17
NASKAH PUBLIKASI UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun oleh: NIA YUNITA CHRISTANTI C 100 120 121 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH … · biasanya adalah dengan melakukan dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan subsaider. Dakwaan primer merujuk pada Pasal 351 ayat (2)

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

NASKAH PUBLIKASI

UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN

LUKA BERAT

(Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta)

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan

Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Disusun oleh:

NIA YUNITA CHRISTANTI

C 100 120 121

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016

i

PERSETUJUAN

Naskah publikasi ini disetujui oleh Pembimbing Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Menyetujui

Pembimbing Utama

Hartanto, S.H.,M.Hum.

ii

HALAMAN PENGESEHAN

UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN

TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN

LUKA BERAT

(Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta)

Yang ditulis oleh:

NIA YUNITA CHRISTANTI

C 100 120 121

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada tanggal Juli 2016

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji

Ketua : ( )

Sekretaris : ( )

Anggota :. ( )

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

(Dr. Natangsa Surbakti, S.H.,M.Hum)

iii

SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Bismillahirrohmannirrohim

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Nia Yunita Christanti

NIM : C 100 120 121

Fakultas : Hukum

Jenis : Skripsi

Judul : UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM

PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN

YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Kasus di

Kejaksaaan Negeri Surakarta)

Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk:

1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UMS atas penulisan

karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan

2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan / mengalih formatkan,

mengelola daam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, serta

menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada

Perpustakaan UMS, tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta

3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara pribadi tanpa melibatkan

pihak Perpustakaan UMS, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas

pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat

digunakan sebagaimana mestinya.

Surakarta, 25 Juli 2016

Yang Menyatakan

Nia Yunita Christanti

C 100 120 121

1

UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT

Nia Yunita Christanti

C 100 120 121

Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta

2016

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis upaya pembuktian melalui

keterangan saksi dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang

menyebabkan luka berat. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris.

Penelitian dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Surakarta. Sumber data

menggunakan data primer. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: upaya jaksa dalam penuntutan tindak

pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah dengan memberikan

dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan subsaider, mengajukan saksi yang

memberatkan (a charge). Agar keterangan saksi tersebut dinilai sah oleh hakim

maka harus diberikan di bawah sumpah, diberikan di depan persidangan, dan

hanya memberikan keterangan yang bernilai sebagai alat bukti. Hambatan-

hambatan yang dihadapi kejaksaan dalam upaya pembuktian melalui keterangan

saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah

kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan, keterangan saksi tidak sesuai

dengan keterangan saksi lainnya, dan saksi mencabut keterangan di BAP.

Kata Kunci: tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat, upaya

pembuktian melalui keterangan saksi

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the efforts to prove through witness

testimony in the prosecution of criminal acts of persecution that led to serious

injuries. This research includes empirical legal research. Research conducted at

the State Attorney Surakarta. The data source using primary data. Data were

analyzed using qualitative analysis. The results showed that: efforts prosecutor in

the prosecution of criminal acts of persecution that caused severe injuries is to

provide a layered indictment is the primary charge and subsaider, propose

witnesses against him (a charge). In order for the witness testimony is considered

valid by the judge must be given under oath, given in front of the court, and only

provide information of value as evidence. The obstacles faced by the prosecutor in

efforts to prove through witness testimony in the criminal acts of persecution that

causes serious injury is the lack of participation of witnesses in the trial, witness

testimony does not correspond to other witness testimony, and witnesses retract

statements.

Keywords: criminal acts of persecution that caused serious injury, efforts to prove

through witness testimony

2

1. PENDAHULUAN

Penganiayaan adalah perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan rasa

sakit atau luka pada tubuh orang lain. Dalam KUHP, delik penganiayaan

merupakan suatu bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain terhadap

fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana

penganiayaan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum

sehingga dilarang oleh undang-undang. Menurut Pasal 351 KUHP:

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah,

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pengertian luka berat atau parah menurut Soesilo adalah: (a) Penyakit atau

luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat

mendatangkan bahaya maut; (b) Terus-menerus tidak cakap lagi melakukan

jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja tidak cakap melakukan

pekerjaannya itu tidak masuk luka berat; (c) Tidak lagi memakai salah satu panca

inderanya; (d) Cacat; (e) Lumpuh artinya tidak bisa menggerakkan anggota

badannya; (f) Tidak dapat berpikir dengan normal; (g) Menggugurkan atau

membunuh anak dalam kandungan.1

Sanksi pidana pada penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP

sebagai berikut:

(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena

melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8

tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian,yang bersalah dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

Aparat penegak hukum harus menangkap pelaku tindak pidana

penganiayaan berat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemidanaan

1 R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia: hal. 98.

3

harus ditegakkan untuk menegakkan keadilan. Menurut Sudarto pemidanaan

merupakan sinonim dari penghukuman. Seorang yang dijatuhi pidana ialah orang

yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana. Jadi pemidanaan itu

berkaitan erat dengan hukum pidana.2

Kejaksaan memiliki kewenangan dalam penuntutan. Menurut Leden

Marpaung, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan

diputus oleh hakim di sidang pengadilan.3

Kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku

tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat mendorong penulis

untuk mengadakan penelitian ini. Perlu untuk diketahui bagaimana jaksa

menyusun surat dakwaan yang nantinya menjadi pedoman bagi hakim dalam

menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penganiyaan berat.

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul: “Upaya

Pembuktian Melalui Saksi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Penganiayaan Yang

Menyebabkan Luka Berat (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta)”.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka yang

menjadi pokok bahasan atau permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama,

Bagaimana upaya pembuktian melalui keterangan saksi dalam penuntutan tindak

pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?; Kedua, Bagaimanakah

hambatan-hambatan yang dihadapi Kejaksaan dalam upaya pembuktian tindak

pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?; Ketiga, Bagaimanakah

upaya Kejakaan dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pembuktian tindak

pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?

2. METODE PENELITIAN

2 Sudarto, 1995, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP

Semarang, hal 89 3 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, hal. 164.

4

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum empiris, yaitu

efektivitas pelaksanaan hukum dan norma-norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dalam hal ini kejaksaan.4

Sumber data menggunakan data primer. Teknik pengumpulan data menggunakan

wawancara dan studi kepustakaan. Teknik analisis data dalam penelitian ini

menggunakan analisis data kualitatif.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1. Upaya Pembuktian Melalui Keterangan Saksi Dalam Penuntutan Tindak

Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Luka Berat

Tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan korban luka berat harus

diselesaikan dengan cara menghukum pelaku dengan hukuman yang setimpal.

Agar pelaku tidak lolos dari hukuman, upaya jaksa dalam melakukan penuntutan

terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat

biasanya adalah dengan melakukan dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan

subsaider. Dakwaan primer merujuk pada Pasal 351 ayat (2) KUHP bahwa: “Jika

perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun”.5

Selanjutnya dakwaan subsider merujuk pada Pasal 351 ayat (1) KUHP

yaitu” “Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua

tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus

rupiah”. Dakwaan primair digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum karena Jaksa

Penutut Umum lebih menilai perbuatan terdakwa menyebabkan luka berat pada

diri saksi korban, pada dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum juga

menggunakan aturan pasal yang sama yakni dengan menggunakan Pasal 351 ayat

(1). Unsur dari pasal ini yakni Jaksa Penuntut Umum lebih berfokus pada adanya

tindakan penganiayaan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban, sehingga

4 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11, UI Pers, Jakarta. Hal. 74

5 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9

Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.

5

atas perbuatannya tersebut terdakwa harus dijatuhi hukuman guna

mempertanggungjawabkan perbuatannya.6

Upaya pembuktian adalah menjadi tugas Jaksa Penuntut Umum untuk

membuktikan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiyaan yang

menyebabkan luka berat. Jaksa dapat menggunakan alat-alat bukti yang diatur

dalam Pasal 184 KUHP yaitu: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat;

(d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa. Ditinjau dari segi urutan alat bukti,

keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Ini menunjukkan bahwa

keterangan saksi merupakan alat bukti paling penting dalam hukum acara pidana.

Agar supaya keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta

memiliki kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus

dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah

sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi

beberapa ketentuan, yakni saksi harus mengucapkan sumpah atau janji,

keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, dan hanya menilai

keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.7 Keterangannya adalah sebagai

berikut:

Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Merujuk pada Pasal 160 ayat

(3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan wajib

mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai agamanya

masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan

keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya.

Selanjutnya Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji

diucapkan oleh saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi

Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk

mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara

penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan

disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar.

6 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9

Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 7 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9

Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.

6

Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi

yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukan alat bukti dan tidak dapat

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, meskipun misalnya hakim,

penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, mendengar bahwa keterangan

seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan

keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman kantor pengadilan atau

disampaikan oleh seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya.

Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan

tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. Demikian juga, keterangan saksi

yang diberikan di depan penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut

hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang

pengadilan.8

Hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak

semua keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan mempunyai

nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti

adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada

dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber

dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya

bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari

pribadinya sendiri.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah

tergantung pada hal-hal sebagai berikut: Pertama, mempunyai kekuatan

pembuktian bebas, artinya bahwa tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna

(volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya pembuktian yang

mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Dengan demikian, alat

bukti keterangan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, dapat

dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge

maupun dengan keterangan ahli atau alibi; Kedua, nilai kekuatan pembuktiannya

8 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9

Mei 2015 di Kejaksaan Negeri Surakarta.

7

tergantung pada penilaian hakim, artinya hakim bebas menilai kekuatan atau

kebenaran yang melekat pada keterangan saksi.9

Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kriteria alat bukti

keterangan saksi yang dinilai sah oleh hakim adalah keterangan saksi yang

diberikan di bawah sumpah, keterangan saksi diberikan di depan persidangan, dan

hakim hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi yang dinilai sah adalah keterangan saksi yang diberikan di

bawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP), fungsi sumpah ini adalah agar

keterangan yang diberikan adalah yang sebenar-benarnya. Makna sumpah atau

janji yang diucapkan oleh saksi sesudah memberikan keterangan di depan sidang

pengadilan ialah bahwa sumpah tersebut bersifat menguatkan keterangannya.

Keterangan saksi yang dinilai sah adalah keterangan saksi yang diberikan

di depan sidang pengadilan. Adapun keterangan saksi yang diberikan di depan

penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut hanya sebagai pedoman

hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang pengadilan. Apabila terdapat

perbedaan antara keterangan seorang saksi yang dinyatakan di depan sidang

pengadilan dengan keterangan yang diterangkan atau dinyatakan saksi dihadapan

pemeriksaan oleh penyidik, maka hakim wajib menanyakan hal tersebut dan

keterangan tersebut dicatat (Pasal 163 KUHAP). Hakim lebih mengutamakan

keterangan saksi di depan persidangan, namun jika keterangan saksi yang berbeda

tersebut berlawanan dengan saksi-saksi lainnya dan atau berlawanan dengan

logika secara umum, Hakim dapat mengingatkan saksi bahwa jika keterangan

yang disampaikan tidak benar maka saksi dapat dipidana karena telah

memberikan keterangan atau sumpah palsu..

Hakim hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.

Hakim dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi

maka harus memperhatikan Pasal 185 ayat (6) KUHAP yaitu persesuaian

keterangan para saksi, persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan

saksi memberikan keterangan tertentu, serta cara hidup dan kesusilaan saksi serta

9 M. Yahya, Harahap

a, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Garfika, hal. 299

8

segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap

keterangan saksi.

3.2. Hambatan-hambatan Yang Dihadapi Kejaksaan dalam Upaya

Pembuktian Melalui Keterangan Saksi pada Tindak Pidana Penganiayaan

yang Menyebabkan Luka Berat

Upaya menggunakan alat bukti keterangan saksi sebagai sarana pembuktian

dalam perkara penganiayaan diakui penuntut umum banyak mengalami hambatan

yang berarti. Hambatan-hambatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Sutarno

sebagai Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Surakarta dalam menangani

perkara penganiayaan dalam wawancara sebagai berikut:10

Kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan. Umumnya hal yang paling

sering ditemukan adalah bahwa saksi tidak hadir dalam persidangan, ini menjadi

kendala atau hambatan bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan pada

proses persidangan.

Keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya. Jika

keterangan saksi yang berbeda tersebut berlawanan dengan saksi-saksi lainnya

dan atau berlawanan dengan logika secara umum, Hakim dapat mengingatkan

saksi bahwa jika keterangan yang disampaikan tidak benar maka saksi dapat

dipidana karena telah memberikan keterangan/sumpah palsu. Hal ini karena

pengucapan sumpah juga dilakukan oleh para saksi sebelum dilaksanakannya

persidangan. Pertimbangan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 163 KUHAP

yang menyatakan:

”Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang

terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal

itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam

berita acâra pemeriksaan sidang”

Saksi mencabut keterangan di BAP. Hal ini dapat terjadi jika saksi adalah

kerabat, bawahan, ataupun orang yang kedudukannya di bawah pelaku, sehingga

10

Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta,

9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.

9

terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang

sebenarnya, dan mengatakan lupa atau tidak ingat lagi, bahkan mencabut

keterangan yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah

dipengaruhi atau mendapat sesuatu dari pelaku berupa imbalan atau

tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti dan dapat melemahkan

pembuktian.

Bilamana seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam Berita

Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan pasal 185

ayat 1 KUHAP bahwa ”Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi

nyatakan di sidang pengadilan”. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi pada

Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat di penyidik hanyalah sebagai alat bukti

petunjuk yang diatur dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP dan tidak mempunyai

kekuatan pembuktian.

3.3. Upaya Kejaksaan Mengatasi Hambatan-hambatan dalam Upaya

Pembuktian Melalui Keterangan Saksi pada Tindak Pidana Penganiayaan

yang Menyebabkan Luka Berat

Hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya pembuktian melalui

keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat

adalah kurangnya partisipasi saksi, keterangan saksi yang berbeda, dan saksi

mencabut keterangan di BAP. Adapun upaya-upaya kejaksaan untuk mengatasi

hambatan-hambatan tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Sutarno sebagai

Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Surakarta adalah sebagai berikut:11

Mengatasi hambatan kurangnya partisipasi saksi di persidangan. Jaksa

penuntut umum dapat meminta kepada hakim untuk menghadirkan paksa saksi di

persidangan. Hal ini sejalan dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyatakan

bahwa:

11

Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta,

9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.

10

“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan

hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu

tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya

saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”

Jika seseorang tidak datang pada hari yang ditetapkan dalam surat

panggilan, meskipun telah dipanggil secara sah, dan hakim ketua sidang

mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir,

maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan

ke persidangan (Pasal 159 KUHAP). Mengenai berapa lama waktu datangnya

surat panggilan kedua jika seseorang menghadiri panggilan yang pertama tidak

diatur dalam KUHAP. Yang diatur hanya bahwa hakim berwenang untuk

memerintahkan supaya saksi dihadapkan ke persidangan.

Mengatasi hambatan keterangan yang berbeda. Upaya jaksa penuntut dalam

menyikapi adanya keterangan saksi yang berbeda antara BAP dengan di depan

persidangan, maka jaksa penunut dapat meminta peran hakim untuk mencari

kebenaran materiil. Ketika terjadi perbedaan keterangan yang diberikan saksi,

maka hakim harus melihat apakah keterangan atau alasan yang diberikan saksi

secara logika dan masuk akal dapat mendukung terjadinya perbedaan keterangan

tersebut.

