108
PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014) SKRIPSI Diajukan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026) PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017 i

FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

i

PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014)

SKRIPSI

Diajukan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

FARAIDHIKA MUADHINA

(1113044000026)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

i

Page 2: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

ii

Page 3: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

iii

Page 4: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawah ini saya:

Nama : Faraidhika Muadhina

NIM : 1113044000026

Fakultas : Syariah dan Hukum

Program Studi : Hukum Keluarga

Menyatakan dengan sesungguhnya dan sejujurnya, bahwa skripsi saya yang berjudul:

“PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (Studi

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XXI/2014)” adalah asli hasil penelitian

saya sendiri dan bukan plagiat hasil karya orang lain.

Jakarta, 18 Mei 2017

Yang Menyatakan

Faraidhika Muadhina

1113044000026

iv

Page 5: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

v

ABSTRAK

FARAIDHIKA MUADHINA, NIM : 1113044000026, PEMBATASAN

USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014), Kosentrasi Peradilan Agama, Program Stusi

Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017M/ 1348 H.

Persoalan pembatasan usia pernikahan adalah menjadi perhatian khusus bagi

masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini, kedewasaan usia merupakan salah satu

indikator bagi tercapainya tujuan suatu pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup

berumah tangga dan bermasyarakat. Jelaslah disini bahwa adanya pembatasan usia

pernikahan bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan.

Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui pandangan fuqaha dan

pandangan hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-

XII/2014 tentang pembatasan usia pernikahan. Terkait metode yang digunakan

dalam penilitian ini adalah Penelitian Kualitatif, dengan pendekatan penelitian

menggunakan kajian pendekatan hukum normatif, dan teknik pengumpulan data

yang digunakan adalah Kepustakaan yang di ambil; dari Al-Qur’an, Hadist, dan

Undang-Undang.

Hasil dari kajian penulis menunjukkan bahwa, batasan usia pernikahan

menurut hukum Islam disini tidak dijelaskan secara eksplisit atau jelas. Namun,

dalam beberapa Al-Qur’an dijelaskan beberapa ayat yang mengharuskan seseorang

untuk menikah apabila sudah mencapai kedewasaan atau baligh.

Kata Kunci : Batasan Usia Pernikahan

Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, MA

Bahan Pustaka : 1986 sampai dengan 2016

v

Page 6: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur saya kepada Allah S.W.T. Yang mana telah

memberikan segala nikmatnya kepada hamba-hamba yang tidak ada batasan.

Sholawat dan salam tak lupa saya ucapkan kepada Nabi besar Muhammad

SAW, yang mana telah membawa kedamaian bagi umat manusia dan juga

membawa umat manusia dari zaman kegelapan atau jahiliyah ke zaman yang penuh

cahayanya atau ilmu pengetahuan ini.

Tidak lupa, penulis sampaikan rasa terima kasihnya kepada orang-orang yang

telah membantu dan mendo’akan penulis dalam penulisan skripsi ini, kepada yang

terhormat :

1. Ucapan terima kasih yang mendalam kepada kedua orang tua yang sangat

saya cintai dan sayangi sepanjang masa, ayahanda Drs. Kurthubi, MH dan

ibunda Hibatunnisa yang selalu memberikan semangat, nasihat, serta do’anya

yang memberikan motivasi kepada penulis. Semoga yang telah beliau berikan

atau do’akan di balas oleh Allah SWT dan perlindungan semoga selalu di

berikan untuk beliau berdua;

2. Kepada Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah;

3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak

Arip Furqon, M.A Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga;

4. Drs. H. Wahyu Widiana, M.A sebagai dosen pembimbing, semoga ilmu yang

telah bapak berikan akan bermanfaat bagi penulis;

5. Teruntuk adik-adik ku yang tercinta Al-Aqib dan Husnu El Wafa yang selalu

memberikan semangat disaat malas datang mengganggu;

vi

Page 7: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

vii

6. Sahabat Dumang ku tercinta, Nur Indah Faradhiyah, Vicky Fauziah, Utami

Zurraidah Oktaviani, Irma Zhafira Nur Shabrina Hajida, Hikmah, Azriyani,

dan Indah Ayu Komalasari kesayanganku dan seperjuangan yang tidak bisa

saya ungkapkan dengan kata-kata kalian adalah yang terbaik;

7. Sahabat Roommate ku, Putri Azizah Helena, Nur Indah Faradhiyah, dan

Mellia Rosdiana yang menemani pagi siang malam selama berada dalam

kamar tercinta yang mampu mengubah kesunyian dengan candaan-candaan

kalian;

8. Para Senior dan teman-teman Keluarga Besar Islamic Family Law yang

memberikan saran dan motivasi dalam penulisan skripsi;

9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberi dukungan

kepada penulis;

Akhirnya, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak,

semoga do’a dan harapan kita semua dapat dikabulkan oleh Allah SWT, Amiiiinn....

Ciputat, 18 Mei 2017

Penulis,

(Faraidhika Muadhina)

vii

Page 8: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ....................................................... 4

D. Tujuan dan manfaat penelitian ................................................................................ 5

E. Tinjauan Review studi Terdahulu ............................................................................ 6

F. Metodelogi penelitian .............................................................................................. 7

G. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 9

BAB II PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Fuqaha ..................................................... 11

B. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Hukum Keluarga di Negara Muslim ....... 20

vii

Page 9: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

ix

BAB III PUTUSAN MAHAKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU-XII/2014

A. Duduk Perkara ....................................................................................................... 27

B. Petitim Putusan ...................................................................................................... 40

C. Diktum Putusan......................................................................................................45

D. Pertimbangan Hukum.............................................................................................46

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU

XII/2014

A. Pertimbangan Hukum Dari Segi Yuridis ............................................................... 51

B.Pertimbangan Hukum Dari Segi Filosofis dan Sosiologis.......................................52

C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014 Berkaitan Dengan

Pembatasan Usia Pernikahan dalam Hukum Islam.....................................................57

1. Pendapat Fikih……………………………………………………………….58

2. Pendapat dari sisi Psikologis………………………………………………...59

3. Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)…………………………………..60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 68

B. Saran ...................................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...70

LAMPIRAN

xi

Page 10: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan kata yang merujuk pada hal-hal yang terkait dengan sebuah

ikatan atau hubungan pernikahan. Pengertian istilah perkawinan lebih luas dari istilah

pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada seb uah ikatan yang dilakukan atau dibuat

oleh para pihak suami dan istri untuk hidup bersama, dan atau merujuk pada sebuah

proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk pada hal-hal yang muncul terkait

dengan proses, pelaksanaan, dan akibat dari pernikahan.1 Dalam Islam pernikahan

bukan semata-mata sebagai kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai

ibadah. Oleh karena itu, berkeluarga (nikah) adalah jalan terhormat yang disyariatkan

Allah untuk menyalurkan kebutuhan biologis.2

Memasuki suatu perkawinan calon suami istri dituntut untuk mempunyai

kesiapan lahir dan batin. Individu yang telah memasuki lembaga perkawinan harus

mampu mengendalikan dan mengembangkan kebutuhan emosional dengan

pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana rumah tangga yang bahagia, yang

menjadi tujuan dari dilaksanakan perkawinan. Hal ini diharapkan seseorang telah

memiliki kematangan psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena

1 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana, dan

Bisnis “Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 23-24.

2 Yayan Sofyan, Relasi Suami Istri, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah,

2004), h. 1.

Page 11: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

2

dengan kematangan dari segi psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan,

karena dengan kematangan psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan

memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di

kemudian hari. Banyak pasangan perkawinan usia muda yang tidak memperhatikan

tentang berbagai risiko yang akan dihadapi dalam perkawinan karena mereka

berfikir perkawinan dalam usia muda sangatlah mudah padahal dalam kenyataannya

tidak demikian.

Al-Qur’an atau Hadis Nabi tidak membatasi usia tertentu tentang batas usia

perkawinan, namun terdapat ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang secara tidak

langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.3

Sesuai firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32 : “Dan kawinkanlah orang-orang

yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari

hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-

Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur, dan batas

umur itu adalah baligh.

Dalam fikih pun juga tidak pernah dijumpai adanya batasan usia menikah

bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak berarti

bahwa undang-undang negara muslim tidak menerapkan ketentuan mengenai

3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.

67.

Page 12: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

3

pembatasan usia perkawinan. Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan

bahwa Rasulullah Saw, menikahi Aisyah ketika ia berumur kurang dari tujuh tahun.

Fakta sejarah inilah yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius di kalangan

ulama, mengenai bagaimana status menikahi anak kecil atau di bawah umur dalam

pandangan Islam.

Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali

untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anak itu sendiri. Dalam

beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau

mempertahankan status sosial orang tua yang seringkali menjodohkan atau bahkan

menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya sejak masih belia.4

Perdebatan terkait dengan aturan perkawinan salah satunya adalah dengan

usia minimum pasangan yang boleh melakukan pernikahan. Perkawinan tidak bisa

diadalan sebelum calon mempelai mencapai umur yang ditetapkan.5 Dijelaskan di

dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)

tahun.”6

4 Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 200-

201. 5 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana, dan

Bisnis “Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 44.

6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 13: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

4

Dengan demikian, dalam kasus yang akan diteliti penulis ini berdasarkan

dengan perkara No. 30/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi di mana, Zumrotin

(Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan) sebagai pemohon yang

mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Isi dari permohonan tersebut

pemohon memutuskan untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Gugatan tersebut diajukan dengan alasan

sebagai berikut :

1. Dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”, bertentangan atau tidak

konsisten (inkonsitensi) dengan sistem norma hukum pasal 28B ayat 1 UUD

1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, sehingga dalam hal ini

menimbulkan ketidakpastian dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi

menimbulkan ketidakadilan.

2. Pemohon juga menganggap hak konstitusional terhadap perempuan dirugikan

dengan adanya Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”.

Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan

judul “Pembatasan Usia Pernikahan Dalam Hukum Islam (Studi Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014)”.

B. Identifikasi Masalah

Page 14: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

5

1. Adakah pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014

dalam pembatasan usia penikahan?

2. Apakah yang membedakan batasan usia pernikahan di negara muslim?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap batasan usia pernikahan?

4. Apakah dengan adanya batasan usia pernikahan merugikan hak konstitusioanl

terhadap perempuan?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat

luas, maka dari itu penulis membatasi pada pembahasan dalam skripsi ini.

Pembatasan masalah dalam skripsi ini meliputi : Batas usia nikah disini hanya

boleh dilakukan calon suami dan istri yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam ruang lingkup hukum Islam dan pembatasan usia pernikahan dalam

hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014) yang

merugikan hak konstitusional terhadap perempuan.

2. Rumusan Masalah

Dalam skripsi ini penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut :

a. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang Pembatasan Usia Pernikahan?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.

30/PUU-XII/2014 tentang Pembatasan Usia Pernikahan?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Page 15: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

6

Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan dan kegunaannya yang bermanfaat bagi

pembacanya, oleh karena itu tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang Pembatasan Usia

Pernikahan.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014 tentang Pembatasan Usia Pernikahan.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah sebagai berikut :

a. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang lebih luas bagi

pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga.

