Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HUKUM ADAT SAMAWA SEBAGAI PRINSIP HIDUP MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Abdul Sakban, Wayan ResminiUniversitas Muhammadiyah Mataram, Mataram
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan hukum adat samawa sebagai prinsip hidup masyarakat multikultural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip hidup masyarakat samawa mengacu pada lawas samawa yaitu mana tau barang kayu, lamin to sanyaman ate, banan si sanak parana (meskipun manusia dan benda lainnya, jika mampu memberi rasa bahagia, itulah saudara kita). Kemudian yang menjadi dasar hukum adat samawa adalah adat barenti ko syara` ke syara` barenti ko kitabullah (adat Sumbawa berpedoman pada syariat, syariat yang berpedoman kepada kitabullah yaitu al-qur`an dan sunnah rasul). Pola hidup masyarakat Sumbawa sebagai daerah multikultural yaitu (1) toleransi selalu ada pada penduduk asli maupun pendatang; (2) masyarakat pendatang harus tahu diri tentang hukum adat Sumbawa yang berpinsip pada mana tau barang kayu lamin to sanyaman ate banan si sanak parana (dia datang dari suku manapun, ras manapun, etnis manapun, agama manapun jika mampu memberi rasa bahagia itulah saudara kita); (3) komunikasi harus dijaga antara penduduk asli dengan pendatang; (4) kalau sudah ada di tanah samawa harus meluluhkan dirinya menjadi orang Sumbawa; (5) toleransi orang Sumbawa tinggi dan egaliternya terbuka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hukum adat Samawa dapat dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia yang multikultural.
Kata Kunci: Hukum Adat Samawa, Prinsip Hidup, Multikultural
PENDAHULUANPluralitas budaya dapat menjadi ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia yang
memiliki berbagai macam budaya daerah seperti adat istiadat, tradisi, agama, golongan, etnis,
suku dan ras. Tilaar menyatakan bahwa keberagaman budaya di Indonesia merupakan
kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Keunikan budaya yang
beragam tersebut memberikan implikasi pola pikir, tingkah laku dan karakter pribadi masing–
masing sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam masyarakat dan daerah. Tradisi yang
terbentuk akan berlainan dari satu suku/daerah dengan suku/daerah yang lain. Pergumulan
antar budaya memberikan peluang konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan
menghormati satu sama lain (Tilaar, 2004). Adanya perbedaan budaya, agama, etnis, dan
golongan dapat menimbulkan konflik heterogen maupun homogen apabila tidak dibentengi
dengan hidup saling menghormati dan menghargai.
Faktor penyebab konflik adalah karena adanya dominasi etnik Bali dalam kehidupan
sosial, politik,dan budaya etnik Samawa, yaitu dalam hal mengakses sumber-sumber ekonomi,
jabatan-jabatan penting di birokrasi (pemerintahan, swasta, BUMM), serta adanya perilaku dan
penampilan adat/budaya Bali yang dianggap mencolok oleh etnik Samawa (Iskandar, 2009).
Demikian juga hasil laporan liputan 6 menyampaikan terjadi bentrok antara etnis Bali dan etnis
Samawa atau Sumbawa, dalam kejadian ribuan warga etnis Samawa atau Sumbawa melakukan
sweeping terhadap rumah-rumah dan mobil-mobil etnis Bali yang berada di sepanjang jalan kota
Sumbawa Besar, kerusuhan itu berawal dari adanya informasi meninggalnya seorang gadis
1
etnis Sumbawa dengan tubuh penuh luka lebam dan pakaian dalam robek. Namun saat
keluarga korban melaporkan hal tersebut ke Mapolres Sumbawa, pihak kepolisian justru
menyatakan gadis tersebut tewas akibat kecelakaan, sementara keluarga korban mengaku anak
gadisnya ini berpacaran dengan seorang anggota polisi dari etnis Bali. Akibatnya, siang tadi
warga melakukan aksi unjuk rasa di depan Mapolres Sumbawa Besar, namun karena jawaban
dari pihak kepolisian tetap sama, warga akhirnya melakukan pengrusakan dan pembakaran
(Liputan 6, 2013).
Berbagai konflik social di atas menunjukkan bahwa keberagaman budaya, agama,
etnis, suku, dan ras dapat menjadi factor penyebab terjadinya konflik baik konflik antar agama
maupun konflik sesama agama. Untuk itu, diperlukan suatu konsep teori hukum adat agar
keberagaman budaya atau multicultural yang ada dimasyarakat tana Samawa ini dapat hidup
berdampingan dalam perbedaan, dimana hukum adat samawa berfungsi sebagai pedoman
hidup masyarakat tau samawa maupun masyarakat Indonesia yang multikultural. Penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan peran hukum adat samawa sebagai prinsip hidup masyarakat
multicultural.
Maladi (2010) menyatakan bahwa hukum adat Indonesia dipandang sebagai sumber
pembentukan hukum nasional karena merupakan perwujudan dari hukum asli bangsa kita.
Sopian (2015) menyatakan bahwa hukum adat terbukti memberikan perlindungan kuat terhadap
hak kebendaan dan dapat mengatasi konflik secara efektif, terutama dalam sebuah komunitas
kecil yang homogen. Selain itu, hukum adat memberikan akses yang lebih besar, lebih fleksibel,
dan memiliki legitimasi yang kuat dalam proses rekonsilitasi diantara para pihak yang
bersengketa. Dengan demikian, hukum adat samawa berpedoman pada adat dan budaya (’urf)
yang merupakan sebagai salah satu sumber hukum masyarakat Sumbawa. Maka sumber
hukum adat samawa bersumber pada Al-Quran dan Sunah (Zuhri, 2016:72). Adapun yang
menjadi pedoman hidup masyarakat samawa dalam menerapkan hukum adat samawa dengan
mengikuti syarat: 1) Adat tersebut harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau
sebagian tertentu dari masyarakat; 2) Adat harus menjadi kebiasaan pada saat ditetapkan
sebagai rujukan hukum; 3) Adat batal tatkala bertentangan dengan sumber utama hukum Islam
(Al-Qur’an dan Al-hadist); 4) Jika terjadi perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum
jika tidak ada pihak yang menolak adat tersebut.
Berkaitan dengan masyarakat multicultural, menurut Fedyani (1986) yang dikutip Kamal
(2013) menyatakan bahwa keaneragaman penyusunan yakni dari suku bangsa, agama dan
golongan-golongan sosial lainnya dengan ciri yang nyata adalah kecenderungan yang kuat
memegang identitas golongan sosial masing-masing. Orientasi yang kuat ke dalam golongan
sendiri merupakan isyarat mengenai pekanya hubungan antar golongan sosial dalam
masyarakat. Orientasi kuat ke dalam tersebut merupakan faktor yang memperkuat batas sosial
dan perbedaan. Agar tercipta integrasi dalam masyarakat majemuk maka perlu tercipta sejumlah
2
pranata-pranata yang mengikat golongan sosial sehingga warga dapat mengidentifikasikan
dirinya pada ciri yang juga dimiliki oleh warga lainnya. Kamal (2013) bahwa multikultural sebagai
sebuah konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsan dapat mengakui
keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama.
Pendidikan multikultural memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan
majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural).
Gagasan pendidikan multicultural dinilai sebagai gagasan yang mengakomodasi kesetaraan
dalam perbedaan dianggap mampu meredam konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat
yang heterogen dimana tuntutan akan akan pengakuan dan eksistensi dan keunikan budaya
kelompok lumrah terjadi. Demikian juga Tilaar (2004) berpendapat bahwa proses untuk
meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan Multikultural dalam
rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan
menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
METODE PENELITIANMetode penelitian ini menggunakan penelitian hukum empirik yaitu penelitian yang
mengkaji hukum, sebagai norma yang pasif dan juga mengkaji hukum dan peraturan dan
implementasinya (Fajar dan Achmad, 2010). Waktu pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan
selama 4 bulan pada tanggal, 12 april s/d 12 Juli 2017, kemudian tempat penelitian di
Kabupaten Sumbawa. Adapun pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan social-legal yaitu suatu pendekatan yang memperhatian keberlakuan/penerapan
aturan-aturan hukum dalam masyarakat, sehingga diketahui perbedaan antara hukum yang
berlaku (das sollen) dengan pelaksanaan di lapangan (das sain).
2. Analytical and conceptual approach (pendekatan analisis konsep) yaitu melakukan
pendekatan hukum adat dan sanksi adat yang berlaku dalam masyarakat.
3. Case studi approach (pendekatan studi kasus) yaitu untuk mengkaji secara mendalam dan
intensif satu kelompok sasaran subjek penelitian dengan mengacu kepada fakta materiel
berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya (Fajar dan Achmad, 2010).
Dimana data dan informasi yang akan dikumpulkan baik dari segi pengkajiannya
maupun dari segi pengelolaannya dilakukan secara interdisipliner dan multidisipliner serta lintas
sektoral. Data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier serta informasi
tersebut kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif dengan mendalam sehingga diperoleh
gambaran mengenai hukum adat. Studi kasus digunakan untuk mengkaji secara mendalam dan
intensif satu kelompok sasaran subjek penelitian dengan mengacu kepada fakta materiel berupa
orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah kepustakaan, pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Kemudian
3
analisis data menggunakan deskriptif analitis untuk menguraikan data lapangan dengan studi
literatur dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
HASIL DAN PEMBAHASAN1. Hukum Adat Samawa
Tau samawa asal kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama lain dari
Sumbawa. Jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau masyarakat yang menempati
pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah suku yang mendiami pulau sumbawa. Samawa
adalah sebutan yang biasa digunakan oleh penduduk lokal untuk Sumbawa. Berubahnya kata
samawa menjadi Sumbawa lebih dipengaruhi oleh penjajahan belanda pada masa lampau
tepatnya pada jaman kolonial Belanda. Penjajah belanda meyebut Samawa dengan kata
Zhambava dan seiring waktu dan juga penyebutan dengan lidah indonesia Zhambava menjadi
sumbawa, sama halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Jawa menjadi Java.
Budaya dan agama dalam masyarakat Sumbawa memiliki makna yang sangat penting,
yang oleh masyarakat Sumbawa digunakan sebagai pedoman hidup, dalam konteks adat dan
budaya (’urf) juga merupakan sebagai salah satu sumber hukum masyarakat Sumbawa. Islam
berpandangan bahwa adat dapat menjadi dasar penetapan hukum dengan perasyarat adat
tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, (Zuhri, 2016:72) dengan syarat: 1)
Adat tersebut harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau sebagian tertentu dari
masyarakat; 2) Adat harus menjadi kebiasaan pada saat ditetapkan sebagai rujukan hukum; 3)
Adat batal tatkala bertentangan dengan sumber utama hukum Islam (Al-Qur’an dan Al-hadist); 4)
Jika terjadi perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum jika tidak ada pihak yang
menolak adat tersebut.
Kemudian untuk menyelesaikan konflik atau sengketa masyarakat Sumbawa
menggunakan asas musyakarah. Menurut Zuhri (2016:77) bahwa Asas musyakara
(Musyawarah) dalam falsafah Sumbawa selalu digunakan oleh masyarakat Sumbawa dalam
memutuskan seluruh permasalahan yang ada di dalam masyarakat Sumbawa, dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, nilai saling menghormati, nilai kebenaran dan nilai
musyawarah dan mufakat, yang diayomi dengan nilai Ketauhitan akan kekuasaan Allah SWT
sebagai pemilik semesta alam dan kehidupan ini. Sehingga dalam memutuskan segala
permasalahan yang ada di dalam masyarakat selalu menggunakan metode dan cara yang islami
yaitu dengan musyakara (musyawarah dalam bahasa Sumbawa).
Namun ada pandangan lain yang membedakan antara adat istidata dengan hukum tidak
tertulus (rappang), rappang ini di masyarakat Sumbawa disebut hukum adat. Dalam sistem
budaya Sumbawa digambarkan dalam adat istiadat dan rappang (hukum tidak tertulis. Adat
istiadat muncul dari sikap tingkah laku serta kebiasaan yang baik dan dianggap baik dalam
masyarakat, sedangkan rappang adalah hukum dan aturan yang mengatur tata kehidupan
4
masyarakat untuk mencapai martabat kehidupan yang diridoi Allah baik di dunia maupun
diakhirat. Rappang dibuat oleh rakyat bersama pemimpin, sedangkan adat istiadat lahir dari
kebiasaan-kebiasaan yang baik pula. (Zulkarnaen, 2011:28).
Perbedaan antara adat dan hukum (Rappang). Rappang mengacu kepada Sunnah Rasul
dan Alquran, sedangkan adat adalah tata kebiasaan yang dianggap baik sesuai masanya tetapi
tidak bertentangan dengan rappang (Zulkarnaen, 2011:36). Ia juga menjelaskan bahwa hukum
(rappang) ini pernah digunakan oleh kerajaan Sumbawa, dimana di tuliskan dalam “buk” (naskah
kuno) yaitu transisi masa kerajaan ke kerajaan Islam bahwa riba yang berkembang sebelumnya
di kalangan penguasa dilarang oleh islam sehingga dalam maklumat sangat menekan raja untuk
menjalankan roda ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Demikian pula pada aspek-aspek
kehidupan yang lain. Kemudian berdasarkan sejarah adat istiadat dan tata kehidupan tana
samawa mendapat titik terang pada abad ke-17, ketika Tuan Syarif Maulana Ali dari Bnaten
bersama Tuan Faqieh Ismail yang memperkuat Hukum Kitab dan Hukum Adat (Zulkarnaen,
2011:37).
Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum adat Sumbawa sebenarnya tidak tertulis akan
tetapi bersifat secara lisan, hal ini sesuai dengan adat yang digunakan masyarakat sumbawa
dalam kehidupan sehari-hari yakni menjunjung tinggi sikap patriotisme kepada Negara Kesatuan
Republic Indonesia dengan mengabdi kepada negara dan bangsa Indonesia. Kemudian sikap
dan tingkah laku masyarakat Sumbawa menyesuaikan diri dengan syariat-syariat islam terutama
mengatur pola kehidupan, tata krama, bergaul, kerkomunikasi dan mengatur hubungan manusia
dengan lingkungannya. Itulah semua mengacu kepada penjelasan al-qur`an dan sunnah rasul.
Apabila hukum adat bertentangan dengan kitab suci maka hukum adat tersebut tidak berlaku,
namun hukum adat tersebut akan dikombinasikan antara fakta dan nyata yang berdasarkan al-
qur`an dan sunnah rasul atau kitab suci.
2. Prinsip Hidup Masyarakat Samawa yang MultikulturalPrinsip hidup yang berlaku pada masyarakat Samawa yang bernilai multicultural mengacu
kepada lawas atau syair kuno samawa, adapun lawas tersebut adalah sebagai berikut:
mana tau barang kayu
lamin to sanyaman ate
banan si sanak parana
Terjemahan
Meskipun manusia dan benda lainnya
Jika mampu memberi rasa bahagia
Itulah saudara kita
5
Makna lawas di atas menunjukkan bahwa masyarakat Sumbawa sangat toleransi dengan
tidak membeda-bedakan etnis, budaya, agama semasih orang-orang tersebut mampu menjaga
keharmonisan dan mampu memberikan kesejahteraan maupun kebahagian baik kepada
masyarakat Sumbawa maupun masyarakat etnik lain yang berada di Sumbawa adalah
saudaranya. Lawas Samawa tersebut berfungsi untuk menjaga hubungan persaudaraan
sesama masyarakat Sumbawa, baik penduduk asli Sumbawa maupun pendatang yang tinggal di
tanah Sumbawa dan juga memiliki berbagai etnik yang berbeda-beda.
Hal tersebut sesuai konsep hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar
hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang terintegrasi di dalam kehidupan
masyarakat sebagai pembimbing, pengarah pola perilaku kehidupan masyarakat sesuai dengan
adat istiadat dan pola social budaya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
(LATS, 2016:11). Kemudian dasar hukum adat Sumbawa terdapat pada:
a. Permendagri Nomor 3 tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta
pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga adat di daerah.
b. Inmendagri Nomor 15 tahun 1998 tentang petunjuk pelaksanaan pemberdayaan dan
pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga adat di
daerah.
c. Peraturan daerah kabupaten Sumbawa, Nomor 33 tahun 2007 tentang lembaga adat.
Selain itu, ada prinsip yang tidak boleh diganggu oleh orang lain tentang jati diri tau
samawa (orang sumbawa). Prinsip yang dipegang teguh masyakat Sumbawa adalah
1. Jangan ganggu agama
2. Jangan ganggu keluarganya dalam hal ini wanita
3. Jangan ganggu hartanya
Prinsip tersebut menandakan symbol kekuatan masyarakat Sumbawa untuk menjaga
harkat dan martabat sebagai manusia yang berakal, berbudi, berbudaya dan beragama. Prinsip
hidup ini jika digoyahkan atau dicuri serta diganggu maka akan menimbulkan konflik atau
sengketa. Misalnya kalau agama dijadikan alat untuk menghancurkan seseorang maka agama
lah menjadi pemicu utama dan akan melahirkan konflik baru. Demikian juga dengan keluarga
atau kekerabatan dan harta neda lainnya. Akan tetapi jangan khawatir tau samawa ini memiliki
sikap yang egaliter dan terbuka untuk siapa saja yang penting seseorang terserang tersebut
mampu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan itulah saudaramu.
Untuk menjalankan hukum adat Sumbawa, masyarakat Sumbawa memiliki lembaga adat
yaitu Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) dan bertugas membantu pemerintah daerah dalam
pengembangan pembangunan baik di bidang agama dan adat istiadat, hukum adat, sejarah dan
kebudayaan daerah, bahasa dan sastra daerah, kesenian dan permainan daerah, lingkungan
hidup, hubungan masyarakat dan kesejahteraan social, pendidikan dan penelitian dan
pengembnagan, busana dan upacara adat, usaha dan ekonomi rakyat, sarana dan prasarana
6
budaya, pagar adat, hubungan antar etnik dan budaya, dan publikasi informasi dan komunikasi
(LATS, 2016:13).
Tujuan majelis adat Sumbawa adalah sebagai berikut:
1. Melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai budaya local Sumbawa
2. Melindungi dan memelihara harta kekayaan adat istiadat Sumbawa, yang mempunyai nilai
sejarah baik bergerak maupun tidak bergerak.
3. Melakukan upaya pengembangan budaya dan adat istiadat Sumbawa yang terencana,
terpadu dan perarah.
Fungsi majelis adat Sumbawa mampu menghimpun segala urusan masyarakat Sumbawa.
Adapun fungsi tersebut, yakni:
1. Menghimpun, merumuskan, menyampaikan dan mempertahankan aspirasi Tau dan Tana
Samawa
Majelis adat samawa dalam menghimpun segala kebutuhan masyarakat Sumbawa baik
kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya dilakukan dengan cara musyakarah. Selanjutnya
aspirasi tersebut akan dirumuskan sesuai dengan kebutuhan dan efisiensi kinerja majelis
adat tana samawa. Sementara kalau kasus social dan asusila maka akan diselesaikan secara
kekeluargaan, jika terbukti maka akan diberikan sanksi adat berupa dikeluarkan dari
kampung. Untuk mempertahankan adat istidat samawa majelis adat berusaha melakukan
sosialisasi kepada masyarakat di tanah Sumbawa secara kontinu.
2. Mendidik, mencerdaskan dan menyadarkan rakyat tentang hak dan kewajibannya sebagai
Tau dan Tana Samawa
Majelis adat Sumbawa memiliki tugas untuk mendidik masyarakat Sumbawa mulai di
tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tertinggi untuk memberikan pemahaman dan
pelatihan tentang hukum adat Sumbawa, adat istiadat dan budaya sumbawa secara berkala
agar masyarakat Sumbawa mengetahui secara lebih dini. Majelis adat juga membentuk
kelompok social sebagai tempat berkumpul dan menyampaikan aspirasi masyarakat baik
masyarakat Sumbawa yang beretnik bali, etnik sasak, etnik bima, etnik bugis dan lainnya
untuk diberikan pemahaman antara hak dan kewajiban sebagai masyarakat tana samawa.
3. Sebagai filterisasi budaya asing
Adat istiadat samawa menjadi alat untuk menfilterisasi penguaruh budaya asing yang
masuk pada masyarakat Sumbawa terutama di bidang social, ekonomi, budaya, dan teknologi
informasi. Cara untuk mempertahankan budaya sendiri yaitu melestarikan budaya, dan perilaku
sesuai dengan budaya local dengan berpedoman pada adat barenti ko syara’ syara’ barenti ko
Kitabullah. Sebagai masyarakat Sumbawa wajib memelihara (memegang teguh) agama, juga
memelihara (memegang teguh) adat, sebagai pedoman hidup dalam berilaku sesuai
perkembangan jawab.
7
Keberagaman yang dimiliki tau samawa menjadikan Sumbawa sebagai salah satu
daerah yang multicultural tinggi karena memiliki berbagai macam etnis, budaya, suku, dan
agama yang hidup saling berdampingan tanpa saling bentrok. Untuk menjaga hubungan social
antar etnis di tau Samawa, maka majelis adat Samawa membentuk Paboat (badan pelaksana
adat) hubungan antar etnik.
DAFTAR PUSTAKAFajar Mukti dan Achmad, Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empirik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibrahim, Rustam. 2013. Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya dengan
Tujuan Pendidikan Islam. Jurnal ADDIN, Vol. 7, No. 1, (129-154).
Iskandar, Syaifuddin. 2009. Resolusi Konflik Etnik Samawa dan Etnik Bali dl Sumbawa. Jurnal
Populasi, Volume 19 No. 1, (57-72).
Kamal, Muhiddinur. 2013. Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat Indonesia Yang Majemuk.
Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, Nomor 6, hlm. 451-458.
Liputan 6. Bentrok Antar-Etnis Terjadi di Sumbawa.
http://news.liputan6.com/read/494122/bentrok-antar-etnis-terjadi-di-sumbawa, diakses 12
Agustus 2017.
LATS. 2016. Susunan Pengurus Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) Pajatu Adat Masa
Khidmat 2017-2022. Sumbawa Besar: Istana Bala Kuning.
Maladi, Yannis. 2010. Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen.
Jurnal Mimbar Hukum. Volume 22, Nomor 3. 450-464.
Sopian, Najmul Lina. 2015. Informal Dispute Resolution Based On Adat Law: A Case Study Of
Land Dispute In Flores, East Nusa Tenggara, Indonesia. Indonesia Law Review. Volume 5
Number 2, 106 -122. ISSN: 2088-8430 | e-ISSN: 2356-2129.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam
Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Zulkarnain, Arief. 2011. Kepemimpinan dalam Adat dan Rappang Tana Samawa. Ombak:
Yogyakarta.
Zuhri, Lahmuddin. 2016. Nilai Lokal Krik Salamat sebagai Asas dalam Pembangunan Hukum.
Rechtidee, Vol. 11. No. 1, hlm. 64-83.
KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF BAGI KEPALA DAERAH, STUDI PILKADA DKI JAKARTA 2017
Agus Machfud FauziProdi Sosiologi FISH Universitas Negeri Surabaya, Surabaya
8
ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah menjelaskan pentingnya menghormati perbedaan yang ada dalam proses politik membangun bangsa dan Negara Indonesia. Pencalonan kepala daerah di DKI Jakarta pada Pilkada tahun 2017 menghadirkan konflik horizontal dengan munculnya dua calon yang sama kuatnya. Pertama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang berketurunan Tionghoa dan kedua, lawannya adalah Anis Baswedan yang berketurunan Arab. Ahok sebagai calon petahana mempunyai pendukung yang besar sebab warga Jakarta merasakan hasil kinerja selama satu periode kepemimpinan setelah menggantikan Joko Widodo yang mana beliau terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Anis Baswedan mempunyai pendukung yang tidak kalah besar, sebab beliau adalah mantan menteri pendidikan nasional dan mempunyai branding sebagai pendidik yang konsisten. Sebetulnya pada putaran pertama ada Agus Hari Murti Yudhoyono (AHY) yang keturunan asli orang Jawa (Pacitan), tetapi AHY harus menerima kekalahan pada putaran pertama sehingga pada putaran kedua yang berkompetisi adalah Ahok melawan Anis. Warga Jakarta sudah tidak mempermasalahkan sang calon kepala daerah orang keturunan Indonesia asli atau tidak, sebab faktanya AHY mendapat dukungan paling sedikit. Sebagian warga DKI Jakarta memilih pemimpin karena kedekatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), tetapi yang mayoritas mereka memilih karena ada harapan besar terhadap pemimpin baru. Terpilihnya Anis Baswedan bukan karena dia sebagai seorang muslim, tetapi masyarakat lebih berharap tetap perubahan yang lebih untuk DKI Jakarta dengan hadirnya pemimpin baru. Terbukti bahwa tidak satupun petahana di DKI Jakarta mampu mempertahankan untuk periode kedua, sebab warga DKI menginginkan pemimpin baru.Kata Kunci: kewarganegaraan, Pilkada, Pemimpin Baru.
A. PendahuluanPilkada merupakan agenda lima tahun sekali yang dilaksanakan oleh setiap
pemerintahan daerah untuk memilih pemimpin baru pada semua daerah di Indonesia.
Penjadwalan Pilkada tidak tergantung kemauan kepala daerah, tetapi ia terjadwal secara pasti di
agenda Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Akhir Masa Jabatan
Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2017, pertanda Pilkada DKI Jakarta harus
dilaksanakan sebelum AMJ datang, dan regulasi baru mengatur bahwa pelaksanaan Pilkada
secara serentak di seluruh Indonesia, untuk tahun 2017 dibersamakan yaitu pada tanggal 15
Februari 2017, DKI Jakarta salah satu daerah yang melaksanakan secara bersama tersebut.
Seseorang yang telah dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik, maka akan
berusaha menjadi pemenang dalam konstestasi Pilkada 2017. Kehadiran tiga pasangan calon,
pertama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat diusung oleh PDI Perjuangan,
P Golkar, P Nasdem dan P Hanura, kedua Anies Baswedan – Sandiaga Uno diusung oleh P
Gerindra dan PKS, dan ketiga Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni diusung oleh P
Demokrat, PKB, PPP dan PAN, ketiganya bersaing untuk mendapatkan simpati dan keputusan
coblosan dari warga DKI Jakarta.
Para calon gubernur tersebut mempunyai sejarah kewarganegaraan yang bervariatif,
pertama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), lahir di Manggar, Belitung Timur pada 29 Juni 1966.
Ahok merupakan warga Negara Indonesia dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen
Protestan. Ahok adalah putra pertama dari Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan
Buniarti Ningsih (Boen Nen Tjauw), keluarganya adalah keturunan Tionghoa-Indonesia dari
9
Suku Hakka (Keija).1 Kedua, Anies Baswedan, dengan nama asli Anies Rasyied Baswedan, lahir
di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 dari pasangan Rasyid Baswedan dan Aliyah Rasyid. Anies
merupakan cucu dan pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan, salah seorang keturunan
Arab yang terlibat aktif dalam pendirian Republik Indonesia.2 Sang Kakek AR Baswedan
mencetuskan Sumpah Pemuda Keturunan Arab untuk mengakui Indonesia sebagai tanah airnya
pada 1934, bersamaan dengan itu AR Baswedan mengumpulkan para keturunan Arab dan
mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Ketiga
adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Susilo Bambang Yudhoyono dan Kristiani
Yudhoyono, lahir pada Agustus 1978 di Bandung, Jawa Barat. AHY merupakan keturunan
pribumi, tidak ada hubungannya dengan darah Cina atau Arab, apalagi sang Ayah Susilo
Bambang Yudhoyono dibesarkan di Pacitan, salah satu kabupaten di Jawa Timur bagian barat
yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. AHY mempunyai kelebihan Indonesia asli
dibanding dengan dua calon lainnya.
B. MetodologiPada penulisan atikel ini, peneliti menggunakan metodologi kualitatif dengan cara
komparasi terhadap tiga calon yang gubernur DKI Jakarta yang berlaga pada Pilkada 2017.
Keberadaan para calon wakil gubernur sebagai penambah informasi dalam perbandingan
ketiga calon gubernur, sebab pada konsetasi tersebut yang paling berpengaruh adalah tiga
calon gubernur, sedangkan tiga calon wakil gubernur pasangannya, menjadi penambah
kekuatan untuk meraih kemenangan dengan berbagai identitas, simbol dan cara perjuangan
masing-masing.
C. PembahasanPersaingan dalam kontestasi Pilkada menjadi tren lama yang harus diperjuangkan oleh
pasangan calon kepala daerah. Tanpa ada perjuangan yang serius, mustahil mereka bisa
memenangkan pertarungan. Kepemimpinan politik berbeda dengan elit politik. Memiliki
kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, sebab ini ditentukan jenis
1 ). https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama. Ahok memiliki tiga orang adik, yaitu Basuri Tjahaja Purnama (dokter PNS, menjadi Bupati di Kabupaten Belitung Timur), Fifi Lety (praktisi hokum), Harry Basuki (Dunia wisata dan Perhotelan). Panggilan Ahok berasal dari ayahnya, yaitu ingin Basuki menjadi seseorang yang sukses dan memberikan panggilan khusus baginya, yaitu “Banhok”. Kata “Ban” sendiri berarti puluhan ribu, sementara “Hok” memilik arti belajar, bila digabung bermakna “belajar pada segala bidang”, akhirnya panggilan Banhok berubah menjadi Ahok.2 ). http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/03/130309_tokoh_anies_baswedan. Sang kakek AR Baswedan menjadi anggota BPUPKI dan BP-KNIP, beliau pernah dipercaya menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Sutan Sjahrir III dan Kabinet Natsir. AR Baswedan juga pernah menjadi anggota parlemen dan Dewan Konstituante.
10
sumber pengaruh yang digunakan tujuan penggunaan pengaruh.3 Penjelasan ini berpengaruh
terhadap kontestasi dalam Pilkada. Beberapa rumor muncul bersamaan dengan pelaksanaan
Pilkada DKI Jakarta 2017, yaitu ia merupakan pertarungan agama sebab para calon mempunyai
latar belakang agama yang berbeda. Muncul rumor lain yaitu pertarungan etnis, sebab ibukota
yang plural penduduknya memunculkan tiga calon gubernur yang berlatar belakang suku atau
etnis yang berbeda. Juga muncul rumor ketiga, yaitu Pilkada DKI 2017 merupakan persaingan
ideologi yang ditawarkan partai politik.
Terhadap ketiga rumor tersebut, peneliti menjadikan ketiganya sebagai bahan untuk
menggali lebih mendalam, yaitu apa sebenarnya yang terjadi dengan Pilkada DKI Jakarta.
Apakah salah satu atau ketiga rumor tersebut bisa dibuktikan, atau hanya sebatas rumor yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap dunia ilmu pengetahuan.
1. Bukan Perang AgamaKetiga calon mempunyai latar belakang agama yang berbeda, Ahok adalah beragama
Kristen Protestan, sedangkan Anis dan AHY beragama Islam. Seandainya dasarnya adalah
agama yang dijadikan pijakan pilihan pemilih maka keberadaan Ahok diuntungkan karena dia
beragama yang berbeda dengan Anis dan AHY, satu lawan dua. Menurut Amstrong bahwa
perang agama, yang dahulu dinamai perang salib, ia berkaitan erat dengan konflik modern dan
hubungan yang tegang selama bertahun-tahun antara agama Yahudi, Kristen dan Islam. Perang
agama menampilkan wajah terburuk agama.4 Perang agama ini membawa banyak kurban
terhadap semua pihak, baik moril atau materiil, sehingga menyisakan penyesalan di semua
pihak yang berperang. Status quo tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama. Saat ini, siapa
pun dan dimanapun bisa menjadi kurban perilaku destruktif, misalkan dalam berpolitik yang
menjadikan dunia ini terbelah.5
Memang berbeda antara perang agama yang sebenarnya di atas dibanding dengan
Pilkada DKI Jakarta 2017. Perbedaan itu terlihat dalam setting perang yang sebenarnya
dibanding dengan Pilkada yang pelaksanannya hanya sesaat, demi kepemimpinan DKI Jakarta
selama lima tahun. Persamaannya bahwa hadirnya calon yang berbeda agama sebagai
kontestan Pilkada, terlihat sepintas terjadi persaingan berebut kepemimpinan Jakarta oleh
agama. Hiruk pikuk persaingan terlihat lebih besar karena DKI Jakarta merupakan ibukota
Negara, sehingga semua kekuatan politik yang tersentral di ibukota turut untuk menyemarakkan
kontestasi Pilkada tersebut. Kekuatan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang
berpusat di Jakarta pun juga terlibat dalam arena politik lokal tersebut.
3 ). Surbakti, Hal. 170-171.4 ). Amstrong, Hal. 11-18. Sebelum tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara beiadab, para pemeluk ketiga agama tersebut telah hidup bersama dalam suasana damai dibawah naungan hokum Islam selama 460 tahun. Salahudin Al-Ayubi berhasil menaklukkan kembali Yerusalem untuk orang Islam di tahun 1187, tetapi hubungan ketiga agama tidak bisa sebaik di Yerusalem sebelum Perang Salib. Semenjak itu, masing-masing agama memandang selalu waspada diantara mereka.5 ). Kimbali, 63-64.
11
Jadi sebenarnya yang terjadi bahwa Pilkada DKI Jakarta bukan perang agama karena
identitas agama sang calon berbeda, tetapi karena kekuatan politik, organisasi kemasyarakatan
dan berbagai simbol keagamaan tersentral di Jakarta, sehingga sepertinya Pilkada DKI Jakarta
2017 perang agama. Jika dilihat dalam koalisi, partai politik yang berbasis Islam, misalkan PPP,
PAN dan PKB, meski sebagian menyatakan partai terbuka, bahwa mereka berkoalisi
mengusung AHY pada kontestasi putaran pertama, bukan memberikan dukungan kepada Anis
yang disimbulkan sebagai calon kelompok Islam. Faktanya bahwa AHY pada putaran pertama
memperoleh suara terendah dibanding dengan Anis dan Ahok. Selanjutnya pada putaran kedua,
PPP dan PKB malahan mengusung
2. Bukan Persaingan Etnis/SukuPilkada DKI Jakarta juga ditengarai sebagai pertarungan etnis/suku, sebab ketiga calon
gubernur mempunyai latar belakang etnis/suku yang berbeda. Ahok beretnis Tionghoa, Anis
beretnis Arab dan AHY beretnis Jawa. Jakarta adalah ibukota negara yang heterogin
penduduknya. Semua etnis/suku yang ada di Indonesia relatif ada, tetapi mayoritas tetap suku
Betawi, Jawa dan selanjutnya Tionghoa. Tercatat bahwa Suku Jawa 35,26%, Betawi 27,65%,
Sunda 15,27%, Tionghoa 5,53%, Batak 3,61% dan selanjutnya.6 Ini menandakan bahwa dilihat
dari sosok calon gubernur bahwa Suku Jawa menjadi penduduk mayoritas di Jakarta, meski
selain AHY calon gubernur yang berasal dari Suku Jawa, ada Djarot Saiful Hidayat yang
merupakan calon wakil pendamping gubernur Ahok yang juga berasal dari Suku Jawa.
Suku Betawi tidak ada yang menjadi representasi dari calon gubernur, ia diambil oleh
calon wakil gubernur yaitu Sylvia Murni berpasangan dengan AHY. Sedangkan yang berasal
dari Suku Tionghoa hanya diperankan oleh Ahok sebagai calon gubernur. Anis sebagai calon
gubernur tidak mempunyai dukungan kuat dari background kesukuannya, sebab dia adalah
berketurunan Arab yang di DKI Jakarta sangat minoritas. Jadi bisa disimpulkan bahwa Pilkada
DKI Jakarta 2017 bukan pertarungan etnis/suku para calon gubernur, sebab seandainya
mengandalkan kalkulasi kesukuan ini yang akan memenangkan adalah pasangan AHY –Sylvia
Murni, padahal pasangan ini memperoleh suara paling sedikit dibanding kedua pasangan
lainnya, sehingga ketika tidak ada yang mencapai 50% plus 1, regulasi mengatakan harus ada
putaran kedua, pasangan AHY-Sylvia tidak menjadi kontestan Pilkada putaran kedua.
3. Bukan Persaingan IdeologiPilkada DKI Jakarta 2017 diikuti oleh pasangan calon yang diusung oleh gabungan
partai politik, tidak ada satu pasangan yang maju dari jalur perseorangan. Ini menandakan
bahwa partai politik mendominasi peranan untuk menghadirkan pemimpin di Ibukota Negara.
Islam politik atau aliran formalistik yang menganut bersatunya agama dan Negara pernah
dominan, khususnya menjelang perumusan “Piagama Jakarta”, bahkan sampai Orde Lama. Ia
6 ). https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta12
runtuk ketika pemerintahan Orde Baru menetapkan depolitisasi agama melalui asas tunggal
“Pancasila”.7
Peta partai politik yang mengusung tidak memperlihatkan koalisi ideologi kuat dalam
berkehidupan partai politik. Koalisi PDI Perjuangan, P Golkar, P Nasdem dan P Hanura yang
mengusung pasangan calon Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat. Dalam
sejarah tercatat bahwa antara PDI Perjuangan dan Partai Golongan Karya mempunyai ideologi
yang berbeda, bahkan selama sejarah Orde Baru kedua partai ini menjadi lawan politik yang
tidak bisa bertemu. Koalisi Partai Gerindra dan PKS yang mengusung pasangan calon Anies
Baswedan – Sandiaga Uno, tidak memperlihatkan sebuah Ideologi yang sama, keduanya partai
yang berideologi berbeda 180%, sebab P Gerindra merupakan berideologi nasionalis sedangkan
PKS partai yang murni berideologi Islam. Koalisi ini bertujuan memenangkan Pilkada DKI 2017
dengan tanpa melihat aspek kesamaan ideology partai yang berkoalisi.
Koalisi Partai Demokrat, PKB, PPP dan PAN yang mengusung Agus Harimurti
Yudhoyono – Sylviana Murni, menggambarkan bahwa konsolidasi Susilo Bambang Yudhoyono
dengan berbagai partai politik yang menjadi pendukung pemerintahannya ketika SBY menjadi
presiden masih bagus. Koalisis ini tidak menggambarkan ideologi tertentu, tetapi
menggambarkan pertemanan dalam pemerintahan SBY masih bagus, sehingga koalisis ini
dengan mudah dihadirkan pada detik-detik hamper habisnya masa pendaftaran calon gubernur
DKI Jakarta 2017. Dari ketiga pembahasan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Pilkada DKI
Jakarta 2017 yang dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno,
kemenangannya bukan karena agama sang calon, bukan karena asal etnis/suku calon, begitu
juga bukan karena ideology partai politik sang calon. Ketiga hal tersebut tersebut tidak terbukti
menjadi penyumbang kemenangan Pilkada.
Kemenangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno dipengaruhi oleh pemilih warga DKI
Jakarta yang ingin perubahan pemimpin. Mereka mempunyai rasionalitas yang lebih dibanding
dengan daerah (provinsi) lainnya, sebab warga DKI Jakarta mayoritas berpendidikan. Ciri orang
yang yang mempunyai rasionalitas tinggi, selalu ingin menghadirkan hal yang baru yang lebih
baik.
Hal ini bisa diperbandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta 2012, yang mana pada
waktu itu calon petahana Fauzi Bowo (Foke) juga mengalami sejarah yang sama. Foke
dikalahkan oleh Jokowi-Ahok sebagai calon baru, sebab warga DKI Jakarta lebih terpesona
terhadap sosok Jokowi yang merupakan Walikota Solo dengan berbagai catatan positifnya,
misalkan sebagai Walikota terbaik di seluruh dunia oleh salah satu media, dan sebagai Walikota
Mobil Esemka. Kekalahan Foke pada tahun 2012 dan Ahok pada tahun 2017, memperkuat tesis
bahwa warga DKI Jakarta selalu berpikir positif terhadap calon baru dengan branding yang baik,
7 ). Saidi, Hal. 6-7. Pengebirian partai politik mengakibatkan partai-partai politik yang bernaung dalam bendera Islam kehilangan eksistensinya. Pemikiran Nur Cholis Madjid Islam Yes, Partai Islam No turut memberi sumbangsih.
13
plus mempunyai tawaran yang solutif untuk kebaikan ibukota negara. Hal ini bukan berarti Foke
dan Ahok pada masanya masing-masing tidak berhasil dalam memimpin DKI Jakarta selama
lima tahun, tetapi keduanya merupakan gubernur DKI Jakarta yang relatif berhasil meskipun
berbeda dalam tingkat keberhasilannya.
D. Kesimpulan Kehidupan perpolitikan di Indonesia sudah terjadi pergeseran, sebab kemenangan
seorang calon tidak ditentukan oleh faktor mayoritas atau minoritas jumlah etnis/suku dalam
sebuah daerah. Hal ini dibuktikan terpilihnya Anies Baswedan – Sandiaga Uno di Pilkada DKI
Jakarta 2012. Kewarganegaraan transformatif di Indonesia semakin mendapatkan tempat yang
layak dan perlu dipupuk untuk dikembangkan pada Pilkada selain DKI Jakarta. Selama seorang
pemimpin mempunyai track record yang baik, dan mempunyai visi, misi serta program kerja
yang lebih baik, untuk kebaikan sebuah daerah, maka tidak salah yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membawa daerah lebih baik.
Referensi.Amstrong, Karen. Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (diterjemahkan dari Holy
War: The Crusades and Their Impact on Today’s World). PT Serambi Ilmu Semesta,
Jakarta: 1998.
Kimbali, Charles. Kala Agama Jadi Bencana (diterjemahkan dari When Religion Becomes Evil).
PT Mizan Utama. Bandung: 2002.
Saidi, Anas dkk. Menekuk Agama, membangun Tahta Kebijakan Agama Orde Baru. Penerbit
Desantara, Jakarta Selatan: 2004.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Kompas Gramedia. Jakarta: 2010.
https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama.
http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/03/130309_tokoh_anies_baswedan
https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta
MENGUATKAN INTEGRASI NASIONAL DALAM KESADARANKELOMPOK ETNIK
Agus SuprijonoFakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK
14
Tulisan ini merupakan paparan gagasan sebagai ekspresi menyikapi masifnya gerakan-gerakan idiologisasi yang mengarah pada disintegrasi nasional. Melalui kajian konseptual yang merujuk pada literatur-lilteratur relevan dihasilkan proposisi sebagai jawaban rumusan masalah “Bagaimana keberagaman budaya Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif untuk membangun kesadaran kolektif tersebut ?”. Pendidikan merupakan panasia permasalahan kemanusiaan. Pendidikan adalah humanisasi itu sendiri. Sekolah menjadi lingkungan strategis menumbuhkan-kembangkan kesadaran kritis tentang persatuan dan kesatuan. Semakin kuat kesadaran nasional dalam kesadaran kelompok etnik, semakin kuat pula kohesivitas sosial sehingga wawasan kebangsaan semakin kokoh, persatuan dan kesatuan semakin kukuh.
Kata kunci: Integrasi Nasional, Kelompok Etnik
PendahuluanFuturolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang
menguatnya kesadaran etnik (ethnic conciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai
peristiwa seperti perlawanan terhadap dominasi negara maupun terhadap kelompok-kelompok
etnik terjadi pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 ini. Berjuta-juta nyawa telah melayang
dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997)
merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar
masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban
“clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah
dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh
keberpihakan terhadap agama dan kebudayaan.
Pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa tidak jarang suatu
kebudayaan membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan bahkan peperangan.
Indonesia sebagai masyarakat majemuk senantiasa perlu menggali wawasan kebangsaannya
untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok etnik yang
kerap terjadi seharusnya menggugah bangsa ini kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan
mendasar. Bagaimana keberagaman budaya Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif
masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif untuk membangun kesadaran
kolektif tersebut ?
Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya ; Kelompok etnis menjadi
dominan di luar wilayah teritorialnya ; Beberapa etnis mempunyai jumlah yang berimbang
dengan kategori (a) perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar ; (b)
perimbangan jumlah etinis dengan etnis pendatang lebih besar ; Beberapa etnis mempunyai
jumlah yang berimbang, namun yang terbanyak adalah kumpulan beberapa etnis. Menurut
Malinowski dalam Pelly (1998 : 26) berdasarkan sudut pandang klasik kelompok etnik dipandang
sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan dalam
sebuah peta etnografi.
“Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well defined-boundaries) memisahkan
satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya. Secara de facto masing-masing kelompok etnik 15
memiliki budaya yang padu (cultural homogenity); satu sama lain dapat dibedakan baik dalam
organisasi, kekerabatan, bahasa, agama (sistem religi), ekonomi, tradisi, maupun pola-pola
hubungan kelompok antar kelompok etnik. Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu
identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara
mereka mengekspresikan atau mengartikulasikan kebudayaannya, termasuk dalam hal
bagaimana mereka mengkonsepsikan dan menata pengelolaan serta penguasaan terhadap
sumberdaya.
Konsep etnisitas dalam budaya suku yang primordialisme seiring dengan fenomena dan
demokrasi telah mengalami pergeseran makna. Menurut Barth (1969). “kelompok etnik tidak
selalu merupakan tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi di wilayah teritorial
yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain”. Batas kelompok etnik
yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial bukan teritorial. Kelompok etnik
lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan berkesinambungan tentang identifikasi
dirinya. Pengertian etnisitas karenanya tidak diaksentuasikan lagi pada isi kebudayaan yang
dimiliki oleh suatu kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul
dalam interaksi sosial.
Kajian kelompok etnik bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi
kebudayaannya tetapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkaitan dengan asal
muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dengan kata lain, jatidiri itu
dinamakan primordialitas yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan yang secara kolektif diratifikasi
dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia (lihat Geertz dalam
Suparlan, 1998). Lloyd Warner dalam tulisan Toid (1978 : 3) menjelaskan bahwa yang
terkandung dalam pengertian etnik menunjuk pada individu-individ guna mempertimbangkan di
manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya yaitu yang
didasarkan pada latar kebudayaan. Oleh sebab itu istilah etnik cenderung lebih bersifat sosio-
kultural daripada yang berkaitan dengan ras. Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa”
menjadi “kelompok etnik” (ethnic groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”. Istilah kelompok
etnik memiliki makna “kita” (“self”) sekaligus “orang lain/mereka” (“others”).
Konsep etnik lebih kepada pengungkapan jati diri atau pengidentifikasian diri dalam
proses-proses sosial yang terjadi pada masyarakat majemuk. Menurut Soekanto (2009 : 57)
dalam proses-proses sosial atau interaksi sosial terjadi (1) identifikasi ; (2) imitasi ; (3) sugesti ;
(4) simpati. Sebagai upaya menuju integrasi nasional Indonesia keanekaragaman kelompok-
kelompok etnik di Indonesia saling berinteraksi. Integrasi nasional merupakan bentuk proses-
proses sosial yang erat kaitannya dengan pertemuan dua atau lebih kelompok etnik. Integrasi
nasional merupakan produk akhir dari suatu kontak sosial yang secara politis dicita-citakan.
Interaksi antar kelompok etnik bukan dalam bentuknya secara obyektif sebagai transaksi-
transaki informasi. Dalam interaksi antar kelompok etnik bentuknya yang substantif adalah
16
proses-proses subyektif yaitu transaksi-transaksi emotif. Oleh sebab itu masalah mendasar yang
terkadung dalam integrasi adalah persoalan-persoalan psikologis.
Selain interaksi antar kelompok etnik melahirkan stereotipe, masalah lain yang muncul dari
interaksi tersebut adalah etnosentrisme. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara
bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok
etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok
lain. Sikap superior ini merupakan faktor yang juga dapat menghambat terwujudnya integrasi
nasional.
Dalam konteks etnosentrisme proses integrasi nasional selalu ditandai oleh hubungan
dominan dan minoritas. Menurut Suparlan (2004) Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam
kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status
sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat
prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini
berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong
dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa
golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong
sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber
daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka
yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya
tersebut.
. Prasangka muncul dari berbagai sebab. Faktor-faktor penyebab timbulnya prasangka
bersumber pada latar belakang sejarah, perkembangan sosio-kultural dan situasional, faktor
kepribadian, dan perbedayaan keyakinan. Dalam pluralitas budaya prasangka mendorong
munculnya sikap streotipe. Pandangan-pandangan streotiping terhadap etnik lain biasanya
timbul dan kemudian menjadi pengetahuan dan pemahaman seseorang melalui sosialisasi di
lingkungan sosial yang berkategori “kami” (in group). Pewarisan pandangan demikian kepada
kelompok sendiri diperlukan sebagai acuan tindak atau respon yang dianggap tepat ketika
seseorang berhadapan dengan orang lain yang berbeda kategori.
Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi
(Cohen, 1970). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan
karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga
dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.
Namun, tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang
membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada
keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk
ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi
etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.
17
PembahasanKeberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam
masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan
berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas
baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
1. Menumbuhkan Asosiasi-Asosiasi Lintas Batas Dengan memahami konsep kelompok etnik sebagai identitas atau jatidiri semestinya orang
akan lebih terbuka bagi perubahan dan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda
kebudayaannya. Berikutnya akan lebih mudah pula mengembangkan paham multikulturalisme
sebagai kondisi prasyarat yang sangat penting untuk menumbuhkan apa yang dicita-citakan
masyarakat madani. Dengan paham dan penghargaan akan keberagaman maka setiap orang
akan lebih mudah memasuki banyak asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh di lingkungan
masyarakat majemuk sehingga akan tumbuh apa yang oleh Pelly (2000) disebut akumulasi
aliansi atau oleh Sibarani (2000) disebut keanggotaan saling menyilang (cross-cutting affiliation)
yang akan membuahkan kesetiaan saling menyilang (cross-cutting loyalities).
Jaring-jaring sosial yang mengikat sebanyak mungkin anggota yang beragam sudah
barang tentu lebih kuat menapis ancaman terjadinya ketegangan etinik. Robert D Putnam (2004)
memperlihatkan efektivitas dari jejaring sosial yang mampu menumbuhkan partisipasi
masyarakat di Italia sebagai modal sosial yang secara sadar didayagunakan untuk bekernya
demokrasi.
2. Membangun Kohesivitas SosialDalam masyarakat multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat
kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama
seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial.
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu suatu
cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang
menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin saling
mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya
dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari
peradaban manusia.
Sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan
simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat: kontak
18
Masyarakat “X”
Masyarakat“Y”
sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling
beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik
masyarakat dan elemen organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata
sosial antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban(Cohen, 1970: 65)
Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah
(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik. Saling
ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan
kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan,
kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan
adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan
yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang
dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah suatu
kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam distribusi mobil dapat
menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.
3. Membangun Budaya ToleransiIstilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam
wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah
satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi
uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan,
kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan
SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparatnegara. Karena itu, toleransi lebih
banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan
masyarakat bangsa.
19
HK
Sejalan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis ideologi Pancasila
juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun
dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dalam alam reformasi, issu-
issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi
tanggungjawab 'ideologis' negara. Namun, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat
cepat sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai
pemersatu bangsa (chain of national unity). Belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang
harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.
Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai
toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari
adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati
merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan
kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan
orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya
perbedaan.
Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero
Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru menerbitkan
sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut Wacik, budaya berpikir
positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif
dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya telah hidup dalam
kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini."Semakin sering kita berpikir positif, semakin
banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat primordialisme di antara kita akan menjadi semakin
menipis. Sebaliknya, semakin sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki
musuh.
Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok
komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya.
Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam ini tentulah
tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk itu tulisan ini hanya
mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah contoh kasus dari ribuan
fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.
4. Menanamkan Multikulturalisme melalui Pembelajaran Kooperatif di Kelas HeterogenMultikulturalisme merupakan ide, gagasan, proses, dan sebuah gerakan yang
beraksentuasi pada upaya menumbuhkan kesadaran untuk memahami, mengakui, menghargai,
dan menerima kesederajatan keanekaragaman kebudayaan. Dalam ruang politik terbuka seperti
sekarang ini multikulturalisme harus ditanamkan dan ditumbuhkan seiring dengan proses-proses
20
demokratisasi. Dengan multikulturalisme masyarakat Indonesia nantinya akan mempunyai
kesadaran tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan
kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang
tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok etnik lain dari dirinya
sendiri dan akan mampu secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang
oleh kelompok atau masyarakat dominan.
Pendidikan merupakan proses humanisasi. Pendidikan adalah proses pengadaban
manusia. Pendidikan menjadikan manusia berbudaya. Pendidikan merupakan instrumen
kehidupan manusia untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Melalui pendidikan
rekonstruksi dan reformasi sosial dapat dilakukan. Tolstoy berpendapat sasaran puncak
pendidikan ada di luar pendidikan yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilai-nilai masyarakat
“beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang
saling bertentangan.
Sekolah merupakan miniatur dari suatu masyarakat. Sekolah adalah institusi yang
merefleksikan pluralitas dan diferensiasi sosial dari sebuah kehidupan sosial. Kehidupan sekolah
adalah kehidupan sosial yang penuh dengan keanekaragaman. Secara sosiologis, siswa-siswa
berasal dari berbagai lapisan masyarakat (strata sosial). Secara antropologis, siswa-siswa
berlatar etnis yang beranekaragam. Secara psikologis, siswa-siswa adalah pribadi-pribadi yang
memiliki keunikan-keunikan.
Dalam perspektif konflik keanekaragaman itu merupakan sumber konflik. Oleh karena itu
keanekaragaman latar sosial, budaya, psikis dll dari siswa-siswa di suatu sekolah adalah fakta
sosial yang harus direspon oleh para guru. Pendidikan di sekolah harus berhasil menciptakan
social equilibirium melalui pengembangan keseluruhan potensi kemanusiaan yang telah melekat
secara kodrati pada diri siswa. Pendidikan sekolah harus berhasil menumbuhkan kesadaran
pada diri siswa terhadap eksistensinya sebagai makhluk individu maupun sosial. Dalam dimensi
sosial pendidikan di sekolah harus mampu menumbuhkan kemampuan siswa-siswa untuk
memahami, bersikap, dan bersedia menerima segala perbedaan dalam mozaik kehidupan
sosialnya. Sekolah dapat dijadikan sebagai sarana pembauran multietnik. Sekolah dapat
mengembangkan pendidikan multikultur. Pendidikan multikultur merupakan proses pendidikan
yang mengembangkan pelbagai aktivitas belajar menuju ke arah kesadaran akan pengakuan
terhadap berbagai kebudayaan dari pelbagai etnis dan ras.
Daftar PustakaBarth, Fredrik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: UI Press
Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The
Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor). Pennsylvania:
International Textbook Company.
21
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order. New
York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :Yayasan
Obor Indonesia.
Pelly, Usman, “Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Kota
Medan”, Makalah, Seminar “Menyoal Keseimbangan Tradisional Masyarakat” diadakan
oleh Madia dan KSPM Medan tahun 2004.
Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta :
Rineka Cipta.
Prabowo dan Fakurrozi, “Belajar dari Kekerasan Sosial Masa Lalu Untuk Menjadi Manusia Masa
Depan”, Makalah, Seminar Nasional Universitas Sanata Dharma, 24-25 Juli 2004.
Sibarani, Robert, 2004, “Menyikapi Pluralisme” Makalah Seminar “Menyoal Keseimbangan
Tradisional Masyarakat” diadakan oleh Madia dan KSPM Medan
Soekanto, Soerjono, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press
Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan,
Jurnal Antropologi No 58 Tahun 1999.
Suparlan, Parsudi, 2004, “Hak-Hak Minoritas dalam Lanscape Multikultural Mungkinkah di
Indonesia ?” Makalah, Wisma PKBI 10 Agustus 2004.
Toid, Brian M.du 1978, Etnicity in Modern Africa, Colorado: Westview Press.
JAMINAN PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM HAK INTELEKTUAL WARGA NEGARA DI ERA DIGITAL
Agus SuprijantoUniversitas PGRI Semarang
ABSTRAK
Kekayaan intelektual merupakan hasil karya yang wajib dilindungi karena merupakan sesuatu yang dihasilkan dari buah pemikiran seorang pribadi, dimana hak atas kekayaan intelektual ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (UU Hak Cipta) merupakan bagian dari hak asasi dari setiap warga negara. Karya ilmiah sebagai hak milik pribadi seseorang juga mendapatkan pengakuan untuk mendapatkan perlindungan seperti yang dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE), demikian juga terkait hak milik pribadi maka karya ilmiah juga mendapatkan pengakuan untuk mendapatkan perlindungan dalam UU No. 39 Tahun 2009 (UU HAM). Perlindungan atas kekayaan intelektual menjadi semakin penting mengingat kemajuan teknologi pada era digital memungkinkan seseorang untuk dapat mengakses hasil karya orang lain dan menggunakannya dan mengakuinya sebagai hasil karyanya sendiri. Pengakuan hasil karya orang lain sebagai karya sendiri atau pada dasarnya telah dianggap sebagai pelanggaran atas hukum yang diatur didalam berbagai regulasi, namun pada kenyataannya pelanggaran ini justru semakin meningkat. Menjadikan peraturan perundangan sebagai lokomotif terdepan penegakan hukum di Indonesia adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk dapat memberikan jaminan perlindungan dan juga kepastian hukum bagi setiap warga negara. Karenanya, memastikan bahwa regulasi
22
untuk melindungi hak milik sebuah karya ilmiah dalam memerangi pelanggaran hak cipta di Indonesia membutuhkan berbagai peraturan pelaksana yang secara efisien dan efektif mengatur pelaksanaan dari berbagai regulasi tersebut. Penulis bermaksud untuk melakukan telaah teoritis secara mendalam terkait berbagai regulasi yang terkait dengan hak intelektual setiap warga negara di Indonesia, terutama kaitannya dengan tindak plagiasi yang menjadi semakin marak karena mudahnya akses informasi pada era digital saat ini.
Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Kepastian Hukum, Hak Cipta
PENDAHULUANHak atas kekayaan intelektual (HAKI) merupakan hak eksklusif yang dimiliki oleh setiap
manusia ataupun sekelompok manusia untuk memiliki, menguasai dan mempergunakan
sesuatu yang tercipta atas kemampuan intelektual manusia-manusia tersebut. HAKI
memberikan kepada pencipta/ penemu hak ekonomi dan hak moral sebagai wujud penghargaan
atas hasil ciptaannya. Oleh sebab itu HAKI memberikan jaminan hukum kepada pencipta atau
penemu untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan memberikan hak eksklusif sebagai
perlindungan atas karya ciptanya.8
Pembahasan terkait dengan HAKI menjadi sangat penting pada era digital mengingat
tingkat pelanggaran atas HAKI meningkat sangat tajam seiring dengan semakin berkembangnya
teknologi informasi di era digital. Salah satu bentuk pelanggaran serius HAKI yang berkembang
dengan pesat sejak era digital adalah budaya plagiasi karya tulis ilmiah. Dalam salah satu artikel
yang dimuat pada laman Kompas dinyatakan bahwa budaya plagiasi yang dilakukan oleh para
mahasiswa pada berbagai tingkatan strata yaitu dari diploma hingga doktoral telah berkembang
menjadi semakin mengkhawatirkan. Salah satu penyebab yang dituding menjadi faktor terbesar
adalah kemudahan akses internet untuk dapat memperoleh informasi terkait hasil karya tulis
orang lain yang kemudian diambil dan ditulis ulang lalu diakui sebagai hasil karya dari penjiplak
tersebut.9
Plagiasi atas karya tulis ciptaan orang lain yang kemudian diakui sebagai hasil karya
sendiri jelas merupakan pelanggaran atas HAKI karena terdapat dua kerugian yang dialami oleh
pemilik / pencipta karya tulis tersebut. Kerugian pertama adalah dari sisi hak moral untuk diakui
sebagai pencetus ide atau pemikir dari karya ilmiah tersebut, dan yang kedua adalah dari sisi
hak ekonomi karena untuk dapat menyusun dan menulis sebuah karya ilmiah tidak sedikit biaya
yang harus dikeluarkan oleh penciptanya. Pada artikel yang sama oleh Ramadhani tersebut
dinyatakan bahwa tingkat perkembangan plagiasi karya ilmiah di Indonesia telah berada dalam
kondisi yang mengkhawatirkan karena hampir sebagian besar karya ilmiah yang disusun oleh
8 O.K.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 330.9 Gilang Ramadhani, dalam www.kompasiana.com/ gilangramadani/penanaman-budaya-akademik-kampus-sebagai-upaya-pencegahan-plagiarisme-mahasiswa_5520b236a333113a4846cf6f, diakses pada 9 Agustus 2017, pukul 09.00 WIB.
23
para mahasiswa bersumber dari media internet sehingga kemungkinan untuk melakukan
plagiasi menjadi semakin mudah.
Melakukan perlindungan atas karya ilmiah ciptaan orang lain adalah kewajiban yang
harus dapat disediakan oleh pemerintah Indonesia. Perlindungan atas suatu karya cipta bertujuan
untuk memenuhi prinsip keadilan. Hasil karya tersebut merupakan hasil (perwujudan) daya fikir/
ego tertinggi (alter ego) dari manusia, tentunya sebuah kewajiban bagi seseorang untuk
menghargainya. Sebuah hasil karya yang sudah diciptakan membutuhkan pengorbanan, baik waktu,
pikiran, dan biaya sehingga akan sangat tidak adil jika ada orang yang ingin merubah atau
menirunya dan mendapatkan nilai ekonomis dari hasil karya tersebut. Kajian ini dilakukan untuk
dapat secara mendalam menelaah tindak pelanggaran atas HAKI oleh para warga negara dalam
proses penulisan karya ilmiahnya, dimana karya ilmiah sendiri merupakan bagian dari proses
memperoleh pengakuan gelar akademisi.
PEMBAHASANPlagiasi dan Norma Atribusi
Konsep plagiarisme tertanam dalam konteks seperangkat norma sosial yang
kompleks.10 Untuk melihat bagaimana seperangkat norma ini berfungsi, harus ditinjau dengan
proposisi bahwa orang pada umumnya menghargai harga diri orang lain, terutama rekan-rekan
mereka, sebagai contoh adalah untuk dikenali atas keaslian, kreativitas, wawasan,
pengetahuan, dan keterampilan teknis yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi di kalangan
penulis, seniman, dan ilmuwan, yang, selain untuk mencapai kepuasan melalui tindakan kreatif
itu sendiri, biasanya ingin melihat tindakan yang diakui oleh orang lain.11
Menurut norma atribusi, kata-kata dan gagasan dapat disalin jika dan hanya jika para
penyalin mengaitkannya dengan pencetus atau pengarangnya. Norma ini mengarah pada
bentuk kerjasama sosial dengan manfaat nyata.12 Norma ini memaksimalkan peluang penulis
untuk mendapatkan penghargaan dengan memberikan kesempatan untuk penyebaran dan
penyampaian yang luas, kata-kata dan gagasan dari si penulis, yang karenanya akan membawa
penghargaan yang tinggi dari masyarakat kepada si penulis. Dalam masyarakat Barat modern,
norma atribusi disebarluaskan secara cukup formal di sekolah-sekolah, dimulai sejak usia dini.
Bagi kebanyakan orang di dalam komunitas dengan budaya anti-plagiasi, norma atribusi
menjadi karakter utama. Anggota komunitas tersebut memandang atribusi sebagai kewajiban
moral dimana kredit yang diperoleh untuk pekerjaan orang lain sebagai hal yang tidak sah.
10 Lindsey, Tim dkk, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2006, hal. 147.11 Utomo, Tomi Suryo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Globalisasi, Graha Ilmu, Yogjakarta, 2009, hal. 82.12 Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, 1990, hal. 17.
24
Anggota komunitas ini hanya bisa mencapai kepuasan hanya jika mereka tahu bahwa pekerjaan
mereka adalah benar hasil karya mereka sendiri.13
Aturan baku harus diterapkan dalam konteks plagiarisme. Seorang penulis yang gagal
memberikan penghargaan kepada sumbernya sebagai akibat ketidaktahuan atau kesalahan
tentang peraturan atribusi harus dianggap tidak memiliki pembelaan. Membiarkan seorang
plagiat untuk berpendapat bahwa dia tidak terbiasa dengan peraturan atribusi sendiri tampaknya
akan mendorong ketidaktahuan akan peraturan semacam itu dan menyebabkan kebingungan
dan ketidakpastian di masyarakat pada umumnya, seperti ketidaktahuan akan hukum dikatakan
dalam konteks yang lebih luas.14 Di sisi lain, seorang penulis yang gagal mengkredit sumbernya
sebagai akibat kesalahan fakta yang masuk akal tentang asal usul dari sekumpulan kata-kata
seharusnya tidak dianggap sebagai penjiplak. penyelesaian kasus-kasus seperti plagiarisme
dapat menciptakan efek yang menakutkan, dimana para calon penulis bersikap hiper-hati-hati
dan bertele-tele dalam praktik ilmiah mereka, atau yang lebih buruk lagi, hindarkan diri dari
menghasilkan karya kreatif sama sekali.
Tidak diragukan lagi ada jumlah plagiarisme yang signifikan yang dilakukan dalam
keadaan disadari dan disengaja. Plagiasi ini dilakukan atas perhitungan biaya-manfaat yang
rasional namun sangat salah. Sebagai contoh adalah seorang mahasiswa mengetahui tidak
akan lulus dalam mata kuliah tertentu kecuali jika menghasilkan makalah yang dapat diterima.
Namun karena kekurangan waktu, imajinasi, atau inisiatif untuk menciptakan sebuah karya
sendiri, maka mahasiswa tersebut membeli sebuah makalah dari internet dan mencantumkan
namanya di dalamnya, atau menyalin bagian-bagian yang substansial dari sebuah buku didalam
makalah tersebut. Pertimbangan dari mahasiswa tersebut adalah gagal kredit untuk lulus karena
gagal menyusun makalah atau mendapatkan masalah karena melakukan plagiasi. Psikologinya
mirip dengan pencuri yang memperoleh harta dari tindakan mencuri atau menipu.
Norma-Norma yang Menjadi Dasar Hukum Pengaturan PlagiasiLarangan plagiarisme, seperti dijelaskan di atas, memberikan semacam paradigma
norma sosial. Mereka yang melanggar norma atribusi dengan melakukan risiko plagiarisme pada
awalnya akan mengecewakan rekan-rekan yang pendapatnya paling dia hargai. Sanksi
semacam itu sangat tepat karena plagiatornya ditolak secara tepat dengan kebaikan sosial
sehingga tindakan plagiasi yang dilakukan dalam rangka memperoleh penghargaan sosial justru
membuatnya mendapatkan sanksi tidak dihargai secara sosial.
Menjadikan tindakan plagiasi sebagai tindakan yang melanggar hak cipta dapat disikapi
apabila dapat disinambungkan antara kedua hal tersebut. Hukum hak cipta melindungi
kepentingan ekonomi terutama yang dimiliki pemilik hak cipta atas pekerjaannya (dan juga 13 Bintang, Sanusi, Hukum Hak Cipta, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 49.14 Jamie McKenzie, The New Plagiarism: Seven Antidotes to Prevent Highway Robbery in an Electronic Age, Newyork: Mc.Graw-Hill.
25
kepentingan publik yang lebih luas dalam arus gagasan yang bebas),15 sedangkan peraturan
melawan plagiarisme melindungi kepentingan pribadi atau moral. Hak cipta menuntut seseorang
memperoleh izin resmi dari pemilik hak cipta untuk menyalin karya tersebut. Aturan melawan
plagiarisme mengasumsikan bahwa penulis secara implisit memberikan izin untuk menyalin
karya tersebut, asalkan para penyalin karya tersebut memberikan atribusi yang tepat.
Jaminan Perlindungan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Terdapat dua peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah
Indonesia terkait dengan plagiasi karya ilmiah dengan memanfaatkan media internet. Peraturan
perundangan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
(UU Hak Cipta).
1. Perlindungan HAKI dalam UU ITEJaminan perlindungan HAKI dalam UU ITE diatur dalam Pasal 25 yang menyatakan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya
intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak
Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan
peraturan dalam pasal 25 ini, maka setiap karya ilmiah yang ada dalam jaringan internet, baik
yang berada pada sebuah situs pribadi maupun yang berada pada situs milik perguruan tinggi
secara otomatis dianggap sebagai karya intelektual yang dilindungi sebagai HAKI.
Namun demikian, tampaknya UU ITE hanya mengatur perlindungan atas karya ilmiah
sebagai HAKI sebatas satu pasal tersebut diatas saja. Dalam BAB VII tentang perbuatan yang
dilarang, tidak dicantumkan larangan untuk melakukan plagiasi atas karya ilmiah yang ada pada
sebuah situs internet, terutama yang ada pada situs milik perguruan-perguruan tinggi.
Pengaturan tentang plagiasi tidak dapat diatur dalam UU ITE karena domain dari
perbuatan plagiasi lebih terkait dengan masalah hak cipta. Karenanya jaminan perlindungan
karya ilmiah dalam UU ITE secara jelas disebutkan “akan” diatur dalam peraturan perundangan
yang mengatur tentang HAKI, yaitu UU Hak Cipta.
2. Perlindungan HAKI dalam UU Hak Cipta Karya ilmiah sebagai sebuah karya intelektual dilindungi sebagai HAKI dalam UU Hak
Cipta, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3). Sebagai sebuah hak cipta, seorang
pencipta karya ilmiah memiliki hak moral dan hak ekonomi atas karya yang telah diciptakannya,
hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 sampai dengan pasal 19.
Terkait dengan tindakan plagiasi, yaitu mempergunakan hasil karya cipta orang lain
tanpa melakukan atribusi kepada pencipta dari karya tersebut, UU Hak Cipta mengaturnya
15 Ibid, hal. 102.26
sebagai perbuatan yang dilarang karena telah melanggar ketentuan didalam pasal 5 ayat (1).
Hak moral pencipta berdasarkan pasal 5 (1) tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa setiap
pencipta memiliki hak untuk dicantumkan namanya pada setiap salinan (baik sepenggal maupun
keseluruhan). Sementara terkait dengan hak ekonominya, tindakan plagiasi dianggap telah
melanggar hak ekonomi seorang pencipta yang disalin karyanya tanpa atribusi dari penyalin
seperti diatur didalam Pasal 9 ayat (1). Pada pasal 9 (1) tersebut telah dengan jelas disebutkan
bahwa seorang pencipta memiliki hak ekonomi untuk menerbitkan ciptaan, menggandakan
ciptaan dan mengumumkan ciptaan. Berdasarkan pasal 9 ayat (2) maka orang lain yang
melakukan penyalinan atas karya cipta wajib mendapatkan ijin dari penciptanya.
3. Kategorisasi Plagiasi sebagai Pelanggaran Hak CiptaPlagiasi karya ilmiah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak cipta, karena
karya ilmiah dianggap sebagai karya intelektual. Adapun dasar mengkategorikan tindakan
plagiasi sebagai tindakan pelanggaran hak cipta adalah sebagai berikut:
a. Karya ilmiah merupakan ciptaan, dan perlindungan atas karya cipta tersebut masih berlakuKarya ilmiah jelas merupakan ciptaan dari seorang penulis, yang namanya dianggap
sebagai pencipta karena tercantum pada karya ilmiah yang diciptakannya. Karya ilmiah
dianggap ciptaan mengacu pada Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa hasil karya
cipta di bidang pendidikan merupakan ciptaan yang dihasilkan atas inspirasi,
kemampuan, pikiran, imajinasi, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam
bentuk nyata. Dalam bentuk nyata disini adalah wujud dari karya ilmiah tersebut yang
telah dibuat dalam sebuah buku karya ilmiah.
Perlindungan dari sebuah karya ilmiah berlaku sejak karya ilmiah tersebut diterbitkan
hingga pencipta dari karya ilmiah tersebut meninggal dunia. Bahkan pada saat pencipta
meninggal dunia, hak cipta dari karya ilmiah tersebut diwariskan kepada ahli warisnya
atau orang-orang yang ditunjuk oleh pencipta karya ilmiah tersebut.
Berdasarkan ketentuan ini, maka jelas tindakan plagiasi karya ilmiah melanggar
ketentuan penyalinan sebuah karya cipta yang perlindungannya masih berlaku.
b. Adanya bagian dari karya ilmiah sebagai sebuah karya cipta yang diperbanyakPlagiasi karya ilmiah dilakukan dengan menyalin sebagian atau seluruh dari sebuah
karya ilmiah. Jadi jelas bahwa berdasarkan UU Hak Cipta tersebut melakukan plagiasi
karya ilmiah orang lain kedalam sebuah karya ilmiah yang diakui sebagai karya sendiri
merupakan pelanggaran.
c. Penggandaan karya cipta dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sepengetahuan penciptaPenyalinan sebuah karya ilmiah orang lain kedalam karya ilmiah sendiri tidak dianggap
sebagai pelanggaran hak cipta selama dilakukan atiribusi yang mengarah kepada
27
pencipta karya ilmiah yang disalin. Hal ini ditetapkan karena tidak dimungkinkannya
seseorang harus mendapatkan ijin dari setiap pencipta sebuah karya ilmiah dalam
rangka menyalin hasil karya pencipta tersebut kedalam karya ilmiahnya. Plagiasi menjadi
sebuah pelanggaran atas hak cipta karena dilakukan tanpa mencantumkan nama
pencipta asli dalam setiap susunan kata yang disalin dalam sebuah karya ilmiah yang
sedang disusun.
Sanksi dan Hukuman Plagiasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Non KomersialMeskipun karya ilmiah untuk kepentingan non komersial seperti banyak dilakukan oleh
para mahasiswa telah dapat dikategorikan sebagai sebuah karya cipta yang karenanya
mendapatkan Hak Cipta, namun ketentuan pidana untuk pelanggaran hak cipta karya ilmiah
sejenis ini ternyata belum diatur secara tepat dalam UU Hak Cipta. Ketentuan pidana yang
dimuat didalam BAB XVII Pasal 112 hanya menyebutkan bahwa untuk melindungi Hak Moral
dari penggunaan untuk komersial maka pelaku plagiasi dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Ketentuan ini berarti bahwa berdasarkan pasal tersebut, apabila pelaku plagiasi karya
ilmiah tidak bermaksud untuk melakukan plagiasi demi tujuan komersial, maka ketentuan pidana
yang tercantum tidak dapat diterapkan. Mengkategorikan tindakan plagiasi karya ilmiah sebagai
tindakan “pencurian” juga tidak dapat sepenuhnya dilakukan selama plagiasi tersebut tidak untuk
kepentingan komersial. Definisi dari pencurian sendiri berdasarkan KUHP tidak dapat dipenuhi
oleh tindakan plagiasi.
Solusi Efektif Pencegahan Plagiasi Karya Ilmiah di Era DigitalApa yang harus diketahui tentang fakta bahwa begitu banyak orang yang taat hukum
secara teratur terlibat dalam pelanggaran mencolok terhadap undang-undang kekayaan
intelektual? Pada dasarnya orang menghindari melakukan tindakan yang mungkin mereka
lakukan karena mereka yakin secara moral salah melakukannya. Faktor penting kedua adalah
legitimasi hukum yang diberikan. Orang perlu menghormati institusi yang menciptakan dan
menegakkan hukum yang dengannya mereka terikat; Mereka perlu merasa bahwa institusi
semacam itu adil dan bisa dipercaya.
Dengan demikian, sebagian besar orang menahan diri untuk tidak melakukan tindakan
kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan bahkan pencurian bukan karena mereka takut
akan sanksi jika tertangkap, tetapi karena mereka telah menginternalisasi norma-norma tersebut
terhadap tindakan tersebut. Sederhananya, mereka percaya bahwa tindakan semacam itu salah
secara moral dan bahwa pemerintah dibenarkan menjadikannya kriminal. Sehubungan dengan
tindakan semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa norma-norma larangan itu diyakini dengan
sangat kuat oleh masyarakat.
28
Pada titik ini, dirasa perlu sebuah aturan alternatif yang dapat digunakan untuk melawan
plagiarisme dengan menunjukkan solusi parsial terhadap kejahatan kekayaan intelektual. Jika
negara serius memberlakukan undang-undang kekayaan intelektual, maka tidak dapat dengan
mudah langsung menerapkan sanksi pidana yang keras, dan kemudian berharap adanya
kepatuhan secara instan. Negara perlu meyakinkan masyarakat bahwa penyalahgunaan hak
kekayaan intelektual salah secara moral dan bahwa undang-undang yang melarang
penyalahgunaan tersebut sah dilakukan, dan karenanya seluruh sanksi-sanksi yang ada dan
ditetapkan didalamnya dapat diberlakukan secara tegas.
KESIMPULANPlagiasi tidak pernah bisa, dan mungkin tidak pernah seharusnya, dituntut sebagai
pencurian dan dikriminalisasi namun hukum pidana dapat menjelaskan pemahaman kita tentang
plagiasi melalui penggunaan konsep seperti niat, ketidaktahuan. Meskipun hal ini paling sering
ditangani sebagai pelanggaran etika, bukan pelanggaran hukum, paradigma dasar penyalinan
yang tidak terkait ditangani oleh serangkaian solusi perdata yang sangat luas, termasuk hak
cipta, persaingan tidak sehat, dan hak moral. Hukum yang efektif adalah produk dari norma-
norma yang efektif. Karena kesenjangan tersebut meluas antara apa hukum dan apa pendapat
orang, undang-undang kekayaan intelektual menghadapi krisis yang berkembang, yang
memanifestasikan dirinya dalam pelanggaran yang meluas dan mencolok terhadap kendala-
kendalanya. Sebaliknya, aturan pengaitan berbasis norma masih dilihat memaksakan sebuah
perintah moral yang kuat. Ketika kita mencari cara untuk membuat hukum kekayaan intelektual
kita lebih kuat, kita akan melakukannya dengan baik untuk melihat ke struktur normatif seputar
plagiarisme sebagai sebuah panduan yang tepat sehingga negara dapat memberikan
perlindungan hukum yang tepat bagi setiap warga negara terkait dengan tindak plagiasi karya
ilmiah yang dilakukan oleh warga Negara
DAFTAR PUSTAKABuku
Adisumarto, Harsono, 1909, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, penerbit Akademika
Pressindo, Jakarta.
Bintang, Sanusi, 1998, Hukum Hak Cipta, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.
Jamie McKenzie, 2001, The New Plagiarism: Seven Antidotes to Prevent Highway
Robbery in an Electronic Age, Newyork: Mc.Graw-Hill.
Lindsey, Tim dkk, 2006, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung.
29
Muhammad, Abdulkadir, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
O.K.Saidin, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Utomo, Tomi Suryo, 2009, Hak Kekayaan Intelektual di Era Globalisasi, Graha Ilmu, Yogjakarta.
Suyud, Margono, 2003, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, penerbit Novindo Pustaka Mandiri,
Jakarta.
Internet:
Gilang Ramadhani. 2016. Penanaman Budaya Akademik Kampus Sebagai Upaya Pencegahan
Plagiarisme. Dalam www.kompasiana.com/ gilangramadani/penanaman-budaya-
akademik-kampus-sebagai-upaya-pencegahan-plagiarisme-
mahasiswa_5520b236a333113a4846cf6f, diakses pada 9 Agustus 2017, pukul 09.00 WIB.
Kewarganegaraan Transformatif Menuju Masyarakat Madani
Arie Supriati
Universitas Negeri Manado
ABSTRAK
Kajian ini membahas tentang Kewarganegaraan Transformatif menuju masyarakat Madani. Pembahasan ini memfokuskan pada upaya pembinaan warga negara dengan pemahaman kewarganegaraan transformatif serta konsep-konsep masyarakat madani dalam membekali warga negara dengan pemahaman dan wawasan global tentang isu-isu global, budaya, lembaga, bahkan wawasan internasional agar dapat dituangkan dalam penciptaan masyarakat madani di Indonesia. Warganegara sebagai elemen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dibina agar dapat bersinergi dengan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan bangsa. Memiliki nilai-nilai dasar Kebangsaan dan moral, tidak bersifat statis akan tetapi sebagai elemen dinamis dengan peran strategis demi terwujudnya masyarakat madani di Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mengemukakan gagasan tentang kewarganegaraan transformatif, urgensi dan upaya pembinaan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab pada pembangunan bangsa.
Kata Kunci: Kewarganegaraan; Transformatif; Masyarakat Madani.
Pendahuluan
30
Eksistensi kebangsaan Indonesia terus diuji seiring perubahan zaman dan tuntutan
modernisasi. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi pendidikan
kewarganegaraan sebagai penyampai pesan-pesan ideologis untuk dijadikan pedoman bagi
warga negara Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu, sebagai warganegara
tetap terus menjaga identitasnya sebagai warganegara dan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal
Ika dengan harapan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab serta berupaya untuk
ikut serta menciptakan perdamaian global.
Oleh karena itu, penguatan akan nilai-nilai kebangsaan sebagai warga negara yang
demokratsi dan bertanggung jawab, selalu relevan dengan tuntutan perkembangan zaman
untuk membentuk warga negara yang memiliki nilai-nilai dasar kebangsaan dan prinsip moral
serta bertindak sebagai warganegara yang sesuai dengan dasar nilai dan prinsip moral. Inilah
tindakan warganegara dalam konsep kewarganegaraan transformatif (transformative citizenship)
dimana konsep ini melibatkan tindakan warganegara yang dirancang untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tergambar jelas bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Hal ini mengindikasikan bahwa pembinaan warga negara diupayakan untuk membentuk
watak dan peradaban bangsa dengan tujuan mulia, baik secara individual pada diri warga
negara maupun dalam perannya sebagai warga negara dan warga bangsa yang demokratis dan
bertanggung jawab. Amanat ini jelas memberi ruang yang dinamis dalam pembangunan watak
warga negara yang peka terhadap situasi lokal, nasional, bahkan global. Dalam arti dapat
menjadi warga negara yang ikut serta bertanggung jawab mempromosikan nilai-nilai moral,
budaya, keadilan sosial dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perwujudan cita-cita untuk menciptakan masyarakat madani dianggap urgen mengingat
eskalasi politik, sosial, budaya, ekonomi ikut memberikan dampak yang kuat pada warga
negara. Arus demokratisasi yang diharapkan memberi kesempatan dan ruang yang sama bagi
warga negara, justru makin membangkitkan semangat nasionalisme kesukuan dan keagamaan
(ethnoreligious) yang mengancam integrasi bangsa. Inilah yang menjadi pertimbangan serius
untuk menyusun langkah antisipasi melalui pembinaan warganegara yang cinta pada nilai-nilai
kebangsaan, memahami pemahaman luas dan komprehensif, mencintai penegakan hukum dan
keadilan serta masyarakat damai yang menjadi tujuan masyarakat madani.
Pembahasan
31
Dalam perspektif negara dan bangsa, kedudukan warga negara sangat penting dalam
pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Bahkan kualitas suatu bangsa dan negara dapat
dilihat dari sejauh mana warga negaranya berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan sesama
dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global. Banks (2008: 136) mengemukakan empat
kategori kewarganegaraan seperti diuraikan berikut ini.
1. Legal Citizenship, merupakan kewarganegaraan yang paling dangkal. Tipologi ini berlaku
untuk warga negara yang secara hukum merupakan anggota dari suatu negara-bangsa yang
memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu tetapi tidak berpartisipasi dalam sistem politik. Dengan
kata lain, ia menjadi warga negara pasif.
2. Minimal citizenship. Tipologi ini untuk menyebut warga negara yang sah dan ikut dalam
pemilihan lokal dan nasional. Warga negara dalam tipologi ini menjadi warga negara yang
terlibat dalam menentukan pemimpin mereka. Partisipasi yang dilakukan oleh warga negara
dalam bentuk yang masih konvensional. Artinya, menentukan pilihan terhadap pemimpin
terbatas pada sekedar berpartisipasi sebagai warga negara tanpa dilandasi argumentasi
rasional terhadap pilihan mereka.
3. Active citizenship. Tipologi ini sudah lebih berkembang dari tipologi sebelumnya. Warga
negara melibatkan diri secara aktif tidak hanya sebatas dalam pemungutan suara untuk
menentukan pemimpin mereka, tetapi juga aktif dan berpartisipasi dalam berbagai aksi, seperti
demonstrasi atau membuat opini publik mengenai isu-isu yang berkembang dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Tindakan warga negara yang aktif dirancang untuk mendukung
dan menjaga struktur sosial dan politik.
4. Transformative citizenship. Kewarganegaraan transformatif melibatkan tindakan warga
negara yang dirancang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral serta cita-
cita melampaui hukum dan kebiasaan yang berlaku pada suatu negara. Warga negara
transformatif melakukan tindakan untuk mempromosikan keadilan sosial. Warga negara
transformatif adalah mereka yang mampu berpartisipasi secara aktif dengan landasan
argumentasi yang rasional, memiliki pemikiran yang kritis, dan berani menyuarakan kebenaran.
Untuk mewujudkan warga negara transformatif perlu dilakukan upaya strategis dengan
melibatkan semua pihak. Salah satunya melalui pendidikan yang mengedepankan isu-isu global.
Wahab dan Sapriya (2011: 245-246) mengutip The American Association of Colleges for
teacher Education (AACTE, 1994) menyebutkan bahwa globalisasi mengharuskan perubahan
dalam strategi dan metode mengajar yang dilakukan para guru di sekolah. Perubahan yang
memperhatikan keragaman nilai-nilai manusia yang bersifat universal, sistem dan isu-isu global
serta keterkaitan dengan masyarakat dunia dan sejarah global. Hal ini tentu saja diharapkan
dapat memberikan implikasi bahwa pengembangan pendidikan perlu diarahkan pada
penanaman nilai-nilai universal dan pemahaman pada isu-isu global sehingga peserta didik
32
dapat menjadi warga negara yang siap menghadapi realitas global dan menyikapinya secara
positif.
