32
1 Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia. M. Burhannudinnur, Teknik Geologi FTKE Usakti dan mahasiswa S3 Geologi, FITB, Institut Teknologi Bandung, email : [email protected] Abstrak Evolusi tektonik menghasilkan tatanan tektonik yang memberikan kerangka sejarah geologi yang dituangkan kedalam evolusi tektonik stratigrafi atau kronostratigrafi. Tatanan tektonik Indonesia tergambar jelas bahwa bagian barat dan bagian timur Indonesia sangat berbeda, pemikiran adanya tatanan tektonik transisi di bagian tengah menjadi sebuah wacana yang positif. Penggunaan tatanan tektonik sebagai dasar dalam klasifikasi cekungan Indonesia adalah suatu keharusan karena cekungan di Indonesia sangat dikontrol oleh tektonik. Pemahaman gerak lateral tektonik lempeng beserta kekhasan batas-batas lempeng, dan kemampuan tektonik dalam membentuk dan merubah cekungan serta sekuen pengisian sedimen menjadi kaidah dasar dalam memahami cekungan dan pengklasifikasian cekungan. Klasifikasi cekungan yang dipakai di cekungan Indonesia harus dapat menjelaskan perubahan tektonik dicekungan dan akan sangat bermanfaat jika klasifikasi dapat diterapkan dengan mudah dan sederhana pada semua tatanan tektonik Indonesia dari yang sederhana sampai yang kompleks baik secara evolusi tektonik stratigrafi secara vertikal ataupun kerangka tektoniknya. Pada akhirnya perlu disadari bahwa pemilihan kajian evolusi tektonik dan tektonik stratigrafi yang berbeda akan menghasilkan jenis cekungan yang berbeda pula. Rekonstruksi tektonik Asia Tenggara oleh Hall (1997) dan klasifikasi cekungan Kingston et al. (1983) dapat diaplikasikan untuk pengelompokan cekungan di Indonesia. Penerapan klasiftikasi Kingston et al. (1983) di Indonesia membantu mempermudah memasukan parameter tektonik stratigrafi dan siklus pengendapan secara konsisten sehingga jenis cekungan dapat lebih mudah dikelompokan dari sudut tektoniknya. Perbedaan tatanan tektonik di Indonesia Barat dan Indonesia Timur dapat diakomodasi oleh klasifikasi ini dan dengan mudah dikenali dari kode penamaan cekungan. Cekungan atau siklus margin sag (MS) dan atau interior sag (IS), interior fracture (IF) biasanya menunjukkan jenis ckungan di Indonesia Timur. Siklus yang dimulai dengan wrench (LL) atau trench associated (TA) akan berasosiasi dengan tatanan tektonik Indonesia Barat. Klasifikasi ini dapat diterapkan pada cekungan sederhana sampai yang kompleks atau polyhistory. Dalam satu pengelompokan basin yang sama, misalnya busur belakang Jawa dan Sumatra berjenis LL, akan mempunyai polihystory yang berbeda. Dengan demikian pengelompokan secara polyhistory bersamaan dengan unsur tektonik perubah cekungan (FB, L dan FB3) di masing-masing cekungan memberikan gambaran perubahan tektonik yang berbeda dan khas disetiap cekungan. Dalam kepentingan kajian ekspslorasi migas klasifikasi ini sangat membantu dalam memahami siklus pengendapan yang diwakili stage 1, stage 2 dan stage 3. Kelengkapan stage sekuen pengendapan akan memberikan kemudahan dalam menganalisa parameter akumulasi hidrokarbon.

Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

evolusi tektonik

Citation preview

Page 1: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

1

Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia.

M. Burhannudinnur,

Teknik Geologi FTKE Usakti dan mahasiswa S3 Geologi, FITB, Institut Teknologi Bandung,email : [email protected]

Abstrak

Evolusi tektonik menghasilkan tatanan tektonik yang memberikan kerangka sejarah geologi yangdituangkan kedalam evolusi tektonik stratigrafi atau kronostratigrafi. Tatanan tektonik Indonesiatergambar jelas bahwa bagian barat dan bagian timur Indonesia sangat berbeda, pemikiranadanya tatanan tektonik transisi di bagian tengah menjadi sebuah wacana yang positif.Penggunaan tatanan tektonik sebagai dasar dalam klasifikasi cekungan Indonesia adalah suatukeharusan karena cekungan di Indonesia sangat dikontrol oleh tektonik. Pemahaman geraklateral tektonik lempeng beserta kekhasan batas-batas lempeng, dan kemampuan tektonik dalammembentuk dan merubah cekungan serta sekuen pengisian sedimen menjadi kaidah dasar dalammemahami cekungan dan pengklasifikasian cekungan.

Klasifikasi cekungan yang dipakai di cekungan Indonesia harus dapat menjelaskan perubahantektonik dicekungan dan akan sangat bermanfaat jika klasifikasi dapat diterapkan dengan mudahdan sederhana pada semua tatanan tektonik Indonesia dari yang sederhana sampai yangkompleks baik secara evolusi tektonik stratigrafi secara vertikal ataupun kerangka tektoniknya.Pada akhirnya perlu disadari bahwa pemilihan kajian evolusi tektonik dan tektonik stratigrafiyang berbeda akan menghasilkan jenis cekungan yang berbeda pula. Rekonstruksi tektonik AsiaTenggara oleh Hall (1997) dan klasifikasi cekungan Kingston et al. (1983) dapat diaplikasikanuntuk pengelompokan cekungan di Indonesia.

Penerapan klasiftikasi Kingston et al. (1983) di Indonesia membantu mempermudahmemasukan parameter tektonik stratigrafi dan siklus pengendapan secara konsisten sehinggajenis cekungan dapat lebih mudah dikelompokan dari sudut tektoniknya. Perbedaan tatanantektonik di Indonesia Barat dan Indonesia Timur dapat diakomodasi oleh klasifikasi ini dandengan mudah dikenali dari kode penamaan cekungan. Cekungan atau siklus margin sag (MS)dan atau interior sag (IS), interior fracture (IF) biasanya menunjukkan jenis ckungan diIndonesia Timur. Siklus yang dimulai dengan wrench (LL) atau trench associated (TA) akanberasosiasi dengan tatanan tektonik Indonesia Barat. Klasifikasi ini dapat diterapkan padacekungan sederhana sampai yang kompleks atau polyhistory. Dalam satu pengelompokan basinyang sama, misalnya busur belakang Jawa dan Sumatra berjenis LL, akan mempunyaipolihystory yang berbeda. Dengan demikian pengelompokan secara polyhistory bersamaandengan unsur tektonik perubah cekungan (FB, L dan FB3) di masing-masing cekunganmemberikan gambaran perubahan tektonik yang berbeda dan khas disetiap cekungan. Dalamkepentingan kajian ekspslorasi migas klasifikasi ini sangat membantu dalam memahami sikluspengendapan yang diwakili stage 1, stage 2 dan stage 3. Kelengkapan stage sekuen pengendapanakan memberikan kemudahan dalam menganalisa parameter akumulasi hidrokarbon.

Page 2: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

2

Pendahuluan

Pengetahuan evolusi teknonik didahului dengan pengertian evolusi cekungan yangmengandalkan konsep-geosinklin yang kemudian di akhir tahun 1960-an secara cepatberkembang konsep tektonik lempeng. Tektonik lempeng di Indonesia telah banyak ditulis olehpara ahli kebumian. Penulis yang fonumental tentang geologi regional dan tektonik di era teoritektonik lempeng adalah Hamilton, (1979), Katili (1980), Dally et.al (1991) dan Hall, (1996,1997). Penulis-penulis tersebut berusaha membahas tektonik dan rekonstruksi tektonikIndonesia dan Asia Tenggara. Katili (1980) membahas tektonik Indonesia, Hamilton (1979)membahas tentang tektonik wilayah Indonesia beserta peta teknoniknya, sedangkan Dally et.al(1991), Hall (1996, 1997) melakukan rekonstruksi tektonik Cenosoik Asia Tenggara yangmelibatkan Wilayah Indonesia dan sekitarnya. Terlepas dari masih adanya pro dan kontrak untukdetail rekonstruksi teknonik, Hall telah mampu memberikan gambaran animasi rekonstruksitektonik yang mudah dicerna untuk Asia Tenggara termasuk Indonesia. Rekonstruksi ini telahdipergunakan oleh kalangan akademi dan industri migas.

Cekungan (basin) adalah secara topografi atau batimetri sebuah rendahan (depresi), namunsecara geologi mempunyai arti yang lebih signifikan yaitu tempat terbentuknya suksesi batuansedimen yang tebal (Dickinson, 1974), kemudian sering dikenal sebagai cekungan sedimen.Cekungan awalnya merupakan definisi induktif dari konsep geosinklin, namun penggunaankonsep tektonik lempeng menjadikan definisi basin menjadi deduktif (Dickinson , 1974).Cekungan mempunyai skala yang sangat bervariasi dari cekungan samudera sampai cekungan-cekungan kecil. Ahli geologi secara umum membatasi bahwa terminologi cekungan adalahrendahan berskala regional (100 km lebih) dengan deformasi kerak yang signifikan dan terisiendapan (Helwig, 1985). Cekungan dibatasi lebih lanjut dengan rendahan dengan batas yangdiketahui, tebal endapan mulai 1-3 km dengan luas ratusan kilometer. Agar supaya konsistendengan konsep tektonik lempeng dan berdasarkan beberapa definisi tersebut maka cekunganmempunyai arti yang sangat khas dari sudut tektonik / deformasi kerak, sehingga penyebutancekungan adalah sama dengan menyebut cekungan tektonik.

