22
 Acara II FERMENTASI SUBSTRAT CAIR FERMENTASI NA TA D E COCO  LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI ` Disusun oleh:  Nama: Yuni Rusiana  NIM: 11.70.005 5 Kelompok: C4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2014

Fermentasi Nata de Coco_Yuni Rusiana 11.70.0055_C4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pembuatan nata de coco dilakukan menggunakan substrat air kelapa dan bakteri Acetobacter xylinum. Parameter yang diamati adalah ketebalan nata, rasa, aroma, kekenyalan, dan tekstur.

Citation preview

21

FERMENTASI SUBSTRAT CAIRFERMENTASI NATA DE COCO

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI FERMENTASI

`Disusun oleh:Nama: Yuni RusianaNIM: 11.70.0055Kelompok: C4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara II20141. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan praktikum pembuatan nata de coco kloter C dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1.Hasil Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de Coco Yang Dihasilkan

KelTinggi MediaAwal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm)% Lapisan Nata

07140714

C1301,51,805060

C21,800,71,1038,8961,11

C3100,70,507050

C4200,51,802590

C51,600,752046,88125

Tabel 1 di atas menunjukkan hasil pembuatan nata de coco. Pada kelompok C1, dengan ketebalan media awal 3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,75 cm pada hari ke-7 dan 1,5 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 25% dan 50%. Pada kelompok C2, dengan ketebalan media awal 1,8 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,7 cm pada hari ke-7 dan 1,1 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 38,89% dan 61,11%. Pada kelompok C3, dengan ketebalan media awal 1 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,7 cm pada hari ke-7 dan 0,5 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 70% dan 50%. Pada kelompok C4, dengan ketebalan media awal 2 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 1,8 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 25% dan 90%. Pada kelompok C5, dengan ketebalan media awal 1,6 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,75 cm pada hari ke-7 dan 2 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 46,88% dan 125%.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Lapisan Nata

KelompokAromaWarnaTeksturRasa

C1++++++++++

C2+++++++++++

C3++++++++++++

C4+++++++++++++

C5+++++++++++++

1

Keterangan:Aroma Warna TeksturRasa++++ : tidak asam++++ : putih ++++ : sangat kenyal++++ : sangat manis+++ : agak asam+++ : putih bening +++ : kenyal+++ : manis++ : asam++ : putih agak bening ++ : agak kenyal++ : agak manis+ : sangat asam+ : bening + : tidak kenyal++ : tidak manis

2

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis uji sensori pada nata de coco yang dihasilkan meliputi aroma, warna, rasa, dan tekstur. Pada uji sensori aroma, diketahui bahwa pada kelompok C1 aroma yang dihasilkan kurang asam sedangkan kelompok lainnya memiliki aroma yang tidak asam. Sedangkan untuk uji sensori warna, semua kelompok memiliki warna putih agak bening. Untuk pengamatan tekstur, kelompok C1 dan C2 memiliki karakteristik tekstur yang agak kenyal sedangkan pada kelompok lainnya memiliki tekstur yang kenyal. Selanjutnya, untuk pengamatan sensori terhadap rasa, kelompok C1 hingga C3 memiliki rasa manis sedangkan pada kelompok C4 dan C5 memiliki rasa yang sangat manis.

2. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini kloter C ini dilakukan proses pembuatan nata de coco dengan air kelapa dengan metode fermentasi menggunakan mikroorganisme yaitu Acetobacter xylinum. Untuk pengertiannya sendiri, nata ini termasuk selulosa dengan bentuk yang padat. Selain itu, karakteristik lainnya adalah memiliki warna yang putih dan transparan, serta tekstur yang kenyal (Anastasia & Afrianto, 2008). Pada air kelapa terkandung nutrisi yang tinggi seperti air sebesar 91,23%, protein sebesar 0,29%, lemak sebesar 0,15%, karbohidrat sebesar 7,27%, abu sebesar 1,06%. Selain itu, juga mengandung asam pantotenat 0,52 mg, asam niotinat 0,01 mg, biotin 0,02 mg, riboflavin 0,01 mg, dan asam folat 0,003 mg/l (Palungkun, 1996). Untuk pembuatannya, bahan baku yang digunakan harus memiliki komponen gula, mineral, protein dan karbohidrat yang tinggi yang dapat dipenuhi pada sari kedelai (untuk menghasilkan nata de soya), air kelapa (untuk menghasilkan nata de coco), pada sari dari buah nanas (untuk produksi nata de pina) dan pada sari buah dari mangga (untuk menghasilkan nata de mango) (Pambayun, 2002). Oleh sebab itu, pemilihan bahan baku pembuatan nata de coco sudah tepat sebab telah sesuai dengan teori yang ada. Hal ini juga diperkuat oleh Palungkun (1996) bahwa komponen gizi air kelapa yaitu sukrosa, fruktosa, dekstrosa, dan juga vitamin B kompleks. Komponen tersebut akan membantu pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi, bakteri Acetobacter xylinum.

