Upload
dhimzhere
View
131
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan kasus
Citation preview
Bab I
Kasus
Seorang anak, IK 1,5 tahun, mengeluh nyeri berulang bila kencing dan dibawa
berobat ke poli. Ibu mengatakan setiap mau kencing penisnya terlihat menggembung, dan
terdapat benjolan dibawah kulit penis. Tidak ada riwayat demam dan tumbuh kembang
anak terlihat normal. Anda diminta untuk menentukan diagnosis dan merancang
tatalaksana terhadap kasus tersebut.
Laboratorium darah
Pada pasien Nilai normal
Hb 11,4 11,5-15,5 g/dl
Leukosit 9800 5000-10000 ul
Trombosit 230000 150000-400000 ul
Hitung jenis 0/1/2/67/30/0 0-1/1-3/2-6/50-
70/20-40/2-8
LED 20 0-15
Ureum 34 20-40 mg%
Kreatinin 0,8 0,6-1,3 mg%
Laboratorium urine
Pasien Nilai normal
Warna Jernih Jernih
Ph 6,9 5-8,5
BJ 1010 1010-1030
Sedimen eritrosit 0-2 < 3/LPB
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1.Anatomi
2.1.1. Anatomi saluran kemih atas:
1. Pielum, terdiri dari
Calyx minor
Calyx mayor
Pelvis renalis
2. Ureter
Pipa berotot sempit yang mengantar urine dari kedua ren ke vesika urinaria.
2.1.2. Anatomi saluran kemih bawah:
1. Vesika Urinaria
Merupakan kantong muskuler yang mampu mengembang dan mengempis yang
berfungsi untuk menyimpan urine. Pada saat kosong terletak di rongga pelvis
minor dan bila penuh terletak di cavum abdomen.
2. Urethra
Pars prostatika
Berjalan dalam glandula prostat, paling lebar
Pars membranosa
Dari glandula prostate ke bulbus penis, di dalam diafragma urogenital
Pars spongiosa
Berjalan di dalam penis, dari ujung distal urethra pars membranosa ke
orificium urethra externa
Di nagian distal sebelum orificium urethra externa akan melebar Fossa
Naviculare
2.1.3. Histologi saluran kemih
1. Ductus coligens:
Epitel selapis kubis
Sitoplasma basofilik
Tidak ada brushborder
Batas sel jelas
2. Ductus papillaris Bellini:
Epitel berlapis torak
Sitoplasma basofilik
3. Calyx minor, calyx mayor dan pelvis renis
Tunika mukosa: epitel transisional dan lamina propia
Tunika muskularis sirkularis
Tunika adventisia
4. Ureter:
Tunika mukosa:
Tunika muskularis: Longitudinalis, sirkularis, longitudinalis (pars pelvina)
Longitudinalis, sirkularis (pars abdomina)
Tunika adventisia:
5. Vesika urinaria
Tunika mukosa: epitel transisional dan lamina propia
Tunika muskularis: longitudinalis, sirkularis, longitudinalis
Tunika adventisia
6. Urethra:
Pars prostatika: epitel transisional dan epitel silindris
Pars membranosa: epitel silindris dan epitel berlapis gepeng
Pars spongiosa: epitel torakalis dan epitel berlapis gepeng
2.1.4. Vaskularisasi dan persarafan
Vaskularisasi ginjal:
Aorta abdominalis A.Renalis A.Segmentalis A.Lobaris A.Interlobaris
A.Arcuata A.Interlobularis Vasa afferen Glomerulus Vasa efferen Kapiler
peritubuler dan Vasa recta Vena interlobularis Vena arcuata Vena interlobaris
Vena renalis Vena cava inferior
Persarafan : plexus renalis ( simpatis )
Vaskularisasi Ureter
A.Renalis
Aorta abdominalis
A.testicularis / a.ovarica
A.illiaca communis
A.illiaca interna
A.vesikalis
Persarafan ureter
Th 11 - L1 ( simpatis )
Nervi splanchcnicus pelvicum S2 4 ( parasimpatis )
Afferent berjalan bersama simpatis
Vaskularisasi vesika urinaria
Pria: a.vesikalis superior dan a.vesikalis inferior
Wanita: a.vesikalis superior dan a.vaginalis
Persarafan
Persarafan simpatis dan parasimpatis vesica urinaria sama dengan persarafan pada ureter.
2.2.Fimosis
Fimosis adalah ketidakmampuan untuk meretraksi prepusium. Pada waktu sesaat
setelah kelahiran, fimosis adalah suatu keadaan yang fisiologis. Seiring dengan
berjalannya waktu, perlengketan antara prepusium dan glans penis akan menghilang dan
cincin fimosis akan melonggar. Pada 90% pria yang tidak disirkumsisi, prepusium dapat
diretraksi pada usia 3 tahun. Akumulasi debis epitel di bawah prepusium bayi adalah
fisiologis dan tidak mengindikasikan dilakukannya sirkumsisi. Pada anak yang lebih tua,
fimosis dapat fisiologis, dan dapat patologis dikarenakan inflamasi dan atau luka parut di
ujung prepusium, atau dapat terjadi setelah sirkumsisi. Fimosis dapat juga terjadi karena
retraksi paksa yang menyebabkan luka parut yang menghalangi retraksi prepusium
setelahnya.
Pada anak laki-laki dengan fimosis fisiologis atau patologis yang persisten,
aplikasi krim kortikosteroid pada kulit prepusium 3 kali sehari selama 1 bulan terbukti
dapat melonggarkan cincin fimosis pada 2/3 kasus. Jika ada penggembungan prepusium
selama miksi, atau fimosis persisten setelah usia 3 tahun, dan kortikosteroid topical tidak
memberikan efek, sirkumsisi adalah hal yang mutlak harus dilakukan.
2.3. Sirkumsisi
Apakah anak laki-laki yang baru lahir harus menjalani sirkumsisi, sampai
sekarang masih kontroversial. Pada beberapa negara, sirkumsisi biasanya dilakukan
karena alasan kultural. Alasan yang mendukung dilakukannya sirkumsisi termasuk
mengurangi resiko UTI dan STD,
pencegahan kanker penis,
fimosis,
infeksi HIV,
dan balanitis.
Ketika melakukan sirkumsisi pda neonatus, analgesic local, seperti dorsal nerve
block atau aplikasi dari EMLA cream (lidocaine 2,5% dan prilocaine 2,5%), adalah
dianjurkan.
UTI terjadi dengan angka 10 sampai 15 kali lebih tinggi pada bayi yang tidak
disirkumsisi dibanding dengan yang disirkumsisi, dengan manifestasi bakteri yang
berkoloni di ruang antara prepusium dan glans penis. Resiko dari UTI dengan febris
dicatat sebagai yang tersering terjadi pada bayi baru lahir sampai usia 6 bulan. Sirkumsisi
biasanya direkomendasikan pada bayi yang mempunyai fator predisposisi untuk
mengidap UTI, seperti pada bayi yang mengalami hidronefrosis kongenital, dan refluks
vesikouretral. Sedangkan sirkumsisi pada orang dewasa mengurangi resiko penularan
STD. Hanya sedikit data yang menghubungkan antara angka kejadian karsinoma penis
dan sirkumsisi.
Komplikasi setelah sirkumsisi neonatus termasuk:
perdarahan,
infeksi luka sirkumsisi,
stenosis meatus uretra,
fimosis sekunder,
pemotongan prepusium berlebih,
perlengketan antara prepusium dan glans penis.
Anak dengan hidrokel yang besar atau hernia mempuyai resiko yang lebih tinggi
untuk mengalami fimosis sekunder karena sirkumsisi.
Komplikasi serius dari sirkumsisi termasuk
sepsis,
amputasi dari glans penis,
pemotongan berlebih dari prepusium,
fistel uretrokutan.
Kontraindikasi untuk sirkumsisi antara lain:
Hipospadia
Chordee tanpa hipospadia
Micropenis
Deformitas dorsal penis
2.4. Infeksi Traktus Urinarius (UTI)
2.4.1. Prevalensi dan etiologi
UTI terjadi sebanyak 3-5% pada anak perempuan dan 1% pada anak laki-laki
secara umum. Secara spesifik, prevalensi dar UTI bevariasi sesuai dengan perbedaan
usia. Pada tahun pertama kehidupan, ratio laki-laki : perempuan adalah 2.8-5,4 : 1.
Setelah usia 1-2 tahun, angka UTI pada wanita meningkat tajam dengan perbandingan
antara laki-laki : perempuan sebanyak 1 : 10.
UTI disebabkan terutama oleh bakteri yang berkoloni. Pada anak perempuan 75-
90% UTI disebabkan oleh E. Coli, diikuti oleh Klebsiella sp. dan proteus sp. semntara
pada anak laki-laki, penyebab utama dari UTI adalah Proteus sp diikuti dengan E.Coli.
Sementara Staphylococcus saprophyticus dan enterococcus adalah pathogen baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Infeksi virus yang paling sering adalah adenovirus sebagai
penyebab dari cystitis.
2.4.2. Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
3 bentuk dasar dari UTI adalah Pielonefritis, cystitis, dan bakteriuria asimtomatis.
1. Pielonefritis ditandai dengan gejala :
a. Nyeri abdomen atau punggung
b. Demam
c. Malaise
d. Nausea
e. Muntah
f. Dan biasanya diare
Sementara pada neonates menunjukan gejala yang tidak spesifik seperti :
a. Susah makan
b. Jaundice
c. Bayi iritabel
d. dan penurunan berat badan
Pielonefritis adalah infeksi bacterial serius yang paling sering terjadi pada bayi
kurang dari 24 bulan. Keterlibatan dari parenkim ginjal disebut sebagai
pielonefritis akut, tetapi jika parenkim ginjal tidak terlibat, disebut sebagai
pielitis. Pielonefritis akut dapat berprogresi kepada cedera ginjal.
2. Cystitis
Cystitis mengindikasikan adanya keterlibatan dari vesika urinaria. Gejalanya
antara lain :
a. Disuria
b. Urgensi
c. Frekuensi
d. Nyeri supra pubis
e. Dan inkontinensia
f. Urin dapat berbau tidak sedap, tetapi ha ini tidak spesifik untuk cystitis.
Cystitis tidak menyebabkan demam dan tidak menyebabkan cedera ginjal.
3. Bakteriuria asimtomatis
Merujuk kepada suatu keadaan dimana ditemukan kultur urin yang positif
tanpa adanya gejala infeksi. Hal ini lebih sering terjadi pada anak perempuan.
Insiden menurun seiring dengan bertambahnya usia.
2.4.3. Patogenesis dan Patologi
Hampir semua UTI adalah infeksi ascending. Kebanyakan bakteri berasa dari
flora feses yang berkolonisasi di perineum, dan memasuki vesika urinaria melalui uretra.
Pada anak aki-laki yang tidak disirkumsisi, bakteri pathogen berasal dari flora di bawah
preputium. Pada beberapa kasus, bakteri yang menyebabkan cystitis merambat ke atas
menuju ginjal menyebabkan pielonefritis. Infeksi ginjal dapat terjadi karena penyebab
hematogen yang berasal dari endokarditis atau terjadi pada neonates dengan sistem imun
yang belum sempurna, tetapi hal ini sangat jarang terjadi.
2.4.4. Diagnosis
Sebuah infeksi traktus urinarius dapat didiagnosis berdasarkan gejala atau temuan
pada urinalisis, atau keduanya, tetapi kultur urin adalah perlu pada penegakan diagnosis.
Kesalahan diagnosis sering terjadi karena kesaahan pada pengambilan sampel. Oleh
karena itu pengambilan sampel yang baik adalah sangat penting.
Jika hasil kultur menunjukan lebih dari 100.000 koloni terdiri dari pathogen
tunggal atau jika terdapat 10.000 koloni disertai dengan gejala-gejala klinis, anak yang
bersangkutan dapat didiagnosis terinfeksi.
Perlu juga diketahui pada anak laki-laki yang tidak disirkumsisi, pengambilan
sampel urin harus dilakukan dalam keadaan preputium yang diretraksi, jika tidak,
kemungkinan terjadi pencemaran.
2.4.5. Tatalaksana
Cystitis akut harus diterapi segera untuk mencegah terjadinya pielonefritis. Jika
gejala klinis sangatlah berat, terapi harus dilakukan segera sebelum hasil pemeriksaan
bakteriologis dan resistensi keluar. Jika gejaanya ringan atau diagnosisnya meragukan,
terapi dapat ditunda sampai hasil kultur keluar, dan kultur mungkin saja diulang jika
hasilnya tidak meyakinkan.
Jika terapi dilakukan sebelum hasil kultur dan resistensi keluar, terapi selama 3-5
hari dengan trimetoprim-sulfametoxazol adalah efektif untuk membasmi sebagian besar
strain E.coli. Nitrofurantoin (5-7mb/KgBB/24jam/3-4 dosis) adalah juga efektif dan dapat
juga membunuh Klebsiella-Enterobacter selain dengan E.coli. Amoxicicilin
(50mg/KgBB/24jam) juga efektif.
Pada akut infeksi yang menyebabkan febris seperti pielonefritis, terapi selama 10-
14 hari antibiotic spectrum luas yang dapat mencapai jaringan ginjal adalah
direkomendasikan. Pada nak-anak dengan dehidrasi, muntah, atau tidak dapat minum, <
1bulan atau dalam kemngkinan urosepsis harus dirawat di rumah sakit dan diberi
rehidrasi intravena dengan antibiotic intravena. Terapi parentral dengan Ceftiaxone (50-
75 mg/kg BB/24 jam, tidak lebih dari 2gram) atau Ampicillin (100mg/kg BB/24 jam)
dengan Aminoglikosid seperti Gentamisin (3-5mg/kg BB/24 jam dibagi menjdi 1-3 dosis)
adalah sangat dianjurkan. Potensi ototoksisitas dan nefrotoksisitas dari amnoglikosid
harus diwaspadai, dan serum kreatinin dan kadar gentamisin dalam darah harus diperiksa
sebelum memulai terapi, juga setiap hari selama terapi.
Bab III
Diskusi Kasus
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan laboratorium kelompok kami
mendiagnosis pasien tersebut menderita infeksi saluran kemih karena fimosis.
Fimosis dapat menyebabkan infeksi saluran kemih ( ascending infection ), pada infeksi
yang tidak diobati dengan baik dapat menyebabkan hidronefrosis, pielonefritis kronik,
hipertensi arterial, dan insufisiensi ginjal yang menyebabkan ureum, kreatinin meningkat
dan fungsi ginjal menurun.
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan pada pasien ini antara lain:
BNO
IVP
USG
Ureterography
Cystography
Untuk bahan pemeriksaan mikrobiologi urine digunakan Urine midstream yang
diambil pagi hari sebelum pasien minum untuk menghindari efek pengenceran.
Pemeriksaan juga sebaiknya sebelum pasien mendapat terapi antibiotika.
Pemeriksaan mikroskopis langsung dilakukan dengan sediaan hapus urine yang tidak
disentrifugasi dan dipulas dengan sediaan Gram atau kuman dibiakan dahulu pada agar
Mc Conkey, kemudian dihitung jumlah kuman.
Jika pada lempeng agar didapatkan:
< 10.000 cfu/mL dianggap bukan bakteriuria (-)
10.000 100.000 periksa ulang
> 100.000 bakteriuria (+)
Pemeriksaan laboratorium
1. Urine:
Makroskopik:
- Volume
- Warna
- BJ
- Kekeruhan
- PH
Mikroskopik:
- Sedimen:
Leukosit
Eritrosit
Epitel
Silinder
- Kimiawi :
Glukosa
Protein
Bilirubin
Nitrit & leukosit esterase untuk lihat infeksi
2. Darah rutin:
Hb
Leukosit
LED
Hitung jenis
Bab IV
Kesimpulan
4.1. Diagnosis
Diagnosis: Infeksi Saluran Kemih et causa Fimosis
Alasan : Saat buang air kecil penis mengembung
Urin keluar sedikit
Nyeri saat Buang air kecil (disuria)
Terdapat leukosit di urin
4.2. Komplikasi
Komplikasi pada ginjal : Hidronefrosis
Pielonefritis kronik
Hipertensi arterial
Insufisiensi ginjal ureum dan kreatinin meningkat, GFR turun
4.3. Aspek tumbuh kembang
Terjadi infeksi nafsu makan berkurang BBturun,gizi buruk pertumbuhan
terhambat ,anemia system imun turun mudah relaps hati2 infeksi ascending.
4.4. Tatalaksana
1. Antibiotik : amoksisilin, ampisilin, eritromisin untuk sirkumsisi
Infeksi Saluran Kemih bawah.
Cystitis :
1. Amoxicilin 50mg/KgBB/24jam/oral;dibagi 3x sehari. Selama 3-5 hari.
2. Nitrofurantoin 5-7mg/KgBB/24jam/oral;tiap 6 jam. Selama 10-14 hari. Boleh
pada bayi > 3 bulan.
3. Trimetoprim-Sulfametoksasol/oral. Boleh pada bayi > 2 bulan
Trimetoprim : 8-10mg/KgBB/24jam
Sulfametoksasol : 40-60 mg/KgBB/24jam
Tidak diberikan Intravena karena tidak ada ISK atas, dan bisa lewat oral.
2. Analgesik untuk meringankan rasa nyeri.
3. Kortikosteroid topical 3x/hari selama 1 bulan. Fungsinya melonggarkan preputium.
4. Tindakan operatif sirkumsisi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Robert M, Richard W. Nelson Pediatrics. Edisi 18. Sauder Elsevier : Philadelphia;
2004.
2. Syamsuhidayat R, Jony W. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta; 2005.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. EGC : Jakarta; 2001.
4. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Sagung Seto : Jakarta; 2000.
5. Wilson LM, Price SA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume 2. Edisi 6. EGC : Jakarta; 2006.
6. Gonzales R. Gangguan Urologi pada Bayi dan Anak. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3. Edisi 15.
EGC : Jakarta; 2000.
7. Junqueira LC, Carneiro J. Basic Histology.10th ed. McGrawHill : USA; 2003.
8. Moore KL, Agur AM. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates : Jakarta; 2002.