Upload
others
View
30
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
FATWA-FATWA AHMAD HASSAN
DALAM
BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
HILWANUZZIKRI
NIM. 1113044000097
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2019 M / 1440 H
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Hilwanuzzikri, NIM 1113044000097, FATWA-FATWA AHMAD
HASAN DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM, Strata Satu (S-1),
Jurusan Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019H.
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui bagaimana metode dan tipe
pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum
Keluarga Islam yang tertuang dalam salah satu karya ilmiahnya yaitu “Soal
Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”.Ahmad Hassan dikenal sebagai
Ulama Persis, bahkan beliau pun masuk sebagai golongan guru besar Persis.
Beliau merupakan seorang tokoh Islam yang dikenal sebagai ulama pembaharu
dan pemikiran-pemikirannya tajam juga kritis terutama dalam menafsirkan Nash
(teks) Al-Qur’an dan Hadist. Namun. dalam menetapkan fatwa di bidang Hukum
Keluarga Islam tentunya memerlukan beberapa metode dalam menetapkan
hukum atau yang sering disebut metode istinbath hukum. Hal ini hanya bisa
dilakukan oleh ulama yang kapasitas pengetahuan yang luas dan juga
berkompeten. Atas dasar inilah maka timbul pertanyaan bagaimana metode
istinbath hukum yang digunakan Ahmad Hassan dalam menjawab persoalan
hukum keluarga Islam yang tertuang didalam karyanya.
Penelitian ini terkategori sebagai penelitian kualitatif yang dilakukan
melalui kajian pustaka atau library research. Kajian pustaka yaitu maksudnya
adalah penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai objek sumber dalam
penelitian ini. Sebagai penelitian pustaka, maka penelitian ini akan mengkaji
teori-teori, konsep-konsep, dan proposi-proposi yang terdapat dalam sumber
penelitian seperti buku-buku, makalah, tulisan ilmiah, atau sumber yang sesuai
dengan tema penelitian.
Metode istinbath hukum yang digunakan Ahmad Hassan dalam menjawab
persoalan hukum keluarga yakni, dengan pemahaman beliau terhadap tafsir ayat
al-Qur’an dan hadits yang relevan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh
penannya. Banyak fatwa Ahmad Hassan dengan melontarkan kembali pendapat
para ulama Mutaqoddimin dan ulama Muttaakhirin yang pendapatnya masih
relavan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para penannya. Jawaban
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad Hassan memang
terkadang tidak dijawab secara tegas dan mendetail. Namun, agar jawaban yang
diberikan Ahmad Hassan mudah diterima, Ahmad Hassan memperkuat pendapat
para ulama dengan dalil al-Qur’an maupun hadits yang berkaitan dengan masalah
yang ditanyakan.
Kata Kunci : Ahmad Hassan, Metode Istibath Hukum, Hukum Keluarga Islam
Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الحمن الحيم
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan
anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM
KELUARGA ISLAM. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan
sahabatnya, yang telah mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan
kebenaran.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan
rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H.,
Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Pembimbing skripsi yang dengan
tulus ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan
arahan serta saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Muh. Fudhail Rahman, Dosen Penasihat Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
5. Penguji I Dr. H. A. Juaini Syukri, L.c, M.A.dan Penguji II Indra
Rahmatullah, S.HI, MH dengan tulus ikhlas meluangkan waktu untuk
memberikan arahan serta saran-saran kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
vi
6. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff
Perpustakaan Fakultas Syarifah dan Hukum, yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Orang tua Penulis ayahanda & Ibunda tercinta H. Sabeni dan Hj.
Jamilah, Adik-Adik Penulis, Asyrofuzzaman, Sahla Aulia, yang telah
memberikan kasih sayang, semangat serta motivasi dan nasihat-nasihat
kepada ananda dari awal penulisan hingga berakhirnya penulisan
skripsi ini.
8. Muhammad Ilham, Abdul Wahid, A. Miftah , Ainurohman dan Para
sahabat dan kawan seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam, dan
Hukum Keluarga 2013.
9. Teman-teman pengajian Majlis Tadris dan Muzakkaroh Syekh Azhari
terlebih khusus, Faqih Fadhlillah, Hizam Adli, Zain Fananie, Farhan
Apip, Lutfi Fathurizal, Nurul Fadhlia A.Md.Kep yang telah
memberikan motivasi, masukan,semangat dan juga doa dari kalian.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini semoga Allah membalasnya. Aamiin.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya
untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, 21 Mei 2019
Penulis
Hilwanuzzikri
vii
DAFTAR ISI
LEMBRAR PENGESAHAN SKRIPSI..................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 4
C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 5
D. Perumusan Masalah .............................................................................. 5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 5
F. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu .................................................... 6
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ............................................. 7
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
BAB II FATWA DAN FUNGSINYA DALAM HUKUM KELUARGA
ISLAM ...................................................................................................... 12
A. Pengertian dan Kedudukan Fatwa ...................................................... 12
B. Sumber Hukum dan Dalil Hukum dalam Fatwa ................................ 16
C. Metode Istinbath Hukum dalam Penetapan Fatwa ............................. 25
BAB III TINJAUAN UMUM AHMAD HASSAN DAN BUKU SOAL
JAWAN TENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMA ................... 34
A. Biografi Ahmad Hassan ..................................................................... 34
B. Karya-karya Ahmad Hassan ............................................................... 39
C. Sistematika Penulisan Buku Soal Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama .................................................................................. 41
BAB IV KARAKTER PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AHMAD HASSAN
DAN METODE ISTINBATH HUKUM ATAS FATWANYA
DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM ............................ 45
A. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hassan Atas Fatwanya Dalam
Bidang Hukum Keluarga Islam .......................................................... 45
1. Nikah Sebelum Masa Iddah ........................................................... 45
2. Nikah Melalui Perantara Telepon .................................................. 47
3. Talak Tiga Dengan Sekali Ucapan ................................................ 52
4. Kebolehan Wanita Menikah Tanpa Wali....................................... 58
B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam Ahmad Hassan ...................... 79
viii
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 81
A. Kesimpulan ................................................................................................... 81
B. Saran-Saran ................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama hukum Islam, di
samping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya
tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan
penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang.1 Al- Qur’an dan
Hadist juga merupakan gambaran kesmpurnaan Islam, karena tidak ada satu
sisi pun dari bagian-bagian hidup ini yang terlepas dari perhatiannya. Al-
Qur’an dan Hadist juga telah mengatur urusan bersuci hingga urusan bisnis,
urusan ibadah hingga strategi perang, serta urusan keluarga hingga urusan
dalam pemerintahan.
Yang dimaksud urusan keluarga, termasuk di dalamnya Hukum Keluarga
Islam yaitu hukum yang mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam
satu keluarga (rumah tangga) berkenaan dengan masalah-masalah tertentu
yakni: pernikahan, nasab, (keturunan), nafkah (biaya hidup) dan pemeliharaan
anak (hadhanah) serta perwalian dan kewarisan.2
Seiring berkembangnya zaman dan semakin berkembangnya pola
kehidupan manusia, banyak sekali persoalan-persoalan baru dalam Hukum
Keluarga Islam. Dengan datangnya berbagai persoalan-persoalan baru
tersebut. Maka menjadi tugas baru kepada para Ulama untuk mengkaji dan
menjawabnya. Dan tentunya dalam usaha menjawab berbagai persoalan
tersebut hanya dapat dilakukan oleh para Ulama yang mempunyai
pengetahuan luas dan berkompeten dalam ilmunya.
Dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut tentunya al-Qur’an dan
Hadist adalah sumber rujukan pertama yang didalami oleh para Ulama untuk
1 Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: PT.
Pemadani 2004) h.23. 2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2004) h.20.
2
menjawab persoalan tersebut. Akan tetapi di dalam al-Qur’an dan Hadist
tidak semua persoalan yang terus bermunculan dapat di jelaskan secara rinci,
sehingga perlunya pengkajian dan usaha untuk mendalami kedua sumber
tersebut. Dalam hal ini, reaksi para Ulama untuk menemukan pemecahannya
perlu usaha keras untuk menggali lewat kedua sumber utama itu yaitu al-
qur’an dan Hadist yang disebut dengan ijtihad. Sehingga dapat melahirkan
suatu teori-teori ilmu pengetahuan yang dikenal sabagai ilmu Ushul Fiqh.
Di dalam ilmu Ushul Fiqh banyak melahirkan rumusan-rumusan dan
kaidah-kaidah yang menjadi acuan para Ulama untuk menetapkan suatu
permasalahan hukum, yang lebih dikenal dengan istilah Istinbat Hukum.
Dengan itu muncul cabang dalil-dalil hukum seperti ijma’, qiyas, istihsan,
fatwa sahaby, sad adzzari’ah dan maslahah al mursalah3
Cabang dari pada dalil-dalil tersebut bukanlah diartikan sebagai sumber
hukum, melainkan sebagai alat dalam menetapkan hukum-hukum yang
kurang jelas pemaparannya daripada al-Qur’an dan Hadist. Untuk
menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi sekarang ini, para Ulama
terus melakukan usaha bagaimana cara pemecahannya, padahal dari
persoalan-persoalan tersebut dibutuhkan pemecahan sesegera mungkin. Maka
daripada usaha dan upaya tersebut melahirkan sebuat pandangan hukum yang
sering disebut dengan fatwa.
Belakangan ini banyak fatwa yang dikeluarkan melalui para Ulama
seperti yang dilakukan oleh para Ulama Bahtsu al-Masail, Majlis Tarjih dan
Tajdid ataupun musyawarah baik secara berkelompok maupun secara
individu seperti lembaga Nahdatul Ulama (NU) Muhammadiyah, dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI), ataupun yang secara individu yang dilakukan
beberapa Ulama misalnya Ahmad Hassan melalui fatwa-fatwanya dengan
berbagai permasalahan Agama.
Ahmad Hassan yang nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad merupakan
seorang pemikir Islam yang sangat dipandang sebagai guru besar Persatuan
3 Untuk lebih jelasnya pengertian dari masing masing istilah tersebut bisa dilihat dalam
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, cet v, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 321-405.
3
Islam (PERSIS)4. Ahmad Hassan adalah ilmuan Persis, seorang Mujtahid dan
sosok Ulama yang mandiri dan serba bisa. Sejak tahun 1924, Persis telah
menyelenggarakan kelas pendidikan aqidah dan ibadah bagi orang dewasa.
Lembaga Pendidikan itu semakin berkembang sejak Ahmad Hassan masuk
dalam Persis pada tahun 1926. Perkembangan di Persis tidak hanya terjadi
pada pendidikan tetapi di bidang literasi dan publikasi seperti percetakan
buku-buku dan majalah juga berkembang pesat5.
Ahmad Hassan adalah sosok Ulama yang serba bisa dalam hal
pandangan Hukum Islam. Sekalipun beliau di kenal sebagai Ulama yang
sangat berperan dalam Pendidikan Islam, tetapi juga banyak kesempatan
memberikan fawa-fatwa dalam bidang Hukum Islam yang mana di dalamnya
terdapat beberapa fatwa tentang Hukum Keluarga Islam. Fatwa-fatwa ini
hadir daripada hasil jawaban atas pertanyaan persoalan-persoalan para umat
yang di ajukan kepadanya. Hal ini terlihat pada salah karya yang beliau
himpun yang berjudul “Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”.
Secara tegas, karya Ahmad Hassan mencoba masuk kedalam ruang
berfikir kaum awam, akan tetapi, setelah penulis membaca dan mencermati
dari pada karya beliau tersebut, terkadang penulis menemukan dari beberapa
jawaban-jawaban beliau yang agak sedikit berbeda dan membuat bingung
kepada pembaca awam. Sebagai contoh pendapat beliau tentang hal wali
kawin6 dalam bukunya tersebut yang beliau uraikan bahwa bolehnya wanita
baligh menikah tanpa adanya wali, dalam hal ini yang nanti akan kita bahas
rujukan beliau dan metode Instinbat Hukum yang digunakan atas
pendapatnya itu. Dan apakah beliau juga merujuk kepada pendapat golongan
tertentu yang terdapat dalam bukunya tersebut
4 Persis lahir dari sebuah ide alumnus Darul Ulum Mekkah yaitu H. Zamzam dan temannya
yang bernama H. Muhammad Yunus. Ide-ide tentang pengembalian ajaran yang murni yaitu Al-
qur’an dan Hadis. Dari berbagai diskusi yang mereka lakukan kemudian terbesit untuk mendirikan
sebuah organisasi yang kemudian disebut Persatuan Islam (Persis). Persis lahir pada tanggal 12
sebtember 1923 di Bandung. Lihat Dadan wildan Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983,(
Bandung: Gema Syahid, 1995), h. 30-31 5 Ahmad Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004),
h.141. 6 Ahmad Hassan,Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama , (Bandung: Cv Penerbit
Diponegoro, 2007) h. 244
4
Masih banyak lagi fatwa-fatwa Ahmad Hassan dalam mengenai Hukum
Keluarga Islam di dalam karyanya tersebut, dengan berdasarkan salah satu
metode dalam penginstinbatan hukum yang beliau terapkan juga pemahaman
tentang Hukum Islam dalam kerangka berfikirnya.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk membahas suatu karya
ilmiah yang berjudul. “FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM
BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM”
B. Identifikasi Masalah
Ahmad Hassan dikenal sebagai Ulama Persis, bahkan beliau pun masuk
sebagai golongan guru besar Persis. Beliau merupakan seorang tokoh Islam
yang dikenal sebagai ulama pembaharu dan pemikiran-pemikirannya tajam
juga kritis terutama dalam menafsirkan Nash (teks) Al-Qur’an dan Hadist. Di
dalam keahliannya dalam Hukum Islam, beliau telah mengeluarkan fatwa-
fatwa tentang Hukum Keluarga Islam yang tertera dalam salah satu karyanya
yang berjudul ”Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”
Di dalam menetapkan fatwa di bidang Hukum Keluarga Islam tentunya
memerlukan beberapa metode dalam menetapkan hukum atau yang sering
disebut metode istinbath hukum. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh ulama
yang kapasitas pengetauan yang luas dan juga berkompeten. Dari sinilah kita
dapat melihat cara kerangka berfikir atau karakter pemikiran hukum Islam
dari Ahmad Hassan melalui penelitian dari beberapa fatwanya dan metode
penetapan hukumnya.
Atas uraian tersebut maka timbul bebrapa masalah yang akan
diidentifikasikan oleh penulis, sebagai berikut:
1. Apa saja fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Ahmad Hassan dalam memfatwakan
Hukum Keluarga Islam?
3. Bagaimana karakter pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan?
4. Apakah ada kesesuaian terkaitb fatwa Ahmad Hassan dalam Masalah
Hukum keluarga dengan fatwa ulama di indonesia umumnya?
5
C. Pembatasan Masalah
Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah di atas memerlukan suatu
usaha dari penelitian. Jika peneliti memiliki keterbatasan-keterbatasan
kemampuan maka penelitian hanya akan membatasi pada:
1. Metode istinbath apa yang digunakan hukum Ahmad Hassan dalam
memfatwakan Hukum Keluarga Islam?
2. Apakah ada kesesuaian terkaitb fatwa Ahmad Hassan dalam Masalah
Hukum keluarga dengan fatwa ulama di indonesia umumnya?
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi serta batasan masalah diatas, maka Penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana metode istinbath hukum Ahmad Hassan dalam memfatwakan
Hukum Keluarga Islam?
2. Bagaimana tipe pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan?
3. Bagaimana fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam
di Indonesia?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan Peneliti yang ingin dicapai dari pembahasan ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana metode Ahmad Hassan dalam
menginstinbathkan Hukum Keluarga Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana tipe pemkiran hukum Islam Ahmad
Hassan.
Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara
teorotis dan praktis yaitu:
1. Secara teoritis
Dari penulisan ini diharapkan mampu memberikan informasi yang
tepat terhadap pemikiran dan metode istinbath hukum Ahmad Hassan
6
dalam fatwa-fatwanya mengenai Hukum Keluarga Islam serta tipe
pemikirannya dalam hukum islam.
2. Secara praktis
Dapat dijadikan bahan untuk studi dalam bidang Hukum Keluarga
Islam terutama yang berkenaan dengan Hukum Keluarga Islam.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Penulis melakukan studi pendahuluan terlenih dahulu sebelum
menentukan judul proposal, diantaranya sebagai berikut:
1. Muhammad Rifa’i (2009) Jurusan Jinayah Siyasah, Institut Agama Islam
Sunan Ampel, dengan judul “Pemikiran Politik Islam Menurut Ahmad
Hassan Dalam Perspektif Politik Islam Indonesia”. Yang di dalam
skripsinya membahas tentang pemikiran Ahmad Hassan yang
memperjuangkan tegaknya syariat Islam sampai masalah politik
kenegaraan demi mewujudkan suatu Negara Islam yang sesuai dengan
kehendak Tuhan. Walaupun membahas pemikiran tokoh yang sama,
tetapi yang membedakann adalah pembahasan tentang pemikirannya.
Penulis membahas tentang fatwa-fatwa Ahmad Hassan tentang hukum
Keluatga Islam, sedangkan Muhammad Rifa’i terfokus membahas
tentang pemikiran Ahmad Hassan dari segi politik Islamnya yang
memperjuangkan masalah kenegaraan yang Islami.
2. Mahwanih (2012) Konsentrasi Tafsir Hadist, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, dengan judul “ Tafsir Al-Furqon Karya Ahmad Hassan (Analisi
Kritis). Di dalam skripsi ini membahas sumber penafsiran, metode
penafsiran dan corak penafsiran Ahmad Hassan dalam karyanya yaitu
Tafsir Al-Furqon. Walaupun sama-sama membahas tentang tulisan karya
beliau, tetapi yang membedakan adalah Penulis membahas pemikiran
Hukum Keluarga Islam Ahmad Hassan dalam bukunya yang berjudul
“Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama” sedangkan saudara
Mahwanih dalam skripsinya menganalisa dengan kritis karyanya ahmad
Hassan yaitu Tafsir Al-Furqon
7
3. Khaidarullah (2014) Konsentrasi Hukum Keluarga, Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan tesis yang
berjudul “modernisasi Hukum Keluarga Islam: Studi Perkembangan
Diskursus dan Legislasi Usia Perkawinan di Indonesia”. Dalam Tesis ini
membahas diskursus dan sejarah legislasi usia perkawinan dalam konteks
modernisasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia, perdeatan dan polemik
dalam diskursus usia perkawinan di Indonesia serta aspek-aspek penting
yang terjadi dibalik dinamika pengaturan usia perkawinan di Indonesia.
Mengenai perbedaannya dengan penelitian saya yaitu, penelitian yang
akan penulis bahas yaitu tentang studi terhadap fatwa-fatwa tokoh
tentang Hukum Keluarga Islam, sedangkan penelitian Khaidarullah
Membahas tentang studi perkembangan diskursus dan sejarah legisasi
usia perkawinan di Indonesia dalam konteks Modernisasi Hukum
Keluarga Islam.
G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.
Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan
dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang
bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifat naturalistik dan
mendasar atau kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium
melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam
ini disebut dengan field study.7
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini terkategori sebagai penelitian kualitatif yang dilakukan
melalui kajian pustaka atau library research. Kajian pustaka yaitu
maksudnya adalah penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai
objek sumber dalam penelitian ini. Sebagai penelitian pustaka, maka
penelitian ini akan mengkaji teori-teori, konsep-konsep, dan proposi-
7 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), h.159.
