Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
GAMBARAN MUSIC PERFORMANCE ANXIETY PADA MAHASISWA YANG
MENGIKUTI UJIAN VOKAL DI FSP
OLEH
YULAN PATEH ADRIAN
80 2012 044
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
i
i
i
GAMBARAN MUSIC PERFORMANCE ANXIETY PADA MAHASISWA YANG
MENGIKUTI UJIAN VOKAL DI FSP
Yulan Pateh Adrian
Rudangta Arianti Sembiring
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kecemasan performansi
musik mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Universitas Kristen Satya Wacana.
Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa FSP angkatan 2012-2014 yang mengikuti ujian
akhir semester vokal. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling (n = 15). Data
Music Performance Anxiety dikumpulkan menggunakan alat ukur Music Performance
Anxiety Inventory for Adolescent (MPAI-A) yang disusun oleh Osborne & Kenny (2005)
dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Metode Penelitian yang digunakan adalah
teknik deskriptif kemudian dilanjutkan dengan uji komparasi menggunakan t-test for paired
sample dengan hasil t = 0,001 (sig.1,000). Hasil penelitian menggambarkan tingkat
kecemasan mahasiswa FSP UKSW dari setiap angkatan berada dalam kategori sedang.
Sedangkan dilihat berdasarkan jenis kelamin wanita berada dalam kategori sedang dan pria
berada dalam kategori rendah. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut adalah tidak
terdapat perbedaan yang signifikan music performance anxiety pada mahasiswa Fakultas
Seni Pertunjukan yang melakukan performansi secara solo dan group .
Kata Kunci : Music Performance Anxiety, performansi solo dan group, Mahasiswa
FSP
ii
Abstract
The aim of this research is to descript music performance anxiety among students of
performing art faculty from satya wacana Christian university. Subjects were students from
the year 2012-2014 intake who performed for their vocal final exam. The sample was taken
with purposive sampling. Music Performance Anxiety data were also collected using the
Music Performance Anxiety Inventory for Adolescent (MPAI-A) written by Osborne &
Kenny (2005) which has been translated into Indonesian language. The method used for
this research is descriptive followed by comparison test using t-test for paired sample with
result t = 0,001 (sig.1,000). Result of research describe the anxiety level of student FSP
Satya Wacana Christian University of each class in middle category. While the view of the
female gender in the category of low and men are in the low category. Futher explanation
on the matter is there are no significant differences of music performance anxiety in
students of Performance Art Faculty those performed in solo and group performance.
Keywords : Music Performance Anxiety, performed in front of the lecturer and
public, student of Performance Art Faculty.
1
PENDAHULUAN
Pada era ini musik menjadi salah satu hal yang digemari masyarakat di berbagai
penjuru dunia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia musik adalah ilmu atau seni yang
menyusun nada atau suara diurutkan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk
menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan nada atau
suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan
terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi. Musik dapat
menghasilkan bunyi apabila ada orang yang memainkannya.
Untuk menjadi seorang pemain musik bukanlah hal yang mudah. Banyak proses
yang harus dilakukan agar bisa memainkan musik dengan baik. Salah satunya dengan
menempuh pendidikan formal.
Dalam pendidikan formal, para pemain musik pasti akan melakukan performansi.
Menurut Sloboda (1994), yang disebut dengan performansi musik adalah suatu situasi
dimana seorang performer (orang yang menampilkan permainan musik) atau sekelompok
performer secara sadar dan sengaja menampilkan musik kepada penonton. Para pemain
musik yang menempuh pendidikan formal di Fakultas Seni Petunjukan Universitas Kristen
Satya Wacana akan melakukan performansi sebagai bentuk ujian.
Peneliti bertanya kepada 5 orang mahasiswa FSP UKSW pada bulan Juni 2015, tiga
orang adalah pemain gitar, satu orang pemain piano, satu orang lagi adalah pemain
saxsofon. Seringkali mereka melakukan performansi musik. Dari hasil wawancara didapati
bahwa setiap akan melakukan performansi dan sedang melakukan performansi mereka
mengalami kecemasan. Kelima narasumber menginformasikan bahwa sebagai mahasiswa
FSP seringkali tampil di depan umum dan di depan dosen. Empat dari lima narasumber
2
menyatakan bahwa mereka lebih cemas ketika tampil di depan dosen sedangkan yang
seorang merasa lebih cemas ketika tampil di depan umum.
