Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT DENGAN
ATURAN HIDUP DI PESANTREN
OLEH
FIRDHAILSA CINTORA
802009134
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda
tangan di bawah ini :
Nama : Firdhailsa Cintora
Nim : 802009134
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal
bebas royalty non-eksklusif (non-exclusiveroyalty freeright) atas karya ilmiah saya berjudul :
PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT DENGAN
ATURAN HIDUP DI PESANTREN
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal : 19 Juni 2015
Yang menyatakan,
Firdhailsa Cintora
Mengetahui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Drs. Aloysius L. S. Soesilo., MA Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Firdhailsa Cintora
Nim : 802009134
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :
PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT
DENGAN ATURAN HIDUP DI PESANTREN
Yang dibimbing oleh :
1. Drs. Aloysius L. S. Soesilo., MA
2. Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagaian tulisan atau
gagasan lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian
kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya sendiri tanpa
memberikan pengakuan terhadap penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 19 Juni 2015
Yang memberi pernyataan
Firdhailsa Cintora
PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT
DENGAN ATURAN HIDUP DI PESANTREN
Firdhailsa Cintora
Aloysius L. Soesilo
Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengutamakan ilmu agama sebagai fondasi bagi
individu dalam menjalani kehidupannya dan serta bertujuan untuk menghasilkan individu
yang mendalam ilmu keislamannya. Namun tak jarang, fenomena yang terjadi saat ini
beberapa mantan santri mengalami perubahan setelah lulus dari pesantren, terkait dengan
perilaku yang tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan saat di pesantren. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang membuat keterikatan mantan santri dengan aturan
hidup di pesantren mengalami perubahan (sehubungan dengan melepas jilbab). Selain itu,
penjelasan singkat mengenai bagaimana iman dipandang oleh mantan santri dalam
kehidupannya dan bagaimana mantan santri putri memandang dirinya setelah keluar dari
pesantren. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengambilan data
yaitu wawancara dan observasi. Partisipan penelitian ini melibatkan tiga orang partisipan,
dengan karakteristik mantan santri putri rentang usia 22-23 tahun dan tidak mengenakan
jilbab selama 4-7 tahun sejak wawancara dilakukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perubahan (terkait dengan melepas jilbab) yang dialami oleh partisipan dikarenakan sudah
tidak adanya lagi keterikatan mantan santri dengan aturan-aturan saat di pesantren,
konformitas, pencarian identitas, serta tuntutan pekerjaan. Meskipun dalam hal cara
berbusana mengalami perubahan, mereka tetap membawa ajaran-ajaran agama saat di
pesantren, khususnya dalam hal iman yang diwujudkan dalam bentuk perilaku-perilaku
seperti sholat, mengaji, dan berpuasa.
Kata Kunci : pesantren, mantan santri putri, perubahan perilaku, iman,
konformitas, identitas diri.
ii
Abstract
Boarding school is as an educational institution that major the knowledge of religion as the
foundation for individuals to live, and aims to produce in-depth knowledge of Islamic.
However, it is not infrequently, a phenomenon that occurs is changing some of the ex-
students after graduating from boarding school at the time. It is contrast with behavior of
rules on boarding schools. The aim of this study to describe what makes being bound the
rules of living in boarding schools ex- students change (related to loose of the veil). In
addition, explain of how the faith is seen by ex-students in her life and how the ex-female
students looked her selves after leaving from boarding school. The method of this study is
using qualitative method and the technique for collecting data, such as: interview and
observation. Participants of this study involves three participants, with the characteristics of
ex-female students has range of age 22-23 years old and they haven’t wear the veil during the
4-7 years since the interview was conducted. The results showed the change (related to loose
of the veil) by the experienced participants of ex-students is because there is no bound of ex-
student with the rules on boarding school, conformity, livelihood of self identity, and as well
as demands of the job. Although in terms of wearing of dress is changing, they are still
carrying what have taught of religion while at boarding schools, especially in matters of faith
has been formed of behaviors such as praying, reciting, and fasting.
Keywords: boarding school, ex-female students, a change of behavior, faith,
conformity, self-identity.
