Upload
lyquynh
View
242
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Program Studi Meteorologi
© 2012 Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung
PENERBITAN ONLINE AWAL
Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana. Karena paper ini langsung diunggah setelah diterima, paper ini belum melalui proses peninjauan, penyalinan penyuntingan, penyusunan, atau pengolahan oleh Tim Publikasi Program Studi Meteorologi. Paper versi pendahuluan ini dapat diunduh, didistribusikan, dan dikutip setelah mendapatkan izin dari Tim Publikasi Program Studi Meteorologi, tetapi mohon diperhatikan bahwa akan ada tampilan yang berbeda dan kemungkinan beberapa isi yang berbeda antara versi ini dan versi publikasi akhir.
1
Analisis Cold Surge dan Borneo Vortex Menggunakan Vortisitas Potensial
DITA FATRIA ANDARINI
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Borneo Vortex merupakan salah satu fenomena sinoptik berupa sirkulasi siklonik yang terjadi di
pantai barat Kalimantan. Kejadian Borneo Vortex cukup menonjol karena vortex ini terbentuk di sekitar
equator. Borneo vortex terjadi karena adanya vortisitas yang dihasilkan dari windshear yang kemudian
dapat diperkuat oleh konvergensi antara angin monsun timur laut dengan topografi pulau Kalimantan. Borneo Vortex sering dikaitkan dengan fenomena cold surge, yaitu penjalaran massa udara dingin dari
Asia menuju timur dan selatan termasuk di atas wilayah perairan Indonesia pada saat Monsun Musim
Dingin Asia. Keberadaan cold surge dapat meningkatkan kejadian Borneo Vortex, namun belum ada
penjelasan yang menyeluruh mengenai hal tersebut. Dalam penelitian ini, digunakan parameter vortisitas potensial untuk menganalisis pembentukan Borneo Vortex dan pengaruh cold surge terhadap peningkatan
Borneo Vortex. Analisis vortisitas potensial dilakukan pada lapisan isentropik, yang terdiri dari analisis
vortisitas potensial dan anomali vortisitas potensial. Analisis vortisitas potensial ini difokuskan pada
lapisan lower tropospheric yaitu 310K. Berdasarkan analisis tersebut, Borneo Vortex terbentuk karena adanya anomali vortisitas potensial yang telah menjadi background di Borneo. Anomali PV positif
maksimum menunjukkan keberadaan Borneo Vortex. Adanya fenomena cold surge meningkatkan
anomali PV positif di Borneo, tetapi tidak secara langsung terhubung, yaitu melalui anomali PV positif di
bagian barat Filipina dan Samudera Hindia.
Kata kunci: Cold surge, Borneo Vortex,vortisitas potensial, anomali positif vortisitas potensial
1. Pendahuluan
Borneo Vortex merupakan salah satu bentuk
karakteristik Monsun Musim Dingin Asia yaitu berupa
sirkulasi siklonik yang terdapat di bagian barat pulau
Kalimantan (Chang dkk., 2004). Kejadian Borneo
Vortex cukup menonjol karena vortex ini terbentuk di
sekitar equator. Pada periode Monsun Musim Dingin
Asia, angin level rendah didominasi oleh angin timur
laut yang merupakan monsun dari sepanjang Asia
Timur bergerak ke selatan menuju equator dan
berinteraksi dengan topografi di pulau Kalimantan
(Anip, 2012). Berdasarkan Chang dkk. (2003)
pembentukan Borneo Vortex terjadi karena adanya
vortisitas yang dihasilkan oleh windshear, kemudian
dapat diperkuat oleh konvergensi angin monsun timur
laut dengan topografi di pulau Borneo.
Fenomena sinoptik lainnya yang cukup dominan
di sekitar Laut Cina Selatan adalah cold surge, yaitu
penjalaran massa udara dingin dari tekanan tinggi di
Asia menuju selatan dan timur di atas perairan
Indonesia pada saat Monsun Musim Dingin Asia.
Fenomena cold surge sering dikaitkan dengan
fenomena Borneo Vortex. Cold surge dan Borneo
Vortex merupakan dua sirkulasi utama di Asia
Tenggara. Faktor utama yang menguhubungkan cold
surge dan Borneo Vortex adalah interaksi antara angin
dari cold surge dengan topografi pulau Borneo,
Sumatera dan Malaysia (Chang dkk., 2004).
Berdasarkan Samah dkk. (2010), fenomena cold surge
dapat meningkatkan fenomena Borneo Vortex, namun
hingga saat ini, belum adanya penjelasan yang cukup
mengenai pembentukan Borneo Vortex ini. Adanya
peningkatan Borneo Vortex akibat peningkatan
fenomena cold surge dapat dijelaskan oleh parameter
vortisitas potensial. Pada saat terjadi peningkatan
Borneo Vortex karena adanya peningkatan komponen
cold surge, terdapat kemungkinan nilai vortisitas
potensial yang tinggi di lintang menengah terbawa ke
equator oleh cold surge melalui adveksi vortisitas
potensial.
Analisis vortisitas potensial merupakan analisis
sinoptik yang sedang berkembang saat ini. Parameter
vortisitas potensial merupakan sebuah besaran yang
kekal pada lapisan isentropik, sehingga dapat
diketahui asal mula penguatan dan pelemahan
vortisitas potensialnya. Analisis vortisitas potensial sudah banyak
digunakan untuk meneliti beberapa fenomena
atmosfer seperti untuk melihat struktrur siklon dan
propagasi gelombang Rossby. Konsep vortisitas
potensial dapat digunakan secara langsung untuk
2
memahami evolusi dan dinamika perkembangan
atmosfer baik di level atas ataupun level bawah
(Hoskins dkk., 1985), seperti yang dilakukan oleh
Molinari dkk. (1997) yang melakukan analisis
vortisitas potensial terhadap instensifikasi siklon
tropis.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan
analisis vortisitas potensial untuk melihat
pembentukan Borneo Vortex dan pengaruh cold surge
terhadap Borneo Vortex.
2. Data dan Metode
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi
atas data Borneo Vortex yang diperoleh dari hasil
penelitian Prakosa (2012) pada tahun 2000/2001
sampai 2009/2010 setiap bulan Desember, Januari dan
Februari. Data untuk mengidentifikasi cold surge
digunakan data angin meridional ECMWF pada level
925 hPa. Data ECMWF terdiri dari 12 level tekanan
(1000 sampai 50 mb) dan resolusi horizontal 1,125˚.
Sedangkan data untuk menghitung nilai vortisitas
potensial digunakan data angin zonal, meridional dan
temperatur NCEP/NCAR Reanalisis dengan resolusi
grid 2.5o
x 2.5o. Identifikasi cold surge dilakukan
berdasarkan metode Chang dkk. (2005), yaitu nilai
rata-rata angin meridional pada 110˚BT – 117.5
˚ BT
sepanjang 15˚
LU melebihi 8 m s-1
(gambar 2.1).
Pada penelitian ini hanya dilakukan identifikasi
kejadian cold surge saja, tidak dilakukan
pengklasifikasian indeks cold surge berdasarakan
intensitasnya.
Vortisitas potensial dihitung pada lapisan
isentropik, sehingga harus dilakukan interpolasi dari
level tekanan ke lapisan isentropik. Interpolasi yang
dilakukan yaitu interpolasi linear. Dalam menghitung
vortisitas potensial, digunakan rumus sebagai berikut:
Dimana P adalah Vortisitas Potensial, g adalah
percepatan gravitasi, ζa merupakan vortisitas absolut
dan θ adalah temperatur potensial (Holton, 2004).
Sedangkan anomali vortisitas potensial dihitung
dengan mengurangi nilai vortisitas potensial dengan
nilai rata-rata background vortisitas potensial. Rata-
rata background vortisitas potensial merupakan rata-
rata nilai vortisitas potensial pada keadaan tidak ada
cold surge dan Borneo Vrotex.
Analisis pada penelitian ini terdiri dari analisis
vortisitas potensial dan anomali vortisitas potensial
yang difokuskan pada 310K yang merupakan lower
tropospheric, karena fenomena cold surge dan Borneo
Vortex merupakan dua sirkulasi level bawah. Analisis
pada penelitian ini diawali dengan analisis vortisitas
potensial untuk melihat background pola vortisitas
potensial setiap kejadian. Fenomena Borneo Vortex
dan cold surge merupakan gangguan yang terjadi pada
Monsun Musim Dingin Asia. Untuk melihat gangguan
tersebut digunakan analisis anomali vortisitas
potensial. Analisis anomali vortisitas potensial diawali
dengan studi kasus kejadian Borneo Vortex saja, cold
surge saja dan Borneo Vortex yang diikuti oleh cold
surge. Untuk memperjelas analisis anomali vortisitas
potensial tersebut, kemudian dilakukan analisis
anomali vortisitas potensial dari komposit setiap
kejadiannya.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Analisis Vortisitas Potensial di Lapisan
Isentropik
Berdasarkan hasil penelitian dari Prakosa (2012),
kejadian Borneo Vortex dalam periode 2000/2001
sampai 2009/2010 berjumlah 285 hari kejadian.
Sedangkan hasil perhitungan indeks cold surge,
diperoleh jumlah hari kejadian cold surge selama
periode penelitian sebanyak 259 hari kejadian.
Sehingga untuk normal atau tidak terjadi baik cold
surge dan Borneo Vortex berjumlah 475 hari,
sedangkan kejadian Borneo Vortex saja sebanyak 169
hari, cold surge saja berjumlah 143 hari dan jumlah
hari kejadian keduanya sebanyak 116.
Nilai vortisitas potensial bersifat kekal apabila
mengikuti gerak pada lapisan isentropik. Kekekalan
vortisitas potensial ini memudahkan dalam melakukan
analisis. Pada analisis level bawah yaitu pada lapisan
isentropik 310K, terdapat perbedaan pola nilai
vortisitas potensial untuk kejadian Borneo Vortex saja,
cold surge saja dan keduanya. Pada saat keadaan
normal yaitu tidak terjadi Borneo Vortex dan cold
surge atau disebut background, secara kualitatif
terdapat nilai vortisitas potensial yang menuju equator
atau biasa disebut lidah vortisitas potensial. Hal ini
berarti pada keadaan normal, di wilayah sekitar Laut
Cina Selatan sudah memiliki potensi untuk
menghasilkan vortisitas. Adanya lidah vortisitas
potensial ini dapat disebabkan oleh angin monsun
timur laut yang menuju equator membawa nilai
vortisitas potensial yang tinggi.
Pada kejadian baik cold surge, Borneo Vortex
dan keduanya, lidah vortisitas potensial akan semakin
menjorok ke equator. Tetapi pada analisis vortisitas
potensial ini belum dapat menjelaskan bagaimana
pembentukan Borneo Vortex dan pengaruh dari cold
surge terhadap pembentukan Borneo Vortex.
Gambar 2.1 Wilayah identifikasi cold surge (garis tebal).
(sumber: Chang dkk., 2004)
3
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3.1. Nilai Vortisitas potensial di lapisan 310K dalam PVU (1PVU = 10-6
m2
s-1
K kg-1
), interval 0.025 (a)
Saat kejadian Borneo Vortex saja, (b) Saat kejadian Cold surge saja, (c) Saat kejadian cold surge dan Borneo
Vortex dan (d) Saat kejadian normal (tanpa kejadian cold surge dan Borneo Vortex)
3.2 Analisis Anomali Vortisitas Potensial
3.2.1 Studi Kasus Borneo Vortex
Studi Kasus Borneo Vortex Januari 2010
berdasarkan Samah dkk. (2010) merupakan penyebab
utama terjadinya konveksi kuat dan hujan deras di
Malaysia bagian timur yang melakukan analisis
terhadap pembentukan Borneo Vortex dan
keterkaitannya dengan sirkulasi global.
Borneo Vortex pada kasus ini terjadi pada tanggal
19 Januari 2010. Pada gambar 3.2, anomali positif di
Borneo sudah terbentuk pada dua hari sebelum
kejadian, walaupun sangat lemah dan vektor anginnya
belum tebentuk pola siklonik. Selain itu, anomali
positif juga muncul dari selatan.
(a) (b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3.2. Evolusi anomali vortisitas potensial dan pola angin pada saat kejadian Borneo Vortex bulan Januari
2010 di lapisan 310K dalam PVU (1PVU= 10-6
m2
s-1
K kg-1
) pada (a) 16 Januari 2010, (b) 17 Januari
2010, (c) 18 Januari 2010, (d) 19 Januari 2010, (e) 20 Januari 2010, dan (f) 21 Januari 2010
4
Anomali PV positif maksimum terjadi pada
tanggal 19 Januari 2010 yang menunjukkan
keberadaan Borneo Vortex. Tetapi asal mula adanya
anomali positif kuat di Borneo ini belum dapat
dijelaskan. Dari interpretasi gambar menunjukkan
anomali positif di Borneo berasal dari anomali positif
di barat dan selatan yang bergerak ke equator dan
terhubung dengan anomali positif di Borneo.
3.2.2 Studi Kasus cold surge
Studi kasus kejadian cold surge saja pada Januari
2006 dipilih berdasarkan intensitas cold surge tinggi
pada periode pengamatan, yaitu dengan rata-rata angin
meridional antara 11 sampai 14 ms-1
. Pada studi kasus
Januari 2006 ini, kejadian cold surge terjadi pada
tanggal 24, dan 25 Januari 2006.
Berdasarkan evolusi kejadian cold surge
(gambar 3.3) menunjukkan bahwa cold surge ditandai
dengan adanya adveksi anomali PV positif dari utara
menuju equator. Pada saat tidak terjadi cold surge,
yaitu tanggal 21 dan 22 Januari 2006 tidak terdapat
adveksi anomali PV positif menuju equator. Pada saat
terjadi cold surge yaitu tanggal 24 dan 25 Januari,
anomali PV positif bergerak dari utara sepanjang
daerah kajian cold surge menuju equator. Adveksi
anomali PV positif yang terjadi bergantung pada
intensitas cold surge. Pada saat intensitas cold surge
lemah, adveksi yang terjadi tidak sampai ke equator.
Tetapi pada saat intensitas cold surge kuat, adveksi
anomali PV positif dapat mencapai equator.
(a) (b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3.3. Evolusi anomali vortisitas potensial dan pola angin pada saat kejadian Borneo Vortex bulan Januari
2010 di lapisan 310K dalam PVU (1PVU= 10-6
m2
s-1
K kg-1
) pada (a) 21 Januari 2006, (b) 22 Januari
2006, (c) 23 Januari 2006, (d) 24 Januari 2006, (e) 25 Januari 2006, dan (f) 26 Januari 2006
3.2.3 Studi Kasus Borneo Vortex dan Cold Surge
Studi kasus kejadian cold surge dan Borneo Vortex
pada bulan Januari 2009 merupakan salah satu
kejadian yang menyebabkan banjir di Malaysia. Studi
kasus ini berdasarkan hasil penelitian Samah dkk.
(2010) yang melakukan simulasi menggunakan WRF
terhadap kejadian ini. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa perkembangan vortex terjadi karena interaksi
cold surge dengan topografi.
Pada evolusi kejadian cold surge dan Borneo
Vortex (gambar 3.4), anomali positif sudah terbentuk
di sekitar pulau Borneo pada tanggal 6 Januari 2009
dan pola anginnya membentuk pola siklonik. Selain
itu anomali positif di Filipina yang berasal daru utara
pun sudah terbentuk. Anomali positif yang berasal dari
utara menuju Filipina ini tidak terhubung dengan
anomali positif di Borneo. Di sisi lain, anomali positif
juga ditemukan di bagian selatan dan barat. Pada
tanggal 7 Januari 2009, anomali postitif di Filipina
mulai terhubung langsung dengan anomali di Borneo.
Kemudian pada tanggal 8 Januari 2009 mulai muncul
anomali positif dari utara akibat dari cold surge.
Anomali positif ini memperkuat anomali positif di
Borneo dan Filipina. Ketika adveksi anomali positif
dari cold surge semakin kuat menuju ke equator,
anomali positif di Borneo pun semakin kuat seperti
yang terjadi pada tanggal 9 Januari 2009. Adveksi
cold surge mempengaruhi penguatan anomali positif
di Borneo tidak secara langsung, tetapi melalui
anomali positif di Filipina yang terhubung langsung
dengan Borneo Vortex.
Adveksi cold surge yang terjadi tidak hanya
menuju ke Filipina, tetapi juga bergerak ke barat
menuju Sumatera. Sehingga ketika adveksi cold surge
semakin kuat bergerak ke barat menuju Sumatera,
5
menyebabkan adanya pelemahan anomali positif di
Filipina. Pelemahan anomali di Filipina ini
menyebabkan melemahnya juga anomali positif di
Borneo Vortex. Hilangnya pengaruh adveksi dari
utara menuju ke Filipina semakin melemahkan
anomali positif di pulau Borneo. Pada tanggal 11
Januari 2009, adveksi dari utara semakin kuat
bergerak ke Barat menuju Sumatera sehingga tidak
terhubung lagi dengan anomali di Filipina yang
menyebabkan semakin melemahnya anomali positif di
pulau Borneo.
(a) (b)
(c)
(d) (e)
(f)
Gambar 3.3. Evolusi anomali vortisitas potensial dan pola angin pada saat kejadian Borneo Vortex dan cold
surge bulan Januari 2009 di lapisan 310K dalam PVU (1PVU= 10-6
m2
s-1
K kg-1
) pada (a) 6 Januari 2009, (b)
7 Januari 2009, (c) 8 Januari 2009, (d) 9 Januari 2009, (e) 10 Januari 2009, dan (f) 11 Januari 2009
3.3 Evolusi Komposit Anomali Vortisitas Potensial
3.3.1 Evolusi Kejadian Borneo Vortex
Pada hasil interpretasi studi kasus Borneo Vortex,
belum dapat dijelaskan asal mula dari nilai anomali
vortisitas potensial positif. Pada komposit nilai
anomali vortisitas potensial (gambar 3.4), anomali
positif di Borneo sudah terbentuk sejak lima hari
sebelum kejadian. Selain itu terdapat anomali PV
positif dari selatan, sedangkan anomali positif dari
arah utara sangat lemah. Pada saat dua hari sebelum
kejadian, terdapat anomali PV positif dari barat
(Samudera Hindia) yang menuju equator. Anomali
positif dari barat ini semakin menguat pada saat
Borneo Vortex terjadi dan terhubung dengan anomali
positif di Borneo. Pada saat hari kejadian Borneo
Vortex, keterhubungan anomali positif dari selatan dan
pulau Kalimantan terputus. Anomali PV positif
maksimum terjadi pada hari kejadian yang
menunjukkan keberadaan Borneo Vortex.
Pada saat dua hari setelah kejadian anomali
positif dari selatan kembali menguat dan menuju ke
equator. Anomali dari selatan tersebut terhubung
dengan anomali PV positif di bawah Sumatera yang
juga terhubung dengan anomali di Borneo. Selain itu
anomali PV positif dari Samudera Hindia melemah
yang mengakibatkan anomali PV positif di Borneo
ikut melemah.
3.3.2 Evolusi Kejadian Cold Surge
Pada saat terjadi cold surge terjadi adveksi
anomali PV positif dari utara menuju equator. Pada
gambar 3.5, saat lima hari sebelum kejadian sudah
mulai terbentuk anomali positif dari utara. Anomali
PV positif dari utara ini terhubung dengan anomali
positif di Filipina. Selain itu muncul anomali PV
positif dari Samudera Hindia yang terhubung dengan
anomali PV di Borneo dan anomali PV dari selatan.
Pada saat adveksi anomali positif dari utara semakin
meningkat dan bergerak menuju equator, anomali PV
positif di barat dan selatan melemah. Sedangkan
anomali PV positif di Filipina semakin menguat tetapi
tidak terhubung dengan anomali PV positif di Borneo.
Kemudian pada saat kejadian cold surge saja, adanya
adveksi dari utara yang semakin menguat menuju
equator dan melemahkan anomali positif di Borneo.
6
(a) (b)
(c)
(d) (e)
Gambar 3.4 Evolusi komposit anomali vortisitas potensial pada saat kejadian Borneo Vortex di lapisan 310K
dalam PVU (1PVU= 10-6
m2 s
-1 K kg
-1) pada (a) H-5, (b) H-2, (c) H-0, (d) H+2, dan (e) H+5.
(a) (b)
(c)
(d) (e)
Gambar 3.5 Evolusi komposit anomali vortisitas potensial pada saat kejadian cold surge di lapisan 310K dalam
PVU (1PVU= 10-6
m2 s
-1 K kg
-1) pada (a) H-5, (b) H-2, (c) H-0, (d) H+2, dan (e) H+5.
3.3.3 Evolusi Kejadian Borneo Vortex dan Cold
Surge
Pada saat terjadi cold surge dan Borneo Vortex
secara bersamaan, anomali positif di Borneo sudah
muncul pada lima hari sebelum kejadian. Selain itu,
anomali positif cukup kuat berada di bagian utara yang
terhubung dengan anomali positif di bagian barat
Filipina dan Samudera Hindia. Anomali PV positif di
Filipina dan Samudera Hindia ini terhubung dengan
anomali PV positif di pulau Borneo. Kemudian pada
dua hari sebelum kejadian, terlihat adanya adveksi
yang berasal dari utara menuju selatan tetapi
cenderung bergerak ke barat dan terhubung dengan
anomali di Samudera Hindia. Kondisi ini menguatkan
anomali di Kalimantan. Saat kejadian cold surge dan
Borneo Vortex, adveksi dari cold surge yang
membawa anomali positif yang kuat bergerak ke
equator kemudian terhubung dengan anomali positif di
7
Filipina dan Samudera Hindia menyebabkan
penguatan anomali positif di Borneo.
(a) (b)
(c)
(d) (e)
Gambar 3.6 Evolusi komposit anomali vortisitas potensial pada saat kejadian cold surge dan Borneo Vortex di
lapisan 310K dalam PVU (1PVU= 10-6
m2 s
-1 K kg
-1) pada (a) H-5, (b) H-2, (c) H-0, (d) H+2, dan (e) H+5.
3.4 Analisis Borneo Vortex, Cold Surge dan
keduanya
Fenomena Borneo Vortex dan cold surge
merupakan gangguan sinoptik yang berada pada level
bawah. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya
pun, banyak yang menganalisis Borneo Vortex dan
cold surge pada level bawah. Seperti pada penelitian
Prakosa (2012) yang menganalisis identifikasi Borneo
Vortex pada level 925 hPa dan penelitian Taryono
(2012) yang menganalisis kejadian cold surge pada
level 850 hPa.
Anomali vortisitas potensial dapat menunjukkan
adanya gangguan. Anomali vortisitas potensial ini
dapat terbentuk baik di level atas terlebih dahulu
kemudian menuju level bawah ataupun sebaliknya.
Gambar 3.7 merupakan plot vertikal nilai anomali
vortisitas potensial pada wilayah kajian untuk semua
kejadian. Pada kejadian baik Borneo Vortex, cold
surge maupun keduanya (gambar 3.7) menunjukkan
bahwa anomali vortisitas potensial positif terbentuk
pada level bawah yaitu 310K menuju ke level atas
walaupun tidak sampai level 350K. Anomali PV
positif ini muncul pada lokasi kejadian masing-
masing. Sehingga anomali positif pada kejadian
Borneo Vortex, cold surge, dan keduanya dominan
pada level bawah yaitu 310K.
Berdasarkan analisis kejadian BorneoVortex baik
dari evolusi studi kasus maupun komposit kejadian,
menunjukkan bahwa kejadian Borneo Vortex diawali
oleh adanya anomali PV positif di Borneo. Pada saat
anomali PV positif maksimum di Borneo
menunjukkan bahwa Borneo Vortex tersebut telah
terbentuk dan pada saat tidak ada anomali PV positif
di Borneo tidak terbentuk Borneo Vortex. Sedangkan
kejadian cold surge saja ditandai dengan adanya
adveksi anomali PV positif dari utara menuju equator.
Adveksi anomali PV positif dari cold surge
bergantung pada intensitas cold surge. Semakin besar
intensitasnya, adveksi anomali PV positif juga
semakin jauh menuju equator. Adveksi anomali PV
positif pada sat terjadi cold surge ini dapat
menyebabkan pelemahan anomali PV positif di
Borneo. Hal tersebut diperkuat dengan grafik
perubahan nilai anomali vortisitas potensial dari utara
dan anomali positif di Borneo. Dari gambar 3.8
menunjukkan bahwa pada saat terjadi peningkatan
anomali PV positif dari utara, anomali PV positif di
Borneo mengalami penurunan walaupun tidak
signifikan. Kondisi tersebut terjadi pada saat dua hari
sebelum kejadian menuju hari kejadian.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.7 Plot vertikal anomali vortisitas potensial
di 110˚ BT pada kejadian (a) Borneo Vortex saja,
(b) Cold surge saja dan (c) Borneo Vortex dan
cold surge
8
Keberadaan cold surge dapat meningkatkan
intensitas Borneo Vortex pada saat keduanya terjadi.
Anomali PV positif di Borneo pada saat terjadi Borneo
Vortex dapat diperkuat oleh keberadaan cold surge
melalui adveksi vortisitas potensial. Seperti pada
gambar 3.9, anomali PV positif dari utara berbanding
lurus dengan anomali PV positif di Borneo, tetapi
belum dapat dijelaskan bagaimana penguatan dan
pelemahan tersebut terjadi. Berdasarkan hasil studi
kasus dan evolusi kejadian Borneo Vortex dan cold
surge, cold surge berpengaruh terhadap penguatan
intensitas Borneo Vortex melalui anomali PV positif di
bagian barat Filipina dan Samudera Hindia. Anomali
PV positif dari utara terhubung langsung dengan
anomali PV positif di Filipina dan Samudera Hindia,
kemudian terhubung dengan anomali di Borneo. Pada
saat anomali PV positif dari utara tidak terhubung lagi
dengan anomali positif di Filipina dapat melemahkan
anomali positif di Borneo. Begitu pun dengan anomali
PV positif di Samudera Hindia.
Gambar 3.1 Perubahan nilai anomali vortistitas
potensial pada saat kejadian cold surge. Nilai
anomali dari utara dihitung dari rata-rata pada
97.5˚ – 135
˚ BT dan 12,5
˚ - 25
˚ LU dan anomali
di Borneo pada 105˚ - 115
˚ BT dan 0
˚ - 7,5
˚ LU.
Gambar 3.2 Perubahan nilai anomali vortistitas
potensial pada saat kejadian Borneo Vortex dan
cold surge. Nilai anomali dari utara dihitung dari
rata-rata pada 97.5˚ – 135
˚ BT dan 12,5
˚ - 25
˚ LU
dan anomali di Borneo pada 105˚ - 115
˚ BT dan
0˚ - 7,5
˚ LU.
4. Kesimpulan
Dari hasil analisis anomali vortisitas potensial
terhadap kejadian cold surge, Borneo Vortex dan
keduanya menunjukkan adanya perbedaan pola
anomali vortisitas yang berbeda untuk setiap kejadian.
Pembentukan Borneo Vortex tidak bergantung pada
cold surge, tetapi diawali oleh sebuah sistem yang
sudah ada di tropis yang ditandai dengan adanya
anomali positif di sekitar Borneo.
Pada saat terjadi cold surge saja menyebabkan
adanya adveksi anomali vortisitas potensial positif dari
utara menuju ke equator.
Adanya adveksi anomali vortisitas potensial
positif dari cold surge menguatkan anomali vortisitas
potensial positif di pulau Kalimantan. Peningkatan
anomali positif di pulau Kalimantan ini tidak secara
langsung, tetapi berasal dari anomali positif di bagian
barat Filipina dan Samudera Hindia yang terhubung
langsung dengan anomali positif dari utara.
REFERENSI
Anip, M. H. M. (2012). The Interannual And Interdecadal
Variability Of The Borneo Vortex During Boreal
Winter Monsoon, Disertasi, The Faculty of the Graduate School, Unversity of Missouri.
Chang, C. P., Wang, Zhuo., Ju, Jianhua., dan Li, Tim.
(2004). On the Relationship between Western Maritime Continent Monsoon Rainfall and ENSO
during Northern Winter. Journal of Climate 17:3,
665-672.
Chang, P. C., Kuo, H. C., dan Liu, C. H. (2003). Typhoon
Vamei: An Equatorial Tropical Cyclone Formation.
Geophysical Research Letters, Volume 30, Number 3.
Holton, J. R. (2004). An Introduction to Dynamic
Meteorology. San Diego: Elsevier Academic Press.
Hoskins, B.J., M.E. McIntyre, and A.W. Robertson, 1985:
On the use and significance of isentropic potential
vorticity maps. Quart. J. Roy. Meteor. Soc ., 111, 877-946
Molinari, J., Skubis, S., Vollard, D., dan Alsheimer, F.
(1997). Potential Vorticity Analysis of Tropical Cyclone Intensification. J. Atmos. Sci., 55, 2632-
2644.
Prakosa, S. H. (2012). Kajian Dampak Borneo Vortex terhadap Curah Hujan di Indonesia selama Musim
Dingin Belahan Bumi Utara, Tesis S2, Institut
Teknologi Bandung, Program Studi Sains Kebumian,
FITB.
Samah, A. A., Hai, O. S., Nor, F. M., dan Kumarsentharan.
(2010). Borneo Vortex: A case study of multi-scale
influences from midlatitude forcing, Topography to Global Circulations. National Antarctic Research
Centre, University Malaya, Kuala Lumpur.
Taryono. (2012). Kajian Aktivitas Cold Surge dan Southerly
Surge saat Monsun Asia Musim Dingin di Wilayah
Jawa, Tesis S2, Institut Teknologi Bandung, Program
Studi Sains Kebumian, FITB.