Perlukah jenis cekungan ditentukan dan diklasifikasikan? Apa dasar klasifikasi cekungan yangsesuai?. Jawaban pertanyaaan itu akan membawa ke pembahasan detail tentang aspek pembentukcekungan. Cekungan perlu didefinisikan dan dikelompokkan untuk dikaji dengan baik dankemudian digunakan sebagai pembanding untuk memahai cekungan sejenis yang belumdipahami. Dari sudut pandang perkembangan eksplorasi migas dan data, cekungan yangmempunyai data relatif lengkap dan dipahami lebih baik akan digunakan sebagai langkah awal,analogi, untuk cekungan yang belum dieksplorasi. Klasifikasi cekungan yang sesuai akan sangattergantung dari konsep yang dipakai dan tujuan yang akan dicapai.

Klasifikasi cekungan sudah dibahas dari sebelum tektonik lempeng berkembang. Sebut sajaklasifikasi Kay, 1951(di dalam Helwig, 1985) yang mengelompokkan cekungan berdasarkanbentuk dan asal usul batuan di dalam cekungan yang dikembangkan dalam teori geosinklin.Klasifikasi cekungan berdasarkan tektonik lempeng telah banyak dikembangkan oleh ahlikebumian. Dickinson (1974) menyebutkan bahwa ahli kebumian seperti Morgan (1968), LePichon (1968), Isak et al (1968), telah memberikan pemahaman dasar tentang pengelompokantatanan tektonik cekungan yang mengunakan elemen dasar dari batas lempeng di konsep tektonik

Page 3: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

3

lempeng, seperti tumbukan (convergent), pemekaran (divergent), pergeseran (transform).Pemahaman pergerakan lateral dari tektonik lempeng yang mengakibatkan pergerakan vertikaluntuk membentuk cekungan akan memberikan kerangka berfikir yang benar untukmendefiniskan jenis cekungan dan klasifikasinya. Beberapa klasifikasi cekungan berdasarkantektonik lempeng telah ditulis antara lain klasifikasi Klemme (1980), Bally dan Snalson (1980)yang dimodifikasi oleh John (1984), Kingston et al. (1983), Helwig (1985).

Pada perkembangannya klasifikasi dan pendefinisan cekungan tidak bisa dipisahkan denganperkembangan eksplorasi migas dengan sistem petroleumnya. Hal ini sangat logis karenasumbangsih pembelajaran cekungan sangat dibutuhkan didunia migas dan juga data-data lebihlengkap di industri migas. Penyebaran Cekungan di Asia Tenggara terutama cekungan Tersierbanyak dibahas salah satunya oleh Doust dan Sumner (2007). Penyebaran cekungan dariThailand, Malaysia, Indonesia Barat dan Indonesia bagian timur. Lokasi cekungan di Indonesiatelah banyak dipublikasikan baik oleh penulis perorangan ataupun lembaga, sebagai contoh PetaCekungan Indonesia oleh IAGI, IPA, atau Drijen Migas. Pembahasan peta penyebaran cekunganyang terakhir dibahas oleh IAGI dan BPMIGAS tahun 2008 namun belum dipublikasikan. Petapenyebaran cekungan Indonesia dibuat oleh Howes dan Tisnawijaya (1995) dan dimodifikasioleh Doust et al (2008) memberikan gambaran ringkas sistem migas di Indonesia denganpendekatan praktis, mengelompokkan berdasarkan besaran sumber daya cekungan (Gambar 1).

Page 4: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

4

Gambar 1. Lokasi Cekungan di Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan volume sumberdayanya oleh Howes dan Tisnajaya 1995 (di dalam Doust dan Noble 2008).

Kerangka tektonik dan evolusi tektonik

Kerangka tektonik Indonesia telah banyak dibahas antara lain oleh Hamilton (1979), Daly et al(1991), Hall (1996,1997). Semua penulis menunjukkan bahwa Cekungan di Indonesia secaratektonik terletak di pertemuan kerak benua Eurasia, kerak Indian, kerak Australia (kerak Indian-Australia) dan kerak Pasifik-Pilipina, meskipun pembahasan detail evolusi tektoniknya adaperbedaan. Kerangka tektonik Indonesia secara umum dikelompokkan menjadi 2 kelompokutama yaitu bagian barat yang sering dikenal dengan Sundaland dan bagian timur. Padaperkembangan terakhir di Pertemuan Ilmiah IAGI 2008, IAGI-BPMIGAS, meskipun belumdipublikasikan namun telah diperkenalan, dalam presentasi, oleh ahli geologi IndonesiaBenyamin dan Asikin, kemungkinan Indonesia menjadi 3 bagian kerangka tektonik, ketigabagian kerangka tektonik tersebut adalah Sundaland dibagian barat, bagian timur meliputi Papuadan banda arc dan bagian tengah meliputi Sulawesi bagian tengah utara timur. Posisi tatanantektonik Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2 dari Doust dan Sumner (2007). Berdasarkanumur struktur utama maka tatanan kerangka tektonik Indonesia bagian tengah dapat dibedakandari Indonesia Timur dan barat, berada pada warna kuning, Late K accretionary. Struktur-struktur di Sundaland (bagian barat) berumur Miosen Akhir sampai Oligosen, sebagaian diSumatera dan Jawa berumur Miosen Tengah sampai Resen, Indonesia Timur berkembangstruktur-struktur berumur Jura sampai Kapur awal dan dilanjutkan pada Miosen Tengah sampaiResen, di bagian tengah terlihat umur struktur Kapur akhir sampai eosen dilanjutkan MiosenTengah sampai Resen.

MiddleIndonesia ?

Page 5: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

5

Gambar 2. Posisi Cekungan Sedimen Tersier asia tenggara, jenis keraj dan kenampakan elementektonik utama serta kenampakan struktur utama beserta umurnya (Doust, 2007).

Berbicara cekungan di Indonesia tidak bisa lepas dari cekungan Tersier di Indonesia. CekunganTersier lebih dominan dibanding cekungan berumur lebih tua. Cekungan Tersier sampaisekarang masih mempunyai produksi lebih tinggi dibanding lainnya (Gambar 2). Dominasi itusemakin kelihatan di Sundaland, sehingga dapat dikatakan bahwa Sundaland adalah penghasilmigas tertinggi di Indonesia.

Pembahasan rekonstruksi evolusi tektonik Indonesia dibahas dengan baik oleh Daly, et al (1991)dan Hall (1996, 1997). Daly et al (1991) memulai rekonstruksi dari Kapur Akhir, 70 Ma (jutatahun lalu) sedangkan Hall (1996, 1997) memulai dari Awal Eosen, 50 Ma. Meskipunrekonstruksi keduanya mempunyai perbedaan namun hampir semua penulis, Hamilton 1979;Tapponier et al. 1986; Daly et al. 1991; Hall 1996, 1997, berpendapat bahwa selama CenozoicSundaland dikelilingi oleh zone subduksi yang aktif. Hal itu terjadi oleh didesaknya (pecahnya)antara tumbukan India berumur Eosen ke arah barat daya dan tumbukan berumur Miosen yangdominasi arahnya ke timur dan tenggara, yang kemudian membentuk mosaik busur kepulauanyang komplek, kerak samudera yang kecil dan mikro-kontinen ubahan dari Australia. Kehadiranpengaruh kerak Benua Australia di bagian timur Indonesia menunjukkan bahwa tumbukandengan Benua Australia mempunyai aspek yang sangat penting dalam evolusi tektonik diIndonesia Timur (Hall, 1996), dan lekukan Eurasia hasil tumbukan dengan India memberikanperan lebih sedikit pada perkembangan tektonik di Asia Tenggara dalam hal ini Indonesia.Pergerakan ke utara Benua Australia lebih berperan dalam evolusi tektonik di Indonesia. Untukselanjutnya evolusi tektonik akan banyak merefer hasil rekonstruksi Hall (1996, 1997). Gambar3 adalah tatanan tektonik sekarang dari Hall 1997, dengan pengkodean warna serta posisi pulau-pulau utama di Indonesia. Gambar 4 dan 5 menunjukkan rekonstruksi tektonik lempeng AsiaTenggara dan sekitarnya dari Hall (1997). Gambar tersebut menggambarkan rekonstruksievolusi tektonik lempeng regional atau bisa disebut juga sebagai geodinamik tektonik lempengregional yang membentuk tatanan tektonik di Indonesia yang selanjutnya digunakan sebagaikerangka evolusi cekungan.

Pada akhir Eosen Awal, 50 Ma dapat dilihat posisi lempeng-lempeng India, Australia, Pasifik,Eurasia-Sundaland. Zone subduksi antara Lempeng Indian dan Eurasia berada melingkarmelewati pinggir Sumatra, Java, Sulawesi Barat. Australia dikelilingi passive margin yangterbentuk pada Jura Akhir. Mikro kontinen Kepala Burung Papua diatas kerak samudera terpisahdengan Australia. Benua Australia dan busur kepulauan telah membentuk ofiolit di pingir utaraPapua Nugini dan di Kaledonia Baru. Lokasi pemekaran antara kerak India dan Australia. Lokallokal rifting terjadi di Sumatra, Sumatra dan Jawa bagian utara, Jawa bagian Timur. Rifting inimembentuk cekungan tektonik seperti Cekungan Sumatra Utara, Tengah, Selatan, Natuna, JawaBarat Utara, Jawa Timur Utara.