Mengatasi hambatan saksi mencabut keterangan di BAP. Seorang saksi

ketika memberikan keterangan di depan persidangan, dapat menarik/mencabut

keterangannya yang telah dia berikan di dalam berita acara pemeriksaan saksi

(BAP Saksi) yang dibuat oleh penyidik. Tidak ada pengaturan di KUHAP

mengenai hal keterangan saksi yang “ditarik atau dicabut” di muka persidangan.

Jika seorang saksi “menarik atau mencabut” keterangannya dalam berita acara

pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan Pasal 185

ayat (1) KUHAP: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi

memberikan di sidang pengadilan”. Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan

sebagai hasil pemeriksaan pihak penyidik, baik terhadap saksi maupun tersangka,

tidak lebih dari sekedar pedoman bagi hakim untuk menjalankan pemeriksaan.

Dengan demikian, fungsi keterangan saksi tersebut pada berita acara pemeriksaan

saksi yang dibuat penyidik hanya menjadi alat bukti petunjuk.

11

4. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Pertama, upaya jaksa dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang

menyebabkan luka berat adalah dengan memberikan dakwaan berlapis yaitu

dakwaan primair dan subsaider, mengajukan saksi yang memberatkan (a charge).

Agar keterangan saksi tersebut dinilai sah oleh hakim maka harus diberikan di

bawah sumpah, diberikan di depan persidangan, dan hanya memberikan

keterangan yang bernilai sebagai alat bukti.

Kedua, hambatan-hambatan yang dihadapi kejaksaan dalam upaya

pembuktian melalui keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang

menyebabkan luka berat adalah kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan,

keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya, dan saksi

mencabut keterangan di BAP.

Ketiga, upaya kejaksaan mengatasi hambatan adalah dengan meminta

kepada hakim untuk menghadirkan paksa saksi di persidangan, meminta peran

hakim untuk mencari kebenaran materiil, dan menggunakan keterangan saksi di

depan pengadilan sebagai alat bukti.

4.2. Saran

Pertama, Jaksa penuntut umum dalam proses penuntutan terhadap terdakwa

sebaiknya mempersiapkan dengan matang segala sesuatu yang berhubungan

dengan proses persidangan diantaranya adalah berkas tuntutan, saksi-saksi dan

bukti-bukti. Hal ini agar terdakwa tidak terlepas dari dakwaan/tuntutan dari Jaksa

Penuntut Umum.

Kedua, Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan perlu melihat

hubungan antara korban dan pelaku tindak pidana penganiayaan, agar dalam

melakukan penuntutan tercapai kebenaran materiil dalam suatu tindak pidana, dan

terciptanya keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan oleh seluruh

mayarakat.

12

Ketiga, Jaksa penuntut umum harus mencari saksi yang baik, harus ada

kesesuaian keterangan saksi korban dan saksi-saksi lainnya agar nilai pembuktian

lebih relevan.

Keempat, Jaksa Penuntut Umum memberikan petunjuk yang jelas dan

terperinci terhadap penyidik sehingga penyidik lebih mengetahui kekurangannya

dalam melakukan kelengkapan barang-barang bukti sehingga pengadilan singkat,

sederhana dan biaya ringan dapat terwujudkan.

Kelima, Penelitian berikutnya dapat menggunakan hasil penelitian ini

sebagai bahan referensi untuk menggali lebih dalam permasalahan hukum

pembuktian dalam hukum acara pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adam. 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Hamzah, Andi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.

Iksan, Muchamad. 2012. Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia. Surakarta: UMS Press

Marpaung. Leden. 2012, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar

Grafika

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Nugroho, Hibnu. 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia,

Semarang: Badan Penerbit Undip

Rohrohmana, Basir. 2001. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, Pidana dan

Pemidanaan, Jayapura: Fakutas Hukum Universitas Cenderawasih

Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11. Jakarta: UI

Pers

Soerodibroto, R. Soenarto. 2003. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprudensi

Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi ke-5. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

13

Soesilo, R., 1985. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan,

Bogor: Politeia.

Sudarto. 1995. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum

UNDIP Semarang.

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan Moeljatno, 1999, Jakarta:

Bumi Aksara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan