Upload
ngodan
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM
FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
Oleh
SLAMET PURWANTO
F34101026
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM
FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SLAMET PURWANTO
F34101026
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGGUNAAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DALAM
FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
SLAMET PURWANTO
F34101026
Dilahirkan pada tanggal 11 April 1982
Di Magetan, Jawa Timur
Tanggal lulus : 27 April 2006
Disetujui,
Bogor, Mei 2006
Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira Sa’id, MA.Dev Ir. Agus Pratomo, MT Pembimbing I Pembimbing II
Slamet Purwanto F34101026. Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak Bumi. Di bawah bimbingan : E. Gumbira Sa’id dan Agus Pratomo
RINGKASAN
Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik yang memiliki kelebihan dalam hal daya deterjensi, tahan terhadap kesadahan, bersifat terbarukan dan ramah lingkungan. Kelebihan MES dapat dimanfaatkan dalam suatu formula yang digunakan dalam proses pendesakan minyak bumi melalui mekanisme surfactant flooding. Petroleum sulfonate yang selama ini digunakan dalam proses perolehan minyak bumi memiliki karakteristik tidak tahan terhadap salinitas (kadar garam) tinggi dan kesadahan tinggi. Selain itu, pada umumnya petroleum sulfonate (contohnya alkohol etoksilat) bersifat toksik sehingga bersifat tidak ramah bagi lingkungan.
MES dapat disintesis dari metil ester minyak kelapa sawit (Elaeis guineensis). Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia (memasok 36 % total kebutuhan dunia) setelah Malaysia (47 %). Bila melihat potensi tersebut, maka Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan MES dalam skala komersial. Selain itu, pembuatan MES dari metil ester minyak sawit akan meningkatkan nilai tambah minyak sawit itu sendiri. Apabila dibandingkan dengan produk turunan minyak sawit lainnya, surfaktan memiliki nilai tambah paling besar yaitu mencapai sekitar 795 persen.
Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia, Indonesia masih mengalami krisis bahan bakar minyak (energi). Apalagi peranan minyak bumi sebagai sumber energi saat ini belum tergantikan oleh sumber energi alternatif. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan produksi minyak bumi. Salah satu caranya adalah melalui proses Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan menggunakan surfaktan yang prosesnya disebut surfactant flooding. Proses EOR diperlukan karena residu minyak bumi yang tertinggal dalam reservoir masih cukup besar yaitu sekitar 60-70 persen dari kandungan minyak bumi awal.
Kondisi ekstrim yang terdapat pada sumur minyak bumi, seperti suhu dan salinitas yang bervariasi merupakan penghalang bagi surfaktan untuk bekerja secara maksimal. Selain itu, mahalnya harga surfaktan juga merupakan kendala bagi digunakannya surfactant flooding dalam proses produksi minyak bumi.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui pengaruh faktor salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi berdasarkan nilai tegangan antarmuka (IFT) dan (2) mendapatkan formula terbaik dari kombinasi antara MES, surfaktan non ionik, mutual solvent dan air berdasarkan kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka (IFT). Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian berbagai formula surfaktan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan yaitu salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula. Faktor suhu diujikan pada taraf 25 oC (suhu ruang), 50 oC, 75 oC dan 100 oC, sedangkan salinitas diujikan pada taraf 5000 ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm. Selain itu, konsentrasi pelarutan formula pun divariasikan menjadi tiga taraf yaitu 0,1%, 1% dan 10%.
Formula yang dibuat terdiri dari empat macam komponen yaitu MES, surfaktan nonyl phenol ethoxylate, mutual solvent dan air. Keempat bahan tersebut diformulasikan, sehingga diperoleh empat macam formula (A, B, C, D). Faktor pembeda empat macam formula tersebut adalah konsentrasi MES dan nonyl phenol ethoxylate. MES divariasikan ke dalam empat taraf mulai dari 10 % sampai 25 % dengan interval masing-masing 5 %, sedangkan nonyl phenol ethoxylate divariasikan ke dalam empat taraf sedemikian rupa sehingga kedua bahan tersebut menyusun 50 % dari total formula. Sisa 50 % formula yang terdiri dari mutual solvent (5%) dan air (45%) tidak dikombinasikan.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga faktor perlakuan (salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula dalam air injeksi) dengan uji lanjut Duncan pada formula agen pendesak minyak bumi (A, B, C dan D) dapat disimpulkan bahwa pada formula A dan D, salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai tegangan antarmuka (IFT) yang menjadi parameter kinerja agen pendesak minyak bumi. Semakin tinggi salinitas dan semakin tinggi suhu maka kinerja agen pendesak minyak bumi semakin rendah, sedangkan semakin tinggi konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak minyak bumi. Pada formula B dan C, salinitas dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi, akan tetapi konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi. Dengan demikian, dapat dikatakan formula B dan C memiliki ketahanan yang baik terhadap salinitas dan suhu dan semakin tinggi konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak minyak bumi.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T (T test) dapat disimpulkan bahwa nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata. Formula B dan C memiliki kinerja (berdasarkan nilai IFT) yang sama yaitu tidak dipengaruhi oleh salinitas dan suhu. Namun demikian, formula C adalah formula terbaik, karena dari segi ekonomi lebih murah dan dari segi lingkungan lebih ramah.
Slamet Purwanto F34101026. Utilizing Methyl Ester Sulfonate Surfactant in the Surfactant Flooding Agent Formulae for Oil Recovery. Under supervision of: E. Gumbira Sa’id and Agus Pratomo
SUMMARY
Methyl Ester Sulfonate (MES) represents one kind of anionic surfactants,
which has some excellent characteristics such as good detergency; endure to water hardness, and good biodegradable capability. Those characteristics mentioned could be used in the formula, which were used in the oil recovery process through surfactant flooding mechanism. Petroleum sulfonate has been used in the oil recovery process for several periods. It has weaknesses, does not persist to high salinity and high water hardness. On the others hand, petroleum sulfonate (example: alcohol ethoxylate) is toxic to environment.
MES could be made from palm oil methyl ester (Elaeis guineensis). Indonesia produces palm oil and supplies 36% of the world demand, the second place after Malaysia (47 %). Indonesia is potential in producing MES at the commercial scale. Beside that, making MES from palm oil methyl ester would increase the value added of palm oil itself. Compare with other products that derived from palm oil, surfactant has the highest value added, approximately about 795%.
Although Indonesia was listed as one of the country which produce petroleum oil in the world, Indonesia still face problem with fuel (energy) crisis. Petroleum’s contribution as the main energy resource has not been replaced by other alternatives yet. This problem could be overcome by increasing the petroleum production. One of the method is through Enhanced Oil Recovery (EOR) process by using surfactant which it process was well known as surfactant flooding. EOR process was needed, because much of the residual oil left in the reservoir, approximately about 60-70 percent from original oil in place (OOIP) content.
Extreme conditions in the oil well such as temperature and salinity were the barrier for surfactant to work maximally. Beside that, the expensive price of surfactant also considers as the obstacle for applied surfactant flooding method in the oil recovery process.
These research objectives are (1) to understand the effect of salinity, temperature, and concentration of dissolved formula against the performance of surfactant flooding agent based on the value of interfacial tension (IFT) and (2) determine the best formula from the combination of MES, nonionic surfactant, mutual solvent, and distillate water based on its capability to decrease the interfacial tension (IFT). Design of experiment (DOE) that is used in this research is full factorial randomized design with three treatment factors i.e. salinity, temperature and concentration of dissolved formula. Temperature factor is tested at level 25 °C (room temperature), 50 °C, 75 °C and 100 °C, while salinity is tested at level 5000 ppm, 10,000 ppm and 20,000 ppm and concentration of dissolved formula is tested at level 0.1%, 1% and 10%.
Formula has been made from four kinds of material, i.e. MES, nonionic surfactant (nonyl phenol ethoxylate), mutual solvent, and distillate water. All of those materials then mixed, so that it obtain four kinds of formula (A, B, C, and
D). The distinction factor of these formula is concentration between MES and nonyl phenol ethoxylate. MES concentration is variated into four levels, start from 10% to 25% with each intervals was 5%, while nonyl phenol ethoxylate also variated into four levels, so that both of the material forms 50% of total formula. The rest of it consists of mutual solvent (5%) and distillate water (45%) that is not combined.
Based on the statistical analysis result, it could be concluded that salinity, temperature and concentration of dissolved formula have the significant effect on the change of interfacial tension (IFT) of formula A and formula D. IFT is considered as the main parameter of surfactant flooding agent performance. The increased of salinity and temperature causes the performance of surfactant flooding agent progressively decrease, while the increased of concentration of dissolved formula causes the performance of surfactant flooding agent increase. While for formula B and formula C, salinity and temperature did not have significant effect on the performance of surfactant flooding agent. However, the concentration of dissolved formula B and C has significant effect on the performance of surfactant flooding agent. Thereby, it could be concluded that formula B and formula C has the resistance against salinity and temperature. The increased of the concentration of dissolved formula for all kinds of formula would increases the performance of surfactant flooding agent.
Based on the statistical analysis result by using T-Test method, it could be concluded that the lowest IFT value of each formulae (A, B, C, and D) did not significantly differs. Nevertheless, formula C is considered as the best formula, because of economic and environment reasons. Formula C was cheap and safe to environment.
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul
“Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak
Minyak Bumi” adalah hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung
bahan/materi yang digunakan untuk mendapat gelar dari Universitas lain. Semua
sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas.
Bogor, Mei 2006
Slamet Purwanto
F34101026
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Slamet Purwanto dilahirkan di Magetan, Jawa Timur dari
ayah Muh. Gimin dan ibu Rusmiyati pada tanggal 11
April 1982. Penulis adalah putra pertama dari dua
bersaudara. Pendidikan penulis diawali dari TK Mardi
Putra 2 Tamanan pada tahun 1988. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikannya ke SD Negeri Tamanan I.
Semasa menuntut ilmu di Sekolah Dasar tersebut (1989-1995), penulis pernah
mendapatkan penghargaan sebagai siswa teladan tingkat kecamatan dan nilai
tertinggi matematika EBTANAS yang didukung nilai mata pelajaran lain se-
kabupaten Magetan. Setamat dari Sekolah Dasar, penulis meneruskan sekolahnya
ke pendidikan menengah pertama (1995-1998) di SLTP Negeri I Magetan dan
pendidikan menengah atas (1998-2001) di SMU 1 Magetan.
Pada tahun 2001, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di
organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas
Teknologi Pertanian pada tahun 2002/2003, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa IPB (BEM KM IPB) pada tahun 2003/2004, Forum Komunikasi
Agroindustri (FKA) dan Lembaga Dakwah Kampus Forum Bina Islami Fateta.
Selain itu, penulis juga pernah mendapat kepercayaan untuk menjadi asisten
pratikum mata kuliah Laboratorium Bioproses.
Pada tahun 2004, penulis melaksanakan Praktek Lapang (PL) di PT.
Badranaya Putra Bandung. Perusahaan tersebut bergerak di industri daging segar
dan daging olahan dengan produk utama sosis. Pada tahun 2005-2006, penulis
melaksanakan penelitian di Laboratorium Departemen Teknologi Industri
Pertanian dan menulis skripsi dengan judul “Penggunaan Surfaktan Metil Ester
Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak Bumi”. Penulis dapat dihubungi
melalui email [email protected] atau [email protected]
atau mobile phone +62 85691189350.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah swt yang telah melimpahkan segala nikmat-Nya sehingga karya ilmiah
dalam bentuk skripsi berhasil diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas
Teknologi Pertanian IPB Bogor. Judul skripsi yang dipilih adalah “Penggunaan
Surfaktan Metil Ester Sulfonat dalam Formula Agen Pendesak Minyak
Bumi”. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan penulis
di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Laboratorium
EOR PPTMGB Lemigas Jakarta dan Laboratorium SBRC IPB pada bulan
Desember 2005 sampai dengan bulan Februari 2006.
Selama penyusunan skripsi, penulis mendapatkan masukan, informasi,
arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
berbagai pihak yang telah membantu menyelesaikan karya tulis ini, terutama
kepada:
1. Kedua orang tua, Muh. Gimin (ayahanda), Rusmiyati (ibunda) dan
Lasiman (adik) yang telah memberikan perhatian, kasih sayang, dorongan,
motivasi dan doa restu,
2. Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira Said, MA.Dev. selaku dosen pembimbing
akademik atas arahan, bimbingan, nasehat dan motivasinya,
3. Ir. Agus Pratomo, MT. dari Kondur Petroleum, S.A. yang telah
memberikan masukan, arahan, bantuan dan bimbingannya,
4. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA atas masukan, bimbingan dan kesediaannya
menjadi dosen penguji,
5. Dr. Ir. Erliza Hambali, Msi. dan Prayoga Suryadarma, STP. MT., yang
telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, kepercayaan serta bantuan
moril dan materiil,
6. Ibu Sri Hidayati, kandidat Doktor dari Unila yang telah memberikan
bantuan dan kesempatan dalam bentuk diskusi, pinjaman buku dan
informasi mengenai surfaktan,
7. Bapak Hadi Purnomo, Ibu Suwartiningsih, Bapak Sugihardjo, Bapak
Mahmud, pak Pri dan staf lemigas lain, yang telah berkenan memberikan
kesempatan dan kerjasamanya yang baik kepada penulis untuk melakukan
penelitian di Lemigas,
8. Anas Bunyamin yang telah memberikan bantuan moril dan materiil selama
penulis melakukan penelitian,
9. Hevy Susanti dan Yeni Sulastri yang telah memberikan pinjaman loker
untuk menyimpan alat dan bahan selama penelitian
10. Dani Satria Wibawa, Ardianto Mey Lesmana, Wawan Marwan Setiawan,
Agus Suyanto, Kunandi Pramudianto, Herwanto, Azmidi Nazarudin,
Edwin Widiansyah, Galih F.A. dan Aji C.P. yang telah memberikan
pinjaman komputer dan kesempatan diskusi,
11. Staf pengajar, laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian serta
seluruh pegawai Fakultas Teknologi Pertanian,
12. Seluruh staf dan karyawan PT. Adev Prima Mandiri atas kebersamaan dan
kerja sama yang telah terjalin
Penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan. Terima kasih.
Bogor, Mei 2006
Slamet Purwanto
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xvii
I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG....................................................................... 1
1.2. TUJUAN........................................................................................... 5
1.3. RUANG LINGKUP .......................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 6
2.1. SURFAKTAN................................................................................... 6
2.2. SURFAKTAN NONIONIK .............................................................. 7
2.3. METIL ESTER SULFONAT (MES)................................................. 7
2.4. PEROLEHAN KEMBALI MINYAK BUMI TAHAP LANJUT
ATAU ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) .................................. 10
2.4.1. Proses termal ................................................................................ 11
2.4.2. Proses miscible displacement........................................................ 12
2.4.3. Proses Kimia ................................................................................ 12
2.5. PENDESAKAN MINYAK BUMI MENGGUNAKAN
SURFAKTAN (SURFACTANT FLOODING) ................................. 14
2.6. MUTUAL SOLVENT ......................................................................... 15
2.7. TEGANGAN ANTARMUKA/INTERFACIAL TENSION (IFT)........ 15
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................ 17
3.1. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 17
3.1.1. BAHAN ....................................................................................... 17
3.1.2. ALAT........................................................................................... 17
3.2. WAKTU DAN TEMPAT.................................................................. 18
Halaman
3.3. TATA LAKSANA ............................................................................ 19
3.3.1. PEMBUATAN SURFAKTAN MES............................................ 19
3.3.2. PEMBUATAN AGEN PENDESAK MINYAK BUMI ................ 19
3.3.3. PENGUJIAN SAMPEL................................................................ 21
3.4. RANCANGAN PERCOBAAN......................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 23
4.1. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES)......................... 23
4.2. FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI .......................... 27
4.3. PENGARUH SALINITAS, SUHU, DAN KONSENTRASI
PELARUTAN FORMULA TERHADAP TEGANGAN
ANTARMUKA (IFT) PADA FORMULA AGEN PENDESAK
MINYAK BUMI............................................................................... 32
4.3.1. FORMULA A .............................................................................. 33
4.3.2. FORMULA B............................................................................... 35
4.3.3. FORMULA C............................................................................... 37
4.3.4. FORMULA D .............................................................................. 39
4.4. PERBANDINGAN KINERJA SETIAP FORMULA DALAM
MENURUNKAN TEGANGAN ANTARMUKA (IFT) .................... 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 44
LAMPIRAN .................................................................................................. 45
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Metil Ester Sulfonat produksi Chemiton Corp. Inc. .......................... 9
Tabel 2. Komposisi formula mikroemulsi komersial ...................................... 14
Tabel 3. Komposisi formula agen pendesak minyak bumi .............................. 20
Tabel 4. Karakteristik metil ester sulfonat ...................................................... 27
Tabel 5. Rekapitulasi nilai IFT terendah formula agen pendesak minyak bumi 42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Histogram perbandingan nilai tambah beberapa jenis oleokimia
dan produk-produk berbahan baku minyak sawit ...................... 4
Gambar 2. Struktur surfaktan (a. Unimer surfaktan b. Agregat surfaktan) ..... 6
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol ............. 8
Gambar 4. Reaksi esterifikasi antara asam lemak dan alkohol .................... 8
Gambar 5. Beberapa surfaktan MES komersial .......................................... 9
Gambar 6. Struktur MES (Cox dan Weerasoriya, 2001) ............................. 9
Gambar 7. Diagram alir perolehan kembali (recovery) minyak bumi (Lake
et al., 1995) .............................................................................. 11
Gambar 8. Apparatus untuk sulfonasi metil ester (sulfonation apparatus) .. 18
Gambar 9. Spinning Drop Tensiometer tipe Bodine 500............................. 20
Gambar 10. Reaksi sulfonasi pembentukan MES ......................................... 25
Gambar 11. Hasil pengujian (kanan) timol biru pada MES (kiri) .................. 25
Gambar 12. MES hasil reaksi sulfonasi metil ester dan Na-bisulfit............... 26
Gambar 13. Ilustrasi proses surfactant flooding............................................ 28
Gambar 14. Mekanisme interaksi surfaktan dan minyak (Hargreaves, 2003) 29
Gambar 15. Struktur molekul nonyl phenol ethoxylates................................ 30
Gambar 16. Penampakan formula agen pendesak minyak bumi ................... 31
Gambar 17. Mekanisme terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat (Hov-
da, 2002 dan Mac Arthur et al.,2002)........................................ 33
Gambar 18. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan
suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai
konsentrasi pelarutan Formula A............................................... 35
Gambar 19. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan
suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai
konsentrasi pelarutan Formula B............................................... 34
Halaman
Gambar 20. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan
suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai
konsentrasi pelarutan Formula C............................................... 39
Gambar 21. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan
suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai
konsentrasi pelarutan Formula D............................................... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit ................................................... 50
Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit dan
Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3........ 51
Lampiran 3a. Karakteristik Minyak Bumi Mentah PT. X .............................. 53
Lampiran 3b. Karakteristik Air Formasi PT. X.............................................. 53
Lampiran 4. Diagram alir pembuatan dan pemurnian Metil Ester Sulfonat . 54
Lampiran 5. Prosedur pengukuran IFT (Gardner dan Hayes, 1983) ............. 55
Lampiran 6. Rekapitulasi data IFT formula A (dalam satuan dyne/cm) ...... 57
Lampiran 7a. Analisis Keragaman Formula A............................................... 58
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula A .......... 58
Lampiran 8. Rekapitulasi data IFT formula B (dalam satuan dyne/cm)....... 59
Lampiran 9a. Analisis Keragaman Formula B............................................... 60
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula B........... 60
Lampiran 10. Rekapitulasi data IFT formula C (dalam satuan dyne/cm)....... 61
Lampiran 11a.Analisis Keragaman Formula C............................................... 62
Lampiran 11b.Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula C........... 62
Lampiran 12. Rekapitulasi data IFT formula D (dalam satuan dyne/cm) ...... 63
Lampiran 13a.Analisis Keragaman Formula D............................................... 64
Lampiran 13b.Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula D .......... 64
Lampiran 14. Hasil analisis dengan uji T....................................................... 65
I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Minyak bumi dikategorikan sebagai golongan energi fosil. Peran
energi fosil (minyak dan gas bumi) bagi suatu negara adalah sebagai sumber
perolehan devisa dan sebagai sumber energi. Sebagai sumber energi, peranan
minyak bumi saat ini belum tergantikan oleh bahan lain. Sampai tahun 2000,
peran energi fosil sebagai sumber energi di Indonesia mencapai 95 persen
dari total energi primer komersial. Banyak sumber daya lain yang
keberlangsungannya sangat tergantung pada persediaan minyak bumi.
Misalnya, alat transportasi, alat pembangkit listrik dan alat produksi untuk
industri. Industri pupuk dan petrokimia, industri besi dan baja, dan kilang
minyak merupakan industri yang menggunakan minyak dan gas bumi dalam
jumlah besar (Anonim, 2005; Redaksi Warta Pertamina, 2004).
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Energi Nasional yang
dilaporkan oleh Hehuwat (1992) diketahui bahwa total cadangan minyak
bumi di Indonesia adalah 195 milyar barrel (1 barrel = 158,987 liter). Dari
jumlah tersebut telah diproduksi sejumlah 48,4 milyar barrel. Bila
diasumsikan bahwa produksi minyak bumi menggunakan teknologi
konvensional mampu memproduksi 44 persen dari total minyak bumi, maka
sisa minyak bumi yang masih dapat diusahakan adalah sekitar 38 milyar
barrel. OPEC World Energy Model (OWEM) melaporkan bahwa permintaan
minyak bumi dunia pada tahun 2002-2010 diperkirakan akan tumbuh 1,8
persen per tahun, atau meningkat sebesar 12 juta barrel per hari (bph)
menjadi 89 juta bph. Pada tahun 2010-2020, permintaan akan tumbuh lagi
menjadi 106 juta bph dengan tambahan sebesar 17 juta bph. Pada tahun 2025
permintaan minyak bumi mentah dunia meningkat hingga 115 juta bph
dengan pertumbuhan rata-rata 1,7 persen per tahun pada periode 2010-2025
(Kusuma, 2004). Bila kebutuhan minyak bumi dunia (Indonesia) yang terus
meningkat tidak diimbangi dengan produksi yang mencukupi, maka akan
mendatangkan krisis energi. Krisis energi tersebut akan mengganggu roda
kehidupan (perekonomian) dunia. Pada tahun 2000 pernah terjadi krisis
energi nasional dan internasional berupa kelangkaan bahan bakar minyak
(BBM). Bahkan harga minyak mentah dunia sempat menembus US$ 74 per
barrel pada awal Mei 2006.
Krisis energi (BBM) yang terjadi dapat diatasi dengan cara mencari
sumber energi alternatif atau meningkatkan produksi minyak bumi. Sumber
energi alternatif yang telah digunakan antara lain biodisel, energi matahari,
energi dari alam (air, geothermal/panas bumi, angin dan lain sebagainya).
Namun, penggunaannya masih sangat terbatas dan dari segi kepraktisannya
masih jauh dari yang diharapkan. Misalnya saja biodisel. Biodisel dapat
disintesis dari beberapa sumber yang terbarukan seperti jarak (Jatropha sp)
dan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Namun, pengembangan teknologi untuk
produksi secara komersial di Indonesia masih dalam tahap uji coba dan
diperkirakan baru siap pada tahun 2015.
Alternatif lain untuk mengatasi krisis energi adalah meningkatkan
produksi minyak bumi. Peningkatan produksi minyak bumi dapat dilakukan
dengan cara eksplorasi sumur baru (cekungan hidrokarbon) dan
meningkatkan perolehan kembali (recovery) minyak bumi yang terdapat pada
sumur lama. Eksplorasi sumur baru terbentur pada kendala semakin
terbatasnya sumur baru. BPMIGAS menyatakan bahwa Indonesia memiliki
60 cekungan hidrokarbon, dimana 22 cekungan diantaranya belum di
eksplorasi serta 38 cekungan telah dieksplorasi. Dari 38 cekungan ini yang
telah diproduksi minyak dan gas buminya adalah 15 cekungan, 11 cekungan
belum produksi serta 12 cekungan sisanya belum terbukti (BPMIGAS, 2005).
Menurut Lake (1995) residu minyak bumi yang terdapat pada sumur
yang telah diproduksi masih besar, berkisar 40-70 persen dari jumlah minyak
bumi semula. Minyak bumi yang tertinggal tersebut merupakan minyak bumi
yang terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksi dengan
teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder). Salah satu metode
perolehan kembali minyak bumi setelah dengan teknologi konvensional
diterapkan adalah peningkatan perolehan minyak bumi tahap lanjut
(Enhanced Oil Recovery) melalui mekanisme penurunan tegangan antarmuka
(Interfacial Tension disingkat IFT).
Fenomena tegangan antarmuka (IFT) memainkan peranan penting di
dalam metode perolehan minyak bumi (Lakatos-Szabó dan Lakatos, 2001).
Bahan yang umum digunakan untuk memodifikasi tegangan antarmuka dan
tegangan permukaan suatu zat adalah surfaktan yang berasal dari istilah asing
surfactant (singkatan dari surface active agent). Proses perolehan kembali
minyak bumi dengan menggunakan surfaktan termasuk ke dalam fase tersier
atau tahap lanjut dalam produksi minyak bumi. Teknik perolehan minyak
bumi menggunakan surfaktan dikenal dengan nama surfactant flooding.
Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum
sulfonate yang merupakan turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan
tersebut adalah sifatnya yang tidak terbarukan, tidak ramah lingkungan dan
memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah, sedangkan
kelebihannya adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan
tegangan antarmuka, bahkan dilaporkan mencapai 0,1 µN/m atau 10-4
dyne/cm (Salager, 2002). Surfaktan lain yang memiliki prospek cerah untuk
dipalikasikan pada proses EOR adalah surfaktan yang diperoleh metil ester
minyak kelapa sawit yang disebut dengan metil ester sulfonat (MES). Pohon
industri tanaman kelapa sawit dapat dilihat pada Lampiran 1. Sifatnya yang
terbarukan, dapat didegradasi oleh lingkungan/mikroorganisme
(boidegradable), karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan
surfaktan MES. Bila dibandingkan dengan petroleum sulfonate, MES
memiliki kinerja yang lebih rendah dalam menurunkan tegangan antarmuka.
Apabila dikaitkan dengan produksi surfaktan MES yang akan
diaplikasikan dalam surfactant flooding, Indonesia mempunyai potensi besar
untuk menjadi produsen surfaktan. Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Luas
perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2004 adalah 5 juta hektar
dengan produksi 11,08 juta ton per tahun. Luas areal kelapa sawit terus
bertambah, demikian pula produksi dan ekspornya. Indonesia menempati
produsen minyak sawit kasar (CPO dan PKO) kedua terbesar di dunia dan
diprediksikan pada tahun 2010 (bahkan pemerintah menargetkan tahun 2008)
sebagai nomor satu di dunia, melampaui Malaysia. Pangsa pasar produksi
CPO Indonesia adalah 36 persen dari total produksi dunia, Malaysia 47
persen. Bersama-sama, Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen
produksi CPO dunia atau 23 persen dari produksi minyak hayati dunia
(Samhadi, 2006).
Konversi minyak kelapa sawit menjadi surfaktan yang merupakan
pengembanganan produk ke arah hilir akan meningkatkan nilai tambah
produk kelapa sawit. Pengembangan agroindustri yang lebih berorientasi ke
arah hilir merupakan strategi yang harus dilaksanakan untuk beberapa jenis
komoditas perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk
hilir yang berorientasi ekspor (Suprihatini et al., 2004). Keluaran dari
pembangunan agroindustri adalah perolehan nilai tambah yang signifikan atas
input teknologi yang diberikan. Semakin canggih teknologi yang digunakan
untuk melakukan diversifikasi produk dari bahan baku, maka semakin tinggi
pula nilai tambah produk diversifikasi tersebut serta memiliki harga yang jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan harga komoditas awalnya (Gumbira Sa’id,
2001). Hambali et al. (2004) menyatakan bahwa surfaktan memiliki nilai
tambah hampir delapan kali lipat bila dibandingkan dengan minyak sawit
mentah (CPO dan PKO). Nilai tambah minyak kelapa sawit dan produk
turunannya disajikan pada Gambar 1.
4680 86,4
180210
296
500
795
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Minyak
Goreng
Asam
lemak
Asam
stearat
Margarin Gliserin Fatty
alcohol
Metil ester Surfaktan
Nilai tambah (%)
Gambar 1. Histogram perbandingan nilai tambah beberapa jenis oleokimia
dan produk-produk berbahan baku minyak kelapa sawit
Penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang merupakan turunan
minyak bumi untuk proses recovery minyak bumi telah banyak dilakukan,
sedangkan penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang berasal dari
sumber terbarukan untuk proses recovery minyak bumi masih jarang
dilakukan. Apabila surfaktan dari sumber yang berbeda tersebut dapat
dikombinasikan dengan baik maka akan diperoleh suatu formula yang
persediaannya terjamin dan berkualitas.
1.2. TUJUAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. mengetahui pengaruh faktor salinitas, suhu dan konsentrasi
pelarutan formula terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi
berdasarkan nilai tegangan antarmuka (IFT)
2. mendapatkan formula terbaik dari kombinasi antara MES,
surfaktan non ionik, mutual solvent dan air berdasarkan
kemampuannya menurunkan tegangan antarmuka (IFT)
1.3. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penelitian meliputi pembuatan MES dari metil ester
PKO berdasarkan kondisi terbaik menurut Hidayati (2006), pembuatan
formula agen pendesak minyak bumi (Surfactant Flooding Agent) dan
pengukuran tegangan antarmuka (Interfacial Tension disingkat IFT) formula
agen pendesak minyak bumi.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. SURFAKTAN
Surfaktan (Surface Active Agent) adalah suatu bahan yang dapat mengubah
atau memodifikasi tegangan permukaan dan antarmuka antara fluida yang tidak
saling larut (Unisource Canada, 2005; Schramm, 2000; Hackley dan Ferraris,
2001; Salager, 2002), atau molekul yang mengadsorbsi molekul lain pada
antarmuka dua zat (Particle Engineering Research Center, 2005). Dalam satu
molekulnya, surfaktan memiliki dua gugus yang berbeda polaritasnya yaitu gugus
polar dan non polar. Gugus polar memperlihatkan afinitas (daya ikat) yang kuat
dengan pelarut polar, contohnya air, sehingga sering disebut gugus hidrofilik.
Gugus non polar biasa disebut hidrofob atau lipofilik yang berasal dari bahasa
Yunani phobos (takut) dan lipos (lipid). Surfaktan sering diberi nama sesuai
dengan tujuan penggunaannya yaitu sabun, deterjen, pembasah (wetting agent),
pendispersi, pengemulsi, pembusa, bakterisida, inhibitor korosi, dan agen
antistatis (Salager, 2002).
Ada empat macam jenis surfaktan yang telah dikenal berdasar muatan
pada gugus polarnya yaitu surfaktan anionik, nonionik, zwitterionik dan kationik.
Berdasarkan jumlah konsumsi surfaktan dunia, surfaktan anionik merupakan
surfaktan yang paling banyak digunakan (50 persen), kemudian disusul nonionik
(45 persen), kationik (4 persen) dan yang paling sedikit penggunaannya adalah
surfaktan dari jenis amfoterik (1 persen) (Salager, 2002). Struktur surfaktan secara
umum diperlihatkan pada Gambar 2 berikut.
a b
Gambar 2. Struktur surfaktan (a. Unimer surfaktan b. Agregat surfaktan )
2.2. SURFAKTAN NONIONIK
Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak mengandung gugus
fungsional bermuatan baik positif maupun negatif dan tidak mengalami ionisasi di
dalam larutan (Ayirala, 2005). Menurut Salager (2002) surfaktan nonionik
mempunyai kelebihan dibandingkan surfaktan anionik dan kationik yaitu tidak
dipengaruhi oleh kesadahan dan perubahan pH. Surfaktan nonionik dianggap
memiliki karakteristik pembusaan medium-rendah. Keunikan surfaktan nonionik
adalah tidak mengalami disosiasi menjadi ion-ion ketika dilarutkan dalam cairan
(pelarut) sehingga sangat kompatibel bila dikombinasikan dengan tipe surfaktan
lainnya. Surfaktan mampu memasuki struktur molekul yang kompleks. Karakter
lain dari surfakan nonionik adalah tidak sensitif terhadap cairan elektrolit, pH,
surfaktan ionik, dan dapat digunakan pada salinitas tinggi dan air sadah (Lambent
Technologies, 2002; Salager, 2002).
Surfaktan nonionik banyak digunakan sebagai bahan deterjen, wetting
agent dan emulsifier. Beberapa kategori dari surfaktan nonionik memiliki
toksisitas yang rendah dan digunakan pada farmasi, kosmetika dan produk
makanan (Lambent Technologies, 2002 ; Salager, 2002). Konsentrasi surfaktan
nonionik biasanya berada dalam selang 25% sampai dengan 75% dalam formula
suatu produk.
Menurut Australian Research Council's Research Centres Program (2005)
surfaktan nonionik dari golongan Alcohol Ethoxylates dan Alkylphenol
Ethoxylates telah digunakan luas dalam formulasi pembersih logam, pembersih di
rumah sakit, pengeboran minyak bumi dan reaksi plomerisasi emulsi. Kebanyakan
surfaktan nonionik menjadi bersifat tidak larut (insoluble) pada air panas. Suhu
pada saat penampakan surfaktan menjadi berkabut (cloudy) dan surfaktan mulai
mengalami presipitasi disebut sebagai cloud-point.
2.3. METIL ESTER SULFONAT (MES)
Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation,
Inc. Sheats dan MacArthur (2002) melaporkan bahwa metil ester sulfonat dapat
disintesis dari beberapa tanaman seperti kelapa, kelapa sawit (CPO dan PKO),
tallow dan kedelai. Metil ester termasuk ke dalam golongan ester. Ester dibuat
dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya (2001)
melaporkan bahwa sebagian besar metil ester diproduksi dari oleokimia. Metil
ester dapat diproduksi melalui esterifikasi asam lemak dengan metanol. Reaksi
transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 3. Metil ester juga dapat diperoleh
melalui reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi
yang terlihat pada Gambar 4 berikut (Hart, 1990).
Minyak/lemak Metanol Metil ester Gliserin
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol
RCOOH + R’OH RCOOR’ + H2O
Asam lemak Alkohol Ester Air
Gambar 4. Reaksi esterifikasi antara asam lemak dan alkohol
Karakteristik MES disajikan pada Tabel 1 dan gambar produk dan struktur
MES dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Dari tabel tersebut dapat dilihat
bahwa selain MES sebagai produk utama juga dihasilkan produk lain yang tidak
diinginkan seperti garam di-natrium karboksi sulfonat (di-salt), metanol, hidrogen
peroksida, air, petroleum eter, natrium karboksilat, natrium sulfat, dan natrium
metil sulfat. Metanol sisa yang terdapat dalam produk komersial adalah 0.5 persen
(bobot). Menurut Hovda (2002) dan MacArthur et al. (2002), di-natrium karboksi
sulfonat merupakan pengotor pada MES yang dapat menurunkan deterjensi MES.
3
C
O
O CH3
CH2RC
O
OH
CHR
C
O
OH
CR'
C
O
OH
CHR''
+ OHCH3 +
CH2
CH
CH2
OH
OH
OH
C
O
O CH3
CH2R'
C
O
O CH3
CH2R''
Tabel 1. Metil Ester Sulfonat produksi Chemiton Corp. Inc.
Hasil reaksi sulfonasi Minyak Kelapa C12-14
Minyak Inti sawit C8-C18
Stearin sawit C16-18
Lemak Tallow C16-18
Minyak Kedelai C18
Natrium metil ester sulfonat (α-Mes) 71.5 69.4 83 77.5 75.7
Dinatrium karboksi sulfonat (di -salt) 2.1 1.8 3.5 5.2 6.3
Metanol (CH3OH) 0.48 0.6 0.07 0 0.03
Hidrogen peroksida (H2O2) 0,1 0.04 0,13 0,15 0.05
Air (H2O) 14 15.2 2.3 2.9 1.4
Petroleum eter terekstrak (PEX) 2.6 2.7 2.4 4.8 7.2
Natrium karboksilat (RCOONa) 0.2 0.2 0.3 0.3 0.5
Natrium sulfate (Na2SO4) 1.8 1.5 2.3 2.4
Natrium metil sulfat (CH3OSO3Na) 8 8.4 7.2 7.7 2.5
10% pH 5 5.3 5.3 5.4 5.8
Klett color, 5% active (a-Mes + di -salt) 30 310 45 180 410
Gambar 5. Beberapa surfaktan MES komersial
Keterangan :
Sumber bahan baku MES tersebut :
A : Minyak Kelapa (C12-C14)
B : Minyak inti sawit (C8-C18)
C : Stearin sawit (C16-C18)
D : Lemak Tallow (C16-18)
E : Minyak kedelai (C18)
O
O CH3
CHR
SO O
O M
Gambar 6. Struktur MES (Cox dan Weerasoriya, 2001)
Menurut Hovda (2002), ada tiga tipe proses pembuatan MES yaitu proses
yang menggunakan dua tahap pemucatan sehingga diperlukan halogen, proses
yang menggunakan pemurnian ultra, proses/teknologi yang dikembangkan
Chemiton Corporation menggunakan agen peroksida untuk tahap pemucatan.
Foster (1997) berpendapat bahwa untuk mendapatkan produk yang unggul
dari reaksi sulfonasi, rasio mol reaktan merupakan faktor utama yang harus
dikendalikan. Faktor lainnya adalah suhu reaksi, konsentrasi reaktan (gas SO3),
pH netralisasi, lama penetralan, dan suhu selama penetralan. Faktor-faktor
tersebut memang memberikan pengaruh pada kualitas produk, namun
pengaruhnya tidak sebesar pengaruh akibat rasio mol. Agen sulfonasi yang
digunakan secara luas pada reaksi sulfonasi adalah asam sulfat (H2SO4) dan oleum
(SO3 · H2SO4). Tipe reaksi proses sulfonasi dibedakan berdasar agen sulfonasi
yang digunakan. Faktor-faktor yang menentukan dalam pemilihan tipe reaksi
sulfonasi adalah kuantitas dan kualitas produk yang diinginkan, harga reagen
(bahan pereaksi), biaya peralatan, dan biaya pengolahan limbah.
2.4. PEROLEHAN KEMBALI MINYAK BUMI TAHAP LANJUT ATAU
ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)
Proses perolehan kembali minyak bumi (oil recovery) dapat
dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder
(secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada Gambar 7 diperlihatkan
diagram perolehan kembali minyak bumi. Perolehan kembali minyak bumi pada
fase primer menggunakan proses alami dan proses stimulasi. Proses alami sangat
tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir. Proses stimulasi
menggunakan metode fracturing, dan metode sumur horizontal (horizontal wells).
Pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood, metode asam
(acidizing) dan water flood (Taber, 1997). EOR dibedakan menjadi tiga kategori
yaitu proses termal, proses miscible displacement dan proses kimia.
Gambar 7. Diagram alir perolehan kembali (recovery) minyak bumi
(Lake et al., 1995)
2.4.1 Proses Termal
Proses termal meliputi injeksi uap panas (steam drive injection)
dan pembakaran in-situ (in-situ combustion). Proses termal biasanya
diaplikasikan pada reservoir dengan kandungan minyak bumi kental
(viscous). Mekanisme yang terjadi adalah kenaikan suhu menurunkan
kekentalan minyak bumi sehingga minyak bumi dan mudah mengalir.
Akibatnya pendesakan minyak bumi (oil displacement) dari formasinya
menjadi lebih efektif (Al Manhal, 2005).
2.4.2. Proses Miscible Displacement
Proses miscible displacement meliputi injeksi pelarut seperti
Liquified Petroleum Gas (LPG) atau gas CO2, yang dapat tercampur
(miscible) sempurna pada minyak (http://www.engr.pitt.edu/
chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinity.pdf). Proses tersebut
melibatkan introduksi fluida atau bahan pelarut ke dalam reservoir yang
secara sempurna akan bercampur dengan minyak dan mengakibatkan
terlepasnya minyak dari matriks batuan. Hal tersebut memungkinkan
campuran pelarut dan minyak dapat tersapu ke sumur produksi minyak
bumi. Beberapa fluida atau pelarut yang sering digunakan adalah alkohol,
refined hydrocarbons, kondensat gas hidrokarbon, LPG, CO2 dan gas uap.
2.4.3. Proses Kimia
Menurut Technology Assessment Board (1978) proses EOR yang
termasuk secara kimia adalah surfactant/polymer flooding, polymer
flooding dan alkaline flooding. Proses pendesakan minyak bumi secara
kimia bertujuan sebagai berikut :
1. Mengurangi mobilitas agen pendesak
2. Menurunkan tegangan antarmuka minyak-air
Proses kimia terdiri dari berbagai macam teknik seperti polymer-
augmented waterflooding, alkaline flooding, dan microemulsion atau
micellar emulsion flooding. Microemulsion flooding juga dikenal sebagai
surfactant flooding, melibatkan injeksi larutan yang mengandung
surfaktan yang mampu mendesak minyak bumi lebih efektif dengan
mekanisme penurunan tegangan antarmuka antara minyak dan air
(http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinit
y.pdf ).
Larutan yang diinjeksikan pada umumnya mengandung 95% brine,
4% surfaktan, dan 1% aditif. Aditif biasanya ditambahkan untuk mengatur
viskositas larutan. Lima persen surfaktan sebaiknya ditambahkan di atas
Critical Micell Concentration (CMC). Di dalam larutan surfaktan, bentuk
agregat molekulnya disebut misel yang mana molekul surfaktan menyusun
pola berbentuk bola, dengan gugus hidrofobik yang berorientasi ke dalam
(ke arah pusat bola) dan gugus hidrofilik yang berorientasi keluar (ke arah
air). Misel dapat mengikat cairan di dalam batuan sehingga ukurannya
lebih besar dari semula dan disebut swollen micell atau mikroemulsi.
Dalam konfigurasi miselar, surfaktan membantu menurunkan tegangan
antar muka antara fase minyak dan fase air yang memungkinkan
meningkatkan perolehan kembali minyak
(http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/labmanuals/optimal_salinity
.pdf).
Selain penambahan air dan surfaktan, larutan injeksi juga
mengandung bahan kimia lain seperti cosolvents, cosurfactants, dan
electrolytes untuk mengontrol stabilitas, viskositas, tegangan antarmuka
dan karakteristik formula lainnya. Setiap komponen memiliki peranan
penting dalam ciri fisik formula dan menentukan efisiensi pendesakan
minyak (http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/
optimal_salinity.pdf).
Larutan elektrolit yang biasa digunakan adalah larutan garam
NaCl. Jumlah NaCl dalam larutan injeksi memberikan pengaruh yang
sangat kuat pada kelakuan fasa surfaktan dengan mengubah tegangan
antarmuka yang pada akhirnya mempengaruhi jumlah perolehan kembali
minyak bumi. Salinitas larutan juga mempengaruhi karakteristik/sifat
media penyerapan (http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_
manuals/optimal_salinity.pdf).
2.5. PENDESAKAN MINYAK BUMI MENGGUNAKAN SURFAKTAN
(SURFACTANT FLOODING)
Secara teknis, minyak bumi terdiri dari gugus pentana (hidrokarbon yang
terdiri dari lima atom karbon dan 12 atom hidrogen) dan hidrokarbon yang lebih
berat (hidrokarbon dengan panjang rantai karbon lebih lima atom karbon).
Mungkin juga berisi material lain seperti air, gas-alam, belerang dan mineral lain.
Pada dasarnya, minyak bumi adalah dapat mengalir secara alami tanpa
dipompa atau dipanaskan dan diencerkan. Minyak bumi biasanya digolongkan
menjadi light, medium dan heavy, berdasarkan pada gaya beratnya yang
dinyatakan dalam skala American Petroleum Institute (API). API dinyatakan
dengan satuan derajat dan dihitung menggunakan rumus 141.5/S.G.)- 131.5= API
gravity (S.G. = Specific Gravity). Minyak bumi dengan kategori light mempunyai
API gravity yang lebih tinggi dari 31.1°, kategori medium mempunyai API gravity
antara 22.3° dan 31.1°, dan kategori heavy mempunyai API gravity di bawah
22.3°.
Formula yang diaplikasikan pada surfactant flooding yang biasanya
disebut mikroemulsi memiliki viskositas rendah dan stabil terhadap perlakuan
panas. Mikroemulsi mampu berperan sebagai bahan aktif permukaan dan
memiliki tegangan antarmuka yang rendah. Mikroemulsi berbeda dengan emulsi
biasa dalam hal stabilitas dan ukuran droplet. Stabilitas mikroemulsi lebih tinggi
dan dipengaruhi oleh garam, zat aditif kesadahan dan suhu, sedangkan ukuran
dropletnya lebih kecil bila dibandingkan dengan emulsi biasa. Pada Tabel 2
diperlihatkan komposisi mikroemulsi komersial.
Tabel 2. Komposisi formula mikroemulsi komersial
Komponen Persen (bobot)
Carnauba wax 13,8
Asam lemak oleat 1,7
NaOH 0,5
Boraks 1,0
Air 83,0
Sumber : Becher, 1983
Surfactant/Polymer Flooding, dikenal dengan nama lain pendesakan
mikroemulsi atau miselar. Proses tersebut merupakan proses EOR terbaru dan
paling kompleks. Metode ini mempunyai potensi superior untuk perolehan
kembali minyak bumi. Pendesakan surfaktan terdiri beberapa tahapan dimana
bahan yang kerjanya seperti deterjen diinjeksikan sebagai fluida untuk
memodifiksi interaksi kimia minyak dengan lingkungan sekitar. Proses ini
mengemulsikan/melarutkan sebagian atau seluruh minyak di dalam air formasi.
Karena biaya bahan kimia yang mahal, maka volume slug surfaktan hanya sedikit
merepresentasikan volume reservoir. Untuk mencegah integritas slug selama
berada di dalam reservoir, maka slug tersebut didorong dengan air yang
didalamnya telah ditambahkan polimer.
2.6. MUTUAL SOLVENT
Mutual solvent adalah bahan aditif yang digunakan pada proses stimulasi
sumur minyak, di mana mempunyai sifat larut dalam air, minyak dan fluida asam.
Bahan aditif ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti menghilangkan
deposit hidrokarbon fraksi berat dan mengendalikan wettability dari batuan
formasi. Jenis mutual solvent yang sering dipakai di lapangan adalah etilen glikol
monobutil eter atau sering disebut sebagai butyl cellosolve yang memiliki rumus
kimia C6H1402 dengan sifat fisik berupa cairan jernih tidak berwarna
(www.glossary.oilfield.slb.com). Penggunaan mutual solvent dapat
menyebabbkan terjadinya emulsifikasi. Mutual solvent bekerja dengan
memindahkan lapisan film organik sehingga menjadi bersifat water wet
(http://www.messina-oilchem.com). Ethylene Glycol Monobutyl Ether (butoxy
ethanol) telah digunakan sebagai oil spill dispersant oleh Exxon Mobile (Clark,
2004).
2.7. TEGANGAN ANTARMUKA atau INTERFACIAL TENSION (IFT)
Interfacial Tension adalah ukuran gaya molekuler yang berada di batas
antara dua fasa zat. Satuan gaya yang digunakan adalah dyne/cm. Cairan yang
memiliki IFT lebih rendah lebih mudah diemulsifikasi
(http://web.engr.oregonstate.edu/~istokj/pdf/Field%20et%20al.%202000%20JCH.
pdf).
Drelich et al., (2002), menyatakan bahwa teknik pengukuran tegangan
antarmuka mengunakan spinning drop tensiometer dilakukan atas dasar kenyataan
bahwa percepatan gravitasi bumi memberikan pengaruh kecil pada bentuk drop
fluida yang tersuspensi di dalam cairan, pada saat drop dan cairan berada di dalam
tabung putar pada arah longitudinal. Pada saat kecepatan putaran rendah, drop
fluida akan berbentuk elips dan jika kecepatan putar tinggi, maka drop fluida akan
berbentuk silinder. Pada saat drop fluida berbentuk silinder tersebut dilakukan
pengukuran jari-jari silinder (r), perbedaan densitas drop dan cairan di sekeliling
drop (∆ρ) dan kecepatan putar drop (ω). Alat spinning drop tensiometer mampu
mengukur tegangan antarmuka (IFT) hingga 10-6 mN/m. Pada akhirnya, tegangan
permukaan dihitung (γ) dengan menggunakan persamaan berikut (Drelich et al.,
2002).
23
4
1ρωγ ∆= r
Keterangan :
r : jari-jari
γ : tegangan antarmuka
∆ρ : selisih densitas drop dan densitas cairan
ω : kecepatan putar
III BAHAN DAN METODE
3.1. BAHAN DAN ALAT
3.1.1. BAHAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian dibedakan menjadi tiga
kategori, yaitu bahan untuk membuat surfaktan metil ester sulfonat (MES),
bahan untuk membuat formula dan bahan untuk analisis. Untuk membuat
surfaktan MES digunakan bahan-bahan; metil ester, natrium bisulfit
(NaHSO3), metanol (CH3OH) dan NaOH. Metil ester yang digunakan
diperoleh dari PT. Ecogreen Oleochemicals, Batam. Karakteristik metil
ester PKO tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Natrium bisulfit (Na-
bisulfit), metanol dan NaOH diperoleh dari toko kimia Bratachem, Bogor.
Ketiga bahan tersebut adalah bahan yang bersifat teknis.
Untuk membuat formula digunakan surfaktan MES, surfaktan
nonionik nonyl phenol ethoxylate (NPE), mutual solvent (butyl cellosolve)
dan air. Untuk menganalisis formula digunakan NaCl PA (Pro Analysis).
Untuk pengukuran tegangan antarmuka atau interfacial tension (IFT)
sampel, digunakan minyak bumi mentah (crude oil) yang diperoleh dari
PT. X. Minyak bumi merupakan campuran kompleks dari berbagai
hidrokarbon, sebagian besar alkana, tetapi bervariasi dalam penampilan,
komposisi, dan kemurniannya (http://id.wikipedia.org/wiki/
Minyak_bumi). Karakteristik minyak bumi selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 3a.
