Upload
trankhue
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014)
SKRIPSI
Diajukan pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
FARAIDHIKA MUADHINA
(1113044000026)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
ii
iii
iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan dibawah ini saya:
Nama : Faraidhika Muadhina
NIM : 1113044000026
Fakultas : Syariah dan Hukum
Program Studi : Hukum Keluarga
Menyatakan dengan sesungguhnya dan sejujurnya, bahwa skripsi saya yang berjudul:
“PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (Studi
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XXI/2014)” adalah asli hasil penelitian
saya sendiri dan bukan plagiat hasil karya orang lain.
Jakarta, 18 Mei 2017
Yang Menyatakan
Faraidhika Muadhina
1113044000026
iv
v
ABSTRAK
FARAIDHIKA MUADHINA, NIM : 1113044000026, PEMBATASAN
USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM (Studi Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014), Kosentrasi Peradilan Agama, Program Stusi
Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017M/ 1348 H.
Persoalan pembatasan usia pernikahan adalah menjadi perhatian khusus bagi
masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini, kedewasaan usia merupakan salah satu
indikator bagi tercapainya tujuan suatu pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup
berumah tangga dan bermasyarakat. Jelaslah disini bahwa adanya pembatasan usia
pernikahan bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan.
Tujuan dari penilitian ini adalah untuk mengetahui pandangan fuqaha dan
pandangan hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-
XII/2014 tentang pembatasan usia pernikahan. Terkait metode yang digunakan
dalam penilitian ini adalah Penelitian Kualitatif, dengan pendekatan penelitian
menggunakan kajian pendekatan hukum normatif, dan teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah Kepustakaan yang di ambil; dari Al-Qur’an, Hadist, dan
Undang-Undang.
Hasil dari kajian penulis menunjukkan bahwa, batasan usia pernikahan
menurut hukum Islam disini tidak dijelaskan secara eksplisit atau jelas. Namun,
dalam beberapa Al-Qur’an dijelaskan beberapa ayat yang mengharuskan seseorang
untuk menikah apabila sudah mencapai kedewasaan atau baligh.
Kata Kunci : Batasan Usia Pernikahan
Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, MA
Bahan Pustaka : 1986 sampai dengan 2016
v
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur saya kepada Allah S.W.T. Yang mana telah
memberikan segala nikmatnya kepada hamba-hamba yang tidak ada batasan.
Sholawat dan salam tak lupa saya ucapkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW, yang mana telah membawa kedamaian bagi umat manusia dan juga
membawa umat manusia dari zaman kegelapan atau jahiliyah ke zaman yang penuh
cahayanya atau ilmu pengetahuan ini.
Tidak lupa, penulis sampaikan rasa terima kasihnya kepada orang-orang yang
telah membantu dan mendo’akan penulis dalam penulisan skripsi ini, kepada yang
terhormat :
1. Ucapan terima kasih yang mendalam kepada kedua orang tua yang sangat
saya cintai dan sayangi sepanjang masa, ayahanda Drs. Kurthubi, MH dan
ibunda Hibatunnisa yang selalu memberikan semangat, nasihat, serta do’anya
yang memberikan motivasi kepada penulis. Semoga yang telah beliau berikan
atau do’akan di balas oleh Allah SWT dan perlindungan semoga selalu di
berikan untuk beliau berdua;
2. Kepada Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah;
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak
Arip Furqon, M.A Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga;
4. Drs. H. Wahyu Widiana, M.A sebagai dosen pembimbing, semoga ilmu yang
telah bapak berikan akan bermanfaat bagi penulis;
5. Teruntuk adik-adik ku yang tercinta Al-Aqib dan Husnu El Wafa yang selalu
memberikan semangat disaat malas datang mengganggu;
vi
vii
6. Sahabat Dumang ku tercinta, Nur Indah Faradhiyah, Vicky Fauziah, Utami
Zurraidah Oktaviani, Irma Zhafira Nur Shabrina Hajida, Hikmah, Azriyani,
dan Indah Ayu Komalasari kesayanganku dan seperjuangan yang tidak bisa
saya ungkapkan dengan kata-kata kalian adalah yang terbaik;
7. Sahabat Roommate ku, Putri Azizah Helena, Nur Indah Faradhiyah, dan
Mellia Rosdiana yang menemani pagi siang malam selama berada dalam
kamar tercinta yang mampu mengubah kesunyian dengan candaan-candaan
kalian;
8. Para Senior dan teman-teman Keluarga Besar Islamic Family Law yang
memberikan saran dan motivasi dalam penulisan skripsi;
9. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberi dukungan
kepada penulis;
Akhirnya, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak,
semoga do’a dan harapan kita semua dapat dikabulkan oleh Allah SWT, Amiiiinn....
Ciputat, 18 Mei 2017
Penulis,
(Faraidhika Muadhina)
vii
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................................... 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ....................................................... 4
D. Tujuan dan manfaat penelitian ................................................................................ 5
E. Tinjauan Review studi Terdahulu ............................................................................ 6
F. Metodelogi penelitian .............................................................................................. 7
G. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 9
BAB II PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Fuqaha ..................................................... 11
B. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Hukum Keluarga di Negara Muslim ....... 20
vii
ix
BAB III PUTUSAN MAHAKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU-XII/2014
A. Duduk Perkara ....................................................................................................... 27
B. Petitim Putusan ...................................................................................................... 40
C. Diktum Putusan......................................................................................................45
D. Pertimbangan Hukum.............................................................................................46
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU
XII/2014
A. Pertimbangan Hukum Dari Segi Yuridis ............................................................... 51
B.Pertimbangan Hukum Dari Segi Filosofis dan Sosiologis.......................................52
C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014 Berkaitan Dengan
Pembatasan Usia Pernikahan dalam Hukum Islam.....................................................57
1. Pendapat Fikih……………………………………………………………….58
2. Pendapat dari sisi Psikologis………………………………………………...59
3. Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)…………………………………..60
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 68
B. Saran ...................................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...70
LAMPIRAN
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kata yang merujuk pada hal-hal yang terkait dengan sebuah
ikatan atau hubungan pernikahan. Pengertian istilah perkawinan lebih luas dari istilah
pernikahan. Jika pernikahan merujuk pada seb uah ikatan yang dilakukan atau dibuat
oleh para pihak suami dan istri untuk hidup bersama, dan atau merujuk pada sebuah
proses dari ikatan tersebut, perkawinan merujuk pada hal-hal yang muncul terkait
dengan proses, pelaksanaan, dan akibat dari pernikahan.1 Dalam Islam pernikahan
bukan semata-mata sebagai kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai
ibadah. Oleh karena itu, berkeluarga (nikah) adalah jalan terhormat yang disyariatkan
Allah untuk menyalurkan kebutuhan biologis.2
Memasuki suatu perkawinan calon suami istri dituntut untuk mempunyai
kesiapan lahir dan batin. Individu yang telah memasuki lembaga perkawinan harus
mampu mengendalikan dan mengembangkan kebutuhan emosional dengan
pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana rumah tangga yang bahagia, yang
menjadi tujuan dari dilaksanakan perkawinan. Hal ini diharapkan seseorang telah
memiliki kematangan psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena
1 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana, dan
Bisnis “Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 23-24.
2 Yayan Sofyan, Relasi Suami Istri, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah,
2004), h. 1.
2
dengan kematangan dari segi psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan,
karena dengan kematangan psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan
memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di
kemudian hari. Banyak pasangan perkawinan usia muda yang tidak memperhatikan
tentang berbagai risiko yang akan dihadapi dalam perkawinan karena mereka
berfikir perkawinan dalam usia muda sangatlah mudah padahal dalam kenyataannya
tidak demikian.
Al-Qur’an atau Hadis Nabi tidak membatasi usia tertentu tentang batas usia
perkawinan, namun terdapat ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang secara tidak
langsung mengisyaratkan batas usia tertentu.3
Sesuai firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32 : “Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur, dan batas
umur itu adalah baligh.
Dalam fikih pun juga tidak pernah dijumpai adanya batasan usia menikah
bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, hal ini tidak berarti
bahwa undang-undang negara muslim tidak menerapkan ketentuan mengenai
3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.
67.
3
pembatasan usia perkawinan. Bahkan, dalam beberapa riwayat justru disebutkan
bahwa Rasulullah Saw, menikahi Aisyah ketika ia berumur kurang dari tujuh tahun.
Fakta sejarah inilah yang kemudian menyulut perdebatan cukup serius di kalangan
ulama, mengenai bagaimana status menikahi anak kecil atau di bawah umur dalam
pandangan Islam.
Perkawinan usia muda ini sangat terkait dengan hak orang tua atau wali
untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai kemauan anak itu sendiri. Dalam
beberapa kasus di masyarakat, karena alasan hubungan kekeluargaan atau
mempertahankan status sosial orang tua yang seringkali menjodohkan atau bahkan
menikahkan anak mereka dengan anak saudaranya sejak masih belia.4
Perdebatan terkait dengan aturan perkawinan salah satunya adalah dengan
usia minimum pasangan yang boleh melakukan pernikahan. Perkawinan tidak bisa
diadalan sebelum calon mempelai mencapai umur yang ditetapkan.5 Dijelaskan di
dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.”6
4 Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 200-
201. 5 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga, Pidana, dan
Bisnis “Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 44.
6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4
Dengan demikian, dalam kasus yang akan diteliti penulis ini berdasarkan
dengan perkara No. 30/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi di mana, Zumrotin
(Ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan) sebagai pemohon yang
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Isi dari permohonan tersebut
pemohon memutuskan untuk mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Gugatan tersebut diajukan dengan alasan
sebagai berikut :
1. Dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”, bertentangan atau tidak
konsisten (inkonsitensi) dengan sistem norma hukum pasal 28B ayat 1 UUD
1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, sehingga dalam hal ini
menimbulkan ketidakpastian dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi
menimbulkan ketidakadilan.
2. Pemohon juga menganggap hak konstitusional terhadap perempuan dirugikan
dengan adanya Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”.
Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan
judul “Pembatasan Usia Pernikahan Dalam Hukum Islam (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014)”.
B. Identifikasi Masalah
5
1. Adakah pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014
dalam pembatasan usia penikahan?
2. Apakah yang membedakan batasan usia pernikahan di negara muslim?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap batasan usia pernikahan?
4. Apakah dengan adanya batasan usia pernikahan merugikan hak konstitusioanl
terhadap perempuan?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat
luas, maka dari itu penulis membatasi pada pembahasan dalam skripsi ini.
Pembatasan masalah dalam skripsi ini meliputi : Batas usia nikah disini hanya
boleh dilakukan calon suami dan istri yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam ruang lingkup hukum Islam dan pembatasan usia pernikahan dalam
hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014) yang
merugikan hak konstitusional terhadap perempuan.
2. Rumusan Masalah
Dalam skripsi ini penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut :
a. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang Pembatasan Usia Pernikahan?
b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
30/PUU-XII/2014 tentang Pembatasan Usia Pernikahan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
6
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan dan kegunaannya yang bermanfaat bagi
pembacanya, oleh karena itu tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam tentang Pembatasan Usia
Pernikahan.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014 tentang Pembatasan Usia Pernikahan.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah sebagai berikut :
a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang lebih luas bagi
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga.
