10
JURNAL INSPIRASI https://doi.org/10.35880/inspirasi.v11i1.193 Kurhayadi [email protected] © 2021 Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan Masyarakat di Indonesia Evaluation of Public Protection Unit Governance Policy in Indonesia Kurhayadi¹, Deden Hadi Kushendar², Ani Surtiani³ 123 Dosen Tetap Program Magister Program Studi Administrasi Publik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Bandung ABSTRACT This research uses a qualitative approach with a case study design. The data collection technique was carried out by in-depth interviews with 12 informants who were selected using a consideration sampling technique, Focus Group Discussion (FGD) and supported by various documents, especially policies related to the governance of the National Limnas in Indonesia and the City of Bandung. The results of the study indicate that the governance of the community protection unit has not been carried out effectively because the basic policy, namely the Mayor's Regulation (Perwal) of the City of Bandung cannot be used as a clear reference. The policy does not yet contain a comprehensive governance system, resulting in the unclear mechanism of coordination, collaboration in recruitment, training, implementation, provision of operational funds, and reporting on the organization of Linmas. The results of the study recommend the need for a review of the Mayor of Bandung Regulation Number 1556 of 2018 concerning the Implementation of Community Protection and the Selection Team for Members of the Community Protection Unit and Civil Service Police Assistance Personnel. The need to establish performance indicators for the performance of members of the Community Protection Unit to be able to measure the level of effectiveness and efficiency of the implementation of the Community Protection Unit in the City of Bandung, it is also necessary to place a Satlinmas mechanism under the coordination of the Civil Service Police Unit and those in the District and Kelurahan. ABSTRAK Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 12 orang informan yang dipilih menggunakan teknik sampling pertimbangan, Focus Group Discussion (FGD) dan didukung berbagai dokumen terutama kebijakan terkait tata kelola Limnas di Indonesia dan Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan tata kelola satuan perlindungan masyarakat belum dilakukan secara efektif dikarenakan dasar kebijakannya, yaitu Peraturan Walikota (Perwal) Kota Bandung belum dapat dijadikan acuan yang jelas. Kebijakan tersebut belum memuat sistem tata kelola yang menyeluruh, sehingga berdampak pada ketidakjelasan mekanisme koordinasi, kolaborasi dalam rekrutmen, pelatihan, pelaksanaan, pemberian dana operasional, dan pelaporan penyelenggaraan Linmas.Hasil penilitian merekomendasikan perlunya dilakukan kajian ulang terhadap Peraturan Walikota Kota Bandung Nomor 1556 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat dan Tim Seleksi Anggota Satuan Perlindungan Masyarakat dan Tenaga Bantuan Polisi Pamong Praja. Perlunya menetapkan indikator capaian kinerja anggota Satuan Perlindungan Masyarakat untuk dapat mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Satuan Perlindungan Masyarakat di Kota Bandung, juga diperlukan mekanisme penempatan Satlinmas yang berada di bawah koordinasi Satuan Polisi Pamong Praja dan yang berada di Kecamatan dan Kelurahan. HISTORI ARTIKEL Diterima, 11 Maret 2021 Direvisi, 24 April 2021 Disetujui, 02 Juni 2021 KATA KUNCI Kebijakan, kolaborasi dinamis, tata kelola, perlindungan masyarakat.

Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I https://doi.org/10.35880/inspirasi.v11i1.193

Kurhayadi [email protected]

© 2021

Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan Masyarakat di Indonesia Evaluation of Public Protection Unit Governance Policy in Indonesia

Kurhayadi¹, Deden Hadi Kushendar², Ani Surtiani³ 123Dosen Tetap Program Magister Program Studi Administrasi Publik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Bandung