3.1.2. ALAT
Alat yang digunakan dalam penelitian dikategorikan menjadi tiga
kategori yaitu peralatan untuk membuat MES, peralatan untuk membuat
formula (flooding agent) dan peralatan untuk analisis sampel. Peralatan
untuk membuat MES terdiri dari rangkaian alat sulfonasi atau sulfonation
apparatus (terdiri dari labu tiga leher 500 ml, termometer, hot plate yang
dilengkapi magnetic stirrer, motor pengaduk, dan kondensor), neraca
analitik, gelas arloji, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 10 ml, labu erlenmeyer,
sentrifuge dan pH meter. Pada Gambar 8 diperlihatkan sulfonation
apparatus yang digunakan untuk membuat MES. Untuk membuat formula
digunakan labu takar 100 ml, pipet 10 ml; pipet 1 ml, labu takar 1 liter dan
botol sampel. Peralatan untuk analisis sampel adalah spinning drop
tensiometer, syringe (µm), neraca analitik, piknometer, refraktometer dan
pipet.
Gambar 8. Apparatus untuk sulfonasi metil ester (sulfonation apparatus)
3.2. WAKTU DAN TEMPAT
Penelitian untuk menguji kinerja penggunaan surfaktan MES
dalam formula dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu dari bulan Desember
2005 sampai dengan bulan Februari 2006. Penelitian dilakukan di
Laboratorium Departemen Teknologi Industri (TIN) Fakultas Teknlogi
Pertanian IPB, laboratorium Surfactant and Biodiesel Research Center
(SBRC) LPPM IPB dan Laboratorium EOR (Enhanced Oil Recovery)
PPTMGB Lemigas Jakarta.
3.3. TATA LAKSANA
3.3.1. PEMBUATAN SURFAKTAN MES
MES dibuat melalui beberapa tahap yaitu sulfonasi, pengendapan,
pemurnian, penguapan metanol dan penetralan. Reaksi sulfonasi antara
metil ester dengan reaktan NaHSO3 merupakan tahapan utama proses
pembuatan MES. Kondisi proses yang digunakan untuk membuat MES
merujuk pada kondisi terbaik Hidayati (2006) dengan rasio mol metil ester
dan reaktan NaHSO3 adalah 1:1,5, suhu reaksi 100 oC dan lama reaksi 4,5
jam. Pengendapan dilakukan selama 24 jam. Pemurnian dilakukan dengan
menambahkan metanol. Metanol ditambahkan sebanyak 30 % (v/v) pada
suhu 50 oC dan direaksikan selama 1,5 jam. . Setelah reaksi selesai, suhu
larutan dinaikkan hingga mencapai 70 – 80 0C selama 10 menit, untuk
menguapkan metanol dari larutan. Metanol yang menguap kemudian
dikondensasi dan ditampung dalam erlenmeyer. Proses selanjutnya adalah
penetralan menggunakan NaOH 20 %. MES yang telah dinetralkan
kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 55 0C sambil diaduk dengan
menggunakan pengaduk selama 30 menit. Setelah proses pengadukan dan
pemanasan selesai, MES kemudian dipindahkan ke dalam wadah yang
terbuat dari kaca dan ditutup. Diagram alir pembuatan dan pemurnian MES
disajikan pada Lampiran 4.
3.3.2. PEMBUATAN FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
Formula yang dibuat terdiri dari empat macam bahan, yaitu
surfaktan MES, surfaktan nonionik nony phenol ethoxylate, air (H2O) dan
mutual solvent (EGMBE-ethylen glycol monobuthyl ether atau buthyl
cellosolve). Keempat bahan tersebut diformulasikan menjadi empat jenis
formula yang disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Komposisi formula
Komposisi (% v/v) Jenis formula
MES Non ionik H2O Mutual solvent
Formula A 10 40 45 5
Formula B 15 35 45 5
Formula C 20 30 45 5
Formula D 25 25 45 5
Pencampuran keempat macam bahan tersebut dilakukan di dalam
botol yang bermulut kecil. Setelah bahan dicampurkan kemudian diaduk
sampai diperoleh campuran yang homogen.
Keempat formula tersebut kemudian diberi perlakuan pelarutan
pada air injeksi dan pemanasan. Air injeksi harus sesuai dengan air
formasi. Contoh air formasi dari PT X dapat dilihat pada lampiran 3b.
Pelarutan formula dilakukan pada taraf konsentrasi 0,1 persen, 1 persen
dan 10 persen. Air injeksi yang digunakan memiliki taraf salinitas 5000
ppm, 10.000 ppm dan 20.000 ppm. Pemanasan dilakukan pada taraf suhu
kamar (25 oC), 50 oC, 75 oC dan 100 oC. Semua sampel kemudian diukur
tegangan antar muka atau IFT-nya menggunakan alat Spinning Drop
Tensiometer tipe Bodine 500 (dapat dilihat pada Gambar 9). Pengukuran
IFT dilakukan di PPTMGB Lemigas Jakarta. Percobaan dilakukan dengan
dua kali ulangan.
Gambar 9. Spinning Drop Tensiometer tipe Bodine 500
3.3.3. PENGUJIAN SAMPEL
Setiap sampel diuji kinerjanya dengan mengukur IFT yang
dimilikinya. Pengukuran dilakukan menggunakan alat spinning drop
tensiometer. Prosedur pengukuran IFT dapat dilihat pada Lampiran 5.
IFT dihitung menggunakan persamaan berikut (Gardner dan Hayes, 1983)
( )23
326
8
10
Ρ××
×−××=
⋅
η
ρρπ dIFT
oilcrudesampel
Keterangan : π = phi (konstanta = 22/7)
ρsampel = densitas sampel (g/ml)
ρcrude oil = densitas crude oil (g/ml)
d = lebar droplet (µm)
η = indeks bias sampel
P = periode (msec/rev)
3.4. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian berbagai
formula surfaktan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor
perlakuan dan dengan dua kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan
adalah salinitas (A), suhu (B) dan konsentrasi pelarutan formula (C).
Konsentrasi pelarutan formula diujikan pada 3 taraf yaitu 0,1 persen, 1
persen dan 10 persen, salinitas yang diujikan adalah 5000 ppm, 10.000
ppm dan 20.000 ppm dan suhu diujikan pada taraf 25 (suhu ruang), 50, 75
dan 100 oC. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah (Sudjana,
1982 ) :
Yijk = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC) ik + (BCjk + (ABC)ijk + ε(ijk)
Keterangan :
Yijk = Variabel respon yang disebabkan oleh pengaruh bersama taraf
ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B dan taraf ke-k untuk faktor C.
µ = Rata-rata yang sebenarnya
Ai = Pengaruh yang sebenarnya pada faktor A, taraf ke-i (i =1,2,3)
Bj = Pengaruh yang sebenarnya pada faktor B, taraf ke-j (j =1,2,3)
Ck = Pengaruh yang sebenarnya pada faktor C, taraf ke-k (k =1,2,3,4)
ABij = Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor A taraf ke- i
dengan faktor B taraf ke-j
ACik = Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor A taraf ke-i
dengan faktor C taraf ke-k
BCjk = Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor B taraf ke-i
dengan faktor C taraf ke-k
ABCijk = Pengaruh yang sebenarnya karena interaksi faktor A taraf ke-i,
faktor B taraf ke-j dan faktor T taraf ke-k
ε(ijk) = Galat percobaan
Penggunaan rancangan acak lengkap faktorial ini dimaksudkan
untuk mengetahui faktor apa saja dari ketiga faktor tersebut yang
berpengaruh secara nyata terhadap kinerja formula. Selanjutnya dengan
menggunakan uji Duncan akan dianalisis sejauh mana tingkat beda nyata
masing-masing taraf dari faktor yang berpengaruh secara nyata.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES)
Pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES) merupakan tahap awal
penelitian, karena MES akan digunakan sebagai salah satu komponen dalam
pembuatan formula agen pendesak minyak bumi. MES dibuat melalui
beberapa tahap yaitu reaksi sulfonasi, pengendapan, pemurnian, penguapan
metanol dan penetralan.
Reaksi sulfonasi adalah tahapan utama dan pertama dalam proses
pembuatan MES. Menurut Speight (2002) dan Kucera (2001), reaksi sulfonasi
adalah reaksi pembentukan asam sulfonat (SO3H) pada molekul organik
dengan menggunakan agen sulfonasi. Agen sulfonasi didefinisikan sebagai
komponen atau bahan yang dapat menggantikan ikatan hidrogen dalam suatu
senyawa dengan gugus sulfonat (SO3H). Pada penelitian ini agen sulfonasi
yang digunakan adalah natrium bisulfit atau Na-bisulfit (NaHSO3). Proses
sulfonasi menggunakan Na-bisulfit telah dilakukan oleh Syahmani (2001)
pada proses pembuatan lignosulfonat. Syahmani (2001) menggunakan pulp
Tandan Kelapa Sawit (TKS) sebagai bahan baku. Disamping Na-bisulfit,
dalam reaksi sulfonasi juga digunakan asam sulfat, sulfur trioksida, metalik
sulfat, oleum, asam klorosulfonat dan asam sulfamat sebagai agen sulfonasi.
Selain agen sulfonasi, metil ester juga digunakan sebagai bahan untuk
membuat MES. Metil ester yang digunakan berasal dari minyak biji sawit
atau palm kernel oil (PKO). Studi yang telah dilakukan Hidayati (2006)
menunjukkan bahwa MES yang berasal dari PKO memiliki kelarutan yang
lebih baik daripada MES yang berasal dari minyak sawit (Crude Palm Oil
disingkat CPO). Hal inilah yang mendasari digunakannya metil ester PKO
dalam pembuatan MES.
Hasil analisis pada metil ester PKO yang telah dilakukan oleh Hidayati
(2006) menunjukkan bahwa metil ester PKO memiliki asam lemak dominan
metil oleat (C18) dengan satu ikatan rangkap (63,69 persen) dan metil
linolenat (C18) dengan dua ikatan rangkap (9,56 persen). Metil ester dengan
komponen utama asam lemak yang memiliki panjang rantai karbon C18
(oleat) sangat sesuai bila dibuat menjadi surfaktan metil ester sulfonat, karena
memiliki daya deterjensi yang baik dan tahan terhadap kesadahan (Sheats dan
MacArthur, 2002; Sheats dan Foster, 2002).
Kondisi proses yang digunakan untuk membuat MES merujuk pada
kondisi reaksi terbaik Hidayati (2006) yaitu dengan rasio mol metil ester dan
agen sulfonasi NaHSO3 adalah 1:1,5 atau setara dengan 500 ml metil ester
dan 234 g Na-bisullfit, suhu reaksi 100 oC dan lama reaksi 4,5 jam. Na-
bisulfit direaksikan dalam jumlah berlebih. Tujuannya adalah untuk
memaksimalkan terbentuknya gugus sulfonat pada metil ester. Perhitungan
detail mengenai rasio mol reaksi dapat dilihat pada Lampiran 2. Kucera
(2001) berpendapat bahwa gugus sulfonat bersifat reaktif sehingga
memungkinkan terjadinya reaksi crosslinking pada produk hasil reaksi dan
produk menjadi lebih kompleks strukturnya dan lebih stabil. Mekanisme
reaksi crosslingking sendiri masih belum diketahui secara pasti, walapun telah
diketahui bahwa reaksi crosslingking akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu reaksi.
Menurut Speight (2002), reaksi sulfonasi bersifat eksoterm tetapi tidak
bersifat korosif. Secara ringkas, reaksi sulfonasi antara metil ester PKO dan
Na-bisulfit digambarkan dalam persamaan reaksi pada Gambar 10 berikut.
Adanya muatan negatif pada surfaktan mengindikasikan bahwa surfaktan
tersebut adalah anionik. Penelitian ini konsisten dengan hasil yang dilaporkan
oleh MacArthur et al. (2002), Hovda (2002), Sheats dan Foster (2002), Sheats
dan MacArthur (2002), dan Foster (1997) bahwa MES merupakan surfaktan
anionik. Pengujian terhadap surfaktan anionik dapat dilakukan dengan
menggunakan uji fisik berupa metode pengujian timol biru (Rosen et al.,
1981). Pada uji tersebut digunakan HCl dan timol biru sebagai indikator.
Hasil yang positif (bahwa surfaktan tersebut merupakan surfaktan anionik)
ditandai dengan munculnya warna ungu kemerahan pada sampel, yang
menandakan bahwa surfaktan yang diuji merupakan surfaktan anionik seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 11. Selain uji tersebut, menurut Hidayati
(2006) terbentuknya gugus sulfonat pada proses pembuatan MES dapat
dideteksi dengan alat FTIR (Fourrier Transform Infrared).
Metil ester Na-bisulfit Metil ester sulfonat (α MES)
Gambar 10. Reaksi sulfonasi pembentukan MES
Gambar 11. Hasil pengujian (kanan) timol biru pada MES (kiri)
Dengan mempertimbangkan jumlah Na-bisulfit yang berlebih dalam
reaksi, terjadinya reaksi crosslingking dan kondisi proses lainnya, maka
produk yang dihasilkan tidak seratus persen MES. Na-bisulfit sisa karena
tidak bereaksi dengan metil ester dan produk samping lainnya perlu
dipisahkan dari MES. Proses untuk memisahkan MES dari pengotornya
adalah dengan cara diendapkan. Pengendapan dapat dilakukan dengan cara
presipitasi dan bila perlu dilakukan sentrifus. Menurut MacArthur et al.
(2002) produk yang terbentuk dari reaksi sulfonasi metil ester adalah MES,
garam dinatrium karboksi sulfonat (di-salt), Natrium karboksilat (RCOONa),
Natrium sulfate (Na2SO4), dan Natrium metil sulfat (CH3OSO3Na). Produk
selain MES kemungkinan merupakan hasil dari reaksii crosslingking seperti
yang diutarakan oleh Kucera (2001).
Garam dinatrium karboksi sulfonat (di-salt) merupakan pengotor pada
produk MES, walaupun sebenarnya garam tersebut adalah surfaktan. Namun,
menurut MacArthur et al. (2002) keberadaan garam cenderung menurunkan
kinerja MES secara keseluruhan. Maka dari itu, tahap pemurnian mutalak
C
O
O CH 3
CHCHR + Na S
O
O
OH C
O
O CH 3
CHCH 2R
Na-
S
O
O
OH
diperlukan. Pemurnian untuk mengurangi terbentuknya garam dilakukan
dengan cara menambahkan alkohol. Dalam penelitian ini alkohol yang
digunakan adalah metanol (CH3OH). Metanol dipilih karena sifatnya yang
reaktif dan mengurangi terjadinya substitusi gugus metil pada struktur MES.
Menurut Hovda (2002), selain mengurangi terbentuknya garam, alkohol akan
mengikat air yang terdapat pada MES. Penambahan alkohol juga
memberikan pengaruh besar pada viskositas larutan sehingga menjadi lebih
encer. Karena reaksi sulfonasi merupakan reaksi eksoterm, maka penambahan
metanol memberikan keuntungan lain yaitu mampu meningkatkan pindah
panas selama reaksi berlangsung. Setelah tahap pemurnian selesai, alkohol
diuapkan untuk digunakan kembali. Tahap ini disebut tahap penguapan
metanol. Karena MES yang dihasilkan masih bersifat asam dengan pH
berkisar 4,5-5,5 maka diperlukan tahap penetralan. MES dinetralkan dengan
menggunakan NaOH 20 % dan dipanaskan pada suhu 55 oC selama 30 menit.
MES yang dihasilkan berwujud cair dengan warna kuning cerah.
Menurut Hovda (2002) semakin tinggi suhu reaksi dalam reaksi sulfonasi
maka produk yang dihasilkan menjadi semakin gelap warnanya. Pada Gambar
12 diperlihatkan foto MES yang diperoleh dari hasil reaksi sulfonasi metil
ester PKO dan Na-bisulfit. Karakteristik MES yang dihasilkan dari proses
sulfonasi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
Gambar 12. MES hasil reaksi sulfonasi metil ester dan Na-bisulfit
Tabel 4. Karakteristik metil ester sulfonat
Parameter Nilai
Tegangan antarmuka dengan metode Du Nuoy (dyne/cm)
0.23
Tegangan permukaan (dyne/cm) 32.8 Bilangan asam (mg KOH/g sampel) 16.32 Bilangan Iod (g Iod/100 g sampel) 7.84 Bilangan peroksida (mmol/1000 g sampel) 9.85 Absorbansi sulfonat (AU) 1.51 pH 6,5-7,5 Densitas (g/ml) pada suhu 25 oC 0,87 Wujud Cair Sumber : Hidayati (2006)
4.2. FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
Menurut Nummedal et al. (2003) peningkatan perolehan minyak bumi
(oil recovery) dapat dilakukan dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam
air injeksi. Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut
dengan surfactant flooding dan dikategorikan ke dalam proses tersier produksi
minyak bumi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang diinjeksikan
ke dalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi
yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi (reservoir). Demikian
pula dengan penginjeksian surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan
tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak
bumi. Pada Gambar 13 diperlihatkan ilustrasi proses dalam surfactant
flooding.
Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam
surfactant flooding, namun juga polimer (umumnya poliakrilamida). Polimer
diijeksikan setelah campuran surfaktan air injeksi dipompakan ke dalam
sumur minyak. Tujuannya adalah meningkatkan stabilitas genangan (flood)
dan meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep efficiency) minyak. Masih
menurut Nummedal (2003), surfactant flooding paling jarang digunakan
dalam proses recovery minyak bumi karena persoalan rancangannya yang
sulit dan mahalnya harga bahan kimia (surfaktan). Hal senada juga
diungkapkan oleh Technology Assesment Board 1978 bahwa surfactant
flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian
mempunyai potensi recovery minyak yang superior.
Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah
surfaktan diinjeksikan dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya, mekanisme
reaksi yang terjadi mirip dengan proses emulsifikasi kotoran pada pencucian
menggunakan deterjen. Awalnya surfaktan tunggal yang disebut monomer
akan mengikat minyak pada permukaan minyak (adsorpsi). Karena tenaga
dorong dari pompa dan bobotnya yang ringan, surfaktan terlepas dari
permukaan minyak dengan mengikat minyak pada bagian ekornya (lipofilik).
Surfaktan tersebut kemudian membentuk agregat setelah bertemu dengan
monomer surfaktan lain dalam larutan. Proses pengikatan minyak oleh
surfaktan akan lebih mudah bila minyak terdispersi di dalam larutan.
Mekanisme tersebut diilustrasikan pada Gambar 14.
Gambar 13. Ilustrasi proses surfactant flooding
Gambar 14. Mekanisme interaksi surfaktan dan minyak (Hargreaves, 2003)
Mikroemulsi terbentuk setelah larutan surfaktan bereaksi dengan
minyak. Mikroemulsi yang mengandung minyak tersebut kemudian didorong
menggunakan larutan polimer (poliakrilamida) dan minyak bumi diproduksi
pada sumur produksi. Pada kenyataannya, mekanisme reaski yang terjadi
tidak sesederhana seperti yang telah dijelaskan. Kondisi geologis batuan turut
mempengaruhi kinerja surfaktan. Surfaktan diharapkan dapat menurunkan
tegangan antarmuka antara minyak dan batuan sehingga gaya adhesi minyak
dan batuan berkurang. Gaya adhesi tersebut diperkuat oleh gaya kapiler,
karena minyak terperangkap pada pori-pori batuan. Dengan turunnya
tegangan antarmuka tersebut, minyak akan terkonsentrasi pada permukaan
batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak dapat
diproduksi.
Produksi minyak menggunakan proses surfactant flooding sangat
dipengaruhi oleh kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan
antarmuka (Drelich et al., 2002). Maka dari itu, formula surfaktan yang dibuat
harus memiliki kinerja dan stabilitas tinggi pada kondisi reservoir. Selain itu,
surfaktan juga harus tersedia dalam jumlah yang cukup atau dengan kata lain
availability-nya tinggi. Oleh karena itu kombinasi penggunaan surfaktan MES
yang bersifat terbarukan dan surfaktan nonyl phenol ethoxylate yang memiliki
kinerja tinggi dalam satu formula merupakan salah satu terobosan baru.
Fomula yang dibuat terdiri atas empat macam bahan yaitu metil MES,
nonyl phenol ethoxylate, air dan mutual solvent. Komposisi formula
divariasikan berdasarkan jumlah masing-masing bahan sehingga diperoleh
empat jenis formula yaitu formula A, B, C, dan D. Variasi dilakukan terhadap
komposisi MES dan nonyl phenol ethoxylate. MES divariasikan dengan
konsentrasi mulai dari 10 persen sampai dengan 25 persen, sedangkan nonyl
phenol ethoxylate divariasikan sedemikian rupa sehingga kedua bahan
tersebut menyusun 50 % dari total formula. Sisa 50 % formula yang terdiri
dari mutual solvent (5%) dan air (45%) tidak dikombinasikan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui formula yang memiliki kinerja terbaik
berdasarkan kandungan MES dan nonyl phenol ethoxylate dan pengaruh
jumlah kedua bahan tersebut terhadap kinerja formula. Setiap bahan dalam
formula akan dijelaskan sebagai berikut.
MES merupakan surfaktan anionik yang bermuatan negatif sehingga
cocok digunakan pada sumur yang batuannya mengandung silikat yang juga
bermuatan negatif. Namun demikian MES tidak cocok bila digunakan pada
sumur yang batuannya mengandung kapur karena kapur bermuatan positif.
Perbedaan muatan akan mengakibatkan terikatnya MES pada batuan dan
kehilangan sifat aktif permukaannya (Hidayati, 2006). ).
Nonyl phenol ethoxylate yang disingkat NPE dengan rumus molekul
C9H19C6H4(OCH2CH2)nOH adalah surfaktan nonionik yang mempunyai
gugus polar berupa ethoxy (ethylene oxide atau etieln oksida) dan gugus
nonpolar berupa alkohol. Etilen oksida juga disebut dengan epoxyethane dan
oxirane, adalah eter siklis yang paling sederhana, dengan rumus C2H4O¯,
merupakan bahan reaktif yang jika ditambahkan alkohol atau amina akan
membentuk surfaktan etoksilat. Kelebihan nonyl phenol ethoxylates adalah
dapat berfungsi sebagai zat pengemulsi dan deterjensinya yang sangat baik.
Struktur molekul nonyl phenol ethoxylates divisualisasikan pada Gambar 15
berikut (http://www.chemicalland21.com).
Gambar 15. Struktur molekul nonyl phenol ethoxylates
Untuk meningkatkan kelarutan antara formula dalam air injeksi, maka
ditambahkan pelarut yang mampu larut di dalam minyak maupun air yaitu
mutual solvent. Mutual solvent yang digunakan adalah ethylene glycol
monobutyl ether (EGMBE) atau lebih dikenal dengan nama butyl cellosolve.
Mutual solvent dapat mereduksi terjadinya lapisan film organik pada
permukaan minyak bumi dan mencegah terjadinya emulsifikasi antara film
organik tersebut dengan minyak serta mencegah terjadinya penyumbatan pori-
pori batuan. Dengan penambahan mutual solvent dalam formula, maka
formula akan berpenetrasi lebih dalam pada batuan bersama dengan air injeksi
sehingga produksi minyak lebih banyak (www.messina-oilchem.com). Air
yang ditambahkan berfungsi sebagai pelarut. Selain itu, secara ekonomi juga
akan menurukan biaya pembuatan formula.
Pencampuran bahan-bahan untuk membuat formula dilakukan dalam
wadah yang kontak dengan udaranya rendah. Saat pencampuran bahan,
pengadukan diperlukan untuk menghasilkan formula yang homogen.
Pencampuran bahan harus dilakukan dengan teliti, karena perbedaan cara
pengadukan dan pencampuran akan mempengaruhi hasil akhir dari formula
yang dihasilkan. Apabila pencampuran bahan dilakukan di udara terbuka,
maka akan terbentuk formula berbentuk gel yang sangat kental. Pada Gambar
16 ditampilkan penampakan formula yang telah dibuat. Formula yang
dihasilkan berbentuk cairan kental dengan tampilan bening tidak berwarna.
Gambar 16. Penampakan formula agen pendesak minyak bumi
Penampakan formula D sedikit berbeda dengan ketiga formula lainnya,
yaitu agak keruh. Keruhnya penampakan formula D kemungkinan
kemungkian disebabkan kombinasi surfaktan anionik (MES) dan surfaktan
nonionik (nonyl phenol ethoxhylate) menghasilkan presipitat yang tidak larut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Allen dan Robert (1993) yang mengatakan
bahwa pada umumnya surfaktan anionik dan nonionik tidak digunakan
bersama karena menghindari terbentuknya presipitat.
4.3. PENGARUH SALINITAS, SUHU, DAN KONSENTRASI PELARUTAN
FORMULA TERHADAP TEGANGAN ANTARMUKA (IFT) PADA
FORMULA AGEN PENDESAK MINYAK BUMI
Reservoir atau cekungan minyak bumi memiliki karakteristik yang
berbeda pada setiap permukaan bumi. Kondisi batuan (porositas dan
permeabilitas), kandungan garam atau ion, jenis batuan, suhu dan faktor lain
yang belum teridentifikasi mempengaruhi penggunaan jenis produksi yang
akan diterapkan. Bila digunakan proses produksi minyak yang menggunakan
surfaktan (surfactant flooding), maka tegangan antarmuka (IFT) menjadi
topik kajian yang perlu diperhatikan. Menurut Sampath (1998), tegangan
antarmuka yang terjadi setelah injeksi larutan (biasanya air) yang
mengandung surfaktan adalah tegangan antamuka minyak-batuan, air
(surfaktan)-batuan dan minyak-air (surfaktan). Dalam sistem tersebut,
tegangan antarmuka minyak-air (surfaktan) menjadi lebih penting dari pada
tegangan antarmuka lainnya.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ajith et al. (1994) dan Sampath
(1998) menunjukkan bahwa nilai IFT meningkat seiring dengan
meningkatnya salinitas atau kadar garam. Menurut Ajith et al. (1994) dan
Sampath (1998), larutan garam (brine) berfungsi sebagai larutan elektrolit.
Keberadaan elektrolit dalam sistem yang mengandung surfaktan akan
mengurangi interaksi surfaktan-air. Gugus lipofilik surfaktan ionik akan
berikatan sebagian atau seluruhnya dengan elektrolit, sehingga masing-
masing molekul akan berikatan dengan molekul yang sesuai. Bila surfaktan
anionik yang digunakan, maka muatan negatif pada gugus aktif (lipofilik)
akan berinteraksi positif dengan muatan positif pada molekul garam, misalnya
molekul Na+ pada larutan NaCl. Akibatnya, surfaktan akan menurun
kinerjanya.
Hovda (2002) dan Mac Arthur et al. (2002) melaporkan bahwa
keberadaan garam dalam larutan yang mengandung MES akan
mengakibatkan MES kehilangan sifat aktif permukaannya karena MES
bereaksi membentuk senyawa dinatrium karboksi sulfonat (di-salt). Surfaktan
anionik (MES) yang semula mengikat satu molekul Na akan mengikat lagi Na
yang berasal dari larutan garam NaCl sehingga dalam satu molekulnya akan
terdapat dua Na. Mekanisme reaksi terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat
dapat dijelaskan pada Gambar 17 berikut.
+ NaCl (l)
Metil ester sulfonat dinatrium karboksi sulfonat
Gambar 17. Mekanisme terbentuknya dinatrium karboksi sulfonat (Hovda,
2002 dan Mac Arthur et al.,2002)
Liu (2005) dan Schramm (2002) melaporkan bahwa nilai IFT
surfaktan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Liu (2005) menguji
surfaktan Chaser CD1045™ pada rentang suhu 25-75 oC.
4.3.1. FORMULA A
Formula A mengandung komposisi MES 10 persen, nonyl phenol
ethoxylate 40 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
2,98 x 10-03 dyne/cm dan 4,36 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,0122. Nilai rekapitulasi IFT formula A dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan analisis keragaman
terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa
faktor salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata
C
O
O CH3
CHCH2
SO O
O Na
R C
O
O Na
CHCH2
SO O
O Na
R
terhadap perubahan nilai IFT. Selain faktor tunggal tersebut, interaksi faktor
konsentrasi pelarutan formula dengan salinitas dan suhu juga berpengaruh
nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman pada nilai IFT
formula A selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula A pada berbeda pada salinitas, suhu dan konsentrasi tertentu. Untuk
faktor salinitas, nilai IFT pada taraf 5000 ppm berbeda nyata dengan nilai IFT
pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm, sedangkan nilai IFT pada taraf
10.000 ppm dan 20.000 ppm tidak berbeda nyata. Untuk faktor suhu, nilai IFT
pada taraf 25 oC berbeda nyata dengan nilai IFT pada suhu 50, 75 dan 100 oC,
sedangkan nilai IFT pada suhu 50, 75 dan 100 oC tidak berbeda nyata. Untuk
faktor konsentrasi pelarutan formula, nilai IFT pada taraf 0,1 persen berbeda
dengan taraf 1 persen dan 10 persen dan nilai IFT pada taraf 1 persen dan 10
persen tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat
diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan salinitas
5000 ppm, suhu 25 oC dan konsentrasi pelarutan formula 10 persen.
Walaupun nilai IFT tertinggi (secara kasar) diperoleh pada faktor perlakuan
salinitas 20.000 ppm, suhu 100 oC dan konsentrasi pelarutan 0,1 persen,
namun nilai IFT tertinggi tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai IFT pada
perlakuan salinitas 10. 000 ppm serta pada suhu 50 dan 75 oC. Hasil uji lanjut
pada formula A dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 7b.
Pada Gambar 18 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula A. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula A
00.0050.01
0.0150.02
0.0250.03
0.0350.04
0.045
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
IFT (dyne/cm)
Salinitas 5000 ppm
Salinitas 10.000 ppm
Salinitas 20.000 ppm
Gambar 18. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula A
Keterangan : Komposisi Formula A: MES 10%, NPE 40%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 : Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) K2 : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC K3 : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.3.2. FORMULA B
Formula B mengandung komposisi MES 15 persen, nonyl phenol
ethoxylate 35 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
5,741 x 10-03 dyne/cm dan 7,488 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,01619. Nilai rekapitulasi IFT formula B dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan analisis keragaman
terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen menunjukkan bahwa
hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang berpengaruh nyata
terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas dan suhu tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis keragaman
pada nilai IFT formula B selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula B pada konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen berbeda dengan nilai
IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 dan 10 persen dan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 1 persen berbeda dengan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 10 persen. Dengan kata lain, nilai IFT pada
setiap taraf faktor konsentrasi pelarutan formula berbeda nyata satu sama lain.
Karena faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai
IFT, maka nilai IFT yang dihasilkan oleh setiap taraf pada faktor perlakuan
salinitas dan suhu tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode
Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor
perlakuan konsentrasi pelarutan formula 10 persen dengan nilai IFT 5,741 x
10-03 dyne/cm dan nilai IFT tertinggi diperoleh dengan faktor perlakuan
konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen dengan nilai IFT 7,488 x 10-02
dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula B dengan metode Duncan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9b.
Pada Gambar 19 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula B. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula B
00.0050.01
0.0150.02
0.0250.03
0.0350.04
0.0450.05
0.055
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
IFT (dyne/cm)
Salinitas 5000 ppm
Salinitas 10.000 ppm
Salinitas 20.000 ppm
Gambar 19. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula B
Keterangan : Komposisi Formula B: MES 15%, NPE 35%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 : Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) K2 : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC K3 : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.3.3. FORMULA C
Formula C mengandung komposisi MES 20 persen, nonyl phenol
ethoxylate 30 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
6,374 x 10-03 dyne/cm dan 7,025 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,01801. Nilai rekapitulasi IFT formula C dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Berdasarkan analisis
keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen
menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang
berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas
dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis
keragaman pada nilai IFT formula C selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 11a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula C pada konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen berbeda dengan nilai
IFT pada konsentrasi pelarutan formula 1 dan 10 persen dan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 1 persen berbeda dengan nilai IFT pada
konsentrasi pelarutan formula 10 persen. Dengan kata lain, nilai IFT pada
setiap taraf faktor konsentrasi pelarutan formula berbeda nyata satu sama lain
dalam. Karena faktor salinitas dan suhu tidak berpengaruh terhadap
perubahan nilai IFT, maka nilai IFT yang dihasilkan oleh setiap taraf pada
faktor perlakuan salinitas dan suhu tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut
dengan metode Duncan dapat diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh
pada faktor perlakuan konsentrasi pelarutan formula 10 persen dengan nilai
IFT 6,374 x 10-03 dyne/cm dan nilai IFT tertinggi diperoleh dengan faktor
perlakuan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen dengan nilai IFT 7,025 x
10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada formula C dengan metode Duncan
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11b.
Pada Gambar 20 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula C. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula C
00.0050.01
0.0150.02
0.0250.03
0.0350.04
0.0450.05
0.0550.06
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
IFT (dyne/cm)
Salinitas 5000 ppm
Salinitas 10.000 ppm
Salinitas 20.000 ppm
Gambar 20. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula C
Keterangan : Komposisi Formula C: MES 20%, NPE 30%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 : Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) K2 : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC K3 : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.3.4. FORMULA D
Formula D mengandung komposisi MES 25 persen, nonyl phenol
ethoxylate 25 persen, air 45 persen dan mutual solvent 5 persen. Hasil
pengukuran tegangan antarmuka (IFT) setelah mendapatkan faktor perlakuan
salinitas dan suhu pada berbagai konsentrasi pelarutan menunjukkan kisaran
6,107 x 10-03 dyne/cm dan 5,822 x 10-02 dyne/cm dengan standar deviasi
0,0158. Nilai rekapitulasi IFT formula D dan analisis statistik deskriptif
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan analisis
keragaman terhadap nilai IFT pada tingkat kepercayaan 95 persen
menunjukkan bahwa hanya faktor konsentrasi pelarutan formula saja yang
berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT, sedangkan faktor salinitas
dan suhu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai IFT. Hasil analisis
keragaman pada nilai IFT formula D selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 13a.
Hasil uji lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa nilai IFT
formula D pada berbeda pada salinitas, suhu dan konsentrasi tertentu. Untuk
faktor salinitas, nilai IFT pada setiap taraf salinitas berbeda nyata satu sama
lain. Artinya nilai IFT pada taraf 5000 ppm berbeda nyata dengan nilai IFT
pada taraf 10.000 ppm dan 20.000 ppm dan nilai IFT pada taraf 10.000 ppm
berbeda nyata dengan taraf 20.000 ppm. Untuk faktor suhu, nilai IFT pada
taraf 25 oC berbeda nyata dengan nilai IFT pada suhu 50 dan 75 oC,
sedangkan nilai IFT pada suhu 25 dan 100 oC tidak berbeda nyata. Untuk
faktor konsentrasi pelarutan formula, nilai IFT pada taraf 0,1 persen berbeda
dengan taraf 1 persen dan 10 persen dan nilai IFT pada taraf 1 persen dan 10
persen tidak berbeda nyata. Dari hasil uji lanjut dengan metode Duncan dapat
diketahui bahwa nilai IFT terendah diperoleh pada faktor perlakuan salinitas
5000 ppm, suhu 75 oC dan konsentrasi pelarutan formula 10 persen yaitu
dengan nilai IFT 6,107 x 10-03 dyne/cm. nilai IFT tertinggi diperoleh pada
faktor perlakuan salinitas 20.000 ppm, suhu 100 oC dan konsentrasi pelarutan
0,1 persen yaitu dengan nilai IFT 5,822 x 10-02 dyne/cm. Hasil uji lanjut pada
formula D dengan metode Duncan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
13b.
Pada Gambar 21 berikut diperlihatkan histogram yang menunjukkan
hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada
berbagai konsentrasi pelarutan Formula D. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa nilai IFT semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin menurun dengan
meningkatnya konsentrasi pelarutan formula. Dalam hal ini, peningkatan nilai
IFT berarti penurunan kinerja formula dalam menurunkan nilai IFT.
IFT Formula D
00.0050.010.0150.020.0250.030.0350.040.0450.050.0550.06
K1T1
K1T2
K1T3
K1T4
K2T1
K2T2
K2T3
K2T4
K3T1
K3T2
K3T3
K3T4
Konsentrasi (K) dan Suhu (T)
IFT (dyne/cm)
Salinitas 5000 ppm
Salinitas 10.000 ppm
Salinitas 20.000 ppm
Gambar 21. Histogram yang menunjukkan hubungan antara salinitas dan suhu terhadap tegangan antarmuka (IFT) pada berbagai konsentrasi pelarutan Formula D
Keterangan : Komposisi Formula D: MES 25%, NPE 25%, air 45% dan mutual solvent 5% K1 : Konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen T1 : Suhu kamar (25 oC) K2 : Konsentrasi pelarutan formula 1 persen T2 : Suhu 50 oC K3 : Konsentrasi pelarutan formula 10 persen T3 : Suhu 75 oC T4 : Suhu 100 oC
4.4. PERBANDINGAN KINERJA SETIAP FORMULA DALAM
MENURUNKAN TEGANGAN ANTARMUKA (IFT)
Kinerja formula yang akan diaplikasikan pada proses surfactant
flooding diukur dari kemampuannya dalam menurunkan tegangan antarmuka
(IFT) minyak-air. Semakin kecil nilai IFT yang dihasilkan oleh formula, maka
semakin tinggi kinerja formula tersebut. Pada penelitian ini, ada empat
macam formula yang diukur nilai IFT nya. Setiap formula tersebut diuji
ketahanannya terhadap faktor perlakuan salinitas dan suhu pada berbagai
tingkat konsentrasi seperti yang telah dipaparkan di atas.
Untuk menentukan formula yang memiliki kinerja terbaik berdasarkan
nilai IFT dari keempat formula tersebut digunakan analisis statistik dengan uji
T yang termasuk ke dalam uji pembedaan. Input yang digunakan untuk
analisis statistik tersebut adalah nilai IFT terendah yang dihasilkan oleh setiap
formula. Hasil rekapitulasi nilai IFT terendah dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rekapitulasi nilai IFT terendah formula agen pendesak
minyak bumi
Nilai IFT Jenis formula
ulangan 1 ulangan 2 rata rata
A 0,00298 0,005261 0,004121
B 0,005741 0,006279 0,00601
C 0,006374 0,009709 0,008042
D 0,006107 0,009625 0,007866
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T diketahui
bahwa semua nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata.
Hasil analisis tatistik menggunakan uji T selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran 14. Oleh karena itu, dapat dkatakan bahwa tidak ada formula
terbaik berdasarkan nilai IFT dalam penelitian ini.
Dari semua pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa formula B dan C
memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap salinitas sampai dengan 20.000
ppm dan suhu sampai dengan 100 oC bila dibandingkan dengan formula A
dan formula D. Dari segi ekonomi, formula C memiliki nilai ekonomis yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan formula B karena mengandung MES 20
persen, sedangkan formula B mengandung 15 persen MES. Selain itu,
penggunaan MES yang lebih besar dalam formula akan mengurangi
penggunaan nonyl phenol ethoxylate yang bersifat toksik bagi lingkungan
sehingga formula C bersifat lebih ramah lingkungan bila dibandingkan
dengan formula B. Maka dari itu, untuk aplikasi di lapangan, formula C
direkomendasikan untuk digunakan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap
faktorial dengan tiga faktor perlakuan (salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan
formula dalam air injeksi) dengan uji lanjut Duncan pada formula agen pendesak
minyak bumi (A, B, C dan D) dapat disimpulkan bahwa pada formula A dan D,
salinitas, suhu dan konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap
perubahan nilai tegangan antarmuka (IFT) yang menjadi parameter kinerja agen
pendesak minyak bumi. Semakin tinggi salinitas dan semakin tinggi suhu maka
kinerja agen pendesak minyak bumi semakin rendah, sedangkan semakin tinggi
konsentrasi pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen
pendesak minyak bumi. Pada formula B dan C, salinitas dan suhu tidak
berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak minyak bumi, akan tetapi
konsentrasi pelarutan formula berpengaruh nyata terhadap kinerja agen pendesak
minyak bumi. Dengan demikian, dapat dikatakan formula B dan C memiliki
ketahanan yang baik terhadap salinitas dan suhu dan emakin tinggi konsentrasi
pelarutan formula yang digunakan maka semakin tinggi kinerja agen pendesak
minyak bumi.
Berdasarkan hasil analisis statistik menggunakan uji T (T test) dapat
disimpulkan bahwa nilai IFT terendah pada setiap formula tidak berbeda nyata.
Formula B dan C memiliki kinerja (berdasarkan nilai IFT) yang sama yaitu tidak
dipengaruhi oleh salinitas dan suhu. Namun demikian, formula C adalah formula
terbaik, karena dari segi ekonomi lebih murah dan dari segi lingkungan lebih
ramah.
5.2. SARAN
Penggunaan konsentrasi pelarutan formula 0,1 persen, 1 persen dan 10
persen masih terlalu besar rentangnya (sepuluh kali lipat), sehingga penelitian
lanjutan menggunakan rentang konsentrasi yang lebih kecil perlu dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ajith, S., A.C. John dan A.R. Rakshit. 1994. Physicochemical Studies of Microemulsions. Pure & Appl. Chem. Vol. 66, No. 3. Great Britain. http://www.iupac.org/publications/pac/1994/pdf/6603x0509.pdf [22 Desember 2005]
Allen, T.O. dan A.P. Roberts. 1993. Production Operations 2: Well
Completions, Work over, and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI). Tulsa, Oklahoma, USA.
Al Manhal. 2005. Boosting Oil Recovery No. 3. The Magazine Explaining the Oil
and Gas Industry. http://www.pdo.co.om/NR/rdonlyres/174DAA4A-D53B-49C9-93BD-D42F5AA9A2E2/0/almanhalIssue32005English.pdf [22 Desember 2005]
Anomim. 2005. Chapter 1: Introduction. http://etd.lsu.edu/docs/available/etd-
1113102-143537/unrestricted/09_INTRO.pdf [22 Desember 2005] Australian Research Council's Research Centres Program. 2005. Uses of Nonionic
Surfactants.http://www.kcpc.usyd.edu.au/discovery/9.5.5/9.5.5nonionic2.html [14 Maret 2005]
Becher, P. 1983. Encyclopedia of Emulsion Technology. Vol 1. Marcel Dekker,
Inc. New York, USA. BPMIGAS. 2005. Laporan Kegiatan BPMIGAS Periode 2002–2004. Jakarta.
http://www.bp migas.com/Laporan.asp [14 Maret 2006] Clark, J. 2004. Dispersant Basics: Mechanism, Chemistry, and Physics of
Dispersants in Oil Spill Response. Exxon Mobil Research and Engineering.http://enviro.nfesc.navy.mil/erb/erb_a/restoration/technologies/remed/physchem/sear/06-sear-surfactant-selection.pdf [20 Maret 2005]
Cox, M. F. dan U. Weerasoriya. 2001. Methyl Ester Ethoxylates. Editor : Floyd E.
Friedli. Marcel Dekker, Inc. USA. Drelich, J., Ch. Fang, dan C.L. White. 2002. Measurement of Interfacial Tension
in Fluid-Fluid Systems. Marcel Dekker, Inc. http://pcserver.iqm.unicamp.br/~wloh/cursos/qf732/m2.pdf [22 Desember 2005]
Foster, N.C. 1997. Sulfonation and Sulfation Processes. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com/papers_brochures/Sulfo_and_ Sulfa.doc.pdf [30 November 2005]
Gardner, J.E. dan M.E. Hayes. 1983. Spinning Drop Interfacial Tensiometer
Instruction Manual. Department of Chemistry. Univ. of Texas, Austin.
Gumbira-Sa’id, E. 2001. Penerapan Manajemen Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Global Produk Agribisnis/Agroindustri Berorientasi Produksi
Berkelanjutan. Orasi Ilmiah Guru Besar Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hackley, V.A. dan C.F. Ferraris. 2001. The Use of Nomenclature in Dispersion
Science and Technology. National Institute of Standards and Technology: Special Publication 960-3. U.S. Government Printing Office, Washington www.nist.gov/public_affairs/practiceguidesember/SP960-3.pdf [17 Maret 2006]
Hambali, E., K. Syamsu., A. Pratomo. 2004. Pemanfaatan Surfaktan Ramah
Lingkungan Dari Minyak Sawit Sebagai Oil Well Stimulation Agent Untuk Meningkatkan Produksi Sumur Minyak Bumi. Proposal Hibah Kompetisi Pengembangan Masyarakat. Departemen Teknologi Industri Pertanian – IPB. Bogor.
Hargreaves, T. 2003. Surfactants: The Ubiquitous Amphiphiles.
http://www.chemsoc.org/help/hargreaves_jul03.htm [12 Desember 2005] Hart, H. 1990. Kimia Organik. Edisi Keenam. Suminar Ahmadi, Penterjemah.
Penerbit Erlangga. Jakarta. Hehuwat, F. 1992. Minyak Bumi di Indonesia. Jurnal No. 2. Puslitbang
Geoteknologi LIPI. Bandung Hidayati, S. 2006. Optimasi Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat dari Minyak
Sawit dan Uji Efektifitasnya untuk Pendesakan Minyak Bumi. Desertasi. FATETA, IPB. Bogor.
http://www.chemicalland21.com/arokorhi/specialtychem/perchem/NONYLPHEN
OL%20ETHOXYLATE.htm [20 Maret 2006] http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_bumi [14 Maret 2006] http://www.glossary.oilfield.slb.com/Display.cfm?Term=mutual%20solvent
[14 Maret 2006] http://www.messina-oilchem.com/Stimulation/Stimulation-MS.html
[14 Maret 2006] http://www.messina-oilchem.com/PDs/OILAID-MS-1%20PD.pdf
[14 Maret 2006] http://www.engr.pitt.edu/chemical/undergrad/lab_manuals/optimal_salinity.pdf
[22 Desember 2005]
http://web.engr.oregonstate.edu/~istokj/pdf/Field%20et%20al.%202000%20JCH.pdf [20 Desember 2005]
http://www.kapanlagi.com/h/0000076314.html [14 Maret 2006] http://www.dprin.go.id [23 Maret 2006] Hovda, K. 2002. The Challenge of Methyl Ester Sulfonation. The Chemithon
Corporation. The Chemiton Corporation. http://www.chemithon.com/ papers_brochures/The_Challengeof_MES.doc.pdf [30 November 2005]
Kucera, F. 2001. Homogeneous and Heterogeneous Sulfonation of Polystyrene.
Short Version of PhD Thesis. BRNO University of Technology. ISSN 1213-4198.
Kusuma, B. W. 2004. Jangan Panik! Produksi Minyak Indonesia Turun dan
Impor Naik. Kompas Edisi Kamis, 08 Juli 2004. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/08/ekonomi/1136701.htm [14 Maret 2006]
Lambent Technologies. 2002. Three Dimensional HLB. Petroferm Company.
www.petroferm.com/lambent/Lambent%20Mini%20CD/PRESENTATIONS/3dhlb.prn.pdf [24 November 2005]
Lakatos-Szabo, J. dan I Lakatos. 2001. Effect of Non-Ionic Surfactant
Homologues on Interfacial Rheological Properties of Oil/Water Systems. Research Institute of Applied Chemistry University of Miskolc, Hungary. http://www.ogbus.com/eng/authors/Lakatos/effectofnon.pdf [24 November 2005]
Lake, L.W., R.L. Schmidt dan P.B. Venuto. 1995. A Niche for Enhanced Oil
Recovery in the 1990’s. http://www.slb.com/media/services/resources/ oilfieldreview/ors92/0192/p55_61.pdf [22 Desember 2005]
Liu, Y, R.B. Grigg, dan R.K. Svec. 2005. O2 Foam Behavior: Influence of
Temperature, Pressure, and Concentration of Surfactant. Abstract SPE 94307. http://baervan.nmt.edu/publications/newpublications/gas/SPE% 2094307.htm [16 Maret 2006]
MacArthur, B.W., B Brooks, W.B. Sheats dan N.C. Foster. 2002. Meeting The
Challenge of Methylester Sulfonation. The Chemiton Corporation. http://www.chemithon.com/papers_brochures/Meeting_the_Challenge.doc.pdf [30 November 2005]
Nummedal, D., B. Towler, C. Mason, dan M. Allen. 2003. Enhanced Oil Recovery in Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming. http://uwadmnweb.uwyo.edu/AcadAffairs/PolicyStatements/ EORfinal.pdf [30 November 2005]
Particle Engineering Research Center. 2005. Surfactants. Univ of Florida.
www.unmc.edu/pharmacy/wwwcourse/p_surfactants_00_files/p_surfactants.ppt [20 November 2005]
Redaksi Warta Pertamina. 2004. Energi Fosil Masih Primadona, Bagaimana, Dong? Warta Pertamina Edisi 4 Januari 2004. http://www.pertamina.com/ indonesia/head_office/hupmas/news/Wpertamina/2004/Januari_04/wp010407.htm [14 Maret 2006]
Sabatini, D.A., R.C. Knox, dan M.J. McInerney. 2005. Evaluation of Sub-micellar
Synthetic Surfactants versus Biosurfactants for Enhanced LNAPL
Recovery. EPA Agreement Number: R83-0633-010. http://ipec.utulsa.edu/31.d/31_Q3.pdf [15 Maret 2005]
Samhadi, S.H. 2006. Ironi Sawit dan Ambisi Nomor Satu Dunia. Kompas edisi
Sabtu, 25 Februari 2006. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/25/Fokus/2462794.htm [14 Maret 2006]
Sampath, R., L.T. Moeti, M.J. Pitts dan D.H. Smith. 1998. Characterization of
Surfactants for Enhanced Oil Recovery. Proceedings. www.netl.doe.gov/publications/proceedings/98/98hbcu/SAMPATH2.PDF [24 November 2005]
Salager, J.L. 2002. Surfactants Types and Uses. Version 2. FIRP Booklet # E300-A: Teaching Aid in Surfactant Science & Engineering in English. Universidad De Los Andes, Mérida-Venezuela. http://www.firp.ula.ve/cuadernos/E300A.pdf [20 Maret 2005]
Schramm, L.L., E.N. Stasiuk, H. Yarranton, B.B. Maini. dan B. Shelfantook.
2002. Temperature Effects in the Conditioning and Flotation of Bitumen from Oil Sands in Terms of Oil Recovery and Physical Properties. Petroleum Society-Canadian Institute Of Mining, Metallurgy & Petroleum. Paper 2002-074. www.ucalgary.ca/~schramm/CIPC_2002_074.pdf [15 Maret 2006]
Schramm, L.L. 2000. Surfactants: Fundamentals and Applications in the
Petroleum Industry. Cambridge University Press. United Kingdom. http://assets.cambridge.org/052164/0679/sample/0521640679wsc00.pdf [30 November 2005}
Sheats, W.B., dan B.W., MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. The
Chemithon Corporation. USA. http://www.chemithon.com/ papers_brochures/MES_Products.doc.pdf [30 November 2005]
Sheats, W.B. dan N.C. Foster. 2002. Concentrated Products from Methyl Ester
Sulfonates. The Chemithon Corporation. http://www.chemithon.com/ papers_brochures/Concentrated_Products.doc.pdf [30 November 2005]
Speight, J. G. 2002. Chemical And Process Design Handbook. McGraw-Hill.
New York. Sudjana. 1982. Disain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito, Bandung.
Suprihatini, R., B. Drajat dan U. Fajar. 2004. Kebijakan Percepatan Pengembangan Industri Hilir Perkebunan: Kasus Teh dan Sawit. http://pse.litbang.deptan.go.id/publikasi/AKP_2_1_2004_4.pdf. [14 Maret 2006]
Syahmani. 2001. Isolasi, Sulfonasi dan Asetilasi Lignin dari Tandan Kosong
Sawit dan Studi Pengaruhnya Terhadap Proses Pelarutan Urea. ITB Central Library. http://library.gunadarma.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-s2-2000-syahmani-1076-urea [4 April 2006]
Taber, J.J., F.D. Martin, dan R.S. Seright. 1997. EOR Screening Criteria
Revisited. Society of Petroleum Engineers. Tulsa, Oklahoma. USA. Technology Assessment Board. 1978. Enhanced Oil Recovery Potential in The
United States. http://govinfo.library.unt.edu/ota/Ota_5/DATA/1978/ 7807.PDF [30 November 2005]
Unisource Canada. 2005. GLOSSARY. Unisource Canada, Inc.
http://www.unisource.ca/upload/tools/facility_supply_glossary_en_g.pdf [30 November 2006]
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit
Sumber :http://www.dprin.go.id
Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit dan
Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3
Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit
Parameter Nilai
Bilangan asam (mg KOH/g) 0,19 Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 1.88 Bilangan Iod (g/100g) 83.20 Densitas (gr/ml) 0.87 Kadar air (%) 0,03 Lovibond colour, 5 ¼ red / yellow 0.2/1.7 Warna, APHA 65 Distribusi asam lemak (%) C16 0.2 C18 10.6 C18/1 75.4 C18/2 13.3 C20 0.5
Sumber : PT. Ecogreeen Oleochemicals (2003) Jika diketahui komposisi asam lemak dalam metil ester berbasis PKO adalah
(%b):
C16 = 0,2%
C18 = 10,6%
C18/1 = 75,4%
C18/2 = 13,3%
C20 = 0,5%
-----------------
100 %
Massa Mol = -------------- BM Basis : 100 g metil ester
Massa C16 = 0,2 % x 100 g = 2 ,0 g BM C16 = 270 g/mol
Massa C18 = 10,6 % x 100 g = 10,6 g BM C18 = 298 g/mol
Massa C18/1 = 75,4 % x 100 g = 75,4 g BM C18/1 = 296 g/mol
Massa C18/2 = 13,3 % x 100 g = 13,3 g BM C C18/2 = 294 g/mol
Massa C20 = 0,5 % x 100 g = 0,5 g BM C20 = 326 g/mol
Lampiran 2. Spesifikasi Metil Ester (ME) Minyak Inti Sawit dan
Perhitungan Mol reaksi antara Metil Ester dan Na-HSO3
(lanjutan)
Mol C16 = (2 g) / (270 g/mol) = 0,0074
Mol C18 = (10,6 g) / (298 g/mol) = 0,0356
Mol C18/1 = (75,4g) / (296 g/mol) = 0,2547
Mol C18/2 = (13,3 g) / (294 g/mol) = 0,0452
Mol C20 = (0,5 g) / (326 g/mol) = 0,0015
-----------
Total Mol = 0,3444
Berat molekul Metil Ester rata-rata = massa : total mol
= 100 g / 0,3444 mol
= 290,36 g/mol
Perbandingan mol Metil Ester dengan reaktan (NaHSO3) yang digunakan
dalam proses sulfonasi adalah 1 : 1,5. Jika Metil Ester yang digunakan sebagai
bahan baku adalah sebanyak 1 liter, maka molnya adalah :
Mol ME = Massa / BM
= (ρ x volume) / BM
= (0,87 g/ml x 1000 ml) / (290,36 g/mol)
= 2,99 mol ~ 3 mol
Perbandingan mol Metil Ester : NaHSO3 = 1 : 1,5
Mol NaHSO3 = 1,5 x 3 = 4,5 mol
BM NaHSO3 = 104 g/mol
Massa NaHSO3 = 4,5 mol x 104 g/mol = 468 g
Jadi setiap 1 L Metil Ester yang digunakan dibutuhkan reaktan NaHSO3 sebanyak
468 g atau setiap 500 ml metil ester yang digunakan dalam reaksi maka
diperlukan 234 Na-HSO3
Lampiran 3a. Karakteristik Minyak Bumi Mentah PT. X
Parameter Nilai
Densitas pada suhu 60 oF (g/cm3) 0,8461
Bilangan Asam (mgKOH/g) 0,09
Titik tuang (oF) 79
Kandungan Aspal (% b/b) 0,83
Kandungan resin (% b/b) 3,03
Kandungan lilin (wax) (% b/b) 25,45
Lampiran 3b. Karakteristik Air Formasi PT. X
Kandungan Kaji-Manfold Injection Water (mg/L)
KS-01 Formation Water (mg/L)
KS-93 Formation Water (mg/L)
Ca2+ 126,1 154,2 229,9 Mg2+ 54,3 44,4 50,8 Na+ 5090,0 3840,0 5620,0 K+ 63,9 55,9 81,4 Cl- 7040,0 5900,0 8040,0 SO4
2- 43,8 59,3 29,6 CO3
2- 0,0 HCO3
- 658,9 754,5 960,2 OH- 0,0 Konsentrasi total
13077,0 10808,3 15011,9
Sumber : PT. X (2006 )
Lampiran 4. Diagram alir pembuatan dan pemurnian Metil Ester Sulfonat
Metil Ester PKO 500 ml
NaHSO3 234 g
Sulfonasi Perbandingan mol metil ester : NaHSO3 = 1 : 1,5
Suhu 1000C, selama 4,5 jam
Penguapan Metanol
70 – 80 0C, 10 menit
Pemurnian Perbandingan volume MES : metanol = 70% : 30%
500C, 1,5 jam
Pengendapan
24 jam
Metil Ester Sulfonat (MES) kasar 400 ml
Disalt, sisa reaktan, dan produk samping
lain
Metil Ester Sulfonat (MES) ½ jadi
Metanol
Kondensasi
Disalt, sisa reaktan, dan produk samping
lain
Metanol
Uap Metanol
Metil Ester Sulfonat (MES)
NaOH 20%
Penetralan
pH 7, 550C, 30 menit
Lampiran 5. Prosedur pengukuran IFT (Gardner dan Hayes, 1983)
Tahapan untuk memperoleh nilai IFT sampel adalah pengukuran densitas
sampel, indeks bias sampel, dan lebar droplet minyak bumi mentah di dalam
larutan sampel. Nilai densitas sampel diukur dengan menggunakan piknometer,
sedangkan nilai indeks bias diukur dengan menggunakan refraktometer. Untuk
lebar droplet minyak bumi mentah diukur menggunakan alat Spinning Drop
Tensiometer. Nilai IFT dihitung dengan menggunakan Persamaan 3. Setiap tahap
dalam pengukuran IFT dijelaskan sebagai berikut.
1. Pengukuran densitas
Mula – mula ditimbang bobot piknometer kosong beserta tutupnya (catat
sebagai a). Kemudian piknometer tersebut diisi sampel sampai penuh.
Piknometer kemudian ditutup rapat, sisa sampel yang tumpah dibersihkan
dan dikeringkan. Selanjutnya piknometer berisi sampel ditimbang
bobotnya (catat sebagai b). Setiap piknometer memiliki kode tertentu dan
volume yang tertera pada bagian luarnya (catat volume sebagai c). Nilai
densitas sampel dihitung menggunakan Persamaan 1.
c
absampel
−=ρ ....................................Persamaan 1
Keterangan :
a = berat piknometer kosong (g)
b = berat piknometer berisi sampel (g)
c = volume piknometer (ml)
2. Pengukuran indeks bias
Prisma pada refraktometer dibilas dengan air demineral (aquades) dan
dilap sampai kering. Kemudian, diatasnya diteteskan sampel yang akan
diukur indeks biasnya. Tutup kaca prisma dengan merapatkan penutupnya
dan geser knop pengatur fokus, sehingga diperoleh garis batas jelas antara
gelap dan terang. Knop lainnya digeser sampai diperoleh garis batas yang
berimpit dengan titik potong dari dua garis bersilangan. Nilai indeks bias
kemudian dibaca (catat sebagai n).
Lampiran 5. Prosedur pengukuran IFT (lanjutan)
3. Pengukuran lebar droplet
Cara kerja Spinning Drop dijelaskan sebagai berikut: pertama, kondisikan
alat spinning drop lebih kurang 15 menit, kemudian atur suhu dan periode
jika diperlukan (catat suhu sebagai T dan perioede sebagai P). Setelah
kondisi yang diinginkan stabil, ke dalam glass tube diisikan sampel.
Jangan sampai terbentuk gelembung udara. Ke dalam glass tube yang
telah berisi sampel, diberi butiran minyak bumi mentah (crude oil).
Butiran minyak harus utuh dan tidak ada gelembung udara. Masukkan
glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube
menghadap ke arah luar. Nyalakan alat dan lampu pada alat. Ketika lebar
butiran minyak terlihat stabil, geserlah pengukur batas butiran. Batas atas
dicatat sebagai x dan batas bawah dicatat sebagai y. Ulangi pembacaan ini
sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan lebar tetesan. Bila
pembacaan kurang jelas aturlah knop yang digunakan untuk mendapatkan
fokus bayangan.
alat konversifaktor ))40(( ×+−= yxd ………Persamaan 2
( )23
326
8
10
Ρ××
×−××=
⋅
η
ρρπ dIFT
oilcrudesampel.....................Persamaan 3
Keterangan :
d = lebar droplet (µm)
x = batas atas droplet (cm)
y = batas bawah droplet (cm)
faktor konversi alat = 0,0025
π = phi (3,142857)
ρsampel = densitas sampel (g/ml)
ρcrude oil = densitas crude oil = 0,942 g/ml
η = indeks bias sampel
P = periode (msec/putaran)
Lampiran 6. Rekapitulasi data IFT formula A (dalam satuan dyne/cm)
suhu (C) Faktor perlakuan
25 50 75 100
Konsentrasi
Pelarutan
Formula (%)
Salinitas Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata Ulangan1 Ulangan2 Rata-rata
5000 0,016781 0,020641 0,018711 0,022474 0,039152 0,030813 0,030345 0,029127 0,029736 0,031237 0,036472 0,033854
10000 0,023787 0,026193 0,02499 0,034697 0,033182 0,033939 0,030774 0,039496 0,035135 0,038073 0,036886 0,037479 0,1
20000 0,032317 0,032317 0,032317 0,035093 0,032805 0,033949 0,037185 0,032878 0,035032 0,043643 0,033916 0,038779
5000 0,005162 0,012082 0,008622 0,012812 0,012812 0,012812 0,016767 0,010958 0,013863 0,012061 0,012061 0,012061
10000 0,011942 0,011039 0,011491 0,014354 0,012099 0,013227 0,012338 0,01309 0,012714 0,013223 0,012201 0,012712 1
20000 0,015174 0,009526 0,01235 0,014063 0,014063 0,014063 0,014229 0,009806 0,012018 0,013421 0,013421 0,013421
5000 0,00298 0,005261 0,004121 0,005697 0,004484 0,00509 0,003885 0,004931 0,004408 0,005067 0,004787 0,004927
10000 0,003901 0,004587 0,004244 0,005812 0,004305 0,005059 0,005416 0,004781 0,005098 0,005573 0,004255 0,004914 10
20000 0,003935 0,004714 0,004325 0,006168 0,004126 0,005147 0,004762 0,004026 0,004394 0,005729 0,004206 0,004968
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858
SUHU 72 25 100 62,50 28,147 IFT 72 0,002980 0,043643 0,01641055 0,012219534
Valid N (listwise) 72
Lampiran 7a. Analisis Keragaman Formula A
Analysis of Variance Table Source Term
DF Sum of Squares
Mean Square
F-Ratio Prob Level
Power (Alpha=0,05)
A: Salinitas 2 8,81E-05 4,41E-05 4,62 0,016390* 0,74471 B: Suhu 3 2,23E-04 7,44E-05 7,8 0,000388* 0,980402 AB 6 4,43E-05 7,38E-06 0,77 0,596129 0,265175 C: Konsentrasi 2 9,53E-03 4,77E-03 499,64 0,000000* 1 AC 4 1,07E-04 2,68E-05 2,81 0,039904* 0,708578 BC 6 2,16E-04 3,60E-05 3,77 0,005158* 0,927475 ABC 12 4,62E-05 3,85E-06 0,4 0,952867 0,185988
S 36 3,43E-04 9,54E-06 Total (Adjusted) 71 1,06E-02 Total 72
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat
pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 7b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula A
Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=9,540232E-06 Term A: Salinitas Group Count Mean Different From Groups 5000 24 1,49E-02 10000, 20000 10000 24 1,68E-02 5000 20000 24 1,76E-02 5000 Term B: Suhu Group Count Mean Different From Groups 25 18 1,35E-02 75, 50, 100 75 18 1,69E-02 25 50 18 1,71E-02 25 100 18 1,81E-02 25 Term C: Konsentrasi Group Count Mean Different From Groups 10 24 4,72E-03 1, 0,1 1 24 1,24E-02 10, 0,1 0,1 24 0,0320612 10, 1
Lampiran 8. Rekapitulasi data IFT formula B (dalam satuan dyne/cm)
suhu (C) Faktor perlakuan
25 50 75 100
Konsentrasi
Pelarutan
Formula (%)
Salinitas ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata
5000 0,034874 0,035105 0,034989 0,045147 0,027661 0,036404 0,043173 0,025943 0,034558 0,044273 0,044273 0,044273
10000 0,037975 0,037975 0,037975 0,045705 0,037396 0,04155 0,074886 0,026791 0,050838 0,046198 0,046198 0,046198 0,1
20000 0,045382 0,038964 0,042173 0,047317 0,03826 0,042788 0,061407 0,038441 0,049924 0,061909 0,037827 0,049868
5000 0,02061 0,02061 0,02061 0,015864 0,018686 0,017275 0,021047 0,019155 0,020101 0,020153 0,020153 0,020153
10000 0,017462 0,017462 0,017462 0,020757 0,019987 0,020372 0,022625 0,020604 0,021614 0,023236 0,020467 0,021851 1
20000 0,020505 0,017879 0,019192 0,020451 0,020451 0,020451 0,023367 0,011894 0,017631 0,024993 0,024993 0,024993
5000 0,006355 0,007522 0,006938 0,007435 0,007435 0,007435 0,0064 0,008261 0,00733 0,006094 0,006094 0,006094
10000 0,006442 0,008057 0,007249 0,006942 0,007741 0,007342 0,006209 0,007336 0,006772 0,006816 0,005741 0,006279 10
20000 0,00913 0,006892 0,008011 0,007239 0,007239 0,007239 0,006847 0,006451 0,006649 0,006663 0,007131 0,006897
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858 SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,005741 0,074886 0,02326340 0,016194339
Valid N (listwise) 72
Lampiran 9a. Analisis Keragaman Formula B
Analysis of Variance Table
Source Term
DF Sum of Squares
Mean Square
F-Ratio Prob Level
Power (Alpha=0,05)
A: Salinitas 2 1,41E-04 7,06E-05 1,16 0,326108 0,237809 B: Suhu 3 1,39E-04 4,62E-05 0,76 0,525169 0,195741 AB 6 6,21E-05 1,04E-05 0,17 0,983283 0,087075 C: Konsentrasi 2 0,0155664 7,78E-03 127,54 0,000000* 1 AC 4 1,89E-04 4,74E-05 0,78 0,548041 0,224199 BC 6 1,87E-04 3,12E-05 0,51 0,795344 0,181452 ABC 12 1,38E-04 1,15E-05 0,19 0,998201 0,104202
S 36 2,20E-03 6,10E-05 Total (Adjusted) 71 1,86E-02 Total 72
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat
pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 9b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula B
Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=6,102484E-05 Term A: Salinitas Group Count Mean Different From Groups 5000 24 2,13E-02 10000 24 0,023792 20000 24 2,47E-02 Term B: Suhu Group Count Mean Different From Groups 25 18 2,16E-02 50 18 2,23E-02 75 18 2,39E-02 100 18 2,52E-02 Term C: Konsentrasi Group Count Mean Different From Groups 10 24 7,02E-03 1, 0,1 1 24 2,01E-02 10, 0,1 0,1 24 0,0426283 10, 1
Lampiran 10. Rekapitulasi data IFT formula C (dalam satuan dyne/cm)
suhu (C) Faktor perlakuan
25 50 75 100
Konsentrasi
Pelarutan
Formula (%)
Salinitas ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata
5000 0,039707 0,041771 0,040739 0,052063 0,039356 0,04571 0,062696 0,040802 0,051749 0,054776 0,038012 0,046394
10000 0,041615 0,042185 0,0419 0,070258 0,040648 0,055453 0,063616 0,034488 0,049052 0,056923 0,036425 0,046674 0,1
20000 0,064905 0,044014 0,054459 0,056712 0,056712 0,056712 0,061848 0,043126 0,052487 0,047816 0,047816 0,047816
5000 0,033845 0,033845 0,033845 0,028158 0,031211 0,029685 0,023859 0,02814 0,025999 0,030999 0,029467 0,030233
10000 0,026713 0,033727 0,03022 0,023778 0,035368 0,029573 0,01764 0,0337 0,02567 0,028764 0,030195 0,029479 1
20000 0,031918 0,027324 0,029621 0,024342 0,026863 0,025602 0,025794 0,027598 0,026696 0,023233 0,025418 0,024325
5000 0,006573 0,006573 0,006573 0,007705 0,007705 0,007705 0,00674 0,009659 0,008199 0,008384 0,008384 0,008384
10000 0,006993 0,008572 0,007782 0,007423 0,008802 0,008113 0,006953 0,009665 0,008309 0,008375 0,008703 0,008539 10
20000 0,008813 0,008813 0,008813 0,008809 0,008809 0,008809 0,006374 0,009709 0,008041 0,008019 0,009945 0,008982
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858 SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,006374 0,070258 0,02856506 0,018016165
Valid N (listwise) 72
Lampiran 11a. Analisis Keragaman Formula C
Analysis of Variance Table Source Term
DF Sum of Squares
Mean Square
F-Ratio Prob Level
Power (Alpha=0,05)
A: Salinitas 2 2,55E-05 1,28E-05 0,21 0,812643 0,080077 B: Suhu 3 3,45E-05 1,15E-05 0,19 0,90375 0,081644 AB 6 9,29E-05 1,55E-05 0,25 0,954765 0,107955 C: Konsentrasi 2 2,01E-02 1,00E-02 164,2 0,000000* 1 AC 4 2,14E-04 5,35E-05 0,87 0,488896 0,249903
BC 6 2,43E-04 4,06E-05 0,66 0,679517 0,229169 ABC 12 1,51E-04 1,26E-05 0,21 0,997242 0,110209
S 36 2,20E-03 6,12E-05 Total (Adjusted) 71 2,30E-02 Total 72
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat
pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 11b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula C
Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=6,115167E-05 Term A: Salinitas Group Count Mean Different From Groups 5000 24 2,79E-02 10000 24 2,84E-02 20000 24 2,94E-02 Term B: Suhu Group Count Mean Different From Groups 100 18 2,79E-02 25 18 2,82E-02 75 18 2,85E-02 50 18 2,97E-02 Term C: Konsentrasi Group Count Mean Different From Groups 10 24 8,19E-03 1, 0,1 1 24 2,84E-02 10, 0,1 0,1 24 4,91E-02 10, 1
Lampiran 12. Rekapitulasi data IFT formula D (dalam satuan dyne/cm)
suhu (C) Faktor perlakuan
25 50 75 100
Konsentrasi
Pelarutan
Formula (%)
Salinitas ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata ulangan1 ulangan2 rata-rata
5000 0,038193 0,041061 0,039627 0,037944 0,037944 0,037944 0,041614 0,046132 0,043873 0,041722 0,041722 0,041722
10000 0,045454 0,045454 0,045454 0,043573 0,045974 0,044774 0,039101 0,044723 0,041912 0,058226 0,051631 0,054929 0,1
20000 0,051719 0,051719 0,051719 0,044879 0,050045 0,047462 0,055641 0,048503 0,052072 0,057129 0,057129 0,057129
5000 0,034106 0,034106 0,034106 0,02845 0,034174 0,031312 0,031335 0,033319 0,032327 0,033454 0,032458 0,032956
10000 0,035061 0,035061 0,035061 0,028999 0,033916 0,031457 0,024415 0,032295 0,028355 0,028481 0,031782 0,030131 1
20000 0,033305 0,035857 0,034581 0,033293 0,032948 0,03312 0,027891 0,02887 0,028381 0,027923 0,031585 0,029754
5000 0,008446 0,010596 0,009521 0,008768 0,008768 0,008768 0,008548 0,011786 0,010167 0,010381 0,010381 0,010381
10000 0,008076 0,011569 0,009823 0,008989 0,008989 0,008989 0,008641 0,011343 0,009992 0,01046 0,010669 0,010565 10
20000 0,010984 0,009978 0,010481 0,008723 0,009225 0,008974 0,006107 0,009625 0,007866 0,010025 0,010025 0,010025
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSENTRASI 72 0,1 10,0 3,700 4,5013
SALINITAS 72 5000 20000 11666,67 6279,858 SUHU 72 25 100 62,50 28,147
IFT 72 0,006107 0,058226 0,02932524 0,015807826
Valid N (listwise) 72
Lampiran 13a. Analisis Keragaman Formula D
Tabel Analysis of Variance Table Source Term
DF Sum of Squares
Mean Square
F-Ratio Prob Level
Power (Alpha=0,05)
A: Salinitas 2 1,26E-04 6,29E-05 11,58 0,000131* 0,989604 B: Suhu 3 9,62E-05 3,21E-05 5,9 0,002207* 0,931843 AB 6 6,03E-05 1,01E-05 1,85 0,116831 0,610531 C: Konsentrasi 2 1,66E-02 8,29E-03 1525,24 0,000000* 1 AC 4 3,96E-04 9,91E-05 18,23 0,000000* 1 BC 6 1,89E-04 3,15E-05 5,8 0,000264* 0,992452 ABC 12 1,00E-04 8,33E-06 1,53 0,15761 0,690453
S 36 1,96E-04 5,43E-06 Total (Adjusted) 71 0,017742 Total 72
* Term significant at alpha = 0.05 Catatan : Jika Prob level kurang dari 0,05, maka faktor perlakuan yang terdapat
pada kolom Source Term berpengaruh nyata pada variabel respon.
Lampiran 13b. Hasil uji lanjut dengan metode Duncan pada formula D
Duncan's Multiple-Comparison Test Response: IFT Alpha=0,050 Error Term=S(ABC) DF=36 MSE=5,434715E-06 Term A: Salinitas Group Count Mean Different From Groups 5000 24 2,77E-02 10000, 20000 10000 24 2,93E-02 5000, 20000 20000 24 3,10E-02 5000, 10000 Term B: Suhu Group Count Mean Different From Groups 25 18 3,00E-02 50, 75 50 18 2,81E-02 25, 100 75 18 2,83E-02 25, 100 100 18 3,08E-02 50, 75 Term C: Konsentrasi Group Count Mean Different From Groups 0,1 24 4,66E-02 10, 1 1 24 3,18E-02 10, 0,1 10 24 9,63E-03 1, 0,1
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T
Uji T formula A dengan formula B
Two-Sample Test Report
Descriptive Statistics Section
Variable Count Mean Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Formula_A 2 0.0041205 1.61E-03 0.0011405 -1.04E-02 1.86E-02 Formula_B 2 0.00601 3.80E-04 0.000269 2.59E-03 9.43E-03 Note: T-alpha (Formula_A) = 12.7062, T-alpha (Formula_B) = 12.7062
Confidence-Limits of Difference Section
Variance
Assumption
DF Mean
Difference
Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Equal 2 -0.0018895 1.17E-03 1.17E-03 -6.93E-03 3.15E-03 Unequal 1.11 -0.0018895 1.66E-03 1.17E-03 -1.37E-02 9.91E-03 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 10.0677 Tests of Assumptions Section
Assumption Value Probability Decision(5%)
Skewness Normality (Formula_A) 0 Kurtosis Normality (Formula_A) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_A) Skewness Normality (Formula_B) 0 Kurtosis Normality (Formula_B) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_B) Variance-Ratio Equal-Variance Test 17.9757 0.294918 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section
Alternative
Hypothesis
T-Value Prob Level Decision -5% Power
(Alpha=.05)
Power
(Alpha=.01)
Difference <> 0 -1.6125 0.248184 Accept Ho 0.163098 0.035284 Difference < 0 -1.6125 0.124092 Accept Ho 0.295124 0.068829 Difference > 0 -1.6125 0.875908 Accept Ho 0.001857 0.000347 Difference: (Formula_A)-(Formula_B) Catatan : Hypothesis Ho: µform A -µform B =0, nilai rata-rata formula A dan formula B tidak berbeda
secara statistik Ha: µform A -µform B ≠0, nilai rata-rata formula A dan formula B berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis dengan uji T (lanjutan)
Uji T formula A dengan formula C
Two-Sample Test Report
Descriptive Statistics Section
Variable Count Mean Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Formula_A 2 0.0041205 1.61E-03 0.0011405 -1.04E-02 1.86E-02 Formula_C 2 0.0080415 2.36E-03 0.0016675 -0.0131461 0.0292291 Note: T-alpha (Formula_A) = 12.7062, T-alpha (Formula_C) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section
Variance
Assumption
DF Mean
Difference
Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Equal 2 -0.003921 2.02E-03 2.02E-03 -1.26E-02 4.77E-03 Unequal 1.77 -0.003921 2.86E-03 2.02E-03 -1.38E-02 5.96E-03 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 4.8929 Tests of Assumptions Section
Assumption Value Probability Decision(5%)
Skewness Normality (Formula_A) 0 Kurtosis Normality (Formula_A) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_A) Skewness Normality (Formula_C) 0 Kurtosis Normality (Formula_C) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_C) Variance-Ratio Equal-Variance Test 2.1377 0.763789 Cannot reject equal variances Equal-Variance T-Test Section
Alternative
Hypothesis
T-
Value
Prob
Level
Decision -
5%
Power
(Alpha=
.05)
Power
(Alpha=.01
)
Difference <> 0 -1.9409 0.191793 Accept Ho 0.209377 0.04642 Difference < 0 -1.9409 0.095896 Accept Ho 0.369995 0.090296 Difference > 0 -1.9409 0.904104 Accept Ho 0.000755 0.00014 Difference: (Formula_A)-(Formula_C) Catatan : Hypothesis Ho: µform A -µform C =0, nilai rata-rata formula A dan formula C tidak berbeda
secara statistik Ha: µform A -µform C ≠0, nilai rata-rata formula A dan formula C berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Uji T formula A dengan formula D
Two-Sample Test Report
Descriptive Statistics Section
Variable Count Mean Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Formula_A 2 0.0041205 1.61E-03 0.0011405 -1.04E-02 1.86E-02 Formula_D 2 0.007866 2.49E-03 0.001759 -1.45E-02 3.02E-02 Note: T-alpha (Formula_A) = 12.7062, T-alpha (Formula_D) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section
Variance
Assumption
DF Mean
Difference
Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Equal 2 -0.0037455 2.10E-03 2.10E-03 -1.28E-02 5.27E-03 Unequal 1.71 -0.0037455 2.96E-03 2.10E-03 -1.44E-02 6.88E-03 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 5.0677 Tests of Assumptions Section
Assumption Value Probability Decision(5%)
Skewness Normality (Formula_A) 0 Kurtosis Normality (Formula_A) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_A) Skewness Normality (Formula_D) 0 Kurtosis Normality (Formula_D) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_D) Variance-Ratio Equal-Variance Test 2.3787 0.732412 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section
Alternative
Hypothesis
T-Value Prob
Level
Decision -5% Power
(Alpha=.05)
Power
(Alpha=.01)
Difference <> 0 -1.7866 0.215908 Accept Ho 0.186906 0.04095 Difference < 0 -1.7866 0.107954 Accept Ho 0.334264 0.079807 Difference > 0 -1.7866 0.892046 Accept Ho 0.001164 0.000216 Difference: (Formula_A)-(Formula_D) Catatan :
Hypothesis Ho: µform A -µform D =0, nilai rata-rata formula A dan formula D tidak berbeda
secara statistik Ha: µform A -µform D ≠0, nilai rata-rata formula A dan formula D berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Uji T formula B dengan formula C
Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section
Variable Count Mean Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Formula_B 2 0.00601 3.80E-04 0.000269 2.59E-03 9.43E-03 Formula_C 2 0.0080415 2.36E-03 0.0016675 -0.0131461 0.0292291 Note: T-alpha (Formula_B) = 12.7062, T-alpha (Formula_C) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section
Variance
Assumption
DF Mean
Difference
Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Equal 2 -0.0020315 1.69E-03 1.69E-03 -9.30E-03 5.24E-03 Unequal 1.05 -0.0020315 2.39E-03 1.69E-03 -2.11E-02 1.71E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 11.3137 Tests of Assumptions Section
Assumption Value Probability Decision(5%)
Skewness Normality (Formula_B) 0 Kurtosis Normality (Formula_B) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_B) Skewness Normality (Formula_C) 0 Kurtosis Normality (Formula_C) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_C) Variance-Ratio Equal-Variance Test 38.4262 0.203644 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section
Alternative
Hypothesis
T-Value Prob Level Decision -5% Power
(Alpha=.05)
Power
(Alpha=.01)
Difference <> 0 -1.2027 0.352145 Accept Ho 0.114687 0.024148 Difference < 0 -1.2027 0.176073 Accept Ho 0.21047 0.046709 Difference > 0 -1.2027 0.823927 Accept Ho 0.005091 0.000962 Difference: (Formula_B)-(Formula_C) Catatan :
Hypothesis Ho: µform B -µform C =0, nilai rata-rata formula B dan formula C tidak berbeda secara
statistik Ha: µform B -µform C ≠0, nilai rata-rata formula B dan formula C berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Uji T formula B dengan formula D
Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section
Variable Count Mean Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Formula_B 2 0.00601 3.80E-04 0.000269 2.59E-03 9.43E-03 Formula_D 2 0.007866 2.49E-03 0.001759 -1.45E-02 3.02E-02 Note: T-alpha (Formula_B) = 12.7062, T-alpha (Formula_D) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section
Variance
Assumption
DF Mean
Difference
Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Equal 2 -0.001856 1.78E-03 1.78E-03 -9.51E-03 5.80E-03 Unequal 1.05 -0.001856 2.52E-03 1.78E-03 -2.22E-02 1.85E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 11.4406 Tests of Assumptions Section
Assumption Value Probability Decision(5%)
Skewness Normality (Formula_B) 0 Kurtosis Normality (Formula_B) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_B) Skewness Normality (Formula_D) 0 Kurtosis Normality (Formula_D) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_D) Variance-Ratio Equal-Variance Test 42.759 0.193217 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section
Alternative
Hypothesis
T-Value Prob Level Decision -5% Power
(Alpha=.05)
Power
(Alpha=.01)
Difference <> 0 -1.043 0.406444 Accept Ho 0.09907 0.020658 Difference < 0 -1.043 0.203222 Accept Ho 0.181073 0.039497 Difference > 0 -1.043 0.796778 Accept Ho 0.007296 0.001386 Difference: (Formula_B)-(Formula_D) Catatan :
Hypothesis Ho: µform B -µform D =0, nilai rata-rata formula B dan formula D tidak berbeda
secara statistik Ha: µform B -µform D ≠0, nilai rata-rata formula B dan formula D berbeda secara
statistik
Lampiran 14 . Hasil analisis uji T (lanjutan)
Uji T formula C dengan formula D
Two-Sample Test Report Descriptive Statistics Section
Variable Count Mean Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Formula_C 2 0.0080415 2.36E-03 0.0016675 -0.0131461 0.0292291 Formula_D 2 0.007866 2.49E-03 0.001759 -1.45E-02 3.02E-02 Note: T-alpha (Formula_C) = 12.7062, T-alpha (Formula_D) = 12.7062 Confidence-Limits of Difference Section
Variance
Assumption
DF Mean
Difference
Standard
Deviation
Standard
Error
95% LCL
of Mean
95% UCL
of Mean
Equal 2 0.0001755 2.42E-03 2.42E-03 -1.03E-02 1.06E-02 Unequal 1.99 0.0001755 3.43E-03 2.42E-03 -1.03E-02 1.06E-02 Note: T-alpha (Equal) = 4.3027, T-alpha (Unequal) = 4.3144 Tests of Assumptions Section
Assumption Value Probability Decision(5%)
Skewness Normality (Formula_C) 0 Kurtosis Normality (Formula_C) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_C) Skewness Normality (Formula_D) 0 Kurtosis Normality (Formula_D) 1 Cannot reject normality Omnibus Normality (Formula_D) Variance-Ratio Equal-Variance Test 1.1128 0.966008 Cannot reject equal variances Modified-Levene Equal-Variance Test Equal-Variance T-Test Section
Alternative
Hypothesis
T-Value Prob
Level
Decision -5% Power
(Alpha=.05)
Power
(Alpha=.01)
Difference <> 0 0.0724 0.948867 Accept Ho 0.050243 0.010052 Difference < 0 0.0724 0.525567 Accept Ho 0.044733 0.008906 Difference > 0 0.0724 0.474433 Accept Ho 0.055716 0.011196 Difference: (Formula_C)-(Formula_D) Catatan :
Hypothesis Ho: µform C -µform D =0, nilai rata-rata formula C dan formula D tidak berbeda
secara statistik Ha: µform C -µform D ≠0, nilai rata-rata formula C dan formula D berbeda secara
statistik