Upload
nin-yasmine-lisasih
View
820
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Faktor penyebab kepailitan dalam BUMN, sinkronisasi sistem BUMN di Indonesia dengan sistem perdagangan Internasional dan pembentukan organ BUMN dengan para pihak yang menjabat secara kompetitif belum transparan.
Citation preview
1
TINJAUAN TENTANG FAKTOR PENYEBAB
KEPAILITAN DALAM BUMN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Organisasi Perusahaan
Dosen:
Prof.Dr.H.Man.S.Sastrawidjaja,S.H.,S.U.
DIsusun Oleh:
Nin Yasmine Lisasih (110120100040)
MAGISTER HUKUM BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2011
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
A. Latar Belakang……………………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah……………………………………..… 7
BAB II TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN DALAM BUMN………. 9
A. Tinjauan tentang BUMN…………………………………… 9
1. Sistem Kinerja BUMN………………………………… 9
2. Penunjukan dan Pembentukan Organ BUMN…….. 13
3. Mekanisme Seleksi Organ Direksi BUMN…………. 18
B. Tinjauan tentang Kepailitan………………………………. 20
1. Syarat Kepailitan………………………………………. 20
2. Akibat Hukum Kepailitan dan
Pengurusan Harta Pailit………………………………. 21
BAB III ANALISIS……………………………………………………….. 24
A. Sinkronisasi Sistem BUMN dengan Sistem
Hukum Perdagangan Internasional di Indonesia……… 24
B. Transparansi dalam Hal Penunjukan dan
Pembentukan Organ BUMN dengan Para
3
Pihak yang Menjabat secara Kompetitif……………….. 31
BAB IV PENUTUP………………………………………………………. 35
A. Simpulan……………………………………………………. 35
B. Saran………………………………………………………… 36
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 38
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah suatu badan
hukum yang berbeda dengan badan hukum lainnya. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari definisi BUMN menurut Pasal 1 angka
1 Undang-Undang BUMN. Pasal tersebut mendefinisikan BUMN
sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Modal BUMN berasal dari harta kekayaan negara yang
dipisahkan dan dipergunakan untuk pengelolaan dan
pengembangan BUMN.
Maksud dan tujuan pendirian BUMN diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, Pertama, tujuan
pendirian BUMN adalah untuk memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan
penerimaan negara pada khususnya. Kedua, untuk mengejar
keuntungan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan yang sehat. Ketiga, BUMN
menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
5
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai
pemenuhan bagi hajat hidup orang banyak. Keempat, tujuan
pendirian BUMN adalah menjadi perintis-perintis kegiatan usaha
yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
Kelima, tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan
bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi
lemah, koperasi, dan masyarakat. Kegiatan BUMN harus sesuai
dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau
kesusilaan.1
BUMN mempunyai banyak keunggulan sebagai pelaku
ekonomi dalam sistem perekonomian nasional di samping usaha
swasta dan koperasi, salah satu keunggulan BUMN ialah BUMN
memungkinkan untuk melakukan kerjasama Internasional.
Kerjasama Internasional yang dijalin oleh BUMN meliputi segala
bidang dan memiliki keunggulan dibanding perusahaan swasta.
Misalnya di bidang pasar modal, BUMN dinilai unggul dibanding
perusahaan swasta, hal ini dapat dinilai dari pencatatan saham
BUMN di pasar modal yang dinilai mampu bersaing dengan
1 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 139-140
6
perusahaan swasta baik dalam hal likuiditas saham, kapitalisasi
pasar maupun kinerja keuangan.
BUMN diharapkan dapat mencapai tujuan awal sebagai agen
pembangunan dan pendorong terciptanya korporasi, akan tetapi
tujuan tersebut dicapai dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja
perusahaanpun dinilai belum memadai, seperti tampak pada
rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang
ditanamkan. Hal tersebut dikarenakan berbagai kendala, BUMN
belum sepenuhnya dapat menyediakan barang dan/atau jasa
yang bermutu tinggi bagi masyarakat dengan harga yang
terjangkau serta belum mampu berkompetisi dalam persaingan
bisnis secara global. Selain itu, karena keterbatasan sumber
daya, fungsi BUMN baik sebagai pelopor/perintis maupun
sebagai penyeimbang kekuatan swasta besar, juga belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan. Di lain pihak, perkembangan
ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis, terutama berkaitan
dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan Internasional.2
Pelaksanaan progam kebijakan pemerintah oleh BUMN
seringkali menjumpai hambatan-hambatan yang menimbulkan
kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan
2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik NegaraNegara, pada ketentuan Umum.
7
nasional. Hambatan tersebut antara lain ialah BUMN tidak piawai
dalam menjalankan sistem yang ada, tidak seimbangnya situasi
dengan sistem yang ada, rendahnya kualitas SDM, dampak
krisis moneter bagi BUMN serta mengenai penggabungan,
peleburan, pengambilalihan dan pembubaran BUMN. Keadaan
tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai,
yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih
luas dan kondisi yang demikian dapat menyebabkan BUMN
dapat dipailitkan karena mengalami kerugian terus menerus
secara kronis / bangkrut.