Berdasarkan wawancara tersebut juga didapati bahwa performansi yang dilakukan
tidak selalu berjalan mulus. Salah satunya adalah karena besarnya kecemasan yang
dirasakan oleh para mahasiswa FSP UKSW. Hal tersebut memengaruhi kualitas
performansi yang dilakukan.
Dalam menjelaskan kecemasan, Sigmund Freud (Feist and Feist, 2010) menjelaskan
bahwa kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti
oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam.
Kecemasan yang terjadi disebabkan karena kekhawatiran para mahasiswa untuk
menghadapi sebuah performansi terutama ketika melakukan ujian di depan dosen.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Semiun (2006) yang mengatakan bahwa simtom
kognitif dalam gangguan-gangguan kecemasan menunjukkan kekhawatiran dan
keprihatinan mengenai bencana yang diantisipasi oleh individu. Menurut Buklew dalam
Sudarjo (2003) tanda-tanda kecemasan bisa dilihat dari dua sisi, yaitu tingkat psikologis
seperti tegang, bingung, khawatir, sulit berkonsentrasi, dan tingkat fisiologis, yaitu
kecemasan yang sudah mempengaruhi fisik, terutama fungsi sistem syaraf seperti sukar
tidur, jantung berdebar, keringat berlebihan, sering gemetar dan perut mual.
Kecemasan secara umum akan menimbulkan respons melawan atau menghindar
yang pada situasi mengancam dapat membantu seseorang untuk mengatasi situasi tersebut.
Tetapi dalam kecemasan performa musikal, respons ini dapat sangat mengganggu karena
performa musik membutuhkan keterampilan dan penggunaan otot-otot halus (Rink, 2002).
3
Pada penelitian ini peneliti berfokus pada kecemasan performansi dalam bidang musik
yang disebut dengan kecemasan performansi musik ( Music Performance Anxiety)
Menurut Kenny (2011) Music Performance Anxiety (MPA) adalah keadaan
kecemasan yang terjadi secara terus-menerus, berhubungan dengan suatu pertunjukan
musik yang muncul didasari oleh latar belakang genetika dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya dan diwujudkan melalui aspek kognitif, somatik, afeksi, dan behavior. Ada 3
aspek yang disusun oleh Osborne & Kenny dalam Abhiyoga (2015) guna melihat fenomena
music performance anxiety yang dialami oleh musisi-musisi remaja. Aspek yang pertama
adalah aspek somatic dan kognitif, aspek ini mendeskripsikan mengenai keadaan fisik dan
kognisi pada individu akan hadirnya music performance anxiety. Yang kedua adalah aspek
performance context, aspek ini mendeskripsikan tentang bagaimana situasi audience dan
konteks performansi (pertunjukan tunggal vs pertunjukan kelompok). Yang ketiga adalah
performance evaluation, aspek ini mendeskripsikan tentang bagaimana persepsi pemain
musik terhadap audience-nya, persepsi yang dimaksud adalah kecemasan yang dialami
individu disebabkan karena adanya perasaan takut untuk dievaluasi oleh audience.
Ketika seseorang mengalami kecemasan saat akan tampil dalam sebuah
pertunjukan, kecemasan tersebut dapat mengganggu kelancaran sebuah penampilan,
dimana seharusnya dibutuhkan ketenangan pikiran dan suara serta gerakan tangan yang
stabil (Parncutt dan McPherson, 2002). Kecemasan performansi musik berbeda dengan
kecemasan performansi dalam bidang olahraga, dimana kecemasan sangat ditekankan pada
segi kompetisi. Selain adanya kompetisi, hal lain yang dapat memengaruhi kecemasan
adalah situasi performa, yaitu jumlah penonton, ada atau tidaknya penilaian, dan jumlah
pemain (Tambunan dalam Paramita, 2013).
4
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kecemasan pada situasi prestasi adalah
adanya gangguan pada rutin yang telah dilatih. Oleh karena itu, bagaimana sebuah
performa akan ditampilkan sudah ditentukan dan dilatih sejak awal sehingga setiap
performa dari sebuah komposisi akan selalu terdengar sama. Hal ini membuat para
performer harus dapat melakukan performansi tanpa melakukan kesalahan yang dapat
mengacaukan rutin yang telah dilatih (Endler dalam Paramitha, 2013).
Berdasarkan wawancara, faktor-faktor kecemasan yang dialami subjek ketika
melakukan performansi antara lain karena kurangnya persiapan, daftar lagu yang akan
ditampilkan memiliki taraf yang sulit, pikiran-pikiran negatif sebelum melakukan
performansi, pernah mendapatkan respons yang buruk, kurang percaya diri, reaksi fisik
yang disebabkan karena perasaan gugup, masalah teknis yang seringkali mengganggu
kualitas performansi. Hal ini sesuai dengan beberapa faktor kecemasan performansi musik
yang dikemukakan oleh Kenny (2011) yaitu kurangnya persiapan untuk melakukan
performansi, daftar lagu yang sulit, pengalaman performansi yang buruk, konsentrasi
kepada reaksi penonton, respons yang buruk, kesalahan teknis, pikiran negatif mengenai
performansi, tidak mengetahui cara mengontrol reaksi fisik, kurang percaya diri, dan
tekanan dari guru.
Dari fenomena yang ada, mahasiswa FSP UKSW mengatakan kalau kecemasan
seringkali muncul sebagai hal yang melemahkan performansi yang dilakukan oleh
mahasiswa FSP UKSW. Kecemasan yang dialami membuat mereka pernah terhenti di
tengah pertunjukan karena kehilangan konsentrasi. Wolman dan Stricker dalam Paramitha
2013 mengatakan bahwa kecemasan dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk
5
melakukan suatu tindakan, dan memengaruhi kemampuan intelektual seseorang terutama
dalam hal memori dan kemampuan mengekspresikan diri.
Tekanan dari luar maupun dari dalam diri, dapat menimbulkan kecemasan pada
diri pemain musik. Untuk mengatasinya, diperlukan lebih banyak riset di bidang ini. Akan
tetapi penelitian mengenai kecemasan performansi musik di Indonesia dapat dikatakan
masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tingkat kecemasan
performansi musik Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya
Wacana yang mengikuti ujian vokal.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian deskriptif kuantitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk
menganalisis data yang diperoleh dari sampel populasi sesuai dengan metode statistik
yang digunakan. Dalam penelitian ini, penelitian deskriptif kuantitatif digunakan untuk
mendapatkan gambaran mengenai tingkat kecemasan mahasiswa FSP UKSW yang
mengikuti ujian vokal.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan teknik pengambilan sampel secara purposif (purposive sampling) yaitu
6
pengambilan sampel berdasarkan penilaian subjektif peneliti berdasarkan pada karakteristik
tertentu yang dianggap mempunyai sangkut paut dengan karakteristik populasi yang sudah
diketahui sebelumnya dengan pertimbangan tertentu ( Sugiono dalam Temaluru 2013).
Sampel yang diambil dari populasi memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) angakatan 2012 - 2014.
2. Mahasiswa FSP UKSW yang mengikuti ujian akhir semester vokal pada Desember
2015.
3. Bersedia menjadi partisipan dengan menandatangani surat persetujuan (inform consent).
4. Melakukan pertunjukan.
Dalam penelitian ini, sampel diambil dalam 1 angkatan untuk mempermudah
dengan pertimbangan mereka sudah melalui beberapa tahapan yang sama dan cukup
memiliki pengalaman dalam melakukan performansi. Mereka diminta untuk mengisi
kuesioner setelah melakukan performansi. Kelompok pertama melakukan performansi
pada minggu ke 4 bulan November 2015. Ujian dilakukan secara bergantian dan satu-
persatu masuk ke dalam ruangan untuk melakukan ujian hanya bersama dosen. Peneliti
bekerja sama dengan pihak Fakultas Seni Pertunjukan untuk meminta ijin dan pengaturan
jadwal ujian praktek. Kelompok kedua melaksanakan performansi pada minggu pertama
bulan Desember 2015 pada saat ibadah hari minggu. Beberapa saat setelah mereka
melakukan performansi, peneliti membagikan angket. Pertimbangan peneliti membagikan
angket setelah mereka melakukan performansi adalah karena mereka masih mengingat
situasi dan kondisi pada saat mereka melakukan performansi sehingga angket yang
dibagikan dapat diisi dengan mudah oleh subjek.
