328
Untuk mempermudah, nama yang digunakan dalam cerita ini adalah nama-nama asli pemain The Great Queen Seondeok. Tapi ada sedikit perbedaan dalam marga karena disesuaikan dengan nama pemeran yang lebih dominan. Maaf bila ada kesalahan dalam penulisan. Terima kasih. Scene satu (1) Bi Dam : Kim Nam Gil King Jinji : Kim Im Ho Mi Shil : Go Hyun Jung Yong Soo : Kim Jung Chul Bo Jong : Go Do Bin Yang saling mengenal selamanya terhubung Terikat rantai takdir Membelenggu kenangan dan jati diri Menumbuhkan rasa, pertemukan hati Masa lalu tak benar berlalu Masa kini terkait dengan yang lalu - Kim Nam Gil - 13 Maret 1999 - Seoul - Katanya aku pembawa sial. Katanya aku tak tahu diri. Katanya aku pembuat onar. Aku mengingatnya. Karena setiap hari itulah yang dikatakannya padaku. Setiap jam. Dan setiap detik bila dia mendapat kesempatan. Dia bukan ibuku. Tapi dialah satu-satunya ibu yang kukenal. Guruku pernah berkata, tak boleh melawan Ibu dan Ayah. Setiap anak harus menyayangi dan menghormati orangtua. Tapi Ibu tak pernah menyangiku. Dia membenciku. Plakkk… Aku sedikit meringis merasakan perihnya tamparan di pipi kananku. Tubuhku terdorong ke belakang dan kepalaku membentur tembok. Sakit. Aku membelalakan mata walau sebe-narnya ingin memejamkannya. Kalau mataku terpejam, aku akan menangis. Aku 1

Fanfic BiDeok

Embed Size (px)

Citation preview

Untuk mempermudah, nama yang digunakan dalam cerita ini adalah nama-nama asli pemain The Great Queen Seondeok. Tapi ada sedikit perbedaan dalam marga karena disesuaikan dengan nama pemeran yang lebih dominan. Maaf bila ada kesalahan dalam penulisan. Terima kasih.

Scene satu (1)

Bi Dam : Kim Nam Gil King Jinji : Kim Im HoMi Shil : Go Hyun Jung Yong Soo : Kim Jung ChulBo Jong : Go Do Bin

Yang saling mengenal selamanya terhubungTerikat rantai takdir

Membelenggu kenangan dan jati diriMenumbuhkan rasa, pertemukan hati

Masa lalu tak benar berlaluMasa kini terkait dengan yang lalu

- Kim Nam Gil - 13 Maret 1999 - Seoul -

Katanya aku pembawa sial. Katanya aku tak tahu diri. Katanya aku pembuat onar. Aku mengingatnya. Karena setiap hari itulah yang dikatakannya padaku. Setiap jam. Dan setiap detik bila dia mendapat kesempatan.

Dia bukan ibuku. Tapi dialah satu-satunya ibu yang kukenal. Guruku pernah berkata, tak boleh melawan Ibu dan Ayah. Setiap anak harus menyayangi dan menghormati orangtua. Tapi Ibu tak pernah menyangiku. Dia membenciku.

Plakkk…Aku sedikit meringis merasakan perihnya tamparan di pipi kananku. Tubuhku terdorong

ke belakang dan kepalaku membentur tembok. Sakit. Aku membelalakan mata walau sebe-narnya ingin memejamkannya. Kalau mataku terpejam, aku akan menangis. Aku tidak mau menangis. Ibu akan memukulku lebih keras bila dilihatnya aku menangis.

“Cepat minta maaf!” bentak Ibu.“Tapi aku tidak salah,” protesku. Aku tidak bersalah. Ibu marah saat aku meminta

ulangtahunku kali ini dirayakan. Padahal semua temanku merayakannya bersama keluarga mereka. Ada kue ulangtahun, balon, dan badut.

“Kau hanya anak haram yang bernasib baik karena bersedia kupungut! Berani-beraninya kau meminta lebih!? Kurang ajar!”

Plakkk…Kudapatkan satu tamparan lagi. Kali ini membuatku tersungkur di lantai. Aku takut pada-

nya. Dengan kedua tanganku, aku berusaha melindungi kepalaku dari pukulannya. Kepalaku terasa sakit... sudah kutahan, tapi akhirnya aku tetap menangis. Aku memejamkan mata dan meringkuk kesakitan sementara Ibu terus memukuliku.“Apa-apan ini!?” Itu suara bentakan Ayah. Aku senang Ayah pulang. Ibu tidak terlalu sering memukulku bila ada Ayah dan kak Jung Chul.

1

“Kenapa Ibu memukuli Nam Gil?” seru kakak.“Kim Im Ho! Anak harammu ini tidak tahu diri dan kurang ajar!” teriak Ibu pada Ayah.

“Aku tidak mau mengurusnya lagi. Serahkan dia pada si jalang Go Hyun Jung!”Aku ingin berlari memeluk Ayah, tapi tubuhku begitu lemas. Dan semuanya berubah

menjadi gelap…

Wanita itu sangat cantik. Tapi pakaiannya seperti baju perang yang kulihat dipakai seorang aktor di film kolosal yang kutonton bersama kakak. Aku tidak mengenalnya. Siapa dia? Ke-napa matanya berkaca-kaca? Wanita itu melangkah maju dan memelukku. Pelukannya terasa hangat. Bahkan Ayah tak pernah memelukku begitu. Tak ada yang pernah memelukku seakan benar-benar sayang padaku. Siapa dia? Apakah dia ibuku yang sebenarnya?

Aku mengerjapkan mata saat merasa ada cahaya yang menyorot tajam ke wajahku. Aku membuka mata dan melihat anak laki-laki tak kukenal sedang mengawasiku. Siapa dia? Di mana wanita tadi? Di mana Ayah? Di mana kakak?

“Apa dia sudah sadar, Do Bin?” tanya sebuah suara wanita dari luar kamar tempatku berada sekarang.

“Ya. Dia sudah bangun!” seru anak bernama Do Bin itu.Seorang wanita cantik memasuki kamar tempatku berbaring. Siapa dia? Dia bukan wanita

yang memelukku tadi. Dia juga bukan Ibu.“Di mana ayahku?” tanyaku.Wanita itu tersenyum masam. “Di rumahnya,” jawabnya. “Mulai sekarang kau akan

tinggal di sini.”“Kenapa? Aku mau ayahku!”“Istrinya tak menginginkanmu,” kata wanita itu. “mulai sekarang kau tinggal bersamaku.”Aku takut. Aku marah. “Kenapa?”“Karena aku ibumu.”

***

Scene dua (2)

Deokman : Lee Yo Won King Jin Pyeong : Lee Min KiMi Shil : Go Hyun Jung Queen Ma Ya : Lee Yoo SunSohwa : Park Young Hee Cheon Myeong : Park Ye JinChil Sook : Park Kil Kang

- Lee Yo Won - 13 Maret 1999 - Pusan -

Pria itu tersenyum lebar. Begitu lebar hingga memamerkan deretan giginya yang putih ce-merlang seperti para bintang iklan pasta gigi di TV. Ekspresi wajahnya begitu lucu, mem-buatku ikut tersenyum. Aku tidak mengenalnya. Dia bukan Ayah. Dia juga bukan pamanku. Aku juga tidak punya kakak laki-laki. Siapa dia?

Pria itu menyodorkan rangkaian bunga berwarna kuning cerah padaku. Tanganku terulur untuk menerimanya, tapi belum sempat aku menerimanya tiba-tiba dia menghilang.

“Yo Won, ayo bangun, kita sudah sampai,” Ibu membangunkanku.“Biarkan dia tidur,” kata sebuah suara. “aku akan menggendongnya ke dalam.”

2

Tubuhku terasa diangkat seseorang. Dengan malas aku membuka mata dan melihat wajah Paman Kil Kang yang tersenyum padaku.

“Nah, akhirnya dia terbangun,” katanya dengan suaranya yang besar dan berat.“Kenapa ada Paman?” tanyaku bingung.“Kau tak ingat? Kita mengunjungi Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee-mu, kan?” kata

Ibu sambil menarik keluar tas-tas pakaian kami dari taxi. Sekarang aku ingat. Beberapa hari lalu Ibu mengajakku mengunjungi Paman dan Bibi di

Pusan, setelah dia menangis lama sekali di kamarnya.“Kenapa merengut begitu?” tegur Bibi Young Hee dari ambang pintu rumahnya. Dia

mencubit pipiku pelan. “Kau kan lebih manis kalau tersenyum?”Tapi aku tidak mau tersenyum. Aku marah pada Ayah. Dia yang membuat Ibu menangis.

Aku tidak sayang pada Ayah lagi.Malam itu aku dan Ibu pulang dari berbelanja. Sejak siang kami jalan-jalan dan sekalian

mencari baju untuk acara ulangtahunku bulan depan, lalu sesampainya di rumah kami melihat ada mobil Bibi Hyun Jung__adik tiri Ayah__terparkir di depan rumahku. Ibu membawaku ma-suk lewat pintu belakang, lalu langsung ke ruang kerja Ayah. Tapi Ibu tidak jadi masuk saat melihat Ayah sedang mencium Bibi Hyun Jung. Aku tidak mengerti, kenapa Ayah mencium Bibi Hyun Jung? Apa Bibi mengalami mimpi buruk? Biasanya Ayah menciumku bila aku bermimpi buruk.

Aku ingin menyapa mereka, tapi Ibu langsung menarikku menjauh. Di kamarnya Ibu terus menangis. Aku tidak tahu kenapa Ibu menangis. Mungkin Ibu kesal karena Ayah men-cium Bibi Hyun Jung, karena sambil menangis Ibu terus bergumam; “…dia menciumnya…”

“Yo Won!” Aku bergerak-gerak gelisah dalam gendongan Paman Kil Kang saat melihat kak Ye Jin

berlari mendatangiku. “Kakak!”Setelah Paman menurunkanku, kak Ye Jin langsung memelukku, dan aku juga balas me-

meluknya. Aku selalu menyukai kak Ye Jin. Dia anak Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee. Kami sam-sama berumur enam tahun, tapi Ibu menyuruhku memanggil kak Ye Jin kakak karena katanya dia lebih tua beberapa hari dariku.

“Ye Jin, kau tidak keberatan, kan, kalau terpaksa sekamar dengan Yo Won?” tanya Ibu.Aku dan kak Ye Jin saling bertatapan kemudian menyeringai senang. “Tentu saja tidak!

Aku senang sekali!”“Aku juga! Aku senang sekamar dengan kakak” kataku setuju. “Tapi bagaimana dengan

Ayah, Bu? Apa kita tidak pulang ke rumah?”“Tidak,” jawab Ibu dengan suara serak. “Kita tidak pulang. Jangan khawatir, Ayahmu tak

akan mencari kita kemari.”***

Scene tiga (3)

Bi Dam : Kim Nam Gil Mi Shil : Go Hyun JungHa Jong : Go Jun Hyung Se Jong : Go Young JaeBo Jong : Go Do Bin Seol Won : Jun Noh Min

- Kim Nam Gil - 1 September 2010 - Seoul -

3

“Ini terakhir kalinya aku membantumu!” bentak Go Young Jae, ayah tiriku, saat sarapan pagi. Aku tidak perduli. Dia memang sering marah-marah.

“Benar, Ayah, jangan bantu dia lagi,” dukung Go Jun Hyung, kakak tiriku. “Dia ini kerja-nya buat masalah saja.”

Aku mendelik sambil menyeringai padanya. Aku tahu dia takut padaku. Apalagi bila aku menyipitkan mata sambil menyeringai. Dasar idiot. Apa dipikirnya aku ini titisan iblis? Tapi mungkin juga benar. Bagaimanapun Ayah dan Ibuku bukan contoh orang baik. Ibu kandung-ku yang sudah menikah dan memiliki dua anak, berselingkuh dengan rekan bisnis suaminya, yaitu Ayah kandungku, yang sebenarnya juga sudah menikah dan memiliki anak.

Mungkin pada awalnya kehadiranku memang diharapkan Ibu, untuk mendapatkan Ayah yang lebih kaya dari suaminya. Tapi setelah aku lahir, Ayah tetap tak bersedia menceraikan istrinya__wanita yang kupanggil Ibu hingga usiaku enam tahun__dan Nyonya Go Hyun Jung pun menganggapku tak lagi berguna baginya. Mungkin aku memang harus bersyukur dulu Ayah mau membawaku ke rumahnya untuk diasuh istrinya, dan bukannya menelantarkanku di panti asuhan.

“Sebenarnya dia terpaksa menghajar anak-anak SMU Haegu,” cetus Go Do Bin, kakak tiriku yang lain. “Mereka yang menyerang Nam Gil ke sekolah kami.”

Bila harus memilih, Do Bin memang sedikit lebih baik daripada Jun Hyung. Mungkin karena dia juga bukan anak kandung Go Young Jae. Dia memang memakai nama keluarga Go, tapi sebenarnya dia anak hasil perselingkuhan Ibu yang lain. Ayah kandungnya, Jun Noh Min, tadinya adalah tangan kanan suami Ibu di perusahaannya, tapi kudengar dari gosip para pelayan, setelah perselingkuhan itu Jun Noh Min dikirim ke cabang perusahaan di Pulau Cheju.

Aku tidak habis pikir dengan sikap dan cara pikir Go Young Jae. Bagaimana bisa dia membiarkan begitu saja tingkah istrinya yang suka menyeleweng? Entah dia begitu mencintai ibuku, atau tak perduli asalkan istrinya dapat menyembunyikan perselingkuhannya dari orang lain. Apapun alasannya, dia sangat tolol. Untuk apa mempertahankan seorang wanita yang tak benar-benar menginginkanmu?

“Aku tak perduli alasannya,” sergah ayah tiriku. “Sekali lagi kami dihubungi kepala sekolahmu, aku akan mengirimmu ke sekolah asrama! Cukup sudah kau mempermalukan keluarga ini.”

Aku mendengus. “Untuk apa perdulikan itu? Sepengetahuan orang lain kau dan Ibu kan hanya paman dan bibiku,” sahutku acuh tak acuh.

“Kau__”“Sudah, tenanglah, suamiku,” kata Ibu dengan keanggunan dan ketenangannya yang me-

nipu. Penampilannya mungkin seperti malaikat, tapi tidak begitu dengan hati dan pikirannya. “Nam Gil berkelahi karena tak ingin diremehkan dan ingin dihormati oleh lawannya.”

Aku menatapnya curiga. Tak mungkin dia membelaku.“Tapi, dia tak ingat, bahwa agar dihormati dan tak diremehkan orang lain, maka dia harus

mencoba menghormati orang lain juga,” lanjutnya sambil melirikku dan tersenyum dingin. “Cara agar disegani tidak selalu menggunakan ototmu, tapi menggunakan otakmu.”

Aku membalas senyumnya dengan sengit. “Aku berangkat sekarang,” kataku sambil ber-diri dan melenggang pergi meninggalkan keluarga bahagiaku.

***

Scene empat (4)

4

Deokman : Lee Yo Won Sohwa : Park Young HeeMi Shil : Go Hyun Jung Cheon Myeong : Park Ye JinChil Sook : Park Kil Kang

- Lee Yo Won - 1 September 2010 - Seoul -

“Ibu, selamat pagi,” kataku pada foto almarhum Ibu. “hari ini aku akan masuk ke sekolah baru. Doakan aku, ya.”

Ibu terlihat begitu cantik, anggun dan rapuh di foto itu. Sama seperti terakhir kali aku me-lihatnya. Aku mencoba menahan tangis saat terkenang pada Ibu. Tak lama setelah Ibu mem-bawaku bersembunyi dari Ayah ke rumah Bibi Young Hee di Pusan, Ibu meninggal dunia ka-rena serangan jantungnya. Menurut Bibi Young Hee, sejak kecil jantung Ibu memang lemah. Dan perselingkuhan Ayah dulu begitu mempengaruhi Ibu hingga kondisinya semakin melemah dari waktu ke waktu.

Aku membenci Ayah. Aku juga membenci Bibi Hyun Jung. Dulu aku terlalu kecil untuk mengetahui bahwa yang malam itu kulihat adalah perselingkuhan, tapi sekarang aku sudah tahu yang sebenarnya. Aku membenci mereka. Benar-benar menjijikan. Teganya Ayah ber-buat seperti itu pada Ibu yang begitu baik dan setia. Dan yang lebih menjijikan, Ayah bukan berselingkuh dengan wanita tak dikenal, melainkan Bibi Hyun Jung, adik tirinya sendiri! Memang benar mereka tak punya hubungan darah, dan menjadi saudara hanya karena kakek-ku—ayah dari Ayah—menikah dengan ibu dari Bibi Hyun Jung, tapi tetap saja…

Ayah benar-benar tak perduli padaku dan Ibu. Bahkan setelah kami menghilang, dia tidak mencari kami. Paman Kil Kang pernah mengatakan itu karena Ayah tidak tahu tempat ting-galnya dan Bibi Young Hee yang baru di Pusan, tapi menurutku Paman hanya ingin menenangkanku saja. Kenyataanya Ayah memang tak perduli padaku. Aku bersyukur memi-liki paman dan bibi yang begitu baik dan bersedia membesarkanku dengan kasih sayang yang sama seperti yang mereka berikan pada anak kandung mereka sendiri. Dan aku juga bersyu-kur Ibu sempat berpesan pada Bibi Young Hee agar tidak mengembalikanku pada Ayah setelah dia meninggal. Aku tidak sudi tinggal dengan ayah.

“Ibu, aku bersumpah,” janjiku serius. “aku akan membalaskan dendam Ibu. Aku akan membalas perbuatan Ayah dan Go Hyun Jung.”

Seminggu yang lalu keluarga Paman dan Bibi pindah ke Seoul karena Paman Kil Kang dipindah ke kantor pusatnya di kota ini setelah dia mendapat kenaikkan jabatan. Awalnya aku sangat tidak menyukainya, karena itu berarti aku akan berada di kota yang sama dengan Ayah, dan lagi berarti aku harus meninggalkan sekolah dan lingkungan yang selama ini kuke-nal di Pusan. Tapi, setelah dipikirkan, ada bagusnya juga kepindahan ini. Karena berarti aku semakin dekat dengan rencana pembalasan dendamku. Entah bagaimana caranya, aku akan membuat Ayah dan Go Hyun Jung merasakan sakit hatiku dan Ibu.

Kutatap foto Ibu sambil tersenyum. “Aku bersumpah, Ibu. Aku bersumpah.”

***

Scene lima (5)

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Alcheon : Lee Seung Hyo

5

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -

Pukul 08.15. Sial. Gerbang pasti sudah dikunci. Seharusnya tadi aku tidak usah sok pahlawan menolong anak itu.

Sebenarnya aku bangun pagi, tapi saat dalam perjalanan tadi aku melihat seorang bocah SMP diganggu oleh segerombolan anak SMU Haegu. Memang bukan kelompok yang waktu itu mencari gara-gara denganku—tidak mungkin, karena mereka sedang di rumah sakit sekarang—tapi tetap saja aku kesal melihat seragam hijau-putih mereka yang mengingatkan-ku pada motorku yang disita ayah tiriku sebagai hukuman karena berkelahi dengan anak-anak SMU Haegu hari itu.

Jadi, bukannya langsung pergi ke sekolah, aku malah melakukan sedikit pemanasan pagi hari—yang sialnya karena keasyikan, aku jadi lupa waktu.

Benar saja, saat semakin dekat, aku melihat gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Tae Wong dan Seung Hyo sudah berjaga di sana. Hah… apa hebatnya jabatan mereka? Hanya ketua dan wakil ketua OSIS, tapi lagaknya seperti pemilik Korea Selatan saja.

“Kumohon, ijinkan aku masuk!” pinta seorang gadis di depan gerbang pada kedua senior-ku itu.

Aku tidak melihat wajahnya karena dia membelakangiku. Gadis itu bertubuh ramping, berambut hitam panjang dan lurus. Walaupun terlihat seperti sedang memohon, suaranya tetap terdengar tegas dan bukannya merengek. Entah kenapa suaranya membuat bulu kudukku berdiri. Rasanya suara itu begitu familiar.

“Kau terlambat lima belas menit sembilan detik,” kata Tae Wong datar. Aku tak tahan untuk tidak mendengus dan tertawa. Bahkan detik pun dihitung.“Tapi ini tidak disengaja! Tadi aku—““Kim Nam Gil!” Memotong perkataan gadis itu, Tae wong malah langsung meneriakiku.“Aku tahu aku terlambat,” sergahku sambil berjalan semakin mendekati gerbang.

“terlambat lima belas menit enam belas detik,” olokku.“Kau pikir ini lucu?” tanya Tae Wong setengah membentak.Aku berdiri disebelah gadis itu sambil dengan sengaja memperlihatkan wajah konyol

pada Tae Wong dan Seung Hyo yang jelas kesal melihat tingkahku. “Memangnya kau bisa mengenali hal lucu?” olokku sambil tertawa.

Kudengar gadis di sebelahku mengeluarkan suara aneh yang sepertinya suara tawa terta-han, jadi aku meliriknya dengan ekspresi wajah kubuat seolah mengajaknya bersekongkol. Tapi saat gadis itu balik menatapku, sesuatu yang aneh terjadi. Jantungku berdebar cepat dan kencang, yang kemudian berubah menjadi sedikit tusukan rasa sakit. Setelah sekian lama tak pernah lagi menangis, entah kenapa sekarang aku harus berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang mendesak keluar. Konyol sekali.

Tiba-tiba sebuah kilasan mengaburkan pandanganku dan seolah membawaku ke dimensi lain. Aku melihat seorang gadis berpakaian tradisional Korea sedang tersenyum padaku. Melihat senyum itu membuat hatiku terasa hangat. Aku membalas senyumnya, tapi kemudian gadis itu menghilang. Setelah tersadar, yang ada di hadapanku bukan lagi gadis dengan pakaian tradisionalnya, malainkan gadis berseragam abu-abu-hitam-putih SMU Chongjan—sekolahku. Gadis yang sama terlambatnya denganku tadi.

Anehnya, pakaian mereka mungkin memang berbeda, tapi wajah gadis ini sama persis dengan gadis berpakaian tradisional yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi. Apa-apaan ini? Siapa gadis ini?

Entah kenapa gadis itu juga terlihat tercengang dan sedikit melamun saat memanda-ngiku. Yang lebih mencengangkan, tiba-tiba dari kedua mata bulat indah itu menetes air

6

mata. Dan aku merasa terdorong untuk menghapus air mata itu. Entah kenapa melihatnya menangis membuat hatiku terasa sakit. Tapi sebelum tanganku menyentuh pipinya yang halus dengan rona kemerahan alami, aku segera menghentikannya, dan memasukkan tanganku ke saku celana. Reaksi tak normal ini harus dihentikan.

Gadis itu sepertinya sudah tersadar dari lamunannya, karena sekarang dia sedang menghapus air matanya. Tae Wong dan Seung Hyo yang sedari tadi mengamati kami dengan heran, bertanya bersamaan; “Ada apa dengan kalian?”

Ya, ada apa denganku hari ini? Aneh sekali. Aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Siapa gadis ini? Siapa gadis yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi?

***

Scene 6

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Alcheon : Lee Seung Hyo

- Lee Yo Won - 2 September 2010 - Sedetik jantungku seolah berhenti berdetak, lalu berubah menjadi menghentak-hentak dengan begitu kerasnya. Di saat aku kesulitan bernapas, tiba-tiba sebuah kilasan kejadian membuta-kanku. Aku melihat seorang pemuda berpakaian kumal sedang tertawa lepas. Deretan giginya yang putih cemerlang begitu kontras dengan warna kulitnya yang kecokelatan. Melihatnya tertawa membuatku ingin ikut tertawa sekaligus terenyuh, entah kenapa. Dia begitu ceria, bebas dan kekanakan. Namun dalam sekejap sosok pemuda itu menghilang dan digantikan oleh pemuda yang tadi dipanggil dengan nama Kim Nam Gil.

Selain pakaian yang dikenakannya, Kim Nam Gil begitu serupa dengan sosok pemuda penuh tawa dalam kilasan pengelihatanku. Bahkan rambutnya yang diikat sembarangan pun mirip dengan yang ada dalam kilasan tadi.

Kim Nam Gil terlihat seperti melamun sambil menatapku. Melihat wajah dan matanya entah kenapa membuat hatiku melambung gembira, tapi juga sakit di saat bersamaan. Tanpa kusadari air mataku sudah menetes. Aku tak mengenalnya. Bahkan tak pernah melihatnya sebelum hari ini. Jadi kenapa aku merasakan campuran emosi aneh ini? Siapa Kim Nam Gil? Siapa pemuda penuh tawa yang ada dalam kilasan pengelihatanku tadi?

Kim Nam Gil mengulurkan tangan kanannya ke arah pipiku, tapi sedetik sebelum menyentuhnya, pemuda itu menarik tangannya lagi yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku celananya.

Buru-buru aku menghapus air mataku. Konyol sekali. Untuk apa menangisi orang asing? Bahkan tak ada kejadian menyedihkan sama sekali. Memalukan.

“Ada apa dengan kalian?” tanya dua pemuda lain yang berdiri mengawasi dari balik gerbang sekolah.

Ya, ada apa? Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kim Nam Gil terbatuk kecil, lalu memasang senyum konyolnya lagi, yang ditujukannya

pada kedua pemuda yang barusan bertanya. Aku tidak mengenalnya, tapi menurutku senyum-nya itu palsu. Bahkan itu juga bukan senyum mengejek. Entah kenapa kurasa itu hanya topengnya. Sorot kedua matanya terlihat muram dan sedih, tak sesuai dengan senyumnya.

“Pasti kalian tidak akan mengijinkanku masuk sebelum menandatangani buku absen keterlambatan,” kata Kim Nam Gil ceria. “tapi kalau aku menandatanganinya, maka itu

7

berarti ini kedua kalinya aku masuk daftar hitam kalian bulan ini,” lanjutnya, pura-pura merenung.

“Ya,” desah pemuda berwajah tirus. “Dan bahkan bulan September baru dimulai.”Kim Nam Gil menyeringai. “Benar sekali, Seung Hyo. Karena itulah, aku tidak mau

menandatanganinya,” katanya santai. “Kalau aku menandatanganinya sekarang, berarti aku sudah melakukan dua kali pelanggaran. Bila sampai tiga kali, pasti Paman atau Bibiku akan dihubungi pihak sekolah. Dan itu merugikanku. Sedangkan aku tidak yakin besok aku bisa datang tepat waktu.”

“Begitu? Jadi apa yang akan kau lakukan?” sindir pemuda berwajah datar. Seringaian di wajah Kim Nam Gil semakin lebar. “Sampai jumpa!” katanya sambil berja-

lan pergi dan melambaikan tangan dengan santai.“Nam Gil! Kim Nam Gil!” kedua pemuda itu berteriak memanggilnya, tapi Kim Nam Gil

tak menghiraukan mereka dan terus berjalan menjauh.“Dasar,” geram si pemuda berwajah tirus. “Bagaimana denganmu?”“Akan kutandatangani,” jawabku langsung. Tapi aku tak bergerak maju sedikitpun. Aku

masih berdiri diam memandangi sosok jangkung Kim Nam Gil yang akhirnya menghilang di persimpangan jalan.

“Hei! Kau mau masuk, tidak?” Aku tersadar dari lamunanku. “Ya. Ya, tentu.”

***

Scene 7

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Bo Jong : Go Do BinSeok Poom : Hong Kyung In Go Do : Ryu DamSan Tak : (gak dapet namanya)

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 –

Siapa bilang jalan masuk sekolah hanya gerbang depan? Aku memanjat pagar halaman belakang sekolah sambil tersenyum puas. Apa Uhm Tae wong merasa dirinya pintar? Hah… sudah jelas tak sepintar aku. Kalau aku jadi dia, pasti aku akan menyuruh orang berjaga-jaga di pagar belakang juga.

Mana mungkin aku mau menandatangani absen bodoh itu? Kunci motorku pasti akan ditahan lebih lama oleh si tua Go Young Jae bila dia mendapat pemberitahuan dari kepala sekolah bahwa aku selalu terlambat datang selama tiga hari berturut-turut… atau mungkin nantinya malah lebih.

Hupp… pendaratanku yang berlangsung mulus membuatku menyeringai senang. Setelah mengamati keadaan sekitar, aku buru-buru masuk ke gedung sekolah.

“Perkenalkan, namaku Lee Yo Won,”Saat semakin dekat dengan ruang kelasku, lagi-lagi aku mendengar suara yang membuat

bulu kudukku berdiri. Astaga, jangan bilang kalau…“Kim Nam Gil!” geram Baek Sung Hoo. Dia guru… Biologiku…? Atau mungkin guru

sejarahku…? Atau mungkin juga… “Kim Nam Gil! Sedang apa kau berdiri diam di sana? Kau mau masuk kelas ini atau tidak?”

8

Sengaja ingin membuatnya kesal, aku masuk sambil tersenyum jail. Si gadis pembuat bulu kudukku berdiri itu menjulurkan kepalanya melewati tubuh besar pak Baek Sung Hoo untuk menatapku. Merasa iseng, aku mengedipkan sebelah mata padanya. Haha… ekspresi wajahnya lucu sekali. Entah dia kaget melihatku bisa masuk sekolah, atau kaget karena aku mengedipkan mata padanya.

Rasa nyeri di dadaku kembali muncul. Berusaha tak menghiraukannya, aku terus berjalan menuju kursiku. Ini keberuntungan, kesialan, atau hanya takdir? Kenapa aku bertemu dengan gadis itu terus?

“Ada dua kursi kosong di kelas ini,” kata guruku itu pada si murid baru. “Tapi demi kebaikanmu sendiri, kusarankan kau duduk di sebelah Ryu Dam saja,” sarannya.

Aku mendengus keras-keras. Biar saja dia mendengar. Dasar gajah tua, dipikirnya aku virus mematikan atau apa? Memangnya kenapa kalau gadis itu memilih kursi kosong di sebelahku?

“Gadis baru itu cantik juga, ya?” kata San Tak padaku dari kursinya yang berada tepat di depanku. Matanya tak lepas memandangi gadis baru yang sedang berjalan menuju kursi di sebelah si gendut Ryu Dam.

Aku mendelik padanya. Entah kenapa aku merasa kesal mendengar San Tak tertarik pada si murid baru. “Lalu kenapa kalau dia cantik? Kau tak mungkin masuk hitungannya.”

San Tak balik mendelik padaku sambil memonyongkan bibirnya. “Aku tidak bermaksud mendekatinya,” protesnya. “Aku hanya mengatakan dia cantik. Apa salah memuji orang?” gerutunya.

Aku pura-pura tak mendengar, dan langsung mengeluarkan sembarang buku dari dalam tasku. Tapi sialnya San Tak tak mau berhenti bicara. “Walaupun misalnya aku tertarik pada gadis itu, tak mungkin aku akan mendekatinya. Tak mungkin aku sengaja mencari masalah denganmu hanya karena berebut seorang gadis.”

Aku membanting bukuku dengan keras. Kutatap wajahnya dengan tajam. “Siapa bilang aku mengincarnya?”

“Eh, yah, kau tak perlu bilang pun aku sudah tahu,” jawabnya gugup. “saat masuk tadi kau mengedipkan mata padanya, lalu barusan kau marah karena aku memuji—“

“Argh! Sudah-sudah, aku tidak mau dengar lagi!”’ bentakku.“Bagus!” seru Pak Baek Sung Hoo dari depan kelas. “Bagus sekali! Kalau pelajaranku

begitu memuakkan bagimu, seperti aku yang muak melihat tingkahmu, maka keluar saja. Ayo keluar!”

San Tak semakin salah tingkah melihat pelototan marahku padanya. Dasar bodoh. Gara-gara dia aku jadi dapat masalah. Awas saja kau nanti.

“Baiklah, baiklah, aku minta maaf,” mohon San Tak saat jam istirahat. “Tapi salahmu sendiri berteriak padaku saat jam pelajaran.”

“Sudahlah, kau jauh-jauh saja dariku,” desahku kesal. “Moodku sedang tidak bagus sekarang. Kalau tidak mau jadi sasaran kemarahanku, sebaiknya kau pergi saja.”

Benar-benar sial si gajah tua tadi. Padahal aku sudah meminta maaf dan mencoba menjelaskan, tapi dia tidak mau dengar. Dan semakin sial saat dia mendatangi mejaku dan melihat buku yang kubuka di meja adalah buku pelajaran sastra dan bukannya buku kimia, pelajaran yang sedang diajarkannya. Dasar pemarah.

“Oh ya, sore ini akan diadakan balap motor lagi di Inchon. Kau ikut, kan? Kali ini uang-nya lebih banyak,” katanya mengiming-imingiku. “Bukankah katamu ingin menyumbang pa-da korban gempa di… Indonesia? Tapi belum tercapai karena kau sedang tidak punya uang. Nah, kalau kau menang lagi di lomba kali ini, uangnya lumayan juga. Tapi… tentu saja,

9

sebelum disumbangkan pada Negara lain, kau harus menyumbangkan sedikit untukku dulu,” lanjutnya sambil menyeringai seperti orang bodoh.

Benar. Aku memang berencana memberikan sedikit bantuan ke sana. “Sayangnya motorku sedang disita sekarang,” kataku.

“Apa? Astaga, padahal aku sudah berharap sekali kau bisa menang…” “Kalaupun aku ikut bertanding dan kemudian menang, apa kau pikir aku akan memberi-

kannya padamu? Yang benar saja.”“Nam Gil!”Aku menghentikan langkahku dan memutar tubuh ke arah datangnya suara yang

memanggilku tadi. Ternyata Do Bin dan salah seorang sahabatnya, Hong Kyung In.“Ada apa?” tanyaku dingin.Do Bin tersenyum. Aku kesal melihatnya tersenyum. Dia jadi terlihat mirip Ibu. “Kami

butuh batuanmu.”“Apa imbalannya?”Dia melambai-lambaikan sebuah kunci. “Kudengar kau butuh motor? Kau boleh pakai

milikku.”“Sebutkan saja,” perintahku.

***

Scene 8

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Yoo Shin : Uhm Tae WongCheon Myeong : Park Ye Jin Alcheon : Lee Seung HyoBo Jong : Go Do Bin Seok Poom : Hong Kyung InJook Bang : Lee Moon Shik Go Do : Ryu Dam

- Lee Yo Won - 2 September 2010 -

“Yo Won, kau harus hati-hati,” kata Ryu Dam saat kami sedang makan siang di kafetaria. “Jangan dekat-dekat dengan Nam Gil. Dia itu tukang buat onar.”

“Benar. Bila dalam seminggu kau tidak melihatnya berkelahi, itu pertanda kiamat sudah dekat,” sambung Lee Moon Shik.

Aku hanya menanggapi dengan anggukan acuh tak acuh karena mulutku sedang penuh dengan makanan. Aku tidak takut pada Nam Gil hanya karena dia tukang buat onar, tapi aku memang agak kurang nyaman di dekatnya. Setiap di dekatnya aku merasa aneh. Hal-hal tak normal terus saja terjadi bila di dekatnya. Seperti di kelas tadi, saat dia berkedip padaku, tiba-tiba saja aku mendapat kilasan lagi. Dalam kilasan pengelihatanku itu, lagi-lagi ada pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria itu keluar dari kegelapan dan tiba-tiba mengedipkan mata kanannya padaku. Gayanya sama persis seperti yang dilakukan Nam Gil saat memasuki kelas. Dan melihat kedua kedipan mata itu membuat jantungku berdebar kencang.

“Ahh… kenyang,” desahku puas saat selesai menelan suapan terakhir.Seharusnya kak Ye Jin masuk sekolah bersamaku hari ini, tapi kemarin dia terserang flu.

Kasihan sekali. Tapi, kalau besok kakak masuk, berarti dia akan duduk di sebelah Nam Gil? Hmm… kak Ye Jin begitu halus dan lembut, dia pasti akan sangat tak nyaman berdekatan dengan orang seperti itu. Tapi aku juga merasa enggan pindah tempat duduk.

10

Lamunanku terhenti saat seseorang menyentuh bahuku. Si wajah datar yang tadi pagi. Aku baru membuka mulut untuk bertanya ada apa, saat mendapat kilasan pengelihatan lagi. Kali ini aku merasa seperti sedang didekap erat dari belakang. Rasanya hangat dan nyaman. Tapi kali ini bukan pria yang mirip dengan Nam Gil itu yang kulihat, melainkan pria lain. Pria itu berpakaian seperti prajurit jaman dulu dan… anehnya wajah sangat mirip dengan si wajah datar. Apa lagi ini?

“Hei, aku bertanya padamu,” si wajah datar menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “Kau kenapa?” tanyanya lagi dengan heran.

“Eh, ah, tidak… tidak apa-apa,” jawabku tergagap. Rasanya sulit berkonsentrasi mencerna perkataannya saat kepalaku sedang dipusingkan dengan kejadian-kejadian aneh yang kualami sejak pagi.

“Aku bertanya, apa ini milikmu?” tanyanya sambil menyodorkan gantungan ponsel berwarna perak dan berbentuk bintang dengan huruf Y di tengah-tengah bintangnya—yang merupakan inisial namaku.

Aku merogoh ke saku rokku dan melihat ponselku memang kehilangan gantungannya. “Ya, itu milikku. Bagaimana bisa ada padamu?” tanyaku.

“Baru saja aku tanpa sengaja menginjaknya. Kau menjatuhkannya,” jawabnya sambil memberikan gantungan itu. “Permisi,” lanjutnya sambil berjalan pergi.

“Nah, yang itu baru pilihan tepat bila kau mencari pacar,” kata Moon Shik sambil tersenyum. “Namanya Uhm Tae Wong. Dia ketua OSIS dan putra kepala sekolah kita.”

“Aku—““Atau,” sela Ryu Dam cepat, dengan mulut yang penuh makanan. “kau bisa pilih

sahabatnya. Itu, yang baru saja duduk di sebelah kak Tae Wong. Dia wakil ketua OSIS. Namanya Lee Seung Hyo. Dia tegas dan sama bisa diandalkannya dengan ketua OSIS kita.”

“Tapi,” potongku cepat, sebelum mereka mulai bicara lagi. “Aku tidak pernah bilang sedang mencari pacar, kan?”

“Oh, kau sudah punya kekasih? Yah, kami hanya sekedar memberi informasi,” kata Moon Shik. “Asal tahu saja, mereka berdua itu termasuk yang paling populer di kalangan gadis seantero sekolah. Bahkan banyak juga murid perempuan dari sekolah lain yang mengincar keduanya.”

“Aku—““Tapi, tapi,” potong Ryu Dam lagi. “Nam Gil juga sangat populer. Dia digilai banyak

gadis SMU seantero Seoul. Tentu saja karena dia sering berkeliaran, jadi banyak yang mengenalnya. Walaupun aku heran kenapa bisa ada gadis yang menyukai berandalan sepertinya. Yah, memang wajahnya lumayan juga, kuakui. Apalagi paman dan bibinya sangat kaya.”

“Aku tidak memiliki pacar, dan juga tidak sedang berburu lelaki,” omelku. “Kalian ini suka sekali menyela perkataan orang.”

“Ya, ya, baiklah, mulai sekarang kami akan tutup mulut,” gerutu Moon Shik. “Benar,” Ryu Dam menyetujui. “Kami tidak akan bicara sepatah kata pun.”Aku tersenyum masam melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil. Dasar. Begitu

saja ngambek. Tapi senyumku segera menghilang saat melihat pemuda yang baru saja memasuki kafetaria. Itu… tidak mungkin… itu Go Do Bin!

“Moon Shik… Ryu Dam… itu… siapa dia? Siapa nama anak yang sedang memillih makanan itu?” tanyaku gugup. Hening. Tak ada jawaban.

Moon Shik dan Ryu Dam berpura-pura tak mendengar perkataanku dan dengan sengaja tak mau memandangku.

“Hei!” aku berseru sambil mengguncang tubuh keduanya bergantian. “berhentilah bersikap menggelikan begini. Ayo, jawab aku!”

11

Kedua teman baruku itu melayangkan pandangan penuh pertimbangan padaku, lalu meli-rik pemuda yang kukira adalah Go Do Bin.

“Mereka berdua? Itu Go Do Bin dan Hong Kyung In. Mereka—“Aku tidak mendengar kelanjutan informasi dari Moon Shik. Aku terlalu kalut. Ternyata

benar. Ingatanku tidak salah. Dia memang Go Do Bin. Putra kedua Go Hyun Jung. Musuhku dan Ibu.

Hah… film-film itu jelas bohong. Mereka selalu menceritakan orang-orang yang berpisah saat kecil tak akan saling mengenal ketika sudah dewasa. Nyatanya wajah setiap orang tak berubah begitu jauhnya walau mereka beranjak dewasa. Meskipun terakhir kali aku melihat Do Bin saat berumur enam tahun, aku masih mengingatnya. Dia hanya setahun lebih tua dariku. Berarti saat ini dia sudah kelas tiga.

“Kau tertarik pada yang mana? Go Do Bin atau Hong Kyung In?” tanya Ryu Dam. “Tapi kalau menurutku lebih baik dengan Go Do Bin. Walaupun sama sombongnya dengan temannya, tapi dia sangat kaya. Dia kan—“

“Ya ampun, sudahlah,” selaku. “aku tidak mengincar siapa-siapa,” gerutuku. Mengincar Go Do Bin? Yang benar saja. Walaupun seluruh pria di dunia ini punah, dan hanya tersisa putra-putra Go Hyun Jung, aku tak akan memilih mereka. Lebih baik aku menjadi perawan tua hingga akhir hayat. Aku tidak sudi dihubung-hubungkan dengan keturunan Go Hyun Jung. Tidak sudi!

***

Scene 9

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Bojong : Go Do BinSeok Poom : Hong Kyung In

- Kim Nam Gil - 2 September 2010 -

Hah… bisa juga si anak kesayangan Ibu membuat masalah. Do Bin, Kyung In, dan tiga teman mereka yang lain—yang tidak kukenal—sedang mendiskusikan penyerangan anak SMU Yanmook, tapi aku malas ikut menanggapinya. Terserah mau berapa banyak jumlahnya, asalkan cepat selesai dan aku bisa meminjam motor Do Bin.

“Apa jumlah kita cukup?” tanya salah seorang teman Do Bin yang terlihat resah.Do Bin tersenyum sombong sambil menjawab, “Tentu saja cukup. Mereka tidak kuat dan

jumlah merekapun tak banyak. Apalagi ada aku, Kyung In dan Nam Gil. Sebentar saja pasti selesai.”

Tapi temannya itu masih terlihat tak percaya. “Yah, kalian bertiga memang ahli taekwondo, tapi kami kan tidak.”

“Sudahlah, yakin saja semua pasti beres,” kata Kyung In tak sabar. “Jangan jadi pengecut begitu.”

“Yah, tapi sebenarnya karena apa mereka menyerang kemari?” tanya yang lain penasaran.Kyung In melirik Do Bin ragu-ragu, sebelum menjawab, “Do Bin merebut gadis yang

diincar seorang murid Yanmook.”Aku mendengus keras. Jadi karena gadis? Menggelikan. Wanita memang hanya membuat

masalah saja. Contoh paling tepat adalah ibuku sendiri.

12

“Tapi, apa kalian sudah memperkirakan berapa orang yang akan datang kemari?” tanya yang lain lagi.

“Kurasa… sekitar sepuluh orang,” jawab Do Bin acuh tak acuh. Lagi-lagi dia menampilkan senyum sombongnya yang menyebalkan itu.

Aku melihat ada serombongan orang berseragam biru-hitam-merah mendekat. “Tebakan-mu salah,” ejekku sambil tertawa. “Itu mereka. Dua puluh… mungkin lebih.”

Nah, aku puas melihat senyum menyebalkan di wajah Do Bin memudar dan digantikan rasa terkejut. Haha…

“Bagaimana mungkin dia punya komplotan sebanyak itu?” desis Do Bin.Aku tak tahan untuk tidak tertawa melihat ekspresi Do Bin dan kegelisahan teman-

temannya. “Kau ini naïf sekali,” olokku. “Tentu saja sainganmu itu meminta bantuan anggota geng sekolahnya. Kau tidak pernah dengar? Bos geng SMU Yanmook itu sangat ditakuti di sekolahnya sana,” tambahku, sengaja menakut-nakuti.

Tiba-tiba gerombolan SMU Yanmook berlari cepat menuju kami sambil mengayun-ayunkan kayu dan beragam senjata lain yang mereka bawa.

“Serang!!!” teriakku dan Do Bin bersamaan. Jumlahnya memang tidak imbang, tapi justru tantangan itu yang mengasyikkan. Aku

memukul seorang yang bertubuh paling besar dengan kayu yang kubawa, lalu menendang perutnya dengan keras. Kulihat Do Bin juga dengan cepat menumbangkan musuhnya, dan balas melirikku.

“Ingat, ini idemu. Jangan bawa-bawa aku kalau Go Young Jae mendengar tentang ini,” kataku memperingatkannya.

Do Bin memukul punggung seseorang dengan kayunya hingga roboh, lalu menyeringai padaku. “Tenang saja,” sahutnya.

Aku membalas seringaiannya sambil menghajar dua orang sekaligus. Hah… makin lama ini makin mengasyikkan. Tapi tiba-tiba sudut mataku menangkap gambaran seorang gadis sedang berdiri tak jauh dari tempat kami berkelahi. Astaga, itu si gadis baru!

Bukk… karena lengah ketika melihat gadis itu, seseorang mengambil kesempatan untuk meninju perutku. Cukup keras. Sial. Cepat-cepat aku menghantam kepalanya, lalu berlari menuju si gadis baru.

“Sedang apa kau disitu!?” teriakku. “Pergi!” Mungkin jalan pulangnya memang lewat jalan ini, tapi hari ini dia harus memutar lewat jalan lain bila tidak ingin celaka.

Gadis itu tersentak kaget mendengar teriakanku. Dia langsung berbalik pergi, tapi sialnya seorang siswa Yanmook yang keburu melihatnya, segera menangkap gadis itu. Melihat si brengsek itu berani menyentuh si gadis baru, membuat kepalaku pusing dengan amarah. Dadaku terasa sesak dengan emosi yang meluap-luap. Aku segera berlari dengan membabi buta untuk menolongnya, tapi ternyata si gadis baru bukanlah bunga yang rapuh. Dengan sigap dia menyikut perut pemuda itu, menonjok rahangnya, lalu yang terakhir, menendang selangkangannya. Tanpa kusadari, tiba-tiba aku sudah tersenyum bangga melihat keberanian-nya. Tapi tetap saja dia tidak boleh ada di tempat ini.

“Kenapa kau disini!?” bentakku. “cepat pergi!”Gadis itu melotot marah. “Ini jalan pulangku. Mana kutahu sedang ada perkelahian di

sini!?” sahutnya marah.“Gadis itu! Dia gadis SMU Chongjan! Tangkap dia!” teriak bos geng SMU Yanmook

pada seluruh anak buahnya.“Sial,” makiku sambil mengambil posisi melindungi gadis baru itu.“Ada apa ini!?” Aku menengok ke arah datangnya suara itu dan melihat Tae Wong berlari

mendekat dengan wajah cemas.Berdua dengan sang ketua OSIS, aku berusaha melindungi si gadis baru dari jangkauan

murid-murid SMU Yanmook.

13

“Menjauhlah!” perintahku. “Jangan ada yang berani mendekat. Kalau ada yang berani menyentuhnya, akan kuhabisi!” ancamku. Dan aku bukan bersikap sok pahlawan. Aku benar-benar serius dengan perkataanku. Entah kenapa aku merasa harus melindunginya semampuku. Padahal biasanya aku tak begitu perduli pada orang asing.

Aku dan Tae Wong terpaksa tak dapat leluasa bergerak karena juga harus melindungi si gadis baru. Kami benar-benar dikepung. Do Bin, Kyung In, dan tiga teman mereka yang lain juga sedang di kepung oleh sebagian murid SMU Yanmook yang lain dan tak bisa membantu.

Merasa sangat kesal, aku melampiaskannya pada bos mereka yang dengan beraninya meninju rahangku hingga terasa sakit. Walaupun dia sudah terjatuh, aku terus menghajarnya dan sekaligus menghajar anak-anak buahnya yang berniat membantu bos mereka dengan mengeroyokku.

“Nam Gil, awas!” tiba-tiba si gadis baru meneriakiku.Dan bodohnya aku, begitu mendengarnya menyebut namaku, tubuhku langsung berubah

kaku. Bulu kudukku kembali berdiri, dan ada perasaan aneh di hatiku yang sullit diungkapkan. Salah satu hal yang kurasakan adalah… gembira.

Dengan terkejut aku melihat gadis itu mengangkat tasnya tinggi-tinggi sambil berlari ke arahku. Bukk… dia melempar tas itu ke wajah bos anak-anak SMU Yanmook yang rupanya berhasil bangkit dan berniat menusukku dengan pisau kecilnya saat melihatku lengah dan melamun. Tak menyia-nyiakan kesempatan, aku segera merebut pisau kecilnya dan membuangnya jauh-jauh, lalu menendang perutnya dengan keras hingga dia jatuh terduduk.

Terdengar suara sirine mobil polisi. Dengan panik gadis itu mengambil kembali tasnya, lalu meraih tanganku dan tangan Tae Wong, kemudian menarik kami berdua berlari bersama-nya. Dan seperti orang bodoh, aku hanya bisa mengikutinya. Aku… terkejut.

Dia… si gadis baru… dia menyelamatkanku. Dia menyelamatkanku. Tak pernah ada yang menyelamatkanku sebelumnya. Orang-orang biasanya meminta pertolonganku untuk membantu mereka, tapi gadis ini justru menyelamatkanku. Dia menyelamatkanku.

***

Scene 10

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye Jin

- Lee Yo Won - 2 September 2010 -

Aku sudah tidak kuat lagi berlari. Napasku terasa sesak. Aku menghentikan lariku sambil mengatur napas dengan susah payah. Kutengok kebelakang, dan tak melihat tanda-tanda kami diikuti. Syukurlah. Tapi… saat kutengok ke sekelilingku… dimana ini?

Seseorang berdeham. Aku baru tersadar kalau ternyata masih memegangi tangan Nam Gil dan kak Tae Wong. Dengan malu aku buru-buru melepaskan peganganku.

“Emm, apa ada yang tahu sekarang kita di mana?” tanyaku setenang mungkin. Kutatap Nam Gil. “aku benar-benar tidak tahu jalan.”

Bukannya menjawabku, pemuda itu hanya berdiri diam sambil memandangiku lekat-lekat. Aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Bukan hanya karena caranya memandangku, tapi juga karena melihat sosok Nam Gil mengingatkanku pada kilasan pengelihatan yang kudapat di tempat perkelahian tadi.

14

Saat Nam Gil berdiri di depanku dengan gaya melindungi, dan mengeluarkan ancaman agar para berandalan itu tidak berani mendekatiku, tiba-tiba terlintas di benakku kejadian yang hampir serupa. Dalam kilasan itu lagi-lagi aku melihat seorang pria yang sangat mirip dengan Nam Gil. Pria berpakaian lusuh dengan model seperti pesilat itu berdiri melindungiku persis seperti yang dilakukan Nam Gil. Pria itu juga mengancam gerombolan pria asing berpakaian prajurit kuno yang mengacungkan pedang pada kami. Benar-benar gila. Apa yang terjadi padaku? Memangnya kapan aku pernah berada dalam situasi seperti itu?

“Kau tidak apa-apa?” lagi-lagi kak Tae Wong yang menyadarkanku dari lamunan.“Ah, ya, tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabku cepat. Kulirik Nam Gil, dan ternyata dia

masih juga memandangiku.“Kau baru pindah ke Seoul?” tanya kak Tae Wong.Aku mengangguk. “Baru sekitar seminggu,” jawabku.“Kalau kau mau, aku bisa membantumu mencari jalan pulang,” tawarnya. “Dimana

alamatmu?” Aku menyebutkannya, dan kak Tae Wong terlihat terkejut. “Rupanya kau dan keluarga-

mu yang menjadi tetangga baruku,” katanya. “Rumahku di sebelah rumahmu.”Aku tertawa. “Benarkah? Kebetulan sekali.”Suara musik menyela pembicaraan kami. Aku dan kak Tae Wong menatap Nam gil yang

baru tersadar bahwa itu bunyi ponselnya.“Ya?” tanyanya pada orang yang meneleponnya dengan suara keras. Dia terdiam

mendengarkan kata-kata dari orang yang meneleponnya sambil melirikku. “Baiklah, aku akan segera ke sana. Ya.”

“Kenapa kalian berkelahi tadi?” tanya kak Tae Wong pada Nam Gil setelah pemuda itu mengakhiri pembicaraannya.

Nam Gil meringis. “Aku hanya membantu. Anak-anak SMU Yanmook yang lebih dulu menyerang Do Bin dan Kyung In,” jawabnya cepat. “Maaf, tanya-jawabnya dilanjutkan nanti saja. Aku buru-buru. Sampai jumpa,” katanya. Dia melirikku sekilas, kemudian berlari menjauh.

Kak Tae Wong mengamati kepergian Nam Gil sambil menghela napas. “Baiklah, ayo kita pulang,” ajaknya.

Karena rumah kami dekat dengan sekolah, maka kami hanya perlu berjalan kaki dan tak usah naik bus atau kereta. Dia juga menunjukkan jalan lain menuju rumah bila tidak bisa melewati jalan pulang-pergiku sebelumnya. Tak seperti dugaanku ternyata kak Tae Wong orang yang cukup ramah, walaupun memang bisa dibilang pendiam.

“Yo Won,” sapa kak Ye Jin dari depan pagar rumah kami.“Kakak? Bukannya kakak masih sakit?” tanyaku. Cepat-cepat aku mendekatinya.Kak Ye Jin tersenyum. “Aku sudah lebih sehat sekarang,” jawabnya. Dia melirik kak Tae

Wong. “Temanmu?”Aku balik tersenyum. “Kak, perkenalkan, ini Uhm Tae Wong, senior kita di sekolah. Dia

juga ketua OSIS dan tetangga kita,” kataku memperkenalkan. “Kak Tae Wong, perkenalkan, ini kakakku, Park Ye Jin.”

Kulihat kak Tae Wong sedikit mengerutkan kening—mungkin dia heran mendengar perbedaan nama keluargaku dan kakak—sebelum kemudian tersenyum ramah pada kak Ye Jin yang juga membalas senyum itu dengan ramah.

“Baiklah, aku permisi,” kata kak Tae Wong sopan, setelah sebelumnya bersalaman deng-an kak Ye Jin.

Kulihat kakak mengamati kak Tae Wong hingga menghilang ke dalam rumahnya, lalu dia tersenyum lebar padaku. “Bagaimana sekolah baru kita?” tanyanya.

15

Aku mendesah. “Ceritanya panjang, jadi aku akan cerita di dalam saja,” kataku sambil menariknya masuk.

Aku terbangun. Kulihat kak Ye Jin masih tidur nyenyak di ranjangnya. Sekarang tepat jam 12.00 malam. mimpi barusan… aku bermimpi ada seorang pria menyodorkan rangkaian bunga kuning cerah padaku. Wajah pria itu terkesan kekanakan, apalagi ditambah dengan senyum lebarnya yang jenaka. Melihat senyumnya hatiku terasa hangat dan melambung tinggi. Tapi saat aku akan meraih bunga yang disosorkannya padaku, aku terbangun.

Rasanya dulu aku juga pernah mengalami mimpi yang sama… Ah! Ya, saat aku masih kecil, saat kabur bersama Ibu, aku memimpikan pria itu juga. Dulu aku tidak mengenali wajahnya, tapi… sekarang aku tahu. Pria yang ada di mimpiku tadi adalah pria yang sama dengan pria yang kulihat dalam kilasan pengelihatan saat di sekolah. Pria yang berwajah mirip dengan Nam Gil.

Tapi kenapa? Kenapa pria itu bisa muncul di mimpi dan di benakku? Siapa pria itu? Apa hubungannya dengan Kim Nam Gil? Dan yang terpenting, apa hubungannya denganku?

“Yo Won?” terdengar suara pelan kak Ye Jin. “Ada apa? Kenapa kau terbangun malam-malam begini? Apa kau masih memikirkan sepupumu itu?” tanyanya, mengingat ceritaku saat di sekolah bertemu dengan Go Do Bin.

Aku mendengus. Untuk apa memikirkannya? “Dia tidak benar-benar sepupuku,” kataku. “Kami tidak memiliki hubungan darah. Dia hanya sepupu tiri.”

“Kau masih memikirkan cara membalas dendam pada ibunya?” tanya kak Ye Jin dengan nada khawatir. “Itu tidak baik, Yo Won. Lupakan masa lalu, lanjutkan saja hidupmu. Lupakan orang-orang yang menyakitimu dan ibumu. Pada saatnya nanti mereka akan mendapat balasannya sendiri. Balas dendam hanya akan menimbulkan masalah saja,” sarannya.

Aku memaksakan diri untuk tersenyum pada kakak. Kak Ye Jin terlihat begitu khawatir. “Tenang saja,” kataku.

Pura-pura menguap, lalu aku bersemunyi dalam selimut. Dengan sengaja aku ingin mengakhiri pembicaraan tentang pembalasan dendamku. Kak Ye Jin yang baik, halus dan lembut hati tak akan mungkin mengerti. Dia beruntung. Dia memiliki orangtua lengkap yang saling mencintai dan juga sangat menyayanginya. Tidak sepertiku.

Kakak tak akan mungkin mengerti perasaanku. Bagaimana takutnya aku saat berumur enam tahun. Betapa takutnya aku melihat Ibu sekarat. Ibu yang kucintai dan satu-satunya orang yang benar-benar mencintaiku tanpa syarat. Aku takut Ibu mati dan meninggalkanku. Aku takut sendirian. Dan aku memang sendiri setelah Ibu tiada. Paman, Bibi, dan kak Ye Jin memang baik dan menyayangiku seperti bagian keluarga mereka sendiri, tapi mereka tetap orang asing. Sedangkan Ayah yang seharusnya menyayangiku, malah tak memperdulikan keberadaanku. Dan karena Ayah dan saudara tirinya, Ibuku meninggal.

Salahkah aku bila membenci mereka? Berdosakah aku memikirkan untuk membalas sakit hati yang aku dan Ibuku rasakan?

***

Scene 11

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinMoon No : Jung Ho Bin Se Jong : Go Young Jae

16

Alcheon : Lee Seung Hyo Bo Jong : Go Do BinYong Soo : Park Jung Chul Ha Jong : Go Jung HyunGo Do : Ryu Dam Yeom Jong : (gak dapet namanya)

- Kim Nam Gil - 3 September 2010 -

Di dalam bus aku dan Do Bin duduk berjauhan. Dia kesal padaku karena kabur bersama Tae Wong dan si gadis baru. Di wajahnya ada luka-luka yang menjadi bukti perkelahiannya kemarin. Selain karena aku meninggalkannya, dia juga kesal karena ditangkap polisi dan saat dia memintaku mengeluarkannya, aku menelepon Ibu untuk meminta bantuan. Semalam dia dimarahi Ibu dan Go Young Jae yang sekarang juga menyita motornya. Begitulah, tanpa kendaraan pribadi, terpaksa kami berdua pergi ke sekolah menggunakan bus.

Hah… aku jadi teringat pada ekspresi mengejek Jung Hyun tadi, saat dia dengan sombongnya memasuki BMW Convertiblenya untuk pergi kuliah. Sial.

Kusandarkan kepalaku di jendela dan menutup mata. Mimpi semalam masih mengganggu pikiranku. Dalam mimpi itu aku dipeluk seorang wanita berpakaian perang dengan sangat hangat. Aku ingat itu adalah mimpi yang pernah kudapat saat masih kecil dulu. Sesaat sebelum aku terbangun di rumah Ibu. Saat itu aku sempat berpikir wanita itu adalah ibu kandungku, tapi ternyata… yah, sekarang aku mengenali wajahnya. Wanita itu adalah wanita yang muncul dalam kilasan pengelihatanku kemarin di sekolah. Dia wanita yang sangat mirip dengan si gadis baru, hanya saja wanita dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku itu terlihat lebih dewasa dibanding si gadis baru sekarang.

Kenapa wanita itu terus muncul tak hanya dalam mimpi, tapi juga di benakku saat aku sedang bangun? Siapa dia? Apa hubungannya dengan si gadis baru? Apa hubungan mereka denganku?

“Hei!” Yeom Jong menghempaskan diri di kursi di sebelahku. “Kudengar ada perkelahian seru kemarin? Benarkah? Dan kau tidak membawaku?”

Aku meliriknya kesal. Dia murid kelas tiga seperti Do Bin—umurnya sudah dua puluh tahun—tapi tidak naik kelas beberapa kali. Dia juga satu klub taekwondo denganku di sekolah dan awalnya dia memusuhiku karena aku menjadi murid favorit guru taekwondo kami, Jung Ho Bin. Tapi setelah kukalahkan berkali-kali, dia jadi bertingkah sok akrab dan menjilat. Aku tidak suka padanya, tapi terkadang dia bisa jadi sangat berguna. Dia punya banyak anak buah karena menurut gossip yang beredar, pamannya seorang mafia. Entah itu benar atau hanya bualannya agar banyak yang takut padanya. Yang pasti, sekarang aku sedang tak ingin diganggunya.

“Tak ada urusannya denganmu,” sahutku ketus.Yeom Jong tertawa sumbang. “Ayolah, jangan kasar begitu. Kita teman, kan?”Dia semakin menyebalkan saja. Untungnya aku tak perlu menanggapinya karena bus

sudah sampai di halte dekat sekolahku. Tanpa meliriknya sedikitpun, aku langsung keluar. Dengan langkah sedikit terburu-buru aku menuju sekolah. Bukan karena takut terlambat—jelas tidak, karena hari ini aku datang tepat waktu—tapi karena dorongan hati ingin cepat sampai di kelas untuk bertemu si gadis baru. Namanya… kemarin dia menyebutkan namanya… siapa ya…? Ah, ya, Lee Yo Won. Yo Won… Yo Won… aku menyeringai geli menertawakan diri sendiri. Kenapa mengingat namanya saja aku jadi senang begini?

“Nam Gil!” Kudengar seseorang meneriakiku. Di depan gerbang sekolah aku berdiri diam mencari sumber suara itu. Kulihat seorang pria bersetelan jas keluar dari sebuah mobil jaguar yang terparkir tak jauh dari depan gerbang.

“Kak Jung Chul!?” seruku tak percaya. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat usiaku sebelas tahun. Saat itu dia akan berangkat kuliah ke Amerika.

17

Kak Jung Chul tersenyum lebar. “Hai, dik, lama tak jumpa,” sapanya.Aku masih terdiam tak percaya saat dia mendekat, kemudian merangkulku. Dari sudut

mataku kulihat Do Bin dan Yeom Jong memperhatikan kami, tapi aku tak perduli. Aku benar-benar terkejut melihat kakak. “Kau pulang? Bukankah dulu di telepon kau mengatakan tak akan pulang karena bekerja di sana?”

Senyum di wajah kakak memudar. “Yah, ya… aku memang bekerja di firma hukum di Amerika,” jawabnya. “aku pulang minggu lalu. Ibu sakit parah dan meninggal,” lanjutnya dengan sedih.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tidak bisa berpura-pura sedih dan kehilangan wanita yang sempat kuanggap ibu hingga usiaku enam tahun, tapi selalu menyiksaku setiap kali dia punya kesempatan. Walau begitu aku ikut bersimpati dengan rasa kehilangan kakak. Selama ini kakak bersikap cukup baik padaku. Kami memang tidak terlalu dekat karena perbedaan usia kami yang cukup jauh, tapi dia satu-satunya orang yang cukup perduli padaku saat dulu kami tinggal bersama. Bahkan setelah dia tinggal di Amerika pun, terkadang dia menyempatkan diri meneleponku.

“Aku ikut berduka untukmu,” kataku jujur.Kak Jung Chul tersenyum masam. “Aku tahu kau membencinya. Aku tidak

menyalahkanmu. Apalagi peristiwa terakhir itu… aku minta maaf,” katanya tulus. “Aku tidak mengerti bagaimana ibu yang begitu baik dan penyayang bisa bertindak sangat kejam padamu.”

“Dia menyayangimu karena kau putra satu-satunya. Dia membenciku karena aku putra hasil perselingkuhan suaminya. Itu kenyataannya,” kataku dengan nada pahit.

Kak Jung Chul menumpangkan tangannya di pundakku. “Atas nama Ibu aku meminta maaf padamu. Kurasa dia pun akhirnya menyesali perbuatannya padamu,” katanya sedih. “Sudahlah, tidak usah bicarakan itu. tujuanku kemari adalah untuk mengajakmu pulanglah ke rumah. Ayah membutuhkanmu. Dia semakin tua dan sakit-sakitan, sedangkan aku tak dapat kembali ke Korea hingga beberapa tahun lagi, hingga kontrak kerjaku di Amerika selesai. Pulanglah. Temani dia. Kumohon,” pintanya.

Aku membuang muka sambil mendengus tak sopan. Ayah membutuhkanku? Yang benar saja. Semenjak peristiwa pemukulan istrinya, dan kemudian membawaku ke rumah ibu kandungku, aku tak pernah lagi melihatnya. Aku beberapa kali bertemu kak Jung Chul, tapi tidak dengan Ayah. Dia tak berminat mengunjungiku, juga selalu sibuk bila aku menelepon atau mendatangi kantornya. Aku, putranya, anak haramnya, tak berarti sama sekali baginya. Dia tidak membutuhkanku.

“Aku tahu kau masih marah padanya, tapi pikirkanlah ini. Pulanglah ke rumah. Rumahmu sendiri. Tempatmu sekarang adalah rumah ayah tirimu. Kau akan jauh lebih bahagia di rumah kita,” katanya. Kak Jung Chul melirik jam tangannya. “Aku ada janji dengan temanku. Aku harus pergi. ingat, pikirkan yang kuminta, Nam Gil. Sampai jumpa— ah, astaga, maaf,” katanya pada seorang gadis yang ditabraknya saat dia buru-buru berbalik.

Gadis itu terdorong hingga terjatuh, dan kak Jung Chul segera membantunya berdiri. Anehnya, kemudian kedua orang itu terus berpegangan tangan dan bertatapan tanpa bergerak ataupun bersuara sedikitpun. Mereka terlihat… hah… lucu sekali. Yah, kakak dan gadis itu terlihat seperti aku dan si gadis baru saat pertama kali bertemu.

“Kakak! Kakak tidak apa-apa!?” seru Lee Yo Won panik. Gadis itu berlari mendatangi gadis yang ditabrak kak Jung Chul. Oh, jadi rupanya gadis itu saudara Lee Yo Won?

“Maaf,” gumam kak Jung Chul setelah akhirnya sadar. “Kau tidak apa-apa, kan?”Wajah kakak perempuan Lee Yo Won terlihat merona merah. Dia menggeleng cepat.

“Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa.”Kak Jung Chul tersenyum. “Baiklah kalau begitu, permisi,” katanya. “Aku akan

menghubungimu nanti,” tambahnya, yang ditujukan padaku.

18

Lee Yo Won menatapku, dan dadaku kembali berdebar-debar hingga terasa agak menyakitkan. Berusaha bersikap normal, aku menyunggingkan senyum jailku padanya, lalu berjalan memasuki gerbang sekolah.

Yang mengejutkan, ternyata kakak perempuan Lee Yo Won juga sekelas dengan kami. Dan yang lebih aneh, marga mereka berbeda. Nama gadis itu Park Ye Jin. Mungkin mereka hanya teman akrab dan karena Park Ye Jin sedikit lebih tua dari Lee Yo Won, maka dia dipanggil kakak.

Tadinya kupikir Lee Yo Won akan pindah duduk di sebelahku karena Park Ye Jin menduduki kursi di sebelah Ryu Dam, tapi ternyata Lee Yo Won malah memaksa si gendut itu pindah ke sebelahku. Jujur saja aku jadi agak kesal padanya. Kenapa dia tidak mau duduk di dekatku? Apa dia menganggapku virus mematikan? Apa dia tidak menyukaiku karena aku suka berkelahi? Karena apa? Dan yang lebih menyebalkan adalah diriku sendiri. Kenapa aku harus memusingkan dia benci padaku atau tidak? Biarkan saja gadis itu berbuat sesukanya. Kalau gadis itu ingin menjauhiku, aku juga akan menjauhinya. Itu lebih baik.

Karena sudah membuat keputusan menghindari Lee Yo Won, maka tak heran bila kekesalanku meningkat saat pulang sekolah dan memulai latihan di ruang klub taekwondo, aku melihat gadis yang ingin kuhindari itu. Mau apa dia di sini? Kenapa dia tidak ikut klub lain saja? Kenapa klub ini? Tak bisakah aku terbebas darinya?

Sialnya, karena sedang kesal, dan tak bisa berkonsentrasi—karena dengan bodohnya mataku terus saja tertuju pada Lee Yo Won yang menjadi anggota baru klub ini—maka Seung Hyo berhasil membantingku dengan cepat—dia dan Tae Wong juga anggota klub taekwondo sepertiku dan Do Bin, selain aktif dalam OSIS. Sial. Sambil berdiri mataku melirik Lee Yo Won lagi. Gadis itu sedang mengobrol dengan beberapa gadis yang sudah lama menjadi anggota klub. Suaranya sebenarnya tidak bisa dikatakan merdu, tapi entah kenapa aku suka sekali mendengarnya.

“Nam Gil,” panggil guruku, Jung Ho Bin, saat latihan usai dan aku sedang bersiap untuk pulang.

Hmm, dari nada suaranya aku yakin dia bukan berniat untuk memujiku. “Ya?” sahutku.Guru Jung melirik Lee Yo Won sekilas sebelum menatapku tajam. “Kau melakukan

banyak kesalahan tadi,” katanya datar.Hah… apa kubilang. “Maafkan aku, guru,” kataku sama datarnya.“Kau tidak berkonsentrasi,” katanya, mengomentari hal yang sudah jelas. “karena gadis

baru itu,” lanjutnya mengagetkanku. Bagaimana guru bisa tahu?“Aku… aku tidak… bukan karena dia,” protesku. “tadi aku tidak dapat berkonsentrasi

karena memikirkan permintaan kakakku.” Yah, itu juga benar. Aku tidak sepenuhnya ber-bohong. Selain karena terus menatap Lee Yo Won, kepalaku sedang dipusingkan dengan permintaan kak Jung Chul.

Guru menatapku tak percaya. “Sebentar lagi akan ada pertandingan. Kalau kau terus tidak bisa berkonsentrasi seperti tadi, kau tidak akan bisa memenangkannya.”

“Maaf, guru,” kataku. “Tak akan terulang lagi. Dalam pertandingan nanti aku pasti akan memenangkannya. Aku berjanji.”

Mulai sekarang aku akan berkonsentrasi pada pertandingan. Aku harus menang dan membuat guru bangga padaku. Lee Yo Won memang tidak baik untuk konsentrasiku. Aku benar-benar harus menjauhinya.

***

19

Scene 12Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinKing Jin Pyeong: Lee Min Ki Mi Shil : Go Hyun JungChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeBo Jong : Go Do Bin

- Lee Yo Won - 3 September 2010 - Aku tidak tahu kalau Nam Gil ternyata anggota klub taekwondo! Dari yang kudengar tentangnya, kupikir dia hanya seorang pembuat onar. Aku berusaha tak menghiraukan kehadirannya, tapi entah kenapa sulit sekali. Berkali-kali, tanpa kusadari mataku sudah tertuju padanya. Apa yang begitu menarik darinya hingga aku tidak bisa melepaskan pandangan dari sosoknya? Dia memang jangkung dan cukup tampan, tapi ada banyak pemuda lain yang masuk kriteria seperti itu dan aku tidak memperhatikan mereka.

Hah… aku sudah berhasil menghindar dari duduk berdekatan dengannya di kelas, tapi kehadirannya masih tetap mengganggu konsentrasiku. Aku bisa saja mengundurkan diri dari klub, tapi aku tidak enak hati pada kak Tae Wong yang sebelumnya kuminta memasukkanku ke klub ini. Lagi pula aku memang tertarik belajar taekwondo, jadi kenapa aku harus keluar hanya karena ada dia?

“Hei, tunggu!” Kudengar seseorang memanggilku saat latihan usai dan aku bersiap menjemput kakak di ruang klub paduan suara. Aku memutar tubuh, dan panik saat melihat Do Bin dan seorang temannya berjalan mendekatiku.

Tadi saat perkenalan diriku pada anggota yang lain, Do Bin belum ada. Dan saat dia datang bersama beberapa temannya, pemuda itu hanya melirikku sekilas dan terlihat tak mengenaliku. Mungkin yang di film-film itu ada benarnya. Mungkin daya ingatku memang kuat, sedangkan Do Bin tidak. Atau mungkin aku banyak berubah setelah sekian lama? Tapi rasanya tidak juga…

“Kau murid baru, ya?” tanya Do Bin. Dia semakin mendekatiku. “Tapi rasanya wajahmu tidak asing,” lanjutnya sambil tersenyum menggoda. Ihhh… dia mau menggodaku? Aku masih ingat wajahnya yang berlepotan es krim cokelat dan kebiasaannya buang angin di depanku dulu. Bukan gaya pria penggoda sama sekali.

“Apa kabar, Do Bin?” sapaku masam. Yah, kenapa harus menghindar? Semakin cepat, semakin baik untuk rencanaku bila mereka tahu aku sudah kembali ke Seoul. Do Bin terlihat terkejut. “Kau… siapa—“

“Yo Won!” seruan kak Ye Jin memotong pertanyaan Do Bin. Dengan tergesa-gesa kak Ye Jin menghampiriku. “Ibu menelepon dan menyuruh kita cepat pulang. Katanya Ayah akan mengajak kita makan malam di luar.”

Do Bin terlihat semakin terkejut. “Kau… Yo won…? Lee Yo Won?”“Sampai jumpa,” kataku datar. “Ayo, kak, kita pergi,” ajakku sambil menarik tangan

kakak menjauh.

“Seharusnya kau lebih sering membawa kami makan di luar seperti ini,” kata Bibi Young Hee pada Paman Kil Kang. “Jadi aku tidak perlu repot memasak,” godanya.

“Baiklah,” sahut Paman sambil tertawa. “Kita akan lebih sering berjalan-jalan keluar mulai sekarang,” janjinya.

20

Aku tersenyum melihat cara Paman dan Bibi saling memandang dan tersenyum. Terlihat jelas mereka sangat saling mencintai. Beruntung sekali.

“Bagaimana , apa kalian betah tinggal di Seoul?” tanya Paman padaku dan kakak.Kak Ye Jin mengangguk. “Aku suka. Rumah dan sekolahnya menyenangkan.”“Benar,” sahutku, mengiyakan. Walaupun aku merasa agak kurang nyaman dengan Nam

Gil, tapi secara keseluruhan semua menyenangkan. “Emm, Paman, apa Paman masih ingat jalan menuju rumahku?” tanyaku.

“Kau ingin mengunjungi rumahmu?” tanya Paman Kil Kang.Bibi Young Hee langsung terlihat gelisah. “Tapi Yo Won, untuk apa kau ingin ke sana?

Ibumu berpesan padaku untuk membesarkanmu, jadi—““Young Hee,” sela Paman Kil Kang tenang. “Yo Won bukannya mau pindah ke sana. Dia

hanya ingin mengunjungi ayahnya. Tidak salah, kan? Bagaimanapun juga Lee Min Ki adalah ayah kandungnya.”

“Tapi—“Aku meremas tangan Bibi pelan. “Tenang saja, tidak mungkin aku meninggalkan kalian

yang begitu baik dan sayang padaku, hanya untuk pindah ke rumah ayah yang tak perduli padaku?” kataku sambil tersenyum.

“Yo Won—“ desah kak Ye Jin. Dia terus berusaha melunturkan dendamku pada Ayah dan Go Hyun Jung.

“Bagus sayang,” kata Bibi ceria. “ayahmu mungkin bukan orang jahat, tapi dia sudah sangat jahat pada ibumu yang malang. Kasihan sekali dia. Dia lebih dari sahabat bagiku, dia sudah seperti saudariku. Karena itu tak akan kubiarkan ayahmu menyakitimu lagi.”

“Sudahlah, Young Hee,” tegur Paman. “Aku akan mengantarmu, Yo Won. Sebutkan saja kapan kau ingin pergi,” katanya.

“Terima kasih, Paman,” kataku tulus. “Aku ingin ke sana besok.”

- 4 September 2010 -

Rumah itu masih sebesar yang dulu kuingat. Air mataku terasa mendesak ingin keluar, tapi kutahan sebisanya. Halaman depan itu penuh bunga-bungaan yang kuingat dulu ditanam oleh Ibu dengan bantuan tukang kebun kami. Dulu aku dan Ibu sempat bahagia di sana sebelum Ayah mengkhianati kami.

“Kau tidak ingin turun?” tanya Paman lembut.Aku menggeleng pelan. Setelah sampai di sini aku takut masuk ke rumah itu. aku takut

tidak bisa menahan diri melihat barang-barang yang mengingatkanku pada Ibu.Sebuah mercedes hitam melesat melewati mobil Paman Kil Kang dan berhenti tepat di

depan rumahku. Seorang pria paruh baya keluar dari mobil itu. sesaat jantungku seolah berhenti, sebelum kembali berdetak dengan cepat. Ayah.

Ayah terlihat masih sama seperti yang kuingat. Tapi sekarang dia terlihat jauh lebih tua dan lebih kurus. Atau mungkin sejak dulu dia memang begitu? Aku tidak tahu, sudah lama aku tidak melihatnya. Tanpa terasa air mataku sudah menetes. Aku membencinya atas apa yang sudah dilakukannya padaku dan Ibu. Aku yakin aku masih membencinya hingga kini. Tapi ada desakan perasaan lain yang timbul saat melihatnya. Sampai saat ini aku tidak sadar betapa aku merindukannya.

Saat dia menghilang ke dalam rumah, hampir saja aku berlari mengejarnya, tapi kemudian aku ingat perbuatannya padaku dan Ibu. Dan juga ketidak peduliannya padaku. Bila dia memang menyayangiku, pasti dia akan mencariku. Tapi hingga sekarang dia tak pernah berusaha menghubungiku. Tidak pernah.

“Yo Won,” panggil Paman Kil Kang.

21

“Kita pulang saja, Paman,” kataku dengan suara parau. Tanpa berkata apa-apa, Paman menuruti permintaanku. Aku menyandarkan kening di

kaca jendela mobil dan memejamkan mata. Tiba-tiba terlintas di benakku gambaran seorang pria berpakaian prajurit berwarna hitam sedang tertawa. Pria itu lagi. Pria yang mirip dengan Kim Nam Gil. Kali ini aku tidak merasa terganggu dengan kilasan pengelihatan itu, karena melihat tawa pria itu membuat hatiku terasa hangat dan mengangkat sedikit kesedihanku. Tanpa sadar bibirku sudah membentuk senyum. Siapapun dia, terima kasih.

***

Scene 13

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeBo Jong : Go Do Bin Ha Jong : Go Jung HyunChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young Hee

- Kim Nam Gil - 11 Desember 2010 -

Di saat-saat seperti inilah Go Young Jae selalu bersikap baik. Saat aku atau Do Bin berhasil menjuarai suatu pertandingan. Bulan lalu, saat aku berhasil menjuarai pertandingan taekwondo antar sekolah, dia membangga-banggakanku pada teman dan rekan bisnisnya, juga mengganti motor balapku dengan model yang lebih baru.

Dan sekarang, dia berkeliling ruangan dengan Do Bin—yang diakuinya sebagai putranya—untuk membangga-banggakan kemenangan Do Bin dalam kejuaraan anggar tingkat remaja beberapa hari yang lalu. Dan sekarang di garasi kami sudah ada motor balap lain—yang sama dengan milikku, hanya beda warna—untuk Do Bin.

Setiap akhir pekan Ibu dan Go Young Jae memang sering mengadakan pesta ataupun hanya makan siang santai bersama teman dan rekan bisnis mereka seperti yang sedang kami lakukan sekarang. Dan untuk membuat kesan keluarga bahagia, aku, Do Bin, dan Jung Hyun harus menyertai Ibu dan Go Young Jae dalam setiap pertemuan itu. Yang paling menyebalkan, kami dipaksa bersikap akur dan akrab. Yang benar saja.

Aku duduk di sudut ruangan dengan rasa muak yang sudah naik hingga ke ubun-ubun. Membosankan sekali.

Bulan demi bulan berlalu dengan cepatnya. Tak terasa sekarang sudah menjelang akhir tahun. Bulan September lalu aku menolak permintaan kak Jung Chul, dan sekarang dia sudah kembali ke Amerika. Mungkin dia kecewa dengan keputusanku, tapi aku tidak mau kembali ke rumah sial itu. tak akan. Apalagi membayangkan hidup bersama Ayahku. Hah…

Walaupun hidup di sini jelas bukan surga, tapi setidaknya Ibu tak pernah memukuli atau membentakku dengan kasar—dia hanya bersikap dingin. Go Young Jae pun tak begitu buruk. Dia bersikap tak perduli dan hanya marah setiap aku membuat kekacauan, tapi itu masih cukup baik, menurutku. Dan kedua saudara tiriku… kami sering bertengkar tapi tak pernah terlalu kacau. Yang paling penting, di rumah ini tak ada kenangan tentang wanita itu… ibu kak Jung Chul, istri Ayah.

“Bahagia sekali pernikahan Bibi dan Pamanmu,” kata seorang tamu sambil duduk di sebelahku. “Ulang tahun pernikahan yang ke dua puluh lima, bayangkan itu! Pernikahan-

22

pernikahanku sendiri bahkan tak pernah melewati satu tahun,” kata wanita paruh baya itu kagum.

Aku mendengus tak sopan. Yah, itulah alasan pesta kali ini. Pesta ulang tahun pernikahan Ibu dan Go Young Jae. Aku merinding ngeri membayangkan diriku menjadi Go Young Jae yang selama dua puluh lima tahun hidup bersama wanita yang tak benar-benar mencintainya, hanya memanfaatkannya, dan yang terparah, memiliki hobi menyeleweng. Hah… tak bisa kubayangkan selama dua puluh lima tahun pernikahan itu entah sudah berapa banyak pria yang dijadikan selingan oleh Ibu.

Wanita di sebelahku terus mengoceh, tapi aku tak mendengarkannya lagi. Aku meminum anggur putihku—yang kudapat diam-diam, karena aku belum mencapai usia yang boleh meminum minuman keras—sambil mengedarkan pandangan ke seisi ruang pesta, dan nyaris mati tersedak saat melihat Lee Yo Won dan kakaknya. Apa-apaan? Kenapa mereka di sini?

Selama beberapa bulan ini kami sama-sama saling menjauhi. Aku tidak tahu alasannya, tapi alasanku adalah karena dia menjauhiku lebih dulu, dan karena keberadaannya mengganggu konsentrasiku. Tapi walaupun sudah menjauhinya, entah kenapa kilasan pengelihatan dan mimpi-mimpi aneh itu tetap muncul kapan saja dan dimana saja. Dan gilanya, semakin lama melihat kilasan-kilasan kejadian dan mimpi-mimpi itu, aku merasa seolah semakin dekat dengan wanita itu, juga Lee Yo Won. Konyol sekali. Kami bahkan tidak saling bicara bila tidak benar-benar perlu.

Kulihat selama beberapa bulan ini dia akrab sekali dengan Tae Wong. Itu membuatku sangat kesal. Apa hebatnya si wajah datar itu? Apa karena dia ketua OSIS? Apa hebatnya jabatan itu? Hah…

Lee Yo Woon dan Park Ye Jin datang bersama pasangan suami istri—itu sudah jelas terlihat dari gerak-gerik mereka—dan sekarang sedang disambut oleh Ibu seorang diri, karena Go Young Jae sedang berada di sudut lain ruangan untuk membanggakan Do Bin pada seorang temannya. Aku mengerutkan kening saat melihat kemarahan dan kebencian yang berusaha disembunyikan Lee Yo Won. Apa yang membuatnya marah? Karena penasaran, aku beranjak mendekati mereka.

“Yo Won? Astaga, aku tak menyangka akan bertemu dengamu lagi setelah…” Ibu sengaja menggantung perkataannya dan menggantinya dengan senyuman.

Lagi-lagi terlintas kemarahan di wajah Lee Yo Won. “Aku—“ kata-katanya terhenti saat dia melihatku mendekat. Ekspresi marah itu segera terganti dengan keterkejutan. “Kim Nam Gil?” serunya tak percaya.

“Hai,” sapaku sambil tersenyum lebar.Ibu melirikku dan Lee Yo Won bergantian. Sebelah alisnya terangkat saat dia bergumam

“Ah,” dan tersenyum misterius. “Seharusnya sudah kuduga kalau kalian saling mengenal, mengingat Do Bin pernah bercerita bahwa kau sekarang bersekolah di tempat yang sama dengannya,” katanya pada Lee Yo Won.

Ada apa ini? Bagaimana Ibu dan Do Bin bisa mengenal Lee Yo Won?“Tuan Park, Nyonya Park, perkenalkan, ini Kim Nam Gil, keponakanku,” katanya

memperkenalkanku pada pasangan suami istri yang datang bersama Lee Yo Won dan Park Ye Jin. Kutebak mereka adalah orangtua Park Ye Jin.

Aku tersenyum dan membungkuk sopan. Wajah Park Ye Jin dan ibunya terlihat cemas. Mereka terus saja melirik keadaan Lee Yo Won yang entah kenapa mematung di sisi Park Ye Jin. Ada apa dengan gadis ini? Apa dia sakit?

“Kau datang kemari bersama Tuan dan Nyonya Park?” tanya Ibu pada Lee Yo Won. “Bagaimana dengan ibumu? Apa kabarnya?” tanya Ibu.

Kemarahan itu kembali terlukis nyata di wajah Lee Yo Won yang pucat, tapi kali ini bercampur dengan kesedihan. Melihatnya seperti ini entah kenapa hatiku terasa sakit. Aku tidak suka melihatnya sedih seperti ini.

23

“Ibu sudah meninggal,” jawab Lee Yo Won pelan. Aku tahu dia berusaha keras terlihat tegar dan kuat—aku sering melakukan hal yang sama—tapi matanya yang berkaca-kaca dan tangannya yang gemetar tak bisa menyembunyikan kesedihan dan kekalutannya.

Ibu terlihat terkejut. “Aku turut berduka. Dia kakak ipar yang baik,” katanya. “Apa ayahmu tahu? Sudahkah kau bertemu dengannya?”

Kakak ipar? Apa ibu Lee Yo Won adalah kakak ipar Ibu? Yah, aku pernah dengar Ibu memiliki kakak tiri, tetapi kudengar dari Do Bin, terjadi perselisihan diantara Ibu dan saudara tirinya itu bertahun-tahun lalu dan hingga sekarang keduanya tak pernah lagi berbaikan. Apa saudara tiri Ibu itu adalah ayah Lee Yo Won?

“Eee… terima kasih sudah mengundang kami,” kata Tuan Park sopan tapi kaku. “Dimana Tuan Go? Rasanya saya ingin membicarakan lagi masalah kerjasama antar perusahaan kami,” lanjutnya.

Ibu tersenyum sopan. “Tentu saja, mari ikuti saya. Maafkan suami saya yang tak dapat ikut menyambut kedatangan kalian, karena saat ini dia sedang berkeliling menyapa tamu-tamu lain,” kata Ibu. “Sampai jumpa nanti, Yo Won. Datanglah mengunjungiku kapanpun kau mau,” lanjutnya, sebelum kemudian menggiring Tuan dan Nyonya Park menjauh.

Lee Yo Won yang tetap tinggal bersama Park Ye Jin, terus menatap kepergian Ibu dengan penuh kemarahan dan kebencian. Tangannya masih gemetaran. Mengikuti dorongan hati, aku meraih tangannya yang gemetar, mengelusnya dengan ibu jariku, dan meremasnya pelan. Sekali lagi kemarahan itu hilang dan digantikan keterkejutan. Mata bulat indahnya terlihat membesar saat menatapku.

Tiba-tiba sebuah kilasan pengelihatan lain muncul di benakku. Aku melihat wanita yang sangat mirip Lee Yo Won lagi. Kali ini dia terlihat sangat cantik dan anggun dalam balutan pakaian tradisionalnya yang berwarna biru. Tak seperti dalam pengelihatan-pengelihatanku sebelumnya yang selalu tersenyum manis dan ceria, kali ini wajah wanita itu terlihat cemas, dan tangannya pun gemetaran. Mengikuti dorongan hati lagi, aku meraih tangan itu dan meremasnya pelan.

“Nam Gil!” aku tersadar saat mendengar seruan dari Jung Hyun.Aku mengamati ekspresi menerawang gadis itu. dia terlihat seakan sedang berada di

dunia lain, bukan di ruang pesta ini.“Hei, kau ini!” gerutu Jung Hyun. “Bisa-bisanya menggoda gadis di depan umum?”Aku baru tersadar kalau sejak tadi aku masih terus menggenggam tangan Lee Yo Won.

Dan sepertinya gadis itu pun baru sadar, menilik dari ekspresi terkejutnya saat menatap tangan kami. Buru-buru aku melepaskannya.

“Ada apa mencariku?” tanyaku ketus.“Seorang temanku ingin berkenalan denganmu,” jawabnya. “Ayo ikuti aku. Permisi nona-

nona,” sambungnya sambil menarikku pergi. sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi aku juga merasa kikuk berada dekat dengan Lee Yo Won. Apalagi setelah aku berani menggenggam tangannya seperti tadi, padahal kami tidak pernah berhubungan dekat. Jadi kubiarkan saja Jung Hyun menarikku pergi.

Gadis teman Jung Hyun itu tidak menarik minatku sama sekali. Mataku terus saja tertuju pada Yo Won… ya, aku lebih suka menyebutnya begitu. Dia dan Park Ye Jin duduk di salah satu sofa dengan wajah murung. Ada apa dengan Yo Won? Apa dia sedih mengingat ibunya? Aku ingin menghiburnya, tapi tidak tahu harus melakukan apa. Dan terlebih lagi, belum tentu Yo Won bersedia kuhibur. Hah… selama ini kan dia terus menghindariku.

Tersenyum masam mengejek diri sendiri, aku mencoba mendengarkan ocehan gadis teman Jung Hyun itu. tapi sial, aku benar-benar tidak mengerti dia bicara apa, jadi kutinggalkan saja dia dan naik ke lantai atas, menuju kamarku. Di tengah-tengah tangga aku melirik Yo Won sekali lagi, dan melihat kesedihan gadis itu membuatku ikut sedih. karena

24

aku tak bisa menghiburnya, maka kuharap hal apa pun yang membuatnya sedih segera berlalu.

***

Scene 14

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo Won Yoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeBo Jong : Go Do Bin Alcheon : Lee Seung HyoChil Sook : Park Kil Kang Jook Bang : Lee Moon Shik

- Lee Yo Won - 11 Desember 2010 -

Aku membiarkan kakak menggiringku duduk di salah satu sofa karena aku masih sangat shock melihatnya wanita itu. Go Hyun Jung. Aku baru saja bertemu dengannya lagi. Dia tidak banyak berubah, masih bibi cantik seperti yang kuingat. Dulu dia pernah menjadi bibi favoritku, tapi sekarang, dia orang yang paling kubenci.

Beberapa hari lalu Paman Kil Kang menerima undangan dari presiden direktur sebuah perusahaan yang menggunakan jasa pengamanan dari perusahaan tempat Paman Kil Kang bekerja, dan hari ini Paman membawa kami semua turut serta ke pesta ulang tahun pernikahan sang presiden direktur tersebut. Saat mendengar nama Go Young Jae, aku tidak curiga sama sekali. aku tidak menyangka bahwa orang itu adalah suami Bibi Hyun Jung. Bahkan saat memasuki gerbang megah rumah mereka, aku masih tenang-tenang saja. Tapi, ketika sampai di ruang depan tadi, dan melihat foto Bibi Hyun Jung terpajang di atas perapian, sudah terlambat untuk mundur.

Saat melihatnya, dan mendengarnya menanyakan tentang Ibu, hampir saja aku mengamuk. Teganya dia! “kakak ipar yang baik” katanya? Dasar munafik! Kalau dia benar menyukai Ibu, dia tak akan berselingkuh dengan Ayah!

“Yo Won, kau tidak apa-apa?” tanya kak Ye Jin khawatir.Kuhirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. “Tidak. Tidak apa-apa.

Hanya sedikit shock,” jawabku sambil memaksakan senyum. Tapi memang sekarang aku sudah sedikit lebih tenang.

Aku menunduk dan menatap tangan kananku. Sejak kecil, bila sedang takut atau kalut, tangan kananku akan selalu gemetaran. Tapi sekarang tanganku sudah berhenti bergetar, setelah Nam Gil menggenggamnya tadi. Aku merasa wajahku memanas mengingat kejadian itu. Saat dia menggenggam tanganku, sejenak kekalutanku menghilang dan digantikan perasaan senang yang aneh. Dadaku langsung berdebar tak karuan, dan sebuah kilasan kejadian melintas di benakku. Aku melihat pria itu lagi, pria yang mirip Nam Gil, tapi dalam sosok yang lebih dewasa. Pria itu memakai pakaian prajurit kuno berwarna hitam. Di wajah tampannya tak ada senyum ceria yang seperti biasa kulihat dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku selama ini. Di wajah itu terlukis kecemasan, yang kurasa ditujukan padaku. Entah bagaimana, aku tahu pria itu begitu memperdulikanku. Sama seperti Nam Gil, pria itu juga meraih tanganku untuk digenggamnya dengan tangannya yang besar. Merasakan kehangatan genggaman itu membuat hatiku bergetar.

Dimana Nam Gil? Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tapi pemuda itu tak ada. Apa dia sudah pergi?

25

Selama berbulan-bulan aku terus berusaha menjauhinya, tapi sialnya itu tak berhasil mengenyahkan mimpi-mimpi dan kilasan-kilasan aneh yang kudapat. Mimpi dan kilasan itu terus muncul tak perduli kapan pun dan dimana pun. Dan yang lebih gila lagi, semakin lama melihat mimpi dan kilasan tentang pria mirip Nam Gil itu, aku merasa seolah semakin dekat dengannya dan juga dengan Nam Gil sendiri. Benar-benar gila. Bagaimana bisa, padahal selama berbulann-bulan kami tidak saling bicara bila tidak benar-benar perlu.

Yah, kurasa dia juga menjauhiku. Aku tidak tahu alasannya, tapi alasanku karena aku tidak nyaman dengan perasaan aneh yang terus timbul setiap berdekatan dengannya. Aku ingin semua kembali normal seperti saat aku belum mengenalnya. Tapi sepertinya semua sia-sia saja. Walaupun tak berdekatan denganya, tanpa kuinginkan aku terus memikirkannya.

“—siapa sangka Kim Nam Gil ternyata keponakan bibimu,” komentar kak Ye Jin.Aku tersadar dari lamunanku. Benar. Aku sempat melupakan fakta itu. memang

mengejutkan. “Ya, memang tak di sangka,” kataku setuju. “Tapi setidaknya dia hanya keponakan Go Hyun Jung, bukan putranya. Benar-benar suatu kesialan memiliki orangtua seperti wanita itu.”

“Yo Won,” kata kakak memperingatkan. “Kita sedang berada di rumahnya, di antara tamu-tamu yang mengenalnya. Jangan bicara yang tidak-tidak,” tambahnya dengan nada memerintah.

“Aku tidak perduli dia akan mendengarnya atau tidak,” kataku keras kepala.

- 13 Desember 2010 -

Bersama kak Ye Jin dan kak Tae Wong, aku berjalan menuju sekolah. Huff… dingin sekali. walaupun mantel yang kupakai sudah cukup tebal, tapi hawa musim dingin masih sangat mengganggu.

Tanpa sengaja aku menyenggol tubuh kak Tae Wong, dan tiba-tiba saja sebuah kilasan kejadian tentang pria yang mirip kak Tae Wong melintas di benakku. Pria itu memelukku begitu erat, seolah itu sebuah pelukan perpisahan. Merasakan pelukan pria itu membuatku ingin meneteskan air mata. kesedihan pria itu begitu nyata dan mempengaruhiku juga. aku pun membalas pelukan itu. entah kenapa aku merasa seakan ini adalah terakhir kalinya aku dapat memeluknya seperti ini.

“Yo Won? Kau baik-baik saja?” suara kak Ye Jin menyadarkanku.“Ya… ya, tidak apa-apa,” jawabku dengan suara agak parau.“Kak Tae Wong? Ada apa dengan kalian? Kalian sakit?” tanya kak Ye Jin lagi.Aku melirik kak Tae Wong yang berdiri diam dengan ekspresi wajahnya terlihat

kebingungan. Kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca. “Kak Tae Wong?” desak kak Ye Jin.“Ah, ya?” Kak Tae Wong terlihat seperti orang linglung.“Kakak kenapa?” tanya kak Ye Jin khawatir.Kak Tae Wong melirikku sekilas, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan kak Ye Jin

sambil tersenyum. “Aku tidak apa-apa. Ayo jalan,” ajaknya..Sambil berjalan, diam-diam aku melirik kak Tae Wong yang berjalan di sebelah kananku.

Siapa pria yang kulihat tadi? Apa hubungannya dengan kak Tae Wong? Dan apa hubungannya denganku? Lalu… kenapa tadi kak Tae Wong terlihat kebingungan? Apa dia juga melihat apa yang kulihat?

Selain dengan Nam Gil, terkadang—walau hanya sesekali—bila bersentuhan dengan kak Tae Wong, aku akan mendapat kilasan pengelihatan mengenai seorang pria yang sangat mirip dengannya, tapi dalam versi yang lebih dewasa. Namun karena kilasan-kilasan itu hanya muncul bila aku bersentuhan dengan kak Tae Wong, maka aku tidak terlalu terganggu

26

dengannya. Asalkan aku menjaga agar tak sampai bersentuhan dengan kak Tae Wong, maka kilasan itu tak akan muncul. Berbeda dengan kilasan pengelihatanku tentang pria yang mirip Nam Gil. Tanpa harus menyentuhnya, tanpa harus melihatnya, kilasan itu sering muncul begitu saja. Bahkan sosoknya juga menghias mimpi-mimpiku tanpa diundang.

“Tae Wong!” seru kak Seung Hyo sambil berlari kecil menghampiri kami yang sudah hampir memasuki gerbang sekolah.

“Ada apa?” tanya kak Tae Wong. “kau terlihat panik.”“Apakah aku bisa tidak masuk hari ini?”Kak Tae Wong mengerutkan kening. “Tapi hari ini akan dimulai festival musim dingin di

sekolah,” protesnya. “Kita akan punya banyak pekerjaan selama minggu ini. Banyak yang harus kita siapkan dan awasi. Kalau kau tidak sakit parah, kenapa kau tidak mau masuk sekolah?”

Di wajah kak Seung Hyo terlintas rasa frustasi. Pemuda itu melirik ke belakangnya dengan cemas, sebelum berbalik dan menjawab pertanyaan kak Tae Wong. “Gadis gila itu,” katanya. “anak SMP yang kuselamatkan dari berandalan beberapa hari yang lalu, kau ingat? Semakin hari dia semakin gila! Dia terus mengejar-ngejarku! Dengan adanya festival di sekolah, dia bisa keluar masuk sekolah kita seenaknya dan akan menggangguku seharian,” keluhnya.

Kak Tae Wong terlihat geli. “Kau takut dengan gadis SMP? Yang benar saja,” guraunya. “Lagipula, anggap saja itu suatu pujian. Jarang ada pria yang mendapat kehormatan digilai seperti itu. sudahlah, tak ada alasan. Kau tidak boleh membolos. Ayo masuk!” katanya sambil menarik kak Seung Hyo.

Tak bisa menahan diri, aku dan kak Ye Jin tertawa geli. Kapan lagi kami bisa melihat kak Seung Hyo yang biasanya begitu tegas dan berwibawa menjadi panik hanya karena perhatian berlebihan dari seorang gadis? Lucu sekali.

“Itu Kim Nam Gil,” kata kakak tiba-tiba.Sebuah motor balap berwarna hitam yang dikendarai seorang pemuda melintas di depan

kami, lalu disusul motor balap lain, yang berwarna merah. Pengemudi motor hitam itu Kim Nam Gil, sedangkan motor merah itu Go Do Bin.

“Semalam saat mengobrol dengan temanku lewat telepon, tanpa sengaja kami membicarakannya. Temanku bercerita bahwa dia mendengar gossip mengenai Kim Nam Gil yang terlibat perkelahian pada hari minggu siang kemarin di Inchon,” kata kak Ye Jin. “Katanya Kim Nam Gil mengikuti sebuah pertandingan balap motor di sana. Saat Kim Nam Gil menang, lawannya tak terima dirinya dikalahkan dan tidak bersedia membayar uang taruhan yang sebelumnya sudah ditetapkan.”