8
proposi yang terdapat dalam sumber penelitian seperti buku-buku,
makalah, tulisan ilmiah, atau sumber yang sesuai dengan tema penelitian.
3. Sumber data Penelitian
a. Sumber Data Penelitian
Secara garis besar ada 3 sumber data penelitian yang penulis
gunakan dalam penulisan skeripsi ini, yaitu:
1) Data Primer
Data primer merupakan data yang langsung penulis
gunakan dari karya-karya autentik Ahmad Hassan yaitu: Soal
Jawab Tentang Berbagai masalah Agama.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-
buku yang digunakan sebagai penunjang untuk kelengkapan
penelitian ini di antaranya : Fiqh Munakahat, Ushul Fiqh,
Hukum Islam di Indonesia dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
3) Data Tersier
Data tersier merupakan suatu data tambahan yang secara
tidak langsung berkaitan dengan tema dalam penelitian ini,
kongkritnya sumber tersier dapat berupa kamus, buku-buku
tentang cara penelitian (metode penelitian), dan sumber-sumber
yang berasal dari situs internet.
b. Jenis Data Penelitian
Jenis data penelitian yang penulis gunakan adalan jenis data
Kualitatif Deskriptif. Kualitatif yaitu sebagai prosedur yang
menghasilkan berupa data deskriptif berupa kata-kata tertulis,
sedangkan Desktiptif adalah metode penyajian data secara sistematis
sehingga dapat mudah dipahami dan disimpulkan.
4. Teknik Pengumpulan Data
9
Sesuai dengan jenis penelitian yang penulis terapkan, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi naskah
(studi pustaka), dengan cara mengumpulkan data baik berupa teori,
konsep dan proposisi yang terdapat dalam buku-buku, majalah, jurnal
dan sejenisnya, yang diasumsikan relaval dengan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini.
5. Subjek-objek Penelitian
a. Subjek penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu atau orang-orang yang
mengetahui,berkaitan dan menjadi pelaku dari penelitian yang
diharapkan dapat memberi informasi dalam penelitian ini. Dan yang
menjadi subjek penelitian ini adalah pemikiran Ahmad Hassan yang
tertuang dalam suatu karyanya.
b. Objek Penelitian
Sesuai dengan judul dan jenis penelitian yang penulis bahas,
maka objek penelitian dalam skripsi ini adalah FATWA-FATWA
AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA
ISLAM (Studi terhadap metode Instinbath Hukum dalam Bukunya
“Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”)
6. Teknik Pengelolaan Data
Teknik pengelolaan data dalam skripsi ini yaitu dengan
mendeskripsikan data yang sudah terkumpul secara sistematis sehingga
dapat dengan mudah di pahami dan disumpulkan.
7. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini adalah conten analisis atau
analisis isi, yaitu menganalisis konsep-konsep, teori-teori dan proposisi-
proposisi terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu
Fatwa-Fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam (studi
Terhadap Metode Istinbath Hukum dalam Bukunya “Soal Jawab Tentang
Berbagai Masalah Agama). Maka teknik analisis data dalam penelitian
ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
10
a. Menemukan pola atau tema tertentu. Di Sini Penulis berusaha
memahami pemikiran Hukum Keluarga Islam menurut Ahmad
Hassan melalui fatwa-fatwanya yang tertuang dalam buku “Soal
Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”.
b. Berusaha menentukan metode istinbath yang digunakan oleh Ahmad
Hassan dalam beberapa fatwanya mengenai bidang Hukum Keluarga
Islam.
c. Menentukan karakteristik dari pada pemikiran Ahmad Hassan.
d. Mencari tahu beberapa sebab dan alasan Ahmad Hassan dalam
fatwanya yang terkadang berbeda dari Ulama-ulama lainnya.
H. Sistematika Penulisan
Penulis berupaya untuk menjaga keutuhan pemahasan dalam skripsi ini
agar terarah, maka penulis akan menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjuan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, Teknik Penulisan,
dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua, menjelaskan tentang fatwa dan fungsinya dalam Hukum
Keluarga Islam serta menjelaskan dalil-dalil dan metode Istinbath Hukum
dalam ifta.
Bab Ketiga, sebagaimana lazimnya penelitian terhadap seorang tokoh
dan buku karyanya. Maka penulis akan memperkenalkan profil Ahmad
Hassan serta mendeskripsikan bukunya. Kemudian penulis menjelaskan
fatwa-fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam yang
tertuang dalam bukunya tersebut.
11
Bab Keempat, penulis menganalisa metode istinbath hukum yang
digunakan oleh Ahmad Hassan atas fatwa-fatwanya dalam bidang Hukum
Keluarga Islam lalu penulis juga menganalisa tipe pemikiran hukum Islam
dari pada Ahmad Hassan.
Bab Kelima, penutup dan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh setelah
menganalisa metode istinbath hukumnya.
12
BAB II
FATWA DAN FUNGSINYA DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM
A. Pengertian dan Kedudukan Fatwa
1. Pengertian fatwa
Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab “ al-Fatwa”.
Menurut Ibnu Manshur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari
kata “fata” yaitu “fatwan” yang bermakna muda, baru, penjelasan,
penerangan.
Secara terminologi, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang
suatu masalah atas pernyataan seseorang atau sekelompok. Menurut as-
Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta berarti keterangan tentang hukum syara’
yang tidak mengikat untuk diikuti.1 Sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf
Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dan persoalan sebagai
jawaban atas pernyataan yang diajukan oleh peminta fatwa (Mustafti)
baik secara perorangan atau kolektif.2
Sedangkan yang dimaksud dalam ruang lingkup Hukum keluarga
Islam adalah hukum yang mengatur prihal hubungan hukum internal
dalam anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan
dengan ihwal kekeluargaan.3 Adapun istilah Hukum Keluarga berasal
dari kata Familierecht yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, atau dari
bahasa Inggris law of family. Hukum Keluarga diartikan sebagai
keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeliargaan karena
suatu hubungan perkawinan. jadi yang dimaksud dengan Fatwa dalam
Bidang Hukum Keluarga Islam yaitu suatu penjelasan hukum syara’ yang
mengatur hubungan hukum yang timbul sebab kekeluargaan sedarah
1 Wahbah al-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami , (Lebanon: Daar Fikr, 1987), h. 98.
2 Yusuf al-Qardawi, al-fatwa Bayan al-Indibat wa al-Tasayyub, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h.5. 3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 16
13
maupun sebab perkawinan atas pertanyaan yang di ajukan dari suaru
kelompok atau perorangan.
Dapat disimpulkan dari definisi-definisi diatas terdapat dua sifat
yang terlihat menonjol dari fatwa. Pertama, fatwa bersifat responsif,
dikatakan responsif karena fatwa merupakan jawaban hukum (legal
opinion) yang baru dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan dari
persoalan yang biasanya aspek hukum tersebut telah terjadi atau nyata.
Kedua dari segi kekuatan hukum, dalam hal ini fatwa bersifat tidak
mengikat, dalam kata lain seseorang atau suatu kelompok yang meminta
fatwa dari seorang mufti atau lembaga fatwa tidak harus mengikuti
hukum yang difatwakan kepadanya. Karena dalam hal ini seorang mufti
atau seseorang yang diminta memfatwakan suatu persoalan bisa saja
berbeda fatwanya dengan mufti lain pada tempat yang sama. Akan tetapi,
apabila fatwa ini kemudian di adopsi oleh hakim untuk menjadikan suatu
keputusan pengadilan maka barulah ia memiliki kekuatan hukum tetap
yang mengikat. Terlebih lagi bila ia diadopsi menjadi hukum positif
dalam ranah wilayah tertentu.
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian
fatwa (Ifta)4, yang pertama, kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai
suatu jawaban atas pertanyaan yang diajukan, yang biasa disebut Ifta.
Kedua, suatu badan organisasi atau orang yang mengajukan pertanyaan,
disebut mustafi. Ketiga, orang atau lembaga yang memberikan dorongan
atas pertanyaan yang diajukan, disebut mufti. Keempat, masalah,
peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya, dalam
hal ini disebut mustafi fih. Kelima, jawaban hukum atas pertanyaan yang
diajukan kepada mufti atau lembaga fatwa, dan inilah yang disebut
fatwa.Pada dasarnya kegiatan meminta penjelasan dari seorang yang ahli
sebagaimana halnya fatwa didorong berdasarkan Al-Qur’an dalam QS.
An-Nahl ayat 43:
4 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Cet. i, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2008), h.
21.
14
ل تعي ت م مس إ و اىر فاسؤىا أ قبيل إلا زجالا حي إىي ا أزسيا
(٣٤اىحو:)
Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui” (QS. An-Nahl : 43)
Pada masa awal perkembangan Islam Rasulullah SAW telah
menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru. Tradisi meminta dan
memberi fatwa itu sendiri telah berlangsung sejak zaman Rasulullah
SAW ketika Al-Qur’an masih diturunkan secara berangsur-angsur.
Bahkan pada saat itu terdapat peristiwa-peristiwa di mana para sahabat
meminta fatwa kepada Nabi dan kemudian dijadikan teks al-Qur’an yang
sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut seperti dalam QS.
An-Nisa 127:
ا في يفتين يستفتل في اىساء قو للاا (٧٢١)اىسآء:
Artinya : “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka” (QS. An-
Nisa : 127)
Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, Nabi sendirilah yang
menjadi mufti dari berbagai persoalan–persoalan yang muncul pada saat
kasus hukumnya diperlukan, yang tentunya langsung dengan tuntunan
wahyu dari Allah. Dan setelah wafatnya beliau secara tidak langsung
tradisi ini diteruskan oleh Para sahabat yang berpencar ke berbagai
pelosok dunia sehingga setiap daerah memiliki masing-masing mufti.
Para mufti tersebut mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya
sehingga hal ini akan terus berlangsung hingga akhir hayat dunia.
15
Secara sederhana fatwa merupakan produk yang dihasilkan melalui
kegiatan istinbath hukum dalam suatu permasalahan, baik permasalahan
yang hukumnya sudah digariskan oleh ulama-ulama terdahulu maupun
belum. Ifta itu sendiri adalah sinonim dari ijtihad.5 Perbedaan ifta dengan
ijtihad, ifta itu lebih khusus dari ijtihad. ijtihad6 dilakukan terhadap suatu
problematika yang kasusnya sudah terjadi ataupun belum terjadi.
Sedangkan ifta dilakukan terhadap suatu kasus yang sudah terjadi yang
dimana mufti memutuskan ketentuan hukumnya berdasarkan fakta yang
ada.
2. Fungsi Fatwa dalam Hukum Keluarga Islam
Fatwa yang relatif spesifik untuk suatu kasus tertentu, tempat
tertentu, dan masa tertentu memberikan daya fleksibelitas bagi syariat
islam yang dianggap shalihun li kulli az-zaman wa al-makaan.7 Dalam
hal ini fatwa memegang peranan penting dalam mendominasisasikan
Hukum Keluarga Islam dalam kehidupan umat melalui respon terhadap
persoalan yang muncul dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan
dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya.8 Adapun adanya pranata
fatwa dalam Hukum Keluarga Islam disamping Qadha telah memberikan
kontribusi yang signifikan bagi keberlakuan Hukum Keluarga Islam
ditengah kehidupan masyarakat. Fatwa dan qadha juga merupakan
interpretasi sekaligus implementasi dari ketentuan hukum syariat Islam
yang bersifat global dan universal. Fatwa berfungsi sebagai pertimbangan
hakim dalam mengambil suatu keputusan, dalam hal ini otoritas fatwa
bersifat umum yang secara potensial dapat mencakup setiap bentuk kasus
yang serupa.
5 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 212.
6 Ijtihad sebagaimana diungkapkan oleh Syaukani ialah mencurahkan kemampuan untuk
menghasilkan hukum syara’ yang bersifat zhanni, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, ;
Relevansinya bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia, cet. i, (Jakarta: Logos, 1999),h. 250. 7 Anis Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami an-Nubuwwah was-sahabah wat-Tabi‟in, (Kairo:
Dar at-Tiba’ah, 1980), h. 10. 8 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,
1995), h. 19
16
B. Sumber Hukum dan Dalil Hukum dalam Penetapan Fatwa
1. Sumber Hukum dalam Penetapan Fatwa
a. Al-Qur’an Sebagai Sumber Utama dalam Penetapan Fatwa
Para ulama Usul al-Fiqh, Ulama Fiqh, Pakar bahasa Arab,
maupun ulama Mutakalimin sependapat bahwa pengertian pokok
yang terkandung dalam istilah Al-Qur’an ( ) اىقسا yaitu: “Lafal yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari Surah al-
Fatihah sampai akhir an-Nas”.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam memberikan
penjelasan atau rincian tentang sifat-sifat yang terdapat dalam
pengertian pokok tersebut. Di antara mereka ada yang memberikan
rincian yang relatif panjang, ada yang secara sederhana, dan ada
yang secara singkat saja.
Para ulama yang memberikan rincian relatif panjang, definisi al-
Qur’an menurut mereka, yakni:
Kalam yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan
secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.
Dalam definisi tersebut, mereka menambahkan empat sifat
terhadap pengertian pokok al-Qur’an yang telah disebutkan
sebelumnya, yaitu:
1. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu
memiliki unsur i’jaz, artinya tidak bisa ditandingi oleh siapa
pun.
2. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu
ditulis atau dibukukan oleh mushaf.
3. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu
diriwayatkan secara mutawatir.
17
4. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu
apabila dibaca memiliki nilai ibadah tersendiri.9
Mengenai kehujjahan al-Qur’an kaum muslimin telah sepakat
menerima keautentikan al-Qur’an, karena al-Qur’an diriwayatkan
secara mutawatir. Oleh sebab itu, dari segi riwayat al-Qur’an
dipandang sebagai qath‟i al-tsubut yang artinya riwayatnya diterima
secara pasti atau meyakinkan. dari prinsip demikian segenap kaum
muslimin juga sepakat menerima al-Qur‟an sebagai dalil atau
sumber hukum yang paling asasi.10
Sebagaimana Al-Qur‟an sendiri
memerintahkan agar metetapkan sesuatu atas dasar hukum Allah
yang tertulis didalam nya dalam surah QS. al-Maidah 48:
اا عيي ي اىنتاب يدي ا بي قاا ى صد صىا إىيل اىنتاب باىحق أ
ا جاءك ا ع اء ابع أ ل تت صه للاا ا أ ب بي اىحق فاحن
(٣٤)اىائدة :
Artinya : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,
yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu” (QS. al-Maidah : 48)
Adapun kesepakatan kaum muslimin terhadap keabsahan al-
Qur’an sebagai dalil atau sumber tidak diragukan lagi maka dari itu
para mujtahid yang menggali hukum Islam tidak dibenarkan
menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum terlebih dahulu
membahas dan meneliti ayat-ayat yang terkandung didalam al-
Qur’an. Namun apabila tidak lagi ditemukan didalam al-Qur’an
barulah beralih kepada sumber-sumber hukum yang lain.
b. As-Sunnah
9 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Cet. ii (Jakarta: Amzah, 2013), h. 16.
10 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, ; Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam di Indonesia, cet. i, (Jakarta: Logos, 1999), h.28.
18
Hadist menurut Bahasa “Segala sesuatu yang datang Nabi SAW
selain Al Qur‟an baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan
yang patut dijadikan dalil hukum syara”.
Definisi ini menunjukkan bahwa sunnah adalah segala sesuatu
yang datang atau yang tampak yakni perbuatan, perkataan, dan
persetujuan dari Nabi SAW termasuk cita-citanya (Hammiyah).
Menurut Nabi berarti mengecualikan sesuatu yang datang dari selain
Nabi. Batasan selain al-Qur’an, memasukan hadis qudsi sedangkan
batasan yang dapat dijadikan dalil hukum seperti hukum wajib,
haram, sunnah, makruh, dan mubah. Berarti mengecualikan hadist
yang tidak layak dijadikan dalil hukum, maka tidak dinamakan
sunnah seperti duduk, berdiri, jongkok, berjalan.11
Dengan demikian menurut pandangan dikalangan ahli Usul al-
Fiqh, Nabi sebagai pembuat syara’ yang meletakkan dasar-dasar
ijtihad bagi kaum mujtahidin dan Nabi sebagai penjelas kepada
manusia tentang perundang-undangan dalam hidup. Oleh karena itu
mereka ahli Ushul mendefinisikan sunah yaitu segala sesuatu yang
datang dari Nabi yang dapat dijadikan dasar hukum syar’
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah kemuka bumi dengan
membawa ajaran-ajaran yang dimuat dalam al-Qur’an. Allah SWT
menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup di dunia dan
pedoman menuju akhirat. Dengan diturunkannya al-Qur’an tidak
secara langsung dapat dipahami tanpa adanya penjelasan, maka dari
itu al-Sunah merupakan sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan
dari al-Qur’an.
Dalam hubungan al-Quran dan as-Sunnah memiliki fungsi: 1.
Memperkuat ketentuan hukum al-Qur’an: 2. Memperjelas
kemujmalan al-Qur’an, membatasi kemutlakannya, atau mentakhsis
11
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadist, cet. i,
(Jakarta: Kencana, 2011), h. 164.
19
keumumannya;. 3. Menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan
al-Qur’an.12
Dengan demikian, atas dasar inilah kaum muslimin juga sepakat
Sunah Nabi sebagai dalil atau sumber hukum. Walaupun ada
segelintir kaum khawarij yang tidak memandang sunah sebagai dalil,
yang kemudian pandangan ini melahirkan kaum inkar as-Sunah13
namun dalam kriteria ini hanyalah segolongan kecil yang tidak
memandang Sunah sebagai dalil.
2. Dalil Hukum dalam Penetapan Fatwa
a. Ijma’
Secara etimologi Ijma‟ mengandung arti kesepakatan atau
konsensus. Ijma juga dapat diartikan sebagai al azmu „alas Syai‟ atau
ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Ijma’ secara terminologi
didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya:
1) Al-Ghazali: Ijma’ yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW
secara khusus atas suatu urusan agama; definisi ini
mengindikasikan bahwa ijma’ tidak dilakukan pada masa
Rasulullah SAW, sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i
tidak memerlukan ijma’.
2) Al-Amidi: Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal „aqdi atau
para ahli yang berkompeten mengurusi umat dari umat Nabi
Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.14
Dari definisi diatas memperjelas pengertian ijma’ yaitu
kesepakatan dan yang sepakat adalah semua ulama mujtahid yang
memenuhi syarat, berlaku pada suatu masa tertentu sesudah
Rasulullah wafat. Sedangkan hukum syara’ yang dimaksud adalah
kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum amaliyah
12
Abd al-Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo : Dar al-Qalam, 1978), h. 40. 13
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, ; Relevansinya bagi pembaharuan hukum
Islam di Indonesia, h. 29. 14
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h.10 .
20
termasuk yang berhubungan dengan muamalah serta tidak terjangkau
pada masalah-masalah akidah.
Jika telah terjadi kesepakatan (ijma’) terhadap hukum suatu
permasalahan, maka hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
tersebut mempunyai kekuatan sebagai hukum yang bersifat qath’i,
meskipun sanad yang dijadikan sandaran ijma’ tersebut bersifat
zhanni. Misalnya, para Fuqaha terlah bersepakat, bahwa berpoligami
dengan wanita yang masih ada hubungan mahram dengan istrinya
adalah haram. Hukum ini adalah bersifay qath’i yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.
Mengenai kehujjahan ijma’ jumhur ulama berpendapat, bahwa
ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil
berikut:
1) Hadis-hadis yang menyatakan bahwa ummat Muhammad tidak
akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut
pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik.
Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah
disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah).15
2) Firman Allah dalam surah Q.S. an-Nisa ayat 115:
ي ؤ يتابع غيس سبيو اى ى اىد ا تبيا بعد سه يشاقق اىسا
ا صيسا ساءت ا ج صي ىا ا ت ى (٧٧١اىسآء : )
Artinya :“dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia
kedalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali”. (Q.S. an-Nisa : 115)
Dari Nash diatas menjelaskan bahwa mengikuti jalan yang
bukan jalannya orang mukmin adalah haram. Karena orang yang
15
Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh,Cet. xiii, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),
h.314.
21
melakukan hal tersebut berarti menentang Allah dan Rasulnya
dan diancam neraka Jahannam.16
Dari uraian diatas bahwasanya mengikuti pendapat orang
mukmin, berarti mengikuti sesuatu yang ditetapkan berdasarkan
ijma’. Dengan demikian, ijma’ dapat dijadikan hujjah yang
harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath)
dari nash-nash syara’.
b. Qiyas
Pengertian qiyas menurut ulama Ushul ialah menerangkan
hukum sesuatu yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan Hadist
dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.17
Sebab hukum islam,
kadang tergambar jelas dalam nash al-Qur’an atau Hadist, kadang
juga bersifat implisit-analogic terkandung dalam nash tersebut.
Banyak sekali Hadist yang menunjukkan bahwa Rasulullah
sesungguhnya telah menerapkan cara pengambilan hukum secara
analogis terhadap masalah yang tidak ada ketegasan nash nya. Disini
juga para sahabat melakukan hal serupa, yakni dengan cara
mengambil keputusan hukum serupa dari dua kasus yang berbeda
karena persamaan „illat.
Kehujjahan qiyas disini tidak perlu diragukan, bahwa aliran
jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat, karena
argumentasinya didasarkan pada prinsip berpikir mantiq yang logis,
disamping ayat al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah. Diantaranya ayat
al-Qur’an yang dijadikan dalil adalah firman Allah18
Q.S. an-Nisa
Ayat 59 :
16
Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh,Cet. xiii, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),
h.315 17
Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh, h.336. 18
Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh, h. 340.
22
يا فئ ن س أىي ال سه أطيعا اىسا ا أطيعا للاا آ ا اىاري أي
الخس اىي باللا تؤ ت م سه إ اىسا إى للاا في شيء فسد تاشعت
ت أحس ىل خيس يلا ذ (١٥)اىسآء : ؤ
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taati lah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa : 59)
Dari nash al-Qur’an diatas menjadi dasar hukum qiyas, karena
maksud dari ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam
masalah khilafiyah), yaitu perintah agar menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan; apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan
Rasul- Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari “illat hukum,
yang dinamakan qiyas.
c. Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah anggapan baik atau menganggap
baik. Menurut istilah ushu al-Fiqhistihsan ialah meninggalkan qiyas
dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena terdapat dalil yang
menghendakinya, serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.19
Maksud istihsan bukan hanya mengambil seenaknya tanpa
adanya sandaran kepada hukum asli. Atau, maksudnya yang benar
adalah mendahulukan maslahat parsial yang muktabat atas qiyas
menyeluruh. Atau, mendahulukan qiyas yang illat nya khafi (samar)
tetapi pengaruhnya kuat, atas qiyas yang jalli (jelas) illatnya tetapi
lemah pengaruhnya. Atau bisa mengkhususkan keumuman dengan
dalil yang muktabar.20
19
al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, (Berut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jil. ii, h. 200. 20
Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Praktis bagi Kehidupan Modern, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), h.70.
23
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Hambaliyah
menjadikan istihsan sebagai dalil hukum.21
Akan tetapi, mereka
berbeda dalam volume penetapannya. Ulama Hanafiyah adalah yang
terbanyak dan terpopuler menetapkan istihsan sebagai dalil hukum.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, Syi’ah, dan Mu’tazilah
menolak istihsan sebagai dalil hukum.22
d. Maslahah Mursalah
kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah secara
bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik,
kebaikan, guna, atau kegunaan.23
Maslahah merupakan bentuk
masdar dari fi‟il) shalaha. Disini terlihat bahwa, kata maslahah dan
kata manfaat yang juga berasal dari bahasa arab yang mempunyai
arti atau makna yang sama.
Secara etimologis, kata maslahah berarti sesuatu yang baik. Al
Maslahah kadang- kadang disebut pula dengan istishlah yang berarti
mencari yang baik. Sedangkan al-Maslahah secara literal adalah
yang lepas. Menurut Kahalid Ramadhan Hasan, al-Maslahah berarti
suatu kemaslahatan yang terlepas dari pengukuhan atau penolakan
syara’.24
Dari kutipan di atas Imam Al- Ghazali merumuskan maslahah
sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum
Islam. Sedangkan tujuan hukum Islam menurut Ghazali adalah
memelihara lima hal diatas, yaitu hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz
al-aql, hifdz an-nasl, dan hifdz al-mal. Jadi setiap hal yang di
dalamnya terkandung pemeliharaan terhadap prinsip lima yang di
21
Abd al-Qadir Ahmad ibn Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad ibn Hambal
(Mesir: Idarah al-Thiba al-Muniriyyah, t.th.) 135-136. 22
Muhammad Taqi al-Hakim, al-Ushul al-Ammah li-al-Fiqh al-Muqaran, (Berut: Dar al-
Andalus, 1963), h. 367. 23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.ii,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 634. 24
Kahalid Ramadhan, Mu‟jam Ushul al-Fiqh, (Mesir: al-Raudhoh, 1998), h. 270.
24
atas tersebut maka dikatakan dengan maslahah. Setiap hukum yang
mengandung tujuan memlihara salah satu dari lima di atas disebut
dengan maslahah, dan setiap hal yang meniadakan dari pada hal
yang diatas merupakan mafsadah, sedangkan menolak mafsadah
disebut maslahah.25
Di antara Ulama yang banyak dikenal memakai maslahah
mursalah dalam menetapkan hukum adalah Malik bin Annas atau
yang dikenal dengan sebutan “Imam Malik”. 26
e. Sadd al Dzari’ah
Dilihat dari segi bahasa kata terdiri dari sadd al dzari‟ah terdiri
dari dua kata yaitu sadd artinya menutup dan kata dzari‟ah berarti
washilah atau jalan kepada tujuan. Dengan demikian, sadd al
dzari‟ah secara bahasa berarti “ menutup jalan kepada suatu
tujuan”.27
Maksudnya yaitu menutup jalan dari yang tujuannya
menuju kepada kerusakan. Sesuai dengan tujuan syara’ menetapkan
hukum untuk para Mukallaf, agar mencapai kemaslahatan dan
menjauhkan diri dari pada kerusakan.
Sebagai gambaran untuk memahami sadd al dzari‟ah dapat
diilustrasikan dari pepatah yang mengatakan: “lebih baik mencegah
dari pada mengobati” pepatah ini dapat kita pahami bahwa
mencegah itu relatif lebih mudah dan tidak memerlukan biaya besar
adapun mengobati resikonya lebih besar dan membutuhkan waktu
serta biaya yang tidak sedikit. Hukum Islam dibangun atas dasar
menarik maslahat dan menolak madarat. Untuk mancapai dua hal
tersebut maka diperlukan antisipasi dan usaha.
f. Qaul Shahaby
25
Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 95 26
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukukm Islam; Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah
Noer Madkur dan Muhammad Salm Madkur, cet viii, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
h. 125. 27
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 172.
25
Sebagian Ulama ushu al-Fiqhmenyebut istilah qaul shahaby
dengan istilah “mazhab ash-shahabi”. Sebenarnya kedua istilah ini
tidak persis sama maknannya. Sebab yang dimaksud dengan qaul
shahaby ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang
seseorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Saw secara
individu tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat
ketentuannya, baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah.28
Jalaludin al
Suyuti menyebutkan bahwa sahabat adalah seseorang yang selalu
beradab dalam majlis Rasulullah Saw dan selalu mengikutinya juga
meriwayatkan hadist dari beliau.29
Pengertian di atas memberikan suatu indikasi syarat-syarat
sahabat yang dapat diterima pendapatnya dalam hal penetapan
hukum, karena tidak mungkin seseorang hanya bertemu sebentar
dengan Rasulullah dan mampu memahami segala ajaran Islam yang
dijelaskan oleh Rasulullah terkait suatu peristiwa, sehingga sahabat
yang menyertai Rasulullah secara terus-menerus akan memahami
proses tasyri’ atau penjelasan hukum dan bisa juga disebut dengan
penetapan peraturan. Oleh karena yang termasuk dalam golongan ini
seperti al Khulafa al Rasyidin, Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn
Malik, Zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah, dan lain-lain. Atas dasar
pertimbangan di atas, kalangan Sunni sepakat bahwa fatwa sahabat
sebagai sumber hukum.
C. Metode Istinbath Hukum dalam Penetapan Fatwa
Ketika seorang mufti disodorkan suatu pertanyaan atau permasalahan,
makal ia harus mengistinbathkan hukum atas kasus tersebut dari sumber-
sumber hukum yang ada. Istinbathpun tidak akan membuahkan hasil yang
memadai jika tidak di tempuh dengan metode-metode yang tepat untuk itulah
28
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 225. 29
Jalaludin Abdurahman as-Suyuti, Tadribur Rawi, (Beirut: Daar al-Fikr, 1972), h. 212.
26
para ulama ushul menyusun kaidah-kaidah istinbath yang dapat dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum yang diklasifikasikan menjadi tiga.30
1. Metode Bayani (Analisis Kebahasaan)
Metode ini berupaya untuk menjelaskan teks al-Qur’an dan Hadits
dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kaidah
kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-
kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh
para ulama ushul untuk melakukan pemahaman terhadap makna
lafalsebagai hasil analisa indiktif dari tradisi kebahasaan bangsa Arab
sendiri, aik bahasa prosa maupun syair/nazam.31
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama hukum Islam yang
menggunakan bahasa Arab, maka untuk menginstinbathkan hukum dari
keduanya bisa memuaskan dan maksimal, pengetahuan mengenai bahasa
Arab harus mendalam. Bahkan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa kaidah
kebahasaan sebagai pilar ushu al-Fiqhdan merupakan sandaran dalam
beristinbath. Karena yang di analisa adalah dalam aspek bahasa nash, maka
metode ini digunakan untuk menjelaskan hukum yang kasusnya telah
terdapat dalam nash al-qur’an dan Hadits.
Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushu al-Fiqh mencakup:
a. Analisa berdasarkan makna lafadz (bil i‟tibaar al-lafz lil ma‟na)
b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna (bil i‟tibaar isti‟mal al-lafz
fil ma‟na)
c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna (bil i‟tibaar
dalalah al-lafdz ala al-ma‟na bi hasab zuhur al-ma‟na wa khafa‟ih)
d. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut
maksud pencipta nash (bil i‟tibaar kaifiyyah dalalah al-lafdz ala al-
ma‟na)
Maksud dari segi makna lafadz, ada suatu lafal yang ditempatkan untuk
menunjukan suatu makna yang tertentu (khass) dan adapula suatu lafal yang
30
Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila „Ilmi Usul al-Fiqh, (Lebanon: Daar al-Kitab al-
Jadid, 1965) Cet.V, h. 422 31
Ma’ruf amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 44
27
ditempatkan untuk menunjukan makna umum (amm), ada lafal yang
mengacu kepada dua makna atau lebuh (musytarak), dan ada juga dua lafal
atau lebih yang mengacu kepada satu makna (muradif), dan adapula lafal
jama’ yang mencakup satuan-satuan yang banyak, akan tetapi tidak
mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukan kedalamnya (jama‟
munakkar).
Maksud dari segi pemakaian arti ada lafal yang menunjukan kepada
pengertian yang asli (al-haqiqah) dan ada lafal yang menunjukan kepada
pengertian lain, yang bukan makna asli, karena ada suatu indikasi yang
menghendaki demikian (al-majaz), selain itu ada pula suatu lafal yang
mengacu kepada pengertian yang jelas karena pengertian tersebut telah
lazim dipakai (sarih), dan ada pula lafal yang samar maksudnya karena baru
diketahui ketika ada indikasi lain yang membahas untuk mengetahui
maknanya (kinayah).
Maksud dari segi terang dan samarnya makna, ada lafal yang petunjuk
maknannya jelas, sehingga tanpa memerlukan lafal lain untuk memperjelas
(wadih ad-dalalah) dan ada juga yang tidak jelas petunjuk maknannya,
kecuali ada lafal lain yang membantu untuk menjelaskannya (khafi ad-
dalalah).32
Dan dari segi penunjukan lafadz kepada makna menurut maksud
pencipta nash, ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada nngkapan
ekplisit (al-mantiq) dan ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada
makna implisitnya (al-mafhum). 33
Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian
dalil-dalil yang secara lahirnya terlihat bertentangan (ta‟arud al-dilalah),
yang mencangkup : kompromi antar nash-nash yang berlawanan (al-jam wa
32
Menurut Hanafiyah lafal yang ditunjukan maknannya (wadih al dalalah) jelas terbagi
empat, yaitu: (1) al-zahir, (2) al-nashsh, (3) al-mufassae, dan (4) al-muhkam; yang pertama
petunjuk maknannya jelas, lalu kejelasan makna tersebut disusul lagi yang selebihnya, dan yang
terakhir adalah yang paling jelas petunjuk maknannya; sedangkan menurut ulama syafi’iyyah lafal
yang demikian hanya dibagi atas dua bentuk (1) al-zahir (masih mungkin menerima takwil) (2) al-
nashsh (tidak menerima takwil). 33
Menurut Hanafiyah membagi lafal dalam kategori ini menjadi empat : (1) dalalah al ibrah
(2) dalalah al-isyarat (3) dalalah al-dalalah (4) dalalah al-iqtidha.
28
al-taufiq), mengamalkan dalil yang lebuh kuat dan menegaskan yang lebih
kuat (tajrih), menghapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dahulu (nash
al-mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan berpaling
kepada dalil lain (tawaqquf).
2. Metode Ta’lili
Metode Ta’lili, adalah metode untuk menggali dan menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam
nash baik secara qat‟i dan maupun zhanni,dan tidak juga ada ijma’ yang
menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada.
Istinbath jenis ini ditunjukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa
dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya karena antara dua
pristiwa itu terdapat kesamaan ilat hukum. Dalam hal ini mufti menetapkan
hukum suatu peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya.
Istinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan. 34
Penalaran yang dipakai berusaha untuk melihat apa yang
melatarbelakangi suatu ketentuan hukum dalam al-Qur’an atau Hadits.
Dengan kata lain apa yang menjadi ilat (nilai hukum/sebab efektif) dari
suatu peraturan. Menurut ulama, semua ketentuan hukum mengandung ilat,
karena tidak layak Tuhan memberi peraturan tanpa tujuan dan maksud yang
baik.35
Di dalam al-Quran dan Hadits sendiri, dari berbagai ketentuan
hukumnya, ada yang disebutkan secara tegas illatnya, ada yang di isyaratkan
saja, dan ada pula yang tidak disebutkan. Dari ketentuan yang tidak
disebutkan illatnya tersebut, ada yang bisa ditemukan melalui perenungan
dan ada pula yang belum terungkap hingga kini. Kebanyakan peraturan
yang tidak diketahui illatnya adalah peraturan-peraturan di bidang ibadah
murni (mahdah). Para ulama telah merumuskan cara-cara menemukan illat
dari ayat dan hadits serta menyusun kategori-kategorinya. Berdasarkan
34
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Noer
Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, cet viii, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 93. Lihat juga Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 303-304. 35
Sya’labi, Ta‟lil al-Ahkam, (Kairo : Dar an-Nahdah al-Arabiyyah, 1981), h. 150
29
kegunaan praktisnya illat dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu illat
tasyri, illat qiyasi dan illat istihsani.36
Adapun illat tasyri‟i adalah illat yang digunakan untuk menemukan
apakah hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus seperti
apadanya, atau boleh diubah pada lainnya, berhubung diketahui illat
pentasyria’an peraturan tersebut, maka ulama berani menakwilkan
maknanya sesuai dengan makna yang dipahami tadi, sehingga hukum
yangK muncul jadi bergeser dari pemahaman sebelumnya, atau berbeda
dengan arti harfiyahnya. Sebagai contoh keputusan umar untuk tidak
membagi-bagikan harta rampasan perang(fa’i) berupa tanah pertanian di
irak, padahal dimasa rasul dan abu bakar, tanah tersebut dibagi-bagikan
kepada tentara yang ikut berperang. Keputusan umar ini berdasarkan
pemahan terhadap QS. Al-Hasyr ayat 7 yang menyebut: “ agar kekayanan
tidak menjadi monopoli orang-orang tertentu”. Inilah yang dijadikan Umar
sebagai illat bagi ketentuan tentang rampasan perorang. Ia melihat saat itu
pembagian tanah pertanian yang luas di Irak justru kan menciptakan tuan
tanah baru, yang sebenernya inigin dihindari Qur’an. Oleh sebab itu tanah
tersebut harus dimikili dan dimanfaatkan oleh negara serta hasilnya nanti
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak. Dalam illat tasyri‟i ini
tidak dipersoalkan ada qiyas atau tidak, karena penekanan kajiannya sudah
tertera pada masalah itu sendiri. Kalau illat tersebut ingin diberlakukan pada
masalah itu sendiri. Tetapi, jikalau illat tersebut ingin diberlakukan pada
masalah lain, maka fungsinya berubah menjadi illat qiyasi37
Illat qiyasi ialah illat yang digunakan untuk memberlakukan suatu
ketentuuan nash pada masalah lain, illat ini digunakan untuk menjawab
pertanyaan apakah nash yang mengatur masalah X misalnya, juga berlaku
untuk masalah Y (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun antara
kedua hal tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang
disebut illat. Sebagai contoh tentang keharaman khamr (miuman keras yang
36
Sya’labi, Ta‟lil al-Ahkam, h. 142. 37
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 94.
30
terbuat dari perasan kurma) dalam surat al-maidah ayat 90 dengan illat
memabukkan. Ayat ini secara harfiyah (penalaran bayani) tidak
mencangkup wisky, bir atau tuak yang bahan dasarnya bukan kurma. Tetapi
hukum ketiga minuman ini disamakan dengan khamr, karena mengandung
illat yang sama yaitu memabukan.38
Illat istihsani, yaitu illat pengecualian, maksudnya mungkin saja ada
pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyi’i tidak dapat berlaku
terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas tidak
dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang menyebabkan
dikecualikan. Dengan demikian, illat kategori ini mungkin ditemukan
sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana mungkin juga
menjadi pengecualia kategori kedua. Yang membedakan ketiga
pengelompokkan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas
persyaratannya. Persyratan untuk illat qiyasi lebih banyak daripada
persyaratan untuk illat tasyi‟i dan istihsani. Dengan penjelasan diatas, maka
dapat dinyatakan bahwa dalil qiyas dan istihsan telah tercakup dalam
istinbat ta‟lili.39
3. Metode Istislahi
Metode istishlahi adalah metode yang digunakan untuk menggali,
menemukan dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan
hukum kulli unuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam
nash baik qath’i maupun zhanni, dan tidak mumungkinkan mencari
kaitannya dengan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’. Serta
tidak memungkinkan dengan jalan qiyas atau istihsan. Jadi dasar pegangan
dalam ijtihad bentuk ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik dalam bentuk
mendatangkan manfaat ataupun menolak mudharat dalam rangka
memelihara agama, kehidupan akal, keturunan dan harta.40
38
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 94. 39
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 95. 40
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhaa Fii al-Islam, (Daar an-Nahdlah al-
Arabiyyah,t.th), h. 54.
