Upload
aditya-iqbal-maulana
View
25
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mini
Citation preview
LAPORAN UPAYA KESEHATAN LINGKUNGAN
(F.2)
PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK
(PSN)
Oleh :
dr. Laeli Kodriyati
Pendamping :
dr. Wahju Kurniawan, M.Kes
PROGRAM DOKTER INTERNSHIP
PUSKESMAS PLUPUH II
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang
ditemukan di daerah tropis dan subtropis. Penyakit dengan potensi fatalitas
yang cukup tinggi ini ditemukan pertama kali pada tahun 1950an di Filipina
dan Thailand. Saat ini DBD merupakan penyakit yang dapat dijumpai di
sebagian besar negara di Asia. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-
anak. Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun
dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1% (WHO,
2008)
Demam Berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat selama 30 tahun terakhir dan telah menyebar di seluruh provinsi.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2010, terlihat bahwa pada pola
penyakit terbanyak pasien rawat inap di seluruh wilayah di Indonesia, DBD
masuk kedalam urutan kedua dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus
dan perempuan sebanyak 28.883 kasus. Selain itu, diperoleh jumlah yang
meninggal sebanyak 325 orang (CFR sebesar 0,55%). Pada tahun 2011 Provinsi
Jawa Tengah menempati urutan sebelas dengan insidensi rate kasus DBD 7,14
per 100000 penduduk dengan jumlah kasus demam berdarah sebanyak 2.346
kasus. (Depkes RI, 2011).
Wilayah kerja Puskesmas Plupuh II merupakan daerah yang
mempunyai lahan pertanian dan pekarangan yang luas yg berpotensi menjadi
tempat berkembangbiak nyamuk. Jumlah kasus sejak bulan Januari-Juni 2013
terdapat empat kasus DBD. Upaya pencegahan DBD di wilayah kerja
Puskesmas Plupuh II telah dilakukan dengan gerakan PSN yang keberhasilan
gerakan ini dilihat dari nilai ABJ. Tampaknya gerakan PSN di wilayah kerja
Puskesmas Plupuh telah berhasil, karena ABJ telah mencapai target. Angka
yang diharapkan adalah minimal 95% (Puskesmas Plupuh II, 2013).
Perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu,
kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan
lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap
perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan
lainnya. Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih
kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor
pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk
yang sejalan dengan semakin membaiknya sarana transportasi menyebabkan
penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas (Depkes RI, 2010)
Penyakit DBD belum ditemukan vaksinnya, sehingga tindakan yang
paling efektif untuk mencegah perkembang biakan nyamuk ini adalah dengan
program pemberantasan sarang nyamuk. Berbagai kegiatan yang
dilaksanakan Pemerintah dalam rangka pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) melalui upaya-upaya pencegahan yang dilakukan secara
berkelanjutan, hasilnya belum optimal bahkan masih dijumpai Kejadian Luar
Biasa (KLB) yang menelan korban jiwa. Hal ini tentu erat kaitannya dengan
tingkat pengetahuan masyarakat tentang pencegahan Demam Berdarah
Dengue (DBD) (Tholib, 2010).
Fathonah (2009) dalam kajian utama untuk memberantas DBD
mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia pada umumnya
relative masih sangat rendah, sehingga perlu dilakukan sosialisasi berulang
mengenai pencegahan DBD. Dalam Sosialisasi Pencegahan DBD,
penyuluhan tentang pencegahan DBD harus sering dilakukan agar masyarakat
termotivasi untuk ikut berperan serta dalam upaya-upaya tersebut.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dilihat bahwa terdapat
permasalahan tentang bagaimana cara meningkatkan pengetahuan masyarakat
wilayah Puskesmas Plupuh II tentang penyakit Demam Berdarah mengenai
penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis, pengobatan, dan
pencegahannya serta meningkatan kesadaran masyarakat pentingnya menjaga
lingkungan bebas jentik nyamuk
C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan masyarakat wilayah Puskesmas Plupuh II
tentang penyakit Demam Berdarah serta peran dan perilaku yang bisa
untuk mencegah dan menanggulangi penyakit Demam berdarah. Sehingga
dapat menurunkan angka kejadian demam berdarah dengue di wilayah
Puskesmas Plupuh II.
b. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi persyaratan sebagai dokter Internship di Puskesmas
Plupuh II Kabupaten Sragen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam dengue / Dengue fever ( DF) dan demam berdarah dengue
( DBD) / dengue haemorrhagic fever (DHF), adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot,
dan atau nyeri sendi yang disertai penurunan dari sel darah putih, adanya
bercak kemerahan di kulit, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan
jumlah trombosit dan kondisi terberat adalah perdarahan dari hampir seluruh
jaringan tubuh. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan atau syok (Suhendro
dkk., 2006)
B. Etiologi dan Cara penularan
1. Etiologi
Penyebab penyakit ini sudah dikenal sejak lama yaitu virus
Dengue yang termasuk famili Flaviviridae dan ada 4 serotipe yang
diketahui yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-42,3. Semua serotipe
virus Dengue ini ditemukan bersirkulasi di Indonesia. Infeksi virus Dengue
pada manusia sudah lama ditemukan dan menyebar terutama di daerah
tropik pada abad 18 dan 19 seiring dengan pesatnya perkembangan
perdagangan antar benua. Vektor penyebar virus Dengue yaitu Aedes
aegypti pun ikut menyebar bersama dengan kapal niaga tersebut4. Pada
saat terjadi kejadian luar biasa (KLB) beberapa vektor lain seperti Aedes
albopictus, Ae.polynesisensis, Ae. scutellaris complex ikut berperan
(Sudjana, 2010)
2. Vektor
Nyamuk penular disebut vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari
subgenus Stegomya. Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan
sebagai penular penyakit. Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah
nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai
vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman,
stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat
penampungan air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang
relatif jernih. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang
biak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain : bak mandi,
ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan
sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di
wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di
penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon,
potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan
pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam
dan di luar rumah (Sukowati, 2010).
Nyamuk Ae. Aegypti dan Ae. albopictus mempunyai sifat
anthropofilik, artinya lebih memilih menghisap darah manusia, disamping
itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk memenuhi kebutuhan darah
sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya menghisap
darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan
DB/DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu
individu nyamukn yang infektif dalam satu periode waktu menggigit akan
mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang. (Sukowati, 2010)
Gambar 1. Ae. Aegypti
Gambar 2. Siklus Hidup Nyamuk Ae. Aegypti
a) Pengendalian Vektor
Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk
penyakit DB/DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian,sehingga
pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan,
yaitu dengan pengendalian vektornya. Pengendalian vektor DBD di
hampir di semua negara dan daerah endemis tidak tepat sasaran, tidak
berkesinambungan dan belum mampu memutus rantai penularan. Hal ini
disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu kepada data/informasi
tentang vektor, disamping itu masih mengandalkan kepada penggunaan
insektisida dengan cara penyemprotan dan larvasidasi. . (Sukowati, 2010)
Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor
telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di
tingkat pusat dan di daerah yaitu:
1) Manajemen LingkunganManajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan
untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan
nyamuk vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi.
Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan baik kalau
dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan dan
lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan.
2) Pengendalian Biologis.Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan
agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis
yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi
larva vektor DB/DBD adalah dari kelompok bakteri, predator seperti
ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda).
Predator
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa
digunakan untuk pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya,
dan yang paling mudah didapat dan dikembangkan masyarakat serta
murah adalah ikan pemakan jentik. Di Indonesia ada beberapa ikan
yang berkembang biak secara alami dan bisa digunakan adalah ikan
kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik yang terbukti
efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian
larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti efektif untuk
pengendalian larva Ae.aegypti, namun sampai sekarang belum
digunakan oleh masyarakat secara luas dan berkesinambungan. Jenis
predator lainnya yang dalam penelitian terbukti mampu mengendalikan
larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops, jenis ini
sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini
mampu makan larva vektor DBD
Bakteri
Agen biologis yang sudah dibuat secara komersial dan
digunakan untuk larvasidasi dan efektif untuk pengendalian larva
vektor adalah kelompok bakteri. Dua spesies bakteri yang sporanya
mengandung endotoksin dan mampu membunuh larva adalah Bacillus
thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-14) dan B. spaericus (BS).
Endotoksin merupakan racun perut bagi larva, sehingga spora harus
masuk ke dalam saluran pencernaan larva. Keunggulan agent biologis
ini tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan dan
organisme bukan sasaran. Kelemahan cara ini harus dilakukan secara
berulang dan sampai sekarang masih harus disediakan oleh pemerintah
melalui sektor kesehatan. Karena endotoksin berada di dalam spora
bakteri, bilamana spora telah berkecambah maka agent tersebut tidak
efektif lagi.
3) Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi
program pengendalian DBD dan masyarakat. Standar operasional Prosedur
fogging yaitu:
a. Tindak lanjut KLB yang dilakukan adalah tidak melakukan fogging
fokus, memberikan penyuluhan kepada masyarakat, menaburkan bubuk
larvasida (abate) pada tempat-tempat yang diperlukan, dan
menggerakan masyarakat untuk Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
yang selanjutnya dilakukan PE ke-2 pada 3 minggu yang akan datang
sejak tanggal sakit indek kasus. Bila PE ke-2 ditemukan sesuai kriteria
1-5, dilakukan fogging fokus. Untuk penaburan larvasida harus sesuai
dosis, yaitu 5 gr untuk 50 liter air. Abatesasi biasanya dilakuan pada
tempat-tempat : daerah sulit air, tempat yang sulit untuk dikuras, pada
tempat yang orangnya tidak pernah membersihkan penampungan
airnya. Sedangkan suatu kasus bisa dijadikan KLB jika ada peningkatan
jumlah kasus DBD di suatu daerah 2 kali lipat atau lebih dalam kurun
waktu 1 minggu/ bulan dibandingkan minggu/ bulan sebelumnya atau
bulan yang sama tahun lalu.
b. Bila dari hasil penyelidikan epidemiologi ditemukan penderita DBD
lain atau tersangka DBD (penderita panas tanpa sebab yang jelas) lebih
dari tiga orang dan house index >5% maka dilakukan penyuluhan, 3 M
plus dan pengasapan. Jika tidak ditemukan hanya dilakukan penyuluhan
dan kegiatan 3M plus (PSN+larvasida selektif)
c. Di wilayah kerja Surakarta terdapat kriteria jika dalam penyelidikan
epidemiologi ditemukan kriteria
1. Ada tambahan 2 atau lebih kasus DBD dalam # minggu terakhir
2. Adanya tambahan kasus DBD yang meninggal dalam periode 3
minggu terakhir
3. Adanya tambahan kasus 1 orang DBD dan adanya 3 orang panas
tanpa sebab yang jelas dalam periode 3 minggu terakhir serta house
imdex> 5%
4. Adanya kasus DBD 1 orang dengan index kasus meninggal
5. Index kasus meninggal tetapi tidak ada tambahan kasus
6. Ada tambahan 1 kasus DBD tetapi House Index <5%
Bila terpenuhi kriteria 1 atau 2 atau 3 atau 4 dilakukan fogging
focus seluas 1 RW/dukuh/ 3 rumah atau seluas 316 Ha sebanyak 2
siklus dengan interval 7-10 hari dan PSN di luar dan di dalam rumah
Bila hanya terpenuhi kriteria 5 atau 6 maka diharapkan pergerkan
masyarakat untuk Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Selanjutnya,
dilakukan PE yang ke 2 pada 3 minggu kemudian sejak tanggal sakit
kasus yang dilaporkan. Bila pada PE 2 ditemukan tambahan 1 kasus
DBD dilakukan foging focus seluas 300 rumah sebanyak 2 siklus
dengan interval 7-10 hari
Beberapa kelemahan dari fogging :
1. Harganya mahal. Harus mengeluarkan biaya untuk premium, solar,
malation (insektisida), baterei, dan petugas. Dosis : 1 liter malation
membutuhkan 20 liter solar.
2. Hanya membunuh nyamuk dewasa.
3. Nyamuk bisa resisten kalau tidak sesuai dosis atau fogging yang terus-
menerus.
4. Insektisida merupakan racun yang dapat masuk ke tubuh manusia.
Di lapangan, kadang berjalan tidak sesuai dengan prosedur. Untuk fogging
sendiri ada bermacam-macam tujuan :
1. Fogging fokus sesuai prosedur.
2. Fogging psikis. Fogging dilakukan walaupun tidak memenuhi kriteria,
tetapi masyarakat merasa takut dan meminta dilakukan fogging.
