Upload
anita-amanda-prayogi
View
11
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lalalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Citation preview
Evaluasi Pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010
Kita pernah mempunyai keinginan atau visi tentang Indonesia Sehat, yaitu Indonesia
Sehat tahun 2010. Sekarang tahun 2010 sudah separuh jalan, tetapi tanda-tanda Indonesia sehat
masih belum tampak. Mengapa gagasan untuk mencapai Indonesia Sehat tahun 2010 tidak
tercapai? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, janji itu memang hanya untuk menyenangkan
rakyat supaya mereka merasa dipikirkan nasibnya. Kedua, gagasan itu tidak disertai dengan
sasaran-sasaran terukur. Ketiga, tidak ada strategi atau langkah-langkah untuk mencapainya.
Sekarang kita sibuk untuk mencapai sasaran pembangunan milenium (millennium
development goals/MDGs) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah kita
menanda tanganinya. Berbeda dengan Indonesia Sehat 2010, sasaran MDGs ada indikatornya
serta kapan harus dicapai. Mungkin sasaran MDGs ini bisa dijadikan slogan “Indonesia Sehat di
tahun 2015” sebagai pengganti slogan sebelumnya.
Setidaknya empat dari delapan sasaran MDGs mengenai kesehatan. Yaitu menurunkan
angka kelaparan (kuang gizi) menjadi setengahnya (50 persen) di tahun 2015 dibanding tahun
1996. Kemudian menurunkan angka kematian bayi dan balita, juga menjadi setengahnya
dibanding tahun 1996. Lalu menurunkan angka kematian ibu sebanyak 75 persen,
mengendalikan penularan penyakit menular, khususnya TBC dan HIV, sehingga pada tahun
2015 nanti jumlahnya tidak meningkat lagi tetapi justru menurun.
Meskipun sebagian besar MDGs mengenai kesehatan, upaya pencapaiannya jelas tidak
dapat hanya dibebankan kepada Menteri Kesehatan. Masalah kurang gizi misalnya, tergantung
pula pada ketersediaan dan keterjangkauan sumber makanan bergizi. Juga memerlukan
kesadaran orang tua, terutama ayah, agar mau secara bersungguh-sungguh menyisihkan uang
belanjanya untuk membeli makanan bergizi bagi anaknya.
Dalam kenyataan, di kalangan orang miskin, belanja untuk membeli makanan bergizi
berada jauh di bawah belanja untuk rokok. Kalau untuk rokok menyedot 12 persen dari
penghasilannya, uang untuk makanan bergizi hanya sekitar 4 persen. Demikian pula uang untuk
pendidikan anak dan biaya kesehatannya, lebih rendah lagi.
Penyediaan air bersih yang berperanan besar mencegah penyakit muntaber, penyebab
utama kematian balita, bukan menjadi wewenang Kementerian Kesehatan. Pendidikan, terutama
pendidikan bagi perempuan, sangat besar peranannya dalam menurunkan angka kematian bayi,
balita, dan ibu. Dengan adanya otonomi daerah, masalah kesehatan menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah. Upaya mencapai sasaran MDGs kemudian sangat tergantung kepada
pemahaman para kepala daerah dalam masalah upaya mencapai MDGs dengan menyehatkan
rakyatnya.
Sayangnya, sebagian besar pimpinan daerah masih memiliki pengertian yang keliru
mengenai tanggung jawab kesehatan tersebut. Sebagian besar masih menerjemahkannya dengan
membangun rumah sakit atau sarana kuratif lainnya. Aspek pencegahan tidak dianggap penting
karena hasilnya tidak segera tampak. Hasilnya “intangible”. Secara politis tidak menarik.
Demikian pula media massa dan masyarakat masih lebih melihat bahwa penyelesaian
masalah kesehatan ya dengan menyediakan rumah sakit dan balai pengobatan. Mereka tidak
memahami, apalagi melaksanakan pola hidup sehat agar tidak jatuh sakit, sehingga tidak
memerlukan obat atau rumah sakit. Dampak lebih jauh adalah dana yang sedianya untuk berobat
dapat dialihkan ke kegiatan produktif, sementara rakyat yang tidak mudah sakit juga akan
meningkat produktivitasnya, yang selanjutnya meningkatkan kehidupan ekonomi di daerah itu.