Dan penilitian ini dapat menjadi bahan pendukung kepada seluruh kalangan
akademisi, mahasiswa, maupun dosen.
b. Segi Praktis
Untuk menambah wawasan bagi penulis, dan para mahasiswa/i Fakultas
Syariah dan Hukum pada khususnya, serta masyarakat pada umumnya dalam
menanggapi masalah batas usia perkawinan bagi calon suami atau istri yang
akan melasungkan perkawinan.
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam kajian terdahulu, beberapa hasil penelitian yang kiranya berkaitan
dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadikan penelitian. Dari
7
beberapa hasil penelitian yang sudah membahas dan mengkaji masalah ini, antara
lain :
1. Dalam skripsi yang berjudul “Penetapan Umur Dalam Rangka Mencapai Tujuan
Pernikahan (Perbandingan antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)” yang ditulis oleh
Muhammad Rajab Hasibuan. Dalam tulisannya Muhamad Rajab Hasibuan
menjelaskan masalah tentang idealisme sebuah pernikahan dengan pertimbangan
kematangan usia antara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Perbedaan
dengan skripsi yang penulis tulis adalah memberikan penjelasan dalam pasal 7
ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di mana bertentangan atau
tidak konsisten dengan UUS 1945.
2. Dalam skripsi yang berjudul “Tingkat Kedewasaan antara laki-laki dan
perempuan relevansi dengan batas usia perkawinan (Studi Komparasi Hukum
Islam dengan Pandangan Medis)” yang ditulis oleh Udi Wahyudi. Dalam
tulisannya Udi Wahyudi menjelaskan masalah tingkat kedewasaan perkawinan
dilihat dari aspek fikih dan medis. Perbedaan dengan skripsi yang penulis tulis
adalah menjelaskan batas usia pernikahan menurut empat imam mazhab dan juga
memberikan perbandingan batas usia nikah di negara muslim.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan
8
kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah
secara kritis, yang akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh pengasuh-pengasuhnya.7
Secara terminologis, penelitian dapat dimaknai sebagai suatu usaha atau
kegiatan yang bertujuan untuk memecahkan sesuatu masalah dengan menggunakan
cara-cara atau metode yang bersifat ilmiah. Untuk menghasilkan produk penelitian
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, suatu kegiatan penelitian
memerlukan pengetahuan tentang cara-cara yang sistematis dan terukur dalam
melakukan kegiatan penelitian atau yang biasa dikenal dengan metode penelitian.8
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif atau
doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud
Marzuki penelitian hukum doktrinal adalah penelitian yang memberikan
penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu,
menganalisis hubungan antara peraturan menjelskan daerah kesulitan dan
mungkin memprediksi pembangunan masa depan.9
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu
perundang-undangan (statutory approach). Pendekatan perundang-undangan
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), set. Ke-3, Ed.
Revisi, h. 3. 8 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, 2010), h. 8-9.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
h. 32.
9
adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani.10
3. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan terdapat dua jenis data, yaitu sumber Hukum
Primer dan sumber Hukum Sekunder. Sumber Hukum Primer yang digunakan
adalah Undang-Undang no.1 tahun 1974 yang diterapkan atau berlaku di
Indonesia yang berkaitan dengan masalah yang penulis kaji. Sedangkan, Sumber
Hukum Sekunder yang digunakan adalah berupa komentar dan buku-buku,
dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam skripsi ini, maka metode
pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan
dapat diartikan sebagai teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penalaah terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-
laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.11
4. Analisis Data
Dalam proses analisis data, peneliti ini menggunakan deskriptif analysis, yaitu
menganalisa dengan mendeskripsikan putusan terhadap Pembatasan Usia
Perkawinan dan dipadukan dengan studi kepustakaan yang terkait.
5. Teknik Penulisan
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 24. 11
M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), cet.ke-5. h. 27.
10
Teknik penulisan ini berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang
dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan, penulis
menyusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN. Pada bab ini penulis membahas latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : Pembatasan Usia Pernikahan Dalam Hukum Islam. Pada bab ini penulis
membahas bagaimana penjelasan tentang pembatasan usia pernikahan dalam hukum
Islam dan pandangan para fuqaha.
BAB III : Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/. Pada
bab ini penulis membahas tentang isi duduk perkara, konsideran, dan diktum dalam
putusan.
BAB IV : Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014. Pada bab
ini penulis akan menganalisis gugatan yang diajukan oleh pemohon dalam hukum
Islam.
BAB V : PENUTUP. Berisi tentang kesimpulan dan saran
11
BAB II
PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah mengatur batas usia
pernikahan. Pasal 7 ayat 1 Bab II Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini
tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar
kedua belah pihak (suami isteri) benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis,
dan mental.12
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1), diatur
bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.13
A. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Fuqaha
Perkawinan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria
dengan seorang wanita, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat
penting dalam tata kehidupan manusia. 14
12
Shappiro. F, Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia, (Jakarta: Restu Agung, 2000), h. 19.
13 Kompilasi Hukum Islam.
14 Sayuti Thalib, Hukum Keluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 73.
12
Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas
usia pernikahan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan
maksimal untuk melangsungkan pernikahan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa
orang yang melangsungkan pernikahan haruslah orang yang siap dan mampu.
Firman Allah SWT Surat An-Nuur ayat 32 berbunyi : “Dan nikahkanlah orang-
orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak
(menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur
: 32)15
Kata Asholihin الصلحن dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak
kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah
tangga.16
Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki
syarat meskipun bersifat umum, yaitu kelayakan kedewasaan dan kematangan
identik dengan usia seseorang.
Fiqh klasik sebenarnya tidak melarang pernikahan di bawah umur. Pendapat
ini didukung oleh mayoritas ulama dari 4 mazhab. Dalil yang dipakai mayoritas
ulama ini ada banyak, salah satunya adalah nikahnya Nabi Muhammad SAW
dengan Aisyah sewaktu masih berumur 6 tahun.
15
Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 354.
16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. IX, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 335.
13
“Dari Aisyah r.a, bahwa Nabi SAW telah menikahi Aisyah sedang Aisyah
sedang berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat Aisyah
berumur 9 tahun, dan Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun”.17
Batas umur minimal tidak terdapat dalam berbagai mazhab secara kongkret
yang dinyatakan dalam bilangan angka, yang terdapat pernyataan istilah baligh
sebagai batas minimalnya. Para ulama mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil
merupakan bukti baligh seorang wanita.
Imam Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-
laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkannya adalah 17
tahun. Sementara Hanafi menetapkan usia baligh untuk anak laki-laki adalah 18
tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. Pendapat Hanafi dalam usia baligh ini
adalah batas maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun untuk anak
laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan, sebab pada usia tersebut seorang anak
laki-laki telah mimpi basah dan mengeluarkan sperma, menghamili, dan
mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan dapat hamil
dan haidh.18
Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat
beberapa pendapat diantaranya :
17
Haris Santoso, “Batas Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam Mazhab”, Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 28.
18 M. Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2003), h. 317.
14
1. Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi
laki-laki dan 17 tahun bagi wanita.
2. Imam Malik, menetapkan 18 tahun baik untuk pihak laki-laki maupun
perempuan.
3. Imam Syafi’i dan Hanabilah, menentukan bahwa masa untuk menerima
kedewasaan dengan ditentukan umur yaitu 15 tahun bagi laki-laki dan
perempuan.19
Murtadha Murthahari (Ulama asal Iran) sebagaimana dikutip M. Quraish
Shihab menjelaskan bahwa masa baligh atau dewasa adalah ketika bulu rambut
wajah (cambang) dan dagu (jenggot) serta bulu dada pemuda mulai tumbuh.
Sedangkan, pada masa itu jari-jari perempuan memperoleh kelembutan, pinggulnya
mulai membesar. Demikian juga muncul penonjolan yang jelas pada dadanya
sebagai persiapan melaksanakan fungsi penyusuan anak.20
Adapun madzhab Imamiyah, menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah
15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun, berdasarkan hadits Ibnu Sinan
berikut ini : “Apabila anak perempuan telah mencapai usia sembilan tahun, maka
hartanya diserahkan kepadanya, urusannya dipandang boleh, dan hukum pidana
dilakukan atas haknya dan terhadap dirinya penuh.”
Ketentuan baligh maupun dewasa tersebut, menurut sebagian fuqaha,
bukanlah persoalan yang dijadikan pertimbangan boleh tidaknya seseorang untuk
19
Helmi Karim, Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 70.
20 M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 14-15.
15
melaksanakan perkawinan, tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i,
dan Imam Hambali berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak
perempuannya yang masih perawan (belum baligh), dengan demikian juga
neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Hanya Ibn Hazm dan Shubrumah
berependapat bahwa ayah tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih
kecil kecuali ia sudah dewasa dan mendzpat izin dari padanya.21
Akan tetapi, baligh di sini tidak dapat dipakai sebagai ukuran pasti bagi
semua orang, karena masa baligh tidak sama. Demikian pula tidak terdapat batas
perbedaan umur antara kedua calon mempelai, karena itu terjadilah perkawinan
anak kecil dan perkawinan antara dua orang suami isteri yang selisih umurnya
mencolok.22
Secara historis tentang batasan usia pernikahan dicontohkan oleh pernikahan
Nabi SAW, dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun. Sedangkan batasan
15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar yang berbunyi: “Rasulullah SAW
menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud yang ketika itu usiaku empat belas
tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku
kembali dalam perang Khandaq yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas
tahun. Beliau pun memperbolehkanku.” Naafi’ berkata: “Aku datang kepada Umar
21
Supriyadi, Dedi, dan Mustofa, “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam”, (Bandung: Pustaka al-Fikriis, 2009), h. 29 Skripsi : Batasan Usia Minimal Nikah di Negara Muslim (studi perbandingan negara Indonesia, Turki, dan Maroko) oleh Cepi Jaya Permana, 2016].
22 Haris Santoso, “Batas Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam Mazhab”,
Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010), h. 30.
16
bin Abdil-Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang
hadits tersebut. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ini adalah batasan antara
kecil dan besar. Maka Umar menugaskan kepada orang yang telah berusia lima
belas tahun, sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga
orang-orang yang ikut berperang” (HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868,
Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya). 23
Pandangan Jumhur Fuqaha membolehkan batasan usia atau pernikahan usia
muda. Dalil yang digunakan antara lain Al-Qur’an Surah Ath-Thalaq (65) ayat 4 :
ذيض ان ي ئي يئس انلا ئي نى انلا ا ثلثة أشر ت ارتبتى فعذا سبئكى إ ي
أير يجعم ن ي يتاق للاا ي ا ه د يضع ا أ بل أجه ألت الد يذض
يسرا
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di
antara isteri-isterimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya). Maka masa
iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haidh, sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa
23
Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid 1, No. 1868, h. 596.
17
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
(QS. Ath-Thalaaq : 4)24
Pada ayat tersebut, Allah SWT menetapkan masa iddah bagi perempuan
yang belum haid selama tiga bulan.25
Pemahaman dari istilah fiqh, dalam arti kedewasaan, usia kecenderungan,
dan kematangan. Ada beberapa hal yang menjadi dasar atau patokan usia dewasa
pada para fuqaha-fuqaha Islam yakni :
1. Usia baligh ditentukan kepada kemampuan dalam bertanggung jawab.
2. Usia baligh lebih di tunjukkan kepada wanita yakni dengan kesimpulan untuk
berkumpul atau senggama adalah kesiapan psikologis perempuan untuk
menjalani hidup bersama.
