. Mengingat beragamnya kondisi hutan alam produksi maka dalam satuKPHP atau IUPHHK dapat terdiri lebih dari satu sistem silvikultur.

3. Pemilihan dan penerapan sistem silvikultur untuk kepentingan khususdisesuaikan dengan rancangan teknis yang disusun bersamaRimbawan Kompeten

4. Rancangan sistem silvikultur diusulkan setelah mendapat persetujuandari Rimbawan Kompeten dan diajukan kepada Direktur Jenderal.

5. Direktur Jenderal menetapkan sistem silvikultur untuk setiap KPHP atauIUPHHK, setelah mendapat rekomendasi dari Tim Evaluasi.

6. Prosedur penetapan sistem silvikultur diatur lebih lanjut dalamPedoman Pelaksanaan Standar Sistem Silvikultur pada Hutan AlamTanah Kering dan atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa denganPeraturan Direktur Jenderal.

Sistem Tebang Jalur dan Tanam Indonesia (TJTI)Keputusan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan No. 40/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal 18 Maret 1993, tentang Pedoman Pelaksanaan Uji CobaTebang Jalur dan Tanam Indonesia mendefinisikan sistem silvikultur TebangJalur, sebagai suatu sistem silvikultur yang dilakukan dengan caramembuka areal selebar tertentu dalam bentuk jalur dengan menebangpohon yang berdiameter 20 cm ke atas, sehingga sinar matahari dapatmencapai permukaan tanah. Kelestarian produksi hutannya didasarkanpada keberhasilan permudaan buatan atau alam. Di sepanjang jalurtersebut dilakukan penanaman jenis komersial bernilai tinggi, yang sudahdikuasai pemeliharaan tanaman, secara intensif atau sepanjang jalur bekastebangan tersebut, permudaan terdiri dari permudaan alam jenis komersialbernilai tinggi yang dipelihara secara intensif.

Sasaran lokasi sistem silvikultur TJTI ialah diterapkan pada hutan bekaspenebangan TPTI yang kondisinya telah rusak, yang rawan terhadapperambahan, yang tidak cocok untuk sistem THPB dan hutan primer yangditetapkan oleh Dirjen Pengusahaan Hutan. Letak Jalur yang ditebang dantidak ditebang secara berseling-seling. Lebar jalur bervariasi antara 50 m,

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

62

100 m dan 200 m. Luas Petak Coba minimum 100 ha dan maksimum 500ha.

Gagasan yang dicetuskan oleh Menteri Kehutanan (1993) bukanlah untukmengubah sistem silvikultur TPTI, tetapi mencari salah satu alternatif/modifikasi, yaitu sistem Tebang Jalur Tanam Indonesia atau Tebang Jalurdan Tanam Konservasi. Beberapa pertimbangannya ialah : sistempengawasan di lapangan, komposisi jenis-jenis unggulan (meranti),penghara/pasokan bagi kegiatan industri kecil/rakyat. Kepastian kawasanhutan, pertumbuhan riap pohon yang lebih tinggi, kegiatan silvikultur/pemeliharaan meningkat sehingga lapangan kerja lebih banyak.

Kita semua mengetahui bahwa setiap sistem silvikultur mempunyaikeuntungan dan kerugian. Kitapun sadar bahwa ekosistem hutan tropikaberbeda dengan ekosistem hutan temperate. Tidak ada satu sistemsilvikultur yang dapat berlaku secara umum di seluruh Indonesia, karenatipe hutan yang bernacam-macam, baik menurut penyebaran horizontalmaupun vertikalnya.

Perlu dicatat bahwa sistem silvikultur TJTI ini baru pada tahap uji coba danhanya diujicobakan pada hutan tanah kering (pegunungan).

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)Sistem silvikultur yang sedang dikembangkan oleh Departemen Kehutanansaat ini adalah Sistem Silvukultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif(TPTII). Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)menurut draft Petunjuk Pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (silvikultur intensif), Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan,Departemen Kehutanan (2005) adalah regime silvikultur hutan alam yangmengharuskan adanya tanam pengayaan pada areal pasca penebangansecara jalur yaitu 25 m antar jalur dan 5 m dalam jalur tanaman. Tanpamemperhatikan cukup tidaknya anakan alam yang tersedia dalam tegakantinggal, sebanyak 80 semai meranti per ha harus ditanam untuk menjaminkelestarian produksi pada rotasi berikutnya. Dalam program ini targetjumlah pohon pada kahir jangka (30 tahun) adalah 160 pohon per ha.Ruang di antara jalur bertujuan untuk memperkaya keanekaragaman hayati.Kelebihan sistem TPTII dibanding dengan TPI maupun TPTI adalah bahwadengan TPTII kelestarian produksi akan dapat terjamin karena mekanismekontrol dapat dilakukan dengan optimal. Mekanisme membangun hutantanaman yang prospektif, sehat dan lestari jelas dapat dilakukan lewat TPTIIyang terus menerus akan disempurnakan menuju regime silvikultur intensif.Oleh sebab itu, beberapa kriteria yang perlu diperhatikan di antaranya :

63

1. Jenis target yang diprioritaskan2. Jumlah dan kualitas bibit yang harus ditanam per hektar3. Ukuran lubang tanam4. Jarak antar jalur tanaman dan jarak tanaman dalam jalur5. Lebar jalur tanam yang dibersihkan6. Frekuensi dan lamanya pemeliharaan.

Pertimbangan yang dipakai dalam penyusunan TPTII ini adalah bahwaproduktivitas kayu komersial hutan alam tropis relative rendah, hanyamencapai 0,5-3 m3/ha/th dibanding hutan tanaman di daerah beriklimsedang yang mencapai 4-10 m3/ha/th. Produktivitas hutan tanaman selalumeningkat, diperkirakan pada tahun 2010 menjadi 30m3/ha/th dan tahun2020 menjadi 45 m3/ha/th. Di Indonesia, produktivitas hutan alam tropiskayu komersial rata-rata yang dicapai saat ini bahkan lebih rendah lagi yaituhanya 0,5-1,5 m3/ha/th, walaupun pada dasawarsa1970-an rata-rataproduksi kayu komersial hutan alam tropis biasa mencapai 60-70 m3/ha. Disamping itu berdasarkan hasil penelitian uji jenis meranti di beberapa lokasitelah ditemukan beberapa jenis meranti cepat tumbuh (fast growing) merantiyang dapat direkomendasikan untuk jenis pembangunan hutan tanamanmeranti prospektif (ITTO PD 41) yaitu :

1. Shorea leprosula2. Shorea johorensis3. Shorea macrophylla4. Shorea parvifolia5. Shorea selanica dan6. Shorea smithiana

Tujuan umum TPTII adalah membangun hutan tropis lestari dinamis yangdicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan baik darisegi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebangberikutnya. Sedangkan tujuan khusus TPTII adalah :

1. Membangun hutan sebagai transisi menuju Hutan Tanaman Meranti :pengelolaan LOA secara TPTII dengan jumlah bibit 200 pohon per haseluas 1000 per tahun (30.000 ha per unit pengelolaan selama 30tahun), dijamin mampu menjaga kelestarian produksinya. Kemampuanproduksi per ha dengan rata-rata 50 cm yang berisi 160 pohon padaakhir rotasi tebang dengan daun tebang 30 tahun diperkirakan standingstocknya sebesar 400 m3, belum termasuk tegakan sisa yang ada yangmasih dapat dimanfaatkan.

