28
Filsafat Wujud Mulla Shadra Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan fundamental dalam filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang terus- menerus mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas dan dalam. Tuhan ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian muncul bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar pemikiran filsafat Shadrian. Karena menurut pandangan pencetus aliran ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan landasan bagi isu-isu filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan, manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)? Melalui pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan prinsip-prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud), kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab pertanyaan apakah itu wujud? Defenisi Wujud Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat

Filsafat Wujud Mulla

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Filsafat Wujud Mulla

Filsafat Wujud Mulla Shadra

Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan

fundamental dalam filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan

transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang terus-menerus

mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas dan dalam.

Tuhan ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian muncul

bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar pemikiran filsafat Shadrian.

Karena menurut pandangan pencetus aliran ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan

landasan bagi isu-isu filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan,

manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)?

Melalui pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan prinsip-

prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud),

kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum

membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab

pertanyaan apakah itu wujud?

Defenisi Wujud

Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai

konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara

definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek

filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi

ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas yang diabtraksikan benak

dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas

daripadanya. Oleh karena itu pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang

demikian sulit jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini mengingat bahwa untuk

mendefenisikan suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri.

Sementara itu konsep tentang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir

dalam benak.[2]

Tiga prinsip Filsafat Mulla Shadra

Pertama, ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud). Berdasarkan penghayatan spiritual

yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra

menemukan suatu pemahaman bahwa keseluruhan eksisistensi bukanlah sebagai objek-objek

Page 2: Filsafat Wujud Mulla

yang ada (exist) atau maujud-maujud (existents), yang menemukan partikularitasnya di dunia

objektif karena berbagai kuiditas yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu

realitas tunggal. Pembahasan mengenai hubungan wujud dan kuiditas (mahiyah) akan dibahas

pada prinsip yang ketiga yaitu tentang ashalah al-wujud.[3]

Teori wahdah al-wujud mula-mula dicetuskan oleh Ibnu ‘Arabi. Teori yang

diperkenalkan oleh Ibnu ‘Arabi tersebut lebih bernuansa sufistik daripada filososfis. Ibnu ‘Arabi

melihat tatanan wujud sebagai penjelmaan (tajalliyat) dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan

pada cermin ketiadaan. Penafsiran terhadap teori ini kemudian diradikalkan oleh Ibnu Sab’in

sebagai teori kesatuan wujud yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang

selainnya hanyalah ilusi. Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan penghubungannya

antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi laiknya cahaya-cahaya matahari dalam

hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun

pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed Hossein Nasr, wahdah al-

wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat Shadra, tanpa fondasi itu seliruh pandangan

dunianya akan rapuh.[4]

Permasalahannya kemudian, jika yang wujud hanyalah satu, apakah ada yang terdapat

pada Tuhan sama dengan ada pada manusia dan spidol? Jika Tuhan sama dengan ada, manusia

sama dengan ada, dan spidol sama dengan ada, bisakah proposisi ini dibalik menjadi ada sama

dengan Tuhan dan seterusnya? Mulla Shadra menyatakan bahwa ada itu setara dan sama bagi

semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Kedati demikian, adanya Tuhan adalah

ada murni sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan esensi. Hal ini bisa dipahami

karena menurut Shadra, semakin sempurna suatu wujud, semakin sedikit esensi yang

ditunjukkannya.[5]

Wujud adalah satu realitas yang membentang yang kemudian menemukan

partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Dari sini kemudian muncul prinsip yang

kedua, ambiguitas wujud (tasykik al-wujud). Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat

hierarkis. Wujud tersebut membentang membetuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke

tingkatan yang lebih rendah.

Mulla Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan dan gradasi. Teori ini

menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang juga menyatukan

mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh cahaya, tetapi satu

Page 3: Filsafat Wujud Mulla

sama lainnya juga dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing. Namun

berbeda dengan iluminisme yang mengalami graditas dalam esensi, Mulla Shadra menempatkan

graditas tersebut pada eksistensi.[6]

Fazlur Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang menyatakan

keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:

1. Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti

eksistensi Tuhan yang wajib dan makhlu yang mumkin adalah sama dari sisi predikat

eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik

wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak

menjadi ambigu atai analog, tetapi perbedaan yang mencolok,

2. Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat

setiap maujud unik,

3. Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam, dan dilamapaui oleh bentuk-

bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syaiy

(bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas

yang disebut “sesuatu”.)[7]

Prinsip ketiga yang kemudian menjadi dasar filsafat Shadra adalah ashalah al-wujud.

Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada.

Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip

sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai

merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi

(wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu

(united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut

sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[8]

Namun, perdebatan yang sangat sengit terjadi antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah

yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh Mulla

Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai sifat umum segala

yang ada, yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder

yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep dan abtraksi

mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita menganggap bahwa wujud sebagai

sifat esensi yang sebenarnya, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud.

Page 4: Filsafat Wujud Mulla

Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang

bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau

mengalami regresi yang infinite.[9]

Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah wujud,

sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya wujud bukan hanya lebih

prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab

sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam

seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah

yang ada di hadapan kita tidak lebih dari pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan

bentangan wujud itu sendiri.[10]

Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:[11]

Pertama, esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi predika

“ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi (realitas) itu sendiri, maka tidak dapat

dinegasikan, karena menegasi inti atau dzat adalah mustahil dank arena ada realitas yang

ekstrim, tidak netral terhadap ada dan tidada.

Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi

adalah ciri pembeda antar segala sesuatu.

Ketiga, sesuatu disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai eksistensi.

Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang

riil dan objektif hanyalah eksistensi.

Keempat, karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak wujud-

lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak mungkin menjadi prinsip dan sumber

pengaruh riil, kebaikan dan kesempurnaan.

Kelima, perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah

bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak

memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan. Seandainya esensi (kuiditas) adalah

sejati (orisinal atau nyata), maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif serta

pengaruh-pengaruh subjektif. Namun kenyataan empirik menyatakan sebaliknya.

Keenam, berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada, menjadi

ada. Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang netral, tiada ada dan

tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada,

Page 5: Filsafat Wujud Mulla

dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa wujud lebih

mendasar dan nyata.

Ketujuh, setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan.

Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.

Demikianlah pembahasan seputar masalah wujud dalam filsafat Shadra. Seyyed hossein

Nasr menyatakan bahwa ajaran metafisika Mulla Shadra sebenarnya bukan hanya bisa dipahami

melalui prinsip-prinsip ini, namun juga dengan mengetahui hubungan–hubungan yang terjalin di

antara mereka.[12] Wujud tidak hanya satu, melainkan juga bergradasi. Selanjutnya wujud tidak

hanya bergradasi melainkan juga sejati dan mendasar yang memberikan kesejatian kepada

esensi.

Daftar Pustaka

Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, 2006. Bandung: Mizan

Rahman, Fazlur, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka

Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003

Jurnal al-Huda Vol. III. No. 8. 2003

Jurnal al-Huda Vol. III. No. 9. 2003

Jurnal al-Huda Vol. III. No. 10. 2004

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.

2003. Bandung: Mizan

Yazdi, Muhammad Taqi Misbah, Buku Daras Filsafat Islam. 2003. Bandung:

Mizan

[1] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003.

Bandung: Mizan. Hal. 918

[2] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam. 2003. Bandung: Mizan. Hal. 170

[3] Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003

[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003.

Bandung: Mizan. Hal. 916

[5] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 39

Page 6: Filsafat Wujud Mulla

[6] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 45-49. Lihat juga Jurnal al-Huda

Vol. III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud.

[7] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal 48-49. Lihat juga Jurnal al-Huda

Vol. III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud.

[8] Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003

[9] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 35

[10] Ibid, hal. 44. Dan Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1.

2003

[11] Muhsin Labib, Hawzah Ilmiyah Qum; Ladang Peternakan Filosof Muslim Benua Lain

dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 9. 2003

[12] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003.

Bandung: Mizan. Hal. 918

Page 7: Filsafat Wujud Mulla

Konsep Kesatuan Wujud (Al-Wahdatul Wujud)

Oleh: Mohammad Adlany

Apa yang dimaksud dengan wahdatul wujud? Ragam benda yang berada pada

sekumpulan yang memiliki sebuah nama dan nama tersebut juga dengan sesuatu yang lain pada

himpunan yang lain menjadi satu nama (yang lain) sehingga pada akhirnya segala sesuatu berada

pada satu nama yaitu alam semesta. Akan tetapi, semesta bukan merupakan satu wujud. Lantaran

dari satu sisi dikarenakan dua sifat kemahakuasaan dan kepenciptaan Tuhan alam semesta

senantiasa berkembang. Kedua, alam semesta dapat dibagi. Alam semesta terbagi menjadi alam

non-materi dan materi. Alam non-materi (mujarrad) terbagi menjadi para malaikat dan ruh

hingga sampai pada satu per satu malaikat yang tidak dapat terbagi lagi. Adapun alam materil,

pembagian ini terus menerus berulang hingga sampai pada materi pertama yang membentuk

alam semesta sehingga tidak dapat terbagi lagi. Namun juga tidak terdapat kesatuan (al-wahdat)

di antara mereka. Karena tatkala salah satu dari hal yang tak-terbagi ini kita letakkan satu dengan

yang lain maka akan membentuk sesuatu yang lain; artinya ia dapat dirangkap.

Akan tetapi, Tuhan adalah Mahakuasa tidak terbagi juga tidak berangkap. Dia adalah Esa

dan sekali-kali tidak akan menjadi dua. Dia adalah universal dan sekali-kali tidak akan menjadi

partikular. Ia tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Dia tiada Tuhan selain-Nya (Allah).

Keesaan hanya terkhusus bagi-nya. Dan makhluk-Nya sekali-kali tidak akan pernah sampai pada

kedudukan ini.

Maksud para arif dan filosof terkait dengan wahdatul wujud bukanlah konsep bahwa

keseluruhan semesta ini adalah Tuhan; karena keseluruhan tidak memiliki wujud dan kesatuan

(al-wahdat) hakiki. Wahdatul wujud juga bukanlah ittihad (persatuan) antara Tuhan dan seluruh

entitas lantaran ittihad (dalam artian bahwa terdapat dua hal yang tanpa menghilangkan

identitasnya dan dualitasnya kemudian menjadi satu) adalah suatu hal yang mustahil. Demikian

juga wahdatul wujud ini tidak bermakna tajâfi (tidak mendiami suatu ruang atau tempat tertentu

sehingga dikatakan bersama dengan manifestasi-Nya) atau talabbus (menutup selain-Nya

sehingga tidak nampak identitas dan hakikat manifestasi-Nya).  

Yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa keberadaan dan wujud itu hanya

terbatas pada Dzat Allah Swt; segala sesuatu selain Allah merupakan jelmaan dan manifestasi

keberadaan-Nya; hal ini bermakna bahwa Allah Swt adalah Keberadaan dan Wujud murni.

Kuatnya intensitas dan kesempurnaan wujud-Nya menjadi sebab kecintaan-Nya untuk menjelma

Page 8: Filsafat Wujud Mulla

dan memanifestasi. Dzat Allah Swt adalah cinta (isyq) dan mahabba itu sendiri. Dan hal yang

paling dicintai di sisi-Nya adalah menyaksikan Dzat-Nya sendiri dengan jalan menyaksikan

jelmaan-jelmaan Dzat-Nya sendiri yang disebut sebagai “istijlâ” (menjelmanya Dzat Allah Swt

untuk Dzat-Nya sendiri dalam entifikasi).

Istijlâ total tidak akan terlaksana kecuali dengan penampakan-Nya pada setiap jelmaan.

Dengan kata lain, yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa wujud pada saat ia

adalah satu dan esa akan tetapi berbilang, banyakdan beragam. Seperti jiwa manusia yang satu

karena jelas bahwa setiap orang tidak lebih dari satu orang akan tetapi pada saat yang sama ia

memiliki pelbagai fakultas baik itu fakultas lahir atau fakultas batin (segala afeksi, digestif,

berkembang, melahirkan) adalah satu dimana jiwa adalah fakultas itu sendiri dan fakultas adalah

jiwa itu sendiri. Karena itu, wahdatul wujud dengan interpretasi yang benar ini tidak

berseberangan dengan menjuntainya alam semesta dan juga tidak bertentangan dengan

banyaknya dan beragamnya eksisten dan entitas.

Untuk menjelaskan persoalan ini terdapat beberapa poin yang mesti diperhatikan:

A. Pengertian kesatuan (al-wahdah)

Definisi dan pengertian “kesatuan” menurut pandangan para filosof adalah bersifat

aksiomatik, gamblang, dan tidak membutuhkan pendefinisian. Karena mereka berkeyakinan

bahwa “kesatuan” setara dan identik dengan “wujud”, dan pendefinisiannya adalah mustahil

sebagaimana pendefinisian “wujud”, kecuali berujung pada pendefinisian yang bersifat

“lingkaran setan” (daur) atau pendefinisian sesuatu dengan perantaraan dirinya sendiri.[1]

B. Pembagian kesatuan

Para filosof menguraikan tentang jenis-jenis “kesatuan” atau “satu” (al-wâhid): Kesatuan

terbagi menjadi hakiki dan non hakiki. Kesatuan hakiki dikatakan pada sesuatu apabila kesatuan

itu adalah sifat dari zatnya dan hubungannya dengan kesatuan bukanlah bersifat predikat, seperti

manusia satu. Kesatuan non hakiki adalah sesuatu yang kesatuan itu adalah bukan sifatnya,

namun bersifat predikat, seperti manusia dan kuda yang memiliki kesatuan dalam kehewanan.[2]

Kesatuan hakiki ada yang bersifat esensial (zati) yang merupakan kesatuan itu sendiri; ini

tidak lain adalah wujud murni yang tidak memiliki sekutu dan tidak berulang (dalam wujudnya),

disini “satu” dan “kesatuan” adalah sama. Kesatuan hakiki ini yang dinamakan “kesatuan

mutlak”. Begitu pula, kesatuan hakiki ada yang bersifat non esensial yang bukan merupakan

Page 9: Filsafat Wujud Mulla

kesatuan itu sendiri, akan tetapi tersifati dengan kesatuan, seperti manusia satu. Jenis ini disebut

sebagai “kesatuan non mutlak”.

Kesatuan non mutlak ini juga terbagi menjadi “kesatuan khusus” dan “kesatuan umum”.

“Kesatuan khusus” adalah satu bilangan yang dengan pengulangannya akan terbentuk suatu

bilangan. “Kesatuan umum” seperti kesatuan dalam species atau kesatuan dalam genus.

“Kesatuan khusus” juga terbagi menjadi, sebagaimana dari aspek sifat kesatuan itu tidak dapat

terbagi-bagi, tidak dapat terbagi-bagi dari dimensi bahwa dia tersifati dengan kesatuan atau dapat

terbagi-bagi dari sisi dia tersifati dengan kesatuan. Bentuk pertama dari “kesatuan khusus” ini

juga terbagi: sebatas makna kesatuan itu sendiri dan tidak terbagi-bagi ataukah selain itu. Dan

yang selain itu, apakah tidak dapat diisyaratkan dengan suatu keadaaan ataukah dapat

diisyaratkan dengan suatu kondisi. Yang tidak bisa diisyarahkan dengan suatu keadaan terbagi

menjadi: tidak bisa diisyaratkan dengan materi seperti jiwa yang dari aspek perbuatan terkait

dengan materi ataukah seperti akal yang mutlak (dari sisi zat dan perbuatan) tidak terkait dengan

materi. Bentuk kedua dari “kesatuan khusus” itu, yakni dapat terbagi-bagi dari aspek tersifati

dengan kesatuan, juga terbagi menjadi: keterbagian itu bersifat substansial seperti kuantitas atau

ukuran yang satu ataukah keterbagian itu bersifat aksidental seperti materi alami yang satu yang

dari aspek ukurannya dapat menerima pembagian.

“Kesatuan umum” terbagi menjadi: kesatuan umum dari aspek makna ataukah kesatuan

umum dari aspek keluasan wujud seperti “wujud munbasith” (wujud yang mencakup segala

sesuatu). Bagian pertama dari “kesatuan umum” ini juga terbagi menjadi: kesatuan dalam species

seperti manusia ataukah kesatuan dalam genus seperti hewan ataukah kesatuan dalam aksiden

seperti berjalan dan tertawa.

Kesatuan non hakiki adalah sesuatu itu tersifati dengan kesatuan dari aspek kesamaannya

dengan yang lain seperti Hasan dan Husain memiliki kesatuan dari aspek kemanusiaan atau

manusia dan kuda memiliki kesatuan dari aspek kehewanan.[3]

Kiranya urgen kita menyebutkan satu poin di sini bahwa dalam perspektif Hikmah

Muta’aliyah (Filsafat Mulla Sadra) “kesatuan mutlak” itu terbagi dua:

1. Kesatuan mutlak hakiki;

2. Kesatuan mutlak bayangan.[4]

Pembagian ini adalah untuk membedakan antara penisbahan kesatuan mutlak kepada Zat

Yang Maha Suci dan penisbahan itu kepada selain-Nya. Yakni kesatuan mutlak hakiki terkhusus

Page 10: Filsafat Wujud Mulla

kepada Zat Suci Tuhan, dan segala realitas selain-Nya menggunakan istilah kesatuan mutlak

bayangan.

C. Kesatuan mutlak

Salah satu persoalan yang paling mendasar yang terkait dengan penerimaan konsep

“kesatuan wujud” (wahdatul wujud) adalah masalah kesatuan mutlak atau “kesatuan dalam

kejamakan” (wahdat dar aini katsrat) dan “kejamakan dalam kesatuan” (katsrat dar aini

wahdat). Yakni harus dilihat bahwa bagaimana sesuatu yang satu itu pada saat yang sama juga

memiliki kejamakan atau sesuatu yang jamak pada saat yang sama juga memiliki kesatuan,

bagaimanakah akal manusia bisa menerima hal ini dan tidak memandangnya sebagai realitas

yang saling berlawanan?

Salah satu jalan yang terbaik untuk menguraikan dan menjelaskan permasalahan ini

(berkumpulnya antara kesatuan dalam kejamakan dan kejamakan dalam kesatuan) adalah kaidah

basithul hakikah.[5] Menurut Allamah Hasan Zadeh Amuli, salah satu keajaiban kaidah ini

adalah puncak perbedaan salah satu sisi merupakan dalil atas keberadaan sisi yang berlawanan,

karena puncak ketunggalan dan kesatuan menyebabkan menjadi puncak kejamakan dan

keragaman. Sebagaimana keajaiban lain dari kaidah ini adalah basithul hakikah yakni dia adalah

segala sesuatu pada saat yang sama dia juga bukanlah sesuatu itu. Yang pasti, “dia adalah segala

sesuatu itu” dari aspek aktualitas segala sesuatu dan “dia bukanlah sesuatu itu” dari aspek

kelemahan dan keterbatasannya; ini tidaklah saling bertolak belakang.[6]

Dalam penjelasan yang lain, Allamah juga menyatakan, “Dari kalimat para urafa  dapat

diungkapkan bahwa puncak kesempurnaan setiap sifat adalah memiliki kemampuan untuk tidak

sirna dan lemah dihadapan sesuatu yang berlawanan dengannya, bahkan dalam proses yang terus

menyempurna dan menguat dengan kejamakan itu. Oleh karena itu, dalam al-Quran dan hadis-

hadis yang terkait dengan pernikahan nama-nama dan sifat-sifat Ilahi terdapat makna-makna

yang saling berlawanan seperti dalam Asmaul Husna (Nama-nama Jamaliyah Tuhan), Dia Yang

Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu,

begitu pula Dia Yang Lembut dan Yang Memaksa, Dia Yang Memberikan Keuntungan dan

Yang Memberikan kerugian, Dia Yang Maha Menjauhkan dan Yang Maha Mendekatkan, Dia

Yang Maha Meninggikan dan Yang Maha Merendahkan, Dia Yang Maha Memberikan Petunjuk

dan Yang  Maha Menyesatkan. “Kesatuan mutlak hakiki” ini juga dinamakan sebagai “kesatuan

total”, dan kejamakan ini disebut dengan kejamakan cahaya.

Page 11: Filsafat Wujud Mulla

D. Manifestasi dan tajalli

Dapat disimpulkan bahwa kunci utama penyelesaian teka teki konsep “kesatuan wujud”

harus dicari dalam permasalahan manifestasi dan tajalli. Perkara manifestasi dan tajalli

merupakan masalah-masalah utama ilmu irfan. Masalah ini hadir dalam segala persoalan-

persoalan irfan dan memiliki posisi kunci. Posisi ini sedemikian pentingnya sehingga ketika

dipahami secara benar bisa dikatakan telah mengetahui pondasi dan asas irfan. Problematika lain

irfan hanyalah hasil dan cabang dari masalah itu.[7] Dengan dasar inilah, Sadruddin Syirazi alias

Mulla Sadra ketika menisbahkan persoalan kausalitas (al-‘illiyah) itu kepada masalah

manifestasi dan tajalli dia mengumumkan bahwa penemuan baru ini mengantarkan filsafat pada

kesempurnaan.[8]

E. Penjabaran konsep manifestasi dan tajalli

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ontologi dan kosmologi irfan didasarkan pada

sistem manifestasi dan tajalli. Dapat diuraikan bahwa berasaskan ilmu irfan, wujud itu hanya

khusus dialamatkan pada Tuhan, selain Tuhan merupakan manifestasi, bayangan, citra, tajalli

Tuhan. Dengan penjelasan: Tuhan merupakan wujud murni. Intensitas dan kesempurnaan wujud-

Nya lah yang menyebabkan kecintaan akan manifestasi dan tajalli. Zat Suci Tuhan tidak lain

adalah cinta dan mahabbah itu sendiri, dan seseatu yang paling dicintai di sisi Tuhan adalah

memandang Zat-Nya sendiri melalui manifestasi-manifestasi-Nya yang dalam istilah dinamakan

istijla (yakni menjelmanya Zat Tuhan untuk Zat-Nya sendiri dalam entifikasi). Dan istijla

sempurna tidak akan hadir kecuali kehadiran-Nya dalam setiap manifestasi dari bayangan-

bayangan.[9]

Para urafa berkeyakinan bahwa tingkatan zat (sebelum manifestasi) adalah gaibul guyub

(kegaiban mutlak) yang berada dalam “ketersembunyian” dan kegaiban murni.[10] Manifestasi

pertama dan tingkatan pertama tajalli tidak lain dalah manifestasi Zat Suci Tuhan untuk Zat-Nya

yang dalam istilah dikatakan “kesatuan mutlak hakiki”. Seorang arif “menyingkap” kesatuan

mutlak hakiki ini dari sudut pandang kegaiban mutlak Tuhan dengan tanpa memandang nama-

nama dan sifat-sifat Tuhan. Kesatuan mutlak hakiki ini tidak jauh berbeda dengan tingkatan

ghaibul guyub dan Identitas Mutlak, yakni terletak di antara batas manifestasi dan non

manifestasi, oleh karena itu[11]:

1. Tidak dikatakan dalam tingkatan manifestasi, bahkan dia terkadang dinamakan sebagai Identitas

Mutlak;

Page 12: Filsafat Wujud Mulla

2. Tidak ada sesuatu pun yang ada dihadapan-Nya dan Dia “mengandung” segala sesuatu. Di samping

Dia hadir dalam batin Dia juga hadir dalam lahir, dengan demikian Dia memiliki dua wajah, lahir dan

batin. Wajah batin itu dikatakan tingkatan ahadiyah, yakni Tuhan memandang Diri-Nya sendiri

dalam keadaan memiliki segala sifat dan nama Ilahi dengan tanpa manifestasi terperinci yakni dalam

kondisi basith (melihat yang terperinci dalam keadaannya yang tunggal). Sedangkan wajah lahir

kesatuan hakiki tersebut dinamakan tingkatan wâhidiyah yang tidak lain adalah maqam manifestasi

nama-nama dan sifat-sifat, yakni Tuhan menyaksikan Zat-Nya sendiri dalam keadaan mempunyai

semua nama dan sifat dalam bentuknya yang terperinci (menyaksikan yang tunggal dalam

keadaannya yang terperinci). Maqam wâhidiyah inilah sebagai sumber hadirnya kejamakan dan

keragaman di alam. Kejamakan ini pada awalnya hadir dalam bentuk ilmu, yakni karakteristik dari

nama dan sifat Ilahi serta realitas-realitas eksternal (segala sesuatu selain Tuhan yang terwujud di

alam eksternal) mendapatkan kehadirannya dalam bentuk ilmu, dan karena hadir dalam bentuk ilmu

maka tidak terdapat kejamakan hakiki dan dualisme wujud seperti Yang Mencipta dan yang tercipta.

Para urafa menyatakan bahwa segala sesuatu yang hadir dalam bentuk ilmu adalah dengan

perantaraan faidhul aqdas (emanasi paling suci), yakni paling suci dari sifat-sifat kejamakan.

Kemudian segala sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifat Ilahi mendapatkan kehadirannya secara

eksternal yang disebabkan oleh faidhul muqaddas (emanasi suci). Faidhul muqaddas ini juga

dinamakan sebagai faidhul munbasith, nafasurrahman, ruhul muhammad (nur muhammadi), dan

makhluk pertama yang dicipta oleh Tuhan. Walaupun Faidhul muqaddas merupakan realitas yang

satu dan tunggal, sebagaimana kaidah al-wâhid (yakni realitas yang tunggal hanya terwujud dan

terpancar dari yang tunggal juga), dan seperti Tuhan sebagai Yang Awal dan sekaligus Yang Akhir

serta tidak terdapat satupun sekutu bagi-Nya, maka begitu pula tidak terdapat dua atau tiga Faidhul

muqaddas, karena dia tidak lain adalah manifestasi dari Yang Awal dan Akhir serta Yang Lahir dan

Yang Batin. Akan tetapi, dari aspek manifestasi-manifestasi terdapat tiga alam yang berada dalam

cakupannya, antara lain: 1. Alam arwah (akal), 2. Alam mitsal, dan 3. Alam materi.[12]

Bagaimanapun, dalam perspektif irfan, karena zat Tuhan tersifati dengan kesatuan hakiki

dan kemutlakan hakiki, maka zat Tuhan dipandang sebagai prinsip fundamental dalam irfan,

maka konsekuensinya adalah kehadiran Tuhan di dalam semua kejamakan dan keragaman

realitas. Dan kehadiran Tuhan ini tidak bersifat aksidental, melainkan kehadiran yang bersifat

eksistensial dalam kejamakan itu sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hukum kemutlakan

wujud Tuhan, Dia hadir dalam kejamakan secara eksistensial dan hakiki. Namun, kehadiran

Page 13: Filsafat Wujud Mulla

eksistensi-Nya yang mutlak berdasarkan kemutlakan itu sendiri tidaklah menyirnakan kejamakan

dan keragaman realitas selain-Nya.