31
Penalaran yang dipakai menggunkan ayat-ayat atau hadits-hadits yang
mengandung “ Konsep umum” sebagai dalil atau sandarannya. Misalnya
ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil; tidak boleh mencelakakan diri
sebagai sendiri dan orang lain; bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada jalan
keluar yang meringankannya; tujuan suatu peraturan adalah untuk
kemaslahatan dan lainnya.
Biasanya penalaran ini dilakukan kalau masalah yang akan
didefinisikannya (takyif) tersebut tidak dapat dikembalikan kepada suatu
ayat atau hadits tertentu secara khusus. Dengan kata lain, tidak ada
bandingan yang tepat dari jaman nabi yang tepat. Misalnya aturan
pembuatan SIM, tidak ditemukan bandingan sunah nabi unuk mendengar
keadaan. Tetapi mengatur masalah baru-baik menerima atau menolaknya-
adalah perlu karena menyangkut hajat orang banyak. Cara kerjanya, ayat
dan hadits tersebut digabungkan satu sama lain, sehingga kesimpulannya
akan ada sebuah “ prinsip umum” prinsip umum ini di dedukasikan pada
persoaln-persoalan yang ingin diselesaikan tadi. Lebih jauh, para ulama
telah membuat 3 katagori kemaslahatan yang menjadi sarana semua perintah
dan laranagan allah SWT, yaitu dlaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.
Secara umum, terlebih dahulu di tentukan dalam katagori yang mana
persoalan yang akan dikualifikasi/ identifikasi itu berada. Setelah itu diteliti
pula apakah penerimaan dan penolakaannya itu tidak menimbulkan dampak
negatif pada kategori yang lebih tinggi, maka perbuatan itu menjadi
terlarang.41
sebagai contoh tentang tentang kasus pemanfaatan organ tubuh
orang yang meninggal untuk dicangkokan pada orang yang masih hidup.
Dalam hal ini ada pertentangan antara memberikan pertolongan untuk
menyempurnakan atau menyelamatkan manusia yang hidup dan perusakan
terhadap mayat. Kalau manfaat pertolongan lebih besar dari mudharat yang
ditimbulkan akibat perusaknya, maka pencangkokan dianggap boleh.
41
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhaa Fii al-Islam, (Daar an-Nahdlah al-
Arabiyyah,t.th), h. 55.
32
Namun untuk contoh ini sebenernya masih banyak khilafiyah yang
mengikutinya.
Dari uraian di atas, kiranya dapat dinyatakan bahwa dalam ijtihad
istishlahi telah termasuk di dalamnya dalil-dalil mashalih al-mursalah,, urf,
dan istishab. Hal ini disebabkan karena pertimbangan utama para ulama
dalam menerima dalil-dalil tersebut adalah faktor kemaslahatan.
Bentuk ijtihad bayani diterima semua golongan, termasuk di kalangan
Zahiriyah dan Syia’ah, namun bentuk ijtihad ta‟lili/qiyasi dan istishlahi
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menggunakannya,
Ulama hanafiya, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan dua bentuk
terakhir ini. Zahiriyah menolak kedua bentuk terakhir terakhir ini secara
mutlak, sedangkan syafi’iyah membatasinya pada bentuk kedua yang itupun
hanya kepada qiyas dan menolak istihsan serta menolak bentuk ketiga42
atau
ijtihad yang berada diluar wilayah nash.
Pada dasarnya ketiga metode istinbat tersebut di atas merupakan upaya
untuk menemukan maqashid syariah (tujuan umum syariah) yaitu merealisir
kemaslahatan umum dengan memberikan kemanfaatan dan menghindari
kemafsadatan bagi umat manusia yang bertujuan untuk memelihara agama,
jiwa, akal, keturanan dan harta. Maqasid syariah tersebut dapat tercapai jika
perintah syariat dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebaliknya larangan
syariat dijauhi.43
Pengetahuan dan pemahamanyang benar mengenai sebab-sebab
perintah dikhitabkan menjadi pendukung utama untuk mentaati perintah
syariat, karena sebab-sebab dikeluarkannya suatu perintah selalu mengikuti
status hukum musababnya. Artinya jika status hhukum musababnya wajib,
maka wajib pula hukum sebab yangmenjadi perantaranya.
Demikian pula larangan-larangan syar’i mempunyai perantara-perantara
yang menjadi sebab pelarangannya. Adalah tidak logis apabila suatu
42
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhaa Fii al-Islaam, h. 55. 43
Untuk lebih jelasnya tentang maqasid asy-syari’ah lihat Abd. Rahman Dahlan, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 304. Dan Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqshid Syari’ah,
Penerjemah Khikmawati, Cet. Iii, (Jakarta: Amzah, 2013), h. Xi-xvi.
33
perbuatan dilarang. Sementara perantaranya diperbolehkan. Oleh karena itu
perantara (wasilah) dari suatu larangn lazimnya mengikuti status hukum
yang diperntarainya, yakni terlarang pula
Dari ketentuan tersebut timbulah dua kaidah penting, fath al-zari‟ah44
dan sad al-zari‟ah dalam kedua metode ini, penetapan hukum zariah harus
mempertimbangkan dua hal,pertama, dari segi akibat yang ditimbukan
dengan ketetapan hukum tersebut, dan kedua, dari segi niat untuk
melakukannya. Dari segi pertama, jika akan menimbulkan mafsadat,harus
ditutup peluangnya, baik dengan haram atau yang makruh, sesuai dengan
bobot mafsadat yang akan ditimbulkannya. Sebaliknya jika akan
menimbulkan maslahat, harus dibuka peluangnya, baik wajib, nadb, maupun
ibahah sesuai dengan bobot maslahat yang akan ditimbulkannya. Termasuk
untuk perbuatan yang akan berakibat ganda, jika lebih besar peluang
maslahat, maka harus dibuka peluang tersebut, dan jika lebih besar
mafsadatnya, harus ditutup peluang untuk melakukannya.45
Demikian pula dari segi niat, jika niat melakukan perbuatan hukum
tersebut itu baik sesuai tuntutan syariah, maka peluang harus dibuka, baik
dengan wajib, nadb, ataupun ibaha, sesuai dengan bobot maslahat yang akan
ditimbulkannya. Sementara jika niatnya buruk harus ditutup peluangnya
baik dengan haram maupun makruh, sesuai dengan bobot mafsadat yang
akan ditimbulkannya.46
pada pembahasan sisi niat inilah para ulama
memperselisihkan status hukum hial terhadap dzari’ah yang menerut
asalnya di perbolehkannya akan tetapi orang yang mengajarkannya
bermaksud menggunakannya sebagai media untuk menghindari ketentuan
syariah sebagian ada yang memperbolehkan hial sedangkan zumhur tidak
memperbolehkannya.47
44
Yaitu lawan dari pada saad al-dzari’ah yakni suatu sarana yang membawa kepada
perbuatan baik dan menimbulkan kemaslahatan. 45
Dede Rosyada, Metode Kajian Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999), h. 73. 46
Dede Rosyada, Metode Kajian Dewan Hisbah Persis, h. 74. 47
Ali Hasabalah, Ushul al-Tasyri al-Islam,(Mesir: Daar al-Na’arif, 1991) h. 286-290.
34
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG AHMAD HASSAN DAN BUKU SOAL
JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMA
A. Biografi Ahmad Hassan
Ahmad Hassan, nama asli Ahmad Hassan adalah Hassan bin Ahmad,
Hassan menuliskan nama ayahnya di depan namanya sendiri.dan ketika
beliau berdomisili di Bandung tahun 1930, panggilan Hassan bendung
sangat populer dalam masyarakat, namun ketika beliau tinggal di Bangil
meski tidak sepopoler nama Hasan Bandung, panggilan Hassan Bangil juga
terasa akrab di masyarakat.
Ahmad Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya
bernamaAhmad Sinna Vappu Maricar yang digelari “Pandit“ berasal dari
India dan ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad
menikahi Muznah di Surabaya ketika dia berdagang di kota tersebut,
kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang pengarang
dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di Singapura.
Dia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya
jawab dalam surat kabarnya.1
Pendidikan Ahmad Hassan sebagian besar diperoleh dari ayahnya
ketika dia kecil. Pada usia tujuh tahun d i a sudah belajar Al-Qur’an.
Selama empat tahun anak tunggal ini belajar di Sekolah Melayu. Empat
tahun berikutnya digunakan sebaik-baiknya untuk mempelajari bahasa secara
privat yang diperlukannya, yaitu bahasa Melayu, bahasa Tamil, bahasa Arab,
dan bahasa Inggris. Beliau belajar agama Islam di beberapa tempat
pengajian. Guru- gurunya selama di Singapura adalah H. Ahmad di kampong
Tiung, H. Muhammad Thaib di kampong Rokoh, Said Munaci Mausili,
Abdullatif, H. Hassan, dan Syekh Ibrahim India. Namun dia tidak sempat
1 Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Cet.ii, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, , 1994), h.11.
35
menyelesaikan sekolah dasarnya karena pada usia 12 tahun sudah bekerja
mencari nafkah sendiri. Meskipun demikian dia mengambil pelajaran
bahasa Arab secara privat sebagai usaha untuk memperdalam
pengetahuannya tentang Islam.2
Dalam mempelajari dan memperdalam agama Islam dari beberapa orang
guru tersebut kesemuanya ditempuh sampai kira-kira tahun 1910, menjelang
ia berusia 23 tahun.3
Di samping belajar memperdalam agama Islam, dari tahun 1910
hingga 1921, A. Hassan menekuni berbagai macam pekerjaan di Singapura.
Sejak tahun 1910 ia telah menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang
India di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang hingga 1913, kemudian
menjadi guru tetap menggantikan Fadhlullah Suhaimi pada Madrasah
Assegaf di jalan sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, A. Hassan menjadi
anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore
Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.4
Selain sebagai
seorang pengajar dan redaktur, beliau juga bekerja sebagai buruh toko kain,
toko permata, dan toko minyak wangi. Ia juga pernah menjadi agen distribusi
es, vulkanisir ban mobil, bahkan menjadi clerk (juru tulis) di jeddan Pilgrims
Office (Kantor Jemaah Haji).5
Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa
Timur) untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya.
Selain berusaha memajukan perusahaan tekstil pamannya, di kota ini ia
memperoleh kesempatan untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan
politik terkemuka dari Sarekat Islam, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Sangaji,
H. Agussalim, Bakri Siroatmodjo, dan Wondoamiseno.6 Pada masa itu
2 A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, (PT.
Remaja Rosda Karya, 1998), h.168-167 3 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, (Bandung: PP
PERSIS, 2007), h.147. 4 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, h. 147.
5 A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, h.
169. 6 A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, h.
170.
36
Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dan kaum tua. Kaum
muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pendatang yang menaruh
perhatian dalam masalah-masalah keagamaan. Ia memimpin kaum Islam di
Surabaya dengan cara tukar pikiran, tabligh, dan diskusi-diskusi
keagamaan. Haji Abdul Latif, paman Ahmad Hassan yang juga gurunya
pada masa Ahmad Hassan masih kecil, mengingatkan Ahmad Hassan agar
tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang dikatakannya telah
membawa masalah-masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap
pula oleh pamannya sebagai wahabi.7
Usahanya dalam bidang pertekstilan tampaknya tidak beruntung, bahkan
rugi, sehingga ia terpaksa membuka usaha vulkanisir ban mobil untuk
menyambung hidupnya. Mungkin usaha ini juga kurang memuaskan, karena
kepuasannya terletak pada upaya pengembangan dirinya dalam bidang ilmu
agama Islam. Sementara pergaulannya dengan para tokoh terkemuka Serikat
Islam telah membuka matanya tentang adanya pergolakan yang ada dalam
tubuh organisasi politik itu. Ada dua golongan dalam SI pada waktu itu:
pertama, SI Putih yang islami, dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto;
dan yang kedua, SI Merah yang komunis dan berkiblat ke Moskow,
dipimpin oleh Semaun.8
Ketika beliau dibawa berkunjung oleh pamannya kepada kiai Abdul
Wahhab Hasbullah yang kemudian menjadi tokoh Nahdatul Ulama, Ahmad
Hassan memperoleh gambaran tentang ketegangan kaum muda dan
kaum tua. Berawal dari pertemuannya itu Abdul Wahab Hasbullah
mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy
sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, Ahmad
Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi
mengenai alasan hukumnya, dia menjawab bahwa soal alasannya dengan
mudah dapat diperoleh dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini,
7 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, h. 148.
8 A.Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, h.
170.
37
beliau heran, mengapa soal semudah itu yang dipertanyakan kepadanya.
Setelah menceritakan perbedaan- perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum
Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar Ahmad Hassan
memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur’an dan
Hadits, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan
Allah dan Rasul-Nya. Ahmad Hassan kemudian berjanji akan memeriksa
dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi
keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Keesokan harinya Ahmad Hassan mulai memeriksa kitab
Shahīh al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Qur’an
mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya,
pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.
Melihat persoalan yang muncul ke permukaan, terutama masalah
gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang sedang ramai dan pertentangan
antara kaum muda dan kaum tua yang terus berlanjut di Surabaya, Ahmad
Hassan lebih banyak lagi mencurahkan perhatiannya untuk memperdalam
agama Islam. Maksud sebenarnya berdagang ke Surabaya untuk berdagang
tidak dapat dipertahankan, bahkan kemudian ia lebih banyak bergaul dengan
Faqih Hasyim dan kaum muda lainnya.
Usahanya di Surabaya pada akhirnya mengalami kemunduran, dua orang
sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin mengirim Ahmad Hassan untuk
mempelajari pertenunan pemerintah yang ada di Bandung. Di Bandung
inilah beliau tinggal pada keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri
organisasi Persatuan Islam (PERSIS). Dengan demikian tanpa sengaja
Ahmad Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan
dan pengkajian Islam dalam jam’iyyah PERSIS. Ia sangat tertarik terhadap
masalah-masalah keagamaan. Pada akhirnya ia pun tidak lagi berminat
mendirikan usaha tenunnya di Surabaya, tetapi di Bandung, yang rupanya
disetujui oleh kawan-kawannya. Akan tetapi perusahaan tenun yang
didirikannya gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah minatnya untuk
berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian ia mengabdikan dirinya dalam
38
penelaahan dan pengkajian Islam lalu berkiprah secara total dalam
jam’iyyah PERSIS.9
Bagi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan
merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di
Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Hassan banyak
menulis tentang agama yang berupa nasihat, anjuran berbuat baik, dan
mencegah kemungkaran. Beliau juga mengetengahkan berbagai-bagai
persoalan yang dikembangkannya dalam bentuk syair. Tulisannya
banyak mengandungi kritikan masyarakat demi untuk kemajuan Islam.
Dan tema tulisan sedemikian itulah yang banyak mewarnai hasil karyanya
pada masa- masa berikutnya.
Awal abad ke-20 yang dikenal dengan gerakan ishlah atau tajdid, atau
dalam sosiologi Barat disebut reformasi. Dalam kerangka itu, A. Hassan
merupakan seorang figur yang sangat penting, bahkan mungkin paling
penting. Kecuali karena fikiran-fikirannya, ada faktor sampingan yang
sangat mendukung penilaian itu; antara lain, keberaniannya secara
terbuka untuk menentang arus pemikiran yang dipandang menjadi kendala
bagi kemajuan umat, dan ketekunannya untuk menggarap bidang-bidang
yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran. Untuk membuat penilaian
keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu saja tidak cukup dengan
melihatnya dalam kurun masa hidup seorang penggerak, tetapi harus dilihat
dalam pengaruh yang timbul sesudahnya.
Sebab seorang mushlih (pelaku ishlah) atau mujaddid (pelaku tajdid)
akan selalu menentang arus masanya dan menghadapi suatu masyarakat
yang memerlukan proses dan berubah. Pemikir-pemikir dalam tradisi
Hambali, misalnya Ibnu Taymiyyah (w.1328), yang misi utamanya ialah
kritik pemikiran dan kehidupan sosial, mendapatkan reaksi yang keras dari
lawan- lawannya, tetapi beberapa abad kemudian, khususnya dua abad
terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat terhadap gerakan Islam,
9 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, 149-150
39
mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya, tetapi dalam metode dan
semangatnya.10
Secara umum barangkali bisa disebut bahwa karir A. Hassan
merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-akarnya bisa dilihat dalam
tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerus Ahmad ibn Hanbal
(w.855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-menarik dengan
kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial yang ada.
Pergeseran dan tarik- menarik antara berbagai kekuatan yang dialami telah
membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat hidupnya
yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat penting
dalam menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus
pemikiran ishlah ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika
masih muda telah menyaksikan polemik di Singapura tentang mencium
tangan seorang sayyid (orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik
yang menggugat hak- hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut
perlakuan istimewa dari masyarakat umumnya.
Pada hari Senin, tanggal 10 November 1958 di Rumah Sakit
Karangmenjangan (Rumah sakit Dr. Soetomo) Surabaya, A. Hassan
berpulang ke Rahmatullah dalam usia 71 tahun. Ulama besar yang dikenal
dengan Hassan Bandung (ketika masih di Bandung) atau Hassan bangil
(sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dalam
gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian,
dan kegigihannya dalam menegakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah meski
kadang disampaikannya dengan pemikiran yang “radikal’.11
B. Karya-karya Ahmad Hassan
Ahmad Hassan merupakan salah seorang tokoh pemikir yang produktif
menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku.
10
Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, h. 22. 11
Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima
TokohPersis,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 31-32.
40
Dalam hayat dan perjuangannya sebagai ulama penegak Qur’an Sunah, A.
Hassan telah menuliskan sekitar 80 judul buku. Dengan gaya penulisan yang
khas, lugas dan mudah dipahami, buku-bukunya diterbitkan ribuan eksemplar
dan sering kali dicetak ulang.12
Berikut adalah buku-buku tulisan A. Hassan yang dikutip dari Djaja
(1980: 166-168); lihat pula Fiederspeil (1970); Mughni (1980); Dadan
Wildan (1997):
No. Nama Buku No. Nama Buku
1 Pengerjaan Sholat 26 Tertawa
2 Pengajaran Sholat (bahasa
Arab)
27 Pemerintahan Cara Islam
3 Kitab Talqin 28 Kamus Rampaian
4 Risalah Jum’at 29 A.B.C. Politik
5 Debat Riba 30 Merebut Kekuasaan
6 Al-Mukhtar 31 Al-Manasik
7 Soal Jawab Tentang Berbagai
Masalah Agama
32 Kamus Persamaan
8 Al-Burhan 33 Al-Hikam
9 Debat Talqin 34 Frist Step
10 Kitab Riba 35 Al-Faraidh
11 Risalah Ahmadiyah 36 Al-Hidayah
12 Pepatah
Debat Luar Biasa
37 Sejarah Isra Mi’raj
13 Debat Taqlid 38 Al-Jawahir
14 Surat-surat Islam dari Endah 39 Matan al-Jurumiyah
15 Islam dan Kebangsaan 40 Is Muhammad a Prophet
16 An-Nubuwah 41 Apa Dia Islam
17 Perempuan Islam 42 What Is Islam
12
Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima
TokohPersis, h. 31-32
41
18 Risalah Kerudung 43 Tashauf
19 Qaidah Ibtidaiyah 44 Al-Fatihah
20 Hafalan 45 At-Tahajji
21 Kesopanan Islam 46 Syair
22 Kesopanan Tinggi 47 Kitab Tajwid
23 Bacaan Sembahyang 48 Special Edition
24 Ketuhanan Yesus Menurut
Bibel
49 Muhammad Rasul?
25 Al-Hidayah 50 Risalah Haji
Ahmad Hassan Selain menerbitkan buku-buku, beliau juga rajin menulis
dalam majalah- majalah dan selebaran-selebaran yang cukup luas
penyebarannya. Dalam perkembangannya, buku-buku Ahmad Hassan sering
kali dicetak ulang dan dijadikan referensi oleh para ulama ataupun santri
yang sedang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Islam, tidak
hanya ulama dan santri Persis, tetapi juga para ulama dan santri di luar persis.
C. Sistematika Penulisan Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah
Agama
1. Latar Belakang Penulisan Buku
Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama di beri nama
demikian karena dalam buku tersebut didapati berbagai masalah yang
diajukan pembaca majalah “Pembela Islam, al-Lisan, dan al-Fatawa”
yang dibina oleh Ahmad Hassan. Dalam buku tersebut pemikiran dan
pendapat para ulama terdahulu dengan cara mengemukakannhya dan
menganalisanya kemudian mengambil pendapat yang paling kuat. Ini
tidak berarti ia terpengaruh kepada pendapat-pendapat itu. Ini
menggambarkan ia tidak terikat dan fanatik dengan madzhab tertentu.
Bahkan pada waktu menjawab suatu masalah, ia lebih banyak merujuk
kepada ayat-ayat Al- Qur’an dan menyimpulkan maksudnya
daripada mengikuti pendapat ulama terdahulu.
42
2. Sistematika Penulisan Buku
Adapun gambaran Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah
Agama ditulis dengan bahasa Indonesia dan Melayu, diterbitkan pertama
kali oleh Pesantren Persatuan Islam Bangil di Surabaya pada tahun 1931
M sebanyak 7000 eksemplar, buku ini terdiri dari 4 jilid dan jumlah
halaman seluruhnya adalah 1597 halaman. Adapun sistematika dalam
penyusunan buku tersebut adalah sebagai berikut:
a. Jilid I : terdiri dari 12 bagian, yaitu:
1. Tamhied, berisikan penjelasan tentang yang berhubungan
dengan hukum-hukum syari’at, bahasa (lughat), ilmu hadis,
dan ushul fiqih.
2. Thaharah
3. Shalat
4. Shalat Jum’ah
5. Jenazah/Kuburan
6. Zakat
7. Shaum
8. Hajji
9. Nikah
10. Minuman dan Makanan
11. Do’a
12. Berbagai-bagai masalah
b. Jilid II : terdiri dari 14 bagian, yaitu:
1. Thaharah
2. Shalat
3. Shalat Jum’ah
4. Jenazah
5. Zakat
6. Zakat Fitrah
7. Shaum
8. N.T.R., Tudung dan Aurat
43
9. Makanan, Minuman, dan Sembelihan
10. Jual Beli dan Riba
11. Faraidl dan Hibah
12. Tentang Hadis-Hadis
13. Tentang Nabi
14. Berbagai Masalah
c. Jilid III; terdiri dari 15 bagian, yaitu;
1. Thaharah
2. Shalat
3. Shalat Jum’ah
4. Jenzah
5. Zakat
6. Shaum
7. Hajji
8. N.T.R. Tudung, Aurat, dll
9. Makanan dan sembelihan
10. Faraid, Hibah, dan Sidqah
11. Tentang Hadis
12. Tentang Nabi
13. Do’a
14. Berbagai Masalah
15. Riwayat Hidup A. Hassan
d. Jilid IV; terdiri dari 12 bagian, yaitu;
1. Thaharah
2. Masjid/Shalat
3. Shalat Jum’ah
4. Berkhitan
5. Qubur/Jenazah
6. Faraidl
7. Shaum
8. Nikah
44
9. Mu’amalat
10. Tentang Al-Qur’an
11. Tentang Hadis
12. Berbagai Masalah
Lebih kurangnya seperti di atas dari pada rincian dari isi buku
tersebut. Dari sekian banyaknya tanya-jawab yang tertera dalam buku
itu, Ahmad Hassan sepenuhnya menyadari bahwa menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi
masalah tersebut berkaitan hukum tentang berbagai masalah agama.
3. Pengaruh Buku Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama di
indonesia
Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama merupakan
salah satu karya terpenting Ahmad Hassan yang banyak diminati oleh
banyak kalangan terutama pada ormas Persatuan Islam (PERSIS) yang
menjadi rujuakan utama dalam masalah hukum Islam. Buku tersebut
dipelajari di pesantren-pesantren Persatuan Islam yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama adalah salah
salah satu karya tulis Ahmad Hassan yang membuatnya terkenal saat
itu. Begitu buku itu dicetak pada tahun 1931 sebanyak 7000
eksemplar dan dibaca oleh para ulama dan pembaca lainnya, serta
merta ia mendapat tanggapan keras karena dalam tulisan tersebut
berkaitan erat dengan tradisi masyarakat kala itu yang menurut
Ahmad Hassan bertentangan dengan Al- Qur’an dan Sunnah.
Caranya unik, khas PERSIS, dan tidak lazim dilakukan oleh
orang lain yang lebih mengutamakan penyebaran pemikiran-
pemikiran baru secara tenang dan damai. Ia tak segan-segan
menentang berdebat kepada pihak-pihak yang berbeda pemikiran
dengannya.
45
BAB IV
KARAKTER PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AHMAD HASSAN DAN
METODE ISTINBATH HUKUM ATAS FATWANYA DALAM BIDANG
HUKUM KELUARGA ISLAM
A. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hassan Dalam Bidang Hukum
Keluarga Islam
Dari sekian banyak fatwa Ahmad Hassan yang hadir dari pernyataan
umat tentang persoalan agama yang tertulis dalam karyanya beliau yaitu
“Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”, sesuai dengan tema
skripsi, penulis hanya akan menjelaskan fatwanya tentang Hukum Keluarga
Islam, dan meneliti bagaimana metode istinbath hukum Ahmad Hassan dalam
memfatwakan Hukum Keluarga Islam, sebagai berikut:
1. Nikah Sebelum Masa Iddah
Persoalan ini muncul dari seorang yang bertanya kepada Ahmad
Hassan mengenai “Bagaimana hukumnya seorang wanita yang bercerai
dari suaminya lalu menikah dengan orang lain sebelum habis masa
iddahnya?”
Dalam persoalan ini Ahmad Hassan menjawab menggunakan ayat
al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 228:
ثلثت لشء فغ بأ طمبث خشبص ا (٢٢٢) ابمشة :
Artinya: ”wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟ “. (QS. al-Baqarah : 228)
Di ayat tersebut terlihat jelas bahwa wanita yang di talak harus
menunngu atau menahan dirinya untuk menikah kepada orang lain
sampai habis masa iddah nya. Namun mengenai masalah tiga kali quru‟
terdapat perbedaan di antara ulama mazhab, imam Syafi‟i dan imam
Malik berpendapat bahwa memahami arti quru‟ adalah dihitung tiga kali
46
suci, sedangkan menurut pendapat Hanafi arti quru‟ yaitu tiga kali haid.
Dan di indonesia karena mayoritas Syafi‟iyyah maka yang di pakai
Ahmad Hassan adalah tiga kali quru‟.
Adapun Seorang perempuan yang putus perkawinannya baik karena
talak, fasakh, khulu‟ , li‟an maupun di tinggal mati oleh suaminya maka
wajib menjalankan iddah. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk laki-
laki sehingga laki-laki dibolehkan untuk menikah secara langsung oleh
perempuan lain setelah perceraian selama tidak ada larangan
syara‟seperti menikahi perempuan yang masih mahram. Contoh saudara
kandung, saudara perempuan ayah atau bibi, anak saudara kandung atau
keponakan dan menikahi istri yang ditalak tiga kali sebelum ada
terpenuhi syarat yang menghalalkannya untuk menikah lagi.
Karena Iddah berasal dari dari kata al-„Addad yang artinya bilangan.
Maka definisi dari iddah adalah masa menunggu atau menanti yang di
lakukan wanita yang baru di talak oleh suaminya.1
Macam-macam Iddah:
a. Iddah seorang perempuan yang ditalak hidup atau mati dalam
keadaan hamil, maka waktunya adalah hingga dia melahirkan.
b. Iddah perempuan yang ditalak tetapi tidak dalam keadaan hamil
maka waktunya adalah tiga kali suci.
c. Iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan ia sedang
tidak hamil, maka waktunya adalah 4 bulan 10 hari.
d. Iddah wanita yang belum di gauli maka ia tidak memiliki waktu
menunggu (iddah).
Terkait pertanyaan yang diajukan oleh penannya kepada Ahmad
Hassan. Ada kerancuan dari soal yang di berikan oleh penannya kepada
Ahmad Hassan yaitu terhadap wanita yang di talak. Apakah wanita
tersebut di talak karena cerai hidup atau cerai mati, karena dalam hal
demikian berbeda masa iddahnya. Sedangkan jawaban dari Ahmad
1 Honey Miftahuljannah, A-Z Ta‟aruf, Khitbah, Nikah, dan Talak, ( Jakarta, Gramedia,
2014) h. 173.
47
Hassan bahwa perempuan yang sedang iddah tidak boleh dinikahkan.
Ahmad Hassan mengambil dasar hukum melalui surat al-Baqarah ayat
228 yang menjadi dalil bahwa wanita yang iddahnya disebabkan talak
hidup dan tidak sedang keadaan hamil tidak boleh menikah sebelum tiga
kali suci.
Jadi metode yang digunakan oleh Ahmad Hassan untuk
menginstinbathkan hukum dalam permasalahan ini masuk dalam kategori
metode istinbath hukum bayani, yakni berupa memahami makna dari
teks al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.
2. Nikah Melalui Perantara Telepon
Pernikahan dengan perantara telepon dalam konteks bahasa yaitu,
pernikahan yang akad nikahnya dilakukan melalui jalan telekomunikasi
lewat suara atau yang disebut sebagai via telepon. Secara istilah
umumnya bahwa pernikahan dengan perantara telepon merupakan
pernikahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang memungkinkan
untuk melaksanakan pernikahan, dan yang berada dalam keadaan jarak
jauh, dimana sebagian dari syarat dan rukun dalam pernikahan yang tidak
biasa dilaksanakan sesuai hukum yang ada. Dan sehingga mengharuskan
untuk terjadinya peroses pernikahan atau peroses ijab qabul dengan
melauli jalan telekomunikasi suara.
Masalah-masalah kontemporer khususnya dalam masalah
pernikahan, diharapkan mampu menjawab permasalahan tersebut, karena
Islam adalah agama yang memiliki kaidah fleksibilitas hukum, oleh
karena itu penulis berupaya menganalisa pertanyaan yang di ajukan
kepada Ahmad Hassan mengenai pernikahan yang dilakukan via telepon.
Seorang bertanya begini “ Sahkah menerima nikah dengan perantara
telepon?”
Dalam permasalah ini Ahmad Hassan menjawab, membolehkan
menikah melalui perantara telepon asalkan syarat-syaratnya terpenuhi
48
lantaran di telepon bisa dikenali suaranya, dengan dalil hadits yang
diriwayatkan Abu Dawud yang berbunyi:
خب ادبش خسش.فبث بأسض اسبشت فد زببت وبج حسج عبذاهللا ب ا أ
أشب اسب اب هللا زغت سز ب ع ششزب بعث بب ا عت آالف دس
)سا اب داد اغبئ( اب .فمب2
Artinya “Dari Muhammad ibnu Hatim ibnu Bazi‟ menghadistkan
kepada kami oleh Ali ibnu Hassan ibnu Syaqiq dari ibn Mubarok dari
Yunus dari az-Zuhri : Bahwasanya Ummu Habibah adalah istri
Ubaidillah ibnu Jahsyi. Ketika Ubaidillah mati di negeri Habsyah maka
raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi dan ia bayarkan
maharnya 4000 Dirham, kemudian ia kirim kepada Nabi bersama
Syurohbil ibnu Hassanah maka Nabi menerimanya”.
Hadits di atas sebagai dasar kebolehan menikah melalui telepon yang
di ambil oleh Ahmad Hassan melalui metode istinbath hukum Bayani,
yakni dengan memahami dari teks dan makna hadits yang bersangkutan
dengan masalah hukum tersebut.
Meski pernikahan melalui telepon tidak dibahas oleh ulama-ulama
fiqih kelasik, namun ada beberapa hal yang dapat di identifikasi melalui
perspektif fiqih yaitu masalah syarat ijab qabul dan kehadiran saksi.
a. Syarat Ijab dan Qabul
1) Kedua belah pihak sudah Mumayyiz
2) Ijab dan Qabul dalam satu majlis
3) Makna ijab dan qabul tidak saling bertentangan
4) Lafadz yang digunakan dalam ijab dan qabul adalah lafadz yang
memenuhi syarat dan harus menggunakan lafadz al-tajwiz (saya
kawinkan) atau al-nikah (saya nikahkan).
5) Sigat tersebut dapat di dengar oleh kedua belah pihak dengan
jelas.3
2 Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, No:1786 (Kairo:
Daar Ibnu Al-Jauzi,2011) h. 450 3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil.ii, Di Terjemahkan Muhammad Thalib, (Bandung : al-
Ma‟arif, 1987), h.22.
49
Pada kasus pernikahan melalui telepon, syarat yang
dipermasalahkan adalah bersatunya majelis ijab dan qabul.
Penyatuan majelis di sini bermakna bahwa ijab dan qabul tidak
diselingi atau dipisahkan oleh kalimat asing atau aktivitas lain di
luar sigat nikah. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
meski lafadz kabul tidak diucapkan secara beriringan, misalnya
mempelai lelaki sempat terdiam lama sebelum mengucapkan kabul
maka akad nikah tetap sah selama tidak diselingi oleh kalimat dan
aktivitas lain.4
Syafi‟iyah dan Malikiyah mengemukakan bahwa disyaratkan
untuk bersegera mengucapkan lafadz qabul setelah kalimat ijab
selesai.5 Maksudnya yaitu tidak boleh ada jeda waktu antara kedua
lafadz tersebut yang menunjukkan bahwa pihak mempelai tidak
menyetujui akad tersebut.
Terlihat dari beberapa pendapat tersebut, adanya syarat
penyatuan majelis ijab dan qabul ditekankan pada kesinambungan
waktu antara ijab dan qabul agar kedua belah pihak saling
menunjukkan kerelaan dan persetujuan dalam akad nikah. Oleh
karena itu, meski pernikahan dengan media telepon tidak
mempertemukan kedua belah pihak dalam satu tempat, namun
tetap dianggap sah jika memenuhi kriteria kesinambungan waktu
ijab dan kabul. Jika pada saat proses ijab dan kabul dilaksanakan,
kemudian terjadi masalah seperti operator telepon menyela ijab
dan kabul atau koneksi tiba-tiba terputus maka sebaiknya akad
diulang dengan berpegang pada pendapat Syafi‟iyah untuk lebih
berhati-hati.
Pada zaman Rasulullah, pernikahan yang tidak
mempertemukan para pelaksana akad dalam satu tempat juga
pernah terjadi. Bedanya, pernikahan di zaman itu menggunakan
4 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h.23.
5 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islaam wa Adillatuh, Jil ix,(Suriah: Dar al-Fikr, 2002),
h.6536.
50
sistem perwakilan atau media tulisan yang dibawa oleh
seorang utusan. Dalam kasus seperti ini, salah satu pihak
menulis kalimat ijab dengan tulisannya sendiri lalu menyerahkan
kepada seorang utusan yang membawa surat tersebut kepada pihak
perempuan atau walinya menuliskan kalimat qabul sebelum surat
tersebut dibawa kembali oleh utusan tadi.6
b. Kehadiran saksi
Dalam proses pernikahan biasa, kehadiran saksi sangat
dibutuhkan sebagai bentuk atau ta‟kid (penguat) terhadap
keabsahan akad nikah sehingga jika terdapat masalah, saksi dapat
memberikan kesaksian yang diperlukan. Jika pernikahan via telepon
tidak mempertemukan para pelaksana akad, maka kehadiran saksi
tentu memiliki peran yang lebih besar untuk memberikan
pengawasan terhadap keabsahan pada proses akad nikah.
Pada kasus pernikahan melalui telepon, terpisahnya pihak-pihak
yang melakukan akad akan menyebabkan ketimpangan dalam
persaksian. Beberapa ulama fiqih seperti Hanafiyah berpendapat
bahwa dalam pernikahan beda tempat seperti menikah dengan
mengirimkan tulisan maka saksi-saksi diwajibkan untuk mengetahui
apa yang tertulis dalam surat sekaligus menyaksikan langsung qabul
yang dilakukan oleh pihak kedua. Dalam pernikahan seperti itu,
Hanafiyah tidak mengharuskan kedua saksi berada di kedua tempat.
Misalnya, jika pihak pertama mengirim utusan ke pihak kedua yang
berada di tempat lain, maka saksi cukup berada di tempat pihak
kedua untuk mendengar ijab yang diucapkan oleh utusan tersebut
dan kabul dari pihak perempuan.7
Syafi‟iyah menafsirkan bahwa kehadiran dua orang saksi
merupakan salah satu syarat sahnya akad, sehingga jika syarat
6 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi „Aqdi al-Nikah wa Asaruhu (Kairo: Dar al-Fikr
al-„Arabi, 1971), h.81. 7 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 6531
51
tersebut tidak terpenuhi akad pun menjadi batal. Kehadiran saksi
berarti keduanya melihat dan mendengar apa yang diucapkan
ketika ijab dan kabul berlangsung, meski keduanya tidak
mendengar jumlah mahar yang disebutkan.
Berbeda dengan Hanafiyah, Syafi‟iyah bahkan dengan tegas
menolak saksi yang hanya mendengar ijab kabul, tapi tidak dapat
melihat langsung. Oleh karena itu, Syafi‟iyah berpendapat bahwa
saksi harus melihat langsung proses akad (al-mu‟ayanah) karena
suara atau ucapan tidak cukup dengan didengar saja, tetapi perlu
dikuatkan dengan melihat secara langsung.8 Jadi, jika pernikahan
melalui perantara telepon dilakukan, akad tidak sah jika saksi hanya
mendengar suara salah satu pihak lewat pengeras suara.
Jika berpegang pada mazhab Hanafiyah, maka saksi yang hanya
mendengar lafadz ijab qabul lewat pengeras suara, tanpa melihat
siapa yang mengucapkan sudah dianggap sah. Namun, karena di
Indonesia mazhab yang mayoritas dianut adalah Syafi‟iyah, maka
penulis cenderung kepada pendapat Syafi‟iyah yang lebih ketat
dalam memberikan aturan saksi.
Dan untuk menjamin keabsahan akad ada solusi lain yaitu Video
Call, melalui telepon berbasis video kedua belah pihak serta saksi-
saksi yang hadir juga dapat melihat tayangan proses ijab qabul
secara jelas, maka nikah tersebut sah, kasus ini ada dalam fatwa
Lembaga Majelis Tajrih Muhammadiyah.9
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sah
atau tidaknya pernikahan via telepon terletak pada terpenuhinya
syarat dan rukun nikah yang telah ditetapkan. Karena Pernikahan
sebagai salah satu bentuk ibadah yang menyatukan dua insan dalam
8 Syamsuddin al-Syaribnui, Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifati Ma‟ani Alfaz al-Minhaj, Juz 4
(Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, t.th.), h. 249 9 Lihat fatwa Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-vidieo-call.html, diakses
pada tanggal 31 Desember 2018.