3. Ibn Qudamah dalam bukunya al-Mughni pasal 1124 halaman 415 bahwa
kondisi anak masih dan dirasa belum siap maka tidak boleh untuk menikah
kalaupun sudah menikah maka walinya menahan untuk tidak hidup bersama
dengan suaminya terlebih dahulu, sampai si perempuan mencapai kondisi
yang sangat siap.26
Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam
beberapa arti sebgai berikut :
24
Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 558.
25 http://tafsir.web.id/, diakses tanggal 20 April 2017 pukul: 13.12.
26 Muhammad Syambuzzi, “Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Pada Usia Muda” (Studi
Kasus di Kelurahan Jati Bening Kecamatan Pondok Gede Bekasi), Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2010), h. 35.
18
1. Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda
(yang belum dewasa secara fisik) dapat mengakibatkan penderitaan bagi isteri
dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan.
2. Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu
memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-
anak.
3. Demografis (kependudukan), secara demografis perkawinan di bawah umur
merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih
tinggi.27
Menurut para Ulama, Islam menentukan batasan usia nikah bisa
dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu :
1. Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa (baligh)
2. Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan batas kemampuan untuk menikah
3. Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah
SAW
Sedangkan para Ulama Fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum adalah setelah
Aqil Baligh (Mukallaf) dan cerdas, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat
An-Nissa (4) ayat 6, yang berbunyi :
27
Abdur Rahim Umran, Islam dan KB, (Jakarta: Lentera Batritama, 1997), h. 18.
19
آستى ي ابتها انيتبيى دتاى إرا بهغا انكبح فئ ى ى رشذا فبدفعا إني
ك ي غيب فهيستعفف كب ي يكبرا بذارا أ ل تأكهب إسرافب انى أي ب
انى فأش ى أي عرف فئرا دفعتى إني دسيببفقيرا فهيأكم ببن كفى ببللا ى ذا عهي
Artinya : “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. San janganlah
kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah
kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di
antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu
menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saks. Dan cukuplah Allah sebagai
pengawas. ” (QS. An-Nissa : 6)28
Dari hal tersebut di atas bahwa sesungguhnya batasan aqil baligh dalam
Islam tidak ditemukan akan tetapi Islam membolehkan menikah ketika sudah siap
mental secara psikologisnya baik fisik dan psikis. Sedangkan menurut peraturan
perundang-undangan perkawinan menikah dibolehkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan mempelai wanita sudah berusia 16 tahun.
28
Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 78.
20
Majelis Ulama Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan
perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ dan
ahliyatul wujub).29
Dalam kitab-kitab tentang hukum keluarga disebutkan bahwa pria dapat
melangsungkan pernikahannya kalau telah “mimpi” dan wanita jika telah
“menstruasi”. Mimpi dan menstruasi adalah tanda bahwa baik pria maupun wanita
telah dewasa atau akil baligh. Mimpi dan menstruasi datang tergantung pada kondisi
(alam) dan situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada umumnya, pada
usia 13 atau 14 tahun bagi laki-laki dan menstruasi biasanya pada usia 11 dan atau
12 tahun. Kini, hukum keluarga dalam masyarakat kontemporer menentukan batas
umur dapat untuk melangsungkan perkawinan, menurut kondisi negara masing-
masing. Penerapan batas minimum umur untuk dapat melangsungkan perkawinan
ini hanya akan efektif kalau pencatatan kelahiran secara tertib sudah dilaksanakan di
negara bersangkutan.30
B. Pembatasan Usia Pernikahan Menurut Hukum Keluarga di Negara
Muslim
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam abad 20 adalah
29
Majelis Ulama Indonesia, Ijma’ Ulama (Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009), (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009), h. 78.
30 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2002) h. 96-97.
21
adanya usaha pembaruan hukum keluarga di negara-negara berpenduduk mayoritas
Muslim. Adapun pembentukan yang dilakukan berbeda antara satu negara dengan
negara lain, seperti tentang pembatsan usia pernikahan.
1. Hukum Keluarga Islam di Turki
Dalam UU Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah adalah 18
tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Dalam kasus-kasus tertentu
pengadilan dapat mngijinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14
tahun bagi perempuan setelah mendapat ijin orang tua atau wali. Dalam Fiqh
Hanafi wacana tentang batasan umur pernikahan tidak secara kongkrit menyebut
umur, hanya secara tegas disebutkan bahwa salah satu syarat pernikahan adalah
berakal dan baligh, sebagaimana juga keduanya menjadi syarat umum bagi
operasionalisasi seluruh tindakan yang bernuansa hukum. Karena itu baligh
hanyalah syarat bagi kelangsungan suatu tindakan hukum bukan merupakan
syarat keabsahan pernikahan.31
2. Hukum Keluarga di Iran
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan bagi pria adalah 18 tahun
dan bagi wanita 15 tahun. Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan dalam
pandangan hukum mazhab Ja’fari.32
Menurut mazhab Ja’fari, seseorang telah
dipandang dewasa (karenanya dapat melangsungkan perkawinan) jika telah
31 M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 43. 32
Mazhab Ja’fari merupakan Hukum Islam yang menjadi sumber hukum di Iran adalah hukum Islam Ja’fari Isna Asy’ari.
22
berumur 15 tahun bagi pria dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’fari juga
memandang bahwa seorang wali boleh mengawinkan anak yang dibawah umur.33
3. Hukum Keluarga di Yaman Selatan
Yaman Selatan juga menetapkan adanya batasan minimal usia nikah, yakni
18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Dalam fiqh klasik hal ini
terlihat tidak banyak berubah, perkawinan perempuan yang belum baligh (bila
batasan usia nikah tersebut boleh diqiyaskan dengan kedewasaan, bulug), hampir
semua fuqaha menyatakan keabsahannya.34
4. Hukum Keluarga di Maroko
Batas usia minimal boleh kawin bagi laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan
bagi wanita adalah 15 tahun. Namun demikian disyaratkan ijin wali jika
perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak di bawah umur 21 tahun sebagai batas
umur kedewasaan. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki
maupun perempuan untuk dikategorkan baligh, sementara Syafi’i dan Hanbali
mnentukan umur 15 tahun, dan hanya Hanafi yang membedakan batas umur
baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Batasan
ini merupakan batas maksimal, sedangkan batas minimal laki-laki 15 tahun dan
33
M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h. 59.
34. M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h.
71.
23
perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa umur itu ada pada laik-laki yang sudah
haid sehingga bisa hamil.35
5. Hukum Keluarga di Aljazair
Dalam melewati perdebatan dan pertimbangan rancangan hukum diterima
dan ditetapkan dalam hukum keluarga dan hukum ini ditetapkan pada tahun
1984. Hukum keluarga Aljazair baru yang berlaku dan mengikat semua warga
Aljazair ini merupakan peraturan yang terdiri dari 224 pasal, dibagi menjadi 4
buku yang masing-masing terbagi beberapa bab.
Pembentukan hukum keluarga di Aljazair di antaranya bermaksud
meningkatkan usia nikah bagi kedua calon mempelai. Pasal 7 secara jelas
ditetapkan usia calon mempelai laki-laki 21 tahun dan perempuan 18 tahun.
Dalam al-Quran dan Hadis tidak terdapat ketentuan yang secara jelas
menetapkan batasan usia nikah. Para ahli fiqh juga tidak membahas usia nikah.36
6. Hukum Keluarga di Somalia
Di dalam kitab-kitab hukum keluarga klasik disebutkan bahwa pria dapat
melangsungkan pernikahan jika ia telah mimpi (ihtilam) dan untuk wanita
mengalami menstruasi (haid). Peristiwa mimpi dan menstruasi disini pada usia
35
M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h. 109.
36 M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, h.
125.
24
13-14 tahun. Somalia menetapkan umur minimal 18 tahun bagi pria dan bagi
wanita 16 tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan.37
Batas umur kawin tersebut, jika dibandingkan dengan batas umur kawin
negara-negara lain sebenarnya tidak terlalu jauh, bahkan untuk laki-laki relatif agak
tinggi. Batas usia kawin terendah bagi laki-laki terdapat di Yaman Utara yaitu 15
tahun, dan batas usia kawin terendah wanita juga 15 tahun yaitu di Yordania,
Maroko, Yaman Utara, dan Turki. Secara lebih rinci umur terendah untuk kawin
bagi laki-laki dan wanita di 16 negeri muslim di dunia ini, masing-masing adalah
sebagai berikut :
Negara Laki-laki Wanita
Turki 17 15
Iran 18 15
Yaman selatan 18 16
Maroko 18 15
Aljazair 21 18
Somalia 18 16
Libia 18 16
Malaysia 18 16
Mesir 18 16
37
M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, hal. 157.
25
Yaman Utara 15 15
Pakistan 18 16
Irak 18 18
Bangladesh 21 18
Syiria 18 17
Tunisia 19 17
Libia 18 16
38
Dari angka-angka di atas jelas terlihat bahwa batas usia terendah untuk
kawin di Indonesia relatif cukup tinggi untuk laki-laki tetapi termasuk rendah untuk
wanita. Perbedaaan usia nikah ini terjadi, disebabkan Al-Qur’an maupun Hadits
tidak secara eksplisit menetapkan usia nikah. Namun demikian, pembatasan usia
nikah tersebut merupakan ciri kematangan sebuah perkawinan sebagaimana tersirat
dalam Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 5 yang mengakui pernikahan sebagai salah
satu ciri bagi kedewasaan seseorang.
قنا اكسى ارزقى فيب نكى قيبيب انكى اناتي جعم للاا فبء أي ل تؤتا انس
ل يعرفب نى ق
38
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia Dalam Perbandingan Negara Muslim, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997) h. 79.
26
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) kamu yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS.
An-Nisaa : 5)39
Uraian di atas menunjukkan pula batas usia perkawinan tersebut dalam arti
normal. Sementara dalam beberapa kasus di berbagai negara, tidak semua
perkawinan. Batas usia perkawinan tidak selamanya konsisten dengan realitas
masyarakat, artinya banyak kasus perkawinan di bawah usia pernikahan
sebagaimana yang telah disepakati di setiap negara.40
Dapat dipahami bahwa penerapan usia perkawinan di berbagai negara
bervariasi. Bahkan di sebagian negara memberlakukan usia perkawinan tidak sesuai
dengan batasan usia normal perkawinan sebagaimana yang telah diregulasikan. Hal
ini menunjukkan bahwa perbedaan penerapan usia perkawinan di berbagai negara
tersebut tergantung kepada mazhab fikih yang dianut dijadikan pedoman negara.41
Adapun hasil penilitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya
perkawinan di usia muda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang salah
satunya adalah karena faktor orangtua. Dapat ditarik kesimpulan bahwa remaja yang
39
Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk Wanita”, (Jakarta), h. 77.
40 Ahamad Asrori, Jurnal “Batas Usia Perkawinan Menurut Fuqaha dan penerapannya dakam
Unsang-undang Perkawinan di Dunia Islam, Lampung: h. 10. 41
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Al- fikri, 2009), h. 40-41.
27
sudah melakukan pernikahan dini hampir semuanya disetujui oleh orangtua mereka
masing-masing. Walaupun demikian, pandangan orangtua masing-masing pun
berbeda-beda, salah seorang orangtua beranggapan apabila calon suami yang ingin
menikahi anaknya sudah mapan lahir dan batin dan sudah sanggup untuk berumah
tangga.42
42
Siti Yuli Astuty, Jurnal “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja Di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang”.
28
BAB III
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU-XII/2014
Pada bab ini penulis terlebih dahulu akan memaparkan tentang isi dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014.
A. Duduk Perkara
Pemohon dalam hubungan ini adalah seorang yang bernama Zumrottin
dengan pekerjaan sebagai Ketua Dewan Pengurus Kesehatan Perempuan. Dalam hal
ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 10 Desember 2013 memberi kuasa
kepada Rita Serena Kolobonso S.H., LLM, dan Tubagus Haryo Karbyanto, S.H,
yang keduanya adalah advokat yang berkedudukan hukum di kantor pemberi kuasa
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa. Pemohon disini telah mengajukan permohonan bertanggal 5 Maret 2014
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan
Nomor 74/PAN.MK/2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 30/PUU-XII/2014 pada tanggal 13 Maret 2014, yang
menguraikan hal-hal sebagai berikut:43
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) “Kekuasaan
43
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 3.
29
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5226) tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU
Mahkamah Konstitusi) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.44
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the
guardian of the constitution). Apabila terdapat Undang-Undang yang bertentangan
dengan konstitusi, Mahkamah dapat menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat baik sebagian maupun seluruhnya. Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang agar tidak
bertentangan dengan konstitusi. Tafsir Mahkamah terhadap konstitusionalitas pasal-
44
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 4-5.
30
pasal Undang-Undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole
interpretation of the constitution) yang memiliki kekuasaan hukum. Dengan
demikian terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau
multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonan ini, Pemohon Zumrottin menguji ketentuan Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai
frasa “16 (enam belas tahun) tahun” dengan menggubakan baru uji atau dasar
pengujian Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D
ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I ayat (1) dan (2);45
Pasal 28A UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan “(1) Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah; (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.”
Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang brhak
mengmbangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
45
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 6.
31
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahtraan umat manusia.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28H ayat (1) dan (2) UUD 1945 mnyatakan “(1) Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan; (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlajuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan “(1) Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
32
keadaan apapun; (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.”46
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan Pemohon. Dengan
pengakuan hak setiap pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945
merupakan salah satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang
merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara hukum.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain sebagai
“guardian” dari “constitutional rights” setiap warga ngara Republik Indonesia,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang bertugas
menjaga hal-hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum seetiap
warga negara. Dengan kesadaran inilah Pemohon kemudian, memutuskan untuk
mengajukan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 7 ayat (1) sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”
terhadap UUD 1945 dengan menggunakan batu uji atau dasar pengujian Pasal 28A;
Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat
(1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I ayat (1) dan (2);47
46
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 7. 47
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 7.
33
Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menyatakan “Pemohon adalah pihak menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah undang-undang,
yaitu: (a) Perorangan Warga Negara Indonesia, (b) Kesatuan masyarakat hukum
adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) Badan hukum
publik dan privat, (d) Lembaga negara.”
Selanjutnya, Pemohon adalah merupakan Badan Hukum Privat. Dalam hal
ini adalah badan hukum dari “Yayasan Kesehatan Perempuan” yang telah
memenuhi persyaratan pendiri badan hukum Yayasan sesuai Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 tentang Yayasan dan dicatatkan di Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia tanggal 14 Maret 2006 Nomor 21.48
Berdasarkan uraian di atas, maka kedudukan Pemohon selaku badan hukum
privat yang berkedudukan di Indonesia menjelaskan adanya hak konstitusional
Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Pemohon memiliki kepentingan atas
keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya
pada Pasal 7 ayat (1), sepanjang meengenai frasa “16 (enam belas) tahun” yang
menurut Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
48
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 8.
34
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” menjadi landasan dan dasar
hukum dibenarkannya perkawinan anak.
Dengan pembenaran terhadap adanya perkawinan anak, khususnya anak
perempuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang tercermin
dalam frasa “pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun,” Undang-
Undang Perkawinan jelas dan tegas menunjukkan kontradiksi dengan segala
pengaturan yang ada dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya hak-hak
anak perempuan dalam konstitusi. Dengan demikian secara substansif norma hukum
maka Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bertentangan atau tidak
konsisten (inkonsistensi) dengan norma hukum Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan
(2); Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1)
dan (2); Pasal 28I ayat (1) dan (2) UUD 1945 sehingga menimbulkan
ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi
menimbulkan ketidakadilan.49
Hak Pemohon disini untuk melakukan kerja-kerja advokasi terkait isu
kesehatan reproduksi perempuan tidak dapat berjalan baik dan tidak dapat dipenuhi
jika ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan sepanjang masih diberlakukan frasa
“16 (enam belas) tahun”. Dengan ini kerugian konstitusional Pemohon dapat
dijelaskan secara sebagai berikut:50
49
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 9. 50
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 10-11.
35
a. Kesadaran konstitusional Pemohon untuk melindungi hak anak sebagai urusan
utama dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana diatur dalam Pasal 28B
ayat (2) UUD 1945, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” tidak dapat dilaksanakan.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
telah bertentangan dengan amanat konstitusi tentang perlindungan anak yang
lebih lanjut telah diatur oleh UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dengan pengaturan perlindungan anak berusia sampai dengan 18 tahun.
c. Kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi.
d. Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang diajukan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, jelas Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”
yang bertentangan dengan Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat
36
(1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I
ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Alasan permohonan pengujian adalah bahwa Perkawinan Anak masih marak
terjadi di Indonesia. Faktor ekonomi masih merupakan alasan utama orang tua
menikahkan anaknya. Hal ini yang turut mempengaruhi antara lain alasan sosial
budaya, seperti kebiasaan orang tua menjodohkan anaknya saat mereka masih
keecil, dan penilaian masyarakat yang negatif (dianggap perawan tua) terhadap
perempuan yang menikah di atas usia 18 tahun.51
Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007
menunjukkan 22% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, di beberapa daerah
didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan terdata dilakukan oleh pasangan
usia di bawah 16 tahun.52
Adapun di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali
dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama. Hasil penelitian
UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian pernikahan anak berusia
15 tahun berkisar 11%.
Plan Indonesia sebuah lembaga non pemerintah yang memberi perhatian
pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak bekerja sama dengan
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM membuat sebuah
penelitian tentang Praktik Pernikahan Dini di Indonesia di 8 wilayah, yaitu:
Indramayu, Grobongan, Rembang, Tabanan, Dompu, Sikka, Lembata, dan Timur
51
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 11. 52
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 12.
37
Tengah Selatan. Dan menurut data UNICEF perempuan yang melahirkan pada usia
15-19 tahun beresiko mengalami kematian dua kali lebih besar dibandingkan
dengan perempuan yang melahirkan pada usia 20 tahun.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang membolehkan perkawinan anak perempuan dalam usia muda yakni 16 tahun
merupakan kendala dalam mewujudkan mandat konstitusi UUD 1945 kepada
Pemerintah. Bukan saja bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 222 tentang
Perlindungan Anak pada Pasal 26 yang mewajibkan orang tua untuk mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak sampai usia 18 tahun, bertentangan
dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia yang melindungi anak termasuk anak
perempuan sampai usia 18 tahun, juga bertentangan dengan pengaturan batas usia
anak termasuk anak perempuan yang diatur pada UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan yang mengatur batas usia anak sampai dengan usia 18 tahun,
serta bertentangan dengan pengaturan batas usia anak wajib belajar selama 12 tahun
yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional. Begitu
pula sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
pada Pasal 131 ayat (2) bahwa “Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan
sejak anak masih dalam kandungan, silahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai
berusia 18 tahun.” Berdasarkan hal di atas maka terlihatlah dengan jelas
ketidakjelasan tentang batasan anak dalam beberapa undang-undang di atas
dibandingkan dengan diizinkannya adanya “perkawinan anak” khususnya anak
perempuan dalam UU perkawinan ini menjadi menimbulkan adanya ketidakpastian
38
hukum di dalam pelaksanaan UUD 1945, karena ada pasal-pasal dalam undang-
undang yang mengatur yang berbeda satu sama lainnya.53
Adapun Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1)
UU Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun” demi
pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi anak khususnya anak
perempuan Indonesia serta kepastian hukum yang adil bagi warga negara
sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 ke hadapan Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Yang Mulia ini dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Perkawinan Anak dan Dampaknya
Selain kehamilan pada usia dini, perkawinan anak (pernikahan dini)
atau pernikahan paksa masih merupakan praktik di Indonesia. Sekitar 31,5%
wanita usia 20-49 mengatakan mereka menikah pada usia 18 tahun dan 5,5%
mengatakan mereka menikah pada usia 15 tahun (SDKI 2012). ANGKA ini
sedikit lebih kecil apabila dibandingkan dengan data SDKI 2007 Yitu 31,6%
wanita usia 20-49 mengatakan mereka menikah pada usia 18 tahun dan 9,3%
mengatakan mereka menikah pada usia 15 tahun. Masih merujuk SDKI 2007,
ada 5 provinsi dengan angka perkawinan tertinggi adalah Jawa Timur
(39,4%), Jawa Barat (36%), Kalimantan Selatan (35,5%), Jambi (30,6%), dan
Jawa Tengah (27, 84%).
b. Dampak Perkawinan Anak Pada Kesehatan Ibu dan Bayi
53
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 13.
39
Perkawinan Anak dengan Kehamilan dini (di bawah umur 18 tahun)
sangat beresiko tinggi bagi si Ibu, karena si Ibu sedang dalam masa
pertumbuhan yang masih memerlukan gizi sehingga ada persaingan perebutan
gizi antara Ibu dan janin, dengan resiko lainnya di antaranya:
Potensi kelahiran prematur, Bayi lahir cacat, Bayi lahir dengan berat badan
rendah atau kurang, dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti ini maka perkawinan anak akan mengancam
hak hidup, hak memprtahankan hidup dan kehidupan anak-anak kita (Pasal
28A UUD 1845) hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
(Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945).54
c. Dampak Perkawinan Anak Pada Keharmonisan Keluarga dan Perceraian
Dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Tetapi, Pernikahan Anak disini justru menjauhkan tujuan dari perkawinan
yang dimaksud dalam UU Perkawinan itu sendiri. Banyaknya perkawinan
anak berbanding lurus dengan tingginya anak perceraian. Dengan banyaknya
kasus perceraian merupakan dampak dari masih terlalu mudanya usia
pasangan suami isteri ketika memutuskan dampak dari masih terlalu mudanya
usia pasangan suami isteri ketika memutuskan untuk menikah.
54
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 16.
40
Adapun perkawinan anak banyak berlandaskan faktor ekonomi, di
samping faktor lainnya (budaya pendidikan dan agama). Banyak orang tua
menginginkan anaknya menikah di usia dini untuk melepaskan beban
ekonomi, namun justru hasilnya adalah sebaliknya seringkali perkawinan
anak berujung pada perceraian. Dalam perkawinan anak setelah satu tahun
50% bercerai yang akhirnya (anak dan cucu) kembali menjadi beban orang tua
sehingga semakin miskin.55
d. Dampak Perkawinan Anak Pada Psikologis Keluarga Muda
Di usia 16 tahun anak belum mampu berperan sebagai orang tua yang
harus bertanggung jawab untuk mendidik anak, secara psikologis anak masih
ingin bermain bersama teman sebayanya dan masih memerlukan
pengembangan jiwa seusianya.56
e. Hak-Hak Anak Yang Dilanggar Akibat Perkawinan Anak
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.” Dalam pasal tersebut menjadi landasan dan dasar hukum
dibenarkannya adanya Perkawinan Anak dalam hal ini anak perempuan yang
belum mencapai usia 18 tahun.
55
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 17. 56
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 18.
41
Pembenaran adanya Perkawinan Anak sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan jelas dan tegas adanya ancaman
terhadap pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi anak khususnya anak
perempuan Indonsia. Perkawinan anak khususnya anak perempuan
sebenarnya merupakan praktek yang sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat
dunia, karena lebih banyak dampak negatifnya dan diskriminatif terhdapa
anak perempuan.
Dengan demikian, maka jelaslah terdapat alasan-alasan yang kuat adanya
pelanggaran hak-hak konstitusional anak khususnya anak perempuan Indonesia di
mana Pemohon bekerja untuk mengadvokasi isu tersebut sebagaimana diamanatkan
oleh UUD RI 1945, dan adanya kerugian konstitutional yang dialami oleh Pemohon
atas permohonan atas penormaan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan
UUD 1945 khususnya Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2); Pasal 28C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan (2); Pasal 28I ayat
(1) dan (2);
B. Petitum Putusan
Berdasarkan duduk perkara dan alasan-alasan di atas, Pemohon memohon
kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia agar
42
bersedia memeriksa, mengadili, dan memutuskan a quo dengan amar putusan yang
berbunyi sebagai berikut:57
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”
harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional). Sehingga Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”
itu bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “18
(delapan belas) tahun”
3. Menyatakan materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”
harus dimaknai secara inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional). Sehingga Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas) tahun”
itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “18
(delapan belas) tahun”.
4. Mengubah materi muatan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan sehingga bunyi Pasal ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi: “Perkawinan hanya
57
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 107.
43
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun”.
Menimbang untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan
bukti-bukti surat atau bukti tertulis yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan P-25
yang telah disahkan pada persidangan. Dan dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi menguraikan bahwa:
1. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menurut para Pemohon telah menciptakan suatu ketidakpastian
hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir, serta
mengekang pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, khususnya para
Pemohon, sehingga merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon;
2. Melalui permohonan ini merupakan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD
1945;
3. Berdasarkan hal-hal tersebut, karena permohonan pengujian ini merupakan
pengujian permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, maka Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mngadili permohonan pengujian
materiil undang-undang ini;
44
Menanggapi dalil-dalil Pemohon, Presiden telah menyampaikan keterangan
yang pada pokoknya sebagai berikut :58
Perkawinan merupakan salah satu bentuk perwujudan hak-hak konstitusional
warga negara yang memang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap orang dalam
tertib kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, sebagaimana diatur di dalam
UUD RI 1945 yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 28B ayat (1) yang
menyatakan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunannya melalui perkawinan yang sah.” Kemudian, ketentuan Pasal 28J ayat
(1) dikatakan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara.”
Sebagaimana diketahui, sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan,
berlaku beberapa hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dari
dawrah seperti atau sebagai seberikut:59
1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama
yang pada umumnya terkait dengan hukum adat masing-masing daerahnya.
2. Bagi orang-orang Indonesia asli juga berlaku hukum adat yang memang
berlaku pada masyarakat.
3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku tentang
Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (Staatsblad 1933 Nomor 74).
58
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 139. 59
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 140.
45
4. Bagi orang timur asing Cina dan warga negara Indonsia keturunan Cina
berlaku Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan beberapa
sdikit adanya perubahan.
5. Bagi orang-orang timur asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan
timur asing tersebut berlaku hukum adat mereka masing-masing.
6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa, dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Keberagaman pengaturan mengenai perkawinan tersebut mengakibatkan
perbedaan persyaratan perkawinan baik antar agama, antar warga negara, dan antar
adat istiadat. Undang-Undang Perkawinan sebagai bentuk kodifikasi yang
disepakati adalah mengenai syarat usia perkawinan, dimana sebelumnya secara adat
istiadat terdapat perbedaan antar satu daerah dengan daerah yang lainnya.
Kemudian, Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami/istri
harus telah masak jiwa/raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat, maka harus dicegah adanya perkawinan di antara calon
suami.istri yang masih di bawah umur.60
Selain itu, perkawinan mempunyai
hubungan dengan masalah kependudukan, telah ternyata bahwa umur lebih rendah
bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran juga yang tinggi.
60 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 140.
46
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Undang-Undang Perkawinan telah
menentukan batas usia perkawinan baik pria maupun wanita, sebagaimana kita
ketahui prianya adalah harus telah berusia 19 tahun dan wanitanya atau
perempuannya telah berusia 16 tahun. Pembatasan umur tersebut dimaksudkan
adalah salah satunya juga sebagai pencegahan terhadap perkawinan yang
dilaksanakan yang terkait dengan masih di bawah umur. Selain itu juga, pembatasan
atau ketetapan terkait dengan usia perkawinan juga dalam rangka menunjang
program kependudukan nasional dalam bidang keluarga berencana.61
Kemudian, terhadap anggapan Pemohon adanya pengaturan yang berbeda di
antara pengertian dewasanya seorang anak perempuan atau anak wanita telah
menimbulkan ketidakkonsistenan pengaturan mengenai batasan umur dalam satu
undang-undang yaitu antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang
lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa pengertian dewasa di dalam Pasal 330
KUH Perdata yaitu 21 tahun. Kemudian, Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu 18 tahun. Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana
Mahkamah Konstitusi telah dimaknai yaitu telah berusia 18 tahun, Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ada 18 tahun atau belum
menikah.
Oleh karena itu, pembatasan atau perbedaan usia perkawinan di dalam
berbagai macam undang-undang itu, dalil Pemohon yang menganggap Pasal 7 ayat
61
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 141.
47
(1) Undang-Undang Perkawinan sepanjang frasa 16 tahun telah menimbulkan
ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum yang berpotensi
menimbulkan ketidakadilan, tetapi menurut Pemerintah pengaturan tentang usia
perkawinan telah memberikan kepastian, telah memberikan keadilan, sebagaimana
telah dijelaskan di atas Indonesia terdiri dari berbagai macam adat-istiadat yang
memang memaknai usia dewasa itu berbeda-beda.
C. Diktum Putusan
Dalam hal ini, keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menimbang isi
permohonan yang diajukan saudari Zumrotin sebagai pemohon disini “Menyatakan
menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya”. Sebagaimana Pemohon
mengajukan uji materi ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan sepanjang mengenai frasa “16 (enam belas)
tahun”. 62
Demikian diputuskan dalam rapat Permusyawarahan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi yang masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal
lima, bulan Januari, tahun dua ribu lima belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal delapan belas,
bulan Juni, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.12 WIB, oleh
delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota,
Anwar Usman, Patrialis Akbar, Maria Farida Indrati, Aswanto, Suhartoyo, I Dewa
Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota,
62
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, h. 233.
48
dengan didampingi oleh Wiwik Budi Wasito sebagai Panitera Pengganti, dihadiri
para Pemohon dan/atau kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan
Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak terkait dan/atau kuasanya.
D. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/ PUU-
XII/2014
Dengan ini pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusional
Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019,
selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang selengkapnya menyatakan “Perkawinan
hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.”
Ketentuan yang dimohonkan pengujian tersebut dianggap bertentangan
dengan UUD 1945 khususnya terhadap Pasal 28A; Pasal 28 B ayat (1) dan (2);
Pasal 28C ayat (1); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan
(2); Pasal 28I ayat (1) dan (2).
Menurut Pemohon, Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun”
UU Perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 di atas
sepanjang tidak dimaknai “18 (delapan belas) tahun” sehingga Pasal 7 ayat (1) UU
Perkawinan seharusnya menjadi “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia
18 (delapan belas) tahun.” Dalam pokok permohonan Pemohon adalah pengujian
49
konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU
Perkawinan dan menimbang bahwa Pemohon pada pokonya mendalilkan ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang membolehkan perkawinan anak perempuan
dalam usia 16 tahun bertentangan dengan antara lain :63
a. Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak
lebih dahulu telah kawin.”;
b. Pasal 1 angka 26 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa “Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun.”;
c. Pasal 1 angka 2 UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.”;
Dalam pelaksanannya, perkawinan berakaitan erat dengan keyakinan yang
sakral berdasarkan kaidah dan nilai-nilai suci agama yang tidak dapat diabaikan.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang
mnyatakan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.” Pemahaman perkawinan yang sah
tersebut harus dilihat dari dua aspek yakni sah menurut agama dan sah menurut
hukum negara.64
Beberapa agama berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar
63
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 218. 64
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 228.
50
belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang berbeda dalam
masalah usia perkawinan.
Pertimbangan hukum dalam putusan tersebut adalah Mahkamah Konstitusi
beranggapan semua agama yang berlaku di Indonesia memiliki aturan masing-
masing dalam perkawinan dan hukum agama tersebut mengikat semua pemeluknya,
sedangkan negara memberikan pelayanan dalam pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan aturan negara dan juga beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun
dari berbagai latar belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang
berbeda dalam masalah usia perkawinan. Salah satu contohnya, agama Islam
tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim
adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan
buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.65
Dalam keterangan tertulisnya, DPR memberikan keterangan yang antara lain
menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur mengenai batas usia
minimal perkawinan dianggap sebagai kesepakatan nasional yang merupakan
kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang
melihat secara bijaksana dengan berbagai macam pertimbangan dengan
memperhatikan nilai-nilai yang ada pada saat itu yaitu tahun 1974.66
65 Hasanain Haikal dan Abdul Hadi, “Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Analisis
Yuridis Normatif dan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Anak (Perempuan), hal. 251, journal. Stainkudus.ac.id, diakses tanggal 20 April 2017 pukul: 21.07.
66 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 229.
51
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Untuk menjaga
suami isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”
Namun, terkait dengan norma yang mengatur batasan usia, Mahkamah dalam
beberapa putusannya telah mempertimbangkan bahwa batasan usia minimum
merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat
diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
perkembangan yang ada. Hal tersbut sepenuhnya merupakan kewenangan
pembentuk Undang-Undang yang ada, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan
selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara a quo, UUD 1945
tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut anak.67
Adapun perkara a quo yang dipermasalahkan pemohon mengenai batasan
usia untuk dinaikkan bagi pihak perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, dalam
UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut
sebagai anak. Hal ini juga sama dengan pendapat dari perspektif hukum Islam yang
dikemukakan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan:
“Kitab suci Al-Qur’an demikian juga Sunnah Nabi, tidak menetapkan usia
tertentu. Ini sejalan dengan hikmah Ilahi yang tidak mencantumkan rincian sesuatu
dalam kitab suci menyangkut hal-hal yang dapat mengalami perubahan. Yang
dirincinya hanya hal-hal yang tidak tidak terjangkau oleh nalar seperti persoalan
metafisika atau hal-hal yang tidak mungkin mengalami perubahan dari sisi
kemanusian. Karena tidak adanya ketetapanyang pasti dari kitab suci, maka ulama-
ulama Islam berbeda pendapat tentang usia tersebut bahkan ada di antara
67
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 230.