Biasanya dibiayai secara mandiri oleh masyarakat.
3. Fogging politis. Fogging dilakukan dengan unsur politis, biasanya
ingin menjatuhkan citra pejabat.
House Index (HI): persentase rumah yang positif terhadap jentik DBD
Jumlah rumah positif jentik Ae. Aegypti × 100%
Jumlah rumah yang diperiksa
Angka Bebas Jentik (ABJ): persentase rumah yang tidak
ditemukan jentik
Jumlah rumah/bangunan tidak ditemukan jentik x 100%
Jumlah rumah/ bangunan yang diperiksa
Perhitungan house index dan ABJ memiliki makna : jika house
index 95%, maka di daerah tersebut tidak terdapat nyamuk Aedes
aegypti yang cukup berarti, dimana nyamuk tersebut adalah vektor /
pembawa virus dengue yang dapat menularkan DBD.
Jika house index > 5% dan ABJ < 95%, maka di daerah tersebut
terdapat banyak nyamuk Aedes aegypti yang sangat berisiko
menularkan DBD.
4. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan
ketekunan, kesabaran dan upaya dalam memberikan pemahaman dan
motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara
berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah
mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN
dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah
menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD, namun karena
masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman
dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam
pelaksanaannya. Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang
vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh
masyarakat secara berkesinambungan. Karena vektor DBD berbasis
lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil
dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait
seperti pendidikan, agama, LSM, dll.
Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam
memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam
program pemberdayaan peran serta masyarakat. Untuk meningkatkan
sistem kewaspadaan dini dan pengendalian, maka perlu peningkatan dan
pembenahan sistem surveilans penyakit dan vektor dari tingkat Puskesmas,
Kabupaten Kota, Provinsi dan pusat. Disamping kerjasama dan kemitraan
dengan lintas sektor terkait perlu dicari metode yang mempunyai daya
ungkit.
PSN adalah suatu cara yang paling efektif dilaksanakan karena:
1. Tidak memerlukan biaya yang besar
2. Bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih
3. Menjadikan lingkungan bersih
4. Budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong
5. Dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang
diakibatkan oleh lingkungan yang kotor akan berkurang.
5. Perlindungan Individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat
dilakukan secara individu dengan menggunakan:
1. repellent,
2. menggunakan pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan
panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk
meskipun sementara.
3. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa
memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk.
4. Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent: obat
nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent oles anti nyamuk
bisa digunakan oleh individu.
5. Pada 10 tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau
dikenal sebagai insecticide treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida
yang mampu melindungi gigitan nyamuk.
6. Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung
hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DB/DBD.
Dengan adanya peraturan perundangan baik undang-undang, peraturan
pemerintah dan peraturan daerah, maka pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat wajib memelihara dan patuh. Salah satu Negara yang
mempunyai undang-undang dan peraturan tentang vektor DBD adalah
Singapura, yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga lingkungannya
untuk bebas dari investasi larva Aedes. Indonesia dapat terbebas dari risiko
penularan DBD, jika dilakukan penyusunan dan sosialisasi peraturan
perundangan dan penyuluhan tentang memelihara lingkungan yang bebas
dari larva nyamuk secara bertahap. Hal ini mengingat pembangunan
kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,
yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu seperti
diamanatkan dalam UUD 1945 dan dipertegas di dalam pasal 28 bahwa
kesehatan adalah hak asasi manusia dan dinyatakan juga bahwa setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
3. Patogenesis dan patofisiologi
Patogenesis DBD masih belum jelas betul. Berdasarkan berbagai
data epidemiologi dianut 2 hipotesis yang sering dijadikan rujukan untuk
menerangkannya. Kedua teori tersebut adalah the secondary heterotypic
antibody dependent enchancement of a dengue virus infection yang lebih
banyak dianut, dan gabungan efek jumlah virus, virulensi virus, dan respons
imun inang. Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai
sel target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon immune
non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas
komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat seperti C3a dan
C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya kenaikan permeabilitas
kapiler celah endotel melebar lagi. Akibat kejadian ini maka terjadi
ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke extravaskuler dan menyebabkan
terjadinya tanda kebocoran plasma seperti hemokonsentrasi, hipoproteinemia,
efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica fellea dan syok hipovolemik
Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya
hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan
salah satu patofisiologi yang terjadi pada DBD. (Sudjana, 2010)
4. Klasifikasi Kasus dan Berat Penyakit
Klasifikasi kasus yang disepakatidalam panduan WHO 2009 adalah:
1. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs),
2. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs), dan
3. Dengue berat (severe Dengue)
Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya :
Dengue probable :
1. Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
2. Demam disertai 2 dari hal berikut :
a. Mual, muntah
b. Ruam
c. Sakit dan nyeri
d. Uji torniket positif
e. Lekopenia
f. Adanya tanda bahaya
3. Tanda bahaya adalah :
a. Nyeri perut atau kelembutannya
b. Muntah berkepanjangan
c. Terdapat akumulasi cairan
d. Perdarahan mukosa
e. Letargi, lemah
f. Pembesaran hati > 2 cm
g. Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang
cepat
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran
plasma tidak jelas)
Kriteria Dengue Berat :
1. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan
kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji
tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat
membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan
spesifisitasnya mencapai 82 %.
5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan.
Pada Fase Febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada
beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva,
anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda
perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula
terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Fase kritis
Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering
didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada
fase ini dapat terjadi syok.
Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler
ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan
diuresis membaik.
6. Indikasi Rawat Inap
Penderita infeksi Dengue yang harus dirawat inap adalah seperti berikut. Bila
ditemukan tanda bahaya, keluhan dan tanda hipotensi, perdarahan, gangguan
organ (ginjal, hepar, jantung dan nerologik), kenaikan hematokrit pada
pemeriksaan ulang, efusi pleura, asites, komorbiditas (kehamilan, diabetes
mellitus, hipertensi, tukak petik dll), kondisi social tertentu (tinggal sendiri,
jauh dari fasilitas kesehatan
BAB III
INTERVENSI, MONITORING DAN EVALUASI
A. Intervensi
Bentuk Kegiatan : metode intervensi yang dipilih adalah penyuluhan kepada
masyarakat mengenai penyakit DBD serta cara pencegahan dan
penanggulangannya yang dapat dilakukan oleh warga wilayah Puskesmas
Plupuh II sebagai bentuk kerja sama untuk pencegahan dan pemberantasan
dini kasus DBD. Penyuluhan dilakukan bersamaan dengan dilakukannya
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk ke setiap rumah penduduk.
Prioritas masalah : masih kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang penyakit DBD dan perilakunya dalam menjaga kebersihan
lingkungan.
Tujuan : meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan
pentingnya mencegah dan menanggulangi terjadinya penyakit DBD dan
menurunkan angka kejadian DBD di wilayah Puskesmas Plupuh II
Kabupaten Sragen
Pelaksanaan :
Hari/tanggal : Jumat/ 15 Maret 2013
Tempat : RT 11 Desa Pungsari
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 40 KK
Hari/tanggal : Jumat/22 Maret 2013
Tempat : RT 7 Desa Pungsari
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 40KK
Hari/tanggal : Jumat/ 26 Maret 2013
Tempat : RT 05 Desa Sidokerto
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 40KK
Hari/tanggal : Jumat/ 26 April 2012
Tempat : Sidokerto
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 20KK
Hari/tanggal : Jumat/ 3 Mei 2013
Tempat : RT 02 Desa Gedongan
Acara : Penelusuran kasus DBD & Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan air, serta penelusuran
kasus DBD.
Jumlah Peserta : 20KK
Hari/tanggal : Jumat/ 10 Mei 2013
Tempat : RT 13 Desa Jembangan
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 20KK
Hari/tanggal : Jumat/ 17 Mei 2013
Tempat : RT 12 Desa Bojongharjo
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 20 KK
Hari/tanggal : Jumat/ 31 Mei 2013
Tempat : Dukuhgung RT05 Desa Cangkol
Acara : Kegiatan PSN
Intervensi : Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam
Berdarah Dengue tentang penyebab, cara penularan, gejala – gejala klinis,
pencegahannya serta pemeriksaan jentik-jentik pada setiap penampungan
air.
