23
FILSAFAT JOGED MATARAM SATU KM1AN TENTANG KONSEP ESTETIS TARI JAWA Bambang Pudjasworo Satu konsep yang barangkali saja sudah begitu sering disinggung dalam setiap pembicaraan tentang tari Jawa terutama tari gaya Yogyakarta, adalah filsafat joged Mataram. Secara harafiah istilah tersebut bisa diartikan sebagai suatu konsep dasar pemikiran dalam tari Jawa. Semula, konsep ini -- yang sering pula disebut dengan nama lain yakni ilmu joged Mataram -- merupakan suatu dasar pemikiran yang sangat rahasia dan dikenalkan oleh para guru tari kepada siswa-siswinya secara turun-temurun melalui ajaran secara lesan dan langsung pada penghayatan tarinya. Oleh karena itu, selama lebih dari seratus lima puluh tahun, konsep ini menjadi begitu tertutup dari segala kemungkinan untuk bisa disentuh oleh setiap orang. Bahkan tidak setiap guru tari ataupun para penari gaya Yogyakarta berhasil

FILSAFAT JOGED MATARAM

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: FILSAFAT JOGED MATARAM

FILSAFAT JOGED MATARAM

SATU KM1AN TENTANG KONSEP ESTETIS TARI JAWA

Bambang Pudjasworo

Satu konsep yang barangkali saja sudah begitu sering disinggung dalam setiap

pembicaraan tentang tari Jawa terutama tari gaya Yogyakarta, adalah filsafat

joged Mataram. Secara harafiah istilah tersebut bisa diartikan sebagai suatu

konsep dasar pemikiran dalam tari Jawa. Semula, konsep ini -- yang sering pula

disebut dengan nama lain yakni ilmu joged Mataram -merupakan suatu dasar

pemikiran yang sangat rahasia dan dikenalkan oleh para guru tari kepada

siswa-siswinya secara turun-temurun melalui ajaran secara lesan dan langsung

pada penghayatan tarinya. Oleh karena itu, selama lebih dari seratus lima puluh

tahun, konsep ini menjadi begitu tertutup dari segala kemungkinan untuk bisa

disentuh oleh setiap orang. Bahkan tidak setiap guru tari ataupun para penari gaya

Yogyakarta berhasil memahami makna yang terkandung dalam fisafat joged

Mataram. Dari data historis yang ada tampaknya juga sulit untuk bisa didapatkan

suatu penjelasan atau penjabaran secara lebih rinci tentang konsep dasar tersebut.

Baru kemudian, untuk pertama kalinya konsep ini diperkenalkan secara lebih

terbuka olch Gusti Bandara Pangeran Harya Soeryobrongto, salah seorang putera

Sri Sultan Hamengku Buwana VIII yang sekaligus juga merupakan scorang pakar

tari klasik gaya Yogyakarta, melalui ceramahnya di Akademi Seni Rupa Indonesia

Yogyakarta pada tahun 1968. Dan semenjak itu, semenjak joged Mataram tidak

Page 2: FILSAFAT JOGED MATARAM

lagi sekedar dijunjung sebagai nilai yang hanya pantas untuk diletakkan di atas

kepala dan disimpan sebagai sebuah rahasia, melainkan disadari sebagai bagian

dari realitas kehidupan tari itu sendiri yang harus senantiasa dipahami baik oleh

setiap penari maupun penata tari, maka berbagai diskusi tentang filsafat joged

Mataram pun segera dimulai. Beberapa tulisan yang sampai saat ini senantiasa

dipandang pantas untuk diacu bagi setiap pembicaraan tentang filsafat joged

Mataram, juga hadir mewarnai perbincangan tersebut.

Tampaknya sampai saat ini hal yang masih begitu menarik pada setiap kali

perbincangan tentang filsafat joged Mataram adalah usaha untuk menjelaskannya

sebagai dasar kejiwaan dalam tari Jawa gaya Yogyakarta. Artinya aspek kualitatif

filsafat joged Mataram lebih banyak dipermasalahkan dalam kaitannya dengan

aspek batiniah dari tari gaya Yogyakarta. Sementara itu bagaimana penjabaran

konsep dasar tersebut ke dalam setiap perilaku menari (anjoged) dan menata tari

(angripta joged) tampaknya masih memerlukan penjelasan tersendiri.