ABSTRACT This research uses a qualitative approach with a case study design. The data collection technique was carried out by in-depth interviews with 12 informants who were selected using a consideration sampling technique, Focus Group Discussion (FGD) and supported by various documents, especially policies related to the governance of the National Limnas in Indonesia and the City of Bandung. The results of the study indicate that the governance of the community protection unit has not been carried out effectively because the basic policy, namely the Mayor's Regulation (Perwal) of the City of Bandung cannot be used as a clear reference. The policy does not yet contain a comprehensive governance system, resulting in the unclear mechanism of coordination, collaboration in recruitment, training, implementation, provision of operational funds, and reporting on the organization of Linmas. The results of the study recommend the need for a review of the Mayor of Bandung Regulation Number 1556 of 2018 concerning the Implementation of Community Protection and the Selection Team for Members of the Community Protection Unit and Civil Service Police Assistance Personnel. The need to establish performance indicators for the performance of members of the Community Protection Unit to be able to measure the level of effectiveness and efficiency of the implementation of the Community Protection Unit in the City of Bandung, it is also necessary to place a Satlinmas mechanism under the coordination of the Civil Service Police Unit and those in the District and Kelurahan. ABSTRAK Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 12 orang informan yang dipilih menggunakan teknik sampling pertimbangan, Focus Group Discussion (FGD) dan didukung berbagai dokumen terutama kebijakan terkait tata kelola Limnas di Indonesia dan Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan tata kelola satuan perlindungan masyarakat belum dilakukan secara efektif dikarenakan dasar kebijakannya, yaitu Peraturan Walikota (Perwal) Kota Bandung belum dapat dijadikan acuan yang jelas. Kebijakan tersebut belum memuat sistem tata kelola yang menyeluruh, sehingga berdampak pada ketidakjelasan mekanisme koordinasi, kolaborasi dalam rekrutmen, pelatihan, pelaksanaan, pemberian dana operasional, dan pelaporan penyelenggaraan Linmas.Hasil penilitian merekomendasikan perlunya dilakukan kajian ulang terhadap Peraturan Walikota Kota Bandung Nomor 1556 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat dan Tim Seleksi Anggota Satuan Perlindungan Masyarakat dan Tenaga Bantuan Polisi Pamong Praja. Perlunya menetapkan indikator capaian kinerja anggota Satuan Perlindungan Masyarakat untuk dapat mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Satuan Perlindungan Masyarakat di Kota Bandung, juga diperlukan mekanisme penempatan Satlinmas yang berada di bawah koordinasi Satuan Polisi Pamong Praja dan yang berada di Kecamatan dan Kelurahan.

HISTORI ARTIKEL Diterima, 11 Maret 2021 Direvisi, 24 April 2021 Disetujui, 02 Juni 2021 KATA KUNCI Kebijakan, kolaborasi dinamis, tata kelola, perlindungan masyarakat.

Page 2: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 87

PENDAHULUAN

Pertahanan negara adalah segala usaha mempertahakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa. Mengacu kepada Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 30 ayat 1 dan 2, sehingga hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 1 ayat 1 dan 2.

Pelindungan Masyarakat (Linmas) merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat, dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta, masyarakat merupakan kekuatan pendukung, dan keberadaannya sejak jaman kolonial hingga saat ini memegang peranan yang sangat penting serta tidak dapat diabaikan. Perlindungan masyarakat dimaksud sebagai suatu usaha pertahanan dan keamanan. Dalam kerangka otonomi daerah, pelindungan masyarakat merupakan salah satu tugas organisasi perangkat daerah yaitu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP), sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan secara teknis, perlindungan masyarakat menjadi tugas Kecamatan dan Kelurahan. Linmas juga merupakan suatu keadaan dinamis dengan kondisi masyarakat disiapkan dan dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan kegiatan penanganan bencana guna mengurangi dan memperkecil akibat bencana, serta ikut memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat, kegiatan sosial kemasyarakatan. Adapun pelaksanaan Linmas pengorganisasian dan pemberdayaan Linmas. Lain halnya dengan Satpol-PP merupakan perangkat daerah yang dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat, dengan tugas, antara lain: 1) menegakkan Perda dan Perkada; 2) menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman; dan 3) menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

Merujuk data dari setara institute for Democracy and Peace yang menyebutkan bahwa pada tahun 2015, Kota Bandung menjadi kota nomor 6 (enam) paling tidak toleran se-Indonesia, dan pada tahun 2017 menjadi kota nomor 12 (dua belas) paling tidak toleran se-Indonesia. Selain itu, Pemerintah Kota Bandung saat ini telah menetapkan Keputusan Wali Kota Bandung Nomor 800/Kep.1469-SatPOl-PP/2018 tentang Tim Seleksi Anggota Satuan Perlindungan Masyarakat dan Tenaga Bantuan Polisi Pamong Praja. Hal yang menjadi dasar pertimbangan ditetapkannya keputusan tersebut, yang tidak lain untuk dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas anggota Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) dan pemenuhan jumlah personil Bantuan Polisi Pamong Praja (Banpol-PP), yang mana perlu dilakukan seleksi untuk mendapatkan anggota sesuai dengan persyaratan melalui tim independen.

Keputusan Wali Kota Bandung tersebut, diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam Ketertiban, keamanan serta ketentraman dalam masyarakat sebagai upaya dalam melakukan perlindungan kepada masyarakat Kota Bandung. Namun demikian, khususnya untuk Satlinmas, dalam kenyataannya masih terdapat ketidakjelasan sistem tata kelola, antara lain mekanisme rekrutmen, pelantikan, pelatihan atau pengembangan kapasitas, pelaporan dan pertanggungjawaban dalam teknis operasional penyelenggaraan ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat baik skala kota maupun kewilayahan. Merujuk hal di atas dan dalam melaksanakan misi yang kedua, yaitu: ”Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Melayani, Efektif, Efisien dan Bersih”, maka penelitian ini dilakukan untuk memaparkan mengenai kolaborasi dinamis penyelenggaraan perlindungan masyarakat di Kota Bandung.

Page 3: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 88

TINJAUAN TEORITIS

Evaluasi Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan dasar dari pelaksanaan program maupun kegiatan pada

sektor publik yang dihasilkan melalui serangkai tahapan. Tahapan kebijakan publik meliputi formulasi kebijakan, penentuan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. (Anderson, 1979). Sedangkan Khan, A.R., dan Md. Mizanur Rahman (2017) memandang tahapan kebijakan sebagai proses atau siklus kebijakan yang dimulai dengan identifikasi masalah/penetapan agenda, perumusan kebijakan, adopsi kebijakan, analisis atau evaluasi kebijakan dan tahap teakhir adalah perubahan, perbaikan atau penghentian kebijakan. Tahapan terakhir dilakukan sebagai hasil rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari evaluasi atau analisis kebijakan.

Evaluasi kebijakan dalam pandangan Vedung (1997) adalah sejauh mana intervensi pemerintah berkontribusi pada hasil yang diukur dan harus memasukkan informasi yang lebih spesifik tentang mengapa intervensi yang akan dilakukan berhasil atau gagal. Dengan demikian evaluasi kebijakan adalah evaluasi untuk mengkaji implementasi dan dampak kebijakan secara aktual untuk menilai terwujudnya efek yang diharapkan juga biaya dan manfaat yang sebenarnya (Oliveira dan Claudia Souza Passador, 2019).

Weiss (1988) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan mengacu pada penialain sistematis dari pelaksanaan dan atau hasil dari kebijakan, dibandingkan dengan seperangkat standar eksplisit atau implisit, sebagai sarana untuk berkontribusi pada perbaikan kebijakan. (Khan, AR. Dan Md. Mizanur Rahman, 2017). Hasil evaluasi kebijakan harus dapat mengidentfikasi apa yang berhasil, di mana masalah muncul, menyoroti pelaksanaan yang baik, konsekuensi yang tidak diinginkan atau hasil yang tidak terduga dan menunjukkan dalam proses pengambilan keputusan untuk kebijakan di masa yang akan datang (Oliveira dan Claudia Souza Passador, 2019).

Menurut Dunn (2018), preskripsi dalam menghasilkan informasi tentang kinerja kebijakan, analis kebijakan publik dapat menggunakan berbagai kriteria untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Perbedaan utama antara kriteria untuk evaluasi dan untuk preskripsi adalah waktu di mana kriteria itu diterapkan. Kriteria untuk evaluasi diterapkan secara retrospektif (ex post), sedangkan kriteria untuk rekomendasi diterapkan secara prospektif (ex ante).

Evaluasi kebijakan dapat dilaksanakan dengan menggunakan kriteria; 1. effectiveness (berkaitan dengan tingkat keberhasilan ketercapaian tujuan; 2. efficiency (berkaitan dengan besarnya upaya untuk mencapai tujuan yang diharapkan); 3. Adecuacy (berkaitan dengan sejauh mana tujuan yang dicapai dapat menyelesaikan masalah); 4. Equity (berkaitan dengan distribusi yang sesuai untuk setiap penerima kebijakan); 5. Responsiveness (berkaitan dengan apakah hasil dapat memberikan kepuasan kepada seluruh bagian dalam masyarakat); dan 6. Appropriateness (berkaitan dengan apakah hasil yang dicapai bermanfaat). (Dunn, 2018). Namun menurut Gerston (1970), evaluasi kebijakan adalah menilai keefektifan kebijakan public dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang dirasakan (Khan, A.R dan Md. Mizanur Rahman. 2017). Kolaborasi Dinamis

Tata kelola Satlinmas di Kota Bandung melibatkan beberapa pemangku kepentingan (stakeholders). Konsep tata kelola bersama berkaitan dengan bentuk kerjasama atau interaksi dan kompromi dari para pemangku kepentingan baik yang secara langsung atau tidak langsung menerima manfaat dan akibat dari adanya kerjasama, interaksi dan kompromi tersebut yang dikenal dengan kolaborasi (http://sinergantara.or.id/platform-sinergi/kolaborasi, diunduh Juli 2019 ). Dengan nilai-nilai yang mendasari dari kolaborasi adalah tujuan dan persepsi yang sama, kemauan untuk berproses, saling memberikan manfaat, dan yang terpenting adalah

Page 4: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 89

adanya kejujuran dari masing-masing pemangku kepentingan (http://sinergantara.or.id/platform-sinergi/kolaborasi, diunduh Juli 2019). Tentunya, dalam pembenahan kebijakan Tata Kelola Satlinmas di Kota Bandung, konsep ini dapat menjadi salah satu acuan. Hal ini dikarenakan, pengelolaan Satlinmas merupakan kerja banyak institusi, sehingga pengelolaan bersama sangatlah diperlukan agar yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.

Ansell dan Gash (2007) mendefinisikan mengenai kolaborasi dalam kepemerintahan (collaborative governance) yaitu :“A governing arrangement where one or more public agencies directly engage non-state stakeholders in a collective decision-making process that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to make or implement public policy or manage public programs or assets”.

Pendapat Ansell dan Gash (2007) diartikan bahwa pengaturan pemerintahan melibatkan satu atau lebih lembaga publik yang secara langsung juga melibatkan lembaga non publik, dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang formal, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah, juga bertujuan untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik atau pengelolaan program atau aset-aset publik, yang selanjutnya pendapat ini akan digunakan sebagai dasar konsep kolaborasi dinamis.

Kriteria penting dalam kolaborasi dalam kepemerintahan menurut Ansell dan Gash (2007) ada enam kriteria, yaitu: 1) forum harus diprakarsai oleh lembaga publik; 2) pelibatan pemangku kepentingan bukan dari instansi pemerintah; 3) para pemangku kepentingan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan, dan tidak hanya konsultasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah; 4) forum harus diatur secara formal dan bertemu secara kolektif; 5) forum bertujuan untuk membuat keputusan melalui konsesus atau musyararah; dan 6) fokus kolaborasi adalah pada kebijakan publik atau manajemen publik.

Collaborative Governance dapat dilihat dari beberapa sudut pandang (perspektif) sebagaimana dikemukakan oleh Emerson dan Nabatchi (2015:20-25) bahwa CG dapat dilihat sebagai: 1) Pengaturan secara institusional; 2) Hubungan secara struktural; 3) Koalisi advokasi; 4) Proses pengembangan; dan 5) Tahapan fungsi kinerja, maka dari kelima perspektif tersebut Emerson dan Nabatchi (2015:25) menyajikan mengenai dinamika kolaborasi dalam rezim tata kelola kolaboratif (collaboration dynamic in collaborative governance regime), sebagaimana diperlihatkan pada gambar di bawah ini.

Kendali pendorong dalam keberhasilan tata kelola pemerintahan secara kolaboratif didasarkan pada kerjasama dalam mewujudkan pemerintahan yang baik sebagaimana dikemukakan oleh Emerson dan Nabatchi (2015:43-44) mengenai collaboration dynamic in collaborative governance regime (CGRs), yang mendiskusikan mengenai empat hal yang mendorong keberhasilan dalam collaborative governance (CG), yaitu: 1) ketidakpastian; 2) ketergantungan; 3) insentif; dan 4) kepemimpinan. Emerson dan Nabatchi (2015:57-80) berpendapat bahwa ada tiga dimensi dalam dinamika kolaborasi (collaboration dynamics), yaitu: 1) Prinsip keterlibatan (principled engagement); 2) Motivasi bersama (shared motivation); dan 3) Kapasitas bersama (joint capacity). Adapun indikator dalam dimensi dinamika kolaborasi dalam CGRs adalah sebagai berikut: 1) keterlibatan secara prinsip, dengan indikatornya adalah penemuan, definisi, pertimbangan, dan penentuan; 2) motivasi bersama, dengan indikatornya adalah kepercayaan, saling pengertian, legitimasi internal, dan komitmen; dan 3) kapasiitas bersama, dengan indikatornya adalah pengaturan prosedural dan institusional, kepemimpinan, pengetahuan dan sumberdaya (Emerson dan Nabatchi, 2015:58-73). Untuk lebih jelas, penulis sajikan dalam gambar berikut:

Page 5: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 90

Sumber: Diadoposi dari Emerson dan Nabatchi (2015:27)

Gambar 1. Kerangka Kerja Tata Integratif

untuk Tata Kelola Kolaboratif

Tata kelola Satlinmas pada prinsipnya adalah mengatur, mengelola, me-manaje orang, sehingga diperlukan pengelolaan yang baik mengenai sumber daya manusia dalamjejaring organisasi (Bach, 2005). Hasil penelitian Bach (2005) di antaranyaberkaitan dengan fungsi sumber daya manusia dalam status dan peran, komunikasi dan konsultasi, reward system dan kinerja serta rekrutmen, pengembangan dan fleksibilitas organisasi.

Mengacu kepada tinjauan teori yang meliputi evaluasi kebijakan publik, kolaborasi dan manajemen sumber daya manusia seperti telah diuraikan di atas, maka dapat disusun sebuah kerangka pikir penelitian sebagai berikut : Sumber : Diolah Peneliti, tahun 2019.

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemerintah Kota Bandung saat ini telah menetapkan kebijakan berupa Peraturan Walikota (Perwal) Kota Bandung Nomor 1556 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat. Adapun maksud dikeluarkannya Perwal tersebut sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi di Daerah Kota Bandung, agar dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam penyelenggaraan Linmas. Dasar dari dikeluarkannya Perwal tersebut

DASAR HUKUM

PENYELENGGARAAN

PERLINDUNGAN

MASYARAKAT

EVALUASI

KEBIJAKAN

KOLABORASI

MANAJEMEN

SUMBER DAYA

MANUSIA

EFEKTIVITAS DAN

EFISIENSI TATA KELOLA:

REKRUTMEN, SELEKSI,

PENEMPATAN,

PENGHARGAAN,

PENGEMBANGAN,

PEMBERHENTIAN

Page 6: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 91

untuk mengoptimalisasikan peran dan fungsi Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) di Kota Bandung, merujuk kepada kebijakan di tingkat Pemerintah Pusat dan Provinsi.

Salah satu kebijakan yang menjadi dasar adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 84 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat, dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Operasional Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat di Daerah Provinsi Jawa Barat. Kebijakan tata kelola Satlinmas di Kota Bandung dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber: Olahan Peneliti, 2019.

Gambar 2 Kebijakan Tata Kelola Satlinmas di Kota Bandung

Penetapan Peraturan Wali Kota Bandung tersebut mengacu kepada Visi dan Misi Kota

Bandung. Pemerintah Kota Bandung menetapkan Visi yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2018-2023 yaitu : ”Terwujudnya Kota Bandung yang Unggul, Nyaman, Sejahtera dan Agamis”. Untuk mendukung tercapainya visi tersebut, Pemerintah Kota Bandung menetapkan misi sebagai berikut : 1) Membangun masyarakat yang Humanis, Agamis, Berkualitas dan Berdaya Saing; 2) Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Melayani, Efektif, Efisien dan Bersih; 3) Membangun Perekonomian yang Mandiri, Kokoh, dan berkeadilan; 4) Mewujudkan Bandung Nyaman Melalui Perencanaan Tata Ruang, Pembangunan Infrastruktur, serta Pengendalian Pemanfaatan Ruang yang Berkualitas dan Berwawasan Lingkungan; 5) Mengembangkan Pembiayaan Kota yang Partisipatif, Kolaboratif dan Terintegrasi.

Penegasan penetapan Visi dan Misi Kota Bandung yang dituangkan dalam RPJMD Kota Bandung tahun 2018-2023 adalah permasalahan pembangunan pada Urusan Pemerintah Wajib Kota Bandung, yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar huruf e. tentang Urusan Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat di Kota Bandung, yaitu : Potensi gangguan ketentraman dan ketertiban. Menurut data Polrestabes Kota Bandung pada tahun 2017, total jumlah tindak pidana menurut jenis kriminalitas di Kota Bandung pada tahun 2016 sebanyak 3.546 kasus yang mengalami penurunan, dibanding tahun 2015 sebanyak 4.455 kasus dan tahun 2014 sebanyak 4.918 kasus. Sementara itu, jumlah gangguan umum kamtibmas pada tahun 2016 sebanyak 3.515 dan tahun 2015 sebanyak 4.159, meskipun trennya menurun, namun ketentraman dan ketertiban perlu terus ditingkatkan karena merupakan kebutuhan dasar.

Peningkatan potensi ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan) terhadap stabilitas politik dan keamanan, hal ini menjadi krusial mengingat banyaknya ancaman ideologi yang bertentangan dengan dengan Pancasila, baik yang datang dari dalam dan luar negeri.

Page 7: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 92

Selain itu, pemahaman dan implementasi ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan yang semakin menurun dipengaruhi oleh globalisasi dan kebebasan pada masa demokrasi. Kota Bandung merupakan daerah yang memiliki tingkat perkembangan pluralitas yang tinggi yang akan berakibat pada melemahnya ketahanan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga tentunya diperlukan pengembalian kepada bingkai NKRI yaitu kondisi Bhineka Tunggal Ika, perbedaan suku, agama, ras dan kepercayaan yang tetap terjaga.

Peningkatan individualisme di kalangan masyarakat merupakan suatu konsekuensi akibat dari banyaknya pendatang yang meningkatkan heterogenitas atau keberagaman latar belakang, sehingga terjadi percampuran budaya yang dapat memudarkan nilai-nilai budaya, juga tak lepas dari tekanan globalisasi yang memicu tingginya kompetensi sehingga masyarakat semakin jauh daari kebersamaan dan empati. Kajian Bappelitbang tahun 2017 mengenai “Instrumen Indeks Kemasyarakatan Kota Bandung” dan kajian dari Bagian Pemerintahan pada Sekretaris Daerah tahun 2016 mengenai “Rapor Warga” menunjukkan bahwa bahwa Kota Bandung memiliki karakteristik masyarakat yang kreatif dan terbuka pada perubahan, namun tidak dapat dipungkiri, dihadapkan pula pada berbagai persoalan social kemasyarakatan terutama degradasi moral, seperti sikap individualistik, hedonostik, intoleransi, dan sikap-sikap destruktif lainnya, sepeerti mudah tersinggung dan gampang marah.

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa temuan yang dapat dijadikan landasan analisis kebijakan mengenai tata kelola satuan perlindungan masyarakat di Kota Bandung. Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) ini, sebenarnya sangat potensial. Jumlah anggota Satlinmas yang tersebar, baik di tingkat Kota maupun di kewilayahan adalah 11.000 orang yang tersebar di kewilayahan Kota bandung, Jumlah kewilayahan di Kota Bandung mencakup 30 Kecamatan, 151 Kelurahan, 1584 Rukun Warga (RW), dan 9873 Rukun Tetangga (RT). sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini: Sumber: Satpol PP Kota Bandung, 2019

Gambar 3 Potensi Jumlah Satlinmas di Kota Bandung

Data tersebut sedikit banyak menggambarkan bahwa, dari segi jumlah potensi Satlinmas dibandingkan dengan pembagian kewilyahan di Kota Bandung, penyelenggaraan Satlinmas ini dapat terlaksana hingga ke tingkat kewilayahan paling rendah yakni Rukun Tetangga (RT). Artinya, dalam penyelenggaraan urusan wajib pemerintah pelayanan dasar mengenai perlindungan masyarakat, Kota Bandung seharusnya sudah dapat melaksanakannya dengan baik. Keberadaan anggota Satlinmas hingga ke tingkat RT, seharusnya dapat memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perlindungan masyarakat yang berkaitan dengan tugas serta wewenangnya.

Namun sayangnya, temuan potensi secara kuantitas ini ternyata belum didukung dengan temuan-temuan potensi dari segi kualitas penyelenggaraan Satuan perlindungan

Page 8: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 93

masyarakat. Dalam penelitian lapangan, ditemukan beberapa data yang dianalisa menggunakan indikator efektivitas kebijakan publik, menunjukkan bahwa kinerja anggota Satlinmas di Kota Bandung masih belum sesuai dengan tupoksi serta tujuan utama penyelenggaraan Satlinmas. Indikator tersebut dapat terlihat dalam diagram di bawah ini:

Sumber: Olahan Peneliti, 2019 Gambar 4

Indikator Efektivitas Penyelenggaraan Satlinmas 1. Input

Salah satu input dari sebuah kebijakan, adalah peraturan yang mendasari kebijakan tersebut. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ditemukan bahwa adanya ketidaksesuaian antara Peraturan Walikota dengan Peraturan Gubernur dan Permendagri yang mengatur mengenai Tata Kelola Satlinmas. Ketidaksesuaian ini terjadi terutama dalam hal mekanisme rekrutmen, penempatan, serta pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Satlinmas di Kota Bandung. Selain itu, berdasarkan hasil kajian lapangan juga ditemukan bahwa Kota Bandung belum memiliki peraturan yang mengatur secara teknis mengenai implementasi tata kelola Satlinmas ini, sehingga dalam perjalanannya pelaksanaan perlindungan masyarakat tidak memiliki kejelasan terutama dalam hal mekanisme dan SOP.

2. Proses Dari permasalahan dalam indikator input tersebut, berdampak pula pada indikator-indikator selanjutnya, yakni indikator Proses dan Output. Data yang ditemukan selama kajian ini berlangsung, menemukan bahwa akibat dari ketidaksesuaian aturan daerah dengan aturan perundang-undangan diatasnya, serta ketiadaan aturan teknis mengenai tata kelola Satlinmas ini, banyak kewajiban yang seharusnya dilaksanakan oleh Kota Bandung dalam rangka penyelenggaraan perlindungan masyarakat ini menjadi tidak terlaksana. Beberapa kewajiban tersebut antara lain, ketiadaan mekanisme rekrutmen anggota Satlinmas yang jelas, pemberian honor yang tidak jelas sehingga malah dianggap membebani APBD, serta ketiadaan pelatihan yang memadai bagi anggota Satlinmas yang dapat meningkatkan kemampuan dan kinerja anggota Satlinmas.

3. Output Pada akhirnya, semua hal yang ditemukan berdasarkan dua indikator sebelumnya, memberikan dampak terhadap ketidakjelasan output yang dihasilkan dari penyelenggaraan perlindungan masyarakat yang selama ini dilaksanakan di Kota Bandung. Ketidakjelasan ini terlihat dari ketiadaan format pelaporan kinerja yang disebabkan oleh

Page 9: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 94

ketiadaan indikator keberhasilan yang seharusnya diatur dalam aturan daerah, dalam hal ini peraturan Walikota.

PENUTUP

Simpulan 1. Permasalahan Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat di Kota Bandung :

a. Adanya landasan kebijakan berupa Peraturan Walikota No. 1556 yang mengakomodir kebijakan lokal berupa penempatan kedudukan anggota Satlinmas di tingkat Satpol PP, kecamatan dan Kelurahan. Menurut Permendagri No. 84 tahun 2014 dan Pergub Jawa Barat No. 33 tahun 2017, kedudukan anggota Satlinmas adalah di kewilayahan RW dan RT dengan membentuk regu.

b. Dengan adanya penempatan kedudukan anggota Satlinmas tersebut memberikan dampak pada belum jelasnya mekanisme koordinasi dan kolaborasi rekrutmen, pelatihan, pelaksanaan, pemberian dana operasional (kompensasi), pelaporan penyelenggaraan perlindungan masyarakat di Kota Bandung.

2. Kebijakan berupa Perwal dan kepwal belum mempertegas mekanisme tata kelola Satlinmas di Kota Bandung.

3. Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan belum tercapai. Efektivitas dan Efisiensi penyelenggaraan perlindungan masyarakat oleh Satlinmas di Kota Bandung memerlukan ukuran yang lebih pasti terutama untuk anggota Satuan Perlindungan Masyarakat yang ditempatkan dengan kedudukan di tingkat Satpol PP, Kecamatan, dan Kelurahan.

4. Mekanisme tata kelola Satuan Perlindungan Masyarakat di Kota Bandung belum jelas. Hal ini disebabkan adanya kebijakan yang menempatkan kedudukan anggota Satlinmas di Satpol PP, Kecamatan dan Kelurahan dengan penggunaan dana operasional dari APBD yang belum diasarkan atas hasil analisis beban kerja. Mekanisme dapat disusun dengan terlebih dahulu memperjelas kebijakan yang mengatur penyelenggaraan perlindungan masyarakat oleh Satlinmas di Kota Bandung.

Rekomendasi 1. Perlu dilakukan review peraturan Wali Kota Bandung No. 1556 tahun 2018 tentang

Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat dan Keputusan Wali Kota tentang Tim Seleksi Anggota Satuan Perlindungan Masyarakat dan Tenaga Bantuan Polisi Pamong Praja. Hal ini perlu dilakukan : a. untuk mempertegas kedudukan Anggota satuan Perlindungan Masyarakat agar sesuai

dengan kebijakan di tingkat atasnya; b. untuk mempertegas kedudukan Anggota Satlinmas yang di tempatkan di Tingkat Kota

(Di Satpol PP), di Tingkat Kewilayahan (di Kecamatan dan di Kelurahan). c. Untuk menjadi dasar penyusunan mekanisme dan SOP Tata Kelola Satlinmas.

2. Perlu ditetapkan indikator capaian kinerja anggota Satlinmas untuk dapat mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan perlindungan masyarakat oleh Satlinmas.

3. Apabila kedudukan anggota Satlinmas dipertahankan untuk ditempatkan di Satpol PP, Kecamatan dan Kelurahan, maka : a. perlu dilakukan analisis beban kerja yang hasilnya untuk penetapan besarnya dana

operasional yang diberikan; b. perlu dipertegas garis koordinasi antara kecamatan dengan Satpol PP.

4. Apabila kedudukan anggota Satlinmas disesuaikan kembali kepada peraturan/kebijakan tingkat atasnya, maka fokus penyelenggaraan linmas adalah terbentuknya regu, sehingga mendorong peningkatkan fungsi pembinaan, pemberdayaan dan pengawasan/ monitoring.

Page 10: Evaluasi Kebijakan Tata Kelola Satuan Perlindungan

J U R N A L I N S P I R A S I V o l . 1 2 N o . 1 , J u n i 2 0 2 1 95

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R (2011). Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Bach, Stephen. (2005). Managing Human Resources: Personal Management in Transition

Fourth Edition. Oxford: Blackwell Publishing Creswell, J. W. and Poth, C.N.(2007). Qualitative inquiry and research design: Choosing among

five Approaches. Los Angeles: SAGE Publication Ltd. Crumpton, Charles David, et.al., 2016. Evaluation of Public Policies in Brazil and The United

States; a research analysis in the last 10 years. Rev. Adm. Publica. Rio De Janeiro 50 (6):981-1001, nov/dec. 2026DOI: http://dx.doi.org/10.1590/0034-7612156363.

Dunn, William N. 2018. Public Policy Analysis, An Integrated Approach. Sixth Edition. New York. Routledge.

Guyadeen, Dave dan Mark Season. 2018. Evaluation Theory and Practice: Comparing Program Evaluation and Evaluating Planning. Journal of Planning Education and Research. Vol. 38 (1) 98-110, sagepub.com/journals. Permissions. nav. DOI:10.1177/0739456X16675930.

Khan, Anisur Rahman dan Md. Mizanur Rahman. 2017. The Role of Evaluation at The Stages of Policy Formulation, Implementation, and Impact Assessment. Agathos, Volume 8, Issue 1 (14): 173-186. © www.agathos-international-review.com CC BY NC 2017. Sedarmayanti. (2006). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Bandung. Mandar Maju

Miles, M.B., 2014. Qualitative Data Analysis. Third edition. Sage Publications, Inc. California. Subarsono, A.G. (2011). Analisis Kebijakan Publik: Konsep. Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Yin, Robert K.. (2009). Case Study Research: Design and Methods. California: Sage Publication. Winarno, Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo

Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja Permendagri No 84 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat. Peraturan Gubernur Jawa Barat No 33 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembinaan Teknis

Operasioal Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat di Daerah Provinsi Jawa Barat. Peraturan Walikota Bandung No 1556 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan

Masyarakat.