Menurut Murdiono (2015: 550), Pendidikan kewarganegaraan transformatif perlu
dikembangkan di sekolah untuk membekali peserta didik dengan berbagai pengetahuan dan
pemahaman kewarganegaraan, khususnya pengembangan wawasan global warganegara. Di
era global abad ke-21 perubahan di berbagai aspek kehidupan manusia terjadi dengan begitu
cepat. Warganegara global harus mampu menghadapi perubahan-perubahan global yang terjadi
sangat cepat dengan bekal pengetahuan dan pemahaman tentang dunia. Oleh karena itu,
pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan di sekolah harus diubah, dari sekadar
memberikan pengetahuan akademik menuju pengembangan pendidikan kewarganegaraan
transformatif yang memberikan bekal kepada peserta didik dengan berbagai kemampuan dan
keterampilan sosial sebagai warga negara, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global.
Sekalipun hal ini akan menemui beberapa tantangan.
Oleh karena itu, pengembangan pendidikan kewarganegaraan transformatif dengan
penanaman nilai-nilai kebangsaan menuju masyarakat madani perlu diselenggarakan secara
sistematis. Kebutuhan akan adanya perubahan pada pola pikir lembaga pendidikan dalam
mengimplementasikan materi pembelajaran menjadi suatu strategi pengembangan
pembelajaran transformatif. Hal ini diharapkan memberi dampak bagi pembinaan
kewarganegaraan menuju masyarakat madani.
Masyarakat Madani di IndonesiaKonsep Masyarakat Madani selalu berangkat dari permasalahan dan sekaligus konsep
tentang individu. Semakin baik pembinaan individu, maka akan semakin memudahkan
terwujudnya masyarakat madani. Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat madani kemudian
beranjak untuk membina atau membangun masyarakat, disinilah urgensi praktek citizenship
atau kewarganegaraan yang memahami secara konkrit implementasi kewarganegaraan yang
aktif dan produktif serta berwawasan luas.
Setelah wilayah pendidikan diberikan pengembangan pola pikir, pola sikap dan pola
tindak, selanjutnya konsep masyarakat madani diarahkan untuk mewujudkan tata hidup yang
baik. Tidak hanya bertumpu pada satu pihak, namun perlu menciptakan sinergi yang produktif
dan positif baik masyarakat (community), pemerintah (government), serta semua unsur warga
negara ikut berkolaborasi mewujudkan harapan bersama. Semua potensi bangsa Indonesia
dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita- cita
dari bangsa ini. Masyarakat madani digambarkan sebagai masyarakat yang berkembang sesuai
dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, menghormati sesama, mencintai,
menghargai perbedaan, tegaknya hukum dan keadilan, masyarakat yang aman damai dan
sejahtera.
33
Tantangan masyarakat Indonesia dalam membentuk masyarakat madani tidak akan
terlepaskan dari upaya menciptakan dan menjaga kesatuan bangsa ( NKRI), dengan cara
menciptakan kerukunan dan kedamaian, meminimalisir konflik dan benturan antara kelompok,
suku, golongan dan komunitas tertentu. Konflik dan benturan di masyarakat Indonesia sudah
sering terjadi dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir. Konflik atas dasar kelompok,
suku, golongan dan agama terus terjadi dan seakan menjadi ancaman laten yang setiap saat
bisa terjadi. Iqbal (2014: 90) menyebutkan tiga kecenderungan yang sering dihadapi
masyarakat multikultural yaitu: 1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-
hubungan antar kelompok; 2) pelaku konflik melihat sebagai all out war; 3) proses integrasi
sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain.
Demikian pula, bangsa Indonesia pada setiap derap langkah kehidupan berbangsa dan
bernegara diarahkan untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia
Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan
kehidupan masayakat pada era sebelumnya. Masyarakat madani yang dicita-citakan, dituntut
agar mampu menciptakan terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu
dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan,
serta menjadi warga negara yang beriman, taqwa, jujur, dan taat hukum yang berlaku di
Indonesia.
Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan berbagai
torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain,
dalam menghadap iperubahan masyarakat dan zaman. Pengembangan masyarakat madani
di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai budaya bangsa, adat istiadat, pandangan hidup, tradisi, kebersamaan, cita-cita dan
tujuan yang sama dalam mencapai harapan bangsa yang maju akan memperkuat ke-Bhineka
Tunggal Ika-an.
Perwujudan masyarakat madani dianggap sangat urgen disebabkan karena saat ini,
masyarakat sebagai bangsa Indonesia yang sementara hidup pada zaman yang tidak dapat
menghindar dari pergaulan global. Perkembangan informasi yang begitu pesat menimbulkan
problematika baru di samping efek positif yang kita peroleh. Oleh sebab itu, masyarakat
Indonesia menjadi tertantang untuk ikut bersama dalam pergaulan global tanpa meninggalkan
nilai-nilai dasar bangsa serta moral yang berakar dari budaya dan agama. Inilah urgensi
kewarganegaraan transformatif dalam kerangka perwujudan masyarakat madani di Indonesia.
KesimpulanKewarganegaraan transformatif (transformative citizenship) merupakan sebuah konsep dinamis
dalam pembinaan warga negara yang lebih aktif dalam pembangunan bangsa, memiliki
wawasan kebangsaan yang memadai serta memiliki wawasan global. Mampu
34
mengimplementasikan nilai-nilai moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia menuju
pencapaian tujuan dan cita-cita terwujudnya masyarakat madani.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan pendidikan
kewarganegaraan trasnformatif dengan harapan agar warga negara Indonesia memiliki
pengetahuan, wawasan dan pemahaman yang komprehensif tentang dunia global dengan
segala perkembangannya serta mampu mengejawantahkan dalam tatanan praktis untuk
membangun bangsa dan negara. Tanggung jawab membangun masyarakat madani senantiasa
tersemat dalam setiap diri warga negara, sehingga bekal pemahaman yang kuat menjadi
landasan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap warga negara.
Daftar PustakaBanks, J. A. (2008). Diversity, goup identity, and citizenship educarion in a global, Educational
Researcher,37 (3), hlm. 129-139.
Iqbal, Mahathir M. (2014), “Pendidikan Multikultural Interteligius: Upaya Menyemai Perdamaian
dalam Heterogenitas Agama Perspektif Indonesia”, Jurnal Sosio Didaktika, Vol. 1. No. 1, 89-98.
Murdiono, M. ( 2015 ), Pendidikan Kewarganegaraan Transformatif untuk , wawasan global
peserta didik di sekolah, Prosiding Seminar Nasional: Penguatan Komitmen Akademik dalam
memperkokoh Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan. h. 539 -550.
Suroto, (2015), Konsep Masyarakat Madani Di Indonesia Dalam Masa Postmodern (Sebuah
Analitis Kritis), Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 5, Nomor 9.
Wahab. A.A & Sapriya, (2011), Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung:
Alfabeta.
35
Pemahaman Warga Negara Terhadap Hak dan Kewajiban Mempunyai Peran Penting Dalam Kewarganegaraan Transformatif
Badruli MartatiUniversitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya
ABSTRAK
Hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dari individu dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat menyatu dalam bangsa dan negara melalui kontrak sosial. Sebagaimana hukum alam, setiap individu memerlukan orang lain agar bermanfaat bagi sesama. Dengan demikian masing-masing individu dan atau golongan memiliki kebutuhan yang seringkali berbenturan satu sama lain. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik di masyarakat. Konflik terjadi sesungguhnya disebabkan komunikasi yang kurang baik dalam memahami hak dan kewajiban. Konflik dalam masyarakat menjadi berkelanjutan, jika tidak diberikan win-win solution. Untuk itu, peran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting dalam rangka memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban kepada warga negara untuk mewujudkan masyarakat madani. Keberhasilan warga negara untuk memahami hak dan kewajiban dapat membantu terwujudnya kewarganegaraan transformatif.
Kata kunci: hak dan kewajiban, warga negara, madani, transformatif, PKn
ABSTRACT
Rights and obligations are two inseparable matters for an individual in their social life. Society is integrated in the nation and state through social contract. As a law of nature, every individual needs other people to give a mutual benefit. Thus, each individual and / or group have their needs which are often in conflict with each other. This often drives a conflict in the community. The conflict is usually caused by a bad communication among citizens to understand their rights and obligations. The conflict in society becomes sustainable, if it is not had a win-win situation. Therefore, the role of Citizenship Education is pivotal to cultivate an understanding of the citizen’s rights and obligations to create a civil society. The success of citizens to understand their rights and obligations can help to realize a transformative citizenship.
36
Key words: rights and obligations; citizen’s; civil society; transformative; citizenship education
PENDAHULUANPendidikan merupakan hal yang paling berharga bagi suatu bangsa. Hal ini telah
disadari oleh para pendiri bangsa (founding father). Pendidikan sebagai asas moral bangsa dan
negara, tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945, alenia keempat. Sutrisno menyatakan,
ketika para pendiri bangsa terutama Bung Hatta dengan sadar menuliskan alenia keempat
Pembukan Konstitusi Republik Indonesia, ia jelas-jelas menaruh proses meng-Indonesia
sebagai proses peradaban berilmu demi kemanusiaan antar kita agar semakin berkeadaban dan
adil. Selanjutnya dikatakan bahwa:
Teks kunci mencerdaskan kehidupan bangsa ”sebenarnya memuat sekaligus nilai
kultural proses pendidikan berilmu dan kepentingan kemanusiaan pendidikan untuk masa
depan bangsa ini yaitu humanisasi semakin berharkatnya orang perorang dan semakin
kultural beradabnya hubungan saudara sebangsa yang majemuk ini.” (Sutrisno, 2009:22)
Mahasiswa merupakan bagian dari warga negara yang harus memahami hak dan
kewajibannya dengan baik. Hal ini mengingat peran mereka sebagai pemegang estafet
kepemimpinan di masa mendatang. Terkait dengan peran mereka dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara maka mereka perlu pemahaman dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban
dalam kehidupan sehari-hari. Maka mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berperan
penting untuk memberikan solusi tersebut, di mana PKn sebagai kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) di perguruan tinggi berfungsi sebagai orientasi mahasiswa
dalam memantapkan wawasan dan semangat kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi,
kesadaran hukum, penghargaan atas keragamaan dan partisipasinya membangun bangsa
berdasar Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus mampu mencapai
tujuan: (a). Mengembangkan sikap dan perilaku kewarganegaraan yang mengapresiasi nilai-nilai
moral-etika dan religius. (b). Menjadi warganegara yang cerdas berkarakter, menjunjung tinggi
nilai kemanusiaan (c). Menumbuhkembangkan jiwa dan semangat nasionalisme, dan rasa cinta
pada tanah air. (d). Mengembangkan sikap demokratik berkeadaban dan bertanggungjawab,
serta mengembangkan kemampuan kompetitif bangsa di era globalisasi. (e). Menjunjung tinggi
nilai-nilai keadilan.(Dirjendikti-Belmawa, 2003). Untuk itu membangun pemahaman yang tepat
dibutuhkan oleh mahasiswa agar dapat menjadi warga negara yang demokratis dan
berkeadaban.
METODE PENELITIANTujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas masalah hak dan kewajiban warga
negara yang harus diketahui mahasiswa dan selanjutnya merupakan fakta yang ditemui dosen
37
sebelum proses pembelajaran PKn. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian
perpustakaan atau kajian literature, karena apa yang diketahui mahasiswa dan yag belum
dipahami mahasiswa yang dideskripsikan dosen dihubungkan dengan literature yang ada.
(Neolaka, 2014: 17-19). Berdasarkan tingkat kealamiahan, metode penelitian yang digunakan
adalah survei, yaitu untuk mendapatkan data dari pembelajaran dalam semester genap
2016/2017 pada mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya.
HASIL DAN PEMBAHASANPermasalahan hak dan kewajiban, menimbulkan pertanyaan lebih dahulu mana hak
atau kewajiban. Survey awal sebelum pembelajaran, mahasiswa berpendapat bahwa
kewajiban dilaksanakan baru diberikan haknya. Mereka memberikan jawaban dengan
memberikan contoh, pada saat mahasiswa setelah melakukan daftar ulang (kewajiban) setelah
itu baru diberikan (haknya) antara lain mendapatkan jas almamater, mendapatkan NIM,
mengikuti proses pembelajaran, mendapatkan nilai dan lain-lain. Menurut pendapat penulis,
maka sesungguhnya manusia menjalankan kewajiban setelah terlebih dahulu mendapatkan
haknya. Hal ini dapat diilustrasikan dalam contoh berikut seorang bayi yang lahir maka ia
mendapatkan haknya baru setelah cukup umur ia melaksanakan kewajiban sebagai seorang
anak. Pemahaman ini diharapkan mampu membangun kesadaran mahasiswa untuk lebih
menghormati orang tuanya. Di samping makin menyadari hak dan kewajibannya sebagai
makhluk individu dan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Materi hak dan
kewajiban merupakan bagian dari tema mata kuliah PKn, sebagai langkah mewujudkan
masyarakat madani dalam koridor negara demokrasi.
Urgendi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Azyumadi Azra dalam (Nasution,A.R.,
2016 ) merupakan mata kuliah yang sangat penting bagi Indonesia untuk membangun
peradaban yang demokratis dengan beberapa alasan berikut: pertama, meningkatnya gejala
dan kecenderungan political illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja
demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara; kedua, meningkatnya political
apathism dengan indikator keterlibatan yang sedikit dari warga negara dalam proses- proses
politik. Jika demokrasi adalah hal mutlak penting, tidak bisa ditawar – tawar atau
dimundurkan ( point of no return), maka upaya penyemaian budaya demokrasi dapat dilakukan
melalui PKn, sebagai komitmen kuat untuk menjadi lebih demokratis dan berkeadaban. Hal ini
untuk memberdayakan masyarakat agar mempunyai kekuatan dalam upaya sistematis dan
sistemik dalam bentuk Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Education ) yang secara
konseptual menjadi wahana pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM dalam konteks
pembangunan masyarakat madani (Civil Society).
Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, mahasiswa sebagai warga negara
memiliki hak mendasar sebagai manusia yaitu hak untuk mendapat pendidikan. Dengan
38
demikian negara memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negara.
Dalam memahami hubungan hak dan kewajiban maka mahasiswa sebagai warga negara
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan-selanjutnya melaksanakan kewajiban untuk
mendaftar diri di perguruan tinggi yang dituju—mendapatkan haknya begitu terjadi secara
berkesinambungan. Dalam hal perolehan pengertian bahwa warga negara memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan dan negara mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan
pendidikan bagi warga negaranya, sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam alenia IV
Pembukaan UUD 1945.
Warga negara adalah manusia yang memiliki kebebasan sebagai individu yang segala
aktifitas dan kreativitas dalam kehidupannya adalah bergantung kepada orang lain, yang
mendukung peran dalam memberikan manfaat sesama sebagai makhluk sosial. Peran sebagai
makhluk sosial tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang Maha
Esa. Hal ini untuk memahami bahwa manusia tidak sempurna secara kodrati, sehingga
membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dengan demikian manusia mampu hidup dan
berkembang sesuai kodratnya jika melakukan inetraksi atau komunikasi dengan manusia
lainnya (Darmadi, 2012:77).
Kehidupan sosial di dalamnya terdapat norma-norma yang harus dipatuhi individu.
Merupakan pedoman untuk mengatur tingkah laku anggota masyarakat dalam berbagai situasi
sosial. Pedoman tingkah laku mana dan sampai batas mana yang masih dapat diterima
kelompok, dan tingkah laku anggota mana yang tidak boleh dilakukan oleh kelompok
(Budiningsih,2013:65). Dalam kehidupan sosial ini, meskipun telah ada norma-norma yang
mengaturnya, bisa jadi terjadi konflik karena adanya kepentingan yang berbeda. Konflik yang
ada antara individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Sehingga
diperlukan saluran komunikasi yang baik.
Individu dalam kehidupan sosial selanjutnya mendasarkan diri untuk hidup bersama
dalam negara. John Locke menyatakan ketika manusia dalam keadaan naturalis atau in-
abstrakto suasana kehidupan manusia bebas dan sederajat, sesuai kehendaknya sendiri.
Kondisi alamiah ini telah bersifat sosial, Karena manusia hidup rukun sesuai dengan hukum
akal (law of reason), masyarakat damai. Walaupun kehidupan alamiah tersebut terlihat damai,
tetapi menyimpan sejumlah konflik yang jika tidak dikelola akan membahayakan kehidupan
bersama. Jadi membutuhkan organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka,
maka manusia membentuk negara dengan perjanjian bersama. (Wahyudi, 2014:37).
Manusia memiliki hak kodrati yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, yaitu hak
hidup, hak kesehatan, hak kebebasan dan hak milik. Sehingga terdapat persoalan yang paling
mendasar dalam hubungan antara negara dan warga negara yaitu hak dan kewajiban. Negara
dan warga negara sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang saling berkaitan. Berbicara hak
negara itu berarti berbicara tentang kewajiban warga negara, demikian pula sebaliknya
39
berbicara kewajiban negara adalah berbicara tentang hak warga negara. Sehingga negara dan
warga negara dapat hidup Bersama untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan.
Kesadaran akan hak dan kewajiban sangatlah penting, seseorang yang semestinya
memiliki hak namun ia tidak menyadarinya, maka akan membuka peluang bagi pihak lain untuk
menyimpangkannya. Demikian pula ketidaksadaran seseorang akan kewajibannya akan
membuat hak yang semestinya didapatkan orang lain menjadi dilanggar atau diabaikan. Hal
tersebut yang selanjutnya dapat menimbulkan konflik, di mana konflik itu jika tidak diberikan win-
win solution akan menjadi kekacauan atau kerusuhan atau pelanggarakan hak dan kewajiban.
Negara Indonesia melalui UUD 1945 mengatur hak dan kewajiban serta pelaksanaan
hak dan kewajiban negara dan warga negara di negara kita. Kewajiban negara: (1) Pembukaan
UUD 1945, alinea IV; (2) Pasal 28I, ayat 4; (3) Pasal 29, ayat 2; (4) Pasal 30, ayat 2; (5) Pasal
30, ayat 3; (6) Pasal 30, ayat 4; (7) Pasal 31, ayat 2; (8) Pasal 31, ayat 3. (9) Pasal 31, ayat 4;
(10) Pasal 31, ayat 5 (11) Pasal 32, ayat 1; (12) Pasal 32, ayat 2 (13) Pasal 33, ayat 3; (14)
Pasal 34, ayat 1; (15) Pasal 34, ayat 2; (16) Pasal 34, ayat 3). Sedangkan hak warga negara
meliputi: (1) Pasal 27 ayat 2; (2) Pasal 28), (3). Pasal28B ayat 1); (4) Pasal 28 B ayat 2; (5)
Pasal 28C ayat 1; (6) Pasal 28C ayat 2; (7) Pasal 28D ayat 1); (8) Pasal 28D ayat 2; (9) Pasal
28D ayat 3; (10) Pasal 28D ayat 3; (11) Pasal 28E ayat 1; (12) Pasal 28E ayat 2; (13) Pasal
28E ayat 3; (14) Pasal 28F; (15) Pasal 28G, ayat 1; (17) Pasal 28G, ayat 2; (18) Pasal 28H,
ayat 1;. (19) Pasal 28H, ayat 2; (20) Pasal 28H, ayat 3); (21) Pasal 28H, ayat 4; (22) Pasal
28I, ayat 1; (23) Pasal 28I, ayat 2; (24) Pasal 28I, ayat 3;. (25) Pasal 30, ayat 1; (26) Pasal 31,
ayat 1. Adapun kewajiban warga negara (1) Pasal 27 ayat 1; (2) Pasal 28J, ayat 1; (3) Pasal
28J, ayat 2 ; (4) Pasal 30, ayat 1; (5) Pasal 30, ayat 2; (6) Pasal 31, ayat 2.
Kesadaran hak dan kewajiban antara negara dan warga negara mendukung terciptanya
kewarganegaraan trnasformatif dalam masyarakat madani. Masyarakat madani menurut
Wasitohadi (ris.uksw.edu) adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri
secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan
pendapat, serta adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingan publik. Malik Fadjar (1999) menyatakan bahwa kekhasan karakteristik masyarakat
madani Indonesia adalah (a) adanya keragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar
pengembangan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional, (b). pentingnya ada saling
pengertian antara sesama anggota masyarakat, (c) adanya toleransi yang tinggi.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi
dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat
madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-haknya serta kewajibannya
terhadap negara, bangsa dan agama. Masyarakat madani sangat menjunjung tinggi hak asasi
manusia, dan masyarakat madani adalah masyarakat bermoral yang menjamin keseimbangan
40
antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki motivasi dan
inisiatif individual.
Konsep masyarakat madani sangat kompleks. Sebab di dalamnya mengandung konsep-
konsep relasi sosial yang beradab, dan hendak ditransformasikan dalam kehidupan sosial
sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi: masyarakat, hokum, demokrasi, pemerintahan
dan kenegaraan, keterbukaan, perubahan sosial, kebudayaan, dan lain-lain relasi-relasi dan
struktur sosial. Sebagai cara untuk mentransformasikan dalam kehidupan masyarakat melalui
pendidikan yang sistematis. Pendidikan kewarganegaraan dipandang cocok untuk memaknai
dinamika perubahan sosial yang berkembang di Indonesia baik di tingkat local, nasional,
regional dan global. (Chamim, 2003:43)
Dalam upaya mewujudkan masyarakat madani, harus diperhatikan keberagaman
masyarakat, antara lain adanya stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial adalah konsep yang
menunjukkan perbedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara
bertingkat. Yaitu strata sosial tinggi, sedang dan rendah. Strata sosial rendah meliputi keluarga
ekonomi rendah. Strata sosial menengah mempunyai ciri; penghasilan melebihi keperluan hidup,
biasa menabung, terpelajar, pendidikan sebagai alat kemajuan, dll. Strata sosial tinggi yakni
keluarga lapisan atas, cirinya kehidupan ekonomi sangat baik, kaya raya, tidak khawatir
kehidupan ekonomi dikemdia hari, dll. Soekanto menyatakan sifat sistem pelapisan di
masyarakat dapat bersifat tertutup, di mana membatasi kemungkinan perpindahan kasta
seseorang. Contoh masyarakat berkasta. Kedua, sistem terbuka, dimana masyarakat di
dalamnya memiliki kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan.
Atau sebaliknya jatuh ke lapisan yang bawah, sebagai contoh yang terjadi dalam masyarakat
demokratis. Berbagai factor penyebab adalah pendidikan dan pekerjaan.(Abdullah Idi, 2014:
178-181).
Keberadaan masyarakat madani di Indonesia, khususnya saat kondisi bangsa Indonesia
pasca- Soeharto, tumbuh banyak organisasi kemasyarakatan yang mencerminkan demokrasi.
Putnam (1993) memberikan nilai positif adanya banyak organisasi yang berbasis masyarakat
tersebut. Namun, Wirutomo menyatakan bahwa organisasi masyarakat yang tumbuh
berkembang pasca-Soeharto tidak semuanya berpengaruh positif terhadap integrasi sosial dan
nasional dalam konteks demokrasi.
Menurut Diamond dalam (Wirutomo, 2015:247) fenomena penengah yang terletak di
antara ruang pribadi dan negara. civil society mewujud pada beragam organisasi, baik yang
bersifat formal maupun informal, seperti ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok
kepentingan, lembaga-lembaga pembangunan, organisasi-organisasi berorientasi isu, dan
kelompok-kelompok yang berfokus pada isu kewarganegaraan. Sujatmiko dalam (Wirutomo,
2015:245) Civil society mengandung dua aspek, yaitu pertama aspek horizontal berkaitan
dengan budaya yang memuat gagasan civility (keberadaban), seperti pluralisme, toleransi dan
41
lain-lain. Kedua, aspek vertikal berkaitan dengan politik yang mengandung ide otonomi
masyarakat terhadap negara. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah Civil Society Organization
(CSO), trust terhadap negara serta kemampuan CSO dalam mengawasi kekuasaan pemerintah,
dan lain-lain.
KESIMPULANMahasiswa memerlukan pemahaman yang benar tentang hak dan kewajiban untuk
membangun kesadaran pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik.
Kesadaran hak dan kewajiban antara negara dan warga negara dapat mendukung terciptanya
kewarganegaraan trnasformatif dalam masyarakat madani.
DAFTAR PUSTAKABudiningsih, Asri. 2013. Pembelajaran Moral. Rineka Cipta. Jakarta.
Chamim, Asykuri Ibn. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Majelis diktilitbang PP
Muhammadiyah. Yogyakarta.
Darmadi, Hamid. 2012. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Alfabeta. Bandung.
Idi, Abdullah. 2014. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Rajawali Press,
Jakarta.
Nasution, A.R., .2016. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Karakter
Bangsa Indonesia melalui Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jurnal Pendidikan
Ilmu-Ilmu Sosial, 8 (2) (2016): 201- 212
Neolaka, Amos. 2014. Metode Penelitian dan Statistik.PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).
Alfabeta, Bandung
Sutrisno, SJ, Muji. 2009. Ranah-Ranah Kebudayaan. Kanisius .Yogyakarta.
Tim. 2013. Modul Pendidikan Kewarganegaraan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan. Jakarta
Wahyudi, Alwi. 2014. Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Wasitohadi, Pendidikan Kewarganegaraan Yang Transformatif Menuju Terwujudnya
Masyarakat Madani, ris.uksw.edu/download/jurnal/kode/J00861, diakses12 Agustus
2017.
Widokarti, Joko Rizkie. 2016. Kepemimpinan Transformatif Menuju Masyarakat Madani.
repository.ut.ac.id/2339/ diakses 12 Agustus 2017
42
Wirutomo, Paulus. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Penguatan Masyarakat Multicultural Dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia
Bernarda Meteray Universitas Cenderawasih [email protected]
ABSTRAK
Selama ini Indonesia mengalami berbagai permasalahan berkaitan dengan adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah negeri multicultural. Sehingga salah satu tantangan berat yang dihadapi masyarakat Indonesia yang multicultural dewasa ini adalah kemampuan negara mengatasi berbagai konflik di Indonesia demi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara NKRI tidak hanya berfungsi sebagai wadah bagi warga Negara untuk meyatukan berbagai perbedaan tetapi menjadi sarana yang berfungsi mengantar masyarakat Indonesia yang multicultural mengenal dan memahami keindonesiaan dirinya dan menjadikan wilayahnya menjadi bagian integral NKRI. Sementara tidak dapat dipungkiri adanya arus transformasi terus berlangsung dalam masyarakat Indonesia. Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur. Salah satu faktor yang menyebabkan transformasi adalah perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru. Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana transformasi yang berlangsung mempengaruhi jati diri masyarakat Indonesia tentang keindonesiaan di setiap daerah di Indonesia sebagai bagian integral NKRI. Alasan dasar yang mendorong penulisan kajian ini adalah keraguan yang muncul di masyarakat tentang “keindonesiaan diantara masyarakat Indonesia di daerah ” terutama ketika beberapa wilayah di Indonesia dalam konflik. Kajian ini bermanfaat bagi pengembangan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan(PPKN) sebagai salah satu program studi di lingkungan perguruan tinggi untuk menghasilkan warga Negara yang bertanggung jawab memperkuat keindonesiaan diantara orang muda Indonesia yang multicultural. Melalui kajian ini diharapkan: Pertama, dapat dirumuskan proses dan model bagaimana menumbuhkan kesadaran bernegara yang pancasilais di kalangan orang muda Indonesia. Kedua, dapat menjaring aktor-aktor yang berperan menumbuhkan kesadaran Indonesia di Indonesia. Kata kunci : Masyarakat, kewarganegaraan, multicultural , generasi muda, tranformasi
PendahuluanSebagai negara-bangsa multicultural yang sangat besar dan terletak di antara
kepulauan, kita patut merasa bangga karena hingga hari ini bangsa Indonesia masih berdiri
kokoh dari Sabang hingga Merauke. Keragaman budaya ini merupakan sebuah aset bagi
negara-bangsa Indonesia untuk menjadi negara kepulauan yang besar dan kuat. Menurut
Robert Cribb (dalam Putut Widjarnako, 2008), kondisi Indonesia masih dalam posisi aman.
43
Indonesia akan selamat dari disintegrasi karena kaburnya perbatasan antar wilayah dan
tiadanya agenda politik yang bisa mendukung separatisme. Pandangan Cribb di atas
mengingatkan pemerintah dan masyarakat Indonesia bahwa kemungkinan disintegrasi
sangatlah kecil.
Ternyata, pandangan Cribb di atas ini perlu ditinjau kembali. Berbagai permasalahan
internal sejak reformasi terus terjadi dari waktu ke waktu hingga dewasa ini. Kehidupan
masyarakat Indonesia di berbagai daerah dewasa ini, masih terus ditandai dengan berbagai
masalah seperti lemahnya penegakan hukum, konflik antar partai, korupsi yang merajalela,
tawuran antarpelajar dan kampung, kekerasan dalam keluarga dan sekolah, narkoba, intoleransi
dalam beragama, ancaman teroris, dan masih adanya gerakan pemisahan diri di beberapa
daerah Indonesia. Berbagai permasalahan bangsa yang disinggung di atas dapat memicu
disintegrasi bangsa.
Kondisi di atas ini menunjukkan bahwa kesadaran menjadi Indonesia di antara
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk baik di pusat maupun daerah ” masih bermasalah”
dan “belum menjadi bagian yang penting” dalam hidup bernegara. Syamsudin Haris(2014)
menegaskan bahwa semboyan bhineka tunggal Ika selama ini hanya menjadi jargon dan
retorika para elite politik, sedangkan ide persatuan yang mengikat konsesus yang bersifat lintas
etnik, agama, daerah dan ideologis ke dalam satu Indonesia justru menjadi alat bagi kelompok-
kelompok anti demokrasi seperti golongan militer untuk memarjinalkan, menindas dan bahkan
membunuh sesama bangsanya sendiri.
Pernyataan Syamsudin Haris ini menunjukkan bahwa kesadaran berbangsa dan
bernegara memang masih lemah sehingga diperlukan pengambilan kebijakan yang tegas
menyangkut masa depan NKRI, agar nasib negara ini tidak akan mengalami kondisi yang terjadi
di Negara Yugoslavia misalnya. Ketika menyinggung tentang banyak Negara di dunia yang yang
“ seolah terbius dalam imajinasi tentang identifikasi negera dan bangsa. Clifford Geertz
mengingatkan agar jangan terkecoh dengan pemahaman yang keliru tentang bangsa dan
negera. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran Clifford Geertz. Menurut Clifford
Geertz( Kymlicka,2011):
Perang Balkan membangun [dunia] dari tidur ala Sleeping beauty itu.
Yuggoslavia merupakan contoh terang-terangan dari ketidakcocokan isi dan
kenyataan dari konsep-konsep bangsa dan negeri yang sering disamakan begitu
saja. Bekas Yugoslavia tercabik-cabik secara internal oleh kekuatan-kekuaan
nasional yang sekarang menjadi Negara-negara kecil. Bukan hanya itu, dari luar
negeri ini juga diserang lewat separatisme Makedonia, permusuhan dengan
Honggaria dan Bulgaria. Gerak penghancuran itu mulai berturut-turut dari
perang Yugoslavia, melaui perang Serbia-Kroatia dan berakhir dengan perang
Bosnia. Yugoslavis hanyalah sebuah contoh eksrem bagaimana identifikasi
44
bangsa dan negeri tidak berfungsi. Runtuhnya Yugoslavia dan komunisme
Soviet memberi hikmah. Suatu politik yang ingin melancarkan homogenisasi
atas keragaman social cultural di bawah penindasan sebuah ideology dan
kekerasan politis justru menabung dendam cultural.
Geertz juga menambahkan bahwa masyarakat modern semakin disadari sebagai sebuah
masyarakat multicultural, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk
kehidupan dan orientasi nilai. Oleh karena itu, Budi Hardiman (dalam Kymlicka:2011)
menegaskan bahwa mengacu pada kondisi di Yugoslavia di atas, maka sebenarnya Clifford
Geertz hendak menyatakan bahwa kondisi Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga sulit
melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya banyak etnis melainkan juga
menjadi arena pengaruh multi mental(India, Cina, Belanda, Portugis, Hindu dan Budisme, Islam,
Kristen. Indonesia adalah sejumlah bangsa dengan ukuran, makna dan karakter yangberbeda-
beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam
yang disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama. Indonesia
pun sebuah contoh untuk menunjukkan bahwa negeri dan bangsa tidak dapat disamakan begitu
saja.
Dengan demikian tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana transformasi
yang berlangsung mempengaruhi jati diri masyarakat Indonesia tentang keindonesiaan di
setiap daerah di Indonesia sebagai bagian integral NKRI. Pertama, dapat dirumuskan proses
dan model bagaimana menumbuhkan kesadaran bernegara yang pancasilais di kalangan
orang muda Indonesia. Kedua, dapat menjaring aktor-aktor yang berperan menumbuhkan
kesadaran Indonesia di Indonesia.
Pemahaman Negara –bangsa Tidaklah salah apabila, hingga kini masih terdapat kekeliruan dalam memahami apa itu
bangsa dan Negara. Dalam banyak pikiran orang, bangsa dan Negara diartikan sama. Seperti
ditegaskan Clifford Geertz, “dalam pemakain sehari hari kita menyamakqn begitu saja konsep-
konsep, seperti bangsa(nation), Negara(state), negery(country), masyarakat(society) dan rakyat
(people). Menurut Clifford Geertz, yang paling menjadi masalah apabila konsep negara dan
bangsa disamakan. Apabila pengertian ini digunakan, maka yang dinamakan negara adalah
mereka yang memiliki satu bangsa saja. Hal ini tentu saja keliru.
Otto van Bauer menyatakan bahwa bangsa adalah suatu kelompok manusia yang
memiliki karakter (watak) yang sama yang terbentuk karena adanya perasaan senasib yang
sama. Sedangkan Jacobsen dan Lipmann mendefinisikan bangsa sebagai kelompok manusia
yang lahir karena adanya satu kesatuan budaya (cultural unity) dan satu kesatuan politik
(political unity) dan Clifford Geertz dalam(Kimlicka, 2011) mengatakan bahwa bangsa adalah
sekumpulan orang dengan bahasa, darah sejarah dan tanah yang sama dan negeri sebagai
tempat kumpulan orang-orang tersebut. Sementara, Smith (dalam Oomen:2009) menegaskan
45
bahwa kelompok besar vertical yang terintegrasi dan memiliki teori yang dinamis beserta hak
kewarganegaran dan sentiment kolektif terhadap satu(atau lebih) karateristik umum yang
membedakan anggota dengan kelompok yang mirip bersama kelompok lain tersebut anggota
bangsa melakukan aliansi atau konflik.
Sementara pemikir lainnya Ernest Gellner mengemukakan bahwa nasionalisme
merupakan sesuatu yang diciptakan sebagai akibat dari munculnya negara yang sebelumnya
tidak. Terbentuknya suatu negara dan nasionalisme bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja
tetapi merupakan suatu penemuan atau sesuatu yang diciptakan dan didasarkan atas keinginan
untuk hidup bersama karena memiliki beberapa kesamaan dan dimotori oleh kelompok elit atau
intelektual yang berada di perkotaan (Meteray:2012).
Proses munculnya kesadaran berbangsa dan bernegara.Selama ini pemahaman untuk menjadi “ Indonesia” bagi masyarakat yang sangat beragam
baik suku, budaya, agama, bahasa, geografi, pendidikan maupun ekonomi bukanlah merupakan
suatu kebanggaan semata-mata yang selama ini sering dikumandangkan dan bukan pula
sesuatu yang “ mudah” diterapkan. Kondisi ini sebenarnya sudah pernah dikemukakan
Soekarno pada akhir perjuangan merebut kemerdekaan. Soekarno menyatakan bahwa “penting
untuk disimak bahwa gagasan Indonesia, dengan segala keragamannya, belum mendapat
“rumah yang nyaman” dalam negara Indonesia yang dibangun (Elson, 2008: 222). Dengan
demikian, pernyataan Soekarno ini mengindikasikan bahwa menjadi Indonesia dalam konteks
negara-bangsa Indonesia, sebenarnya belum mencapai final karena proses membentuk
identitas diri sebagai orang Indonesia masih dalam proses.
Putut Widjanarko(2008) mengungkapkan bahwa, menjadi Indonesia adalah sebuah
proses pencarian yang tiada henti, tiada pernah tuntas. Sebab, tiap Negara memiliki alasan
historis dan filosofisnya sendiri. Karena itu tiada peralatan intelektual apa pun yang cukup kuat
untuk mendakwa atau mempertanyakan, misalnya bagaimana sebuah Negara kesatuan seperti
Cina, Iran atau Perancis dibentuk. Begitupun dengan Indonesia yang diakui Putut Widjanarko
tidak jatuh seperti Apel di kepala Newton. Wang Gungwu (dalam Suryadinata Leo, ed 2004)
menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara-bangsa adalah sebuah proses yang
diciptakan/dibuat. Begitupun dengan Magnis-Sueno dengan mengacu pada pemikiran Sukarno
tentang persatuan dan kesatuan menegaskan bahwa kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat
alamiah melainkan melalui proses sejarah (dalam Lanur, Aleks1995).
Ide menggagas keindonesiaan dimulai ketika Soewardi Soeryaningrat, Tjito
Mangoenkoesoemo, dan E.F.E. Douwes Dekker memulai dengan melalui “Indische partij. ”
Menurut pemahaman salah satu pendiri anggota partai ini, siapapun yang menganggap Hindia
atau Indonesia sebagai tanah airnya, tanpa peduli apakah dia orang Indonesia totok, atau
keturunan Tionghoa, Belanda, Eropa. Menurut Elson, Jawa merupakan tempat awal orang
Indonesia mulai membicarakan masalah “keindoensiaan.”
46
Ide dan gagasan para pendiri Indische partij ini terus bertumbuh diantara para
mahasiswa baik yang belajar di Jawa maupun di Belanda. Di Belanda misalnya mahasiswa
membahas sering makna keindonesiaan dalam ruang kuliah, warung kopi, dan kamar kos.
Dengan demikian, nama Indonesia di kalangan mahasiswa Indonesia di Belanda dijadikan nama
partai politik dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1922. Para pencentusnya
antara lain Mohamad Hatta, Natsir, Achmad Soebardjo dan Soekiman Wirjosandjojo. Dengan
pendirian PI maka ide tentang nasionalisme Indonesia mulai tersebar melalui media masa ke
Indonesia oleh para mahasiswa ketika mereka kembali ke Indonesia. Maka melalui upaya
berbagai organisasi pemuda yang ada di Indonesia maka peristiwa Sumpah Pemuda 1928
merupakan perwujudan adanya kesadaran berbangsa Indonesia sebagai satu bangsa.
Dengan demikian, berkaitan dengan Indonesia sebagai Negara-bangsa akhirnya
terwujud pada 17 Agustus 1945 karena didukung oleh bertumbuhnya nasionalisme Indonesia di
seluruh wilayah Indonesia. Kahin mengemukakan empat faktor utama yang turut
mengkontribusi nasionalisme Indonesia: pertama, kesamaan dalam hal agama karena 90
persen penduduk Indonesia beragama Islam; kedua, penggunaan bahasa Melayu yang
digunakan di berbagai lapisan masyarakat; ketiga, terbentuknya Volksraad yang merupakan
perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat; keempat, munculnya media massa berupa surat
kabar dan radio. Kahin menegaskan bahwa kaum elit atau kelompok intelektual Indonesia yang
berada di daerah perkotaan berperan penting dalam membangkitkan kesadaran berbangsa di
Indonesia (Meteray : 2012).
Permasalahan Multicultur dalam masyarakat IndonesiaIndonesia memiliki dua ras besar yaitu Melayu dan Melanesia. Papua misalnya memiliki
ras Melanesia dan terdiri dari berbagai suku dan bahasa yang majemuk dan menempati wilayah
beragam maka pengalaman menjadi Indonesia pun berbeda dengan daerah lainnya di
Indonesia. Karateristik masyarakat yang memiliki ras Melanesia berbeda dengan Melayu (lihat
Meteray, 2012 dan Whiteman ed, 1975). Dewasa ini, seperti halnya daerah Jogja, Papua
menjadi Indonesia mini, sebab orang Papua juga sangat terbuka menerima berbagai semua
suku, budaya, dan agama dari daerah Indonesia lainnya. Namun, Papua masih merupakan
wilayah rawan konflik apalagi di abad globalisasi dan demokrasi. Berbagai pendekatan terus
diupayakan pemerintah untuk meminimalkan konflik di Papua. Kajian Syamsudin Haris dkk
(1999) tentang Indonesia di Ambang Perpecahan? menunjukkan Aceh dan Papua menjadi
potensi perpecahan Negara- bangsa Indonesia setelah Timor Timur lepas dari Indoensia.
Sementara di bagian wilayah Indonesia lainnya, membangun masyarakat yang
berbangsa yang adil dan bermartabat masih menjadi masalah. Rupanya belum ada kesadaran
tetang berbangsa di antara kita. Apabila seseorang jadi pemimpin di antara masyarakat yang
berbeda agama, suku dan kepentingan selalu ada rasa curiga. Kecurigaan selalu ada karena
47
selama ini yang memimpin lebih memprioritaskan kepentingan kelompok dan mengabaikan
kepentingan umum.
Dengan demikian, sangatlah relevan kajian Kaelan tentang Perbandingan Ideologi
Pancasila dengan paham ideolgi besar lainnya di dunia dengan situasi masyarakat Indonesia
yang multicultur dewasa ini. Menurut Kaelan, berdasarkan ciri khas proses dalam rangka
membentuk suatu Negara, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu Negara memiliki suatu
karateristik, ciri khas tertentu yang karena ditentukan oleh keanekaragaman, sifat dan
karateristiknya maka bangsa ini mendirikan suatu negara berdasarkan filsafat Pancasila, yaitu,
suatu Negara pemersatu, suatu Negara kebangsaan serta suatu Negara yang bersifat
Integralistik (2010).
Dalam kehidupan masyarakat multicultur, diakui bahwa ada dampak positif dan negative.
Dampak positif yaitu pertama Keanekaragaman memberikan ruang bagi masyarakat untuk
terbuka dalam menjalin hubungan sosial maupun berbudaya, kedua, memberikan ikatan dan
hubungan antar sesama dan ketiga, dapat saling berbagi bersahabat dan menghargai antar
setiap budaya, tanpa adanya batasan – batasan karena sebuah perbedaan. Dengan demikian,
harus diakui bahwa upaya para mahasiswa di berbagai tempat menyebabkan Kahin (1952) dan
Ricklefs (2008) menegaskan bahwa kaum elit dan intelektual Indonesia sangat penting dalam
menyebarluaskan kesadaran berbangsa Indonesia menentang penjajah Belanda demi mencapai
kemerdekaan dan mempertahankan RI. Menurut Kahin dan Leirissa(Kahin, 1952 dan Leirissa,
2006)., terbentuknya Nation State Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang didasarkan pada
wilayah bekas administrasi Hndia Belanda yang telah menyatukan masyarakat dari berbagai
bahasa dan budaya ke dalam satu kesatuan politik dan dengan demikian akan membangun
semacam kesadaran secara nasional.
Namun menurut, Bambang Purwanto(2008), kesadaran sebagai Indonesia tidak secara
otomatis melekat pada semua wilayah di bekas Hindia Belanda atau kelompok masyarakat yang
ada didalamnya ketika proklamasi Indonesia diproklamasikan di Jakarta, melainkan diperlukan
proses lanjutan agar kesadaran sebagai Indonesia benar-benar terbentuk. Gema kesadaran
nasional yang bertumbuh dan berkembang di pulau Jawa tidak dapat diterima begitu saja oleh
orang Indonesia lainnya di luar Jawa.
Dampak kehadiran Pemerintah Belanda di Indonesia telah memicu munculnya berbagai
konflik di tanah air hingga dewasa ini. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di
Maluku dan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Maluku misalnya, sekalipun
telah terjadi kontak antar orang Maluku dengan wilayah lain di Indonesia yang diperkirakan pada
abad 15, perjalanan orang Maluku baik di utara, tengah dan tenggara, menjadi bagian dari
Indonesia melalui proses yang panjang. Pemahaman sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
baru diawali dengan kehadiran pemuda-pemuda Ambon yang mengikuti pendidikan di Jawa
sejak 1890an. Berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia seperti di Jawa, Sumatra dan
48
Sulawesi, upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 di Maluku yang dilakukan
kelompok nasionalis lebih menggunakan jalan diplomasi dari pada konfrontasi phisik. Menurut
Leirissa dkk, penggunaan jalan diplomasi ini dilakukan karena masalah politik yang terjadi di
Maluku. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Maluku terjadi
pemberontakan Rakyat Maluku Selatan(RMS) yang menentang proklamasi Indonesia dan
dampaknya masih dirasakan hingga dewasa ini.
Dengan demikian, respon masyarakat di Maluku dan Papua terhadap gema proklamasi
17 Agustus 1945 sangat beragam. Upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 di
Maluku didominasi orang Maluku baik yang berada di Ambon maupun Jawa dan Makasar
sementara, di Papua upaya mempertahankan dan menyebarkan berita proklamasi 17 Agustus
1945 umumnya orang yang berasal dari Jawa, Sumatra, Makasar, Menado dan Maluku.
Perbedaan respon masyarakat Maluku dan Papua terhadap pembentukan Negara bangsa
Indonesia inilah yang mewarnai perjalanan ke dua wilayah ini menjadi bagian dari NKRI.
Dari uraian-uraian di atas tampaklah, begitu kompleksnya kehidupan berbangsa di
Indonesia seperti yang singgung Clifford Geertz, maka diperlukan berbagai upaya
menghindarkan Negara dari bahaya disintegrasi. Upaya untuk mempertahankan keutuhan
Negara ini ditegaskan Abdul Wahab dan Prof.Sapriya(2011), bahwa bagi sebuah negara
bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan, maka konsep
kewarganegaraan(citizenship) menempati kedudukan yang strategis sehingga menjadi konsep
sentral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, perlu ada upaya
menyadarkan sesama warga bangsa di Indonesia untuk mengimplementasikan Pancasila,
UUD 1945, dan NKRI demi membangun persatuan dan kesatuan NKRI.Oleh karena itu perlu
dilakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan kesadaran bernegara dan berbangsa.
Penutup:
1. Pemerintah di setiap negara di dunia mempunyai cita-cita tentang warganya kedepan.
Maka program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia
mengemban tugas pokok dengan cara perlu di susun Isi, Cara-cara dan Pendekatan
yang tepat tanpa mengabaikan karateristik masyarakatnya untuk mendidik warga
negara.
2. Setiap warga negara Indonesia perlu menyadari bahwa konsep “negara-bangsa” yang
dipromosikan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta sebagai bangsa yang
besar bukanlah semata-mata didasarkan atas kesamaan etnis, budaya, agama dan
memiliki pengalaman serta keinginan yang sama melainkan negara-bangsa ini
dibangun atas proyek politik atau diciptakan dan ditemukan. Maka perlu ada kemauan
bersama menjaga dan memelihara persatuan
3. Perlu penguatan bagi warga muda di berbagai jenjang pendidikan karena mereka
merupakan sasaran penyadaran kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks
49
masyarakat multicultur. Warga muda ini dapat menjadi model dalam membangun
perdamaian dan persaudaraan.
4. Transformasi menjadi negara-bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia mengalami proses yang panjang dengan berbagai peristiwa baik pengaruh
internal maupun ekstenal. Hal ini hendaknya dipahami semua warga negara sebagai
bagian dari konsekuensi membangun masyarakat Indonesia yang multikultur
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang mengacu pada proklamasi 17 Agustus
1945.
Daftar PustakaBambang Purwanto. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?!,Yogjakarta:
Ombak.
Djopari, John. R.G.(1993). Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Jakarta PT.
Gramedia.
Elson, R.E. (2009). The Idea of Indonesia Sejarah Pemikiran dan Gagasan.Serambi:
Jakarta.
Kymlicka Will, (2011) Kewarganegaraan Multikultural, LP3Es,Jakarta
Kahin George, Mc.TNationalism dan Revolution in Indonesia.New York, 1952
Lanur Aleks, ed. (1995). Pancasila Sebagai Ideologi terbuka, Problema dan
Tantangannya, Kanisius Yokyakarta.
Leirissa, RZ, (etal) Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya, Depdikbud–Diksjara Proyek
Inventaris dan Dokemun Sejarah Nasional, Jakarta 1992
Meteray, Bernarda, (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua, Kompas, Jakarta.
Oomen, T, (2009) Kewarganegaraan, kebangsaan, & Etnisitas, mendamaiakan
Persaingan Identititas., Kreasi Wacana,Bantul
Safroedin, Tandililing AB Bahar,( 1996). Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suryadinata Leo, ed,( 2004). Ethnis Relations and Nation Building in Southeastasia, Nias
Press, Singapore.
DIGITALISASI WARGA NEGARA DAN PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MEWUJUDKAN GENERASI EMAS 2045
Beti Indah Sari50
Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Magister Pendidikan KewarganegaraanUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung
ABSTRAKKebebasan dan kemudahan dalam berkomunikasi maupun mengakses informasi yang tak terbatas merupakan hal yang lazim kita jumpai pada era digital seperti saat ini. Hal tersebut memberikan dampak baik positif maupun negatif kepada para pengguna internet, terutama media sosial. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan ialah munculnya perilaku negatif para netizen (istilah untuk pengguna media sosial) seperti penyebaran isu sara yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta maraknya cyber bullying dikalangan netizen. Perilaku negatif netizen tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan serta kesadaran netizen sebagai warga digital dalam memahami kewargaan digital yaitu yang berkaitan dengan perilaku yang tepat dan bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi. Dalam hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam mempersiapkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran akan kewargaan digital kepada para netizen agar para netizen dapat dengan bijak dalam memanfaatkan serta menggunakan media sosial.Kata Kunci: digitalisasi warga negara, internet, netizen, Pendidikan Kewarganegaraan
PENDAHULUANPerkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat saat ini
membawa perubahan serta dampak yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan. Salah
satunya ialah perubahan dalam komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Bill Gates (dalam Uma dan Amal, 2014) yang mengatakan bahwa pada era
sekarang ini sedang melintasi suatu batas teknologi yang akan merubah cara belajar, bekerja,
bergaul dan berbelanja seseorang. Batas teknologi tersebut nampak pada semakin mudahnya
berinteraksi dengan orang lain tanpa adanya batasan jarak, tempat maupun waktu. Keadaan ini
sesuai dengan istilah “global village” yang disebutkan oleh McLuhan (1994) dimana pada era
tersebut dunia digambarkan menjadi semakin sempit dan tidak ada lagi batas waktu maupun
tempat karena mudahnya perpindahan informasi dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam
waktu yang singkat dengan menggunakan teknologi internet.
Perubahan tersebut nampak pada tingkat ketergantungan masyarakat pada
penggunaan internet dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan
oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, dapat diketahui
bahwa sebanyak 132,7 juta dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta orang telah
menggunakan internet. Dari 132,7 juta orang pengguna internet, sebanyak 42,8% pengguna
internet di Indonesia ialah berada pada rentang usia 10-34 tahun. APJII juga menyebutkan
bahwa sebesar 97,4% pengguna internet Indonesia mengakses media sosial. Dari hasil riset
APJII tersebut dapat diketahui bahwa pengguna internet di Indonesia merupakan para remaja
yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mengupdate informasi, berkomunikasi,
maupun untuk mengekspresikan sebuah ide. Oleh karena itu, remaja sebagai bagian dari warga
negara digital harus mampu untuk menjadi warga digital yang cerdas dan mampu memilah
informasi yang diterima maupun yang akan diberikan pada orang lain melalui media sosial. Hal
51
ini sejalan dengan isu yang dikemukakan oleh Rene Hobbs berkaitan dengan literasi media
terutama bagi para remaja (dalam Prasetiyo, 2016) melalui pertanyaannya yaitu, “Should media literacy education aim to protect children and young people from negatif media influences?”
Transformasi Kewargaan Digital di Era Digitalisasi: Literasi Media sebagai Upaya Membangun Kecerdasan Digital
Ketergantungan pada gadget maupun internet pada masyarakat, mulai dari orang tua
hingga anak-anak merupakan suatu hal yang sering kita jumpai di era teknologi informasi seperti
saat ini. Mark Prensky (dalam Prasetiyo, 2016) menyebutnya dengan istilah Digital Natives yaitu
dimana terjadi perbedaan gejala yang dirasakan oleh anak-anak yang sudah mengenal teknologi
informasi dan komunikasi sejak mereka dini dengan orang dewasa yang baru mengenal
teknologi baru. Anak-anak ini memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan segala sesuatu
melalui media sosial yang mereka miliki sebagai bentuk produktivitas mereka. Jangkauan akses
internet yang luas memudahkan mereka untuk berkomunikasi serta mendapat informasi secara
random yang belum tentu berasal dari sumber yang valid.
Pemanfaatan media sosial sebagai sarana berinteraksi serta berkomunikasi dan
berbagi informasi dengan orang lain merupakan salah satu bentuk pergeseran dalam
pembentukan modal social pada masyarakat di era transformasi kewargaan digital. Modal sosial
merupakan salah satu alat perekat yang dapat menyatukan masyarakat (Tesoriero dalam
Sudarti, 2017). Oleh karena itu, kokohnya modal sosial akan berdampak pada kokohnya daya
saing atau keunggulan suatu masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat terbentuk dari budaya
masyarakat Indonesia yang saling berinteraksi dengan cara saling menyapa satu sama lain
sebagai salah satu kebutuhan utama manusia sebagai makhluk sosial.
Pergeseran terhadap pembentukan modal sosial menjadikan masyarakat sebagai
warga digital harus pandai serta bertanggungjawab dalam membuat pilihan yang tepat dan
memanfaatkan teknologi, baik dalam mengoperasikan teknologi dalam berkomunikasi,
menerima maupun membagikan informasi kepada orang lain melalui media sosial yang dimiliki.
Dengan demikian, literasi media sangat penting karena bertujuan untuk dapat memanfaatkan
media dan menerima informasi dengan lebih bijak, artinya informasi yang diperoleh sesuai
dengan sumber yang terpecaya. Dengan demikian, pengguna internet dapat terhindar dari
berita-berita tidak benar (hoax), termasuk juga penyebaran isu sara yang akhir-akhir kerap
terjadi yang dapat mengancam dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Para warga digital harus memahami hak-hak digital dalam menggunakan dan
memanfaatkan teknologi informasi. Pemahaman hak digital (Sudarti, 2017) itu sendiri berkaitan
dengan kemampuan untuk memahami dan menjunjung tinggi hak-hak pribadi dan hukum,
termasuk hak privasi, kekayaan intelektual, kebebasan dalam berbicara hingga memberikan
52
komentar pada status netizen (istilah untuk pengguna media sosial) lain. Dengan demikian,
pengembangan kecakapan warga digital sebagai upaya membangun literasi media dan
pemahaman hak digital yang dimiliki oleh warga digital sebagai dasar dalam memanfaatkan dan
menggunakan teknologi informasi internet secara tepat, merupakan salah satu unsur pembentuk
modal sosial pada masyarakat menjadi lebih kokoh sehingga daya saing serta keunggulan
masyarakat Indonesia pun lebih meningkat.
Hal tersebut menuntut peran serta semua pihak dalam mengedukasi dan
mempersiapkan warga digital dalam membangun literasi media agar seluruh warga digital
mampu untuk memahami hak digital. Oleh karena itu, bagi generasi muda yang sebagian besar
hidupnya tergantung pada gadget diperlukan persiapan melalui pembangunan literasi media
agar mampu untuk menjadi warga digital yang baik. Literasi media dapat dikaitkan dengan
proses dalam mengakses hingga menganalisis pesan-pesan yang terdapat dalam media secara
kritis, serta mampu untuk menciptakan pesan dengan menggunakan dan memanfaatkan media
tersebut (Hobbs, 1996). Literasi media itu sendiri bertujuan untuk: (1) Membantu orang
mengembangkan pemahaman yang lebih baik; (2) Membantu mereka untuk dapat
mengendalikan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari dan; (3) Pengendalian dimulai
dengan kemampuan untuk mengetahui perbedaan antara pesan media yang dapat
meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan pesan media yang “merusak.” (Rahmi dalam
Prasetiyo, 2016). Hal ini menunjukkan pentingnya membangun literasi media sejak dini yaitu
melalui pembelajaran yang diberikan di sekolah.
Pembangunan melek media melalui pembelajaran di sekolah telah disebutkan dalam
Partnership for 21st Century Skill yang bertujuan untuk membangun serta mengembangkan
kecakapan pelajar sebagai bagian dari warga global di abad ke-21. Salah satu isu yang dibahas
dalam Partnership for 21st Century Skill berkaitan dengan tantangan warga negara yang semakin
kompleks di dunia yang semakin berkembang. Untuk menghadapi tantangan tersebut, banyak
tuntutan yang ditujukan kepada sekolah sebagai sarana dalam mempersiapkan siswa sebagai
warga negara global. Oleh karena itu, pengembangan kecakapan warga negara global melalui
pembelajaran di sekolah dapat dilakukan dengan cara merevitalisasi pendidikan
kewarganegaraan.
Aspek-aspek kecakapan yang dikembangkan menurut Partnership for 21st Century Skill
ialah meliputi civic literacy, global citizenship, dan digital citizenship. Pertama, civic literacy
difokuskan pada pengembangan pengetahuan warga negara tentang perannya sebagai warga
negara. Kedua, global citizenship yang pengembangannya mencakup pada penyiapan
kompetensi warga negara untuk menghadapi serta berkontribusi dalam dunia global, yang
meliputi pemahaman terhadap bangsa dan budaya asing, kemampuan untuk berbahasa asing,
mampu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan antarbudaya yang berbeda, serta mampu
untuk memahami suatu persoalan dengan menerapkan keahlian disipliner dan interdisipliner
53
(Mansilla & Jackson dalam Partnership for 21st Century Skil). Aspek terakhir, yaitu digital
citizenship yang pengembangannya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam
menggunakan teknologi, yang meliputi pemahaman tentang keamanan penggunaan internet,
mampu untuk mengoperasikan teknologi baik sebagai sarana berkomunikasi maupun sarana
untuk mengekspresikan ide yang mereka miliki, serta mampu untuk berperilaku dengan tepat
dan bertanggung jawab dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi.
Peran Pendidikan Kewarganegaraan di Era Transformasi Digital CitizenshipTransformasi digital citizenship (kewargaan digital) erat kaitannya dengan kecerdasan
digital yang dimiliki oleh warga digital, yaitu berkaitan dengan kemampuan dan pemahaman
literasi media para warga digital dalam menggunakan serta memanfaatkan teknologi. Warga
digital yang cerdas mampu untuk memahami hak-hak digital baik hak pribadi maupun hukum.
Untuk menjadi seorang warga digital yang cerdas, diperlukan peran serta semua pihak dalam
mengedukasi warga digital melalui pembangunan literasi media kepada para generasi muda.
Pembangunan literasi media tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran yang dilakukan
disekolah.
Pembelajaran sebagai upaya pembangunan literasi media kepada para generasi muda
telah disebutkan dalam Framework for 21st Century Learning, dimana pembelajaran didalamnya
lebih menekankan pada pembelajaran dan keterampilan yang inovatif, pembelajaran hidup dan
pembelajaran berkarir, serta pemanfaatan media informasi dengan memanfaatkan keterampilan
dalam menggunakan dan menguasai teknologi. Dalam hal ini, keterampilan yang diajarkan
dalam inovasi pembelajaran tersebut mencakup tentang kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi serta berkreasi dan berinovasi
(4Cs) yang dikembangkan ke dalam core subject yang berisi penguatan tentang civic literacy,
global awareness, financial literacy, health literacy, dan environmental literacy.
Aspek literasi media merupakan aspek pengembangan yang paling penting sebagai
upaya agar para pengguna internet mampu untuk menyaring informasi yang diperoleh dari
media sosial. Berdasar pada hal tersebut, pengembangan literasi media menjadi tanggung
jawab semua pihak dalam mengedukasi literasi media pada para pengguna internet.
Upaya pengedukasian pengembangan literasi media dapat dilakukan dengan cara
mengintegrasikannya melalui pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk dilakukan sebagai
upaya untuk mempersiapkan para generasi millennial yang sangat bergantung pada
penggunaan internet dalam kehidupan sehari-sehari mereka. Persiapan tersebut dilakukan
dengan cara membina literasi media kepada para generasi millennial. Hal itu bertujuan agar
para generasi millennial tersebut dapat menjadi warga digital yang cerdas dan mampu untuk
memahami hal-hal apa saja yang boleh maupun tidak boleh untuk dilakukan dalam
menggunakan serta memanfaatkan media sosial sebagai bentuk dari eksistensi diri mereka.
54
Pengembangan literasi media melalui pendidikan dilakukan dengan cara
mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya menyeluruh yang melibatkan
semua warga sekolah (guru, siswa, orang tua/wali murid) dan masyarakat sebagai bagian dari
ekosistem pendidikan (dalam panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA, 2016). Program GLS
ini hanya ditujukan pada tingkatan SMA, sedangkan pada tingkat SD dan SMP pengembangan
literasi hanya berfokus pada sumber bacaan saja yang berupa media cetak. Sebagai bagian dari
generasi millennial, siswa mulai dari tingkat satuan pendidikan SD/MI sampai dengan SMA/MA
juga merupakan bagian dari komunitas technology natives (pengguna asli teknologi) yang sejak
awal sudah terbiasa berinteraksi dalam era teknologi, sementara itu para guru sebagian besar
masih termasuk dalam kategori pendatang baru (migran) dalam dunia Teknologi Informasi,
sehingga terkadang kalah cakap dari siswanya dalam menggunakan media internet (Prasetiyo,
2016).
Dalam panduan GLS di SMA, pengembangan literasi media dikembangkan ke dalam
lima komponen literasi, yaitu literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi,
dan literasi visual (2016, Hlm. 5-6). Pertama, pengembangan literasi dasar berkaitan dengan
pengembangan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan
menghitung. Kedua, pengembangan literasi perpustakaan itu berkaitan dengan pengembangan
kemampuan untuk memahami cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi. Ketiga,
pengembangan literasi media, yaitu berkaitan dengan pengembangan kemampuan untuk
mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda serta memahami tujuan penggunaannya.
Keempat, pengembangan literasi teknologi yaitu berkaitan dengan pengembangan kemampuan
untuk memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware),
peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan dan memahami teknologi.
Dan komponen terakhir yaitu literasi visual yang berkaitan dengan pemahaman tingkat lanjut
antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan
belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat
(dalam Panduan GLS di SMA, 2016, Hlm. 5-6).
Pengembangan GLS yang digagas oleh pemerintah ini menunjukkan adanya kesadaran
pemerintah tentang pentingnya kemampuan berliterasi yang harus dimiliki oleh setiap warga
negara terutama para generasi muda yaitu para siswa. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing, berkarakter serta nasionalis.
Oleh karena itu, pengembangan literasi media tersebut dapat diterapkan ke dalam semua materi
pelajaran, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan. Hal tersebut terdapat dalam hasil revisi
Kurikulum 2013 yang dilakukan pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam hasil revisi kurikulum tersebut nampak bahwa
pembelajaran dikelas dilakukan secara terpadu. Dengan proses pembelajaran yang dilakukan
secara terpadu, maka sumber belajar yang digunakan tidak hanya terpusat pada buku
55
pembelajaran saja, melainkan lebih menuntut siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan mereka
berkaitan dengan materi yang diajarkan. Hal tersebut mengharuskan siswa lebih aktif dalam
mencari sumber-sumber belajar melalui berbagai media, baik melalui buku, media cetak, video
maupun media internet.
Kemampuan dalam memanfaatkan internet serta mengelola proses pembelajaran bagi
para pengajar juga berlaku pada pengajar PKn. Para pengajar PKn harus mampu
memanfaatkan internet dalam mengembangkan pembelajaran PKn sesuai dengan konteks
dinamika kehidupan pada saat ini. Selain itu, tantangan pengembangan literasi media ke dalam
mata pelajaran PKn tidak hanya berlaku pada para pengajar/guru, tetapi juga berlaku bagi para
siswa dalam mengakses informasi yang berasal dari media internet. Pengembangan literasi
media melalui pembelajaran PKn dilakukan melalui pemberian tugas dengan memanfaatkan
internet dalam mencari dan mengumpulkan berbagai informasi berkaitan dengan suatu materi
tertentu dan mempresentasikan apa yang telah mereka dapatkan kepada siswa lain dan juga
guru. Dengan demikian, melalui proses ini siswa berupaya untuk mengumpulkan informasi,
mengasosiasikan serta mengkomunikasikan hasil informasi yang telah diperoleh kepada guru
dan para siswa lain melalui presentasi.
Proses berfikir secara ilmiah yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran PKn juga
berfungsi sebagai upaya agar netizen dapat terhindar dari dampak negatif penggunaan internet
seperti maraknya berita hoax di media sosial, penyebaran isu-isu sara yang dapat memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, cyber bullying, serta cyber crime. Untuk
menghalau penyebaran isu-isu yang mungkin muncul karena disebabkan oleh kurangnya
pegetahuan siswa dalam berinternet sehingga menyebabkan munculnya cyber crimes, maka
diterbitkanlah undang-undang yang mengatur tentang tata cara dalam menggunakan serta
memanfaatkan internet, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang-Undang ITE tersebut bertujuan sebagai pengontrol warga digital dalam
menggunakan serta memanfaatkan internet dalam media sosial. Beberapa materi perbuatan
yang dilarang (cyber crimes) yang diatur dalam UU ITE yang terdapat dalam beberapa pasal,
antara lain:
1. Pasal 27, 28, 29 dan 30 berkaitan tentang perbuatan kesusilaan, perjudian,
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta pemerasan dan/atau
pengancaman, penyebaran berita bohong serta mengakses infornasi secara illegal;
2. Pasal 31 berkaitan dengan tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap suatu
informasi tertentu;
3. Pasal 32 berkaitan dengan tidakan illegal berupa gangguan terhadap suatu data
tertentu (data interference);
56
4. Pasal 33 berkaitan dengan tindakan illegal berupa gangguan terhadap suatu sistem
(system interference); serta
5. Pasal 34 berkaitan dengan penyalahgunaan alat dan perangkat.
Konten-konten yang terdapat pada pasal-pasal dalam UU ITE tersebut, terutama yang
berkaitan dengan perbuatan yang dilarang dapat dijadikan sebagai bahan dalam proses
pembelajaran PKn dikelas. Sehingga siswa dapat mengetahui serta memahami tindakan-
tindakan apa saja yang dilarang dalam menggunakan internet.
KESIMPULANKebebasan serta kemudahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi yang tak terbatas
seperti pada era digital saat ini memberikan dampak positif maupun negatif pada para pengguna
internet. Salah satu dampak negatif yang muncul dalam penggunaan internet ialah munculnya
perilaku cyber crime seperti munculnya beragam isu-isu sosial, yang dapat menimbulkan rasa
kecemasan sosial serta yang menganduing unsur sara sehingga dapat mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia. Persiapan kecakapan literasi media pada para siswa melalui
pembelajaran PKn disekolah dapat dilakukan dengan menggunakan konsep yang terdapat
dalam Framework for 21st Century Learning yang memuat konsep digital citizenship berupa
upaya pengembangan kemampuan literasi media sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing, berkarakter serta nasionalis.
Pengembangan literasi media kepada para siswa juga telah digagas oleh pemerintah melalui
Gerakan Literasi Media. Selain itu, pengembangan literasi media juga telah nampak dalam
kurikulum nasional yang diterapkan melalui proses pembelajaran secara terpadu.
DAFTAR PUSTAKABuku
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA/SMK, Dirjen Dikdas
Kemdikbud, Jakarta.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Silabus Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK), Kemendikbud, Jakarta.
57
McLuhan, M. 1994. Understanding Media, MIT Press, Massachusetts.
Artikel dalam Jurnal atau MajalahHobbs, R. 1996. Media Literacy, Media Activism, Telemedium. the Journal of Media Literacy,
42 (3).Penulis 1, Uma, D. M. C., Penulis 2, Amal, N. N. 2014. Media Sosial dan Perkembangan
Fashion Hijab:Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Motif, Pola dan Pengaruh Penggunaan Media
Sosial dalam Perkembangan Fashion Hijab pada Komunitas Solo Hijabers, Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sudarti. 2017. Kecerdasan Digital dan Social Capital.
(http://jateng.tribunnews.com/2017/07/07/kecerdasan-digital-dan-social-capital) diakses pada
17 Juli 2017
Dokumen ResmiAsosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). 2016. Statistik Pengguna & Perilaku
Pengguna Internet Indonesia. Diakses dari [email protected] pada 17 Juli 2017.
Prasetiyo, W. H. 2016. Darurat Literasi Media dalam Digital Citizenship: Satu Gagasan Menuju
Warga Negara Melek Informasi. (https://www.researchgate.net/publication/309720267_Darurat
_Literasi_Media_dalam_Digital_Citizenship_Satu_Gagasan_Menuju_Warga_Negara_Melek_In
formasi) diakses pada 17 Juli 2017.
Partnership for 21st Century Skills (P21). Reimagining Citizenship for the 21st Century: a Call to
Action for Policymakers and Educators. Dokumen dapat didownload dari
http://www.p21.org/storage/documents/Reimagining_Citizenship_for_21st_Century_webversion
.pdf diakses pada pada 17 Juli 2017.
Perundang-UndanganRepublik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008.
Sekretariat Negara. Jakarta.
PENANAMAN JIWA PROFETIK-PATRIOTIK DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PRASYARAT KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF
Dikdik Baehaqi Arif, Syifa Siti Aulia, Susena Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAKTulisan ini mengkaji upaya penanaman jiwa profetik-patriotik warga negara untuk mendorong tumbuhnya kewarganegaraan transformatif. Warga negara yang memiliki jiwa profetik-patriotik ditandai oleh tiga karakter utama, humanisasi, berjiwa liberasi, dan transendensi. Mereka yang berjiwa profetik-patriotik akan mampu mentransformasikan visi dan misi kenabian ke dalam realitas sosial dengan semangat Ilahiah.
58
Mereka berani membiasakan yang benar, tidak lekas putus asa, dan mampu merajut kebersamaan di antara warga negara yang beragam. Penanaman jiwa profetik-patriotik ini dapat dilakukan melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, baik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, maupun pada tingkat pendidikan tinggi. Untuk membangun jiwa profetik-patriotik, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak cukup sekadar membelajarkan warga negara tentang wawasan kewarganegaraan, kebangsaan, dan kenegaraan, melainkan perlu menanamkan nilai-nilai kebaikan utama warga negara melalui pembiasaan dan keteladanan. Nilai-nilai profetik perlu ditanamkan dan dibiasakan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan agar warga negara memiliki rujukan keteladanan hakiki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai prasyarat kewarganegaraan transformatif.
Kata kunci: profetik-patriotik, kewarganegaraan transformatif, keteladanan, pendidikan kewarganegaraan.
PENDAHULUANDalam penggalan lagu Garuda Pancasila terselip kata “…patriot Proklamasi, sedia
berkorban untukmu”. Seorang patriot, mereka yang berjiwa pahlawan akan sedia berkorban atas
apa yang diperjuangkannya. Demikianlah warga negara Indonesia yang dicita-citakan. Mereka
adalah warga negara patriotik, yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, serta
bersedia berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
Warga negara yang memiliki jiwa patriotik tidaklah lahir dengan sendirinya, ia
memerlukan proses-proses pendidikan teoretis maupun praktis empiris yang tepat. Untuk itu,
perintah Konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah
mengusahakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang. Uniknya menurut Husaini (2017) “kurikulum sekolah tidak menjadikan iman, takwa, dan
akhlak mulia sebagai intinya….perintah konstitusi adalah tingkatkan akhlak. Tetapi yang
dikembangkan justru pendidikan karakter….”. padahal pendidikan sejatinya adalah alat utama
untuk memperkuat keimanan, ketakwaan, dan budi (akhlak) warga dalam merawat bangsa. Bagi
Husaini semestinya, proses penanaman iman, takwa, dan akhlak adalah program utama,
kurikulum inti atau kurikulernya”.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai nomenklatur untuk mata
pelajaran di sekolah, mata kuliah di perguruan tinggi, maupun aktivitas sosial budaya di
masyarakat memiliki peran dan orientasi yang relevan dalam upaya menumbuhkan rasa
kebangsaan dan cinta tanah air warga negara. Artinya, PPKn adalah pendidikan kebangsaan
yang membina wawasan kebangsaan warga negara. Pendidikan kebangsaan tidak semata-mata
hanya pada aspek intelektual yang melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tetapi yang utama adalah aspek moral
spiritual yang membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Di sanalah, urgensi peneguhan moral sprititual warga bangsa dikuatkan melalui
PPKn profetik, yang mengintegrasikan nilai-nilai agama (Islam) dalam kajian PPKn.
59
Pada tataran praksis empiris, integrasi nilai-nilai yang bersumber pada wahyu (nilai
agama) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi belumlah menggembirakan. Kaum intelektual
seringkali terjebak pada parameter ilmiah dan non ilmiah yang seringkali merujuk [hanya] pada
teori-teori yang banyak berasal dari dunia Barat. Demikian pula pada pembelajaran PPKn, baik
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, maupun pada tingkat pendidikan tinggi, integrasi
nilai-nilai agama (lebih khusus nilai-nilai Islam) dengan materi kajian PPKn belumlah banyak
dilakukan. Sekalipun demikian, di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah, ikhtiar untuk
mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kajian PPKn telah dirintis oleh Lembaga
Pengembangan Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta yang menerbitkan buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang
di dalamnya juga menambahkan nilai-nilai Muhammadiyah dan ke-Islaman, sehingga para
pembaca dan mahasiswa dapat menginternalisasi nilai-nilai kewarganegaraan dengan tetap
berlandaskan pada nilai-nilai Islam (UMY, 2015). Buku yang telah mengalami dua kali revisi
tersebut, digunakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah
Malang, dan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Universitas Muhammadiyah Purwokerto,
juga telah menerbitkan buku PKn yang bermuatan nilai-nilai Islam, yaitu Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Taniredja, 2010). Buku itu memuat nilai-
nilai Islam, antara lain: PKn dan masyarakat madani; Pemerintahan yang bersih dan demokratis;
Transformasi nilai-nilai demokrasi; Transformasi nilai-nilai Islam dalam keluarga; Transformasi
nilai-nilai Islam dalam masyarakat; Islam, musyawarah, dan demokrasi; HAM perspektif Islam;
Sistem ekonomi Islam; dan Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam.
Beberapa buku ajar di atas, dimaksudkan agar mahasiswa dapat menginternalisasikan
nilai-nilai kewarganegaraan yang berorientasi pada pembentukan warga negara yang patriotik
dengan tetap berlandaskan dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Buku terbaru adalah yang ditulis
oleh Khilmiyah (2016) yang menulis buku ajar Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Indonesia
Berkemajuan. Pembahasan buku ini disajikan secara utuh komprehensif mencakup empat
konsensus tersebut dan ditambah tiga bab yang terkait hubungan Muhammadiyah dengan
Negara Pancasila, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, dan Indonesia Berkemajuan.
Apa yang telah dilakukan beberapa kampus Muhammadiyah tersebut, merupakan bagian
dari perjalanan sejarah intelektual Islam di Indonesia yang menurut Kuntowijoyo (2008, hal. 520)
telah bergeser dari tradisi ideologi ke tradisi keilmuan sejak dasawarsa 1980-an lalu. Integrasi
ilmu pengetahuan (khususnya sains sosial) – PPKn merupakan kelanjutan dari tradisi
pendidikan ilmu-ilmu sosial (social studies) – dengan nilai-nilai Islam telah diusahakan oleh
kalangan intelektual di Indonesia. Melalui kajian dan refleksinya, Kuntowijoyo (2008)
menyimpulkan bahwa sejak dasawarsa 1980 telah muncul tradisi keilmuan dalam pemikiran
Islam. Ilmu-ilmu sosial (Islam) menjadi ilmu transformatif, yang mempunyai kemampuan untuk
60
merekonstruksi masyarakat. Ilmu-lmu sosial juga ilmu profetik, artinya ilmu yang melaksanakan
tugas-tugas kenabian (Kuntowijoyo, 2008).
METODE PENELITIANGagasan tentang penanaman jiwa profetik-patriotik dalam pendidikan kewarganegaraan
ini menggunakan studi pustaka sebagai salah satu tradisi dalam penelitian kualitatif. Penulis
melakukan studi atas pustaka-pustaka yang relevan. Selanjutnya, data diolah dan melalui
tahapan penyusunan data, pengkategorian data, dan pencarian keterhubungan substansi dari
berbagai data yang diperoleh dengan maksud untuk mendapatkan maknanya. Data yang
diperoleh dan dikumpulkan melalui hasil kajian pustaka disusun dan dianalisis untuk menjawab
rumusan masalah yang dikaji.
HASIL DAN PEMBAHASANA. Jiwa profetik-patriotik warga negara
Tulisan Latif (2015, hal. 207) tentang usaha menjalankan revolusi Pancasila di tengah
kesemarakan gairah materialisme, hedonisme, dan banalisme sampai pada kesimpulan
perlunya kebesaran jiwa yang teguh pendirian dan berani menyimpang dari mainstream. Latif
(2015) menyebut perlunya Jiwa profetis-patriotis, yang berani membiasakan yang benar, bukan
membenarkan yang biasa; jiwa profetis-patriotis yang tidak lekas putus asa dalam menahan
cobaan dan gempuran; jiwa profetis-patriotis yang sanggup menyatukan satuan-satuan lidi
pecutan ke dalam sapu kebersamaan gempuran yang dapat melenyapkan krisis dan penyakit
sosial. Istilah profetik yang digunakan dalam artikel ini tidak dapat dilepaskan dari gagasan yang
dikemukakan oleh Kuntowijoyo tentang ilmu-ilmu sosial profetik. Ilmu-ilmu sosial profetik
menurut Kuntowijoyo (2008, hal. 482) lahir untuk menjawab pertanyaan tentang transformasi
fenomena sosial yang tidak terpecahkan dalam Ilmu Sosial Transformati (sebagai terjemahan
dari gagasan Teologi Transformatif) yang pernah diajukan oleh Moeslim Abdurrahman. Bagi
Kuntowijoyo (2008, hal. 482) ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk
apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan propetik tertentu. Dalam pengertian ini, lanjutnya, maka
ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakat. Sedangkan kata patriotik berarti “bersifat cinta pada tanah air”.
Secara normatif-konseptual, cita-cita profetik diderivasi dari misi historis Islam
sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran ayat 110 yang artinya “Engkau adalah ummat
terbaik yang diturunkan di tengah-tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah
kemunkaran (kejahatan), dan beriman kepada Allah”. Merujuk pada ayat tersebut, ada tiga
muatan nilai yang memberikan karakteristik cita-cita profetik, yaitu amar ma’ruf (nilai humanisasi)
61
yang mengandung perngertian memanusiakan manusia; nahyi munkar (liberasi) mengandung
pengertian pembebasan, yaitu pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan
teknologi, dan pemerasan kelimpahan; dan tu’minuna billah (transendensi) yang diarahkan untuk
rekayasa masyarakat menju cita-cita sosio-etiknya pada masa depan dengan menambahkan
dimensi transendental dalam kebudayaan (Kuntowijoyo, 2008, hal. 483).
Secara peristilahan warga negara profetik-patriotik ini ditandai dengan tiga karakter
utama, humanisasi, berjiwa liberasi, dan transendensi (Kuntowijoyo 1991:288). Nilai amar ma’ruf
(nilai humanisasi) dalam konsep Kuntowijoyo mengedepankan pada pola memanusiakan
manusia dengan melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dari kedudukan manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya. Nilai humanisasi ini mengarahkan dan membentuk warga negara agar mampu
memiliki sikap mencintai tanah air dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaannya yang
hakiki. Sikap cinta tanah air sebagai wujud rasa kebangsaan/nasionalisme warga negara berkait
berkelindan dengan asas keyakinan/ketuhanan. Huntington (Latif, 2011, hal. 113) menyebut
bahwa geografi peradaban yang mampu bertahan adalah geografi peradaban yang berbasis
keyakinan/ ketuhanan. Ini artinya bahwa rasa nasionalisme warga negara harus dimaknai
sebagai nasionalisme yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan. Tepatlah kiranya, para pendiri
bangsa menjadikan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, sebab ia
menjadi pangkal utama bagi sila-sila yang lainnya secara hierarkis dan pyramidal.
Nilai nahyi munkar (liberasi) sebagai nilai kedua warga negara yang berjiwa profetik-
patriotik mengedepankan pada proses-proses dimana warga negara mampu
mentransformasikan agama menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan yang objektif,
bukan dianggap sebagai sesuatu yang konservatif. Melalui nilai liberasi ini, warga negara yang
berjiwa propetik-patriotik akan berusaha melepaskan pemikiran bahwa agama hanyalah sebuah
formalitas semata, melainkan justru agama bisa menjawab permasalahan bangsa dan negara.
Dalam hal ini, jiwa-jiwa patriotik warga negara yang semakin tergerus perkembangan zaman
dapat dijawab melalui pertanyaan apakah agama sudah dijadikan ilmu untuk menjawab
permasalahan tersebut? atau apakah agama sebagai sesuatu yang terpisahkan untuk
menjawab sikap patriotisme warga negara yang mulai menghilang? Dalam rentang historis
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai agama pada dasarnya menjadi
dasar dalam upaya memperjuangkan berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Bahkan secara
konstitusional, pengakuan akan pertolongan Tuhan dalam perjuangan merebut kemerdekaan
bangsa dan negara Indonesia secara tegas dinyatakan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD
1945.
Nilai tu’minuna billah (transendensi) yang diarahkan untuk rekayasa masyarakat menju
cita-cita sosio-etiknya pada masa depan sesungguhnya adalah upaya untuk mewujudkan warga
negara yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa
negara dan warga negara ini terbentuk atas rahmat dari Tuhan YME, sehingga karena fitrahnya
62
itu, warga negara sebagai manusia hendaknya bisa menjaga keutuhan negara dalam rangka
perwujudan kodratnya sebagai makhluk Tuhan YME yang memiliki peran sebagai khalifah di
muka bumi.
B. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pembentukan Jiwa Profetik-PatriotikPendidikan kewarganegaraan memiliki andil besar dalam menguatkan pendidikan di
Indonesia, terutama dalam mengembangkan potensi peserta didik sebagai menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam konteks pembelajaran PPKn, Rumusan tujuan pendidikan nasional ini menjadi
sasaran bagi tebentuknya warga negara yang memiliki jiwa profetik-patriotik. Jiwa profetik
tergambar pada rumusan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sedangkan patriotik tergambar pada rumusan menjadi warga negara yang
demokratis. Untuk membangun warga negara yang berjiwa profetik-patriotik tidaklah cukup
sekadar membelajarkan warga negara tentang wawasan kewarganegaraan, kebangsaan,
kenegaraan, dan jiwa patriotisme, melainkan perlu menanamkan nilai-nilai kebaikan utama
warga negara melalui pembiasaan dan keteladanan. Pengembangan jiwa profetik-patriotik dapat
dilakukan dengan pengembangan kompetensi kewarganegaraan. Kompetensi itu meliputi
pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skill)
yang meliputi keterampilan intelektual dan keterampilan partisipatoris warga negara, serta watak
kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat
yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional (Branson &
Quigley, 1998).
Selain ketiga kompetensi kewarganegaraan tersebut, hal penting yang perlu dibangun
adalah kecerdasan kewargaan (civic intellegence quotient). Istilah kecerdasan kewarganegaraan
ini digunakan untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia yang
akar utamanya adalah krisis jati diri (Latif, 2016:1) yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air warga negara secara kolektif sebagai warga bangsa dan negara. Kecerdasan
kewargaan ini adalah hal utama untuk menjadikan pendidikan kewarganegaraan sebagai
pendidikan yang humanis untuk mendukung terbentuknya jiwa profetik-patriotik warga negara.
C. Kewarganegaraan Transformatif dan Indonesia BerkemajuanPeran penting PPKn dalam membentuk warga negara yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air, demokratis dan bertanggung jawab sesungguhnya harus dilandasi oleh
keyakinan akan nilai ilahiah bahwa manusia adalah makhluk yang ciptaan Tuhan YME yang
63
memiliki peran utama sebagai khalifah di muka bumi. Kostruksi berpikir ini memberikan landasan
dan arah bagaimana pembelajaran PPKn diselenggarakan.
Tawaran yang disampaikan Latif (2016) tentang perlunya dibangun kecerdasan
kewargaan lahir karena adanya krisis kedirian yang bersifat publik yang mencerminkan kelalaian
dunia pendidikan dan pembudayaan dalam mengembangkan kecerdasan kewargaan. Bagi Latif,
pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha
mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif kewargaan.