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

64

2. Menjamin fungsi hutan yang optimal dengan meningkatnya potensi danproduktivitas hutan untuk kayu pertukangan, sehingga luasan hutan lainmenjadi bertambah untuk mempertahankan konservasi genetik dankeanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi lain di bidang pengaturan tataair, suaka alam, hutan wisata dan pendidikan.

Sedangkan urutan kegiatan dalam TPTII meliputi :

1. Penataan Areal Kerja dan Risalah Hutan : memberikan acuan dalampengelolaan areal operasional tanaman meranti prospektif (UK-TTMP)meliputi : Anak Petak, Petak, Blok Tanaman, Resort Hutan, BagianDaerah Hutan, Kesatuan Pemangkuan Hutan, Penataan Areal, RisalahHutan, Pembukaan Wilayah Hutan dan Penyiapan Lahan.

2. Pengadaan Bibit : Sumber Bibit (benih, anakan alami, stek pucuk),Penyemaian (bahan asal benih, Bahan anakan alami, Pembuatan stek,)

3. Penyiapan Lahan : pembuatan jalur tanaman, pembuatan danpemasangan ajir, pembuatan lubang tanaman

4. Penanaman (pengangkutan bibit, penampungan, penanaman bibit)5. Pemeliharaan Tanaman Muda : penyiangan dan pemulsaan,

pembebasan vertikal, penyulaman, pemupukan, pengendaliaan hamapenyakit dan pemantauan

6. Penjarangan : penjarangan dilakukan hanya 2 kali yaitu pada tahun ke 5dan tahun 10.

7. Perlindungan tanaman dari kebakaran8. Pemanenan Kayu: pohon yang ditebang adalah pohon-pohon

berdiameter 50 cm ke atas untuk kawasan hutan produksi tetap dan 60cm ke atas untuk kawasan hutan hutan produksi terbatas.

Seperti halnya sistem silvikultur TJTI, Petunjuk Pelaksanaan SistemSilvikultur TPTII hanya diperuntukkan pada hutan tanah kering (pegunungan)masih dalam bentuk draft, dan masih pada tahap uji coba untuk beberapaHPH (IUPHHK) hutan tanah kering.

TINJAUAN SISTEM SILVIKULTUR HUTAN RAWAGAMBUT DI INDONESIA

Walaupun telah lama mengusahakan hutan rawa gambut di Indonesia,namun belum ada sistem silvikultur yang khusus untuk hutan rawa gambut.Ketentuan-ketentuan yang pernah ada dan digunakan dalam mengelolahutan rawa gambut adalah:

65

1. Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/ Kpts/ DD/I/1972tentang pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis denganPermudaan Alam dan Pedoman - Pedoman Pengawasannya.

2. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Tahun 1980tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur,Pelaksanaan dan Pengawasan.

3. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor: 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia.

4. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor: 24/Kpts-Set/96 tentang Perubahan Batas Diameter Tebangan, Rotasi Tebang,Jumlah dan Diameter Pohon Inti untuk hutan rawa gambut.

Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972merupakan sistem silvikultur yang berlaku umum terutama untuk hutanhujan Dipterocarpaceae, namun dalam ketentuan tersebut terdapat tigaalternatif penentuan batas diameter tebangan, rotasi tebang, jumlah pohoninti dan diameter pohon inti, yaitu:

50 35 25 3540 45 25 3530 55 40 20

Direktorat Reboisasi Lahan (1980) yang mencoba menyempurnakanPedoman TPI (1972) dengan melakukan perubahan-perubahan antara lain:

1 Hutan alam campuran 50 25 20 352 Hutan eboni campuran 50 16*) 20 453 Hutan ramin Campuran 35 15 **) 20 35

Batas Diameter(cm)

Rotasi Tebang(Tahun)

Jumlah pohoninti

Diameter Pohon Inti(cm)

Tabel 1. Pengaturan Tebangan menurut TPI tahun 1972.

*) Khusus untuk jenis eboni, sisanya 9 pohon dari jenis pohon niagawi lainya**) Khusus untuk jenis ramin, sisanya 10 pohon dari jenis pohon niagawi lainya

Minimumbanyak

pohon inti

Diameterminimumpohon

inti(cm)

Siklus tebanganpohon

inti(tahun)No.

Batas diameterTebangan

(cm)

Tabel 2. Pengaturan tebangan menurut RRL (1980)

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

66

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pengusaha Hutan Nomor : 564/Pkts/VI-BPHH/1989, penebangan hutan ramin campuran menggunakan batasdiameter pohon yang di tebang untuk jenis ramin ≥ 35 cm dan keatas,sedangkan untuk jenis non-ramin ≥ 50 cm, batas diameter pohon inti ramin15 - 34 cm dan non ramin 20 - 49 cm, jumlah pohon inti per ha minimal 25pohon dan rotasi tebang 35 tahun.

Ketentuan, terutama berkaitan dengan hutan rawa adalah bahwa padahutan rawa dengan komposisi hutan terdiri dari jenis komersial khususmisalnya jenis ramin, perupuk dan jenis niagawi lainya dan pemegang HPHtidak sanggup / sulit melaksanakan kegiatan penanaman/pengayaan, makahanya diijinkan menebang pohon sebanyak-banyak 2/3dari jumlah pohonyang dapat ditebang sesui dengan komposisi jenisnya.

Ketentuan batas diameter penebangan dan pohon inti serta rotasipenebangan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PengusahaanHutan No. 24/Kpts/IV-set/96 diubah yaitu batas pada diameter setinggi dadadan atau 20 cm di atas banir dengan ketentuan :

1. Rotasi tebang ditetapkan dalam jangkau waktu 40 tahun2. Pohon inti yang harus ditunjukan dan dipelihara selama jangkau waktu

rotasi tebang berjumlah sedikitnya 25 pohon per hektar yangberdiameter antara 20-39 cm.

Evaluasi Permudaan Tegakan Tinggal

Kerusakan tegakan sisa dan permudaan pohon ramin terutama di sebabkanoleh cara penebangan yang tidak terkontrol, antara lain :

1. Limit diameter tebang tidak ditaati2. Penggunaan pohon ramin untuk perbuatan jalan lori dan kuda-kuda

Dengan demikian tegakan hutan yang semula kaya dengan pohon raminyang berukuran besar sesudah penebangan meninggalkan tegakan sisabekas tebangan yang banyak terbuka.

Penelitian Soerianegara dkk. (1994) memperlihatkan bahwa pengelolaanhutan ramin (rawa gambut) yang berasaskan pelestarian secara umummasih banyak mengalami beberapa hambatan. Beberapa faktor yangmenjadi hambatan tersebut antara lain : (1) tidak seimbangnya antarakecepatan penebangan dengan kecepatan pertumbuhan, (2) pengetahuanyang serba terbatas tentang ekologi dan silvikultur ramin, (3) sistempengusahaan hutan ramin yang belum dapat memadukan kebutuhanproduksi dan konservasi dan (4) gangguan-gangguan non teknis lain seperti

67

tidak sesuainya perencanaan dengan kondisi hutan yang ada, pelaksanaanpengelolaan tidak sesuai dengan ketentuan/peraturan yang ada dan tidakkalah pentingnya adalah pengaruh tebangan liar atau tebangan banjir.

Penulis berkeyakinan bahwa jika aturan dalam TPTI untuk hutan rawagambut tersebut dilaksanakan dengan konsisten oleh semua pihak terkait,dengan tidak ada tebangan liar (oleh masyarakat maupun pengusaha di luarketentuan yang berlaku), maka ketentuan tersebut dapat menjaminkelestarian hasil sekaligus fungsi-fungsi perlindungan hutan rawa gambutdapat terjamin. Hal ini telah dibuktikan oleh PT. Diamond Raya Timber yangmengelola hutan rawa gambut seluas kurang lebih 80.000 ha di Riau. PT.Diamond Raya Timber telah mendapatkan sertifikasi Pengelolaan HutanAlam Produksi Lestari (PHAPL) sejak tahun 2000. HPH ini telahmendapatkan ijin pengusahaan/ pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)sejak tahun 1978 dan telah diperpanjang pada tahun 1998 dan sampai saatini masih aktif beroperasi memasuki RKL VI tahun ke-3. Berdasarkan hasilpengukuran riap pertumbuhan di 9 petak pengamatan sebelum dan setelahpenebangan diketahui bahwa jumlah pohon inti jenis komersial rata-rata perha sebanyak 67,90 pohon (4,01 pohon diantaranya pohon inti ramin),sedangkan jumlah pohon yang boleh ditebang (diameter 40 cm ke atas)sebanyak 37,96 pohon dengan volume 100.85 m3/ha (5,87 pohondiantaranya jenis ramin dengan volume 18,94 m3/ha (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata jumlah pohon dan volume pohon jenis komersial danjenis ramin per ha hasil pengamatan di petak permanen PT.Diamond Raya Timber.

N V N V N V

Komersial 17.90 2.16 67.90 44.97 37.96 100.85Ramin 1.85 0.26 4.01 3.32 5.87 18.94

Pada Tabel 4 memperlihatkan hasil pengukuran petak permanen setelahdilakukan penebangan. Rata-rata per ha pohon yang ditebang sebanyak16,67 pohon dengan volume rata-rata per ha 51,72 m3/ha (4,01 pohon atau15,27 m3/ha diantaranya pohon ramin). Sedangkan jumlah pohon inti yangmati karena penebangan sebanyak 14,51 pohon atau 21,37 % danpermudaan tingkat tiang yang mati sebanyak 6.79 tingkat tiang per ha atausekitar 37,93 %.

Kelompok Jumlah Pohon (N) dan Volume (V) per Kelas Diameter

Jenis 10-19 20-39 40 up

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

68

Tabel 4. Rata-rata jumlah pohon dan volume pohon jenis komersial danjenis ramin yang mati dan ditebang per ha hasil pengamatan dipetak permanen PT. Diamond Raya Timber.

Komersial 6.79 0.88 14.51 8.94 16.67 51.72Ramin 0.00 0.00 0.62 0.51 4.01 15.27

1) mati saat penebangan2) mati dan pohon ditebang

Pada Tabel 5 terlihat kondisi tegakan sisa setelah penebangan, jumlahpohon inti untuk jenis komersial masih mencukupi (53,39 pohon dan 3,40pohon diantaranya jenis ramin), sedangkan jumlah pohon berdiameter40 cm ke atas masih lebih dari 20 pohon per ha.

Tabel 5. Rata-rata jumlah pohon dan volume pohon jenis komersial danjenis ramin setelah ditebang per ha hasil pengamatan di petakpermanen PT. Diamond Raya Timber.

Komersial 11.11 1.28 53.39 36.03 21.30 49.13Ramin 1.85 0.26 3.40 2.81 1.85 3.67

Pada Tabel 6 dapat dilihat rata-rata riap volume pohon selama tiga kalipengukuran setelah penebangan. Untuk pohon berdiameter 20 cm keatasriap volume per ha adalah 2,16 m3/ha/tahun, sedangkan untuk jenis raminmemang hanya 0,13 m3/ha/th. Dengan perhitungan sederhana jikaperusahaan tersebut hanya menebang 51,72 m3/ha sedangkan riap rata-rata tahunan 2,16 m3/ha, maka 23,93 tahun telah kembali seperti semula.Sehingga dengan daur 40 tahun maka tidak ada kekhawatiran akankelestarian produksinya dengan menggunakan system TPTI tersebut.

Kelompok Jumlah Pohon (N) dan Volume (V) per Kelas Diameter

Jenis 10-191) 20-391) 40 up2) N V N V N V

Kelompok Jumlah Pohon (N) dan Volume (V) per Kelas Diameter

Jenis 10-191) 20-391) 40 up2) N V N V N V

69

Tabel 6. Riap rata-rata volume per ha hasil pengamatan di petak perma-nent PT. Diamond Raya Timber.

Kelompok Riap Volume per Kelas Diameter

Jenis 10-19 20-39 40 up

Komersial 0.09 1.28 0.89Ramin 0.02 0.08 0.06

Namun ada beberapa aspek yang tertuang di dalam aturan TPTI untukhutan rawa gambut yang perlu disesuaikan untuk menjamin kelestarianramin dan urutan tata waktu kegiatan TPTI terutama aspek pembinaanhutan bekas tebangan. Seperti telah diuraikan bahwa kegiatan pembinaanhutan di hutan rawa gambut sangat tergantung pada akses jalan rel makatata waktu kegiatan pembinaan hutan yang perlu disesuaikan :

1. Perlu ditetapkan jumlah pohon inti dan jumlah pohon induk untuk ramindi dalam aturan TPTI sesuai potensi dan proporsi ramin dibandingkanjenis komersial lainnya.

2. Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) daninventarisasi tegakan tinggal (ITT) perlu dilakukan oleh petugas (timyang sama) dengan menggunakan peta pohon yang sama. Dankegiatan ITT, penanaman dan penyulaman serta pemeliharaan pertamadapat dilakukan segera setelah penebangan, dimana jalan angkutan(rel) masih tersedia (pada tahun yang sama dengan penebangan)

Jenis ramin (G. bancanus) tumbuh secara berkelompok di hutan rawa airtawar dataran rendah atau hutan rawa gambut di luar pengaruh pasangsurut air laut tetapi sering terdapat dalam jalur yang luas sepanjang pantai.Umumnya, jenis ramin (G. bancanus) sering tergenang air secara periodiktetapi juga tumbuh di areal yang tidak tergenang air sampai ketinggian 100 m,kadang-kadang ditemukan sebagai tegakan murni (seperti terdapat diSarawak). Penelitian Istomo (1994) menunjukkan bahwa penyebaran danpertumbuhan ramin di hutan rawa gambut sangat dipengaruhi ketebalangambut. Ramin ditemukan pada ketebalan gambut mulai dari 1,2 m -sampai lebih dari 6 m. Pada kedalaman gambut 1,2 – 3,0 m, komposisijenis ramin pada tingkat pohon dibandingkan jenis non ramin hanya 12 %.Akan tetapi pada ketebalan gambut lebih dari 3.5 m proporsi ramin menjadilebih besar yaitu sekitar 30% yang menjadi jenis dominan. Soediarto et al.(1963) melaporkan bahwa pohon ramin memerlukan cahaya matahari

Ekologi dan Silvikultur jenis Ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz.)

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

70

langsung, meskipun pada tahap semai memerlukan naungan. Pohon raminmemerlukan iklim lembab atau tipe iklim A berdasarkan klasifikasi iklimSchmidt-Ferguson (1951) Perilaku pertumbuhan pohon ramin di lapanganmenunjukkan bahwa ramin dalam pertumbuhannya membentuk kelompok-kelompok kecil dengan pohon lain dalam suatu asosiasi, dan bahkan seringditemukan tumbuh diantara akar-akar atau batang pohon-pohon tersebutsaling berkait satu sama lain. Pola pertumbuhan seperti itu sangat berkaitandengan tempat tumbuhnya yang tergenang air dan tingkat kesuburantanahnya rendah. Biji-biji pohon ramin yang jatuh dan anakan akan tumbuhdengan baik jika berada pada perakaran pohon lain dan tidak berada padagenangan air yang dalam (Istomo, 1994).

Ramin (G. bancanus) dapat ditanam dengan menggunakan anakan alam,anakan persemaian dan stek pucuk. Penelitian dengan penanamanperkayaan menggunakan anakan persemaian menunjukan kemampuantumbuh yang tinggi (67 %) dengan pertumbuhan tinggi rata-rata 12,4 cm pertahun dibandingkan dengan menggunakan stek pucuk (44%) dan 5,5 cmper tahun) serta menggunakan anakan alam (40 % dan 12,6 cm per tahun)(Soerianegara dan Lemmens (eds.), 1994).

Penelitian berbagai teknik untuk memproduksi bibit anakan ramin (G.bancanus) baik berkaitan dengan berbagai pelakuan penggunaan mediasemai, teknik pengaturan lingkungan (suhu dan kelembaban), penggunaanhormon penumbuh maupun menyangkut teknik perbanyakan generatif danvegetatif (stek pucuk/kebun pangkas) telah banyak dilakukan dan telahberhasil dengan baik (Briscoe, 1990; Supriyanto dan Witjaksono, 1994;Daryono, 1994; Herman et al., 1997; Hendromono, 1999; Deman, 1998; TimIPB-PT.DRT, 2002, Muin, 2003).

Menyadari bahwa ramin tidak berbuah setiap tahun, sementara penanamanperkayaan bekas tebangan banyak digunakan dari cabutan alam, makadikhawatirkan stok anakan alam makin menipis. Oleh karena itu perludilakukan penelitian stek pucuk anakan alam ramin. Dengan cara inidiharapkan stok anakan alam tidak berkurang dan dapat meningkatkanjumlah anakan di persemaian. Perbanyakan anakan ramin melalui teknikkultur jaringan (in vitro) telah dilakukan namun belum menunjukkankeberhasilan.

Setelah tinggi anakan 25 – 30 cm atau telah berumur 10 sampai 12 bulanbibit ramin siap untuk ditanam. Sebelum ditanam perlu dilakukan prosesaklimatisasi (dipindahkan mendekati kondisi iklim lokasi penanaman) kuranglebih 2 – 4 minggu sebelum penanaman.

71

Penelitian penanaman ramin berdasarkan pustaka yang ada sudah dimulaisejak tahun 1978, hampir semua jenis ramin (G. bancanus) di habitat hutanrawa gambut. Informasi tentang kegiatan penelitian yang berkaitan denganpenanaman yang dilakukan oleh berbagai lembaga/peneliti termasuk hasildan kondisi saat ini telah dikumpulkan oleh Murniati et al. (2005)Berdasarkan informasi tersebut diketahui bahwa sejak tahun 1978 sampai2004 telah dilakukan percobaan penanaman ramin sekitar 14 tim peneliti.Lokasi penanaman dilakukan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,Sumatera Selatan, Jambi dan Riau. Berdasarkan volume dan luaspenanaman dapat dikatakan bahwa penanaman ramin yang ada masihdalam skala riset (penelitian). Berdasarkan data tersebut hasil-hasil yangdiperoleh adalah :

1. Pertumbuhan anakan ramin dari biji lebih baik dibandingkan daricabutan dan stump Pertumbuhan tinggi anakan ramin di tempat bekaspenimbunan kayu lebih baik dibandingkan bekas penyaradan

2. Pertumbuhan diameter dan tinggi anakan ramin pada gambut dalamlebih baik dibandingkan pada gambut dangkal

3. Persen tumbuh anakan ramin di areal bekas tebangan (LOA) lebih baikdibandingkan persen tumbuh anakan ramin di tempat terbuka

4. Penanaman pada jalur lebih ekonomis dan lebih tinggi persentumbuhnya dibandingkan penanaman dalam blok

5. Pertumbuhan tinggi anakan ramin lebih baik pada naungan sedang(35 – 65 %) tetapi pertumbuhan diameter pada tempat terbuka (> 65 %)

Namun dari ke-14 lokasi penanaman tersebut sebagian besar tidak dapatdievaluasi kembali, karena areal penanaman beralih fungsi, terbakar atautidak dilakukan pengukuran secara berkelanjutan karena program penelitianyang dilakukan tidak berkesinambungan atau aksesibilitas untukmenjangkau lokasi tersebut tidak ada lagi.

Selanjutnya Murniati et al. (2005a) melakukan survai/pengukuran terhadapkeberadaan tanaman ramin yang ada di lapangan di beberapa lokasi diSumatera dan Kalimantan secara sampling. Hasil pengukuranmenunjukkan bahwa volume penanaman (luas penanaman) dan umurtanaman sangat beragam dari beberapa ratus anakan sampai 6,5 ha, dariyang berumur 6 bulan sampai 6,5 tahun. Jarak tanam yang digunakan jugaberagam dari 2 x 2 m sampai 5 x 10 m. Sedangkan pola penanaman jugaberbeda-beda dari yang monokultur sampai campuran. Hasil pengukuranmenunjukkan bahwa persen tumbuh tanaman rata-rata tergolong tinggi> 60 %, kecuali di lokasi Muara Jambi (PT. PIW) 31,25 % dan Teluk Umpan(BP2HT-IBT) 45 %, persen tumbuh tertinggi terdapat di Sei Bakau (Untan)100 % dan di Rokan Hilir (PT. DRT) 97,50 %. Riap rata-rata tinggi dan

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

72

diameter juga bervariasi. Riap tinggi rata-rata per tahun 2,58 – 43,87 cm/tahun, sedangkan riap diameter 0,13 – 0,73 cm/tahun.

SISTEM SILVIKULTUR UNTUK REHABILITASI LAHANGAMBUT TERDEGRADASI

Dasar PertimbanganHutan eks HPH yang dulu diserahkan pengelolaanya kepada BUMN PT.Inhutani namun kini dikembalikan pada pemerintah ditengarai menjadisumber maraknya praktek illegal logging di Indonesia. Untuk itu pemerintahdiharapkan segera mengambil keputusan terhadap nasib HPH seluas 12,7juta ha tersebut. Sebab jika HPH tersebut terus menerus tanpa tuan sepertisekarang ini maka selamanya akan menjadi kendala dalam memberantaspraktek illegal logging. Dirjen Bina Produksi Kehutanan Dephut saat inisedang mengkaji secara cermat dan mendalam masalah hutan eks HPHterutama berkaitan dengan aspek hukum dan peraturan perundanganterutama PP No. 34 tahun 2002. Karena dalam salah satu butirketentuannya disebutkan bahwa prosedur pemberian HPH harus melaluilelang. Revisi PP No. 34 tahun 2002 diharapkan selesai 25 Desember 2004tetapi mundur dan janji Menteri Kehutanan RI revisi PP selesai Januari 2006(AgroIndonesia, 10 Januari 2006)

Keputusan pemerintah tentang pengelolaan eks HPH sangat ditunggu-tunggu daerah. Sebagai contoh kawasan hutan di Propinsi Jambiberdasarkan Peraturan Daerah No. 5 tahun 1993 seluas 2.179.440 haatau sekitar 42,7 % dari luas propinsi Jambi. Namun dalam kurun waktusatu dasawarsa keadaan hutan di Jambi terus mengalami penurunan akibatdeforestasi, illegal logging, perambahan hutan, kebakara hutan dankegagalam sistem silvikulttur. Pada tahun 2000, luas hutan di PropinsiJambi yang tersisa 1,2 juta ha. Berkurangnya areal kawasan hutan ini salahsatu akibatnya menurunnya peran aktif pemegang HPH. Pada tahun 2000tercatat 16 pemegang HPH dengan total seluas 915.050 ha dan ironisnyatahun 2004 tinggal 3 unit pengelola HPH. Itupun kondisi perusahaannyaberjalan terseok-seok atau hanya sekitar 171.739 ha luas kawasan hutanyang aktif dikelola. Menurut penuturan Kepala Dinas Kehutanan Jambi (yangdikutip oleh AgroIndonesia, Januari 2006), soal penyelamatan kawasanhutan Jambi kuncinya adalah memberi peluang untuk pengembangan hutantanaman yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masingwilayahnya. Sebab di wilayahnya masih ada sekiar 50 % kawasan hutanyang memungkinkan untuk diterapkan Sistem Silvikultur Tebang Pilih TanamIndonesia (TPTI-TPTJ), selain pengelolalan hutan tanaman dengan polaTanam Habis Permudaan Buatan (THPB) (AgroIndonesia, 10 Januari 2006)

73

Keputusan Menteri Kehutanan No. 159/Menhut/II/2004 tentang restorasiekosistem di kawasan hutan produksi dimungkinkan adanya keterlibatanorganisasi non pemerintah (LSM-NGO) dalam penyelamatan hutan tropis.Meskipun pemerintah sudah memberi peluang keterlibatan LSM yang peduliterhadap lingkungan dan kerusakan hutan sejak tahun 2004 belum banyakLSM yang terlibat. Di Jambi dan Sumatera Selatan baru-baru ini munculgagasan untuk mewujudkan kegiatan restorasi ekosistem pada kawasanhutan produksi Sungai Meranti – Sungai Kapas seluas 101.335 yangdidukung oleh Bird Life Indonesia, Royal Society for Protection Birds/RSPByang merupakan organisasi konservasi terbesar di Eropa dan Bird LifeInternational. Namun kekhawatiran di daerah masih muncul mengingatkawasan tersebut berada di kawasan hutan produksi HPH PT. Asialog,sehingga perlu jelas aturan mainnya dan tanggungjawab masing-masingpihak yang terlibat, disamping kegiatan HPH di dalam kawasan tersebut adakegiatan penambangan batubara, jangan sampai menjadi tanah tidakbertuan lagi : “jangan sampai areal HPH mau dilepas pengelolannyasedangkan kegiatan LSM tersebut juga belum datang/mulai, hal ini menjadikawasan hutan tidak bertuan yang rawan perambahan dan penebangan liar”(AgroIndonesia, 10 Januari 2006)

Kerusakan hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah terjadi sejakdicanangkan Proyek Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah. Saat inilahan gambut eks PLG seluas 1.119.493 ha, yang terdiri atas 4 (empat)blok, masing-masing Blok A seluas 227.100 ha, Blok B seluas 161.480 ha,Blok C seluas 568.635 ha dan Blok D seluas 162.278 ha. Disamping itukonversi hutan rawa gambut (hutan sekunder ?) menjadi hutan tanamanmonokultur dengan jenis asing (Acacia crassicarpa) telah terjadi dibeberapa wilayah, misalnya di Riau untuk memasok bahan baku industripulp dan kertas. Surat Menteri Kehutanan No S.143/Menhut-VI/2004 tanggal29 April 2004 telah menyerahkan pengelolaan lahan bergambut seluas215.790 hektar di kawasan Semenanjung Kampar dan Pulau Padang,Provinsi Riau, untuk hutan tanaman industri (HTI) yang dikelola PT RiauAndalan Pulp and Paper. Areal tersebut sebagai tambahan dari areal yangtelah dikelola oleh PT. RAPP sebelumnya seluas 123.000 ha (Kompas,13 April 2005). Di Jambi dan Sumatera Selatan Laju konversi hutan rawagambut menjadi HTI dan areal perkebunan terutama untuk kelapa sawit jugatidak kalah maraknya.

Oleh karena itu usaha-usaha untuk melakukan rehabilitasi hutan rawagambut sebagai habitat asli ramin (G. bancanus) perlu dilakukan secarabertahap, terintegrasi dan berkesinambungan. Dukungan dari berbagaipihak baik pemerintah (pusat dan daerah), swasta, lembaga donor luarnegeri, lembaga penelitian, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

74

serta masyarakat sangat diperlukan. Kajian terhadap sistem silvikultur yangsesuai untuk hutan rawa gambut dengan berbagai tingkat penutupanvegetasi dan tingkat degradasinya perlu terus dilakukan.

Tujuan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut TerdegradasiTujuan akhir rehabilitasi hutan gambut adalah :

1. Peningkatan kualitas lingkungan2. Peningkatan produktivitas hutan2. Peningkatan kesejahteraan masyarakat

Peningkatan kualitas lingkungan dicapai melalui penataan kawasan secaramenyeluruh, program konservasi hutan dan lahan berjalan efektif danefisien, perencanaan pengelolaan sumber daya alam yang mengadopsikearifan tradisi lokal berjalan dengan baik dan kebijakan yang berwawasanlingkungan terpenuhi. Program rehabilitasi hutan yang ingin dikembangkanselain mendasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, juga mendasar kepadapenyebab kerusakan hutan dan faktor-faktor yang menyebabkan prosesdegradasi lahan yang terus berlangsung.

Pada kasus hutan rawa gambut eks PLG (Proyek Lahan Gambut satu jutaha) keberadaan saluran drainase yang berlebihan dan tidak berdasarkankepada karakteristik hidrologi gambut menjadi permasalahan utama yangharus diselesaikan di samping masalah sosial, terutama masalah kualitasSDM, perangkat kebijakan dan klasifikasi kemampuan kesesuaian lahan.Oleh karena itu revisi terhadap PP 34 tahun 2002 untuk menanganikawasan hutan eks HPH termasuk di dalamnya hutan rawa gambuthendaknya ada kejelasan konsep dasar terlebih dahulu mencakup kejelasanmasalah dan tujuan kebijakan yang diambil, instrumen kebijakan yangdigunakan serta landasan hukum terutama menyangkut status kawasantanggungjawab kelembagaan antara pusat dan daerah. Sejarah janganberulang lemahnya tanggungjawab dan penegakan hukum sehingga hutanmenjadi open acess. Perlu ditetapkan dulu satuan unit pengelolaan sebagaidasar pengelolaan hutan lestari, apakah itu pada pemegang HPH (IUPHHK),taman nasional atau KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan). Tata kelolaantara pemerintah pusat, daerah, pengusaha swasta, BUMN, LSM maupunmasyarakat lokal sebagai ujung tombak keberhasilan pengelolaan hutanlestari harus terlihat jelas peran, hak dan tanggungjawabnya didalamkegiatan rehabilitasi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Saat iniketidakjelasan status kawasan, kepastian hukum dan ketidakjelasan peran,hak dan tanggungjawab para pihak terkait tersebutlah yang menjadi sumberkerusakan hutan. Sistem silvikultur hanya salah satu bagian dalam teknikpenanaman.

75

Pola Penatagunaan lahan dan Sistem SilvikulturMengacu kepada hal-hal yang telah diuraikan pada butir-butir sebelumnya,rehabilitasi hutan rawa gambut yang terdegradasi dalam hal ini rehabilitasiaspek vegetasi mengacu kepada pola penyusunan tata ruang, bahwapenatagunaan lahan dibedakan menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasankonservasi dan kawasan budidaya.

Skenario/alternatif yang ingin ditempuh dalam teknis rehabilitasi hutan rawagambut terdegradasi, didasarkan pada beberapa pendekatan : pendekatanteknis, pendekatan ekologis, sosial, biaya, waktu dan manfaat yang bisadiperoleh. Berdasarkan beberapa pendekatan tersebut alternatif yang bisadilakukan dengan kendala dan peluang keberhasilan adalah :

1. Pola penanaman intensif dengan input teknologi tinggi pada lahangambut terdegradasi dengan kendala biaya yang tinggi dan jaminankeberhasilan tinggi, namun sering tidak berkelanjutan.

2. Mengandalkan proses suksesi alam tanpa campur tangan manusiadengan input rendah dan biaya rendah, kemungkinan keberhasilannyacukup tinggi dengan asumsi dibebaskan dari faktor-faktor kerusakandan kendala waktu yang cukup lama sehingga manfaat yang diperolehpun dapat berkelanjutan.

3. Kombinasi proses suksesi alam dan campur tangan manusia atau inputteknologi manusia yang selektif sehingga diperlukan biaya yang cukupsedangkan manfaat yang diperoleh dapat berkelanjutan.

Pola pertama saat ini diterapkan pada pembangunan perkebunan terutamakelapa sawit atau hutan tanaman pulp dan kertas. Dari aspek ekologitampaknya pola ke-2 dan ke-3 yang dapat diterima dengan catatan tidakmenggunakan saluran drainase walaupun untuk tujuan transportasi danjalur pengawasan. Penggunaan jalan rel atau ongkak tampaknya masihrelevan untuk mengatasi adanya subsidensi dan over drainage. Pola yangmungkin paling tepat untuk dikembangkan di areal rehabiltasi hutan rawagambut terdegradasi adalah pola ke-3. Pola alternatif ke-3 mengisyaratkanadanya pola rehabilitasi yang diserahkan kepada alam melalui prosessuksesi. Dalam pola ini campur tangan manusia dapat dilakukan terutamadengan penanaman secara jalur.