“Lalu Kim Nam Gil menghajarnya, dan memulai perkelahian,” tebakku. Aku hapal sekali kejadian-kejadian seperti itu. Selama beberapa bulan ini hal seperti itu sering terjadi. Sepertinya hal sekecil atau seremeh apapun bisa memicu keberingasan Nam Gil. Benar kata Moon Shik, bila dalam seminggu tak melihat atau mendengar Nam Gil berkelahi, itu merupakan pertanda kiamat sudah dekat.

“Benar,” kata kak Ye Jin. “Hati-hati dengannya, Yo Won, dia itu pemuda kasar.”Aku mengerutkan kening dengan heran. “Kenapa harus memperingatkanku?”“Karena aku tahu dia tertarik padamu,” jawab kakak, mengejutkanku. “Aku melihatnya

sering memandangimu. Dan dipertegas saat dia menggenggam tanganmu sabtu kemarin di pesta bibinya. Dia tertarik padamu. Tapi jauhi dia. Dia berbahaya.”

Aku tahu Nam Gil berbahaya. Pikiranku tahu itu. Tapi entah kenapa sepertinya hatiku tidak…

***

27

Scene 15

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo Won Yoo Shin : Uhm Tae Wong Young Mo : QriSan Tak : (gak dapet namanya) Yeom Jong : (gak dapet namanya)

- Kim Nam Gil - 13 Desember 2010 -

Tiap tahunnya SMU Chongjan selalu mengadakan acara festival musim dingin. selama seminggu festival ini berlangsung, akan banyak gerai-gerai penjual makanan, penjual minuman, penjual perhiasan—tentu saja perhiasan murah yang mampu dibeli anak SMU—penjual boneka, rumah hantu, dan lain-lain yang memadati halaman sekolah. Pada puncak acara festival ini akan diadakan pementasan drama, dan itulah yang sedang kulakukan sekarang, dipaksa membantu membuat peralatan untuk drama tersebut di aula sekolah.

“Kau cocok juga.”Aku mengangkat kepala dan melihat Qri, sang idola remaja—dia salah satu anggota grup

vocal yang terdiri dari empat orang gadis remaja, dan sedang naik daun belakangan ini—sedang tersenyum padaku. Kelasnya ada disebelah kelasku, tapi kami tak pernah berbicara. Entah kenapa sekarang dia mengajakku bicara. Sayangnya aku tidak tertarik bicara padanya, jadi aku sengaja membalas senyum ramahnya dengan seringaian singkat, lalu kembali membantu membuat singgasana untuk pemeran ratu dalam drama nanti.

Tapi rupanya gadis itu keras kepala. Walaupun aku sedang berkonsentrasi pada pekerjaanku dan tak bersedia memandangnya, Qri terus saja menusuk-nusuk pundakku dengan telunjuknya. Argh! Apa maunya gadis ini?

“Ada apa?” tanyaku pura-pura manis.“Kubilang, kau cocok juga,” jawabnya sambil tersenyum lebar.Anak ini benar-benar menguji kesabaranku. “Ya? Lalu kenapa? bisakah kau menjauh?

Aku sedang sibuk,” kataku, lalu kembali membelakanginya untuk melanjutkan pekerjaanku. Qri kembali menusuk-nusuk pundakku dengan telunjuknya. “Baiklah!” geramku sambil

berbalik menghadapnya. “Apa sebenarnya maumu?”Senyum menyebalkan itu kembali menghiasi wajah Qri. “Kau tidak bertanya apa yang

kumaksud?”“Pentingkah itu?” tanyaku makin tak sabaran. “Sudahlah, katakan saja kalau ini begitu

penting bagimu.”Senyum di wajah gadis ini tak memudar sedikit pun. “Kau tahu kalau aku sutradara

sekaligus penulis naskah pementasan drama nanti?” tanyanya.“Kau hanya mau mengatakan itu? sejak tadi menggangguku hanya untuk memamerkan

jabatanmu?” tanyaku dengan nada suara semakin tinggi.Qri masih terus tersenyum, tapi kali ini sambil menggelengkan kepalanya pelan dan

menggoyang jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. “Bukan, bukan,” sahutnya halus. “karena aku sutradara sekaligus penulis naskahnya, maka aku juga yang memilih siapa-siapa saja pemerannya nanti. Dan kubilang, kau cocok menjadi—“

28

“Oh, tidak, tidak, aku tidak berminat!” potongku langsung. “Sudah? Itu saja? Kalau begitu kau pergi saja. kerjaanku masih banyak.”

Qri mengangkat pundak acuh tak acuh. “baiklah,” gumamnya. “Kenapa semua calon potensial menolakku terus? Tadi kak Tae Wong, sekarang kau yang menolak peran ini. Padahal perannya sangat bagus,” lanjutnya dengan nada kesal.

Aku pura-pura tak mendengarkan dan kembali mengerjakan singgasana ratu, tapi sebenarnya aku kesal juga mendengar Qri menawarkan padaku hanya karena Tae Wong menolak peran itu. kenapa aku jadi pilihan kedua? Si wajah datar itu memainkan drama? Yang benar saja, memangnya dia bisa memperlihatkan ekspresi senang atau marah? Hah…

“Yah, sebenarnya kak Tae Wong cocok sekali menurutku,” lanjut Qri tanpa perduli aku tak ingin diajak bicara dengannya. “Aku akan membujuknya lagi sampai dia mau. Hah… susah sekali mendapatkan pemeran prianya. Untung saja Lee Yo Won sudah bersedia berperan menjadi ratu. Kalau tidak—“

“Apa?” Qri terlihat kaget saat aku tiba-tiba berdiri menghadapnya dan setengah berteriak. “Lee Yo Won pemeran ratunya? Pemeran utamanya?”

“I-iya,” jawab Qri gugup. “benar. Baru saja aku menawarinya—““Dan pemeran utama prianya,” potongku lagi. “tadi kau menawarkanku peran utama

pria?”“Yah, ya, tapi karena kau juga tidak mau, aku akan menawari calon pertamaku lagi—““Jangan!” bentakku tanpa sadar. Melihat ekspresi takut di wajah Qri, aku sengaja

memasang senyum teramah dan terlucu yang kupunya. “Apa kau tidak tahu saat aku baru lahir seorang peramal mengatakan aku terlahir sebagai bintang? Tidak tahu? Yah, sekarang kau tahu. Dan apa kau tahu saat SD aku selalu menjadi pemeran utama pria dalam setiap pementasan drama sekolah? Kau tak tahu? Yah, sekarang kau tahu. Nah, kukatakan padamu, matamu itu sungguh jeli. kau tak hanya berbakat dalam dunia tarik suara, tapi juga dalam dunia perfilman!”

Mata Qri langsung berbinar. “Benarkah?”“Tentu saja benar! Apa kau pernah mendengar aku berbohong?” sudah jelas semua kata-

kataku tadi kebohongan, tapi dia tak perlu tahu itu.“Sebenarnya sering,” jawab Qri.“Ah, sudah, tak usah bahas itu. begini, kau sangat berbakat. Sama sepertiku. Oleh karena

itulah, kita akan sangat cocok bekerjasama!” bujukku.Qri mengangguk-angguk. “Yah, kau benar. Baiklah, sehabis makan siang nanti kita akan

mulai berlatih. Jam dua belas tepat. Suruh saja orang lain untuk menggantikan pekerjaanmu di sini. Mulai besok kita akan berlatih sejak pagi.”

Aku menyeringai senang. “Bagus! Bagus sekali! kau tak akan menyesali keputusanmu!”

“Benar kau mau mentraktirku?” tanya San Tak untuk kesekian kalinya.Aku meliriknya dengan kesal. “Tadinya aku mau menraktirmu karena suasana hatiku

sedang bagus, tapi mendengarmu terus bertanya—““Tidak, tidak! Aku tidak akan bertanya lagi!” potong San Tak segera. “Kita mau makan

apa? Bagaimana kalau sate ikan? Yang di sana itu sepertinya enak,” katanya sambil menunjuk sebuah gerai makanan.

“Terserah yang mana saja. tepat jam dua belas aku harus sudah kembali ke aula dan berlatih,” kataku.

“Berlatih?” tanya San Tak heran.“Ya, berlatih. Aku akan jadi pemeran utama pria dalam pementasan nanti. Hebat, kan?”San Tak mengamatiku dengan pandangan kritis. “Bagaimana kau bisa dipilih?”

gumamnya.

29

Karena sedang senang, mendengar celaannya hanya kutanggapi dengan senyum lebar. Bagaimana adegan-adegan yang akan kumainkan bersama dengan Yo Won nanti? Kami sama-sama pemeran utama, jadi pasti akan banyak adegan romantis. Seringaianku makin melebar.

“Anak bodoh! Kau ini bisanya menyusahkan orang saja!” terdengar suara bentakan wanita di dekat sebuah gerai penjual minuman yang berantakan.

Karena penasaran, aku dan San Tak mendatangi kerumunan orang yang menonton kekacauan di tempat itu. seorang wanita sedang memarahi bocah kecil yang menangis ketakutan.

“Dasar bodoh! Kau menghancurkan tempat ini! Memangnya kau pikir siapa yang nantinya akan membayar semua minuman yang kau tumpahkan, hah!?” bentak wanita itu sambil memukuli bokong bocah lelaki itu berkali-kali.

Melihat adegan di depanku membuat tubuhku kaku. Kenangan-kenangan buruk masa kecilku kembali datang menghantui. Ingatan betapa takutnya aku saat wanita yang saat itu kupanggil Ibu memukul dan membentakku. Dan dalam sekejap kemarahan yang terpendam itu meluap dalam diriku. Dengan membabibuta aku menerobos kerumunan di depanku, lalu menarik bocah itu menjauh dari wanita yang memukul dan memarahinya.

“Apa-apaan kau—““Kenapa kau memukulinya!?” bentakku, memotong perkataannya. “Apa hakmu

membentak-bentak dan memukulinya!?”Wanita itu terlihat terkejut dan heran, tapi aku tidak perduli. Perlakuannya pada bocah ini

memuakkan.“Apa urusanmu?” balas wanita itu. “Dia putraku. Aku berhak memarahinya. Dia sudah

berbuat salah—““Walaupun dia putramu, bukan berarti kau boleh memukulinya!” teriakku emosi. “Kalau

dia berbuat salah kau tak perlu menggunakan kekerasan untuk menyadarkannya! Dia hanya anak kecil yang tak bisa melawan orang dewasa sepertimu!”

“Eee… Nam Gil, tenanglah,” bujuk San Tak, yang entah sejak kapan sudah berada di sisiku.

“Ada apa dengan temanmu ini?” tanya wanita itu pada San Tak. “Apa dia sudah gila? Berani-beraninya dia mengajariku ber—“

“Aku melakukannya karena kau tidak becus mendidik anakmu!” bentakku. “Apa kau pikir dengan memulkulnya akan membuatnya jera!? Kau hanya membuatnya ketakutan! Bagaimana rasanya bila orang yang lebih besar dan kuat darimu memukuli dan membentakmu, hah!?”

“Ada apa ini?” sebuah suara dingin menyela kemarahanku. Uhm Tae Wong.“Anak gila ini mengamuk hanya karena aku menasehati putraku!” adu wanita itu.Tae Wong menatapku dingin. “Kim Nam Gil, pergilah, jangan buat kekacauan di sini,”

perintahnya.Emosiku begitu meluap, ingin rasanya aku menghajar wajah tanpa ekspresinya itu dan

melihatnya meringis kesakitan. Tapi aku mencoba menahan diri dan memalingkan wajah. Sial, mungkin aku bereaksi sedikit berlebihan karena terbawa perasaan, tapi aku muak melihat wanita itu memukuli putranya yang masih kecil.

Aku melepaskan peganganku dari bocah itu dan beranjak pergi, tapi dengan sengaja aku menabrakan tubuhku pada Tae Wong hingga dia terdorong ke belakang, dan memberinya tatapan tajam. Lain kali dia membuatku kesal lagi, akan kuhapus ekspresi datar dari wajahnya.

“Kenapa kau semarah itu pada wanita tadi?”

30

Aku menoleh dengan kaget saat mendengar suara Yo Won. Setelah marah-marah pada wanita tadi, aku pergi menyendiri ke atap sekolah untuk menenangkan diri. Aku tidak menyangka akan ada yang menyusul kemari. Terutama, tidak gadis ini.

“Ada apa?” tanyaku, tanpa sadar nada suaraku terdengar memusuhi.“Kau yang kenapa? kenapa kau semarah itu hanya karena wanita tadi memarahi

putranya? Dan sebenarnya wajar saja bila wanita tadi marah karena anaknya sudah mengacaukan gerai seorang penjual minuman,” katanya.

“Aku punya alasan sendiri,” jawabku dingin.“Alasan apa yang membuatmu boleh berlaku seperti tadi?” desak Yo Won keras kepala.

“Kau marah karena wanita itu memukul bokong putranya, seakan kau benci melihat tindak kekerasan, padahal kau sendiri orang yang kasar. Dalam seminggu, paling tidak sekali terdengar kau berkelahi entah dengan siapa saja.”

Aku membelalakan mata marah padanya. “Itu berbeda! Lawanku selalu setara denganku, bukan anak kecil. Lawanku sama dewasanya denganku, mereka bisa menjaga diri sendiri, bukan anak tak berdaya yang ketakutan melawan orang yang jauh lebih besar darinya!” tanpa sadar aku membentak Yo Won, dan segera menyesalinya. Kenapa aku marah padanya? Dia tidak tahu alasanku marah pada wanita tadi. Seharusnya aku tidak membentaknya.

“Sudahlah, suasana hatiku sedang buruk. Lebih baik kau pergi saja,” usirku sambil memunggunginya. “Lagi pula kenapa kau kemari? Selama berbulan-bulan kau menghindariku bagai menghindari virus, tapi kenapa sekarang kau jadi begitu perduli pada alasanku mengamuk?”

“Aku tidak menganggapmu virus,” bantah Yo Won segera. “Dan bukan hanya aku yang sengaja menjauh. Kau juga menjauhiku!” tuduhnya.

Dengan gemas aku kembali membalikkan tubuh menghadap gadis itu. “Aku menjauhimu karena—“

“Karena apa?” desak Yo Won.“Sudahlah, aku tak ingin membahasnya,” sergahku. “Pergilah, aku ingin sendiri.”Tak ada sahutan dari Yo Won, tapi aku mendengar pintu menuju atap menutup dengan

keras, yang menandakan gadis itu menuruti permintaanku.Selama lima belas menit aku hanya berdiri diam di atap, dan setelah merasa lebih tenang

aku memutuskan segera turun dan pergi ke aula. Apalagi saat mengecek jam tanganku, ternyata sudah jam dua belas lewat empat menit.

Pintu terbanting terbuka dengan keras, dan Yeom Jong muncul dengan wajah panik. “Ada apa?” tanyaku.

“Gawat. Geng motor dari Inchon menyerang kemari.”

***

Scene 16

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo Won Yoo Shin : Uhm Tae Wong Moon No : Jung Ho BinAlcheon : Lee Seung Hyo Young Mo : QriJook Bang : Lee Moon Shik Go Do : Ryu DamSan Tak : (gak dapet namanya)

- Lee Yo Won - 13 Desember 2010 -

31

“Kenapa aku malah mendatanginya!?” gerutuku sambil berjalan memasuki aula. Dasar pemarah. Kenapa dia membentakku? Kenapa juga tadi aku mengejarnya ke atap? Kenapa aku harus perduli padanya? Kenapa aku harus mengkhawatirkannya hanya karena melihat sorot sedih dari kedua matanya saat dia memarahi wanita tadi?

“Dilihat dari kesuraman wajahmu, pasti dia memarahimu, kan?” Aku benar-benar kaget saat Moon Shik tiba-tiba bicara dan muncul di samping kananku.

“Sudah kubilang, dia itu orang yang sulit ditangani. Percuma saja mengkhawatirkannya,” sambung Ryu Dam. Dan lagi-lagi aku kaget ketika melihat si gendut itu tiba-tiba ada di sebelah kiriku. Bagaimana bisa aku tidak melihat tubuh besarnya mendekat?

“Kim Nam Gil itu sosok yang sulit ditebak. Terkadang dia ceria dan agak bodoh, tapi di lain waktu bisa berubah sekejam iblis dengan otak setajam pedang,” tambah San Tak, yang entah bagaimana caranya sudah berjongkok di depanku. Apa-apaan mereka bertiga ini?

“Tapi sebenarnya sekarang kelakuannya sudah lumayan dibanding dulu,” kata Moon Shik lagi.

Ryu Dam mengangguk. “Saat SD hingga kelas satu SMP, sikapnya jauh lebih buruk dari sekarang. Dulu dia tak pernah tertawa atau tersenyum sama sekali. Sangat pendiam. Dia memukul orang untuk menunjukan bahwa dia tidak menyukai pendapat orang lain, bukannya sekedar bicara untuk memprotes atau menyatakan ketidak setujuannya selayaknya orang normal.”

San Tak berdiri sambil mengangguk serius. “Benar, benar. Tapi kemudian saat kelas satu SMP tanpa sengaja dia bertemu guru Jung Ho Bin ketika sedang berkelahi dengan beberapa kakak kelas di jalanan dekat daerah ini,” katanya. “Guru Jung memaksa Nam Gil ikut kelas Taekwondonya di sekolah ini. Menurut guru Jung, kemarahan dan emosi Nam Gil harus disalurkan ke hal yang positif agar dia tidak lagi memukul orang sesuka hatinya bila sedang marah. Dan walaupun dia murid termuda, tapi Nam Gil juga yang paling berbakat dan tekun berlatih—menurutku itu karena di klub taekwondo dia bisa menghajar orang tanpa harus takut melanggar aturan.”

Aku mendengarkan semua iformasi itu dengan serius. “Kalian begitu mengenalnya… memangnya sejak dulu kalian berteman dengannya?”

Moon Shik dan Ryu Dam bergidik ngeri. “Kami tidak berteman dengannya, tapi sejak SD, entah kenapa ada Dewa yang begitu tega padaku dan Ryu Dam, hingga kami selalu ditakdirkan satu sekolah dengannya,” kata Moon Shik dengan wajah memelas.

“Benar, benar. Menyeramkan sekali. Saat SD dia pernah memukulku hanya karena tanpa sengaja makananku mengotori pakaiannya,” sambung Ryu Dam.

“Kalau aku, berteman dengannya setelah sikapnya mulai berubah berkat didikan guru Jung. Memang, dia tetap suka berkelahi dan terkadang kekejamannya muncul, tapi tidak lagi tanpa alasan tak jelas seperti sebelumnya. Sebenarnya sikapnya sudah jauh membaik sekarang,” kata San Tak.

Hmm… begitu rupanya. “Apa kalian tahu alasan sikap buruknya itu?” tanyaku penasaran.“Entahlah, dia tidak pernah mau bercerita tentang dirinya,” kata San Tak. “Dia—“Kata-kata San Tak terhenti di tengah jalan saat terdengar keributan di luar. Itu suara

deruman mesin-mesin motor. Belum sempat kami keluar untuk mencari tahu, serombongan pemuda berjaket kulit hitam memasuki aula dengan lagak berkuasa.

“KIM NAM GIL!!!” teriak pemuda yang berdiri di deretan terdepan. “Cepat keluar kau, brengsek! Hadapi aku!”

“Apa-apaan ini!?” omel Qri dari atas panggung. “Di mana Kim Nam Gil!?” bentaknya. “Kudengar dia di sini. Mana dia? Cepat panggil

dia!” perintahnya.“Siapa kalian!?” bentakku. “Seenaknya datang kemari dan membuat keributan!”“Astaga, jangan cari masalah, Yo Won,” bisik Moon Shik.

32

“Benar, kau tidak lihat penampilan mereka? Mereka berbahaya,” tambah Ryu Dam.“Tunggu, aku akan mencari Nam Gil,” bisik San Tak sambil perlahan-lahan beranjak

pergi.Pemuda tadi—yang sepertinya bos gerombolan ini—melangkah maju mendekatiku

sambil tersenyum sinis. “Kau berani bersikap tidak hormat padaku, gadis kecil? Kau tidak takut padaku?”

Aku membalas senyumnya dengan sama sinisnya. “Kenapa aku harus takut padamu, pria kecil?” ejekku. “Kau mengataiku kecil, padahal tinggimu sama denganku. Hah! Menggelikan sekali.”

Wajah pemuda itu memerah karena malu dan marah. Tangannya sudah terangkat untuk menamparku, tetapi segera ditahan kak Tae Wong yang rupanya buru-buru datang kemari bersama kak Seung Hyo begitu mendengar terjadi keributan di aula.

“Tolong jangan mengacau di sekolah kami,” kata kak Tae Wong dingin.Pemuda itu menyeringai licik. “Hancurkan tempat ini!” teriak pemuda itu pada anak-anak

buahnya.Segera saja terjadi kekacauan. Murid-murid pria SMU Chongjan yang ada di sekitar aula

berusaha membantu kak Tae Wong dan kak Seung Hyo melawan gerombolan pengacau itu, sedangkan murid-murid perempuan yang sedang berada di aula berusaha keluar dari arena perkelahian.

Aku dan Qri hampir berhasil menyelinap melewati pintu belakang aula saat pemuda yang kuhina pendek tadi berhasil melepaskan diri dari kak Tae Wong dan mengejar kami. Ternyata walaupun pendek, dia cukup kuat, terbukti dari kuatnya cengkramannya pada lenganku dan Qri. Otakku berputar cepat mencoba mengingat jurus-jurus yang selama ini kupelajari di klub taekwondo, tapi sebelum sempat mempraktekannya, pemuda itu sudah mendorong kami dengan sangat kuat hingga kepalaku dan kepala Qri membentur dinding.

Saat aku sedang meringis sakit, pemuda itu menarik kerah baju seragamku. Dengan muak aku melihat wajah menjijikannya yang sekarang berjarak begitu dekat dengan wajahku sendiri. Pemuda itu menyeringai. “Hah, baru tahu rasa kau sekarang. Kau tidak bisa main-main denganku!”

Lututku sudah bersiap untuk menyepak selangkangan si bodoh di depanku ini, tapi lagi-lagi kesempatanku untuk beraksi hilang. Sebuah anak panah melesat diantara wajahku dan wajah pemuda itu. nyaris, nyaris saja anak panah itu mengenai wajah si pembuat onar. Dengan terkesima aku dan pemuda itu menatap anak panah yang tertancap di jendela kayu. Menyadari hampir saja tertusuk panah, membuat wajah pemuda itu memucat.

“Kim Nam Gil!!!” seru Qri sambil berlari mendatangi pemuda yang diteriakinya itu. Qri segera bersembunyi di belakang tubuh jangkung Nam Gil yang terlihat mengesankan dalam posenya yang sedang memegang busur dan siap menembakkan anak panah kedua.

Seorang pemuda berseragam klub memanah berlari mendekati Nam Gil dengan wajah kesal. “Kim Nam Gil! Kembalikan peralatan memanahku. Aku harus berlatih—“ kata-katanya terhenti saat akhirnya anak itu menyadari bahwa sedang terjadi perkelahian ditempat ini. “Astaga,” gumamnya sambil mengamati keadaan.

Wajah Nam Gil sekelam malam dan sebengis iblis. “Han Ji Yoon, singkirkan tanganmu dari gadis itu,” desisnya. “Atau kau akan merasakan panah ini menancap di kepalamu.”

Pemuda bernama Han Ji Yoon itu tertawa sumbang. “Kau tak akan berani,” tantangnya.Tanpa berkata-kata, Nam Gil kembali bersiap menembakkan anak panahnya lagi. Melihat

keseriusan Nam Gil, Han Ji Yoon akhirnya melepaskanku. “Kau yang memaksaku melakukan ini. Kau merampokku kemarin siang,” geram Han Ji Yoon.

“Aku tidak merampok, aku mengambil hakku,” bantah Nam Gil dengan nada datar.“Brengsek kau—““Lee Yo Won!” Nam Gil memanggilku. “Cepat kemari!” perintahnya.

33

Sebelum menuruti perintah Nam Gil, dengan sepenuh hati aku meninju rahang Han Ji Yoon hingga dia terdorong ke belakang. Hah, tak apa tanganku sakit, asalkan hatiku puas bisa membalas kekasarannya padaku tadi.

Nam Gil cepat-cepat mengembalikan peralatan memanah yang dipegangnya pada pemiliknya dan berpesan, “Tolong bawa dua gadis ini keluar dari sini,” pada pemuda itu.

“Eh, baik,” sahut pemuda pemilik peralatan memanah itu. “Ayo, cepat!” ajaknya sambil menarikku dan Qri. Sambil berjalan cepat mengikuti Qri dan pemuda pemanah itu, aku menoleh ke belakang dan melihat Nam Gil sedang menghajar Han Ji Yoon seperti orang kesetanan. Astaga, bagaimana kalau tanpa sengaja dia membunuh orang itu? tapi kemudian aku menjadi panik saat melihat beberapa anak buah Han Ji Yoon segera datang mengeroyok Nam Gil begitu melihat bos mereka sudah tak berdaya menghadapi serangan Nam Gil.

“Tunggu, tunggu!” tahanku. “Tolong Kim Nam Gil, dia dikeroyok!” pintaku panik.“Kalian harus cepat keluar,” bantah pemuda itu. “perkelahian di sini semakin parah.

Kalian akan celaka kalau tetap disini. Aww!” pemuda itu menjerit ketika tanpa sengaja kepalanya terkena lemparan sepatu yang entah milik siapa dan dilempar oleh siapa.

“Tapi—““Ayo Lee Yo Won,” desak Qri. Dia menarikku sambil berkelit dari orang-orang yang

berkelahi di sekeliling kami. “Kim Nam Gil pasti bisa menangani mereka. Ayo!”Sesaat sebelum berhasil keluar, aku sempat melihat seseorang memukul punggung Nam

Gil dengan gagang sapu, dan seorang lagi sedang menendang kakinya, sementara Nam Gil sendiri sedang menghadapi dua pemuda lain. Ya Tuhan, kumohon tolong Nam Gil…

***

Scene 17

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo Won Yoo Shin : Uhm Tae Wong Yong Soo : Kim Jung ChulSeoh Yeon : (gak dapet namanya) Young Mo : QriJook Bang : Lee Moon Shik San Tak : (gak dapet namanya)Yeom Jong : (gak dapet namanya)

- Kim Nam Gil - 13 Desember 2010 -

Brengsek! Berani-beraninya Han Ji Yoon menyerangku kemari setelah dia nyaris mencurangiku kemarin siang!? Yang lebih brengsek, dia berani menyerang Yo Won!

Semua alasan itu, dan juga suasana hatiku yang buruk sejak melihat bocah kecil tadi dipukuli ibunya, membuatku menumpahkan semua emosiku pada Han Ji Yoon dan anak-anak buahnya yang berani mengeroyokku. Akan kubuat mereka menyesal pernah berurusan denganku. Mereka akan menyesali hari saat mereka menginjakkan kaki ke SMU Chongjan seumur hidup mereka!

Aku begitu kalut dengan amarahku hingga tak mendengar suara sirine mobil polisi, dan tak akan tahu bila Yeom Jong dan San Tak tidak menghampiriku dan menarikku menjauhi Han Ji Yoon dan anak-anak buahnya.

“Hentikan, Nam Gil, kita harus cepat pergi! seseorang menelepon polisi. Kita harus pergi!” kata Yeom Jong panik

34

Dengan napas terengah-engah, aku menatap korban-korbanku yang tergeletak di lantai dan sedang mengerang-ngerang kesakitan. Brengsek, kalau Go Young Jae tahu, dia akan mengirimku ke sekolah asrama.

“Ayo!” ajakku pada San Tak, Yeom Jong, dan semua anak buahnya yang dipanggilnya kemari untuk membantu melawan geng Han Ji Yoon.

Tapi saat kami membuka pintu belakang aula, gerombolan polisi sudah menanti kami di sana. Sial!

- 14 Desember 2010 -

“Baiklah, kau boleh keluar sekarang,” kata Uhm Seoh Yeon, kepala sekolahku, juga ayah Uhm Tae Wong.

Aku membungkuk dengan sopan, sebelum keluar dari ruang kerjanya. Hah… selesai sudah. Setelah mengintrogasi dan menasehatiku, dia memutuskan kali ini tidak akan memberiku hukuman. Untung saja kali ini aku tidak diskors dan tidak ditahan polisi. Terima kasih pada kak Jung Chul untuk yang terakhir itu.

Kemarin, setelah gagal melarikan diri bersama San Tak, Yeom Jong, dan anak-anak buahnya, kami semua yang terkait dalam perkelahian di aula dibawa ke kantor polisi. Untungnya, dengan bantuan tak terduga dari kak Jung Chul—kebetulan kemarin dia datang ke sekolah untuk menemuiku, dan saat melihatku digiring ke kantor polisi, dia mengikuti ke sana—dan teman polisinya, anak-anak SMU Chongjan dapat dibebaskan dengan cepat. Yah, lagi pula kami memang tidak bersalah. Geng Han Ji Yoon yang lebih dulu menyerang kami.

Go Young Jae dan Ibu sempat mencurigaiku, karena Do Bin bercerita melihatku dibawa polisi, tapi aku menyangkalnya.

“Kalau benar aku ditahan polisi, tidak mungkin aku sudah dibebaskan secepat ini, dan tak meminta bantuan kalian untuk mengeluarkanku dari sana,” bantahku kemarin. Untungnya mereka percaya… yah, tapi sebenarnya kalau tidak juga tak masalah, yang penting aku tidak membuat mereka gusar karena ditahan polisi.

Mengingat hal ini membuatku teringat pada kak Jung Chul dan perbincangan kami kemarin di sebuah café sepulangnya dari kantor polisi.

“Cepat sekali kakak kembali ke Korea lagi,” komentarku heran. “Baru beberapa bulan yang lalu kakak pulang. Apa kau sudah tidak bekerja di Amerika lagi?”

“Tentu saja masih,” jawab kak Jung Chul tenang. “Aku kemari karena Ayah.”Aku mengerutkan kening. “Ada apa dengan Ayah? Apa dia sakit parah?”Kak Jung Chul tersenyum. “Tidak. Dia cukup sehat,” jawabnya sebelum menghirup kopi

pesanannya. “Aku kemari untuk membantu Ayah mengurus rencananya menjual perusahaannya.”

“Apa? Ayah mau menjual perusahaannya? Tapi kenapa? apakah perusahaan Ayah terancam bangkrut?”

Kak Jung Chul menggeleng. “Tidak. Perusahaan itu masih sekokoh biasanya, tapi Ayah merasa dirinya sudah terlalu tua untuk dibuat stress dengan tumpukan pekerjaan dan tanggung jawabnya di perusahaan itu,” kata kak Jung Chul. “Dia berencana menjual perusahaan dan rumah kita.”

Rumah itu tak akan pernah terasa sebagai rumahku. “Kenapa rumah juga dijual? Apa Ayah berniat membeli rumah baru?”

Lagi-lagi kak Jung Chul menggeleng. “Tidak juga,” sahutnya. “Ayah berniat pindah bersamaku ke Amerika.”

Aku terdiam. Ayah akan ke Amerika?

35

“Dia ingin memulai hidup baru yang tenang di sana bersamaku,” kata kakak lagi. “karena itulah aku mendatangi sekolahmu. Aku ingin mengatakan hal ini dan menawarimu ikut bersama kami bila saatnya nanti Ayah jadi pindah ke Amerika.”

“Tapi aku—““Aku tahu kau tidak bersedia tinggal bersama Ayah di rumah kita karena kenangan

tentang Ibu sangat kuat di rumah itu,” potong kak Jung Chul. “Tapi rumahku di Amerika berbeda dengan di sini. Kau bisa memulai hidup yang baru di sana bersama kami berdua.”

“Aku tidak bisa,” jawabku langsung.“Pikirkanlah dulu, tak perlu terburu-buru,” saran kak Jung Chul. “Dan lagi, ini

kesempatan baik untukmu berbaikan dengan Ayah. Sebenarnya salah satu alasan Ayah ingin pindah ke tempat baru juga demi dirimu. Dia ingin memulai semua dari awal denganmu.”

Ayah perduli padaku? Yang benar saja. “Masih banyak waktu bagimu memikirkannya, karena proses penjualan perusahaan dan rumah pun akan memakan waktu yang tidak sebentar. Aku sangat berharap kau mau ikut dengan kami. Belakangan ini aku sudah terlalu sering cuti, sehingga beberapa waktu ke depan aku tak akan bisa berkunjung ke Korea. Aku tidak bisa sering-sering mengecek keadaanmu.”

Aku mendengus. “Tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diri sendiri.”Kak Jung Chul mengerutkan keningnya. “Benarkah? Bagaimana dengan kejadian

barusan? Itu yang kau sebut bisa menjaga diri?” sindirnya. “Ah, aku bahkan belum sempat bertanya apa yang kau lakukan hingga ditangkap polisi? Jangan katakan kalau tadi ada hubungannya dengan obat-obatan,” tambahnya dengan nada tajam.

“Astaga, tentu saja bukan!” protesku. “Anak-anak brengsek itu yang lebih dulu menyerang. Aku dan teman-temanku hanya membela diri.”

“Bagus. Baiklah, kita bicarakan lagi soal ini nanti. Pikirkanlah tawaran ini, Nam Gil,” pesannya.

Hah… tidak perlu dipikirkan. Aku tidak akan pergi bersama mereka.“Sial sekali,” gerutu seorang murid laki-laki saat aku memasuki aula. “gara-gara

perkelahian kemarin, hampir semua peralatan yang kita buat untuk drama nanti rusak.”“Benar,” kata yang lainnya menyetujui. “hiasan panggung juga rusak. Gara-gara

pengacau kemarin, pementasannya diundur seminggu dari waktu yang sudah ditetapkan.”Mereka benar, aula terlihat kacau sekali. Dasar Han Ji Yoon sial.“Kim Nam Gil!” seru Qri dari sisi lain aula. Gadis itu sedang bersama kerumunan orang

yang mungkin pemeran-pemeran dalam pementasan nanti. “Ini naskahnya,” katanya padaku setelah aku mendekat. Aku menerima naskah itu sambil mengamati kerumunan di sekitar Qri. Tidak ada Yo Won. Dimana dia?

“Kim Nam Gil! kau baik-baik saja? bagaimana keadaanmu? kau tidak terluka?” rentetan pertanyaan itu datang bersama sesosok tubuh yang berlari memasuki aula dan menghampiriku. Yo Won.

Gadis itu berdiri di hadapanku dan mengamati keseluruhan diriku dengan cermat. “Kenapa hanya ada luka kecil di kening?” gumamnya.

Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau kesal mendengar komentarnya. Bisa-bisanya dia berkata begitu? Padahal baru saja aku merasa senang melihatnya mengkhawatirkan keadaanku.

“Apa yang kau harapkan? Aku menjadi lumpuh karena perkelahian kemarin?” sindirku.Yo Won mendelik marah. “Tentu saja tidak,” bantahnya.“Lee Yo Won, ini naskahnya,” kata Qri sambil menyerahkan naskah tersebut pada Yo

Won. “Oh ya, ngomong-ngomong kau terlihat keren sekali saat kemarin memegang busur!” puji Qri padaku.

“Eh, benarkah?”

36

“Ya, benar. Tapi kak Tae Wong juga sangaaat tampan saat berkelahi. Dia terlihat jantan sekali saat menghajar berandalan-berandalan itu. melihatnya aku jadi teringat super hero idolaku, Spiderman!” ocehnya dengan mata menerawang ke kejauhan.

Aku mendengus kesal. Sial, apa-apaan memuji-muji Tae Wong seperti itu? hah! kalau Tae Wong itu Spiderman, maka aku pasti Superman!

“Walaupun kekacauan di aula menyebabkan bagian peralatan harus bekerja keras mengulang persiapan pentas nanti, tapi ini keuntungan juga bagi kita,” kata Qri, kembali ke masalah pementasan. “Kita jadi punya waktu ekstra untuk berlatih.”

“Ah, ini juga yang mau kutanyakan sebelumnya,” kataku. “kenapa kita yang bermain dalam pementasan nanti dan bukannya anak-anak klub drama? Biasanya klub drama yang mengadakan pertunjukan pada puncak acara festival,” tambahku.

Moon Shik—yang rupanya juga direkrut Qri menjadi pemeran dalam dramanya—mengangguk setuju. “Dan lagi, kenapa kita berlatih di sini bersama orang-orang yang mengatur panggung dan membuat peralatan? Biasanya anak-anak klub drama berlatih di gymnasium agar konsentrasinya tidak terganggu .”

“Waktunya pun singkat sekali,” tambah Yo Won. “Bukankah seharusnya kita berlatih paling tidak sejak sebulan sebelumnya?”

Qri menanggapi semua pertanyaan itu dengan senyum manis andalannya. “Ah, yah… sebenarnya kita hanya pertunjukan sampingan. Pertunjukan utamanya tetap dilakukan anak-anak klub drama,” jawabnya. “Tapi tidak usah perdulikan hal itu. yang penting pertunjukan kita nantinya akan bagus,” katanya ceria.

Hmm, pantas saja. Yah, aku tak seyakin dia mengenai suksesnya pertunjukan kami nanti. Apalagi bila orang-orang pilihannya yang lain sama tidak berbakatnya seperti diriku.

“Kuberi waktu untuk membaca naskahnya dulu, lalu kita akan memulai latihannya,” kata Qri lagi. “salahku juga lupa memberikannya pada kalian kemarin.”

“Apa-apaan ini!?” protesku setelah selesai membaca naskahnya. “Cerita jelek macam apa ini!?”

Qri terlihat tersinggung. “Ceritaku bagus. Seleramu yang buruk.” kecamnya.“Bagus apanya! Kenapa kisah hidupku setragis ini!?” protesku. “Kalau ingin membuat

cerita kerajaan, kenapa tidak cerita putri tidur atau putri salju, atau putri apapun namanya yang sering dibuat menjadi film kartun itu? kenapa aku menjadi pendekar yatim piatu miskin yang jatuh cinta pada ratu, lalu mati di akhir cerita? Kenapa peranku bukan pangeran tampan yang menyelamatkan putri lalu hidup bahagia selamanya?”

Qri menertawakanku. “Kau pikir kita ini anak TK? Tak ada murid SMU yang memainkan drama seperti itu!” ejeknya.

“Tapi apa harus setragis ini?” aku terus memprotes. “Lihat saja ini, cara matiku, aku terbunuh setelah ditembak anak panah, ditebas pedang, dan ditusuk tombak. Yang benar saja! kenapa tidak sekalian saja kau tambahkan aku ditabrak truk, dilindas tank, lalu ditimpa pesawat jatuh!?”

Aku mendengar suara tawa di sebelah kiriku. Yo Won. Gadis itu menertawakanku. “Kau seperti anak kecil yang marah karena tidak mendapat permen,” katanya sambil tertawa. Sial.

“Baiklah, kalau kau memang tidak menyukai peran ini, maka—“ Qri memulai tapi segera kupotong.

“Tidak!” seruku. Dasar tukang ancam. Pasti kalau aku melepas peran ini, dia akan menawarkannya pada Tae Wong. Tak akan kubiarkan si wajah datar itu bermain bersama Yo Won. “Baiklah, tidak apa aku mati,” gerutuku. Sudah cukup menyebalkan aku melihat Tae Wong pulang sekolah dengan Yo Won, tanpa perlu ditambah melihat mereka bermain bersama di drama ini.

Qri tersenyum manis. “Bagus. Kalau begitu, ayo kita mulai latihannya,” katanya ceria.

37

***

Scene 18

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Alcheon : Lee Seung HyoChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinYoung Mo : Qri

- Lee Yo Won - 14 Desember 2010 -

“Kau dan Nam Gil terlihat akrab,” komentar kak Ye Jin saat dia menjemputku dari latihan dramaku di aula.

“Yah, tentu saja, kami kan satu tim sekarang. Dia lawan mainku,” kilahku. Aku tahu kakak kurang menyukai Nam Gil karena reputasinya.

Aku sangat bersyukur pemuda itu tidak terluka separah yang kukhawatirkan. Kupikir dia akan babak belur setelah dikeroyok seperti kemarin, tapi ternyata hanya mendapat luka kecil di kening dan sedikit lebam pudar di sudut bibirnya.

Kak Ye Jin tidak berkomentar, tetapi menatapku penuh arti. “aku tidak tahu kalau ada peramal di festival ini,” komentar kak Ye Jin tiba-tiba. Perhatiannya mengenai keakrabanku dan Nam Gil teralihkan dengan tulisan: PASANGAN PERAMAL, di sebuah papan yang tergantung di salah satu gerai.

“Ingin mencoba diramal?” tanya kak Seung Hyo, mengagetkan kami.“Kudengar pasangan peramal itu masih anak-anak,” timpal kak Tae Wong sambil

berjalan mendekati kami bersama kak Seung Hyo. “Mereka murid SMP.”“Peramalnya memang berpasangan?” tanya kak Ye Jin. Kak Seung Hyo mengangguk. “Kudengar mereka berdua yatim piatu. Sejak kecil

ditelantarkan dan kemudian dibesarkan bersama di sebuah kuil. Anehnya, sejak kecil mereka sudah menyatakan diri sebagai pasangan. Katanya di kehidupan-kehidupan yang lalu mereka adalah suami istri. Hah… entah film apa yang keduanya tonton saat kecil hingga menimbulkan gagasan seperti itu di kepala mereka,” katanya dengan ekspresi heran.

“Dari mana kakak mengetahui semua itu?” tanya kak Ye Jin lagi.Wajah kak Seung Hyo terlihat frustasi. “Dari Kang Eun Mi. dia teman sekolah pasangan

peramal itu.”“Siapa itu Kang Eun Mi?” tanyaku penasaran.Kak Tae Wong tersenyum kecil sambil melirik kak Seung Hyo. “Itu nama gadis SMP

yang ditolong Seung Hyo dari gangguan berandalan di daerah pertokoan beberapa hari yang lalu. Gadis itu jadi jatuh cinta setengah mati pada Seung Hyo,” katanya.

Kak Seung Hyo melengos. “Dia menerorku. Pagi, siang, sore, malam, dia terus menelepon, mengirim SMS, email, dan meninggalkan pesan-pesan di facebookku bila dalam sehari itu dia tak memiliki kesempatan untuk bertemu denganku secara langsung,” desahnya.

Aku dan kak Ye Jin tertawa geli melihat kefrustasian kak Seung Hyo. Dari sudut mataku kulihat ada seorang gadis yang sedang menatap kami berempat dengan penuh perhatian. Secara diam-diam aku mengawasi saat gadis manis bertubuh mungil itu mengendap-endap ke belakang kak Seung Hyo. Ah, sepertinya ini dia yang bernama Kang Eun Mi. Dari seragam yang dipakainya, sepertinya memang seragam salah satu SMP di sekitar sini.

38

“Kena!” seru gadis itu riang dan memeluk kak Seung Hyo dari belakang. “Kakak tidak bisa kabur lagi dariku.”

Kak Seung Hyo benar-benar terperanjat. Melihatnya seperti itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Lucu sekali wajahnya.

“Hai, semua,” sapa gadis manis itu ceria. “Kalian pasti teman-teman kak Seung Hyo? Perkenalkan, namaku Kang Eun Mi, pacar kak Seung Hyo,” katanya dengan kedua tangannya masih terus melingkari pinggang pemuda itu.

Kak Seung Hyo berusaha melepaskan pelukan Kang Eun Mi, “Jangan bicara yang tidak-tidak,” sergahnya. “kau terlalu kecil untuk berpacaran.”

Kang Eun Mi merengut kesal. “Aku sudah dewasa,” protesnya. “kakak tidak boleh terus menolakku. Karena menurut ramalan Yoo Eun Bin dan Yoo Seung Ho, kita ditakdirkan bersama. Beberapa tahun yang akan datang kita akan menjadi suami istri, dan kemudian memiliki lima orang anak.”

Tawaku dan kak Ye Jin semakin keras. Bahkan kak Tae Wong pun tak bisa menahan senyumnya mendengar ocehan gadis itu.

Wajah kak Seung Hyo menampakkan kengerian membayangkan prospek masa depannya. “Sudahlah, hentikan bicara yang tidak masuk akal. Itu hanya ramalan bodoh. Jangan dipercaya,” omelnya. “Tae Wong, Yo Won, Ye Jin, aku harus pergi. Hei, ayo ikut aku!” katanya sambil menarik Kang Eun Mi pergi.

“Daaahhh!” seru gadis kecil itu sambil melambai-lambaikan tangannya pada kami bertiga. “Sampai jumpa nanti!”

“Sampai jumpa,” sahutku dan kak Ye Jin berbarengan.“Aku baru sadar pesona Seung Hyo rupanya begitu hebat,” komentar kak Tae Wong geli.“Eh, wajah kakak lebam,” kata kak Ye Jin, baru menyadari kondisi wajah kak Tae Wong

sehabis berkelahi kemarin. “Apa karena perkelahian kemarin?”Kak Tae Wong mengangguk dengan wajah masam. “Benar. Ditangkap polisi merupakan

pengalaman terburukku.”Kak Ye Jin meringis. “Bagaimana kalian semua bisa dibebaskan? Katanya baru sebentar

sampai di kantor polisi kalian langsung disuruh pulang?”“Kudengar Kakak Kim Nam Gil yang membantu kami. Dia punya koneksi di kepolisian,”

jawab kak Tae Wong.Kim Nam Gil punya kakak? Aku baru tahu itu. “Kak Tae Wong!” seru Qri yang sedang berlari mendekati kami. “Aku mencari-cari

kakak sejak tadi,” katanya sambil bergelayut di lengan kak Tae Wong dengan manja.Aku yakin selama ini tidak pernah merasa tertarik pada kak Tae Wong, tapi entah kenapa

melihatnya bersama Qri, tiba-tiba terasa sedikit tusukan tajam di jantungku. Aku sendiri tidak mengerti. Kenapa aku terganggu melihat mereka berdua?

Kudengar kak Ye Jin berdeham di sebelahku. Melihat ekspresi muram kak Ye Jin, barulah kusadari bahwa ternyata selama ini kak Ye Jin tertarik pada kak Tae Wong. Astaga, bagaimana aku bisa sebuta dan setuli ini? Padahal selama berbulan-bulan kakak terus memperhatikan dan membicarakan kak Tae Wong, tapi aku tetap tidak menyadari tanda-tanda itu.

“Ayo temani aku makan siang,” ajak Qri sambil menarik paksa pemuda itu.“Baiklah. Emm, kalian berdua mau ikut?” tawar kak Tae Wong padaku dan kak Ye Jin.“Tidak,” jawabku dan kakak bersamaan. “Kami mau mencoba peramal itu dulu. Kalian

makan berdua saja,” lanjut kak Ye Jin.“Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa nanti,” kata kak Tae Wong sopan.“Sampai jumpa di aula, Yo Won,” kata Qri dengan senyum cerah di wajahnya.“Ya,” sahutku. “Kakak benar-benar ingin mencoba pasangan peramal itu?” tanyaku

setelah pasangan tadi pergi.

39

“Kenapa tidak? Kita coba saja,” sahut kakak.Saat memasuki gerai peramal itu, kami melihat sepasang remaja duduk di sebuah kursi

panjang di balik meja kayu bundar, sedang asyik bercengkrama. Mereka langsung berdiri dan memasang senyum menyambut saat menyadari kedatangan kami.

“Silakan duduk,” mereka mempersilakan kami berdua duduk di dua kursi di depan meja mereka.

“Apa benar mereka bisa meramal?” bisikku pada kakak. Melihat wajah keduanya yang polos dan kekanakan aku meragukan hal itu. Selama ini aku membayangkan peramal atau pesulap berpenampilan misterius dan menyeramkan. Yang pasti tidak seperti mereka berdua.

“Tenang saja, kami bukan penipu,” pemuda itu langsung bicara, sebelum kak Ye Jin sempat menjawab bisikanku. Ah, hebat juga pendengarannya. “Kami sudah bisa meramal sejak kecil. Itu bakat kami.”

“Eh, yah, kami percaya,” sahut kak Ye Jin menenangkan anak itu sambil melayangkan tatapan memperingatkan padaku.

“Namaku Yoo Eun Bin,” kata si gadis dengan sopan dan ramah. “Dan ini pasanganku, Yoo Seung Ho,” tambahnya memperkenalkan si pemuda yang membungkuk hormat padaku dan kakak.

“Eun Bin yang meramalkan masa depan, sedangkan aku menerawang kehidupan yang lalu,” kata Seung Ho menjelaskan. “Sebenarnya kami sama-sama bisa melihat masa depan dan masa lalu, tapi agar adil, kami sengaja membagi tugas.”

“Aku ingin mencoba meramal masa depanku,” kata kak Ye Jin. “Emm, tentang asmara saja,” pinta kakak.

“Apa aku boleh tahu siapa nama pacarmu?” tanya Yoo Eun Bin. “Pengelihatanku tentang masa depanmu akan lebih jelas bila mengetahui nama pacarmu atau orang yang kau suka,” lanjutnya.

Kak Ye Jin terlihat gugup. “Emm, aku belum punya pacar. Juga tidak sedang menyukai siapa-siapa,” katanya. Aku tahu kakak berbohong, tapi mungkin dia malu mengakui perasaannya pada kak Tae Wong.

“Sayang sekali,” komentar Yoo Eun Bin. “Baiklah, kita mulai saja.” Gadis itu mulai mengocok kartunya. Setelah beberapa saat, dia menyusun beberapa kartu tertutup di atas meja dan mulai menyuruh kak Ye Jin memilih kartu untuk dibuka. Gadis itu terus diam hingga kartu terakhir yang dipilih kakak terbuka. Setelah mengamati semua kartu pilihan kakak, barulah Yoo Eun Bin bicara sambil menatap kakak dengan tajam.

“Terjebak diantara dua hati, kebimbangan melingkupi diri. Sang pujaan hati yang selalu dinanti, kini datang mencari. Sang pelindung jiwa yang dikagumi, telah ada di sisi. Terperangkap kemelut rasa, kekaguman dihadapkan pada cinta,” kata Yoo Eun Bin dengan perlahan tapi jelas, membuatku dan kakak bagai terhipnotis alunan suara merdu dan pilihan katanya.

“Emm, apa maksudnya itu?” tanya kak Ye Jin setelah beberapa saat.Ekspresi serius Yoo Eun Bin segera terhapus oleh senyum ceria dan kekanakannya.

“Yang baru saja kukatakan adalah yang kumaksudkan,” jawabnya. “Pada saatnya kau harus memilih.”

“Memilih? Tapi…” entah kenapa tiba-tiba kakak terdiam dan tak melanjutkan pertanyaannya. Apa kakak mengerti perkataan gadis kecil ini?

“Agar memudahkan untuk memilih, mungkin kau mau kulihat masa lalumu?” tawar Yoo Seung Ho. “Karena sering kali apa yang terjadi di masa lalu mempengaruhi masa kini.”

Kak Ye Jin menggeleng. “Eh, nanti saja,” tolaknya halus. “Aku ingin mendengar ramalan adikku dulu,” lanjutnya.

“Eh, aku? Tapi aku tidak ingin diramal,” tolakku.

40

“Coba saja,” desak Yoo Eun Bin. “Tidak ada ruginya. Kalau kau tak percaya ramalan, anggap saja ini permainan.”

“Yah, baiklah,” aku menyetujui. “Emm, tentang asmara juga. Eh, sama seperti kakakku, aku juga belum memiliki pacar atau orang yang kusuka,” lanjutku. Tiba-tiba aku teringat Nam Gil dan kak Tae Wong, tapi segera kutepiskan pikiran mengenai mereka.

Satu persatu kartu yang kupilih dibuka. Aku mencoba memahami arti dari gambar-gambar yang terpampang di kartu-kartu tersebut, tapi tetap tidak menangkap penjelasan apapun dari semua gambar itu.

“Cinta pertama terkenang selamanya, cinta terakhir membekas tak terlupakan. Yang pertama semanis madu, yang terakhir sehangat musim panas. Tiga hati kembali bersama, tiga hati dipertemukan. Cinta yang nyata terbalut kabut rasa semu, cinta yang nyata tertanam di hati hingga akhir napas,” Yoo Eun Bin kembali melantunkan hasil pengelihatannya.

“Hmm, apa lagi maksudnya itu?” komentarku. “Yang baru saja kukatakan adalah yang kumaksudkan,” jawab Yoo Eun Bin ceria. “kau

harus mengamati dengan baik dan mengikuti kata hati untuk menemukan cinta yang asli.”“Cinta yang nyata tertanam di hati hingga akhir napas… jangan bilang kalau aku baru

menyadari cinta yang asli di saat sudah akan mati!” protesku.Yoo Eun Bin dan Yoo Seung Ho hanya tersenyum dan tak berkomentar lebih lanjut

mengenai hasil ramalanku.Astaga, ramalan mengerikan. Lagi pula, siapa cinta pertama dan cinta terakhir itu? Aku

bahkan belum pernah jatuh cinta.“Nah, apa ingin dilanjutkan dengan mengetahui masa lalu kalian? Siapa kalian di

kehidupan yang lalu?” tawar Yoo Seung Ho. “Tenang saja, tidak akan diminta bayaran ekstra, karena ini sepaket dengan ramalan masa depan kalian tadi.”

“Boleh juga,” kataku setuju.“Emm, sebaiknya tidak usah saja,” kata kakak tiba-tiba. “menurutku masa lalu tidak

terlalu penting. Yang penting adalah masa sekarang dan yang akan datang.”Aku tahu kakak mengatakan itu sekalian untuk menasehatiku agar melupakan dendamku

pada Ayah dan Go Hyun Jung. Tapi tidak semudah itu melupakan masa lalu.“Kau salah,” kata pasangan peramal itu bersamaan. “masa lalu itu penting, karena masa

lalu yang membentuk jati diri kita sekarang,” lanjut keduanya, masih dengan kompaknya.“Benar, kak,” bujukku. “Siapa tahu di kehidupan yang lalu ternyata kakak pembunuh

berdarah dingin? apa kakak tidak ingin tahu?” godaku. Tapi kak Ye Jin tak berkomentar, dan hanya mendelik kesal padaku.

“Kita tak bisa memisahkan diri dari masa lalu, karena masa lalu tak benar berlalu, dan masa kini terkait dengan yang lalu,” kata Yoo Seung Ho

“Yah, baiklah,” desah kak Ye Jin akhirnya. “Apa aku harus memilih kartu lagi?”Yoo Seung Ho menggeleng sambil tersenyum. “Berikan tanganmu,” pintanya

bersemangat.

***

Scene 19

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Choon Choo : Yoo Seung HoBo Ryang : Yoo Eun Bin Young Mo : QriSan Tak : (gak dapet namanya) Yeom Jong : (gak dapet namanya)

41

- Kim Nam Gil - 14 Desember 2010 -

“Akhirnya jadi juga kau mentraktirku,” gumam San Tak tak jelas, karena mulutnya sedang penuh dengan sate ikan.

“Ini karena aku sedang senang,” kataku jujur. Yah, memang aku masih sangat kesal pada Qri yang membuat tokohku terkesan begitu malang, tapi… senyumku mengembang mengingat obrolanku dengan Yo Won selama latihan tadi. Setelah berbulan-bulan jarang bicara satu sama lain, hari ini kami jadi cukup banyak bicara. Yah, memang sebagian dari pembicaraan kami bisa dibilang hanya dialog-dialog yang dibuat Qri, tapi aku tetap menyukainya.

“Bagaimana kalau kita makan sate ikan saja?” tanya sebuah suara yang kukenal. Qri.“Terserah kau saja,” jawab Tae Wong.Pasangan itu masuk tanpa menyadari keberadaanku dan San Tak. Kenapa mereka bisa

makan bersama? Ah, apa mereka berhubungan? Tapi, bukankah beberapa bulan belakangan ini Tae Wong mendekati Yo Won?

“Hei!” sapa Yeom Jong sambil menepuk pundakku dengan lagak sok akrab. Seringaiannya segera memudar setelah mendapat tatapan tajam dariku. “hmm, aku mencarimu sejak tadi,” katanya sambil duduk di sebelah San Tak.

“Ada apa lagi?” tanyaku malas. “Aku sedang tidak ingin berkelahi dalam waktu dekat ini. Aku harus menjaga penampilan, terutama wajahku, karena sebentar lagi aku akan melakukan pertunjukan drama,” lanjutku agak sombong.

San Tak tertawa terbahak-bahak mendengar alasanku, tapi segera berhenti saat disadarinya aku kesal mendengar tawanya. “Emm… bukannya aku bermaksud menghinamu,” katanya buru-buru. “Tapi baru kali ini aku mendengarmu lebih mementingkan penampilan ketimbang berkelahi.”

“Yah, kau benar juga,” akuku. “Tapi tentu saja sekarang situasinya berbeda. Aku pemeran utama pria, jadi sudah tentu aku diharapkan tampil sempurna untuk para penontonku nanti. Mana boleh aku mengecewakan mereka?”

“Eh, bukankah kalau tidak salah dengar, sebenarnya pertunjukanmu itu hanya pertunjukan sampingan untuk mengisi acara kosong—“ San Tak segera menghentikan kata-katanya begitu melihat ekspresi wajahku. “Eh, aku tahu berita itu tidak benar. Acaramu memang sangat dinantikan seluruh murid SMU Chongjan. Apalagi saat mereka tahu kau pemeran utama prianya.”

“Jangan menjilat seperti itu!” gerutuku. “Yah, memang hanya pertunjukan sampingan, tapi dengan karismaku, pasti pertunjukan kami nanti lebih hebat dibanding pertunjukan utamanya.”

“Ya, ya, ya, kami percaya,” kata Yeom Jong tak sabar. “Begini, aku mencarimu bukan untuk meminta bantuanmu, tapi ingin memintamu menyampaikan rasa terima kasihku pada kakakmu—“

“Ya, akan kusampaikan bila aku bertemu dengannya lagi,” potongku. “Ada lagi?”“Aku sudah meminta ijin pamanku untuk memperbolehkan kita berpesta di salah satu

barnya nanti malam. kita rayakan kemenangan kita dari geng motor Inchon,” kata Yeom Jong dengan seringai lebar.

“Ke bar? Tapi kita belum cukup umur,” keluh San Tak.“Tentu saja bukan masalah, karena bar itu milik pamanku. Kalian bisa keluar masuk

sesukanya, tak akan ada yang berani melarang!” janji Yeom Jong.“Maaf, aku tidak bisa,” tolakku. “Lagi pula, kita belum memenangkan apa-apa kemarin.”“Tentu saja kita menang,” protes Yeom Jong. “Walaupun banyak anak buah Han Ji Yoon

yang masih kuat berkelahi melawan beberapa anak buahku sekaligus, tapi bos mereka sudah

42

kau taklukkan! Bila sang ketua sudah takluk, sama saja mengalahkan seluruh pasukannya,” lanjut Yeom Jong.

“Yah, terserah kau saja,” gumamku sambil menggigit sate ikanku. “Tapi aku tetap tidak bisa pergi nanti malam.” aku memang tidak bisa. Sudah cukup sulit berakting dalam keadaan sadar, tanpa harus ditambah teler karena mabuk-mabukan. Tadi saja Qri terus mengomel karena beberapa kali aku terlambat mengucapkan dialogku. Sebenarnya aku bukan melamun, tapi beberapa kali selama latihan tadi kilasan mengenai wanita berpakaian tradisional korea yang mirip Yo Won itu melintas di kepalaku dan membuatku linglung sekejap.

“Yah, baiklah,” Yeom Jong menyerah. “Sayang sekali, padahal pamanku ingin bertemu denganmu. Dia sudah mendengar reputasimu, dan ingin menawarkan sesuatu padamu.”

Aku diam saja dan meneruskan makanku. Aku tidak tertarik dengan tawaran apapun dari paman Yeom Jong. Menyadari keenggananku untuk berbicara lebih lanjut, Yeom Jong pun berpamitan pergi.

“Paman Yeom Jong itu seorang mafia,” kata San Tak, segera setelah Yeom Jong menghilang dari jarak pandang. “Jangan-jangan dia mau merekrutmu? Mungkin dia ingin memberimu wilayah?”

“Kau terlalu banyak menonton film,” gerutuku. “Sudahlah, ayo pergi. aku sudah kenyang.”

Karena masih ada cukup waktu sebelum latihan kembali dimulai, maka aku berkeliling melihat-lihat gerai yang meramaikan halaman sekolah.

“Sampai jumpa, Ibu! Sampai jumpa, Bibi!” aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis berseragam SMP berdiri di depan sebuah gerai sambil berseru dan melambai-lambaikan tangan pada dua orang gadis… hei, bukankah kedua gadis itu Yo Won dan kakaknya? Kenapa mereka dipanggil Ibu dan Bibi?

Karena penasaran, aku menarik San Tak menemaniku mendatangi kedua anak SMP itu. saat semakin dekat, kulihat papan yang tergantung di gerai itu bertuliskan : PASANGAN PERAMAL. Hah… orang bodoh mana yang mempercayai kata-kata seorang peramal? aku tidak percaya gadis seperti Yo Won mempercayai ramalan.

“Oh, selamat datang,” sapa si gadis yang lebih dulu melihat kedatanganku dan San Tak, sebelum si pemuda akhirnya ikut menyapa kami. Mata keduanya kelihatan merah berkaca-kaca seperti habis menangis.

“Di mana peramalnya?” tanyaku.“Kami peramalnya,” sahut keduanya bersamaan.“Kalian?” hah… semakin tak dapat dipercaya.Pasangan peramal itu mengangguk dengan antusias. “Namaku Yoo Seung Ho, dan ini

pasanganku, Yoo Eun Bin,” kata si pemuda memperkenalkan diri.“Baiklah, coba ramalkan masa depanku,” kataku. Aku ingin tahu apa hebatnya

kebohongan kedua anak ini sehingga Yo Won tertarik mencoba ramalan mereka.“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Yoo Eun Bin setelah duduk di kursinya.

“Keuangan? Atau asmara?”“Semuanya,” sahutku.“Baiklah, keuangan dulu,” kata gadis itu lagi sambil mengocok kartunya. Setelahnya

gadis itu menyuruhku memilih beberapa kartu yang saat dibuka menampakkan gambar-gambar aneh.

Yoo Eun Bin tersenyum. “Masa depanmu dalam hal keuangan cemerlang.”Nah, apa kubilang. Peramal hanya menyebutkan hal-hal yang kau inginkan. Tapi kuikuti

saja dulu permainan mereka. “Oh ya? Baguslah kalau begitu,” sahutku. “Lalu?”Sebuah kerutan menghiasi kening mulus Yoo Eun Bin saat gadis itu mengamati kartu-

kartu pilihanku. “limpahan kekayaan itu adalah hasil kerja kerasmu sendiri dalam profesi

43

yang kau geluti nantinya,” katanya. “Tapi pekerjaan yang kau pilih itu beresiko tinggi… sangat berbahaya.”

Yah, mungkin gadis ini pintar dan sengaja tidak membuat ramalanku terdengar terlalu indah agar tidak dicurigai.

“Wah, apa mungkin benar paman Yeom Jong merekrutmu?” gumam San Tak takjub. “Pekerjaan beresiko tinggi tapi dengan penghasilan yang jauh lebih tinggi lagi. Ini cocok sekali. mungkin kau benar-benar akan diberi wilayah kekuasaan olehnya—“

“Diamlah,” perintahku. “tolong lanjutkan,” pintaku pada gadis peramal itu.“Pekerjaanmu memang sangat berbahaya dan mempertaruhkan nyawa, tapi kau cukup

ahli untuk mengatasi kendala-kendala yang muncul dalam pekerjaan itu. Saranku, selalu waspada dan hati-hati,” kata Yoo Eun Bin ceria.

“Hmm, tidak buruk,” komentarku acuh tak acuh. “Lalu selanjutnya? Asmaraku?”“Apa aku boleh tahu nama pacarmu?” tanya gadis itu. “Atau kalau tidak punya, nama

gadis yang kau suka pun boleh.”Dudukku menjadi gelisah. Sial. Kalau tahu begini aku tidak akan membawa San Tak

kemari. Aku tidak mau dia tahu aku tertarik pada…“Tidak ada,” jawabku gusar. “Tidak ada kekasih ataupun orang yang kusuka. Apa tidak

bisa meramal tanpa nama?”“Bisa, tapi pengelihatanku tak akan terlalu jelas dalam hal ini,” jawab Yoo Eun Bin.

“Karena berbeda dengan ramalah keuangan tadi yang hanya menyangkut dirimu, masalah asmara berkaitan dengan orang lain yang ditakdirkan menemani kehidupanmu, jadi bila tidak diketahui namanya, maka akan kabur juga pengelihatan yang kudapat.”

“Tidak apa,” sahutku. “Coba saja.”Dengan serius Yoo Eun Bin mengocok kartu, lalu menyusun beberapa di meja seperti

tadi. Dan seperti ramalan sebelumnya juga, aku harus memilih beberapa kartu untuk dibuka. “Takdir cinta merentangi halangan waktu. Membawa rasa lama, munculkan cinta baru.

Suka cita berbaur luka, kesetiaan berjalin dengan curiga. Sang takdir taburkan kecewa, kekuatan cinta kalahkan dilema,” Yoon Eun Bin mengatakan hasil ramalannya dalam alunan suara yang menghipnotis.

selama beberapa saat aku terdiam bagai orang bodoh. Dan mungkin memang bodoh karena aku tidak mengerti ucapannya. “Apa maksudnya itu?” tanyaku penasaran.

Senyum ceria menghiasi wajah polos dan kekanakan Yoo Eun Bin. “Yang baru saja kukatakan adalah yang kumaksudkan,” jawabnya. “Bila cintamu memang tulus dan kuat, masalah apapun akan teratasi.”

“Apa kau ingin mencoba mengetahui siapa dirimu di masa lalu?” tawar Yoo Seung Ho saat aku masih terdiam merenungkan perkataan pasangannya.

“Masa laluku?” tanyaku seperti orang bodoh.“Apa kau tidak pernah mendengar tentang reinkarnasi?” tanya pemuda itu. “Memang

sebagian orang tidak mempercayainya, tapi percayalah, reinkarnasi itu benar ada.”“Oh ya?” tantangku. “Dari mana datangnya keyakinan itu?”Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin bertukar pandang sambil tersenyum. “Kami tahu pasti,

karena ini adalah reinkarnasi ke tiga kami.”San Tak yang entah polos atau bodoh, mendesah kagum mendengar hal konyol itu.

“Benarkah begitu? Aku jadi penasaran dengan masa laluku,” katanya. “Apa mungkin di kehidupan lalu aku ini seorang raja?”

Yoo Seung Ho tersenyum. “Bila kau ada di jaman kehidupan pertamaku dan di negeriku saat itu, maka bisa kupastikan kau bukan seorang raja,” katanya. “Karena saat itu akulah rajanya.”

Wajah San Tak langsung mengerut-ngerut kesal mendengar jawaban Yoo Seung Ho, tapi tidak lagi mengatakan apa-apa. Aku merasa geli bukan hanya karena kekecewaan San Tak

44

yang tak beralasan, tapi juga karena melihat kepercayaan diri pemuda ini saat menyatakan kebohongannya. Seolah dia benar-benar meyakini hal itu.

“Baiklah, ayo cepat mulai, aku ingin tahu menurutmu siapa diriku di masa lalu,” kataku.“Berikan tanganmu,” pinta Yoo Seung Ho. “Aku meramal tidak menggunakan kartu, tapi

dengan menyentuh tangan orang yang ingin kuramal.”Aku menjulurkan tanganku untuk disentuh pemuda itu, tapi baru sekitar tujuh detik dia

menggenggam tanganku, Yoo Seung Ho menjerit kaget dan terlonjak dari kursinya. Wajahnya pucat pasi. Pemuda itu bergerak mundur dengan cepat hingga menabrak ujung tenda tempatnya meramal ini, dan membelalakan mata padaku. Aku sering melihat ekspresi takut musuh-musuhku saat kupukuli, tapi rasanya tidak pernah sedramatis ini.

“Apa mungkin di kehidupan lalumu kau seorang iblis?” bisik San Tak. “Anak itu kelihatan takut sekali,” lanjutnya.

Dengan kesal aku mendelik padanya. “Apa aku terlihat seperti iblis?” geramku.San Tak meringis. “Yah, tentu saja tidak,” bantahnya. “Aku hanya menebak-nebak.

Karena, alasan apalagi yang membuatnya setakut itu?”“Seung Ho, kau tidak apa-apa?” tanya Yoo Eun Bin khawatir.Yoo Seung Ho menggeleng, tapi masih terus menatapku dengan rasa takut yang nyata

terlihat. Aku mengecek jam tanganku, dan mengumpat. “Aku harus kembali ke aula,” kataku pada

San Tak. “Hei, sudahlah, lupakan saja soal melihat masa laluku, itu tidak penting. Berapa yang harus kubayar?” tanyaku pada mereka.

“Se—““Tidak!” Yoo Seung Ho memotong perkataan si gadis. “Tidak usah membayar. Kali ini…

gratis untukmu,” katanya.Aku mengangkat sebelah alis dengan heran, tapi kemudian tersenyum geli. “Baiklah

kalau begitu. Terima kasih,” kataku, kemudian berjalan keluar dari gerai itu. “Apa mungkin di masa lalu kau orang yang sangat berkuasa?” komentar San Tak sambil

berjalan di sampingku. “Buktinya dia begitu takutnya hingga tidak meminta bayaran,” lanjutnya.

Seringaiku semakin lebar. “Yah, mungkin saja. Sepertinya di kehidupan dulu aku ini orang hebat, kan?” candaku.

***

Scene 20

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinKing Jin Pyeong: Lee Min Ki Sohwa : Park Young HeeChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinYoung Mo : Qri

- Lee Yo Won - 15 Desember 2010 -

Bibi Young Hee sakit flu, karenanya kak Ye Jin memutuskan untuk merawatnya di rumah. Untungnya hal itu tak jadi masalah dengan adanya festival di sekolah yang membuat murid-murid tidak aktif belajar selama seminggu ini. Sebenarnya aku juga ingin tinggal di rumah bersama kakak dan Bibi, tetapi tidak bisa karena aku harus latihan drama setiap hari.

45

Saat membuka pagar, entah kenapa tiba-tiba aku teringat pada pasangan peramal aneh yang kemarin aku dan kakak temui. Aku masih ingat kejadian kemarin dengan sangat jelas. Keanehan yang dimulai saat si pemuda menyentuh tangan kakak…

Tiba-tiba saja Yoo Seung Ho menangis dan bergerak cepat memeluk kak Ye Jin yang hanya bisa terperangah melihat ulah anak itu.

“Hei,” seruku kaget. “Apa-apaan ini? Kau mau cari kesempatan, ya? Ayo lepaskan kakakku!” aku berusaha menjauhkan pemuda itu dari kak Ye Jin, karena kakak rupanya terlalu terkejut untuk bereaksi dengan cepat. Kakak hanya duduk diam di kursinya dengan wajah tanpa ekspresi dan mata menerawang.

“Ibuuu…” isak Yoo Seung Ho. Dia terus mendekap kak Ye Jin, dan tak memperdulikan paksaanku untuk melepas pelukannya. “Ibuuu…”

Jelas saja aku semakin heran melihat tingkahnya. Apa anak ini sudah gila? Kenapa dia memanggil kakak dengan sebutan Ibu? Dan kegilaan itu semakin menjadi saat si gadis pasangan Yoo Seung Ho, Yoo Eun Bin, juga ikut memeluk kak Ye Jin sambil menangis.

“Ibu mertua…” isaknya.Ya Tuhan, ada apa dengan kedua anak ini? Wajah kak Ye Jin memang keibuan, tapi jelas

tidak setua itu hingga pantas dipanggil Ibu.“Hei, ayo, lepaskan kakakku!” perintahku. “Dia bukan Ibu kalian. Demi Tuhan, tidakkah

kalian lihat dia masih remaja tujuh belas tahun?”Rupanya kata-kataku dianggap angin lalu saja oleh kedua anak aneh itu. mereka terus

memeluk kakak dan menangis, sedangkan kak Ye Jin yang akhirnya sadar dari lamunannya, hanya bisa pasrah menerima pelukan erat dari mereka.

“…Ibu… aku merindukan Ibu…” gumam Yoo Seung Ho dengan suara parau. “…selama dua reinkarnasi aku terus mencari Ibu…”

“Ibu mertua… sejak kehidupan pertama… aku belum pernah meminta restumu…” timpal Yoo Eun Bin.

“Eh, kalian—““Selama dua kali reinkarnasi…” isakan Yoo Seung Ho memotong ucapan kak Ye Jin.

“aku terlahir sebagai anak yatim piatu… karena di kehidupan pertama… aku berdosa… pernah membenci Ibu… yang mengirimku tinggal jauh darimu… maafkan aku…”

“Ibu mertua… restui aku…” isak Yoo Eun Bin.“Eh, baiklah…” kata kakak, menyerah. Sengaja mengiyakan permintaan kedua anak itu.Tapi walaupun kakak sudah mengiyakan permintaan mereka, keduanya masih saja terus

memeluk kak Ye Jin dengan erat sambil menangis. Karena tak sabaran, aku segera menarik tangan Yoo Seung Ho. Seketika muncul sebuah kilasan pengelihatan tentang seorang pemuda berpakaian tradisional korea di kepalaku. Pemuda dalam kilasan pengelihatanku itu sangat mirip dengan pemuda peramal ini.

Selama beberapa detik aku hanya bisa berdiri diam seperti orang linglung, hingga merasakan pelukan Yoo Seung Ho. Ada apa lagi ini? Kenapa dia memelukku juga?

“Bibiii…” isak pemuda itu. “Bibiii…”“Astaga,” erangku. “Aku bukan bibimu. Tolong lepas,” pintaku sambil mencoba

melepaskan pelukan erat anak itu.“…Bibi… maafkan aku… seandainya saja aku tidak membuatnya meragukan cinta

Bibi… maafkan aku…” pinta Yoo Seung Ho.Siapa lagi yang dimaksudnya meragukan cintaku? “Ya, ya, baiklah, tidak apa,” kataku.

“Aku memaafkanmu.”“…kalau saja aku tidak melakukannya… maafkan aku… aku sudah menyakiti Bibi… aku

tidak tahu kalau ternyata Bibi benar-benar mencintainya… maafkan aku…”“Ya, ya, ya, baik, aku memaafkanmu,” aku mendesah frustasi.

46

Aku tersenyum geli mengingat ketika akhirnya punya kesempatan, aku dan kak Ye Jin buru-buru kabur dari gerai pasangan gila itu.

Tapi… Apa mungkin yang dikatakannya benar? Apa reinkarnasi itu memang ada? Kenapa aku melihat kilasan tentang pemuda yang sangat mirip dengan Yoo Seung Ho? Apakah…

“Yo Won,” panggil kak Tae Wong dari depan pagar rumahnya. Aku tersenyum dan melambai padanya. Berarti hari ini aku hanya berangkat berdua saja dengan kak Tae Wong… tiba-tiba aku teringat perasaan aneh yang muncul dalam diriku saat melihatnya bersama Qri kemarin. Aku masih tidak habis pikir kenapa aku bisa terganggu dengan hal itu.

“Di mana Ye Jin?” tanya kak Tae Wong sambil berjalan menghampiriku.“Kakak tidak ke sekolah hari ini,” jawabku. “Dia menemani Bibiku yang sakit.”“Kuharap bukan sakit parah.”“Oh, tidak, Bibi hanya sakit flu.”“Baguslah. Ayo kita berangkat.”“Ya. Ah…” aku terkejut saat merasakan getaran ponselku. Panggilan dari nomor tak

dikenal. “Sebentar,” pintaku pada kak Tae Wong, yang mengangguk menyetujui.“Halo?”“Apakah benar ini Lee Yo Won?” tanya suara berat seorang pria. Entah kenapa sepertinya

suara ini familiar.“Benar. Anda siapa?” tanyaku.“Yo Won… ini Ayah.”

“Hei!” aku berseru marah saat merasakan sesuatu dilempar ke kepalaku. Permen susu. Aku memungut permen itu, kemudian mengangkat kepala dan melihat Nam Gil sedang bersandar di pintu aula yang terbuka sambil mendengus.

“Kenapa tidak ditangkap?” gerutunya.“Mana ku tahu kau mau melempar sesuatu ke arahku?” protesku.“Tentu saja kau tidak tahu, sejak tadi kau tidak memperhatikan apa-apa. Kau terus

melamun, lupa dialogmu, bahkan kau tidak sadar kalau sekarang sudah waktunya istirahat,” kata Nam Gil. “Apa kau tidak sadar aula sudah kosong?”

Benar. Hanya ada aku dan Nam Gil. Aku terus memikirkan telepon dari Ayah pagi tadi hingga tidak bisa berkonsentrasi selama setengah hari ini.

“Kau memberiku permen ini?” tanyaku Nam Gil mengangguk. “Kau terlihat pahit, karena itu aku memberimu permen manis,”

jawabnya.“Pahit?”“Wajahmu menampakkan ekspresi ingin membunuh sekaligus dibunuh,” jawabnya.Hah… yang benar saja. “Setiap merasa pahit, makan saja permen yang manis,

kepahitanmu pasti akan segera hilang,” lanjutnya.Aku mendelik padanya. “Kau mencontek kalimat itu dari iklan, kan?”Nam Gil terlihat kaget. “Bagaimana kau bisa menebaknya?”Melihat ekspresinya lugunya membuatku tak dapat menahan senyum, yang kemudian

segera berubah menjadi tawa. Dia benar-benar seperti anak kecil saat bertingkah begini. Melihat ekspresinya seperti ini orang pasti akan merasa sulit untuk menghubungkannya dengan pemuda bengis yang tak kenal belas kasihan pada musuhnya bila sedang berkelahi.

Aku turun dari panggung sambil memakan permen pemberiannya. “Terima kasih,” kataku tulus. Berkat tingkah dan ekspresi konyolnya, sejenak kekalutanku dapat tersingkirkan.

Nam Gil menyeringai. “Tak masalah,” sahutnya.

47

Aku bersandar di pintu yang berseberangan dengan pintu yang disandari Nam Gil. Senyum lebarnya begitu ceria dan kekakanak, seolah tidak memiliki beban atau masalah apapun. Aku suka senyumnya.

“Apa yang kau lakukan bila orang yang selama bertahun-tahun kau benci dan lama tak kau lihat, ingin bertemu dan bicara denganmu?” aku sendiri terkejut mendengar diriku menanyakan hal itu padanya.

“Kenapa tidak? Tidak ada ruginya untuk bertemu bila aku sedang tidak sibuk dan bila suasana hatiku sedang bagus,” jawabnya. “Kalau ternyata dia menjebakku, yah… anggap saja sedang sial, dan kurasa bukan masalah besar, karena aku yakin pasti bisa mengatasinya. Dan bila ternyata niatnya baik, mungkin aku bisa bermurah hati memaafkannya.”

“Memaafkannya?” tanyaku tak yakin. Nam Gil mengangkat pundak acuh tak acuh. “Kenapa tidak? Aku sendiri bukan orang

suci. Kalau aku berbuat salah dan menyesali perbuatanku di masa lalu, pastinya aku berharap orang yang kukecewakan akan memaafkanku,” katanya santai.

Begitukah? Apakah mungkin Ayah menyesali perbuatannya padaku dan Ibu? Tapi kenapa baru sekarang? Setelah sekian lama… setelah Ibu sudah…

“Hei!” panggil Nam Gil, dia menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajahku. “Kau melamun lagi.”

“Ah… ya, maaf,” gumamku. Aku menatap langsung ke matanya dan bertanya, “Mau menemaniku makan siang?” Aku ingin melupakan masalahku sebentar. Aku ingin Nam Gil menghiburku.

Nam Gil menyeringai lagi. “Kenapa tidak?”

“Bibi!” panggilan itu datang dari Yoo Seung Ho, saat aku dan Nam Gil sedang berkeliling memilih tempat makan siang kami.

Astaga, dia lagi. Tapi aku tidak tega untuk melakukan yang lain selain tersenyum ramah padanya.

Dengan wajah gembira Yoo Seung Ho berlari kecil ke arahku, tapi entah kenapa tiba-tiba dia berhenti. Dia terlihat terkejut dan takut, lalu berbalik pergi dengan terburu-buru.

“Bukankah anak itu si peramal?” tanya Nam Gil.“Kau tahu dia peramal?”“Aku mencoba ramalannya,” aku Nam Gil malu. “Ah, ya, kemarin aku mendengar dia

memanggilmu dan Park Ye Jin dengan sebutan ibu dan bibi. Kenapa begitu?”“Oh, yah, itu karena dia menganggap aku dan kak Ye Jin adalah reinkarnasi ibu dan

bibinya. Aneh sekali,” komentarku.“Benarkah? Kalau begitu di kehidupan yang lalu kau pasti anggota keluarga kerajaan,”

katanya. “Karena kemarin dia mengaku bahwa di kehidupannya yang lalu dia seorang raja.”“Benarkah?” tanyaku geli. “Bagaimana denganmu? Menurutnya siapa dirimu di masa

lalu?”Nam Gil menyeringai. “Menurut San Tak, di kehidupan yang lalu aku pasti iblis, karena

bocah peramal itu sangat ketakutan saat dia mencoba menerawang jati diriku di masa lalu,” jawabnya. “Dia tidak pernah menyebutkan apa yang dilihatnya atau siapa diriku menurutnya. Tapi aku tidak ambil pusing mengenai hal itu karena sebenarnya aku tidak mempercayai ramalan-ramalan seperti itu,” lanjutnya.

“Yah, aku juga tidak,” kataku setuju. “Menurutmu… apakah masa lalu itu tidak penting?” tanyaku. apakah aku salah karena terus memendam dendam pada Ayah yang pernah menyakitiku dan Ibu? Salahkah terus mengingat yang sudah berlalu?

48

“Penting dan tidak penting,” jawab Nam Gil acuh tak acuh. “Penting karena banyak hal di masa lalu yang mempengaruhi hidup kita sekarang. tapi juga tidak penting, karena kita hidup di masa sekarang dan untuk masa depan, bukan masa lalu.”

Aku merenungkan perkataan Nam Gil, lalu tersenyum padanya. “Tak kusangka akan mendengar kata-kata seperti itu darimu,” candaku.

Nam Gil merengut kesal. “Itu pujian atau hinaan?”“Terserah padamu untuk mengartikannya,” sahutku sambil tertawa.

***

Scene 21

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Yoo Shin : Uhm Tae WongAlcheon : Lee Seung Hyo Young Mo : QriJook Bang : Lee Moon Shik

- Kim Nam Gil - 24 Desember 2010 -

Ternyata perbaikan panggung dan properti lainnya yang diperlukan dalam pementasan drama ini tidak selama yang diperkirakan. Kemarin semua persiapan sudah beres, dan malam ini kami akan mengadakan pertunjukan.

Wajah anggota kelompokku terlihat tegang. Tentu saja, karena latihan kami sangat singkat, kami agak tidak yakin hasilnya nanti akan memuaskan. Akan memalukan sekali bila membuat kesalahan di depan begitu banyak orang. Tidak hanya para siswa, tapi juga orangtua mereka yang turut diundang dalam acara ini.

Sebenarnya sejak kemarin sekolah sudah diliburkan—dalam rangka natal dan tahun baru—dan baru akan dimulai lagi setelah tahun baru, tapi aku dan semua pemeran yang dipilih oleh Qri, tidak dapat libur seperti yang lain karena harus berlatih keras tiap harinya bahkan di hari sabtu dan minggu.

“Tidak!” aku menoleh pada Yo Won saat mendengar gadis itu setengah membentak pada seseorang lewat ponselnya. “tidak perlu. Aku yang akan menemuimu. Hari minggu aku akan ke sana. Tidak, tidak bisa besok. Kali ini aku benar-benar akan kesana. Aku janji,” kata gadis itu tegas untuk terakhir kalinya sebelum memutus percakapannya.

“Ada masalah?” tanyaku. Semenjak Yo Won mengajakku makan siang bersama minggu lalu, kami menjadi lebih akrab, dan semakin akrab dengan latihan drama yang kami lakukan setiap harinya.

Yo Won menggeleng dengan senyum masam tersungging di bibirnya. “Tidak, hanya… seseorang yang memintaku menepati janji,” jawabnya.

“Seorang lelaki?” tanyaku curiga.Yo Won melirikku, lalu tersenyum geli. “Ya, tapi tidak seperti yang kau pikirkan.”“Apa—““Kim Nam Gil, Lee Yo Won,” panggilan Qri memotong pertanyaan yang ingin

kulontarkan pada Yo Won. “Ayo naik ke panggung. Saatnya kalian muncul!”Huff… ini saatnya. Drama ini berkisah tentang seorang ratu cantik dan baik hati—yang

diperankan Yo Won—tetapi sangat kesepian karena sang raja, suami yang dicintainya, tak lagi memperdulikannya setelah berkali-kali hamil sang ratu terus keguguran. Raja sangat menginginkan keturunan, dan melihat “kegagalan” istrinya, membuat sang raja berpaling

49

pada selir-selirnya dan tidak lagi memperdulikan ratu. Tapi walaupun diperlakukan tak adil, sang ratu tetap cinta dan setia pada raja. Hingga suatu ketika sang raja dengan licik berusaha menyingkirkan ratu karena ingin menjadikan selir kesayangannya—yang telah melahirkan seorang putra untuknya—menjadi ratu yang baru. Raja mengutus beberapa prajuritnya mengawal ratu pergi ke rumah peristirahatan keluarga kerajaan di desa, dengan alasan agar ratu dapat beristirahat dengan tenang di sana untuk sementara waktu karena semakin hari ratu terlihat semakin lemah dan sakit-sakitan.

Tentu saja sebenarnya itu hanya kedok belaka. Alasan raja mengirim ratu pergi jauh dari istana adalah untuk membunuh ratu. Raja akan membuat seolah-olah rombongan ratu diserang segerombolan perampok di tengah jalan menuju rumah peristirahatan itu dan akhirnya peristiwa itu menewaskan sang ratu. Tapi raja tak memperhitungkan seorang pemuda pengelana yatim piatu yang ahli pedang akan melewati jalur yang dilewati rombongan ratu juga. Itu peranku.

Singkatnya, setelah diselamatkan olehku, ratu yang diperankan Yo Won pun mulai tertarik padaku. Apalagi setelah ratu mengenali wajah salah seorang perampok yang sudah mati sebagai orang kepercayaan suaminya sendiri, dan akhirnya bisa menebak rencana busuk raja untuknya. Kejadian demi kejadiaan membawa peranku dan peran Yo Won akhirnya saling jatuh cinta. Tapi, kemudian karena ulah Qri—tentu saja itu salahnya, dan bukan salah takdir, karena gadis itu yang menulis naskah jelek ini—tokohku mati saat berusaha menyelamatkan ratu yang dikurung oleh raja di istananya. Ratu yang sebenarnya berhasil memoloskan diri dan bersiap kabur untuk menemuiku, sangat terkejut saat melihatku berada di halaman istana dan tengah berusaha melawan seluruh pasukan yang dikerahkan oleh suaminya untuk membunuhku. Begitulah, akhirnya—sesuai keinginan Qri—aku mati setelah menerima tembakan anak panah, tebasan pedang, dan tusukan tombak bertubi-tubi—dasar gadis kejam. Ratu yang begitu mencintaikupun akhirnya mati saat berusaha menghalangi tebasan pedang terakhir yang diarahkan padaku yang sudah sekarat. Begitulah, akhir yang tragis yang menurut Qri merupakan tren cerita jaman sekarang. Hah… yang benar saja!

Tapi… ada hal aneh yang terjadi setiap berlatih adegan menjelang kematianku. Beberapa kali Qri marah-marah karena tiba-tiba aku terdiam bagai patung dan tak melanjutkan dialogku. Bukan karena aku sengaja melamun, tetapi kilasan-kilasan kejadian itu muncul begitu saja. Dalam kilasan-kilasan itu aku melihat pria-pria berpakaian prajurit kuno mengepung dan menyerangku. Tapi, yang paling menggangguku adalah sosok wanita bermahkota emas yang sangat mirip dengan Yo Won. Dalam kilasan itu aku melihatnya menangis. Aku berusaha mendekatinya dan mengapus air mata itu, tetapi setiap kali hampir sampai padanya, aku akan segera kembali ke dunia nyata. Yah, setidaknya bukan hanya aku yang sering diomeli Qri. Yo Won pun belakangan semakin sering terlihat melamun dan lupa melanjutkan dialognya sepertiku. Entah apa alasannya. Tak seperti yang kucemaskan sebelumnya, ternyata pertunjukan kami berjalan cukup lancar. Tak ada hal memalukan seperti lupa dialog atau apapun.

“Kau tak pantas disebut raja!” aku berteriak marah pada si pemeran raja. Rasanya paling mudah berakting marah seperti ini.

“Bunuh dia!” seru si pemeran raja pada anak-anak buahnya.Anak-anak panah bohongan di tembakkan ke arahku, lalu Moon Shik yang berperan

sebagai panglima, maju untuk menyerangku dengan pedangnya. Aku suka adegan berkelahi ini—yah, saat aku masih bisa melawan dan belum sekarat. Tapi adegan itu tidak mungkin dihilangkan. Akhirnya tibalah saatnya aku harus mendapat serangan bertubi-tubi dari para prajurit, kemudian Yo Won muncul dengan ekspresi sedih dan takut yang terlihat meyakinkan.

“Jangan!” teriaknya. “Hentikan!”

50

Lalu kilasan itu membutakanku lagi. Dari kejauhan aku melihat sosok wanita anggun bermahkota emas yang mirip dengan Yo Won. Entah kenapa ada desakan dalam diriku yang membuatku bertekad mendatanginya. Aku terus menerobos maju melewati pasukan berpakaian perang yang mengepungku, tanpa kenal takut. Aku harus mendekatinya. Aku harus.

Tujuh puluh langkah… dan aku bisa bersamanya. Siapapun yang menghalangiku, akan kuhabisi.

Tiba-tiba mereka menyerbuku dengan tembakan anak panah bertubi-tubi. Aku terus berusaha menghindar, dan menarik seorang prajurit untuk menjadi tamengku, tapi akhirnya beberapa anak panah berhasil mengenaiku. Aku tidak akan menyerah! Walaupun luka-luka di tubuhku terasa amat menyakitkan, tapi aku tidak boleh menyerah sekarang. Tidak. Aku terus maju dengan langkah terseok-seok.

Tiga puluh langkah… dan aku bisa bersamanya. Beberapa prajurit kembali mencoba menyerangku, tapi aku berhasil membunuh mereka. Aku harus bertahan. Empat orang pria lain berusaha menghalangi jalanku, tapi aku masih mampu mengatasi mereka walaupun luka di tubuhku semakin banyak dan parah. Aku menatap wanita bermahkota itu, dan melihat kecemasan membayang di wajahnya. Aku harus menemuinya. Dengan bertumpu pada pedangku yang berlumuran darah, aku berusaha bangkit berdiri.

Sepuluh langkah… dan aku bisa bersamanya. Aku harus bisa bertahan sedikit lagi. Tak jauh. Sebentar lagi. Dua orang pria lain lagi berusaha menghalangiku. Anehnya wajah mereka… sangat mirip dengan Tae Wong dan Seung Hyo. Aku kelelahan, dan seluruh tubuhku terasa sakit, tapi aku harus melawan mereka. Aku harus menemui wanita itu. Harus.

Pria yang mirip dengan Tae Wong menusuk perutku. Sekuat tenaga aku menahan rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuhku. Aku masih bisa bergerak… harus… aku harus. Aku terus melangkah maju dengan langkah yang semakin terseok-seok dan napas tersendat-sendat. Sedikit lagi…

Tapi pria itu kembali berusaha menghalangiku dengan pedangnya. Aku tidak perduli. Aku harus mendatangi wanita itu. aku menatap wanita itu lagi, dan melihatnya meneteskan air mata. Kenapa dia menangis? Apakah air mata itu untukku? Aku harus mendatanginya… aku harus menghapus air mata itu. aku sadar tubuhku terlalu lemah untuk melawan pria yang menghalangiku ini, karenanya aku memohon padanya lewat sorot mataku. Aku tidak berniat buruk. Aku hanya ingin… hanya ingin bicara dengan wanita itu… ingin menghapus air matanya. Pria itu menolak permintaanku. Tapi aku tidak boleh menyerah begitu saja. aku terus maju dan berusaha meraih wanita itu… tapi kemudian rasa sakit yang tak tertahankan seolah merobek dan mencabik-cabik tubuhku saat pria itu menikamku dalam-dalam dengan pedangnya.

Sampai disini saja… aku tidak kuat lagi… rasanya begitu menyakitkan. Bukan hanya karena tusukan ditubuhku, yang lebih menyakitkan adalah tusukan tajam yang kurasakan di jantungku… rasanya sakit sekali melihat air mata yang mengalir turun dari wajah wanita itu, tapi aku tidak bisa menghapusnya. Aku tidak bisa. aku tidak kuat lagi. Saat pria itu menarik kembali pedangnya, tubuhku pun roboh ke tanah tanpa daya. Tanganku terentang, masih mencoba menggapai wanita itu, walaupun aku tahu itu tidak mungkin, aku tetap mencoba untuk terakhir kalinya. Lalu semua berubah gelap.

Suara seruan perang menyadarkanku kembali ke kenyataan. Aku benar-benar sedang terbaring di atas panggung, dengan panah bohongan menempel di tubuhku. Astaga, apakah aku melakukan kesalahan tadi?

Aku mendongak dan melihat Yo Won melakukan aksi penutupnya, yaitu menghalangi seorang prajurit yang ingin menikamku. Yo Won roboh tepat di sebelahku. Untungnya aku cepat teringat harus melakukan apa selanjutnya.

51

“Jang… Ra…” erangku dengan suara parau, menyebut nama peran Yo Won. Tanganku terulur untuk menggenggam tangan gadis itu.

“Ryu Jun…” desah Yo Won penuh penghayatan. Dia meremas pelan tanganku yang menggenggam tangannya sambil menyunggingkan senyum sedih. “Aku… mencintaimu…”

Aku tahu itu hanya dialog rancangan Qri, tapi jantungku tetap berdebar kencang mendengar ucapan lembutnya.

“…aku… juga mencintaimu…” ucapku tulus. Kemudian aku memejamkan mata, menanti pemeran lain menggotong tubuhku dan Yo Won pergi, untuk melanjutkan penutupan cerita yang mengisahkan kehancuran sang raja yang baru menyadari bahwa selama ini ternyata dia masih mencintai ratu yang sempat ingin disingkirkannya. Raja begitu menderita melihat istrinya mati di depan matanya demi pria lain, dan sangat menyesali semua perbuatan buruk yang pernah dilakukannya dulu.

“Astaga, aku sangat lega semua ini akhirnya selesai juga,” desahku saat berada di balik panggung, menunggu panggilan untuk berpamitan pada para penonton setelah pemain lain menyelesaikan adegan mereka.

“Iya, tapi tadi kau dan Yo Won hampir mengacaukan pertunjukan kita,” gerutu Moon Shik. “Lagi-lagi kalian melamun. Untung saja itu bertepatan dengan adegan penyerangan Ryu Jun yang membuatmu langsung didorong hingga terjatuh, dan Jang Ra yang terkejut melihat kekasihnya diserang, sehingga kejanggalan kalian masih bisa ditutupi,”

“Kau ini—““Sudah, sudah, jangan berkelahi. Kita memang salah. Akui saja” kata Yo Won, mencoba

meleraiku dan Moon Shik. Yah, dia benar juga.Aku bersandar di dinding sambil memejamkan mata. aku semakin tidak mengerti dengan

semua keanehan yang kualami ini. Kenapa kilasan-kilasan itu sering kali datang mengganggu? Begitu juga mimpi-mimpi yang tak kalah anehnya mengenai wanita itu. wanita yang amat mirip dengan Yo Won. Apakah aku sudah mulai gila? Apakah itu hanya sekedar halusinasiku? Tapi kenapa? apa karena aku tergila-gila pada Yo Won? Rasanya tidak mungkin. Yah, kuakui aku tertarik padanya, tapi tidak hingga tahap sangat tergila-gila. Jadi apa penyebab munculnya semua kilasan kejadian tak masuk akal itu?

“Nam Gil,” sapa Ibu, mengejutkanku. “Ibu? Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyaku heran. Dari sudut mataku aku melihat Yo

Won yang tampak jauh lebih terkejut dariku saat melihat kedatangan Ibu. Senyum palsu yang sebelumnya tersungging di wajah Ibu segera menghilang. Aku baru

tersadar apa alasannya saat melihat Yo Won membelalakkan mata kepadaku. Aku begitu terkejut melihat kehadiran Ibu hingga lupa memanggilnya Bibi. Untungnya tidak ada yang berada terlalu dekat dengan kami selain Yo Won. Aku tidak terlalu khawatir bila Yo Won yang mendengar, karena aku tahu Yo Won dapat dipercaya untuk tidak menyebarkan gosip. Lagi pula, aku masih bisa meralatnya nanti. Menambah tumpukan dosaku dengan satu kebohongan kecil bukan masalah, kan?

***

Scene 22

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeYong Soo : Kim Jung Chul Cheon Myeong : Park Ye JinChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinSohwa : Park Young Hee

52

- Lee Yo Won - 24 Desember 2010 -

“Ibu? Kenapa kau bisa ada di sini?”Belum hilang keterkejutanku melihat kehadiran Go Hyun Jung, Nam Gil membuatku

semakin terperangah dengan mendengarnya memanggil wanita itu “Ibu”. Bukankah Nam Gil keponakan Go Hyun Jung?

“Kenapa Bibi datang kemari?” aku mendengar Nam Gil bertanya lagi. Apakah tadi aku hanya salah dengar? Ataukah Nam Gil yang salah bicara?

“Apakah aku tidak boleh datang melihat pertunjukan keponakanku sendiri?” sahut Go Hyun Jung tenang. Di wajah cantiknya tersungging senyum dingin. “Aku anggota dewan pengawas sekolah ini, Nam gil. kepala sekolahmu yang mengundangku.”

“Oh, begitu,” sahut Nam Gil kaku.“Pertunjukkanmu cukup bagus,” puji Go Hyun Jung.Aku melihat keterkejutan di wajah Nam Gil. Mungkin dia tak menduga akan mendapat

pujian dari bibinya.“Emm… terima kasih,” gumam Nam Gil. Go Hyun Jung akhirnya menyadari keberadaanku. “Yo Won,” sapanya dengan

keramahan menipu. “Aku melihat aktingmu tadi, dan kurasa kau cukup berbakat,” pujinya.Aku membencinya. “Terima kasih,” sahutku dengan suara parau. Kucoba

menyembunyikan tanganku yang gemetaran. Sulit sekali rasanya untuk berusaha menahan diri agar tidak menyerangnya.

“Besok di rumahku akan diadakan pesta,” kata Go Hyun Jung. “Datanglah. Kita sudah lama tidak berbincang-bincang. Ayahmu pun sudah kuundang. Ah, sudahkah kalian bertemu?”

Aku menjaga raut wajahku sedatar mungkin. Dasar munafik. Dia pasti tahu sekali kalau aku dan Ayah belum pernah bertemu. Tak mungkin dia berhubungan dengan Ayah tanpa mengetahui kabar tentang kami.

“Maaf,” kataku tanpa rasa sesal. “aku tidak bisa datang.”“Sayang sekali—““Semua! Ayo naik ke atas panggung!” seru Qri bersemangat. Untunglah. Dengan senang hati aku menjauh dari wanita itu. aku benar-benar tidak tahan

dengannya. Setiap melihatnya aku teringat wajah sedih Ibu. Terutama ingatan ketika Ibu terbaring lemah karena sakit jantungnya. Aku sangat membenci Go Hyun Jung.

Setelah memberi hormat pada para penonton dan dihadiahi tepuk tangan meriah, aku masuk ke ruang ganti wanita untuk melepas kostumku dan menggantinya dengan pakaian yang kubawa dari rumah. Begitu keluar ruangan, kak Ye Jin sudah menantiku.

“Kau sangat mengagumkan!” puji kakak.Tak ingin membuatnya kecewa, aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Terima kasih,”

sahutku.“Ayah dan Ibu sudah menunggu di luar. Kita akan makan malam di restoran favoritmu

untuk merayakan penampilanmu malam ini,” kata kak Ye Jin gembira. “Ayo,” ajaknya dengan menarik tanganku

Kakak terlihat begitu bersemangat sekali merayakan malam ini, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa aku sedang tidak nafsu makan. Kakak, Paman, dan Bibi pasti akan khawatir bila aku memilih tidak ikut dan langsung pulang ke rumah, jadi kurasa aku harus menahan kemarahan dan kesedihanku selama beberapa jam lagi.