Masing-masing individu lanjut Latif (2016) dibiarkan menjadi deret “huruf” alphabet, tanpa
disusun secara kesatuan dalam perbedaan (bhinneka tunggal ika) ke dalam “kata” dan “kalimat”
bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan
penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya). Ini artinya,
bahwa pembelajaran PPKn tidak boleh hanya melulu berkaitan dengan kecerdasan personal
warga negara. Tetapi harus bergeser agar memberi peran pada pembentukan kecerdasan
kolektif warga negara di ranah publik.
Jiwa profetik-patriotik adalah prasyarat bagi tumbuhnya kewarganegaraan transformatif.
Jiwa ini melihat sisi manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus tunduk terhadap perintah
pencipta-Nya, disamping mendudukan warga negara sebagai kelompok yang memiliki hak dan
kewajiban dalam kehidupan berbagsa dan bernegara. Kewarganegaraan transformatif memiliki
sandaran ideologis yang kuat, yakni Pancasila. Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia.
Sebagai dasar negara, Pancasila adalah jiwanya bangsa Indonesia. Kepribadian bangsa
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan jiwanya warga negara Indonesia (Latif, 2015:30).
Kewarganegaraan transformatif dimaksudkan pula agar cita-cita dan tujuan negara
Indonesia yang berkemajuan dapat tercapai secara optimal. Rumusan negara Indonesia
berkemajuan, diderivasi dari rumusan pemikiran Muhammadiyah dalam buku “Indonesia
Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna” yaitu sebagai berikut:
Indonesia berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinal al-fadhilah), negara
berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara berkemajuan
adalah negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung
sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia (Nashir, 2015).
Rumusan di atas menegaskan cita-cita dan tujuan negara berkemajuan sebagai negara
utama, berkemakmuran dan berkeadaban, serta negara yang sejahtera. Karena itu dalam
pandangan Nashir (2015) konsekuensi dari negara berkemajuan tersebut adalah bahwa negara
harus mampu menegakkan kedaulatan (wilayah, politik, hukum, ekonomi, dan budaya);
mendatangkan kemakmuran (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan);
mewujudkan kebahagiaan material dan spiritual; menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan
beragama; menghormati hak asasi manusia; dan menciptakan keamanan dan jaminan masa
64
depan. Artinya, negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi harus memiliki kedaulatan agar
mampu memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya.
Upaya pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara oleh negara, sekaligus
mensyaratkan perlunya upaya membangun keterlibatan warga dalam mewujudkan cita-cita dan
tujuan Indonesia berkemajuan di atas. Dengan demikian, pada setiap diri warga negara perlu
dibangun pemahaman, keterampilan, dan sikap untuk melaksanakan kewajiban konstitusional
sebagai warga negara, disamping menuntut hak konstitusional mereka sebagai warga negara,
baik secara personal maupun secara kolektif. Keseimbangan antara pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban konstitusional warga negara inilah yang melahirkan kewarganegaraan
transformatif.
KESIMPULANBerdasarkan uraian tentang jiwa profetik di atas, maka pembelajaran PPKn yang
berorientasi pada pembentukan jiwa profetik-patriotik warga negara tidak hanya dilakukan
semata untuk mengejar ketercapaian standar kompetensi dan tujuan di dalam kurikulum saja,
melainkan harus mengajak peserta didik untuk mengkontekstualisasikan apa yang sedang
dibahas dalam kajian PPKn dengan realitas sosial yang sedang terjadi, serta menyertakan nilai-
nilai agama dalam setiap kajiannya.
Melalui kontekstualisasi pembelajaran PPKn dan penghubungannya dengan nilai-nilai
agama akan lahir warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, serta
menjunjung tinggi risalah agama yang dibawa oleh para nabi. Pada gilirannya, warga negara
demikian akan memiliki kepekaan (sence of belonging) akan isu-isu kewarganegaraan yang
muncul, dan dengan kecintaannya kepada tanah air, serta keberagamaannya yang kuat, mereka
menjadikan agama sebagai petunjuk, arahan dan solusi akan masalah yang ia
hadapi. Keterlibatan warga negara dalam pemecahan isu-isu kewarganegaraan itu dilakukan
secara kolektif sebagai warga bangsa.
DAFTAR PUSTAKABranson, M. S., & Quigley, C. N. (1998). The role of civic education (Task Force Position Paper
from the Communitarian Network). A Forthcoming Education Policy.
Husaini, A. (2017). Kurtaq 24 Jam. Suara Hidayatullah: Jaringan Masyarakat Bertauhid, 61.
Imawan, R. P. (2016). Urgensi Warga Negara Transformatif. Diambil 24 Agustus 2017, dari
http://krjogja.com/web/news/read/11950/Urgensi_Warga_Negara_Transformatif
KBBI Daring. (n.d.). Arti kata profetik - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diambil
23 Agustus 2017, dari https://kbbi.web.id/profetik
Khilmiyah, A. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Indonesia Berkemajuan.
Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.
65
Kuntowijoyo. (2008). Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. (A. Priyono, Ed.). Bandung:
Mizan.
Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Latif, Y. (2015). Revolusi Pancasila. Bandung: Mizan.
Latif, Y. (2016). Pemuda Cerdas Kewargaan. In B. Mulyono, M. Murdiono, Halili, I. Arpannudin,
& Suyato (Ed.), Penguatan Kajian Isu-Isu Aktual Kewraganegaraan dalam Konteks
Kependidikan dan Non Kependidikan (hal. 1–6). Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan FIS UNY.
Nashir, H. (2015). Muhammadiyah dan Rekonstruksi Politik Kebangsaan. Suara
Muhammadiyah, 12–14.
Quigley, C. N., & Bahmueller, C. F. (1991). Civitas: A Framework for Civic Education. Calabasas:
Center for Civic Education.
Samsuri. (2012). Pendidikan Karakter Warga Negara. Surakarta: Pustaka Hanif.
Somantri, M. N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja
Rosdakarya dan PPs UPI.
Taniredja, T. (2010). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
Bandung: Alfabeta.
UMY. (2015). LP3M UMY Terbitkan Buku PKN Berlandaskan Nilai-Nilai Islam. Diambil 5 April
2016, dari www.umy.ac.id
Winataputra, U. S. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan untuk
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Gagasan, Instrumentasi, dan Praksis). Bandung: Widya
Aksara Press.
Perlindungan Merek Dagang Bagi IKM Sambal Pecel Di Kota Madiun untuk Bersaing Di Masyarakat Ekonomi ASEAN
Farida Styaningrum, Indriyana Dwi MustikariniUniversitas PGRI Madiun, Madiun
ABSTRAK
Sambal pecel merupakan salah satu produk unggulan Industri Kecil dan Menengah (IKM) sektor makanan di Kota Madiun. IKM sambal pecel di Kota Madiun harus siap menghadapi pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku awal tahun 2016. Perlindungan merek dagang dapat menjadi kekuatan bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun dalam menghadapi persaingan di MEA. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai perlindungan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk mencapai keunggulan kompetitif di MEA. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif yang menganalisis beberapa peraturan dan kebijakan terkait dengan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk bersaing di MEA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Madiun belum optimal dalam menyelenggarakan pelayanan pendaftaran merek
66
dagang secara profesional dan efektif. IKM sambal pecel di Kota Madiun masih membutuhkan sosialisasi mengenai pentingnya hak merek dagang untuk meningkatkan daya saing di MEA.
Kata kunci: merek dagang; IKM sambal pecel; Masyarakat Ekonomi ASEAN
PENDAHULUANDinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pariwisata (Disperindagkoppar)
mencatat jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Madiun yang didalamnya juga termasuk Industri Kecil dan Menengah (IKM), pada akhir tahun 2016 mencapai sekitar 23.093 unit UMKM dimana 60% di antaranya merupakan UMKM yang bergerak di bidang makanan olahan. UMKM Kota Madiun dapat menyerap tenaga kerja sekitar 8.000 dengan nilai produksi mencapai Rp 65 miliar per tahunnya. Tahun 2017 bidang Perindustrian di Kota Madiun mulai dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja.
Produk unggulan IKM yang dikembangkan Pemkot Madiun antara lain, pengolahan sambal pecel, madumongso, kerupuk puli atau biasa disebut lempeng Madiun, pengolahan kayu jati, dan batik Madiun. Industri sambal pecel saat ini mendominasi sentra industri di Kota Madiun. Data Disperindagkoppar Kota Madiun mencatat, terdapat sekitar 41 IKM pengolahan sambal pecel yang masih eksis di Kota Madiun. Mereka rata-rata memproduksi 50 kilogram hingga 1 ton sambal pecel setiap bulannya dengan jumlah karyawan sekitar 150 orang. Sambal pecel diproduksi untuk memenuhi permintaan warung makan yang menyajikan menu Pecel Madiun serta untuk di jual dalam bentuk kemasan dengan ukuran tertentu.
IKM di Kota Madiun termasuk IKM sambal pecel mengambil peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendukung pertumbuhan perekonomian daerah. Diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas ASEAN pada akhir tahun 2015 menjadi tantangan tersendiri bagi IKM sambal pecel. Dalam perdagangan bebas MEA, IKM sambal pecel di Kota Madiun tidak hanya menghadapi pesaing lokal dan nasional, tetapi juga internasional. Pemerintah Kota Madiun (Pemkot Madiun) perlu melakukan pembangunan dan pemberdayaan IKM guna mewujudkan IKM yang berdaya saing baik di tingkat internasional.
Daya saing dan kemampuan IKM perlu lebih ditingkatkan agar dapat memanfaatkan sistem perdagangan bebas yang berlangsung saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemkot Madiun dalam meningkatkan daya saing IKM yaitu dengan memberikan perlindungan merek dagang terhadap produk IKM melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Merek dagang merupakan salah satu karya intelektual yang memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan usaha. Merek dagang digunakan untuk membedakan suatu produk dengan produk lain yang bentuknya sejenis. Pemalsuan merek dagang atas produk sambal pecel yang memiliki kualitas lebih rendah akan merugikan IKM yang memproduksi sambal pecel asli.
Sebagian besar IKM sambal pecel di Kota Madiun beranggapan bahwa mendaftarkan merek dagang bagi produk sambal pecel yang dihasilkan tidak begitu penting. IKM sambal pecel umumnya enggan melakukan upaya hukum untuk memperoleh ganti rugi atas pelanggaran merek dagang yang dimiliki. IKM sambel pecel tidak mempermasalahkan merek dagangnya yang ditiru oleh IKM yang lain. IKM sambal pecel yakin dan percaya produk sambal pecelnya akan diminati oleh konsumen jika rasa atau kualitas sambal pecelnya enak dan lezat. IKM sambal pecel juga tidak mempermasalahkan jika produknya diberi merek orang lain, yang penting produknya terjual dan menghasilkan keuntungan.
Merek dagang merupakan salah satu bagian terpenting dari suatu produk, karena dapat menjadi suatu nilai tambah bagi produk dalam menghadapai persaingan di era MEA. Dengan adanya perlindungan merek dagang bagi IKM sambal pecel, maka barang yang diproduksi tidak ditiru bahkan diakui oleh pihak yang tidak berhak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai perlindungan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk mencapai keunggulan kompetitif di MEA.
METODE PENELITIAN67
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yang menganalisis beberapa peraturan dan kebijakan terkait dengan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk bersaing di MEA. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis persepsi pengusaha IKM sambal pecel di Kota Madiun terhadap perlindungan merek dagang sebagai upaya mengembangkan produk untuk bersaing di MEA.
Teknik pengumpulan data atau informasi dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, dan analisis dokumen. 1. Observasi
Observasi dilaksanakan dengan cara mengadakan pengamatan secara langsung untuk mengetahui fenomena yang diselidiki melalui penglihatan dan pendengaran. Observasi difokuskan pada kekayaan intelektual berupa merek dagang yang dimiliki IKM sambal pecel di Kota Madiun.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada beberapa pihak yaitu IKM sambal pecel di Kota Madiun dan Dinas Tenaga Kerja bidang Perindustrian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemanfaatan HKI atas merek dagang oleh IKM pecel di Kota Madiun dalam menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN atau MEA.
3. Analisis Dokumen
Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan data berupa catatan dari hasil observasi, wawancara, serta data-data lain yang berupa tulisan-tulisan yang mendukung penelitian. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pola penelitian induktif yang diolah dengan teknik saling terjalin atau interaktif mengalir. 1. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari càtatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data atau proses transformasi berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.
2. Penyajian data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan yang bersifat sementara dan pengambilan tindakan.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Data yang diperoleh di lapangan, sejak awal sudah ditarik kesimpulan yang masih bersifat sementara, tetapi kemudian meningkat sampai pada kesimpulan yang mantap yaitu pernyataan yang telah memiliki landasan yang kuat dari proses analisis data yang dilaksanakan.
Ketiga komponen tersebut berjalan bersama pada waktu kegiatan pengumpulan data. Setelah memperoleh data, reduksi data segera dibuat dan diteruskan dengan peyusunan sajian data. Berdasarkan sajian data tersebut, dapat dipergunakan untuk menyusun kesimpulan sementara. Kesimpulan ini masih berlangsung, jika mendapat hal baru kemungkinan kesimpulan sementara tersebut perlu diubah. Kesimpulan yang salah dapat diperbaiki sampai seluruh data selesai dikumpulkan dan disusun menjadi laporan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan data dari bidang Perindustrian Kota Madiun, jumlah IKM yang formal yaitu
IKM yang mendaftarkan diri melalui penanaman modal ada sekitar 293 IKM, sedangkan yang tidak formal ada sekitar 900 IKM. Industri sambal pecel mendominasi sentra industri makanan di
68
Kota Madiun. Sentra industri sambal pecel terdapat pada setiap kelurahan di Kota Madiun. Selain sambal pecel, Pemerintah Kota Madiun saat ini juga mengembangkan industri makanan madumongso, dan kerupuk puli atau lempeng Madiun. Akhir tahun 2016 terdapat sekitar 41 IKM pengolahan sambal pecel yang terdaftar di Disperindagkoppar Kota Madiun. Sedangkan untuk produk makanan madumongso terdapat 5 IKM, dan lempeng Madiun terdapat 7 IKM.
IKM sambal pecel saat ini harus siap menghadapi persaingan di pasar bebas ASEAN atau MEA yang sudah diresmikan akhir tahun 2015. Munculnya industri-industri baru yang memproduksi sambal pecel membuat para pengusaha sambal pecel di Kota Madiun harus berjuang untuk bersaing dalam mempertahankan usahanya. Melakukan perlindungan atas merek dagang merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan IKM sambal pecel untuk bersaing di pasar bebas. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas merek dagang bagi IKM sambal pecel dapat melindungi produknya dari pembajakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan pemilik merek dagang dapat memiliki keunggulan kompetitif di pasar global.
Peranan merek menjadi sangat penting di dalam era MEA terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, pelindungan konsumen, serta pelindungan UMKM dan industri dalam negeri. Menurut UU No. 20 Tahun 2016 pasal 1 ayat (2) Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Dalam UU No. 20 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (3) Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Sistem pendaftaran merek dagang di Indonesai adalah “First to File”, jadi hak merek dagang diberikan kepada pihak yang pertama kali mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI).
Pemkot Madiun selalu memberi bantuan fasilitas dalam pendaftaran merek dagang bagi IKM sambal pecel. IKM sambal pecel yang ingin memperoleh HKI atas merek dagangnya dapat langsung diproses sendiri maupun melalui Pemerintah Kota Madiun. Pemkot Madiun tidak membebankan biaya kepada pengusaha IKM selama proses pendaftaran merek dagang. Semua pembiayaan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) lewat Pemkot Madiun. Tahun ini Pemprov Jatim menyiapkan 1.000 surat pendaftaran untuk kekayaan intelektual kepada para pelaku UMKM se-Jawa Timur. Setiap tahunnya Pemkot Madiun selalu mengajukan 5 sampai 10 IKM segala sektor untuk memperoleh hak kekayaan intelektual termasuk hak merek dagang.
Upaya Pemkot Madiun dalam memberikan pemahaman mengenai HKI atas merek dagang melalui berbagai sosialisasi belum membuat IKM sambal pecel termotivasi untuk memiliki hak merek dagang tersebut. Sebagian besar IKM sambal pecel beranggapan bahwa kekayaan intelektual yang didaftarkan melalui HKI tidak begitu penting. Pelanggan atau konsumen tidak begitu mementingkan HKI. Ada atau tidaknya HKI tidak begitu mempengaruhi penjualan produk mereka. Para pelanggan atau konsumen lebih melihat ada tidaknya sertifikat halal dari MUI dan nomor P.IRT dari Dinas Kesehatan pada produk sambal pecel yang dihasilkan. Ada juga pelanggan atau konsumen yang percaya terhadap kualitas sambal pecel, tanpa mempertimbangkan sertifikat halal dan nomor P.IRT. Kualitas produk menjadi hal utama dalam mempertahankan pelanggan dan bersaing di pasar global.
Jumlah IKM sambal pecel yang telah memiliki hak merek dagang belum terdata dengan baik oleh Pemkot Madiun. IKM sambal pecel yang telah memiliki ijin merek dagang antara lain sambal pecel merek “ Yu Gembrot”, “Jeruk Purut”, “Wahyu Tumurun”, dan “Bharata”. Jangka waktu perlindungan untuk merek dagang adalah 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan merek dagang ke Kantor Ditjen HKI. Jangka waktu perlindungan dapat diperpanjang dengan syarat masih memproduksi barang yang mendapat perlindungan merek.
Salah satu perkembangan di bidang merek adalah munculnya pelindungan terhadap tipe merek baru atau yang disebut sebagai merek nontradisional yang meliputi merek suara, merek tiga dimensi, dan merek hologram. IKM sambal pecel di Kota Madiun dapat mendaftarkan desain kemasan produk yang dihasilkan dengan mendaftarkan sebagai merek tiga dimensi. Tahun 2016 telah diundangkan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
69
Permohonan pendaftaran desain industri atas desain kemasan produk kadang ditolak dikarenakan tidak memenuhi pasal 2 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Perlindungan desain kemasan sebagai merek tiga dimensi lebih kuat dibandingkan perlindungan desain industri. Desain kemasan akan terlindungi terhadap adanya persamaan pada kemiripan atau persamaan. Desain kemasan hanya terlindungi terhadap adanya persamaan desain saja, sehingga pihak lain dapat menggunakan desain kemasan yang memiliki kemiripan desain.
Sambal pecel merek “Yu Gembrot” memiliki desain kemasan yang menarik dan inovatif. Sering dari Pemkot Madiun menjadikan desain kemasan sambal pecel “Yu Gembrot” sebagai contoh desain kemasan unik dan inovatif bagi pengusaha IKM sambal pecel yang lain. Desain kemasan sambal pecel “Yu Gembrot” saat ini masih dalam proses pendaftaran HKI. Selain memfasilitasi dalam pendaftaran HKI bagi IKM, Pemkot Madiun juga secara rutin memberi pelatihan mengenai teknik pengemasan yang unik, menarik dan inovatif. Desain kemasan yang unik menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk membeli.
Perlindungan terhadap merek dagang tidak hanya menguntungkan produsen tetapi juga melindungi konsumen. Perlindungan merek dagang dapat melindungi konsumen dari pemalsuan barang atau jasa yang mempergunakan merek secara tidak sah. Manfaat lain dari adanya perlindungan merek dagang yaitu meningkatkan keunggulan kompetitif untuk bersaing di pasar bebas.
KESIMPULANHasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Madiun belum optimal dalam
menyelenggarakan pelayanan pendaftaran merek dagang bagi IKM sambal pecel secara profesional dan efektif. Sosialisasi mengenai peranan HKI atas merek dagang yang dilakukan Pemkot Madiun belum mencakup seluruh IKM sambal pecel, sehingga informasi yang disampaikan mengenai pentingnya hak merek dagang kurang jelas. Kurangnya informasi yang didapat para IKM sambal pecel mengenai perlindungan merek dagang mengakibatkan rendahnya kesadaran IKM sambal pecel untuk memperoleh hak merek dagang, sehingga IKM sambal pecel belum dapat mengembangkan produknya secara optimal untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar bebas ASEAN atau MEA.
IKM sambal pecel di Kota Madiun masih membutuhkan sosialisasi mengenai pentingnya hak merek dagang untuk meningkatkan daya saing di MEA. Pemkot Madiun perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama yang sinergis pada para IKM sambal pecel dalam memberdayakan sistem HKI atas merek dagang.
UCAPAN TERIMAKASIHPeneliti menyadari bahwa jurnal penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:1. Dinas gTenaga Kerja Kota Madiun Bidang Perindustrian
2. IKM sambal pecel di Kota Madiun
3. Seluruh civitas akademika Universitas PGRI Madiun.
DAFTAR PUSTAKAAdhi, I. S. 2015. Wisata Madiun: Yuk Kunjungi Sentra Industri Kota Madiun, Disinilah
Tempatnya. http://www.madiunpos.com/2015/09/25/wisata-madiun-yuk-kunjungi-sentra-industri-kota-madiun-di-sinilah-tempatnya-645957. Diakses tanggal 16 Mei 2016.
Burrone, E. 2005. Intellectual Property Right and Innovation in SMEs in OECD Countries. Journal of Intellectual Property Rights, Vol. 10, p. 34-43.
Hanel, P. 2006. Intellectual property rights business management practices: A survey of the literature. Technovation: The International Journal of Technological Innovation, Pembiayaan dalam pembuatan HKI gratis, dibiayai oleh provinsi jatim. Entrepreneurship and Technology Management. Vol. 26.
70
Mehra, R., A. Choudhary, A. Tiwari, dan N. Rohilla. 2015. Intellectual Property Rights and Strategic Partnerships in Micro, Small, and Medium Enterprises. GE-International Journal of Management Research (GE-IJMR), Vol. 3, p. 198-205.
Moleong, L.J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.Muhammad, M. Z., A. K. Char, M. Rushdan, Z. Hassan. 2010. Small and Medium Enterprises
(SMEs) Competing in the Global Business Environment: A Case of Malaysia. Journal of International Business Research. Vol. 3. p. 66-75.
Nazir, M. 2011. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.Simatupang, R. Burton. 2007. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka CiptaUndang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
MENINGKATKAN SOFTSKILL KEWIRAUSAHAAN MELALUI PROGRAM KKN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN MENGGUNAKAN
METODE SELF REGULATED LEARNING
Ratna Nurdiana, Hadi Suryanto, Yayuk Chayatun machsunahSTKIP PGRI LAMONGAN
Email :[email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan karakter mahasiswa melalui self regulated learning dan meningkatkan sofskil bidang kewirausahaan. Penelitian ini dilakukan di desa tenggiring kecamatan sambeng kabupaten lamongan dengan subyek mahasiswa SKTIP PGRI Lamongan pada kelompok KKN berbasis kewirausahaan dengan tema produksi tahun 2017
Hasil penelitian Dari penemuan di lapangan menunjukkan bahwa : ( 1 ) mahasiswa yang melakukan KKN berbasis kewirausahaan subjek membuat perencanaan untuk melaksanakan kegiatannya. (2) Pengunaan metode Self-regulated learning dapat menyelesaiakan problem yang dihadapi berbeda-beda. Mahasiswa menggunakan cara yang dianggapnnya paling efektif untuk mengatasi masalahnya. (3) Metode self regulated learning dapat meningkatkan softskil kewirausahaan
71
Key Words : Karakter, Kewirausahaan, KKN berbasis Kewirausahaan dan self regulated learning
Pengertian Self-Regulated Learning Zimmerman (dalam Schunk & Zimmerman, 1998) mengatakan bahwa self-regulated
learning dapat dikatakan berlangsung bila peserta didik secara sistematik mengarahkan perilaku
dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas tugas, melakukan proses
dan mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta
mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar (self-efficacy)
dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya.
Zimmerman (Woolfolk, 2004) mengatakan bahwa self-regulation merupakan sebuah
proses dimana seseorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan
perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika tujuan
tersebut meliputi pengetahuan maka yang dibicarakan adalah self-regulated learning. Self-
regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara sistematis mengarahkan
perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-
tugas, melakukan proses dan menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi
untuk mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinannya positif tentang
kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Zimmerman dalam Schunk &
Zimmerman, 1989). Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning
adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya sendiri dengan
mengaktifkan kognitif, afektif dan perilakunya sehingga tercapai tujuan belajar.
Perkembangan Self-Regulated LearningSchunk dan Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) mengemukakan model perkembangan self-
regulated learning. Berkembangnya kompetensi self-regulated learning dimulai dari beberapa
faktor yaitu:
1. Pengaruh sumber sosial: Berkaitan dengan informasi mengenai akademik yang di
peroleh dari lingkungan teman sebaya.
2. Pengaruh lingkungan: Berkaitan dengan orang tua dan lingkungannya, sehingga peserta
didik dapat menetapkan rencana dan tujuan akademiknya secara maksimal.
3. Pengaruh personal atau diri sendiri. Berkaitan dengan diri sendiri peserta didik yang
memiliki andil untuk memunculkan dorongan bagi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan
belajarnya.
Di dalam faktor-faktor ini terdapat beberapa level berkembangnya self regulated learning.a.
Level pengamatan (observasional) Peserta didik yang baru awalnya memperoleh hampir seluruh
strategi-strategi belajar dari proses pengajaran, pengerjaan tugas, dan dorongan dari lingkungan
sosial. Pada level pengamatan ini, sebagian peserta didik dapat menyerap ciri-ciri utama strategi
72
belajar dengan mengamati model, walaupun hampir seluruh peserta didik membutuhkan latihan
untuk menguasai kemampuan self-regulated learning.
b. Level pesamaan (emultive)
Pada level ini peserta didik menunjukkan performansi yang hampir sama dengan kondisi
umum dari model. Peserta didik tidak secara langsung meniru model, namun mereka berusaha
menyamai gaya atau pola-pola umum saja. Oleh karena itu, mereka mungkin menyamai tipe
pertanyaan model tapi tidak meniru kata-kata yang digunakan oleh model.
c. Level kontrol diri (self-controlled)
Peserta didik sudah menggunakan dengan sendiri strategi-strategi belajar ketika
mengerjakan tugas. Strategi-strategi yang digunakan sudah terinternalisasi, namun masih
dipengaruhi oleh gambaran standar performansi yang ditujukan oleh model dan sudah
menggunakan proses self-reward.
d. Level pengaturan diri
Level ini merupakan level terakhir dimana peserta didik mulai menggunakan strategi-
strategi yang disesuaikan dengan situasi dan termotivasi oleh tujuan serta self-efficacy untuk
berprestasi. Peserta didik memilih kapan menggunakan strategi-strategi khusus dan
mengadaptasinya untuk kondisi yang berbeda, dengan sedikit petunjuk dari model atau tidak
ada.
Hubungan Antara Motivasi Belajar Dengan Self Regulated Learning Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya,
perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama.
Di dalam motivasi belajar terdapat dua jenis yaitu: Motivasi Instrinsik yang melibatkan motivasi
internal untuk melakukan sesuatu karena keinginan sendiri yang berdasarkan penentuan diri dan
pilihan personal, dan motivasi ekstrinsik melakukan sesuatu untuk mendapatkan untuk
mencapai tujuan yang dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman
(Santrock, 2007).
Motivasi sangat mempengaruhi sukses atau tidaknya seseorang dalam melakukan
sesuatu, serta berfungsi sebagai pendorong individu untuk memulai maupun meneruskan
kegiatannya. Misalnya, ketika peserta didik menghadapi tugas-tugas kuliah, mahasiswa yang
dihadapkan pada berbagai sumber belajar yang melimpah yang dengan kebutuhan dan tujuan
mahasiswa bersangkutan. Pada kondisi demikian, mereka harus memiliki inisiatif sendiri dan
motivasi , menganalisis kebutuhan, dan merumuskan tujuan, memilih dan menerapkan strategi
pemecahan masalah, menseleksi sumber yang relevan, serta mengevaluasi diri. Motivasi belajar
dapat dipandang sebagai suatu rantai reaksi yang dimulai dari adanya kebutuhan, kemudian
timbulnya keinginan untuk mencapai tujuan (Pujadi, 2007). Untuk mencapai tujuan belajarnya
kemampuan belajar mandiri menjadi lebih diperlukan oleh mahasiswa yang menghadapi
73
tugas/kajian mandiri, tugas dalam bentuk proyek terbuka, penyusunan skripsi atau tugas akhir,
dan sebagainya. Individu yang memiliki kemandirian belajar tinggi cenderung belajar lebih baik,
mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif, menghemat waktu
dalam menyelesaikan tugasnya, mengatur belajar dan waktu secara efisien (Hidayati, 2007).
Istilah yang berkaitan dengan penjelasan di atas adalah self regulated learning.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi dapat dipandang sebagai pendorong
dalam belajar dan belum sampai pada self regulatred learning, yang dimana self regulated
learning merupakan sebuah energi membuat peserta didik berusaha secara persisten dengan
menggunakan berbagai strategi belajar untuk meregulasi dirinya untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Apabila seorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan
perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan dan ketika
tujuan tersebut meliputi pengetahuan, maka peserta didik memiliki self-regulated learning
(Zimmerman, dalam Woolfolk, 2004).
Faktor-faktor berkembangnya self-regulated learning adalah adanya pengaruh sumber
yang berkaitan dengan kemampuan akademik, dipengaruhi oleh lingkungan da dipengaruhi oleh
diri sendiri ( Zimmerman, dalam Woolfolk, 2004). Dari beberapa faktor dari self regulated
learning terdapat beberapa level,yaitu:Level pengamatan (observasional), Level pesamaan
(emultive), Level kontrol diri (self-controlled), Level pengaturan diri. Peserta didik memilih kapan
menggunakan strategi-strategi khusus dan mengadaptasikannya.
METODEPenelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey. Penelitihan ini
untuk mengetahui hubungan self regulated learning terhadap kegiatan KKN berbasis
kewirausahaan dengan meningkatkan produk Keripik singkong. Subyek penelitian adalah
mahasiswa STKIP PGRI Lamongan yang melakukan program KKN berbasis Kewirausahaan
tahun 2017 yang berjumlah 4 mahasiswa yang dari kelompok. Produksi, Untuk mengukur self
regulated learning kita menggunakan kuisioner yang dikembangkan oleh Vallerand (2000). Studi
fenomenologi
Zimmerman (1988) berpendapat bahwa dalam self regulated learning terdapat tiga
komponen self regulation, yaitu: metakognitif, motivational, behavioral. Indikator dari self
regulated learning adalah sebagai berikut:
1) Motivasi
Motivasi didefinisikan sebagai dorongan untuk belajar. Motivasi belajar terdiri dari tiga
komponen, yaitu :
74
Self efficacy, merupakan komponen yang terdiri dari pernyataan-pernyataan yang berkaitan
dengan keyakinan terhadap kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab
terhadap hasil pelaksanaan tugas.
Intrinsic value, merupakan komponen nilai-nilai intrinsik yang terdiri dari pernyataan-
pernyataan yang berkaitan dengan tujuan belajar dan keyakinan akan pentingnya tugas
serta ketertarikan terhadap tugas
Axiety test, merupakan komponen kecemasan dimana pernyataan-pernyataan komponen ini
berkaitan dengan reaksi emosional terhadap tugas yang dapat menyebabkan gangguan
terhadap proses berpikir.
2) Strategi-strategi kognitif
Strategi yang memfokuskan pada proses informasi seperti latihan (rehearsal),
pengemabangan (elaboration), dan pengorganisasian (organization).
a) Latihan (rehearsal):
usaha untuk mengingat materi dengan mengulangnya berkali-kali
b) Pengemabangan (elaboration):
berusaha menyimpulkan materiatau menjelaskan dengan bahasa sendiri
c) Pengorganisasian(organization)
Membuat catatan dan membuat konsep untuk mengorganisasikan materi-materi dalam
cara yang sama
3) Strategi-strategi metakognitif
Adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar
dilakukan apa yang sudah dan belum diketahui.
a) Meyakini diri sendiri
b) Mampu mengatur diri
HASIL Aspek yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu :
Subyek 1 mengatakan program KKN berbasis Kewirausahaan ini membuat mereka untuk
termotivasi memberikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki setelah menempuh mata kuliah
kewirausahaan. Pada minggu pertama dia mencari referensi untuk mendalami tentang produksi
kripik singkong sebagai produk lokal hasil UMKM warga. Sebagai bentuk pengabdian kepada
masyarakat subyek 1 berusaha semaksimal mungkin untuk bisa melakukan inovasi produksi,
sehingga menghasilkan beberapa varian pruduksi varian krupik singkong baru. Lingkungan
masyarakat disekitar mereka menjadi motivasi lebih baik lagi bagi mereka.
Subyek 2 KKN berbasis kewirausahaan ini merupakan hal baru karena saya tidak pernah
berwira usaha. Saya merasa kebingungan dengan kegiatan ini di awal kegiatan. Semangat
kelompok saya untuk melakukan kegiatan ini dengan baik membuat saya termotivasi untuk
75
belajar berwirausaha. Saya melakukan tugas yang diberikan kepada saya sebagai bentuk
soliditas kelompok walaupun saya merasa kurang memahami. Saya beajar banyakdari kegiatan
ini dengan mencari informasi materi secara online dan tantangan ini membuat saya semakin
tertantang untuk banyak beajar.
Subyek 3. Pada awal kegiatan KKN saya merasakan kesulitan dengan masyarakat
karena saya kurang bisa berkomunikasi dengan baik. Bersama teman satu kelompok saya juga
masih mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas yang diberikan kepada saya, karena bagi
saya semua ini baru. Teman satu kelompok kami selalu melakukan kegiatan KKN ini dengan
sangat serius, hal ini memicu saya untukjuga terlibat lebih dalamkegiatan ini. saya mencoba
untuk belajar tentang kewirausahaan termasuk bagaimana mengembangkan usaha UMKM.
Motivasi saya muncul karena teman satu kelompok memang melakukan segala sesuatu dengan
semangatyang baik.
Subyek 4. Kegiatan kewirausahaan dengan inovasi produk lokal baru bagi saya, tetapi
karena ini kegiatan KKN berbasis kewirausahaan maka saya berusaha untuk belajar. Saya
mencoba melakukan pengembangan usaha kewirausahaan untuk membantu masyarakat desa
tersebut. Saya merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai generasi bangsa yang memiliki
kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Tugas yang diberikan kepada saya selalu saya
lakukan dengan baik, bahkan saya selalu aktif untuk melakukan berbagai terobosan agar nilai
lokal berupa usaha rakyat ini mampu bersaing secara luas di Indonesia. Semangat berbagi ilmu
saya lakukan pada kegiatan kali ini.
PEMBAHASANProgram KKN berbasis kewirausahaan merupakan suatu trobosan baru di STKIP PGRI
Lamongan. Program ini memfasilitasi mahasiswa untuk mengaplikasikan mata kuliah
kewirausahaan yang ada pada program studi PPKN. Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan
harus mampu membuat rencana kegiatan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan serta
mendapatkan pengetahuan tentang kewirasahaan sekaligus masyarakat menerima manfaat
berupa pengembangan produk mereka,
Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan harus mampu melakukan inovasi
kewirausahaan seperti yang telah direncanakan sesuai dengan tugas mereka dimana subyek
penelitian adalah kelompok produksi maka mereka memiliki beban tanggung jawab yang
berat untuk melakukan inovasi prosuk yang bisa diterima oleh masyarakat luas..
Sebagai individu mereka harus mampu untuk beradaptasi dengan kelompoknya serta
lingkungan social yang berbeda serta mengambil tanggung jawab sebagai warga negara,
mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Tuntutan sebagai mahasiswa KKN berbasis
kewirausahaan menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya
karena keterbatasan waktu yang mereka miliki.
Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan mengatasi problem yang dihadapi dengan
76
menggunakan SRL. Self-regulated learningadalah usaha individu untuk mengatur diri dalam
proses belajar dengan menggunakan kemampuannya yang meliputi penggunaan
metakognisi, pengaturan motivasi, dan pengarahan perilaku secara aktif untuk mencapai tujuan
belajar yang telah ditetapkan.
Self-regulated learning mahasiswa KKN berbasis kewirasahaan diawali dengan
pengaturan usaha dan waktu yang dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa membuat
perencanaan kegiatan yang akan dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Perencanaan ini juga tidak dapat lepas dari penetapan skala prioritas yang dimiliki
masing-masing mahasiswa. Perencanaan yang dilakukan mahasiswa akan direalisasikan
dalam bentuk cara belajarnya. Cara belajar yang digunakan nantinya akan dinilai oleh
mahasiswa itu sendiri. Pengaturan belajar yang dianggap efektif akan dipertahankan,
sedangkan pengaturan yang dirasa kurang efektif akan diganti dengan pengaturan yang
lebih baik.
Mahasiswa mengatur belajarnya tidak terlepas dari motivasi yang dimilikinya. Pengaturan
belajar mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan tidak terlepas dari adanya motivasi internal
mahasiswa untuk belajar. Motivasi belajar didukung dengan tuntutan lingkungan sosial
untuk mandiri sehingga mahasiswa lebih termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri.
Perilaku aktif mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan yang menunjukkan adanya self-
regulated learning adalah adanya manajemen waktu dalam mengatur kegiatan sehari-hari.
mahasiswa harus mampu menyesuaikan diri dengan jadwal kuliah serta lingkungan sekitar.
Mahasiswa mencari bantuan dari orang lain dan mencari sumber pendukung bila mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
KESIMPULAN Keempat subjek dalam penelitian dilakukan perlakuan dengan metode self-
regulated learning (SRL) dalam menjalankan aktifitasnya. Dari penemuan di lapangan
menunjukkan bahwa :
1. mahasiswa yang melakukan KKN berbasis kewirausahaan subjek membuat
perencanaan untuk melaksanakan kegiatannya.
2. Pengunaan metode Self-regulated learning dapat menyelesaiakan problem yang
dihadapi berbeda-beda. Mahasiswa menggunakan cara yang dianggapnnya paling
efektif untuk mengatasi masalahnya.
3. Metode self regulated learning dapat meningkatkan softskil kewirausahaan
Peneliti pada akhir pembahasan dapat menjawab pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Secara umum metode self-regulated learing pada mahasiswa KKN berbasis
kewirausahaan meliputi manajemen waktu dan usaha dalam mengatur belajarnya.
77
Mahasiswa juga mengatur lingkungan fisiknya agar kondusif sehingga menunjang aktifitas
KKN. Pengaturan yang dilakukan tidak hanya pada lingkungan fisik namun juga
lingkungan sosial.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning mahasiswa KKN berbasis
kewirausahaan
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal yang mempengaruhi SRL mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan yaitu
kepribadian, tujuan yang hendak dicapai atau goal setting dari masing-masing mahasiswa,dan
kebiasaan yang efektif.
b. Faktor eksternal yang mempengaruhi SRL mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan
adalah faktor lingkungan. Lingkungan disekitar mahasiswa akan mempengaruhi bagaimana
mahasiswa mengatur proses belajarnya.
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diberikan beberapa saran kepada pihak yang
berkepentingan pada penelitian ini:
1. Untuk Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan
Mahasiswa sebaiknya membuat evaluasi terhadap hasil belajarnya sendiri agar
mengetahui kelemahannya serta mencari cara yang lebih efektif dan perlu mencari
lingkungan sosial yang dapat meningkatkan motivasi belajar serta dapat dijadikan model
pengaturan belajar yang efektif.
3. Untuk Penyelenggara Program KKN berbasis kewirausahaan
Penyelenggara program KKN berbasis kewirausahaan disarankan memberi informasi
yang lengkap mengenai pelaksanaan program KKN berbasis kewirausahaan kepada
mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan, dosen dan seluruh pihak terkait. Sosialisasi,
seleksi dan rekruitmen mahasiswa program KKN berbasis kewirausahaan dimulai sejak
semester awal, agar mahasiswa dapat mempersiapkan diri dengan baik, dan dapat
mencapai hasil yang lebih optimal.
4. Untuk Peneliti Selanjutnya
Peneliti-peneliti lain diharapkan dapat lebih memperdalam lagi hasil temuan di lapangan,
karena masih sedikit penelitian self-regulated learning pada mahasiswa KKN berbasis
kewirausahaand an dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai sumber referensi
.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2002. Analisis Eksistensial untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung:
Refika Aditama.
Ablard, K.E., dan Lipschultz, R.E. 1998. Self-regulated learning in high achieving students:
relations to advanced reasoning, achievement goals, and gender. Journal of Educaional
Psychology, 90(1), 94-101.
78
Ajisukmo, Clara R.P. 1996. Self Regulated Learning in Indonesia Higher Education a Carried
Out at Atma Jaya Catholic University in Jakarta Indonesia. Jakarta: Atma Jaya
Research Centre.
Akselerasi). Jakarta:
Albert D & Mulyadi M, (2007). E-learning dan Aspek-aspek Penting dalam Penerapannya . Studi
pustaka. Diakses pada tanggal 30 januari 2012.
Arnett, Jeffrey Jensen. 2004. Emerging Adulthood. New York : Oxford University Press, Inc.
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filasafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Baron, R. A., dan Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial Jilid 2. Edisi 10. Penerjemah: Ratna
Juwita. Jakarta: Penerbit Erlanggga.
Betz, N.E & Hackett, G (1988). Manual for the occupational self eff icacy
scale, (online), h t tp://seamon k e y .ed.asu.edu/~gail/o c cse1.htm, diakses tanggal 28 Maret
2006.
Boekaerts,M., Printrich, Paul R., Zeidner,M. 2000. Handbook of Self-Regulation : California :
Academic Press.
Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT. Radjagrafindo Persada.
Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada.
Chen, C.S. 2002. Self-regulated learning Straegies and Achievement in an
Inroduction to Information of Information Systems ourse. Information Technology,
Learning, and Performancce Journal, 20, 1, 11-25.
Davis,Hilarie B&Davey, Bradford T. h il ar i n e @ t ec h f o r l e ar n i n g b ra d@ t ec h f o r l e ar n i n g .o r g NN.
(2008, Desember) Informasi Umum dan Sejarah. ( h tt p :// www. it b. a c . i d / a bou t - it b / p a g e / 2 )
NN. (2008, Desember). Fast track. ( h tt p :// www. m a t er i a l . it b. ac . i d // i nd e x .ph p ? op ti o n
=c o m _ c on t e n t & t a sk = v i e w & i d = 6 2 & I t e mi d = 8 0 )
Diknas (2007). Pedoman penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkecerdasan
istimewa (Program
Echos, J.M., dan Shadily, H. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia.
Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Aditama.
Hawadi, R. A., (2002), Identifikasi keberbakatan intelektual melalui metode non tes dengan
pendekatan konsep keberbakatan renzulli. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(Grasindo).
Hawadi, R. A.; Wihardjo, D., & Wiyono, M., (2001). Keberbakatan intektual: Panduan bagi
penyelenggaraan program percepatan belajar. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia (Grasindo).
Hidayat, A. (2007). Pengaruh penggunaan e-learning terhadap motivasi dan efeltivitas
pembelajaran fisika bagi siswa SMA (Studi kasus di SMA negeri 1Depok)
79
h t tp:// k e r lin s .net/bobbi/ r esea r ch/ m y r esea r ch/s r l.html, diakses tanggal 29 Maret 2006
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayati & Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Jerusalem, M & Schawarzer , R (1993). The general self-efficacy scale, (online)
http://userpage.fu- berlin.de/~health/engscal.htm, diakses tanggal 28 maret 2006
Jourard, Sidney M. 1976. Personal Adjustment. New York: Mc. Graw-Hill. Kartono, K
dan Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV.Pionir Jaya.
Kerlin, B.A. (1992). Cognitive engagement style, self regulated learning and cooperative
learning, (On line)
Lambing, P. dan Kuehl, C.R. 2000. Entrepreneurship 2nd edition. New Jersey: Prentice
Hall Inc.
Menghadapi Era Pasar Bebas Tahun 2020. LIK UNNES, XXXI, 3, 512-529. Zimmerman, B.J.
1986. Becoming a Self-Regulated Learner: Which Are the Key
Moleong, Lexy J.. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Montalvo, F.T., and Torres, M.C.G. 2004. Self-regulated learning; Current and Future
Directions. Electronisc Journal of Research in Educational Psychology, 2(1), 1-34.
Mulia Volume 3 No.2, September 2007. Jakarta fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Munandar, U., (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen
Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.
Mustofa, (2008). Hubungan pengaplikasian E-learning dengan motivasi belajar mahasiswa.
Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Tanggal akses 26 juli 2012.
Papalia, Diane E. 2002. Adult Development and Aging, Second Edition. New York: Mc.Graw
Hill.
Paris, S. G. 2001. The Role of Self-regulated learning in Contextual Teaching : Principles and
Practices for Teacher Preparation. h tt p :// www. c i era .o r g /li b r a r y / a r c h i e v e / 2001 - 04h t m .
Pendidikan dan Kebudayaan dengan PT Rineka Cipta.
Vallerand, R. J (2000) Learning self regulationuestionnaire (online),
Poerwandari, Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta:
Fakultas Psikologi UI.
Pujadi, A. (2007). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa. Jurnal Bunda
Santrock, J. W., (2009). Educational psychology. (2nd ed). New York: McGraw Hill
Companies,Inc.
Subprocesses?. Contemporary Educational Psychology. 11, 307-313. Zimmerman, B.J. 1989.
A Social Cognitive View of Self-Regulated Academic Learning. Journal of Education
80
Psychology, 81(3). 329-339.
Susanto, Handy. 2006. Mengembangkan Kemampuan Self Regulation untuk
Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur, 7,64-71.
Wahyono. (2008). Pengembangan model pembelajaran TIK untuk meningkatkan pengaruran diri
dalam belajar siswa. Makalah seminar nasonal pndidikan. Fakulas keguruan dan ilmu
pendidikan Universitas Tadulako. Di akses tanggal 25 januari 2012.
Wahyuningsih, Sri Endah. 2002. Peran Perguruan Tinggi di Masa Depan dalam
Winne, Philip H. 1997. Eksperimenting to Bootstrap Self-regulated learning. Journal of
Educational Psychology, 89, 3, 397-410.
Wolters, Chistopher A. 1998. Self-Regulaed Learning and
CollegeStudents’Regulaion of Motivation. Journal of Educational Psychology, 90, 2,224-
235.
Woolfolk, A. (2004). Educational Psychology. United States of America: Pearson Education, Inc.
(2007).
Yulinawati, (2009). Self regulated learig pada mahasiswa fast track.skripsi.
Zimmerman, B.J. 1994. Dimensions of Academic Self-Regulation: A Conceptual Framework for
Education. In Schunk, D.H., and Zimmerman, B.J. (Eds.), Self-Regulation of Learning
and Performance: Issues and Educational Applications (pp. 3-21). New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc.
http://psych.rochester.edu/SDT/measures/selfreg_lrn.html, diakses tanggal 28 Maret 2006
81
Problematik Hukum Perpu OrmasHananto Widodo
Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK
Secara konstitusional Presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). Kewenangan Presiden dalam mengeluarkan Perpu harus memiliki syarat yakni dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Syarat yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan syarat yang masih bersifat subyektif. MK telah mengatur mengenai ukuran obyektif dalam mengeluarkan Perpu melalui putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusan MK itu salah satu parameter adanya kegentingan yang memaksa yaitu “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.” Dalam keluarnya suatu Perpu selalu akan nada dua aspek yang akan dikaji, yakni aspek procedural terkait terpenuhinya syarat-syarat keluarnya Perpu dan aspek substansi. Aspek substansi akan terkait dengan materi yang diatur dalam Perpu. Secara substansi Perpu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan terhadap UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dianggap oleh banyak kalangan sebagai Perpu yang represif. Perpu ini dianggap represif karena adanya shortcut terhadap mekanisme pembubaran suatu ormas yang dalam UU No. 17 Tahun 2013 diatur secara ketat menjadi lebih simple. Mekanisme pembubaran ormas yang ditiadakan dalam Perpu ini adalah mekanisme pembubaran ormas melalui pengadilan. Setelah keluarnya Perpu Ormas ini, pemerintah melalui Menteri Hukum Dan HAM (Menkumham) mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Status Badan Hukum terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan alasan bahwa kegiatan HTI bertentangan dengan Pancasila.
Kata Kunci : Authority; mechanism; Perpu
I. PendahuluanSecara sosiologis suatu aturan selalu memiliki cacat bawaan. Bukti ada cacat bawaan
dari suatu aturan yakni bahwa suatu aturan tidak akan mampu untuk mengatur seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Selalu saja ada hal yang luput dari aturan tersebut untuk diatur padahal
82
itu merupakan hal yang cukup vital dalam kehidupan masyarakat. Bukti yang lain adalah terkait
dengan kemampuan dari pembentuk undang-undang yang selalu tidak mungkin mampu untuk
mengimbangi dinamika masyarakat. Pembentuk undang-undang sulit untuk mengantisipasi
perkembangan masyarakat ke depan, sehingga gerak hukum dalam hal ini adalah legislasi akan
selalu kalah dengan gerak dinamika masyarakat. Bukti lain dan yang paling penting adalah
bahwa undang-undang merupakan produk politik. Undang-undang merupakan hasil kristalisasi
dari kepentingan-kepentingan politik yang ada di parlemen.
Menurut Mahfud MD,16 hukum bukan merupakan variable yang bebas. Artinya produk
hukum akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik ketika hukum tersebut dibentuk.
Konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang represif. Sementara itu,
konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif.17 Pada masa
Orde Baru konfigurasi politiknya adalah otoriter sehingga melahirkan produk hukum yang
represif. Adanya undang-undang No. 11/PNPS/1965 tentang Subversif merupakan salah satu
bukti bahwa produk hukum pada masa Orde Baru mayoritas adalah produk hukum yang
represif.
Setelah beralihnya rezim dari rezim otoritarian Orde baru menuju rezim demokratis maka
satu persatu produk hukum peninggalan Orde baru yang dianggap represif mulai ditinggalkan.
UU peninggalan Orde baru sebagian ada yang dicabut dan sebagian ada yang diganti. UU yang
dicabut antara lain adalah UU Subversif dan UU Referendum, sedangkan UU yang diganti
antara lain UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR dan DPRD, dan UU
Ormas (Susduk). Setelah Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh
Habibie, UU yang pertama kali diganti adalah UU Partai Politik, UU Pemilu dan UU Susduk.
Tujuan dibentuknya ketiga UU tersebut adalah dalam rangka percepatan pemilu yang
seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002 menjadi tahun 1999.
Berbeda dengan ketiga UU politik tersebut, yakni UU Partai Poltik, UU Pemilu dan UU
Susduk yang langsung dilakukan penggantian pasca lengsernya Soeharto, UU Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) merupakan UU yang paling terakhir dilakukan penggantian. UU No. 8
Tahun 1985 Tentang Ormas baru dilakukan pada tahun 2013. Tepatnya UU Ormas baru diganti
15 tahun setelah berakhirnya Orde baru. Sempat terjadi penolakan oleh Muhammadiyah dan
NU terhadap UU No. 17 Tahun 2013 Sebelum UU Ormas tersebut diberlakukan. Salah satu
alasan Muhamaddiyah menolak keberadaan RUU Ormas tersebut karena RUU Ormas tersebut
memberikan kewenangan yang sangat besar pada pemerintah dan pemerintah daerah untuk
membekukan Ormas tanpa melalui proses peradilan.18
Penolakan terhadap RUU Ormas sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1985 akhirnya
menemui titik kompromi. Antara lain dengan menghilangkan pasal 62 yang memberi 16 ?Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1998), hlm 15 17 ?Ibid 18 ? http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2544-detail-mengapa-ruu-ormas-harus-ditolak.html
83
kewenangan yang kuat pada pemerintah untuk membekukan suatu ormas. Dalam UU No. 17
tahun 2013 proses pembubaran Ormas diatur secara ketat. Untuk dapat membubarkan suatu
Ormas, pemerintah tidak dapat sekonyong-konyong membubarkan suatu Ormas yang dianggap
telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Pembubaran Ormas
harus melalui jalan yang sangat panjang. Di samping pembubarannya harus melalui proses
peradilan juga harus melalui proses peringatan yang dilakukan oleh pemerintah.
Pengaturan mengenai pembubaran ormas yang begitu ketat memang dapat mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah agar pemerintah tidak
gampang membubarkan suatu Ormas berdasarkan pada penafsiran sepihak yang dilakukan
oleh pemerintah, karena bagaimanapun Ormas merupakan perwujudan dari hak berserikat
warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Namun di satu sisi ternyata UU Ormas ini telah
memberikan ruang bagi warga negara untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam UU Ormas, khususnya terkait dengan pelanggaran terhadap
ideologi negara Pancasila.
Dengan adanya pengaturan mengenai proses pembubaran Ormas yang begitu ketat
sebagaimana diatur dalam UU ormas, maka akan sangat sulit untuk melakukan tindakan yang
tegas terhadap Ormas yang diduga kuat memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.
Untuk mengatasi hal ini maka Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2017 untuk melakukan shortcut terhadap proses
pembubaran suatu Ormas. Dalam makalah ini akan membahas dua aspek mengenai Perpu
tentang Ormas. Aspek pertama terkait dengan kewenangan Presiden dalam mengeluarkan
Perpu. Aspek kedua terkait dengan substansi dari Perpu tersebut, khususnya mengenai
prosedur pembubaran Ormas.
II Alasan Hukum Dikeluarkan Perpu Tentang OrmasKewenangan Presiden dalam mengeluarkan Perpu diatur dalam pasal 22 ayat UUD NRI
Tahun 1945. Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa : Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang. Ada frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” mengandung arti bahwa Perpu
tidak bisa dikeluarkan setiap saat seperti halnya undang-undang. Namun demikian yang
berwenang untuk mengeluarkan Perpu adalah Presiden yang didasarkan pada kewenangan
subyektif yang melekat pada Presiden.
Kewenangan subyektif Presiden merupakan bentuk diskresi yang dimiliki oleh Presiden
dalam mengeluarkan Perpu. Dalam hukum administrasi, diskresi dibagi menjadi dua, yakni
diskresi yang berkaitan dengan kebebasan kebijaksanaan dan diskresi yang berkaitan dengan
kebebasan interpretasi. Kebebasan interpretasi dalam hal ini adalah dalam rangka menafsirkan
norma yang kabur. Frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan norma yang
kabur dan hanya Presiden yang berwenang untuk menafsirkan frasa tersebut.
84
Penggunaan kewenangan yang bersifat diskresi tentu akan rawan pada tindakan yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu dalam menggunakan
wewenang diskresi tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Namun demikian, jika kembali
pada adagium yang diungkapkan oleh Lord acton bahwa “power tends to corrupt and absolute
power corrupts absolutely” maka harus ada batasan pada Presiden dalam menggunakan
kewenangan subyektifnya dalam mengeluarkan Perpu.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah merumuskan ukuran objektif penerbitan Perpu dalam
putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat
sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan
Perpu, yaitu :19
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum
secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan
hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang
secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan
keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Syarat yang ditetapkan oleh MK tersebut masih memberi ruang yang cukup luas dalam
mengeluarkan Perpu. Pada syarat kedua dinyatakan bahwa undang-undang ada tetapi tidak
memadai. Dalam mengeluarkan Perpu tentang Ormas, Presiden menganggap bahwa UU
No. 17 Tahun 2013 kurang memadai karena UU tersebut tidak bisa menjadi landasan bagi
Pemerintah dalam melakukan penertiban terhadap Ormas yang ideologinya bertentangan
dengan Pancasila.
Namun demikian, MK tidak hanya menetapkan tiga syarat bagi Presiden dalam
menerbitkan Perpu tetapi MK juga memberi hak pada warga masyarakat untuk bisa
mengajukan permohonan pengujian Perpu. Kewenangan MK dalam menguji Perpu jika dikaji
dalam konteks perlindungan hak-hak dasar warga negara memang diperlukan, meskipun
secara konstitusional MK hanya berwenangan menguji undang-undang yang bertentangan
dengan UUD. Secara konstitusional kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap
Perpu ada pada DPR (Legislative Review). Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
menyatakan bahwa : “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Sementara itu pada ayat (3) dinyatakan
bahwa : “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
Kewenangan MK dalam menguji Perpu perlu diberikan sebab dalam rentang waktu
antara terbitnya Perpu dan persidangan DPR akan berpotensi terjadi pelanggaran terhadap
hak konstitusional warga negara terkait dengan diterbitkannya Perpu tersebut. Sebagai
19 ? http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5188b1b2dfbd2/syarat-syarat-penetapan-perpu-oleh-presiden85
contoh adalah terbitnya Perpu Ormas. Setelah terbitnya Ormas dalam waktu tidak lebih dari
seminggu, pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum Dan Ham (MenkumHam) telah
menerbitkan kebijakan berupa pencabutan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Sementara itu waktu antara pencabutan status badan hukum HTI dan persidangan
DPR masih cukup lama.
III Proses Pembubaran Ormas Menurut Perpu No. 2 Tahun 2017Suatu peraturan perundang-undangan akan mengundang reaksi dari beragam pihak jika
peraturan perundang-undangan itu terkait dengan hak-hak dasar warga negara. Apalagi jika
proses pembentukannya dianggap menyalahi prinsip-prinsip demokrasi, seperti pengaturan
mengenai Ormas yang tanpa melalui persetujuan DPR. Perpu Ormas dianggap sebagai produk
hukum yang represif karena secara substansi Perpu tersebut memberikan kewenangan yang
begitu besar kepada pemerintah untuk membubarkan Ormas tanpa melalui proses peradilan.
Untuk menganalisis apakah secara substansi Perpu Ormas memang memiliki
karakteristik represif maka mau tidak mau harus dibandingkan dengan UU No. 17 Tahun 2013
yang mengatur sebelumnya mengenai proses pembubaran Ormas. Pengaturan mengenai
sanksi terhadap Ormas diatur dalam Pasal 61 UU Ormas. Dalam Pasal 61 dinyatakan bahwa
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian bantuan dan/atau hibah;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan
e. status badan hukum.
Dalam Pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf a terdiri atas :
a. peringatan tertulis kesatu;
b. peringatan tertulis kedua; dan
c. peringatan tertulis ketiga
Tiap-tiap peringatan tertulis sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1) adalah paling lama
tiga puluh hari (Pasal 62 ayat (1)). Apabila sampai Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis
ketiga maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi berupa
penghentian bantuan dan/atau hibah;dan/atau penghentian sementara kegiatan (Pasal 64 ayat
(1)). Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap Ormas lingkup Nasional,
pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (Pasal 65 ayat (1)).
Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara
kegiatan pemerintah baru bisa menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.
Pencabutan status badan hukum terhadap Ormas yang bersangkutan itupun bisa dilakukan oleh
86
pemerintah setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
mengenai pembubaran ormas berbadan hukum (Pasal 68 ayat (1), (2) dan (3)).
Dari mekanisme pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 dapat
disimpulkan bahwa tidak mudah untuk melakukan pembubaran terhadap Ormas. Sulitnya
Pemerintah dalam melakukan pembubaran terhadap Ormas justru bisa membuat potensi
pelanggaran yang dilakukan oleh Ormas semakin kuat. Apabila pelanggaran yang dilakukan
oleh Ormas itu masih dalam batas toleransi maka tidak akan menimbulkan dampak yang
membahayakan. Namun jika pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ormas itu sudah bersifat
membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk membahayakan ideologi
negara Pancasila, maka harus ada landasan hukum yang kuat sehingga pemerintah bisa
bertindak tegas terhadap Ormas yang nyata-nyata membahayakan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Permasalahan secara substantif dari Perpu Ormas terkait dengan mekanisme
pembubaran bukan sekedar hanya masalah Perpu tersebut represif atau responsif, tetapi juga
berkaitan dengan alur logika yang terdapat dalam Perpu Ormas tersebut apakah logis atau tidak.
Mekanisme pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 dapat
dikatakan tidak logis. Paling tidak ada dua argumentasi yang menguatkan bahwa mekanisme
pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 adalah tidak logis.
Pertama, terlalu banyaknya tahapan yang harus dilalui oleh Pemerintah dalam
melakukan pembubaran terhadap Ormas membuat posisi Ormas lebih superior dibanding Partai
Politik (Parpol). Bagaimanapun baik secara kedudukan maupun secara fungsional Parpol itu
lebih tinggi dibanding Ormas. Kedudukan Parpol yang lebih tinggi dibanding Ormas dapat dilihat
pada beberapa Ormas yang merupakan organisasi bawahan dari Parpol. Secara fungsional
Parpol juga lebih kuat dibandingkan dengan Ormas, sebab Parpol tidak hanya menjalankan
fungsi kemasyarakatan tetapi juga menjalankan fungsi politik. Namun demikian, mekanisme
pembubaran Parpol lebih mudah dibandingkan dengan mekanisme pembubaran Ormas.
Mekanisme pembubaran Parpol sangat simple, yakni pemerintah yang memiliki kedudukan
sebagai legal standing langsung mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak
perlu ada mekanisme pemberian surat peringatan 1, 2, dan 3 sebagaimana yang harus
dilakukan jika akan melakukan pembubaran terhadap Ormas.
Kedua berkaitan dengan logika penerapan sanksi hukum. Sebagaimana ditegaskan
dalam pasal 61 UU Ormas bahwa sanksi yang akan dikenakan pada Ormas yang dianggap
melakukan pelanggaran hukum adalah sanksi administrasi. Perbedaan karakteristik antara
sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah sebagai berikut :20
20 ?Philipus M Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1995), hlm 247
87
1. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya , sedangkan sanksi
pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa;
2. Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan.
3. Sanksi administrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui
proses peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana
melalui proses peradilan.
Dengan demikian sangat tidak logis jika penerapan sanksi administrasi dilakukan melalui
proses peradilan. Jika Pemerintah berwenang untuk memberikan peringatan tertulis pertama,
kedua dan ketiga, maka Pemerintah juga berwenang untuk melakukan pencabutan status badan
hukum tanpa melalui proses peradilan. Justru sangat tidak logis jika Pemerintah berwenang
memberikan peringatan tertulis pertama, kedua dan ketiga tetapi ketika akan mencabut status
badan hukum justru harus melalui proses peradilan. Namun demikian, pengaturan mengenai
mekanisme pembubaran Ormas menurut Perpu Ormas juga bisa mengarah pada tindakan
sewenang-wenang. Dalam Perpu Ormas, Pemerintah dapat mencabut status badan hukum
tanpa didahului pemberian peringatan tertulis.
Dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu Ormas dinyatakan bahwa sanksi administrasi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 60 ayat (1) terdiri atas : a. Peringatan tertulis; b. Penghentian kegiatan
dan/atau; pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Penerapan sanksi sebagaimana diatur pada Pasal 61 ayat (1) di atas bukan merupakan
tahapan-tahapan dalam menerapkan sanksi, tetapi merupakan alternatif penjatuhan sanksi
administrasi.
Pencabutan status badan hukum Ormas sebenarnya tidak ada bedanya dengan pencabutan
izin pada umumnya. Meskipun keputusan pemerintah mengenai status badan hukum Ormas
berbeda dengan izin sebagaimana pernah dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, tetapi baik
keputusan Pemerintah mengenai status badan hukum Ormas dan Izin sama-sama merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU Peradilan Tata Usaha
Negara. Oleh karena itu, jika HTI atau Ormas lainnya yang merasa dirugikan akibat pencabutan
status badan hukum Ormas oleh Pemerintah, maka HTI atau Ormas lainnya itu bisa mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara agar keputusan mengenai pencabutan status badan
hukum Ormas yang diterbitkan oleh Pemerintah dinyatakan tidak sah, sehingga mereka bisa
memperoleh kembali hak dan kewajiban mereka sebagai Ormas yang diakui oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
IV Penutup1. KesimpulanDari uraian pembahasan terhadap problematik hukum pembubaran Ormas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
88
a. Presiden secara konstitusional berwenang untuk menerbitkan Perpu. Meskipun MK telah
memberikan syarat untuk mengeluarkan Perpu tetapi syarat yang ditetapkan MK tersebut
masih bersifat longgar. Presiden bisa menganggap bahwa UU No. 17 Tahun 2013 tidak
memadai untuk menindak Ormas yang secara ideologi bertentangan dengan Pancasila.
b. Mekanisme pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2013
secara hukum tidak logis. Bagaimanapun mekanisme pembubaran Ormas harus lebih
simple dibandingkan dengan mekanisme Parpol, sebab baik secara kedudukan maupun
secara fungsional Parpol lebih tinggi dibandingkan dengan Ormas. Dengan demikian,
mekanisme pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam Perpu Ormas secara hukum
lebih logis.
2. Sarana. Jika ada Ormas yang merasa keberatan terhadap Keputusan Pemerintah mengenai
pencabutan status badan hukum maka Ormas yang bersangkutan bisa mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Pembubaran Ormas melalui proses peradilan sangat dimungkinkan tetapi proses
pembubarannya tanpa melalui proses pemberian peringatan tertulis pertama, kedua dan
ketiga tetapi langsung diajukan ke Pengadilan oleh Pemerintah, seperti mekanisme
pembubaran Parpol.
DAFTAR PUSTAKA- Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1998)
- Philipus M Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta :
Gajahmada University Press, 1995
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang No. 17 Tahun 2013
- Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017
- http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2544-detail-mengapa-ruu-ormas-harus-
ditolak.html
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5188b1b2dfbd2/syarat-syarat-penetapan-
perpu-oleh-presiden
89
PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAHUNTUK MEWUJUDKAN WARGA NEGARA TRANSFORMATIF
Listyaningsih dan I Made SuwandaUniversitas Negeri Surabaya
[email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Masalah dekadensi moral merupakan masalah yang sangat serius dan perlu diupayakan agar tidak berkembang. Masalah tersebut bisa dilihat dari semakin meningkatnya perilaku yang tidak baik yang dilakukan oleh peserta didik di sekolah seperti bullying, tawuran antar pelajar, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pergaulan seks bebas, tidak mentaati aturan, dan sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penguatan pendidikan karakter di sekolah sangat penting dilakukan. Penguatan pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui pengintegrasian nilai karakter dalam pembelajaran, pembiasaan, keteladanan dan pembudayaan. Melalui penguatan pendidikan karakter ini diharapkan akan terbentuk pola pikir, pola sikap dan pola perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang positif (baik), sehingga mendukung terwujudnya warga negara transformatif.
Kata kunci: Pendidikan karakter, warga negara transformatif
PENDAHULUANSeiring dengan perkembangan zaman saat ini, pembangunan karakter memang harus
dilakukan. Beberapa kasus yang menunjukkan masalah dekadensi moral semakin meningkat
yang dilakukan oleh peserta didik di sekolah seperti bullying, tawuran antar pelajar,
penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pergaulan seks bebas, tidak mentaati aturan, dan
sebagainya. Adanya perilaku-perilaku tersebut jika tidak diperhatikan dengan serius akan
mengarah pada tindak kriminal.
Berdasarkan catatan biro pembinaan dan operasional mabes Polri, jumlah tindak
kriminalitas di Indonesia selama tahun 2013-2015 menunjukkan fluktuasi. Pada tahun 2013
terdapat 342.084 kasus, pada tahun 2014 terdapat 325.317 kasus, pada tahun 2015 terjadi
kenaikan dengan adanya 352.936 kasus. Sebagai contoh, jumlah kejahatan terkait kasus
narkotika di Indonesia, mulai tahun 2011-2015 menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2011
terdapat 18.074 kasus, tahun 2012 terdapat 16.589 kasus, tahun 2013 terdapat 19.953 kasus,
90
tahun 2014 terdapat 19.280 kasus sedangkan pada tahun 2015 menunjukkan kenaikan dengan
adanya 36.874 kasus. Selain itu kejahatan terkait dengan penipuan, penggelapan, dan korupsi
di Indonesia juga ada kecenderungan naik. Pada tahun 2011 terdapat 49.806 kasus, tahun 2012
terdapat 48.044 kasus, tahun 2013 terdapat 49.626 kasus, pada tahun 2014 terdapat 48.608
kasus dan tahun 2015 terdapat 54.115 kasus (statistik kriminal tahun 2016). Jika diperhatikan
data tentang kasus kriminalitas yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi. Adanya kasus-
kasus yang menjurus pada tindak kriminalitas tersebut memunculkan anggapan di masyarakat
bahwa sekolah gagal dalam membangun karakter anak bangsa. Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas menimbulkan pertanyaan: (1) apa yang dimaksud dengan penguatan pendidikan
karakter di sekolah?, (2) Mengapa pendidikan karakter di sekolah perlu untuk dilakukan
penguatan?, dan (3) Bagaimana cara melakukan penguatan pendidikan karakter di sekolah?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah (1) untuk memahami tentang
penguatan pendidikan karakter di sekolah, (2) Mengetahui pentingnya penguatan pendidikan
karakter di sekolah dan (3) Mengetahui cara melakukan penguatan pendidikan karakter di
sekolah.
METODE Metode yang digunakan dalam pembahasan masalah ini adalah dengan menggunakan studi
kepustakaan. Berdasarkan referensi dari berbagai sumber seperti buku, artikel ilmiah dalam
jurnal-jurnal, situs-situs internet kemudian disusun secara sistematis untuk memecahkan
permasalahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN1. Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah suatu proses yang dilakukan dalam
rangka membentuk pribadi yang bermoral dan dapat menghayati kebebasan serta tanggung
jawabnya baik dalam relasi dengan orang lain maupun lingkungannya. Lingkungan yang
dimaksud di sini meliputi lokal, nasional maupun internasional (global). Oleh karenanya
pendidikan karakter selalu berupaya mengarahkan pada pembentukan karakter pribadi yang
bermoral, cerdas dalam mengambil segala keputusan yang ditunjukkan melalui perilakunya
serta sanggup dan mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan bersama di masyarakat.
Artinya bahwa pendidikan karakter bertujuan ingin membentuk individu yang tahu, mau dan
mampu menghargai nilai-nilai kearifan lokal, nasional dan sekaligus dapat menjadi warga
negara di tengah-tengah masyarakat global dengan berbagai macam nilainya.
Pendidikan karakter merupakan sarana dan wadah bagi pembentukan pribadi yang
cerdas dan kompetitif. Melalui pendidikan karakter ingin dihasilkan pribadi cerdas yakni
insan yang memiliki karakter : a) kemampuan, yakni sesuatu yang dimiliki untuk dapat
91
menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan; b) keyakinan, yaitu pola pikir yang
memungkinkan seseorang untuk sukses; c) perilaku, yakni persepsi tentang dirinya dan
lingkungannya secara positif, d) rasa ingin tahu, yaitu naluri untuk bertanya, menyelidiki dan
motivasi diri dari dalam untuk selalu belajar dan selalu ingin tahu; e) kebiasaan, perilaku
atau pola pikir yang cederung mengarahkan supaya lebih berkembang; f) keterampilan,
yakni perilaku yang mengarahkan orang untuk menjadi efisien dan berkemampuan; dan g)
nasionalisme, yaitu pemahaman dan kesadaran berbangsa seutuhnya (Gardner dalam
Haris, 2010)
Menurut Kemendiknas (2010: 7) bahwa tujuan pendidikan karakter antara lain: (1)
Mengembangkan potensi kalbu/nurani/ afektif peserta didik sebagai manusia dan warga
negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; (2) Mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal
dan tradisi budaya bangsa yang religious; (3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; (4) Mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan
kebangsaan; (5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan
belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta dengan penuh rasa
kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Sementara mengacu pada pendapat Zubaidi (2011 : 17) yang mengatakan bahwa
pendidikan karakter dipahami sebagai penanaman kecerdasan dalam berpikir,
pengahayatan dalam bentuk sikap, dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan
Tuhannya, diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan karakter seharusnya mengembangkan ketiga aspek yang ada pada pendidikan,
yakni : (1) aspek kognitif untuk menambah wawasan atau pembentukan pola pikir peserta
didik, (2) aspek afektif, penumbuh kembangkan sikap peserta didik, dan (3) aspek
psikomotor, yakni melatih keterampilan atau pembentukan pola perilaku peserta didik.
Beberapa pendapat di atas mengindikasikan bahwa pendidikan karakter merupakan
suatu upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka membentuk manusia Indonesia
menjadi warga negara seutuhnya. Artinya warga negara yang memiliki wawasan, sikap
serta perilaku yang baik dalam kehidupan lokal, nasional serta global. Dengan kata lain,
pendidikan karakter ditujukan demi terbentuknya warga yang baik, yakni warga yang
memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai serta norma yang ada baik
dalam kehidupan lokal, nasional maupun dunia internasional (global).
2. Pentingnya Penguatan Pendidikan Karakter
Mengacu pada tujuan pendidikan karakter sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka
dalam rangka menyiapkan warga negara transformatif, yakni warga negara yang tetap
92
memegang teguh nilai-nilai lokal dan bersikap dan berperilaku global maka penguatan
pendidikan karakter penting untuk dilakukan. Adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia seperti korupsi, anarki, penyalahgunaan narkoba, rendahnya disiplin, dan
sebagainya bersumber pada karakter. Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu
yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari
keputusan yang ia buat (Suyanto, dalam Wibowo, 2012: 33). Oleh karena itu, dalam rangka
membentuk individu agar memiliki karakter yang baik maka institusi pendidikan dalam hal
ini sekolah memiliki tugas dalam menanamkan nilai-nilai karakter, baik melalui proses
pembelajaran maupun pembiasaan di sekolah.
Penguatan pendidikan karakter pada masa sekarang ini sangat penting untuk
dilakukan dalam rangka mengatasi masalah dekadensi moral yang terjadi di negara
Indonesia. Seperti yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, perilaku yang dilakukan
oleh anak-anak yang menjurus pada tindakan yang tidak bermoral bisa mengarah pada
tindakan kriminalitas. Hal tersebut, perlu diwaspadai dan diantisipasi melalui pendidikan
karakter di sekolah
Terjadinya masalah dekadensi moral ini menandakan bahwa, hasil belajar yang telah
dicapai oleh peserta didik cenderung pada ranah pengetahuan dari pada ranah sikap
maupun keterampilan. Sebagaimana yang disinyalir oleh Zubaidi (2011 : 2-3) bahwa salah
satu penyebab terjadinya tindakan a-moral adalah karena pendidikan di Indonesia lebih
menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif saja, sedangkan aspek
softskills atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan
secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Pembelajaran pendidikan karakter yang ada di
persekolahan sekarang ini cenderung masih memberikan konsep-konsep atau wawasan
(kognitif). Belum banyak guru melakukan pembelajaran yang dapat menumbuhkan sikap dan
pembiasaan sesuai dengan tujuan pendidikan karakter itu sendiri.
Dalam rangka mengatasi masalah dekadensi moral yang dihadapi bangsa Indonesia,
maka sekolah yang berbasis pada karakter perlu diwujudkan. Sulhan (2010: 7) mengatakan
bahwa, harapan ke depan, sekolah dapat menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang
handal, baik secara iman dan takwa (imtak) maupun ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Untuk itu perlu membangun kultur sekolah dengan landasan yang kokoh yaitu karakter.
3. Cara Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah
Dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah, ada beberapa strategi
yang dapat dilakukan, antara lain meliputi:
a. Materi dalam Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah
93
Supaya memudahkan di dalam melakukan penanaman serta penumbuh
kembangan nilai-nilai karakter kepada peserta didik di persekolahan, maka nilai-nilai
karakter yang ada, oleh Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas diterjemahkan ke dalam
jenjang pendidikan menjadi 18 (delapan belas) nilai yaitu : religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Dari ke- 18 (delapan
belas) nilai karakter tersebut di atas hidup, tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut ditanamkan melalui
berbagai bentuk antara lain: melalui ceritera rakyat, nyanyian/kidung, motto,
peribahasa dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, 18 (delapan
belas) nilai karakter tersebut di atas, disederhanakan, dipadatkan dan diklasifikasi
menjadi 4 (empat) nilai karakter yakni : (1) nilai kejujuran, (2) nilai kecerdasan, (3) nilai
kepedulian, (4) nilai ketangguhan (Suwanda, dkk. 2013). Keempat nilai karakter inilah
yang menjadi dasar, pedoman dan standar bagi masyarakat dalam berpikir, bersikap
dan bertindak serta sebagai dasar dalam melihat, memahami maupun menyelesaikan
persoalan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat..
Untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat, sejajar dengan bangsa-
bangsa lain sangat diperlukan bangsa Indonesia memiliki keempat nilai karakter
sebagaimana sudah disebutkan di atas. Daniel Goeleman dalam bukunya “Emotional
Inteligence” mengatakan bahwa kepribadian manusia mendominasi 80% dari kehidupan
seseorang, dibanding dengan kecerdasan otak yang hanya berkontribusi 20%. Sudah
disadari juga oleh para teknokrat dunia bahwa betapapun sebuah kemajuan telah
dicapai, namun akan dapat menjadi perusak bilamana kemajuan tersebut tidak
dikendalikan dan diimbangi dengan karakter yang di dalamnya berisikan tentang kaidah-
kaidah etika, moral maupun nilai-nilai agama.
Pengembangan karakter membutuhkan komitmen bersama dari semua
komponen bangsa serta membutuhkan proses yang panjang dan bertahap
sebagaimana pendapat Talcott Parsons. Dan yang paling urgen adalah menentukan
karakter yang seperti apa yang mau dibentuk dan dikembangkan. Hal ini sangat penting
untuk dijadikan perhatian bersama karena apabila dalam pembentukan dan
pengembangan nilai-nilai karakter hanya mengandung nilai-nilai yang baru sama sekali
dan tidak berasal dari budaya lokal, seringkali bisa menyebabkan terjadinya anomitas
sebagaimana yang dikatakan Emille Durkheim. Beliau mengatakan bahwa dalam proses
sosialisasi nilai seringkali terjadi anomitas yakni nilai-nilai baru yang mau ditanamkan
belum dianut dan diimplementasikan oleh masyarakatnya, sementara masyarakat sudah
tidak lagi meyakini nilai-nilai yang lama, akibatnya yang terjadi kemudian adalah
94
banyaknya persoalan-persoalan social, seperti : kenakalan remaja, korupsi, dan bahkan
menimbulkan mentalitas menerabas (Koentjaraningrat, 2002). Seperti yang sedang
melanda bangsa Indonesia sekarang ini. Untuk itu dibutuhkan pemikiran matang dan
bijak dalam memilih serta menentukan pendidikan karakter yang bagaimana yang cocok
dan dibutuhkan generasi sekarang yang dapat mempercepat terwujudnya tujuan dan
cita-cita nasional. Penumbuhkembangan karakter yang mampu menjadi modal sosial
sehinga dapat menjawab tantangan-tantangan yang ada sekarang dan di masa depan
sehingga peserta didik sebagai anak bangsa ini dapat menjadi warga negara maju dan
bermartabat baik dalam kehidupan lokal, nasional dan di dunia global..
b. Strategi Penerapan Pendidikan Karakter
Dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah, ada beberapa strategi
dan pendekatan yaitu (1) pengintegrasian nilai –nilai karakter pada setiap mata
pelajaran; (2) pembiasaan dan latihan; (3) pemberian contoh/ teladan; (4)
pembudayaan.
Mulai tahun 2013 kurikulum yang diterapkan di sekolah mengacu pada kurikulum
2013. Pada kurikulum 2013 terdapat 4 (empat) kompetensi inti yang harus dicapai dalam
pembelajaran untuk semua mata pelajaran yaitu (1) kompetensi sikap spiritual, berkaitan
dengan sikap beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) kompetensi
sikap social, berkaitan dengan sikap yang menunjukkan berakhlak mulia, sehat, mandiri,
dan demokratis serta bertanggung jawab; (3) kompetensi pengetahuan, berkaitan
dengan penguasaan ilmu pengetahuan; dan (4) kompetensi keterampilan berkenaan
dengan kecakapan berpikir dan bertindak secara kreatif, kritis, dan produktif. Dalam
upaya mencapai kompetensi inti tersebut, maka dalam proses pembelajaran tidak cukup
mentransfer pengetahuan saja, akan tetapi juga perlu mengintegrasikan nilai dan etika
agar kompetensi sikap spiritual, sikap sosial dan keterampilan dapat diwujudkan.
Pengintegrasian ini dilakukan dengan mencantumkan nilai-nilai karakter dalam
silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Di samping itu dalam proses
pembelajaran yang dilaksanakan oleh pendidik juga diarahkan agar nilai-nilai karakter
tersebut bisa diwujudkan. Dalam kurikulum 2013, proses pembelajaran meliputi kegiatan
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan
(5M). Sebagai contoh pada aktivitas mencari informasi dan diskusi, peserta didik
melakukan dengan penuh rasa percaya diri dan tanggung jawab.
Ada beberapa indikator perbaikan dalam proses pembelajaran terkait dengan
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah menurut Raka dkk. (2011: 121) antara lain
mencakup (1) peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran; partisipasi
ini bisa dilakukan dengan bertanya atau memberikan pendapat atau gagasannya selama
mengikuti pembelajaran; (2) meningkatnya tingkat kejujuran siswa atau menurunnya
95
tingkat kecurangan dalam proses pembelajaran, misalnya siswa harus jujur atau tidak
menyontek ketika ujian; (3) proses pembelajaran menjadi lebih menggembirakan namun
tetap terkendali, sehingga siswa akan lebih menikmati proses pembelajaran; (4)
Pendidik akan lebih kreatif baik dalam merancang maupun melaksanakan proses
pembelajaran. Dalam hal ini, pendidik dapat menerapkan model/ metode pembelajaran
yang variatif dan menyampaikan materi pelajaran lebih konkret, relevan, kontekstual dan
bermakna.
Pengintegrasian melalui pembiasaan dan latihan di sekolah dapat dilakukan
dengan pembiasaan melalui (1) kegiatan-kegiatan positif seperti salam, senyum, dan
sapa (3S) setiap hari saat anak datang dan pulang sekolah; (2) mengawali dan
mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan berdoa, sebagai wujud sikap beriman dan
bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa; (3) pembiasaan melaksanakan sholat berjamaah
bagi pemeluk agama Islam di sekolah; (4) pembiasaan angkat tangan apabila hendak
bertanya, menjawab, berkomentar, atau berpendapat dan hanya bicara setelah
dipersilakan, dan sebagainya.
Pemberian contoh atau keteladanan ini merupakan strategi yang juga penting
dalam penguatan pendidikan karakter di sekolah. Orang Jawa mengatakan bahwa guru
itu “digugu lan ditiru”. Artinya bahwa apa yang dikatakan oleh guru atau pendidik akan
diikut oleh peserta didiknya, dan apa yang dilakukan oleh guru atau pendidik akan
dicontoh oleh peserta didik. Keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah
diharapkan dapat menjadi panutan bagi peserta didik. Jika sekolah menghendaki
peserta didik bersikap dan berperilaku yang baik maka pendidik dan tenaga
kependidikan harus bisa menjadi modelnya. Misalnya datang tepat waktu, jujur, bertutur
kata dengan sopan, dan sebagainya. Sebagaimana yang disinyalir oleh Fitri (2012: 46),
bahwa pendidikan karakter di sekolah sangat dipengaruhi oleh perilaku guru (pendidik).
Perilaku guru yang negative dapat membunuh karakter anak yang positif (seperti,
pemarah, kurang peduli, merendahkan diri anak, mempermalukan anak di depan kelas,
dan sebagainya). Sedangkan perilaku guru yang positif (seperti sabra, adil, bijaksana,
ramah, santun dan sebagainya) akan membangun dan menguatkan karakter positif
anak.
Penguatan pendidikan karakter di sekolah melalui pembudayaan meliputi
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah, pendidik, dan tenaga
kependidikan dengan peserta didik. Suasana di sekolah diciptakan dengan
mengembangkan sikap dan perilaku yang baik antar warga sekolah. Kepemimpinan,
keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian social, kepedulian
lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggungjawab merupakan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam budaya sekolah (Kemendiknas, 2010: 20).
96
KESIMPULANPenguatan pendidikan karakter sangat perlu dan mendesak dilakukan di dunia
persekolahan dalam rangka membentuk warga negara yang baik (dalam skala nasional) dan
warga global. Pelaksanaan penguatan pendidikan karakter di Sekolah perlu mempertimbangkan
baik dalam pemilihan materi maupun cara atau strategi pembelajarannya. Dalam pemilihan
materi di dasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal, sedangkan dalam pembelajaran menggunakan
metode/strategi pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan sikap dan perilaku (aspek
sikap dan perilaku). Pemilihan materi dan metode/strategi yang tepat sangat menentukan
pencapaian tujuan yang diinginkan. Dengan penguatan pendidikan karakter di sekolah,
diharapkan bisa mendorong peserta didik sebagai warga negara untuk bersikap dan berperilaku
yang baik dan berkomitmen untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama serta ikut
berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
DAFTAR PUSTAKABukuBadan Pusat Statistik Indonesia. 2016. Statistik Kriminal 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Fitri, Zaenul, Agus. 2012. Pendidikan Karakter berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogyakarta:
Ar-Ruz Media
Goleman ,D. 1995. Emotional Intelligence ; Why It Can Matter More than IQ. New York: Batam
Books,
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa. Pedoman Sekolah. Jakarta : Kementerian Pendidikan Nasional
Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit : Djambatan
Sulhan, Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Sinergi antara Sekolah dan Rumah dalam
Membentuk Karakter Anak. Surabaya: Jaring Pena
Suwanda, I Made dkk. 2013. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal
Sebagai Sumber Nilai Pembelajaran IPS. LPPM Unesa (Laporan Hasil Penelitian)
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Strategi Membangun Karakter Bangsa yang
Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
97
SAYAN: MEKANISME GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT MULTIAGAMA(Studi di Desa Resapombo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar)
Katon Galih Setyawan21, Kusnul Khotimah22
ABSTRAK
Masyarakat desa di Indonesia masih erat dan kuat dalam melaksanakan gotong royong. Penelitian
ini dilaksanakan di Desa Resapombo dengan istilah gotong royong yang populer di masyarakat adalah
sayan atau gerakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif perspektif fenomenologi. Hasil
temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat multiagama masih melaksanakan kegiatan sayan denga
tipe sayan rumah, sayan fasilitas umum dan sayan tempat ibadah. Ketiga bentuk sayan tersebut
dilaksanakan oleh masyarakat lintas agama.
