Upload
moh-hamdi
View
45
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Filsafat Wujud Mulla Shadra
Bisa dikatakan bahwa persoalan wujud adalah persoalan yang sangat penting dan
fundamental dalam filsafat islam. Perdebatan antara kaum peripateik, iluminisme, dan
transendentalisme mengenai topik ini merupakan perjalanan panjang yang terus-menerus
mewarnai ranah pemikiran filsafat Islam yang teramat luas dan dalam.
Tuhan ada; manusia ada; spidol ada. Dari pernyataan-perntaan ini kemudian muncul
bermacam persoalan tentang wujud yang kemudian menjadi dasar pemikiran filsafat Shadrian.
Karena menurut pandangan pencetus aliran ini, Mulla Shadra, isu tentang wujud ini merupakan
landasan bagi isu-isu filosofis yang lain. Apa itu ada (wujud)? Samakah ada pada Tuhan,
manusia, dan spidol? Manakah yang lebih sejati antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah)?
Melalui pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan di atas kemudian memunculkan prinsip-
prinsip yang mendasar dalam filsafat hikmah: ketunggalan wujud (wahdah al-wujud),
kemendasaran wujud (ashalah al-wujud), dan ambiguitas wujud (tasykik al-wujud).[1] Sebelum
membahas lebih jauh mengeanai tiga hal tersebut, terlebih dahulu kita harus menjawab
pertanyaan apakah itu wujud?
Defenisi Wujud
Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai
konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara
definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek
filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi
ma huwa maujud). Konsep wujud ini merupakan konsep paling jelas yang diabtraksikan benak
dari segala sesuatu. Begitu jelasnya konsep wujud ini sehingga ia tidak ada lagi yang lebih jelas
daripadanya. Oleh karena itu pendefenisian terhadap wujud sebenarnya adalah hal yang
demikian sulit jika tidak mau dikatakan tidak mungkin. Hal ini mengingat bahwa untuk
mendefenisikan suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri.
Sementara itu konsep tentang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir
dalam benak.[2]
Tiga prinsip Filsafat Mulla Shadra
Pertama, ketunggalan Wujud (wahdah al-wujud). Berdasarkan penghayatan spiritual
yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang sangat tajam, akhirnya Sadra
menemukan suatu pemahaman bahwa keseluruhan eksisistensi bukanlah sebagai objek-objek
yang ada (exist) atau maujud-maujud (existents), yang menemukan partikularitasnya di dunia
objektif karena berbagai kuiditas yang menyertainya, melainkan tidak lain kecuali sebagai satu
realitas tunggal. Pembahasan mengenai hubungan wujud dan kuiditas (mahiyah) akan dibahas
pada prinsip yang ketiga yaitu tentang ashalah al-wujud.[3]
Teori wahdah al-wujud mula-mula dicetuskan oleh Ibnu ‘Arabi. Teori yang
diperkenalkan oleh Ibnu ‘Arabi tersebut lebih bernuansa sufistik daripada filososfis. Ibnu ‘Arabi
melihat tatanan wujud sebagai penjelmaan (tajalliyat) dari Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan
pada cermin ketiadaan. Penafsiran terhadap teori ini kemudian diradikalkan oleh Ibnu Sab’in
sebagai teori kesatuan wujud yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang nyata dan yang
selainnya hanyalah ilusi. Mulla Shadra sendiri memahami teori ini dengan penghubungannya
antara kesatuan wujud dengan kemajemukan eksistensi laiknya cahaya-cahaya matahari dalam
hubungannya dengan matahari itu sendiri. Cahaya-cahaya tersebut bukanlah matahari, namun
pada saat yang sama tidak lain adalah juga matahari. Menurut Seyyed Hossein Nasr, wahdah al-
wujud adalah batu fondasi metafisika filsafat Shadra, tanpa fondasi itu seliruh pandangan
dunianya akan rapuh.[4]
Permasalahannya kemudian, jika yang wujud hanyalah satu, apakah ada yang terdapat
pada Tuhan sama dengan ada pada manusia dan spidol? Jika Tuhan sama dengan ada, manusia
sama dengan ada, dan spidol sama dengan ada, bisakah proposisi ini dibalik menjadi ada sama
dengan Tuhan dan seterusnya? Mulla Shadra menyatakan bahwa ada itu setara dan sama bagi
semua benda, baik yang konkret maupun yang abstrak. Kedati demikian, adanya Tuhan adalah
ada murni sedangkan adanya yang lain telah bercampur dengan esensi. Hal ini bisa dipahami
karena menurut Shadra, semakin sempurna suatu wujud, semakin sedikit esensi yang
ditunjukkannya.[5]
Wujud adalah satu realitas yang membentang yang kemudian menemukan
partikularitasnya dalam realitas objektif melalui esensi. Dari sini kemudian muncul prinsip yang
kedua, ambiguitas wujud (tasykik al-wujud). Wujud tidak hanya satu, tetapi juga bersifat
hierarkis. Wujud tersebut membentang membetuk hierarki dari yang tertinggi menuju ke
tingkatan yang lebih rendah.
Mulla Shadra mengambil teori iluminisme tentang pembedaan dan gradasi. Teori ini
menyatakan bahwa segala sesuatu dapat dibedakan melalui sesuatu yang juga menyatukan
mereka. Misalkan bahwa cahaya matahari dan cahaya lampu disatukan oleh cahaya, tetapi satu
sama lainnya juga dibedakan oleh intensitas yang ada dalam cahaya masing-masing. Namun
berbeda dengan iluminisme yang mengalami graditas dalam esensi, Mulla Shadra menempatkan
graditas tersebut pada eksistensi.[6]
Fazlur Rahman dalam Filsafat Shadra menulis bahwa proposisi yang menyatakan
keambiguitasan wujud yang bersifat sistematis tadi berarti:
1. Wujud dalam segala sesuatu, dalam satu pengertian, pada dasarnya sama, seperti
eksistensi Tuhan yang wajib dan makhlu yang mumkin adalah sama dari sisi predikat
eksistensinya; sebaliknya jika ada perbedaan mencolok antara benda-benda dalam titik
wujud, maka istilah “wujud” sama sekali tidak mempunyai makna yang sama dan tidak
menjadi ambigu atai analog, tetapi perbedaan yang mencolok,
2. Wujud, karena sama, bahkan menciptakan perbedaan-perbedaan mendasar yang membuat
setiap maujud unik,
3. Semua bentuk wujud yang lebih rendah dikandung dalam, dan dilamapaui oleh bentuk-
bentuk yang lebih tinggi. Dalam istilah Shadra sendiri, basitul haqiqah kullu syaiy
(bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas
yang disebut “sesuatu”.)[7]
Prinsip ketiga yang kemudian menjadi dasar filsafat Shadra adalah ashalah al-wujud.
Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada.
Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip
sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai
merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi
(wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu
(united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut
sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[8]
Namun, perdebatan yang sangat sengit terjadi antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah
yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh Mulla
Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai sifat umum segala
yang ada, yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder
yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep dan abtraksi
mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita menganggap bahwa wujud sebagai
sifat esensi yang sebenarnya, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud.
Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang
bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau
mengalami regresi yang infinite.[9]
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah wujud,
sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya wujud bukan hanya lebih
prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab
sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam
seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah
yang ada di hadapan kita tidak lebih dari pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan
bentangan wujud itu sendiri.[10]
Argument-argumen ashalah al-wujud secara lebih terperinci adalah sebagai berikut:[11]
Pertama, esensi atau kuiditas pada dasarnya netral, tidak menolak untuk diberi predika
“ada” atau “tiada”. Seandainya kuiditas adalah eksistensi (realitas) itu sendiri, maka tidak dapat
dinegasikan, karena menegasi inti atau dzat adalah mustahil dank arena ada realitas yang
ekstrim, tidak netral terhadap ada dan tidada.
Kedua, wujud adalah benang merah antar segala sesuatu, sedangkan kuiditas atau esensi
adalah ciri pembeda antar segala sesuatu.
Ketiga, sesuatu disebut memiliki realitas objektif apabila ia mempunyai eksistensi.
Kuiditas atau esensi dapat memiliki realitas apabila menyandang wujud. Itu berarti bahwa yang
riil dan objektif hanyalah eksistensi.
Keempat, karena wujud adalah sumber dan prinsip kesempurnaan, maka tak pelak wujud-
lah yang orisinil. Sesuatu yangh “buatan” (I’tibariyat) tak mungkin menjadi prinsip dan sumber
pengaruh riil, kebaikan dan kesempurnaan.
Kelima, perbedaan antara wujud (maujud) objektif dan wujud (maujud) subjektif adalah
bahwa maujud objektif member pengaruh yang diniscayakan, sedangkan maujud subjektif tidak
memberikan pengaruh-pengaruh objektif yang diniscayakan. Seandainya esensi (kuiditas) adalah
sejati (orisinal atau nyata), maka berarti ia harus memberikan pengaruh-pengaruh objektif serta
pengaruh-pengaruh subjektif. Namun kenyataan empirik menyatakan sebaliknya.
Keenam, berkat wujud, segala sesuatu yang semula netral, antara ada dan tiada, menjadi
ada. Sedangkan esensi sendiri pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang netral, tiada ada dan
tidak tiada. Sesuatu yang semula tidak ada tidak akan pernah menjadi ada tanpa sebab pengada,
dan karenanya tidak akan menjadi prinsip pengaruh objektif. Jadi jelas bahwa wujud lebih
mendasar dan nyata.
Ketujuh, setiap entitas (maujud) selalu beranjak dari kekurangan menuju kesempurnaan.
Ia akan meniti jalan dan proses menuju kesempurnaan.
Demikianlah pembahasan seputar masalah wujud dalam filsafat Shadra. Seyyed hossein
Nasr menyatakan bahwa ajaran metafisika Mulla Shadra sebenarnya bukan hanya bisa dipahami
melalui prinsip-prinsip ini, namun juga dengan mengetahui hubungan–hubungan yang terjalin di
antara mereka.[12] Wujud tidak hanya satu, melainkan juga bergradasi. Selanjutnya wujud tidak
hanya bergradasi melainkan juga sejati dan mendasar yang memberikan kesejatian kepada
esensi.
Daftar Pustaka
Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, 2006. Bandung: Mizan
Rahman, Fazlur, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka
Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
Jurnal al-Huda Vol. III. No. 8. 2003
Jurnal al-Huda Vol. III. No. 9. 2003
Jurnal al-Huda Vol. III. No. 10. 2004
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
2003. Bandung: Mizan
Yazdi, Muhammad Taqi Misbah, Buku Daras Filsafat Islam. 2003. Bandung:
Mizan
[1] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003.
Bandung: Mizan. Hal. 918
[2] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam. 2003. Bandung: Mizan. Hal. 170
[3] Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
[4] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003.
Bandung: Mizan. Hal. 916
[5] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 39
[6] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 45-49. Lihat juga Jurnal al-Huda
Vol. III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud.
[7] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal 48-49. Lihat juga Jurnal al-Huda
Vol. III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud.
[8] Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
[9] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 35
[10] Ibid, hal. 44. Dan Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1.
2003
[11] Muhsin Labib, Hawzah Ilmiyah Qum; Ladang Peternakan Filosof Muslim Benua Lain
dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 9. 2003
[12] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. 2003.
