Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
NASKAH PUBLIKASI
UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN
LUKA BERAT
(Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta)
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan
Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Disusun oleh:
NIA YUNITA CHRISTANTI
C 100 120 121
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
i
PERSETUJUAN
Naskah publikasi ini disetujui oleh Pembimbing Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
Menyetujui
Pembimbing Utama
Hartanto, S.H.,M.Hum.
ii
HALAMAN PENGESEHAN
UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN
TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN
LUKA BERAT
(Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta)
Yang ditulis oleh:
NIA YUNITA CHRISTANTI
C 100 120 121
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal Juli 2016
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan Penguji
Ketua : ( )
Sekretaris : ( )
Anggota :. ( )
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Dr. Natangsa Surbakti, S.H.,M.Hum)
iii
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Bismillahirrohmannirrohim
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Nia Yunita Christanti
NIM : C 100 120 121
Fakultas : Hukum
Jenis : Skripsi
Judul : UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM
PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT (Studi Kasus di
Kejaksaaan Negeri Surakarta)
Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk:
1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UMS atas penulisan
karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan
2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan / mengalih formatkan,
mengelola daam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, serta
menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada
Perpustakaan UMS, tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis / pencipta
3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara pribadi tanpa melibatkan
pihak Perpustakaan UMS, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas
pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Surakarta, 25 Juli 2016
Yang Menyatakan
Nia Yunita Christanti
C 100 120 121
1
UPAYA PEMBUKTIAN MELALUI SAKSI DALAM PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT
Nia Yunita Christanti
C 100 120 121
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
2016
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis upaya pembuktian melalui
keterangan saksi dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang
menyebabkan luka berat. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris.
Penelitian dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Surakarta. Sumber data
menggunakan data primer. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: upaya jaksa dalam penuntutan tindak
pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah dengan memberikan
dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan subsaider, mengajukan saksi yang
memberatkan (a charge). Agar keterangan saksi tersebut dinilai sah oleh hakim
maka harus diberikan di bawah sumpah, diberikan di depan persidangan, dan
hanya memberikan keterangan yang bernilai sebagai alat bukti. Hambatan-
hambatan yang dihadapi kejaksaan dalam upaya pembuktian melalui keterangan
saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat adalah
kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan, keterangan saksi tidak sesuai
dengan keterangan saksi lainnya, dan saksi mencabut keterangan di BAP.
Kata Kunci: tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat, upaya
pembuktian melalui keterangan saksi
ABSTRACT
The purpose of this study was to analyze the efforts to prove through witness
testimony in the prosecution of criminal acts of persecution that led to serious
injuries. This research includes empirical legal research. Research conducted at
the State Attorney Surakarta. The data source using primary data. Data were
analyzed using qualitative analysis. The results showed that: efforts prosecutor in
the prosecution of criminal acts of persecution that caused severe injuries is to
provide a layered indictment is the primary charge and subsaider, propose
witnesses against him (a charge). In order for the witness testimony is considered
valid by the judge must be given under oath, given in front of the court, and only
provide information of value as evidence. The obstacles faced by the prosecutor in
efforts to prove through witness testimony in the criminal acts of persecution that
causes serious injury is the lack of participation of witnesses in the trial, witness
testimony does not correspond to other witness testimony, and witnesses retract
statements.
Keywords: criminal acts of persecution that caused serious injury, efforts to prove
through witness testimony
2
1. PENDAHULUAN
Penganiayaan adalah perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan rasa
sakit atau luka pada tubuh orang lain. Dalam KUHP, delik penganiayaan
merupakan suatu bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain terhadap
fisik bahkan dapat berimbas pada hilangnya nyawa orang lain. Tindak pidana
penganiayaan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum
sehingga dilarang oleh undang-undang. Menurut Pasal 351 KUHP:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pengertian luka berat atau parah menurut Soesilo adalah: (a) Penyakit atau
luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat
mendatangkan bahaya maut; (b) Terus-menerus tidak cakap lagi melakukan
jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja tidak cakap melakukan
pekerjaannya itu tidak masuk luka berat; (c) Tidak lagi memakai salah satu panca
inderanya; (d) Cacat; (e) Lumpuh artinya tidak bisa menggerakkan anggota
badannya; (f) Tidak dapat berpikir dengan normal; (g) Menggugurkan atau
membunuh anak dalam kandungan.1
Sanksi pidana pada penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP
sebagai berikut:
(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama 8
tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian,yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.
Aparat penegak hukum harus menangkap pelaku tindak pidana
penganiayaan berat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemidanaan
1 R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politeia: hal. 98.
3
harus ditegakkan untuk menegakkan keadilan. Menurut Sudarto pemidanaan
merupakan sinonim dari penghukuman. Seorang yang dijatuhi pidana ialah orang
yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana. Jadi pemidanaan itu
berkaitan erat dengan hukum pidana.2
Kejaksaan memiliki kewenangan dalam penuntutan. Menurut Leden
Marpaung, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan.3
Kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat mendorong penulis
untuk mengadakan penelitian ini. Perlu untuk diketahui bagaimana jaksa
menyusun surat dakwaan yang nantinya menjadi pedoman bagi hakim dalam
menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana penganiyaan berat.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul: “Upaya
Pembuktian Melalui Saksi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Penganiayaan Yang
Menyebabkan Luka Berat (Studi Kasus di Kejaksaaan Negeri Surakarta)”.
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang maka yang
menjadi pokok bahasan atau permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama,
Bagaimana upaya pembuktian melalui keterangan saksi dalam penuntutan tindak
pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?; Kedua, Bagaimanakah
hambatan-hambatan yang dihadapi Kejaksaan dalam upaya pembuktian tindak
pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?; Ketiga, Bagaimanakah
upaya Kejakaan dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pembuktian tindak
pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat?
2. METODE PENELITIAN
2 Sudarto, 1995, Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP
Semarang, hal 89 3 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, hal. 164.
4
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian hukum empiris, yaitu
efektivitas pelaksanaan hukum dan norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dalam hal ini kejaksaan.4
Sumber data menggunakan data primer. Teknik pengumpulan data menggunakan
wawancara dan studi kepustakaan. Teknik analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis data kualitatif.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Upaya Pembuktian Melalui Keterangan Saksi Dalam Penuntutan Tindak
Pidana Penganiayaan Yang Menyebabkan Luka Berat
Tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan korban luka berat harus
diselesaikan dengan cara menghukum pelaku dengan hukuman yang setimpal.
Agar pelaku tidak lolos dari hukuman, upaya jaksa dalam melakukan penuntutan
terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat
biasanya adalah dengan melakukan dakwaan berlapis yaitu dakwaan primair dan
subsaider. Dakwaan primer merujuk pada Pasal 351 ayat (2) KUHP bahwa: “Jika
perbuatan itu menyebabkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun”.5
Selanjutnya dakwaan subsider merujuk pada Pasal 351 ayat (1) KUHP
yaitu” “Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus
rupiah”. Dakwaan primair digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum karena Jaksa
Penutut Umum lebih menilai perbuatan terdakwa menyebabkan luka berat pada
diri saksi korban, pada dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum juga
menggunakan aturan pasal yang sama yakni dengan menggunakan Pasal 351 ayat
(1). Unsur dari pasal ini yakni Jaksa Penuntut Umum lebih berfokus pada adanya
tindakan penganiayaan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi korban, sehingga
4 Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11, UI Pers, Jakarta. Hal. 74
5 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9
Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.
5
atas perbuatannya tersebut terdakwa harus dijatuhi hukuman guna
mempertanggungjawabkan perbuatannya.6
Upaya pembuktian adalah menjadi tugas Jaksa Penuntut Umum untuk
membuktikan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penganiyaan yang
menyebabkan luka berat. Jaksa dapat menggunakan alat-alat bukti yang diatur
dalam Pasal 184 KUHP yaitu: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat;
(d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa. Ditinjau dari segi urutan alat bukti,
keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama. Ini menunjukkan bahwa
keterangan saksi merupakan alat bukti paling penting dalam hukum acara pidana.
Agar supaya keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta
memiliki kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap sah
sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus dipenuhi
beberapa ketentuan, yakni saksi harus mengucapkan sumpah atau janji,
keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, dan hanya menilai
keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.7 Keterangannya adalah sebagai
berikut:
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Merujuk pada Pasal 160 ayat
(3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan wajib
mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai agamanya
masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya.
Selanjutnya Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji
diucapkan oleh saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi
Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk
mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara
penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan
disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar.
6 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9
Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta. 7 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9
Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.
6
Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi
yang dinyatakan di luar sidang pengadilan bukan alat bukti dan tidak dapat
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, meskipun misalnya hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum, mendengar bahwa keterangan
seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan
keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman kantor pengadilan atau
disampaikan oleh seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya.
Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan
tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. Demikian juga, keterangan saksi
yang diberikan di depan penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut
hanya sebagai pedoman hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang
pengadilan.8
Hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak
semua keterangan saksi yang diberikan di depan sidang pengadilan mempunyai
nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti
adalah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP yang pada
dasarnya menyatakan bahwa keterangan saksi adalah keterangan yang bersumber
dari apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan saksi alami sendiri. Artinya
bahwa fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan saksi haruslah bersumber dari
pribadinya sendiri.
Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah
tergantung pada hal-hal sebagai berikut: Pertama, mempunyai kekuatan
pembuktian bebas, artinya bahwa tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna
(volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di dalamnya pembuktian yang
mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Dengan demikian, alat
bukti keterangan saksi yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, dapat
dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge
maupun dengan keterangan ahli atau alibi; Kedua, nilai kekuatan pembuktiannya
8 Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta, 9
Mei 2015 di Kejaksaan Negeri Surakarta.
7
tergantung pada penilaian hakim, artinya hakim bebas menilai kekuatan atau
kebenaran yang melekat pada keterangan saksi.9
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa kriteria alat bukti
keterangan saksi yang dinilai sah oleh hakim adalah keterangan saksi yang
diberikan di bawah sumpah, keterangan saksi diberikan di depan persidangan, dan
hakim hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Keterangan saksi yang dinilai sah adalah keterangan saksi yang diberikan di
bawah sumpah (Pasal 160 ayat (3) KUHAP), fungsi sumpah ini adalah agar
keterangan yang diberikan adalah yang sebenar-benarnya. Makna sumpah atau
janji yang diucapkan oleh saksi sesudah memberikan keterangan di depan sidang
pengadilan ialah bahwa sumpah tersebut bersifat menguatkan keterangannya.
Keterangan saksi yang dinilai sah adalah keterangan saksi yang diberikan
di depan sidang pengadilan. Adapun keterangan saksi yang diberikan di depan
penyidik bukan merupakan alat bukti, keterangan tersebut hanya sebagai pedoman
hakim untuk memeriksa perkara di dalam sidang pengadilan. Apabila terdapat
perbedaan antara keterangan seorang saksi yang dinyatakan di depan sidang
pengadilan dengan keterangan yang diterangkan atau dinyatakan saksi dihadapan
pemeriksaan oleh penyidik, maka hakim wajib menanyakan hal tersebut dan
keterangan tersebut dicatat (Pasal 163 KUHAP). Hakim lebih mengutamakan
keterangan saksi di depan persidangan, namun jika keterangan saksi yang berbeda
tersebut berlawanan dengan saksi-saksi lainnya dan atau berlawanan dengan
logika secara umum, Hakim dapat mengingatkan saksi bahwa jika keterangan
yang disampaikan tidak benar maka saksi dapat dipidana karena telah
memberikan keterangan atau sumpah palsu..
Hakim hanya menilai keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti.
Hakim dalam menilai dan mengkonstruksikan kebenaran keterangan para saksi
maka harus memperhatikan Pasal 185 ayat (6) KUHAP yaitu persesuaian
keterangan para saksi, persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan
saksi memberikan keterangan tertentu, serta cara hidup dan kesusilaan saksi serta
9 M. Yahya, Harahap
a, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), Jakarta: Sinar Garfika, hal. 299
8
segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap
keterangan saksi.
3.2. Hambatan-hambatan Yang Dihadapi Kejaksaan dalam Upaya
Pembuktian Melalui Keterangan Saksi pada Tindak Pidana Penganiayaan
yang Menyebabkan Luka Berat
Upaya menggunakan alat bukti keterangan saksi sebagai sarana pembuktian
dalam perkara penganiayaan diakui penuntut umum banyak mengalami hambatan
yang berarti. Hambatan-hambatan sebagaimana yang dijelaskan oleh Sutarno
sebagai Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Surakarta dalam menangani
perkara penganiayaan dalam wawancara sebagai berikut:10
Kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan. Umumnya hal yang paling
sering ditemukan adalah bahwa saksi tidak hadir dalam persidangan, ini menjadi
kendala atau hambatan bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan pada
proses persidangan.
Keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya. Jika
keterangan saksi yang berbeda tersebut berlawanan dengan saksi-saksi lainnya
dan atau berlawanan dengan logika secara umum, Hakim dapat mengingatkan
saksi bahwa jika keterangan yang disampaikan tidak benar maka saksi dapat
dipidana karena telah memberikan keterangan/sumpah palsu. Hal ini karena
pengucapan sumpah juga dilakukan oleh para saksi sebelum dilaksanakannya
persidangan. Pertimbangan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 163 KUHAP
yang menyatakan:
”Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang
terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal
itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam
berita acâra pemeriksaan sidang”
Saksi mencabut keterangan di BAP. Hal ini dapat terjadi jika saksi adalah
kerabat, bawahan, ataupun orang yang kedudukannya di bawah pelaku, sehingga
10
Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta,
9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.
9
terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang
sebenarnya, dan mengatakan lupa atau tidak ingat lagi, bahkan mencabut
keterangan yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah
dipengaruhi atau mendapat sesuatu dari pelaku berupa imbalan atau
tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti dan dapat melemahkan
pembuktian.
Bilamana seorang saksi menarik atau mencabut keterangannya dalam Berita
Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan pasal 185
ayat 1 KUHAP bahwa ”Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan”. Dengan demikian, fungsi keterangan saksi pada
Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat di penyidik hanyalah sebagai alat bukti
petunjuk yang diatur dalam pasal 188 ayat 2 KUHAP dan tidak mempunyai
kekuatan pembuktian.
3.3. Upaya Kejaksaan Mengatasi Hambatan-hambatan dalam Upaya
Pembuktian Melalui Keterangan Saksi pada Tindak Pidana Penganiayaan
yang Menyebabkan Luka Berat
Hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya pembuktian melalui
keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka berat
adalah kurangnya partisipasi saksi, keterangan saksi yang berbeda, dan saksi
mencabut keterangan di BAP. Adapun upaya-upaya kejaksaan untuk mengatasi
hambatan-hambatan tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Sutarno sebagai
Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Surakarta adalah sebagai berikut:11
Mengatasi hambatan kurangnya partisipasi saksi di persidangan. Jaksa
penuntut umum dapat meminta kepada hakim untuk menghadirkan paksa saksi di
persidangan. Hal ini sejalan dengan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyatakan
bahwa:
11
Sutarno, Jaksa Penuntut di Kejaksaan Negeri Surakarta, Wawancara Pribadi, Surakarta,
9 Mei 2016 di Kejaksaan Negeri Surakarta.
10
“Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan
hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu
tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya
saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”
Jika seseorang tidak datang pada hari yang ditetapkan dalam surat
panggilan, meskipun telah dipanggil secara sah, dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir,
maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan
ke persidangan (Pasal 159 KUHAP). Mengenai berapa lama waktu datangnya
surat panggilan kedua jika seseorang menghadiri panggilan yang pertama tidak
diatur dalam KUHAP. Yang diatur hanya bahwa hakim berwenang untuk
memerintahkan supaya saksi dihadapkan ke persidangan.
Mengatasi hambatan keterangan yang berbeda. Upaya jaksa penuntut dalam
menyikapi adanya keterangan saksi yang berbeda antara BAP dengan di depan
persidangan, maka jaksa penunut dapat meminta peran hakim untuk mencari
kebenaran materiil. Ketika terjadi perbedaan keterangan yang diberikan saksi,
maka hakim harus melihat apakah keterangan atau alasan yang diberikan saksi
secara logika dan masuk akal dapat mendukung terjadinya perbedaan keterangan
tersebut.
Mengatasi hambatan saksi mencabut keterangan di BAP. Seorang saksi
ketika memberikan keterangan di depan persidangan, dapat menarik/mencabut
keterangannya yang telah dia berikan di dalam berita acara pemeriksaan saksi
(BAP Saksi) yang dibuat oleh penyidik. Tidak ada pengaturan di KUHAP
mengenai hal keterangan saksi yang “ditarik atau dicabut” di muka persidangan.
Jika seorang saksi “menarik atau mencabut” keterangannya dalam berita acara
pemeriksaan saksi yang dibuat penyidik, maka berlakulah ketentuan Pasal 185
ayat (1) KUHAP: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
memberikan di sidang pengadilan”. Dengan demikian Berita Acara Pemeriksaan
sebagai hasil pemeriksaan pihak penyidik, baik terhadap saksi maupun tersangka,
tidak lebih dari sekedar pedoman bagi hakim untuk menjalankan pemeriksaan.
Dengan demikian, fungsi keterangan saksi tersebut pada berita acara pemeriksaan
saksi yang dibuat penyidik hanya menjadi alat bukti petunjuk.
11
4. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pertama, upaya jaksa dalam penuntutan tindak pidana penganiayaan yang
menyebabkan luka berat adalah dengan memberikan dakwaan berlapis yaitu
dakwaan primair dan subsaider, mengajukan saksi yang memberatkan (a charge).
Agar keterangan saksi tersebut dinilai sah oleh hakim maka harus diberikan di
bawah sumpah, diberikan di depan persidangan, dan hanya memberikan
keterangan yang bernilai sebagai alat bukti.
Kedua, hambatan-hambatan yang dihadapi kejaksaan dalam upaya
pembuktian melalui keterangan saksi pada tindak pidana penganiayaan yang
menyebabkan luka berat adalah kurangnya partisipasi saksi dalam persidangan,
keterangan saksi tidak sesuai dengan keterangan saksi lainnya, dan saksi
mencabut keterangan di BAP.
Ketiga, upaya kejaksaan mengatasi hambatan adalah dengan meminta
kepada hakim untuk menghadirkan paksa saksi di persidangan, meminta peran
hakim untuk mencari kebenaran materiil, dan menggunakan keterangan saksi di
depan pengadilan sebagai alat bukti.
4.2. Saran
Pertama, Jaksa penuntut umum dalam proses penuntutan terhadap terdakwa
sebaiknya mempersiapkan dengan matang segala sesuatu yang berhubungan
dengan proses persidangan diantaranya adalah berkas tuntutan, saksi-saksi dan
bukti-bukti. Hal ini agar terdakwa tidak terlepas dari dakwaan/tuntutan dari Jaksa
Penuntut Umum.
Kedua, Jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan perlu melihat
hubungan antara korban dan pelaku tindak pidana penganiayaan, agar dalam
melakukan penuntutan tercapai kebenaran materiil dalam suatu tindak pidana, dan
terciptanya keadilan dan kepastian hukum yang diharapkan oleh seluruh
mayarakat.
12
Ketiga, Jaksa penuntut umum harus mencari saksi yang baik, harus ada
kesesuaian keterangan saksi korban dan saksi-saksi lainnya agar nilai pembuktian
lebih relevan.
Keempat, Jaksa Penuntut Umum memberikan petunjuk yang jelas dan
terperinci terhadap penyidik sehingga penyidik lebih mengetahui kekurangannya
dalam melakukan kelengkapan barang-barang bukti sehingga pengadilan singkat,
sederhana dan biaya ringan dapat terwujudkan.
Kelima, Penelitian berikutnya dapat menggunakan hasil penelitian ini
sebagai bahan referensi untuk menggali lebih dalam permasalahan hukum
pembuktian dalam hukum acara pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adam. 2002, Pelajaran Hukum Pidana 2, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Hamzah, Andi. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Sinar Grafika.
Iksan, Muchamad. 2012. Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Surakarta: UMS Press
Marpaung. Leden. 2012, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar
Grafika
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Nugroho, Hibnu. 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia,
Semarang: Badan Penerbit Undip
Rohrohmana, Basir. 2001. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, Pidana dan
Pemidanaan, Jayapura: Fakutas Hukum Universitas Cenderawasih
Soekanto, Soerjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum, Edisi 11. Jakarta: UI
Pers
Soerodibroto, R. Soenarto. 2003. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi ke-5. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
13
Soesilo, R., 1985. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan,
Bogor: Politeia.
Sudarto. 1995. Hukum Pidana I. Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum
UNDIP Semarang.
Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Terjemahan Moeljatno, 1999, Jakarta:
Bumi Aksara
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan