Upload
ngonhi
View
258
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
EVALUASI KARAKTER MORFOLOGI PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M2 HASIL INDUKSI
MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK
Oleh
Sri Wahyuni A34404060
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
EVALUASI KARAKTER MORFOLOGI PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M2 HASIL INDUKSI
MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
Sri Wahyuni A34404060
PROGRAM STUDI
PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
SRI WAHYUNI. Evaluasi Karakter Morfologi Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M2 Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Cicurug Dan Cibadak. Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU E. KUSUMO.
Percobaan ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) generasi M2 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m dpl) dan di Kebun Percobaan BB Biogen Cibadak (950 m dpl) pada bulan Maret 2008 sampai Maret 2009. Purwoceng merupakan tanaman obat langka bernilai ekonomi tinggi asli Indonesia yang ditemukan di dataran tinggi Dieng (1.800 m dpl). Iradiasi sinar gamma pada benih purwoceng untuk mendapatkan genotipe toleran dataran rendah telah dilakukan dengan dosis iradiasi 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 krad. Benih purwoceng generasi M1 yang berhasil berkecambah dan diamati pada percobaan ini di lokasi Cicurug adalah benih tanaman kontrol, 3 krad, dan 5 krad, sedangkan di lokasi Cibadak adalah benih tanaman kontrol, 1 krad, 3 krad, dan 5 krad (jumlah keseluruhan 292 tanaman). Bahan lain yang digunakan adalah media tanam campuran tanah setempat : pupuk kandang (1:1), polibag berdiameter 10 cm, polibag atau pot berdiameter 30 cm, dan paranet. Percobaan menggunakan alat pertanian dan alat ukur panjang secara umum, serta perlengkapan TLC scanner untuk analisis kadar metabolit sekunder yang dilakukan di Balittro. Analisis kadar saponin dan fitosterol dilakukan secara terpisah antara akar dengan batang dan daun terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi dari lokasi Cibadak dan Cicurug, serta dari lokasi Tawang Mangu dan Dieng (umur 6 bulan). Uji-t rata-rata hasil pengamatan dilakukan antar pasangan populasi.
Tidak terdapat perbedaan keragaan akibat iradiasi sinar gamma pada karakter kualitatif (bentuk dan warna daun serta tangkai daun, dan tipe kanopi) maupun kuantitatif (jumlah dan panjang tangkai daun, diameter kanopi, dan jumlah anakan) antar purwoceng generasi M2 asal benih dengan dosis iradiasi 3 dan 5 krad di lokasi Cicurug serta dosis iradiasi 1, 3, dan 5 krad di lokasi Cibadak, juga pada perbandingan karakter kuantitatif purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug dan Cibadak pada umur 0, 4, dan 8 MSP. Pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tetapi sulit berbunga menunjukkan bahwa purwoceng generasi M2 belum dapat beradaptasi jika ditanam sejak awal di dataran lebih rendah. Hasil analisis terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 menunjukkan bahwa metabolit sekunder pendukung khasiat obat purwoceng terkandung dalam tanaman yang dipindahkan ke lokasi Cibadak dan Cicurug, serta menunjukkan bahwa kadar metabolit sekunder antara akar dengan batang dan daun purwoceng tidak berbeda nyata sehingga seluruh bagian tanaman purwoceng dapat dimanfaatkan sebagai obat.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : EVALUASI KARAKTER MORFOLOGI PURWOCENG
(Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M2 HASIL INDUKSI
MUTASI SINAR GAMMA DI CICURUG DAN CIBADAK
Nama : Sri Wahyuni
NRP : A34404060
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr Ir Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS NIP. 19631107 198811 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr Ir Didy Sopandie, M.Agr NIP 19571222 198203 1 002
Tanggal Pengesahan:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di rumah sakit PT Caltex Pacific Indonesia distrik
Rumbai, provinsi Riau pada tanggal 21 Agustus 1986. Penulis adalah anak keempat
dari enam bersaudara dari Bapak (alm.) Abdurrahman dan Ibu Nur Asma.
Tahun 1998 penulis lulus dari SD Cendana Duri, Riau. Tahun 2001
penulis lulus dari SLTP Cendana Duri. Selanjutnya pada tahun 2004 penulis
menyelesaikan studi di SMU Cendana Duri. Tahun 2004 penulis diterima di IPB
melalui jalur SPMB sebagai mahasiswa Program Studi Pemuliaan Tanaman dan
Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian.
Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif dalam kepengurusan LDK
DKM Al-Hurriyyah sebagai anggota (2005), staf PSDM (2006-2007), dan staf
Personalia (2008). Penulis juga aktif sebagai pengurus DKM Al-Fallah FKRD-A
(2006) dan staf Keputrian FKRD-A (2007). Penulis juga berpartisipasi pada
beberapa kepanitiaan, diantaranya pada Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa
Baru (2005), Masa Perkenalan Departemen (2006), Ekspresi Muslimah II (2006),
dan Masa Perkenalan Fakultas (2008). Pada tahun 2007 penulis bersama tim
mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan dan lolos
seleksi untuk dibiayai oleh DIKTI.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan kekuatan yang telah diberikan-Nya sampai saat ini, serta atas
terselesaikannya penelitian ini dengan baik. Penulis juga menyampaikan salawat
serta salam kepada rasulullah Muhammad SAW yang telah mengajarkan umatnya
dengan kebenaran dan kesabaran yang luar biasa. Terima kasih dan penghargaan
penulis sampaikan kepada orang tua dan keluarga atas dukungan dan
kepercayaannya kepada penulis.
Terima kasih kepada Dr Ir Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh ketulusan dan kesabaran
selama kegiatan penelitian sampai penulisan skripsi. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada seluruh staf pengajar baik di Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB maupun di departemen-departemen lain yang telah memberikan
ilmu-ilmunya selama perkuliahan, juga kepada seluruh staf dan pekerja di tempat
penelitian yang telah memberikan banyak bantuan selama pelaksanaan penelitian.
Terima kasih kepada teman-teman di PS-PMTTB, teman-teman di LDK DKM
Al-Hurriyyah, teman-teman di FKRD-A, dan pihak-pihak lain yang telah
memberikan semangat dan perhatian.
Penelitian mengenai evaluasi karakter morfologi purwoceng (Pimpinella
pruatjan Molk.) generasi M2 ini terdorong oleh rasa kecintaan penulis terhadap
komoditas tanamanan obat. Purwoceng merupakan salah satu tanaman obat asli
Indonesia yang tergolong hampir punah sehingga sangat penting untuk
mengupayakan pelestariannya. Penelitian ini merupakan kerjasama antara Institut
Pertanian Bogor dengan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Kerjasama
antara universitas dengan balai-balai penelitian sangat diperlukan untuk kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya di Indonesia. Penulis
berharap penelitian ini bermanfaat sebaik-baiknya di masa yang akan datang.
Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN ...……………………………………………………... 1 Latar Belakang ...…………………………………………………. 1 Tujuan ...……………………………………………….................. 3 Hipotesis ...………………………………………………………... 3
TINJAUAN PUSTAKA ...………………………………………………... 4 Purwoceng ...………………………………………………..…….. 4 Pemuliaan Mutasi ...………………………………………...…….. 9
BAHAN DAN METODE ...………………………………………...…….. 11 Tempat dan Waktu Percobaan ...………………………………….. 11 Bahan dan Alat ...…………………………………………….……. 11 Metode Percobaan ...………………………………………............. 11 Pelaksanaan Percobaan ...…………………………………………. 12 Penanaman ...…………………………………………........ 12 Pemeliharaan ...…………………………………………..... 12 Pengamatan ...……………………………….....………...... 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ...………………………………………… 16 Kondisi Umum Percobaan ...……………………………………… 16 Karakter Kualitatif ...…………………….……………………....... 19 Bentuk Daun ...……………………………………............. 19 Warna Daun ...…………………………………….............. 20 Warna Tangkai Daun ...………………………………….... 21 Tipe Kanopi ...…………………………………….............. 22 Karakter Kuantitatif ...…………………………………………...... 22 Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Dosis Iradiasi
di Lokasi Cicurug dan Cibadak ...……………………….... 22 Jumlah Daun ...……………………………………. 22 Panjang Tangkai Daun ...……………………....…. 25 Diameter Kanopi ...……………………………….. 27 Jumlah Anakan ...…………………………....……. 31 Perbandingan Karakter Kuantitatif Antar Lokasi ...…......... 32 Fase Generatif Tanaman ...………………………………... 33 Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng Generasi M1 di Beberapa Lokasi ...………………………. 34
KESIMPULAN DAN SARAN ...………………………………………… 37 Kesimpulan ...…………………………………………....….…….. 37 Saran ...…………………………………………....………………. 37
DAFTAR PUSTAKA ...………………………………………………….. 38
LAMPIRAN ...……………………………………………………………. 40
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M2 pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cicurug ...…………………………………........ 16
2. Jumlah Tanaman Generasi M2 Purwoceng pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cibadak ...…………………………………........ 16
3. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug ......................……………….......... 23
4. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak ...……………………………….…......... 24
5. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak .……….….....………………......... 25
6. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug ......….....………………......... 26
7. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak ...……………………………...…. 27
8. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug ....…....….......………………......... 29
9. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak ...……………….....………………......... 30
10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak ...…..…...……………...………..... 30
11. Jumlah Tanaman yang Memiliki Anakan dan Rata-rata Jumlah Anakan Purwoceng Generasi M2 di Lokasi Cicurug ........................ 31
12. Purwoceng di Lokasi Cicurug yang Berumur Paling Panjang .......... 34
13. Hasil Uji-t Kadar Zat Saponin dan Fitosterol pada Akar serta Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 serta Kadar Zat Saponin dan Fitosterol Purwoceng Generasi M1 Lokasi Cicurug dan Cibadak .......... 36
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tanaman Purwoceng ...……………...………………........................ 4
2. Pertanaman Purwoceng dalam Polibag di Bawah Naungan Paranet ... 12
3. Sketsa Keragaman Bentuk Anak Daun Purwoceng ...…….……....... 13
4. Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Purwoceng ...…….…...................... 14
5. Curah Hujan di Lokasi Balittro Cicurug Tahun 2008 ...…….…....... 17
6. Pengaruh Lingkungan pada Purwoceng ...……………...………….. 18
7. Serangan Hama pada Tanaman Purwoceng ...……………...…….... 18
8. Keragaman Keragaan Bentuk Daun Purwoceng ..……...………...... 19
9. Sketsa Keragaman Susunan Anak Daun Purwoceng ...…….…........ 20
10. Keragaman Keragaan Warna Daun Purwoceng ...……………...….. 21
11. Warna Tangkai Daun Purwoceng ...……………...……………….... 21
12. Tipe Kanopi Purwoceng ...……………...………………................. 22
13. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug .......……...………………........................ 24
14. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ...……………...………………....... 25
15. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug .................................................................. 28
16. Anakan Purwoceng ...……………...………………...……………... 32
17. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP .....……........ 32
18. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP ... 32
19. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP .............. 33
20. Purwoceng Generasi M2 yang Berbunga ........…………...……....… 34
21. Kadar Saponin Akar Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi .... 35
22. Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ...……………...……………….................................... 35
23. Kadar Fitosterol Akar Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ... 35
24. Kadar Fitosterol Batang dan Daun Purwoceng Generasi M1 dari Empat Lokasi ...……………...……………….................................... 36
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol di Lokasi Cicurug ...……………...……...................................….... 41
2. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad di Lokasi Cicurug ...……………...……........................................... 43
3. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad di Lokasi Cicurug ...……………...…………................................... 44
4. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol di Lokasi Cibadak ...……………...………....................................... 47
5. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 1 krad di Lokasi Cibadak ...……………...…………................................... 47
6. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad di Lokasi Cibadak ...……………...…………................................... 48
7. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad di Lokasi Cibadak ...……………...…………................................... 48
8. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug …….……..……….................................. 48
9. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ....... ………..................................... 49
10. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug ....…..... ………........................................ 49
11. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak ...... ……….............................. 50
12. Hasil Uji-t Perbandingan Jumlah Anakan Purwoceng Generasi M2 kontrol dan 5 krad di Lokasi Cicurug ...…………....... 50
13. Hasil Uji-t Rata-rata Populasi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada Umur 0, 4, dan 8 MSP ...………….....….……….....……........................... 50
14. Persentase Kadar Saponin Akar Purwoceng di Empat Lokasi ......... 51
15. Persentase Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng di Empat Lokasi ...……………...…………....……………...……... 51
16. Persentase Kadar Fitosterol Akar Purwoceng di Empat Lokasi ..…. 51
17. Persentase Kadar Fitosterol Batang dan Daun Purwoceng di Empat Lokasi ...……………...…………....……………...…….... 51
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dapat disebut sebagai megadiversitas dunia karena
keanekaragaman hayati darat dan laut yang sangat besar. Keanekaragaman hayati
darat terdiri atas sekitar 30000 spesies tumbuhan, dan lebih dari 2000 spesies
tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan obat (Zuhud, 2007). Kekayaan tumbuhan
obat yang sangat besar ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga
belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri obat-obatan dengan baik.
Tanaman obat belum dapat memasok kebutuhan industri karena belum
dibudidayakan dengan baik sehingga penyediaannya tidak kontinyu dan
kualitasnya tidak mantap. Menurut Purwakusumah (2007), hanya sekitar 20%
tanaman obat hasil budidaya yang dapat memenuhi pangsa pasar, sedangkan
sisanya masih berasal langsung dari alam. Seharusnya karakteristik bahan baku
obat alami yang diharapkan adalah berkualitas mantap dan memenuhi standar,
kontinyuitas terjaga, dan kuantitas terpenuhi. Selain itu pemanfaatan tanaman
hasil budidaya lebih diutamakan daripada pemanenan langsung tumbuhan liar.
Budidaya tanaman obat tidak hanya bertujuan menaikkan suplai, tetapi juga untuk
meningkatkan kualitas produk, dalam hal ini kadar zat bioaktifnya.
Salah satu komoditas tumbuhan obat yang tergolong langka adalah
purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb. atau Pimpinella alpina Kds.).
Purwoceng ditemukan di dataran tinggi Dieng (sekitar 1800 m dpl) dan banyak
dicari dan dipanen langsung dari alam. Bentuknya seperti tanaman wortel dengan
umbi berwarna kecoklatan (Djuki, 2007).
Purwoceng dapat dimanfaatkan keseluruhan bagiannya sebagai ramuan
obat. Masyarakat umum mengenal purwoceng sebagai pemulih stamina, serta
penambah jumlah hormon testosteron dan spermatozoid. Purwoceng sudah
banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai obat dalam bentuk ramuan dan tidak
berbahaya. Bentuk ramuan yang sudah banyak dibuat adalah dalam kemasan teh
dan jamu (Artha, 2007).
2
Kendala dalam pembudidayaan purwoceng adalah persyaratan tempat tumbuh yang cukup tinggi sehingga lahannya terbatas. Lahan di dataran tinggi tidak seluas dataran rendah dan penggunaannya bersaing dengan komoditas hortikultura. Upaya pengadaptasian purwoceng di dataran yang lebih rendah dari habitat aslinya (Dieng, ketinggan 1800-3000 m dpl dan suhu 13-17˚C) telah berhasil dilakukan di Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri, Cianjur (ketinggian sekitar 1545 m dpl dan suhu 17-19˚C) yang masih tergolong dataran tinggi (Wahyuni et al., 1997). Kelangkaan purwoceng ini menyebabkan harga jualnya menjadi sangat tinggi mencapai Rp 90.000,00-Rp 100.000,00 per kg basah. Suatu kelompok tani dengan luas lahan petani sekitar 10-400 m2 di desa Sekunang, salah satu dari empat desa kecil tempat pembudidayaan purwoceng di dataran tinggi Dieng, masih sulit untuk memenuhi permintaan purwoceng segar atau kering untuk bahan baku obat tradisional secara kontinyu. Beberapa industri jamu meminta pasokan sekitar 50-200 kg secara rutin setiap minggu, tetapi kemampuan kelompok tani tersebut hanya sekitar 40-50 kg per bulan (Yuhono, 2004). Kesulitan pembudidayaan ini juga disebabkan oleh panjangnya umur purwoceng. Purwoceng mulai berkecambah pada umur 40 hari setelah tanam, mulai berbunga pada umur 10 bulan setelah tanam, dan mati setelah menghasilkan benih 1-2 bulan kemudian (Wahyuni et al., 1997).
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini dapat dilakukan melalui program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman purwoceng yang dapat dibudidayakan pada daerah yang lebih rendah dan berumur genjah. Makmur (1992) menyatakan bahwa tujuan utama program pemuliaan tanaman adalah untuk mendapatkan varietas yang lebih baik, sebagai contoh pada program Revolusi Hijau, program pemuliaan tanaman digunakan untuk mendapatkan varietas baru yang melampaui daerah adaptasi geografis, secara latituda atau altituda, dari varietas yang telah ada.
Definisi pemuliaan tanaman menurut Makmur (1992) adalah suatu metode yang secara sistematis merakit keragaman genetik menjadi bentuk yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dengan persyaratan empat hal, yaitu adanya keragaman genetik, sistem-sistem logis dalam pemindahan dan fiksasi gen, konsepsi dan tujuan yang jelas, dan adanya mekanisme penyebarluasan hasilnya kepada masyarakat. Ragam genetik terjadi apabila dalam suatu populasi tanaman terdapat karakter genetik yang berbeda. Faktor yang menyebabkan keragaman genetik antara lain rekombinasi genetik yang terjadi setelah hibridisasi, mutasi, dan poliploidi.
3
Purwoceng diduga memiliki keragaman genetik yang rendah dalam sifat adaptasi geografis terhadap ketinggian tempat. Bunganya yang berukuran kecil mengakibatkan sulit dilakukan persilangan. Hal-hal tersebut menjadi alasan dipilihnya metode mutasi. Mutasi menurut Makmur (1992) adalah perubahan tiba-tiba pada material genetik, yaitu pada gen dari satu alel kepada alel lainnya, susunan kromosom, dan kehilangan atau penambahan bagian kromosom. Mutasi gen dapat terjadi secara alami maupun buatan dengan menggunakan mutagen kimia atau radiasi ion. Walaupun perubahan gen atau kromosom umumnya tidak sesuai keinginan, pemuliaan dengan mutasi induksi tetap dicoba jika sumber plasma nutfah tidak tersedia. Kusumo et al. (2007) telah melakukan iradiasi sinar gamma pada benih purwoceng dengan tujuan percobaan jangka panjang untuk merakit varietas baru purwoceng yang toleran dataran rendah serta berdaya hasil tinggi dengan kandungan fitosterol dan saponin yang tinggi. Pulungan (2008) melaporkan keragaan karakter tanaman purwoceng hasil induksi mutasi tersebut (generasi M1). Percobaan ini merupakan kelanjutan dari percobaan tersebut.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengevaluasi karakter morfologi purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug
dan Cibadak 2. Mendapatkan genotipe-genotipe yang dapat dijadikan populasi dasar untuk
mendapatkan varietas tanaman purwoceng yang toleran dataran rendah 3. Membandingkan kadar metabolit sekunder purwoceng generasi M1 antara
bagian akar dengan batang dan daun, serta antara lokasi Cicurug dan Cibadak
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat kesamaan sifat morfologi antara populasi purwoceng generasi M2 di
lokasi Cicurug dan Cibadak 2. Terdapat genotipe tanaman purwoceng yang dapat tumbuh baik dan
menghasilkan benih di dataran rendah untuk tahap pemuliaan berikutnya 3. Tidak terdapat perbedaan kadar metabolit sekunder purwoceng generasi M1
antara akar dengan batang dan daun, serta antara di lokasi Cicurug dan Cibadak
4
TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng
Purwoceng (Gambar 1) adalah tumbuhan endemik Indonesia yang
sudah lama dikenal berkhasiat obat. Purwoceng merupakan tanaman berumah
satu tetapi dapat juga menyerbuk silang (Rahardjo et al., 2005). Klasifikasi
purwoceng adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Anak Divisi: Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Anak Kelas: Dialypetalae
Bangsa : Apiales (Umbelliflorae)
Suku : Apiaceae (Umbelliferae)
Marga : Pimpinella
Jenis : Pimpinella pruatjan Molk. atau P. alpina Kds.
Gambar 1. Tanaman Purwoceng. Purwoceng di petakan koleksi kebun
percobaan Gunung Putri (a), muncul tandan bunga pertama (b), memiliki banyak tandan bunga (c), bunga bermahkota merah keunguan (d), buah muda berwarna hijau (e), simplisia kering (f)
d
c b
e a f
5
Tjitrosoepomo (1994) mendeskripsikan tumbuhan yang termasuk dalam
bangsa Apiales sebagian besar merupakan terna, jarang yang berupa tumbuhan
berkayu. Daunnya tunggal atau majemuk tanpa daun penumpu. Jaringan-
jaringannya sering memiliki saluran-saluran resin atau minyak. Bunganya
tersusun seperti payung, berumah satu, aktinomorf, berbilangan empat atau lima.
Kelopak bunga sangat kecil, mahkota-mahkota bebas, benang-benang sari dalam
satu lingkaran dan berhadap-hadapan dengan kelopak-kelopaknya. Bakal buah
terbenam, seringkali memiliki ruang-ruang dengan satu atau dua bakal biji dalam
tiap ruangnya. Bakal biji kebanyakan hanya memiliki satu integumen. Biji
mempunyai endosperm dan lembaga yang kecil.
Selanjutnya Tjitrosoepomo (1994) mendeskripsikan tumbuhan yang
termasuk suku Apiaceae sebagai terna yang berumur pendek atau panjang dengan
batang berongga dan beralur atau bergerigi membujur pada permukaannya.
Daunnya tersebar, berseling atau berhadapan, majemuk ganda atau banyak
berbagi, tanpa daun penumpu tetapi memiliki pelepah yang pipih besar
(perikladium) dan tidak membungkus batang. Bunganya majemuk dan tersusun
seperti payung atau suatu kapitulum, berukuran kecil, berumah satu, aktinomorf
atau sedikit zigomorf, dan berbilangan lima. Kelopaknya sangat kecil,
mahkotanya berjumlah lima dengan ujung yang melengkung ke dalam, berwarna
kuning atau keputih-putihan, jarang berwarna merah muda atau lembayung.
Benang sari berjumlah lima yang berseling dengan mahkota. Bakal buah
tenggelam, tertutup oleh bantal tangkai putik yang berbagi dua, beruang dua, dan
dalam tiap ruang terdapat satu bakal biji yang bergantungan. Tangkai putik
berjumlah dua dan letaknya terpisah. Buahnya berbelah dua (diakenium), tiap
bagian buah tetap berlekatan pada suatu karpofor. Dalam kulit buah terdapat
saluran-saluran minyak atsiri. Endosperm biji mempunyai tanduk. Sifat-sifat
anatomis yang penting antara lain adanya saluran-saluran resin skizolisigen dalam
gelam akar, batang, dan kulit buahnya, adanya kolenkim dalam korteks primer
batang dan dalam rigi-rigi buah, adanya perforasi sederhana dalam trakea, adanya
rambut-rambut lain yang bukan merupakan kelenjar.
6
Pulungan (2008) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman semak
penutup tanah dengan tinggi sekitar 25 cm. Batangnya merupakan batang semu,
berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau pucat. Daunnya merupakan daun
majemuk dengan pertulangan daun menyirip. Tangkai daun berwarna coklat
kehijauan dengan panjang sekitar 5 cm. Anak daun berbentuk jantung yang
tepinya bergerigi, berujung tumpul dan pangkal bertoreh, berukuran panjang
sekitar 3 cm dan lebar sekitar 2.5 cm. Bunga purwoceng merupakan bunga
majemuk berbentuk payung. Tangkai bunga berbentuk silindris dengan panjang
sekitar 2 cm. Kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau, benang sari
berwarna putih, putik berbentuk bulat berwarna hijau, dan mahkota berambut
berwarna coklat. Buah berbentuk lonjong kecil berwarna hijau, dan biji berbentuk
lonjong kecil berwarna coklat. Akar merupakan akar tunggang yang berwarna
putih kotor.
Rahardjo et al. (2005) mengemukakan bahwa tangkai bunga purwoceng
memiliki cabang-cabang. Purwoceng memiliki sekitar 7.4 tangkai bunga primer,
setiap tangkai primer memiliki sekitar tiga tangkai sekunder, setiap tangkai
sekunder memiliki sekitar 2 tangkai tertier, dan setiap tangkai tertier memiliki
sekitar 5-8 tandan bunga yang membentuk bunga payung. Pada setiap tandan
bunga terdapat sekitar 5-10 bunga yang akan menghasilkan sekitar 8.6 biji
sehingga satu tanaman purwoceng dapat menghasilkan 2260 biji. Biji yang telah
matang berwarna hitam, berukuran sangat kecil dengan bobot 1000 butirnya
sekitar 0.52 g.
Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan
tinggi antara 15 sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi, sekitar 2000-
3000 m dpl di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tanaman ini
memiliki nama daerah yang berbeda-beda, antara lain antanan gunung, gebangan
depok, rumput dempo, atau suripandak abang. Purwoceng banyak dicari orang
karena memiliki khasiat obat yang bersifat diuretik terutama digunakan sebagai
afrodisiak. Artha (2007) mengemukakan bahwa purwoceng juga memiliki khasiat
menambah stamina tubuh, analgetika (penghilang rasa sakit), antipiretika
(penurun panas), anthelmitika (obat cacing), antifungi, antibakteri, dan antikanker.
7
Purwoceng memiliki khasiat obat karena mengandung beberapa metabolit
sekunder di antaranya saponin dan fitosterol atau sterol tumbuhan. Nio (1989) dan
Robinson (1996) menjelaskan bahwa saponin adalah suatu glikosida yang terdapat
pada banyak jenis tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif dengan
permukaan kuat yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air bahkan
pada konsentrasi sangat rendah sekalipun. Sifat saponin yang menyerupai sabun
ini menjadi sebab penamaan saponin berasal dari kata sapo, kata dalam bahasa
latin yang berarti sabun. Saponin tertentu menjadi penting karena dapat digunakan
sebagai bahan baku sintesis hormon steroid.
Konsentrasi saponin berbeda pada bagian-bagian tumbuhan dipengaruhi oleh
tahap pertumbuhan serta komposisi aglikon (sapogenin) dan karbohidrat yang
berbeda tergantung jenis tanaman. Fungsi saponin pada tumbuhan diduga sebagai
penyimpanan karbohidrat atau sisa metabolisme, atau sebagai pelindung dari
serangan hama. Saponin berasa pahit dan sangat beracun bagi ikan dan amfibi, namun
ikan yang mati karena saponin dapat dikonsumsi manusia karena saponin tidak
meracuni manusia. Contoh lainnya adalah bir yang busanya disebabkan oleh saponin.
Saponin membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya,
dan jika dihidrolisis lengkap akan menghasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat
(heksosa, pentosa, dan asam sakarida). Berdasarkan sifat kimiawinya saponin dibagi
dalam dua kelompok, yaitu steroid (27 atom C) dan triterpenoid (30 atom C).
Bradford dan Awad (2007) menjelaskan bahwa fitosterol merupakan fitokimia
spesifik yang strukturnya menyerupai kolesterol tetapi hanya ditemukan pada
tumbuhan baik dalam bentuk testerifikasi maupun bebas. Fitosterol berbeda-beda
konsentrasinya sesuai jenis tumbuhan dan banyak terkandung dalam tanaman yang
menghasilkan lipid tinggi seperti kacang tanah dan wijen. Fitosterol telah terbukti dapat
menurunkan kolesterol dalam tubuh manusia sehingga mengurangi resiko terkena
penyakit jantung serta sebagai antikanker. Fitosterol yang sering dikonsumsi manusia
terdiri dari ß-sitosterol, stigmasterol (29 atom C), dan kampesterol (28 atom C) yang
hanya didapatkan melalui makanan nabati dengan penyerapan yang sangat terbatas.
Ketersediaan fitosterol didalam tubuh (bioavailability) sekitar 10 % untuk kampesterol,
5 % untuk stigmasterol, dan 4 % untuk ß-sitosterol.
8
Purwoceng dengan khasiat-khasiat di atas sangat potensial sebagai
komplemen dan substitusi ginseng impor sehingga dapat menghemat devisa negara.
Produk setengah jadi purwoceng adalah simplisia dan ekstrak, produk industri
dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan, pil atau tablet/kapsul. Investasi
yang dibutuhkan untuk sektor hulu meliputi perbenihan, penyediaan lahan, dan
budidaya. Biaya kebutuhan benih (per hektar per tahun) purwoceng adalah sebesar
94.00 juta rupiah dengan rasio B/C sebesar 3.09. Kebutuhan investasi agribisnis
hilir, yaitu pembuatan simplisia purwoceng sebesar 35.37 milyar rupiah. Nilai
investasi untuk produksi ekstrak purwoceng 194.28 milyar rupiah. Nilai investasi
produk turunan purwoceng 108.53 milyar rupiah (Deptan, 2007).
Purwoceng sebelum ditemukan sebagai tanaman obat merupakan tanaman
liar sehingga tidak cocok ditanam di daerah terbuka yang langsung terkena sinar
matahari. Pembudidayaannya memerlukan naungan untuk pertumbuhan yang
baik. Purwoceng dapat diperbanyak dengan benih. Purwoceng akan berbunga
sekitar enam bulan setelah tanam dan sekitar dua bulan kemudian benihnya
matang. Tiap tanaman menghasilkan banyak benih bernas yang berwarna cokelat
kehitaman yang setelah dipanen dapat dikeringkan. Benih dapat disemai di bak
semai berukuran satu meter persegi yang tanahnya telah digemburkan dan diberi
pupuk kandang. Hama yang menyerang purwoceng adalah keong dan kutu daun,
sedangkan penyakitnya adalah busuk batang. Penyebab penyakit ini belum
diketahui, sehingga pencegahan penularannya dilakukan dengan mencabut
tanaman yang terserang lalu mengubur atau membakarnya (Artha, 2007).
Usaha pembudidayaan purwoceng tergolong sangat menguntungkan.
Hasil analisis usaha tani purwoceng di desa Sekunang yang menggunakan cara
budidaya sederhana pada lahan seluas 1000 m2 dapat memproduksi 550 kg basah
purwoceng (sekitar 17-20 rumpun) sehingga menghasilkan keuntungan bersih
34 juta rupiah (Yuhono, 2004).
9
Pemuliaan Mutasi
Pada program pemuliaan tanaman, penggunaan induksi mutasi buatan tergantung pada jumlah variabilitas alami yang tersedia. Jika di alam telah tersedia alela yang diinginkan, maka pemulia lebih memilih menggunakan alela tersebut daripada mengubah komposisi genetik melalui mutasi buatan. Induksi mutasi buatan umumnya relatif lebih baik dilakukan pada tanaman yang menyerbuk sendiri dibandingkan pada tanaman yang menyerbuk silang. Pada tanaman yang menyerbuk sendiri, sebagian besar alela dengan nilai adaptasi tinggi biasanya akan cepat lenyap karena sifat homozigositasnya sehingga memperkecil variabilitas genetik. Hal ini menjadikan peluang memperoleh mutagen dan variabilitas genetik yang diinginkan melalui cara-cara buatan pada tanaman yang menyerbuk sendiri secara teoritis lebih tinggi (Welsh, 1991).
Induksi mutasi dengan iradiasi atau menggunakan bahan kimia dapat menimbulkan mutasi gen atau mutasi kromosom. Semakin banyak bahan yang diperlakukan maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya mutan-mutan. Pengujian-pengujian terhadap mutan dapat menghasilkan varietas baru atau setidak-tidaknya meningkatkan variabilitas tanaman tersebut sehingga dapat digunakan untuk pemuliaan tanaman secara konvensional (Soetarto, 1972). Tipe perubahan genetik yang terjadi akibat mutasi bersifat acak sehingga terdapat kemungkinan perubahan tersebut meningkatkan kemampuan organisme untuk bertahan hidup, tumbuh, dan bereproduksi (Aisyah, 2006). Pada tanaman budidaya yang bereproduksi secara seksual, perlakuan terhadap benih merupakan cara yang paling umum digunakan untuk induksi mutasi. Selain itu juga perlakuan terhadap semai yang masih muda. Kedua cara tersebut dapat menimbulkan kimera, yaitu suatu segmen jaringan tanaman yang mempunyai genetik berbeda dengan sel-sel di sekitarnya. Jika ingin diwariskan kepada keturunannya secara seksual, mutasi harus terjadi pada jaringan meristem pada sel-sel reproduksi. Penggabungan kimera terjadi bila jaringan tanaman merupakan kombinasi sel dari tanaman yang ada dan tanaman keturunan, tetapi penggabungan demikian bukan merupakan peristiwa mutasi (Welsh, 1991). Aisyah (2006) menyatakan bahwa oksigen sangat berperan untuk meningkatkan efek radiasi dalam sistem biologi. Pada jaringan yang mengandung kadar air rendah, radikal-radikal yang diinduksi dari iradiasi akan merusak dengan sangat lambat dan sebaliknya.
10
Welsh (1991) menjelaskan bahwa metode umum penerapan mutasi pada
tanaman yang direproduksi secara seksual dapat dilakukan dengan seleksi tanpa
melakukan manipulasi pemuliaan melalui persilangan, yaitu menggunakan seleksi
program pemuliaan konvensional. Material mutan yang diinginkan dihasilkan dari
benih-benih yang diharapkan menghasilkan variabilitas unggul. Seleksi alela yang
diinginkan dicari pada generasi-generasi berikutnya. Bila alela yang bermutasi
adalah resesif, maka akan lebih sering tampak pada tanaman budidaya menyerbuk
sendiri, karena alela-alelanya secara normal dikendalikan oleh sifat
homozigositas. Jika alela yang bermutasi bersifat dominan, maka tanaman akan
lebih mudah diidentifikasi.
Hal tersebut juga dijelaskan oleh Aisyah (2006), bahwa pada generasi M1, yaitu tanaman yang tumbuh dari benih yang diiradiasi, hanya mutasi dominan yang akan terekspresi karena bersifat heterozigot akibat adanya gen-gen mutan baru. Kemudian pada saat tanaman generasi M1 menyerbuk sendiri, gen-gen akan bersegregasi menjadi fenotipe mutan dan non-mutan pada generasi M2, yaitu tanaman yang tumbuh dari benih keturunan generasi M1, sehingga mutan resesif yang baru terinduksi akan terekspresikan dan dapat dilihat pada generasi M2 tersebut.
Indonesia merupakan negara pertama dalam sejarah perkembangan
pemuliaan mutasi yang telah menggunakan hasil mutannya untuk tanaman yang
dianjurkan, yaitu tanaman tembakau yang diperoleh dari hasil penyinaran dengan
sinar X di Jawa Tengah di tahun 1930-an (Ismachin dan Hendratno, 1972). Sinar
gamma seperti halnya neutron mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan
melepaskan elektron-elektron dari atomnya. Induksi mutasi menggunakan sinar
gamma dari Cobalt-60 telah berhasil memperpendek umur tanam, memperpendek
ukuran, dan meningkatkan produksi tanaman padi (Moebarokah, 1972). Badan
Tenaga Atom Nasional (BATAN) memiliki sarana pemuliaan mutasi
menggunakan iradiasi sinar gamma dari Cobalt-60 yang terletak di Pasar Jumat,
Jakarta.
11
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Percobaan
Percobaan dilakukan di dua lokasi dengan ketinggian berbeda. Lokasi pertama sebagai sasaran ketinggian yang diharapkan adalah Kebun Percobaan Cicurug, Sukabumi (ketinggian sekitar 550 m dpl, suhu 31-36°C) milik Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro). Lokasi kedua sebagai pembanding adalah Kebun Percobaan Cibadak, Cianjur (ketinggian sekitar 950 m dpl, suhu 23-27°C) milik Balai Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen). Analisis metabolit sekunder dilakukan di Balittro. Percobaan dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai Maret 2009.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah semai tanaman purwoceng generasi M2 yang berasal dari tanaman induk yang dipelihara di masing-masing lokasi, yaitu semai yang dihasilkan oleh tanaman generasi M1 yang berasal dari benih purwoceng koleksi Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri yang diiradiasi sinar gamma dengan dosis 0 (kontrol), 1, 2, 3, 4, dan 5 krad di Badan Tenaga Atom Nasional (Pulungan, 2008). Benih purwoceng yang menjadi sumber awal koleksi Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri berasal dari desa Sekunang, Dieng (Wahyuni et al., 1997).
Bahan lain yang digunakan adalah media tanam berupa campuran tanah setempat dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1, polibag kecil (diameter 10 cm), polibag besar atau pot (diameter 30 cm), dan paranet dengan kerapatan 65%. Alat yang digunakan adalah alat pertanian dan alat ukur panjang secara umum, serta seperangkat perlengkapan Thin Layer Chromatography scanner (TLC scanner) untuk analisis kadar metabolit sekunder.
Metode Percobaan
Setiap populasi terdiri dari tanaman yang berasal dari benih yang secara alami dibiarkan berkecambah setelah luruh dari tanaman induknya. Benih purwoceng generasi M1 yang berhasil berkecambah dan diamati pada percobaan ini adalah 292 tanaman, yaitu 247 tanaman di lokasi Cicurug yang berasal dari benih tanaman kontrol (106 tanaman), 3 krad (30 tanaman), dan 5 krad (111 tanaman) serta 45 tanaman di lokasi Cibadak yang berasal dari benih tanaman kontrol (8 tanaman), 1 krad (21 tanaman), 3 krad (5 tanaman), dan 5 krad (11 tanaman).
12
Analisis kadar metabolit sekunder yaitu saponin dan fitosterol (terdiri dari ß-sitosterol dan stigmasterol) dilakukan terhadap sampel tunggal tanaman purwoceng generasi M1 semua dosis iradiasi yang berumur 6 bulan dari lokasi Cibadak dan Cicurug, serta sampel tunggal tanaman purwoceng dengan umur yang sama dari lokasi Tawang Mangu dan Dieng sebagai pembanding. Analisis dilakukan terpisah antara akar dengan batang dan daun menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Pengujian rata-rata populasi untuk hasil pengamatan dilakukan antar pasangan populasi menggunakan uji-t.
Pelaksanaan Percobaan
Penanaman
Seluruh kecambah di persemaian yang telah memiliki dua atau tiga daun tunggal dipindahkan masing-masing ke dalam satu polibag kecil. Setelah berumur sekitar 5-6 minggu di polibag kecil, tanaman muda kemudian dipindahkan ke dalam pot atau polibag besar. Sejak tanaman berkecambah sampai dewasa, seluruhnya ditempatkan di bawah naungan paranet di masing-masing lokasi (Gambar 2).
Gambar 2. Pertanaman Purwoceng dalam Polibag di Bawah Naungan Paranet.
Lokasi Cicurug (kiri) dan di lokasi Cibadak (kanan) Pemeliharaan
Penyiraman minimal dua hari sekali dilakukan jika tidak hujan. Pengendalian gulma dan hama sedapat mungkin dilakukan secara manual jika diperlukan. Pemupukan dilakukan sebulan dua kali mulai umur dua bulan setelah tanaman dipindahkan ke polibag besar sampai muncul bunga menggunakan pupuk anorganik urea, SP36, dan KCl dengan dosis masing-masing 1.5 g, 5 g, dan 1 g per tanaman.
P
d
d
s
d
y
K
d
s
2
3
Pengamatan
Peng
dipindahkan
dipindahkan
sekali tiap du
di lokasi Cib
yang diamati
Karakter kua
diameter ka
sekunder. Be
1. Bentuk D
Terdapat
dan bulat
Gambar 3
2. Warna Da
Pengamat
pada perm
hijau kem
3. Warna Ta
Warna ta
daun seca
dengan w
n
gamatan terh
ke dalam po
(MSP). Sela
ua minggu sa
badak dilakuk
i mencakup
antitatif yan
anopi, jumla
erikut cara pe
Daun
dua bentuk
bergerigi (G
3. Sketsa Kebergerigi (
aun
tan warna da
mukaan atas d
merahan.
angkai Daun
angkai daun
ara keseluru
warna yang d
hadap berba
ot atau poliba
anjutnya peng
ampai tanama
kan pada um
bentuk dan w
ng diamati m
ah anakan,
engamatan te
anak daun
Gambar 3).
eragaman Be(atas) dan bu
aun dilakukan
dan bawah d
n
ditentukan d
uhan pada s
ditemukan pa
agai peubah
ag besar, yan
gamatan purw
an berbunga,
mur 0, 4, dan
warna daun
mencakup ju
fase generat
erhadap karak
secara umu
entuk Anak ulat bergerig
n pada daun
daun. Ada du
dengan meli
setiap tanam
ada daun, ya
h dilakukan
ng dicatat ber
woceng di lo
, sedangkan p
8 MSP. Kar
serta tangkai
umlah daun,
tif tanaman,
kter-karakter
um, yaitu be
Daun Purwgi (bawah)
muda dan d
ua warna yan
ihat kecende
man. Warna
aitu hijau dan
n pada saa
rumur 0 min
okasi Cicurug
pengamatan
rakter kualita
i daun, dan t
panjang tan
, dan kadar
r kualitatif:
entuk jantung
oceng. Bent
daun tua mas
ng lazim, yait
erungan war
yang ditemu
n hijau keme
13
at tanaman
nggu setelah
g dilakukan
purwoceng
atif tanaman
tipe kanopi.
ngkai daun,
r metabolit
g bergerigi
tuk jantung
sing-masing
tu hijau dan
rna tangkai
ukan sama
erahan.
4
2
3
4
5
6
4. Tipe KanoTipe kanodaun dalarebah di p
Gambar 4
Kar
1. Jumlah DData jumdengan an
2. Panjang TData panjyaitu denpermukaa
3. DiameterData diamujung dau
4. Jumlah AData jumlleher akar
5. Fase GenData yansaat munlagi peng
6. Kadar MAnalisis stigmasterdaun, mas
opi opi purwocenam satu tanapermukaan ta
4. Sketsa Kerrebah (kan
rakter kuantiDaun mlah daun dinak daun yanTangkai Daujang tangkai
ngan mengukan tanah samr Kanopi meter kano
un terluar yanAnakan lah anakan ptanaman yan
neratif Tanamng dicatat adcul tangkai
gamatan terhetabolit Sekdilakukan srol, dan ß-sitsing-masing d
ng ditentukanaman, yaitu anah (Gamba
ragaman Tipnan)
tatif diamati
idapatkan deng telah terbuun daun purwokur panjang
mpai di temp
opi purwoceng letaknya b
purwoceng ding ditandai oleman
dalah umur bunga prim
hadap karakkunder secara terpistosterol) paddosis iradiasi
n dengan meltegak tidak
ar 4).
pe Kanopi Pu
i dengan cara
engan menghuka, baik dau
oceng didapadari pangka
at munculny
eng didapatkberhadapan.
idapatkan deeh munculnya
tanaman saamer yang per
ter-karakter
sah untuk mda masing-m
serta lokasi s
lihat kecendemenyentuh
urwoceng. Ti
a sebagai be
hitung selurun tunggal ma
atkan dari taal tangkai d
ya anak daun
kan dengan
engan mengha daun-daun t
at memasukrtama. Setelr kualitatif m
masing-masinmasing bagian
sehingga terd
erungan tangpermukaan
ipe tegak (ki
erikut:
ruh tangkai aupun daun m
angkai daun tdaun yang ten terbawah.
n mengukur
hitung anakantunggal beruk
ki fase generlah itu tidakmaupun kuan
ng metabolitn akar serta dapat 84 kali a
14
gkai-tangkai tanah atau
iri) dan tipe
daun segar majemuk.
terpanjang, epat di atas
r jarak dua
n baru pada kuran kecil.
ratif, yaitu k dilakukan ntitatif.
t (saponin, batang dan analisis.
15
Analisis kadar saponin dilakukan dengan lebih dahulu memisahkan
fraksi-fraksi ekstrak kasar saponin dengan metode KLT menggunakan
campuran 4-metoksi-benzaldehida : asam sulfat pekat : asam asetat glasial
(1:2:100). Adanya saponin ditunjukkan dengan munculnya warna ungu setelah
pelat KLT diberi pewarna dan dipanaskan pada suhu 105˚C. Fraksi-fraksi
saponin yang dominan selanjutnya dikumpulkan dan dihidrolisis untuk
memisahkan sapogenin dan gula sehingga didapatkan kadar saponin murni
(Nuraini, 2005).
Kadar fitosterol diketahui dengan menganalisis kadar stigmasterol dan
ß-sitosterol. Ekstrak kental yang diperoleh dengan etanol 96% dipertisi dengan
kloroform : etanol (1:1). Metode KLT densitometri digunakan untuk penetapan
kadar stigmasterol. Sampel diteteskan pada pelat silika gel F254, dielusi
dengan n-heksana-etilasetat (20:5) ditambah empat tetes asam asetat glasial.
Bercak stigmasterol terlihat pada Rf 0.3 setelah disemprot dengan anisaldehida-
asam sulfat dan dipanaskan pada suhu 100˚C selama 3 menit. Pengukuran
kadar dengan TLC scanner dilakukan pada panjang gelombang 366 nm
(Izatunnafis, 2008). Selanjutnya kadar ß-sitosterol dianalisis dengan metode KLT
yang sama menggunakan standar ß-sitosterol, fase gerak n-heksana-etilasetat
(2:1, %[v/v]), dan pewarna H2SO4 (Gunawan, 2007).
16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Percobaan
Perkecambahan benih-benih purwoceng terjadi pada waktu yang berbeda-beda karena tidak dilakukan persemaian serempak. Tanaman dikelompokkan sesuai umur untuk pengolahan data percobaan (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1. Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M2 pada Umur yang
Berbeda di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Jumlah Tanaman 0 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 57 30 70 2 MSP 96 30 76 4 MSP 97 30 110 6 MSP 87 26 108 8 MSP 80 26 101 10 MSP 76 22 96 12 MSP 66 20 86 14 MSP 53 16 82 16 MSP 49 10 50 18 MSP 47 12 58 20 MSP 40 8 50 22 MSP 33 2 42 24 MSP 28 2 31 26 MSP 23 1 25 28 MSP 17 0 17 30 MSP 12 0 11 32 MSP 1 0 9 34 MSP 0 0 7 36 MSP 0 0 2
Tabel 2. Jumlah Tanaman Generasi M2 Purwoceng pada Umur yang Berbeda di Lokasi Cibadak
Umur Tanaman Jumlah Tanaman 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 3 5 5 5
4 MSP 3 13 0 11
8 MSP 8 21 0 11
17
Gambar 5. Curah Hujan di Lokasi Cicurug Tahun 2008
Kondisi cuaca pada saat percobaan ini dilakukan sangat mempengaruhi
tanaman. Curah hujan di lokasi Cicurug pada tahun 2008 ditunjukkan pada Gambar 5.
Pada bulan Juli hingga September 2008 terjadi kekeringan karena sangat jarang hujan
dan panas terus-menerus sehingga beberapa tanaman menjadi layu dan akhirnya mati.
Selanjutnya mulai bulan November 2008 terjadi hujan dengan curah hujan sangat
tinggi sehingga menyebabkan beberapa tanaman menjadi busuk dan mati
(Gambar 6a-c). Busuk yang terjadi pada berbagai bagian tanaman menunjukkan
gejala bagian tanaman tersebut menjadi lunak dan berwarna kecoklatan. Organisme
penyebab busuk ini belum dipelajari. Selama pengamatan ditemukan bahwa tanaman
yang mulai layu akan segera mati, tidak akan bertahan dalam waktu lama.
Naungan paranet yang digunakan pada awal percobaan (kerapatan 65%)
terlalu rapat sehingga menyebabkan pertumbuhan tangkai daun purwoceng
mengalami etiolasi, terlihat pada tangkai daun menjadi kurus dan lebih panjang.
Kemudian dilakukan penjarangan paranet menjadi 50% dan selanjutnya dilakukan
pemasangan plastik di atas paranet pada musim hujan (Gambar 6d).
Terdapat beberapa tanaman muda yang baru dipindahkan ke pot besar
mengalami gejala bintik-bintik putih pada daun (Gambar 6e). Hal ini disebabkan
oleh kurangnya unsur N dan hara lainnya pada tanah. Gejala bintik putih pada
daun tidak muncul lagi setelah dilakukan pemupukan.
Bulan
36
524.6
643.9
270.5
75.7
167.2
16
112.3
35
217.4
476.3
403
0
100
200
300
400
500
600
700
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
18
Gambar 6. Pengaruh Lingkungan pada Purwoceng. Daun layu dan
mengering (a), daun membusuk (b), tanaman mati (c), daun berbintik-bintik putih (d), naungan paranet dilapisi plastik (e)
Gambar 7. Serangan Hama pada Tanaman Purwoceng. Kutu daun di
permukaan bawah daun (a), tanaman berkerut (b), nematoda membentuk bintil-bintil akar (c), daun tanaman terserang belalang (d)
Seluruh tanaman terserang kutu daun Aphis sp. (Gambar 7a) dengan
tingkat serangan berbeda disertai kelompok semut yang juga ikut mengerubungi
tanaman. Pengendalian kutu daun dilakukan dengan menyemprotkan larutan
furadan atau larutan deterjen, tetapi hanya dapat mengusir kutu sementara.
Pengendalian kutu daun yang paling efektif adalah dengan menggunakan tangan.
Kutu daun menghisap cairan tanaman sehingga daun menjadi berkerut (Gambar 7b).
Selain itu juga terjadi serangan sejenis nematoda yang membentuk bintil-bintil
pada akar dan menghisap sari tanaman (Gambar 7c). Hama lain yang menyerang
tanaman adalah belalang yang memakan daun sehingga tinggal tangkainya
(Gambar 7d).
d
c
b
e
a
a b c d
B
S
d
d
p
p
B
(
t
p
d
(
a
t
Bentuk dau
Daun
Setetah men
dewasa. Dau
daun, sedang
pada satu tan
pengamatan
Bentuk anak
(Gambar 8c-
tangkai daun
pada tanama
daun yang
(Gambar 8e)
akhirnya me
temuan terseb
Gamba
c
a
un
n awal yang
ncapai 2 M
un tunggal m
gkan daun ma
ngkai daun
tidak berbed
k daun secara
-d). Pasanga
n dan pada uju
an M2/09.04.
berbeda, ya
). Grosch (1
enghasilkan
but dibuat sk
ar 8. Keraga(a), dajantun
Kara
g muncul pa
SP kemudia
merupakan d
ajemuk adala
(Gambar 8a
da antar tana
a umum adal
an anak daun
ung tangkai d
.08/5 KRAD
aitu tangkai
1965) menya
penyimpang
ketsa keragam
aman Keragaun majemukng bergerigi (
akter Kualit
ada tanaman
an terbentuk
daun dengan
ah daun yang
a-b). Bentuk
aman genera
lah bentuk ja
n pada daun
daun terdapat
D/20 di lokas
i anak daun
atakan bahw
gan-penyimp
man susunan a
gaan Bentukk (b), anak d(d), dan peny
b
tatif
n purwoceng
k daun maje
satu helai d
g memiliki be
anak daun p
asi M2 untu
antung berger
majemuk te
t satu anak da
si Cicurug d
n yang terli
wa banyak ta
pangan bentu
anak daun pu
k Daun Purwdaun bulat byimpangan b
d
g adalah dau
emuk sampa
daun pada s
eberapa hela
purwoceng b
uk semua do
rigi atau bul
erletak berhad
aun. Meskipu
ditemukan su
ihat bercaba
anaman yang
uk daun. B
urwoceng (Ga
woceng. Dauergerigi (c),bentuk daun
19
un tunggal.
ai tanaman
atu tangkai
i anak daun
berdasarkan
sis iradiasi.
at bergerigi
dapan pada
un demikian
usunan anak
ang-cabang
g diiradiasi
Berdasarkan
ambar 9).
un tunggal anak daun (e)
e
W
td
2
3
m5skdgkmmm
abmbss
Gam
Warna Dau
Warnterlihat lebihdan ada yang
Pada1. Seluruh 2. Permuka
permuka3. Permuka
sedangkaTana
menunjukka5 krad dan ksedangkan tkombinasi 1dua tanamangenerasi M2kombinasi 1masing dua tmenyatakan melainkan ha
Intenakhir percobberwarna memisalnya cahbesar tumbuhsering terpacsedikit atau s
mbar 9. Sketstidak
un na hijau pad
h gelap (Gambg samar atau a daun purwopermukaan d
aan bawah aan atasnya daan bawah an permukaa
aman-tanamaan seluruh kkontrol lebihtanaman-tana (27 tanama
n pada masin2 semua dos1. Kombinastanaman gene
bahwa komanya berupa
nsitas warna kbaan ditemukerah atau hijahaya (Gambarhan memben
cu oleh cahaysama sekali ti
sa Keragamabercabang (
da daun mudambar 10a). Wa
hanya sembuoceng terdapdaun muda d
daun muddan kedua pedaun muda
an atas keduan generasi kombinasi wh banyak meaman generan). Kombinng-masing dosis iradiasi dsi 2 ditunjuerasi M2 3 k
mbinasi warnpenyesuaian
kemerahan dakan beberapaau kekuninganr 10c). Salisbntuk pigmen ya. Cahaya mdak berfotosi
an Susunan (kiri) dan ma
a terlihat lebarna kemerahurat (Gambarpat tiga kombdan daun tuada berwarnermukaan daa dan daun uanya berwar
M2 semua warna di atasenunjukkan krasi M2 3 nasi 3 terdaposis iradiasidi lokasi Ci
ukkan pada tkrad dan 5 krana daun ini
n tanaman terapat bertamba tanaman dn yang didug
bury dan Rossantosianin p
memacu sintesintesis, misal
Anak Daun ajemuk berca
bih cerah, sehan pada daur 10b). binasi keduaa berwarna hna hijau kaun tua berw
tua berwarna hijau
dosis iradis. Tanaman-kombinasi 2krad lebih at pada sedi(Lampiran 1
ibadak secartiga tanamaad (Lampirani bukan merrhadap lingkuah atau berkudengan keduga disebabkans (1995) men
pada beberapasis pigmen telnya pada dau
Purwocengabang (kanan
dangkan padun ada yang t
a warna ini, yhijau kemerahan, warna hijau arna hijau k
iasi di loka-tanaman ge2 (95 dan 57
banyak meikit tanaman1-3). Tanamara umum mean kontrol dn 4-7). Pulunrupakan akibungan. urang. Pada dua permukaann oleh faktor nyatakan bahwa sel terspesiersebut pada un yang akan
20
. Majemuk n)
da daun tua terlihat jelas
yaitu:
sedangkan
kemerahan,
asi Cicurug enerasi M2 7 tanaman), enunjukkan
n saja, yaitu an-tanaman enunjukkan an masing-
ngan (2008) bat radiasi,
dua bulan di n daun tua lingkungan
wa sebagian ialisasi, dan organ yang
n gugur.
W
d
i
b
B
s
u
d
Ga
Warna Tan
Warn
daun, yaitu
intensitas wa
Gam
Selur
berwarna hija
Berbeda hal
semua dosis
umum berwa
daun hijau, y
ambar 10. Keberkemwa
ngkai Daun
na yang dite
hijau dan hi
arna kemera
mbar 11. Wawa
ruh tanaman
au kecuali sa
nya dengan
s iradiasi m
arna hijau ke
yaitu dua tan
eragaman Krbeda pada merahan domarna kemerah
emukan pad
ijau kemera
ahan pada tan
arna Tangkaarna hijau ke
n generasi M
atu tanaman,
tanaman di
menunjukkan
emerahan ke
naman pada
a
Keragaan Wadaun muda
minan pada han pada dau
da tangkai sa
han (Gamba
ngkai juga d
ai Daun Puremerahan (ka
M2 di lokas
yaitu I/1R/2
lokasi Cicu
salah satu
ecuali bebera
masing-mas
rna Daun Pua dan daunpermukaan un tua (c)
ama dengan
ar 11). Sama
dapat bertamb
rwoceng. Wanan)
si Cibadak m
9-12-07/SAM
urug, seluruh
dari kedua
apa tanaman
sing dosis ira
b
urwoceng. Wn tua (a), w
bawah daun
yang ditem
a halnya den
bah atau ber
Warna hijau
memiliki tan
MPEL5 (Lam
h tanaman ge
warna, nam
n dengan war
adiasi (Lamp
21
Warna hijau warna hijau n muda (b),
mukan pada
ngan daun,
rkurang.
(kiri), dan
ngkai daun
mpiran 4-7).
enerasi M2
mun secara
rna tangkai
piran 1-3).
c
T
(tgdsgslrtmy
Pd J
lks3g5
Tipe Kanop Seca
(Gambar 12atanaman gengenerasi M2ditemukan psemakin bangenerasi M2sebagian beslebih teduh rebahnya katanaman genmaksimal payang terdapa
Gam
Perbandingdi Lokasi C
Jumlah DauRata-
lokasi Cicurukarakter jumsemua dosis 3 krad cendgenerasi M25 krad tidak b
pi ara umum pa) ditemukannerasi M2 3 k2 5 krad, yapada tanamannyak sehingg2 5 krad, kecsar tanaman gsehingga tan
anopi juga dnerasi M2 3 kada umur 18at pada tangk
mbar 12. Tipe
gan KarakteCicurug dan
un -rata jumlah dug ditunjukk
mlah daun antiradiasi (Tab
derung atau 2 5 krad dan kberbeda deng
ada tanamann pada tanamkrad dan konaitu sekitar uan yang lebihga tangkai dacenderungan generasi M2ngkai teretiodipengaruhi krad dan kon8 MSP. Hal kai lebih sedik
Kanopi Purw
Karak
er KuantitaCibadak
daun tanamakan pada Gatar pasangan
bel 3) menunjnyata lebih kontrol pada gan tanaman k
a
n generasi Mman muda, y
ntrol, serta cenumur 0-12 Mh tua. Semaaun semakinkanopi yang
2 5 krad hiduolasi dan me
oleh kesegantrol ditemuk
ini diduga dkit sehingga
woceng. Tipe
kter Kuanti
atif Antar D
an purwocengambar 13 (ben dosis iradiajukkan bahwsedikit dibsemua umurkontrol pada
M2 di lokasiyaitu antaranderung lebiMSP. Kanopakin tua tanan panjang dag lebih cepatup pada awalenjadi lemaharan tangkaikan kanopi yadipengaruhi daun tidak te
e tegak (a) da
itatif
osis Iradias
g generasi M2erdasarkan L
asi tanaman pwa jumlah daubandingkan jr. Jumlah dausemua umur
Cicurug, kaumur 0-16
ih singkat papi rebah (Gaaman maka an berat. Padt rebah disebl percobaan sh. Selain itu i daun. Padang masih teoleh jumlah erlalu berat.
an tipe rebah
si
2 semua dosiLampiran 8). purwoceng gun tanaman gjumlah dau
un tanaman gr.
b
22
anopi tegak MSP pada da tanaman ambar 12b) anak daun
da tanaman babkan oleh saat paranet
tegak atau a beberapa
egak sampai anak daun
h (b)
is iradiasi di Hasil uji-t
generasi M2 generasi M2 n tanaman
generasi M2
23
Tabel 3. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Perlakuan yang Dibandingkan t-hitung Peluang 0 MSP 0 krad vs 3 krad 1.73 tn 0.090
0 krad vs 5 krad 0.56 tn 0.577 3 krad vs 5 krad -1.45 tn 0.154
2 MSP 0 krad vs 3 krad 1.87 tn 0.067 0 krad vs 5 krad -0.01 tn 0.994 3 krad vs 5 krad -1.90 tn 0.063
4 MSP 0 krad vs 3 krad 2.47 * 0.017 0 krad vs 5 krad 0.09 tn 0.929 3 krad vs 5 krad -2.53 * 0.015
6 MSP 0 krad vs 3 krad 2.29 * 0.026 0 krad vs 5 krad 1.00 tn 0.317 3 krad vs 5 krad -1.58 tn 0.121
8 MSP 0 krad vs 3 krad 4.74 * 0.000 0 krad vs 5 krad 1.57 tn 0.118 3 krad vs 5 krad -3.29 * 0.002
10 MSP 0 krad vs 3 krad 3.95 * 0.000 0 krad vs 5 krad -0.39 tn 0.699 3 krad vs 5 krad -4.31 * 0.000
12 MSP 0 krad vs 3 krad 2.93 * 0.005 0 krad vs 5 krad 0.56 tn 0.573 3 krad vs 5 krad -2.67 * 0.011
14 MSP 0 krad vs 3 krad 2.35 * 0.024 0 krad vs 5 krad 0.56 tn 0.580 3 krad vs 5 krad -1.74 tn 0.089
16 MSP 0 krad vs 3 krad 1.33 tn 0.200 0 krad vs 5 krad -0.15 tn 0.879 3 krad vs 5 krad -1.29 tn 0.206
18 MSP 0 krad vs 3 krad 3.37 * 0.002 0 krad vs 5 krad 1.64 tn 0.105 3 krad vs 5 krad -2.14 * 0.041
20 MSP 0 krad vs 3 krad 2.47 * 0.024 0 krad vs 5 krad -0.13 tn 0.898 3 krad vs 5 krad -2.68 * 0.017
22 MSP 0 krad vs 3 krad 1.24 tn 0.431 0 krad vs 5 krad 1.41 tn 0.163 3 krad vs 5 krad -0.78 tn 0.579
Keterangan: *berbeda nyata pada taraf 5% tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
24
Gambar 13. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis
Iradiasi di Lokasi Cicurug Rata-rata jumlah daun tanaman purwoceng generasi M2 semua dosis iradiasi
di lokasi Cibadak ditunjukkan pada Tabel 4. Hasil uji-t karakter jumlah daun antar pasangan dosis iradiasi tanaman purwoceng generasi M2 ditunjukkan pada Tabel 5. Jumlah daun tanaman generasi M2 1 krad nyata lebih banyak dibandingkan jumlah daun tanaman generasi M2 5 krad dan kontrol pada umur 8 MSP. Keragaman jumlah daun tanaman generasi M2 di lokasi Cicurug dan Cibadak ini diduga merupakan akibat dari faktor lingkungan, bukan akibat iradiasi sinar gamma. Hasil percobaan yang dilakukan Pulungan (2008) menunjukkan pada 4-8 MSP hasil uji-t antara tanaman kontrol dengan tanaman generasi M1 1 krad, 3 krad, dan 5 krad, maupun antara kombinasi pasangan lainnya, keenam pasangan tersebut tidak menunjukkan jumlah daun yang berbeda.
Tabel 4. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis
Iradiasi di Lokasi Cibadak
Umur Tanaman Rata-rata Jumlah Daun (tangkai) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 4.62 4.57 4.60 4.00 4 MSP 5.67 5.77 - 5.09 8 MSP 6.67 9.40 - 6.80
3.934.66
5.266.45
8.03
10.62
12.62
17.7
21.33
3.374.1 4.4
5.58 5.926.82
8.55
10.88
13.213.92 14.38
15.5
9.3
14.66
18.42
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Umur Tanaman (MSP)
Jum
lah
Dau
n (t
angk
ai)
0 krad
3 krad
5 krad
25
Tabel 5. Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak
Umur Tanaman Perlakuan yang Dibandingkan t-hitung Peluang 0 MSP 0 krad vs 1 krad 0.16 tn 0.874
0 krad vs 3 krad 0.07 tn 0.946 0 krad vs 5 krad 1.78 tn 0.096 1 krad vs 3 krad -0.09 tn 0.930 1 krad vs 5 krad 1.85 tn 0.077 3 krad vs 5 krad 1.77 tn 0.107
4 MSP 0 krad vs 1 krad -0.13 tn 0.904 0 krad vs 5 krad 0.74 tn 0.511 1 krad vs 5 krad 1.15 tn 0.263
8 MSP 0 krad vs 1 krad -2.60 * 0.048 0 krad vs 5 krad -0.14 tn 0.893 1 krad vs 5 krad 2.48 * 0.042
Keterangan: *berbeda nyata pada taraf 5% tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
Panjang Tangkai Daun Rata-rata panjang tangkai daun tanaman purwoceng generasi M2 semua dosis iradiasi di lokasi Cicurug ditunjukkan pada Gambar 14 (berdasarkan Lampiran 9), terlihat bahwa ketiga tanaman generasi M2 semua dosis iradiasi secara bergantian memiliki tangkai daun terpanjang pada umur yang berbeda dari awal sampai akhir pengamatan.
Gambar 14. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2
Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug
6.335.82
11.82
13.2313.64
13.3114.02
13.4
7.63
10.65
13.03
12.78
4.52
5.366.35
8.35
9.89
13.5714.96
18.19 17.8318.72
19.63 19.91
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Umur Tanaman (MSP)
Panj
ang
Tan
gkai
Dau
n (c
m)
0 krad
3 krad
5 krad
26
Tabel 6. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Perlakuan yang Dibandingkan t-hitung Peluang 0 MSP 0 krad vs 3 krad 2.31 * 0.024
0 krad vs 5 krad 3.73 * 0.000 3 krad vs 5 krad 0.38 tn 0.706
2 MSP 0 krad vs 3 krad 1.24 tn 0.221 0 krad vs 5 krad 3.21 * 0.002 3 krad vs 5 krad 1.12 tn 0.266
4 MSP 0 krad vs 3 krad -1.35 tn 0.184 0 krad vs 5 krad 1.57 tn 0.118 3 krad vs 5 krad 2.43 * 0.020
6 MSP 0 krad vs 3 krad -2.10 * 0.043 0 krad vs 5 krad 1.38 tn 0.169 3 krad vs 5 krad 3.01 * 0.005
8 MSP 0 krad vs 3 krad -1.23 tn 0.226 0 krad vs 5 krad 2.88 * 0.005 3 krad vs 5 krad 3.19 * 0.003
10 MSP 0 krad vs 3 krad 0.35 tn 0.727 0 krad vs 5 krad -0.59 tn 0.559 3 krad vs 5 krad -0.75 tn 0.461
12 MSP 0 krad vs 3 krad -1.25 tn 0.218 0 krad vs 5 krad -4.90 * 0.000 3 krad vs 5 krad -2.30 * 0.028
14 MSP 0 krad vs 3 krad -2.04 tn 0.051 0 krad vs 5 krad -6.04 * 0.000 3 krad vs 5 krad -2.81 * 0.008
16 MSP 0 krad vs 3 krad -1.48 tn 0.168 0 krad vs 5 krad -7.40 * 0.000 3 krad vs 5 krad -1.93 tn 0.080
18 MSP 0 krad vs 3 krad -2.74 * 0.015 0 krad vs 5 krad -9.01 * 0.000 3 krad vs 5 krad -2.75 * 0.015
20 MSP 0 krad vs 3 krad -2.17 tn 0.052 0 krad vs 5 krad -8.42 * 0.000 3 krad vs 5 krad -2.93 * 0.017
22 MSP 0 krad vs 3 krad -2.22 tn 0.269 0 krad vs 5 krad -9.21 * 0.000 3 krad vs 5 krad -0.93 tn 0.522
Keterangan: *berbeda nyata pada taraf 5% tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
27
Hasil uji-t karakter panjang tangkai daun antar pasangan dosis iradiasi
tanaman purwoceng generasi M2 (Tabel 6) menunjukkan bahwa pada umur
12-22 MSP tangkai daun tanaman generasi M2 5 krad cenderung atau nyata lebih
panjang dibandingkan dengan tangkai daun tanaman generasi M2 3 krad dan
kontrol. Pada awal pengamatan (0 dan 2 MSP) tangkai daun tanaman kontrol nyata
lebih panjang dibandingkan tangkai daun tanaman generasi M2 5 krad, tetapi
selanjutnya pada 4-8 MSP tangkai daun tanaman generasi M2 3 krad nyata lebih
panjang dibandingkan tangkai daun tanaman generasi M2 5 krad.
Tabel 7. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak
Umur Tanaman Rata-rata Panjang Tangkai Daun (cm) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 5.50 5.60 5.20 6.23 4 MSP 7.33 9.35 - 8.95 8 MSP 14.00 15.40 - 17.00
Rata-rata panjang tangkai daun tanaman purwoceng generasi M2 semua
dosis iradiasi di lokasi Cibadak ditunjukkan pada Tabel 7. Hasil uji-t karakter
panjang tangkai daun antar pasangan dosis iradiasi tanaman purwoceng generasi
M2 tidak menunjukkan panjang tangkai daun yang berbeda (Lampiran 11).
Keragaman panjang tangkai daun tanaman generasi M2 di lokasi Cicurug dan
Cibadak ini diduga juga merupakan akibat dari faktor lingkungan, bukan akibat
iradiasi sinar gamma. Hasil percobaan yang dilakukan Pulungan (2008) menunjukkan
pada 4-8 MSP hasil uji-t antara tanaman kontrol dengan tanaman generasi M1 1 krad,
3 krad, dan 5 krad, maupun antara kombinasi pasangan lainnya, keenam pasangan
tersebut tidak menunjukkan panjang tangkai daun yang berbeda.
Diameter Kanopi
Rata-rata diameter kanopi tanaman purwoceng generasi M2 semua dosis
iradiasi di lokasi Cicurug ditunjukkan pada Gambar 15 (berdasarkan Lampiran 10),
terlihat bahwa ketiga tanaman generasi M2 semua dosis iradiasi memiliki diameter
kanopi terpanjang secara bergantian pada umur yang berbeda dari awal sampai akhir
pengamatan.
28
Gambar 15. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua
Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug
Sama halnya dengan karakter panjang tangkai daun, hasil uji-t karakter
diameter kanopi antar pasangan dosis iradiasi tanaman purwoceng generasi M2
(Tabel 8) menunjukkan bahwa pada 10 MSP antara tanaman kontrol dengan
tanaman generasi M2 3 krad dan 5 krad, maupun antara tanaman generasi M2
3 krad dengan 5 krad, tidak menunjukkan diameter kanopi yang berbeda. Pada
umur 12-22 MSP tanaman generasi M2 5 krad memiliki diameter kanopi yang
cenderung atau nyata lebih besar dibandingkan dengan tanaman generasi M2 3 krad
dan kontrol. Pada awal percobaan (0 MSP) antara tanaman kontrol dengan
tanaman generasi M2 3 krad dan 5 krad, maupun antara tanaman generasi M2
3 krad dengan 5 krad, menunjukkan diameter kanopi yang berbeda nyata dan
diameter kanopi tanaman kontrol adalah yang terbesar. Selanjutnya pada 2 dan
8 MSP diameter kanopi tanaman kontrol masih nyata lebih besar dibandingkan
tanaman generasi M2 5 krad, tetapi pada umur 4 dan 6 MSP diameter kanopi
tanaman generasi M2 3 krad nyata lebih besar dibandingkan tanaman generasi
M2 5 krad.
11.5713.79
33 36.4
44.7 45.1
49.9 47.9
8.43
47.3
35.4
19.2
26.9
12.43
14.85
21.73
27.3
40
45.7
53.955.8
60.29 61.463.7
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Umur Tanaman (MSP)
Dia
met
er K
anop
i (cm
)
0 krad
3 krad
5 krad
29
Tabel 8. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Perlakuan yang Dibandingkan t-hitung Peluang 0 MSP 0 krad vs 3 krad 3.65 * 0.001
0 krad vs 5 krad 2.31 * 0.023 3 krad vs 5 krad -2.19 * 0.034
2 MSP 0 krad vs 3 krad 0.38 tn 0.706 0 krad vs 5 krad 2.15 * 0.033 3 krad vs 5 krad 0.87 tn 0.390
4 MSP 0 krad vs 3 krad -2.40 * 0.020 0 krad vs 5 krad 1.29 tn 0.200 3 krad vs 5 krad 3.26 * 0.002
6 MSP 0 krad vs 3 krad -0.76 tn 0.452 0 krad vs 5 krad 2.31 * 0.022 3 krad vs 5 krad 2.30 * 0.028
8 MSP 0 krad vs 3 krad 0.46 tn 0.649 0 krad vs 5 krad 3.04 * 0.003 3 krad vs 5 krad 2.03 * 0.049
10 MSP 0 krad vs 3 krad 1.24 tn 0.221 0 krad vs 5 krad -0.54 tn 0.593 3 krad vs 5 krad -1.74 tn 0.090
12 MSP 0 krad vs 3 krad -2.09 * 0.044 0 krad vs 5 krad -4.60 * 0.000 3 krad vs 5 krad -1.22 tn 0.232
14 MSP 0 krad vs 3 krad -0.24 tn 0.813 0 krad vs 5 krad -4.22 * 0.000 3 krad vs 5 krad -2.24 * 0.037
16 MSP 0 krad vs 3 krad -1.55 tn 0.144 0 krad vs 5 krad -4.59 * 0.000 3 krad vs 5 krad -1.17 tn 0.264
18 MSP 0 krad vs 3 krad -0.29 tn 0.772 0 krad vs 5 krad -4.72 * 0.000 3 krad vs 5 krad -3.15 * 0.007
20 MSP 0 krad vs 3 krad -0.53 tn 0.604 0 krad vs 5 krad -5.45 * 0.000 3 krad vs 5 krad -3.13 * 0.012
22 MSP 0 krad vs 3 krad 0.29 tn 0.818 0 krad vs 5 krad -4.22 * 0.000 3 krad vs 5 krad -1.45 tn 0.385
Keterangan: *berbeda nyata pada taraf 5% tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
30
Rata-rata diameter kanopi tanaman purwoceng generasi M2 semua dosis iradiasi di lokasi Cibadak ditunjukkan pada Tabel 9. Hasil uji-t karakter diameter kanopi antar pasangan dosis iradiasi tanaman purwoceng generasi M2 (Tabel 10) menunjukkan bahwa diameter kanopi tanaman kontrol sangat nyata lebih kecil dibandingkan tanaman generasi M2 1 krad dan 5 krad pada umur 4 MSP, tetapi selanjutnya pada 8 MSP kembali tidak berbeda.
Tabel 9. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cibadak
Umur Tanaman Rata-rata Diameter Kanopi (cm) 0 krad 1 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 13.19 12.81 12.00 14.14 4 MSP 14.83 21.46 - 21.64 8 MSP 29.17 31.30 - 36.90
Tabel 10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada
Generasi M2 di Lokasi Cibadak Umur Tanaman Perlakuan yang Dibandingkan t-hitung Peluang
0 MSP 0 krad vs 1 krad 0.20 tn 0.842 0 krad vs 3 krad 0.67 tn 0.516 0 krad vs 5 krad -0.38 tn 0.709 1 krad vs 3 krad 0.61 tn 0.548 1 krad vs 5 krad -0.60 tn 0.556 3 krad vs 5 krad -1.00 tn 0.335
4 MSP 0 krad vs 1 krad -3.94 ** 0.002 0 krad vs 5 krad -3.21 ** 0.009 1 krad vs 5 krad -0.07 tn 0.948
8 MSP 0 krad vs 1 krad -0.88 tn 0.419 0 krad vs 5 krad -2.49 tn 0.055 1 krad vs 5 krad -1.54 tn 0.166
Keterangan: **berbeda nyata pada taraf 1% tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
Keragaman diameter kanopi tanaman generasi M2 di lokasi Cicurug dan Cibadak ini sama halnya dengan kondisi panjang tangkai daun, diduga juga merupakan akibat dari faktor lingkungan, bukan akibat iradiasi sinar gamma. Hasil percobaan yang dilakukan Pulungan (2008) menunjukkan pada 4-8 MSP hasil uji-t karakter diameter kanopi tanaman generasi M1 3 krad nyata lebih kecil dibandingkan dengan tanaman kontrol, tetapi pada kombinasi pasangan lainnya tidak menunjukkan diameter kanopi yang berbeda.
31
Jumlah Anakan
Purwoceng di lokasi Cicurug yang membentuk anakan (Gambar 16a)
adalah tanaman generasi M2 5 krad sebanyak 23 tanaman dan tanaman kontrol
sebanyak 22 tanaman, sedangkan tanaman generasi M2 di lokasi Cibadak tidak
dilaporkan membentuk anakan. Jumlah tanaman yang memiliki anakan serta rata-
rata jumlah anakan tanaman generasi M2 5 krad dan kontrol di lokasi Cicurug
ditunjukkan pada Tabel 11, terlihat bahwa tanaman generasi M2 5 krad
membentuk anakan lebih cepat dibandingkan tanaman kontrol. Rata-rata jumlah
anakan antara keduanya tidak berbeda setelah dilakukan uji-t (Lampiran 12).
Sebagai antisipasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup tanaman generasi
M2 purwoceng jika tidak ada tanaman yang berbunga dan menghasilkan benih,
maka dilakukan pembiakan secara vegetatif melalui pemisahan anakan, namun hal
ini belum berhasil (Gambar 16b).
Tabel 11. Jumlah Tanaman yang Memiliki Anakan dan Rata-rata Jumlah Anakan Purwoceng Generasi M2 di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman 0 krad 5 krad
Jumlah Tanaman
Rata-rata Jumlah Anakan
Jumlah Tanaman
Rata-rata Jumlah Anakan
4 MSP 0 - 2 1.5 6 MSP 0 - 5 1.6 8 MSP 2 1.5 6 2.0 10 MSP 3 1.3 8 1.5 12 MSP 3 1.3 8 1.6 14 MSP 6 1.3 8 2.1 16 MSP 10 1.7 6 2.2 18 MSP 16 1.7 7 2.1 20 MSP 11 1.9 11 2.0 22 MSP 13 1.9 8 2.3 24 MSP 13 2.3 6 1.7 26 MSP 12 2.5 3 1.7 28 MSP 10 2.1 3 1.7 30 MSP 9 2.0 0 -
P
Gam
Perbanding
Gam
Gam
mbar 16. Anadan p
gan Karakte
mbar 17. Rata
dan
mbar 18. Rata-5 kra
3
4.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jum
lah
Dau
n (t
angk
ai)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Panj
ang
Tan
gkai
Dau
n (c
m)
a
akan Purwocpemisahan a
er Kuantita
a-rata Jumlahn Kontrol di L
-rata Panjangad, dan Kontr
.703
408
0
Umur
5.007
5.643
0
Umur
eng. Anakan
anakan (b)
atif Antar Lo
h Daun PurwLokasi Cicuru
g Tangkai Darol di Lokasi
4.89
5.38
4
r Tanaman (MS
5.88
8.14
4
r Tanaman (MS
n tumbuh di
okasi
woceng Geneug dan Cibad
aun PurwoceCicurug dan
7.0756.735
8
SP)
10.06
15.5
8
SP)
leher akar (a
erasi M2 3 krdak pada 0-8
eng Generasi Cibadak pad
Cicuru
Cibada
Cicuru
Cibada
b
32
a),
rad, 5 krad, MSP
M2 3 krad,
da 0-8 MSP
ug
ak
ug
ak
33
Gambar 19. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad,
dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada 0-8 MSP
Gambar 17-19 menunjukkan perbandingan jumlah daun, panjang tangkai daun, dan diameter kanopi tanaman purwoceng generasi M2 3 krad, 5 krad, dan control pada umur 0, 4, dan 8 MSP di lokasi Cicurug dan Cibadak. Hasil uji-t ketiga karakter kuantitatif antar lokasi pada umur tersebut tidak menunjukkan nilai yang berbeda (Lampiran 13). Pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tetapi sulit untuk berbunga menunjukkan bahwa tanaman generasi M2 belum dapat beradaptasi jika ditanam sejak awal di dataran lebih rendah, namun hal ini menunjukkan bahwa lokasi Cicurug potensial sebagai lokasi pembudidayaan purwoceng. Fase Generatif Tanaman
Rahardjo et al. (2005) menyatakan bahwa purwoceng di dataran tinggi Dieng mulai berbunga pada umur tiga bulan setelah tanam dan Pulungan (2008) melaporkan bahwa purwoceng generasi M1 di lokasi Cicurug mulai berbunga pada umur 13 MSP (sekitar 4.3 bulan). Pada percobaan ini purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug baru berbunga pada umur 22 MSP (sekitar tujuh bulan). Hanya satu tanaman yang berbunga, yaitu M2/05.07.08/3krad/18 (Gambar 20) yang bertahan hidup sekitar tiga minggu setelah munculnya tandan bunga, sehingga diduga tidak terjadi penyerbukan bunga. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanaman yang sulit beradaptasi terhadap lingkungan. Landsberg (1977) menjelaskan bahwa setiap proses perkembangan pada tumbuhan diatur secara genetik yang dipicu oleh mekanisme tertentu, misalnya pada pergantian dari fase vegetatif ke generatif dapat disebabkan oleh perubahan internal tumbuhan atau akibat inisiasi dari faktor eksternal seperti panjang hari atau suhu lingkungan
13.31
27.27
33.04
10.06
18.24
13.11
0
5
10
15
20
25
30
35
0 4 8
Umur Tanaman (MSP)
Dia
met
er K
anop
i (cm
)
Cicurug
Cibadak
34
Tanaman-tanaman lain seluruhnya mati setelah melalui masa vegetatif yang lebih panjang dari yang lazimnya dan tidak berbunga bahkan setelah melebihi umur purwoceng yang sewajarnya berbunga (Tabel 12). Masa vegetatif purwoceng generasi M1 di lokasi Cicurug adalah sekitar 3.3 bulan setelah dipindahkan (Pulungan, 2008). Beberapa tanaman yang sehat dan berpotensi untuk berbunga diberi perlakuan untuk menginduksi pembungaan. Perlakuan yang diterapkan antara lain: pemangkasan daun (untuk menimbulkan stres), pemberian pupuk bunga, naungan plastik per individu tanaman perlakuan, serta kombinasi dari pelakuan-perlakuan tersebut. Perlakuan-perlakuan tersebut tidak berhasil dan seluruh tanaman akhirnya mati.
Gambar 20. Purwoceng Generasi M2 yang Berbunga. Tanaman yang berbunga (kiri) dan perbesaran gambar bunganya (kanan)
Tabel 12. Purwoceng di Lokasi Cicurug yang Berumur Paling Panjang
Nomor Tanaman Umur Tanaman M2/02.06.08/0 KRAD/50 8.3 bulan setelah dipindahkan M2/05.09.08/3 KRAD/28 6.8 bulan setelah dipindahkan M2/24.04.08/5 KRAD/26 9.0 bulan setelah dipindahkan M2/24.04.08/5 KRAD/27 9.0 bulan setelah dipindahkan
Kandungan Metabolit Sekunder Purwoceng Generasi M1 di Beberapa Lokasi Kadar saponin dan fitosterol pada akar serta batang dan daun tanaman dari empat lokasi (Dieng, Tawang Mangu, Cibadak, dan Cicurug) ditunjukkan pada Gambar 21-24 (berdasarkan Lampiran 14-17). Data hasil analisis tersebut dapat menunjukkan bahwa zat saponin dan fitosterol terkandung dalam tanaman yang dipindahkan ke lokasi Cibadak dan Cicurug serta terkandung pada seluruh bagian tanaman, namun hasil analisis tersebut tidak dapat digunakan untuk menduga kadar metabolit serupa untuk populasi lain atau untuk menentukan purwoceng generasi M1 dengan kadar zat saponin dan fitosterol tertinggi di antara empat lokasi tersebut karena merupakan data sampel tunggal.
Gam
Gam
Gamb
mbar 21. Kada
mbar 22. Kad
Emp
bar 23. Kadar
ar Saponin A
dar Saponin Bpat Lokasi
r Fitosterol A
Akar Purwoce
Batang dan D
Akar Purwoce
eng Generasi
Daun Purwo
eng Generasi
i M1 dari Em
oceng Genera
i M1 dari Em
35
mpat Lokasi
asi M1 dari
mpat Lokasi
fkCbbggips
Gam
Uji-t
fitosterol padkadar zat sapCibadak. Habahwa kadarbatang dan dgenerasi Mgenerasi M1ini juga mepotensial sebsimplisia.
Tabel 13
Perband
Akar
Batang danCicurug
Cibadak Keter
mbar 24. Kaddar
t dapat dilakda akar serta ponin dan fitoasil uji-t tersr zat saponindaun purwo1 asal loka1 asal lokasiendukung bbagai lokasi
3. Hasil Uji-tDaun Purwpada Purw
dingan
1.
n Daun 1.3.
3.rangan: *berbed
tntidak
dar Fitosterori Empat Lo
kukan untuk batang dan dosterol pada sebut ditunjun dan fitosterceng generasi Cicurug Cibadak tet
bahwa lokasi pembudida
t Kadar Zat Swoceng Gene
woceng Gener
Saponin
.5704±0.340
.7256±0.3656388±0.354
.0853±0.293da nyata pada tberbeda nyata
ol Batang dakasi
menguji pedaun purwocpurwoceng g
ukkan pada rol pada aka
asi M1 dan knyata lebihtapi tidak be
si Cicurug aayaan purwo
Saponin dan Ferasi M1 sertrasi M1 Asal
t-hitung(Peluang
01 -1.05 tn(0.31256
47 7.66 *(0.00137
taraf 5% a pada taraf 5%
an Daun Pu
erbandingan eng generasigenerasi M1Tabel 13. T
ar tidak berbekadar zat saph tinggi diberbeda kadaratau lokasi doceng dengan
Fitosterol padta Kadar ZatLokasi Cicur
g g) Fitosn )
1.8220±
1.5976±* )
3.7668±
3.0102±
%
urwoceng Ge
kadar zat sai M1 serta peasal lokasi C
Tabel 13 meeda dibandinponin pada pandingkan pr zat fitosterdengan konn tujuan me
da Akar serta t Saponin darug dan Ciba
sterol (±0.6526
±0.4432 ±0.9636
±0.6206
36
enerasi M1
aponin dan erbandingan Cicurug dan enunjukkan ngkan pada purwoceng purwoceng rolnya. Hal disi serupa enghasilkan
Batang dan an Fitosterol adak
t-hitung (Peluang)
1.10 tn (0.289)
1.35 tn (0.234)
37
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Tidak terdapat perbedaan keragaan akibat iradiasi sinar gamma pada karakter
kualitatif (bentuk dan warna daun, warna tangkai daun, dan tipe kanopi) maupun
kuantitatif (jumlah daun, panjang tangkai daun, diameter kanopi, dan jumlah
anakan) antar tanaman purwoceng generasi M2 asal benih dengan dosis iradiasi 3 krad
dan 5 krad di lokasi Cicurug serta dosis iradiasi 1, 3, dan 5 krad di lokasi Cibadak.
Perbandingan karakter kuantitatif tanaman purwoceng generasi M2 di lokasi Cicurug
dan Cibadak pada umur 0, 4, dan 8 MSP juga tidak menunjukkan perbedaan.
Pertumbuhan vegetatif yang cukup baik tetapi sulit untuk berbunga menunjukkan
bahwa tanaman generasi M2 belum dapat beradaptasi jika ditanam sejak awal di
dataran lebih rendah.
Hasil analisis terhadap sampel tunggal purwoceng generasi M1 menunjukkan
bahwa metabolit sekunder pendukung khasiat obat tanaman purwoceng, yaitu
saponin dan fitosterol, terkandung dalam tanaman yang dipindahkan ke lokasi
Cibadak dan Cicurug. Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa perbandingan
kadar metabolit sekunder antara akar dengan batang dan daun purwoceng tidak
berbeda nyata sehingga dapat menunjukkan bahwa seluruh bagian tanaman
purwoceng dapat dimanfaatkan sebagai obat.
Saran
Induksi mutasi melalui iradiasi sinar gamma untuk memunculkan mutan
yang toleran hidup di dataran rendah perlu dicari dosis yang tepat. Pembuktian
pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan tanaman perlu
dilakukan melalui pengukuran bobot tajuk dan akar, juga penghitungan jumlah
anak daun yang merupakan faktor yang mempengaruhi bobot dan kerebahan
tajuk. Selain itu perlu dilakukan penghitungan kecepatan tumbuh sehingga
diketahui pola pertumbuhan tanaman di lingkungan tempat hidupnya.
38
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. I. 2006. Mutasi induksi, hal. 159-178. Dalam: S. Sastrosumarjo (Ed). Sitogenetika Tanaman. Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman IPB. Bogor.
Artha, A. T. 2007. Mengenal daya guna tanaman obat purwoceng.
http://www.koranmerapi.com (tanggal penelusuran 7 Mei 2007). Bradford, P. G. and A. B. Awad. 2007. Phytosterols as anticancer compounds.
Molecular Nutrition Food Research 51: 161-170. Deptan. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis: tanaman obat.
http://www.litbang.deptan.go.id (tanggal penelusuran 7 Mei 2007). Djuki, I. M. 2007. Kultur in-vitro akar rambut selamatkan purwoceng.
http://www.suaramerdeka.com (tanggal penelusuran 7 Mei 2007). Grosch, D. S. 1965. Biological Effects of Radiations, 1st edition. Blaisdell
Publishing Company. Massachusetts. 293 p. Gunawan, S. 2007. Isolasi dan Glikosilasi Fitosterol Dedak Padi. Skripsi.
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. 37 hal.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III, cetakan I. Badan Litbang
Departemen Kehutanan. Jakarta. 2521 hal. Ismachin, M. dan Hendratno. 1972. Proyek Mutation Breeding – BATAN
(Periode I: 1972-1973), hal. 30-33. Badan Tenaga Atom Nasional. Pemuliaan Mutasi Kesimpulan-kesimpulan dan Kertas-kertas Karya Pertemuan Pembahasan Pemuliaan Mutasi, 7-8 Agustus 1972, Jakarta.
Izatunnafis. 2008. Penetapan Kadar Stigmasterol pada Herba dan Akar Purwoceng
(Pimpinella pruatjan Molkenb.) dengan Metode KLT Densinometri. Skripsi. Program Studi Farmasi Bahan Alam, Fakultas Farmasi UGM. Yogyakarta.
Kusumo, Y. W. E., I. Darwati, I. Roostika, dan Rosita S. M. D. 2007. Perakitan
varietas unggul tanaman obat kuat purwoceng yang toleran dataran rendah. IPB bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 37 hal.
Landsberg, J. J. 1977. Effects of weather on plant development, p. 289-307. In: J.
J. Landsberg and C. V. Cutting (Eds.). Enviromental Effects on Crop Physiology. Academic Press. London.
Makmur, A. 1992. Pengantar Pemuliaan Tanaman, cetakan III. PT Rineka Cipta.
Jakarta. 79 hal.
39
Moebarokah, A. 1972. Irradiation breeding mutlak perlu di Indonesia, hal. 47-51. Badan Tenaga Atom Nasional. Pemuliaan Mutasi Kesimpulan-kesimpulan dan Kertas-kertas Karya Pertemuan Pembahasan Pemuliaan Mutasi, 7-8 Agustus 1972, Jakarta.
Nio, O. K. 1989. Zat-zat toksik yang secara alamiah ada pada bahan makanan
nabati. Cermin Dunia Kedokteran 58: 24-28. Nuraini. 2005. Pencirian Saponin dari Batang Tanaman Akar Kuning (Arcangelisia
flava L. Merr). Skripsi. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. 17 hal.
Pulungan, M. Y. 2008. Keragaan Karakter Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)
Hasil Induksi Mutasi Sinar Gamma di Tiga Lokasi. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 49 hal.
Purwakusumah, E. J. 2007. Keutamaan tanaman obat. Makalah Seminar Tanaman
Obat HIMAKOVA IPB. Auditorium Rektorat IPB. Rahardjo, M., S. Wahyuni, O. Trisilawati, dan E. Djauhariya. 2005. Ciri
agronomis, mutu dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII, 15-16 September 2005. Bogor.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, cetakan VI
(terjemahan). Penerbit ITB. Bandung. 367 hal. Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 3 (terjemahan).
Penerbit ITB. Bandung. 343 hal. Soetarto dan R. Darsono. 1972. Pelaksanaan dan pengarahan dari mutation
breeding, hal. 64-65. Badan Tenaga Atom Nasional. Pemuliaan Mutasi Kesimpulan-kesimpulan dan Kertas-kertas Karya Pertemuan Pembahasan Pemuliaan Mutasi, 7-8 Agustus 1972, Jakarta.
Wahyuni, S., S. Koerniati, dan Nasrun. 1997. Konservasi tanaman obat langka
purwoceng. Warta Perhipba IV (5): 8-11. Welsh, J. R. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman, cetakan I
(terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta. 224 hal. Yuhono, J. T. 2004. Usaha tani purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb.), potensi,
peluang, dan masalah pengembangannya. Buletin Tro XV (1): 25-32. Zuhud, E. A. M. 2007. Potensi dan prospek tumbuhan obat hutan tropika
Indonesia. Makalah Seminar Tanaman Obat HIMAKOVA IPB. Auditorium Rektorat IPB.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol di Lokasi Cicurug
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
M2/29.04.08/0 RAD/1 H H H H M M2/29.04.08/0 RAD/2 H H H H M M2/29.04.08/0 RAD/3 H H H H M M2/23.05.08/0 RAD/4 H H H H M M2/23.05.08/0 RAD/5 H H H H M M2/23.05.08/0 RAD/6 H M H H M M2/23.05.08/0 RAD/7 H H H H M M2/26.05.08/0 RAD/8 H M H H M M2/26.05.08/0 RAD/9 H H H H M M2/26.05.08/0 RAD/10 H H H H M M2/26.05.08/0 RAD/11 H M H H M M2/26.05.08/0 RAD/12 H H H H M M2/26.05.08/0 RAD/13 H H H H M M2/26.05.08/0 RAD/14 H M H H M M2/26.05.08/0 RAD/15 H M H H M M2/26.05.08/0 RAD/16 H H H H M M2/26.05.08/0 RAD/17 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/18 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/19 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/20 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/21 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/22 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/23 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/24 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/25 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/26 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/27 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/28 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/29 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/30 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/31 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/32 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/33 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/34 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/35 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/36 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/37 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/38 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/39 H M H H M
42
Lampiran 1. (lanjutan)
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
M2/02.06.08/0 RAD/40 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/41 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/42 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/43 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/44 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/45 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/46 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/47 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/48 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/49 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/50 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/51 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/52 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/53 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/54 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/55 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/56 H H H H M M2/02.06.08/0 RAD/57 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/58 H M H H H M2/02.06.08/0 RAD/59 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/60 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/61 H M H H M M2/02.06.08/0 RAD/62 H H H H H M2/02.06.08/0 RAD/63 H H H H M M2/14.07.08/0 RAD/64 H H H H M M2/14.07.08/0 RAD/65 H M H H M M2/14.07.08/0 RAD/66 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/93 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/94 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/95 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/96 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/97 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/98 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/99 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/100 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/101 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/102 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/103 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/104 H H H H M M2/22.07.08/0 RAD/105 H M H H M M2/22.07.08/0 RAD/106 H M H H M
Keterangan: H = hijau M = hijau kemerahan
43
Lampiran 2. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad di Lokasi Cicurug
Perlakuan Warna Daun
Muda Warna Daun
Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
M2/27.05.08/3 KRAD/1 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/2 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/3 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/4 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/5 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/6 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/7 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/8 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/9 H H H H M M2/02.06.08/3 KRAD/10 H H H H H M2/02.06.08/3 KRAD/11 H M H H M M2/02.06.08/3 KRAD/12 H M H H M M2/05.07.08/3 KRAD/13 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/14 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/15 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/16 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/17 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/18 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/19 H M H H M M2/05.07.08/3 KRAD/20 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/21 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/22 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/23 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/24 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/25 H H H H M M2/05.07.08/3 KRAD/26 H H H H M M2/05.09.08/3 KRAD/27 H H H H M M2/05.09.08/3 KRAD/28 H H H H M M2/05.09.08/3 KRAD/29 H H H H M M2/05.09.08/3 KRAD/30 H H H H M
Keterangan: H = hijau M = hijau kemerahan
44
Lampiran 3. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad di Lokasi Cicurug
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna
Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah M2/25.03.08/5 KRAD/1 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/2 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/3 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/4 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/5 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/6 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/7 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/8 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/9 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/10 H M H H M M2/25.03.08/5 KRAD/11 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/12 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/13 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/14 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/15 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/16 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/17 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/18 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/19 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/20 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/21 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/22 H M H H M M2/09.04.08/5 KRAD/23 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/24 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/25 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/26 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/27 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/28 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/29 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/30 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/31 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/32 H H H H H M2/24.04.08/5 KRAD/33 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/34 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/35 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/36 H M H H M
45
Lampiran 3. (lanjutan)
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
M2/24.04.08/5 KRAD/37 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/38 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/39 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/40 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/41 H M H H M M2/24.04.08/5 KRAD/42 H H H H M M2/24.04.08/5 KRAD/43 H M H H M M2/29.04.08/5 KRAD/44 H M H H M M2/29.04.08/5 KRAD/45 H M H H M M2/29.04.08/5 KRAD/46 H M H H M M2/29.04.08/5 KRAD/47 H H H H M M2/29.04.08/5 KRAD/48 H H H H M M2/29.04.08/5 KRAD/49 H H H H M M2/29.04.08/5 KRAD/50 H M H H M M2/29.04.08/5 KRAD/51 H H H H M M2/02.05.08/5 KRAD/52 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/53 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/54 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/55 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/56 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/57 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/58 H H H H M M2/02.05.08/5 KRAD/59 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/60 H H H H M M2/02.05.08/5 KRAD/61 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/62 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/63 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/64 H H H H M M2/02.05.08/5 KRAD/65 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/66 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/67 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/68 H H H H M M2/02.05.08/5 KRAD/69 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/70 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/71 H H H H M M2/02.05.08/5 KRAD/72 H M H H M M2/02.05.08/5 KRAD/73 H M H H M
46
Lampiran 3. (lanjutan)
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
M2/02.06.08/5 KRAD/74 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/75 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/76 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/77 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/78 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/79 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/80 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/81 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/82 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/83 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/84 H H H H M M2/02.06.08/5 KRAD/85 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/86 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/87 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/88 H H H H M M2/02.06.08/5 KRAD/89 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/90 H M H H M M2/02.06.08/5 KRAD/91 H M H H M M2/14.07.08/5 KRAD/92 H M H H M M2/14.07.08/5 KRAD/93 H M H H M M2/14.07.08/5 KRAD/94 H H H H M M2/14.07.08/5 KRAD/95 H M H H M M2/14.07.08/5 KRAD/96 H H H H M M2/14.07.08/5 KRAD/97 H M H H M M2/14.07.08/5 KRAD/98 H M H H M M2/14.07.08/5 KRAD/99 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/100 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/101 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/102 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/103 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/104 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/105 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/106 H H H H M M2/22.07.08/5 KRAD/107 H H H H M M2/22.07.08/5 KRAD/108 H H H H M M2/22.07.08/5 KRAD/109 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/110 H M H H M M2/22.07.08/5 KRAD/111 H M H H M
Keterangan: H = hijau M = hijau kemerahan
47
Lampiran 4. Warna Daun dan Tangkai Daun Tanaman Purwoceng Kontrol di Lokasi Cibadak
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
I/0R/17-9-07/SAMPEL1 H M H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL2 H M H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL3 H M H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL1 H H H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL2 H H H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL3 H H H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL4 H H H H H I/0R/17-9-07/SAMPEL5 H H H H H
Keterangan: H = hijau M = hijau kemerahan
Lampiran 5. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 1 krad di Lokasi Cibadak
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
I/1R/29-12-07/SAMPEL1 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL2 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL3 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL4 H M H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL5 H M H H M I/1R/29-12-07/SAMPEL1 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL2 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL3 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL4 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL5 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL1 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL2 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL3 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL1 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL2 H H H H H I/1R/29-12-07/SAMPEL3 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL1 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL2 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL3 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL4 H H H H H I/1R/17-9-07/SAMPEL5 H H H H H
Keterangan: H = hijau M = hijau kemerahan
48
Lampiran 6. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 3 krad di Lokasi Cibadak
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
II/3R/26-7-07/SAMPEL1 H H H H H II/3R/26-7-07/SAMPEL2 H H H H H II/3R/26-7-07/SAMPEL3 H H H H H II/3R/26-7-07/SAMPEL4 H H H H H II/3R/26-7-07/SAMPEL5 H H H H H
Keterangan: H = hijau
Lampiran 7. Warna Daun dan Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 5 krad di Lokasi Cibadak
Perlakuan Warna Daun Muda Warna Daun Tua Warna Tangkai Daun Atas Bawah Atas Bawah
I/5R/17-9-07/SAMPEL1 H H H H H I/5R/17-9-07/SAMPEL2 H M H H H I/5R/17-9-07/SAMPEL3 H M H H H I/5R/17-9-07/SAMPEL4 H H H H H I/5R/17-9-07/SAMPEL5 H H H H H I/5R/17-9-07/SAMPEL1 H H H H H II/5R/17-9-07/SAMPEL1 H H H H H II/5R/17-9-07/SAMPEL2 H H H H H II/5R/17-9-07/SAMPEL3 H H H H H II/5R/17-9-07/SAMPEL4 H H H H H II/5R/17-9-07/SAMPEL5 H H H H H
Keterangan: H = hijau M = hijau kemerahan
Lampiran 8. Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Rata-rata Jumlah Daun (tangkai) 0 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 3.93 3.37 3.81 2 MSP 4.66 4.10 4.66 4 MSP 5.26 4.40 5.24 6 MSP 6.45 5.58 6.13 8 MSP 8.03 5.92 7.38
10 MSP 9.12 6.82 9.30 12 MSP 10.62 8.55 10.27 14 MSP 12.62 10.88 12.23 16 MSP 14.51 13.20 14.66 18 MSP 17.70 13.92 15.93 20 MSP 18.25 14.38 18.42 22 MSP 21.33 15.50 19.07
49
Lampiran 9. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Rata-rata Panjang Tangkai Daun (cm) 0 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 5.82 4.68 4.52
2 MSP 6.33 5.83 5.36
4 MSP 6.89 7.63 6.35
6 MSP 8.97 10.65 8.35
8 MSP 11.76 13.03 9.89
10 MSP 13.17 12.78 13.57
12 MSP 11.82 12.95 14.96
14 MSP 13.23 15.27 18.19
16 MSP 13.31 15.28 17.83
18 MSP 13.64 16.20 18.72
20 MSP 14.02 16.50 19.63
22 MSP 13.40 18.00 19.91
Lampiran 10. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M2 Semua Dosis Iradiasi di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman Rata-rata Diameter Kanopi (cm) 0 krad 3 krad 5 krad
0 MSP 11.57 8.43 10.17
2 MSP 13.79 13.37 12.43
4 MSP 15.92 19.20 14.85
6 MSP 25.10 26.90 21.73
8 MSP 33.00 31.90 27.30
10 MSP 38.90 35.40 40.00
12 MSP 36.40 42.30 45.70
14 MSP 44.70 45.70 53.90
16 MSP 45.10 51.20 55.80
18 MSP 49.90 50.88 60.29
20 MSP 47.90 50.00 61.40
22 MSP 50.70 47.30 63.70
50
Lampiran 11. Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Antar Dosis Iradiasi pada Generasi M2 di Lokasi Cibadak
Umur Tanaman Perlakuan yang Dibandingkan t-hitung Peluang 0 MSP 0 krad vs 1 krad -0.12 tn 0.910
0 krad vs 3 krad 0.33 tn 0.749 0 krad vs 5 krad -0.70 tn 0.492 1 krad vs 3 krad 0.54 tn 0.601 1 krad vs 5 krad -0.72 tn 0.482 3 krad vs 5 krad -1.07 tn 0.303
4 MSP 0 krad vs 1 krad -1.63 tn 0.154 0 krad vs 5 krad -1.26 tn 0.246 1 krad vs 5 krad 0.31 tn 0.760
8 MSP 0 krad vs 1 krad -0.97 tn 0.378 0 krad vs 5 krad -2.51 tn 0.054 1 krad vs 5 krad -0.95 tn 0.376
Keterangan: tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
Lampiran 12. Hasil Uji-t Perbandingan Jumlah Anakan Purwoceng Generasi M2 5 krad dan Kontrol di Lokasi Cicurug
Umur Tanaman t-hitung Peluang 8 MSP -0.89 tn 0.538
10 MSP -0.43 tn 0.693 12 MSP -0.69 tn 0.530 14 MSP -1.76 tn 0.109 16 MSP -0.98 tn 0.355 18 MSP -0.91 tn 0.389 20 MSP -0.23 tn 0.819 22 MSP -1.02 tn 0.336 24 MSP 1.41 tn 0.181 26 MSP 1.52 tn 0.163 28 MSP 0.95 tn 0.381
Keterangan: tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
Lampiran 13. Hasil Uji-t Rata-rata Populasi Purwoceng Generasi M2 3 krad, 5 krad, dan Kontrol di Lokasi Cicurug dan Cibadak pada Umur 0, 4, dan 8 MSP
Umur Tanaman
Jumlah Daun Panjang Tangkai Daun Diameter Kanopi t-hitung Peluang t-hitung Peluang t-hitung Peluang
0 MSP -2.65 tn 0.077 -1.25 tn 0.301 -2.78 tn 0.069 4 MSP -1.67 tn 0.344 -2.72 tn 0.224 -1.45 tn 0.385 8 MSP 1.45 tn 0.384 -3.11 tn 0.198 -1.22 tn 0.438
Keterangan: tntidak berbeda nyata pada taraf 5%
51
Lampiran 14. Persentase Kadar Saponin Akar Purwoceng di Empat Lokasi
Dosis Iradiasi Dieng Tawang Mangu Cibadak Cicurug 0 krad 1.871 1.909 1.801 2.239 1 krad - - 1.689 1.777 2 krad - - 1.262 1.657 3 krad - - 1.139 1.591 4 krad - - 1.072 1.449
5 krad - - 1.225 1.305
Lampiran 15. Persentase Kadar Saponin Batang dan Daun Purwoceng di Empat Lokasi
Dosis Iradiasi Dieng Tawang Mangu Cibadak Cicurug 0 krad 0.728 1.292 1.793 2.069 1 krad - - 1.547 1.962 2 krad - - 1.567 1.864 3 krad - - 1.688 1.910 4 krad - - 2.000 1.877
5 krad - - 1.729 2.133 Lampiran 16. Persentase Kadar Fitosterol Akar Purwoceng di Empat Lokasi
Dosis Iradiasi Dieng Tawang Mangu Cibadak Cicurug 0 krad 2.227 2.39 1.436 2.725 1 krad - - 0.697 2.460 2 krad - - 0.805 2.345 3 krad - - 0.956 2.129 4 krad - - 1.476 1.898
5 krad - - 2.187 1.777
Lampiran 17. Persentase Kadar Fitosterol Batang dan Daun Purwoceng di Empat Lokasi
Dosis Iradiasi Dieng Tawang Mangu Cibadak Cicurug 0 krad 0.984 1.601 1.548 2.657 1 krad - - 1.782 1.790 2 krad - - 1.743 1.541 3 krad - - 1.730 1.221 4 krad - - 1.747 0.955 5 krad - - 1.954 1.113