Kepailitan ialah sita umum atas kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. BUMN yang paling
banyak mengalami kepailitan di Indonesia rata-rata disebabkan
karena terbentur oleh kebijakan moneter pemerintah, sistem yang
belum berjalan secara maksimal dalam sebuah BUMN
dikarenakan keterbatasan fasilitas ataupun SDM, tidak sehatnya
iklim kinerja di dalam BUMN karena kebiasaan kolusi dalam
menentukan tender proyek.
8
Kebijakan moneter yang sering mempersulit BUMN antara
lain tingginya bea cukai terhadap barang-barang impor yang
menjadi komoditi BUMN, mengenai pembatasan kepemilikan
saham secara terbuka dan mengenai sistem privatisasi BUMN
yang tidak transparan. Ditambah dengan sistem pendataan dan
teknologi yang dimiliki rata-rata BUMN belum memadai dan tidak
disertai SDM lokal yang mampu dan layak sehingga masih
sangat bergantung kepada tenaga ahli asing dan sewa peralatan
dari luar negeri. Selain itu, kebiasaan kolusi yang merambah
sistem penentuan rekanan dalam hal tender proyek seringkali
membuat BUMN mendapat rekanan yang tidak layak / asal dalam
mengerjakan proyek-proyeknya, contohnya ialah pada proyek
pembangunan jalan, jembatan, gedung, pengadaan beberapa
bahan baku secara impor.
Sesuai UU Nomor 19 Tahun 2003 yang sudah mengatur
secara cukup lengkap seluruh sistem dan Undang-Undang yang
ada di BUMN, hanya sebenarnya ditilik dari berbagai kejadian
yang sering terjadi, sepertinya ada banyak masalah dalam BUMN
untuk menjalankan prosedur sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003. Akan lebih maksimal dan lebih bagus
berjalannya bilamana ada lembaga independen yang mengawasi
secara langsung sistem dan kinerja BUMN secara transparan
9
mendampingi departemen dan atau pejabat kementrian yang
terkait.
Menilik dari beberapa hal di atas, cukup banyak BUMN di
Indonesia ini yang mengalami kepailitan, dan itu adalah hal yang
wajar karena hal-hal yang telah diulas di atas. Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang mengatur tentang Kepailitan
BUMN, mengingat BUMN mempunyai karakteristik yang unik
dibandingkan dengan badan usaha yang lainnya. Karena sifat
yang unik dari BUMN yang salah satunya adalah sebagian besar
saham atau bahkan seluruhnya saham dimiliki oleh Negara,
maka Putusan Pailit tersebut juga akan berkaitan dengan
kekayaan Negara. Sehingga menimbulkan akibat hukum bagi
para pihak atas putusan pailit tersebut. Dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang hanya mengatur sepintas saja
mengenai Kepailitan BUMN, yaitu hanya mengatakan bahwa
yang berwenang mengajukan pailit pada BUMN yang bergerak
dibidang Publik adalah Menteri Keuangan, dalam Undang-
Undang ini tidak menjabarkan lebih detail lagi.
Hanya saja yang dimaksud dengan BUMN pada Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
10
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah BUMN yang
bergerak di bidang Pelayanan Publik, yang jika dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara, BUMN yang dimaksud adalah Perum,
sehingga untuk BUMN yang berbentuk Persero akan
diberlakukan pula Ketentuan Undang-Undang Perseroan
Terbatas selain juga Undang-Undang BUMN.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 seringkali harus
diterapkan karena banyak BUMN yang perlu diselamatkan oleh
negara karena sifat Undang-Undang Kepailitan ini adalah
antisipasi maka alangkah baiknya melakukan pembenahan,
pengawasan, pendampingan dan kontrol secara mendasar dan
berkala terhadap BUMN-BUMN yang masuk dalam kategori
sehat dan sedang. Untuk kategori BUMN yang sudah sakit,
bilamana terlalu banyak pengorbanan yang dilakukan, jalan yang
terbaik ialah dengan merger atau privatisasi secara total.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik suatu
identifikasi masalah yaitu :
1. Sudah sesuaikah sistem BUMN dengan sistem hukum
perdagangan internasional di Indonesia?
11
2. Sudahkah terjadi transparansi dalam hal penunjukan dan
pembentukan organ BUMN dengan para pihak yang menjabat
secara kompetitif?
