Upload
domien
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
1
ANALISA POTENSI LUAPAN AIR SUNGAI JRAGUNG PADA LOKASI JEMBATAN
KERETA API TEGOWANU-GUBUG
NADIRA SARASWATI
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi
Bandung
ABSTRAK
Perencanaan pembangunan jalur kereta api khususnya untuk jalur yang melewati air
(sungai), kadang tidak direncanakan dengan detail. Sehingga, pada tanggal 4 Januari 2011
terdapat penundaan perjalanan kereta api pada ruas Tegowanu – Gubug yang diakibatkan oleh
meluapnya sungai Jragung. Hal ini seharusnya tidak akan terjadi apabila dalam perencanaan
pembangunan jembatan kereta api yang melintasi sungai dilakukan dengan cermat. Curah
hujan wilayah tersebut saat kejadian tercatat senilai 41 mm. Berdasarkan metoda Cumulative
Distribution Function (CDF), probabilitas terjadinya curah hujan senilai 41 mm adalah 0.06.
Hal ini berarti, saat terjadinya luapan dari sungai Jragung telah terjadi hujan yang cukup
ekstrim. Untuk melihat potensi meluapnya sungai Jragung, dilakukan perhitungan debit banjir
rencana dengan menggunakan metode Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1 dengan periode ulang
2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun. Hasil debit banjir rencana pada periode ulang tersebut adalah
114.86 m3/s, 253.37 m
3/s, 346.56 m
3/s, 464.31 m
3/s, 551.65 m
3/s, dan 638.35 m
3/s. Perhitungan
tinggi muka air sungai dilakukan guna untuk mengetahui tinggi muka air untuk masing-masing
periode ulang. Untuk perhitungan tinggi muka air berdasarkan rumus Manning masing-masing
periode ulang adalah senilai 1.209 m, 2.15 m, 2.44 m, 2.76 m, 2.96 m, dan 3.14 m.
Berdasarkan peraturan kementrian Pekerjaan Umum mengenai satu meter dibawah jembatan
kereta api adalah ruang bebas aliran, jembatan kereta api ini tergolong rawan. Karena jembatan
ini memiliki tinggi jagaan senilai 1.2 m. Sehingga dapat dikatakan bahwa debit banjir rencana
yang aman untuk jembatan ini hanyalah debit banjir rencana 2 tahun. Tinggi muka air pada
terjadinya luapan adalah setinggi 1.39 m..
1. Pendahuluan
Transportasi Kereta Api (KA) merupakan
transportasi yang banyak digunakan oleh masyarakat
Indonesia. Jalurnya yang bebas hambatan dan
memiliki daya tampung yang besar menjadi unggulan
dibandingkan dengan transportasi lainnya. Mengingat
banyaknya penduduk di Indonesia, dan semakin
meningkatnya pengguna kendaraan roda dua dan
empat yang mengakibatkan lalu lintas di jalan raya
semakin padat, kereta api menjadi salah satu alternatif
transportasi umum yang menjadi pilihan utama di
Indonesia.
Undang-undang Perkeretaapian No.13 Tahun
1992 menyebutkan bahwa perkeretaapian merupakan
salah satu moda yang memiliki karakteristik dan
keunggulan khusus. Terutama dalam kemampuannya
untuk mengangkut baik penumpang maupun barang
secara massal, hemat energi, hemat dalam penggunaan
ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, dan
tingkat pencemaran yang rendah dan lebih efisien
dibanding dengan moda transportasi jalan raya untuk
angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang padat lalu
lintas, seperti angkutan kota.
Namun, hal tersebut tidak didukung oleh
pembangunan serta perawatan kereta api.