52
masyarakat Islam yang melakukan revisi dan perubahan menyangkut ketetapan
hukum tentang usia tersebut. Ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat dan kebutuhannya”.68
Pertimbangan hukum di atas, telah nyata bahwa kebutuhan untuk menentukan
batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan
dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-
ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan
ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi
18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian,
menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan
sosial lainnya. Bukan berarti pula tidak perlu dilakukannya upaya apa pun, terutama
tindakan preventif, untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak yang
dikhawatirkan akan menimbulkan beragam masalah sebagaimana yang didalilkan
Pemohon, yang menurut Mahkamah, beragam masalah tersebut merupakan masalah
konkrit yang terjadi murni disebabkan dari aspek usia semata.69
68
Hasanain Haikal dan Abdul Hadi, “Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Analisis Yuridis Normatif dan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Anak (Perempuan), hal. 253, journal. Stainkudus.ac.id, diakses tanggal 20 April 2017 pukul: 21.07.
69 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, hal. 231.
53
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 30/PUU-XII/2014
A. Pertimbangan Hukum Dari Aspek Yuridis
Sebagaimana para hakim menimbang ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan
UUD 1945 khususnya terhadap pasal 28A, pasal 28B ayat 1 dan 2, pasal 28C ayat 1,
pasal 28D ayat 1, pasal 28G, pasal 28H ayat 1, 2, dan 3 serta pasal 28I ayat 1 dan 2,
karena menjadi landasan dan dasar hukum dibenarkannya adanya perkawinan anak
dalam hal ini anak perempuan yang belum mencapai 18 tahun.
Perkawinan merupakan suatu hak asasi manusia, penentuan batas usia
perkawinan bukan suatu pelanggaran hak asasi manusia sesuai sesuai pasal 28B ayat
1 yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah”. Karena seseorang boleh melakukan
perkawinan diatas usia 16 tahun bagi wanita dan apabila ada penyimpangannya,
diperbolehkan melakukan perkawinan dibawah usia 16 tahun dengan mengajukan
dispensasi perkawinan sesuai dengan pasal 7 ayat 2 yang menyatakan “Dalam hal
penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan
atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak
wanita”.70
70
Aprilya Putri Nawang Larasati, “Jurnal Hukum, Analisis Yuridis Batas Usia Minimum Perkawinan Bagi Wanita”, h. 6.
54
Seseorang yang berstatus kawin secara otomatis orang tersebut dianggap
sebagai seorang dewasa, alasan pemohon dibenarkannya perkawinan anak tersebut
tidak dapat dibenarkan secara hukum karena segala hal yang berkaitan dengan
perkawinan semua tunduk pada Undang-Undang Perkawinan.
B. Pertimbangan Hukum Dari Aspek Filosofis dan Sosiologis
Bangsa Indonesia menganut perbedaan pengaturan yang berbeda tentang
masalah usia perkawinan baik dalam masing-masing agama maupun perbedaan
budaya. Beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar
belakang budaya di nusantara mempunyai pengaturan yang berbeda dalam masalah
perkawinan. Salah satunya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia
minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh.
Pendapat Mahkamah Konstitusi juga mengikuti peraturan negara-negara
muslim lain yang masih belum menaikkan batas usia perkawinan anak perempuan,
menurut Mahkamah Konstitusi berdasarkan asas perkawinan tidak pula dikenal
batasan umur perkawinan demi mencegah dorongan birahi untuk itu dorongan
birahi semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah berdasarkan ajaran
agama sehingga tidak melahirkan anak diluar perkawinan.
Adapun tujuan pernikahan yang Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan
hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara
serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk
mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan
Masyarakat. Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
55
mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.71
Terdapat beberapa asas dalam
perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami
istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan. Dari asas perkawinan
tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang
lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang,
di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena
dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan,
teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya.
Pada dasarnya penetapan batas usia perkawinan memang bertujuan demi
kemaslahatan dan kebaikan terutama bagi calon mempelai. Dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 4 Huruf
(d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya
dimaksudkan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Menurut Kompilasi
Hukum Islam Pasal 15 Ayat (1) juga dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga
dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal
7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri
sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Menurut aturan penjelasan pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 bahwasannya
tujuan dari adanya ketentuan batas minimal umur untuk menikah bagi laki-laki dan
71
Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 200.
56
wanita adalah untuk menjaga kesehatan suami, istri dan keturunan. Berdasarkan pada
bunyi penjelasan ini maka penulis melihat bahwa ketentuan dalam pasal tersebut
hanya melihat dari segi kesiapan fisik atau biologis semata belum sampai melihat
perlunya juga mempertimbangkan kesiapan dari mental caln mempelai. Padahal
kesiapan mental dari calon mempelai sangat penting dipertimbangkan guna memasui
gerbang rumah tangga, karena sebuah perkawinan yang dilakukan tanpa
mempertimbangkan kesiapan mental maka hal itu seringkali menimbulkan masalah di
belakang hari bahkan tidak sedikit yang berantakan di tengah jalan.72
Adapun tujuan dalam pembatasan usia nikah adalah Pertama, dengan
menghapuskan kekaburan penafsiran batas minimal usia menikah, baikyang terdapat
dalam hukum adat maupun hukum Islam. Kedua, mengatasi masalah kependudukan.
Dengan adanya batas minimal ini Undang-Undang berupaya merekayasa menahan
dan mengurangi laju penduduk. Ketiga, perlindungan terhadap kesehatan reproduksi
perempuan. Batas minimal usia perkawinan yang rendah akan mengakibatkan laju
kelahiran lebih tinggi, implikasinya angkat kematian ibu hamil juga akan mengalami
peningkatan.73
72
Arbanur Rasyid, Buletin Perdata dan Hukum Islam “KEADILAN”, (Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, IAIN Padangsidimpuan,2015. http : syariah.iain-padangsidimpuan.ac.id, diakses tanggal 19 Juli 2017
73 Boga Kharisma, Jurnal Implementasi Batas Usia Minimal Dalam Perkawinan
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974, Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar
Lampung , 2017, h. 14.
57
Menurut M. Quraish Shihab mengenai pandangan Islam tentang usia
perkawinan ditemukan dalam literatur hukum Islam aneka pendapat ulama mazhab
menyangkut batas minimal usia calon suami dan isteri dan adapun ketetapan hukum
yang berlaku di negara-negara berpenduduk muslim pun menyangkut usia tersebut
yang berbeda-beda. Bahkan dalam satu negara perubahan terjadi akibat
perkembangan masa. Perbedaan dan perubahan itu dapat dibenarkan karena kata
ulama sebagaimana yang di ungkapkan M. Quraish Shihab “Kita tidak dapat serta
meniru sepenuhnya ketetapan hukum yang lalu, walau kasusnya sama, karena ada
empat faktor yang harus selalu dipertimbangkan sebelum menetapkan hukum, yaitu
masa, tempat, situasi dan pelaku”. Dalam konteks usia perkawinan, para pakar harus
mampu mempelajari perkembangan masa dan situasinya sambil memperhatikan
tujuan perkawinan serta kondisi masyarakat.74
Pembatasan usia nikah pada dasarnya adalah hukum adat, terutama hukum
barat. Seiring dengan kebutuhan modern menjadikan hukum tertulis (Undang-
Undang), maka hampir semua atau sekurang-kurangnya bagian terbesar negara-
negara muslim atau negara-negara berpenduduk muslim, telah memiliki peraturan
perundang-undangan perkawinan, yang di dalamnya diatur pula perihal batasan usia
nikah.75
Lingkungan kehidupan tradisional dengan banyaknya perkawinan di usia
muda melatar belakangi dari kenyataan ini dan erat kaitannya dengan sifat
74
www.hukumpedia.com/ batas usia perkawinan, diakses tanggal 02 Mei 2017 pukul: 22.09. 75
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal. 167.
58
kehidupan tradisional itu sendiri yang pada umumnya agraris. Dan untuk masa
sekarang perlu dipikirkan kembali tentang kemaslahatannya perkawinan usia muda
yang akan hanya menambahkan permasalahan dan kerusakan. 76
Pendekatan sosiologis menurut Selo Soemardjan da Soelaeman Soemardi
menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari
struktus sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.77
Dan
struktur sosial itu sendiri adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang
pokok yaitu kaidah-kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok serta lapisan-lapisan
sosial. Pendekatan yang dilakukan dalam sosiologis ini adalah Pendekatan
Interaksionisme simbolik merupakan salah satu pendekatan yang yang terjadi di
dalam masyarakat dan mengetahui makna dari simbol yang dibuat oleh individu.
Interaksi sosial ini kunci dari pada kehidupan sosial dengan adanya interaksi antara
pelaku keluarga, saudara, masyarakat yang merupakan pemicu dalam terjadinya
perkawinan usia muda.78
Berdasarkan hasil pertimbangan para hakim dalam mengambil keputusan
dalam sebuah kasus dijelaskan dalam kaidah fikih yaitu:
انخم ف جتبد يرفعإلدكى انذبكى في يسبئم ا
76 Agus Hermanto, “Jurnal Ilmu Hukum dan Hukum Islam, Perkawinan di Bawah Umur
Ditinjau Dari Kacamata Sosiologis”, (Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, 2016), hal. 28, journal.iaimnumetrolampung.ac.id, diakses tanggal 21 April 2017 pukul: 21.40.
77 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990), hal.
21. 78
Agus Hermanto, “Jurnal Ilmu Hukum dan Hukum Islam, Perkawinan di Bawah Umur Ditinjau Dari Kacamata Sosiologis”, (Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung, 2016), hal. 31, journal.iaimnumetrolampung.ac.id, diakses tanggal 21 April 2017 pukul: 21.40.
59
“Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalh ijtihad menghilangkan
perbedaan pendapat”. Kaidah di atas berlaku untuk semua keputusan dari
pemegang kekuasaan. Maksud kaidah tersebut adalah apabila seorang hakim
menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian dia menguatkan
salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama tersebut, maka bagi orang-
orang yang berperkara harus menerima keputusan tersebut. Orang yang berperkara
tidak bisa menolak keputusan hukum tersebut dengan alasan ada pendapat lain yang
berbeda dengan hasil ijtihad hakim. 79
C. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014 Berkaitan
Dengan Pembatasan Usia Pernikahan dalam Hukum Islam
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pemohon mengajukan
permohonan tentang Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun”
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selengkapnya
menyatakan “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 tahun
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas)
tahun.” Adapun perbedaan pendapat di antara para ahli hukum tentang batas usia
dewasa, disebabkan adanya berbagai peraturan yang menyebut suatu batas usia
untuk hal tertentu. Sebagaimana juga dipertajam oleh dasar pandangan dan
penafsiran yang berbeda. Di mana dalam amar putusan menyatakan menolak
permohonan yang diajukan oleh pemohon.