Karena terburu-buru, saat hampir mencapai aula kakak menabrak seorang pria. Rasanya aku pernah melihat pria ini… tapi dimana?

53

“Rambutku,” erang kak Ye Jin kesakitan. Rupanya rambut panjang kak Ye Jin terlilit di kancing kemeja pria itu.

“Pelan-pelan saja, Nona, kalau tidak rambutmu akan putus,” saran pria itu.Seketika kakak menghentikan usahanya menarik lepas rambutnya dari belitan. Dia

menengadahkan kepala menatap pria itu. keduanya berpandangan cukup lama tanpa memperdulikan sekeliling mereka. Menonton keduanya seperti ini entah kenapa aku merasa seperti sedang mengganggu sesuatu yang sangat intim.

“Kak Jung Chul!?” seru Nam Gil sambil berlari mendekat. “Kenapa kakak kemari?” tanyanya pada pria yang bersama kak Ye Jin itu.

Dengan kikuk kak Ye Jin dan pria itu saling menjauhkan diri setelah berhasil melepas lilitan rambut kakak terlebih dulu. “Tadi aku menelepon kerumah Go Young Jae untuk bicara denganmu, dan dia memberitahuku bahwa kau sedang melakukan pertunjukan malam ini. Maka aku langsung kemari,” jawab pria itu.

“Oh, begitu,” komentar Nam Gil. “Ah, kak, perkenalkan, mereka teman-temanku, Lee Yo Won dan Park Ye Jin. Ini kakakku, Kim Jung Chul,” katanya, memperkenalkan kami.

Aku tersenyum ramah dan menjabat tangan Kim Jung Chul. Jadi inilah kakak Kim Nam Gil. Orang yang membantu pembebasan murid-murid SMU Chongjan dari kantor polisi waktu itu. ah, ya, pantas saja rasanya aku mengenali wajahnya. Dia pria yang kak Ye Jin tabrak hingga jatuh di hari pertamanya masuk sekolah.

Saat kakak dan Kim Jung Chul bersalaman, lagi-lagi aura intim itu kembali muncul. Bahkan mereka berpegangan tangan cukup lama hingga Nam Gil dengan sengaja berdeham mengingatkan mereka.

“Bibiii!” aku menoleh ke arah datangnya suara teriakan itu, dan melihat Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin berlari mendekat dengan membawa rangkaian bunga berwarna-warni.

“Selamat atas pertunjukannya,” kata kedua anak itu bersamaan. “Kami benar-benar meneteskan air mata saat melihat adegan kematianmu,” lanjut Yoo Seung Ho.

“Terima kasih,” sahutku tulus.Keduanya tersenyum manis padaku, tapi kemudian melirik takut-takut ke arah Nam Gil,

dan segera menunduk saat pemuda itu membalas tatapan mereka. Aku merasa geli melihat tingkah pasangan peramal ini. Apa yang sudah Nam Gil lakukan hingga keduanya begitu takut?

“Ini bunga untuk Bibi,” kata Yoo Eun Bin sambil menyerahkan rangkaian bungan warna-warni yang dipegangnya kepadaku.

“Terima kasih. Tapi… tolong berhentilah memanggilku bibi,” pintaku. “Aku merasa tua sekali dipanggil seperti itu. namaku Lee Yo Won.”

Pasangan peramal itu mengangguk bersemangat. “Baik, Bibi Yo Won,” sahut mereka.Ya Tuhan… sudahlah.“Ah, Ibu, selamat malam,” sapa mereka pada kak Ye Jin . “Kami merindukan Ibu,” lanjut

mereka sambil memeluk kakak bersamaan.Kim Jung Chul terlihat geli menonton keanehan kedua anak itu. “Di umur berapa kau

melahirkan mereka?” godanya pada kakak yang merona malu.“Ah, sudah malam, kami harus cepat pulang karena sebentar lagi gerbang kuil akan

dikunci,” kata Yoo Seung Ho tiba-tiba. “Sampai jumpa nanti Ibu, sampai jumpa nanti Bibi,” serunya dan Yoo Eun Bin kompak sambil berlari pergi.

“Ye Jin! Yo Won!” panggil bibi Young Hee dari arah tempat parkir.“Maaf, kami harus pulang juga. Permisi,” pamit kak Ye Jin pada Nam Gil dan kakaknya.“Sampai jumpa,” sahut Kim Jung Chul dengan senyum menggoda yang membuat kakak

tersipu malu.

54

Aku melambaikan tangan pada Nam Gil, yang kemudian dibalasnya dengan lambaian dan senyuman lebar khasnya. Setelah ini kami akan lama tak bertemu, hingga nanti liburan usai di bulan januari.

Pria berpakaian serba hitam itu memiliki wajah yang sangat mirip dengan Nam Gil. Hatiku serasa diremas kuat saat melihat kondisinya yang terluka parah seperti ini. Kenapa? kenapa dia nekat terus maju menerobos begitu banyak pasukan?

Aku ingin berteriak menyuruhnya lari, tapi mulutku seolah terkunci. Aku ingin bergerak maju menolongnya, tapi tubuhku tak dapat digerakkan.

Ketika anak panah menancap di tubuhnya, akupun ikut merasakan sakitnya. Setiap kali dia menerima serangan, aku ikut merasa tercabik. tapi aku tak berdaya menghentikan orang-orang yang menyerangnya. Aku tak berdaya untuk membantunya.

Tapi pria itu begitu berani. Tanpa kenal takut dia terus melangkah maju walaupun dengan langkah terseok-seok… menuju ke arahku. Mata kami sempat saling berpandangan, dan aku melihat keteguhan tekad di sana. Kenapa? kenapa dia mencelakai dirinya sendiri seperti ini? Kenapa dia bertekad mendatangiku? Apa yang begitu penting hingga ia rela mengorbankan nyawanya?

Beberapa prajurit lain datang menghadangnya, dan tanpa memperdulikan luka di sekujur tubuhnya, pria itu kembali bertarung dengan gagah berani. Aku benar-benar merasa frustasi. Aku ingin berteriak menghentikan penyiksaan terhadap pria itu, tapi aku tak bisa. ada apa dengan mereka? Tidakkah mereka lihat dia sudah terluka parah? Kenapa mereka begitu tega?

Pria itu kembali berhasil mengatasi orang-orang yang menghadangnya, tapi kondisinya semakin lemah. tanpa sadar air mataku sudah menetes saat melihatnya berjuang sekuat tenaga untuk bangkit berdiri dengan bertumpu pada pedangnya. Tolong, hentikanlah… kau sudah terluka.

Dengan gigih pria itu melangkah semakin mendekatiku, tapi kembali dihadang dua prajurit lain yang tak begitu jelas kulihat wajahnya. Aku sangat ketakutan saat melihat salah seorang dari prajurit itu menusuk perut si pria yang sudah terluka itu dengan pedangnya. Tapi pria itu benar-benar gigih. Dia terus saja bergerak maju, walau dengan terhuyung-huyung, ke arahku. Aku tahu dia sangat kesakitan, tapi kenapa dia terus melawan? Kenapa dia tidak menyerah saja?

Saat pria itu semakin dekat dan berusaha meraihku, ingin sekali rasanya aku berlari memeluknya. tapi kemudian seseorang menusuknya begitu dalam. Tidak! Ingin rasanya aku berteriak menghentikannya. Tapi aku tidak bisa…

Hatiku terasa remuk ketika melihat pria itu roboh ke tanah dengan lengan masih terentang ke arahku. seluruh keberaniannya, tekadnya, kegigihannya mempertaruhkan nyawa untuk mendekatiku… semua berakhir sia-sia. Dia mati di hadapanku.

“Tidak!!!” aku menjerit dengan napas terengah-engah.Seketika ruangan menjadi terang saat kak Ye Jin menyalakan lampu nakas. “Ada apa, Yo

Won? Kau bermimpi buruk?”Mimpi? Ya… ini hanya mimpi… tapi kenapa terasa begitu nyata? Aku menyentuh

pipiku, dan menghapus air mata yang masih saja terus mengalir.Ini kedua kalinya aku melihat kejadian tadi dalam semalam. Sebelumnya adalah saat di

atas panggung. Melihat Nam Gil di serang oleh pemeran-pemeran lain, tiba-tiba saja kilasan kejadian yang sama persis dengan mimpi burukku tadi, muncul dan melumpuhkanku selama beberapa saat—dan nyaris saja mengacaukan pertunjukan.

“Yo Won?” desak kakak.“Eh, iya,” jawabku dengan suara parau. “Aku bermimpi buruk. Maaf membangunkan

kakak,” kataku.

55

“Sudahlah, tidak apa-apa. Tidurlah lagi,” saran kak Ye Jin, kemudian mematikan lampu.Dalam kegelapan kamar aku merenungkan semua keanehan yang sering kualami, dan tak

menemukan jawaban kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Apakah aku menjadi gila? Apakah aku hanya berhalusinasi? Karena apa? Kenapa yang sering menghantuiku adalah pria yang berwajah amat mirip dengan Nam Gil? Apa mungkin aku begitu tergila-gila pada Nam Gil? Tapi tidak mungkin. Ya, kuakui aku tertarik padanya, tapi masih dalam tahap ketertarikan biasa.

Hah… sudahlah, masih banyak hal lain yang harus kupikirkan selain hal yang tak ada penjelasannya seperti mimpi-mimpi dan kilasan-kilasan pengelihatan itu. contohnya janjiku pada Ayah untuk bertemu dengannya hari minggu nanti. Selama ini aku terus mengulur-ulur waktu pertemuan kami karena aku belum siap untuk bertatap muka dengannya. Sebenarnya hingga sekarang pun masih belum siap, tapi aku tak bisa lagi menghindar. Dan memang sebaiknya segera di selesaikan. Aku tidak tahu apa pembelaan Ayah atas perbuatan tak bermoralnya, tapi aku yakin semua itu hanya kebohongan untuk menutupi kebejatannya.

“Aku sendiri bukan orang suci. Kalau aku berbuat salah dan menyesali perbuatanku di masa lalu, pastinya aku berharap orang yang kukecewakan akan memaafkanku.” Aku kembali teringat pada perkataan Nam Gil waktu itu.

Memang benar apa katanya, tapi aku tidak yakin aku bisa sebaik itu. setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Mungkin… mungkin pada akhirnya aku akan memaafkannya, tapi tidak sekarang ataupun hari minggu nanti.

Ibu, apa yang akan Ibu katakan dan lakukan bila sekarang kau masih hidup dan mendengar Ayah ingin bertemu kita dan bicara? Apakah Ibu akan memaafkan Ayah? Ataukah Ibu akan terus mendendam pada Ayah? Ibu, kuharap kau tak menyalahkanku karena membenci Ayah.

***

Scene 23

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung King Jin Ji : Kim Im HoSe Jong : Go Young Jae Yong Soo : Kim Jung ChulSan Tak : (tetep nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 25 Desember 2010 -

Aku tidak suka pesta yang diadakan Ibu di hari natal ini, tapi aku lebih tidak suka lagi membayangkan akan bertemu Ayah siang ini. Aku berusaha menolaknya, tapi semalam kak Jung Chul terus memaksaku. Dan karena aku berhutang budi padanya, aku terpaksa setuju. Bagaimana pun juga dia telah membantuku agar tak ditahan polisi waktu itu.

“Kau akan menemui Ayahmu?” tanya Ibu dari ambang pintu kamarku.“Ya,” jawabku singkat sambil mengelap dadaku dengan handuk. Ibu tersenyum dingin. “Sampaikan salamku padanya,” katanya.Aku mengangguk acuh tak acuh sambil mengobrak-abrik lemari dan menarik sebuah kaus

hitam untuk kukenakan . “Oh, tentu. Dengan cinta,” sahutku tak kalah sinis. “Manis sekali, Nam Gil,” kata Ibu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik pergi.“Ah, tunggu,” tahanku. “Sejak semalam aku ingin bertanya tapi tidak sempat. Mengenai

Yo Won,” lanjutku.

56

Ibu menyunggingkan senyum misterius. “Ah, dia. Kenapa? kau tertarik padanya?”Bagaimana Ibu bisa menebaknya? “Bukan itu. ini mengenai pembicaraan kalian semalam.

Apakah Yo Won tidak tinggal bersama ayahnya? Benarkah ayah Yo Won adalah saudara tiri Ibu itu?” tanyaku.

“Benar. Ayahnya adalah kakak tiriku,” jawab Ibu. “Yo Won dan ibunya pergi meninggalkan ayahnya bertahun-tahun lalu.”

“Kenapa?”Senyum misterius itu kembali tersungging di bibirnya. “Siapa yang tahu?” sahutnya.

Entah kenapa kurasa sebenarnya Ibu mengetahui sesuatu.

Kak Jung Chul berusaha mencairkan suasana, tetapi tidak berhasil. Aku dan Ayah tak mau saling menatap ataupun bicara. Aku semakin tidak yakin dengan perkataan kakak semalam bahwa pertemuan ini idenya datang dari Ayah.

“Nam Gil, Ayah bertanya padamu,” kata kak Jung Chul sambil menepuk pundakku.“Apa?” tanyaku kaget.“Aku bertanya, bagaimana sekolahmu,” tanya Ayah kaku.“Baik,” jawabku.“Kudengar kau sering mengikuti kejuaraan taekwondo. Benarkah?” tanyanya lagi.“Ya,” jawabku.“Kudengar selama beberapa tahun ini kau selalu memenangkan kejuaraan taekwondo

tingkat SMU. Benarkah?”“Hmm,” aku bergumam mengiyakan pertanyaannya.Dengan emosi pria tua itu membanting pisau dan garpunya ke meja. “Berhentilah

bersikap kekanakan!” bentaknya. “Kalau kau memang tidak ingin bertemu dan bicara denganku, sebaiknya tidak usah datang kemari!”

Aku menyuap steakku dengan santai. “Aku setuju,” sahutku dengan mulut pernuh makanan. “Tapi kakak memaksaku.”

“Nam Gil,” desah kak Jung Chul frustasi.“Lagi pula,” lanjutku setelah menelan habis makananku. “Apa yang kau harap akan

kulakukan saat bertemu denganmu? Sangat gembira dan menunjukkan rasa rinduku? Padamu? Ayah yang membuangku dan tak mengacuhkanku selama bertahun-tahun? Yang benar saja,” sindirku.

Wajah Ayah terlihat memerah menahan amarahnya. “Beginikah ajaran ibumu dalam memperlakukan orangtua!?” geramnya.

Aku mendengus keras. “Sejak kapan orangtuaku perduli untuk mengajarkan tata karma dan sopan santun?” balasku. “setahuku sejak aku masih kecil orangtuaku sangat sibuk bila berurusan dengan anak mereka, dan hanya memiliki waktu untuk menyeleweng dari pasangan masing-masing.”

“Kau!” bentak Ayah. Tiba-tiba pria tua itu meringis kesakitan sambil memegangi dadanya.

“Ayah? Kau tidak apa-apa?” tanya kak Jung Chul khawatir.Aku tidak menyukai Ayah, karena itu aku terkejut saat merasakan desakan kekhawatiran

yang tiba-tiba muncul dalam diriku begitu melihat kondisinya sekarang.“Ada apa denganya?” tanyaku panik.“Ayah memiliki penyakit jantung,” jawab kakak dengan nada muram.“Sudah… aku sudah tidak apa-apa,” kata Ayah beberapa saat kemudian. “Jangan menarik

perhatian pengunjung yang lain,” omelnya.Restoran ini memang sangat ramai, tapi masing-masing sibuk dengan obrolan mereka

sendiri dan tak ada yang memperhatikan perdebatan kami.

57

“Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bicara—“ kakak memulai.“Tidak,” potong Ayah. “Justru sudah terlambat. Jung Chul, bisakah kau meninggalkanku

dan Nam Gil bicara berdua saja?”Kakak melayangkan tatapan cemas ke arahku, tapi kemudian menuruti permintaan Ayah.“Kuakui aku bersalah karena tiba-tiba menyerahkanmu pada keluarga yang tak kau kenal

di usiamu yang semuda itu,” mulai Ayah dengan muram. “Tapi kau harus mengerti, itu yang terbaik bagimu. Sekejam-kejamnya Hyun Jung, dia tak akan mungkin menyakitimu.”

“Benar,” komentarku ketus. “Dia jauh lebih baik dari istrimu. Tapi itu tidak menjelaskan kenapa kau tidak mau menemuiku setelahnya. Selama beberapa tahun pertama di rumah itu aku terus berusaha menghubungimu dan bahkan nekat mendatangi perusahaanmu seorang diri sepulangnya aku dari sekolah. Tapi aku selalu mendengar sekretarismu berkata kau tidak ada di tempat.”

Ayah menghela napas. “Kau benar. Itu tidak termaafkan,” akunya. “Aku hanya bisa berkata... saat itu kupikir itu adalah tindakan yang paling tepat untuk dilakukan.”

“Tepat?” sinisku.Ayah mengangguk. “Kau sudah aman bersama ibumu dan ayah tirimu. Go Young Jae

bukan orang yang kejam. Walaupun dia mungkin tidak menyukaimu, dia terlalu mencintai ibumu untuk bersikap jahat padamu. Ku pikir kau sudah berada di keluarga yang lebih baik dari yang sebelumnya,” katanya sedih. “Sedangkan istriku, semenjak pemukulan terakhir yang dilakkukannya padamu, dia menjadi stres. Aku tahu sebelumnya dia juga sering memukulmu bila aku tidak ada—para pelayan mengadukannya—tetapi malam itu yang terparah—“

“Aku tidak ingin membahas kejadian itu,” sergahku marah.Mata Ayah memancarkan kesedihan. “Maafkan aku. dan bila kau bisa… maafkan dia.

Istriku sangat menyesali perbuatannya padamu. Dia sangat terpukul dan kecewa pada dirinya sendiri. Dia bahkan sempat mencoba bunuh diri. Karena itulah aku ingin membuatnya kembali tenang. Aku sudah banyak berbuat salah padanya. Aku ingin menyenangkan hatinya. Satu-satunya cara yang terpikir olehku saat itu adalah membuat keluarga kami bahagia seperti sebelumnya. Sebelum aku tergoda oleh pesona ibumu.”

“Karena itu kau tak sudi menemuiku,” lanjutku pahit. “Karena kau ingin menganggapku tak ada. Aku hanya kesalahan dan harus disingkirkan agar keluarga kecilmu kembali bahagia. Aku mengerti.”

“Aku tahu perbuatanku sangat salah,” aku Ayah. “Karena itu aku ingin memperbaikinya sekarang, di saat segalanya belum terlambat.”

Selera makanku benar-benar hilang. Aku bersandar dikursiku dan membalas tatapan tajam Ayah. Bisakah aku memaafkannya? Bisakah kami mencoba memulai dari awal lagi?

Aku teringat jawabanku pada Yo Won hari itu. bahwa aku mungkin akan bermurah hati memaafkan musuhku. Tapi bisakah aku melakukannya sekarang? Pada Ayah?

- 26 Desember 2010 -

Bosan dan banyak pikiran membuatku memutuskan untuk keluar rumah. Hari ini cuaca sudah lebih cerah dibanding kemarin. Sejak pagi tadi hujan salju sudah berhenti, tapi udara masih terbilang sangat dingin. karenanya aku tetap memakai mantel tebalku.

Aku memarkir motorku di pinggir jalan, lalu berjalan memasuki area taman kota. Duduk di salah satu kursi taman, aku menonton keluarga-keluarga yang terlihat bersenang-senang di sekelilingku tanpa memperdulikan hembusan angin musim dingin. Mereka terlihat bahagia sekali. Hah…

58

Bila aku dan Ayah memulai semua dari awal lagi… bisakah kami bahagia? Bisakah aku mencobanya? Argh! Memikirkan hal itu membuatku sakit kepala saja!

Sekarang, apa yang akan kulakukan? Sepanjang hari duduk sendiri di sini seperti orang bodoh? Menyedihkan… ah, San Tak. Benar juga, kenapa tidak terpikir olehku sejak tadi? Aku mengeluarkan ponselku dan langsung menghubunginya.

Dengan tidak sabar aku mendengar nada tunggu. Kenapa anak itu tidak segera menjawab teleponku? Apa karena hari minggu, lantas dia belum bangun hingga sekarang? Ini kan sudah jam 12 siang. Tibat-tiba aku teringat pada Yo Won dan telepon misteriusnya. Katanya dia akan bertemu pria hari ini. Siapa pria itu? Temannya? Keluarganya? Atau malah pacarnya? Argh! Kenapa juga aku mengurusi hal itu!?

“Ermhhh…” terdengar erangan San Tak sebagai sahutannya. “Siapa ini…? Menggangu tidur orang saja!” gerutunya.

Benar dugaanku. “Cepat berpakaian. Temani aku karaoke,” perintahku langsung.“Hei! Dasar gila,” bentaknya. “Siapa kau berani-berani menyuruhku—“ tiba-tiba San Tak

terdiam, lalu berdeham. “Emm… ini… maaf, Nam Gil, aku tidak melihat… aku tidak—““Sudahlah, tidak usah banyak bicara,” potongku. “Cepat—“ Hei, bukankah gadis

bermantel oranye itu… astaga, benar. Itu Yo Won!“Ya, baik,” kata San Tak buru-buru. “Aku akan secepatnya bersiap. Di mana aku harus

menemuimu?”“Tidak jadi,” kataku girang. “kembali tidur saja kau,” perintahku, lalu memutus

sambungan telepon. Segera saja aku bangkit dan mengejar gadis itu. ternyata dia menuju halte bus. Apa dia baru akan pergi ke kencannya itu? Atau sudah pulang? Tapi tidak mungkin berkencan sesingkat ini.

“Yo Won,” sapaku.Gadis itu mengangkat kepalanya, dan dari matanya yang terlihat membesar, jelas dia

sangat kaget dan tak menduga akan bertemu denganku. “Nam Gil?”“Menunggu bus?” tanyaku. dia mengangguk. “Kau mau pergi ke mana? Kencanmu

dengan pria itu?”“Kencan?” tanyanya tak mengerti. “Oh, itu. sebenarnya bukan kencan. Aku… pergi

menemui Ayahku.”Ah, ayah yang ditinggalkannya bersama ibunya. Entah kenapa aku merasa lega. “Aku

bisa mengantarmu,” tawarku. “Tunggu di sini, aku akan mengambil motorku dulu,” kataku.“Eh, tidak usah,” cegahnya. “Aku sudah bertemu dengannya tadi. Sekarang aku mau

pulang.”“Kalau begitu biar aku mengantarmu pulang—“ aku berpikir, lalu meralatnya. “Emm, apa

hari ini kau memiliki urusan penting lain lagi? Apa kau diharapkan segera pulang?”Yo Won menggeleng. “Tidak juga. ada apa?”Aku menyeringai. “Kalau begitu temani aku seharian ini,” pintaku. Dan tanpa menunggu

persetujuannya, aku segera menariknya pergi mengikutiku. “Aku bahkan belum bilang ‘iya’,” gerutu Yo Won saat sampai di tempatku memarkir

motor.Seringaiku semakin lebar. “Hutang harus dibayar, mau atau tidak aku tidak perduli,”

kataku.“Hutang?” tanya Yo Won tak percaya. “Kapan aku berhutang padamu!?”Aku naik ke atas motorku dan tersenyum jail padanya sambil memakai helmku. “Permen

susu,” kataku.“Apa!?” pekik Yo Won. “Permen itu!? aku bahkan tidak memintanya!”“Memang tidak,” akuku. “Tapi aku memberikannya karena saat itu kau sedang suntuk.

Dan sekarang giliranku yang suntuk, jadi kau harus membayar hutangmu atas kebaikanku waktu itu. temani aku karaoke.”

59

Yo Won mengerutkan kening. “Kau mau menyanyi? Memangnya kau bisa?”Aku berdecak kesal. “Sejak kapan menyanyi hanya boleh untuk orang yang suaranya

bagus?” gerutuku. “Sudahlah, cepat naik,” perintahku.Dengan agak enggan Yo Won menuruti perintahku. “Di mana? Tidak jauh, kan?”“Apa warna yang kau suka?” tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya.“Banyak,” jawabnya. “tapi yang paling kusuka warna putih, oranye, biru, dan merah.

Kenapa bertanya?”“Sebelum ke tempat karaoke, kita pergi membeli helm untukmu dulu,” jawabku.

“berpegangan padaku bila tidak ingin jatuh,” saranku sedetik sebelum melaju.Yo Won sempat terkesiap kaget, tapi segera memeluk pinggangku. “Kalau kau

membuatku mati hari ini, aku bersumpah akan menghantuimu selamanya!” teriak gadis itu agar dapat terdengar ditengah keributan lalu lintas di sekitar kami. “Tidak, lebih dari selamanya. Aku akan terus menghantuimu di setiap kehidupanmu yang akan datang!” ancamnya.

Aku tertawa geli sambil menambah laju motorku. “Kedengarannya bagus,” gumamku.

***

Scene 24

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Kin Jin Pyeong : Lee Min Ki

- Lee Yo Won - 26 Desember 2010 - “Nona!” seru Pak Han, kepala pelayan di rumah Ayah. Seingatku sejak aku masih sangat kecil dia sudah bekerja di sini. Dia terlihat masih sama seerti dulu, hanya saja sekarang di rambut hitamnya telah diselingi dengan warna keperakan.

Aku tersenyum sopan. “Selamat pagi,” sapaku. Terakhir kali kucek di jam tanganku, ini masih jam 9 pagi.

“Nona…” Pak Han mengelap matanya penuh keharuan. “Masuklah, masuk. Tuan Lee sedang berada di rumah kaca. Dia sudah mengatakan anda akan datang hari ini, tapi kami mengira itu siang nanti. Ah, maaf, aku terlalu banyak bicara,” katanya malu.

“Tidak apa,” aku menenangkan. “Kalau begitu aku ingin langsung menemuinya saja,” lanjutku.

“Baik, baik. mari ikuti saya,” katanya sambil memandu jalanku. Keseluruhan isi rumah ini sepertinya tidak ada yang berubah sedikitpun semenjak terakhir

kali aku melihatnya. Aku nyaris meneteskan air mata mengingat begitu banyak kenangan di rumah ini. Langkahku langsung terhenti saat melewati ruang keluarga. Di dinding berwallpaper bunga lili itu terpajang foto keluarga kami. Ayah dan Ibu yang terlihat begitu bahagia dan harmonis, dan aku yang duduk di tengah-tengah mereka dengan senyum ceria. Tanpa kusadari air mataku telah menetes. Ibu…

Pak Han berdeham. “Nona tidak apa-apa?” Buru-buru aku mengelap air mataku. “Tidak, aku tidak apa-apa. Ayo kita lanjutkan,”

ajakku.Rumah kaca itu berada di halaman belakang. Aku masih ingat dulu itu adalah tempat

favorit Ibu untuk membaca buku. Di sana tersusun banyak bunga-bunga indah kesukaannya. Tak kusangka setelah sekian lama ternyata tempat itu masih terawat dengan baik.

60

“Tuan, Nona Yo Won telah tiba,” lapor Pak Han dari ambang pintu.Ayah membalikkan tubuhnya dengan cepat. “Yo Won… Yo Won…” gumamnya dengan

suara parau. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.Tenggorokanku terasa tercekat. Aku begitu dekat dengannya. Setelah sekian lama…Ayah bergerak cepat menghampiriku dan memelukku erat-erat. Hatiku sakit menerima

perlakuannya ini. Karena justru sikap hangatnya ini yang menyiksaku. Bagaimana mungkin dia yang terkesan begitu baik dan menyayangiku, tega mengkhianati Ibu dan aku? aku merasa terbelah. Keinginan untuk balas memeluknya begitu kuat, tapi kemarahanku padanya pun sangat besar.

“Kau sudah besar… cantik… seperti Ibumu,” gumamnya, mengamatiku.Mendengarnya menyebut-nyebut Ibu membuatku melepaskan diri dari pegangannya.

“Apa yang ingin Ayah bicarakan denganku?” tanyaku dingin.Aku melihat kekecewaan dan kesedihan melintas di wajah Ayah, tapi aku berusaha tidak

perduli. Kekecewaan dan kesedihannya tidak sebanding dengan yang dirasakan Ibu.“Duduklah,” ajak Ayah, menunjuk kursi-kursi yang mengelilingi sebuah meja bundar di

tengah ruangan. “Banyak yang perlu kita bicarakan.”“Apa yang ingin Ayah katakan? Menjelaskan tentang perselingkuhan Ayah?” tanyaku

emosi.Ayah terlihat terpukul mendengar kemarahanku. “Aku tahu kau marah padaku,”

mulainya. “Tapi ini tidak seperti yang kau pikirkan.”“Ayah sama sekali tidak tahu apa yang kupikirkan!” bentakku. “Yang terpikir olehku

selama ini adalah betapa menjijikannya perbuatanmu! Teganya kau menyakiti Ibu… Ibu mati karenamu!” jeritku.

“Yo Won…”“Kau bahkan tidak cukup perduli untuk mencari kami! Bertahun-tahun kau tak acuhkan

keberadanku, lalu kenapa sekarang kau menggangguku!?”“Kau salah!” bantah Ayah. “Aku segera mencari dan menyusul kalian ke Pusan. Aku

sudah bicara pada Ibumu. Menjelaskan keadaan yang sebenarnya dan memohonnya untuk kembali. Tapi dia menolak dan memaksaku berjanji untuk menjauhi kalian. Dia mengancam akan membawamu pergi jauh dari Korea, ke tempat yang tak akan dapat kulacak, bila aku berani melanggar janjiku—“

“Memangnya bagaimana keadaan yang sebenarnya menurut Ayah?” tantangku. “Ayah mau menyangkal telah berciuman dengan Bibi Hyun Jung malam itu!?”

Ayah menggeleng sedih. “Benar, tapi tidak seperti yang kau dan Ibumu pikirkan. Aku tidak menciumnya. Dia yang menciumku,” katanya. “Sayangnya Ibumu tidak melihat ketika aku mendorong Hyun Jung.”

“Ayah pikir aku akan percaya?” tanyaku sinis.“Kuharap kau mempercayaiku,” gumamnya sedih. “Aku sangat terkejut mengetahui

orang yang kusayang seperti adik kandungku sendiri ternyata menginginkan lebih… Hyun Jung berkata sejak dulu dia tidak pernah menganggapku kakaknya. Dia bilang dia—“

“Aku tidak mau mendengar tentangnya,” potongku. “Tolong, percayalah padaku, Yo Won,” pintanya. “Aku sangat mencintaimu dan Ibumu.”“Lalu kenapa? kenapa tidak terus berusaha membujuk Ibu? Ibu hanya wanita yang sedang

marah dan sakit hati. Dia tidak mungkin serius dengan ancamannya.”“Kau tidak mengenal Ibumu sebaik aku,” desah Ayah sedih. “Dia memang tampak seperti

bunga rapuh dan penurut, tapi sebenarnya dia wanita berpendirian kuat dan keras kepala. Bila dia sudah memutuskan sesuatu, maka dia akan benar-benar melakukannya.”

Selama beberapa saat aku terdiam. Benarkah? Apakah justru Ibu yang tidak ingin kembali? Aku mengerti bahwa Ibu sangat kecewa, tindakannya dapat dimaklumi, tapi…

61

“Kenapa setelah kematian Ibu kau tidak menjemputku? Kalau kau benar perduli pada kami, kenapa kau tidak datang ke pemakamannya?” tuntutku.

“Karena aku tidak tahu,” jawab Ayah lesu. “Setelah pertengkaran terakhirku dengan Ibumu di Pusan, aku sengaja terus bepergian ke luar negri untuk mengurus bisnisku. Kupikir dengan terus bekerja aku dapat menghilangkan kesedihanku.

“Selama setahun aku tak pernah pulang ke Korea. Dan saat pulang, aku mengirimi Ibumu surat, yang kemudian dibalas oleh Park Young Hee. Dia menceritakan kematian Ibumu…” Ayah terisak sedih. “Aku begitu kalut. Malam itu aku buru-buru pergi ingin menjemputmu, tapi kemudian dalam perjalanan mobilku tergelincir ke jurang setelah sempat bertabrakan dengan mobil lain. Aku koma selama kurang lebih satu tahun, dan setelah akhirnya sadar pun tubuhku sempat lumpuh. Aku menyuruh orang untuk membawamu pulang, tapi dia kembali dengan tangan kosong setelah diusir dan dicaci maki Park Young Hee dan Park Kil Kang.”

“Dan kau menyerah begitu saja?”“Aku tidak menyerah,” bantahnya. “Tapi aku sadar, bahwa aku harus menunggu

kesehatanku kembali pulih dan datang sendiri ke sana untuk menjemputmu.”“Tapi Ayah tak pernah datang.”“Aku datang,” katanya. “tapi kalian pindah entah kemana. Aku berusaha mencari dengan

mengerahkan beberapa detektif swasta. Bahkan aku juga mencari keseluruh pelosok Korea, tapi kalian bagai raib di telan bumi. Keluarga Park Kil Kang tidak dapat di temukan di mana pun.”

Benar. Aku ingat dulu selama dua tahun Paman Kil Kang membawa kami semua pindah ke Macao setelah dia di PHK karena bangkrutnya perusahaan tempat Paman bekerja saat itu. Kami baru kembali ke Pusan setelah seorang sahabat Paman mengabari adanya lowongan perkejaan di perusahaan jasa pengamanan yang baru dibuka olehnya. Jadi… selama ini Ayah mencariku? Benarkah? Bisakah aku mempercayainya?

“Selama bertahun-tahun aku tak pernah lagi bertemu ataupun bicara dengan Hyun Jung. aku menyalahkannya karena membuatku terpisah darimu dan Ibumu,” katanya lagi. “Tapi beberapa minggu yang lalu kami bertemu di sebuah pesta, dan dia bertanya bagaimana kabarmu dan apakah kau sudah mengunjungiku setelah kembali ke Seoul. Aku sangat terkejut mendengar kau ada di kota yang sama denganku, sekaligus bahagia. Aku menyuruh orang melacak keberadaanmu dan dia mendapatkan alamatmu dan juga nomor ponselmu untukku,” lanjutnya.

Air mataku menetes tanpa kusadari. Ibu, apakah kita sudah salah menilai Ayah? Bolehkah aku mempercayai kata-katanya?

Ayah mengulurkan tangan untuk menghapus air mataku, tapi aku sengaja berkelit dan menghapusnya sendiri. “Maaf,” gumamku dengan suara parau. “Tapi untuk sekarang aku tidak yakin apakah aku bisa memaafkanmu sepenuhnya.”

Setelah pulang dari rumah Ayah, aku berkeliaran tak jelas dan akhirnya memilih untuk menenangkan diri di taman kota. Setelah duduk cukup lama hingga kedinginan dan cukup tenang, barulah aku memutuskan untuk pulang. Tapi siapa yang mengira di saat libur seperti ini aku malah akan bertemu Nam Gil? Bahkan dia memaksaku menemaninya karaoke untuk membalas hutang permenku padanya waktu itu. hah… yang benar saja.

Aku memakai helm berwarna putih pemberiannya, lalu kembali naik ke motornya. Kali ini sebelum disuruh, aku langsung melingkarkan tanganku di pinggangnya. Aku tidak menolak keinginannya bukan karena alasan hutang permen bodoh itu, tapi karena aku melihat dibalik senyumannya dia benar-benar serius saat mengatakan sedang suntuk. Bahkan lebih dari itu. Hari ini sorot matanya sama sedihnya seperti ketika dia mengamuk di festival, gara-gara melihat seorang wanita memukuli anaknya.

62

Hari itu, saat aku sedang kalut sehabis menerima telepon Ayah, dia menghiburku. Kini giliranku untuk menghiburnya. Yah, tak benar begitu juga, karena sebenarnya sekarang aku juga membutuhkan penghiburannya setelah berbicara dengan Ayah tadi. Dan karaoke terdengar cukup menyenangkan.

“Wah, wah, wah, lihat siapa ini,” kata seorang pemuda di atas motor balap yang mirip dengan milik Nam Gil. Pemuda itu sengaja menjajari motor Nam Gil dari arah sebelah kanan. Dan tak lama kemudian beberapa motor lain juga ikut mengepung di samping kiri dan belakang kami. Mereka terus berusaha menyamai laju motor Nam Gil. Kurasa mereka sengaja ingin mencari gara-gara.

“Tak ingin balapan dengan kami?” tantang pemuda itu lagi. Tapi Nam Gil tetap tak menghiraukannya. “Kenapa? karena ada gadismu? Yang seperti inikah seleramu? Yah, tak buruk juga,” lanjutnya lagi.

Tubuh Nam Gil terasa menegang dalam dekapanku. Sedetik kemudian dia memacu motornya semakin kencang. Tapi berandal-berandal tadi tak mau menyerah dan kembali mengepung kami. Untuk seseorang yang mudah naik pitam seperti Nam Gil, pasti sangat sulit menahan diri seperti ini. Dia menahan diri karena aku, dan aku menghargai hal itu. Sangat menghargainya.

Aku menjerit kaget saat pemuda tadi dengan sengaja ingin menyenggol motor Nam Gil. Nyaris. Untungnya dengan sigap Nam Gil berkelit. Tapi kemudian seorang pemuda lain yang sejak tadi mengekor di belakang kami, semakin memempeti motor Nam Gil hingga nyaris menabrak kakiku, dan ini membuatku sempat bergoyang panik dan membuat motor Nam Gil ikut bergoyang.

“Maaf,” seruku di dekat telinganya yang tertutup helm. “Aku terkejut,” jelasku.Tapi lama kelamaan Nam Gil pun hilang kesabaran karena berandal-berandal itu terus

saja berulah dan berkali-kali nyaris membuat kami celaka. Nam Gil mempercepat laju motornya ke jalan yang tak kukenal, lalu masuk ke sebuah lapangan berumput yang besar, dan berhenti di tengah-tengahnya.

Jujur saja aku agak gugup dengan situasi ini. Aku yakin Nam Gil akan berkelahi dengan mereka. Tapi jumlahnya tidak seimbang. Nam Gil bisa dibilang hanya sendiri—walaupun ada aku—sedangkan mereka… bertujuh. Apa yang harus kulakukan?

Ketujuh pemuda itu ikut memarkir motor mereka lalu turun dengan gaya menantang. “Senang sekali punya kesempatan bertemu lagi denganmu,” kata pemuda bertubuh tinggi besar itu. “Masalah kita belum selesai waktu itu.”

“Siapa mereka?” bisikku, setelah kami berdua turun dari motor Nam Gil.“Murid-murid SMU Haegu,” jawab Nam Gil singkat. Dia menyeringai lebar ke arah

berandalan itu. “Aku tidak bisa bilang senang melihat tekad bodoh kalian ini,” katanya. “Jujur saja hingga sekarang aku tidak habis pikir apa yang membuat kalian menyerangku dulu. Dan kembali mecobanya sekarang.”

Si pemuda bertubuh tinggi besar itu meludah dan maju selangkah dengan gaya mengancam. “Tidak tahu? Kau bilang tidak tahu!? Dasar pengecut!” bentaknya. “Yah, tapi apa lagi yang bisa kuharapkan dari orang yang tidak berperasaan sepertimu?” sindirnya.

Nam Gil mendengus. “Berhentilah memujiku, Choi. Dan langsung katakan apa maksud perkataanmu,” perintahnya.

Pemuda yang disebut Choi itu mengepalkan tangan penuh emosi. “Kau! Kau yang lebih dulu mencari masalah denganku. Kau membuat adikku babak belur dan harus dirawat di rumah sakit selama sebulan. Kami tidak punya cukup bukti untuk menuntutmu, tapi aku tahu pasti itu perbuatanmu!” tuduhnya. “Banyak murid SMP Guoni yang menyaksikan kau memarahi adikku karena dia berani mengejekmu dan geng SMU Chongjan. Hah… bukankah kebetulan sekali setelahnya adikku dikeroyok saat dalam perjalanan pulang?”

63

Seringai Nam Gil terlihat semakin menyeramkan. Dia sudah membuka mulut untuk menanggapi perkataan Choi, tapi aku yang tidak tahan mendengar tuduhan bodoh itu, segera membelanya.

“Nam Gil tak mungkin melakukannya!” bantahku. Aku sangat yakin itu. “Nam Gil tidak akan pernah melukai anak kecil. Itu bukan perbuatan Nam Gil!” seruku emosi. Aku menyaksikan sendiri bagaimana kesalnya Nam Gil melihat seorang anak dipukul oleh Ibunya. Aku percaya dia serius saat mengatakan dia hanya melawan orang yang setara dengannya, yang bisa menjaga diri sendiri, dan bukannya anak kecil yang tak berdaya. Walaupun adik Choi sudah SMP dan tak dapat dikatakan terlalu kecil, Nam Gil tetap tak akan pernah melukainya apalagi mengeroyoknya.

Aku melirik Nam Gil karena dia tak bersuara sedikitpun, dan melihatnya sedang menatapku tajam.

“Jangan ikut campur dalam urusanku dan Kim Nam Gil, Nona. Menyingkirlah kalau tak ingin terluka,” geram Choi marah.

“Jangan berani menyentuhnya!” ancam Nam Gil serius.Choi tertawa mengejek. “Sombong sekali. kali ini tak ada anggota gengmu. Apa kau

yakin bisa menghadapi kami seorang diri?” sindirnya. “Habisi bajingan ini!” perintahnya pada teman-temannya.

***

Scene 25

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Moon No : Jung Ho BinChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeYong Soo : Kim Jung Chul Yoo Shin : Uhm Tae WongCheon Myeong : Park Ye Jin San Tak : (tetep nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 26 Desember 2010 -

Sial. Kenapa mereka mencari masalah di saat aku sedang bersama Yo Won? Dengan geram aku menghajar Choi Min Sung dan kelima temannya bergantian. Karena khawatir, aku melirik ke arah Yo Won, dan langsung merasa geli ketika melihat gadis itu sangat bersemangat menghajar seorang anak buah Choi dengan jurus-jurus yang selama ini dipelajarinya di klub taekwondo. Walaupun kelihatannya dia bisa mengatasi pemuda itu, aku tetap tidak senang sudah membuatnya terlibat dalam masalah ini.

Aku meringis sakit saat Choi meninju rahangku dan seorang temannya menendang punggungku. Brengsek! Aku segera membalas dengan memukul, menendang dan membanting mereka lebih kuat. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat pada ayah dan istrinya, dan ini membuatku semakin bersemangat menghajar mereka untuk melampiaskan kekesalanku kepada kedua orang itu.

“Nam Gil!” aku mendengar Yo Won berseru panik.Cepat-cepat aku berpaling dari Choi untuk melihat keadaan Yo Won. kupikir dia akhirnya

kesulitan melawan pemuda yang sejak tadi dihajarnya itu, tapi ternyata tidak. Pemuda itu sudah terkapar, dan Yo Won justru sedang melompat untuk menyerang seorang teman Choi yang lain. Rupanya pemuda itu ingin menyerangku dengan sebatang kayu yang di ambilnya di pinggir lapangan, tapi Yo Won berhasil menggagalkannya. Dia menyelamatkanku lagi.

64

Beberapa menit kemudian, dengan napas terengah-engah, aku dan Yo Won menduduki tubuh besar Choi yang terbaring menelungkup di tanah.

“Kau bilang mau mengajakku ke tempat karaoke, tapi malah membuatku terlibat perkelahian,” gerutu Yo Won.

Aku jadi merasa tidak enak hati padanya. “Maaf—“Yo Won menyeringai. “Aku bercanda,” selanya. “Hah… sebenarnya justru aku merasa

lega sekali setelah menghajar mereka. Semua kemarahan yang kupendam selama ini bisa kulampiaskan pada mereka,” akunya.

Aku tersenyum kecil. Ternyata kami memiliki kesamaan. “Benarkah? Apa yang membuatmu marah?”

Senyum di wajah Yo Won memudar. “Bukan apa, tapi siapa,” jawabnya. “Orang yang sudah menghancurkan keluargaku. Aku sangat membencinya. Saat menghajar mereka, aku membayangkan wajah orang yang kubenci itulah yang sedang kupukul.”

Siapa maksudnya? Apakah ayahnya? Karena kesalahan ayahnya kah maka Yo Won dan ibunya pergi? hah… apakah tidak ada orangtua yang baik di dunia ini?

Selama beberapa saat suasana terbilang cukup hening—hanya terdengar erangan kesakitan Choi dan teman-temannya—sampai aku berdeham dan mulai menyampaikan apa yang kupikirkan sejak tadi.

“Emm, terima kasih,” gumamku.Yo Won menoleh dan menampilkan ekspresi tak mengerti. “Untuk apa?”“Karena kau sudah percaya padaku. Bahwa aku tak mungkin melakukan hal buruk seperti

itu,” kataku sambil tersenyum tulus. “bahkan guru Jung—orang yang sepertinya paling mengenalku—sekalipun pasti akan mengira akulah pelakunya bila dia mendengar hal ini.”

Yo Won tersenyum kecil, lalu menumpangkan tangannya di atas tanganku. “kau salah,” katanya. “Kalau dia sampai bisa berpikiran seperti itu, berarti dia justru tidak mengenalmu sama sekali.”

Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Dia orang pertama yang menyentuhku dengan tulus dan tanpa maksud apapun. Bukan untuk menyakitiku ataupun untuk mendapat sesuatu dariku. Setelah beberapa saat barulah aku mengangkat kepala untuk menatap wajahnya. Hatiku terasa hangat dengan kepercayaan dan ketulusannya padaku.

“Karena,” Yo Won melanjutkan. “aku saja yang baru mengenalmu beberapa bulan, bisa melihat bahwa dibalik sikap kerasmu sebenarnya kau memiliki hati yang baik,” katanya dengan tersenyum manis.

Dia melakukannya lagi. Dia orang pertama yang menganggapku baik. tidak ada yang pernah menganggapku baik selama ini. Tidak guru Jung yang bangga dengan prestasiku, tidak juga San Tak yang setia mengikutiku… tidak pernah ada. Mereka mengecapku sebagai anak nakal, pembuat onar, dan orang yang tak berperasaan. Tidak ada yang pernah menganggapku baik. Yo Won yang pertama. Hanya dia.

Tiba-tiba jantungku berdebar kencang. “Benarkah?” tanyaku dengan suara serak.Yo Won melepaskan genggamannya. “Yah, bukan berarti aku setuju dengan caramu

menyelesaikan segala hal dengan kekerasan—kuakui terkadang memang diperlukan, bila dalam keadaan terdesak seperti sekarang. Tapi menurutku orang yang memiliki prinsip tak akan pernah melukai anak kecil pasti memiliki hati yang baik,” katanya.

“Yo—“Kata-kataku terhenti karena erangan Choi yang semakin keras. “Erghhh… kalau kalian

ingin saling mencurahkan isi hati… tolong… jangan di atas tubuhku,” pintanya.Yo Won langsung meloncat berdiri, baru tersadar bahwa sejak tadi dia menduduki

punggung Choi. “Maaf,” gumamnya.Aku tetap di tempatku—menduduki bokong pemuda itu—dan bertanya, “Bila aku

melepaskanmu kali ini, apakah kau mau berjanji tidak akan mencoba menyerangku lagi?”

65

Choi memaki. “Aku benar-benar tidak berbuat apa-apa pada adikmu selain memarahinya untuk tidak lagi bermulut besar. Selebihnya tidak. Menyakiti anak kecil bukan gayaku,” lanjutku.

“Kenapa aku harus percaya padamu?” desisnya.“Karena kau harus,” jawabku enteng. “apakah adikmu pernah mengatakan bahwa dia

melihatku ada diantara orang-orang yang menghajarnya?”Selama beberapa saat Choi terdiam. “Tidak,” jawabnya pada akhirnya. “Tapi dia memang

tidak melihat jelas siapa saja orang yang menghajarnya, karena kejadian itu begitu cepat.”Aku mendengus keras. “Yang benar saja, Choi,” geramku. “Melawanmu dan keenam

temanmu saja aku tidak butuh bantuan banyak orang—eh, bukannya aku tidak menghargai bantuanmu, Yo Won.”

“Ah, tidak masalah. Aku tidak tersinggung sama sekali,” sahut gadis itu.“Terima kasih,” komentarku sambil tersenyum padanya. “Nah, jadi untuk apa aku

membawa pasukan bila hanya melawan seorang bocah SMP?” lanjutku pada Choi.Lagi-lagi Choi terdiam. “Entahlah…”Aku berdiri sambil mendesah kesal. “Sudahlah. Hentikan saja masalah kita. Selidiki siapa

pelaku sebenarnya, dan jangan pernah muncul dihadapanku lagi,” perintahku. “Yo Won, ayo kita pergi menyanyi,” lanjutku sambil menaiki motor.

“Kau masih berniat pergi karaoke?” tanya Yo Won heran.“Kenapa tidak?” aku balik bertanya.

“Seharusnya lukamu diobati,” omel Yo Won saat aku menyanyi.“Nanti saja sesampainya dirumah,” sahutku. “Lagi pula hanya luka kecil. Ayo, ikut

nyanyikan lagu ini,” ajakku, kemudian kembali menyanyikan lagu soundtrack sebuah film remaja yang populer beberapa tahun lalu itu.

Yo Won berdiri dan berjalan mendekatiku. “Paling tidak elap darahnya,” katanya sambil mengelap luka di pipiku dengan sapu tangannya. “Tenang saja, sapu tanganku bersih,” tambahnya ketika aku sempat sedikit menghindar.

Seketika keinginanku untuk menyanyi langsung hilang. Seperti orang terpesona, aku terus memandanginya. Lagi-lagi dia membuatku terkejut. Bahkan Ibu sekalipun tak pernah berkomentar bila melihatku pulang sekolah dalam keadaan yang lebih parah dari luka yang kudapat sekarang. Tapi Yo Won perduli padaku.

Seseorang mengetuk pintu ruangan kami, dan sesaat kemudian seorang pelayan masuk membawa minuman dan makanan kecil pesanan kami. Yo Won menjejalkan sapu tangannya ke tanganku, lalu kembali duduk untuk memakan snack dan meminum air mineral pesanannya.

Setelah tersadar dari keterpukauanku, aku ikut duduk di sebelahnya dan meminum soju pesananku. Sial. Kenapa tiba-tiba aku jadi merasa gugup begini?

“Kau… tinggal bersama Bibi Hyun Jung?” tanya Yo Won tiba-tiba. “Maaf, bukannya aku bermaksud ikut campur—“

“Ya,” jawabku cepat. “Aku tinggal bersamanya.”“Kenapa? Apakah… maaf, apakah orangtuamu sudah tidak ada? Tapi… bukankah kau

masih memiliki kakak?”Aku meneguk sojuku dengan cepat, lalu menjawab pertanyaan Yo Won. “Kakakku tidak

tinggal di Korea. Dia bekerja di Amerika dan pulang ke mari hanya untuk berkunjung,” kataku. “Sedangkan orangtuaku… mereka masih hidup. Ayah ada di Seoul juga.”

“Lalu kenapa?” desak Yo Won. Aku memang agak heran dengan keingin tahuannya, tapi entah kenapa aku malah

menceritakan kisah hidupku. “Aku adalah anak Ayahku dengan kekasih gelapnya,” mulaiku

66

pahit. “hingga usiaku enam tahun, aku memang tinggal bersamanya dan istrinya—ibu kak Jung Chul. Tapi kemudian… istrinya memutuskan tak mau lagi mengurusku. Kehadiranku di dunia ini tidak diharapkan siapapun—yah, mungkin Ibuku pernah sangat mengharapkanku demi mendapatkan Ayahku, tapi setelah ayah menolak meninggalkan istri yang masih dicintainya… aku tak lagi dibutuhkan oleh Ibu. Mungkin seharusnya aku sangat bersyukur bahwa istri Ayah masih mau menampungku selama beberapa tahun sebelum akhirnya dia muak dan meminta Ayah menyingkirkanku.”

“Lalu Ayahmu menitipkanmu di rumah bibimu?” lanjut Yo Won dengan sedih.Haruskah aku menceritakan bahwa Go Hyun Jung sebenarnya adalah Ibuku dan

bukannya Bibiku? “Emm… Yo Won—““Tenang saja,” sela Yo Won lembut. Dia kembali meremas pelan tanganku. “Aku tak

akan pernah menceritakan apa yang baru saja ku dengar ini pada siapapun. Aku bersumpah.”Sebenarnya bukan itu yang ingin kukatakan, tapi mungkin lain kali saja aku menceritakan

tentang Ibu. Aku balas meremas pelan tangannya dan tersenyum sambil menatap tajam kedua matanya. “Terima kasih. Aku percaya padamu,” kataku tulus.

“Jangan membenci dirimu sendiri karena merasa sebagai pengganggu yang tak diinginkan oleh siapapun,” katanya lagi. “Bukan salahmu bila memiliki orangtua yang—“

“Bejat,” lanjutku, geli melihat Yo Won tak enak hati untuk mengatai orangtuaku.Yo Won tersenyum masam. “Yah, apapun sebutannya,” sahutnya. “justru dalam masalah

ini kau hanya korban. Jadi jangan merasa rendah diri dan menyalahkan diri sendiri. Mungkin orangtuamu tak cukup perduli dan menginginkanmu, tapi masih ada teman-teman yang menginginkan kehadiranmu dan perduli padamu.”

Kau salah. Tidak pernah ada. Mereka ada di sisiku karena takut padaku. Bukan karena tulus perduli dan menginginkan kehadiranku. Hanya kau yang memperlihatkan kepedulian dan terlihat nyaman di sisiku. tidak ada yang lain. Hanya kau.

Debaran jantungku kembali menggila. Sial. Aku sengaja memasang tampang konyol. “Hei, kita kemari untuk bersenang-senang. Kenapa sekarang malah bicara hal-hal cengeng seperti ini?” gurauku.

Aku mengamati dengan sedikit perasaan kecewa ketika Yo Won melepaskan genggaman tangannya dariku, dan bersandar di sofa sambil memejamkan mata.

“Mungkin karena aku sedang dalam suasana hati cengeng seperti katamu,” gumamnya.“Ada apa? Kau sedang punya masalah?” tanyaku cepat.Yo Won membuka matanya dan melirikku. “Sebenarnya kita memiliki kesamaan,”

katanya. “Kesamaan masalah dengan orangtua,” lanjutnya.“Ayahmu?” tebakku.Dia mengangguk pelan. “Saat usiaku enam tahun, Ibuku membawaku pergi meninggalkan

Ayah setelah menangkap basah Ayahku sedang berciuman dengan wanita lain,” katanya. “hari ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya setelah sekian lama.”

Aku mendengar kesedihan dalam suara Yo Won, dan ini mendorongku untuk balas menenangkannya dengan menggenggam tangannya. “Sayang sekali kita tidak bisa memilih sendiri orangtua yang tepat,” candaku.

Yo Won tersenyum kecil. “Kau benar,” sahutnya. “Untungnya Ibu memiliki sahabat-sahabat yang baik seperti Bibi Young Hee dan Paman Kil Kang. Mereka orangtua kak Ye Jin. Setelah Ibuku meninggal, mereka yang merawatku.”

Jadi itulah sebabnya Yo Won dan Ye Jin sangat akrab dan selalu pergi berdua. Kasihan sekali Yo Won. setidaknya, selama ini aku tinggal bersama Ibuku sendiri, dan dua saudara seibu, bukan dengan orang yang tak memiliki hubungan keluarga denganku seperti yang dialami Yo Won.

67

“Karena kita sedang dalam suasana hati yang buruk, bagaimana kalau kita menyanyikan lagu ini saja, kataku menunjuk sebuah judul di buku daftar lagu. “Saranghamyeon an doen,” usulku.

Yo Won tersenyum geli. “Terserah padamu,” sahutnya.Tapi pada akhirnya aku menyanyikan lagu itu sendiri, sementara Yo Won hanya duduk

bersandar sambil memperhatikanku menyanyi. Ketika aku selesai menyanyikan bait terakhir, dan menengok ke arah gadis itu, aku melihatnya meneteskan air mata.

“Hei, apa suaraku seburuk itu?” gerutuku.Yo Won buru-buru menghapus air matanya dan memaksakan senyum. “Tidak, tidak,”

bantahnya segera. “Justru aku terkejut mendengar suaramu ternyata cukup bagus. Aku sendiri tidak mengerti kenapa, tapi mendengarmu begitu menghayati lagu tadi tiba-tiba saja air mataku mengalir keluar.”

“Oh, itu artinya kau sangat terharu mendengar kemerduan suaraku,” kataku sombong.“Jangan besar kepala,” gerutunya. “Ah, sebentar,” katanya sambil merogoh saku

mantelnya dan mengeluarkan ponsel. “Kak Tae Wong? Ada apa?” tanyanya.Uhm Tae Wong? Ada urusan apa dia menghubungi Yo Won? Dengan perasaan tidak

senang aku terus memperhatikan Yo Won mengobrol dengan si wajah datar itu lewat ponsel. Kenapa Yo Won tertawa? Memangnya Tae Wong bisa melucu? Cih…

“Baiklah, nanti aku akan ke rumahmu untuk mengambilnya,” janji Yo Won. “Ya. Sampai jumpa nanti. Dah.”

Yo Won berpaling padaku dan mengerutkan kening. “Kenapa menatapku seperti itu?”Hmm, kenapa? aku sendiri tidak tahu. “Gantungan ponselmu bagus,” ocehku asal.Yo Won tersenyum sambil mengamati gantungan ponselnya. “Memang bagus, kan?”

gumamnya. “Oh ya, apa kau masih ingin di sini lebih lama?” tanyanya.“Kenapa? kau buru-buru ingin pulang?” tanyaku kesal. Pasti ini ada hubungannya dengan

telepon Tae Wong tadi.“Yah, ya…” jawab Yo Won.“Baiklah, kita pulang saja,” kataku sedikit ketus. “Aku akan mengantarmu pulang.”“Terima kasih.”“Tunggu,” tahanku sambil menarik lengannya, saat gadis itu membuka pintu. “Kenapa

Tae Wong meneleponmu? Apa kau sangat akrab dengannya? Kau sering ke rumahnya?” cecarku.

Yo Won mengerutkan kening lagi. “Yah, kami memang akrab. Kak Tae Wong teman yang menyenangkan. Dan ya, aku sering bermain ke rumahnya atau dia main ke rumahku karena rumah kami bersebelahan. Kami tetangga,” jawabnya. “Tadi dia menelepon untuk memberitahuku bahwa dia sudah mendapatkan DVD film kolosal yang ingin kami tonton sejak lama—karena dulu tidak sempat menontonnya di bioskop,” lanjutnya.

Sial. Tetangga!? Apa ada kebetulan yang lebih menyebalkan daripada ini?“Kenapa kau bertanya?” tanya Yo Won.Aku menyeringai sambil membuka pintu. “Oh, tidak apa-apa. Aku hanya penasaran,”

jawabku. “Eh, sebenarnya aku bisa pulang sendiri,” mulai Yo Won. “Aku tidak mau merepotkanmu

—““Tidak merepotkan,” bantahku. “Aku akan mengantarmu pulang,” kataku tegas. Harus.

Aku harus tahu alamat Yo Won. Hah… sial. Pantas saja si wajah datar itu sering pulang bersama Yo Won. Mereka tetangga! Cih…

***

68

Scene 26

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Yoo Shin : Uhm Tae WongChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeCheon Myeong : Park Ye Jin Moon No : Jung Ho BinAlcheon : Lee Seung Hyo

- Lee Yo Won - 26 Desember 2010 -

Kupandangi tanganku dengan serius. Aku memegang tangan Nam Gil. Hah… sebenarnya awalnya tidak sengaja. Saat melihatnya sedih seperti tadi… tiba-tiba ada desakan dalam diriku untuk menyentuhnya. Astaga, mengingatnya saja sudah membuat jantungku berdebar-debar lagi.

Saat pertama kali menyentuh tangannya… rasanya seperti tersengat listrik. Aku terkejut dan ingin segera menarik tanganku kembali, tapi ekspresi wajahnya menahanku… dia terlihat rapuh dan kesepian. Seolah butuh untuk disentuh. Aku jadi tidak tega untuk melepas genggaman tanganku. Apalagi setelah dia menceritakan masa kecilnya. Aku semakin bersimpati padanya. Kim Nam Gil yang selama ini terlihat kuat, pemberani, dan acuh tak acuh, ternyata juga rapuh dan kesepian.

Hah… apakah tidak ada ayah yang baik di dunia ini? Kasihan sekali Nam Gil. Paling tidak selama ini aku tinggal bersama orang-orang yang menyayangiku—walaupun mereka tidak punya hubungan darah denganku—sedangkan Nam Gil, walaupun tinggal bersama keluarganya, tapi paman, bibi, dan sepupu-sepupunya—kak Jung Hyun dan Do Bin—kurasa bukanlah pribadi hangat seperti yang dibutuhkan seorang anak kecil.

Aku menatap layar TV, tapi tidak mengerti dan juga tidak perduli dengan jalan cerita film yang sedang diputar itu. Pikiranku terus saja melayang kembali pada saat-saat bersama Nam Gil tadi. Pergi bersama Nam Gil ternyata menyenangkan. Walaupun tidak semulus yang direncanakan—dengan adanya perkelahian dengan geng SMU Haegu—tapi tetap sangat membantuku menyingkirkan sedikit rasa sedih setelah bertemu Ayah. Ini kedua kalinya dia menghiburku. Aku sangat berterima kasih untuk hal itu.

“Kenapa tersenyum?” tanya kak Tae Wong, mengagetkanku. “Kau suka adegan pembantaian? Sejak tadi kau bertingkah aneh,” komentarnya.

Benar. Di layar TV sedang menampilkan adegan pembantaian oleh si tokoh pemeran utama pria yang kalau tidak salah ingat… ingin membalas dendam pada sekelompok orang yang telah membunuh keluarganya? Rasanya begitu cerita yang kudengar dari teman-teman yang sudah menontonnya. Jelas saja kak Tae Wong heran melihatku malah tersenyum melihat adegan kekerasan seperti itu.

“Kuambilkan minum dulu,” katanya sambil beranjak pergi.Setelah diantar pulang oleh Nam Gil, aku langsung pergi ke rumah kak Tae Wong untuk

meminjam DVD-nya, tapi ternyata dia juga belum menonton film itu dan mengusulkan agar kami nonton bersama saja di rumahnya. Aku menelepon kak Ye Jin dan mengajaknya nonton bersama, tapi ternyata kakak sedang pergi dengan beberapa teman sekelas, jadilah aku dan kak Tae Wong nonton berdua saja di rumahnya.

Setelah ini aku harus menanyakan beberapa hal pada Bibi Young Hee. Benarkah Ayah pernah mengirimi almarhum Ibu surat? Pernahkan ada orang tak dikenal—yang merupakan suruhan Ayah—datang untuk menjemputku tapi kemudian diusir oleh Paman dan Bibi? Aku

69

tidak menyalahkan mereka bila semua itu benar. Aku tidak marah hanya karena mereka tidak menceritakan hal itu padaku. Aku memahami mereka melakukannya untuk melindungiku dan karena menjalankan wasiat Ibu yang meminta mereka merawatku hingga dewasa. Tapi aku butuh untuk tahu yang sebenarnya. Apakah Ayah bicara jujur, atau berbohong demi menutupi kesalahannya?

“Ini,” kata kak Tae Wong sambil tersenyum dan menyodorkan segelas air. “Terima kasih,” sahutku, kemudian menyambut gelas yang disodorkannya padaku. ketika

itu jari kami sempat bersentuhan dan sebuah kilasan kejadian langsung menyerbuku. Aku melihat seorang pria berpakaian prajurit kuno berwarna biru sedang tersenyum padaku. Pria itu bagai jelmaan kak Tae Wong dalam sosok yang jauh lebih dewasa. Senyum hangatnya membuatku merasa tenang dan senang.

Saat akhirnya kembali sadar, aku melihat kak Tae Wong masih berdiri menjulang di hadapanku dengan sorot mata menerawang. Ada apa dengannya?

“Kak Tae Wong? Kau tidak apa-apa?” tanyaku. tidak mungkin dia juga mengalami apa yang baru saja kualami, kan?

Kak Tae Wong duduk di sebelahku sambil tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu tadi,” katanya.

Melihat senyum kak Tae Wong yang begitu mirip dengan senyum pria dalam kilasan pengelihatanku tadi, entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar-debar. Astaga, ada apa denganku sebenarnya? Saat menyentuh Nam Gil tadi jantungku berdebar-debar, kenapa sekarang melihat senyum kak Tae Wong juga membuatku bereaksi seperti ini? Aku tidak mungkin suka pada kak Tae Wong, kan? Dia memang cukup menarik, tapi selama ini aku hanya menganggapnya teman biasa, kan? Iya, kan?

“Yo Won?” tegur kak Tae Wong. “kenapa menatapku seperti itu?”“Eh? Tidak. Tidak apa-apa. Sudahlah, kita menonton lagi saja,” kataku, sengaja

mengalihkan pembicaraan.

- 3 Januari 2011 -

“Maaf, aku tidak bisa,” tolakku. “Hari ini aku sibuk,” alasanku.“Apakah kau benar-benar tidak bisa makan malam di rumah denganku?” tanya Ayah

dengan nada kecewa.“Ya. Aku tidak bisa. maaf,” ulangku. “Ah, pelajaran sudah hampir dimulai. Kita lanjutkan

lagi nanti,” kataku, kemudian memutus sambungan telepon. Hah…Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee sudah mengiyakan perkataan Ayah padaku waktu

itu, mengenai surat yang dikirimnya dan orang suruhannya untuk menjemputku. Ya, Ayah ternyata tidak bohong tentang hal itu, tapi… aku belum yakin sepenuhnya bahwa Ayah tidak berselingkuh dengan bibi Hyun Jung. aku tidak begitu pasti… kejadiannya sudah lama sekali. yang kuingat hanyalah melihat bibir Ayah menempel di bibir Bibi Hyun Jung. Lagi pula, Ibu tidak mungkin berkeras tak mau kembali pada Ayah tanpa alasan yang jelas, kan? Pasti keputusan Ibu memiliki dasar yang kuat, kan? Atau… mungkinkah benar kata Ayah mengenai kekeras kepalaan Ibu? Astaga, siapa yang harus kupercaya sekarang?

“Apa kau tidak kasihan padanya?” tanya kak Ye Jin, yang dimaksudnya adalah Ayahku.Aku duduk di kursiku sambil melengos. “Bukan begitu,” bantahku. “tapi… entahlah.”“Hai,” sapa Nam Gil sambil mendekati mejaku. “Ini sapu tanganmu,” katanya sambil

menyodorkan sapu tanganku. “Oh ya, selamat tahun baru.”Melihatnya membuatku langsung teringat pada genggaman tangan kami waktu itu, dan

otomatis jantungku langsung berdebar-debar lagi. Astaga. Menggelikan sekali reaksiku. “Hai,” balasku setenang mungkin. “Terima kasih. Selamat tahun baru juga,” kataku.

70

“Semua duduk!” perintah Bu Gu Kyong Won, guru sejarah kami.Dengan menggerutu kesal, Nam Gil beranjak pergi dan kembali ke mejanya. Bu Gu pun

langsung memulai pelajarannya. Kali ini yang dibahas olehnya adalah mengenai kerajaan Shilla di bawah kepemimpinan Ratu Seondeok.

“Putri Deokman menjadi Raja wanita pertama di Korea, yang kemudian bergelar Ratu Seondeok—“ aku hanya mendengar penjelasan awal Bu Gu karena kemudian aku sibuk memperhatikan keanehan yang terjadi pada Nam Gil—lagi pula sebelumnya aku juga sudah sering mendengar tentang sejarah ini. Pemuda itu benar-benar menarik perhatian karena tiba-tiba tubuhnya sekaku patung, dengan mata melebar terkejut tapi menerawang, dan mulutnya yang membuka dan menutup seperti sedang menggumamkan sesuatu. Ada apa dengannya?

“Ratu Seondeok wafat tiga hari setelah berhasil memberantas pemberontakan yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Bi Dam—“

Bi Dam… aku jelas sudah pernah mendengar namanya dan kisah pengkhianatannya sebelumnya, tapi entah kenapa kali ini mendengar namanya disebutkan tiba-tiba saja jantungku terasa seolah diremas kuat hingga terasa sakit. Lalu kilasan itu muncul… pria yang mirip dengan Nam Gil itu lagi. Dalam pakaian prajurit hitamnya. Dia berdiri tak jauh dariku, dan tanpa kusadari mulutku sudah membuka dan mengeluarkan suara menyebut; “Bi Dam.” Begitu mendengar suaraku, pria itu segera berpaling padaku dan dengan wajah cerah bersemangat, dia menghampiriku.

“Yo Won? Yo Won?” bisik kak Ye Jin terus menerus sambil mengguncang lenganku.Pria itu menghilang, dan semua kembali terlihat normal. Apa maksudnya itu? apakah pria

yang mirip dengan Nam Gil itu bernama Bi Dam? “Kau kenapa?” tanya kak Ye Jin. “Hentikan melamun bila tidak ingin mendapat terguran

dari Bu Gu juga,” bisiknya.“Juga?” tanyaku heran. Tapi sebelum kak Ye Jin menjelaskan, aku sudah dapat

menebaknya. Nam Gil. Aku menoleh ke arah pemuda itu dan melihatnya sedang menggaruk kepala sambil mendengarkan omelan Bu Gu.

Bagaimana bisa Nam Gil sangat mirip dengan pria berpakaian prajurit hitam itu? siapa pria itu? Bi Dam?

Hari ini telah dibuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua OSIS menggantikan kak Tae Wong. Seharusnya penyeleksian ini di lakukan berbulan-bulan lalu, tapi karena adanya festival musim dingin dan banyak kegiatan lain, maka pendaftaran ini pun diundur.

“Padahal kak Tae Wong sudah melakukan tugasnya sebagai ketua OSIS dengan sangat baik,” komentar kak Ye Jin saat melihat tulisan di papan pengumuman.

“Yah, tapi dia sudah hampir lulus, karena itu dia tidak bisa lagi memikul segala tanggung jawab sebagai ketua OSIS,” kataku.

“Kurasa tak akan ada yang bisa memimpin sebaik dia,” kata kak Ye Jin.“Mungkin,” sahutku acuh tak acuh. “Aku penasaran ingin tahu siapa saja yang

mencalonkan diri,” lanjutku.“Aku,” kata Nam Gil, tiba-tiba muncul di tengah-tengah antara aku dan kak Ye Jin.“Kau?” seruku dan kak Ye Jin bersamaan.Nam Gil tersenyum lebar dan memamerkan deretan gigi putih sempurnanya. “Ya. Aku.”Aku dan kak Ye Jin berpandangan, lalu, “Yang benar saja,” gumam kami kompak.“Kau meragukan kemampuanku?” tanya Nam Gil tersinggung.“Bukan begitu,” bantahku. “Tapi… dengan reputasimu… apa kau yakin akan ada yang

memilihmu?”

71

Nam Gil tampak merenungkan perkataanku, dan kemudian menyeringai. “Justru dengan reputasiku, siapa yang berani tidak memilihku?”

Aku mengerutkan kening. “Jangan bertingkah yang aneh-aneh,” kataku memperingatkan. “kalau kau serius ingin menjadi ketua OSIS menggantikan kak Tae Wong, cobalah perbaiki citra dirimu di mata murid-murid lain, dan hilangkan segala ide gila untuk memaksa mereka memilihmu. Hasilnya tidak akan bagus,” saranku.

Nam Gil cemberut saat mendengarku bisa menebak pikirannya, tapi hanya sebentar, lalu dia kembali menyeringai. “Tenang saja. aku punya caraku sendiri,” katanya sambil melenggang pergi dengan bersiul-siul riang.

“Entah kenapa aku seperti mendapat firasat buruk,” gumam kak Ye Jin.Semoga saja anak itu tidak melakukan hal-hal bodoh hanya demi mendapatkan posisi

sebagai ketua OSIS.

Guru Jung mengumumkan bahwa dia akan memilih dua orang murid pria dan dua orang murid wanita terbaik untuk diikutkan dalam pertandingan taekwondo tingkat SMU yang di selenggarakan oleh sebuah perusahaan makanan beberapa bulan yang akan datang.

Hari ini guru jung melakukan seleksi, dan semua terlihat begitu antusias melakukan yang terbaik. Bahkan aku pun bersemangat, walaupun masih terbilang baru mempelajari taekwondo dan kemungkinan terpilih oleh guru hanya sekitar 20% - 30% saja, tapi aku tetap bersemangat. Begitu juga kak Tae Wong, kak Seung Hyo, dan Nam Gil. Terutama Nam Gil. Dia seperti robot yang mendapat baterai baru. Sangat bersemangat, lincah, gesit dan kuat. Aku tersenyum geli setiap kali dia berhasil merubuhkan lawan, karena setelahnya dia selalu tersenyum lebar padaku, seperti menyombongkan keberhasilannya. Dia benar-benar seperti anak kecil bila sedang bertingkah begini.

Yah, sebenarnya aku sudah bisa menebak satu diantara dua murid pria yang akan dipilih oleh guru Jung pastilah Nam Gil, yang merupakan murid favoritnya, dan Nam Gil sendiri pasti tahu itu, tapi entah kenapa dia begitu bersemangat menunjukkan semua kemampuannya hari ini. Bahkan kulihat guru Jung pun beberapa kali mengerutkan kening saat melihat keseriusan Nam Gil, walaupun juga diiringi dengan senyum puas di bibirnya.

Tibalah saatnya Nam Gil dan kak Tae Wong berhadapan. Awalnya biasa saja, tapi kemudian keduanya menjadi aneh. tepat setelah kak Tae Wong berhasil menjatuhkan Nam Gil, keduanya terdiam mematung. Ada apa dengan mereka?

“Kim Nam Gil. Uhm Tae Wong,” panggil guru Jung. “Apa yang kalian lakukan? Kenapa diam saja?” tegurnya.

Rupanya teguran itu berhasil menyadarkan mereka. Nam Gil segera melompat berdiri dan balik menyerang kak Tae Wong. Mereka bertanding serius walaupun ini bukan pertandingan yang sebenarnya. Pada akhirnya, setelah bertarung sengit cukup lama, kak Tae Wong berhasil menang. Kurasa Nam Gil bisa saja memenangkannya, tapi sepertinya sehabis mematung tadi konsentrasinya terganggu.

Sekarang giliran murid-murid perempuan untuk dites kemampuannya, tetapi aku tidak tertarik melihat kedua seniorku yang sedang bertanding memperlihatkan kehebatan mereka, karena aku lebih penasaran dengan keadaan Nam Gil. Kak Tae Wong sepertinya langsung bisa mengendalikan diri setelah sempat mematung tadi, tapi tidak begitu dengan Nam Gil. Sekarang dia sedang duduk di sudut ruangan sambil melamun. Apa yang sedang dipikirkannya?

Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya. “Kau kenapa?” tanyaku. “Kenapa tadi tiba-tiba kau melamun?”

Nam Gil mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk, dan menatapku. “kau hanya menatapnya,” gumamnya tak jelas.

72

“Ha? Apa maksudmu?”Nam Gil seperti baru tersadar. Dia langsung menyeringai jail dan berkata, ”Tidak, aku

hanya asal bicara. Entahlah, belakangan ini sepertinya aku jadi gila.”Yah, satu lagi kesamaan kami, belakangan ini aku juga merasa gila. Sebenarnya aku

masih penasaran dengan kata-katanya barusan, tapi Nam Gil kembali diam untuk merenung, membuatku tak enak untuk mendesaknya. Selama beberapa saat kami berdua hanya duduk diam di pojok ruangan itu dan merenung.

“Lee Yo Won!” panggil guru Jung tiba-tiba.“Ah, ini giliranku,” kataku sambil berdiri.Nam Gil menengadahkan kepalanya untuk menatapku. “Semoga berhasil,” katanya.Aku tersenyum. “Terima kasih,” sahutku, kemudian berlari kecil mendatangi guru Jung

dan gadis yang menjadi lawanku. Masalah Ayah, Nam Gil, dan kegilaanku harus disingkirkan dulu. Sekarang aku harus berkonsentrasi menghadapi lawanku.

***

Scene 27

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung King Jin Pyeong : Lee Min KiYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinAlcheon : Lee Seung Hyo Moon No : Jung Ho BinJook Bang : Lee Moon Shik Go Do : Ryu DamSan Tak : (tetap nama di QSD) Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 3 Januari 2011 - Sial sekali Bu Gu Kyong Won masuk di saat aku baru mau memulai mengobrol dengan Yo Won. Hah…

“Putri Deokman menjadi Raja wanita pertama di Korea, yang kemudian bergelar Ratu Seondeok—“ Bu Gu memulai ceritanya, tapi aku tak lagi dapat berkonsentrasi mendengarkannya.

Deokman… sebuah kilasan kejadian menyerbuku. Di hadapanku ada seorang wanita berpakaian tradisional Korea mewah dengan mahkota emas. Wanita yang mirip dengan Yo Won itu lagi.

“Pernah suatu ketika, segala sesuatunya sangat mudah. Tapi lalu mereka mengetahui bahwa aku adalah seorang putri. Mereka mencoba membunuhku. Orang lain yang mencoba melindungiku, mati di depan mataku. Dan sisanya, berlutut padaku dan mengatakan aku harus melakukan segala sesuatu yang terbaik,” wanita itu berkata padaku. “Lalu suatu hari, kau datang. Seperti tidak terjadi apapun, kau bicara padaku dengan nada biasa. Aku mengatakan padamu untuk tetap seperti itu. Kau memperlakukanku seperti aku yang dulu. Paling tidak denganmu, aku bisa merasakan kehidupanku yang dulu. Bahkan ketika aku sudah masuk ke istana, kau membawakan aku bunga, dan dengan pandangan mata cemas kau menggenggam tanganku dan menyentuhku. Jikapun kau punya alasan lain, aku tidak peduli. Ketika aku melihatmu, aku merasa menjadi diriku yang dulu. Aku sangat menyukainya,” lanjutnya.

Melihat kesedihan yang membayang di wajahnya membuatku ikut merasa sakit. Tidak seharusnya dia merasakan kesedihan seperti ini. Kemudian, tanpa kusadari mulutku sudah

73

membuka, lalu mengeluarkan suara dan bertanya, “Lalu kenapa? Kenapa kau berubah?” Aku sendiri sejujurnya tidak mengerti kenapa mengeluarkan pertanyaan sejanggal itu.

“Karena aku tidak lagi memiliki nama. Putri mahkota, Putri. Bahkan bandit di pasar pun punya nama. Tapi seorang raja, tidak memiliki nama. Aku hanyalah, ‘Yang Mulia’. Sekarang tidak ada lagi yang memanggil namaku.”

Dia mengatakannya dengan penuh keyakinan. Terlihat dan terkesan begitu sepi dan sedih. Hatiku terenyuh mendengar keinginan yang tak tersampaikan olehnya. Bahwa ia ingin menjadi seperti dirinya yang dulu. Bukan seorang yang dihormati tapi merasa sendiri dan sepi.

“Aku. aku akan memanggil namamu,” kataku tegas. Aku tidak tahu namanya, tapi aku akan menyebut namanya bila dia memberitahuku.

“Memanggil namaku adalah pengkhianatan. Bahkan jika kau memanggil namaku karena kau mencintaiku, dunia akan berkata itu pengkhianatan. Kenapa aku berubah? Karena pada saat kehilangan namaku, kau menjadi tidak lebih dari orang yang dapat menghancurkan aku. Aku sebagai penguasa harus selalu mengawasi dan mencurigaimu. Karena aku harus selalu mencurigaimu dan berpikir bahwa kau akan menjadi Mishil yang lain,” katanya dengan suara yang semakin sarat dengan kesedihan. “Tapi Bi Dam…” dia berhenti dan mulai menangis. “Apa kau menyadari betapa beratnya itu bagiku? Apa kau tahu bagaimana aku ingin mempercayaimu, bagaimana aku ingin bergantung padamu?”

Aku tersadar dalam kondisi mata basah seperti mau menangis atau justru habis menangis. “Nam Gil? Kau tidak apa-apa?” tanya San Tak.

Aku hanya diam dan tak dapat menjawab pertanyaan San Tak. Aku masih kalut dengan kilasan yang kulihat tadi. Kenapa wanita itu menyebut Mi Shil? Apakah ini Mi Shil yang sama dengan yang ada dalam sejarah? Sang penjaga stempel istana? Kenapa dihubung-hubungkan denganku? Dan… kenapa dia memanggilku Bi Dam? Nilai pelajaran sejarahku tidak pernah terlalu baik, tapi… seingatku, bukahkah dalam pelajaran sejarah disebutkan Bi Dam itu adalah putra penjaga stempel istana Mi Shil dengan Raja Jin Ji? Dia adalah mantan perdana menteri yang berkhianat pada Ratu Seondeok? Lalu kenapa?

“Ratu Seondeok wafat tiga hari setelah berhasil memberantas pemberontakan yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Bi Dam—“ saat mencoba kembali berkonsentrasi terhadap pelajaran dan mendengarkan penjelasan Bu Gu, kilasan lain kembali muncul.

Aku melihat wanita berpakaian tradisional korea berwajah mirip Yo Won itu lagi. Dari kedua bola mata indahnya yang bersinar redup oleh kesedihan, mentes air mata. Aku bergerak maju untuk mendekatinya, tapi pria berwajah mirip Tae Wong menghalangiku, kemudian menusukku dengan pedangnya.

Ditengah rasa sakit yang kurasakan, tanpa sadar aku membuka mulut dan mengeluarkan suara, menyebut, “Deokman… Deokman…”

“Kim Nam Gil!”Aku tersadar dan melihat Bu Gu berdiri di hadapanku dengan wajah kesal. “Apa yang kau

lamunkan hingga ternganga seperti itu?” tanyanya. “Apakah pelajaranku begitu membosankan?”

Apa yang bisa kukatakan? Sebelumnya aku sudah sering mendengar dan membaca kisah mengenai raja wanita pertama di korea itu, dan tak pernah aku mengalami kilasan kejadian aneh seperti barusan. Ada apa denganku? Kenapa sekarang mendengar kisah ini membuatku… tunggu dulu, dalam kilasan yang kulihat tadi aku memanggilnya… Deokman? Mengapa? Itukah namanya? Deokman… Putri Deokman!?

“Karena aku tidak lagi memiliki nama. Putri mahkota, Putri. Bahkan bandit di pasar pun punya nama. Tapi seorang raja, tidak memiliki nama. Aku hanyalah, ‘Yang Mulia’.” Aku mengingat-ingat perkataannya. Putri Mahkota. Raja. Deokman. Astaga… mungkinkah wanita itu Ratu Seondeok? Itukah sebabnya dia juga menyebut-nyebut nama penjaga stempel istana

74

Mi Shil dan mantan perdana mentri Bi Dam? Tapi kenapa dia muncul dalam kilasan-kilasan kejadian dan mimpiku selama ini? Kenapa wajahnya begitu mirip dengan Yo Won?

“Kim Nam Gil! Aku bertanya padamu!” Aku melirik Bu Gu yang masih berdiri menjulang di hadapanku dengan ekspresi kesal dan tak sabaran, lalu hanya bisa meringis dan menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Hah… sial.

“Belakangan ini kau aneh sekali,” kata San Tak sambil memilih makanan di kafetaria. “Kenapa kau jadi sering melamun? Apa yang kau lamunkan? Pasti hal-hal porno!”

Aku langsung memukul punggungnya dengan nampanku yang masih kosong. “Jangan samakan aku denganmu,” gerutuku.

San Tak merengut kesal sambil mengusap-usap punggungnya. “Aku juga tidak,” protesnya. “Oh ya, menurutmu aku pantas jadi ketua OSIS, tidak?” tanyanya, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

“Tentu saja tidak,” jawabku tegas. “Kenapa kau bertanya begitu? Apa Tae Wong sudah akan turun dari jabatannya?”

Walaupun kesal dengan jawabanku, San Tak tetap mengangguk. “Mulai hari ini siapa saja yang ingin mencalonkan diri sebagai ketua OSIS dipersilakan mendaftarkan diri ke ruang OSIS,” katanya.

“Untuk apa menginginkan posisi itu? memangnya hebat?” ejekku.San Tak mengerucutkan bibirnya. “Tentu saja hebat. Tidakkah kau perhatikan? Gadis-

gadis menyukai Uhm Tae Wong dan Lee Seung Hyo karena jabatan mereka sebagai ketua dan wakil ketua OSIS!” katanya berapi-api.

Aku mendengus. Yang benar saja. “Mereka digilai bukan karena jabatan, melainkan penampilan mereka yang cukup bagus,” kataku.

Saat itu tak terpikir olehku bahwa pada akhirnya aku justru akan mencalonkan diri menjadi pengganti Tae Wong. Semua karena Yo Won. melihat gadis itu dan Park Ye Jin membahas tentang posisi ketua OSIS dan kekaguman mereka pada hasil kerja Tae Wong, membuatku betekad untuk memperlihatkan padanya bahwa aku juga mampu menjadi ketua OSIS sebaik Tae Wong. Salah, menjadi ketua OSIS yang lebih baik dari Tae Wong.

“Kau serius?” tanya San Tak dan Yeom Jong bersamaan. Kami berkumpul di kelasku setelah makan siang, dan aku memberitahu mereka mengenai niatku. “Tapi saat di kafetaria tadi kau tidak terlihat tertarik dengan jabatan itu?” tanya San Tak penasaran.

“Sekarang aku tertarik,” jawabku acuh tak acuh. “Tapi benar kata Yo Won, dengan reputasiku, aku sangat meragukan ada yang mau memillihku.”

Yeom Jong tertawa. “Kau memusingkan hal sepele seperti itu? apa gunanya memiliki kami sebagai teman-temanmu bila tidak dapat membantu?” katanya.

Sejujurnya mereka lebih sering menyulitkan dibanding berguna. “Aku akan mengikuti saran Yo Won,” gumamku, tak mengacuhkan Yeom Jong dan San Tak yang mulai berdiskusi. “Aku akan mencoba merubah citra diriku yang terlihat buruk selama ini. Akan kucoba menjadi murid teladan.”

Seketika Yeom Jong dan San Tak terdiam. “Kau tidak serius, kan?” tanya keduanya kompak. “Untuk apa merepotkan diri seperti itu?” lanjut Yeom Jong tak mengerti.

“Aku mau mencobanya,” jawabku sambil berjalan pergi meninggalkan mereka. Bahkan aku akan mencoba lebih dari itu. aku ingat Yo Won pernah berkata dia tidak menyukai sikapku yang sering kali menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Akan ku tunjukkan padanya bahwa aku bisa bersikap beradab. Aku bisa menahan diri. Akan kubuktikan itu

75

Sial. Aku kehilangan keseimbangan, dan berhasil dibuat jatuh oleh Tae Wong. Padahal aku ingin Yo Won melihatku mengalahkan sang ketua OSIS yang dianggapnya hebat ini, tapi belum apa-apa aku sudah kehilangan keseimbangan.

Seketika sebuah kilasan melintas di kepalaku. Aku melihat pria yang mirip Tae Wong dalam versi lebih dewasa itu lagi. Aku kembali berhadapan dengannya. Kali ini di sebuah arena dengan banyak penonton. Pria yang mirip Tae Wong itu terlihat sangat pucat dan berantakan. Sepertinya dia terluka parah, tapi tetap berusaha bertarung sebaik mungkin denganku.

Tanpa sengaja mataku terarah pada wanita yang duduk di salah satu kursi penonton. Wanita itu lagi! Wanita yang mirip dengan Yo Won. Sang Ratu!? Sorot matanya sama khawatir dan sedih seperti yang beberapa kali pernah kulihat. Tapi kali ini sorot itu tidak tertuju padaku. Dia menatap pria yang mirip Tae Wong itu. hanya menatapnya, tanpa memperdulikan yang lainnya. Tanpa melihatku.

“Kim Nam Gil. Uhm Tae Wong,” panggil guru Jung. “Apa yang kalian lakukan? Kenapa diam saja?” tegurnya.

Aku tersadar dan buru-buru bangkit untuk kembali melawan Tae Wong. Aku berusaha serius bertanding, tetapi pikiranku terus teralih pada ingatan sorot mata wanita itu yang hanya tertuju untuk si pria yang mirip Tae Wong. Sorot cemas, sedih, dan cinta. Untuk pria itu. Hatiku terasa sakit. Entah kenapa aku merasa terganggu. Mungkin karena wanita dan pria dalam kilasan pengelihatanku itu begitu serupa dengan Yo Won dan Tae Wong.

Tae Wong berhasil mengalahkanku. Sial. Dengan geram aku berjalan ke sudut ruangan dan duduk menyendiri di sana. Dan kilasan tadi kembali menghantuiku.

“Kau kenapa?” tanya Yo Won, yang tiba-tiba datang menghampiriku. “Kenapa tadi tiba-tiba kau melamun?”

Setengah sadar aku menengadahkan kepala untuk menatapnya. “kau hanya menatapnya,” gumamku.

“Ha? Apa maksudmu?” tanya Yo Won bingung, dan membuatku tersadar.Aku sendiri bingung. Kenapa aku berkata begitu? Aku sengaja menyeringai jail. ”Tidak,

aku hanya asal bicara. Entahlah, belakangan ini sepertinya aku jadi gila,” kataku.Yo Won duduk di sebelahku, tapi kami tak saling bicara. Aku sibuk dengan pikiranku,

sedangkan Yo Won… entah apa yang dipikirkannya. Sampai akhirnya dia pergi karena dipanggil Guru Jung untuk dites, aku mengamatinya sambil terus memikirkan kesamaan Yo Won dengan wanita dalam kilasan yang kulihat. Deokman. Putri Deokman. Ratu Seondeok.

sumber (dialog ratu deokman & Bi Dam) : www.imperor-angel.blogspot.com

- Lee Yo Won - 17 Januari 2011 -

“Tidakkah menurutmu dia terlihat aneh belakangan ini?” komentar Ryu Dam.“Bukan aneh,” sahut Moon Shik sok tahu. “Dia begini karena menginginkan posisi ketua

OSIS. Masa begitu saja perlu kujelaskan?”“Oh… ya, kau benar juga,” kata Ryu Dam setuju.“Tentu saja aku benar,” kata Moon Shik sombong.Aku memperhatikan Nam Gil yang sekarang berpenampilan rapi sedang mengobrol sopan

dengan seorang guru. Benar kata Ryu Dam. Nam Gil jadi aneh belakangan ini. Dia seperti bukan dirinya sendiri. Nam Gil yang biasanya tampil berantakan sekarang berpakaian rapi. Nam Gil yang kasar sekarang menjadi lebih sopan pada orang-orang di sekelilingnya. Nam Gil yang sering tidak memperhatikan pelajaran, sekarang terlihat serius berkonsentrasi

76

mendengarkan penjelasan guru. Singkatnya, dalam waktu kurang lebih dua minggu ini Nam Gil berubah. Bukannya aku tidak suka dengan perubahannya—lagipula kejailan dan senyum lucunya yang kusuka itu tidak berubah sedikitpun—tapi aku hanya merasa aneh dengan perubahan tiba-tibanya ini. Walaupun beberapa minggu ini kami sudah menjadi lebih akrab lagi, tapi perubahannya belakangan ini tetap membingungkanku.

Karena hari ini kak Ye Jin tidak ada jadwal di klubnya, maka dia pulang lebih dulu dariku yang harus berlatih taekwondo. Pada pukul lima, saat bersiap untuk pulang, Nam Gil menghampiriku dan kami mengobrol mengenai persiapan pertandingannya beberapa bulan lagi. Aku memang tidak terpilih, seperti dugaanku sebelumnya, tapi aku ikut bersemangat untuk pertandingan Nam Gil nanti, karena dari kelompok murid pria, Nam Gil dan kak Tae Wong lah yang dipilih oleh guru Jung.

“Kau kelihatan berbeda belakangan ini,” kataku beberapa saat kemudian.Nam Gil tersenyum lebar. “Kau suka?” tanyanya bersemangat.Aku mengerutkan kening heran. “Yah, aku senang melihat sikapmu berubah lebih baik,”

akuku. “Sudah dua minggu ini aku tidak mendengarmu berkelahi dengan siapapun. Dan itu sangat ajaib,” godaku.

Seringai Nam Gil semakin lebar. “Aku menuruti perkataanmu. Aku mencoba menahan diri. Walaupun kuakui rasanya sulit sekali, apalagi bila kau dikelilingi orang-orang yang mengesalkan,” katanya.

“Maksudmu, saranku agar kau merubah citra dirimu untuk terpilih sebagai ketua OSIS itu?” tanyaku sambil berjalan keluar dari ruang latihan bersamanya.

Nam Gil memonyongkan bibir dan memasang ekspresi seolah sedang berpikir keras. “Yah… karena itu juga,” akunya. “Tapi sebenarnya lebih dari itu. Aku berubah karenamu.”

Seketika aku menghentikan langkahku. “Apa maksudmu?”Nam Gil ikut menghentikan langkahnya dan setengah memutar tubuhnya menghadapku.

Sekarang wajahnya terlihat serius. “Ya, aku sengaja berubah demi dirimu,” katanya. “Hari itu kau berkata tidak suka dengan caraku yang selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan, maka aku berusaha mengubah diri menjadi lebih baik dan terutama menahan emosiku yang sering kali meluap-luap. Aku berusaha menjadi orang yang lebih baik. Perubahanku bukan hanya untukku sendiri, tapi untukmu,” lanjutnya.

Kurasakan jantungku berdetak seratus kali lebih cepat dari biasanya. Selama beberapa saat aku hanya berdiri mematung sambil menatap Nam Gil yang juga berdiri diam tiga langkah di hadapanku. Dia bilang dia melakukan ini karena aku. Demi diriku. Dia berubah dan mencoba menahan diri untukku. Aku benar-benar tersentuh… terharu… apapun itu sebutannya untuk perasaanku sekarang ini.

“Yo Won,” sapa kak Tae Wong menghampiriku. “Aku dan Seung Hyo ada urusan, jadi hari ini aku tidak dapat pulang bersamamu,” katanya.

“Oh… ah, tidak, tidak apa-apa,” sahutku sedikit tergagap. “Aku bisa pulang sendiri. Baiklah, kalau begitu aku pulang sekarang,” kataku, kemudian berjalan melewatinya.

“Memangnya setiap hari kalian harus selalu pulang bersama?” tanya Nam Gil sambil mengikutiku hingga ke gerbang depan.

Aku menengok ke arahnya dengan kening berkerut heran. Kenapa nada suaranya ketus begitu? “Tidak,” jawabku. ‘Tapi… yah, bisa dibilang seperti kebiasaan. Jadwal klub kak Ye Jin dan klub taekwondo berbeda, jadi seringnya aku pulang dengan kak Tae Wong. Dia baik sekali. rasanya seperti memiliki kakak laki-laki yang sangat melindungi,” lanjutku.

“Kakak laki-laki? Benarkah? Kau tidak tertarik padanya?” tanya Nam Gil bersemangat.Kuakui beberapa kali aku sempat bereaksi aneh saat berdekatan dengannya, tapi…

sekarang tidak pernah lagi. “Kuakui dia menarik,” kataku. “Dan mungkin aku sempat tertarik padanya juga, tapi… tidak, aku tidak memiliki perasaan romantis padanya.”

Nam Gil menyeringai. “Bagus. Bagus sekali,” gumamnya.

77

“Apanya yang bagus?” tanyaku. tapi sebelum Nam Gil sempat menjawab, aku tiba-tiba teringat. “Ah, kenapa kau mengikutiku kemari? Kau tidak mengambil motormu?”

Nam Gil menggeleng. “Tadi pagi hujan lebat dan aku malas mengendarai motor, jadi aku pergi ke sekolah menggunakan bus.”

Aku baru akan menanggapi perkataannya, ketika sebuah mobil mercedes hitam berhenti di hadapan kami. Pintu penumpang belakang terbuka dan seorang pria setengah baya keluar dari sana…

“Ayah!?” seruku terkejut.

“Biar supir yang mengantar kalian pulang,” tawar Ayah.“Tidak usah,” tolakku. “Terima kasih, tapi kami pulang sendiri saja,” kataku.“Tapi—““Selamat malam, Ayah,” kataku. “Ayo,” ajakku pada Nam Gil.“Selamat malam, Tuan Lee. Permisi,” pamit Nam Gil sopan sambil membungkukkan

badan.“Ah, ya,” sahut Ayah. “Selamat malam. hati-hati di jalan. Sering-seringlah kalian

berkunjung kemari,” pesannya.“Baik,” sahut Nam Gil mewakiliku.Selama dalam perjalanan menuju halte bus, tak ada satupun dari kami yang bersuara. Aku

menghargai sikap Nam Gil yang membiarkanku tenang.Karena terus kutolak, Ayah nekat menjemputku ke sekolah untuk mengajakku makan

malam bersama di rumahnya. Sebenarnya tadi aku ingin menolaknya lagi, tapi aku merasa tidak enak hati menolaknya di depan banyak orang. Untung saja Nam Gil bersedia kuajak menemaniku walaupun aku memutuskannya secara sepihak tanpa bertanya dia setuju atau tidak. Aku memerlukan kehadiran Nam Gil karena aku tidak ingin hanya berduaan dengan Ayah. aku tidak mau mendengar Ayah mencoba membahas tentang perselingkuhannya lagi.

Halte itu kosong, dan hanya ada kami berdua. “Kau menunggu bus juga?” tanyaku setelah hening selama beberapa saat. seingatku rumah Bibi Hyun Jung tak terlalu jauh dari sini.

“Tidak. Aku menunggu busmu,” katanya.“Ini sudah malam, mungkin orang rumahmu mencarimu sejak tadi,” kataku. “Tidak apa-

apa, aku bisa menunggu sendiri. Sebentar lagi juga busnya datang.”Nam Gil bersedekap sambil melirik kesal padaku. “Kau pikir aku akan membiarkanmu

sendirian di pinggir jalan malam-malam begini?” tanyanya. “Aku akan menunggu hingga kau aman dalam bus,” lanjutnya tegas.

Hatiku terasa hangat dengan keperduliannya padaku. “Terima kasih,” kataku. “Karena mau menemaniku menunggu bus, dan karena bersedia menjadi penengah antara aku dan Ayahku. Aku bahkan tidak bertanya lebih dulu padamu tadi, apakah kau bersedia atau tidak.”

Nam Gil tersenyum. “Tidak perlu bertanya. Aku justru senang kau mengajakku,” katanya.“Apa pendapatmu mengenai Ayahku?” tanyaku setelah sekali lagi kami sempat terdiam.“Dia mencintaimu dan Ibumu,” jawab Nam Gil langsung.Aku menutup mata dan mengingat ketika di rumahnya tadi, sehabis keluar dari toilet,

diam-diam aku mengawasi Ayah yang memperlihatkan album foto kenangan keluarga kecil kami pada Nam Gil. Dari nada suara dan sorot matanya saat melihat dan menjelaskan sejarah foto-foto tersebut, aku merasakan cintanya. Sepertinya dia memang benar-benar menyayangi dan mencintaiku juga Ibu.

“Kau beruntung memiliki Ayah yang sangat menyayangimu seperti itu,” kata Nam Gil dengan sekilas rasa sedih terpancar dari suaranya. “Aku tidak pernah mendengar atau melihat rasa sayang sebesar dan setulus seperti yang dicurahkannya saat menceritakanmu dan ibumu.”

78

Benar. Mungkin sudah saatnya aku memaafkan Ayah. mungkin sudah saatnya aku mempercayai kata-kata Ayah. Mungkin ayah memang tidak pernah berselingkuh dengan Bibi Hyun Jung. mungkin Ayah memang menolak godaan wanita itu. mungkin selama ini hanya kesalah pahaman. Mungkin…

“Kau benar,” kataku sambil tersenyum. “Sekali lagi, terima kasih sudah menemaniku.”Nam Gil langsung tersenyum lebar. “Aku tidak keberatan sama sekali. kapan saja kau

membutuhkanku, aku akan ada untukmu.”Senyumanku semakin mengembang. Aku sangat menghargai janjinya. “Terima kasih,”

kataku lagi. Aku mengamati wajah Nam Gil lekat-lekat. Aku sangat suka melihatnya tersenyum. Dia punya senyum menawan yang dapat membuat orang ikut tersenyum. Berulang kali senyumnya berhasil membuat hatiku tenang. Tiba-tiba kurasakan sekali lagi jantungku berdebar cepat.

Saat memaksakan diri mengalihkan pandangan dari wajah dan senyum Nam Gil, aku melihat sebuah bus mendekat, walaupun masih cukup jauh. Ketika berdiri, sebuah ide melintas di kepalaku. “Nam gil, bisakah kau berdiri di bawah lampu jalan itu?” tanyaku. “Ayo cepat, busnya hampir sampai,” kataku.

Walaupun jelas heran dengan permintaanku, Nam Gil tetap menurut. “Untuk apa?’ tanyanya heran.

“Tersenyumlah,” pintaku. “Yang lebar,” tambahku sambil mengeluarkan ponselku.“Begini?” tanyanya.“Yang alami. Kalau seperti ini kau jadi terlihat seperti kucing melihat sarden,” omelku.

“Ya, bagus. Seperti itu,” kataku sambil mengambil beberapa foto dirinya lewat kamera ponselku. Bertepatan dengan itu, bus yang kutunggu mulai merapat ke halte. Tapi aku sudah puas karena berhasil mengambil beberapa fotonya saat tersenyum. Bila aku sedang kesal atau sedih dan dia sedang tidak ada, paling tidak aku bisa melihat foto wajahnya yang sedang tersenyum.

“Selamat malam. Sampai jumpa besok,” kataku. “Sekali lagi, terima kasih telah menemaniku.”

“Dan sekali lagi, kubilang itu bukan masalah,” sahutnya dengan senyum lebar.Aku membalas senyumnya, kemudian melangkahkan kaki memasuki bus. Tapi kemudian

aku berputar dan melongokan kepala untuk menatapnya lagi. “Ah, aku lupa mengatakan ini. Aku suka kau mencoba menahan emosimu. Tapi, selebihnya… tidak usah menjadi sosok yang bukan dirimu hanya untukku, bila itu tidak membuatmu nyaman,” kataku. “Lagi pula, aku suka kau apa adanya,” lanjutku terakhir kalinya, lalu masuk ke dalam bus.

***

Scene 28

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeBo Jong : Go Do Bin Im Jong : Kang Ji HooSan Tak : (tetap nama di QSD) Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

79

- Lee Yo Won - 19 Januari 2010 -

Inilah hari yang ditunggu-tunggu. Hari pemungutan suara untuk memilih ketua OSIS yang baru. Aku harap Nam Gil bisa memenangkannya, karena bila dia sampai mau repot-repot merubah diri seperti sekarang, berarti dia memang sangat menginginkan jabatan itu.

Semua anak berkumpul di aula untuk memilih satu dari ketiga calon ketua OSIS. Dua saingan Nam Gil cukup berat. Kang Ji Hoo dikenal sebagai murid teladan dan populer di kalangan gadis karena citra pemuda baik-baik dan manis andalannya. Dan saingan yang satu lagi, Reng Bit Na, adalah gadis terpintar di sekolah dan memiliki kepribadian yang sangat tegas. Bahkan murid-murid pria pun kabarnya takut membuatnya gusar.

Saat berada dalam antrian untuk memilih, kulihat Nam Gil sedang berdiri berjejer bersama dua saingannya yang lain dengan senyum lebar penuh antisipasi. Aku tersenyum saat melihat seragamnya tidak lagi sekaku beberapa hari sebelumnya, saat dia dengan serius mengira aku menyukai penampilan kelewat rapi seperti professor itu.

“Aku tidak bisa!” jerit pemuda di deretan terdepan. “Walaupun aku harus mati, aku tidak sudi memilih bocah brengsek itu!” katanya, menunjuk Nam Gil yang terperanjat.

Kak Tae Wong berdiri dari kursi panitianya, dan mencoba menenangkan pemuda itu. “Ada apa ini sebenarnya?” tanyanya. “Kalau kau tidak mau memilihnya, maka pilih yang lain saja.”

Pemuda itu menunjuk dan memelototi Nam Gil, juga beberapa pemuda lain yang tersebar di sudut-sudut aula seperti bodyguard. “Kim Nam Gil mengancam akan menghajar siapa saja yang tidak memilihnya,” adunya. “Lihat saja, semua anak buahnya sudah disiapkan di sekeliling aula untuk mengintimidasi kami!”

Seketika aula menjadi ribut dengan seruan murid-murid lain yang rupanya mendapat ancaman serupa. Mereka menjadi berani setelah pemuda tadi nekat melawan. Tapi ini tidak mungkin benar. Nam Gil tidak mungkin melakukan itu semua. Aku sudah melihat kerja kerasnya dua minggu ini. Bila dia memang benar memakai ancaman seperti ini, untuk apa dia repot-repot merubah diri?

“Itu tidak mungkin!” seruku membela Nam Gil. “Apakah kau berani bersumpah bahwa Kim Nam Gil mendatangimu dan mengancam akan menghajarmu bila kau tidak memilihnya!?” tuntutku sambil keluar dari barisan pemilih.

“Benar!” dukung San Tak, yang selama ini kutahu memang salah satu teman dekat Nam Gil. “Kau tidak boleh sembarangan menuduh seperti itu.”

Seketika aula menjadi sunyi senyap. Pemuda itu menatap ke arahku dan San Tak dengan pandangan kesal. “Tidak,” jawabnya. “Aku tidak bisa bersumpah begitu karena memang bukan Kim Nam Gil yang mendatangi serta mengancamku secara langsung, melainkan tangan kanannya, Yeom Jong, dan anak-anak buahnya.”

Aula kembali ribut dengan seruan setuju dari murid-murid lain. Dengan cemas aku melihat postur tubuh Nam Gil yang berubah sekaku patung. Kedua matanya menyipit tajam dan menusuk ke arah Yeom Jong—yang sedang berdiri di salah satu sudut aula—senior yang kutahu memang sering bersama Nam Gil. Tangan Nam Gil yang terkepal erat menunjukkan kemarahan yang amat sangat sedang melanda pemuda itu.

“Tapi tetap bukan Kim Nam Gil sendiri yang mengancam kalian,” lanjutku. “Bisa saja teman-teman Kim Nam Gil bertindak tanpa sepengetahuannya!”

“Benar!” timpal San Tak lagi. “Aku tahu sekali Kim Nam Gil tidak pernah mengeluarkan perintah seperti itu pada Yeom Jong. Itu inisiatif Yeom Jong sendiri!”

“Tapi untuk apa mereka melakukan itu tanpa perintah dari Kim Nam Gil!?” balas mereka. “apa untungnya mereka membantu Kim Nam Gil tanpa ada perintah darinya? Dan lagi, omonganmu tidak bisa dipercaya karena kau sendiri teman Kim Nam Gil!”

80

Dengan desakan hampir seluruh murid, yang hanya dibantah dengan pembelaan kecilku dan San Tak, maka dewan panitia terpaksa membuat keputusan untuk mendiskualifikasi Nam Gil dari pemilihan ini. Yeom Jong mencoba menjelaskan bahwa itu memang keputusannya sendiri untuk membantu Nam Gil, tapi kata-katanya tak dipercaya siapapun, dan keputusan untuk mendiskualifikasi Nam Gil tak dapat diganggu gugat.

Nam Gil berjalan keluar dari aula dengan sangat geram. Melalui isyarat kecil, dia menyuruh Yeom Jong mengikutinya. Karena khawatir, aku pun langsung mengikuti mereka. Apa yang akan Nam Gil lakukan pada Yeom Jong? apakah dia akan menghajarnya? Belum jauh berjalan, tiba-tiba Nam Gil berbalik dan menarik kerah baju seragam Yeom Jong. “Apa yang kau pikirkan, brengsek!?” desisnya penuh ancaman.

Yeom Jong terlihat gemetar ketakutan. “Ma… maaf, aku tidak tahu akan jadi seperti ini akhirnya—“

“Tentu saja kau tidak tahu!” bentak Nam Gil. “Karena kau tidak punya otak!” cacinya sambil mendorong tubuh Yeom Jong hingga membentur dinding.

“Aku hanya ingin membantu,” kata Yeom Jong membela diri. “Sepertinya kau sangat menginginkan jabatan itu, maka—“

“Tapi sudah kukatakan aku bisa melakukannya dengan caraku sendiri!” sergah Nam Gil emosi. “kau melakukan semua ini tanpa bertanya padaku lebih dulu!’

“Aku—“Nam Gil kembali menarik kerah baju Yeom Jong dengan penuh emosi, dan sudah

mengepalkan tangan untuk meninju, tetapi kemudian perlahan diurungkannya niatnya. “Kali ini kau kumaafkan karena aku tahu tujuanmu untuk membantuku,” desisnya. “Tapi, bila sekali lagi aku melihatmu ikut campur dalam urusanku tanpa kuminta, aku akan benar-benar menghabisimu. Ingat itu!” bentaknya sambil mendorong Yeom Jong hingga jatuh terduduk, kemudian dia pergi dengan langkah-langkah panjang.

Setelah Yeom Jong beranjak pergi dari tempat itu, aku segera keluar dari tempat persembunyianku dan meneruskan langkahku mengikuti Nam Gil. Sialnya dengan cepat pemuda itu sudah menghilang. Tapi sepertinya aku tahu di mana bisa menemukannya. Dan tepat seperti dugaanku, dia menyendiri di atap. Awalnya aku hanya memandanginya lewat kaca pintu atap itu, tapi kemudian kuputuskan untuk mendatanginya, walaupun aku bingung bagaimana harus menyapanya dalam kondisi seperti ini. Tiba-tiba aku teringat permen susu yang ada di saku rokku, maka langsung saja aku melempar permen itu ke arahnya, dan dengan sigap dia menangkapnya tanpa berbalik menatapku.

“Hebat. Bagaimana kau bisa melakukan itu?” pujiku.Nam Gil menoleh dengan senyum masam tersungging di bibirnya. “Hai,” sapanya.“Aku ikut menyesal atas apa yang terjadi,” kataku tulus. “Sepertinya kau sangat

menginginkan jabatan itu. tapi tidak menjadi ketua OSIS bukan akhir dunia, kan?” candaku.Nam Gil menghela napas lelah. “Sekarang aku tidak bisa membuktikan bahwa aku

memiliki kemampuan yang sama dengan Tae Wong dalam menjalankan tanggung jawab sebagai ketua OSIS,” gumamnya.

“Tapi untuk apa kau melakukan itu? tidak perlu menjadi ketua OSIS untuk menunjukan kau berguna,” kataku. “Ketua OSIS hanyalah sebuah jabatan. Kurasa tidak ada yang spesial.”

Nam Gil menatapku tajam. “Kau mengagumi Tae Wong karena dia bisa melakukan tugasnya sebagai ketua OSIS dengan baik, kan?”

Selama beberapa saat aku terdiam tanpa tahu harus berkata apa, lalu tertawa. “Jangan bilang kalau kau menginginkan jabatan itu karena aku lagi,” kataku geli.

Nam Gil terlihat salah tingkah. “Aku memang ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukan lebih baik dari apa yang sudah dilakukan Tae Wong selama ini,” katanya.

81

Aku meninju bahunya pelan. “Hei, bukankah sudah kubilang, jadilah dirimu sendiri. Jangan memaksakan diri menjadi sosok yang bukan dirimu hanya karena orang lain,” kataku. “Aku tersanjung kau melakukan ini karenaku… eh, tunggu, kau naksir aku, ya?” godaku.

Wajah Nam Gil langsung memerah karena malu. “Emm… kau teman yang baik, dan—“Aku terkikik geli melihatnya salah tingkah. “Sudahlah, aku hanya ingin menggodamu,”

kataku. “dan mengenai jabatan itu, aku memang kagum padanya karena kedewasaannya, tapi tidak ada hubungannya sama sekali dengan jabatannya. Lagi pula, aku juga kagum padamu, walaupun kau bukan ketua OSIS.”

“Kau mengejekku?” gerutunya.“Aku serius,” bantahku. “Pertama, dengan latar belakangmu yang seperti itu—maaf, bila

aku lancang sudah mengungkit-ungkitnya—tapi kau tumbuh menjadi anak yang kuat dan tegar. Kedua, kau sangat jago berkelahi—walaupun aku kurang suka bila kemampuanmu itu dipergunakan sembarangan. Ketiga, kau memiliki tekad kuat bila sudah menginginkan sesuatu seperti yang kau tunjukkan belakangan ini. Keempat, aku kagum kau berhasil mengendalikan emosimu—seperti yang barusan kau tunjukan dengan tidak meninju temanmu, walaupun aku tahu kau sangat ingin menghajarnya,”

“Benar, aku ingin sekali menghajarnya,” geramnya. “Tapi aku sadar dia melakukannya karena berpikir itu akan baik untukku, jadi… yah, kali ini dia kumaafkan.”

“Kelima, emm…” lanjutku, tapi kemudian sengaja berhenti sebentar untuk berpura-pura memikirkannya. “Ah, kau punya senyum yang hebat. Aku suka senyummu.”

Nam Gil langsung tersenyum. “Kenapa? aku tampan, ya? Pantas saja malam itu kau memotretku,” katanya balas menggodaku.

Aku melengos. “Jangan besar kepala,” gerutuku. “Singkatnya, tidak usah merubah dirimu bila tujuannya bukan untuk kebaikan dirimu sendiri. Biarkan orang lain menyukaimu apa adanya. Karena setiap orang pasti punya kualitas bagus dalam dirinya,” kataku. “Dan seperti yang kubilang, aku menyukaimu apa adanya. Walaupun kau terkadang kekanakan dan berantakan, tapi kau tetap teman yang baik, sama seperti kak Tae Wong.”

“Baiklah, terima kasih,” kata Nam Gil sambil menatapku tajam. “Juga untuk permennya. Ngomong-ngomong, kau mencontek ideku waktu itu,” guraunya sambil memakan permen pemberianku.

“Aku memang tidak kreatif,” sahutku. “Ah, karena hari ini sangat menyebalkan, bagaimana kalau kita membolos saja?” usulku.

Nam Gil terlihat kaget mendengar usulku. Sejujurnya, aku pun kaget mendengar usulanku sendiri. Tapi, yah… sekali-sekali bersenang-senang tidak ada salahnya, kan?

- Kim Nam Gil - 19 Januari 2011 -

“Hei! Siapa itu!?” terdengar suara seruan seorang pria yang kuduga adalah salah seorang guru, meneriaki Yo won yang sedang berusaha melompat dari tembok belakang sekolah.

“Ayo cepat!” seruku dari sisi luar tembok, karena aku sudah lebih dulu melompat.Yo Won melompat turun, lalu menarikku berlari sambil tertawa lepas. “Astaga, sensasi

ketika hampir tertangkap rasanya menyenangkan sekali!” celotehnya geli.Aku ikut tertawa bersamanya sambil mempercepat lariku. “Ayo cepat, siapa tahu dia

mengejar kita?”“Kita akan pergi kemana?” tanya Yo Won, tapi sebelum aku sempat memberi usul, dia

sudah menjawab pertanyaannya sendiri. “Bagaimana kalau kita ke game center?”“Ide bagus,” sahutku. Sejujurnya aku tidak perduli kemana pun kami pergi, asalkan aku

bersamanya.

82

Dengan bus, kami pergi ke game center terdekat. Tapi sebelum masuk, Yo Won berhenti di kios pedagang yang berjualan di pinggir jalan. Sepertinya dia suka sekali pada bingkai foto berbentuk bintang yang dipegangnya.

“Bagus, ya?” tanyanya padaku. “aku sangat suka barang-barang berbentuk bintang. Bingkai ini bagus untuk memajang fotoku dan kak Ye Jin.”

“Mau kubelikan?” tawarku, sambil dalam hati mencatat tetang kesukaan Yo Won ini.“Tidak usah. Aku bawa uang,” katanya sambil membayar bingkai yang dibelinya itu. “Eh,

aku sampai lupa, bagaimana dengan motormu? Apa tidak apa-apa ditinggal di sekolah begitu?”

Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. “Tak masalah. Aku bisa mengambilnya saat jam pulang sekolah,” jawabku.

“Baiklah, ayo masuk!” ajak Yo Won bersemangat.Selama berjam-jam kami terus asyik berpindah dari mainan yang satu ke mainan yang

lain. Rasanya belum pernah aku sesenang ini berkunjung ke game center. Ini karena sekarang aku bersama Yo Won.

“Kenapa aku selalu kalah!?” gerutu Yo Won saat kami bermain balap mobil. “Kau pakai cara curang, ya?” tuduhnya.

“Tidak. Kebetulan aku master permainan ini,” godaku sambil tertawa. “Aku lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu?”

“Ya, kau benar. Aku juga lapar,” kata Yo Won setuju. “Hei, itu kan—““Bibi Yo Won!” aku menoleh ke arah yang ditunjuk Yo Won, dan melihat pasangan

peramal aneh itu. Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin. Hah… sial.

Kami berempat—aku, Yo Won, dan kedua anak aneh itu—akhirnya makan siang bersama di restoran cepat saji yang bersebelahan dengan gedung game center. Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin terlihat sangat gembira dapat bertemu Yo Won, tapi jelas terlihat mereka takut padaku. Memangnya aku pernah menghajar mereka? Membentak saja tidak pernah. Dasar aneh.

“Kami membolos karena ini hari ulang tahun kami,” kata Yoo Eun Bin.“Hari ulang tahun kalian sama?” tanya Yo Won kaget.“Sebenarnya bukan. Tapi karena kami berdua sama-sama ditemukan di depan kuil pada

tanggal sembilan belas januari, maka orang-orang di kuil menetapkan tanggal ini sebagai hari kelahiran kami,” kata Yoo Seung Ho menerangkan. “Oh ya, dimana Ibu?” tanyanya.

“Kakakku bernama Park Ye Jin,” koreksi Yo Won. “Dia tidak ikut membolos denganku.”Yoo Seung Ho melirikku takut-takut, dan kubalas dengan sengaja menyeringai seram

hingga bocah itu bergidik ngeri. Haha… dasar bodoh. Lalu tiba-tiba aku teringat pernyataannya bahwa pada kehidupan pertamanya dia adalah seorang raja. Bila dia menganggap Yo Won sebagai reinkarnasi bibinya dulu, maka… di kehidupan lalu Yo Won seorang putri, kan? Mungkinkah… Yo Won dan putri Deokman…?

“Hei, kau,” tegurku. Bocah itu terlihat kaget karena sejak tadi aku diam saja dan sekarang tiba-tiba mengajaknya bicara. “Apa kau yakin reinkarnasi itu ada?” tanyaku.

Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin saling bertukar pandang dengan gelisah. “Kenapa kau menanyakannya lagi?” tanya mereka kompak.

“Jawab saja,” kataku. “Benarkah di kehidupan pertamamu kau seorang raja?”“Eh, iya,” jawab Yoo Seung Ho takut-takut.“Dan kau bilang Park Ye Jin dulunya adalah ibumu, dan Yo Won adalah bibimu?”

cecarku.“Ya. Tapi kenapa—“

83

“Kalau begitu, Park Ye Jin dan Yo Won dulunya adalah putri?” potongku langsung.Yoo Seung Ho semakin gelisah. Dia tidak menjawab, dan sebagai gantinya hanya

mengangguk.Yo Won menyeruput coke-nya dengan suara berisik, lalu berkomentar, “Kedengarannya

hebat, ya? Aku tidak bisa membayangkan diriku sebagai putri. Pasti kehidupan di istana sangat menyenangkan,” katanya menggoda Yoo Seung Ho.

Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin kembali saling bertukar pandang dengan gelisah. Ada apa dengan mereka?

“Siapa nama Yo Won saat itu?” desakku penasaran. “Oh, kau juga belum menyebutkan siapa aku di masa lalu,” cecarku.

Butiran keringat terlihat membasahi sisi wajah Yoo Seung Ho. “Maaf, tapi aku tiba-tiba merasa tidak enak badan, aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa nanti!” katanya sambil berdiri, kemudian dengan cepat keduanya melesat pergi. sial. Padahal aku penasaran sekali.

“Ada apa dengan mereka?” gumam Yo Won heran. “dan kau, kenapa tiba-tiba tertarik dengan reinkarnasi?”

“Tidak apa-apa, hanya penasaran,” kataku menghindar. Yo Won akan menganggapku gila bila aku menceritakan tentang mimpi dan kilasan yang kudapat.

“Terima kasih sudah mengantarku pulang,” kata Yo Won sambil turun dari motorku, saat kami sudah sampai di depan rumahnya. “Sampai jumpa besok.”

Kami kembali ke sekolah saat jam pulang sekolah untuk mengambil motorku, lalu aku mengantarnya pulang.

“Yo Won,” panggilku. “Terima kasih karena sudah mempercayaiku lagi,” kataku tulus. Saat melihatnya membelaku di depan banyak orang di aula tadi, aku benar-benar terperangah. Tak kusangka Yo Won akan tetap mempercayaiku dalam situasi seperti tadi. Aku benar-benar… terharu.

Yo Won tersenyum. “Itu gunanya teman, kan?” katanya.Senyumku memudar. Teman. Tapi aku tidak ingin menjadi sekedar temannya. Aku ingin

lebih. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Aku tidak pernah begitu tertarik pada seorang gadis seperti yang kurasakan padanya sekarang. Tidak pernah, karena tidak ada gadis sepertinya selama ini. Dia bukan sekedar gadis cantik—aku biasa melihat gadis cantik—tapi dia juga cerdas dan pemberani. Dan yang paling penting, dia mempercayaiku. Selalu mempercayaiku walau dalam kondisi terburuk sekalipun. Tidak pernah ada yang begitu mempercayaiku seperti yang dilakukannya. Aku ingin memilikinya.

“Lagi pula,” lanjut Yo Won saat melihat aku diam saja. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kau berupaya merubah dirimu. Tidak mungkin kau mau repot-repot melakukannya bila di saat bersamaan kau justru menyuruh orang untuk mengancam anak-anak lain agar memilihmu,” katanya.

“Terima kasih atas kepercayaanmu,” kataku tulus. Mengingat dia menyukai senyumku, maka aku tersenyum lebar untuknya. “Sampai jumpa besok,” gumamku, kemudian melajukan motorku.

- Lee Yo Won - 22 Januari 2011 - Pusan -

Di hari sabtu yang cerah ini, aku dan Ayah berjalan berdampingan menuju makam Ibu. Hari kamis lalu aku mengunjungi Ayah dengan niat berdamai, dan kami sepakat untuk mengunjungi makan Ibu bersama-sama.

84

Ayah berjongkok dan menaruh rangakaian bunga lili kesukaan Ibu di depan makamnya. “Sudah lama sekali,” gumam Ayah dengan suara parau sambil mengusap lembut batu nisan Ibu. “Maafkan aku karena lama tidak mengunjungimu. Bukan berarti aku melupakanmu. Tidak akan pernah. Selamanya hanya kau satu-satunya wanita untukku.”

Aku ikut berjongkok di sebelah Ayah dan mengusap batu nisan Ibu juga. “Ibu, kami merindukanmu,” gumamku.

“Seharusnya aku berkeras membawamu dan Yo Won pulang, walaupun dengan resiko kau nekat kabur keluar negeri bersama anak kita,” katanya lagi. “Seharusnya aku tidak menyia-nyiakan waku. Maafkan kebodohanku. Maafkan aku…” gumam Ayah sambil terisak.

Kurasakan mataku pun mulai basah. Selama beberapa saat aku hanya berdiam diri melihat Ayah mencurahkan segala kesedihan dan penyesalannya di depan makam Ibu. Aku salah karena tidak mempercayainya. Ayah memang menyayangi kami.

“Ayah,” panggilku dengan suara parau. “Maafkan aku. Aku menyayangi Ayah,” isakku.Ayah memelukku, dan aku langsung membalas pelukannya dengan erat. Karena kekeras

kepalaanku, aku terus menolak mempercayai ketulusan perasaan Ayah padaku. Tapi mulai sekarang tidak akan lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Ayah dan Ibu sama-sama melakukan kesalahan dengan mempertahankan kekeras kepalaan dan gengsi mereka. Tapi aku tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu. aku tidak mau nantinya aku menyesali kekeras kepalaanku yang tidak mau memaafkan Ayah saat dia sudah tidak ada.

Seperti kata Nam Gil, aku beruntung karena masih memiliki Ayah yang menyayangiku. Aku tidak boleh menyia-nyiakannya.

“Maafkan Ayah juga karena tidak berusaha lebih keras untuk menemukanmu. Maafkan Ayah.”

Selama beberapa saat kami terus berpelukan dan menangis dengan makam Ibu sebagai saksinya.

“Hah… sudahlah, Ibumu juga tidak akan senang bila melihat kita menangis seperti ini,” katanya, berusaha tegar.

“Ayah benar,” kataku setuju sambil menghapus air mataku. “Yang terpenting, sekarang kita sudah berbaikan.”

“Kau benar. Itulah yang terpenting,” sahut Ayah setuju, sambil menatap batu nisan Ibu penuh kasih.

Seandainya saja Ibu masih ada. Seandainya saja Ibu tidak berkeras untuk tak memaafkan Ayah. seandainya saja Ibu tidak langsung pergi meninggalkan Ayah tanpa meminta penjelasan. Seandainya saja Ibu tidak melihat Ayah dicium Bibi Hyun Jung. seandainya saja Bibi Hyun Jung tidak menggoda Ayah. aku mengepalkan tangan geram. Benar. Ini salah wanita itu. keluargaku akan tetap bahagia seandainya dia tidak mengacau. Aku membencinya.

- 31 Januari 2011 - Seoul -

“Kau mau menginap berapa hari di rumah Ayahmu—maksudku rumahmu,” tanya kak Ye Jin saat pagi itu aku mempersiapkan beberapa barang untuk menginap di rumahku. Rumahku. Rasanya agak janggal menyebut rumah itu rumahku lagi.

“Hingga hari rabu,” jawabku. Aku memang sudah berbaikan dengan Ayah, tapi aku tidak ingin menyakiti hati kak Ye Jin, Pama Kil Kang, dan terutama Bibi Young Hee yang sangat menyayangiku, dengan langsung meninggalkan mereka setelah aku berbaikan dengan Ayah. maka diputuskan aku akan membagi waktu menginap di antara dua rumah.

“Pasti sepi bila nanti kau benar-benar pindah kerumahmu lagi,” gumam kak Ye Jin.“Jangan bicara begitu—“

85

“Kau benar. Maaf,” potong kak Ye Jin. “Ayo kita berangkat!”Seperti biasa, setiap pagi kak Tae Wong sudah menunggu kami di depan pagar rumahnya

sambil membaca koran langganan keluarganya. “Berita apa yang menarik hari ini?” tanya kak Ye Jin ceria. “Eh, bukankah itu foto…”

kakak tak melanjutkan perkataannya, dan melirikku ragu.Aku juga melihatnya. Foto Bibi Hyun Jung dan suaminya, Paman Young Jae. Mereka

berdua terlihat begitu bahagia dan romantis. Seketika aku teringat wajah pucat, kuyu dan penuh gurat rasa sakit di wajah Ibu di saat-saat sebelum kematiannya. Melihat kekontrasan itu membuat kebencianku pada Go Hyun Jung semakin berkobar.

“Benar, paman dan bibi Kim Nam Gil. orangtua Go Do Bin,” kata kak Tae Wong. “Go Young Jae mencalonkan diri menjadi Presiden. Kurasa kesempatannya untuk menang dalam pemilihan nanti sangat besar, karena reputasinya sebagai pengusaha sukses, dengan keluarga harmonis dan istri yang berjiwa sosial tinggi, dia mendapat banyak dukungan dari masyarakat.”

“Kedengarannya sempurna sekali,” komentar kak Ye Jin kaku.“Memang benar,” sahut kak Tae Wong. “beruntung sekali. lawan-lawannya yang lain

tidak diuntungkan dalam bersaing dengannya karena publik pernah mendengar skandal-skandal yang mereka buat. Sosok bersih nyaris sempurna seperti keluarga Go pasti langsung menarik minat publik.”

Sempurna? Hah… “Tapi menurutku, sepertinya Nyonya Go lah yang paling bersemangat mencalonkan

suaminya, ketimbang Tuan Go sendiri,” tambah kak Tae Wong. “Dia terus muncul di beragam acara untuk ‘menjual’ suaminya.”

Sementara kak Ye Jin dan kak Tae Wong terus berdiskusi, aku larut dalam pikiranku sendiri. Jadi rupanya Bibi Hyun Jung sangat menginginkan suaminya dapat menjadi Presiden? Apakah itu yang paling diinginkannya? Kak Tae Wong mengatakan bahwa keluarga Go nyaris sempurna. Tentu saja nyaris. Karena aku tidak percaya mereka tidak menyembunyikan skandal. Mengingat Bibi Hyun Jung pernah mencoba menggoda kakak tirinya sendiri, ada kemungkinan dia juga pernah berselingkuh dengan orang lain lagi. Bila publik mengetahui skandalnya, bisa dipastikan Bibi Hyun Jung tak akan mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu menjadikan suaminya seorang Presiden.

Ya, benar sekali. selama ini aku membenci dan berniat membalas dendam padanya, tapi tidak tahu harus dengan cara apa. Kini, setelah mengetahui hal yang paling diinginkannya, segalanya menjadi sedikit lebih mudah. Aku kehilangan Ibuku, dan Bibi Hyun Jung akan kehilangan jabatan penting untuk suaminya. Yang harus kulakukan sekarang adalah mencari tahu rahasia kelam keluarga Go. Dan itu berarti aku harus mengorek informasi dari orang dekatnya. Do Bin? Dia jelas tahu semua rahasia keluarganya. Kalau aku bisa mendekati dan menggali informasi darinya— tunggu dulu, kenapa aku harus memaksakan diri berdekatan dengan anak menyebalkan itu, bila ada sumber informasi yang jauh lebih kusukai? Benar. Kim Nam Gil. walaupun hanya keponakan, dia tinggal bersama keluarga Go sejak kecil. Dia pasti tahu beberapa rahasia kelam keluarga itu. Ya, Nam Gil pilihan paling tepat. Go Hyun Jung, tunggu saja balasanku.

***

Scene 29

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung King Jin Pyeong : Lee Min Ki

86

Cheon Myeong : Park Ye Jin San Tak : (tetap nama di QSD)Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 1 Februari 2011 -

“Ayolah, sudah lama kita tidak berkumpul bersama,” San Tak ikut mendesakku.“Bar pamanku sangat bagus,” promosi Yeom Jong. “Dan lagi, ini juga sebagai tanda

permintaan maafku karena mengacaukan rencanamu hari itu,” lanjutnya.Aku bersedekap sambil memperhatikan wajah memohon mereka. Yah, lama juga aku

tidak pergi bersenang-senang, tapi malam ini aku sudah berencana makan malam berdua dengan Ayah.

Setelah malam itu makan bersama dengan Yo Won dan ayahnya, aku teringat pada Ayahku sendiri. Aku berpikir bahwa mungkin bila aku memberi Ayah kesempatan, dia bisa menyayangiku seperti Tuan Lee menyayangi Yo Won. malam itu juga aku menelepon Ayah, dan setelahnya kami sudah beberapa kali bertemu. Untuk makan bersama, ataupun bermain golf di akhir pekan—walaupun permainanku payah dan tak sebanding dengan Ayah.

Kuakui, sekarang hubungan kami jauh lebih baik dibanding bertahun-tahun sebelumnya. Aku cukup puas dengan perkembangan hubungan kami.

“Maaf, tapi aku—““Kalian ingin berpesta, ya?” Tiba-tiba Yo Won sudah muncul di sisiku dan memotong

perkataanku. Sejak kemarin gadis ini bertingkah aneh. sepertinya di mana pun aku berada, dia akan segera muncul. Bukannya aku tidak suka—jelas aku sangat senang dia sering berada dekat denganku—tapi aku hanya heran melihat tingkahnya yang tidak seperti biasanya ini.

“Kami akan berpesta di bar milik paman Yeom Jong,” jawab San Tak.“Ke bar? Memangnya bisa? kalian kan belum cukup umur,” komentar Yo Won heran.Yeom Jong tertawa. “Dengan jaminan namaku, anak usia empat tahun sekalipun dapat

masuk,” sombongnya.“Bolehkah aku ikut dengan kalian?” tanya Yo Won. “Aku belum pernah pergi ke bar

sebelumnya.”“Tapi—““Tentu saja boleh,” sahut San Tak dan Yeom Jong bersamaan, memotong perkataanku.

“Nam Gil akan senang sekali kau mau menemaninya,” lanjut San Tak.“Hei!” bentakku. Apa-apaan mereka ini? Seenaknya saja memutuskan tanpa menanyakan

pendapatku. “Aku belum bilang akan pergi, kan!?”“Kenapa? kau tidak ingin aku ikut?” tanya Yo Won kecewa.Aku berdecak kesal. “Bukan begitu. Aku—“ Tapi… bukankah bagus? Kami bisa

bersama-sama lagi. Makan malam dengan Ayah bisa ditunda. “Baiklah, aku akan menjemputmu nanti malam jam sembilan. Tapi memangnya kau boleh keluar malam?” tanyaku.

Yo Won berpikir sejenak, lalu mengangguk bersemangat. “Tidak masalah,” sahutnya. “Tapi jangan menjemput ke rumah kak Ye Jin. Sejak kemarin aku menginap di rumah Ayahku.”

“Ha? Memangnya kau tidak tinggal dengan orangtuamu?” tanya San Tak heran.“Aku—““Baik. Bersiaplah nanti malam. aku akan menjemputmu,” kataku, sengaja memotong

jawaban Yo Won untuk pertanyaan San Tak. Dasar usil. Untuk apa dia ingin tahu Yo Won tinggal dengan siapa!? “Oh ya, gunakan pakaian yang tertutup… emm, maksudku, di tempat seperti itu—“

87

“Tenang saja,” sergah Yo Won diiringi dengan senyum lebarnya. “Aku tidak berencana mengundang bencana.”

Aku tersenyum kikuk. “Yah, baguslah,” komentarku. Aku tidak ingin semua mata laki-laki tertuju pada lekuk tubuh Yo Won bila dia mengenakan pakaian terbuka. Tidak boleh. Tak ada yang boleh menginginkan Yo Won selain aku.

“Jadi seperti ini suasana di bar,” gumam Yo Won saat kami sudah duduk di salah satu meja di bar milik paman Yeom Jong sambil menunggu minuman pesanan kami datang.

Aku tersenyum geli melihat rasa penasaran yang tercetak jelas di wajah Yo Won saat gadis itu memperhatikan sekelilingnya. Karena sejak dulu sudah sering menyelinap masuk ke bar, aku sudah tidak asing dengan suasana ataupun keremangan ruangan seperti ini.

Wanita berdada besar dengan pakaian minim yang tadi mencatat pesanan kami akhirnya datang. Dia sempat melayangkan kedipan genit padaku, tapi kubalas dengan tatapan dingin. Cih. Sekalipun dia telanjang di hadapanku, aku tak akan tertarik padanya.

“Apa!?” seru San Tak, yang sedang merangkul dua orang gadis sekaligus—aku tidak tahu dibayarnya berapa gadis-gadis itu hingga mau dipeluk-peluk olehnya. “Jauh-jauh datang ke bar, kau hanya pesan diet coke?” katanya pada Yo Won.

“Memangnya kenapa?” sergahku sebelum Yo Won sempat menjawab. “Biar saja kalau dia mau memilih minuman itu. apa urusannya denganmu!?”

San Tak memonyongkan bibirnya dengan kesal. “Aku kan hanya bertanya, tidak perlu segalak itu,” gerutunya.

Yo Won yang duduk di sebelahku tertawa geli melihat ekspresi bodoh San Tak. “Aku memang penasaran ingin melihat bar, tapi aku tidak ingin minum minuman keras. Di Pusan aku pernah mencicipi bir yang dibawa teman sekolahku, dan tidak menyukai rasanya,” katanya.

Sambil mendengarkan jawaban Yo Won, aku memperhatikan pakaiannya dengan puas. Ya, tepat seperti yang kumau. Cukup tertutup, tapi tetap modis dan menonjolkan kecantikannya. Aku suka.

“Bagaimana kabar orang rumahmu?” tanya Yo Won santai.Aku meneguk birku sambil mengamatinya. Sejak kemarin Yo Won secara tidak langsung

sepertinya terus menyelipkan masalah keluargaku dalam pembicaraan kami. Tapi mungkin itu karena dia perhatian padaku. “Baik-baik saja,” jawabku sambil tersenyum senang. “Hubunganku dengan Ayahku pun sekarang sudah jauh membaik. Kami sudah beberapa kali makan bersama, juga menghabiskan akhir pekan dengan bermain golf di clubhouse-nya,” lanjutku gembira.

“Benarkah? Aku ikut senang untukmu,” kata Yo Won gembira. “Aku pun sudah berbaikan dengan Ayahku. Berkat kata-katamu waktu itu. Kau bilang aku beruntung memiliki ayah yang menyayangiku. Kata-katamu membuatku berpikir dan akhirnya memutuskan untuk berbaikan dengannya. Terima kasih.”

Aku merasa salah tingkah menerima pernyataan terima kasihnya yang tulus. “Yah, sama-sama. Aku juga berterima kasih padamu. Karena makan malam bersamamu dan ayahmulah, aku teringat pada ayahku sendiri, dan mencoba untuk memberinya kesempatan kedua,” kataku.

“Kalian ini membicarakan apa?” tanya San Tak sambil menatapku dan Yo Won bergantian. “Kenapa kau tidak pernah bercerita padaku kalau kau bermasalah dengan ayahmu?” tanyanya padaku.

“Tidak ada urusannya denganmu,” sahutku. “Lagi pula, kenapa aku harus bercerita padamu? Memangnya kau Ibuku!?”

88

Lagi-lagi San Tak memonyongkan bibirnya dengan kesal. “Kita kan sudah berteman lama, tapi kau tak pernah cerita apa-apa mengenai keluargamu,” gerutunya. “Dan sekarang kau malah menceritakannya pada Yo Won, padahal kau baru mengenalnya. Memangnya dia Ibumu!?”

Aku berdecak kesal. Cerewet sekali. “Kau ini benar-benar bodoh, ya? Mana mungkin Yo Won Ibuku!?” omelku.

“Tapi kau sendiri yang bilang—““Argh! Sudahlah. Lama-lama aku ikut bodoh kalau menanggapi omonganmu terus,”

gerutuku. “Yo Won, ayo kita ke lantai dansa saja,” ajakku sambil berdiri dan menarik tangannya.

Yo Won masih saja terus tertawa saat kami sampai di lantai dansa yang sudah disesaki pengunjung lain yang bergoyang liar.

“Kalian akrab sekali, ya?” komentar Yo Won saat tawanya berakhir.“Dia teman yang setia,” sahutku singkat. “Ah, aku lupa menanyakan ini, tapi apa alasan

yang kau pakai pada ayahmu untuk keluar malam ini?”“Kukatakan saja aku ada janji dengan temanku. Ayahku pengertian. Dia kan juga pernah

muda,” jawabnya. “Dia hanya berpesan agar jangan pulang terlalu malam.”“Seberapa malam ‘jangan terlalu malam’ itu?” tanyaku sambil tersenyum.Yo Won tersenyum. “Tidak jelas juga,” jawabnya. “Berarti itu tergantung padaku menilai

seberapa lama ‘jangan terlalu malam’ nya.” candanya.“Tenang saja, kita tidak akan pulang terlalu malam,” kataku. “Aku tak ingin membuat

ayahmu khawatir. Tapi, sekarang kita bersenang-senang saja,” lanjutku.Sebenarnya aku bukan pedansa yang baik. setiap kali pergi ke bar atau pesta manapun,

aku tak pernah menari dan lebih suka pada minuman yang kupesan. Maka tak heran kalau sekarang gerakanku terlihat kaku sekali. berbeda dengan Yo Won yang terlihat luwes bergoyang.

“Kau sering menari?” tanyaku.“Tidak juga. hanya kadang-kadang, saat dikamar dengan kak Ye Jin,” jawabnya.

“gerakanmu kaku sekali,” godanya.Aku tersenyum masam. “Yah, sebenarnya aku tidak biasa menari. Setiap kali ke bar aku

hanya minum-minum,” kataku.“Kau sering ke bar?” tanya Yo Won. “Apakah keluargamu tidak melarangmu terlalu

sering pergi malam-malam?”Yo Won terdengar sangat penasaran, dan itu membuatku geli. “Aku anak laki-laki. Dan

aku juga bisa menjaga diri sendiri,” jawabku. “Lagi pula, masing-masing orang di rumahku sibuk dengan urusan mereka sendiri sehingga tidak akan ada yang mencampuri urusanku selama aku tidak mencoreng nama baik keluarga,” tambahku dengan nada masam.

“Bibimu?” desak Yo Won. “Tidakkah dia khawatir keponakannya berkeliaran di luar? Aku tidak tahu kalau Bibi Hyun Jung sesibuk itu sampai tidak memperhatikanmu.”

Aku mendengus. Ibu? Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. “Dia memang selalu sibuk,” jawabku singkat.

“Begitukah? Memangnya Bibi bekerja?” tanya Yo Won lagi. “Apakah hubunganmu dengan Bibi baik?”

“Bibi tidak bekerja, tapi kegiatannya setiap hari mengalahkan kesibukan presiden sekalipun,” jawabku sinis. “Dan mengenai hubungan kami… bisa dibilang cukup baik. Dia bersikap dingin, tapi aku memang tidak pernah mengharapkan dia akan melimpahiku dengan kasih sayang. Yah… setidaknya dia tidak suka memukul,” lanjutku muram.

“Memukul?” seru Yo Won terkejut. “Memangnya ada yang suka memukulimu? Kau— hei!” tiba-tiba Yo Won berseru sambil berbalik menghadap pria di belakangnya. “Kurang ajar!” bentaknya pada pria itu, kemudian menamparnya.

89

“Ada apa!?” tanyaku cepat.“Dia meraba-raba bokongku!” gerutu Yo Won.Amarah itu bergolak dalam darahku. Aku sudah berusaha menahan diri untuk tidak

menghajar siapapun selama beberapa minggu ini, tapi… orang brengsek ini… berani-beraninya dia menaruh tangan menjijikannya di tubuh Yo Won! berani-beraninya dia menyentuh gadisku! Dengan tangan terkepal erat, aku berjalan mendekati pria brengsek itu dengan tatapan tajam yang terkunci pada sosoknya.

Pria setengah baya berperut buncit dengan wajah mesum itu mundur dengan cepat menjauhiku. Wajahnya yang bulat dan pucat, berkilat dengan keringat. “Ini… ini hanya salah paham… aku tidak tahu… aku tidak… gadis itu berdusta!” ocehnya, berusaha membela diri.

“Apa!?” seru Yo Won tak percaya. “Kau menuduhku!? Dasar brengsek! Kau berani mengusap-usap bokongku, dan sekarang menuduhku sebagai pembohong!?”

Dengan cepat aku menarik kerah kemeja pria itu, dan mendekatkan wajahnya dengan wajahku. “Kau menyentuhnya. Kau berani mengusap bokongnya!?” desisku. “Apa kau punya nyawa cadangan!? Berani sekali kau mengganggunya!” bentakku.

“Ada apa ini ribut-ribut!?” seru Yeom Jong sambil berusaha menerobos kerumunan pengunjung yang menonton keributan yang di sebabkan pria mesum ini. “Nam Gil? apa-apaan ini?”

“Nam Gil, sudahlah,” kata Yo Won sambil menyentuh lenganku. “Lagi pula tadi aku sudah menamparnya.”

“Jangan buat masalah di sini, Nam Gil,” pinta Yeom Jong. “Ini bar pamanku. Kumohon.”

Tapi aku tidak lagi mendengarkan perkataan mereka. Wajah pria di hadapanku ini bagaikan lambaian kain merah yang semakin mengobarkan amarahku. Akan kupatahkan tangannya yang berani menyentuh Yo Wonku!

Aku mendorong pria itu hingga terjatuh ke lantai dan mulai meninjunya. Terus dan terus. Ketika beberapa penjaga keamanan bar itu berusaha menarikku, aku pun menghajar mereka. Tidak perduli sakit yang kurasakan saat mereka membalas pukulanku, aku terus menghajar pria mesum tadi, dan juga siapa saja yang berusaha menahanku. Tidak ada yang boleh menyentuh Yo Won selain aku! Tidak ada! Dia milikku! Milikku!

Beberapa jam kemudian aku keluar dari kantor polisi bersama Yo Won, San Tak, Yeom Jong, dan pamannya, Tuan Oem Hyo Soeb. Dengan pengaruh paman Yeom Jong lah aku dapat segera dibebaskan. Aku sadar dia melakukannya bukan murni karena kebaikan hati. Pasti dia menginginkan sesuatu dariku. Tapi aku tidak perduli itu sekarang. Aku puas sudah membuat pria mesum itu babak belur. Itu imbalannya karena berani berbuat mesum pada Yo Won.

“Terima kasih,” gumamku pada Tuan Oem.Paman Yeom Jong itu tertawa sambil menghisap cerutunya. “Hal seperti ini hanya

masalah kecil bagiku,” sahutnya. “Ikutlah ke barku. Kita perlu mengobrol sebentar,” lanjutnya.

Mengobrol sama artinya dengan dia menginginkan imbalan atas bantuan yang diberikannya padaku. “Baik. tapi aku harus mengantar temanku pulang dulu,” kataku.

Tuan Oem tersenyum sambil menatap Yo Won. “Baiklah. Tidak baik membiarkan seorang gadis berkeliaran di luar rumah hingga larut malam, kan?” katanya. “Yeom Jong akan mengantar kalian dengan mobilnya, dan dia bisa membawamu kembali ke bar untuk menemuiku.”

Aku mengangguk setuju, kemudian berjalan bersama Yo Won dan San Tak, mengikuti Yeom Jong menuju mobilnya.

90

“Lukamu…” gumam Yo Won khawatir saat kami sudah duduk nyaman di kursi belakang mobil Yeom Jong. “Biar kubersihkan sedikit,” lanjutnya sambil mengusap darah di wajahku dengan sapu tangannya.

Wajah dan tubuhku rasanya sakit. pasti karena hantaman para penjaga keamanan berbadan besar bagai binaragawan tadi. Sial. Tapi… tidak sepenuhnya sial juga. karena ini Yo Won jadi menunjukkan perhatiannya padaku.

“Kau seperti iblis mengamuk karena tanduknya dipatahkan,” komentar San Tak dari kursi depan. “Sudah lama aku tidak melihatmu semarah tadi.”

“Untung saja Pamanku tidak mengamuk, dan malah membantumu keluar dari kantor polisi,” gerutu Yeom Jong. “Padahal aku sudah takut sekali berpikir akan menghadapi amarahnya. Kau membuat keributan dan menghancurkan beberapa barang di barnya. Aku heran melihatnya kali ini justru bersikap lunak padamu.”

Apakah Yeom Jong memang bodoh atau pura-pura bodoh? Tentu saja pamannya membantuku karena menginginkan sesuatu dariku. Tapi aku malas mengomentari perkataan mereka dan memutuskan untuk diam saja.

“Maafkan aku,” gumam Yo Won penuh penyesalan. “Kalau bukan karena membelaku—““Sudahlah, bukan salahmu,” sergahku. “aku menghajarnya atas kemauanku sendiri,”

kataku serius sambil menatap wajahnya.Selama sisa perjalanan itu suasana di dalam mobil menjadi hening. Semua sepertinya

sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.“Rumahmu bagus,” komentar San Tak saat akhirnya Yeom Jong menghentikan mobilnya

di depan rumah Yo Won.“Terima kasih atas tumpangannya,” kata Yo Won sopan pada Yeom Jong yang hanya

menjawabnya dengan anggukan.Aku mengikuti Yo Won keluar dan mengantarnya hingga ke pintu gerbang rumahnya.

“Maaf karena malam ini berakhir kacau,” kataku menyesal.Yo Won tak menghiraukan perkataanku, dan malah mengamati wajahku dengan teliti.

Seketika ekspresinya berubah sedih. “Setelah diperhatikan lebih teliti, luka-lukanya lebih parah dari yang kuduga,” keluhnya. “Maafkan aku.”

Aku mengernyit heran mendengar nada suara Yo Won yang terdengar benar-benar menyesal. “Kenapa? kau kan tidak salah apa-apa. Pria mesum tadi yang bersalah. Dan aku,” kataku sambil berusaha tersenyum walau terasa agak sakit. “Aku yang memutuskan untuk menghajarnya. Bukan kau. Jadi ini bukan salahmu.”

“Tapi seandainya aku tidak memaksa ikut denganmu ke bar, pasti hal ini tidak akan terjadi. Kau tidak akan memukulnya. Kau tidak akan ditangkap polisi. Dan kau tidak akan terluka seperti ini. Maafkan aku.”

“Sudahlah. Jangan dipikirkan. Masuklah, ini sudah malam. sampaikan salamku pada ayahmu,” kataku. “Maaf, aku buru-buru pergi. selamat malam,” lanjutku sambil berbalik pergi.

“Tunggu!” tahan Yo Won. “Apa yang akan dilakukan paman Yeom Jong padamu? Apakah dia akan menghajarmu? Apakah dia—“

“Tenanglah,” pintaku. “Kurasa dia tidak bertujuan untuk melukaiku. Mungkin dia menginginkan sesuatu dariku, tapi itu tidak usah kau khawatirkan.”

“Tapi—““Masuklah. Selamat malam,” kataku untuk terakhir kalinya, lalu masuk ke dalam mobil

Yeom Jong. Saat mobil mulai melaju, aku menengok ke belakang lewat kaca jendela, dan melihat

sosok Yo Won yang masih berdiri di pinggir jalan memandangi mobil ini. Tidak apa. Demi dirinya, terluka ataupun berurusan dengan orang seperti Tuan Oem bukan masalah bagiku.

91

- Lee Yo Won - 1 Februari 2011 -

Ini salahku. Karena dendamku pada Go Hyun Jung, aku malah mencelakakan Nam Gil. dia terluka karena berusaha membelaku. Dan sekarang, dia harus berurusan dengan orang seperti paman Yeom Jong. Aku merasa pria itu bukan orang baik. bagaimana kalau dia malah mencelakakan Nam Gil? Bagaimana bila terjadi sesuatu pada Nam Gil?

Ya Tuhan, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri bila benar-benar terjadi sesuatu padanya nanti. Ini salahku. Salahku.

“Lupakan masa lalu, lanjutkan saja hidupmu. Lupakan orang-orang yang menyakitimu dan ibumu. Pada saatnya nanti mereka akan mendapat balasannya sendiri. Balas dendam hanya akan menimbulkan masalah saja,”

Nasehat kak Ye Jin terngiang di benakku. Ternyata kakak benar. Balas dendam hanya menimbulkan masalah. Itulah yang terjadi sekarang. Karena niatku membalas dendam pada Bibi Hyun Jung, aku malah mencelakakan Nam Gil. padahal dia sudah begitu baik dan tulus padaku.

Tulus. Ya, tulus. Itulah yang tersorot dari kedua matanya saat memandangku. Seketika kurasakan getaran di hatiku. Getaran manis, walau jantungku serasa tertusuk. Itulah yang selalu kurasakan, walau setiap kali juga berusaha kuabaikan dengan canda. Inilah alasan mengapa jantungku berdenyut dengan rasa bahagia setiap kali dia tersenyum dan menatapku dengan sorot penuh kasih itu. Karena jauh di lubuk hatiku aku tahu… aku menyadari persaannya padaku. Ketertarikan tulusnya padaku. Karena aku pun merasakan hal yang sama padanya.

Aku menyukai senyumnya. Aku menyukai tawanya. Aku menyukai raut wajah kekanakannya. Semua itu karena aku tertarik padanya. Aku menyukainya. Semakin mengenalnya, semakin aku simpati padanya, semakin aku menyukainya. Dan sekarang, aku malah mencelakakannya. Aku malah berniat memanfaatkannya. Bagaimana bisa aku sejahat itu padanya?

Dia memang hanya keponakan Bibi Hyun Jung, tapi wanita itu sudah bersedia membesarkan Nam Gil disaat orangtua kandungnya justru membuangnya. Walaupun tidak dekat, pastilah Nam Gil tetap merasa berhutang budi pada Bibinya. Dia akan membenciku bila tahu aku memanfaatkannya. Bisakah aku menahan rasa bencinya? Tidak. Aku tidak ingin dibenci olehnya.

Sebuah kilasan kejadian melintas di benakku. Seorang pria… pria yang berwajah mirip Nam Gil itu. Pria yang bernama… Bi Dam? Kali ini dia tidak tampak dengan busana prajurit berwarna hitamnya. Melainkan pakaian tradisional mewah berwarna ungu. Rambutnya yang biasa diikat seperti buntut kuda pun sekarang terikat rapi di puncak kepalanya. Tapi bukan perubahannya yang menggangguku, melainkan sorot sedih kedua matanya. Kenapa? ada apa? Aku ingin menanyakan itu, tetapi aku malah mendengar diriku sendiri berbicara dengan nada lantang dan keras, menuduhnya menginginkan kekuasaanku. Aku tidak habis pikir, kekuasaan apa yang kupunya? Kenapa tanpa bisa kuhentikan, aku mengeluarkan kata-kata yang menuduh dan menyakiti pria itu?

Sorot matanya… begitu sedih dan terluka. Aku tidak tahan melihatnya. Tapi aku juga tak bisa menghentikan diri mengeluarkan kata-kata yang menyudutkannya. Hatiku terasa diremas kuat saat melihatnya berjalan keluar ruangan dengan rasa kecewa, sakit hati, dan… kalah.

“Yo Won?” Aku tersadar dari lamunanku dan segera berbalik menghadap Ayah. “Aku berjalan-jalan di taman untuk menunggu kepulanganmu, dan mendengar suara mobil. Kenapa kau tidak masuk?”

Kurasakan pipiku basah, dan buru-buru aku menghapusnya, lalu memaksakan diri tersenyum pada Ayah. “Tidak apa-apa. Ayo masuk. Maaf sudah membuat Ayah menunggu.”

92

“Tidak apa-apa. Bagaimana malammu? Menyenangkan?”Menyenangkan? “Ya,” sahutku singkat. Memang menyenangkan. Hingga terjadi

kekacauan itu.Sambil berjalan masuk, aku kembali teringat pada pria dalam kilasan yang kulihat tadi.

Aku teringat sorot mata sedih dan kecewanya. Siapa sebenarnya pria itu? kenapa dia begitu mirip dengan Nam Gil?

Nam Gil. Aku tidak ingin melihat sorot mata sedih dan kecewanya—seperti pria dalam kilasan pengelihatanku tadi—diarahkan padaku. Aku tidak mau dia membenciku. Kurasa aku tidak sanggup menerima kebenciannya.

Seperti kata kak Ye Jin, aku harus melanjutkan hidup dan mencoba melupakan perbuatan Bibi Hyun Jung. aku tidak bisa berjanji akan mampu menghilangkan kebencianku padanya, tapi paling tidak akan kucoba untuk tidak lagi mempermasalahkannya. Melihat kacaunya malam ini akibat rencana pembalasan dendamku, aku akan menahan diri dan menghilangkan semua rencana itu dari otakku.

Nam Gil, maafkan aku. Kuharap tidak terjadi hal buruk padamu.

***

Scene 30

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinAlcheon : Lee Seung Hyo Yong Choon : Do Yi SungJook Bang : Lee Moon Shik Go Do : Ryu DamSan Tak : (tetap nama di QSD) Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 2 Februari 2011 -

Aku meringis menahan tusukan rasa sakit di punggungku sambil terus berjalan mengikuti Yeom Jong melintasi lorong menuju bagian belakang bar pamannya ini. Sekarang sudah jam 1 pagi. San Tak sudah diantar pulang oleh Yeom Jong sebelum kami kemari, jadi kini hanya kami berdua.

“Lewat sini,” kata Yeom Jong sambil berbelok ke kiri, kemudian menaiki tangga besi yang melingkar menuju lantai dua.

Di lantai dua dipenuhi pria-pria berpakaian serba hitam. Mereka berbeda—tentu saja—tapi memiliki aura pengacau dan berbahaya yang sama. Ada yang bertubuh tinggi besar dan penuh tonjolan otot, ada juga yang wajahnya penuh parut—yang dalam komunitas seperti ini biasa dianggap sebagai penghargaan atas keberanian dan keberhasilan orang tersebut melewati pertempuran yang membuatnya terluka namun tetap bertahan hidup—dan ada juga yang terlihat normal, dengan senyum ramah selalu tersungging di bibirnya. Tapi justru menurutku tipe seperti yang terakhir inilah yang paling berbahaya. Mereka menyembunyikan kekejaman dibalik kesopanan. Kutebak, mereka semua pastilah anggota organisasi paman Yeom Jong.

Yeom Jong mengetuk sebuah pintu di ujung ruangan lantai dua ini, dan berseru, “Paman, kami datang!”

Tak ada sahutan, tapi kemudian pintu terbuka. Seorang pria bertubuh pendek dengan tato di kepala plontosnya, mengamati kami sedetik, kemudian melangkah mundur untuk mempersilakan kami masuk. Berbeda dengan gaya ruangan di luar yang terkesan berantakan,

93

ruangan milik Tuan Oem ini justru sangat mewah. Yah, sang bos pasti menginginkan yang terbaik.

“Kemarilah. Silakan duduk!” panggil Tuan Oem dari balik meja kerjanya. “Kim Nam Gil. aku sudah sering mendengar mengenai kemampuan berkelahimu. Bakat yang bagus, kan?” katanya saat aku dan Yeom Jong duduk di hadapannya.

Aku hanya diam saja. sejujurnya, bila tidak terpaksa, ingin sekali aku langsung pulang ke rumah dan beristirahat. Sekujur tubuhku rasanya sakit sekali. sial. Karena terlalu emosi pada pria mesum itu, aku tidak bisa berkonsentrasi melawan para penjaga keamanan sehingga mereka berhasil menghajarku hingga babak belur seperti sekarang.

Tuan Oem bersandar di kursi berlapis kulitnya sambil menghisap cerutunya lagi. “Apa kau tahu berapa kerugian yang kudapat malam ini akibat perkelahianmu?” tanyanya. “Barang-barang yang rusak, pelanggan yang kabur karena takut terkena masalah, menyogok polisi yang menahanmu, dan yang terpenting, biaya pengobatan dan uang tutup mulut untuk pria yang kau hajar tadi. Menurutmu berapa banyak itu?”

Jadi sudah dimulai. Sekarang waktunya dia meminta imbalan dariku. “Banyak,” sahutku singkat.

Tuan Oem tersenyum. “Benar. Tapi aku terkenal dengan kedermawananku pada anak-anak buahku,” katanya. “Sekarang tergantung dirimu. Bila kau mau masuk menjadi anggotaku, semua hutangmu padaku kuanggap lunas. Tapi bila tidak—“

Terdengar suara ketukan lagi. Si botak beranjak dari tempat duduknya dan membukakan pintu. Aku tidak melihat, tapi aku mendengarnya terkesiap kaget. Si botak dengan cepat mendekati Tuan Oem dan membisikkan sesuatu di telinganya. Aku tidak mendengar terlalu jelas, tapi aku sempat menangkap nama “Do Yi Sung”. Bagiku, nama itu rasanya familiar, tapi aku tak begitu pasti karena banyak orang bernama sama. Namun, jelas Tuan Oem sangat mengenal, dan dilihat dari ekspresi wajahnya, dia juga segan pada pria bernama Do Yi Sung tersebut.

Terdengar ketukan tak sabar lagi, tapi sebelum si botak sempat membukakan, pintu tersebut sudah terhempas membuka, dan seorang pria perlente menerobos masuk dengan diiringi beberapa pria berjas yang sepertinya bawahan pria tersebut.

“Tuan Do!” seru Tuan Oem dengan keriangan dipaksakan.“Oem Hyo Soeb,” sapa Do Yi Sung. “Sepertinya aku mengganggu pembicaraan

pentingmu,” katanya dengan nada tak perduli, sambil mengamatiku dan Yeom Jong. Wajahnya… rasanya…Do Yi Sung tersentak kaget saat kembali menatap ke arahku. “Kim Nam Gil!?” tanyanya

tak percaya.Astaga! Ya, dia Do Yi Sung yang itu!

- Lee Yo Won - 2 Februari 2011 -

“Selamat pagi,” sapa kak Ye Jin. “Kenapa kau mondar-mandir di sini?” tanyanya, mengomentari diriku yang sejak baru datang tadi terus saja gelisah menunggu kedatangan Nam Gil di depan kelas.

“Aku menunggu Nam Gil,” jawabku.“Kim Nam Gil? kenapa kau menunggunya?”“Aku… mengkhawatirkannya.”Kak Ye Jin mengerutkan kening dengan bingung. “Sebenarnya ada apa?”“Tanpa sengaja aku mencelakakannya. Tadinya aku berencana memanfaatkan Nam Gil

untuk mencari skandal keluarga Go, tapi gara-gara niat burukku, semalam dia babak belur dihajar orang. Salahku. Semua salahku. Seandainya aku tidak memaksa untuk mengikutinya

94

ke bar. Seandainya dia tidak memukul pria itu. sekarang dia bermasalah dengan pria pemilik bar. bagaimana kalau dia malah mencelakakan Nam Gil? Bagaimana—“

Kak Ye Jin mengguncang-guncang tubuhku. “Yo Won. Hei, Lee Yo Won! Tenanglah,” perintah kak Ye Jin. “Kau bicara begitu cepat. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan.”

“Aku—“ sadar diriku masih terlalu tegang untuk bercerita, aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Saat akan mulai bercerita kembali, aku melihat kak Ye Jin tiba-tiba mengalihkan perhatiannya dariku ke pada sesuatu di belakangku. Dengan penuh harap aku menengok dan berharap melihat Nam Gil, tapi malah melihat Yeom Jong berjalan mendekati kami.

Saat melihat lebam-lebam di wajah pemuda itu, aku semakin panik. Semalam, terakhir kali kulihat, Yeom Jong masih baik-baik saja. apa yang terjadi? Kalau Yeom Jong yang tadinya baik-baik saja jadi begini, lalu bagaimana dengan…

“Dimana Nam Gil?” tanyaku padanya.Yeom Jong menampakkan ekspresi kesal. “Aku kemari justru ingin mencarinya,”

sahutnya sedikit ketus. “Bila dia datang, katakan tadi aku kemari mencarinya,” pesannya, lalu berjalan pergi.

“Tunggu! Bagaimana Nam Gil? bagaimana keadaannya? Dia tidak apa-apa, kan?” desakku.

Yeom Jong tertawa sumbang. “Setan cilik itu bersaudara dengan malaikat pencabut nyawa, jadi tak usah kau perdulikan. Tak semudah itu dia dibuat mati,” jawabnya.

Apa maksudnya itu? jadi Nam Gil dipukuli atau tidak? “Yo Won, ayo masuk,” ajak kak Ye Jin. “dan ceritakan lebih rinci. Karena aku benar-

benar tidak mengerti perkataanmu tadi.”Setelah sekali lagi mengawasi koridor dan tidak melihat tanda-tanda kemunculan Nam

Gil, akupun menuruti saran kak Ye Jin. Di dalam kelas aku menceritakan segalanya. Dimulai dari ide yang muncul tiba-tiba setelah mendengar berita keluarga Go dari kak Tae Wong, dan berakhir semalam, saat aku memaksa ikut ke bar lalu membuat Nam Gil terluka dan terlibat masalah.

“Kau pergi ke bar!?” seru kak Ye Jin tak percaya. “Astaga, Yo Won…”Aku mendesah frustasi. “Ya. Dan aku benar-benar menyesalinya sekarang. Gara-gara aku

memaksa ikut, Nam Gil jadi celaka.”“Sudah pernah kukatakan padamu, dendam itu hanya—““Ya, aku tahu. Kau benar,” kataku. “Ya Tuhan, seandainya bisa kuputar waktu, tak akan

kulakukan. Aku benar-benar menyesal…”Selama beberapa saat terjadi keheningan diantara kami. “Kau menyukainya,” kata kak Ye

Jin sambil mengamatiku. Itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan. Kakak sangat mengenalku. Aku tak perlu menyuarakan isi hatiku, dan dia langsung bisa menebaknya.

Saat pelajaran sudah berlangsung selama lima belas menit, tiba-tiba seisi kelas menjadi ribut. Penyebabnya adalah Nam Gil yang berjalan masuk ke dalam kelas dalam keadaan terpincang-pincang, dan wajahnya yang lebam dan dihiasi luka.

“Nam Gil!” tanpa sadar aku sudah berdiri dari kursiku dan menyerukan nama pemuda itu.Pak Baek Sung Hoo melayangkan tatapan memperingatkan padaku, yang membuatku

segera duduk kembali. “Hmm, apa lagi yang kau lakukan kali ini, Kim Nam Gil?” desah guruku itu. “Lihat saja wajahmu itu… ck, ck, ck, hah… sudahlah. Kau membuatku tidak tega menyuruhmu keluar kelas. Duduk sana! Tapi temui aku saat jam istirahat,” katanya.

Nam Gil mengangguk pada pak Baek, lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku tersenyum geli. Hah… aku lega sekarang. Setidaknya lukanya tidak bertambah dari yang terakhir kali kulihat semalam. Walaupun begitu aku tetap mencemaskannya… juga merasa bersalah.

95

Saat melihat pak Baek memunggungi murid-muridnya untuk menulis di papan tulis, aku langsung mengendap-endap mendekati meja Nam Gil tanpa memperdulikan peringatan dari kak Ye Jin, dan mengusir Ryu Dam agar sementara pindah ke mejaku.

Nam Gil tersenyum geli. “Nekat sekali,” komentarnya. “Kau penasaran dengan ceritaku, atau rindu padaku?” godanya.

Aku duduk di kursi Ryu Dam sambil mencondongkan tubuhku ke arah Nam Gil. “Bagaimana lukamu? Pasti sakit sekali, ya? Lalu apa yang terjadi semalam? Paman Yeom Jong benar-benar tidak menghajarmu? Jadi apa yang diinginkan—“

Rentetan pertanyaanku terhenti begitu mendengar Nam Gil terkekeh geli. “Tenang saja. aku sudah pernah terluka seperti ini sebelumnya,” katanya, seolah penjelasan itu bisa menghilangkan kekhawatiranku. “Dan, bukankah sudah kukatakan padamu semalam, paman Yeom Jong tidak berniat menghajarku.”

“Jadi bagaimana? Ayo ceritakan!” desak San Tak dari kursinya.Senyum Nam Gil memudar saat dia mendelik kesal pada San Tak. “Aku sedang bicara

dengan Yo Won. jangan mengganggu!” omelnya.Dengan bersungut-sungut San Tak memutar tubuhnya hingga menghadap ke depan lagi.“Lalu apa?” tanyaku.“Dia ingin merekrutku ke dalam organisasinya.”San Tak kembali berputar secepat gasing menghadap Nam Gil. “Apa kubilang!” serunya

takjub. “Ingat, saat di festival—““Diam,” perintah Nam Gil, membuat San Tak seketika tak bersuara.“Organisasi? Maksudmu… ah, astaga, apakah dia… semacam… mafia?” bisikku.“Tentu saja,” sahut San Tak. “Paman Yeom Jong itu bos mafia.”“Kau rindu pada kepalan tanganku, ya?” desis Nam Gil sambil menyeringai mengancam

temannya itu. “Jadi? Sekarang kau menjadi anggotanya?” tanyaku khawatir. “Astaga!” tanpa sadar aku

berseru nyaring.“Ssstttttttt!!!” desis pak Baek dari depan kelas sambil terus menulis penjelasan

pelajarannya di papan tulis.Nam Gil ikut mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Tidak. Nyaris saja, tapi tidak jadi.

Dan itu berkat bantuan bos Tuan Oem sendiri,” jawabnya dengan berbisik.“Bosnya? Maksudmu paman Yeom Jong bukan bos?” tanya San Tak terkejut.“Dalam organisasi mereka, Tuan Oem bukanlah bos besar. Do Yi Sung lah yang paling

berkuasa,” kata Nam Gil. jelas dia sudah malas memperingatkan San Tak.“Siapa Do Yi Sung? Kenapa dia mau membantumu?” tanyaku.“Dia sahabat kakakku semasa SMU, dan sesama anggota di clubhouse tempat Ayahku

menjadi anggota,” jawab Nam Gil. “Baru sabtu lalu aku bertemu dengannya di lapangan golf dan diperkenalkan Ayahku padanya.”

“Sahabat kakakmu, dan kenalan ayahmu? Kebetulan sekali,” komentar San Tak. “Sahabat kakakmu? Berarti dia masih muda, bagaimana bisa menjadi bos organisasi

seperti itu?” tanyaku.“Dia mewarisi posisi itu dari ayahnya,” jawab Nam Gil. “Aku beruntung semalam kak Yi

Sung sedang kesal pada Tuan Oem yang menggelapkan uangnya, sehingga dia mendatangi pria itu ke barnya. Kalau dia tidak ada, mungkin aku terpaksa setuju menjadi anak buah Tuan Oem. Aku sudah membuatnya merugi banyak.”

“Padahal kan tidak ada ruginya masuk organisasinya,” komentar San Tak. “Mereka penguasa Seoul!”

“Kau saja yang mengajukan diri pada mereka,” gerutu Nam Gil.Tusukan rasa bersalah itu kembali menyesakkan dadaku. “Maafkan aku,” gumamku.“Hei, aku tidak menyalahkanmu,” kata Nam Gil. “Lagi pula, semua sudah lewat.”

96

Aku memaksakan diri untuk tersenyum. Nam Gil tidak tahu. Kalau dia tahu aku sempat terpikir untuk memanfaatkannya… dia pasti akan kecewa dan membenciku. “Kau benar,” akhirnya aku berkomentar.

Selama beberapa saat kami terdiam dalam posisi saling mencondongkan tubuh dari meja masing-masing dan berpandangan. Sorot mata Nam Gil seolah menembus hingga ke jiwaku, dan seketika getaran manis itu kembali merambati dadaku.

Kami baru tersadar setelah mendengar seseorang berdeham dan kemudian diiringi tawa anak-anak lain. Dengan salah tingkah aku membalas tatapan tajam pak Baek Sung Hoo yang diarahkan padaku dan Nam Gil. “Kurasa ini bukan tempat dudukmu, Nona Lee,” tegurnya. “Dan kau, Kim Nam Gil, perhatikan pelajaranku, atau kau akan benar-benar kuusir keluar kelas.”

- Kim Nam Gil - 2 Februari 2011 -

Aku menutup pintu ruang guru di belakangku dengan lega. Untungnya cerita karanganku mengenai keterlambatan dan luka-lukaku dapat diterima.

“Aku mencari-carimu sejak tadi,” kata Yeom Jong sambil berjalan menghampiriku.“Ada apa dengan wajahmu?” tanyaku.“Ini karena kau. Kau membuat Pamanku merugi, tapi kemudian dia tidak bisa

menjadikanmu anak buahnya. Akibatnya, dia melampiaskan kemarahannya padaku,” katanya marah.

“Seharusnya kau lawan dia,” sahutku enteng, lalu berjalan pergi.“Kau gila!?” bentaknya. “Jika saja kau tidak membuat ulah dengan menghajar pria itu!

semua ini tidak akan terjadi!”Dengan cepat aku berbalik menghadapnya. “Pria itu berani menyentuh Yo Won. dia

pantas menerima pukulanku,” desisku tepat di depan wajah Yeom Jong.“Benarkah?” tanya Yeom Jong sambil tertawa sinis. “kau begitu membelanya. Kau sangat

menyukainya?”“Bukan urusanmu.”“Tapi apakah kau sudah yakin perasaannya sama denganmu?” sindirnya.“Apa maksudnya itu?” tanyaku dengan nada tajam.Yeom Jong mengangkat bahu acuh tak acuh. “Mungkin saja dia memperalatmu,” katanya,

kemudian pergi sambil tertawa.Omong kosong apa ini? Apa maksudnya Yo Won memperalatku? Untuk apa? Dasar

bodoh! Aku melihat sendiri bagaimana Yo Won menatapku saat di kelas tadi. Dia terlihat benar-benar mengkhawatirkanku. Perasaannya terlihat tulus, tidak dibuat-buat. Hah… untuk apa juga aku memikirkan omongan si bodoh itu?

- 14 Februari 2011 -

“Ah… ini hari senin paling indah dalam sejarah,” desah San Tak sambil bersandar di lokernya.

“Kenapa?” tanyaku sambil membuka lokerku dan memasukan beberapa buku.San Tak menyeringai dan melambai-lambaikan kotak kecil dengan pita merah muda yang

dipegangnya ke hadapan wajahku. “Cokelat valentine,” sombongnya.Aku tersenyum lebar. “Oh, aku mengerti maksudmu. Seperti ini?” aku pura-pura bertanya

dan mengambil sekantung besar kotak-kotak cokelat dari dalam tasku.“Itu… kau yakin tidak membeli semua itu sendiri?” tuduhnya dengan ekspresi kesal.

97

“Aku menemukan semua itu di laci mejaku, lalu kukumpulkan di dalam kantung plastik,” sahutku. “Ambillah, aku tidak perlu,” lanjutku sambil menyerahkan bungkusan itu padanya.

“Hah… gadis-gadis bodoh. Untuk apa mereka memberimu kalau pada akhirnya akan kau sia-siakan begini?” gerutunya ketika menerima bungkusan dariku.

Aku menyeringai lebar. “Karena aku tampan,” godaku.San Tak mendengus keras seperti kuda. “Oh ya, Yo Won sudah memberimu?” tanyanya

tiba-tiba.Seringaiku segera memudar. Yah, sebenarnya sejak pagi aku mengharapkannya, tapi

tidak terlihat tanda-tanda Yo won akan memberiku cokelat.“Belum,” sahutku berlagak tak perduli. “Ayo ke kafetaria,” ajakku, berusaha mengalihkan

pembicaraan. “Nam Gil!” panggil Yo Won setelah aku dan San Tak memilih makanan. “Di sini!”

serunya sambil melambai-lambaikan tangan mengajakku bergabung di mejanya.Dengan bersemangat aku menyeret San Tak mendekati meja Yo Won, dan sedikit kecewa

saat mendapati di meja itu juga ada Ryu Dam, Moon Shik, Seung Hyo, dan Tae Wong, selain Park Ye Jin yang memang selalu bersama dengan Yo Won. ada apa dengan mereka berempat? Memangnya tidak ada meja lain? Kenapa harus mengerubungi Yo Won?

Untungnya aku tetap bisa duduk di sebelah Yo Won. “Hai,” sapaku.Yo Won membalas senyumku. “Oh ya, aku lupa memberikan ini,” katanya sambil

membungkuk dan mengambil sesuatu dari tas plastik bergambar bintang-bintang berwarna biru yang di taruhnya di dekat kakinya. “Ini untukmu,” katanya ceria.

Aku menerima kotak yang dibungkus kertas kado berwarna putih dan hiasan pita biru muda itu dengan hati gembira. Ternyata Yo Won memberiku cokelat valentine!

“Terima kasih,” kataku riang.“Aku harap kau suka,” kata Yo Won. “Aku membuatnya sendiri.”Aku menatap cokelat pemberian Yo Won dengan perasaan terharu. Yo Won membuatnya

sendiri. Khusus untukku. “Kau—““Dan ini untuk kak Tae Wong—mungkin tidak seenak pemberian kak Ye Jin, tapi

kuharap kakak mau menerimanya,” lanjut Yo Won, sebelum aku sempat berkata-kata. “Ini untuk kak Seung Hyo, ini untuk Moon shik, ini untuk Ryu Dam, dan ini untukmu, San Tak,” katanya sambil terus membagi-bagikan cokelat.

“Wah, untukku juga ada?” seru San Tak takjub, tapi dengan segera dia menghapus ekspresi senang dari wajahnya setelah melihatku kesal.

Kulirik wajah ceria Yo Won. apakah dia benar-benar hanya menganggapku sebagai teman? Sama seperti Tae Wong, Seung Hyo, Moon Shik, Ryu Dam dan San Tak? Apakah aku tidak istimewa baginya, seperti dia yang istimewa bagiku? Napsu makanku langsung hilang. Apalagi saat melihat pemuda-pemuda lain yang diberi cokelat oleh Yo Won itu langsung membuka bungkusannya dan dengan antusias mencoba potongan-potongan kecil cokelat berbentuk bulat dan kotak buatan Yo Won.

“Enak!” puji mereka.“Benarkah? Terima kasih,” sahut Yo Won ceria.“Sebenarnya aku juga ingin mencoba cokelat buatanmu,” kata Tae Wong pada Park Ye

Jin. “Tapi kau melarangku membukanya sekarang.”Park Ye Jin tersipu malu. “Dicoba nanti saja, saat sudah di rumah.”“Wah, apakah itu artinya cokelat untuk Tae Wong istimewa?” goda Seung Hyo, membuat

rona merah di wajah Park Ye Jin semakin menjadi.“Aku harus pergi,” kataku sambil bangkit. “Terima kasih untuk cokelatnya.”Wajah Yo Won terlihat kecewa. “Tapi makananmu belum tersentuh sama sekali,”

katanya.

98

“Aku baru sadar kalau tidak lapar,” sahutku. “Permisi.” Kemudian aku berjalan cepat keluar dari kafetaria.

Hah… kupikir… setelah melihat caranya memandangku, dan juga perhatiannya selama ini… sial! “Argh!!!” aku berlari sambl berteriak kesal.

Setelah sampai di atap, dan duduk memandangi awan putih dan langit biru, barulah aku teringat pada cokelat yang sejak tadi kupegang. Dengan tak semangat aku mulai membuka ikatan pita birunya, lalu kertas kado putih polos pembungkus kotaknya.

“Bintang…” gumamku. Potongan-potongan kecil cokelat pemberian Yo Won untuku berbentuk bintang. Bukan bulat atau kotak seperti yang diberikannya pada teman-teman yang lain.

“Aku sangat suka barang-barang berbentuk bintang.” aku ingat jelas kata-kata Yo Won saat kami membolos waktu itu. Yo Won penyuka bentuk bintang. Dan sekarang dia memberiku cokelat berbentuk bintang. khusus untukku. Hanya untukku. Bukankah ini berarti… astaga!

Cepat-cepat aku berdiri dan berlari menuruni tangga. Tapi baru sampai pertengahan tangga, aku berhenti. Karena Yo Won ada di hadapanku. Dia terengah-engah seperti habis berlari.

“Aku mencarimu,” katanya setelah dapat bernapas dengan lebih teratur. “Tadi sepertinya kau kesal sekali. Ada apa—“

Aku meraih tangan Yo Won sambil tersenyum lebar. “Apa kau mau pergi ke bioskop denganku setelah pulang sekolah?” tanyaku.

Yo Won terperangah. Dia menatap tangannya yang berada dalam genggamanku, lalu wajahku. “Kau sudah tidak kesal lagi?” tanyanya.

Aku tersenyum malu. “Hanya salah paham. Aku… kupikir kau… sudahlah, tidak usah dibahas. Jadi bagaimana? Kau mau menemaniku?”

“Tentu saja!” sahut Yo Won sambil tertawa kecil.

***

Scene 31

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinYong Soo : Park Jung Chul Alcheon : Lee Seung HyoChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinKim Min Sun : (nama asli) San Tak : (tetap nama di QSD)Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Lee Yo Won - 14 Februari 2011 -

“Ada apa dengannya? Apa dia sedang punya masalah?” tanyaku pada San Tak, setelah Nam Gil berjalan keluar dari kafetaria dengan cepat.

San Tak meringis. “Jangan tanya aku,”sahutnya.Kenapa Nam Gil terlihat kesal? Padahal kupikir dia akan senang mendapat cokelat

dariku. “Apa kau… berhubungan dengannya?” tanya kak Tae Wong dengan menatapku tajam.“Kenapa menanyakan hal itu?” aku balik bertanya dengan salah tingkah.

99

Selama beberapa saat kak Tae Wong tak bersuara dan hanya menatapku tajam, tapi kemudian dia tersenyum kecil. “Kalau kalian berhubungan, mungkin dia kecewa melihatmu juga memberi cokelat pada kami,” katanya.

Apakah mungkin begitu? Ya Tuhan, kenapa aku bisa tidak sepeka ini? Padahal…“Yo Won, kau mau kemana?” tanya kak Ye Jin heran, ketika aku bangkit tiba-tiba dari

kursi. “Aku mau mencarinya,” jawabku sambil berlari keluar dari kafetaria.Padahal belum lama, tapi sosok Nam Gil sudah menghilang. Kemana dia? Ah, ya, pasti

ke sana lagi! Kupercepat lariku, dan dengan napas terengah-engah aku menaiki anak-anak tangga. Tapi baru sampai pertengahan tangga, aku berhenti. Karena Nam Gil ada di hadapanku. Berbeda dari saat dia meninggalkan kafetaria dengan wajah murung, sekarang wajahnya dihiasi senyum ceria khasnya yang kusuka.

“Aku mencarimu,” kataku setelah dapat bernapas dengan lebih teratur. “Tadi sepertinya kau kesal sekali. Ada apa—“

Perkataanku terhenti ketika tiba-tiba Nam Gil meraih tangan kananku sambil tersenyum lebar. “Apa kau mau pergi kebioskop denganku?” tanyanya.

Selama beberapa saat aku hanya dapat terperangah seperti orang bodoh sambil menatap tanganku yang berada dalam genggaman tangannya yang besar dan hangat. Kurasakan jantungku berdebar-debar. “Kau sudah tidak kesal lagi?” tanyaku akhirnya, setelah berhasil menenangkan diri. Nam Gil tersenyum malu. “Hanya salah paham. Aku… kupikir kau… sudahlah, tidak usah dibahas. Jadi bagaimana? Kau mau menemaniku?” tanyanya.

“Tentu saja!” jawabku sambil tertawa kecil. Mana mungkin aku menolaknya?

Sepulang sekolah kami singgah sebentar di rumah Paman dan Bibi untuk mengambil helmku, lalu pergi ke bioskop menggunakan motor Nam Gil. Sepanjang perjalanan aku terus tersenyum karena Nam Gil memaksaku memeluk pinggangnya dengan erat. Aku menyukai kedekatan kami ini. aku senang bisa memeluk tubuhnya. Aku suka mencium aroma tubuh Nam Gil—dia tidak menggunakan cologne, tapi justru aroma alami tubuhnya yang bercampur dengan harum sabun mandi itulah yang ku suka.

Kami memilih film komedi romantis yang baru akan diputar beberapa menit lagi, dan sambil menunggu, kami membeli popcorn dan coke, lalu duduk-duduk untuk mengobrol.

“Apa kau sudah mencoba cokelat buatanku?” tanyaku.“Tidak, tapi aku yakin pasti enak,” jawabnya.“Kenapa tidak?” tanyaku kecewa. “Kau tidak suka?”“Tentu saja aku suka,” bantah Nam Gil segera. “Justru aku sangat suka bentuknya, maka

rasanya sayang sekali bila memakannya. Aku akan menyimpannya saja.”Aku tertawa mendengar alasannya. “Kalau begitu nanti akan kubuatkan yang bentuknya

biasa saja agar bisa kau makan,” janjiku. Nam Gil ikut tertawa. “Boleh saja,” katanya. “Emm, Yo Won… terima kasih,”

gumamnya.“Terima kasih? Karena cokelatnya?”“Tidak. Eh, ya,” sahutnya. “Maksudku, terima kasih karena kau memberiku cokelat yang

berbeda dari yang lain,” lanjutnya salah tingkah.Mendengar perkataannya membuatku ikut salah tingkah. “Yah… aku memang

membuatkannya khusus untukmu,” gumamku. Apakah ini saat yang tepat untuk mengatakan bahwa aku sengaja memilih bentuk bintang yang kusuka untuk dirinya karena aku… menyukainya?

100

Selama beberapa saat terjadi keheningan menegangkan diantara kami, hingga Nam Gil beranjak berdiri sambil tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kita berfoto bersama?” ajaknya. Kau sudah menyimpan fotoku, tapi aku tidak punya fotomu.”

Ketegangan itu segera mereda. “Boleh saja. Di ponselmu?” tanyaku.“Bukan di ponsel,” kata Nam Gil. “Di sana,” katanya sambil menunjuk photobox di

sebelah kios penjual popcorn.“Bagus. Ayo!” ajakku bersemangat. Dan karena terlalu bersemangat itulah, aku langsung

membuka tirai penutup photobox itu tanpa mengecek apakah sedang ada orang di dalamnya atau tidak.

“Kau!?” seru Nam Gil kaget.“Kim Nam Gil? Yo won?” kak Seung Hyo balik berseru kaget.“Hai!” sapa gadis yang sedang berada dalam rangkulan kak Seung Hyo. Dia gadis yang

waktu itu datang ke festival sekolah. Kang Eun Mi.Dengan kikuk kak Seung Hyo berusaha menjauhkan Kang Eun Mi dari dekapannya, tapi

gadis manis bertubuh mungil itu menolak. “Kalian juga mau berfoto?” tanya Kang Eun Mi ceria. “Maaf, bisa tunggu sebentar?”

“Eh, ya, tidak apa-apa,” sahutku geli. “Teruskan saja. maaf mengganggu,” kataku sambil menarik Nam Gil menjauh.

“Yang benar saja,” gumam Nam Gil. “Seung Hyo berpacaran dengan gadis kecil?”Aku tertawa geli. “Menurut kak Tae Wong, gadis itu tergila-gila pada kak Seung Hyo

setelah ditolongnya dari gangguan berandalan,” kataku menjelaskan. Tak lama kemudian pasangan yang kami perbincangkan itu muncul dengan bergandengan

—sebenarnya Kang Eun Mi lah yang memaksa menggandeng lengan kak Seung Hyo.“Maaf membuat kalian menunggu,” kata Kang Eun Mi ceria. “Tapi sekarang kalian sudah

bisa menggunakannya. Kami sudah mendapat banyak foto,” katanya sambil memamerkan foto-foto mereka berdua.

“Eun Mi,” geram kak Seung Hyo memperingatkan, tapi seolah tak perduli, Kang Eun Mi tetap menunjukan foto-foto tersebut.

Dengan geli aku melihat ekspresi lucu Kang Eun Mi dan kak Seung Hyo dalam foto-foto itu. mungkin kak Seung Hyo memang malu memperlihatkan kemesraan di depan umum, tapi saat berfoto dengan Kang Eun Mi, jelas terlihat kak Seung Hyo juga menyukai gadis itu.

“Sudahlah, ayo kita pergi,” desak kak Seung Hyo. “filmnya sudah dimulai. Kami pergi dulu,” katanya padaku dan Nam Gil.

“Oh, ya,” sahutku, berusaha menahan tawa sambil membalas lambaian tangan Kang Eun Mi. “Ayo, Nam Gil,” aku menarik pemuda itu untuk masuk ke dalam photobox tadi.

Karena ruang di dalamnya sempit, maka kami berdua harus berdempet-dempetan. “Siap?” tanya Nam Gil. “mulai.”

Awalnya berfoto dengan gaya biasa, tapi kemudian kami sengaja membuat tampang konyol dan bersaing menunjukkan gaya-gaya aneh yang membuat kami tertawa sendiri. Lalu, ketika tinggal dua kali foto terakhir, tiba-tiba aku mengikuti desakan hati untuk mencondongkan tubuh ke arah Nam Gil dan mengecup pipi kirinya. Seketika itu juga tubuh Nam Gil menegang dan berubah sekaku patung.

Hasil foto keluar, dan aku segera mengambil foto itu, kemudian keluar dari photobox meninggalkan Nam Gil yang masih duduk mematung di sana. Astaga. Ya Tuhan. Apa yang kulakukan tadi? Memalukan sekali!

Dengan jantung berdebar kencang aku menatap dua foto terakhir kami yang menunjukkan ekspresi terkejut Nam Gil ketika tiba-tiba saja aku mengecup pipinya.

“Hasilnya bagus,” komentar Nam Gil dari belakangku.Terkejut, aku berbalik dan semakin salah tingkah saat melihat sorot mata Nam Gil

padaku. Ya Tuhan, aku bisa meleleh sekarang juga.

101

“Fotonya kita bagi dua,” gumamku. “Ini untukmu,” kataku, menyerahkan sebagian pada Nam Gil. Masing-masing dari kami menyimpan foto diriku yang mengecup pipi Nam Gil tadi. Mungkin memalukan dan membuat canggung, tapi kurasa foto ini akan jadi kenang-kenangan manis.

Lagi-lagi terjadi keheningan menegangkan diantara kami. Tapi untungnya tak lama kemudian diumumkan bahwa film yang kami pilih akan segera diputar.

“Ayo,” ajak Nam Gil sambil mengulurkan tangannya untuk kugandeng, yang segera kusambut dengan senang hati.

- Kim Nam Gil - 14 Februari 2011 -

Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan film yang sedang diputar. Mataku terus saja melirik Yo Won yang terlihat sangat menikmati film di sebelahku. Sejak tadi dia terus tertawa renyah melihat aksi-aksi konyol para aktor dan aktris di film tersebut. Tapi aku tidak bisa menikmatinya. Pikiranku terus tertuju pada kecupan Yo Won tadi.

Kurasakan dadaku dirambati getaran yang menggelitik dan kemudian menghangatkan hatiku. Apa artinya kecupannya tadi? Cokelat bintang, lalu kecupan. Bukankah itu artinya… dia suka padaku, kan? Diam-diam aku meliriknya lagi, dan ikut tersenyum saat melihat wajah gembiranya. Apakah ini saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku?

“Emm… Yo Won,” panggilku. “Aku—““Di sini. Kita duduk di sini! Ah, sayang sekali kita terlambat beberapa menit.” Dengan

kesal aku menoleh ke arah keributan itu, dan melihat sepasang remaja menduduki kursi-kursi di sebelah kananku. Sial, mengganggu saja.

“Ya?” tanya Yo Won acuh tak acuh sambil mengunyah popcornnya.“Emm… aku—“Tiba-tiba pasangan tadi tertawa kencang melihat adegan konyol yang ditampilkan.

Mungkin ini pertanda bahwa sekarang bukan saat yang tepat, tapi tetap saja aku kesal. Tawa mereka berlebihan sekali. Aku memelototi mereka, dan semakin melotot saat mengenali wajah-wajah itu. “Peramal!” seruku kaget.

“Kau!” seru Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin kompak. “Bibi!”“Kalian!?” Yo Won balas berseru kaget.“Selamat sore,” sapa pasangan peramal itu kikuk.“Kebetulan sekali,” komentar Yo Won. “Tadi kak Seung Hyo, sekarang kalian. Apa

semua orang pergi ke bioskop hari ini?” katanya geli.Hah… sial. Kenapa di saat aku dan Yo Won sedang asyik berdua, mereka selalu muncul?

Waktu itu saat sedang bermain di game center, dan sekarang… hah. Aku mencoba memusatkan perhatian kembali pada filmnya, tapi tidak tertarik sama sekali. kenapa tadi aku tidak memilih film horor saja? siapa tahu Yo Won akan ketakutan lalu memelukku? Aku menyeringai membayangkan adegan yang hanya ada dalam kepalaku itu.

Seringaianku memudar karena merasa sedang diperhatikan. Aku menoleh ke kanan, dan melihat Yoo Seung Ho sedang mengamatiku. Pemuda itu terkesiap kaget dan ngeri saat aku membalas tatapannya. Astaga, sepertinya anak ini benar-benar tidak waras.

Aku kembali mengalihkan perhatianku pada film sambil memakan popcorn, tapi kemudian teringat bahwa bocah peramal ini belum menjawab pertanyaanku waktu itu. aku mencondongkan tubuh ke kanan dan menahan tangan pemuda itu kuat-kuat di kursinya agar dia tidak bisa kabur lagi kali ini.

Dalam temaram ruangan, aku masih dapat melihat ekspresi ketakutan yang terpancar dari wajahnya. “Kau pernah berkelahi?” tanyaku berbasa-basi.

102

Yoo Seung Ho berjengit ngeri, kemudian menggeleng. “Tidak pernah memukul orang?” tanyaku lagi, yang kembali dijawab dengan gelengan kepala. “Pernah dipukul?” aku melanjutkan wawancaraku dengan nada direndahkan agar Yo Won tak mendengarnya.

“Jangan…” rengek Yoo Seung Ho ketakutan.Aku menyeringai. “Aku tidak suka memukul anak kecil,” kataku berlagak ramah. “Tapi

kau bisa jadi yang pertama, bila terus berusaha menghindari pertanyaanku,” ancamku. Jelas aku tidak serius—aku bersumpah tak akan memukul anak kecil, dan tak akan kulanggar hanya karena bocah ini—tapi sepertinya Yoo Seung Ho mempercayai ancaman itu, dan benar-benar ketakutan membayangkan akan menerima pukulanku.

“Baik, baik, tanyakan saja,” katanya cepat. “akan kujawab!”“Kalian membicarakan apa?” tanya Yo Won.“Bukan apa-apa,” jawabku santai. “Hanya obrolan antar lelaki,” tambahku, mengingat

rasanya itu kalimat yang sering disebutkan dalam film-film untuk situasi seperti ini. dan berhasil, karena Yo Won kembali asyik menonton.

“Baiklah,” kataku dengan nada diseret-seret. “katakan, menurut pengelihatanmu, siapa aku di kehidupan pertamaku?”

Mata Yoo Seung Ho terbelalak lebar. “Itu… aku… kau...”“Kau tahu tidak, kalau setiap hari aku berangkat sekolah tanpa membawa buku pelajaran?

Kenapa? karena tasku sudah penuh dengan berbagai macam senjata. Yah, kau tahu sendiri, untuk situasi darurat,” kataku.

Yoo Seung Ho semakin ketakutan saat melirik tas ransel yang kupangku. “Kau… seorang ahli pedang.”

Aku mengangguk-angguk. “Kedengarannya bagus. Lalu?”“Kau… kau kemudian menjadi hwarang, lalu… pejabat istana,” jawabnya gugup.Aku merenungkan jawaban itu. “Kau tidak berbohong, kan?”“Tidak! Aku bersumpah!”“Baiklah. Lalu? Yang ingin kutahu, apakah di kehidupan pertamamu kau mengenalku?

Apakah kita hidup di masa yang sama?”Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin saling bertukar pandang sebelum pemuda itu menjawab

pertanyaanku. “Eh, ya. Begitulah.”“Hmm, jadi, apakah kita bermasalah di masa lalu? Kenapa kau seperti takut padaku?”

tanyaku dengan mata disipitkan.Yoo Seung Ho memaksakan tawa. “Bukankah hal wajar bila terkadang berselisih paham?

Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda, kan?” jawabnya mengelak.“Ah, jadi kita memang tak akur,” komentarku. “Baiklah. Sekarang pertanyaan keduaku.

Kau bilang Yo Won seorang putri di kehidupan pertamanya. Siapa namanya?”“Apakah penting untuk mengetahuinya? Bibi saja tidak perduli,” elaknya.“Tapi aku perduli,” kataku tegas. “Apakah namanya… Deokman?” tanyaku, menebak-

nebak.Sedetik sebelum kilasan itu membutakanku, aku sempat melihat wajah terkejut Yoo

Seung Ho. Dalam kilasan pengelihatan itu aku melihat wanita itu lagi. Kilasan yang sama seperti yang pernah kulihat beberapa kali sebelumnya. Saat dia menangis, dan aku yang berusaha memanggil namanya, “Deokman.” Tetapi yang terdengar bukanlah teriakan lantang seperti yang kuinginkan, melakinkan hanya bisikan pelan, karena di saat bersamaan aku sedang berjuang menahan rasa sakit tak terperi akibat tusukan pedang yang kuterima.

“Nam Gil? Nam Gil? kau tidak apa-apa?” Suara lembut Yo Won menyadarkanku. Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin telah menghilang. “Kau kenapa?” tanya Yo Won lagi dengan nada khawatir.

Aku menggeleng sambil memaksakan diri untuk tersenyum. “Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawabku. “Kemana dua anak tadi?”

103

“Ketika kau sedang melamun, mereka berpamitan pergi. katanya ada urusan penting,” jawab Yo Won.

Sial mereka kabur lagi. Tapi, apakah ini berarti tebakanku benar? Aku melirik Yo Won yang juga sedang memandangiku. Apakah Yo Won adalah Putri Deokman di kehidupan pertamanya?

Saat berjalan keluar setelah selesai menonton pun, kepalaku masih disesaki pikiran mengenai Yo Won dan sang putri yang kemudian menjadi ratu. Benarkah tebakanku?

“Kim Nam Gil!” aku mendengar seseorang menyerukan namaku. Demi Tuhan, siapa lagi sekarang?

“Bukankah dia bos murid SMU Haegu yang waku itu kita lawan?” bisik Yo Won.Benar. Choi Min Sung. Hah… apa dia tidak bosan menggangguku terus? Pemuda itu

berjalan cepat mendekatiku bersama seorang gadis dalam gandengannya.“Mau apa lagi kau?” tanyaku ketus.Choi meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Emm, aku cuma mau

menyampaikan, bahwa sekarang aku sudah tahu siapa pelaku pemukulan adikku yang sebenarnya.”

“Oh ya?” komentarku acuh tak acuh.“Dia memang murid SMU Chongjan,” kata Choi. “Yeom Jong dan anak-anak buahnya.”Sial. Si bodoh itu lagi. Gara-gara dia, motorku sempat disita, dan beberapa kali aku telah

diserang anak-anak SMU Haegu. Benar-benar pembawa sial!“Kalau begitu cepat minta maaf padaku,” perintahku.“Eh, ya, maaf,” kata pemuda itu salah tingkah. “Tapi, dia kan temanmu juga… jadi aku

sempat terpikir—““Masih meragukanku juga?” desisku kesal. “Bila memang ingin menghajar adikmu, aku

tidak memerlukan bantuan Yeom Jong atau siapapun.”“Tidak, tidak! Aku tidak meragukanmu!” sergah Choi cepat. “Sekali lagi aku ingin

meminta maaf.”“Baik, kau kumaafkan,” sahutku acuh tak acuh. “Jadi, apa kau akan membuat perhitungan

dengannya?” tanyaku.Wajah Choi berubah muram. “Inginnya begitu, tapi Ayahku bawahan Tuan Oem, jadi aku

tidak bisa menyentuhnya.” Hah… beruntung juga si pembawa sial itu. Tiba-tiba aku sadar gadis dalam gandengan Choi itu sejak awal terus mengamatiku

dengan cara yang menurutku agak berlebihan hingga membuatku merasa tak nyaman. Ada apa dengannya?

Gadis itu menjauh dari Choi dan mendekatiku dengan tatapan terfokus hanya padaku. “Kau benar-benar Kim Nam Gil yang itu? Adik kak Jung Chul?” tanyanya setelah jarak diantara kami hanya tersisa dua langkah.

Siapa gadis ini? wajahnya… rasanya memang tidak asing. Mirip dengan si… ah, tidak mungkin. Gadis itu kan jelek. “Ya. Kau siapa? Darimana kau mengenal kakakku?”

Gadis itu tersenyum lebar sambil meraih tanganku dan digenggamnya erat-erat. “Kau tidak ingat aku? Kim Min Sun! adik sepupu kak Jung Chul,” katanya antusias.

Aku tersentak kaget. Ternyata benar. Kim Min Sun. aku langsung meneliti penampilannya, dan tidak bisa memungkiri bahwa sekarang dia terlihat cantik. Berbeda sekali dengan penampilannya ketika SD. Dulu dia pendek, sedikit gemuk, berkawat gigi, dan rambut keriting berantakan. Tapi sekarang… dia menjelma menjadi gadis bertubuh tinggi langsing, dengan gigi sempurna, dan rambut lurus panjang.

“Kalian saling kenal?” tanya Choi.“Tentu saja,” sahut Min Sun tanpa mengalihkan perhatiannya dariku. “kami sudah kenal

sejak kecil. Bahkan hingga kelas enam SD kami terus sekelas, tapi kemudian aku dan keluargaku pindah ke Amerika.”

104

Aku menarik tanganku hingga terlepas dari genggamannya. Kenapa dia bertingkah seakan dulu kami sangat akrab? Padahal seingatku dulu kami tak pernah bicara bila tak benar-benar perlu. Saat melirik Yo Won, kulihat ekspresinya menjadi murung, tidak ceria seperti beberapa menit yang lalu. Hah, sial. Kenapa banyak sekali pengganggu hari ini?

“Aku dan keluargaku kembali ke Korea setahun yang lalu,” kata Min Sun tanpa kutanya. “Ayahku memasukkanku ke SMU Haegu karena dekat dengan rumahku, padahal aku ingin masuk SMU Chongjan juga saat mendengar kau sekolah di sana. Aku penasaran ingin melihat penampilanmu sekarang. Ternyata kau memang berubah. Sekarang kau jadi tampan, tidak seperti dulu,” lanjutnya, terus berceloteh.

Sial. Memangnya dulu aku jelek? “Penampilanmu juga lebih baik sekarang,” balasku.Min Sun tertawa, lalu menepuk-nepuk pundakku. “Sekarang kau jadi suka bicara?

Padahal dulu kau seperti orang bisu,” oloknya.Aku memberikan senyum palsu. “Senang bertemu denganmu. Tapi kami harus pergi

sekarang,” kataku sambil menggandeng tangan Yo Won.Tawa Min Sun berubah menjadi senyum tipis saat dia mengalihkan tatapannya kepada Yo

Won yang balas menatap gadis itu dengan keangkuhan yang jarang kulihat darinya. Aku tersenyum geli melihat wajah menantang Yo Won saat ini.

“Kekasihmu?” tanya Min Sun acuh tak acuh. Tapi sebelum aku sempat menjawab, dia sudah melanjutkan perkataannya. “Baiklah, kalau begitu kita akan bertemu lagi nanti.”

Aku tidak mengharapkannya. “Yah, kalau be—“ kata-kataku terhenti saat Min Sun mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu mengecup bibirku. Aku segera mendorongnya. “Hei! Apa-apaan kau!?”

Min Sun tersenyum. “Itu salam pertemuan kembali kita,” sahutnya ceria. “Sampai jumpa nanti, Nam Gil!”

***

Scene 32

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung King Jin Pyeong : Lee Min KiKim Min Sun : (nama asli)

- Lee Yo Won - 19 Februari 2011 - “Ada apa? Kau terlihat tidak bersemangat hari ini,” komentar Ayah. “Apa kau sedang tidak sehat?”

Aku berhenti memain-mainkan makanan di mangkukku, dan menatap Ayah sambil memaksakan senyum. “Tidak, aku baik-baik saja. hanya sedang memikirkan sesuatu,” jawabku.

“Apakah ada yang bisa Ayah bantu?” tawarnya.Tidak ada. Kecuali Ayah bisa membuang gadis bernama Kim Min Sun ke luar angkasa!

Aku mendengus menertawakan diri sendiri saat terpikir mengenai hal gila itu. Tapi masalahnya aku benar-benar kesal, muak, dan marah pada gadis itu. Berani-beraninya dia mencium Nam Gil begitu saja. Di depan umum. Di hadapanku! Apa dia ingin menantangku!? Ya, aku dan Nam Gil memang tidak berpacaran, tapi setidaknya dia harus menghormati keberadaanku waktu itu. Seharusnya dia tidak menggoda Nam Gil. Seharusnya dia tidak mencium Nam Gil!

105

Hatiku seolah diremas kuat saat melihat adegan itu terjadi tepat di depan mataku. Hanya beberapa menit setelah aku bersenang-senang dengan Nam Gil. Di saat aku sedang mempertimbangkan untuk menyatakan perasaanku, tiba-tiba saja gadis itu muncul lalu mencium Nam Gil dengan entengnya!

“Yo Won?” tegur Ayah sambil memperhatikan tangan kananku. Ternyata tanpa sadar aku telah meremas taplak meja kuat-kuat. “Sebenarnya ada masalah apa?”

“Hanya masalah dengan… temanku. Bukan masalah besar,” kataku menenangkannya. Kurasakan ponselku bergetar di dalam saku celana jinsku. “Ah, ada telepon,” kataku sambil beranjak pergi menjauh dari meja makan. “Halo?”

“Yo Won?” Itu suara Nam Gil.Aku menghembuskan napas pelan. Semenjak hari itu aku terus berusaha menghindarinya.

Aku tahu ciuman itu bukan salah Nam Gil. Gadis tak tahu malu yang dijelaskan Nam Gil sebagai keponakan ibu tirinya itu yang menciumnya. Dan aku juga melihat sendiri Nam Gil langsung mendorongnya. Tapi tetap saja… aku merasa kesal, marah, dan… cemburu. Aku tidak suka Nam Gil begitu intim dengan gadis lain. Aku tidak suka!

“Halo? Yo Won?” panggil Nam Gil.Mungkin sudah saatnya aku berhenti mengambek seperti anak kecil. “Ya?”Hening sebentar, sebelum Nam Gil mulai mengeluarkan suara. “Ada apa? Di sekolah kau

terus menghindariku. Telepon dan SMSku pun tidak kau balas,” katanya dengan gabungan nada cemas dan kesal. “Kau marah padaku?”

Aku langsung merasa malu sendiri. Yah, bagaimana bisa aku marah karena gadis lain mencium pemuda yang bukan siapa-siapaku? Hah… “Tidak,” bantahku.

“Kau bohong,” katanya. “Kalau tidak, kau tidak akan menghindariku seperti ini.”“Kau menelepon hanya untuk mengintrogasiku?” gerutuku.“Tidak. Aku ingin bicara denganmu. Bisakah kita bertemu?”Hatiku serasa bergetar mendengar suara membujuk Nam Gil. sejujurnya aku

merindukannya. “Baiklah. Kapan? Siang ini?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kegembiraan dan ketidak sabaranku untuk segera bertemu dengannya.

“Bisakah kita keluar malam ini?” tanya Nam Gil antusias.“Kurasa bisa,” jawabku. “Malam ini aku menginap di rumah Ayahku lagi.”“Bagus. Baiklah, aku akan menjemputmu ke sana jam delapan malam ini.”“Aku akan menunggumu.”

Tepat jam delapan malam Nam Gil sampai ke rumahku. “Ayo masuk,” ajakku, saat membukakan pintu untuknya. “Maaf, sebentar lagi aku siap,” kataku.

“Ya, tidak apa-apa,” sahut Nam Gil diiringi dengan senyum khasnya. “Selamat malam, Tuan Lee,” sapanya pada Ayah yang baru saja keluar dari ruang kerjanya.

“Selamat malam,” sahut Ayah ramah. “Tunggu sebentar, aku akan mengambil jaket dan tasku,” kataku pada Nam Gil sebelum

berlari menaiki tangga ke lantai dua.Saat aku kembali dengan barang-barang yang kuambil tadi, aku mendengar Nam Gil

menyebutkan alamat rumahnya. Rupanya Ayah menanyainya. Astaga, aku lupa… Ayah belum tahu kalau Nam Gil keponakan Bibi Hyun Jung! aku memang tidak mempermasalahkannya, karena toh dia hanya keponakannya, tapi… bagaimana reaksi Ayah?

“Bukankah itu… alamat keluarga Go?” tanya Ayah kaget.“Aku sudah siap,” aku buru-buru muncul. “Ayah, kami pergi,” kataku sambil menarik

Nam Gil.“Eh, ya,” Nam Gil tetap menjawab. “Benar. Kudengar Bibiku saudara tirimu,” lanjutnya.Ayah tersentak kaget. “Bibimu? Kau keponakan Hyun Jung?”

106

Nam Gil berdeham, lalu mengiyakan.“Ini sudah malam,” kataku. “Ayo kita pergi. Ayah, aku pergi dulu.”“Ya… eh, ya…” sahut Ayah masih dengan terperangah. “Hati-hati dan jangan terlalu

malam,” pesannya.“Tenang saja Tuan Lee, aku akan menjaga Yo Won,” janji Nam Gil.

“Bukankah ini jalan menuju sekolah?” tanyaku di dekat telinganya yang tertutup helm.“Benar,” seru Nam Gil menjawab pertanyaanku.“Sebenarnya kita akan pergi ke mana?” tanyaku lagi.“Tunggu dan lihat saja nanti,” jawabnya sambil mempercepat laju motornya.“Ini memang sekolah,” komentarku setelah sampai dan Nam Gil memarkirkan motornya

di dekat tembok belakang sekolah. “Mau apa kita ke sini malam-malam begini?”Nam Gil melepas helmnya sambil menyeringai. “Tenang saja, aku tidak berniat buruk,”

katanya.“Aku tahu itu. tapi untuk apa kemari?” tanyaku setelah ikut melepas helmku.“Ayo kita memanjat seperti saat membolos hari itu,” ajaknya.“Kau gila? Kita menerobos sekolah malam-malam begini?” protesku.“Ayolah, naiki punggungku seperti waktu itu,” desaknya sambil membungkuk.Aku menunduk dan melirik sepatu hak tinggiku. “Sepatuku,” gumamku. “Aku tidak

menyangka kau akan mengajakku memanjat-manjat tembok malam ini,” keluhku sambil melepas sepatu.

Nam Gil tertawa. “Ayo cepat,” desaknya.Seperti hari itu, aku menaiki punggung Nam Gil lalu memanjat tembok. setelah aku

duduk dengan aman di atasnya, barulah Nam Gil ikut memanjat naik dan kemudian kami melompat bersamaan ke bawah.

“Sepatuku! Tertinggal di luar,” seruku, baru teringat.Nam Gil menatap kaki-kakiku, lalu berputar memunggungiku. “Naiklah,” perintahnya.

“Ayo, naik ke punggungku.”Getaran itu kembali menggelitik hatiku, dan sejurus kemudian berubah menjadi debaran

kencang. “Eh, tidak usah, tidak apa-apa,” kataku canggung.“Ayo!” paksanya. Dengan sedikit malu tapi juga senang, aku melompat ke punggung Nam Gil, kemudian

melingkari pinggangnya dengan kakiku dan mengalungkan kedua lenganku di lehernya.“Kau ringan sekali,” komentar Nam Gil. “Siap?” tanyanya. Tapi sebelum aku sempat

menjawab “ya”, dia sudah membawaku berlari dengan cepat hingga membuatku berteriak-teriak ngeri.

“Nam Gil! Nam Gil! berhenti!” jeritku saat dia tetap menggendongku dengan berlari ketika menaiki tangga samping yang bisa dijadikan jalur alternatif menuju atap.

Nam Gil tertawa terbahak-bahak sambil menurunkanku dari gendongannya ketika akhirnya kami sampai di atap.

Aku memukul punggungnya dengan gemas. “Kau gila, ya? Bagaimana kalau aku jatuh?” gerutuku.

Nam Gil tersenyum geli. “Mana mungkin aku membiarkanmu celaka?” Walaupun dia mengucapkannya dengan gaya bercanda, tapi aku mendengar keseriusannya.

“Jadi, untuk apa kau membawaku kemari?” tanyaku masih berpura-pura marah.Nam Gil meraih tanganku, lalu dituntunnya aku ke salah satu sisi pagar pendek yang

mengelilingi atap. “Bukankah kau bilang kau suka benda-benda berbentuk bintang?” tanyanya.

“Yah, ya,” jawabku.

107

Nam Gil tersenyum sambil menatap tajam mataku. “Karena itu, kurasa kau akan lebih suka melihat bintang yang asli,” katanya sambil menunjuk langit gelap yang ditaburi bintang yang berkilau bagai permata. “Ini balasan untuk cokelat bintangmu,” tambahnya.

Aku memandangi permata-permata langit itu dengan kagum. Entah kenapa aku sangat suka bintang. mungkin karena sejak kecil Ibu sering mengajakku melihat bintang. aku menoleh ke arah Nam Gil, dan melihatnya sedang memandangiku dengan sorot penuh kasih. Tanpa dapat dicegah jantungku langsung berdebar-debar.

“Terima kasih,” kataku sambil balas menatapnya dengan tajam. “Aku suka.” Bukan hanya bintang-bintangnya, melainkan dirinya juga. Aku menyukainya. Aku… kurasa aku… jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada ketegarannya. Aku jatuh cinta pada keberaniannya. Aku jatuh cinta pada tekad kuatnya. Aku jatuh cinta pada sorot matanya saat memandangku. Aku jatuh cinta pada senyumnya untukku. Aku jatuh cinta pada perlakuannya padaku. Aku jatuh cinta padanya.

Nam Gil tersenyum. Diremasnya tanganku yang berada dalam genggamannya. “Aku rasa kau menyadari bahwa selama ini aku menganggapmu istimewa,” katanya. “Kau berbeda. Orang lain meremehkanku, tapi kau berkata bahwa kau kagum padaku. Orang lain takut padaku, tapi kau terlihat nyaman bersamaku. Orang lain meragukan dan menuduhku, tapi kau tetap mempercayaiku.”

“Nam Gil—““Tunggu, biar kuselesaikan,” pintanya. “Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu.

Kelebihan dan kekuranganmu. Keseluruhan dirimu. Kurasa aku sudah jatuh cinta padamu.”Hatiku terasa hangat mendengar ketulusan yang terpancar dari kata-katanya. Selama ini

aku sudah menyadari perasaannya padaku, tapi saat mendengarnya secara langsung seperti sekarang, membuatku tak bisa berkata-kata selama beberapa saat.

Tapi, inilah saat yang paling tepat untuk menyatakan perasaanku padanya. “Aku juga. Aku juga jatuh cinta padamu,” kataku jujur. “Mungkin bagi orang lain kau jahat, menakutkan, atau apapun itu… tapi aku tidak perduli anggapan mereka. Karena kau yang kukenal berbeda dengan anggapan mereka. Mungkin kau tidak sempurna—karena tak ada orang yang sempurna—tapi kau sempurna untukku.”

Sorot mata Nam Gil semakin lembut. “Terima kasih, karena menyukaiku apa adanya,” gumamnya.

Aku tersenyum. “Terima kasih juga, karena sudah memilihku untuk menerima hatimu,” kataku tulus.

Selama beberapa saat kami hanya berdiri diam dibawah langit malam yang ditaburi bintang sambil bertatapan dan berpegangan tangan dengan erat. Rasanya begitu… tepat. Entah kenapa. Aku yakin jatuh cinta pasti terasa membahagiakan seperti ini, tapi… sepertinya ada sesuatu yang lain, yang membuat apa yang kurasakan saat ini menjadi lebih sempurna. Yang kurasakan ini seperti… kelegaan, juga rasa puas. Seolah aku sudah menanti ini sejak lama sekali.

Sejam kemudian kami habiskan dengan berbaring di atap. Mengobrol sambil memandangi kilauan bintang.

“Tanganmu tidak pegal?” tanyaku, karena selama berbaring di sini, aku menggunakan lengan Nam Gil sebagai bantalku.

Nam Gil menoleh ke arahku sambil tersenyum. “Tidak. Aku senang kau di dekatku,” katanya, membuatku senang sekaligus tersipu malu.

Tiba-tiba aku teringat pada gadis itu. “Emm… apa kau pernah bertemu gadis itu lagi setelah hari—“

“Tidak,” potong Nam Gil. “Tidak pernah. Dan kuharap tidak akan lagi. Aku tidak tahu dia dirasuki kegilaan apa hari itu sampai menciumku,” gerutunya.

“Kau tidak suka ciumannya?” selidikku.

108

“Dia bukan dirimu, bagaimana mungkin aku menyukai ciumannya?”Mendengar perkataannya membuat hatiku serasa dirambati getaran manis itu lagi. Nam

Gil sama sekali tidak tergoda pada gadis itu. Tanpa dapat dicegah, aku langsung tersenyum puas.

“Karena dia, kau marah dan menjauhiku beberapa hari ini, kan?” tanya Nam Gil tiba-tiba.Aku tersentak kaget dan malu. “Kenapa mengira begitu?” elakku, sambil duduk.Nam Gil ikut bangkit dan duduk di sebelahku. “Memangnya tidak?” gerutunya. “Padahal

aku sudah senang memikirkan kau cemburu padaku.”Aku meninju lengannya pelan. “Jadi kau senang melihatku cemburu!?” tanyaku pura-pura

marah.Nam Gil menyeringai. “Karena itu artinya kau perduli padaku,” jawabnya.Aku mencondongkan tubuh ke arahnya dan melotot. “Sekarang kau milikku. Awas kalau

aku melihatmu berciuman dengan gadis lain lagi!” ancamku. Walaupun kuucapkan dengan gaya bercanda, tapi aku serius dengan perkataanku.

Seringai Nam Gil semakin lebar. Dia ikut mencondongkan tubuh ke arahku. “Kau juga milikku. Awas kalau aku melihatmu tebar pesona pada pria lain!” katanya, ikut mengancam dengan serius.

“Aku tidak pernah tebar pesona!” protesku “Yah, tanpa kau sadari,” sahut Nam Gil dengan nada kesal. “kau bersikap sangat akrab

pada semua teman priamu.”“Bukankah wajar saja? mereka kan temanku?”“Tapi aku tidak suka!” kata Nam Gil berkeras. “Bagaimana kalau mereka salah

mengartikan kebaikanmu? Bagaimana kalau mereka besar kepala dan mengira kau menyukai mereka? Bagaimana kalau kemudian mereka mulai merayumu?”

Aku berusaha menahan senyum geliku mendengar Nam Gil begitu terganggu dengan sikapku pada teman-teman yang lain. “Kita baru mulai berpacaran kurang lebih sejam yang lalu, dan sudah bertengkar,” olokku.

“Aku tidak bermaksud memulai pertengkaran,” bantahnya segera.“Begini,” kataku sambil menatap tajam matanya. “Bagaimana kalau situasinya dibalik.

Bagaimana kalau kau bersikap ramah pada teman-teman wanitamu, lalu mereka menyalah artikannya dengan mengira kau menyukai mereka, kemudian merayumu? Apa reaksimu?”

“Tentu saja aku akan menolak mereka dengan tegas!” kata Nam gil berapi-api. “Aku sudah memilikimu. Untuk apa aku memerlukan mereka?”

Aku memukul dada Nam Gil dengan pelan. “Nah! Itu juga yang akan kulakukan,” kataku serius. “Akan kukatakan pada mereka, bahwa aku hanya menganggap mereka teman biasa. Karena tempat istimewa di hatiku sudah diisi olehmu.”

Nam Gil tersenyum salah tingkah. “Aku senang mendengarmu berkata semanis ini,” gumamnya.

Aku juga menjadi salah tingkah. Tidak setiap hari aku mengeluarkan banyak kata-kata “manis” seperti malam ini, tentu saja aku jadi merasa canggung. “Hmm, dari sini bintangnya terlihat indah,” gumamku, sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Aku yakin kau akan suka,” kata Nam Gil sambil memandangi langit. “Beberapa tahun lalu aku kemari di malam hari, ketika ulang tahunku. Saat itu semua masalahku seolah terhapuskan oleh kekaguman pada pemandangan langit dari tempat ini.”

Aku menoleh ke arahnya. “Di hari ulang tahunmu? Untuk apa kau kemari malam-malam?” tanyaku heran. “ah, aku bahkan tidak tahu tanggal lahirmu,” tiba-tiba aku teringat telah melupakan hal penting itu.

Nam Gil mengalihkan perhatiannya dari langit untuk memandangku. “13 Maret. Kau? Kapan ulang tahunmu?”

109

“9 April,” jawabku. Hmm, 13 Maret. Hadiah apa yang akan kuberikan padanya nanti? “Kau belum menjawab pertanyaanku yang lain. untuk apa kau menyelinap masuk ke sekolah malam-malam di hari ulang tahunmu?”

Nam Gil kembali memandangi langit. “Saat itu aku masih kelas tiga SMP. Aku belum menjadi murid di sini, tetapi karena berlatih taekwondo bersama guru Jung semenjak kelas satu, maka aku sudah hapal dengan tempat ini,” katanya mulai bercerita. “Malam itu aku bertengkar dengan Ibuku, lalu aku pergi dari rumah tanpa tujuan, dan tanpa sadar aku sudah sampai di depan sekolah. Aku memanjat masuk, lalu naik ke tempat ini. begitulah, semenjak itu atap ini menjadi tempat favoritku saat sedang suntuk. Baik siang ataupun malam hari.”

Selama beberapa menit aku tak bersuara karena tampaknya Nam Gil butuh keheningan, tapi aku menjadi bertanya-tanya. Apa yang membuat Nam Gil bertengkar dengan ibunya di hari ulang tahunnya? Kupikir semenjak bayi Nam Gil tidak pernah lagi bertemu ibunya, tapi ternyata… apakah saat SMP Nam Gil sempat tinggal bersama ibu kandungnya?

“Kenapa mengerutkan kening begitu?” tanya Nam Gil tiba-tiba sambil menyentuh keningku dengan telunjuknya.

“Apa kau keberatan kalau aku bertanya?” tanyaku, dan dijawab dengan gelengan kepala Nam Gil. “Kau bilang kau kemari setelah bertengkar dengan ibumu. Aku hanya heran, karena kupikir selama ini kau tak pernah bertemu dengannya semenjak kecil,” kataku.

Rahang Nam Gil mengeras saat menatapku tajam. “Mungkin sudah saatnya aku menceritakan rahasia keluargaku padamu,” katanya. “Saat di tempat karaoke itu aku belum menceritakan semuanya,” tambahnya menjelaskan.

Aku menumpangkan tanganku di tangannya. “Tidak perlu,” kataku lembut. “Kalau kau tidak nyaman mengingatnya, aku tidak keberatan kau tidak menceritakannya.”

Nam Gil menggenggam tanganku. “Tidak apa,” kata Nam Gil. “Kau bukan orang asing bagiku. aku ingin tak ada rahasia di antara kita.”

Dadaku terasa nyeri dengan tusukan rasa bersalah. Nam Gil tak ingin ada rahasia diantara kami, padahal aku merahasiakan kebencianku pada Bibinya, juga rencana bodohku yang sempat ingin memanfaatkannya. Nanti aku pasti akan menceritakannya, di saat kurasa waktunya sudah tepat. Tapi bisakah Nam Gil memaafkanku saat itu?

“Go Hyun Jung bukanlah Bibiku,” kata Nam Gil, menyentakku dari lamunan. “Dia Ibuku. Dialah wanita selingkuhan Ayahku.”

***

Scene 33

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeKing Jin Ji : Kim Im Ho Yong Soo : Kim Jung ChulChoon Choo : Yoo Seung Ho Ha Jong : Go Jung HyunBo Jong : Go Do Bin Kim Min Sun : (nama asli)Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Lee Yo Won - 19 Februari 2011 -

Go Hyun Jung bukan bibi Nam Gil. Dia… wanita itu… ibunya. Ibunya! Go Hyun Jung ibu Nam Gil! Oh Tuhan, tidak… kenapa!?

110

“Dulunya Ayahku sempat bekerja sama dengan ayah tiriku, Go Young Jae, dan dari hubungan bisnis itulah dia mengenal Ibuku,” kata Nam Gil. “menurut ibu tiriku, dan gosip beberapa pelayan dan keluarga lain yang kucuri dengar, Ibu menggoda Ayahku bukan karena dia jatuh cinta, melainkan karena saat itu Ayah lebih kaya dari pada Go Young Jae. Dan bila melihat sikap dan cara pandang Ibu sekarang, aku tidak meragukan hal itu. Ibuku memang pecinta harta dan kedudukan,” lanjutnya pahit.

Aku hanya dapat terduduk diam tanpa berkata apa-apa lagi. Mendengar Nam Gil bercerita semakin banyak, maka semakin aku tercengang dan kalut. Bagaimana bisa seperti ini?

“Ibu berencana melahirkanku untuk mengikat Ayahku dalam pernikahan. Tapi dia tidak memperhitungkan cinta dan kasih sayang yang masih dirasakan Ayahku pada istrinya. Dia memang sempat tergoda pada Ibuku—tak mengherankan, karena Ibu sangat cantik—tapi dia juga segera menyesali perbuatannya itu,” kata Nam Gil lagi, setelah sebelumnya sempat terdiam selama beberapa menit. “Setelah melahirkanku, Ibu meminta pertanggung jawaban Ayahku, tapi ditolak olehnya. Ayah berkata dia bersedia membesarkanku, tapi tak akan pernah meninggalkan keluarganya untuk menikah dengan Ibu. Dan kemudian… seperti yang sudah kau tahu, aku dibesarkan oleh Ayahku dan istrinya, karena Ibu kandungku tak memerlukan dan menginginkanku lagi. Dia sangat beruntung karena suaminya masih tetap mau menerimanya kembali setelah semua yang dilakukannya.”

Kekalutan dan kemarahanku segera tersingkirkan dengan sedihku untuk apa yang dirasakan Nam Gil kecil ketika mendengar hal seperti itu tentang orangtuanya, juga rasa sepinya karena merasa tak diinginkan. Kenapa Nam Gil harus mengalami hal itu? kenapa ada orangtua yang begitu tega pada anaknya sendiri? untuk menyampaikan dukungan dan simpatiku, aku meraih kedua tangannya dan kugenggam erat-erat.

“Ibu tiriku membenciku karena melihatku mengingatkannya pada pengkhianatan Ayah. Setiap kali ada kesempatan, dia akan memarahi juga memukulku…” gumam Nam Gil dengan mata menerawang jauh.

“Memukulmu!?” seruku terkejut. “Dia memukulku setiap kali aku membuat sedikit kesalahan. Bahkan saat aku tidak

melakukan hal buruk pun terkadang dia tetap memukulku,” katanya. “tapi yang terparah adalah ketika hari ulang tahunku yang ke enam. Saat itu dia sangat marah mendengarku meminta pesta ulang tahun seperti yang diadakan teman-temanku. Dia memukulku lebih keras dari biasanya, dan menyuruh Ayahku membuangku kembali pada Ibuku.”

Hatiku benar-benar terasa sakit mendengar kisahnya. Aku tidak bisa membayangkan bocah kecil berumur enam tahun yang memohon untuk mendapatkan pesta ulang tahunnya, malah mendapat pukulan. Aku tidak bisa membayangkan betapa sepi, sedih dan ketakutannya Nam Gil selama itu.

Nam Gil tersenyum sinis. “Untungnya Ibuku dan suaminya bersedia menerimaku di rumah mereka. Dengan catatan, di mata publik, aku hanyalah keponakan yang ditampung karena kebaikan hati mereka,” katanya dingin. “Semenjak itu aku belajar untuk tak lagi mengharapkan perhatian atau kasih sayang orang lain. Hingga aku bertemu denganmu,” lanjutnya sambil menatapku dengan kedua matanya yang menyorotkan kerapuhan, kesedihan, dan kesepian mendalam.

Saat pipiku terasa basah dan sosok Nam Gil terlihat kabur, barulah aku menyadari bahwa aku telah menangis. Aku menangis untuk bocah kecil yang kesepian dan tak diperdulikan orangtuanya. Aku menangis untuk bocah yang di usia semuda itu merasa tak diinginkan kehadirannya. Aku menangis untuk Nam Gil yang selama ini menyimpan luka tanpa bisa berbagi dengan siapapun untuk meringankan kepedihannya.

Aku berlutut dan merengkuhnya kedalam pelukanku. Seerat-eratnya. Sepenuh hatiku. Dalam pelukan itu aku mencurahkan seluruh keperdulian dan rasa sayangku padanya.

111

Jadi inilah alasan Nam Gil membenci kekerasan pada anak kecil. Karena dia pernah merasakan sakit dan takut itu. Inilah alasannya mengamuk saat melihat seorang ibu memukul anaknya di festival musim dingin waktu itu.

“Jangan tinggalkan aku,” gumam Nam Gil. “Aku membutuhkanmu. Jangan pernah pergi dari sisiku,” pintanya.

“Tidak. Tidak akan,” sahutku pedih. “Aku tidak akan melepasmu. aku tidak akan pernah menyingkirkanmu dari hidupku, kecuali kau menginginkannya,” janjiku.

Nam Gil tidak berkata apa-apa, dia hanya balas memelukku dengan erat. Aku menyandarkan kepalaku di kepala Nam Gil dan menutup mata, meresapi kedekatan kami.

Selama ini aku mencari-cari cara untuk membalas dendam pada Go Hyun Jung. tapi sekarang, di saat aku menemukan senjata pamungkas yang dapat menghancurkan hidup dan segala mimpinya, aku justru tidak ingin mendengarnya. Karena rahasia yang selama ini kucari, tidak hanya akan menghancurkan orang yang kubenci, melainkan juga akan menghancurkan orang yang kucintai. Nam Gil juga akan terluka bila rahasia ini terkuak. Aku tidak bisa. aku tidak bisa menyakiti Go Hyun Jung, karena itu artinya aku juga melukai Nam Gil.

Ibu, maafkan aku... hari itu aku pernah bersumpah akan membalaskan dendammu pada Bibi Hyun Jung, tapi aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Karena aku tidak ingin menyakiti Nam Gil. Ibu, aku mencintainya. Aku mencintai putra orang yang kau benci. Apakah kau akan marah padaku? Bisakah aku memiliki perasaan ini?

Dalam sekejap di benakku melintas kilasan kejadian lain. Kali ini aku berada di dalam sebuah kuil.

Pria yang kuduga bernama Bi Dam itu berbalik menghadapku. “Yang Mulia,” sapanya agak terkejut. Sejujurnya aku pun terkejut. Mengapa dia memanggilku dengan sebutan Yang Mulia?

Tanpa kuinginkan, mulutku sudah membuka dan berkata, “Kau harus berada di sisiku. Bukan sebagai seseorang yang menekan dan mendesakku, yang membuatku merasa asing. Tapi seseorang yang berkedip padaku, yang memberiku bunga, yang selalu menghiburku, yang menggenggam tanganku yang gemetar.

“Aku membutuhkanmu. Aku berusaha menutupinya, bahkan menghapusnya. Sengaja. Aku melakukannya dengan sengaja. Aku berpikir bahwa perasaan sepele itu tidak pantas untuk seorang penguasa.”

“Yang Mulia,” gumam pria itu.“Hanya kau yang menganggapku sebagai seorang wanita. Aku menyukainya. Kau, yang

mencintaiku sebagai seorang wanita. Aku mencintaimu. Tapi, bisakah aku memiliki perasaan itu?” aku tidak mengerti apa yang baru saja kukatakan, tetapi saat mengataknnya, juga melihat ekspresi pria itu, hatiku dirambati getaran manis dan hangat. Terlebih lagi saat pria itu beranjak mendekat dan memelukku. Rasanya begitu pas. Begitu nyaman berada dalam dekapannya. Sama seperti yang kurasakan saat berada dalam pelukan Nam Gil.

Ketika mengingat Nam Gil, kilasan itu langsung menghilang, dan aku kembali pada kenyataan. Pada Nam Gil yang masih memelukku dengan erat.

Dengan enggan, aku melepaskan pelukan kami agar dapat melihat wajahnya. “Jangan menangis,” bisiknya sambil menghapus air mataku.

Aku berusaha tersenyum untuknya. Untuk Nam Gil yang berusaha tetap tegar. Aku melihat matanya berkaca-kaca, tapi dia tidak menangis. “Menangislah,” aku balas berbisik. “terkadang menangis bisa meringankan kesedihanmu.”

Nam Gil menyunggingkan senyum tipis. “Tapi aku memang tidak lagi menangis mengingat hal itu,” katanya. “Yo Won, apakah kau menganggapku buruk karena… orangtuaku?”

112

“Tentu saja tidak,” bantahku. “Aku pernah mengatakannya padamu, itu bukanlah kesalahanmu. Bukan maumu terlahir dalam keadaan kacau seperti itu. masa lalumu tidak mengubah perasaanku padamu.”

Nam Gil kembali menarikku ke dalam pelukannya. “Jangan tinggalkan aku.”“Selamanya aku terikat denganmu,” sumpahku sepenuh hati.

Sumber (dialog Bi Dam & Deokman) : www.imperor-angel.blogspot.com

Ketika pulang, Ayah sudah menungguku di ruang tamu. “Yo Won, kita perlu bicara,” katanya.

Pasti soal Nam Gil. aku menurut dan duduk di seberang Ayah. “Apakah ini mengenai Nam Gil?” tanyaku langsung.

Ayah mengerutkan kening. “Apakah sebelumnya kau sudah tahu mengenai hubungannya dengan Hyun Jung?” tanyanya.

Aku mengangguk. Aku tahu. Bahkan lebih dari tahu.“Dia bukan keponakannya,” kata Ayah tiba-tiba, mengejutkanku. “Dia putra Hyun Jung.”“Bagaimana Ayah bisa mengetahuinya?”“Jadi kau juga sudah tahu itu?”“Dari mana Ayah tahu?”“Aku tahu skandal Hyun Jung dengan Kim Im Ho. Saat itu hubungan kami masih baik,”

kata Ayah dengan nada datar. “Yang kutahu, setelah lahir anak itu tinggal bersama keluarga Kim. Saat dia mengatakan dirinya keponakan Hyun Jung, aku langsung meragukannya. Terlebih lagi setelah diamat-amati, dia memiliki kemiripan dengan Hyun Jung dan Kim Im Ho. Dan nama keluarga yang disandangnya menegaskan hal itu.”

“Nam Gil mulai tinggal bersama ibunya ketika berumur enam tahun,” kataku. “Dia menceritakannya padaku malam ini.”

“Bagaimana perasaanmu mengetahui hal ini?” tanya Ayah setelah hening beberapa saat.“Aku… terkejut. Itu sudah pasti. Mengetahui orang yang… mengetahui ternyata dia anak

Bibi Hyun Jung,” kataku. “Tapi aku tidak bisa membenci Nam Gil hanya karena dia putra wanita itu.”

“Karena kau menyukainya,” kata Ayah. “Kalian berpacaran?”“Apakah Ayah tidak setuju?” aku balik bertanya dengan was-was.Ayah mentapku tajam. “Aku tak akan pernah melarangmu berhubungan dengannya.

Seperti katamu, kita tidak dapat membencinya hanya karena dia putra Hyun Jung.”“Terima kasih,” kataku tulus. “Tapi… menurut Ayah, apakah Ibu tidak akan—““Ibumu bukan orang yang picik, Yo Won,” potong Ayah. “Dia tidak akan menghakimi

Kim Nam Gil atas perbuatan yang dilakukan ibunya.”Ayah benar. Sekarang hatiku menjadi jauh lebih tenang. “Apa dia sudah tahu tentang

masalah kita—““Belum,” kataku. “Aku akan memberitahunya. Tapi tidak dalam waktu dekat ini.”

- Kim Nam Gil - 13 Maret 2011 -

Sampai saat ini rasanya aku masih sulit percaya bahwa akhirnya aku dan Yo Won benar-benar berpacaran. Beberapa minggu ini merupakan hari-hari paling membahagiakan dalam hidupku. Sekarang aku memiliki seseorang yang juga menginginkan aku seperti aku menginginkannya.

113

Aku duduk di motorku sambil menelepon Yo Won. Hari ini adalah hari ulang tahunku, dan kami sudah berjanji untuk berkencan siang ini. tapi tidak seperti biasanya, Yo Won tidak ingin kujemput. Kami membuat janji untuk bertemu di depan taman bermain jam sebelas ini, tapi sudah hampir setengah jam berlalu dari waktu yang ditentukan, dan Yo Won belum juga datang. Ini membuatku cemas. Bagaimana bila terjadi sesuatu pada Yo Won?

“Hai!” sapa Yo Won ceria sambil menepuk pundakku.Aku menoleh dan melihatnya sedang tersenyum lebar. “Kenapa telat?” tuntutku. “Aku

meneleponmu tapi tidak kau angkat.”“Maaf, tadi aku singgah ke suatu tempat,” katanya. “Ini untukmu.” Dia menyodorkan

sebuah kotak kecil yang dilapisi sampul kado berwarna biru polos. “Selamat ulang tahun!” serunya.

Aku menerima hadiah itu dengan terpana. Tak pernah ada yang secara khusus memberiku hadiah di hari ulang tahunku. Tidak Ayah, Ibu, atau kak Jung Chul sekalipun. Hanya Yo Won.

“Terima kasih,” ucapku dengan suara parau.“Ayo dibuka!” desaknya.Dengan sangat bersemangat aku membukanya, penasaran apa yang diberikan Yo Won

untukku. “Ini…” Aku menatap barang yang berada dalam kotak kecil itu, lalu memandang Yo Won yang sedang tersenyum lebar. “Gantungan ponsel?” tanyaku heran.

“Ya. Aku ingat kau memuji gantungan ponselku waktu itu, dan kulihat kau tidak memiliki gantungan ponsel sendiri, jadi—“ Yo Won menghentikan rentetan kalimantnya. “Ada apa? Kau tidak suka?”

Aku mengangkat gantungan ponsel berwarna perak itu sambil tersenyum geli. Aku tidak menyangka Yo Won masih mengingat, bahkan menganggap serius komentar asalku waktu itu. Padahal sudah lama sekali.

Gantungan ponsel itu memiliki dua bandul yang terkait di rantai yang sama. Berbentuk cincin dan bintang kecil. Bintang. Khas Yo Won. Eh, bukankah… “Ini inisialmu?” tanyaku terkejut, saat melihat ukiran yang membentuk huruf LYW di bagian luar gantungan berbentuk cincin itu.

Yo Won tersenyum dan mengangguk, lalu memamerkan gantungan ponselnya yang baru. Gantungan yang sama persis dengan milikku. “Aku memesannya sepasang untuk kita,” kata Yo Won ceria. “Lihat, di gantungan milikku ada inisial namamu. KNG.”

Aku menyeringai lebar. “Bagus sekali. Terima kasih. Aku sangat menyukainya,” kataku tulus. Hadiah dari Yo Won. Aku benar-benar menyukainya.

“Aku ingin kita memiliki benda yang sama sebagai simbol keterikatan kita,” kata Yo Won. “Dan aku juga khusus memesan di toko itu untuk membuatkan inisial nama kita di cincinnya agar kita selalu saling mengingat.”

“Tanpa ini pun aku tidak akan lupa padamu,” godaku. “Tapi, sekali lagi terima kasih. Aku menyukainya,” kataku sambil memasang gantungan itu ke ponselku.

“Jangan pernah melepasnya,” pesan Yo Won.Aku merangkulnya dan tersenyum. “Tidak akan pernah,” janjiku.

Saat mengantri untuk membeli tiket roller coaster, tanpa sengaja aku melihat Yeom Jong bersama beberapa anak buahnya sedang menggoda gadis-gadis di sekitar mereka. Sial. Di hari libur pun aku harus melihat tampangnya!

Setelah Choi memberitahuku bahwa Yeom Jong lah pelaku pengeroyokan adiknya, aku langsung membuat perhitungan dengan si pembawa sial itu. Karena dia, aku terus diganggu oleh SMU Haegu, dan motorku sempat di sita. Dan semenjak perdebatan waktu itu, hubungan kami yang memang tidak begitu baik semakin meruncing.

114

Tawa Yeom Jong seketika terhenti begitu dia melihatku dan Yo Won. Dengan terburu-buru dia membawa pergi semua anak buahnya dari tempat itu. Bagus, jangan sampai dia mengacau di hari istimewaku bersama Yo Won ini.

“Nam Gil!” aku dan Yo Won menoleh bersamaan ke arah datangnya suara itu, dan melihat Min Sun dan Choi lagi. Sial. Kenapa sepertinya aku dan Yo Won tidak bisa berkencan dengan tenang tanpa diganggu siapapun!? Terlebih, kali ini Min Sun lagi! Hah!

Kurasakan tubuh Yo Won yang berada dalam rangkulanku menegang. “Apa kau ingin kabur dari mereka?” tawarku.

Yo Won mendengus. “Aku tidak ingin kita terlihat konyol bila melakukan aksi kejar-kejaran di tempat ini,” candanya.

“Nam Gil, senang sekali akhirnya kita bertemu lagi,” kata Min Sun sambil melepas gandengannya dari Choi dan beranjak mendekatiku. “Aku berharap akan bertemu denganmu di pesta Bibi Young Jin, tapi hanya Ayahmu yang hadir,” keluhnya sambil berjalan semakin dekat.

Yo Won langsung menghadang Min Sun. aku tersenyum geli saat melihatnya memberikan tatapan tajam pada gadis itu. Jadi… dia benar-benar serius mencemburui Min Sun? aku menyeringai senang memikirkan hal itu.

“Maaf, bahkan aku tidak mengingat nama Bibi yang kau sebut itu,” kataku acuh tak acuh.“Hai,” sapa Choi sambil menghampiriku. Terkahir kali kami bertemu, dia kesal karena

melihat Min Sun menciumku.Aku membalas sapaannya dengan anggukan. “Maaf, kami harus pergi,” kataku sambil

menggandeng Yo Won menjauh.“Tunggu!” seru Min Sun sambil menarik tanganku.Aku segera menyentak lepas pegangannya. “Ada apa lagi?”Min Sun tersenyum penuh percaya diri. “Aku ingat bahwa 13 Maret adalah tanggal ulang

tahunmu,” katanya. “Selamat ulang tahun,” tambahnya sambil mengulurkan tangan.Aku terkejut dia mengetahui hari ulang tahunku. Dengan enggan aku membalas jabat

tangannya. “Terima kasih,” kataku, kemudian menarik tanganku lagi. “Dari mana kau mengetahuinya?”

Senyum Min Sun semakin lebar. “Sejak kecil aku sudah tahu,” katanya. “Kita sekelas selama enam tahun, Nam Gil. Hanya tanggal ulang tahunmu pasti aku tahu,” sombongnya. “Lagi pula, sebenarnya sejak dulu aku memang sudah menyukaimu. Hanya saja kau begitu pendiam dan tak mau berteman dengan siapa pun.”

“Terima kasih atas ucapan selamatnya,” kata Yo Won. “Tapi kami harus pergi,” tambahnya sambil menarikku.

“Kalian berkencan?” tanya Min Sun.“Benar,” jawabku. “Jadi, maaf, kami buru-buru ingin berduaan. Selamat tinggal,” kataku,

kemudian berbalik pergi bersama Yo Won.“Sampai jumpa nanti!” seru Min Sun.“Gadis menyebalkan,” gerutu Yo Won, membuatku tertawa.“Karena kita tidak jadi naik roller coaster, sekarang kau ingin ke mana?” tanyaku.“Aku—““Ayo, silakah masuk!” paksa seorang wanita dengan pakaian bergaya gipsi. Dengan

penuh tekad wanita itu menarikku dan Yo Won masuk ke tendanya.“Maaf, Nyonya, tapi kami—““Ayolah, sejak tadi tak ada yang berkunjung ke mari,” bujuknya dengan wajah memelas.

“Sebentar saja, dan tak akan mahal.”Sebenarnya aku malas berurusan dengan peramal lain. pasangan peramal cilik itu sudah

cukup memusingkan tanpa perlu ditambah peramal lain lagi. Tapi Yo Won yang kasihan pada wanita itu membujukku untuk mencobanya. Aku tidak bisa menolak permintaan Yo Won.

115

“Kalian terlihat sangat serasi,” puji peramal itu berbasa-basi. “Apa kalian ingin ramalan perorang atau berpasangan?” tanyanya.

“Berpasangan saja,” pilihku langsung. Ramalan pasangan pastinya lebih cepat dibanding ramalan perorangan.

“Kalau begitu, ini ramalan untuk hubungan asmara kalian,” gumam wanita itu. “Biar kucoba lihat di bola kristalku,” katanya sambil memulai aksinya.

Hah… tingkahnya lebih mencurigakan daripada Yoo Seung Ho saat pertama kali meramalku.

Setelah beberapa menit mengamati bola kristal yang menurutku biasa saja dan tak ada istimewanya itu, wanita itu terkesiap kaget. Dia menatapku dan Yo Won dengan mata berkaca-kaca.

“Oh Tuhan… kalian malang sekali,” desahnya. “Ini… tahukah kalian bahwa ini kehidupan ketiga kalian?” tanyanya.

Yo Won tersenyum geli. “Kami dihidupkan kembali sebanyak itu?” candanya.Wanita peramal itu menatap ketidakperdulian Yo Won dengan sedih. “Ini bukan main-

main, Nona,” katanya. “Hah… Ya Tuhan, ini adalah kesempatan terakhir kalian.”Aku mengerutkan kening. “Kesempatan terakhir?” tanyaku. Hal gila apa lagi yang mau

diocehkan wanita ini?Wanita peramal itu menggenggam tanganku dan Yo Won. “Jangan menganggap remeh

hal ini. bila kalian memang saling mencintai, kali ini adalah kesempatan terakhir kalian untuk bersatu,” katanya.

“Kenapa begitu?” tanya Yo Won.“Setiap manusia ditakdirkan berpasang-pasangan. Bila dalam kesempatan pertama—

kehidupan pertama—kau tidak bisa bertemu atau bersatu dengan pasangan yang ditakdirkan untukmu, maka kau diberi kesempatan kedua di kehidupan selanjutnya, dan bila di kesempatan kedua pun kau tidak berhasil bersatu dengan pasangan takdirmu, maka kau diberi kesempatan ke tiga. Kesempatan terakhir. Bila di kesempatan terakhir ini kau tidak juga bertemu atau bersatu dengan pasangan takdirmu, maka di kehidupan selanjutnya takdir kalian akan diputuskan dan dipilihkan takdir baru,” jelas peramal itu. “Dan itulah yang terjadi pada kalian. Aku melihatnya dari bola kristalku. Di dua kehidupan sebelumnya, kalian juga menjadi sepasang kekasih, tapi selalu berakhir dengan tragis tanpa berhasil bersatu.”

Tiba-tiba saja jantungku terasa sakit. Entah kenapa. “Maksudmu, kami berdua juga sepasang kekasih di kehidupan kami yang lalu?” tanyaku.

Peramal itu mengangguk. “Di dua kehidupan kalian yang lalu,” koreksinya. “sayangnya kalian tak pernah berhasil bersatu. Di kehidupan pertama, kalian hampir saja menikah, tetapi karena lemahnya kepercayaan satu sama lain, kalian berhasil diadu domba dan baru menyadari kesalahan itu di saat semua sudah terlambat.

“Kemudian kalian bereinkarnasi. Di kehidupan kedua, kalian adalah pasangan kekasih yang berhubungan diam-diam karena orangtua kalian yang saling membenci tidak menyetujui cinta kalian,” lanjutnya. “Masa itu para pemuda dikirim ke medan perang untuk membela Negara, dan kau mati di perang tersebut. Sedangkan gadismu, mati setelah melahirkan anak kalian.”

“Anak!?” seruku dan Yo Won bersamaan. “Kalian memang belum menikah, tapi… kau pasti mengerti,” kata peramal itu.Hah…yang benar saja. apa iya selama dua kali kehidupan, aku dan Yo Won sesial itu?

aku benar-benar meragukan omongan peramal ini. jangan-jangan dia hanya pembual yang suka cerita-cerita tragis.

“Dan kini, kalian bereinkarnasi kembali. Kehidupan ketiga kalian. Kesempatan terakhir,” kata peramal itu lagi. “Aku melihat akan adanya beberapa rintangan dalam masa depan kalian untuk bersama. Tapi, yakinlah, bila cinta kalian benar-benar kuat, kalian akan bersatu. Jangan

116

sia-siakan kesempatan terakhir ini. Bila kalian bisa bersatu di kehidupan kali ini, setiap reinkarnasi yang akan datang kalian akan terus ditakdirkan bersama. Tapi, bila rintangan kali ini juga tak bisa kalian lewati… maka di kehidupan selanjutnya takdir kalian akan terputus. Berhati-hatilah,” nasehatnya dengan ekspresi serius yang meyakinkan.

Sudah sangat sore ketika akhirnya aku pulang ke rumah. Hari ini tak akan pernah terlupakan olehku. Aku memandangi gantungan ponsel pemberian Yo Won sambil tersenyum. Yah, selain pertemuan singkat dengan Min Sun dan peramal gila itu, hari ini bisa dibilang sempurna.

Aku memasuki rumah dan langsung disambut dengan keheningan. Sejak hari jumat sore, Go Young Jae, Ibu, Jung Hyun, dan Do Bin pergi berlibur ke pantai. Sebenarnya mereka mengajakku, tapi karena tidak ingin melewatkan kencan di ulang tahunku bersama Yo Won, maka aku menolak ajakan mereka.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Yo Won. “Ya? Ada apa? Baru sebentar berpisah kau sudah merindukanku?” godaku.

“Jangan besar kepala,” omel Yo Won. “Apa kau sudah sampai di rumah?” tanyanya.“Ya, ada apa?”Yo Won tertawa. “Sebenarnya aku masih punya kejutan untukmu selain gantungan ponsel

itu,” katanya. “tanyakan saja pada pelayanmu,” tambahnya singkat, lalu memutus hubungan telepon.

Kejutan lain lagi? Apa lagi? Dengan bersemangat aku berjalan menuju dapur, tapi sebelum aku sampai di sana, seorang pelayan wanita—yang telah bekerja di rumah ini semenjak aku kecil—datang menghampiri.

“Selamat sore, Tuan Muda,” sapanya sopan sambil membungkuk hormat.“Selamat sore,” sahutku agak tak sabar. “Apa ada sesuatu untukku?”Pelayan itu tersenyum. “Ya, ada. Tadi siang, tak lama setelah Tuan Muda pergi, ada

seorang gadis yang mengaku sebagai teman anda, datang dengan membawakan—““Di mana barang itu sekarang?’ potongku tak sabaran.“Mari ikuti saya,” katanya sambil berjalan memasuki dapur yang luas dan terang. Di atas

meja tampak sebuah kotak putih besar. “Apakah ini?” tanyaku, yang dijawab dengan anggukan kepala pelayan tadi. Aku segera

membukanya, dan melihat banyak kue bolu berlapis krim cokelat dengan lilin-lilin kecil tertancap di setiap kuenya. Di tutup kotak itu tertempel kartu bergambar bintang-bintang dengan tulisan Yo Won.

Selamat ulang tahun!Aku mendoakan semoga kau bahagia, panjang umur, sehat, dan selalu ada di sisiku.

Di kotak ini ada tujuh belas kue bolu cokelat yang mewakili setiap kue ulang tahun yang mungkin tidak kau dapat selama ini. Mungkin tidak sebesar kue ulang tahun sungguhan,

tapi setiap kuenya berisi doa dan cintaku untukmu. Milikku, selamat ulang tahun.

Dari milikmu,L . Y .W

Memalukan. Bila ada teman yang melihatku saat ini, pasti mereka tak akan lagi takut padaku, dan malah menganggapku cengeng. Tapi aku benar-benar menitikkan air mata melihat besarnya perhatian dan perasaan Yo Won padaku.

117

Saat mendengar pelayan wanita itu berdeham, aku buru-buru menghapus air mataku. “Maaf, Tuan Muda,” katanya. “Tapi ini ada satu kotak lagi,” lanjutnya sambil menyodorkan kotak putih lain yang berukuran lebih kecil dari kotak kue bolu pemberian Yo Won.

“Dari siapa ini?” tanyaku heran.“Dari Nona yang sama,” jawabnya.Kenapa Yo Won memberi dua kotak terpisah? Penasaran, aku segera membuka tutup

kotak itu, dan melihat kue ulang tahun berbentuk hati dengan krim vanilla menghiasi permukaan kue tersebut, membentuk kalimat: Aku Cinta Padamu. Hatiku bergetar dengan cinta pada Yo Won yang kurasakan semakin membesar setiap harinya.

Dan seperti sebelumnya, di tutup kotak itu tertempel kertas pesan Yo Won.

Ini yang paling spesial untukmu. Bentuknya melambangkan cintaku padamu. Bila kue-kue yang sebelumnya mewakili tujuh belas tahun yang kau lewati dulu,

kue ulang tahun yang ini adalah untuk ulang tahunmu yang sekarang. Yang ke delapan belas.Mulai sekarang, aku yang akan merayakan ulang tahunmu.

Sekali lagi, selamat ulang tahun!

Milikmu. Cintamu.L . Y . W

Aku segera mengambil ponselku dan menghubungi Yo Won. “Sudah melihat kue-kuenya?” tanya Yo Won sebagai salam pembuka telepon dariku. “Bagaimana, apa kau suka?”

Tenggorokanku rasanya tercekat. “Aku mencintaimu,” bisikku.“Aku juga mencintaimu,” sahut Yo Won lembut.

***

Scene 34

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Yoo Shin : Uhm Tae WongYong Soo : Kim Jung Chul Cheon Myeong : Park Ye JinChoon Choo : Yoo Seung Ho Alcheon : Yoo Seung HyoHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do BinYoung Mo : Qri San Tak : (tetap nama di QSD)Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Lee Yo Won - 24 Maret 2011 - Gyeongju -

Sudah menjadi tradisi sekolah untuk membawa murid-murid kelas dua melakukan tur ke tempat-tempat bersejarah. Dan tahun ini diputuskan untuk pergi ke Gyeongju, yang sering dikatakan museum tanpa dinding dan masuk peringkat sepuluh besar sebagai lokasi paling bersejarah oleh UNESCO di tahun 1995.

Aku sangat bersemangat ingin melihat tempat itu, karena selama ini hanya pernah melihatnya di TV dan buku. Sepertinya teman-teman yang lain pun merasa begitu, bila dilihat dari semangat mereka semenjak naik bus ini. Sayangnya aku dan Nam Gil terpisah. Karena tadi pagi aku dan kak Ye Jin sedikit terlambat, maka kami terpaksa bergabung dengan bus kelas lain.

118

“Apa ini perasaanku saja, atau tadi Qri memang memelototi kita?” tanyaku pada kak Ye Jin, sambil memandangi Qri yang duduk di bagian depan.

“Bukan kita, tapi aku,” koreksi kak Ye Jin.“Kau? Tapi kenapa?” tanyaku terkejut.“Kau tidak memperhatikan? Dia sudah bersikap memusuhiku semenjak hari valentine

dulu,” kata kak Ye Jin. “Dia tidak suka saat mengetahui aku memberikan cokelat pada kak Tae Wong. Kau tahu sendiri… Qri menyukainya.”

“Tapi aku juga memberi kak Tae Wong cokelat. Kenapa dia hanya marah padamu?”“Karena… aku sempat berpacaran selama tiga hari dengan kak Tae Wong,” jawab kak Ye

Jin malu-malu.“Apa!?” seruku kaget. Untung saja suasana di bus sedang ramai sehingga tak ada yang

menghiraukan suara nyaringku. “Kalian berpacaran!? Bagaimana mungkin aku tidak mengetahuinya!?”

“Sudah tidak lagi,” sergah kak Ye Jin. “sehari setelah hari valentine, aku menyatakan perasaanku padanya, dan dia menerimanya. Aku merasa malu bercerita padamu, dan lagi saat itu sepertinya kau sedang punya masalah jadi…“

Ah, ya, setelah valentine suasana hatiku memang buruk karena melihat Nam Gil dicium gadis penggoda itu. “Lalu? Kakak sangat menyukainya, kan? Kenapa baru tiga hari kalian sudah putus?”

“Itu keputusan bersama,” katanya. “Setelah tiga hari, kami menyadari kurangnya minat satu sama lain.”

“Maksudmu?”“Apa kau tak sadar kalau… kak Tae Wong tertarik padamu?” tanya kak Ye Jin hati-hati.Aku tersentak kaget. “Tidak. Yah, dulu sempat terpikir olehku, tapi kemudian sikapnya

biasa saja… Apa dia mengatakan itu padamu?”Kak Ye Jin tersenyum. “Dia sengaja tak menunjukkan perasaannya karena melihatmu

sangat tertarik pada Nam Gil. Dia mengatakannya di hari kami putus,” kata kakak.Selama beberapa saat aku kehabisan kata-kata. “Pasti kakak sangat sedih,” kataku tak

enak hati. “Aku tak menyangka kak Tae Wong akan setega itu mengatakan—““Tidak begitu,” potong kak Ye Jin. “hari itu aku juga membuat pengakuan padanya

bahwa setelah beberapa hari berpacaran dengannya, akhirnya aku sadar bahwa selama ini yang kurasakan padanya hanyalah kekaguman, tidak lebih.”

“Benarkah?” desakku tak yakin.Kak Ye Jin mengangguk. “Kau… mungkin kau tidak tahu, tapi… aku tertarik pada kakak

Kim Nam Gil, Kim Jung Chul—“Aku langsung tertawa. Begitu rupanya. “Aku memperhatikan sikapmu memang jadi aneh

setiap bertemu dengannya,” kataku setelah tawaku reda. “Tapi karena kalian baru bertemu beberapa kali… aku tidak menyangka kau masih mengingatnya hingga sekarang.”

“Ada hal lain lagi yang perlu kuceritakan padamu, Yo Won,” kata kakak sambil bergerak-gerak gelisah di kursinya. “Mungkin kau akan menganggapku aneh, atau gila, atau—“

“Katakan saja,” selaku lembut.“Baiklah. Emmm, begini, ya, aku menyukai Kim Jung Chul, karena di mataku dia sosok

idamanku selama ini. Kurasa dia pria paling sempurna yang pernah kutemui. Dewasa, tampan, penampilan rapi, dan yah… hal-hal semcam itu,” kata kakak. “Tapi, selama ini aku juga sudah beberapa kali menyukai seseorang, dan belum pernah aku mengkhayalkan hal-hal gila seperti yang sekarang sedang kualami.”

“Hal-hal gila?”Kak Ye Jin mengangguk. “Semenjak bertemu dan bersentuhan dengannya, aku terus

mengalami mimpi-mimpi dan… semacam—““Kilasan pengelihatan?” tebakku.

119

“Benar!” seru kakak bersemangat. “Dia terus muncul dalam mimpi dan kilasan pengelihatanku dalam sosok yang sama tapi juga berbeda.”

Ingatan mengenai pria bernama Bi Dam melintas di benakku. “Apakah maksudmu pria itu terlihat memakai pakaian tradisional Korea?” tanyaku.

“Ya, pakaian tradisional dan juga pakaian perang,” kak Ye Jin menyetujui.Bagaimana bisa aku dan kakak sama-sama mengalami mimpi-mimpi dan kilasan

pengelihatan aneh seperti itu?“Aku juga—““Sudah sampai!” seru seorang guru, memotong perkataanku. “Ayo, turun dengan tertib,”

perintahnya.Walau sudah diperintahkan untuk tertib, tetap saja semua berebut untuk turun lebih dulu,

membuatku dan kak Ye Jin yang sedang berjalan menuju pintu bus tergencet-gencet oleh mereka.

“Kau mau bilang apa tadi?” tanya kakak setelah kami sampai di luar.“Aku—“ Ponselku bergetar. SMS dari Nam Gil.

Coba tengok ke arah jam Sembilan, kau akan melihat pemuda tertampan sejagat raya.

Sambil tertawa geli, aku menengok ke samping kiriku, dan melihatnya sedang berjalan mendekat dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya.

“Kau benar,” seruku padanya. “Dia memang yang tertampan sejagat raya,” olokku, menunjuk San Tak yang berjalan di sisi Nam Gil.

Seketika wajah Nam Gil mengerut kesal. “Pergi kau,” usirnya pada San Tak.“Ha? Kenapa? tadi kau bilang—““Itu tadi,” sanggah Nam Gil. “Kau pergi dengan yang lain saja. Aku dan Yo Won ada

urusan.”Walaupun dongkol dan jelas heran dengan kelakuan temannya, San Tak tetap menurut

dan menjauh pergi bersama rombongan murid pria yang lain.“Kenapa selaramu tiba-tiba berubah menjadi buruk?” omel Nam Gil setelah tiba di

hadapanku.Aku tertawa. “Aku hanya bercanda,” sahutku geli. “Tentu saja kau yang tertampan.”“Eh, apa kalian mau jalan berdua saja?” tanya kak Ye Jin. “Aku tidak mau mengganggu.”“Tidak, tidak,” kataku buru-buru. “Kita jalan bersama saja.”“Ayo, semua, kemari!” teriak seorang guru dan pemandu wisata kami.Kami berjalan mengikuti guru-guru dan pemandu wisata menuju tempat pertama,

Sacheonwang. Bangunan yang berada di seberang jalan lokasi makam Ratu Seondeok itu dibuat untuk mengenang reunifikasi tiga Negara. Di sana terdapat lukisan Raja Muyeol bersama anaknya, Raja Munmu, dan Jenderal Kim Yoo Shin. Tiga pahlawan yang berjasa dalam unifikasi tiga Negara.

Kilasan-kilasan kejadian langsung berputar di benakku dengan cepat. Yang pertama, aku melihat seorang pemuda berwajah seperti Yoo Seung Ho dalam pakaian tradisional memanggilku “Bibi”, kemudian kilasan itu segera berganti pada pria berwajah seperti kak Tae Wong dalam pakaian prajurit berwarna biru yang memanggilku “Deokman”.

Aku baru tersadar saat merasakan remasan tangan kak Ye Jin. Dia begitu terpaku memandangi lukisan-lukisan para pahlawan itu, hingga tak menghiraukan senggolan dari beberapa murid yang berlarian melewati kami. Apa kakak juga mendapat kilasan pengelihatan lagi?

Di sebelah kiriku, kudengar Nam Gil berdeham. “Ayo,” ajaknya untuk mengikuti rombongan yang bergerak ke tempat lain lagi.

Kami menyeberang ke makam sang Ratu. Begitu melihat gundukan makamnya, lagi-lagi aku melihat kilasan-kilasan kejadian dimana semua orang yang bertemu denganku

120

menyebutku dengan sapaan “Yang Mulia” atau “Deokman”. Dadaku terasa nyeri dan kepalaku berdenyut-denyut menyakitkan. Rasanya ada sesuatu yang terlupa olehku, tapi setiap kali kucoba untuk mengingatnya, rasa sakit dan nyeri yang kurasakan akan semakin bertambah.

Sesuatu membuatku terdorong ke samping. Nam Gil. Dia terhuyung ke arahku dengan meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Seketika, kebingungan, rasa nyeri, dan sakit yang kurasakan terlupakan dan digantikan kecemasanku terhadapnya.

“Nam Gil? Ada apa? Nam Gil!?” tanyaku khawatir sambil menopang tubuhnya yang lemas.

Beberapa saat kemudian Nam Gil berhenti meringis sakit, dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Yo Won…” bisiknya.

“Ya?”Nam Gil menggeleng sambil memaksakan senyum. “Tidak, tidak apa-apa.” Aku

meragukan perkataannya, tapi tak ingin mendesaknya lebih jauh.Setelah dari makam Ratu Seondeok, rombongan kembali meneruskan tur ke makam Raja

Jin Pyeong, Raja Muyeol, dan makam Jenderal Yoo Shin. Di setiap persinggahan itu aku terus diserang dengan kilasan-kilasan yang semakin banyak, semakin jelas, juga semakin familiar. Aku tak lagi memperdulikan sekitarku. Seluruh perhatian, dan jiwaku seolah sudah tersedot untuk terfokus pada apa yang kulihat dalam kilasan-kilasan itu. Semakin lama, aku semakin yakin bahwa semua yang kulihat itu memang pernah kualami sebelumnya.

Hingga akhirnya kami memasuki Shilla Millenium Park dan melihat replika Kerajaan Shilla, yang dibangun menyerupai Shilla yang asli. Begitu melangkahkan kaki memasuki area itu, jantungku langsung berpacu dengan cepat. Napasku terasa sesak, dan kepalaku kembali berdenyut menyakitkan. Kilasan-kilasan kejadian berputar di benakku. Semakin jauh berkeliling, semakin banyak kilasan yang kulihat.

Kilasan saat aku berlatih bersama beberapa prajurit. Kilasan saat aku mengobrol bersama seorang perempuan berwajah seperti kak Ye Jin dalam jubah cokelat, yang kemudian berganti menjadi pakaian tradisional bagaikan putri, lengkap dengan mahkotanya. Kilasan saat aku berdebat dengan pria berwajah seperti kak Tae Wong yang berpakaian prajurit. Kilasan saat bertemu pasangan berwajah seperti Ayah dan Ibu dalam pakaian tradisional dan mahkota yang memancarkan keagungan juga kemewahan. Kilasan saat aku beradu pendapat dengan wanita anggun berwajah seperti Bibi Hyun Jung. Dan kilasan saat… pria bernama Bi Dam—yang berwajah mirip dengan Nam Gil—berlutut di hadapanku lalu berjanji akan setia di bawah kepemimpinanku.

Masih banyak kilasan-kilasan lain yang terus muncul selama perjalananku mengelilingi replika kerajaan Shilla tersebut, dan tak berhenti walaupun kami telah keluar dari tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju Myeonghwalsanseong. Aku merasa bagai berada di antara dua dunia. Setengah sadar, aku mengikuti rombongan tur, tapi di saat bersamaan aku juga merasa jiwaku sedang berada di dalam kilasan kejadian yang kulihat. Entah bagaimana caranya, itu memang terjadi.

Myeonghwalsanseong yang berupa lapangan luas itu dulunya merupakan lokasi perang melawan para pemberontak yang diketuai oleh mantan Perdana Menteri di zaman kepemimpinan Ratu Seondeok.

Mantan Perdana Menteri… Bi Dam!? Ingatan itu datang bersamaan dengan saat aku menjejakkan kaki di area Myeonghwalsanseong tersebut. Beragam kilasan kejadian silih berganti melintas di benakku. Semua seolah berebut untuk dapat segera kuingat. Kepalaku terasa semakin sakit dan dadaku pun semakin nyeri bagai mendapat tusukan pisau tajam. Kemudian semua menjadi jelas. Segala yang terlupakan olehku… ingatan kehidupanku yang dulu… akhirnya kembali. Kenangan manis yang bercampur kepahitan hidup sepiku.

121

Aku terhuyung-huyung dengan tangan di atas dadaku yang terasa nyeri. Tanpa dapat kutahan, air mata itu telah mengalir turun dari kedua mataku. Kurasakan tubuhku membentur sesuatu. Aku berbalik, dan melihat Nam Gil berdiri tegak dengan mata menerawang ke kejauhan. Air mata juga mengalir turun membasahi wajahnya. Kenapa dia menangis? Mungkinkah dia juga mendapat kilasan pengelihatan seperti yang kualami?

Seketika kenangan tentang rencana kami untuk menikah dan hidup tenang bersama melintas di benakku. Kenangan itu begitu manis, namun juga pahit menyedihkan karena begitu singkatnya kenangan indah yang kami miliki. Semua rencana yang telah dibuat akhirnya hancur dengan mudahnya akibat kesalah pahaman dan kurangnya rasa percaya kami satu sama lain.

Nam Gil… Bi Dam… Keduanya ternyata jiwa yang sama. Keduanya berhasil menarik perhatianku. Keduanya membuatku jatuh cinta. Cinta yang dulu hilang dariku, ternyata kini dikembalikan oleh takdir. Selama ini Choon Choo… Yoo Seung Ho tidak berbohong. Semua ramalannya ternyata benar adanya. Begitu pula ramalan peramal wanita di taman bermain itu… mereka tidak membual. Aku dan Bi Dam bereinkarnasi. Kami diberi kesempatan lagi untuk menjalin cinta kami. Memperbaiki apa yang dulu telah kami kacaukan. Sadarkah Nam Gil mengenai hal ini?

Tanganku terulur untuk menghapus air matanya. Akhirnya Nam Gil menatapku. Diraihnya tanganku dan ditempatkannya di atas dadanya. Aku melihat kesedihan mendalam bercampur rasa cinta terpancar dari kedua bola matanya. Mencerminkan perasaanku sendiri.

“Bi Dam.”“Deokman.”

- Kim Nam Gil - 24 Maret 2011 - Gyeongju -

Kilasan-kilasan pengelihatan itu mulai muncul sejak di Sacheonwang tadi. Dan semakin jauh rombongan ini berjalan menjelajahi tempat-tempat lain, maka semakin banyak pula kilasan kejadian yang melintas di benakku. Semua itu tampak tak nyata sekaligus nyata. Seakan aku memang pernah mengalaminya, tapi itu mustahil terjadi.

Aku merasa seolah jiwaku terbelah. Separuh jiwaku masih menyadari keadaan di sekitarku dan mengikuti rombongan tur, tapi di saat bersamaan setengah jiwaku yang lain seperti berada di tempat lain. di dalam kilasan kejadian yang kulihat. Kedengarannya mustahil dan konyol, tapi itulah yang terjadi.

Ketika berada di makam sang ratu tadi, kilasan mengenai wanita itu terus melintas di benakku silih berganti. Aku melihatnya ketika sedang tersenyum, ketika sedang tertawa, ketika sedang merenung, ketika sedang marah, dan ketika sedang menangis. Semua emosi yang di perlihatkannya entah kenapa juga mempengaruhiku. Hatiku serasa diremas kuat, dan kepalaku berdenyut menyakitkan. Rasanya seperti ada yang terlupa olehku, tapi semakin aku berusaha mengingatnya, maka semakin sakit hati dan kepalaku.

Ketika pemandu wisata membawa kami berkeliling di Shilla Millenium Park yang merupakan replika kerajaan Shilla di masa lalu, semakin banyak kilasan yang kudapat. Sebagaian besar mengenai sang Ratu, tapi ada juga kilasan-kilasan mengenai para prajurit, mengenai orang-orang yang berwajah seperti Tae Wong, Seung Hyo, Do Bin, Jung Hyun, dan masih banyak lagi yang nampak serupa dengan orang-orang yang kukenal selama ini, tetapi juga berbeda karena pakaian yang mereka kenakan. Dari semua yang kulihat, wanita anggun dalam pakaian tradisional mewah itulah yang paling mencengangkanku. Wanita itu seperti Ibu.

Dan akhirnya semua menjadi jelas setelah aku menjejakkan kaki di tanah lapang bernama Myeonghwalsanseong. Lokasi perang terakhir sang Ratu dengan para pemberontak yang

122

dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Bi Dam. Olehku. Dengan kembalinya ingatan itu, maka segala yang terlupakan olehku… ingatan kehidupanku yang dulu pun akhirnya kembali.

Hatiku terasa semakin sakit. Semua kenangan itu terbayang-bayang di benakku. Ketika pertama kali bertemu Yang Mulia Ratu… saat dia masih gadis bernama Deokman dalam pakaian Nangdonya. Ketika aku ikut membantunya melawan Penjaga Stempel Istana Mi Shil—Ibuku sendiri—demi mendapat haknya agar diakui sebagai Putri Shilla. Ketika aku bersumpah akan setia dibawah kepemimpinannya. Ketika aku menyadari rasa kagumku padanya berkembang menjadi rasa cinta pria dewasa yang ingin memiliki. Ketika kami berjuang melawan pemberontakan yang dilakukan Ibu. Ketika Yang Mulia Putri Deokman akhirnya menggapai takdirnya sebagai penguasa Shilla. Ketika melewati tahun-tahun sebagai orang kepercayaannya. Ketika akhirnya rasa cinta dapat kami utarakan. Ketika rencana untuk menikah dan hidup bersama dibuat. Ketika… aku menghancurkannya dengan keraguanku pada perasaan Sang Ratu yang ternyata benar mencintaiku… Ketika terakhir kali aku melihatnya meneteskan air mata di detik-detik sebelum aku menghembuskan napas terakhir dengan menyebutkan namanya. Deokman… Deokmanku.

Penyesalan mendalam menghancurkanku. Bagaimana bisa aku tidak mempercayainya? Bagaimana bisa semua angan dan mimpiku untuk bersamanya begitu mundah runtuh akibat ulahku sendiri? Seandainya saja aku pergi sesuai perintahnya… seandainya aku menerima surat darinya… seandainya aku tidak terpengaruh perkataan Choon Choo… seandainya aku tidak tertipu Yeom Jong… seandainya, seandainya, seandainya… Tapi yang lalu tak dapat diubah. Yang bisa kulakukan hanyalah mencoba sebaik-baiknya dengan hidupku sekarang. Mencoba untuk tak lagi mengulangi kesalahanku di masa lalu.

Peramal itu ternyata berkata benar. Oleh takdir, aku diberi satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah kuhancurkan. Aku bereinkarnasi untuk menemukan cintaku lagi. Sesuatu yang begitu kuinginkan sejak dulu. Deokman. Yo Won.

Sentuhan lembut yang mengapus air mataku membuatku tersadar. Aku menoleh dan menatapnya. Yo Won… Deokman… Keduanya ternyata jiwa yang sama. Keduanya membuatku kagum. Membuatku jatuh cinta. Deokmanku. Yo Wonku. Takdir berbaik hati mempertemukan kami kembali. Tapi… tahukah Yo Won mengenai hal ini?

Kuraih tangannya dan kuletakkan di atas jantungku. Aku melihat kesedihan mendalam bercampur rasa cinta terpancar dari kedua bola matanya. Mencerminkan perasaanku sendiri.

“Bi Dam.”“Deokman.”Kami sama-sama tersentak kaget. Aku menyebut namanya tanpa sadar, entah bagaimana

dengan dirinya. Tapi… bukankah ini berarti… Yo Won juga mengetahui masa lalu kami?“Kau melihat kilasan itu?” kami bertanya bersamaan.Aku langsung merengkuhnya masuk dalam pelukanku. Syukurlah, ternyata dia juga

mendapat kilasan-kilasan pengelihatan itu. Dia juga mengetahui masa lalu kami. Cinta kami.“Yo Won… Deokman,” bisikku pedih.“Nam Gil… Bi Dam,” isak Yo Won sambil membalas pelukanku sama eratnya.Selama beberapa saat kami terus berpelukan dan menangis tanpa suara, hingga seorang

guru datang dan menghardik kami yang dianggapnya bersikap tidak sopan karena berpacaran di depan umum saat dalam tur sejarah bersama rombongan sekolah seperti ini. Dengan enggan kami saling melepaskan diri dan bergabung bersama rombongan lain yang bergerak kembali menuju Shilla Millenium Park untuk melihat teater drama, yang menurut si pemandu wisata akan melakukan pertunjukan bagaimana Hwarang bertarung.

Tapi setelah sampai di sana, ternyata persiapan pertunjukan belum selesai, sehingga kami diperkenankan berkeliaran sendiri asalkan tak terlalu jauh dan tersesat. Kesempatan ini segera aku dan Yo Won pergunakan untuk kembali menyusuri replika istana. Kami berjalan dengan tangan yang saling bergandengan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. aku tidak tahu apa

123

alasan Yo Won, tapi aku diam untuk meresapi rasa haru dan bahagia setelah dapat mengingat Deokman lagi, juga merenungkan kesalahan-kesalahan yang dulu kubuat.

Replika istana ini benar-benar dibuat menyerupai bentuk aslinya, sehingga aku dan Yo Won dapat berkeliaran tanpa tersesat, karena dulu kami menghabiskan banyak waktu di tempat ini.

“Dulu aku suka duduk di sini. Melihat pemandangan yang menenangkan dan memikirkan strategi berikutnya yang harus kuambil demi kepentingan Negara,” kata Yo Won saat kami sampai di semacam balkon yang dulu memang tempat favoritnya untuk merenung.

Aku memandangi wajahnya yang sedang tersenyum melihat pemandangan dari tempat tinggi ini. Deokman… aku melepaskan pegangan tanganku darinya, dan berlutut di hadapannya. Di tempat ini hanya ada kami berdua, dan walaupun ada yang melihat, aku tidak akan malu terlihat dalam pose seperti ini, karena aku lebih malu pada perbuatanku di kehidupan yang lalu. Aku telah mengkhianati wanita yang kucintai, mengkhianati pemimpin yang kukagumi, karena kebodohan dan rasa tak aman dalam hatiku yang tak pernah hilang.

“Nam Gil?”“Maafkan aku,” pintaku. “Aku sebagai bawahanmu, sebagai Perdana Menteri yang telah

mengkhianati Ratunya… maafkan perbuatanku. Aku sebagai kekasihmu, sebagai Bi Dam yang telah menyakiti hati orang yang paling dicintainya di dunia… maafkan kecurigaanku padamu.”

“Bi Dam… Nam Gil…”Aku menengadah untuk melihat wajahnya. “Perbuatanku mungkin tak termaafkan, tapi

aku harap kau mau mencoba memaafkan dan memberiku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku,” kataku tulus.

Yo Won menarikku berdiri dan menggenggam tanganku sambil menatap lurus ke dalam mataku saat bicara. “Aku memaafkanmu. Aku sudah memaafkanmu semenjak mengetahui kebenaran bahwa kita telah diadu domba. Tapi… maaf, saat itu telah terlambat… aku tak dapat menarik perintahku untuk membasmi para pemberontak. Aku tidak dapat menyelamatkanmu. Maafkan aku…” isaknya. “Seandainya aku lebih dulu menyelidiki alasan pemberontakanmu sebelum mengeluarkan perintah… mungkin akan berbeda…”

“Deokman… Yo Won…”“Satu persatu orang yang kucintai pergi meninggalkanku… Dan ketika melihatmu mati

di depan mataku… aku tidak lagi sanggup bertahan. Dengan kepergianmu, aku hidup di dunia yang sepi dan tak lagi berarti. Memang banyak orang di sekelilingku, tapi hanya kau yang kupunya. Kau tempatku untuk mencari penghiburan, tempatku merasa nyaman menjadi diriku sendiri, tempatku merasa sebagai wanita biasa yang beruntung karena dicintai oleh pria sepertimu. Untuk orang sepertiku… cintamu sangat berharga. Maafkan aku, Bi Dam… maafkan aku…”

Aku kembali merengkuhnya ke dalam dekapanku. “Deokman… Deokmanku,” desahku pedih di kelembutan dan keharuman rambutnya.

“Bi Dam…” isak Yo Won. “Aku mencintaimu.”Mungkin aku tidak pantas mendapatkannya, tapi aku bersyukur mendapatkan cintanya.

Cintanya sebagai Deokman, dan cinta sebagai Yo Won. “Aku mencintaimu. Selamanya tak pernah berubah. Aku mencintaimu…”

***

Scene 35

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young Jae

124

Yoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinMoon No : Jung Ho Bin Alcheon : Lee Seung HyoChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinYeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 24 Maret 2011 - Gyeongju -

Cukup lama kami berdiri dengan berpelukan erat, hingga akhirnya air mata penyesalan kami mengering. Kami duduk di kursi yang disediakan di tempat itu, dan bicara.

“Aku mulai sering mendapat mimpi-mimpi dan kilasan tentangmu semenjak kita bertemu pertama kali,” kataku.

“Benarkah? Aku juga begitu,” sahut Yo Won. “Aku sempat berpikir diriku sudah gila karena terus berhalusinasi tentangmu.”

Aku tersenyum. “Aku pun merasa begitu.”“Jadi… Deokman dan Bi Dam benar bereinkarnasi,” gumam Yo Won merenung.“Aku tak akan pernah memandang remeh para peramal lagi,” kataku setengah bercanda.Yo Won tersenyum. “Aku juga,” katanya setuju. “Nam Gil… kita beruntung karena

kembali dipertemukan, tapi bagaimana seandainya tidak? Seandainya aku tetap di Pusan dan tidak pindah ke Seoul—“

“Tapi kau memang pindah dari Pusan dan kembali ke Seoul. Aku percaya, tidak ada kebetulan di dunia ini. semua sudah tersusun dan terencana. Mungkin kita memang pasangan takdir seperti kata peramal itu, jadi bagaimanapun rumitnya jalan yang harus ditempuh, kita pasti akan menemukan cara untuk bertemu dan mengingat segala sesuatunya kembali,” kataku yakin.

“Yah, kurasa kau benar,” gumam Yo Won. setelah berdiam diri selama beberapa menit, tiba-tiba dia berseru. “Ah, astaga, ya Tuhan, kakak! Kak Ye Jin! Aku melupakannya!”

“Tenanglah, dia pasti sedang bersama dengan rombongan yang lain,” kataku.Tapi saat kami tiba di tempat berkumpulnya rombongan SMU Chongjan, tak terlihat

tanda-tanda keberadaan Park Ye Jin. “Apa mungkin dia berkeliling istana?” tanyaku, lebih pada diri sendiri.

“Kau benar. Dia pasti sedang berada di tempat itu,” kata Yo Won, kemudian berlari memasuki istana kembali.

“Yo Won!” aku berlari mengejar sambil meneriakinya, tapi dia terus saja berlari tanpa menungguku. “Sebenarnya kau mau ke mana?” tanyaku heran, ketika berhasil mengejarnya.

“Gazebo. Tempatku dulu sering mengobrol dengan kakak. Saat aku masih seorang Nangdo dan belum mengenali bahwa dirinya adalah seorang Putri,” jawab Yo Won. tanpa bicara apa-apa lagi, aku mengikutinya.

Tepat seperti dugaan Yo Won, Park Ye Jin sedang duduk merenung di sebuah gazebo. Dia segera berdiri dari duduknya saat melihat kedatangan kami.

“Deokman…” gumamnya sendu.“Kakak… kakak!” Yo Won berlari kepelukan Park Ye Jin. Selama beberapa menit aku berdiri diam menonton mereka berpelukan dan menangis.

Aku juga mengingat siapa Park Ye Jin di kehidupan pertama kami. Dia Putri Cheon Myeong yang tewas dalam rencana pelarian Deokman dan… Yoo Shin. Tanpa dapat kucegah rasa cemburu itu kembali merasuk di hatiku, tapi dengan segera aku menepisnya. Tidak ada lagi yang boleh menghalangi hubunganku dan Yo Won. Tidak kesalah pahaman kami dulu, juga tidak dengan rasa cemburu tak beralasan ini. Yo Won… Deokman telah memilihku. Bukan Yoo Shin. Bukan Tae Wong.

125

Setelah Yo Won dan Park Ye Jin selesai melakukan pembicaraan mengharukan mengenai kehidupan mereka dulu, kami bertiga kembali pada rombongan, yang ternyata sedang berjalan menuju teater drama. Di tempat itu kami menonton pertarungan Hwarang. Salah satunya adalah adegan pertarungan antara Seol Won dan Moon No. Moon No… Guru… Guru Jung. Aku tersenyum. Siapa sangka takdir mempertemukanku dengan reinkarnasi orang-orang yang dulu kukenal.

Selain duel Seol Won dan Moon No, juga diperlihatkan pertunjukkan menunggang kuda dan bela diri khas Hwarang. Melihat semua itu, dan arena ini, mengingatkanku pada pertarungan yang kulakukan dengan Yoo Shin dulu. Saat aku sengaja mengalah demi Deokman yang menginginkan Yoo Shin menjadi… ah, sial. Sebaiknya aku tidak terus mengingat hal itu. bila terus mengingat hubungan antara Deokman dan Yoo Shin, rasa cemburu bisa menggerogotiku lagi. Ini harus dihentikan. Yang terpenting sekarang adalah menjaga hubunganku dengan Yo Won tetap berjalan baik. Aku memohon pada Yo Won untuk mencoba melupakan yang telah lalu dan memulai yang baru, maka aku pun harus begitu.

“…ini kehidupan ketiga kita.” Karena sebelumnya sibuk dengan pikiranku sendiri, aku hanya menangkap sebagian perkataan Yo Won pada Park Ye Jin.

“Kehidupan ketiga?” tanya Park Ye Jin kaget.“Benar,” kata Yo Won. “Seorang peramal di taman hiburan memberitahu kami.

Bukankah kalau tidak salah ingat Choon Choo… maksudku, Yoo Seung Ho juga pernah mengatakan bahwa ini adalah kehidupan ketiganya? Awalnya aku tak mempercayai mereka, tapi hari ini kebenaran ramalan mereka tentang kehidupan pertamaku sebagai Deokman terbukti, jadi aku beripikir mungkin saja kehidupan kedua itu benar pernah terjadi.”

“Tapi kenapa hanya kehidupan pertama yang berhasil teringat?” selaku, ikut dalam obrolan mereka. “Kenapa kita tidak mengingat kehidupan kedua?”

Selama beberapa saat terjadi keheningan ketika kami semua berpikir keras mengenai hal itu, hingga Park Ye Jin mengutarakan pendapatnya. “mungkin hanya peristiwa yang menurut kalian paling traumatislah yang membekas dan menunggu waktu yang tepat untuk terkuak. Mungkin di kehidupan kedua kalian, keadaan tidak seburuk saat pertama?”

Yah, itu masuk akal. Menurut peramal itu, aku tewas dalam perang membela Negara, sedangkan Yo Won meninggal setelah melahirkan anak kami. Walaupun tidak juga berhasil bersama, kali itu bukan akibat kesalahan kami. Takdirlah yang membuatku tewas di medan perang. Dan takdir juga yang membuat kondisi Yo Won lemah ketika melahirkan. Setidaknya di kehidupan kedua, kami tidak memendam penyesalan seperti di kehidupan pertama.

“Karena aku pun hanya mengingat kehidupan pertamaku,” lanjut Park Ye Jin. “Aku bahkan tidak mengikuti saat kalian pergi meninggalkan replika istana karena terlalu terhanyut dengan kenanganku di tempat itu. khususnya kenangan saat aku mendengar kabar kematian suamiku.”

“Kakak…”Park Ye Jin tersenyum. “Tidak apa-apa,” katanya menenangkan Yo Won. “hah… aku

merindukannya. Bangsawan Yong Soo. Juga Choon Choo. Yo Won, maukah kau besok menemaniku mencari Yoo Seung Ho?”

“Tentu saja,” jawab Yo Won. “Kau ikut, kan?” tanyanya padaku.Aku tersenyum. “Pasti.” Bila memungkinkan, kemanapun dia pergi akan kuikuti. Aku

tidak ingin kami berpisah lagi.

- 25 Maret 2011 -

“Sedang apa kalian di sini?” tegur Seung Hyo.

126

“Kau sendiri sedang apa di sini?” aku balik bertanya. Hari ini aku, Yo Won dan Ye Jin—dia memintaku untuk tidak terlalu formal—pergi ke sekolah pasangan peramal itu, karena Ye Jin merindukan putranya yang bereinkarnasi menjadi Yoo Seung Ho. Hah… Choon Choo… bocah menyebalkan itu. seandainya saja aku tidak mendengarkan perkataannya. Tapi aku tidak bisa menyalahkannya, karena pilihan untuk mempercayai Deokman atau tidak tetaplah di tanganku. Bila hatiku tidak begitu rapuh, mungkin aku tidak akan terpengaruh.

Seung Hyo menjadi salah tingkah. “Aku—“ sebelum dia sempat menjawab, seorang gadis manis menubrukkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu dan memeluknya erat-erat. Ah, jadi dia menjemput pacarnya. Ternyata Seung Hyo masih berhubungan dengan gadis kecil ini.

Aku terkekeh geli membayangkan Seung Hyo di kehidupan pertamanya dulu sebagai Alcheon, lengkap dengan pakaian Hwarangnya, bermesraan dengan gadis kecil berseragam sekolah. Tak bisa kubayangkan penjaga setia Ratu Seondeok yang serius dan berwibawa itu melakukan hal tersebut. Aku tersedak menahan tawa.

“Kalian!” seru gadis itu saat melihat kami. “Apa kabar?”“Baik,” sahut Yo won dan Ye Jin bersamaan. “Apa kau melihat Yoo Seung Ho dan Yoo

Eun Bin?” tanya Ye Jin.“Tadi mereka masih di kelas— eh, itu mereka,” katanya menunjuk pasangan yang sedang

dicari-cari itu.Yoo Seung Ho dan Yoo Eun Bin terlihat kaget saat melihat kami, tapi dengan

bersemangat mereka segera datang menghampiri.“Ibu, Bibi, ada apa? Kenapa kalian kemari?” tanya Yoo Seung Ho antusias.“Choon Choo…” bisik Ye Jin dengan suara parau. Mata Yoo Seung Ho terbelalak. “Kau… mengingatnya?” tanyanya takjub.Ye Jin mengangguk dan mulai terisak. “Choon Choo,” tangisnya pecah saat ia merengkuh

Yoo Seung Ho ke dalam pelukannya.“Ibu…” tangis bocah itu pun menyaingi tangisan Ye Jin.“Ada apa ini?” tanya kekasih Seung Hyo heran. “kenapa mereka menangis?”“Jangan ikut campur urusan mereka,” gumam Seung Hyo memperingatkan. “Maaf, kami

harus pergi sekarang. Sampai jumpa nanti.”“Ya. sampai jumpa nanti,” sahutku. “Sebaiknya kita mencari tempat lain untuk

mengobrol,” saranku kemudian, pada Yo Won yang sedang mengamati Ye Jin dan Yoo Seung Ho berpelukan dengan mata berkaca-kaca.

Mengikuti saranku, kami berlima pergi ke sebuah restoran bubur yang jaraknya tak terlalu jauh dari sekolah pasangan peramal itu.

“Saat pertama kali melihat wajah kalian ketika memasuki geraiku, aku memang sempat terpikir bahwa mungkin saja kalian reinkarnasi Ibu dan Bibiku, tapi aku tidak mau terlalu berharap karena bisa saja hanya mirip,” kata Yoo Seung Ho antusias. “tapi ternyata dugaanku benar. Aku senang sekali bertemu kalian. Dan lebih senang lagi karena akhirnya kalian mengingatku. Bagaimana caranya kalian bisa mengingatnya?”

Ye Jin dan Yo Won menceritakan mengenai tur sekolah kami ke Gyeongju, sedangkan aku duduk diam mendengarkan mereka sambil memandangi wajah Yo Won. aku selalu menyukai wajah Yo Won. Sangat. Tapi sejak kemarin, semenjak ingatan mengenai kehidupan lalu kami kembali, perasaan bahagiaku karena dapat bersama Deokman lagi membuatku tak dapat melepaskan pandangan darinya. Bahkan rasanya saat kami terpisah sebentar saja sudah membuat hatiku terasa tak karuan.

“Emm, Hwarang Bi Dam,” panggil Yoo Seung Ho sejam kemudian. “Eh, maksudku… maaf, aku tidak tahu namamu sekarang—“

“Kim Nam Gil,” sahutku.“Aku… aku ingin minta maaf atas perbuatanku dulu. Aku tidak menyangka Bibi benar-

benar mencintaimu. Kalau tidak—“

127

“Sudahlah,” selaku. “Lupakan saja.” karena aku pun ingin mencoba melupakan kejadian-kejadian buruk di masa lalu.

Yoo Seung Ho terlihat terkejut melihat sikap tenangku. “Eh, terima kasih,” gumamnya.“Sudah sangat sore,” kata Yoo Eun Bin sambil memandang keluar jendela. “Kita harus

pulang, Seung Ho.”“Kau benar,” sahut Yoo Seung Ho. “Ibu, kami harus pulang sekarang.”“Baiklah, tapi kita harus lebih sering bertemu,” kata Ye Jin.“Pasti,” sahutnya lagi. “Ibu, Bibi, emm… kak Nam Gil, selamat sore,” katanya sambil

membungkuk hormat, lalu beranjak pergi bersama Yoo Eun Bin yang juga mengucapkan salam perpisahan dengan sopan.

Kami melanjutkan makan kami tanpa bersuara hingga ponsel Ye Jin berbunyi. “Halo? Oh, kau. Ya. eh, tidak. Ya, maaf. Sekarang? Baik, aku segera ke sana.”

“Ada apa?” tanya Yo Won setelah Ye Jin selesai bicara dengan peneleponnya.“Teman seklubku. Beberapa hari yang lalu kami memang sudah membuat janji untuk

berlatih di rumahnya, tapi aku melupakannya karena sangat ingin bertemu Seung Ho,” kata Ye Jin. “Kau pulang berdua saja dengan Nam Gil. katakan pada Ibu bahwa aku akan pulang terlambat hari ini,” pesannya sebelum buru-buru pergi.

“Eh, baiklah. Hati-hati!” seru Yo Won.Setelah menyelesaikan makan, barulah kami berdua pulang. Saat berjalan menuju halte

bus—aku tidak membawa motorku hari ini karena pergi bertiga—kami melewati gedung agen perjalanan, dan seorang wanita muda memberi orang-orang yang lewat, termasuk aku dan Yo Won, brosur paket wisata. Sambil menunggu kedatangan bus, Yo Won asyik mengamati brosur itu.

“Indah, ya?” gumamnya mengomentari foto-foto pemandangan Bali.“Benar. Tahun lalu kami sekeluarga pergi ke sana,” kataku.“Benarkah? Aku iri padamu. Sudah lama aku ingin pergi ke sana,” kata Yo Won.“Liburan yang akan datang kita pergi ke sana berdua saja,” usulku cepat.“Ah, pasti menyenangkan!” seru Yo Won bersemangat. “Eh, aku—““Ada apa?” tanyaku penasaran saat Yo Won menghentikan kata-katanya.“Tidak, tidak apa-apa,” katanya sambil tersenyum. “Bila aku mendapatkannya, baru kau

akan kuberitahu.”“Sebenarnya apa yang kau sembunyikan dariku?” “Bukan hal buruk. Sudahlah, tidak usah membahasnya sekarang.”“Kau benar-benar membuatku penasaran.”Yo Won tertawa renyah. “Bagus kalau begitu. Aku lebih suka kau penasaran terhadapku,

karena dengan begitu kau tidak akan mudah bosan denganku,” candanya.Aku mendengus. Bosan, katanya? Yang benar saja. “Tidak ada apapun di dunia ini yang

bisa membuatku bosan denganmu,” kataku apa adanya.“Aku juga,” sahut Yo Won dengan tersenyum manis.

- Lee Yo Won - 3 April 2011- “Ayah yakin ingin pergi ke pesta itu?” tanyaku untuk keseratus kalinya. Aku tidak percaya saat melihat Ayah bersiap-siap ke acara yang diadakan untuk menggalang dukungan bagi Go Young Jae malam ini.

“Sangat yakin. Kau sudah menanyakan ini untuk kesekian kalinya, Yo Won,” gerutu Ayah sambil memperbaiki letak dasinya.

“Tapi… ini pesta Bibi Hyun Jung. kupikir kau—“

128

Ayah menatapku tajam. “Memang aku marah padanya yang menjadi biang keladi kesalah pahaman antara aku dan Ibumu dulu,” akunya. “Tapi baru-baru ini aku menyadari tidak sepenuhnya semua adalah kesalahannya, karena toh tidak sempat terjadi apa-apa diantara kami selain kecupan singkatnya waktu itu. Yang benar-benar menghancurkan pernikahanku dan Ibumu adalah kami sendiri. kekeras kepalaan dan ego kami.”

Aku terdiam merenungkan perkataan Ayah, dan menyadari kebenarannya. “Aku paham kau marah padanya karena melihat kondisi Ibumu waktu itu, dan juga darah

muda yang bergejolak dalam dirimu membuatmu belum bisa berpikir lebih jernih,” katanya, kemudian tertawa mengejek diri sendiri. “aku saja yang setua ini baru menyadarinya sekarang.”

“Jadi… Ayah akan berbaikan dengan Bibi?” tanyaku.“Ini hanya awal. Mengenai akan membaik atau tidaknya hubungan kami nantinya, itu

masalah lain. Aku datang ke pestanya karena ingin menunjukkan penghormatanku atas undangan yang diberikannya,” kata Ayah.

“Menurut Ayah, kenapa dulu Bibi Hyun Jung menggodamu? Apakah karena… selama bertahun-tahun dia memendam cinta padamu?” tanyaku hati-hati.

Ayah menggeleng. “Kurasa tidak. Hyun Jung mendekatiku mungkin karena saat itu aku sempat dicalonkan menjadi menteri—walaupun kemudian kutolak,” katanya. “Hyun Jung memang matrealistis. Kurasa itu karena pengalaman masa kecilnya dan Ibunya yang hidup serba kekurangan. Saat Ibunya menikah dengan Ayahku, usia Hyun Jung sudah empat belas tahun. Sudah cukup besar untuk mengerti hidup dan memupuk ambisinya.”

“Kau tidak berpakaian?” tanya Ayah beberapa saat kemudian, ketika melihatku diam saja di depan pintu kamarnya.

“Tidak,” jawabku cepat. “Nam Gil juga tak akan datang, jadi tak ada gunanya aku pergi.”“Baiklah, hati-hati di rumah,” pesan Ayah sambil mengecup keningku, lalu berjalan

keluar.

- 4 April 2011 -

“Akan ke mana kita hari ini?” tanyaku penasaran, ketika aku dan Nam Gil berjalan menuju tempatnya memarkir motornya.

Nam Gil menyeringai sambil mengedipkan mata padaku. “Bukan hanya kau yang bisa membuatku penasaran,” jawabnya.

“Kau ini—““Nam Gil!” seru Yeom Jong sambil berlari menghampiri kami.Mungkin ini lelucon takdir, membuat reinkarnasi dari orang yang ikut bertanggung jawab

atas tragedi di kehidupan pertamaku kembali menyandang nama yang sama. Yeom Jong tetaplah Yeom Jong. Sejak dulu aku tidak pernah mempercayainya.

“Ada apa?” tanya Nam Gil ketus.“Geng SMU Sang mengata-ngatai geng kita mulai kehilangan cakarnya semenjak kau

jarang turun tangan di setiap tawuran antar sekolah,” jawab Yeom Jong. “Bahkan kabarnya hanya menunggu waktu sebelum mereka menyerang kemari. Kita harus menyerang mereka lebih dulu. Aku sudah mengumpulkan semua orangku, hanya—“

“Geng kita?” sindir Nam Gil. “Seingatku aku tidak pernah tergabung dalam geng manapun. Selama ini aku ikut berkelahi karena mereka juga mencari masalah denganku, bukan karena loyalitasku pada gengmu. Minta bantuan Pamanmu saja.”

Yeom Jong menarik kemeja Nam Gil sambil menggeram marah. “Selama ini aku sudah banyak membantumu! Apa ini balasanmu—“

129

Dengan kasar Nam Gil menyentak lepas pegangan tangan Yeom Jong dari kemejanya, dan menarik kerah pemuda yang lebih tua itu. “Jangan bicara seolah-olah aku berhutang budi padamu,” desisnya dengan nada mengancam. “Karena selama ini aku pun sudah banyak membantumu keluar dari masalah dengan geng-geng lain akibat mulut besarmu itu!”

“Kau harus membantuku,” pinta Yeom Jong. “Ini bukan hanya masalah gengsi geng SMU Chongjan, tapi menyangkut Pamanku juga. sejak kekacauan di barnya dulu dia tak lagi mempercayaiku. Bila aku dikalahkan SMU Sang, dia benar-benar tak akan memperdulikanku lagi.”

“Itu bukan urusanku,” sahut Nam Gil acuh tak acuh sambil mendorong Yeom Jong.“Kau harus membantuku!” desak Yeom Jong keras kepala.“Aku tidak punya waktu,” kata Nam Gil sambil memakai helmnya dan naik ke motornya.

“Yo Won, ayo naik,” perintahnya.Aku menurut dan naik ke motornya sambil memakai helmku, kemudian melingkarkan

tanganku di pinggangnya.“Kau akan menyesali ini,” ancam Yeom Jong.“Selamat bersenang-senang,” seru Nam Gil, dan mulai melajukan motornya.“Kau akan menyesalinya! Aku bersumpah, kau akan menyesalinya!” teriak Yeom Jong

emosi.

***

Scene 36

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Yong Soo : Kim Jung ChulYong Choon : Do Yi Sung Kim Min Sun : (nama asli)

- Lee Yo Won - 4 April 2011 -

“Studio foto?” tanyaku heran saat Nam Gil menuntunku masuk ke dalam gedung bertingkat dua itu.

Nam Gil tersenyum. “Benar,” sahutnya singkat.“Kau ingin membuat foto bersama?” tanyaku.“Selamat datang!” sebelum Nam Gil sempat menjawab, pemilik studio foto itu telah

datang menyapa kami.“Kami ingin berfoto dengan pakaian tradisional,” kata Nam Gil langsung.Pria itu tersenyum. “Ya, pilihan bagus. Ayo, silakan ikut ke belakang untuk memilih

pakaiannya,” katanya ramah, lalu berjalan mendului kami.“Kapan kau terpikir untuk melakukan ini?” bisikku sambil berjalan mengikuti pria tadi.Nam Gil menyeringai. “Saat jam pelajaran sejarah tadi,” jawabnya.Setelah memilih pakaian yang ukuran dan warnanya sesuai untuk kami, aku dan Nam Gil

berpisah untuk berganti pakaian. Karena cukup sulit, aku memakai hanbok itu dengan bantuan asisten si fotografer.

“Rambutmu bagus,” puji wanita itu. “Lebih bagus kalau kau difoto dengan rambut dikuncir,” sarannya.

“Ya, kurasa itu ide bagus,” kataku setuju, dan membiarkan wanita itu menguncir rambut panjangku dan memberi sedikit riasan untuk wajahku agar tidak terlihat pucat saat di foto.

130

Ketika aku keluar dari ruang ganti wanita, ternyata Nam Gil sudah menunggu di depan pintu.

Si asisten tadi tersenyum melihat kami. “Wah, kalian benar-benar terlihat seperti pasangan di film kolosal,” komentarnya. “Kalian mengobrol saja dulu di sini, aku akan lihat apakah fotografernya sudah siap memotret kalian,” tambahnya sebelum pergi.

Mataku melahap keseluruhan diri Nam Gil yang memakai pakaian tradisional lengkap dengan topinya. Dia terlihat semakin tampan. Dadaku terasa sesak dengan tumpukan kasihku untuknya. Pakaian yang kami kenakan sekarang memang tidak sama seperti yang dulu kami pakai, tetapi melihatnya dalam balutan pakaian tradisional seperti ini mengingatkanku pada dirinya saat menjadi Bi Dam.

“Pakaian itu memang tidak sama dengan pakaianmu dulu, tapi melihatmu seperti ini mengingatkanku pada kecantikan dan keanggunanmu saat menjadi Putri Deokman,” kata Nam Gil, menyuarakan isi hatiku sendiri.

Aku tersenyum dan melangkah mendekatinya. “Aku pun merasa begitu setelah melihatmu dalam pakaian ini,” kataku jujur.

Nam Gil menatapku dengan pandangan penuh cinta yang membuat hatiku tergetar. Tangannya terangkat untuk mengelus pipiku, membuat jantungku langsung berdegup kencang.

“Di kehidupan kali ini, aku bersumpah tidak akan membiarkan apa pun membuat kita terpisah lagi,” janji Nam Gil sepenuh hati.

Aku tersentuh saat melihat dan mendengar kesungguhannya mengatakan hal itu. “Aku pun tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini,” kataku. “Bila benar ini kesempatan terakhir, aku akan berusaha agar di kehidupan yang akan datang kita dapat kembali bersama.”

“Aku mencintaimu,” gumam Nam Gil. “Dirimu sebagai Deokman, dan dirimu sebagai Yo Won.”

Aku menggenggam tangan kirinya. “Aku juga mencintaimu. Bi Dam dan Nam Gil hanya nama. Jiwa yang mengisi nama-nama itu tetaplah sama, karena itu cintaku tak pernah berubah. hanya untukmu.”

Nam Gil menundukkan kepalanya. Dekat. Semakin dekat. Jantungku pun berdetak semakin kencang. Semakin cepat. Rasa senang, gugup, dan malu bercampur aduk dalam diriku.

Dan ketika akhirnya bibir Nam Gil menyentuh bibirku, seketika itu juga tubuhku terasa lemas seolah akan mencair. Sekujur tubuhku gemetaran, dan jantung ini rasanya seperti akan meloncat keluar. Agar tidak jatuh, aku mengalungkan tanganku ke leher Nam Gil, dan dia balik memeluk pinggangku dengan erat.

Bibirnya yang awalnya hanya menyentuh ringan bibirku, kini semakin menekan, walau tetap dengan penuh kelembutan. Aku tidak bisa berpikir. Otakku tak berfungsi. Aku hanya mengikuti gerakan Nam Gil. ketika dia memiringkan kepala, refleks aku pun memiringkan kepalaku. Saat Nam Gil menggigit pelan bibir bawahku, tubuhku langsung menggigil. Kehangatan yang awalnya berasal dari hatiku, kini menyebar ke sekujur tubuh.

“Persiapannya— ah, maaf.”Kami langsung menjauhkan diri begitu mendengar kedatangan si asisten. Aku merasa

gugup, kikuk, salah tingkah, dan… kacau. Aku yakin, bila sekarang berkaca, wajahku pasti terlihat semerah mobil Ferrari. Ya Tuhan… ini ciuman pertamaku. Ciuman pertamaku dengan Nam Gil! Aku melirik Nam Gil, dan mendapati dirinya juga sedang melirikku. Sama-sama merasa jengah, kami saling memalingkan wajah.

“Eh, ayo, semua sudah siap,” kata asisten fotografer itu lagi dengan canggung.

- Kim Nam Gil - 5 April 2011 -

131

Jam dindingku masih menunjukkan pukul lima pagi. Sejak semalam aku tidak bisa tidur. Setiap kali memejamkan mata, pasti akan langsung teringat pada kelembutan kulit wajah dan bibir Yo Won. bibirnya yang mungil, merah, dan manis… Ya Tuhan, aku harus menghentikan ini! Namun sulit rasanya tidak mengingatnya. Bagaimana dia bereaksi dengan begitu polos. Dia mengalungkan tangannya di leherku dan membiarkanku menciumnya tanpa membalas sama sekali. Aku cukup berpengalaman—bagaimanapun juga sebelumnya aku pernah berpacaran beberapa kali—untuk tidak membuatnya takut atau kaget dengan ciumanku. Aku suka menciumnya. Sangat suka. Rasanya begitu tepat. Karena dia memang pasangan yang paling tepat untukku.

Lamunanku terganggu oleh bunyi ponselku. Buru-buru aku meraihnya dan berharap itu dari Yo Won, walaupun aku meragukan dirinya sudah bangun sepagi ini di hari libur. Dan ternyata benar, bukan Yo Won, melainkan kak Jung Chul. Ada apa?

“Halo?” sapaku.“Maaf membangunkanmu,” kata kak Jung Chul. “tapi aku terbangun dan tak bisa tidur

lagi, jadi kuputuskan untuk mencoba meneleponmu.”“Tidak masalah, aku juga sudah bangun,” kataku santai. “Ada apa menelepon sepagi ini?”“Pagi ini akan diadakan pesta di rumah. Datanglah,” pintanya.“Pesta di rumah? Kau sedang berada di Seoul?” tanyaku kaget.“Ya, aku baru sampai semalam,” jawabnya.“Dalam rangka apa kau pulang ke Seoul? Apakah urusan penjualan perusahaan dan

rumah Ayah?”“Ya,” jawab kak Jung Chul. “perusahaan sedang dalam tahap tawar menawar, sedangkan

rumah sudah dibeli. Karena itulah hari ini Ayah mengadakan pesta perpisahan dengan keluarga, tetangga dan teman-temannya.”

Rasa tak nyaman menyebar dalam dadaku. Sebentar lagi Ayah akan pindah ke Amerika bersama kak Jung Chul, padahal baru saja aku dan dirinya mulai akrab.

“Nam Gil?” desak kak Jung Chul. “Kau masih mendengarku?”“Ya,” sahutku.“Bisakah kau datang? Aku tahu kau membenci rumah ini, tapi demi Ayah kuharap kau

mau datang.”Bisakah? aku membenci kenangan yang ada dalam rumah itu, tetapi rumah itu sudah

terjual. Melihatnya sekali lagi saja tak akan berarti apa-apa. “Baik, aku akan datang.”

Rumah itu tetap terlihat besar dan kokoh seperti dulu. Ketika melangkahkan kaki memasuki rumah itu langsung terbayang olehku kenangan ketika istri Ayah memukulku, tapi segera kusingkirkan pikiran itu dan berusaha santai.

“Nam Gil!” seru Ayah gembira saat melihatku. “Perkenalkan, ini putra keduaku, Kim Nam Gil,” katanya, memperkenalkanku pada teman-temannya.

“Tampan sekali,” puji seorang wanita tua diantara kerumunan itu.“Sepertiku saat muda, kan?” canda Ayah, membuat kerumunan teman-temannya itu

tertawa.“Nam Gil!”Aku menoleh ke arah suara pemanggilku, dan melihat Min Sun berlari mendekat. Hah…

dia lagi.“Ah, Min Sun yang cantik,” gumam Ayah. “Pergilah mengobrol dengannya.”“Apa? Tidak—““Senang sekali bisa melihatmu lagi,” seru Min Sun, yang dengan cepat telah tiba di

sisiku.

132

“Jangan berlebihan,” gerutuku sambil berusaha menghindar saat gadis itu ingin mencium pipiku.

“Paman Im Ho, bisakah aku meminjam Nam Gil sebentar?” tanyanya pada Ayah.“Silakan. Pergilah kalian,” jawab Ayah geli.“Terima kasih,” kata Min Sun manis. “Ayooo,” ajaknya sambil menarikku.Ketika melihat kak Jung Chul sedang mengobrol dengan seorang pria di kursi teras

belakang, aku menemukan alasan utuk melarikan diri dari Min Sun. “Maaf, tapi aku tidak bisa menemanimu,” kataku tanpa penyesalan. “Aku ingin menyapa

kakakku. Sudah lama kami tidak bertemu.”“Oh, kak Jung Chul. Benar, aku juga sudah lama tidak bertemu dengannya,” kata Min

Sun. “Baiklah, kalau begitu kita datangi dia.”Sial. Tapi paling tidak aku tidak perlu berduaan dengannya. “Kakak,” sapaku.“Nam Gil! ayo duduk,” ajaknya. “Min Sun? astaga, lama tak melihatmu, kau sudah

sebesar dan secantik ini,” pujinya.Min Sun tersenyum lebar. “Terima kasih,” sahutnya.“Nam Gil, Min Sun, perkenalkan, ini sahabatku, Do Yi Sung, dan juga pembeli rumah

ini,” kata kakak memperkenalkan pria yang menemaninya itu.“Selamat pagi, Nam Gil,” sapa Do Yi Sung.“Kau!” seruku kaget. Do Yi Sung pembeli rumah ini? “anda yang membeli rumah ini?”

tanyaku, dan dijawab anggukan kepala pria itu.“Kalian saling mengenal?” tanya kak Jung Chul kaget.Do Yi Sung tersenyum geli. “Yah, kami sudah bertemu beberapa kali,” jawabnya sambil

melayangkan tatapan bersekongkol denganku. Kak Jung Chul terlihat masih penasaran, tapi tidak lagi membahasnya dan melanjutkan

obrolannya dengan Do Yi Sung. Min Sun yang duduk di sebelahku terus bicara, tapi aku tidak mendengarkannya karena lebih tertarik pada pembicaraan kak Jung Chul dan Do Yi Sung.

“Kuharap kau tidak buru-buru ingin pindah kemari,” kata kakak. “Karena kami baru siap berangkat pada tanggal 11 atau 12 nanti.”

Do Yi Sung bersandar di kursinya dengan santai. “Tidak masalah, aku tidak terburu-buru. Lagi pula sebenarnya aku membelinya bukan untukku, melainkan untuk kekasihku,” katanya. “Dan saat ini dia masih sibuk menghabiskan uangku di Milan, jadi rumah ini tidak akan diperlukan dalam waktu dekat.”

Kak Jung Chul tertawa. “Apakah ini masih gadis yang sama yang tiga bulan lalu kulihat bersamamu di New York?”

Do Yi Sung tersenyum geli. “Bukan. Gadis yang kau maksud itu kesal karena aku tidak juga bersedia menikah dengannya, dan akhirnya memutus hubungan kami. Ini gadis baruku.”

“Kau tidak berubah,” komentar kakak geli. “Masih suka mempermainkan gadis.”Do Yi Sung hanya menanggapinya dengan senyum santai. “Apakah Nam Gil juga akan

ikut pindah bersama kalian ke Amerika?” tanyanya.“Apa!?” seru Min Sun, tiba-tiba menghentikan ocehannya tentang teman-temannya dan

memfokuskan pendengaran pada apa yang baru ditanyakan Do Yi Sung. “Kau akan ikut pindah ke Amerika? Kenapa tidak mengatakannya padaku?”

Aku mendelik kesal padanya. “Aku tidak akan pindah kemanapun,” kataku dingin. “Dan kalaupun aku akan pindah, apa urusannya denganmu?”

Min Sun memasang tampang cemberut. “Aku selalu menyukai Amerika,” katanya tanpa ditanya. “Kalau kau juga pindah ke sana, aku bisa minta orangtuaku mengirimku bersama kalian. Pasti menyenangkan bila bisa tinggal bersama-sama di Amerika.”

133

Kak Jung Chul tertawa. “Aku bahkan belum mengundangmu tinggal di rumahku, tapi kau sudah menawarkan diri,” godanya. “Tapi tidak apa-apa. Kalau kau benar ingin pindah ke Amerika, hubungi saja aku, akan selalu ada kamar kosong untukmu,” janjinya.

Wajah Min Sun langsung berbinar. “Benarkah? Terima kasih!”“Kau benar tak mau mempertimbangkan untuk ikut bersamaku dan Ayah?” tanya kak

Jung Chul padaku.Aku menggeleng. “Tidak,” kataku tegas. Aku mungkin akan merindukan mereka

nantinya, tapi itu masih lebih baik, dibanding harus berpisah jauh dari Yo Won. Aku tidak akan sanggup.

“Kenapa tidak? Amerika sangat menyenangkan. Kita pindah ke sana saja,” bujuk Min Sun.

“Kau saja yang pindah ke sana,” gerutuku. “Hah… kau benar-benar keras kepala,” gerutu kak Jung Chul. “Baiklah, terserah kau saja.

tapi bila kau berubah pikiran, katakan saja, aku akan mengurus semuanya dengan cepat.”Aku tersenyum. “Baik,” sahutku. Ponselku berbunyi. Yo Won. “Ya? ada apa?” tanyaku langsung.“Apa kau sedang sibuk?” Yo Won balik bertanya.“Tidak,” jawabku. Sekalipun aku benar sibuk, pasti akan kusempatkan waktu untuk Yo

Won.“Bisakah kita bertemu siang ini?”“Kenapa? kau merindukanku?” godaku.“Ada yang ingin kubicarakan,” jawab Yo Won serius, tidak seperti biasanya.“Apa ada hal buruk yang terjadi?”“Tidak,” sahut Yo Won cepat. “Tapi aku perlu membicarakan sesuatu denganmu.”“Baiklah. Jam berapa kau ingin aku datang?” tanyaku.“Jam dua belas siang ini,” jawabnya.Aku melirik jam tanganku. Masih jam setengah sepuluh. “Baik. Di mana?”“Di rumah Ayahku. Baiklah, sampai jumpa nanti,” katanya.“Ya, sampai nanti,” sahutku, kemudian memutus sambungan telepon.“Siapa? Gadismu?” goda kak Jung Chul. “Diakah alasanmu tak ingin pindah?”Aku menyeringai. “Begitulah.”“Apakah gadis yang waktu itu pergi denganmu?” tanya Min Sun. “Kau masih

berhubungan dengannya?” gerutunya.Seringaiku semakin lebar. “Tentu saja. Selamanya kami akan berhubungan. Bahkan

setelah kematian,” kataku puas dan yakin.

Jam dua belas kurang sepuluh menit aku sudah sampai di rumah keluarga Lee. Oleh pelayan, aku dibawa ke halaman belakang, menuju rumah kaca.

“Nona, teman anda datang mencari,” kata pelayan itu melapor. “Permisi,” pamitnya kemudian.

Yo Won yang sedang asyik membaca, menutup bukunya dan tersenyum padaku. “Kau lebih cepat sepuluh menit,” komentarnya.

Aku masuk dan duduk di kursi yang bersebelahan dengannya. “Aku tidak sabar ingin bertemu denganmu,” sahutku jujur. “Bunga-bunganya indah,” komentarku, mengamati seisi ruangan.

“Bunga-bunga yang dulu dirawat Ibuku. Sekarang hanya ditangani tukang kebun,” kata Yo Won.

Aku menatapnya penasaran. “apa yang ingin kau bicarakan denganku?”

134

Yo Won menatapku tajam. “Kau ingat ceritaku dulu? Mengenai alasan Ibu memabawaku pergi dari Ayahku?”

Aku mengangguk. “Karena… Ayahmu berselingkuh, kan?”“Sebenarnya Ayahku tidak berselingkuh,” kata Yo Won hati-hati. “Orangtuaku

mengalami kesalah pahaman parah karena pada suatu malam Ibuku melihat…”“Melihat apa?” tanyaku semakin penasaran.Yo Won mengalihkan pandangannya dariku ke arah bunga bunga lili yang dirangkai

indah dalam vas yang diletakan di tengah meja. “Ibuku melihat Bibi Hyun Jung… Ibumu… sedang mencium Ayahku.”

Kaget masih terlalu ringan untuk mendefinisikan apa yang kurasakan sekarang. Aku benar-benar… terkejut, tak percaya, dan malu. Ibu melakukannya? Ibu juga mencoba merayu saudara tirinya sendiri!?

“Maaf, bukan maksudku untuk menyakiti hatimu, hanya saja, kurasa sudah saatnya kau tahu masalah antara keluargaku dengan… Ibumu,” katanya hati-hati.

Aku masih tak mampu bersuara. Jadi inilah alasan permusuhan antara Ibu dan Tuan Lee. Karena Ibu sudah menghancurkan rumah tangga kakak tirinya. Aku menatap Yo Won dengan sedih. Karena Ibuku, Yo Won hidup terpisah dari Ayahnya sejak kecil. Lagi-lagi karena Ibu. Bahkan di kehidupan yang lalu pun, Ibu jugalah yang memperumit hidup Yo Won saat menjadi Deokman. Pasti Yo Won sangat membenci Ibu.

“Nam Gil?” panggil Yo Won.“Pantas saja kau memandang Ibuku penuh kemarahan dan kebencian,” gumamku

mengingat beberapa kejadian yang mempertemukan mereka berdua. “Tapi selama ini aku tidak pernah benar-benar memperhatikan hal itu.”

“Maaf, karena sudah membuatmu sedih,” kata Yo Won lagi. “Tapi Ayahku mendesak agar aku menceritakannya padamu secepatnya.”

Aku tersentak kaget. “Ayahmu? Apakah dia tahu kalau sebenarnya aku bukan keponakan, melainkan anak Ibuku?” tanyaku.

“Dia sudah menebaknya saat malam itu kau mengaku keponakan bibi Hyun Jung,” jawab Yo Won. “Dia tahu skandal ibu dan ayahmu, dan langsung menghubung-hubungkan kemiripanmu dengan kedua orangtuamu dan nama Kim yang kau sandang. “

“Apa dia… membenciku? Apa dia tidak menyukai hubunganmu denganku? Karena itukah dia mendesakmu untuk mengatakan ini padaku?” desakku.

“Tidak, tidak begitu,” bantah Yo Won. “Ayahku tidak pernah membencimu. Sekalipun dia marah pada Ibumu, itu tidak ada hubungannya denganmu.”

“Bagaimana denganmu?” tanyaku langsung. “Apa kau tidak terganggu karena berpacaran dengan anak dari orang yang menghancurkan pernikahan orangtuamu?”

“Tidak, karena cintaku padamu lebih besar dibanding amarahku pada Ibumu,” jawab Yo Won bersungguh-sungguh.

Mendengarnya, membuat hatiku yang gelisah menjadi lebih tenang. Aku meraih tangan Yo Won dan menggenggamnya erat. “Terima kasih. Karena jujur padaku, dan karena tetap mencintaiku dalam situasi seperti ini,” ucapku tulus.

Yo Won mencondongkan tubuh ke arahku dan tersenyum. “Tak perlu berterima kasih. Dalam situasi apapun, hatiku tetap milikmu,” katanya.

***

Scene 37

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo Won

135

Moon No : Jung Ho Bin Yoo Shin : Tae WongChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeSan Tak : (tetap nama di QSD) Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Lee Yo Won - 7 April 2011 -

“Oh, kau sudah datang? Baik, aku akan segera ke kelas sekarang,” kataku pada Nam Gil lewat ponsel.

“Aku melihat tasmu, di mana kau sekarang?” tanya Nam Gil.“Aku di atap,” jawabku. “Sedang apa kau di sana? Kalau begitu aku akan menyusulmu.”“Eh, tidak usah. Aku sudah mau turun.”“Baiklah, aku ingin cepat memperlihatkan hasil foto kita. Aku mengambilnya sebelum

berangkat ke sekolah,” katanya dengan girang.“Sepagi ini? Apa studio fotonya sudah buka?” tanyaku sambil melangkah menuruni anak

tangga.Nam Gil tertawa puas. “Aku terus meggedor pintunya hingga pemilik studio itu bangun

dan membukakannya untukku. Kau harus melihat foto-foto ini. hasilnya bagus sekali!” katanya.

Aku ikut tertawa. “Kau ini tidak sabaran. Baiklah, tunggu saja, sebentar lagi aku datang.”“Aku akan menjemputmu di bawah tangga,” sahut Nam Gil, lalu memutus sambungan

telepon.Pagi ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya, dan begitu sampai aku langsung pergi ke

atap untuk menyendiri. Hatiku masih tidak tenang mengingat sabtu lalu, ketika aku menceritakan masalah antara keluargaku dan ibunya pada Nam Gil. karena semenjak itu aku terus teringat pada niat burukku dulu untuk memanfaatkannya demi mencari kelemahan ibunya. Rasa bersalah itu masih bersarang dalam hatiku. Dan rasa sesal itu semakin besar setelah aku berhasil mengingat kehidupan pertamaku sebagai Deokman. Dulu pun aku memanfaatkannya. Kenapa aku terus saja menyakitinya?

Aku tidak berani mengatakannya pada Nam Gil karena tidak ingin lebih menyakitinya. Juga karena keegoisanku yang tidak ingin hubungan kami hancur bila Nam Gil memutuskan tidak mau memaafkanku. Lagi pula, bukankah aku tidak jadi melakukannya? Aku menyesalinya. Jadi sebaiknya hal itu dilupakan saja. yang terpenting sekarang adalah hubunganku dan Nam Gil.

Karena melamun, aku tidak memperhatikan langkahku, dan terpeleset. Aku menjerit kecil sambil berusaha memegang susuran tangga, tapi tidak berhasil meraihnya.

“Awas!” kak Tae Wong dengan sigap menangkapku.Sebuah kilasan langsung berputar di benakku. Saat kak Tae Wong sebagai Hwarang Yoo

Shin memelukku. Memeluk Deokman. Aku mengingatnya. Itu merupakan pelukan terakhir kami. Malam saat dia merelakan semua yang dimilikinya pada suku Gaya agar mereka memberi dukungan padanya, demi membantuku menaiki tahta. Hari ketika dia memutuskan untuk memberikan cintanya untukku dengan cara mengabdi padaku. Aku juga masih mengingat jelas rasa haru dan sedihku saat itu. ketika aku harus mulai membiasakan diri untuk tidak lagi bergantung pada siapapun dalam hidupku sebagai penguasa.

Sepertinya kak Tae Wong pun melihat kilasan yang sama dengan yang kulihat, karena ketika aku tersadar dalam pelukannya, sepasang mata kak Tae Wong terlihat menerawang jauh. Aku yakin kak Tae Wong tak mengingat sama sekali mengenai kehidupan pertama kami, karena dia dan kak Seung Hyo tak ikut dalam tur ke Gyeongju waktu itu. Tempat itu lah yang membangkitkan seluruh kenangan lama. Tapi mungkin itu lebih baik. mengingat

136

kak Tae Wong yang sekarang juga menyukaiku seperti saat dia menjadi Yoo Shin dulu, kurasa lebih baik dia tidak mengingat kehidupan pertamanya. Karena aku bukan untuknya, dan dia bukan untukku.

“Yo Won!” seru Nam Gil setengah membentak.Seketika itu juga kak Tae Wong tersadar, dan kami saling menjauhkan diri. “Terima

kasih,” gumamku pada kak Tae Wong.“Ah, ya, tidak apa-apa,” sahutnya. “Lain kali lebih hati-hati,” nasehatnya sebelum pergi.“Ada apa?” tanya Nam Gil dengan nada tidak senang.“Aku terpeleset dan kak Tae Wong menolongku,” jawabku. “Mana fotonya?” tanyaku,

sengaja ingin mengalihkan perhatian Nam Gil.“Ini,” katanya datar sambil menyerahkan foto-foto kami dalam balutan pakaian

tradisional yang waktu itu dibuat.“Kau marah?”“Tidak.”“Kau marah.”“Tidak.”“Iya,” kataku geli. “Jangan salah paham dengan apa yang kau lihat tadi. Apa kau lebih

suka melihatku terluka karena jatuh dari tangga?” godaku.Nam Gil berdecak kesal. “Tentu saja tidak!” protesnya. “Karena itu, jangan marah lagi,” bujukku sambil bergelayut di lengannya. “Lebih baik

kita lihat foto-foto ini. wah, coba lihat, kau tampan sekali di foto yang ini,” pujiku.Nam Gil mendengus. “Yang benar saja.”“Aku serius,” kataku meyakinkan. “aku sangat menyukai foto-foto ini. apa kau tidak

menyukainya?”Akhirnya Nam Gil tersenyum kecil. “Ya, aku suka.”Tanpa bisa ditahan, aku tertawa melihat ekspresi lucunya saat ini. tidak berubah. Di

kehidupan dulu maupun sekarang, terkadang dia tetap menunjukkan sifat kekanakannya itu. Aku menyukainya.

Di foto-foto itu kami benar-benar terlihat seperti pasangan yang bahagia. Rasa sayang dan cinta di antara kami nampak jelas tergambar. Aku tersenyum senang melihat foto-foto itu. kuharap bahagia ini tidak hanya sementara.

“Lima foto untukmu, dan lima lagi untukku,” kata Nam Gil ceria ketika membagi rata kesepuluh foto kami. “Aku menyukai semuanya. Ini akan jadi kenang-kenangan indah untuk dilihat anak cucu kita nanti,” lanjutnya serius.

Seketika aku tertawa. “Kau sudah berpikir sejauh itu?” tanyaku di sela-sela tawaku.“Apa kau tidak bermaksud untuk terus bersamaku hingga tua?” gerutunya langsung.Aku memukul pundaknya pelan. “Tentu saja aku juga ingin begitu,” protesku. “Hanya

saja, aku tidak pernah terpikir untuk membuat kenang-kenangan bagi anak cucu yang belum ada.”

Nam Gil menyeringai. “Yah, tentu saja kita harus memikirkannya juga,” katanya pasti. “Karena kita akan hidup bersama hingga tua. Hingga ajal menjemput kita menuju kehidupan selanjutnya.”

Aku tersenyum memandangi wajahnya yang bersinar cerah menatap foto-foto kami. Ya, aku pun berharap begitu. Kali ini bersama. Kali ini tak terpisahkan.

Nam Gil dan aku sedang makan siang bersama ketika Yeom Jong dan beberapa anggota gengnya memasuki kafetaria. Mereka terlihat… babak belur. Sepertinya pertarungan mereka dengan geng SMU Sang tidak berjalan lancar.

Nam Gil tersedak geli. “Payah,” gumamnya sebelum kembali melanjutkan makan.

137

“Aku senang kau terlibat perkelahian itu,” kataku jujur. “Kurasa aku tidak akan tahan melihatmu babak belur seperti mereka.”

“Aku tidak lemah, kau tidak usah khawatir,” katanya sambil tersenyum menenangkan. “SMU Sang bahkan bukan apa-apa selama ini. bisa-bisanya SMU Chongjan kalah oleh mereka? Menggelikan.”

“Kau tidak mau membantunya karena benar tidak ingin terlibat masalah dengan orang yang tidak mengganggumu, atau karena kau dendam pada Yeom Jong? Karena apa yang telah dilakukannya di masa lalu?” tanyaku penasaran.

Nam Gil melirikku. “Keduanya,” jawabnya singkat.Melihat keberadaan Nam Gil, Yeom Jong segera menghampiri meja kami. Pancaran

matanya saat menatap Nam Gil terlihat penuh permusuhan.“Mulai detik ini, hubungan pertemanan apapun yang pernah kita miliki telah berakhir,”

geram Yeom Jong sebagai kalimat pembuka. “Sekarang SMU Chongjan dibawah kekuasaan SMU Sang. Dan itu karena kau. Aku tak akan memaafkanmu.”

Nam Gil terlihat acuh tak acuh dan terus saja melanjutkan makannya. “Terserah kau kalau mau berpikir begitu,” gumamnya sambil mengunyah.

Yeom Jong semakin emosi. “Aku dan Pamanku akan membuat perhitungan denganmu!”Dengan gerakan cepat Nam Gil menancapkan garpunya di celah antara jari telunjuk dan

jari tengah Yeom Jong, yang diletakan pemuda itu di atas meja kami. Dengan seringai bengis terukir di wajahnya, Nam Gil mendongak untuk menatap tajam Yeom Jong.

“Jangan coba-coba mengancamku,” desis Nam Gil memperingatkan.Wajah Yeom Jong semakin berkerut-kerut jelek. “Kita lihat saja nanti,” ejeknya.

“Pamanku sangat marah padamu, dan kini dia tak lagi menjadi bawahan Do Yi Sung, jadi tak ada lagi halangan untuk ‘menyentuhmu’.”

Seringai Nam Gil berubah semakin kejam. “Coba saja. Aku bukan bayi yang berlindung di balik jubah Tuan Do.”

Yeom Jong tertawa kecut. “Sombong. Kau sombong sekali,” hinanya. “Aku tak sabar ingin melihat hari di mana seluruh keangkuhanmu runtuh.”

Nam Gil menelengkan kepala sambil tersenyum sinis. “Hal itu baru akan terjadi di hari malaikat maut menjemputmu,” katanya santai.

Tawa Yeom Jong semakin keras. “Yah, ya, dan aku akan bangkit dari kuburku untuk menertawakanmu.”

- Kim Nam Gil - 8 April 2011 - Besok adalah hari ulang tahun Yo Won, tapi aku belum mendapat ide untuk memberi kado apa untuknya. Bila aku memberi kalung atau cincin… sepertinya sudah biasa. Apa yang bagus untuk Yo Won? Dia menyukai bintang. Bintang… bintang… ah! Benar, teleskop! Yo Won pasti akan menyukainya. Tak masalah harus menguras tabunganku, asalkan aku bisa memberikan sesuatu yang spesial untuk menyenangkan hatinya.

“Aku tidak latihan hari ini,” kataku pada Yo Won pada jam pulang sekolah.“Kenapa?” tanyanya heran.“Emm, aku ada urusan penting yang tidak bisa ditunda-tunda lagi,” jawabku. “Tapi aku

akan menjemputmu sepulang latihan,” janjiku.“Kalau begitu penting, sebaiknya tidak usah—““Saat itu pasti urusanku sudah selesai,” potongku. “Sampai jumpa nanti,” kataku, lalu

buru-buru pergi.Setelah membeli teleskop dan meminta agar barang tersebut besok sore diantarkan ke

alamat rumah ayah Yo Won—karena besok Yo Won berkata akan menginap di sana—aku

138

segera kembali ke sekolah. Ternyata tidak selama yang kuduga. Bahkan mungkin aku masih sempat mengikuti setengah waktu latihan yang tersisa.

Saat dalam perjalanan, sekilas aku seperti melihat pasangan yang mirip Yo Won dan Tae Wong sedang berjalan sambil berangkulan. Tapi karena laju motorku, aku hanya melihat mereka sekilas dan tak terlalu jelas. Rasanya tidak mungkin. Tak mungkin Yo Won.

Sesampainya di sekolah aku langsung berlari menuju ruang klub taekwondo, tapi tak terlihat tanda-tanda keberadaan Yo Won. hatiku mulai gelisah.

“Nam Gil, bukannya kau bilang tidak akan latihan hari ini?” tanya San Tak sambil menghampiriku.

“Urusanku selesai lebih cepat dari perkiraanku,” jawabku. “Apa kau melihat Yo Won?”“Ya, tadi dia memang ada, tapi kemudian pulang cepat bersama kak Tae Wong—““Tae Wong!” seruku. Jadi… pasangan yang kulihat tadi…“Ya, mereka—“Suara tawa sinis memotong perkataan San Tak. Yeom Jong bersandar di pintu sambil

menyeringai ke arahku. “Kau yakin gadis itu kekasihmu?” sindirnya. “Kalau iya, kenapa dia mesra sekali dengan pemuda lain?”

“Hei, kenapa kau—““Biarkan dia San Tak,” potongku. “Dipikirnya bisa memanas-manasiku, tapi tak akan

berhasil. Aku sangat mengenal Yo Won, dan tahu pasti perasaannya padaku. Dia tak mungkin berselingkuh dengan siapapun,” kataku tegas. Entah kenapa aku merasa harus meyakinkan diri sendiri dengan perkataanku barusan.

Yeom Jong tersenyum mengejek. “Benarkah? Kau tahu pasti perasaanya padamu? Jadi kau tahu kalau dia memanfaatkanmu?”

“Omong kosong!” bentakku.“Aku kasihan padamu,” ejeknya. “Jatuh cinta pada gadis yang hanya ingin

memanfaatkanmu.”Aku mendorong Yeom Jong keras hingga dia terjatuh ke lantai dan meninjunya. “Aku

tidak dimanfaatkan siapa-siapa,” desisku. “Hentikan segala fitnah busukmu!” aku tak akan tertipu olehnya lagi!

Seringai di wajah Yeom Jong tak juga menghilang. “Tapi aku berani bersumpah atas nama almarhum orangtuaku, dan segala yang suci… aku mendengar sendiri ketika dia berkata pada temannya bahwa dia memanfaatkanmu, entah untuk apa. Sayangnya waktu itu aku tidak mendengar keseluruhannya karena mereka keburu menyadari keberadaanku.”

Sumpahnya menyulut api kemarahanku. Kalap, aku terus memukulinya tanpa memperdulikan orang-orang yang berusaha melerai kami. “Kau bohong! Bohong! Bohong!” teriakku sambil terus melayangkan tinjuku padanya.

“Nam Gil! Nam Gil! Kim Nam Gil!” guru Jung akhirnya berhasil menyentakku menjauh dari Yeom Jong yang terluka. “Hentikan! Ada apa denganmu!?” bentaknya.

Dengan napas terengah-engah aku memelototi Yeom Jong. “Jangan pernah berani membohongiku. Tidak lagi!” geramku.

Yeom Jong meringis sakit tapi di saat bersamaan tetap berusaha tertawa. “Bukan aku yang membohongimu, melainkan gadis yang kau gilai.”

Dengan marah, aku berbalik pergi meninggalkan tempat itu. tidak. Aku tidak boleh terpengaruh olehnya lagi. Tidak akan. Sudah cukup sekali aku diperdaya olehnya.

“Nam Gil!” panggil San Tak mengejarku. “Ponselmu terjatuh,” katanya, menyerahkan ponselku.

Aku segera meraih dan mengantonginya, lalu naik ke motorku tanpa mengucapkan sepatah katapun pada San Tak. saat ini aku tidak yakin bisa bicara tanpa disertai amarah. Dan San Tak tak pantas menerima amukanku. Bukan salahnya. Ini salah Yeom Jong. Salah Tae

139

Wong! Beraninya dia mencoba merebut Yo Won dariku! Deokman milikku. Yo Won milikku!

- Lee Yo Won - 8 April 2011 -

Baru setengah jam berlatih, Bibi Young Hee menelepon dan memintaku cepat pulang karena Paman Kil Kang ingin mengajak kami semua makan malam untuk merayakan ulang tahunku. Sebenarnya ulang tahunku besok, tapi besok Paman akan dinas ke luar kota, jadi dia ingin merayakannya malam ini.

Ketika meminta ijin pada guru Jung, tanpa diduga ternyata kak Tae Wong juga meminta ijin untuk pulang lebih cepat karena demam. Dia memang terlihat tidak sehat dan lemas, tidak seperti biasanya.

“Berpeganganlah padaku,” kataku ketika dalam perjalanan pulang tubuhnya terlihat oleng.

“Tidak perlu. Aku masih kuat. Entah kenapa aku tiba-tiba sakit, padahal biasanya aku selalu bugar.”

Aku tertawa. “Pria selalu tidak mau mengakui kelemahannya,” ejekku. “Ayo, berpegangan padaku,” paksaku hingga dia mau.

Lama kami berjalan dalam diam, hingga dia bertanya. “Kau dan Nam Gil serius?”“Ya,” jawabku sambil meliriknya.Hening selama beberapa saat, lalu, “Maaf kalau kau menganggapku lancang, tapi, apa

yang membuatmu menyukainya?” tanyanya lagi.Kali ini aku tersenyum saat menjawabnya. “Semuanya. Dia kuat, tegar, memiliki tekad

yang kuat, menyenangkan, dan… entahlah, sulit menyebut satu persatu, karena aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Dia memang tidak sempurna, tapi dia sempurna untukku.”

Lagi-lagi terjadi keheningan setelah jawabanku. “Nam Gil beruntung,” gumamnya kemudian. “Tidak semua orang mendapat cinta setulus itu.”

Aku menatapnya. Ingatan mengenai perasaan yang sempat bersemayam di hatiku untuknya terlintas di benakku. “Suatu hari nanti kakak juga akan menemukan orang yang mencintaimu seperti cintaku pada Nam Gil,” kataku sambil tersenyum.

Kak Tae Wong membalas senyumku. “Kuharap juga begitu,” sahutnya.“Baiklah, terima kasih sudah membiarkanku bersandar padamu sepanjang jalan pulang,”

kata kak Tae Wong ketika kami tiba di depan rumahnya. “Tidak masalah. Sampai jumpa besok. Semoga kau cepat sembuh,” kataku, lalu

melanjutkan langkahku menuju rumah. Baru saja membuka pintu gerbang, sebuah mobil van berwarna kuning dengan lambang

stasiun TV swasta terkenal berhenti di depan rumah. Seorang wanita cantik dengan gaya yang modis keluar dari sana dengan membawa microphone, dan seorang cameramen mengikuti di belakangnya.

“Permisi. Selamat sore, kami dari TV G. Apa benar di sini tempat tinggal Nona Lee Yo Won?” tanya wanita itu.

Aku mengangguk dengan heran. “Ya, saya sendiri. Ada apa?”

***

Scene 38

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo Won

140

Mi Shil : Go Hyun Jung King Jinji : Kim Im HoSe Jong : Go Young Jae Yoo Shin : Uhm Tae WongCheon Myeong : Park Ye Jin Alcheon : Lee Seung HyoHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do BinYoung Mo : Qri Jook Bang : Lee Moon ShikGo Do : Ryu Dam Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 9 April 2011 -

Setelah memarkir motor, aku sengaja menunggu Tae Wong di depan gerbang sekolah. Aku harus memperingatkannya untuk menjauhi Yo Won. sejak dulu Yo Won ditakdirkan untukku. Milikku. Yoo Shin maupun Tae Wong tak boleh merebutnya!

Sebelumnya dengan sembunyi-sembunyi aku melihat Yo Won dan Ye Jin masuk, dan tak seperti biasanya mereka tidak bersama Tae Wong. Kuharap itu tidak berarti dia tak masuk sekolah hari ini.

Tiba-tiba aku teringat bahwa sejak kemarin ponselku belum diaktifkan lagi. Aku merogoh sakuku, dan dengan kaget melihat gantungan ponselku tak ada. Pemberian Yo Won tak ada. Dimana aku menjatuhkannya? Apakah di rumah? Sial.

Suara batuk mengalihkan perhatianku. Itu suara Tae Wong. Dia terbatuk beberapa kali. Tak seperti biasanya, dia terlihat lemas dan wajahnya agak pucat. Apa dia sakit? tapi itu bukan urusanku. Urusanku dengannya hanyalah untuk memperingatkannya agar tidak lagi mendekati Yo Won.

“Uhm Tae Wong,” panggilku. “Kita perlu bicara.”Tae Wong menghentikan langkahnya dan menatapku. “Ada apa?” tanyanya dengan suara

serak.“Tidak di sini,” jawabku. “Ayo ke halaman belakang.”Tanpa menjawab, dia mengikutiku. Saat dalam perjalanan, aku berpapasan dengan Yeom

Jong dan anak buahnya, tapi aku berusaha tidak menghiraukan mereka. Saat ini urusan yang paling penting adalah dengan Tae Wong.

“Jadi, ada apa?” tanya Tae Wong segera setelah kami sampai di tempat tujuan.Aku melangkah mendekatinya sambil menyeringai geram. “Aku kagum kau punya nyali

untuk menantangku,” kataku.“Apa maksudmu?”“Yo Won milikku!” desisku tepat di depan wajahnya. “Milikku. Kau dengar itu? Jangan

pikir aku akan diam saja melihatmu mencoba merebutnya dariku!”

Aku melajukan motorku semakin cepat di jalan raya yang padat, melesat melewati kendaraan-kendaraan lain. aku butuh sendiri. setelah memperingatkan Tae Wong, perasaanku tidak juga membaik.

Kecurigaan itu tanpa bisa dicegah merasuk di hatiku. Pasangan yang kulihat itu benar Tae Wong dan Yo Won. walaupun Tae Wong berkata dia tidak ada maksud merebut Yo Won dariku, tapi… bagaimana dengan Yo Won sendiri? Pelukan di bawah tangga itu, lalu rangkulan mereka kemarin… perasaan Deokman pada Yoo Shin… mungkinkah setelah mengingat semuanya, Yo Won akhirnya juga mengingat bahwa cintanya pada Yoo Shin tak pernah padam? Mungkinkah dulu Deokman tidak benar-benar mencintaiku? Mungkinkah… benarkah Yo Won memanfaatkanku? Tapi untuk apa? Argh!

Aku terus melaju tanpa tentu arah dan berhenti di daerah pertokoan. Setelah membeli minuman kaleng dan meminumnya di atas motor, aku kembali mengeluarkan ponsel yang

141

belum sempat kunyalakan tadi. Ada belasan panggilan dari Yo Won sejak kemarin dan tadi pagi. Baru saja aku akan memencet tombol untuk meneleponnya, masuk sebuah pesan dari Yeom Jong. Sial. Mau apa lagi dia?

Kau bukanlah keponakan pasangan Go Young Jae dan Go Hyun Jung, melainkan putra dari hasil hubungan gelap Nyonya Go dan pengusaha Kim Im Ho.

Cairan yang baru saja kuhirup langsung tersembur dari mulutku. Brengsek! Dari mana dia mengatahuinya!? Tapi sebelum aku sempat menelepon ataupun membalas pesannya, telah masuk pesan lain lagi.

Kemarin aku menyuruh seorang anak buahku mengikuti gadismu dan Tae Wong saat mereka pulang cepat dari klub, dan tanpa sengaja dia melihat Lee Yo Won menceritakan rahasiamu itu pada sebuah stasiun TV swasta. Menyedihkan. Gadis yang kau cintai justru mengkhianatimu. Sudah kukatakan, dia memanfaatkanmu. tapi kau tak percaya padaku. Sekarang beritanya telah tersiar di mana-mana.

Aku terdiam terpaku memandangi layar ponselku. Yo Won tidak mungkin melakukannya. Tidak akan. Dia tidak akan melakukan hal sekeji itu. tidak mungkin dia menyakitiku. Untuk apa? Untuk membalas Ibu… pikiran itu melintas begitu saja di benakku. Tidak. Aku tidak percaya. Tidak mungkin! Ini pasti hanya tipu muslihat Yeom Jong lagi. Tidak, aku tidak boleh terhasut lagi. Tidak akan. Aku tak boleh melakukan kesalahan yang sama. aku harus mempercayai Yo Won.

“Wah, tidak disangka, ya?”“Benar, padahal selama ini kupikir mereka keluarga harmonis.”“Iya, Nyonya Go terlihat sesuci malaikat, tapi siapa sangka…”Komentar-komentar itu sampai di telingaku dan membuatku mengalihkan perhatian dari

pesan yang dikirim Yeom Jong untukku. Aku menoleh ke sumber keributan itu, dan melihat sekelompok orang berdiri di depan sebuah toko barang elektronik. Di beberapa TV yang terpajang di etalasenya, tengah disiarkan berita-berita dari sejumlah stasiun TV mengenai terkuaknya skandal yang pernah dilakukan Ibu dengan beberapa pria, dan salah satunya adalah hubungan terlarangnya dengan Ayah. Brengsek!

Aku menerobos kerumunan itu untuk melihat lebih jelas berita tersebut. Mereka menyorot kebaikan-kebaikan Ibu selama ini, lalu membandingkannya dengan rahasia kelam yang kemarin baru didapat dari seorang narasumber yang tak mau menyebutkan namanya. Orang itu mengaku dekat dengan salah satu anggota keluarga Go, tapi selebihnya dirahasiakan. Berita itu masih terus berlanjut, entah apa lagi yang mereka ungkap, tapi aku tak lagi perduli. Hatiku serasa diremas kuat. benarkah? Mungkinkah Yo Won yang melakukan semua ini?

Ponselku kembali berbunyi. Dari Yeom Jong lagi. Kali ini dia mengirim sebuah video. Dengan tak percaya aku melihat rekaman yang diambil secara sembunyi-sembunyi itu. di video itu terlihat sosok Yo Won sedang diwawancarai seorang wanita yang selama ini memang sering kulihat tampil di TV. Mobil van di belakang mereka menampakkan logo sebuah stasiun TV swasta terkenal. Percakapan mereka tak terdengar karena perekam gambar ini bersembunyi cukup jauh dari Yo Won dan pewawancaranya.

Aku tidak ingin percaya. Tapi… bukti ini… untuk apa Yo Won diwawancarai? Tusukan tajam pengkhianatan melukai hatiku. Benarkah Yo Won melakukannya? Tapi karena apa? Untuk membalas dendamnya pada Ibu? Tegakah dia melakukan ini semua walau tahu dia juga akan melukaiku?

“Bagaimana denganmu?” Tanyaku padanya waktu itu. “Apa kau tidak terganggu karena berpacaran dengan anak dari orang yang menghancurkan pernikahan orangtuamu?”

142

“Tidak, karena cintaku padamu lebih besar dibanding amarahku pada Ibumu.” Ketika dia mengucapkannya, setulus hati aku mempercayainya. Tapi sekarang… kenapa?

Tak ada orang selain keluarga yang mengetahui rahasia ini. Mereka yang begitu mementingkan nama baik keluarga, tak mungkin membocorkannya. Hanya Yo Won dan ayahnya yang tahu rahasia ini, tapi tak akan terpengaruh dengan kabar buruk yang beredar.

“Tapi aku berani bersumpah atas nama almarhum orangtuaku, dan segala yang suci… aku mendengar sendiri ketika dia berkata pada temannya bahwa dia memanfaatkanmu, entah untuk apa.” Sumpah Yeom Jong terus menghantuiku.

Benarkah itu? Yo Won memanfaatkanku? Aku mengingat pada awal pertemuan kami Yo Won terus berusaha menjauhiku, tapi kemudian dengan tak terduga dia mulai mendekat dan bersikap ramah padaku. Selalu dipihakku. Membuatku merasa dekat dengannya. Mungkinkah semua itu sudah direncanakan? Mungkinkah Yo Won benar memanfaatkanku? Untuk mencari kelemahan Ibu? Untuk membalas dendam? Rasa sakit, kecewa, dan perihnya dimanfaatkan mencabik-cabik hatiku. Tapi di sisi lain, aku masih ingin mempercayainya. Dulu pun Yeom Jong menghadapkanku pada bukti yang membuatku percaya bahwa Deokman ingin menyingkirkanku, tapi ternyata semua itu tidak benar. Pasti ada penjelasan untuk semua ini. Kali ini aku tidak akan membuat kesalahan dengan mempercayai semua kata-kata dan bukti Yeom Jong tanpa menanyakan kebenarannya pada Yo Won. Aku harus bicara padanya.

Ponselku kembali berbunyi. Jung Hyun. Ada apa? “Halo?” Terdengar isakan. “Nam Gil, dimana kau sekarang?” tanyanya sambil menangis. “Do Bin

sudah dalam perjalanan ke Rumah Sakit M. Ayah… ayah kecelakaan. Dia sekarat. Setelah… melihat berita di TV, Ayah dan Ibu bertengkar, lalu Ayah pergi dalam keadaan marah… dan… kemudian kami mendapat kabar—“

Aku tersentak kaget. Go Young Jae mungkin bukan ayah tiri yang penyabar dan penuh kasih—tak ada yang mengharapkan sikap seperti itu dari seorang pria pada anak-anak hasil perselingkuhan istrinya—tapi selama ini dia sudah begitu baik, tidak hanya padaku, juga pada Do Bin. Dia membiarkan kami tinggal di rumahnya, juga membiayai dan memberi segala macam fasilitas terbaik yang sama dengan anak kandungnya sendiri. aku tak pernah mengharapkan hal buruk menimpanya.

“Aku akan segera ke sana.”

- Lee Yo Won - 9 April 2011 -

Dudukku gelisah. Aku tak sabar menanti kedatangan Nam Gil. sejak kemarin ponselnya tidak aktif, entah kenapa. padahal aku ingin menyampaikan berita gembira padanya.

Rasanya aku masih sulit percaya saat kemarin orang dari stasiun TV G mendatangi rumahku dan mengabarkan bahwa aku adalah pemenang hadiah dua tiket liburan ke Bali. Aku mengikuti kuis itu beberapa bulan lalu. Setelah mengirim jawabanku atas pertanyaan yang mereka berikan, aku terus menunggu dengan sabar kabar apakah aku memenangkan hadiah liburan itu, dan ternyata aku menang!

Hari itu, ketika Nam Gil mengusulkan untuk pergi berlibur ke Bali, hampir saja aku menceritakan mengenai kuis yang kuikuti, tapi tak jadi karena kupikir belum pasti aku akan memenangkannya. Dan kalaupun akhirnya aku tidak menang pun tak masalah, aku bisa menggunakan uang tabunganku untuk pergi ke Bali bersamanya. Tapi itu tak perlu lagi. Aku memenangkannya! Nam Gil pasti juga akan senang mendengar berita ini. Menurut wanita kemarin, keberangkatan kami baru akan dilakukan di bulan Mei, setelah semua persiapan selesai diurus. Aku merogoh ke dalam saku jaketku, dan mengeluarkan dua lembar kertas berwarna cokelat dengan tulisan Bali dalam huruf emas tebal tercetak di tengahnya. Ini hanya

143

semacam simbol bahwa aku telah memenangkan hadiah itu, karena tiket baru akan diberikan di bulan Mei. Ah, aku tak sabar ingin menyerahkan satu diantaranya untuk Nam Gil. ini kado yang sangat menyenangkan untuk ulang tahunku kali ini.

Moon Shik berlari memasuki kelas dengan ribut. “Gawat! Kak Tae Wong… kak Tae Wong terluka parah!” katanya dengan napas terengah-engah.

“Apa!?” seru hampir seluruh anak yang berada di kelas—termasuk aku. rasanya mustahil, dengan keahlian taekwondo kak Tae Wong. Tapi, kemarin dia tidak sehat, mungkin karena keadaannya yang sedang lemah membuatnya tak dapat melawan dengan maksimal.

“Di mana dia!?” tanyaku dan kak Ye Jin panik.“Di halaman belakang,” jawab Moon Shik.Kami semua buru-buru keluar kelas dan berlari ke tempat yang di sebutkan oleh Moo

Shik. Saat tiba di sana, kak Tae Wong telah dikerumuni murid-murid lain, dan salah satunya adalah kak Seung Hyo yang terlihat sedih.

“Yo Won, Ye Jin, tolong temani Tae Wong selama menunggu orang-orang dari Rumah Sakit M yang dipanggil Kang Ji Hoo datang,” pintanya, begitu melihatku dan kakak menerobos masuk kerumunan. “Aku harus pergi ke rumah Tae Wong dan menjemput ibunya. Sejak kemarin kepala sekolah tak ada di tempat karena mengikuti seminar pendidikan di Pusan.” Setelah menitipkan sahabatnya itu pada kami, kak Seung Hyo segera berlari pergi.

“Baik,” sahutku dan kak Ye Jin lemah. kami berlutut di sisi tubuh kak Tae Wong dan mengamati keadaannya dengan rasa kasihan. Di pakaian seragamnya terlihat noda-noda bekas tendangan sepatu, wajahnya penuh lebam dan luka berdarah. Siapa yang melakukan ini?

“Tadi aku melihat Tae Wong dan Nam Gil berjalan berdua ke arah tempat ini,” kata seseorang. Aku menengadah untuk melihatnya, dan mendapati Yeom Jong sedang berdiri di antara kerumunan orang yang mengelilingi kami. Pemuda itu berdecak pelan mengamati keadaan kak Tae Wong. “Setahuku Tae Wong sangat kuat. Jarang ada yang bisa mengalahkannya, apalagi sampai terluka parah seperti ini. tapi kalau Kim Nam Gil pelakunya… yah, kita tahu dia sangat kuat, kan?”

Segera saja terdengar gumaman setuju dari murid-murid lain. Dengan geram aku bangkit berdiri dan mendorong tubuh Yeom Jong kuat-kuat. “Nam Gil tidak mungkin melakukannya!” hardikku.

Yeom Jong tersenyum mengejek. “Tapi bukti yang ada memberatkannya. Aku dan beberapa temanku melihatnya berjalan bersama Tae Wong ke arah tempat ini, dan tak lama kemudian Tae Wong ditemukan dalam keadaan seperti ini, sedangkan Nam Gil hilang entah ke mana,” katanya.

“Dia tidak bohong.” Aku menoleh ke arah suara yang terisak itu, dan melihat Qri sedang menangis memandangi kak Tae Wong yang tak sadarkan diri. “Aku juga melihat… Kim Nam Gil dan kak Tae Wong berjalan menuju tempat ini. tapi aku tidak terpikir…Nam Gil akan menghajar kak Tae Wong…”

Tidak. Aku tidak percaya. Tidak mungkin Nam Gil pelakunya. Tapi… Nam Gil… Bi Dam… tak pernah menyukai kak Tae Wong dan Yoo Shin. Nam Gil selalu menganggap kak Tae Wong saingan beratnya. Mungkinkah Nam Gil melakukan ini karena cemburu dengan kedekatanku dengan kak Tae Wong? Tidakkah dia tahu aku tak mungkin dapat mencintai orang lain selain dirinya? Tidak. Sudah pasti ini bukan perbuatan Nam Gil. Dia tahu pasti perasaanku padanya. Aku tak akan meragukan Nam Gil.

“Yo Won,” panggil Ryu Dam pelan. “Milikmu, kan? Terjatuh di dekat kaki kak Tae Wong,” katanya sambil menyerahkan gantungan ponsel berwarna perak itu padaku.

Dengan terperanjat aku menerima pemberiannya. Memang sama persis dengan milikku. Gantungan ponsel dengan bentuk bintang dan cincin. Tapi inisial yang ada di cincin itu… bukan KNG seperti yang sekarang tergantung di ponselku, melainkan LYW, yang seharusnya

144

tergantung di ponsel Nam Gil. bagaimana mungkin ada di sini? Benarkah Nam Gil… apakah Qri dan Yeom Jong tidak berdusta? Nam Gil…

Aku dan kak Ye Jin ikut mengantar kak Tae Wong ke rumah sakit, dan dengan heran kami melihat banyaknya wartawan berkerumun di depan pintu masuk.

Setelah berhasil menerobos masuk dan kak Tae Wong sudah ditangani oleh dokter, barulah kami tahu dari beberapa pasien yang sedang duduk menunggu bersama kami, bahwa para wartawan itu ingin meliput berita mengenai keadaan seorang pengusaha sekaligus politikus yang mengalami kecelakaan di jalan raya.

Aku mendengar kak Ye Jin berbasa-basi bertanya pada orang yang duduk di sebelahnya itu mengenai identitas si pengusaha, tapi tak benar-benar kuperhatikan karena sekarang hatiku sedang gelisah. Aku tidak mau percaya. Tidak mungkin Nam Gil. tapi… kenapa gantungan ponsel ini bisa ada di tempat kejadian? Tidak. Tidak, aku tidak boleh meragukannya. Pasti ada alasan di balik semua ini. aku tidak boleh mengambil kesimpulan dengan gegabah seperti dulu. Tidak, aku harus membicarakannya dengan Nam Gil secara langsung.

“Go Young Jae,” kata si wanita yang ditanya oleh kak Ye Jin.Seketika perhatianku terpusat pada pembicaraan mereka. “Go Young Jae!?” seruku kaget.Wanita itu mengangguk. “Dia mengalami tabrakan beruntun di jalan raya,” jawabnya.Go Young Jae… suami Bibi Hyun Jung. Mungkinkah… mungkinkah Nam Gil tidak ada

di sekolah karena kecelakaan ayah tirinya? Apakah Nam Gil ada di gedung ini juga? Aku berdiri dan berjalan menjauh untuk menelepon Nam Gil. selama dalam perjalanan

menuju Rumah Sakit ini aku sudah berusaha menghubunginya, tapi tidak diangkat.“Keluarga Go yang selama ini dikenal harmonis dan sempurna, ternyata menyimpan

rahasia kelam—“Aku menoleh ke arah TV di ruang tunggu itu, dan melihat seorang pembawa acara berita

sedang mengoceh mengenai skandal Bibi Hyun Jung. Aku tak percaya ini. bagaimana bisa rahasia itu bocor ke media? Dari mana mereka mengetahuinya!?

Bagaimana perasaan Nam Gil mendengar berita ini diketahui umum? Apakah dia sudah mengetahuinya? Di mana Nam Gil sekarang? Semakin gelisah, aku kembali mencoba menghubunginya. Tapi sebelum aku sempat memencet tombol, sebuah panggilan masuk telah menghiasi layar ponselku. Panggilan dari Nam Gil. Oh Tuhan, syukurlah, akhirnya.

“Halo? Nam Gil, kau di mana?”Sambungan terputus. Aku menatap ponselku dengan terkejut. Ada apa?“Yo Won,” panggil sebuah suara yang sangat kukenal. Aku berbalik, dan melihat Nam

Gil yang berwajah murung sedang berjalan mendekatiku sambil memasukkan ponselnya ke saku celana.

“Nam Gil, aku terus berusaha menghubungimu sejak tadi—““Kita perlu bicara,” kata Nam Gil dengan nada datar.

***

Scene 39

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do Bin

145

Alcheon : Lee Seung Hyo

- Kim Nam Gil - 9 April 2011 -

“Kau benar, kita perlu bicara,” kata Yo Won setuju. Dia melirik Ye Jin yang sedang mengamati kami, lalu menarikku sedikit menjauh. “Aku ikut prihatin dengan apa yang dialami ayah tirimu,” katanya kemudian.

Pedih di hatiku tak kunjung menghilang. Kutatap wajah polos Yo Won. wajah yang kucintai. Mungkinkah? Bisakah dia setega itu memanfaatkanku?

Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. “Kondisinya kritis. Tapi dokter sedang berusaha menolongnya,” kataku. “Biasanya dia pengemudi yang terampil dan hati-hati, tapi mungkin karena sedang sangat emosi setelah bertengkar dengan Ibuku, dia kehilangan konsentrasinya.”

Terjadi keheningan yang cukup panjang setelah kata-kataku. Kulihat Yo Won melirik TV di ruang tunggu, yang sedang menyiarkan berita kecelakaan Go Young Jae dan skandal Ibu. Kecurigaan dan kekecewaan kembali melingkupi diriku. Yo Won…

“Sedang apa kau di sini?” tanyaku. Tadi aku menelepon untuk memintanya menungguku di atap sekolah karena aku ingin

membicarakan mengenai skandal Ibu, tetapi kemudian dengan mengejutkan aku justru melihat Yo Won di ruang tunggu Rumah Sakit ini.

Yo Won langsung menatapku tajam. “Aku dan kak Ye Jin mengantar kak Tae Wong. Dia pingsan setelah dihajar hingga babak belur oleh orang tak dikenal,” jawabnya. “Apakah kau tahu sesuatu mengenai hal ini?”

Aku mengernyit mendengar pertanyaannya. “Kenapa aku harus mengetahuinya?”“Jadi bukan kau yang memukuli kak Tae Wong, kan?” desak Yo Won. “Karena beberapa

anak bersaksi bahwa mereka melihatmu dan kak Tae Wong berjalan menuju halaman belakang. Tempat kak Tae Wong ditemukan dengan tubuh penuh luka dan tak sadarkan diri.”

Aku tak percaya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Yo Won. Dia mencurigaiku telah mencelakai Tae Wong. Aku tak melakukannya. Setelah memperingatkan Tae Wong, aku langsung pergi untuk menenangkan diri. Tak pernah kusangka Yo Won akan mencurigaiku seperti ini.

“Aku juga menemukan ini di tempat kejadian,” kata Yo Won lagi, saat dilihatnya aku diam saja. Dia mengeluarkan gantungan ponsel dari saku jaketnya. “Milikmu.”

Benar. Gantungan milikku. Entah bagaimana caranya bisa terjatuh di halaman belakang sekolah, padahal sejak pagi menunggu kedatangan Tae Wong, gantungan itu sudah tidak ada dan kupikir terjatuh di kamarku.

“Katakan padaku, kau tidak melakukannya, kan?” desak Yo Won lagi.Aku menatap tajam wajahnya. Luka di hatiku kurasakan makin membesar. Yo Won yang

selama ini selalu mempercayaiku, selalu di pihakku… kini, karena Tae Wong… karena Yoo Shin… dia mencurigaiku. Deokman… Yo Won… apakah benar rasa cintanya pada Yoo Shin tak pernah padam? Apakah dia tidak pernah benar-benar mencintaiku? Apakah benar dia hanya memafaatkanku?

“Kau mencurigaiku,” gumamku perih. “sebegitu cintanya kah kau pada Yoo Shin? Pada Tae Wong yang merupakan reinkarnasinya? Sehingga kau yang selama ini selalu mempercayaiku, beralih mencurigaiku?”

Yo Won terperangah mendengar pertanyaanku. “Kenapa— aku tidak bermaksud mencurigaimu! Aku justru—“

146

“Bagaimana denganmu sendiri?” tuntutku. Emosi dan sakit hati yang kurasakan membuatku menyemburkan pertanyaan itu. “Apakah benar kau yang memberikan informasi mengengai skandal Ibuku pada media?”

Yo Won terperanjat kaget. “Bagaimana bisa kau berpikir begitu?” tuntutnya.“Aku melihat video saat kau diwawancarai sebuah stasiun TV swasta. Untuk alasan apa

kau diwawancarai?” tanyaku dengan nada suara yang sarat kekecewaan dan kesedihan.“Video? Aku tidak pernah— Ah, itu—“Aku meraih tangannya dan kugenggam erat-erat. Hatiku terasa sakit, tapi aku masih

berharap. “Katakan sejujurnya padaku,” pintaku. “katakan bahwa kau benar-benar mencintaiku. Bahwa kau tak pernah berniat memanfaatkanku untuk mencari kelemahan Ibuku demi membalas dendam padanya. Katakan padaku.”

Yo Won terdiam sekaku patung. Wajahnya memucat, dan kedua matanya terlihat membesar. Aku berusaha bernapas dengan susah payah. Tidak. Aku tidak ingin percaya ini. kupandangi tanganku yang sedang menggenggam erat tangannya. Tubuhku gemetar menahan sakit hati, kekecewaan, dan kesedihan akibat perasaan dikhianati dan dimanfaatkan. Aku mengangkat kepala untuk kembali menatap mata Yo Won. tanpa kata, jawaban itu telah kudapat. Kedua mata Yo Won menyorotkan penyesalan dan rasa bersalah. Dia memang memanfaatkanku.

Seketika aku melepas pegangan tanganku. “Begitu,” gumamku pelan. “Pasti berat bagimu untuk berpura-pura menyukaiku demi mengorek berita mengenai rahasia Ibuku untuk pembalasan dendammu.”

Yo Won melangkah maju dan meraih tanganku. “Tidak, jangan berpikir begitu,” pintanya. “Aku mencintaimu—“

“Aku sudah lelah terus begini,” kataku sambil melepas pegangan tangannya. “Dulu dan sekarang, aku terus diliputi pertanyaan apakah kau benar mencintaiku. Kini semua terjawab.”

“Nam Gil…”Aku berusaha tersenyum walau hatiku hancur. “Kurasa aku tidak bisa marah atas apa

yang kau lakukan padaku. Bila di posisimu pun, aku pasti ingin membalas dendam orangtuaku,” kataku. “kini dendammu telah terbalas. Kuharap kau mau memaafkan Ibuku.”

“Tolong, maafkan aku—““Sudahlah,” potongku halus. “Sudah berakhir.”“Aku tidak ingin berakhir begini!” bentak Yo Won.Mataku terasa perih saat memandangi wajahnya. Aku sangat menyukainya.

Menyayanginya. Mencintainya. Sayangnya aku tidak cukup untuknya. “Kenyataannya kau mencintai Yoo Shin. Tae Wong. Kau bahkan tak lagi mempercayaiku seperti biasa, karena kali ini Tae Wong yang celaka,” kataku berusaha tetap tenang. “Aku tak pernah melakukannya. Bukan aku yang mencelakainya. Pagi tadi aku memang bicara dengannya untuk memperingatkannya agar tidak mendekatimu lagi, tapi setelah itu aku segera pergi.”

Mata Yo Won terlihat berkaca-kaca. Ingin rasanya aku memeluknya, tapi kuurungkan niatku. “Maaf, bukan maksudku mencurigaimu—“ mulainya lagi.

“Nam Gil! Nam Gil!” aku menoleh ke sumber teriakan itu, dan melihat Do Bin berlari mendekat dengan wajah panik dan sedih. “Ayah!”

Go Young Jae meninggal. Siang ini dia menghembuskan napas terakhirnya. Hari ini, setelah sekian tahun melihat sosok Ibu yang tenang terkendali, akhirnya aku melihat kerapuhan Ibu. Dia begitu hancur dengan kematian suaminya. Selama ini tidak pernah terpikir olehku bahwa Ibu mencintai ataupun sedikit saja menyayangi suaminya, tapi mungkin aku salah. Mungkin Ibu mencintai Go Young Jae dengan caranya sendiri.

147

Hatiku ternyuh melihat Ibu yang menangis dipelukan Do Bin. Jung Hyun tak bisa diharapkan untuk menenangkan Ibu, karena dia pun sedang sangat kehilangan sekarang ini. Kesedihan, kehilangan yang dicintai, membuat seseorang bisa melakukan apa saja. Seperti Yo Won yang diusia begitu muda kehilangan Ibunya. Membuatnya bertekad membalas dendam.

Mengingatnya membuat hatiku kembali sakit. setelah tahu perbuatannya pun aku tetap tak bisa marah dan membencinya. Aku tetap mencintainya. Aku sedih dan kecewa karena merasa dimanfaatkan, tapi aku tidak bisa marah padanya.

“Aku terus mengecewakan dan menyakiti hatinya, padahal dia begitu mencintaiku,” isak Ibu. “Tidak seharusnya aku melakukan semua itu… Dan kini aku membuatnya mati…”

Hatiku terenyuh melihat penderitaan Ibu. “Kecelakaan itu bukan salahmu, Bu,” kataku.“Kami bertengkar setelah melihat berita di TV mengenai skandalku. Berita itu

menjatuhkan reputasinya. Dia menyalahkanku—itu memang kesalahanku, tapi waktu itu aku malah membela diri… lalu… dia pergi dalam keadaan sangat marah… dan sekarang tidak akan pernah kembali. Ini salahku.”

“Tenanglah, Bu,” bujuk Do Bin.Aku melirik Jung Hyun yang menangis di sudut ruangan. Walaupun tak pernah akrab, dia

tetap kakakku. Aku ikut bersedih atas rasa kehilangannya. Aku sangat mengerti rasa sakit yang dirasakannya, karena sekarang pun aku merasakannya. Aku telah kehilangan Yo Won. walau tidak dengan cara yang sama seperti Jung Hyun yang kehilangan Ayahnya.

“Jung Hyun,” gumamku sambil mendekatinya.“Aku selalu mengecewakannya. Kau dan Do Bin telah berulang kali membuatnya bangga

dengan prestasi kalian… sedangkan aku, putra kandungnya sendiri… aku tidak berbakat dalam bidang apapun. Aku mengecewakannya,” isaknya. “Aku belum sempat membuktikan bahwa diriku berguna, dan dia… dia sudah pergi…” tangisnya semakin kencang.

Dengan canggung aku menepuk-nepuk pundaknya untuk menunjukkan dukunganku. Tanpa diduga, Jung Hyun langsung berputar untuk memelukku. Kubiarkan dia menangis, dan menenangkannya dengan menepuk-nepuk punggungnya.

Go Young Jae akan dimakamkan besok. Malam ini suasana rumah bagai diliputi awan gelap. Semua bersedih atas kepergian Go Yong Jae. Kabel telepon pun sengaja dilepas agar kami tak terganggu dengan telepon-telepon masuk, terutama dari wartawan-wartawan yang haus berita. Bahkan tadi mereka berkerumun di depan rumah hingga beberapa polisi diminta datang untuk mengusir mereka.

Dan bagiku, hari ini berlipat kali menyakitkan. Pria yang selama ini membesarkanku meninggal, dan kekasihku ternyata tak benar-benar mencintaiku dan hanya memanfaatkanku. Yoo Shin… Tae Wong benar-benar beruntung. Sejak dulu dia selalu menang dalam hal apapun. Baik taktik perang, juga wanita. Wanita yang kucintai. Deokman. Yo Won. tak satupun dapat benar-benar kumiliki karena Yoo Shin telah lebih dulu ada di hatinya. Sial! Brengsek!

Dengan emosi aku membanting ponselku ke lantai hingga hancur berkeping-keping, lalu meninju cermin di dinding kamarku. Kenapa? kenapa takdir begitu kejam padaku? Benarkah aku dan Yo Won pasangan takdir? Bila benar, tak mungkin selama dua kali kehidupan sebelumnya kami justru dipisahkan oleh takdir kejam. Bila sudah ditakdirkan bersama, tak mungkin kami berpisah. Bila sudah ditakdirkan bersama, tak mungkin Deokman tetap mencintai Yoo Shin. Tak mungkin Yo Won mencurigaiku karena dia begitu mengkhawatirkan Tae Wong!

Darah segar mengucur dari tanganku. Pintu terbuka, dan Ibu melangkah masuk dengan wajahnya yang masih sepucat siang tadi. “Ada apa?” tanyanya panik. “Tanganmu terluka!”

148

Aku tak bersuara sedikitpun. Tak terasa sedikitpun olehku sakit dari luka di tanganku. Karena luka yang tak terlihat, yang berasal dari hatiku, jauh lebih menyakitan. Hatiku benar-benar dibuat remuk oleh kejadian beruntun yang kuterima hari ini. rasanya baru saja aku merasakan bahagianya cinta dengan Yo Won, lalu sekarang…

“Biarkan aku mengobati lukamu,” katanya sambil menuntunku ke kamar mandi. Dia membersihkan lukaku dengan air, lalu membalutnya dengan perban dari kotak obat yang tersedia di kamar mandiku.

Aku mengamati wajah Ibu saat dia tengah serius mengobati luka ditanganku. Sebelumnya tak pernah Ibu menunjukkan perhatian dan keperduliannya padaku seperti sekarang ini. dibalik rasa sakit yang sedang bersarang di hatiku, tumbuh perasaan lain, rasa hangat dan rinduku atas sentuhan seorang Ibu.

“Ibu,” gumamku pelan. Ibu menghentikan pekerjaannya yang sedang membalut lukaku, lalu menatapku. “Apakah Ibu menyesal telah melahirkanku?”

Ibu terdiam selama beberapa saat. “Tidak,” jawabnya pada akhirnya. “Tapi aku menyesal melahirkanmu di dalam situasi pelik seperti yang kau alami ini.”

“Pernahkah… pernahkah Ibu menyayangiku?” “Aku menyayangimu dengan caraku sendiri,” jawabnya. Kata itu bagai pengobat hatiku

yang sedang terluka. “Selama ini aku menjaga hatiku agar tidak terlalu mencintai siapapun, karena aku tak ingin merasakan sakitnya kehilangan orang yang dicintai seperti Ibuku yang merana dan terpuruk setelah kematian Ayah kandungku.

“Tapi, hari ini aku menyadari, sekeras apapun aku berusaha tak perduli, sakit yang kurasakan saat kehilangan Young Jae tetaplah memedihkan. Dan semakin menyakitkan karena aku baru sadar bahwa selama ini aku telah menyia-nyiakan waktuku dengannya. Aku tidak mau melakukan kesalahan itu lagi. Kini yang kupunya hanya kau, Do Bin, dan Jung Hyun, aku tak ingin lagi menyia-nyiakan waktu yang kupunya dengan kalian.”

Rasa haru membuncah dalam diriku. “Ibu…”“Maukah kau memaafkanku?”“Ya, tentu,” jawabku. Kurasakan air mata menetes ke pipiku. “Bolehkah aku

memelukmu?”Tanpa menjawab, Ibu langsung memelukku. Pelukannya terasa hangat. Setelah delapan

belas tahun, baru kali ini aku merasakan pelukan penuh kasih dari seorang Ibu. Mungkin Tuhan tidak terlalu membenciku. Dia mengambil kekasihku, tapi mengembalikan Ibuku.

“Ibu, aku menyayangimu,” bisikku sambil memeluknya erat. Tak perduli bagaimanapun dirinya, apapun yang dilakukannya, dia tetap Ibuku.

“Aku juga menyayangimu,” balas Ibu.

- Lee Yo Won - 9 April 2011 -

Sudah berakhir. Kata itu terus menghantuiku. Aku tidak mau percaya bahwa inilah akhir hubunganku dengan Nam Gil. hanya karena kesalah pahaman bodoh seperti ini. bahkan masalah kali ini bisa dibilang sangat sepele bila dibandingkan masalah yang kami hadapi di kehidupan sebelumnya. Tentunya bisa diselesaikan tanpa harus berpisah, kan? bukankah kami pasangan takdir? Tidak mungkin kami berpisah semudah ini, kan?

Seharusnya aku tidak pernah berencana memanfaatkan Nam Gil. seharusnya dulu aku menceritakan padanya mengenai penyesalanku karena sempat terpikir untuk melakukan hal itu. Seharusnya aku tidak membuat kesan bahwa aku mencurigainya. Aku mempercayainya. Aku bertanya karena ingin memastikan saja.

149

Aku ingin menjelaskannya, tapi saat di Rumah Sakit Nam Gil sedang dipusingkan dengan masalah ayah tirinya sehingga aku tidak mau mengganggunya. Sekarang sudah malam, dan ponselnya terus tak aktif saat kucoba menghubunginya.

Perhatianku teralih pada teleskop yang ditaruh di dekat jendela kamarku. Begitu pulang ke rumah Ayah sore tadi, aku dikejutkan dengan teleskop yang dihiasi pita merah muda ini. menurut Ayah, teleskop ini diantar tak lama sebelum aku pulang.

Aku membaca kartu ucapan yang dikirim bersamaan dengan teleskop itu sekali lagi.

Selamat ulang tahun. Bila kau sudah membaca ini, berarti hadiahku telah sampai. Apa kau menyukainya? Dengan ini kau bisa melihat bintang kesukaanmu dengan lebih jelas. Tapi

kurasa tak akan ada bintang yang kilau cahayanya seindah kilauan cintaku untukmu.Kuharap cinta kita tidak seperti bintang yang harus menghilang di siang hari, tapi

seperti udara yang terus ada untuk dihirup.

Selamat ulang tahun Tuan Putriku. Selamanya kau Putri bagiku.

Aku mendekap kartu ucapan itu di dadaku. Tidak, kami pasti bisa menyelesaikan kesalah pahaman ini. aku tidak akan membiarkan hubungan kami hancur semudah ini. tidak lagi.

Nam Gil, percayalah padaku…

- 11 April 2011 -

Sejak kemarin aku tidak bertemu Nam Gil. Dia dan Do Bin tak masuk sekolah karena acara pemakaman Go Young Jae. Aku berharap dapat bertemu dengannya hari ini, tapi dia kembali tak masuk sekolah. Percuma menelepon ponselnya karena sejak kecelakaan ayah tirinya, ponsel Nam Gil tak pernah aktif. Aku mencoba menelepon ke rumahnya, tapi menurut pelayan, Bibi Hyun Jung dan anak-anaknya sementara waktu ini pergi mengungsi ke tempat lain karena rumah mereka terus saja dikerubungi wartawan.

Aku ingin cepat menyelesaikan masalah kami, tapi hingga sekarang tak ada tanda-tanda Nam Gil akan menghubungiku.

Masalah pemukulan kak Tae Wong sedang diselidiki polisi. Menurut kak Seung Hyo, kemarin di sela-sela waktu pemakaman ayah tirinya, Nam Gil sudah dipanggil untuk dimintai kesaksian oleh polisi, dan berkat pembelaan pengacaranya, dengan cepat dia dinyatakan tak bersalah.

“Aku pergi membeli minum dulu,” kata kak Ye Jin sambil beranjak pergi. Aku memandangi kak Tae Wong yang terbaring lemah di ranjangnya. Setelah pulang

sekolah aku dan kak Ye Jin langsung menjenguk kak Tae Wong. Hingga sekarang dia belum sadar juga. dia dipukuli saat dalam keadaan sakit, sehingga penyembuhannya agak lambat.

Kak Tae Wong teman yang baik, bukankah wajar bila aku mengkhawatirkan keadaannya? Tidak bisakah Nam Gil memahaminya? Aku tidak mencurigainya, melainkan ingin penegasan dari apa yang kuyakini. Dan bagaimana bisa Nam Gil berpikir aku akan tega membocorkan skandal Bibi Hyun Jung pada media, padahal aku tahu itu bisa menyakitinya? Sebegitu tak percayanyakah dia pada cintaku padanya?

Tiba-tiba saja setetes air mata bergulir turun dari mataku. Dadaku terasa sesak. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Perasaan yang sama seperti yang kurasakan sebelum melihat Bi Dam mati di depan mataku. Apakah ini pertanda bahwa aku akan kehilangannya lagi?

Isak tangisku semakin kencang. Tidak. Tidak mungkin. Aku tidak mungkin kehilangannya lagi. bukankah kami ditakdirkan bersama? Kami kembali bereinkarnasi untuk

150

diberi sekali lagi kesempatan memperbaiki kesalahan di masa lalu. Tegakah takdir membuat kami kembali berpisah? Nam Gil…

***

Scene 40

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeKing Jinji : Kim Im Ho Yong Soo : Kim Jung ChulYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do BinAlcheon : Lee Seung Hyo San Tak : (tetap nama di QSD)Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 11 April 2011 -

Karena terus diganggu para wartawan itu, Ibu memutuskan untuk mengungsi ke apartemennya selama beberapa waktu. di tempat ini tak ada wartawan yang terus berteriak-teriak memaksa mencari berita.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Setelah ponselku hancur, aku memakai ponsel dan nomor baru pemberian Ibu. Dan yang mengetahui nomor baru ini hanya sedikit orang. Ternyata dari Ayah.

“Halo? Ada apa, Yah?”“Bisakah kita bertemu sebelum keberangkatanku besok pagi?” tanyanya.Benar. Besok Ayah akan berangkat ke Amerika dan tinggal bersama kak Jung Chul. Aku

merasa kehilangannya. Padahal baru saja kami mulai akrab.“Tentu saja bisa,” jawabku cepat.“Baguslah,” komentar Ayah. “Sebenarnya aku sangat berharap kau mau ikut denganku,”

lanjut ayah setelah diam beberapa saat. “Aku tahu kau tak ingin pergi dari Korea, tapi bila kau berubah pikiran, masih sempat. Jung Chul bisa segera mengurus segalanya dengan cepat. Dia ahli dalam hal-hal seperti ini.”

Aku merenungkan perkataan Ayah. Bila hubunganku dan Yo Won tak lagi dapat diperbaiki... bila Yo Won dan Tae Wong… sanggupkah aku bertahan di sini dengan melihat semua itu? “Baiklah, akan kupikirkan. Tapi aku tidak berjanji. Sekarang aku akan segera ke rumah Ayah. tunggu saja,” kataku.

“Bukankah itu Yo Won?” gumam Do Bin, saat aku berjalan menuju kamar sementaraku.Yo Won? Secepat kilat aku kembali ke ruang tengah tadi, dan terbelalak saat melihat Yo

Won di TV. tayangan ini sama dengan video yang dikirimkan Yeom Jong, hanya saja lebih dekat dan lebih jelas. Di situ diperlihatkan bagaimana terkejutnya Yo Won saat si pembawa acara memberitahu bahwa dirinya memenangkan hadiah liburan ke Bali dari kuis yang diikutinya. Kuis! Demi Tuhan!

“Tolong beritahu Ibu aku pergi sebentar,” pesanku, lalu berlari ke kamar untuk mengambil kunci motor dan helmku.

Sial! Brengsek! Aku tertipu oleh Yeom Jong. Lagi-lagi aku berhasil diperdaya olehnya. Kenapa Yo Won tidak bercerita bahwa dia memenangkan hadiah dari sebuah kuis? Karena aku tidak memberinya kesempatan untuk membela diri. Aku kecewa karena dia mencurigaiku, padahal aku sendiri pun juga mencurigainya.

151

Tentang dirinya yang memanfaatkanku… mungkin aku membuat kesalahan lain lagi. mungkin aku salah mengartikan sorot matanya. Pasti ada penjelasan juga untuk itu.

Yeom Jong. Aku harus membuat perhitungan dengannya. Tunggu dulu, sebelumnya aku tidak pernah memikirkannya dengan serius. Bagaimana bisa Yeom Jong tahu mengenai rahasia keluargaku? Sial. Aku terlalu kalut sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih.

Dengan cepat aku mengemudi ke sekolah. Ini jam pulang, jangan sampai si brengsek itu keburu pergi.

Ketika sampai di sekolah, dari beberapa anak, aku mengetahui bahwa Yeom Jong sedang berkumpul dengan teman-temannya di dekat gudang peralatan olahraga. Si brengsek itu terperanjat saat melihatku. Dia buru-buru berlari, tapi dengan mudah aku mengejar dan menangkapnya, lalu menyudutkannya di dinding.

“Wah, aku tak menyangka akan melihatmu secepat ini,” katanya berpura-pura ceria.“Dari mana kau mengetahui tentang rahasia keluargaku?” geramku di depan wajahnya.

Sebuah kecurigaan lain merasuk di benakku. “Apakah kau yang menyebarkan berita itu ke media?”

Yeom Jong tertawa. “Bukan aku. aku tidak punya koneksi ataupun kemampuan sebesar itu untuk mencari tahu tentang skandal keluargamu. Pamanku yang melakukannya. Dia telah menyelidiki kehidupanmu semenjak tertarik untuk merekrutmu. Tapi baru-baru saja, setelah kau dan Do Yi Sung membuatnya marahlah, Pamanku terpikir untuk menyebarkan semua informasi tentangmu yang didapatnya,” katanya. “Dia tahu reputasi sangat penting untuk ibu dan ayah tirimu. Kau salah memilih musuh, Nam Gil.”

Aku meninju perutnya dengan keras. “Brengsek!” makiku.Yeom Jong meringis sakit sambil tertawa. “Kau yang brengsek. Selama ini aku telah

bersikap baik padamu, tapi kau tak mau menolongku untuk mempertahankan kekuasaanku di sekolah ini,” geramnya. “Jadi kau pun harus merasakan hal yang sama. kau harus merasakan bagaimana kehilangan sesuatu yang kau sayang dan banggakan. Tidak seperti Pamanku yang tak mengenalmu dengan baik, aku tahu kau tak akan terlalu perduli dengan reputasimu. Lee Yo Won lah terpenting bagimu di dunia ini.

“Awalnya aku hanya ingin membuat kau cemburu padanya, tapi lalu anak buahku tanpa sengaja merekam gadis itu saat diwawancarai. Kupikir waktunya pas sekali dengan Pamanku yang menyebarkan berita tentangmu ke media, maka kubuat kau berpikir bahwa gadis itu yang melakukannya. Pasti menyakitkan berpikir orang yang begitu dipercaya ternyata mengkhianati kita. Seperti yang kurasakan. Kau mengkhianatiku.”

“Kau bajingan! Brengsek!” makiku sambil memukul dan menendanginya.Yeom Jong berkelit dari tendangan terakhirku, lalu mengambil gagang sapu dan balik

menyerangku dengan benda itu.“Kau pantas mendapatkannya!” bentak Yeom Jong sambil melayangkan pukulan ke kaki

dan perutku. “Bahkan para Dewa pun nampaknya terus berpihak padaku. Pagi itu kau memberiku ide lain lagi saat melihatmu bicara dengan Tae Wong di halaman belakang.”

Aku menggeram marah dan merebut gagang sapu yang dipegangnya. “Jadi kau pelakunya! Kau yang memukuli Tae Wong!”

Yeom Jong melangkah mundur menjauhiku sambil tertawa. “Aku dan anak-anak buahku. Agar Lee Yo Won berpikiran buruk tentangmu. Aku bahkan sengaja menjatuhkan gantungan ponselmu di tempat itu agar kau semakin dicurigai,” katanya puas. “Sepertinya berhasil, hmm?”

Brengsek! Aku teringat saat San Tak mengembalikan ponselku yang terjatuh setelah menghajar Yeom Jong. Mungkin di saat itulah Yeom Jong mengambil gantunganku. Sialan! Aku memukulkan gagang sapu itu ke punggungnya, dan menendangnya hingga tersungkur di tanah. Kenapa si brengsek ini selalu mengganggu kehidupanku!?

152

Tapi sebelum aku sempat menghajarnya lagi, Yeom Jong buru-buru bangkit dan berlari. Aku mengejarnya, tapi dia sudah lebih dulu sampai di tempat parkir dan kabur dengan motornya. Segera aku naik ke motorku sendiri dan mengejarnya. Si brengsek itu tak akan bisa lari dariku semudah ini! dia telah membuatku dan Yo Won terlibat kesalah pahaman lagi. tidak akan kubiarkan!

Di jalan raya yang padat, apalagi di saat jam pulang seperti ini, sangat sulit untuk melaju. Sial. Karena terhalang sebuah mobil sedan, aku terlambat mengejar Yeom Jong yang berbelok ke kiri. Ketika akhirnya berhasil melewati mobil itu dan berbelok ke kiri, aku langsung menambah kecepatan motorku dan hampir berhasil menyusulnya, kalau saja tidak ada dua bocah kecil yang tiba-tiba menyeberang. Menghindari agar tidak mencelakakan mereka, aku mengerem kuat-kuat dan membelokkan motorku. Ketika motorku bergerak menuju pohon pinggir jalan tanpa bisa dihentikan, aku segera meloncat dari motor.

Orang-orang langsung mengerubungiku yang meringis kesakitan. motorku tergeletak di jalan setelah menabrak pohon. Brengsek. Yeom Jong yang sudah sampai di persimpangan jalan menoleh ke belakang, dan tertawa saat dilihatnya aku terjatuh.

“Awas!” tanpa sadar aku berteriak ketika melihat dari arah kanan sebuah mobil melaju kencang, sedangkan perhatian Yeom Jong masih tertuju padaku.

Terlambat menyadari dan bereaksi, mobil itu berhasil menabrak Yeom Jong hingga terpental cukup jauh dan pada saat bersamaan dari arah kiri sebuah truk tiba-tiba muncul dengan kecepatan mengerikan, dan tanpa sengaja melindas tubuh Yeom Jong yang tergeletak setelah tertabrak mobil tadi.

Rasa mual memenuhi perutku. Aku memalingkan muka dan mendengar teriakan orang-orang yang juga menyaksikan kejadian itu. aku memang membenci dan pernah membunuhnya di kehidupan lalu, tapi aku tak pernah memikirkan akhir seperti ini untuknya.

Sekarang Yeom Jong telah ada di ruang mayat. Setelah diobati oleh perawat, aku mencari tahu tentangnya dan memberikan informasi mengenai Pamannya untuk dihubungi pihak Rumah Sakit.

Ketika berjalan ke ruang tunggu, barulah aku teringat Tae Wong sedang dirawat di tempat ini. apakah dia masih di sini atau sudah keluar? Setelah bertanya pada seorang perawat, aku segera mencari kamarnya. Pintu kamarnya tidak tertutup rapat, sehingga aku dapat menjulurkan kepala untuk melihat ke dalam. Aku terkejut saat melihat Yo Won sedang duduk di sisi tempat tidur Tae Wong yang masih tak sadarkan diri. Yang membuatnya menjadi menyakitkan adalah karena aku melihat Yo Won menangis. Menangisi Tae Wong. Tubuhnya yang membelakangiku nampak terguncang-guncang penuh emosi. Ye Jin yang duduk di sebelahnya mencoba menenangkannya, tapi Yo Won terus saja menangis.

Perlahan, aku menjauh dari kamar itu. hatiku serasa seperti diiris-iris melihat tangis Yo Won. Mungkin Yeom Jong mengadu domba dan menimbulkan kesalah pahaman diantara aku dan Yo Won, tapi… perasaan Yo Won pada Tae Wong bukanlah rekayasa Yeom Jong. Yo Won mencintai Tae Wong. Deokman mencintai Yoo Shin. Bukan aku.

Bahkan Ye Jin yang selama ini kupikir tertarik pada Tae Wong pun tidak menangis seperti Yo Won menangisi keadaan Tae Wong. Ini menandakan cinta yang dirasakan Yo Won pada Tae Wong benar-benar dalam. Jadi… ternyata aku tidak salah saat melihat sorot penyesalan dan rasa bersalah dari mata Yo Won hari itu. dia memang hanya memanfaatkanku. Mungkin dia memang tidak jadi membeberkan berita itu karena rasa kasihan, tapi tetap saja…

Aku menguatkan diri untuk kembali meihat ke dalam sekali lagi. melihatnya sekali lagi walaupun hanya dari belakang. Ternyata memang berakhir. Mungkin aku memang tak pantas untuknya. Yoo Shin… Tae Wong jauh lebih baik dariku. Jauh lebih baik bagi Yo Won. Aku

153

tidak bisa bilang bahagia melihat Yo Won bersama pria lain, tapi aku bahagia bila melihatnya bahagia. Dan mungkin Tae Wonglah orang yang tepat untuk membuatnya bahagia.

Saat sosok Yo Won terlihat kabur di mataku, dan merasakan basah di wajahku, barulah aku sadar bahwa aku telah menangis. Mungkin kami ditakdirkan untuk bertemu. Tapi kami tidak ditakdirkan untuk bersama.

Aku mencintainya. Mungkin tak akan pernah berhenti mencintainya. Tapi hubungan yang dilandasi oleh kebohongan seperti ini memang harus diakhiri. Kuharap setulus hatiku Yo Won dapat menemukan bahagianya bersama Tae Wong yang benar-benar dicintainya.

Aku mengeluarkan ponselku sambil berjalan menjauh dari kamar itu. “Halo, kak Jung Chul? Bisakah kau mengurus keberangkatanku bersama kalian?”

Setelah mengakhiri pembicaraan, aku menoleh untuk menatap pintu kamar itu sekali lagi. dalam hati setengah berharap akan melihat Yo Won keluar dari sana, tapi tak terjadi apa-apa. Pintu itu tetap dalam keadaan seperti sebelumnya. Deokman… Yo Won… selamat tinggal.

- Lee Yo Won - 12 April 2011 -

Hari ini aku bangun kesiangan karena semalam susah tidur memikirkan Nam Gil yang tak ada kabarnya. Aku segera bersiap-siap pergi dengan kak Ye Jin dan kak Seung Hyo untuk menjenguk kak Tae Wong yang kemarin malam akhirnya sadar.

Aku teringat ketika kemarin tiba-tiba saja aku menangis. Entah kenapa kilasan kematian Bi Dam melintas di benakku. Rasa sedih, kehilangan, dan sepi setelah melihat kilasan itu tak kunjung hilang bahkan hingga kak Ye Jin datang dan menenangkanku, tangisku justru semakin menjadi. Firasat buruk itu terus menghantuiku. Seakan sedang menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Kau bangun siang sekali,” komentar Ayah ketika aku turun dari kamarku. “Ayo makan dulu.”

Tanpa kata aku menurut saat Ayah menarikku ke meja makan. Baru satu gigitan roti, ponselku bergetar. Dengan penuh harap aku meraih ke saku jaketku. Semoga Nam Gil. tapi ternyata bukan. Kak Ye Jin.

“Halo?”“Yo Won, apa kau sudah mendengar berita dari Nam Gil?” tanyanya cepat.“Tidak,” jawabku. “Ada apa?”“Baru saja kak Seung Hyo bercerita bahwa kemarin Nam Gil sempat datang ke sekolah

dan berkelahi dengan Yeom Jong, lalu tak lama setelah keduanya pergi dari sekolah, Yeom Jong mengalami kecelakaan. Dia meninggal.”

Aku tersentak kaget. Yeom Jong meninggal? “Lalu apa hubungannya dengan Nam Gil? apakah dia juga mengalami kecelakaan?” tanyaku panik.

“Tidak, tapi dari seorang murid yang melihat kejadian itu, katanya beberapa saat sebelum terjadi kecelakaan itu, Yeom Jong dan Nam Gil sedang terlibat kejar-kejaran motor di jalan raya,” jawab kak Ye Jin. “Aku hanya berpikir siapa tahu saja Nam Gil menghubungimu untuk menceritakan hal itu.”

Tidak. Dia tidak menghubungiku. Tidak sama sekali. “Yo Won?” panggil kak Ye Jin saat didengarnya aku diam saja. “Sekarang aku dan kak Seung Hyo sudah dalam perjalanan menuju rumahmu. Apa kau sudah siap?”

Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. “Ya, aku sudah siap. Aku—““Yo Won,” gumam Ayah dengan pandangan lurus ke TV.Aku ikut menatap layar TV dan melihat siaran infotaiment mengenai keluarga Go lagi.

dalam tayangan itu terlihat Bibi Hyun Jung, Jung Hyun, Do Bin, dan Nam Gil sedang berada di bandara. Jantungku langsung berpacu dengan cepat. Ya Tuhan… apakah…

154

“Tak lama setelah kematian Go Young Jae, pagi ini Nyonya Go rupanya memutuskan untuk pergi ke luar negeri bersama anak-anaknya. Tapi yang menghebohkan, kepergiannya kali ini bersamaan dengan perginya Kim Im Ho, pengusaha yang digosipkan pernah menjalin hubungan dengan Nyonya Go belasan tahun lalu,” kata si pembawa acara. “Mungkinkah kepergian bersama mereka ini adalah untuk merajut kembali asmara yang dulu sempat terjalin? Apalagi Negara tujuan mereka pun diketahui sama. Akankah Amerika akan menjadi tempat yang paling tepat untuk mereka memulai segalanya dari awal lagi?”

Ponsel itu telah terlepas dari tanganku yang lemas, dan jatuh ke lantai. Aku tidak percaya ini… Nam Gil… Nam Gil pergi. tanpa bicara padaku, tanpa mengubungiku, tanpa mengucapkan selamat tinggal, dia pergi begitu saja. meninggalkanku sendiri lagi. seperti dulu.

“Nam Gil…” Kenapa dia pergi? Apakah dia benar-benar berpikir aku tidak mencintainya? Kenapa dia masih juga meragukan cintaku?

“Yo Won,” panggil Ayah, menyadarkanku.Aku meraih dua lembar kertas berwarna cokelat bertuliskan Bali yang kudapat beberapa

hari lalu itu dari saku jaketku. benda ini terus kubawa karena setiap harinya aku berharap akan dapat bertemu Nam Gil, sehingga setelah menyelesaikan kesalah pahaman kami, aku dapat menunjukkan kejutan ini. tapi sekarang tak berguna lagi. Nam Gil pergi dalam keadaan marah dan membenciku. Dia berpikir aku mengkhianatinya. Dia berpikir aku memanfaatkannya. Dia bahkan tidak cukup perduli untuk mengucapkan selamat tinggal padaku. Apakah cinta kami tidak berarti baginya?

Hatiku benar-benar hancur. Apakah akan selalu begini? Apakah kami tak akan pernah bisa bersatu? Aku meremas kedua lembar kertas itu dengan kuat. Firasatku benar. Aku merasa akan terjadi sesuatu yang buruk, dan benar terjadi.

Tanpa bisa dicegah, aku terus menyakiti hatinya. Mungkin memang lebih baik seperti ini. Air mata mengalir dan membasahi pipiku. Tapi aku tidak bisa hidup tanpanya. Kenapa takdir begitu kejam pada kami? Kenapa takdir mempertemukan kami hanya untuk memisahkan kami lagi?

Ayah bergerak mendekat untuk memelukku. “Tenanglah, siapa tahu mereka hanya berlibur?” bujuknya.

Berlibur? Aku pun berharap sama, tapi… hatiku mengatakan kepergian Nam Gil ini bukan untuk sementara. “Aku mencintainya,” bisikku pedih dalam pelukan Ayah.

“Aku tahu.”Ayah tahu itu, tapi kenapa Nam Gil tidak menyadarinya!?

***

Scene 41

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Se Jong : Go Young JaeKing Jinji : Kim Im Ho Yong Soo : Kim Jung ChulYoo Shin : Uhm Tae Wong Cheon Myeong : Park Ye JinChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do BinAlcheon : Lee Seung Hyo Kim Min Sun : (nama asli)San Tak : (tetap nama di QSD) Jook Bang : Lee Moon ShikYeom Jong : (tetap nama di QSD)

155

- Kim Nam Gil - 7 Mei 2011 - Los Angeles, Amerika -

Sudah dua puluh lima hari aku berada di Amerika. Dua puluh lima hari tenang tanpa gangguan wartawan—walaupun tetap ada beberapa wartawan dari Korea yang dengan gigih mengejar kami hingga kemari—dan dua puluh lima hari yang serasa bagai neraka karena aku terpisah begitu jauh dari Yo Won.

Selama dua puluh lima hari ini juga, berulang kali aku menyesali keputusanku pindah ke Amerika. Setiap rasa rindu dan sepiku tanpa Yo Won datang menyerang, maka setiap kali itu juga aku ingin segera kembali ke Korea, tanpa perduli Yo Won mencintaiku atau tidak, tanpa perduli hatiku harus berkali-kali hancur melihatnya dan Tae Wong bersama. Ribuan kali aku meraih telepon untuk menghubunginya. Untuk sekedar mendengar suaranya. Tapi kuurungkan niatku, karena aku tersadar, bahwa kami sudah berakhir. Tak ada gunanya aku menyiksa diri. Tak ada gunanya aku mengganggu hubungan Yo Won dan Tae Wong. Hubungan Deokman dan Yoo Shin.

Mereka telah lebih dulu bertemu. lebih dulu saling mengenal. Lebih dulu menjalin cinta. Akulah sang pengganggu. Aku masuk diantara mereka ketika hubungan keduanya tak berjalan baik. tak heran bila cinta sejati Deokman… Yo Won ternyata adalah Tae Wong, yang merupakan reinkarnasi Yoo Shin.

Melalui kacamata hitamku, aku memandangi langit biru cerah dan matahari yang bersinar terang. Bahkan di hari secerah ini, suasana hatiku tetap segelap malam. Malam… bintang… Yo Won… teleskop itu… apakah sudah sampai padanya? Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung pada Yo Won.

Terasa manis sekaligus pahit saat aku teringat pada caranya merayakan ulang tahunku. Saat itu begitu membahagiakan. Saat itu segalanya seperti akan indah selamanya. Tak ada yang akan menduga akhir seperti inilah yang terjadi.

Aku tersentak kaget saat merasakan air memerciki tubuhku yang sedang berbaring di salah satu kursi di pinggir kolam renang rumah baruku. Suara cekikikan genit mengalihkan perhatianku. Do Bin dan beberapa gadis tetangga yang diundangnya untuk berpesta siang ini berusaha mengajakku bergabung dengan mereka di kolam, tapi aku segera menggelengkan kepala menolaknya.

Tak seperti Do Bin yang antusias mendekati gadis-gadis pirang di sekolah baru kami, aku tetap tak bisa melupakan rambut hitam indah milik Yo Won. rasanya tak mungkin bisa. Perasaanku padanya bukanlah sesuatu yang baru, melainkan rasa yang telah dipendam lama dan melewati batasan waktu. Tak akan semudah itu dapat melunturkannya.

Aku mendesah sambil mengingat hari sebelum keberangkatanku. Ketika aku meminta kak Jung Chul mengurus segala yang diperlukan agar aku dapat pergi bersamanya, aku teringat pada Ibu. Rasanya tak mungkin aku meninggalkannya dalam situasi seperti itu—saat dia tengah sedih atas kematian suaminya, dan juga disaat kami baru mulai menjalin hubungan ibu dan anak yang baik—sehingga aku mengusulkan pada Ibu agar kami sekeluarga—aku, Ibu, Do Bin, dan Jung Hyun—pindah ke Amerika dan memulai segalanya dari awal. Setelah mempertimbangkan sebentar, Ibu menyetujuinya, dan langsung menghubungi kenalan-kenalannya untuk mengurus segala yang diperlukan dalam kepindahan kami—Ibu menolak saranku untuk meminta bantuan kak Jung Chul, yang sebenarnya bisa dimengerti.

Mengenai bisnis jaringan hotel milik Go Young Jae, Ibu tetap bisa mengaturnya dari jauh, dan mungkin akan kembali ke Korea sesekali bila memang mendesak. Tapi selebihnya akan ditangani oleh ayah kandung Do Bin, Jun Noh Min, yang sebelumnya memang merupakan orang kepercayaan ayah tiriku.

156

Walaupun agak kecewa karena aku tak jadi tinggal serumah dengannya, Ayah tetap senang karena aku berada di Negara dan kota yang sama dengannya. Bahkan kami tinggal di lingkungan perumahan yang sama—rumah baru Ibu hanya berhalat tujuh rumah dari rumah kak Jung Chul.

Saat kami baru tiba di Amerika dan menginap di The Tower Beverly Hills Hotel, kak Jung Chul mengunjungiku dan menawari Ibu rumah tetangganya yang ingin dijual, dan saat melihat lingkungan dan bentuk rumah yang lengkap dengan perabotnya itu, Ibu langsung setuju untuk membelinya. Maka di sinilah kami sekeluarga sekarang. Mencoba membangun hubungan kekeluargaan yang lebih erat, sesuatu yang sebelumnya kami abaikan.

Suara bel menyadarkanku ke masa kini. Jung Hyun segera bergerak menjauh dari bar tempatnya sedang menuang minuman untuk para tamu, dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia kembali sambil menyeringai lebar padaku.

“Gadismu datang,” katanya, kemudian kembali ke bar untuk mengambil minuman buatannya, lalu mendatangi kerumunan teman-teman kampus barunya.

“Gadisku?” gumamku heran.“Nam Gil!”Aku tersentak mendengar suara yang tak asing itu. aku langsung bangkit duduk dan

setengah memutar tubuh untuk memandang ke dalam rumah—asal suara pemanggilku—dan dengan tak percaya melihat gadis yang sedang berdiri di sana. Kulepas kacamata hitamku untuk menatapnya lebih jelas. Ya Tuhan… kenapa bisa…

“Nam Gil!” seru Min Sun sambil berlari mendekatiku. “Lama tak bertemu denganmu. Tapi sekarang setiap hari kita akan bertemu. aku juga pindah kemari. Aku tinggal dengan kak Jung Chul—“

Min Sun terus mengoceh tanpa dapat kuserap keseluruhan perkataannya. Ternyata dia. Tadi, sesaat hatiku sempat melonjak girang karena berpikir yang dimaksud Jung Hyun adalah Yo Won. tapi seharusnya aku tahu itu tidak mungkin. Untuk apa Yo Won mengejarku hingga ke mari, bila di sisinya sekarang sudah ada Tae Wong?

Rasa dingin di hatiku semakin meluas. Ditengah kerumunan orang banyak ini aku justru merasa kesepian. Apakah keputusanku untuk pergi menjauh dari Yo Won dan Tae Wong sudah tepat? Bisakah aku bertahan lebih lama lagi tanpa melihatnya? Tanpa mendengar suaranya? Tanpa bisa menyentuhnya? Aku tidak tahu…

- Lee Yo Won - 10 Mei 2011 - Los Angeles, Amerika -

Akhirnya aku dan kak Ye Jin tiba di LAX—bandara Los angeles. Jantungku terus berdebar-debar semenjak di dalam pesawat. Akhirnya… setelah sekian lama menunggu waktu untuk dapat menyusul Nam Gil, kini aku telah semakin dekat dengannya.

Tak lama setelah kepergian Nam Gil, sebuah stasiun TV menyiarkan mengenai rumah baru keluarga Go di kawasan Beverly Hills, yang lagi-lagi menimbulkan kabar miring karena jaraknya yang begitu dekat dengan tempat tinggal baru Kim Im Ho, yaitu rumah Kim Jung Chul, putra pertamanya. Segera saja aku menghubungi stasiun TV tersebut dan memaksa mereka memberitahu alamat pasti keluarga Go yang baru.

Tapi sayangnya aku tidak bisa secepatnya pergi ke Amerika karena disibukkan dengan banyak ujian, dan harus menunggu hingga liburan kali ini. sebenarnya kepergianku ke Amerika bertepatan dengan hadiah liburan ke Bali yang kumenangkan, tapi aku tak lagi memperdulikannya. Bila tak bersama Nam Gil, tak ada artinya aku pergi ke sana.

“Tenanglah, Yo Won,” kata kak Ye Jin geli. “tak perlu segugup itu. kau hanya akan menemui kekasihmu, bukan presiden Amerika.”

157

Kekasihku… tapi dia memutuskan hubungan kami. Bisakah aku tetap menyebutnya sebagai kekasihku?

Rasa pedih itu masih membekas di hatiku hingga sekarang. Ingatan saat terakhir kalinya aku bertemu Nam Gil, ketika dia mengatakan hubungan kami telah berakhir, dan ketika aku melihat berita kepergiannya ke Amerika. Luka hatiku masih segar. Aku tak percaya hubungan kami yang kukira akan berlangsung selamanya ternyata serapuh ini.

Kepergiannya membuatku kembali merasakan sedih dan sepi yang dulu kurasakan saat menjadi seorang Ratu. Tak ada Nam Gil yang tersenyum jail padaku. Tak ada Nam Gil yang tertawa bersamaku. Tak ada Nam Gil yang menenangkanku yang sedang sedih. Tak ada Nam Gil yang memegang tanganku yang gemetar. Tak ada Nam Gil yang memelukku. Tak ada Nam Gil di sisiku. aku bisa hidup tanpa orang lain asalkan Nam Gil ada di sisiku untuk menemani dan mendukungku. Tapi aku tidak bisa hidup tanpa Nam Gil walaupun berjuta orang mengerubungiku.

“Bagaimana bila dia tidak mau mendengar penjelasanku?” tanyaku sambil memasuki taksi.

“Kupikir Nam Gil tidak sejahat itu,” kata kak Ye Jin menenangkan. Dia memberikan catatan alamat rumah Nam Gil pada supir taksi yang kemudian segera menjalankan mobilnya.

“Kuharap juga begitu,” gumamku.Pemandangan asing yang kami lalui tak membuatku terkesan sama sekali karena aku

begitu gugup. Bagaimana reaksi Nam Gil bila melihatku? Apakah dia akan senang? ataukah akan merasa terganggu?

“Rumah-rumah yang indah,” gumam kakak kagum saat kami mulai memasuki kawasan Beverly Hills.

Semakin dekat. Jantungku berpacu semakin kencang. Nam Gil…Taksi berhenti di seberang rumah Nam Gil. rumah besar bertingkat dua, bercat putih, dan

berpagar besi berukiran rumit itu membuatku makin terintimidasi. Asing. Lingkungan yang asing. Membuatku merasa semakin jauh dengan Nam Gil, walaupun bisa dibilang saat ini kami sudah sangat dekat.

“Tunggu apa lagi?” tanya kak Ye Jin heran. “Ayo kita turun.”“Ya,” sahutku.“Eh, bukankah itu—“Sebelum sempat membuka pintu, aku melihat Nam Gil berjalan di trotoar menuju

rumahnya. Tapi dia tidak sendiri. Dia bersama Kim Min Sun. Gadis itu dengan ceria dan manja menyodorkan es krim yang dipegangnya pada Nam Gil. awalnya Nam Gil terlihat menolak, tapi kemudian tersenyum geli melihat paksaan gadis itu, dan menjilat es krim tersebut. Hatiku serasa diremas kuat. Kenapa? kenapa gadis itu bisa ada di sini? Kenapa dia bisa bersama Nam Gil?

“Siapa gadis itu?” tanya kak Ye Jin heran. “Ya tuhan!” serunya tiba-tiba dengan kaget.Kekagetan kakak tidak sebanding dengan apa yang kurasakan saat ini. bila hatiku terbuat

dari kaca, pastilah sekarang sudah hancur berkeping-keping ketika melihat Kim Min Sun mengecup sudut bibir Nam Gil, lalu entah bagaimana awal mulanya, tiba-tiba saja Nam Gil memeluk tubuh gadis itu.

Aku memalingkan wajah, tak sanggup melihat lebih jauh adegan yang dilakoni Nam Gil dan Kim Min Sun. dadaku terasa sesak dengan amarah dan kecemburuan. Luka hatiku kembali berdarah. Bagaimana bisa? semudah itu Nam Gil melupakanku? Menggantikan posisiku di hatinya dengan gadis itu!? air mata menggenangi mataku. Jadi… benar sudah berakhir? Dia sudah memulai hidup yang baru di tempat ini. Termasuk gadis baru.

“Yo Won,” gumam kak Ye Jin khawatir.“Kita pergi ke hotel yang kau pesan itu saja,” sahutku pelan dengan suara serak.

158

“Baiklah,” kata kak Ye Jin, lalu meminta supir taksi itu mengantar kami ke Wilshire Plaza Hotel.

Untuk terakhir kalinya, tepat sebelum mobil melaju pergi, aku menguatkan hati memandangi sosoknya. Sosok yang kucintai. Nam Gil… Bertepatan dengan itu, Nam Gil memutar kepalanya ke arah taksi yang kutumpangi. Isakan itu keluar dari mulutku tanpa dapat ditahan. Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat wajahnya. Sekilas sepertinya dia sempat menatapku, tapi kemudian taksi sudah melesat meninggalkan kawasan itu.

Mungkin ini yang terbaik. Kim Min Sun tak akan mungkin membuat Nam Gil terluka, seperti yang berulang kali telah aku lakukan padanya. Tadi wajah Nam Gil terlihat ceria, tidak seperti ketika terakhir kali aku melihatnya di Rumah Sakit. saat itu kedua mata Nam Gil memancarkan kesedihan mendalam.

“Seharusnya kau turun dan bicara padanya tadi,” omel kak Ye Jin halus.“Aku tak ingin mengganggunya,” jawabku pelan. “dia sudah melanjutkan hidupnya. Dia

terlihat bahagia di sini. Bersama gadis itu. tanpaku. Kami memang telah berakhir…” Saat mengucapkannya hatiku hancur untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau percaya, tapi ternyata memang telah berakhir.

Nam Gil… selamat tinggal.

- Kim Nam Gil - 10 Mei 2011 - Los Angeles, Amerika -

Menuruti kemauan Ayah, hari ini aku pergi berjalan-jalan bersama Min Sun. walaupun terkadang dia menyebalkan, tapi ternyata dia juga bisa menjadi teman yang menyenangkan. Aku cukup terhibur dengan kehadiran dan candanya.

Hari udah sore ketika akhirnya kami pulang. “Aku tidak mau,” tolakku saat dia menyodorkan es krim yang dibelinya tadi.

“Ayolah, coba. Enak sekali,” desaknya sambil terus menyodorkan es krim itu ke wajahku.“Tidak.”“Ayo, ayo, ayo!” paksanya dengan ekspresi aneh yang membuatkku tersenyum geli.“Baiklah,” gerutuku, dan menjilat sedikit es krim tersebut, kemudian membuka pagar

rumahku.“Eh, ada es krim di sudut bibirmu,” kata Min Sun. “biar kubersihkan,” tambahnya,

menawarkan diri. Sebelum aku sempat bereaksi, tiba-tiba saja Min Sun menjilat sambil mengecup sudut bibirku.

“Hei!” seruku, reflek aku menjauh, dan rupanya gerakan kasarku yang tiba-tiba mendorongnya membuat Min Sun kehilangan keseimbangan. Untung saja aku segera menangkapnya, bila tidak dia akan terjatuh. Tapi sialnya Min Sun memakai kesempatan itu untuk langsung memelukku erat. Dasar anak ini. “Lepas!” perintahku.

“Kau ini galak sekali,” gerutunya dengan wajah cemberut.Suara mesin mobil mengalihkan perhatianku dari Min Sun. saat aku menoleh, aku melihat

sebuah taksi—yang tadi terparkir di seberang rumahku—melaju dengan cepat meninggalkan asap kelabu dibelakangnya. Jantungku langsung berdegup kencang. Entah kenapa tadi aku seperti melihat wajah Yo Won di balik kaca jendela taksi itu walaupun tak terlalu jelas. Sudah jelas itu tidak mungkin. Aku berhalusinasi karena terlalu merindukannya.

Yo Won… sedang apa dia sekarang? Bersama siapa? Tae Wong? Brengsek! Untuk apa aku mengingat hal itu lagi!?

“Nam gil?” panggil Min Sun. “Nam Gil, kau memikirkan apa?” tanyanya.“Tidak. Tidak ada,” jawabku. “Ayo kita masuk,” ajakku.Tak ada jalan untuk kembali. Aku sudah membuka kesempatan bagi Yo Won dan Tae

Wong untuk bersama. Aku dan Yo Won memang telah berakhir…

159

LIMA TAHUN KEMUDIAN

- Lee Yo Won - 14 Februari 2016 - Seoul -

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Lima tahun telah berlalu. Aku telah lulus kuliah dan bekerja di perusahaan Ayah yang bergerak dalam bidang makanan ringan. Makanan-makanan ringan produksi kami merupakan salah satu yang terbaik di Korea.

Dan sudah lima tahun ini juga aku benar-benar tinggal bersama Ayah di rumah kami. Walaupun awalnya agak berat meninggalkan Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee, apalagi setelah kak Ye Jin memutuskan untuk meneruskan sekolah musik di Amerika, tapi justru Paman dan Bibilah yang mendesakku. Bukan karena mereka tidak ingin mengurusku lagi, tapi mereka berpikir sudah seharusnya seorang anak tinggal bersama orangtuanya.

Kepergian kakak ke Amerika membuatku semakin kesepian, tapi aku sangat berbahagia karena kepindahannya kesana mempertemukannya lagi dengan Kim Jung Chul—kakak Nam Gil, sekaligus reinkarnasi Bangsawan Yong Soo, almarhum suami kakak di kehidupan pertamanya—dan membuat mereka akhirnya bisa berhubungan. Setelah bertahun-tahun berpacaran, hari ini keduanya akan menyatukan diri dalam ikatan pernikahan.

Kehidupan percintaanku sendiri tak seberuntung kakak. Setelah putusnya hubunganku dengan Nam Gil, selama beberapa waktu aku tak tertarik sama sekali untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Tak mudah berusaha menyingkirkan bayang-bayang Nam Gil dari hidupku. Dan setelah aku mulai membuka hati bagi pria-pria lain, aku menemukan diriku selalu membandingkan mereka dengan Nam Gil—dan tak ada yang dapat menyainginya, karena mereka bukan Nam Gil—sehingga aku memutuskan untuk menghentikan kencan-kencan singkatku bersama mereka. Bahkan hingga sekarang, aku masih tetap sendiri.

“Kakak terlihat sangat cantik,” pujiku saat mengamatinya yang memakai gaun pengantin berwarna gading.

“Kuharap Jung Chul juga akan berpendapat begitu,” kata kakak girang.Terdengar ketukan pintu, lalu masuklah Seung Ho dan Eun Bin. “Ibu cantik sekali!” puji

keduanya kompak.Kakak langsung bergerak mendekati pasangan yang baru datang itu dan memeluk

mereka. “Aku merindukan kalian, padahal beberapa hari yang lalu kita baru bertemu,” kata kakak dengan senyum lebar.

Seung Ho mengerutkan keningnya. “Setelah pesta pernikahan ini, kau dan Ayah akan kembali ke Amerika, ya?” tanyanya. “Kita akan berpisah lama lagi,” keluhnya.

Seung Ho memang telah mengetahui siapa Kim Jung Chul di kehidupannya yang lalu ketika dia berjabat tangan dengan pria itu beberapa hari yang lalu, tetapi Kim Jung Chul sendiri tidak mengetahui masalah reinkarnasi itu. Memang menurut kak Ye Jin calon suaminya itu berkali-kali seperti mendapat kilasan tentang kehidupannya dulu, namun tidak pernah mengingat keseluruhannya seperti kami. Kak Ye Jin tak mempermasalahkannya, juga tidak memaksa Kim Jung Chul untuk mengingatnya, karena yang terpenting baginya adalah di kehidupan kali ini mereka kembali saling mencintai dan akan hidup bersama. Sesuatu yang juga kudambakan bersama Nam Gil tapi tak tercapai.

“Tapi dua tahun lagi mereka akan kembali ke Korea untuk selamanya,” kataku, ikut dalam pembicaraan tersebut untuk menyingkirkan rasa sedihku karena mengingat Nam Gil.

“Benar, dua tahun lagi Jung Chul akan membuka firma hukumnya sendiri di Korea, dan kita bisa berkumpul lagi,” kata kak Ye Jin ceria.

160

Kami terus mengobrol dengan gembira hingga Paman Kil Kang datang dan mengatakan ini sudah saatnya untuk sang mempelai wanita menemui pengantin pria di altar.

“Kau tidak apa-apa, Yo Won?” tanya kakak hati-hati, saat kami berjalan keluar dari kamar riasnya.

“Tidak apa-apa,” jawabku heran. “Memangnya kenapa?”“Mungkin Nam Gil akan hadir di pesta ini,” kata kak Ye Jin.Aku langsung membisu. Aku menyadari hal itu. aku juga telah mempersiapkan hatiku

untuk bertemu dengannya, karena bagaimana pun juga kakaknya lah yang menikah hari ini. rasa gugup dan harap-harap cemas memenuhi dadaku sejak pagi. Bagaimana reaksinya ketika melihatku? Bagaimana reaksiku saat bertatap muka dengannya?

Tapi nyatanya kecemasanku sia-sia saja. bahkan setelah upacara selesai dan pesta dilanjutkan di ballroom hotel milik keluarga Go, tak nampak tanda-tanda kehadiran Nam Gil. kekecewaan mennyelubungiku. Kenapa dia tidak datang? Apakah dia begitu tak ingin melihatku sehingga tidak mau menghadiri pesta pernikahan kakaknya?

“Makan ini,” perintah kakak sambil menyodorkan sepiring makanan padaku.Aku tersenyum geli. “Kenapa justru sang pengantin yang mengambilkan makanan untuk

tamunya?” godaku.Kak Ye Jin tidak membalas senyumku. Dia duduk di kursi di sebelahku dan menatapku

tajam. “Sudah lima tahun. Waktu yang kurasa sudah cukup lama. Sudah saatnya kau benar-benar melanjutkan hidupmu. Walaupun sulit, cobalah lupakan Nam Gil.”

Kata-kata kakak bagai sayatan pisau di hatiku. “Aku sudah mencobanya,” sahutku singkat.

“Kau tidak berusaha lebih keras, karena di lubuk hatimu masih mengharapkannya,” bantah kakak. “Kau bahkan tidak melihat cinta yang begitu dekat denganmu,” tambahnya.

“Apa maksudmu?”“Kak Tae Wong. Dia mencintaimu. Sejelas dan sepasti pagi berganti menjadi malam. tapi

kau tak menghiraukannya sama sekali. sejak tadi aku memperhatikan dia beberapa kali mengajakmu berdansa dan mengobrol, tapi kau tolak karena kau begitu gugup mengharapkan kedatangan Nam Gil.”

Mataku bergerak melirik kak Tae Wong yang sedang mengobrol bersama kak Seung Hyo dan Eun Mi—kekasih kak Seung Hyo. Kak Tae Wong memang sangat baik. dia juga banyak menghiburku di awal-awal kepergian Nam Gil, tapi…

“Nam Gil tidak akan datang,” kata kak Ye Jin lagi, saat dilihatnya aku diam saja. “Tadi dia menelepon Jung Chul dan berkata sedang mendapat tugas penting dari kantornya sehingga tidak dapat menghadiri pesta ini.”

Aku berusaha menyembunyikan kekecewaanku. “Apa pekerjaannya?” Pekerjaan apa yang begitu penting hingga tidak dapat menyempatkan waktu untuk menghadiri pernikahan saudaranya sendiri? kurasa dia hanya ingin menghidariku…

“Entahlah, Jung Chul dan ayah mertuaku pun tak tahu pasti pekerjaannya. Mereka hanya tahu Nam Gil mendapatkan pekerjaan itu ketika berlibur ke Korea di tahun terakhir kuliahnya—“

“Nam Gil pernah pulang ke Korea?” tanyaku kaget. Aku tidak tahu itu.Kak Ye Jin mengangguk. “Entah untuk apa, dan itu pun hanya sebentar. Kalau tidak salah

ingat, dia telibat sebuah kekacauan di bandara, dan beberapa hari kemudian langsung berangkat lagi entah kemana selama dua minggu,” jawab kakak. “katanya saat itulah dia mendapatkan pekerjaannya sekarang ini.”

“Ye Jin,” panggil suaminya sambil menghampiri kami. “Sudah saatnya kita memotong kue,” katanya.

Setelah kepergian kak Ye Jin, aku kembali merenung sendiri. hari valentine yang dipilih kakak untuk hari pernikahannya ini mengingatkanku pada valentine pertama dan satu-satunya

161

yang kuhabiskan bersama Nam Gil dulu. Ketika aku memberinya cokelat berbentuk bintang yang amat disukainya. Saat-saat itu rasanya begitu manis. Tapi, seperti kata kakak, aku memang harus benar-benar melanjutkan hidupku. Tak ada gunanya mengikat diri dengan kenangan lama semanis apapun itu. saat-saat itu telah lama berlalu. Tapi… bisakah aku benar-benar melupakannya?

- Kim Nam Gil - 14 Februari 2016 - Bern, Swiss -

Aku bergerak di tengah-tengah kerumunan turis untuk menyamarkan keberadaanku. Secepat kilat aku melepas mantel hitam yang kupakai diatas jaket merahku, memberikannya pada seorang bocah kecil di sebelah kiriku, memakai topi dan kacamata yang kukantongi, lalu bergerak cepat ke sebuah kafe pinggir jalan dan duduk santai di sebuah kursi sambil melihat buku menu yang tersedia di meja tersebut tanpa benar-benar membacanya. Aku tidak bernapsu untuk makan sama sekali.

Sial. Hampir saja tangan kanan Xander Bow—penyelundup permata curian yang sedang diincar oleh badan intelejen tempatku bekerja sebagai agen rahasia—berhasil mengejarku. Saat sedang mengikuti dan memotret transaksi yang dilakukan Bow di sebuah toko perhiasan, aku melakukan sedikit kecerobohan yang membuat tangan kanannya menyadari keberadaanku dan langsung mengejarku. Untung saja lariku lebih cepat, dan aku terbantu dengan banyaknya turis yang berkerumun di jalanan kota hingga bisa menyamarkan keberadaanku.

Brengsek. Karena perintah BB—Big Boss—aku tidak dapat menghadiri pernikahan kak Jung Chul. Dan tak dapat bertemu Yo Won… itu jugalah salah satu alasan yang membuatku kehilangan sedikit konsentrasi saat menjalankan tugas tadi, karena ku terus teringat pada Yo Won. Sial. Sekarang Bow akan lebih berhati-hati dan pengamanannya akan semakin diperketat. BB tak akan senang mendengar hal ini.

Aku menurunkan sedikit buku menu itu dari wajahku, dan melihat anak-anak buah Bow kebingungan di tengah kerumunan orang banyak, lalu berbalik kembali ke jalan yang mengarah ke toko perhiasan tadi. Aku harus memutar otak untuk mencari lebih banyak bukti dan mengambil kembali berlian langka yang dicuri oleh Bow dari seorang milyuner Jepang, ketika milyuner tersebut sedang berada di Korea dalam rangka penjualan permata tersebut.

Tak pernah terpikir olehku akan berprofesi sebagai agen rahasia yang hanya pernah kutonton di film-film. Segalanya terjadi begitu saja. Di tahun terakhir kuliah, aku pergi ke Korea karena merindukan kampung halamanku dan juga ingin melihat keadaan Yo Won, tapi kemudian ketika sampai di bandara, aku malah terlibat kekacauan yang disebabkan seorang gembong narkoba. Tanpa sengaja aku membantu penangkapan pria itu ketika berusaha kabur dari kejaran beberapa polisi, lalu keesokan harinya dua orang pria tak dikenal membawaku menghadap sang Big Boss yang menawariku pekerjaan sebagai mata-mata badan intelejen Korea. Dia terkesan dengan ketangkasan dan kekuatanku, dan setelah menyelidiki latar belakangku—termasuk keahlian taekwondoku—dia semakin tertarik untuk merekrutku.

Aku tak langsung setuju karena aku tahu pekerjaan tersebut beresiko tinggi. Tapi setelah diam-diam menjenguk Yo Won di rumahnya, dan melihatnya pergi bersama Tae Wong, aku memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Aku butuh pelarian untuk mengalihkan pikiranku dari Yo Won, dan pekerjaan yang menantang maut itu terdengar cukup mengasyikkan. Dan setelah mendapat pelatihan lebih lanjut selama beberapa bulan, aku mulai diterjunkan dalam misi—walaupun awalnya agak sulit karena aku masih harus menyelesaikan kuliahku.

Sebenarnya ketika dalam perjalanan ke Korea waktu itu, aku setengah berharap hubungan Yo Won dan Tae Wong tak berhasil, tapi melihat keakraban mereka, rupanya harapan

162

bodohku itu tidak terkabul. Yo Won dan Tae Wong tetap bersama setelah sekian tahun berlalu. Mungkin merekalah pasangan takdir yang sebenarnya. Aku kembali patah hati, tapi aku ikut bahagia bila Yo Won bahagia.

Aku pun berusaha mencari bahagiaku sendiri. aku mencoba berhubungan dengan beberapa gadis, tapi tak pernah berlangsung lama karena aku terus saja menemukan kekurangan mereka. Mereka tidak pengertian seperti Yo Won. Mereka tidak perhatian seperti Yo Won. mereka tidak mempercayaiku seperti Yo Won. Mereka bukan Yo Won.

Tak sedikit diantara mereka sebenarnya jauh lebih cantik dari Yo Won, tapi aku mencintai Yo Won bukan hanya secara fisik. Aku menyukai kepribadiannya. Dan tak ada satupun gadis yang kutemui setelahnya bisa menyaingi Yo Won. Tidak satupun. Yo Won tak tergantikan untukku. Bahkan hingga sekarang.

Entah sampai kapan ini akan berlangsung. Entah kapan aku baru bisa melupakannya. Mungkin tak akan pernah…

“Nam Gil!?” seru sebuah suara. Aku terkejut ketika melihat San Tak yang terlihat jauh lebih dewasa dengan kumis tipis, datang menghampiri mejaku bersama seorang wanita Korea mungil manis dalam rangkulannya.

“San Tak!” aku balas berseru. Terakhir kali aku melihat dan berkomunikasi dengannya adalah saat aku menghajar almarhum Yeom Jong di depan ruang klub taekwondo. “Apa kabarmu?”

“Baik, baik,” jawab San Tak antusias. “Bagaimana denganmu? Kau seperti menghilang di telan bumi. Bahkan pindah ke Amerika pun tanpa bicara pada siapapun. Lee Yo Won terlihat sangat kehilanganmu saat itu,” katanya, mengejutkanku.

“Benarkah?” tanyaku dengan lagak tak perduli. “Kami sudah putus.”“Yah, aku tahu, karena dia langsung dekat dengan kak Tae Wong setelah kepergianmu.

Kemana-mana selalu berdua,” komentarnya.Aku berusaha mempertahankan senyum tipisku tetap tersungging mendengar hal tersebut.

walaupun aku sudah menduganya, hatiku tetap terasa sakit mendengar kemesraan mereka. “Yah, senang bertemu denganmu lagi. sedang apa kau di sini?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

San Tak menyeringai. “Perkenalkan ini istriku, Kang Hye Jin. Kami sedang berbulan madu di sini,” katanya penuh kebahagiaan.

“Tak kusangka ada wanita yang berhasil terjerat olehmu,” olokku. “Kuucapkan selamat, Nona, kau tak salah memilih. San Tak teman yang setia, kurasa dia akan jadi suami yang setia juga,” kataku.

“Terima kasih,” sahut Kang Hye Jin malu-malu.San Tak tertawa gembira mendengar perkataanku. “Kita harus bertukar nomor telepon

agar bisa saling berkomunikasi lagi,” katanya.“Kau benar,” kataku. Senang rasanya bertemu teman lama. Aku memberikan nomor

telepon pribadiku, dan mencatat nomor teleponnya.“Ah, semalam aku mendapat telepon dari Moon Shik, katanya hari ini pesta pernikahan

Park Ye Jin. Apa kau sudah tahu?”Aku tersenyum masam. “Tentu saja. Park Ye Jin menikah dengan kakakku.”“Apa!? Tapi, lalu—“ perkataan San Tak terputus dengan datangnya pramusaji yang

menanyakan pesanan kami. Setelah memesan, barulah dia melanjutkan pertanyaannya. “Lalu, kenapa kau tidak menghadirinya?”

“Aku mendapat tugas mendesak dari kantorku,” jawabku.“Apa pe—“Sebelum San Tak menanyakan pekerjaanku, buru-buru aku mengubah topik pembicaraan

kembali pada pernikahan dan kehidupannya selama kami berpisah, dan berhasil, karena perhatian San Tak segera teralihkan. Profesiku adalah rahasiaku.

163

Walaupun senang bertemu dan mengobrol dengan San Tak, melihatnya memunculkan kenangan-kenangan lama masa sekolahku di Korea. Kenanganku bersama Yo Won. bagaimana kabarnya sekarang? Masihkah dia bersama Tae Wong? Apakah dia masih mengingatku?

Hari valentine… mengingatkanku pada cokelat bintang pemberian Yo Won. bahkan sampai sekarang kotak berisi cokelat tersebut masih tersimpan di laci apartemenku di New York—tempatku bersantai seorang diri bila sedang tidak bertugas. Cokelat valentineku satu-satunya. Pertama dan terakhir dari Yo Won. seperti Yo Won yang merupakan cinta pertama, dan mungkin cinta terakhirku…

***

Scene 42

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Moon No : Jung Ho BinChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeYoo Shin : Uhm Tae Wong Alcheon : Lee Seung HyoYong Soo : Kim Jung Chul Cheon Myeong : Park Ye JinChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do BinKim Min Sun : (nama asli) San Tak : (nama di QSD)

- Lee Yo Won - 13 Maret 2016 -

“Apa yang kau bawa itu?” tanya Ayah heran ketika melihatku berjalan keluar dari dapur dengan membawa kotak putih berukuran sedang.

“Kue,” jawabku. “Ayah boleh memakannya nanti.”“Kue? Lalu kenapa kau bawa ke atas?” tanyanya, ketika aku menaiki tangga menuju

kamarku di lantai dua. “Ada yang harus kulakukan,” jawabku sambil mempercepat langkahku.Sesampainya di kamar, aku menaruh kotak itu di atas kasur, membuka tutupnya dan

menancapkan lilin di tengah kue ulang tahun tersebut. Aku meraih ponselku dari meja rias, mencari korek api dari dalam laci, dan kembali ke kasur. Setelah menyalakan lilinnya, aku mencari foto lama yang masih kusimpan di ponselku. foto Nam Gil yang tersenyum lebar di bawah sorot lampu jalan ketika dia menemaniku menunggu bus. Aku tersenyum melihat ekspresi polos dan lucunya.

“Sudah lima tahun, Nam Gil,” kataku pada foto itu. “Tapi aku masih tetap memegang janjiku untuk merayakan ulang tahunmu. Memang tidak bersamamu, tapi aku tetap merayakannya.”

Di mana kau sekarang? Apakah ada yang merayakan hari penting ini bersamamu? Keluargamu? Kekasihmu?

“Happy birthday to you… happy birthday to you… happy birthday, happy birthday, happy birthday to you…” aku menyanyikan lagu itu dengan suara parau, kemudian meniup lilin yang kunyalakan. Dadaku terasa sesak dengan kerinduan padanya.“Selamat ulang tahun, Nam Gil,” ucapku sekali lagi pada foto di ponselku. “Aku merindukanmu…” bisikku.

Aku berdiri dan berjalan menuju rak bukuku untuk mengambil kamera yang kupajang di sana, kemudian memotret kue ulang tahun yang masih berada dalam kotaknya itu. saat

164

lembar foto hasil potretanku keluar dan cukup kering, aku menuliskan tanggal dan ucapan selamat di bagian belakangnya, lalu menaruh lembar foto tersebut di keranjang rotan yang kusimpan di dalam lemariku, tempatku menaruh foto-foto kue ulang tahun yang beberapa tahun ini selalu kupotret sebagai bukti perayaanku untuk ulang tahun Nam Gil dan juga barang-barang kenangan kami dulu; gantungan ponsel kembar kami, hasil foto dari photobox, foto-foto kami dalam pakaian tradisional, dan kartu ucapan selamat ulang tahunnya untukku.

Aku melirik teleskop yang selama lima tahun ini terus berdiri di depan jendela kamarku. Hadiah ulang tahun pertama dan satu-satunya dari Nam Gil. kuelus foto kue terbaru itu sekali lagi.

“Tapi maaf, ini adalah terakhir kalinya aku merayakannya,” gumamku pedih. “Benar kata kak Ye Jin, aku harus melanjutkan hidupku. Benar-benar melanjutkan hidupku. Tanpamu. Tanpa bayang-bayangmu.” Ini yang terakhir. “Selamat ulang tahun, Nam Gil.”

Air mata menggenangi mataku ketika aku memasukkan keranjang rotan tersebut kembali ke dalam lemariku dan menutup rapat pintunya.

- Kim Nam Gil - 9 April 2016 - New York, Amerika -

Aku benar-benar lelah. Tapi untungnya sekarang aku bisa beristirahat setelah beberapa bulan mengejar dan berusaha meringkus Xander Bow, sekaligus mengambil kembali berlian curiannya. Karena aku sudah berhasil menyelesaikan tugasku, maka selama sebulan ini aku akan hidup tenang di apartemen ini.

Begitu memasuki apartemen, aku langsung disambut kegelapan dan suasana sunyi. Sesampainya di kamar, aku langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur dan menaruh kepalaku dengan nyaman di atas bantal kuning besar dan empuk berbentuk bintang. satu-satunya benda berwarna cerah di antara dekorasi kamarku yang serba hitam-putih. Aku menarik bantal itu dan memandanginya. Saat pertama kali melihat bantal ini, aku teringat pada Yo Won, karena hari itu merupakan ulang tahunnya yang ke dua puluh. Aku membelinya sebagai hadiah ketigaku untuknya—walaupun tak pernah sampai padanya.

Aku bangkit dan memandangi kelima bingkai foto putih berbentuk bintang yang tersusun di atas nakasku. Masing-masing bingkai tersebut berisi foto-fotoku dan Yo Won dalam balutan pakaian tradisional Korea. Aku meraih salah satunya, menatap wajah Yo Won yang tersenyum cerah dalam rangkulanku. Seketika hatiku dirambati getaran manis bercampur pahit karena terkenang pada masa-masa indah kami waktu itu.

Kelima bingkai foto ini adalah hadiah keduaku untuk Yo Won—yang juga tidak tersampaikan padanya—yang kubeli untuk ulang tahun kesembilan belasnya. Ketika melihatnya di sebuah toko, aku teringat pada bingkai foto yang dulu dibelinya untuk memajang fotonya dan Ye Jin, sehingga aku terinspirasi untuk juga memajang fotoku dan dirinya di bingkai berbentuk bintang kesukaannya.

Aku menarik laci nakasku, dan mengeluarkan kotak perhiasan kecil, lalu membukanya. Di dalamnya terdapat sepasang anting perak berbentuk bintang. hari itu, tepat di ulang tahun ke dua puluh satu Yo Won, aku pergi berkencan dengan seorang gadis, dan gadis itu membawaku ke toko perhiasan. Ketika dia mencoba anting ini, aku terbayang wajah Yo Won. aku membayangkan dia yang mengenakannya, dan detik itu juga aku langsung membeli anting tersebut. Bukan untuk pacarku, melainkan untuk Yo Won. gadis itu marah dan cemburu karena aku membeli anting tersebut bukan untuknya sehingga dia memutuskanku. Tapi aku tak perduli karena aku memang tidak benar-benar menyukainya.

Dari dalam laci yang sama, aku mengeluarkan kotak perhiasan lain. tapi kali ini bukan anting, melainkan sebuah arloji emas dengan rantai berbentuk bintang yang saling mengait. Aku membelinya untuk ulang tahun ke dua puluh dua Yo Won. arloji ini pasti akan terlihat

165

indah di pergelangan tangan Yo Won. sayangnya aku tak akan pernah melihatnya dipakai oleh Yo Won.

Aku melirik jam dindingku, dan melihat jarum jam menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh menit. Sudah memasuki tanggal 9 April. Tanggal kelahiran Yo Won.

Dengan cepat aku bergerak mendekati koperku dan mengeluarkan kotak musik kaca berbentuk bintang dari dalamnya. Barang yang kubeli sesaat sebelum pergi dari Swiss. Setelah mengambil kotak musik tersebut, aku kembali menghampiri meja nakasku untuk memandangi foto wajah Yo Won. kubuka tutup kotak musik itu, dan langsung terlihat bintang-bintang kecil berwarna keemasan memancarkan sinarnya dari dalam kotak tersebut dengan diiringi alunan musik lembut.

Aku tersenyum pada potret wajah Yo Won yang sedang tersenyum. “Selamat ulang tahun, Tuan Putri,” bisikku lembut. “Semoga kau selalu bahagia.”

Mungkin kami tidak ditakdirkan bersama, tapi cinta dan doaku akan tetap selalu menyertainya.

“Dia langsung dekat dengan kak Tae Wong setelah kepergianmu. Kemana-mana selalu berdua.” Perkataan San Tak terngiang-ngiang di benakku. Walaupun pedih, aku tetap berusaha tersenyum pada foto Yo Won. “Mungkin aku memang bukan Pangeran yang tepat untukmu, tapi aku ikut berbahagia karena kau telah menemukan Pangeranmu,” kataku. “Selamanya kau Putri bagiku, tapi… mungkin sudah saatnya aku mencari Putri lain untuk kuberikan kesetiaanku, karena kau tak lagi membutuhkanku.”

Aku mencium foto Yo Won sepenuh hatiku. “Selamat ulang tahun.”

EMPAT TAHUN KEMUDIAN

- Lee Yo Won - 26 Agustus 2020 - Seoul -

Terjadi keheningan diantara aku dan kak Tae Wong. Belakangan ini hubungan kami merenggang. Seakan ada jurang lebar yang memisahkanku dan dirinya. Ini terjadi semenjak aku mulai memimpikan Nam Gil lagi setelah sekian tahun berlalu. Mungkin karena tertekan dengan mimpi-mimpi itu, sikapku jadi kurang menyenangkan dan membuat kami saling menjauh.

“Apa kau cukup beristirahat belakangan ini?” tanyaku, memulai pembicaraan pada kak Tae Wong yang terlihat lelah. Kesibukannya sebagai polisi membuatnya sering lupa makan dan beristirahat.

Kak Tae Wong tersenyum kecil. “Aku dan timku harus bekerja lebih keras dalam mencari bukti perdagangan senjata gelap yang dilakukan Oem Hyo Soeb,” katanya. “Tapi sekarang aku bisa sedikit bersantai karena akhirnya dia dinyatakan bersalah.”

Nama itu rasanya tak asing. “Rasanya aku pernah mendengar namanya,” gumamku sambil menyuap makananku.

Sepulang kerja aku langsung pergi ke apartemen kak Tae Wong dan memasak makan malam untuknya agar bisa makan bersama. Sudah dua tahun belakangan ini kami berpacaran, dan makan bersama setiap malam sabtu sudah menjadi rutinitas kami.

Kak Tae Wong melirikku. “Dia paman almarhum Yeom Jong,” sahutnya.Sendokku terhenti di udara. Paman Yeom Jong. Napsu makanku seketika menghilang.

Paman Yeom Jong… Tuan Oem, adalah orang yang barnya dirusak oleh Nam Gil dulu. Nam Gil… aku kembali teringat padanya. Ketika dia menghajar pria mesum yang meraba-raba tubuhku di bar. Ketika dengan membabi buta Nam Gil menghadapi beberapa penjaga keamanan bar tersebut—yang berusaha melerai perkelahiannya—tanpa perduli bahwa

166

tindakan nekatnya itu membuatnya terluka. Dia melakukannya demi diriku. Gumpalan beragam emosi menyesaki dadaku.

“Yo Won?” panggil kak Tae Wong heran. “Ada apa?”Aku berusaha tersenyum. “Tidak. Tidak apa-apa,” jawabku pelan.“Oh ya, apa kau bisa meminta cuti bulan depan?” tanya kak Tae Wong tiba-tiba.Aku mengerutkan kening heran. “Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?” tanyaku.Kak Tae Wong tersenyum. “Bulan depan aku berencana meminta cuti,” katanya. “Dan

bila kau juga bisa cuti, aku ingin mengajakmu berlibur. Kurasa kita perlu menghabiskan waktu berdua.”

Aku sedang tidak ingin bepergian ke mana-mana. Entah karena suasana hatiku yang kurang enak setelah teringat kenangan lamaku bersama Nam Gil yang berusaha kulupakan, atau karena aku memang tidak bersemangat untuk bepergian, tapi aku tetap berusaha terlihat antusias mendengar rencana kak Tae Wong. “Ke mana?” tanyaku.

“Indonesia. Bali. Kudengar di sana—““Tidak!” tanpa sadar aku membentaknya.“Ada apa?” tanya kak Tae Wong heran melihat reaksiku.Hatiku kembali sakit saat mengingat hadiah berlibur ke Bali yang dulu kudapat, juga

rencanaku dan Nam Gil untuk pergi berdua ke tempat itu. Tidak mungkin aku pergi ke Bali tanpa teringat pada Nam Gil. walaupun tak jadi pergi bersama, Bali adalah impianku bersamanya. Aku tidak bisa pergi ke sana seorang diri… apalagi bersama pria lain.

“Aku tidak bisa,” kataku. “Aku tidak bisa pergi ke sana bersamamu.”“Kenapa?” tanyanya heran. “Tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyukai tempat itu,” dustaku.Terjadi keheningan cukup lama. “Bukan itu alasan yang sebenarnya, kan?” tanya kak Tae

Wong lagi. “Aku pernah dengar dari Ye Jin, dulu kau sempat berencana pergi ke Bali bersama—“

Aku segera bangkit dari kursi yang kududuki. “aku tidak ingin membahasnya. Maaf, kurasa aku harus pulang sekarang.”

Kak Tae Wong bergerak cepat untuk menghalangi jalanku. Wajahnya terlihat murung. “Kau masih tak dapat melupakannya? Kau masih mencintainya?”

“Kenapa bertanya seperti itu? apa kau meragukanku?” tanyaku marah. Marah karena kak Tae Wong menyinggung kebenaran yang kupendam di lubuk hati terdalam.

Dia menggeleng sedih. “Selama dua tahun berhubungan, tak pernah aku melihat keceriaan di wajahmu seperti yang dulu selalu terpancar saat kau bersama Nam Gil. salahkah aku bila bertanya?”

Tusukan rasa bersalah itu membuatku semakin tak tenang. Aku tidak ingin menyakiti hati kak Tae Wong. Dia pria yang baik. dan juga mencintaiku. “Tidak,” sahutku akhirnya. “Tapi aku tidak suka membicarakan masa lalu. Maaf, kepalaku sakit. kita bicara besok lagi,” kataku sambil berjalan melewatinya.

“Aku tahu tak mungkin aku menggantikan tempatnya di hatimu,” kata kak Tae Wong lagi, membuatku menghentikan langkahku tepat di depan pintu apartemennya. “Tapi, setelah dua tahun berhubungan, aku berharap dapat membuat tempat baru di hatimu untukku.”

Aku menoleh padanya. Yoo Shin… kak Tae Wong… “Kau selalu memiliki tempat tersendiri di hatiku. Tidak perlu meragukan itu,” kataku jujur. Bagaimana pun juga di kehidupan pertamaku dia adalah cinta pertamaku. Dan sekarang dia kembali menjadi kekasih sekaligus sahabat yang baik. aku menyayanginya. Tentu saja dia memiliki tempat tersendiri di hatiku.

“Yo Won…”“Kita bicarakan besok saja. selamat malam,” kataku, kemudian keluar dari apartemennya.

167

“Nam Gil!” jeritku, lalu terbangun dalam keadaan basah kuyup. Mimpi buruk itu kembali datang menghantuiku. Mimpi melihat Nam Gil meninggalkanku dengan ekspresi penuh kebencian. Mimpi yang dulu sering kudapat di awal-awal kepergian Nam Gil.

“Ya Tuhan,” gumamku. Entah kenapa beberapa bulan belakangan ini aku terus mengingat Nam Gil. setelah beberapa tahun dapat menyingkirkan bayang-bayangnya, kini dia seolah kembali menghantuiku.

Bangkit dari ranjang, aku menghampiri lemariku dan setengah sadar membukanya lalu mengeluarkan keranjang rotan yang menampung benda-benda kenanganku bersama Nam Gil. aku duduk di lantai dan mengamati benda-benda itu satu per satu. Setelah empat tahun tak tersentuh, semua benda kenangan itu menimbulkan kehangatan di hatiku.

“Empat tahun telah berlalu, aku sudah mencoba melupakanmu, Nam Gil. aku bahkan berhubungan serius dengan kak Tae Wong. Tapi ternyata bayanganmu terlalu kuat untuk disingkirkan begitu saja.”

Aku mengambil foto yang memperlihatkan ekspresi terkejut Nam Gil ketika aku mengecup pipinya, dan tanpa terasa air mata menetes membasahi pipiku.

“Kau masih tak dapat melupakannya? Kau masih mencintainya?”Benar. Kak Tae Wong benar. Aku berpikir aku sudah berhasil melupakannya, tapi

ternyata tidak. Aku tak dapat melupakannya. Aku masih mencintainya. Dan itu tak adil bagi kak Tae Wong. Dia seharusnya mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintainya. Dan orang itu bukan aku. karena cintaku hanya untuk Nam Gil.

Aku bangkit berdiri dan keluar dari kamar menuju gudang di ujung ruangan lantai dua ini. aku menyalakan lampu, lalu melepas kain putih penutup teleskop pemberian Nam Gil. aku mengusap teleskop tersebut dan membuat keputusan untuk berdamai dengan hatiku. Memang sudah saatnya aku tidak lagi memaksakan diri. Kenyataannya aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak bisa melupakan Nam Gil, maka tidak seharusnya aku berhubungan dengan kak Tae Wong dan membuatnya sakit hati karena hatiku yang mendua. Kak Tae Wong memang berarti bagiku, tapi dengan cara yang berbeda dari perasaanku untuk Nam Gil. hubungan kami harus diakhiri.

Nam Gil… di mana dia sekarang? Sudah setahun terakhir ini dia menghilang dan tak berkomunikasi dengan keluarganya—aku mengetahui ini dari kak Ye Jin dan kak Jung Chul—karena begitu sibuk dengan pekerjaannya. Aku merindukannya. Masih ingatkah dia denganku?

“Nam Gil…”

- Kim Nam Gil - 26 Agustus 2020 - New York, Amerika -

Aku mendesah nyaman saat merasakan semburan air dari shower. Lima jam yang lalu aku baru tiba di New York setelah kurang lebih setahun ini aku dan seorang rekanku menjalankan misi di Rusia. Aku hampir celaka ketika rekanku terluka setelah mendapat tembakan dari pihak musuh yang akhirnya mengetahui bahwa kami adalah mata-mata yang menyelidiki mengenai komplotan teroris mereka. Untung saja bantuan segera dikirim. setidaknya kami sudah mengumpulkan banyak informasi bagi agen lain yang ditunjuk untuk menggantikanku dan rekanku.

Begitu pulang, mesin penjawab teleponku penuh dengan pesan-pesan Ibu, Ayah, kak Jung Chul, Jung Hyun, Do Bin, San Tak, dan beberapa kenalanku di Amerika. Salah satunya adalah gadis yang sekarang sedang berada di kamarku. Penelope. Dia salah satu mantan kekasihku. Ketika dia menelepon dan menawarkan diri untuk diundang ke mari, aku

168

menyetujuinya bukan karena aku benar-benar menginginkannya, melainkan karena aku sedang butuh seseorang untuk menenangkan sarafku.

Setelah selesai membilas tubuh, aku mematikan shower dan melilitkan handuk di pinggulku, kemudian keluar dari kamar mandi.

“Tak kusangka kau menyimpan benda seperti ini,” goda Penelope sambil tertawa geli. Ditangannya terdapat bantal besar berbentuk bintang. sudah lama aku tak melihat bantal yang kusimpan di dalam lemariku itu. “Rupanya kau punya sisi lembut juga?” tambahnya.

Milik Yo Won. itu bantal milik Yo Won. aku segera merebutnya. “Kau menggeledah lemariku!?” geramku.

Penelope mengernyit kaget melihat reaksiku. “Aku tidak bermaksud begitu,” bantahnya. “Kau sangat lama di kamar mandi dan aku bosan, lalu—“

“Lalu kau menggeledah lemariku,” potongku tajam. “Sejak dulu sudah kukatakan aku tidak suka masalah ataupun barang pribadiku disentuh.”

Penelope beringsut mundur di atas kasurku. Dia terlihat takut, tapi berusaha terlihat berani. “Ya, aku ingat. Itu juga salah satu alasan putusnya hubungan kita. Kau tak pernah membiarkanku terlalu dekat denganmu,” katanya marah. “Kenapa? karena gadis kecil ini!?” tuntutnya sambil bergerak membuka laci nakas dan menarik keluar salah satu fotoku bersama Yo Won.

Dia juga menggeledah isi laciku. Aku mengulurkan tanganku padanya. “Berikan padaku,” perintahku.

Wajah cantik Penelope berkerut jelek saat kemarahannya semakin memuncak. Dia melempar bingkai foto itu ke lantai hingga pecah. “Kau tak pernah menganggap keberadaanku! selama tiga tahun aku terus berusaha memperlihatkan cintaku padamu, bahkan setelah kita putus. Tapi kau tetap tak menghiraukanku! Aku! Aku yang ada di sisimu setiap kau pulang ke kota ini! Aku yang setia menunggumu! Bukan dia! Bukan gadis itu!” teriaknya.

Amarah bergejolak dalam darahku saat memperhatikan pecahnya bingkai fotoku dan Yo Won. “Keluar,” perintahku singkat. Aku berusaha mengendalikan emosiku. Salahku karena membiarkannya datang malam ini.

“Apa kelebihan gadis itu yang tidak kupunyai!?” tuntutnya dengan terisak.“Keluar,” ulangku.“Apa kekuranganku!?” jeritnya.“Keluar!” bentakku. Aku tak tahan lagi menghadapi rengekannya. Sambil menangis, Penelope segera berpakaian dan berlari keluar dari kamar. sayup-sayup

kudengar dia membanting pintu apartemenku. Aku tak memperdulikannya, karena perhatianku sudah tersita pada pecahan bingkai fotoku dan Yo Won. kenang-kenangan kami. Hadiahku untuk Yo Won. dengan hati-hati aku membersihkan pecahan tersebut, mengeluarkan foto dari bingkai yang telah rusak itu, dan memandanginya.

Sudah empat tahun aku tak melihatnya. Aku memaksa diri untuk tak melihat benda-benda yang mengingatkanku pada Yo Won, walaupun tetap saja setiap kali melihat wanita asia berambut hitam panjang di jalan, jantungku langsung berdebar-debar penuh harap. Harapan yang sia-sia. Sudah Sembilan tahun aku tak bertemu dengannya. Berusaha melupakannya. Tapi tak bisa…

Aku merebahkan diri di kasur, mendekap bantal berbentuk bintang itu sambil memandangi foto Yo Won. aku begitu merindukannya. “Tuan Putri, aku gagal menemukan Putri lain untuk kuserahkan kesetiaanku,” kataku. “Sepertinya selamanya hanya kau satu-satunya Tuan Putriku. Tak ada yang lain. tak bisa yang lain.”

Aku menutup mata dengan lelah. Pekerjaanku yang menuntut konsentrasi memang cukup banyak membantuku mengalihkan pikiran dari Yo Won, tapi belakangan aku mulai tidak menikmati pekerjaan itu lagi. aku merasa semakin kesepian. Memang belum terlalu lama

169

waktu yang kulewati dengan profesi ini, tapi kurasa satu atau dua tahun lagi aku akan mengundurkan diri. Penghasilan yang kudapat selama beberapa tahun ini bisa dibilang lebih dari cukup, dan untungnya, berkat saran-saran professional dari Do Bin yang berprofesi sebagai pialang saham, aku berhasil menginvestasikan sebagian uangku di tempat yang tepat. Sekarang, sebenarnya tanpa harus bekerja keras pun aku masih cukup kaya, tapi aku harus menyelesaikan kontrak kerjaku dengan BB. Saat itu barulah aku akan memutuskan untuk melakukan apa. Mungkin membuat usaha entah apa. Dan berkeluarga.

Aku kembali memandangi foto wajah Yo Won. mencoba membayangkan seandainya aku bisa membentuk sebuah keluarga bersamanya. Anak-anak perempuan yang manis sepertinya. Tusukan perih menghujam jantungku. Aku tahu itu tidak mungkin, tapi aku tak bisa mengenyahkan bayangan indah itu.

Entah siapa wanita yang nanti akan kupilih untuk membentuk keluarga denganku, hati, jiwa, dan cintaku hanya untuk Yo Won.

“Yo Won…”

- Lee Yo Won - 29 Agustus 2020 - Seoul -

Inilah harinya. Saatnya aku memutuskan hubunganku dan kak Tae Wong secara baik-baik. setelah makan malam bersama di apartemennya, kami belum bertemu lagi karena kesibukan masing-masing. Dan mungkin juga karena sama-sama memikirkan tak adanya masa depan hubungan kami.

Kami membuat janji temu di Namsan Park. Dia telah menungguku. Berdiri di depan patung Jenderal Kim Yoo Shin yang tampak gagah berani di atas kudanya. Aku tersenyum sedih memandanginya. Yoo Shin… dulu dia pernah begitu berarti bagiku. hingga Bi Dam hadir… menyusup masuk ke dalam hatiku dan menggantikan tempat Yoo Shin.

“Hai,” sapa kak Tae Wong.“Hai,” balasku. “Kita harus bicara,” kata kami secara bersamaan. Kak Tae Wong tersenyum sedih. “Aku

tahu apa yang ingin kau katakan. Sebenarnya sudah lama aku menyadari bahwa kau tak dapat melupakannya, tapi aku berkeras mengubah hal itu,” katanya.

“Bukan maksudku ingin melukaimu,” kataku.“Tidak. Tentu saja tidak,” bantah kak Tae Wong. “Akulah yang keras kepala. Aku

berusaha memaksakan diriku untukmu. Tapi sekarang aku sadar, ini saatnya aku menyerah. Dua tahun waktu yang cukup lama. Aku cukup bahagia bisa bersamamu, menjadi kekasihmu selama dua tahun ini.”

Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. “Aku menyayangimu. Jangan sangsikan itu. walaupun tidak bisa sama seperti yang kurasakan untuknya, tapi kau juga istimewa bagiku.”

Kak Tae Wong menarikku ke dalam pelukannya. “Aku pun menyayangimu. Kau sudah tahu, aku mencintaimu,” katanya. “Bukan salahmu kalau kau tidak ditakdirkan untukku. Walau sulit, aku dapat menerimanya.”

Aku balas memeluknya erat. Kak Tae Wong… Yoo Shin… aku melirik ke atas, memandang patung Jenderal Kim Yoo Shin. Dia cinta pertamaku, bagaimana pun juga rasaku untuknya akan terkenang selamanya. Kenangan manis kami bersama.

Masa hubunganku dengan kak Tae Wong lebih lama dari pada hubunganku dan Nam Gil semasa SMU, dan sempat terpikir olehku mungkin dialah takdir cintaku yang sebenarnya. Tapi waktu membuktikan bahwa ternyata itu tidak benar. Hubungan singkatku bersama Nam Gil terus membekas tak terlupakan. Cintaku padanya akan terus tertanam di hatiku hingga akhir napas. Karena dialah cinta sejatiku.

170

“Terima kasih,” bisikku dalam dekapannya. terima kasih karena dia memahami kesulitanku. Terima kasih karena selama beberapa tahun ini dia terus ada di sisiku. terima kasih karena pernah menjadi kekasih yang baik untukku.

Setelah berpisah dengan kak Tae Wong di taman, aku langsung kembali ke kantor. Tapi dalam perjalanan kak Jung Chul menghubungiku dan mengabari kak Ye Jin sedang dalam proses melahirkan di sebuah rumah sakit, sehingga aku segera memutar mobilku untuk menuju tempat tersebut.

Sesampainya di sana, putri cantik yang dilahirkan kak Ye Jin telah berada dalam gendongan ayahnya yang tersenyum bangga. Kak Ye Jin sendiri walau terlihat lelah, tapi terus menyunggingkan senyum puas. Bisa dimaklumi karena dia dan suaminya telah cukup lama menantikan kelahiran putri pertama mereka ini.

Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee menitikkan air mata haru melihat cucu pertama mereka. Seung Ho dan Eun Bin yang telah menjadi sahabat keluarga ini juga hadir dan terseret dalam suasana penuh kebahagiaan.

“Aku punya adik,” bisik Seung Ho padaku. “Perempuan. Dia cantik sekali.”Aku tersenyum memandangi pemuda yang tumbuh semakin dewasa dan tampan itu. “Eun

Bin sendiri sedang hamil,” kataku, mengomentari istrinya—untuk kesekian kalinya—yang tengah hamil muda. “Apa kau berharap anakmu perempuan?”

Seung Ho dan Eun Bin bertatapan sambil tersenyum mesra. Melihat kebahagiaan mereka dan juga kebahagiaan keluarga kak Ye Jin, aku merasa iri.

“Terserah saja. aku menyukai anak laki-laki dan perempuan. Yang mana saja sama,” jawab Seung Ho.

“Yo Won,” panggil kak Ye Jin.Aku segera beranjak mendekati ranjangnya. “Selamat, kak. Bayimu sangat cantik. Apa

kau sudah memberinya nama?”Kak Ye Jin tersenyum. “Terima kasih,” sahutnya. “Jung Chul memilihkan nama Cheon

Myeong. Dia mendapat ide menggunakan nama itu setelah mendapat kilasan lain lagi tentangku di kehidupan pertama kami.”

Aku melirik kak Jung Chul. “Itu dulu namamu. Kurasa bagus sekali bila dipakai putrimu.”

“Memang,” kata kakak setuju. “Hah… aku benar-benar bahagia. Hidupku terasa sempurna sekarang. Aku memiliki orangtuaku, suamiku, kau, Seung Ho dan Eun Bin, teman-teman yang baik, pekerjaan yang menyenangkan sebagai guru musik, dan kini aku memiliki Cheon Myeong.”

Aku tersenyum. “Kau memang beruntung.”Kak Ye Jin langsung menatapku tajam. “Tidak, masih ada satu yang kurang sempurna

dari hidupku. Aku belum melihatmu hidup bahagia dalam pernikahan. Kapan kau dan kak Tae Wong akan melanjutkan hubungan kalian ke tahap yang lebih serius? Umurmu sudah dua puluh tujuh tahun, Yo Won,” katanya.

Senyumku memudar. “Aku dan kak Tae Wong telah berakhir. Baru saja kami putus.”Selama beberapa saat kak Ye Jin tak bersuara, dan hanya menatapku tajam. Tapi

kemudian dia tersenyum. “Siapa aku, sampai memaksamu? Bila kau lebih bahagia sendiri, aku akan ikut berbahagia untukmu.”

Aku memeluk kakak. ‘Terima kasih,” gumamku. Tapi… aku tidak bahagia sendiri seperti ini. aku juga menginginkan kebahagiaan seperti yang kakak miliki. Mempunyai keluarga sempurna. Suami dan anak. Tapi, aku tidak bisa melakukannya dengan orang selain Nam Gil. mungkin hingga akhir hidupku aku akan terus sendiri seperti di kehidupan pertamaku…

171

- Kim Nam Gil - 1 September 2020 - Seoul -

Pagi tadi aku baru sampai di Korea, dan setelah beristirahat di hotel keluarga yang sekarang dikelola Jung Hyun—setelah lulus kuliah dia kembali ke Korea untuk menjalankan bisnis ayahnya—aku menyewa sebuah mobil untuk berkeliling kota.

Tanggal 29 Agustus kemarin kak Jung Chul menghubungiku dan memintaku untuk hadir di pesta perayaan kelahiran putri pertamanya yang akan dilangsungkan besok siang. Sebenarnya BB telah memberiku tugas lain, tetapi aku tak menghiraukannya. Sudah cukup buruk aku tak dapat menghadiri pesta pernikahan kak Jung Chul dan Ye Jin, tanpa harus melewatkan pesta kelahiran keponakan ketigaku. Ketiga, karena Jung Hyun sudah lebih dulu memberiku keponakan. Putra kembarnya dan Min Sun.

Aku tersenyum geli mengingat pasangan itu. siapa sangka mereka akan berpacaran lalu menikah? Awal kedekatan mereka adalah saat di Los Angeles, ketika Min Sun terus datang ke rumah Ibu untuk menemuiku, dan Jung Hyun tertarik padanya. Setelah melalui serangkaian aksi pengejaran, akhirnya Jung Hyun berhasil mendapatkan Min Sun. dan kini keduanya berbahagia bersama kedua putra mereka.

Mengikuti dorongan hati, aku mengendarai mobilku menuju rumah guru Jung. sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Bahkan aku tidak berpamitan padanya ketika pindah ke Amerika.

Rumah mungil yang terawat rapi itu tak berubah sedikitpun dari yang terakhir kali kuingat. aku membuka pagar putihnya, lalu mengetuk pintu. Seorang wanita membukakan pintu dan terkesiap kaget ketika melihatku.

“Kim Nam Gil!?” serunya.Aku tersenyum sambil mengangguk. “Selamat sore, Nyonya Jung.”“Ya Tuhan, kau sudah sebesar ini…” gumam Nyonya Jung—istri guru Jung—takjub.

“Suamiku! Suamiku! Lihat siapa yang datang!” teriaknya.Sebuah pintu terbuka, dan guru Jung keluar dari ruangan itu dengan ekspresi tenangnya

yang biasa. “Siapa—“ ketenangan itu segera digantikan keterkejutan saat dia melihatku. “Nam Gil!”

Aku menyeringai. “Apa kabar, guru? Lama tak berjumpa.”

- Lee Yo Won - 2 September 2020 -

Aku mengendarai mobilku dengan santai di jalan raya. Sekarang jam sepuluh. Sebenarnya acara di rumah kak Ye Jin jam dua belas nanti, tapi aku memutuskan untuk datang lebih cepat. Entah kenapa sejak pagi aku tak tenang. Hatiku terus gelisah. Karena itu aku tidak ingin berdiam diri di rumah lebih lama lagi.

2 September… tanggal yang sama ketika aku pertama kali bertemu dengan Nam Gil di depan gerbang sekolah. Ketertarikan awalku padanya yang bersikap seenaknya. Aku tersenyum mengingat dia meninggalkan kak Tae Wong dan kak Seung Hyo yang menyuruhnya menandatangani buku keterlambatan. Rasanya sudah lama sekali…

Tiba-tiba saja aku ingin pergi ke sana. Ke sekolah lamaku. SMU Chongjan. Sudah lama aku tidak melihatnya. Setelah memutuskannya, aku segera melajukan mobilku menuju tempat itu.

Aku memarkir mobil di seberang sekolah. Cukup lama aku hanya duduk di dalam mobil sambil memandangi bangunan yang menyimpan banyak kenanganku bersama Nam Gil itu. tenggorokanku tercekat dengan emosi yang bercampur aduk dalam dadaku. Senang, sedih, tak dapat dibedakan lagi.

172

Perlahan, aku turun dari mobil dan menghampiri gerbang sekolah yang tertutup rapat. Persis seperti hari itu, ketika aku datang terlambat. Hanya saja kali ini gerbang itu ditutup karena sekarang adalah hari libur. Tanganku bergerak lambat menyusuri pagar tersebut. Seandainya saja waktu bisa diputar… seandainya saja aku bisa kembali ke masa-masa indah awal perkenalanku dengan Nam Gil, yang kemudian berlanjut hingga kami menjadi sepasang kekasih… seandainya saja…

“Yo Won?”Aku tersentak kaget mendengar suara itu. suara yang familiar. Begitu akrab ditelingaku,

bahkan setelah bertahun-tahun tak pernah mendengarnya lagi. tanpa sadar tanganku telah mencengkeram erat pagar yang kupegang. Mungkinkah… perlahan, aku berbalik menghadap pemanggilku, dan jantungku langsung berpacu cepat ketika melihat sosoknya… sosok yang kurindukan, berdiri tepat di hadapanku.

“Nam Gil…”

***

Scene 43

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung Moon No : Jung Ho BinChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeYoo Shin : Uhm Tae Wong Alcheon : Lee Seung HyoYong Soo : Kim Jung Chul Cheon Myeong : Park Ye JinChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinHa Jong : Go Jung Hyun Bo Jong : Go Do BinJook Bang : Lee Moon Shik Go Do : Ryu DamKim Min Sun : (nama asli) San Tak : (tetap nama di QSD)Yeom Jong : (tetap nama di QSD)

- Kim Nam Gil - 2 September 2020 -

“Yo Won…” suara yang keluar dari bibirku tak lebih dari sekedar bisikkan. Jantungku berdetak kencang sekaligus terasa seakan sedang diremas kuat. “Yo Won,” panggilku lebih keras.

Aku tak percaya ini. setelah sekian lama… kini dia berdiri di hadapanku. Dadaku terasa sesak dengan beragam emosi yang bercampur aduk. Bahagia, rindu, sedih… aku tidak dapat mengungkapkannya dengan kata-kata.

Perlahan Yo Won berbalik menghadapku. Matanya membesar karena keterkejutan yang sama seperti yang kurasakan ketika pertama kali melihat sosoknya berdiri di depan gerbang SMU Chongjan.

“Nam Gil…” gumamnya.Tenggorokanku rasanya tercekat. Aku ingin merengkuhnya ke dalam pelukanku. Aku

ingin menyentuhnya. Memastikan dia benar-benar ada, dan bukan sekedar ilusi. Aku bergerak maju dengan sekujur tubuh yang dirambati getaran penuh rasa damba, tapi saat jarak yang memisahkan kami sudah begitu dekat, aku berhenti. Aku tidak bisa melakukannya. Sekarang kami bukan lagi sepasang kekasih. dia bukan lagi milikku. Hatiku nyeri memikirkan hal itu.

173

“Nam Gil…” gumam Yo Won lagi dengan nada tak percaya. Dia terpaku di tempatnya dengan mata berkaca-kaca. “Ini benar-benar… kau?”

Aku tersenyum. Melihatnya lagi, semakin menyuburkan rasa yang selama ini terpendam dalam hatiku untuknya. “Ya, ini aku.”

Setetes air mata jatuh menuruni pipi Yo Won. tangannya yang gemetar terulur untuk menyentuh pipiku. “Nam Gil,” bisiknya.

Getaran manis yang sudah lama tak kurasakan itu kini menjalari hatiku lagi. Apakah selama ini dia merindukanku? Itukah arti air matanya? Aku mengulurkan tanganku untuk menghapus air yang membasahi wajahnya. “Jangan menangis,” pintaku. Aku tak tahan melihat kedua mata indahnya dihiasi air mata.

Mendengar permintaanku, tangis Yo Won justru semakin deras. Dan tanpa terasa air mataku sendiri mengalir turun. Yo Won… Yo Wonku. Akhirnya aku dapat bertemu dengannya lagi. Melihat wajahnya. Mendengar suaranya. Menyentuhnya.

Aku kembali mengelap air matanya. “Kumohon, jangan menangis,” pintaku.“Maaf,” isak Yo Won, berusaha meredakan tangisnya. “Aku… aku hanya tidak

menyangka akan melihatmu lagi,” katanya.“Aku senang bisa bertemu denganmu lagi,” ucapku sepenuh hati.Isakan Yo Won perlahan mereda. Dia menatapku. “Aku juga sangat senang bertemu

denganmu lagi,” katanya.Aku mengelap air mataku sendiri, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku jasku. “pakai

ini,” kataku menawarinya.Yo Won menerima sapu tangan tersebut dan mengelap air matanya. “Terima kasih,”

gumamnya pelan.Mataku tak bisa lepas memandanginya. Bisakah sekali lagi aku pergi dari hidupnya?

Tanpa melihatnya lagi, setelah akhirnya aku dapat bertemu dengannya seperti ini?“Apa kabarmu?” tanyanya setelah hening beberapa saat.“Cukup baik,” jawabku. “Bagaimana denganmu?” aku balik bertanya. Masihkah kau

bersama Tae Wong? Bahagiakah kau dengannya? Tapi kedua pertanyaan itu tak kuutarakan. tak sepantasnya aku mencampuri urusannya.

Yo Won juga terus memandangiku lekat-lekat. “Yah, cukup baik,” jawabnya.Sekali lagi kembali terjadi keheningan canggung. Kami berpisah dalam keadaan tak baik,

dan itu membuat kami sulit untuk menentukan sikap. Dulu kami memang kekasih, tapi kini… “Sejak kapan kau kembali ke Korea?” tanyanya lagi.“Kemarin,” jawabku. “Kak Jung Chul memintaku untuk menghadiri pesta perayaan putri

pertamanya, dan untuk menebus ketidak hadiranku dalam pesta pernikahannya, maka aku datang ke mari.”

“Mereka bilang kau mendapat tugas penting dari kantormu sehingga tidak bisa hadir di pesta itu,” kata Yo Won. walaupun dia mengatakannya dengan nada biasa, tapi karena profesiku beberapa tahun belakangan ini, aku bisa menangkap nada menyelidik yang disembunyikannya dengan baik.

Aku mengangguk. “Sayangnya aku tidak dapat mengelak dari tugas itu,” jawabku.Wajah Yo Won melukiskan rasa penasarannya yang sangat besar, tapi dia tak bertanya

lebih jauh, dan aku mensyukurinya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku.Pipi Yo Won merona merah dengan cantiknya. “Aku sedang dalam perjalanan menuju

rumah kak Ye Jin, lalu… tiba-tiba saja aku mengikuti dorongan hati untuk berkunjung kemari,” jawabnya. “Sudah lama aku tidak melihat sekolah ini.”

Aku memandangi bangunan di depanku. Senyum kecil tersungging di bibirku. Banyak sekali kenanganku di sini. Latihanku bersama guru Jung, teman-teman, perkelahianku, juga pertemuan dan kisah cintaku bersama Yo Won. “Sembilan tahun lalu aku akan tertawa bila

174

ada yang mengatakan bahwa aku akan merindukan SMU Chongjan,” kataku. “Tapi sekarang, itulah yang sedang kurasakan.”

“Sesuatu baru terasa sangat berharga setelah kita kehilangannya,” gumam Yo Won di sebelahku.

Aku meliriknya, dan merasakan nyeri di hatiku lagi. seperti aku yang kehilanganmu. Kerongkonganku kembali tercekat. Aku sengaja berdeham untuk menetralkan suaraku. “Kau benar,” sahutku. “Aku sengaja kemari sebelum pergi ke rumah kak Jung Chul karena aku merindukan sekolah ini. kemarin aku ingin berkunjung ke sini, tapi kemudian terlalu asyik mengobrol dengan guru Jung hingga larut malam. setelah lama tak bertemu, begitu banyak hal yang kami diskusikan,” kataku.

Saat lagi-lagi terjadi keheningan canggung di antara kami, aku melirik jam tanganku. “Sekarang jam setengah sebelas,” kataku. “Masih ada cukup waktu sebelum pesta dimulai. kau mau masuk melihat-lihat?” tawarku.

- Lee Yo Won - 2 September 2020 -

“Masuk?” ulangku bagai orang bodoh. Suaraku masih terdengar parau setelah tangis spontanku begitu melihat Nam Gil. aku masih tidak percaya… akhirnya… setelah sekian lama, aku bisa bertemu dengannya lagi. melihat wajahnya. Melihat senyumnya. Tenggorokanku kembali tercekat. Aku sangat merindukannya.

Nam Gil menyeringai. “Benar. Apa kau tidak ingin melihat-lihat ke dalam?”Aku berusaha menenangkan diriku. “Bagaimana mungkin kita dapat masuk? Di hari libur

seperti ini penjaga sekolah pun tidak ada ditempat,” kataku.Seringaian Nam Gil semakin melebar, membuat hatiku pun semakin mengembang

dengan rasa cinta untuknya. Sudah lama sekali aku tidak melihat seringaiannya. Mampukah hatiku menanggung harus berpisah sekali lagi dengannya? Karena kami pasti berpisah… Nam Gil hanya datang berkunjung ke Korea, bukan menetap selamanya.

“Kau lupa? Bukankah kita punya cara lain untuk keluar masuk sekolah?” tantangnya.Aku terkesiap kaget saat memahami maksud Nam Gil. ingatan masa-masa remaja kami

pun langsung datang membanjiriku. Ketika dia dan aku memanjat tembok belakang untuk membolos—yang nyaris saja tertangkap seorang guru. Juga ketika pada suatu malam… malam paling berkesan dan bahagia dalam hidupku… kami memanjat masuk lewat tembok belakang yang sama untuk masuk ke sekolah dan pergi ke atap.

Beragam emosi memenuhi diriku saat mengingat kenangan-kenangan tersebut. Tapi rasa bahagia adalah yang paling dominan. Tanpa bisa ditahan, aku tertawa. Tawa tulus dan lepasku yang pertama setelah sembilan tahun ini.

“Ayo,” ajak Nam gil dengan wajah ceria. Dia mengulurkan tangannya padaku, dan dengan bersemangat aku segera meraihnya.

Kami berjalan cepat memutari bangunan itu hingga sampai di bagian belakang. Aku memandangi tembok belakang yang kusam itu dengan sedikit cemas.

“Hmm, mungkin bukan ide bagus,” komentar Nam Gil sambil mengamati blus dan celana panjang putihku.

Sebenarnya itu juga yang kucemaskan, tapi aku tak akan membuang kesempatan untuk bersamanya. Aku menggeleng sambil tersenyum. “Tidak masalah,” kataku sambil melepas sepatu berhak tinggiku. “Ayo, cepat membungkuk,” perintahku. Tiba-tiba saja tubuhku seperti dialiri semangat berlebih. Sesuatu yang telah lama hilang dariku. Aku baru menyadarinya, semenjak kepergian Nam Gil, aku seperti kehilangan setengah jiwaku. jiwa yang bersemangat, ceria, sangat menikmati hidup. Tapi kini, setelah bertemu Nam Gil lagi, setengah jiwaku yang hilang itu seolah kembali menyatu denganku.

175

Nam Gil tertawa. “Aku suka mendengarmu memerintah seperti ini,” komentarnya. “Baik. ayo, silakan naiki punggungku,” katanya sambil membungkuk.

“Sepertinya kau semakin berotot,” komentarku saat harus berpegangan pada tubuhnya ketika memanjat.

“Yah, mungkin karena pekerjaanku,” komentarnya acuh tak acuh. Membuatku semakin penasaran dengan profesinya. “Hati-hati,” serunya, ketika aku berusaha duduk nyaman di atas tembok.

“Tenang saja,” aku balas berseru. “Cepat naik!”“Ya,” sahut Nam Gil sambil melompat dan dengan cepat memanjat naik. “Sepatumu,”

katanya setelah duduk di sebelahku, menyerahkan sepasang sepatu putihku.Aku menerimanya sambil tersenyum. “Terima kasih.”Nam Gil langsung meloncat ke bawah, dan mengangkat kedua tangannya ke arahku.

“Ayo, melompatlah,” perintahnya. “Aku akan menangkapmu,” katanya.Dengan berhati-hati aku melompat, kemudian masuk dalam dekapannya. tubuh kami

menempel rapat dan wajah kami hanya terpisah jarak yang begitu dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napas segar beraroma mint dari mulutnya. Getaran manis merambati hatiku. Getaran yang telah lama tak kurasakan. Getaran yang hanya muncul saat aku bersama Nam Gil. Selama beberapa detik kami terdiam dalam posisi seperti itu, hingga Nam Gil berdeham dan bergerak mundur melepasku.

Benar, kini kami bukan lagi sepasang kekasih. kami hanya teman lama… dan peran itulah yang harus kumainkan sekarang. Sebagai teman lamanya. Walaupun hatiku sakit, tapi aku harus menerimanya.

Menutupi kegugupanku, aku segera bergerak untuk memasang sepatuku lagi, tapi kemudian dengan mengejutkan Nam Gil berlutut di tanah, mebiarkan jins hitamnya kotor, dan meraih salah satu sepatuku. “Biar kubantu,” katanya.

Jantungku bedegup kencang dan semakin kencang. Dengan tak berdaya aku memandangi rambut hitamnya, lalu tangannya yang dengan terampil memasang tali-tali sepatuku. Aku langsung teringat pada malam kami menyelinap masuk dulu, aku melompat tanpa sepatu dan Nam Gil menggendongku sambil berlari hingga tiba di atap. Aku tersenyum pedih. Betapa bahagianya kami dulu.

“Sudah,” kata Nam Gil sambil berdiri kembali. “Petualangan dimulai,” tambahnya dengan ekspresi jail.

Aku tertawa. “Ayo!”Kami berjalan santai menuju pintu gedung utama sambil memandangi berbagai

perubahan kecil di sekitar kami.“Dulu tidak ada tanaman di sana,” komentar Nam Gil, menunjuk taman yang terlihat asri

di bagian depan sekolah.“Benar,” komentarku singkat. “Hmm, kita memang berhasil masuk sampai di sini, tetapi

bagaimana caranya masuk ke dalam?” tanyaku, menunjuk pintu ganda yang terkunci.“Serahkan padaku,” sahut Nam Gil. dia mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.

Sepertinya sebuah kawat, lalu memasukkan benda itu ke dalam lubang kunci, dan dalam hitungan detik pintu terbuka.

Aku mengernyitkan kening melihat aksinya. “Dari mana kau mempelajari hal itu?” sejujurnya selama ini aku hanya pernah melihat adegan seperti itu di film-film dan ketika dulu pernah mencobanya, aku gagal dengan menyedihkan. Bagaimana Nam Gil bisa melakukannya? Bahkan dalam waktu yang begitu singkat.

Nam Gil kembali menyeringai jail. “Seorang teman mengajariku,” jawabnya santai sambil membuka pintu. “Silakan masuk.”

176

“Semoga saja teman yang mengajarimu itu bukan pencuri,” komentarku sambil berjalan masuk melewatinya. Aku mendengar Nam Gil tersedak tawa, tapi dia tak berkomentar apa-apa.

Kami berjalan menyusuri koridor yang lenggang dalam keheningan yang hanya dipecahkan suara langkah kaki kami. Tak ada yang berubah di sini. Kelas-kelas masih tampak sama. loker-loker yang sama. hiasan-hiasan yang sama. hatiku dipenuhi rasa haru melihat semua itu. mengingat lebih jauh kenanganku di tempat ini.

“Ini lokerku,” kata Nam Gil dengan keceriaan seperti bocah kecil mendapat permen. Aku tersenyum saat melihatnya mengelus loker bernomer 46 itu dengan penuh kerinduan.

Aku pun berjalan menjauh untuk mencari lokerku. Berdiri di sana. Nomer 54. Aku mengelusnya. Setelah berpacaran dengan Nam Gil, loker inilah tempatku menyimpan helm pemberian Nam Gil. aku teringat kekecewaanku tak lama setelah kepergian Nam Gil, saat tanpa sengaja aku menghilangkan benda berharga itu. suatu hari aku lupa mengunci loker, dan keesokan harinya helm itu sudah hilang. Aku berusaha mencarinya, tapi tetap tak berhasil menemukan helm tersebut.

“Itu kelas kita, kan?” Suara Nam Gil menyadarkanku dari lamunan. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk Nam Gil, dan aku mengangguk sambil tersenyum. “Ayo masuk,” ajaknya.

Susunan di kelas itu pun tetap sama, tak berubah. Aku tersenyum lebar sambil berjalan menuju meja dan kursiku. Di meja itu masih terdapat ukiran namaku dan nama Nam Gil, yang dibuat olehnya di jam istirahat.

“Apa kau masih ingat ketika kau berdiri di sini memperkenalkan dirimu saat baru pindah ke sekolah ini?” tanya Nam Gil dari depan kelas.

Aku mengangguk. “Tentu saja,” kataku ceria. “Saat itu aku begitu kaget melihatmu muncul dan mengedipkan matamu. Belakangan aku baru tahu caramu masuk.”

Nam Gil tertawa sambil membalikkan badan menghadap papan tulis. Dia meraih kapur, lalu mulai menuliskan namanya dengan huruf besar-besar di papan tulis tersebut. “Aku ingat kekesalanku padamu waktu itu. saat kau enggan duduk di sebelahku,” katanya geli.

“Itu karena aku merasa risih. Aku tidak mengenalmu, dan setiap berada di dekatmu aku merasa aneh—kau tahu, kilasan-kilasan itu,” kataku.

Nam Gil menoleh menatapku. “Ya, aku tahu. Aku sendiripun merasa begitu,” akunya.Setelah itu kami terdiam. Tanpa sengaja kami membawa-bawa masalah hubungan kami

dulu dalam percakapan, padahal sejak awal kami terus berbasa-basi dan menghindari pembicaraan mengenai hal itu.

“Gambarmu jelek sekali,” kataku, mengomentari gambar entah kelinci atau mahluk apapun yang dibuat Nam Gil di papan tulis.

Nam Gil mendengus mengejek. “Dengar itu,” ejeknya. “Hinaan yang keluar dari orang yang membuat ikan paus tampak seperti paha ayam.”

Aku tak dapat menahan tawa. “Masa itu sudah lewat,” sombongku. “Sekarang aku bisa membuat ikan paus dengan lebih baik.”

“Buktikan,” tantang Nam Gil.Setelahnya, selama kurang lebih satu jam kami habiskan di dalam kelas dengan menulis

kalimat-kalimat tak penting dan menggambar bentuk-bentuk tak jelas. Kami saling mengejek hasil buatan satu sama lain, bahkan juga saling melempar kapur. Bagiku, tak ada hari secerah dan seindah hari ini.

“Kau mengotori jasku!” seru Nam Gil ketika lemparan kapurku—karena dia menghapus gambar bunga yang kubuat—mencoreng jas hitam yang dipakainya di atas kaus putihnya.

Aku tertawa nyaring. “Kau pantas mendapatkannya,” kataku. Saat aku merogoh ke dalam kotak kapur, aku mendapati kotak tersebut kosong. “Kapurnya habis.”

“Kau yang salah. Kau yang banyak menggunakan kapur,” tuduh Nam Gil.

177

Aku memelototinya. “Bagaimana mungkin!” protesku. “Kau yang lebih dulu memakainya dan menghancurkannya dengan melempariku dan juga menginjak-injaknya!” kataku menunjuk lantai.

“Kau yang terlalu banyak memakainya untuk membuat paha ayam dan jerami itu,” bantah Nam Gil sambil menunjuk papan tulis.

“Itu ikan paus dan hujan,” geramku. “Bukan paha ayam dan jerami!”“Benarkah?” tanyanya, pura-pura kaget. “kalau begitu matamu pasti salah melihat.”Aku mendengus. “Kau sendiri membuat gajah tampak seperti semut,” balasku.Nam Gil terkekeh geli. “Mana mungkin perbedaannya sejauh itu,” bantahnya sambil

duduk di meja guru. “Hah… sudah lama sekali aku tidak sesantai ini,” gumamnya.Menyandarkan tubuh di dinding, aku mengamatinya dengan penuh kasih. Nam Gil…

“Berapa lama kau akan di Korea?” tanyaku, mengeluarkan pertanyaan yang sebenarnya sejak tadi telah mengganggu pikiranku.

Nam Gil menatapku tajam. Dia mengangkat bahu acuh tak acuh. “Entahlah, aku sendiri tak tahu pasti,” jawabnya.

Jangan. Jangan pergi lagi. hatiku menjeritkan larangan itu, tetapi mulutku terkunci rapat. Dia bukan lagi milikku, tak sepantasnya aku melarang-larangnya.

“Karena kapurnya sudah habis, kurasa sudah waktunya kita melanjutkan petualangan ke tempat lain,” cetus Nam Gil beberapa saat kemudian.

Kami berjalan ke luar, mengelilingi lantai atas, kafetaria, ruang klub taekwondo, dan banyak ruangan lainnya. Selama itu terjalin suasana akrab diantara kami. Seperti masa-masa pertemanan kami dulu. Obrolan kami pun tetap ringan dan tak mengungkit-ungkit masa lalu yang menyakitkan.

“Tinggal satu tempat lagi,” gumam Nam Gil setelah kami keluar dari ruang klub taekwondo.

“Atap,” cetus kami bersamaan. Kami saling tersenyum pada satu sama lain, lalu berjalan menuju tempat itu dalam diam.

Jantungku berdebar-debar. Tempat itulah tempat paling berkesan. Tempat yang menyimpan kenangan paling berarti. Atap sekolah adalah tempat Nam Gil menyendiri dan menenangkan diri. Atap itu juga tempat kami saling menyatakan cinta. Tempat itu sangat istimewa. Setelah kepergian Nam Gil, aku banyak menghabiskan waktu seorang diri di tempat itu.

Hembusan angin segar menerpa kami sesampainya di atap. kami sama-sama terdiam mengamati tempat itu. tak berubah. Masih sama seperti dulu. Masih seperti tempat favorit kami.

Teringat olehku rasa ngeri ketika dulu Nam Gil berlari menaiki tangga tadi dengan menggendongku. Aku juga masih mengingat betapa terharu dan bahagianya aku saat Nam Gil menyatakan cintanya malam itu dibawah cahaya bintang yang kusuka. Saat kami berbaring, dengan lengan Nam Gil sebagai alas kepalaku. Juga saat dia menceritakan rahasia kelam keluarganya…

Aku menoleh memandangnya. Memandangi sosoknya yang sekarang terlihat jauh lebih dewasa. Lebih matang. Rambut hitamnya masih panjang seperti dulu… dan masih diikat dengan cara sembarangan yang sama, tapi sekarang di atas bibir tipisnya dihiasi kumis tipis. aku menyukainya. Bagaimanapun penampilannya, dia tetap Kim Nam Gil. tetap pria yang kucintai…

“Setiap kali mendapat masalah rumit, aku selalu teringat tempat ini,” gumam Nam Gil. “Di tempat ini aku pernah menangis, memaki, dan tertawa. Banyak sekali kenanganku di tempat ini.”

“Setelah… setelah kepergianmu, tempat ini juga menjadi tempat favoritku,” gumamku.

178

Keheningan yang mencekam melingkupi kami. seketika kami membisu saat pembicaraan mengenai masa lalu hubungan kami akhirnya terangkat. Masalah itu memang tidak bisa dihindari. Sebaliknya, mungkin ini justru kesempatan yang paling tepat untuk membicarakannya.

“Nam Gil, “ panggilku sambil menatap langsung ke dalam matanya. “Maafkan aku. aku tahu kau marah padaku… tapi… aku bersumpah bukan aku yang menyebarkan skandal mengenai ibumu—“

“Yo Won, sudahlah—““Tidak!” protesku keras. “Seharusnya ini dibicarakan sejak dulu. Masalah ini sudah

terlalu lama dibiarkan begitu saja,” kataku. “Aku bersumpah bukan aku pelakunya, tetapi… aku mengaku bahwa aku bersalah karena sempat terpikir untuk… untuk memanfaatkanmu demi mencari rahasia kelam Bibi Hyun Jung. aku minta maaf untuk itu, tapi aku tidak jadi—“

“Yo Won,” sela Nam Gil halus. “Itu sudah lama berlalu. Aku pun tahu bukan kau pelakunya. Paman Yeom Jong yang menyebarkan skandal Ibuku. Dia menyelidiki latar belakangku dan menyebarkannya karena dendamnya padaku yang membuatnya merugi banyak. Maafkan aku karena telah menuduhmu dulu,” pintanya.

Paman Yeom Jong pelakunya? “Sejak kapan kau mengetahui hal itu?” tanyaku.“Sebelum keberangkatanku,” jawab Nam Gil. “Maaf, karena aku tidak berpamitan

padamu waktu itu.”Kenapa? pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Bila Nam Gil telah mengetahuinya,

kenapa dia tetap meninggalkanku? Kenapa dia tidak menghubungiku? Kenapa kemudian dia berhubungan dengan Kim Min Sun di Amerika?

“Mengenai dendammu pada Ibu,” mulai Nam Gil lagi, di saat aku terdiam merenungi perkataannya. “Sudah kukatakan aku memahaminya. Apalagi saat itu kau kehilangan ibumu di usia yang sangat muda. Tak mengherankan kalau kemudian kau mendendam pada Ibuku. Lagi pula kau tak jadi menyebarkannya. Terima kasih atas belas kasihanmu,” katanya.

Belas kasihan? “Aku tidak menyebarkannya bukan karena belas kasihan,” bantahku segera. “Lama sebelum kau menceritakan rahasia itu, aku sudah melupakan niatku untuk memanfaatkanmu. tapi aku terus merasa bersalah karena sempat terpikir untuk melakukan hal sejahat itu,” kataku pedih. “Hubungan kita dulu bukan sebuah kepura-puraan bagiku. aku menjalaninya setulus hatiku. Percayalah padaku,” ucapku sepenuh hati.

Kami saling berpandangan dalam diam. Nam Gil tak berkomentar apa-apa. Dia hanya berdiri diam di hadapanku sambil menatapku tajam. Percayakah dia? Maukah dia mempercayaiku?

“Yo Won—“ ucapan Nam Gil terhenti ketika kami mendengar suara musik. Ponselku dan ponselnya. “Sebentar,” katanya sambil menerima panggilan tersebut. “Ya?” sapanya pada peneleponnya.

Aku sendiri pun langsung meraih ponsel yang kusimpan dalam tasku. “Halo?” sapaku.“Yo Won, kau dimana?” terdengar nada menuntut dalam suara kak Ye Jin. “Sekarang

sudah pukul dua belas lewat lima belas menit. Bukankah tadi pagi kau bilang akan datang lebih cepat? Acara sudah dimulai.”

Aku melirik jam tanganku. Sial. kakak benar. “Maaf, aku akan segera ke sana,” kataku.“Aku menunggumu. Hati-hatilah di jalan,” nasehatnya.“Baik. sampai jumpa nanti,” kataku, kemudian memutus sambungan telepon. Aku

berbalik untuk menghadap Nam Gil lagi.“Kak Ye Jin.”“Kak Jung Chul.”Kami mengucapkannya bersamaan, lalu tersenyum canggung. “Kurasa… kita harus

segera pergi,” kata Nam Gil.

179

“Ya, kau benar,” sahutku sama kakunya. Keakraban dan keceriaan yang sebelumnya kami rasakan sekarang sudah menghilang. mengungkit masalah pahit itu membuat kami tak nyaman.

“Ayo,” ajak Nam Gil.

- Kim Nam Gil - 2 September 2020 -

Karena Yo Won membawa mobil, maka kami pergi ke rumah kak Jung Chul dan Ye Jin dengan kendaraan masing-masing. Selama dalam perjalanan aku terus mengulang-ulang perkataan Yo Won di benakku.

“Hubungan kita dulu bukan sebuah kepura-puraan bagiku. aku menjalaninya setulus hatiku. Percayalah padaku.” Bisakah aku mempercayainya? Benarkah sebelum berpacaran denganku Yo Won telah melupakan niatnya memanfaatkanku? Bisakah aku mempercayainya?

Yo Won bukan pembohong. Dia terlihat tulus saat mengatakannya. Seharusnya aku bisa mempercayainya…

Aku teringat kehidupan pertama kami. ketika aku meragukannya. Ketika aku lebih mempercayai tipuan Yeom Jong. Kesalahan terbesar dalam hidupku sebagai Bi Dam. Seandainya aku mempercayai Ratu, mungkin aku bisa hidup bahagia bersama Deokman saat itu.

Ya, sudah seharusnya aku percaya padanya. Aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. aku harus percaya pada kata-katanya. Bila Yo Won mengatakan dia tidak memanfaatkanku, maka itulah yang sebenarnya. Sengatan kegembiraan yang bercampur kekecewaan menjalari hatiku. Gembira karena selama ini pikiranku bahwa Yo Won hanya memanfaatkanku ternyata salah, tapi juga kecewa pada diriku sendiri. karena itu berarti selama ini aku telah menyia-nyiakan kesempatanku bersamanya?

Tapi kemudian aku teringat pada Tae Wong, dan gelombang kesedihan dan cemburu kembali menerpaku. Ya, bagaimana penjelasan mengenai perasaan Yo Won pada Tae Wong? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana sedihnya Yo Won karena Tae Wong terluka. Rasa cemburu menyesakkan dadaku.

Begitu banyak hal yang belum terselesaikan di antara kami. begitu banyak hal yang belum dibicarakan. Sudah sembilan tahun berlalu… sekaranglah waktunya untuk menuntaskan semua ini. apapun hasilnya… apapun kebenaran yang terungkap, aku akan mempersiapkan diri menerimanya.

Ketika sampai di rumah kak Jung Chul, dia dan Ye Jin telah menungguku dan Yo Won di teras rumah mereka.

Wajah Ye Jin terlihat sangat kaget saat melihat kami berdua datang bersamaan. “Kalian…”

“Apa kabar?” sapaku.Kak Jung Chul langsung bergerak maju untuk memelukku singkat. “Lama tidak

melihatmu, Dik,” katanya ceria. “Sebenarnya pekerjaan apa yang membuatmu terus menghilang?”

Aku memaksakan tawa. “Macam-macam,” elakku. “Di mana keponakanku?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan.

“Di dalam bersama kakek dan neneknya,” jawab kak Jung Chul. “Ayah merindukanmu,” tambahnya. Aku tersenyum menanggapi perkataannya. Semenjak kak Jung Chul pindah ke Korea, Ayahpun ikut pulang ke negeri ini. “Tunggu dulu, kenapa jasmu kotor begini?” tanyanya heran saat mengamati jasku yang terkena kapur.

“Apakah kau akan mengusirku bila pakaianku sekotor ini?”

180

Kak Jung Chul tertawa. “Jangan konyol. Ayo masuk.”sebelum melewati ambang pintu, aku melirik Yo Won dan Ye Jin yang sedang mengobrol

dengan suara pelan. aku harus mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Yo Won.Di halaman belakang yang dijadikan tempat pesta, telah berkumpul para tamu. Aku

langsung menghampiri Ayah yang sedang duduk bersama orangtua Ye Jin dan bayi dalam gendongan sang nenek. Setelah menyapa orangtua Ye Jin dan mengobrol sebentar dengan Ayah sambil menggendong keponakanku, aku segera pergi mencari Yo Won. tapi sialnya San Tak menghadangku.

“Nam Gil! ternyata kau datang!” serunya antusias.Aku tersenyum sedikit masam. Aku sedang sangat terburu-buru ingin bicara berdua

dengan Yo Won, tapi rasanya tak enak mengacuhkan teman lama. “Tentu saja aku datang. Ini pesta perayaan keponakan perempuan pertamaku,” sahutku. “Di mana istrimu?”

“Sedang ke kamar kecil,” jawab San Tak. “Hah… rasanya seperti reuni, kan? Coba lihat itu, Moon Shik bersama istri dan kedua putrinya. Siapa sangka si bodoh itu akan menjadi dokter?” oloknya sambil tertawa.

Aku melirik San Tak sambil mendengus. “Lihat siapa yang bicara,” sindirku. “Seingatku nilaimu tak lebih baik darinnya.”

San Tak langsung memberengut. “Kau ini,” gerutunya. “ah, itu Ryu Dam baru datang bersama putra tunggalnya. Bertubuh besar seperti Ayahnya, ya? Usaha toko dagingnya semakin sukses, tapi kasihan sekali, istrinya meninggal setelah melahirkan putra mereka,” katanya, terus memberi informasi.

“Ya, kasihan sekali,” komentarku sambil mengamatinya. Aku mengerti bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintai. Bahkan keadaan Ryu Dam lebih parah dariku. Setidaknya selama ini aku tahu Yo Won masih hidup bahagia di suatu tempat, sedangkan dia… istrinya benar-benar sudah tak dapat ditemui.

“Nah, nah, itu dia si pasangan paling produktif,” kata San Tak sambil tertawa. Dia menunjuk Seung Hyo dan wanita dalam rangkulannya yang sedang hamil. Wajah wanita itu rasanya tak asing… astaga, itu… si gadis kecil yang dulu! Jadi mereka masih bersama setelah sekian lama. Beruntung sekali.

“Istri Seung Hyo sedang hamil anak pertama mereka?” tanyaku.San Tak tertawa. “Tentu saja tidak. Mereka menikah sebulan setelah pernikahan Ye Jin

dan kakakmu. Saat itu istrinya sudah hamil tiga bulan,” katanya bergosip. “dari kehamilan pertama, mereka memiliki anak kembar tiga. Dua perempuan dan satu laki-laki. Tahun lalu istrinya kembali melahirkan seorang putra, dan kini dia hamil lagi. entah apa anak mereka kali ini.”

Wow. “Untung saja kak Seung Hyo sukses dalam karirnya di bidang perbankan, kalau tidak…

bayangkan saja, dengan anak sebanyak itu,” kata San Tak geli. “Ayolah, daripada seperti ini, lebih baik kita langsung menyapa mereka,” ajaknya memaksa.

Aku memang menikmati obrolan bersama teman-teman lama, tapi aku sudah tak sabar ingin menyelesaikan masalahku dengan Yo Won, sehingga setelah akhirnya bisa meloloskan diri dari mereka, aku segera bergerak mencari Yo Won, dan menemukannya sedang duduk di gazebo seorang diri.

“Yo Won,” panggilku, menyadarkannya yang sedang melamun.“Nam Gil. duduklah,” ajaknya, menepuk-nepuk kursi batu di sebelahnya.Selama beberapa saat kami tetap berdiam diri. Begitu banyak pertanyaan yang

berkecamuk dalam kepalaku, tapi sulit sekali rasanya mengeluarkannya.“Aku mempercayaimu,” kataku setelah beberapa saat. Aku menatapnya, dan mendapati

dia sedang memandangiku. “Aku percaya kau tidak berniat memanfaatkanku. Maafkan aku karena meragukanmu.”

181

“Aku juga minta maaf. Tidak seharusnya aku sempat terpikir untuk melakukan itu,” katanya. “Dan seharusnya semua ini bisa dibicarakan dan diselesaikan sejak dulu,” tambahnya dengan nada sedih.

Tusukan kekecewaan itu menyayat hatiku. Yo Won benar. Tapi… “Aku melihatmu,” kataku. “Aku melihatmu menangisi Tae Wong yang terluka di Rumah Sakit. Aku melihat bagaimana sedihnya dirimu saat itu di sisi tempat tidurnya. Aku… aku sadar kau mencintainya. Karena itulah… aku pergi tanpa berpamitan dan tak menghubungimu lagi setelahnya. Karena aku tidak mau menghalangimu mendapat kebahagiaan dari pria yang benar-benar kau cintai. Aku sudah terlalu sering membuatmu kecewa, sedih, dan menangis. Maka—“

“Apa!?” seru Yo Won kaget. “Kau melihatku…? Kau pergi ke rumah sakit?”“Hari itu aku terluka setelah mengebut di jalan raya mengejar Yeom Jong. Dia mengalami

kecelakaan setelah melihatku terjatuh. Bahkan lebih parah dariku, dia mati,” kataku. “Kami dibawa ke rumah sakit yang sama dengan tempat Tae Wong menginap. Aku berencana menjenguknya, lalu…”

“Kau melihatku,” sambung Yo Won dengan suara parau. “Karena itukah? Karena kau melihatku menangis di sisi tempat tidurnya, kau meninggalkanku? Karena itu kau tak menghubungiku? Karena itu kau bersama gadis itu!?” tuntutnya dengan serentetan kalimat cepat.

“Pelan-pelan, aku—“ kata-kataku terhenti saat melihat setetes air mata mengalir turun dari matanya. “Kumohon, aku membicarakan ini bukan untuk membuatmu menangis,” pintaku.

“Tidak berubah,” ucapnya sendu. “Baik di kehidupan pertama maupun sekarang. Betapa lemah kepercayaan kita terhadap satu sama lain. Seandainya saja kau masuk dan bertanya mengapa aku menangis… mungkin…”

“Yo Won…”“Aku menangis bukan karena kak Tae Wong. Aku memang mencemaskannya, tapi bukan

itu yang membuatku menangis. Aku menangisimu.”Jantungku terasa diremas kuat. “Aku?”“Aku mencoba menghubungimu untuk menjelaskan kesalah pahaman kita tentang

skandal ibumu yang beredar di media, tapi tak bisa. aku mendapat firasat buruk. Aku takut kita akan kembali berpisah seperti dulu. Aku takut menghadapi rasa sepi tanpamu… karena itu aku menangis,” katanya. Setetes air mata lain mengalir turun dari matanya.

Hancur. Marah dan kecewa pada diri sendiri. Menyesal. Sulit untuk mengungkapkan apa tepatnya yang kurasakan saat ini. Sembilan tahun ini aku hidup dalam kesepian dan tersiksa karena harus melepasnya. Benarkah aku sendiri yang telah menghancurkan hidupku? Melepas kesempatanku berbahagia bersama Yo Won? benarkah dulu Yo Won tak mencintai Tae Wong? Bagaimana dengan sekarang? Apakah aku telah benar-benar menghancurkan kesempatan kami untuk dapat bersama?

“Aku…” apa yang bisa kukatakan? Betapa bodohnya aku? betapa tololnya aku?“Aku pergi menyusulmu ke Amerika saat liburan untuk menjelaskan permasalahan kita,”

kata Yo Won lagi. aku kembali menatapnya. Jantungku berdetak kencang. Yo Won menyusulku?

“Lalu kenapa kau tidak menemuiku?” tuntutku.Yo Won memalingkan wajahnya. “Karena… kupikir kau sudah melupakanku,” ucapnya

pelan. “Aku melihatmu bersama Kim Min sun. kalian terlihat bahagia. Dia menciummu, dan kau memeluknya. kupikir… kupikir kau tak lagi membutuhkanku, karena aku terus menyakiti hatimu—“

“Min Sun!” seruku tak percaya. “Kapan— Ya Tuhan, jadi… aku tidak berhalusinasi saat itu! sekilas aku melihat wajahmu di balik kaca jendela sebuah taksi… tapi aku tidak mengira

182

kau akan benar-benar mengejarku hingga ke— brengsek!” umpatku geram. “Yo Won, aku tidak pernah berhubungan dengan gadis itu. saat itu dia menciumku tiba-tiba, dan aku mendorongnya terlalu keras, karena itu aku segera menangkapnya dan dia memelukku. Aku tidak pernah memiliki hubungan denganya!” kataku berapi-api.

Kekecewaan dan kesedihan terpancar dari mata Yo Won. “Keraguan kita pada perasaan satu sama lain membuat kita mudah mengambil kesimpulan yang salah,” gumamnya. “Mungkin karena saat itu kita masih begitu muda…”

Terbit sebuah harapan dalam hatiku. “Yo Won, apakah kau—““Nam Gil,” panggil kak Jung Chul. “Ada yang mencarimu.”Aku menoleh dan tersentak kaget saat melihat kedua pria yang datang menghampiri

gazebo bersama kak Jung Chul.“Brengsek!” makiku.

***

Scene 44

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonYong Soo : Kim Jung Chul Cheon Myeong : Park Ye JinYoo Shin : Uhm Tae Wong Young Mo : QriWolya : Joo Sang Wook Ha Jong : Go Jung Hyun

- Lee Yo Won - 2 September 2020 -

Kepalaku terasa pusing dan hatiku nyeri mengetahui semua kepedihan yang kurasakan selama ini ternyata berasal dari sebuah kesalah pahaman konyol antara diriku dan Nam Gil. karena rasa cemburu buta yang meracuni hati dan pikiran kami.

Aku benar-benar menyesalinya. Seandainya dulu aku tidak pergi begitu saja ketika melihatnya bersama Kim Min Sun… seandainya aku menghampiri Nam Gil dan bukannya melarikan diri dari sakit hatiku…

Kutatap wajah Nam Gil yang terlihat resah dan murung. Banyak sekali kesempatan untuk kami dapat berbahagia, seandainya saja kami bisa berpikir dan bersikap lebih dewasa pada saat itu. “Keraguan kita pada perasaan satu sama lain membuat kita mudah mengambil kesimpulan yang salah,” gumamku. “Mungkin karena saat itu kita masih begitu muda…”

Nam Gil mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Yo Won, apakah kau—““Nam Gil,” panggil kak Jung Chul tiba-tiba menyela pembicaraanku dan Nam Gil. “Ada

yang mencarimu.”“Brengsek!” maki Nam Gil seketika, begitu melihat kedua pria yang berjalan mengikuti

kak Jung Chul. “Ada apa? Siapa mereka?” tanyaku.“Sebentar,” kata Nam Gil singkat, lalu menghampiri kedua pria bersetelan jas rapi itu.

ketiganya berjalan menjauh ke tempat yang lebih sepi dan terlihat berdiskusi.“Siapa mereka?” tanyaku pada kak Jung Chul yang juga sedang mengawasi pembicaraan

Nam Gil dan kedua tamunya itu.Kak Jung Chul memandangku sambil mengangkat pundaknya. “Aku juga tidak tahu.

Mereka tiba-tiba datang dan mencari Nam Gil. entah karena apa,” jawabnya.Jawaban itu tidak bisa memuaskan rasa penasaranku. Siapa mereka sebenarnya? Aku

kembali mengalihkan perhatianku pada Nam Gil. Dari ekspresi dan gerak tubuhnya, dia

183

terlihat marah pada kedua pria tak dikenal itu, tapi mereka tetap terlihat tenang dan tak terpengaruh amarah Nam Gil. aku merasa cemas. Apakah Nam Gil terlibat sebuah masalah besar?

“Ah, Ye Jin memanggilku,” ucap kak Jung Chul, menarik perhatianku kembali padanya. “Bersenang-senanglah,” pesanya sebelum kemudian menjauh pergi.

Bertepatan dengan kepergian kak Jung Chul, Qri yang rupanya baru datang ke pesta ini bergerak menghampiriku. Sejujurnya tak kusangka dia akan menyempatkan diri untuk datang ditengah kesibukannya tur ke berbagai kota—mengingat karirnya sebagai penyanyi semakin bersinar saat ini.

“Yo Won, apa kabar?” sapanya.“Baik. bagaimana denganmu?”“Sibuk, tapi untungnya baik-baik saja,” jawabnya dengan disertai desahan dramatis. “Yo Won,” panggil Nam Gil. dia berjalan menghampiriku dengan wajah keruh. Aku

semakin mengkhawatirkannya. “Maaf, tapi aku harus pergi sekarang,” katanya“Tapi—“ protesku.“Nanti aku akan menghubungimu,” tambahnya, lalu kembali mendatangi kedua pria

berjas itu dan setelah berpamitan singkat dengan keluarga dan teman yang lain, dia segera pergi.

Qri menatapku dengan mata terbelalak. “Ya Tuhan!” serunya setelah beberapa detik. “Dia! Jangan katakan bahwa yang tadi itu benar Kim Nam Gil!”

“Memang dia,” jawabku singkat. Hatiku diselimuti kekecewaan. Kenapa secepat ini? baru beberapa jam kami bertemu kembali, kenapa secepat ini kami harus berpisah lagi? aku tidak siap menerimanya. Kupikir paling tidak kami memiliki waktu beberapa hari… waktu yang cukup untuk menyelesaikan seluruh kesalah pahaman diantara kami. tapi sekarang… Dia bilang akan menghubungiku nanti… tapi kapan? Dan benarkah dia akan mengubungiku? Bagaimana bila aku tidak dapat bertemu dengannya lagi? tusukan kekecewaan itu dengan cepat berubah menjadi rasa pedih. Nam Gil…

“Astaga, sudah lama sekali dia menghilang bagai ditelan bumi…” gumam Qri takjub. “Aku tak menyangka akan melihatnya hari ini. apakah kalian berhubungan kembali? Diakah alasanmu memutuskan kak Tae Wong?” desaknya.

Aku mencoba mengesampingkan rasa sedihku dan menanggapi pertanyaan Qri. “Tidak… kami tidak berhubungan kembali,” jawabku datar. “Dari mana kau tahu mengenai putusnya hubunganku dengan kak Tae Wong?”

“Ye Jin,” jawab Qri. Semenjak kepulangan kak Ye Jin ke Korea, keduanya—yang saat di SMU sempat saling tak menyukai—menjadi akrab setelah Qri merekrut kakak menjadi guru di sekolah musik yang didirikannya. “Saat dia mengundangku, tanpa sengaja kami jadi membicarakanmu, dan dia berkata sedikit khawatir karena kau putus dari kak Tae Wong.”

“Ya, aku dan kak Tae Wong memang telah putus,” jawabku seadanya. Seharusnya kak Ye Jin tak perlu mengkhawatirkanku hanya karena masalah itu.

“Karena apa kalian putus?’ tanya Qri. “Maaf, bukan maksudku untuk ikut campur, hanya saja… kak Tae Wong pria yang sangat baik. dia juga cukup tampan… apa yang membuatmu tidak menyukainya?”

Aku mengamati Qri yang terlihat salah tingkah, lalu tersenyum. Sejak lulus SMU, Qri terlihat serius berhubungan dengan seorang aktor, sehingga kupikir perasaannya pada kak Tae Wong telah hilang… tapi, apakah mungkin sebenarnya selama ini perasaan suka Qri pada kak Tae Wong masih ada?

“Aku menyukainya,” kataku tenang. “Tapi lebih sebagai sahabat. Seperti saudara. Kurasa dia pantas mendapat seseorang yang lebih baik dariku. Seseorang yang benar-benar menyukainya. Seperti dirimu,” tambahku, mengejutkannya.

“Yo Won!“

184

“Hai,” kedatangan kak Tae Wong menyela perkataan Qri. “Qri, apa kabarmu?”Qri langsung tersenyum cerah. “Sangat baik. bagaimana denganmu?”Kak Tae Wong balas tersenyum. “Baik,” sahutnya. “Emm, Yo Won, tadi saat aku baru

sampai, di depan aku melihat… Nam Gil. apakah itu benar dia?” tanyanya padaku.Aku mengangguk. Tadi ingin sekali rasanya aku menuntut Nam Gil menceritakan padaku

siapa kedua pria itu. ingin rasanya aku menahannya… memaksanya untuk jangan pergi. tidak secepat itu… tidak kapanpun. Tapi aku tak bisa mengungkapkannya. Dan semua emosi yang kutahan itu membuat dadaku terasa sesak.

“Kalian sudah berbicara?” tanya kak Tae Wong lagi.“Ya, tapi masih ada beberapa hal yang belum tuntas dibicarakan,” jawabku dengan

kekecewaan yang tak dapat disembunyikan. “Sudahlah, tak usah membahasku. Ini kan pesta kak Ye Jin. Ah, Bibi memanggilku. Aku harus pergi. kalian mengobrol saja di sini,” kataku, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

saat menerima bayi kak Ye Jin yang diserahkan Bibi padaku, aku mengamati kak Tae Wong dan Qri yang duduk mengobrol di gazebo. Demi kebaikan kak Tae Wong dan juga Qri, kuharap hubungan mereka bisa berhasil.

“Nam Gil pergi terburu-buru,” kata kak Ye Jin yang datang menghampiriku. “Tapi kulihat tadi kalian bicara berdua. Apakah kesalah pahaman kalian sudah diselesaikan?”

“Belum semua,” kataku. “Tapi dia berjanji akan menghubungiku nanti.” Aku mencoba menguatkan hatiku. Mempercayai perkataannya, tapi kecemasan itu tak kunjung hilang. Nanti… tapi kapan? Apakah aku dapat bertemu dengannya lagi? Nam Gil…

- 5 Desember 2020 -

Aku melirik jam di dinding ruang kerjaku dan baru menyadari kalau sudah begitu sore. Pukul enam. Ayah sudah pulang sejak sejam yang lalu, tapi aku begitu asyik dengan pekerjaanku sehingga menyuruhnya pulang lebih dulu. Segera saja aku mematikan komputer dan membereskan berkas-berkas yang bertebaran diatas mejaku.

Tiba-tiba ponselku berbunyi. Nomer tak dikenal. Siapa? “Halo?”“Kenapa masih bekerja di jam seperti ini? seharusnya kau sudah pulang sejak tadi.”Jantungku langsung berdegup kencang. Nam Gil! selama berbulan-bulan aku menunggu

kabar darinya, dan akhirnya dengan sedih berpikir dia tidak akan pernah menghubungiku lagi. tapi ternyata…

“Tadi aku ke rumahmu, tapi kata Ayahmu kau masih di kantor. Sekarang aku ada di depan kantormu,” katanya lagi, saat aku masih terdiam karena terkejut.

“Kantorku!?” seruku terkejut.“Ya,” sahut Nam Gil. “Aku menunggumu.”Selama beberapa detik aku terdiam terpaku memandangi ponsel ditanganku. Benarkah itu

Nam Gil? dia menghubungiku. Dia di depan kantor menungguku! Diluapi perasaan senang yang tak terhingga, aku segera menyambar mantel dan tasku, lalu buru-buru pergi keluar. Tanpa memperdulikan pandangan heran dari beberapa pegawai yang juga masih berada di kantor dan para penjaga keamanan, aku berlari cepat menuju pintu keluar. Aku tak sabar ingin segera bertemu dengannya. Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya!

Dengan napas terengah aku tiba di luar dan melihat Nam Gil berdiri membelakangiku. Saat aku berjalan mendekatinya dengan hati yang dipenuhi rasa damba, Nam Gil memutar tubuhnya dan tersenyum lebar melihatku. Seketika itu juga aku merasa… lengkap. Kehadirannya membuat hidupku terasa sempurna. Dadaku dipenuhi kebahagiaan yang begitu membuncah hingga rasanya sulit untuk bernapas.

“Kupikir kau tak akan menghubungiku,” ocehku tanpa dapat dikontrol.

185

Senyum lebar Nam Gil berubah menjadi seringai jail. “Bukankah aku sudah berjanji akan menghubungimu? Aku tidak suka mengingkari janjiku. Apalagi terhadapmu,” katanya santai. “Apa kau bersedia makan malam bersamaku?”

“Ya,” jawabku cepat dan tegas.

Tapi sesampainya di restoran dan makanan telah tersaji di hadapanku, aku tak bernapsu untuk menyantapnya. Mataku tak bisa lepas memandangi Nam Gil. dengan rakus menyimpan gambaran dirinya saat ini dalam memoriku, untuk kukenang di saat dia kembali pergi nanti… seketika hatiku terasa bagai diremas kuat. Aku tidak ingin berpisah lama darinya lagi. Aku bahkan masih sulit percaya bahwa sekarang kami benar-benar sedang makan malam bersama. Apakah ini hanya mimpi indah?

“Kenapa tidak makan?” tegur Nam Gil sambil menyuap kimchinya.Aku tersadar dari lamunanku, lalu menggeleng. “Sebenarnya aku tidak lapar,” kataku.

“Dari mana kau mendapat nomer ponselku yang baru?” tanyaku berbasa-basi.Nam Gil tersenyum. “Aku punya koneksi hebat,” candanya. “Kak Jung Chul.”

Senyumannya selalu dapat membuatku ikut tersenyum. Tapi kemudian aku teringat pada sesuatu yang masih membuatku penasaran hingga kini. “Nam Gil, siapa kedua pria yang waktu itu mencarimu di rumah kak Ye Jin?” tanyaku saat tak bisa lagi menahan rasa ingin tahuku.

Nam Gil meneguk sojunya sambil melirikku. “Rekan kerjaku,” jawabnya. “saat itu aku terpaksa buru-buru pergi karena ada tugas penting yang harus kuselesaikan.”

Rasa penasaran itu semakin kuat. “Apa sebenarnya pekerjaanmu?” tanyaku.“Tak tentu,” jawabnya. “Aku terikat kontrak dengan seseorang. Setiap saat aku harus siap

berangkat ke manapun yang diperintahkannya untuk melakukan beberapa hal.”Rasa penasaran itu kini dibumbui rasa cemas. “Apakah… kau terlibat dalam organisasi

seperti paman Yeom Jong?”Nam Gil menghentikan makannya dan menatapku tajam. “Apa kau akan memandang

rendah diriku bila mengetahui aku seorang kriminal? Apa kau tak akan mau mengenalku lagi bila aku telah melakukan kejahatan?” tanyanya dengan suara datar.

Jantungku bagai dihujam pisau tajam. Jadi… tebakanku benar? Apakah aku memandang rendah dirinya? Apakah lantas aku tak lagi mau mengenalnya? “Tak mungkin aku seperti itu,” bantahku tegas. Aku terlalu mencintainya untuk dapat membencinya hanya karena jalan yang dipilihnya salah. “Kita tak bertemu selama sembilan tahun… aku tidak tahu hidup seperti apa yang kau jalani, jadi aku tidak berhak menghakimimu atas profesi yang kau jalani saat ini seburuk apapun itu,” kataku.

Aku menaruh tanganku di atas tangannya yang diletakannya di atas meja. “Aku tidak mungkin mejauhimu hanya karena itu. bagiku kau tetap Kim Nam Gil yang kukenal dulu. Dan lagi, kau masih bisa… bertobat. Aku akan membantumu sebisaku. Apakah kau kesulitan mencari pekerjaan? Apakah—“

Tiba-tiba Nam Gil terkekeh geli. Dengan lembut dia menepuk-nepuk tanganku yang tadi kuletakan diatas tangannya. “Maaf, jangan anggap serius perkataanku,” katanya. “Aku hanya ingin menggodamu.”

Aku terdiam. Menggoda? Sebersit rasa kesal menyusup masuk dalam hatiku. Dia mempermainkanku!? “Jadi kau bukan mafia?” tuntutku.

Nam Gil tertawa. “Kau kelihatan kesal,” komentarnya. “Apa kau lebih suka kalau aku tergabung dalam organisasi seperti itu?”

“Jangan konyol,” keluhku. “Jadi apa sebenarnya pekerjaanmu?”

186

Nam Gil menyeringai. “Maaf tapi aku tidak bisa memberitahumu sekarang,” katanya. “Bila sekarang aku memberitahumu, maka terpaksa aku harus membunuhmu, sedangkan aku tak mungkin melakukannya,” tambahnya disertai cengiran.

Untuk sesaat aku tersentak kaget, tapi kemudian tersadar. “Berhentilah mengecohku,” gerutuku, membuatnya tertawa semakin keras.

Setelahnya terjadi keheningan. Aku tak lagi mempersoalkan pekerjaannya karena kini benakku dipenuhi pikiran untuk menjernihkan sisa-sisa kesalah pahaman kami.

“Setelah kepergianku,” ucap Nam Gil, memecah kesunyian. “Apakah… kau berhubungan dengan Tae Wong?”

Aku menatapnya tajam. “Tidak,” jawabku. “Tapi dua tahun belakangan ini aku memang sempat berpacaran dengannya.”

- Kim Nam Gil - 5 Desember 2020 -

Rasa marah dan cemburu berpadu dalam diriku. Yo Won berpacaran dengan Tae Wong selama dua tahun ini. waktu yang lebih lama dibanding hubunganku dengannya dulu. Tapi kemudian aku tersadar, bahwa salahku sendiri lah yang menyebabkan semua itu terjadi. Aku yang memberi kesempatan pada mereka untuk berhubungan. Tidak seharusnya aku marah, tapi aku tetap merasakan hal itu. marah, kecewa, menyesal. Semua bercampur aduk di hatiku.

“Dua tahun,” gumamku, berusaha tenang. “Waktu yang… lama. Sepertinya kalian serius.”

Wajah Yo Won menampakkan kesedihan. “Yah, aku berniat begitu,” akunya. “Tapi kemudian aku sadar hubungan kami tak akan berhasil.”

Seketika dadaku mengembang penuh harap. “Kalian putus?” tanyaku hati-hati.“Bukankah tadi aku berkata ‘sempat’ berpacaran dengannya?” Yo Won balik bertanya

dengan menekankan kata “Sempat”.Aku berusaha menahan senyumku. Bodoh sekali, karena terlalu cemburu aku tidak

menyimak baik-baik perkataannya. Tapi senyumku perlahan menghilang saat terpikir bahwa mungkin saja Yo Won patah hati dengan putusnya hubungannya dengan Tae Wong.

“Apa kau menyesal telah putus darinya?” tanyaku.Yo Won menatapku tajam, lalu menggeleng. “Itu keputusan terbaik. Aku tidak

mencintainya seperti yang seharusnya, jadi memang sudah sewajarnya kami tak melanjutkannya,” katanya.

Yo Won tak mencintai Tae Wong. mungkinkah masih ada harapan bagi kami? “Yo Won, maafkan aku. maafkan aku karena telah terlalu cepat mengambil kesimpulan yang salah sehingga… menghancurkan hubungan kita dulu,” kataku sepenuh hatiku. “Tak seharusnya aku pergi begitu saja tanpa bicara padamu.”

“Maafkan aku juga karena telah membuatmu berpikir aku mencurigaimu,” kata Yo Won lembut. “Aku tahu kau sangat terluka karena berpikir aku menuduhmu mencelakai kak Tae Wong. Saat itu aku bertanya hanya untuk meyakinkan bahwa pilihanku untuk mempercayaimu adalah benar, tapi mungkin cara penyampaianku kurang tepat hingga kau salah mengartikan maksudku. Maafkan aku. Percayalah, aku selalu mempercayaimu.”

Hatiku tergetar mendengar perkataanya yang tulus. “Aku tahu. Itulah salahku. Di kehidupan pertama kita, juga di kehidupan ini, aku terus saja meragukan kepercayaanmu padaku,” kataku. “maafkan aku.”

“Itu kesalahan kita berdua,” kata Yo Won. “Aku lega karena sekarang masalah kita bisa terselesaikan,” katanya.

187

Aku tersenyum kecil. “Ya, aku juga senang karena kini kesalah pahaman di antara kita sudah tak ada lagi.” hatiku benar-benar merasa lega. Rasanya seolah beban berat yang selama ini kubawa telah dibuang jauh.

Kini kesalah pahaman itu sudah teratasi, tapi… masih bisakah aku kembali padanya? Maukah dia menerimaku kembali setelah semua yang kulakukan? Semua pikiran itu begitu menyiksaku ketika pergi menjalankan misi yang dipaksakan BB padaku waktu itu. aku baru saja bertemu dan meluruskan permasalahanku dengan Yo Won, lalu tiba-tiba saja dua rekanku datang menjemput. Aku begitu bersemangat untuk segera menyelesaikan misi agar dapat kembali ke Korea secepatnya. Untuk melihat Yo Won lagi. berbicara dengannya, menyelesaikan semua masalah kami. dan melihat apakah ada kesempatan bagiku untuk masuk dalam hidupnya kembali. Apakah di hatinya masih ada sedikit tempat untukku?

Sebuah suara musik mengalun lembut dari dalam tas Yo Won. “Sebentar,” gumamnya sambil mengeluarkan ponselnya. “Halo?” sapanya pada si penelepon.

Aku tidak mendengarkan pembicaraan Yo Won, karena perhatianku tersedot pada gantungan ponsel yang dipakainya. Gantungan itu… tenggorokanku tercekat saat mengenali benda tersebut. Hadiah ulang tahun pertamaku darinya. Pertama dan satu-satunya. Sayangnya saat kami berpisah, gantungan itu tidak ada padaku. Gantungan itu sangat berarti bagiku. dan kini Yo Won kembali memakainya. Keduanya. Miliknya dan milikku. Yo Won… mungkinkah?

“Ya, Ayah. sampai jumpa di rumah nanti,” kata Yo Won terakhir kalinya sebelum kemudian memutus sambungan teleponnya. “Hah… itu tadi Ayahku. Terkadang dia masih menganggapku belum dewasa—“

“Gantungan ponsel itu,” selaku. Aku menatapnya tajam. “Itu gantungan ponsel kembar kita,” kataku dengan suara parau.

Yo Won menatap ponsel dalam genggamannya. “Ya,” gumamnya.“Kenapa kau memakainya lagi?” desakku. Harapan itu semakin berkembang dalam

hatiku.Selama beberapa saat dia hanya diam dan menatapku tajam, hingga kukira dia tak akan

menjawabnya. Tapi kemudian, dia membuka mulutnya dan bicara. “Apa kau lupa? Aku memakainya karena ini adalah simbol keterikatan kita,” jawabnya dengan suara parau.

Rasa haru bercampur suka cita memenuhi hatiku. Aku mengingatnya. Hari ulang tahunku yang kedelapan belas. Ketika Yo Won pertama kali memberikan gantungan itu padaku. “Aku ingin kita memiliki benda yang sama sebagai simbol keterikatan kita,” kata Yo Won. “Dan aku juga khusus memesan di toko itu untuk membuatkan inisial nama kita di cincinnya agar kita selalu saling mengingat.”

Aku mengangguk. “Dengan inisial nama kita agar selalu saling mengingat,” tambahku. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. “Bisakah aku memilikinya lagi?” tanyaku. “Maukah kau memberiku satu kesempatan lagi?”

Mata Yo Won tampak berkaca-kaca. “Nam Gil…”“Aku tahu kesalahanku sudah begitu banyak. Aku terus menyakitimu. Tapi, selama

sembilan tahun ini aku tidak pernah bisa melupakanmu. Tidak pernah berhenti mencintaimu,” kataku bersungguh-sungguh. “Bila masih ada sedikit saja rasa dihatimu untukku, beri aku kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki kesalahanku dulu. Beri aku kesempatan untuk membuatmu kembali mencintaiku.”

Setetes air mata mengaliri wajah Yo Won. tapi dia tersenyum dan balas meremas tanganku. “Ada begitu banyak rasa di hatiku untukmu,” ucapnya. “Aku pun tak pernah bisa melupakanmu. Aku mencoba, tapi aku tak sanggup. Cintaku padamu terlalu kuat untuk dimusnahkan.”

188

Mungkin aku tak pantas menerimanya, tapi aku sungguh bahagia mendengarnya. Aku mengangkat tangannya yang berada dalam genggamanku dan menciumnya penuh kasih. “Maukah kau memaafkanku? Bersediakah kau memberiku kesempatan sekali lagi?”

“Aku tak pernah marah padamu. Yang terjadi adalah kesalahan kita bersama,” kata Yo Won. “Tapi kumohon, jangan pergi meninggalkanku seperti dulu lagi. aku tidak akan sanggup menanggungnya.”

“Tidak. Tidak akan lagi,” sumpahku sepenuh hati.

Kebahagiaan yang kurasakan sekarang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Ingin rasanya aku berteriak bagai tarzan di sepanjang jalan yang kulewati bersama Yo Won tadi, tapi aku tak ingin membuat Yo Won malu, sehingga aku hanya mengungkapkannya dengan menggenggam erat tangannya dan tak berhenti menyeringai puas.

Setelah makan malam—yang tidak habis—kami berjalan-jalan di taman yang berada di dekat restoran itu. malam masih panjang dan kami baru saja menjalin hubungan kembali. Rasanya kami tak ingin segera berpisah, walaupun besok kami akan bertemu lagi.

“Apa kau… pernah berhubungan dengan gadis lain setelah putus denganku?” tanya Yo Won tiba-tiba.

Aku berdeham sebelum menjawab pertanyaannya. “Ya, tapi tak ada yang serius,” jawabku.

Yo Won menatapku sambil tersenyum geli. “Tidak usah merasa bersalah begitu,” katanya. “Aku bisa mengerti, karena aku sendiri pun mencoba berhubungan dengan beberapa pria walaupun tak ada yang berhasil.”

Aku ikut tersenyum. “Aku mensyukurinya,” komentarku jujur. “dan aku lebih mensyukuri lagi takdir yang mempertemukan kita kembali.”

Yo Won mendesah. “Kau benar,” sahutnya. “Ah, apa kau ingat kata-kata peramal di taman hiburan itu?” tanyanya tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya.

Kucoba untuk mengingat-ingatnya. “Maksudmu peramal wanita itu?” tanyaku. “Yang mengatakan ini adalah kehidupan ketiga kita, dan mengeluarkan ramalan mengerikan untuk masa depan kita?”

Yo Won mengangguk. “Tidakkah kau sadar ramalannya kembali terbukti? Dia berkata akan ada beberapa rintangan dalam masa depan kita untuk bersama, dan bukankah memang terbukti bahwa kita diuji dengan beberapa masalah yang kemudian memisahkan kita selama Sembilan tahun ini?”

“kau benar,” gumamku serius, lalu tersenyum padanya. “Tapi dia juga berkata, bila cinta kita benar-benar kuat, maka kita akan dapat bersatu. Dan terbukti bahwa cinta kita tak terikis oleh waktu.”

Yo Won ikut tersenyum. “Ya,” sahutnya puas. “Dan bila di kehidupan kali ini kita bisa bersatu, maka setiap reinkarnasi selanjutnya kita pun akan ditakdirkan bertemu kembali.”

Aku menariknya masuk ke dalam dekapanku. “Kita akan berusaha mewujudkannya. Aku bersumpah,” ucapku tegas.

Yo Won mengelus wajahku dengan tersenyum. “Ya, kita akan berusaha mewujudkannya,” katanya.

- 14 Desember 2020 -

Hari-hari berlalu dengan cepat dan penuh kebahagiaan. Setelah sembilan tahun, kini aku dapat benar-benar bersantai dan tak lagi merasa kesepian. Karena kini ada Yo Won yang kutahu mencintaiku. Ada Yo Won yang akan selalu mendukung dan mempercayaiku.

189

Aku membeli motor baru—milikku dulu telah di jual tak lama setelah kepindahanku ke Amerika—untuk berjalan-jalan dengan Yo Won, agar tak perlu lagi menyewa mobil hotel, walau Jung Hyun memberi keistimewaan dengan tidak menarik bayaran sesenpun dariku. Bila nanti aku pergi menjalankan tugas dari BB lagi, aku bisa menitipkan motorku di rumah Jung Hyun—rumah kami dulu—yang menjadi tempat menginapku selama beberapa hari ini.

“Semakin hari kau semakin cantik menggunakan helm itu,” godaku saat sore ini menjemput Yo Won di rumahnya. Setelah Yo Won menceritakan dia kehilangan helm pemberianku, aku segera membelikannya helm putih yang hampir serupa dengan miliknya dulu.

Yo Won hanya tertawa menanggapi perkataanku, dan langsung naik ke motor. “Jangan kau hilangkan lagi,” godaku lagi.

“Kau juga tak boleh melepaskan gantungan ponsel itu lagi,” balas Yo Won sambil memeluk erat pinggangku.

“Tentu saja!” sahutku disertai tawa saat menjalankan motorku. Tidak akan kulepas lagi. tak akan.

“Cheon Myeong terlihat sangat menyukaimu,” komentar Ayah saat melihat cucu pertamanya itu tersenyum dalam gendonganku.

“Benar,” timpal Ye Jin. “Sebenarnya, menurutku kau sudah sangat pantas memiliki anak sendiri,” tambahnya sambil melirik Yo Won yang tersenyum geli.

Aku tertawa. Yah, aku pun telah memikirkannya. Aku menengok ke arah Yo Won, dan tersenyum padanya. Aku memang sudah memiliki rencana untuknya.

Kak Jung Chul ikut tertawa. “Ya, kau harus secepatnya memberi Ayah cucu baru,” katanya.

“Tenang saja, aku akan langsung memberi banyak cucu untuk Ayah,” timpalku.Ayah terkekeh geli. “Bagus. Lakukan itu,” katanya. Obrolan terus mengalir dengan menyenangkan hingga selesai makan malam. Ye Jin dan

kak Jung Chul pergi menidurkan anak mereka, Ayah menonton berita di sebuah stasiun TV, sedangkan aku dan Yo Won pergi ke halaman belakang untuk mencari udara segar sekaligus melihat bintang.

“Indah,” gumamnya sambil mendongakkan kepala menatap langit malam.Aku memeluknya dari belakang dan mengecup pipinya. “Aku jauh lebih indah,” godaku,

membuatnya tertawa geli. Yo Won mendesah sambil mengangkat kedua tangannya ke atas dan merentangkan

kesepuluh jarinya. “Kalau seperti ini seakan kau bisa menggapai bintang,” katanya.Merasa ini kesempatan yang tepat, dengan gerak cepat aku meraih cincin dalam saku

jaket kulitku, lalu memasangnya ke jari manis tangan kirinya. “Tidakkah menurutmu kilaunya seperti bintang?” bisikku di telinganya. Aku membeli cincin itu siang tadi. “Aku hanya mengira-ngira ukurannya. Untung saja pas.”

Yo Won terkesiap pelan memandangi cincin berlian yang kupakaikan padanya. “Nam Gil…”

“Menikahlah denganku,” pintaku.Dengan cepat Yo Won berputar dalam pelukanku. “Kau serius?” desaknya.“Sangat serius,” jawabku sambil tersenyum. Jantungku berdegup kencang. Penuh

antisipasi atas reaksi yang akan diberikan Yo Won. “Aku sudah menunggu terlalu lama untuk ini. maukah kau menikah denganku?”

“Ya. Ya!” serunya dengan terisak. Dia langsung memelukku erat. “Ya, aku mau.”Aku balas memeluknya dengan erat. “Aku mungkin menyatakannya seperti pertanyaan,

tapi sebenarnya aku memaksa. Kau memang harus mau,” godaku. Ya Tuhan, Tidak ada

190

yang dapat menggambarkan betapa bahagianya aku saat ini. setelah semua kepedihan dan kesepian itu… “Kali ini kita akan melakukannya dengan benar,” kataku lagi dengan serius. “Kali ini kita akan melakukan apa yang tidak berhasil kita wujudkan di dua kehidupan lalu.”

Yo Won mengangguk. “Aku sangat mengharapkannya,” gumamnya. “Di masa depan masalah pasti akan terus ada, tapi kuharap saat itu kita akan menghadapinya berdua. Tanpa harus saling menyakiti lagi.”

Aku mengecup keningnya. “Kita akan menghadapi dan melewatinya bersama. Berdua. Selamanya.”

Seharusnya sudah kuduga surga tak akan selamanya damai tanpa diusik sang setan pengganggu. Itulah yang terjadi sekarang. Baru saja sampai di depan rumah Yo Won ketika mengantarnya pulang, di ponselku masuk sebuah pesan dari sang setan—Big Boss—yang menyuruhku bersiap untuk segera berangkat ke Vietnam. Sial. dan seperti biasa, dia tak menjelaskan lebih rinci alasan keberangkatanku hingga aku tiba di Negara tujuan.

“Ada apa?” tanya Yo Won cemas.Aku berusaha memaksakan senyumku. “Tidak apa-apa,” kataku menenangkan. “Tapi

maaf, untuk beberapa lama aku tidak dapat menemuimu.”“Kenapa?” tuntutnya.“Bosku memberiku pekerjaan lain. malam ini aku harus segera berkemas dan berangkat.”“Berapa lama?” tanyanya dengan ekspresi cemas bercampur sedih. sama seperti yang

kurasakan. Brengsek! Aku tidak ingin berpisah dengannya secepat ini.“Aku sendiri tidak tahu,” jawabku apa adanya. “Tapi aku berjanji kita akan secepatnya

bertemu lagi.”Yo Won melangkah maju mendekatiku yang duduk di atas motor dan menunduk

mengecup bibirku sekilas. “Cepat kembali,” pintanya. “Dan berhati-hatilah. Aku tidak mau kehilanganmu lagi.”

Hatiku yang semula resah kini mengembang penuh rasa bahagia. Yo Won menciumku. Meskipun hanya kecupan singkat, ini pertama kalinya dia menciumku di bibir. Semangat mengaliri sekujur tubuhku.

“Tidak akan. Kau tak akan kehilanganku lagi,” sumpahku. “Secepatnya kita akan bertemu lagi. aku berjanji!”

- 12 Februari 2021 - Haipong, Vietnam -

Perih kurasakan dari luka di lenganku akibat sabetan pisau salah satu teman si agen pengkhianat. Brengsek. Aku harus terpisah dari Yo Won karena mengejar seorang agen yang berkhianat dari badan intelegen tempatku bekerja. Bukan hanya berkhianat, dia juga mencuri data rahasia yang berisi nama-nama seluruh agen, misi-misi dan penyamaran mereka. Setelah mencuri, dia dan beberapa temannya kabur ke Vietnam. Mereka selicin belut. Berkali-kali aku hampir berhasil meringkusnya, tapi mereka terus saja dapat meloloskan diri dan kabur ke tempat-tempat lain.

Rupanya agen brengsek itu berniat menjual informasi yang dicurinya pada seorang miliuner prancis yang belakangan ini memang sedang diselidiki BB karena dicurigai memiliki hubungan dengan kelompok teroris di Korea.

Kini aku berhasil masuk ke tempat persembunyian mereka yang terbaru—sebuah gedung tua bekas pabrik di daerah terpencil yang cukup jauh dari pemukiman warga—tapi saat aku berhasil merebut disk penting itu dari si agen, gerombolan teman-temannya mengepungku

191

dan salah satunya berhasil melukaiku. Tidak hanya luka di lenganku, tapi kaki kananku juga terasa nyeri karena mendapat tendangan dan pukulan bertubi dari salah satu musuhku.

Saat mendengar langkah-langkah kaki mendekat, sepelan mungkin aku beringsut semakin masuk ke celah diantara tong-tong tak terpakai yang tertumpuk di sekitarku. Aku mendengarkan baik-baik. dua orang. Berarti empat orang yang lain dan si agen pengkhianat itu berada di ruang lain dalam gedung ini. bagus. Aku bisa menghadapi mereka berdua. Aku meraih pisau yang berhasil kurebut dari mereka tadi, dan bersiap-siap. Begitu kedua pria tersebut melintas di depan tempat persembunyianku, aku segera menerjang maju. Menendang seorang diantaranya, menarik yang satu, kemudian menusuk perutnya dalam-dalam. Aku berkelit dari pukulan orang yang kutendang tadi, lalu menangkapnya dan menggorok lehernya. Setelah beberapa tahun menekuni profesi ini, terpaksa membunuh tidak lagi terlalu menggangguku. Karena itu memang harus dilakukan. Bila tidak, maka aku yang akan terbunuh.

Tiba-tiba kudengar langkah-langkah kaki berlari mendekat. Segera aku mengambil pistol-pistol yang tergantung di pinggang kedua mayat musuhku, lalu melompat dan memanjat naik ke sebuah rak besar, menanti kedatangan musuhku. Tiga orang yang datang terlihat panik menyaksikan kedua teman mereka telah mati. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengarahkan kedua pistol yang kugenggam ke arah dua diantara ketiga musuhku itu, dan menembak mereka tepat di jantung. Terlonjak kaget, satu yang tersisa segera mencari arah tembakan dan dengan membabi buta menembak ke arahku. tapi dengan sigap aku melompat turun di sisi lain rak tersebut dan bersembunyi dari hujan peluru.

Berhati-hati, aku mengintip dan nyaris terkena tembakan lain. brengsek. Aku tidak boleh mati. Aku harus tetap hidup untuk kembali pada Yo Won. Aku mendengar langkah-langkah kaki lain mendekat. Si agen dan seorang temannya yang lain rupanya segera datang menghampiri karena suara tembakan itu. aku berlari menjauh lalu masuk ke sebuah ruangan, dan berniat melompat keluar dari jendela. Tapi sialnya ternyata jendela diruangan tersebut tak cukup besar untuk tubuhku. Saat mendengar langkah kaki mendekat, aku segera bersembunyi di balik pintu dan ketika orang tersebut melangkah masuk, aku segera menembak kepalanya. Kuambil lagi senjata yang dipegangnya dan berjalan keluar ruangan.

“Sebaiknya kau menyerah, King,” saran si agen pengkhianat—Key—menyebut identitas mata-mataku sambil menodongkan pistol di keningku.

Temannya yang bertubuh penuh tato tertawa puas. Pria itu bergerak maju dan mengepalkan tangan besarnya untuk meninjuku, tapi dengan gerak cepat aku menariknya hingga menjadi tamengku.

“Itu saranku untukmu, Key,” balasku.Key menyeringai buas. “Kau mau membunuhnya? Silakan saja, aku tidak perduli,”

katanya.“Ke-Key?” gumam si tato tergagap ketakutan dibawah todongan pistolku. “Teganya

kau!”“Berikan padaku disknya,” kata Key padaku tanpa menghiraukan temannya. “Kita bisa

membagi hasil penjualannya. Aku bukan orang yang pelit,” bujuknya.Aku mendengus tak percaya. Dipikirnya aku anak kemarin sore yang bisa dibodohinya?

“Terakhir kalinya,” kataku. “Kau bisa memilih. ikut bersamaku menemui BB di Hanoi, atau mati di tempat ini?” kemarin aku baru mendapat kabar BB datang ke Vietnam.

Key tertawa bengis. “Seakan itu sebuah pilihan!” sinisnya. “Menemui si biadab itu sama saja bunuh diri. Apalagi bila dia sampai menyusul ke Vietnam, itu pertanda dia ingin mengulitiku hidup-hidup.”

“Aku kagum kau masih berani mengkhianatinya walaupun sudah tahu tabiatnya,” sindirku.

192

Key melepaskan tembakan yang mengakhiri hidup temannya dengan wajah tanpa ekspresi. “Aku malas buang-buang waktu,” desisnya.

“Aku juga,” sahutku sambil mendorong mayat si pria bertato ke arah Key, lalu melakukan tendangan berputar yang membuat senjata yang dipegangnya terjatuh ke lantai. Aku segera menendang pistol itu jauh-jauh, lalu menodongkan senjataku di kepalanya. Membalik keadaan yang tadi dilakukannya padaku.”Kau tidak memberiku pilihan lain.”

Key tersenyum sinis. “si bedebah BB itu sebenarnya tak lebih baik dariku,” desisnya. “Kau pikir dia nasionalis sejati? Dia juga pengejar keuntungan. Tahun lalu dia membiarkanku nyaris mati karena kepentingan oknum lain yang dirasanya lebih besar daripada nyawaku. Tapi untungnya aku bisa menyelamatkan diri sendiri saat itu. jadi, salahkah bila aku ingin membalasnya!?” bentaknya.

“Kau masih bisa ikut hidup-hidup denganku ke Hanoi,” ulangku, tanpa mengacuhkan perkataannya. Aku tidak bisa menyatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Tugasku hanya melakukan perintah.

Dengan geram Key menarik tanganku dan berusaha merebut senjataku. Dalam adu rebut senjata itu, tanpa sengaja pistol meletuskan peluru. Key roboh di depan mataku. Darah mengalir dari dadanya. Itu pilihannya.

Dengan pemilihan waktu yang tepat, ponselku berbunyi—ponsel khusus pekerjaanku. BB.

“Aku sudah mendapat disknya. Key mati,” kataku memberi laporan.“Hancurkan disk itu,” perintahnya tenang tanpa mengomentari kematian Key. “Cepat

pergi dari sana. Aku telah mengirim tim pembersih ke tempat itu.” tim pembersih berarti sekumpulan orang yang akan menyingkirkan seluruh kekacauan di tempat ini—termasuk mayat-mayat—hingga kondisinya kembali seperti semula.

“Baik,” sahutku sambil berjalan keluar dari gedung tua itu. “Aku ingin cuti panjang. Aku memaksa.”

“Aku tidak bereaksi baik terhadap paksaan,” sahut BB.Aku menaiki jeepku sambil menggeram marah. “Dengar, Joo Sang Wook, aku tidak

perduli apa reaksimu. Aku akan cuti. Kau suka atau tidak.”BB mendengus. “Dari mana kau mengetahui identitas asliku?”Tanpa bisa ditahan aku menyeringai. “Aku punya caraku sendiri,” sahutku. “Sampai

jumpa beberapa bulan lagi,” tambahku acuh tak acuh, lalu mematikan ponselku. Aku meraih ponsel lain yang kutaruh di dasbor. Saatnya menjalankan rencana lain. aku

menghubungi sebuah nomer. “Apakah sudah selesai?” tanyaku langsung.Terdengar tawa pria. “Sudah, Tuan Kim. Aku sudah mengirimnya ke rumah keluarga Go,

dan pesan Anda pun telah disampaikan.”“Bagus. Terima kasih,” kataku, lalu memutus sambungan telepon dan segera

menghubungi nomer lain. kali ini aku harus meminta pasukan penolong.“Halo?” terdengar suara penerima teleponku.“Ini Kim Nam Gil.” aku pun mulai menyebutkan permintaanku. Aku sudah tak sabar lagi

ingin segera bertemu dengan Yo Won.

- Lee Yo Won - 12 Februari 2021 - Seoul -

Duduk bersandar di sofa ruang keluarga, aku mengamati cincin pertunanganku. Di mana Nam Gil sekarang? kenapa dia pergi begitu lama? Pekerjaan apa sebenarnya yang dilakukannya? Apakah dia baik-baik saja?

Tahun baru dan hari valentine kulewati seorang diri, padahal aku sangat berharap dapat bersama Nam Gil. kenapa dia tidak juga menghubungiku hingga sekarang? Nomer ponselnya

193

pun selalu tak aktif setiap kali aku berusaha menghubunginya. Apakah dia benar akan kembali?

Bunyi bel mengagetkanku. Siapa itu? apakah Nam Gil? “Tidak usah, biar aku saja yang melihat,” kataku pada seorang pelayan yang berjalan ke luar. Buru-buru aku berlari ke luar dan membuka pagar. Memang seorang pria, tapi bukan Nam Gil.

“Apakah ini kediaman Nona Lee Yo Won?” tanyanya.“Benar. Aku Lee Yo Won,” kataku.“Ini ada kiriman untuk Anda,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat. “Tolong

tanda tangan di sini,” pintanya sopan, menyodorkan sebuah buku kecil.Aku menandatangani buku itu, dan masih dengan terheran-heran memandangi amplop

cokelat itu. apa isinya? Dari siapa? “Permisi,” kata pria itu berpamitan.“Ah, ya,” sahutku. tiba-tiba ponselku berbunyi. Nam Gil! “Halo, Nam Gil?”“Yo Won, bisakah kau menolongku?” tanya Nam Gil tanpa basa-basi.Jantungku berdegup kencang. Apa yang terjadi? Kecemasan menjalari hatiku. “Tentu

saja. ada apa?”

***

Scene 45

Bi Dam : Kim Nam Gil Deokman : Lee Yo WonMi Shil : Go Hyun Jung King Jin Pyeong : Lee Min KiYong Soo : Kim Jung Chul Cheon Myeong : Park Ye JinChil Sook : Park Kil Kang Sohwa : Park Young HeeChoon Choo : Yoo Seung Ho Bo Ryang : Yoo Eun BinYoo Shin : Uhm Tae Wong Young Mo : QriAlcheon : Lee Seung Hyo Bo Jong : Go Do BinHa Jong : Go Jung Hyun Kim Min Sun : Go Min SunJook Bang : Lee Moon Shik Go Do : Ryu DamSan Tak : (tetap nama di QSD)

- Lee Yo Won - 19 Februari 2021 - Bali, Indonesia -

Hatiku dilanda kecemasan kuat yang tak kunjung hilang semenjak mendapat telepon dari Nam Gil beberapa hari lalu. Dia mengirimiku tiket dan memintaku datang ke Bali untuk menolongnya tanpa mengatakan lebih rinci alasannya. Dan setelah telepon singkat itu, Nam Gil tak dapat dihubungi sama sekali.

Walaupun panik, aku tetap berusaha tenang demi mengurus segalanya dengan cepat untuk keberangkatanku. aku hanya menceritakan rencana kepergianku ke Indonesia pada Ayah—itupun hanya versi singkat dariku yang mengatakan ingin berlibur, karena aku tak ingin membuatnya khawatir—tapi aku tidak bisa berpamitan padanya saat akan berangkat, karena sehari sebelum keberangkatanku, Ayah pergi untuk urusan bisnis di luar kota.

Kini, aku telah tiba di bandara Ngurah Rai. Aku menarik koperku menuju pintu keluar. Hari mulai gelap, membuatku semakin resah. Aku merogoh ke dalam tas tanganku untuk mengambil kertas alamat tempat yang harus kutuju—kertas itu ada di dalam amplop cokelat bersama kiriman tiket Nam Gil waktu itu. Uluwatu. Nama yang asing bagi telinga dan bibirku saat mencoba mengucapkannya. Tempat macam apa itu? kenapa Nam Gil menyuruhku pergi

194

ke sana? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? jantungku berdebar-debar penuh kecemasan.

Saat mengedarkan pandangan memilih taksi mana yang akan kupakai jasanya, aku dikejutkan dengan suara yang memanggilku. Aku menoleh dan lebih terkejut lagi ketika melihat kedua pria di hadapanku. Go Jung Hyun dan Go Do Bin! Kakak-kakak tiri Nam Gil.

“Sedang apa kalian di sini?” tanyaku cepat.“Menjemputmu,” jawab Do Bin singkat. “Ayo,” ajaknya sambil berbalik menuju mobil

CRV hitam yang terparkir tak jauh dari tempatku berdiri.“Ayo,” ulang Jung Hyun.Otakku seolah lumpuh dan tak mampu mencerna dengan baik apa yang terjadi. “Kenapa

kalian menjemputku? Akan pergi ke mana kita? Sedang apa kalian di sini?” tuntutku dengan serentetan kalimat cepat. Tapi kemudian jawaban dari semua pertanyaan itu melintas di kepalaku begitu saja. “Nam Gil,” gumamku. “Kalian tahu di mana Nam Gil? apakah dia yang menyuruh kalian menjemputku?”

Jung Hyun meringis. “Tidak bisakah kau masuk ke mobil saja dulu? Kita bicarakan nanti,” katanya tak sabaran. “Kalau kau masih ingin melihat Nam Gil hidup, cepat ikut kami.”

“Apa!?” seruku. “Nam Gil terluka?”Do Bin berdecak kesal. “Jangan dengarkan dia,” katanya. “Tapi kita memang harus cepat

pergi. tenang saja, kami akan membawamu menemuinya.”Tanpa banyak bicara lagi aku masuk ke dalam mobil itu. berbagai pertanyaan berputar-

putar dalam kepalaku. Apa yang terjadi? Kenapa Jung Hyun dan Do Bin bisa ada di Negara ini juga? apa Nam Gil menghubungi keduanya juga? untuk apa? Dia memintaku datang untuk menolongnya, tapi bila ada kedua saudaranya… sebenarnya dia dalam keadaan bahaya atau tidak?

“Apakah kita akan pergi ke Uluwatu?” tanyaku pada Jung Hyun yang duduk bersamaku di kursi belakang—Do Bin duduk di depan bersama sopir.

“Yah, sesuatu yang namanya sepertinya begitu,” jawab Jung Hyun agak tak yakin. “Sejujurnya aku tidak hapal nama tempatnya.”

“Apakah Nam Gil sehat-sehat saja?” tanyaku lagi dengan lebih mendesak.“Terakhir kali kulihat dia tidak apa-apa,” jawab Jung Hyun.Do Bin menoleh ke belakang. “Kau tak perlu khawatir, dia baik-baik saja,” tambahnya.Debaran jantungku mulai memelan hingga menjadi normal. Nam Gil baik-baik saja.

kelegaan memenuhi dadaku. Syukurlah. Bersamaan dengan hilangnya kecemasanku, rasa kantukpun datang menyerang. Selama beberapa hari ini aku kurang tidur memikirkan keadaan Nam Gil, tapi setelah tahu dirinya baik-baik saja… aku menguap, dan tepat sebelum mataku terpejam, aku melihat keindahan pemandangan matahari terbenam. Bali. Akhirnya aku menjejakkan kaki di tempat ini. begitu indah. Seandainya aku melihatnya bersama Nam Gil…

Aku seolah kembali pada kehidupan pertamaku dulu. Pada pertemuan pertamaku dengannya. Pertemuan yang menentukan takdir kami. dalam sebuah goa, ketika dia muncul dari balik kegelapan dan mengedipkan matanya padaku. Dan setelahnya bagaikan air yang mengalir, aku terus berpindah dari satu kejadian pada kejadian lain. Di setiap gambaran yang kulihat itu, selalu ada dirinya. Bi Dam. Nam Gil.

Ada saat-saat bahagia ketika dia membuatku tertawa karena tingkah dan senyumnya, juga saat-saat sedih, seperti ketika aku memeluknya setelah kematian Penjaga Stempel Istana Mi Shil. Ibunya.

“Yo Won,” sebuah suara mengusik tidurku. “Yo Won, ayo bangun.”Dengan enggan aku membuka mataku, dan melihat Ayah. “Ayah!” seruku. Seketika

kantukku hilang, digantikan rasa terkejut yang amat sangat.

195

Ayah tersenyum sambil membimbingku turun dari mobil. “Ayo masuk,” ajaknya.“Kenapa Ayah bisa ada di sini?” desakku lagi sambil melangkah keluar dari mobil.

“Bukankah Ayah pergi ke Taegu? Sedang apa Ayah di sini?”Senyum Ayah semakin melebar. “Seseorang mengundangku,” jawabnya.“Seseorang?” Aku mengalihkan perhatianku pada Jung Hyun dan Do Bin yang berjalan di

depan kami, dan si sopir yang membawa koperku menuju sebuah bangunan indah. “Di mana ini?”

“Villa Karang Putih,” jawab Ayah perlahan, menyebutkan apa yang juga tertulis di kertasku—dengan sedikit kesulitan menyebutkan nama tersebut. “Di Uluwatu.”

“Ini tempatnya?” gumamku pada diri sendiri. Dengan kagum aku mengamati Villa Karang Putih yang dikelilingi daun-daun hijau dan bunga-bunga tropis yang sedang berbunga, juga terlihat birunya laut samudra hindia Uluwatu yang mempesona sebagai latar belakang bangunan vila tersebut. Walau sekarang telah malam, tapi cahaya bulan yang bersinar terang dan lampu taman membuatku tetap dapat melihat semua keindahan itu. “Nam Gil!? dia ada di sini?” tanyaku cepat setelah tersadar dari kekagumanku.

“Tentu saja,” jawab Ayah. “Tapi kau tidak akan menemuinya sekarang,” lanjutnya sambil membimbingku menaiki tangga bagian depan rumah yang di sisi kiri dan kanannya dijaga patung singa.

Hatiku memberontak, aku ingin segera bertemu dengannya, tapi aku mencoba lebih tenang dan bersabar. “Ada apa sebenarnya?” tuntutku. “diakah yang mengundang Ayah kemari?”

“Benar,” jawabnya singkat. Kami terus berjalan mengikuti si sopir yang membawa koperku, sedangkan Do Bin dan Jung Hyun entah hilang ke mana di salah satu ruangan dalam bangunan ini. “Itu kamarmu. Masuklah,” perintah Ayah, menyuruhku masuk ke sebuah ruangan yang sebelumnya dimasuki si sopir untuk menaruh koperku.

“Kamarku?” Lama-lama aku sendiri pun muak mendengar pertanyaan yang terus keluar dari mulutku. Dengan patuh aku memasuki kamar berubin terracotta berwarna abu-abu tua tersebut. Di tengah ruangan terdapat sebuah tempat tidur berukuran besar yang mendominasi ruangan.

“Yo Won, aku sudah tak sabar menunggu kedatanganmu!” Aku menoleh ke arah munculnya suara tersebut dan melihat kak Ye Jin keluar dari sebuah pintu lain yang terhubung dengan kamar ini.

“Kakak!” seruku.“Akan kutinggal kalian,” kata Ayah dengan nada geli, lalu menutup pintu kamar.“Apa yang sebenarnya terjadi di sini!?” tuntutku makin tak sabaran. Rasa penasaran dan

kesal—karena sepertinya hanya aku yang tak tahu apa yang sedang terjadi—berpadu dalam diriku. “Kenapa kakak juga ada di sini?”

Kak Ye Jin tersenyum lebar sambil berjalan menghampiriku lalu memelukku erat. “Tentu saja aku harus ada di sini untuk menyaksikan pernikahanmu!”

“Pernikahanku!?” ulangku dengan berseru.Kak Ye Jin mengangguk antusias. Dia berjalan cepat ke arah lemari putih besar berhias

panel berbentuk singa yang diletakan di belakang tempat tidur, bersebelahan dengan sebuah cermin antik besar. Dari dalam lemari itu kakak mengeluarkan sebuah gaun putih indah yang membuatku terpana memandanginya.

Mata kak Ye Jin terlihat berkaca-kaca. “Akhirnya… aku dapat melihatmu menjadi wanita sesungguhnya. Menikah. Berkeluarga. Memiliki seseorang sebagai tempatmu bersandar dan mencari perlindungan,” gumamnya.

Aku langsung memeluknya.”Kakak…” gumamku dengan suara bergetar penuh rasa haru, teringat pesannya dulu sebelum ajal menjemput di kehidupan pertamanya.

196

Kak Ye Jin mendorongku halus. “Sudahlah, tak boleh menangis di hari sebahagia ini,” katanya. “Ayo, cepat lepas pakaianmu dan kenakan gaun ini.”

“Kakak serius? Pernikahanku?” tanyaku lagi. “Nam Gil merencanakan ini!?”“Dia romantis sekali,” desah kakak sambil tersenyum bahagia. “Tiba-tiba saja dia

menghubungi rumahku dan meminta kami segera berangkat ke mari untuk membantunya menyiapkan kejutan untukmu. Dengan bantuan teman semasa kuliahnya, dia berhasil mengurus surat ijin menikah kalian dan hal-hal lain yang diperlukan untuk pernikahan ini dengan cepat. Astaga, aku masih sulit percaya ini benar terjadi!”

Aku lebih tak percaya lagi. terkejut, bahagia, kesal, semua bercampur aduk dalam dadaku. Aku terkejut karena Nam Gil merencanakan semua ini tanpa membicarakannya denganku, dan aku bahagia… amat sangat bahagia memikirkan bahwa akhirnya kami dapat bersatu dalam pernikahan, tapi… aku juga kesal padanya yang membuatku cemas setengah mati beberapa hari ini memikirkan dirinya sedang dalam situasi buruk.

“Saat ini Nam Gil mungkin sudah selesai bersiap-siap dan sedang menunggumu,” kata kak Ye Jin lagi. “Jangan membuatnya menunggu terlalu lama, cepatlah berdandan.”

“Gaun itu… rancangan Anne Barge?” tanyaku kagum. Kak Ye Jin tersenyum. “Saat Nam Gil memintaku memilihkan gaun pengantin untukmu

dengan cepat, aku begitu bersemangat. Tadinya aku ingin memilih gaun sensasional rancangan Vera Wang—berhubung Nam Gil tidak membatasi budget untuk gaunmu—tapi kemudian aku teringat caramu memandangi gaun Anne Barge ini ketika dulu kau menemaniku memilih gaun pengantin,” kata kakak riang. “Kau terlihat sangat menginginkannya.”

“Ya,” gumamku dengan suara serak. “Gaun ini elegan dalam cara yang anggun dan sederhana. Tidak terlalu meriah dan modelnya pun tak lekang oleh waktu. aku sangat menyukainya.” Gaun putih itu terbuat dari bahan tulle bertali kecil yang memang dirancang untuk menonjolkan kerampingan pinggul pemakainya. Rok panjangnya jatuh dengan lembut dari pinggang hingga mata kaki dengan memberi kesan seperti awan tipis yang melayang mengitari tubuh si pemakainya.

“Benar, memang sederhana, tapi gaun ini tetap membuat Nam Gil mengeluarkan uang yang tidak sedikit,” gumamnya.

“Apakah sangat mahal?” tanyaku sedikit khawatir.“Tenang saja, Nam Gil bahkan tak mengacuhkan sedikitpun ketika kusebutkan

harganya,” kata kak Ye Jin disertai senyum. “Dia lebih dari mampu. Tidakkah kau perhatikan vila ini? dia juga yang membayari tiket pesawat kami semua. Kurasa pekerjaannya memberinya pendapatan yang lebih dari cukup—sampai sekarang aku masih penasaran apa sebenarnya profesinya.”

Rasa penasaran itu juga menghantuiku selama ini walaupun berusaha kutekan demi kenyamanan hubunganku dan Nam Gil—karena tampaknya dia benar-benar tidak suka membicarakan pekerjaannya.

Dengan jantung berdebar-debar penuh harap dan kebahagiaan yang membuncah, aku memakai gaun pengantin tersebut dengan bantuan kak Ye Jin. Rasa tak sabar untuk segera bertemu Nam Gil dan bersatu dengannya memenuhi kepala dan hatiku.

“Siapa saja yang menghadiri pernikahan ini?” tanyaku sambil memakai lipstick.“Hanya keluarga. Ayahmu, orangtuaku, Ayah Nam Gil, aku, Jung Chul, dan putriku, juga

kedua kakak tiri Nam Gil yang lain dan Ibunya. Oh, tentu saja teman kuliah Nam Gil dan istrinya juga diundang.”

Bibi Hyun Jung juga ada. Nam Gil benar-benar bergerak cepat. “Astaga, begitu terburu-buru, aku sampai melupakan buket bunga untukmu!” gerutu kak

Ye Jin. “Dan rambutmu. Apa tak masalah bila digelung sederhana saja? aku kurang pandai

197

merias rambut. Hah… kenapa Nam Gil memaksa ingin menikah malam ini juga, dan tidak menunggu besok pagi atau siang.”

Aku juga heran dengan pilihan waktu Nam Gil, tapi karena aku sendiri pun tak sabar ingin menjadi pasangannya secara resmi, aku tak keberatan dengan semua ketergesaan ini.

“Biarkan saja, aku akan mengurai rambutku saja,” kataku tenang. “Dan tak usah memusingkan buket bunganya,” tambahku sambil menghampiri vas yang berhiaskan bunga mawar putih. Aku mengambil satu tangkai dan mengguntingnya dengan gunting yang berada di meja rias, lalu menyelipkannya di atas telinga kananku. “Cukup satu bunga ini saja, tidak perlu banyak bunga.” sama sepertiku yang tak memerlukan yang lain selain Nam Gil.

“Apa tidak terlalu sederhana? Memang benar ini hanya pesta keluarga, tapi—““Tidak apa-apa, aku lebih suka begini,” kataku menenangkan.“Oh ya, ini juga ada pemberian Nam Gil,” kata kak Ye Jin sambil mengeluarkan kotak

beledu kecil dari laci meja rias. “Aku belum membukanya karena menunggumu. Ayo buka.”“Anting berlian,” gumamku. Rasa hangat menjalari hatiku saat memandangi anting

berlian bulat besar itu. “Indah sekali.”“Benar-benar indah! Cocok sekali bila dipakai bersama gaun pengantinmu,” kata kak Ye

Jin antusias.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarku. kak Ye Jin bergegas membukakan pintu,

dan tampaklah Do Bin yang telah berganti pakaian dengan jas berwarna cokelat tua. “Nam Gil memintaku memberikan ini untuk Yo Won,” katanya pada kakak sambil menyerahkan sebuah kotak besar. “permisi.”

“apa lagi ini?” gumam kak Ye Jin saat menyerahkan kotak itu padaku.Aku membawa kotak tersebut ke kursi rotan putih yang ada di kaki tempat tidur, lalu

membukanya. Di dalam kotak tersebut terdapat banyak barang. Pertama-tama aku mengeluarkan bantalan kuning cerah berbentuk bintang yang paling mencolok diantara barang-barang lainnya. Di bantal itu tertempel kertas kecil bertuliskan : Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh. Semoga bantal ini bisa membuat tidurmu dihiasi mimpi indah. Tanpa disadari bibirku melekuk membentuk senyuman.

Benda kedua yang menarik perhatianku adalah keempat bingkai foto berwarna putih berbentuk bintang yang menghiasi foto-foto kami semasa remaja dalam balutan pakaian tradisional Korea. Tenggorokanku langsung tercekat. Nam Gil…

Di salah satu bingkai tersebut juga ditempeli sebuah kertas yang bertuliskan :

Yo Won, selamat ulang tahun ke Sembilan belas. Sebenarnya ada lima bingkai dengan lima foto, tetapi salah satunya pecah dan aku belum sempat mencari gantinya. Maaf. Semoga kau

menyukainya.

Menyukainya!? Aku sangat menyukainya! Dengan bersemangat aku mengeluarkan benda-benda lain. aku mengaluarkan dua buah kotak perhiasan yang isinya berbeda. Yang satu anting perak berbentuk bintang, sedangkan yang satu lagi berisi jam tangan emas dengan rantai berbentuk bintang yang saling mengait. Indah sekali… Di kotak perhiasan anting-anting perak tersebut tertempel kertas bertuliskan :

Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh satu. Begitu melihat anting-anting ini aku langsung teringat padamu dan membayangkan kau akan memakainya suatu saat nanti.

Mataku terasa panas setelah membacanya, air mataku seolah mendesak untuk mengalir. “Ini, jangan sampai make upmu luntur,” kata kak Ye Jin, menyodorkan tisu padaku.

198

Aku segera menerima tisu tersebut dan sehati-hati mungkin mengelap air mata yang nyaris tumpah sambil membaca kertas lain yang tertempel di kotak perhiasan berisi jam tangan emas :

Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh dua. Aku yakin jam tangan ini akan terlihat indah ketika melingkari tanganmu.

Senyumku kembali mengembang walau rasa haru itu tetap ada dalam hatiku. Dan yang terakhir, sebuah kotak musik kaca berbentuk bintang. saat kubuka tutup kotak musik itu, terlihat bintang-bintang kecil berwarna keemasan memancarkan sinarnya dari dalam kotak tersebut dengan diiringi alunan musik lembut. Di kotak kaca itu juga ditempeli kertas bertuliskan :

Yo Won, selamat ulang tahun ke dua puluh tiga. Aku membelinya karena tahu kau akan menyukai bintang yang berkilauan di dalamnya. Tapi yakinlah, cintaku untukmu lebih

bersinar dari kilauan apapun juga.

Nam Gil… ya, aku meyakininya.“Ada surat,” kata kak Ye Jin, menunjuk sebuah kertas berwarna krem yang terlipat rapi di

dasar kotak besar itu. aku mengambil dan membacanya.

Semua ini adalah hadiah ulang tahunmu dariku, yang selama ini hanya kusimpan tanpa pernah mengirimnya padamu. Walaupun terlambat bertahun-tahun, tapi aku ingin kau

menerima semua hadiah ini. aku menyesal tak memberikannya bertahun-tahun lalu, tapi kuharap aku bisa menebusnya dengan membahagiakanmu hingga napas terakhirku nanti.

Yang selalu mencintaimuK . N . G

“Manis sekali,” desah kak Ye Jin yang ikut membaca surat dan pesan-pesan dari Nam Gil. “Bahkan Jung Chul pun tak pernah bersikap semanis ini. kau beruntung, Yo Won.”

“Ya, aku memang sangat beruntung,” sahutku dengan suara parau. Benar-benar beruntung menerima cinta sebesar itu darinya. Dari Bi Dam. Dan dari Nam Gil. aku sangat beruntung.

Aku bergerak ke meja rias dengan membawa kotak perhiasan berisi anting-anting perak itu, lalu memakainya.

“Anting itu memang cantik, tapi… bukankah lebih anggun menggunakan anting berlian ini?” komentar kak Ye Jin heran.

Lewat cermin aku tersenyum padanya. “Ya, tapi anting berlian semahal apapun tak akan pernah seberharga anting perak ini,” kataku. Anting ini salah satu bukti bagaimana kami tetap saling mencintai walaupun terpisah selama bertahun-tahun ini. “Aku sudah siap.” Dengan bersemangat aku berjalan menuju pintu, tetapi kak Ye Jin menghentikanku.

“Ganti dulu sepatumu,” katanya geli. Kak Ye Jin bergerak mengambil kotak sepatu yang ditaruhnya di bawah kursi rotan.

Setelah akhirnya semua siap, kami keluar kamar dan disambut oleh Ayah yang menunggu di pintu depan. Bertiga, kami berjalan menuruni tangga depan yang mengarah ke taman yang sebelumnya kulewati, lalu mengikuti jalan kecil yang menuntun kami menuju kolam renang terrazzo yang terletak tepat di tepi jurang. Di dekatnya terdapat sebuah ruang duduk terbuka yang besar, lengkap dengan sebuah meja tepanyaki untuk 8 orang dan perlengkapan dapur yang mewah. Dari ruang duduk tersebut orang-orang dapat menikmati pemandangan kolam renang, Samudra Hindia sampai Nusa Lembongan, hingga pulau yang ada di seberang lautan.

199

Ruang duduk itu telah disusun untuk pesta, dan orang-orang sudah menunggu di tempat itu. Keluarga. Paman Kil Kang dan Bibi Young Hee. Kak Jung Chul yang menggendong Cheon Myeong. Bibi Hyun Jung. Do Bin. Jung Hyun dan… Kim Min Sun? Siapa dua bocah laki-laki dalam gendongan mereka? Selain mereka, ada seorang pria tinggi berambut pirang dan seorang wanita pribumi cantik yang kuduga teman-teman Nam Gil.

“Nam Gil dan pendeta sudah menunggu,” kata Ayah, mengarahkanku menuju altar di dekat kolam renang di tepi jurang, tempat Nam Gil telah berdiri bersama pendeta.

rasa haru itu kembali menyelimuti hatiku. Benarkah ini? apakah semua ini memang nyata? Bukan sekedar mimpi? Aku dan Nam Gil benar akan menikah? Menjadi suami istri? Hidup bersama seperti yang dulu kuimpikan bersamanya. Akhirnya…

“Jangan menangis,” bisik kak Ye Jin.Aku tertawa. Ya, ini hari yang membahagiakan, aku tidak boleh menangis, walaupun itu

tangis haru. jantungku berdebar semakin kencang saat aku dan Ayah berjalan semakin dekat dengan Nam Gil.

“Kuserahkan putriku padamu,” kata Ayah, menyatukan tanganku dan tangan Nam Gil yang tersenyum cerah. “Jaga dia baik-baik,” pesannya dengan suara parau.

Nam Gil mengangguk tegas. “Akan kujaga dan kubahagiakan dia dengan seluruh hidup dan kemampuanku,” janjinya dengan sungguh-sungguh, membuat hatiku dirambati getaran manis. Getaran cintaku padanya.

“Aku mempercayaimu,” sahut Ayah.

- Kim Nam Gil - 19 Februari 2021 - Bali, Indonesia -

Rasanya bagai mimpi. Begitu tugas terakhir di Vietnam selesai, aku langsung menghubungi orang-orang untuk meminta bantuan dalam mengatur pernikahanku dan Yo Won secepatnya. Bali menjadi pilihan terbaik karena semasa remaja tempat ini adalah impian kami berdua. Tak ada tempat yang lebih sempurna selain Bali untuk membuat kenangan indah pernikahan kami.

Cincin pernikahan telah kupesan lama—saat membeli cincin pertunangan untuk Yo Won dulu—dan telah meminta pembuatnya mengirimkan cincin tersebut pada Jung Hyun yang akan membawakan cincin-cincin tersebut ke Bali, karena aku tak akan sempat untuk singgah di Korea. Gaun pengantin Yo Won ditangani Ye Jin. Vila ini kusewa lewat internet. Tiket-tiket kupesan lewat telepon. Dan bantuan dari Rick—teman kuliahku di Los Angeles—dan istrinya untuk mengurus pendeta dan surat-surat ijin lainnya dengan cepat. Kini, saat yang telah kunanti-nantikan sejak lama telah tiba. Akhirnya aku dan Yo Won bisa bersatu. Bi Dam dan Deokman dapat bersama. Tenggorokanku tercekat. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk dalam dadaku.

Yo Won begitu cantik. Begitu bersinar dalam balutan gaun pengantinnya yang sederhana namun tetap anggun dan elegan. Mencerminkan dirinya.

“Anting itu,” gumamku terkejut, saat melihat anting perak berbentuk bintang di telinga Yo Won. “Kau memakainya.” Khayalanku kini menjadi nyata. Aku dapat melihatnya memakai anting-anting itu.

“Bukankah kau berkata ingin melihatku memakainya?” tanya Yo Won disertai senyum manis. “Tak ada waktu yang lebih tepat dibanding hari pernikahan kita untuk memakainya. Terima kasih.”

Bibirku melekuk membentuk senyuman. Tak ada yang dapat melukiskan betapa bahagianya aku saat ini.

Upacara pernikahan kami berlangsung khidmat. Tak ada suara apapun yang menyela penyatuan suci ini selain bunyi deburan ombak dan semilir angin.

200

“Apa kalian memiliki cincin?” tanya sang pendeta beberapa saat kemudian.Jung Hyun langsung maju dan mengeluarkan kotak beledu hitam yang di dalamnya

terdapat dua cincin. Cincin yang kupesan khusus untuk kami. kudengar Yo Won terkesiap kaget ketika melihat kedua cincin tersebut.

“Itu—““Seperti cincin yang kau berikan padaku dulu,” bisikku. “Memang tidak persis sama,

karena sulit untuk menggambarkan apa yang ada dalam ingatanku tentang cincin itu pada pembuatnya.”

“Nam Gil…” gumam Yo Won dengan mata berkaca-kaca.“Tapi, kuharap sepenuh hatiku cincin ini tidak akan pernah terpisah dari kita seperti yang

dulu terjadi. Selamanya mengikat kita, hingga akhir hidup kita,” bisikku.“Ya, hingga akhir hidup kita,” sahut Yo Won.“Pasangkan cincin itu ke jari pasangan kalian,” perintah sang pendeta.Aku lebih dulu memasangkan cincin tersebut ke jari manis Yo Won. jantungku berdetak

begitu keras dan cepat. “Tanggal sembilan belas Februari bertahun-tahun lalu, di bawah cahaya bintang aku

menjadikanmu kekasih hatiku,” ucapku setulus hati. “dan kini, di tanggal yang sama, dibawah cahaya bintang, aku menjadikanmu istriku. Sahabat sekaligus kekasihku, yang akan selalu mendampingiku dan melimpahiku dengan kasih sayang dan cinta, juga kesabaran dan kepercayaan.”

Senyum Yo Won terlihat bergetar. Dia berdeham saat memakaikan cincin di jariku. “Di tanggal sembilan belas Februari bertahun-tahun lalu, di bawah cahaya bintang aku mengikat hatimu, dan menjadikanmu milikku. Kini, di tanggal yang sama, di bawah cahaya bintang, aku menjadikanmu suamiku. Sahabat sekaligus kekasih terbaikku. Tempatku mencari cinta kasih, perlindungan, kebahagiaan, dan kedamaian.” Hatiku tergetar mendengar pernyataannya. Getaran manis yang selalu menyertaiku setiap kali bersama Yo Won. getaran yang hanya untuknya.

Pendeta itu tersenyum. “Ulangi perkataanku, ‘aku menerimamu sebagai suamiku’,” pintanya pada Yo Won.

Yo Won menatapku tajam. “Aku menerimamu sebagai suamiku.”Pendeta itu kembali tersenyum ramah, lalu menoleh padaku. “Dan aku menerimamu

sebagai istriku,” kataku sepenuh hati, tanpa dikomando.Ekspresi pendeta itu menunjukan kepuasan. “Di depan Tuhan dan para saksi, kunyatakan

kalian sebagai suami-istri. Apa yang telah disatukan Tuhan tak dapat dipisahkan manusia,” katanya. “Kau boleh mencium mempelaimu,” tambahnya.

Aku menarik Yo Won dengan lembut ke dalam pelukanku, lalu mencium lembut bibirnya. Sesaat aku membiarkan diriku mereguk madu bibir Yo Won, tapi kemudian teringat pada para tamu, sehingga dengan enggan aku menjauhkan diri. “Kini kau benar-benar milikku,” ucapku penuh kepuasan.

Yo Won tersenyum dengan tangan yang masih melingkari leherku. “Dan kau milikku.”

Ayah Yo Won, Ayah dan Ibu, juga orangtua Ye Jin, terlihat menitikkan air mata haru saat bersulang demi kebahagiaanku dan Yo Won. makan malam setelahnya berlangsung dengan hangat. Semua berbahagia untuk penyatuan cinta kami.

Yo Won masih setengah kaget dan tak percaya saat mengetahui Min Sun menikah dengan Jung Hyun dan telah memiliki dua anak lelaki.

Do Bin datang seorang diri karena baru-baru ini putus dari kekasihnya, dan sepertinya sangat menikmati pekerjaannya sehingga tak memikirkan pernikahan dalam waktu dekat ini.

201

Ayah membuat Yo Won tertawa geli ketika meminta kami secepatnya memberinya cucu baru. Tapi yang menegangkan adalah pertemuan Yo Won dengan Ibu.

“Aku akan selalu mendoakan agar kalian bahagia selamanya,” kata Ibu dengan suara parau penuh haru. “Yo Won, kau pasti tahu masalah yang sempat kutimbulkan dulu pada orangtuamu… kuharap kau mau memaafkanku.”

Yo Won tersenyum sambil menggenggam tangan Ibu. “Aku tak lagi mempermasalahkannya,” katanya halus. “Itu semua adalah masa lalu. Sekarang kau menjadi Ibuku, dan aku menjadi anakmu. Sebagai keluarga kita tak boleh menyimpan dendam lama. Kuharap kau mau menerimaku dalam keluargamu.”

Ibu memeluk Yo Won. “Tentu saja, Nak, kau disambut dengan senang hati dalam keluargaku.”

“Terima kasih… Ibu,” sahut Yo Won sambil balas memeluk Ibu.Aku menyaksikan semua itu dengan rasa haru bercampur bahagia. Dua orang yang

kucintai bisa saling menerima kehadiran satu sama lain. aku benar-benar bahagia.Setelah itu aku memperkenalkan Yo Won pada Rick dan istrinya, yang berjasa dalam

terlaksananya pernikahan kami malam ini.“Setelah pulang ke Korea kita akan mengadakan pesta lain untuk teman-teman,” kataku.

“Sebenarnya aku telah mengundang Seung Ho dan istrinya, tapi mereka tidak dapat datang karena kehamilan istri Seung Ho.”

“Ya, ide bagus,” sahut Yo Won. “Teman-teman akan kecewa kalau kita tidak membuat pesta lain bersama mereka.”

Bergandengan tangan, kami berjalan menjauhi kerumunan dan berdiri di tepi jurang, memandangi lautan dan pasir pantai di bawah kami.

“Kenapa kau merencanakan semua ini tanpa menceritakannya padaku?” tuntut Yo Won tiba-tiba.

Seringaian itu tak dapat kutahan. “Aku ingin memberimu kejutan. Kuharap kau menyukainya.”

Yo Won tersenyum jengkel. “Yah, aku suka, tapi kau membuatku cemas setengah mati karena berpikir kau dalam bahaya besar hingga membutuhkan pertolonganku.”

“Tapi itu memang benar,” sanggahku. “Aku dalam bahaya besar bila kau tidak jadi menikah denganku. Lagi.”

Yo Won tersenyum dan menyentuh wajahku dengan tangannya yang lembut. “Tidak akan. Tuhan tak akan setega itu pada kita. Sudah cukup banyak ujian yang kita hadapi untuk membuktikan betapa tulus perasaan kita terhadap satu sama lain, inilah waktunya bagi kita untuk bersatu.”

Aku mengusapkan wajahku di tangannya yang berada di pipiku. “Ya, Ini saatnya kita bersatu. Selamanya.”

“Selamanya,” ulang Yo Won.

Aku menutup pintu vila dengan rasa senang dan tak sabar yang memuncak. Akhirnya aku dapat berduaan dengan istriku. Rasanya begitu puas dan bangga dapat menyebut Yo Won sebagai istriku.

Sebenarnya vila ini memiliki banyak kamar, tapi tak ada yang ingin mengganggu waktu bulan maduku dan Yo Won, sehingga mereka menginap di hotel.

Dengan langkah santai aku berjalan menuju kamar kami. Yo Won sudah lebih dulu di sana selama aku mengantar keluarga kami keluar. Tapi ketika aku memasuki kamar itu tak terlihat keberadaan Yo Won yang mungkin masih di kamar mandi. Sambil menunggunya, aku melepas jasku, lalu menarik tirai putih besar, dan membuka pintu kaca menuju beranda.

202

Kamar ini sebenarnya bukan kamar utama, tapi justru kamar inilah yang paling sempurna untuk melihat lautan dan langit.

“Nam Gil,” panggil Yo Won. aku segera berbalik menghadapnya, dan melihatnya telah mengganti gaun pengantinnya dengan baju tidur sutra putih yang membalut tubuh rampingnya dengan lembut. Wajahnya pun sudah bersih dari make up. “Kau ingin memakai kamar mandi?

Getaran di dadaku dengan segera berubah menjadi entakan keras. Yo Won… sekarang dia istriku. Milikku sepenuhnya. Aku berdeham untuk menetralkan suaraku. “Ya,” sahutku singkat, lalu berjalan ke kamar mandi. Saat aku keluar dengan jubah mandi putih yang tergantung di kamar mandi, aku mendapati Yo Won sedang berdiri di depan pintu kaca yang terbuka. Menikmati hembusan angin laut, sinar bulan dan bintang, juga suara debur ombak. Perlahan aku mendekatinya dan memeluknya dari belakang.

“Kau pasti letih sekali. setelah tiba tak sempat beristirahat dan harus segera bersiap untuk upacara pernikahan kita,” gumamku di dekat telinganya.

Yo Won menggeleng pelan, lalu mendesah. “Ya, kuakui cukup melelahkan, tapi semua itu sebanding dengan kebahagiaan yang kuterima. Terima kasih,” ucapnya sambil memutar tubuhnya menghadapku, lalu mengecup bibirku lembut. “Terima kasih, suamiku.”

Hatiku mengembang dengan rasa bangga dan bahagia. Aku senang mendengar sebutan itu. “suamiku” terdengar bagai alunan musik terindah sepanjang hidupku. “Terima kasih juga untuk istriku,” bisikku lembut. “Yang telah bersedia menerimaku, dengan semua kekuranganku.”

Yo Won tersenyum. “Aku pun tak sempurna, tapi kau tetap mencintaiku.”Selama beberapa saat kami berdiri berpelukan dalam keheningan yang menenangkan, lalu

aku menggandeng dan membimbingnya ke tempat tidur besar di belakang kami. “Sudah malam, kau harus istirahat,” kataku. “Berbaringlah,” tambahku.

Yo Won berbaring sambil mendesah. “Nyaman sekali. aku baru sadar kalau tubuhku benar-benar kelelahan,” gumamnya.

Aku duduk di pinggir ranjang sambil menggenggam tangan kanannya dengan tangan kiriku.

“Jantungku berdebar-debar,” bisik Yo Won.Aku mengerutkan kening. “Kenapa? apa kau mencemaskan sesuatu?” tanyaku cepat,

mengingat dulu dia seperti itu ketika sedang cemas.Yo Won tersenyum. “Kau mengingatnya?” tanyanya kemudian. Tanpa perlu bertanya,

aku tahu yang dimaksudnya. Malam ketika aku menemaninya hingga tertidur di kehidupan pertama kami sebagai Bi Dam dan Deokman.

“Ya, aku mengingatnya,” sahutku. “Kau merasa cemas seperti dulu? Karena apa?” tanyaku khawatir. Aku meletakkan tangan kananku di dadanya seperti dulu. “Apa jantungmu masih berdebar?”

“Semakin cepat,” jawab Yo Won.Kecemasanku sendiri semakin menjadi. Aku menepuk-nepuk dadanya untuk

menenangkan. “Cobalah untuk lebih santai,” saranku.Yo Won menggeleng. “Tidak bisa,” sahutnya. “Debaran jantungku bukan karena cemas,

melainkan karena aku begitu bersemangat dan bahagia bisa bersamamu seperti ini,” lanjutnya, seketika menghapus kecemasanku.

“Kita punya banyak waktu untuk selalu bersama seperti ini,” kataku lembut. Tanganku tak henti memberikan tepukkan menenangkannya.

Dari cahaya bulan yang menerobos masuk ke kamar, aku dapat melihat wajah Yo Won tampak merona cantik. “Kali ini kau tidak akan meninggalkanku tidur sendiri seperti dulu, kan?” tanyanya.

203

Jantungku langsung berpacu dengan kecepatan tak terkira. Aku memandanginya penuh rasa damba. “Tidak. Kali ini aku akan terus menemanimu. Tak akan meninggalkanmu,” janjiku dengan suara bergetar penuh rasa haru.

Aku mencondongkan tubuhku untuk mengecup keningnya, tapi ketika aku hendak menarik diri, Yo Won memelukku. Dan saat itu, pertahanan diriku hancur. Aku balas memeluknya erat dan mencium lembut bibirnya. Kali ini tak seperti ciuman pertama kami bertahun-tahun yang lalu, Yo Won balik menciumku. Membuat darahku berdesir penuh kenikmatan. Ciumanku semakin kuperdalam. Seluruh cinta dan kasihku kucurahkan sepenuhnya dalam setiap ciuman dan belaian yang kuberikan padanya.

“Aku mencintaimu,” bisik Yo Won.“Aku juga mencintaimu,” sahutku sepenuh hati.Bulan dan bintang yang mengintip lewat pintu kaca yang tak tertutup menjadi saksi

penyatuan cinta kami berdua. Debur ombak bagaikan melodi indah yang mengiringi larutnya kami dalam badai asmara. Sedangkan hembusan angin malam seolah tak berarti bagi panas membaranya cinta di antara kami.

- 3 Mei 2010 - Seoul, Korea -

Aku menonton siaran pertandingan sepak bola di TV sambil bersandar santai di sofa. Setelah berbulan madu cukup lama di Bali, sepulangnya ke Korea aku dan Yo Won langsung mencari rumah untuk dijadikan istana kami. Dan sebuah rumah indah dan cukup besar yang tak jauh dari kawasan perumahan Ayah Yo Won menjadi pilihan kami. sudah dua bulan kami menempati rumah ini. belum terlalu banyak barang karena Yo Won sangat teliti dan selektif dalam memilih perabotan. Aku tidak keberatan. Asalkan bersamanya, aku tak perduli rumah ini akan jadi seperti apa.

“Suara TV-nya nyaring sekali,” gerutu Yo Won dari arah dapur. Saat dia berjalan menghampiriku untuk mengambil remote, aku segera menariknya ke pangkuanku.

Yo Won tertawa geli dan melawan untuk membebaskan diri dari pelukanku, sehingga kami bergulat di sofa, yang kemudian membuat kami terjatuh ke karpet. “Aku belum memelukmu hari ini,” aku pura-pura menggeram di telinganya.

Aku sangat suka menyentuhnya. Sekecil apapun sentuhan itu selalu dapat membuat hatiku mengembang penuh rasa bahagia. seketika aku teringat bulan madu yang kami habiskan di Bali. Bermain-main di pantai, dia berjemur sambil menontonku berselancar. Saat dia tertidur, aku mengubur tubuhnya dengan pasir dan menciumi wajahnya hingga dia terbangun dengan menggerutu. Kami bersepeda bersama. Bermain layangan di taman bagai anak kecil. Makan bersama di beranda kamar kami sambil memandangi matahari terbenam. Dan yang paling menantang untuk Yo Won adalah saat tengah malam aku mengajaknya berenang berdua di kolam renang pribadi di vila… tanpa busana.

“Oh ya? Lalu tadi pagi ketika aku sedang memasak itu kau sebut apa?” tantang Yo Won.“Hmm… yah, aku belum memelukmu untuk kedua kalinya hari ini,” kilahku sambil

menciumi lehernya hingga Yo Won terkikik geli.“Kedua kalinya?” sindirnya. “Bagaimana dengan saat aku keluar dari kamar mandi? Juga

—““Baiklah,” potongku. “Aku memang sudah memelukmu berkali-kali. Tapi sudah hakku

sebagai suami untuk dapat memelukmu kapanpun aku mau.”“Kau ini…” Yo Won pura-pura menggerutu.“Aku—“ Sebelum sempat menyelesaikan perkataanku, terdengar dering telepon. “Ah,

pengganggu. Tidak usah diangkat saja. lebih baik kita ke kamar,” godaku.

204

Yo Won memukul bahuku pelan. “Jangan begitu. Siapa tahu penting?” katanya sambil bangkit berdiri dan meraih telepon di meja dekat sofa. “Halo?” sapanya pada si penelepon. “Ya, benar. Oh, baik, sebentar. Temanmu,” katanya padaku.

“Siapa?” tanyaku, yang dijawab dengan gelengan kepala Yo Won. “Halo?” sapaku pada si penelepon.

“Bersiaplah untuk berangkat Spanyol,” kata suara yang kukenal.“BB,” desisku. Aku melirik Yo Won yang duduk mengamatiku dari sofa.“Liburanmu sudah selesai. Sampai jumpa nanti,” katanya dengan nada datar, lalu

menutup telepon.Sial. Brengsek!“Ada apa?” tanya Yo Won.“Atasanku mengirimku untuk sebuah tugas di luar negeri,” jawabku kaku.Yo Won bangkit berdiri dan memandangku tajam sambil bersedekap. “Sebenarnya apa

pekerjaanmu?”

“Agen rahasia!?” seru Yo Won beberapa saat kemudian dengan terkejut. “Kau… kau serius!?”

“Sebelumnya aku tidak bisa memberitahumu, tapi kini kau telah menjadi istriku. Walaupun tetap tidak sepantasnya kau tahu, tapi tak ada yang bisa menyalahkan seorang agen memberitahu keluarganya asalkan mereka bisa menjaga rahasia. Dan aku sangat yakin kau dapat menjaga rahasiaku,” kataku.

“Jadi… inikah alasan dari kepergianmu yang lama?” tanya Yo Won. “Tapi itu pekerjaan yang berbahaya, Nam Gil!”

“Aku tahu,” sahutku mencoba tenang. “Tenang saja, setelah kontrak kerjaku dengan mereka habis, aku akan mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain yang membuatku dapat terus dekat denganmu.”

Yo Won yang sebelumnya mondar-mandir di depanku, tiba-tiba menghempaskan dirinya di sofa sebelahku. “Tapi, bagaimana bila kali ini kau celaka? Bagimana bila—“ Yo Won menggenggam tanganku erat. “Aku tidak akan sanggup bertahan bila sekali lagi harus kehilanganmu.”

Hatiku terasa berat untuk meninggalkannya, tapi aku harus menjalankan kewajibanku. “Aku pun tak akan sanggup bila kehilanganmu lagi,” kataku. “Tapi ini sudah tugasku. Aku tak bisa mengabaikannya.”

Ketika Yo Won diam saja, aku mendekati dan memeluknya. “Tenang saja, aku akan selalu berhati-hati. mengetahui ada kau yang menungguku di rumah, aku tak akan berbuat ceroboh hingga mati terbunuh. Doakan aku dan percayalah padaku. Secepatnya aku akan kembali padamu.”

Wajah Yo Won melukiskan kesengsaraan persis seperti yang sedang kurasakan sekarang, tapi Yo Won wanita yang kuat. Dia mengangguk sambil memaksakan senyum untuk menenangkanku. “Aku percaya padamu,” katanya. “Tapi berjanjilah kau akan berhati-hati. pulanglah dengan selamat.”

“Aku berjanji,” kataku serius.“Aku akan membantumu berkemas,” kata Yo Won sambil bangkit berdiri. Aku langsung

mengikutinya menuju kamar kami. “Tapi sebelumnya ada yang ingin kuberikan padamu. Kemarin aku membawanya dari rumah Ayahku.”

Yo Won membuka lemari dan mengeluarkan sebuah keranjang rotan. “Aku begitu menikmati pernikahan kita hingga melupakan ini,” katanya.

“Ini…” Di dalam keranjang itu terdapat foto-foto kue ulang tahun yang di bagian belakang fotonya terdapat tulisan tanggal dan ucapan selamat ulang tahun dari Yo Won

205

untukku. Tenggorokanku tercekat. Aku menatap wajah istriku yang sedang tersenyum padaku. “Kau merayakan ulang tahunku?”

“Bukankah aku pernah berjanji padamu?” kata Yo Won. “Pada ulang tahunmu kemarin aku lupa menunjukannya padamu.

Masih banyak benda-benda lain dalam keranjang itu, tetapi tanpa melihatnya aku menaruh keranjang tersebut di tempat tidur dan menarik Yo Won ke dalam pelukanku. “Terima kasih untuk cintamu. Aku sangat mencintaimu,” bisikku. “Aku pasti akan kembali untukmu.”

Yo Won balas memelukku erat. “Aku juga sangat mencintaimu. Cepat kembali. Aku akan menunggumu.”

EMPAT PULUH TAHUN KEMUDIAN

- Lee Yo Won - 9 April 2061 -

“Ibu berulang tahun hari ini, jadi seharusnya Ibu tidak di dapur. Temui para tamu saja, biar kami yang mengurus makanan dan minuman,” kata Yoo Hee, putri tertuaku.

“Benar, serahkan urusan dapur pada kami,” timpal Yoo Ri, putri keduaku.Aku tersenyum pasrah sambil menuruti perkataan mereka. Setelah menikah, tak lama

kemudian aku langsung hamil. Untung saja Nam Gil pulang dan menemaniku dalam proses kelahiran anak-anak kembar kami. bukan dua atau tiga, melainkan kembar lima. Lima orang gadis. Yoo Hee yang tertua, disusul Yoo Ri, Dae Jia, Shin Woo, dan yang terakhir, Tae Ra.

“Ibu, teman-temanmu mencarimu,” kata Shin Woo dan Tae Ra kompak. Keduanya menggandengku menuju halaman belakang, tempat diadakannya pesta ulang tahunku siang ini.

“Di mana Dae Jia?” tanyaku.“Bersama Ayah dan anak-anak di gazebo,” jawab Shin Woo.“Ini dia yang berulang tahun,” seru para tamu ketika aku muncul. Sebenarnya aku tidak

ingin mengadakan pesta, tapi Nam Gil dan anak-anak memaksaku.Aku tersenyum memandangi tamu-tamu yang hadir. Kak Ye Jin dan kak Jung Chul

bersama anak dan cucunya. Seung Ho dan Eun Bin. Kak Tae Wong dan Qri—yang menikah setahun setelah pernikahanku. Kak Seung Hyo dan Eun Mi. San Tak, Moon Shik dan Go Do bersama istri-istri mereka—Go Do dengan istri keduanya. Jung Hyun dan Min Sun beserta kedua putra dan cucu-cucu mereka. Do Bin bersama istri dan anaknya. Juga tak ketinggalan kelima pria yang merupakan menantu-menantu terbaikku.

Ditemani Shin Woo dan Tae Ra, aku menyalami mereka semua. Aku tak dapat berhenti tersenyum. Kami larut dalam nostalgia masa muda kami, tapi aku tak sabar ingin segera mencari Nam Gil, karena itu aku mengundurkan diri dengan halus, lalu berjalan menuju gazebo. Senyumku semakin melebar saat melihat suamiku… Nam Gil tengah bercerita pada cucu-cucu kami yang mengelilinginya. Dan Dae Jia yang berdiri mengawasi anak-anak yang lebih kecil.

“Jung Ho, jangan lompat-lompat di kursi,” omelan Dae Jia terdengar olehku. “Bagaimana kalau kau jatuh? Kau ingin dimarahi ibumu?” dia menegur putra terkecil Yoo Ri. “Deokman, jangan mencubit Kyong Won!” tambahnya lagi saat melihat Deokman—namaku dulu yang diberikannya pada putrinya—mencubit Kyong Won, putri Tae Ra.

“Kyong Won lebih dulu mencubitku!” protes Deokman.“Tapi kau lebih dulu menginjak kakiku!” balas Kyong Won.

206

“Sst!” desis Bi Dam, cucu laki-laki tertuaku, putra Shin Woo—yang lebih dulu menikah diantara kelima putriku. “Kakek sedang bercerita,” omelnya, membuat kedua adik sepupunya terdiam.

“Tapi apa Kakek tidak berbohong?” tanya Seung Pyo, cucu laki-lakiku yang kedua, putra Yoo Hee. “karena teman-temanku tak percaya saat aku bercerita bahwa kakekku dulunya seorang mata-mata seperti yang kami tonton di TV,” keluhnya.

Bi Dam berdecak kesal layaknya orang dewasa—mungkin karena di usianya yang ke empat belas tahun dia merasa paling besar. “Anak-anak bodoh itu tahu apa?” ejeknya. “kakek kan tidak mungkin berbohong.”

“Tapi—““Lihat saja, nanti aku juga akan menjadi seperti kakek, dan kau bisa menceritakan

profesiku dengan bangga pada teman-temanmu,” kata Bi Dam dengan percaya diri.Aku tertawa sambil berjalan semakin dekat. dia begitu mirip dengan Nam Gil. hah…

apalagi yang kubutuhkan selain ini semua? Hari ulang tahunku yang ke enam puluh delapan begitu bahagia. Aku memiliki suami tercinta, putri-putri dan menantu tersayang, juga cucu-cucu manisku. Belum lagi keluarga besar dan teman-teman yang terus berhubungan baik denganku dan Nam Gil selama bertahun-tahun ini.

“Apa yang kalian ributkan?” tanyaku sambil duduk di sebelah Jung Ho dan merangkulnya.

Nam Gil tersenyum geli—senyumannya masih seindah dulu, masih membuat jantungku berdebar penuh cinta. “Aku bercerita mengenai pengalamanku sebagai agen rahasia Korea,” terangnya dengan gaya bercanda.

“Tapi kalau kakek memang agen rahasia, kenapa berhenti?” tuntut Seung Pyo.“Kakek kan sudah tua,” sahut si kecil Jung Ho—yang mengidolakan kakek dan kakak

sepupunya, Bi Dam—polos.Nam Gil, aku dan Dae Jia seketika tertawa. “Kakek berhenti karena tidak ingin berpisah

lama dengan Nenek kalian,” jawab Nam Gil sambil menatap wajahku dengan lembut. “Pekerjaan itu tidak lagi mengasyikkan karena kakek tidak sabar untuk segera pulang setiap kali menjalankan misi.”

Bi Dam mendesah. “Sayang sekali,” komentarnya. “Aku tidak akan menikah. Jadi tak akan ada yang membatasiku. Aku akan menjadi agen rahasia terhebat nanti,” katanya serius.

Deokman dan Kyong Won tertawa. “Mana mungkin kau tidak menikah? Setelah besar kan semua orang harus menikah?” komentar Deokman polos.

“Iya,” timpal Kyong Won antusias. “Hari itu saat main di rumahmu, aku dan Deokman menguping pembicaraanmu dengan seorang gadis lewat telepon. Kau bilang, ‘aku cinta padamu. Setelah dewasa nanti aku akan menikahimu’,” ejeknya.

Wajah Bi Dam memerah karena malu dan gusar, apalagi saat aku, Nam Gil, dan Dae Jia tertawa.

“Sudah-sudah,” lerai Dae jia sebelum pertengkaran terjadi. “Kurasa sudah saatnya Ibu meniup dan memotong kue,” katanya.

“Kau benar,” sahutku. “Tapi aku butuh suamiku untuk menemaniku meniup dan memotong kue,” kataku sambil mengulurkan tangan pada Nam Gil yang segera berdiri dan meraih tanganku.

Berdua, kami berjalan dengan santai menuju kerumunan keluarga dan sahabat kami. Nam Gil melingkarkan tangannya di pinggangku dan berbisik di telingaku. “Selamat ulang tahun, istriku.”

- Kim Nam Gil - 9 April 2061 -

207

“Terima kasih, suamiku,” sahut Yo Won sambil mengecup pipiku.Hatiku mengembang penuh rasa bahagia. Tuhan tidak membenciku. Kurasa dia justru

sangat menyayangiku. Dia memberiku wanita paling sempurna untukku, anak-anak yang mencintaiku, juga cucu-cucu yang lucu.

“Kalian seperti masih pengantin baru saja,” goda kak Jung Chul.Aku dan Yo Won tersenyum menanggapi perkataannya. Mengamati keluarga dan teman-

teman yang hadir hari ini, aku merasa sangat terlengkapi. Tuhan memberi cobaan hidup, tapi dengan murah hati dia juga memberi kebahagiaan tak terkira untukku dan Yo Won.

“Kakek, nanti ceritakan lagi tentang petualangan kakek di Rusia,” bisik Bi Dam.Aku tertawa geli, tapi tetap mengangguk. diantara semua cucuku, Bi Dam lah yang paling

mempercayai semua ceritaku dan bertekad untuk menjadi sepertiku di saat sudah besar nanti, sedangkan cucu-cucuku yang lain mungkin hanya menganggap aku mendongeng.

“Ayo tiup lilinnya!” desak semua pada Yo Won.Tertawa, Yo Won menuruti kemauan mereka. Dengan diiringi nyanyian dari keluarga dan

teman-teman, istri tercintaku itu menutup mata dan memanjatkan doa dalam hati, lalu meniup lilin di tengah kue.

Aku ikut bertepuk tangan bersama yang lain. empat puluh tahun yang membahagiakan. Tak terasa kami bersama selama itu. kuharap, bila memungkinkan, kami bisa terus bersama puluhan tahun lagi.

Setelah berhenti bekerja pada BB, aku membeli saham di perusahaan ayah mertuaku, dan bersama Yo Won membantu memperbesar kerajaan makanan ringan tersebut. Kini, di usia kami yang sudah tak lagi muda, kelima putri kamilah yang meneruskan usaha tersebut. Dengan kerja keras, kini perusahaan kami menjadi yang terbaik di Korea. Aku tidak menyesal sama sekali karena berhenti dari profesi lamaku, karena dengan begitu aku bisa selalu dekat dengan Yo Won dan anak-anakku. Tak ada yang lebih penting selain mereka.

“Harapan apa yang kau panjatkan tadi?” bisikku di telinga Yo Won.“Aku berharap agar kita masih diberi banyak waktu untuk bersama. Dan bila memang

sudah waktunya untuk berpisah, kuharap di kedidupan berikutnya kita kembali dipertemukan,” jawab Yo Won dengan berbisik padaku.

“Pasti Tuhan akan mengabulkannya,” kataku. “Dia tak mungkin tega menolak permintaan wanita secantikmu,” godaku.

“Hah… Nam Gil,” Yo Won pura-pura menggerutu.“Ibu, ayo potong kuenya!” seru kelima putri kami.Setelah memotong kue, Yo Won memberikan potongan pertama untukku. “Untuk suami

yang paling kucintai,” katanya, disambut gelak tawa dan tepuk tangan dari orang-orang yang menonton kami. “Terima kasih karena sudah memberiku cinta yang tulus sejak dulu… hingga kini tanpa berubah sedikitpun.”

Tenggorokanku tercekat. Aku menerima piring kecil berisi kue itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku menarik tubuhnya masuk dalam pelukanku. “Terima kasih juga karena bersedia menjadi istriku. Menemaniku, mendukungku, dan memberiku cinta hingga sekarang. Terima kasih. Aku mencintaimu,” kataku, lalu mengecup bibirnya sekilas namun penuh rasa sayang.

“Aku juga mencintaimu,” balas Yo Won sambil memelukku, membuat tepukan tangan dan seruan gembira dari para tamu semakin menjadi.

Perasaan dan situasi seperti inilah yang mungkin akan kami dapatkan dalam kehidupan pertama kami sebagai Bi Dam dan Deokman andai saja dulu kami tidak terpedaya oleh adu domba pihak lain yang tak ingin kami bersama. Tapi tak ada gunanya menyesali yang lalu. Yang terpenting sekarang adalah aku dan Yo Won akhirnya dapat bersatu. Hidup bersama selama puluhan tahun. Saling mencinta dan menjaga. Membentuk keluarga yang bahagia. Jiwa Bi Dam dan Deokman yang ada dalam diriku dan Yo Won pun kini dapat tenang,

208

karena setelah sekian lama, apa yang dulu mereka impikan dapat terwujud. Bi Dam dan Deokman telah hidup damai bersama. Berdua. Selamanya.

***

Marah, curiga, dan dendam timbulkan kecewaSepi, pedih, dan sedih menghancurkan jiwa

Rindu, sayang, dan cinta kekalkan rasaLewati ujian pererat kasih di hatiTulus cinta berikan bahagia abadi

~ TAMAT ~

209

210