Dengan ungkapan lain, irfan teoritis dalam mengupas dan menganalisa kejamakan

realitas yang ada mencoba mengusulkan teori manifestasi. Kejamakan dan keragaman dalam

sistem eksistensi ini tidak lain adalah manifestasi, bayangan, citra, dan tajalli dari sifat dan nama

Tuhan. Yang dimaksud dengan Manifestasi disini adalah kehadiran mutlak Ilahi dari maqam

kemutlakannya sendiri (yakni maqam tanpa syarat, sifat, dan nama, atau maqam gaibul guyub)

dan “berpakaian” dengan keterbatasan-keterbatasan. Perlu dikatakan bahwa kehadiran mutlak

Ilahi, dari maqam kemutlakannya sendiri (yakni maqam tanpa syarat, sifat, dan nama, atau

maqam ghaibul guyub) turun ke maqam “keterbatasan”, tetap dalam wilayah kemutlakan-Nya

yang mutlak namun dalam kondisi yang telah terbatasi, bukan suatu kemutlakan yang

berlawanan dengan keterbatasan sehingga tergambar adanya dua realitas hakiki yang berbeda.

Zat Tuhan dalam maqam kemutllakan-Nya memiliki segala realitas dan kejamakan, akan

tetapi kejamakan ini dalam tingkatan zat Tuhan tidak tergambar adanya perlawanan satu sama

lain secara terperinci. Yakni apabila zat mempunyai sifat Yang Maha Menunjukkan (al-Hadi),

maka tidak bisa dikatakan bahwa lawan dari sifat al-Hadi itu yakni al-Mudhil (Yang Maha

Menyesatkan) tidak terdapat dalam zat-Nya, melainkan zat Tuhan dari sisi kemutlakan hakiki-

Nya (tidak terkait dengan nama dan sifat apapun) mempunyai kedua nama al-Hadi dan al-Mudhil

ini, dengan penekanan bahwa dalam maqam zat dengan hukum kemutlakan-Nya itu tidak

tergambar sama sekali adanya suatu kejamakan. Nama-nama dan kejamakan-kejamakan itu hadir

dalam bentuk yang tunggal dan “padat”, bukan dalam bentuknya yang terperinci dan saling

berlawanan. Ketika yang tunggal itu menjadi terperinci dan yang “padat” itu menjadi terpancar

maka saat itu pulalah terbentuk suatu proses manifestasi dan tajalli. Oleh karena itu, satu hakikat

memiliki satu tingkatan “pasif” yang berbentuk “padat” dan menyatu dengan hakikat-hakikat

lain dan juga memiliki satu tingkatan pancaran yang akan hadir secara berlawanan dengan nama-

nama dan sifat-sifat yang lain.

Perlu ditambahkan bahwa kesatuan hakiki, pada saat yang sama “mengalir” (ber-tajalli)

dalam kejamakan, pada tingkatan zat, tidak bersama dan lebih tinggi dari “aliran” (tajalli) itu,

karena sebagaimana yang lalu bahwa Tuhan pada tingkatan zat-Nya tidak memiliki sekutu dan

lawan sehingga perlu dibahas tentang “aliran” (tajalli) dan tiadanya “aliran”. Namun, ketika Zat

Mutlak itu sendiri berdasarkan kemutlakannya dan berada pada posisi di atas “aliran” akan ber-

Page 14: Filsafat Wujud Mulla

tajalli dalam batasan-batasan dan identitas-Nya akan mengaktual dalam manifestasi serta Diri-

Nya Sendiri merupakan salah satu nama dari nama-nama-Nya.[13]

Jiwa Manusia, Contoh Kesatuan Mutlak

Banyak contoh yang bisa digunakan untuk menjelaskan tentang kesatuan wujud dan

sistem manifestasi, salah satu contoh yang paling sempurna adalah jiwa manusia. Berdasarkan

Hikmah Muta’aliyah, “kesatuan jiwa” adalah sejenis dengan “kesatuan mutlak bayangan”.

Hubungan antara jiwa dan fakultas-fakultasnya sejenis hubungan dan koneksi iluminatif.

Fakultas dan indera jiwa merupakan manifestasi yang beragam dari jiwa yang satu. Kesatuan ini

tidak hanya tidak bertentangan dengan kejamakan, bahkan ketika kesatuan itu semakin kuat

intensitasnya maka semakin luas dia meliputi keragaman dan kejamakan itu. Karena jika wujud

itu semakin kuat intensitasnya, maka kesatuan dan ketunggalannya akan semakin kuat,

keluasannya pun akan semakin sempurna, dan semakin kuat menyatu dengan banyak kejamakan.