7
Pengukuran
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah Music Performance Anxiety Inventory for Adolescent (MPAI-A) yang
diterjemahkan Abhiyoga 2015 ke dalam Bahasa Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 3 aspek
yang disusun oleh Osborne & Kenny (2005) guna melihat fenomena music performance
anxiety yang dialami oleh musisi-musisi remaja. Aspek yang pertama adalah aspek somatic
dan kognitif yang terdiri dari 8 item pernyataan, aspek ini mendeskripsikan mengenai
keadaan fisik dan kognisi pada individu akan hadirnya music performance anxiety. Yang
kedua adalah aspek performance context yang terdiri dari 3 item pernyataan, aspek ini
mendeskripsikan tentang bagaimana situasi audience dan konteks performansi (pertunjukan
tunggal vs pertunjukan kelompok). Yang ketiga adalah performance evaluation yang terdiri
dari 4 item pernyataan, aspek ini mendeskripsikan tentang bagaimana persepsi pemain
musik terhadap audience-nya, persepsi yang dimaksud adalah kecemasan yang dialami
individu disebabkan karena adanya perasaan takut untuk dievaluasi oleh audience. Adapun
alasan peneliti mengadaptasi dan menggunakan alat instrumen ini karena beberapa
karakterisitk instrumen MPAI-A dapat diaplikasikan dalam fenomena music performance
anxiety yang sedang diteliti oleh peneliti saat ini.
Peneliti telah melakukan uji coba sebelumnya untuk menguji tingkat validitas dan
reliabilitas pada alat instrumen ini. Instrument MPAI-A telah diadaptasikan dan
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia melalui bentuk angket dengan model skala likert
dan diujicobakan kepada 104 pemain gitar yang berada di wilayah Kota Salatiga dengan
karakteristik sampel yaitu pemain gitar, berjenis kelamin laki-laki, dan masih aktif
memainkan musik di panggung hiburan. Dari analisis item yang sudah dilakukan,
8
didapatkan hasil koefisien korelasi item total di atas 0,25 terkecuali untuk item nomor 10.
Azwar (2012) menyatakan bahwa jika item belum memenuhi batas koefisien korelasi ≥ 0,3
maka batas kriteria dapat diturunkan menjadi ≥ 0,25. Untuk item nomor 10 didapatkan
koefisien korelasi sebesar 0,202 hal tersebut belum mencapai batas kriteria koefisien
korelasi yang disebutkan Azwar, maka peneliti menggunakan tabel koefisien korelasi VA
sebagai standart batas koefisien korelasi item dengan rumus df : N-1. Setelah diketahui
hasil koefisien korelasi sebesar 0,202 hal tersebut melebihi standar korelasi dari tabel VA
sebesar 0,195 yang mengindikasikan bahwa item nomor 10 masih memenuhi standar
koefisien korelasi.
Pada penelitian ini, peneliti juga melakukan uji reliabilitas alpha cronbach dengan
menggunakan bantuan program SPSS 16 for Windows pada instrumen Music Performance
Anxiety Inventory for Adolescent (MPAI-A). Azwar (1997) menyatakan bahwa secara
teoritik besarnya koefisien reliabilitas berkisar mulai dari 0,0–1,0. Dari uji reliabilitas yang
sudah dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,799 dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa alat instrumen MPAI-A sudah reliabel dan dapat
digunakan untuk mengukur permasalahan yang akan diteliti.
Pada penelitian ini, peneliti juga melakukan uji reliabilitas alpha cronbach dengan
menggunakan bantuan program SPSS 16 for Windows pada instrumen Music Performance
Anxiety Inventory for Adolescent (MPAI-A). Azwar (1997) menyatakan bahwa secara
teoritik besarnya koefisien reliabilitas berkisar mulai dari 0,0–1,0. Selanjutnya Azwar
(1997) menyatakan jika didapatkan nilai koefisien reliabilitas rxx:1,0 hal tersebut berarti
terdapat konsistensi sempurna pada hasil ukur, namun konsistensi yang sempurna seperti
itu tidak dapat terjadi dalam pengukuran aspek aspek psikologis dan sosial yang
9
menggunakan manusia sebagai subjeknya dikarenakan terdapat berbagai sumber eror dalam
diri manusia. Dari uji reliabilitas yang sudah dilakukan oleh peneliti didapatkan hasil
koefisien reliabilitas sebesar 0,799 dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa alat
instrumen MPAI-A sudah reliabel dan dapat digunakan untuk mengukur permasalahan
yang akan diteliti (Abhiyoga, 2015).
HASIL PENELITIAN
yang diterapkan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah uji
Independent Sample t-test atau uji-t. Metode ini digunakan untuk menguji hipotesis
penelitian yaitu dengan cara membandingkan dua kelompok subjek dengan mencari
perbedaan mean antara sifat keadaan atau tingkah laku dalam dua kelompok tersebut
(Hadi,1997). Program yang digunakan untuk menganalisis adalah program SPSS for
windows version 15.
Uji Normalitas
H0 : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : Data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian berdasarkan nilai signifikansinya adalah jika nilai signifikansi > 0,05
maka H0 diterima
10
Tabel 1.
Uji Normalitas
Uji normalitas pada bagian ini menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov. Hasil dari
uji normalitas berdasarkan Tabel Test of Normality didapatkan bahwa nilai signifikansi dari
data tingkat kecemasan ketika mahasiswa tampil di depan umum dan di depan dosen
adalah sama, yaitu 0,200. Hal ini menunjukkan bahwa Sig > 0.05, sehingga H0 diterima.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data berasal dari populasi yang berdistribusi
normal.
Uji Homogenitas
H0 : Data memiliki variansi yang sama atau homogen.
H1 : Data tidak memiliki variansi yang sama atau tidak homogen.
Kriteria pengujian berdasarkan nilai signifikansinya adalah jika nilai signifikansi > 0,05
maka H0 diterima.
11
Tabel 2.
Uji Homogenitas
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.426 1 28 .242
Uji homogenitas pada bagian ini menggunakan metode Levene. Dari Tabel Test of
Homogenity of Variancies dapat dilihat bahwa nilai signifikansi 0,242 > 0,05. Hal ini
berarti H0 diterima sehingga dapat disimpulkan kedua kelompok memiliki variansi yang
sama atau homogen
Analisis Deskriptif
Untuk menentukan kategori tingkat kecemasan maka digunakan kategorisasi
jenjang ordinal. Azwar (2012) menyatakan bahwa tujuan kategorisasi ini adalah
menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang menurut
suatu kontinum berdasar suatu atribut yang diukur. Skala Music Performance Anxiety
terdiri dari 15 item yang masing masing itemnya diberi skor 1 untuk jawaban STS, 2
untuk jawaban TS, 3 untuk jawaban S, 4 untuk jawaban SS. Rentang minimum dan
maksimumnya adalah X = 15, diperoleh dari 15 x 1 dan skor terbesar adalah X = 60,
diperoleh dari 15x4. Luas jarak sebarannya menggunakan rumus X maks – X min, 60 - 15
= 45. Dengan demikian setiap satuan deviasi standartnya bernilai (σ) = 45/6 = 7,5, dan
mean teoritiknya adalah (μ) = 15 x 3 = 45.
12
Tabel 3.
Kategorisasi jenjang ordinal
Rumus Interval Kategori
X < (45 - 1,0 x 7,5)
(45 -1,0 x 7,5) ≤ X< (45 +1,0 x 7,5)
(45 +1,0 x 7,5) ≤ X
X < 37, 5
37, 5 ≤ X < 52, 5
52,5 ≤ X
Rendah
Sedang
Tinggi
Tabel 4.
Kategorisasi skor music performance anxiety yang dilakukan di depan dosen dan di
depan umum
No Interval Kategori Performansi
solo % Mean
Performansi
group % Mean
1. X < 37, 5 Rendah 6 40%
37,67
8 53,3 %
37,67 2. 37, 5 ≤ X < 52, 5 Sedang 9 60% 7 46,7 %
3. 52,5 ≤ X Tinggi 0 0% 0 0%
Total 15 100% 15 100%
13
Tabel 5.
Nilai rata-rata MPA
MUSIC PERFORMANCE ANXIETY
ANGKATAN JENIS KELAMIN
2012 2013 2014 PRIA WANITA
39,67 37 38 38,7 36,75
Hasil yang diperoleh dari perhitungan rata-rata berdasarkan angkatan menunjukkan
bahwa setiap angkatan memiliki tingkat kecemasan dalam kategori sedang ketika
melakukan performansi. Sedangkan hasil yang diperoleh dari perhitungan rata-rata
berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pria memiliki tingkat kecemasan dalam
kategori sedang dan wanita memiliki kecemasan dalam kategori rendah.
Uji t sampel berpasangan (paired sample)
H0 : Tidak ada perbedaan tingkat kecemasan mahasiswa FSP yang melakukan performansi
solo dan group
H1 : Ada perbedaan tingkat kecemasan mahasiswa FSP yang melakukan performansi solo
dan group
Kriteria pengujian berdasarkan nilai signifikansinya :
14
a. Jika nilai signifikansi > 0,05 maka H0 diterima
b. Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak
Tabel 6.
Paired Samples Test
Berdasarkan tabel Paired Samples Test didapati bahwa nilai sig. adalah 1,000 > 0,05.
Dengan demikian H0 diterima, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara tingkat kecemasan mahasiswa FSP yang melakukan performansi secara
solo dan group.
PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh dari perhitungan rata-rata berdasarkan angkatan menunjukkan
bahwa setiap angkatan memiliki tingkat kecemasan dalam kategori sedang ketika
melakukan performansi sehingga tidak terdapat perbedaan kecemasan yang signifikan antar
angakatan. Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat kecemasan berdasarkan
jenis kelamin. Perhitungan rata-ratayang diperoleh berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
15
bahwa pria memiliki tingkat kecemasan dalam kategori sedang dan wanita memiliki
kecemasan dalam kategori rendah. Berdasarkan perhitungan tersebut pria memiliki tingkat
kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan wanita pada mahasiswa FSP UKSW yang
mengikuti ujian vokal.
Berdasarkan hasil analisis dan penelitian mengenai perbedaan tingkat kecemasan
performansi musik Mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan yang melakukan performansi di
depan umum dan di depan dosen diperoleh hasil perhitungan menggunakan Paired Samples
Test dengan nilai t sebesar 0,001 dan nilai signifikansi sebesar 1,000 ( P > 0,05) dengan
kata lain tidak ada perbedaan tingkat kecemasan performansi musik yang dilakukan secara
solo dan group. Nilai mean yang didapatkan dari kedua kelompok adalah 37,67. Secara
umum kedua kelompok dikategorikan mengalami kecemasan pada tingkat sedang. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya dalam Paramitha 2013 yang mengatakan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam hal tingkat kecemasan performansi musik antara
pemain musik yang tampil secara solo, duo, dan trio atau lebih.
Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil wawancara kepada 5 narasumber
yang dilakukan pada waktu selesai melakukan performansi di depan dosen. Subjek
mengatakan bahwa ketika melakukan performansi solo yang dilakukan di kampus jauh
lebih cemas dibandingkan ketika mereka tampil group. Hal tersebut disebabkan karena
mereka menganggap dosen jauh lebih tahu mengenai kesalahan yang mereka lakukan
dibandingkan orang awam.
Pertunjukan yang dilakukan dalam kedua situasi tersebut berada dibawah
pengawasan dosen sebagai bentuk ujian. Supriyantini (2010) mengatakan bahwa ujian
16
merupakan suatu proses pemeriksaan mengenai pengetahuan, keahlian atau kecerdasan
siswa sebagai akibat dari suatu proses belajarnya selama menjalani pendidikan. Sebelum
menjadi seniman profesional, para mahasiswa harus lulus kuliah terlebih dahulu oleh
karena itu penilaian dosen membuat mereka begitu cemas karena kelulusan mereka
ditentukan oleh dosen. Kenny (2011) mengatakan bahwa salah satu faktor yang
memengaruhi MPA adalah Pressure from teacher atau tekanan dari guru. Salah satu hal
yang sangat berpengaruh dalam pertunjukan baik solo maupun group adalah penonton. Dari
hasil wawancara mereka mengatakan bahwa pada akhirnya tujuan mereka belajar di
perkuliahan adalah tampil di depan umum dan itulah ujian yang sebenarnya. Kecemasan
yang dialami ketika melakukan performansi di depan umum disebabkan karena respons dan
kualitas performansi mempengaruhi status mereka yang disebut sebagai pemain musik.