Pembangunan serta perawatan KA di Indonesia masih
kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga,
beberapa tahun terakhir kecelakaan kereta api semakin
meningkat. Gambar 1 memperlihatkan tren kecelakaan
kereta api periode tahun 2000 hingga 2005. Terlihat
bahwa terdapat empat jenis kecelakaan kereta api,
diantaranya adalah akibat banjir atau longsor. Gambar 1. Tren Kecelakaan KA Tahun 2000 – 2005
2
Pada 4 Januari 2011 di ruas Tegowanu – Gubug
telah terjadi penundaan perjalanan kereta api yang
diakibatkan oleh meluapnya air sungai di daerah
tersebut. Luapan sungai tersebut menggenangi
jembatan rel kereta api. (www.kompas.com, 2011)
Berdasarkan peraturan kementrian Pekerjaan Umum,
syarat dibangunnya jembatan kereta api yang
melintasi sebuah sungai adalah terdapat ruang 1 meter
dibawah jembatan yang bebas aliran air.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu adanya
penelitian khusus untuk menganalisa potensi luapan
air sungai Jragung pada lokasi jembatan rel kereta api
ruas Tegowanu – Gubug.
2. Kajian Pustaka
2.1. Banjir
Banjir adalah suatu kondisi dimana tidak
tertampungnya air dalam saluran pembuangan (kali)
atau terhambatnya aliran air di dalam saluran
pembuangan. Banjir merupakan peristiwa alam yang
dapat menimbulkan kerugian harta benda penduduk
serta dapat pula menimbulkan korban jiwa. Dapat
dikatakan banjir apabila terjadi luapan air yang
disebabkan kurangnya kapasitas penampang saluran.
(Suripin, 2006)
Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya
banjir. Umumnya terdapat dua faktor penyebab utama
banjir, yaitu banjir yang disebabkan secara alami, dan
banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia.
Faktor sebab-sebab alami banjir, diantaranya adalah :
1. Curah Hujan
2. Pengaruh Fisiografi
3. Erosi dan Sedimentasi
4. Kapasitas sungai
5. Kapasitas drainase yang tidak memadai
6. Pengaruh air pasang
2.2. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Banjir
Hujan yang jatuh di suatu DAS akan berubah
menjadi aliran di sungai. Dengan demikian terdapat
suatu hubungan antara hujan dan debit aliran, yang
tergantung pada karakteristik DAS. (Triatmodjo,
2009) Sebelum membahas lebih jauh mengenai
hubungan hujan dan debit, perlu diketahui terlebih
dahulu faktor hujan yang berpengaruh terhadap banjir.
Diantaranya adalah : (Adisusanto, 2011)
1. Kelebatan curah hujan
Kelebatan curah hujan sangat berpengaruh
terhadap besarnya limpasan, semakin lebat
hujannya, akan menimbulkan limpasan yang lebih
besar.
2. Lamanya curah hujan
Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi
kejenuhan tanah, semakin lama waktu hujan
terjadi, akan meningkatkan kejenuhan tanah yang
selanjutnya akan menentukan terjadinya
peningkatan limpasan.
3. Intensitas curah hujan
Apabila intensitas curah hujan lebih besar dari
kapasitas infiltrasi, akan mengakibatkan besarnya
limpasan segera meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas curah hujannya.
4. Distribusi curah hujan
Pada daerah aliran sungai secara merata yang
diakibatkan oleh hujan lebat akan mengakibatkan
limpasan yang lebih besar dibandingkan aliran
permukaan yang diakibatkan oleh curah hujan
yang distribusinya tidak merata. Karena pada
curah hujan yang distribusinya merata, setelah
dipakai untuk memenuhi terjadinya kejenuhan
tanah, sebagian besar akan mengalir menjadi
aliran permukaan.
2.3. Debit Banjir Rencana
Debit banjir rencana merupakan debit yang
dijadikan dasar perencanaan, yaitu debit maksimum
rencana di suatu sungai atau drainase dengan periode
ulang tertentu (QT) yang dapat dialirkan tanpa
membahayakan lingkungan sekitar dan stabilitas
sungai. Debit banjir rencana adalah debit banjir yang
rata-rata terjadi satu kali dalam periode ulang yang
ditinjau.