Dan penilitian ini dapat menjadi bahan pendukung kepada seluruh kalangan

akademisi, mahasiswa, maupun dosen.

b. Segi Praktis

Untuk menambah wawasan bagi penulis, dan para mahasiswa/i Fakultas

Syariah dan Hukum pada khususnya, serta masyarakat pada umumnya dalam

menanggapi masalah batas usia perkawinan bagi calon suami atau istri yang

akan melasungkan perkawinan.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam kajian terdahulu, beberapa hasil penelitian yang kiranya berkaitan

dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian. Dari

Page 16: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

7

beberapa hasil penelitian yang sudah membahas dan mengkaji masalah ini, antara

lain :

1. Dalam skripsi yang berjudul “Penetapan Umur Dalam Rangka Mencapai Tujuan

Pernikahan (Perbandingan antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)” yang ditulis oleh

Muhammad Rajab Hasibuan. Dalam tulisannya Muhamad Rajab Hasibuan

menjelaskan masalah tentang idealisme sebuah pernikahan dengan pertimbangan

kematangan usia antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Perbedaan

dengan skripsi yang penulis tulis adalah memberikan penjelasan dalam pasal 7

ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di mana bertentangan atau

tidak konsisten dengan UUS 1945.

2. Dalam skripsi yang berjudul “Tingkat Kedewasaan antara laki-laki dan

perempuan relevansi dengan batas usia perkawinan (Studi Komparasi Hukum

Islam dengan Pandangan Medis)” yang ditulis oleh Udi Wahyudi. Dalam

tulisannya Udi Wahyudi menjelaskan masalah tingkat kedewasaan perkawinan

dilihat dari aspek fikih dan medis. Perbedaan dengan skripsi yang penulis tulis

adalah menjelaskan batas usia pernikahan menurut empat imam mazhab dan juga

memberikan perbandingan batas usia nikah di negara muslim.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk

memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan

yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan

Page 17: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

8

kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah

secara kritis, yang akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang

dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya.7

Secara terminologis, penelitian dapat dimaknai sebagai suatu usaha atau

kegiatan yang bertujuan untuk memecahkan sesuatu masalah dengan menggunakan

cara-cara atau metode yang bersifat ilmiah. Untuk menghasilkan produk penelitian

yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, suatu kegiatan penelitian

memerlukan pengetahuan tentang cara-cara yang sistematis dan terukur dalam

melakukan kegiatan penelitian atau yang biasa dikenal dengan metode penelitian.8

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif atau

doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud

Marzuki penelitian hukum doktrinal adalah penelitian yang memberikan

penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu,

menganalisis hubungan antara peraturan menjelskan daerah kesulitan dan

mungkin memprediksi pembangunan masa depan.9

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu

perundang-undangan (statutory approach). Pendekatan perundang-undangan

7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), set. Ke-3, Ed.

Revisi, h. 3. 8 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, 2010), h. 8-9.

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),

h. 32.

Page 18: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

9

adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.10

3. Sumber Data

Sumber data yang penulis gunakan terdapat dua jenis data, yaitu sumber Hukum

Primer dan sumber Hukum Sekunder. Sumber Hukum Primer yang digunakan

adalah Undang-Undang no.1 tahun 1974 yang diterapkan atau berlaku di

Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji. Sedangkan, Sumber

Hukum Sekunder yang digunakan adalah berupa komentar dan buku-buku,

dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam skripsi ini, maka metode

pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan

dapat diartikan sebagai teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi

penalaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-

laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.11

4. Analisis Data

Dalam proses analisis data, peneliti ini menggunakan deskriptif analysis, yaitu

menganalisa dengan mendeskripsikan putusan terhadap Pembatasan Usia

Perkawinan dan dipadukan dengan studi kepustakaan yang terkait.

5. Teknik Penulisan

10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 24. 11

M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), cet.ke-5. h. 27.

Page 19: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

10

Teknik penulisan ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang

dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan, penulis

menyusun dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini penulis membahas latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : Pembatasan Usia Pernikahan Dalam Hukum Islam. Pada bab ini penulis

membahas bagaimana penjelasan tentang pembatasan usia pernikahan dalam hukum

Islam dan pandangan para fuqaha.

BAB III : Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/. Pada

bab ini penulis membahas tentang isi duduk perkara, konsideran, dan diktum dalam

putusan.

BAB IV : Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014. Pada bab

ini penulis akan menganalisis gugatan yang diajukan oleh pemohon dalam hukum

Islam.

BAB V : PENUTUP. Berisi tentang kesimpulan dan saran

Page 20: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

11

BAB II

PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah mengatur batas usia

pernikahan. Pasal 7 ayat 1 Bab II Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak

pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini

tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar

kedua belah pihak (suami isteri) benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis,

dan mental.12

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1), diatur

bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7

ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.13

A. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Fuqaha

Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria

dengan seorang wanita, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat

penting dalam tata kehidupan manusia. 14

12

Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia, (Jakarta: Restu Agung, 2000), h. 19.

13 Kompilasi Hukum Islam.

14 Sayuti Thalib, Hukum Keluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 73.

Page 21: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

12

Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas

usia pernikahan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan

maksimal untuk melangsungkan pernikahan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa

orang yang melangsungkan pernikahan haruslah orang yang siap dan mampu.

Firman Allah SWT Surat An-Nuur ayat 32 berbunyi : “Dan nikahkanlah orang-

orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak

(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika

mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-

Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur

: 32)15

Kata Asholihin الصلحن dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak

kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah

tangga.16

Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki

syarat meskipun bersifat umum, yaitu kelayakan kedewasaan dan kematangan

identik dengan usia seseorang.

Fiqh klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah umur. Pendapat

ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Dalil yang dipakai mayoritas

ulama ini ada banyak, salah satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW

dengan Aisyah sewaktu masih berumur 6 tahun.

15

Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 354.

16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. IX, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 335.

Page 22: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

13

“Dari Aisyah r.a, bahwa Nabi SAW telah menikahi Aisyah sedang Aisyah

sedang berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat Aisyah

berumur 9 tahun, dan Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun”.17

Batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara kongkret

yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah baligh

sebagai batas minimalnya. Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil

merupakan bukti baligh seorang wanita.

Imam Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-

laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya adalah 17

tahun. Sementara Hanafi menetapkan usia baligh untuk anak laki-laki adalah 18

tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. Pendapat Hanafi dalam usia baligh ini

adalah batas maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun untuk anak

laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan, sebab pada usia tersebut seorang anak

laki-laki telah mimpi basah dan mengeluarkan sperma, menghamili, dan

mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan dapat hamil

dan haidh.18

Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat

beberapa pendapat diantaranya :

17

Haris Santoso, “Batas Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam Mazhab”, Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 28.

18 M. Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2003), h. 317.

Page 23: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

14

1. Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi

laki-laki dan 17 tahun bagi wanita.

2. Imam Malik, menetapkan 18 tahun baik untuk pihak laki-laki maupun

perempuan.

3. Imam Syafi’i dan Hanabilah, menentukan bahwa masa untuk menerima

kedewasaan dengan ditentukan umur yaitu 15 tahun bagi laki-laki dan

perempuan.19

Murtadha Murthahari (Ulama asal Iran) sebagaimana dikutip M. Quraish

Shihab menjelaskan bahwa masa baligh atau dewasa adalah ketika bulu rambut

wajah (cambang) dan dagu (jenggot) serta bulu dada pemuda mulai tumbuh.

Sedangkan, pada masa itu jari-jari perempuan memperoleh kelembutan, pinggulnya

mulai membesar. Demikian juga muncul penonjolan yang jelas pada dadanya

sebagai persiapan melaksanakan fungsi penyusuan anak.20

Adapun madzhab Imamiyah, menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah

15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun, berdasarkan hadits Ibnu Sinan

berikut ini : “Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka

hartanya diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana

dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya penuh.”

Ketentuan baligh maupun dewasa tersebut, menurut sebagian fuqaha,

bukanlah persoalan yang dijadikan pertimbangan boleh tidaknya seseorang untuk

19

Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 70.

20 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 14-15.

Page 24: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

15

melaksanakan perkawinan, tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i,

dan Imam Hambali berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak

perempuannya yang masih perawan (belum baligh), dengan demikian juga

neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Hanya Ibn Hazm dan Shubrumah

berependapat bahwa ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih

kecil kecuali ia sudah dewasa dan mendzpat izin dari padanya.21

Akan tetapi, baligh di sini tidak dapat dipakai sebagai ukuran pasti bagi

semua orang, karena masa baligh tidak sama. Demikian pula tidak terdapat batas

perbedaan umur antara kedua calon mempelai, karena itu terjadilah perkawinan

anak kecil dan perkawinan antara dua orang suami isteri yang selisih umurnya

mencolok.22

Secara historis tentang batasan usia pernikahan dicontohkan oleh pernikahan

Nabi SAW, dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun. Sedangkan batasan

15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar yang berbunyi: “Rasulullah SAW

menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud yang ketika itu usiaku empat belas

tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku

kembali dalam perang Khandaq yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas

tahun. Beliau pun memperbolehkanku.” Naafi’ berkata: “Aku datang kepada Umar

21

Supriyadi, Dedi, dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam”, (Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), h. 29 Skripsi : Batasan Usia Minimal Nikah di Negara Muslim (studi perbandingan negara Indonesia, Turki, dan Maroko) oleh Cepi Jaya Permana, 2016].

22 Haris Santoso, “Batas Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam Mazhab”,

Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 30.

Page 25: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

16

bin Abdil-Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang

hadits tersebut. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ini adalah batasan antara

kecil dan besar. Maka Umar menugaskan kepada orang yang telah berusia lima

belas tahun, sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga

orang-orang yang ikut berperang” (HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868,

Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya). 23

Pandangan Jumhur Fuqaha membolehkan batasan usia atau pernikahan usia

muda. Dalil yang digunakan antara lain Al-Qur’an Surah Ath-Thalaq (65) ayat 4 :

ذيض ان ي ئي يئس انلا ئي نى انلا ا ثلثة أشر ت ارتبتى فعذا سبئكى إ ي

أير يجعم ن ي يتاق للاا ي ا ه د يضع ا أ بل أجه ألت الد يذض

يسرا

Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di

antara isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya). Maka masa

iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak

haidh, sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu

sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa

23

Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid 1, No. 1868, h. 596.

Page 26: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

17

kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

(QS. Ath-Thalaaq : 4)24

Pada ayat tersebut, Allah SWT menetapkan masa iddah bagi perempuan

yang belum haid selama tiga bulan.25

Pemahaman dari istilah fiqh, dalam arti kedewasaan, usia kecenderungan,

dan kematangan. Ada beberapa hal yang menjadi dasar atau patokan usia dewasa

pada para fuqaha-fuqaha Islam yakni :

1. Usia baligh ditentukan kepada kemampuan dalam bertanggung jawab.

2. Usia baligh lebih di tunjukkan kepada wanita yakni dengan kesimpulan untuk

berkumpul atau senggama adalah kesiapan psikologis perempuan untuk

menjalani hidup bersama.

3. Ibn Qudamah dalam bukunya al-Mughni pasal 1124 halaman 415 bahwa

kondisi anak masih dan dirasa belum siap maka tidak boleh untuk menikah

kalaupun sudah menikah maka walinya menahan untuk tidak hidup bersama

dengan suaminya terlebih dahulu, sampai si perempuan mencapai kondisi

yang sangat siap.26

Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam

beberapa arti sebgai berikut :

24

Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 558.

25 http://tafsir.web.id/, diakses tanggal 20 April 2017 pukul: 13.12.

26 Muhammad Syambuzzi, “Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Pada Usia Muda” (Studi

Kasus di Kelurahan Jati Bening Kecamatan Pondok Gede Bekasi), Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2010), h. 35.

Page 27: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

18

1. Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda

(yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi isteri

dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.

2. Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu

memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-

anak.

3. Demografis (kependudukan), secara demografis perkawinan di bawah umur

merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih

tinggi.27

Menurut para Ulama, Islam menentukan batasan usia nikah bisa

dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu :

1. Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh)

2. Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat Al-Qur’an yang

menyebutkan batas kemampuan untuk menikah

3. Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah

SAW

Sedangkan para Ulama Fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam

menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum adalah setelah

Aqil Baligh (Mukallaf) dan cerdas, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat

An-Nissa (4) ayat 6, yang berbunyi :

27

Abdur Rahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta: Lentera Batritama, 1997), h. 18.

Page 28: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

19

آستى ي ابتها انيتبيى دتاى إرا بهغا انكبح فئ ى ى رشذا فبدفعا إني

ك ي غيب فهيستعفف كب ي يكبرا بذارا أ ل تأكهب إسرافب انى أي ب

انى فأش ى أي عرف فئرا دفعتى إني دسيببفقيرا فهيأكم ببن كفى ببللا ى ذا عهي

Artinya : “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk

menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas (pandai

memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. San janganlah

kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah

kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di

antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan

harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu

menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada

mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saks. Dan cukuplah Allah sebagai

pengawas. ” (QS. An-Nissa : 6)28

Dari hal tersebut di atas bahwa sesungguhnya batasan aqil baligh dalam

Islam tidak ditemukan akan tetapi Islam membolehkan menikah ketika sudah siap

mental secara psikologisnya baik fisik dan psikis. Sedangkan menurut peraturan

perundang-undangan perkawinan menikah dibolehkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan mempelai wanita sudah berusia 16 tahun.

28

Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 78.

Page 29: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

20

Majelis Ulama Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan

perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ dan

ahliyatul wujub).29

Dalam kitab-kitab tentang hukum keluarga disebutkan bahwa pria dapat

melangsungkan pernikahannya kalau telah “mimpi” dan wanita jika telah

“menstruasi”. Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita

telah dewasa atau akil baligh. Mimpi dan menstruasi datang tergantung pada kondisi

(alam) dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada umumnya, pada

usia 13 atau 14 tahun bagi laki-laki dan menstruasi biasanya pada usia 11 dan atau

12 tahun. Kini, hukum keluarga dalam masyarakat kontemporer menentukan batas

umur dapat untuk melangsungkan perkawinan, menurut kondisi negara masing-

masing. Penerapan batas minimum umur untuk dapat melangsungkan perkawinan

ini hanya akan efektif kalau pencatatan kelahiran secara tertib sudah dilaksanakan di

negara bersangkutan.30

B. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Hukum Keluarga di Negara

Muslim

Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam abad 20 adalah

29

Majelis Ulama Indonesia, Ijma’ Ulama (Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009), (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009), h. 78.

30 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo,

2002) h. 96-97.

Page 30: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

21

adanya usaha pembaruan hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas

Muslim. Adapun pembentukan yang dilakukan berbeda antara satu negara dengan

negara lain, seperti tentang pembatsan usia pernikahan.

1. Hukum Keluarga Islam di Turki

Dalam UU Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah adalah 18

tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam kasus-kasus tertentu

pengadilan dapat mngijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14

tahun bagi perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. Dalam Fiqh

Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut

umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah

berakal dan baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi

operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh

hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan

syarat keabsahan pernikahan.31

2. Hukum Keluarga di Iran

Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun

dan bagi wanita 15 tahun. Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan dalam

pandangan hukum mazhab Ja’fari.32

Menurut mazhab Ja’fari, seseorang telah

dipandang dewasa (karenanya dapat melangsungkan perkawinan) jika telah

31 M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,

(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 43. 32

Mazhab Ja’fari merupakan Hukum Islam yang menjadi sumber hukum di Iran adalah hukum Islam Ja’fari Isna Asy’ari.

Page 31: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

22

berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’fari juga

memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang dibawah umur.33

3. Hukum Keluarga di Yaman Selatan

Yaman Selatan juga menetapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni

18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Dalam fiqh klasik hal ini

terlihat tidak banyak berubah, perkawinan perempuan yang belum baligh (bila

batasan usia nikah tersebut boleh diqiyaskan dengan kedewasaan, bulug), hampir

semua fuqaha menyatakan keabsahannya.34

4. Hukum Keluarga di Maroko

Batas usia minimal boleh kawin bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan

bagi wanita adalah 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika

perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas

umur kedewasaan. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki

maupun perempuan untuk dikategorkan baligh, sementara Syafi’i dan Hanbali

mnentukan umur 15 tahun, dan hanya Hanafi yang membedakan batas umur

baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Batasan

ini merupakan batas maksimal, sedangkan batas minimal laki-laki 15 tahun dan

33

M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h. 59.

34. M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h.

71.

Page 32: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

23

perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa umur itu ada pada laik-laki yang sudah

haid sehingga bisa hamil.35

5. Hukum Keluarga di Aljazair

Dalam melewati perdebatan dan pertimbangan rancangan hukum diterima

dan ditetapkan dalam hukum keluarga dan hukum ini ditetapkan pada tahun

1984. Hukum keluarga Aljazair baru yang berlaku dan mengikat semua warga

Aljazair ini merupakan peraturan yang terdiri dari 224 pasal, dibagi menjadi 4

buku yang masing-masing terbagi beberapa bab.

Pembentukan hukum keluarga di Aljazair di antaranya bermaksud

meningkatkan usia nikah bagi kedua calon mempelai. Pasal 7 secara jelas

ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan perempuan 18 tahun.

Dalam al-Quran dan Hadis tidak terdapat ketentuan yang secara jelas

menetapkan batasan usia nikah. Para ahli fiqh juga tidak membahas usia nikah.36

6. Hukum Keluarga di Somalia

Di dalam kitab-kitab hukum keluarga klasik disebutkan bahwa pria dapat

melangsungkan pernikahan jika ia telah mimpi (ihtilam) dan untuk wanita

mengalami menstruasi (haid). Peristiwa mimpi dan menstruasi disini pada usia

35

M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h. 109.

36 M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h.

125.

Page 33: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

24

13-14 tahun. Somalia menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan bagi

wanita 16 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan.37

Batas umur kawin tersebut, jika dibandingkan dengan batas umur kawin

negara-negara lain sebenarnya tidak terlalu jauh, bahkan untuk laki-laki relatif agak

tinggi. Batas usia kawin terendah bagi laki-laki terdapat di Yaman Utara yaitu 15

tahun, dan batas usia kawin terendah wanita juga 15 tahun yaitu di Yordania,

Maroko, Yaman Utara, dan Turki. Secara lebih rinci umur terendah untuk kawin

bagi laki-laki dan wanita di 16 negeri muslim di dunia ini, masing-masing adalah

sebagai berikut :

Negara Laki-laki Wanita

Turki 17 15

Iran 18 15

Yaman selatan 18 16

Maroko 18 15

Aljazair 21 18

Somalia 18 16

Libia 18 16

Malaysia 18 16

Mesir 18 16

37

M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, hal. 157.

Page 34: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

25

Yaman Utara 15 15

Pakistan 18 16

Irak 18 18

Bangladesh 21 18

Syiria 18 17

Tunisia 19 17

Libia 18 16

38

Dari angka-angka di atas jelas terlihat bahwa batas usia terendah untuk

kawin di Indonesia relatif cukup tinggi untuk laki-laki tetapi termasuk rendah untuk

wanita. Perbedaaan usia nikah ini terjadi, disebabkan Al-Qur’an maupun Hadits

tidak secara eksplisit menetapkan usia nikah. Namun demikian, pembatasan usia

nikah tersebut merupakan ciri kematangan sebuah perkawinan sebagaimana tersirat

dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 5 yang mengakui pernikahan sebagai salah

satu ciri bagi kedewasaan seseorang.

قنا اكسى ارزقى فيب نكى قيبيب انكى اناتي جعم للاا فبء أي ل تؤتا انس

ل يعرفب نى ق

38

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia Dalam Perbandingan Negara Muslim, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997) h. 79.

Page 35: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

26

Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum

sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) kamu yang

dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian

(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.

An-Nisaa : 5)39

Uraian di atas menunjukkan pula batas usia perkawinan tersebut dalam arti

normal. Sementara dalam beberapa kasus di berbagai negara, tidak semua

perkawinan. Batas usia perkawinan tidak selamanya konsisten dengan realitas

masyarakat, artinya banyak kasus perkawinan di bawah usia pernikahan

sebagaimana yang telah disepakati di setiap negara.40

Dapat dipahami bahwa penerapan usia perkawinan di berbagai negara

bervariasi. Bahkan di sebagian negara memberlakukan usia perkawinan tidak sesuai

dengan batasan usia normal perkawinan sebagaimana yang telah diregulasikan. Hal

ini menunjukkan bahwa perbedaan penerapan usia perkawinan di berbagai negara

tersebut tergantung kepada mazhab fikih yang dianut dijadikan pedoman negara.41

Adapun hasil penilitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya

perkawinan di usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang salah

satunya adalah karena faktor orangtua. Dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja yang

39

Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 77.

40 Ahamad Asrori, Jurnal “Batas Usia Perkawinan Menurut Fuqaha dan penerapannya dakam

Unsang-undang Perkawinan di Dunia Islam, Lampung: h. 10. 41

Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al- fikri, 2009), h. 40-41.

Page 36: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

27

sudah melakukan pernikahan dini hampir semuanya disetujui oleh orangtua mereka

masing-masing. Walaupun demikian, pandangan orangtua masing-masing pun

berbeda-beda, salah seorang orangtua beranggapan apabila calon suami yang ingin

menikahi anaknya sudah mapan lahir dan batin dan sudah sanggup untuk berumah

tangga.42

42

Siti Yuli Astuty, Jurnal “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja Di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.

Page 37: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

28

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU-XII/2014

Pada bab ini penulis terlebih dahulu akan memaparkan tentang isi dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014.

A. Duduk Perkara

Pemohon dalam hubungan ini adalah seorang yang bernama Zumrottin

dengan pekerjaan sebagai Ketua Dewan Pengurus Kesehatan Perempuan. Dalam hal

ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 Desember 2013 memberi kuasa

kepada Rita Serena Kolobonso S.H., LLM, dan Tubagus Haryo Karbyanto, S.H,

yang keduanya adalah advokat yang berkedudukan hukum di kantor pemberi kuasa

baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama pemberi

kuasa. Pemohon disini telah mengajukan permohonan bertanggal 5 Maret 2014

yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut

Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan

Nomor 74/PAN.MK/2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara

Konstitusi dengan Nomor 30/PUU-XII/2014 pada tanggal 13 Maret 2014, yang

menguraikan hal-hal sebagai berikut:43

Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) “Kekuasaan

43

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 3.

Page 38: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

29

Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan

agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan

oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5226) tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU

Mahkamah Konstitusi) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.44

Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the

guardian of the constitution). Apabila terdapat Undang-Undang yang bertentangan

dengan konstitusi, Mahkamah dapat menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat baik sebagian maupun seluruhnya. Mahkamah Konstitusi juga berwenang

memberikan penafsiran terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang agar tidak

bertentangan dengan konstitusi. Tafsir Mahkamah terhadap konstitusionalitas pasal-

44

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 4-5.

Page 39: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

30

pasal Undang-Undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole

interpretation of the constitution) yang memiliki kekuasaan hukum. Dengan

demikian terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau

multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi.

Dalam permohonan ini, Pemohon Zumrottin menguji ketentuan Pasal 7 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai

frasa “16 (enam belas tahun) tahun” dengan menggubakan baru uji atau dasar

pengujian Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D

ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I ayat (1) dan (2);45

Pasal 28A UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta

berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan “(1) Setiap orang berhak

membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

sah; (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.”

Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang brhak

mengmbangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak

mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan

45

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 6.

Page 40: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

31

teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi

kesejahtraan umat manusia.”

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta

benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan

perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28H ayat (1) dan (2) UUD 1945 mnyatakan “(1) Setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan; (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlajuan

khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan.”

Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan “(1) Hak untuk hidup, hak

untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak

beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di

hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

Page 41: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

32

keadaan apapun; (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”46

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi

berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon. Dengan

pengakuan hak setiap pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945

merupakan salah satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang

merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain sebagai

“guardian” dari “constitutional rights” setiap warga ngara Republik Indonesia,

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang bertugas

menjaga hal-hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum seetiap

warga negara. Dengan kesadaran inilah Pemohon kemudian, memutuskan untuk

mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 7 ayat (1) sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”

terhadap UUD 1945 dengan menggunakan batu uji atau dasar pengujian Pasal 28A;

Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat

(1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I ayat (1) dan (2);47

46

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 7. 47

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 7.

Page 42: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

33

Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi menyatakan “Pemohon adalah pihak menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah undang-undang,

yaitu: (a) Perorangan Warga Negara Indonesia, (b) Kesatuan masyarakat hukum

adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) Badan hukum

publik dan privat, (d) Lembaga negara.”

Selanjutnya, Pemohon adalah merupakan Badan Hukum Privat. Dalam hal

ini adalah badan hukum dari “Yayasan Kesehatan Perempuan” yang telah

memenuhi persyaratan pendiri badan hukum Yayasan sesuai Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2001 tentang Yayasan dan dicatatkan di Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia tanggal 14 Maret 2006 Nomor 21.48

Berdasarkan uraian di atas, maka kedudukan Pemohon selaku badan hukum

privat yang berkedudukan di Indonesia menjelaskan adanya hak konstitusional

Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Pemohon memiliki kepentingan atas

keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya

pada Pasal 7 ayat (1), sepanjang meengenai frasa “16 (enam belas) tahun” yang

menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Perkawinan hanya

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak

48

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 8.

Page 43: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

34

wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” menjadi landasan dan dasar

hukum dibenarkannya perkawinan anak.

Dengan pembenaran terhadap adanya perkawinan anak, khususnya anak

perempuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang tercermin

dalam frasa “pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun,” Undang-

Undang Perkawinan jelas dan tegas menunjukkan kontradiksi dengan segala

pengaturan yang ada dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak

anak perempuan dalam konstitusi. Dengan demikian secara substansif norma hukum

maka Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bertentangan atau tidak

konsisten (inkonsistensi) dengan norma hukum Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan

(2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1)

dan (2); Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945 sehingga menimbulkan

ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi

menimbulkan ketidakadilan.49

Hak Pemohon disini untuk melakukan kerja-kerja advokasi terkait isu

kesehatan reproduksi perempuan tidak dapat berjalan baik dan tidak dapat dipenuhi

jika ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang masih diberlakukan frasa

“16 (enam belas) tahun”. Dengan ini kerugian konstitusional Pemohon dapat

dijelaskan secara sebagai berikut:50

49

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 9. 50

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 10-11.

Page 44: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

35

a. Kesadaran konstitusional Pemohon untuk melindungi hak anak sebagai urusan

utama dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana diatur dalam Pasal 28B

ayat (2) UUD 1945, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,

dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi” tidak dapat dilaksanakan.

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap

telah bertentangan dengan amanat konstitusi tentang perlindungan anak yang

lebih lanjut telah diatur oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak dengan pengaturan perlindungan anak berusia sampai dengan 18 tahun.

c. Kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau

setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi.

d. Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan

berlakunya Undang-Undang yang diajukan pengujian.

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka

kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi

terjadi.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, jelas Pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”

yang bertentangan dengan Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat

Page 45: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

36

(1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I

ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Alasan permohonan pengujian adalah bahwa Perkawinan Anak masih marak

terjadi di Indonesia. Faktor ekonomi masih merupakan alasan utama orang tua

menikahkan anaknya. Hal ini yang turut mempengaruhi antara lain alasan sosial

budaya, seperti kebiasaan orang tua menjodohkan anaknya saat mereka masih

keecil, dan penilaian masyarakat yang negatif (dianggap perawan tua) terhadap

perempuan yang menikah di atas usia 18 tahun.51

Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007

menunjukkan 22% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, di beberapa daerah

didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan

usia di bawah 16 tahun.52

Adapun di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali

dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Hasil penelitian

UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan anak berusia

15 tahun berkisar 11%.

Plan Indonesia sebuah lembaga non pemerintah yang memberi perhatian

pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak bekerja sama dengan

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM membuat sebuah

penelitian tentang Praktik Pernikahan Dini di Indonesia di 8 wilayah, yaitu:

Indramayu, Grobongan, Rembang, Tabanan, Dompu, Sikka, Lembata, dan Timur

51

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 11. 52

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 12.

Page 46: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

37

Tengah Selatan. Dan menurut data UNICEF perempuan yang melahirkan pada usia

15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan

dengan perempuan yang melahirkan pada usia 20 tahun.

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang membolehkan perkawinan anak perempuan dalam usia muda yakni 16 tahun

merupakan kendala dalam mewujudkan mandat konstitusi UUD 1945 kepada

Pemerintah. Bukan saja bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 222 tentang

Perlindungan Anak pada Pasal 26 yang mewajibkan orang tua untuk mencegah

terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sampai usia 18 tahun, bertentangan

dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang melindungi anak termasuk anak

perempuan sampai usia 18 tahun, juga bertentangan dengan pengaturan batas usia

anak termasuk anak perempuan yang diatur pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan yang mengatur batas usia anak sampai dengan usia 18 tahun,

serta bertentangan dengan pengaturan batas usia anak wajib belajar selama 12 tahun

yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Begitu

pula sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

pada Pasal 131 ayat (2) bahwa “Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan

sejak anak masih dalam kandungan, silahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai

berusia 18 tahun.” Berdasarkan hal di atas maka terlihatlah dengan jelas

ketidakjelasan tentang batasan anak dalam beberapa undang-undang di atas

dibandingkan dengan diizinkannya adanya “perkawinan anak” khususnya anak

perempuan dalam UU perkawinan ini menjadi menimbulkan adanya ketidakpastian

Page 47: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

38

hukum di dalam pelaksanaan UUD 1945, karena ada pasal-pasal dalam undang-

undang yang mengatur yang berbeda satu sama lainnya.53

Adapun Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1)

UU Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun” demi

pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi anak khususnya anak

perempuan Indonesia serta kepastian hukum yang adil bagi warga negara

sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 ke hadapan Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi Yang Mulia ini dengan alasan-alasan sebagai berikut:

a. Perkawinan Anak dan Dampaknya

Selain kehamilan pada usia dini, perkawinan anak (pernikahan dini)

atau pernikahan paksa masih merupakan praktik di Indonesia. Sekitar 31,5%

wanita usia 20-49 mengatakan mereka menikah pada usia 18 tahun dan 5,5%

mengatakan mereka menikah pada usia 15 tahun (SDKI 2012). ANGKA ini

sedikit lebih kecil apabila dibandingkan dengan data SDKI 2007 Yitu 31,6%

wanita usia 20-49 mengatakan mereka menikah pada usia 18 tahun dan 9,3%

mengatakan mereka menikah pada usia 15 tahun. Masih merujuk SDKI 2007,

ada 5 provinsi dengan angka perkawinan tertinggi adalah Jawa Timur

(39,4%), Jawa Barat (36%), Kalimantan Selatan (35,5%), Jambi (30,6%), dan

Jawa Tengah (27, 84%).

b. Dampak Perkawinan Anak Pada Kesehatan Ibu dan Bayi

53

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 13.

Page 48: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

39

Perkawinan Anak dengan Kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun)

sangat beresiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang dalam masa

pertumbuhan yang masih memerlukan gizi sehingga ada persaingan perebutan

gizi antara Ibu dan janin, dengan resiko lainnya di antaranya:

Potensi kelahiran prematur, Bayi lahir cacat, Bayi lahir dengan berat badan

rendah atau kurang, dan lain-lain.

Dengan kondisi seperti ini maka perkawinan anak akan mengancam

hak hidup, hak memprtahankan hidup dan kehidupan anak-anak kita (Pasal

28A UUD 1845) hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang

(Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945).54

c. Dampak Perkawinan Anak Pada Keharmonisan Keluarga dan Perceraian

Dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Tetapi, Pernikahan Anak disini justru menjauhkan tujuan dari perkawinan

yang dimaksud dalam UU Perkawinan itu sendiri. Banyaknya perkawinan

anak berbanding lurus dengan tingginya anak perceraian. Dengan banyaknya

kasus perceraian merupakan dampak dari masih terlalu mudanya usia

pasangan suami isteri ketika memutuskan dampak dari masih terlalu mudanya

usia pasangan suami isteri ketika memutuskan untuk menikah.

54

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 16.

Page 49: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

40

Adapun perkawinan anak banyak berlandaskan faktor ekonomi, di

samping faktor lainnya (budaya pendidikan dan agama). Banyak orang tua

menginginkan anaknya menikah di usia dini untuk melepaskan beban

ekonomi, namun justru hasilnya adalah sebaliknya seringkali perkawinan

anak berujung pada perceraian. Dalam perkawinan anak setelah satu tahun

50% bercerai yang akhirnya (anak dan cucu) kembali menjadi beban orang tua

sehingga semakin miskin.55

d. Dampak Perkawinan Anak Pada Psikologis Keluarga Muda

Di usia 16 tahun anak belum mampu berperan sebagai orang tua yang

harus bertanggung jawab untuk mendidik anak, secara psikologis anak masih

ingin bermain bersama teman sebayanya dan masih memerlukan

pengembangan jiwa seusianya.56

e. Hak-Hak Anak Yang Dilanggar Akibat Perkawinan Anak

Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enam belas) tahun.” Dalam pasal tersebut menjadi landasan dan dasar hukum

dibenarkannya adanya Perkawinan Anak dalam hal ini anak perempuan yang

belum mencapai usia 18 tahun.