12
BAB II
TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN DALAM BUMN
A. Tinjauan tentang BUMN.
1. Sistem Kinerja BUMN.
Sistem kinerja BUMN dijalankan berdasarkan
fondasi yang kokoh, fondasi itu adalah kebijakan publik
dalam bentuk Undang-Undang. Undang-undang Nomor
19 Tahun 2003 merupakan fondasi dalam pelaksanaan
peran BUMN dalam perekonomian nasional untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan
sistem kinerja BUMN harus sesuai dengan maksud dan
tujuan didirikannya BUMN sesuai dengan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003. Selain UU
Nomor 19 Tahun 2003, Surat Keputusan Menteri BUMN
No. Kep-117/M-MBU/2002 juga merupakan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
pelaksanaan system kinerja BUMN.
Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-
MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang Penerapan
Praktek Good Corporate Governance (GCG) pada
Badan Usaha Milik Negara, menekankan kewajiban
13
bagi BUMN untuk menerapkan GCG secara konsisten
dan atau menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai
landasan operasionalnya, yang pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-
nilai etika.
Corporate governance adalah suatu proses dan
struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham
dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan nilai-nilai etika (Pasal 1
Surat Keputusan Menteri BUMN No.
Kep-117/M-MBU/2002).
Sesuai surat Nomor: S-359/MK.05/2001 tanggal 21
Juni 2001 tentang Pengkajian Sistem Manajemen
BUMN dengan prinsip-prinsip good corporate
governance, Menteri Keuangan meminta Badan
14
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
untuk melakukan kajian dan pengembangan sistem
manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mengacu pada prinsip Good Corporate Governance
(GCG). Selanjutnya, BPKP telah membentuk Tim Good
Corporate Governance dengan Surat Keputusan Kepala
BPKP Nomor KEP-06.02.00-316/K/2000 yang
diperbaharui dengan KEP-06.02.00-268/K/2001. Tim
GCG tersebut mempunyai tugas untuk merumuskan
prinsip-prinsip pedoman evaluasi, implementasi dan
sosialisasi penerapan GCG serta memberikan masukan
kepada pemerintah dalam mengembangkan sistem
pelaporan kinerja dalam rangke penerapan GCG pada
BUMN/BUMD dan badan usaha lainnya.3
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance yang
dimaksud dalam Surat Keputusan Menteri BUMN No.
Kep-117/M-MBU/2002 meliputi:
a. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan
3 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,Good Corporate Governance, www.bpkp.go.id/?idunit=21&idpage=326, diunduh pada Minggu, 13 Maret 2011 pukul 20.22
15
keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materiil dan relevan mengenai perusahaan;
b. Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana
perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari
pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-
prinsip korporasi yang sehat;
c. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan
dan pertanggungjawaban Organ sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
d. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-
prinsip korporasi yang sehat;
e. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan
di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Kerangka kerja Good Corporate Governance ialah :
16
a. Compliance (kepatuhan), yaitu sejauh mana
perusahaan telah mematuhi aturan-aturan yang ada
dalam memenuhi prinsip-prinsip GCG;
b. Conformance (kesesuaian dan kelengkapan), yaitu
sejauh mana perusahaan telah berperilaku sesuai
GCG ditinjau dari berbagai aspek yang menjadi
prinsip GCG;
c. Performance (unjuk kerja), yaitu sejauh mana
perusahaan telah menampilkan bukti (eviden) yang
menunjukkan bahwa perusahaan telah
mendapatkan manfaat yang nyata dari telah
diterapkannya prinsip GCG di dalam perusahaan.
2. Penunjukan dan Pembentukan Organ BUMN.
Pejabat atau organ BUMN dalam UU Nomor 19
Tahun 2003 ialah Direksi, Komisaris dan Dewan
Pengawas. Direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan
BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Sedangkan mengenai pengawasan
BUMN dilakukan oleh Komisaris dan Dewan Pengawas.
Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi,
Komisaris dan Dewan Pengawas harus mematuhi
17
anggaran dasar BUMN dan peraturan perundang-
undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip
profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Organ
Persero ialah RUPS, Direksi dan Komisaris. Sedangkan
organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan
Pengawas. Dalam Persero, Pasal 16 UU BUMN
mengatur mengenai pengangkatan Direksi BUMN yaitu:
a. Anggota Direksi diangkat berdasarkan pertimbangan
keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman,
jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi
untuk memajukan dan mengembangkan Persero.
b. Pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui
mekanisme uji kelayakan dan kepatutan.
c. Calon anggota Direksi yang telah dinyatakan lulus
uji kelayakan dan kepatutan wajib menandatangani
kontrak manajemen sebelum ditetapkan
pengangkatannya sebagai anggota Direksi.
d. Masa jabatan anggota Direksi ditetapkan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
18
e. Dalam hal Direksi terdiri atas lebih dari seorang
anggota, salah seorang anggota Direksi diangkat
sebagai direktur utama
Pasal 28 UU Nomor 19 Tahun 2003 mengatur
mengenai pengangkatan anggota Komisaris yaitu :
a. Anggota Komisaris diangkat berdasarkan
pertimbangan integritas, dedikasi, memahami
masalah-masalah manajemen perusahaan yang
berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen,
memiliki pengetahuan yang memadai di bidang
usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan
waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
b. Komposisi Komisaris harus ditetapkan sedemikian
rupa sehingga memungkinkan pengambilan
keputusan dapat dilakukan secara efektif, tepat dan
cepat, serta dapat bertindak secara independen.
c. Masa jabatan anggota Komisaris ditetapkan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
d. Dalam hal Komisaris terdiri atas lebih dari seorang
anggota, salah seorang anggota Komisaris diangkat
sebagai komisaris utama.