Sungguhpun antara menari dan menata tari adalah dua hal yang berbeda, namun

pada dasarnya kedua perilaku tersebut tidak bisa untuk begitu saja dilepaskan dari

kaitannya dengan filsafat joged Mataram sebagai konsep dasar pemikiran dalam

tari Jawa. Secara teknis, menari (anjoged) barangkali lebih dipahami sebagai

bentuk pelampiasan rasa penari di dalam merasakan kegembiraan dan kenikmatan

bergerak dengan penuh keterampilan. Sedangkan menata tari (angripta joged)

akan lebih dipahami sebagai bentuk upaya penata tari di dalam menciptakan tari

sebagai suatu karya seni. Perhatian penata tari tidaklah terbatas pada sekedar

Page 3: FILSAFAT JOGED MATARAM

kesenangan akan gerak tubuh, melainkan dengan formulasi keseluruhan dari

sesuatu yang terstruktur. Dalam konotasi ini, maka bagi seorang penata tari

masalah tata hubungan, pertalian, pemilahan ataupun penetapan bagian-bagian

akan menjadi terasa lebih menarik dan sangat penting. Penjelasan tersebut

menunjukkan bahwa ada kebutuhan dan tujuan yang berbeda di antara keduanya,

akan tetapi terarah pada keberhasilan satu aspek yang sama, yaitu tari. Oleh

karena itu kini sudah saatnya bagi kita untuk memeriksa sejauh mana masalah

filsafat joged Mataram sebagai konsep dasar pernikiran dalam tari Jawa tersebut

harus diorientasikan. Setidaknya, pengkajian terhadap urgensi dan kontribusi

filsafat joged Mataram terhadap peningkatan kemampuan menari dan menata tari,

serta daya dukungnya terhadap peningkatan kualitas artistik suatu karya tari, akan

sangat berarti bagi usaha penggalian konsep-konsep dasar tari dan konsep-konsep

dasar keilmuan tentang tari yang berasal dari khasanah budaya Jawa (baca:

Indonesia). Sudah barang tentu ini merupakan kerja besar yang selain

membutuhkan waktu lebih panjang dan ruang pembabasan yang lebih luas, juga

membutuhkan dana yang lebih besar. Oleh karena itu - menyadari segala

keterbatasannya -tulisan singkat ini akan lebih difokuskan pada salah satu topik

pembicaraan, yaitu tentang filasafat joged Mataram dalam hubungannnya dengan

dasar-dasar perilaku menari (anjoged).

Page 4: FILSAFAT JOGED MATARAM

Prinsip Dasar Filsafat Joged Mataram:

Secara konsepsional, filsafat joged Mataram, ini tersusun dalam empat macam

prinsip dasar, yaitu:

1. Sawiji, yang berarti konsentrasi secara total (total concentration) akan

tetapi tanpa harus menimbulkan ketegangan atau kekacauan dalam jiwa

(without mental disorder).

2. Greged adalah dinamika atau semangat jiwa (inner dynamic), yang

sering Gbaratkan seperti api yang membara di dalam jiwa sescorang.

tetapi greged hartis dilakukan dengan suatu pengendalian diri untuk

tidak mengarah pada kekasaran (without being coarse).

3. Sengguh, yang berarti percaya diri (self-confidence), akan tetapi tanpa

harus mengarah pada kesombongan atau arogansi (without being

arrogant).

4. Ora mingkuh, yang berarti memiliki kemauan keras, penuh tanggung

jawab dan pantang mundur (no-retreat) akan tetapi harus disertai

dengan usaha untuk membangun disiplin diri (self-disciplin).

Page 5: FILSAFAT JOGED MATARAM

Berdasarkan uraian di atas, maka minimal ada dua pengertian dasar yang harus

dipahami oleh setiap orang yang bermaksud mendalami filsafat joged Mataram.

Pertama, adalah pengertian bahwa masing-masing prinsip dasar tersebut pada

hakekatnya merupakan prinsip yang dibangun berdasarkan unsur-unsur yang

bersifat paradoks. Di satu sisi dikandung unsur "kebebasan" sementara di sisi

yang lain dikandung unsur "keterbatasan". Akan tetapi pada hakekatnya,

keduanya berada pada prinsip yang satu dan tunggal. Kedua, adalah pengertian

bahwa keempat macam prinsip dasar tersebut juga harus dipahami sebagai satu

kesatuan tunggal yang tidak terpisahkan satu sama lain. Prinsip sawiji tidak akan

pernah bisa tercapai tanpa didasari oleh ketiga prinsip yang lain. Demikian pula

sebaliknya, masing-masing prinsip tersebut juga tidak akan pernah bisa tercapai

tanpa didasari oleh ketiga prinsip yang lain. Demikian pula sebaliknya,

masing-masing prinsip tersebut juga tidak akan pernah bisa direalisasi tanpa

keterlibatan dari masing-masing prinsip lain. Dengan demikian filsafat joged

Mataram hanya mungkin untuk dibangun berdasarkan pada hubungan struktural

dari masing-masing prinsip dasarnya.

Secara khusus pengertian masing-masing prinsip dasar tersebut bisa dijelaskan

sebagai berikut. Prinsip sawiji adalah prinsip yang harus dibangun oleh seorang

penari dengan suatu konsentrasi total, terhadap tari dan peran yang dibawakannya.

Bahkan boleh jadi akan mengarah pada peleburan penuh antara diri si penari

dengan tari dan peran yang sedang dibawakannya. Dengan prinsip greged,

seorang penari diharuskan untuk menyalurkan (mengekspresikan) inner

Page 6: FILSAFAT JOGED MATARAM

dynamic-nya berdasarkan pengembangan intensitas perasaan ke dalam berbagai

kemungkinan gerak tubuh dengan sekaligus disertai usaha pengendalian diri

(self-control) yang sempurna untuk menghindari over acting. Prinsip sengguh

mengandung pengertian bahwa seorang penari harus tampil dengan penuh percaya

diri pada kemampuannya, akan tetapi sejauh mungkin harus menghindari sifat

yang penuh kesombongan atau arogansi. Sedangkan prinsip ora mingkuh

mewajibkan para penari untuk melakukan kewajibannya dengan penuh disiplin

disertai dengan dedikasi dan loyalitas yang tinggi. Tanpa dedikasi dan loyalitas

yang tinggi tersebut niscaya tidak akan pernah bisa dicapai suatu kemampuan

menari yang baik. Semuanya itu menunjukkan bahwa pada dasarnya seorang

penari harus mampu tamyil menyatu dengan tari yang dibawakannya sebagai

sebuah fenomena yang lengkap.

Menurut Pengeran Suryobrongto, manifestasi proses kristalisasi joged Mataram

tersebut ada dua macam, yaitu: self-control, yang artinya penguasaan lahir dan

batin, dan kepanjingan (ecstasy). Dalam hal ini self-control menggambarkan

adanya ungur keterbatasan, sedangkan ecstasy menggambarkan adanya unsur

kebebasan. Bebas tetapi terbatas adalah gambaran dari sifat paradoks dalam

filsafat joged Mataram. Ben Suharto, dalam diagram sastra wirasa munggeng

joged Mataram, menjelaskan tentang sifat paradoks tersebut sebagai suatu

manifestasi dari pergeseran tingkat kesadaran penari di dalam usahanya untuk

mewujudkan kesatuan harmonis antara simbol dan makna dalam tari. Oleh karena

itu penjabaran masing-masing prinsip dasar tersebut dalam perilaku menari harus

Page 7: FILSAFAT JOGED MATARAM

diletakkan pada kemampuan penguasaan penari terhadap prinsip keseimbangan

antara ecstasy di satu sisi dengan self control di sisi lain. Artinya agar menari

(anjoged) tetap bisa tampil di dalam tingkat kewajaran dari tari (joged) itu sendiri,

maka di dalam diri penari unsur-unsur pembentuk ecstasy atau kepanjingan

(yaitu: fokus, dinamika, percaya diri, dan pantang mundur) harus diletakkan

secara seimbang (atau bahkan manunggal) dengan unsur-unsur pembentuk

self-control (yaitu: kondisi tanpa ketegangan jiwa, tanpa kekasaran, tanpa

kesombongan, dan penuh kedisiplinan).10 Dengan kata lain ecstasy dan

self-control secara simultan harus dikuasai oleh scorang penari pada saat ia

mclaksanakan kewajibannya. Tingkat kewajaran dari scorang penari ketika ia

harus membawakan peran ataupun ketika ia harus menarikan tarian tertentu, akan

sangat tergantung pada kernampuan dari penari tersebut di dalarn usahanya untuk

mennerjemahkan (menjabarkan) tingkat penguasaan ecstasy dan self-control

selaras dengan tuntutan watak dasar peran ataupun tari yang sedang

dibawakannya. Di dalam hal ini, maka penerapan sawij4 greged, sengguh, dan

ora mingkuh akan hadir dalam tingkatan yang berbeda-beda sesuai dengan peran

atau tarinya. Barangkali sekelumit contoh penjelasan tentang penerapan prinsip

dasar greged akan bisa lebih memberikan gambaran yang jelas.

Penerapan prinsip greged dalam setiap perilaku menari bisa diibaratkan dengan

usaha manusia untuk senantiasa menunjukkan semangat hidup di dalam dirinya.

Semangat hidup ini akan menjadi jiwa dari setiap langkahnya. Schingga semangat

hidup, yang di dalam tari biasa disebut dengan istilah greged, akan merupakan inti

Page 8: FILSAFAT JOGED MATARAM

kemanusiaannya. Oleh karena itu pada setiap perilaku menari greged ini dipakai

untuk memahami ketepatan semangat dalam usaha bagaimana seorang penari

pada tingkat kesadaran yang penuh dapat mencapai titik tengah pada suatu

rentangan antara ecstasy dan self-control. Ketika prinsip ini harus diterapkan oleh

scorang penari, maka kesadaran terhadap penguasaan unsur paradoksnya --

kcbebasan (ecstasy) dan keterbatasan (self-control) – harus diterapkan selaras

dengan watak dasar peran dan tari yang dibawakannya. Sebagai suatu misal ketika

scorang penari membawakan peran sebagai Prabu Rahwana, ia harus sadar bahwa

meskipun secara teknis pola dasar gerak tarinya ditetapkan memakai gerak Kalang

Kinantang gagah -- seperti haInya Prabu Baladewa -- akan tetapi karena watak

dasar peran Prabu Rahwana lebih didominasi olch watak raksasa yang penuh

nafsu angkara murka, maka kewajaran dalam penerapan greged-nya akan sangat

berbeda dengan kewaiaran penerapan greged untuk Prabu Baladewa. Sudah

barang tentu scorang penari yang memerankan Prabu Baladewa tetapi dengan

greged Rahwana tentu akan terasa over acting. Demikianlah ternyata bahwa

karakter joged (tari) ternyata tidak sepenuhnya mampu mencerminkan konsep

karakter peran secara utuh. Olch karena itu membayangkan penerapan greged

untuk tad Bedhaya dan Srimpi sama dengan tari Golek atau tari Gambyong adalah

mustahil.

Pada akhirnya gambaran di atas akan menunjukkan bahwa di dalam menctapkan

bagaimana sescorang itu menari dengan baik atau sebaliknya, maka tolok ukur

tidaklah harus ditetapkan berdasarkan pada kemampuan penguasaan teknis dari

Page 9: FILSAFAT JOGED MATARAM

tingkat kelembutan seseorang di dalam menari. Artinya bila hal itu (tinght

kelembutan) harus dipakai sebagai tolok ukur, maka perlu untuk terlebih dahulu

dipadukan dengan tingkat kelembutan atau sebaliknya dari karakter yang

dibawakan.

Sementara itu, peneapaian tingkat ecstasy (kepanjingan) hanya mungkin terjadi di

dalam tingkat penguasaan prinsip dasar sawiji, di mana kesadaran

ditransformasikan ke dalam tingkat peleburan secara penuh dengan tari dan peran

yang dibawakannya. Akan tetapi agar tingkat kepanjingan ini tidak mengarall

pada trance (ndadi) seperti apa yang biasa dilakukan oleh para penari Jathilan

atau Kuda Kepang, maka jiwa-raganya secara penuh harus tetap berada di bawah

kontrol kesadarannya, karena konsentrasi tersebut tidak mengarah pada

ketegangan antara jasmani dan rohani.

Penari dan Koreografi

Pada dasarnya seorang penari ketika ia sedang melaksanakan kewajibannya

haruslah tidak terikat pada perasaan-perasaan yang aktual. la harus bebas dari

setiap kesadaran objektif yang aktual dan praktikal seperti halnya perbuatan

sehari-hari. Maka kewajiban seorang penari di sini bukanlah untuk

mengekspresikan dirinya sendiri, melainkan lebih dimaksudkan untuk

mengkomunikasikan bentuk-bentuk perasaan lewat penyajian simbolis. Oleh

karena itu tidaklah mengherankan apabila pada taraf tertentu seorang penari

Page 10: FILSAFAT JOGED MATARAM

mampu mencapai tingkat kepanjingan. Sungguhpun demikian, seberapa besar

kemampuan seorang penari di dalam penguasaan filsafat joget Mataram tentu

tidak akan mungkin untuk diukur hanya berdasarkan pada pemahaman

intelektualitasnya terhadap berbagai prinsip dasar filsafat joged Mataram tersebut.

Bagaimanapun juga kemampuan penguasaan penari terhadap keempat macam

prinsip dasar tersebut harus diukur secara teknis lewat kamampuan penguasaan

keseimbangan antara penguasaan wiraga (keterampilan gerak tari) - wirama

(irama gendhing, irama gerak, dan irama tari) dan wirasa (karakter joged dan

karakter peran). Tentulah mustahil untuk bisa menerapkan prinsip-prinsip sawiji,

greged, sengguh, dan ora mingkuh tanpa harus dituntut untuk memiliki

kemampuan penguasaan teknik gerak dan irama. Dengan demikian prinsip-prinsip

dalam filsafat joged Mataram dan prinsip-prinsip dasar gerak dan irama dalam tari

haruslah saling melengkapi satu sama lain dan merupakan simbiosa yang saling

menguntungkan bagi keberhasilan suatu penampilan tari. Secara khusus, dalam

hubungannya dengan konsep bentuk dan isi, sering dinyatakan bahwa tari gaya

Yogyakarta merupakan tekniknya (bentuk wadag) sedangkan filsafat joged

Mataram adalah isi atau jiwanya.

Dari berbagai penjelasan di atas, bisa ditarik pengertian bahwa filsafat joged

Mataram memiliki suatu kontribusi yang besar bagi peningkatan kemampuan

penari, baik secara teknis maupun dalam kemampuan penghayatan tarinya. Dan

barangkali suatu hal yang menarik apabila dipertanyakan mengapa secara

Page 11: FILSAFAT JOGED MATARAM

konsepsional (khususnya bagi tari Jawa) perlu mendapatkan tekanan pada usaha

pembentukan penari yang baik?

Kebutuhan sebuah tari adalah kebutuhan yang sangat kompleks. Kehadirannya

sering dirasa kurang lengkap apabila tidak ditunjang oleh berbagai kelengkapan

lain. Tetapi yang jelas tentu tidak akan mungkin untuk meniadakan unsur

penunjang yang paling pokok, yaitu penari. Tiada tari tanpa penari, itu jelas.

Namun ternyata tidak setiap penari mampu memenuhi setiap kebutuhan dan

tuntutan tari. Artinya bahwa tuntutan sebuah tari terhadap penari akan sangat

tergantung dari kernampuan penari di dalam memberikan daya dukung terhadap

tingkat kesulitan suatu koreografi. Kebutuhan daya dukung penari untuk

koreografi beksan Lawung tentu sangat berbeda dengan Wayang Wong. Secara

struktural jalinan-jalinan gerak yang terorganisasi dalam koreografi beksan

Lawung akan tampak lebih rumit bila dibandingkan dengan struktur koreografi

Wayang Wong. Demikian pula di dalam sistem jalinan komunikasi dan koordinasi

antar penari. Secara teknis kerumitan di dalam koreografi beksan Lawung perlu

diantisipasi dengan usaha memenuhi kebutuhan daya dukung penari yang

berkualitas tinggi, baik dalam arti kemampuan penguasaan teknik gerak dan

irama, penguasaan prinsip-prinsip dasar filsafat joged Mataram, maupun

kemampuan di dalam menjalin kerjasama yang baik di atas pentas serta kesamaan

kualitas gaya dari masing-masing penarinya. Oleh karena itu, secara teknis

koreografis, seorang penari akan merasa lebih berat untuk mampu memenuhi

kebutuhan koreografi dalam beksan Lawung. Sementara itu, bagi koreografi

Page 12: FILSAFAT JOGED MATARAM

Wayang Wong, tuntutan secara teknis koreografisnya barangkali tidak akan

sekompleks koreografi beksan Lawung. Pada banyak adegan dalam Wayang

Wong gaya Yogyakarta (kecuali pada bagian enjeran dan perang) tidak terlalu

jelas adanya jalinan koordinatif yang memungkinkan seorang penari atau peran

mengkomunikasikan dirinya lewat gerak dengan penari lain atau peran lain,

kecuali lewat pengucapan atau dialog. Adegan kelompok di dalam koreografi

Wayang Wong tidak secara jelas menampilkan keterikatan kelompok yang

menyatu dan dialektis. Hal yang barangkali sulit untuk diterapkan di dalam

beksan Lawung. Satu hal yang tampaknya cukup sulit untuk bisa dilakukan olch

para penari dalam penyajian Wayang Wong adalah masalah penghayatan terhadap

peran yang sedang dibawakannya. Walaupun pola gerak dalam Wayang Wong

pada umumnya tidak begitu rumit, akan tetapi aspek penghayatan terhadap peran

ternyata cukup berat dan menuntut konsentrasi yang total. Bukan hanya

keluluhannya (nyawiji) dengan karakter peran, tetapi juga dituntut adanya sikap

menari yang konsisten sesuai dengan peran dan karakterisasi gerak (joged)

sepanjang penyajian tari tersebut. Maka salah satu keberhasilan penyajian

Wayang Wong gaya Yogyakarta terletak pada kemampuan para penarinya di

dalam mengekspresikan karakter-karakter yang diperankan, baik secara jiwani

maupun dalam penghayatan bentuk geraknya.

Demikian telah dijelaskan, bahwa pada dasarnya tidak setiap koreografi

memerlukan dukungan penari yang betul-betul baik. Akan tetapi juga tidak setiap

penari akan mampu memenuhi kebutuhan (tuntutan) bagi setiap koreografi.

Page 13: FILSAFAT JOGED MATARAM

Sungguhpun demikian, ternyata hampir sebagian besar tarian istana (di Jawa)

secara kualitatif senantiasa memerlukan daya dukung penari-penari yang

berkemampuan tinggi.