79
A. Djazali, “Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 155.
60
Perkawinan dapat diibaratkan sebagai suatu kontrak yang suci dan merupakan
tiang utama dalam membentuk suatu keluarga yang baik. Teramat penting dan
sucinya ikatan ini, sehingga Islam menentukan sejumlah aturan dan tindakan dalam
mengokohkan ikatan rumah tangga yang dibentuk tersebut. Aturan dan tindakan itu
wajib dilaksanakan bahkan sebelum ikatan tersebut dimulai (pranikah), sebagai
tindakan tersebut mesti dijaga sejak selesainya akad nikah guna memudahkan jalan
bagi suami dan isteri membina rumah tangganya.80
Dengan ini penulis akan menganalisa tentang pembatasan usia pernikahan
dalam Hukum Islam, sebagai berikut:
1. Pendapat Fikih
Dalam diskursus fikih, tidak ditemukan kaidah yang sifatnya
menentukan batas maksimal seperti yang dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Artinya, suatu perkawinan tetap sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi,
tanpa mengharuskan usia kedewasaan para calon suami-isteri. Tidak adanya
syarat tentang usia kedewasaan itu merupakan kemudahan yang diberikan
oleh agama, karena ada segi-segi positif yang ingin dituju. Akan tetapi,
persoalan perkawinan bukan hanya persoalan yang sederhana, maka agama
mensyaratkan ada beberapa rukun dan syarat guna menumbuhkan rasa
tanggung jawab.81
80
Khuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, hal. 67. 81
Asep Saepuddin Jahar. Dkk, Hukum Keluarga, Pidana, dan Bisnis; Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum Internasional, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 43.
61
Adanya pembatasan usia “anak” secara deninitif bukan berarti tidak
menimbulkan masalah secara fikih. Sebagai contoh, menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentag Perlindungan
Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi
anak yang lebih mengedepankan dan atau memastikan usia tidak sejalan atau
bahkan berlawanan dengan pengertian anak (walad) dalam kategori hukum
Islam (fikih) yang lebih mengutamakan daya kemampuan fisik dan mental.
Dalam fikih, untuk menetapkan tanda kedewasaan seseorang adalah dengan
keluar air sperma atau haid, dan dapat dipastikan bahwa sebagian besar anak
keluar sperma atau haid dibawah usia 16 tahun. Kedewasaan (bulugh) ini
sangat berkaitan dengan kewajiban-kewajiban keagamaan.
Beberapa ulama’ mengemukakan pendapatnya mengenai usia baligh,
yaitu menurut Imam Abu Hanifah dapat dikatakan baligh bagi seorang laki-
laki apabila telah ihtilam yaitu bermimpi nikmat sehingga keluar mani dan
bagi seorang wanita jika sudah mengeluarkan darah haid, pendapat Abu
Hanifah ini sangat relavan dengan zaman saat ini karena usia belum tentu
dapat menentukan kapan seseorang mengalami ihtilam (mimpi basah) bagi
seorang laki-laki dan belum tentu keluar haid seorang perempuan.
Terkadang umur 12 sudah mengalami mimpi basah bagi laki-laki dan umur 9
tahun bagi seorang perempuan sudah mengeluarkan darah haid. Hukum
62
Islam memberi ketentuan bahwa kedewasaan laki-laki ditandai dengan
keluar mani dan perempuan dengan keluarnya haid.82
2. Pendapat dari sisi Psikologis
Berbicara usia dapat juga dilihat dari sisi psikologis juga harus
diperhatikan, anak usia dini memang secara psikologis masih labil dan masih
harus mendapatkan pengarahan, oleh karena itu Almaidah penulis disini
mengemukakan dalam permasalahan pernikahan usia dini lebih menekankan
kepada kesiapan dan kesanggupan dari seseorang yang akan menikah
tersebut.83
Dan adanya usia minimal yang ditetapkan negara dengan alasan
bahwa seseorang mempertanggung jawabkan atas perbuatan hukum yang
telah dilakukannya yang menggambarkan kecakapan seseorang untuk
bertindak dalam hukum perdata, dan juga memiliki kematangan berpikir,
memiliki kematangan jiwa, kekuatan fisik yang memadai, dan kematangan
biologis seseorang. Dengan alasan ini kemungkinan keretakan rumah tangga
yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut
memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan
perkawinan. Undang-undang perkawinan tidak menghendaki pelaksanaan
perkawinan di bawah umur, agar suami istri yang dalam masa perkawinan
dapat menjaga kesehatannya dan keturunannya, untuk itu perlu ditetapkan
82
Nizar Abdussalam, Jurnal Hukum “Batas Minimal Usia Kawin Perspektif Hakim Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi UIN Malang”, (2015), hal. 88.
83 Almaidah, “Pernikahan Dini Perspektif Hukum Islam (Studi Telaah Pernikahan Rasulullah
SAW Dengan Aisyah)”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010), hal. 18.
63
batas-batas umur bagi calon suami istri yang akan melangsungkan
perkawinan.
3. Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI berpendapat bahwa usia layak nikah adalah usia kecakapan
berbuat hak. Hal inilah yang menjadi ketentuan usia di mana seseorang
dianggap cakap melakukan tindakan hukum (sinn al-rusyd).84
Penetapan usia
perkawinan ini memiliki nilai guna dan nilai positif (maslahah). Hal ini dapat
dilihat bahwa hikmah tasyri’ dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga
sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan (hifdz an-nasl). Hikmah
ini bisa tercapai jika pernikahan dilakukan pada usia di mana calon mempelai
telah sempurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi. Dasar
yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan fatwa ini adalah QS. Al- Nisa,
4:6; al-nur 24:32; al-thalaq 65:4; Dan keputusan MUI juga mengutip sebuah
kaidah fikih85
انقلفضم انسئم ف فق للا لفضم انقبصذ ي النى اانسئم دكى انقبصذ فب انسيهة إل
ف عهى ترتب انسبنخ عرف فضهه ي فضهه
Dalam kaidah fiqhiyyah dijelaskan sebuah kaidah yang berbunyi :
84
M. Ischwan Sam, “Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III 2009, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009), hal. 79.
85 Mohammad Hasan Bisyri, “Jurnal : Penerapan Teori Maqasid Syari’ah Dalam Ijtihad
Maejelis Ulama Indonesia”, Pekalongan, hal. 10, e-journal.stain-pekalongan.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 14.46.
64
يبو نهراعية يت بب نسهذة إلتصرف ا
“Kebijakan Seorang Pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada
kemaslahatan”. Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus
berorientasi kepada kemaslahatan rakyat bukan mengikuti keinginan hawa
nafsunya atau keinginan keluarganya atau kelompoknya. Adapun yang
berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan
manfaat bagi rakyat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan,
diorganisasikan, dinilai, dievaliasi kemajuannya. Sebaliknya kebijakan yang
mendatangkan mafsadah dan memudaratkan rakyat, itulah yang harus
disingkirkan dan dijauhi.86
Hasil ijtima’ MUI diatas menunjukan bahwa maslahah menjadi
tujuan utama pengaturan tersebut. Maslahah yang dapat diperoleh dari
pengaturan usia adalah terwujudnya keluarga sakinah dan terhindarnya ke
mudharatan, karena keluarga yang sakinah sulit terwujud, jika pasangan
tersebut tidak memiliki kesiapan, baik mental (rohani) maupun fisik. Namun
demikian, MUI masih kesulitan untuk menetapkan batasan usia tersebut,
karena forum ijtima’ ulama tidak sepakat untuk membatasi usia tersebut.
Untuk menghindari kebuntuan ini, MUI mengembalikan batas usia tersebut
kepada Undang-Undang yang telah di tetapkan oleh ulil amri, dan MUI
berpendapat bahwa mentaati ulil amr sebuah keharusan. Menurut Asrorun
86
A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 148.
65
Ni’am Sholeh, jika tujuan adanya pengaturan usia pernikahan adalah
mewujudkan kemaslahatan, maka pengaturan usia tersebut bukanlah bersifat
pembatasan (tahdid). Karena jika bersifat pembatasan, justru akan
menimbulkan masalah-masalah yang lain.87
Keputusan Ijtima ulama komisi fatwa se-Indonesia III tahun 2009
menyatakan bahwa dalam literatur fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara
eksplisit mengenai batas usia pernikahan. Walaupun demikian, hikmah tasyri’
dalam perkawinan adalah menciptakan keluarga yang sakinah, serta dalam
rangka memperoleh keturunan (hifz al-Nasl) dalam hal ini bisa tercapai pada
usia dimana calon mempelai telah sempurna akal pikirannya serta siap
melakukan proses reproduksi.88
Berdasarkan hal tersebut, komisi fatwa menetapkan beberapa
ketentuan hukum, yaitu :89
a. Islam pada dasarnya tidak memberikan batas usia perkawinan secara
definitif, usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan
menerima hak (ahliyatul ada’wa al wujub) sebagai ketentuannya.
87
Mohammad Hasan Bisyri, “Jurnal : Penerapan Teori Maqasid Syari’ah Dalam Ijtihad Maejelis Ulama Indonesia”, Pekalongan, hal. 11, e-journal.stain-pekalongan.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 14.46.
88 Khaeron Sirin, Fikih Perkawinan di Bawah Umur, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal. 35.
89 A. Djazuli, “Kaidah-Kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah Yang Praktis”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 149.
66
b. Perkawinan di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhi
syarat dan rukun nikah tetapi haram jika mengakibatkan mudharat
c. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan
perkawinan, yaitu kemaslahatan berumah tangga dan bermasyarakat serta
jaminan keamanan bagi kehamilan
d. Guna merealisasikan kemaslahatan ketentuan perkawinan dikembalikan
pada standarisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 sebagai pedomannya
Uraian di atas memperlihatkan bahwa faktor kedewasaan merupakan kondisi
yang amat penting, kendati tidak masuk dalam rukun dan syarat perkawinan (dalam
agama). Namun jika diteliti dengan seksama, Islam memang tidak pernah
memberikan batasan secara definitif berapa usia orang yang dapat dianggap
dewasa.90
Dengan ini keanekaragaman dalam menentukan batas usia kedewasaan
diakibatkan oleh tidak adanya patokan yang dapat digunakan secara akurat untuk
menentukan batas kedewasaan manusia, usia dan tindakan perkawinan memang bisa
menjadi ukuran yang tepat karena usia atau umur sendiri merupakan suatu keadaan
dimana seseorang telah mencapai tingkat kematangan itu hadir pada masing-masing
orang secara berebeda-beda, bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa
90
H.M. Ghufron, Makna Kedewasaan Dalam Perkawinan, (Surabaya), hal. 4.
67
mungkin saja sampai dengan akhir hayatnya manusia tidak pernah mengalami
kedewasaan tidak selalu berbanding lulus dengan usia.91
Memang tidak semua peraturan perundang-undangan menyebutkan secara
tegas tentang batas usia, namun dengan menentukan batasan umur bagi suatu
perbuatan hukum tertentu, maka sesungguhnya faktor kedewasaanlah yang menjadi
ukuran, misalnya dalam beberapa undang-undang hanya mencantumkan batasan
umur bagi mereka yang disebut anak, sehingga di atas batas umur tersebut harus
dianggap telah dewasa, atau undang-undang membolehkan seorang untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu setelah melampaui batas umur yang ditentukan,
semua pengaturan tersebut pada akhirnya tertuju pada maksud dan pengertian
tentang kedewasaan.92
Jika dianalisi lebih lanjut, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki tujuan
untuk mencegah pernikahan dini dan ini berkaitan cukup erat dengan masalah
kependudukan dan kesejahteraan kaum perempuan. Jika dibandingkan dengan
sebelum adanya pembaruan undang-undang hukum keluarga Islam, pengaturan
tentang usia ini berpengaruh pada terpeliharanya hak-hak perempuan walaupun
belum bisa maksimal.93
91
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 59.