Pemilihan debit banjir rencana untuk bangunan
air adalah suatu masalah yang sangat bergantung pada
analisis statistik dari urutan banjir baik berupa debit
air di sungai maupun hujan. Dalam pemilihan suatu
teknik analisis penentuan banjir rencana tergantung
dari data-data yang tersedia dan jenis dari bangunan
air yang akan dibangun. (Soemarto, 1986)
2.4. Periode Ulang
Periode ulang (return period) didefinisikan
sebagai waktu hipotetik dimana debit atau hujan
dengan suatu besaran tertentu (XT) akan disamai atau
dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Namun
hal tersebut tidak berarti bahwa debit atau hujan
periode ulang tertentu hanya akan terjadi satu kali
dalam periode x tahun yang berurutan. Sehingga
kemungkinan terjadinya hujan rencana dalam suatu
periode adalah sebagai berikut: (Bruce dan Clark)
! ! !!
! 2-1
dimana:
p : probabilitas (kemungkinan) terjadinya hujan
rencana
T : periode ulang (tahun)
2.5 Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama 1
Hidrograf satuan dapat didefinisikan sebagai
hidrograf aliran langsung (direct runoff), yang
dihasilkan oleh satu unit tebal 1 mm curah hujan
efektif yang jatuh merata pada daerah aliran sungai
pada periode waktu tertentu. Unit tebal hujan efektif 1
mm biasanya digunakan untuk mengontrol volume
hidrograf satuan yang apabila dibagi luas DAS akan
3
mendapatkan unit ketebalan curah hujan efektif 1 mm.
(Adisusanto, 2011)
Hidrograf satuan sintetik dapat dibuat apabila
pada daerah aliran sungai yang diobservasi, sama
sekali tidak ada data pencatatan tinggi muka air
otomatis (AWLR). Sehingga untuk membuat
hidrograf sintetik diperlukan peninjauan kondisi
karakteristik daerah aliran sungai terlebih dahulu,
untuk menetapkan parameter – parameter daerah
aliran sungai yang diperlukan untuk membuat
hidrograf sintetik itu sendiri. (Triatmodjo, 2009)
Hidrograf satuan sintetik Gama 1 dikembangkan
oleh Sri Harto (1993, 2000) berdasarkan perilaku
hidrologis 30 DAS di Pulau Jawa. HSS Gama 1 terdiri
dari tiga bagian pokok yaitu sisi naik (rising limb),
puncak (crest) dan sisi turun atau resesi (recession
limb).
Gambar 2. Hidrograf Satuan Sintetik Gama 1
HSS Gama 1 terdiri dari empat variable pokok,
yaitu waktu naik (time of rise – TR), debit puncak
(Qp), waktu dasar (TB), dan sisi resesi yang ditentukan
oleh nilai koefisien tampungan (K) yang mengikuti
persamaan berikut: (Triatmodjo, 2009)
!! ! !!!!!!! 2-2
dimana:
Qt : debit pada jam ke t (m3/s)
Qp : debit puncak (m3/s)
t : waktu dari saat terjadinya debit puncak (jam)
K : koefisien tampungan
3. Data dan Metodologi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data curah hujan harian tahun 2002 – 2011 dari lima
titik pos hujan, data DEM daerah aliran sungai
Jragung dengan resolusi 90 m, penampang melintang
sungai Jragung, dan profil jembatan kereta api ruas
Tegowanu – Gubug yang melintas pada sungai
Jragung.
3.1. Identifikasi Kejadian Ekstrim
Pada tanggal 4 Januari 2011, hari terjadi
meluapnya sungai Jragung di jembatan kereta api ruas
Tegowanu – Gubug, curah hujan yang tercatat adalah
41 mm.
Untuk melihat apakah hujan tersebut termasuk
kategori ekstrim atau tidak, digunakan analisa
Cumulative Distribution Function (CDF).
Gambar 3. Hasil CDF Curah Hujan Tahun 2002-2011
Berdasarkan gambar 3, grafik hasil CDF data
curah hujan tahun 2002 – 2011 menunjukkan bahwa
kejadian curah hujan dengan nilai 41 mm selama
sepuluh tahun terakhir termasuk jarang terjadi. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai probabilitas kumulatif yang
tinggi yaitu 0.94. Maka probabilitas kejadian dengan
curah hujan 41 mm di DAS Jragung dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
Probabilitas Kejadian = 1 - Probabilitas
Kumulatif Kejadian 3-1
Berdasarkan perhitungan dengan persamaan 3-1,
maka didapatkan kejadian curah hujan sebesar lebih
besar dari 41 mm pada tahun 2002 – 2011 adalah 0.06,
atau dengan kata lain hanya 1 dari 16 kejadian curah
hujan yang memiliki nilai lebih besar dari 41 mm dari
data itulah maka pada kasus pada tanggal 4 Januari
2011 dapat dikatakan kasus yang ekstrim.
3.2. Curah Hujan Wilayah
Untuk mengetahui besarnya curah hujan
wilayah pada daerah kajian yaitu DAS Jragung,
digunakan metode poligon Thiessen. Untuk
menghitung koefisien Thiessen, digunakan rumus
sebagai berikut: (Montarcih)
!! ! !!!
!!!!""# 3-2
dimana:
Ci : koefisien Thiessen
Ai : luas bagian daerah di tiap stasiun pengamatan
(km2)
A : luas total DAS (km2)
Perhitungan curah hujan wilayah menggunakan
metode poligon Thiessen, dapat digunakan rumus:
! ! !!!!!!! ! !!!!! !!! !!!!!!! 3-3
!
"#!"$!%!"&!'
($)*!
+,(-!
+,!
+.!$!/0123!
"#
"!/2
4 )53!
4
dimana:
R : curah hujan wilayah
Ri : curah hujan di stasiun i
3.3. Curah Hujan Rencana
Analisis curah hujan rencana ini ditujukan untuk
mengetahui besarnya curah hujan maksimum dalam
periode ulang tertentu yang nantinya dipergunakan
untuk perhitungan debit banjir rencana. Untuk
perhitungan hujan rencana digunakan analisa
frekuensi, cara yang dipakai adalah dengan
menggunakan metode distribusi kemungkinan
(Probability Distribution) teoritis yang ada. Beberapa
jenis distribusi yang digunakan antara lain:
• Distribusi Normal
• Distribusi Gumbel
• Distribusi Log Pearson Tipe III
• Distribusi Log Normal
Dalam penentuan metode yang akan digunakan,
terlebih dahulu ditentukan parameter-parameter
statistik sebagai berikut:
a. Standar Deviasi (δx)
Standar deviasi merupakan ukuran sebaran yang
paling banyak digunakan. Apabila penyebaran sangat
besar terhadap nilai rata-rata, maka nilai δx akan
besar, akan tetapi jika penyebaran data sangat kecil
terhadap nilai rata-rata maka nilai δx akan kecil pula.
Standar deviasi dapat dihitung dengan rumus berikut :
!! ! !
!!! ! !!
!!!
!! ! !!
3-4
b. Koefisien Variasi (Cv)
Koefisien variasi adalah nilai perbandingan
antara standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung
dari suatu distribusi normal. Koefisien variasi dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
!! ! !!!
!!
3-5
c. Koefisien Skewness (Cs)
Koefisien skewness (kecondongan) adalah suatu
nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan
(asimetri) dari suatu bentuk distribusi. Apabila kurva
frekuensi dari suatu distribusi mempunyai ekor
memanjang ke kanan atau ke kiri terhadap titik pusat
maksimum, maka kurva tersebut tidak akan berbentuk
simetri. Keadaan tersebut disebut condong ke kanan
atau ke kiri. Pengukuran kecondongan adalah untuk
mengukur seberapa besar kurva frekuensi dari suatu
distribusi tidak simetri atau condong. Ukuran
kecondongan dinyatakan dengan besarnya koefisien
kecondongan atau koefisien skewness, dan dapat
dihitung dengan persamaan dibawah ini:
!! ! !!!! !!! ! !!
!!
!!!
! ! ! !!! ! ! ! !!!!! 3-6
d. Koefisien Kurtosis (Ck)
Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk
mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi
dan sebagai pembandingnya adalah distribusi normal.
Koefisien kurtosis (Coefficient of Kurtosis)
dirumuskan sebagai berikut:
!! ! !!!! ! !!! ! !!
!!
!!!
!! ! !!!!! ! !!!!! ! !!!!! 3-7
Dari harga parameter statistik tersebut akan
dipilih jenis distribusi yang sesuai. Adapun syarat-
syarat dari masing-masing distribusi ditunjukkan pada
tabel 1.
Tabel 1. Syarat Kecocokan Distribusi Probabilitas
(Adisusanto, 2011)
3.4. Intensitas Curah Hujan
Intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari
data curah hujan harian (mm) secara empiris dengan
menggunakan metode Mononobe. Berikut merupakan
persamaan Mononobe :
! ! !!!"
!"
!"
!
!!!
3-8
dimana:
R : curah hujan rencana (mm)
t : lamanya curah hujan (jam)
I : intensitas curah hujan (mm/jam)
Besarnya intensitas curah hujan tidak sama di
semua tempat. Hal ini dipengaruhi oleh topografi,
durasi, dan frekuensi di tempat atau lokasi yang
bersangkutan. Ketiga hal tersebut dijadikan
pertimbangan dalam membuat kurva IDF (Intensity –
Duration – Frequency).
Jenis Distribusi Syarat
Normal Cs ≈ 0
Ck ≈ 3
Gumbel Cs ≤ 1.1396
Ck ≤ 5.4002
Log Pearson Tipe III Cs ≠ 0
Log Normal Cs ≈ 3Cv + (Cv
3) = 3
Ck = 5.383
5
!"
#!"
$!"
%!"
&!"
'!"
(!"
)!"
*!"
+!"
,-."/-0"/12" ,34" 5167"89:"
!"#$%&'"($)&*++,&
-".$)&
$!!$"
$!!%"
$!!&"
$!!'"
$!!("
$!!)"
$!!*"
$!!+"
$!#!"
$!##"
3.5. Debit Puncak
Perhitungan debit puncak pada penelitian Tugas
Akhir ini menggunakan metode Hidrograf Satuan
Sintetik (HSS) Gama 1. Untuk menghitung debit
puncak pada sungai menggunakan metode tersebut,
terdapat banyak parameter-parameter karakteristik
sungai sebagai inputan kedalam perhitungan debit
puncak. Adapun parameter-parameter tersebut adalah:
SF :faktor sumber, perbandingan antara jumlah
panjang sungai tingkat satu dengan jumlah
panjang sungai-sungai semua tingkat.
SN :frekuensi sumber, perbandingan antara jumlah
pangsa sungai-sungai tingkat satu dengan
jumlah pangsa sungai-sungai semua tingkat.
WF :faktor lebar, perbandingan antara lebar DAS
yang diukur di titik di sungai yang berjarak
0,75L dengan lebar DAS yang diukur di titik di
sungai yang berjarak 0,25L dari stasiun
hidrometri.
RUA :luas DAS sebelah hulu, perbandingan antara
luas DAS yang diukur di hulu garis yang
ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun
hidrometri dengan titik yang paling dekat
dengan titik berat DAS, melewati titik tersebut.
SIM :faktor simetri, hasil kali antara faktor lebar
(WF) dengan luas DAS sebelah hulu.
JN : jumlah pertemuan sungai, yaitu jumlah
pertemuan sungai di dalam DAS tersebut.
D :kerapatan jaringan kuras, yaitu jumlah panjang
sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS.
Persamaan – persamaan yang digunakan dalam
HSS Gama 1 adalah :
a. Waktu naik (TR)
!" ! !!!"!!
!""!!"
!
! !!!""#!!"# !
!!!!!!!!!!!!!!!!!!""# 3-9
b. Debit puncak banjir (QP)
!" ! !!!"#$!!!!!""#
!"!!!!""#
!!"!!!"#$ 3-10
c. Waktu dasar (TB)
!" ! !"!!"#$!!!"!!!"#$
!!!!!!"#$
!!"!!!"##
!!!!!!!!!!!!!!!"#!!!"#$ 3-11
d. Koefisien resesi (K) ! ! !!!"#$!!
!!!"#$!!!!!""#
!"!!!!"#$
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"#$ 3-12
e. Aliran dasar (QB) !" ! !!!"#$!!
