154
Figur Wayang Raden Samba dalam penggambaran wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Samba Raden Samba dan Gunadewa adalah saudara kandung, lahir dari rahim Dewi Jembawati yang berpasangan dengan Prabu Kresna, Raja Dwarawati. Walupun keduanya sama-sama tampan, Gunadewa mempunyai ekor panjang dan kulinya penuh bulu seperti layaknya seekor kera. Keadaan Gunadewa yang demikian tersebut dapat dimaklumi karena

Figur Wayang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Semua tokoh tentang wayang kulit jawa

Citation preview

Figur Wayang

Raden Samba dalam penggambaran wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)SambaRaden Samba dan Gunadewa adalah saudara kandung, lahir dari rahim Dewi Jembawati yang berpasangan dengan Prabu Kresna, Raja Dwarawati. Walupun keduanya sama-sama tampan, Gunadewa mempunyai ekor panjang dan kulinya penuh bulu seperti layaknya seekor kera. Keadaan Gunadewa yang demikian tersebut dapat dimaklumi karena Dewi Jembawati adalah anak Kapi Jembawan yang adalah seekor kera prajurit Prabu Ramawijaya. Oleh karena keadaan yang demikian, Prabu Kresna dan juga Dewi Jembawati lebih menyayangi Raden Samba. Dengan perhatian dan kasih sayang yang berlebih dari Prabu Kresna, Samba tumbuh menjadi pemuda yang kurang mandiri dan manja. Sejarah hidup Samba tidaklah mulus, bahkan dapat dikatakan kelam. Pasalnya ia mencintai Hagnyanawati, isteri Prabu Setija, kakaknya sendiri lain ibu. Cinta Samba itulah yang kemudian berujung maut. Dikarenakan tidak rela Samba memadu kasih dengan istrinya, Prabu Setija murka, dan Samba menjadi korban. Peristiwa tersebut dapat diibaratkan seperti kriwikan dadi grojogan. Peristiwa yang semula kecil, dengan amat cepat menjadi besar. Berawal dari permusuhan adik dan kakak kemudian berkembang menjadi perang besar yang disebut dengan perang Gujalisuta, perang antara bapak dan anak yang masing-masing melibatkan negara besar. Kisah tersebut dalam pewayangan diberi judul Samba Sebit. Samba dibunuh secara aniaya oleh Setija kakaknya.Semasa hidupnya Samba tinggal di ksatriyan Paranggaruda. Dengan Hagnyanawati Samba meninggalkan anak satu yang diberi nama Danurwenda.herjaka HS

Dewi Durgandini (1)Prabu Basuparicara atau Prabu Basupati Raja negara Cediwiyasa yang kemudian bernama negara Wirata, adalah anak Prabu Basukesthi atau Prabu Basukiswara. Prabu Basuparicara adalah sosok raja yang dapat dikatakan istimewa. Keistimewaan tersebut dikarenakan ia dapat mengetahui bahasa binatang. Oleh karenanya Prabu Basuparicara harus pandai-pandai memanfaatkan kelebihan yang ia miliki. Karena jika tidak, mendengar apa yang dibicarakan antara para binatang, akan memecah konsentrasi dan membuat hidup ini tidak nyaman. Sadar akan hal itu, sang Prabu Basuparicara berusaha untuk mengesampingkan kelebihannya dalam hal mendengarkan pembicaraan para binatang, untuk lebih mengutamakan perhatiannya kepada Negara dan keluarga, terlebih kepada Dewi Girika istrinya. Namun ternyata pengalihan perhatihan yang dipaksakan beresiko pula. Dikarenakan terlalu mencintai istrinya, ke mana pun Prabu Basuparicara pergi, bayangan Dewi Girika tak pernah lepas dari pikirannya. Demikian juga ketika Prabu Basuparicara berburu di hutan, kecantikan wajah dan kemolekan tubuh istrinya tak pernah bisa lepas dari pikirannya. Semakin besar niatnya untuk melepaskan bayang-bayang Dewi Girika di dalam pikirannya, semakin besar pula kerinduan Prabu Basuparicara kepada istrinya. Kerinduan puncak dari seorang suami kepada istri, berubah menjadi bongkahan nafsu yang tumpah dari kelelakiannya. Akibatnya, air kama Prabu Basuparicara jatuh di atas dedaunan pohon talas yang banyak tumbuh di pinggir hutan. Di mata Prabu Basuparicara kama yang jatuh itu adalah wujud kerinduannya kepada istri yang amat dicintanya, oleh karenanya Sang Prabu ingin menyampaikan kerinduan itu kepada Dewi Girika. Dengan kelebihannya atas bahasa binatang, Prabu Basuparicara memanggil burung Gagak untuk mengantarkan air kama yang sudah dibungkus dengan daun talas kepada istrinya. Maka terbanglah burung Gagak tersebut membawa kerinduan Prabu Basuparicara kepada Dewi Girika. Di tengah perjalanan, burung Gagak tersebut diterjang oleh burung Elang, maka jatuhlah kama yang dibawa dengan paruhnya ke sungai Gangga.Di sungai Gangga, hiduplah seekor ikan besar yang lain dari pada ikan-ikan yang ada di sungai tersebut. Ikan istimewa tersebut adalah jelmaan dari bidadari Adrika yang puluhan tahun lalu dikutuk oleh Dewa. Ia dapat pulih kembali menjadi bidadari, jika ia dapat melahirkan anak manusia. Dalam masa penantian yang tak kunjung selesai, tiba-tiba dihadapan mulutnya jatuhlah segumpal kama yang dibungkus dengan daun talas. Dengan naluri yang ada, ikan kutukan itu menyambar daun talas. Sebentar kemudian, daun talas yang berisi kama Prabu Basuparicara tersebut berada di perut ikan.Tkeajaiban terjadi, tak berapa lama dari peristiwa tersebut, ikan kutukan tersebut mengandung dan melahirkan anak manusia kembar, laki-laki dan perempuan. Seperti yang sudah dijanjikan, bersamaan dengan lahirnya anak kembar tersebut, ikan tersebut pulih wujud semula, menjadi bidadari Adrika. Anak kembar yang dilahirkan Bidadari Adrika tersebut diberi nama Durgandana dan Durgandini. Sebelum naik ke kahyangan, Durgandana dan Durgandini di percayakan kepada Dasabala si tukang perahu, untuk diasuh dan dibesarkan. Kelak jika sudah dewasa haturkan kedua anak tersebut kepada raja Wirata, demikian pesan Bidadari Adrika kepada Dasabala. herjaka HSDurgandini (2)Dasabala si tukang perahu itu mengasuh anak kembar dampit (laki-laki dan perempuan) yang dilahirkan oleh Bidadari Adrika dengan penuh kasih sayang. Kedua anak tersebut tumbuh menjadi remaja yang tampan, cantik serta cerdas. Namun ada satu hal yang memprihatinkan, yaitu keadaan Durgandini. kulitnya mbekisik dan menebarkan bau amis yang menyengat. Oleh karenanya Durgandini juga disebut Laraamis. Hal tersebut berkaitan erat dengan Bidadari Adrika yang melahirkannya ketika sedang menjalani kutukan menjadi seekor ikan. Seperti yang dipesankan bidari Adrika sebelum kembali ke kahyangan, bahwa kelak jika si kembar dampit yaitu Durgandana dan Durgandini sudah dewasa, hendaknya Dasabala menyerahkan kepada raja Wirata. Dasabala tidak tahu, mengapa Durgandana dan Durgandini harus diserahkan kepada raja Wirata yang bertahta? Namun ketidaktahuannya tidak menjadikan Dasabala enggan ketika tiba saatnya, si kembar yang diasuhnya selama belasan tahun harus diserahkan kepada sang raja. Seperti yang diduga dan diragukan sebelumnya, bahwasannya yang diterima oleh raja Wirata hanyalah Durgandana. Sedangkan Durgandini dikembalikan kepada Dasabala, agar dicarikan tabib untuk menyembuhkan penyakitnya. Jika nanti sudah sembuh, bawalah kembali ke istanaSelain perasaan iba karena derita Durgandini, Dasabala bahagia, karena masih diberi waktu untuk mendampingi Dewi Durgandini. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan. Dengan kasih sayang yang tak pernah pudar, Dasabala mengajari apa yang menjadi keahlihannya kepada Dewi Durgandini, yaitu mencari ikan dan menjalankan perahu. Dengan ketrampilan menjalankan perahu, Durgandini dapat membantu setiap orang yang kesulitan untuk menyeberang sungai Yamuna. Rupanya profesi sebagai tukang santang oleh Durgandini dijalaninya dengan tulus dan dijadikannya sebagai laku dan permohonan agar dirinya dibebaskan dari penyakit yang mengganggu dan memalukan.Seperti hari-hari biasanya, pagi-pagi benar, Dewi Laraamis telah menyiapkan perahunya. Dari kejauhan nampaklah seorang petapa muda yang berdiri di tepi sungai Yamuna. Dihampirinya petapa itu dengan perahunya. Sesampainya di depan Petapa muda itu, Dewi Durgandini menawarkan jasanya dan mempersilakan petapa muda itu naik di perahunya. Beberapa saat setelah petapa muda itu naik di perahu, mereka berdua saling berkenalan.Aku bernama Durgandini, tetapi banyak orang memanggilku Raraamis. dikarenakan sekujur tubuhku menebarkan bau amis yang menyengat. ucap Durgandini, sesaat setelah orang yang diseberangkan itu memperkenalkan diri bernama Palasara, seorang petapa dari Saptarga di puncak Ngukiretawu. Melihat penderitaan Durgandini, Palasara merasa iba. sebagai petapa muda yang waskita Ia dapat membaca bahwa penuturan Durgandini tersebut merupakan sebuah litani permohonan agar dirinya dilepaskan dari penyakit yang sudah belasan tahun mencengkeram hidupnya. Dengan kesaktiannya, Palasara berhasil menyembuhkan Durgandini. Dasabala bersukacita melihat bahwa putrinya telah terbebas dari mala trimala, sakit-penyakit yang menyiksa tubuhnya. Kini keelokan dan kecantikan Dewi Durgandini nampak memancar dari wajah dan tubuhnya.herjaka HSDurgandini (3)Seiring dengan proses pemulihan Dewi Durgandini dari penyandang kutukan, untuk kembali menjadi bidadari, bersih dari sesuker kotoran jiwa, ada perang besar yang tejadi. Perang antara penyakit atau memala bahkan rajanya penyakit atau Rajamala dengan Palasara. Kesembuhan Dewi Durgandini sama halnya dengan kekalahan si Rajamala. Rajamala bersama perahu dayung yang setiap hari menyatu dengan Dewi Durganini telah dipecahkan oleh petapa sakti Palasara. Perahu yang pecah menjadi dua tersebut mewujud menjadi manusia dan diberi nama Rupakenca dan Kencakarupa, sedangkan dayung perahu berubah wujud menjadi seorang putri dengan nama Dewi Rekatawati. Keempat perwujudan yang telah lama menjadi beban hidup Dewi Durgandini telah dilepaskan, dan selanjutnya diperintahkan untuk mengabdi di kerajaan Wirata.Setelah sembuh dari penyakitknya, Dewi Durgandini memancarkan kecantikan yang luar biasa. Jika sebelumnya, Dewi Durgandini ikut menyangga dosa ibunya Bidadari Adrika yang dikutuk menjadi ikan, sehingga badan sekujur kasar dan amis, kini setelah disembuhkan oleh Palasara, sang Petapa muda, Dewi Durgandini atau Dewi Laraamis, sudah tidak amis lagi. Ia berubah menjadi bidadari muda yang tubuhnya halus mulus dan sangat jelita, mewarisi kecantikan ibunya yang adalah bidadari kahyangan. Kecantikan Dewi Durgandini yang tiba-tiba memancar membuat Palasara terpana karenanya. Pertemuannya dengan Durgandini merupakan peristiwa istimewa yang mampu menggoncangkan hatinya. Walaupun sejak kanak-kanak Palasara telah menjalani laku tapa, belajar mengolah pikir serta mengendalikan rasa, ia tak kuasa menahan goncangan asmara. Ada perasaan yang tumbuh begitu cepat dan dahsyat. Perasaan yang mengkristal dan tertuju hanya kepada satu wajah, satu sosok, satu hati, serta satu nama yaitu Durgandini. Karena tidak kuasa menanggungnya, dengan kepolosan Palasara menyatakan perasaannya kepada dewi Durgandini. Entah karena hutang budi atau perasaan kagum atau sentuhan rasa yang lain, tetapi yang pasti bukan karena ketampanannya, sang Dewi Durgandini mau menerima cinta Palasara. Kedua insan muda tersebut mulai merenda benang harapan akan masa depan yang indah dan membahagiakan. Bersamaan dengan cinta mereka yang tumbuh, Dasabala, orang tua asuh Durgandini ingin membawa anak angkatnya besama dengan Palasara menghadap Prabu Basuparicara raja Wirata. Sesuai dengan janji Prabu Basuparicara, Dewi Durgandini setelah menjadi sembuh diterima di kraton Wirata, termasuk juga Palasara, yang mampu menyembuhkan Durgandini dan juga perwujudan dari penyakit dan perahu dayung Durgandini yaitu: Rajamala, Rupakenca, Kencakarupa dan Rekatawati. Bahkan untuk selanjutnya, ketika Prabu Basuparicara mengetahui bahwa diantara Durgandini dan Palasara ada benih cinta yang mulai bersemi, mereka berdua di resmikan menjadi suami istri.Tak berapa lama kemudian pasangan Palasara dan Durgandini dianugerahi seorang anak laki-laki dan diberi nama Abiyasa. Durgandini menginginkan agar Abiyasa kelak menjadi raja, tidak sengsara seperti dirinya. Namun Palasara tidak demikian, ia berharap agar Abiyasa menjadi seorang petapa atau brahmana seperti dirinya. Perbedaan pendapat antara Dewi Durgandini dan Palasara dalam hal mendampingi dan mengarahkan Abiyasa anaknya, tidak dapat dipersatukan. Keduanya kukuh bertahan dengan pendapatnya masing-masing. Maka kemudian yang terjadi adalah Palasara membawa Abiyasa ke gunung Saptarga dipuncak Wukiretawu, meninggalkan Durgandini seorang anak bidadari yang setahun lalu sangat dicintainya.herjaka HSDurgandini (4)Sang Dewi Durgandini atau Dewi Setyawati memang terpaksa harus merelakan Abiyasa anak satu-satu yang setelah tidak menyusu, dibawa oleh Palasara suaminya ke pertapaan Saptaarga. Lebih baik berpisah daripada harus mendampingi Palasara dan Abiyasa menjadi petapa di gunung Saptaarga, jauh dari keraton Wirata. Baginya, hidup sebagai petapa tidak jauh berbeda dengan hidup menderita seperti yang pernah ia jalani sejak kecil hingga dewasa, yaitu hidup yang dibuang, menjadi penjual jasa penyebrangan dengan perahunya di sungai Yamuna. Maka jika saat ini ia meninggalkan keraton Wirata untuk mengikuti Palasara sama artinya ia sengaja mengulangi penderitaannya.Semenjak Palasara membebaskan penyakit dan penderitaannya, Dewi Durgandini diperkenankan kembali keraton Wirata dan menikmati fasilitas yang ada sebagai putri raja. Pada saat itu Dewi Durgandini ingat sebuah kata-kata yang berisi pengharapan yang senantiasa diucapkan Ki Dasabala ayah angkatnya: Bersabarlah, ada saatnya nanti, penyakit dan segala penistaannya dihapuskan. Dan sekarang saatnya telah tiba, semenjak ia bertemu dan menyeberangkan Palasara. Namun jika kini ia bersama Palasara dan Abiyasa kembali naik perahu menyebrangi sungai Gangga dan sungai Yamuna, meninggalkan Wirata dan menuju Saptaarga, artinya ia siap menderita kembali bersama berbagai hal yang menyakitkan. Aku tidak siap, tidak mau menderita lagi. Aku ingin tinggal di keraton dengan segala kemewahan dan kesenangannya.Durgandini telah menggunakan jalan pikirannya dengan benar, bahwasannya ujung dari sebuah penderitaan dan kesengsaraan adalah kebahagiaan dan kemuliaan. Tidaklah mungkin setelah bahagia dan mulia dicapai, akan kembali menderita. Kemuliaan adalah puncak dari tumpukan kesengsaraan, di mana kesengsaraan tidak ada lagi, yang ada adalah kemuliaan. Ajakan suami untuk meninggalkan keraton dan mengasuh anaknya menjadi petapa dianggap menunda atau bahkan membatalkan kesempatannya untuk merasakan kebahagiaan serta kemuliaan itu. Sebuah pilihan telah diambil, ia telah memilih untuk tidak meninggalkan keraton, baik dengan atau tidak bersama suami dan anak. Hari-harinya dijalani dengan kesendiriannya. Abiyasa memang selalu hadir dalam angannya, namun tidak sebagai petapa kecil, melainkan sebagai calon raja di sebuah negara yang besar.Ketika pada suatu waktu, Dewi Durgandini sedang melakukan sesuci di sungai Gangga, ia bertemu dengan Prabu Sentanu, raja Hastinapura. Dalam pandangan pertama itu Sentanu amat terkejut melihat pancaran wajah Dewi Durgandini yang mirip sekali dengan bidadari Ganggawati isterinya yang telah kembali ke kahyangan. Untuk menyakinkan bahwa yang berada di depannya bukan Batari Ganggawati, Sentanu semakin mendekat memperkenalkan dirinya kepada Durgandini, demikian sebaliknya. Aku bukan Ganggawati sang Prabu, namaku Durgandini atau Setyawati.Pertemuan dan perkenalan diantara keduanya merupakan pertemuan bersejarah, yang nantinya akan membuat sejarah baru kerajaan Hastinapura. Dimulai dari kerinduan Prabu Sentanu kepada Batari Ganggawati dan rasa sepi Dewi Setyawati semenjak ditinggal Palasara suaminya dan Abyasa anaknya, keduanya semakin dekat. Ada kekosongan yang saling mengisi di hatinya. Walaupun wanita di hadapannya bukan Ganggawati, kehadiran Durgandini mampu mengobati kerinduan Sentanu kepada Ganggawati. Demikian sebaliknya, kehadiran Sentanu mampu mengobati rasa sepi Setyawati semenjak kepergian Palasara suaminya, dan Abiyasa anaknya ke Pertapaan Saptaarga.Gayung pun bersambut. Keduanya mulai merenda benang-benang harapan, harapan akan cinta-kasih yang member daya hidup.Adakah yang memberatkan, jika pada suatu waktu aku datang ke Wiratha untuk melamarmu?. Tidak sang Prabu, aku berharap dan bersyukur jika sang Prabu sudi meminangku. Namun sebelumnya saya mohon maaf. Setyawati berhenti sejenak untuk menenangkan hati.Ada satu permohonan yang mungkin sangat memberatkan hati sang Prabu. Permintaan apa, Setyawati? Katakanlah!Aku takut, jika hal ini aku katakana, sang prabu akan mengurungkan niatnya melamar aku.Tidak, Setyawati, apa pun yang akan kau katakan aku tetap akan meminangmu.Sungguhkah itu Sang Prabu?.Prabu Sentanu mengangguk perlahan.Sang Prabu Sentanu, jika kelak Sang Hyang Widdi Wasa mengijinkan kita untuk bersatu dan melahirkan anak laki-laki, aku berharap agar anak kita menjadi raja di Hastinapura Herjaka HS