Bandung: Mizan. Hal. 918
Konsep Kesatuan Wujud (Al-Wahdatul Wujud)
Oleh: Mohammad Adlany
Apa yang dimaksud dengan wahdatul wujud? Ragam benda yang berada pada
sekumpulan yang memiliki sebuah nama dan nama tersebut juga dengan sesuatu yang lain pada
himpunan yang lain menjadi satu nama (yang lain) sehingga pada akhirnya segala sesuatu berada
pada satu nama yaitu alam semesta. Akan tetapi, semesta bukan merupakan satu wujud. Lantaran
dari satu sisi dikarenakan dua sifat kemahakuasaan dan kepenciptaan Tuhan alam semesta
senantiasa berkembang. Kedua, alam semesta dapat dibagi. Alam semesta terbagi menjadi alam
non-materi dan materi. Alam non-materi (mujarrad) terbagi menjadi para malaikat dan ruh
hingga sampai pada satu per satu malaikat yang tidak dapat terbagi lagi. Adapun alam materil,
pembagian ini terus menerus berulang hingga sampai pada materi pertama yang membentuk
alam semesta sehingga tidak dapat terbagi lagi. Namun juga tidak terdapat kesatuan (al-wahdat)
di antara mereka. Karena tatkala salah satu dari hal yang tak-terbagi ini kita letakkan satu dengan
yang lain maka akan membentuk sesuatu yang lain; artinya ia dapat dirangkap.
Akan tetapi, Tuhan adalah Mahakuasa tidak terbagi juga tidak berangkap. Dia adalah Esa
dan sekali-kali tidak akan menjadi dua. Dia adalah universal dan sekali-kali tidak akan menjadi
partikular. Ia tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Dia tiada Tuhan selain-Nya (Allah).
Keesaan hanya terkhusus bagi-nya. Dan makhluk-Nya sekali-kali tidak akan pernah sampai pada
kedudukan ini.
Maksud para arif dan filosof terkait dengan wahdatul wujud bukanlah konsep bahwa
keseluruhan semesta ini adalah Tuhan; karena keseluruhan tidak memiliki wujud dan kesatuan
(al-wahdat) hakiki. Wahdatul wujud juga bukanlah ittihad (persatuan) antara Tuhan dan seluruh
entitas lantaran ittihad (dalam artian bahwa terdapat dua hal yang tanpa menghilangkan
identitasnya dan dualitasnya kemudian menjadi satu) adalah suatu hal yang mustahil. Demikian
juga wahdatul wujud ini tidak bermakna tajâfi (tidak mendiami suatu ruang atau tempat tertentu
sehingga dikatakan bersama dengan manifestasi-Nya) atau talabbus (menutup selain-Nya
sehingga tidak nampak identitas dan hakikat manifestasi-Nya).
Yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa keberadaan dan wujud itu hanya
terbatas pada Dzat Allah Swt; segala sesuatu selain Allah merupakan jelmaan dan manifestasi
keberadaan-Nya; hal ini bermakna bahwa Allah Swt adalah Keberadaan dan Wujud murni.
Kuatnya intensitas dan kesempurnaan wujud-Nya menjadi sebab kecintaan-Nya untuk menjelma
dan memanifestasi. Dzat Allah Swt adalah cinta (isyq) dan mahabba itu sendiri. Dan hal yang
paling dicintai di sisi-Nya adalah menyaksikan Dzat-Nya sendiri dengan jalan menyaksikan
jelmaan-jelmaan Dzat-Nya sendiri yang disebut sebagai “istijlâ” (menjelmanya Dzat Allah Swt
untuk Dzat-Nya sendiri dalam entifikasi).
Istijlâ total tidak akan terlaksana kecuali dengan penampakan-Nya pada setiap jelmaan.
Dengan kata lain, yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa wujud pada saat ia
adalah satu dan esa akan tetapi berbilang, banyakdan beragam. Seperti jiwa manusia yang satu
karena jelas bahwa setiap orang tidak lebih dari satu orang akan tetapi pada saat yang sama ia
memiliki pelbagai fakultas baik itu fakultas lahir atau fakultas batin (segala afeksi, digestif,
berkembang, melahirkan) adalah satu dimana jiwa adalah fakultas itu sendiri dan fakultas adalah
jiwa itu sendiri. Karena itu, wahdatul wujud dengan interpretasi yang benar ini tidak
berseberangan dengan menjuntainya alam semesta dan juga tidak bertentangan dengan
banyaknya dan beragamnya eksisten dan entitas.
Untuk menjelaskan persoalan ini terdapat beberapa poin yang mesti diperhatikan:
A. Pengertian kesatuan (al-wahdah)
Definisi dan pengertian “kesatuan” menurut pandangan para filosof adalah bersifat
aksiomatik, gamblang, dan tidak membutuhkan pendefinisian. Karena mereka berkeyakinan
bahwa “kesatuan” setara dan identik dengan “wujud”, dan pendefinisiannya adalah mustahil
sebagaimana pendefinisian “wujud”, kecuali berujung pada pendefinisian yang bersifat
“lingkaran setan” (daur) atau pendefinisian sesuatu dengan perantaraan dirinya sendiri.[1]
B. Pembagian kesatuan
Para filosof menguraikan tentang jenis-jenis “kesatuan” atau “satu” (al-wâhid): Kesatuan
terbagi menjadi hakiki dan non hakiki. Kesatuan hakiki dikatakan pada sesuatu apabila kesatuan
itu adalah sifat dari zatnya dan hubungannya dengan kesatuan bukanlah bersifat predikat, seperti
manusia satu. Kesatuan non hakiki adalah sesuatu yang kesatuan itu adalah bukan sifatnya,
namun bersifat predikat, seperti manusia dan kuda yang memiliki kesatuan dalam kehewanan.[2]
Kesatuan hakiki ada yang bersifat esensial (zati) yang merupakan kesatuan itu sendiri; ini
tidak lain adalah wujud murni yang tidak memiliki sekutu dan tidak berulang (dalam wujudnya),
disini “satu” dan “kesatuan” adalah sama. Kesatuan hakiki ini yang dinamakan “kesatuan
mutlak”. Begitu pula, kesatuan hakiki ada yang bersifat non esensial yang bukan merupakan
kesatuan itu sendiri, akan tetapi tersifati dengan kesatuan, seperti manusia satu. Jenis ini disebut
sebagai “kesatuan non mutlak”.
Kesatuan non mutlak ini juga terbagi menjadi “kesatuan khusus” dan “kesatuan umum”.
“Kesatuan khusus” adalah satu bilangan yang dengan pengulangannya akan terbentuk suatu
bilangan. “Kesatuan umum” seperti kesatuan dalam species atau kesatuan dalam genus.
“Kesatuan khusus” juga terbagi menjadi, sebagaimana dari aspek sifat kesatuan itu tidak dapat
terbagi-bagi, tidak dapat terbagi-bagi dari dimensi bahwa dia tersifati dengan kesatuan atau dapat
terbagi-bagi dari sisi dia tersifati dengan kesatuan. Bentuk pertama dari “kesatuan khusus” ini
juga terbagi: sebatas makna kesatuan itu sendiri dan tidak terbagi-bagi ataukah selain itu. Dan
yang selain itu, apakah tidak dapat diisyaratkan dengan suatu keadaaan ataukah dapat
diisyaratkan dengan suatu kondisi. Yang tidak bisa diisyarahkan dengan suatu keadaan terbagi
menjadi: tidak bisa diisyaratkan dengan materi seperti jiwa yang dari aspek perbuatan terkait
dengan materi ataukah seperti akal yang mutlak (dari sisi zat dan perbuatan) tidak terkait dengan
materi. Bentuk kedua dari “kesatuan khusus” itu, yakni dapat terbagi-bagi dari aspek tersifati
dengan kesatuan, juga terbagi menjadi: keterbagian itu bersifat substansial seperti kuantitas atau
ukuran yang satu ataukah keterbagian itu bersifat aksidental seperti materi alami yang satu yang
dari aspek ukurannya dapat menerima pembagian.
“Kesatuan umum” terbagi menjadi: kesatuan umum dari aspek makna ataukah kesatuan
umum dari aspek keluasan wujud seperti “wujud munbasith” (wujud yang mencakup segala
sesuatu). Bagian pertama dari “kesatuan umum” ini juga terbagi menjadi: kesatuan dalam species
seperti manusia ataukah kesatuan dalam genus seperti hewan ataukah kesatuan dalam aksiden
seperti berjalan dan tertawa.
Kesatuan non hakiki adalah sesuatu itu tersifati dengan kesatuan dari aspek kesamaannya
dengan yang lain seperti Hasan dan Husain memiliki kesatuan dari aspek kemanusiaan atau
manusia dan kuda memiliki kesatuan dari aspek kehewanan.[3]
Kiranya urgen kita menyebutkan satu poin di sini bahwa dalam perspektif Hikmah
Muta’aliyah (Filsafat Mulla Sadra) “kesatuan mutlak” itu terbagi dua:
1. Kesatuan mutlak hakiki;
2. Kesatuan mutlak bayangan.[4]
Pembagian ini adalah untuk membedakan antara penisbahan kesatuan mutlak kepada Zat
Yang Maha Suci dan penisbahan itu kepada selain-Nya. Yakni kesatuan mutlak hakiki terkhusus
kepada Zat Suci Tuhan, dan segala realitas selain-Nya menggunakan istilah kesatuan mutlak
bayangan.
C. Kesatuan mutlak
Salah satu persoalan yang paling mendasar yang terkait dengan penerimaan konsep
“kesatuan wujud” (wahdatul wujud) adalah masalah kesatuan mutlak atau “kesatuan dalam
kejamakan” (wahdat dar aini katsrat) dan “kejamakan dalam kesatuan” (katsrat dar aini
wahdat). Yakni harus dilihat bahwa bagaimana sesuatu yang satu itu pada saat yang sama juga
memiliki kejamakan atau sesuatu yang jamak pada saat yang sama juga memiliki kesatuan,
bagaimanakah akal manusia bisa menerima hal ini dan tidak memandangnya sebagai realitas
yang saling berlawanan?
Salah satu jalan yang terbaik untuk menguraikan dan menjelaskan permasalahan ini
(berkumpulnya antara kesatuan dalam kejamakan dan kejamakan dalam kesatuan) adalah kaidah
basithul hakikah.[5] Menurut Allamah Hasan Zadeh Amuli, salah satu keajaiban kaidah ini
adalah puncak perbedaan salah satu sisi merupakan dalil atas keberadaan sisi yang berlawanan,
karena puncak ketunggalan dan kesatuan menyebabkan menjadi puncak kejamakan dan
keragaman. Sebagaimana keajaiban lain dari kaidah ini adalah basithul hakikah yakni dia adalah
segala sesuatu pada saat yang sama dia juga bukanlah sesuatu itu. Yang pasti, “dia adalah segala
sesuatu itu” dari aspek aktualitas segala sesuatu dan “dia bukanlah sesuatu itu” dari aspek
kelemahan dan keterbatasannya; ini tidaklah saling bertolak belakang.[6]
Dalam penjelasan yang lain, Allamah juga menyatakan, “Dari kalimat para urafa dapat
diungkapkan bahwa puncak kesempurnaan setiap sifat adalah memiliki kemampuan untuk tidak
sirna dan lemah dihadapan sesuatu yang berlawanan dengannya, bahkan dalam proses yang terus
menyempurna dan menguat dengan kejamakan itu. Oleh karena itu, dalam al-Quran dan hadis-
hadis yang terkait dengan pernikahan nama-nama dan sifat-sifat Ilahi terdapat makna-makna
yang saling berlawanan seperti dalam Asmaul Husna (Nama-nama Jamaliyah Tuhan), Dia Yang
Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu,
begitu pula Dia Yang Lembut dan Yang Memaksa, Dia Yang Memberikan Keuntungan dan
Yang Memberikan kerugian, Dia Yang Maha Menjauhkan dan Yang Maha Mendekatkan, Dia
Yang Maha Meninggikan dan Yang Maha Merendahkan, Dia Yang Maha Memberikan Petunjuk
dan Yang Maha Menyesatkan. “Kesatuan mutlak hakiki” ini juga dinamakan sebagai “kesatuan
total”, dan kejamakan ini disebut dengan kejamakan cahaya.