Kandungan air di nata tergolong tinggi. Produk nata ini sering sekali dikonsumsi oleh masyarakat terutama sebagai produk makanan ringan (Anastasia & Afrianto, 2008). Nata de coco ini termasuk produk pangan yang diproduksi melalui fermentasi melalui Acetobacter xylinum menggunakan media substrat cair yaitu air kelapa (Santosa et al, 2012). Keunggulan menggunakan air kelapa sebagai substrat adalah keefisienannya (tidak butuh terlalu banyak tempat karena media cair), harga air kelapa tergolong murah, melimpah dan mudah ditemukan sehingga kontinuitas (keberlanjutannya) lebih terjamin, dan penyebab kontaminasi dapat dikurangi sebab produk ini termasuk produk alami dan bukan termasuk produk samping atau sisa dari suatu proses produksi. Sedangkan untuk kelemahannya, air kelapa yang digunakan ini dapat menjadi salah satu 3

penyebab lingkungan menjadi rusak sebab merupakan isolat dalam fermentasi (Rahman, 1992).

Pembuatan produk nata de coco pada praktikum dilakukan awalnya dengan proses pembuatan media terlebih dahulu. Langkah pertama, yaitu air kelapa disaring terlebih dahulu yang berfungsi sebagai tahapan penghasil media bersih, steril, dan bebas terutama dari kontaminan dan kotoran sehingga nantinya nata yang dihasilkan dapat memiliki karakteristik yang baik (Pato & Dwiloka, 1994). Tahapan ini dapat dilihat lebih jelasnya pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tahap penyaringan di kain saring

Tahapan selanjutnya adalah gula pasir dimasukkan ke dalam air kelapa tersebut dan diaduk sampai gula tersebut larut sambil dipanaskan. Konsentrasi gula yang digunakan adalah 10% dari air kelapa yang digunakan agar dapat menyediakan karbon bagi sumber unsur yang dibutuhkan yaitu karbon organik untuk Acetobacter xylinum. Dengan demikian, tenunan selulosa akan dapat dihasilkan (Awang, 1991). Acetobacter xylinum sehingga fermentasi berlangsung dengan baik. Dalam proses fermentasi, umumnya digunakan sumber karbon dari golongan monosakarida dan disakarida (yang paling banyak ditemui adalah sukrosa). Sukrosa yang banyak ditemui adalah yang dalam bentuk gula pasir (Pambayun, 2002). Oleh sebab itu, pemilihan gula pasir sebagai sumber unsur organik yaitu karbon telah sesuai dengan teori. Pada percobaan digunakan gula pasir sebanyak 10% sebab pada konentrasi sekian, Acetobacter xylinum akan memberikan hasil lapisan nata tebal sehingga konsentrasi ini termasuk konsentrasi optimum gula jika ingin memproduksi nata de coco. Jika jumlah gula pasir lebih sedikit atau bahkan melebihi konsentrasi10% maka tidak akan dimanfaatkan secara maksimal oleh Acetobacter xylinum (Sunarso, 1982). Selain berpengaruh pada ketebalan nata, gula pasir ini juga turut menentukan karakteristik nata seperti penampakan, tekstur, flavor, dan pengawet (Hayati, 2003).

Pada penambahan gula pasir, dilakukan tahap pemanasan media selain agar gula larut juga membantu membunuh mikroorganisme yang tidak diinginkan yang mungkin terdapat pada air sesuai dengan teori Tortora et al (1995), bahwa air kelapa setelah disaring dimasak. Pemasakan dilakukan hingga mendidih agar mikroorganisme kontaminan terkandung di air kelapa dapat dikurangi jumlahnya. Sedangkan untuk tahap melarutkan gula pasir telah sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991) bahwa perlu dilakukan proses pemanasan pada air kelapa yang digunakan agar gula pasir dapat larut sebab jika tidak terlarut sempurna akan sulit untuk diserap terutama oleh Acetobacter xylinum. Akibatnya, fermentasi akan terhambat bahkan nata yang dihasilkan tidak akan maksimal (tebal).

Lalu, ammonium sulfat sebesar 0,5% ditambahkan yang bertujuan agar kebutuhan sumber organik nitrogen dapat dipenuhi sehingga pertumbuhan mikroorganisme yaitu Acetobacter xylinum dapat mengalami fermentasi dengan baik (Awang, 1991). Sumber nitrogen untuk memproduksi nata de coco bisa diperoleh dari ammonium sulfat seperti yang digunakan saat praktikum, protein, ekstrak dari yeast, urea atau bisa juga dari ammonium fostat (ZA) (Pambayun, 2002). Tahap selanjutnya, asam cuka glasial ditambahkan agar dicapai pH 4 sampai 5. Menurut teori yang disampaikan oleh Pambayun (2002), asam asetat glacial dapat membantu menciptakan kondisi pH pada media agar diperoleh kondisi yang optimal. Selain itu, juga untuk mendapatkan suasana yang asam. Kondisi yang asam penting dalam mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum yang tumbuh di pH 4-4,5. Teori ini kemdian diperkuat oleh Anastasia & Afrianto (2008), untuk mendapatkan pH pada media untuk menghasilkan nata de coco perlu dilakukan penambahan asam atau sering disebut sebagai acidulan sehingga kondisi yang baik bagi Acetobacter xylinum dapat tercapai di mana pH yang diinginkan yaitu sekitar 4 sampai 5 untuk pertumbuhan optimal. Terakhir, air kelapa dipanaskan hingga gulanya larut kemudian disaring untuk memisahkan partikel-partikel besar yang masih tertinggal di air kelapa dan mengurangi kontaminasi serta kotoran sehingga fermentasi dapat berjalan baik (Pato & Dwiloka, 1994).

Gambar 2. Penyaringan lanjutan

Awang (1991) menyampaikan bahwa Acetobacter xylinum mempunyai sifat yang khusus dan spesifik karena mampu menghasilkan selaput tebal yang terdapat di permukaan substrat yang cair seperti air kelapa sehingga diperoleh selulosa. Acetobacter xylinum termasuk bakteri yang tidak akan mampu untuk tumbuh pada pH rendah. Jika berada di pH rendah, Acetobacter xylinum akan mengeluarkan energi yang besar agar dapat menghindari stress. Akibatnya, aktivitas proses fermentasi akan terhenti karena energi sudah habis digunakan (Atlas, 1984).

Nata de coco dapat dihasilkan sebab selama fermentasi glukosa akan diambil oleh Acetobacter xylinum yang kemudian akan menyatu bersama asam lemak. Setelah itu, akan dibentuk prekursor yang menjadi penciri nata di membran sel dari bakteri penghasil nata di mana akan dikeluarkan secara ekskresi. Dengan bantuan enzim terutama yang dapat mempolimerisasikan glukosa, glukosa tersebut akan dikonversi menjadi komponen-komponen selulosa (Palungkun, 1996). Teori ini juga dikatakan oleh Rahayu et al (1993) yaitu jika pada substrat dengan kandungan gula diberikan kultur Acetobacter xylinum untuk tumbuh, maka gula dalam substrat akan dibentuk menjadi selulosa. Komponen ini akan terakumulasi ekstraseluler ke bentuk pelikel-pelikel. Selain teori-teori di atas, ada juga teori yang mengatakan bahwa dengan fermentasi pembuatan nata, kandungan gula pada substrat akan dipecah oleh Acetobacter xylinum sehingga diperoleh polisakarida yaitu selulosa. Acetobacter xylinum akan terus menghasilkan benang serat yang banyak dan berlangsung kontinyu sehingga semakin lama akan makin tebal dan menghasilkan jaringan yang kuat. Jaringan inilah yang pada akhirnya disebut sebagai pelikel nata (Rahman, 1992).

Langkah-langkah kerja yang dilakukan sebelumnya tadi adalah proses pembuatan media. Tahap ini penting sebab media yang dibuat akan membantu pertumbuhan bakteri nata dengan menyediakan nutrisi yang dibutuhkan. Bakteri yang didukung terutama adalah bakteri Acetobacter xylinum yang digunakan dalam praktikum ini. Volk & Wheeler (1993) mendukung bahwa media yang dibuat akan menyediakan makanan sehingga biakan dapat tumbuh subur, agar dapat memperoleh biakan murni. Selain itu, untuk menunjang kondisi lingkungan agar kelangsungan hidup mikroorganisme yang jumlahnya banyak lebih terjamin. Nata de coco adalah salah satu produk pangan yang memiliki potensi sebagai sumber selulosa murni (Halib et al., 2012 di dalam jurnal physicochemical properties and characterization of nata de coco from local food industries as a source of cellulose).

Mesomya et al. (2006) menyampaikan dalam effects of health food from cereal and nata de coco on serum lipids in human bahwa sesungguhnya nata de coco ini sangat baik dan aman untuk dikonsumsi sebab dapat membantu mengontrol berat badan dan juga membantu dalam pencegahan kanker seperti kolon dan rektum dengan kandungan selulosa yang tinggi, kandungan lemak dan kalori rendah serta tidak mengandung kolesterol. Teori lainnya yang mengatakan bahwa produk ini sehat adalah Hernaman (2007) di dalam Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolisme Lemak serta Penyerapan Mineral. Beliau mengatakan bahwa nata mempunyai serat pangan. Komponen ini sangat baik sebab tidak akan mengganggu lemak dan mineral yang akan diserap tubuh dan baik untuk diet.

Setelah proses pembuatan media selesai, dilanjutkan proses fermentasi dengan mengambil 100 ml media yang tadi dibuat dan media tersebut dimasukkan ke wadah dari plastik. Lalu, ditambahkan ke media tersebut biang nata (starter) dengan konsentrasi 10% dari media yang digunakan. Pato & Dwiloka (1994) menyampaikan bahwa jumlah starter untuk memproduksi nata idealnya 4-10%. Jika jumlah starter tidak sesuai (terlalu sedikit kultur atau bahkan terlalu banyak) akan menyebabkan karakteristik nata tidak sesuai dengan standar yang ada. Teori ini juga diperkuat oleh Misgiyarta (2007) bahwa substrat air kelapa untuk menghasilkan nata de coco sebaiknya diinokulasi menggunakan starter dengan jumlah 10% (v/v).

Gambar 3. Pemberian kultur Acetobacter xylinum

Kemudian, digojog dengan pelan agar dapat homogen dan wadah ditutupi kertas coklat.Penutupan ini dengan kertas dan tidak menggunakan tutup tolpes agar tidak terlalu tertutup sehingga oksigen masih bisa masuk sebab Acetobacter xylinum tergolong bakteri aerob yang membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya. Selain itu, juga untuk mengurangi resiko kontaminasi dari lingkungan sekitar sehingga dapat diperoleh nata dengan karakteristik yang baik (Pambayun, 2002).

Gambar 4. Penutupan dengan kertas coklat

Tahap selanjutnya adalah inkubasi. Tahap ini dilakukan selama 2 minggu di suhu ruang dan tidak terpapar cahaya. Selama tahap inkubasi, wadah plastik tidak boleh terangkat atau tergoyang yang bertujuan agar nata (lapisannya) tidak terpisah saat terbentuk nanti.Pambayun (2002) menyampaikan bahwa Acetobacter xylinum untuk inkubasinya membutuhkan suhu ruang sehingga pertumbuhanya dapat optimal. Jika diletakkan pada suhu di atas 40C akan menyebabkan Acetobacter xylinum mati. Jika terlalu rendah, pertumbuhannya akan sangat terhambat. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa agar nata menghasilkan ketebalan paling optimum, fermentasi dapat dilakukan 10-14 hari di suhu ruang atau 28-32C (Rahayu et al., 1993). Jika ada gangguan terutama saat inkubasi (fermentasi), berupa goyangan atau gangguan lainnya, lapisan nata yang mulai terbentuk dapat turun ke bawah bahkan lapisan tersebut bisa pecah (Palungkun, 1996). Oleh sebab itu, cara kerja yang dilakukan pada praktikum ini telah sesuai dengan teori yang disampaikan.