52
ikatan suci memang sepatutnya mengikuti aturan yang telah
ditetapkan dalam agama. Aturan tersebut bukan hanya memberikan
jaminan keabsahan akad nikah, tetapi juga masa depan pernikahan
kelak.
Jadi, metode yang digunakan oleh Ahmad Hassan untuk
menginstinbathkan hukum dalam permasalahan ini masuk dalam
kategori metode istinbath hukum Bayani, karena Ahmad Hassan
Mengambil dalil dari Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud,yakni berupa memahami makna dari teks al-Qur‟an dan
Hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Talak Tiga Dengan Sekali Ucapan
Persoalan ini muncul kepada Ahmad Hassan mengenai,
bagaimana hukumnya talak tiga yang dijatuhkan dengan sekali
ucapan, dan apakah boleh ia kembali kepada istrinya?
Sebelum penulis menerangkan jawaban Ahmad Hasan, penulis
terlebih dahulu menerangkan secara garis besar mengenai talak dan
macam macamnya. Talak dalam istilah bahasa ialah memutuskan
ikatan. Diambil dari kata itlaq yang artinya adalah melepaskan dan
meninggalkan.10
Sedangkan menurut istilah syara‟ , talak yaitu
“melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami
istri”.11
Fiqh talak mempunyai dua arti, umum dan khusus. Talak dalam
arti umum yaitu segala macam bentuk perceraian baik yang
dijatuhkan oleh suami, yang di tetapkan oleh Hakim maupun
perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah seorang dari suami atau istri dan adapun talak
dalam arti khusus yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh suami.
10
Kamal ibnu as-Sayyid Salim, Fiqh Sunnah Lin Nisa‟, Cet. i, (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), h.
627. 11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 191.
53
Dari pengertian di atas maka, talak adalah melepaskan ikatan
antara suami-istri, sehingga diantara keduanya tidak berhak
berkumpul lagi dalam arti tidak boleh mengadakan hubungan suami-
istri tanpa diadakannya rujuk terlebih dahulu dalam masa iddahnya.
Macam - macam talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami
rujuk kembali dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Talak raj‟i
Talak raj‟i yaitu talak dimana suami mempunyai hak
merujuk kembali isatrinya setelah talak itu dijatuhkan dengan
lafadz-lafadz tertentu dan istri sudah benar-benar digauli.12
Firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 229
حغشر عشف أ غبن ب فئ حب ش اطلق أ ى ال س بئزغب
أال خفخ فئ ب زذد هللا خبفب أال م ئب إال أ ش خ ب آح حأخزا
ه زذد هللا ح ب افخذث ب ب ف فل خبذ ع ب زذد هللا فل حعخذب م
اظب ئه فأ خعذ زذد هللا (٢٢٢)ابمشة :
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Maksud ayat tersebut bahwa seorang suami berhak merujuk
istrinya setelah talak yang pertama ataupun yang kedua. Setelah
itu suami boleh memilih apakah meneruskan pernikahannya atau
bercerai, tetapi jika ia memilih bercerai maka ia wajib
menjatuhkan talak yang ketiga dan tidak berhak merujuk
istrinya kembali.
12
Abiddin Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.17
54
Dalam talak raj‟i suami memiliki hak untuk kembali kepada
istrinya (rujuk) sepanjang istrinya dalam masa iddah baik
istrinya bersedia maupun tidak. Adapun yang termasuk dalam
talak raj‟i adalah sebagai berikut:
1) Talak satu atau talak dua tanpa iwadh dan telak kumpul
2) Talak karena „ila yang dilakukan hakim
3) Talak hakamain artinya talak yang diputuskan juru damai
dari pihak suami ataupun dari pihak istri.13
b. Talak Ba‟in
Talak Ba‟in yaitu talak yang ketiga kalinya dan talak yang
jatuh sebelum suami istri berhubungan serta talak yang
dijatuhkan istri kepada suaminya. Talak bain dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Talak ba‟in sugra
Talak ba‟in sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas istrinya
meskipun dengan masa iddah. Adapaun yang termasuk
dalam kategori talak ba‟in sugra antara lain:
a) Talak karena fasakh yang dijatuhklan oleh hakim di
Pengadilan Agama.
b) Talak iwadh (ganti rugi), atau talak tebus berupa
khulu‟.
c) Talak sebab belum istri di dukhul. adapaun istri yang
ditalak sebelum di dukhul maka tidak ada iddahnya,
sehingga jika ingin kembali maka harus dengan akad
yang baru atau menikah lagi.
2) Talak Ba‟in kubro
Talak Ba‟in kubro adalah talak yang ketiga dari talak-
talak yang dijatuhi oleh suami. Seorang suami yang
mentalak ba‟in kobro istrinya boleh mengawini istrinya
13
Abiddin Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 34
55
kembali apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Istri telah kawin dengan laki-laki
b) Istri telah di dukhul oleh suaminya yang baru
c) Istri sudah dicerai oleh suami yang baru
d) Telah habis masa iddahnya. 14
Macam-macam talak ditinjau dari segi waktu menjatuhkan
dibagi menjadi dua macam :
a. Talak bid‟i
Talak bid‟i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan
ketentua agama. Adapun yang dimaksud dengan talak bid‟i
antara lain:
1) Talak yang dijatuhkan kepada istri disaat dalam keadaan
suci dan telah dicampuri, sedang masalahb hamil atau
tidaknya belum diketahui
2) Talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang haid atau
nifas
3) Menjatuhkan talak ketiga kali secapa berpisah pisah dalam
satu majlis.15
b. Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami istri
dengan ketentuan agama. Adapun yang termasuk talak sunni
antara lain:
1) Talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan suci
dalam belum di dukhul.
2) Talak yang dijatuhkan oleh suami pada saat istri sedang
hamil.
Kemudian selanjutnya mengenai permasalahan yang diajukan
kepada Ahmad Hassan tentang talak tiga yang diucapkan dengan
14
Soemiyati, Hukum perkawinan, ( Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 109 15
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka
Kautsar, 1999), h.211
56
sekali ucapan beliau menjawab dengan memaparkan dalil sebagai
berikut:
ح أخبش بعط خش اق أخبشب اب ص ثب عبذ اش صبر زذ ذ ب ثب أز زذ
ى اب ت عىش ع ع ع صى هللا ى اب ب أب سافع
عببط لبي غك ع اب ىر عببط ع سوبت أ ح إخ بذ ضذ أب سوبت
ب غ ع إال فمبج ع ع صى هللا ت فدبءث اب ض شأة ا
سأعب عشة شعشة أخزحب اش ب حغ ز فأخزث و ب ق ب ففش
أحش لبي دغبئ ث ح إخ ت فذعب بشوبت ز ع ع صى هللا اب
وزا فلب شب عبذ ضذ وزا وزا فلب شب وزا لبا ع
شأحه لبي ساخع ا ث عبذ ضذ غمب ففع ع ع صى هللا لبي اب
ج ساخع لبي لذ ع لبي إ غمخب ثلثب ب سعي هللا ح إخ سوبت ب أ
حل { ح عذ اغبء فطم إرا غمخ ب اب د { ب أ لبي أب دا
ع أب سوبت ع ضذ ب ب ع ب عبذ هللا ش عد زذث بفع ب
سوبت أ أصر خذ ع ع صى هللا اب بخت فشدب إ شأح ا غك ا
بخت فدعب اب شأح ا ب غك ا سوبت إ إ ب أع أ خ ذ اش ل
ع ازذة صى هللا ع . 16
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Ahmad ibnu Shalih],
telah menceritakan kepada kami [Abdurrazzaq], telah mengabarkan
kepada kami [Ibnu Juraij] telah mengabarkan kepadaku [sebagian
anak-anak Abu Rafi'] mantan budak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
dari [Ikrimah] mantan budak Ibnu Abbas, dari [Ibnu Abbas], ia
berkata; Abdu Yazid? dan saudara-saudaranya yaitu Abu Rukanah
telah mencerai Ummu Rukanah dan menikahi seorang wanita dari
Muzainah, kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan berkata; ia tidak memberiku kepuasan kecuali
seperti sehelai rambut ini. Ia mengambil sehelai rambut dari
kepalanya. Maka Kemudian beliau berkata kepada orang-orang yang
duduk bersamanya: "Apakah kalian melihat Fulan menyerupai
demikian dan demikian dari Abdu Yazid? dan Fulan menyerupai
darinya demikian dan demikian?" Mereka mengatakan; ya. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Abdu Yazid?: "Ceraikan
dia!" Lalu ia melakukan hal tersebut, kemudian beliau berkata:
"Kembalilah kepada isterimu yaitu Ummu Rukanah!" Ia berkata;
sesungguhnya aku telah mencerainya tiga kali wahai Rasulullah.
Beliau berkata: "Aku telah mengetahui, kembalilah kepadanya!" Dan
beliau membacakan ayat: "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-
16
Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, No: 1877 (Kairo:
Daar Ibnu Al-Jauzi,2011) h.843
57
isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." Abu Daud berkata; dan
hadits Nafi' ibnu 'Ujair, [Abdullah ibnu Ali ibnu Yazid? ibnu Rukanah]
dari [ayahnya] dari [kakeknya] bahwa Rukanah telah isterinya sama
sekali, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengembalikannya
kepada Rukanah, hadits tersebut lebih shahih karena anak seseorang
dan keluarganya lebih mengetahuinya. Sesungguhnya Rukanah telah
mencerai isterinya sama sekali dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
menjadikannya sebagai satu kali talak.
Dari hadits di atas ahmad Hassan menyimpulkan bahwa:
a. Jika seorang suami mengucapkan kepada istrinya “ aku beri
kepadamu tiga talak atau aku talak tiga akan dikau atau saya cerai
kamu dengan talak tiga” , dan sebagainya, maka Ahmad Hassan
menerangkan bahwa hanya menjadi satu talak saja
b. Ahmad Hassan menerangkan mentalak istri dengan sekali ucapan
sama saja mempermainkan kitab Allah yaitu al-Qur‟an. Karena di
dalam alquran menyebutkan bahwa talak yang boleh kembali lagi
yaitu talak dua saja, yakni mentalak istri sekali lalu kembali lagi,
dan mentalak sekali lagi lalu kembali dan sesuadah talak yang
ketiga tidak boleh kembali lagi .
Ahmad Hasan memperkuat keterangannya dengan dalil naqli Q.S
al-Baqoroh ayat 229:
حأخزا أ ى ال س حغشر بئزغب عشف أ غبن ب فئ حب ش اطلق
أال م خفخ فئ ب زذد هللا خبفب أال م ئب إال أ ش خ ب آح ب زذد هللا
خعذ زذد هللا فل حعخذب ه زذد هللا ح ب افخذث ب ب ف فل خبذ ع
اظب ئه (٢٢٢)ابمشة : فأ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
58
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim.”. (QS Al-Baqoroh : 229)
Keterangan tersebut di atas sesuai dengan fikiran, karena itu
artinya “lepas atau “melepaskan”. Kalau kita sebut “aku lepaskan
engkau tiga kali” , kelepasan itu hanya menjadi satu kali saja. begitu
juga kalau kita berkata kepada seorang yang bekerja kepada kita : “
aku berhentikan engkau tiga kali” umpamanya, berhentinya orang itu
hanya kejadian sekali saja.17
Ahmad Hassan menerangkan ayat di atas dengan penalaran dan
mencoba memahami ayat tersebut kemudian beliau menyimpulkan
dari ayat tersebut, bahwa talak tiga yang di ucapkan dengan sekali
ucapan di dalam waktu yang sama hanya terjadi satu, Ahmad Hassan
mengumpamakan dengan seseorang yang bekerja dan di berhentikan
oleh majikannya dengan sekali ucapan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Ahmad
Hasasan dalam menetapkan hukum ini adalah metode Bayani atau
analisis kebahasaan, yaitu berupaya untuk memahami makna dari
teks al-Qur‟an dan hadist yang bersangkutan dengan talak tiga yang
diucapkan dengan sekali ucapan dengan kaidah kebahasaan.
4. Kebolehan Wanita Menikah Tanpa Wali
a. Pendapat Ahmad Hassan tentang menikah tanpa wali
Pendapat Ahmad Hassan dalam bukunya yang berjudul Soal
Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Ahmad Hassan telah
mengungkapkan panjang lebar tentang bolehnya wanita gadis
menikah tanpa wali. Sebelumnya sampai pada kesimpulan dan
pendapatnya, Ahmad Hassan, mengawali uraiannya dengan
menampilkan alasan golongan yang menganggap tidak sah menikah
tanpa wali.
17
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, ( Bandung, CV.
Diponegoro, 2007) h. 589
59
Dalam bukunya itu beliau mengatakan bahwa beliau akan
merangkan terlebih dahulu alasan- alasan golongan yang berkata,
bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak dengan wali, kemudian
beliau akan menerangkan juga alasan-alasan golongan yang
menganggap tak perlu wali buat nikah. Sesudah itu beliau juga akan
menerangkan golongan yang menganggap perlu wali buat perawan
saja. Ada pula satu golongan lain menganggap, bahwa wali itu perlu
di dalam urusan nikah, tetapi tidak sebagai satu syarat, yakni sah
nikah dengan tidak berwali. Kemudian setelah menerangkan alasan-
alasan mereka, barulah beliau membuat pandangan atau bantahan
atas pendapat dari golongan-golongan tersebut. Lalu beliau akan
ambil keputusan di mana-mana tempat yang perlu.18
Alasan golongan pertama menurut Ahmad Hassan adalah
hadist- hadist sebagai berikut :
ع اب بشدة ب اب عى ع اب لبي : لبي سعي هللا صى هللا ع ع
)سا ازذ السبعت صسس اب اذ اخشزي اب : ال ىبذ اال ب
19 .زبب اع بشع(
Artinya: Dari Abu Burdah r.a. dari Abu Musa, r.a. dari ayahnya
r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada pernikahan
kecuali dengan seorang wali. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. dan
al-Arba'ah (Abu Daud At Tirmidzi, An Nasa'i dan Ibnu Majah),
dan dinilai shahih oleh Ibnul Madini, At-Tirmidzi dan Ibnu
Hibban, tetapi beliau menilainya cacat karena mursal.
Kemudian hadits kedua :
عب لبج : لبي سعي هللا صى هللا ع ع ع عب ئشت سظ هللا
إشاة ىسج بغش ار ب فىبزب ببغ، فب دخ بب فب اش بب
اعخس فشخب، فب اشخدشا فب غطب ب. اخشخ االسبعت
20.اال اغئ، صسس اب عات اب زبب اسبو
18
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h. 370-371 19
Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, h. 582 20
Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, h. 583
60
Artinya : Dari Aisyah r.a. beliau berkata : Rasulullah SAW.
bersabda: Mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin
walinya, maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah
mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar
karena dia sudah menganggap halal farajnya. Lalu jika mereka
(para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi
orang yang tidak mempunyai wali baginya. Diriwayatkan oleh al-
Arba'ah selain An-Nasa'i. (berarti hanya Abu Daud, at-Tirmidzi dan
Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh: Abu Uwanah, Ibnu Hibban
danAl Hakim).
ع ابى ششة سظ هللا ع لبي : : لبي سعي هللا صى هللا ع ع ،
ا ضج ال ح ب )سا اب بخ اذاس فغ اشءة ضج ، ال ح ة شء ا ة شء
امط سخب ثمبث( 21
Artinya : Dari Abu Hurairah ra berkata: bersabda
Rasulullah SAW,. wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan
wanita tidak boleh mengawinkan dirinya (H.R. Ibnu Majah dan
Daraquthni, dan para perawinya orang-orang terpercaya).
Sementara itu, Alasan golongan kedua menurut Ahmad
Hassan adalah berdasar dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Allah SWT dalam surah al-Baqoroh ayat 230 :
غمب فل خبذ ش فئ خب غ ىر ص بعذ زخى ح غمب فل حس فئ
ب م ب ه زذد هللا ح ب زذد هللا م ظب أ خشاخعب إ ب أ ع
(٢٣)ابمشة : ع
Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak
yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui. (QS. al-Baqoroh : 230)
21
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugul Maram (Suriah: Dar al-Fikr, 1991) h. 211
61
Maksudnya, menurut Ahmad Hassan bahwa seorang perempuan
apabila ditalak tiga oleh suaminya, maka tidak boleh ia kembali
kepada laki-laki itu, melainkan sesudah ia kawin kepada orang lain.
Firman Allah SWT Surat Al-Baqarah Ayat 232 :
ىس أ فل حعع أخ اغبء فبغ إرا غمخ ا إرا حشاظ اخ أص
ىخش ر ا ا ببلل ؤ ى وب ه عع ب
عشف ر بب ب
ال حع خ أ ع هللا أغش (٢٣٢)ابمشة : أصوى ى
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Kawin lagi
dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain. (QS. al-
Baqarah : 232)
Maksudnya,menurut Ahmad Hassan adalah, bahwa seorang
perempuan, apabila sudah dipinang dan sudah suka sama suka
kepada laki-laki itu dengan cara sopan, maka tidak boleh wali
melarang dia kawin dengan laki-laki itu.
Sabda Nabi SAW :
ع لبي: لبي سعي هللا صى هللا ع ششة سظ هللا ع ابى ششة
ع: ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسعي
هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(22
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):
Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh dinikahkan
perempuan janda itu sehingga ada perintah dan perempuan gadis
tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya. Mereka
bertanya: Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya? Beliau
menjawab : Diamnya. (Muttafaq 'alaih).
22
Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil.v,
(Beirut: Daar al-Hadit, 1987) h. 175
62
Ahmad Hassan Menerangkan bahwa wali tidak perlu campur
tangan di dalam urusan kawin perempuan janda yang berada di
dalam tanggungannya. Sabda Rasulullah SAW :
صى هللا ع ع ل اثب ازك بفغب ب ع اب عببط أ اب
سا غ. ف فع ظ ع اثب أش ابىش حغخأش ارب عىحب.
اخت حغخأش )سا اب داد اغبئ صسس اب زبب(23
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (katanya) : Sesungguhnya Nabi
saw. bersabda : perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya
daripada walinya. Dan gadis dimintai izinnya dan izinnya
adalah diamnya. Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu
susunan matannya : Tidak ada perintah bagi wali bersama/terhadap
janda, dan perempuan yatim dimintai izinnya. (Diriwayatkan
oleh Abu Daud dan An-Nasa'i serta dinilai shahih oleh Ibnu
Hibban)
Golongan ketiga menurut Ahmad Hassan menyatakan
bahwa sekalian keterangan yang menunjukkan perempuan boleh
kawin sendiri (tak pakai wali), itu ditujukan pada wanita janda.
Adapun wanita yang berstatus masih gadis, maka tidak ada
keterangan yang membolehkan kawin tanpa wali.
Alasan golongan keempat, menganggap wali perlu,
tetapi tidak sebagai syarat sah nikah, adalah yang berdasarkan
peristiwa Aisyah yang pernah mengawinkan seorang anak
perempuan dengan tidak pakai wali. Alasan lainnya karena
perempuan mempunyai kekuasaan sendiri, dan wali itu tidak
berkuasa apa-apa.
Menurut Ahmad Hassan bahwa di dalam tiap-tiap urusan, kalau
ditinggalkan atau kelupaan pokok atau asal, niscaya urusan itu tidak
beres. Tiap tiap satu perkara, ada pokoknya atau asalnya. Yang
dimaksudkan pokok atau asal di dalam perkara wali ini, ialah
kemerdekaan seorang yang diurus oleh si wali.
23
Muhammad ibnu Ismail ibnu al-Mughirah ibnu Bardizibah al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Kitab An-Nikah no.5136
63
Seorang anak, selagi ia masih belum baligh, memang di dalam
tanggungan ibu-bapaknya atau walinya. Di hari ia baligh, hilanglah
hukum kewajiban ibu bapak dan kekuasaan wali; dan mulai dari hari
itu, dia terhitung sebagai orang yang cakap melakukan tindakan
hukum, bukan sebagai anak- anak lagi.24
Kalau ia mendapat pusaka dari orang-orang tuanya, wajib
diserahkan kepadanya. Harta benda itu boleh ia urus
menurut kemauannya, dengan tidak dapat teguran dari siapa-siapa,
kecuali kalau ia boros atau digunakan di maksiat. Jadi, seorang
yang sudah baligh, boleh mengurus dirinya itu, dinamakan pokok
atau asal. Tentang tiap-tiap orang sesudah baligh mempunyai
kemerdekaan seperti yang tersebut itu, sudah diakui oleh Agama,
akal dan adat.25
Menurut Ahmad Hassan, orang-orang yang menganggap
bahwa seorang perempuan itu tidak boleh dan tidak berkuasa
mengawinkan dirinya, maka anggapan itu berarti menghilangkan hak
kemerdekaan untuk mengurus diri. Padahal ada keterangan-
keterangan yang dijadikan alasan oleh golongan yang menganggap,
bahwa seorang perempuan itu boleh mengawinkan dirinya,
anggapan mana berarti menguatkan hak kemerdekaan seorang yang
sudah baligh dalam mengurus dirinya.
Dengan pemaparan yang singkat itu ,dapatlah dikatakan bahwa
keterangan-keterangan yang ditunjukkan buat menghilangkan hak
kemerdekaan mengurus diri itu perlu alasan yang kuat. sedangkan
keterangan yang menyokong adanya hak kemerdekaan mengurus diri
itu tentu tidak perlu disertai alasan yang kuat, tetapi kalau kuat, lebih
utama demikian ungkap Ahmad Hassan.
Menurut Ahmad Hassan, dari pembicaraan wali itu bisa timbul
beberapa pertanyaan:
24
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.378 25
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.378
64
1. Kalau perempuan boleh mengurus dirinya dan boleh buat itu dan
ini, apa guna ada wali ?
2. Menurut kaidah yang sudah umum terkenal, bahwa beberapa
Hadits yang lemah, kalau berkumpul, bisa jadi kuat.26
Selanjutnya Ahmad Hassan menjawab pertanyan-pertanyaan
tersebut dengan jawaban berikut :
1. Harus diakui, bahwa di tiap-tiap rumah perlu ada seorang laki-
laki yang menjadi pengawal, pengurus dan pembela rumah
tangga itu daripada segala macam kejelekan dan kenistaan,
terutama sekali yang berhubungan dengan kehormatan,
teristimewa pula yang berhubungan dengan kehormatan
perempuan. Si pengurus yang mempunyai kekuasaan itu kita
namakan wali, dan menurut pandangan sebagian ulama, wali itu
boleh mencegah kalau anak perempuan yang di dalam
penjagaannya mau kawin dengan orang yang tidak pantas. Si
wali itu perlu untuk mengurus perkara-perkara atau urusan yang
mana si perempuan tak dapat mengurusnya.
2. Menurut kaidah memang Hadits-hadits yang dha'if, kalau
berkumpul yakni kalau banyak, bisa jadi kuat, tetapi
yang demikian itu memerlukan syarat. Adapun Hadits yang
mewajibkan pakai wali itu tak bisa jadi kuat dengan sebab
banyaknya, karena berlawanan dengan beberapa keterangan
yang memang kuat. Lantaran itu tak boleh di pakai Hadits itu
buat mewajibkan wali, hanya di pakai untuk menyunnatkan saja.
Jadi, berarti, bahwa di kawinkan oleh wali atau berkawin
dengan ridlanya wali itu lebih baik daripada tidak. Setelah
menguraikan panjang lebar persoalan nikah tanpa wali, maka
Ahmad Hassan sampai pada kesimpulan bahwa: “Tidak wajib
26
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.386
65
pakai wali di dalam pernikahan, tetapi hukumnya hanya
sunnat.27
b. Metode istinbath hukum Ahmad Hassan tentang kebolehan menikah
tanpa wali
Adapun metode Istinbath hukum tentang kebolehan wanita
menikah tanpa wali yang pakai oleh Ahmad Hassan dalam
menggunakan metode istimbath hukum ialah al-Qur‟an, Sunnah
Nabi, Ra„yu. Pertama, al- Qur‟an, yaitu wahyu yang diturunkan
dengan lafal bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT, melalui
wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., ia
merupakan dasar dan sumber utama bagi syari‟at.
Ayat yang dijadikan dasar untuk mendukung pendapatnya
adalah surat al-Baqarah ayat 232 :
إرا غمخ ا إرا حشاظ اخ أص ىس أ فل حعع أخ اغبء فبغ
ىخش ر ا ا ببلل ؤ ى وب ه عع ب
عشف ر بب ب
هللا أغش أصوى ى ال حع خ أ (٢٣٢)ابمشة : ع
Artinya: apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan
di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-
Baqarah : 232)
Al-Qur„an tidak banyak memberikan hukum-hukum yang terinci
dan pasti terhadap masalah-masalah yang menyangkut bidang
muamalah bahkan al-Qur‟an melarang para sahabat banyak
bertanya kepada Nabi mengenai hukum-hukum yang belum
diperlukan. Sebab, jangan sampai terjadi karena banyak pertanyaan
akan mengakibatkan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya,
seperti kasus seorang Yahudi yang banyak bertanya tentang
27
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.386
66
bagaimana sapi yang harus mereka sembelih. Terhadap sesuatu yang
menjadi penyakit masyarakat, beban-beban hukumnya pun diberikan
secara bertahap, seperti hukum zina misalnya.
Kedua, mengenai hadits yang dijadikan dasar untuk
mendukung pendapatnya adalah Sabda Nabi S.A.W :
: لبي سعي هللا صى هللا ع ششة سظ هللا ع لبيع ابى ششة
عي : ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسع
28 .هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):
Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh dinikahkan
perempuan janda itu sehingga ada perintah dan perempuan gadis
tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya. Mereka
bertanya: Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya? Beliau
menjawab: Diamnya (Muttafaq 'alaih).
Sebagai sumber hukum yang kedua, Ahmad Hassan memilih
pendapat ahli ushul yang memformulasikan hadits dengan: segala
perbuatan, ucapan dan taqrir.
Dalam menggali hukum terhadap masalah-masalah baru yang
bersifat mubah, Ahmad Hassan menggunakan metode analogi
deduksi rasional seperti yang dipakai oleh Abu Hanifah. Metode
tersebut oleh ulama Hanafiah didefinisikan sebagai perluasan
hukum dari nash asli ke dalam proses yang digunakan pada suatu
kasus tertentu dengan memakai illat umum, yang tidak dapat
diketahui jika hanya dengan menafsirkan bahasa yang dipakai oleh
nash.
Adapun terhadap masalah-masalah yang telah
ada ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu,
baik yang dihasilkan dari kalangan sunni semua mazhab yang ada
dan pernah ada juga dari kalangan syiah, khawarij dan lain-lain,
28
Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil.v,
(Beirut: Daar al-Hadit, 1987) h. 175
67
A.Hassan menggunakan metode komparasi (muqarin). Yakni
membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang
lain dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada
kebenaran dan didukung oleh dalil-dalil yang terkuat.29
Tentang hal anjurannya agar melakukan kajian komparasi
dengan pendapat-pendapat dari aliran non sunni, ia beralasan, bukan
saja metode ini digunakan juga oleh para muhakikin tetapi lebih
dari itu, ulama mereka sebenarnya adalah golongan umat Islam
yang berijtihad. Maka para mujtahid itu adakala benar, ada kala
salah.
Dalam mengkaji fiqih warisan fuqaha masa lalu,
harus dilakukan kajian komparasi secara terpadu dari semua
aliran. Sebab, kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh salah satu
aliran saja. Menurut pendapat Ahmad Hassan, dengan melakukan
kajian perbandingan terpadu ini, maka problem hukum yang terus
berkembang itu dapat diketemukan teori dan acuan dasarnya pada
apa yang telah dikemukakan oleh para fuqaha terdahulu. Kaidah-
kaidah fiqih yang diajukan mereka masih tetap relevan.
Di samping itu, dengan menggunakan metode perbandingan
terpadu ini, fiqih akan tetap selalu muda, mempunyai daya tumbuh
dan berkembang tanpa perlu melepaskan diri dari acuan dasar
yang telah digali oleh para fuqaha terdahulu, yang telah dikerjakan
dengan susah payah, penuh ketekunan dan dengan cita-cita yang
luhur serta ikhlas. Fiqih yang selalu muda pastilah dapat
mengikuti perkembangan masyarakat modern dan memenuhi
kebutuhan hukum mereka.
Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan melakukan kajian
komparasi terpadu ialah pertama, mengetahui pendapat-pendapat
yang disepakati dan yang diperselisihkan. Kedua, mengetahui sebab-
29
Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.371
68
sebab timbulnya perselisihan, karena mengetahui perbedaan metode
dan pendekatan yang digunakan oleh masing - masing fuqaha.
Ketiga, memperoleh ketetapan hati terhadap hukum yang
diistimbathkan, karena diketahui mana hukum yang dikutip dari al-
Qur‟an, mana yang dari hadits, mana yang melalui qiyas dan mana
yang menggunakan kaidah-kaidah khusus dari suatu madhzab. Di
samping itu, dengan menggunakan metode komparasi ini, dapat pula
dijelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum adat dan hukum
positif di suatu negeri pada satu pihak dengan fiqih pada pihak yang
lain. Kemudian, akan diperoleh pula wawasan yang luas sehingga
dimungkinkan untuk memilih secara tepat, mana yang lebih kuat
dalilnya, lebih dekat kepada kebenaran dan dapat membawa
kemaslahatan kepada umat dan mencerminkan kepada ruh
syari‟at.Dengan menggunakan kajian komparasi, maka usaha
kompilasi hukum Islam, lebih mudah dapat dikerjakan. Sebab,
mudah memilih mana materi hukum yang lebih sesuai dengan situasi
dan kondisi Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
istimbath hukum yang digunakan ahmad Hassan dalam
membolehkan wanita menikah tanpa wali adalah al-Qur'an surat al-
Baqarah ayat 232 dan hadits dari Abu Hurairah.
c. Analisis pendapat Ahmad Hassan tentang kebolehan menikah tanpa
wali
Salah satu pendapat Ahmad Hassan hubungannya dalam wali
pernikahan beliau menyatakan membolehkan wanita menikah tanpa
wali. Seperti yang di ungkapkan dalam bukunya sebagai berikut :
Keterangan-keterangan itu tak dapat dijadikan alasan untuk
mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, karena
berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadits dan
riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keterangan-
keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu,
artinya tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa wali. Jika sekiranya
69
seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya
al-Qur'an menyebutkan tentang itu.
Perlu dijelaskan bahwa Ahmad Hassan membolehkan wanita
menikah tanpa wali dengan berdasarkan kepada Al-Qur„an dan
beberapa Hadist. Dalam al Qur„an terdapat pada surat al-Baqarah
ayat 232. Sedangkan beberapa Hadits yang dijadikan dasar untuk
menguatkan pendapatnya maka Ahmad Hassan dalam bukunya
mencatumkan beberapa Hadits sebagai berikut :
: لبي سعي هللا صى هللا ع سظ هللا ع لبيششة ع ابى ششة
: ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسعي ع
30 .هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):
Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh
dinikahkan perempuan janda itu sehingga ada perintah dan
perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai
izinnya. Mereka bertanya: Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya?
Beliau menjawab : Diamnya. (Muttafaq 'alaih).
Maksud Ahmad Hassan bahwa wali tidak perlu campur tangan
di dalam urusan kawin perempuan janda yang di dalam
tanggungannya. Sabda Rasulullah S.A.W :
صى هللا ع ع ل اثب ازك بفغب ب ع اب عببط أ اب
فع ظ ع اثب أش ابىش حغخأش ارب عىحب. سا غ. ف
اخت حغخأش )سا اب داد اغبئ صسس اب زبب(31
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (katanya) :Sesungguhnya Nabi
saw. bersabda : perempuan janda lebih berhak terhadap
dirinyadaripada walinya. Dan gadis dimintai izinnya dan izinnya
adalah diamnya. Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu
susunan matannya : Tidak ada perintah bagi wali bersama/terhadap
30
Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil v, h.
175 31
Muhammad ibnu Ismail ibnu al-Mughirah ibnu Bardizibah al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Kitab An-Nikah no.5136
70
janda, dan perempuan yatim dimintai izinnya. (Diriwayatkan oleh
Abu Daud dan An-Nasa'i serta dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
Kita mengaku, bahwa di tiap-tiap rumah perlu ada seorang laki-
laki yang menjadi pengawal, pengurus dan pembela rumah tangga
itu daripada segala macam kejelekan dan kenistaan, terutama
sekali yang berhubungan dengan kehormatan, teristimewa pula
yang berhubungan dengan kehormatan perempuan. Ahmad Hassan
menjelaskan bahwa pengurus yang mempunyai kekuasaan itu di
namakan wali, dan menurut pandangan sebagian ulama, wali itu
boleh mencegah kalau anak perempuan yang di dalam
penjagaannya mau berkawin dengan orang yang tidak pantas. Si wali
itu perlu buat mengurus perkara-perkara atau urusan yang mana si
perempuan tak dapat mengurusnya.
Menurut ka'idah memang Hadits-hadits yang dha'if,
kalua berkumpul yakni kalau banyak, bisa jadi kuat, tetapi
yang demikian itu di tentang urusan-urusan yang tidak ada lain-
lain keterangan melawan dia. Adapun Hadits yang mewajibkan
wali itu tak bisa jadi kuat dengan sebab banyaknya, karena
berlawanan dengan beberapa keterangan yang memang kuat.
Lantaran itu tak boleh di pakai Hadits itu buat mewajibkan wali,
hanya di pakai untuk menyunnatkan saja. Jadi, berarti, bahwa di
kawinkan oleh wali atau berkawin dengan ridlanya wali itu lebih
baik daripada tidak.32
Pendapat Ahmad Hassan di atas berbeda dengan pendapat ulama
lain, misalnya :
Sayyid Sabiq dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar tentang
masalah pernikahan. Dalam hubungannya dengan wali bahwa
wali merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.33
32
Ahmad Hassan, Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, h.386 33
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h.240.
71
Imam Malik ibn Anas dalam kitabnya mengungkapkan
masalah wali dengan penegasan bahwa seorang janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya, dan seorang perawan harus
meminta persetujuan walinya. Sedangkan diamnya seorang perawan
menunjukkan persetujuannya.
Fiqih Tujuh Mazhab yang dikarang oleh Mahmud Syalthut.
Dalam buku itu diungkapkan bahwa nikah tanpa wali terdapat
perbedaan pendapat yaitu ada yang menyatakan boleh secara mutlak,
tidak boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan ada lagi
pendapat yang menyatakan boleh dalam satu hal dan tidak boleh
dalam hal lainnya.
Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat
sahnya nikah atau tidak. Imam Malik berpendapat tidak ada nikah
tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang
sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi‟i. Sedangkan Abu
Hanifah, Zufar asy-Sya‟bi dan Azzuhri berpendapat apabila
seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali,
sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh.34
Mengungkapkan pendapat Imam Abu Hanifah, bahwa
menurut Imam Abu Hanifah perempuan yang telah dewasa boleh
mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali jika sekufu, dan bagi
perempuan anak kecil maka baginya harus dengan wali.35
Imam Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia
mensyaratkan adanya wali pada gadis, dan tidak mensyaratkan pada
janda. Berdasarkan riwayat Ibnul Qasim dari Malik dapat
disimpulkan adanya pendapat lain, yaitu bahwa persyaratan wali itu
sunat hukumnya, dan bukan fardlu. Demikian itu karena ia
meriwayatkan dari Malik bahwa ia berpendapat adanya waris
34
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Seria, 1999), h. 84 35
Muhammad ibnu Abdurrahman ad-Dimasqy, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al A‟immah,
diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2013), h.
319
72
mewarisi antara suami dengan istri yang perkawinannya terjadi
tanpa menggunakan wali, dan wanita yang tidak terhormat itu boleh
mewakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya. Malik
juga menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya
untuk mengawinkannya.36
Dengan demikian, seolah-olah Malik menganggap wali itu
termasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya
perkawinan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki
dari Baghdad yang menyatakan bahwa wali itu termasuk syarat
sahnya perkawinan, bukan syarat kelengkapan.
Dengan demikian masalah wali dapat dipertegas sebagai
berikut: jumhur ulama mensyaratkan adanya wali nikah dalam akad
perkawinan dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.
Menurut Ibnu Mundzir tidak terdapat seorang sahabatpun yang
menyalahi pendap Jumhur ini Imam Malik berpendapat bahwa
disyaratkan adanya wali nikah bagi wanita bangsawan dan tidak
disyaratkan bagi wanita biasa. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
tidak disyaratkan adanya wali nikah dalam suatu akad perkawinan.
Ulama Dhahiriyah mensyaratkan adanya wali nikah bagi gadis dan
tidak mensyaratkan bagi janda. Abu Tsaur berkata bahwa wanita
boleh mengawinkan dirinya dengan izin walinya.
Menurut Imam Syafi'i, perkawinan tanpa wali
maka perkawinan demikian batal, karena perkawinan harus ada
izin dari walinya. Alasan Imam Syafi'i berpendapat seperti ini di
dasarkan pada hadits di bawah ini:
36
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, h. 84
73
لبي سعي هللا صى هللا ع ع اب بشدة ب اب عى ع اب لبي:
. سا ازذ السبع صسس اب اذ اخشزي ع: الىبذ إال ب
37 .اب زبب اع بشعبي
Artinya: Dari Abu Burdah r.a. dari Abu Musa, r.a. dari ayahnya
r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada
pernikahan kecuali dengan seorang wali. Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad. dan al-Arba'ah (Abu Daud At Tirmidzi, An Nasa'i dan
Ibnu Majah), dan dinilai shahih oleh Ibnul Madini, At
Tirmidzi dan Ibnu Hibban, tetapi beliau menilainya cacat karena
mursal.
Karenanya untuk mencegah madaratnya, maka adanya
wali sangat diperlukan. Dalam ushul fikih ada kaidah yang berbunyi:
غذة صست لذ دفع دسء افبعذ اي خب اصبر فئر حعبسض ف
افغذة غببب
Artinya : menolak kerusakan lebih diutamakan daripada
menarik kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah
dan maslahah, didahulukan menolak yang mafsadah.
d. Metode istinbath hukum hal wali kawin yang digunakan ahmad
hassan
Metode istinbat hukum yang digunakan Ahmad Hassan,menurut
penulis ia ternyata menafsirkan surat al-Baqarah ayat 232 :
ا إرا حشاظ اخ أص ىس أ فل حعع أخ اغبء فبغ إرا غمخ
ىخش ر ا ا ببلل ؤ ى وب ه عع ب
عشف ر بب ب
ال حع خ أ ع هللا أغش (٢٣٢)ابمشة : أصوى ى
37
Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, h.582
74
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Kawin lagi
dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.” (QS. al-
Baqarah : 232)
Ahmad Hassan menjadikan Ayat diatas dijadikan sebagai
petunjuk dibolehkannya wanita menikah tanpa wali. Pendapat ini
tampaknya kurang tepat, karena ayat tersebut bukan menunjuk
pada wanita melainkan pada wanita janda. Dan ayat ini tak lebih
hanya sekedar menunjukkan larangan terhadap kerabat atau keluarga
seorang wanita untuk tidak mencegah atau menghalang-halangi
pernikahannya. Dalam hal ini, “pencegahan hanyalah dapat
dilakukan terhadap orang yang dalam genggamannya terletak
sesuatu yang dilarang tersebut. Dengan demikian, ayat itu telah
menunjukkan bahwa akad nikah berada di tangan wali, bukan dalam
tangan wanita.
