44
EVALUASI KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE JAGUNG LOKAL DAN GALUR-GALUR PEMULIAAN SEBAGAI JAGUNG SEMI NOVIANTI PURNAMA SARI DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

EVALUASI KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE … · Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Botani dan Morfologi 2 Syarat Tumbuh 2 ... (KKG), koefisien

Embed Size (px)

Citation preview

EVALUASI KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE

JAGUNG LOKAL DAN GALUR-GALUR PEMULIAAN

SEBAGAI JAGUNG SEMI

NOVIANTI PURNAMA SARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Karakter

Agronomi Beberapa Genotipe Jagung Lokal dan Galur-galur Pemuliaan sebagai

Jagung Semi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Novianti Purnama Sari

NIM A24110075

__________________________

*.Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak

luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK

NOVIANTI PURNAMA SARI. Evaluasi Karakter Agronomi Beberapa Genotipe

Jagung Lokal dan Galur-galur Pemuliaan sebagai Jagung Semi. Dibimbing oleh

SURJONO HADI SUTJAHJO dan SITI MARWIYAH.

Jagung dapat dipanen dalam bentuk pipilan dan tongkol muda atau jagung

semi. Varietas jagung semi di Indonesia masih belum tersedia sampai saat ini.

Oleh karena itu, perakitan varietas jagung semi penting untuk dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter agronomi beberapa genotipe

jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang berpotensi untuk dikembangkan

sebagai varietas jagung semi. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan

Leuwikopo IPB, Dramaga, Bogor, dari bulan November 2014 sampai Februari

2015. Materi genetik yang digunakan adalah 20 genotipe jagung yang terdiri atas

13 genotipe lokal dan 7 galur-galur pemuliaan. Penelitian disusun dalam

rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan. Peubah yang diamati

tinggi tanaman, diameter batang, jumlah buku tanaman-1, umur muncul bunga

jantan, umur muncul bunga betina, umur panen, jumlah tongkol kotor tanaman-1,

jumlah tongkol bersih tanaman-1, jumlah tongkol kotor buah-1, jumlah tongkol

bersih buah-1, ukuran tongkol (diameter dan panjang tongkol), persentase tongkol

layak pasar dan afkir. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa terdapat

keragaman genotipe jagung yang diujikan. Nilai heritabilitas arti luas tinggi pada

seluruh peubah agronomi yang diamati kecuali pada peubah bobot tongkol kotor

tanaman-1. Analisis korelasi linier menunjukan bahwa semakin cepat bunga jantan

dan bunga betina muncul maka jagung semi akan cepat dipanen. Beberapa

genotipe jagung memiliki jumlah tongkol >2 buah tanaman-1 dan beberapa

menunjukkan potensi prolifik atau tongkol banyak pada suatu buku tanaman.

Genotipe JWP 2.2, JLP1 G9M7, G1G7, G1G8, dan J-CLA 84 memiliki jumlah

tongkol tanaman-1 paling banyak dibandingkan dengan genotipe lainnya. Kualitas

tongkol paling baik yaitu genotipe JWP 2.2 dengan persentase kelas A>B>C dan

persentase tongkol afkir yang rendah. Genotipe yang berpotensi untuk

dikembangkan sebagai jagung semi yaitu genotipe Bajawa 1.1, JWP 1.2, JWP 2.2,

JLP1, G1G7, G1G7, G7M7, dan G9M7.

Kata kunci: karakter agronomi, prolifik, tongkol

ABSTRACT

NOVIANTI PURNAMA SARI. Evaluation of Agronomic Characters in Several

Local Corn and Breeding Genotypes as Baby Corn. Supervised by SURJONO

HADI SUTJAHJO and SITI MARWIYAH.

Corn can be harvested in the form of shelled and of young ears or baby corn. Baby

corn varieties in Indonesia are not many at this time, and therefore, development

of baby corn varieties is considered potential. This study aimed to evaluate some

agronomic characters of local corn and breeding genotypes which are potential to

be further developed as baby corn varieties. The experiment conducted at

Leuwikopo IPB experimental station at Dramaga, Bogor, from November 2014 to

February 2015. The genetic material was consisted of 20 corn genotypes, they

were 13 local genotypes and 7 breeding lines. The experimental was arranged in a

randomized completely block design with three replication. Traits observed were

plant height, stem diameter, number of nodes, day of male flowering, day of

female flowering, day first harvest, number of ears per plant, gross weight of ears

per plant, net weight of ears per plant, gross weight of ears per fruit, net weight of

ears per fruit, ear size (diameter and length), and percentage of marketable and

nonmarketable of baby corn ears. The results of analysis of variance showed that

there are diversity of corn genotypes tested. High broad sense heritability in all

agronomic characters were observed except for gross weight of ears per plant.

Linear correlation analysis showed that the earlier the male and female flowering

the earlier the days to harvest. Some corn genotypes have more than 2 ear per

plant and some showed prolific potential or have several ears in a stem internode.

Genotype JWP 2.2, JLP1, G9M7, G1G7. G1M8, and J-CLA 84 have the number

of ears per plant more than the other genotypes. Genotype JWP 2.2 has a greater

percentage of quality class A than that of Band C, and low percentage of

nonmarketable ear. Genotypes potentially developed as baby corn are Bajawa 1.1,

JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1, G1G7, G1G8, G7M7, and G9M7.

Keywords: agronomic characters, ear, prolific

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

NOVIANTI PURNAMA SARI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

EVALUASI KARAKTER AGRONOMI BEBERAPA GENOTIPE

JAGUNG LOKAL DAN GALUR-GALUR PEMULIAAN

SEBAGAI JAGUNG SEMI

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala

atas segala limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga sehingga karya ilmiah ini

berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak

bulan November ini adalah Evaluasi Karakter Agronomi Beberapa Genotipe

Jagung Lokal dan Galur-galur Pemuliaan sebagai Jagung Semi.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, MS dan Ibu Siti Marwiyah, SP,

MSi yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis

2. Bapak Inan Suryana dan Ibu Komariah selaku orang tua dan seluruh

keluarga yang telah memberikan banyak bantuan dan dorongan baik secara

moriil ataupun materiil

3. Bapak Dr Willy Bayuardi Suwarno, MSi selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan rekomendasi kepada penulis

4. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk menimba ilmu di IPB melalui jalur SNMPTN undangan

5. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas bantuan beasiswa

Bidikmisi untuk menunjang perkuliahan penulis selama di IPB

6. Dompet Dhuafa atas support aktivitas beasiswa aktivis nusantara kepada

penulis selama menjalankan kegiatan organisasi kemahasiswaan di IPB

7. Keluarga Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 (Dandelion) atas

bantuan dan kerja sama selama menjalankan perkuliahan, penelitian, dan

penyelesaian tugas akhir

8. Keluarga besar negarawan muda beasiswa aktivis nusantara yang

memberikan banyak inspirasi dan pembelajaran berharga

9. Sahabat seperjuangan program sinergi S1-S2 (fast track) PBT: Abi,

Usamah, Amel, Galuh, Fittia, Dyra, dan Puput

10. Sahabat seperjuangan selama di organisasi kemahasiswaan BEM TPB IPB

48, BEM Faperta IPB, dan Tim Pendamping Lokus (TPL)

11. Sahabat seperjuangan Senior Resident dan seluruh keluarga besar Asrama

Tingkat Persiapan Bersama IPB

12. Sahabat seperjuangan di komunitas Gerakan Cinta Anak Tani (GCAT) dan

One Day One Thousand (ODOT) yang membangun jiwa sosial penulis

Semoga penelitian yang penulis lakukan dapat memberikan manfaat untuk

banyak orang dan dapat memberikan informasi khususnya untuk pengembangan

jagung semi selanjutnya.

Bogor, Juli 2015

Novianti Purnama Sari

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani dan Morfologi 2

Syarat Tumbuh 2

Jagung Semi 2

Emaskulasi 3

Pemuliaan Jagung Semi 3

METODE PENELITIAN 4

Bahan dan Alat Penelitian 4

Rancangan Percobaan 4

Pelaksanaan Penelitian 4

Pengamatan 5

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kondisi Umum 8

Keragaan Karakter Agronomi 10

Parameter Genetik 22

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 29

RIWAYAT HIDUP 30

DAFTAR TABEL

1 Standar CODEX untuk jagung semi (Brisco 2000) 6

2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak 6

3 Rekapitulasi KT ulangan, KT genotipe, dan KK beberapa peubah

genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 9

4 Nilai tengah tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah buku

tanaman-1 pada beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur

pemuliaan 10

5 Nilai tengah beberapa genotipe jagung berdasarkan kelompok genotipe

dan hasil uji kontras ortogonal beberapa genotipe jagung lokal dan

galur-galur pemuliaan 11

6 Nilai tengah umur muncul bunga jantan, umur muncul bunga betina,

dan umur panen beberapa genotipe lokal dan galur-galur pemuliaan 13

7 Nilai tengah jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih

tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih buah-1 beberapa genotipe

jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 14

8 Potensi produksi kotor dan bersih jagung semi (ton ha-1) beberapa

genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 18

9 Nilai tengah panjang tongkol dan diameter tongkol beberapa genotipe

jagung lokal dan galur-galur pemuliaan 19

10 Pengkelasan tongkol jagung semi pada beberapa genotipe jagung lokal

dan galur-galur pemuliaan 20

11 Nilai ragam genetik (Vg), ragam galat (Ve), ragam fenotipik (Vp),

koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipik

(KKP), dan heritabilitas arti luas (h2bs) beberapa genotipe jagung lokal

dan galur-galur pemuliaan 23

12 Nilai koefisien korelasi antar peubah beberapa genotipe jagung lokal

dan galur-galur pemuliaan 25

DAFTAR GAMBAR

1 Hama dan penyakit yang teridentifikasi menyerang tanaman jagung semi (a) ulat grayak (b) batang tanaman jagung akibat penggerek batang

(c) ulat penggerek tongkol (d) ulat penggerek batang (e) karat daun (f)

hawar daun (g) bulai 8

2 Ciri-ciri rambut tongkol jagung semi yang siap dipanen 9 3 Potensi prolifik tiap ruas tanaman jagung pada beberapa genotipe (a)

G1G7 (b) G7M7 (c) JLP1; tongkol jagung muncul pada akar udara

pada beberapa genotipe (d) JWP 1.2 dan (e) P1021-71; tongkol afkir

muncul di ruas terbawah pada genotipe G9M7 16 4 Penampilan tongkol jagung semi layak pasar kelas A 21 5 Penampilan tongkol jagung semi afkir yang memiliki panjang dan

diameter tongkol tidak sesuai dengan standar CODEX 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data iklim bulanan bulan November 2014 hingga Februari 2015 29

2 Genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang digunakan

sebagai materi genetik dalam penelitian 29

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan jenis tanaman yang banyak dikonsumsi oleh

masyarakat dan memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan. Jagung dapat

dipanen dalam bentuk pipilan dan tongkol muda tanpa biji atau jagung semi.

Jagung semi dipanen muda setelah keluar rambut tongkol dan sebelum terjadinya

pembuahan (Pandey et al. 2010). Pengembangan jagung semi atau baby corn

memiliki prospek yang cukup baik sebagai salah satu produk tanaman jagung

karena permintaan pasar yang tinggi, namun tidak didukung oleh produksinya

(Sutjahjo et al. 2005). Keuntungan dari pengusahaan jagung semi yaitu umur

tanamnya genjah dibandingkan jagung biasa sehingga intensitas penanamannya

tinggi dan biaya input budidaya lebih murah (Goenawan 1988). Pandey et al.

(2010) menjelaskan bahwa Thailand mendominasi ekspor sekitar 80%

perdagangan jagung semi segar di dunia ke 30 negara dan mengekspor jagung

semi yang telah diawetkan ke 100 negara.

Varietas khusus yang digunakan untuk membudidayakan jagung semi di

Indonesia masih belum tersedia. Patola dan Hardiatmi (2011) menjelaskan bahwa

jagung semi di Indonesia merupakan hasil sampingan tanaman jagung dan

pengusahaannya masih terbatas. Varietas yang digunakan untuk membudidayakan

jagung semi masih menggunakan varietas jagung bersari bebas dan jagung hibrida.

Menurut Soemadi dan Muthalib (2000) varietas hibrida menghasilkan tongkol

dengan kualitas baik dan seragam, tetapi harga benih varietas hibrida sangat tinggi

dan memerlukan input tinggi dan pemeliharaan yang intensif. Penggunaan

varietas hibrida tidak efisien dalam produksi jagung semi sehingga diperlukan

varietas khusus yang dikembangkan sebagai jagung semi yang berasal dari plasma

nutfah jagung lokal. Adisarwanto dan Widyastuti (2002) menjelaskan bahwa

varietas bersari bebas relatif lebih murah dan dapat ditanam beberapa kali

sehingga dapat digunakan untuk memproduksi jagung semi dan memelihara

plasma nutfah.

Perakitan khusus jagung semi bertujuan menghasilkan jagung semi yang

bermutu secara kualitas dan kuantitas. Permintaan pasar tidak dapat dipenuhi

akibat produksi yang tidak kontinyu dan mutu yang belum terjamin (Patola dan

Hardiatmi 2011). Pembentukan varietas unggul jagung semi berpedoman pada

karakteristik menurut Yodpetch dan Bautista (1983) yaitu umur panen pendek

(genjah), hasil panen tinggi, jumlah tongkol tiap tanaman banyak (prolifik), dan

tongkol berkualitas baik dalam ukuran dan warna. Tongkol yang berkualitas baik

memiliki tongkol layak pasar tinggi sesuai pengkelasan tongkol jagung semi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakter agronomi beberapa

genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang berpotensi untuk

dikembangkan sebagai varietas jagung semi.

2

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat paling sedikit satu genotipe

yang memiliki sifat prolifik. Suatu genotipe jagung yang diuji memiliki karakter

agronomi yang baik dalam produksi jagung semi untuk karakter tinggi tanaman,

diameter batang, jumlah buku tanaman-1, umur muncul bunga jantan, umur

muncul bunga betina, umur panen, jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor

tanaman-1, bobot tongkol bersih tanaman-1, bobot tongkol kotor buah-1, bobot

tongkol bersih buah-1, diameter tongkol, panjang tongkol, tongkol layak pasar, dan

tongkol afkir.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi

Jagung merupakan tanaman berumah satu (monoecius) karena bunga jantan

dan bunga betina terpisah dalam satu tanaman (Poehlman dan Borthakur 1969).

Jagung termasuk famili poaceae, genus zea, dan spesies Zea mays L. Tanaman

jagung merupakan herba monokotil semusim. Bunga betina tumbuh dan

berkembang di ketiak daun sebagai tongkol. Bunga jantan tumbuh sebagai

perbungaan ujung (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Menurut Purwono dan

Hartono (2005) jagung memiliki akar serabut yang terdiri dari akar seminal, akar

adventif, dan akar udara. Jagung tidak memiliki percabangan batang, memiliki

bentuk silinder dan terdiri dari beberapa ruas dan buku ruas. Jumlah buku

tanaman jagung 10-20 buku per tanaman, tongkol akan muncul pada buku ke-6

atau ke-7 (Singh 1987).

Syarat Tumbuh

Produktivitas jagung dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tempat

tumbuh atau tanah, air, dan iklim. Menurut Purwono dan Hartono (2005) jenis

tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol, Latosol, dan Grumosol.

Kemiringan tanah yang optimum untuk tanaman jagung maksimum 8% dan

memerlukan tanah dengan aerasi dan ketersediaan air dalam kondisi baik.

Keasamaan tanah yang baik untuk pertumbuhan jagung menurut Purwono dan

Hartono (2005) adalah 5.6-7.5 pada tanah yang memiliki keasamaan kurang dari

5.5 tanaman jagung akan mengalami keracunan ion aluminium dan tidak bisa

tumbuh maksimal. Menurut Purwono dan Purnamawati (2007) jagung dapat

tumbuh baik pada 0-50o LU hingga 0-40o

LS dengan curah hujan 85-200

mm/bulan pada lahan yang tidak beririgasi dan suhu ideal 23-27o C.

Jagung Semi

Jagung semi merupakan bunga tanaman jagung yang belum dibuahi dan

belum terbentuk biji. Soemadi dan Mutholib (2000) menjelaskan bahwa panen

jagung semi dilakukan saat tanaman berumur 1-1.5 bulan dengan memetik bunga

betina berupa tongkol. Jagung semi sebagai komoditas hortikultura memiliki rasa

3

yang manis. Tanda-tanda yang dapat ditentukan untuk pemanenan jagung semi

antara lain: biji pada bunga betina mulai terisi zat pati yang berbentuk seperti

cairan susu, biji belum keras, cairan putih seperti susu akan keluar jikat dipijit,

panjang rambut jagung pada tongkol antara 3-5 cm, kelobot pada tongkol jagung

berwarna hijau, dan kondisi tanaman jagung berwarna hijau dan segar

(Adisarwanto dan Widyastuti 2002). Jagung semi dipanen secara manual

menggunakan tangan yang dilakukan 1-2 hari setelah bunga betina mengeluarkan

rambut (silking). Pemanenan harus dilakukan segera setelah silking agar tongkol

tidak keras dan berukuran terlalu besar.

Emaskulasi

Emaskulasi atau yang dikenal dengan pembuangan bunga jantan.

Emaskulasi bertujuan untuk mempercepat perkembangan tongkol sehingga panen

dapat serempak, meningkatkan produksi dan kualitas serta mengarahkan fotosintat

terpusat pada perkembangan tongkol (Rukmana 1997). Menurut Goenawan

(1988) emaskulasi menyebabkan penyerbukan tidak terjadi dan energi yang

digunakan untuk mekarnya bunga jantan dan penyerbukan dialihkan untuk

memperbanyak pembentukan tongkol. Emaskulasi dilakukan pada saat bunga

jantan masih muda dan sudah keluar dari daun bendera. Bunga jantan dicabut

dengan menggunakan tangan atau dapat menggunakan gunting.

Pemuliaan Jagung Semi

Peningkatan produksi jagung semi dapat diupayakan dengan perakitan

varietas khusus. Perakitan varietas jagung semi dilakukan melalui kegiatan

pemuliaan mulai dari koleksi, evaluasi dan seleksi untuk meneliti potensi jagung

untuk dapat dikembangkan sebagai jagung semi (Sutjahjo et al. 2005). Menurut

Mangoendidjojo (2007) untuk memperoleh suatu varietas unggul dalam kegiatan

pemuliaan tanaman memerlukan pengetahuan sifat-sifat tanaman yang akan

dimuliakan dan hubungan antar sifat-sifat tersebut. Pemuliaan jagung dilakukan

untuk meningkatkan potensi hasil secara genetik dan memiliki umur panen yang

genjah (Budiarti 2007). Berdasarkan kecenderungan jagung dalam menghasilkan

tongkol dengan jumlah tertentu, jagung dapat dibedakan menjadi tipe non prolifik

dan prolifik. Tipe non prolifik cenderung bertongkol tunggal sedangkan tipe

prolifik mempunyai dua tongkol atau lebih (Yudiwanti et al. 2006). Potensi

prolifik tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan varietas jagung semi

yang bertongkol banyak. Tanaman jagung yang memiliki tongkol banyak

(prolifik) akan meningkatkan produksi jagung semi.

4

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dimulai dari bulan November 2014 sampai dengan bulan

Februari 2015. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, IPB

Dramaga – Bogor. Ketinggian tempat penelitian yaitu 201 m dpl. Informasi

temperatur, kelembaban udara rata-rata dan curah hujan rata-rata disajikan pada

Lampiran 1.

Bahan dan Alat Penelitian

Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah 20 genotipe

jagung (lampiran 2) yang terdiri atas 13 genotipe lokal (JKK1, JWP1.2, JWP2.2,

JLP1, Bajawa 1.3, Bajawa 1.11, Bajawa 1.5, Bajawa 1.15, Bajawa 1.2, Bajawa 1.9,

Bajawa 1.19, Bajawa 1.1, dan Bajawa 1.10) serta 7 galur-galur pemuliaan (G9M7,

G1M7, G1G7, G1G8, G7M7, J CLA-84, dan P1042-71). Pupuk yang digunakan

adalah pupuk tunggal dengan dosis 300 kg urea ha-1, 200 kg SP-36 ha-1, 100 kg

KCl ha-1 dan pupuk kandang. Kapur pertanian digunakan untuk menstabilkan pH.

Pengendalian hama menggunakan insektisida Karbofuran 3G. Peralatan yang

digunakan yaitu alat pertanian umum, traktor, cangkul, kored, ember, ajir, tali,

meteran, penggaris, jangka sorong, dan timbangan analitik.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal dengan genotipe

sebagai perlakuan. Jumlah ulangan yang digunakan sebanyak tiga ulangan yang

ditempatkan secara acak sehingga diperoleh 60 satuan percobaan. Setiap satuan

percobaan terdapat 40 tanaman dan diambil 10 tanaman sebagai tanaman contoh.

Model rancangan yang akan digunakan menurut Gomez dan Gomez

(1995) adalah:

Υij = μ + αi + βj + εi

Keterangan:

Yij = Respon pengamatan pada genotipe ke-i ulangan ke j

μ = Nilai tengah umum

α i = Pengaruh genotipe ke-i (i= 1, 2, 3, …20)

β i = Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2, 3)

εij = Pengaruh galat percobaan genotipe ke-i ulangan ke-j

Pelaksanaan Penelitian

Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan dilakukan dengan menggunakan traktor untuk

membalikan tanah. Pemecahan bongkahan tanah dilakukan dengan menggunakan

cangkul untuk menggemburkan tanah. Seminggu sebelum penanaman diberikan

pupuk kandang dan kapur pertanian. Setelah satu minggu dilakukan pemetakan

dengan ukuran 18 m x 16 m untuk tiap ulangan.

5

Penanaman Benih yang ditanam sebanyak satu benih lubang-1 tanam dan diikuti

dengan pemberian insektisida (karbofuran 3G) untuk pengendalian hama lalat

bibit dan serangan semut yang dapat merusak benih serta menghambat

perkecambahan. Setiap genotipe ditanam dalam satu baris dengan jarak tanam 80

cm x 20 cm sehingga populasi setiap genotipe sebanyak 40 tanaman per ulangan.

tanaman disulam pada saat 1 Minggu Setelah Tanam (MST).

Pemupukan

Pemupukan dilakukan dengan cara dialur dengan jarak ± 7 cm dari lubang

tanam. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 300 kg urea ha-1, 200 kg SP-36 ha-1,

dan 100 kg ha-1 KCl. Pupuk urea diberikan setengah dosis rekomendasi pada saat

tanam dan sisanya diberikan 4 MST. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan satu dosis

rekomendasi pada saat tanam saja.

Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiraman, pengendalian gulma

(penyiangan), pembumbunan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman

dilakukan selama 1 MST. Penyiangan dilakukan saat tanaman berumur 2-4 MST

bersamaan dengan pembumbunan. Pengendalian penyakit dilakukan secara

manual dengan mencabut tanaman jagung yang terkena serangan penyakit bulai.

Pengendalian hama menggunakan insektisida karbofuran 3G untuk

mengendalikan hama lalat bibit diaplikasikan saat tanam.

Emaskulasi Pembuangan bunga jantan (emaskulasi) dilakukan setelah bunga jantan

jagung keluar dari daun bendera. Emaskulasi bunga jantan dilakukan sebelum

mekar. Emaskulasi dilakukan secara manual menggunakan tangan dengan cara

mencabutnya. Pencabutan memperhatikan daun bendera agar tidak rusak.

Pemanenan Kegiatan pemanenan pada umumnya dilakukan 3-5 hari setelah bunga

betina muncul dan belum dibuahi. Bagian tongkol sudah keluar rambut 3-5 cm

dan warna kelobot hijau tua. Cara melakukan pemanenan yaitu dengan memotong

pangkal tongkol dari batang.

Pengamatan

Pengamatan dilaksanakan terhadap 10 tanaman contoh yang diambil secara

acak pada setiap genotipe. Peubah yang diamati antara lain: (1) tinggi tanaman

(cm), diukur pada pangkal batang sampai ujung daun tertinggi saat ditegakan; (2)

diameter batang (cm), diukur pada bagian ruas sekitar 5 cm dari ruas terakhir; (3)

jumlah buku tanaman-1 (buku), dihitung dari buku terbawah sampai leher malai;

(4) umur muncul bunga jantan (HST), ditentukan ketika 50% dari populasi

tanaman telah muncul malai; (5) umur muncul bunga betina (HST), ditentukan

ketika 50% dari populasi tanaman telah keluar tongkol; (6) umur panen (HST),

ditentukan berdasarkan nilai rata-rata umur petik tongkol pertama pada setiap

tanaman contoh; (7) jumlah tongkol tanaman-1 (tongkol), dihitung berdasarkan

6

semua tongkol yang muncul pada setiap tanaman contoh; (8) bobot tongkol kotor

tanaman-1 (g), ditimbang berdasarkan bobot semua tongkol beserta kelobot dan

rambutnya dari setiap tanaman contoh; (9) bobot tongkol bersih tanaman-1 (g),

ditimbang berdasarkan bobot tongkol tanpa kelobot dan rambut tongkol dari

setiap tanaman contoh; (10) bobot tongkol kotor buah-1 (g), ditimbang berdasarkan

bobot tongkol buah-1 beserta kelobot dan rambutnya dari setiap tanaman contoh;

(11) bobot tongkol bersih buah-1 (g), ditimbang berdasarkan bobot tongkol tanpa

kelobot dan rambut tongkol buah-1 dari setiap tanaman contoh; (12) ukuran

tongkol (cm), dilakukan pengukuran terhadap panjang tongkol dan diameter

tongkol. Pengukuran panjang tongkol dimulai pada bagian pangkal tongkol

sampai ujung tongkol sedangkan diameter tongkol diukur pada bagian pangkal

tongkol (bagian tongkol terbesar); (13) persentase tongkol layak pasar (%),

diamati dengan menghitung persentase tongkol genotipe-1 yang memenuhi kelas

pasar sesuai standar CODEX (Brisco 2000); (14) persentase tongkol afkir (%),

dihitung berdasarkan persentase tongkol afkir genotipe-1.

Tabel 1. Standar CODEX untuk jagung semi

Analisis Data

Analisis Ragam dan Nilai Tengah

Data kuantitatif hasil pengamatan diolah dengan menggunakan uji F untuk

mengetahui adanya pengaruh genotipe yang diteliti. Masing-masing peubah

dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dari Rancangan Kelompok

Lengkap Teracak (RKLT) menurut (Gomez dan Gomez 1995).

Tabel 2 Sidik ragam rancangan kelompok lengkap teracak

Sumber

Keragaman

Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

Tengah E (KT) F hitung

Ulangan r-1 JKu KT σ2ɛ + σ2

β

Genotipe t-1 JKg KTg σ2ɛ + σ2

g KTg/KTe

Galat (r-1)(t-1) Jke KTe σ2 ɛ

Total terkoreksi rt-1 Jku

Peubah yang berbeda nyata akan dianalisis lanjut dengan uji jarak berganda

dari Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) dan uji kontras ortogonal pada taraf

0.05 untuk mengetahui genotipe terbaik.

Kode Ukuran (kelas) Panjang Tongkol (cm)

A 5.0-7.0

B 7.0-9.0

C 9.0-12.0 Semua ukuran, minimal harus memiliki diameter tongkol

1-2 cm, kelas yang paling baik adalah kelas A

7

Pendugaan Heritabilitas

Pengujian pendugaan heritabilitas untuk mengetahui pengaruh genetik dan

lingkungan terhadap fenotipik tanaman. Menurut Allard (1960) nilai dugaan

heritabilitas dalam arti luas (h2bs) didapatkan dari perhitungan nilai ragam fenotipe

dan ragam genotipe dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

𝜎2𝜀 = 𝑉𝐸 = 𝐾𝑇𝑒

𝑟

𝜎2𝛾 = 𝑉𝐺 = 𝐾𝑇𝑔 − 𝐾𝑇𝑒

𝑟

𝜎2𝑝 = 𝑉𝑃 = 𝑉𝐺 + 𝑉𝐸

Rumus pendugaan heritabilitas sebagai berikut: h2bs =

𝑉𝐺

𝑉𝑃

Stanfield (1991) menjelaskan bahwa kriteria nilai heritabilitas (h2bs) terdiri atas

tiga kelas yaitu: Heritabilitas rendah = h2

bs < 0.2

Heritabilitas sedang = 0.2 ≤ h2bs ≤ 0.5

Heritabilitas tinggi = 0.5 < h2bs <1.0

Koefisien Keragaman Genetik (KKG)

Pengujian nilai Koefiesien Keragaman Genetik (KKG) untuk melihat

tingkat keragaman yang ada antar genotipe yang diuji. Rumus perhitungan

koefisien keragam genetik adalah sebagai berikut:

KKG = √𝑉𝐺

�� x 100%

Keterangan: KKG = koefisien keragaman genetik

VG = ragam genetik

x = nilai tengah populasi

Moedjiono dan Mejaya (1994) menjelaskan bahwa kriteria koefisien

keragaman genetik relatif dibedakan menjadi: rendah (0% < x ≤ 25%), agak

rendah (25% < x ≤ 50%), cukup tinggi (50% < x ≤ 75%), dan tinggi (75% < x ≤

100%).

Koefisien Korelasi

Nilai koefisien korelasi (r) digunakan untuk mengamati keeratan hubungan

antar dua peubah. Pendugaan nilai koefisien korelasi menggunakan rumus sebagai

berikut:

Keterangan: KTg = kuadrat tengah genotipe

KTe = kuadrat tengah galat

VG = ragam genotipe

VE = ragam lingkungan

VP = ragam fenotipe

r = banyaknya ulangan

8

𝑟(𝑥𝑦) =(𝑥𝑖 − ��)(𝑦𝑖 − ��)

√(𝑥𝑖 − ��)2(𝑦𝑖 − ��)2

Keterangan : r (xy) = koefisien korelasi peubah x dan y

xi = nilai pengamatan ke-i pada peubah pertama

yi = nilai pengamatan ke-i pada peubah kedua

Nilai koefisien korelasi berada di antara -1 dan +1. Kedua peubah yang

diamati keeratan hubungannya menunjukan hubungan linier sempurna jika nilai r

sama dengan 1 atau -1. Nilai r sama dengan nol menunjukan hubungannya tidak

linier atau tidak ada hubungan antara kedua peubah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Pertumbuhan tanaman cukup baik, dengan rata-rata daya tumbuh dari 20

genotipe adalah 97.86% karena didukung oleh ketersediaan air yang cukup pada

awal penanaman. Menurut data BMKG (2015) curah hujan bulan November 2014

sebesar 673.2 mm dan curah hujan selama penelitian berlangsung (November

2014 hingga Februari 2015) adalah 371.2 mm dengan kelembaban udara 71% dan

temperatur 25.7oC (Lampiran 1).

Gambar 1 Hama dan penyakit yang teridentifikasi menyerang tanaman jagung

semi. (a) ulat grayak (b) batang tanaman jagung akibat penggerek

batang (c) ulat penggerek tongkol (d) ulat penggerek batang (e) karat

daun (f) hawar daun (g) bulai

d c b a

e f g

9

Gambar 1 memperlihatkan beberapa hama dan penyakit yang menyerang

tanaman jagung selama penelitian terlihat saat tanaman berumur 4 MST berupa

belalang (Melanoplus sp.), hama ulat penggerek tongkol (Heliothis armigera) dan

ulat penggerek batang (Sesamia inferens). Penyakit bulai (Sclerospora maydis)

menyerang tanaman jagung yang masih muda berumur sekitar 3 MST untuk

menghindari penyebaran penyakit bulai dilakukan pencabutan dan pembuangan

tanaman jagung yang terserang. Penyakit lain yang menyerang tanaman jagung

selama penelitian adalah karat (Puccinia sp.) dan hawar daun (Helminthosporium

maydis). Penyakit karat menyebabkan daun tanaman jagung mengering pada

tingkatan serangan yang tinggi sedangkan gejala penyakit hawar ditandai dengan

bercak-bercak coklat kecil yang membesar dan berwarna coklat kehijauan pada

daun (Semangun 1991).

Gambar 2 Ciri-ciri rambut tongkol jagung semi yang siap dipanen

Emaskulasi dilakukan secara manual setelah bunga jantan jagung keluar dari

daun bendera. Wych (1988) menyatakan bahwa pembuangan bunga jantan dapat

meningkatkan hasil produksi karena dapat menurunkan naungan daun bagian atas

dan juga mengurangi kompetisi fotosintat dan nutrisi antara tongkol dan bunga

jantan (tassel). Pemanenan jagung semi dilakukan setelah rambut tongkol keluar

3-5 cm dan warna kelobot jagung hijau tua. Panjang rambut tongkol ini dapat

menjadi kriteria panen karena semakin panjang rambut tongkol maka tongkol

akan semakin panjang dan membesar.

Hasil rekapitulasi analisis ragam (Tabel 3) pengaruh pengelompokan secara

umum tidak nyata untuk peubah yang diamati kecuali pada peubah jumlah buku

dan bobot tongkol kotor buah-1 yang menunjukan berpengaruh sangat nyata.

Pengelompokan berpengaruh nyata pada peubah bobot tongkol bersih tanaman-1,

dan bobot tongkol bersih buah-1. Pengaruh pengelompokan yang nyata

mengindikasikan lingkungan yang heterogen. Genotipe berpengaruh nyata

terhadap semua peubah pengamatan kecuali pada peubah bobot tongkol tanaman-1.

Pengaruh genotipe yang nyata mengindikasikan faktor genetik lebih berperan

dibandingkan faktor lingkungan.

10

Tabel 3 Rekapitulasi KT ulangan, KT genotipe, dan KK beberapa peubah

genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan

Peubah KT ulangan KT genotipe KK (%)

Tinggi tanaman 252.48 tn 5.354.75 ** 5.54

Diameter batang 0.02 tn 0.05 * 7.33

Jumlah buku tanaman-1 17.62 ** 2.98 ** 7.57

Umur muncul bunga jantan 2.79 tn 38.25 ** 6.07

Umur muncul bunga betina 3.62 tn 69.68 ** 4.06

Umur panen 7.18 tn 70.85 ** 3.51

Jumlah tongkol tanaman-1 0.77 tn 1.12 ** 19.05

Bobot tongkol kotor tanaman-1 10.313.85 tn 2.123.37 tn 27.91

Bobot tongkol bersih tanaman-1 336.91 * 202.98 * 27.93

Bobot tongkol kotor buah-1 1.271.09 ** 625.13 ** 16.57

Bobot tongkol bersih buah-1 13.79 * 13.63 ** 16.73

Diameter tongkol 0.02 tn 0.03 * 7.72

Panjang tongkol 0.99 tn 3.07 ** 6.00 * = berbeda nyata pada taraf 5%; ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1 %; tn = tidak

berbeda nyata, KT= kuadrat tengah, KK= koefisien keragaman

Keragaan Karakter Agronomi

Karakter Vegetatif

Karakter vegetatif tanaman jagung diamati setelah muncul bunga jantan

(keluarnya malai) karena tanaman jagung tidak akan bertambah tinggi setelah

malai keluar. Keragaan karakter vegetatif genotipe jagung lokal dan galur-galur

pemuliaan disajikan pada Tabel 4.

Tinggi Tanaman

Genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, artinya,

Genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan memiliki perbedaan tinggi

tanaman. Genotipe lokal memiliki tinggi tanaman 264.03-344.57 cm sedangkan

galur-galur pemuliaan 196.20-257.53 cm (Tabel 4). Rataan umum tinggi tanaman

jagung sebesar 261.83 cm. Galur-galur pemuliaan memiliki tinggi tanaman yang

nyata lebih rendah dibandingkan genotipe lokal berdasarkan uji kontras ortogonal

(Tabel 5) dan lebih rendah dari rataan umum.

Genotipe lokal JKK1 memiliki tinggi tanaman paling tinggi dibandingkan

dengan genotipe lokal lainnya yaitu 344.57 cm. Tinggi tanaman akan

memperpanjang masa vegetatif tanaman, semakin tinggi tanaman masa vegetatif

akan semakin panjang. Hal tersebut dibuktikan pada Tabel 6 yang menunjukan

bahwa umur muncul bunga jantan dan bunga betina genotipe JKK1 lebih lama

dibandingkan dengan genotipe lainnya. Genotipe jagung yang memiliki fase

vegetatif panjang tidak sesuai dengan kriteria jagung semi yaitu berumur panen

genjah.

11

Tabel 4 Nilai tengah tinggi tanaman, diamater batang dan jumlah buku tanaman-1

pada beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan

Genotipe Tinggi

tanaman (cm)

Diameter

Batang (cm)

Jumlah buku

tanaman-1

Lokal

JKK1 344.57 a 2.11 abc 13.4 ab

JWP 1.2 276.50 cde 2.00 abc 12.2 abcd

JWP 2.2 264.03 de 2.11 abc 11.9 abcde

JLP1 295.27 bc 2.23 a 11.9 abcde

Bajawa 1.3 271.63 cde 2.13 abc 12.1 abcde

Bajawa 1.11 281.72 bcde 2.01 abc 12.0 abcde

Bajawa 1.5 296.23 bc 2.13 abc 12.7 abc

Bajawa 1.15 286.67 bcd 2.06 abc 12.2 abcd

Bajawa 1.2 305.30 b 2.09 abc 12.6 abc

Bajawa 1.9 287.77 bcde 2.13 abc 12.2 abcd

Bajawa 1.19 283.20 bcde 2.12 abc 12.6 abc

Bajawa 1.1 288.20 bcd 2.20 ab 12.4 abcd

Bajawa 1.10 264.07 de 2.07 abc 11.3 cde

Pemuliaan

G9M6 215.90 f 1.96 abc 12.4 abcd

G1M6 201.30 f 1.96 abc 13.0 abc

G1G7 220.93 f 1.97 abc 10.7 def

G1G8 204.80 f 1.85 cd 11.5 cde

G7M7 196.20 f 1.68 d 9.5 f

J-CLA 84 257.53 e 1.93 bc 13.7 a

P1042-71 194.87 f 1.92 bcd 10.4 ef

Rataan umum 261.83 2.03 12.0 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Diameter Batang

Genotipe berpengaruh nyata sangat nyata terhadap diamater batang,

artinya, diameter setiap genotipe memiliki perbedaan ukuran. Diameter batang

paling kecil terdapat pada galur G7M7, G1G7, dan P1041-71. Uji kontras

ortogonal memperlihatkan bahwa diameter batang genotipe lokal nyata memiliki

ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan galur-galur pemuliaan (Tabel 5).

Rataan umum diameter batang sebesar 2.03 cm. Diameter genotipe lokal

berukuran 2.00-2.23 cm, sedangkan galur-galur pemuliaan memiliki diameter

1.68-1.97 cm (Tabel 4).

Keadaan di lapang menunjukan bahwa semakin besar diameter batang

maka tanaman akan semakin kokoh. Diameter batang yang kokoh akan mampu

menopang banyak tongkol dalam satu tanaman. Selain itu, banyak terbentuk akar

udara pada ruas paling bawah. Akar udara tersebut berperan dalam penyerapan

hara yang dibutuhkan tanaman jagung.

12

Tabel 5 Nilai tengah beberapa karakter jagung berdasarkan kelompok genotipe

dan hasil uji kontras ortogonal beberapa genotipe jagung lokal dan galur-

galur pemuliaan

Peubah Rata-rata galur

pemuliaan

Rata-rata

genotipe lokal Pr > F

Tinggi tanaman 213.08 288.22 <.0001

Diameter batang 1.90 2.11 <.0001

Jumlah buku tanaman-1 11.59 12.27 0.0240

Umur muncul bunga jantan 49.19 50.74 0.l042

Umur muncul bunga betina 50.14 54.41 <.0001

Umur panen 55.08 59.43 <.0001

Jumlah tongkol tanaman-1 3.51 2.75 <.0001

Bobot tongkol kotor tanaman-1 192.85 207.94 0.6730

Bobot tongkol bersih tanaman-1 35.07 31.91 0.0704

Bobot tongkol kotor buah-1 55.55 74.94 <.0001

Bobot tongkol bersih buah-1 11.10 11.73 0.0813

Diameter tongkol 1.37 1.43 0.0220

Panjang tongkol 9.97 9.07 <.0001

Jumlah Buku Tanaman-1

Genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah buku tanaman-1, artinya,

jumlah buku antara genotipe lokal dan hasil pemuliaan terdapat perbedaan.

Genotipe lokal memiliki rataan jumlah buku tanaman-1 sebanyak 11.87-13.40

buku, sedangkan galur-galur pemuliaan sebanyak 9.53-13.73 buku (Tabel 4).

Genotipe lokal JWP 2.2, JLP1, Bajawa 1.11, dan Bajawa 1.10 memiliki jumlah

buku tanaman-1 yang rendah dibandingkan rataan umum. Galur-galur pemuliaan

yang memiliki jumlah buku tanaman-1 rendah dibandingkan rataan umum yaitu

G1G7, G1G8, G7M7, dan P1042-71.

Genotipe lokal memiliki jumlah buku tanaman-1 paling tinggi

dibandingkan dengan galur-galur pemuliaan berdasarkan uji kontras ortogonal.

Nilai tengah jumlah buku tanaman-1 disajikan pada Tabel 5 yaitu genotipe lokal

sebanyak 12.27 (lebih tinggi dari rataan umum), sedangkan nilai tengah jumlah

buku tanaman-1 galur-galur pemuliaan sebanyak 11.59 (lebih rendah dari rataan

umum). Buku merupakan tempat keluarnya tongkol jagung. Setiap buku

berpotensi menghasilkan tongkol. Sehingga, semakin banyak buku tanaman-1

berpeluang menghasilkan tongkol jagung yang banyak.

Karakter Generatif dan Umur Panen

Karakter generatif diamati setelah tanaman jagung menghasilkan bunga

jantan dan betina. Umur panen diamati setelah tongkol jagung mengeluarkan

rambut tongkol sekitar 3-5 cm. Karakter generatif dan umur panen beberapa

genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan disajikan pada Tabel 6.

13

Tabel 6 Nilai tengah umur muncul bunga jantan, umur muncul bunga betina dan

umur panen beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan

Genotipe Umur muncul bunga

jantan (HST)

Umur muncul bunga

betina (HST)

Umur panen

(HST)

Lokal

JKK1 61.2 a 66.3 a 71.1 a

JWP 1.2 47.0 cde 51.3 efgh 54.8 ghi

JWP 2.2 48.7 bcde 50.3 fgh 55.4 ghi

JLP1 47.0 cde 48.3 hi 53.4 ij

Bajawa 1.3 51.3 bc 55.0 cde 60.2 cde

Bajawa 1.11 51.3 bc 53.7 cdef 58.5 defg

Bajawa 1.5 51.3 bc 59.7 b 64.3 b

Bajawa 1.15 50.0 bcd 56.7 bc 61.6 bcd

Bajawa 1.2 50.3 bcd 51.3 efgh 56.2 fghi

Bajawa 1.9 52.0 bc 56.0 bcd 62.5 bc

Bajawa 1.19 50.7 bc 54.7 cde 59.6 cdef

Bajawa 1.1 49.3 cde 52.7 cdefg 57.7 efgh

Bajawa 1.10 49.7 bcd 53.0 cdefg 57.3 efghh

Pemuliaan

G9M7 51.7 bc 53.3 cdef 58.6 defg

G1M7 50.7 bc 53.0 cdefg 58.1 defg

G1G7 44.7 de 44.0 j 48.8 k

G1G8 48.7 cde 49.0 ghi 54.0 hij

G7M7 43.7 e 46.0 ij 50.8 jk

J-CLA 84 53.3 b 53.3 cdef 58.3 defg

P1042-71 51.7 bc 52.3 defgh 57.0 efghi

Rataan umum 50.2 53.0 57.9

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Umur Muncul Bunga Jantan

Umur muncul bunga jantan galur-galur pemuliaan yaitu 43.67-53.33 HST,

sedangkan genotipe lokal yaitu 47.00-61.20 HST (Tabel 6). Rataan umum umur

muncul bunga jantan yaitu 50.21 HST. Genotipe lokal yang memiliki umur

muncul bunga jantan yang genjah yaitu JWP 1.2, JWP 2.2, Bajawa 1.1, dan JLP1.

Sedangkan galur-galur pemuliaan yang memiliki umur muncul bunga jantan yang

genjah yaitu G7M7, G1G7, dan G1G8.

Galur-galur pemuliaan dan genotipe lokal memiliki umur muncul bunga

jantan yang genjah. Sehingga, uji kontras ortogonal tidak menunjukan umur

muncul bunga jantan yang paling genjah dari galur-galur pemuliaan dan genotipe

lokal. Nilai tengah galur-galur pemuliaan dan genotipe lokal masing-masing yaitu

49.19 HST dan 50.74 HST (Tabel 5). Umur muncul bunga jantan yang genjah

merupakan kriteria yang dapat digunakan dalam produksi jagung semi.

Umur Muncul Bunga Betina

Bunga betina pada jagung merupakan tongkol yang akan dipanen. Bunga

betina galur-galur pemuliaan muncul pada 44.00-53.33 HST, sedangkan genotipe

14

lokal muncul pada 48.33-66.33 HST (Tabel 6). Galur G1G7 dan G7M7 memiliki

umur muncul bunga betina yang genjah dibandingkan dengan genotipe lokal dan

galur-galur pemuliaan lainnya. Bunga jantan dan bunga betina galur G1G7

muncul hampir bersamaan dengan nilai tengah masing-masing 44.67 HST dan 44

HST.

Umur muncul bunga betina galur-galur pemuliaan lebih genjah

dibandingkan genotipe lokal berdasarkan uji kontras ortogonal. Nilai tengah umur

muncul bunga betina galur-galur pemuliaan yaitu 50.14 HST dan genotipe lokal

yaitu 54.41 HST (Tabel 5). Umur muncul bunga betina akan menentukan umur

panen jagung semi. Semakin genjah umur muncul bunga betina maka umur panen

juga akan semakin genjah. Umur muncul bunga betina yang genjah merupakan

kriteria yang dapat digunakan dalam produksi jagung semi.

Umur Panen

Umur panen galur-galur pemuliaan yaitu 48.77-58.57 HST dan genotipe

lokal yaitu 53.37-71.10 HST (Tabel 6). Galur G7M7 dan G1G7 memiliki umur

panen yang genjah yaitu masing-masing pada 48.77 HST dan 50.83 HST. Umur

panen genotipe G1G7 lebih cepat dibandingkan dengan genotipe G7M7. Hal

tersebut terjadi karena, bunga betina galur G1G7 muncul lebih awal dibandingkan

dengan bunga jantannya. Sehingga, umur panen sangat dipengaruhi umur muncul

bunga betina.

Uji kontras ortogonal menunjukan bahwa galur-galur pemuliaan memiliki

umur panen yang lebih genjah dibandingkan genotipe lokal. Nilai tengah galur-

galur pemuliaan yaitu 55.08 HST, sedangkan genotipe lokal yaitu 59.43 HST

(Tabel 5). Umur panen yang genjah merupakan kriteria dalam produksi jagung

semi (Yodpetch dan Bautista 1983).

Karakter Hasil

Karakter hasil jagung semi beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur

pemuliaan yaitu jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih

tanaman-1, serta bobot tongkol dan bersih buah-1 yang disajikan pada Tabel 7.

Jumlah Tongkol Tanaman-1

Galur-galur pemuliaan memiliki jumlah tongkol tanaman-1 sebanyak

2.7-4.4, sedangkan genotipe lokal sebanyak 2.1-3.4 tongkol tanaman-1 (Tabel 7).

Rataan umum jumlah tongkol tanaman-1 yaitu 3.0. Genotipe lokal dan galur

pemuliaan yang memiliki rataan jumlah tongkol tanaman-1 yang tinggi yaitu

G9M7, G1G7, G1G8, J-CLA 84, JWP 2.2, dan JLP1.

Galur-galur pemuliaan nyata menghasilkan jumlah tongkol tanaman-1

lebih banyak dibandingkan dengan kelompok genotipe lokal berdasarkan uji

kontras ortogonal. Nilai tengah jumlah tongkol tanaman-1 galur-galur pemuliaan

yaitu 3.51, sedangkan genotipe lokal yaitu 2.75 (Tabel 5). Banyaknya jumlah

tongkol per tanaman merupakan kriteria jagung semi. Menurut Yudiwanti et al.

(2006) Tanaman jagung yang yang mempunyai tongkol dua atau lebih merupakan

tipe prolifik (bertongkol banyak). Sifat prolifik ditentukan oleh kemampuan

genetik tanaman untuk menghasilkan tongkol yang banyak. Pengembangan

jagung semi sebagai suatu komoditas hortikultura dapat memanfaatkan potensi

prolifik untuk mendapatkan produksi hasil yang banyak dan berkualitas.

15

Tabel 7 Nilai tengah jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih

tanaman-1, bobot tongkol kotor dan bersih buah1 beberapa genotipe

jagung lokal dan galur-galur pemuliaan

Genotipe Jumlah

tongkol

Bobot tongkol

tanaman-1 (g)

Bobot tongkol

buah-1 (g)

Kotor Bersih Kotor Bersih

Lokal

JKK1 2.4 bcd 177.2 a 33.72 bc 72.42 abcde 13.49 ab

JWP 1.2 3.0 bcd 159.23 a 24.66 bcd 48.97 fg 8.02 ef

JWP 2.2 3.4 abc 220.52 a 29.71 bcd 66.89 abcdef 9.13 def

JLP1 3.3 abc 210.63 a 35.55 bc 63.89 cdef 10.60 bcdef

Bajawa 1.3 2.6 bcd 219.53 a 29.75 bcd 82.32 abc 11.10 bcdef

Bajawa 1.11 2.4 bcd 203.13 a 36.83 bc 82.61 abc 15.41 a

Bajawa 1.5 3.1 bcd 202.8 a 36.98 bc 68.97 abcdef 12.45 abcd

Bajawa 1.15 3.1 bcd 218.37 a 36.67 bc 74.33 abcd 11.28 bcdef

Bajawa 1.2 2.3 cd 207.9 a 31.52 bcd 90.22 a 13.20 abc

Bajawa 1.9 2.1 d 182.03 a 29.15 bcd 86.36 ab 13.83 ab

Bajawa 1.19 2.7 bcd 206.6 a 33.63 bc 85.39 abc 12.50 abcd

Bajawa 1.1 2.7 bcd 194.3 a 30.95 bcd 75.23 abcd 11.45 bcde

Bajawa 1.10 2.6 bcd 197.67 a 25.68 bcd 76.57 abcd 10.08 bcdef

Pemuliaan

G9M6 4.4 a 233.3 a 55.29 a 51.98 efg 12.72 abcd

G1M6 3.1 b-d 162.73 a 32.96 bcd 51.72 efg 10.15 bcdef

G1G7 4.4 a 214.6 a 39.95 abc 48.21 fg 9.48 def

G1G8 3.5 a-c 206.72 a 42.43 abc 57.35 defg 11.26 bcdef

G7M7 3.0 b-d 122.97 a 22.92 cd 39.73 g 7.61 f

J-CLA 84 3.5 ab 226.23 a 36.81 bc 71.88 abcde 11.34 bcdef

P1042-71 2.7 bcd 183.37 a 15.16 d 68.00 bcdef 15.16 a

Rataan umum 3.0 197.49 33.02 68.15 11.51 Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Galur-galur pemuliaan memiliki jumlah tongkol tanaman-1 paling tinggi

dibandingkan dengan genotipe lokal. Banyaknya jumlah tongkol pada galur-galur

pemuliaan khususnya hasil mutasi diperkirakan faktor genetik, karena tanaman

tersebut merupakan galur murni generasi ke tujuh dan berpotensi genotipenya

sudah homogen homozigot. Poehlman (1959) menyatakan bahwa jagung memiliki

banyak peubah resesif yang dapat muncul melalui silang dalam (inbreeding).

Jumlah tongkol tanaman-1 selain dipengaruhi faktor genetik juga dipengaruhi sifat

fisiologis dominansi apikal yang dimiliki jagung pada umumnya (Sutjahjo et al.

2005).

Prolifik atau tongkol banyak merupakan karakter resesif pada jagung.

Biasanya, potensi prolifik pada tanaman jagung dengan menghasilkan tongkol

tanaman-1 lebih dari dua. Penelitian ini menunjukan bahwa jagung memiliki

potensi prolifik pada buku tanaman jagung, sehingga dalam satu buku dapat

menghasilkan tongkol lebih dari dua. Potensi menghasilkan tongkol lebih dari dua

16

pada buku tanaman dimiliki galur-galur pemuliaan G9M7, G7M7, G1G7, dan

G1G8.

Gambar 3 Potensi prolifik tiap ruas tanaman jagung pada beberapa genotipe (a)

G1G7 (b) G7M7 (c) JLP1: tongkol jagung muncul pada akar udara

pada beberapa genotipe (d) JWP 1.2 (e) P1042-71: (f) tongkol afkir

muncul di ruas terbawah pada genotipe G9M7.

Menurut Koswara dan Aswidinoor (1985) genetik tanaman jagung tipe

prolifik menghasilkan dua tongkol atau lebih dan pada satu buku mungkin

terdapat tongkol yang bercabang sehingga mempunyai anak tongkol. Beberapa

genotipe menghasilkan tongkol pada akar udara yaitu genotipe P1042-71, JWP

1.2, JLP1, G7M7, G1G7, dan G1G8. Potensi tongkol afkir pada ruas paling bawah

tanaman jagung juga semakin tinggi. Tongkol afkir tersebut ditandai dengan tidak

sempurnanya tongkol yang terbentuk dan tidak terbungkus kelobot.

Bobot Tongkol Kotor Tanaman-1

Genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap bobot tongkol kotor tanaman-1.

Galur-galur pemuliaan memiliki bobot tongkol kotor tanaman-1 122.23-233.33 g,

sedangkan genotipe lokal 159.23-220.52 g (Tabel 7). Rataan umum bobot tongkol

kotor tanaman-1 yaitu 197.49 g.

Uji kontras ortogonal menguatkan bahwa tidak ada perbedaan bobot

tongkol kotor tanaman-1 di antara genotipe atau galur tersebut (Tabel 5). Bobot

tongkol kotor tanaman-1 merupakan bobot tongkol bersama dengan kelobot dan

rambut tongkol. Galur-galur pemuliaan memiliki kelobot yang tipis, sedangkan

genotipe lokal memiliki kelobot yang tebal. Ukuran tongkol kotor genotipe lokal

lebih besar dibandingkan galur-galur pemuliaan.

a c

e d

b

f

d

17

Bobot Tongkol Bersih Tanaman-1

Genotipe lokal memiliki bobot tongkol kotor tanaman-1 177.20-220.52 g,

sedangkan galur-galur pemuliaan 122.97-233.30 g (Tabel 7). Bobot tongkol bersih

tanaman-1 yang paling besar dimilki galur G9M7, G1G7 dan G1G8 dengan bobot

masing-masing 55.29, 39.95,dan 42.43 g. Sedangkan yang paling kecil P1041-71

yaitu 15.16 g.

Bobot tongkol bersih tanaman-1 galur-galur pemuliaan dan genotipe lokal

berdasarkan uji kontras ortogonal tidak menunjukan perbedaan bobot (Tabel 5),

artinya, genotipe hasil pemuliaan dan genotipe lokal memiliki bobot tongkol

bersih tanaman-1 yang relatif sama.

Bobot Tongkol Kotor Buah-1

Bobot tongkol kotor buah-1 yang ringan dimiliki oleh genotipe JWP 1.2

(48.97 g) dan galur pemuliaan G9M7 (51.98), G1M7 (51.72 g), G1G7 (48.21 g),

G1G8 (57.35 g), serta G7M7 (39.73 g). Galur-galur pemuliaan yang memiliki

bobot tongkol buah-1 yang besar adalah genotipe J-CLA 84 yaitu 71.88 g. Bobot

tongkol buah-1 genotipe lokal dengan rataan paling besar adalah genotipe Bajawa

1.2 yaitu 90.22 g (Tabel 7).

Genotipe lokal memiliki bobot tongkol kotor buah-1 yang nyata lebih besar

dibandingkan dengan galur-galur pemuliaan berdasarkan uji kontras ortogonal.

Nilai tengah bobot tongkol kotor buah-1 genotipe lokal dan galur-galur pemuliaan

masing-masing yaitu 74.94 g dan 55.55 g (Tabel 5).

Bobot Tongkol Bersih Buah-1

Bobot tongkol bersih buah-1 genotipe hasil pemuliaan yaitu 7.61–15.16 g,

bobot terbesar dimiliki oleh P1042-71 (Tabel 7). Genotipe lokal memiliki bobot

tongkol bersih buah-1 sebesar 8.02–15.41 g, genotipe Bajawa 1.11 memiliki bobot

terbesar di antara genotipe lokal lainnya. Galur G1M7, G1G7, G1G8, dan G7M7,

serta genotipe JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1, Bajawa 1.3, Bajawa 1.15, J-CLA 84 dan

Bajawa 1.10 memiliki bobot tongkol bersih buah-1 yang ringan.

Uji kontras ortogonal menunjukan bahwa tidak ada perbedaan bobot

tongkol bersih buah-1 antara genotipe hasil pemuliaan dan genotipe lokal. Artinya,

setiap genotipe memiliki bobot yang relatif sama. Rataan bobot tongkol bersih

buah-1 genotipe hasil pemuliaan dan genotipe lokal masing-masing 11.10 dan

11.73 g (Tabel 5). Bobot tongkol bersih buah-1 menentukan pengkelasan jagung

semi. Tongkol dengan bobot yang berat akan berukuran besar, sehingga akan

mempengaruhi kualitas dan pengkelasan tongkol jagung semi.

Perkiraan Potensi Produksi Jagung Semi

Produksi kotor merupakan produksi tongkol beserta kelobot dan rambut

tongkol, sedangkan produksi bersih merupakan produksi tongkol tanpa kelobot

dan rambut tongkol. Perkiraan produksi jagung semi menunjukan bahwa galur

G9M7 memiliki produksi paling tinggi dengan produksi tongkol kotor dan bersih

masing-masing sebesar 14.58 ton ha-1 dan 3.46 ton ha-1. Perkiraan produksi

jagung semi layak pasar paling tinggi juga menunjukan bahwa galur G9M7

memiliki produksi layak pasar tongkol kotor dan bersih yaitu masing-masing

sebesar 12.10 ton ha-1 dan 2.87 ton ha-1, sedangkan galur G7M7 memiliki

produksi kotor paling rendah yaitu 7.69 ton ha-1 dengan potensi produksi tongkol

18

kotor layak pasar sebesar 6.69 ton ha-1. Genotipe P1042-71 memiliki produksi

bersih paling rendah sebesar 0.95 ton ha-1 dengan potensi produksi tongkol bersih

sebesar 0.60 ton ha-1.

Tabel 8 Potensi produksi kotor dan bersih jagung semi beberapa genotipe jagung

lokal dan galur-galur pemuliaan

Genotipe Produksi kotor (ton ha-1) Produksi bersih (ton ha-1)

Total Layak pasar Total Layak pasar

Lokal

JKK1 11.08 6.98 2.11 1.33

JWP 1.2 9.95 8.66 1.54 1.34

JWP 2.2 13.78 11.99 1.86 1.62

JLP1 13.16 11.45 2.22 1.93

Bajawa 1.3 13.72 11.94 1.86 1.62

Bajawa 1.11 12.70 10.54 2.30 1.91

Bajawa 1.5 12.68 9.25 2.31 1.69

Bajawa 1.15 13.65 10.51 2.29 1.76

Bajawa 1.2 12.99 8.71 1.97 1.32

Bajawa 1.9 11.38 9.44 1.82 1.51

Bajawa 1.19 12.91 9.94 2.10 1.62

Bajawa 1.1 12.14 9.72 1.93 1.55

Bajawa 1.10 12.35 9.51 1.61 1.24

Pemuliaan

G9M7 14.58 12.10 3.46 2.87

G1M7 10.17 8.44 2.06 1.71

G1G7 13.41 11.67 2.50 2.17

G1G8 12.92 10.72 2.65 2.20

G7M7 7.69 6.69 1.43 1.25

J-CLA 84 14.14 10.89 2.30 1.77

P1042-71 11.46 7.22 0.95 0.60

Rataan umum 12.34 9.82 2.06 1.65

Produksi jagung semi belum dapat dibandingkan dengan produksi nasional,

karena jagung semi belum dibudidayakan secara luas seperti produksi jagung

pipilan. Perbandingan hasil produksi jagung semi masih dalam skala penelitian.

Varietas-varietas yang sudah diuji potensi produksi jagung seminya yaitu KSC

403, AG 1051, dan BRS 2020. Varietas jagung manis KSC 403su memiliki

potensi produksi bersih sebesar 2.94 ton ha-1 (Kheibari et al. 2012). Varietas AG

1051 merupakan jagung hibrida memiliki potensi produksi kotor sebesar 0.01 ton

ha-1 dan produksi bersih sebesar 0.002 ton ha-1 (Moreira et al. 2006). Kultivar

BRS 2020 memiliki potensi produksi bersih sebesar 0.007 ton ha-1 (Castro et al.

2013). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, galur G9M7 memiliki potensi

produksi yang lebih besar dibandingkan varietas KSC 403su. Selain itu, genotipe

lokal dan galur-galur pemuliaan memiliki produksi yang lebih baik dibandingkan

hibrida AG 1051 dan kultivar BRS 2020.

19

Kualitas Jagung Semi

Jagung semi sebagai komoditas hortikultura berpotensi memiliki nilai

ekonomi yang tinggi, sehingga kualitas menjadi perhatian khusus pemulia dalam

merakit varietas khusus jagung semi. Kualitas jagung semi ditentukan oleh

panjang dan diameter tongkol bersih buah-1 yang juga akan menentukan

pengkelasan tongkol. Menurut Yudiwanti et al. (2010) panjang tongkol

mempengaruhi kualitas jagung semi layak pasar menurut pengkelasan yang

berlaku. Panjang tongkol yang tidak sesuai dengan kriteria termasuk dalam

kategori tongkol yang tidak layak pasar (afkir). Panjang tongkol yang termasuk ke

dalam tongkol layak pasar menurut standar CODEX yaitu memiliki ukuran 5-12

cm dengan diamater berukuran 1-2 cm. Pengamatan kualitas jagung semi

beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai tengah panjang tongkol dan diameter tongkol beberapa genotipe

jagung lokal dan galur-galur pemuliaan

Genotipe Panjang tongkol (cm) Diameter tongkol (cm)

Lokal

JKK1 11.45 a 1.37 bcdef

JWP 1.2 8.35 g 1.29 f

JWP 2.2 8.18 g 1.27 f

JLP1 9.14 cdefg 1.38 abcdef

Bajawa 1.3 8.76 efg 1.40 abcdef

Bajawa 1.11 9.26 bcdefg 1.59 a

Bajawa 1.5 9.63 bcdef 1.43 abcdef

Bajawa 1.15 9.17 bcdefg 1.35 cdef

Bajawa 1.2 9.75 bcde 1.53 abcd

Bajawa 1.9 8.58 fg 1.57 ab

Bajawa 1.19 8.20 g 1.54 abc

Bajawa 1.1 8.90 defg 1.42 abcdef

Bajawa 1.10 8.61 fg 1.42 abcdef

Pemuliaan

G9M6 10.11 bc 1.32 def

G1M6 10.24 b 1.33 cdef

G1G7 9.45 bcdef 1.30 ef

G1G8 10.05 bc 1.44 abcdef

G7M7 8.24 g 1.35 cdef

J-CLA 84 9.92 bcd 1.32 def

P1042-71 11.79 a 1.50 abcde

Rataan umum 9.39 1.41

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

20

Panjang Tongkol

Panjang tongkol galur-galur pemuliaan yaitu 8.24–11.79 cm, dengan

ukuran tongkol yang pendek dimiliki oleh genotipe G7M7 (Tabel 9). Genotipe

lokal memiliki panjang tongkol 8.18–11.45 cm, dengan ukuran tongkol yang

pendek dimiliki oleh genotipe JWP 2.2. Genotipe JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1,

Bajawa 1.3, Bajawa 1.11, Bajawa 1.15, Bajawa 1.9, Bajawa 1.19, Bajawa 1.1,

Bajawa 1.10, dan galur G7M7 memiliki tongkol yang berukuran pendek yaitu

antara 8.18-9.26 cm (Tabel 9). Genotipe yang memiliki ukuran tongkol paling

panjang adalah genotipe P1042-71 dan JKK1 dengan panjang tongkol masing-

masing 11.79 cm dan 11.45 cm. Semakin panjang ukuran tongkol maka kuliatas

jagung semi berpotensi rendah.

Genotipe lokal memiliki ukuran panjang tongkol yang lebih pendek

dibandingkan genotipe hasil pemuliaan. Perbandingan panjang tongkol genotipe

lokal dan hasil pemuliaan yaitu masing-masing sebesar 9.97 dan 9.07 cm

(Tabel 5). Menurut Yudiwanti et al. (2010) panjang tongkol mempengaruhi

kualitas jagung semi layak pasar menurut pengkelasan yang berlaku. Panjang

tongkol yang termasuk ke dalam tongkol layak pasar menurut standar CODEX

yang memiliki ukuran panjang tongkol 5-12 cm.

Diameter Tongkol

Diameter tongkol galur-galur pemuliaan yaitu 1.30–1.50 cm. Ukuran

diameter paling besar dimiliki oleh P1042-71 dan paling kecil G1G7. Diameter

tongkol genotipe lokal yaitu 1.27-1.59 cm (Tabel 9). Genotipe lokal memiliki

ukuran diameter tongkol paling besar yaitu genotipe Bajawa 1.11 (1.59 cm),

sedangkan genotipe JWP 2.2 memiliki ukuran diameter tongkol paling kecil (1.27

cm).

Genotipe lokal memiliki ukuran diameter tongkol yang lebih besar

dibandingkan dengan genotipe hasil pemuliaan berdasarkan uji kontras ortogonal.

Perbandingan ukuran diameter tongkol genotipe lokal dan galur-galur pemuliaan

yaitu 1.43 dan 1.37 cm (Tabel 5). Diameter tongkol mempengaruhi kualitas

tongkol. Secara umum diameter tongkol genotipe jagung lokal dan galur-galur

pemuliaan sesuai dengan kriteria jagung semi. Hal tersebut didukung oleh Tabel 9

yang menunjukan bahwa nilai tengah diameter tongkol tidak kurang atau

mendekati 1 cm dan tidak lebih atau mendekati 2 cm.

Pengkelasan Tongkol Jagung Semi

Pengkelasan jagung semi mengklasifikasikan jagung semi menjadi tiga

kelas yaitu kelas A, B, dan C. Persentase pengkelasan tongkol jagung semi

disajikan pada Tabel 10.

Tongkol layak pasar merupakan tongkol yang memiliki panjang dan

diameter sesuai dengan kriteria jagung semi (Gambar 4). Genotipe hasil

pemuliaan khususnya mutasi memiliki rata-rata persentase tongkol layak pasar

tertinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya. Persentase tongkol tidak layak

pasar paling tinggi sebesar 30.00%. Genotipe JWP 1.2, JWP 2.2, JLP1, Bajawa

1.3 dan galur G1G7 serta G7M7 memiliki persentase tongkol layak pasar paling

tinggi sebesar 86.67% dan memiliki persentase tongkol afkir paling rendah yaitu

13.33% (Tabel 10). Persentase tongkol afkir paling tinggi sebesar 36.67% yang

21

dimiliki genotipe P1042-71 dan JKK1. Penampilan tongkol tidak layak pasar

disajikan pada Gambar 5.

Tabel 10 Pengkelasan tongkol jagung semi pada beberapa genotipe jagung lokal

dan galur-galur pemuliaan

Genotipe Kelas

Layak pasar Afkir A B C

Lokal

JKK1 3.33 30.00 30.00 63.33 36.67

JWP 1.2 30.00 36.67 20.00 86.67 13.33

JWP 2.2 36.67 33.33 16.67 86.67 13.33

JLP1 23.33 30.00 33.33 86.67 13.33

Bajawa 1.3 20.00 36.67 33.33 86.67 13.33

Bajawa 1.11 16.67 26.67 36.67 83.33 16.67

Bajawa 1.5 16.67 13.33 43.33 73.33 26.67

Bajawa 1.15 16.67 13.33 43.33 73.33 26.67

Bajawa 1.2 6.67 20.00 40.00 66.67 33.33

Bajawa 1.9 20.00 36.67 26.67 83.33 16.67

Bajawa 1.19 26.67 26.67 23.33 76.67 23.33

Bajawa 1.1 23.33 23.33 33.33 80.00 20.00

Bajawa 1.10 13.33 33.33 30.00 76.67 23.33

Pemuliaan

G9M6 20.00 23.33 33.33 83.33 23.33

G1M6 13.33 26.67 43.33 83.33 16.67

G1G7 16.67 33.33 36.67 86.67 13.33

G1G8 6.67 26.67 50.00 83.33 16.67

G7M7 33.33 40.00 13.33 86.67 13.33

J-CLA 84 6.67 36.67 33.33 76.67 23.33

Pengkelasan ukuran tongkol juga menunjukan bahwa kualitas tongkol

paling baik yaitu genotipe JWP 2.2 dengan persentase kelas A > B > C > afkir

yaitu 36.67% kelas A, 33.33% kelas B, 16.67% kelas C, dan 13.33% tongkol afkir.

Genotipe JWP 2.2 memiliki kualitas yang paling baik untuk dikembangkan

sebagai jagung semi karena memiliki ukuran panjang tongkol yang sesuai kriteria

dan persentase tongkol layak pasarnya tinggi. Kualitas tongkol paling rendah

yaitu genotipe JKK1 dengan persentase kelas A 3.33%, kelas B 30%, kelas C 30%,

dan tongkol afkir 36.67%.

Penampilan tongkol jagung semi layak pasar berukuran lebih kecil

dibandingkan dengan ukuran jagung semi tidak layak pasar (afkir). Gambar 4

22

menampilkan tongkol jagung semi layak pasar kelas A dan Gambar 5

menampilkan tongkol jagung semi tidak layak pasar (afkir)

Gambar 4 Penampilan tongkol jagung semi layak pasar kelas A. (a) genotipe

Bajawa 1.11 (b) genotipe JWP 1.2 (c) galur G1G7

Gambar 5 Penampilan tongkol jagung semi afkir yang memiliki panjang dan

diameter tongkol tidak sesuai dengan standar CODEX pada genotipe

JLP1

Parameter Genetik

Keragaman Genetik, Keragaman Fenotipik dan Heritabilitas

Nilai ragam genetik (Vg) dan ragam fenotipe (Vp) tergolong besar

dibandingkan nilai ragam lingkungan (Ve) pada peubah yang diamati kecuali pada

bobot kotor tongkol tanaman-1. Peubah jagung semi yang diamati tersebut

memiliki ragam genetik yang luas karena faktor genetik lebih besar berperan

dibandingkan dengan faktor lingkungan. Keberagaman hasil nilai tersebut

menandakan bahwa sifat kuantitatif tidak hanya dikendalikan oleh satu gen,

melainkan oleh banyak gen sebagai penyusun fenotipenya (Mustofa et al. 2013).

Angka negatif pada ragam genetik disebabkan nilai kuadrat tengah genotipe lebih

kecil daripada kuadrat tengah interaksi genotipe dengan lingkungan (Saputri et al.

2013).

Nilai Koefisien Keragaman Genetik (KKG) didapatkan dari nilai ragam

genetik (Tabel 11). Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) koefisien keragaman

a b c

23

genetik yang besar menunjukan keragaman genetik yang luas. Menurut Saputri et

al. (2013) nilai koefisien keragaman genetik menunjukan tingkat kepercayaan

terhadap keragaman genetik. Koefisien keragaman genetik terbesar dimiliki oleh

peubah bobot tongkol bersih buah-1, sehingga dijadikan nilai absolut KKG 100%.

Berdasarkan data tersebut, nilai absolut koefisien keragaman genetik jagung semi

berturut-turut adalah rendah (0%<x≤4.75%), agak rendah (4.75%<x≤9.5%),

cukup tinggi (9.5%<x≤14.24%) dan tinggi (14.24%<x≤18.99%).

Berdasarkan kriteria tersebut, peubah yang memiliki keragaman genetik

yang relatif rendah adalah: diameter batang, agak rendah yaitu: jumlah buku

tanaman-1, umur muncul bunga jantan, umur muncul bunga betina, umur panen,

dan diameter tongkol, cukup tinggi yaitu: panjang tongkol, tinggi: tinggi tanaman,

jumlah tongkol tanaman-1, jumlah tongkol tanaman-1, bobot tongkol bersih

tanaman-1, bobot tongkol kotor buah-1, dan bobot tongkol bersih buah-1. Populasi

dengan keragaman rendah dan agak rendah digolongkan sebagai populasi yang

memiliki variabilitas genetik sempit (Moedjiono dan Mejaya 1994).

Tabel 11 Nilai ragam genetik (Vg), ragam galat (Ve), ragam fenotipik (Vp),

koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipik

(KKP), dan heritabilitas arti luas (h2bs) beberapa genotipe jagung lokal

dan hasil pemuliaan

Karakter Vg Ve Vp KKP

(%)

KKG

(%)

h2bs

(%)

Tinggi tanaman 1714.76 70.16 1784.92 16.12 15.80 96.07

Diameter batang 0.01 0.01 0.02 6.34 4.72 55.42

Jumlah buku 0.72 0.28 0.99 8.28 7.04 72.15

Umur muncul bunga jantan 9.66 3.09 12.75 7.11 6.19 75.73

Umur muncul bunga betina 21.69 1.54 23.23 9.11 8.80 93.37

Umur panen 22.24 1.38 23.62 8.39 8.14 94.17

Jumlah tongkol tanaman-1 0.26 0.11 0.37 20.2 16.94 70.35

Bobot tongkol kotor

tanaman-1 -305.04 1012.83 1012.83 13.47 0.00 0.00

Bobot tongkol bersih

tanaman-1 39.32 28.34 67.66 24.91 18.99 58.12

Bobot tongkol kotor buah-1 165.88 42.49 208.38 21.18 18.90 79.61

Bobot tongkol bersih buah-1 3.31 1.24 4.54 18.51 15.79 72.78

Diameter tongkol 0.01 0.00 0.01 6.88 5.24 58.04

Panjang tongkol 0.92 0.11 1.02 10.77 10.20 89.66

Heritabilitas arti luas (h2bs) dapat menunjukan besar atau kecilnya pengaruh

faktor genetik terhadap faktor lingkungan. Nilai heritabilitas arti luas merupakan

perbandingan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipe (Syukur et al. 2011).

Menurut Stanfield (1991) kisaran nilai heritabilitas tinggi adalah 50-100%. Semua

karakter kecuali pada karakter bobot tongkol kotor tanaman-1 memiliki nilai

heritabilitas yang tinggi yaitu 55.42-96.07% (Tabel 11). Nilai heritabilitas yang

tinggi menunjukan bahwa hampir semua karakter yang diamati secara umum

dipengaruhi faktor genetik. Tingginya nilai heritabilitas dipengaruhi oleh luasnya

24

ragam genetik sehingga dapat dilakukan seleksi karena fenotipe tanaman yang

terlihat lebih dominan dipengaruhi faktor genetik (Jonharnas 1995).

Keeratan Hubungan Antar Peubah

Nilai keeratan hubungan antar peubah dapat diketahui dengan melihat

korelasinya. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) koefisien korelasi

dinotasikan dengan r dengan kisaran nilai -1 ≤ r ≤ 1, nilai r mendekati 1 atau -1

semakin erat hubungannya dan nilai r mendekati nol menunjukan hubungan antar

peubah semakin lemah. Nilai r (1) menunjukan bahwa kedua peubah berbanding

lurus, sedangkan nilai r (-1) berbanding terbalik. Perhitungan nilai koefisien

korelasi diamati dari 12 peubah dan didapatkan 78 pasang nilai koefisien korelasi

antar peubah. Pasangan peubah yang memiliki keeratan nyata sebanyak 33 pasang

30 pasang kombinasi memiliki keeratan hubungan yang berbanding lurus dan 3

pasang kombinasi memiliki keeratan hubungan yang berbanding terbalik.

Tabel 12 menunjukan keeratan hubungan antar peubah yang diamati.

Tinggi tanaman memiliki keeratan yang tinggi dengan diameter batang (r= 0.77)

namun memiliki nilai rendah dan berbanding terbalik dengan jumlah tongkol

tanaman-1 (r= -0.53), artinya, semakin tebal diameter batang maka tanaman jagung

akan semakin tinggi dan fase vegetatifnya lebih panjang namun jumlah tongkol

yang dihasilkan sedikit.

Umur muncul bunga jantan (r= 0.67) dan umur muncul bunga betina

(r= 0.64) memiliki keeratan hubungan dan berbanding lurus dengan jumlah buku

tanaman-1. Semakin banyak jumlah buku tanaman-1 maka umur muncul bunga

jantan dan betina akan semakin lama. Umur muncul bunga jantan memiliki

keeratan hubungan yang tinggi dan berbanding lurus dengan umur muncul bunga

betina (r= 0.90) dan umur panen (r= 0.90), artinya, semakin genjah umur

berbunga jantan maka semakin genjah umur berbunga betina dan umur panen juga

akan lebih genjah.

Umur muncul bunga betina (r= -0.48) dan umur panen (r= -0.49) memiliki

keeratan hubungan yang berbanding terbalik dengan jumlah tongkol tanaman-1,

artinya, semakin cepat bunga jantan dan umur panen jagung semi maka jumlah

tongkol yang dihasilkan akan sedikit. Jumlah tongkol tanaman-1 memiliki keeratan

hubungan berbanding lurus dengan bobot tongkol kotor tanaman-1 (r= 0.60) dan

berbanding terbalik dengan diamater tongkol (p= -0.68), artinya, semakin banyak

jumlah tongkol tanaman-1 maka bobot tongkol kotor tanaman-1 akan semakin

besar dan diameter tongkolnya akan semakin kecil.

Umur muncul bunga betina memiliki keeratan hubungan paling tinggi

dibandingkan dengan peubah lainnya dan berbanding lurus dengan umur panen

yaitu (r= 0.99), artinya, semakin genjah umur bunga betina maka umur panen juga

akan semakin genjah sehingga panen dapat dilakukan lebih awal. Umur berbunga

dan umur panen yang genjah, serta jumlah buku per tanaman yang banyak

merupakan kriteria jagung semi yang baik (Yodpetch dan Bautista 1983). Peubah-

peubah ini yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan genotipe untuk

dikembangkan sebagai jagung semi.

25

Tabel 12 Nilai koefisien korelasi antar peubah beberapa genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan

TT DT JBPT UMBJ UMBB UP JTP BTKPT BTBPT BTKPB BTBPB Dtong

DT 0.77 **

JBPT 0.58 **

0.51 *

UMBJ 0.49 *

0.31 tn

0.67 **

UMBB 0.61 **

0.42 tn

0.64 **

0.90 **

UP 0.61 **

0.43 tn

0.65 **

0.90 **

0.99 **

JTP -0.53 *

-0.33 tn

-0.16 tn

-0.39 tn

-0.48 *

-0.49 *

BTKPT 0.21 tn

0.44 tn

0.36 tn

0.18 tn

0.08 tn

0.08 tn

0.36 tn

BTBPT 0.01 tn

0.05 tn

0.38 tn

0.12 tn

0.07 tn

0.08 tn

0.60 **

0.60 **

BTKPB 0.66 **

0.64 **

0.43 tn

0.49 *

0.51 *

0.52 *

-0.69 **

0.40 tn

-0.12 tn

BTBPB 0.28 tn

0.26 tn

0.28 tn

0.64 **

0.54 **

0.55 **

-0.42 tn

0.29 tn

0.12 tn

0.64 **

Dtong 0.25 tn

0.21 tn

-0.01 tn

0.22 tn

0.23 tn

0.24 tn

-0.68 **

-0.01 tn

-0.18 tn

0.70 **

0.75 **

PT -0.15 tn -0.17 tn 0.16 tn 0.58 ** 0.36 tn 0.34 tn 0.06 tn 0.05 tn 0.11 tn -0.06 tn 0.54 ** 0.04 tn

TT: Tinggi Tanaman, DT: Diameter Tanaman, JBPT: Jumlah Buku Per Tanaman, UMBJ: Umur Muncul Bunga Jantan, UMBB: Umur Muncul Bunga Betina, UP: Umur Panen,

JTP: Jumlah Tongkol Tanaman-1, BTKPT: Bobot Tongkol Kotor Tanaman-1, BTBPT: Bobot Tongkol Bersih Tanaman-1, BTKPB: Bobot Tongkol Kotor Buah-1, BTBPB: Bobot

Tongkol Bersih Buah-1, Dtong: Diameter Tongkol, PT: Panjang Tongkol, **: Sangat Nyata, *: Nyata, tn= Tidak Nyata.

26

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Genotipe yang memiliki jumlah tongkol banyak (prolifik) yaitu

genotipe G9M7, G1G7, G1G8, J-CLA 84, Bajawa 1.3 dan JLP1. Genotipe

G1G7, G7M7, JWP 1.2, JWP 2.2, dan JLP1 menghasilkan persentase

tongkol layak pasar tertinggi. Kualitas tongkol genotipe JWP 2.2 paling baik

dibandingkan genotipe lainnya dengan persentase kelas A>B>C dan

persentase tongkol afkir rendah. Umur muncul bunga jantan menunjukan

keeratan hubungan yang berbanding lurus dengan umur muncul bunga

betina dan umur panen. Dengan demikian, semakin genjah umur muncul

bunga jantan maka semakin genjah umur muncul bunga betina dan umur

panen. Umur muncul bunga betina memiliki keeratan hubungan paling

tinggi dengan umur panen dibandingkan peubah yang lainnya dibuktikan

dengan nilai korelasinya yang mendekati satu. Genotipe yang memiliki

umur panen genjah yaitu G1G7, dan G7M7. Potensi produksi tongkol layak

pasar tinggi dalam ton ha-1 dimiliki oleh galur G9M7, G1G7, dan G1G8,

serta genotipe Bajawa 1.11 dan JLP1. Penelitian ini menghasilkan genotipe

yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai jagung semi yaitu genotipe

G1G7, G1G8, G7M7, G9M7, JWP 1.2, JWP 2.2, Bajawa 1.1, dan JLP1.

Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terhadap genotipe G1G7,

G1G8, G7M7, G9M7, JWP 1.2, JWP 2.2, dan JLP1. Genotipe tersebut

berpotensi menghasilkan jagung semi dengan umur panen yang genjah,

memiliki kualitas dan kuantitas lebih baik untuk dikembangkan sebagai

jagung semi. Penelitian potensi prolifik pada setiap ruas tanaman jagung

juga perlu dilakukan untuk pengembangan jagung semi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto T, Widyastuti YE. 2002. Meningkatkan produksi jagung.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Allard RW. 1960. Principle of Plant Breeding. New York (US): John Wiley

& Sons.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Data Iklim Stasiun

Darmaga. Bogor (ID): BMKG.

Brisco G. 2000. CODEX standard for baby corn. [Internet]. [diunduh 2014

Mei 01]. Tersedia pada: http://cxs.babycorn.com.

Budiarti SG. 2007. Plasma nutfah jagung sebagai sumber gen dalam

program pemuliaan. B. Plasma Nutfah. 13(1): 1-10.

Castro RS, Silvia PSL, Cardoso MJ. 2013. Baby corn, green corn, and dry

corn yield of corn cultivars. Horticulture Brasileira. 31: 100-105.

27

Goenawan G. 1988. Pengaruh Populasi Tanaman dan Pembungaan Bunga

Jantan (Detasseling) terhadap Produksi Jagung Semi (Baby corn)

pada Jagung Manis (Zea mays saccharata). [skripsi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistika untuk Penelitian

Penelitian Pertanian. Terjemahan Endang Syamsudin dan Justika

Sjarifudin Baharsjah. Edisi kedua. Jakarta: UI Press.

Jonharnas. 1995. Penampilan 13 genotipe ubi jalar di sumanik, Sumatera

Barat. Zuriat. 10(2): 66-72.

Koswara J, Aswidinnoor H, Purwoko BS. 1985. Pengaruh patah batang

terhadap produksi pada jagung. Bul. Agron. 16(1): 1-17.

Mangoendidjojo W. (2007). Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta

(ID): Kanisius.

Mattjik AH, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan

Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press.

Moedjiono, Mejaya MJ. 1994. Variabilitas genetik beberapa plasma nutfah

jagung koleksi Balittas Malang. Zuriat. 5(2): 27-32.

Morira JN, Silvia PSL, Silvia KMB, Dombroski JLD, Castro RS. 2010.

Effect of detasseling on baby corn, green ear and grain yield of two

maize hybrids. Horticulture Brasileira. 28: 406-411.

Mustofa ZIM, Budiarsa, Samdas GMB. 2013. Variasi genetik jagung (Zea

mays L.) berdasarkan peubah fenotipik tongkol jagung yang

dibudidayakan di Desa Jono Oge. E. Jipbiol. 1: 33-41.

Kheibari MNK, Khorasani SK, Taheri G. 2012. Effect of plant density and

variety on some of morphological traits, yield and yield components

of baby corn (Zea mays L.). J. Appl Basic. 3(10): 2009-2014.

Pandey M, Sudhir K, Ahuja R, Tewari D. 2010. Could baby corn create

platform for a agribusiness. Yale School of Management. Yale case.

10: 36.

Patola H, Hardiatmi S. 2011. Uji potensi tiga varietas jagung dan saat

emaskulasi terhadap produktivitas jagung semi (baby corn). JIP.

10(1): 17-29.

Poehlman JM, Borthakur D. 1969. Breeding Asian Field Crops with Special

Reference to Crops of India. New Delhi (IN): Offord & IBH

Publishing.

Purwono, Hartono. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Depok (ID): Penebar

Swadaya.

Purwono, Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul.

Depok (ID): Penebar Swadaya

Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia 1. Edisi kedua. Bandung

(ID): ITB Press.

Rukmana R. 1997. Budidaya Baby Corn. Yogyakarta (ID): Kanisius.

Saputri TY, Hikam S, Tomotiwu PB. 2013. Pendugaan komponen genetik,

daya gabung, dan segregasi biji pada jagung manis kuning kisut. J.

Agrotek Tropika. 1(1): 25-31.

Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

28

28

Singh J. 1987. Field Manual Maize Breeding Procedures. New Delhi (IN):

Indian Agric Research.

Soemadi W, Mutholib A. 2000. Sayuran Baby. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Stanfield WD. 1983. Theory and Problem of Genetics. 2nd Edition.

Schaum’s Outline Series. New York (US): McGraw-Hill.

Sutjahjo SH, Hadiatmi, Meynilivia. 2005. Evaluasi dan seleksi 24 genotipe

jagung lokal dan introduksi yang ditanam sebagai jagung semi. JJIPI.

7(1): 35-43.

Syukur M, Sujiprihati, Yunianti R, Kusumah DA. 2011. Pendugaan ragam

genetik dan heritabilitas peubah komponen hasil pada beberapa

genotipe cabai. J Agrivigor. 10(2):148-156.

Yodpetch C, Bautista OK. 1983. Young cob corn: suitable varieties,

nutritive value and optimum stage of maturity. Phil Agr. 66: 232-244.

Yudiwanti WEK, Budiarti SG, Wakhyono. 2006. Potensi jagung varietas

lokal sebagai jagung semi. Seminar Nasional Bioteknologi dan

Pemuliaan Tanaman: 2006 Agustus 1-2. Bogor (ID): IPB. Hlm 376-

379.

Yudiwanti WEK, Sepriliyana WR, Budiarti SG. 2010. Potensi beberapa

varietas jagung untuk dikembangkan sebagai varietas jagung semi.

J.Hort. 20(2): 157-163.

29

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data iklim bulanan bulan November 2014 hingga Februari

2015

Bulan Temperatur

(oC)

Kelembaban udara

rata-rata (%)

Curah hujan rata-

rata (mm)

Nov-14 26.3 64 673.2

Des-14 26.3 45 209.5

Jan-15 25.2 87 251.0

Feb-15 25.0 88 351.0

Rata-rata 25.7 71 371.2

Lampiran 2 Genotipe jagung lokal dan galur-galur pemuliaan yang

digunakan sebagai materi genetik dalam penelitian

Genotipe Keterangan

Lokal JKK1 Jagung Kefaminano Kuning 1

JWP 1.2 Jagung Walamize Putih 1.2

JWP 2.2 Jagung Walamize Putih 2.2

JLP1 Jagung Lombok Putih 1

Bajawa 1.3 Jagung lokal Bajawa 1.3

Bajawa 1.11 Jagung lokal Bajawa 1.11

Bajawa 1.5 Jagung lokal Bajawa 1.5

Bajawa 1.15 Jagung lokal Bajawa 1.15

Bajawa 1.2 Jagung lokal Bajawa 1.2

Bajawa 1.9 Jagung lokal Bajawa 1.9

Bajawa 1.19 Jagung lokal Bajawa 1.19

Bajawa 1.1 Jagung lokal Bajawa 1.1

Bajawa 1.10 Jagung lokal Bajawa 1.10

Pemuliaan

G9M7 Jagung hasil mutasi dan selfing

G1M7 Jagung hasil mutasi dan selfing

G1G7

Jagung hasil mutasi dan hasil persilangan G1

dan G7

G1G8

Jagung hasil mutasi dan hasil persilangan G1

dan G8

G7M7 Jagung hasil mutasi dan selfing

J-CLA 84 Jagung hasil pemuliaan di tanah masam

P1042-71 Jagung hasil pemuliaan di tanah masam

30

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 November 1992 dari

bapak Inan Suryana dan ibu Komariah. Penulis merupakan putri keenam

dari enam bersaudara. Penulis menempuh studi di SDN Cisauk pada tahun

1999-2005, SMPN 1 Cibungbulang pada tahun 2005-2008, SMAN 1

Leuwiliang pada tahun 2008-2011. Penulis lulus seleksi masuk Institut

Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (SNMPTN) undangan pada tahun 2011 dan diterima di Departemen

Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah

Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2012 sampai dengan 2014.

Tahun 2011 sampai dengan 2012 penulis aktif sebagai sekretaris umum

Badan Eksekutif Mahasiswa TPB IPB, anggota Dewan Musholla Asrama

TPB IPB, dan anggota Klub Ilmiah Asrama (KIA), ketua angkatan putri

Departemen Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 (lurah), sekretaris

departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Badan

Eksekutif Mahasiswa Faperta IPB. Tahun 2013 sampai dengan 2015 penulis

aktif sebagai Senior Resident Asrama TPB IPB. Selain aktif di organisasi

kemahasiswaan penulis mengajar ekstrakurikuler karya ilmiah di SDIT

Ummul Quro Bogor dan juga aktif di komunitas sosial yaitu Gerakan Cinta

Anak Tani (GCAT) dan ODOT (One Day One Thousand).

Penulis merupakan mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) dan juga Beasiswa Aktivis

Nusantara (BAKTI NUSA) Dompet Dhuafa. Tahun 2012 penulis mengikuti

Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pengembangan masyarakat dan

didanai DIKTI.