19
e. Pengangkatan anggota Komisaris tidak bersamaan
waktunya dengan pengangkatan anggota Direksi,
kecuali pengangkatan untuk pertama kalinya pada
waktu pendirian.
Dalam hal BUMN yang berbentuk Perum, yang
dapat diangkat sebagai anggota Direksi adalah orang
perseorangan yang mampu melaksanakan perbuatan
hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas
yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perseroan atau Perum dinyatakan pailit atau orang
yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana yang merugikan keuangan negara
sebagaimana tertulis dalam Pasal 45 ayat (1) UU
BUMN. Selain kriteria sebagaimana dimaksud dalam
pasal 45 ayat (1) UU BUMN, anggota Direksi diangkat
berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas,
kepemimpinan, pengalaman, jujur, perilaku yang baik,
serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan
mengembangkan Perum. Selain itu, pengangkatan
anggota Direksi dilakukan melalui mekanisme uji
kelayakan dan kepatutan.
20
Kriteria pengangkatan Dewan Pengawas dalam
Perum diatur dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), yaitu :
(1) Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan
Pengawas adalah orang perseorangan yang
mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak
pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota
Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
atau Perum dinyatakan pailit atau orang yang tidak
pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
yang merugikan keuangan negara.
(2) Selain kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), anggota Dewan Pengawas diangkat
berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi,
memahami masalah-masalah manajemen
perusahaan yang berkaitan dengan salah satu
fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang
memadai di bidang usaha Perum tersebut, serta
dapat menyediakan waktu yang cukup untuk
melaksanakan tugasnya.
21
3. Mekanisme Seleksi Organ Direksi BUMN.
Pemerintah melalui Kementerian BUMN memiliki
wewenang untuk melakukan rekrutmen calon direksi
dalam rangka mengisi kekosongan beberapa direksi
BUMN. Sumber perekrutan direksi BUMN selain usulan
dari komisaris BUMN dapat juga dilakukan melalui
perburuan orang (head hunter) secara langsung.
Mekanisme seleksi direksi BUMN dilakukan paling tidak
melalui 6 tahapan. Pertama, bakal calon masuk dalam
daftar (long list) pertama yang diusulkan oleh masing-
masing komisaris BUMN. Kedua, calon yang lulus
masuk dalam tahap long list kedua yang diuji oleh
konsultan dan departemen terkait melalui rapat tim
evaluasi. Ketiga, nama-nama calon diperingkat sesuai
hasil penilaian konsultan. Keempat, nama-nama calon
dimasukkan ke Tim Evaluasi di Kementerian BUMN.
Pada tahap ini para calon kembali dibuat ranking tahap
kedua untuk selanjutnya hasil fit & proper test
diserahkan ke Menteri BUMN. Kelima, hasil fit & proper
test diserahkan ke Tim Penilai Akhir (TPA). Keenam,
setelah diproses di TPA baru dapat ditetapkan siapa
yang berhak menjadi Direksi BUMN yang dituangkan
22
melalui surat keputusan. Selain itu, Kementerian BUMN
juga membentuk Tim Evaluasi Calon Direksi yang
diketuai oleh Sekretaris Menteri BUMN, para deputi
menteri menjadi wakil ketua serta ditambah tiga orang
anggota yang ditunjuk langsung oleh Menteri BUMN.
Nama bakal calon (balon) direksi ditentukan hasil rapat
Tim dan akan dikirim ke konsultan independen untuk
diwawancarai melalui audio visual, bukan berhadapan
langsung. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
independensi dan menghindari unsur subyektivitas. Dari
hasil tes wawancara akan diperoleh lima nama calon
direksi yang akan disampaikan ke Menteri BUMN.
Menteri BUMN mempunyai hak untuk mencoret dua
nama, sehingga menjadi tinggal tiga nama yang akan
diajukan kepada TPA yang diketuai oleh Presiden.
Sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 / 2005
tentang Pengangkatan Anggota Direksi dan Komisaris
Dewan atau Pengawas BUMN, untuk pengangkatan
calon direksi BUMN, sebelum dibawa dalam RUPS,
para calon itu sudah melewati satu penilaian akhir dari
TPA yang terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), Menneg
23
BUMN, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN), serta menteri teknis yang lingkup
tugasnya meliputi bidang kegiatan dari usaha BUMN
itu.4
B. Tinjauan tentang Kepailitan.
1. Syarat Kepailitan.
Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap
suatu perusahaan telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dari syarat
pailit yang diatur dalam pasal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa syarat yuridis agar dapat dinyatakan
pailit adalah :
a. Adanya Utang.
b. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat
ditagih.
c. Adanya Debitor dan Kreditor
d. Kreditor lebih dari Satu
4 Muh. Arief Effendi, Prinsip GCG dalam Rekrutmen Direksi BUMN dalam Majalah Human Capital, Edisi 79 januari-Februari 2011.