!!!"""!!!!"#$ 3-13
dengan :
A : luas DAS (km2)
L : panjang sungai utama (km)
S : kemiringan dasar sungai
3.6. Tinggi Muka Air
Pada perhitungan tinggi muka air Tugas Akhir
ini menggunakan persamaan Manning. Adapun
persamaannya adalah:
! ! !!
!!!!!
!!!!!!
!!!!!! 3-14
dimana:
Q : debit banjir rencana (m3/s)
n : koefisien Manning
S : kemiringan sungai
R : jari-jari hidrolik (m)
Untuk persamaan jari-jari hidrolik, adalah berikut ini:
! ! !!
! 3-15
dengan:
A : luas basah (m2)
P : keliling basah (m)
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Analisa Curah Hujan Harian Maksimum
Daerah
Gambar 4. Curah Hujan Wilayah DAS Jragung 2002-2011
Berdasarkan gambar 4, curah hujan wilayah
paling tinggi berada pada bulan Januari. Hal ini
mungkin disebabkan karena Januari merupakan bulan
basah, dan pada bulan Juni-Juli-Agustus curah hujan
tergolong rendah. Hal tersebut terjadi karena bulan
Juni-Juli-Agustus termasuk bulan kering. Pola curah
hujan yang terjadi di DAS Jragung adalah pola curah
hujan jenis monsoon. Karakterteristik dari jenis ini
adalah distribusi curah hujan bulanan dengan jumlah
6
!"
'!"
#!!"
#'!"
$!!"
$'!"
%!!"
%'!"
,-."
;1<"
/-0"
=60"
/12"
,3."
,34"
=>7"
5167"
?@7"
89:"
A1B"
!"#$%&'"($)&*++,&
C$"
C'"
C#!"
C$'"
C'!"
C#!!"
!"
$!"
&!"
(!"
*!"
#!!"
#$!"
#" %" '" )" +" ##" #%" #'" #)" #+" $#" $%"
/)01)230$2&'"($)&*++4($+,&
5"#$23&*($+,&
$"
7-D3."
'"
7-D3."
#!"
7-D3."
$'"
E-D3."
'!"
7-D3."
#!!"
7-D3."
curah hujan minimum pada bulan Juni, Juli, dan
Agustus.
4.2. Analisa Distribusi Curah Hujan
Pengukuran empat parameter statistik (Standar
Deviasi, Koefisien Skewness, Koefisien Kurtosis, dan
Koefisien Variasi) dengan menggunakan persamaan 3-
4 hingga 3-7, telah di dapatkan nilai untuk masing-
masing parameter per bulannya. Sehingga dilakukan
uji kecocokkan distribusi. Berdasarkan tabel 1, syarat
kecocokan distribusi probabilitas, distribusi yang
cocok untuk masing-masing bulan adalah distribusi
Gumbel. Hal ini berarti analisa probabilitas kejadian
hujan periode ulang mengikuti distribusi Gumbel.
Gambar 5. Curah Hujan Rencana Periode Ulang Tiap Bulan
Menggunakan Distribusi Gumbel
Pada penelitian Tugas Akhir ini digunakan
periode ulang 2 , 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Untuk
setiap periode ulang, dipilih curah hujan rencana yang
paling besar sebagai curah hujan rencana yang akan
dimasukkan kedalam perhitungan debit banjir rencana.
Untuk periode ulang 2 tahun, curah hujan rencana
paling besar adalah pada bulan maret, yaitu senilai
40.65 mm, periode ulang 2, 5, 10, 25, 50, dan 100
tahun curah hujan yang paling besar berada pada
bulan April, yaitu senilai 107.63 mm, 152,69 mm,
209.62 mm, 251.86 mm, dan 293.78 mm.
4.3. Analisa Intensitas Curah Hujan
Analisa ini dilakukan untuk memperkirakan
debit puncak di daerah tangkapan kecil, tangkapan
kecil untuk penelitian Tugas Akhir ini adalah
jembatan. Pada daerah tangkapan kecil, hujan deras
terjadi dengan durasi singkat (intensitas hujan dengan
durasi singkat adalah sangat tinggi) yang jatuh di
berbagai titik pada seluruh daerah tangkapan hujan
dapat terkonsentrasi di titik kontrol yang ditinjau
dalam waktu yang bersamaan, yang dapat
menghasilkan debit puncak.
Gambar 6. Kurva Intensity-Duration-Frequency (IDF)
Gambar 6 merupakan kurva intensity-duration-
frrquency (IDF) dari curah hujan rencana yang telah
dihitung menggunakan distribusi Gumbel. Kurva
tersebut menjelaskan bahwa curah hujan rencana
periode ulang 2 tahun memiliki curah hujan sebesar
40.65 mm. Curah hujan dengan angka tersebut tidak
terjadi dalam satu waktu. Berdasarkan kurva tersebut
untuk kasus curah hujan periode ulang 2 tahun, curah
hujan dengan nilai 14.1 mm terjadi dengan durasi satu
jam. Kemudian curah hujan sebesar 8.87 mm
berlangsung selama dua jam, dan seterusnya. Kurva
tersebut membuktikan bahwa intensitas hujan yang
tinggi memiliki durasi yang singkat.
4.4. Analisa Debit Banjir Rencana
Gambar 7. Hidrograf Banjir Rencana Sungai Jragung
Gambar 7 merupakan grafik hidrograf satuan
banjir menggunakan metode HSS Gama 1. kurva
hidrograf satuan terdiri dari waktu naik, debit puncak,
waktu dasar dan koefisien penampungan. Waktu naik
adalah waktu yang diperlukan untuk debit mencapai
angka maksimum yang dapat ditampung oleh sungai.
!"
#!!"
$!!"
%!!"
&!!"
'!!"
(!!"
)!!"
!" $" &" (" *" #!"#$"#&"#("#*"$!"$$"$&"
51630&*+
742,&
8$90"&*($+,&
F$"
F'"
F#!"
F$'"
F'!"
F#!!"
7
%!"
&!"
'!"
(!"
)!"
*!"
+!"
#!!"
##!"
#$!"
!" $" &" (" *" #!" #$" #&" #(" #*" $!" $$" $&"
51630&*+742,&
8$90"&*($+,&
A1<27"
Debit puncak yang dihasilkan pada setiap periode
ulang 2, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun adalah 114.86
m3/s, 253.37 m
3/s, 346.56 m
3/s, 464.31 m
3/s, 551.65
m3/s, dan 638.35 m
3/s. Nilai-nilai tersebut yang
menjadi input dalam perhitungan tinggi muka air
menggunakan metode Manning. Waktu yang
diperlukan untuk mencapai debit puncak adalah
sekitar dua jam. Setelah debit mencapai puncak, kurva
semakin lama semakin turun.
4.5. Analisa Tinggi Muka Air
Gambar 8. Sketsa Penampang Sungai Jragung
Perhitungan tinggi muka air sungai Jragung
dapat dilakukan dengan menggunakan data
pendukung, yaitu penampang melintang sungai
Jragung tersebut. Gambar 8 merupakan gambar
penampang melintang sungai Jragung beserta
gambaran tinggi jembatan KA yang melintang pada
sungai tersebut.
Gambar 9. Rating Curve Sungai Jragung
Rating curve merupakan kurva yang
menunjukkan hubungan antara tinggi muka air dan
debit pada lokasi penampang sungai tertentu.
Berdasarkan grafik 4.6, tinggi muka air periode 2
tahun senilai 1.209 m, untuk periode 5, 10, 25, 50, dan
100 tahun adalah senilai 2.15 m, 2.44 m, 2.76 m, dan
3.14 m. Semakin tinggi debit, maka semakin tinggi
muka air pada penampang sungai tersebut.
4.6. Verifikasi
Setelah menghitung tinggi muka air berdasarkan
debit banjir rencana periode ulang 2, 5, 10, 25 50, dan
100 tahun dari data histori lima pos hujan selama
sepuluh tahun terakhir (2002 – 2011), perlu dilakukan
verifikasi tinggi muka air dari data curah hujan saat
terjadi meluapnya air sungai Jragung pada lokasi
jembatan KA ruas Tegowanu – Gubug.