D. Manifestasi dan tajalli
Dapat disimpulkan bahwa kunci utama penyelesaian teka teki konsep “kesatuan wujud”
harus dicari dalam permasalahan manifestasi dan tajalli. Perkara manifestasi dan tajalli
merupakan masalah-masalah utama ilmu irfan. Masalah ini hadir dalam segala persoalan-
persoalan irfan dan memiliki posisi kunci. Posisi ini sedemikian pentingnya sehingga ketika
dipahami secara benar bisa dikatakan telah mengetahui pondasi dan asas irfan. Problematika lain
irfan hanyalah hasil dan cabang dari masalah itu.[7] Dengan dasar inilah, Sadruddin Syirazi alias
Mulla Sadra ketika menisbahkan persoalan kausalitas (al-‘illiyah) itu kepada masalah
manifestasi dan tajalli dia mengumumkan bahwa penemuan baru ini mengantarkan filsafat pada
kesempurnaan.[8]
E. Penjabaran konsep manifestasi dan tajalli
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ontologi dan kosmologi irfan didasarkan pada
sistem manifestasi dan tajalli. Dapat diuraikan bahwa berasaskan ilmu irfan, wujud itu hanya
khusus dialamatkan pada Tuhan, selain Tuhan merupakan manifestasi, bayangan, citra, tajalli
Tuhan. Dengan penjelasan: Tuhan merupakan wujud murni. Intensitas dan kesempurnaan wujud-
Nya lah yang menyebabkan kecintaan akan manifestasi dan tajalli. Zat Suci Tuhan tidak lain
adalah cinta dan mahabbah itu sendiri, dan seseatu yang paling dicintai di sisi Tuhan adalah
memandang Zat-Nya sendiri melalui manifestasi-manifestasi-Nya yang dalam istilah dinamakan
istijla (yakni menjelmanya Zat Tuhan untuk Zat-Nya sendiri dalam entifikasi). Dan istijla
sempurna tidak akan hadir kecuali kehadiran-Nya dalam setiap manifestasi dari bayangan-
bayangan.[9]
Para urafa berkeyakinan bahwa tingkatan zat (sebelum manifestasi) adalah gaibul guyub
(kegaiban mutlak) yang berada dalam “ketersembunyian” dan kegaiban murni.[10] Manifestasi
pertama dan tingkatan pertama tajalli tidak lain dalah manifestasi Zat Suci Tuhan untuk Zat-Nya
yang dalam istilah dikatakan “kesatuan mutlak hakiki”. Seorang arif “menyingkap” kesatuan
mutlak hakiki ini dari sudut pandang kegaiban mutlak Tuhan dengan tanpa memandang nama-
nama dan sifat-sifat Tuhan. Kesatuan mutlak hakiki ini tidak jauh berbeda dengan tingkatan
ghaibul guyub dan Identitas Mutlak, yakni terletak di antara batas manifestasi dan non
manifestasi, oleh karena itu[11]:
1. Tidak dikatakan dalam tingkatan manifestasi, bahkan dia terkadang dinamakan sebagai Identitas
Mutlak;
2. Tidak ada sesuatu pun yang ada dihadapan-Nya dan Dia “mengandung” segala sesuatu. Di samping
Dia hadir dalam batin Dia juga hadir dalam lahir, dengan demikian Dia memiliki dua wajah, lahir dan
batin. Wajah batin itu dikatakan tingkatan ahadiyah, yakni Tuhan memandang Diri-Nya sendiri
dalam keadaan memiliki segala sifat dan nama Ilahi dengan tanpa manifestasi terperinci yakni dalam
kondisi basith (melihat yang terperinci dalam keadaannya yang tunggal). Sedangkan wajah lahir
kesatuan hakiki tersebut dinamakan tingkatan wâhidiyah yang tidak lain adalah maqam manifestasi
nama-nama dan sifat-sifat, yakni Tuhan menyaksikan Zat-Nya sendiri dalam keadaan mempunyai
semua nama dan sifat dalam bentuknya yang terperinci (menyaksikan yang tunggal dalam
keadaannya yang terperinci). Maqam wâhidiyah inilah sebagai sumber hadirnya kejamakan dan
keragaman di alam. Kejamakan ini pada awalnya hadir dalam bentuk ilmu, yakni karakteristik dari
nama dan sifat Ilahi serta realitas-realitas eksternal (segala sesuatu selain Tuhan yang terwujud di
alam eksternal) mendapatkan kehadirannya dalam bentuk ilmu, dan karena hadir dalam bentuk ilmu
maka tidak terdapat kejamakan hakiki dan dualisme wujud seperti Yang Mencipta dan yang tercipta.
Para urafa menyatakan bahwa segala sesuatu yang hadir dalam bentuk ilmu adalah dengan
perantaraan faidhul aqdas (emanasi paling suci), yakni paling suci dari sifat-sifat kejamakan.
Kemudian segala sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifat Ilahi mendapatkan kehadirannya secara
eksternal yang disebabkan oleh faidhul muqaddas (emanasi suci). Faidhul muqaddas ini juga
dinamakan sebagai faidhul munbasith, nafasurrahman, ruhul muhammad (nur muhammadi), dan
makhluk pertama yang dicipta oleh Tuhan. Walaupun Faidhul muqaddas merupakan realitas yang
satu dan tunggal, sebagaimana kaidah al-wâhid (yakni realitas yang tunggal hanya terwujud dan
terpancar dari yang tunggal juga), dan seperti Tuhan sebagai Yang Awal dan sekaligus Yang Akhir
serta tidak terdapat satupun sekutu bagi-Nya, maka begitu pula tidak terdapat dua atau tiga Faidhul
muqaddas, karena dia tidak lain adalah manifestasi dari Yang Awal dan Akhir serta Yang Lahir dan
Yang Batin. Akan tetapi, dari aspek manifestasi-manifestasi terdapat tiga alam yang berada dalam
cakupannya, antara lain: 1. Alam arwah (akal), 2. Alam mitsal, dan 3. Alam materi.[12]
Bagaimanapun, dalam perspektif irfan, karena zat Tuhan tersifati dengan kesatuan hakiki
dan kemutlakan hakiki, maka zat Tuhan dipandang sebagai prinsip fundamental dalam irfan,
maka konsekuensinya adalah kehadiran Tuhan di dalam semua kejamakan dan keragaman
realitas. Dan kehadiran Tuhan ini tidak bersifat aksidental, melainkan kehadiran yang bersifat
eksistensial dalam kejamakan itu sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hukum kemutlakan
wujud Tuhan, Dia hadir dalam kejamakan secara eksistensial dan hakiki. Namun, kehadiran
eksistensi-Nya yang mutlak berdasarkan kemutlakan itu sendiri tidaklah menyirnakan kejamakan
dan keragaman realitas selain-Nya.
Dengan ungkapan lain, irfan teoritis dalam mengupas dan menganalisa kejamakan
realitas yang ada mencoba mengusulkan teori manifestasi. Kejamakan dan keragaman dalam
sistem eksistensi ini tidak lain adalah manifestasi, bayangan, citra, dan tajalli dari sifat dan nama
Tuhan. Yang dimaksud dengan Manifestasi disini adalah kehadiran mutlak Ilahi dari maqam
kemutlakannya sendiri (yakni maqam tanpa syarat, sifat, dan nama, atau maqam gaibul guyub)
dan “berpakaian” dengan keterbatasan-keterbatasan. Perlu dikatakan bahwa kehadiran mutlak
Ilahi, dari maqam kemutlakannya sendiri (yakni maqam tanpa syarat, sifat, dan nama, atau
maqam ghaibul guyub) turun ke maqam “keterbatasan”, tetap dalam wilayah kemutlakan-Nya
yang mutlak namun dalam kondisi yang telah terbatasi, bukan suatu kemutlakan yang
berlawanan dengan keterbatasan sehingga tergambar adanya dua realitas hakiki yang berbeda.
Zat Tuhan dalam maqam kemutllakan-Nya memiliki segala realitas dan kejamakan, akan
tetapi kejamakan ini dalam tingkatan zat Tuhan tidak tergambar adanya perlawanan satu sama
lain secara terperinci. Yakni apabila zat mempunyai sifat Yang Maha Menunjukkan (al-Hadi),
maka tidak bisa dikatakan bahwa lawan dari sifat al-Hadi itu yakni al-Mudhil (Yang Maha
Menyesatkan) tidak terdapat dalam zat-Nya, melainkan zat Tuhan dari sisi kemutlakan hakiki-
Nya (tidak terkait dengan nama dan sifat apapun) mempunyai kedua nama al-Hadi dan al-Mudhil
ini, dengan penekanan bahwa dalam maqam zat dengan hukum kemutlakan-Nya itu tidak
tergambar sama sekali adanya suatu kejamakan. Nama-nama dan kejamakan-kejamakan itu hadir
dalam bentuk yang tunggal dan “padat”, bukan dalam bentuknya yang terperinci dan saling
berlawanan. Ketika yang tunggal itu menjadi terperinci dan yang “padat” itu menjadi terpancar
maka saat itu pulalah terbentuk suatu proses manifestasi dan tajalli. Oleh karena itu, satu hakikat
memiliki satu tingkatan “pasif” yang berbentuk “padat” dan menyatu dengan hakikat-hakikat
lain dan juga memiliki satu tingkatan pancaran yang akan hadir secara berlawanan dengan nama-
nama dan sifat-sifat yang lain.
Perlu ditambahkan bahwa kesatuan hakiki, pada saat yang sama “mengalir” (ber-tajalli)
dalam kejamakan, pada tingkatan zat, tidak bersama dan lebih tinggi dari “aliran” (tajalli) itu,
karena sebagaimana yang lalu bahwa Tuhan pada tingkatan zat-Nya tidak memiliki sekutu dan
lawan sehingga perlu dibahas tentang “aliran” (tajalli) dan tiadanya “aliran”. Namun, ketika Zat
Mutlak itu sendiri berdasarkan kemutlakannya dan berada pada posisi di atas “aliran” akan ber-
tajalli dalam batasan-batasan dan identitas-Nya akan mengaktual dalam manifestasi serta Diri-
Nya Sendiri merupakan salah satu nama dari nama-nama-Nya.[13]
Jiwa Manusia, Contoh Kesatuan Mutlak
Banyak contoh yang bisa digunakan untuk menjelaskan tentang kesatuan wujud dan
sistem manifestasi, salah satu contoh yang paling sempurna adalah jiwa manusia. Berdasarkan
Hikmah Muta’aliyah, “kesatuan jiwa” adalah sejenis dengan “kesatuan mutlak bayangan”.
Hubungan antara jiwa dan fakultas-fakultasnya sejenis hubungan dan koneksi iluminatif.
Fakultas dan indera jiwa merupakan manifestasi yang beragam dari jiwa yang satu. Kesatuan ini
tidak hanya tidak bertentangan dengan kejamakan, bahkan ketika kesatuan itu semakin kuat
intensitasnya maka semakin luas dia meliputi keragaman dan kejamakan itu. Karena jika wujud
itu semakin kuat intensitasnya, maka kesatuan dan ketunggalannya akan semakin kuat,
keluasannya pun akan semakin sempurna, dan semakin kuat menyatu dengan banyak kejamakan.