24
Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit
adalah bahwa seorang Debitor mempunyai paling
sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas
salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu.
e. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan Khusus
disebut dengan Pengadilan Niaga.
2. Akibat Hukum Kepailitan dan Pengurusan Harta
Pailit.
Putusan pailit mengakibatkan debitor kehilangan
hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta
kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit.
Hal ini dikemukakan pada Pasal 24 UU No. 37 Tahun
2004, bahwa:
1) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaan yang termasuk
dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan
pailit dinyatakan.
2) Tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.
3) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui
bank atau lembaga selain bank pada tanggal
25
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
transfer tersebut wajib diteruskan.
Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan telah dilaksanakan transaksi efek di bursa
Efek maka transaksi tersebut wajib
diselesaikan.Terhitung sejak tanggal putusan
pernyataan pailit ditetapkan, debitor pailit tidak lagi
diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta
kekayaannya yang telah dinyatakan pailit (harta pailit).
Selanjutnya pelaksanaan pengurusan dan atau
pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan
kepada kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan
diawasi oleh seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk
dari Hakim Pengadilan. Pengangkatan tersebut harus
ditetapkan dalam putusan pernyataan pailit tersebut.
Pelaksanaan pengurusan harta pailit tersebut oleh
kurator bersifat seketika, dan berlaku saat itu pula
terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan meskipun
terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau
Peninjauan Kembali. Jika ternyata kemudian putusan
pernyataan pailit tersebut dibatalkan oleh, baik putusan
Kasasi atau Peninjauan Kembali, maka segala
26
perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum
atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan
tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat
bagi debitor pailit. Menurut Pasal 15 UU Nomor. 37
Tahun 2004, dalam putusan pernyataan pailit harus
diangkat seorang Kurator dan Hakim Pengawas yang
ditunjuk dari hakim Pengadilan Niaga. Apabila debitor,
kreditor, atau pihak yang berwenang mengajukan
permohonan pernyatan pailit tidak mengajukan usul
pengangkatan kurator kepada pengadilan maka Balai
Harta Peninggalan dingkat selaku kurator.
27
BAB III
ANALISIS
A. Sinkronisasi Sistem BUMN dengan Sistem Hukum
Perdagangan Internasional di Indonesia.
Sistem perdagangan yang ada di Indonesia sudah mulai
memasuki atau menggunakan sistem perdagangan bebas
(free trade). Sedangkan kondisi perdagangan Indonesia
secara umum dan secara khususnya BUMN belum siap untuk
mengikuti sistem perdagangan bebas yang berlaku
Internasional. Ada lima hal permasalahan pokok kesulitan
BUMN dalam menghadapi perdagangan bebas (faktor-faktor
penyebab pailit) yaitu :
1. Rendahnya Produktivitas Aset.
Beban yang terlalu berat bagi BUMN menyebabkan
perusahaan negara dimaksud tidak dapat lagi bersaing,
apalagi tantangan berusaha dan berkompetisi saat ini tidak
hanya datang dari perusahaan swasta dalam negeri yang
biasanya lebih efisien tetapi juga dari perusahaan global
dengan efisiensi yang sangat baik. Sekali BUMN tidak
dapat bersaing, artinya berkurang pula pembeli hasil
produknya, yang pada akhirnya mendorong BUMN tidak
28
lagi dapat memproduksi optimal, sehingga kemanfaatan
yang dapat dinikmati masyarakatpun menjadi berkurang 5
Keterbatasan daya beli tidak hanya disebabkan karena
BUMN tidak mampu bersaing dengan perusahaan global
yang lebih efisien, namun BUMN juga belum dapat
menjamin ketersedian kebutuhan pokok rakyat dan
kestabilan harga-harga kebutuhan pokok tersebut. BUMN
belum sanggup menguasai dan memonopoli sentra-sentra
strategis sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi.
Banyak komoditi-komoditi kebutuhan pokok rakyat yang
dikuasai swasta yang mengakibatkan harga-harga yang
ada tidak terkendali karena kendali tersebut yang
seharusnya terletak pada BUMN sudah berpindah pada
swasta. Dengan beralihnya komoditi-komoditi kebutuhan
pokok rakyat kepada swasta, harga menjadi tidak
terkendali, kebijakan-kebijakan pemerintah yang
seharusnya ditetapkan untuk komoditi kebutuhan pokok
rakyat yang diwakili oleh BUMNpun tidak dapat diterapkan
karena bukan BUMN yang menguasai dan memonopoli
komoditi-komoditi kebutuhan pokok tersebut.
5 Sugiarto, Riant Nugrogo Dwijowijoto & Ricky Siahaan, BUMN Indonesia : Isu, Kebijakan dan Strategi, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2005, hal.115
29
2. Rendahnya profit margin (laba) dan struktur keuangan
yang tidak memadai.
Konsep liberalisasi dalam perdagangan bebas konon
akan memberi kesempatan yang sama kepada setiap
orang untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Namun pada prakteknya, hanya mereka yang memiliki
modal kuat dan kekuasaan politik yang besarlah yang
menang dalam persaingan. Rendahnya profit margin (laba)
perusahaan di Indonesia dikarenakan kalah bersaing
dengan perusahaan global yang lebih kuat, perusahaan
global memiliki modal yang kuat, sedangkan kebanyakan
struktur keuangan BUMN tidak memadai. Dalam sistem
perdagangan bebas, subsidi harus dicabut karena hanya
akan membebani biaya pemerintah. Di Indonesia tentu
belum dapat menerapkan hal tersebut, BUMN sebagai
perusahaan negara saat ini tidak dapat terlepas dari
kebiasaan subsidi. Hal ini berarti bahwa laporan keuangan
BUMN harus berada dalam kondisi rugi, jika laporan
keuangan BUMN dalam kondisi untung maka subsidi
ditiadakan oleh pemerintah, akibatnya terjadi kenaikan
harga dan rakyat mengeluh terhadap ketidakstabilan harga.
3. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM).
30
Pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pengelolaan
BUMN yang tidak baik dapat mengakibatkan kondisi buruk
pada Indonesia. Masalah mendasar yang harus
diperhatikan ialah mengenai SDM. SDM merupakan
fondasi yang penting dalam pengelolaan BUMN,
kelemahan-kelemahan dalam managemen SDM dapat
berakibat fatal pada pengelolaan BUMN. Kelemahan-
kelemahan tersebut antara lain tidak memiliki SDM dengan
kompetensi yang memadai, tidak memiliki size atau
besaran SDM yang tepat, tidak memiliki sistem prosedur
dan monitoring kinerja yang tepat, tidak memiliki budaya
kerja yang tepat, dan tidak memiliki leadership yang tepat.
Padahal dalam suatu pengelolaan managemen BUMN
diperlukan tiga komponen utama yang diperlukan untuk
menunjang suksesnya suatu perusahaan yaitu SDM BUMN
tersebut harus memiliki mindset (pola pikir serta mental)
yang sesuai, memiliki skill dan kompetensi yang sesuai,
serta memiliki perilaku atau behaviour yang sesuai.
Manajemen SDM yang ada pada BUMN-BUMN di
Indonesia dan juga pemerintahan Indonesia adalah gaya
manajemen warisan penjajahan. Belanda yang secara
mudah kita lihat dari refleksi pola organisasi, pola sistem
31
manajemen SDM, dan pola pengambilan keputusan yang
bercermin kepada manajemen SDM gaya personalia yang
berfokus kepada pengaturan perilaku. Sedangkan yang
dihadapi oleh Indonesia sekarang adalah masalah
persaingan global, masalah perubahan-perubahan baik
dari sisi IT maupun world best practices yang
membutuhkan adapatasi-adaptasi dan antisipasi yang luar
biasa cepat.
4. Birokrasi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mempersulit.
Birokrasi rumit di Indonesia juga menyebabkan tidak
sinkronnya sistem BUMN dengan sistem perdagangan
internasional. Hal ini dapat dilihat dari perijinan PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri) lebih bertele-tele
melewati banyak birokrasi dibandingkan PMA sehingga
PMDN sulit untuk menguasai perdagangan di bidang-
bidang yang vital tanpa berkolusi dengan pejabat-pejabat
inti yang terkait termasuk pemilihan tender yang pada
umumnya terjadi intervensi dari pemerintah atau pejabat-
pejabat tinggi yang terkait sehingga sering tidak sesuai
dengan asas profesionalisme dalam hasil pengerjaannya,
32
masalah penjualan saham juga menjadi masalah pelik
dalam sistem birokrasi BUMN di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam sistem
perdagangan bebas banyak membawa dampak yang
sangat merugikan bagi negara-negara berkembang
termasuk perusahaan yang ada di dalamnya karena
dengan penerapan sistem perdagangan internasional pada
kegiatan perdagangan akan semakin meningkatkan
ketergantungan teknologi pada negara-negara maju,
mengingat adanya jurang antara Negara kaya dan Negara
miskin karena struktur tata ekonomi dunia yang ada.
Kebijakan industrialisasi sebagai substitusi impor
(import-subtituting industrialization) yang dianjurkan kaum
trade pessimists banyak dipraktikkan negara-negara
berkembang antara tahun 1950-an dan 1960-an.
Dikarenakan perdagangan internasional dianggap sebagai
kelanjutan dari pengaturan kolonial dan dominasi asing,
maka kebijakan perdagangan demikian membawa daya
tarik kuat. Isolasi pasar domestik dari kompetisi
internasional serta peningkatan industri dalam negeri
dilaksanakan melalui proteksi tarif, hambatan kuantitatif,
larangan impor, sistem lisensi, persyaratan kandungan
33
lokal (local content) bagi usaha perakitan domestik serta
berbagai macam insentif domestik.Kebijakan pemerintah
seperti ini membawa dampak yang sangat merugikan.
Industri-industri yang didirikan seringkali tetap tidak efisien
karena tingkat produksinya kecil (untuk pasar dalam negeri
saja), tidak adanya persaingan produk maupun harga.
Lebih dari itu, struktur proteksi yang dilakukan banya
Negara berkembang sangat tidak mendukung pembaruan
teknologi karena dikonsentrasikan pada industry-industri
barang konsumen yang ringan dan tidak adanya
perangsang untuk mengembangkan teknologi yang
disesuaikan dengan kondisi local.6
5. Belum terimplementasinya prinsip-prinsip Good Corporate
Governance (GCG).
Prinsip-prinsip GCG belum sepenuhnya dapat
diimplementasikan pada BUMN, hal ini dapat dilihat dari
banyaknya prinsip-prinsip CGC yang masih dilanggar oleh
BUMN.
Uraian hal-hal di atas yang menjadikan BUMN di
Indonesia ini tampak lambat berjalan maupun
6 Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Refika Aditama, 2006, Bandung, hal.22-23
34
berkembangnya, bahkan seringkali pemerintah dipaksa
untuk memberikan subsidi secara terus menerus hanya
untuk menjaga agar BUMN tidak kolap dan atau jatuh.
B. Transparansi dalam Hal Penunjukan dan Pembentukan
Organ BUMN dengan Para Pihak yang Menjabat secara
Kompetitif.
Transparansi dalam hal penunjukan dan pembentukan
organ BUMN dengan para pihak yang menjabat secara
kompetitif dinilai belum sesuai dengan asas profesionalisme.
Hal ini dapat dilihat dari seringnya terjadi kolusi dan suap
dalam pemilihan organ BUMN atau terjadinya monopoli
jabatan.
Masalah seleksi (rekruitment) organ BUMN seringkali
dilakukan secara tertutup, beraroma kolusi dan nepotisme
yang menandakan bahwa tidak adanya transparansi dalam
rekrutmen pejabat BUMN, hal ini berarti bahwa BUMN belum
mengimplementasikan prinsip-prinsip GCG (Good Corporate
Governance). Prinsip-prinsip GCG tesebut sudah semesttinya
diterapkan pada BUMN sesuai dengan Surat Keputusan
Menteri Nomor KEP-117/M-MBU/2002 dengan tujuan agar
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ,
35
mendorong agar Organ dalam membuat keputusan dan
menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial
BUMN, terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan
di sekitar BUMN. Rekruitment Organ yang tidak memenuhi
kelayakan karena tidak adanya transparansi dalam rekruitment
tersebut tentu berakibat pada lemahnya kinerja BUMN
tersebut dikarenakan Organ adalah penggerak atau pelaksana
kinerja BUMN yang menentukan efisiensi dari BUMN tersebut.
Kendala yang dihadapi oleh perusahaan yang masih
dalam proses penerapan GCG adalah kurangnya
pemahaman mereka tentang GCG dan bagaimana
mengimplementasikannya termasuk mengimpelementasikan
prinsip-prinsip GCG. Lemahnya pengimplementasian prinsip
transparansi dalam penunjukan dan pemilihan organ BUMN
berarti bahwa Compliance (kepatuhan) dan Conformance
(kesesuaian dan kelengkapan) belum terpenuhi.
Selain masalah kolusi dan suap dalam pemilihan organ
BUMN atau terjadinya monopoli jabatan, seringkali kita jumpai
banyak pejabat struktural departemen yang memegang
jabatan rangkap dalam organ BUMN.
36
Data yang diperoleh dari Kementrian Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran, memberikan fakta
bahwa saat ini hampir semua pejabat eselon I di Depkeu
memegang jabatan rangkap di BUMN. Kepala Badan
Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu menjabat sebagai
komisaris di PT Telkom. Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Anwar Suprijadi menjabat komisaris di PT Krakatau Steel.