1
PENDAHULUAN
Agama adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial yang dapat
memengaruhi perilaku individu. Menurut Rajab (2012) agama merupakan panduan,
pedoman, dan tentang aturan-aturan hidup agar kehidupan manusia kelak menjadi lebih
baik. Di Indonesia saat ini, tidak jarang orangtua memasukkan sang anak ke pesantren
dengan tujuan agar memiliki ilmu agama yang lebih baik dan kualitas iman yang
mumpuni. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (1975) mengenai harapan orangtua santri terhadap
anaknya bahwa orang-orang yang telah belajar di pesantren memperoleh manfaat, di
mana alumni-alumni pesantren umumnya berhasil memiliki ilmu agama yang tinggai
(49 %) atau mendapatkan status yang tinggi dalam masyarakat (48 %), sedangkan dari
pihak alumni yang sempat diwawancarai pada umumnya (92%) tidak menyesal pernah
belajar di pesantren. Alasan-alasan mereka adalah karena dalam pesantren, mereka
merasa telah digembleng kepribadiannya (37%), karena pendidikan yang diperoleh dari
pesantren, merupakan dasar yang cocok bagi pekerjaannya sekarang (32%), dan karena
dari pesantren mereka sekarang mendapatkan kawan yang banyak (30%).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menekankan dan mengutamakan
pembelajaran keagamaan, sebagai fondasi bagi individu di dalam menjalani
kehidupannya. Pada dasarnya fungsi sebuah pesantren adalah sebagai lembaga yang
bertujuan mencetak muslim agar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi
al-diin) secara mendalam, serta menghayati dan mengamalkannya dengan ikhlas
semata-mata ditujukan untuk pengabdiannya kepada Allah SWT di dalam kehidupannya
(Masrifah, 2010). Menurut Hadimulyo (dalam Rahardjo, 1985) sebagai lembaga,
pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai keislaman dengan titik berat
2
pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri agar dapat
menjadi orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuan keislamannya, yang kemudian
mereka mampu mengajarkannya kepada masyarakat setelah selesai menamatkan
pendidikannya di pesantren.
Siswa atau siswi yang belajar di pesantren biasa disebut santri. Santri ialah
sekelompok orang baik-baik yang taat pada aturan agama (Afikasari, 2011) atau
seseorang yang belajar mendalami tentang Islam dan beribadat dengan sungguh-
sungguh (Poerwadarminta, 1983). Semakin dalam santri mempelajari tentang Islam
maka akan berpengaruh pada kualitas keimanannya. Ia akan memiliki iman yang kuat,
segala sesuatu yang dilakukannya selalu mengandalkan Tuhan, dan menjadikan-Nya
sebagai andalan hidup bagi dirinya (Hardjana, 1993).
Menurut Hardjana (1993) individu yang beragama menghayati dan mewujudkan
iman kepada Tuhan dalam kehidupan nyata dibedakan menjadi dua macam, yaitu iman
ekstrinsik dan intrinsik. Individu yang beriman ekstrinsik menganut agama karena
hendak mendapatkan pemenuhan psikologis, yaitu: rasa aman, enak, nyaman, dan
dilindungi. Baginya iman merupakan perkara luar yang tidak mempengaruhi cara
berpikir, berkehendak, dan berperilaku. Individu yang beriman intrinsik membuat
dirinya terlibat total dalam imannya, menghayati agama tanpa syarat, dan dalam
membuat keputusan hidup iman dipandang sebagai dasar utama dari petimbangannya.
Mereka tampil sebagai manusia yang penuh tanggung jawab dan berpendirian, serta
berpegang pada iman demi memuji dan memuliakan Tuhan, kebaikan sesama, dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya
para santri mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mendapatkan fasilitas yang sama
antara santri yang satu dengan yang lainnya. Setiap santri diwajibkan untuk menaati
3
setiap peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren, dan apabila dilanggar akan
dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Misalnya saja, setiap
santri diwajibkan untuk mengikuti kegiatan beribadah seperti sholat dan mengaji setiap
hari di masjid, diwajibkan untuk berpenampilan yang menutup aurat, dan lain
sebagainya.
Adanya perbedaan yang kontras antara lingkungan pesantren dengan lingkungan
luar pesantren dapat memengaruhi mantan santri baik dalam bersikap maupun
berperilaku. Seperti hasil wawancara yang dilakukan Afikasari (2011) terhadap alumni
pesantren IMMIM Putri Pangkep, bahwa beberapa alumni pesantren berubah baik dari
perilakunya terkait dengan penampilan, yaitu tidak lagi memakai pakaian seperti apa
yang disyariatkan Islam. Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak ada lagi keterikatan
santri dengan peraturan yang dahulunya ditekankan dalam pesantren. Selain hal
tersebut, kelompok bermain alumni santri putri yang tidak hanya dari kalangan
pesantren yang sama, mengakibatkan adanya motif tertentu dalam diri mereka untuk
mengimitasi gaya kelompok bermainnya. Sehingga terjadilah suatu perubahan dalam
diri manusia itu sendiri, khususnya bagi alumni pesantren terkait dengan perilaku.
Perubahan menurut Atkinson & Brooten (dalam Afikasari, 2011) merupakan
kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan
sebelumnya dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu
atau institusi. Empat perubahan yang perlu diketahui ialah pengetahuan, sikap, perilaku
individual dan perilaku kelompok. Perubahan perilaku tersebut dapat terjadi karena
adanya tekanan-tekanan kelompok, individu, ataupun organisasi (Lewin, dalam Kasali,
2005). Tekanan kelompok ialah perasaan atau persepsi yang terpaksa atau dipaksa oleh
teman kelompok untuk melakukan hal positif atau negatif secara bersama-sama (Barkin,
4
Smith, & Durant, dalam Han & Kim, 2012). Menurut Guzman (2009) tekanan
kelompok dapat dilihat dari beberapa kondisi, yaitu tekanan untuk berpakaian dengan
cara yang sama, tekanan untuk merubah cara pandang, tekanan untuk merubah gaya
berpakaian, dan lain sebagainya. Martin & Hewstone (dalam Taylor, Peplau, & Sears,
2009) mengemukakan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi karena adanya keinginan
individu untuk disukai oleh kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Janes dan Olson
(dalam Baron & Byrne, 2005) juga mengemukakan bahwa ketika seseorang merasa
takut akan penolakan dari orang lain, mereka akan menunjukkan kecenderungan yang
lebih besar untuk melakukan konformitas. Konformitas sebagai salah satu cara bagi
mantan santri putri menemukan identitasnya, mereka menyamakan diri dengan teman
sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan, dan sebagainya
(Mahardhika, 2010). Individu melakukan konformitas karena ingin selalu merasa benar
dan tepat di hadapan orang lain (Baron & Byrne, 2005), dengan cara tersebut mantan
santri akan menemukan dan menetapkan akan seperti apa identitas dirinya.
Mantan santri putri yang berada pada masa remaja dalam menemukan
identitasnya, harus memutuskan siapakah mereka, apa keunikannya, dan apa yang akan
menjadi tujuannya di masa depan. Identitas diri menurut Erikson (1989) ialah suatu
penyadaran dan kesatuan unik pada diri sendiri yang memelihara kesinambungan arti
masa lalunya sendiri bagi orang lain dan bagi diri sendiri, mengintegrasi segala
gambaran diri yang diberikan atau dipaksakan padanya oleh orang lain dengan perasaan
tentang siapakah dirinya atau apakah dia pada saat sekarang, dan siapakah atau apakah
yang dia inginkan pada saat mendatang. Dalam proses mengeksplorasi dan mencari
identitas dirinya remaja seringkali bereksperimen dengan berbagai peran, mereka mulai
mencoba-coba dengan segala identitasnya (berbagai macam konfigurasi baik identitas
5
positif atau negatif), dan akhirnya akan menetapkan yang cocok. Marcia (dalam
Santrock, 2002) berpendapat bahwa teori identitas Erikson terdiri dari empat status
identitas, yaitu: 1. Penyebaran Identitas (identity diffusion), istilah ini digunakan untuk
menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis (yaitu mereka belum menjajaki
pilihan-pilihan yang bermakna) atau membuat komitmen apapun. 2. Pencabutan
Identitas (identity foreclosure), isitilah ini digunakan untuk menggambarkan remaja
yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis. 3. Penundaan
Identitas (identity moratorium), istilah ini digunakan untuk menggambarkan remaja
yang sedang berada di tengah-tengah krisis, tetapi komitmen mereka tidak ada atau
hanya didefinisikan secara samar. 4. Pencapaian Identitas (identity achievement), istilah
ini digunakan untuk menggambarkan remaja yang telah mengalami suatu krisis dan
sudah membuat suatu komitmen. Dengan demikian individu akan mampu
mengantisipasi masa depannya tanpa kecemasan.
Selain itu, tuntutan pekerjaan juga dapat menjadi salah satu penyebab individu
merubah perilakunya. Hal tersebut dapat terjadi apabila mantan santri putri memilih
untuk bekerja setelah lulus sekolah dibandingkan melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya, yang mana dirinya harus mampu menyesuaikan diri terhadap pekerjaannya.
Penyesuaian kerja tersebut tidak hanya mencakup deskripsi mengenai karakteristik
kepribadian, tetapi juga memperhatikan identifikasi perubahan (Dawis, dalam Patton &
McMahon, 1999). Misalnya, ketika mantan santri mendapatkan pekerjaan yang dituntut
untuk merubah penampilannya, ingin atau tidak ingin mereka harus mengikuti tuntutan
tersebut.
Mantan santri sebagai individu yang beragama dan mendalami agama,
seyogyanya akan berperilaku sebagai makhluk Tuhan yang melaksanakan kewajiban-
6
kewajiban dan menjauhi larangan-Nya. Dalam membuat keputusan hidup, iman
dipandang sebagai dasar utama dari segala pertimbangannya dan tampil sebagai
manusia yang berpendirian dan bertanggung jawab (Hardjana, 1993). Diharapkan
mereka tidak akan mengalami kebingungan identitas seperti apa yang akan mereka
tampilkan saat mereka keluar dari pesantren, karena iman menjadikan seseorang akan
memiliki pendirian yang kuat mengenai apa yang mereka lakukan.
Dari deskripsi yang telah dipaparkan di atas, untuk memudahkan proses
penelitian guna menghindari pembahasan yang terlalu luas diperlukan rumusan
masalah. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apa yang membuat
keterikatan mantan santri dengan aturan hidup di pesantren mengalami perubahan?
Bagaimana mantan santri putri memaknai dan menghayati iman yang telah diajarkan
saat di pesantren, serta melihat atau memandang dirinya setelah keluar dari pesantren?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan apa yang membuat
keterikatan mantan santri dengan aturan hidup di pesantren mengalami perubahan
(sehubungan dengan melepas jilbab), mengeksplorasi bagaimana mantan santri putri
memaknai dan menghayati iman yang telah diajarkan pada saat di pesantren serta
melihat identitas dirinya setelah keluar dari pesantren. Manfaat dari penelitian ini bagi
peneliti adalah diharapkan menjadi sarana belajar untuk dapat mengintegrasikan
pengetahuan dan ketrampilan dengan terjun langsung sehingga dapat melihat,
merasakan dan menghayati bagaimana sebenarnya permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat saat peneliti melakukan penelitian. Bagi disiplin ilmu, penelitian ini dapat
memberi sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi sosial, psikologi
perkembangan, dan psikologi agama, terutama mengenai makna agama dalam
perubahan perilaku pada mantan santri putri. Bagi partisipan diharapkan dapat
7
memperoleh insight dalam menghadapi lingkungan baru setelah keluar dari pesantren
dan dapat memberikan pengetahuan mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi saat
para santri keluar dari pesantren. Sedangkan bagi lembaga, penelitian ini dapat
memberikan sumbangan informasi positif dan mampu mempersiapkan dan memberi
pembekalan mengenai lingkungan sosial baru yang akan dihadapi oleh alumni santri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini
melibatkan tiga partisipan yang seluruhnya terdiri dari alumni santri putri yang tidak
mengenakan hijab selama 4 hingga7 tahun sejak wawancara dilakukan dan rentang usia
antara 22 tahun hingga 23 tahun. Ketiga partisipan berasal dan tinggal di provinsi Jawa
Tengah. Partisipan merupakan lulusan pesantren dan pernah tinggal di asrama selama
tiga sampai enam tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara mendalam terhadap semua partisipan serta observasi yaitu
mengamati perilaku yang nampak dari partisipan. Data yang diperoleh dalam penelitian
ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif yang diungkapkan
oleh Miles & Huberman (dalam Herdiansyah, 2010) yang terdiri dari pengumpulan data,
reduksi data, display data, dan kesimpulan.
8
HASIL PENELITIAN
Dalam hasil penelitian ini akan dipaparkan data penelitian secara deskriptif yang
terdiri dari beberapa sub heading, mengenai pengalaman partisipan penelitian sesuai
dengan pertanyaan penelitian.
Perasan dan pengalaman partisipan saat berada di pesantren dan setelah keluar
dari pesantren.
Memiliki banyak teman dapat membina hubungan baik serta mengenal setiap
orangnya menjadi pengalaman yang berkesan bagi ketiga partisipan saat berada di
pesantren.
Perasaan jenuh, malas, bosan, bingung dan tertekan dirasakan oleh partisipan
saat berada di pesantren. Mereka mengakui jika segala aktivitas yang dilakukan di
pesantren serba terbatas dan merasa tidak memiliki target dalam bidang akademik,
prestasi, dan rencana masa depan. Mereka juga menilai jika dirinya tidak bersekolah di
pesantren akan lebih banyak mendapatkan teman dari sekolah-sekolah lain. Ungkapan
berbeda dinyatakan oleh P3 bahwa dirinya lebih nyaman ketika berada di pesantren
karena merasa tidak kesepian, mendapatkan perhatian dan mampu berbagi cerita dengan
teman-temannya, daripada setelah keluar dari pesantren. Hal itu disebabkan oleh
hubungan yang kurang baik antara ia dan orangtua yang menurutnya lebih
memperhatikan dan menyayangi sang adik ketimbang dirinya. Perasaan khawatir dan
jengkel sempat dirasakan P2 sebelum dirinya masuk pesantren, karena kondisi keluarga
yang serba kekurangan saat itu dan sikap yang tidak menyenangkan dari pihak
pesantren terhadap keluarganya.
Setelah keluar dari pesantren ketiga partisipan melihat bahwa kehidupan dunia
pesantren dan luar pesantren sangat berbeda dari segi aturan hidup, yaitu aturan dari
9
segi penampilan dan kedisiplinan. Kurangnya dukungan dari orangtua terhadap P2 dan
P3 setelah keluar dari pesantren membuatnya merasa canggung dan bingung terkait apa
yang akan dilakukan setelah lulus dari pesantren. Perasaan bersyukur dirasakan oleh P1
setelah keluar dari pesantren karena ia menemukan dunia yang sebenarnya. Dunia
sebenarnya yang dimaksud ialah ia harus mampu berkompetisi, memiliki prestasi dan
tidak menjadi orang yang biasa-biasa saja.
Perubahan perilaku sehubungan dengan jilbab
Keputusan merubah perilaku pada ketiga partisipan dialami dengan proses yang
berbeda beda. P1 memutuskan untuk menanggalkan jilbabnya setelah dua minggu
dirinya lulus dari pesantren. Bagi P2, saat dirinya diterima di sebuah perusahaan yang
menetapkam aturan yang tidak boleh mengenakan jilbab membuat dirinya ingin atau
tidak ingin mengikuti aturan itu, walaupun sempat dalam kondisi terkadang melepas dan
memakai jilbab membuat ia merasa malu dengan lingkungan sekitar terkait dengan
perilakunya itu. Meskipun pada dasarnya terdapat niat ingin benar-benar mengenakan
jilbab, ia merasa masih belum memiliki pendirian yang kuat untuk mengambil
keputusan tersebut dan dari pihak keluargapun juga tidak memberi dukungan kepada
dirinya. Perasaan risih dan tidak nyaman dialami oleh P2 saat dirinya pertama kali
memutuskan untuk menanggalkan jilbab. Namun seiring berjalannya waktu ia menjadi
terbiasa dengan penampilannya yang baru. Bagi P3 dirinya menanggalkan jilbab ketika
dirinya masih bersekolah di pesantren saat waktu liburan, hal tersebut ia lakukan karena
melihat keluarganya tidak berpenampilan seperti dirinya yang mengenakan jilbab.
Perubahan perilaku yang dialami oleh ketiga partisipan tersebut disebabkan
karena berbagai alasan. Pada dasarnya mereka belum siap untuk benar-benar
10
mengenakan jilbab, karena menurutnya seseorang yang memutuskan untuk mengenakan
jilbab haruslah dapat menjaga sikap, baik dalam hal berbicara dan bertingkah laku.
Perubahan tersebut terjadi setelah beberapa minggu mereka merasakan euforia
kelulusan dari pesantren. Bagi mereka memakai jilbab saat berada di pesantren hanya
untuk mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pihak pesantren.
Alasan lain yang diutarakan oleh P1 terkait dengan perubahan dirinya yaitu
ingin mencari jati diri dan menentukan identitas diri karena ia merasa tidak menjadi
dirinya sendiri ketika bersama orang lain yang tidak benar-benar dikenalnya. Perubahan
dalam dirinya juga diakui sebagai bentuk pemberontakan olehnya, karena ia merasa
jenuh dan capek selama enam tahun sekolah di pesantren, serta hidup sesuai dengan
aturan membuat dirinya berhak untuk melepas jilbab. Bagi P3, dengan dirinya melepas
jilbabnya ia tidak akan terlihat kaku dan lebih diterima oleh lingkungan sekitarnya.
Kaku yang dimaksud dirinya ialah tidak ingin orang lain (non muslim) memandang
negatif agamanya.
Pandangan dan pemaknaan mengenai iman pada partisipan.
Sebagai mantan santri, pandangan mereka terkait dengan makna iman sudah
muncul sejak mereka kecil, dan diperkuat saat menempuh pendidikan di pesantren. Bagi
mereka iman ialah percaya kepada Allah, melaksanakan dan mematuhi perintah-Nya
serta menjauhi larangan-Nya. Bagi P1 dan P3, mengimani Tuhan harus ikhlas dan tidak
boleh ada keterpaksaan di dalamnya, serta iman dijadikan sebagai dasar utama dalam
mempertimbangkan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka.
Pernyataan berbeda diungkapkan oleh P2 bahwa dirinya tidak menjadikan iman sebagai
dasar utama dalam mempertimbangkan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari,
11
karena merasa tidak memiliki pondasi yang kuat dan kurang memahami makna iman
yang sebenarnya.
Bentuk-bentuk perilaku terkait dengan iman ditunjukkan oleh P1 dan P3 dengan
cara tetap menjalankan sholat lima waktu, mengaji dan berpuasa. Meskipun demikian,
mereka mengakui ada kalanya saat berada pada situasi dan kondisi tertentu seperti
perasaan sedang tidak mood atau sedang dalam masalah, memilih untuk meninggalkan
kewajiban tersebut dan mencari cara lain. Ungkapan menarik diakui oleh P3 bahwa saat
dirinya merasa sedang dalam masalah, ia cenderung melampiaskan dengan meminum
minuman yang beralkohol. Hal tersebut tidak hanya terjadi ketika sedang ada masalah,
ajakan teman-teman juga terkadang membuat dirinya menerima ajakan tersebut. Dirinya
beralasan bahwa ini salah satu bentuk sikap toleran dalam agamanya, sehingga ia tidak
terlalu terlihat kaku di hadapan teman-temannya. Perasaan takut akan dosa sempat
dirasakan olehnya, namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan tetap membatasi diri. Ia
menyadari belum sepenuhnya melaksanakan perintah-Nya dari segi perilaku dan ia siap
menerima konsekuensi untuk ke depannya.
Hal berbeda diungkapkan oleh P2, bahwa ia tidak menjadikan iman sebagai
dasar utama dalam melakukan segala hal, karena ia merasa bahwa dasar keimanannya
kurang kuat, yang disebabkan oleh pandangan bahwa ia tidak memiliki pondasi yang
kuat terkait dengan makna iman. Dirinya pun juga merasa bingung dan kurang mengerti
memaknai iman yang sebenarnya. Hal tersebut menjadi berpengaruh pada perilakunya
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai umat muslim, misalnya sholat.
Dirinya menyadari bahwa belum mampu untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu
sepenuhnya, karena adanya keterbatasan dari anak dan menurutnya sholat harus
dilakukan dalam keadaan bersih baik diri maupun tempat. Ia merasa belum ada kesiapan
12
untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim, selain karena keterbatasan
mengurus anak juga karena mengurus suami. Baginya iman adalah kesetiaan, menuruti,
menjalankan dan menjauhi larangan-Nya dan hal tersebut tidak hanya berlaku hanya
kepada Tuhan namun juga kepada sang suami.
Pandangan mengenai identitas diri
Bagi P1 dan P2 keputusan untuk menanggalkan jilbab setelah keluar dari
pesantren menjadi pilihan mereka dalam menentukan identitas diri yang sebenarnya.
Untuk saat ini kedua partisipan merasakan kenyamanan dan lebih percaya diri terkait
dengan penampilannya. Gaya bertutur kata dan bercanda yang terkadang berlebihan,
membuat mereka belum siap untuk memakai jilbab. Menurut P3, aktivitas saat di
pesantren yang serba dilakukan sendiri mulai dari memasak, mencuci, menyetrika dan
kegiatan sehari-hari lainnya terbawa sampai dirinya lulus dan sampai saat ini dirinya
merasa menjadi individu yang lebih mandiri, karena kebiasaan yang dilakukan
sebelumnya. Identitas diri terkait dengan penampilan yaitu melepas jilbab dirasa lebih
nyaman saat P3 dapat menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi yang terjadi saat itu
dengan harapan agar dirinya tidak dikatakan sebagai anak yang susah bergaul dan dapat
diterima dalam lingkungan sekitarnya.
PEMBAHASAN
Fokus penelitian ini adalah mendeskripsikan apa yang membuat keterikatan
mantan santri putri dengan aturan hidup di pesantren mengalami perubahan. Melihat
fenomena yang terjadi dari dulu hingga saat ini, bahwa tidak sedikit dari para santri
setelah keluar dari pesantren menunjukkan perubahan. Perubahan menurut Atkinson dan
13
Brooten (dalam Afikasari, 2011) merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu
atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan merupakan proses yang
menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Empat perubahan itu
adalah pengetahuan, sikap, perilaku individual, dan perilaku kelompok.
Perubahan yang terjadi pada mantan santri disebabkan oleh empat hal, yaitu
tidak terikat lagi dengan aturan pesantren, konformitas, pencarian jati diri, serta tuntutan
pekerjaan. Perubahan yang dialami partisipan dapat disebabkan karena sudah tidak
adanya lagi aturan-aturan yang mengikatnya setelah keluar dari pesantren.
“Udah naatin peraturan tapi ketika kita masa remaja masih.. maksudnya masih
manja-manjanya sebenernya itu butuh, lebih butuh untuk main-main, bener-
bener kita masuk ke lingkungan, di lingkungan itu kita di direct harus begini
begitu. Aku merasa jenuh, jengah. Jadi aku merasa ya gue berhak.. gue berhak
melepas jilbab karena gue capek, gitu”.
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Afikasari (2011) terhadap alumni
pesantren khususnya putri, berubah dari segi penampilan, yaitu tidak lagi memakai
pakaian seperti yang disyariatkan pada nilai-nilai Islam. Hal tersebut terjadi karena tidak
ada lagi keterikatan santri dengan aturan yang dahulunya ditekankan dalam pesantren.
Menurut Janes & Olson (dalam Baron & Barney, 2005) perubahan perilaku
biasanya terjadi ketika individu merasa takut akan penolakan dari orang lain, sehingga
dirinya akan menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan
konformitas.
“Cuma lebih besarnya itu pas banget temen-temen ngajakin acara, yang pasti
temen di luar Solo sih, kalau temen di dalam Solo itu nggak pernah. Temen di
luar Solo, ngajakin ada acara, terus kayaknya nggak mungkin banget kalau
nolak, ya udah minum. Tapi kayak sekedar formalitas ajalah, jadi aku nggak
mau terlalu terlihat kaku sebenernya di mata mereka”.
14
Keinginan diri yang tidak mau terlihat kaku di hadapan teman-teman serta timbul
perasaan akan takut penolakan menjadikan partisipan cenderung melakukan
konformitas.
Dawis (dalam Patton & McMahon, 1999) mengemukakan bahwa penyesuaian
kerja atau karir tidak hanya mencakup deskripsi mengenai karakteristik kepribadian,
tetapi juga memperhatikan identifikasi perubahan.
“Ya namanya orang lagi kepepet ya, daripada luntang-lantung, dapet kerjaan
begitu dengan syarat.. istilahnya.. ya udah aku buka toh”.
Perubahan tersebut tidak hanya dalam hal kecepatan individu mulai berinteraksi dengan
lingkungan kerja, daya tahan individu berada dalam interaksi dari waktu ke waktu,
tetapi juga perubahan penampilan, seperti misalnya aturan perusahaan yang menetapkan
karyawannya untuk tidak mengenakan jilbab.