Kata Kunci: sayan, multiagama dan masyarakat pedesaan
A. PendahuluanPada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara
manusia satu dengan yang lainnya. Suatu bentuk dan sikap hubungan gotong royong akan
mundur ataupun punah sama sekali sebagai akibat pergeseran nilai-nilai budaya. Akan tetapi
sistem dan jiwa gotong royong tidak akan punah secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena
adanya nilai-nilai budaya yang terkandung didalam sistem budaya, budaya agama Islam,
budaya nasional merupakan suatu norma yang wajib dipatuhi oleh segenap warga masyarakat
dan pemerintah. Jadi tegasnya perpaduan antara kegiatan gotong royong dalam segala
bentuknya dengan penyediaan-penyediaan dan dan fasilitas tertentu harus dikombinasikan
sedemikian rupa sehingga pembangunan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien.
Desa agraris memiliki ciri kegiatan masyarakatnya dilaksanakan secara kolektif.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang kegiatan masyarakatnya banyak dilaksanakan
secara individual. Masyarakat desa agraris seperti yang ada di Desa Resapombo juga memiliki
budaya gotong royong yang tinggi. Istilah gotong royong pada masyarakat Desa Resapombo
dikenal dengan sebutan sayan atau gerakan. Sayan menurut Katon (2014) merupakan salah
satu bentuk keraifan lokal untuk mengelola kerukunan antarumat beragama di masyarakat
pedesaan.
21 Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya
22 Mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan IPS, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang98
B. Kajian PustakaGotong royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersamasama dan bersifat
suka rela dengan tujuan agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah
dan ringan. Menurut Koentjoroningrat (Rary, 2012), Gotong royong merupakan ciri budaya
bangsa Indonesia yang berlaku secara turun-temurun sehingga membentuk perilaku sosial yang
nyata dalam tata nilai kehidupan sosial. Nilai tersebut menjadikan kegiatan gotong royong selalu
terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut untuk dilestarikan.
Berkenaan dengan hal ini, Bintarto (Pasya, 2000), mengemukakan bahwa:
“Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah:
(1) Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya,
masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Didalam sistem makrokosmos
tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh
proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. (2) Dengan demikian manusia
pada hakikatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya.
(3) Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan (4)
selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dengan
sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah”
Pada kutipan tersebut, Bintarto menjelaskan kaitannya gotong royong sebagai nilai
budaya. Dengan adanya nilai tersebut menjadikan gotong royong senantiasa dipertahankan dan
diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan dengan bentuk yang disesuaikan dengan kondisi
budaya komunitas yang bersangkutan tinggal.
C. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan perspektif
fenomenologi, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, makna dan tindakan.
Penyajian data dari penelitian ini menggunakan format deskriptif yaitu dengan tujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagi kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena yang
timbul di masyarakat.
D. PembahasanWarga Desa Resapombo biasa melakukan sayan yang memiliki tiga bentuk yaitu sayan
rumah, sayan fasilitas umum dan sayan tempat ibadah. Ketiganya sering dilakukan sebagai
bentuk kearifan lokal yang masih dijaga sampai saat ini. Selain ketiga bentuk sayan di atas pada
dasarnya gotong royong pelaksanaan bersih desa juga bisa digolongkan sebagai bagian dari
99
kegiatan sayan, namun karena bersih desa dilaksanakan rutin setiap tahun sebagai suatu
kearifan lokal. Sayan tidak hanya dilakukan oleh salah satu agama saja. Warisan budaya ini
menjadi milik bersama yang dianggap sebagai sarana untuk meminimalisasi perbedaan agama.
Ketika melaksanakan sayan tidak ada identitas agama yang dibawa. Semua melaksanakan
dengan sukarela karena semua datang dari partisipasi pribadi masing-masing.
Menurut Raharjo (2004: 173) bahwa keberadaan lembaga gotong royong tidak terlepas
dari kebutuhan masyarakatnya. Pada awalnya masyarakat tidak terbiasa bertransaksi dengan
uang, maka pelaksanaan gotong royong ini sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat yang
belum terbiasa bertransaksi dengan uang. Ketika terjadi pergeseran pola ekonomi pedesaan di
masyarakat dengan adanya pasar desa dan terbiasanya masyarakat bertransaksi dengan uang
maka kegiatan gotong royong sedikit banyak ditinggalkan oleh masyarakatnya. Namun demikian
masyarakat Desa Resapombo masih melestarikan gotong royong sebagai bagian dari struktur
sosial masyarakatnya.
1. Sayan RumahSayan rumah dilakukan hanya pada saat ketika memerlukan tenaga yang besar
yaitu seperti pada saat pengecoran untuk lantai dua, memasang genteng di atas,
menurunkan genteng, membongkar tembok dan sebagainya. Kegiatan itu dilakukan hanya
dalam waktu satu hari. Dan biasanya pada awal membangun atau membongkar saja,
setelah itu kegiatan detail lainnya dilakukan oleh para tukang bangunan yang professional.
Kegiatan itu biasanya dilakukan pada pagi hari sampai siang atau bahkan sampai sore jika
memang harus banyak yang dikerjakan.
Bagi tetangga yang diminta tolong mengikuti sayan juga ada rasa tanggung jawab
untuk mengikutinya. Paling tidakbias menunjukkan kehadirannya barang sebentar kepada
tetangga yang mengadakan sayan. Ketika hanya bisa mengikuti sayan pada pagi hari
kemudian siang minta izin untuk pulang karena ada kegiatan semua warga akan
memahaminya. Ini lebih baik jika dibanding dengan tidak hadir sama sekali. Hal ini seperti
yang telah disampaikan seorang tokoh Kristen Protestan yang bernama Eko
Santoso/Bambung (39):
“Sebenarnya sayan itu hanya gerakan desa, gerakan ning tangga (di tetangga), itu hal
sepele hal kecil tapi besar efeknya bagi kerukunan antar umat beragama dan
merupakan cermin kerukunan antarumat beragama. Lho saiki lek awake dewe enek
gerakan terus diomongi terus awake dewe ora nyang, lha ndak yo dadi omongane
tangga, lha kae lo lek diomongi ratau nyang (Lho sekarang kalau kita ada gerakan
terus kita diberi tahu tidak hadir, kan jadi pembicaraan tetangga, lha itu lo diberi tahu
tidak pernah datang). Ya akan seperti itu, seperti hukuman sosial. Akan dibicarakan
oleh tetangga, walaupun sambil bercanda dalam membicarakan tangga sing ra tau
melu sayan kuwi mau (tetangga yang tidak pernah mengikuti sayan itu tadi).”
100
Sayan sebagai satu kegiatan kolektif masyarakat bagi desa yang multiagama bisa
dikatakan sebagai satu kegiatan yang efektif untuk membina kerukunan antar umat
beragama. Agama yang banyak tidak bisa disekat dengan kegiatan masyarakat yang
kolektif. Setiap warga harus hadir di setiap kegiatan sayan. Ketika satu warga tidak pernah
hadir untuk mengikuti sayan hal ini akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Sanksi
tersebut bisa berupa akan dibicarakan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Desa
Resapombo sebagai masyarakat yang sangat toleran tidak pernah melakukan tindakan
untuk memberi sanksi yang berlebih seperti pengusiran atau pengucilan dan lainnya. Sanksi
dibicarakan tetangga merupakan sanksi yang berat bagi masyarakat desa yang memiliki ciri
kehidupan kolektif.
Menurut Eko Santoso/Bambung (39) sebagai umat minoritas di Desa Resapombo,
umat Kristen Protestan akan selalu datang dan hadir di setiap kegiatan sayan. Bahkan
menurut tokoh muda Kristen Protestan ini jika di tetangga dekat dengar akan ada sayan
walaupun dia tidak diberi tahu akan tetap berangkat dan membantu mengikuti sayan. Hal ini
penting karena dengan mengikuti sayan berarti sudah bisa dikatakan merakyak dan bisa
melebur dengan masyarakat yang multiagama.
Keberadaan sayan rumah saat ini juga ada yang mempertanyakan kefektifannya.
Menurut Henrikus Juadi (50) tokoh masyarakat berprofesi sebagai guru dan beragama
Katholik menuturkan bahwa di Dusun Purworejo ketika diadakan sayan untuk pengecoran
lantai dua di rumah seorang warga telah terjadi insiden runtuhnya penyangga untuk tempat
pengecoran lantai dua tersebut. Insiden itu disebabkan karena banyaknya warga yang hadir
di kegiatan sayan tersebut. Henrikus Juadi masih menganggap sayan efektif untuk membina
kerukunan antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama bisa tercermin dalam
kegiatan sayan karena ketika mengadakan sayan tidak ada kepentingan agama apapun,
yang ada adalah kepentingan kerukunan dan kepentingan bersama.
Ketika mengadakan sayan rumah, tuan rumah sebagai pengundang memang tidak
memberi upah kerja namun akan memberi makan selama dua kali yaitu saat pagi sebelum
dimulai sayan sebagai sarapan dan siang ketika waktu istirahat. Selain memberi makan,
tuan rumah juga harus memberikan rokok dan minuman berupa kopi atau teh dan air putih.
Menurut warga yang pernah mengadakan sayan hal itu tidak merugikan tuan rumah karena
harga tenaga tetangga yang hadir mengikuti sayan jauh lebih tinggi jika dibandingkan biaya
yang dikeluarkan untuk konsumsi.
2. Sayan Fasilitas UmumAwal mula sayan adalah berupa sayan fasilitas umum. Saat ini sayan fasilitas umum
sudah banyak yang ditinggalkan dan jarang untuk dilaksanakan. Sayan fasilitas umum
101
biasanya berupa pembangunan jalan, pembangunan irigasi sawah dan pembangunan pos
kamling. Ketiga contoh yang disebutkan di atas praktis tidak pernah dilaksanakan lagi
kecuali pembangunan jalan. Pembangunan jalan masih sering dilakukan di saat jalan-jalan
dusun belum beraspal sehingga perlu pembenahan oleh masyarakat karena tidak ada
bantuan pembangunan dari pemerintah. Jalan dusun di Desa Resapombo banyak yang
berupa makadam dan berupa jalan cor. Sebagian jalan tersebut dibangun oleh swadaya
masyarakat.
Lingkungan rumah Sukardi (50) seorang pengusaha penyulingan minyak atsiri yang
beragama Islam menyatakan bahwa jalan di depan rumahnya yang berupa makadam
merupakan hasil swadaya masyarakat pada tahun 2007. Sebelum itu jalan dusun masih
berupa tanah dan berlumpur ketika musim hujan. Bersama perangkat desa dan tokoh
masyarakat dimusyawarahkan untuk mengadakan sayan pembangunan jalan berupa
makadam. Pada saat itu diputuskan untuk setiap warga mengambil batu dari sungai selama
setengah hari pada hari minggu. Batu-batu itu akan digunakan sebagai bahan baku
pembuatan makadam jalan, karena jika membeli batu akan membebani warga dengan
iurannya. Ketika itu setiap warga wajib untuk turun ke sungai untuk mengambil batu, namun
jika ada yang berhalangan atau tidak bisa turun ke sungai mereka diwajibkan untuk
membayar ganti biaya setara dengan upah pekerja setengah hari sebesar Rp 20.000,00
pada waktu itu.
Semua warga pada waktu itu bahu-membahu untuk sayan fasitas umum. Kegiatan
sayan ini dianggap sebagai bagian dari membina kerukunan antar umat beragama. Dengan
diadakannya sayan fasilitas umum semua warga yang lintas agama dapat berkumpul
bersama dan berinteraksi secara langsung sehingga mereka dapat semakin mengenal.
Kerukunan yang selalu dibina dengan kegiatan bersama ini merupakan cara untuk
meminimalisasi konflik. Cerita yang hampir sama juga disampaikan oleh Anthonius Bintoro
(41) yang menceritakan bahwa pengecoran jalan di depan rumahnya semua dilakukan oleh
warga, tidak ada bantuan dari pemerintah. Selain bantuan berupa tenaga warga yang
memiliki rezeki lebih juga memberikan bahan materian untuk digunakan. Dengan panjang
jalan sekitar empat kilometer dan dilaksanakan sendiri oleh warga menjadi ringan karena
dilaksanakan bersama-sama. Semua dilaksanakan secara kolektif dari warga, karena warga
Dusun Purworejo memiliki kesadaran yang tinggi untuk membangun daerahnya.
Bantuan sayan tidak hanya diberikan oleh mereka yang sering mengakses fasilitas
umum itu. Mereka yang tidak pernah mengakses sekalipun juga ada yang memberi bantuan
untuk kegiatan sayan tersebut. Seperti menurut Thomas Ponijo (50) juga sering memberikan
bantuan kepada warga yang mengadakan sayan di jalan pertanian. Thomas mengaku
jarang atau tidak pernah melewati jalan itu, namun ketika tahu ada sayan pembangunan
102
jalan dia memberikan bantuan dengan meminjamkan molen atau alat aduk pengecoran
yang dimiliki. Selain itu terkadang juga memberikan rokok kepada mereka.
Pelaksanaan sayan fasilitas umum saat ini tidak pernah dilakukan untuk kegiatan
semacam kerja bakti atau membersihkan lingkungan. Sudah jarang dilakukan untuk
membersihkan lingkungan. Untuk kesadaran kebersihan lingkungan belum begitu baik,
karena untuk sayan kebersihan lingkungan dilakukan karena mobilitas dari perangkat desa,
belum karena partisipasi.
3. Sayan Tempat IbadahTempat ibadah sebagai simbol benda agama merupakan tempat untuk memuji
kebesaran Tuhan. Setiap agama di Desa Resapombo memiliki tempat ibadah masing-
masing. Islam memiliki masjid dan langgar, Katholik dan Kristen Protestan memiliki gereja,
Hindhu memiliki pura dan Budha memiliki vihara. Semua ada sebagai kebutuhan pokok
setiap umat beragama. Pembangunan tempat ibadah dilakukan oleh warga secara
bersama-sama. Pembangunan tempat ibadah dibiayai dari dana umat.
Sayan juga berlaku untuk pembangunan tempat ibadah. Sayan tempat ibadah
dilakukan sama seperti dengan sayan yang lainnya. Sayan tempat ibadah juga berlaku
lintas agama bagi yang melaksanakannya. Umat Katholik biasa membantu pembangunan
masjid dan langgar, begitu juga umat Islam juga membantu pembangunan gereja. Sayan
tempat ibadah bagi Takrim al Azis (43) tokoh muslim pendiri langgar di lingkungannya
menyatakan bahwa pembangunan langgar di lingkungannnya yang dilaksanakan tahun
2009 yang lalu juga dibantu sayan dari umat agama lain yaitu Katholik dan Hindhu. Menurut
pendapat dia bahwa sayan tempat ibadah dilihat dari segi kemanfaatannya. Ditinjau dari
segi manfaat yang banyak jika mengadakan sayan untuk pembangunan tempat ibadah itu
lebih baik dan menguntungkan. Takrim al Azis (43) menjelaskan sebagai berikut:
“Dan ini tidak harus seagama itu, seperti musholla saya ini saya bangun
saat pertama kali bapak kepala desa Mulyono menjabat. Jadi Pak
Mulyono jadi kepala desa saya belum punya musholla. Ketika
mbangung pondasi musholla Pak Mul ikut ngangkati batako. Padahal
Pak Mul kan Katholik. Yang kesini itu Hindhu banyak Katholik banyak
ikut gotong royong membangun musholla…. Kalau kita mengambil
manfaatnya yang banyak Insya’ Allah berjalan dengan baik, ndak
masalah kalau ada manfaatnya, kalau ndak ada manfaatnya kita ikut-
ikutan bisa menjadi masalah.”
Sama seperti yang disampaikan oleh Takrim al Azis, salah satu umat Katholik
Anthonius Bintoro (41) juga menjelaskan bahwa pembangunan gereja Katholik di Dusun
Purworejo juga mendapat bantuan tenaga dalam bentuk sayan oleh umat muslim Dusun
103
Purworejo. Bagi warga untuk pembangunan tempat ibadah bisa dikerjakan bersama
karena pekerjaan ini bisa meringankan beban umat lain. Pandangan warga bahwa sayan
tempat ibadah adalah pekerjaan bersama yang harus diselesaikan bersama seluruh warga
lintas agama. Tidak ada pemikiran tempat ibadah membedakan warga antara satu dengan
yang lain. Warga tidak membatasi tempat ibadah antara yang satu dengan yang lainnya.
Tempat ibadah adalah milik bersama dan dibangun bersama serta dijaga bersama selama
masih ada di wilayah Desa Resapombo.
Berbeda dengan pemikiran tokoh di atas, salah satu tokoh Islam bernama H.M. Muslikh
(52) menyatakan bahwa dalam membangun tempat ibadah tidak bisa dibuat sama dengan
pembangunan fasilitas umum lainnya seperti jalan, poskamling, irigasi atau membongkar rumah
warga. Jika fasilitas umum bisa digunakan oleh semua warga lintas agama, tidak demikian
dengan tempat ibadah. Tempat ibadah hanya bisa digunakan oleh salah satu umat beragama
tertentu, sehingga tidak bisa dilakukan sayan oleh umat agama lain.
Kedua pemikiran yang berbeda ini menunjukkan bahwa pemahaman mengenai
kerukunan antar umat beragama yang berbeda pula. Pemikiran pertama yang disampaikan oleh
Takrim al Azis dan Anthonius Bintoro menunjukkan bahwa kerukunan bisa masuk dalam hal
yang sangat spesifik agama yaitu sampai pada ikut membantu pembangunan tempat ibadah.
Tempat ibadah dianggap sebagai milik bersama bukan milik salah satu agama tertentu
walaupun yang menggunakan tempat ibadah tersebut hanya salah satu agama. Merasa menjadi
tanggung jawab bersama inilah yang mengakibatkan rasa memiliki sehingga dengan mudah
untuk membantu bersama pembangunan tempat ibadah. Berbeda dengan dua tokoh itu H.M.
Muslikh seorang tokoh Islam memiliki pemikiran bahwa terdapat batas-batas tertentu atas
pembangunan tempat ibadah. Tempat ibadah merupakan simbol benda agama sehingga umat
agama lain tidak perlu untuk ikut membantu pembangunan simbol agama itu.
J.H. Boeke (dalam Rahardjo, 2004: 47) menjelaskan bahwa dalam masyarakat desa
kegiatan sosial dianggap jauh lebih penting dari kegiatan ekonomi. Sehingga kegiatan sosial itu
dianggap sebagai kegiatan yang harus diutamakan oleh setiap warga desa. Di dalam
masyarakat desa setiap orang merasa menjadi bagian dari keseluruhan, menerima tradisi dan
moral kelompok sebagai pedomannya. Tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berlatar
belakang sebagai petani akan menyetujui dan memperbolehkan mengadakan sayan tempat
ibadah lintas agama, sedangkan tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berlatar belakang
bukan sebagai petani akan tidak memperbolehkan sayan tempat ibadah lintas agama. Hal ini
dikarenakan masyarakat petani beranggapan menjadi bagian dari keseluruhan masyarakat,
sedangkan non petani relatif individualisme kelompok karena orientasi mereka pada kegiatan
ekonomi bukan pada kegiatan sosial.
E. Simpulan104
Warga Desa Resapombo biasa melakukan sayan yang memiliki tiga bentuk yaitu
sayan rumah, sayan fasilitas umum dan sayan tempat ibadah. Ketiganya sering dilakukan
sebagai bentuk kearifan lokal yang masih dijaga sampai saat ini. Sayan tidak hanya dilakukan
oleh salah satu agama saja. Warisan budaya ini menjadi milik bersama yang dianggap sebagai
sarana untuk meminimalisasi perbedaan agama. Ketika melaksanakan sayan tidak ada identitas
agama yang dibawa. Semua melaksanakan dengan sukarela karena semua datang dari
partisipasi pribadi masing-masing. Namun sayan tempat ibadah saat ini menjadi pertentangan
karena salah satu tokoh agama tidak menghendaki adanya sayan tempat ibadah, mengingat
tempat ibadah adalah urusan pribadi masing-masing agama sehingga tidak bisa
dicampuradukkan dengan kegiatan sosial. Hanya saja tokoh lain tidak sependapat dengan ini,
masih ada tokoh yang berpendapat bahwa sayan tempat ibadah masih boleh dilaksanakan lintas
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.
(Penerjemah: Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto). Depok: Komunitas Bambu
Pasya, Gurniwan Kamil. 2000. Gotong Royong dalam Kehidupan Masyarakat. PDF. Universitas
Pendidikan Indonesia
Pranowo, M. Bambang. 2009. Memahami Islam Jawa. Tangerang: Pustaka Alvabet dan
Indonesian Institute for Society Empowermrnt (INSEP)
Rahardjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Setyawan, Katon Galih. 2014. Kerukunan Antarumat Beragama: Studi tentang Peran Kearifan
Lokal dalam Mengelola Kerukunan Antarumat Beragama di Desa Resapombo,
Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga. Tesis
Tidak Diterbitkan
DAKWAH TRANSFORMATIF BERBASIS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Prodi PPKn STKIP PGRI Sumenep
ABSTRAK105
Trend media sosial yang terjadi hari ini menunjukkan bahwa viral media sosial telah menjadi trans-ideologi yang cukup efektif, baik sebagai perekat berbangsa dan bernegara maupun media propaganda dan pecah belah. Arus kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi berkembang begitu pesat menghapus demarkasi batas geografis antar negara. Arus informasi ini berpengaruh besar pada gaya hidup gaya hidup seseorang dan mengubahnya menjadi “tranding” dan “branding” kekayaan Indonesia berupa bangsa yang multikultur-kemajmukan. Indikasi ketergantungan pada media informasi, atau yang saat ini lebih dikenal dengan social-media, menjadikan seseorang lebih mudah menerima informasi apapun, tidak terkecuali informasi yang bersifat fitnah dan propaganda yang memecah belah. selama ini berbeda paham kebangsaan dan keagamaan, Sebagai bangsa dengan keragaman kultur buuh bekal keilmuan yang bisa menempatkan semua paradigma sesuai dengan wilayah kajiannya sehingga ketika dikaji secara komperhensip tidak dengan cara parsial, dan adanya klaim fanatisme dengan mengklaim dirinya atau kelompoknya paling benar dan yang lain dianggap salah atau tidak sah, padahal perbedaan selama bukan pada suatu perpecahan yang berujung saling menjatuhkan, intinya perbedaan tidak dilarang yang dilarang adalah perpecahan, sebab dalam suatu perbedaan didalamnya terselip sebuah kekuatan. Pendeakatan pendidikan multikultur dapat diaktualisasikan dengan pemahaman berupa nilai-nilai keberagaman agar terintegrasi secara nasional dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat, implementasinya harus tergambar dalam kehidupan sosial ekonomi, poltik dan budaya pada seluruh aspek kehidupan bangsa dalam penyelenggaraan negara agar pembangunan bangsa ini bejalan dengan dinamis dan sinergis.’
Keyword: Dakwah Transformatif, Pendidikan Multkultural
A. Konsep empowering society dakwah TransformatifSecara etimologi kata “Dakwah” berasal dari bahasa arab yaitu: yang berarti menyeru,
memanggil, mengajak, mengundang. Secara terminologi, dakwah menurut Asmuni Syukir
sebagai berikut: Pengertian dakwah dapat diartikan dari dua segi yaitu dakwah bersifat
pembinaan dan dakwah bersifat pengembangan. Pembinaan artinya suatu kegiatan
mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan
pengembangan yaitu suatu kegiatan yang mengarah kepada pembaharuan atau mengadakan
sesuatu yang belum ada.
Dunia dakwah hari ini harus di poles dengan Brand dan trand media sosial,
karena setiap hari kita menerima berbagai macam broadcast yang berisi pencerahan
dan dakwah, sekalipun tidak jarang juga menerima postingan yang tidak penting dan
menyulut perpecahan dalam kondisi kemajmukan bangsa Indonesia dengan seperti
inforamsi hoax dan berbagai ujaran kebencian. Dakwah merupakan suatu
rangkainan kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Dakwah dimaksudkan untuk pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah
kegiatan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kebaikan, sebab tanpa tujuan
yang jelas seluruh aktivitas dakwah akan sia-sia (tiada artinya). Apalagi ditinjau dari
106
segi pendekatan sistem (system approach), tujuan dakwah merupakan salah satu
dengan yang lain saling membantu, melengkapi dan mempengaruhi, berhubungan
(sama pentingnya).
Menyikapi maraknya media sosial butuh diimbangi dengan ijtihad dakwah
viral-global, maka jauh semua ini terjadi dalam al-Qur’an sudah termaktub tiga
metode dakwah. Pertama, bil hikmah yaitu dengan cara yang bijaksana, kooperatif,
egalitarianisme; tidak dilakukan dengan kekerasan (al-qaswah wa al-syiddah). Hal ini
bertujuan agar pesan yang ingin kita sampaikan mudah diterima dengan penciptaan
kesan yang baik (Ali As-Shabuni, Shofwatut Tafasir: 137). Arti hikmah sendiri adalah
pemaduan antara ilmu dan amal atau dengan bahasa lain, internalisasi teori ke
dalam hal praksis (al-tadfiq bain al-ilmi wa al-amal). Seorang da’i harus menguasi
ilmu agama yang rasikh (mendalam), memiliki pengetahuan yang luas tentang
kondisi geo-politis dan psikologis masyarakat, sehingga materi dakwah yang
disampaikan dapat diterimadan cerna dengan baik. Misalnya bagaimana Nabi
Muhammad ketika berdakwah secara keseluruhan dilakukan dengan cara hikmah.
Cara dakwah Nabi dengan selalu memberi contoh terlebih dahulu sebelum menyuruh
orang lain melakukannya. Problem kita hari ini adalah krisis keteladanan dan dakwah
hampir kehilangan “ruh” nya. Dakwah lebih bersifat seremonial dan entertain saja,
apalagi sejak “otoritas” ahli agama dalam bidang dakwah, diambil alih oleh para da’i
instan dan selebritis yang baru tanpa dietahui kapasitas dan kapbilitas keilmuannya.
Ironisnya, masyarakat kita yang “kagetan” begitu mudah menerima dan mengelu-
elukanya sebagai idola, sementara para ulama yang memiliki basis keilmuan dan
akhlaq yang baik, mulai ‘ditinggalkan”. Hal ini pandangan penulis karena kalah dalam
memberikan media yang cukup dalam membranding dai tersebut. Sehingga secara
market akan tertinggal, karena minimnya media yang menfasilitasi.
Kedua, bil mauidhotil hasanah, yaitu peringatan atau pembelajaran yang baik
kepada masyarakat. Metode ini lebih banyak digunakan di era sekarang ini baik dari
ceramah panggung ke panggung, motivasi, dan forum-forum pendidikan lainnya,
sampai menggunakan media yang menjadi trend saat ini yaitu sosial media
(sosmed). Setiap hari kita selalu menerima berbagai amacam broadcast yang berisi
pencerahan dan dakwah dengan berbagai cara dan upaya, sekalipun tidak jarang
juga menerima postingan yang tidak penting dan menyulut perpecahan. Hal ini patut
disyukuri, karena dengan kemajuan teknologi informasi, memudahkan kita
mendapatkan informasi yang kita butuhkan. Tapi di sisi lain kita harus berhati-hati, 107
karena informasi ini menjadi isu globalisme yang dijadikan media penetrasi ideologi
tertentu sebagai bentuk neo-imprealisme. Informasi yang diterima sepihak, begitu
ampuh memecah belah persatuan dan kesatuan yang susah payah dibangun oleh
pendiri bangsa ini. Bahkan secara tidak sadar kita membantu orang-orang yang ingin
memprovokasi dan mengadu domba kekuatan kita sendiri yang sering terjadi tanpa
kita sadari.
Ketiga, bil mujadalah (dialogis). Metode dialogis meniscayakan adanya
kesetaraan, egalitarianisme sehingga dialog itu bisa terjadi dan menemukan solusi
terbaik melalui munadhoroh yaitu argumentasi yang rasional dan meyakinkan.
Mujadalah juga berfungsi tabayyun (klarifikasi) dari masalah yang dihadapi, karena
menurut KH Hazim Muzadi masalah itu bisa terjadi karena salah paham atau
pahamnya yang salah. Salah paham bisa diselesaikan dengan jalan tabayyun
sedangkan paham yang salah, kebanyakan diselesaikan dengan jalan mujadalah
(dialogis). Melihat fenomena bangsa kita hari ini, tabayyun dan mujadalah selalu
ditempatkan pada ruang hampa yang tidak melahirkan maslahah. Persoalan
disintegrasi bangsa, rapuhnya sendi berbangsa dan bernegara seringkali tidak ada
tabayyun baik secara kostitusional, maupun tabayyun keagamaan, sehingga
konstitusi melahirkan praktek ketidakadilan, dan agama menampakkan wujudnya
yang tidak lagi ramah yang sejatinya menjadi nilai universal rahmatan lil alamin. Gus
Dur menawarkan solusi yang sangat mendasar bagi persoalan kebangsaan yang
tengah dihadapi dengan cara dialogis (mujadalah), karena dengan dialog semuanya
akan menemukan titik terang. Dan inilah yang dilakuan Gus Dur dalam
menyelesaikan masalah bangsa, seperti krisis ekonomi, disintegrasi, dan anti-
pluralisme, intoleran pada berbagai hal yang tidak sejalan dengan syahwat
pemahamannya yang destruktif-ekslusif.
Transformasi dakwah bukan hanya soal pemilihan metode dan media yang
akan digunakan, tapi orientasi gerakan dakwah memasuki spectrum baru yang
menjadikan seorang da’i (harus) memiliki branding tersendiri untuk bisa
mengartikulasikan pesan ilahi (dakwah) dalam kehidupan yang begitu cepat dan
“hidonis” agar mudah diterima. Walisongo melakukan dakwah mengajak penganut
kapitayan atau paganis dengan menjadikan wayang kulit sebagai branding. Agus
Sunyoto (2012) menyebutkan sinkretisme Islam-Hinduisme, pada akhirnya
menemukan titik temu dan menjadi geneologi Islam Nusantara seperti yang menjadi
branding Nahdliyyin saat ini. 108
Substansi gerakan dakwah sendiri bertujuan pemberdayaan masyarakat
(empowering society), baik dalam wilayah agama, sosial-ekonomi dan budaya. Arti
kata dakwah sendiri adalah mengajak orang lain menuju kebaikan (jalan Allah) yang
bermanifestasi dalam bentuk amar ma;ruf (memerintah kebaikan) dan nahi mungkar
(mencegah kemungkaran). Kata “ma’ruf” sendiri berasal dari asal kata “urf” yaitu
kebiasaan atau hal yang secara kebiasaan dianggap baik yang dalam teori filsafat
disebut dengan kebenaran konsitensi, sedangkan “mungkar” adalah sesuatu yang
secara umum dingkari. Hal ini bersesuaian dengan apa yang dikemukakan Abid Al-
jabiri dalam al-aql al-akhlaqi al-‘araby bahwa sebagian besar masalah etika-agama,
menempatkan posisi “urf” inhern sebagai unsur etika itu sendiri. Hal ini juga
berkesesuaian dengan pemikiran Immanuel Kant tentang etika yang tidak berdiri
sendiri. Etika menurutnya tidak semata timbul tentang konsepsi nilai baik (legalitas),
tapi implementasi dialektif kebaikan itu sendiri yang menjadi dasar pijakannya
(moralitas). Oleh karena itu, unsur lokalitas dan partikularitas menjadi bagian yang
tidak dipisahkan dalam melihat sesuatu yang dalam ukuran norma kemasyarakatan
dipandang “urf” (baik) atau tidak23.
B. Pendekatan Bebasis Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum,
biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan pendekatan (approaches)
yang beragam. Adapun pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan
multikultural adalah sebagai berikut:24
1. Pendekatan Kontribusi
Dalam penerapan pendekatan ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam
memahami dan mengapresiasi kultur lain. Pendekatan ini antara lain dengan
menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama.
Mengapresiasikan even-even bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa melibatkan pembelajar didalam pelajaran
atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga
diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau
signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.
23 M. Khalqi Kr, 2016. Dakwah Transformatif berwawasan Kebangsaan. Makalah Diskusi. Hal 1-224 Banks, J.A. An Introduction to Multicultural Education (2nd ed.). (Boston: Allyn and Bacon. 1999)
109
Namun pendekatan ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual
dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada
wilayah subjek inti.
2. Pendekatan PengayaanMateri pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam
kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Pendekatan ini memperkaya kurikulum
dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya.
Penerapan pendekatan ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai
atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi
pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-
lain.
Pendekatan ini juga menghadapi problem sama halnya pendekatan kontributif,
yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang
mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang
dominan.
3. Pendekatan TransformatifPendekatan ini secara fundamental berbeda dengan dua pendekatan
sebelumnya. Pendekatan ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari
sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Pendekatan ini memerlukan
pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan
yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.
Pendekatan ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan
pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan
agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau
kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Pendekatan ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip
kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4. Pendekatan Pembuatan Keputusan dan Aksi SosialPendekatan ini mengintegrasikan pendekatan transformasi dengan aktivitas nyata
dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial.
Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga
melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.
Pendekatan ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan
memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan
dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk
mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk
110
memberdayakan mereka dan membantu mereka mendapatkan sense kesadaran dan
kemujaraban berpolitik.
C. Paradigma Pendidikan MultikulturalSebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi
gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip
mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan
adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena
itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam
pelbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu
melalui pendidikan yang berwawasan multikultural. Pendidikan dengan wawasan
mutlikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu
rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai
pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok maupun negara25.
Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma
pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab
akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif
terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis
maupun agama. Karena ada Perbedaan-perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui
dalam pendidikan multikultural, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras,
kelompok pemeluk agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi ekonomi,
daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain26.
Melalui pendidikan multikultural ini anak didik diberi kesempatan dan pilihan untuk
mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai, gaya
hidup, atau bahasa.
Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada yaitu,
pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang didalamnya
melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah
menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang
diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada.
Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar
keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity
25 James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), hlm. 28.
26 Baker G.C.. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). (California: Addison-Elsey Publishing Company 1994), hlm. 11
111
pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap element yang
beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal
yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi element
pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur
yang berkeadilan27.
Karena orientasi dalam pendidikan yang harus dibangun dan diperhatikan antara lain
meliputi: Pertama, Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah
nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat
universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan
sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan
yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya
kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dan
unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang
masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta
negara.
Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu
kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama mi hanya dijadikan
sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan
orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi hams dibuktikan dengan
prilaku menuju path terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang
dipandang dan aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang,
tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas
mempakan sebuah kenyataan yang tithk mungkin ditinths secara fasis dengan memunculkan
sikap fanatisme terhathp sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi
hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua
istilah tersebut tithk pernah digunakan atau bahkan dihinthri jauh-jauh oleh para pengikut
paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang
politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat28.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:29
1) Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.
27 James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, hlm. 3-24
28 Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, (Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003), hlm. 18-2629 H.A.R Tilaar.. Kekuatan dan Pendidikan. (Jakarta: Grasindo 2004). hlm 59
112
2) Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai- nilai
kelompok etnis (kultural).
3) Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman
budaya bangsa dan kelompok etnis.
4) Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip
solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi
pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar
masyarakat melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar
berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural
yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan
segera terwujud.
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan
bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di
berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah
dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan
aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana para
pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-
nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah
pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang
kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat
pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju
kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural
bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif
dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi
budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk
mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan
untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya
secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan
dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa
konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat30. Pendidikan
multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam
30 Savage, T.V.,& Armstrong, D.G.. Effective Teaching in Elementary Social Studies. (Ohio: Prentice Hall, 1996)113
memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang
mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis31.
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:
1) Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang
beraneka ragam;
2) Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan
kultural, ras, etnik, dan kelompok keagamaan;
3) Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil
keputusan dan keterampilan sosialnya;
4) Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan
memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok32.
Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep
pendidikan untuk kebebasan33; yang bertujuan untuk:
1) Membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat;
2) Memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan
budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
Bangsa Indonesia menyadari bahwa kemajemukan etnik atau suku, ras,
sosial, budaya dan agama merupakan kepelbagaian yang berbeda satu sama lain.
Namun, demi kepentingan bersama menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera,
kepelbagaian menjadi penguat sehingga terintegrasi secara nasional sejak Indonesia
merdeka di bawah ideologi Pancasila. Kemajemukan yang terintegrasi secara
nasional menjadi kondisi potensi nasional yang harus dapat menempatkan nilai-nilai
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai landasan dan pedoman dalam mewujudkan
stabilitas nasional dan ketahanan nasional dengan segala aspek-aspek yang ada
didalamnya. Untuk itulah, aktualisasi pemahaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika
yang termaktub dalam Pancasila sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa perlu
dipahami dan dikembangkan serta diimplementasikan dalam berinteraksi sosial,
karena nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an mempunyai
fungsi sebagai motivasi dan rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,
keputusan, tindakan dan perbuatan dalam bermasyarakat dan kepemerintahan, baik
31 Farris,P.J.&Cooper,S.M. Elementary Social Studies: a Whole language Approach. (Iowa: Brown&Benchmark Publishers, 1994)
32 Skeel, D.J.. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrow”s World. (New York: Harcourt Brace College Publishers, 1995)
33 Dickerson, S.(1993). The blind men (and women) and the elephant. A case for acomprehensive multicultural program at Cambridge Rindge and Latin School. In T. A.Perry & J. W. Fraser (Eds.), Freedom's plow. Teaching in the multicultural classroom(pp. 65-89).( New York: Rout ledge.)
114
di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu,
berfungsi juga untuk mewujudkan nasionalisme yang tinggi disegala aspek
kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari
pada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah dengan
tetap menghormati kepentingan lain selama tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.
D. Penutup
Dakwah dalam pemahaman kaum moderat (aswaja) sudah jelas sebagai pembela NKRI
dan paham Islam Aswaja yang tasamuh (toleran), tawassuth (selalu mencari jalan
tengah/solusi terbaik), tawazun (keseimbangan/ketelitian dalam mempertimbangkan
mafsadah dan maslahah) dan i’tidal (bersikap lurus/istiqomah). Pemberdayaan
masyarakat selalu memperhatikan keempat aspek tersebut, sehingga aspek bil hikmah
selelau dikedepankan. Tidak mungkin hikmah dapat dicapai tanpa adanya sikap
toleransi, selalu mencari jalan tengah (solusi) terbaik, selalu mempertimbangkan
mafsadah dan maslahah dan bersikap lurus dalam melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar sebagai basis penguatan dan pemberdayaan masyarakat.
Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dijadikan arahan, pedoman,
acuan dan tuntunan bagi setiap individu dalam bertindak dan membangun serta
memelihara tuntutan bangsa yang terintegrasi secara nasional demi keutuhan NKRI
yang dikenal dengan masyarakat multikultural. Karena itu, implementasi atau penerapan
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan
pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan NKRI daripada
kepentingan pribadi atau kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Baker G.C.. 1994. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). (California: Addison-Elsey Publishing Company.
Banks, J.A. 1999. An Introduction to Multicultural Education (2nd ed.) Boston: Allyn and Bacon.
Dawam, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press.
115
Dickerson, S., 1993. The blind men (and women) and the elephant. A case for acomprehensive multicultural program at Cambridge Rindge and Latin School. In T. A.Perry & J. W. Fraser (Eds.), Freedom's plow. Teaching in the multicultural classroom(pp. 65-89). New York: Rout ledge.
Farris,P.J.&Cooper,S.M. 1994. Elementary Social Studies: a Whole language Approach. (Iowa: Brown&Benchmark Publishers.
H.A.R Tilaar.. 2004. Kekuatan dan Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
James A. Banks. tt.“Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee.
James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). 2001. Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass.\
Savage, T.V.,& Armstrong, D.G.. 1996. Effective Teaching in Elementary Social Studies. (Ohio: Prentice Hall.
Skeel, D.J..1995. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrow”s World. New York: Harcourt Brace College Publishers.
M. Khalqi Kr, 2016. Dakwah Transformatif berwawasan Kebangsaan. Makalah Diskusi.
GURU KREATIF, INOVATIF, DAN INSPIRATIF UNTUK MENCIPTAKAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Nur HamidahSMP Negeri 1 Cerme Gresik
Email. [email protected]
ABSTRAK
Guru profesional dituntut menguasai berbagai kompetensi mulai kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, maupun kompetensi kepribadian. Seiring dengan perkembangan zaman guru pun harus menjadi agen perubahan. Kenyataan yang ada masih banyak guru yang masih memegang teguh gaya konvensional. Hal yang sangat tidak sesuai dengan transformasi pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu. Guru tidak hanya harus mampu mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga mengajarkan nila-nilai yang ditunjukkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari. Peran guru sangat besar sebagai teladan bagi peserta didik. Guru harus bisa digugu dan di tiru. Pepatah jawa tersebut sangatlah tepat untuk menggambarkan unsur keteladanan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Banyak sekali yang harus dilakukan oleh guru untuk menjadi warga negara transformatif. Guru dikatakan sebagai agen perubahan, peran guru sangatlah besar untuk mencapai tujuan pendidikan di negeri ini. Guru adalah garda terdepan dalam mengemban tujuan pendidikan di Indonesia. Faktor utama yang menentukan baik buruknya layanan pendidikan adalah baik buruknya guru. Pengabdian guru dengan totalitas yang tinggi, dalam arti sarat dengan integritas dan antusiasme yang baik, cenderung akan menghasilkan kualitas pembelajaran yang diharapkan. Sebaliknya, lemahnya komitmen dan kesungguhan guru sebagai insan pembelajar, yang berakibat menurunnya layanan terhadap peserta didik, merupakan awal mula melemahnya layanan pendidikan. Peningkatan kualitas guru memang membutuhkan waktu dan proses. Setidaknya guru harus punya kemauan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Misalnya guru harus
116
mau mengikuti pelatihan dan pengembangan diri secara mandiri, tanpa harus menunggu perintah atasan atau difasilitasi oleh pemerintah. Guru selalu dituntut untuk kreatif, inovatif dan inspiratif.
Keywords : Guru Profesional, kreatif, inovatif, dan inspiratif
PENDAHULUANDalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat
(1) disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jadi guru profesional akan
mencerminkan penampilan dalam pelaksanaan pengabdiannya yang dibekali dengan keahlian
dalam materi maupun metode pembelajaran yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan
dan pelatihan khusus.
Tuntutan terhadap idealisme seorang guru menimbulkan banyak pendapat tentang guru
profesional. Guru profesional selalu dikaitkan dengan berbagai kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang guru. Mulai dari kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial,
maupun kompetensi kepribadian. Tak lepas dari empat kompetensi tersebut Jamil menjelaskan
tentang ciri-ciri guru profesional antara lain, 1) guru mempunyai komitmen pada siswa dan
proses belajarnya. 2) guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang
diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada siswa. 3) guru bertanggung jawab memantau
hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku
siswa sampai tes hasil belajar. 4) guru mampu berfikir secara sistematis tentang apa yang
dilakukannya, dan belajardari pengalamannya. 5) guru seyogyanya merupakan bagian dari
masyarakat pembelajar dalam lingkungan profesinya. (2013: 74)
Nampak jelas bahwa pemerintah menaruh harapan besar terhadap sosok guru dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional. Namun tuntutan menjadi guru profesional dirasa masih
jauh dari harapan. Kenyataan di lapangan masih terlampau jauh dari harapan. Nilai UKG yang
rendah, proses pembelajaran tidak menyenangkan, guru melakukan tindak kekerasan, kualitas
kejujuran yang masih jauh dari harapan merupakan beberapa hal yang masih mewarnai potret
guru di Indonesia. Kenyataan lain yang sangat berdampak bagi peserta didik adalah
menghadapi guru yang masih belum bisa mengikuti perkembangan dan transformasi
pendidikan. Guru masih mengajar dengan pola-pola yang konvensional. Saat ini masih banyak
dijumpai guru yang hanya datang ke sekolah, masuk kelas, menjelaskan materi, memberi tugas
pada siswa sampai kegiatan berakhir. Di era digital seperti sekarang masih jarang dijupai guru
yang kreatif, inovatif, apalagi mengisnpirasi peserta didik dalam proses pembelajaran.
Dalam memenuhi transformasi pendidikan seharusnya guru juga harus menjadi agen
transformasi itu sendiri. Idealnya seorang guru harus mampu menciptakan perubahan dalam
proses pembelajaran dari pembelajaran konvensional yang hanya berpusat pada guru. Menuju
117
ke pembelajajan modern yang berpusat pada peserta didik. Terutama di era transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini, seorang guru harus bisa lebih kreatif dan inovatif yang
mampu menginspirasi peserta didik. Oleh karena itu perlu diadakan pembahasan tentang
langkah-langkah menjadi guru yang kreatif, inovatif, dan inspiratif untuk menciptakan
transformasi pendidikan di era digital. Tujuannya adalah memberi gambaran yang nyata kepada
semua guru di Indonesia tentang cara-cara menjadi guru yang profesional sesuai dengan
tuntutan kompetensinya. Ke depan diharapkan guru-guru di Indonesia dapat menjadi agen
perubahan yang lebih kreatif, inovatif dan menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik.
METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan metode library reseach dengan jenis penelitian kualitatif.
Peneliti melaksanakan kajian pustaka dari berbagai sumber selama satu bulan mulai tanggal 25
Juni sampai dengan 25 Jui 2017. Peneliti mengumpulkan data-data dari sumber literatur berupa
buku sumber dan data-data riil dari berbagai pihak. Teknik analisa data yang digunakan adalah
teknik analisa kualitatif dengan cara mengambil kesimpulan dari data-data yang telah
didapatkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut Ukim Komarudin guru profesional harus memiliki enam elemen.
Pertama, value, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai yang diyakininya dan terintegrasi
dalam ucpan serta perilaku. Kedua, etthic, yaitu guru yang telah mengikat diri dalam
suatu lembaga selalu siap mengikuti aturan yang berlaku dalam lembaga tersebut.
Ketiga, attitude, yaitu menunjukkan sikap yang menyejukkan ketika bergaul dengan
sesama individu dalam komunitasnya. Keempat, habit, yaitu memiliki kebiasaan yang
positif untuk terus tumbuh, berkembang dan menjadi ahli di bidang yang digeluti.
Kelima, knowledge, yaitu menguasai pengetahuan yang terkait tanggung jawab
profesinya. Keenam, skill, yaitu mempunyai keterampilan yang mumpuni dalam
menyelesaikan segala permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya (2015:78).
Banyak hal yang harus dikuasaioleh seorang guru. Guru tidak hanya harus
mampu mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga mengajarkan nila-nilai yang
ditunjukkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari. Peran guru sangat besar sebagai
teladan bagi peserta didik. Guru harus bisa digugu dan di tiru pepatah jawa tersebut
sangatlah tepat untuk menggambarkan unsur keteladanan yang harus dimiliki oleh
seorang guru. Guru sebagai bagian dari masyarakat juga harus menunjukkan perilaku
118
yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku sebagai wujud dari kompetensi siosial
seorang guru.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa untuk menjadi guru profesional
bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi di era transformasi pendidikan seperti
sekarang. Di era yang serba digital ini seorang guru dituntut harus menguasai beberapa
kompetensi atau kemampuan dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Houle dalam (Jamil, 2013) secara akademik agar menjadi guru
profesional harus memiliki karakteristik antara lain, 1) harus memiliki landasan
pengetahuan yang kuat, 2) harus berdasarkan kompetensi individual, 3) memiliki sistem
seleksi dan sertifikasi, 4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antara sejawat,
5)adanya kesadaran profesional yang tinggi, 6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik),
7) memiliki sanksi profesi, 8) adanya ilitansi individual, dan 9) memiliki organisasi
profesi. Pemerintah harus turut memikirkan upaya untuk mencetak guru-guru yang
profesional
Saat ini upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan dilakukan
dengan berbagai cara. Pemerintah mulai melakukan pembenahan dengan menaikkan
alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Perbaikan sarana dan prasarana pendidikan terus ditingkatkan. Tak
kalah penting adalah peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana
pendidikan yaitu guru. Melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang
diselenggarakan untuk mengembangkan kualitas guru di Indonesia.
Program-program tersebut tentunya tidak bisa langsung terserap oleh seluruh
guru di Indonesia. Jumlah guru yang begitu banyak sangat mempengaruhi penuntasan
program tersebut. Data jumlah guru di Indonesia sampai akhir 2014 adalah sebagai
berikut :
TABEL 1JUMLAH GURU DI INDONESAIA
119
Data tersebut menunjukkan jumlah keseluruhan guru yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Kualifikasi pendidikan guru di Indonesia sampai saat ini yaitu 40
persen guru bergelar S-1, berarti sisanya yang 60 persen di bawah S-1. Semua guru
tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab tersebut tidak
terbatas pada segi kesejahteraan guru saja melainkan juga pada peningkatan mutu dan
kualitas guru di Indonesia. Secara bertahap pemerintah telah memikirkan nasib guru di
Indonesia. Hanya saja yang masih perlu mendapat sentuhan pemerintah adalah nasib
guru tidak tetap yang jumlahnya masih banyak tersebar di berbagai daerah.
Transformasi pendidikan menuntut banyak sekali perubahan dalam dunia
pendidikan. Guru sekarang dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan
pembelajaran. Guru kreatif adalah guru yang mampu menggunakan berbagai metode,
media, model maupun pendekatan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Umumnya
guru kreatif selalu peka terhadap kebutuhan peserta didik. Guru kreatif akan selalu
mengembangkan desain pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik. Guru
kreatif tidak akan menyampaikan materi pembelajaran saja, tanpa memikirkan materi
tersebut bisa terserap atau tidak oleh peserta didik. Suasana pembelajaran yang
dilakukan bersama guru yang kreatif akan terasa menyenangkan dan jauh dari unsur
membosankan.
Sesuai dengan yang dikatakan Mulyana bahwa guru kreatif akan menciptakan
susana belajar mengajar yang kreatif dan menyenangkan sehingga tidak membuat
peserta didiknya bosan. Di tangan guru-guru kreatif inilah seharusnya peserta didik
120
mendapat pendidikan. Model, gaya, dan karakter guru kreatif inilah yang membedakan
dengan guru lainnya. (2010: 134)
Guru kreatif selalu mampu menciptakan hal-hal yang berbeda dalam proses
pembelajaran. Materi pelajaran yang berbeda akan disampaikan dengan metode, media,
teknik, maupun pendekatan yang berbeda-beda pula. Guru kreatif tak akan pernah
kehabisan cara dalam menyampaikan pelajaran dengan cara yang menyenangkan.
Dalam pembelajaran CBSA guru kratif akan menggunakan berbagai cara untuk
memaksimalkan aktifitas siswa di kelas. dalam pembelajaran CBSA guru yang tidak
kreatif akan menyuruh siswa melakukan kegiatan Catat Buku Sampai Abis. Atau
pembelajaran CTL bagi guru tidak kreatif akan diterapkan sistem Catat Tinggal Lungo.
Itu ada beberapa contoh pembelajaran yang diplesetkan oleh banyak kalangan yang
disebabkan atas keprihatinan terhadap kondisi guru yang tidak memiliki kreatifitas.
Selain itu menurut Munandar dalam Mulyana (2010), ketika menerapkan cara
belajar kreatif, guru harus mengingat falsafah sebagai berikut :
1. Belajar haruslah menyenangkan
2. Anak adalah pribadi yang unik, yang harus dihargai dan disayangi
3. Anak haruslah terlibat secara aktif dalam aktivitas belajar
4. Anak perlu rasa nyaman, tanpa tekanan dan ketegangan
5. Anak harus punya rasa kebanggaan dan punya rasa memiliki
6. Anak harus merasa nyaman dengan guru
7. Guru harus kompeten
8. Anak harus punya kebebasan mendiskusikan masalah secara terbuka dengan
semua orang
9. Perlu menumbuhkan kerja sama lebih dari sekedar berkompetisi
10. Pengalaman belajar hendaknya dekat dengan pengalaman nyata.
Untuk menjadi guru kreatif harusnya semua guru bisa menerapkan semua
falsafah tersebut. Namun sedikit sekali guru yang bisa dibilang kreatif. Inti dari semua
proses pembelajaran adalah menggunakan berbagai cara supaya proses belajar
mengajar (PBM) terasa menyenangkan. Menurut Muhammad Asrori (2009) Salah satu
kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar subyek didik merasa aman secara
psikologis sehingga mampu mengembangkan aspek kognitifnya adalah dengan model
pembelajaran yang aktif dimana guru guru menciptakan lingkungan belajar sedemikian
rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada subyek didik untuk
berinteraksi edukatif.121
Hampir semua guru-guru di Indonesia telah memiliki sertifikat pendidik. Mereka
semua bisa dikatakan memiliki kompetensi yang cukup bagus sebagai seorang pendidik.
Berikut adalah data guru di Indonesia yang telah memiliki sertifikat pendidik :
Tabel 2Data jumlah guru di Indonesia yang sudah bersertifikat pendidik
Sumber : https://data.go.id
Meski demikian, kenyataan yang terjadi masih banyak guru-guru yang tidak
menunjukkan profesionalismenya. Proses pembelajaran yang dilakukan masih mewarisi
cara belajar di era 1980 an. Pada masa serba digital seperti sekarang masih dijumpai
guru yang mengajar dengan memnyuruh siswa menyalin catatan di papan tulis. Setiap
hari siswa hanya diberi ceramah selanjutnya disuruh mengerjakan soal-soal. Bahkan hal
itu sudah menjadi rutinitas guru sehari-hari. Sementara di era yang serba canggih
sekarang ini langkah siswa sudah lebih jauh dari sang guru.
Tanpa disuruh siswa sudah bisa mencari berbagai informasi lewat internet. Jika
siswa sudah bisa berkembang jauh apalah gunanya menyalin catatan dari papan tulis.
Bukankah waktu yang digunakan untuk menyalin catatan bisa digunakan untuk kegiatan
lain yang lebih menyenangkan. Misalnya berdiskusi, menganalisi kejadian atau
fenomena yang ada hubungannya dengan konsep materi yang diajarkan. Selain itu guru
bisa memanfaatkan waktu untuk belajar di luar kelas melakukan pengamatan terhadap
berbagai hal. Bukannya mengurung siswa di kelas dengan catatan-catatan yang bisa
dicopy atau bahkan sudah ada dalam buku panduan.
Dalam kondisi tertentu metode ceramah masih dibutuhkan. Namun guru
sekarang hampir setiap hari melakukan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Siswa
hanya bertindak sebagai pendengar pasif yang selalu membayangkan hal-hal yang
disampaikan oleh guru sehingga segala yang diterima masih bersifat abstrak. Jarang
122
sekali guru yang mendesain pembelajaran kontekstual memperlihatkan kondisi nyata
tentang apa yang dipelajari oleh siswa. Pembelajaran kontekstual tidak selalu harus
dilakukan di dalam kelas. Melainkan menggunakan media yang menunjang
pembelajaran supaya lebih kontekstual.
Guru harus merubah konsep berfikir sejalan dengan perubahan paradigma
dalam hal pembelajaran. Sudah waktunya guru meninggalkan gaya mengajar dengan
model konvensional dan beralih ke paradigma baru yaitu gaya mengajar yang
kontekstual. Guru harus bisa berubah dari yang biasa menjadi luar biasa, dari yang
primitif menjadi kreatif. Untuk menjadi guru yang kreatif guru harus memiliki sifat inovatif,
muda bergaul, mampu membaca karakteristik peserta didik, peduli pada peserta didik,
cekatan serta banyak akal.
Disamping kreatif guru juga harus lebih inovatif dan inspiratif dalam
pembelajaran. Menurut Damayanti, seorang guru inspiratif dan inovatif menunjukkan
karakteristik sebagai berikut :
1. Menetapkan standar yang tinggi dengan mengajarkan cara mencapainya
2. Hari pertama menjanjikan kepada siswa bahwa mereka akan belajar bersama
3. Suasana kasih sayang dan kepedulian yang murni, ketika ia berjanji kepada siswa-
siswanya bahwa kalian akan berhasil
4. Kalian akan membantu saya untuk menolong diri kalian sendiri
5. Jika kalian tidak memberikan apapun, jangan mengharap apapun
6. Kesuksesan tidak akan menghampiri kalian, tetapi kalianlah yang harus datang
menghampirinya
7. Kesenangan terhadap proses pembelajaran yang luar biasa
8. Jika para siswa tidak bermain sesuai irama, itu karena mereka belum mempelajari
caranya
9. Bakat adalah kualitas yang dapat diperoleh
10. Menciptakan suasana asuh, penuh kepercayaan dan tidak menghakimi
11. Sangat ketat, disiplin, dan penuh kasih sayang
12. Berprinsip dengan tantangan dan asuhan
13. Mengajarisiswa untuk mencapai standart yang tinggi dengan kerja keras
14. Mencintai pembelajaran bukan pengajaran
15. Mengungkapkan kekurangan siswa kemudian memberi mereka cara untuk
mengurangi kekurangan tersebut
16. Mengajarkan kemandirian kepada siswa123
17. Memberikan pemahaman bahwa sekolah adalah untuk kepentingan siswa
18. Terus menerus belajar bersama siswa dan membiarkan siswa untuk tahu terlebih
dahulu tentang sesuatu
19. Lebih cenderung memberikan motivasi daripada mengkritik siswa
20. Menggunakan berbagai strategi dan metode pembelajaran dalam pembelajarannya.
Secara rinci terurai beberapa hal yang biasa dilakukan oleh guru inspiratif dan
inovatif mulai dari hal yang paling sederhana untuk dilakukan. Hal-hal kecil sangat
diperhatikan bagi guru inovatif untuk membangkitkan minat dan motivasi siswa. Guru
inovatif akan selalu memikirkan kepentingan siswanya, memikirkan apa yang menjadi
kesulitan siswa yang harus dipecahkan melalui cara-cara yang inovatif.
Penting sekali untuk diperhatikan bahwa guru harus terus berinovasi dalam
pembelajaran. Guru inovatif cenderung mampu menemukan hal-hal baru yang
digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Proses menemukan berbagai inovasi
tersebut karena kepandaian guru dalam mengenali karakteristik peserta didik
disesuaikan dengan karakteristik materi/mata pelajaran yang diajarkan. Hal tersebut
digunakan oleh guru dalam membuat inovasi pembelajaran yang akan memudahkan
setiap siswa untuk memahami pelajaran sehingga peserta didik tidak akan menemui
kesulitan belajar.
KESIMPULAN
Transformasi pendidikan menuntut banyak perubahan dalam dunia pendidikan.
Guru senantiasa berada dalam garda terdepan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Transformasi pendidikan menuntut peningkatan profesionalisme guru. Guru
profesional adalah guru yang bisa memenuhi segala bentuk kompetensinya. Guru
profesional harus kreatif, inovatif, serta selalu mengispirasi berbagai pihak terutama
peserta didik.
Jika guru-guru mampu mengeksplorasikan kreatifitas dan inovasi pembelajaran
akan sangat mendukung kinerja mereka. Kreatifitas dan inovasi yang diciptakan akan
memberi kemudahan bagi guru maupun siswa dalam PBM. Apalagi jika hasil kreatifitas
dan inovasinya dapat dipublikasikan, akan sangat bermanfaat bagi orang lain. hal-hal
baru yang ditemukan oleh guru bisa dibagi pada teman sejawat. Belum lagi jika guru
turut serta dalam berbagai kegiatan lomba-lomba inovasi pembelajaran. Pemerintah
sangat memperhatikan inovasi seorang guru. Pemerintah akan memberikan reward bagi
guru yang benar-benar kreatif dalam menciptakan berbagai inovasi.124
DAFTAR PUSTAKADamayanti. 2016. Sukses Menjadi Guru Humoris dan Idola Yang Akan Dikenang Sepanjang
Masa. Jogjakarta: Araska Publisher
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Nasional_Pendidikan. Diakses pada tanggal 6 Januari 2017
Jamil Suprihatiningrum, M.Pd. Si. 2013. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan Kompetensi Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mulyana A.Z. 2010. Rahasia Menjadi Guru Hebat Motivasi Diri Menjadi Guru Luar Biasa. Jakarta: Grasindo
Satu Data Indonesia. https://data.go.id/dataset/guru-sertifikasi. Diakses tanggal 26 Agustus 2017
Ukim Komarudin. 2015. Arief Rachman GURU. Jakarta: Esensi
KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH:Upaya Untuk Menanamkan Nilai Keberagaman pada Peserta Didik
Oleh:Totok Suyanto*)
*) Staf edukatif Prodi PPKn, Jurusan PMP-KNFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM - UNESA
AbstrakPenanaman nilai keberagaman pada peserta didik menjadi suatu kebutuhan mengingat
situasi nasional serta beberapa hasil penelitian menunjukkan data bahwa bahwa masyarakat Indonesia semakin individualis, dan pada saat yang bersamaan menguatnya gejala intoleransi di masyarakat. Jika kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya, maka dalam jangka panjang kebhinekaan masyarakat Indonesia yang akan jadi taruhannya. Untuk itulah pendidikan multikultural yang bertujuan menanamkan nilai-nilai keberagaman pada peserta didik sudah saatnya dijadikan sebagai bagian integral kurikulum sekolah.
Kata kunci: pendidikan multikultural, nilai-nilai keberagaman , kurikulum sekolah
Pendahuluan
Bagi bangsa Indonesia kemajemukan adalah sebuah realitas sosial, dan bersifat menyejarah.
Dikatakan realitas sosial karena memang faktanya sejak awal bangsa Indonesia, susunan
kebangsaanya yang ditandai dengan keanekaragaman baik etnis, agama, dan budaya. Realita
tersebut setidaknya telah disadari oleh para pendiri negara yang kemudian dituliskan dalam
lambang negara yang bertuliskan bhineka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
125
Bersifat menyejarah karena tumbuh dan berkembangnya bangsa ini dengan segala dinamikanya
tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai masyarakat yang bersifat multikultural.
Sejak awal bangsa Indonesia bercorak kebhinekaan. Posisi silang menjadi salah satu
penyebab berkembangnya masyarakat nusantara yang bercorak multikultural. Posisi silang tidak
hanya bermakna geopolitik, namun juga kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Latif (2011)”..... di
tanah nusantara apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial
dan tata nilai setempat, dapat berkembang secara berkelanjutan”.
Untuk itu keterbukaan merupakan karakter bangsa Indonesia yang telah melekat kuat dan
tumbuh berabad-abad yang lalu. Kerelaan dan kesediaan bangsa Indonesia untuk menerima
beragam bangsa lain di dunia, yang dibuktikan oleh berbagai catatan sejarah sebagaimana
disebutkan dalam beragam peninggalan sejarah telah memperkuat pandangan di atas. Karenanya
proses persilangan budaya menjadi salah satu cirinya. Kedatangan berbagai agama besar dunia
baik Hindu, Budha, Islam, serta Katolik dan Kristen yang berlangsung ratusan tahun yang lalu
menjadi fakta historis adanya sifat keterbukan bangsa Indonesia. Kekayaan budaya nusantara
yang didasarkan atas keanekaragaman budaya menjadi landasan sekaligus roh bagi
berkembangnya paham kebhinekaan (multikulturalisme) di tanah air. Untuk mentransmisikan
nilai-nilai multikultural dari generasi pendahulu kepada generasi kemudian, diperlukan metode
pembelajaran sosial yang efektif sehingga mampu menjamin proses akulturasi akan berlangsung
dengan dinamis dan alamiah sesuai dengan slogan Bhineka Tunggal Ika.
Multikulturalisme
Multikulturalisme sebagai sebuah pemikiran sekaligus gerakan politik bersumber pada
filsafat pluralisme. Montesquieu, sebagai salah satu penganut pluralisme budaya menyatakan
bahwa keanekaragaman kultural adalah adalah sifat kehidupan manusia yang berkembang secara
evolutif dan mutlak (Parekh, 2008:84). Tidak ada dua masyarakat yang sama. Tiap masyarakat
memiliki adat, praktek, cara, sistem hukum, struktur kekeluargaan, dan bentuk pemerintahan yang
berbeda, dan masing-masing mendorong keinginan yang berbeda, moral, kebaikan dan sikap
perilaku, bentuk keunggulan dan konsepsi hidup yang baik. Keanekaragaman (multiculture)
adalah wacana baru masyarakat dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai
pengganti wacana monokultur yang bersifat rasis dan elitis (Van Dijk, 1999).
Fakta sosiologis menjelaskan bahwa kita masih hidup dengan budaya yang berbeda-
beda (cultural diversities atau multicultural) dibanding budaya yang majemuk
(multiculturalism). Kebudayaan majemuk yang kita maksudkan itu masih di level cita-cita
dan diharapkan terwujud melalui multikulturalisme itu sendiri. Dengan demikian, 126
multikulturalisme adalah sebuah teori rekayasa sosial agar multi-budaya di Indonesia terus
bersatu dalam satu bingkai yang utuh. Budaya yang utuh itu sendiri bukan berarti
meleburkan setiap budaya dalam satu adonan baru (social cohesion) atau mengabaikannya
(liberal citizenship), akan tetapi komitmen saling menghargai dengan tetap melestarikan
identitas masing-masing budaya (Umam, 2017).
Dalam konteks ini bagi bangsa Indonesia multikuluralisme lebih nampak sebagai sebuah
harapan dan cit-cita, belum sebagai sebuah ideologi. Namun demikian belajar pada pengalaman
bangsa-bangsa lain di dunia, multikulturalisme akan berkembang menjadi sebuah gerakan
(politik) yang menuntut adanya pengakuan (legalitas) dari negara. Globalisasi diduga menjadi
salah satu faktor yang ikut menyebarkan ideologi multikulturalisme melalui perangkat teknologi
komunikasi dan informasi, serta media sosial. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Anthony
Giddens (2000) yang menyatakan multikulturalisme adalah gejala baru yang menandai era
globalisasi. Dengan kata lain multikulturalisme tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.
Ditambahkannya multikulturalisme memiliki kelebihan dibandingkan dengan monokultural
terutama dalam hal kesetaraan dan keadilan.
Masyarakat Multikultural
Gagasan/idea tentang multikulturalisme akan mendapatkan tempatnya jika dipraktekkan
dalam tatakelola masyarakat yang didasarkan atas kesetaraan dan keadilan. Setiap unsur dari
mesyarakat memiliki kesempatan yang sama (yang dijamin oleh konstitusi) dalam
mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian dalam
aktualisasinya seringkali ditemui bahwa tatakelola masyarakat multikultural seringkali dijumpai
adanya konflik sosial. Semangat untuk bersatu dan saling melengkapi antara elemen masyarakat
multikultural berhadapan langsung dengan potensi konflik yang dikandungnya.
Sejalan dengan pandangan di atas Sutherland (2000) menyatakan bahwa masyarakat
multikultur selain memiliki potensi positif dalam bentuk asimilasi dan terciptanya integrasi sosial,
juga rawan bagi terjadinya konflik sosial. Proses asimilasi dan integrasi yang terjadi dalam
masyarakat multikultur antara lain dapat berbentuk melting pot, dimana masing-masing unsur
saling meleburkan diri, saling memberikan pengalaman, keterampilan dan intelektualitasnya yang
akhirnya akan memperkaya budaya masyarakat multietnik tersebut. Di samping itu, keberagaman
masyarakat yang berupa multikultur-multietnik juga berpotensi bagi terciptanya konflik dan
disintegrasi sosial. Agar masyarakat multikultur dan multietnik dapat dipertahankan maka
diperlukan tatanan masyarakat yang demokratis, yang memberikan ruang gerak bagi setiap
kelompok sosial untuk mengaktuliasasikan potensi dan kreativitasnya.127
Untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang dicita-citakan maka dibutuhkan peran
sentral dari negara. Namun kedudukan dan peran negara sebagai sistem besar yang universal,
sebagaimana digambarkan oleh Newton sekarang ini tengah mengalami pergeseran makna.
Sebagaimana diungkapkan JF Lyotard (1989) metafora negara sebagai sistem kosmologi, kini
digantikan oleh metafora ekologis, yang menekankan sifat-sifat keanekaragaman (diversity),
perbedaan (difference), kesetaraan (egaliter), dan penyesuaian diri (adaptability). Metafora
monster Leviathan yang menggambarkan negara sebagai sistem yang kosmopolit sebagaimana
digambarkan oleh Thomas Hobbes telah digantikan oleh metafora liliput-liliput (daerah, suku,
ras, dan agama) yang berusaha menavigasikan diri di dalam habitatnya. Ringkasnya, metafora
narasi-narasi besar (grand narrative) digantikan oleh narasi-narasi kecil (yang plural) yang
mengangkat kembali nilai lokalitas, etnisitas, dan keunikan setempat (Piliang,2/1/2000).
Sementara itu Duffy (1986) menyatakan bahwa masyarakat yang bercorak multikultur
memiliki tiga ciri utama yang selalu melekat di dalamnya yakni: keanekaragaman (diversity),
persamaan (equality) dan interaksi melalui pembagian tugas (interaction through sharing).
Dalam pada itu McLean menandaskan bahwa sebuah masyarakat yang becorak multikultur
setidaknya memiliki sejumlah elemen pokok yakni: munculnya keberagaman; setidaknya
terdapat interaksi dan sharing antar anggota komunitas; kesamaan akses kepada sumberdaya
ekonomi dan pendidikan bagi semua kelompok budaya; terjaminnya hak-hak sipil dan politik
anggota masyarakat; nilai-nilai kebudayaan yang beragam; serta adanya komitmen bersama
terhadap suatu bangsa (shared commitmeent to one nation).
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah bangsa yang bercorak mutikultur
jelas dibutuhkan adanya prinsip toleransi dan saling menghormati antar komponen
kebangsaan (Hanurawan, 1997) serta menerima perbedaan sebagai realitas (kesadaran
multikultur). Curtis (1992) menyatakan bahwa kesadaran multikultur adalah kesadaran
seseorang bahwa ia hidup dalam masyarakat yang anggotanya amat beragam baik dalam etnis,
agama, budaya, pekerjaan, sosial ekonomi dan sebagainya. Tujuan keadilan sosial yang
berakar pada demokrasi merupakan suatu keharusan dalam masyarakat yang bersifat
multikultur. Berakar pada prinsip demokrasi maka kesadaran multikultur perlu
disosialisasikan pada setiap individu dalam komunitas sosial.
Pendidikan Multikultural
Untuk mensosialisasikan kesadaran multikultur kepada seluruh komponen sosial maka
diperlukan adanya pendidikan multikultur (multiculture education). Melalui pendidikan
multikultur pada siswa madrasah ibtidaiyah yang notabene sebagai sekolah berbasis agama 128
diharapkan ke depan akan menjadi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman
serta wawasan tentang apa itu multikulturalisme serta pentingnya prinsip tersebut dalam
kehidupan bersama. Diharapkan setelah memperoleh pengetahuan akan menimbulkan
kesadaran dan akhirnya menerapkan kesadaran multikulturalisme ini dalam kehidupan
sosialnya. Dalam bahasa Louis Gates Jr (1992) dinyatakan: “There is no tolerance without
respect – and without knowledge”.
Sementara itu Anita Lie (CSIS, 2000) menyatakan pendidikan yang menekankan pada
kesatuan saja akan menghasilkan pola-pola berpikir sempit dan mencerabut orang dari budaya
aslinya. Ketegangan dan kekerasan di beberapa bagian negara menunjukkan bahwa dorongan
yang berlebihan pada kesatuan yang sudah dilaksanakan selama lebih dari 30 tahun terakhir
bukan merupakan solusi yang efektif bagi resiko dan ancaman disintegrasi. Di beberapa
negara lain, “multikulturalisme merupakan terapi bagi etnosentrisme, di Indonesia
multikulturalisme bisa menjadi penyeimbang kesatuan” (Budianta, 1996). Pada saat sekarang
bangsa Indonesia sedang memulai upaya-upaya reformasi, sudah waktunya keragaman etnis,
agama, dan rasial dianggap sebagai kekayaan nasional. Dengan perspektif ini, pendidikan
multikultural dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman dan penghargaan di antara semua
warga masyarakat.
Disamping efektif untuk memberikan perspektif multikultur pada masyarakat,
pendidikan multikultur dapat pula digunakan sebagai media untuk mengurangi prasangka
kelompok satu kepada kelompok lainnya (Hanurawan, (1997). Lynch (1987)
menggarisbawahi bahwa terdapat keterkaitan antara timbulnya prasangka (prejudice) dengan
lingkungan sosial seseorang. Keterkaitan ini sangat relevan sekali dengan fakta bahwa
beberapa munculnya prasangka kelompok pada diri anak-anak diperoleh dari lingkungan
sosial mereka.
Hal itu sejalan dengan pendapat dari Bennet (1986) yang menyatakan bahwa asumsi
dasar pendidikan multikultural adalah bagaimana kelompok-kelompok etnik yang beragam
dapat menentukan sendiri budaya asli yang mereka miliki, serta pada saat yang bersamaan
dapat menjadi multikultural. Dengan kata lain orang-orang dapat belajar tentang berbagai
macam alternatif untuk mempersepsi, berperilaku, dan mengevaluasi kelompok lainnya
sehingga mereka dapat menyesuaikan kepada aspek-aspek makrokultur yang diperlukan untuk
kesejahteraan bersama masyarakat, tanpa melakukan pengurangan penerimaan akan
etnisitasnya sendiri yang orisinal.
Dengan mengambil setting pada masyarakat Amerika Serikat yang bersifat multietnis
dan multikultur, Martorella (1994) menyatakan pentingnya pendidikan multikultur. 129
Dijelaskannya pendidikan multikultur memiliki arti yang sangat signifikan bagi bangsa kita
karena kekayaan dan campuran ras dan kelompok etnis pada masyarakat kita. Juga pendidikan
multikultural akan berkaitan dengan intersect tema-tema pokok dalam sejarah kita dan
komitmen kebangsaan kita untuk memberikan perlakuan secara sederajat setiap warga negara.
Mengingat adanya kesamaan dalam batas-batas tertentu antara masyarakat Amerika
dengan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal multietnik dan multikultur, maka
pernyataan di atas menunjukkan bahwa pendidikan multikultur sangat penting bagi upaya
pembangunan watak bangsa (nation and character building).
Oleh sebab itu isu pokok dalam pendidikan multikultur adalah: Bagaimana kita dapat
menunjukkan kekayaan dan keunikan keberagaman kita dan memberikan berbagai perspektif
yang menunjukkan perbedaan-perbedaan kelompok-kelompok yang ada, serta pada saat yang
bersamaan menekankan pada pentingnya persatuan dan kesatuan untuk memperkuat bangsa
kita secara politik, ekonomi maupun sosial?
Atas dasar pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa fokus perhatian pendidikan
multikultur adalah memberikan wawasan budaya kepada anggota masyarakat agar mereka
dapat hidup berdampingan secara damai dengan kelompok sosial lainnya. Hal ini sejalan
dengan hasil rekomendasi APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa hasil pendidikan
tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan anak didiknya, namun juga
dalam hal penanaman dan pengembangan nilai-nilai dan afeksi mereka yakni dalam
bentuk .......”belajar hidup bersama, berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu /
masyarakat dari kelompok budaya yang berlainan dalam segala aktivitas...” (Mutohir, 1997).
Secara lebih operasional Katz (dalam Mogdil, 1986) menyatakan bahwa terdapat 4
tujuan pendidikan multikultur. Pertama, memberikan pengalaman belajar kepeda siswa yang
mengenalkan secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme,
demokrasi partisipatori dan exisme. Kedua, mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi
nilai, termasuk kajian untuk menstransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest. Ketiga,
untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran
guru madrasah. Keempat, mengkaji variasi kebahasaan dan keberagamam gaya belajar
sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai.
Agar program pendidikan multikultur berjalan sesuai dengan maksud diadakannya yakni
memberikan perspektif multikultur kepada siswa madrasah ibtidaiyah. Maka strategi desain
yang disusun mencakup 9 hal sebagai berikut :
1) Belajar bagaimana dan di mana menentukan tujuan, informasi yang akurat tentang
kelompok- kelompok kultur yang beragam130
2) Identifikasi serta periksalah aspek-aspek positif dari individu-individu atau kelompok-
kelompok etnik yang berbeda
3) Belajarlah toleran untuk keberagaman melalui eksperimentasi di dalam sekolah dan
kelas dengan praktek-praktek dan kebiasaan yang berlainan
4) Dapatkan, jika memungkinkan pengalaman positif dari tangan pertama dengan
kelompok-kelompok budaya yang beragam
5) Kembangkanlah perilaku-perilaku yang empatis melalui bermain peran (role playing)
dan simulasi.
6) Praktekan penggunaan “perspective glasses”-yakni, melihat suatu event, babakan
sejarah, atau isu-isu melalui perspektif kelompok budaya atau jender lainnya
7) Kembangkan rasa penghargaan diri (self-esteem) seluruh siswa /peserta
8) Identifikasilah dan analisislah stereotip-stereotip budaya
9) Identifikasilah seluruh kasus diskriminasi serta prasangka sosial yang berasal dari
kehidupan siswa sehari-hari (Martorella, 1994).
Penutup
Pendidikan multikultural sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai pada diri siswa,
kontennya harus mengacu dan mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan
hidup maupun ideologi negara. Tanpa mengaitkan dengan nilai-nilai Pancasila maka pendidikan
multikutural berpotensi untuk kebablasan dan menjadi media penyebaran berbagai ideologi
bangsa lain dan pada akhirnya akan menciptakan disintegrasi bangsa
Daftar Pustaka
Budianta,M.(1996). The Relevance of Multiculturalism in Indonesia. Paper presented in one-day seminar on Multiculturalism in Britain, the U.S.A, and Australia.Universitas Indonesia, March, 12.
Dijk, A.V.T.(1999). Rasisme Baru Dalam Pemberitaan Pendekatan Analisis Wacana dalam “Dari Keseragaman Menuju Keberagaman Wacana Multikultur Dalam Media .Jakarta:Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP)
Duffy,D.(1986).Remodelling Australian Society and Culture;A Sudy in Education for a Pluralistic Society.In Mogdil,C. & Verma,S & Mogdil,S (eds) Multicultural Education, the interminable Debates.London:The Falmer Press.
Hendriati,Agustina.(1999).Peran Orangtua Dalam Pendidikan Anak di Era Globalisasi .Dalam asih – Majalah Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, vol II,no.1, Maret 1999
131
Gates,H.L.,Jr.(1992).”Loose Canons:Notes on the Culture Wars. Oxford:Oxford University Press.
Latif, Yudi.(2011).Negara Paripurna.Historisitas, rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.Jakarta:PT Gramedia
Lynch,J.(1987).Prejudice Reduction and the Schools .New York:Nichols Publishing Company.
Martorella,H.,P.(1994).Social Studies For Elemntary School Children.Developing Young Citizens .New York:Merril Publishing Company
Mc.Lean,B.(1991).Multicultural Studies.In Marsh,C.(Ed)Teaching Social Studies,and Environment.Sidney:Prentice Hall
Lie,Anita.dkk,.(2000).”Keberagaman Budaya dan Otonomi Kurikulum”.Dalam Pendidikan Nasional:Reformasi atau Resolusi.Analisis CSIS No.3 Tahun XXIX/2000.
Parekh, Bikhu.(2008).Rethinking Multiculturalism:Keberagaman Budaya dan Teori Politik.Jakarta:Penerbit Kanisius
Yasraf Amir Piliang. Hiper-otonomi. (Kompas,2/1/2001).
------------------------------------------------------
132
TANTANGAN DAN HAMBATAN INTERNALISASI CIVICS LITERASIUNTUK MASYARAKAT MULTIKULTURAL
MELALUI PEMBELAJARAN TEMATIK DI SEKOLAH DASAR
FatahillahSTKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung
Abstrak
Jenjang Pendidikan Dasar merupakan masa yang krusial dalam membentuk warga negara transformatif di sebuah masyarakat kultural, karena di tahapan ini peserta didik berada pada usia awal pembentukan karakter yang akan menentukan sikap dan perilaku kelak ketika ia dewasa, oleh karena itu sejak dini setiap individu harus mendapatkan Civics Literasi mengenai bagaimana ia berlaku dan bersikap dalam masyarakat, namun seringkali proses internalisasi yang dilaksanakan di sekolah Dasar melalui pembelajarannya mengalami tantangan dan hambatan, termasuk dalam Pembelajaran Tematik yang tengah dilaksanakan berdasarkan arahan Kurikulum 2013. Penelitian ini mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi proses Internalisasi Civics Literasi yang diperlukan dalam masyarakat multikultural melalui proses Pembelajaran Tematik. Pengkajian pene litian dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tradisi grounded teori dan analisis domain. Hasil temuan yang didapat berupa; Tantangan yang dihadapi dalam upaya internalisasi didapat dari dua lini yakni; a) situasi kondisi sosio kultural masyarakat di mana institusi sekolah berada dan b) kondisi psikologis peserta didik, sedangkan Hambatan yaitu; 1) Infrastruktur yang kurang mendukung; 2) Kapabilitas tenaga pendidik yang belum memenuhi harapan; 3) Kondisi Sosiologis dalam masyarakat; 4) Infiltrasi ideologis paham asing yang kurang sesuai dengan nilai-nilai; dan 5) Suasana sosio politik yang tidak mendukung.
PENDAHULUAN.Bangsa Indonesia sejak 1928 mengidentifikasi dirinya sebagai ikatan kultural majemuk
dari sejumlah suku bangsa, yang kemudian membentuk masyarakat multikultural Republik
Indonesia. Masyarakat Multikultural di Indonesia terbentuk dari kesadaran mengenai adanya
perbedaan-perbedaan ras etnis, bahasa dan kepercayaan. Keragaman disadari dan dipahami
telah menjadi realitas yang diakomodasi demi mencapai tujuan bersama membentuk negara, di
mana selama hampir selama 350 tahun kelompok-kelompok etnis, budaya dan agama yang
berada di kepulauan Nusantara ini berada di bawah cengkraman politik kolonialisme dan
imperialisme yang memberikan kesuraman dan kemelaratan bagi kaum bumiputera. Warga
Indonesia paham bahwa dirinya tidak hanya satu macam, tetapi bermacam-macam bahkan
beranekaragam. Negara pun sama mengakui, dan menjamin kebebasan pada masyarakat
133
dalam mengembangkan nilai-nilai budaya sebagai kekayaan nasional ini dapat kita lihat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 32 ayat (1) dan (2).
Corak keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia dapat kita lihat dalam penggunaan
bahasa, kebudayaan, pandangan dan lain-lain. Parekh (Hemafitria, 2016:150) menjelaskan
Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa kebudayaan, sehingga dapat
dikatakan masyarakatnya sangat majemuk, karena memiliki berbagai macam corak ciri dan
identitas baik bersifat fisiologi, psikologis, maupun sosiologis.
Masyarakat majemuk memiliki karakteristik, a) Terjadinya segementasi kelompok-
kelompok yang memiliki perbedaan dasar kebudayaan, b) memiliki struktur sosial yang terbagi-
bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, c) secara relatif seringkali
terjadi konflik di antara kelompok lain, e) secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan
(coercion) dan saling ketergantungan di dalam ekonomi, dan f) Adanya dominasi politik oleh
suatu kelompok atas kelompok yang lainnya (Ranjabar, 2006: 186). Karakteristik ini
menimbulkan kondisi yang menimbulkan ancaman konflik di antara individu dan kelompok yang
cukup besar. Konflik sosial terjadi diakibatkan eklusivisme berlebihan yang berujung kepada
ketidakpercayaan kepada entitas sosial lainnya, sehingga terjadi gesekan perselisihan,
kadangkala berujung kekerasan, selain itu juga terjadi intoleransi, dan pandangan rasis yaitu;
kondisi yang tidak mau menerima padangan, bahkan sosok individu lainnya yang berbeda.
Kondisi Konflik akan mengakibatkan Stress Sosial kemudian menjadi kepedihan (bitterness)
Sosial, dan terakhir akan menjadi Dissintegrasi Sosial.
Berdasarkan hasil dari berbagai analisa kasus konflik sosial di Indonesia dapat terjadi
karena adanya suatu kondisi; 1) terdapat isyu kritis yang menjadi pusat perhatian untuk menjadi
bahan perdebatan di antara pihak berbeda kepentingan, 2) kepentingan dan harapan yang
tumpang tindih saling berkait antar pihak yang berbeda kepentingan. 3) gunjingan, hasutan,
gossip, dan fitnah menjadi konflik menjadi riil, 4) Kompetisi dan ketegangan sosial terpelihara, 5)
clash dan dan kekerasan menjadi masa yang mengakhirinya (Dharmawan, 2006:4). Menghindari
dampak konflik yang merusak tatanan sosial maka perlu dikembangkan paham Multikulturalisme
yakni suatu paham yang dikembangkan dari konsep masyarakat plural dengan pahamnya
pluralisme budaya (Culture Pluralism) dengan mengajarkan tentang kesederajatan budaya
dalam suatu cil masyarakat (Suparlan, 2005:98, Hemafitria, 2016:149).