Dirjen Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto menjadi
komisaris di PT Perusahaan Listrik Negara, PT Kliring
Penjaminan Efek Indonesia, dan PT Polytama Propindo. Dirjen
Perbendaharaan Negara Herry Purnomo menjadi komisaris di
PT Jamsostek. Sekjen Depkeu juga menjabat sebagai
komisaris utama PT Bank Permata Tbk. Dirjen Kekayaan
Negara Hadiyanto menjadi komisaris utama PT Garuda
Indonesia dan komisaris PT Bank Tabungan Pensiunan
Nasional. Dirjen Perimbangan Keuangan Mardiasmo menjadi
komisaris PT Jasa Raharja. Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rachmany menjadi
komisaris PTPN IV dan PT Pelindo II. Adapun Dirjen Pajak
Darmin Nasution sempat terpilih sebagai komisaris utama PT
37
Bursa Efek Indonesia, tetapi langsung melepaskan jabatannya
itu dalam waktu enam hari7
Masalah rangkap jabatan dapat mengakibatkan
kemungkinan terjadi konflik kepentingan pada pejabat
struktural di departemen yang mempunyai jabatan rangkap di
BUMN. Kesibukannya sebagai pejabat struktural di
departemen tak memungkinkan pejabat tersebut
berkonsentrasi penuh di BUMN sehingga asas
profesionalismenya tidak tercapai. Untuk mengatasi hal
tersebut, perlu dilakukan penertiban jabatan dalam rangka
profesionalisme dan sekaligus mengurangi faktor-faktor
penyebab resiko kepailitan BUMN di Indonesia.
7 www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=440, diunduh pada Selasa, 8 Maret 2011
38
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Sistem BUMN dengan sistem hukum perdagangan internasional di
Indonesia belum sinkron, hal tersebut dapat dilihat dari lima
permasalahan pokok yang menyebabkan kesulitan BUMN dalam
menghadapi perdagangan bebas (faktor-faktor penyebab pailit)
yaitu :
a. Rendahnya produktivitas aset;
b. Rendahnya profit margin (laba) dan struktur keuangan yang
tidak memadai;
c. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM);
d. Birokrasi dan Kebijakan-kebijakan pemerintah yang
mempersulit; dan
e. Belum terimplementasikannya prinsip-prinsip Good Corporate
Governance (GCG) dalam BUMN.
2. BUMN dalam hal penunjukan dan pembentukan organ BUMN
dengan para pihak yang menjabat secara kompetitif dirasa belum
transparan. Hal ini dapat dilihat dari seringnya terjadi kolusi dan
suap dalam pemilihan organ BUMN, terjadinya monopoli jabatan
atau terjadinya rangkap jabatan oleh pejabat struktural
39
departement dalam organ BUMN. Hal ini berarti bahwa BUMN
belum mengimplementasikan prinsip-prinsip GCG (Good Corporate
Governance) yang menunjukkan bahwa Compliance (kepatuhan)
dan Conformance (kesesuaian dan kelengkapan) belum terpenuhi
dalam BUMN tersebut.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan terkait permasalahan pokok
penyebab BUMN pailit ialah :
1. Dibentuknya lembaga independen sehingga mengurangi tidak
transparannya perekrutan dan mengurangi resiko pembagian
tender dan atau proyek secara tidak rata atau berpihak dengan
pemerintahan.
2. Dibentuknya Undang-Undang yang mengatur secara tegas
standarisasi sistem tata atur ataupun tata laksana di dalam tubuh
pejabat BUMN dan atau rekanan BUMN.
3. Pemerintah melakukan reshuffle kebijakan untuk lebih memihak
dan menguatkan sekaligus mempermudah sistem birokrasi
perijinan, permodalan dan fasilitas-fasilitas khusus yang diperlukan
sebagai sarana meningkatkan kinerja PMDN secara umum dan
BUMN secara khusus.
40
Sedangkan dalam hal penunjukan dan pembentukan organ
BUMN yang tidak transparan, dapat diatasi dengan :
1. Pemerintah melakukan standarisasi dalam bidang sistem
pengujian secara metodis terhadap system pengujian baik
secara skill, mental, kejiwaan dan ideologi para calon organ
BUMN sehingga benar-benar dari seleksi professional akan
menimbulkan SDM yang layak, kompetitif dan professional.
2. Memutus mata rantai otorisasi terselubung dari pemerintah
terhadap keputusan yang diambil oleh BUMN terhadap situasi
pemilihan rekan kerja sehingga BUMN secara umum mampu
mandiri dan berkreasi dalam menjalankan aturan-aturan tata
laksana kinerja sesuai dengan situasi dan kondisi yang
diperlukan BUMN mencapai tahapan aman dalam menjalankan
produktivitas termasuk kinerja yang secara yang setara dengan
kebutuhan yang ada.
41
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra
aditya Bakti, Bandung, 2006
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Indonesia,
Balai Pustaka, Tahun 1989
Moch. Faisal Salam, Pemberdayaan BUMN di Indonesia, Pustaka,
Bandung, 2005
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996
Rudhy A. Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, [Eds.].,
Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Penerbit Alumni, Bandung: 2001
Sugiarto, Riant Nugrogo Dwijowijoto & Ricky Siahaan, BUMN
Indonesia : Isu, Kebijakan dan Strategi, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2005
42
Peraturan perundang-undangan
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara