Upload
trinhdan
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KAUM TERTINDAS PERSPEKTIF FARID ESACK
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Dea Fauziah
NIM. 11140340000032
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
v
ABSTRAK
Dea Fauziah
Kaum Tertindas Perspektif Farid Esack
Kajian ini mendiskusikan tentang terminologi kaum tertindas perspektif
Farid Esack yang ia rujuk dari bahasa al-Qurˋân dan solusi yang ditawarkan Esack
untuk menghapuskan segala macam bentuk penindasan, diskriminasi, kemiskinan,
ketertindasan, dan menghapuskan hadirnya kaum tertindas. Dalam mendiskusikan
fokus kajian di atas, penulis membahas juga di dalamnya kaum tertindas dalam al-
Qurˋân dan karya tafsir. Hal ini menjadi sangat penting untuk dibahas, agar dapat
memperkaya penafsiran dan menunjukan apa yang berbeda dari setiap mufassir.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library
research). Setelah data terkumpul penulis kemudian mengklasifikasikan ke dalam
dua sumber: primer dan sekunder. Adapun pembahasan dalam skripsi ini
menggunakan metode deskriptif-analisis.
Dapat disimpulkan bahwa Esack secara konsisten berpegang teguh kepada
al-Qurˋân sebagai sumber utama ketika menunjuk kelas sosial yang rendah dan
miskin. Terminologi kaum tertindas dalam al-Qurˋân perspektif Farid Esack
meliputi empat lafal yang seluruhnya Esack rujuk dari ayat al-Qurˋân, yaitu
mustaḏ‘afûn (orang-orang lemah), arâdzîl (orang-orang tersisih), fuqarâ’ (orang-
orang faqir), dan masâkîn (orang-orang miskin). Kemudian solusi yang
ditawarkan Farid Esack untuk menghilangkan/ membebaskan kaum tertindas
terbagi kepada dua yaitu solusi praktis dan solusi metodologis. Adapun solusi
praktis untuk membebaskan kaum tertindas yaitu berlaku adil, hijrah
(meninggalkan daerah di mana kita mendapatkan perilaku penindasan), jihad
(perjuangan untuk mengubah keadaan/ kaum), larangan praktik riba dan rentenir,
dan perintah sadaqah. Dengan demikian akan tercapailah kesetaraan sesama
manusia dan akan terwujud kehidupan yang penuh dengan kedamaian. Esack juga
menawarkan solusi lain, yaitu solusi metodologis. Solusi metodologisnya adalah
hermeneutika yang berfungsi untuk mendialektikakan antara teks kitab suci
dengan pengalaman kemanusiaan. Esack berupaya membumikan al-Qurˋân
sebagai kitab suci yang mampu menyelesaikan persoalan realitas. Hermeneutika
yang berfungsi untuk praktik pembebasan yang mengarahkan pada pembacaan
kitab suci yang progresif, Esack memberikan formulasi terbaik untuk
menghapuskan keberadaan kaum tertindas yang ia sebut dengan tafsir liberatif.
Kata kunci: Kaum Tertindas, Farid Esack, Tafsir Liberatif.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan kemampuan kepada
penulis, sehingga berkat kasih dan sayangnya penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Adapun skripsi ini berjudul “KAUM TERTINDAS
PERSPEKTIF FARID ESACK”, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk
memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Agama di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan
tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mendoakan, sekaligus
membersamai penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M. Ag., selaku dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf
pembantudekan.
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir juga Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
4. Dr. Yusuf Rahman, M.A. selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi,
penulis haturkan terima kasih atas waktu, dorongan agar selalu semangat
menyelesaikan skripsi, dan arahannya sehingga penulis mampu mentuntaskan
tugas akhir ini.
5. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa
mengurangi rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
yang ikhlas, tulus dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang
berakhlak mulia dan berintelektual.
vii
6. Kedua orang tua saya, yakni ayahanda Muhtar Saleh dan Ibunda Yanti
Hendrayanti yang telah memberi dukungan baik moril maupun materiil,
sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan Strata 1, semoga saya
mampu mempertanggung jawabkan keilmuan ini dengan baik. Tanpa do’a dan
dukungan dari keduanya maka penulis tidak akan mendapatkan hasil yang
maksimal.
7. Kakak-kakak dan adik-adik yaitu A Adi Abdurrahman, A M. Shofwan Abdul
Aziz, Ka Febi Fauziah, Githa Fauziyah, Fathia Husnul Khotimah, dan
Salsabila Nurul Walidain. Terima kasih atas doa, pengingat, dan dorongannya
untuk penulis selalu semangat menyelesaikan skripsi ini, semoga kita semua
bisa menjadi anak-anak yang membanggakan bagi orang tua kita iya.
8. Teman-teman seperjuangan Tafsir Hadis A, dan Tafsir Hadis 2014, khususnya
Nike Nilasari, Khanifatur Rahma, Rifqoh Qudsiah, Millatie Mustaqiemah,
Asywar Saleh, Iva Rustiana, Noval Aldiana Putra yang telah membantu
penulis dalam proses penyelesaian tugas akhir. Penulis haturkan terima kasih
atas kebersamaannya hingga hari ini, semoga kita semua menjadi sarjanawan
yang bermanfaat bagi orang banyak.
9. Teman KKN SEREMPAK khususnya Luthfia Fajriaty dan Reza Mardhani,
terima kasih atas support, doa, dan kebersamaannya. Semoga kita semua
kedepannya bisa sukses di dunia dan akhirat.
10. Teman main penulis yang selalu bisa diajak jalan ketika penulis merasa malas
dalam menyelesaikan skripsi: Mahfudloh, Mulky Izzati Rahman, Ambar
Rukmini, Moch. Fauzi Agus Tini, Fikri Fadhil Fauzan, dan yang lainnya.
Terima kasih sudah membuat penulis kembali semangat setelah bertemu
kalian, kedepannya semoga tali pertemanan kita selalu terjaga.
11. Adik-adik kenalanku Susi Sulastri, Dian Ashri Maulidiyah, Moch. Bambang,
Shofi Hidayatullah, Hanifa dan adik-adik yang lainnya. Terima kasih untuk
doa dan supportnya, semoga kalian dilancarkan iya untuk kuliahnya.
12. Teman, kerabat, dan orang-orang yang kenal dengan penulis yang secara tidak
langsung mendoakan dan memberikan dukungan untuk penulis, semoga kita
selalu saling menjaga melalui doa-doa terbaik yang dipanjatkan satu sama lain
iya.
viii
13. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan, baik secara langsung
maupun tidak, tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan terima
kasih yang sebanyak-banyaknya karena sudah membantu pengerjaan skripsi
ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah di
lakukan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, bahkan kesalahan dan kekeliruan dalam penelitian ini memungkinkan
untuk terjadi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun agar penulisan karya ilmiah ke depannya menjadi lebih baik.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk para pembaca dan
memunculkan dorongan untuk penelitian lain yang berkaitan dengan judul skripsi
ini.
Âmîn yâ Rabb al-‘Âlamîn.
Ciputat, Oktober 2018
Dea Fauziah
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 4
D. Kajian Pustaka ........................................................................................... 5
E. Metode Penelitian...................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 11
BAB II KAUM TERTINDAS DALAM AL-QURˋÂN DAN KARYA TAFS IR
A. Kaum Tertindas dalam Al-Qurˋân ............................................................ 13
B. Penafsiran Ayat-Ayat Kaum Tertindas dalam Karya Tafsir ..................... 16
1. Tafsir Jâmi‘ al-Bayân ‘an Taˋwîl Âyi Al-Qurˋân Karya Al-Ṯabarî .... 18
2. Tafsir Fî Ẕilāl Al-Qur’ān karya Sayyid Quṯb ..................................... 24
3. Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab ....................................... 30
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FARID ESACK
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Farid Esack ............................................. 36
B. Karya dan Pemikiran Farid Esack ............................................................. 40
C. Latar Belakang dan Sosio-kultural Farid Esack ........................................ 44
D. Farid Esack Saat ini ................................................................................... 48
BAB IV KAUM TERTINDAS PERSPEKTIF FARID ESACK
x
A. Terminologi Kaum Tertindas Menurut Farid Esack ................................. 49
1. Mustaḏ‘afûn (Orang-Orang Tertindas) ............................................... 50
2. Arâdzîl (Orang-Orang Tersisih) .......................................................... 53
3. Fuqarâ’ (Orang-Orang Faqir) ............................................................. 54
4. Masâkîn (Orang-Orang Miskin) .......................................................... 56
B. Solusi Pembebasan Ala Farid Esack ......................................................... 57
1. Solusi Metodologis: Hermeneutika Al-Qurˋân “Tafsir Liberatif Farid
Esack” ................................................................................................. 58
2. Solusi Praktis Farid Esack untuk Membebaskan yang Tertindas ....... 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 72
B. Saran ......................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama, sesuai dengan Surat Keputusan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta nomor 507 tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
xii
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
xiii
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ـ
i Kasrah ـ
u Dammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـ ai a dan i
و ـ au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dan garis di atas ـا
î i dan garis di atas ـي
û u dan garis di atas ـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf
kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
xiv
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak
ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
xv
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية
اهللأشهد أن ال إله إال Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم اهلل
Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qurˋân menurut umat Islam, merupakan mukjizat Islam yang kekal dan
selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Qurˋân diturunkan oleh
Allah swt kepada Rasulullah saw untuk mengeluarkan manusia dari keadaan gelap
menuju yang terang serta membimbing manusia ke jalan yang benar.1 Karena
kitab suci merupakan firman Tuhan, maka pemeluk agama membaca, memahami,
dan memperlakukan kitab suci agamanya berbeda dengan kitab-kitab atau teks-
teks yang lain. Al-Qurˋân sebagai firman Allah, umat Islam meyakini bahwa
membacanya termasuk ibadah dan menghormati al-Qurˋân sebagai suatu
kewajiban.2
Al-Qurˋân juga pada prinsipnya adalah wahyu yang bersifat progresif.
Ditunjukan dengan teks yang senantiasa berdialog dengan konteks ajaran dan nilai
keagamaan yang dapat menjawab masalah kongkret di sekitar kehidupan manusia,
baik masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang. Sebagai kitab petunjuk
umat manusia, al-Qurˋân didakwa memiliki universalitas makna yang melampaui
zamannya. Al-Qurˋân diturunkan dalam rentan waktu kurang lebih 23 tahun, al-
Qurˋân mengisyaratkan adanya pesan-pesan progresif yang mengikuti ruang dan
waktunya.3
Permasalahan-permasalahan umat Islam masa kontemporer makin kompleks
seiring dengan canggihnya penalaran manusia yang semakin matang. Sungguh
disesalkan ketika kecerdasan tidak diimbangi dengan etika moral, yang terjadi
adalah merebaknya ragam-ragam tirani, sikap tidak adil, dan dehumanisasi.
Kebangkrutan etika moral abad 21 ditandai dengan dominasi penguasa korup,
bandit-bandit ekonomi, candu popularitas, neokolonilaisme, munculnya sebuah
1Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‘an, terj. Mudzakir AS (Jakarta:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), h.1 2Mohammad Hipni, “Hermeneutik: Seni Memahami Teks Al-Qurˋân”, RELIGIA 14, no. 1
(2011): 3 3Ah. Fawaid, “Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qurˋân”, Ṣuḥuf, vol. 4, no. 2
(2011): 248.
2
golongan yang disebut “kaum tertindas” yang menjadi fenomena lumrah.
Masyarakat sengaja dididik untuk diam dan menunduk pada penguasa dan
didesain sedemikian rupa agar penindasan tidak terlalu tampak.4
Dalam hal ini Islam sebagai agama yang memiliki otoritas atas al-Qur‟an,
adalah sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia abad 21 untuk mencapai
kehidupan yang sempurna. Dalam bahasa Arab, agama adalah “dîn” yang berarti
aturan-aturan dari Tuhan yang harus ditaati dan dikerjakan oleh manusia demi
kebahagiaan manusia itu sendiri baik di dunia dan di akhirat.5 Kehadiran setiap
agama diidealisasi sebagai suatu entitas ajaran yang akan membahagiakan
manusia, terhindar dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan,
ketidakadilan, menghapus segala macam bentuk penindasan dan sejenisnya.
Agama juga mengajarkan perdamaian, keamanan dan kemakmuran bagi manusia
di muka bumi ini.6
Akan tetapi fakta di lapangan, tidak jarang ditemui masih hadirnya
sekelompok penindas menindas sebagian masyarakat yang lain, hingga muncul
sekelompok manusia yang disebut kaum tertindas sebagai akibat hadirnya
kelompok penindas dan yang ditindas. Contoh konkretnya adalah masyarakat
Palestina yang hidupnya ditindas secara terus menerus oleh kaum penindas Israel,
hadirnya etnis rohingya yang keberadaannya tidak diakui, dan di Indonesia sendiri
hadir anak jalanan, pemulung, pengemis, dan lain sebagainya.
Sebagai kitab suci umat Islam, al-Qurˋân yang turun 14 abad yang lalu
haruslah mampu menjadi petunjuk bagi kehidupan dari masa lalu hingga saat ini.
Dengan membaca kembali, menginterpretasi setiap ayat-ayatnya, maka tafsir al-
Qurˋân akan menjawab setiap persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan,
baik masalah kejiwaan, ekonomi, sosial yang didalamnya terdapat permasalahan
tentang munculnya kaum tertindas, politik, dan berbagai bidang lainnya.7 Menurut
4Azyumardi Azra, dkk, Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam, 1 (Bandung: Penerbit
Nuansa, 2005), h. 192. 5Abdurrahman, dkk, Agama-Agama di Dunia, 1 (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988), h. 8. 6Aflatun Muchtar, Tunduk kepada Allah Fungsi dan Peran Agama dalam kehidupan
Manusia, 1 (Jakarta: Khazanah Baru, 2001), h. 11. 7Manna al-Qaṭṭan, Mabâhîts fi ‘Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah), h. 14.
3
penulis permasalahan sosial yang meliputi munculnya kaum tertindas patut
dicarikan solusinya, guna mewujudkan kehidupan beragama yang saling
menghormati, aman, dan sejahtera. Apakah al-Qurˋân mampu menjadi solusi
untuk permasalahan munculnya kaum tertindas?
Untuk menjawab problem realitas di atas, dibutuhkan sebuah tafsir dan
mufasir agar terlahir proses dialektika antara teks al-Qurˋân dengan realitas, di
mana maksud dari sebuah ayat al-Qurˋân akan sesuai dengan zamannya dan tidak
terkesan usang serta dapat diaplikasikan oleh masyarakat pada zamannya melalui
dialog interaktif antara mufasir, teks al-Qur‟an, dan realitas yang ada.8 Al-Qurˋân
diwahyukan bukan hanya difungsikan sebagai teks tertulis sehingga cukup dibaca
berulang-ulang, tetapi juga harus dipahami kandungan maknanya sehingga ia
benar-benar berfungsi sebagai hidâyah. Al-Qurˋân adalah sebuah petunjuk dan
arahan yang dapat diaplikasikan agar terwujud sebuah perubahan yang lebih baik
secara individu maupun masyarakat.9
Lalu pertanyaan lain muncul, bagaimanakah mufasir yang dalam hal ini
sebagai penjelas ayat al-Qurˋân menjelaskan siapakah kaum tertindas?. Dengan
demikian penelitian ini mencoba membahas bagaimana mufasir menjelaskan
mengenai kaum tertindas, dan solusi apa yang ditawarkan mufasir untuk
menghilangkan hadirnya kaum tertindas. Penulis merujuk seorang mufasir asal
Afrika Selatan yakni Farid Esack, sosok revolusioner yang membumikan al-
Qurˋân sebagai kitab suci yang mampu menyelesaikan persoalan realitas yakni
berkaitan dengan kaum tertindas sekaligus memberikan penjelasan mengenai
istilah kaum tertindas yang ia rujuk dari al-Qurˋân. Esack adalah salah seorang
yang dengan sangat semangat mendengungkan pembebasan bagi semua manusia
secara universal.
8Lilik Ummi Kaltsum, “Tafsir Al-Qurˋân: Antara Teks dan Realitas”, disampaikan pada
acara konferensi internasional di Sekolah Pasca Sarjana dan diskusi dosen Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (2015): 6. 9Lilik Ummi Kaltsum, “Tafsir Al-Qurˋân: Antara Teks dan Realitas”: 8.
4
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Di dalam ruang lingkup mufasir, terdapat beberapa tokoh yang dalam
menjelaskan tafsirnya melakukan pendekatan sosial untuk menunjukan bahwa
Islam melalui kitab sucinya al-Qurˋân adalah agama pembebasan bagi yang
tertindas: seperti Ashgar Ali Engineer, Hasan Hanafi, Muḥammad Al-Gazali,
Asma Barlas melalui pendekatan jender untuk membebaskan perempuan, dan
yang lainnya. Namun fokus penelitian ini dibatasi pada penjelasan Farid Esack
tentang kaum tertindas dengan tidak meninggalkan mufasir lainnya seperti Al-
Ṭabari, Sayyid Quṭb, Quraish Shihab sebagai pembanding ketika menjelaskan
istilah kaum tertindas dalam al-Qurˋân.
Alasan penulis membatasi dengan hanya fokus kepada Farid Esack adalah
karena Esack termasuk seorang intelektual yang mengalami kehidupan sulit dan
pahit sebagai bagian dari kelompok yang tertindas. Ia merasakan kecemasan hidup
dalam diskriminatif yang kemudian mencari ruh pembebasan untuk melepaskan
diri dan juga negaranya yakni Afrika Selatan dari penjajahan. Jadi, penulis
berpandangan pembahasan tentang kaum tertindas dengan menjadikan Farid
Esack sebagai rujukan akan sesuai. Hal itu karena Esack mengalami bagaimana
hidup sebagai bagian dari orang yang tertindas dan berjuang untuk terbebas dari
masalah tersebut lewat solusi yang ditawarkan.
Dari batasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang menjadi acuan
dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah terminologi kaum tertindas dalam al-
Qurˋân perspektif Farid Esack dan solusi apa yang ditawarkan Farid Esack untuk
membebaskan kaum tertindas ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui terminologi kaum
tertindas Perspektif Farid Esack dan apa yang ditawarkan Esack kaitannya dengan
solusi untuk menghapuskan hadirnya kaum tertindas.
Selain itu, diharapkan penelitian ini memiliki manfaat dan kegunaan sebagai
berikut:
5
1. Memberikan sumbangsih keilmuan dalam dunia akademik mengenai
konsep kaum tertindas dan hermeneutika yang di gagas oleh Farid Esack.
2. Bahan bacaan tambahan dalam mata kuliah tafsir seperti: hermeneutika,
dan pendekatan modern dalam tafsir al-Qur‟an.
D. Kajian Pustaka
Adapun kajian pustaka dalam skripsi ini terbagi menjadi dua bagian, pertama
seputar kajian yang membahas tentang Farid Esack, dan kedua kajian yang
membahas tentang kaum tertindas atau al-mustaḏ‘afîn.
Pertama, sebuah skripsi berjudul “Epistemologi Al-Qurˋân Kontemporer:
Analisis Komparatif Farid Esack dan Ziauddin Sardar” ditulis oleh Adi Fadilah
pada tahun 2015 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembahasan dalam skripsi
ini menggunakan dua metode, pertama deskriptif-analisis dan kedua metode
komparatif-analisis. Fadilah membahas dalam skripsinya tentang epistemologi al-
Qurˋân menurut Farid Esack dan Ziauddin Sardar, masalah yang diangkat dalam
kajian ini adalah empat aspek dari epistemologi tafsir yaitu pengertian, sumber,
metode, dan validitasnya. Temuan dalam skripsi ini diantaranya tentang asumsi
Farid Esack dan Ziauddin Sardar bahwa pesan al-Qurˋân itu sālih li kulli zamân
wa makân, maksudnya pesan al-Qurˋân harus ditafsirkan sesuai dengan
konteksnya, sehingga pesan al-Qurˋân selalu aktual dan lebih dirasakan
manfaatnya oleh manusia.
Titik persamaan keduanya adalah tentang pengertian penafsiran. Menurut
mereka, kegiatan penafsiran merupakan proses pemahaman tanpa henti yang
memperhitungkan perubahan sosiopolitik. Kemudian di antara titik perbedaannya
adalah dalam konteks dan metode. Farid Esack sangat terpengaruh oleh konteks
perjuangan menentang diskriminasi apartheid di Afrika Selatan, sedangkan
Ziauddin Sardar terpengaruh oleh konteks kehidupannya ketika banyak meneliti
dan berusaha membandingkan beberapa pembacaan eksklusif terhadap al-Qurˋân
yang dilakukan ummat Islam dan beberapa kaum puritan di Pakistan dan negara
timur tengah lainnya. Farid Esack menggunakan metode hermeneutika dengan
6
pendekatan sosio-historis, sedangkan Ziauddin Sardar menggunakan metode
tematik-argumentatif dengan pendekatan humanistik.10
Kedua, sebuah skripsi berjudul “Islam Tentang Jihad Dalam Pandangan Farid
Esack” ditulis oleh Nazi Ahmad pada tahun 2014 di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Pembahasan dalam skrispi ini menggunakan pendekatan historis dan
hermeneutik. Ahmad membahas dalam skripsinya tentang konsep jihad dalam
pandangan Farid Esack, hasilnya bahwa sebuah esensi jihad yang berawal dari
ajaran Islam tidak serta merta disebut sebuah kekejaman, tetapi ada tahapan-
tahapan dan persyaratan untuk sampai pada tataran pertempuran. Begitu pula
dengan konsepnya Farid Esack, di dalam konsepnya terdapat prosedur-prosedur
untuk menegakan jihad, pemaknaan ulang terhadap iman-islam-kafir mewujudkan
adanya ketegasan siapa kawan dan lawan dalam aplikasi jihad serta implikasi
terhadap konteks lain.11
Ketiga, sebuah skripsi berjudul “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama”
ditulis oleh Tati Castiah pada tahun 2008 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode pustaka (library research). Castiah dalam skripsinya
meneliti tentang paham pluralisme agama dalam perspektif Farid Esack, hasilnya
bahwa pluralisme agama menurutnya tidak hanya sekedar toleransi atas
keberbedaan, tapi lebih dari itu adalah penerimaan perbedaan dengan cara
menanggapi dari dorongan mengakui keberadaan agama-agama lain baik secara
sosial maupun spiritual. Dalam kesimpulannya dijelaskan pula bahwa Farid Esack
meredefinisi/ mengkaji ulang pengertian iman, islam, dan kafir dengan makna
yang sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham pluralisme agama.12
Keempat, sebuah skripsi berjudul “Hak Asasi Manusia dalam Al-Qurˋân
(Studi Analisa Pemikiran Farid Esack)” ditulis oleh Lailatin Mubarokah pada
tahun 2017 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mubarokah dalam penelitiannya
10
Adi Fadilah, “Epistemologi Al-Qurˋân Kontemporer: Analisis Komparatif Farid Esack
dan Ziauddin Sardar”, skripsi (S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2015. 11
Nazi Ahmad, “Islam Tentang Jihad Dalam Pandangan Farid Esack”, skripsi (S1
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), 2014. 12
Tati Castiah, “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama”, skripsi (S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2008.
7
berangkat dari dua masalah, yaitu bagaimana konsep hak asasi manusia dalam al-
Qurˋân menurut pandangan Farid Esack serta apa implikasi konsep hak asasi
manusia dalam al-Qurˋân menurut pandangan Farid Esack terhadap kehidupan
modern. Penelitian dari skripsi ini menggunakan penelitian pustaka. Setelah
dilakukan penelitian, dapat diketahui bahwasannya menurut Esack, prinsip hak
asasi manusia dalam al-Qurˋân adalah larangan untuk tidak melanggar hak orang
lain dan perintah untuk menjaga hak diri sendiri agar tidak dilanggar orang lain.
Hal ini mengimplikasikan beberapa hal, diantaranya setiap manusia wajib
memperjuangkan haknya dan menjaganya agar tidak dilanggar orang lain, dalam
rangka memperjuangkan haknya manusia dilarang melanggar hak orang lain, dan
hak merupakan sebuah tanggung jawab setiap manusia bukan tanggung jawab atas
dirinya sendiri akan tetapi tanggung jawab orang lain juga.13
Kelima, sebuah skripsi berjudul “Al-Mustaḏ‘afîn dalam perspektif Murtaḏâ
Muṯahharî (Penafsiran Sûrah (4): 97-99 dan Sûrah (28): 5)” ditulis oleh Rizky
Suryana Hidayat pada tahun 2018 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Rizky
dalam penelitiannya berangkat dari masalah bagaimana Murtaḍā Muṭahharī
menafsirkan mustaḏ‘afîn dalam QS. (4): 97-99 dan Sûrah (28): 5. Penelitian dari
skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Setelah
dilakukan penelitian, kesimpulannya dapat diketahui bahwa pandangan Murtaḍā
Muṭahharī dalam bukunya Tafsir Holistik dan Keadilan Illahi: Asas-asas
Pandangan Dunia Islam, al-mustaḏ‘afîn Mu‟min dan non Mu‟min yang tidak
berhijrah disebabkan ketidakmampuannya, mereka adalah murja‘ûna lî amrillâh,
sedangkan para ulama lainnya hanya memfokuskan al-mustaḏ‘afîn dari kalangan
Mu‟min saja. Kesimpulannya bahwa al-mustaḏ‘afîn dari kalangan Mu‟min dan
non Mu‟min di akhir zaman nanti akan mendapatkan suatu kemenangan. Ketika di
dunia, mereka mendapatkan karunia dengan munculnya sang pelopor terakhir
13
Lailatin Mubarokah, “Hak Asasi Manusia dalam Al-Qurˋân (Studi Analisa Pemikiran
Farid Esack)”, skripsi (S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), 2017.
8
yaitu Imam Mahdi, sedangkan di akhirat kelak adalah murja‘ûna lî amrillâh
(orang-orang yang ditangguhkan dan menunggu ketetapan Allah).14
Keenam, sebuah buku berjudul Teologi Kaum Tertindas (Kajian Tematik
Ayat-Ayat Mustaḏ‘afûn dengan Pendekatan Keindonesiaan) ditulis oleh Abad
Badruzaman tahun 2007 yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Offest. Faktor yang
mendorong Badruzaman mengangkat masalah mustaḏ‘afûn karena selain secara
nyata kaum mustaḏ‘afûn ada di tengah-tengah ummat Islam, al-Qurˋân sendiri
cukup sering berbicara tentang kaum ini. Bahkan Nabi Muhammad saw dalam
sebuah doanya, memanggil Allah sebagai Rabb al-Mustaḏ‘afûn.
Buku ini setelah ditelusuri, secara umum terdiri dari dua bagian pokok. Bagian
pertama, membahas tentang ayat-ayat mustaḏ‘afûn baik ayat yang secara eksplisit
menyebut kata mustaḏ‘afûn dalam berbagai bentuknya maupun ayat-ayat yang
tidak menyebut kata tersebut, akan tetapi secara tidak langsung berbicara tentang
kaum mustaḏ‘afûn. Bagian kedua berupa permasalahan khusus tentang kaum
mustaḏ‘afûn dalam bidang ekonomi.15
Ketujuh, jurnal berjudul “Tafsir Liberatif Farid Esack” ditulis oleh M. Abduh
Wahid tahun 2016 yang dimuat oleh jurnal tafsere. Tulisan ini mendiskusikan
tentang sosok pemikir Islam yang berupaya membumikan al-Qurˋân sebagai kitab
suci yang mampu menyelesaikan persoalan realitas. Adapun tulisan ini di
dalamnya membahas tentang biografi akademis Farid Esack, problem akademik
Farid Esack, al-Qurˋân dalam pemikiran Farid Esack, dan hermeneutika liberatif
Farid Esack. Kesimpulannya bahwa Farid Esack adalah salah satu figur sentral
menggulirkan rezim apartheid di Afrika Selatan, bagi Esack al-Qurˋân adalah teks
pembebasan. Hermeneutika Farid Esack memang patut diapresiasi sebagai model
penafsiran yang progresif berpijak pada teologi dan fokus pada kondisi Afrika
Selatan yang dikuasai rezim apartheid dan layak dikembangkan dalam konteks
14
Rizky Suryana Hidayat, “Al-Mustad„afîn dalam perspektif Murtaḏâ Muṯaharî
(Penafsiran Sûrah (4): 97-99 dan Sûrah (28): 5)”, skripsi (S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta), 2018. 15
Abad Badruzaman, Teologi Kaum Tertindas (Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustaḏ'fîn
dengan Pendekatan Keindonesiaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007).
9
negara dunia ketiga yang secara garis besar terjerat dalam kemiskinan dan
ketidakadilan.16
Dari beberapa kajian pustaka di atas, memang mereka membahas tentang
Farid Esack mengenai konsep epistemologi al-Qur‟an, jihad, pluralisme agama,
dan konsep hak asasi manusia perspektif Esack. Ada juga yang membahas
mengenai kaum tertindas dengan pendekatan keIndonesiaan serta al-mustaḏ‘afīn
dalam perspektif tokoh lain. Namun penulis berasumsi bahwa pembahasan
tentang Farid Esack yang berbicara tentang kaum tertindas perspektif Farid Esack
masih belum diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengisi kekosongan
penelitian mengenai kaum tertindas perspektif Farid Esack yang kemudian
disajikan solusi yang ditawarkan Farid Esack untuk membebaskan kaum tertindas.
E. Metode Penelitian
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai jenis penelitian, sumber data, dan
langkah-langkah penelitian yang dilakukan penulis di dalam menyelesaikan
penelitian skripsi ini.
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research),
yaitu mencari dan mengumpulkan data dari berbagai literatur yang relevan yakni
terdiri dari berbagai buku, jurnal, majalah, koran, dan berbagai data yang terkait
dengan penelitian ini.17
Adapun jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis
penelitian kualitatif. Setelah data terkumpul, kemudian penulis
mengklasifikasikan ke dalam dua sumber:
a. Sumber Primer
Sumber primer dalam penelitian ini adalah buku-buku karya Farid Esack
sendiri: Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), dan On
Being A Muslim: Finding a Religious Path In The World Today (Oxford:
16
M. Abduh Wahid, “Tafsir Liberatif Farid Esack”, Jurnal Tafsere, Vol. 4, No. 2, 2016. 17
John W, Creswell, Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Penerj
Angkatan III dan IV KIK-UI dengan Nur Khabibah (Jakarta: KIIK Press, 2003), h.21.
10
Oneworld, 1999). Selain itu penulis juga merujuk kepada buku berjudul
Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme (Bandung:
Mizan, 2002) dimana buku ini merupakan terjemahan atas buku Esack Qur’an,
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
Against Oppression yang diterjemahkan oleh Watung A Budiman.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku yang memuat tentang
kaum tertindas dan buku mengenai Farid Esack, kitab-kitab tafsir Al-Qurˋân
seperti tafsir karya al-Ṯabari, Sayyid Quṯb, Quraish Shihab, jurnal-jurnal terkait,
dan sumber-sumber lain yang relevan dengan kajian penelitian.
2. Metode Pembahasan
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif-analisis18
, ini
untuk menggali penjelasan dan menggambarkan bagaimana Farid Esack
memanggil/ menyebut kaum tertindas dan apa yang ditawarkan olehnya untuk
menghapuskan keberadaan akan hadirnya kaum tertindas.
Adapun pedoman penulis yang digunakan dalam skripsi ini adalah Keputusan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Adapun langkah-langkah penelitian yang ditempuh penulis, pertama
menentukan judul dan alasan pemilihan judul yang terangkum dalam sebuah
proposal skripsi, kedua mencari sekaligus menentukan kitab tafsir yang akan
digunakan dalam skripsi, ketiga menggunakan kamus al-Mu‘jam al-Mufahras li
alfâdz Al-Qurˋân untuk menelusuri setiap kata yang berkaitan dengan judul dalam
al-Qur‟an, keempat mengumpulkan berbagai sumber dari buku, jurnal, dan
sumber lainnya, dan kelima memulai penulisan skripsi.
18
Metode deskriptif-analitis adalah teknis pembahasan dengan cara memaparkan masalah
dengan analisa serta memberikan penjelasan yang mendalam tentang sebuah data. Lihat Winarno
Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Transito, 1980), h.139-140.
11
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama berupa pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu
latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian (metode pengumpulan data sumber
primer dan sumber sekunder dan metode pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan kaum tertindas dalam al-Qurˋân dan karya tafsir, yaitu
terdiri dari kaum tertindas dalam al-Qurˋân (term kaum tertindas dalam al-
Qur‟an), dan kaum tertindas dalam karya tafsir (al-Ṯabari, Sayyid Quṯb, Quraish
Shihab) untuk mengetahui apa yang membedakan penafsiran Esack dengan
mufasir yang lain.
Bab ketiga menjelaskan tentang biografi dan pemikiran Farid Esack, yang
terdiri dari riwayat hidup dan pendidikan Farid Esack, karya dan pemikiran Farid
Esack, dan latar belakang sosio-kultural Farid Esack.
Bab keempat menjelaskan tentang terminologi kaum tertindas perspektif farid
esack, yakni mustaḏ‘afûn (Orang-Orang Lemah) , arâzîl (Orang-Orang Tersisih),
fuqarâ’ (Orang-Orang Faqir), dan masâkîn (Orang-drang Miskin) juga solusi yang
ditawarkan Farid Esack untuk menghapuskan hadirnya orang tertindas. Solusi
tersebut yakni solusi praktis dan solusi metodologis.
Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari sub-bab kesimpulan yang
akan menjawab rumusan masalah dan diakhiri dengan saran-saran.
12
BAB II
KAUM TERTINDAS DALAM AL-QURˋÂN DAN KARYA TAFSIR
Pada bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana bahasa al-Qurˋân menyebut
dan memanggil kaum tertindas. Selain itu akan dipaparkan juga bagaimana karya
tafsir yang ditulis oleh para mufassir menjelaskan mengenai kaum tertindas. Hal
ini menjadi sangat penting untuk dibahas, agar dapat memperkaya penafsiran dan
menunjukan apa yang berbeda dari setiap mufassir.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tertindas (turunan dari kata
tindas) berarti disengsarakan; teraniaya; orang-orang yang lemah1. Yaitu
perbuatan yang menganiaya, yakni perbuatan menghimpit atau menekan atau
memperlakukan dengan sewenang-wenang kepada orang yang tertindas. Jadi
ketika kata tertindas disandingkan dengan kaum atau sekelompok orang, berarti
sekumpulan orang-orang yang disengsarakan, yakni hadirnya orang yang kuat
memperlakukan dengan sewenang-wenang terhadap orang yang lemah. Perlakuan
tersebut berupa perbuatan menindas, menghimpit, dan menekan.
Menurut Sayid Sabiq, yang dimaksud dengan golongan lemah di dalam suatu
masyarakat ialah golongan wanita, fakir miskin, para orang yang lanjut usia, para
buruh, para yatim piatu dan para orang yang tertindas dan teraniaya. Karena satu
dan lain hal, di luar kekuasaan dan kehendaknya mereka menjadi lemah, tidak
berdaya dan bertenaga memikul beban kehidupan secara normal seperti sesama
hamba Allah yang lain.2
Adapun mustaḏ„afîn secara istilah adalah orang-orang yang dianggap lemah
dan rendah oleh orang-orang yang kuat sehingga orang-orang kuat ini menindas
dan berbuat sewenang-wenang terhadap mereka. Pada kenyataannya bahwa kaum
mustaḏ„afîn adalah orang-orang miskin dan berpenampilan sangat sederhana.
Dalam ungkapan lain, para penindas yang kuat menganggap kaum mustaḏ„afîn
1Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), ed.3, cet.2, h.1195. 2Sayid Sabiq, Islam Dipandang dari Segi Rohani-Moral-Sosial, terj. Zainuddin, dkk.
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h. 263.
13
sebagai orang-orang lemah. Kelemahan inilah yang mendorong para penindas
untuk menindas mereka.3
Penindasan dideskripsikan sebagai usaha dehumanisasi kelompok penindas
kepada kaum lemah, dimana proses dehumanisasi berjalan secara sistematis dan
terstruktur.4 Seseorang menjadi tertindas apabila ada kebijakan dari pihak yang
berkuasa yang melakukan sikap arogan dan menindas terhadap mereka. Orang
atau kelompok yang menindas disebut dengan mustakbirûn (arogan, sombong,
dan penindas).
A. Kaum Tertindas dalam Al-Qurˋân
Kata tertindas dalam bahasa Arab merujuk kepada kata فؼض yang artinya
lemah, ḏa„îf, dan tidak kuat5. Seperti dalam Qs.Al-Hajj [22]: 73
ن خهقا للا ي د جذػ انز ؼا ن إ ب انبس ضشة يثم فبسح ب أ
ضؼف انطبنت ئب ل سحقز ي ثبة ش إ سهجى انز ؼا ن اجح ن رثبثب
طهة ان
“Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah!
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan
seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat
itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali
dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.”
Dari akar kata ḏ- „a- f ( ف -ع -)ض itulah, menunjuk pada orang yang tertindas,
yang dianggap lemah dan tidak berarti, serta yang diperlakukan secara arogan. Hal
itu seperti tercantum dalam Qs. Al-Anfāl [8]: 26
اكى أ حخطفكى انبس فآ ف األسض جخبف سحضؼف اركشا إر أحى قهم ي
جبت نؼهكى جشكش انط سصقكى ي أذكى ثصش
3Badruzzaman, Teologi Kaum Tertindas: Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustaḍ‟afīn dengan
Pendekatan Keindonesiaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 6-7. 4Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, cet. 1 (Jakarta: PT Temprint, 1985), h. 48.
5Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h 229.
14
“Dan ingatlah ketika kamu (para Muhajirin) masih (berjumlah) sedikit, lagi
tertindas di bumi (Mekah), dan kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik
kamu, maka Dia memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya
kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki yang baik agar
kamu bersyukur.”
Mustaḏ„afûn berarti mereka yang berada dalam status sosial inferior, yang
rentan, tersisih, atau tertindas secara sosio ekonomis.6 Untuk menelusuri secara
komprehensif terkait kata “kaum tertindas” dalam al-Qurˋan, langkah pertama
yang penulis lakukan adalah merujuk kepada kitab al-Mu„jam al-Mufahras li alfaẕ
Al-Qurˋan dengan kata yang ditelusuri yaitu kata ḏ- „a- f ( ف -ع -ض) . Pencarian
tersebut mendapatkan hasil bahwa dalam al-Qurˋân lafal yang memiliki makna
kaum tertindas tertera dalam ayat-ayat dan beberapa surah. Pencarian tersebut
dapat dilihat hasilnya sebagai berikut:
Tabel: 2.1 Lafaz ḏ- „a- f ( ف -ع -ض) dalam Kitab al-Mu„jam al-Mufahras li
alfaẕ al-Qur‟ân yang memiliki makna kaum tertindas
Tartib
Nuzul
Nama Surat Makkiyah/
Madaniyah
No.
Ayat
Tartib
Mushaf
Potongan Ayat
39 Al-A„râf Makkiyah 75 7 اسحكجشا ي أل انز قبل ان
آي اسحضؼفا ن نهز ي ق
ى ي
39 Al-A„râf Makkiyah 137 7 و سثب انق أ كبا انز
سحضؼف
39 Al-A„râf Makkiyah 150 7 و اسحضؼف انق أو إ قبل اث
49 Al-Qasas Makkiyah 4 28 ى زثخ سحضؼف طبئفة ي
سحح سبءى أثبءى
49 Al-Qasas Makkiyah 5 28 ػهى انز شذ أ
6Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 98.
15
اسحضؼفا ف األسض
58 Sabâˋ Makkiyah 31 34 اسحضؼفا نهز قل انز
ل اسحكجشا ن ي أحى نكب ي
58 Sabâˋ Makkiyah 32 34 اسحك قبل انز جشا نهز
اسحضؼفا
58 Sabâˋ Makkiyah
Ghâfir
اسحض 34 33 قبل انز ؼفا نهز
اسحكجشا
88 Al-Anfâl Madaniyah 26 8 سحضؼف اركشا إر أحى قهم ي
ف األسض
92 Al-Nisâ Madaniyah 75 4 ف سجم للا يب نكى ل جقبجه
سحضؼف ان
92 Al-Nisâ Madaniyah 97 4 ف األسض قبنا كب يسحضؼف
92 Al-Nisâ Madaniyah 98 4 جبل انش ي سحضؼف إل ان
نذا ان انسبء
92 Al-Nisâ Madaniyah 127 4 أ جكح جشغج
نذا ان ي سحضؼف ان
Dari hasil penelusuran di atas dapat diketahui bahwa ayat-ayat yang di
dalamnya terkandung kata ḏ- „a- f ( ف -ع -ض) terdapat dalam beberapa ayat
dan juga surah. Adapun ayat yang bermakna kaum tertindas di antaranya yaitu Al-
Nisâ` [4]: 127
كى ف انكحبة ف حبيى يب حهى ػه سحفحك ف انسبء قم للا فحكى ف
يب كحت ن ج انسبء انالج ل ج ي سحضؼف ان أ جكح جشغج
ػهب ث للا كب ش فإ خ يب جفؼها ي أ جقيا نهحبيى ثبنقسظ نذا ان
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang perempuan. katakanlah,
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan
16
kepadamu dalam al-Qurˋân (juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim
yang tidak kamu berikan sesuatu (mas kawin) yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin menikahi mereka dan (tentang) anak-anak yang masih
dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) agar mengurus anak-anak yatim
secara adil. Dan kebajikan apapun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui”.
Firman Allah ta„ala ini “mengangkat pertanyaan dan permintaan fatwa atas
dasar keingintahuan mereka (orang yang baru masuk Islam) menyangkut kaum
wanita, di mana saat itu sedang berlangsung proses transisi budaya dari Jahiliyah
kepada Islam. Allah berkenan menjawabnya, lalu Dia berfirman kepada Nabi saw
“Katakanlah (hai Muhammad): “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka…” dan tentang masalah-masalah lain yang disebutkan dalam ayat
tersebut. Ini adalah suatu jawaban yang tak terhingga nilainya tentang simpati
Allah dan penghargaan-Nya terhadap Jama‟ah Muslim”.7
Dalam riwayat dikemukakan bahwa Jabir mempunyai saudara wanita yang
rupanya jelek, tapi mempunyai harta warisan dari ayahnya. Jabir sendiri enggan
menikahinya dan juga tidak mau menikahkannya kepada orang lain, karena takut
harta bendanya lepas dari tangannya, dibawa oleh suaminya. Ia bertanya kepada
Rasulullah saw, lalu turunlah ayat ini (Qs. Al-Nisâ` [4]: 127) sebagai pedoman
bagi mereka yang mengurus anak yatim (diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim yang
bersumber dari al-Suddi).8
Adapun hasil penelusuran ayat dengan menggunakan kitab al-Mu„jam al-
Mufahras li alfaẓ Al-Qurˋân ditemukan bahwa di antara ayat-ayat yang
menunjukan kepada maksud orang yang tertindas dan menjadi rujukan penulis
dalam pembahasan selanjutnya mengenai kaum tertindas dalam karya tafsir, yaitu
Qs. Al-A„râf [7]: 75, 137, 150, Al-Qaṣaṣ [28]: 4-5, Sabâˋ [34]: 31-33, Al-Anfâl
[8]: 26, Al-Nisâ [4]: 75, 97-98, 127.
B. Penafsiran Ayat-Ayat Kaum Tertindas dalam Karya Tafsir
Pada bab ini akan dijelaskan ayat-ayat yang di dalamnya menjelaskan
mengenai kaum tertindas, di mana penjelasan mengenai ayat-ayat kaum tertindas
7Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâl al-Qurˋān, (Beirut: Dar Al-Syuraq, 1967), juz 4, h.766.
8H.A.A. Dahlan, dkk, Asbâbun Nuzûl Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-
Qurˋan(Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2004), h.174.
17
ditafsirkan oleh para mufasir di dalam kitab tafsirnya. Adapun beberapa kata yang
menunjukan makna kepada kaum tertindas dalam al-Qurˋanyaitu ا yang اسحضؼف
disebut sebanyak lima kali, ,disebut satu kali سحضؼف disebut اسحضؼف
satu kali, سحضؼف disebut satu kali, سحضؼف ,disebut satu kali ي سحضؼف ان
disebut sebanyak tiga kali, dan .disebut satu kali يسحضؼف
Uraian mengenai kaum tertindas ini akan diambil dari kitab-kitab tafsir dari
berbagai generasi, baik klasik maupun kontemporer. al-Ṯabari, Sayyid Quṯb,
Quraish Shihab adalah mufasir-mufasir yang akan penulis jadikan rujukan utama
melalui kitab tafsirnya. Pertama, Al-Ṯabarî dengan kitab tafsirnya Jâmi„ al-Bayân
„an Taˋwîl Âyi Al-Qurˋân adalah seorang tokoh terkemuka yang menguasai
berbagai disiplin ilmu. Selain menulis kitab tafsir, ia pun seorang pakar sejarah
dan pakar hadis.9 Dalam penafsirannya, Al-Ṯabarî terlebih dahulu mengemukakan
pendapat-pendapat mengenai tafsir atau taˋwil suatu ayat, lalu ia menafsirkannya
berdasarkan kepada pandangan sahabat dan tabi‟in yang diriwayatkan secara
lengkap yakni dengan metode tafsir bi al-maˋsur.10
Kedua Sayyid Quṯb, seorang kritikus sastra ternama dengan kitabnya Tafsir Fī
Ẕilāl Al-Qur‟ān. Ia termasuk salah Tafsir Fî Ẕilāl Al-Qur‟ān seorang pemimpin
Ikhwanul Muslimin, maka tidak heran corak penafsirannya adalah corak haraki
(perjuangan). Selain menggunakan sumber penafsiran tafsir bi al-maˋsur, ia pun
memakai sumber tafsir bi al raˋyi (logika).11
Ketiga, M. Quraish Shihab, adalah seorang mufasir kenamaan dari Indonesia
dengan kitabnya al-Misbah. Dalam penyusunan tafsirnya, ia menggunakan urutan
Mushaf Usmani yang dimulai dari surat al-Fâtihah sampai dengan al-Nâs. Nuansa
penafsirannya adalah masyarakat dan sosial. Maksudnya, Quraish Shihab dalam
9Mani‟ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Ahli Tafsir (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.67. 10
Manna al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fi „ulūmil Al-Qurˋan (Kairo: Maktabah Wahbah), h.353. 11
Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h.132-139.
18
penafsirannya selalu berusaha untuk dapat menjawab problem-problem kekinian
yang sedang ada di masyarakat dan membutuhkan penyelesaian.12
Ketiga tokoh mufassir ini memiliki ragam keunikan masing-masing dalam
tafsirnya. Mulai dari corak penafsiran, aliran kalam, dan sumber yang menjadi
rujukan mereka. Hal ini diharapkan dapat memperkaya penafsiran mengenai
istilah/ penyebutan tentang kaum tertindas, dan menjadi tolak ukur penulis untuk
mengatakan bahwa yang dijelaskan para mufasir tersebut berbeda dengan apa
yang dikatakan oleh Farid Esack mengenai kaum tertindas.
1. Tafsir Jâmi„ al-Bayân „an Taˋwîl Âyi Al-Qurˋân Karya Al-Ṯabarî
Setelah menganalisa kitab tafsir Jāmi„ al-Bayān „an Ta„wīl Āyi Al-Qur‟an,
ditemukan bahwa Al-Ṯabarî menafsirkan lafal/ kata yang bermakna kaum
tertindas. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Nabi Sālih dan Pengikutnya
Lafal ا dalam Qs. Al-A„râf [7]: 75 diartikan dengan orang-orang yang اسحضؼف
dianggap lemah yakni Nabi Sālih dan para pengikutnya. Adapun bunyi ayatnya
sebagai berikut:
أ ى أجؼه ي آي اسحضؼفا ن نهز ي اسحكجشا ي ق أل انز قبل ان
صبنحب ي ي ب أسسم ث قبنا إب ث ث س شسم ي ي
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang
dianggap lemah, yaitu orang-orang yang telah beriman di antara kaumnya,
“Tahukah kamu bahwa Shalih adalah seorang rasul dari Tuhan-nya?” Mereka
menjawab, “Sesungguhnya kami percaya kepada apa yang disampaikannya.”
Dalam ayat ini maksudnya adalah para pengikut Nabi Sālih yang miskin dan
orang-orang beriman yang sedang bersamanya merupakan bagian dari kelompok
12
Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”, Hunafa:
Jurnal Studi Islamika 11, no.1 (2014): 123-124.
19
orang-orang yang dianggap lemah. Ini adalah sebutan yang dibuat-buat oleh para
pemuka kabilah yang sombong dan tidak mengikuti dakwah Nabi Sālih .13
b. Banî Isrâīl
Ayat yang menunjukan kaum tertindas merupakan sebutan bagi Banî Isrâīl
yaitu Qs. al-Qasas [28] : 514
dengan menggunakan lafal ا dan Al-A„râf اسحضؼف
[7]: 13715
melalui lafal Dalam tafsirnya telah dijelaskan sebelumnya .سحضؼف
bahwa pada ayat 4 surat al-Qasas, Fir„aun menjadikan penduduknya berpecah
belah dan menindas segolongan dari mereka. Kemudian pada ayat 5 Allah hendak
memberi karunia kepada mereka dan hendak menjadikan mereka pemimpin.
Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa “dan Kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir)”, maksudnya adalah Banî Isrâīl.16
Dijelaskan pula dalam Qs. Al-A„râf [7]: 137 bahwa orang-orang yang ditindas
oleh Fir„aun dan diperlakukan seperti budak dengan menyembelih anak-anak laki
mereka dan membiarkan wanita-wanita mereka, maksudnya adalah Banî Isrâīl.17
Jadi dapat dipahami bahwa lafal ا dalam Qs. al-Qasas [28] : 5 dan اسحضؼف
lafal dalam Al-A„râf [7]: 137 berarti kaum tertindas yang menunjuk سحضؼف
kepada Banî Isrâīl, dimana mereka berada dalam kondisi tertindas disebabkan
oleh perilaku Fir„aun yang sewenang-wenang terhadap Banî Isrâīl.
c. Nabi Harun dan Pengikutnya
13
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz 10 (Kairo: Dâr Al-Hadîts,
2001), h. 330. 14
Teks Ayatnya berikut ini:
اسث جؼهى ان ة جؼهى أئ اسحضؼفا ف األسض ػهى انز شذ أ Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir)
itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi (bumi). 15
Teks Ayatnya berikut ini:
يغبسث يشبسق األسض كبا سحضؼف و انز سثب انق أ ث سثك انحسى ث كه ج ب انح ثبسكب فب
يب كبا ؼشش ي ق صغ فشػ شب يب كب دي ب صجشا ػهى ث إسشائم ثDan Kami Wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian
baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhan-mu yang baik itu
(sebagai janji) untuk Banî Isrâīl disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang
telah dibuat Fir„aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun. 16
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz. 18, h. 153. 17
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz. 10, h. 404.
20
Orang yang dianggap lemah pada Qs. Al-A„râf [7]: 15018
ini merujuk kepada
Nabi Harun. Dia dianggap lemah oleh kaumnya yang bersimpuh sujud beribadah
kepada patung anak lembu, mereka menentang Harun dan menganggapnya lemah.
Mereka tidak mau patuh dan mengikuti perintahnya.19
Dalam ayat ini yang
menjadi kelompok penindas atau mustakbirûn (arogan, sombong, dan penindas)
adalah orang-orang yang menyembah selain Allah dan para penantang Nabi
Harun, sedangkan orang/ kelompok yang tertindas berasal dari kalangan Nabi,
yakni Nabi Harun dan Pengikutnya.
d. Hamba Sahaya
Di awal Qs. al-Qasas [28]: 420
disebutkan ػال ف األسض فشػ إ
(Sesungguhnya Fir„aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi).
Maksudnya Allah menggambarkan dalam firman-Nya sesungguhnya Fir„aun telah
bertindak ẕalim di muka bumi. Di antaranya yaitu, “menjadikan penduduknya
berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka. Dalam ayat ini, yang
dimaksud ى maksudnya adalah menjadikan mereka sebagai سحضؼف طبئفة ي
hamba sahaya, yaitu golongan/ kelompok yang ditindas dan diperlakukan
rendah.21
Jadi lafaz سحضؼف dalam Qs. al-Qasas [28]: 4 merujuk kepada kelompok
yang ditindas, yaitu dalam ayat ini menunjuk kepada hamba sahaya. Yakni
18
Teks Ayatnya berikut ini:
ب سجغ ن أنقى ا ي ثؼذي أػجهحى أيش سثكى ب خهفح أسفب قبل ثئس غضجب ي يسى إنى ق جش أخز ثشأس أخ اح ألن
كبدا قحه و اسحضؼف انق أو إ قبل اث إن و انظبن ل ججؼه يغ انق األػذاء ث ث فال جش
Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati dia
berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu
hendak mendahului janji Tuhan-mu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan
memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai
anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab
itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah
engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.” 19
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz. 10, h. 450. 20
Teks Ayatnya berikut ini:
ػال ف فشػ إ سحح سبءى إ ى زثخ أثبءى هب شؼب سحضؼف طبئفة ي جؼم أ األسض ي كب
فسذ ان
“Sungguh, Fir„aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dia menindas segolongan dari mereka (Banî Isrāîl), dia
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia
(Fir„aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan”. 21
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz. 18, h. 150.
21
golongan yang diperlakukan ẓalim/ diperlakukan sewenang-wenang oleh
kelompok lain, yakni kelompok penindas Fir„aun dan para pengikutnya.
e. Orang yang Dianggap Lemah
Dalam Qs. Sabâˋ [34]: 31-33 lafal yang menunjukan makna orang yang
dianggap lemah adalah lafal ا Tiga ayat ini menggambarkan tentang .اسحضؼف
komunikasi yang terjadi antara ا ا dan (penindas) اسحكجش yang) اسحضؼف
ditindas). Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa ayat 31 orang-orang musyrik tidak
akan pernah beriman kepada Al-Qurˋandan tidak pula terhadap kitab-kitab dan
para nabi sebelumnya, juga dalam ayat ini orang yang dianggap lemah di dunia
berkata kepada orang yang berlaku sewenang-wenang bahwa kalau bukan karena
mereka, maka pasti mereka akan menjadi bagian orang yang beriman kepada
Allah.
Kemudian ayat 32 orang-orang yang menyombongkan diri itu tidak rela
menjadi penyebab kesesatan dari mereka, sehingga orang yang menyombongkan
diri itu menjelaskan, bahwa sikap mereka yang lebih memilih kufur kepada Allah
daripada iman itulah yang menghalangi mereka untuk mengikuti petunjuk dan
beriman kepada Allah.22
f. Orang yang Tertindas
Tafsiran Qs. Al-Anfâl [8]: 26 dalam kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta„wîl Âyi Al-
Qurˋân bahwa Al-Ṯabarî berkata: “ayat ini merupakan peringatan dan nasihat dari
Allah kepada para sahabat Rasulullah saw. Allah berfirman, “wahai orang-orang
yang beriman penuhilah seruannya, jika ia mengajakmu kepada sesuatu yang
memberikan kehidupan kepadamu, dan janganlah kamu menentang perintahnya
meskipun itu susah payah.
Karena sesungguhnya Allah akan memudahkannya untukmu dengan
ketaatanmu kepada-Nya dan menjadikanmu mencintainya, sebagaimana dilakukan
Allah jika kamu beriman kepadanya dan mengikutinya. Pada saat itu jumlahmu
22
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz. 19, h. 289-291.
22
masih sedikit, serta ditindas oleh orang-orang kafir. Mereka menyiksamu karena
agamamu, kamu menerima tindakan yang tidak menyenangkan terhadap diri dan
hartamu, maka kamu merasa takut jika mereka menculik lalu membunuhmu.23
Makna orang yang tertindas dalam ayat ini merujuk kepada lafal سحضؼف ي
yaitu orang-orang yang baru masuk Islam dalam keadaan sedikit dan ditindas oleh
orang-orang kafir. Orang-orang yang baru masuk Islam ini adalah orang-orang
yang berasal dari kaum Muhajirin.
g. Orang-orang lemah yang baru masuk Islam
Dalam Qs. Al-Nisâ [4] :75, kata yang menunjukan penjelasan terhadap kaum
tertindas yaitu (انسحضؼف) al-mustaḍ„afîna. Yaitu orang-orang lemah baik laki-
laki, perempuan, maupun anak-anak yang telah masuk ke dalam agama Islam,
mereka direndahkan serta dihina oleh orang-orang kafir yang menẕalimi diri
mereka. Orang-orang lemah ini berdoa kepada Tuhan agar diselamatkan dari
fitnah kaum musyrik yang telah melemahkan mereka, yaitu berusaha
memalingkan pandangan orang-orang yang baru masuk Islam dari jalan Allah
swt.24
h. Orang yang tidak bisa diatur
Lafaz (انسحضؼف) al-mustaḏ„afîna Qs. al- Nisā` [4]: 97 berarti orang yang
telah diambil jiwanya oleh malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka
sendiri lalu mendapatkan kemarahan dan murka Allah. Dalam ayat ini terjadi
dialog antara orang yang menganiaya diri mereka sendiri dengan malaikat.
Mereka berkata kepada malaikat: “Kami adalah orang-orang yang teraniaya di
negeri ini. Orang-orang musyrik telah menganiaya kami di negeri dan tanah air
kami. Dengan banyaknya kekuatan dan jumlah mereka, mereka melarang kami
beriman kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya”. Alasan ini tidaklah kuat dan
berguna.
23
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz. 11, h. 117. 24
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz 7, h. 224.
23
Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?. Seharusnya mereka keluar dari negeri dan tempat tinggal,
serta meninggalkan orang yang telah melarang untuk beriman kepada Allah dan
mengikuti Rasul-Nya, menuju tempat yang penduduknya mengesakan,
menyembah-Nya, dan mengikuti Nabi-Nya.25
Disini, orang-orang yang
menganiaya diri mereka sendiri sebenarnya mampu untuk keluar dari negeri yang
menindasnya, akan tetapi mereka tidak keluar dengan alasan yang tidak kuat dan
berguna.26
Jadi dapat dipahami bahwa (انسحضؼف) al-mustaḏ„afîna yang dimaksud
dalam ayat ini adalah orang-orang yang mampu berhijrah/ keluar dari wilayah
yang ẕalim pemimpinnya, akan tetapi mereka enggan untuk keluar dari
wilayahnya padahal mereka mampu. Sehingga mereka disebut sebagai orang yang
tidak bisa diatur karena ketidakmauan mereka untuk berhijrah dan mereka adalah
orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri disebabkan masih tetap
bertahan di wilayah yang dilarang untuk beriman kepada Allah dan mengikuti
Rasul-Nya.
i. Orang yang Teraniaya dan Tidak Berdaya
Berbeda halnya dengan kondisi orang tertindas yang dijelaskan dalam ayat
97. Yang dimaksud dalam ayat 98 surah al- Nisā` adalah orang yang teraniaya dan
tidak berdaya, lafal yang menunjukan kepada orang yang ditindas dalam ayat ini
adalah Maksudnya yaitu orang-orang yang teraniaya oleh orang .يسحضؼف
musyrik, baik dari kalangan laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, yaitu
mereka yang tidak ikut hijrah karena lemah, mengalami kesulitan, tidak berdaya,
buruknya penglihatan, dan pengetahuan untuk keluar dari tanah mereka (negeri
musyrik) menuju negeri Islam yang penuh kedamaian.27
Mereka lemah dalam hal
jasmani, yakni tidak mampu untuk berhijrah sehingga mereka teraniaya dan tidak
berdaya melawan orang-orang yang telah menindas mereka.
25
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz 7, h. 382-383. 26
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz 7, h. 379. 27
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz 7, h.384.
24
j. Wanita dan Anak Kecil yang Lemah
Surat Al- Nisā` [4]: 127 maksudnya adalah orang yang baru masuk Islam
meminta fatwa kepada Nabi saw tentang kaum wanita, kemudian Nabi
menjelaskan bahwa Allah memberi fatwa kepada mereka melalui Al-Qurˋân
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah dan tentang perintah Allah agar
mengurus anak yatim secara adil. Ayat ini memberikan fatwa terkait orang-orang
yang lemah dari kalangan wanita dan dari kalangan anak kecil agar memberikan
hak warisan mereka, karena pada saat itu (sebelum masuk Islam) mereka tidak
memberikan hak waris kepada anak-anak yang masih kecil dari harta orang tua
mereka. Dengan demikian diperintahkan kepada mereka untuk berlaku adil dan
memberikan bagian mereka sesuai dengan apa yang telah ditentukan Allah untuk
mereka di dalam kitabnya.28
Adapun lafal yang menunjukan kepada kaum yang
tertindas pada ayat ini adalah انسحضؼف.
2. Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân karya Sayyid Quṯb
Setelah menganalisa kitab tafsir karya Sayyid Quṯb yang berjudul Tafsir Fî
Ẕilâli Qurˋân ditemukan bahwa Quṯb menjelaskan ayat-ayat yang di dalamnya
menjelaskan tentang kaum tertindas. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:
a. Orang yang dahulunya lemah sudah tidak lagi lemah
Sayyid Quṯb dalam kitabnya menafsirkan jelas bahwa Qs. Al-A„râf [7]: 75 itu
adalah pertanyaan untuk menyampaikan ancaman dan teror, menentang keimanan
mereka terhadap Sâlih, dan mencemooh sikap mereka yang membenarkan Sâlih
saat menyampaikan risalah dari Tuhannya. Tetapi, orang-orang yang dahulunya
lemah sudah tidak lagi lemah. Iman kepada Allah telah memberi kekuatan di hati
mereka, kepercayaan dalam jiwa mereka, dan ketenangan dalam logika mereka.
Ancaman dan teror juga cemooh dan penentangan dari kaum elit terhadap orang
28
Al-Ṯabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta`wīl Âyi al-Qur`ân, Juz 7, h.540.
25
lemah tidak beguna lagi, sehingga mereka menjawab: ب أسسم ث ا أب ث قبن
ي .(Sesungguhnya kami percaya kepada apa yang disampaikannya) ي29
Di sini kata ا diartikan dengan “orang-orang yang dahulunya lemah اسحضؼف
sudah tidak lagi lemah. Iman kepada Allah telah memberi kekuatan di hati
mereka, kepercayaan dalam jiwa mereka, dan ketenangan dalam logika mereka.
Ancaman dan teror juga cemooh dan penentangan dari kaum elit terhadap orang
lemah tidak beguna lagi”.
b. Banî Isrāîl
Maksud kaum tertindas yang tercantum dalam Qs. Al-A„râf [7]: 137 melalui
lafal merujuk kepada Banî Isrāîl, dimana layar diturunkan atas adegan سحضؼف
kehancuran dan kebinasaan di satu sisi (Fir„aun dan kaumnya), dan adegan
kekhalifaan dan kemakmuran di sisi lain (Nabi Musa dan pengikutnya). Allah
mewariskan bumi belahan timur dan belahan barat yang penuh berkah karena
kesabaran mereka.30
Adapun bentuk penindasan yang dilakukan oleh Fir„aun kepada Banî Isrâīl
diantaranya adalah menyembelih anak-anak laki mereka dan membiarkan wanita-
wanita mereka. Disini Fir„aun merupakan orang penindas yang melakukan
penindasan terhadap Banî Isrāîl.
c. Nabi Harun
Qs. Al-A„râf [7]: 150 ini menjelaskan tentang Nabi Musa yang kembali
kepada kaumnya dengan hati yang sangat marah, di mana Musa meninggalkan
kaumnya dengan petunjuk tetapi petunjuk itu diganti dengan kesesatan,
meninggalkan kaumnya dalam keadaan beribadah kepada Allah, tetapi kemudian
digantikan dengan menyembah patung anak sapi yang bersuara. Demikian juga
dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi Musa memegang dan menarik kepala
saudaranya yaitu Harun.
29
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân (Beirut: Dar Al-Syuraq, 1967), juz 7, h. 99. 30
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 7, h. 160.
26
Maksud kata ا merujuk kepada (mereka menjadikan aku lemah) اسحضؼف
Nabi Harun, di mana kaumnya menganggap dia adalah seorang yang lemah.
Kaumnya yaitu Banî Isrâīl mereka tertarik untuk menyembah patung sehingga
mereka hendak membunuh Harun yang berusaha menyadarkan dan
mengembalikan mereka dari keterpurukan itu.31
Di sini Nabi Harun yang
merupakan Nabi diperlakukan sewenang-wenang oleh kaumnya yang
menganggapnya lemah.
d. Orang-Orang yang Diperlakukan Kejam
Surat al-Qasas [28]: 4 menjelaskan bahwa Fir„aun telah berbuat aniaya serta
menjadikan warga Mesir berpecah belah, masing-masing kelompok hanya
memikirkan kepentingannya sendiri. Terjadi penindasan yang amat keras serta
penganiayaan terhadap Banî Isrāîl. Jadi orang yang lemah di sini merujuk kepada
Banî Isrāîl, mereka adalah orang-orang lemah yang diperlakukan oleh penguasa
tiran secara kejam. Di antaranya yaitu membunuh anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak perempuan mereka sambil menimpakkan berbagai azab
dan siksa yang pedih.32
Jadi maksud lafal سحضؼف di sini merujuk kepada Banî Isrâīl yang
diperlakukan kejam, mereka adalah orang-orang yang ditindas disebabkan
penganiayaan dan perbuatan ẓalim pemimpinnya yakni Fir‟aun.
e. Orang yang Dipermainkan oleh Diktator
Dalam tafsirnya Qs. al-Qasas [28]: 5 dijelaskan bahwa “maksud kata
ا adalah orang-orang yang tertindas dan nasibnya dipermainkan oleh اسحضؼف
diktator sesuai hawa nafsunya yang kejam. Dalam kasus ayat tersebut, ia
menyembelih anak-anak lelaki mereka, membiarkan hidup anak perempuan
mereka, serta menimpakan siksaan dan hukuman pada mereka. Dalam ayat
tersebut dijelaskan bahwa Allah hendak memberi Karunia-Nya yang tanpa batas
terhadap oarang-orang yang tertindas, yaitu menjadikan mereka para pemimpin
31
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 7, h. 178. 32
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 28, h. 10.
27
dan panutan (bukan budak dan pengikut), mewariskan bumi yang diberkahi
kepada mereka, dan meneguhkan kedudukan mereka di muka bumi dengan
menjadikan mereka orang yang kuat dan kokoh”.33
f. Orang yang Tertindas (Baru Masuk Islam)
Firman Allah swt Al-Anfâl [8]: 26 اركشا إر أحى قهم “dan ingatlah (hai
para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit. Menurut Al-Kalbi ayat ini
turun kepada kaum Muhajirin untuk menggambarkan keadaan mereka sebelum
hijrah dan di awal Islam. Lafal سحضؼف .lagi tertindas” adalah na„at“ ي
Kemudian ف األسض “di bumi” maksudnya di Makkah. Adapun جخبف “kamu
takut” adalah na„at. Makna lafal سحضؼف di sini adalah orang-orang yang ي
tertindas, yakni orang-orang yang baru masuk Islam dan ketika mereka di masa
jahiliyah, mereka adalah orang yang dianggap lemah.34
g. Orang yang Menganiaya Dirinya Sendiri
Dijelaskan dalam tafsirnya bahwa Qs. an- Nisā` [4]: 97 “mereka adalah orang-
orang yang menganiaya dirinya sendiri karena tidak mau bangkit untuk berhijrah,
sementara malaikat sudah datang untuk mengambil nyawa mereka. Mereka
menjawab dengan alasan “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)”,
malaikat menjawab “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?”. Mereka adalah orang-orang yang
mampu berhijrah, akan tetapi mereka tidak berusaha untuk meninggalkan kota
yang zalim pemimpinnya.35
Adapun makna orang-orang yang menganiaya diri
sendiri merupakan penjelasan dari maksud lafal .يسحضؼف
h. Orang Lemah yang Tidak Sanggup Melakukan Apa-Apa
Kemudian di ayat selanjutnya yakni ayat 98 Al-Qurˋân memberikan toleransi
dan mengecualikan orang-orang yang tidak punya daya upaya untuk berhijrah,
33
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 6, h. 42. 34
Sayyid Quthb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 8, h. 74. 35
Sayyid Quthb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 5, h.743.
28
yakni laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak
mengetahui jalan (untuk berhijrah)36
.
Sayyid Quthub menjelaskan فى السض ا كب يسحضؼف -Kami orang) قبن
orang yang tertindas di bumi (Mekah) mereka adalah yang tertindas, ditindas oleh
orang-orang kuat. Mereka adalah orang-orang lemah yang tidak sanggup
melakukan apa-apa37
.
i. Orang yang Mengalami Ujian dan Cobaan yang Berat
Dijelaskan dalam tafsirnya bahwa Qs. an- Nisā` [4]: 75 mempertanyakan
mengapa kamu tidak mau berperang untuk menyelamatkan orang yang lemah dari
kaum lelaki, wanita dan anak-anak? Mereka sedang mengalami ujian dan cobaan
yang amat berat, sebab mereka diuji sehubungan dengan akidah dan agama yang
mereka anut (sesuatu yang paling khusus dari eksistensi manusia), setelah itu baru
menyusul martabat dan harga diri, hak menyangkut harta, dan dunia.
Pemandangan berupa wanita yang lemah dan anak-anak yang tidak berdaya
adalah pemandangan yang sangat memilukan, begitula amat memilukan
pemandangan orang tua yang sudah renta dan tidak berdaya berusaha membela
aqidah dan agamanya. Semua pemandangan ini disuguhkan dalam rangka
menyerukan kaum Muslimin untuk jihad.38
Ujian dan cobaan yang berat ini dijelaskan Sayyid Quṯb menyangkut akidah,
harta, dunia, diri, dan martabat seseorang. Menurutnya ujian yang menyangkut
akidah jauh lebih berat dari ujian yang berhubungan dengan harta, dunia, diri, dan
martabat seseorang. Sebab ujian ini ia adalah ujian yang menyentuh, sesuatu yang
paling khusus. Setelah itu baru menyusul martabat dan harga diri, hak
menyangkut harta, dan dunia.
j. Orang yang Ẕalim
Dalam tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân dijelaskan bahwa ayat 31 surah Saba` adalah
sikap keras kepala dan keras hati orang kafir untuk menolak dengan sengaja Al-
36
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 5, h.743. 37
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 5, h.744 38
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 5, h.708.
29
Qurˋân ataupun kitab-kitab suci terdahulu dikarenakan tidak siap untuk
mengimaninya. Ayat 32 dan 33 menggambarkan tentang orang yang
menyombongkan diri dan orang yang dianggap lemah saling melemparkan
tanggung jawab di hadapan Allah atas kekafiran mereka. Keduanya sama-sama
zalim, yang satu zalim karena kediktatorannya, dan yang lain zalim karena
melepaskan kehormatan, nalar, dan kebebasan manusia untuk tunduk dan pasrah
kepada ketiranian dan kediktatoran39
. Sedangkan Sayyid Quṯb menjelaskan lafal
اا سحضؼف mereka dianggap lemah karena dengan sengaja melepaskan
kehormatan, nalar, dan kebebasannya untuk tunduk dan pasrah kepada ketiranian
dan kediktatoran.
k. Anak-Anak Kecil dan Kaum Wanita
Ayat-ayat yang diturunkan pada bagian permulaan yang membicarakan
tentang wanita ini telah mengundang beberapa pertanyaan dan permohonan fatwa
mengenai beberapa persoalan yang berkenaan dengan mereka. Gejala pertanyaan
kaum muslimin dan permohonan fatwa mereka mengenai beberapa persoalan
hukum, merupakan suatu fenomena dengan kandungan petunjuknya dalam
masyarakat muslim yang baru tumbuh. Sekaligus sebagai fenomena yang
menunjukan kecenderungan kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum
agama dan urusan kehidupan mereka.
Ayat ini yakni Al-Nisâ [4]: 127 memberikan fatwa tentang para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. Allah memerintahkan agar mengurus anak yatim secara adil.
Dengan demikian makna lafal سحضؼف adalah anak-anak kecil dan kaum ان
wanita.
Fenomena lahiriah nash ini menunjukan perlakuan masyarakat jahiliyah dan
wanita yatim. Anak wanita yatim menerima perlakuan yang rakus dan tipu daya
dari walinya, yaitu tamak terhadap hartanya dan penuh tipu daya terhadap
39
Sayyid Quṯb, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân, juz 32, h.1064-1068.
30
maharnya. Demikian pula keadaan anak-anak kecil juga kaum wanita, mereka
dilarang untuk mendapatkan warisan. Karena mereka tidak memiliki kekuatan
untuk mempertahankan warisannya, atau karena mereka belum mampu atau tidak
pernah ikut berperang. Oleh karena itu, mereka tidak berhak mendapatkan warisan
menurut semangat kesukuan yang menjadikan segala sesuatu bagi orang yang
berperang demi membela suku, sedang orang-orang yang lemah tidak berhak
mendapatkan sesuatupun.
3. Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab
Setelah menganalisa kitab tafsir karya Al-Miṣbāh, ditemukan bahwa Quraish
Shihab menafsirkan lafal yang dalam kandungan ayatnya menjelaskan tentang
kaum tertindas. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Masyarakat yang hina dan lemah
Dalam Qs. Al-A„râf [7]: 75 lafal yang menunjuk kepada kaum tertindas yaitu
Ayat ini menjelaskan mengenai tanggapan masyarakat terhadap .اسحضؼفا
nasihat dan ajakan Nabi Sālih as. Kata ا dipahami sebagai masyarakat اسحضؼف
yang hina dan lemah, para pembesar dan pemuka kaum Quraisy melakukan
penindasan atas mereka bukan hanya dalam bidang kebebasan beragama, tetapi
mencakup sekian banyak hal, salah satunya adalah bidang ekonomi”.40
Jadi kaum
tertindas pada ayat ini dimaknai dengan masyarakat yang hina dan lemah, dimana
sebutan tersebut dilakukan oleh pembesar dan pemuka kaum quraisy terhadap
Nabi Sālih dan para pengikutnya.
b. Banî Isrāîl
Dalam surah Al-A„râf [7]: 137 yang dimaksud dengan lafal سحضؼف
(kaum yang ditindas) adalah Banî Isrāîl. Ayat ini memberikan bukti di alam nyata
janji Allah kepada Banî Isrâīl bahwa mereka akan mewarisi bumi dan
membinasakan musuh mereka sebagai buah dari kesabaran mereka. Apa yang
dibangun dengan rapih oleh Fir„aun dan kaumnya berupa gedung-gedung tinggi,
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.155.
31
istana megah, luluh berantakan sebagai balasan atas perbuatan mereka yang
semena-mena terhadap Banî Isrāîl.41
Fir„aun dalam ayat ini diposisikan sebagai
penindas, dimana Fir„aun dan pengikutnya melakukan perbuatan sewenang-
wenang terhadap Banî Isrâīl (yang ditindas).
Penjelasan mengenai golongan yang tertindas adalah kelompok Banî Isrâīl
dijelaskan pula dalam Qs. al-Qasas [28]: 4-5. Ayat ini berisi kisah penting Nabi
Mûsâ dan Fir„aun (penguasa Mesir pada masanya) yang melalui malaikat Jibrîl
disampaikan kepada Nabi Muhammad dan kaum muslimin agar dapat menarik
pelajaran dari apa yang mereka alami. Ayat ini menyatakan bahwa Fir„aun
berbuat sewenang-wenang di muka bumi baik terhadap Allah dengan mengakui
dirinya sebagai Tuhan, dan kepada manusia dengan menjadikan penduduk negeri
Mesir terpecah belah menjadi dua kelompok besar (masyarakat Mesir dan
masyarakat Banī Isrā‟īl (golongan yang tertindas).
Dalam tafsirnya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa “maksud dari kata
orang-orang yang tertindas di bumi pada Qs. al-Qasas [28]: 5 adalah Banî Isrāîl.
Kata ( اا سحضؼف ) istuḏ„îfû terambil dari kata ( ضؼف) ḏa‟ufa yang berarti lemah.
Patron kata yang digunakan ayat ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah kaum
yang tertindas dan dipinggirkan oleh sistem pemerintahan yang diselenggarakan
oleh Fir„aun. Penyebutan kata itu oleh ayat ini dari satu sisi mengisyaratkan
kesewenangan Fir„aun dan di sisi lain menunjukan bahwa kaum lemah itu
memperoleh kasih sayang dan anugerah Allah swt. Anugerah Allah itu beraneka
ragam. Ayat di atas merinci empat di antaranya, yaitu a) menjadikan mereka para
pemimpin, b) menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi, c) akan
meneguhkan kedudukan mereka di bumi, dan d) membinasakan kekuasaan
Fir„aun”.42
c. Nabi Harun
Surah Al-A„râf [7]: 150 menjelaskan keadaan Nabi Musa yang marah ketika
menemukan kaumnya menyembah anak lembu, dan di saat yang sama dia juga
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h 226. 42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 10, h.308.
32
bersedih atas kesesatan mereka padahal dia berpesan kepada Nabi Harun agar
memperhatikan kaumnya dan menasehati mereka. Maksud lafal lemah pada ayat
ini merujuk kepada Nabi Harun, dimana kaumnya telah menganggap lemah
dirinya, berbuat mengancam, bahkan hampi-hampir akan membunuh.43
Lafal yang menunjukan kepada maksud lemahnya orang yang tertindas
adalah ,Orang yang tertindas pada ayat ini adalah Nabi Harun .اسحضؼف
dimana pengikut Nabi Musa yang ditinggal selama beberapa waktu
memperlakukan Nabi Harun dengan sewenang-wenang. Mereka menganggap
lemah kemudian mengancam, dan hampir saja membunuh Nabi Harun. Sehingga
dalam konteks ayat ini, subjek orang yang tertindasnya adalah Nabi Harun.
d. Orang yang Disingkirkan dan Orang yang Diperlemah
Kata ا pada Qs. Saba` [34]: 31-33. “Ayat 31 maksud kata اسحضؼف
ا adalah para pengikut dan yang disingkirkan ke pinggiran اسحضؼف44
, ayat 31
mengandung ucapan kaum musyrikin yang senantiasa konsisten mempertahankan
keyakinan dan tradisi leluhur dan tidak akan beriman kepada Al-Qurˋandan kitab-
kitab yang sebelumnya. Kemudian Huruf (س) Sin pada kata ا istaḏ„ifû اسحضؼف
pada ayat 32 dan 33 dipahami oleh Ibn „Âsyûr berfungsi untuk memberi arti
anggapan, sehingga menurutnya kata tersebut berarti yang dianggap lemah
(walaupun mereka itu tidaklah lemah di sisi Allah). Quraish Shihab
memahaminya dalam arti diperlemah, yakni para pengikut itu tidak diberdayakan
oleh pemimpin-pemimpin mereka, tetapi justru dirongrong dan dianiaya serta
dipinggirkan oleh para penguasa dan pemimpin-pemimpin mereka”45
.
Makna orang yang diperlemah juga dijelaskan dalam Qs. an- Nisā` [4]: 75,
Kata ( سحضؼفان ) al-mustaḏ„afîna pada Qs. an- Nisā` [4]: 75 secara harfiah
berarti orang-orang yang diperlemah, dipahami oleh ulama dalam arti orang-
orang yang dianggap tidak berdaya oleh masyarakat, ketidakberdayaan yang
43
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5, h 256. 44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 11, h.389. 45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 11h.391.
33
telah mencapai batas akhir, sebagaimana dipahami dari penambahan huruf ta dan
sin. Ada juga yang memahami bahwa mereka tidak hanya dianggap tidak berdaya,
tetapi mereka benar-benar tidak diberdayakan46
.
Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa ayat ini bertujuan membakar semangat
kaum muslimin untuk tampil berjuang membela kebenaran dan kaum lemah
dengan menggunakan gaya pertanyaan yang mengandung kecaman. Yang di
maksud oleh ayat ini adalah kaum muslim yang dilarang berhijrah ke Madinah
berdasarkan Perjanjian Hudaibiyah, ayat di atas menggarisbawahi kewajiban
berjuang membela orang-orang yang lemah dan tertindas, dari segi redaksi
dijelaskan segala macam manusia yang diberdayakan oleh satu sistem dimanapun
berada. Ayat ini di tutup dengan doa mereka agar dikeluarkan dari negeri yang
zalim atas penganiayaan yang meninggalkan tumpah darah.47
e. Kaum Minoritas dan Tertindas
Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa ayat ini mengingatkan kembali orang-
orang yang beriman tentang masa-masa ketika masih menjadi kaum minoritas dan
kaum tertindas, dimana semua musuh mengeksploitasi kelemahan dan mereka
dicekam rasa takut oleh tindakan-tindakan penculikan yang dilakukan musuh-
musuh. Kemudian mereka berhijrah atas perintah Allah ke kota Yasrib yang
selanjutnya menjadi tempat tinggal mereka, mereka menang dengan bantuan dan
dukungan-Nya. Allah memberikan harta rampasan perang yang baik-baik kepada
mereka agar mereka bersyukur atas pemberian itu dan terus berjuang demi
menjunjung tinggi kalimat yang benar.48
Dalam ayat ini lafal yang merujuk kepada kaum tertindas adalah سحضؼف ,ي
dalam tafsirnya dijelaskan bahwa orang-orang yang baru masuk Islam dahulunya
mereka adalah kaum tertindas dan kaum minoritas. Kemudian Allah membantu
mereka untuk membebaskan diri dari ketertindasan.
f. Orang yang Menganiaya Diri Mereka Sendiri
46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah jilid 2, h.485. 47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 11, h.485-486. 48
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 6, h. 45.
34
Dalam tafsirnya dijelaskan bahwa Qs. an- Nisā` [4]: 97 ini merupakan
“kecaman terhadap mereka yang enggan berjihad dan enggan berhijrah sehingga
tidak dapat melaksanakan tuntunan agama, padahal sebenarnya mereka mampu.
Keadaan inilah yang membuat mereka celaka. Maksudnya orang yang tertindas di
bumi (Mekkah) ini tidak mau hijrah bersama Nabi saw, sedangkan mereka
sanggup. Di sini Quraish Shihab menggambarkan bahwa orang yang berbuat
demikian adalah orang yang menganiaya diri mereka sendiri, sebab mereka
mampu untuk berjihad akan tetapi enggan. Ayat ini menggambarkan keadaan
mereka saat kematian”.49
Adapun lafal yang dimaksud disini adalah .يسحضؼف
g. Orang yang memiliki kelemahan fisik dan akal
Dalam tafsirnya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa orang yang lemah fisik
dan akalnya dijelaskan dalam Qs. an- Nisā` [4]: 98, yaitu “mengecualikan
sekelompok orang-orang yang sangat lemah dari ancaman yang memiliki
kelemahan fisik. Yaitu orang-orang yang sangat lemah dan tertindas baik lelaki
maupun perempuan atau anak-anak yang tidak mampu berhijrah dan tidak
mengetahui jalan keluar yang tepat menghadapi kesulitan dan ancaman”.50
Adapun lafal yang menunjukan kepada kelemahan fisik dan akal yaitu
سحضؼف .ان
h. Wanita Yatim dan Anak-Anak yang Lemah
Sejak awal surah Al-Nisâ [4]: 127 ini telah diuraikan sekian banyak ketentuan
hukum serta kewajiban-kewajiban. Ayat ini dimulai dengan pembicaraan tentang
wanita dan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka, ia dimulai dengan
pertanyaan terkait ketentuan hukum mengenai wanita yang sungguh jauh berbeda
dengan keyakinan mereka sebelum masuk Islam. Mereka minta fatwa yakni
penjelasan hukum yang berkaitan tentang persoalan wanita seperti hak-hak dan
kewajiban-kewajiban mereka.
49
M. Quraish Shihab Tafsir al-Misbah, Jilid 2, h.537-538 50
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 7, h.538
35
Ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lafal سحضؼف adalah ان
para perempuan yatim dan orang yang amat lemah dari anak-anak. Allah memberi
fatwa bahwa hakikatnya cukup bagi orang-orang (yang baru masuk) Islam untuk
bersikap baik terhadap wanita dan melarang untuk berbuat aniaya atau
mengabaikan apa yang difatwakan Allah.51
Dari penjelasan tiga kitab di atas, dapat disimpulkan bahwa penafsiran kaum
tertindas dalam karya tafsir dimaknai dengan lebih dari satu makna. Al- Ṯabari
memberikan definisi terhadap kaum tertindas, yakni segolongan penduduk yang
diperlakukan sewenang-wenang dan rendah oleh pemimpin (penindas) karena
ketidakberdayaan untuk melawan, dan akhirnya mereka terpinggirkan. Kemudian
Sayyid Quṯb memberikan penjelasan bahwa kaum tertindas adalah orang yang
dipermainkan oleh diktator di mana mereka tidak sanggup melakukan apa-apa,
mereka adalah orang-orang yang mendapatkan ujian dan cobaan yang berat.
Orang tertindas ini berasal dari kalangan anak-anak yang masih kecil dan kaum
perempuan, yang keberadaannya tidak diharapkan. Quraish Shihab menjelaskan
bahwa kaum tertindas yaitu masyarakat yang dianggap hina dan lemah serta
keadaanya tertindas di bumi sehingga mereka tersingkirkan dan dianggap lemah.
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai penafsiran Al- Ṯabari, Sayyid
Quṯb, Quraish Shihab mengenai lafal kaum tertindas, penulis berpendapat bahwa
konteks sosio-historis dan target subjek suatu ayat memberikan pengaruh yang
cukup besar kepada para mufasir di dalam memahami teks tentang lafal ini. Para
mufasir memberikan ulasan yang bervariasi mengenai satu lafal ini, yang
kemudian menjadikan tafsirnya kaya akan penjelasan, yang di dalamnya terdapat
kesamaan tafsir atau bahkan berbeda di dalam menggunakan kata untuk
menjelaskan lafaz mengenai kaum lemah/ tertindas ini. Di bab IV yang akan
datang, penulis akan sajikan bagaimana Farid Esack menjelaskan mengenai kaum
tertindas dan sumbangsih pemikiran apa yang ditawarkan Esack di dalam
memahami/ menafsirkan sebuah ayat.
51
M. Quraish Shihab Tafsir al-Misbah, Jilid 2, h. 577.
36
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN FARID ESACK
Pada bab ini akan dipaparkan berbagai hal mengenai Farid Esack, mulai dari
riwayat hidup dan pendidikan, karya dan pemikirannya, serta latar belakang dan
sosio kultural Farid Esack. Akan disajikan pula perihal kegiatan Esack saat ini.
Hal ini menjadi sangat penting dibahas, untuk memudahkan upaya analisis
terhadap pemikirannya dan akan membantu memahami konteks gerakan dan
pemikirannya serta menunjukan bahwa sampai saat ini Esack masih produktif
melakukan kegiatan-kegiatan dalam bidang akademik.
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Farid Esack
Farid Esack dilahirkan pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh lagi
miskin tepatnya di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan. Ia hidup dengan
seorang Ibu yang ditinggal suaminya bersama enam orang anak di Wynberg.
Ayahnya yakni suami sang Ibu meninggalkan keluarganya. Ibunya berperan
sebagai single parent yang mempunyai peran ganda tidak hanya sebagai sosok ibu
tetapi juga sebagai pencari nafkah buruh kecil untuk memerankan posisi Ayah
sebagai pencari nafkah. Kondisi inilah yang mengharuskan Farid Esack bersama
saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan
pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna1.
Esack kecil dibesarkan di Bonteheuwel, Cape Flats yang merupakan sebuah
kota paling tandus di Afrika Selatan untuk masyarakat kulit hitam, keturunan
India, dan kulit berwarna. Keluarganya dipaksa pindah ke kota tersebut oleh
pemerintah melalui Akta Wilayah Kelompok (Group Areas Act). Ketika masih
usia tiga minggu, ayahnya meninggalkan keluarganya yang terdiri dari ibu dan
lima saudaranya. Sepeninggal ayahnya, keluarga Esack hidup dalam kemiskinan
yang digambarkan olehnya dengan sebuah kisah memilukan. Ketika pulang
sekolah, Esack bersama kakaknya berkeliling mengetuk pintu tetangga rumah
1Sudarman, “Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qurˋân”,
Jurnal Al-Adyan. Vol. X. No.1, 2015, h.85.
37
untuk meminta sepotong roti atau mengaduk-aduk tempat sampah demi mencari
sisa buah-buahan atau makanan lainnya2.
Kemelaratan yang dialami Esack hanyalah salah satu wujud apartheid Afrika
Selatan. Pada 1980-an orang kulit putih yang jumlahnya hanya seperenam total
populasi, memperoleh hampir dua pertiga pendapatan nasional, sementara orang
kulit hitam yang jumlahnya hampir tiga perempat total populasi hanya mendapat
seperempatnya. Jutaan penganggur tidur di mana saja, mereka tidur dengan perut
kosong, bangun tanpa ada yang dapat dimakan. Esok hari pergi mencari kerja
kembali, jika tak mendapatkannya, mereka pun kembali dengan tangan hampa.
Inilah kondisi Afrika Selatan saat Esack tumbuh.3
Di dua kota, yakni Wynberg dan Bonteheuwel, Farid Esack bertetangga
dengan umat Kristen. Bahkan di sekolah pun ia dididik berdasarkan pendidikan
nasional Kristen, yang menurutnya merupakan sebuah ideologi konservatif
dengan tujuan membentuk warga apartheid yang patuh dan takut kepada Tuhan. Ia
menuturkan bahwa masyarakat Afrika Selatan adalah masyarakat dengan multi
agama. Ada kelompok masyarakat asli yang nyaris punah seperti Khoikhoi,
Nguni, San, dan kelompok lainnya yang diketahui memeluk berbagai kepercayaan
dan melakukan praktik keagamaan. Kelompok agama selain itu adalah Yahudi,
Baha’i, dan tentunya agama yang dianut olehnya yakni Islam.4
Ketika kesulitan hidup semakin mendera, keluarga Esack sangat bergantung
kepada para tetangga Kristen tersebut yang selalu rutin memberi makan seadanya.
Esack secara khusus juga tidak pernah melupakan jasa Tuan Frank, seorang
Yahudi yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan
uang untuk waktu yang tak terbatas. Hubungan sosial yang begitu harmonis yang
bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih supel dalam
bergaul. Selanjutnya, ketika Esack merintis perjuangan anti apartheid, Esack tidak
2Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h.2, bandingkan dengan Farid Esack,
Membebaskan yang Tertindas Al-Qurˋân, Liberalisme, Pluralisme (Bandung: Mizan, 2002, h.24. 3Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.2 4Adi Fadilah, “Epistemologi Al-Qurˋân Kontemporer: Analisis Komparatif Farid Esack
dan Zianuddin Sardar”, skripsi (S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), 2015,
h. 17
38
lagi mempersoalkan prasangka-prasangka sempit, karena problem klaim
kebenaran dan klaim keselamatan (claim of truth and salvation) di benaknya telah
usai5.
Ketika masih kecil, ia sudah menjadi sekretaris masyarakat yang bertugas
mengatur masjid dan sebagai guru madrasah. Di tengah keterhimpitan hidup,
Farid Esack tetap rajin bersekolah mesti tanpa alas kaki dan buku-buku yang
memadai. Di tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack mampu menyelesaikan
pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afrika Selatan, saat itu dia
memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen. Selama tahun
1973-1981 dia menghabiskan waktunya untuk mengikuti scholarship di Pakistan,
sambil mengajar di St. Pattrich High School, Karachi. Pada tahun yang sama dia
belajar pendidikan teologi di Jamia Arabia Islamia, Jamia Alima, Jamia Abu Bakr
Karachi Pakistan, sampai kemudian mendapat gelar sebagai teolog Islam dari
tempat yang sama6.
Ia kemudian melanjutkan studinya di University of Brimingham Inggris
untuk mendapat gelar Ph.D-nya dalam bidang tafsir Al-Qurˋân pada tahun 1996,
selama setahun antara 1994-1995 menjadi peneliti dalam bidang Biblical
Hermeneutics di Philosophische Theologische Hochschule, Sank Georgen,
Frankfurt, Jerman. Sepulang dari Eropa Esack pernah tercatat sebagai associate
professor dalam studi Islam di University of Western Cape, Afrika Selatan.
Kemudian antara tahun 1984-1989 ia di tunjuk sebagai koordinator Nasional
sebuah gerakan yang bernama Call of Islam, kemudian The United Democratic
Front, The Organisation of people Againts Sexim dan The Cape Againts Racism.7
Di Afrika Selatan, Esack bersama beberapa temannya semasa di Pakistan
yaitu Ebrahim Rosool membentuk organisasi politik keagamaan The Call of Islam
dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack
berkeinginan dan berjuang keras untuk menemukan formulasi Islam khas Afrika,
5Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.3. 6Ahmala Arifin, Tafsir Pembebasan: Metode Interpretasi Progresif ala Farid Esack
(Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011) h.23 7 Farid Esack, On Being a Muslim (Oxford: Oneworld, 1999), h. xiv.
39
berdasarkan pengalaman penindasan dan upaya pembebasan yang disebutnya
sebagai a search for an outside model of Islam8.
Esack adalah sosok yang religius ketika kecil dan peduli terhadap penderitaan
yang dialami orang-orang di sekitarnya. Dia percaya bahwa Tuhan itu adil dan
berpihak kepada kaum tertindas. Akhirnya ketika ia berumur 9 tahun, ia terdorong
untuk bergabung dengan Jamaah Tabligh (sebuah gerakan kebangkitan Muslim
internasional). Ia percaya terhadap firman Allah (Qs. Muḥammad [47]: 7) “Jika
kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu”. Dengan demikian menurutnya berarti bahwa saya harus ikut andil
dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan, dan jika saya menginginkan
bantuan Tuhan di sini maka saya harus menolong Dia (agama).9
Batin Esack senantiasa tersentuh melihat kapasitas manusia yang seolah-olah
tidak habis-habisnya menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain mulai dari
agama, ras, jenis kelamin. Ibunya bekerja di pabrik dengan gaji yang amat kecil,
dia berangkat pagi buta ketika hari masih gelap dan pulang ketika hari telah gelap
pula. Masa kecil Esack, ia jalani sebagai korban apartheid dan kemiskinan.
Menyaksikan ibunya terbenam di bawah eksploitasi ekonomi dan patriarkhi cukup
membentuk komitmen kekal dalam diri Esack akan rasa keadilan.10
Dalam bukunya dipaparkan bahwa Esack pernah ditahan oleh Pasukan
Khusus yang kemudian dikenal sebagai polisi keamanan. Hal itu lantaran ia aktif
di Aksi Pemuda Nasional (NYA) dan Asosiasi Cedekiawan Kulit Hitam Afrika
Selatan (SABSA), organisasi ini sebelum dilarang tahun 1973 bermarkas di
gedung Christian Institute. Kedua organisasi ini menuntut perubahan sosial-
politik, di sanalah mereka menikmati keramahan dan solidaritas dari
pemimpinnya, Pendeta Theo Kotze dan para stafnya menawarkan fasilitas
8Iswahyudi, “Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan Telaah Atas
Hermeneutika Al-Qurˋân Farid Esack”, Jurnal Al-Tahrir, Vol.11. No.1. 2011, h. 145. Lihat juga
Sudarman, “Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qurˋân”, Jurnal Al-
Adyan. Vol. X. No.1, 2015, h.88. 9Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.3. 10
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.2
40
beribadah bagi para Muslim dan datang mengunjungi Esack beserta keluarga
setelah ia di lepas dari tahanan.11
B. Karya dan Pemikiran Farid Esack
Farid Esack adalah pemikir muda Islam yang menyandang gelar doktor
bidang tafsir al-Quran, staf pengajar di Universitas Western Cape, Afrika Selatan
dan tokoh senior dalam World Conference on Religion and Peace. Ia juga
merupakan guru besar dalam kajian etika, agama dan masyarakat di Xavier
University, Cincinnati, Amerika Serikat. Farid Esack adalah salah satu figur
sentral menggulirkan rezim apartheid di Afrika Selatan, semangat perjuangannya
terinspirasi dari semangat perjuangan Nabi Muhammad melawan segala bentuk
rasialisme, tirani, ketidakadilan dan kapitalisme kaum Quraisy yang
didokumentasikan dalam Al-Qurˋân.12
Sebagai seorang intelektual dan seorang aktivis cemerlang, Farid cukup
produktif dalam menulis banyak buku dan artikel ilmiah. Beberapa diantaranya
yaitu But Musa Went To Fir’aun!: A Compilation of Questions and Answers about
The Role of Muslims in the South African Struggle for Liberation, Qur’an
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression, On Being A Muslim: Finding a Religious Path in the world
Today, dan yang lainnya.13
Adapun tulisan-tulisan Farid Esack yang ada dalam homepage-nya antara
lain14
:
1. “Muslim Engaging The Other and Humanum”.
2. “The Unfinished Business of Our Liberation Struggle”.
3. “How Liberated Is Christian Liberation Theolog”.
11
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.4 12
M. Abduh Wahid, “Tafsir Liberatif Farid Esack”, Jurnal Tafsere, Vol. 4, No. 2, 2016,
h.149. 13
Sudarman, “Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qurˋân”,
Jurnal Al-Adyan. Vol. X. No.1, 2015, h.91. 14
Miftahul Arif, “Metode Tafsir Kontemporer (Studi Analisis terhadap Metode Tafsir
Tafsir Progressif Farid Esack), skripsi (S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo), 2010, h.50.
41
4. “Religio Cultural Diversity: For what ang With Whom? Muslim
Reflections from a Post Apartheid South Africa in the Throes of
Globalization”.
5. “Why Clebrate Women’s Day?”.
6. “The Liberation Struggle in South Africa: The Bases of Our Hope, 1988”.
Pemikiran dan karya-karya Farid Esack selain dipublikasikan dalam bentuk
buku, juga tertuang dalam bentuk artikel dan makalah lepas oleh beberapa media
cetak, nasional maupun internasional. Sejumlah pemikiran Farid Esack yang
berbentuk artikel dan dipublikasikan dalam jurnal atau yang di himpun dalam
sebuah buku antara lain: “Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam
jurnal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987),
“Contemporary Religius Thought in South Africa and Emergence of Qur’anic
Hermeneutical Nation”, dalam jurnal of Islam and Christian-Muslim Relation,
Vol.5 No.2 (1991),
Kemudian Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim
World Vol.83 No.2 (1993), “The Exodus Paradigm in The Light of
Reinterpretative Islamic Thought in South Africa”, dalam Islamochristiana
Vol.17 (1999), “From the Darkness of Oppression into the Wildness of
Uncertainly”, dalam David Dorward, South Africa- The Way Forward? (Victoria:
Africa Research Institute, 1990), “Spektrum Teeologi Progressif Afrika Selatan”,
dalam Tore Lindholm dan KarlVogt (ed), Dekonstruksi Syari’ah (Iii): Kritik
Konsep dan Penjajahan Lain, terj: Farid Wajdi (Yogyakarta: LkiS, 1996)15
.
Farid Esack terlibat dan aktif dengan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di
Afrika Selatan, kekejaman rezim apartheid yang rasis terhadap bangsa non-kulit
putih telah membuatnya semakin yakin dengan gerakan kemanusiaan yang
mengedepankan keadilan dan perdamaian dengan semangat solidaritas antar
agama. Untuk itu antara tahun 1984-1989, ia ditunjuk sebagai koordinator
nasional gerakan Call of Islam, The United Democratic Front, The Organisation
of People Againts Sexim dan The Cape Againts Racism. Hasilnya ia menjadi
15
Ahmad Zainal Abidin, “Epistemologi Tafsir Al-Qurˋân Farid Esack”, Jurnal Teologia,
Vol.24, No.1, 2013, h. 6-7.
42
salah satu figure sentral aktivis muslim yang bergerak untuk memperjuangkan
kebebasan bagi bangsanya, terlepas dari latar belakang agama, budaya, dan ras
menuju sebuah bangsa Afrika Selatan yang baru. Bahkan pada awal tahun 1997 ia
di tunjuk sebagai Ketua Komisi untuk Kesetaraan Gender16
.
Setelah figure publiknya semakin nyata, Farid Esack sering diminta menjadi
anggota dewan kehormatan berbagai lembaga seperti The Community
Development Resource Association, The AIDS Treatment Action Campaign,
National Public Radio, dan The Muslim Peace Fellowship. Persahabatannya
dengan beberapa tokoh pemikir Kristen dan Katolik membuat pemikiran Farid
Esack sangat dekat dengan pluralism dan hubungan antar agama. Ia juga
merupakan orang yang cukup berperan dalam World Conference on Religion and
Peace17
.
Dalam konteks kebangsaan, Farid Esack selalu menegaskan perlunya sebuah
upaya bersama yang sifatnya melintas antar agama, antar etnis, dan antar
kelompok untuk sama-sama melawan penindasan, kezaliman, kesewenang-
wenangan, dan kejahatan kemanusiaan. Pertautan erat antara teks Al-Qurˋân
dengan realitas menjadi spektrum yang memicu Farid Esack memikirkan kembali
teks-teks Al-Qurˋân yang dikontekstualisasikan dengan realitas Afrika Selatan
dalam perjuangannya membebaskan kaum yang tertindas akibat rezim apartheid.18
Ada empat tujuan yang hendak dicapai oleh Farid Esack, pertama ingin
memperlihatkan bahwa adalah mungkin untuk hidup dalam keimanan terhadap
Al-Qurˋân sekaligus dalam konteks kekinian bersama orang-orang yang berbeda
agama, bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih
manusiawi. Kedua mengedepankan gagasan hermeneutika Al-Qurˋân sebagai
suatu sumbangsih bagi pengembangan pluralisme teologi dalam Islam. Ketiga
mengkaji ulang cara Al-Qurˋân mendefinisikan golongan kita dan golongan lain
(yang beriman dan yang tidak beriman) untuk dapat memberi ruang bagi
16
M. Abduh Wahid, “Tafsir Liberatif Farid Esack”, h. 154. 17
Lukman S Thahir, “Islam Ideologi Kaum Tertindas: Counter Hegemony Kaum
Marginal dan Mustad’afīn”, Jurnal Hunafa, Vol.6, No.1, 2009, h. 26. 18
Iswahyudi, “Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack”, Jurnal Religio: Jurnal Studi
Agama-agama, Vol. 2, No.2, 2012, h. 142.
43
kebenaran dan keadilan orang lain dalam teologi pluralisme demi pembebasan.
Keempat menggali hubungan antara eksklusivisme keagamaan dan sebentuk
konservatisme politik (yang mendukung apartheid) di satu sisi, dan inkluvisme
keagamaan dan sebentuk politik progresif (yang mendukung pembebasan) di sisi
lain, dan untuk memberikan alasan-alasan Qurani bagi yang terakhir.19
Terkait proses penerimaan wahyu Tuhan oleh Nabi Muḥammad, Farid Esack
sependapat dengan pendapat umum bahwa Al-Qurˋân diwahyukan Allah kepada
Nabi Muḥammad melalui Jibril, dengan merujuk kata tanzīl sebagai kata yang
juga digunakan Al-Qurˋân untuk mengungkapkan proses pewahyuan (Qs. al-Isrā’
[17]: 105), dan kenyataan bahwa Al-Qurˋân telah berupa mushaf suci umat Islam,
Farid Esack menggambarkan seperti sebuah surat yang datang dari Tuhan, ditulis
oleh Tuhan dan Nabi Muḥammad hanyalah pembacanya20
. Pandangan Farid
Esack terhadap penafsiran Al-Qurˋân sangat terkait dengan pandangannya bahwa
setiap produk penafsiran tidak akan pernah lepas dari subyektif penafsirnya. Dia
berasumsi bahwa setiap orang mendatangi teks dengan persoalan dan kesan
sendiri, dan tidak mungkin untuk menuntut penafsir lepas sepenuhnya dari
subyektifitas dirinya dan menafsirkan suatu tanpa di pengaruhi pemahaman awal
yang berada dalam benaknya.21
Al-Qurˋân sebagai subject of interpretation adalah kontekstual dan harus
dikontekstualisasikan. Menurutnya umat Islam tidak seharusnya terkungkung oleh
hasil penafsiran para mufassir masa lalu yang merupakan produk historis
(mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan konteks kekinian)22
. Untuk itu, Esack
mencoba membuat sebuah rumusan hermeneutika yang disebutnya dengan istilah
“hermeneutika pembebasan”. Hermeneutika ini ingin menempatkan posisi sentral
penafsiran pada prior text dan respon terhadap konteks tanggapan audiens, serta
menekankan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Hal penting
yang ingin dicapai Farid Esack adalah menemukan kembali “makna baru”
19
Farid Esack, Qur’ân, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.14. 20
Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of
Qur’anic Hermeneutical Notion”, dalam I.C.M.R, 2, 1991, H.207. 21
Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutics: Problem and Prospect”, The Muslim World, Vol.
LXXXIII, no.2, 1993, h.51. 22
Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutics: Problem and Prospect”, h.55.
44
hermeneutika dalam konteks partikular sosial-politiknya sesuai dengan kebutuhan
konteks Afrika Selatan.23
C. Latar Belakang dan Sosio-Kultural Farid Esack
Farid Esack lahir dan tumbuh di Afrika Selatan, tempat ia lahir dan
dibesarkan merupakan wilayah di mana pluralitas tumbuh dan berkembang. Sejak
kecil, Farid Esack sudah bersentuhan dengan tetangga-tetangganya yang Kristen,
baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah dia berteman dengan seorang
Yahudi bernama Frank, dan Tahirah seorang perempuan Baha’i. Di wilayah
Wynberg dan Bounteheuwel kelompok-kelompok suku asli Khoikhoin, Nguni,
San, dan lainnya dikenal dengan kepercayaan yang berbeda-beda, disamping
penduduk asli muslim dan pendatang baru dari Indonesia pada pertengahan abad
ke-17, ada juga pendatang agama Yahudi dan Hindu yang masuk pada
pertengahan kedua abad ke-19 serta orang-orang dari Eropa Timur pada awal abad
ke-20.24
Sejak dahulu kala, masyarakat Afrika Selatan adalah masyarakat multiagama,
namun demikian hubungan sosial yang mereka bangun begitu harmonis bahkan
mengatasi sekat agama itu. Di antara pengalaman yang sempat di alami Farid
Esack menunjukan kehidupan harmonis di antara mereka. Para tetangganya yang
beragama Kristen secara rutin memberi makan ala kadarnya ketika ia dan
keluarganya mengalami kesulitan hidup yang parah, Tuan Frank (berdarah
Yahudi) yang memberikan perpanjangan waktu pembayaran pinjaman yang
seolah tanpa akhir, dan para tetangga lainnya. Inilah kenyataan penderitaan
menjadi terpikulkan berkat solidaritas antara iman, agama memainkan peranan
penting di antara seluruh kelas masyarakat Afrika Selatan.25
Suatu kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu
inspirasi penting dalam perkembangan Farid Esack yang kemudian meyakini
bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata : surga, neraka,
23
Farid Esack, “Qur’anic Hermeneutics: Problem and Prospect”, h.163 24
M. Abduh Wahid, “Tafsir Liberatif Farid Esack”, Jurnal Tafsere, Vol. 4, No. 2, 2016,
h.151. 25
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.3.
45
dan lain-lain. Bagi Farid Esack, teologi yang terlalu mengurusi urusan Tuhan,
sementara urusan Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus dan dibela adalah
teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi ummat. Farid Esack
meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk
tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihani
makhluk-Nya maka kita telah sama saja dengan mengabdi kepada Tuhan.26
Penderitaan hidup yang dialami keluarga Farid Esack adalah gambaran mikro
dari derita rakyat Afrika Selatan akibat perlakuan diskriminatif rezim apartheid.
Banyak orang kulit hitam menjadi budak, sementara kulit putih menguasai sektor
publik dan kelas menengah. Perlakuan istimewa terhadap orang kulit hitam
tersebut ditambah lagi dengan dua kebijakan rezim apartheid yang makin
menyingkirkan orang kulit hitam yang mayoritas dari akses-akses ekonomi dan
politik serta hukum.27
Dua kebijakan tersebut adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang
menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan. Trikameralisme adalah
sebuah produk konstitusi yang dibuat Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang
membagi tiga parlemen berdasarkan warna kulit warga Afrika Selatan (putih,
berwarna, dan hitam). Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri, setiap
ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini, diselesaikan
oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang 4: 2: 1. Kebijakan
lainnya adalah penerapan akta wilayah yang mebuat orang kulit hitam tergusur
dan terpinggirkan di daerah-daerah paling tandus di Afrika selatan, mereka
akhirnya menjadi pengemis di kampungnya sendiri. Inilah realitas yang
menggelikan sekaligus mengerikan yang terjadi ketika rezim apartheid masih
berkuasa di Afrika Selatan.28
Gambaran kehidupan menyedihkan seperti itu justru berjalan lancar dengan
peran serta kaum akomodasionis sebagaimana Esack menyebut Muslim ataupun
26
M. Abduh Wahid, “Tafsir Liberatif Farid Esack”, h.152 27
Sudarman, “Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qurˋân”,
h.92. 28
Farid Esack, Qur’an, liberation and Pruralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 36-47.
46
Kristiani fundamental. Meskipun pada dasarnya mereka menolak penindasan
kolonial, namun mereka tidak lantas melakukan aksi frontal melawan rezim
penjajah. Justru semakin melanggengkan sistem apartheid dengan menikmati
status quo, dikotomi kesukuan dan keagamaan yang sayangnya mereka sadari
sebagai eksklusivisme. Kemudian pelajar-pelajar dari berbagai etnis di cekoki
doktrin untuk patuh pada pemerintah sebagai representasi Tuhan. Sistem
pendidikan yang bertujuan membungkam rakyat untuk tidak melawan pemerintah.
Saat itu lembaga pendidikan sangat terbatas, karena izin pendirian lembaga di
berikan hanya untuk lembaga pendidikan Kristen. Jadi, semasa kecilnya Farid
bersekolah di sekolah Kristen dan di berikan pengetahuan dogmatik untuk
membenarkan status quo yang kompleks tersebut.29
Kemudian, budaya partiarki di Afrika Selatan menempatkan perempuan pada
posisi subordinat. Kasus pemerkosaan atas ibunya misalnya tidak mendapatkan
perlindungan dan advokasi serius, lebih dari itu kelompok keagamaan tertentu
memperlakukan perempuan secara tidak adil dan semena-mena. Atas nama
agama, mereka menempatkan perempuan pada wilayah domestik dan selalu
disalahkan.30
Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi
kepada tetangga Kristen dan Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan
universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas.
Konteks Afrika Selatan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
pola pikir dan kehidupan Farid. Hal ini bisa di maklumi karena dalam sejarahnya,
Afrika Selatan pernah mengalami nestapa ang sangat dalam. Peristiwa ini berawal
dari kemenangan Partai Nasional di pesta pemilu yang akhirnya harus di kuasai
oleh segelintir minoritas kulit putih31
.
Sejak saat itulah Afrika Selatan mulai menorehkan sejarah hitam yang
kemudian berlangsung selama kurang lebih 41 tahun, dari tahun 1948 sampai
tahun 1989. Selama kurun waktu tersebut, Negara Afrika Selatan merupakan satu-
29
Miftahul Arif, “Metode Tafsir Kontemporer (Studi Analisis terhadap Metode Tafsir
Tafsir Progressif Farid Esack, h.43-44. 30
Iswahyudi, “Hermeneutika Praksis Liberatif Farid Esack”. h. 147. 31
Leornard Thomson dan Andrew Prior, South African Politics (New York: The Vail-
Ballov Press, 1982), h.108.
47
satunya negara yang menerapkan praktik hegemoni atas dasar ras dalam bidang
sosial dan politik secara formal. Pemerintah status quo memberlakukan sistem
ideologi apartheid yang kaku dan sistematis. Penerapan ideologi ini memiliki
konsekuensi langsung bukan hanya pada level politik, tetapi juga memasuki
wilayh publik lainnya, sosial, ekonomi, dan budaya32
.
Kebijakan ini ditopang oleh sistem politik yang dikenal dengan
“Trikamelarism”: sebuah sitem tiga majelis di tingkat parlemen yang terdiri dari
kelompok kulit putih, kelompok kulit hitam, dan kelompok kulit berwarna.
Dengan sistem ini, minoritas kulit putih menempatkan dirinya sebagai kaum
aristokrat dalam arena politik praktis. Sedemikian rupa, sejak tahun 1948,
pemerintah Afrika Selatan secara resmi menggunakan apartheid sebagai kebijakan
Negara33
.
Kebijakan apartheid secara langsung menerapkan segregasi rasial yang
kejam. Agar kebijakan ini bisa berjalan baik dan sistematis, pihak pemerintah
memecah kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan di Afrika Selatan ke
dalam tiga klasifikasi berdasarkan wilayah etnik: (1) kelompok komunitas
(Afrikaneer, Malay, Xhosa), (2) kelompok kasta (kulit putih, berwarna, orang
Asia, dan orang Afrika) dan (3) kelompok nasionalis yang tersebar di semua kasta
dan komunitas. Ketika hampir seluruh ruang publik di kuasai oleh minoritas kulit
putih, orang kulit hitam sebagai warga negara asli Afrika Selatan tidak memiliki
hak-hak kewarganegaraan penuh seperti aristokrat kulit putih34
.
Saat ini Afrika Selatan dikenal sebagai negara demokrasi.35
Pada masa dulu,
pemerintahan negara ini dikecam karena politik “apartheidnya” tetapi sekarang,
Afrika Selatan adalah sebuah negara demokratis dengan penduduk kulit putih
terbesar di benua Afrika. Afrika Selatan juga merupakan negara dengan berbagai
32
John Sharp, “Non-Racialism and Its Discontentets: a Post-apartheid Paradox”, dalam
International Social Sciences Journal, 1998, h.243. 33
Christian P. Pothholm, Four African Political System (New Jersey: Preinticehall, 1970),
h.96. 34
Leornard Thomson dan Andrew Prior, South African Politics (New York: The Vail-
Ballov Press, 1982), h.149 35
https://googleweblight.com/i?u=https://m.liputan6.com/tag/afrika-selatan&hl=id-ID
diakses pada kamis, 07 juni 2018.
48
macam bangsa dan mempunyai 11 bahasa resmi. Negara ini juga terkenal sebagai
produsen, berlian, emas, dan platinum yang utama di dunia.36
D. Farid Esack Saat ini
Menurut Fahruddin Faiz Farid Esack lebih suka dipanggil dengan sebutan
aktivis dibandingkan pemikir, meskipun karya-karyanya banyak. Hari-hari ini
kesibukannya berkutat pada dunia akademik. Esack di undang keseluruh dunia
untuk ceramah, diskusi, seminar, dan lain sebagainya.37
Saat ini, waktunya banyak
dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah (wacana) yang bertalian dengan
masalah keislaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam, politik
environmentalisme dan keadilan gender di sejumlah universitas di berbagai
penjuru dunia, termasuk di antaranya Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard,
Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Tow,
Jakarta38
.
Baru-baru ini Farid Esack menjadi pembicara kuliah umum di University of
British pada department of educational studies tanggal 3 juli hingga 20 juli 2018
yang berjudul A contemporary Global Muslim Engagement with Theology and
social Transformation.39
Aktivitas Farid Esack sangatlah padat. Ia tak pernah
membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di
University of Western Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri
seminar-seminar di dalam maupun luar negeri.40
36
https://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan diakses pada senin, 3 september 2018. 37
Ceramah Fahruddin Faiz melalui youtube https://youtu.be/woRO8Ur6AiU diakses pada
tanggal 28 agustus 2018 38
Farid Esack, http://www.homepagefaridesack.com diakses pada tanggal 06 juli 2018. 39
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&crt=j&rnl=http://edst-
educ.sites.olt.ubc.ca/files/2018/03/2018-Noted-Scholar-Farid-Esack-
CourseOutline.pdf&ved=2ahUKEwiF15SfvqfdAhUIR48KHflKBdoQFjAGegQIBBAB&usg=Ao
Vvaw01tWq9WQZjQknLvLIZJXf3 diakses pada tanggal 06 agustus 2018. 40
Islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/ diakses pada
senin 28 mei 2018.
49
BAB IV
KAUM TERTINDAS PERSPEKTIF FARID ESACK
Setelah dibahas pada bab dua mengenai terminologi kaum tertindas dalam
karya tafsir, di mana dalam hal ini tiga mufasir yaitu Al-Ṯabari, Sayyid Quṯb,
Quraish Shihab menafsirkan ayat-ayat kaum tertindas dengan dipengaruhi oleh
konteks maksud ayat, pada bab ini akan dijelaskan pandangan Farid Esack sebagai
doktor di bidang tafsir al-Qurˋân menjelaskan mengenai terminologi/ penggunaan
lafal yang diungkapkan al-Qurˋân untuk menunjukan kaum tertindas. Akan
dijelaskan pula mengenai tafsir liberatif Farid Esack sebagai solusi metodologis
dan akan dibahas juga solusi praktis yang ditawarkan Esack sebagai jalan keluar
untuk menghapuskan dan membebaskan penindasan terhadap kaum tertindas yang
terjadi di Afrika Selatan.
A. Terminologi Kaum Tertindas Menurut Farid Esack
Orang yang tertindas adalah orang yang dianggap lemah dan tidak berarti serta
diperlakukan secara arogan. Mustaḏ„afûn ialah mereka yang berada pada status
sosial inferior, tersisih, atau tertindas. Al-Qurˋân juga menurut Farid Esack
memakai beberapa istilah lain ketika menunjuk kelas sosial yang rendah dan
miskin. Dalam menunjukan terminologi kaum tertindas, Farid Esack
mengungkapkannya dalam beberapa kata, yaitu: mustaḏ„afûn (orang-orang
lemah), arâdzîl (orang-orang tersisih) fuqarâˋ (orang-orang faqir), dan masâkîn
(orang-orang miskin).1
Bentuk penindasan yang dimaksud Farid Esack ialah ketika suatu kaum atau
golongan yang mendapat diskriminasi melibatkan suatu hal atau beberapa hal:
seperti sosial, ekonomi, ras, budaya, etnik, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh
suatu kepentingan yang memonopoli seseorang atau golongan lain, yang
kemudian dalam permasalahan ini munculah penindasan yang disebabkan oleh
hadirnya kaum penindas dan kaum tertindas yang hakikatnya tidak diuntungkan
oleh kejadian seperti ini.
1Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld: 1997), h.98.
50
Berbicara mengenai kaum tertindas, dalam hal ini Esack memberikan
penjelasan mengenai terminologi kaum tertindas. Adapun penjelasannya adalah:
1. Mustaḏ„afûn (Orang-Orang Lemah)
Akar kata mustaḏ„afîn atau mustaḏ„afûn adalah ḏa„ufa ظعف (lemah).2
Seperti dalam firman Allah:
ح ه ثعذ ل ه خع ح ث ه ثعذ ظعف ل ه خع ظعف ث اهز خمى للاه
ب ٠شب ش١جخ ٠خك ظعفب ع١ ا مذ٠ش ء ا
Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang Dia Kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Maha Kuasa.
(Al-Rûm [30 ]: 54).
Mustaḏ„afûn adalah orang orang yang lemah/ orang-orang yang dilemahkan
(karena situasi), yaitu mereka yang berada pada status inferior, rentan, tersisih,
atau tertindas secara sosio ekonomi disebabkan oleh kemiskinan yang struktural.
Orang-orang yang lemah/ dilemahkan ini adalah orang yang disebabkan struktur
sosial/ situasi, mereka menjadi mustaḏ„afûn. Sebenarnya kalau strukturnya adil,
mereka bukanlah kaum mustaḏ„afûn. Misalnya Indonesia sebagai negara yang
agraris, para petani itu seharusnya hidupnya sejahtera, akan tetapi faktanya tidak
(pasti ada struktur yang salah). Para petani berada di struktur yang membuat posisi
mereka lemah, diekspolitasi, dilemahkan secara struktural.3 Mereka tidak semata-
mata lemah, akan tetapi dilemahkan oleh strukur dan situasi yang membuat
mereka tidak berdaya.
Dalam bukunya Qur‟an Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Oppresssion Farid Esack menjelaskan yang
artinya bahwa Al-Qurˋân menyebutkan/ mengkategorikan mustaḏ„afûn dalam tiga
2Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), h 229.
3Ceramah Fahruddin Faiz melalui youtube https://youtu.be/woRO8Ur6AiU diakses pada
tanggal 12 April 2018.
51
kategori, yaitu muslim, kafir, muslim dan kafir. Muslim dan Kafir: terdapat pada
Qs. al-Nisā` [4]: 75.4 Dalam penjelasan ayat tersebut, dapat diklasifikasikan
bahwa yang termasuk mustaḏ„afûn adalah dari kalangan laki-laki, perempuan,
ataupun anak-anak yang merasa tertindas akan suatu keadaan yang menimpanya,
sampai-sampai ia berkeinginan untuk pergi meninggalkan tempat dimana ia
tertindas5.
Kemudian kategori mustaḏ„afûn dari kalangan kafir terdapat dalam Qs. al-
A‟rāf [7]: 150.6 Keadaan seseorang yang tertindas secara fisik akan lebih buruk
lagi ketika mereka ditindas dengan penindasan psikologis atau mental. Maka
penindasan yang dijelaskan pada ayat ini adalah penindasan berupa mental. Farid
Esack menjelaskan bahwa al-A„rāf [7]: 150 memakai istilah ini ketika merujuk
Harun, saudara laki-laki Musa yang mengeluh bahwa Banî Isrâil telah
menyingkirkan dan melemahkannya.
Dan yang terakhir, kategori muslim terdapat dalam Qs. Saba` [34]: 31-33.7
Pada ayat 31 surah Saba` menjelaskan mengenai keadaan orang yang beriman
4Teks ayatnya berikut ini:
ال رمبر ب ى ٠م اهز٠ ذا ا اغبء خبي اش غزععف١ ا للا ف عج١
ب اخع ه ١ب هذه ب اخع ه ب أ مش٠خ اظهب ا ـز ب أخشخب هذه ص١شا سثه Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah,
baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan
berilah kami penolong dari sisi-Mu. 5Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.99. 6Teks Ayatnya berikut ini:
أعفب لبي غعجب ع ا ل ب سخع ه ش سثى أ ز أعد ثعذ ب خفز ثئغ
وبدا اعزععف م ه ا ه ا أ لبي اث ا١ ٠دش أخز ثشأط أخ١ اذ م ا٤ أ ٠مز
ال ردع ا٤عذاء ذ ث فال رش ١ اظهب م ع ا Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati dia
berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu
hendak mendahului janji Tuhan-mu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan
memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai
anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab
itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah
engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.” 7Teks ayatnya berikut ini:
رش ار اظهب ٠ذ٠ ال ثبهز ث١ مشآ ثزا ا وفشا ئ لبي اهز٠ لف ال أ اعزىجشا اعزععفا هز٠ ي ٠مي اهز٠ م ا ثعط ا ٠شخع ثعع ىهب عذ سث ز
١ ئ ذ ثعذ -١٣- ا ع صذدبو اعزععفا أح اعزىجشا هز٠ ار خبءو لبي اهز٠
52
disebabkan tertindas oleh orang kafir. Pada lanjutan ayat ke 32 orang-orang kafir
menyangkal pernyataan orang yang beriman dan menganggap orang yang beriman
sebagai sosok yang berdosa. Tapi orang yang beriman menyangkal kembali
pernyataan orang kafir dengan menjelaskan kesalahan dari orang-orang kafir tadi
dan mengingatkan bahwa balasan untuk semua perbuatan itu nyata.8 Farid Esack
menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan mustaḏ‟afûn sebagai kaum lain
yang menolak, dan membedakan “pendosa” yang ditindas di satu sisi, dan orang
sombong dan berkuasa (mustakbirūn) di sisi lain.
Adapun mufasir lain yakni Al-Ṯabari menjelaskan غزععف١ adalah orang-
orang lemah yang tidak berdaya baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak
yang diperlakukan rendah serta dihina oleh orang-orang kafir yang menẕalimi diri
mereka.9 Ia merujuk Qs. al- Nisā: 98 yang berbunyi:
ح١خ ال ٠غزط١ع ذا ا اغبء خبي اش غزععف١ االه ا زذ ال ٠
عج١ال
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak
yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)”.
١ دش وز بس ار -١٣-ث اه ىش اه١ اعزىجشا ث اعزععفا هز٠ لبي اهز٠ عزاة ا ا ب سأ ه خ ا اهذا أعش أذادا دع شب أ هىفش ثبلله ب ا٤غالي ف رؤ خع
ب وبا ٠ع االه ٠دض وفشا ١١أعبق اهز٠ Dan orang-orang kafir berkata, “Kami tidak akan beriman kepada al-Quran ini dan tidak (pula)
kepada Kitab yang sebelumnya.” Dan (alangkah mengerikan) kalau kamu melihat ketika orang-
orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhan-nya, sebagian mereka mengembalikan perkataan
kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang
menyombongkan diri. “Kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang Mukmin.
(31) Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah,
“Kamikah yang telah menghalangimu untuk memperoleh petunjuk setelah petunjuk itu datang
kepadamu? (Tidak!) Sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berbuat dosa.” (32) Dan
orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri,
“(Tidak!) Sebenarnya tipu daya(mu) pada waktu malam dan siang (yang menghalangi kami),
ketika kamu menyeru kami agar kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-
Nya.” Mereka menyatakan penyesalan ketika mereka melihat azab. Dan Kami Pasangkan
belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan sesuai dengan apa
yang telah mereka kerjakan. (33) 8Guntur Hasby, dkk. “Konseptualisasi Kemiskinan dan Penindasan Perspektif Farid
Esack”, Jurnal: Diya al-Afkar, vol. 5, no. 1, (2017): h. 9-10. 9Al-Ṯabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta`wîl Āyi al-Qur`ân, Juz 7, Juz 10 (Kairo: Dâr Al-
Hadîts, 2001), h.384.
53
Begitu juga mufasir lainnya yakni Quraish Shihab merujuk kepada al-Qurˋân
untuk menjelaskan kondisi orang yang tertindas melalui lafal ا Maksud .اعزععف
lafal ini adalah para pengikut yang disingkirkan ke pinggiran. Quraish Shihab
memahaminya dalam arti diperlemah, yakni para pengikut yang tidak
diberdayakan oleh pemimpin-pemimpin mereka tetapi justru dirongrong dan
dianiaya serta dipinggirkan oleh para penguasa dan pemimpin-pemimpin
mereka.10
Di tempat lain Quraish Shihab juga memaparkan siapa yang tergolong
kepada kaum tertindas melalui lafaẓ غزععف١ yaitu para perempuan yatim ,ا
dan orang yang amat lemah dari anak-anak.11
Mufasir lain yakni Sayyid Quṭb menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kaum
tertindas adalah orang-orang lemah yang diperlakukan oleh penguasa tiran secara
kejam, mereka adalah orang-orang yang ditindas disebabkan penganiayaan dan
perbuatan ẕalim pemimpinnya. Di sisi lain orang-orang yang tertindas ini
nasibnya dipermainkan oleh diktator sesuai hawa nafsunya yang kejam serta
diperlakukan secara sewenang-wenang.12
2. Arâdzîl (Orang-Orang Tersisih)
Kata arâdzîl dimaknai dengan orang-orang tersisih, yaitu mereka yang
tersisih atau tersingkir karena kekuasaan. Misalnya seorang penguasa/ orang
berpengaruh yang tidak memperdulikan orang yang bukan dari golongannya.
Dalam sebuah ilustrasi seorang seharusnya mampu menjadi PNS, akan tetapi
karena dia bukan golongan tertentu yang mempunyai pengaruh, dia tidak mampu
menjadi seorang PNS (padahal dia memenuhi kriteria untuk mendapat hak itu)13
.
Di sini Fahruddin Faiz menjelaskan bahwa arâdzîl yang dimaksud Farid Esack
adalah orang-orang yang tersisih/ tersingkir karena kekuasaan.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.391. 11
M. Quraish Shihab Tafsir al-Misbah, Jilid 2, h. 577. 12
Sayyid Quṯb, Tafsir Fī Ẓilāli al-Qur‟an, Tafsir Fî Ẕilâli Qurˋân (Beirut: Dar Al-Syuraq,
1967), juz 6, h. 42. 13
Ceramah Fahruddin Faiz melalui youtube https://youtu.be/woRO8Ur6AiU diakses pada
tanggal 12 April 2018.
54
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersisih berarti terasing, terpencil,
terpisah dari pergaulan, atau dikesampingkan dari masyarakat.14
Farid Esack
menunjuk golongan arâdzîl dengan sebutan orang yang tersisih. Di sini pula
Farid Esack mengklasifikasikan dua ayat mengenai istilah di atas, yaitu surat Hûd
(11): 2715
dan Qs. Al- Hâjj [22]: 5. Kaum tertindas yang di maksud pada ayat ini
adalah kaum tertindas dengan penindasan psikologi atau mental yang disebabkan
para penguasa tidak memberi kesempatan dalam kebebasan layaknya manusia
pada umumnya. Kemudian surat Al-Hâjj (22): 516
secara umum tidak menjelaskan
penindasan, namun mengingatkan manusia yang pada asal mulanya mereka
adalah makhluk lemah, yang kehidupan dan kematiannya telah diatur oleh sang
penguasa alam yaitu Allah swt.17
3. Fuqarâˋ (Orang-Orang Faqir)
14
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. ketiga, Cet. keempat
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 1076.
15Teks ayatnya berikut ini:
ب شان ارهجعه االه اهز ثب ب شان االه ثششا ل وفشا ٥ اهز٠ أسارب فمبي ا ٠
ب ش أ اشه وبرث١ثبد ظى ث فع ع١ب ى
Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau,
melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang
mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak
melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami mengangap kamu adalah
orang pendusta.”
16Teks ayatnya berikut ini:
ف س٠ت ب اهبط ا وز ٠ب أ٠ ه عمخ ث ه طفخ ث ه رشاة ث جعث فبهب خمبو ا
غ ب شبء ا أخ مش ف ا٤سحب ى ج١ خهمخ غ١ش خهمخ عغخ ه خشخى ث
ه ز ثعذ ع غفال ث ش ى١ال ٠ع ع ه ٠شد ا أسري ا ى فه ٠ز ه ى و جغا أشذه
ج ث ص و أجزذ سثذ د زضه بء ا ب ع١ب ا ذح فبرا أض رش ا٤سض ب ١ح ش١ئب Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami
telah Menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
Jelaskan kepada kamu; dan Kami Tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai waktu
yang sudah ditentukan, kemudian Kami Keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan
dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia
tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian
apabila telah Kami Turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan
menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah. 17
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 98.
55
Secara umum kata fuqarâˋ berarti suatu keadaan seseorang yang sangat
kekurangan atau terlalu miskin.18
Farid Esack menjelaskan fuqarâˋ dengan istilah
fakir, adapun ayat al-Qurˋân yang menjelaskan tentang kaum fuqarâˋ menurut
Farid Esack terdapat pada surat al- Baqarah (2): 27119
, dan at-Taubah (9): 60.20
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa kaum faqir adalah kaum yang tertindas
yang harus dibebaskan dari ketertindasannya dengan cara memberinya sedekah,
zakat maupun infaq. Hal ini merupakan perintah langsung dari Allah swt untuk
kaum yang lebih mapan dalam hal ekonomi untuk membantu mereka terbebas dari
kesulitan hidup.21
Dalam bahasa Arab kata fuqarā‟ yang berasal dari suku kata فمش berarti tulang
punggung, sehingga kata فمش diartikan sebagai orang yang patah tulang
punggungnya karena beban yang disandangnya begitu berat sampai mematahkan
tulang punggungnya.22
Fuqarā‟ (orang-orang fakir) adalah keadaan seseorang
atau segolongan kelompok yang sangat kekurangan atau terlalu miskin. Adapun
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia fakir adalah orang yang sangat
berkekurangan/ orang yang terlalu miskin.23
18
Ceramah Fahruddin Faiz melalui youtube https://youtu.be/woRO8Ur6AiU diakses pada
tanggal 17Agustus 2018. 19
Teks ayatnya berikut ini: خ١ش ى فمشاء ف رئرب ا ا رخفب ب ه ذلبد فع ا رجذا اصه ٠ىفش عى
خج١ش ب رع للا ث ع١ئبرى Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu
dan Allah akan Menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha Teliti apa yang
kamu kerjakan. 20
Teks ayatnya berikut ini:
لبة ف اش ئهفخ لث ا ع١ب ١ عب ا غبو١ ا فمشاء ذلبد ب اصه اه ١ غبس ا
ف حى١ للا ع١ للا فش٠عخ ج١ اغه اث للا عج١ Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang
dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang
yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. 21
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 99. 22
Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, h. 321. 23
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. ketiga, Cet.
keempat (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 312.
56
Orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta untuk menunjang
kehidupan dasarnya. Kefakirannya tersebut disebabkan karena ketidakmampuan
fisiknya, seperti orang tua jompo, dan cacat badan. Adapun Imam Syafi‟i dan
Imam Hanbali mendefiniskan fakir dengan orang yang tidak mempunyai harta dan
tidak mempunyai penghasilan.24
4. Masâkǐn (Orang-Orang Miskin)
Kata miskin dalam al-Qurˋân kerap kali disandingkan dengan kata faqir, dan
ada pula yang menyebutkannya secara bersamaan yaitu “faqir miskin”. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata miskin diartikan sebagai orang yang tidak
berharta, serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah).25
Dalam bahasa Arab
kata miskin berasal dari suku kata -عى خ -٠غى عى yang bermakna miskin,
adapun subjek (orang) pada kata ini adalah غى١ غبو١ \ yang tidak berharta
dan tidak berpenghasilan. Adapun ayat Al-Qurˋân yang menjelaskan tentang
masâkîn menurut Farid Esack yaitu Qs. Al-Baqarah [2]: 8326
, 17727
, dan Qs. Al-
Nisâ [4]: 828
.
24
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajīr Fi al-Fiqhi al-Islām, Juz.2 (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h.
300. 25
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), ed.3, cet.2, h. 899. 26
Teks ayatnya berikut ini:
ار أخزب ١زب ا مشث ر ا احغبب اذ٠ ثب االه للا ال رعجذ ١ثبق ث اعشائ١ االه ل١ال ه١ز ه ر وبح ث آرا اضه الح ا اصه أل١ لا هبط حغب غبو١ ا أ ى ز
عشظ Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim,
dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat
dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil
dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang. 27
Teks ayatnya berikut ini:
شش ا لج خى ا جشه أ ر ا٢خش ه١ظ ا ١ ا ثبلل آ جشه ه ا ـى غشة ا ق
ا غبو١ ا ١زب ا مشث ا ر بي ع حج آر ا اهج١١ ىزبة ا ٣ئىخ ا ث
أل لبة ف اش اغهآئ١ ج١ ارا عبذا اغه ذ ثع ف ا وبح آر اضه الح اصه ب
زهم ا أـئه صذلا جؤط أـئه اهز٠ ا ح١ اء شه جؤعبء اعه ف ا بثش٠ اصه Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi
kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk
memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang
57
Miskin berasal dari عى yang artinya امطع ع احشاوخ (diam tidak bergerak),
.(yang rendah, hina) از١ ,(tenang, reda) ذأ29
Orang miskin adalah orang yang
tidak memiliki harta untuk kebutuhan dasarnya, namun ia mampu mencari nafkah,
hanya penghasilannya tidak mencukupi bagi kehidupan dasarnya untuk
kehidupannya sendiri atau keluarganya.30
Demikian Farid Esack menunjuk kelas sosial yang rendah dan miskin yakni
orang yang tertindas dengan beberapa istilah, yaitu mustaḏ„afûn (orang-orang
lemah), arâdzîl (orang-orang tersisih) fuqarâ‟ (orang-orang faqir), dan masâkîn
(Orang-Orang miskin). Inilah menurut Farid Esack orang-orang yang harus dibela
kedudukannya dan harus diperjuangkan haknya, karena mereka adalah orang-
orang yang diperjuangkan haknya oleh para Nabi. Di sini, Esack menggambarkan
kaum tertindas dengan merujuk kepada ayat al-Qurˋân yang menggambarkan
kehidupan orang yang lemah, dimana kaum tertindas tidak hanya terbatas kepada
istilah mustaḏ„afûn saja.
Inilah yang menjadi pembeda pandangan Farid Esack dengan tafsir-tafsir yang
penulis bahas pada bab dua (Al-Ṯabari, Sayyid Quṯb, Quraish Shihab), dimana
Farid Esack menjelaskan terminologi kaum tertindas dengan beberapa istilah yang
diambil dari bahasa al-Qurˋân. Esack menjelaskan bahwa yang termasuk golongan
orang yang tertindas tidak hanya lafaẕ mustaḏ„afûn (orang-orang lemah) saja,
akan tetapi masuk di dalamnya arâdzîl (orang-orang tersisih) fuqarâ‟ (orang-
orang faqir), dan masâkîn (Orang-Orang miskin).
B. Solusi Pembebasan Perspektif Farid Esack
yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan
pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa. 28
Teks ayatnya berikut ini: ال ل لا فبسصل غبو١ ا ١زب ا مشث ا ا خ أ مغ ارا حعش ا عشفب ه
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim dan
orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik. 29
Aḥmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Besar Arab-Indonesia, cet. 14
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.641. 30
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih (Jakarta: Kencana, 2003), h.49.
58
Pada bab ini akan dijelaskan solusi yang ditawarkan Esack untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas dari penindasan. Adapun solusi yang
ditawarkan Esack meliputi dua hal, yaitu berdasarkan praktis dan metodologis. Di
bawah ini akan dipaparkan mengenai kedua solusi yang ditawarkan Farid Esack
tersebut
1. Solusi Metodologis: Hermeneutika Al-Qurˋân “Tafsir Liberatif Farid Esack”
Pada poin ini, akan dijelaskan tentang sosok pemikir Islam Farid Esack yang
berupaya membumikan al-Qurˋân sebagai kitab suci yang mampu menyelesaikan
persoalan realitas, yakni melawan segala bentuk rasialisme, tirani, dan
menghapuskan keberadaan kaum tertindas. Farid Esack adalah salah satu figur
sentral menggulirkan rezim apartheid di Afrika Selatan, menurutnya al-Qurˋân
adalah teks pembebasan. Di sini Esack memberikan formulasi terbaik untuk
menghapuskan keberadaan kaum tertindas yang ia sebut dengan tafsir liberatif.
Hal ini menjadi sangat penting dibahas sebagai pendorong spirit anti penindasan
dan untuk mengetahui formulasi terbaik apa yang ditawarkan Esack.
Hermeneutika praksis liberatif adalah hermeneutika yang mengarahkan pada
pembacaan kitab suci yang progresif. Farid Esack dalam berbagai tulisannya
memberi perspektif lain dalam penafsiran kitab suci. Ia menawarkan
hermeneutika yang berfungsi untuk mendialektika-kan teks kitab suci dengan
pengalaman kemanusiaan, yaitu hermeneutika yang berfungsi untuk praktik
pembebasan dari dominasi dan hegemoni kekuasaan rasialis dan despotik.
Berbicara mengenai hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran, ia tidak
hanya memandang teks, tapi juga berusaha menyelami makna kandungan
literalnya. Lebih dari itu hermeneutika berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang
dimaksud adalah horison teks, horison pengarang, dan horison pembaca.31
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai
31
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, cet. 3
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 25.
59
komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu: teks, konteks, kemudian
melakukan upaya kontekstualisasi.32
Farid Esack mencoba membuat sebuah rumusan hermeneutika yang di dalam
bukunya disebut dengan istilah “hermeneutika pembebasan”. Keunikan
hermeneutika ini adalah menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks
partikular (prior text) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta
menekankan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Hal penting
yang ingin dicapai Farid Esack dari gagasannya adalah menemukan kembali
“makna baru” hermeneutika dalam konteks partikular sosial-politiknya sesuai
dengan konteks Afrika Selatan.33
Hermeneutika Farid Esack terinspirasi dari konsep teologi pembebasan
(liberation theology) Gueterriez dan Segundo, hermeneutika lingkar bahasa,
pemikiran dan sejarah Arkoun, dan hermeneutika double movement Fazlur
Rahman. Farid Esack mengadopsi secara kreatif dan kritis atas tiga pemikiran
para tokoh tersebut serta melengkapinya dengan term-term hermeneutika Al-
Qurˋân yang memiliki koherensi dan korespondensi dengan kondisi sosial
masyarakat Afrika Selatan.34
Term-term penting yang diambil dari Al-Qurˋân
seperti, taqwâ (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhîd (keesaan
Tuhan), al-Nâs (manusia), al-mustaḏ„afûn fi al-arḏ (yang tertindas di bumi), „adl
dan qisṯ (keadilan dan keseimbangan), serta jihâd (perjuangan dan praksis).35
Term-term tersebut berfungsi untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika
pembebasan Al-Qurˋân bekerja dengan dialektika antara teks dan konteks serta
pengaruhnya.
Berbicara tentang tafsir, Farid Esack menjelaskan bahwa selalu saja ada
kepentingan di balik sebuah tafsir. Lebih dari itu menurutnya, setiap pembaca atau
mufasir selalu dilingkupi oleh sejarah kelas, gender, ras, dan periode tertentu.
32
Warsito Hadi, Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Alquran,
jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, v.6, 2016, h. 16. 33
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.63 34
Warsito Hadi, “Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur‟an”,:
35 35
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.86.
60
Dengan sadar Farid Esack ingin menjadikan Islam yang sesuai dengan Afrika
Selatan. Di bawah ini akan diuraikan bagaimana term-term dalam al-Qurˋân yang
tadi disebutkan di atas diolah oleh Farid Esack menjadi term penting dalam
hermeneutika praksis liberatif.36
Kunci-Kunci Hermenutika Pembebasan
Pertama, taqwâ. Persoalan taqwâ merupakan satu hal yang unik dan menarik
sepanjang masa. Taqwâ menjadi modal utama bagi setiap muslim dan merupakan
bekal yang paling baik untuk menjamin kebahagiaan dan keselamatan manusia.
Taqwâ meliputi segala gerak gerik manusia, taqwâ mengatur efisiensi umur,
energi, dan segala amal manusia. Ia wajib diterapkan dalam segala segi aspek
kehidupan, baik secara individu maupun sosial.37
Selain itu, di dalam al-Qurˋân
dijelaskan bahwa taqwâ merupakan tolak ukur kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya.38
Taqwâ dalam pengertian al-Qurˋân bisa didefinisikan sebagai “memerhatikan
suara nurani sendiri dan kesadaran bahwa dia bergantung pada Tuhan”. Maknanya
yang sangat komprehensif dalam menyatukan tanggung jawab, baik kepada Tuhan
maupun manusia yang dijelaskan dalam Qs. Al-Lail [92]: 4-1039
dan Qs. Al-
Hujurāt [49]: 1340
. Al-Qurˋân menegaskan perlunya suatu komunitas atau individu
36
Farid Esack, Samudera Al-Qur‟an, terj. Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press, 2007),
h. 27. 37
Zahri Hamid, Takwa Penyelamat Umat (Yogyakarta: Lembaga Penerbitan Ilmiyah,
1975), h. 3. 38
Achmad Chodjim, Kekuatan Taqwâ : Mati sebagai Muslim Hidup sebagai Pezikir
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 7. 39
Teks ayatnya berikut ini:
شزه ه عع١ى ارهمف -ا أعط ب ه حغ-ؤ صذهق ثب ١غش - ش ب -فغ١غ ه أ اعزغ ثخ حغ - وزهة ثب عغش - ش فغ١غ
Sungguh, usahamu memang beraneka macam. Maka barangsiapa memberikan (hartanya
di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga). Maka
akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang
kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah). Serta mendustakan (pahala) yang
terbaik. Maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan). 40
Teks ayatnya berikut ini:
بو خع أث روش ب اهبط اهب خمبو ٠ب أ٠ عذ للاه ى ه أوش زعبسفا ا لجبئ شعثب
خج١ش ع١ ه للاه ا أرمبو Wahai manusia! Sungguh, Kami telah Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami Jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
61
untuk melengkapi diri dengan taqwâ, demi melanjutkan tugas para Nabi pada
transformasi dan pembebasan. Seperti dalam Qs. Āli-„Imrān [3]: 102-105
ه االه ٠ ر ال ر ا ارهما للا حكه رمبر آ ب اهز٠ ب أ٠ غ أز . ا ثحج اعزص
أعذاء فؤهف ث١ ار وز ذ للا ع١ى اروشا ع لا ال رفشه ١عب للا خ لثى
ب وزه ٠ج١ اهبس فؤمزو شفب حفشح ع وز اب اخ ز للا فؤصجحز ثع
آ٠ ى زذ ر عهى ثب .بر ش ٠ؤ خ١ش ا ا خ ٠ذع ه أ ى زى عشف
ـئه أ ىش ا ع ٠ فح . ا اخزفا لا رفشه ال رىا وبهز٠
أ بد ج١ ا ب خبء ثعذ عزاة عظ١ .ـئه
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar
takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim
(102) Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah Mempersatukan hatimu, sehingga
dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah Menyelamatkan kamu dari sana.
Demikianlah, Allah Menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat
petunjuk (103) Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (104) Dan
janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih
setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat azab yang berat (105).
Taqwâ kaitannya dengan kunci hermeneutika pembebasan adalah prasyarat
dasar untuk memahami dan mempelajari Al-Qur‟an, tindakan pelindung agar
tidak menggunakan Al-Qurˋân secara semena-mena dan pengambilan teks
seenaknya.41
Dalam hal ini Farid Esack melihat pentingnya membentengi diri
dengan “baju takwa”, melihat begitu banyak tantangan berbau duniawi yang
muncul dalam perjuangan. Takwa menjaga para Islamis progresif untuk tetap setia
pada diri dan berjuang untuk komitmen membela agama Tuhan.
kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. 41
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.87.
62
Taqwâ berperan sebagai benteng terhadap kepalsuan revolusioner dan
arogansi aktivis. Taqwâ menurut Farid Esack, merupakan kunci paling signifikan
untuk meminimalkan jumlah teks yang dapat dimanipulasi demi kepentingan
pribadi maupun ideologi. Takwa juga yang memastikan bahwa Muslim bergerak
dalam perjuangan agar tetap setia pada diri dan komitmen kepada Tuhan.
Hermeneutika pembebasan al-Qurˋân dengan taqwâ sebagai salah satu
kuncinya memastikan bahwa, pertama penafsiran tetap bebas dari subjektivitas
teologis tertentu, tidak ada unsur politisasi, bukan spekulasi pribadi mufasir yang
subjektif (meskipun itu muncul dari golongan yang tertindas atau tersisih). kedua
adalah memungkinkan adanya keseimbangan estetik dan spiritual penafsir.
Konsekuensi ketiga, ia membawa penafsir masuk ke dalam proses dialektik
personal dan transformasi sosiopolitik.42
Kedua, tauhîd merupakan pondasi dan pusat, ia adalah sumber ideologis dan
kerangka acuan yang bersifat sakral. Tauhîd memiliki arti “satu” atau “yang
menyatu”. Tauhîd adalah komponen penting prapemahaman sekaligus prinsip
penafsiran. Di tingkat eksistensial tauhîd adalah penolakan terhadap konsep
dualisme eksistensi manusia, yaitu yang sekular dan spiritual, yang sakral dan
yang profan. Di tingkat sosio politik, tauhîd menentang pemisahan manusia secara
etnis. Pemisahan ini disejajarkan dengan syirik, antitesis dari tauhîd. Praktek
rasialisme apartheid dalam kerangka ini adalah praktek syirik. Memandang tauhīd
sebagai prinsip hermeneutika berarti berbagai pendekatan kepada Alquran, baik
filosofis, spiritual, hukum maupun politis, mesti dilihat sebagai komponen dari
satu jalinan. Dalam hermeneutika praksis liberatif, tauhîd menuntut penolakan
wacana yang dilandasi syirik yaitu dualisme yang memisahkan teologi dari
analisis sosial.43
Tauhîd sebagai prinsip hermeneutika berarti, segala pendekatan untuk
menafsirkan al-Qurˋân (filosofis, spiritual, hukum, maupun politi) mesti dilihat
sebagai komponen dari satu jalinan. Semuanya diperlukan untuk mengungkapkan
42
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 88. 43
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.90.
63
keutuhan pesan yang terkandung dalam ayat al-Qur‟an, karena tidak ada satu
pendekatan yang dominan dari pendekatan yang lainnya. Selain itu, pendekatan
kepada al-Qurˋân yang dilandasi tauhid tidak berarti bahwa seluruh dimensinya
harus mendapat perhatian dan ekspresi yang sama.
Ketiga, an-Nâs dimaknai sebagai kelompok sosial dan bisa dipakai dalam
makna seperti manusia (Qs. Al-Nâs [114]: 5-644
dan al-Jinn [72]: 645
). Ada dua
implikasi hermeneutika dari fungsi manusia sebagai khalifah di bumi dan
perhatian Tuhan yang tak putus-putus kepada mereka. Pertama, menjadi penting
bahwa al-Qurˋân ditafsirkan dengan cara yang memberikan dukungan khusus bagi
kepentingan rakyat secara keseluruhan atau yang menyokong mayoritas di antara
mereka, bukannya minoritas. Kedua, penafsiran mesti dibentuk oleh pengalaman
dan aspirasi manusia sebagai bentuk yang kontras dengan aspirasi minoritas yang
diistimewakan itu.
Pernyataan bahwa manusia adalah satu kunci hermeneutika menghadapkan
dua masalah teologis, pertama terkait dengan nilai manusia sebagai ukuran
kebenaran, kedua berkenaan dengan masalah autentisitas. Pertama manusia
sebagai kunci hermeneutika berada dalam kerangka tauhid dan didasarkan pada
yang absolut. Tanpa manusia yang berbahasa, tak ada konsep bahwa Tuhan
berbicara, tak ada campur tangan Tuhan dalam sejarah, dan bagi Muslim, tanpa
pewahyuan tak ada makna yang nyata manusia sebagai humanum. Dengan begitu,
apabila humanum menjadi kriteria kebenaran, yang dimaksud bukanlah humanum
otonom, melainkan humanum yang berasal dari tauhid. Manusia adalah salah satu
44
Teks ayatnya berikut ini:
اهبط دهخ ا ط ف صذس اهبط. ع اهز ٠Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan
manusia.” 45
Teks ayatnya berikut ini:
سمب فضاد د ا ثشخبي ظ ٠عر ا٦ سخبي وب أه Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka
(manusia) bertambah sesat.
64
prinsip hermeneutika di antara yang lainnya, dan memberi keseimbangan bagi
perannya di seluruh proses interpretasi.46
Farid esack menunjukan bagaimana signifikansi manusia beserta kepentingan
dan pengalaman mereka sebagai faktor yang membentuk hermeneutika al-Qur‟an.
Al-Qurˋân telah memilih sekelompok manusia tertentu yaitu kaum yang tertindas,
dan memberi mereka pilihan bebas dan sadar untuk menentang netralitas dan
objektivitas di satu sisi, penguasa dan penindas di sisi lain.
Adapun yang keempat, al-mustaḏ„afûn fi al-arḏ (yang tertindas di bumi).
Mereka adalah orang-orang yang tertindas, dianggap lemah dan tidak berarti serta
yang diperlakukan secara arogan. Mustaḏ„afûn berarti mereka yang berada dalam
status sosial inferior, yang rentan, tersisih atau tertindas secara sosioekonomis.
Al-Qurˋân sebenarnya menyebut mereka dalam karakter tersebut dengan beberapa
istilah, seperti: arâdzîl (yang tersisih), fuqarâ‟ (Orang-Orang Faqir), dan masâkîn
(Orang-Orang Miskin). Namun yang membedakan dengan kata mustaḏ„afûn
adalah bahwa ada suatu pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi mereka,
seseorang atau bahkan suatu kelompok yang berkuasa dan arogan terhadap
mereka (mustakbirûn).
Al-Qurˋân membela kelompok mustaḏ„afûn sebagai komunitas yang dihadiri
oleh Tuhan. Para Nabi termasuk Muḥammad saw mucul dari kategori kelompok
ini, oleh karena itulah kehadiran Nabi seringkali diidentikan dengan pembelaan
atas nama mereka. Tuhan meminjam tangan Nabi-Nya untuk mengangkat derajat
mereka, yang di sisi lain Tuhan membenci kelompok sebaliknya yakni
mustakbirûn. Dalam konteks ini para penafsir seharusnya menempatkan diri di
antara yang tertindas maupun dalam perjuangan mereka, serta menafsirkan teks
dari bawah permukaan sejarah dilandasi gagasan tentang keutamaan posisi kaum
tertindas dalam pandangan Tuhan dan kenabian. Para penafsir demikian berarti
46
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 95.
65
telah menyambung kontinuitas kenabian untuk lokalitas dan temporalitasnya
masing-masing.47
Kelima, „adl dan qisṯ (keadilan dan keseimbangan). Keadilan berasal dari
kata dasar “adil” yang diserap dari kata berbahasa Arab yakni „adl, kata „adl
adalah bentuk masdar dari kata kerja „adala- ya‟dilu- „adlan- wa „udûlan- wa
„adālatan ( ال -عذال -٠عذي -عذي عذ عذا خ - ). Kata kerja ini makna pokoknya
adalah menyamakan antara keduanya (posisi lurus) dan berlaku adil.48
Makna asal
dari kata „adl yaitu menetapkan hukum dengan benar, jadi orang yang „adl adalah
dia yang berjalan lurus, dan sikapnya selalu menggunakan standar yang sama.
Pelakunya tidak berpihak kepada satu dari dua atau beberapa pihak yang
berselisih, dia selalu berpihak pada kebenaran, ia melakukan sesuatu yang patut
dan tidak sewenang-wenang.49
Dalam Al-Qurˋân selain kata al-„adl, keadilan juga disebut dengan istilah al-
qisṭ yang artinya hakim dan berlaku adil.50
Kata al- qisṯ mengandung arti “bagian”
yang wajar dan patut, sehingga pengertian sama tidak harus persis sama, tetapi
bisa beda bentuk asal substansinya sama.51
Umat Islam dituntut untuk menegakan keadilan sebagai basis kehidupan
sosiopoitik. Wilayah sosial yang sangat mungkin diselewengkan menurut al-
Qurˋân adalah soal harta anak-anak yatim dan anak yang diadopsi, hubungan
kontraktual, masalah hukum, hubungan antar agama, bisnis, dan urusan dengan
para musuh. Al-Qurˋân menggambarkan ide keadilan sebagai basis penciptaan
alam. Keteraturan alam semesta dilandasi oleh keadilan, penyimpangan atasnya
berarti kekacauan. Status quo karena itu adalah penentangan atas keadilan ini,
kondisi sosial ekonomi yang tidak merata, akses politik yang timpang, serta tidak
ada pembagian merata antar ras, suku dan budaya adalah lawan dari keadilan.
47
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.95. 48
Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, h 257. 49
Muchlis M. Hanafi, Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Tafsir Al-Qurˋân
Tematik) (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010), h. 3. 50
Mahmud Yunus, Kamus Arab- Indonesia, h. 341. 51
Muchlis M. Hanafi, Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Tafsir Al-Qurˋân
Tematik), h. 6.
66
Untuk upaya ini, al-Qurˋân menegaskan agar manusia menjadi “saksi” Tuhan bagi
keadilan (Qs. an-Nisā [4]: 13552
). Menjadi saksi maksudnya menjadi orang yang
terlibat dalam upaya penegakan bagi keadilan manusia.53
Keenam, jihâd (perjuangan dan praksis). Secara harfiah, jihâd berarti
“berjuang”, “mendesak seseorang” atau “mengeluarkan energi atau harta”. Jihâd
memiliki makna lebih luas mencakup perjuangan untuk mengubah keadaan
seseorang atau suatu kaum. Berbagai ayat yang berbicara jihâd seperti Qs. an-Nisā
[4]: 9054
, al-Furqān [25]: 5255
, at-Taubah [9]: 456
, dan lain-lain. Farid Esack
menerjemahkan jihâd sebagai “perjuangan untuk praksis”. Praksis menurutnya
didefinisikan sebagai tindakan sadar yang diambil suatu komunitas manusia yang
52
Teks ayatnya berikut ini:
ا ا أ ع أفغى مغػ شذاء لل ثب ١ ا ه ا وا ل آ ب اهز٠ ا ٠ب أ٠ ا٤لشث١ ذ٠
رعش ا أ ا ر أ رعذا ب فال رزهجعا ا ث فم١شا فبلل أ غ١ب أ ه للا ٠ى ظا فب
خج١شا ب رع ث وبWahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia
(yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti
terhadap segala apa yang kamu kerjakan.
53
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.103. 54
Teks ayatnya berikut ini:
أ ٠مبرو حصشد صذس خآإو ١ثبق أ ث١ ث١ى ل ا ٠ص االه اهز٠ أ ٠مبرا م أ ٠مبرو ف اعزضو فب فمبرو ع١ى شبء للا غهط ل ا ا١ى
عج١ال ع١ للا ى ب خع ف اغهkecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu
dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang yang datang kepadamu sedang hati mereka
merasa keberatan untuk memerangi kamu atau memerangi kaumnya. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya diberikan-Nya kekuasaan kepada mereka (dalam) menghadapi kamu, maka
pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangimu
serta menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah), maka Allah tidak memberi jalan bagimu
(untuk menawan dan membunuh) mereka. 55
Teks ayatnya berikut ini: خبدا وج١شا ذ ث خب ىبفش٠ فال رطع ا
Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka
dengannya (al-Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar. 56
Teks ayatnya berikut ini:
ا االه أحذا فؤر شا ع١ى ٠ظب ش١ئب ٠مصو ه ث ششو١ ا عبذر اهز٠ ا١
زهم١ ه للا ٠حت ا ا ر ذه ا ذ عKecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan
mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang
pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya.
Sungguh, Allah Menyukai orang-orang yang bertakwa.
67
bertanggung jawab atas tekad politiknya sendiri. Al-Qurˋân mendasarkan teori
juga berdasarkan praksis seperti dalam Qs. al-Ankabut [29]: 6957
. Al-Qurˋân
menetapkan jihâd sebagai jalan untuk menegakan keadilan, sebagai kuci
hermeneutika jihâd diperlukan sebagai kerangka intelektual bagi seorang
penafsir.58
Jadi dapat dipahami bahwa Farid Esack memberi pijakan kuat
hermeneutiknya pada sebuah sistem yang didasarkan pada teologi. Berbagai term,
prinsip, nilai intrinsik teks dan upaya penafsir menjadi penafsir organik adalah
dukungan konsep untuk teologi pembebasan. Pijakan hermeneutika Farid Esack
menjadikan teologi tidak saja untuk urusan Tuhan, tetapi pula untuk pembelaan
kaum terlemahkan dan termarginalkan. Teologi semacam ini sangat diperlukan
dalam forum dunia yang sudah mulai menggusurkan nilai-nilai kemanusiaan.
Berbagai kunci hermeneutika telah diberikan oleh Farid Esack untuk
mengantisipasi polemik ini. Konsentrasi Farid Esack adalah pembebasan
masyarakat Afrika Selatan dari kungkungan rezim apartheid. Oleh karena itu
Farid Esack dalam berbagai karyanya menyebut kelompok Muslim Progresif
sebagai kelompok yang menafsirkan Al-Qurˋân untuk pembebasan. Karena
kepentingan Farid Esack adalah pembebasan rezim rasialisme di Afrika Selatan,
maka Esack tidak memperhatikan bagaimana nasib umat Islam yang sedikit
tersebut pasca pembebasan.
Teologi pembebasan menegaskan bahwa dalam situasi penindasan dan
marginalisasi, Islam hanya bisa benar-benar diresapi sebagai praksis solidaritas
yang liberatif. Hermeneutika pembebasan berasumsi bahwa ada sekelompok
orang yang serius dalam merekonstruksi masyarakat menurut prinsip-prinsip
keadilan, kebebasan, kejujuran, dan integritas. Hermeneutika liberatif Farid Esack
memang patut diapresiasi sebagai model penafsiran yang progresif berpijak pada
teologi dan fokus pada kondisi Afrika Selatan yang dikuasai rezim Apartheid dan
57
Teks ayatnya berikut ini:
حغ١ ع ا ه للاه ا عجب ه ذ٠ خبذا ف١ب اهز٠ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan Tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. 58
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h.107.
68
layak dikembangkan dalam konteks negara dunia ketiga yang secara garis besar
terjerat dalam kemiskinan dan ketidakdilan.
2. Solusi Praktis Ala Farid Esack untuk Membebaskan yang Tertindas
Pada poin ini akan dijelaskan solusi praktis yang ditawarkan Farid Esack
untuk membebaskan yang tertindas, penulis berpendapat bahwa setiap poinnya
Esack rujuk dari al-Qur‟an, yang menunjukan bahwa al-Qurˋân merupakan solusi
untuk setiap problematika yang ada. Berikut di bawah ini paparan penjelasan
pembebasan kaum tertindas menurut Farid Esack:
Pertama keadilan. Keadilan dalam konteks ini adalah manusia diperintahkan
agar bersikap tidak melampaui batas dan menegakan timbangan yang adil.
Menurut al-Qurˋân keadilan adalah dasar keteraturan semesta (Qs. al-Jâṡiyah [45]:
22)59
, kemudian al-Qurˋân juga menyamakan keadilan dengan kebenaran (Qs. Āli-
Imrān [3]: 18)60
. Al-Qurˋân juga memerintahkan kaum beriman untuk menegakan
keadilan dan menjadi saksi Tuhan (Qs. al-Nisâ‟ [4]: 135)61
. Selain itu, orang-
orang yang mengorbankan hidupnya bagi tegaknya keadilan disamakan dengan
orang-orang yang mati di jalan Allah (Qs. Āli-Imrān [3]: 20)62
.
59
Teks ayatnya berikut ini: حك ا٤سض ثب اد ب اغه خك للاه ال ٠ظ ب وغجذ فظ ث زدض و
Dan Allah Menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, dan agar setiap jiwa
diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. 60
Teks ayatnya berikut ini:
مغػ ال اـ االه ب ثب لآئ ع ا ا أ الئىخ ا ال اـ االه ذ للا أه ش حى١ عض٠ض ا ا Allah Menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan
orang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. 61
Teks ayatnya berikut ini:
اذ٠ ا أ ع أفغى مغػ شذاء لل ثب ١ ا ه ا وا ل آ ب اهز٠ ا٤ ٠ب أ٠ ا لشث١
رعش ا أ ا ر أ رعذا ب فال رزهجعا ا ث فم١شا فبلل أ غ١ب أ ه للا ٠ى ظا فب
خج١شا ب رع ث وبWahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia
(yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti
terhadap segala apa yang kamu kerjakan. 62
Teks ayatnya berikut ini:
69
Keadilan sebagai salah satu poin praktis untuk menyelesaikan problematika
hadirnya orang yang tertindas menuntut keteraturan semesta agar tidak adanya
penyimpangan terhadap tatanan masyarakat. Selain itu keadilan menempatkan
manusia untuk berlaku adil dalam konteks pertanggungjawaban kepada Tuhan di
satu sisi, dan hukum yang bekerja di alam semesta yakni hubungannya sesama
manusia di sisi lain. Sehingga tidak adanya pengelompokan golongan antar
sesama manusia dan keadilan merupakan bentuk penolakan menentang
penindasan dalam bentuk dan wujud apapun.63
Kedua hijrah. Hijrah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu berpindah
atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang
lebih baik dengan alasan tertentu.64
Seperti yang dijelaskan dalam Qs. an-Nisāˋ
[4]: 97)65
, bahwa salah satu pengentasan ketertindasan ialah meninggalkan daerah
di mana kita mendapatkan perilaku penindasan tersebut. Hijrah/ berpindah
dilakukan untuk menyingkir sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain
yang lebih baik guna menstabilkan keadaan dan sebagai bentuk usaha untuk
membebaskan diri dari ketertindasan.66
ا لل خ ذ أع ن فم حآخ فب فب ز أأع ١١ ا٤ ىزبة را ا أ هز٠ ل رهجع
عجبد للا ثص١ش ثب جالغ ب ع١ه ا ا فبه ه ا ر ه زذا ا فمذ ا أع Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, “Aku berserah diri
kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.” dan katakanlah kepada orang -
orang yang telah diberi kitab dan kepada orang-orang buta huruf “sudahkah kamu masuk Islam?”
Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling,
maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.
63
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 104. 64
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 401. 65
Teks ayatnya berikut ini:
ف ا غزععف١ لبا وهب وز لبا ف١ فغ أ ٣ئىخ ظب ا فهب ر ه اهز٠ ا ا ٤سض لب
أ رى ص١شا أ عبءد ه خ ا ؤ ـئه اععخ فزبخشا ف١ب فؤ سض للا Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan
menzalimi sendiri,**mereka (para malaikat) bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab,
“Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah).” Mereka (para malaikat) bertanya,
“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?”
Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan (Jahannam) itu seburuk-buruk tempat
kembali. 66
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 132.
70
Ketiga jihad. Di samping arti populernya sebagai perjuangan, jihad memiliki
makna yang lebih luas mencakup perjuangan untuk mengubah keadaan atau suatu
kaum. Farid Esack menerjemahkan jihad sebagai perjuangan praksis. Mengingat
menyeluruhnya penggunaan istilah ini dalam al-Qur‟an, bahwa jihad digunakan
untuk mengubah diri atau masyarakat, dan bisa pula dikatakan bahwa jihad
merupakan perjuangan sekaligus praksis.
Jihad dalam istilah Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu usaha dengan segala
daya upaya untuk mencapai kebaikan, yakni usaha sungguh-sungguh membela
agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga.67
Jihad sebagai
perjuangan dan praksis didefinisikan Farid Esack sebagai tindakan sadar yang
dilakukan suatu komunitas manusia yang bertanggung jawab untuk mengubah diri
maupun masyarakat melalui perjuangan demi kebenaran dan keadilan. Tujuan
jihad ialah untuk menghancurkan dan menumpas ketidakadilan, bukan untuk
mengganti sistem ketidakadilan yang satu dengan yang lainnya. Jihad adalah
perjuangan yang paling efektif dan tanpa henti untuk menghilangkan
pemberontakan melalui aksi damai demi mewujudkan kehidupan yang
berkeadilan dan damai.68
Keempat larangan praktik riba. Jalan hidup Nabi Muhammad saw bukanlah
suatu pilihan yang didasarkan pada asketisme pribadi semata, melainkan bagian
tujuan dari al-Qurˋân berupa tatanan sosial yang egaliter. Sistem ekonomi yang
ada dicela karena ketidakadilannya, dan pencelaan ini dikeluarkan bersama
perintah aktif untuk memberdayakan mustaḍ„afûn. Nabi Muhammad menghapus
praktik lintah darat, riba, perjudian, dan praktik-praktik ekonomi eksploitatif
lainnya. Riba juga dilarang oleh peringatan perang dari Allah dan Rasul-Nya
melalui surah al-Baqarah [2]: 278-279. Larangan praktik riba merupakan salah
satu cara untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera tanpa hadirnya
kelompok yang rugi dan kelompok yang diuntungkan.69
67
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 473. 68
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 107. 69
Farid Esack, Qur‟an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression, h. 110.
71
Kelima larangan praktik rentenir. Adanya larangan dalam praktik rentenir
merupakan salah satu cara untuk menghilangkan hadirnya kelompok penindas dan
yang ditindas. Pemberi utang dituntut hanya untuk mengambil sejumlah uang
yang dipinjam dalam proses utang piutangnya, bukan mencari keuntungan dalam
proses tersebut. Farid Esack mengutip ayat al-Qurˋân yang didalamnya
memberikan solusi untuk masalah ini, yakni Qs. al-Baqarah [2]: 280.
Keenam perintah ṡadaqoh. Terakhir untuk memudahkan pemberdayaan
kaum lemah dan tak berdaya al-Qurˋân menjelaskan bahwa solusi yang paling
baik adalah diberlakukannya perintah untuk bersadaqoh, karena dalam harta si
kaya ada bagian yang harus dikeluarkan bagi yang miskin. Seperti yang dijelaskan
dalam Qs. al-Ma„ârij [70]:24-25, Qs. Al-Ẕariyât [51]: 19.
Prinsip keadilan distributif ini amat ditekankan agar harta itu tidak beredar di
antara orang-orang kaya saja. Hal ini dilakukan agar diantara sesama manusia
tidak terjadi pengelompokan antara si kaya dan si miskin yang nantinya akan
menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial. Islam sebagai agama sudah
mengatur hal ini jauh sebelumnya di dalam al-Qur‟an, hal ini merupakan bukti
bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan, merupakan bagian dari terlaksanakan
atau tidaknya ajaran Tuhan yang di dalamnya mengatur seluruh dimensi
kehidupan manusia.
Demikian solusi yang ditawarkan Farid Esack untuk memghapuskan segala
bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok penindas terhadap kelompok
yang ditindas. Solusi yang ditawarkan Esack terbagi kepada dua bagian, yakni
solusi metodologis, dan solusi praktis. Kedua solusi ini merupakan sumbangsih
besar yang diberikan Farid Esack sebagai aktivis sekaligus ahli tafsir dalam
menjawab persoalan yang muncul di kehidupan masyarakat.
72
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya mengenai perspektif Farid Esack
tentang terminologi kaum tertindas dalam al-Qurˋân, penulis berpendapat bahwa Esack
secara konsisten berpegang teguh kepada al-Qurˋân sebagai sumber utama ketika
menunjuk kelas sosial yang rendah dan miskin. Terminologi kaum tertindas dalam al-
Qurˋân perspektif Farid Esack meliputi empat lafal yang seluruhnya Esack rujuk dari ayat
al-Qurˋân, yaitu mustaḏ‘afûn (orang-orang lemah), arâdzîl (orang-orang tersisih), fuqarâ’
(orang-orang faqir), dan masâkîn (orang-orang miskin).
Keempat lafal tersebut menurut Esack menunjuk kepada orang yang tertindas, yang
dianggap lemah dan tidak berarti, serta yang diperlakukan secara arogan. Mereka adalah
orang yang rentan tersisih atau tertindas (secara sosio ekonomis) yang berada dalam
status sosial inferior. Hadirnya kaum tertindas ini disebabkan karena orang-orang yang
memiliki harta berlebih kurang memerhatikan orang-orang dengan taraf kehidupan
menengah ke bawah dan seseorang yang menyombongkan hartanya diiringi dengan sikap
tidak peduli terhadap kaum lemah, sehingga kondisi orang-orang yang lemah dan
tertindas disebabkan oleh perilaku atau kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka.
Inilah menurut Farid Esack orang-orang yang harus dibela kedudukannya dan harus
diperjuangkan haknya, karena mereka adalah orang-orang yang diperjuangkan haknya
oleh para Nabi. Di sini, Esack menggambarkan kaum tertindas dengan merujuk kepada
ayat al-Qurˋân yang menggambarkan kehidupan orang yang lemah, dimana kaum
tertindas tidak hanya terbatas kepada istilah mustaḏ‘afûn saja.
Kemudian solusi yang ditawarkan Farid Esack dapat dibagi menjadi dua poin, yaitu
berdasarkan praktis dan berdasarkan metodologis. Solusi untuk menghilangkan hadirnya
kaum tertindas menurut Esack berdasarkan praktis yaitu hijrah (meninggalkan daerah di
mana kita mendapatkan perilaku penindasan), jihad (perjuangan untuk mengubah
keadaan/ kaum), larangan praktik riba dan rentenir, dan perintah sadaqah. Dengan
73
demikian akan tercapailah kesetaraan sesama manusia dan akan terwujud kehidupan yang
penuh dengan kedamaian.
Adapun berdasarkan metodologis, yakni hermeneutika yang berfungsi untuk
mendialektikakan antara teks kitab suci dengan pengalaman kemanusiaan, Esack
berupaya membumikan al-Qurˋân sebagai kitab suci yang mampu menyelesaikan
persoalan realitas. Hermeneutika yang berfungsi untuk praktik pembebasan yang
mengarahkan pada pembacaan kitab suci yang progresif, Esack memberikan formulasi
terbaik untuk menghapuskan keberadaan kaum tertindas yang ia sebut dengan tafsir
liberatif. Keunikan hermeneutika ini adalah menempatkan posisi sentral penafsiran pada
teks partikular (prior text) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta
menekankan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Hal penting yang
ingin dicapai Farid Esack dari gagasannya adalah menemukan kembali “makna baru”
hermeneutika dalam konteks partikular sosial-politiknya sesuai dengan konteks Afrika
Selatan.
Term-term penting yang diambil dari Al-Qurˋân oleh Esack yaitu, taqwâ (integritas
dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhîd (keesaan Tuhan), an-Nâs (manusia), al-
mustaḏ’afûn fi al-arḏ (yang tertindas di bumi), adl dan qisṯ (keadilan dan keseimbangan),
serta jihâd (perjuangan dan praksis). Term-term tersebut berfungsi untuk memperlihatkan
bagaimana hermeneutika pembebasan Al-Qurˋân bekerja dengan dialektika antara teks
dan konteks serta pengaruhnya.
B. Saran
Demikian sekilas kajian terhadap pemikiran Farid Esack mengenai terminologi kaum
tertindas dalam al-Qurˋân dan solusi yang ditawarkan Farid Esack untuk menghilangkan
hadirnya kaum tertindas. Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis
merokemendasikan berupa saran penelitian untuk kedepannya bahwa hendaknya ada
peneliti yang membahas bagaimanakah kondisi Afrika Selatan yang dalam hal ini tempat
tinggalnya Farid Esack pasca pembebasan. Apakah solusi yang ditawarkan Farid Esack
ini memiliki efek signifikan untuk Afrika Selatan hingga saat ini. Dan hendaknya ada
penelitian juga yang menjelaskan kegiatan akademik Farid Esack saat ini, hal ini akan
74
memudahkan para akademisi/ seorang sarjana mengetahui intelelektual muslim asal
Afrika Selatan yaitu Farid Esack yang memberikan sumbangsih yang besar bagi
negaranya secara umum, dan keilmuan Islam secara khusus.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
„Abd Bâqīî, Muḥammad Fu‟âd. Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Al-Qurˋân. Mesir: Dâr
al-Kutûb, 1364.
„Abd Halim, Mani‟. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Ahli Tafsir.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Abdurrahman, dkk. Agama-Agama di Dunia. Cet.1. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1988.
Arifin, Ahmala. Tafsir Pembebasan: Metode Interpretasi Progresif ala Farid Esack.
Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011.
Azra, Azyumardi, dkk. Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam. Cet. 1. Bandung: Penerbit
Nuansa, 2005.
Badruzaman, Abad. Teologi Kaum Tertindas (Kajian Tematik Ayat-Ayat Mustaḏ‘afîn
dengan Pendekatan Keindonesiaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007.
Burhanuddin, Mamat S. Hermeneutika Al-Qurˋân ur’an ala Pesantren (Analisis
Terhadap Tafsir Marāh Labīd Karya K.H. Nawawi Banten). Yogyakarta: UII
Press, 2006.
Chodjim, Achmad. Kekuatan Taqwâ : Mati sebagai Muslim Hidup sebagai Pezikir.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Creswell, John W. Desain Penelitian Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Diterjemahkan oleh Angkatan III dan IV KIK-UI dengan Nur Khabibah. Jakarta:
KIIK Press, 2003.
Dahlan, H.A.A. dkk. Asbābun Nuzūl Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-
Qurˋân. Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2004.
Esack, Farid. Membebaskan yang Tertindas. Cet. 1. Terj. Watung A. Budiman. Bandung:
Mizan, 2000
________. On Being A Muslim: Finding a Religious Path In The World Today (Oxford:
Oneworld, 1999).
________. Samudera Al-Qur’an. terj. Nuril Hidayah. Yogyakarta: Diva Press, 2007.
________. Qur’an, Liberation and Pluralism An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.
Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Cet. 1 Jakarta: PT Temprint, 1985.
76
Hamid, Zahri. Takwa Penyelamat Umat. Yogyakarta: Lembaga Penerbitan Ilmiyah,
1975.
Hanafi, Muchlis M. Hukum Keadilan dan Hak Asasi Manusia (Tafsir Al-Qur’an
Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika. Cet. 3.
Jakarta: Paramadina, 1996.
Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah Fungsi dan Peran Agama dalam kehidupan
Manusia. Cet 1. Jakarta: Khazanah Baru, 2001.
Munawwir, Aḥmad Warson. al-Munawwir: Kamus Besar Arab-Indonesia. cet. 14.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Pothholm, Christian P. Four African Political System. New Jersey: Preinticehall, 1970.
Quṭb, Sayyid. Tafsir Fī Ẓilāli Qur’ān. Beirut: Dar Al-Syuraq, 1967.
Al-Qattan, Manna‟ Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Diterjemahkan oleh Mudzakir
AS. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2013.
________. Mabāhiṡ fi ‘ulūmil Al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah.
Sabiq, Sayid. Islam Dipandang dari Segi Rohani-Moral-Sosial. Diterjemahkan oleh
Zainuddin, dkk. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Shihab, M. Quraish Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fikih. Jakarta: Kencana, 2003.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
al-Ṭabari. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta`wīl Āyi al-Qur`ān. Kairo: Dār Al-Hadīṡ, 2001.
Thomson, Leornard dan Andrew Prior. South African Politics. New York: The Vail-
Ballov Press, 1982.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Cet. 2.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab- Indonesia. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989.
al-Zuhaily, Wahbah. al-Wajīr Fi al-Fiqhi al-Islām. Juz.2. Beirut: Dar al-Fikr, 2006.
Skripsi, Tesis, Disertasi:
Ahmad, Nazi. “Islam Tentang Jihad Dalam Pandangan Farid Esack”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
77
Arif, Miftahul. “Metode Tafsir Kontemporer (Studi Analisis terhadap Metode Tafsir
Tafsir Progressif Farid Esack). Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo,
2010.
Castiah, Tati. “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Fadilah, Adi. “Epistemologi Al-Qur‟an Kontemporer: Analisis Komparatif Farid Esack
dan Zianuddin Sardar”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2015.
Hidayat, Rizky Suryana. “Al-Mustaḍ‟afīn dalam perspektif Murtaḍā Muṭahharī
(Penafsiran Sūrāḥ (4): 97-99 dan Sūrāḥ (28): 5)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Mubarokah, Lailatin. “Hak Asasi Manusia dalam Al-Qur‟an (Studi Analisa Pemikiran
Farid Esack)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2017.
Jurnal:
Abidin, Ahmad Zainal. “Epistemologi Tafsir Al-Qurˋân Farid Esack”. Jurnal Theologia.
Vol. 24. No.1. (2013): 1-22.
Esack, Farid. “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of
Qur‟anic Hermeneutical Notion”. Dalam Islam and Christian Muslim Relation 2
(1991): 215-219.
________. “Qur‟anic Hermeneutics: Problem and Prospect”. The Muslim World. Vol.
83. No.2 (1993): 119-138
Fawaid, Ah. “Polemik Nasakh dalam Kajian Ilmu Al-Qurˋân”. Ṣuḥuf. Vol. 4, No. 2
(2011). 247-270.
Hadi, Warsito. “Menimbang Paradigma Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qurˋân”.
El-Banat Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam. Vol. 6. (2016): 28-39.
Hasby, Guntur dkk. “Konseptualisasi Kemiskinan dan Penindasan Perspektif Farid
Esack”. Diya al-Afkar. Vol. 5. No. 1 (2017): 1-17.
Hipni, Mohammad. “Hermeneutik: Seni Memahami Teks Al-Qurˋân”. RELIGIA 14, no.
1 (2011): 1-42
Iswahyudi. “Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan Telaah Atas
Hermeneutika Al-Qurˋân Farid Esack”. Al-Tahrir. Vol.11. No.1. (2011): 77-97.
Kaltsum, Lilik Ummi. “Tafsir Al-Qur‟an: Antara Teks dan Realitas”. Tulisan ini
disampaikan pada acara konferensi internasional di pasca sarjana 2011 dan diskusi
dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (2015): 1-14.
78
Sharp, John. “Non-Racialism and Its Discontentets: a Post-apartheid Paradox”.
International Social Sciences Journal (1998): 153- 243
Sudarman. “Pemikiran Farid Esack tentang Hermeneutika Pembebasan Al-Qurˋân”. Al-
Adyan. Vol. X. No.1. (2015): 83-98.
Thahir, Lukman S. “Islam Ideologi Kaum Tertindas: Counter Hegemony Kaum Marginal
dan Mustaḍ„afīn”. Jurnal Hunafa. Vol.6. No.1 (2009): 18-28
Wahid, M. Abduh. “Tafsir Liberatif Farid Esack”. Tafsere. Vol. 4. No. 2. (2016): 149-
164.
Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah”. Hunafa:
Jurnal Studi Islamika 11. No.1 (2014): 109-126.
Website:
https://googleweblight.com/i?u=https://m.liputan6.com/tag/afrika-selatan&hl=id-ID.
https://id.wikipedia.org/wiki/Afrika_Selatan.
http://www.homepagefaridesack.com.
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&crt=j&rnl=http://edst-
educ.sites.olt.ubc.ca/files/2018/03/2018-Noted-Scholar-Farid-Esack-
CourseOutline.pdf&ved=2ahUKEwiF15SfvqfdAhUIR48KHflKBdoQFjAGegQIB
BAB&usg=AoVvaw01tWq9WQZjQknLvLIZJXf3.
Islamlib.com/tokoh/farid-esack-dan-hermeneutika-pembebasan-al-quran/.
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&crt=j&rnl=http://edst-
educ.sites.olt.ubc.ca/files/2018/03/2018-Noted-Scholar-Farid-Esack-
CourseOutline.pdf&ved=2ahUKEwiF15SfvqfdAhUIR48KHflKBdoQFjAGegQIB
BAB&usg=AoVvaw01tWq9WQZjQknLvLIZJXf3.
https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&crt=j&url=https://www.uj.ac.za/contact
/Pages/Farid-
Esack.aspx&ved=2ahUKEwiF15SfvqfdAhUIr48KHflKBdoQFjAegQIBRAB&U
SG=AOvVaw2T9EmHgqk1W3NEbxl_pir.
Youtube:
Faiz, Fahruddin. melalui youtube https://youtu.be/woRO8Ur6AiU diakses pada tanggal
12 April 2018