Kenny (2011) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi MPA adalah
concern about audience reactions atau fokus kepada reaksi penonton.
Dari penelitian ini diperoleh hasil pada kelompok performansi yang dilakukan
secara group, skor item tertinggi terletak pada nomor 5 dengan perolehan skor 46.
Sedangkan pada kelompok performansi yang dilakukan solo diperoleh skor tertinggi pada
item nomor 5 dengan perolehan skor 46. Pada item nomor 5 yang ditulis demikian “ketika
saya melakukan performansi musik di depan penonton, saya takut untuk membuat
kesalahan. Item termasuk dalam aspek kognitif. Kenny (2011) mengatakan bahwa
kecemasan ini diindikasikan dengan adanya ketakutan untuk melakukan kesalahan pada
alat musik yang dimainkan. Oltmans & Emery mengatakan bahwa kognitif memainkan
peran penting sebagai mediator antara pengalaman dan respons. Persepsi, ingatan, dan
atensi semuanya memengaruhi cara kita bereaksi terhadap kejadian di lingkungan kita.
17
Dari pengambilan data diperoleh hasil dari kedua kelompok sama-sama memiliki
skor terendah pada item nomor 11. Item tersebut termasuk dalam aspek performance
context dengan indikasi menunjukkan perilaku menghindar untuk melakukan performansi
musik. Pada item nomor 11 ditulis “saya cenderung menghindar untuk melakukan
performansi musik di panggung hiburan”. Mengingat skor di item tersebut rendah, hal ini
dapat mengindikasikan bahwa para mahasiswa FSP tidak memiliki kecenderungan
menghindari performansi di panggung hiburan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Lazarus (dalam Anwar, 2009) yang menyatakan bahwa kecemasan sebagai intervening
variable, yaitu kecemasan lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi
kecemasan tersebut mendorong individu agar dapat mengatasi masalah. Hal senada juga
diungkapkan Halgin dan Whitbourne (2009) menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman
kecemasan yang ada pada diri individu dapat dikembangkan menjadi cara yang efektif
untuk menenangkan individu yang nantinya akan berguna saat individu diharuskan
menghadapi situasi-situasi tertentu, atau kecemasan tersebut bisa digunakan sebagai
penyemangat untuk mengatasi rintangan-rintangan sehingga individu dapat tampil secara
efektif. Hasil penelitian tersebut memiliki hasil yang sama dengan penelitian yang terdapat
dalam Abhiyoga (2015) dengan menggunakan kuesioner yang sama diadopsi dari Kenny
(2011) dimana perolehan skor tertinggi adalah dari item nomor 5 dan perolehan skor
terendah adalah dari item nomor 11. Pengambilan data ini dilakukan dalam waktu yang
berbeda dan subjek yang berbeda namun memiliki hasil yang sama.
Dari hasil tersebut peneliti menyimpulkan bahwa dalam penelitian ini kecemasan
yang dialami oleh mahasiswa FSP bersifat positif. Hal tersebut berarti bahwa kecemasan
yang dialami bukan menjadi suatu hal yang melemahkan individu, namun kecemasan
18
tersebut adalah kecemasan yang memotivasi para mahasiswa agar lebih mempersiapkan
diri untuk melakukan performansi. Dari hasil yang sudah didapatkan melalui pengambilan
data dapat disimpulkan bahwa tingkat MPA tidak dipengaruhi oleh situasi yang dihadapi
saja. Banyak faktor yang memengaruhi MPA namun tidak menjadi penghambat karena
performansi yang dilakukan sebagai mahasiswa FSP menjadi sarana dalam mempersiapkan
diri untuk menjadi seorang pemain musik yang profesional. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian terdahulu yang diungkapkan dalam Abhiyoga (2015) yang mengatakan bahwa
kecemasan yang dialami bukan menjadi suatu hal yang melemahkan keberfungsian, namun
kecemasan tersebut adalah kecemasan yang memotivasi para pemain gitar untuk melakukan
performansi musik dengan lebih baik.
Terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam penelitian ini. Situasi
performansi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan serangkaian jadwal ujian yang
didapatkan dari fakultas. Pada situasi performansi yang dilakukan secara group, peneliti
tidak dapat memastikan apakah performansi ini mendapatkan penilaian dari dosen atau
tidak karena dosen hanya menjelaskan bahwa performansi tersebut berupa pelayanan dan
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut sehingga peneliti tidak dapat menjabarkan lebih
lanjut pada performansi yang dilakukan secara group mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan penilaian dosen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat perbedaan music performance anxiety yang signifikan dari pertunjukan yang
dilakukan secara group maupun solo. Setiap angkatan memiliki tingkat kecemasan yang
sama yaitu berada pada kategori sedang. Sedangkan tingkat kecemasan berdasarkan jenis
19
kelamin memiliki perbedaan dimana wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih rendah
dibandingkan pria. Hasil tersebut memberikan gambaran mengenai tingkat kecemasan yang
dialami oleh mahasiswa FSP UKSW yang melakukan ujian vokal. Dari hasil pembahasan,
kecemasan yang dialami bukan menjadi suatu hal yang melemahkan individu, namun
kecemasan tersebut adalah kecemasan yang memotivasi para mahasiswa agar lebih
mempersiapkan diri untuk melakukan performansi.
Berdasarkan hasil yang didapat, saran yang diajukan dalam penelitian ini mencakup
saran untuk penelitian selanjutnya. Saran untuk penelitian selanjutnya yakni untuk meneliti
kecemasan performansi musik pada pemain musik dapat lebih menambah jumlah sampel
agar memperoleh data yang lebih akurat. Selain itu juga sampel bisa dibuat lebih spesifik
misalnya memilih sampel yang berada dalam kelompok trait kecemasan tinggi, atau hanya
mengambil sampel dengan tingkat pengalaman tertentu. Saran penelitian yang diajukan
adalah untuk memperketat kontrol pada saat pengambilan sampel karena kontrol yang
dilakukan sangat mempengaruhi hasil penelitian.
20
DAFTAR PUSTAKA
Abhiyoga, J.A. (2015). Perbedaan music performance anxiety pada pemain gitar ditinjau
dari latar belakang pendidikan musik. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas
Kristen Satya Wacana.
Anwar, A. I. D. (2009). Hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan berbicara di
depan umum pada mahasiswa Psikologi Universitas Sumatera Utara. Skripsi.
Fakultas Psikologi Universitas Sumatra Utara
Azwar,S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Feist & Feist (2010). Teori Kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika
Halgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2010). Psikologi Abnormal: Perspektif klinis pada
gangguan psikologis. Jakarta: Salemba Humanika.
Kartini, T. (2007). Penggunaan metode role playing untuk meningkatkan minat siswa
dalam pembelajaran pengetahuan sosial di kelas V SDN Cileunyi I Kecamatan
Cileunyi Kabupaten Bandung. Jurnal Pendidikan Dasar. 8
Kenny, D. T. (2011). The psychology of music performance anxiety. New York: Oxford
University.
Oldmans, T.F., & Robert, E. (2013). Psikologi Abnormal edisi 7. Yogyakarta : Pustaka
Belajar.
Paramita, K.D. (2013). Perbedaan tingkat kecemasan performa musikal antara pemain
musik klasik yang tampil secara solo, duo, dan trio atau Lebih. Skripsi. Diunduh
pada tanggal 17 mei 2016, dari http://lib.ui.ac.id.
Parncutt, R., & McPherson, G.E. (2002). The science & psychology of music performance.
New York: Oxford University Press
Rink, J. (2002). Musical Performance : A Guide to understanding. Cambridge : Cambridge
University Press.
Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta : Kanisius
Siska, S. & Purnamaningsih, E.P. (2003). Kepercayaan diri dan kecemasan komunikasi
interpersonal pada mahasiswa. Skripsi. Diunduh pada tanggal 18 mei 2016, dari
http://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/7025/5477.
Sugiyono, (2012). Statistika untuk penelitan. Bandung : Alfa Beta
21
Supriyantini, S. (2010). Perbedaan kecemasan dalam menghadapi ujian antara siswa
program regular dengan siswa program akselerasi. Skripsi. Diunduh pada
tanggal 7 April 2016, dari http://repository.usu.ac.id.
Temaluru, J.A (2013). Perbedaan tingkat kepercayaan diri antara mahasiswa yang tinggal
dengan orangtua dan yang tidak tinggal dengan orangtua. Skripsi. Fakultas
Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.