Dengan ungkapan lain, sebagaimana gerak menyempurna jiwa akan berpengaruh pada intensitas
persatuannya dengan fakultas dan indera serta menambah keluasan wujudnya. Setiap kali jiwa
mencapai kesempurnaan yang semakin tinggi maka kesatuannya akan semakin menguat dan
keluasan wujudnya pun akan semakin bertambah.[14]
Filosof Ilahi Mulla Hadi Sabzawari dalam ulasannya atas kitab Asfar menyatakan,
“Maksud dari kesatuan jiwa dan fakultas-fakultasnya adalah bukan bermakna bahwa jiwa adalah
kumpulan dari fakultas-fakultas itu, karena kumpulan dan gabungan tidak memiliki eksistensi
dan kesatuan hakiki. Begitu pula, jiwa dan fakultas-fakultasnya tidak mengalami persatuan (al-
ittihad), karena persatuan (makna persatuan adalah dua sesuatu yang bergabung menjadi satu
yang masing-masing dari keduanya tidak kehilangan identitas dan hakikat kediriannya pasca
penggabungan) untuk kasus jiwa adalah mustahil, begitu pula jiwa tidak akan mengalami
perpindahan (perpindahan yang sebagaimana dialami oleh suatu benda) dari satu tingkat ke
tingkat lainnya, melainkan yang dimaksud adalah jiwa meliputi dan bersama dengan semua
tingkatan, ketika jiwa berada pada tingkatan yang rendah maka tidak berarti dia meninggalkan
tingkatannya yang tinggi. Sewaktu jiwa tersifati dengan akhlak yang tinggi, maka dia pun tidak
kehilangan tingkatannya yang rendah. Dan yang dimaksud juga adalah jiwa memiliki kesatuan
mutlak bayangan yang bisa dipredikasikan dengan beragam makna yang tinggi dan rendah
dengan tidak bertentangan sedikitpun dengan kesatuannya.”[15]
Berkaitan dengan kesatuan jiwa dengan fakultas-fakultasnya, Sadrul Muta’allihin
mengungkapkan, “Dari satu dimensi kita memiliki ilmu intuitif atau ilmu fitriah yang
menegaskan bahwa jiwa dan zat kita adalah tunggal dan satu. Kita mengetahui bahwa sesuatu
terdapat pada kita yang mencerap universalitas itu sebagaimana dia mengetahui yang
partikularitas, darinya muncul keinginan dan kehendak, marah, dan sebagainya. Dari sisi lain
tidak bisa dikatakan bahwa kesatuan jiwa dengan fakultas-fakultasnya sejenis kesatuan
komposisi dan kombinasi seperti hubungan antara komandan dengan prajurit atau hubungan
antara orang tua dengan anak-anaknya, melainkan mesti dikatakan bahwa jiwa dan seluruh
fakultasnya memiliki kesatuan alami dengan manifestasi yang berbeda-beda.”[16]
Filosof Ilahi, Ali Mudarris Zanury, pemilik kitab Badayi’ul Hikam, dalam komentarnya
terhadap kita Asfar menerangkan secara sempurna dan indah tentang kesatuan jiwa tersebut. Dia
menjelaskan, “Kesatuan jiwa yang tidak lain adalah eksistensi jiwa itu sendiri merupakan bentuk
khusus dari kesatuan, dan kesatuan itu bersifat menyeluruh yang mencakup keseluruhan
manifestasi dari wujud sedemikian sehingga dapat dipolakan sebagaimana “kesatuan dalam
kejamakan” dan “kejamakan dalam kesatuan”. Jika jiwa dipandang dari aspek zatnya sendiri dan
kesempurnaan akhirnya maka dia memiliki eksistensi yang satu, dan kalau dilihat dari aspek
perbuatan-perbuatannya sendiri maka dia tidak lain adalah zat itu sendiri dalam wajah perbuatan
dan perilakunya yang memilki eksistensi yang berbeda, terpisah, beragam, dan jamak. Dengan
demikian, jiwa dalam hakikat zatnya sendiri tidak tersifati dengan keterkumpulan dan
keterpisahan, dia jauh dari dua sifat ini. Misalnya, sumber wujudnya adalah salah satu dari
tingkatan-tingkatan yang ada yang mendahului dari sisi zaman namun terbelakang dari dimensi
zat. Tingkatan-tingkatan terdahulunya dari aspek zat tidak lain adalah tingkatan-tingkatan
terbelakang zat, walaupun dari dimensi derajat-derajat menaik dan menurun bukanlah zat itu
sendiri. Jadi, jiwa dalam ketinggian maqamnya ada di alam yang rendah dan di alam yang rendah
ini tetap dalam maqamnya yang tinggi. Dalam kerendahan alam materi dia suci dan dalam
kesuciannya dia berada di alam yang rendah ini. Dalam keterkaitannya dengan materi dia sendiri
bersifat nonmateri dan dalam kenonmateriannya dia terikat dengan materi. Jiwa bersama dengan
cabang-cabang perbuatannya, namun tidak seperti kebersamaan sesuatu dengan sesuatu. Begitu
pula, dia terpisah dari segala perbuatan dan perilakunya akan tetapi tidak seperti keterpisahan
sesuatu dari sesuatu. Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri maka dia akan mengetahui
Tuhannya. Ini tidak lain adalah rahasia-rahasia ketauhidan yang terkadang disebut oleh para
Imam Ahlulbait Nabi Alaihimussalam sebagai “perkara di antara dua perkara” (in between) atau
berada di antara kutub penyerupaan (tasybih) mutlak dan kutub pensucian (tanzih) mutlak.”[17]
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
[1]. Asfar, jil. 2, hal. 83. Allamah Thabathabai ra, Nihayatul Hikmah, hal. 138. Resoley-e Wahdat
as Didgoh-e ‘Oref wa Hakim, dar majmue-ye yozdah risale-ye farsi, hal. 27; Ayatullah Jawad
Amuli, Rahiq Makhtum, jil. 7, hal. 25, Markaz Nasyr Isra’, cetakan kedua, 1382 Hs.