92 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1991) hal. 163.
93 M. Nur Hasan Latief, Jurnal Hukum Novelty “Pembaharuan Hukum Keluarga Serta
Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia Minimal Kawin dan Peningkatan Status Wanita”, (2006), hal. 205, journal.uad.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 14.55.
68
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7
ayat (1) dinyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun”. Pembatasan minimum usia kawin pada undang-undang
perkawinan ini merupakan unifikasi usia kawin dari beberapa sumber dan literatur
sebagai acuan tetap hakim untuk memutus perkara kawin. Karena sebelum
terbentuknya undang-undang ini hakim merujuk pada kitab-kitab turats yang sangat
varian dalam memberikan pembatasan minimum usia kawin. Angka 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan juga berdasar pada kultur dan kondisi
masyarakat Indonesia.94
Hal ini pemohon mengajukan permohonan dalam frasa “16 (enam belas)
tahun” yang di mana pemohon ingin menambahkan frasa tersebut ke umur 18
(delapan belas) tahun, karena pada umur 18 seorang wanita sudah mencapai tingkat
kematangan biologis seorang wanita. Akan tetapi, dalam Islam tidak memberikan
batasan minimal usia kawin secara gamblang. Batasan usia kawin hanya didasarkan
pada standar usia baligh. Dibentuknya sebuah peraturan perundang-undangan
bertujuan untuk mengatur masyarakat yang tertib dan nyaman. Dirumuskannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan sebuah jawaban
dari reaksi yang ditimbulkan oleh berbagai kalangan masyarakat. Dengan ini
Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan dalam permohonan yang
94
Nizar Abdussalam, Jurnal Hukum “Batas Minimal Usia Kawin Perspektif Hakim Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi UIN Malang”, (2015), hal. 88, ejournal.uin-malang.ac.id, diakses tanggal 06 April 2017 pukul: 15.22.
69
diajukan oleh Pemohon adalah tidak menyetujui apa yang diajukan oleh Pemohon
dikarenakan apabila ditambahkan umur yang di mana dalam Pasal 7 ayat (1)
tersebut terdapat frasa 16 (enam belas) tahun akan ditingkatkannya menjadi 18
(delapan belas) tahun maka akan banyak lagi menimbulkan ke mudharatan yang
tidak diinginkan, misalnya terjadinya hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas dan
lainnya.
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan hukum telah nyata bahwa
kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan
adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek
kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat
memastiskan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin tersebut akan
semakin mengurangi angka perceraian maupun meminimalisir permasalahan sosial
lainnya.
Namun demikian, penulis skripsi ini berpendapat bahwa tidak menyetujui
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang menolak untuk menaikkan usia
pernikahan. Perkawinan tidak berakhir pada suatu perceraian yang harus dicegah
adanya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih dibawah umur. Karena
perkawinan bukan hanya mempunyai masalah kependudukan, tetapi kondisi sosial
kemasyarakatan masyarakat Indonesia khususnya yang berada di wilayah terpencil
yang belum mengetahui dan memahami pentingnya pembatasan usia perkawinan
yang dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami dan isteri serta menjaga
70
kesehatan keturunan yang akan dihasilkannya.95
Maka untuk mengerem laju
kelahiran yang lebih tinggi harus dicegah terjadinya perkawinan yang masih di
bawah umur, tetapi perkawinan di bawah umur dapat dengan terpaksa dilakukan
karena Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya.
Banyak alasan seseorang menikah di bawah umur karena wanita tersebut
hamil akibat perilaku pergaulan bebas dan solusinya adalah orang tua mereka harus
menikahkan mereka pada usia muda. Situasi semacam itu mengilustrasikan
relevansi meningkatnya pernikahan di bawah umur. Hal ini Undang-Undang
Perkawinan memberikan toleransi bagi setiap warga Negara yang batas usianya
belum mencukupi dengan mengajukan Permohonan Dispensasi Kawin dari
Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua dari pihak pria maupun
wanita terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974. 96
95
Muhammad Arafat Yusmad, Al-Ahkam Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah “Analisis Hukum Batasan Usia Perkawinan Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Fakultas Syariah IAIN Palopo, 2015.
96 www.Landasanteori.com, diakses tanggal 18 April 2017 pukul: 12.31.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penilitian yang penulis susun di
atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada dasarnya hukum Islam tidak mengatur batas usia minimal seseorang pria
atau seorang wanita untuk dapat melangsungkan pernikahan. Para ulama
sepakat bahwa untuk melangsungkan pernikahan jika calon suami atau istri
sudah aqil baligh salah satu tandanya, jika wanita sudah mulai menstruasi dan
pria sudah mengalami mimpi yang mengakibatkan keluar sperma.
2. Namun demikian, berdasarkan qaidah fikih yang menjadikan kemaslahatan
sebagai acuan, maka beberapa negara Islam atau negara yang berpenduduk
mayoritas muslim menetapkan adanya pembatasan usia minimal untuk
menikah. Salah satu ukurannya adalah kematangan. Di Indonesia batas usia
pernikahan itu adalah 19 tahun untuk seorang pria dan 16 tahun untuk wanita.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, yang menolak
permohonan adanya peningkatan batas usia minimal wanita untuk melakukan
pernikahan dari 16 tahun menjadi 18 tahun, tidaklah bertentangan dengan
hukum Islam sebab pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah pada
72
dasarnya untuk kemaslahatan atau kepentingan calon mempelai wanita itu
sendiri.
B. Saran-Saran
Penulis menyampaikan beberapa saran terkait adanya pembatasan usia
pernikahan ini, sebagai berikut:
1. Walaupun Mahkamah Konstitusi telah menolak adanya peningkatan batas usia
pernikahan seorang wanita dari 16 tahun menjadi 18 tahun, masyarakat
diharapkan tidak mudah begitu saja menikahkan putrinya yang masih relatif
muda, juka ia belum terlihat matang dari segi fisik dan mental. Kematangan
fisik dari mental dalam menghadapi masa-masa pernikahan sangat deperlukan
dalam rangka menjauhkan kemaslahatan, yaitu tercapainya tujuan perkawinan
yang bahagia, sakinah, mawaddah, dan rahmah.
2. Untuk menambah kematangan para calon mempelai pria dan wanita, terutama
bagi pasangan-pasangan yang masih relatif muda, perlu dilakukan bimbingan
pernikahan secara intensif dan distrimatif oleh lembaga-lembaga penasihatan
perkawinan, seperti BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan) dengan didukung pemerintah dan masyarakat luas. Dengan
demikian, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014, yang
bertumpu pada kemaslahatan atau kepentingan mempelai dapat termujud.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, Nizar. Jurnal Hukum “Batas Minimal Usia Kawin Perspektif Hakim
Pengadilan Agama dan Dosen Psikologi UIN Malang”, (2015), diakses tanggal
06 April 2017 dari ejournal.uin-malang.ac.id.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2002.
Almaidah. Pernikahan Dini Perspektif Hukum Islam (Studi Telaah Pernikahan
Rasulullah SAW Dengan Aisyah). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010.
Asrori, Ahamad. Batas Usia Perkawinan Menurut Fuqaha dan penerapannya dalam
Unsang-undang Perkawinan di Dunia Islam. Lampung.
Astuty, Siti Yuli. “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda
Dikalangan Remaja Di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten
Deli Serdang”
Bisyri, Mohammad Hasan.“Penerapan Teori Maqasid Syari’ah Dalam Ijtihad
Maejelis Ulama Indonesia”, Pekalongan. diakses tanggal 06 April 2017 dari e-
journal.stain-pekalongan.ac.id.
Djazali, A. Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007.
F, Shappiro. Mencegah Perkawinan yang Tidak Bahagia, Jakarta: Restu Agung,
2000.
72
Ghufron, H.M. Makna Kedewasaan Dalam Perkawinan. Surabaya.
Haikal, Hasanain dan Abdul Hadi. “Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, Analisis
Yuridis Normatif dan Hukum Islam Tentang Batas Usia Perkawinan Anak
(Perempuan)”, diakses tanggal 20 April 2017 dari journal. Stainkudus.ac.id
Hermanto, Agus. “Ilmu Hukum dan Hukum Islam, Perkawinan di Bawah Umur
Ditinjau Dari Kacamata Sosiologis”, diakses tanggal 21 April 2017 dari
journal.iaimnumetrolampung.ac.id.
Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid 1, No. 1868.
Jahar, Asep Saepudin, Euis Nurlaelawati, dan Jaenal Aripin. Hukum Keluarga,
Pidana, dan Bisnis “Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih, dan Hukum
Internasional”. Jakarta: Kencana, 2013.
Karim, Helmi. Kedewasaan Untuk Menikah Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Kementrian Agama RI, Ummul Mukminin “Al-Qur’an dan Terjemahan untuk
Wanita”. Jakarta.
Kharlie, Ahmad Tholabie. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Kompilasi Hukum Islam
Latief, M. Nur Hasan. Jurnal Hukum Novelty “Pembaharuan Hukum Keluarga Serta
Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia Minimal Kawin dan Peningkatan
Status Wanita”, (2006), diakses tanggal 06 April 2017 dari journal.uad.ac.id.
73
Majelis Ulama Indonesia. Ijma’ Ulama (Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-
Indonesia III Tahun 2009). Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009.
Mudzhar, M. Atho’ dan Dr. Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Mughniyyah, M. Jawad. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2003.
Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003., cet.ke-5
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUU-XII/2014
Sari, Nurmilah. “Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan
Agama Tangerang)”. Skripsi S1 Peradilan Agama Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sam, M. Ischwan. Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia
III 2009. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2009.
Santoso, Haris. Batas Usia Melakukan Perkawinan di Indonesia Perspektif Imam
Mazhab”, Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum. Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2010.
Saryono, Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta:
Nuha Medika, 2010.
Shihab, M. Quraish. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol. IX. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Sirin, Khaeron. Fikih Perkawinan di Bawah Umur. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
74
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Renika Cipta, 1991.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Rajawali
Press, 2004.
Supriyadi, dkk. “Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam”. Bandung:
Pustaka al-Fikriis, 2009.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1990.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta, cetakan ke-3, 1984.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. set. Ke-3,
Ed. Revisi
Sofyan, Yayan. Relasi Suami Istri, (Jakarta Pusat Studi Wanita UIN Syarif
Hidayatullah, 2004.
Sofyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, 2010.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media,
2006.
Syambuzzi, Muhammad. “Faktor-faktor Penyebab Pernikahan Pada Usia
Muda”(Studi Kasus di Kelurahan Jati Bening Kecamatan Pondok Gede
Bekasi)”. Skripsi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum, 2010.
Thalib, Sayuti. Hukum Keluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Umran, Abdur Rahim. Islam dan KB. Jakarta: Lentera Batritama, 1997.
75
Yanggo, Khuzaimah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka
Firdaus
Artikel diakses tanggal 20 April 2017 dari http://tafsir.web.id/
www.Landasanteori.com, diakses tanggal 18 April 2017
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97