SetaRaden Seta adalah anak sulung Prabu Matswapati raja Wirata yang berpasangan dengan Dewi Rekatawati. Seta berarti putih, nama tersebut diberikan karena Raden Seta berkulit putih. Selain berarti putih Seta berasal dari kata set atau belatung. Nama tersebut berkaitan dengan kelahiran Seta. Ada yang mengatakan bahwa Seta lahir dari set atau belatung yang ada di tubuh Dewi Durgandini, saudara kembar Prabu Matswapati, jadi tidak dilahirkan oleh Dewi Rekatawati istri Prabu Matswapati. Konon dikisahkan, Dewi Durgandini menderita penyakit kulit, hingga sekujur tubuhnya dikerumuni oleh set dan menebarkan bau amis. Penyakit yang telah menaun tersebut dapat disembuhkan oleh Begawan Palasara. Karena jasanya, Begawan Palasara dinikahkan dengan Dewi Durgandini. Setahun setelah menikah, Dewi Durgandini melahirkan anak yang diberi nama Abiyasa. Pada saat kelahiran Abiyasa ada set yang keluar bersamaan dengan bayi Abiyasa. Diperkirakan bahwa set tersebut merupakan sisa dari penyakit yang pernah diderita oleh Dewi Durgandini. Set tersebut kemudian disabda oleh Begawan Palasara maka jadilah seorang bayi dan diberi nama Seta. Raden Seta kemudian dijadikan anak sulung oleh Prabu Matswapati atau Raden Durgandana, saudara kembar Dewi Durgandini. Seta adalah seorang yang pemberani, mempunyai ilmu-ilmu tingkat tinggi, dan pusaka sakti. Batara Narada pernah meminta bantuan kepada Seta untuk mengundurkan pasukan Pancalaretna pimpinan Prabu Malangkara atau Malangdewa, yang menyerang kahyangan Suduk Pangudal-udal. Atas jasanya mengalahkan Prabu Malangkara, Seta mendapatkan Dewi Kanekawati, putri Batara Narada. Sebagai si sulung, sesungguhnya Seta akan diangkat sebagai putra mahkota, namun ia lebih senang menjalani laku sebagai petapa. Oleh karenanya sebagian besar dari waktunya dihabiskan di pertapaan Suhini, yang terletak di lereng gunung Selaperwata atau gunung Ulu-ulu.Walupun menjadi petapa, Seta adalah beteng Negara Wirata yang kuat dan tangguh. Pernah pada suatu waktu, Seta bersama Bima dan Harjuna berhasil mengundurkan musuh gabungan dari Negara Trigatra dan Negara Hastina yang sudah berhasil menangkap Prabu Matswapati dan hampir saja menduduki kraton Wirata. Ketika perang Baratayuda meletus, Seta diangkat sebagai panglima perang Pandawa untuk yang pertama kalinya. Di medan laga Seta berhasil memporak-porandakan lawan. Raden Rukmarata, putra Prabu Salya gugur di tangan Seta. Resi Bisma yang diunggul-unggulkan di Hastina, jika tidak dibantu ibunya, yaitu Dewi Ganggawati kewalahan tanding dengan Seta. Jika sesuai dengan namanya, Seta artinya putih, maka penggambaran Seta dalam pewayangan berwajah putih. Namun kebanyakan wayang Resi Seta bermuka merah, untuk menggambarkan watak pemberani, tegas getapan.herjaka HS

Matswapati dalam bentuk wayang kulit,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)MatswapatiDi wilayah yang terletak di sebelah timur negara Dwarawati dan si sebelah selatan negara Mandura, Raden Srinada membuka hutan dan kemudian membangun sebuah kerajaan yang diberi nama Wirata. Selanjutnya Raden Srinada memerintah kerajaan tersebut dengan gelar Prabu Basurata. Setelah lanjut usia tahta negara Wirata diwariskan kepada salah satu anaknya yang bernama Prabu Basukesti. Selanjutnya, dari tangan Prabu Basukesti, tahta Wirata diwariskan kepada Raden Durgandana yang setelah naik tahta bergelar Prabu Matswapati. Di bawah masa pemerintahan Prabu Matswapati inilah negara Wirata mencapai jaman keemasan. Dikenal diseluru penjuru dunia, disegani oleh lawan maupun kawan. Hal tersebut tidak lepas dari dukungan seluruh kawula Wirata dan peran ketiga putra raja yang menjadi beteng negara Wirata yatiu Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Prabu Matwapati banyak membantu Pandawa Lima yang teridi dari Yudistira, Bimasena, Harjuna, Pinten dan Tangsen, pada waktu mereka membuka hutan untuk mendirikan keraton. Juga pada masa Yudistira dan kelima saudaranya dalam pembuangan. Bagi Pandawa, Prabu Matswapati adalah dewa penolong, yang telah mengangkat Pandawa dari dalam keterpurukan. Demikian pula sebaliknya, bagi Prabu Matswapati, Pandawa adalah dewa penyelamat, yang telah menyelamatkan negara dan dirinya dari kehancuran dan kematian, ketika negara Wirata diserbu oleh prajurit gabungan dari negara Trigata dan Negara Hastina yang dipimpin oleh Prabu Susarma. Bima yang pada waktu itu menyamar sebagai jagal di Wirata dan Harjuna yang menyamar sebagai guru tari, berhasil membebaskan Prabu Matswapati yang telah ditawan, dan mengundurkan musuh.Pada peristiwa paling berdarah sepanjang sejarah negara Wirata, yang dikenang dengan sebutan Geger Wirata tersebut, Prabu Matswapati mengira bahwa yang berhasil merebut dirinya dari tangan musuh dan mencerai-beraikan pasukan lawan adalah ketiga anaknya. Maka ketika mengetahui dengan senyatanya bahwa yang menolong dirinya adalah Bima dan Harjuna, ada perasaan bersalah dan beban dosa di hati Prabu Matswapati karena tidak mengenali ksatria utama yang telah bergabung setahun lalu, sebagai pembantu berderajat rendah di Negara Wirata. Semenjak peristiwa tersebut kedekatan hubungan antara Prabu Matswapati dan Pandawa melebihi saudara. Diantara mereka merasa saling berhutang budi. Oleh karenanya ketika perang Baratayuda pecah, Prabu Matswapati beserta seluruh prajuritnya secara resmi menyatakan bergabung dengan Pandawa. Bahkan Prabu Matswapati, Seta, Utara dan Wratsangka bersedia sebagai tawur perang korban perang untuk yang pertama kali.Prabu Matswapati menikah dengan Dewi Rekatawati dan mempunyai empat anak yaitu: Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka dan Dewi Utari..herjaka HS

Dewi Utari, (tanpa samir) dalam bentuk wayang kulit purwa,koleksi museum Tembi Rumah Budaya,buatan Kaligesing Purworejo (foto: Sartono) UtariDewi Utari adalah putri bungsu dari empat bersaudara, anak pasangan Prabu Matswapati atau Prabu Durgandana, raja negara Wirata dengan permaisuri Dewi Rekatawati, putri angkat Resi Palasara dengan Dewi Durgandini. Ke tiga kakak Dewi Utari adalah Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka.Dewi Utari disebut sebagai babone ratu yaitu yang menjadi induk dari ratu. Hal tersebut dikarenakan ia mendapatkan anugrah Wahyu Hidayat, yang menandai bahwa dirinya kelak akan menurunkan raja besar. Oleh karenanya Kresna yang mengetahui hal itu menginginkan agar Abimanyu, yang akan menurunkan raja dikarenakan mendapatkan anugerah Wahyu Cakraningrat memperistri Utari. Dengan demikian antara Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Hidayat akan menyatu di dalam keturunan Abimanyu dan Utari. Jika pun ada yang mengabarkan bahwa perkawinan antara Abimanyu dan Utari melalui sayembara Pondong, tentunya hal tersebut hanyalah sebagai cara untuk mengesahkan perkawinan diantara keduanya. Karena wahyu Hidayat itulah, tidak ada laki-laki yang kuat memondong Utari, kecuali laki-laki yang mendapatkan Wahyu Cakraningrat, yaitu Abimanyu. Walaupun sesungguhnya Abimanyu sudah beristri Siti Sendari, para sesepuh yang berpengaruh yaitu Prabu Kresna dan Prabu Matswapati menyetujui dan mengesahkan perkawinan antara Abimanyu dan Utari.Namun bukan berarti perkawinan Abimanyu dan Utari yang telah diberi restu tersebut berlangsung lancar. Ada dua prahara yang mengiring perkawinan keduanya, yaitu gugurnya Kala Bendana dan dan sumpah Abimanyu. Kala Bendana gugur di tangan Gatotkaca keponakannya dalam upaya menegakkan kejujuran karena mengatakan hal yang sejujurnya bahwa Abimanyu telah beristri Dewi Siti Sundari. Sedangkang Sumpah Abimanyu merupakan penyangkalan dari apa yang dikatakan Kala Bendana di hadapan Dewi Utari yang menyatakan bahwa dirinya belum berisitri. Aku bersumpah jika aku sudah beristri, kelak dalam perang Baratayuda aku akan gugur dengan seribu luka. Demikian sumpah Abimanyu. Dewi Utari adalah seorang putri yang cantik jelita, dan dikasihi dewa. Ia berperangai lembut dan berwatak halus, berwibawa dan setia berbakti. Hasil pernikahan Utari dengan Abimanyu, lahirlah seorang anak laki-laki dan diberi nama Parikessit. Seperti telah diramalkan para cerdik pandai, Parikesit menjadi raja besar di Hastiapura.Herjaka HS

Tokoh Kala Bendana digambarkan pada wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono)Kala BendanaTokoh yang satu ini erat hubungannya dengan ketokohan Gatotkaca. Kala Bendana termasuk bangsa raksasa dari kerabat bangsawan keraton Pringgandani. Ia adalah saudara bungsu dari Dewi Arimbi ibu Gatotkaca. Sehingga ia adalah paman Gatotkaca. Secara fisik Kala Bendana tidak sempurna, tubuhnya kerdil, tangannya cacat dan bicaranya cedal tidak jelas. Namun ada sesuatu yang sangat bernilai melekat pada dirinya yaitu, jujur dan berani mempertahankan kejujurannya, walau sampai harus mengorbankan nyawanya. Sesuai dengan kapasitasnya, Kala Bendana berpikir dan bertindak dengan cara yang sederharna. Dalam pergaulannya dengan saudara dan sesamanya, Kala Bendana selalu menginginkan ketentraman dan kedamaian. Sikap tersebut nampak jelas saat terjadi pertentangan diantara saudara-saudara perihal pengangkatkan Gatotkaca sebagai raja muda Pringgandani, Kala Bendana bertindak sebagai penengah. Kepada Gatotkaca keponakannya, Kala Bendana menaruh cinta yang tulus. Ia dengan setia menempatkan diri sebagai pamomong. Seperti juga yang dialami oleh kebanyakan pejuang nilai-nilai kejujuran, Kala Bendana mengalami nasib tragis dalam upaya mempertahankan sebuah nilai kejujuran. Kisahnya adalah ketika Kala Bendana mengikuti Gatotkaca dan Abimanyu yang disarankan oleh Batara Kresna untuk mengunjungi Dewi Utari di Negara Wirata. Pertemuan Abimahyu dan Dewi Utari ini merupakan sekenario besar yang disusun Batara Kresna, menyangkut keberadaan wahyu raja. Dasar berpijaknya adalah prediksi masa depan. Batara Kresna mengetahui bahwa jika Abimanyu mengawini Utari, ia akan menurunkan raja besar, yang nantinya akan menduduki Negara Hastina. Oleh karenanya ia menginginkan Abimanyu mengambil istri Dewi Utari anak Prabu Matswapati raja Wirata, yang adalah babone ratuGayung pun bersambut, dalam perjumpaan yang diatur itu, Abimanyu dan Utari saling jatuh cinta. Mereka berjanji akan melanjutkan percintaan ini ke pelaminan. Namun sebelum melangkah lebih jauh Utari bertanya kepada Abimanyu, apakah dirinya belum mempunyai istri? Abimanyu menjawab belum. Pada hal sesungguhnya Abimanyu sudah mempunyai istri Dewi Siti Sundari. Hal itulah yang kemudian dikatakan yang senyatanya oleh Kala Bendana, bahwa Abimanyu telah berbohong kepada Utari. Gatotkaca yang kala itu mendampingi Abimanyu memperingatkan kepada Kala Bendana untuk diam, tidak usah ikut campur dalam urusan ini. Kala Bendana tidak takut atas peringatan Gatotkaca. Ia tetap mengatakan bahwa Abimanyu sudah mempunyai istri namanya Dewi Siti Sundari, anak Batara Kresna. Gatotkaca yang ditugaskan oleh Batara Kresna mengawal menjaga dan mensukseskan recana tersebut kawatir bahwasannya rencana tersebut akan gagal, gara-gara kejujuran Kala Bendana. Oleh karenanya, sebelum Utari mempercayainya, Kala Bendana diseret ke luar untuk diamankan. Namun entah apa yang terjadi. Apakah ketika Gatotkaca tidak lagi dapat menahan amarah, ajian-ajian sakti yang ada di tubuhnya keluar dengan sendirinya. Seperti misalnya aji Ismu Gunting, yang dapat memutus leher lawan hanya dengan tangannya. Atau aji Narantaka yang dapat menghancurkan lawan hingga jadi debu. Pada kenyataannya Kala Bendana mati di tangan Gatotkaca.Di awal tulisan ini telah disinggung bahwa ketokohan Gatotkaca erat hubungannya dengan ketokohan Kala Bendana. Keduanya sama-sama menjadi pahlawan. Kala Bendana gugur membela nilai kejujuran, sedangkan Gatotkaca gugur membela Negara. Namun ironisnya kepahlawanan Gatotkaca justru tercoreng karena kejujuran Kala Bendana. Kejujuran yang seharusnya dibela oleh seorang pahlawan, termasuk jujur untuk gelar kepahlawannannya. herjaka HS

Gatotkaca, dalam bentuk wayang kulit, hasil karya dari Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (Foto: Sartono)GatotkacaSejak kekalahannya melawan Dursala, Gatotkaca berguru kepada eyangnya yang bernama Resi Seta, di pertapaan Suhini di gunung Sela Perwata. Untuk mengalahkan aji Gineng yang dimiliki Dursala, Gatotkaca diberi ajian sakti yang bernama Aji Narantaka. Barang siapa terkena ajian ini akan hancur menjadi debu. Ajian ini sesungguhnya merupakan kekuatan alam yang terdiri dari: bumi. api, air dan angin. Siang malam Gatotkaca menjalani laku untuk belajar menggunakan energi bumi yang kuat, energi api yang panas, energi air yang dingin dan energi angin yang ringan. Tahapan demi tahapan, baik lahir maupun batin dijalani oleh Gatotkaca untuk mematangkan Aji Narantaka. Setelah menuntaskan aji Narantaka, Gatotkaca turun gunung dan ingin segera berperang kembali dengan Dursasana yang telah mengalahkannya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Dewi Sumpaniwati yang mengungkapkan niatnya agar dirinya dijadikan istri oleh Gatotkaca. Menurut pengakuannya, Dewi Sumpaniwati jatuh hati kepada Gatotkaca sejak ia bermimpi memadu-kasih dengannya. Permohonan Dewi Sumpaniwati ditolak. Saat ini fokus utama tidak pada wanita, melainkan kepada Dursala. Namun Sumpaniwati tidak mau menarik niat, ia bersikeras untuk diperistri Gatotkaca.Gatotkaca marah, dengan nada tinggi ia berkata bahwa dirinya mau memperistri Sumpaniwati asalkan ia kuat menghadapi Aji Narantaka. Pada saat itu Dewi Wilutama masuk ke diri Sumpaniwati sehingga ia kuat menerima aji Narantaka. Semula, ketika pertamakali berjumpa sesungguhnya Gatotkaca mengakui kecantikan Sumpaniwati, hanya saja ia sengaja menolaknya karena ada hal yang lebih mendesak untuk dilakukan terlebih dahulu, yaitu mengalahkan Dursala. Namun dikarena kesaktiannya Sumpaniwati yang kuat menerima aji Narantaka, Gatotkaca berubah pikiran. Dengan serta merta dipondongnya Dewi Sempaniwati yang sintal untuk kemudian dijadikannya istri. Resi Sumpanajati menyetujui putri tunggal diambil istri oleh Raden Gatotkaca. Demikian pula Batara Kresna menyetujui perkawinan tersebut. Oleh Batara Kresna nama Dewi Sumpaniwati diganti dengan nama Dewi Galawati, karena perkawinan ini terlaksana setelah Dewi Sumpaniwati di gala dengan Aji Narantaka.Setelah semuanya selesai, Gatotkaca menuju Tegal Kurusetra untuk menantang Dursala berperang tanding. Walaupun pada akhirnya Dursala dapat dihancurkan dengan aji Narantaka, perang tanding itu cukup memakan waktu lama, keduanya menunjukkan kesaktiannya dengan mengeluarkan jurus-jurus andalan.Gatotkaca dicatat sebagai pahlawan bangsa, karena pengorbanannya dalam membela negara. Sifat kepahlawannannya nampak menonjol ketika terjadi perang Baratayuda. Walau disadari bahwa di dalam tubuhnya telah bersarang warangka pusaka Kuntawijayandanu, Gatotkaca dengan gagah berani menghadapi Adipati Karno. Pada saat senjata pamungkas yang adalah Kuntawijayandanu dibidikkan dan mengancam Padepokan Randu Watangan tempat Puntadewa dan para pepunden berada, Gatotkaca terbang secepat kilat membendung serangan itu. Secepat kilat pula Kuntawijayandanu masuk kesarungnya, kembali ke wadahnya melalui pusar Gatotkaca, dan menjadi satu dengan raga Gatotkaca. Hari kesepuluh sesudah perang Baratayuda berlangsung, Gatotkaca gugur di medan laga ditembus panah Kuntawijayandanu dan jatuh menimpa kereta Adipati Karno. Kematian Gatotkaca disatu sisi telah menyelamatkan Puntadewa namun disisi lain telah membawa banyak korban di pihak Kurawa, Awangga dan juga Pringgandani.Kelak dikemudian hari sifat kapahlawanan Gatotkaca diwarisi oleh Jayasumpena, anaknya hasil perkawinannya dengan Dewi Galawati.herjaka HSGatotkaca 2Sejak bayi, Raden Tetuka atau Raden Gatotkaca telah menunjukkan kelebihannya. Tali pusarnya yang tidak dapat dipotong dengan berbagai macam senjata tajam, kecuali dengan sarung pusaka Kunta Wijayandanu, menandakan bahwa ia bukanlah bayi sembarangan. Ditambah lagi dengan melesaknya sarung pusaka Kunta Wijayandanu ke dalam pusar Gatotkaca dan menyatu dengan tubuhnya, menjadikan bayi Gatotkaca tidak sama dengan bayi pada umumnya. Oleh karenanya ia dipilih menjadi jagonya dewa untuk memerangi musuh sakti yang memporak-porandakan kahyangan. Pada mulanya kedua orang tua dari Gatotkaca yaitu Wrekudara dan Arimbi, tidak memperbolehkan Gatotkaca yang masih bayi dijadikan jago oleh para dewa untuk melawan Patih Sekipu dan Prabu Naga Pracona. Namun setelah dijelaskan oleh Batara Narada bahwa hanya bayi Gatotkaca yang dapat mengalahkan Patih Kala Sekipu dan Prabu Naga Pracona, Wrekudara dan Arimbi memperbolehkan bayi Gatotkaca dibawa di kahyangan.Sesampainya di kahyangan, Batara Narada langsung menuju Repat Kepanasan, tempat Prabu Naga Pracona dan Patih Sekipu menunggu jawab, boleh atau tidaknya Dewi Gagar Mayang diboyong ke negara Ngembat Keputihan. Kehadiran Batara Narada bersama Gatotkaca mengejutkan mereka. Terlebih ketika diketahuinya bahwa bayi yang dibawa Narada adalah jagonya para dewa, yang harus terlebih dahulu dikalahkan sebelum memboyong Dewi Gagar Mayang. Ha ha ha, rupanya dewa sudah kehilangan nalar, karena saking takutnya seorang bayi di jadikan jago untuk melawan kami, ledek Prabu Naga Pracona dan Patih Kala Sekipu, beserta bala raksasa. Namun tatkala Kala Sekipu ingin membunuh Gatotkaca dengan sekali gigit, tawa mereka berhenti seketika. Gatotkaca tidak terluka karena gigitan Kala Sekipu. Bahkan ia dapat melepaskan diri dari terkamannya. Kala Sekipu marah, Gatotkaca dibanting hingga pingsan. Narada segera mohon waktu untuk memulihkan tenaga Gatotkaca. Gatotkaca dipasrahkan kepada empu Anggajali agar ditempa di kawah Candradimuka dengan berbagai macam pusaka kahyangan. Pusaka yang dihujamkan tersebut satu-persatu masuk ke tubuh Gatotkaca, seperti warangka Kunta Wijayandanu yang masuk di pusar Gatotkaca. Dalam sekejab Gatotkaca telah menjelma menjadi anak perkasa yang kebal terhadap berbagai macam senjata tajam.Patih Kala Sekipu dibuat semakin kesulitan untuk mengalahkan Gatotkaca. Setiap kali Kala Sekipu menghajarnya, Gatotkaca justru bertumbuh menjadi besar. Hingga akhir menjadi manusia dewasa yang perkasa dan sakti mandraguna. Kala Sekipu dan Naga Pracona mati di tangan Gatotkaca.Sejak peristiwa itu nama Gatotkaca melambung tinggi. Ia dikenal sebagai ksatria muda yang sakti mandraguna, berotot kawat dan bertulang besi. Oleh rakyat Pringgandani yang sebagian besar raksasa, Gatotkaca diangkat menjadi raja. Tidaklah heran, sebagai anak muda yang sakti dan mempunyai jabatan tertinggi, Gatotkaca ingin memamerkan kesaktian dan kekuatannya. Demi tujuan tersebut Gatotkaca mengumpulkan prajurit dan ksatria untuk melakukan latihan perang di Tegal Kurusetra. Tindakan Gatotkaca tersebut sangat mengejutkan. Karena dilakukan di Tegal Kurusetra, beberapa bulan sebelum perang Baratyuda meletus, tanpa memberi tahu terlebih dahulu kepada pihak Kurawa dan juga pihak Pandawa.Tindakan Gatotkaca tersebut telah memancing Dursala calon senapati perang dari pihak Kurawa, yang adalah anak Dursasana, mendatangi perkemahan Gatotkaca untuk menantang perang tanding. Gatotkaca yang adalah jagonya para dewa, sakti mandraguna, otot kawat balung wesi, jatuh terpuruk di kaki Dursala yang mempunyai aji gineng. Gatotkaca merasa malu, dan menyadari bahwa kesaktiannya belum cukup untuk menandingi Dursala. Ia meninggalkan Dursala dan berjanji akan menemuinya kembali untuk mengalahkannya.herjaka HSGatotkacaGatotkaca adalah anak Raden Wrekudara atau Bima, dari istri nomor dua yaitu Dewi Arimbi, adik seorang raja raksasa dari Pringgondani. Pada waktu lahir, Gatotkaca telah menunjukkan keistimewaannya dibandingkan dengan bayi pada umumnya. Keistimewaan tersebut nampak pada tali pusar bayi Gatotkaca. Tali pusar yang menyatukan antara pusar Gatotkaca dan plasenta tersebut tidak dapat dipotong dengan berbagai senjata tajam. Oleh karena hal itu, Wrekudara dan juga kerabat Pandawa merasa prihatin dan berupaya mencari senjata yang dapat memotong tali pusar bayi Gatotkaca.Bersamaan dengan kesulitan yang dihadapi para Pandawa, para Dewa pun berada dalam kesulitan. Pasalnya tempat kahyangan para dewa telah dikepung oleh Prabu Naga Pracona bersama dengan Patih Kala Sekipu dan bala tentara raksasa dari negara Ngembat Keputihan. Tak satu pun diantara para dewa yang dapat mengalahkan dan mengusir Patih Kala Sekipu dan Prabu Naga Pracona. Jika Dewi Gagar Mayang tidak diberikan kepada Prabu Naga Pracona, kahyangan akan dibumi hanguskan. Mengetahui akan kesaktian bayi Gatotkaca, Batara Guru mengutus Batara Narada mengirim pusaka sakti yang bernama Kuntawijayandanu kepada Arjuna agar dapat digunakan memotong tali pusar bayi Gatotkaca. Tetapi jika nanti tali pusar bayi telah putus, hendaknya Wrekudara dan para kerabat Pandawa merelakan bayi Gatotkaca dibawa ke kahyangan untuk dijadikan jago para dewa dalam menghadapi musuh sakti. Batara Narada yang turun ke arcapada dengan membawa panah pusaka Kuntawijayandanu yang sedianya akan diberikan kepada Arjuna, ternyata keliru diberikan kepada Suryatmaja. Akibatnya diantara kedua ksatria yang hampir sama wajahnya itu saling berebut pusaka Kuntawijayandanu. Arjuna mendapat warangka atau wadahnya, sedangkan Suryatmaja membawa pusakanya. Atas kejadian tersebut Batara Narada memohon maaf kepada Arjuna dan meyakinkan bahwa dengan wadah Kuntawijayandanu, talipusar Gatotkaca dapat dipotong.Benar apa yang dikatakan Batara Narada, tali pusar Gatotkaca dapat putus dengan warangka Kunta Wijayandanu. Keelokan terjadi, bersamaan dengan putusnya tali pusar Gatotkaca, warangka Kuntawijayandanu hilang musnah, melesak di pusar Gatotkaca. Selanjutnya, bayi Gatotkaca dibawa ke kahyangan. Namun sebelumnya, Gatotkaca yang masih bayi dimasukan ke kawah Candradimuka agar menjadi satria yang sakti mandraguna. Oleh Batara Guru, Gatotkaca diberi pusaka berupa: Caping Basunanda, Kotang Antrakusuma, dan alas kaki bernama Terumpah Padakacerma. Dalam usia yang relatif muda Gatotkaca diwisuda menjadi raja para raksasa di negara Pringgandani yang adalah warisan dari Dewi Arimbi ibunya, dengan gelar Prabu Anom Gatotkaca. Ia beristri tiga orang yakni: Dewi Pergiwa, Dewi Sumpaniwati dan Dewi Suryawati. Dari ketiga istri tersebut Gatotkaca menurunkan tiga anak laki-laki, yakni: Sasikirana, Jayasumpena, dan Suryakaca.Nama lain Gatotkaca adalah: Tutuka, Purubaya, Arimbiatmaja, Krincingwesi, Guruputra, Surya Narada, Senaputra, Bendarares. Menurut cerita wayang versi India, Gatotkaca adalah anak seorang Raseksi Hidimbi, oleh karenanya Gatotkaca lahir sebagai bayi yang berparas raksasa dengan kepala gundul. Sangat berbeda dengan cerita wayang di Jawa bahwa Gatotkaca adalah satria gagah tampan berpakaian serba gemerlap.herjaka HS

Danaraja dalam bentuk wayang kulit, buatan Kaligesing Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono)DanarajaDanaraja atau Wisrawana adalah anak Prabu Lokawarna raja negara Lokapala yang berpasangan dengan Dewi Lokawati. Ketika Dewi Lokawati melahirkan, Batara Brahma datang. Ia menyaksikan bayi yang dilahirkan Dewi Lokawati mirip sekali dengan ayahnya, maka diberilah nama Wisrawana. Nama Wisrawana ini di sesuaikan dengan nama Wisrawa, yang adalah nama ayahnya sebelum menjadi raja. Setelah Wisrawana dewasa, ia mendapat warisan tahta negara Lokapala, dan menjadi raja bergelar Prabu Danaraja atau Danapati. Semenjak tahta pemerintahan negara Lokapala dipasrahkan kepada Wisrawana, Prabu Lokawarna meninggalkan negeri Lokapala untuk bertapa di pertapaan Girijembangan, dengan sebutan Begawan Wisrawa. Salah satu cacatan suram yang pernah menghampiri negara Lokapala dalam pemerintahan Prabu Danaraja adalah, ketika begawan Wisrawa dimohon oleh Prabu Danaraja untuk melamarkan Dewi Sukesi melalui sayembara yang digelar di Negara Alengkadiraja. Pada waktu itu Begawan Wisrawa atas nama Prabu Danaraja anaknya, berhasil memenangkan sayembara dengan membedhah ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Dengan keberhasilan tersebut, Dewi Sukesi menjadi haknya Begawan Wisrawa. Namun Dewi Sukesi bukanlah barang yang dapat diperlakukan seenaknya oleh Begawan Wisrawa. Ia tidak mau diberikan kepada Danaraja anaknya. Bukankah yang berhasil membedah ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah Wisrawa? Oleh karenanya Dewi Sukesi memasrahkan jiwa-raga hanya kepada Begawan Wisrawa. Sejatinya Begawan Wisrawa sendiri telah tak berdaya saat membedhah ilmu sakti Sastrajendra dihadapan kemolekan Dewi Sukesi. Ada magnet yang amat kuat, yang tidak mungkin dilepaskan Begawan Wisrawa.Maka pada akhirnya Begawan Wisrawa dengan sadar memilih untuk tidak menyerahkan hasil lamarannya kepada Danaraja anaknya, melainkan hasil lamarantersebut untuk dirinya sendiri. Atas keputusan sang pemenang tersebut, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi diresmikan menjadi sepasang suami istri oleh Pabu Sumali di negara Alengkadiraja Tentu saja Danaraja menjadi marah, ia mendatangi ayahnya di Alengkadiraja untuk minta pertanggungjawaban sebagai orang tua. Wisrawa merasa bersalah, namun tidaklah mungkin untuk menyerahkan Dewi Sukesi kepada Danaraja. Dan perang tanding pun tidak dapat dihindari. Para Dewa di kahyangan merasa gerah atas perang tanding antara bapak dan anak yang telah berlangsung berhari-hari. Peperangan harus segera dihentikan, demikian Batara Guru yang adalah rajanya dewa memerintahkan kepada Batara Narada patihnya, untuk melerai pertikaian tersebut. Atas perintah Batara Guru, Batara Narada segera turun ke Arcapada (dunia) untuk melerai yang sedang bertikai. Dikatakan kepada keduanya, bahwa kejadian ini sudah sesuai dengan rencana para dewa, jodoh Dewi Sukesi adalah Wisrawa. oleh karenanya Danaraja harus menerima kenyataan ini. Dengan penjelasan Batara Narada, Prabu Danaraja mau menerima kenyataan yang terjadi. Dengan kebesaran hati Prabu Danaraja, ia diangkat menjadi Dewa dengan sebutan Batara Danaraja. Ia menjadi dewanya harta benda, dan tinggal di Kahyangan Wukir Kaliasa dan lebih dikenal dengan sebutan Batara Kwera.herjaka HS

Sembadra dalam rupa wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)SembadraSembadra adalah anak Basudewa, raja Mandura, yang berpasangan dengan Dewi Badraini. Sembadra adalah seorang putri yang cantik jelita, kulitnya hitam manis. Oleh karena itu ia juga disebut Dewi Rara Ireng, kakak-kakaknya sering memanggilnya dengan sebutan mrenges yang artinya hitam. Walaupun ia anak seorang raja besar, sejak kecil Sembadra tidak pernah merasakan kehidupan di istana. Karena ia dititipkan di Kademangan Widara Kandang bersama dengan kedua kakaknya yaitu Kakrasana dan Narayana, dan diasuh oleh Demang Antyagopa dan Endang Segopi. Penitipan tersebut dilakukan oleh Prabu Basudewa secara rahasia, demi langkah penyelamatan. Dikarenakan ketiga anak Prabu Basudewa tersebut diincar oleh Raden Kangsadewa untuk dibunuh. Ketika kakaknya Narayana menjadi raja Dwarawati, Sembadra ikut kakaknya sampai akhirnya dilamar oleh Arjuna. Walau akhirnya Sembadra menjadi istri Arjuna, pada awalnya Kakrasana tidak menyetujui, karena Sembadra akan dijodohkan dengan Burisrawa anak Prabu Salyantaka raja Mandaraka. Kisah perkawinan Sembadra dengan Arjuna ini terdapat dalam lakon Parta Krama. Parta adalah nama lain dari Arjuna. Diceritakan bahwa barang siapa yang ingin melamar Sembadra, Baladewa mengajukan syarat-buat yang tidak mudah dipenuhi oleh orang-orang pada umumnya, diantaranya: saka domas bale kencana, gamelan lokananta, kereta kencana yang ditarik oleh 144 ekor kuda pancal panggung, yakni kuda yang kakinya berwarn putih mulai dari lutut ke bawah, dan kera putih yang dapat menari di atas pecut penjalin tingal. Dibantu oleh kerabat Pandawa dan para dewa, Arjuna dapat memenuhi semua syarat yang diajukan oleh Kakrasana. Sembadra adalah sosok wanita yang mendapat wahyu raja dan kelak akan menurunkan raja besar, oleh karenanya ia dijuluki dengan babone ratu. Dari perkawinan dengan Arjuna, Sembadra melahirkan seorang anak laki-laki bernama Abimanyu.Nama lain Sembadra adalah: Dewi Bratajaya (ketika masih muda), Lara Ireng (berkulit hitam manis), Kendeng Retnali (ketika menyamar di Kedemangan Widara Kandang) dan Mrenges (biasa dipanggil oleh kakak-kakaknya).herjaka HS

Prabu Setija dalam bentuk wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo,koleksi museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)SetijaSetija adalah anak dari Prabu Kresna, raja Dwarawati, yang berpasangan dengan Dewi Pertiwi, seorang bidadari anak Sang Hyang Nagaraja. Setija adalah seorang ksatria gagah, sakti dan tampan. Ia tinggal bersama Dewi Agnyanawati istrinya di kerajaaan Trajutrisna atau sering disebut Kerajaan Surateleng. Setija diangkat menjadi raja oleh para punggawa serta wadyabala negara Trajutrisna yang sebagian besar adalah raksasa, setelah ia berhasil menaklukan Prabu Bomantara raja Trajutrisna sebelumnya. Walaupun Setija adalah seorang raja muda, tampan dan sakti, ia tidak pernah mendapatkan cinta dari seseorang yang seharusnya memberikan cintanya, yaitu Agnyanawati istrinya. Bahkan pada suatu saat, Setija pernah memergoki istrinya sedang memadu kasih dengan Raden Samba adiknya. Pada mulanya Prabu Setija memaafkan perbuatan adiknya terhadap istrinya. Karena sesungguhnya prabu Setija sangat menyayangi Samba adiknya yang amat tampan ini. Namun dikarenakan semakin lama perilaku adiknya dan juga dibarengi dengan perilaku istrinya semakin tidak tahu diri, rasa sayang itu berubah menjadi rasa benci. Harga diri Prabu Setija telah diinjak-injak. Gelombang amarah yang sangat besar telah menggulung prabu Setija, sehingga mata hati menjadi gelap pekat. Wajah rupawan adiknya telah menjelma menjadi sosok iblis menakutkan yang harus segera dilumatkan. Dalam sekejab ketampanan raden Samba hilang, termasuk juga hilangnya keindahan badannya, dan kemudian disusul dengan hilangnya nyawanya. Raden Samba dibunuh oleh prabu Setija dengan cara di juwing-juwing atau di sebit-sebit. Kematian raden Samba membuat prabu Kresna murka. Cara Setija dalam menyelesaikan masalah dianggap salah. Menanggapi kemarahan ayahnya, Setija yang dipengaruhi oleh patih Pancatnyanya, menghadapi kemarahan ayahnya dengan kemarahan pula. Sehingga terjadi perang besar antara negara Dwarawati melawan negara Trajutrisna. Perang besar antara bapak melawan anak yang melibatkan dua negara besar disebut perang Gojali Suta.Dalam peperangan tersebut Kresna berhasil membunuh Setija anaknya atas bantuan dewa dan bantuan Gatutkaca.Herjaka HSKunti

Kunti atau Dewi Prita adalah anak Raja Kuntiboja dari negara Mandura. Setiap ada tamu kehormatan yang datang di negara Mandura, Kunti lah yang mendapat kepercayaan oleh Prabu Kuntiboja untuk menyambut tamu kehormatan tersebut. Karena perangainya yang lembut, sabar dan mempesona, banyak tamu negara yang memuji cara Kunti menjamu tamu-tamunya. Salah satu tamu kehormatan yang sangat kagum kepada kunthi adalah seorang begawan sakti dan nyentrik bernama Begawan Druwasa. Saking senangnya kepada Kunti, Begawan Druwasa mengangkat Kunti sebagai murid dan memberi mantra sakti aji pameling atau Aditya Herdaya, yang dapat mendatangkan dewa sesuai dengan keinginannya. Disuatu pagi nan cerah, Kunthi sengaja bermalas-malasan di tempat tidur, sehingga hari semakin siang. Sinar matahari mulai menembus celah-celah kamarnya. Oh begitu indah sinar mentari di siang itu, Kunthi terhenyak dari tilam sari dan segera mandi. Masih terpana dengan indahnya sinar surya disiang itu, pada saat mandi Kunti membayangkan betapa indahnya pula Dewa yang berada dibalik keindahan matahari tersebut. Niatnya untuk bertemu dengan dewa Surya semakin kuat, maka kemudian Kunti membaca mantra aji Aditya Herdaya. Selesai mantra dibaca, Dewa Surya datang menemui Kunti. Akibat dari pertemuan tersebut Kunti hamil. Raja Kuntiboja murka, Kunti akan disingkirkan dari negara Mandura, karena telah mencemarkan nama orang tua dan kewibawaan negara Mandura.Namun sebelum Prabu Kuntiboja menghukum Kunti, Begawan Druwasa datang untuk menolong Kunti muridnya. Dengan kesaktiannya, bayi yang ada di dalam kandungan dikeluarkan melalui telinga, sehingga Kunti masih tetap perawan. Bayi yang lahir melalui telinga tersebut diberi nama Karno, yang artinya telinga. Atas perintah Prabu Kuntiboja bayi tersebut di masukan ke dalam kendaga dengan pakaian lengkap kemudian hanyutkan di sungai Gangga.Agar peristiwa memalukan tidak terulang lagi, Prabu Kuntiboja berniat menikahkan Kunti dengan membuka sayembara. Dan sayembara tersebut dimenangkan oleh Pandudewanata. Kunti kemudian dinikahkan dengan Pandudewanata, raja Hastinapura. Dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga, Pandudewanata mendapat kutukan dari Resi Kimindamana, bahwa dirinya akan mati mendadak jika melakukan hubungan suami istri. Oleh karena kutuk tersebut, Kunti sebagai pendamping yang setia ingin membesarkan hati Pandu agar jangan putus asa, masih ada harapan untuk masa depan Hastinapura. Masa depan Hastinapura senantiasa gelap adanya, karena kutukan Resi Kimindama, aku tidak mampu memberikan anak keturunan untuk menyambung tahta Hastinapura. Kunti meyakinkan bahwa masih ada harapan untuk masa depan Hastinapura yang cerah. Tiba-tiba wajah Pandu yang murung berubah cerah. Ia teringat akan cerita Kunti tentang mantra sakti aji Aditya Herdaya pemberian Begawan Druwasa. Dengan penuh kesungguhan, Pandu memohon kepada Kunti agar bersedia mengetrapkan mantra aji Aditya Herdaya untuk mendapatkan anak demi masa depan Hastinapura. Karena ketaatannya kepada Pandu, maka kemudian dengan mantra sakti Aditya Herdaya Kunti mendatangkan tiga dewa sesuai dengan keinginan Pandu, yaitu dewa Darma, Dewa Bayu dan dewa Indra. Dari ketiga dewa itulah Kunti melahirkan Puntadewa, Bimasena dan Harjuna. Setelah itu Kunti mengajari Dewi Madrim istri Pandu yang satunya, untuk membaca mantra sakti pemberian Begawan Druwasa. Maka kemudian datanglah dewa kembar yang bernama dewa Aswan dan dewa Aswin. Dari mereka berdua, Dewi Madrim melahirkan anak kembar yang diberi nama Pinten dan Tangsen, atau Nakula dan Sadewa.Kunti adalah seorang wanita yang sabar, taat dan setia pada suami dan sangat mencintai anak-anaknya. Ia adalah sosok pendamping yang mampu memberikan cahaya, dikala pasangannya sedang jatuh dalam gelap.herjaka HS

Pandudewanata dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya. (foto: Sartono)PandudewanataRaden Pandu adalah anak kedua raja Hastina yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana, yang berpasangan dengan salah satu dari ketiga putri negara Kasi atau Giyantipura, yaitu Dewi Ambalika. Raden Pandu mempunyai wajah yang tampan, tetapi mukanya pucat dan lehernya tengeng (kaku selalu menengok). Walaupun mempunyai cacat secara fisik, Pandu adalah satria yang sakti mandraguna serta patuh kepada orang tua. Dikarenakan kakak Pandu buta, maka Raden Pandu menggantikan ayahandanya menjadi raja di Negara Hastinapura dengan gelar Prabu Pandudewanata. Ia beristrikan Dewi Prita atau Dewi Kunti anak raja Mandura Prabu Kuntiboja, yang didapat melalui sayembara di negara Mandura, serta Dewi Madrim, anak Prabu Mandrapati raja Mandaraka. Dari kedua istri tersebut Pandu tidak mendapatkan anak, karena kutukan Resi Kimindama, yang disotkan (dikutukan) setelah Pandu membunuh istri Resi Kimindama dengan panah. Hai Pandu raja yang bodoh! engkau akan binasa ketika melakukan saresmi dengan istrimu. Pandu sangat terkejut, tidak menyangka bahwa sepasang kijang yang sedang berpasihan di rumput hijau tersebut jelmaan Resi Kimindama dan istrinya.Oleh karena kutukan itu, Pandu bersama kedua istrinya yaitu Kunti dan Madrim tidak mendapatkan anak. Kepada siapakah negara Hastina akan diwariskan? Pandu sangat gelisah, sebagai raja besar ia tidak mempunyai keturunan. Ia kemudian meminta kepada Kunthi yang mempunyai aji Aditya Herdaya pemberian Resi Druwasa. Dengan aji tersebut Kunti dapat mendatangkan Dewa sesuai dengan keinginannya untuk memberikan anak. Maka kemudian lahirlah dari rahim Kunti secara berurutan: Puntadewa pemberian Dewa Darma, Bimasena pemberian Dewa Bayu, Harjuna pemberian Dewa Indra, dan disusul anak kembar Nakula dan Sadewa pemberian Dewa Aswan dan Dewa Aswin yang lahir dari rahim Madrim. Kelima anak laki-laki yang lahir dari kedua istri Pandu tersebut disebut Pandawa Lima. Pada saat terjadi perang Pamukswa, perang antara negara Hastina dan negara Pringgondani, Prabu Pandudewanata berhasil membunuh Prabu Tremboko raja raksasa dari Pringgondani. Belum puas atas kematian musuhnya, mayat Prabu Tremboko diinja-injak sepuasnya. Pada waktu menginjak-injak mayat prabu Tremboko, kaki Prabu Pandudewanata menginjak keris Kalanadah yang masih dipegang Prabu Tremboko. Maka jatuhlah Prabu Pandudewanata dan untuk beberapa lama ia menderita sakit... dan kemudian wafat. Ada yang mengatakan bahwa wafatnya Prabu Pandu bukan karena keris Kalanadah, melainkan karena ia sedang saresmi dengan Dewi Madrim istrinya. herjaka HS

Kala yang adalah anak Batara Guru mendapat gelar Batara.Dan ia pun berpakaian seperti layaknya pakaian para dewa,yaitu berjubah, memakai tutup kepala ketu dewa oncit,memakai samir dan praba. Batara Kala dalam bentuk wayang kulit purwa,buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)KalaDisuatu hari, ketika Batara Guru dan Dewi Uma terbang bercengkrama di atas alam desa yang indah permai, sampailah mereka berdua dipenghujung hari. Senja temaram yang indah, langit berwarna kemerah-merahan, sungguh pemandangan yang amat indah dan romantis. Kulit Dewi Uma yang tertimpa sinar mentari senja, merona cemerlang bagaikan emas murni. Batara Guru terpana melihat kecantikan Dewi Uma dan keelokan tubuhnya. Darah lelakinya bergolak. Ia lupa akan dirinya yang adalah raja dewa Suralaya, dan memaksa istrinya untuk melayani gejolak nafsunya. Dewi Uma menolak untuk melakukan perbuatan yang tidak pada tempatnya itu. Ia menghindar dari sergapan suaminya yang penuh nafsu birahi, sehingga kama Batara Guru jatuh di samodra. Batara Guru amat marah kepada Dewi Uma. Maka dikutuklah Dewi Uma menjadi raksasa dan diberi nama Batari Durga. Dikisahkan kama salah yang jatuh, mengebur samodra dibarengi dengan badai dahsyat. Lalu kemudian munculah dari samodra sinar putih berujud sosok menakutkan yang bergulung-gulung menuju Kahyangan. Atas perintah Batara Guru Kama Gumlundung demikian cahaya putih itu disebut, dihujami pusaka-pusaka andalan para dewa untuk dibinasakan, agar tidak masuk ke Kahyangan. Namun Kama Gumlundung tidak binasa oleh pusaka-pusaka para dewa yang dihujamkannya, bahkan ia mampu menyerap energi-energi para dewa dan sekaligus keempat energi alam, yaitu Guntur Geni (energi api), Guntur Banyu (energi air), Guntur Bayu (energi angin) dan Guntur Bumi (energi bumi). Dari Guntur Geni ia mendapat kekuatan, dari Guntur Banyu ia mendapat kehidupan, dari Guntur Bayu ia mendapat kecepatan gerak dan dari Guntur Bumi ia semakin tumbuh dan jadilah rasaksa umur belasan tahun. Ia meninggalkan lautan menyusuri rawa-rawa.Para dewa berlari masuk kahyangan. Raksaksa tersebut mengejarnya, sembari mengambil ganggeng dan lumut dan ditempelkan di badannya, untuk menutupi tubuhnya menirukan busana yang dipakai para dewa. Tak beberapa lama raksasa remaja tersebut telah bertemu Batara Guru. Ia ngawu-ngawu sudarma, meminta diaku sebagai anak. Batara Guru tidak dapat mengingkari nya. Ia mengakui dengan jujur bahwa geger kahyangan ini adalah merupakan akibat dari hasil perbuatannya. Oleh karenanya raksasa yang lahir dari kama salah ini diaku sebagai anak dan diberi nama Kala. Batara Guru merasa kawatir, jika hal itu dibiarkan akan menelan banyak korban. Maka, ketika Kala bersujud di hadapan Batara Guru, dipotonglah lidah dan taring Kala yang mengandung bisa itu.Potongan lidah dicipta Batara Guru menjadi senjata panah, dinamakan Pasopati. Kemudian potongan taring sebelah kanan dicipta menjadi senjata keris bernama Kalanadah, dan potongan taring sebelah kiri dicipta menjadi keris bernama Kaladete.Kala didampingi oleh Batari Durga, yaitu penjelmaan dari Dewi Uma, istri Guru yang dikutuk menjadi wanita bermuka raksasa diberi tempat di Pasetran Gandamayit. Ditempat itu mereka berkuasa atas bangsa makhluk halus. Ada yang menyebutkan bahwa tempat tinggal Kala adalah Kahyangan Sela Mangumpeng.herjaka HS

