Upload
phamthien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor keuangan masih merupakan barang mewah bagi kebanyakan
masyarakat Indonesia. Konsekuensinya masih banyak masyarakat yang belum
mengenal atau mempunyai cukup informasi mengenai sektor keuangan, baik dalam
aspek jenis produk, risiko, maupun manfaatnya. Akibatnya, rumah tangga
masyarakat miskin kesulitan untuk bangkit dari kemiskinan yang membelitnya. Hal
ini berarti transformasi sosial yang berasal dari sektor keuangan tidak terjadi.
Kondisi ini tidak boleh dianggap remeh karena mengenal sektor keuangan atau
melek finansial (financial literacy) merupakan syarat mutlak bagi setiap orang
untuk dapat mandiri dalam bidang keuangan (financial independence).
Berbagai survei telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan
akses finansial di Indonesia masih belum baik. Hasil survei Bank Dunia (2010)
menyebutkan bahwa hanya 49% rumah tangga Indonesia yang memiliki akses
terhadap lembaga keuangan formal. Pada 2011, Bank Dunia kembali mengadakan
survei yang hasilnya menggambarkan bahwa hanya 20% orang dewasa di Indonesia
yang memiliki rekening di lembaga keuangan resmi. Hasil Survei Neraca Rumah
Tangga yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang menabung di
lembaga keuangan formal dan non-lembaga keuangan sebesar 48% (BI 2014a).
Kajian lain yang dilakukan oleh MasterCard (2013) menyebutkan bahwa index
financial access Indonesia (60 poin) pada 2013 masih kalah jika dibandingkan
dengan Singapura (72 poin), Malaysia (70 poin), Thailand (68 poin), dan Vietnam
(63 poin). Hal paling mutakhir dilaporkan oleh Bank Dunia pada Database Inklusi
Keuangan Global 2014 (Gambar 1), persentase penduduk Indonesia di atas 15 tahun
yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan hanya sebesar 36%, jauh di bawah
Thailand (78%), Malaysia (81%), dan Singapura (96%).
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Indonesia membuat program
dan kebijakan untuk meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat yang belum
terlayani yaitu kebijakan keuangan inklusif. Kebijakan keuangan inklusif adalah
suatu bentuk pendalaman layanan keuangan (financial service deepening) yang
Gambar 1 Persentase penduduk di atas 15 tahun yang memiliki akses
pada lembaga keuangan di beberapa negara ASEAN pada
tahun 2014
2
ditujukan kepada masyarakat in the bottom of the pyramid untuk memanfaatkan
produk dan jasa keuangan formal (BI 2014a). Salah satu program keuangan inklusif
adalah Digital Financial Inclusion (DFI). DFI merupakan akses digital untuk
menggunakan jasa layanan keuangan formal oleh populasi yang tidak terlayani.
Berdasarkan Deloitte Consulting (2015), munculnya DFI memberikan manfaat
signifikan bagi perekonomian nasional, sehingga menghasilkan pertumbuhan kerja
dan tambahan pendapatan pemerintah.
DFI adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan/atau keuangan
formal terbatas yang dilakukan tidak melalui kantor fisik, namun dengan
menggunakan sarana teknologi antara lain mobile based maupun web based dan
jasa pihak ketiga (agen), dengan target layanan masyarakat unbanked dan
underbanked. Pemerintah Indonesia pada tahun 2014, melalui Bank Indonesia (BI)
dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan program Digital Financial
Inclusion (DFI) untuk Bank-Bank di Indonesia. BI mengeluarkan regulasi Layanan
Keuangan Digital (LKD) dengan produk e-money dan OJK mengeluarkan regulasi
Layanan Keuangan Tanpa Kantor dengan produk Laku Pandai. Selain LKD dan LP,
dalam rangka digital services bank-bank di Indonesia sudah lebih dulu melakukan
transformasi melalui berbagai layanan seperti internet banking dan mobile banking
yang menjadi syarat penyelenggaraan Laku Pandai. Seluruh program DFI tersebut
dimaksudkan untuk bisa meningkatkan akses keuangan kepada masyarakat yang
belum terlayani.
Digitalisasi dianggap sesuai karena tingkat penetrasinya yang tergolong
tinggi, bahkan pada masyarakat miskin dan rentan. Sejumlah penelitian mengatakan
bahwa teknologi mempunyai peran penting dalam meningkatkan akses perbankan
masyarakat miskin dengan memberikan layanan keuangan yang berkelanjutan
(Claessens 2006). Ravi (2017) menyatakan bahwa digitalisasi keuangan di India
telah mengakar hingga ke wilayah pelosok, padahal pada tahun 2012 sebanyak
86.6% transaksi di India masih dilakukan dengan cara tunai. Berdasarkan hasil
survei yang dilakukan oleh InterMedia (2015), 79% penduduk Indonesia telah
memiliki akses ke mobile phone. Fakta menarik lainnya adalah berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII)
yang mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah
terhubung ke internet. Berdasarkan hasil survei APJII (2017), penetrasi pengguna
internet di Indonesia mencapai 51.8% yaitu 132.7 juta penduduk dari total populasi
256.2 juta penduduk. Terjadi peningkatan yang cukup cepat dibandingkan pada
tahun 2014, penetrasi pengguna internet Indonesia (APJII 2014) hanya 34.9% yaitu
88.1 juta dari total 252.4 juta penduduk. Hal ini menjadi salah satu indikator bahwa
penduduk Indonesia sudah siap untuk digital financial inclusion.
Dari sisi lembaga penyedia jasa layanan DFI sendiri (terutama perbankan),
digitalisasi dianggap jauh lebih efisien. Melalui digitalisasi, perbankan dapat
melakukan penghematan biaya terutama biaya pembukaan kantor bank (Tabel 1)
dan ATM (Automatic Teller Machine) yang tidak murah.
Tabel 1 Indikatif rata-rata nasional biaya pembukaan kantor bank Jenis Kantor Bank Rata-rata Biaya Pembukaan (Rp Miliar)
Kantor Cabang 21.81
Kantor Cabang Pembantu 10.21
Kantor Kas 3.31
3
Keberhasilan layanan DFI tidak hanya ditentukan oleh penyedia jasa layanan,
namun juga oleh penerimaan dari para pengguna (Oruç dan Tatar 2017).
Keberhasilan DFI tergantung dari bagaimana konsumen menerima layanan tersebut.
Oleh karena itu penting bagi penyedia jasa untuk mengetahui bagaimana para
konsumennya mengapresiasi layanan DFI agar dapat membantu menemukan
rencana strategis dan meningkatkan pangsa pasar. Dengan kata lain, isu penting
bagi pihak penyelenggara jasa layanan ketika menerapkan DFI adalah untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penerimaan konsumen dalam
menggunakan DFI. Karena dengan mengetahui faktor-faktor tersebut maka pihak
penyedia jasa layanan dapat mendorong minat nasabah yang sebenarnya sehingga
mau menggunakan DFI.
Salah satu model yang sering digunakan untuk menggambarkan tingkat
penerimaan teknologi yaitu Model Penerimaan Teknologi (MPT). Model MPT
menawarkan suatu penjelasan yang kuat dan sederhana untuk penerimaan teknologi
dan perilaku penggunanya (Vankatesh dan Morris 2000). Selain itu, menurut
Chuttur (2009), MPT merupakan model yang sangat popular dan sering digunakan
oleh para peneliti untuk menjelaskan dan memperkirakan penerimaan suatu sistem.
Dan menurut Jeong dan Yoon (2013) salah satu alasan utama untuk penerimaan
luas dari MPT adalah karena pendekatan khusus untuk mengatasi faktor-faktor
yang memengaruhi penerimaan suatu sistem. MPT bertujuan untuk menjelaskan
dan mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan (acceptance)
pengguna terhadap suatu teknologi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang
diperoleh, menunjukkan bahwa MPT mampu menjelaskan fenomena-fenomena
penerimaan, adopsi dan penggunaan sistem teknologi yang baru (Abadi dan
Nematizadeh 2012).
Target utama dari DFI adalah meningkatkan akses keuangan agar dapat
diperoleh oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya
perancangan sistem penerapan yang lebih baik dari DFI agar diterima oleh
konsumen. Penelitian ini memusatkan perhatian pada pentingnya memahami
penerimaan konsumen terhadap penggunaan DFI yang diselidiki dan diukur melalui
beberapa faktor melalui model MPT yaitu persepsi kegunaan, persepsi kemudahan
penggunaan, persepsi kredibilitas, minat konsumen dan penggunaan layanan DFI.
Sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan untuk meningkatkan pengembangan dan penerimaan layanan DFI,
sehingga dapat lebih berkembang dan terarah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan hasil survei Deloitte Consulting (2015), Jawa Barat merupakan
provinsi dengan jumlah penduduk unbanked tertinggi di Indonesia. Berdasarkan
hasil penelitian Chaia et al. (2009), peningkatan inklusi keuangan sebesar 20%
dapat menyebabkan pertumbuhan lapangan kerja sebesar 1.4%. Berdasarkan
asumsi tersebut, apabila terjadi peningkatan inklusi keuangan sebesar 20% di Jawa
Barat dalam 5 tahun kedepan, maka dengan DFI saja dapat mempercepat
pertumbuhan PDB provinsi sebesar 5% dan menghasilkan 258.000 pekerjaan baru.
Berdasarkan hasil penelitian Ummah (2015), salah satu faktor yang dapat
memengaruhi inklusi keuangan adalah pemerataan pendapatan. Pendapatan yang
semakin merata dapat memperluas kesempatan masyarakat dalam menjangkau
4
akses perbankan. Berdasarkan Sarma dan Pais (2011), ketimpangan pendapatan
(indeks gini) yang semakin besar menunjukkan tingkat inklusi keuangan yang
semakin rendah. Indeks gini Kota Bogor berada pada tingkat kedua terbesar,
dibanding kota-kota lain di Jawa Barat setelah Tasikmalaya pada tahun 2015 seperti
yang terlihat pada Tabel 2, yaitu sebesar 0.47. Jadi, tingkat inklusi keuangan di Kota
Bogor masih cenderung lebih rendah di banding kota-kota lainnya di Jawa Barat.
Disisi lain, perkembangan digital di Kota Bogor juga cenderung cukup baik.
Berdasarkan BPS Kota Bogor (2017), persentase penduduk Kota Bogor yang
memiliki dan menguasai telepon seluler (HP) sebesar 69.30% dan sebanyak 40.49%
penduduk telah mengakses internet. Karena memiliki peluang pasar yang besar bagi
layanan DFI dan infrastruktur yang juga cukup baik, maka Kota Bogor merupakan
salah satu sasaran pasar yang potensial dari layanan DFI.
Tabel 2 Nilai indeks gini kota-kota di Jawa Barat tahun 2015 Kota Indeks gini
Bogor 0.47
Sukabumi 0.43
Bandung 0.44
Cirebon 0.41
Bekasi 0.41
Depok 0.40
Cimahi 0.40
Tasikmalaya 0.49
Banjar 0.42
Jawa Barat 0.41 Sumber: BPS Kota Bogor 2017
Penerimaan layanan DFI menjadi perhatian lembaga penyedia jasa DFI
karena pengaruhnya yang kuat terhadap kinerja bisnis, biaya yang lebih rendah,
kepuasan konsumen, loyalitas pelanggan, dan profitabilitas (Seth et al. 2005).
Penerimaan konsumen terhadap penggunaan DFI perlu dikaji agar dapat
meminimalisir masalah-masalah yang mungkin timbul dalam proses
pelaksanaannya. Berdasarkan beberapa penelitian terkait Model Penerimaan
Teknologi (MPT), variabel konstruk yang paling banyak digunakan pada penelitian
menggunakan model MPT terkait dengan DFI adalah persepsi kegunaan, persepsi
kemudahan penggunaan, dan kredibilitas. Hal ini tercermin dari penelitian
Pikkarainen et al. (2004) , Liao dan Wong (2008), Hosein (2009), Jalal et al. (2011),
Widjana dan Rachmat (2011), Narteh (2012) dan Mwijaya et al. (2017)
menggunakan model MPT memengaruhi penerimaan konsumen DFI berdasarkan
beberapa konstruk diantaranya persepsi kegunaan, kemudahan dan kredibilitas.
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka
beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana segmentasi demografi, perilaku penggunaan, persepsi kegunaan,
kemudahan penggunaan, kredibilitas dan minat konsumen serta penggunaan
layanan DFI di Kota Bogor?
2. Apa saja faktor yang memengaruhi konsumen dalam menggunakan layanan
DFI?
3. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga penyedia jasa layanan
DFI untuk meningkatkan penerimaan konsumen?
5
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa permasalahan, yaitu:
1. Menganalisis demografi, perilaku penggunaan, persepsi kegunaan, kemudahan
penggunaan, kredibilitas dan minat konsumen serta penggunaan layanan DFI di
Kota Bogor.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumen dalam menggunakan
layanan DFI.
3. Merumuskan strategi yang dapat digunakan oleh lembaga penyedia jasa layanan
DFI untuk meningkatkan penerimaan konsumen.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara
lain sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk
meningkatkan literasi digital atau penerimaan penggunaan layanan DFI
khususnya di Kota Bogor dan secara umum di Indonesia.
2. Bagi lembaga penyedia jasa layanan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
sebagai acuan untuk membangun atau mengembangkan program/layanan
terkait DFI.
3. Bagi pihak akademisi, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah
satu acuan terkait penerimaan layanan DFI secara khusus di Kota Bogor dan
secara umum di Indonesia dalam rangka kemajuan dan pengembangan ilmu di
masa mendatang.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggambarkan faktor-faktor yang menentukan penerimaan
konsumen terhadap penggunaan layanan DFI. Faktor-faktor yang dianalisis terdiri
dari persepsi kegunaan, persepsi kemudahan penggunaan, persepsi kredibilitas,
minat konsumen dan penggunaan layanan DFI. Objek penelitian ini adalah layanan
DFI yang sudah dikenal cukup baik oleh konsumen, yaitu internet banking, mobile
banking, dan e-money. Kriteria responden dalam penelitian ini adalah penduduk
Kota Bogor yang sudah menetap paling tidak selama 5 tahun dan berusia lebih dari
15 tahun serta konsumen layanan DFI.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan SB-IPB