Jumlah Peserta : 20 KK
B. Monitoring
Untuk menilai apakah masyarakat memahami intervensi yang
diberikan maka perlu adanya monitoring. Selain itu monitoring juga
diperlukan untuk mengetahui apakah masyarakat menerapkan apa yang sudah
diberikan dalam kegiatan sehari-harinya. Monitoring dapat dilakukan dengan
bekerja sama dengan kader, bidan atau tokoh masyarakat desa setempat untuk
selalu dapat mengingatkan dan menggerakkan warga untuk dapat
mencegahan adanya DBD di sekitar wilayah Puskesmas Plupuh II.
C. Evaluasi
Setiap anggota keluarga yang dikunjungi antusias dengan kedatangan
petugas kesehatan untuk melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk dan
pemberian penyuluhan. Secara keseluruhan, intervensi yang diberikan
berjalan cukup baik. Banyak dari anggota keluarga yang tidak segan untuk
bertanya saat diskusi dilakukan baik pertanyaan tentang apa itu DBD
maupun pencegahan dari DBD itu sendiri. Saat penyuluh memberikan
pertanyaan kembali kepada setiap anggota keluarga seputar materi yang
diberikan, banyak dari peserta yang dapat menjawab secara lancar
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Indonesia merupakan daerah endemik Demam Berdarah Dengue
(DBD/DHF), dimana balita dan anak-anak beresiko tinggi tertular
penyakit ini.
2. Dibutuhkan kerjasama seluruh warga masyarakat dalam upaya pencegahan
dan pemberantasan DBD.
3. Kurangnya keterlibatan aparatur desa, tokoh masyarakat dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan DBD
4. Kurangnya kerjasama lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama,
pemerintah desa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan DBD
5. Intervensi dari tenaga kesehatan kepada masyarakat dapat membantu
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan DBD.
B. Saran
Intervensi tenaga kesehatan seperti penyuluhan dengan peran aktif
aparatur desa dan tokoh masyarakat dalam menggerakan warga secara
langsung seperti bersama-sama kerja bakti untuk memberantas sarang nyamuk
sangat perlu dilakukan erat hubungannya dengan penurunan kejadian DBD
terutama di wilayah Puskesmas Plupuh II.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2010. Buletin jendela epidemiologi.http://www.depkes.go. id/downloads /publikasi/buletin/BULETIN%20DBD.pdf(diakses mei 2013)
Depkes RI,2011. Profil Kesehatan Indonesia 2011. http://www.depkes.go.id/ downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_INDONESIA_TAHUN_2011.pdf (diakses Mei 2013)
Fathonah. 2009. Studi Kapasitas Manajemen Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam Br4darah Dengue di Puskesmas Kecamatan Pasar Mingggu Tahun 2009. UI
Sudjana, Primal. 2010.Demam Berdarah Dewasa http://www.depkes.go.id/downloads /publikasi/buletin/BULETIN% 20DBD.pdf (diakses mei 2013)
Suhendro; Nainggolan, Leonard; Chen, Khie; Pohan, Herdiman. 2006. Demam Berdarah Dengue dalamBuku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. FKUI. Hal:1709-21
Sukowati, Supratman. 2010. Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Pengendalian di Indonesia. http://www.depkes.go.id /downloads /publikasi/bulletin /BULETIN%20DBD.pdf(diakses mei 2013)
Tholib, Abu. 2010. TBC dan DBD, Penyakit Tropis yang Masih Terus Mengancam http://ugm.ac.id/new/?q=id/news/tbc-dan-dbd-penyakit-tropis-yang-masih-terus-mengancam(diakses mei 2013)
World Health Organization. 2008. Dengue and Dengue Hemmoragic Fever. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ (diakses mei 2013)
World Health Organization. 2009. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control.WHO
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UPAYA KESEHATAN LINGKUNGAN
PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK
(PSN)
Plupuh, Juni 2013
Peserta Program Internship Dokter
Indonesia
Pendamping Program Internship Dokter
Indonesia
dr. Laeli Kodriyati dr. Wahju Kurniawan, M.Kes
NIP.19710407 200212 1 007
Lampiran