Limbuk dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)LimbukLimbuk dan Cangik adalah abdi raja yang bertugas melayani bendara-bendara putri di keputren, bersama dengan abdi-abdi putri lainnya. Pasangan Limbuk dan Cangik ini paling populer dibandingkan dengan abdi-abdi putri lainnya. Kepopuleran sepasang abdi tersebut bukan karena kemampuannya yang istimewa, melainkan karena ciri fisik yang dimiliki berbeda dengan abdi-abdi lainnya.Limbuk dalam bahasa Jawa artinya lemu tur wagu yaitu badannya gemuk tetapi kurang proposional. Pada masyarakat Jawa seorang wanita yang mempunyai ciri fisik gemuk tetapi tak beraturan diberi paraban atau sebutan Limbuk. Nama sebutan yang sesuai dengan ciri fisiknya tersebut justru lebih populer ketimbang nama yang sesungguhnya pemberian dari orang tua. Limbuk tergolong abdi wanita yang berparas jelek, namun genit. Oleh karenanya berkali-kali Limbuk batal dilamar. Sebagian orang menganggap bahwa Limbuk adalah anak Cangik. Tetapi ada pula yang menganggap bahwa hubungan Limbuk dan Cangik adalah hubungan teman sekerja. Lepas dari itu semua Limbuk dan Cangik merupakan pasangan yang populer dan digemari orang banyak. Saking populernya hingga ada adegan khusus yang dinamakan Limbukan. Dalam adegan ini, tokoh Limbuk dan Cangik dijadikan sarana untuk memberi informasi, pencerahan dan sekaligus hiburan. Kedua abdi tersebut saling melengkapi. Mereka sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangiklah yang sering diajak berembug untuk memecahkan masalah serta mencari solusi. Sementara itu jika bendara putrinya berduka, Limbuk tampil menghibur dengan bernyanyi dan menari. Selain badannya yang gemuk pating pecotot, Limbuk mempunyai ciri fisik yang lain, yaitu: dahinya lebar, matanya pecicilan, hidung sunthi, rambutnya selalu digelung kecil dan memakai kesemekan serta jaritBanyak orang beranggapan bahwa pasangan Limbuk Cangik bukanlah abdi biasa, mereka merupakan abdi kesayangan, yang berfungsi ganda sesuai dengan kebutuhan bendara putrinya. Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Limbuk dan Cangik selain sebagai abdi yang melayani, juga sebagai orang tua yang memberi solusi dan sekaligus berperan sebagai sahabat yang penghibur, termasuk menghibur masyarakat luas. herjaka HS

Cangik dalam bentuk wayang kulit purwa, buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)CangikDiantara abdi raja yang bertugas melayani bendara-bendara putri di keputren, ada dua abdi yang populer, satu diantaranya adalah Cangik. Dinamakan Cangik karena abdi putri yang satu ini mempunyai ciri fisik yang menonjol, yaitu dagunya menjorok ke depan, dalam bahasa Jawa disebut Nyangik. Oleh karena ciri fisik inilah, ia kemudian dikenal dengan nama Cangik. Nama paraban ini lebih populer ketimbang nama asli pemberian orang tua. Selain dagunya yang nyangik, ciri fisik lainnya adalah: dahinya nonong, matanya pecicilan, hidung sunthi, badannya kurus, rambutnya selalu digelung tekuk, kebiasaannya mengenakan kesemekan dan memakai jarit motif kawung. Cangik tergolong abdi yang serba bisa, setia, sabar, periang dan berwawasan luas. Ia sangat dekat dengan bendara putrinya. Pada saat bendara putrinya mengalami kebingungan, Cangik bisa diajak berembug untuk mencari solusi. Ketika bendara putrinya berduka, Cangik tampil bernyanyi dan menari untuk menghiburnya. Banyak orang beranggapan bahwa Cangik bukanlah abdi biasa, ia dapat berperan ganda sesuai dengan kebutuahan bendara putrinya. Bahkan bagi si bendara putri, Cangik dapat dijadikan pengganti orang tuanya dalam hal nasihat-nasihat yang dibutuhkan.Peran ganda itulah yang kemudian memposisikan Cangik sebagai juru penerang dan sekaligus juru penghibur kepada bendaranya dan juga kepada masyarakat luas.herjaka HS

Tokoh Cantrik ditampilkan dalam wayang kulit purwa dengan roman muka yang gembira dengan plelengan. Hidungnya ndelik atau sumpel. Bermulut sunthi dengan kumis tipis, kadang ada yang berjenggot dan berjabang. Perut buncit, memakai rompi dan memakai celana pocong dagelan. Kepalanya memakai kethu, semacam topi. Dipunggungnya, kemana-mana menyandang sabit.(wayang buatan Kaligesing Purworejo, koleksi museum Tembi Rumah Budaya, foto: Sartono)CantrikCantrik termasuk panakawan, namun tidak panakawan baku seperti halnya: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong (panakawan tengen) atau pun Togog dan Bilung (panakawan kiwa). Cantrik merupakan panakawan morgan atau panakawan sampingan dan tidak baku. Walaupun tidak baku kehadiran Cantrik dalam wayang kulit purwa cukup penting. Ia hadir sebagai pengiring pendeta atau begawan, baik pendeta yang berujud raksasa maupun pendeta yang berujud ksatria, di sebuah pertapaan atau percabaan.Pada pagelaran wayang kulit Purwa, adegan percabaan ini merupakan kelanjutan dari adegan gara-gara, ketika para panakawan tengen (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) selesai bersenang-senang menghibur, lalu mengantar seorang ksatria menuju percabaan untuk memohon pencerahan kepada pendeta yang bersangkutan. Dalam adegan percabaan ini biasanya seorang dalang memanfaatkan bertemunya Cantrik dan Semar Gareng, Petruk, Bagong dengan guyonan yang lucu dan konyol.Sesungguhnya Cantrik merupakan penggambaran seseorang yang sedang menuntut ilmu kepada pendeta atau begawan di padepokan atau percabaan. Sistem pengajaraannya menggunankan sistem khusus, yaitu sistem pengajaran paguron. Dalam sistem paguron ini, para Cantrik (laki-laki) dan Mentrik (perempuan) juga menjadi bagian dari keluarga, mereka tinggal makan dan bekerja bersama serta berfungsi sebagai pelayan atau pengasuh. Tokoh Cantrik jarang diceritakan secara khusus, kecuali tokoh cantrik yang bernama Janaloka. Cantrik yang satu ini menjadi terkenal karena keinginannya memperistri Endang Pergiwa dan ssaudara kembarnya Endang Pergiwati. Pergiwa dan Pergiwati adalah anak Arjuna dengan Endang Manuhara yang tinggal bersama eyangnya Begawan Sidik Wacana di percabaan Andong Sumiwi. Pada suatu hari kedua putri kembar itu ingin menemui Arjuna ayahnya di keraton Ngamarta. Begawan Sidik Wacana mengutus Cantrikanya untuk mengantar kedua cucunya menemui ayahnya. Namun di tengah jalan Cantrik Janaloka yang seharusnya melindungi Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati, malahan berniat memperistrinya. Namun sebelum niat Cantrik Janaloka kesampaian, ia keburu mati ditangan para Korawa.Cerita ini menggambarkan seseorang yang memiliki keinginan, namun tidak ngilo githoke dhewe, tidak melihat kekuatan dan kenyataan yang dimilikinya. Dan juga merupakan penggambaran dari abdi yang tidak setia kepada gurunya yang selama ini telah membimbingnya. Diibaratkan pagar makan tanaman yang seharusnya dijaga malah dirusak sendiri.herjaka HS

Basukarno, sesaat setelah diwisuda menjadi seorang Adipadi (lukisan: Herjaka HS)Kidung Malam 93Energi MatahariDi siang hari yang terik, Adipati Karno berjalan menyusuri tepi Sungai Gangga. Air sungai yang mengalir tenang mampu menampakkan wajah matahari secara utuh. Adipati Karno memilih memandangi wajah matahari tidak secara langsung, melainkan melalui gambaran yang dipantulkan oleh air sungai Gangga. Entah mengapa hal itu selalu dilakukukan oleh Adipati Karno sejak kanak-kanak hingga sekarang, saat dirinya telah diwisuda menjadi Adipati, oleh Duryudana. Jika ditanya mengapa hal itu dilakukan, Adipati Karno tidak tahu. Hanya saja saat Karno melakukan hal itu, ada getaran energi yang mengalir di dalam tubuh. Energi yang didapat dari pantulan matahari sangat membantu saat dirinya berada pada suasana yang sedang tidak menguntungkan. Seperti misalnya ketika masih remaja. Karno diolok-olok oleh murid-murid Sokalima saat dirinya ingin ikut bergabung belajar ilmu kepada Pandita Durna. Para murid Sokalima yang terdiri dari Kurawa dan Pandawa mengusir Karno dengan kata-kata: Anak kusir diusir, anak ratu dijamu Karno tidak menanggapi olok-olokan tersebut, ia berlari meninggalkan halaman padepokan Sokalima, bukan karena takut, tetapi agar tidak menjadi bulan-bulanan oleh mereka. Jika hatinya sedang kacau seperti itu, ada magnet yang amat kuat agar Karno mengadu kepada matahari. Namun dikarenakan matanya tidak kuat menatap secara langsung, ia menatap matahari melalui pantulan yang ada di air. Ajaibnya, pada waktu Karno melakukan hal itu, kegundahan hatinya segera sirna. Ada energi baru yang memungkinkan Karno untuk menghadapi segala olok-olok dan cercaan hidup dengan dada yang tegap dan penuh percaya diri. Beberapa saat setelah menatap pantulan matahari, Karno pun kembali pada niat semula, yaitu belajar ilmu-ilmu tingkat tinggi di Sokalima. Entah apa yang terjadi kemudian, senyatanya Karno dapat dengan leluasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Pandita Durna dari jarak jauh, tanpa diketahui oleh mereka dan tanpa olok-olok dari murid lain. Dengan penuh ketekunan, dalam beberapa waktu, Karno mengalami kemajuan yang pesat di dalam berolah senjata panah, tidak kalah jika dibandingkan dengan muri-murid Sokalima yang lain, bahkan murid-murid terbaik Sokalima, yaitu Ekalaya dan ArjunaAdirata bapaknya dan Nyi Rada Ibunya, tidak tahu apa yang dilakukan Karno anaknya, namun kedua orang tua tersebut melihat bahwa anaknya telah tumbuh menjadi remaja yang tampan, terampil, penuh percaya diri dan yang istimewa bahwa Karno tidak pernah mengeluh dalam segala macam kesulitan hidup. Walaupun Karno tumbuh menjadi remaja yang mempunyai kelebihan dalam segala hal, jika dibandingkan dengan remaja-remaja pada umumnya, Adirata sebagai seorang sais kereta berpandangan sederhana, bahwa Karno diharapkan dapat mewarisi dirinya sebagai sais kereta. Oleh karenanya untuk menunjang hal itu, Adirata membelikan kereta kuda kepada Karno.Menjadi anak yang berbakti kepada orang tua memang tidak mudah. Ada hal-hal yang perlu dikorbankan sebagai tanda bakti kepada orang tua. Seperti halnya yang dialami Karno, disatu sisi ia harus menerima pemberian orang tuanya berupa kereta kuda untuk belajar menjadi sais, disisi lain Karno tidak pernah bermimpi menjadi seorang sais kereta seperti bapaknya. Oleh karenanya agar tidak mengecewakan orang tuanya, Karno selalu menyisihkan waktu untuk berlatih mengendarai kereta kuda, tetapi tidak untuk menjadi sais kereta, melainkan untuk menjadi senapati perang dikelak kemudian hari. herjaka HSKidung Malam 92Adipati KarnoBasukarno tidak hanya menunjukkan kelasnya dalam hal ilmu berolah senjata panah, tetapi ia pun mampu menguasai dirinya dengan amat matang. Sikap Dewi Durpadi yang merendahkan dirinya di atas panggung sayembara, pada saat Basukarno berhasil menarik dengan sempurna busur pusaka Cempalaradya, serta penolakan Dewi Durpadi yang seharusnya menjadi putri boyongan setelah Basukarno berhasil membidik sasaran dengan tepat, tidak membuatnya menjadi kalap. Walaupun ada perasaan jengkel, Basukarno pemenang sayembara yang dibatalkan tanpa sebab, turun dari panggung kehormatan dengan penuh percayaan diri, tanpa sedikitpun rasa kecewa menggores di wajahnya. Dengan tenang Basukarno meninggalkan panggung kehormatan. Ia tidak mempedulikan penolakan Dewi Durpadi. Baginya yang paling utama adalah mempertontonkan kemampuan ilmunya dihadapan orang banyak. Ia menyeberangi lautan manusia yang memenuhi alun-alun Cempalaradya waktu itu. Ribuan pasang mata mengikuti dan mengamati setiap gerak langkahnya. Demikian juga saat ketika ia meladeni Arjuna untuk beradu kebolehan ilmu memanah. Menyaksikan tingkat ilmu yang dimiliki Basukarno orang-orang dibuat penasaran, benarkah ia seorang sudra? Biarlah semua orang menilaiku demikian, orang sudra! kelas bawah! Hal itu saya sadari bahwa aku memang seorang sudra anak sais kereta kerajaan yang bernama Adirata. Walaupun aku seorang sudra, kata mereka, aku adalah anak yang cerdas berani dan jujur. Aku tumbuh dan dibesarkan dibawah asuhan pasangan Adirata dan Nyai Rada. Setelah menginjak dewasa, Basukarno sering berpetualang sendirian. Belajar kesana-kemari kepada orang-orang berilmu. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di Sokalima, ada dorongan yang amat kuat untuk mencecap ilmu kepada Pandita Durna. Namun dikarenakan ia adalah seorang sudra, Basukarno tidak berani berterus terang, karena tahu akibatnya, yaitu ditolak. Oleh karenanya ia memilih belajar secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui oleh siapa pun. Selain berguru kepada Pandita Durna, Basukarno juga berguru kepada Ramaparasu guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah. Seperti halnya ketika belajar di Sokalima, di hadapan Ramaparasu, Basukarno tidak mau berterus terang. ia menyamar sebagai seorang brahmana penggembara. Hal tersebut dilakukan karena Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu. Dengan menyamar sebagai brahmana, Basukarno diterima menjadi murid Rama Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas. Jika Basukarno ingin belajar ilmu setinggi mungkin, harapan Adirata sangatlah sederhana dan realistis. Ia menginginkan agar anaknya menjadi seorang sais kereta seperti dirinya. Agar harapan tersebut dapat tercapai, Adirata memberi kereta kuda kepada Basukarno, untuk belajar menjadi sais kereta. Basukarno tidak menolak pembereian ayahnya, malahan ia menggunakan kereka kuda tersebut untuk latihan perang-perangan. Kini, ketika Basukarno telah menjelma menjadi pemuda berilmu tinggi, Sengkuni dan Duryudana telah memeluknya. Di tengah-tengah para Kurawa, Basukarno tidak lagi seorang sudra. Ia telah diangkat menjadi Adipati yang sederajat dengan para ksatria Pandawa. Adipati Karno, demikianlah nama yang pantas disandang setelah pengangkatannya. Adipati Karno sungguh bahagia. Kebahagiaannya tidak semata-mata pengangkatan dirinya sebagai seorang adipati, melainkan dengan pengangkatan dirinya, jalan terbuka lebar untuk dapat berperang tanding melawan Arjuna, dikelak kemudian hari. herjaka HS

Bagong digambarkan pada wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)BagongTokoh Bagong digambarkan sebagai orang yang bertubuh pendek dan gemuk, matanya bundar besar, bibirnya ndower hidungnya kecil dan pesek. Sekilas postur tubuh Bagong mirip dengan Semar, kecuali bagian kepala. Kisah kelahiran Bagong bermula ketika Semar diperintahkan oleh Sang Hyang Tunggal, ayahnya turun ke dunia. Oleh karena sendirian, Semar meminta seorang teman. Sang Hyang Tunggal mengabulkan permintaan Semar dengan memuja bayangan Semar menjadi seorang manusia, yang kemudian diberi nama Bagong. Ada pula yang menceritakan bahwa yang memuja bayangan Semar menjadi Bagong adalah bukan Sang Hyang Tunggal, melainkan Semar sendiri. Hal tersebut dilakukan atas permintaan Petruk anak angkatnya yang tidak terima menjadi adik Gareng. Dikarenakan sebelum badannya rusak, Petruk adalah kakak Gareng dengan nama Raden Pecruk. Agar Petruk tetap menjadi seorang kakak, maka Semar mengangkat anak satu lagi dengan memuja bayangannya sendiri menjadi seorang manusia. Kemudian manusia tersebut diberi nama Bagong dan diangkat menjadi anak nomor tiga, adik Petruk. Bagong bersama Semar Gareng dan Petruk, disebut sebagai prepat Panakawan. Mereka selalu menemani, mendampingi kisah perjalanan hidup seorang ksatria untuk menggapai cita-cita luhur. Selain menemani dan mendampingi, prepat Panakawan juga berperan sebagai penasihat yang memberi solusi bilamana ksatria atau pun raja yang diikutinya menemui kesulitan. Kehadiran Bagong di antara para Panakawan sungguh memberi warna tersendiri dengan sifatnya yang kekanak-kanakan dan lucu. Bagong menjadi tokoh idola, kemunculannya selalu ditunggu-tunggu dikalangan masyarakat luas.Di daerah Banyumas, Bagong populer dengan sebutan Bawor. Kalau di Jawa Barat ia disebut Cepot atau Astrajingga. Sedangkan Jawa Timur Bagong lebih dikenal dengan nama Mangundiwangsa. Bagong. Istri Bagong adalah seoerang Dewi yang cntik bernama Dewi Bagnawati, putri Prabu Balya dari Kerajaan Pucangsewu. herjaka HS

Petruk yang digambarkan dalam bentuk wayang kulit Purwa, buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Museum Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)PetrukPetruk adalah adiknya Gareng, anak angkat Semar yang nomor dua. Postur tubuhnya jangkung dengan anggota badan yang serba panjang. Leher panjang, hidung panjang, tangan dan kakinya panjang, rambutnya dikuncir, mata agak sipit, bibirnya selalu mengulum senyum. Saking seringnya tersenyum Petruk senang tersenyum-senyum sendiri, seperti orang yang kehilangan ingatan. Oleh karena perangainya yang lucu, ramah dan murah senyum ia selalu tampil menghibur dan akrab dengan semua orang termasuk anak-anak. Sebelum diangkat anak oleh Semar, Petruk adalah seorang ksatria bernama Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore. Ia adalah sosok pemuda tampan yang gemar memperdalam ilmu dari kerajaan ke kerajaan serta menjalani laku tapa dari hutan ke hutan dan gunung ke gunung. Sebagai anak muda Bambang Precupanyukilan pantas berbangga dengan ketampanannya dan pencapaian ilmunya. Oleh karenanya ketika bertemu dengan Bambang Sukadadi seorang pemuda tampan yang juga gemar menjalani laku tapa seperti dirinya, Bambang Precupanyukilan merasa terancam keberadaannya. Pertemuan sesama pemuda tampan berlimu tinggi tersebut berujung pada perkelahian. Mereka menggunakan cara kekerasan untuk saling memaksakan kehendak, bahwa dirinyalah yang lebih tampan dan lebih sakti. Namun cara itu tidak menyelesaikan masalah. Hingga muka dan badan mereka rusak, belum ada satu diantaranya yang benar-benar mampu membuat lawannya tidak berdaya. Perkelahian terhenti ketika ada lurah cebol berkulit hitam dari Padepokan Karang Kadempel yang bernama Janggan Smarasanta yang menghampiri tempat itu. Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan sepakat meminta lurah Janggan Smarasanta menjadi hakim untuk memutuskan siapakah diantara keduanya yang paling tampan. Janggan Smarasanta mengatakan bahwa keduanya tidak ada yang tampan. Coba lihat wajah kalian pada telaga. Keduanya berlari ke telaga dan mendapati bahwa wajahnya telah rusak akibat perkelahian yang berkepanjangan. Ketampanan yang dianugerahkan telah pergi tanpa membawa rasa syukur dari pemiliknya. Mereka berdua menyadari ketololannya, dan meyesali perbuatannya, untuk kemudian memasrahkan diri kepada Janggan Smarasanta yang adalah titisan Sang Hyang Ismaya. Dengan perasaan iba Lurah Karang Kadempel yang kemudian terkenal dengan nama Semar tersebut mengobati luka keduanya, baik luka batin maupun luka raga. Dengan mantra tembang yang mengalun lembut keduanya tertidur pulas. Ketika Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan berbaring dalam ketenangan jiwa dan ketenangan raga, angan mereka menggembara pada suasana masa lalu yang pernah ditinggali ketika mereka masih kecil. Pada waktu itu mereka berdua bernama Kucir dan Kuncung, anak dari pasangan Gandarwa Bausasra dan Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa. Dikarenakan Gandarwa Bausasra mempunyai istri muda dan berpisah dengan Nyi Luntrung, Kucir dan Kuncing disia-siakan oleh ibu tirinya. Mereka tidak kerasan di rumah dan melarikan diri ke padepokan Karang Kadempel, dan kemudian diangkat anak oleh Lurah Janggan Semarasanta.Selesai menyusuri masa lalunya dari wilayah Gunung Nilandusa, angan Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan meloncat pada masa lalu yang lain, saat mereka menjadi anak raja Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Pecruk dan Penyukilan. Walaupun anak raja Jin keduanya berwajah tampan. Namun ketampanannya tidak digunakan sebagai mana mestinya. Kedua kakak beradik itu senang menakut-nakuti dengan mencegat orang untuk disakiti dan dirampas barang bawaannya. Pada suatu saat ketika sedang melakukan aksi pencegatan, Pecruk dan Penyukilan berhadapan dengan Semar yang baru saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah Semar oleh keduanya. Tetapi Semar melawan bahkan Pecruk dan Penyukilan diinjak-injak hingga tubuhnya rusak. Akhirnya Pecruk dan Penyukilan mohon ampun dan mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak itu diampuni asal bersedia menemani menjadi pamomong satria. Pecruk dan Penyukilan bersedia menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat menjadi anak Semar. Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya, dianggap sebagai saudara sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian Pecruk diangkat menjadi anak nomor dua dengan nama Petruk. Setelah mengingat bahwa dirinya pernah menjadi begal Bambang Precupanyukilan masih menyisakan angannya, bahwa ia pernah menjadi anak raja Gandarwa yang bernama Prabu Suwala dari negara Pecuk Pacukilan, namun ia tidak ingat lagi peristiwa peritiwa penting lainnya yang terjadi dimasa lalu. Memang, dengan mantra kidung yang ditembangkan, Semar sengaja ingin menghapus masa lalu nan getir yang pernah dialami oleh Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan, terlebih ketika mereka kehilangan ketampanannya. Agar untuk selanjutnya mereka dapat menjalani hidup dengan penuh semangat dan sukacitaSetelah mantra kidung selesai, Bambang Sukadadi dan Bambang Pecrupanyukilan tersadar dari tidurnya. Masa lalu yang pernah melintas dalam hidupnya hanyalah sebuah mimpi yang akan segera dilupakan. Ibarat seorang bayi yang lahir, mereka tidak ingat lagi masa lalunya. Yang mereka tahu bahwa mereka berdua adalah anak Semar yang diberi nama Gareng dan Petruk.Nama lain dari Petruk adalah: Kantong Bolong, Pentung Pinanggul, Doblajaya, Loncung Boing, Dawala, Udawala.Dengan pasangan Dewi Ambarwati Petruk mempunyai seorang anak laki-laki bernama Lengkungkusuma. Dalam riwayat hidupnya, Petruk pernah menjadi raja di negara Ngrancang Kencana dengan gelar Prabu Welgeduwelbeh.herjaka HS

Penggambaran tokoh Gareng dalam bentuk wayang kulit Purwa, buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)GarengDi padepokan Bluluktiba, tinggallah seorang ksatria muda berwajah tampan bernama Bambang Sukadadi. Sebagian besar dari hidupnya dijalaninya dengan laku tapa. Pada suatu waktu, ketika dalam perjalanan pulang sehabis melakukan tapa, Bambang Sukadadi bertemu dengan seorang pemuda tampan sebaya dirinya, bernama Bambang Precupanyukilan dari padepokan Kembangsore, yang juga gemar menjalani laku tapa. Pertemuan sesama petapa muda tersebut berujung dengan pertengkaran. Masing-masing dari keduanya merasa dirinyalah yang paling tampan, paling sakti dan paling unggul. Untuk membuktikan siapa yang pantas diunggulkan, mereka malakukan perang tanding, satu melawan satu. Konon perang tanding itu amatlah lama. Jika lelah mereka sepakat untuk berhenti, dan kemudian melanjutkan lagi. Beberapa hari berlalu, ketika perang belum juga usai, lewatlah Janggan Smarasanta manusia cebol yang kemudian menjadi tempat menitis Semar Ismaya, dari padepokan Karang Kadempel. Semar tidak sampai hati melihat wajah dan tubuh kedua rusak. Maka Semar mencoba melerainya dengan kata-kata. Apakah yang kalian perebutkan hai anak muda? Ketampanan? Atau kesaktian? Karena sesungguhnya ketampanan dan kesaktian yang dianugerahkan sudah tidak ada padamu. Lihatlah wajahmu telah rusak dan tidak ada pemenang diantara kalian. Mendengar seruan Semar, Bambang Sukadadi dan Bambang Precupanyukilan seperti diberi aba-aba, mereka menghentikan pertengkarannya dan lari untuk mendapatkan permukaan air nan jernih untuk melihat wajahnya. Keduanya lungkai dan lemas mendapati wajahnya yang telah rusak. Mereka menyesali perbuatan bodohnya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Atas penyesalan yang diungkapkan, Semar mengangkat mereka menjadi anaknya. Bambang Sukadadi, yang lebih tua diberi nama Gareng. Sedangkan Bambang Precupanyukilan menjadi adik Gareng bernama Petruk. Mengenai asal-usul Gareng ini ada beberapa versi, ada yang menyebutkan bahwa sebelumnya Gareng ini adalah anak dari pasangan Gandarwa Bausasra dan Nyi Luntrung yang berkuasa di wilayah gunung Nilandusa dengan nama Kucir. Karena disia-siakan Kucir dan Kuncung adiknya di ambil anak oleh Semar dan namamnya diganti dengan Gareng dan Petruk. Sedangkan menurut versi pedhalangan khusunya yang sering diceritakan oleh dalang Jogyakarta, Gareng sebelumnya adalah anak raja Jin yang bernama Gandarwa Raja Bali, dengan nama Penyukilan. Ia berwajah tampan tetapi nakal. Ia memiliki saudara tua bernama Pecruk. Bersama dengan kakaknya itulah ia sering mengganggu orang yang sedang lewat.Pada suatu saat ketika sedang melakukan aksi nakalnya, Pecruk dan Penyukilan berhadapan dengan Semar yang baru saja turun dari Kahyangan, maka diganggulah Semar oleh keduanya. Tetapi Semar melawan bahkan kedua anak itu diinjak-injak hingga tubuhnya rusak.Akhirnya Pecruk dan Penyukilan mohon ampun dan mengaku kalah. Oleh Semar, kedua anak itu diampuni asal bersedia menemani menjadi pamomong satria. Pecruk dan Penyukilan bersedia menuruti kehendak Semar. Keduanya diangkat menjadi anak Semar. Penyukilan yang lebih dulu rusak tubuhnya, dianggap sebagai saudara sulung dan diberi nama Gareng. Kemudian Pecruk diangkat menjadi anak nomor dua. Dari beberapa versi tersebut, Gareng ditempatkan sebagai anak angkat Semar yang nomor satu, dan selalu bersama Semar menjadi pamomong satria berbudi luhur. Dalam pewayangan Gareng digambarkan sebagai seorang yang serba cacat. Matanya juling hidungnya bulat, tangannya ceko atau bengkok, perutnya buncit seperti, kakinya pincang karena sakit bubulen. Namun dibalik semua kekurangan pada fisiknya, Gareng adalah seseorang yang sederhana, rendah hati dan jujur. Dalam pentas wayang kulit purwa, Gareng selalu tampil pada tengah malam saat adegan gara-gara. Ia tampil bersama Semar, Petruk dan Bagong. Gareng mempunyai seorang istri bernama Dewi Sariwati putri Prabu Sarawasesa dari kerajaan Saralengka. Dalam sejarah hidupnya, Gareng pernah menjadi seorang raja bergelar Prabu Pandu Pragola di kerajaan Paranggumiwang. Nama lain Gareng adalah: Nala Gareng, Nalawangsa, Cekruk Tuna, Pancal Pamor, Pegat Waja.herjaka HS

Batara Guru tidak mengendarai Lembu Andini, melainkan mengendarai sepasang Naga,wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) Batara GuruBatara Guru adalah raja para dewa, di kahyangan Jonggringsaloka, atau juga sering disebut kahyangan Suralaya. Kedudukannya sebagai penguasa tertinggi ini berkaitan dengan sayembara yang diadakan oleh Sang Hyang Tunggal ayahnya. Pada waktu ke tiga anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati, yaitu Sang Hyang Tejamantri (dari kulit telur), Sang Hyang Ismaya (dari putih telur) dan Sang Hyang Manikmaya (dari kuning telur) telah tumbuh dewasa, mereka memperebutkan penguasa tertinggi di kahyangan Suralaya. Untuk mengatasi agar tidak saling berebut, Hyang Tunggal mengadakan sayembara, barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera mampu memuntahkannya kembali, ia berhak menjadi penguasa Kahyangan. Sang Hyang Tejamantri sebagai putra tertua mendapat kesempatan pertama. Namun hingga mulutnya robek dan badannya rusak Sang Hyang Tejamantri yang kemudian terkenal dengan nama Togog tidak berhasil menelan gunung Saloka. Kesempatan ke dua diberikan kepada Sang Hyang Manikmaya. Ia berhasil menelan gunung Saloka tetapi tidak dapat mengeluarkan kembali. Gunung Saloka mengeram di pantat Sang Hyang Ismaya, sehingga pantatnya menjadi sangat besar, ia kemudian terkenal dengan nama Semar. Dengan kejadian tersebut Sang Hyang Manikmaya anak yang nomor tiga, dengan sendirinya tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti sayembara. Atas kebijaksanaan Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Manikmaya dinobatkan menjadi raja, dengan sebutan Batara Guru. Batara Guru adalah dewa yang berwajah tampan tetapi memiliki taring kecil, bertangan empat dua diantaranya selalu menggenggam pusaka andalan yang berupa cis, bentuknya seperti anak panah bermata tiga dalam ukuran besar. Kedua pusaka itu namanya adalah cis Jaludara dan cis Trisula. Lehernya berwarna biru/nila, serta kakinya apus, tidak kuat menopang badannya, sehingga ia selalu naik seekor lembu namanya lembu Andini.Batara Guru mempunyai banyak nama (dasanama) yang antara lain adalah: Batara Siwah, Sang Hyang Caturboja (bertangan empat), Sang Hyang Jagadnata, Sang Hyang Girinata, Sang Hyang Nilakantha (berleher nila), Sang Hyang Udipati, Batara Trinetra (bermata tiga).Pada dasarnya nama-nama tersebut menggambarkan ciri dan perwatakkan dari Batara Guru yang dikenal di masyarakat. Namun sering juga antara nama yang satu dan nama yang lainnya menunjuk sosok pribadi yang berbeda. Misalnya, nama Batara Guru diberi kesan berbeda dengan Batara Siwa. Walaupun menjadi raja dari para dewa, Batara Guru bukanlah makhluk yang sempurna. Seperti halnya manusia, atau pun dewa lainnya. Ia tidak jarang berbuat salah. Dalam berbagai lakon, Batara Guru beberapa kali melakukan kesalahan, ia sering tidak dapat mengendalikan nafsu birahinya, nafsu amarahnya, dan dendamnya. Menurut mitologi Hindu, Batara Guru ini disebut Dewa Siwa, yaitu salah satu Dewa yang dipercaya sebagai perusak dunia. Dewa pencipta dunia adalah Dewa Brahma dan Dewa pemelihara dunia adalah Dewa Wisnu, selanjutnya ketiga dewa tersebut disebut dengan Tri Murti. Menurut sejarahnya, mengapa Batara Guru mempunyai tangan empat, karena pada waktu itu ia merasa kesulitan untuk menangkap Dewi Uma, bidadari yang amat dicintainya. Pasalnya selain sakti, Dewi Uma sangat licin, sehingga ia selalu dapat melepaskan diri dari tangkapan Batara Guru. Pada hal Dewi Uma telah berjanji, ia mau menjadi istri Batara Guru, jika ia dapat menangkapnya. Atas kesulitan itu, Batara Guru memohon kepada Sang Hyang Wenang kakeknya, agar ia dapat menangkap Dewi Uma. Oleh kakeknya ia diberi tangan empat, yang kemudian dengan keempat tangannya, Batara Guru berhasil menangkap Dewi Uma, dan mengambilnya menjadi istri. Dengan Dewi Uma Batara Guru mempunyai anak yang diantaranya adalah Batara Sambo, Batara Brama, Batara Endra, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Sakra, Batara Asmara dan Batara Mahadewa. Selain bertangan empat, Batara Guru mempunyai taring akibat dari kutukan Dewi Uma istrinya. Karena pada waktu bercengkerama bersama istrinya, Batara Guru melakukan tindakan atas Dewi Uma seperti layaknya seorang raksasa. Sedangkan leher Batara Guru berwana nila kebiru-biruan, karena ia telah menelan racun yang muncul dari samodra Mantana, tempat para dewa mencari Tirta Amerta. Racun tersebut sengaja ditelan oleh Batara Guru demi penyelamatan para dewa, yang pada waktu itu saling berebut ingin menelan racun, karena dikira Tirta Amerta. Herjaka HSFigur Wayang

Semar dalam penggambaran wayang kulit purwa,buatan Kaligesing Purworejo,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) SemarPada mulanya Semar adalah dewa berparas tampan, bernama Sang Hyang Ismaya. Ia mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Tejamantri dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Semar berawal dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Telur tersebut kemudian dipuja oleh Sang Hyang Tunggal. Kulit telur menjadi anak laki-laki tampan yang lahir sulung dan diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Disusul oleh kelahiran anak kedua yang berasal dari putih telur yang diberi nama Sang Hyang Ismaya. Sedangkan anak laki-laki tampan nomor tiga berasal dari kuning telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya.Ketiga laki-laki anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati tersebut setelah dewasa saling berebut kekuasaan di Kahyangan. Untuk mengambil keputusan siapa yang berhak menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan, Sang Hyang Tunggal menggelar sayembara. Barang siapa dapat menelan gunung Saloka dan dengan segera memuntahkannya kembali akan di jadikan penguasa tertinggi di kahyangan. Sang Hyang Ismaya berhasil menelah gunung Saloka tetapi tidak berhasil memuntahkan kembali, akibatnya Sang Hyang Ismaya yang sebelumnya tampan berubah wujud menjadi gemuk bulat, pendek, hitam dan berparas jelek. Karena gagal memenangkan sayembara, Sang Hyang Ismaya tidak mendapat kekuasaan di kahyangan, ia diperintahkan turun ke dunia sebagai pamomong para ksatria dan bertempat tinggal di Karang Kadempel atau Karang Kabolotan. Sejak menjadi pamomong, ia tidak pernah lagi disebut-sebut sebagai dewa dengan nama Sang Hyang Ismaya. Semuanya tersamarkan di dalam tugasnya sebagai pamomong atau panakawan. Ia dipanggil dengan nama Semar, dari kata samar atau tidak jelas.Nama lain dari Semar adalah Badranaya yang artinya rembulan, dikarenakan badannya bulat seperti rembulan. Perkawinannya dengan Dewi Kanestren, Semar mempunyai 10 orang anak yaitu: 1. Batara Bongkokan, 2. Batara Patuk, 3. Batara Temburu, 4. Batara Wrehaspati, 5. Batara Yamadipati, 6. Batara Surya, 7. Batara Candra, 8. Batara Kwera, 9. Batara Kamajaya dan 10. Dewi Darmanastiti. Tugas Semar yang terutama dan utama adalah mengantar ksatria yang diemongnya untuk mendapat wahyu. Wahyu yang berdaya guna untuk memayu hayuning bawana. herjaka HS

Togog dalam penggambaran wayang kulit purwa,koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono) TogogTogog digambarkan sebagai seorang yang bertubuh pendek dan gemuk. Mulutnya lebar dan menjorok panjang, bentuknya seperti mulut bunglon. Pada waktu kecil hingga remaja nama Togog adalah Sang Hyang Tejamantri atau Sang Hyang Antaga atau juga Sang Hyang Puguh. Ia berparas tampan, anak dari pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Togog Tejamantri mempunyai dua saudara laki-laki yang bernama Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Kisah kelahiran Togog berawal dari sebuah telur yang dilahirkan oleh Dewi Rekatawati. Kemudian telur itu dipuja oleh Sang Hyang Tunggal menjadi tiga laki-laki tampan. Kelahiran laki-laki tampan yang nomor satu berasal dari kulit telur dan diberi nama Sang Hyang Tejamantri. Laki-laki tampan yang nomor dua lahir berasal dari putih telur dan diberi nama Sang Hyang Ismaya dan laki-laki tampan nomor tiga lahir berasal dari kuning telur dan diberi nama Sang Hyang Manikmaya.Dari kecil hingga remaja mereka bertiga hidup rukun. Namun setelah dewasa masing-masing dari mereka menginginkan menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan. Ketiga anak pasangan Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati ter