55

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 17. 56

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 18.

Page 50: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

41

Pembenaran adanya Perkawinan Anak sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan jelas dan tegas adanya ancaman

terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak khususnya anak

perempuan Indonsia. Perkawinan anak khususnya anak perempuan

sebenarnya merupakan praktek yang sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat

dunia, karena lebih banyak dampak negatifnya dan diskriminatif terhdapa

anak perempuan.

Dengan demikian, maka jelaslah terdapat alasan-alasan yang kuat adanya

pelanggaran hak-hak konstitusional anak khususnya anak perempuan Indonesia di

mana Pemohon bekerja untuk mengadvokasi isu tersebut sebagaimana diamanatkan

oleh UUD RI 1945, dan adanya kerugian konstitutional yang dialami oleh Pemohon

atas permohonan atas penormaan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan

UUD 1945 khususnya Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1);

Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I ayat

(1) dan (2);

B. Petitum Putusan

Berdasarkan duduk perkara dan alasan-alasan di atas, Pemohon memohon

kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar

Page 51: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

42

bersedia memeriksa, mengadili, dan memutuskan a quo dengan amar putusan yang

berbunyi sebagai berikut:57

1. Mengabulkan permohonan Pemohon

2. Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”

harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional). Sehingga Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”

itu bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “18

(delapan belas) tahun”

3. Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”

harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional). Sehingga Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”

itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “18

(delapan belas) tahun”.

4. Mengubah materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sehingga bunyi Pasal ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi: “Perkawinan hanya

57

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 107.

Page 52: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

43

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun”.

Menimbang untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan

bukti-bukti surat atau bukti tertulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-25

yang telah disahkan pada persidangan. Dan dalam kewenangan Mahkamah

Konstitusi menguraikan bahwa:

1. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menurut para Pemohon telah menciptakan suatu ketidakpastian

hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir, serta

mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya para

Pemohon, sehingga merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon;

2. Melalui permohonan ini merupakan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD

1945;

3. Berdasarkan hal-hal tersebut, karena permohonan pengujian ini merupakan

pengujian permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, maka Mahkamah

Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mngadili permohonan pengujian

materiil undang-undang ini;

Page 53: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

44

Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Presiden telah menyampaikan keterangan

yang pada pokoknya sebagai berikut :58

Perkawinan merupakan salah satu bentuk perwujudan hak-hak konstitusional

warga negara yang memang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam

tertib kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, sebagaimana diatur di dalam

UUD RI 1945 yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 28B ayat (1) yang

menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunannya melalui perkawinan yang sah.” Kemudian, ketentuan Pasal 28J ayat

(1) dikatakan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain

dalam tertib bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara.”

Sebagaimana diketahui, sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan,

berlaku beberapa hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dari

dawrah seperti atau sebagai seberikut:59

1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama

yang pada umumnya terkait dengan hukum adat masing-masing daerahnya.

2. Bagi orang-orang Indonesia asli juga berlaku hukum adat yang memang

berlaku pada masyarakat.

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku tentang

Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (Staatsblad 1933 Nomor 74).

58

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 139. 59

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 140.

Page 54: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

45

4. Bagi orang timur asing Cina dan warga negara Indonsia keturunan Cina

berlaku Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan beberapa

sdikit adanya perubahan.

5. Bagi orang-orang timur asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan

timur asing tersebut berlaku hukum adat mereka masing-masing.

6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa, dan

yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Keberagaman pengaturan mengenai perkawinan tersebut mengakibatkan

perbedaan persyaratan perkawinan baik antar agama, antar warga negara, dan antar

adat istiadat. Undang-Undang Perkawinan sebagai bentuk kodifikasi yang

disepakati adalah mengenai syarat usia perkawinan, dimana sebelumnya secara adat

istiadat terdapat perbedaan antar satu daerah dengan daerah yang lainnya.

Kemudian, Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami/istri

harus telah masak jiwa/raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar

supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, dan mendapat keturunan

yang baik dan sehat, maka harus dicegah adanya perkawinan di antara calon

suami.istri yang masih di bawah umur.60

Selain itu, perkawinan mempunyai

hubungan dengan masalah kependudukan, telah ternyata bahwa umur lebih rendah

bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran juga yang tinggi.

60 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 140.

Page 55: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

46

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Undang-Undang Perkawinan telah

menentukan batas usia perkawinan baik pria maupun wanita, sebagaimana kita

ketahui prianya adalah harus telah berusia 19 tahun dan wanitanya atau

perempuannya telah berusia 16 tahun. Pembatasan umur tersebut dimaksudkan

adalah salah satunya juga sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang

dilaksanakan yang terkait dengan masih di bawah umur. Selain itu juga, pembatasan

atau ketetapan terkait dengan usia perkawinan juga dalam rangka menunjang

program kependudukan nasional dalam bidang keluarga berencana.61

Kemudian, terhadap anggapan Pemohon adanya pengaturan yang berbeda di

antara pengertian dewasanya seorang anak perempuan atau anak wanita telah

menimbulkan ketidakkonsistenan pengaturan mengenai batasan umur dalam satu

undang-undang yaitu antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang

lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa pengertian dewasa di dalam Pasal 330

KUH Perdata yaitu 21 tahun. Kemudian, Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu 18 tahun. Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana

Mahkamah Konstitusi telah dimaknai yaitu telah berusia 18 tahun, Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ada 18 tahun atau belum

menikah.

Oleh karena itu, pembatasan atau perbedaan usia perkawinan di dalam

berbagai macam undang-undang itu, dalil Pemohon yang menganggap Pasal 7 ayat

61

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 141.

Page 56: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

47

(1) Undang-Undang Perkawinan sepanjang frasa 16 tahun telah menimbulkan

ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi

menimbulkan ketidakadilan, tetapi menurut Pemerintah pengaturan tentang usia

perkawinan telah memberikan kepastian, telah memberikan keadilan, sebagaimana

telah dijelaskan di atas Indonesia terdiri dari berbagai macam adat-istiadat yang

memang memaknai usia dewasa itu berbeda-beda.

C. Diktum Putusan

Dalam hal ini, keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menimbang isi

permohonan yang diajukan saudari Zumrotin sebagai pemohon disini “Menyatakan

menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”. Sebagaimana Pemohon

mengajukan uji materi ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas)

tahun”. 62

Demikian diputuskan dalam rapat Permusyawarahan Hakim oleh sembilan

Hakim Konstitusi yang masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal

lima, bulan Januari, tahun dua ribu lima belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno

Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal delapan belas,

bulan Juni, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.12 WIB, oleh

delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota,

Anwar Usman, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Aswanto, Suhartoyo, I Dewa

Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota,

62

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 233.

Page 57: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

48

dengan didampingi oleh Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti, dihadiri

para Pemohon dan/atau kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan

Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak terkait dan/atau kuasanya.

D. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/ PUU-

XII/2014

Dengan ini pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusional

Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019,

selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang selengkapnya menyatakan “Perkawinan

hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun

dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.”

Ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan

dengan UUD 1945 khususnya terhadap Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2);

Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan

(2); Pasal 28I ayat (1) dan (2).

Menurut Pemohon, Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun”

UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 di atas

sepanjang tidak dimaknai “18 (delapan belas) tahun” sehingga Pasal 7 ayat (1) UU

Perkawinan seharusnya menjadi “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia

18 (delapan belas) tahun.” Dalam pokok permohonan Pemohon adalah pengujian

Page 58: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

49

konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU

Perkawinan dan menimbang bahwa Pemohon pada pokonya mendalilkan ketentuan

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang membolehkan perkawinan anak perempuan

dalam usia 16 tahun bertentangan dengan antara lain :63

a. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Belum

dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak

lebih dahulu telah kawin.”;

b. Pasal 1 angka 26 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menyatakan bahwa “Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18

(delapan belas) tahun.”;

c. Pasal 1 angka 2 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”;

Dalam pelaksanannya, perkawinan berakaitan erat dengan keyakinan yang

sakral berdasarkan kaidah dan nilai-nilai suci agama yang tidak dapat diabaikan.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang

mnyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah.” Pemahaman perkawinan yang sah

tersebut harus dilihat dari dua aspek yakni sah menurut agama dan sah menurut

hukum negara.64

Beberapa agama berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar

63

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 218. 64

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 228.

Page 59: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

50

belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang berbeda dalam

masalah usia perkawinan.

Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut adalah Mahkamah Konstitusi

beranggapan semua agama yang berlaku di Indonesia memiliki aturan masing-

masing dalam perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat semua pemeluknya,

sedangkan negara memberikan pelayanan dalam pelaksanaan perkawinan sesuai

dengan aturan negara dan juga beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun

dari berbagai latar belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang

berbeda dalam masalah usia perkawinan. Salah satu contohnya, agama Islam

tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim

adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan

buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.65

Dalam keterangan tertulisnya, DPR memberikan keterangan yang antara lain

menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur mengenai batas usia

minimal perkawinan dianggap sebagai kesepakatan nasional yang merupakan

kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang

melihat secara bijaksana dengan berbagai macam pertimbangan dengan

memperhatikan nilai-nilai yang ada pada saat itu yaitu tahun 1974.66

65 Hasanain Haikal dan Abdul Hadi, “Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Analisis

Yuridis Normatif dan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Anak (Perempuan), hal. 251, journal. Stainkudus.ac.id, diakses tanggal 20 April 2017 pukul: 21.07.

66 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 229.

Page 60: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

51

Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Untuk menjaga

suami isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”

Namun, terkait dengan norma yang mengatur batasan usia, Mahkamah dalam

beberapa putusannya telah mempertimbangkan bahwa batasan usia minimum

merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat

diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan

perkembangan yang ada. Hal tersbut sepenuhnya merupakan kewenangan

pembentuk Undang-Undang yang ada, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan

selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara a quo, UUD 1945

tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut anak.67

Adapun perkara a quo yang dipermasalahkan pemohon mengenai batasan

usia untuk dinaikkan bagi pihak perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, dalam

UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut

sebagai anak. Hal ini juga sama dengan pendapat dari perspektif hukum Islam yang

dikemukakan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan:

“Kitab suci Al-Qur’an demikian juga Sunnah Nabi, tidak menetapkan usia

tertentu. Ini sejalan dengan hikmah Ilahi yang tidak mencantumkan rincian sesuatu

dalam kitab suci menyangkut hal-hal yang dapat mengalami perubahan. Yang

dirincinya hanya hal-hal yang tidak tidak terjangkau oleh nalar seperti persoalan

metafisika atau hal-hal yang tidak mungkin mengalami perubahan dari sisi

kemanusian. Karena tidak adanya ketetapanyang pasti dari kitab suci, maka ulama-

ulama Islam berbeda pendapat tentang usia tersebut bahkan ada di antara

67

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 230.

Page 61: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

52

masyarakat Islam yang melakukan revisi dan perubahan menyangkut ketetapan

hukum tentang usia tersebut. Ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan

masyarakat dan kebutuhannya”.68

Pertimbangan hukum di atas, telah nyata bahwa kebutuhan untuk menentukan

batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan

dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-

ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan

ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi

18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian,

menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan

sosial lainnya. Bukan berarti pula tidak perlu dilakukannya upaya apa pun, terutama

tindakan preventif, untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak yang

dikhawatirkan akan menimbulkan beragam masalah sebagaimana yang didalilkan

Pemohon, yang menurut Mahkamah, beragam masalah tersebut merupakan masalah

konkrit yang terjadi murni disebabkan dari aspek usia semata.69

68

Hasanain Haikal dan Abdul Hadi, “Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Analisis Yuridis Normatif dan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Anak (Perempuan), hal. 253, journal. Stainkudus.ac.id, diakses tanggal 20 April 2017 pukul: 21.07.

69 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 231.

Page 62: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

53

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU-XII/2014

A. Pertimbangan Hukum Dari Aspek Yuridis

Sebagaimana para hakim menimbang ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-

Undang Perkawinan sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan

UUD 1945 khususnya terhadap pasal 28A, pasal 28B ayat 1 dan 2, pasal 28C ayat 1,

pasal 28D ayat 1, pasal 28G, pasal 28H ayat 1, 2, dan 3 serta pasal 28I ayat 1 dan 2,

karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak

dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun.

Perkawinan merupakan suatu hak asasi manusia, penentuan batas usia

perkawinan bukan suatu pelanggaran hak asasi manusia sesuai sesuai pasal 28B ayat

1 yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah”. Karena seseorang boleh melakukan

perkawinan diatas usia 16 tahun bagi wanita dan apabila ada penyimpangannya,

diperbolehkan melakukan perkawinan dibawah usia 16 tahun dengan mengajukan

dispensasi perkawinan sesuai dengan pasal 7 ayat 2 yang menyatakan “Dalam hal

penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan

atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak

wanita”.70

70

Aprilya Putri Nawang Larasati, “Jurnal Hukum, Analisis Yuridis Batas Usia Minimum Perkawinan Bagi Wanita”, h. 6.

Page 63: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

54

Seseorang yang berstatus kawin secara otomatis orang tersebut dianggap

sebagai seorang dewasa, alasan pemohon dibenarkannya perkawinan anak tersebut

tidak dapat dibenarkan secara hukum karena segala hal yang berkaitan dengan

perkawinan semua tunduk pada Undang-Undang Perkawinan.

B. Pertimbangan Hukum Dari Aspek Filosofis dan Sosiologis

Bangsa Indonesia menganut perbedaan pengaturan yang berbeda tentang

masalah usia perkawinan baik dalam masing-masing agama maupun perbedaan

budaya. Beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar

belakang budaya di nusantara mempunyai pengaturan yang berbeda dalam masalah

perkawinan. Salah satunya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia

minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh.

Pendapat Mahkamah Konstitusi juga mengikuti peraturan negara-negara

muslim lain yang masih belum menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan,

menurut Mahkamah Konstitusi berdasarkan asas perkawinan tidak pula dikenal

batasan umur perkawinan demi mencegah dorongan birahi untuk itu dorongan

birahi semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah berdasarkan ajaran

agama sehingga tidak melahirkan anak diluar perkawinan.

Adapun tujuan pernikahan yang Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan

hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara

serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk

mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan

Masyarakat. Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan

Page 64: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

55

mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.71

Terdapat beberapa asas dalam

perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami

istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan. Dari asas perkawinan

tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang

lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang,

di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena

dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan,

teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya penetapan batas usia perkawinan memang bertujuan demi

kemaslahatan dan kebaikan terutama bagi calon mempelai. Dalam Penjelasan

Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 4 Huruf

(d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya

dimaksudkan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir

pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Menurut Kompilasi

Hukum Islam Pasal 15 Ayat (1) juga dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga

dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah

mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal

7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri

sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Menurut aturan penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwasannya

tujuan dari adanya ketentuan batas minimal umur untuk menikah bagi laki-laki dan

71

Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 200.

Page 65: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

56

wanita adalah untuk menjaga kesehatan suami, istri dan keturunan. Berdasarkan pada

bunyi penjelasan ini maka penulis melihat bahwa ketentuan dalam pasal tersebut

hanya melihat dari segi kesiapan fisik atau biologis semata belum sampai melihat

perlunya juga mempertimbangkan kesiapan dari mental caln mempelai. Padahal

kesiapan mental dari calon mempelai sangat penting dipertimbangkan guna memasui

gerbang rumah tangga, karena sebuah perkawinan yang dilakukan tanpa

mempertimbangkan kesiapan mental maka hal itu seringkali menimbulkan masalah di

belakang hari bahkan tidak sedikit yang berantakan di tengah jalan.72

Adapun tujuan dalam pembatasan usia nikah adalah Pertama, dengan

menghapuskan kekaburan penafsiran batas minimal usia menikah, baikyang terdapat

dalam hukum adat maupun hukum Islam. Kedua, mengatasi masalah kependudukan.

Dengan adanya batas minimal ini Undang-Undang berupaya merekayasa menahan

dan mengurangi laju penduduk. Ketiga, perlindungan terhadap kesehatan reproduksi

perempuan. Batas minimal usia perkawinan yang rendah akan mengakibatkan laju

kelahiran lebih tinggi, implikasinya angkat kematian ibu hamil juga akan mengalami

peningkatan.73

72

Arbanur Rasyid, Buletin Perdata dan Hukum Islam “KEADILAN”, (Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, IAIN Padangsidimpuan,2015. http : syariah.iain-padangsidimpuan.ac.id, diakses tanggal 19 Juli 2017

73 Boga Kharisma, Jurnal Implementasi Batas Usia Minimal Dalam Perkawinan

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar

Lampung , 2017, h. 14.

Page 66: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

57

Menurut M. Quraish Shihab mengenai pandangan Islam tentang usia

perkawinan ditemukan dalam literatur hukum Islam aneka pendapat ulama mazhab

menyangkut batas minimal usia calon suami dan isteri dan adapun ketetapan hukum

yang berlaku di negara-negara berpenduduk muslim pun menyangkut usia tersebut

yang berbeda-beda. Bahkan dalam satu negara perubahan terjadi akibat

perkembangan masa. Perbedaan dan perubahan itu dapat dibenarkan karena kata

ulama sebagaimana yang di ungkapkan M. Quraish Shihab “Kita tidak dapat serta

meniru sepenuhnya ketetapan hukum yang lalu, walau kasusnya sama, karena ada

empat faktor yang harus selalu dipertimbangkan sebelum menetapkan hukum, yaitu

masa, tempat, situasi dan pelaku”. Dalam konteks usia perkawinan, para pakar harus

mampu mempelajari perkembangan masa dan situasinya sambil memperhatikan

tujuan perkawinan serta kondisi masyarakat.74

Pembatasan usia nikah pada dasarnya adalah hukum adat, terutama hukum

barat. Seiring dengan kebutuhan modern menjadikan hukum tertulis (Undang-

Undang), maka hampir semua atau sekurang-kurangnya bagian terbesar negara-

negara muslim atau negara-negara berpenduduk muslim, telah memiliki peraturan

perundang-undangan perkawinan, yang di dalamnya diatur pula perihal batasan usia

nikah.75

Lingkungan kehidupan tradisional dengan banyaknya perkawinan di usia

muda melatar belakangi dari kenyataan ini dan erat kaitannya dengan sifat

74

www.hukumpedia.com/ batas usia perkawinan, diakses tanggal 02 Mei 2017 pukul: 22.09. 75

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal. 167.

Page 67: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

58

kehidupan tradisional itu sendiri yang pada umumnya agraris. Dan untuk masa

sekarang perlu dipikirkan kembali tentang kemaslahatannya perkawinan usia muda

yang akan hanya menambahkan permasalahan dan kerusakan. 76

Pendekatan sosiologis menurut Selo Soemardjan da Soelaeman Soemardi

menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari

struktus sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.77

Dan

struktur sosial itu sendiri adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang

pokok yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok serta lapisan-lapisan

sosial. Pendekatan yang dilakukan dalam sosiologis ini adalah Pendekatan

Interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan yang yang terjadi di

dalam masyarakat dan mengetahui makna dari simbol yang dibuat oleh individu.

Interaksi sosial ini kunci dari pada kehidupan sosial dengan adanya interaksi antara

pelaku keluarga, saudara, masyarakat yang merupakan pemicu dalam terjadinya

perkawinan usia muda.78

Berdasarkan hasil pertimbangan para hakim dalam mengambil keputusan

dalam sebuah kasus dijelaskan dalam kaidah fikih yaitu:

انخم ف جتبد يرفعإلدكى انذبكى في يسبئم ا

76 Agus Hermanto, “Jurnal Ilmu Hukum dan Hukum Islam, Perkawinan di Bawah Umur

Ditinjau Dari Kacamata Sosiologis”, (Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, 2016), hal. 28, journal.iaimnumetrolampung.ac.id, diakses tanggal 21 April 2017 pukul: 21.40.

77 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990), hal.

21. 78

Agus Hermanto, “Jurnal Ilmu Hukum dan Hukum Islam, Perkawinan di Bawah Umur Ditinjau Dari Kacamata Sosiologis”, (Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, 2016), hal. 31, journal.iaimnumetrolampung.ac.id, diakses tanggal 21 April 2017 pukul: 21.40.

Page 68: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

59

“Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalh ijtihad menghilangkan

perbedaan pendapat”. Kaidah di atas berlaku untuk semua keputusan dari

pemegang kekuasaan. Maksud kaidah tersebut adalah apabila seorang hakim

menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian dia menguatkan

salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama tersebut, maka bagi orang-

orang yang berperkara harus menerima keputusan tersebut. Orang yang berperkara

tidak bisa menolak keputusan hukum tersebut dengan alasan ada pendapat lain yang

berbeda dengan hasil ijtihad hakim. 79

C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014 Berkaitan

Dengan Pembatasan Usia Pernikahan dalam Hukum Islam

Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pemohon mengajukan

permohonan tentang Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun”

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selengkapnya

menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)

tahun.” Adapun perbedaan pendapat di antara para ahli hukum tentang batas usia

dewasa, disebabkan adanya berbagai peraturan yang menyebut suatu batas usia

untuk hal tertentu. Sebagaimana juga dipertajam oleh dasar pandangan dan

penafsiran yang berbeda. Di mana dalam amar putusan menyatakan menolak

permohonan yang diajukan oleh pemohon.