Pemilihan pola rehabilitasi dan sistem silvikultur tentunya sangat tergantungpada tingkat kerusakan lahan gambut yang dapat dikelompokkan menjaditiga yaitu :

1. Tingkat kerusakan primer (hutan yang ditebang dengan sistem silvikulturTPTI secara konsisten dengan penanaman pengayaan) dapatmenjamin pengelolaan/pemanfaatan secara berkelanjutan.

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

76

2. Tingkat kerusakan sekunder (hutan eks HPH yang tidak bertuan tetapimasih berupa hutan sekunder) dapat dilakukan rehabilitasi dengansistem silvikultur intensif (tidak ada penebangan terlebih dauhulu, tetapidilakukan penanaman secara jalur)

3. Tingkat kerusakan tersier merupakan hutan gambut dengan tingkatkerusakan permanen, akibat penabangan, pembakaran, pembuatansaluran dan terjadi subsidensi sehingga lapisan gambut menjadi tipis,atau lapisan sulfat masam telah teroksidasi, sehingga rehabilitasinyahanya menggunakan jenis-jenis yang sesuai seperti gelam (Melaleucacajuputi) atau jenis lain yang cocok. Lahan seperti ini tidak mungkindapat dikembalikan seperti hutan gambut seperti semula.

Pola rehabilitasi pada kawasan konservasi (taman nasional) denganmenyerahkan pada proses alam ini tentunya hanya dapat dilakukan padaareal bervegetasi yang telah mengalami proses suksesi awal secara positifmenuju ke kondisi hutan yang lebih baik. Untuk areal dengan degradasivegetasi yang sangat parah seperti tanah kosong atau semak belukardengan dominasi paku-pakuan atau alang-alang dimana tidak ada lagiditemukan permudaan pohon atau pohon pioner pola ini tidak mungkin bisadilakukan. Oleh karena itu, pola suksesi alam tersebut hanya diterapkanpada areal dengan penutupan vegetasi :

1. Hutan yang belum terganggu atau telah terganggu dengan permudaanpohon cukup, kerapatan dan penutupan tajuknya masih tinggi baik padagambut dangkal, sedang dan dalam.

2. Areal semak belukar dengan tingkat pancang maupun tiang didominasioleh pohon pionir atau pohon komersial seperti tumih (Combretocarpusrotundus), mahang (Macaranga semiglobosa), bintangur (Calopyillumpulcherrimum), pulai (Alstonia spatulata), milas (Parastemonurophillum), terentang (Camnosperma coriaceum), jelutung (Dyeralowii)

Pada kawasan budidaya (hutan produksi) yang berupa hutan sekunder ataukawasan eks HPH yang masih memiliki jenis-jenis komersial sebagaisumber benih dapat diterapkan Sistem Silvikultur TPTII dengan beberapamodifikasi disesuaikan dengan karakteristik hutan rawa gambut, terutamajenis-jenis unggulan yang dibudidayakan serta teknik pembukaan wilayahhutan (PWH) yang berbeda dengan di lahan kering. Jenis-jenis pohon yangdapat direkomendasikan untuk dikembangkan adalah seperti tertera padaTabel 7.

77

Tabel 7. Beberapa jenis yang dapat direkomendasikan untuk rehabilitasihutan rawa gambut dengan sistem silvikultur TPTII

No. Nama lokal Nama Latin Riap (cm/tahun)1 Ramin Gonystylus bancanus 0.442 Meranti batu Shorea uliginosa 0.503 Balam Palaquium obovatum 0.604 Meranti bunga Shorea teysmanniana 0.685 Pisang-pisang Mezzetia parviflora 0.776 Punak Tetramerista glabra 0.777 Terentang Camnosperma macrophylla 0.918 Geronggang Cratoxylon arborescens 1.08

Source : Istomo (2002)

Pemilihan jenis tersebut tidak semata-mata didasarkan pada riappertumbuhan saja, tetapi didasarkan pula pada aspek konservasi jenis.Oleh karena itu perlu adanya kombinasi antara jenis cepat tumbuh danlambat tumbuh, sehingga bisa menggunakan daur ganda. Di beberapawilayah seperti di Kalimantan Tengah jenis Shorea belangeran dan tumih(Combretocarpus rotundus) anakan alamnya sangat melimpah dantergolong cepat tumbuh

Untuk rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi dengan sistem silvikulturTHPB, dengan monokultur apalagi dengan jenis asing dengan pembuatansaluran drainase sebagai sarana transportasi sebaiknya dihindari. Hal inidikhawatirkan akan mempercepat musnahnya biodiversity flora-fauna darihutan rawa gambut, ancaman meledaknya hama penyakit dan sulit untukdipecahkan adalah adanya subsidensi yang lambat atau cepat akanmenurunkan/memusnahkan lapisan gambut. Kalaupun tetap inginmenerapkan THPB dapat dibuat mosaik dalam petak-petak kecildikombinasikan antara kawasan hutan alam dan hutan tanaman. Dapatpula melakukan modifikasi seperti tertuang didalam PP No 7 tahun 1990tentang kebijakan pengusahaan Hutan Tanaman Industri : tanaman pokok(70%), tanaman unggulan setempat 10%, kawasan lindung 10% dantanaman kehidupan 5% dan sarana prasarana 5%. Penulis berpendapatuntuk HTI di lahan gambut sebanyak mungkin jenis tanaman merupakanjenis yang alami tumbuh di hutan rawa gambut, sedangkan persentaseuntuk kawasan lindung dinaikkan minimal 30%.

Berdasarkan uraian tersebut maka arahan rehabilitasi berdasarkanpenatagunaan lahan, kondisi areal serta araha kegiatan rehabilitasi padahutan rawa gambut yang terdegradasi dapat dilihat pada Tabel 8.

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

78

PENUTUP

1. Degradasi hutan rawa gambut menjadi areal tidak produktif, hutansekunder semak belukar, bekas kebakaran saat ini telah menimbulkanmasalah lingkungan baik pada musim kemarau maupun penghujan.Dengan demikian bukannya fungsi dan manfaat yang diperoleh darikawasan tersebut akan tetapi sebaliknya bencana lingkungan setiaptahun yaang selalu muncul bahkan dalam skala regional.