Pada Eosen Tengah atau 40 Ma India dan Australia menjadi satu lempeng. Pemekaran terjadi ditengah-tengah Selat Makasar di bagian utara, Laut Celebes dan Cekungan Pilipina Baratmemisahkan Kalimantan dan Sulawesi. Pemekaran ini membentuk cekungan-cekungan di TimurKalimantan seperti Cekungan Kutai, Tarakan. Rifting terjadi di Sumatra, Laut China selatan

Page 6: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

6

bagian selatan dan Jawa Timur bagian utara. Dalam waktu yang hampir sama terjadi jugapemekaran Laut Caroline memisahkan bagian selatan dan utara.

Pada Oligosen Tengah, 30 Ma India menyodok Eurasia menyebabkan Indochina keluar sepertiterotasi searah jarum jam melalui pergerakan sesar-sesar utamanya. Laut China Selatan mulaiterbuka kemungkinan membentuk cekungan-cekungan di pinggir Indochina. Pada awal Miosen,20 Ma, tumbukan antara pinggir utara Kerak Australia dan mikro kontinen Kepala Burung Papuaterjadi sekitar 25 Ma, Ontong Java sampai ke Melanesia trench, kedua peristiwa inimengakibatkan pengaturan kembali batas-batas kerak yang sudah ada. Subduksi Laut Solomonmulai di pinggir timur Papua Nugini menghasilkan Busur Maramuni. Pingir utara Australiamenjadi sesar geser mengiri seiring dengan rotasi searah jarum jam Laut Pilipina dan KerakCaroline. Pergerakan cabang Sesar Sorong mengantarkan tumbukan fragmen Benua Australiamembentuk Sulawesi. Hal ini menyebabkan rotasi berlawanan jarum jam dari Kalimantan, Jawadan Sumatra serta fragmen yang berhubungan dengan Sundaland, mengeliminir pergerakansebelumnya di Laut China Selatan. Sistem sesar di Sumatra mulai timbul pada Miosen,kemungkinan mengakibatkan mulainya inversi di cekungan-cekungan di area Sumatra.

Pada Miosen Akhir (10 Ma) terrane Papua Nugini yang terbentuk di Busur Carloine Selatanmerapat ke Papua Nugini mengakibatkan sistem sesar geser mengiri terus bergerak ke barat.Pergerakan ke barat ini mengantarkan fragmen Sula dan Tukang besi bergabung membentukPulau Sulawesi oleh pergerakan Sesar Sorong dan menyebabkan rotasinya lengan timur danutara sulawesi seperti sekarang ini. Rangkaian peristiwa ini kemungkinan membentuk CekunganTomori merubah cekungan yang sudah peraah ada dari Australia. Rotasi Kalimantan sudahselesai namun sistem sesar di busur depan Sumatra mulai bergerak sebagai akibat pemekaranbaru di Laut Andaman. Kepala Burung Papua bergerak relatif ke utara sepanjang sesar geser diujung Cekungan Aru, yang memodifikasi cekungan-cekungan di Kepala Burung seperti Bintuni,Salawati. Kerak Benua berumur Mesozoik di utara Timor telah tereliminasi di ujung timurpemberhentian Palung Jawa oleh pergerakan ke utara Benua Australia yang membawa pinggirAustralia ke dalam palung sebagai busur volkanik inner Banda. Proses tersebut terus berlanjuthingga membentuk tatanan tektonik Indonesia seperti saat ini.

Evolusi tektonik telah mengontrol dan mempengaruhi terbentuknya cekungan. Di Indonesiaterdapat dua kelompok utama yaitu Indonesia Barat (Sundalan) dan Indonesia Timur. Cekungandi Indonesia Barat, sejak terbentuknya pada 50 Ma, sampai resen berada di lempeng benuayaitu pinggir kerak yang berasosiasi dengan subduksi. Dapat dikatakan bahwa cekunganIndonesia Barat terletak di tatanan tektonik yang relatif hampir sama dengan kisaran umur relatifsama, Tersier. Indonesia Timur mempunyai evolusi dan tatanan tektonik yang berbedacekungannya, berkembang dari tengah Benua Australia sebagai rift di tengah benua, kemudianterjadi pemekaran yang merubah cekungan menjadi di pinggir benua sebagi passive margin.Tektonik yang aktif merubah konfigurasi dan pergerakan lempeng, sebagai akibatnya adalempeng yang habis ada lempeng yang baru sehingga cekungannya berubah terutama cekunganyang ada di pinggir lempeng. Perubahan cekungan ini karena proses perubahan tektonik yangmelibatkan percampuran kerak benua dan kerak samudera dengan mekanisme subduksi,pemekaran, collison, docking micro continent.

Page 7: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

7

Gambar 3. Tatanan tektonik sekarang reginal Asia Tenggara dan Pasifik barat daya. Garis putihmerupakan anomali magnetik. Garis merah merupakan pemerakaran yang aktif. Garis putihbergerigi adalah zone subduksi. Garis putih tebal merupakan zone sesar geser. Lempeng Pasifikwarna hijau-cyan. Area dengan warna hijau muda busur didominasi oleh ofiolit dan tersusun olehmaterial akresi terbentuk pada pinggir lempeng Cenozoic. Area dengan warna cyan adalah busurbawah laut, titik panas hasil dari volkanik, dan oceanic plataeu (dataran tinggi samudera).Kuning muda adalah laut di pinggir kerak benua Eurasia. Isian warna ungu tua dan mudamewakili laut di pinggir kerak benua Australia.

EURASIA

PACIFICPLATE

INDIANPLATE

AUSTRALIA

INDIA

ANTARTICA

Sumatra Borneo

Indochina

Java

Sunda Shelf

South China

PHILIPINESEA

PLATE

PapuaSulawesi

NewZeland

120oE 150

oE90oE 60

oS

40oS

20oS

20oN

40oN

Page 8: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

8

Gambar 4. Evolusi tektonik Sundaland dari akhir Esoen Awal 50 Ma (a) sampai Miosen Awal (d) merupakan zone subduksi, rifting(a,b,c) dan rotasi berlawanan arah jarum jam (d); Bagian timur Indonesia, passive margin hasil rifting Jura awal menjadi tumbukan diakhir Eosen Awal sampai akhirnya terjadi tumbukan tepi Benua Australia dan bagian timur Papua Nugini pada Miosen Awal (d).

Page 9: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

9

Gambar 5. Miosen Tengah sampai sekarang Sundaland merupakan zone subduksi (a - d). Bagian Timur sejak Miosen Tengahsampai Pliosen terjadi perubahan tatanan tektonik yang sangat aktif. Salah satunya merapatnya terrane Papua Nugini ke PapuaNugini yang terus bergerak ke barat sehingga fragmen Sula dan Tukang besi bergabung membentuk Pulau Sulawesi.

Page 10: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

10

Evolusi Tektonik Stratigrafi

Salah satu model evolusi tektonik stratigrafi Asia Tenggara hasil dari pengintegrasian datastratigrafi dari berbagai cekungan utama dengan evolusi tektonik dikemukanan oleh Longley(1997). Empat fase evolusi tektonik Asia Tenggara dikemukan sebagai berikut :

1. Stage I (50-43.5 Ma) pada saat dimana tumbukan India-Eurasia bernuka dan bersamaandengan proses subduksi dibawah Eurasia selatan. Tumbukan (collision) kerak benua telahmenyebabkan sebuah perlambatan laju pemerakan (spreading) di Samudera Indiamenurunkan kecepatan konvergensi sepanjang sistem busur subduksi Sunda danmengakibatkan fase ekstensi di area-area busur depan (fore arc) dan busur belakang(back arc). Cekungan rift yang terisolasi di busur depan dan wilayah Jawa Timur telahterisi oleh endapan transgressive diteruskan endapan laut terbuka oleh karena cekungan-cekungan ini merupakan rendahan atau lembah di ujung Kraton Sunda, sedangkan Lautpada Eosen Tengah tidak bisa menembus ke dalam cekungan rift di busur belakang diKraton Sunda seperti Sumatra dan Jawa Barat utara yang terisi oleh sekuen endapanfluvial-lakustrin.

2. Stage II (43.5-32 Ma) telah dipicu oleh penghentian subduksi saumdera dibawah zonatumbukan India-Eurasia. Hal ini mengunci sistem pemekaran di Samudera India dan telahmenyebabkan pengaturan kembali lempeng-lempeng utama di India, Samudera Pacifikdan Selatan. Pengaturan kembali lempeng di Samudera India telah melambatkan lajukonvergensi namun sekali lagi sepanjang Busur Sunda menghasilkan fase keduaperetakan (rifting) dan endapan-endapan cekungan rift. Pengaturan kembali lempeng diSamudera Pasifik telah mengakibatkan ekstensi di Laut China Selatan dan pengendapansekuen fluvial-lakustrin dalam cekungan rift yang terisolasi, sedangkan di areaKalimantan Timur sebuah sistem retakan yang tidak sempurna (a failed rift system) diSelat Makasar mengakibatkan cekungan-cekungan rift yang terisolasi telah diisi dengansekuen delta dan laut yang tertutup oleh melamparnya shale endapan post-rift.Tumbukan besar yang pertama dari blok Luconia Shoals dengan sebuah sistem subduksisepanjang pinggir Borneo Barat Utara mengakibatkan pengendapan sekuen deltaa diBalingian.

3. Stage III (32-21 Ma) adalah bersamaan dengan fase pertama pemekaran di Laut ChinaSelatan dimasa dimana seluruh area bagian selatan benua yang terpisahkan oleh satupatahan bergeser dan bergabung menjadi Laut China Selatan. Tanjung Thailandmengalami rotasi searah Jarum Jam dengan pusat perputaran di kepala Tanjung Thailand.Rotasi blok ini membentuk Cekungan Malay didalamnya terendapkan sekuen fluvial-lakustrin yang cukup besar. Rotasi ini juga telah menghasilkan sebuah fase penurunanlaju konvergensi dan inversi di sepanjang Busur Sunda sebagai akhir rifting di cekungan-cekungan yang terkait. Pengisian endapan selanjutnya di cekungan-cekungan ini terekamsebagai endapan transgresi laut yang diinterpretasikan sebagaian karena eustasi dansebagaian yang lain karena subsidence berhubungan dengan permulaan fase post riftthermal sag. Lain halnya di Kalimantan Timur diendapkan sekuen karbonat dan endapanlaut yang luas, di Laut China Selatan terjadi lingkungan laut yang menutup endapantransgresif delta dengan endapan laut dan endapan karbonat pada posisi lebih distal.

4. Stage IV (21-0 Ma) telah diawali oleh berhentinya fase pertama pemekaran di Laut ChinaSelatan yang disebabkan oleh subduksi Blok Baram dengan Borneou barat Utara.Peristiwa ini diinterpretasikan bersamaan dengan permulaan pemampatan di Tibet

Page 11: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

11

melalui rotasi blok dan ekstrusi lateral sepanjang sesar geser. Tumbukan utama, adalahhasil yang tidak bisa dihindarkan terutama akibat konfigurasi yang sudah mapan olehpengaturan kembali kerak pada 43.5 Ma, tahap ini terjadi menyeluruh di area Borneobarat utara, Sulawesi dan Timor dan bersamaan dengan rotasinya Sumatra dan ekstrusiyang berhubungan dengan pensesaran wrench di Malaysia dan Natuna barat danCekungan Bac Bo atau Yinggehai telah menghasilkan inversi struktur yang luas danpengisian cekungan dengan sekuen yang sangat bervariasi. Eustasi yang tinggi di MiosenTengah menandakan periode maksimum dari transgresi laut di atas Sundaland danpengendapan yang luas shale laut. Hal ini telah diikuti oleh dominasi sekuen regresifyang disebabkan oleh turunnya eustasi pada 5 dan 10 Ma.

Pembahasan evolusi tektonik stratigrafi Indonesia telah banyak ditulis, salah satu yang terbaruadalah evolusi tektonik stratigrafi yang dikemukakan oleh Doust dan Sumner 2007, Doust danNoble 2008. Tiga fase evolusi tektonik dari Doust dan Sumner 2007 di area Asia Tenggara telahdidetailkan untuk Indonesia menjadi empat fase utama evolusi tektonik stratigrafi oleh Doustdan Noble 2008 yaitu :

1. Synrift awal (biasanya Eosen sampai Oligosen) berhubungan dengan periode bentukanrift graben dan diikuti periode penurunan yang maksimum. Seringkali pengendapandibatasi awal pembentukan half graben.

2. Synrift akhir (Oligisen akhir sampai Miosen Awal) pada periode ini penurunan dalamgraben semakin berkurang, saat beberapa individu rift bergabung menjadi satumembentuk lowland yang luas yang terisi oleh endapan paralic.

3. Postrift awal (biasanya Awal sampai Miosen Tengah) merupakan periode tektonik yangstabil (tenang) diikuti oleh endapan-endapan transgresi yang menutup topografi grabenyang horst yang ada.

4. Postrift akhir (biasanya Miosen Tengah sampai Pliosen) berhubungan dengan periodeinversi dan perlipatan, sepanjang periode ini terbentuk endapan regressi delta.

Setelah akhir postrift diikuti dengan sebuah periode transgresi akhir yang dicirikan denganendapan-endapan berumur Kuarter. Endapan Kuarter dari sudut petroleum sistem bukan endapanyang menjadi habitat migas, namun mempunyai arti penting dalam evolusi tektonik stratigrafi.

Evolusi tektonik stratigrafi ini lebih banyak megacu kepada evolusi tektonik Sundaland dancekungan-cekungan Tersier, namun demikian Doust dan Noble 2008 berusaha untukmengaplikasikan ke Indonesia Timur dengan penempatan waktu yang berbeda. Ringkasanevolusi tektonik stratigrafi Indonesia oleh Duoust dan Noble (2008) dapat dilihat di Gambar 6.Fase evolusi tektonik stratigrafi Indonesia sesuai dengan tahapan evolusi tektonik stratigrafi AsiaTenggara yang dikemukakan oleh Longley (1997), terutama di Indonesia Barat. Namundemikian evolusi tektonik stratigrafi Asia Tenggara oleh Longley (1997) belum membahastektonik stratigrafi Indonesia Timur, sehinga tidak bisa dilakukan perbandingan.

Apabila evolusi tektonik stratigrafi Indonesia yang ada dihubungkan dengan evolusi tektonikdari Hall, 1997 mempunyai kecocokan. Sundaland pada Eosen, 50 Ma (Gambar 4.a.) sampaioligosen tengah, 30 Ma (Gambar 4.b) di bagian utara Sumatera, sebelah utara Sumatera dansebelah utara Java terjadi periode rifting, merupakan fase pertama dari tektonik stratigrafi.Endapan pada periode ini adalah endapan darat dan atau selang seling dengan endapan transisi

Page 12: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

12

pada cekungan-cekungan graben dan half graben yang terpisah-pisah berarah tegak lurusdengan arah riftingnya. Gambar 7 menunjukan penampang stratigrafi dari cekungan diSundaland dari Sumatra, Jawa dan Kalimantan, menunjukan bahwa Formasi seperti FormasiTalangakar, Lahat, Lematang, Manggalla telah dikenal sebagai endapan-endapan darat-transisi,endapan synrift. Sedangkan fase kedua, synrift akhir diwakili oleh endapan-endapan neritik, lautterbuka sampai endapan laut dalam pada cekungan yang lebih luas hasil penggabungan daribeberapa half graben. Endapan-endapan batugamping berada di tinggian-tinggian horst di akhirfase kedua ini, mulai terjadi rotasi berlawanan arah jarum jam di Sumatra, Jawa dan Borneo pada20 Ma, Awal Miosen. Fase evolusi tektonik ketiga, postrif awal, ditandai dengan Tektonik yangstabil dengan endapan-endapan transgressi seperti Formasi Baong, Petani, Air Benakat danNgrayong. Gejala lokal terjadi di cekungan Jawa barat Utara dimana fase ketiga masih terisiendapan laut terbuka sampai neritik yaitu Formasi Parigi dan Cibulakan. Fase keempat, akhirpost rift ditandai dengan endapan deltaik Formasi Keutapang, Minas, Muara Enim, Cisubuh.Pada fase ini Cekungan Jawa Timur bagian utara terlihat tersusun oleh endapan neritik dan lautterbuka, hal ini merupakan gejala lokal di Cekungan ini.

Penampang stratigrafi dari Bintuni dan Salawati sebagai Cekungan yang sudah terbukti sebagaipenghasil migas dan penampanag stratigrafi dari Timor, Seram dan Tanimbar dari Cekunganyang pernah dieksplorasi namun belum mempunyai arti ekonomi, mewakili Indonesia Timurdapat dilihat di Gambar 8. Pendekatan oleh Doust dan Noble (2008) untuk Indonesia Timurdengan mendefinisikan sebagi fase tenang (quiscene) sangat panjang setelah periode synrift(Gambar 8) di Pre Tersier merefer ke Cekungan Bintuni-Salawati-Bula. Jika dibandingkanantara Stratigrafi Cekungan Bintuni-Salawati-Bula dan Timor-Seram-Tanimbar sangat berbeda.Pada Perm-Cretaceous Cekungan Bintuni-Salawati–Bula didominasi endapan synrift fluviodeltaic, sedangkan di Cekungan Timor-Seram-Tanimbar sudah terusun oleh endapan laut darilaut dalam sampai shelf, kemungkinan sudah fase awal post rift. Fase post rift (quescene) sangatlama di Indonesia Timur menjadi tidak sesuai dengan evolusi tektonik sangat dinamis diIndonesia Timur pada Tersier.

Evolusi tektonik stratigrafi di Indonesia Timur sangat berbeda dengan di Sundaland. Evolusitektonik stratigrafi Indonesia Timur melibatkan sekuen sedimen yang lebih tua, Pre Tersier,Permian sampai Kapur berasal dari bentukan potongan-potongan Pinggir Benua Australia yangmasuk kedalam zone tumbukan sistem Busur banda di Indonesia Timur pada Tersier tengah danakhir. Indonesia Timur memerlukan model evolusi tektonik stratigrafi tersendiri untukmenjelaskan evolusi cekungannya. Untuk endapan Tersier di Indonesia Timur, walaupunlingkungan pengendapan dan perkembangan litofasiesnya dapat dikenali, namun demikianperkembangan cekungan synrift sampai postrift Tersier tidak dapat langsung diterapkan sepertidi Sundaland.

Page 13: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

13

Gambar 6. Ringkasan kronostratigrafi dari cekungan-cekungan penghasil minyak di Indonesia (Doust dan Noble 2008).

Page 14: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

14

Gambar 7. Penampang stratigrafi Sumatra, Jawa dan Kalimantan (modifikasi dari Doust dan Noble, 2008)

Page 15: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

15

Gambar 8. Penampang stratigrafi bagian timur Indonesia A. Modifikasi dari Doust dan Noble, 2008, legenda lihat Gambar 7. B.diambil dari Charlton, 2004.

A B

Page 16: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

16

Klasifikasi Cekungan Tektonik

Klasifikasi cekungan berdasarkan tektonik lempeng telah banyak dikembangkan oleh banyakpenulis. Morgan (1968), Le Pichon (1968), Isak et al (1968), Dickinson (1974) dan lain-lainnyatelah memberikan pemahaman dasar tentang pengelompokan tatanan tektonik cekungan yangmengunakan elemen dasar dari batas lempeng di konsep tektonik lempeng, seperti tumbukan(convergent), pemekaran (divergent), pergeseran (transform). Beberapa klasifikasi cekunganberdasarkan tektonik lempeng telah ditulis antara lain Klemme (1980), Bally dan Snalson (1980)yang dimodifikasi oleh John (1984), Stoneley (1981), Kingston et al. (1983), Helwig (1985).

Tatanan tektonik cekungan yang timbul dari tiga batas lempeng dan fitur-fitur ikutannya telahmenjadi dasar untuk klasifikasi cekungan (Klemme, 1980; Stoneley, 1981) yang kelihatanmenawarkan kerangka klasifikasi obyektif dan komprehensif. Namun demikian penggunaanpengelompokan tektonik untuk cekungan kadang mengesampingkan perubahan variasi dankekomplekan evolusi tektonik stratigrafinya, atau terkadang satu rangkaian cekungan yangpanjang berassosiasi dengan subduksi dianggap sebagai satu jenis cekungan dengan asal usulyang sama. Klasifikasi Klemme (1980) terlihat tidak konsisten dari sudut tektonik lempengdengan dimasukannya delta sebagai salah satu klasifikasi cekungan, dan kerak samudera tidakdipertimbangkan sebagai pembentuk cekungan. Bally dan Snalson (1980), John (1984)memberikan pendekatan yang lebih lengkap dengan memasukan parameter tektonik cekunganyang lebih luas, memasukan parameter mekanikal, termal, litologi penyusun. Klasifikasi Ballytelah dicoba diterapkan namun terlihat bahwa penerapan lebih applikatif di pinggir benua denganskala yang luas. Stoneley (1981) menawarkan klasifikasi dengan mempertimbangkan posisitektonik, bentuk dan mekanikal cekungan serta kreteria modifikasi yaitu pre-basin litosfir,geometri dan peristiwa post-basin. Klasifikasi ini terkesan sangat terpadu namun belummenjawab bagaimana sebuah cekungan dapat berubah secara vertikal sesuai evolusi tektonikstratigrafinya. Unsur sediment fan dan erosional membuat penerapan klasifikasi ini sedikitcampur aduk dengan terminologi sedimentologi. Klasifikasi Kingston et al. (1983)menawarkan klasifikasi cekungan yang lebih terbuka dan dapat menjawab perubahan cekunganakibat evolusi tektonik stratigrafi. Klasifikasi ini menawarkan penamaan dalam skala luas danluwes sampai ke dalam skala sub basin untuk keperluan lebih detail, sehingga terkesan rumit.Pemakaian istilah baru yang terdengar asing seperti fracture, sag memungkinkan untuk lebihmengakomodasi istilah mekanikal cekungan yang lebih dasar seperti rift, flexure. KlasifikasiKingston et al. (1983) mempertimbangkan juga perubahan vertikal pengisian sedimen di dalamcekungan. Satu hal yang menjadi kelebihan klasfikasi ini adalah bahwa cekungan yang komplekbisa dijelaskan dengan rangkaian cekungan sederhana dengan evolusi tektonik stratigrafinyabeserta tektonik pengubahnya.

Cekungan sedimen dengan sejarah yang kompleks biasanya akan dibagi menjadi beberapa siklus(cycle) atau stage atau fase. Kingston et al. (1983) mengelompokkan cekungan melalui unitdasar yang disebut siklus. Satu siklus mewakili sedimen yang terendapkan dalam satu episodetektonik. Terkadang satu cekungan hanya mempunyai satu siklus pengendapan atau satu siklustektonik terkadang lebih dari satu siklus. Disebut sebagai cekungan sederhana jika hanyamempunyai satu siklus pengendapan / tektonik dan Cekungan cekungan polyhistory basin ataumudahnya disebut dengan cekungan rumit (complex basin) jika mempunyai lebih dari satu sikluspengendapan / tektonik. Pada prakteknya penyebutan siklus akan mewakili cekungan yangsederhana. Cekungan sederhana atau rumit dapat diklasifikasikan dengan menganalisa sejarah

Page 17: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

17

geologinya dalam konteks tektonik lempeng. Unsur-unsur penting dalam analisa sejarah tektonikadalah sekuen pengendapan, bentukan cekungan tektonik dan modifikasi cekungan tektonik.Klasifikasi untuk cekungan sederhana atau untuk mengenali keberadan siklus di polyhistorybasin dapat menggunakan diagram klasifikasi seperti di Gambar 9.

Gambar 9. Kunci untuk pengenalan cekungan atau siklus dalam bentukan cekungan tektonik.Kingston et al. (1983).

Elemen utama pertama dalam klasifikasi cekungan ini adalah sekuen pengendapan. Sebuahsiklus dedifinisikan sebagai pengendapan sedimen selama satu periode tektonik. Unit stratigrafiterkecil (minimum) yang dapat disebut sebuah siklus harus diwjudkan dengan perkembangancekungan yang signifikan, bisa dalam ketebalan sedimen atau jangka waktu geologi. Asumsi inimemberikan kemudahan untuk menyederhanakan unit-unit tipis endapan lereng atau endapanyang membaji, yang kemungkinan terbentuknya memerlukan waktu yang lama, menjadibeberapa siklus saja atau sebaliknya memisahkan endapan prograding yang tebal menjadi unitstratigrafi yang lebih mudah dikenali. Gambar 10 menunjukan hubungan stage pengendapandan siklus tektonik. Satu siklus pengendapan diwakili oleh tiga stage pengendapan yangdicirikan stage pertama wegde base, stage kedua wedge middle dan stage ketiga wedge top, tigastage ini mewakili tiga elemen dari satu wegde transgresi-regresi yang utama. Tiga stage darisatu siklus dapat didekati sebagai berikut :

1. Stage 1 dari siklus berhubungan dengan wegde base dari endapan darat. Hal ini yangpaling utama meliputi endapan dataran banjir, lagoon, dan endapan pantai, jika dapat

Page 18: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

18

dipisahkan. Tipe batuan biasanya konglomerat darat, batupasir dan serpih. Batuan lainnyayang khas namun jarang dijumpai adalah red beds, batubara, endapan volkanik, danbatugamping air tawar. Jika endapan wegde base ini tebal dan lebih dari setengahnyaendapan darat, dapat dikelompokan sebagai stage 1.

2. Stage 2 endapan laut wegde middle. Jenis batuan yang umum dijumpai disini adalahserpih laut, batugamping dan batupasir. Semua garam yang masif termasuk di stage ini,secara teori endapan evaporit yang tebal secara umum menunjukkan sebagai endapan lautatau minimal mengering di pinggir laut atau ujung laut. Endapan evaporit yang masifmengindikasikan pengendapan di interior basin. Batuan lain yang kadang dijumpaiadalah endapan volkanik, batubara laut, endapan flysh dan turbidit lainnya, napal lautdalam dan endapan pelagik. Pada stage 2 ini kemungkinan mengandung endapan daratdari lidah pengendapan darat yang tidak melebihi 50 % dari total endapan.

3. Stage 3 adalah wegde top endapan darat dan berasosiasi dengan ketidakselarasanregional. Secara litologi serupa dengan stage 1 lebih dari 50% endapan daratkonglomerat, batupasir, serpih, red beds, batubara, batugamping air tawar, dan sedikitendapan evaporit. Ketidakselarasan di bagian atas setelah pembajian atas termasuk dalamstage ini.

Gambar 10. Hubungan antara stage dan siklus dari pengendapan wedge. (A) Transgresi wedgebase (stage 1), wedge middle (stage 2), dan regresi wedge top dengan ketidakselarasn di bagianatasnya (stage 3). Garis putus-putus di tenga-tengah merupakan batas stage. (B) Pengendamanwedge dimana stage 3 dan sebagian stage 2 terpotong oleh ketidakselarasan

Deskripsi stage pengendapan harus mulai dari pusat siklus pengendapan di dalam Cekungan ataudari bagian yang paling tebal dari wegde pada cekungan yang membuka ke arah laut terbuka.Penampang untuk konsep wegde dapat dilihat di Gambar 10A, hal ini menjadi bukti bagiancekungan yang dipelajari sangat jauh updip, setelah pembajian endapan laut, garis c, terlihathanya dua stage endapan darat yang bisa dikenali yaitu 3 dan 1, sebaliknya dengan gambar yangsama di bagian jauh downdip, garis a, hanya stage 2 wedge laut yang bisa dideskripsi.