Pluralisme merupakan suatu ideologi yang dikembangkan dalam rangka membangun
toleransi di tengah perbedaan dan keragaman dalam masyarakat, seperti apa yang dijelaskan
Haviland (Ibrahim, 2008: 117) Pluralisme secara ideal merupakan suatu bentuk atau paham
penolakan mengenai kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme, dan dapat menerima
keanegaraman. Oleh karena itulah pengembangan paham Multikulturalisme adalah suatu
keniscayaan yang tidak terbantahkan bagi masyarakat Indonesia guna menjaga keharmonisan
ratusan etnis, budaya dan agama serta adat istiadat yang tersebar pada 17.000 pulau besar dan
134
kecil. Upaya dan usaha pengembangan Multikulturalisme harus dikembangkan dari berbagai
cara, salah satunya melalui Kebijakan Pendidikan yang dikenal sebagai Pendidikan Multikultural.
Mendidik multikulturalisme adalah suatu keharusan menurut Lawrence (Ibrahim,
2008:119) hal itu dikarenakan 1) perlunya penegasan identitas kultural seorang individu dalam
masyarakat; 2) setiap individu harus diberi pembelajaran mengenai penghormatan dan
pemahaman mengenai kebudayaan lainnya; dan 3) Setiap Individu harus dibekali sikap
menerima dari setiap perbedaan.
Multikulturalisme haruslah menjadi sebuah Literasi bagi seorang Individu apalagi ia
merupakan bagian dari negara yakni sebagai warga negara, dimana setiap warga negara
melalui pendidikan akan ditempa mulai dari Civics Skills sampai dengan Civics Knowledge.
Pambudi (2015:1) menjelaskan penguatan Literasi melalui pembelajaran akan memberikan
kemampuan pada anak dalam membaca, menulis, dan mengapresiasi, serta merespon segala
bentuk jenis komunikasi yang kemudian diharapkan akan membentuk 18 nilai karakter bangsa
yang diharapkan yakni; bersahabat/komunikatif, rasa ingin tahu, dan gemar membaca.
Dalam upaya menghadirkan Literasi dalam ruang pikir, laku dan sikap pada peserta didik
mengenai pentingnya paham Multikulturalisme, maka secara teknis dalam kebijakan pendidikan
melalui pengguliran kurikulum sebagai acuan pembelajaran kita telah berupaya dan berusaha
untuk menginternalisasi berbagai muatan Puralisme dan Multikulturalisme sejak Kurikulum 1947
digulirkan sampai Kurikulum 2013. Di setiap Kurikulum dalam penerapannya mengalami
Tantangan dan Hambatan dalam menginternalisasikan Nilai-Nilai Multikultural tersebut, tidak
terkecuali dalam Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mencoba menggabungkan beberapa pokok
pelajaran untuk menjadi satu kesatuan pembelajaran secara integratif yang bertujuan untuk
mendorong peserta didik mengalami pengalaman belajar dalam 5 M yakni mengamati,
menanya. Mencari informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, sehingga akan terasa
nuansa kegiatan pedagogik modern yang berbasis pendekatan ilmiah (Kristiantari, 2014: 461).
Secara teori Pembelajaran Tematik akan memacu keterlibatan siswa dalam
pembelajaran, sehingga akan memberikan pemahaman langsung dari pengalaman belajarnya,
karena konsep yang diberikan adalah Konsep Learning by Doing. Namun dalam tahapan
Implementatif tentunya akan mengalami kesulitan dan kesukaran dalam meninternalisasi nilai-
nilai multicultural, dikarenakan pesan-pesan doktrinatif mengenai multikulturalisme tidak sampai
dengan mudah dikarenakan peran Guru dalam pembelajaran tematik hanya bersifat sebagai
fasilitator, bukan satu-satunya narasumber.
Terlebih lagi bagi usia peserta didik pada jenjang sekolah Dasar yang Notabene menurut
tahapan perkembangan moral Kohlberg berada di jenjang Pra Konvensional yakni; suatu
tahapan perkembangan penerimaan moral pada diri individu didasarkan kepada konsekuensi
yang akan terjadi apabila ia memberikan repons terhadap nilai-nilai yang diinternalisasi, secara
sederhana anak-anak akan patuh apabila menguntungkan, atau takut dikenai sanksi.
135
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas dapat kita tarik beberapa pertanyaan sebagai
dasar kajian dalam makalah ini;
1. Tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh Pendidik dalam menginternalisasi Civics
Literasi yang penting bagi Peserta didik sebagai bagian masyarakat Multikultural melalui
pembelajaran Tematik?.
2. Hambatan apa yang dialami Pendidik dalam mengimplementasikan pembelajaran
Tematik di kelas secara umum, dan secara khusus dalam menginternalisasikan Civics
Literasi pada peserta didik?
METODE PENELITIANPenelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis dan
mengevaluasi proses Internalisasi Civics Literasi yang diperlukan dalam masyarakat multikultural
melalui proses Pembelajaran Tematik berdasarkan arahan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran
2015-2016 melalui Pendekatan Kualititatif dengan mengikuti Tradisi Penelitian Grounded
Theorie.
Pendekatan Kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang menggunakan
pandangan yang didasarkan pada pengalaman pribadi dalam mengembangkan teori atau pola
melalui kajian-kajian yang didapat dari data-data berdasarkan hasil wawancara, pengamatan,
pengamatan berperan serta, dan observasi (Emzir, 2011:28)
Grounded Theory atau Teorisasi Data (Strauss dan Corbin, 2007:21) merupakan
pendekatan penelitian kualitatif yang disusun dengan teknik dan prosedur sistematisnya yang
memenuhi kriteria kebermaknaan, kesesuaian antara teori dengan observasi, generalisasi,
dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta dapat dibuktikan dengan analisis yang
ketat.
Yang menjadi subyek penelitian ini adalah seluruh Sekolah yang telah menerapkan
pembelajaran tematik Kurikulum 2013 di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu Propinsi
Lampung, sedangkan obyeknya adalah proses internalisasi Civics Literasi melalui Pembelajaran
Tematik berdasarkan arahan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2016-2017.
Data diperoleh baik dari sumber Primer yakni; data yang didapat dari hasil Wawancara
terhadap Guru SD di Sekolah yang menerapkan Kurikulum K13, Pengamatan terhadap jalannya
kegiatan belajar mengajar, pengamatan berperan serta terhadap situasi dan kondisi di sekitar
lingkungan sekolah, yang kemudian akan dibandingkan dengan data dari sumber skunder yaitu
data yang diperoleh dari Referensi Pustaka, Dokumen tertulis mengenai pembelajaran dan
Peraturan Perundang-undangan yang terkait.
Selanjutnya Proses analisis data dilakukan berdasarkan format standar Penelitian
Grounded Theory yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pengkodean (Coding)
136
Merupakan proses menguraikan data, pengkosepan, dan merekonstruksi data yang didapat
dari kegiatan pengumpulan data dengan tujuan untuk a) menyusun teori, b) mengukur
ketepatan atau efektivitas penelitian, c) mengatasi bias penelitian, dan d) memberikan
landasan penelitian.
Proses pengkodean dilakukan dalam langkah-langkah sebagai berikut; 1) Pengkodean
Terbuka (Open Coding); 2) Pengkodean berporos (Axial Coding); 3) Pengkodean Terpilih.
2. Analisis Proses
Analisis Proses dilakukan dengan cara mengaitkan urutan tindakan/interaksi, di mana
kegiatan analisis ini terdiri dari penelusuran terhadap a) Kondisi Pembelajaran menggunakan
Tematik, b) respon guru dan peserta didik dalam pembelajaran, c) Identifikasi Tantangan
yang dihadapi dalam pelaksanaan Pembelajaran Tematik secara Praksis, d) Identifikasi
Hambatan secara Pelaksanaan Pembelajaran Tematik Secara Praksis.
Selain Penggunaan urutan tindakan atau interaksi di atas dipergunakan pula analisis domain
untuk mencari gambaran menyeluruh dari Pelaksanaan Pembelajaran berbasis pendekatan
Tematik yang dilaksanakan oleh Guru di kelas berdasarkan arahan Kurikulum 2013.
3. Penyimpulan secara Teoritik.
Setelah selesai melaksanakan analisis data kemudian dilakukan penyimpulan dalam bentuk
uraian point per point berdasarkan generalisasi temuan yang didapat mengenai Tantangan
dan Hambatan dalam pelaksanaan Internalisasi Nilai-Nilai Civics Literasi melalui
Pembelajaran berbasis Pembelajaran Tematik dalam Kurikulum 2013.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Gambaran Penyampaian Civics Literasi melalui Pembelajaran Tematik.
Melalui Pendidikan dan Pengajaran sejak dini seorang anak haruslah diberi bekal
pengetahuan mengenai bagaimana ia bersikap dan menyikapi kehidupan di sekitar, sehingga ia
mengetahui kedudukan status sosial dalam masyarakat, termasuk penyadaran terhadap
berbagai fakta atau fenomena yang terjadi.
Kemampuan mengetahui pengetahuan dikenal dalam istilah Literasi yang mencakup
semua keterampilan mengenai bagaimana berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan,
sehingga ia dapat mengolah, dan mengkomunikasikan informasi selama proses belajar (Rinjani,
2017:167).
Benavot (2015, 273, Arpannudin, 2016:269) menjelaskan bahwa kemampuan Literasi
memiliki arti penting dalam pengembangan komunikasi sosial antar individu, dan masyarakat,
sehingga apabila dikaitkan dengan konteks Politik atau Kewarganegaraan, Literasi sering
disandingkan atau dikenal dalam istilah Civics Literacy yakni suatu pengetahuan dan
137
kemampuan warga yang berkaitan dengan informasi-informasi yang dapat membantu ia
mengatasi permasalahan sosial.
Civics Literacy dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan dapat dikatakan sebagai
pengejawantahan dari salah satu dari tiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan yang
dikemukakan Branson (Winarno, 2013:26) yakni; Civics Knowledge (Pengetahuan
Kewarganegaraan), Civics Skill (Keterampilan Kewarganegaraan), dan Civics Disposition (Sikap
Kewarganegaraan).
Dimana ketiga komponen tersebut memiliki keterkaitan sebagai sasaran yang hendak
dicapai dalam pembelajaran. Apabila seorang warga negara telah memiliki pengetahuan (Civics
Knowledge), maka kemungkinan ia akan memiliki keterampilan (Civics Skill) dan yang terpenting
ia akan memiliki sikap (Civics Disposition) selaras dengan arah yang menjadi tujuan yakni
membentuk Warga Negara yang cerdas dan baik (Smart and Good Citizenship)
Untuk itulah menurut Winarno (2013:117) Materi yang dikembangkan dalam
Pengetahuan kewarganegaraan akan meliputi; politik, hukum dan moral yang terdiri dari materi-
materi mengenai; prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah,
identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum, peradilan yang bebas dan tidak memihak,
korupsi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan
hak politik.
Muatan materi-materi akan dijabarkan dalam Kurikulum sebagai suatu pedoman kepada
segenap Pendidik untuk selalu berupaya dan berkinerja mencapai apa yang menjadi arah dan
tujuan pendidikan. Didorong oleh kenyataan tersebut, serta penyesuaian dengan kebutuhan
masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, maka dewasa ini kemudian digulirkan pemberlakuan Kurikulum 2013 melalui
penerbitan Permendikbud No. 20, 21, 22, dan 23 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi
Lulusan, Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian Kurikulum 2013.
Secara Garis besar Kurikulum 2013 memiliki landasan Filosofis yang merujuk kepada
paham humanisme, progresivisme, esensialisme, rekonstruksionisme, dan perenalisme
(Dikdasmen Kemendikbud, 2016:3). Untuk itulah secara Filosofis Kurikulum 2013 memiliki dasar
pemikiran sebagai berikut;
1. Pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan termasuk
dalam hal ini adalah pengembangan seperti: Kerja sama, toleransi, kerja keras, intergritas,
disiplin, bermoral, dan tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
masyarakat.
2. Pendekatan yang dipergunakan haruslah yang dapat membentuk Pribadi seutuhnya, seperti:
Pendekatan Kolaboratif, Kooperatif, Kontekstual, Konstruksivisme, Saintifik, pendekatan
bahasa menyeluruh (whole language), Pedagogical Content Knowledge (PCK), tematik
138
terpadu, PAKEM, multiliterasi dan pendekatan ilmiah lainnya (Pembelajaran Berbasis
Masalah, Inquiry, Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Learning).
3. Sekolah dipandang sebagai alat untuk mempertahankan kehidupan tradisi dan lembaga dari
perspektif kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, berdasarkan pandang maka
berdasarkan pandangan ini dianjurkan pendekatan seperti: High Order Thinking, dan
PAKEM.
4. Sekolah dipandang sebagai alat dalam memelihara warisan budaya untuk itu sepatutnya
Pendekatan Berbasis Budaya dan Pendekatan Pengalaman lebih diutamakan.
5. Setiap unit pendidikan harus mengutamakan tujuan dari pencapaian Pendidikan, maka dari
itu Kurikulum haruslah menerapakan pendekatan tujuan.
6. Sekolah berfungsi sebagai alat untuk memelihara dan memperbaiki masyarakat, sehingga
muncul pendekatan lingkungan, pendekatan berbasis aktivitas, dan pendekatan kontekstual.
7. Pengembangan Pendidikan di Sekolah harus dilandasi tiga aspek yaitu utama yakni
karakteristik pendidikan di SD, Karakteristik psikologis peserta didik, dan karakteristik sosio
budaya peserta didik.
Atas dasar pemikiran tersebut Pembelajaran Tematik diupayakan untuk hadir dalam
praktek pembelajaran di sekolah-sekolah Dasar setiap hari, dikarenakan memiliki karakteristik;
a) pengalaman dan kegiatan sesuai dengan tingkat kebutuhan anak usia Sekolah dasar, b)
semua kegiatan belajar disesuaikan dengan kebutuhan anak; c) diupayakan semua kegiatan
berkesan bagi anak; d) Menekankan pada pembentukan keterampilan berpikir anak, e)
menyajikan kegiatan pragmatis bagi anak dalam menelaah kondisi lingkungan sosial, f)
Mengembangkan keterampilan sosial siswa (Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 2016:134).
Dengan penerapan Pembelajaran Tematik menurut Kristiantari (2014: 468) akan
memperoleh manfaat yang berupa; 1) Pengurangan tumpah tindih indikator dari berbagai materi
pembelajaran; 2) Siswa akan mampu melihat kebermaknaan suatu materi; 3) Keutuhan
pengertian terhadap materi akan lebih terjaga; 4) Penguasaan Konsep akan lebih baik karena
adanya keterpaduan antar materi.
Secara sederhana Pembelajaran tematik ialah model pembelajaran yang berupaya
mengaitkan berbagai muatan materi pembelajaran dalam satu tema, yang akan memberikan
pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik, sehingga akan dapat menggabungkan
gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai dalam satu program pembelajaran atau mata
pelajaran.
Pada kesempatan ini temuan yang didapat dalam penelitian mengenai pelaksanaan
tematik di kelas-kelas adalah sebagai berikut;
139
1. Sebagian besar guru sudah memahami apa yang dimaksud dengan pembelajaran Tematik
(bagi guru yang sudah mendapat pelatihan), dan ada pula guru yang sudah mengetahui dan
mengenal, walaupun ia mendapatkan pelatihan apapun mengenai Kurikulum K13, mereka
mengetahuinya dari Media Massa, Buku, Rekan sejawat dan sebagainya.
2. Guru menjawab kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran Tematik meliputi; 1)
mengamati; 2) menanyakan; 3) mengumpulkan data; dan 4) mengkomunikasikannya,
walaupun begitu Guru masih melakukan kegiatan konvensional dalam pembelajaran yakni;
ceramah dan Tanya jawab.
3. Dalam menumbuh kembangkan Literasi dilaksanakan melalui 1) pembiasaan dengan
menumbuh kemampuan minat baca, pembelajaran Tematik mendorong siswa untuk selalu
membaca, 2) pengembangan dengan kegiatan bercerita, dan berdiskusi kepada siswa, 3)
Pembelajaran dengan berupaya bersama-sama siswa mencari pesan-pesan pembelajaran
dari setiap tema yang disuguhkan.
4. Secara teoritis pembelajaran Tematik memosisikan Guru sebagai fasilitator, dan Tutor,
sehingga bukan dianggap sebagai satu-satunya Narasumber dalam kelas, akan tetapi dalam
praktek guru masih paling dominan dalam pembelajaran dikarenakan kesulitan tingkat
perkembangan psikologis anak yang masih membutuhkan dorongan khusus.
5. Kesulitan Guru mengkolaborasikan materi pembelajaran dalam Tematik karena kurangnya
penguasaan materi pembelajaran, karena tidak semua guru berlatar belakang pendidikan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar, misalnya beberapa Guru berlatar belakang pendidikan
Matematika kurang mampu memberikan bimbingan apabila dalam Tema terdapat muatan
materi Pendidikan Kewarganegaraan.
6. Keluhan mengenai ketersediaan Sarana dan Prasarana yang menunjang dalam
pembelajaran tematik seperti; Buku Panduan, Buku Bacaan Rujukan, dan sebagainya sering
dilontarkan guru ketika diberi pertanyaan mengenai kesulitan apa yang dihadapi dalam
pembelajaran Tematik.
Hal-hal yang dikemukakan diatas sesuai dengan temuan dalam penelitian Kristianti
(2014:469) yang menyimpulkan; 1) Walaupun Guru memahami apa dan bagaimana Kurikulum
2013, akan tetapi masih kesulitan menerapkannya dalam pembelajaran, 2) Kurang dukungan
fasilitas pembelajaran walaupun Motivasi sangat tinggi pada guru, 3) Sekolah kesulitan
menyediakan sumber belajar dan perpustakaan, 4) perlu adanya penyiapan bagi guru dalam
pembelajaran.
Dengan demikian apabila dipersingkat Penyampaian Civics Literasi melalui pembelajaran
Tematik akan dihadapkan pada permasalahan yang berupa; 1) Kondisi kemampuan kompetensi
140
Guru dalam kegiatan belajar dan mengajar, 2) Kondisi Psikologis Siswa yang masih memerlukan
dorongan Motivasi, 3) Kondisi Sarana dan Prasarana Pembelajaran.
B. Tantangan Yang dihadapi Pendidik dalam Internalisasi Civics Literasi Bermuatan Nilai-Nilai Multikultural melalui Pembelajaran Tematik.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk peserta didik menjadi warga
yang memiliki komitmen kuat dan konsisten dalam sebuah masyarakat multikultural untuk
menjaga ikatan di antara mereka. karena sebuah masyarakat multikultur merupakan suatu
masyarakat majemuk yang memiliki karakteristik: 1) terdapat segmentasi dalam kelompoknya; 2)
terbagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; 3) konsensus kurang
berkembang; 4) konflik sering terjadi; 5) integrasi sosial terjadi atas paksaan saling
ketergantungan dalam ekonomi; dan 6) sering terjadi dominasi politik dalam kelompok (Nasikun,
2011:75-76, Jamaludin dan Nuraedah, 2016:598).
Kemudian menurut Parekh (Amirin, 2012:7-8) kondisi masyarakat Multikultur di Indonesia
akan terbagi dalam 3 (tiga) kategori yakni; 1) Isolated Culture, Sebuah kelompok budaya yang
terisolasi dan tidak berinteraksi dengan kelompok lainnya karena hambatan kondisi geografis; 2)
Cosmopolitan Multiculture, Kebudayaan yang terjadi akibat terjadi pembauran antar kelompok
etnis, sehingga identitas antar kelompok tidak diperdulikan lagi; 3) Accomodative Culture.
Terdapat suatu kebudayaan dominan yang diikuti oleh kebudayaan-kebudayaan lainnya,
sehingga terjadi harmonisasi dalam kehidupan.
Sedangkan mengenal Multikulturalisme di Indonesia akan menghadapi berbagai
tantangan permasalahan yang meliput; 1) Keragaman Religi dan Etnis dalam masyarakatnya, 2)
Diskriminasi Etnis dan Kultur yang masih sering terjadi, 3) Isyu kesetaraan gender dan kaum
Dissabilitas
Oleh karena itu dalam masyarakat multikultural perlu dikembangkan pengajaran
mengenai: 1) Content Integration, Konten materi mengenai bagaimana mengintegrasikan
berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan
teori dalam mata pelajaran/disiplin Ilmu; 2) The Knowledge construction process, sebuah proses
pembelajaran yang dapat membawa siswa memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata
pelajaran (disiplin); 3) an equity paedagogy, berupaya memfasilitasi siswa yang beragam baik
dari segi ras dan budaya dalam belajar; 4) prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras
siswa dan menentukan metode pengajaran mereka; dan; 5) empowering school culture
menciptakan budaya akademik yang mampu menyuguhkan interaksi sosial yang kondusif
(Tilaar, 2004:132, Budimansyah dan Suryadi, 2008: 31-32).
Secara Implementatif Pendidikan Multikultural haruslah diposisikan sebagai falsafah
pendidikan, sebagai pendekatan pendidikan, dan sebagai bidang kajian bidang studi, akan tetapi
141
kemudian dalam prakteknya terutama dalam pembelajaran tematik mengalami banyak
tantangan.
Mengenai tantangan yang akan dihadapi seorang pendidik dalam menginternalisasi
Civics Literasi Nilai-Nilai Multikultural, kajian dalam penelitian menunjukkan tantangan akan
didapat dari dual ini yakni;
1. Situasi dan Kondisi Sosio Kultural di mana institusi Sekolah Berada.
Sekolah-sekolah yang menjadi obyek penelitian berada di sebuah kecamatan yang memiliki
ciri atau karakteristik masyarakat Accomodative Culture dengan satu budaya dominan yaitu
budaya Jawa.
Dikarenakan ada budaya dominan maka kondisi ini sering mengakibatkan suatu situasi
sosial: 1) Bullying terhadap siswa atau sekelompok siswa yang memiliki latar budaya
minoritas, 2) Perasaan Superior dari kelompok budaya dominan atau mayoritas: 3) Sulit
menerima hal-hal baru yang berbeda dengan konsep budayanya; 4) Perasaan curiga
berlebihan dari budaya dominan atau mayoritas terhadap kelompok siswa yang memiliki
budaya tidak dominan; dan 5) Penerimaan yang tidak selayaknya terhadap kelompok siswa
yang berbeda atau minoritas/
Sekolah dituntut harus memberikan pemahaman kepada peserta untuk dapat menerima
kebudayaan lain yang berbeda dan minoritas, untuk itu perlu dikembangkan kemampuan
kultural pada diri pendidik agar dapat di kembangkan pada peserta didik..
Evola (Moeis, 2016:517) menjelaskan kemampuan kultural merupakan sikap dan keyakinan
guru terhadap keragaman budaya, telegensi, budaya yang mencakup metakognitif, kognitif,
motivasi, dan perilaku budaya dan perilaku budaya, dan identitas etnik.
Sikap dan kemampuan kultural Guru akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa yang
berasal dari berbagai latar budaya, sehingga segala strategi yang ia jalankan terhadap
perbedaan budaya memberikan pengaruh terhadap kemampuan Literasi siswa (Moeis,
2016:517)
Menyikapinya merupakan suatu Tantangan bagi seorang Pendidik untuk memiliki sikap; 1)
Menghargai perbedaan yang terjadi di kalangan peserta didiknya; 2) Memiliki empati
terhadap realitas kehidupan siswanya; 3) Perduli dan memberikan rasa aman terhadap
kondisi sosio psikologis siswanya. Dengan memiliki sikap sedemikian maka ia dapat
menerapkan strategi pembelajaran yang mendukung perbedaan tersebut.
2. Kondisi Psikologis Peserta Didik
Setiap peserta didik memiliki Kondisi Psikologis yang berbeda-beda bergantung pada
tahapan perkembangan usianya, begitu pula apa yang terjadi dengan anak usia sekolah
Dasar.
142
Pendidik ditantang untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan
kondisi dan tahapan perkembangan anak pada usia Sekolah dasar. Di mana menurut Piaget
berada pada periode Late Childhood atau masa akhir anak-anak antara usia 6 sampai
sampai 13 Tahun yang secara umum diwarnai kondisi penyesuaian pribadi dan sosial anak.
Periode Late Childhood pada anak SD ini dapat dibagi dalam dua fase yakni; 1) Periode
kelas-kelas rendah SD umur 6 sampai dengan 9 tahun; dan kemudian 2) Periode kelas-kelas
tinggi umur 10 sampai dengan 13 tahun, di mana karakteristik psikologis pada umumnya;
sulit diatur, sering bertengkar, suka bermain dan suka meniru.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Guru akan ditantang pada kondisi
Psikologis bahwa anak:
1) Senang Bermain.
Hampir semua Guru mengatakan bahwa anak didiknya senang bermain sehingga anak
kurang fokus dalam pembelajaran, begitu pula dalam pembelajaran tematik yang
notabene lebih mengutamakan belajar sambil bermain.
2) Beberapa anak ada yang mengalami Gangguan Kecemasan yang berlebihan.
Kondisi ini terjadi dikarenakan situasi kondisi keamanan dewasa ini, di mana kecemasan
orang tua terhadap anak berpengaruh faktor mentalitasnya, pengaruhnya pada aktivitas
belajar menjadi terganggu.
3) Hiveraktivitas (terlalu aktif).
Beberapa anak terlihat begitu aktif, sehingga beberapa Guru merasa sulit untuk
mengendalikan atau menertibkan di kegiatan pembelajaran di kelas-kelas.
4) Pemurung Penyendiri.
Dalam penelitian beberapa Guru mengeluhkan kondisi peserta didik yang tidak terlalu
suka bergaul dengan teman-teman, mereka kadang-kadang memahami kenapa peserta
didiknya berlaku demikian, namun seringkali mereka tidak dapat menemukannya.
5) Sulit berkomunikasi.
Kurang dapat mengutarakan apa yang dirasakan dan apakah diinginkan kadangkala
berlaku pada peserta didik, sehingga menyulitkan mereka dalam pembelajaran, terlebih
lagi dalam Pembelajaran Tematik yang menuntut anak untuk lebih aktif.
6) Arogan.
Curahan kasih sayang orang tua kepada anak dewasa ini kadangkala kala berlebihan,
orang tua kadangkala lupa untuk mengingat anak mengenai hal-hal salah atau tidak
pantas dan cenderung memanjakan dengan memenuhi apa yang diinginkan si anak.
Sehingga menimbulkan perasaan superioritas pada diri si anak, hal ini dikeluhkan oleh
143
Guru karena anak sebagai peserta didik akan memiliki sifat arogan yang cenderung
memiliki ekses buruk secara sosial pada teman-temannya.
Kondisi-Kondisi Psikologis tersebut menjadi tantangan bagi pendidik dalam
mempraktekkan pembelajaran tematik di kelas-kelas, di mana seorang pendidik tidak hanya
dituntut memiliki kompetensi kognitif akan tetapi juga dituntut memiliki kompetensi sosial.
C. Hambatan Internalisasi Civics Literasi Bermuatan Nilai-Nilai Multikultural Dalam Pembelajaran Tematik.
Sebaiknya dalam pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman belajar kepada
anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya melalui penelaahan ilmu-ilmu dalam teks
kehidupan manusia, sehingga ilmu dapat berguna secara aplikatif bagi manusia.
Pembelajaran Tematik memiliki fungsi memberikan kemudahan kepada peserta didik
dalam memahami konsep materi dalam satu tema secara kontekstual dan menyeluruh
(Dikdasmen Depdikbud, 2016:134). Bertujuan untuk: 1) memusatkan perhatian anak pada satu
tema atau satu topik; 2) mengembangkan kemampuan berpikir anak dalam mempelajari
pengetahuan dan kompetensi muatan pelajaran yang sama; 3) memiliki pemahaman terhadap
materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4) mengembangkan kemampuan berbahasa; 5)
mengembangkan kemampuan berkomunikasi; 6) dapat merasakan manfaat dan makna belajar;
6) penghematan waktu; 7) pengembangan karakter budi pekerti dan moral.
Sehingga pembelajaran tematik ini akan memiliki ciri-ciri sebagai karakteristiknya antara
lain: 1) Berpusat pada anak; 2) memberikan pengalaman langsung pada anak; 3) muatan
pelajaran menyatu sebagai satu kesatuan; 4) menyajikan beberapa konsep dan mata pelajaran
dalam satu proses; 5) bersifat luwes; 6) Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan
minat dan kebutuhan anak (Dikdasmen Depdikbud, 2016:134).
Apabila dikaitkan dengan memasukkan muatan nilai multikultural guru harus
mengembangkan suatu bentuk atau konsep pembelajaran dengan memperhatikan bagaimana
latar etnis berlaku terhadap kehidupan sosial anak. Melalui pendekatan yang mengupayakan
nilai-nilai budaya daerah dan agama di Indonesia dapat dipahami, dihargai, dan dimanfaatkan
untuk kepentingan pendidikan yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika dengan
mengedepankan toleransi dan kerukunan antar budaya antar budaya dan pemeluk agama
(Amirin, 2012:15).
Namun dalam kenyataan praktek dilapangan mengenai bagaimana
menginternalisasikannya dalam pembelajaran Tematik mengalami hambatan yang terjadi akibat:
1. Infrastruktur yang kurang mendukung.
Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi hambatan utama ketika ditanyakan kepada
Kepala Sekolah, Guru dan Siswa dalam mengaplikasikan Pembelajaran Tematik ini seperti:
144
1) Kurangnya atau tidak tersedianya Buku pedoman Guru dalam pembelajaran Tematik, 2)
Kurangnya atau tidak tersedianya Buku Siswa dalam pembelajaran Tematik; 3) Beberapa
Sekolah khusus mengatakan bahwa buku-buku hanya memuat masalah-masalah bersifat
umum artinya masalah lokal kurang diangkat; 4) ketiadaan media pembelajaran yang
memadai; dan 5) di beberapa sekolah kekurangan kelas dan ruang belajar masih menjadi
masalah.
2. Kapabilitas Tenaga Pendidik yang belum memenuhi Harapan.
Banyak temuan mengenai bagaimana kemampuan Tenaga pendidik menjadi penghambat
dalam Pembelajaran Tematik di kelas-kelas. Beberapa kepala Sekolah seringkali
mengeluhkan; 1) Guru kurang disiplin waktu dalam melengkapi administrasi belajarnya: 2)
Pemahaman tentang pengembangan tematik dalam RPP masih kurang: 3) Kemampuan
Guru yang rendah dalam menyusun RPP dan kesemua itu disebabkan karena; 1) Latar
Belakang Pendidikan yang kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dan 2) kurangnya
mendapatkan pelatihan dan pendidikan mengenai pembelajaran.
3. Kondisi Sosiologis dalam masyarakat.
Ternyata berdasarkan pengamatan Kondisi sosial dalam masyarakat menjadi tantangan
yang cukup signifikan bagi Pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan nilai multikultural
pada masyarakat. Guru ditantang untuk memberikan pemahaman multikulturalisme,
sementara sentimen-sentimen rasial, tekanan sosial, dan paham primodial masih sangat
melekat pada benak pikiran masyarakat tidak terkecuali peserta didik, ini terlihat dalam
temuan pada sekolah-sekolah yang tengah mengalami konflik sosial di pedesaan.
4. Infiltrasi ideologis paham asing yang kurang sesuai dengan nilai-nilai.
Pengaruh Media massa Televisi, Radio, dan internet telah menginflitrasi faham-faham asing
yang tidak sesuai dengan semangat multikulturalisme Indonesia seperti: radikalisme,
fundamentalisme dan sebagainya. Kondisi ini ternyata menghambat upaya meninternalisasi
nilai-nilai multikulturalisme Indonesia ke dalam paham pemikiran siswa.
5. Suasana sosio politik yang tidak mendukung.
Politik akan mempengaruhi kebijakan yang diambil dalam bidang pendidikan, begitu pula
situasi kondisi politik dari suatu daerah akan mempengaruhi pula bagaimana suasana
pendidikan yang ada. Dalam pengamatan ternyata Pemilihan kepala Daerah yang
berlangsung pada tahun 2016 di kabupaten Pringsewu mempengaruhi bagaimana
pendidikan berlangsung.
Guru berpendapat seringkali kebijakan mengenai teknis pembelajaran bergantung kemana
arah dukungan politik yang ada, seringkali pengambil kebijakan mengaitkan kebijakannya
berdasarkan pandangan politiknya tidak mendasarkan pada kebutuhan.
145
Seringkali sentiment primodial menyatu dengan kebijakan politik yang diambil oleh
pengambil kebijakan sehingga menghambat muatan-muatan nilai multikultural dalam teknis
pembelajaran.
Hambatan-hambatan itu telah menjadi tantangan bagi segenap Stake Houlder atau
pemangku kepentingan Pendidikan di Indonesia, untuk menyingkirkan segala rintangan demi
mewujudkan Masyarakat Indonesia yang bersatu dan berlandaskan pada Nilai-Nilai Demokrasi
Pancasila, sehingga dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
KESIMPULANDengan demikian maka jelaslah melalui penelitian ini dapat kita simpulkan Tantangan
dan Hambatan yang harus dihadapi oleh segenap pendidik dan institusi sekolah Dasar dalam
menginternalisasikan Civics Literasi berlandaskan nilai-nilai multikulturalisme bangsa Indonesia
melalui penerapan pembelajaran Tematik yang sesuai dengan arahan Kurikulum 2013 adalah
sebagai berikut;
Tantangan yang dihadapi dalam upaya internalisasi didapat dari dua lini yakni; a) situasi
kondisi sosio kultural masyarakat di mana institusi sekolah berada dan b) kondisi psikologis
peserta didik, sedangkan Hambatan yaitu; 1) Infrastruktur yang kurang mendukung; 2)
Kapabilitas tenaga pendidik yang belum memenuhi harapan; 3) Kondisi Sosiologis dalam
masyarakat; 4) Infiltrasi ideologis paham asing yang kurang sesuai dengan nilai-nilai; dan 5)
Suasana sosio politik yang tidak mendukung.
Walaupun demikian kompleksnya Tantangan dan Hambatan Multikulturalisme adalah
suatu keniscayaan untuk selalu diwujudkan dan dikembangkan agar keberlangsungan dan
eksistensi bangsa Indonesia selalu terjaga dan lestari sepanjang masa.
DAFTAR PUSTAKA.Amirin, Tatang. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural Konstekstual Berbasis Kearifan
Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi. Volume 1
Nomor 1. Halaman 1-16.
Arpannudin, Iqbal. 2016. Literasi Warga Negara Muda Untuk Pengembangan Civic Engagement
Di Abad 21. Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan
Indonesia : Proceeding International Seminar Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai
Bidang keilmuan dan Program Pendidikan dalam Konstek Penguatan daya saing, Selasa
15-16 November 2016.
Dharnawan, Arya Hadi. 2006. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio Budaya
(Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat). Seminar dan Lokakarya Nasional
Pengembangan Perkebunan di Wilayah Perbatasan Pontianak 10-11 Januari 2007:
PERAGI.
146
Emzir, 2011. Metodelogi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kulitatif. Jakarta:RajaGrafindo
Persada.
Budimansyah, Dasim. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan dan Masyarakat Multikultural.
Bandung:Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.
Hemafitria, 2016, “Identitas Budaya dan Kewarganegaraan: Kewarganegaraan Multikultural”
dalam Teori Sosial dan Kewarganegaraan. Dasim Budimansyah Eds, Bandung:Widya
Aksara Press.
Ibrahim, Ruslan, 2008. Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era
Pluralitas Agama. El Tharbawi Jurnal Pendidikan Islam. Vol 1 No. 1. Halaman 115-127.
Kristiantari, Made Gusti Rini. 2014. Analisis Kesiapan Guru Dalam mengimplementasikan
Pembelajaran Tematik Integratif Menyongsong Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan
Indonesia. Vol. 3 No. 1. Halaman 460-470.
Moeis, Isnarmi. 2016. Kompetensi Kultural Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Sebuah Gagasan Tentang Profil Lulusan. Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas Pendidikan Indonesia : Proceeding International Seminar Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai Bidang keilmuan dan Program Pendidikan dalam Konstek
Penguatan daya saing, Selasa 15-16 November 2016.
Nuraedah, dan Jamaluddin. 2016. Tradisi Modero Sebagai Media Pendidikan (Simbolisasi
Kearifan Lokal di Kabupaten Poso). Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan
Universitas Pendidikan Indonesia : Proceeding International Seminar Pendidikan
Kewarganegaraan Sebagai Bidang keilmuan dan Program Pendidikan dalam Konstek
Penguatan daya saing, Selasa 15-16 November 2016.
Pambudi, Dolina Inang. 2015. Membangun Karakter Anak Melalui Keterampilan Literasi Dalam
IPS. Program Studi Pendidikan Dasar Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Membangun Imajinasi dan krativitas anak melalui
Literasi.
Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta:Ghalia
Indonesia.
Rinjani, Ersila Devi. 2017. Peran Budaya Lokal Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi Untuk
mewujudkan Bangsa Yang Unggul dan Berkarakter Di Sekolah Dasar. Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Prosiding
Seminar Nasional Membangun Literasi Di Sekolah Dasar Menuju Indonesia Cerdas
2045. Purwokerto 10 Mei 2017.
Strauss, Anselm. dan Juliet Corbin. (2007). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dan
Teknik-teknik Teorisasi data. Terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Mutaqqien. Cet
II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
147
Tim Penyusun, 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun, 2016. Materi Pokok dan Materi Umum Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA: MAZHAB PETRUS IRIANTO JABARMASE DAN PEMBAHARUAN
Petrus Irianto, Universitas Cenderawasih, Jayapura-Papua [email protected], Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung-Jawa Barat
148
[email protected], Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung-Jawa Barat
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini menghasilkan konsep Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia yang merupakan sarana pembaharuan warga negara melalui pembelajaran bagi peserta didik dan masyarakat. Penelitian ini menghasilkan Mazhab Petrus Irianto Jabarmase sebagai Mazhab Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia. Mazhab ini menempatkan konsep Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional yang mewujudkan Indonesia maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan, berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kata Kunci: Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia, mazhab Petrus Irianto Jabarmase, pembaharuan
PENDAHULUANPendidikan Kewarganegaraan merupakan alat dalam mewujudkan Indonesia maju,
mandiri, sejahtera dan berkeadilan melalui pembelajaran bagi peserta didik dan masyarakat.
Akan tetapi, sampai saat ini belum ada konten dan tujuan pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang mengarah pada pembudayaan pembangunan nasional.
Selanjutnya, secara global tidak ada persetujuan internasional mengenai isi dan tujuan
kurikulum Civic Education, sehingga negara-negara di dunia sangat sulit merumuskan definisi.
Oleh karena itu secara umum konsep Civic Education bertujuan untuk "membuat warga negara
yang baik" yang dilengkapi dengan pengetahuan yang tepat, keterampilan dan sifat-sifat dari
karakter. Konsep "warga negara yang baik" adalah relatif terhadap jenis rezim dan sistem politik
masyarakat. (Galston, 2001)
Lydersen (2011) menjelaskan bahwa konsep PKn Indonesia, yaitu: “patriotisme untuk
menjaga negara” dengan menyebutkan kompetensi - kompetensi dasar yang berhubungan
dengan: a) “menjelaskan pentingnya menjaga negara” b) “mengidentifikasikan jenis-jenis
menjaga negara” c) “memperlihatkan partisipasi dalam menjaga negara”. Selain itu, Jackson &
Bahrissalim. (2007) menjelaskan konsep PKn Indonesia berdasarkankombinasi konsep-konsep
Islam tentang negara dan kewarganegaraan dan konsep pemikiran dan praktik Barat pada
masyarakat sipil dan pluralisme demokrasi.
149
Artikel ini memberikan gambaran mengenai mazhab baru PKn Indonesia, yaitu Mazhab
Petrus Irianto Jabarmase yang menempatkan PKn sebagai pemandu dan penuntun warga
negara yang baik dalam konteks pendidikan pembangunan nasional. Artinya, bahwa konsep
PKn Indonesia sebagai pendidikan pembangunan nasional yang mempersiapkan warga negara
yang baik melalui pembelajaran di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat guna membentuk dan menciptakan pembudayaan pembangunan nasional yang
mewujudkan Indonesia mandiri, beradab dan berkeadilan.
Masalah penelitian : bagaimanakah mazhab Petrus Irianto Jabarmase sebagai mazhab
PKn Indonesia baru dan pembaharuan? Tujuan penelitian mendeskripsikan mazhab Petrus
Irianto Jabarmase dan pembaharuan pada PKn Indonesia.
METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan hukum normatif.Sumitro
(1988) penelitian hukum normatif dinamakan pula sebagai penelitian hukum doktrinal. Penelitian
ini menggunakan pemilihan partisipan dan tempat penelitian. Partisipan dalam penelitian ini
adalah pakar PKn yang memiliki spesialis ilmu hukum dan pakar hukum yang memiliki spesialis
PKn serta pakar Ketahanan Nasional (Tanas).Lokasi penelitian dari berbagai universitas di
Indonesia yang terkait dengan bidang kajian PKn yang memiliki spesialis ilmu hukum dan bidang
hukumyang memiliki spesialis PKn dan pakar Ketahanan Nasional. Berikut ini disajikan nama
dan kode subyek penelitian yang berhasil diwawancarai, diobservasi dan karyanya dianalisis
dalam laporan penelitian ini (lihat tabel 1).
Tabel 1Nama dan Kode Subyek Penelitian
150
HASIL DAN PEMBAHASANMazhab Petrus Irianto Jabarmase mengungkapkan konsepsi PKn sebagai pendidikan
pembangunan nasional. Konsep tersebut merupakan pembaharuan dalam rangka membentuk
warga negara yang berhak dan ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara melalui
pembelajaran di sekolah dan masyarakat.
1. Alasan Pengembangan Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase
Pembaharuan konsep PKn Indonesia, yaitu : “PKn sebagai pendidikan pembangunan
nasional” merupakan wujud dari segala masalah, kondisi dan keadaan masyarakat Indonesia
yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Alasan pengembangan konsepsional
PKn lebih luas ruang lingkupnya menyangkut pembangunan yang dilakukan antardaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah yang
keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan
serta partisipasi masyarakat.
2. Mazhab Petrus Irianto Jabarmase dalam Perkembangan PKn Indonesia
Selanjutnya, perkembangan PKn Indonesia (sebagai civic education dan citizenship
education) berdasarkan konten dan tujuan PKn Indonesia di bagi kedalam 3 (tiga) mazhab
adalah :
a. Mazhab Soeharto (1978-1998). Penetapan Pancasila sebagai konten dan tujuan
pembelajaran PKn ditetapkan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dengan nama PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
Mazhab ini didukung dengan hasil penelitian Lydersen (2011) yang menjelaskan bahwa
151
No Nama Subyek Penelitian Keterangan
1. Prof. Dr.H.Abdul Aziz Wahab, M.A (Ed) (UPI)Pakar PKn dan Manajemen
Pendidikan
2. Prof. Dr.Armaidy Armawi, M.Si (UGM) Pakar Tanas
3. Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A(UPI) PKn
4. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP.,M.Si (UPI) PKn, Politik dan Ilmu Hukum
5. Drs. Hassan Suryono, SH., MH.,M.Pd. (UNS) PKn dan Ilmu Hukum
konsep PKn Indonesia dalam hubungannya dengan kompetensi stándar yang dikembangkan
dalam pembelajaran, yaitu: “patriotisme, penjaga negara dan partisipasi untuk menjaga
negara”.
b. Mazhab UPI (1954-2014).Mazhab UPI dijadikan sumber dan induk pengembangan PKn
sebagai program Studi jenjang S1, S2 dan S3, pendirian organisasi profesi (AP3KNi) untuk
memperkuat keilmuan PKn yang diikuti seluruh Program Studi di Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. Mazhab tersebut sesuai dengan kajian Jackson & Bahrissalim (2007) yang
menjelaskan konsep PKn Indonesia berdasarkankombinasi konsep-konsep Islam tentang
negara dan kewarganegaraan dan konsep pemikiran dan praktik Barat pada masyarakat sipil
dan pluralisme demokrasi.
c. Mazhab Petrus Irianto Jabarmase. Mazhab ini menempatkan sebagai pendidikan
pembangunan nasional yang merupakan hasil kehidupan Bangsa Indonesia yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan nilai Pancasila, nilai Islam
serta nilai Barat yang mempersiapkan warga negara yang baik melalui pembelajaran di
lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang mewujudkan
Indonesia mandiri, beradab dan berkeadilan.
3. Landasan Penerapan Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase
Landasan atau dasar hukum dari konsep PKn sebagai pendidikan pembangunan
nasional dan penerapan konsepsi PKn sebagai kebijakan pendidikan sebagai berikut :
a. UUD RI Tahun 1945 Pasal 30 ayat (1) “tiap-tiap warga negara berhak dan ikut serta dalam
pertahanan dan keamanan negara”.
b. Landasan hukum PKn Indonesia dibagi kedalam beberapa peraturan, yaitu :UUNomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan NegaraPasal 9 ayat (2).
1) Landasan hukum PKn sebagai pembelajaran dibagi menjadi dua peraturan perundang-
undangan mengenai pembelajaran PKn pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan:
a) Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
UUNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 37 ayat (1) dan (2)
yang diturunkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pembelajaran PKn di
pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai berikut : 1) Permendikbud No 20 Tahun
2016 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah; 2)
Permendikbud No 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah; 3)
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah; 4) Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan;
5) Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar
152
pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Menengah; 6) Permendikbud
Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah; 7)
Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama
/ MadrasahTsanawiyah; 8) Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
Sekolah MenengahAtas/Madrasah Aliyah; 9) Permendikbud Nomor 60 Tahun 2014 Tentang
Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
b) Pendidikan Tinggi
UUNomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 35 (3) yang diturunkan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur pembelajaran PKn di pendidikan tinggi
sebagai berikut: 1) Kedirjen Dikti No. 38/Dikti/KEP/2002 tentang Rambu-Rambu
Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi. Pasal 1, Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4; 2) Kedirjen Dikti No. 43/ DIKTI/ Kep/ 2006tentang Rambu-Rambu
Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi. Pasal
1, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4.
c) Landasan hukum PKn sebagai konten dan tujuan pembelajaran sebagai berikut : 1) UU No.
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 2) UU No.17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025; 3) Perpres No.
2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019; 4)
Perpres No. 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.
4. Dasar - Dasar Pengetahuan Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase
Dasar-dasar pengetahuan konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari
Petrus Irianto Jabarmase terdiri dari dasar penalaran; dasar logika, sumber pengetahuan dan
kriteria kebenaran (Suriasumantri, 2013)
a. Dasar Penalaran
Dasar penalaran konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari Petrus
Irianto Jabarmase berdasarkaan pada peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :1) UUD
RI Tahun 1945 Pasal 30 ayat (1); 2) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9
ayat (1); 3) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1); 4) UU
No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 35 ayat (3). Artinya, bahwa untuk
membentuk pertahanan negara yang baik harus dipersiapkan melalui pembelajaran pada
lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang mengarah pada
pembudayaan pembangunan nasional.
b. Dasar Logika
Dasar logika konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari Petrus
Irianto Jabarmase mengacu pada logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif, Masyarakat
Indonesia yang baik dan aktif (umum) dikarenakan adanya perubahan konsep PKn Indonesia
153
(khusus) dan kegiatan pembelajaran PKn (khusus) diarahkan pada pelaksanaan dan
penyelenggaraan pembangunan nasional.Jadi, perubahan konsep PKn Indonesia harus
dilaksanakan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai solusi bangsa Indonesia dalam
mewujudkan bangsa yang mandiri, beradab dan berkeadilan (kesimpulan).
c. Sumber Pengetahuan
Sumber pengetahuan konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari
Petrus Irianto Jabarmase PKn berdasarkan rasio dan pengalaman. Rasio merujuk pada premis
minor diatas, maka PKn sebagai sarana pertahanan negara melalui pembelajaran disekolah dan
dimasyarakat harus berdasarkan pada UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 dan Perpres No. 45 Tahun 2016
tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Pengalaman mengacu pada UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan UU No 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi Pasal 35 ayat (3).
d. Kriteria Kebenaran
PKn adalah sarana/alat pertahanan negara melalui pembelajaran di sekolah, keluarga
dan masyarakat, pernyataan ini adalah benar karena sifat yuridisnya, yakni Pasal 9 (2) UU No 3
Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, menyatakan bahwa keikutsertaan warga negara
dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui PKn.
Artinya, PKn merupakan hak masyarakat yang dibelajarkan pada peserta didik dan masyarakat
guna mewujudkan warga perundang-undangan.
5. Pokok - Pokok Pikiran Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase
Mengenai pokok-pokok pikiran dari konsep dan konten PKn dalam pembelajaran di
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang terkandung dalam konsepsi “PKn sebagai
pendidikan pembangunan nasional” dari Petrus Irianto Jabarmase didasarkan atas anggapan :
a) seluruh interaksi masyarakat dalam pembangunan nasional diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan; b) adanya keadilan, manfaat, dan kepastian dalam usaha bela negara; c)
PKn dapat membentuk dan membudayakan pembangunan nasional melalui pendidikan dan
pembelajaran; d) PKn menghasilkan warga negara yang aktif, inovatif terhadap berbagai
permasalahan pembangunan nasional.
6. DogmatisKonsepsi PKn Indonesia sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase
Selanjutnya, dogmatis konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari
Petrus Irianto Jabarmase, yaitu : a) pembelajaran PKn untuk warga negara Indonesia diyakini
sebagai pembelajaran seumur hidup guna mewujudkan warga peraturan perundang-undangan;
b) PKn merupakan dasar ilmu dari semua ilmu yang dipelajari warga negara yang
154
baik/kewarganegaraan aktif berdasarkan peraturan perundang-undangan; c) pendekatan
pendidikan pembangunan nasional sebagai pendekatan PKn dipercaya dapat membentuk warga
negara Indonesia yang baik dan merevitalisasi Pancasila di persekolahan, keluarga dan
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan; d) pelaksanaan konsep PKn
Indonesia sebagai keilmuan, pembelajaran, program pendidikan, gerakan komunitas dan
pendidikan karakter yang diyakini dapat menjadikan civics Indonesia sebagai normal science; e)
perumusan konten PKn Indonesia yang berdasarkan UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan Perpres No. 45 Tahun
2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 diyakini dapat mewujudkan warga
peraturan perundang-undangan; f) pencapaian tujuan pembangunan nasional adalah wujud
ketercapaian tujuan pendidikan dan pembelajaran PKn dipersekolahan, keluarga dan
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan; g) keberhasilan PKn Indonesia
diyakini terintegrasi melalui peningkatan perkembangan intelektual, perkembangan moral, tugas-
tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupan dan pengembangan kondisi yang
mempengaruhi minat anak pada sekolah, faktor yang mempengaruhi sikap dan minat anak
terhadap pekerjaan serta lambang status; h) PKn merupakan ilmu praktis yang mengikuti pola
pikir, pola laku dan pola rasa pembangunan nasional yang harus diyakini oleh negara dan
masyarakat sebagai usaha mewujudkan Indonesia yang mandiri, beradab dan berkeadilan
berdasarkan peraturan perundang-undangan; i) Ahli/praktisi PKn diyakini sebagai pemandu dan
penuntun keinginan dan kepentingan negara yang dibelajarkan pada seluruh masyarakat
Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.
7. Teori PKn Indonesia sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase
Berdasarkan Konsep PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional yang
menempatkan warga negara yang baik dan aktif harus berdasarkan peraturan perundang-
undangan, maka teori PKn dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Teori Pendidikan Pertahanan Negara
Teori pendidikan pertahanan negara adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
sebagai pejabat publik (eksekutif dan legislatif) untuk melakukan perbuatan aktif yang
menuju Indonesia mandiri, maju, adil dan makmur.
b. Teori Pendidikan Bela Negara
Teori Pendidikan Bela Negara adalah PKn (sebagai citizenship education) merupakan garda
terdepan dalam membentuk masyarakat Indonesia yang aman dan damai dalam perbedaan,
artinya pembelajaran yang dilakukan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan untuk
mencapai sasaran pembangunan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan.
c. Teori Mak Joblang
155
Merujuk teori-teori diatas, maka penulis merumuskan teori PKn sebagai pendidikan
pembangunan nasional, adalah “Teori Mak Joblang”. Inti dari teori tersebut merupakan
perantara untuk mewujudkan warga peraturan perundang-undangan melalui pendidikan dan
pembelajaran bagi peserta didik dan masyarakat.
KESIMPULANSecara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Mazhab Petrus Irianto Jabarmase
menuntut pemerintah merumuskan konsep, konten dan tujuan pembelajaran PKn sebagai
pendidikan pembangunan nasional yang berdasarkanUU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan Perpres No. 45 Tahun 2016 tentang
Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKAGalston, W. A. (2001).Political knowledge, political engagement, and civic education. Annual
review of political science, 4(1), 217-234
Jackson & Bahrissalim. (2007)Crafting a new democracy: Civic education in Indonesian Islamic
universities. Asia Pacific Journal of Education, 27(1), 41-54
Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/KEP/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi
Keputusan Dirjen Dikti No. 43/ DIKTI/ Kep/ 2006tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi
Lydersen. M. Kennet (2011).Democratic Citizenship Education in Indonesia post -Suharto:
Political indoctrination or critical democratization? A case study of civic education in
Yogyakarta, Indonesia. Journal of Human Development and Capabilities, Vol 7. 385-395
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Standar
Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor22 Tahun 2016 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor23 Tahun 2016 Tentang Standar
Penilaian Pendidikan
156
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti
dan Kompetensi Dasar pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan
Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor57 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
Sekolah Menengah Pertama / MadrasahTsanawiyah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
Sekolah MenengahAtas/Madrasah Aliyah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor60 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013
Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
Sumitro Hanitijo Ronny (1988) Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia :
Jakarta
Suriasumantri Jujun S (2013)Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar
Harapan :Jakarta
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Undang-UndangNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-UndangNomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-UndangNo.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025
Ekoliterasi Sebagai Dasar Pembentukan Ecological Citizenship Siswa(Studi Pengaruh Ekoliterasi Terhadap Sikap Ecologycal Citizenship Siswa SMP Negeri 11
Surabaya)
157
Qurotul Fitriani, Fitri Uswatun Hasanah, Khalimatus Sa’diyahUniversitas Negeri Surabaya,Surabaya
ABSTRAK
Krisis ekologi merupakan masalah yang membutuhkan penanganan khusus dari setiap elemen masyarakat. Solusi mendasar yang dapat dilakukan adalah dengan mendidik serta memberi informasi kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan. Khususnya pada elemen masyarakat yang menjalani pendidikan formal di sekolah agar proses transformasi nilai-nilai ekologi mudah dilakukan. Ekoliterasi bertujuan agar siswa memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan peduli terhadap masalah yang terkait di dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif solusi pemecahannya. Hal ini selaras dengan tujuan Education for Sustainable Development (ESD) yang terdapat dalam hidden curriculum guna memberikan pemahaman bagi siswa karena pada misinya siswa merupakan generasi penerus bangsa yang harus memiliki karakter cinta lingkungan untuk menjaga sumber daya alam dan keseimbangan ekosistem. Ekoliterasi merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman individu atau masyarakat terhadap hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Melalui ekoliterasi diperkenalkan dan diperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya. Nilai-nilai ekoliterasi ditanamkan kepada siswa agar menjadi warga negara yang mencintai lingkungannya dan menjadi bagian dari ecologycal citizenship. Melalui ekoliterasi siswa diharapkan dapat berfikir kritis mengenai permasalahan lingkungan ( seperti: pengelolaan tata ruang, penangulangan pencemaran lingkungan, pola dan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem, upaya konservasi) dan berperan aktif dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan.Kata Kunci : Ecologycal citizenship, Ekoliterasi.
PENDAHULUANPembangunan yang terjadi di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat di segala
bidang. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pembangunan yang dilakukan tidak
memperhatikan dampak untuk lingkungan sekitar. Sehingga di balik kemajuan pembangunan
yang dilakukan juga menyisakan permasalahan di bidang lain, yakni permasalahan ekologis
yang dipengaruhi oleh faktor perilaku manusia dalam kegiatan pembangunan industri.
Pembuangan limbah dari industri di kota-kota besar merupakan contoh dari permasalahan
lingkungan. Selain itu limbah juga berasal dari pemukiman masyarakat. Bahkan masyarakat
menjadi penyumbang limbah terbesar dari pada industri. Hal ini bisa dilihat dari data di
Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) tahun 2008 menyebutkan, Indonesia
menghasilkan limbah sampah sebanyak 38,5 juta ton / tahun. Pulau Jawa menjadi penyumbang
terbesar sampah dengan menghasilkan 21,2 juta ton / tahun. Disusul dengan pulau Sumatra
yang menghasilkan 8,7 juta ton / tahun sampah. Sampah tersebut berasal dari limbah
pemukiman masyarakat beserta sampah non pemukiman ( industri, rumah sakit dan lain-lain).
Dalam skala provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua setelah provinsi Jawa Barat
dengan jumlah 9,99 juta ton / tahun. Dari data tersebut tentu saja krisis ekologi ini bukanlah
persoalan yang mudah. Mengingat berhubungan dengan ekosistem lingkungan hidup serta
planet bumi sebagai tempat tinggal manusia. Krisis ini merupakan problem akut yang
158
membutuhkan penanganan khusus dari setiap elemen masyarakat (Amirullah, 2015:4). Tentu
saja dalam menghadapi persoalan tersebut dibutuhkan adanya solusi yang mendasar guna
menghadapi tantangan lingkungan. Ada kebutuhan untuk mendidik serta memberi informasi
kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan. Pemberian informasi pun bisa
dilakukan di wilayah sekolah dengan sasarannya yaitu para siswa.
Pendidikan Lingkungan Hidup menurut konvensi UNESCO di Tbilisi tahun 1997
merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang
memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan peduli terhadap masalah-masalah yang terkait di
dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik
secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif dan untuk menghindari timbulnya
masalah-masalah lingkungan hidup. Tantangan ini bisa terjawab dengan solusi yang
berkelanjutan (sustainable). Salah satunya yaitu Education for Sustainable Development (ESG).
Meskipun dalam kurikulum terbaru, Education for Sustainable Development tidak masuk di
dalamnya, namun program tersebut tetap dilakukan melalui Hidden Curiculum (Segara,
2015:23). Karena pembangunan tersebut bersifat berkelanjutan, maka diharapkan mampu untuk
memiliki nilai-nilai berkelanjutan dalam menjaga lingkungan. Tentu saja, hal ini penting karena
dengan informasi yang telah dimiliki mengenai lingkungan hidup maka seorang siswa juga bisa
turut andil dalam menjaga lingkungan sekitar ketika mereka terjun ke dalam masyarakat.
Sasaran penelitian yang dilakukan adalah para siswa yang berada di jenjang Sekolah
Menengah Pertama namun terbatas pada sekolah yang sudah memiliki status Adiwiyata. Salah
satu sekolah Adiwiyata tersebut adalah SMPN 11 Surabaya, sekolah ini mendapatkan
penghargaan Green School Awards tingkat nasional. Padahal dulunya sekolah ini merupakan
lapangan kumuh bekas lapangan Dwikora yang pada saat itu menjadi tempat mangkal ratusan
becak di Surabaya dan menjadi semacam WC umum warga sekitar untuk kegiatan MCK. Dalam
perkembangannya pemerintah kota Surabaya membantu menjadikan sekolah ini berkonsep
Green Building. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara langsung
mengenai pemahaman ekoliterasi pada siswa terhadap sikap ecological citizenship.
Pemahaman ekoliterasi dalam dunia pendidikan sangat menunjang kehidupan siswa secara
langsung dan berdampak kepada lingkungan sekitarnya. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan konstribusi dalam bidang pendidikan, yaitu dapat mencetak generasi yang melek
lingkungan sehingga dapat memperbaiki permasalahan lingkungan.
Permasalah yang diteliti merupakan ada atau tidaknya pengaruh antara ekoliterasi
dengan pembebentukan sikap ecologycal citezenship siswa di SMP Negeri 11 Surabaya dan
mengukur sejauh mana signifikansi pengaruh tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk untuk
mengukur, menguji dan memperoleh kajian khusus tentang pengaruh tingkat pemahaman
ekoliterasi dengan pembentukan kewarganegaraan ekologi serta memahami arti penting dan
159
menumbuh kembangkan ekoliterasi sebagai salah satu sarana membangun karakter peduli
lingkungan pada diri siswa.
METODE PENELITIANPenelitian difokuskan kepada pengukuran pemahaman ekoliterasi dengan
menggunakan indikator yakni, menginterpretasikan, membandingkan, menyimpulkan,
mengklasifikasikan dan menjelaskan materi ; 3R (reduce,reuse dan recycle); hemat energi listrik
dan air; ekosistem dan elestarian lingkungan hidup; serta aspek-aspek yang meliputi
pengetahuan, sikap dan tindakan kewarganegaraan ekologi (ecological citizenship). Jenis
penelitian ini merupakan penelitian Ex Post Facto dan menggunakan analisis kausal asosiatif
yang membahas tentang derajat pengaruh antara variabel tingkat pemahaman siswa variabel
pembentukan sikap kewarganegaraan ekologi ( ecological citizenship) pada diri siswa.
Instrumen yang digunakan adalah bentuk tes pilihan ganda, kuesioner dan dokumentasi,
kemudian data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan analisis inferensial
untuk menjelaskan derajat pengaruh antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat
(dependen).
HASIL DAN PEMBAHASANSMP Negeri 11 Surabaya merupakan salah satu sekolah yang ada di Sawah Pulo Ujung
Kecamatan Semampir kota Surabaya. Lingkungan sekolah yang dekat dengan pasar Pabean
Surabaya yang cenderung kumuh dan kurang teratur. Namun dalam perkembangannya sekolah
ini telah mendapat berbagai penghargaan mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar.
Terbukti pada tahun 2014 mendapatkan penghargaan Adiwiyata Nasional dan pada tahun 2017
ini mendapat penghargaan Adiwiyata Mandiri. Hal tersebut merupakan komitmen para warga
sekolah untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem lingkungannya.
Dalam mengukur tingkat pemahaman Ekoliterasi digunakan tes dengan 6 soal kepada 92
siswa di SMPN 11 yang tersebar di kelas VII, VIII dan IX. Diperoleh gambaran ketika siswa diberi
tes mengenai pengetahuan mereka tentang konsep 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle), konsep
3R ini bertujuan agar siswa dapat menindak lanjuti mengenai masalah penegelolahan sampah di
lingkungan sekitar mereka dan menerapkan solusi atas masalah tersebut dalam kegiatan sehari-
hari. Diperoleh sebanyak 82% siswa dapat menjawab dengan benar, artinya dapat menjelaskan
dan menyimpukan dengan contoh konsep 3R, mengkategorikan karakteristik limbah/sampah,
menerapkan dan mengpresiasi kegiatan 3R serta mempunyai keterampilan mengkomunikasikan
konsep 3R. Adapun pengetahuan tentang 3R dapat dilihat dalam tabel berikut :
160
Gambar. 1 Grafik prosentase jawaban soal materi 3R
Ketika siswa diberikan 5 soal tes mengenai konsep pentingnya menghemat energi listrik
dan air dari 92 sebanyak 6,7% menjawab benar, artinya siswa telah mengerti bagaimana
tindakan untuk mengurangi energi listrik dan bijak dalam menggunakan air, siswa dapat
mengklasifikasikan dampak dari aktivitas penggunaan air dan listrik yang berlebihan,
mengintepretasikan dan berpartisipasi dalam penghematan listrik dan air juga menemukan
strategi/solusi untuk menghemat energi listrik dan air.
Gambar. 2 Grafik prosentase jawaban soal materi penghematan energi listrik dan air
Mengenai materi ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup 73 siswa dai 92 siswa
dapat menjelaskan komponen-komponen yang ada di dalam ekosistem dan dampak dari tidak
menjaganya, menunjukkan apresiasi mengenai kepedulian terhadap lingkungan dan makhluk
hidup lainnya, dan mampu secara mandiri berpikir tentang isu-isu lingkungan serta
menunjukkan sikap sosial peduli terhadap lingkungan dan orang lain.
Gambar. 3 Grafik prosentase jawaban soal materi ekosistem dan pelestarian lingkungan hidup
161
Dalam menunjukkan sikap ecologycal citizenship sekolah membuat berbagai kebijakan
melalui program-program yang dilakukan seperti pengadaan tempat sampah yang dipisahkan
sesuai jenis sampah, mengintegrasikan mata pelajaran lain untuk mendukung siswa diwajibkan
membawa limbah rumah tangga yang sudah dipilah utamanya limbah organik untuk diolah di
Rumah Kompos sekolah menjadi pupuk kompos dan sampah kering untuk diolah di Bank
Sampah. Selain itu sebagai bentuk komitmen sekolah juga mengikuti berbagai event atau
lomba yang berhubungan dengan kepedulian lingkungan. Seperti lomba eco-school, eco-
preneur, lomba karya tulis ilmiah (LKTI) dll.
Sekolah juga membentuk kader lingkungan disetiap kelas yakni menunjuk 10 orang
siswa setiap kelas untuk mengikuti pembinaan yang dilakukan, dan sampai saat ini di SMP
Negeri 11 Surabaya telah memiliki 270 kader aktif. Kader ini disiapkan untuk melakukan
sosialisasi kepada teman sebaya atau sepermainan, keluarga dan tetangga sekitar tempat
tinggal mereka mengenai permasalahan lingkungan dan solusinya. Tim kader lingkungan SMPN
11 Surabaya melakukan aksi lingkungan sebagai wujud partisipasi mereka dalam menjaga dan
melestarikan lingkungan, aksi bukan hanya dilakukan didalam sekolah tapi juga diluar sekolah
yakni meliputi warga kampung sekitar sekolah maupun siswa-ssiswa dari sekolah-sekolah lain.
Aksi meliputi pengolahan limbah, penghijauan dan konservasi air melalui kegiatan grebeg pasar,
pembuatan kompos, membuat biopori, merawat tanaman, membersihkan sungai dan saluran air
disekitar sekolah mereka.
Selain itu dilakukan pengukuran melalui kuesioner yang meliputi aspek komitmen,
tanggung jawab dan partisipasi siswa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan, diperoleh
hasil sikap ecologycal citizenship siswa sangat tinggi sebesar 79%, artinya siswa mempunyai
komitmen, tanggung jawab dan partisipasi, faktor lain yang ditemukan adalah peran besar
kebijakan sekolah yang mendukung sepenuhnya mengenai sikap ecologycal citizenship
siswanya. Adapun sikap ecologycal citizenship siswa dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar. 4 Grafik presentasi sikap ecologycal citizenship
Sekolah melakukan berbagai kebijakan untuk membentuk sikap ecologycal citizenship
siswa dengan program-program yang dijalankan, misalnya kegiatan lomba yang dilakukan untuk
memperingati hari tertentu dengan mengadakan lomba membuat taman disetiap kelas, namun
untuk menjaga komitmen para siswanya penilaian tidak hanya dilakukan ketika lomba itu 162
diadakan, namun terus dikontrol secara berkala. Kemudian untuk meningkatkan kompetensi dan
pengetahuan lingkungan mereka, siswa-siswi dibina untuk melakukan penelitian-penelitian yang
berhubungan dengan lingkungan, misalnya tentang IPAL (Instalasi Pembuangan Air Limbah).
Ketika dilakukan uji data antara variabel dependent dan predictor(constant) dengan uji
normalitas, dan diketahui hasil sebagai berikut:
Tabel. 1 Hasil Uji Normalitas
Dari hasil diatas, diketahui nilai sign untuk tingkat pemahaman ekoliterasi pada Uji
Normalitas dengan SPSS “kolmogorof smirnov” adalah : 0.647 > 0.05 dan 0.13 > 0.05, maka
dapat disimpulkan data untuk tingkat pemahaman ekoliterasi dan sikap ecological citizenship
berdistribusi Normal.Setelah diketahui bahwa data berdistribusi normal, maka kemudian dilakukan pengujian
terhadap kedua variable untuk mengetahui pengaruhnya dan menjawab hipotesis, dan diperoleh
hasil berikut :
Tabel. 2 Hasil Uji t Variabel dependent dan constant
163
Jadi, untuk pengambilan keputusan diketahui nilai sig. uji t 0,000 < 0,05 yang artinya Ho
Ditolak dan Ha Diterima. maka terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat
pemahaman ekoliterasi terhadap pembentukan sikap Ecological Citizenship di SMP N 11
Surabaya.
KESIMPULANDari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman ekoliterasi siswa SMPN 11 Surabaya mencapai 81,11% dari keseluruhan siswa
dapat menjawab soal dengan benar. Sikap ecologycal citizenship siswa yang meliputi aspek
komitmen, tanggung jawab dan partisipasi siswa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan,
diperoleh hasil sikap ecologycal citizenship siswa sangat tinggi sebesar 79%. Pemahaman
ekoliterasi mempengaruhi sikap ecologycal citizenship siswa dengan nilai sig. uji t 0,000 < 0,05 ,
selain faktor internal yakni pemahaman ekoliterasi ditemukan juga bahwa ada faktor luar yang
menunjang pembentukan sikap ecologycal citizenship yakni kebijakan dan program-program
habituasi yang dilakukan oleh sekolah.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada DR. Hj. Rr. Nanik Setyowati, M.Si. selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing kami dalam penelitian ini, orang tua kami yang selalu
memberikan dorongan dan motivasi serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian penelitian ini, khususnya kepada Kepala Sekolah SMPN 11 Surabaya bapak H.
Masykur, HS. Dan Ibu Suminah, S.Pd. selaku pembina lingkungan di SMPN 11 Surabaya.
164
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arifin, Z. 2011. Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
Poesprodjo. 1987. Pemahaman Belajar. Jakarta: Rieneka Cipta Ritohardoyo. 2000. Geografi
Permukiman. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM
Sudaryono. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudijono,
Anas. 2005. pengantar Evaluasi Pendidikan. Ed.1 Cet.5. jakarta:Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: CV Alfabeta.
________. 2013 Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:CV Alfabeta
Umar, Husein. 1998. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Raja Grafindo. Jakarta.
Yuniarto, bambang. 2013. “Membangun Kesadaran Warga Negara dalam Pelestarian
Lingkungan”. Yogyakarta. CV Budi Utama.
JURNAL ONLINE/ ARTIKEL ILMIAH
Amirullah. 2015. Krisis Ekologi : Problematika Sains Modern. Jurnal Lentera Vol. XVIII ( No.1)
hlm.4. Dobson, A. Tanpa Tahun.“Ecological citizenship: A disruptive influence?” diakses
25 Mei 2017 http://www.vedegylet.hu/okopolitika/Dobson%20%20Ecological%20Citize
nship.pdf _________. 2007. “Environmental citizenship: towards sustainable
development.
Sustainable Development”. hal 280
Grounlund, N. E. (1985). Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan
Publishing Company. Hays, W.L.1976. Quantification in Psychology. New Delhi: Prentice
Hall. Kristiyanto, Netty Demak H. S. 2016. “Dinamika Kajian Ekologi Integratif, dalam
Membangun Pola Pembangunan yang Berkelanjutan”. Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA .
VOL 6 (No.2) hlm. 165.
Melo, Carme. Escrihuela. 2008. “Promoting Ecological Citizenship: Rights,
Duties and Political Agency” Vol 7, (No 2). Hal 117-122 diakses 25 Mei 2017
https://ojs.unbc.ca/index/php/acme/article/view/799/657 Nugraha, Rana Gustian. 2015.
Meningkatkan Ecoliteracy Siswa SD melalui Metode Field Trip Kegiatan Ekonomi pada
Mata Pelajaran Imu Pengetahuan Sosial. Jurnal Mimbar Sekolah Dasar. Vol 2 (No.1)
hlm. 4.
165
Osterlind, S. J. (1983). Test item bias. Beverly Hills, CA: Sage Publication Inc. Prasetiyo,
Wibowo Heru. Dasim Budimansyah. 2016. “Warga Negara dan
Ekologi: Studi Kasus Pengembangan Warga Negara Peduli Lingkungan
dalam Komunitas Bandung Berkebun” Jurnal Pendidikan Humaniora, Vol. 4 (No 4) hal
182-183
Sapanca, Putu Lasmi Yuliyanthi Sapanca. 2012. Efektivitas Ekoliterasi dalam
Meningkatkan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Mengenai
Education For Sustainable Development Berbasis Tanaman Pangan Lokal
(Studi Kasus Di Kecamatan Bangli). Jurnal Agrimeta: Pertanian Berbasis Keseimbangan
Ekosistem. Vol 2 (No.3) hlm. 4.
Segara, Nuansa Bayu. 2015. Educatin for Sustainable Development (ESD) Sebuah
Upaya Mewujudkan Keelestarian Lingkungan. Jurnal Sosio Didaktika. Vol 2 (No.1) hlm
22-30.
Suhartini. 2009. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan” . Jurnal. Jurusan Pendidikan Biologi Fmipa
Universitas Negeri Yogyakarta.
Utina, Ramli. Wahyuni, Dewi. 2009. “ Ekologi dan Lingkungan Hidup”. Gorontalo: UNG Press
Wilujeng, Sri Rahayu. “Mencari Landasan Etis bagi Upaya Membudayakan
Pengelolaan Lingkungan yang Bertanggung Jawab. Jurnal HUMANIKA. Vol 14 (No.1)
hlm. 3.
166
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA DALAM RANGKA MEMBANGUN WARGA NEGARA YANG TRANSFORMATIF
Rr Nanik Setyowati, Maya Mustika Kartika Sari dan Siti Maizul HabibahUnesa, Surabaya
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Proses pembelajaran yang ideal memerlukan penggunaan buku ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam memahami masalah yang ada di sekitarnya. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang baik, maka proses pembelajaran yang berlangsung harus dikemas sedemikian rupa sehingga mahasiswa dilibatkan secara aktif di kelas. Untuk memperoleh hasil tersebut, salah satunya dengan meningkatkan kualitas pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, belajar mengajar adalah suatu proses yang tidak hanya mendapatkan informasi dari dosen, tetapi banyak kegiatan maupun tindakan yang hendaknya dilakukan, terutama bila menginginkan hasil belajar yang lebih baik dari mahasiswa. Misalnya pemberian tugas yang merangsang mahasiswa berpikir kritis yang diberikan maupun metode serta model pembelajaran yang diberikan. Pendekatan dalam proses pembelajaran adalah melakukan proses belajar mengajar yang menekankan pentingnya belajar melalui proses mengalami untuk memperoleh pengalaman, ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya belajar yang diinginkan. Berpikir kritis sangat diperlukan di dalam kehidupan nyata terutama di bidang pendidikan, karena berpikir kritis dalam pendidikan adalah proses berpikir untuk membuat sebuah keputusan dari berbagai landasan seperti bukti, metode, kriteria, konteks, konseptualisasi dan sumber informasinya yang relevan. Dengan pijakan posisi sebagai warga Negara Republik Indonesia, mahasiswa diajak untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai kewarganegaraan dengan berbagai kegiatan riil. Lebih dari itu, dibalik pengembangan komitmen kewarganegaraan ini juga tersirat keinginan untuk membiasakan mahasiswa sebagai partisipan dan menjadi warga negara yang transformatif.
Kata Kunci: Peningkatan, Berpikir Kritis, Warga Negara, Transformatif
PENDAHULUANProses pembelajaran memerlukan kerjasama yang baik antara berbagai pihak. Kondisi
yang ideal, dalam menyajikan materi ajar dalam proses pembelajaran dan memudahkan peserta
didik untuk mempelajarinya, guru perlu mengorganisasikan materi ajar yang telah dikembangkan
ke dalam bahan ajar. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan berdasarkan hasil evaluasi,
supervisi, dan evaluasi masih banyak guru yang belum mampu mengembangkan bahan ajar
secara mandiri. Guru lebih banyak mengandalkan buku paket atau bahan ajar yang disusun oleh
guru lain atau yang disediakan Pemerintah. Guru kurang menyadari akan pentingnya menyusun
bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan, manfaat bahan ajar dalam penyiapan perangkat
pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran, guru kurang memahami mekanisme dan teknis
menyusun bahan ajar yang benar. Selain itu ada masalah yang dihadapi guru yaitu terbatasnya
sarana TIK di sekolah dan terbatasnya kemampuan guru dalam pemanfaatannya. (Direktorat
Pembinaan SMA menyusun dan menerbitkan Petunjuk Teknis Pengembangan Bahan Ajar
SMA).
Sebagai salah satu prodi yang meluluskan calon guru maka PPKn harus menyiapkan
cara untuk mengantisipasi hal-hal tersebut di atas, tetapi itu semua belum cukup terutama
167
dengan diterapkannya Kurikulum 2013 yang menuntut guru untuk mempunyai kemampuan
berpikir kritis. Kurikulum 2013 mengembangkan sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan
keterampilan peserta didik. (Permendikbud Nomor 54/2013). Untuk itulah perlu dilakukan
penengembangan bahan ajar pada beberapa mata kuliah yang diterima mahasiswa Prodi PPKn
sebagai calon guru PPKn kelak.
168
Dalam perkembangan terakhir sejak diterapkannya Kurikulum Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI), untuk angkatan 2015 mata kuliah Hubungan Internasional diganti
menjadi mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Global. Sebagai mata kuliah wajib di
Prodi PPKn, maka mata kuliah ini diharapkan sebagai salah satu modal untuk mengajarkan
muatan materi PPKn untuk tingkat SMP maupun SMA. Mahasiswa diharapkan memiliki
kemampuan berpikir kritis dalam memahami masalah yang ada di sekitarnya bahkan sampai di
tingkat global.
Materi Hubungan Internasional dan Politik Global merupakan muatan materi mata
pelajaran PPKn yang dapat dipakai di setiap kurikulum, baik KTSP 2006 maupun Kurikulum
2013, pada jenjang SMP maupun SMA. Sehingga mahasiswa Prodi PPKn yang nantinya
menjadi guru SMP dan SMA seharusnya memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik dalam
menguasai materi Hubungan Internasional dan Politik Global. Untuk itu diperlukan bahan ajar
dan proses pembelajaran yang baik dan benar.
Proses pembelajaran atau proses belajar mengajar adalah suatu proses yang cukup
rumit, karena tidak sekedar menyerap informasi dari dosen, tetapi juga melibatkan berbagai
kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan, terutama bila menginginkan hasil belajar yang
lebih baik. Salah satu cara belajar mengajar yang menekankan berbagai kegiatan dan tindakan
adalah menggunakan pendekatan tertentu dalam proses pembelajaran. Pendekatan dalam
proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu upaya dalam mengembangkan
keaktifan belajar yang dilakukan, baik oleh peserta didik maupun dosen. Artinya baik tidaknya
hasil belajar mengajar dapat dilihat dari mutu lulusan maupun proses belajar mengajarnya.
Dikatakan berhasil apabila menghasilkan banyak lulusan yang bermutu tinggi, yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat (stake holder), serta yang memadai. Di samping itu, juga jika
dalam prosesnya menunjukkan kegairahan yang tinggi, semangat belajar yang besar dan
percaya pada diri sendiri. Dan pada akhirnya diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan
berpikir kritis yang baik.
169
Untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang baik melalui mata kuliah
Hubungan Internasional dan Politik Global, maka proses pembelajaran yang berlangsung harus
dikemas sedemikian rupa sehingga mahasiswa dilibatkan secara aktif di kelas. Upaya untuk
memperoleh hasil tersebut, maka salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas
pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, belajar mengajar adalah suatu proses yang
tidak hanya mendapatkan informasi dari dosen, tetapi banyak kegiatan maupun tindakan yang
hendaknya dilakukan, terutama bila menginginkan hasil belajar yang lebih baik pada diri
mahasiswa. Misalnya dari pemberian tugas yang merangsang mahasiswa berpikir kritis yang
diberikan maupun metode pembelajaran serta model pembelajaran yang diberikan oleh dosen.
Pendekatan dalam proses pembelajaran pada dasarnya adalah melakukan proses belajar
mengajar yang menekankan pentingnya belajar melalui proses mengalami untuk memperoleh
pengalaman. Pendekatan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan berhasil
tidaknya belajar yang diinginkan.
Perumusan MasalahBertitik tolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mengapa kemampuan berpikir kritis diperlukan mahasiswa S1 PPKn Jurusan PMP-KN FISH
Unesa?
Tujuan Penelitian Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mendeskripsikan alasan diperlukannya kemampuan berpikir kritis mahasiswa S1 PPKn
Jurusan PMP-KN FISH Unesa?
METODE PENELITIANJenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan bahan ajar dalam proses
perkuliahan mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Global. Dalam penulisan artikel ini
difokuskan pada masalah terkait pentingnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Teknik Analisis DataAdapun untuk menganalisis diperoleh melalui kajian literatur. Untuk artikel dalam seminar
ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan bahan ajar dan difokuskan pada masalah
ketiga. Untuk masalah pertama dan kedua sedang dalam proses karena penelitian sedang
berjalan.
170
HASIL DAN PEMBAHASANDalam hal pengembangan bahan ajar maka harus memperhatikan strukturnya. Struktur
isi buku minimal memuat: Judul/identitas, SK-KD, Materi Pembelajaran, Paparan Isi Materi,
Latihan dan Penilaian (Direktorat Pembinaan SMA. Petunjuk Teknis Pengembangan Bahan Ajar
SMA). Buku ajar harus memenuhi syarat-syarat tertentu, penyajiannya harus menarik,
menantang, materinya bervariasi sehingga peserta didik benar-benar termotivasi untuk
mempelajarinya.Semakin berkualitas suatu buku, semakin sempurna mata pelajaran yang
ditunjangnya. Untuk memenuhi kualitas buku ajar yang baik, maka diperlukan kriteria-kriteria
tertentu dalam penyusunan dan penulisan buku ajar, kriteria tersebut menurut Greene dan Petty
(Tarigan, 1986:22) yaitu: sudut pandang (point of view); kejelasan konsep dengan kurikulum;
menarik minat; menumbuhkan mitivasi; menstimulasi aktivitas siswa; ilustratif; harus dapat
dimengerti; menunjang mata pelajaran lain; menghargai perbedaan individu ; dan menetapkan
nilai-nilai. (Setyowati, Rr Nanik dan Siti Maizul Habibah.2015:10).
Bahan ajar yangt baik akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
Saat ini kemampuan berpikir kritis sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena untuk
mengembangkan kemampuan berpikir lainnya, seperti kemampuan untuk membuat keputusan
dan menyelesaian masalah. Banyak sekali fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang perlu
dikritisi (http://nengah235.blogspot.co.id/2013/03/apa-itu-berpikir-kritis.html diakses tanggal 22
Maret 2017).
Berpikir kritis sangat diperlukan di dalam kehidupan nyata terutama di bidang pendidikan.
Pengertian berpikir kritis dalam pendidikan adalah proses berpikir untuk membuat sebuah
keputusan dari berbagai landasan seperti bukti, metode, kriteria, konteks, konseptualisasi dan
sumber informasinya yang relevan. Seorang mahasiswa/calon guru yang berpikir kritis maka dia
akan mampu :
1. Mengenali berbagai isu di bidang pendidikan dengan mudah.
2. Mengidentifikasi, menganalisis penyebab masalah dan tingkat hubungan masalah
tertentu.
3. Mampu membuat solusi dan mengevaluasinya seperti merumuskan masalah yang terkait
dengan perlu tidaknya Unas.
4. Dengan demikian berpikir kritis dalam dunia pendidian sangat penting karena akan
meningkatkan keterampilan dan profesionalisme dalam aktivitasnya di dunia pendidikan.
Pengertian berpikir kritis adalah berpikir pada sebuah level yang kompleks dengan
menggunakan berbagai proses analisis dan proses evaluasi terhadap informasi yang
didapatkan. Menurut Beyer:1985, pengertian berpikir kritis adalah kemampuan kemampuan
untuk :
171
Menilai valid tidaknya suatu sumber informasi
Bisa membedakan mana yang relevan dan mana yang tidak relevan
Bisa membedakan mana yang fakta mana yang opini
Mampu untuk mengidentifikasi bias dan sudut pandang
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta yang ada kemudian membuat
beberapa gagasan dan mempertahankan gagasan tersebut kemudian membuat perbandingan.
Dengan membuat beberapa perbandingan kita bisa menarik kesimpulan dan membuat sebuah
solusi atas masalah yang ada. (pengertian berpikir kritis menurut Chance : 1986). Berpikir kritis
adalah sebuah proses yang disengaja dan dilakukan secara sadar untuk menafsirkan sekaligus
mengevaluasi sebuah informasi dari pengalaman, keyakinan dan kemampuan yang ada.
(pengertian berpikir kritis menurut Mertes : 1986). Berpikir kritis menurut pandangan Islam
berarti segala sesuatu hal yang kita temui dan ketahui di kehidupan sehari-hari tidak boleh
ditelan secara mentah-mentah tetapi haruslah dikaji terlebih dahulu asal muasalnya, apa saja
informasi yang relevan kemudian menyimpulkan apakah hal tersebut bertentangan dengan
ajaran Islam atau tidak. Contoh berpikir kritis tentang perayaan tahun baru : Perayaan pesta
pora akhir tahun baru itu asal muasalnya dari mana, kenapa harus dirayakan, apakah ada
manfaat atau mudharatnya dan sebagainya.
Ciri-ciri berpikir kritis adalah melibatkan berbagai macam keahlian induktif dengan
beberapa tahapan, seperti: melakukan analisa masalah secara terbuka, menentukan sebab dan
akibat, serta menyajikan kesimpulan dengan cara memperhitungkan berbagai macam data
relevan yang didapatkan. Ketika seseorang sedang berpikir kritis, maka dia sedang melakukan
sebuah aktivitas mental di dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Hal tersebut biasanya
dilakukan dengan cara menganalisa asumsi, memberi rasional, melakukan evaluasi, melakukan
penyelidikan dan terakhir adalah proses pengambilan keputusan. Semua hal yang disebutkan
tersebut akan sangat penting di dalam proses pengambilan keputusan, dimana seseorang yang
sedang berpikir kritis akan mencari, menganalisa/mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan
hingga akhirrnya mengambil sebuah keputusan.
Orang yang berpikir kritis akan memiliki kemampuan untuk mencari dan memaparkan
hubungan sebuah masalah dengan berbagai pengalaman lainnya yang relevan dengan
permasalahan tersebut. Dalam hal ini akan dilakukan sebuah proses berpikir yang terirganisasi
untuk memecahkan sebuah permasalahn dengan cara melibatkan aktivitas mental yang
mencakup kemampuan: memberikan argumen, merumuskan masalah, melakukan induksi dan
deduksi, melakukan evaluasi, dan mengambil keputusan.
Di bawah ini adalah beberapa fungsi dari kegiatan berpikir kritis:
1. Mempunyai banyak ide kreatif dan alternatif jawaban.
172
2. Dengan membiasakan diri berpikir kritis, maka kita akan memiliki kemampuan untuk
menangani sebuah masalah dengan cara berpikir jernih dan cerdas.
3. Lebih cepat memahami sudut pandang orang lain.
4. Berpikir kritis akan membuat seseorang memiliki pandangan yang lebih fleksibel dan
tidak kaku saat menanggapi pendapat orang lain.
5. Menjadi lebih mandiri.
6. Memiliki kemampuan berpikir kritis, tentu akan membuat seseorang bisa menjadi sebuah
sosok pribadi yang mandiri dan mampu melakukan berbagai aktivitas di atas rata-rata.
7. Mudah menemukan peluang baru.
8. Di saat seseorang memiliki kebiasaan berpikir kritis, maka bisa dipastikan bila dia adalah
sosok yang sangat optimis dan selalu berpikiran positif serta memiliki kemampuan lebih
bila dibandingkan dengan yang lainnya.(http://www.pengertian menurut para
ahli.net/pengertian-berpikir-kritis-menurut-para-ahli diakses tanggal 20 Maret 2017).
Melihat fungsi dari kegiatan berpikir kritis di atas maka sangat penting diberikan pada
mahasiswa. Sekolah/kampus harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-anak.
Berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi membidik baik berpikir kritis maupun berpikir
kreatif. Salah satu bentuk berpikir adalah berpikir kritis (critical thinking). Dalam penelitian ini
menekankan kemampuan dalam hal berpikir kritis. Elaine Johnson (2002: 183) berpikir kritis
merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental
seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan
melakukan penelitian ilmiah.
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi.
Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat
pribadi dan pendapat orang lain. Selanjutnya berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide
atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih,
mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna (Cece
Wijaya, 1996: 72).
Sapriya (2011:87) mengemukakan bahwa tujuan berpikir kritis ialah untuk menguji
suatu pendapat atau ide, termasuk dalam proses ini adalah melakukan pertimbangan atau
pemikiran yang didasarkan pada pendapat yang diajukan. Tujuan berpikir kritis untuk menilai
suatu pemikiran, menafsir nilai bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau praktik suatu
pemikiran dan nilai tersebut. Bahkan berpikir kritis meliputi aktivitas mempertimbangkan
berdasarkan pada pendapat yang diketahui. Menurut Lipman dalam Elaine Johnson
(2002:144) menyatakan bahwa layaknya pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya
didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.Elaine Johnson (2002: 185) juga
menyatakan bahwa tujan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang
mendalam.
173
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, pengertian
kemampuan berpikir kritis mempunyai makna yaitu kekuatan berpikir yang harus dibangun
pada siswa sehingga menjadi suatu watak atau kepribadian yang terpatri dalam kehidupan
siswa untuk memecahkan segala persoalan hidupnya dengan cara mengidentifikasi setiap
informasi yang diterimanya lalu mampu untuk mengevaluasi dan kemudian
menyimpulkannya secara sistematis lalu mampu mengemukakan pendapat dengan cara
yang terorganisasi. (http : // www.kajianteori.com/ 2014 / 02/ pengertian – kemampuan –
berpikir - kritis. html diakses tanggal 28 Maret 2017).
Agar PKn dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap proses pengembangan
individu dan masyarakat Indonesia yang demokratis, perlu ditetapkan kemampuan dasar
minimal peserta didik dalam mata pelajaran PKn pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
Kemampuan dasar tersebut menyangkut kemampuan belajar, berpikir, bersikap dan
bertindak dan hidup bersama dalam masyarakat. Untuk menfasilitasi pembelajaran PKn yang
efektif, perlu dikembangkan bahan belajar interaktif yang dikemas dalam berbagai bentuk
seperti bahan belajar tercetak, dan bahan belajar langsung dari masyarakat sebagai
pengalaman langsung. (Soedarsih dan Rr Nanik Setyowati, 2007:5).
Dalam rangka membangun warga negara yang transformatif maka mahasiswa harus
ditingkat kemampuan berpikir kritisnya. Khusus untuk hal-hal terkait materi kuliah Hubungan
Internasional dan Plotik Global dan secara luas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
bermasyarakat bebangsa an bernegara.
KESIMPULANBagi mahasiswa peningkatan kemampuan berpikir kritis dalam membangun warga
negara yang transformatif dapat terwujud jika bahan ajar yang digunakan dapat merangsang
untuk mencapai hal tersebut. Hal ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan Prof. Dr.
Purwo Santoso, dkk untuk mata kuliah PKn. Selama ini menurut Santoso, Purwo (2016:6)
pembelajaran dalam mata kuliah biasanya didedikasikan ‘untuk tahu’ (to know) bukan ‘untuk
menjadi ataupun mempraktekannya’ (to be). Yang lebih dipentingkan bukan hanya ontologi (nilai
atau norma) kewarganegaraan, melainkan juga aksiologisnya. Yang diharapkan tumbuh dari
pembelajaran adalah kesediaan dan kemampuan untuk mempraktekkan dan mereproduksi
nilai/norma tersebut. Pendidikan kewarganegaraan tidak diikuti dengan perubahan model
kewarganegaraan yang hendak diaktualisasikan, pada saat mereka telah memiliki otonomi dan
kebebasan. Situasi-situasi dilematis yang bisa menjebak warga negara juga tidak cukup
mengedepan. Singkat cerita, ada urgensi untuk mengembangkan proses pembelajaran
transformatif; itu memperbaiki praktek bernegara melalui kiprah warga-warga negara.
Perubahan praktek, perlu dibawa masuk ke dalam domain pendidikan.
174
Begitu juga dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa maka diharapkan
akan dapat membangun warga negara yang transformatif jika menggunakan bahan ajar yang
baik, sehingga mahasiswa tidak hanya tahu tentang materi matakuliah tetapi akan mau dan
mampu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pijakan posisi sebagai warga
Negara Republik Indonesia, mahasiswa diajak untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan
nilai-nilai kewarganegaraan dengan berbagai kegiatan riil. Lebih dari itu, dibalik pengembangan
komitmen ke-warganegara-an ini juga tersirat keinginan untuk membiasakan mahasiswa
sebagai partisipan dari gerakan pro-demokrasi secara kontekstual (berbasis daily live politics),
and contextual learning.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Dekan FISH atas diberikannya dana kebijakan bagi terlaksananya
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKAMustadji. 2016. Penelitian Pengembangan Ajar. Disampaikan dalam Workshop Bahan Ajar di
FISH 31 Maret 2016.
Santoso, Purwo. 2016. Reproduksi Nilai Kewarganegaraan Secara Empatik dan DialogisMelalui
MOOC Bersama DEEP Network. Laporan Akhir Hibah Mooc E-Learning UGM. Tidak
dipublikasikan.
Setyowati, Rr Nanik dan Siti Maizul Habibah. 2015. Pemahaman mahasiswa terhadap materi
HAM melalui pengembangan bahan ajar Mata kuliah HAM pada mahasiswa S1 PPKn
Jurusan PMP-KN FISH Unesa. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan.
Tim. 2016. Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Penguatan Riset
dan Pengembangan Kemenristek.
Tim. 2012. Direktorat Pembinaan SMA. Petunjuk Teknis Pengembangan Bahan Ajar SMA
Sumber Internet:
175
http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian–berpikir-kritis-menurut-paraahli/.html
diakses tanggal 20 Maret 2017
http://www.kajianteori.com/2014/02/pengertian-kemampuan-berpikir-kritis.html
diakses tanggal 28 Maret 2017
http://www.kajianteori.com/2014/02/ciri-ciri-kemampuan-berpikir-kritis.html
diakses tanggal 19 Maret 2017
http://nengah235.blogspot.co.id/2013/03/apa-itu-berpikir-kritis.html
diakses tanggal 22 Maret 2017.
MODEL EVALUASI COUNTENACE STAKE PADA PROGRAM PEMBELAJARAN PPKn KELAS VII SMP NEGERI 1 BOLO KABUPATEN BIMA
176
H a f s a hUniversitas Muhammadiyah Mataram, Mataram
ABSTRAKTujuan penelitian ini untuk membandingkan kesesuaian antara program pembelajaran PPKn yang meliputi tahap perencanaan, proses dan hasil belajar dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 mengenai standar proses pendidikan dasar dan menengah menggunakan model evaluasi countenance stake. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program pembelajaran PPKn kelas VII di SMP Negeri 1 Bolo Kabupaten Bima, pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan pembelajaran, dan hasil belajar belum sepenuhnya sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Jadi dapat disimpulkan bahwa program pembelajaran tersebut secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Alasannya karena keterhubungan antara antecedent dengan transaction, transaction dengan outcome dan antecedent, transaction dan outcomes, baik pada intens dan observation, semua hasil evaluasi secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses.
Kata kunci: Model evaluasi, Countenance Stake, Program Pembelajaran.
PENDAHULUANPermendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan
Menengah, tahap pelaksanaan pembelajaran terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti,
dan kegiatan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan pendidik: (1) menyediakan peserta didik
secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; (2) memberi motivasi belajar
peserta didik secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan
sehari-hari, dengan memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional, dan internasional
serta disesuaikan dengan karakteristik dan jenjang peserta didik; (3) mengajukan pertanyaan-
pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; (4)
menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan (5)
menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. Kegiatan inti
menggunakan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber
belajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan
pendekatan tematik dan /atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan
penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis
pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan
jenjang pendidikan.
Dalam kegiatan penutup, guru bersama peserta didik baik secara individual maupun
kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi: (1) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran
dan hasil-hasil yang diperoleh untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung
maupun tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung; (2) memberikan umpan
balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; (3) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam
bentuk pemberian tugas, baik tugas individual maupun kelompok; dan (4) menginformasikan
177
rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya. Dengan demikian, pelaksanaan
pembelajaran merupakan tahap implementasi dari perencanaan pembelajaran yang di dalamnya
terdiri atas kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena untuk mengevaluasi program pembelajaran,
tentunya memiliki cara atau metode yang cocok sehingga hasil evaluasi program pembelajaran
itu dapat diketahui kelemahan dan kelebihannya.
Hasil observasi yang muncul dalam program pembelajaran PPKn pada tiga aspek
permasalahan, yaitu Pertama, pada aspek perencanaan pembelajaran, masih adanya guru-guru
yang belum sepenuhnya melaksanakan konsep pembelajaran PPKn secara sistematis yang
sesuai dengan Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah, adanya fenomena guru yang melakukan plagiat terhadap RPP yang dibuat oleh
pemerintah, guru masih kurang dalam mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai
dengan materi pembelajaran, guru belum mampu melakukan inovasi untuk menggunakan media
pembelajaran yang sesuai dengan teknologi informasi, guru kurang teliti dalam kelengkapan
komponen-komponen RPP, , dan guru kurang dalam melaksanakan pelatihan implementasi
kurikulum 2013.
Kedua, aspek pelaksanaan pembelajaran, guru seringkali tidak secara tuntas
mengimplementasikan RPP dalam kegiatan proses belajar mengajar, tidak adanya pemberian
motivasi belajar kepada peserta didik secara kontekstual sesuai kehidupan sehari-hari, guru
tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan
materi yang akan dipelajari, guru tidak menjelaskan uraian kegiatan yang akan dilakukan sesuai
silabus. Ketiga, aspek penilaian hasil pembelajaran, banyak guru yang mengesampingkan
penilaian terhadap sikap religius dan sosial, guru masih belum memahami kesesuaian penilaian
dengan tujuan pembelajaran, guru tidak melengkapi instrumen penilaian yang mencakup soal,
kunci jawaban, dan rubrik, guru tidak melakukan program remedial terhadap hasil belajar
peserta didik yang masih di bawah KKM, dan guru tidak memberikan pengayaan terhadap hasil
belajar peserta didik yang sudah mencapai standar KKM.
Berbagai cara terus dikembangkan untuk mendapatkan solusi efektif dalam
mengevaluasi program pembelajaran terutama dalam mengevaluasi program pembelajaran
PPKn. Evaluasi program pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model
evaluasi Countenance Stake. Evaluasi dapat didefinisikan sebagai penilaian pencapaian tujuan
melalui pengumpulan dan analisis data yang berguna untuk membuat keputusan dari suatu
program. Model evaluasi berguna dalam membimbing pengelolaan, pengumpulan data dan
analisis (Wood, 2001:18). Evaluasi pembelajaran adalah kegiatan mengevaluasi hal-hal yang
dilakukan dalam proses pembelajaran meliputi perencanaan, pelaksanaan dan proses penilaian
serta dampaknya terhadap peserta didik. Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan dapat
178
memperbaiki kekurangan dalam pembelajaran, dan dapat dijadikan dasar untuk proses
pembelajarannya selanjutnya.
Model countenance stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks
deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat
dikerjakan oleh evaluator setelah matriks deskripsi diselesaikan (Arikunto, 2008:43). Evaluasi
model Stake memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai pembelajaran
PPKn yang dilakukan oleh guru PPKn. Dalam model ini stake sangat menekankan peran
evaluator dalam mengembangkan tujuan pembelajaran PPKn menjadi tujuan khusus dan
terukur. Matriks deskripsi terdiri atas kategori tujuan (intent) dan observasi. Matriks
pertimbangan terdiri atas kategori standar dan pertimbangan. Pada setiap kategori terdapat tiga
fokus: (a) antecedent (konteks) yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang
berhubungan dengan hasil, (b) tran-saction (proses) yang merupakan proses instruksi kegiatan,
dan (c) outcomes (hasil) yaitu efek dari pengalaman, pengamatan dan hasil kerja (Stake,
1967:1-12). Worthen & Sanders, 1987, dalam Wood, (2001:19) mengemukakan bahwa Stake
menciptakan kerangka evaluasi untuk membantu evaluator dalam mengumpulkan, mengatur,
dan menafsirkan data kuantitatif dan kualitatif. Inti dari kegiatan evaluasi adalah proses
dihasilkannya informasi seba-gai alternatif keputusan (Stufflebeam, 1973, pp.3-5; Hamm, 1985,
pp.256-622; Stake, 1967, pp.2-4; Stufflebeam & Shinkfield, 1985, p.159). Tahapan evaluasi
Stake yang relevan adalah Input (Antecedent), Proses (Transaction), dan Produk (Outcomes),
(Provus, 1969, pp.2,3; Kaufman & Thomas, 1980, p.137). Gambaran Outcome model Stake
adalah dampak dari pelaksanaan program pem-belajaran (Asti Lukum, 2015).
Hal yang menarik pada evaluasi ini terletak pada perbedaan antara deskripsi tindakan
dan keputusan yang sesuai dengan program pendidikan pada antecedent, transaction dan
outcomes (Popham 1993, dalam Wood, 2001, p.19). Berdasarkan hal tersebut, keuntungan
evaluasi model countenance stake adalah penilaiannya didasarkan atas kebutuhan program
yang dievaluasi, sehingga dapat mengdeskripsikan secara kompleks program pembelajaran
yang dilaksanakan oleh guru serta memiliki potensi besar untuk memperoleh pengalaman dan
teori ter-hadap program pembelajaran yang dievaluasi.
Anteceedent adalah sebuah kondisi yang ada sebelum pembelajaran berlangsung yang
berhubungan dengan hasil, sedangkan tran-saction merupakan proses pengalaman pem-
belajaran. Ada dua cara yang dapat diguna-kan untuk memproses data evaluasi deskriptif pada
program pendidikan yaitu mene-mukan contingency (keterhubungan) antara anteseden,
transaksi, dan outcome serta congruence (kesesuaian) antara tujuan yang diharapkan dan
kondisi yang diobservasi (Stake, 1977, pp. 372-390). Perlu diperhatikan apakah rencana
pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran di kelas atau terjadi
penyimpangan.
179
Data kurikulum dikatakan congruence apabila tujuan yang diharapkan secara nyata
terpenuhi. Dalam satu garis matriks data, evaluator dapat membandingkan sel-sel yang berisi
tujuan dan observasi, untuk mencatat kesenjangan dan menjelaskan sebuah kong-ruens dengan
garis tersebut. Hubungan atau contingencies antara variabel-variabel perlu mendapat perhatian.
Dalam evaluasi prog-ram pendidikan yang mencari hubungan yang mungkin untuk peningkatan
program pendidikan, tugas evaluator adalah tergantung pada hasil identifikasi kondisi yang
terjadi pada anteseden dan kondisi yang terjadi pada transaksi. Observasi contingencies ini
tergantung pada bukti empiris (Wood, 2001:19-20). Analisis contingencies meliputi analisis logis
dan analisis empiris.
Analisis logis dilakukan untuk pem-berian pertimbangan mengenai hubungan antara
anteceedent, transaction, dan hasil dari kotak-kotak tujuan. Evaluator harus dapat menentukan
apakah anteceedent yang telah dikemukakan dalam pengembangan program pembelajaran
akan tercapai dengan ren-cana transaksi yang diajukan. Atau sebetulnya ada model transaksi
lain yang lebih efektif. Demikian pula mengenai hubungan antara transaksi dengan hasil yang
diharap-kan. Analisis kedua adalah analisis empirik. Dasar bekerjanya sama dengan analisis
logis tetapi data yang digunakan adalah data em-pirik. Hamm (1985:256-622) menyata-kan
bahwa Model Stake berguna untuk memberikan bukti yang luas untuk mendukung suatu
keberhasilan program tertentu dengan cara mendokumentasikan hubungan yang masuk akal
antara semua komponen.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, penelitian ini bertujuan
1. Untuk menjelaskan perencanaan pembelajaran PPKn yang dirumuskan dalam bentuk RPP
sesuai tidak dengan kurikulum 2013 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan dasar dan menengah menggunakan
model evaluasi Countenance Stake.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran PPKn yang dilakukan dalam bentuk kegiatan
pembelajaran sesuai tidak dengan perencanaan yang dibuat dalam bntuk RPP menggunakan
model evaluasi Countenance Stake.
3. Untuk menjelaskan penilaian hasil pembelajaran PPKn yang meliputi hasil belajar peserta
didik pada mata pelajaran PPKn baik pada ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan
sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan oleh satuan pendidikan dan berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah menggunakan model evaluasi Countenance Stake.
METODE PENELITIANJenis penelitian ini merupakan penelitian evaluasi (evaluation research). Penelitian
evaluasi merupakan suatu desain dan prosedur evaluasi dalam mengumpulkan dan
180
menganalisis data secara sistematis untuk menentukan nilai atau manfaat (worth) dari suatu
praktik pendidikan berdasarkan atas hasil pengukuran atau pengumpulan data dengan
menggunakan standar atau kriteria tertentu yang digunakan secara absolut maupun relatif
(Sukmadinata, 2011: 120). Lokasi penelitian di SMP Negeri 1 Bolo Kabupaten Bima, merupakan
salah satu sekolah di kabupaten Bima yang telah menerapkan Kurikulum 2013.
Model evaluasi yang digunakan yaitu model evaluasi Countenance Stake yang
menyatakan bahwa penekanan evaluasi pada dua jenis operasional, yaitu deskripsi dan
pertimbangan serta membedakan tiga tahapan dalam evaluasi yaitu perencanaan, proses, dan
hasil. Model ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui pembelajaran yang sedang dilaksanakan
oleh guru dari sudut perencanaan, pelaksanaan, dan hasil pembelajaran sehingga sesuai
dengan model evaluasi Countenance Stake.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam mengkaji penelitian tentang “Penggunaan
Model Countenance Stake Pada Evaluasi Pembelajaran PPKn kelas VII SMP N 1 Bolo Kab.
Bima” yaitu pendekatan deskriptif kualitatif. Bogdan & Taylor (Djamal, 2015: 9) mengatakan
bahwa “penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan”. Dengan perkataan lain, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang
menghasilkan data deskriptif dan berupaya menggali dari suatu fonomena.
Desain penelitian ini menggunakan model evaluasi Countenance yang dikembangkan
Stake seperti pada Gambar 1 di bawah ini:
Sebagaimana desain penelitian model evaluasi Countenance Stake yang dijelaskan pada
gambar tersebut di atas, maka akan dijelaskan secara rinci prosedur atau tahapan yang
dilakukan oleh peneliti sebagai berikut: (1) pada bagian rasional pembelajaran PPKn yaitu
menjelaskan pentingnya suatu evaluasi pembelajaran PPKn yang dalam perihal ini berkaitan
dengan evaluasi pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran
PPKn; (2) pada tahap Intens ini dilakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan informasi 181
Gambar 1. Desain Penelitian Model Evaluasi Countenance Stake
tentang tujuan dari pembelajaran PPKn yang diharapkan. Analisis tujuan ini dilakukan pada tiga
komponen evaluasi yaitu: Antecedents (perencanaan pembelajaran PPKn), Transactions
(pelaksanaan pembelajaran PPKn), dan Outputs (penilaian hasil pembelajaran PPKn); (3) pada
tahap Observation ini bagaimana melihat apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan terkait
dengan ketiga komponen evaluasi tersebut; (4) antara Intens dan Observation tersebut terdapat
Contingency Logis dan Contingency Empiric. Contingency Logis adalah hasil pertimbangan
evaluator terhadap keterkaitan atau keselarasan logis antara kotak Antecedents (perencanaan
pembelajaran PPKn) dengan Transactions (pelaksanaan pembelajaran PPKn) dan Outputs
(penilaian hasil pembelajaran PPKn). Evaluator juga memberikan pertimbangan keterkaitan
empirik, berdasarkan data lapangan, antara Antecedents, Transactions, dan Outputs mengenai
Congruence atau kesesuaian yang terjadi antara apa yang dikerjakan dengan apa yang terjadi di
lapangan; (5) analisis Congruence terlebih dahulu dengan cara menyusun standar pengukuran
keterlaksanaan pembelajaran pada semua tahap evaluasi dengan menyusun kriteria-kriteria
yang jelas dan terukur. Standar yang digunakan oleh evaluator dalam penelitian ini adalah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah; (6) analisis terhadap kesesuaian standar dengan data hasil
penelitian akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan (Judgement). Pengambilan
keputusan ini dilaksanakan untuk ketiga komponen evaluasi yaitu Antecedents (perencanaan
pembelajaran PPKn), Trasactions (pelaksanaan pembelajaran PPKn), dan Outputs (penilaian
hasil pembelajaran PPKn); dan (7) langkah terakhir yang dilakukan adalah memberikan
rekomendasi terhadap hasil pertimbangan yang dilakukan sebelumnya berdasarkan hasil
evaluasi.
HASIL PENELITIANDeskripsi Data Perencanaan Pembelajaran
Intens (yang diharapkan). Komponen yang di evaluasi pada Antecedents ini adalah RRP
yang di buat oleh guru PPKn. Adapun RPP yang dibuat oleh guru PPKn di SMP Negeri 1 Bolo
Kab. Bima diharapkan sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses
pendidikan dasar dan menengah.
Adapun hasil observasi terkait perencanaan pembelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di SMP Negeri 1 Bolo
Kab. Bima, pertama merencanakan strategi pembelajaran termasuk pendekatan, metode dan
teknik yang telah di sesuaikan dengan tujuan pembelajaran, kedua menyiapkan media
pembelajaran, menyiapkan sumber belajar dan merencanakan evaluasi untuk mengetahui
sejauhmana siswa memahami pembelajaran yang kemudian dikema dalam bentuk Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No.
22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. komponen-komponen
182
yang belum sesuai dengan permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses yaitu :
belum memanfaatkan media pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan leptop dan
LCD, belum memanfaatkan lingkungan alam, dan belum menuliskan aktivitas kegiatan
pembelajaran pengayaan berupa : (1) Proyek, mengerjakan soal-soal yang menuntut
kemampuan berfikir lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya lihat pada lampiran 1.
Adapun standar komponen RPP berdasarkan Standar Proses Pembelajaran meliputi:1)
Identitas sekolah; 2) Identitas mata pelajaran; 3) materi pokok; 4) alokasi waktu; 5) tujuan
pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD; 6) kompetensi dasar dan indicator
pencapaian kompetensi; 7) materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur
yang relevan; 8) metode pembelajaran yang digunakan pendidik guna mencapai KD yang
disesuaikan dengan karak- teristik peserta didik; 9) media pembelajaran guna membantu
proses menyampaikan materi pelajaran; 10) sumber belajar dapat berupa buku, media cetak
dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan ;11) langkah- langkah
pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup; 12) penilaian hasil
pembelajaran. Judgement (pertimbangan) Secara keseluruhan RPP yang dibuat guru PPKn
belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan
dasar dan menengah.
Berdasarkan uraian deskripsi di atas ditemukan belum adanya kesesuaian antara
ketersediaan RPP yang dibuat guru PPKn dengan Standar Proses Pembelajaran, terutama
dalam komponen media pembelajaran memanfaatkan media pembelajaran sesuai dengan
tujuan pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik secara optimal, komponen sumber belajar memanfaatkan lingkungan alam
dan sosial, sedangkan pada komponen penutup yaitu dalam indikator membuat
rangkuman/simpulan pelajaran, melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang
sudah dilaksanakan, memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil belajar, dan
merencanakan kegiatan tindak lanjut (remedi, pengayaan, konseling, dan/atau tugas) dan
menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Dengan demikian dpat
disimpulkan bahwa RPP yang dibuat guru PPKn di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima secara
keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses
pendidikan dasar dan menengah. Adapun komponen-komponen yang tidak sesuai dengan
permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses yaitu : belum memanfaatkan media
pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan leptop dan LCD, belum memanfaatkan
lingkungan alam, dan belum menuliskan aktivitas kegiatan pembelajaran pengayaan berupa : (1)
Proyek, mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan berfikir lebih tinggi.
Pengamatan Pelaksanaan Pembelajaran
183
Intens (yang diharapkan) komponen yang dievaluasi pada Transaction ini adalah
kegiatan pelaksanaan pembelajaran PPKn di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima salah satu sekolah
yang telah menerapkan Kurikulum 2013 diharapkan sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun
2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.
Adapun hasil pengamatan peneliti selama proses pembelajaran berlangsung yaitu :
pertama dalam menyampaikan materi guru sudah menggunakan pendekatan, metode dan
teknik. Pada dasarnya metode pengajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sama
dengan mengajar ilmu-ilmu yang lain, disamping ada ciri-ciri khas, metode mengajar sangat
bermacam-macam. Karena banyak faktor yang mempengaruhinya yaitu : tujuan yang hendak
dicapai peserta didik, bahan atau materi yang akan diajarkan, fasilitas, guru, situasi, kelebihan
dan kelemahan metode tertentu. Namun ada beberapa hal yang belum dilaksanakan oleh guru
pada kegiatan pendahuluan, belum mengondisikan suasana belajar yang menyenangkan, tidak
menyampaikan lingkup dan teknik penilaian yang akan digunakan, pada kegiatan Inti belum
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pembelajaran, belum menggunakan sumber belajar berbasis aneka sumber belajar dan pada
kegiatan Penutup, belum merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran
remedi, program pengayaan, layanan konseling, karna Pada dasarnya pengajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan sama dengan mengajar ilmu-ilmu yang lain, disamping ada
ciri-ciri khas, metode mengajar sangat bermacam-macam. Karena banyak faktor yang
mempengaruhinya yaitu : tujuan yang hendak dicapai peserta didik, bahan atau materi yang
akan diajarkan, fasilitas, guru, situasi, kelebihan dan kelemahan metode tertentu.
Adapun standar Pelaksanaan pembelajaran berdasarkan standar proses meliputi:
1. Pendahuluan:
a) menyiapkan peserta didik secara psikiss dan fisik untuk mengikuti proses
pembelajaran;
b) memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai manfaat dalam
kehidupan sehari-hari;
c) mengajukan pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi
yang akan dipelajari;
d) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kom- petensi dasar yang akan dicapai; dan
e) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.
2. Kegiatan Inti:
menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan
sumber belajar yang disesuaikan dengan ka- rakteristik peserta didik dan mata pelajaran.
Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri, dan
penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis
184
pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan
jenjang pendidikan. Kegiatan Penutup
3. Kegiatan penutup
Dalam kegiatan penutup guru bersama peserta didik baik secara individual maupun
kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi:
a) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh untuk selanjutnya
secara bersama menemukan manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil
pembelajaran yang telah berlangsung.
b) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.
c) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam ben- tuk pemberian tugas, baik tugas individual
maupun kelompok; dan
d) menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.
Judgement (pertimbangan) Keterlaksanaan pembelajaran PPKn kelas VII di SMP
Negeri 1 Bolo Kab. Bima belum sepenuhnya sesuai dengan permendikbud No.22 tahun 2016
tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.
Berdasarkan uraian di atas ditemukan belum adanya kesesuaian antara pelaksanaan
pembelajaran dengan standar proses pelaksanaan pembelajaran. Ketidaksesuaian ini terdapat
pada komponen kegiatan pendahuluan, Kegiatan Inti dan Kegiatan Penutup seperti, belum
mengondisikan suasana belajar yang menyenangkan, belum memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran dan belum
merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan,
layanan konseling. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan oleh
guru PPKn kelas VII di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima secara keseluruhan belum sesuai dengan
Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.
Penilaian Hasil BelajarIntens (yang diharapkan). Hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran PPKn
memenuhi criteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 7,5 %. Adapun hasil hasil wawancara dan
dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn yang bersangkutan memuat tentang hasil
belajar peserta didik di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada ranah Kognitif, Afekrif dan
Psikomotorik dengan rata-rata nilai UTS (Ujian Tengah Semester) siswa adalah 75-90 keatas
dengan KKM untuk mata pelajaran PPKn 7,5 walaupun ada beberapa orang siswa yang nilainya
masih berada dibawah KKM. Standar penilaian hasil belajar peserta didik ranah Kognitif, Afekrif
dan Psikomotorik untuk mata pelajaran PPKn adalah 7,5 %. Judgement (pertimbangan) guru
sebaiknya menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai
kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh.
185
Berdasarkan hasil wawancara dan dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn
yang bersangkutan dengan standar penilaian hasil belajar peserta didik secara keseluruhan
telah di temukan kesesuaian antara dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn yang
bersangkutan memuat tentang hasil belajar peserta didik dengan Standar penilaian hasil belajar
peserta didik walaupun ada beberapa orang siswa yang nilainya masih berada dibawah KKM.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar peserta didik di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada
ranah Kognitif, Afekrif dan Psikomotorik dengan rata-rata nilai UTS (Ujian Tengah Semester)
siswa adalah 75-90 keatas dengan KKM untuk mata pelajaran PPKn 7,5 telah sesuai dengan
Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.
PEMBAHASANKeterhubungan antara antecedent dengan transaction, transaction dengan outcome
dan antecedent, transaction dan outcomes, baik pada intens dan observation, semua hasil
evaluasi dalam kategori cukup. Hal ini sesuai dengan fenomena hasil observasi bahwa secara
keseluruhan guru belum sepenuhnya memahami cara menyusun RPP yang baik serta
melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan RPP yang dibuat dan ini berdampak pada
tidak berhasilnya pembelajaran yang dilakukan guru. Hal ini memberikan gambaran bahwa
terdapat contingency antara perencanaan, pelaksanaan dengan hasil belajar. RPP yang dibuat
guru menggambarkan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran termasuk dalam
kategori cukup. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian guru tidak paham menyusun RPP sehingga
rancangan pembelajaran sulit untuk diimplementasikan di kelas, Hal ini berdampak pada
pelaksanaan pembelajaran di kelas belum optimal.
Pelaksanaan pembelajaran menggambarkan kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran belum sesuai dengan standar proses. Faktor ini dipengaruhi oleh guru kesulitan
dalam merencanakan pembelajaran terutama dalam indikator menyebabkan peserta didik aktif
dan peserta didik mampu mengajukan pertanyaan yang menantang dalam kelas. Akibatnya,
semua yang direncanakan sulit untuk diimplementasikan di kelas. Jika guru dapat menyusun
RPP yang baik maka pelaksanaan pebelajaran di kelas baik pula sehingga berdampak pada
hasil belajar peserta didik yang baik.
Hasil belajar siswa dalam kategori cukup menggambarkan RPP dan pelaksanaan
pembelajaran PPKn belum sepenuhnya sesuai dengan standar proses pembelajaran. Akibatnya,
ditemukan masih adanya peserta didik yang tidak tuntas dalam ulangan harian, ujian tengah
semester dan ujian akhir semester. Perencanaan pembelajaran pada dasarnya merupakan
persiapan guru dalam menyampaikan dan menerima pelajaran di kelas, perencanaan dilakukan
agar meminimalkan kegagalan dalam menyampaikan pelajaran yang akan dilakukan. Guru akan
menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan pada waktu
tertentu dengan metode dan media yang akan dapat menunjang proses pengajaran serta
186
pembelajaran. Bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dikembangkan dari silabus
dan silabus memiliki kompetensi inti (KI), Kompetensi dasar (KD) dan Indikator pembelajaran.
Guru kemudian akan menyusun RPP sesuai dengan kurikulum yang digunakan.
Pada Kurikulum 2013 (K13) Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) merupakan
rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci mengacu pada silabus, buku teks
pelajaran, dan buku panduan guru. RPP mencakup: (1) identitas sekolah/madrasah, mata
pelajaran, dan kelas/semester; (2) alokasi waktu; (3) KI, KD, indikator pencapaian kompetensi;
(4) materi pembelajaran; (5) kegiatan pembelajaran; (6) penilaian; dan (7) media/alat, bahan,
dan sumber belajar.
Setiap guru wajib menyusun RPP untuk mata pelajaran yang diampunya.
Pengembangan RPP dilakukan sebelum semester atau tahun pelajaran dimulai, namun perlu
diperbaharui sebelum pembelajaran dilaksanakan. Pengembangan RPP dapat dilakukan oleh
guru secara mandiri dan/atau berkelompok di sekolah/madrasah dikoordinasi, difasilitasi, dan
disupervisi oleh kepala sekolah/madrasah. Pengembangan RPP dapat juga dilakukan oleh guru
secara berkelompok antarsekolah atau antarwilayah dikoordinasi, difasilitasi, dan disupervisi
oleh dinas pendidikan atau kantor Kementerian Agama setempat.
Adapun pengamatan pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 11 sampai
22 mei yang dilaksanakan di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima. Pada kegiatan pendahuluan guru
menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran dan menyampaikan kompetensi
yang akan dicapai serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengantarkan
peserta didik pada suatu permasalahan yang akan dilakukan, tetapi belum sepenuhnya
mengondisikan suasana belajar dengan baik dan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan di pelajari, guru langsung
menyampaikan cakupan materi yang akan dibahas dan tidak menyampaikan lingkup dan teknik
penilaian yang akan digunakan.
Pada kegiatan inti guru telah meguasai dan mengembangkan materi pembelajaran
sesuia dengan tujuan yang akan dicapai serta memfasilitasi peserta didik untuk bertanya sesuai
dengan konteks materi yang dipelajari, tetapi dalam prosese pembelajaran guru seringkali tidak
memberikan penguatan menggunakan pendekatan ilmiah dan langsung memberikan apresiasi
kepada peserta didik yang dapat menjawab pertanyaan dari temannya kemudian langsung
memberikan kesempatan bertantanya kepada peserta didik yang lainnya. Dalam proses
pembelajaran guru mengembangkan ketrampilan aplikatif peserta didik seperti keterampilan
fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills), tetapi guru belum menerapkan prinsip
bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa dan dimana saja adalah kelas serta
belum memanfaatkan media teknologi informasi dan komunikasi karena masih kurangnya
sarana dan prasarana yang ada disekolah sehingga guru tidak bisa menampilkan contoh
permasalahan yang sedang dipelajari.
187
Pada kegiatan penutup guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil
pembelajaran, melakukan penilaian yang meliputi pengetahuan dan keterampilan, memberikan
kegiatan tindak lanjut dalam bentuk tugah kelompok berupa, tetapi guru tidak merencanakan
kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remidi dan program pengayaan dan tidak
menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Adapun hasil pbelajar peserta didik pada ranah pengetahuan telah memenuhi standar
KKM yang telah ditentukan oleh satuan pendidikan tertentu yaitu dengan nilai rata-rata 7,5 – 90
dan pada ranah sikap spiritual serta keterampilan telah sesuai dengan pengetahuan yang
dipelajarinya seperti ikut melaksanakan ibadah solat jum’at yang diselenggarakan dimesjid
sekolah, mengajak teman sebaya untuk mengikuti kegiatan imtaq dan mengingatkan temannya
untuk sholat zhuhur disekolahnya, tetapi pada ranah sikap social belum mencermikan seperti
pada aspek pengetahuan yang dipelajarinya.
Berdasarkan hasil dokumentasi dan wawancara terhadap perencanaan pembelajaran
yang telah disusun oleh guru dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), maka
dapat dikatakan bahwa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun oleh guru telah
sesuai dengan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan no.22 tahun 2016 mengenai
standar proses pendidikan dasar dan menengah walaupun ada beberapa hal masih kurang
seperti belum merumuskan tujuan pembelajaran sesuai dengan kompleksitas KD, sarana dan
prasarana yang tersedia serta tidak memanfaatkan variasi media pembelajaran dan tidak
merujuk pada materi-materi yang ada diperpustakaan.
Berdasarkan hasil observasi penelitian terhadap pelaksanaan pembelajaran dari awal
hingga akhir proses pembelajaran, maka dapat dikatakan secara keseluruhan pelaksanaan
pembelajaran belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tahap dan proses
yang direncanakan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), masih adanya hal-hal
yang belum diterapkan oleh guru seperti tidak menyampaikan lingkup dan teknik penialain yang
akan digunakan, tidak menggunakan sumber belajar berbasis aneka sumber belajar, guru tidak
tida memberikan penguatan menggunakan pendekatan ilmiah dan tidak menerapkan prinsip
bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa dan dimana saja adalah kelas, dan
respon peserta didik selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sebagian besar
peserta didik kurang menyukai jalannya proses belajar mengajar, hal ini disebabkan karena guru
terlalu focus pada materi sehingga peserta didik ada yang mengantuk dan bosan.
Adapun hasil belajar siswa di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada ranah pengetahuan,
sikap dan keterampilan telah mencapai KKM sesuai dengan standar yang ditentukan yaitu 7,5,
walaupun dari pengakuan guru sendiri dalam memberikan penilaian terhadap siswa guru
haruslah benar-benar teliti dalam melihat dan membaca sifat dan karakter peserta didik sebelum
memberikan nilai.
188
KESIMPULANAdapun yang menjadi kesimpulan dalam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Program pembelajaran PPKn di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada bagian perencanaan
pembelajaran yang disusun dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang
meliputi : Identitas sekolah, mata pelajaran atau tema/subtema, kelas/semester, materi
pokok, dan alokasi waktu, Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian
Kompetensi, Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Media
Pembelajaran, Sumber Belajar, Kegiatan Pembelajaran, Penilaian, Pembelajaran, dan
Pengayaan, secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016
tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Adapun komponen-komponen yang
tidak sesuai dengan permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses yaitu : belum
memanfaatkan media pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan leptop dan
LCD, belum memanfaatkan lingkungan alam, dan belum menuliskan aktivitas kegiatan
pembelajaran pengayaan berupa : (1) Proyek, mengerjakan soal-soal yang menuntut
kemampuan berfikir lebih tinggi.
2. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran PPKn yang dilaksanakan oleh guru yang meliputi :
kegitan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup belum sepenuhnya dilaksanakan
sesuia dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun oleh guru
secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar
proses pendidikan dasar dan menengah. Ketidaksesuaian ini terdapat pada komponen
kegiatan pendahuluan, Kegiatan Inti dan Kegiatan Penutup seperti, belum mengondisikan
suasana belajar yang menyenangkan, belum memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran dan belum
merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program
pengayaan, layanan konseling.
3. Pada hasil penilaian berdasarkan dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn yang
bersangkutan yang meliputi : hasil belajar peserta didik pada ranah pengetahuan, hasil
belajar peserta didik pada ranah keterampilan, hasil belajar peserta didik pada ranah sikap,
telah sesuai dengan peraturan mentri pendidikan dan kebudayaan no. 22 tahun 2016
mengenai standar proses pendidikan dasar dan menengah.
DAFTAR PUSTAKAAl Hakim dkk, 2016. Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Indonesia.Malang: Madani.
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Arifin, Zainal. 2016. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, dan Prosedur. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
189
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2016. Materi Pelatihan Guru Implementasi
Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Djamal, M. 2015. Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lukum Asti. 2015. Evaluasi Program Pembelajaran Ipa Smp Menggunakan Model Countenance
Stake. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Volume 19, No 1, (25-37).
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan
Menengah. Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 8 Oktober 2014 Nomor 1506.
Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Tersedia: jdih.kemdikbud.go.id/new/public/produkhukum [Rabu, 14 Desember 2016
Pukul 06:41 wita].
Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016
Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Berita Negara RI Tanggal
28 Juni 2016 Nomor 955. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. Tersedia:
jdih.kemdikbud.go.id [Rabu, 14 Desember 2016 Pukul 06:41 wita].
Riduwan. 2012. Skala Pengukuran Varibel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Suharsaputra, Uhar. 2014. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Bandung:
Refika Aditama.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
MERAJUT KEBHINNEKAAN MENUJU KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF
Septina AlrianingrumFISH-Unesa
ABSTRAKMasyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat
kompleks. Multikultural dalam masyarakat Indonesia terangkum dalam kesadaran Bhinneka Tunggal Ika digunakan sebagai acuan pendiri bangsa Indonesia sebagai perekat persatuan bangsa. Globalisasi dan modernisasi yang terus berproses telah membawa perubahan besar menuju masyarakat modern.
Pengembangan ilmu harus ditekankan menjadi suatu konsep serius membangun keberagaman multikultur bangsa ini menuju terbentuknya warga negara transformatif. Pentingnya pengembangan konsep kewarga negaraan transformatif diperlukan sinergisitas antara dunia akademis, politis, sosial dan
190
budaya. Kerangka konseptual tentang pemahaman kebhinekaan multikultur dalam pembelajaran transformatif dalam masyarakat bertujuan membangun kemandirian kewarganegaraan banyak dipengaruhi oleh perspektif instrumental dan perspektif lingkungan.
Pengembangan kesadaran kritis individu dan masyarakat tradisional ini merupakan proses perkembangan kemampuan menganalisis, berfikir kritis dan membangun skema pemikiran yang menghasilkan suatu kesadaran diri untuk mengenal dunia dan lingkungannya secara holistik. Local Genius dan local wisdom sebagai cultural identity dalam masyarakat tradisional Indonesia menjadi suatu ciri khas mempertahankan identitas dari kebhinekaan bangsa yang transformatif.
Keyword: refleksi, kebhinekaan, transformatif
PENDAHULUANMasyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tingkat keanekaragaman yang
kompleks yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, suku bangsa dan antar
golongan. Keberagaman ini memposisikan bangsa Indonesia disebut sebagai masyarakat
multikultural yang unik, rumit dan menarik untuk dikaji lebih mendalam. Keberagaman yang
kompleks ini lebih dikenal dalam istilah “kebhinekaan” yang multikultural. Multikulturalisasi
masyarakat Indonesia terangkum dan terbingkai dalam wadah kesadaran Bhinneka Tunggal Ika
dengan ciri dan karakteristik yang heterogen di tiap daerahnya, sehingga melahirkan mozaik
keragaman indah negara bangsa Indonesia. Mozaik multikultural ini telah digunakan sebagai
acuan para pendiri dan pelaksana pemerintahan bangsa Indonesia dalam mendesain
kebudayaan bangsa yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD NRI 1945. Multikultural
masyarakat Indonesia melalui Bhineka Tunggal Ika mampu dan dapat menjadi perekat
persatuan dalam untaian kemajemukan bangsa ini di era global.
Globalisasi dan modernisasi yang terus berproses mendorong terjadinya suatu perubahan
besar masyarakat tradisional Indonesia menyongsong dan menghadapi perkembangan IPTEKS
menuju perkembangan menjadi masyarakat modern. Secara umum posisi masyarakat Indonesia
masih merupakan masyarakat tradisional yang bersifat agraris dan memiliki etika, estetika dan
kepribadian agraris yang kental dalam setiap interaksinya. Hal ini mendorong posisi masyarakat
Indonesia sebagian besar masih bersikap pasif dan masif dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus berproses secara deret ukur. Menurut pidato Bung Karno
dalam ‘Ilmu dan Amal’ ketika menerima gelar honoris causa dari Universitas Gadjah Mada tahun
1951 memberi penekanan bahwa perkembangan ilmu harus ditekankan pada kemajuan
masyarakatnya menjadi suatu konsep serius membangun keberagaman multikultural bangsa
Indonesia ini.
Situasi ini menjadi persoalan serius di era global ini, karena proses menuju warga negara
yang transformatif merupakan PR besar bangsa Indonesia untuk “segera” untuk mengatasi
segala perubahan ini secara bersama-sama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ekosistem
global pada aspek sosial-budaya-ekonomi-komunikasi melahirkan suatu tatanan budaya lokal
dan budaya modern yang harus dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Industrialisasi dan
191
konsumerisme global menjadi tantangan masyarakat tradisional bangsa Indonesia mau tidak
mau harus bersikap transformatif diantara keyakinan menjaga local genius dan local wisdom-nya
di lingkungannya sendiri.
Pendekatan kebudayaan dalam bentuk penguatan modal sosial seperti pranata sosial,
pranata budaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait menjadi suatu model
pembelajaran memasyarakatkan bangsa Indonesia ke pembangunan masyarakat transformatif.
Penguatan kesadaran multikultural yang transformatif tanpa menghilangkan kearifan lokal
membutuhkan kearifan yang mampu menjaga keseimbangan masyarakat yang tidak terlepas
dari pengaruh berbagai faktor.
METODE PENELITIANBelajar trasformatif mulai dikembangkan oleh Jack Mezirow merupakan proses
pembelajaran langsung yang didasarkan pada teori belajar yang unik, abstrak, dan ideal. Hasil
akhir pembelajaran transformatif ini adalah sebuah proses refleksi kritis puncaknya yang disebut
critical reflection (renungan kritis), dan memberi makna baru terhadap pengalaman yang lebih
bijaksana dan lebih baik dari masa sebelumnya. Proses membangun persepsi skemata makna
menjadi inti pengetahuan spesifik yang didasarkan pada nilai-nilai dan keyakinan sosial budaya
suatu lingkungan sebagai pijakan membangun persepsi makna tersebut. Perspektif makna ini
menentukan masyarakat dapat bersikap arif bijaksana menangkap fenomena global modern
menjadi suatu pengalaman reflektif yang terorganisir.
Kerangka konseptual tentang pemahaman kebhinekaan multikultur dalam pembelajaran
transformatif di masyarakat yang bertujuan membangun kemandirian kewarganegaraan banyak
dipengaruhi oleh perspektif instrumental dan perspektif lingkungan. Perspektif instrumental
sebagai wadah transformasi kultural dan sosial tercermin pada aspek local genius.
Pengembangan kritis untuk mengembangkan perubahan kebutuhan dan lingkungan sosial kultur
adaptasi secara efektif dilalui dengan cara berkomunikasi dan berinteraksi langsung. Menurut
Mezirow pemahaman transformatif merupakan proses perubahan dari beberapa asumsi yang
dibangun individu dalam masyarakat multikultural untuk menafsirkan dan memahami dunianya.
Pengembangan kesadaran kritis individu dan masyarakat tradisional ini merupakan proses
perkembangan kemampuan menganalisis, berfikir kritis dan membangun skema pemikiran yang
menghasilkan suatu kesadaran diri untuk mengenal dunia dan lingkungannya secara holistik
(Rivai Achmad, 2011). Lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi menjadi dasar kerangka
berfikir kritis tentang kehidupan dan perkembangan IPTEKS saat ini yang terus berproses dan
berkelanjutan. Kemandirian dan pengalaman menjadi sumber belajar menganalisis serta
memahami perkembangan IPTEKS yang bermakna bagi kehidupan masyarakat tradisional
Indonesia tanpa meninggalkan tradisi dan interaksi sosial sebelumnya.
192
Fenomena sosial budaya, konsumerisme dan life style yang terjadi di era global ini menjadi
bahan sekaligus alat analisis dalam membangun kesadaran perspektif tersebut. Pembelajaran
dan pengalaman langsung menjadi dasar transformasi berfikir kritis memahami perubahan sosial
dan perubahan lingkungannya. Analisis dari proses transisi berfikir transformatif ini mengacu
pada kesadaran akan pentingnya kearifan lokal (local wisdom) sebagai kerangka “filter”
memaknai situasi dari perkembangan itu sendiri tanpa harus meninggalkan local genius
masyarakat Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASANPerkembangan IPTEKS yang terus berpola dan sinergis melengkapi kebutuhan
masyarakat membawa pengaruh besar pada percepatan perubahan budaya dan perubahan
sosial masyarakat itu sendiri. Menurut Su Ritohardoyo (2006: 42) menegaskan bahwa
perubahan yang terjadi pada masyarakat modern yang kompleks kebutuhannya dan maju
secara teknologis terwujud dalam proses pertumbuhan signifikan antara penemuan (discovery),
penciptaan baru (invention), difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan) dan percepatan
pemutakhiran teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Ketiga komponen tersebut secara
bersama menghasilkan proses modernisasi dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.
Teknologi modern, percepatan pengaruh global secara disadari atau tidak sebenarnya
menciptakan keinginan dan harapan-harapan baru dalam masyarakat untuk peningkatan
kesejahteraan manusia.
Local Genius dan local wisdom sebagai cultural identity dalam masyarakat tradisional
Indonesia menjadi suatu ciri khas mempertahankan identitas dari kebhinekaan bangsa ini sudah
mulai tergradasi oleh kemajuan IPTEKS yang terus menerus berkembang seiring kebutuhan
masyarakat modern. Prospek kearifan lokal sangat dipengaruhi oleh kesadaran sosial-budaya-
ekonomi masyarakat setempat dan kemauan masyarakat untuk menjaga keseimbangan
tersebut dengan meningkatnya pengaruh dan budaya konsumtif ini. Masyarakat tradisional
Indonesia yang memperhatikan kondisi sosial budaya sebagai “filter” local wisdom memerlukan
pengelolaan yang tepat menuju masyarakat transformatif tanpa meninggalkan kearifan lokalnya.
Pemahaman kolektif tentang pembelajaran transformatif dalam masyarakat tradisional
Indonesia diperlukan suatu formula dan pendampingan informatif yang intensif dan
berkelanjutan secara sinergis. Berangkat dari pentingnya warga negara transformatif dalam
menjawab persoalan global ini diperlukan sinergisitas antara dunia akademis, politis, sosial dan
budaya. Kemampuan masyarakat Indonesia yang memiliki kepribadian ini mampu menyerap
dan mengadopsi budaya asing yang sudah mengglobal ini sesuai dengan karakteristik nilai
tradisi masing-masing suku bangsa yang heterogen dan multikultur (Ayatroehadi, 1986: 18-19).
Sedangkan kearifan lokal (local wisdom) yang berkembang dalam masyarakat ini berupa nilai,
etika, norma, kesadaran kolektif, kepercayaan, adat istiadat, tradisi dan aturan khusus sebagai
193
“perisai budaya holistik” masih dipertahankan dalam menghadapi perkembangan globalisasi dan
modernisasi dunia.
Prospek kearifan lokal sangat bergantung kepada bagaimana masyarakat melestarikan
kembali kearifan lokal yang ada secara dinamis untuk masyarakat mengubah mindsetnya yang
global kembali ke pola pikir holistik tetapi modern. Kearifan lokal sebagai bentuk warisan budaya
Indonesia memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan harmonisasi manusia, keragaman
kultur, warisan budaya dan moralitas-spiritualitas tradisional masyarakatnya. Pola pikir holistik
yang menempatkan local genius sebagai “filter” dengan aktivitas modern masyarakat Indonesia
dapat mengajak berfikir tidak parsial. Berfikir kritis menjadi salah satu inti dari proses
pemahaman transformatif agar tidak disebut sebagai transisi masyarakat tradisional menuju era
“glokal”.
Berdasarkan Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional (2004) dirumuskan
tujuan pendidikan transformatif untuk melahirkan insan cerdas komprehensif dan kompetitif
secara (1) Spiritual melalui Olah Hati; (2) Cerdas Emosional dengan Olah Rasa; (3) Cerdas
Sosial; dan (4) Cerdas Intelektual untuk mengembangkan Olah Pikir menghadapi tantangan
global; serta (5) Cerdas Kinestetis untuk tangguh melalui Olah Raga. Situasinya ini tidak serta
merta membawa pendidikan transformatif ke masyarakat tradisional bangsa Indonesia.
Pembelajaran transformatif pada masyarakat tradisional Indonesia perlu disejajarkan
pemahamannya melalui pola pikir yang berdimensi sosial dan budaya sebagai bagian dari
aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat berbentuk sistem religius, organisasi kemasyarakatan,
pengetahuan, mata pencarian hidup dan teknologi serta pemutakhiran peralatan modern.
Aktualisasi individu dan masyarakat dipahami sebagai proses membangun makna atas
apa yang dipelajari dari lingkungan modernnya. Pengetahuan muncul di dalam kegiatan sosial
dengan mencoba memahami pengalaman baru dalam kehidupan sehari-hari sehingga
melahirkan kesadaran sosial-budaya-ekonomi yang holistik kritis. Pluralitas dan heterogenitas
yang tercermin pada bangsa Indonesia ini diikat dengan sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” menurut Azyumardi Azra (2004) adalah suatu landasan budaya untuk pencapaian civility
(keadaban) yang esensial bagi terwujudnya demokratisasi wawasan multikultural sebagai
kekuatan persatuan menghadapi era global. Bhinneka Tunggal Ika mempunyai kekuatan besar
mempersatukan keragaman dan perbedaan ini dengan dukungan kesadaran masyarakat
sebagai warga negara. Masyarakat transformatif dalam kewargaan negara Indonesia
memerlukan suatu pemahaman dan perspektif kritis yang ditekankan pada kesadaran pribadi
memaknai local genius menjadi local wisdom.
Proses merajut masyarakat yang tranformatif dalam kebhinekaan diawali dengan
memberikan kemudahan dalam memfasilitasi hal-hal baru yang berbasis pengetahuan global
modern sesuai dengan kemampuan reflektif perspektif masing-masing individu dalam
masyarakat. Kebersamaan dalam kebhinekaan di era global ini memerlukan jembatan transisi
194
agar terjadi perubahan sosial-budaya masyarakat Indonesia didasarkan pada interaktif untuk
menentukan kebutuhan komunikasi dan interaksi sosial-budaya-ekonominya sendiri. Tanggung
jawab yang terencana melalui kedewasaan berfikir analitis menjadi penentu pengambilan
keputusan yang arif bijaksana tanpa meninggalkan kearifan lokalnya. Kesadaran diri yang
inklusif dapat dikembangkan melalui komunikasi baik dalam media sosial dan media lainnya
sebagai wujud partisipasi moral sosial sebagai hasil local wisdom menghadapi situasi global.
Kesadaran transformatif sebagai wujud akhir dari perspektif berfikir analisis kritis
memerlukan rangkaian proses pengelolaan local genius menghadapi transformasi budaya global
menjadikan local wisdom memerlukan strategi dengan jalan:
1. Harmonisasi interaksi sosial manusia dengan lingkungan sosial budaya untuk mengadaptasi
pemutakhiran dan modernisasi IPTEKS yang terus berkembang menjadi suatu bagian dari life
style yang cerdas konsumtif.
2. Eksklusifitas komunitas sosial dalam media sosial perlu dikembalikan dalam dialog-dialognya
untuk membuka kecerdasan intelektual dan kesadaran sosial-budaya sebagai communal
resource menjaga masyarakat Indonesia menjadi masyarakat transformatif yang diakui pihak
luar/asing sebagai masyarakat yang berkarakter.
3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge sistem) sebagai pijakan dasar
masyarakat Indonesia memecahkan masalah-masalah global sesuai dengan kesadaran
tranformatif yang bersumber pada local genius dan local wisdom dengan memanfaatkan
kesadaran kolektif bangsa yang berkembang dan berbudaya.
4. Penguatan aturan-aturan khusus dalam masyarakat kolektif yang bersama-sama menjaga
identitas nasional bangsa yang Indonesianis sesuai.
5. Pranata dan hukum adat sebagai “filter” kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan
sosial budaya ketika budaya konsumtif mengglobal dalam masyarakat tertentu.
Kesadaran transformatif dalam setiap kewarganegaraan Indonesia yang multikultur dapat
menciptakan konsekuesi logis munculnya budaya-budaya baru dalam penguatan etos kerja
masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern melalui pengembangan diri dan refleksi diri.
Hakekat manusia Indonesia yang memiliki kemampuan ini menjadikan tatanan masyarakat
modernnya berkarakter sesuai dengan identitas bangsa melalui kesadaran sosial-budaya dan
kearifan lokal.
Berdasarkan beberapa pola pengelolaan tersebut kehidupan global bisa diminimalisir
pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia agar tetap arif menghadapi
pengaruh global tersebut dapat didesain seperti gambar di bawah ini.
195
Masyarakat
TradisionalIndonesia
Perkembangan IPTEKS dan Globalisasi
Kebhineka-an yang
Multikultur
Belajar interaksi bersama dengan: Olah Hati Olah Rasa Olah Pikir
(Cerdas Sosial, Cerdas Intelektual) Olah Raga
Masyarakat modern yang sarat dengan IPTEKS, etika, estetika dan kepribadian yang
unggul untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara dilalui secara bertahap.
Masyarakat transformatif Indonesia adalah sosok insan yang cerdas komprehensif dan
kompetitif di era global modern ini. Cerdas komprehensif memiliki refleksi sebagai insan yang
memiliki kesadaran reflektif yang (1) Cerdas Spiritual (Olah Hati) dengan beraktualisasi diri
melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak
mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul; (2) Cerdas Emosional (Olah Rasa)
melalui aktualisasi diri dalam olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan
kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya; (3)
Cerdas Sosial dengan beraktualisasi diri melalui interaksi sosial dalam proses membina dan
memupuk hubungan timbal balik, empatik dan simpatik menjunjung tinggi hak asasi manusia,
percaya diri menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta berwawasan
kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara; (4) Cerdas Intelektual
(Olah Pikir) dengan cara bereraktualisasi diri melalui olah pikir untuk meningkatkan kompetensi
dan kemandirian dalam IPTEKS; dan aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan
imajinatif ; dan (5) Cerdas Kinestetis (Olah Raga) melalui olah raga untuk mewujudkan insan
yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas; aktualisasi insan adiraga.
Sedangkan cerdas secara kompetitif memiliki makna sebagai pribadi masyarakat modern
yang memiliki (1) Kepribadian unggul, semangat juang tinggi, mandiri dan pantang menyerah;
(2) Membangun dan membina jejaring sehingga terbentuk persahabatan; (3) Inovatif sebagai
agent of change; dan (4) Produktif dengan membangun keyakinan sadar mutu yang
karakteristik sebagai proses pencitraan jati diri bangsa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
perubahan animo masyarakat Indonesia yang mulai kembali mencintai dan memaknai corak
batik sebagai bagian dari busananya yang sudah dimodifikasi dalam busana-busana modern di
segala usia maupun di segala suasana. Upaya mengangkat kesenian tradisional dalam tradisi
modern mulai “go internasional” melalui kemasan praktis dan menarik irama musiknya maupun
196
Kesadaran reflektif kritis memahami lingkungan
Masyarakat Transformatif
Indonesia
Local GeniusLocal Wisdom
busana adatnya masing-masing. Pemutakhiran dan modernisasi kuliner dan resep-resep
tradisional yang sudah dikemas dalam packaging modern mulai dikenal dunia global seperti
kosmetika Mustika Ratu, Sari Ayu, Ristra yang sebagian besar memanfaatkan keragaman hayati
di alam Indonesia. Panorama alam dan destinasi wisata dikembangkan sehingga membawa
perubahan eko-wisata bagi masyarakat yang dekat dengan lingkungan wisata tersebut,
contohnya Bali, Yogyakarta, Bangka Belitung dan beberapa wilayah lainnya.
Perubahan (change) kerangka kesadaran reflektif di era global ini membawa masyarakat
tradisional bangsa Indonesia mau tidak mau berpengaruh pada aspek-aspek psikologis
masyarakat. Beberapa contoh diatas memberi suatu arahan pengertian tentang kesadaran diri
dan kearifan lokal (local wisdom) adalah kunci dasar pembangunan karakter bangsa sebagai
warga negara yang bhineka tunggal ika bertransformasi menjadi tatanan masyarakat
transformatif yang cerdas, unggul,
Kesadaran reflektif kritis memahami lingkungan dalam pembelajaran dan kesadaran
transformatif yang bervisi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di
Indonesia berusaha “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan
tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
KESIMPULANMasyarakat Indonesia berkepribadian agraris belum sepenuhnya familiar dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan ilmu harus ditekankan menjadi
suatu konsep serius membangun keberagaman multikultur.
DAFTAR PUSTAKA
Rembagy, Musthofa. 2008. Pendidikan Transformatif . Yogyakarta: Teras.
Rifai’I Achmad. 2011. Buku ajar Psikologi Belajar Orang Dewasa . Semarang: UNNES.
Trivette. C.M. et.al. 2009. Characteristics and consequences of adult learning Methods and
strategies. Research Brief. Vol. 3, No.1.
Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta : PT Gramedia.
Zakiyatur Rosidah, Kamis 22 Juni 2017 17:20 WIB, https://indonesiana.tempo.co /read/112899/
2017 /06/22/zakiyatur.rosidah/bhinneka-tunggal-ika-ciri-multikulturalisme-bangsa#13qch
JU8lCfgv3CZ.99, tanggal akses 29 Agustus 2017, jam 18.00 WIB.
197
DILEMA PILKADA LANGSUNG DAN PRAGMATISME WARGANEGARA34
oleh: Sunarto Amus35 dan Hasdin36
Abstrak
Masalah kelembagaan, sumberdaya, geografis, dan kultural merupakan sederet kendala dan kelemahan
dibalik penyelenggaraan pilkada langsung. Hal itu memicu tumbuhsuburnya pragmatisme
kewarganegaraan yang tidak sehat bagi berkembangnya budaya demokrasi substantif. Argumentasi ini
dibangun lewat sebuah penelitian di wilayah kesatuan politik-pemerintahan berbasis kepulauan di
Sulawesi Tengah. Optimalisasi pendidikan pemilih lewat pelibatan peran maksimal organisasi
kepemudaan (Karang Taruna) di tingkat desa/kelurahan bisa menekan tindakan bias warganegara akibat
sisi lemah dan kendala tersebut. Bila tidak, maka penyelenggaraan pilkada langsung terus terjebak pada
pemenuhan demokrasi prosedural yang sama sekali tidak kondusif dan kontributif bagi transformasi sikap
dan tindakan kewarganegaraan yang demokratis dan berintegritas.
Keywords: pilkada langsung; organisasi kepemudaan; pragmatisme warganegara
34 Disampaikan pada Seminar Nasional “Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural” yang diselenggarakan Prodi PPKn FISH UNESA bekerjasama dengan AP3KnI Jawa Timur, Surabaya, 30 Agustus 2017.35 Penulis adalah staf pengajar di Program Studi PPKn Jurusan P.IPS FKIP Universitas Tadulako, Palu.36 Penulis adalah staf pengajar di Program Studi PPKn Jurusan P.IPS FKIP Universitas Tadulako, Palu.
198
PendahuluanMemasuki usia tujuh puluh dua tahun usia kemerdekaan, praktik politik berdemokrasi di
Indonesia masih terus menyimpan sejumlah masalah substantif, meski negeri ini diklaim sebagai
salah satu contoh negara demokratis. Pada penyelenggaraan pilkada langsung tahun 2015,
misalnya, terdapat sejumlah masalah yang tidak mudah dipecahkan secara tuntas. Indikasinya
bisa dilihat dari maraknya kasus sengketa pilkada hingga ke Mahkamah Konstitusi. Hingga
Januari 2016 tercatat 147 kasus diajukan ke MK yang berasal dari 132 daerah. 128 perkara di
antaranya diajukan pasangan calon bupati/wakil bupati; 11 calon walikota; 6 pasangan gubernur;
dan 1 pemantau pilkada. Tujuh gugatan diterima MK, dan selebihnya ditolak karena tidak
memenuhi syarat (Harian Tempo.com, 7 April 2016). Suatu gugatan bisa diterima apabila selisih
perolehan suara pemohon dan pasangan lain maksimal dua persen, sebagaimana ketentuan
pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pada pilkada langsung gelombang kedua (15 Pebuari 2017), dari 7 provinsi, 18 kota, dan
76 kabupaten penyelenggara, terdapat 49 kasus sengketa yang diajukan ke MK (Harian
Detiknews.com, diakses 7 Maret 2017). Dua puluh permohonan sengketa ditolak karena: (1)
selisih perolehan suara tidak sesuai pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada; (2)
permohonan diajukan melebihi tenggang waktu tiga hari pasca pengumumuman rekapitulasi
hasil perolehan suara oleh KPUD (pasal 157 ayat 5); (3) permohonan diajukan oleh bukan
pasangan calon kepala daerah (pasal 157 ayat 4) (Harian Kompas.com, 3 April 2017).
Penanganan perkara oleh MK seringkali menuai banyak kontroversi sebab dipandang
tidak menyelesaikan akar masalah. Penegakan hukum lebih didasarkan pada penyesuaian
prosedur normatif sehingga cenderung mengabaikan dan/atau tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat, terutama para pemohon. Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie misalnya,
menilai tindakan itu sebagai hambatan demokrasi atau membatasi hak rakyat (Harian
Merdeka.com, 6 April 2016). Landasan normatif memang diperlukan, namun tidak berarti MK
melupakan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang umumnya didalilkan oleh
para pemohon (Saldi Isra, Liputan6.com, 7 April 2016).
Apa makna dibalik marak dan kontroversialnya sengketa pilkada? Terkandung pesan
bahwa terbuka ruang cukup lebar bagi berkembangnya manipulasi dalam pilkada langsung.
Sadar ataupun tidak, banyak hal yang mesti diperbaiki dalam penyelanggaraan pesta
demokrasi, termasuk di dalamnya pijakan hukum, kelembagaan, dan kultur masyarakat. Tulisan
ini berpretensi menunjukkan sejumlah masalah dan kendala yang lazim terjadi pada setiap
penyelenggaraan pilkada, yang meskipun keberadaannya diakui dan disadari sebagai
“pelanggaran etik”, namun tidak mudah dikualifikasi sebagai “pelanggaran normatif”. Akibatnya,
selalu ada “pelanggaran rasa” yang tidak melanggar hukum, sebab telah diantisipasi oleh
“kreator pilkada”. Karena itu, perlu ada langkah-langkah inovatif untuk terus melakukan
199
perbaikan kualitas proses berpilkada, bukan hanya pada aspek yuiridis-formal, akan tetapi juga
semangat, komitmen, integritas segenap stakeholder, termasuk meningkatkan keterlibatan dan
kesadaran politik berdemokrasi pemilik suara agar mereka benar-benar bisa menunjukkan diri
sebagai warganegara yang tahu, mau dan mampu bertindak dan bertanggungjawab sesuai
kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan agama, tidak larut oleh
kepentingan pragmatisme politik jangka pendek.
Data Pilkada Langsung: bagaimana justifikasi dibangun?Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian di Kabupaten Banggai Laut, dan Banggai
Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten yang disebut pertama telah melangsungkan
pilkada pada tahun 2015, sedangkan Kabupaten Banggai Kepulauan menyelenggarakan pilkada
pada tanggal 15 Maret 2017. Kedua daerah ini merupakan wilayah pemerintahan berbasis
kepulauan sehingga memiliki tantangan dan kendala tersendiri dalam penyelenggaraan pilkada,
tidak seperti daerah lain – yang berbasis daratan – yang mudah dijangkau dengan berbagai
sarana transportasi dan alat komunikasi modern. Proses kontestasi politik di daerah ini berujung
pada munculnya kasus sengketa pilkada hingga ke Mahkamah Konstitusi.
Data dihimpun lewat wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Proses wawancara
berlangsung dengan menggunakan pedoman tidak terstruktur (Esterberg, 2002) untuk menggali
pandangan dan penilaian sejumlah pihak terkait penyelenggaraan pilkada langsung. Observasi
dilakukan untuk memastikan perolehan data aktual saat pilkada berlangsung, termasuk
membaca ekspresi, mimik dan/atau bahasa tubuh subyek penelitian saat wawancara
berlangsung sehingga bisa ditangkap kecenderungan persepsi yang muncul dan beragam. Studi
dokumentasi dimaksudkan untuk mengungkap tehnis/mekanisme/prosedur pelaksanaan pilkada
langsung sekaligus medium konfirmasi atas sejumlah isu pilkada. Data penelitian dianalisis
dengan menggunakan pendekatan SWOT (Salusu, 1996; Rangkuti, 2004).
Kendala dan Kelemahan Penyelenggaraan Pilkada LangsungPenyelenggaraan pilkada hendaknya bisa dipahami oleh semua pihak sebagai
manifestasi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Rakyat selaku warganegara hendaknya
diposisikan sebagai subyek yang mesti diperjuangkan kepentingannya, bukan dijadikan obyek
eksploitasi oleh konstentan pilkada dengan sejumlah janji-janji kosong. Filosofi ini meski lazim
dipahami para kontentan, namun tidak selalu menjadi orientasi sentral dan tekanan utama
perjuangan dan ambisi politik mereka. Akibatnya, harapan konstituen yang sebelumnya seiring
dengan umbaran kontentan kemudian berantagonis setelah pemenang kontestasi berkuasa.
Pada titik ini, pilkada langsung belum mampu menghasilkan kepemimpinan kepala daerah yang
baik. Terbukti banyak kepala daerah yang terjebak dan terjerat kasus korupsi, mulai dari status
terperiksa, tersangka, terdakwa hingga terpidana (Budi dan Kusuma, 2013). Artinya, mereka
200
bekerja bukan untuk kepentingan rakyat – sebagaimana janji kampanye – melainkan lebih pada
pemuasan nafsu kekuasaan dan kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan.
Fenomena ini mengindikasikan adanya sejumlah hal yang patut diperbaiki dalam setiap
even penyelenggaraan pilkada langsung. Paling tidak, ada sejumlah aspek sebagai kendala dan
kelemahan yang apabila tidak segera diperbaiki, bisa melanggengkan tindakan manipulatif-
sistemik yang berujung konflik dan disintegrasi sosial sekaligus menurunkan derajat
kepercayaan atas integritas kontestan terpilih dalam masyarakat. Pertama, dari aspek
kelembagaan penyelenggara pilkada. Hingga kini masih sulit dibantah adanya tudingan miring
masyarakat atas keberpihakan penyelenggara pilkada terhadap kontestan-kontestan tertentu.
Indikasinya tidak sedikit sengketa pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi justru hendak
menggugat independensi dan integritas penyelenggara pilkada (baca: KPUD) yang diduga
bertindak subyektif, sebagaimana terjadi dalam pilkada Banggai Laut tahun 2015.
Masalahnya adalah keberatan terhadap salah satu kontestan yang berasal dari institusi
TNI yang konon tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah karena masih berstatus
sebagai anggota aktif, belum memperoleh surat pemberhentian dari Mabes TNI. Kecurigaan itu
ditepis oleh penyelenggara bahwa telah memenuhi syarat, meski bukti formal persyaratan
dimaksud tidak harus dipublikasi. Alasannya bahwa ada regulasi yang harus dipatuhi bahwa
identitas tertentu dari kontestan pilkada tidak selamanya menjadi konsumsi publik. Ada hal-hal
tertentu yang cukup menjadi konsumsi penyelenggara pilkada, meski dikounter dengan asas
keterbukaan dalam penyelenggaraan pemilu sebagaimana bunyi pasal 2 UU No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu. Setidaknya itu argumentasi yang dibangun komisioner yang
kemudian memperoleh justifikasi lewat persidangan dan kemenangan dalam sengketa di
Mahkamah Konstitusi. Di sini menunjukkan masih ada sisi lemah kelembagaan yang patut
diperbaiki. Terbitnya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diyakini anatara lain bisa menutupi
celah-celah kelemahan dimaksud.
Kedua, aspek keterbatasan sumberdaya manusia dan dana. Hal ini berimplikasi pada
minimnya frekuensi pelaksanaan sosialisasi tentang penyelenggaraan pemilu kepada
masyarakat. Tercatat hanya tiga kali berlangsung pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan
pemilu hingga tibanya pelaksanaan pencoblosan atau pemilihan kepala daerah, meski hal itu
dinilai sangat kurang. Kalaupun tingkat partisipasi pemilih di Banggai Laut dinilai paling tinggi
yakni mencapai 81% dibandingkan dengan partisipasi pemilih di tujuh kabupaten dan satu kota
penyelenggara pilkada lainnya di Sulawesi Tengah, namun itu lebih karena faktor kreatifitas dan
kampanye para kontestan kepada warga masyarakat yang bermaksud mendulang suara
semaksimal mungkin.
Ketiga, aspek kendala geografis. Faktor ini sangat terasa sebagai kendala yang tidak
mudah dipecahkan dalam penyelenggaraan pilkada khususnya bagi daerah-daerah berbasis
kepulauan semisal Banggai Laut dan Banggai Kepulauan. Meskipun wilayahnya terbilang relatif
201
kecil, namun terpisah dan terpencar-pencar ke dalam beberapa pulau-pulau kecil yang tidak
mudah dijangkau dalam waktu cepat dan tepat. Apalagi kondisi cuaca dan lingkungan laut yang
biasanya cukup ekstrim (berombak) pada waktu-waktu tertentu dan sulit diprediksi
menyebabkan tidak semua warga di daerah-daerah terpencil bisa terjangkau tepat waktu untuk
melakukan sosialisasi penyelenggaraan pemilu, misalnya. Akibatnya, pemahaman warga
masyarakat seputar filosofi pemilu sangat terbatas sehingga mudah dikooptasi, dimafaatkan,
dan direkayasa oleh kontestan yang memiliki “modal besar”. Kondisi itu turut mendorong
tumbuhsuburnya manipulasi pada setiap tahapan penyelenggaraan pilkada.
Keempat, aspek sikap dan perilaku kultural warga masyarakat yang makin pragmatis dan
hedonis. Kondisi geografis yang menyulitkan mobilitas penduduk, persaingan dan tantangan
hidup yang makin tajam, tuntutan kerja yang makin menguat, gaya hidup yang makin hedonistik
mendorong perilaku warganegara bertindak pragmatis, berpikir jangka pendek yang membawa
keuntungan sesaat. Kondisi ini, mau tidak mau menjadi pintu masuk yang cukup kondusif bagi
tumbuhsuburnya politik uang dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Apalagi memang sulit
sekali bagi siapapun untuk menghindar atau mencegah terjadinya politik uang (Rasyid, 2005;
Darmawan, 2012) di tengah tuntutan dan tantangan hidup yang semakin materialistik dan
hedonistik. Kecakapan menghindar dari jebakan politik uang belakangan ini makin canggih,
dilakukan secara terbuka dan/atau terang-terangan, dengan dalih pemberian honor kepada para
pendukung.
Maraknya politik uang bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai pondasi
dan substansi demokrasi sehingga rakyat melihat demokrasi sekadar proses ritual (pemilu,
pemungutan suara, voting, kebebasan berpendapat, dan sebagainya)(Kumorotomo, 2009), atau
karena kelemahan aturan hukum yang tidak mampu menjangkau modus operandi politik uang
yang makin canggih (Darmawan, 2012). Karena itu, tidak mengherankan bila Badan Pengawas
Pemilu menemukan 600 dugaan politik uang dari 101 daerah penyelenggara pilkada tahun 2017
(Harian Kompas.com, edisi 14 Pebruari 2017). Meski jumlahnya terbilang tidak sedikit, namun
biasanya sulit membuktikan sesuai parameter hukum sebab telah diantisipasi dengan baik oleh
praktisi politik, pendukung, dan “penasehatnya” sehingga pada akhirnya tidak bisa dikualifikasi
sebagai politik uang. Celah hukum mampu dimanfaatkan untuk melakukan tindakan bias yang
tidak berkonotaasi politik uang. Inilah bentuk kecakapan politik yang tidak beretika
kewarganegaraan. Ternyata masalah besar bangsa ini tidak mudah dipecahkan secara tuntas
lewat instrumen hukum. Karena itu, dibutuhkan instrumen kultural-spiritual guna memutus mata
rantai penyakit sosial yang membahayakan masyarakat, bangsa dan negara tersebut.
Keterlibatan Organisasi Kepemudaan dalam Penyelenggaraan Pilkada LangsungPenyelenggaraan pilkada langsung mau tidak mau, suka atau tidak suka, terpaksa atau
sukarela, harus melibatkan seluruh komponen masyarakat selaku warganegara. Ini sangat
202
penting dan efektif bagi perbaikan kualitas proses dan hasil penyelenggaraan pilkada langsung
pada khususnya, dan kehidupan politik berdemokrasi pada umumnya. Sesederhana apa dan
bagaimanapun kemampuan, pendidikan, dan profesi warga masyarakat pada umumnya tidak
boleh lagi hanya digugah, disadarkan, dan dimobilisasi menjelang pemungutan suara. Tradisi
meningkatkan partisipasi pemilih untuk sebatas menceblos di kotak suara sudah harus
ditinggalkan, direvitalisasi dengan cara menanamkan kesadaran kepada mereka mengenai
konsekuensi dan tanggung jawab yang mesti diemban atas pilihan politik mereka. Dengan cara
itu, keputusan untuk memilih di bilik suara bukan didasarkan pada kendali “kekuatan eksternal”,
tapi didorong atas pertimbangan akal sehat dan rasa personal secara independen demi
kepentingan masyarakat dan negara. Pada titik ini mereka didorong agar menjadi warganegara
tahu, mau, dan mampu bertindak selaku warganegara yang baik (good citizen).
Kita mesti berupaya secara berkesinambungan untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya tipologi warganegara sebagaimana dibayangkan Westheimer dan Kahne
(2004), yakni warganegara yang bukan saja (1) memiliki rasa tanggung jawab personal dalam
masyarakat, seperti menaati hukum dan membayar pajak, dan (2) berpartisipasi aktif melakukan
perbaikan dalam masyarakat, akan tetapi warganegara yang (3) berorientasi pada penegakan
keadilan, mempertanyakan dan melakukan perubahan sosio-ekonomi dan struktur politik yang
dapat mereproduksi pola ketidakadilan dari waktu ke waktu. Hal ini bisa dicapai bila warga
masyarakat terus didorong untuk memiliki political literacy dan political engagement, atau yang
Kalijernih (2011) sebut sebagai tindakan kewarganegaraan (act of citizenship), bukan
kewarganegaraan aktif (active citizenship). Salah satu bentuknya adalah pelibatan organisasi
kepemudaan seperti karang taruna dalam penyelenggaraan pilkada sebagai penggerak
kesadaran dan kemauan warga masyarakat secara bertanggungjawab.
Setidaknya ada tiga alasan dan pertimbangan mengapa komponen kepemudaan patut
dilibatkan dalam penyelenggaraan pilkada langsung. Pertama, mereka adalah elemen bangsa
dan sumberdaya potensial yang bisa didayagunakan bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan
negara. Hingga kini, potensi itu belum dikelola, dilatih dan dimanfaatkan secara optimal. Sebagai
generasi muda, mereka adalah aset bangsa dan warganegara pilihan yang siap berperan
sebagai agen perubahan sosial dan pemimpin di masa kini dan masa depan. Meski
Budimansyah (2008) menyebutnya sebagai warganegara hipotetik, yaitu warganegara yang
“belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan
kewajibannya, namun pemberian peran maksimal dalam penyelenggaraan pilkada adalah
bagian dari proses mempercepat pendewasaan sikap dan ketrampilan mereka selaku
warganegara muda (young citizen).
Kedua, dibandingkan dengan generasi tua, pemuda adalah sosok warganegara yang
memiliki idealisme tinggi, relatif belum banyak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan
subyektif sesaat. Mereka akan tumbuh, berkembang dan berperan menjadi warganegara yang
203
baik dan bertanggungjawab bila dibentuk oleh lingkungan kemasyarakatan dan pemerintahan
yang mengasah dan mengasuh potensi dan ketrampilan bernegara secara lebih baik. Pemuda
relatif terjaga dan memiliki animo cukup kuat untuk memberantas penyimpangan kekuasaan
(abuse of power) di masyarakat. Sederhananya, pemuda relatif membenci korupsi dan
manipulasi, memiliki energi, komitmen dan integritas cukup tinggi untuk memberantas korupsi
dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Potensi ini patut digali dan diberdayakan secara
maksimal bagi kepentingan masyarakat dan negara sehingga potensi kecurangan yang lazim
terjadi pada setiap penyelenggaraan pilkada, misalnya, bisa ditekan dan/atau diminimalisir
secara efektif.
Ketiga, segenap potensi pemuda merupakan energi besar dan strategis bagi pembinaan
dan pendidikan politik warga masyarakat sebagai pemilik hak suara. Mereka adalah bagian dari
dan hidup di tengah masyarakatnya, dan karena itu mereka sangat mengenal identitas dan/atau
jatidiri orang-orang sekitar. Apa dan bagaimana karakter, perilaku, dan tindakan warga
masyarakat, politisi, legislator, dan/atau kontestan pilkada akan sangat mudah dideteksi sejak
dini sebab mereka adalah bagian dari komunitas itu. Kontrol sosial atas para petarung politik
akan berlangsung alamiah sejak dini, tanpa rekayasa, dan tanpa mobilisasi. Pada titik ini,
eksistensi komponen pemuda akan sangat membantu kerja-kerja (baca: tugas) segenap
komponen penyelenggara pilkada yang memang dibentuk secara formal dan musiman, apalagi
kontrol sosial pemuda berlangsung sejak lama, dini, informal, apa adanya, tanpa rekayasa, dan
berkelanjutan. Karena itu, energi sosial-informal pemuda mesti “dikawinkan” dengan energi
politik-formal pemerintahan bila kita ingin membangun dan menciptakan penyelenggaraan
pilkada yang benar-benar berkualitas, mendidik, demokratis dan berintegritas, bukan retoris,
romantis, dan hipokrit. Mereka bisa diberdayakan sebagai agen pilkada guna memperkuat
political literacy dan political engagement warga masyarakat selaku pemilik hak suara.
PenutupUpaya melibatkan pemuda dalam setiap tahapan peyelenggaraan pilkada bukan perkara
mudah yang mau diamini semua pihak. Ada tantangan dan hambatan kultural dan/atau
struktural yang tidak bisa dipungkiri. Mulai dari persepsi negatif generasi tua tehadap pemuda,
labilitas, stereotif dan tingkat kematangan pemuda, terbatasnya pembinaan, pelibatan dan
pembiasaan peran pemuda, hingga masalah geografis, sumberdaya dan dana yang terbatas.
Tantangan dan hambatan itu tidak boleh menghalangi atau mengurangi komitmen pelibatan
pemuda bila kita tidak ingin terus terjebak pada situasi muncul dan berkembangnya sosok
warganegara yang berpikir dan bertindak pragmatis. Tanggung jawab membangun generasi
muda terletak di tangan generasi tua, baik yang berperan di sektor informal, formal maupun
informal. Lebih dari itu, penyiapan kompetensi, komitmen, dan integritas mereka sangat
bertumpu pada kemauan, kemampuan, kepedulian, konsistensi dan jiwa besar generasi tua
204
untuk melibatkan pemuda dalam penyelenggaraan pilkada guna membangun masyrakat,
bangsa dan negara yang benar-benar demokratis, berintegritas, dan relegius.
Daftar PustakaBudimansyah, D. (2008). Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui
Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen). Acta Civicus, 1(2), hlm. 179-198.