Hal ini diperkuat oleh hadist yang menerangkan sebabnya turun
ayat itu. al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya, Abu
Dawud dan at- Tirmizi telah menshahihkan riwayat dari Ma‟qal ibnu
Yassar bahwa ayat ini turun berkenaan dengannya. Ia berkata, “Aku
menikahkan saudara perempuanku, kemudian suaminya
menceraikannya. Setelah habis masa iddahnya, mantan suaminya
datang meminangnya lagi dan aku katakan kepadanya, „aku telah
mengawinkan dirimu, telah kuberi tempat kepadamu dan telah
kumuliakan dirimu, tetapi engkau menceraikannya, lalu sekarang
engkau datang meminang lagi. Tidak demi Allah! Ia tidak boleh
kembali kepada dirimu selama-lamanya.”
Suami wanita itu adalah seorang laki-laki yang baik dan mantan
istrinya pun ingin kembali kepadanya. Allah Maha Mengetahui
75
keinginan laki-laki itu kepada mantan istrinya dan juga Maha
Mengetahui keinginan wanita itu kepada mantan suaminya tersebut,
maka Allah SWT, mewahyukan kepada Rasulullah SAW surat al-
Baqarah ayat 232 :
ا ارا حشاظ اخ اص ىس ا فل حعع اخ اغبء فبغ ارا غمخ
ف ب عش بب خش ر ى اال ا
ببلل ؤ ى وب عع ب ر ه
اغش ى ـى اصک ال حع ـخ ا عهللا (٢٣٢)ابمشة :
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Kawin lagi
dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.” (QS. al-
Baqarah : 232)
Maka aku berkata kepada Rasulullah SAW, (setelah beliau
memberitakan Firman Allah SWT itu), “Sekarang aku
akan melakukannya, ya Rasulullah.” Kemudian aku
mengawinkan adikku kepada mantan suaminya.38
Berkaitan dengan riwayat diatas, Ibn Hajar memberikan
penjelasan: “sebab turunnya ayat ini merupakan dalil paling jelas
tentang kewajiban adanya wali dalam perkawinan. Seandainya
tidak demikian, penolakan Ma‟qil tersebut tidak ada artinya. Dan,
sekiranya si perempuan dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri,
niscaya ia tidak memerlukan saudaranya itu.” Jadi tafsiran Ahmad
Hassan terlalu jauh dan keluar dari konteks maksud ayat.
Kekeliruan yang lain dari Ahmad Hassan adalah dalam
menafsirkan hadits. Hadits ini oleh Ahmad Hassan ditafsirkan
38
Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali As-Sayyis, Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqh, (Jakarta: Bulan Ibnutang, 1973), h. 115.
76
sebagai dalil yang membolehkan wanita menikah tanpa wali yang
berbunyi, Sabda Nabi SAW
: لبي سعي هللا صى هللا ع ششة سظ هللا ع لبيع ابى ششة
: ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسعي ع
39 هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):
Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh
dinikahkan perempuan janda itu sehingga ada perintah dan
perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya.
Mereka bertanya:“wahai Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya?”
Beliau menjawab : “Diamnya.” (Muttafaq 'alaih).
Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh
menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu
tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan
dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin,
tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali
saja.
Oleh sebab itu, dengan mengkaji dan mempertimbangkan lebih
jauh dalil-dalil Al-Qur‟an dan As-Sunnah mengenai itu, dapatlah
disimpulkan bahwa perkawinan bukanlah menjadi hak dan
kepentingan perempuan sendiri, sehingga ia dibenarkan bertindak
semaunya. Sebab, perkawinan adalah ikatan yang bukan saja
mempersatukan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki ;
tetapi juga mempersatukan antara dua keluarga, dan mempererat
persahabatan diantara para anggota kedua- duanya. Maka sungguh
tidak wajar apabila para anggota keluarga yang lain termasuk para
wali tidak diikutsertakan di dalam perikatan seperti ini atau lebih
tidak wajar lagi apabila hal itu berlangsung tanpa
musyawarah sama sekalidan tanpa kerelaan mereka.
39
Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, jil.v, h.
175.
77
Oleh sebab itu, yang paling layak dijadikan
pegangan adalah keharusan bermusyawarah yang disertai sikap arif
dan bijak, sehingga terpenuhinya keinginan si perempuan yang akan
menikah dan keinginan para walinya dalam memilih calon suami,
yang selanjutnya akan menjadi salah satu anggota baru keluarga
besar mereka.
Dan hadist dari Abu Hurairah di atas mempunyai
kedudukan shahih dan termasuk hadist yang disepakati oleh
Imam Bukhari dan Muslim (Muttafaq „alaih). Hadits di atas selaras
dengan hadits-hadits lainnnya seperti
صى هللا ع ع ل اثب ازك بفغب ب ع اب عببط أ اب
40ابىش حغخأش ارب عىحب. سا غ
Artinya : dari Ibnu „Abbas Ia berkata: Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: “Wanita tsayyib (janda) adalah lebih
berhak dengan dirinya daripada walinya dan wanita perawan
diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah diamnya”.(HR.
Muslim).
Perlu diketahui bahwa lafazd “dia lebih berhak” menunjukkan
bahwa kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih
berhak daripada walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk
menikahkannya kecuali setelah ridhanya. Berarti wali itu punya hak
yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak yaitu izin dan
keridhaannya.
Dengan demikian dapat kita padukan antara keduanya,
yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dalam akad. Jadi nampak jelaslah
bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan
keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.
40
Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil.v, h.
175
78
Nabi menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya
lebih berhak daripada wali, karena memang tugas wali hanyalah
melangsungkan akad pernikahan dan tidak boleh baginya untuk
menikahkan kecuali dengan izin si wanita”.
Nikah tanpa wali dapat menimbulkan dampak yang
negatif, Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa
ini adalah maraknya pernikahan „jalan pintas‟ dimana seorang
wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya
atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia
lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan
berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang „yang
diangkat‟ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat,
kenalannya dan sebagainya.
Para ulama juga mengatakan bahwa perkawinan memiliki
berbagai macam tujuan kebaikan. Sedangkan kebanyakan
perempuan seringkali hanya tunduk kepada perasaan emosi hatinya,
sehingga kurang mampu memilih yang terbaik secara rasional.
Sebagai akibatnya, ia akan kehilangan banyak diantara tujuan-
tujuan yang baik ini. Karena itulah ia perlu dicegah dari melakukan
sendiri akad nikahnya, dan harus menyerahkan persoalan
pernikahannya itu kepada walinya, agar lebih banyak manfaat yang
dapat diraih secara keseluruhan.41
Jadi metode yang digunakan oleh Ahmad Hassan untuk
menginstinbathkan hukum dalam permasalahan ini masuk dalam
kategori metode istinbath hukum Bayani, yakni berupa memahami
makna dari teks al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 232 dengan kaidah
analisi kebahasaan.
41
Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan
Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2002), h.58.
79
B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam Ahmad Hassan
Untuk menganalisa tipe pemikiran Hukum Islam Ahmad Hassan Jika
dilihat dari segi fatwa-fatwa Ahmad Hassan di dalam bukunya Soal Jawab
tentang Berbagai Masalah Agama itu, terdapat banyak jawaban-jawaban
yang hanya berpedoman kepada al-Qur‟an dan hadits. Karena Dalam
menggali masalah hukum Ahmad Hassan merujuk kepada al-Qur‟an dan
hadits guna menemukan hukum. Kerena al-Qur‟an dan hadits sumber pokok
hukum islam. Pendapatnya bahwa hanya al-Qur‟an dan hadits yang menjadi
pokok sumber hukum islam senantiasa tercermin dalam seluruh buah
pikirannya yang amat mendasar.42
Ahmad Hassan tidak pernah membagi secara tegas sumber hukum Islam,
tetapi yang jelas sumber hukum Islam yang pokok adalah al-Qur‟an, Hadits,
ijma dan qiyas yang pada hakikatnya tidak berdiri sendiri. Istilah kitab
menurut ulama merupakan kitab yang isinya semata-mata wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Saw.43
al-Qur‟an menurut Ahmad Hassan merupakan
kitab suci umat Islam yang kalimat,rangkaian,sisi dan maknannya dari Allah
Swt. Dan semua ayat al-Qur‟an merupakan sumber hukum Islam tanpa
terkecuali.44
Bagi A.Hassan, Alquran dan Hadis merupakan pijakan cara beragama
Islam yang kaffah, sempurna. Dalam kedua sumber hukum tersebut juga
tersimpan seluruh aturan agama yang terkait dengan konsep muamalah dan
jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis merupakan sebuah paketan konstitusi
dari Allah yang siap digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Pemikiran Ahmad Hassan hadir sebagai tokoh yang menjawab tantangan
situasi pada saat itu dengan meletakan dasar pemikirannya melalui organisasi
Persatuan Islam. Pada masa itu masyarakat cendrung statis dan menyeleweng
dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti syirik, bid‟ah dan khurafat.
Misalnya kepercayaan terhadap roh halus, pemujaan arwah nenek moyang
42
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Intermas, 1996), h. 534. 43
Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Cet.ii, (Surabaya: PT.
Ibnua Ilmu, , 1994), h.7. 44
Ahmad Hassan, Ringkasan Islam, (Bandung: Diponogoro, 1983), h. 11.
80
dan leluhur dengan sesaji.45
Sikap beragam yang terjadi pada masyarat pada
waktu itu bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke-20, tetapi
merupakan warisan yang sudah berakar jauh pada masa terjadinya proses
Islamisasi beberapa abad sebelumnya.
Sementara itu proses Islamisasi di Indonesia boleh dikatakan sangat
dipengaruhi oleh dua hal yaitu tareqat sufi46
dan mazhab fiqih.47
Pada saat itu,
para pedagang dan kaum sufi pun cendrung memegang peranan yang sangat
penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-daerah pelosok
hampir seluruh Nusantara.
Dengan demikian, kemunduran umat islam saat itu cenderung berakar
dari masuknya faham yang tidak bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Sikap
yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya fanatisme tehadap suatu
imam mazhab yang cendrung membabi buta. Kecendrungan yang demikian
itu pada akhirnya menyebabkan mereka hanya terfokus pada kitab-kitab yang
dihasilkan oleh imam mazhab. Sementara itu sumber hukum yang diikuti
adalah hasil ijtima ulama yang dikenal, jadi mazhab tesebut meresap pada
umat Islam di Indonesia lantaran datangnya Islam ke Indonesia cenderung
menunjukan ciri-ciri mazhab Syafi‟i. Sementara itu, sistem pendidikan yang
boleh dikatakan cenderung bersifat tradisional. Pola pendidikan pada saat itu
terfokos pada masalah agama terutama kitab-kitab yang dihasilkan mazhab
fiqih seperti Imam Syafi‟i.48
45
M. Mukhsin Jamil, dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam Ala Muhammadiyah, al-
Irsyad, Persis dan NU, (Fahmina Institute, 2008), h. 192 46
Lihat Shammad Hamid, Islam dan Pembaharuan, (Surabaya: Ibnua Ilmu, 1984), h. 58. 47
Sartono Kartojo, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. ii, (Jakarta: Depdikbud,1985), h. 128. 48
Sartono Kartojo, Sejarah Nasional Indonesia , h. 129.
81
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian terhadap analisis fatwa-fatwa
Ahmad Hassan dalam bidang hukum keluarga Islam yang terdapat dalam
bukunya. “Soal jawab tentang berbagai masalah agama”. Dari aspek
pendekatan metode istinbat hukum Islam sebagai mana yang telah diurai pada
penilis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Metode istinbath hukum yang digunakan Ahmad Hassan dalam
menjawab persoalan hukum keluarga yakni, dengan pemahaman beliau
terhadap tafsir ayat al-Qur’an dan hadits yang relevan dengan pertanyaan
yang dilontarkan oleh penannya. Metode ini biasa dikenal dengan metode
bayani
2. Banyak fatwa Ahmad Hassan dengan melontarkan kembali pendapat
para ulama Mutaqoddimin dan ulama Muttaakhirin yang pendapatnya
masih relavan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para
penannya.
3. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad
Hassan memang terkadang tidak dijawab secara tegas dan mendetail.
Beliau hanya memaparkan pendapat ulama yang pro maupun kontra
terhadap persoalan yang dibahas. Agar jawaban yang diberikan Ahmad
Hassan mudah diterima, Ahmad Hassan memperkuat pendapat para
ulama dengan dalil al-Qur’an maupun hadits yang berkaitan dengan
masalah yang ditanyakan.
4. Adapun pendekatan berfikir Ahmad Hassan yaitu melalui pendekatan
kontekstual, dimana pemahamannya lebih berorientasi pada konteks
dalil-dalil hukum di dalam al-Qur’an dan Hadits.
82
B. SARAN-SARAN
Ahmad Hassan dalam memberikan jawaban sudah cukup baik di dalam
fatwanya. Ahmad Hassan memfatwakan hukum agama di dalam bukunya
dengan terlebih dahulu menyajikan bebrapa pendapat parab ulama yang pro
maupun kontra dengan tujuan memberikan pemahaman yang luas kepada
umat bahwa persoalan agama tidak hanya dilihat dari satu pendangan atau
pendapat. Akan tetapi, pendapat Ahmad Hassan akan lebih baik jika
disertakan dengan bayan (penegasan), tarjih, dan menegaskan pada pendapat
yang lebih kuat (rojih). Adapun pendapat yang lebih kuat hendaknya
diberikan alasan-alasannya mengapa ulama lebih memilih hukum tersebut
pada suatu masalah agama,hal ini bertujuan supaya kalangan awam seperti
kita dapat mengambil kesimpulan dengan baik atas fatwanya tersebut.
84
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemah Departeman Agama RI.
A. Mughni, Syafiq. Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal. Cet.ii. Surabaya:
PT. Bina Ilmu, , 1994.
Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Seria, 1999.
Amien, Siddiq, dkk,. Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis.
Bandung: PP PERSIS, 2007.
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Cet. i. Jakarta: Elsas Jakarta,
2008.
Aminuddin, Abiddin. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Cet. ii. Jakarta: Amzah, 2013.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fiqh Keluarga. penerjemah M. Abdul Ghoffar. Jakarta:
Pustaka Kautsar, 1999.
Badran, Abd al-Qadir Ahmad ibn. al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad ibn
Hambal. Mesir: Idarah al-Thiba al-Muniriyyah, t.th.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Intermas, 1996.
Dahlan, Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Dawaibi ad, Ma’ruf. al-Madkhal ila Ilm Ushul Fiqh. Cet.v. Lebanon: Dar al-Kitab
al-Jadid, 1965.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.ii.
Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Dimasqy ad,Muhammad bin Abdurrahman. Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al
A’immah. diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf. Fiqih Empat
Madzhab. Bandung: Hasyimi, 2013.
85
Djamil, Faturrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
Logos, 1995.
Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2010.
Habsyi al, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an As-Sunnah
dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 2002.
Hakim al, Muhammad Taqi. al-Ushul al-Ammah li-al-Fiqh al-Muqaran. Berut:
Dar al-Andalus, 1963.
Hamid, Shammad. Islam dan Pembaharuan. Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Hasabalah, Ali. Ushul al-Tasyri al-Islam. Mesir: Daar al-Na’arif, 1991.
Hassan, Ahmad. Ringkasan Islam. Bandung: Diponogoro, 1983.
----------.Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Cv Penerbit
Diponegoro, 2007.
Jamil, M. Mukhsin, dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam Ala
Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Fahmina Institute, 2008.
Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.
Kartojo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia. Jil.ii. Jakarta: Depdikbud,1985.
Khalaf, Abd al-Wahab. Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo : Dar al-Qalam, 1978.
----------. Kaidah-Kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Noer
Madkur dan Muhammad Salm Madkur. Cet. viii. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadist.
Cet. i . Jakarta: Kencana, 2011.
Madkur, Muhammad Salam. Al-Qadhaa Fii al-Islam. Daar an-Nahdlah al-
Arabiyyah,t.th.
86
Miftahuljannah, Honey. A-Z Ta’aruf, Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta,
Gramedia, 2014.
Muchtar, A. Latief. Gerakan Kembali Ke Islam ;Warisan Terakhir A. Latief
Muchtar. PT. Remaja Rosda Karya, 1998.
Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.
Munawwar al, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosia. Jakarta: PT.
Pemadani 2004.
Naasaburi al, Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim. Jil.v. Beirut:
Daar al-Hadit, 1987.
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.
Qaradhawi al, Yusuf. Fiqh Praktis bagi Kehidupan Modern. Jakarta: Gema Insani
Press, 2002.
----------. al-fatwa Bayan al-Indibat wa al-Tasayyub. Jakarta: Gema Insani Press,
1997.
Ramadhan, Kahalid. Mu’jam Ushul al-Fiqh. Mesir: al-Raudhoh, 1998.
Rosyada, Dede. Metode Kajian Dewan Hisbah Persis. Jakarta: Logos, 1999.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani ; Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia. Cet.i. Jakarta: Logos, 1999.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Jil.ii. Di Terjemahkan Muhammad Thalib.
Bandung : al-Ma’arif, 1987.
Salim, Kamal bin as-Sayyid. Fiqh Sunnah Lin Nisa’. Cet. i. Jakarta: Tiga Pilar,
2007.
Sarakhsi al. Ushul al-Sarakhsi. Jil. ii. Berut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.
Sijistan-as, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Dawud. Kairo: Daar
Ibnu al-Jauzi, 2011.
Soemiyati. Hukum perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1982.
87
Suma, Muhammad Amin,. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2004.
Suyuti as, Jalaludin Abdurahman. Tadrib ar-Rawi. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Sya’labi. Ta’lil al-Ahkam. Kairo : Dar an-Nahdah al-Arabiyyah, 1981.
Syaltout, Syaikh Mahmoud dan Syaikh M. Ali as-Sayyis. Perbandingan Mazhab
dalam Masalah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Syarbini al, Syamsuddin. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaz al-Minhaj.
Jil. Iv. Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, t.th.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-
vidieo-call.html, diakses pada tanggal 31 Desember 2018.
Ubadah, Anis. Tarikh al-Fiqh al-Islami an-Nubuwwah was-sahabah wat-Tabi’in.
Kairo: Dar at-Tiba’ah, 1980.
Zuhaili al, Wahbah. Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Jil.ix. Suriah: Dar al-Fikr, 2002.
----------. Ushul Fiqh al-Islami. Lebanon: Daar Fikr, 1987.
Wildan, Dadan. Yang Da’I Yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima
TokohPersis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul al- Fiqh. Cet. xiii. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1994.
Zahrah, Muhammad Abu. Muhadarat fi ‘Aqdi al-Nikah wa Asaruhu. Kairo: Dar
al-Fikr al-‘Arabi, 1971.