[2] . Nihayatul Hikmah, hal. 141; Rahiq Makhtum, jil. 7, hal. 27.
[3] . Nihayatul Hikmah, hal.141.
[4]. Sabzewari, Mula Hadi, Syarhul Manzumah, jil. 5, hal. 181, Tashhih wa Ta’liq, Ayatullah
Hasan Zadeh Amuli, Nasyr Nab, cetakan pertama, 1422 Hq, Teheran
[5] . Sabzewari, Mula Hadi, Syarh Manzumah, jil. 2, hal. 287-592.
[6] . Ibid, hal. 600.
[7] . Rujuklah, Rahimiyan, Muhammad Hasan, Tajalli wa Zuhur, hal. 14, Intisyarat Daftar
Tablighat, cetakan pertama, Musim Panas 1376, Qom.
[8] . Al-Asfar Al-Arba’ah, jil. 2, hal. 291-294.
[9] . Dikutip dari kitab Yozdah Resole-ye Farsi, Resole-ye Wahdat az Didgoh-e ‘Oref wa Hakim,
Ustad Ayatullah Hasan Sodeh Amuli, hal. 30.
[10] . Secara lahiriah tidaklah bermakna bahwa Zat tidak bertajalli untuk Zat, melainkan yang
dimaksudkan adalah selain dari manifestasi Zat untuk Zat, dia tidak memiliki manifestasi
dinisbahkan dengan tingkatan-tingkatan lain, jika tidak demikian maka mesti kita terima bahwa
dalam tingkatan itu, Zat bahkan tidak memiliki manifestasi untuk diri-Nya sendiri, sementara
manifestasi Zat untuk Zat merupakan kemestian esensial Zat tersebut. Dengan dasar ini (yang
dimaksud adalah kegaiban itu dinisbahkan kepada selain Zat) begitu banyak ungkapan mengenai
manifestasi Zat untuk Zat yang disebut dengan kesatuan mutlak hakiki tidak mereka golongkan
sebagai salah satu tingkatan-tingkatan manifestasi dan terkadang mereka namakan sebagai
Identitas Mutlak karena mereka memandang bahwa Zat itu masih dalam kegaiban dan
ketersembunyian. Banyak dalil atas perkara ini:
1. Sa’iduddin Fargani menyatakan: keniscayaan Zat adalah secara mutlak memanifestasikan Diri-
Nya dalam Diri-Nya, yakni Diri-Nya bertajalli atas Diri-Nya Sendiri dan Dia mendapatkan Diri-Nya
Sendiri serta hadir dengan Diri-Nya Sendiri dan sirnalah kegaiban. Dan manifestasi itu bersama
dengan pengetahuan-Nya akan kesempurnaan esensialnya sendiri yang memestikan kekayaan
mutlak. (Fargani, Sa’iduddin, Masyariqud Darary, hal. 123, dengan mukadimah dan
pengoreksian dari Sayid Jalaluddin Asytiyani, cetakan kedua, Markaz Intesyarat Daftar Tabligat
Qom, 1379, Qom.)
2. Ustad Jalaluddin Asytiyani menyatakan: Ibn Hamzah Fannari mengutip dari Muntaha Allamah
(Qaishari), “ Kesatuan hakiki adalah manifestasi pertama itu sendiri yang melahirkan dua wajah,
ahadiyah dan wahadiyah. Ahadiyah adalah tiadanya nama dan sifat secara menyeluruh dan
disebut dengan Zat, Dia terkait dengan batinnya Zat, keazalian dan hubungannya yang tepat
adalah penegasian.” Ustad Jalauddin kemudian menjelsakan: Karena kemutlakan di sini
bukanlah syarat bahkan nota bene menafikan seluruh syarat termasuk syarat kemutlakan itu
sendiri, oleh karena itu bentuk “kemutlakan” ini disebut oleh para urafa masa kini Iran sebagai
“la bi syart maqsami” (juga halaman 122).
Atau yang dimaksud berdasarkan pandangan seorang arif dan berpijak pada argument akal
adalah para urafa menyatakan -untuk mengoreksi secara sistimatis menurut pandangan mereka
dan memudahkan penggambaran tingkatan-tingkatan- kami menekankan Zat itu denga tidak
memandang manifestasi esensial Zat untuk Zat
[11]. Jawadi Amuli, Abdullah, Tahrir Tahmid Al-Qawaid, hal.422
[12] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tahrir Tahmid Al-Qawaid, hal. 195-209, 419-428, dan 470-484;
Hasan Zadeh Amuli, Hasan, Insan Kamil az Didgoh-e Nahjul Balaghah, hal. 106, 108, 109, 160,
Intisyarat Qiyam, Qom, cetakan pertama, 1372; Rasail Qaishari bo Ta’liqat-e Asytiyani, hal. 6 –
55, Syarh Qaishari Fushushul Hikam
[13] . Fadhili, Sayyid Ahmad, Maqalah Nedzam Wareh Tajalli, Majalah Fashlnameh Pazyuhesy-
hoye Falsafi wa Kalami, hal. 163 – 166, dengan sedikit perubahan.
[14]. Sesungguhnya wujud itu ketika semakin kuat intensitasnya maka ketunggalannya pun akan
semakin kuat. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 9, hal. 61- 63.
[15]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 8, catatan kaki hal. 221.
[16]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 9, hal. 61-63.
[17]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 8, catatan kaki hal. 2 dan 3 .