Gambar 5. Inkubasi suhu ruang dan tidak terpapar cahaya

Pengamatan dilakukan saat mulainya terbentuk lapisan di cairan permukaan, pada hari ke-7 dan ke -14. Pada praktikum, persentase kenaikan pada ketebalan nata yang dihasilkan dihitung menggunakan formulasi:

Pada saat proses inkubasi selesai dilakukan, nata yang telah terbentuk dicuci. Pencucian ini dilakukan dengan air mengalir (3 kali) yang berfungsi untuk menghilangkan segala flavor yang asam. Proses pencucian ini biasa dilakukan dengan kombinasi proses perendaman sehingga rasa asam juga dapat dihilangkan (Rahayu et al., 1993). Nata yang telah melalui proses pencucian lalu dipotong hingga berbentuk dadu dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Selanjutnya, nata dimasak dengan gula. Masing-masing kelompok menggunakan berat gula yang berbeda, di mana pada kelompok C1 100 gram, C2 125 gram, C3 150 gram, C4 175 gram dan C5 200 gram yang kemudian akan dilakukan analisis sensori meliputi aroma, rasa, tekstur, dan juga warna dari nata yang telah dihasilkan. Penambahan gula yang berbeda-beda ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik nata yang dihasilkan secara sensori dengan penambahan gula yang berbeda.

Gambar 6. Nata dicuciGambar 7. Nata dipotong dadu

Gambar 8. Nata dimasak dengan gula

Gambar 9. Nata C1 hingga C6 berurutan dari kiri ke kanan

Parameter yang menunjukkan kapan fermentasi yang dilakukan telah selesai dan tingkat keberhasilannya adalah dengan adanya lapisan putih di permukaan (Rahman, 1992). Gunsalus & Staines (1962) menyampaikan bahwa pada tahap fermentasi bisa dihasilkan lapisan nata sebab adanya selulosa dari pembentukan miofibril dengan memanfaatkan glukosa dalam media. Nata yang baik akan terangkat ke atas cairan sebab dihasilkan gas CO2. Mekanisme terbentuk lapisan nata yang baik sesuai Hamad et al (2011) di dalam Pengaruh Penambahan Sumber Karbon pada Kondisi Fisik Nata De Coco yaitu glukosa (Glukokinase) akan diuraikan menjadi glukosa-6-fosfat (Fosfoglukomutase). Selanjutnya, akan dipecah menjadi glukosa-1-fosfat (UDP-Glukosa Pirofosforilase) dan UDP-Glukosa. Komponen inilah yang akan melakukan proses penghasilan selulosa.

Untuk pengamatan mengenai ketebalan nata yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa pada kelompok C1, dengan ketebalan media awal 3 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,75 cm pada hari ke-7 dan 1,5 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 25% dan 50%. Pada kelompok C2, dengan ketebalan media awal 1,8 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,7 cm pada hari ke-7 dan 1,1 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 38,89% dan 61,11%. Pada kelompok C3, dengan ketebalan media awal 1 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,7 cm pada hari ke-7 dan 0,5 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 70% dan 50%. Pada kelompok C4, dengan ketebalan media awal 2 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,5 cm pada hari ke-7 dan 1,8 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 25% dan 90%. Pada kelompok C5, dengan ketebalan media awal 1,6 cm diperoleh ketebalan nata sebesar 0,75 cm pada hari ke-7 dan 2 cm pada hari ke-14 dengan persentase masing-masing adalah 46,88% dan 125%. Oleh sebab itu, hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan tertinggi diperoleh pada C5 sedangkan terendah pada C3 setelah penyimpanan 14 hari. Bahkan pada semua kelompok mengalami peningkatan kecuali pada C3. Pada kelompok C3, nata yang dihasilkan mengalami penurunan ketebalan. Hasil yang diperoleh ini tidak sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Lapuz et al (1967) bahwa jika waktu untuk inkubasi atau fermentasi makin lama, akan menyebabkan nata yang dihasilkan semakin tebal dan persentasenya meningkat. Setelah inkubasi melewati 24 jam, biasanya media menjadi keruh karena adanya pertumbuhan Acetobacter xylinum. Pembentukan lapisan yang transparan di permukaan substrat akan mulai tampak dan semakin kompak mulai waktu 36-48 jam. Pada saat ini, tidak boleh ada gangguan sebab akan menyebabkan lapisan tenggelam. Selain itu, lapisan-lapisan baru masih bisa terbentuk. Teori ini diperkuat Anastasia & Afrianto (2008) juga bahwa Acetobacter xylinum akan terus melakukan pemecahan gula pada media menjadi selulosa. Oleh sebab itulah lapisan nata mengalami peningkatan.