Dengan ungkapan lain, sebagaimana gerak menyempurna jiwa akan berpengaruh pada intensitas

persatuannya dengan fakultas dan indera serta menambah keluasan wujudnya. Setiap kali jiwa

mencapai kesempurnaan yang semakin tinggi maka kesatuannya akan semakin menguat dan

keluasan wujudnya pun akan semakin bertambah.[14]

Filosof Ilahi Mulla Hadi Sabzawari dalam ulasannya atas kitab Asfar menyatakan,

“Maksud dari kesatuan jiwa dan fakultas-fakultasnya adalah bukan bermakna bahwa jiwa adalah

kumpulan dari fakultas-fakultas itu, karena kumpulan dan gabungan tidak memiliki eksistensi

dan kesatuan hakiki. Begitu pula, jiwa dan fakultas-fakultasnya tidak mengalami persatuan (al-

ittihad), karena persatuan (makna persatuan adalah dua sesuatu yang bergabung menjadi satu

yang masing-masing dari keduanya tidak kehilangan identitas dan hakikat kediriannya pasca

penggabungan) untuk kasus jiwa adalah mustahil, begitu pula jiwa tidak akan mengalami

perpindahan (perpindahan yang sebagaimana dialami oleh suatu benda) dari satu tingkat ke

tingkat lainnya, melainkan yang dimaksud adalah jiwa meliputi dan bersama dengan semua

tingkatan, ketika jiwa berada pada tingkatan yang rendah maka tidak berarti dia meninggalkan

tingkatannya yang tinggi. Sewaktu jiwa tersifati dengan akhlak yang tinggi, maka dia pun tidak

kehilangan tingkatannya yang rendah. Dan yang dimaksud juga adalah jiwa memiliki kesatuan

mutlak bayangan yang bisa dipredikasikan dengan beragam makna yang tinggi dan rendah

dengan tidak bertentangan sedikitpun dengan kesatuannya.”[15]

Page 15: Filsafat Wujud Mulla

Berkaitan dengan kesatuan jiwa dengan fakultas-fakultasnya, Sadrul Muta’allihin

mengungkapkan, “Dari satu dimensi kita memiliki ilmu intuitif atau ilmu fitriah yang

menegaskan bahwa jiwa dan zat kita adalah tunggal dan satu. Kita mengetahui bahwa sesuatu

terdapat pada kita yang mencerap universalitas itu sebagaimana dia mengetahui yang

partikularitas, darinya muncul keinginan dan kehendak, marah, dan sebagainya. Dari sisi lain

tidak bisa dikatakan bahwa kesatuan jiwa dengan fakultas-fakultasnya sejenis kesatuan

komposisi dan kombinasi seperti hubungan antara komandan dengan prajurit atau hubungan

antara orang tua dengan anak-anaknya, melainkan mesti dikatakan bahwa jiwa dan seluruh

fakultasnya memiliki kesatuan alami dengan manifestasi yang berbeda-beda.”[16]

Filosof Ilahi, Ali Mudarris Zanury, pemilik kitab Badayi’ul Hikam, dalam komentarnya

terhadap kita Asfar menerangkan secara sempurna dan indah tentang kesatuan jiwa tersebut. Dia

menjelaskan, “Kesatuan jiwa yang tidak lain adalah eksistensi jiwa itu sendiri merupakan bentuk

khusus dari kesatuan, dan kesatuan itu bersifat menyeluruh yang mencakup keseluruhan

manifestasi dari wujud sedemikian sehingga dapat dipolakan sebagaimana “kesatuan dalam

kejamakan” dan “kejamakan dalam kesatuan”. Jika jiwa dipandang dari aspek zatnya sendiri dan

kesempurnaan akhirnya maka dia memiliki eksistensi yang satu, dan kalau dilihat dari aspek

perbuatan-perbuatannya sendiri maka dia tidak lain adalah zat itu sendiri dalam wajah perbuatan

dan perilakunya yang memilki eksistensi yang berbeda, terpisah, beragam, dan jamak. Dengan

demikian, jiwa dalam hakikat zatnya sendiri tidak tersifati dengan keterkumpulan dan

keterpisahan, dia jauh dari dua sifat ini. Misalnya, sumber wujudnya adalah salah satu dari

tingkatan-tingkatan yang ada yang mendahului dari sisi zaman namun terbelakang dari dimensi

zat. Tingkatan-tingkatan terdahulunya dari aspek zat tidak lain adalah tingkatan-tingkatan

terbelakang zat, walaupun dari dimensi derajat-derajat menaik dan menurun bukanlah zat itu

sendiri. Jadi, jiwa dalam ketinggian maqamnya ada di alam yang rendah dan di alam yang rendah

ini tetap dalam maqamnya yang tinggi. Dalam kerendahan alam materi dia suci dan dalam

kesuciannya dia berada di alam yang rendah ini. Dalam keterkaitannya  dengan materi dia sendiri

bersifat nonmateri dan dalam kenonmateriannya dia terikat dengan materi. Jiwa bersama dengan

cabang-cabang perbuatannya, namun tidak seperti kebersamaan sesuatu dengan sesuatu. Begitu

pula, dia terpisah dari segala perbuatan dan perilakunya akan tetapi tidak seperti keterpisahan

sesuatu dari sesuatu. Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri maka dia akan mengetahui

Tuhannya. Ini tidak lain adalah rahasia-rahasia ketauhidan yang terkadang disebut oleh para

Page 16: Filsafat Wujud Mulla

Imam Ahlulbait Nabi Alaihimussalam sebagai “perkara di antara dua perkara” (in between) atau

berada di antara kutub penyerupaan (tasybih) mutlak dan kutub pensucian (tanzih) mutlak.”[17]

[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]

[1]. Asfar, jil. 2, hal. 83. Allamah Thabathabai ra, Nihayatul Hikmah, hal. 138. Resoley-e Wahdat

as Didgoh-e ‘Oref  wa Hakim,  dar majmue-ye yozdah risale-ye farsi, hal. 27; Ayatullah Jawad

Amuli, Rahiq Makhtum, jil. 7, hal. 25, Markaz Nasyr Isra’, cetakan kedua, 1382 Hs.

[2] . Nihayatul Hikmah, hal. 141; Rahiq Makhtum, jil. 7, hal. 27.

[3] . Nihayatul Hikmah, hal.141.

[4]. Sabzewari, Mula Hadi, Syarhul Manzumah, jil. 5, hal. 181, Tashhih wa Ta’liq, Ayatullah

Hasan Zadeh Amuli, Nasyr Nab, cetakan pertama, 1422 Hq, Teheran

[5] . Sabzewari, Mula Hadi, Syarh Manzumah, jil. 2, hal. 287-592.

[6] . Ibid, hal. 600.

[7] . Rujuklah, Rahimiyan, Muhammad Hasan, Tajalli wa Zuhur, hal. 14, Intisyarat Daftar

Tablighat, cetakan pertama, Musim Panas 1376, Qom.

[8] . Al-Asfar Al-Arba’ah, jil. 2, hal. 291-294.

[9] . Dikutip dari kitab Yozdah Resole-ye Farsi, Resole-ye Wahdat az Didgoh-e ‘Oref wa Hakim,

Ustad Ayatullah Hasan Sodeh Amuli, hal. 30.

[10] . Secara lahiriah tidaklah bermakna bahwa Zat tidak bertajalli untuk Zat, melainkan yang

dimaksudkan adalah selain dari manifestasi Zat untuk Zat, dia tidak memiliki manifestasi

dinisbahkan dengan tingkatan-tingkatan lain, jika tidak demikian maka mesti kita terima bahwa

dalam tingkatan itu, Zat bahkan tidak memiliki manifestasi untuk diri-Nya sendiri, sementara

manifestasi Zat untuk Zat merupakan kemestian esensial Zat tersebut. Dengan dasar ini (yang

dimaksud adalah kegaiban itu dinisbahkan kepada selain Zat) begitu banyak ungkapan mengenai

manifestasi Zat untuk Zat yang disebut dengan kesatuan mutlak hakiki tidak mereka golongkan

sebagai salah satu tingkatan-tingkatan manifestasi dan terkadang mereka namakan sebagai

Identitas Mutlak karena mereka memandang bahwa Zat itu masih dalam kegaiban dan

ketersembunyian. Banyak dalil atas perkara ini:

1. Sa’iduddin Fargani menyatakan: keniscayaan Zat adalah secara mutlak memanifestasikan Diri-

Nya dalam Diri-Nya, yakni Diri-Nya bertajalli atas Diri-Nya Sendiri dan Dia mendapatkan Diri-Nya

Sendiri serta hadir dengan Diri-Nya Sendiri dan sirnalah kegaiban. Dan manifestasi itu bersama

Page 17: Filsafat Wujud Mulla

dengan pengetahuan-Nya akan kesempurnaan esensialnya sendiri yang memestikan kekayaan

mutlak. (Fargani, Sa’iduddin, Masyariqud Darary, hal. 123, dengan mukadimah dan

pengoreksian dari Sayid Jalaluddin Asytiyani, cetakan kedua, Markaz Intesyarat Daftar Tabligat

Qom, 1379, Qom.)

2. Ustad Jalaluddin Asytiyani menyatakan: Ibn Hamzah Fannari mengutip dari Muntaha Allamah

(Qaishari), “ Kesatuan hakiki adalah manifestasi pertama itu sendiri yang melahirkan dua wajah,

ahadiyah dan wahadiyah. Ahadiyah adalah tiadanya nama dan sifat secara menyeluruh dan

disebut dengan Zat, Dia terkait dengan batinnya Zat, keazalian dan hubungannya yang tepat

adalah penegasian.” Ustad Jalauddin kemudian menjelsakan: Karena kemutlakan di sini

bukanlah syarat bahkan nota bene menafikan seluruh syarat termasuk syarat kemutlakan itu

sendiri, oleh karena itu bentuk “kemutlakan” ini disebut oleh para urafa masa kini Iran sebagai

“la bi syart maqsami” (juga halaman 122).

Atau yang dimaksud berdasarkan pandangan seorang arif dan berpijak pada argument akal

adalah para urafa menyatakan -untuk mengoreksi secara sistimatis menurut pandangan mereka

dan memudahkan penggambaran tingkatan-tingkatan- kami menekankan Zat itu denga tidak

memandang manifestasi esensial Zat untuk Zat

[11]. Jawadi Amuli, Abdullah, Tahrir Tahmid Al-Qawaid, hal.422  

[12] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tahrir Tahmid Al-Qawaid, hal. 195-209, 419-428, dan 470-484;

Hasan Zadeh Amuli, Hasan, Insan Kamil az Didgoh-e Nahjul Balaghah, hal. 106, 108, 109, 160,

Intisyarat Qiyam, Qom, cetakan pertama, 1372; Rasail Qaishari bo Ta’liqat-e Asytiyani, hal. 6 –

55, Syarh Qaishari Fushushul Hikam

[13] . Fadhili, Sayyid Ahmad, Maqalah Nedzam Wareh Tajalli, Majalah Fashlnameh Pazyuhesy-

hoye Falsafi wa Kalami, hal. 163 – 166, dengan sedikit perubahan.        

[14]. Sesungguhnya wujud itu ketika semakin kuat intensitasnya maka ketunggalannya pun akan

semakin kuat. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 9, hal. 61- 63.

[15]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 8, catatan kaki hal. 221.

[16]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 9, hal. 61-63.

[17]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 8, catatan kaki hal. 2 dan 3 .