Budi, M., & Kusuma, W. (2013). Akuntabilitas Kepala Daerah di Persimpangan Jalan (Dari
Pilkada Langsung Menuju Pilkada oleh DPRD), Prosiding Seminar Nasional FISIP UT,
Diakses dari: http://repository.ut.ac.id/2364/.
Darmawan, D. (2012). Tinjauan Terhadap Pengaturan Politik Uang dalam Peraturan
Kepemiluan. Jurnal Pemilu & Demokrasi, 12 (4), hlm. 103-122.
Esterberg, K.G. (2002). Qualitative Methode in Social Research. New York: Mc Graw Hill.
Harian Detiknews.com. (2017). MK Terima 49 Gugatan Sengketa Pilkada Serentak 2017.
Diakses dari: https://news.detik.com/berita/3437502/.
Harian Kompas.com. (2017). MK Tolak 20 Permohonan Sengketa Pilkada. Diakses dari:
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/03/23263411/.
--------------------------------. (2017). Bawaslu Temukan 600 Dugaan Politik Uang pada Pilkada
2017. Diakses dari: http://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/19334401/.Harian Merdeka.com. (2016). Jimly: Syarat 2 persen Ajukan Sengketa Pilkada Membatasi Hak
Rakyat. Diakses dari: http://www.merdeka.com/politik/.
Harian Tempo.com. (2016). MK hanya Terima Tujuh Gugatan Sengketa Pilkada 2015. Diakses
dari: https://m.tempo.co/read/news/2016/01/26/063739564/.
Kalidjernih, F.K. (2011). Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya
Aksara Press.
Kumorotomo, W. (2009). Intervensi Parpol, Politik Uang Dan Korupsi: Tantangan Kebijakan
Publik Setelah Pilkada Langsung. Makalah disajikan dalam Konferensi Administrasi
Negara, Surabaya, 15 Mei.
Liputan6.com. (2016). Pakar: MK Bisa Sampingkan Selisih Suara Pilkada. Diakses dari:
http://pilkada.liputan6.com/read/2425914/.
Rangkuti, F. (2004). Analisis SWOT Tehnik Membedah dalam Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Rasyid, M.R. (2005). Kata Pengantar dalam Buku 9 Kunci Sukses Tim Sukses dalam Pilkada
Langsung Karya Achmad Herry (2005). Jakarta: Galangpress Group.
Salusu. (1996). Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi
Nonprofit. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
205
Westheimer & Kahne (2004). What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy.
American Educational Research Journal, 41(2), pp. 237–269.
MENGUATKAN INTEGRASI NASIONAL DALAM KESADARAN KELOMPOK ETNIKOleh:
Agus SuprijonoSugeng Herianto
Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri [email protected]
Abstrak
Tulisan ini merupakan paparan gagasan sebagai ekspresi menyikapi masifnya gerakan-gerakan idiologisasi
yang mengarah pada disintegrasi nasional. Melalui kajian konseptual yang merujuk pada literatur-lilteratur
relevan dihasilkan proposisisebagai jawaban rumusan masalah “Bagaimana keberagaman budaya
Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif
untuk membangun kesadaran kolektif tersebut ?”. Pendidikan merupakan panasia permasalahan
kemanusiaan. Pendidikan adalah humanisasi itu sendiri. Sekolah menjadi lingkungan strategis
menumbuhkan-kembangkan kesadaran kritis tentang persatuan dan kesatuan. Semakin kuat kesadaran
nasional dalam kesadaran kelompok etnik, semakin kuat pula kohesivitas sosial sehingga wawasan
kebangsaan semakin kokoh, persatuan dan kesatuan semakin kukuh.
Kata kunci: Integrasi Nasional, Kelompok Etnik
PendahuluanFuturolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang
menguatnya kesadaran etnik (ethnic conciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai
peristiwa seperti perlawanan terhadap dominasi negara maupun terhadap kelompok-kelompok
206
etnik terjadi pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 ini. Berjuta-juta nyawa telah melayang
dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997)
merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar
masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban
“clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah
dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh
keberpihakan terhadap agama dan kebudayaan.
Pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa tidak jarang suatu
kebudayaan membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan bahkan peperangan.
Indonesia sebagai masyarakat majemuk senantiasa perlu menggali wawasan kebangsaannya
untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok etnik yang
kerap terjadi seharusnya menggugah bangsa ini kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan
mendasar. Bagaimana keberagaman budaya Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif
masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif untuk membangun kesadaran
kolektif tersebut ?
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan ditandai realitas
budaya objetif seperti keragaman budaya, suku, etnik, bahasa, agama dll. Berdasarkan teori
kultur dominan Bruner dalam Prabowo dan Fakurrozi (2004) masyarakat multikultur Indonesia
dalam lingkup provinsi dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu
Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya ; Kelompok etnis menjadi
dominan di luar wilayah teritorialnya ; Beberapa etnis mempunyai jumlah yang berimbang
dengan kategori (a) perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar ; (b)
perimbangan jumlah etinis dengan etnis pendatang lebih besar ; Beberapa etnis mempunyai
jumlah yang berimbang, namun yang terbanyak adalah kumpulan beberapa etnis
Menurut Malinowski dalam Pelly (1998 : 26) berdasarkan sudut pandang klasik kelompok etnik
dipandang sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat
digambarkan dalam sebuah peta etnografi.
“Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well defined-boundaries) memisahkan
satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya. Secara de facto masing-masing kelompok etnik
memiliki budaya yang padu (cultural homogenity); satu sama lain dapat dibedakan baik dalam
organisasi, kekerabatan, bahasa, agama (sistem religi), ekonomi, tradisi, maupun pola-pola
hubungan kelompok antar kelompok etnik. Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu
identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara
mereka mengekspresikan atau mengartikulasikan kebudayaannya, termasuk dalam hal
bagaimana mereka mengkonsepsikan dan menata pengelolaan serta penguasaan terhadap
sumberdaya.
207
Konsep etnisitas dalam budaya suku yang primordialisme seiring dengan fenomena dan
demokrasi telah mengalami pergeseran makna. Menurut Barth (1969). “kelompok etnik tidak
selalu merupakan tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi di wilayah teritorial
yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain”. Batas kelompok etnik
yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial bukan teritorial. Kelompok etnik
lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan berkesinambungan tentang identifikasi
dirinya. Pengertian etnisitas karenanya tidak diaksentuasikan lagi pada isi kebudayaan yang
dimiliki oleh suatu kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul
dalam interaksi sosial.
Kajian kelompok etnik bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi
kebudayaannya tetapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkaitan dengan asal
muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dengan kata lain, jatidiri itu
dinamakan primordialitas yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan yang secara kolektif diratifikasi
dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia (lihat Geertz dalam
Suparlan, 1998). Lloyd Warner dalam tulisan Toid (1978 : 3) menjelaskan bahwa yang
terkandung dalam pengertian etnik menunjuk pada individu-individ guna mempertimbangkan di
manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya yaitu yang
didasarkan pada latar kebudayaan. Oleh sebab itu istilah etnik cenderung lebih bersifat sosio-
kultural daripada yang berkaitan dengan ras. Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa”
menjadi “kelompok etnik” (ethnic groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”. Istilah kelompok
etnik memiliki makna “kita” (“self”) sekaligus “orang lain/mereka” (“others”).
Konsep etnik lebih kepada pengungkapan jati diri atau pengidentifikasian diri dalam
proses-proses sosial yang terjadi pada masyarakat majemuk. Menurut Soekanto (2009 : 57)
dalam proses-proses sosial atau interaksi sosial terjadi (1) identifikasi ; (2) imitasi ; (3) sugesti ;
(4) simpati. Sebagai upaya menuju integrasi nasional Indonesia keanekaragaman kelompok-
kelompok etnik di Indonesia saling berinteraksi.
Integrasi nasional merupakan bentuk proses-proses sosial yang erat kaitannya dengan
pertemuan dua atau lebih kelompok etnik. Integrasi nasional merupakan produk akhir dari suatu
kontak sosial yang secara politis dicita-citakan. Interaksi antar kelompok etnik bukan dalam
bentuknya secara obyektif sebagai transaksi-transaki informasi. Dalam interaksi antar kelompok
etnik bentuknya yang substantif adalah proses-proses subyektif yaitu transaksi-transaksi emotif.
Oleh sebab itu masalah mendasar yang terkadung dalam integrasi adalah persoalan-persoalan
psikologis.
Selain interaksi antar kelompok etnik melahirkan stereotipe, masalah lain yang muncul dari
interaksi tersebut adalah etnosentrisme. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara
bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok
208
etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok
lain. Sikap superior ini merupakan faktor yang juga dapat menghambat terwujudnya integrasi
nasional.
Dalam konteks etnosentrisme proses integrasi nasional selalu ditandai oleh hubungan
dominan dan minoritas. Menurut Suparlan (2004) Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam
kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status
sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat
prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini
berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong
dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa
golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong
sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber
daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka
yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya
tersebut.
. Prasangka muncul dari berbagai sebab. Faktor-faktor penyebab timbulnya prasangka
bersumber pada latar belakang sejarah, perkembangan sosio-kultural dan situasional, faktor
kepribadian, dan perbedayaan keyakinan.
Dalam pluralitas budaya prasangka mendorong munculnya sikap streotipe. Pandangan-
pandangan streotiping terhadap etnik lain biasanya timbul dan kemudian menjadi pengetahuan
dan pemahaman seseorang melalui sosialisasi di lingkungan sosial yang berkategori “kami” (in
group). Pewarisan pandangan demikian kepada kelompok sendiri diperlukan sebagai acuan
tindak atau respon yang dianggap tepat ketika seseorang berhadapan dengan orang lain yang
berbeda kategori.
Primordialisme juga merupakan faktor penghambat terwujudnya integrasi nasional. Ikatan
primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu
kelompok etnik, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul
(Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu
kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar
merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka
dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.
Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi
(Cohen, 1970). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan
karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga
dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.
Namun, tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang
membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada
209
keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk
ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi
etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.
PembahasanKeberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam
masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan
berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas
baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
1. Menumbuhkan Asosiasi-Asosiasi Lintas Batas Dengan memahami konsep kelompok etnik sebagai identitas atau jatidiri semestinya orang
akan lebih terbuka bagi perubahan dan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda
kebudayaannya. Berikutnya akan lebih mudah pula mengembangkan paham multikulturalisme
sebagai kondisi prasyarat yang sangat penting untuk menumbuhkan apa yang dicita-citakan
masyarakat madani. Dengan paham dan penghargaan akan keberagaman maka setiap orang
akan lebih mudah memasuki banyak asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh di lingkungan
masyarakat majemuk sehingga akan tumbuh apa yang oleh Pelly (2000) disebut akumulasi
aliansi atau oleh Sibarani (2000) disebut keanggotaan saling menyilang (cross-cutting affiliation)
yang akan membuahkan kesetiaan saling menyilang (cross-cutting loyalities).
Jaring-jaring sosial yang mengikat sebanyak mungkin anggota yang beragam sudah
barang tentu lebih kuat menapis ancaman terjadinya ketegangan etinik. Robert D Putnam (2004)
memperlihatkan efektivitas dari jejaring sosial yang mampu menumbuhkan partisipasi
masyarakat di Italia sebagai modal sosial yang secara sadar didayagunakan untuk bekernya
demokrasi.
2. Membangun Kohesivitas SosialDalam masyarakat multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat
kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama
seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial.
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu
suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang
menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin saling
mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya
dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari
peradaban manusia.
Sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan
simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat: kontak
sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling
210
Masyarakat “X”
Masyarakat“Y”
beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik
masyarakat dan elemen organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata
sosial antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban(Cohen, 1970: 65)
Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah
(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik.Saling
ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan
kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan,
kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan
adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan
yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang
dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah suatu
kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam distribusi mobil dapat
menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.
3. Membangun Budaya ToleransiIstilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam
wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah
satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi
211
HK
uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan,
kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan
SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparatnegara. Karena itu, toleransi lebih
banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan
masyarakat bangsa.
Sejalan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis ideologi Pancasila
juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun
dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dalam alam reformasi, issu-
issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi
tanggungjawab 'ideologis' negara. Namun, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat
cepat sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai
pemersatu bangsa (chain of national unity). Belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang
harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.
Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai
toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari
adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati
merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan
kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan
orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya
perbedaan.
Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero
Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru menerbitkan
sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut Wacik, budaya berpikir
positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif
dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya telah hidup dalam
kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini."Semakin sering kita berpikir positif, semakin
banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat primordialisme di antara kita akan menjadi semakin
menipis. Sebaliknya, semakin sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki
musuh.
Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok
komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya.
Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam ini tentulah
tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk itu tulisan ini hanya
mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah contoh kasus dari ribuan
fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.
212
4. Menanamkan Multikulturalisme melalui Pembelajaran Kooperatif di Kelas HeterogenMultikulturalisme merupakan ide, gagasan, proses, dan sebuah gerakan yang
beraksentuasi pada upaya menumbuhkan kesadaran untuk memahami, mengakui, menghargai,
dan menerima kesederajatan keanekaragaman kebudayaan. Dalam ruang politik terbuka seperti
sekarang ini multikulturalisme harus ditanamkan dan ditumbuhkan seiring dengan proses-proses
demokratisasi. Dengan multikulturalisme masyarakat Indonesia nantinya akan mempunyai
kesadaran tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan
kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang
tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok etnik lain dari dirinya
sendiri dan akan mampu secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang
oleh kelompok atau masyarakat dominan.
Pendidikan merupakan proses humanisasi. Pendidikan adalah proses pengadaban
manusia. Pendidikan menjadikan manusia berbudaya. Pendidikan merupakan instrumen
kehidupan manusia untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Melalui pendidikan
rekonstruksi dan reformasi sosial dapat dilakukan. Tolstoy berpendapat sasaran puncak
pendidikan ada di luar pendidikan yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilai-nilai masyarakat
“beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang
saling bertentangan.
Sekolah merupakan miniatur dari suatu masyarakat. Sekolah adalah institusi yang
merefleksikan pluralitas dan diferensiasi sosial dari sebuah kehidupan sosial. Kehidupan sekolah
adalah kehidupan sosial yang penuh dengan keanekaragaman. Secara sosiologis, siswa-siswa
berasal dari berbagai lapisan masyarakat (strata sosial). Secara antropologis, siswa-siswa
berlatar etnis yang beranekaragam. Secara psikologis, siswa-siswa adalah pribadi-pribadi yang
memiliki keunikan-keunikan.
Dalam perspektif konflik keanekaragaman itu merupakan sumber konflik. Oleh karena itu
keanekaragaman latar sosial, budaya, psikis dll dari siswa-siswa di suatu sekolah adalah fakta
sosial yang harus direspon oleh para guru. Pendidikan di sekolah harus berhasil menciptakan
social equilibirium melalui pengembangan keseluruhan potensi kemanusiaan yang telah melekat
secara kodrati pada diri siswa. Pendidikan sekolah harus berhasil menumbuhkan kesadaran
pada diri siswa terhadap eksistensinya sebagai makhluk individu maupun sosial. Dalam dimensi
sosial pendidikan di sekolah harus mampu menumbuhkan kemampuan siswa-siswa untuk
memahami, bersikap, dan bersedia menerima segala perbedaan dalam mozaik kehidupan
sosialnya.Sekolah dapat dijadikan sebagai sarana pembauran multietnik. Sekolah dapat
mengembangkan pendidikan multikultur. Pendidikan multikultur merupakan proses pendidikan
yang mengembangkan pelbagai aktivitas belajar menuju ke arah kesadaran akan pengakuan
terhadap berbagai kebudayaan dari pelbagai etnis dan ras.
213
Daftar PustakaBarth, Fredrik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: UI Press
Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The
Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor). Pennsylvania:
International Textbook Company.
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order. New
York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :Yayasan
Obor Indonesia.
Pelly, Usman, “Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Kota
Medan”, Makalah, Seminar “Menyoal Keseimbangan Tradisional Masyarakat” diadakan
oleh Madia dan KSPM Medan tahun 2004.
Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta :
Rineka Cipta.
Prabowo dan Fakurrozi, “Belajar dari Kekerasan Sosial Masa Lalu Untuk Menjadi Manusia Masa
Depan”, Makalah, Seminar Nasional Universitas Sanata Dharma, 24-25 Juli 2004.
Sibarani, Robert, 2004, “Menyikapi Pluralisme” Makalah Seminar “Menyoal Keseimbangan
Tradisional Masyarakat” diadakan oleh Madia dan KSPM Medan
Soekanto, Soerjono, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press
Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan,
Jurnal Antropologi No 58 Tahun 1999.
Suparlan, Parsudi, 2004, “Hak-Hak Minoritas dalam Lanscape Multikultural Mungkinkah di
Indonesia ?” Makalah, Wisma PKBI 10 Agustus 2004.
Toid, Brian M.du 1978, Etnicity in Modern Africa, Colorado: Westview Press.
.
214
PENDIDIKAN UNTUK ANAK-ANAK INDONESIA DI SABAH-MALAYSIA UNTUK MEMBENTUK WARGA NEGARA TRANSFORMATIF DARI LUAR NEGERI
Oleh: Yuni Wulan [email protected]
ABSTRAKPendidikan merupakan salah satu kompunen penting yang menentukan maju mundurnya suatu
negara. keberhasilan pendidikan berpengaruh pada kemajuan suatu negara, sebaliknya kegagalan pendidikan juga berpengaruh pada kegagalan suatu negara. untuk mencapai keberhasilan pendidikan selain manajeman pendidikan yang bagus juga diperlukan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Warga negara indonesia (WNI) tidak hanya tinggal di indonesia saja, beberapa ada yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara salah satunya di Sabah-Malaysia. Para TKI mempunyai anak usia sekolah yang berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak yang tinggal di Indonesia. Mulai tahun 2006 pemerintah Indonesia telah mengirimkan pendidik untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak Indonesia di Sabah-malaysia. Mendidik anak-anak Indonesia di sabah-malaysia adalah tantangan tersendiri bagi para pendidik mulai dari terbatasnya sarana dan prasarana hingga kesadaran para TKI yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Para pendidik berusaha keras memberi pengertian kepada para TKI tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan, selain itu para pendidik juga mengajarkan tentang wawasan kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada anak-anak, karena mereka sebagian besar belum pernah ke Indonesia. Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKI di Sabah- Malaysia telah berhasil membuat mereka menyadari tentang pentingnya pendidikan dan rasa cinta tanah air. Sehingga banyak anak yang memutuskan kembali ke Indonesia melanjutkan sekolah. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan cinta tanah air akan membentuk warga negara yang transformatif. Kata kunci: pendidikan; anak-anak TKI Sabah-Malaysia
PENDAHULUANLatar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu kompunen penting yang menentukan maju mundurnya
suatu negara. keberhasilan pendidikan berpengaruh pada kemajuan suatu negara, sebaliknya
kegagalan pendidikan juga berpengaruh pada kegagalan suatu negara. untuk mencapai
keberhasilan pendidikan selain manajeman pendidikan yang bagus juga diperlukan pemerataan
pendidikan kepada seluruh warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pemerataan pendidikan untuk setiap warga negara Indonesia merupakan aplikasi dari undang-
undang dasar 1945 pasal 31 dan undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dimanapun mereka
berada, baik yang tinggal di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
maupun di luar NKRI.
Warga Negara Indonesia (WNI) tidak hanya tinggal di Indonesia saja, berberapa ada
yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara di dunia salah satunya di
215
sabah-Malaysia. Jumlah TKI yang bekerja di sektor perkebunan sawit sabah- Malaysiahingga
tahun 2017 kurang lebih 500.000 TKI. Para TKI tersebut mempunyai anak usia sekolah yang
berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak Indonesia lainya yang tinggal di
Indonesia. Mulai tahun 2006 pemerintah Indonesia telah mengirimkan pendidik untuk mendidik
anak-anak Indonesia di sabah- Malaysia. Pengiriman pendidik ke sabah- Malaysia bertujuan
memberikan pendidikan kepada anak-anak TKI sehingga bisa merasakan pendidikan yang
sama dengan anak-anak Indonesia yang ada di Indonesia. Pendidikan di berikan dari jenjang
sekolah dasar hingga menengah atas. Menurut data kemendikbud per september 2015 ada
sebanyak 53 ribu anak –anak TKI di sabah malaysia dan baru 24 ribu yang memperoleh
pendidikan setingat Sekolah Dasar dan sekolah menengah pertama.
(https.//www.kemendikbud.go.id/main/blog/2016/09/tuntaskan-pendidikan-bagi-anak-tki-115-
guru-indonesia-dikirimkan, diakses 21 juli 2017)
Pendidikan dasar untuk anak-anak TKI diberikan dalam bentuk SD dan SMP terbuka
yang di sabah disebut sebagai Community Learning Center(CLC). Selain di CLC anak-anak
Indonesia juga belajar di pusat belajar Humana sebuah lembaga swadaya masyarakat di daerah
sabah malaysia yang secara khusus memberikan perhatian berupa layanan pendidikan bagi
anak-anak pekerja di perkebunan wilayah negara bagian sabah dan mendapat izin operasional
dari pemerintah setempat. Fasilitas dan proses pendidikan yang diperoleh oleh anak-anak TKI
tentunya berbeda dengan yang diperoleh anak-anak indonesia yang tinggal di Indonesia namun
pendidikan yang diberikan mempunyai tujuan yang sama untuk membentuk rakyat Indonesia
yang adil dan makmur.makalah ini akan membahas tentang pendidikan anak-anak TKI di sabah
malaysia sebagai salah satu cara membentuk warga negara transformatif dari luar negeri.
Rumusan masalahRumusan masalah dalam makalah ini adalah :Bagaimana pendidikan anak-anak TKI di Sabah-
Malaysia?
Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar para pembaca mengetahui pendidikan anak-anak
TKI di Sabah- Malaysia sebagai salah satu cara mewujudkan warga negara transformatif dari
luar negeri.
METODE PENELITIAN
Waktu dan tempat penelitian Penelitian tentang anak-anak TKI di Sabah-Malaysia dimulai dari Juni 2014-Mei 2017, di Litang
Estate, Kinabatangan Sabah Malaysia, Pemilihan Litang sebagai tempat penelitian karena
Litang merupakan salah satu bagian dari perusahaan hapseng yang merupakan salah satu
216
perusahaan sawit terbesar di sabah yang memperkerjakan tenaga kerja Indonesia di hampir
segala sektor kecuali esekutif.
MetodePenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi
kasus adalah suatu metode yang berusaha memberikan gambaran yang dirinci dengan tekanan
pada situasi keseluruhan mengenai proses atau urut-urutan suatu kejadian (Moehar, Daniel.
2002:116). Selain itu, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan kita secara
unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik. Studi kasus memungkinkan
untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan
nyata seperti siklus kehidupan seseorang, proses-proses organisasional dan managerial,
perubahan lingkungan sosial, hubungan-hubungan internasional dan kematangan-kematangan
industri (Yin, 2004:4). Studi kasus dipilih dalam penelitian ini untuk: Mengambarkan secara rinci
berbagai cara yang digunakan dalam mendidik anak-anak Indonesia di Sabah-malaysia.
Teknik Pengumpulan DataPengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-
keterangan atau karateristik-karateristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan
menunjang atau mendukung penelitian (Iqbal Hasan, 2002:82). Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan tiga cara yaitu oservasi, oservasi partisipan dan wawancara
mendalam. Observasi digunakan untuk memperoleh data awal yang dengan cara melakukan
pengamatan terhadap para anak-anak TKI yang ada di Litang estate.
Observasi partisipan yaitu suatu usaha untuk melakukan pengamatan dan pencatatan
yang sistematis terhadap obyek penelitian secara langsung turun ke lapangan dan ikut serta di
dalamnya. Observasi partisipan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara berinteraksi
langsung dengan anak-anak TKI baik dalam waktu belajar di sekolah maupun dalam berbagai
kegiatan di masyarakat. Interaksi langsung juga dilakukan dengan para orang tua anak-anak
TKI.
Teknik pengumpulan data lainnya adalah wawancara mendalam yang dilakukan ketika
observasi partisipan berlangsung dan setelah observasi partisipan dilakukan. Wawancara
mendalam dilakukan untuk mendapatkan informasi secara jelas dan lengkap dari apa yang akan
diteliti. Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan kepada para siswa, guru dan orang
tua yang ditemui oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang lebih banyak tentang
pendidikan anak-anak Indonesia di sabah-Malaysia sebelum dan sesudah guru Indonesia
datang. Dari wawancara mendalam diharapkan dapat diperoleh data yang lengkap, sehingga
bisa dijadikan sebagai sumber data dan dianalisa sebagai hasil penelitian.
217
Teknik analisis data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2009:244).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pendidikan anak-anak lndonesia di
Sabah-malaysia sebagai cara membentuk warga negara yang transformatif dari luar negeri,
untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan pengumpulan data, pemprosesan data,
penganalisisan data dan peginterprestasian data. Tujuan dari analisis data dalah
menyederhaakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Data
yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis. Persiapan terbaik untuk melakukan studi
kasus ialah dengan memiliki strategi umum analisis.
HASIL DAN PEMBAHASANLatar belakang pemberian pendidikan untuk anak-anak Indonesia di Sabah - Malaysia
Anak-anak indonesia merupakan pemilik bangsa yang sesungguhnya, mereka adalah
penentu masa depan bangsa. Baik buruknya bangsa indonesia tergantung bagaimana
pendidikan anak-anak di masa sekarang sebagai bekal masa depan mereka dalam melanjutkan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Anak-anak TKI di sabah malaysia merupakan bagian dari
anak- anak Indonesia yang tinggal di luar negeri yang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh pendidikan.
Pendidikan untuk anak-anak TKI di sabah malaysia telah diberikan oleh pemerintah
indonesia melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan mengirimkan pedidik yang bertugas
untuk mendidik anak-anak indonesia dalam jenjang setara dengan pendidikan sekolah dasar
sejak tahu 2006 hingga sekarang.
Fase pengiriman pendidik untuk anak-anak TKI di sabah malaysia dapat diketahui dalam
buku pembekalan dan keberangkatan pendidik untuk anak-anak indonesia di sabah-malaysia
tahap 5 tahun 2014-2016, di dalam buku tersebut disebutkan tiga fase pengiriman sebagai
berikut:
1. Fase I tahun 2006-2008
218
Tahun 2006 telah ditugaskan sebanyak 109 pendidikan bukan pegawai negeri sipil (PNS)
untuk pendidikan anak-anak indonesia di sabah-malaysia selama 2 tahun dan berakhir pada
tahun 2008.
2. Fase II tahun 2009-2011
Kebijakan menteri pendidikan nasional mengharuskan pendidik untuk pendidikan anak-anak
indonesia di sabah-malaysia berstaus PNS. Oleh karena itu, pada tahun 2009, dikirim 109 orang
dari lembaga penjaminan mutu pendidik (LPMP), pusat pengembangan dan pemberdayaan
pendidik dan tenaga kependidikan (P4TK), pusat pengembangan pendidikan non formal dan
informal (P2PNFI), balai pengembangan pendidikan non formal dan informal (BPPNFI), untuk
bertugas sebagai pendidik selama dua tahun, dan tidak diperpanjang dikarenakan adanya tugas
masing-masaing pendidik yang relevan di tempat asalnya bertugas.
3. Fase III tahun 2011-2016
Pendidik PNS yang telah selesai masa tugasnya, Kemendikbud mengirim kembali 290
orang pendidik bukan PNS yang telah drekrut bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai tempat penyelenggara seleksi calon pendidik yang
kompeten yaitu: Universitas negeri Medan (UNIMED), Universitas Negeri Jakarta (UNJ),
Universitas Pendidikan Indonesia-bandung (UPI), Universitas Negeri tanjung Pura-Pontianak
(UNTAN), Universita Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Surabaya (UNESA),
Universitas Negeri Makasar (UNM), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri
Semarang (UNNES), dan universitas Negeri Padang.
Pengiriman telah dilakukan dalam lima tahap yaitu:
Tahap 1 sebanyak 54 orang pendidik diberangkatkan bulan September 2011
Tahap 2 sebanyak 38 orang pendidik diberangkatkan bulan Desember 2011
Tahap 3 sebanyak 58 orang pendidik diberangkatakan bulan Juni 2012
Tahap 4 sebanyak 60 orang diberangkatkan bulan Mei 2013, dan
Tahap 5 sebanyak 80 orang diberangkatkan bulan Juni 2014
Selain tiga fase di atas pada tahun 2016 telah dikirim kembali 86 pendidik tahap 6 dan 115
pendidik tahap 7 dan pada agustus 2017 telah dikirim sebanyak 83 pendidik.
Tugas para pendidik anak-anak indonesia di Sabah- malaysiaPara pendidik anak-anak indonesia sebagian besar ditugaskan di ladang-ladang sawit yang
tersebar di sabah-malaysia. Para pendidik mengajar di comunity learning center (CLC) binaan
sekolah indonesia kota kinabalu (SIKK) dan di pusat Humana.Pusat belajar Humana adalah
219
suatu LSM di daerah sabah malaysia yang secara khusus memberikan perhatian berupa
layanan pendidikan bagi anak-anak pekerja di perkebunan wilayah negara bagian sabah dan
mendapat izin operasional dari pemerintah setempat. Nama NGO adalah borneo child Aid
society, namun didaftarkan ke pemerintah setempat dengan nama humana child aid society.
Didirikan pada tahun1991 dengan sponsor dari NGO eropa, kemudian oleh humana holland
sampai tahun 1998 sebelum akhirnya diambil alih oleh perusahaan malaysia hap seng consolida
ted’s melalui yayasan lua gek poh.
Humana meskipun terdaftar sebagai lembaga Non-formal, namun lembaga humana
menyelengarakan pendidikan seperti formal dengan mengacu pada kurikulum malaysia. Mata
pelajaran yang diajarkan di lembaga ini adalah: membaca, menulis, berhitung/matematika,
bahasa inggris, bahasa melayu, Ilmu pengetahuan Alam dan pelajaran tambahan seperti
kesenian dan olahraga. Pendidik yang ditugaskan di Humana selain mengajar sesuai kurikulum
Malaysia juga mengajarkan tentang wawasan kebangsaan negara kesatuan republik indonesia
(NKRI), sedangkan pendidik yang bertugas di clc mengajar sesuai dengan kurikulum Indonesia.
Pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah-malaysiaPendidikan untuk anak-anak TKI di Sabah-Malaysia jauh berbeda dengan pendidikan
anak-anak Indonesia yang tinggal di Indonesia. Anak-anak TKI belajar di bangunan yang
disediakan oleh pihak company, sebuah bangunan yang terdiri dari dua ruangan yang
digunakan belajar untuk siswa setingkat TK dan SD pada pagi hari dan SMP terbuka pada sore
hari. Jika pagi hari satu ruangan digunakan untuk kelas Tadika (setingkat TK jika di Indonesia) 1
dan 2, dan satu ruangan untuk Darjah (setingkat SD) 1-6. Delapan jenjang yang berbeda
tersebut setiap hari hanya diajar oleh tiga orang guru. Satu guru mengajar tadika 1 dan 2, satu
guru mengajar darjah 1-3 dan satu guru indonesia mengajar kelas 4-6. Untuk guru indonesia
sore hari masih mengajar CLC/SMP terbuka kelas 7-9.
Memberikan pendidikan untuk anak-anak Indonesia yang ada di sabah malaysia berarti
harus siap dengan segala kondisi yang ada. Anak-anak dan orang tua yang belum menyadari
tentang pentingya pendidikan adalah tantangan yang paling berat selain tantangan kondisi
lingkungan dan budaya yang berbeda. Anak-anak Indonesia di ladang sawit adalah anak-anak
dari para TKI resmi maupun tidak resmi yang telah bekerja selama puluhan tahun di
perladangan sawit Sabah. sebagaian besar TKI adalah lulusan SMP dan SMA bahkan banyak
diantara mereka yang tidak sekolah. Himpitan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi
membuat sebagian besar orang tua lebih memilih anak-anak mereka ikut kerja di ladang
daripada sekolah. Orang tua kebanyakan masih berfikir sekolah/ pendidikan bukanlah suatu hal
yang penting, yang penting bagi mereka adalah bekerja untuk menghasilkan uang agar mampu
bertahan hidup dan tetap tinggal di ladang.
220
Hal pertama yang dilakukan oleh para pendidik bisa mengambil hati anak-anak yang
rajin sekolah dengan memberikan pembelajaran yang berbeda dengan yang selama ini
diberikan oleh pendidik lokal. Metode pembelajaran yang berbeda dan menyenangkan mampu
membuat siswa untuk lebih rajin sekolah. Cerita yang dibawa pulang oleh anak-anak menarik
minat anak-anak yang telah berhenti sekolah tertarik untuk sekolah kembali. Awalnya mereka
hanya melihat di luar kelas, lalu pendidik mengajak anak-anak belajar bersama di dalam kelas.
Masyarakat yang belum menyadari pentingnya pendidikan dan lebih mementingkan
mencari uang akan membawa anak-anak mereka bekerja di ladang sawit sebagai pemungut biji
sawit yang jatuh atau pemetik tombong. Para orang tua berpendapat bahwa sekolah hanya
menghambur-hamburkan uang dengan hasil yang tidak jelas. Pendapat ini bisa diketahui ketika
pendidik datang di awal junin 2014, anak-anak dengan usia 10-11 tahun masih duduk dibangku
tadika dan belum lancar membaca dan menulis serta berhitung. Ketidakpercayaan orang tua
terhadap sekolah juga karena beberapa oknum guru yang pernah mengajar memperlakukan
siswa dengan kasar dan kurang amanah dalam mengelola keuangan sekolah yang telah
dibayarkan oleh orang tua siswa.
Mengembalikan kepercayaan orang tua dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
pendidikan dilakukan dengan cara melakukan kerja sama dengan pihak majikan yang
memperkerjakan para TKI. Pendidik melakukan kerjasama dengan majikan dalam hal
memberikan himbauan kepada para pekerja untuk tidak membawa anak dibawah usia 17 tahun
bekerja di ladang. Selain itu juga dilakukan pendekatan secara intensif terhadap masyarakat
dengan mendatangi satu persatu rumah para TKI yang mempunyai anak usia sekolah agar mau
menyekolahkan anaknya, dan mengurus dokumen yang seharusnya dimiliki oleh anak. Serta
melakukan perbaikan manajemen sekolah dan peningkatan pelayanan terhadap anak-anak.
Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKI tidak hanya tentang membaca dan
menulis saja, tetapi juga tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Selama ini anak-anak TKI
yang berada di Litang estate, sekolah di sekolah Humana yang menggunakan kurikulum
Malaysia.kedatangan pendidik di sekolah Humana selain mengajar tentang membaca, menulis
dan berhitung juga mengajar tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Pendidikan tentang
wawasan kebangsaan harus diberikan kepada para anak-anak TKI untuk menumbuhkan rasa
cinta tanah air Indonesia di dalam dada mereka. Anak-anak TKI harus mengenal dan mencintai
tanah airnya, meskipun mereka ada di negeri orang dan belum pernah menginjakkan kaki di
Indonesia, tetapi mereka harus tahu bahwa negara tempat orang tuanya berasal adalah negara
yang besar, negara yang merindukan mereka untuk kembali pulang dan membangunnya.
Berbagai cara dilakukan oleh pendidik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan dengan membawa anak-anak yang mempunyai bakat mengikuti
perlombaan baik ditingkat distrik maupun ditingkat sabah. Prestasi anak-anak dalam bidang
akademik dan non akademik selama pendidik berada di litang mampu menarik perhatian
221
masyarakat dan mereka kembali menyekolahkan anak-anaknya. Rasa cinta terhadap Indonesia
juga ditanamkan dengan melakukan peringatan hari-hari besar nasional yang dihadiri oleh para
TKI baik yang anaknya sekolah maupun yang tidak sekolah.
Pendidikan untuk anak-anak TKI di sabah telah menunjukkan hasil yang baik, kesadaran
orang tua untuk menyekolahkan anaknya adalah salah satu contoh yang terlihat nyata,
semangat anak-anak untuk belajar terus meningkat. Jika di awal kedatangan pendidik anak-
anak jarang masuk sekolah, pada awal 2015 anak-anak telah rajin masuk sekolah. Jika diawal
seragam siswa belum rapi maka di awal 2015 anak-anak sudah mulai berseragam dengan rapi,
dan juga menyadari akan tanggung jawabnya. Mereka telah mampu mengerjakan tugas dengan
tepat waktu, mengerjakan pekerjaan rumah, melaksanakan tugas harian dengan rutin, dan juga
mampu membuang sampah pada tempatnya serta rajin beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing.
Perubahan sikap dan perilaku anak-anak TKI tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
yang diberikan oleh para pendidik Indonesia. Perubahan sikap dan perilaku terlihat nyata dalam
kehidupan anak-anak sehari-hari. Ketika di awal kedatangan pendidik anak-anak masih datang
terlambat, dan datang sesuka hati kesekolah, dengan pelatihan kedisplinan sekarang anak-anak
telah datang tepat waktu dan mengerjakan tanggung jawab mereka di sekolah. Anak-anak TKI
juga mulai menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk mereka meraih masa
depan, pendidikan adalah salah satu jalan membuat orang tua, guru dan bahkan negara bangga
terhadap segala usaha yang mereka lakukan, pendidikan juga salah satu jalan untuk mereka
keluar dari tradisi keluarga menjadi buruh kelapa sawit. Kesadaran itu yang membuat
bertambahnya jumlah anak-anak TKI di Litang pada khususnya meneruskan sekolah ke
Indonesia dari tahun ke tahun.
Keinginan anak-anak TKI untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi tidaklah
mudah, tantangan yang pertama yang harus mereka hadapi adalah keluarga. Alasan ekonomi
menjadi salah satu faktor yang menghambat keinginan mereka, orang tua merasa keberatan
dengan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pemulangan hingga pembayaran sekolah di
Indonesia, namun hal tersebut dapat ditangulangi dengan mencarikan donatur dan sekolah
berbeasiswa untuk anak-anak yang akan melanjutkan sekolah. Tantangan yang lain adalah
orang tua yang tidak mengizinkan anak untuk melanjutkan sekolah karena tidak mau berpisah
dengan anak dan tidak ada yang membantu bekerja di ladang. Tantangan lain yang tidak kalah
penting adalah kelengkapan dokumen anak-anak yang tidak ada, hal ini maka pendidik harus
siap sedia membantu anak-anak yang akan melanjutkan sekolah untuk membantu proses
pengurusan dokumen hingga siap pulang.
Tantangan-tantangan yang harus dihadapi anak-anak TKI yang ingin melanjutkan
sekolah ke Indonesia, tidaklah menyurutkan semangat anak-anak untuk terus memperoleh
pendidikan yang paling tinggi. Mereka tidak pernah menyerah dan lelah untuk berusaha, mereka
222
yang ingin melanjutkan sekolah ada yang dengan suka rela membagi waktu antara belajar dan
bekerja untuk mencari bekal kembali ke Indonesia, ada yang dengan sangat sabar merayu dan
memberi pengertian kepada orang tua dengan pendampingan pendidik tentang pentingnya
pendidikan, tentang keinginan mereka untuk merubah nasib di masa depan memutus rantai
bekerja di negeri orang.
Anak-anak TKI yang memilih melanjutkan pendidikannya adalah anak-anak yang
menyadari bahwa dengan bersekolah mereka bisa belajar banyak hal, bisa mendatangi tempat-
tempat yang bahkan dulu memimpikannya saja tidak pernah, bisa menatap masa depan yang
lebih cerah. Dengan meneruskan pendidikan mereka berharap cita-cita mereka untuk mengabdi
kepada Indonesia di segala bidang akan tercapai. Kesadaran anak-anak TKI untuk melanjutkan
sekolah yang lebih tinggi, dan kerelaan orang tua mereka untuk mengizinkan anak-anak mereka
untuk terus sekolah adalah bukti bahwa pendidikan untuk anak-anak TKI di sabah-malaysia
adalah salah satu cara membentuk warga negara yangtransformatif dari luar negeri .
KESIMPULANPendidikan anak-anak TKI di Sabah-Malaysia berbeda dengan pendidikan yang didapat oleh
anak-anak Indonesia di Indonesia.kurangnya sarana dan prasarana, perbedaan budaya,
kemauan belajar anak-anak yang rendah hingga kesadaran kurangnya kesadaran para TKI akan
pentingnya pendidikan, dan ketidakpercayaan mereka terhadap sekolah adalah tantangan
tersendiri bagi para pendidik anak-anak Indonesia di Sabah Malaysia. Berbagai upaya telah
dilakukan mulai dari perubahan manajemen sekolah, model dan metode pembelajaran yang
berbeda dari yang pernah diterapkan, pendekatan secara intensif kepada orang tua yang
mempunyai anak usia sekolah hingga melibatkan pihak majikan untuk memberikan perintah
kepada para pekerja untuk menyekolahkan anaknya.
Berbagai upaya yang dilakukan menunjukkan keberhasilan, hal tersebut dapat diketahui dari
para siswa yang mulai rajin sekolah dengan seragam yang rapi, kesadaran siswa tentang
kedisplinan dan kebersihan, hingga berbagai prestasi yang ditunjukkan siswa dalam berbagai
perlombaan distrik. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga membuat anak-anak
mempunyai keinginan yang tinggi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Mereka menyadari bahwa dengan terus belajar dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi
adalah salah satu jalan untuk bisa memutus rantai sebagi buruh sawit, dengan pendidikan
mereka bisa mengapai cita-cita mereka membuat bangga orang tua dan mengabdi kepada
tanah air Indonesia dari segala bidang.
DAFTAR PUSTAKA
Daniel, Moehar. 2002. Metodelogi Penelitian Sosial Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta.
223
Hasan, Iqbal. 2002. Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, diretorat jendral pendidikan dasar, Direktorat
pembinaan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan dasar.2014. pembekalan
dan pemberangkatan pendidik untuk pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah-
Malaysia tahap 5 tahun 2014-2016, Kementrian pendidikan dan kebudayaan,
Jakarta.
Sugiyono. 2009. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, ALFABETA, Bandung.
Yin, Robert. 2004. Studi Kasus Desain dan Metode, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
https.//www.kemendikbud.go.id/main/blog/2016/09/tuntaskan-pendidikan-bagi-anak-tki-
115-guru-indonesia-dikirimkan. , diakses 21 juli 2017)
224
URGENSI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI SEBAGAI PENGUATAN TERHADAP PEMBERANTASAN BULLYING DI SEKOLAH PADA MATERI “PERBEDAAN, KESETARAAN
DAN HARMONI SOSIAL”Muhammad Masruro1), Yusuf Aldy Tri Utomo2)
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri MalangE- mail:[email protected], [email protected]
ABSTRAKSetiap manusia memilki perbedaan, baik secara fisik maupun sosial. Tantangan bagi guru dan
peserta didik secara mutlak adalah melakukan proses pembelajaran dengan penguatan yang utuh demi berlangsungnya pembelajaran sosiologi sesuai dengan kompetensi dasar. Sekolah sebagai agen sosialisasi semakin runtuh dengan maraknya kasus Bullying terhadap sesama peserta didik. Berdasarkan data hasil riset Tahun 2015 oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) menyatakan 84% anak di Indonesia mengalami tindak kekerasan di Sekolah. Tingkat Bullying perlu ditekan agar tidak menjadi fenomena gunung es yang hanya terlihat dipermukaan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara integratif melalui pembelajaran sosiologi di Sekolah pada materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni sosial sehingga peran dan penguatan terhadap tindak bullying disekolah dapat menjadi aspek preventif yang sentral. Dengan pendekatan deskripsi, tulisan ini mengadopsi rujukan kepustakaan yang disandingkan dengan realitas serta strategi pembelajaran. Urgensi pembelajaran sosiologi pada materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial dalam hal ini adalah: (1)menumbuhkan sikap toleransi dan empati sosial terhadap perbedaan sosial. (2)menerapkan prinsip- prinsip kesetaraan dalam menyikapi keberagaman untuk menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat. (3)mengaitkan dan mengimplementasikan pembelajaran sosiologi untuk menekan tindak bullying sesuai materi perbedaan, kesetaraan dan harmoni sosial. Kata Kunci: Bullying, Kesetaraan, Harmonisasi, Pembelajaran, Perbedaan
LATAR BELAKANG Konteks pembelajaran sosiologi tidak hanyaberfokus dalam mengembangkan peserta
didik dibidang kemampuan teoritis, menghafal dan melakukan berbagai aspek dalam taksonomi
konten yang secara penuh mereka pahami di kelas. Namun secara sentral tetap berpijak pada
karakter yang baik pada peserta didik itu sendiri. Maka dari itu formulasi yang dilakukan oleh
pendidik dalam hal ini, guru sosiologi tidak hanya memberikan evaluasi yang sifatnya klasik,
namun disesuaikan dengan materi yang sedang di bahas pada saat kegiatan belajar dan
mengajar di kelas. Selain itu juga tentunya dapat kita rasakan secara manifest bahwa
keberadaan teknologi dan pendidikan itu sendiri semakin berkembang pesat, maka dari itu nilai-
nilai yang seharusnya di junjung dan di aktualisasikan dalam kehidupan sehari- hari semakin
memudar. Contoh nilai yang semakin memudar dan sangat menjadi perhatian bagi pendidik
adalah masih adanya gejala sosial yang sifatnya sangat berjauhan dan sangat tidak
mencerminkan sebagai warga negara yang menganut kebhinekaan, yaitu dengan adanya
fenomena bullying di kalangan mahasiswa dan pelajar yang ada di Indonesia. Hal ini menjadikan
fokus bagi guru sosiologi pada jenjang SMA yang secara tatap muka dan tidak tatap muka
adalah tetap menjadikan pembelajaran sosiologi yang bermakna, artinya pembelajaran sosiologi
225
harus ikut andil dalam proses penekanan angka bullying yang terjadi dimanapun khususnya di
sekolah.
Tentunya setiap manusia memilki perbedaan, baik secara fisik maupun sosial. Tantangan
bagi guru dan peserta didik secara mutlak adalah melakukan proses pembelajaran dengan
penguatan yang utuh demi berlangsungnya pembelajaran sosiologi sesuai dengan kompetensi
dasar. Sekolah sebagai agen sosialisasi semakin runtuh dengan maraknya kasus bullying
terhadap sesama peserta didik. Bullying adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi
berulang kali, bersifat regeneratif, menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban
(Astuti, 2008). Sejalan dengan pengertian tersebut maka realitas bullying menjadi
kecenderungan tersendiri yang terjadi lagi dan lagi khususnya di lingkungan akademik sekolah
ataupun Perguruan Tinggi. Data dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan
dan Anak mengatakan sekolah sering menjadi tempat terjadinya kekerasan terhadap anak, dan
biasanya dilakukan oleh sesama siswa. Kekerasan emosional (terutama dalam bentuk
penggunaan bahasa yang melecehkan atau mengejek) adalah bentuk yang paling sering
dilaporkan, diikuti oleh kekerasan fisik. Menurut sebuah studi yang dilakukan International
Center for Research on Women dan Plan International kepada 1.739 siswa berusia 12-15 tahun,
84 persen siswa menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan di sekolah, dan 75 persen
mengaku pernah melakukannya dalam 6 bulan terakhir (ICRW, 2015). Selain itu, 60 persen
siswa laki-laki dan 40 persen siswi perempuan berusia 12- 15 tahun diketahui menjadi pelaku
kekerasan emosional terhadap siswa lainnya (ICRW, 2015). Sehingga tingkat bullying perlu
ditekan agar tidak menjadi fenomena gunung es yang hanya terlihat dipermukaan.
RUMUSAN MASALAHSehubungan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini
adalah “Bagaimana penguatan dalam pembelajaran sosiologi pada materi Perbedaan,
Kesetaraan dan Harmoni Sosial untuk memberantas bullying di sekolah?”
TUJUAN PENULISAN Terkait dengan masalah tersebut yang di gagas oleh penulis, maka tujuan studi
penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Secara umum yakni untuk mendapatkan deskripsi secara integratif melalui pembelajaran
sosiologi di Sekolah pada materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni sosial sehingga
peran dan penguatan terhadap tindak bullying disekolah dapat menjadi aspek preventif
yang sentraluntuk diberantas.
2. Untuk mengetahui Urgensi Pembelajaran Sosiologi pada materi Perbedaan, Kesetaraan
dan Harmoni Sosial
3. Untuk menguraikan Relasi materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial Terhadap
Perilaku Bullying yang terjadi di Sekolah
226
4. Untuk menekankan Strategi Penguatan(Reinforcement) Pembelajaran Sosiologi untuk
menekan dan memberantas bullying di Sekolah
KAJIAN PUSTAKAOlweus mendefiniskan bahwa bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan
untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke
waktu dan berlangsung dalam suatu hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan
atau kekuatan di dalamnya (Flynt&Morton, 2006). Pengertian lainnya menyebutkan bahwa
bullying adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi berulang kali, bersifat regeneratif,
menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban (Astuti, 2008).
Bedasarkan dari paparan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bullying
merupakan tindak kekerasan baik secara fisik maupun mental yang mengancam kepada jiwa
korban yang bersifat regeneratif dari suatu hubungan yang tidak seimbang antara kekuasaan
atau kekuatan. Sebagai serangkaian dari proses bullying tersebut penulis meyakini bahwa
beberapa aspek dari pembelajaran yang semestinya ikut andil dalam proses penanaman nilai
dan norma di sekolah ada yang runtuh dari komponen tersebut, yakni pembelajaran yang
sifatnya masih belum kuat untuk memberikan stimulus kepada peserta didik.
Pembelajaran Sosiologi terkait perannya dalam upaya menanamkan sikap- sikap positif
seperti jujur, disiplin, dan sebagainya dalam kehidupan sehari- hari, baik secara horizontal
dengan sesama manusia maupun vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa (Taupan, 2014).
Adapun tujuan dari belajar sosiologi itu sendiri adalah mencakup dua sasaran yaitu bersifat
kognitif dan praktis. Secara kognitif dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar
sosiologi agar peserta didik mampu memahami dan menelaah secara rasional komponen-
komponen dari individu, kebudayaan, dan masyarakat sebagai suatu sistem. Sasaran yang
bersifat praktis dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa
yang rasional dan kritis dalam menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan, situasi
sosial, serta berbagai masalah sosial yang ditemukan dalam kehidupan sehari hari
(Taupan,2014).
Ruang Lingkup Materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” yang terdapat pada
Buku Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI Kelompok Peminatan Ilmu- Ilmu Sosial.
Adapun tujuan pembelajaran dari materi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Setelah mengamati lingkungan sekitarnya, peserta didik dapat menjelaskan pengertian
perbedaan sosial.
2. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan pengertian kesetaraan sosial.
3. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan pengertian harmoni sosial.
4. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapat menjelaskan pengertian
masyarakat multikultural.
227
5. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan pengelompokan masyarakat.
6. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapatmenjelaskan mobilitas sosial
dalam masyarakat multikultural.
7. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapatmenjelaskan kondisi
masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural.
8. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan perkembangan kelompok dalam
masyarakat multikultural.
9. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapatmenjelaskan dampak
masyarakat multikultural di Indonesia.
10. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapat menjelaskan strategi
menciptakan kehidupan yang harmonis.
Penguatan dalam pembelajaran sosiologi dalam hal ini bertitik tumpu pada reinforcement
itu sendiri. Dimana terdapat beberapa reinforcement yang dapat dilakukan guna memberikan
stimulus kepada peserta didik dalam memahami dan nantinya diharapkan dapat
mengaplikasikan materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” dalam kehidupan sehari-
hari. Pengertian dari reinforcement sendiri adalah salah satu keterampilan mengajar yang harus
dikuasi oleh seorang pendidik. Penguatan memicu motivasi peserta didik dalam kegiatan belajar
dan mengajar di kelas. Tujuan penguatan itu sendiri memberikan asumsi yang sentral bahwa
“Pengubahan tingkah laku siswa dapat dilakukan dengan penguatan (Djamarah, 2005)
Penguatan itulah yang dapat menjadikan aspek bagi pendidik untuk memahami secara
mutlak dan penuh agar pembelajaran sosiologi khsususnya materi Perbedaan, Kesetaraan dan
Harmoni Sosial dapat memberantas bullying yang terjadi pada peserta didik. Penguatan yang
diberikan pada peserta didik juga bertujuan untuk :
1) meningkatkan perhatian siswa pada pembelajaran;
2) meningkatkan motivasi belajar siswa;
3) memudahkan siswa untuk belajar; dan
4) mengeliminasi tingkah laku siswa yang negatif dan membina tingkah laku positif
siswa(Suwarna, 2006).
GAGASAN PENULISANPada dasarnya pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memperhatikan
komponen- komponen pembelajaran. Komponen pembelajaran yang dimaksud merupakan
bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses
untuk mencapai tujuan sistem. Jadi, komponen pendidikan adalah bagian-bagian dari sistem
proses pendidikan yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan (Slameto, 2010).
Adapun komponen Pembelajaran dapat di gambarkan sebagai berikut :
228
Gambar 1.1 Komponen- Komponen PembelajaranDalam komponen- komponen pembelajaran di atas sudah sangat mutlak dapat
memberikan sebuah perubahan kepada peserta didik. Namun dalam hal ini penulis memberikan
esensi yang sangat fokus terhadap salah satu komponen pembelajaran yang kaitanya dengan
upaya penguatan pembelajaran Sosiologi pada materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni
Sosial”. Adapun penguatan tersebut adalah pada arah komponen media pembelajaran. Alasan
penulis menggagas media pembelajaran sangat penting perannya dalam materi ini dikarenakan,
konten yang tersedia dalam cakupan materi tersebut harus benar- benar dan secara nyata
memberikan dampak yang kuat dengan penguatan kepada peserta didik. Pendidik dalam hal ini
tentunya menjadi aspek yang sangat penting dalam serangkaian proses pembelajaran,
mengingat bahwa materi sangat berkaitan dengan masalah- masalah sosial yang ada salah
satunya bullying.
Bullying yang terjadi di Lembaga Pendidikan Formal khususnya sekolah sangat erat
kaitanya dengan Pembelajaran Sosiologi bahkan Ilmu- Ilmu sosial yang lain yang menjunjung
tinggi nilai dan norma seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Oleh karena itu,
peran pembelajaran sosiologi dalam serangkaian proses belajar dan mengajar yang ada di kelas
menjawab pertanyaan dari persoalan bullying tersebut dan memecahkan masalah yang urgensi
dengan pencegahan melalui penguatan media pembelajaran sosiologi.
Adapun gagasan penulis menggambarkan penguatan tersebut dalam bentuk bagan sederhana
seperti gambar di bawah ini :
229
Gambar 1. 2 Penguatan Pembelajaran Sosiologi (Gambar di Olah Penulis)Pada gambar Penguatan Pembelajaran Sosiologi di atas penulis memaparkan dengan
mengartikan bahwa reinforcement tidak berbentuk seperti rewards ataupun hadiah yang klasik.
Namun di sini yang dimaksud adalah peran pendidik memberikan sebuah konstruk yang
integratif pada materi sosiologi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial”. Dengan itu maka
pembelajaran di gagas oleh pendidik itu sendiri ,dengan memperhatikan bahwa dan menghayati
materi yang sangat erat kaitannya dengan upaya perubahan tingkah laku peserta didik dalam
memahami perbedaan, kesetaraan hingga menciptkan keadaan yang harmoni sosial. Adapun
arah dari pembelajaran ini bersifat kesemua arah, yaitu pendidik dan peserta didik sama sama
menemukan ide yang preventif guna memecahkan masalah yang sedang terjadi di sektor
pendidikan, masalah yang paling cocok bagi penulis dalam hal ini adalah bullying. Senada
dengan yang dikatakan oleh Dywer (1967) alat bantu audiovisual dalam proses belajar
memberikan dampak yang besar, aliran ini adalah Realisme dengan asumsinya bahwa belajar
yang sempurna hanya dapat tercapai jika digunakan bahan- bahan audiovisual yang mendekati
realitas (Djamarah, 2006). Maka dari itu penulis memberikan gagasan dalam pemberian materi
perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial dalam penguatan pada peserta didik menggunakan
audiovisual.
HASIL DAN PEMBAHASANA. Urgensi Pembelajaran Sosiologi Pada Materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni
Sosial”Pendidikan Sosiologi memberikan kontribusi bagi kegiatan belajar dan mengajar yang
ada di sekolah guna menjadikan peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan
sosial yang sifatnya aplikatif. Keberadaan materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni
Sosial” tentunya menjadi sangat fundamental dan memiliki urgensi tersendiri bagi
keberlangsungan perubahan tingkah laku peserta didik. Tujuan pembelajaran Sosiologi di sini
diarahkan untuk menumbuhkan kualitas berpikir yang mampu mendorong keterlibatan
peserta didik dalam dunia publik. Dengan kata lain, pembelajaran Sosiologi mementingkan
230
penguasaan pengetahuan, nilai kemanusiaan dan keterlibatan sosial (Silabus Mata Pelajaran
Sosiologi, Kemendikbud 2016).
Sehingga peserta didik setelah menerima materi tersebut diharapkan dapat
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun beberapa tujuan lainnya dari materi
tersebut yakni:
1) menumbuhkan sikap toleransi dan empati sosial terhadap perbedaan sosial.
2) menerapkan prinsip- prinsip kesetaraan dalam menyikapi keberagaman untuk
menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat.
3) mengaitkan dan mengimplementasikan pembelajaran sosiologi untuk menekan tindak
bullying sesuai materi perbedaan, kesetaraan dan harmoni sosial.
B. Relasi Materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial Terhadap Perilaku Bullying yang terjadi di Sekolah
Hakikat Materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial” Pada Jenjang SMA
Peminatan Ilmu- Ilmu Sosial memiliki konteks dan relasi yang cukup kuat terhadap perilaku
Bullying yang ada di Sekolah. Hal ini karena kompetensi dasar dari materi tersebut memuat
aspek yang sesuai dengan tindakan agar memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai dan
norma pada masyarakat. Bullying juga disebebkan adanya perbedaan antara peserta didik,
diamana perbedaan ini menjadi faktor terjadinya bulling. Peserta didik yang dianggap
berbeda dengan peserta didik lainnya kerap kali dijadikan sasaran bullying dengan cara
kekerasan, mengucapakan kata-kata kasar, sehingga koraban bullying akan meresa
tertekan.
Materi “perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” akanmenjadi kontrol bagi peserta
didik dan memperjelas bahwa setiap perbedaan yang dimiliki perserta didik meruapakan
bentuk dari masyarakat majemuk. Perbedaan yang terjadi pada peserta didik akan dijelaskan
dalam meteri tersebut sehingga peserta didik mengerti akan hakikat dari perbedaan. Tindak
bullying yang terjadi pada peserta didik di sekolah diharapakan dapat diberantas dengan
memperdalam materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” pada peserta didik.
Peserta didik yang melakukan tindak bullying biasanya masih belum mengerti dan
memahami perbedaan satu dengan lainnya. Peserta didik kurang akan sifat toleran antara
perbedaan lainnya yang kerap kali dari perbedaan tersebut peserta didik mempunyai niat
untuk tindak bullying. Penguatan materi ini akan memberikan dampak pencegahan terhadap
tindak bullying dimana peseta didik akan memahami perbedaan dan menyikapai kesetaraan
guna menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat. Sehingga Relasi yang dimaksud
adalah dapat di gambarkan pada bagan sederhana di bawah ini :
231
Gambar 1. 3 Relasi Pokok Bahasan Bullying pada Materi (Gambar di Olah Penulis)
C. Strategi Penguatan(Reinforcement) Pembelajaran Sosiologi untuk menekan dan memberantas bullying di Sekolah
Strategi Penguatan Pembelajaran Sosiologi dalam hal ini yang paling sesuai adalah
dengan menggunakan komponen Media Pembelajaran. Media Pembelajaran memberikan
dampak yang sangat mendalam bagi peserta didik, hal ini dikarenakan mereka mampu
mengingat konten- konten yang dicermati oleh peserta didik dimana kaitannya dengan materi
“Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial”. Strategi guru memberikan materi ini tentu
tidak hanya sebagai lintasan yang hanya lewat saja, akan tetapi berbagai arah dalam
pembelajaran materi tersebut sangat kuat dan proposional dengan gaya belajar peserta didik.
Pemberian materi dengan menggunakan audiovisual akan memperkuat dan memperjelas
materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” pada peserta didik. Peserta didik tidak
hanya akan memperoleh materi secara teori, akan tetapi peserta didik pada nantinya
mengetahui langsung mengenai perbedaan, kesetaraan dan harmoni sosial pada masyarakat
indonesia yang majemuk.
Keabstrakan materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” memberi makna yang
cukup kuat kepada penulis bahwa guru sebagai fasilitator menjadi sangat kreatif apabila
membuat materi lebih kongkret dan sederhana hingga dapat dipahami oleh peserta didik.
Maka dari itu kehadiran media pembelajaran audiovisual pada materi ini tentunya akan
menjadi strategi yang inovatif bagi guru Sosiologi di SMA. Media dapat mewakili apa yang
kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan
bahan dalam materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial” dapat dikonkretkan
dengan kehadiran media pembelajaran (Norjanah, 2011).
Strategi Penguatan dalam hal ini yang paling fundamental dan sesuai dengan materi
tersebut adalah dengan menggunakan audiovisual. Berdasarkan hasil riset BAVA (British
Audio Visual Aids) memaparkan bahwa hasil pembelajaran yang tidak menggunakan media
hanya terserap 13% dari keseluruhan materi yang diberikan. Dengan menggunakan media
232
pembelajaran perolehan bahan ajar yang terserap dapat ditingkatkan sampai 86% (Rusman,
2012). Hal ini juga membuktikan bahwa daya serap peserta didik dalam memperoleh materi
dengan menggunakan media pembelajara sangat tinggi. Tentunya media audiovisual dalam
pembelajaran juga memiliki sifat dalam proses pembelajaran dan pengajaran, adapun
beberapa sifat antara lain:
• Kemampuan untuk meningkatkan persepsi
• Kemampuan untuk meningkatkan pengertian
• Kemampuan untuk meningkatkan transfer (pengalihan) belajar.
• Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement) atau pengetahuan
hasil yang dicapai
• Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan) (Djamarah, 2006).
Kontekstualisasi dalam materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial” tergantung
dari guru itu sendiri. Guru dalam hal ini tetap menjadi media dan strategi yang terbaik bagi
siswa yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Sifat yang eksploratif dengan mengasah
sensivitas kreativitasnya dalam mengolah pembelajaran yang perlu di jadikan prinsip bagi
guru (Asmaun, 2012) . Sensivitas dalam penekanan materi yaitu tetap pada kajian pokok
bahasan yang mengandung bahwa bullying merupakan tindakan yang harus diberantas dan
ditekan melalui sikap- sikap yang edukatif dengan memperhatikan keadaan sosial di
masyarakat Indonesia dan keterkaitannya dengan aspek- aspek diferensiasi sosial.
KESIMPULANBullying adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi berulang kali, bersifat regeneratif,
menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban. Data dari Kementerian
Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak mengatakan sekolah sering menjadi
tempat terjadinya kekerasan terhadap anak, dan biasanya dilakukan oleh sesama siswa.
Sehingga tingkat bullying perlu ditekan agar tidak menjadi fenomena gunung es yang hanya
terlihat dipermukaan.
Pembelajaran Sosiologi terkait perannya dalam upaya menanamkan sikap- sikap positif
seperti jujur, disiplin, dan sebagainya dalam kehidupan sehari- hari, baik secara horizontal
dengan sesama manusia maupun vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Alat bantu
audiovisual dalam proses belajar memberikan dampak yang besar, aliran ini adalah Realisme
dengan asumsinya bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika digunakan bahan-
bahan audiovisual yang mendekati realitas. Pendidikan Sosiologi memberikan kontribusi bagi
kegiatan belajar dan mengajar yang ada di sekolah guna menjadikan peserta didik yang memiliki
kemampuan dan kecerdasan sosial yang sifatnya aplikatif.
233
DAFTAR PUSTAKA Astuti, P.R. 2008. Meredam Bullying : 3 Cara Efektif Menanggulangi Kekerasan Pada Anak.
Jakarta: PT Grasindo
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif Suatu
Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta
Flynt, S.W. Morton, R.C. 2006. Alabama Elementary Principals’ Perception of Bullying.
Education
Norjanah. 2011. Penggunaan Media Audio Visual Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Mata
Pelajaran PAI Materi Shalat 5 Waktu, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2011)
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sahlan, Asmaun dan Angga Teguh Prasetyo. 2012. Desain Pembelajaran Berbasis
Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Arruz Media
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
Suwarna. 2006. Pengajaran Mikro, Pendekatan Praktis dalam Menyiapkan Pendidik
Profesional. Yogyakarta: Tiara Wacana
Silabus Mata Pelajaran Sosiologi SMA/MA Kurikulum 2013. 2016. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan
Taupan, M. 2014. Buku Guru Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Peminatan
Ilmu- Ilmu Sosial. Bandung: Yrama Widya
234
Semnas 06
KONSEP DAN GERAKAN MULTIKULTURALISME DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM
Kunawi BasyirUIN Sunan Ampel Surabaya
Email : [email protected]
Abstrak : Memasuki abad milenium ketiga merupakan era kebangkitan pemikiran keagamaan yang dibarengi dengan maraknya konflik sosial di mana-mana sebagaimana yang kita rasakan di Indonesia selama ini. Walaupun agama bukan satu-satunya faktor utama tetapi dalam eskalasinya pemikiran keagamaan memainkan peranan penting sehingga Indonesia memasuki periode krisis yang berlangsung secara terus-menerus. Mereka sudah mulai masuk pada wilayah solidaritas primordial yang merupakan titik lemah dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesetiaan umat terhadap agamanya secara negatif cenderung melahirkan ideologi eksklusif yang berujung pada konflik intern maupun antarumat beragama. Mencermati fenomena tersebut, tulisan ini mencoba memahami dan menganalisis bagaimana Muh}ammad SAW. mengemban tugas kenabian dan kerasulannya melalui gerakan multikulturalisme menuju pluralisme. Sedang tujuan daripada penulisan ini adalah dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi penggiat multikulturalisme dan puralisme dalam membangun masyarakat madani di Indonesia yang selama ini diselimuti oleh kekerasan atas nama agama. Dari hasil analilisis dengan menggunakan pendekatan Durkhemian dapat digambarkan bahwa keberhasilan Muhammad SAW. dalam membangun peradaban dunia (dakwah Islamnya), ia memulainya dengan gerakan multikulturalisme di Makkah maupun di Madinah yang popular dengan sebuatan gerakan tauhid (ummatun wahidah). Muh}ammad SAW. di sini tidak menyatukan kebaradaan etnis dan agama yang ada tetapi ia mempersatukannya artinya bahwa Muh}ammad SAW. tidak mengislamkan bangsa Arab sebagaimana yang dipahami kelompok Islam eksklusif (radikal) selama ini tetapi ia mempersatukan etnis dan agama yang berbasis pada multukultural dalam membangun peradaban dunia yang akhirnya popular dengan sebutan negara modern yang terbungkus dalam “Piagam Madinah”.---------------Kata kunci : Islam, multikulturalisme
235
A. PendahuluanKeragaman dan perbedaan masyarakat Indonesia tidak bisa dipungkiri dari paradigma
masyarakat yang plural dan multikultur. Salah satu indikator yang menengarahi hal tersebut
adalah bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku,agama, etnis, dan budaya yang
kesemuanya itu terbungkus dalam ideologi Pancasila sebagai pilar pemersatu bangsa. Akan
tetapi dalam sepuluh terakhir Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara dengan motto
Bhinneka Tunggal Ika-nya, tetapi juga sebagai bangsa dengan jumlah tantangan dan masalah
yang timbul dari kemajemukan etnis, agama, sosial, dan budaya.
Dengan adanya keragaman yang ada maka menjadi persoalan tersendiri yang segera
terseleseikan sebagaimana yang disampaikan Abdul Karim Soroush bahwa setiap komunitas
beragama selalu dihadapkan pada dua persoalan penting, yaitu: local problems (problem lokal)
dan universal problems (problem universal). Menurut Soroush, problem yang dihadapi saat ini
adalah problem-problem perdamaian, hak asasi manusia. Oleh karena itu, hal-hal yang harus
dilakukan pada masyarakat beragama dewasa ini adalah bagaimana membangun sebuah
peradaban dunia yang bisa menghasilkan wajah baru yang aman, tenteram, dan berkeadilan
yang terwujud dalam iklim kehidupan yang harmonis.37
Senada apa yang disampaikan Afthonul Afif, ia menengarai bahwa hal-hal yang sering
muncul pada masyarakat multikultural adalah adanya kecenderungan di antara masing-masing
suku bangsa untuk mengekspresikan identitas budaya mereka melalui cara-cara yang spesifik
seolah-olah satu dengan lainnya tidak berhubungan. Jika kondisi ini ditampilkan secara inklusif
tanpa ada kesesuaian untuk saling mengakui dan menghargai, maka persaingan dan konflik
sosial akan menjadi ancaman yang serius dalam praktik komunikasi antarbudaya (multikultur)
karena batas-batas kesukubangsaan menjadi semakin nampak. Kondisi seperti ini suku
mayoritas akan semakin mendominasi terhadap suku minoritas melalui tindakan-tindakan yang
acap kali diskriminatif.38
Multikulturalisme akan lebih mempunyai makna apabila: Pertama, masyarakat yakin
bahwa penyadaran individu atau kelompok itu sangat ditentukan oleh informasi dan
pengetahuan, padahal informasi dan pengetahuan, padahal informasi dan pengetahuan
(termasuk informasi dan pengetahuan budaya) umumnya tidak netral. Meskipun demikian,
melalui informasi dan pengetahuan budaya itulah, kita semua dapat didorong untuk
merefleksikan maksud dan tujuan kita dalam melakukan kontrol terhadap pengambilan
keputusan. Kedua, multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang menolak klaim formal
tentang definisi budaya dan kebudayaan yang sudah terstruktur dalam sebutan kebudayaan
37 Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam: Essential Writing of Abdolkarim Soroush (Oxford: Oxford University Press, 2000), 63.38 Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri (Depok: Kepik, 2012), 49.
236
nasional. Struktur berpikir seperti ini ditolak, apalagi sejak globalisasi melanda dunia, konsep
kebudayaan nasional tidak dapat diterima begitu saja.39
Mencermati fenomena tersebut di atas maka kiranya perlu membongkar kembali
bagaimana Islam memandang dan memberikan konsep tentang multikulturalisme sebagai
pijakan untuk membangun masyarakat madani di tengah-tengah masyarakat multikultur. Dengan
demikian tulisan ini mencoba memahami dan menganalisis secara kritis perjalanan gerakan
multikulturalisme yang diemban oleh pembawa agama Islam (Muhammad SAW) dalam
menjalankan roda kenabian dan kerasulannya sehingga ia sukses mengantarkan bangsa Arab
sebagai cikal bakal bangunan masyarakat madaninya di tengah keragaman etnis, suku, agama,
dan budaya yang ada.
B. Multikulturalisme sebagai Realitas SosialMultikulturalisme dan pluralisme dua istilah yang sering dipertukarkan, sekalipun
keduanya memiliki nuansa yang berbeda. Multikulturalisme adalah sikap dan paham yang
menerima adanya berbagai kelompok manusia yang memiliki struktur dan kultur yang berbeda.
Sedangkan pluralisme lebih merujuk pada kesediaan untuk menerima dan terbuka pada etnis
dan budaya lain, karena etnis dan budaya lain itu bisa bernilai baik untuk warganya.40 Makna
pluralisme agama tersebut nampaknya didasari tesis Emile Durkheim bahwa “agama adalah
sebuah realitas sosial, ia merupakan suatu ekspresi dari kesadaran kolektif (moral comunity).41
Wacana multikulturalisme dalam dunia pemikiran Islam tergolong baru. Gagasan
multikulturalisme ini lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi
kultural Barat Modern dalam dunia Islam.42 Gagasan multikulturalisme menembus dan
menyusup ke wacana pemikiran Islam antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir Muslim
seperti Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Arkun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dan sederet
pemikir-pemikir Islam lainnya. Wacana multikulturalisme mengalami perkembangan yang cukup
menggembirakan seiring dengan fenomena kebangkitan agama-agama yang dibarengi dengan
krisis modernitas. Sedangkan krisis modernitas itu bersumber dari paradigma humanisme yang
memposisikan manusia sebagai penguasa tunggal dan mengabaikan adanya “Realitas Mutlak”. 39 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur (Yogyakarta: LKiS, 2009), 55.40Samsu Rizal Panggabean,”Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural),” dalam Zakiyuddin Baidhawi dan M. Thoyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), 1541 Karena Durkheim sebagai kaum fungsionalis, maka ia membedakan agama dalam konteks ideal-suci (dimensi keyakinan) dan konteks duniawi (dimensi kemasyarakatan), kemudian diikuti oleh sosiolog yang lain seperti Roland robertson yang membedakan dimensi yang dimiliki agama seperti: dimensi keyakinan, dimensi praktik keagamaan, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan, dan dimensi konsekuensi. Sedangkan Ignas Kleden mengungkapkan bahwa agama mempunyai tiga dimensi yaitu; dimensi sakralitas, dimensi spiritualitas, dan dimensi moralitas Lebih lanjut lihat Emile Durkheim, The Elementary Form of the Religious Life (New York: Pree Press, 1947), 172. Roland Robertson, Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi (Jakarta: Aksara Persada, 1986), 38. Dan juga lihat dalam Ignas Kleden, Kompas, 942 Samsu Rizal Panggabean,”Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural),” dalam Zakiyuddin Baidhawi dan M. Thoyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), 15
237
Pada perkembangan selanjutnya modernitas melahirkan corak pemikiran yang mengarah pada
rasionalisme, liberalisme, positivisme, materialisme, pragmatisme, dan juga sekularisme.
Melihat perkembangan dunia sebagaimana tersebut, maka kiranya perlu menyandingkan
wacana multikulturalisme dengan pluralisme dalam perspektif Islam. Karena di era globalisasi
sekarang ini masyarakat harus bersedia hidup melampaui sekat etnis, budaya, juga sekat
agama. Untuk menyelenggarakan kehidupan yang harmonis, mereka dituntut untuk sanggup
menghadapi realitas kebinekaan (pluralisme). Sebagai realitas sosial, multikulturalisme
merupakan diferensiasi masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi
peran. Pada level pengorganisasian, multikulturalisme merupakan kompetisi organisasi-
organisasi formal, dan pada level kemasyarakatan ia dianggap sebagai pembatasan-
pembatasan terhadap fungsi institusi.43
Multikulturalisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat
kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Multikulturalisme
juga tidak boleh dipahami sekadar ditilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme dalam
etnis, tetapi multikulturalisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban, serta suatu keharusan bagi tersemainya prinsip keselamatan umat
manusia. Ikatan-ikatan keadaban yang dimaksud adalah sebagai nilai-nilai universal yang harus
diperjuangkan oleh setiap umat beragama dalam rangka mencari titik temu antaretnis untuk
membentuk masyarakat yang beradab. Masyarakat yang beradab hanya bisa dibangun melalui
keterbukaan, saling membantu, saling toleransi, bekerja sama dalam memperjuangkan keadilan
dan saling menghormati sisi kemanusiaan manusia secara bersama-sama.44
Namun, perlu diakui bahwa pemeliharaan keragaman itu memberi kesan bahwa
perbedaan kultur memang tidak bisa dikompromikan, sehingga hal itu justru akan menciderai
makna dan visi multikulturalisme itu sendiri, karena dengan otonomisasi kultur justru akan
melahirkan kelompok-kelompok yang eksklusif. Dewasa ini maraknya konflik yang berujung
pada kerusuhan dan kekerasan merupakan refleksi dari ketidakmampuan sebagian kelompok
atau masyarakat untuk beradaptasi dan menyikapi secara kritis perkembangan informasi budaya
yang ada. Namun pemicunya sangat beragam, dalam situasi seperti itu agama menjadi rallying
factor dan simbol-simbol agama menjadi crying banner.45 Meskipun akar permasalahanya tidak
memiliki kaitan dengan agama, tetapi konflik yang ditampakkan ke permukaan dicoba dikaitkan
dengan agama sehingga simbol agama dan dianggap perang suci, selanjutnya agama dijadikan
dasar yang paling absah untuk melakukan kekerasan, bahkan pembunuhan.46
43 Talcot Parsons, The Social System (The Mayor Exposition of the Author’s Conceptual Scheme for the Analysis of the Dynamics of the Social System (New York: The Free Press Paperback, 1964), 126.44 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 42. Lihat juga dalam Abdul Azis Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, 29.45 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan (Bandung: Remaja Karya, 1999), 11.
238
Melihat fenomena sebagaimana tersebut di atas, maka kesadaran terhadap adanya
perbedaan (multikulturalisme) untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat madani
merupakan suatu hal yang selalu diidam-idamkan oleh setiap orang. Akan tetapi dalam
perjalanan sejarah manusia yang panjang, perdamaian seringkali tidak dapat berumur panjang.
Selalu saja terdapat pertikaian berdarah hampir di semua tempat dan waktu. Di sisi yang lain,
kerukunan dan perdamaian merupakan kebutuhan dasar manusia yang dengannya orang dapat
memperoleh rasa aman dan ketenangan. Dalam damai orang akan dapat mengembangkan
kemampuan dirinya tanpa khawatir akan gangguan orang lain.
Sebagaimana potret masyarakat Indonesia yang majemuk.Istilah masyarakat majemuk
(plural societies), pertama kali dikemukakan oleh Furnival sebagai hasil penelitianya pada
masyarakat wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada waktu itu yaitu Indonesia dan Birma. Dari
hasil penelitianya Furnival mengemukakan bahwa masyarakat majemuk yakni suatu masyarakat
yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama
lain di dalam suatu kesatuan politik. Dalam kedudukan politik masyarakat Indonesia masa itu
tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan
terdiri dari berbagai elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena itu perbedaan ras,
masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu dari pada sebagai keseluruhan yang
bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidak utuh.47
Menurut Hildred Geertz bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang
terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri, setiap sub sistem terikat ke
dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial,48 kemajemukan ini ditandai oleh adanya suku-suku
bangsa yang masing-masing mempunyai cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam
masyarakat suku bangsanya sendiri sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan
antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, tetapi secra bersama-sama hidup
dalam satu wadah masyarakat indonesia.
Untuk membedah wacana tentang Islam dan multikulturalisme dapat ditelisik melalui
teori Fungsionalisme yang digagas Emile Durkheim. Ia melihat bahwa agama merupakan
institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Atas dasar persamaan dan kesepakatan serta
ikatan psiko-religius, kredo, dogma, kultus dan simbol, serta tatanan nilai dan norma serta cara-
cara spiritualitas tertentu yang diyakini, maka para pemeluk agama cenderung berupaya sebaik
mungkin untuk mempertahankan serta mengamalkanya.49 Bagi Durkheim, agama bukan hal
46 Tesis tersebut dapat kita liahat dalam kasus Maluku sebagai bukti, bahwa konflik yang sebenarnya bersifat sosial-budaya akhirnya mengental menjadi pertikaian agama, simbol-simbol agama dijadikan alat pengerah massa oleh kelompok-kelompok yang terlibat pertikaian. Akibatnya komunitas yang seagama yang berada jauh di luar daerah yang sedangkan bertikai ikut melibatkan diri sehingga memperburuk konflik yang sedangkan berlanjut. Selengkapnya baca Kompas, 7 Januari, 2000, 3.47 J.S. Furnival, Colonial Policy and Practice: A Comprative Study of Burma and Nedherlands India (Woshington Square: New York University Press, 1957), 156.48 Hildred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, terj. (Jakarta: YIIS, 1969), 6749 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (London: George Allen & Unwin, 1947), 105.
239
yang “imajiner” (khayalan), tetapi ia adalah suatu yang sangat nyata. Agama merupakan sebuah
ekspresi masyarakat itu sendiri. Tentunya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki agama,
karena ia merupakan suatu kesadaran kolektif berupa penyatuan dari seluruh kesadaran
individu yang kemudian menciptakan sebuah realitas terhadap dirinya sendiri.50 Durkheim
memberikan kesimpulan bahwa agama adalah kesatuan dari beberapa keyakinan dan praktik-
praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang kudus dan akan membentuk sebuah komunitas
yang berbasis pada moral.51
Bagi Durkheim maupun Weber memandang bahwa agama bukan hanya merupakan
masalah yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan saja, akan tetapi sifat dasar agama
adalah menekankan hal kolektif yang memiliki konsekuensi-konsekuensi secara keseluruhan.
Dengan demikian untuk memahami realitas sosial berupa Islam dan gerakan
multikulturalisme dapat dicari melalui pemahaman terhadap pergaulan sosial yang terwujud
dalam suatu tindakan (Muhammad SAW). Sedangkan rasionalitas suatu tindakan dapat diamati
dari hubungan antar-subjek tindakan tersebut, yaitu suatu tindakan yang didasari oleh pelaku
dan ditujukan pada individu atau subjek yang lain (komunikasi dan tndakan Muhammad SAW.
dengan masyarakat).
C. Gerakan Ummatun Wahidah : Dari Multikulturalisme menuju Pluralisme Memahami dan mengaktualisir ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu
hanya diharapkan dalam komunitas muslim saja. Tetapi Islam dapat diaplikasikan dalam
masyarakat manapun, sebab secara essensial ia merupakan agama yang memuat nilai yang
universal.52 Kendatipun dapat dipahami, bahwa Islam yang hakiki hanya dirujukkan kepada
konsep al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi, secara substansial, dampak sosial yang lahir dari
pelaksanaan ajaran Islam dapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan. Demikian pula
dalam tataran lebih luas, yaitu kehidupan multikultural (antar bangsa, suku, dan etnis) nilai-nilai
ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia daln
keadilan suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
Melihat universalitas Islam sebagaimana tersebut di atas, tampak bahwa esensi ajaran
Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal dan berpihak pada
kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Hubungan antarsesama manusia dalam Islam dikenal
dengan istilah ukhuwwah, yang berarti hubungan antarsesama yang dilandasi dengan perasaan
simpati dan empati. Dengan demikian dalam Islam, multikulturalisme merupakan gagasan
bahwa secara hakiki manusia memiliki kesatuan metafisik, karena dalam diri setiap orang
terdapat semangat ila>hi>yah. Basis teologi inilah yang pertama digunakan oleh Nabi
50 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), 89.51 Emile Durkheim, The Elementary, 110. 52 Kebenaran yang hakiki tidak ditentukan oleh identitas etnik, rasionalitas, dan atau agama, melainkan ditentukan nilai-nilai al-Qur’an. Namun karena terpengaruh oleh ambisi politik dan nilai-nilai yang bersifat primordial seringkali Islam (sebagai agama) mengorbankan universalitas kebenaran itu. Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 183.
240
Muhammad ketika di Makkah yang populer dengan paham Ketuhanan Yang maha Esa
(tauhid).53 Pada perkembangan selanjutnya tawh}i>d telah menunjukkan kekuatannya sebagai
modal sosial umat Islam dalam mempromosikan kerukunan. Sepanjang sejarah kenabian saat
itu, Islam sebagai agama terbukti sanggup menjamin integrasi masyarakat Arab. Hal itu dapat
kita lihat dari kehidupan Rasulullah di Makkah yang memberi contoh kepada para sahabat dalam
menghormati pemeluk agama lain, seperti Yahudi, Kristen Zoroaster, Manesian, dan lain-
lainnya. Penghargaan Rasulullah tersebut merupakan nilai intrinsik ajaran Islam tentang
kesatuan kemanusiaan, sebagaimana yang dipesankan oleh Allah swt dalam QS. al-Nisa’ [4]: 1
Dari ayat tersebut dapat kita gambarkan bahwa Islam telah mengakui kebhinekaan
dalam ketunggalan. Di sinilah relevansi mengapa Allah swt. tidak menciptakan satu umat saja,
walaupun ia kuasa melakukanya. Hal ini dimaksudkan untuk menguji umat manusia atas segala
anugerah-Nya. Ia sengaja menciptakan umat manusia dalam keragaman, termasuk dalam
beragama atau memilih keyakinan, kendati sebenarnya Ia mampu untuk membuat mereka
seragam. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS. al-Maidah [5]: 48, QS. Hud [11]: 118, dan
QS. al-Nahl [16]: 93.
