4
Barcelona I 14 Oktober Setelah semua barang-barang yang ku perlukan terkemas rapi dalam koperku. Aku kembali memeriksa kelengkapan dokumen perjalananku. Passport, visa dan semuanya telah tersimpan rapih di handbag. Ku pandangi seisi kamarku, melucuti setiap barang yang berada disana sekiranya ada barang yang masih tertinggal. Sebuah MP4 hitam masih tergeletak di atas meja belajarku. Aku segera meraihnya dan ku masukkan ke dalam tas tangan putihku. “Saila... kau telah siap?” ku dengar suaranya memanggil dari luar kamarku. Aku mengangguk. “Ya.” Sahutku saat ku sadari ia tak bisa melihat anggukanku. Ia membuka pintu kamarku dan menunjukkan dua tiket di tangannya. “Pesawat kita berangkat pukul empat nanti. Biar aku yang menyimpan ini.” ujarnya padaku. Aku mengangguk setuju. Ia memasukkan tiket-tiket itu ke dalam dailypacknya. Dengan satu gerakan ia telah menurunkan koperku dari tempat tidurku, membawanya keluar dan mengemas dengan rapi bersama barang- barang bawaan lainnya di bagasi taksi yang menunggu kami sedari tadi. ***

Fathia Mohaddisa Barcelona I

Embed Size (px)

DESCRIPTION

oc

Citation preview

Barcelona I

14 OktoberSetelah semua barang-barang yang ku perlukan terkemas rapi dalam koperku. Aku kembali memeriksa kelengkapan dokumen perjalananku. Passport, visa dan semuanya telah tersimpan rapih di handbag. Ku pandangi seisi kamarku, melucuti setiap barang yang berada disana sekiranya ada barang yang masih tertinggal. Sebuah MP4 hitam masih tergeletak di atas meja belajarku. Aku segera meraihnya dan ku masukkan ke dalam tas tangan putihku.

Saila... kau telah siap? ku dengar suaranya memanggil dari luar kamarku. Aku mengangguk.

Ya. Sahutku saat ku sadari ia tak bisa melihat anggukanku. Ia membuka pintu kamarku dan menunjukkan dua tiket di tangannya.

Pesawat kita berangkat pukul empat nanti. Biar aku yang menyimpan ini. ujarnya padaku. Aku mengangguk setuju. Ia memasukkan tiket-tiket itu ke dalam dailypacknya. Dengan satu gerakan ia telah menurunkan koperku dari tempat tidurku, membawanya keluar dan mengemas dengan rapi bersama barang-barang bawaan lainnya di bagasi taksi yang menunggu kami sedari tadi.***

29 SeptemberLangit cerah berawan sore itu, saat aku sedang asyik duduk di ayunan rotan sambil menebarkan remah-remah jagung di halaman belakang rumah, tempat merpati-merpatiku bermain-main disana. Namun di entah, pikiranku tak di sini. Bahkan aku tak dapat mendeskripsikannya, semuanya terlalu kalut seperti benang-benang kusut yang saling terikat.

Tanpa ku duga ia duduk menghentak di sampingku. Tangannya yang kekar meraup butiran jagung dari kotak yang ku genggam dan menebar kasar ke arah merpati-merpatiku yang tengah asyik mematuki jagung-jagung yang ku lempar tadi. Beberapa ekor merpati terbang ke angkasa, beberapa lagi hanya melompat terkejut lalu kembali mematuki jagung-jagung yang ia lempar tadi.

Sudah tiba saatnya kau ikut bersamaku. Ujarnya setengah bergumam.

Kenapa? tanyaku. Aku menoleh ke arahnya. Matanya masih tertumbuk pada merpati-merpati itu.

Bukankah semua kewajibanmu di sini telah usai? Ia balik bertanya. Di balik kacamata minusnya, ia balik menatapku. Aku mengangguk-angguk.

Lantas, alasan apalagi yang bisa kau tawarkan untuk meyakinkanku ikut bersamamu? Ku palingkan pandanganku kembali pada dua ekor merpati yang kembali setelah mereka terbang mengangkasa karena dikejutkannya.

Ku pikir sudah saatnya kau mengakhiri ini. Biar di sana, bersama-sama kita sembuhkan luka itu. dengan ekor mataku, ku dapatkan pandangannya masih untukku bukan merpati-merpati itu atau pun bunga-bunga di sekitarnya.

Tawaran yang menggiurkan. Aku tersenyum satir.

Kau meragukanku? ia kembali meraup butiran jagung itu. Kali ini ia tak langsung melempar butiran jagung itu, sejenak ia menggenggamnya di tangan kiri sampai akhirnya ia kembali menebarkan pada merpati yang tampaknya sudah kekenyangan.

Aku menggeleng. Aku meragukan diriku. Desisku.

Ia menghela nafas seraya disandarkan punggungnya pada sandaran ayunan rotan itu. Dalam helaannya ku dapati ia kecewa pada pernyataan yang baru saja ku lemparkan. Aidan. Apa kau yakin aku bisa? tanyaku, ku harap pertanyaanku bisa membangkitkan kepercayaannya untuk menyuntikan motivasi padaku.

Tentu. Aku yakin itu. Ucapnya optimis.

Bagaimana kau bisa seyakin itu?

Ayolah Saila, kita telah bersama hampir enam tahun lamanya. Kau adalah bagian dariku dan aku pun demikian. Ujarnya menggebu.

Aku percaya padamu. Bisikku

Aku memandangnya lekat.

Ia tersenyum sumringah. So do I.

Ill go with you. tambahku***15 OktoberBurung besi itu kemudian mendarat di Bandara El Prat kota Barcelona yang begitu artistik. Aku dapat mencium udara musim gugur. Samar-samar menebar udara beku musim dingin yang tak lama lagi akan berkunjung ke Negeri ini. Ia berjalan di sampingku dengan troli penuh barang-barang kami yang ia dorong. Dari kejauhan ku lihat dua orang wanita melambai pada kami. Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis yang usianya tak jauh dariku. Ia membalas melambaikan tangan, diiringi senyuman yang segera mekar di bibirnya. Gadis muda itu segera berlari menyongsong kami. Dipeluknya ia yang berdiri di sampingku dengan penuh kerinduan. Sedangkan wanita separuh baya itu berjalan anggun di belakangnya. Kemudian menyalamiku, mencium kedua pipiku dan sejenak mendekapku dalam pelukannya seraya berbisik bienvenido.