79

A. Djazali, “Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 155.

Page 69: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

60

Perkawinan dapat diibaratkan sebagai suatu kontrak yang suci dan merupakan

tiang utama dalam membentuk suatu keluarga yang baik. Teramat penting dan

sucinya ikatan ini, sehingga Islam menentukan sejumlah aturan dan tindakan dalam

mengokohkan ikatan rumah tangga yang dibentuk tersebut. Aturan dan tindakan itu

wajib dilaksanakan bahkan sebelum ikatan tersebut dimulai (pranikah), sebagai

tindakan tersebut mesti dijaga sejak selesainya akad nikah guna memudahkan jalan

bagi suami dan isteri membina rumah tangganya.80

Dengan ini penulis akan menganalisa tentang pembatasan usia pernikahan

dalam Hukum Islam, sebagai berikut:

1. Pendapat Fikih

Dalam diskursus fikih, tidak ditemukan kaidah yang sifatnya

menentukan batas maksimal seperti yang dijelaskan dalam bab sebelumnya.

Artinya, suatu perkawinan tetap sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi,

tanpa mengharuskan usia kedewasaan para calon suami-isteri. Tidak adanya

syarat tentang usia kedewasaan itu merupakan kemudahan yang diberikan

oleh agama, karena ada segi-segi positif yang ingin dituju. Akan tetapi,

persoalan perkawinan bukan hanya persoalan yang sederhana, maka agama

mensyaratkan ada beberapa rukun dan syarat guna menumbuhkan rasa

tanggung jawab.81

80

Khuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, hal. 67. 81

Asep Saepuddin Jahar. Dkk, Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis; Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 43.

Page 70: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

61

Adanya pembatasan usia “anak” secara deninitif bukan berarti tidak

menimbulkan masalah secara fikih. Sebagai contoh, menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentag Perlindungan

Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi

anak yang lebih mengedepankan dan atau memastikan usia tidak sejalan atau

bahkan berlawanan dengan pengertian anak (walad) dalam kategori hukum

Islam (fikih) yang lebih mengutamakan daya kemampuan fisik dan mental.

Dalam fikih, untuk menetapkan tanda kedewasaan seseorang adalah dengan

keluar air sperma atau haid, dan dapat dipastikan bahwa sebagian besar anak

keluar sperma atau haid dibawah usia 16 tahun. Kedewasaan (bulugh) ini

sangat berkaitan dengan kewajiban-kewajiban keagamaan.

Beberapa ulama’ mengemukakan pendapatnya mengenai usia baligh,

yaitu menurut Imam Abu Hanifah dapat dikatakan baligh bagi seorang laki-

laki apabila telah ihtilam yaitu bermimpi nikmat sehingga keluar mani dan

bagi seorang wanita jika sudah mengeluarkan darah haid, pendapat Abu

Hanifah ini sangat relavan dengan zaman saat ini karena usia belum tentu

dapat menentukan kapan seseorang mengalami ihtilam (mimpi basah) bagi

seorang laki-laki dan belum tentu keluar haid seorang perempuan.

Terkadang umur 12 sudah mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan umur 9

tahun bagi seorang perempuan sudah mengeluarkan darah haid. Hukum

Page 71: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

62

Islam memberi ketentuan bahwa kedewasaan laki-laki ditandai dengan

keluar mani dan perempuan dengan keluarnya haid.82

2. Pendapat dari sisi Psikologis

Berbicara usia dapat juga dilihat dari sisi psikologis juga harus

diperhatikan, anak usia dini memang secara psikologis masih labil dan masih

harus mendapatkan pengarahan, oleh karena itu Almaidah penulis disini

mengemukakan dalam permasalahan pernikahan usia dini lebih menekankan

kepada kesiapan dan kesanggupan dari seseorang yang akan menikah

tersebut.83

Dan adanya usia minimal yang ditetapkan negara dengan alasan

bahwa seseorang mempertanggung jawabkan atas perbuatan hukum yang

telah dilakukannya yang menggambarkan kecakapan seseorang untuk

bertindak dalam hukum perdata, dan juga memiliki kematangan berpikir,

memiliki kematangan jiwa, kekuatan fisik yang memadai, dan kematangan

biologis seseorang. Dengan alasan ini kemungkinan keretakan rumah tangga

yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut

memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan

perkawinan. Undang-undang perkawinan tidak menghendaki pelaksanaan

perkawinan di bawah umur, agar suami istri yang dalam masa perkawinan

dapat menjaga kesehatannya dan keturunannya, untuk itu perlu ditetapkan

82

Nizar Abdussalam, Jurnal Hukum “Batas Minimal Usia Kawin Perspektif Hakim Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi UIN Malang”, (2015), hal. 88.

83 Almaidah, “Pernikahan Dini Perspektif Hukum Islam (Studi Telaah Pernikahan Rasulullah

SAW Dengan Aisyah)”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010), hal. 18.

Page 72: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

63

batas-batas umur bagi calon suami istri yang akan melangsungkan

perkawinan.

3. Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)

MUI berpendapat bahwa usia layak nikah adalah usia kecakapan

berbuat hak. Hal inilah yang menjadi ketentuan usia di mana seseorang

dianggap cakap melakukan tindakan hukum (sinn al-rusyd).84

Penetapan usia

perkawinan ini memiliki nilai guna dan nilai positif (maslahah). Hal ini dapat

dilihat bahwa hikmah tasyri’ dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga

sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan (hifdz an-nasl). Hikmah

ini bisa tercapai jika pernikahan dilakukan pada usia di mana calon mempelai

telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi. Dasar

yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwa ini adalah QS. Al- Nisa,

4:6; al-nur 24:32; al-thalaq 65:4; Dan keputusan MUI juga mengutip sebuah

kaidah fikih85

انقلفضم انسئم ف فق للا لفضم انقبصذ ي النى اانسئم دكى انقبصذ فب انسيهة إل

ف عهى ترتب انسبنخ عرف فضهه ي فضهه

Dalam kaidah fiqhiyyah dijelaskan sebuah kaidah yang berbunyi :

84

M. Ischwan Sam, “Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III 2009, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009), hal. 79.

85 Mohammad Hasan Bisyri, “Jurnal : Penerapan Teori Maqasid Syari’ah Dalam Ijtihad

Maejelis Ulama Indonesia”, Pekalongan, hal. 10, e-journal.stain-pekalongan.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 14.46.

Page 73: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

64

يبو نهراعية يت بب نسهذة إلتصرف ا

“Kebijakan Seorang Pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada

kemaslahatan”. Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus

berorientasi kepada kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa

nafsunya atau keinginan keluarganya atau kelompoknya. Adapun yang

berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan

manfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,

diorganisasikan, dinilai, dievaliasi kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang

mendatangkan mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus

disingkirkan dan dijauhi.86

Hasil ijtima’ MUI diatas menunjukan bahwa maslahah menjadi

tujuan utama pengaturan tersebut. Maslahah yang dapat diperoleh dari

pengaturan usia adalah terwujudnya keluarga sakinah dan terhindarnya ke

mudharatan, karena keluarga yang sakinah sulit terwujud, jika pasangan

tersebut tidak memiliki kesiapan, baik mental (rohani) maupun fisik. Namun

demikian, MUI masih kesulitan untuk menetapkan batasan usia tersebut,

karena forum ijtima’ ulama tidak sepakat untuk membatasi usia tersebut.

Untuk menghindari kebuntuan ini, MUI mengembalikan batas usia tersebut

kepada Undang-Undang yang telah di tetapkan oleh ulil amri, dan MUI

berpendapat bahwa mentaati ulil amr sebuah keharusan. Menurut Asrorun

86

A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 148.

Page 74: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

65

Ni’am Sholeh, jika tujuan adanya pengaturan usia pernikahan adalah

mewujudkan kemaslahatan, maka pengaturan usia tersebut bukanlah bersifat

pembatasan (tahdid). Karena jika bersifat pembatasan, justru akan

menimbulkan masalah-masalah yang lain.87

Keputusan Ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia III tahun 2009

menyatakan bahwa dalam literatur fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara

eksplisit mengenai batas usia pernikahan. Walaupun demikian, hikmah tasyri’

dalam perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam

rangka memperoleh keturunan (hifz al-Nasl) dalam hal ini bisa tercapai pada

usia dimana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap

melakukan proses reproduksi.88

Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa

ketentuan hukum, yaitu :89

a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batas usia perkawinan secara

definitif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan

menerima hak (ahliyatul ada’wa al wujub) sebagai ketentuannya.

87

Mohammad Hasan Bisyri, “Jurnal : Penerapan Teori Maqasid Syari’ah Dalam Ijtihad Maejelis Ulama Indonesia”, Pekalongan, hal. 11, e-journal.stain-pekalongan.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 14.46.

88 Khaeron Sirin, Fikih Perkawinan di Bawah Umur, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 35.

89 A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan

Masalah-Masalah Yang Praktis”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 149.

Page 75: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

66

b. Perkawinan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhi

syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat

c. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan

perkawinan, yaitu kemaslahatan berumah tangga dan bermasyarakat serta

jaminan keamanan bagi kehamilan

d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan

pada standarisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 sebagai pedomannya

Uraian di atas memperlihatkan bahwa faktor kedewasaan merupakan kondisi

yang amat penting, kendati tidak masuk dalam rukun dan syarat perkawinan (dalam

agama). Namun jika diteliti dengan seksama, Islam memang tidak pernah

memberikan batasan secara definitif berapa usia orang yang dapat dianggap

dewasa.90

Dengan ini keanekaragaman dalam menentukan batas usia kedewasaan

diakibatkan oleh tidak adanya patokan yang dapat digunakan secara akurat untuk

menentukan batas kedewasaan manusia, usia dan tindakan perkawinan memang bisa

menjadi ukuran yang tepat karena usia atau umur sendiri merupakan suatu keadaan

dimana seseorang telah mencapai tingkat kematangan itu hadir pada masing-masing

orang secara berebeda-beda, bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa

90

H.M. Ghufron, Makna Kedewasaan Dalam Perkawinan, (Surabaya), hal. 4.

Page 76: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

67

mungkin saja sampai dengan akhir hayatnya manusia tidak pernah mengalami

kedewasaan tidak selalu berbanding lulus dengan usia.91

Memang tidak semua peraturan perundang-undangan menyebutkan secara

tegas tentang batas usia, namun dengan menentukan batasan umur bagi suatu

perbuatan hukum tertentu, maka sesungguhnya faktor kedewasaanlah yang menjadi

ukuran, misalnya dalam beberapa undang-undang hanya mencantumkan batasan

umur bagi mereka yang disebut anak, sehingga di atas batas umur tersebut harus

dianggap telah dewasa, atau undang-undang membolehkan seorang untuk

melakukan suatu perbuatan tertentu setelah melampaui batas umur yang ditentukan,

semua pengaturan tersebut pada akhirnya tertuju pada maksud dan pengertian

tentang kedewasaan.92

Jika dianalisi lebih lanjut, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki tujuan

untuk mencegah pernikahan dini dan ini berkaitan cukup erat dengan masalah

kependudukan dan kesejahteraan kaum perempuan. Jika dibandingkan dengan

sebelum adanya pembaruan undang-undang hukum keluarga Islam, pengaturan

tentang usia ini berpengaruh pada terpeliharanya hak-hak perempuan walaupun

belum bisa maksimal.93

91

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 59.

92 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1991) hal. 163.

93 M. Nur Hasan Latief, Jurnal Hukum Novelty “Pembaharuan Hukum Keluarga Serta

Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia Minimal Kawin dan Peningkatan Status Wanita”, (2006), hal. 205, journal.uad.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 14.55.

Page 77: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

68

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7

ayat (1) dinyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur

16 (enam belas) tahun”. Pembatasan minimum usia kawin pada undang-undang

perkawinan ini merupakan unifikasi usia kawin dari beberapa sumber dan literatur

sebagai acuan tetap hakim untuk memutus perkara kawin. Karena sebelum

terbentuknya undang-undang ini hakim merujuk pada kitab-kitab turats yang sangat

varian dalam memberikan pembatasan minimum usia kawin. Angka 19 tahun bagi

laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan juga berdasar pada kultur dan kondisi

masyarakat Indonesia.94

Hal ini pemohon mengajukan permohonan dalam frasa “16 (enam belas)

tahun” yang di mana pemohon ingin menambahkan frasa tersebut ke umur 18

(delapan belas) tahun, karena pada umur 18 seorang wanita sudah mencapai tingkat

kematangan biologis seorang wanita. Akan tetapi, dalam Islam tidak memberikan

batasan minimal usia kawin secara gamblang. Batasan usia kawin hanya didasarkan

pada standar usia baligh. Dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan

bertujuan untuk mengatur masyarakat yang tertib dan nyaman. Dirumuskannya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sebuah jawaban

dari reaksi yang ditimbulkan oleh berbagai kalangan masyarakat. Dengan ini

Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan dalam permohonan yang

94

Nizar Abdussalam, Jurnal Hukum “Batas Minimal Usia Kawin Perspektif Hakim Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi UIN Malang”, (2015), hal. 88, ejournal.uin-malang.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 15.22.

Page 78: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

69

diajukan oleh Pemohon adalah tidak menyetujui apa yang diajukan oleh Pemohon

dikarenakan apabila ditambahkan umur yang di mana dalam Pasal 7 ayat (1)

tersebut terdapat frasa 16 (enam belas) tahun akan ditingkatkannya menjadi 18

(delapan belas) tahun maka akan banyak lagi menimbulkan ke mudharatan yang

tidak diinginkan, misalnya terjadinya hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas dan

lainnya.

Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan hukum telah nyata bahwa

kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan

adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek

kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat

memastiskan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin tersebut akan

semakin mengurangi angka perceraian maupun meminimalisir permasalahan sosial

lainnya.

Namun demikian, penulis skripsi ini berpendapat bahwa tidak menyetujui

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang menolak untuk menaikkan usia

pernikahan. Perkawinan tidak berakhir pada suatu perceraian yang harus dicegah

adanya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih dibawah umur. Karena

perkawinan bukan hanya mempunyai masalah kependudukan, tetapi kondisi sosial

kemasyarakatan masyarakat Indonesia khususnya yang berada di wilayah terpencil

yang belum mengetahui dan memahami pentingnya pembatasan usia perkawinan

yang dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami dan isteri serta menjaga

Page 79: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

70

kesehatan keturunan yang akan dihasilkannya.95

Maka untuk mengerem laju

kelahiran yang lebih tinggi harus dicegah terjadinya perkawinan yang masih di

bawah umur, tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan

karena Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberikan

kemungkinan penyimpangannya.

Banyak alasan seseorang menikah di bawah umur karena wanita tersebut

hamil akibat perilaku pergaulan bebas dan solusinya adalah orang tua mereka harus

menikahkan mereka pada usia muda. Situasi semacam itu mengilustrasikan

relevansi meningkatnya pernikahan di bawah umur. Hal ini Undang-Undang

Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap warga Negara yang batas usianya

belum mencukupi dengan mengajukan Permohonan Dispensasi Kawin dari

Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua dari pihak pria maupun

wanita terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun

1974. 96

95

Muhammad Arafat Yusmad, Al-Ahkam Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah “Analisis Hukum Batasan Usia Perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Fakultas Syariah IAIN Palopo, 2015.

96 www.Landasanteori.com, diakses tanggal 18 April 2017 pukul: 12.31.

Page 80: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penilitian yang penulis susun di

atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada dasarnya hukum Islam tidak mengatur batas usia minimal seseorang pria

atau seorang wanita untuk dapat melangsungkan pernikahan. Para ulama

sepakat bahwa untuk melangsungkan pernikahan jika calon suami atau istri

sudah aqil baligh salah satu tandanya, jika wanita sudah mulai menstruasi dan

pria sudah mengalami mimpi yang mengakibatkan keluar sperma.

2. Namun demikian, berdasarkan qaidah fikih yang menjadikan kemaslahatan

sebagai acuan, maka beberapa negara Islam atau negara yang berpenduduk

mayoritas muslim menetapkan adanya pembatasan usia minimal untuk

menikah. Salah satu ukurannya adalah kematangan. Di Indonesia batas usia

pernikahan itu adalah 19 tahun untuk seorang pria dan 16 tahun untuk wanita.

3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, yang menolak

permohonan adanya peningkatan batas usia minimal wanita untuk melakukan

pernikahan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, tidaklah bertentangan dengan

hukum Islam sebab pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pada

Page 81: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

72

dasarnya untuk kemaslahatan atau kepentingan calon mempelai wanita itu

sendiri.

B. Saran-Saran

Penulis menyampaikan beberapa saran terkait adanya pembatasan usia

pernikahan ini, sebagai berikut:

1. Walaupun Mahkamah Konstitusi telah menolak adanya peningkatan batas usia

pernikahan seorang wanita dari 16 tahun menjadi 18 tahun, masyarakat

diharapkan tidak mudah begitu saja menikahkan putrinya yang masih relatif

muda, juka ia belum terlihat matang dari segi fisik dan mental. Kematangan

fisik dari mental dalam menghadapi masa-masa pernikahan sangat deperlukan

dalam rangka menjauhkan kemaslahatan, yaitu tercapainya tujuan perkawinan

yang bahagia, sakinah, mawaddah, dan rahmah.

2. Untuk menambah kematangan para calon mempelai pria dan wanita, terutama

bagi pasangan-pasangan yang masih relatif muda, perlu dilakukan bimbingan

pernikahan secara intensif dan distrimatif oleh lembaga-lembaga penasihatan

perkawinan, seperti BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian

Perkawinan) dengan didukung pemerintah dan masyarakat luas. Dengan

demikian, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, yang

bertumpu pada kemaslahatan atau kepentingan mempelai dapat termujud.

Page 82: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

71

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Nizar. Jurnal Hukum “Batas Minimal Usia Kawin Perspektif Hakim

Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi UIN Malang”, (2015), diakses tanggal

06 April 2017 dari ejournal.uin-malang.ac.id.

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja

Grafindo, 2002.

Almaidah. Pernikahan Dini Perspektif Hukum Islam (Studi Telaah Pernikahan

Rasulullah SAW Dengan Aisyah). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010.

Asrori, Ahamad. Batas Usia Perkawinan Menurut Fuqaha dan penerapannya dalam

Unsang-undang Perkawinan di Dunia Islam. Lampung.

Astuty, Siti Yuli. “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda

Dikalangan Remaja Di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten

Deli Serdang”

Bisyri, Mohammad Hasan.“Penerapan Teori Maqasid Syari’ah Dalam Ijtihad

Maejelis Ulama Indonesia”, Pekalongan. diakses tanggal 06 April 2017 dari e-

journal.stain-pekalongan.ac.id.

Djazali, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam

Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2007.

F, Shappiro. Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia, Jakarta: Restu Agung,

2000.

Page 83: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

72

Ghufron, H.M. Makna Kedewasaan Dalam Perkawinan. Surabaya.

Haikal, Hasanain dan Abdul Hadi. “Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Analisis

Yuridis Normatif dan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Anak

(Perempuan)”, diakses tanggal 20 April 2017 dari journal. Stainkudus.ac.id

Hermanto, Agus. “Ilmu Hukum dan Hukum Islam, Perkawinan di Bawah Umur

Ditinjau Dari Kacamata Sosiologis”, diakses tanggal 21 April 2017 dari

journal.iaimnumetrolampung.ac.id.

Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid 1, No. 1868.

Jahar, Asep Saepudin, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin. Hukum Keluarga,

Pidana, dan Bisnis “Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum

Internasional”. Jakarta: Kencana, 2013.

Karim, Helmi. Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam

Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.

Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk

Wanita”. Jakarta.

Kharlie, Ahmad Tholabie. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Kompilasi Hukum Islam

Latief, M. Nur Hasan. Jurnal Hukum Novelty “Pembaharuan Hukum Keluarga Serta

Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia Minimal Kawin dan Peningkatan

Status Wanita”, (2006), diakses tanggal 06 April 2017 dari journal.uad.ac.id.

Page 84: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

73

Majelis Ulama Indonesia. Ijma’ Ulama (Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-

Indonesia III Tahun 2009). Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009.

Mudzhar, M. Atho’ dan Dr. Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Mughniyyah, M. Jawad. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2003.

Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003., cet.ke-5

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014

Sari, Nurmilah. “Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan

Agama Tangerang)”. Skripsi S1 Peradilan Agama Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Sam, M. Ischwan. Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia

III 2009. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009.

Santoso, Haris. Batas Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam

Mazhab”, Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum. Jakarta:

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010.

Saryono, Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta:

Nuha Medika, 2010.

Shihab, M. Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Sirin, Khaeron. Fikih Perkawinan di Bawah Umur. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Page 85: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

74

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Renika Cipta, 1991.

Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali

Press, 2004.

Supriyadi, dkk. “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam”. Bandung:

Pustaka al-Fikriis, 2009.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, cetakan ke-3, 1984.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. set. Ke-3,

Ed. Revisi

Sofyan, Yayan. Relasi Suami Istri, (Jakarta Pusat Studi Wanita UIN Syarif

Hidayatullah, 2004.

Sofyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, 2010.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media,

2006.

Syambuzzi, Muhammad. “Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Pada Usia

Muda”(Studi Kasus di Kelurahan Jati Bening Kecamatan Pondok Gede

Bekasi)”. Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta:

Fakultas Syariah dan Hukum, 2010.

Thalib, Sayuti. Hukum Keluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Umran, Abdur Rahim. Islam dan KB. Jakarta: Lentera Batritama, 1997.

Page 86: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

75

Yanggo, Khuzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka

Firdaus

Artikel diakses tanggal 20 April 2017 dari http://tafsir.web.id/

www.Landasanteori.com, diakses tanggal 18 April 2017

Page 87: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

76

Page 88: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

77

Page 89: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

78

Page 90: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

79

Page 91: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

80

Page 92: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

81

Page 93: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

82

Page 94: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

83

Page 95: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

84

Page 96: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

85

Page 97: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

86

Page 98: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

87

Page 99: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

88

Page 100: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

89

Page 101: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

90

Page 102: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

91

Page 103: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

92

Page 104: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

93

Page 105: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

94

Page 106: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

95

Page 107: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

96

Page 108: FARAIDHIKA MUADHINA (1113044000026 - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44478/1/FARAIDHIKA... · melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

97