Filsafat Joged Mataram sebagai Paradigma

Rupa-rupanya filsafat joged Mataram telah dijadikan suatu paradigma bagi upaya

pencapaian kemampuan untuk menjadi penari yang berkualitas tinggi. Tentu saja

pencapaian kemampuan ini tidak begitu saja mudah untuk dilakukan tanpa upaya

yang sungguh-sungguh dan menempa diri di dalam laku yang berat, sebab tidak

mudah bagi scorang penari untuk mencapai tingkat penguasaan ecstasy dan

self-control. Akan tetapi yang barangkali perlu juga untuk direnungkan adalah

apakah filsafat joged Mataram tersebut hanya mampu untuk dipakai sebagai

paradigma bagi tari gaya Yogyakarta saja ataukah bisa diterapkan secara lebih

universal.

Barangkali kalau direnungkan, akan bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya

konsepsi semacam filsafat joged Mataram ini bukanlah merupakan konsepsi yang

secara spesifik menjadi milik tari gaya Yogyakarta saja. Konsepsi ini adalah

konsepsi yang bersifat universal, yang bisa berlaku pada hampir semua bentuk

tari. Di dalam suatu penyajian tari, setiap penari harus sentiasa dituntut untuk

meluluhkan diri ke dalam peran dan tari yang sedang dibawakannya. la harus

berada dalam keadaan kepanjingan pada saat menyajikan tarinya. Setiap penari

Page 14: FILSAFAT JOGED MATARAM

yang baik harus berupaya diri untuk menguasai sawiji, greged, sengguh, dan ora

mingkuh. Kemampuan penguasaan teknis gerak tari dan kemampuan penghayatan

(penjiwaan tari) harus terpadu menjadi suatu kesatuan yang terintegrasi ke dalarn

diri si penari. Di sini intensitas penampilan seorang penari akan Semakin tampak

di dalam jalinan keselarasan antara presentasi teknis dan penjiwaan. Dalam situasi

dan kondisi semacam ini, penari akan masuk dalam suasana yang serba indah,

untuk melampiaskan rasa dan kenikmatan bergerak dengan penuh keterampilan.

Demikianlah, secara formal penari dan penata tari sama-sama harus memikul

tanggung jawab buat keberhasilan suatu karya tari. Seorang penari, harus pula

meningkatkan disiplin teknik tarinya untuk memungkinkan tubuh melakukan

berbagai kemungkinan gerak tanpa kesukaran. Sementara penata tari hendaknya

memandang tari bukan sekedar sebagai akumulasi berbagai macam gerak,

melainkan perlu pula memperhatikan kaidah-kaidah estetis suatu bentuk tari, yang

antara lain -- menurut Elizabeth R. Hayes -- meliputi aspek: unity, variety,

repetition, contrast, transition, sequence, climacs, proportion, balance, dan

harmony. Dan untuk lebih menjamin keutuhan kualitas garapan, maka kebutuhan

akan penari harus betul-betul dipertimbangkan dalam keselarasan atau

keseirnbangannya dengan tingkat kesulitan koreografinya.

Sebagai suatu kesimpulan, bisa dinyatakan bahwa secara teknis joged Mataram

adalah konsepsi yang sesungguhnya kita butuhkan. Setidak-tidaknya sebagai

paradigma untuk meningkatkan kemampuan penjiwaan tari yang baik. Tetapi

Page 15: FILSAFAT JOGED MATARAM

untuk mewujudkan cita-cita tersebut, masih banyak dibutuhkan upaya yang lebih

serius lagi, antara lain adalah kebutuhan akan penjabaran yang lebih rinci dan

lebih sisternatis dari konsepsi tersebut, terutama untuk menghindari kerancuan

dalam menafsirkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Sampai saat ini,

hal tersebut merupakan salah satu kekurangan yang cukup tampak dalam setiap

penjelasan mengenai joged Mataram.

Situasi dan kondisi kehidupan tari saat ini, semakin menuntut tampilnya

penari-penari yang berkualitas tinggi untuk mampu memberikan keseimbangan

dalam memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan pengembangan koreografi.

Untuk itu, semakin dirasakan kebutuhan akan lahirnya konsep-konsep untuk

membentuk penari yang baik. Dan seharusnya, joged Mataram mempunyai

banyak kemungkinan untuk hisa dikembangkan ke arah itu.