2. Penatagunaan lahan, identifikasi tingkat degradasi, deliniasi kesesuaianlahan dan kegiatan rehabilitasi harus segera dilakukan. Hutan rawagambut yang masih tersisa harus dipertahankan paling tidak sebagaisumber benih. Pengamanan hutan rawa gambut sekunder darikebakaran hutan yang terus berulang adalah salah satu caramempercepat proses suksesi secara alam.

3. Sistem silvikultur TPTI jika dilaksanakan secara konsisten masih dapatmenjamin pengelolaan hutan rawa gambut secara berkelanjutan

4. Rehabilitasi hutan rawa gambut pada kawasan hutan produksi eks HPHyang masih memiliki jenis-jenis komersial sebagai sumber benih dapatditerapkan sistem silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia

Kawasan hutan Kondisis areal Kegiatan

Baik Pengamanan kawasan, penetapan pohon induk dan sumber benih (khususnya ramin)

Hutan sekunder Pengamanan kawasan. Penanaman pengayaan dengan jenis-jenis lokal dan suksesi alam

Semak belukar Pengadaan bibit dari jenis asli hutan rawa gambut dari luar lokasi, penanaman perkayaan

Konservasi

Terdegradasi Permanen

Penanaman jenis adaptif : gelam dan rumput rawa, suksesi alam

Baik

Pengamanan kawasan dan pemantapan system silvikultur TPTI, penetapan pohon induk dan sumber benih (khususnya ramin)

Hutan sekunder Pengembangan sistem silvikultur TPTII, pembangunan demplot penanaman ramin campuran

Semak belukar Pengembangan hutan tanaman dan sistem Silvikultur TPTII, THPB terbatas dan suksesi alam

Produksi

Terdegradasi Permanen

Penanaman jenis adaptif : gelam, rumput rawa (untuk bahan pembuatan tikar)

Tabel 8. Arahan rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

79

Intensif) dengan modifikasi jenis yang dikembangkan (terutama jenisramin yang menjadi prioritas), kegiatan persiapan lahan danpembangunan sarana prasarana (terutama transportasi masih relevandengan jalan rel bukan dengan pembuatan saluran. Sedangkanrehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi secara permanen dapatdilakukan dengan jenis-jenis adaptif seperti gelam dan rumput rawa(untuk bahan anyaman tikar)

5. Rehabilitasi hutan rawa gambut pada kawasan hutan produksiterdegradasi dengan THPB secara intensif, menggunakan jenis asingdan dengan pembuatan saluran drainase sebaiknya dihindari. Kalaupuntetap ingin menerapkan THPB dapat dibuat mosaik dalam petak-petakkecil dikombinasikan antara kawasan hutan alam dan hutan tanaman(prioritas jenis asli).

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Secretariat. 2005. Strategy and Action Plan for SustainableManagement of Peatlands in ASEAN Member Countries, Under theFramework of the ASEAN Peatland Management Initiative (APMI).Final Draft. ASEAN secretariat with supportfrom GEC

AgroIndonesia. 2006. Daerah Tunggu Kepastian HPH Tanpa Tuan. Vol II.No. 81, 10 Januari 2006

AgroIndonesia. 2006. NGO Garap Restorasi Hutan Jambi. Vol II. No. 81, 10Januari 2006

Briscoe, C.B. 1990. Field trial manual for multipurpose tree species.Winrock International Institute for Agricultural Development. ManualNo.3.

Daryono, H. 1994. Impact of logging on peat swamp forest in CentralKalimantan. Ph.D Thesis. UPLB. Philippines.

Deman, W.L. 1998. Pengaruh campuran media tumbuh dan rootone Fterhadap pertumbuhan anakan ramin (Gonystylus bancanus Kurtz).Thesis S1. Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan. Univ. Palangkaraya

Direktorat Bina Program Kehutanan. 1983. Potensi dan Penyebaran KayuKomersiil di Indonesia. Ramin, Buku 3. Depertemen Kehutanan,Direktorat Jenderal Kehutanan.

PROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDINGPROSIDING Workshop Nasional 2006

80

Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Draft PetunjukPelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif/TPTII (SilvikulturIntensif). Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, DepartemenKehutanan RI.

Hendromono. 1999. Pengaruh manipulasi kondisi lingkungan terhadapprosen berakar stek ramin (Gonystylus bancanus) (The effects ofenvironmental condition manipulation on the rooting percentage oframin (Gonystylus bancanus) cuttings). Buletin Penelitian Hutan: 1 –12.

Herman, Istomo dan C. Wibowo.1997. Studi Pembiakan Stek BatangAnakan Ramin (Gonystylus bancanus) Dengan Menggunakan ZatPengatur Tumbuh Rootone-F pada Berbagai Media Perakaran. Jur.Manajemen Hutan Tropika. Vol IV No 1-2.

Istomo. 1994. Hubungan antara komposisi, struktur dan penyebaran ramin(Gonystylus bancanus) dengan sifat-sifat tanah gambut (Studi kasusdi areal HPH PT. Inhutani III Kalimantan Tengah. Tesis Programpascasarjana IPB. Bogor.

Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium seta Penyebarannya padaTanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut. Disertasi ProgramPasca Sarjana IPB. Tidak Diterbitkan.

Manan, S. 1998. Hutan, Rimbawan dan Masyarakat. IPB Press.

Muin, A. 2003. Pertumbuhan anakan ramin (Gonystylus bancanus(Miq.)Kurtz) dengan inokulasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA)pada berbagai intensitas cahaya dan dosis fosfat alam. DisertasiDoktor (tidak diterbitkan).

Murniati, T. Rostiwati, Hendromono and Istomo. 2005 Review and currentstatus of ramin plantation activities. Technical Report ITTO Pre-Project PPD 87/03 Rev, 2 (F). Identification of Gonystylus spp(Ramin), Potency, Distribution, Conservation and Plantation Barrier.Forestry Reseacrh and Development Agency, Ministry of Forestry.

Soediarto R., R. Soetopo, R.I. Ardikusuma dan L. Darjadi. 1963.Keterangan-Keterangan Tentang Ramin (Gonystylus sp.). LPH danLPHH. Bogor.

Soerianegara, I., Istomo., U. Rosalina dan I. Hilwan. 1994. Evaluasi danpenentuan system pengelolaan hutan ramin yang berazazkankelestarian. Rangkuman Penelitian Hibah Bersaing II. FakultasKehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

81

Soerianegera, I and R.H.M.J. Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (1) Timber trees: Major commercial timbers. Prosea.Page 221-230.

Supriyanto and H. Witjaksono. 1994. Masalah dan teknik prersemaianpengembangan ramin (Gonystylus bancanus). BIOTROPDocomentation. unpublished.