Partisipan dalam penelitian masuk dalam kategori dewasa awal, yang mana
dalam masa tugas perkembangan sebelumnya akan mengalami tahap dimana mereka
akan ditantang untuk menemukan siapa dirinya, yang terjadi pasa masa remaja. Identitas
menurut Erikson (1989) ialah suatu kesatuan pada diri yang terbentuk dari pengalaman
masa lalunya secara kontinu dan terus menerus, untuk menemukan gambaran dirinya
baik yang dipaksakan oleh orang lain maupun tidak, tentang siapakah aku sekarang, apa
keunikanku, apa yang aku inginkan pada saat mendatang.
“Aku ingin mmm… aku ingin kembali lagi ke nol, dalam arti ke nol itu aku ingin
mencari diri aku sendiri. Jadi seorang aku itu kayak gimana sih? Mmm..mmm..
dia lebih nyaman pakai jilbab, lebih nyaman tampil cewek-cewek yang pakai
jilbab atau tidak pakai jilbab. Aku tuh saat ini sedang mencari seperti itu, aku
nyamannya dimana. Dan ternyata aku nyaman untuk tidak pakai jilbab, gitu”.
Dalam perkembangannya Waterman (dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa
perubahan identitas yang penting terjadi ketika seseorang beranjak dewasa dan bukan di
masa remaja. Ketika beranjak dari masa dewasa awal hingga masa dewasa akhir
15
peningkatan pilihan identitas berlangsung secara baik dan mereka menjadi lebih yakin
dengan identitasnya (Pals, dalam Santrock, 2002).
Pada dasarnya partisipan memang belum siap untuk benar-benar mengenakan
jilbab, mengingat diri mereka yang terkadang masih belum mampu untuk menjaga
sikap. Perasaan lebih percaya diri dan nyaman dirasakan oleh partisipan terkait dengan
identitas yang ia tampilkan saat ini, yaitu tidak mengenakan jilbab.
Meskipun partisipan mengalami perubahan dalam hal perilaku, mereka masih
membawa ajaran-ajaran saat di pesantren, khususnya dalam hal iman. Bagi mereka iman
ialah percaya dengan adanya Tuhan, iman dipandang sebagai dasar utama dalam
mempertimbangkan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hardjana
(1993) individu yang beragama menghayati dan mewujudkan iman dalam dunia nyata
dibedakan menjadi 2 macam, yaitu iman ekstrinsik dan intrinsik. Bentuk-bentuk
perilaku yang ditunjukkan terkait dengan pemaknaan iman yang telah diajarkan saat di
pesantren pada partisipan hingga saat ini ialah sholat lima waktu, mengaji, dan
berpuasa. Namun, di sisi lain partisipan menyadari saat timbul rasa malas dan sedang
dalam masalah, mereka cenderung meninggalkan kewajibannya dan mencari cara yang
lain.
“Ya ketika aku.. biasanya sih kondisi sih.. kondisi lagi bad mood. Pas kondisi
lagi bad mood lebih memilih untuk diem di kasur tidur gitu sih.”,“Sometimes itu
tadi aku minum, kadang sih mungkin kalau lagi ada masalah, terus buntu
biasanya memang aku pelariannya kesitu”.
Pada dasarnya bentuk perwujudan iman yang dimiliki partisipan hanyalah sekedar untuk
mendapatkan pemenuhan psikologis, yaitu rasa aman, nyaman, dan dilindungi.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, peneliti melihat bahwa partisipan
kurang begitu antusias saat pertanyaan diberikan terkait dengan makna iman. Partisipan
cenderung menjawab pertanyaan sekedarnya saja, yang kemungkinan disebabkan
16
karena iman bagi mereka adalah privasi untuk dirinya sendiri, dan juga karena mereka
tidak benar-benar mengetahui makna iman yang sebenarnya, sehingga tidak banyak
yang dapat diungkap terkait dengan pemaknaan iman yang dimiliki partisipan.
Pada dasarnya peranan orangtua sangat penting dan besar ketika memutuskan
untuk memasukkan sang anak ke dalam pondok pesantren, yang tentunya harus disertai
dengan komunikasi antara kedua belah pihak mengenai tujuan orangtua memasukkan
anak ke pesantren, dengan harapan tidak terdapat rasa keterpakasan pada sang anak
untuk masuk pesantren.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
mengenai apa yang membuat keterikatan mantan santri putri dengan aturan hidup
mengalami perubahan, bagaimana mantan santri memaknai iman yang telah diajarkan
saat di pesantren, dan bagaimana memandang dirinya setelah keluar dari pesantren.
Perubahan yang terjadi pada mantan santri putri disebabkan oleh empat hal, yaitu tidak
adanya lagi keterikatan antara santri putri dengan aturan hidup di pesantren, pencarian
jati diri dalam menentukan identitas dirinya, konformitas agar diterima di lingkungan
sekitarnya, serta tuntutan pekerjaan. Meskipun partisipan berubah dalam hal perilaku,
mereka masih tetap melaksanakan ajaran-ajaran di pesantren, terkait dengan hal iman.
Bentuk-bentuk perilaku terkait dengan iman diwujudkan dengan cara tetap
melaksanakan sholat, mengaji, dan berpuasa, walaupun terkadang hal itu tidak
dilakukan sepenuhnya secara rutin dan terus menerus. Bagi mereka bentuk perwujudan
17
iman yang dimiliki partisipan hanyalah sekedar untuk mendapatkan pemenuhan
psikologis, yaitu rasa aman, nyaman, dan dilindungi.
Perubahan perilaku terkait dengan menanggalkan jilbab setelah keluar dari
pesantren menjadi keputusan bagi partisipan dalam menentukan identitas diri yang
sebenarnya. Mereka merasa lebih percaya diri dan nyaman dengan penampilan baru
yang mereka tampilkan saat ini.
Saran
Menyadari adanya keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian, penulis
mengajukan beberapa saran. Pertama, bagi partisipan dan pembaca khususnya mantan
santri putri yang tidak mengenakan jilbab, bahwa perubahan yang dialami adalah
sebagai suatu proses pemahaman diri yang akan terus terjadi untuk menetapkan identitas
diri yang sesuai di masa depan. Selain itu, disarankan untuk lebih meningkatkan lagi
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ilmu agama atau spiritual di dalam
lingkungan masyarakat. Dengan mengikuti kegiatan tersebut diharapkan akan
mendapatkan pandangan-pandangan yang positif terkait dengan identitas dirinya saat
ini. Kedua, bagi pihak pesantren untuk dapat mengkaji mengenai perubahan yang terjadi
pada mantan santri terkait dengan melepas jilbab setelah mereka lulus dari pesantren.
Ketiga, menjalin hubungan dan komunikasi yang baik perlu ditingkatkan dalam
keluarga terutama orangtua terhadap anak. Komunikasi yang baik dan terbuka akan
membantu partisipan untuk memahami dirinya. Keempat, bagi peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian dengan jumlah partisipan yang lebih besar dengan
karakteristik melepas jilbab setelah beberapa tahun lulus dari pesantren. Selain itu,
disarankan untuk tidak hanya meneliti pada daerah-daerah yang terjangkau oleh peneliti
18
saja, tetapi juga menjangkau daerah-daerah lainnya agar hasil penelitian dapat
menggambarkan populasi yang lebih luas.
19
DAFTAR PUSTAKA
Afikasari, A. N. (2011). Perilaku sosial alumni pesantren (Studi kasus 8 alumni Pondok
Pesantren IMMIM Putri Pangkep).
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/843. Diunduh tanggal 9 Februari
2013.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial (jilid 2, Edisi Kesepuluh). Jakarta:
Erlangga.
Erikson, E. H. (1989). Identitas dan siklus hidup manusia (Bunga Rampai I). Jakarta:
PT Gramedia.
Guzman, M. R. T. (2007). Peer pressure: An overview. In L. Savage (Ed), Peer
pressure (pp. 11-19). Farmington Hills: Greenhaven Press
Han, S. Y., & Kim, Y. H. (2012). Interpersonal rejection experiences and shame as
predictors of susceptibility to peer pressure among Korean children. Social
Behavior and Personality,40(7), 1213-1232.
Hardjana, AM. (1993). Penghayatan agama: Yang otentik dan tidak otentik.
Yogyakarta: Kanisius
Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif (untuk ilmu-ilmu sosial).
Jakarta: Salemba Humanika
Kasali, R. (2005). Change! “Tak peduli berapa jauh jalan salah yang telah anda jalani,
putar arah sekarang juga”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahardhika, P. (2010). Hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku konsumtif
tehadap produk distro pada remaja di Salatiga. Skripsi (tidak diterbitkan).
Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW.
Masrifah. (2011). Internalisasi nilai-nilai akhlak pada santri di Pondok pesantren putri
Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=19645. Diunduh tanggal 7
Februari 2013.
Patton, W., & McMahon. M. (1999). Career develompment and systems theory: a new
relationship. Canada: Brooks/Cole Publishing Company.
Poerwadarminta. (1983). Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rahardjo , M. D. (ed). (1985). Pergulatan dunia pesantren: membangun dari bawah.
Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).
Rajab, K. (2012). Psikologi agama. Yogyakarta: Aswaja Presindo
Santrock, J.W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup jilid II (Edisi
Kelima). Jakarta: Erlangga
20
Sudjoko Prasodjo, M., M. Zamroni, M., Mastuhu, S. G., Madjid, N., Rahardjo, M. D.
(1975). Profil pesantren (laporan hasil penelitian pesantren Al-Falak dan delapan
pesantren lain di Bogor. Jakarta: LP3S
Taylor, S.E, Peplau. L. A., & Sears. D. O. (2009). Psikologi sosial (Edisi kedua belas).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.