Pada kelompok C3, hasil yang diperoleh memang tidak sesuai dengan teori yang disebutkan di atas. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor seperti kandungan gula dalam media telah diurai seluruhnya oleh Acetobacter xylinum sehingga pada hari ke-14 akan menghasilkan ketebalan nata yang menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahman (1992) bahwa kandungan gula, pH dan suhu sangat menentukan karakteristik nata de coco yang dihasilkan. Walaupun digunakan media dengan ukuran yang sama, namun ternyata nata de coco yang dihasilkan memiliki ketinggian yang berbeda antarkelompok. Hal ini dapat disebabkan karena wadah juga berbeda. Ketinggian media awal yang ada pada wadah akan mempengaruhi ketebalan sebab wadah ini berbeda dalam ketinggian dan luas permukaan. Jika dibuat di wadah permukaan luas dan dangkal, nata yang dihasilkan juga akan memiliki ketebalan tinggi sebab jika wadah yang sempit luas permukaannya (walaupun dalam) akan menyulitkan dalam persediaan oksigen. Akibatnya, nata akan memiliki ketebalan rendah (Mashudi, 1993).

Selain pengamatan dalam ketebalan nata, juga dilakukan analisis sensoris pada nata. Pada uji sensori aroma, diketahui bahwa pada kelompok C1 aroma yang dihasilkan kurang asam sedangkan kelompok lainnya memiliki aroma yang tidak asam. Kurangnya aroma asam bahkan tidak dirasakan aroma asam pada nata yang dihasilkan sebab telah dilakukan proses pencucian sebelumnya yang dapat membantu menghilangkan flavor asam (Rahayu et al., 1993). Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh Arsatmodjo (1996) yang menyampaikan cara untuk menghilangkan flavor atau aroma dan rasa yang asam, nata dapat dicuci air bersih dengan beberapa kali ulangan. Kemudian, direbus bersama dengan gula dengan konsentrasi tertentu hingga mendidih. Dengan demikian, nata tidak akan berasa asam.

Menurut pendapat yang disampaikan Astawan & Astawan (1991) aroma asam atau lebih seperti cuka menunjukkan bahwa pada nata memiliki pH yang lebih asam dibanding yang tidak beraroma asam. Aroma asam juga mengindikasikan proses fermentasi telah berlangsung.Aroma pada kelompok C1 masih sedikit asam sebab tahap pencucian tidak dilakukan dengan baik atau kurang optimal. Akibatnya, bau asam dari asam asetat glasial yang ditambahkan pada proses sebelumnya masih terasa. Pernyataan ini disampaikan oleh Anastasia & Afrianto (2008). Halib et al. (2012) juga mengatakan bahwa Acetobacter xylinum dapat mengubah gula menjadi selulosa dan asam asetat sehingga dapat menimbulkan aroma yang asam. Namun, aroma nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam.

Selanjutnya, untuk analisis sensori warna, semua kelompok memiliki warna putih agak bening. Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, dan memiliki warna yang putih (Santosa et al, 2012). Warna pada nata yang dihasilkan memang tidak putih bening melainkan sedikit keruh sebab pada air kelapa yang ditumbuhi Acetobacter xylinum dapat memberikan warna sedikit keruh akibat fermentasi, gula dan kandungan asam (Astawan & Astawan, 1991). Acetobacter xylinum dapat memberikan kekeruhan karena dapat membentuk endapan dengan mendegradasi substrat. Selain itu, gula yang beraksi dengan nitrogen juga dapat menentukan kekeruhan (Rahman, 1992).

Walaupun gula yang ditambahkan pada setiap kelompok berbeda, ternyata memberikan warna yang sama. Teori ini bertentangan dengan pendapat Mashudi (1993). Beliau mengatakan bahwa jika glukosa yang digunakan banyak, maka reaksi browning akan mudah terjadi terutama saat pemanasan sambil ditambah gula. Jika proses browning berlangsung, nata akan memiliki warna yang semakin gelap. Teori ini diperkuat oleh Arsatmodjo (1996) yaitu selama pemasakan dengan gula, gula terserap ke jaringan selulosa atau antarserat sehingga turut menentukan warna nata de coco.

Untuk pengamatan sensori terhadap tekstur, kelompok C1 dan C2 memiliki karakteristik tekstur yang agak kenyal sedangkan pada kelompok lainnya memiliki tekstur yang kenyal. Hasil ini menunjukkan bahwa tekstur nata yang dihasilkan cenderung kenyal sehingga telah sesuai dengan pendapat Santosa et al., (2012) bahwa nata de coco memiliki bentuk yang padat, kuat, kokoh, warna dan kenyal. Namun, hasil yang diperoleh satu kelompok dengan yang lainnya berbeda sebab jumlah gula juga berbeda. Berdasarkan teori yang disampaikan Astawan & Astawan (1991), tingkat kekenyalan nata dipengaruhi dan biasanya berubah saat direbus dengan gula menjadi lebih cepat putus dan kekenyalan menurun (tidak begitu kenyal). Terjadinya hal ini karena saat direbus, air dan gula masuk ke selulosa sehingga strukturnya akan lebih longgar dan juga mudah putus.

Menurut Arsatmodjo (1996), kekenyalan nata ditentukan komponen serat atau selulosa di mana jika semakin banyak selulosa, nata akan meingkat kekenyalannya dan ketebalannya ikut meningkat. Jika selulosa semakin tebal, maka air yang menuju rongga-rongga selulosa semakin banyak juga. Akibatnya, kekenyalan semakin tinggi dan kekenyalan ini akan berbanding dengan lurus terhadap ketebalan seperti yang diungkapkan oleh Anastasia & Afrianto (2008).

Selanjutnya, untuk pengamatan sensori terhadap rasa, kelompok C1 hingga C3 memiliki rasa manis sedangkan pada kelompok C4 dan C5 memiliki rasa yang sangat manis. Kelompok C4 dan C5 memiliki rasa yang sangat manis karena menggunakan gula dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding kelompok lainnya dalam proses pemasakan (perebusan). Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Santosa et al., (2012) bahwa nata de coco memiliki rasa yang manis seperti kolang-kaling. Namun, pada kelompok C1 hingga C3, rasa yang dihasilkan sama padahal jumlah gula berbeda. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena analisis dilakukan secara sensori. Bahkan dalam pengujiannya, penguji tidak menetralkan indra pengecap dengan air putih. Asumsi ini didukung dengan teori Soekarto (1985) bahwa jika dalam uji sensori, lidah panelis tidak dinetralisasi dahulu dapat menyebabkan rasa sampel yang telah dicicipi sebelumnya dapat mempengaruhi pengujian berikutnya.

Dalam proses pembuatan nata di praktikum ini terutama dalam pembuatan media telah sesuai dengan teori Jagannath et al (2008). Beliau mencantumkan dalam jurnalnya yaitu the effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum bahwa dalam memproduksi nata de coco, sukrosa yang digunakan sebaiknya memiliki konsentrasi 10%. Selain itu, untuk sumber nitrogen dapat digunakan ammonium sulfat 0,5 %. Untuk kondisi pH yang terbaik yaitu tercapainya pH 4. Sedangkan pada praktikum, kondisi pH berkisar antara 4 hingga 5. Menurut teori yang disampaikan Czaja et al. (2004), untuk menghasilkan selulosa bisa dengan dua cara, yaitu kultur stasioner di mana selulosa akan terkumpul di permukaan medium (yang digunakan saat praktikum) dan kultur teragitasi di mana jaringan selulosa akan disintesis di media dengan berbentuk suspensi berserat, massa tidak beraturan atau pelet.

14

3. KESIMPULAN

Nata de coco memiliki tekstur kenyal, rasa manis, bentuk padat, dan warna yang putih transparan. Air kelapa menjadi substrat tepat untuk Acetobacter xylinum karena mengandung karbohidrat, protein, mineral, vitamin, dan nutrisi lainnya. Pembuatan nata de coco dilakukan dengan sistem kultur stationer. Acetobacter xylinum dapat menghasilkan jaringan selulosa yang menebal (nata) saat difermentasi. Konsentrasi gula sukrosa 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4 dapat memberi kondisi optimal bagi Acetobacter xylinum. Gula pasir berfungsi sebagai sumber karbon dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen bagi Acetobacter xylinum. Asam asetat glasial ditambah untuk mencapai pH optimum bagi bakteri penghasil nata. Starter nata yang baik untuk ditambahkan berjumlah 4-10%. Fermentasi nata de coco dilakukan secara aerob sebab masih memberikan oksigen untuk masuk walaupun tidak banyak. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena memberikan kondisi baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan Acetobacter xylinum. Pencucian dapat menghilangkan aroma asam yang terdapat pada nata. Banyaknya selulosa akan meningkatkan ketebalan dan kekenyalan pada nata. Adanya gula dan asam dapat menyebabkan warna nata menjadi keruh. Jika waktu untuk inkubasi (fermentasi) lama, maka nata akan makin tebal. Pembuatan nata de coco dilakukan dengan fermentasi air kelapa menggunakan Acetobacter xylinum. Nata yang baik seharusnya tidak beraroma asam. Pemasakan nata dengan menggunakan gula agar dapat menghasilkan nata dengan rasa yang manis. Jika gula ditambahkan semakin banyak, maka rasa akan semakin manis juga.