Gambar 10. Hidrograf Satuan Tanggal 4 Januari 2011
Berdasarkan grafik 4.7 didapatkan debit puncak pada
tanggal 4 Januari 2011 adalah senilai 115.58
m3/s.Debit puncak pada tanggal tersebut cukup tinggi.
Tinggi muka air yang di hasilkan perhitungan
menggunakan rumus Manning dengan inputan data
debit hasil perhitungan, adalah setinggi 1.39 m.
Apabila dibandingkan dengan tinggi jagaan yaitu 1.2
m, maka tinggi muka air saat kejadian pada tanggal 4
Januari 2011 lalu telah melewati batas aman.
5. Kesimpulan
1. Curah hujan yang terjadi pada tanggal 4
Januari 2011 saat terjadinya luapan sungai
Jragung pada lokasi jembatan kereta api ruas
Tegowanu – Gubug adalah kejadian ekstrim.
2. Distribusi probabilitas yang cocok pada DAS
Jragung tahun 2002 – 2011 adalah distribusi
Gumbel.
3. Berdasarkan debit rencana kala ulang 2, 5 10,
25, 50, dan 100 tahun, debit yang berada
dalam posisi aman (berdasarkan peraturan
Kementrian Pekerjaan Umum) adalah pada
debit rencana periode 2 tahun.
4. Berdasarkan debit rencana kala ulang 2, 5 10,
25, 50, dan 100 tahun, debit yang dapat
menyebabkan meluapnya sungai Jragung
adalah pada debit rencana periode ulang 10,
25, 50, dan 100 tahun.
5. Tinggi muka air saat kejadian meluapnya
sungai pada tanggal 4 Januari 2011 adalah
1.39 m. Debit yang digunakan adalah debit
##&G*)"
$'%G%*"
%&(G')"
&(&G%#"
''#G('"
(%*G%("
!G!!"
#!!G!!"
$!!G!!"
%!!G!!"
&!!G!!"
'!!G!!"
(!!G!!"
)!!G!!"
51630&*+
742,&
:3);;3&<"9$&=3#&*+,&
A1<27"
8
hasil perhitungan dengan menggunakan
metode HSS Gama 1.
REFERENSI
Hen. 2011. Jembatan Tergerus 2 KA Batal
Berangkat. www.kompas.com. Diakses pada
tanggal 26 Desember 2011.
Adisusanto, N. 2011. Aplikasi Hidrologi.
Malang, Indonesia: Jogja Mediautama.
Bruce, J., Clark, R. 1969. Introduction to
Hydrometeorology. Pergamon Press.
Chou, C.M., Wang, R.Y. On-line Estimation of
Unit Hydrograph Using The Wavelet-Based
LMS Algorithm (Vol. 47). Hydrol Sci.
Girsang, Febrina. 2008. Tugas Akhir. Analisis
Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit
Puncak Dengan Menggunakan Metode
Rasional Pada DAS Belawan Kabupaten
Deli Serdang. Jurusan Teknik Sipil -
Universitas Sumatera Utara.
Harto, S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta,
Indonesia: Gramedia.
Montarcih, L. STUDI PENGELOLAAN BANJIR
KALI SAMPEAN DENGAN
PENINGKATAN KAPASITAS SUNGAI
PADA RUAS BENDUNG SAMPEAN LAMA
- MUARA.
Rahmawati, I.P., Ardhiani, Nunik. 2008. Tugas
Akhir. Sistem Pengendalian Banjir Sungai
Sengkarang (Normalisasi Sungai). Fakultas
Teknik - Universitas Diponegoro
Linsey, R.K., Kohler, M. 1989. Hydrology for
Engineers. New York: McGraw-Hill.
Singh, P. 1992. Elementary Hydrology. New
Jersey: Pretince-Hall Englewood.
Soemarto. 1986. Hidrologi Teknik. Jakarta,
Indonesia: Erlangga.
Sudjarwadi. 1987. Teknik Sumber Daya Air. Yogyakarta:
UGM-Press.
Suripin. 2006. Drainase Perkotaan Yang
Berkelanjutan. Yogyakarta, Indonesia: Andi.
Triatmodjo, B. 2009. Hidrologi Terapan.
Yogyakarta, Indonesia: Beta Offset.