Elemen utama kedua dalam klasifikasi Kingston et al. (1983) adalah tektonik pembentukcekungan yang mempunyai tiga parameter yaitu pertama, jenis dan komposisi kerak dibawahcekungan, benua atau samudera, jika ada intermediate biasanya bisa dipecahkan dengan berbagaicara; kedua, tipe pergerakan kerak pembentuk cekungan yaitu divergen dan konvergen.

Page 19: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

19

Pergerakan kerak transform tidak dipertimbangkan dalam klasifikasi Kingston et al. (1983)karena pergerakan transform yang sempurna saling menyamping sangat jarang membentukcekungan. Konvergen dengan sudut kecil terlihat sebagai wrench atau foldbelts dan divergendengan sudut kecil terlihat sebagai sesar normal atau saging. Parameter ketiga adalah posisicekungan di kerak (di dalam atau di pinggir kerak) dan struktur utama yang terlibat dalamcekungan (sagging, normal faulting, atau wrench). Kombinasi ketiga parameter secara teoritismemberikan 10 model cekungan sederhana. Dua diantaranya yaitu OTA dan OF tidak dibahasdalam konteks model yang praktis karena kedua tidak dipertimbangkan sebagai cekungan yangprospek migas, jadi hanya 8 siklus secara teoritis dan 8 siklus model praktis. Kedelapansiklus/cekungan sederhana terdiri dari 4 katagori utama dan 4 kategori minor ditinjau dari suduteksplorasi migas, secara umum migas terbentuk di empat siklus mayor di kerak benua. Keempatsiklus mayor adalah interior sag (IS), interior fracture (IF), margin sag (MS), wrench (LL),sedangkan yang minor adalah trench (T), trench associated (TA), oceanic sag (SG) dan oceanicwrench (OSLL). Sebagai gambar keempat siklus mayor dapat dilihat di Gambar 11 s/dGambar 14.

Gambar 11. Perkembangan cekungan interior sag (IS) (Kingston et al., 1983)

Page 20: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

20

Gambar 12. Perkembangan cekungan interior fracture (IF) (Kingston et al., 1983)

Gambar 13. Perkembangan cekungan margin sag (MS) (Kingston et al., 1983)

Page 21: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

21

Gambar 14. Perkembangan cekungan wrench (LL) (Kingston et al., 1983)

Sebagain besar cekungan mempunyai lebih dari satu siklus ditambah perubahan peristiwa-peristiwa tektonik atau struktur penngubah. Cekungan yang mempunyai lebih dari satu siklusbisa didekati dengan polyhistory basin dan jika sudah mengalami modifikasi tektonik ataustruktur dapat didekati secara terpisah.

Elemen ketiga adalah tektonik pengubah cekungan. Cekungan atau siklus yang terbentuk baiksingle atau polyhistory kemungkinan berubah di perjalanan evolusi tektonik. Ada tiga jenistektonik pengubah cekungan yaitu episodic wrench (L), adjacent (wrendh) foldbelt (FB) dancomplete folding dari sebuah cekungan (FB3) yang merupakan formasi foldbelt.

Episodic wrench (L) mewakili arti yang luas dari pergerakan lateral tidak berhubungan denganasal cekungan atau siklus. Episodic wrench terjadi oleh berbagai hal dan dijumpai di dalamcekungan disemua kemungkin umur termasuk basement. Pergerakan itu bisa berasal dari zonelemah yang berumur lebih tua yang bergerak secara periodik atau episodik merespon pergerakanlempeng. Pergerakan lempeng diwujudkan oleh tumbukan lempeng, rotasi, fragmentasi atausubduksi. Foldbelts disebabkan oleh konvergen dari dua atau lebih lempeng. Area cekunganyang terperangkap dalam konvergen bisa semuanya terlipat atau sebagaian terlipat. Cekunganyang tidak terlipat semuanya tidak termasuk dalam foldbelt tetapi wrench foldbelt, sedangkanyang terlipat semuanya disebut formasi foldbelt (FB3). Adjacent (wrendh) foldbelt biasanyaterletak dibatas cekungan yang relatif tidak terlipat dan berkurang dengan jaraknya, dinotasikansebagai FB. Efek dari variasi perbedaan intensitas pergerakan lateral L dan variasi foldbeltdipinggir cekungan digambarkan di Gambar 15. Beberapa hal yang perlu digarisbawahi

Page 22: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

22

Gambar 15. Variasi perkembangan tektonik pengubah cekungan untuk episodic wrench (L) adjacent (wrench) foldbelt (FB) danfoldbelt (FB3) (Kingston et al., 1983)

Page 23: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

23

berhubungan dengan L dan FB adalah pertama pengaruh tektonik pengubah bervariasi, cekungansudah terbentuk terlebih dahulu oleh proses yang lain; kedua, episodic wrech (L) dapat berubahmenjadi wrench foldbelt (FB) sepanjang zonanya karena tingginya derajat / tingkatpergeserannya. Beberapa foldbelt disebabkan oleh pergerakan pergeseran atau konvergen dengansudut yang rendah; ketiga, modifikasi ini lebih melihat perubahan kepada cekungan bukanmelihat proses wrench dan folbelt-nya. Sebagai contoh pergerakan wrench mungkin sangatintensif secara lokal namun tidak merubah seluruh cekungan.

Foldbelts (FB3) mewakili suture dimana lempeng pernah atau sedang mengalami tumbukan.Tumbukan menghasilkan kompressi dan pergerakan shear yang menyebabkan batuan terlipatdan tergeserkan. Jika batuan ultra mafik, serpentinit, rijang, volcanic flysh dan sedimen lautdijumpai di foldbelt, diasumsikan bahwa kerak saumdera telah dihancurkan oleh subduksi atautumbukan lempeng dan foldbelt suture merubah semua yang tertinggal hanya sisa sisa lempengsamodera. Enam jenis foldbelts (FB3) ditunjukkan di Gambar 15, model keenam dari enammodel disebut unknown model untuk mengakomodasi jika di alam masih ada cekungan yangbelum bisa diakomodasi dengan klasifikasi ini. Tiga dari enam yaitu FB3B, FB3F dab L3FBtelah diketahui memproduksikan migas.

Penggunaan klasifikasi Kingston et al. (1983) pada cekungan polyhistory dan cekungan yangsudah terubah oleh tektonik memakai pendekatan siklus termuda dan tektonik yang merubahpaling akhir dituliskan pada posisi yang pertama. Contoh : siklus 1 adalah interior fracture,siklus 2 interior sag, kemudian tertutup oleh siklus ketiga MS dan cekungan mengalami uplifthingga tilting menjadi asimetri maka jenis cekungan adalah: Le/MS321/IS321/IF321. Contohlain penggunaan klasifikasi ini dapat dilihat di Gambar 16.

Penentuan Jenis Cekungan Tektonik

Langkah pertama yang diperlukan dalam klasifikasi cekungan tektonik adalah peta tatanantektonik dan evolusi tektonik stratigrafi dari cekungan yang akan dievaluasi. Evolusi tektonikstratigrafi dapat berupa rekonstruksi back steping sejarah geologi, kronostratigrafi. Semakindetail dan akurat data akan menghasilkan pengelompokan yang lebih teliti.

Untuk memahami klasifkasi cekungan tektonik apat didekati dengan menerapkan klasifikasiKingston et al. (1983) mengampil empat contoh dari cekungan yang berbeda. Sumatra danJawa mewakili jenis cekungan yang sama, yaitu cekungan busur belakang atau Kingston et al.(1983) mengklasifikasikan sebagai wrench (LL) dan trench associated (TA) (Gambar 14).Sumatra sebagai berikut trench (T) di bagian selatan, Cekungan mentawai (TA), CekunganSumatra (LL) dan Cekungan Malay (LL). Apakan Jawa dan Sumatra dengan klasifikasi yangsama mempunyai polyhitory yang sama?. Dua cekungan ini akan didefinikan jenis cekungansecara lebih detail berdasarkan tektonik stratigrafinya untuk menjawab pertanyaan tersebut.Contoh yang kedua dan ketiga berasal dari Indonesia Timur yaitu Cekungan Salawati danTomori. Cekungan ini memberikan gambaran bagaimana klasifikasi polyhistory dapat menjawabpengaruh evolusi tektonik dalam perubahan jenis cekungan. Keempat contoh ini dapatmemberikan beberapa kunci perbedaan penamaan jenis cekungan-cekungan di Indonesia Baratdan Indonesia Timur.

Page 24: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

24

A

B

Gambar 16. Contoh Penggunaan pada cekungan polyhistory. A. Cekungan divergen yangterubah oleh tektonik wrench dan foldbelt. B. Contoh dari Semenanjung Persi (Kingston et al.,1983)

Page 25: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

Cekungan Sumatera Utara bdapat dikelompokan ke cekunganCekungan dalam kelompok konvergen akibatyang lengkap (LL321) cekungan terbentuk pada saat(Gambar 4), yang mengalamikonfigurasi cekungan. Stagesebagai reservoir dan seal. Adanyasecondary migrasi.

Gambar 17. A. Ringkasan tektonik stratigrafi diambil dari Doust dan Noblestage dan penentuan tipe cekungan menurutadalah La/LL321. B. Skematik Cekungan Sumatera UtaraPenampang geologi memotong sumater

berdasarkan Evolusi Tektonik stratigrafi daridapat dikelompokan ke cekungan wrench merupakan berjenis La/LL321

dalam kelompok konvergen akibat wrench (LL) dengan stagecekungan terbentuk pada saat rifting Sumatra pada Eocene

yang mengalami episodic wrench (La) yang lemah dan tidak sampai mengubahStage 1 kemungkinan besar sebagai source rock

dan seal. Adanya episodic wrench kemungkinan akan mempengaruhi

A

B

C

A. Ringkasan tektonik stratigrafi diambil dari Doust dan Nobledan penentuan tipe cekungan menurut Kingston et al. (1983), Cekungan Sumatera Utara

B. Skematik Cekungan Sumatera Utara (Doust dan Sumner 2007). C.Penampang geologi memotong sumatera, posisi potongan lihat inset.

25

dari Doust (2008) makaLa/LL321 (Gambar 17).stage sekuen pengendapan

Sumatra pada Eocene-Oligosen(La) yang lemah dan tidak sampai mengubah

dan reservoir, stage 2kemungkinan akan mempengaruhi

A. Ringkasan tektonik stratigrafi diambil dari Doust dan Noble (2008), penentuanCekungan Sumatera Utara

(Doust dan Sumner 2007). C.

Page 26: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

26

Cekungan Jawa Timur Utara memperlihatkan gejala perkembangan cekungan LL yang lain.Setalah siklus wrench dengan stage lengkap (LL321) ditandai dengan pengangkatan cekungandan erosi di pinggir cekungan, dilanjutkan adjacent foldbelt dipinggir selatan cekunganmenyebabkan gejala enchelon fold ? (FBd) , pada khirnya endapan darat Kuarter (LL1) mulaimenutup cekungan ini (Gambar 18).

Gambar 18. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Jawa Timur Utara, LL1/FBd/LL321.

Cekungan Salawati mewakili dari Indonesia Timur mempunyai cekungan yang sangat tua dari

Permian sampai Pliosen. Namun demikian data-data Tersier jauh lebih lengkap dibanding data-

data batuan berumur lebih tua. Rekonstruksi sejarah geologi terbatas juga di Tersier. Cekungan

Tersier Salawati bertipe Lf/FBd/MS32/FBc, batuan lebih tua kemungkinan diendapkan pada tipe

cekungan MS321?/FBc?/MS2?. Secara lengkap Cekungan Salawati dapat dikelompokan sebagai

Lf/FBd/MS32/FBc/MS321?/FBc?/MS2?, yaitu cekungan marginal sag yang mengalami wrench

Page 27: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

27

foldbelt sehingga membentuk lipatan di pinggir cekungan, di akhir pembentukan terjadi

adjancent wrench yang sangat kuat sehingga foldbelt semakin kuat Gambar 19.

Gambar 19. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Salawati di Papua

Page 28: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

28

Penamaan cekungan akan semakin kompleks jika evolusi tektonik tektoniknya tidak sederhana,

sebagai contoh untuk Sulawesi sekitar Tomori ke timur (Gambar 20). Pada awalnya evolusi

tektonik dari Australia merupakan rifting di kerak benua dapat dikelompokkan sebagai interior

fracture dengan kemungkinan mempunyai stage 1 s/d 3 dari sekuen pengendapan (IF321)

sebagai siklus 1, siklus kedua pada passive margin atau margin sag kemungkinan stage 2

berkembang karena jauh dari tepi cekungan sebelah (MS2). Siklus ini terjadi sampai Miosen

Awal, berlanjut dengan fase tumbukan dengan posisi di pinggir kerak berupa subduksi

menghasilkan endapan berasosiasi dengan trench (TA). Setelah periode tumbukan kerak benua

atau fase kompressi terjadi episodic wrench dan wrench foldbelt yang merubah tatanan

tektonik, terjadi pengangakatan, erosional, wrench sehingga merubah posisi dan jenis cekungan.

Cekungan berubah menjadi Fbe/Lf/TA/MS2 di bagian barat, LL1(?)/FBc/MS2/La/IF321 di

bagian tengah dan terdapat cekungan baru IF dan MS berada di atas cekungan yang lain.

Gambar 20. Penentuan jenis cekungan untuk Cekungan Tomori di Sulawesi

Page 29: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

29

Penentuan jenis cekungan dengan klasifikasi Kingston et al. (1983) dapat secara mudahdilakukan di cekungan sederhana maupun cekungan kompleks. Cekungan kompleks dapatdidekati dengan polyhistory. Penentuan cekungan secara rinci dapat melihat evolusi tektonik dicekungan tersebut. Sebagai contoh Jawa dan Sumatra, meskipun sama-sama dikelompokandalam cekungan wrench (LL) namun evolusi tektoniknya sangat lain dan dapat terekam dalampenamaan jenis cekungan (Gambar 17 dan 18).

Perbedaan evolusi tektonik Cekungan Indonesia Timur dan Cekungan Indonesia Barat dapatdidefinisikan dengan baik oleh penentuan dan penamaan dengan klasifikasi ini. CekunganIndonesia Barat dimulai dari jenis wrench (LL), dan trench associated (TA) dengan tektonikpengubah cekungan adjacent wrench (L) dan wrench foldbelt (FB). Cekungan Indonesia Timurdimulai dari interior fracture (IS) atau margin sag (MS) yang mengalami adjacent wrench (L)dan wrench foldbelt (FB) atau berubah lebih kompleks menjadi LL, TA atau menjadi cekunganbaru IF seperti yang terjadi di Cekungan Tomori (Gambar 20). Evolusi cekungan tektonikCekungan Tomori sangat kompleks, dari MS e IF dan LL, disebabkan oleh perubahan bataslempeng yang sangat dinamis, beda halnya dengan Cekungan Salawati yang cenderungmempertahankan kehadiran MS. Hal dapat dijadikan titik awal untuk pendefinisikan tatanantektonik Indonesia Tengah secara rinci melalui pendekatan penentuan jenis cekungan tektonik.

Kehadiran tektonik pengubah cekungan L dan FB (FB3) memberi gambaran tektonik yangterjadi setelah cekungan terbentuk. Hal ini sangat penting dalam interpretasi sistem petroleum dicekungan yang ada. Ketidakpastian migrasi minyak dan gas bumi menjadi lebih tinggi ketikaintensitas L, FB dan FB3 sangat tinggi.

Kelengkapan sekuen pengendapan stage 1 s/d stage 3 di satu siklus bermanfaat untukmemprediksi kehadiran batuan induk, reservoir dan batuan penutup dalam satu sistempetroleum. Stage 1 yang lebih dari 50 % endapan transisi dan darat, fluvio deltaik dan endapantransisi lain, sangat mungkin sebagai batuan induk dan potensi reservoir yang terbatas. Stage 2lebih endapan lebih ke arah laut memungkinan kehadiran reservoir dan batuan penutup yanglebih luas. Stage 3 hampir sama dengan stage 1 dengan umur yang lebih muda. Dalam konteksekplorasi migas kehadiran stage secara lengkap akan menurunkan tingkat ketidakpastian.

Kesimpulan

Evolusi tektonik telah mengontrol dan mempengaruhi jenis cekungan. Di Indonesia terdapat duakelompok utama yaitu Indonesia Barat (Sundalan) dan Indonesia Timur. Cekungan di IndonesiaBarat terletak di tatanan tektonik yang secara umur relatif sama yaitu pinggir kerak yangberasosoaisi subduksi. Jenis Cekungan yang berkembang adalah cekungan wrench (LL), atautrench associated (TA) berumur Tersier. Perbedaan masing-masing cekungan adapada evolusitektonik cekungan yang dapat digambarkan dengan tektonik pengubah cekungan (L, FB danFB3). Indonesia Timur mempunyai evolusi dan tatanan tektonik yang berbeda. Cekungannyadimulai dari tengah ke pingir Benua Australia dimulai oleh rifting di tengah benua menjadipassive margin (interior fracture, IS ke margin sag, MS) berumur lebih tua dari Tersier.Cekungan di Indonesia Timur bisa berada di kerak benua atau samudera yang kemudian berubahkarena proses perubahan tektonik. Tektonik aktif mulai Miosen telah merubah jenis cekunganyang melibatkan percampuran kerak benua dan kerak samudera dengan mekanisme subduksi,pemekaran, collison, docking micro continent. Jenis cekungan berubah dari MS/IF menjadi LL,TA, IF atau foldbelt.

Page 30: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

30

Pembahasan evolusi tektonik stratigrafi dengan mengacu periode rifting masih dapat dipakaidengan koridor evolusi tektonik lempeng meskipun tidak disarankan sebagai dasar penamaancekungan.

Klasifikasi Kingston et al. (1983) dapat digunakan dalam pengklasifikasian cekungan diIndonesia dengan mengacu tatanan tektonik lempeng dan evolusi tektonik stratigrafinya.Penerapan klasifikasi Kingston et al. (1983) akan memberikan gambaran secara langsungevolusi cekungan yang mengacu pada evolusi tektonikstratigtrafinya. Aplikasi klasifikasi iniperbedaan tatanan tektonik di Indonesia Barat yang dimulai dengan LL dan TA mudahdibedakan dengan tektonik Indosensia Timur yang dimulai dengan MS atau IF.

Cekungan Tomori mempunyai evolusi cekungan tektonik yang kompleks jauh berbeda denganevolusi cekungan tektonik di Cekungan Salawati. Perbedaan ini dapat digunakan sebagaiiventarisasi awal adanya tatanan tektonik Indonesia Tengah.

Daftar Pustaka

Audley-Charles, M.G., Carter, D.J., Barber, A.J., Norvick, M.S., Tjokrosapoetro, S. 1979,Reinterpretation of the geology of Seram: implications for the Banda Arcs and northernAustralia, J. geol. Soc. London, Vol. 136, pp. 547-568,

Bally, A.W., Snelson, S, 1980, Realms of Subsidence, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.),Geologic Basin I, Classification, Modeling and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatiseof Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 1-86.

Bishop, M.G., 2000a. South Sumatra Basin Province, Indonesia: the Lahat/Talang Akar–Cenozoic total petroleum system. USGS Open-File Report 99-50S.

Bishop, M.G., 2000b. Petroleum systems of the Northwest Java Province, Java and offshoreSoutheast Sumatra, Indonesia. USGS Open-File Report 99-50R.

Charlton, T.R., 2004. The petroleum potential of inversion anticlines in the Banda Arc, AAPGBulletin 88 (5), 565–585.

Daly, M.C., Cooper, M.A., Wilson, I., Smith D.G., Hooper, B.G.D., 1991, Cenozoic platetectonics and basin evolution in Indonesia, Marine and Petroleum Geology, Vol 8,February

Darman, H., Hasan Sidi, F., 2000. An Outline of the Geology of Indonesia. IndonesianAssociation of Geologists, 192pp.

Davies, I.C., 1990. Geological and exploration review of the Tomori PSC, Eastern Indonesia. In:Proceedings of Industrial Petroleum Association 19th Annual Convention (IPA 90-223),pp. 41–67.

Dickinson, W.R., 1974(?), Plate Tectonic and Sedimenatation,, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A.,(Eds.), Geologic Basin I, Classification, Modeling and Predictive Stratigraphy, AAPGTreatise of Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 387-413.

Doust, H., 1999. Commonality of Petroleum Systems in Southeast Asia Tertiary basins (ABS).AAPG Bulletin 84 (9), 1419.

Doust, H., 2003. Petroleum systems and plays in their basin history context: a means to assist inthe identification of new opportunities. First Break 21 (9 September), (Abstract)

Doust, H., Lijmbach, G., 1997. Charge constraints on the hydrocarbon habitat and developmentof hydrocarbon systems in Southeast Asia Tertiary basins. In: Howes, J.V.C., Noble,

Page 31: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

31

R.A. (Eds.), Proceedings of International Conference on Petroleum Systems of SE Asiaand Australasia, Indonesian Petroleum Association, pp. 115-126

Doust, H., Sumner, H.S., 2007. Petroleum systems in rift basins – acollective approach inSoutheast Asian basins, Petroleum Geoscience 13 (2), 127–144.

Doust, H., Noble, R.A., 2008. Petroleum systems of Indonesia, Marine and Petroleum Geology,25, 103–129

Fraser, S.I., , Fraser, A.J., Lentini, M.R., Gawthorpe, R.L., 2007, Return to rifts – the next wave:fresh insights into the petroleum geology of global rift basins, Petroleum Geoscience,Vol. 13, pp. 99–104

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesia Region, United States Geological SurveyProffesional Paper, 1078.

Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Asia. In: Hall, R., Blundell, D.J., (Eds.), TectonicEvolution of Southeast Asia, Geological Society Special Publication, vol. 1026, pp. 153-184.

Hall, R., 1997. Cenozoic Tectonics of SE Asia and Australasia. In: Howes, J.V.C., Noble, R.A.(Eds.), Proceedings of International Conference on Petroleum Systems of SE Asia andAustralasia. Indonesian Petroleum Association, pp. 47-62.

Helwig, J.A., 1985, Origin and Classification of Sedeimentary Basins,, In: Foster, N.H.,Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic Basin I, Classification, Modeling and PredictiveStratigraphy, AAPG Treatise of Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 182-193.

Howes, J.V.C., Tisnawijaya, S., 1995. Indonesian petroleum systems, reserves additions andexploration efficiency. In: Proceedings of Industrial Petroleum Association 24th AnnualConvention, October 1995, IPA95-1.0-040, pp. 1–17.

Indonesian Petroleum Association, 1989a. Indonesia—Oil and Gas Fields Atlas, vol. I, NorthSumatra and Natuna

Indonesian Petroleum Association, 1989b. Indonesia—Oil and Gas Fields Atlas, vol. IV, Java.Indonesian Petroleum Association, 1991b. Indonesia—Oil and Gas FieldsAtlas, vol. V,

Kalimantan.Indonesian Petroleum Association, 1998. Indonesia—Oil and Gas FieldsAtlas, vol. VI, Eastern

Indonesia.John, B.S., Bally, A.W., Klemme, H.D., 1984, Sedimentary Province of the World-Hydrocarbon

Productive and Nonproductive, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.), Geologic BasinI, Classification, Modeling and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatise of PetroleumGeology, Reprint Series, No. 1, p. 147-181.

Katili, J.A., 1980, Geotectonic of Indonesia, a Modern View, 1980, Directorate General ofMines, Jakarta

Kingston, D.R., Dishroon, C.P., Williams, P.A., 1983. Global basin classification system. AAPGBulletin 67 (12), 2175–2193.

Kingston, D.R., Dishroon, C.P., Williams, P.A., 1983. Hydrocarbon Plays and Global BasinClassification. AAPG Bulletin 67 (12), 2194–2198.

Klemme, H.D., 1980, Types of Petroliferus Basins, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A., (Eds.),Geologic Basin I, Classification, Modeling and Predictive Stratigraphy, AAPG Treatiseof Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 87-101.

Klemme, and T. Shabad, 1970, World's giant oil and gas fields, geologic factors affecting theirformation, and basin classification. Part1, giant oil and gas fields, in Geology of giantpetroleum fields:AAPG Memoir 14, p. 502-528.

Page 32: Evolusi Tektonik Dalam Klasifikasi Jenis Cekungan Tektonik Indonesia

32

Longley, I.M., 1997. The tectonostratigraphic evolution of SE Asia. In: Fraser, A.J., et al. (Eds.),Petroleum Geology of Southeast Asia. Geological Society Special Publication, vol. 126,pp. 311–339. (Abstract)

McClay, K., Dooley, T., Ferguson, A., Poblet, J., 2000. Tectonic evolution of the Sanga SangaBlock, Mahakam Delta, Kalimantan, Indonesia. AAPG Bulletin 84 (6), 765–786.

Moss, S. J., Carter, A., Baker, S., Hurford, A.J., 1998, A Late Oligocene tectono-volcanic eventin East Kalimantan and the implications for tectonics and sedimentation in Borneo,Journal of the Geological Society, London, Vol. 155, pp. 177–192.

Nilandaroe, N., Mogg, W., Barraclough, R., 2001. Characteristicsof the fractured carbonatereservoir of the Oseil field, Seram Island, Indonesia. In: Proceedings of IndustrialPetroleum Association 28th Annual Conference, 241-251 (IPA01-G-101), vol.1, pp. 439–456.

Noble, R.A., et al., 1997. Petroleum systems of Northwest Java, Indonesia. In: Howes, J.V.C.,Noble, R.A. (Eds.), Proceedings of International Conference on Petroleum Systems of SEAsia and Australasia. Indonesian Petroleum Association, pp. 585–600.

Noble, R.A., Jessup, D.M., Djumlati, B.D., 2000. Petroleum system of the Senoro-1 discovery,East Sulawesi, Indonesia. AAPG International Meeting, Bali, Indonesia, October 2000(Abstract).

Norvick, M. S., 1979, The tectonic history of the Banda Arcs, eastern Indonesia: a review, J.geol. Soc. London, Vol. 136,pp. 519-527

Peters, K.E., et al., 1999. Geochemistry of crude oils from eastern Indonesia. AAPG Bulletin 83(12), 1927–1942.

R. E. King, H. D. Klemme, R. H. Dott, Sr., and A. A, Meyerhoff,1970b, World's giant oil andgas fields, geologic factors affecting their formation, and basin classification, part II,Factors affecting formation of giant oil and gas fields, and basin classification, inGeology of giant petroleum fields: AAPG Memoir 14, p. 528-555.

Satyana, A.H., Nugroho, D., Surantoko, I., 1999. Tectonic controls on the hydrocarbon habitatsof the Barito, Kutei and Tarakan basins, Eastern Kalimantan, Indonesia: majordissimilarities in adjoining basins. Journal of Asian Earth Sciences 17, 99–122.

Shaw, J.H., Hook, S.C., Sitohang, E.P., 1997. Extensional fault-bendfolding and synriftdeposition: an example from the Central Sumatra Basin, Indonesia. AAPG Bulletin 81(3), 367–379.

Stoneley, R., 1981, Petroleum : the Sedimentary Basins, In: Foster, N.H., Beaumont, E.A.,(Eds.), Geologic Basin I, Classification, Modeling and Predictive Stratigraphy, AAPGTreatise of Petroleum Geology, Reprint Series, No. 1, p. 102-122.

Ten Haven, H.L., Schiefelbein, C., 1995. The petroleum systems of Indonesia. In: Proceedings of24th Industrial Petroleum Association Annual Convention, IPA95-1.3-013, pp. 443–458.

Tapponier, P., Peltzer, G. & Armijo, R. 1986. On the mechanics of the collision between Indiaand Asia. In: Coward, M.P. & Reis, A.C. (eds) Collision Tectonics. Geological Society,London, Special Publications

Wakita, K., 2000, Cretaceaous accretionary-collison complexex in Central Indonesia (in Sutrezone of East and Southeast Asia), Journal of Asian Earth Sciences, 18 (6) (Abstract).