15

Fermentasi nata akan memproduksi selulosa dan juga asam asetat yang dapat mempengaruhi karakteristik nata. Wadah yang digunakan akan mempengaruhi ketebalan nata yang dihasilkan di mana jika wadah luas permukaannya, nata yang dihasilkan akan lebih tinggi atau tebal.

Semarang, 20 Juni 2014Asisten dosen: Stella Mariss Meilisa Lelyana Katharina Nerissa Chrysentia Archinitta Andriani CintyaYuni Rusiana 11.70.0055

16

4. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, N. dan Afrianto, E. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Universitas Lampung.

Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB. Bogor.[Skripsi]

Astawan, M. dan M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.

Atlas, R.M. (1984). Microbiology Fundamental And Applications. Mc Milland Publishing Company. New York.

Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.

Czaja, W., D. Romanovicz, and R. M. Brown, Jr. (2004). Structural Investigations Of Microbial Cellulose Produced In Stationary And Agitated Culture. Cellulose 11: 403-411.

Gunsalus, I.C. and Staines, R.Y. (1962). The Bacteria A Treatise On Structure & Function. Academic Press. New York.

Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal 41(2)(2012): 205211

Hamad, A.; Andriyani, N.A.; Wibisono, H. dan Sutopo, H. (2011). Pengaruh Penambahan Sumber Karbon Terhadap Kondisi Fisik Nata De Coco. Jurnal Teknik Kimia Vol 12 (2): 74-77.

Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.

Hernaman, I.; Kamil, K.A.; Mayasari, N. dan Salim, M.A. (2007). Dampak Nata De Coco dalam Ransum Mencit (Mus muculus) Terhadap Metabolism Lemak dan Penyerapan Mineral. Jurnal Peternakan Universitas Padjadjaran Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.

Jagannath, Kalaiselvan S. S, Manjunatha P. S, Raju A. S. Bawa. (2008). The Effect Of pH, Sucrose And Ammonium Sulphate Concentrations On The Production Of

17

Bacterial Cellulose (Nata-De-Coco) By Acetobacter xylinum.World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593 2599.

Lapuz, M.M.; Gallardo, E.G. and Palo, M.A. (1967). The Nata Organism Cultural. Requirements Characteristis and Indentity. The Philippine Journal of Science Vol 96.

Mashudi. (1993). Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata de coco. Jurusan Teknologi Pandan dan Gizi, Fateta. IPB. Bogor.[ Skripsi]

Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.; Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human. Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.

Misgiyarta. (2007). Teknologi Pembuatan Nata de Coco. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.

Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.

Pato, U. dan Dwiloka, B. (1994). Proses dan Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (A): 70 77.

Rahayu, E.S.; Indriati, R.; Utami, T.; Harmayanti, E. dan Cahyanto, M.N. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. ARCAN Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bandung.

Santosa, B.; Ahmad, K.; and Domingus, T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE) Vol. 1:6-11.

Soekarto. (1985). Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara. Jakarta.

Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.[ Skripsi]

Tortora, G.J., Funke, R. and Case, C.L. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. USA.

Volk, W.A. and M.F. Wheeler. (1993). Mikrobiologi Dasar. Erlangga. Jakarta.19

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

Rumus:

Persentase Lapisan Nata =

Kelompok C1

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 50 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 60 % Kelompok C2

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 38,89 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 61,11 % Kelompok C3

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 70 %

H14 Persentase Lapisan Nata = = 50 % Kelompok C4

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 25 %

20

H14 Persentase Lapisan Nata = = 90 % Kelompok C5

H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %

H7 Persentase Lapisan Nata = = 44,88%

H14 Persentase Lapisan Nata = = 125%

5.2. Laporan Sementara5.3. Abstrak Jurnal