Adanya keragaman dalam kehidupan bermasyarakat, semangat dan kesadaran tawh}i>d
tetap dikedepankan untuk menghadapi agama-agama yang ada. Karena dalam ajaran agama
samawi, di mana Islam adalah salah satu varian di dalamnya—juga memberikan penegasan
atas pandangan antropologis bahwa pada awalnya umat manusia adalah tunggal. Tunggal
dalam arti asal-usulnya, tunggal dari satu jiwa (min nafs wahidah) maupun keterikatannya dalam
mengakui “Kebenaran Tunggal” (Allah swt).54 Namun sepanjang sejarah perkembangan umat
manusia, kebenaran tunggal dan asal-usul tersebut diperdebatkan, justru ketika penjelasan
mengenai kebenaran tunggal disampaikan oleh para Nabi dan Rasul dengan bermodalkan
pengetahuan yang terbatas mengenai kebenaran tersebut, dan juga dipertajam dengan agenda-
agenda tersembunyi dari tiap-tiap kelompok, mereka saling berselisih sehingga timbul
perbedaan persoalan mendasar dalam teologi agama-agama.55
Melihat fenomena itu, Abdurrahman Wahid dengan nada optimis melontarkan
“perbedaan umat adalah rahmat”. Bagi Gus Dur (panggilan akrab) perbedaan seyogianya tidak
menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Menurutnya, justru merupakan kasih sayang yang
muncul di tengah-tengah kebinekaan. Islam, bagi Gus Dur, tidak mempersoalkan perbedaan
53 Kalimat tauhid yang terdokementasikan pada kalimah La ilaha illa Allah di sini bukan hanya merupakan gerakan teologi (keimanan) saja. Akan tetepi yang lebih urgen adalah merupakan gerakan sosial, seruan tersebut ditujukan pada masyarakat Arab yang pada waktu itu lagi menuhankan harta bendanya, etnis, dan juga menuhankan agamanya. Maka dengan kalimah tawhid itu mengingatkan kembali bahwa tidak ada Tuhan (harta benda, etnis, dan agama) kecuali Allah. Dikatakan sebagai gerakan sosial karena masih banyak didapatkan sesembahan-sesembahan berhala yang tidak dihancurkan oleh Rasulullah. Lihat dalam Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), 29. 54 Madjid, Islam Doktrin, 72.55 sebagaimana pesan Allah dalam QS. Yunus 10: 19.
241
agama, keyakinan, etnis, warna kulit, dan posisi sosial.56 Hal ini diperkuat oleh pandangan
Nurcholis Madjid, bahwa kebenaran bukan ditentukan oleh identitas etnis, rasionalitas atau
agama, namun kebenaran adalah ditentukan Islam yang termanifestasi pada wahyu Ilahi dalam
al-Qur’an. Namun, karena terpengaruh oleh ambisi politik dan nilai-nilai yang bersifat primordial
seringkali umat Islam mengorbankan universalitas kebenaran57.
Atas dasar itu pemikir kontemporer seperti Abdullah Ahmad An-Na‘im menyerukan
kepada semua masyarakat Muslim hendaknya mampu menangkap semangat kemanusiaan
yang ada dalam pluralitas tersebut sebagai basis wacana dalam mempertimbangkan
kemajemukan (diversity) antar pemeluk agama yang berbeda-beda, keanekaragaman agama
justru merupakan mobilitas sosial umat Islam dalam menciptakan perdamaian sepanjang
mereka bersedia untuk terlibat aktif dalam mengelolanya secara konstruktif.58
Salah satu pemikir kontemporer yang banyak memberikan spiritlisme di dunia Islam
adalah Jamal al-Banna. Dalam membangun pemikiran keragaman dalam masyarakat
multikultural, ia berangkat dari argumen teologis yaitu, bahwa yang esa adalah hanya “Allah”.
Segala sesuatu selain Allah pasti beragam. Alam semesta, elemen-elemen masyarakat, dan
ajaran agama sangat beragam. Tetapi Allah hanyalah satu. Dengan demikian, barangsiapa
mengakui keesaan Allah, maka ia harus mengakui keberagamaan entitas selain Allah. Tidak lain
salah satunya adalah keberagaman agama. Inilah menurut Jamal merupakan tauhid yang
murni.59 Sebagaimana yang dipesankan oleh QS. al-Baqarah [2]: 256. Dari ayat ini Jamal al-
Banna mengkritisi fuqaha’ radikal yang wajib memerangi non-Muslim atas kekafiran mereka.
Bagi Jamal, semua ayat perang dalam al-Qur’an jelas-jelas menegaskan bahwa perang
dilegalkan dalam Islam hanya dalam rangka mempertahankan diri ketika kaum Muslimin
terancam jiwa dan kebebasan beragamanya. Intinya, perang dalam Islam hanya diagendakan
untuk tujuan defensif, bukan bertujuan ofensif memerangi kekafiran.60
Fakta historis yang menguatkan adanya wacana multikulturalisme bisa kita lacak dari
kehidupan Rasulullah ketika di Makkah yang populer dengan istilah kalimat sawa’ dalam QS. Ali
Imran [3]: 64.61 Para mufassir sepakat bahwa posisi kalimat sawa’ dalam ayat tersebut adalah
56 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut, 2006), 66.57 Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), 26.58 Abdullah Ahmad An-Na‘im, Islam and the Seculer State: Negotiating the Foture of Shari’a (New York: tp, 2008), 21.59 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, terj. Taufik Damas (Jakarta: Menara, 2006), 15.60 Jamal al-Banna, Al-Ta‘addudiyah fi Mujtama‘ Islami (Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), 29. 61 Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah: bahwa ayat tersebut turun dalam konteks golongan Nasrani Najran. Nabi terlibat perdebatan dengan pihak Nasrani Najran. Saat itu Nabi mengajukan sejumlah argumentasi dari pendapatnya, sampai akhirnya pihak Nasrani tidak mampu menyangggah lagi. Selanjutnya Nabi mengajak mereka untuk melakukan muba halah yang tidak dapat diterima pihak Nasrani Najran karena takut. Mereka lebih memilih kesediaan untuk membayar Jizyah sebagai bentuk kompensasi. Menanggapi pilihan tersebut, Nabi saat itu sangat berharap agar mereka beriman (untuk masuk Islam) tampaknya kurang bahagia dengan pilihan kaum Nasrani Najran. Sehingga demi tercapainya hasrat Nabi Allah memberi strategi agar Nabi mengajak kaum Nasrani untuk berpedoman pada kalimat sawa’ (kalimah yang adil berposisi di tengah kedua belah pihak, artinya tidak memihak satu kelompok saja), Lihat dalam Fahruddin Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 76.
242
suatu kalimat yang adil berposisi di tengah kedua belah pihak, sehingga tidak memihak pada
salah satu kelompok saja.62 Karena itu ia sama-sama disepakati sekaligis menjadi missi kitab
Taurat, Injil, da juga al-Qur’an. Di sini toleransi atau pluralisme bukan berarti menyamakan atau
menyatukan ketiga aqidah (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang sama, akan tetapi pesan yang
disampaikan dalam kalimat sawa‘ tersebut adalah menyadari adanya perbedaan dalam
kehidupan keberagamaan, buka sebagai pijakan toleransi umat beragama. Karena menurut
Roem Rowi, bila kalimat sawa’ digunakan sebagai pijakan toleransi umat beragama justru akan
menimbulkan problem besar karena menyangkut sesuatu yang sangat sensitif, bahwa keyakinan
(agama) adalah sesuatu yang sangat privat.63
Namun demikian, hal ini bukan berati al-Qur’an atau Islam tidak mengajarkan
pemeluknya untuk bersikap toleran dan bekerjasama dengan pemeluk agama yang lain akan
tetapi ajaran atau perintah al-Qur’an tentang toleransi bukan terletak pada konsep kalimat sawa’-
nya, tetapi lebih kepada direksi yang diberikan al-Qur’an bahwa jika para ahl al-kitab menolak
untuk kembali pada kalimat sawa’, kita tidak dibenarkan untuk melakukan suatu pemaksaan,
namun harus memberikan pemakluman serta tetap menghormati mereka, di sinilah makna
pluralisme agama dalam ayat tersebut.64
Pembahasan tentang gerakan multikulturalisme dalam Islam dapat kita lacak dari
kehidupan Rasulullah ketika di Makkah, karena pada masa ini Rasulullah telah bersinggungan
dengan umat berbagai suku, etnis, dan agama, khususnya Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum
paganis. Sejak masa ini Allah sudah menyinggung hubungan antaretnis dan agama tersebut
dengan saling menghormati dan tidak saling mencampuri urusan agama masing-masing,
sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: 109: 6: Lakum dinukum wa liya din.65
Secara tidak langsung ayat ini menggaris bawahi bahwa agama adalah urusan privat. Ia
tidak bisa dipertukarkan, dinegoisasi, diintervensi, atau dipaksakan.66 Terlebih ia merupakan
intensitas keyakinan yang berkutat di hati, sehingga Allah lah yang mengetahui pasti hakekat
keberagamaan atau keimanan seseorang. Oleh karena itu, bagi Islam, toleransi menjadi hal
62 Fahruddin Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, 76, Wahbah Al-Zuhaily, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1991), 251, Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 325, 63 M. Roem Rowie,” Memahami Konsep Kalimat sawa>‘ dan Relevansinya dengan Pluralisme”, dalam Al-Afkar: Jurnal Dialogis Ilmu-Ilmu Ushuluddin, edisi IX, Januari-Juni 2004 (Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2004), 30.64 M. Roem Roewi. Al-Afkar, 31.65Turunnya ayat ini terkait dengan kisah ajakan sekelompok orang Kafir Quraysh terhadap Nabi SAW. Untuk menyembah Tuhan mereka setahun dan sebaliknya mereka bersedia menyembah Tuhan selama setahun pula. Mereka juga berjanji akan bersedia mengikuti ajaran Nabi sekiranya Tuhan sesembahan Nabi lebih baik dan sebaliknya mereka Nabi untuk mengikuti keyakinan mereka jika ternyata justru Tuhan sesembahan mereka yang lebih baik. Merespons ajakan orang-orang kafir itu, ayat inipin turun. Lihat dalam Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari: Al-Musamma Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Vol. XII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 728.66 Terkait dengan toleransi dan kerukunan antarumat beragama pada masa Rasulullah ini, maka Allah memberikan batasan kepada Nabi Muhammad bahwa ia hanya sebagai pembawa risalah tentang kebenaran dan hanya bertugas memberi peringatan, bukan sebagai pemberi petunjuk. Karena hanya Allah lah yang berhak memberikan hidayah (petunjuk) pada setiap orang. Lihat dalam QS. Al-Ghashiyah: 88: 21 dan 22. QS. Al-Shura: 42: 48, QS. Qaf: 50: 45.
243
niscaya dalam kontkes dinamika keberagamaan yang berpuspa-ragam. Dalam rangka toleransi
itu pula umat Islam dilarang membenci, menghina, memaki atau menganiaya orang lain lantaran
perbedaan pilihan agama atau keyakinan. Pesan ini dapat kita lihat dalam firman Allah al-
Qur’an: 6:108.67
Keseimbangan multikulturalisme yang hendak dicapai melalui pesan ini adalah
pentingnya menghindari tindak penghinaan terhadap suku dan agama orang lain, seperti
memaki sesembahan maupun memaki orangnya (pemeluk agama lain). Hal ini berarti setiap
agama atau keyakinan keagamaan harus dijamin dan dilindungi hak hidupnya demi terwujudnya
toleransi dan kerukunan antarsesama umat beragama. Nabi sendiri diingatkan oleh Allah dalam
firmannya, yaitu Muhammad SAW. hanya diutus sebagai penyampai risalah, pemberi kabar
gembira dan peringatan.68
Spirit toleransi dan pengakuan atas kebebasan beragama itu terkait dengan kebebasan
memilih sebagaimana dimaklumkan dalam Q.S. al-Kahfi 18: 29. Frase ini memberi peringatan
betapa beriman atau ingkar, beragama Islam atau bukan, bagi Islam adalah pilihan. Tidak ada
paksaan dalam beragama, hanya saja dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa bagi mereka yang
tidak beriman, yakni orang-orang zalim telah disediakan neraka. Dan jika mereka meminta
minum, mereka akan diberi minum dengan air besi yang mendidih yang menghanguskan
mereka. Ini logis, karena setiap pilihan pasti mengandung konsekuensi. Konsekuensi bagi
mereka yang beriman dan yang kafir tentulah berbeda. Namun perbedaan konsekuensi sama
sekali tidak dijadikan alasan bagi Islam untuk memaksakan keberimanan seseorang.
Pembahasan tentang hubungan antaretnis dan agama sedikit disinggung pada fase
Makkah ini, karena didukung kenyataan bahwa komunitas Yahudi dan Nasrani masih sedikit
jumlahnya. Walaupun pada fase ini al-Qur’an banyak menyinggung tentang Yahudi dan Nasrani,
akan tetapi pembahasan tentang mereka bukan pada diskursus kerukunan antarumat
beragama, melainkan dalam posisi Islam dalam konteks kenabian dan keagamaan yang ada.69
Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah menandai adanya era baru dalam perkembangan
wacana toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Di sinilah umat Islam bersinggungan
dengan umat dari berbagai agama terutama Yahudi dan Nasrani sebagai agama yang diakui al-
Qur’a>n memiliki mata rantai spiritualitas yang sama, sehingga pada masa inilah, kota Madinah
dapat kita katakan sebagai tempat pembentukan ummah70 (komunitas Muslim), sedangkan 67 Q.S. al-An‘am 6: 108.68 QS. Al-Furqan 25: 56.69 Al-Qur’an cenderung memandang kaum Yahudi dan Nasrani sebagai ah}za>b (kelompok-kelompok yang keluar dari arus kenabian), sedangkan umat Islam sendiri disebut sebagai umat yang h}ani>f (yang teguh kepada monoteisme). Islam dan Yahudi serta Nasrani diyakini berasal dari tradisi yang sama, yaitu tradisi Ibrahim. Hanya saja agama-agama lain selain Islam dipandang sebagai agama yang menyimpang. Sedangkan hanya Islam yang secara konsisten yang mewarisi tradisi Ibrahim. Fazlur Rahman, Major Themes of al-Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 164.70 Ummah adalah komunitas yang didasarkan atas identitas dan loyalitas keimanan dengan Nabi Muhammad sebagai pimpinanya. Identitas tersebut menggantikan identitas kesukuan yang selama ini dianut oleh bangsa Arab. Tetapi perkembangan selanjutnya konsep ummah ini digunakan sebagai pijakan untuk menentukan beberapa ajaran Islam
244
ummah pada awal keberadaan Nabi Muhammad di Makkah hanyalah salah satu komunitas dari
banyak komunitas yang ada di Madinah.
Pada awalnya Nabi Muhammad hanyalah pemimpin klan Muhajirin, kenabiannya hanya
diakui oleh minoritas di Madinah, meskipun otoritasnya sebagai arbitrator71 diterima oleh
mayoritas, tetapi penerimaannya sebagai seorang Nabi oleh seluruh penduduk Madinah
membuatnya juga diterima sebagai pemimpin bagi semua. Namun demikian, kekuasaan Nabi di
Madinah tersebut berkembang seiring dengan perkembangan waktu dan keberhasilan beliau di
bidang politik yang diraih ketika di Madinah.72 Di saat inilah Madinah tumbuh dengan penguatan
otoritas Nabi Muhammad selaku pemimpin yang memiliki misi keagamaan.
Keberadaan masyarakat Madinah pada waktu itu sangat hetoregen, di mana komunitas-
komunitas yang ada di Madinah lebih dinamis dalam membela satu dengan yang lain ketika
terjadi serangaan dari luar. Nabi Muhammad pun mendirikan pertahanan dengan sebutan
“Piagam Madinah”.73
Perlu dicatat bahwa visi yang diemban dalam Piagam Madinah adalah adanya prinsip
kesetaraan. Artinya prinsip kesetaraan tidak hanya melandasi antarkomunitas beragama, tetapi
juga antarkelompok etnis. Dengan demikian, pembahasan tentang hubungan antarkomunitas
beragama juga perlu memaparkan pola hubungan antaretnis dalam komunitas Muslim. Dalam
sejarah masyarakat Muslim tidak dijumpai kemelut racism (etnic hatred), hal itu terjadi karena
Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan kesetaraan antarkelompok etnis (QS al-
H{ujara>t, 49: 13). Bukti sederhana dari kepedulian tersebut tercermin ketika Nabi Muhammad
saw. Dinyatakan sebagai the chief magistrate di kota Madinah, di antara agenda politik
pertamanya adalah mengeliminir superioritas etnis Qurays melalui “Dekrit Penyetaraan” dengan
etnis Aws dan Khazraj. Berbagai data historis bisa ditemukan untuk menegaskan kepedulian
tentang hukum, seperti zakat dan shalat. Lihat dalam Marshal G.S. Hidgson, The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization: Classical Age of Islam, Vol. I (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1977), 172.71 Muhammad sebagai hakim (arbitrator) yang menangani sengketa orang-orang Madinah. Tugas tersebut tidak terbatas kepada umat Islam saja, melainkan kepada umat yang lain. Tugas sebagai arbitrator tersebut sebenarnya telah meletakkan Nabi Muhammad saw. Dalam konteks hukum karena di Arab ketika itu tidak ada lembaga pengadilan yang mapan, selain institusi tahkim. Landasan hukum arbitrasi itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat Madinah. Lihat dalam ‘At}i>yah Musharrafah, Al-Qada’ fi al-Islam, Cet. II (tp: Shirkah al-Sharq al-Awsat}, 1966), 13.72 Prestasi pertama yang dirahil Nabi Muhammad ketika di Madinah adalah keberhasilan beliau pada perang Badar yang berakibat pada konsolidasi kekuatan arbitrasi Nabi Muhammad di Madinah dan memungkinkan beliau memulai mengambil tndakan-tindakan militer. Di sini lah beliau dapat mendifinisakan kebijakan-kebijakan terhadap orang-orang Yahudi di Madinah. Prestasi Nabi bukan hanya berhenti pada perang Badar saja, akan tetapi prestasi yang gemilang dilanjutkan ketika terjadi perang Uhud, dan perang Khandak sebagai fase yang menentukan bagi pertumbuhan menuju pembentukan negara. Lihat dalam M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation I AD 600-750 (AH 132) (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 16.73 Piagam Madinah terdiri atas empat bagian yaitu: pertama, lebih banyak mengatur mengenai hubungan kabilah-kabilah dlam komunitas Muslim, kedua, mengatur hubungan antara umat Islam dengan Yahudi, ketiga, berisi tentang hubungan pendatang dan penerima dikalangan umat Islam, sedangkan bagian keempat berisi aturanaturan tentang kabilah-kabilah yang masuk Islam.Badri Yatim, “Muhammad SAW di Madinah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 121.
245
Nabi Muhammad saw. Terhadap pentingnya asas kesetaraan dalam komunitas manusia.74
Eliminasi tersebut merupakan indikasi betapa penghapusan mental ethnocentrism telah
dijadikan agenda penting dalam aktivitas politik Nabi.75
Salah satu keberhasilan Nabi Muhammad saw. dalam membangun kota Madinah adalah
karena adanya persatuan dan kesatuan yang diikat oleh Piagam Madinah. Menurut Ibn Ishaq,
bahwa Rasulullah saw. menulis sebuah surat atas nama kaum Muhajirin dan Anshor yang
didalam nya beliau mengadakan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi, mengakui hak
mereka atas agama dan harta benda mereka, mengakui hak-hal mereka dan menuntut
kewajiban dari mereka. Dengan menerima kesepakatan itu, mereka menjadi satu umat dengan
kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kaum lain.76
Dengan bergabungnya orang-orang Yahudi menjadi bagian dari “ummat”, maka
penduduk Madinah menjadi sebuah komunitas yang memiliki struktur kesetiaan yang kuat
dengan tingkat etika yang tinggi, dan dikombinasikan dengan perlindungan yang lebih memadai
dari tradisi-tradisi yang merusak, yaitu dari tradisi hukum balas dendam.77 Karena mereka umat
yang satu, maka mereka diikat oleh keharusan saling menolong dan menjaga martabatnya.
Dalam persatuan ini, kebebasan kelompok tetap jadi prioritas utama. Masing-masing kelompok
mengurusi sendiri urusan ke dalam, menyelesaikan persoalan-persoalan internal mereka
dengan aturan-aturan yang berlalu untuk kelompoknya, akan tetapi setiap orang tetap menjaga
kesatuan suara keluar.
Ketika Nabi Muhammad di Madinah berbagai rumusan mengenai kerukunan antarumat
beragama secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas. Berangkat dari konsep ummah
sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa bangsa Madinah terdiri dari dua komunitas, yaitu
komunitas berdasarkan identitas etnis, dan komunitas berdasarkan identitas agama.
Berdasarkan identitas agama, komunitas non-Muslim identik dengan sebutan “ahl al-kitab”.78
Sebutan ahl al-kitab ini ditujukan pada orang Yahudi dan Nasrani.
Ahl al-kitab dikalangan umat Islam diasosiakan kepada agama-agama semitik khususnya
Yahudi dan Nasrani, hal ini didasarkan realitas historis bahwa agama Semitik yang serumpun 74 Peradaban Islam seperti ini juga dapat kita temukan pada masa dinasti Umayyah di Spanyol, Fatimiyah di Mesir, Turki Usmani di Turki, dan Mughal di India, Mereka membuat kebijakan terhadap kaum minoritas berdasarkan etika humanisme dalam al-Qur’a>n yang secara intrinsik ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. Ketika di Madinah. Sebagai contoh keberhasilan Fatimiyah dalam perluasan wilayah Islam dikarenakan adanya toleransi etnis dan agama yang luar biasa dan adanya stabilitas administrasi negara Fatimiyah. Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 54. Lihat juga dalam Maria Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Chistians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (Boston: Little, Brown, 2002), 164. 75 Thoha Hamim, “Islam dan Hubungan Antarumat Beragama: Tinjauan tentang Pendekatan Kultural dan Tekstual dalam Perspektif Tragedi Maluku” dalam Akademika: Jurnal Studi KeIslaman, Vol. 06, No. 2, Maret 2000 (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2000), 119.76 ‘Abd al-Rahman al-Suhayli, Al-Raudh al-Unuf fi Sharh} al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisham, Vol. IV (Kairo: Dar al-Kutub al-H{adithah, 1969), 184.77 Freederick Mathewson Denny, An Introduction to Islam (New York: Macmillan Publication Co, 1994), 74.78 Ahl al-kitab adalah, umat yang diberi wahyu samawi, yaitu Yahudi dan Nasrani (Ali Imran: 3: 74 dalam Fakhr al-Din al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, Vol. IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 75.
246
dengan Islam yang ada di Madinah adalah agama Yahudi, dan Nasrani. Penggunaan istilah ini
dalam ayat-ayat al-Qur’an pun sulit dilepaskan dari relitas historis sebagaimana dalam QS. al-
An‘a>m, 6: 156. Dalam ayat ini sebagian besar ulama memberikan batasan bahwa ahl al-kitab
adalah Yahudi dan Nasrani dengan segala cabang aliran mereka.79 Selain Yahudi dan Nasrani
ada lagi sebuah istilah yang mengacu kepada kelompok agama di Madinah yang sering disebut
dalam al-Qur’an yaitu Sabi‘ah dan juga Majusi 80 sebagaimana disebut dalam QS. al-Maidah, 5:
69.
Sisi kehidupan Muhammad SAW. di Madinah dapat kita telisik dalam Piagam Madinah
yang merupakan bukti yang dapat dikemukakan bagi kerja sama antaretnis, agama, dan
golongan yang selanjutnya disebut sebagai gerakan multikulturalisme. Di antara salah satu
pernyataan yang disebutkan di Piagam Madinah adalah:
Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi Yahudi
agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Ini berlaku untuk budak-budak,
mereka dan mereka sendiri, kecuali orang yang berbuat aniaya dan berbuat dosa.
Kejahatan dari orang ini hanya mempunyai konsekuensi atas dirinya sendiri dan
keluarganya.”81
Dalam keterangan selanjutnya al-Suhaili menyebutkan bahwa kelompok-kelompok
Yahudi lain mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban Yahudi Bani
‘Awf. Mereka adalah Yahudi-Yahudi Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa‘idah, Bani Jusyam, Bani
Aus, Bani Tsalabah, dan juga Bani Syuthaibah.82
Peradaban Islam humanis sebagaimana yang pernah dikembangkan Rasulullah di
Madinah tersebut juga pernah terjadi pada masa Dinasti Umayyah di Spanyol, Fatimiyah di
Mesir, Turki Usmani di Turki, dan Mughal di India. Dinasti-dinasti tersebut dalam membuat
kebijakan terhadap kaum minoritas berdasarkan etika humanisme dalam al-Qur’an yang secara
intrinsik ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam komunitas Madinah.83 .
79Wizarah al-Awqaf wa al-Shu’un al-Islamiyyah, al-Mawsu‘ah al-Fiqhiyah, Vol. 7, Cet I (Kuwait: Dha>t al-Salasil, 1992), 14080 Sabi’ah dan Majusi adalah kaum dari Yahudi dan Nasrani yang menyembah Malaikat dan penyembah binatang. Dalam hal ini ada beberapa pendapat menyikapi tentang Sabiah dan Majusi. Menurut Madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad, Ibn Hazm, dan juga Abu Thawr, mengatakan bahwa kedua kaum itu termasuk ahl al-kitab kareana masih bagian dari Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali mengatakan bahwa Sabi’ah dan majusi adalah bukan ahli kitab walaupun bagian daripada kaum Yahudi dan Nasrani, karena kedua kaum tersebut (Sabi’ah dan Majusi) adalah kedua kaum itu menyembah pada berhala. Lihat dalam Muhammad Hasan al-Himsi, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Imam, 1999) 10. Al-Shawkani, Fath al-Qadir al-Jami‘ Bayan Fannay al-Riwayah min ‘Ilm al-Tafsir, Vol. II, Cet I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 118.81 ‘Abd al-Rahman al-Suhayli, Al-Rawdh al-Unf fi Sharh al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1969), 242.82 Ibid., 251.83 Seperti contoh keberhasilan Fatimiyah di panggung politik internasional pada waktu itu dikarenakan adanya toleransi etnis dan agama yang begitu luar biasa demi stabilitas administrasi negara Fatimiyah pada waktu itu. Lihat dalam Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 54.
247
Sikap pluralitas Rasulullah di Madinah ditunjukkan bukan hanya pada pluralitas dalam
tataran etnis saja, akan tetapi juga pluralitas dalam tataran agama juga. Hal ini dapat kita lihat
tanggapan Rasulullah terhadap kaum Nasrani di Madinah, hal ini terlihat ketika delegasi Kristen
dari Najaran datang kepada Nabi. Dalam pertemuan dengan Rasulullah saw di Masjid Nabi di
Madinah itu, waktu bagi peribadatan Kristen telah tiba dan mereka ingin segera berangkat.
Rasulullah SAW. menawarkan kepada mereka untuk beribadah di masjid. Kemudian Setelah itu
terbentuklah persetujuan dengan orang-orang Kristen Najran yang menjamin kebebasan mereka
dalam beragama dan menetapkan kewajiban bagi umat Islam untuk melindungi gereja-gereja
mereka. Tidak ada gereja yang harus dihancurkan dan juga tidak akan ada satupun imam yang
akan diusir atau dikeluarkan. Hak-hak mereka juga tidak akan dikurangi dan takkan ada satupun
orang Kristen yang diminta untuk mengubah imannya. Pernyataan ini menyatakan bahwa Nabi
memberikan jaminan pribadinya. Perjanjian ini selanjutnya menyatakan bahwa jika umat Islam
ingin membantu membiayai perbaikan gereja-gereja Kristen, itu akan menjadi tindakan kebajikan
bagi mereka.84
84 Abd al-Rahman al-Suhaili, Al-Raudh al-Unuf fi Syarh, 253. Lihat juga dalam Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Kairo: Ali Shubaikh wa Auladuh, 1968), 129.
248
Aktualisasi Islam dan Pancasila dalam Masyarakat Multikultural Indonesia
OlehMuhammad Turhan Yani
(Dosen Prodi PPKn Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Unesa)
AbstrakTidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan pancasila oleh sebagian orang sering diperbincangkan sebagai dua hal yang dipertentangkan, dihadap-hadapkan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipertemukan sehingga ada sebagian komunitas masyarakat yang anti pancasila akan tetapi mereka pro agama, padahal kalau hendak dikaji secara mendalam, agama (Islam) dan pancasila merupakan dua hal yang bersinergi dalam membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler, akan tetapi Indonesia menjadikan agama sebagai spirit kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat pada sila-sila Pancasila, khususnya sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah menjiwai dan mendasari sila-sila lainnya. Dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal ini dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia.
Kata kuci : Islam, pancasila, masyarakat multikultural
PendahuluanDi tengah masyarakat multikultural Indonesia, berbagai tantangan kehidupan sangat
nyata, seperti gejala intoleransi pada sebagian kelompok yang berbasis suku, ras, agama, dan
antar golongan mulai kelihatan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang dikenal sebagai bangsa
yang majemuk, tantangan tersebut perlu diatasi dengan berbagai cara agar tidak terjadi
disintegrasi bangsa. Salah satu cara adalah menjadikan spirit yang agama (Islam) dan Pancasila
sebagai titik tolak dalam upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah
masyarakat multikultural Indonesia. Spirit yang berlandaskan agama dan Pancasila ini sangat
penting agar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berlangsung dengan baik
sebagaimana cita-cita luhur para pendiri bangsa, yaitu tegaknya keutuhan bangsa dan negara
setelah sekian lama dikuasai oleh kolonial.
Hubungan Agama (Islam) dan Pancasila dalam Beberapa Perspektif1. Dari Sisi Substansi Ajaran Islam Sangat Erat Kaitannya dengan Sila-sila Pancasila,
Bahkan Terjadi Titik Temu yang Bersinergi.
Kenyataan ini telah tampak pada sila pertama dalam Pancasila yang
memposisikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang mendasari dan
menjiwai sila-sila lainnya. Kemudian sila-sila dalam Pancasila pun jikalau ditinjau dari
substansi ajaran Islam juga merupa nilai-nilai luhur universal dalam tatanan kehidupan
masyarakat bangsa dan negara, yang dalam Islam nilai-nilai Ilahiah (ketuhanan),
insaniyah (kemanusiaan), ukhuwah wathaniyahdan basyariyah (persatuan dan
persaudaraan), alhikmah (kebijaksanaan), al’adalah al-ijtima’yah (keadilan sosial).
249
Nilai-nlai luhur yang universal tersebut tentu tidak ada ruang sedikitpun bagi
seseorang atau kelompok yang hendak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila.
Oleh karena bagi siapapun yang mengarahkan Islam dan Pancasila untuk dihadap-
hadapkan pada posisi yang bertentangan maka mindset kegamaan dan kebangsaannya
perlu diluruskan kembali agar tidak menjadi embrio radikalisme yang akhir-akhir ini mulai
terasa sangat jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari sisi substansi, menurut Nurcholish Madjid, kaum muslim Indonesia dapat
menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya ada dua pertimbangan, pertama,
nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, kedua, fungsinya sebagai nuktah-
nktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik
bersama. Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia
dapat dibandingkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen pertama dalam sejarah
Islam yang dikenal dengan Konstitusi Madinah bagi umat Islam kota Yatsrib (Madinah)
pada masa-masa awal setelah Nabi hijrah. Konstitusi Madinah merupakan rumusan
tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah di bawah Pimpinan
Rasulullah Saw dengan berbagai kelompok non Muslim untuk membangun masyarakat
politik bersama. Bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok
pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk
pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia,
seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan
keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan lain-lain. Akan
tetapi juga ditegaskan adanya kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha
pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.
Apa yang telah disampaikan oleh Cendekiawan Muslim Indonesia (Cak Nur)
tersebut dapat mengingkatkan kembali kepada semua komponen bangsa untuk tidak
mencoba-coba mempersoalkan hubungan agama (Islam) dan Pancasila dalam posisi
yang bertentangan. Justru yang perlu disemaikan adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila
merupakan ajaran universal dalam ajaran Islam.
2. Dari Sisi Historisitas Pengalaman Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Para Pendiri
Bangsa.
Para pendiri bangsa merupakan orang-orang yang memilikikomitmen yang sangat
kuat dalam merintis, mewujudkan, dan menjaga keutuhan bangsa dan negara, baik
mereka yang mendapat label sebagai tokoh religius maupun tokoh nasionalis.
Komitemen seperti ini perlu ditegaskan kembali ke dalam jiwa semua komponen bangsa
di masa sekarang agar agama dan Pancasila menjadi spirit kehidupan dalam
menjalankan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai upaya
250
mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang masyarakatnya sangat multikultural.
Komitemen yang berbasis pengalaman kehidupan berbangsa dan bernegara dari
para pendiri bangsa ini sangat penting ditumbuhkembangkan kembali agar masyarakat di
masa sekarang ini juga selalu ingat bagaimana perjuangan para perintis dan pendiri
bangsa yang saat itu bersusah payah merebut kemerdekaan dari kolonial, merajut
komponen bangsa yang sempat pudar akibat penjajahan, dan menyatukan kembali
anak-anak bangsa akibat pemberontakan dari sebagian kelompok.
Dari sisi historisitas (kesejarahan), menurut Hasjim Djalal, bahwapada permulaan
kemerdekaan para pendiri bangsa dan semua komponen bangsa mengatasi usaha-
usaha kolonial untuk mengembalikan penjajahan di Indonesia. Setelah itu
mengembalikan kesatuan nasional dan mengatasi sisa-sisa pengaruh dari kekuatan
kolonial di seantero Nusantara dan kemudian mengatasi pemberontakan-pemberontakan
yang berlandaskan keagamaan, kedaerahan, dan ideologi.
Sementara itu menurut Azyumardi Azra, Pancasila telah terbukti sebagai common
platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih
viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa akan datang. Pernyataan ini
menunjkkan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi final yang
sangat penting untuk dijaga dan dipertahankan karena ideologi ini telah teruji dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara telah mampu menjadikan Indonesia sebagai
sebuah negara-bangsa yang bermartabat dan bersatu padu di tengah masyarakat
multikultural Indonesia.
3. Dari Sisi Kebutuhan Masyarakat Modern Dewasa Ini
Seiring dengan perkembangan global yang berdampak pada segala bidang,
ajaran agama dan nilai-nilai pancasila menjadi benteng yang dapat memproteksi dari
pengaruh-pengaruh negatif. Tantangan dan pengaruh global dewasa ini luar biasa
besarnya, baik di bidang budaya, teknologi informasi-komunikasi, dan lain sebagainya
menuntut semua komponen bangsa untuk merapatkan barisan agar pondasi berbangsa
dan bernegara tidak tergerus oleh zaman.
Kebutuhan masyarakat modern dalam berbagai bidang memang tidak dapat
dielakkan, akan tetapi di dalam mengarungi keadaan demikian ajaran agama dan
Pancasila hendaknya tetap menjadi spirit yang dapat menjiwai kehidupannya agar
terproteksi dari dampak negatif pengaruh globalisasi yang dewasa ini semakin deras dan
cepat pergerakannya dalam berbagai bidang. Oleh karena itu Presiden RI Joko Widodo
menyampaikan bahwa para generasi muda hendaknya sering mengunggah Pancasila di
media sosial, agar mereka selalu ingat akan nilai-nilai Pancasila.
251
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan Pancasila
sebenarnya memiliki titik temu yang sama-sama menjadi sumber, baik sumber Ilahiah
(Ketuhanan) maupun sumber Insaniyah (Kemanusiaan). Agama (Islam) sumbernya
adalah Ilahiah yang terpancarkan ke dalam Pancasila yang memiliki dimensi sumber
ilahiah karena cerminan dari pancaran ajaran agama dan sekaligus dimensi insaniyah
(rumusan ijtihadiyah dari para pendiri bangsa) yang sangat arif dan bijaksana. Bahkan
menurut Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI) menyatakan bahwa sila-sila dalam
Pancasila semuanya adalah bersumber dari ajaran Islam.
Menurut Yudi Latif, Pancasila menjadi Air Mata Keteladanan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di sinilah spirit Pancasila sebagai pondasi yang kokoh dalam
mewujudkan cita-cita bangsa dan negara yang dalam Islam dikenal dengan sebutan
Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghafur, sebuah negeri yang rakyatnya makmur,
adil,damai, sejahtera, dan mendapat ampunan dari Allah Swt.
Cita-cita luhur bangsa dan negara sebagaimana dituangkan dalam Kitab Suci
Alquran ini sebagai suatu gambaran bahwa demikianlah cita-cita luhur sebuah bangsa
yang apabila hendak ingin mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang ideal maka
prasyaratnya adalah menjadikan agama dan Pancasila sebagai mata air keteladan dan
dalam perbuatan.
4. Dari Sisi Kemajemukan Bangsa Indonesia
Agama dan Pancasila merupakan spirit utama dalam membangun keutuhan
bangsa dan kebersamaan dalam masyarakat multikultural Indonesia. Keduanya
merupakan sumber spirit yang ideal dalam membangun dan mewujudkan sebauah
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesialah yang memiliki agama dan
Pancasila dalam bingkai yang saling bersinergi. Dari sinilah masyarakat multikultural
Indonesia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan dalam semboyan Bhineka
Tunggal Ika dapat terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang diikat dengan komitmen menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah
masyarakat multikultural Indonesia.
Menurut Letjen TNI Agus Widjoyo, sikap yang amat terpuji dari para perintis dan
pendiri bangsa adalah begitu kentalnya komitmen terhadap persatuan dan kesatuan.
Setiap langkah yang dilakukan selalu diarahkan kepada upaya untuk dapat menjamin
kesatuan bangsa. Sikap toleran dan keinginan untuk bersatulah yang membawa para
pelaku sejarah komitmen terhadap persatuan dan kesatuan yang dimanifestasikan dalam
bentuk negara kesatuan di samping Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
5. Dari Sisi Pendidikan Nasional
252
Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia, ajaran agama dan Pancasila
tercermin di dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, cerdas, cakap, tanggung jawab, dan
ikut andil dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan. Tujuan ini merupakan tujuan yang
sangat ideal dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa.
Sesungguhnya dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional pun spirit agama
dan Pancasila tercermin sangat jelas di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang sangat religius, di dalam basic pendidikan nasional
saja telah ditegaskan sangat jelas sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan
nasional.
SimpulanDi tengah masyarakat multikultural Indonesia tidak menjadi halangan sedikitpun
untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa apabila semua komponen bangsa
memiliki komitmen untuk menjadikan agama dan Pancasila sebagai spirit dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara karena keduanya sebagai sumber mata air
keteladanan.
Daftar Pustaka
AzyumardiAzra, Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia,Jurnal Analisis CSIS, Vol.34, No.
1, Maret 2005.
Djalal, Hasjim. Masa Depan Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam Buku Bunga Rampai
yang Berjudul Menyelamatkan Masa Depan Indonesia. Jakarta : Kompas, 2000.
Latif, Yudi. Mata Air Keteladanan.Pancasila Dalam Perbuatan.Jakarta:Mizan. 2014
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta : Paramadina, 1999.
Saifuddin, Lukman Hakim. (Menteri Agama RI) : Sila-sila dalam Pancasila Bersumber dari Ajaran
Islam. Dialog Metro TV Menyambut HUT RI ke-72. 15 Agustus 2017.
Widjoyo, Agus (Letjen TNI). Menyelamatkan Masa Depan Indonesia. Jakarta: Kompas, 2000.
Widodo, Joko (Presiden RI) : Para Generasi Muda Hendaknya Sering Mengunggah Pancasila di
Media Sosial. Metro TV 14 Agustus 2017.
Membangun Warganegara TransformatifMelalui Pembelajaran Berbasis Masalah
Nur Wahyu Rochmadi
Abstrak
253
Pada dasarnya, kehidupan manusia selalu terkait dengan upaya pemecahan masalah kehidupan yang dialami.Oleh karena itu manusia selalu belajar dan melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah tersebut. Demikian halnya dengan masalah kewarganegaraan, yang semakin hari semakin kompleks.Pernyataan di atas selaras dengan tuntutan kompetensi sumberdaya manusia masa kini yang tidak hanya berpengetahuan dan terampil, tetapi juga harus memiliki kemampaun berpikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah.Termasuk diantaranya dalam menyelesaikan masalah kewarganegaraan. Perkembangan masyarakat saat ini melaju dengan pesatnya, sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang juga berkembang dengan pesat. Kondisi seperti ini menjadikan status kewarganegaraan menjadi masalah yang sangat serius, walau dengan status tidak jelas. Karena tidak ada lagi batasan-batasan teritorial dan politik yang membatasi aktifitas warga negara yang disebabkan oleh status kewarganegaraannya.Tuntutan tersebut berimplikasi terhadap pengembangan tujuan pendidikan dan strategi pembelajaran. Artinya tujuan pendidikan dan strategi pembelajaran yang dikembangkan harus mampu menggairahkan subjek didik untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar yang dapat menjadikannya memiliki kompetensi tersebut di atas. Salah satu strategi pembelajaran yang diakui mampu mengembangkan sumberdaya manusia dengan karakteristik kompetensi seperti tersebut di atas adalah pembelajaran berbasis masalah.Melalui strategi pembelajaran berbasis masalah dapat membangun peserta didik dalam menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan motivasi belajar, serta merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak melakukan proses mental dengan menyoroti permasalahan kontekstual dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya, termasuk masalah kewarganegaraan.
Kata-kata Kunci: membangun, warganegara, transformatif, pembelajaran, masalah
Perkembangan masyarakat saat ini berlangsung secara cepat, berbanding lurus dengan
tuntutan kompetensi sumberdaya manusia (warga negara) yang harus memiliki kompetensiuntuk
mampu bersanding dan berpartisipasi dalam kehidupan global sekarang ini.
Tuntutan akan kompetensi sumberdaya manusia di era global sebagaimanayang tertulis
dalam “21st Century Partnership Learning Framework”, bahwa kompetensi dan/atau keahlian
yang harus dimiliki oleh sumberdaya manusia abad XXI, selain berpengetahuan juga harus
memiliki kemampaun berpikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks
pemecahan masalah (critical-thinking and problem-solving skills); kemampuan berkomunikasi,
dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak (communication and collaboration
skills); kemampuan mencipta dan membaharui serta mengembangkan kreativitas yang
dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang inovatif (creativity and innovation
skills); memiliki literasi teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan
aktifitas sehari-hari (information and communications technology literacy); kemampuan belajar
mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari pengembangan pribadi (contextual learning skills);
kemampuan informasi dan literasi media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan
dan melaksanakan aktifitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak (information and
media literacy skills) (BSNP, 2010: 44-45).
254
Demikian halnya dengan pernyataan Cogan (1998:115), bahwa warga negara global
hendaknya memiliki karakteristik: (1) memiliki kemampuan mengenal dan mendekati masalah
sebagai warga masyarakat global; (2) memiliki kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan
memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; (3) memiliki
kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; (4)
memiliki kemampuan berpikir kritis dan sistematis; (5) memiliki kemampuan menyelesaikan
konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; (6) memiliki kemampuan mengubah gaya hidup
dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan; (7) memiliki kepekaan
terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis,
anak jalanan, dansebagainya); dan (8) memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam
kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional.
Berkaitan dengan tuntutan akan karakteristik sumberdaya manusia di atas, maka tujuan
dan strategi pembelajaran harus diarahkan pada pembentukan sumber daya manusia yang
memiliki kompetensi tersebut. Artinya strategi pembelajaran yang dipergunakan guru harus
mampu menggairahkan subjek didik untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar yang
dapat menjadikannya memiliki kompetensi tersebut di atas.
Salah satu model pembelajaran yang diakui mampu mengembangkan sumberdaya
manusia dengan karakteristik kompetensi seperti tersebut di atas adalah model pembelajaran
pemecahan masalah (Reigeluth, 1999: 527; Moore, 2005: 294; Amador, 2006: xiii; BSNP, 2010:
47).Model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving), adalah suatu model
pembelajaran yang memfokuskan pada pemecahan masalah sebagai kajian.
Jonassen (2004: xxi) menegaskan bahwa “learning to solve problem is the most
important skill that student can learn in any setting. In professional context, people are paid to
solve problem, not to complete exams”. Sedangkan Reigeluth (2009: 147) menyatakan bahwa
“problem-based approaches to instruction are rooted inexperience-based education, research
and theory on learning suggest that by having student learn through the experience of solving
problems, they can learn both content and thinking strategies”.
Pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan dalam hal: (1) mengembangkan
berpikir kritis siswa; (2) mengembangkan kemampuan untuk menganalisis dan memecahkan
masalah riel, dan kontekstual; (3) mengembangkan kemampuan bekerjasama dan bekerja
dalam kelompok secara efektif; (4) mengembangkan kemampuan untuk menemukan, memilih,
menggunakan dan mengevaluasi berbagai macam sumber belajar; (5) mengembangkan
kemampuan berkomunikasi; (6) mengembangkan kemampuan untuk menggunakan
pengetahuan dan keterampilan intelektualnya dalam pemecahan masalah.
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
255
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu kegiatan pembelajaran dengan
menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dalam usaha mencari
pemecahan atau jawabannya oleh siswa, biasanya dilakukan secara berkelompok, dan pola
pemecahan masalah dilakukan melalui tahap-tahap metode ilmiah. Boud & Felleti (1991)
menyatakan bahwa “problem-based learning is a way of constructing and teaching course using
problem as a stimulus and focus on student activity”. Problem-based learning (PBL) “is an
instructional method that challenges students to ‘learn to learn’, working cooperatively in groups
to seek solutions to real world problems" (Kiley, 2000). Lebih lanjut Fogarty (1997) menyatakan
bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan
membuat konfrontasi kepada pebelajar (peserta didik) dengan masalah-masalah praktis,
berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Menurut Ward (2002) dan Stepien (1993) pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah
suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui
tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan
dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
Barrows and Tamblyn (1980: 18) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah (PBL)
sebagai:
the learning that results from the process of working toward the understanding or resolution of a problem. The problem is encountered first in the learning process and serves as a focus or stimulus for the application of problem solving or reasoning skills, as well as for the search for or study of information or knowledge needed to understand the mechanisms responsible for the problem and how it might be resolved.
Pembelajaran berbasis masalah oleh Cheong (2008: 47) disebutnya sebagai “a
revolutionary and radical teaching approach”. Sedangkan Hung (2011: 486) menyebut
pembelajaran berbasis masalah (PBL) sebagai “the most innovative instructional method
conceived in the history of education”.
Mengacu kepada beberapa pendapat di atas, dalam kegiatan ini pembelajaran berbasis
masalah diberi pengertian sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang memfokuskan pada
identifikasi serta pemecahan masalah riel yang ada dalam kehidupan siswa sebagai titik sentral
kajian untuk dipecahkan melalui prosedur ilmiah dalam pembelajaran, yang kegiatannya
biasanya dilaksanakan secara berkelompok.
Karakas (2008: 61) mengatakan bahwa “three characteristic set the parameters of PBL
(1) initiating learning with a problem; (2) exclusive use of ill-structured problems; (3) and using
the instructor as a facilitator”.
Newman (2005: 14-16) menegaskan bahwa ada lima kunci pokok dalam strategi
pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu: “(1) teacher as facilitator; (2) the use of an explicit
256
process to facilitate learning; (3)use of problems to stimulate, contextuaize and integrate
learning; (4) learning in small groups; and (5)assessment and problem based learning”.
Karakteristik strategi pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah: “(1) learning is driven
by challenging, open-ended, ill-defined and ill-structured problems; (2) students generally work in
collaborative groups; dan (3) teachers take on the role as facilitators of learning” (Wikimedia,
2001).
Howard (2003: 3) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah memiliki
karakteristik, sebagai berikut: “(1) meaningful activity and problems; (2) situated learning; (3)
open-ended generative tasks; (4) collaborative decision-making and problem-solving; and (5)
changed role of the instructor”.
Barrows (1996) mengemukakan ada 6 karakteristik pokok (original characteristics) dalam
pembelajaran berbasis masalah, yaitu: (1)”learning is student centered; (2) learning occurs in
small student groups; (3) teachers are facilitators or guides; (4) problems form the original focus
and stimulus for learning; (5) problems are a vehicle for the development of clinical problem
solving skills; and (6) new information is acquired through self-directed learning”.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang karakteristik pembelajaran berbasis masalah di
atas, dalam kegiatan penelitian ini karakteristik pembelajaran berbasis masalah yang menjadi
acuan adalah: (1) menggunakan masalah sebagai titik sentral kajian dalam proses
pembelajaran; (2) masalah yang dikaji untuk ditemukan pemecahannya sifatnya riel, relevan,
dan kontekstual, serta terbuka; (3) guru berperan sebagai fasilitator; (4) belajar secara
berkelompok; dan (5) penilaian hasil belajar berwujud pemecahan masalah yang dikemukakan.
Mengacu pada beberapa pendapat di atas, diketahui bahwa terdapat tiga (3) aspek yang
menjadi perhatian pada pembelajaran berbasis masalah, yaitu: (1) peran guru; (2) permasalahan
yang menjadi bahan ajar; dan (3) aktivitas belajar siswa.
Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai fasilitator, artinya guru
memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar pada diri siswa secara mandiri. Memfasilitasi artinya,
mengkondisikan suasana sedemikian rupa sehingga terjadi kegiatan belajar pada diri siswa,
mendampingi siswa dalam kegiatan belajar berkelompok, termasuk juga menyediakan berbagai
sumber belajar yang dibutuhkan serta mampu menjadi partner dialog dalam belajar sehingga
tercipta suasana fresh, bright, and clear.
Peran guru dalam kegiatan pembelajaran berbasis masalah tersebut oleh Kiley (2000,
11) diurai sebagai berikut: “(1) clarifying discussion; (2) suggesting avenues of investigation; (3)
putting a problem in context; (4) prioritizing issues; and (5) interventing in negative group
dynamics”.
Permasalahan yang dijadikan kajian dalam pembelajaran berbasis masalah adalah
masalah-masalah nyata, kontekstual, relevan dengan yang ada di lingkungan kehidupan sehari-
257
hari siswa, sifatnya open-ended, ill-defined and ill-structured problems. Bentuknya bisa berwujud
case studies, vignettes, problem scenarios, simple to complex scenarios.
Schmidt (1993: 4) menegaskan bahwa penggunaan strategi pembelajaran berbasis
masalah memiliki efek pada siswa dalam hal:
(1) initial analysis of the problem and activation of prior knowledge through small-group discussion; (2) elaboration on prior knowledge and active processing of new information; (3) restructuring of knowledge, construction of a semantic network; (4) social knowledge construction; (5) learning in context; (6) stimulation of curiosity related to presentation of a relevant problem; and (7) development of self-directed learning (SDL) skills.
Proses pembelajaran melalui pemecahan masalah dapat membiasakan siswa
menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil apabila menghadapi permasalahan
dalam kehidupan, serta merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan
menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak melakukan proses mental dengan
menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAANPendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada hakikatnya melingkupi
pendidikan moral, pendidikan karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara
yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
merupakan suatu integrated knowledge system bersifat multidimensional yang memiliki misi
menumbuhkembangkan potensi peserta didik agar memiliki civic intelligence dan civic
participation serta civic responsibility sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan
peradaban bangsa Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Winataputra, 2001, 2006).
Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan: (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan; (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3)
berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter
masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; dan (4)
berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Permendiknas No.
22/2006).
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sebagai bagian integral dari bidang
pendidikan sosial pada dasarnya memiliki visi dan misi pengembangan democratic and beliefs
(Quigley, dkk, 1991:11) atau rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan, yang oleh
258
Lickona (1992) ditegaskan sebagai respect and responsibility, yang diyakininya sebagai inti dari
karakter warganegara yang cerdas dan baik (nation and character building).
Menurut Welton dan Mallan (dalam Winataputra, 2001) secara ontologis bidang
pendidikan sosial memusatkan perhatian pada things social, yaitu segala yang menyangkut
kehidupan manusia sebagai warga masyarakat, yang memiliki sifat multidemensional, holistik,
dan peka terhadap perubahan. Oleh karena itu paradigma bidang pendidikan sosial termasuk
pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan perlu melihat secara holistik dan kontekstual dalam
tataran ideal, instrumental dan praksis kehidupan berbangsa dan bernegara serta
bermasyarakat global.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai bidang kajian ilmu kependidikan
yang memusatkan perhatian pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis,
religius, dan berkarakter, merupakan suatu gerakan sosial-budaya kewarganegaraan yang
secara sinergis dilakukan dalam upaya membangun kebajikan warganegara (civic virtue) dan
budaya warga negara (civic culture) yang mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic
skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence” (Winataputra, 2001).
Civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a
set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose of
shaping civic identities. Civic culture berkenaan dengan proses adaptasi psikososial individu dari
ikatan budaya komuniter (keluarga, suku, masyarakat lokal) ke dalam ikatan budaya
kewarganegaraan (Winataputra, 2001). Oleh karena itu civic culture merupakan salah satu
sumber yang sangat bermakna bagi pengembangan dan perwujudan civic education. Civic
culture pada masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila (Winataputra, 2006:7).
Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture dikembangkan melalui
pendidikan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral
dikembangkan pada warga negara adalah civic virtue.
Sementara itu, Cogan (1998) mengidentifikasi karakteristik yang perlu dimiliki oleh
warganegara yang baik, adalah: “(1) ability to understand, accept, and tolerate cultural
differences; (2) capacity to think in a critical and systimatic way; (3) willingness to revolve conflict
in a non-violent manner; (4) ability to work with others cooperative way and to take responsibility
for one’s rule/duties within society; (5) ability to sensitive towards and to defend human rights;
and (6) ability to participate in politics at local, national, and international levels”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka materi pokok dalam pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan di Indonesia meliputi konsep-konsep dan nilai Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan nilai-
nilai Bhinneka Tunggal Ika, beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara
Indonesia. Sedangkan didalam kurikulum sekolah yang berlaku dikemukkan bahwa ruang
lingkup pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek: persatuan dan kesatuan bangsa; norma,
259
hukum dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara;
kekuasan dan politik; Pancasila; dan globalisasi.
Keberadaan nilai-nilai Pancasila sebagai materi pokok pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan bersifat mutlak (Wiyono, 2012: 4), sebagai upaya pembentukan warga
negara yang mampu memahami dan melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi
warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945, serta mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia.
Substansi materi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia yang meliputi
konsep, prinsip, prosedur, norma, nilai dan metakognisi kehidupan kewarganegaraan,
menjadikan kegiatan pembelajarannya dituntut untuk mampu menumbuh kembangkan tidak
hanya aspek intelektual tetapi juga aspek ethics dan estehetics peserta didik melalui touching
heart secara seimbang, yang oleh Wiyono (2012) disebut dengan istilah reaktualisasi nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tujuan pembentukan warganegara yang baik dan berkarakter seperti yang tersebut
di atas dapat tercapai dibutuhkan bukan hanya seperangkat substansi materi pelajaran yang
memadai, tetapi juga pilihan strategi pembelajaran yang tepat serta secara profesional dapat
dilakukan guru di kelas, efisien dan efektif.
Beberapa strategi pembelajaran yang dikategorikan mampu mengakomodasi
karakteristik tersebut adalah melalui pembelajaran partisipatif berbasis portofolio (Winataputra,
dkk, 2010: 121), bentuk-bentuk pembelajaran partisipatif dengan menerapkan metode belajar
aktif (active learning) dan belajar bersama (cooperative learning) sangat diperlukan untuk
menumbuhkembangkan personal discovery pada peserta didik (BSNP, 2010: 29).
Penggunaan strategi belajar mengajar yang memperhatikan secara penuh keberagaman
learning style dari masing-masing peserta didik hendaknya menjadi perhatian. Oleh karena
itulah model belajar yang menekankan pada ciri khas dan keberagaman perlu dikembangkan,
seperti misalnya yang diperkenalkan dalam PBL (Problem Based Learning), PLP (Personal
Learning Plans), PBA (Performance Based Assessment), Cooperative Learning, Collaborative
Learning, Meaningful Learning, dan lain sebagainya.
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN WARGANEGARA TRANFORMATIFPendidikan mempunyai peran penting untuk menjadikan manusia menjadi
berpengetahuan, dan terampil dalam menghadapi hidup. Namun, pendidikan bukanlah semata-
mata berfungsi sebagai alat penyalur ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai pendorong
berkembangnya nilai-nilai luhur yang menjadi dasar berkembangnya watak dan karakter yang
baik manusia.
Watak adalah keunggulan moral yang berperan sebagai penggerak utama seseorang di
saat ia akan melakukan tindakan. Watak merupakan kekuatan moral yang dapat berfungsi
sebagai daya yang menentukan pilihan bentuk-bentuk tindakan. Bertindak dengan watak berarti
260
melangkah atas dasar nilai-nilai yang baik, luhur, patut, dan berdaya-guna. Watak bukanlah
sesuatu yang begitu saja ada dan tumbuh dalam diri seseorang, melainkan sesuatu yang dapat
dipelajari dan dibangun seseorang dalam menjalani kehidupan.
Guru mata pelajaran PPKn memiliki peran sentral dalam keikut-sertaannya menjadikan
siswa berpengetahuan dan terampil serta dalam membangun watak dan karakter luhur siswa.
Karena itu, guru PPKn dituntut tidak saja mumpuni dalam pengetahuan dan pandai dalam
menjalankan tugas menyalurkan ilmu pengetahuan, keterampilandan sikap, tetapi juga menjadi
acuan, teladan, fasilitator, dan kreator dalam pembentukan watak dan karakter baik siswa.
Oleh karena itu, ada tuntutan untuk selalu mempergunakan berbagai macam strategi
pembelajaran yang tidak hanya efektif dan efisien dalam menyalurkan ilmu pengetahuan, sikap
dan keterampilan, tetapi juga dapat membangkitkan motivasi untuk belajar serta pembentukan
watak luhur siswa.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi pembelajaran yang
diyakini mampu memberi pengalaman belajar siswa didik untuk mendapatkan pengetahuan,
berpikir kritis dan keterampilan dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah,
bekerjasama dengan sesama, serta membentuk watak dan karakterluhur siswa, sehingga
menjadi warganegara transformatif.
Pentingnya pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu strategi untuk memberi
pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik sehingga mampu sehingga menjadi
warganegara transformatif didasarkan pada pernyataan teoritis dan empiris berikut.
Kajian yang dilakukan oleh Stanford Problem Based Learning Initiative, yang
menjelaskan bahwa penggunaan strategi pembelajaran berbasis masalah menjadikan siswa
belajar tentang: (1) problem-solving skills; (2) self-directed learning skills; (3) ability to find and
use appropriate resources: (4) critical thinking; (5) measurable knowledge base; (6) performance
ability; (7) social and ethical skills; (8) self-sufficient and self-motivated; (9) facility with computer;
(10) leadership skills; (11) ability to work on a team; (12) communication skills; (13) proactive
thinking; and (14) congruence with workplace skills.
Ulasan dalam CTL-Speaking of Teaching Newsletter (2001), yang menjelaskan bahwa
penggunaan strategi pembelajaran berbasis masalah is an effective method for improving
student’s problem-solving skills. Students will make strong connections between concepts when
they learn facts and skills by actively working with information rather than by passively receiving
information.
Penelitian yang dilakukan oleh Mergendoller (2006) menegaskan bahwa penggunaan
strategi pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan verbal ability, interest in
economics, preference for group work, and problem-solving efficacy dibandingkan dengan
strategi pembelajaran tradisional (ceramah-diskusi). PBL was differentially effective with students
demonstrating different levels of four aptitudes: verbal ability, interest in economics, preference
261
for group work, and problem-solving efficacy. PBL was more effective than traditional instruction
with students of average verbal ability and below, students who were more interested in learning
economics,and students who were most and least confident in their ability to solve problems.
Newby, et.al (2000) dalam artikelnya menegaskan bahwa keunggulan dari strategi
pembelajaran berbasis masalah: (1) meningkatkan pemahaman dan retensi karena siswa
diwajibkan untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan menerapkan teori dan praktek; (2)
melibatkan level belajar yang lebih tinggi; (3) memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
belajar dari kesalahan, dan (4) membangun tanggung jawab sehingga siswa belajar untuk
berpikir secara bebas. Melalui pembelajaran berbasis masalah siswa mempunyai peluang untuk
praktek pemecahan masalah, penilaian diri, keterampilan berkelompok, berpikir kritis, dan
keterampilan berkomunikasi secara lisan maupun tulisan (Woods, 2000) (Woods & Baley, 2006).
Paparan di atas menegaskan bahwa bila pembelajaran dilaksanakan dengan
menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah maka hasil belajar siswa dalam bentuk
pengetahuan menjadi meningkat, sekaligus mengembangkan keterampilan pemecahan
masalah, berpikir kritis (penalaran), keterampilan intelektual, kolaborasi, belajar mandiri,
komunikasi, meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar siswa, serta menjadikan kegiatan
belajar berlangsung secara aktif dan menyenangkan. Hal tersebut, bilamana diterapkan dalam
pembelajaran PPKn dapat menjadikan peserta didik secara singkat dikatakan sebagai
warganegara transformatif, yaitu warganegara yang memiliki kemampuan untuk menganalisis,
menghadapi masalah, mengambil keputusan, dan melakukan kegiatan/tindakan dalam bidang
sosial, politik, budaya dan ekonomidi lingkungan kehidupannya.
SIMPULANMenjadikan warganegara transformatif, yang berpengetahuan, terampil,memiliki watak
dan karakter luhur yang baik berdasarkan nilai-nilai Pancasila, memiliki kemampaun berpikir
secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan
masalahkewarganegaraan di Indonesia adalah tujuan utama pembelajaran PPKn.
Agar tujuan pembentukan warganegara seperti tersebut di atas tercapai, dibutuhkan
bukan hanya seperangkat substansi materi pelajaran yang memadai, tetapi juga pilihan strategi
pembelajaran yang tepat serta secara profesional dapat dilakukan guru di kelas, efisien dan
efektif.
Pembelajaran berbasis masalah maka hasil belajar siswa dalam bentuk pengetahuan
menjadi meningkat, sekaligus mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis 262
(penalaran), keterampilan intelektual, kolaborasi, belajar mandiri, komunikasi, meningkatkan
motivasi dan aktivitas belajar siswa, serta menjadikan kegiatan belajar berlangsung secara aktif
dan menyenangkan.
Daftar RujukanAmador, J.A., Miles, L. & Peters, C.B. 2006. The Practice of Problem-Base Learning, A Guide to
Implementing PBL in the College Classroom. Bolton: Anker Publishing Company, Inc.
Barrows, H. S. 1996. Problem-Based Learning in Medicine and Beyond: A Brief Overview. In L. Wilkerson & H. Gilselaers (eds.). Bringing Problem-Based Learning to Higher Education: Theory and Practice. San Franscisco, CA: Jossey-Bass Inc.
Barrows, H. S. & Tamblyn, R. M. 1980. Problem-Based Learning. New York: Springer.
Boud, D., Feletti. & Grahamme I. 1997. The Challenge of Problem-based Learning (2nd Edition). London: Designs and Potents Act.
BSNP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Center for Teaching and Learning. 2001. Problem-Based Learning. Standford University Newsletter on Teaching. (Online). Winter 2001. 11 (1). www. stanford.edu /.../docs/newsletter/ problem _ based _ learning .pdfwww. stanford.edu /.../ docs/newsletter/ problem _ based _ learning .pdf . diakses 24 Agustus 2012.
Cheong, F. 2008. Using a Problem-Based Learning Approach toTeach an Intelligent Systems Course. Journal of Information Technology Education. Volume 7, 2008. Melbourne: RMIT University. (online). researchbank.rmit.edu.au/view /rmit:2490. diakses 5 Agustus 2011.
Cogan J.J. & Derricott, B.J. 1998. Multidemensional Civic Education, Tokyo: Center for Civic Education.
Hung, W. 2011. Theory to Rality: a Few Issues in Implementing Problem-Based Learning.Education Tech Research Dev. (online). 59: 529-552. DOI 10.1007/s11423-011-9198-1. diakses 19 Agustus 2011.
Jonassen, D.H. 2004. Learning to Solve Problems: an Instructional Design Guide. San Fransisco: Pfeiffer, John Wiley & Sons, Inc.
Karakas, M. 2008. Graduating Reflective Science Teachers Through Problem-Based Learning Instruction. Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP). 2 (1): 59-71. (online). bjsep.org/index.php?page=11&volume_id=1. Diakses 23 Agustus 2012.
Kiley, M., Gerry, M., Peterson, R. & Rogers, T. 2000. Leap to Problem-based Learning. Centre for Learning and Professional Development. The University of Adelaide, Australia. (online). www. slideshare.net /Janelle84/presentation-poul-pp-orl . diakses 23 Agustus 2011.
Lickona, T. 1992. Educating for Character. New York: Bantam Books.
Mergendoller, J.R., Maxwell, N.L. & Bellisimo, Y. 2006. The Effectiveness of Problem-Based Instruction: A Comparative Study of Instructional Methods and Student Characteristics. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning.. 1 (2, 5): 49-69. (online). docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1026&context=ijpbl. Diakses 3 Juli 2011.
Moore, K.D. 2005. Effective Instructional Strategies: From Theory to Practice.London: Sage Publications Inc.
263
Newby, T.J., Stepich, D.A., Lehman, J.D., & Russekk, J.D. 2000. Instructional Technology Teaching and Learning: Designing Instruction, Inttegrating Computers, and Using Media. Mahwah, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Newman, M.J. 2005. Problem-Based Learning: An Instroduction and Overview of the Key Features of the Approach. Journal of Veterinary. JVME 32 (1). 2005. (online). wires.wiley.com/WileyCDA/WiresArticle/wisId-WCS54.html. Diakses 7 September 2012.
Quigley, C. N., Buchanan, Jr. J. H.& Bahmueller, C. F. 1991.Civitas: A Framework for Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education.
Reigeluth C.M. & Chellman, C.A. (Eds). 2009. Instructional Design Theories and Models Volume III. New York and London: Routledge, Taylor and Francis Publishers.
Reigeluth, C.M (Ed). 1999. Instructional Design Theories and Models Volume II, a New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Schmidt, H.G. 1993. Foundations of Problem-Based Learning: Some Explanatory Notes. Medical Education.(online). 27 (5): 422–432. doi:10.1111/j.1365-2923.1993.tb00296.x. PMID 8208146.
Torrent,R.R. 2011. The Motivation to Learn Begins with a Problem. Journal International Review of Economics Education.10 (1): 14-28. (online). pirateproxy.net/torrent/7327827/Ultimate_Guide_to_Become_an..diakses 22 Mei 2012.
Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research 5th Edition. Orlando: Harcourt Brace College Publishers.
Winataputra, U.S. 2001. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi. Disertasi. Bandung: universitas Pendidikan Indonesia.
Winataputra, U.S. 2005. Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi: Tinjauan Psiko-Pedagogis dan Sosioandragogis. Jakarta: Dijen Pendidikan Tinggi (Bahan SUSCADOS Dikwar).
Winataputra, U.S. 2006. Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah: Tinjauan Psiko-Pedagogis. Jakarta: Panitia Semiloka Pembudayaan Nilai Pancasila, Dit. Dikdas, Ditjen Mandikdasmen (Makalah).
Wiyono, S. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: Penerbit Wisnuwardhana Press.
Woods, D.R. 2000. PBL: Decisions for Planning and action: Why? When? Who? Where? What? How?. Hamilton: Mc. Master University. (online). cll.mcmaster.ca/resources/pbl.html. diakses 23 Juli 2012.
Woods, D.R., & Baley, L. 2006. Assessing Student Performance in Problem-Based Learning. Hamilton: Mc. Master University. (online). cll.mcmaster.ca/resources/pbl.html. diakses 23 Juli 2012.
264
REKONSTRUKSI MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI VIA PROJECT NETIZEN
AKU CINTA PRODUK INDONESIA
Mohammad Syaifudin, Nurul Zuriah, Marhan Taufik
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan karakter bangsa mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan suatu grand desain dan pengembangan model pendidikan karakter rbagai sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa.
Artikel ini berisi hasil penelitian Unggulan Perguruan Tinggi “Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan untuk
265
memperkuat rasa cinta dan bangga akan produk Indonesia (Aku Cinta Produk Indonesia - ACPI)”, dengan mengintegrasikan pendidikan karakter pada Mata Kuliah PKn melalui Research and Development. Tujuan umum penelitian adalah menyusun dan mengembangkan model pendidikan karakter yang dapat memperkuat rasa cinta dan bangga akan produk Indonesia berbasis Tri pilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi. Rancang bangun tersebut dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: a. konsep, b. produk, dan c. ujicoba melalui penelitian tindakan dan quasi eksperimen.
Melalui rancang bangun ini dipaparkan hasil sebagai berikut: (1) Model Pendidikan Karakter yang berbasis Tripilar Pusat Pendidikan melalui Project Netizen ACPI, yang didesain berdasar teori ADDIE; (2) learning outcome produk berupa nilai karater dasar yang dikembangkan dari aspek moral Knowing (Ngerti), Moral Feeling (Ngroso) dan Moral action (Nglakoni); (3) Produk dan Pubikasi hasil rekonstruksi model Pendidikan Karakter yang dikembangkan.
Kata kunci: Rekonstruksi, Pendidikan Karakter, Project Netizen, Aku Cinta Produk Indonesia, Mata Kuliah PKn
A. Pendahuluan
Pendidikan karakter bangsa mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional.
Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan suatu grand desain pendidikan karakter sebagai
bagian dari upaya membangun karakter bangsa. Regulasi pendidikan karakter diatur dalam
(1) U U D 1 9 4 5 A m a n d e m e n , ( 2 ) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (3)
Pencapaian Visi Pembangunan Nasional yang tertuang dalam RPJPN tahun 2005-2025 (4)
Peraturan pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, (5)
Inpres No 1 tahun 2010 dan Permendiknas lainnya sebagai dasar operasionalisasinya. Bagi
suatu bangsa karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga
negara dan kemudian mengejawantah sebagai personalitas dan identitas kolektif bangsa.
Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa
merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan
komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Dalam Rencana
Induk (Grand design) Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Kementerian Pendidikan
RI disebutkan bahwa 3 aspek pembentuk karakter luhur adalah: (a) Agama, Pancasila,
UUD 1945 dan UU Sisdiknas, (b) Teori pendidikan, Psikologi, nilai dan sosial budaya,
(c) Pengalaman terbaik dan praktik nyata.
Harkat dan martabat suatu bangsa berkaitan erat dengan pendidikan yang
dialami oleh suatu bangsa itu sendiri. Karena dengan pendidikan suatu bangsa dapat
menentukan karakter, sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan bangsa- bangsa lain di
dunia. Pendidikan sangatlah penting dalam pembangunan suatu bangsa, karena dengan
266
pendidikan suatu bangsa tidak mudah dijajah oleh bangsa lain, dan dengan pendidikanlah
suatu bangsa dapat mencapai kemajuan-kemajuan dan perkembangan-perkembangan yang
dapat membawanya mewujudkan cita-cita bangsa, dan dengan pendidikan pulalah suatu
bangsa dapat mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain di dunia.
Berbagai kemajuan dan pencapaian yang telah diraih bangsa Indonesia, baik itu di
bidang politik, ekonomi, keamanan dan kesejahteraan rakyat setelah kemerdekaan, masih
belum dapat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat, besar,
disegani dan dihormati keberadaannya di tengah-tengah bangsa di dunia (Wibowo, 2014). Hal
ini memberikan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan. Perubahan
yang dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Bangsa yang maju ditentukan
oleh mentalitas yang tangguh, baik individual maupun kolektif dari warga negara Indonesia
sendiri.
Untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia masih memerlukan pandangan-
pandangan yang menuntut perubahan mendasar dari pola pendidikan di Indonesia selama ini.
Pandangan yang saat ini menjadi perhatian banyak pihak adalah revolusi mental yang
disampaikan oleh presiden Joko Widodo. Selanjutnya Suratno (2014) mengatakan pendidikan
karakter menjadi sangat penting karena tiga hal; 1) secara makro, telah terjadi kemerosotan
karakter bangsa ditandai oleh tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan; (2)
secara mikro dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying, tawuran antar pelajar,
kelemahan sistim kurikulum dan proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi
pembentukan karakter bangsa; (3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih
sejak kampanye sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama kedaulatan
politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya.
Pembangunan karakter (character building) sangat penting. Perguruan Tinggi
menjadi agen utama dalam membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi
pekerti, dan mulia. Bangsa Indonesia ingin memiliki peradaban yang unggul dan mulia.
Peradaban tersebut dapat dicapai apabila masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
baik (good society). Masyarakat idaman seperti ini dapat diwujudkan apabila bangsa
Indonesia memiliki akhlak yang baik, manusia yang bermoral dan beretika baik, serta
manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula.
Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan karakter
manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karakter yang baik, unggul dan mulia. Upaya
yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting
dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental. Melalui 267
pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter
positif, serta mengubah kebiasaan hidup yang buruk menjadi baik.
Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa
merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan
komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Berdasarkan fenomena
yang ada dan hasil penelitian sebelumnya terdapat dua hal yang harus mendapat perhatian
secara serius. Pertama, munculnya fenomena menurunnya budi pekerti luhur di kalangan
mahasiswa. Kedua, belum adanya model pendidikan karakter di perguruan tinggi yang
sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya yang dapat membentuk karakter mahasiswa
yang mencintai produk Indonesia dan mendukung kemandirian pangan. Oleh karenanya perlu
dicari dan dirumuskan model pendidikan karakter bangsa untuk mencintai produk Indonesia
dan mendukung kemandirian pangan yang efektif, dan dapat dilaksanakan di lingkungan
perguruan tinggi.
B. Kerangka BerfikirBerdasarkan uraian di muka, sudah saatnya kampus menggalakkan
pendidikan karakter secara kongkret bagi mahasiswanya. Pencapaian intelektualitas
dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman nilai karakter dan
akhlakul kharimah yang bagus (karakter yang baik).Kemampuan manajerial dan sosial
mahasiswa harus dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, punya inisiatif dan kreatifitas memiliki sifat-sifat jujur, ikhlas,
beorientasi pengabdian, dan rendah hati yang lahir dari masing-masing individu
untuk menjalin interaksi sesama individu demi terwujudnya integritas bangsa.
Hal ini ditujukan agar mahasiswa tak hanya pintar secara intelektual dan
sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus, serta mempunyai
empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Zuchdi (2008:6-8) mengemukakan supaya pendidikan karakter tidak bersifat
indoktrinatif, mahasiswa perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan yang
mendasari keputusan moral, melalui peningkatan kemampuan Logical, Gramatical, dan
Retorica. Pengayaan Mata Kuliah (embedded/hidden curriculum) perlu dilakukan agar belajar
tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja melainkan lebih pada aspek learning to
think, reading skill, writing skill, articulate communication skill, wawasan kebangsaan dan
bela negara. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui aktivitas kurikuler, extra dan ko-
kurikuler. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan mengontrol tindakan yang
268
diperlukan agar seseorang dapat benar-benar memahami keputusan moral yang diambilnya,
dapat mengidentifikasi alasan yang baik yang harus diterima dan alasan yang tidak baik
yang harus ditolak atau diubah. Pada akhirnya mahasiswa harus mampu merumuskan
perubahan yang perlu dilakukan.
Pembelajaran mestinya menciptakan setting sosial yang memungkinkan implementasi
pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat.
Selanjutnya, pendidikan karakter/moral/nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antara
pemikiran moral (moral thinking) dan tindakan bermoral (moral action). Konsep moralitas
perlu diintegrsasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat
dikembangkan antara lain dengan dilema moral yang menuntut kemampuan untuk
mengambil keputusan dalam situasi yang sangat dilematis. Tindakan moral yang selaras
dengan pemikiran moral hanya mungkin dicapai melalui pencerdasan emosional dan spiritual
serta pembiasaan. Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif apabila
dilakukan melalui model keteladanan yang dilakukan atas kesadaran sendiri.
Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan di
kampus harus turut serta ambil bagian dalam memberikan keteladanan/contoh
yang baik kepada mahasiswa.
Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh
perilaku jujur, disiplin, kreatif, dan kritis kepada mahasiswa yunior. Dengan
lingkungan yang kondusif, penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima
dan diteladani mahasiswa baru. Dengan membiasakan diri menghindari plagiasi
dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-tugas kuliah secara jujur,
berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya. Satu hal yang
merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui integrasi
pendidikan karakter tersebut ke dalam Mata Kuliah yang diajarkan.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi mahasiswa, perlu diintegrasikan
dalam pembelajaran pada setiap Mata Kuliah. Salah satu cara yang efektif dengan mengubah
atau menyusun bahan ajar atau modul dengan mengembangkan model pendidikan karakter
dengan norma atau nilai-nilai karakter dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi
menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan mahasiswa sehari-hari
di masyarakat. Salah satunya dengan mengembangkan model pembelajaran terintegrasi
karakter ke dalam Mata Kuliah PKn. Untuk memberikan gambaran yang lebih inci dan jelas
berikut kerangka pemikiran pengembangan Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter pada 269
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, sebagaimana digambarkan
pada Gambar 1 Landasan Pemikiran sebagai berikut.
Gambar 1. Landasan Pemikiran Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Project Netizen ACPI Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan
270
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
C. Metode Rekonstruksi Pengembangan Model Pendikar yang Diusulkan
Rekonstruksi model pendidikn Karakter dilakukan dengan 3 (tiga) Tahap, yaitu; 1) tahap
pengembangan konsep model, 2) tahap pengembangan produk model, dan 3) tahap Ujicoba
model. Gambaran alur ketiga tahap pengembangan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
C.1 Pengembangan Desain Model
Pengembangan desain model diawali dengan pengembangan konsep model. Selanjutnya
dilakukan pengembangan produk, dan diakhiri uji coba produk (lihat Gambar 4 dan 5). Model
konseptual bersifat analitis yang memberikan atau menjelaskan komponen-komponen produk
yang akan dikembangkan dan keterkaitan antarkomponennya. Sebuah model adalah
representasi atau perwujudan visual atau verbal (kata-kata) dari suatu proses
rancangan pembelajaran yang digunakan untuk mengarahkan dan melengkapi rancangan dalam
berbagai latar pendidikan dan pelatihan.
Model konseptual memperlihatkan hubungan antarkonsep yang satu dengan yang lain,
yang dalam hal ini konsep-konsep itu tidak memperlihatkan urutan secara bertahap. Konsep atau
komponen yang satu tidak lebih awal dari konsep atau komponen yang lain. Urutan boleh
diawali dari mana saja. Model konseptual lebih bersifat konstruktivistik, artinya urutan bersifat
terbuka, berulang atau rekursif dan fleksibel.
C.2 Desain dan Prosedur Pengembangan KonsepPada tahapan ini akan disampaikan sifat-sifat komponen pada setiap tahapan dalam
pengembangan, penjelasan secara analitis fungsi komponen dalam setiap tahapan
pengembangan produk, dan penjelasan hubungan antar komponen dalam sistem. Dalam
memahami model desain sistem pembelajaran perlu diketahui dan dikelompokkan model
desain system pembelajaran.
Menurut Gustafson dan Branch (2002) model desain sistem pembelajaran dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pembagian klasifikasi ini didasarkan pada orientasi
penggunaan model, yaitu; 1) Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi kelas
(Classrooms oriented model), 2) Model desain pembelajaran yang berorientasi produk (Product
oriented model), dan 3) Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi sistem (System
oriented model).
Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi pada produk, berdasarkan pada
asumsi bahwa desain model pendidikan karakter Project Netizen ACPI berbasis tripilar pusat
271
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
pendidikan sebagai penguatan Mata Kuliah PKn yang dikembangkan dalam kurun waktu
tertentu. Model desain pembelajaran ini menerapkan proses analisis kebutuhan yang sangat ketat.
Para pengguna produk model pendidikan karakter yang dihasilkan melalui penerapan
desain sistem pembelajaran pada model ini biasanya tidak memiliki kontak
langsung dengan pengembang programnya. Kontak langsung antara pengguna program dan
pengembang program hanya terjadi pada saat proses evaluasi terhadap prototipe program.
Model pendidikan karakter melalui project netizen ACPI berbasis Tripilar Pusat
Pendidikan ini dilandasi dengan empat asumsi pokok, yaitu: 1) Produk model pendidikan
karakter di Perguruan Tinggi memang sangat diperlukan, 2) Produk model pendidikan karakter
baru ini perlu diproduksi, 3) Produk model pendidikan karakter memerlukan proses uji coba
dan revisi, 4) Produk model pendidikan karakter dapat digunakan walaupun hanya dengan
bimbingan dari fasilitator.
Desain program pengembangan ini memiliki 6 (enam) komponen utama, sesuai teori yang
dikembangan oleh Richey dan Klein (2007; 3). Keenam komponen ini mengarahkan fokusnya
pada elemen-elemen yang berbeda dari usaha desain dan pengembangan, yaitu: (1)
Mahasiswa dan bagaimana mereka belajar, (2) Konteks tempat belajar dan performasi yang
muncul, (3) Hakikat isi pembelajaran dan bagaimana ia diurutkan, (4) Strategi dan aktivitas
pembelajaran yang dilaksanakan, (5) Media dan sistem penyampaian yang digunakan, dan (6)
Perancang itu sendiri dan proses yang mereka ikuti. Desain Pengembangan Produk sebagai
berikut.
Gambar 2a. Desain Pengembangan Produk PRONET ACPI
272
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Gambar 2b. Desain Pengembangan Produk PRONET ACPI
273
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Gambar 2c. Desain Pengembangan Produk PRONET ACPI
C.3 Setting KegiatanSetting kegiatan dimulai dengan mengidentifikasi jumlah karekteristik lembaga, aspek-aspek
pendidikan karakter bangsa yang gayut dan telah dikembangkan di lembaga tersebut, serta
menetapkan kompetensi yang akan dipelajari dengan memberi label pada karakter tersebut. Proses
pembelajaran di-setting secara terintegrasi antara pembelajaran teori Pendidikan Kewarganegaraan
dan praktik pembuatan project netizen AKU CINTA PRODUK INDONESIA.
C.4 PartisipanPartisipan pada tahap pengembangan ini adalah ahli (pakar) untuk validasi internal dan praktisi
(dosen) Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Validator ahli desain/teknologi pendidikan, ahli
isi/konten dan bahasa dengan persyaratan; 1) Minimal berpendidikan S3, dan 2) ahli di bidangnya.
Sedangkan praktisi adalah dosen dari PT yang dipilih. Penilaian para ahli/praktisi terhadap perangkat
pembelajaran mencakup: format, bahasa, ilustrasi dan isi. Berdasarkan masukan dari para ahli, materi
pembelajaran direvisi untuk membuatnya lebih tepat, efektif, mudah digunakan, dan memiliki
kualitas teknik yang tinggi. Diagram alirnya sebagaimana gambar 3 berikut.
Gambar 3: Alur Validasi Ahli & Praktisi Konsep Model
274
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Pada tahap expert review, konsep produk yang telah didesain dicermati, dinilai dan dievaluasi
oleh pakar. Pakar tersebut menelaah komponen, keterkaitan antar komponen, dan bahasa dari
konsep model. Saran-saran pakar digunakan untuk merevisi konsep yang dikembangkan. Pada
tahap ini, tanggapan dan saran dari pakar (validator) tentang konsep desain model yang telah dibuat
ditulis pada lembar validasi sebagai bahan merevisi dan menyatakan bahwa desain ini telah valid atau
tidak.
Responden para tahap pengembangan konsep model adalah ahli desain selaku validator
internal yang akan menvalidasi hasil pengembangan konsep model pendidikan karakter.
Responden berikutnya adalah praktisi sebagai validator eksternal yaitu dosen Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pengguna produk. Rangkaian kegiatan validasi yang
dilakukan oleh ahli dan praktisi dapat dilihat pada Gambar 3 di atas.
C.5 Instrumen PengembanganPada tahap pengembangan konsep model, instrumennya adalah peneliti sendiri, angket
(checklist) dan pedoman wawancara. Angket (cheklist) digunakan untuk memperoleh catatan dari
ahli yang menvalidasi konsep model (validasi internal) dan dari dosen pengguna (validasi
eksternal) sedangkan pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan dengan pihak
yang terkait tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan
tujuan penelitian tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan model pendidikan karakter.
Selain itu pedoman wawancara sebagai bahan dalam menulis hasil penelitian karena jika peneliti
hanya mengandalkan kemampuan ingatan yang sangat terbatas peneliti khawatir data yang sudah
diperoleh ada yang lupa. Penggunaan model wawancara tentu saja disesuaikan dengan keberadaan
data-data di lapangan yang diperlukan penulis. Untuk wawancara terstruktur, lebih dulu disiapkan
seperangkat pertanyaan dengan mengklasifikasikan bentuk- bentuk pertanyaan. Pada tahap
pengembangan konsep model semua data bersifat kualitatif, yang mendiskripsikan keadaan atau
fenomena yang sedang terjadi.
C.6 Pengembangan ProdukProduk yang dikembangkan berupa model pendidikan karakter melalui Project Netizen ACPI
melalui penguatan pendidikan karakter berbasis tripilar pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan
masyarakat) pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Komponen-
komponen model yang dikembangkan difokuskan pada strategi perkuliahan atau strategi
penyampaian.
275
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter dan Pengembangan model pembelajaran yang baik
memang seyogyanya dilaksanakan melalui suatu penelitian pengembangan atau research and
depelovment (R & D). Langkah tersebut tepat untuk mencari solusi dalam memperbaiki
praktik perkuliahan. R & D merupakan perpaduan penelitian dasar (basic research) dengan
penelitian terapan (applied research).
Keduanya bertujuan untuk mengembangkan format pembelajaran, mengevaluasi diri, dan
mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan. Selama ini banyak dosen di perguruan
tinggi yang menyusun model pembelajaran namun tidak melalui rangkaian penelitian, sehingga
model yang disusun tidak memiliki landasan berpijak yang kuat, baik dari segi teoretis maupun
praktis.
Kekuatan pengembangan model pembelajaran melalui R & D terletak pada aspek metodenya, yakni
adanya ujicoba sehingga produk dapat diterima dari segi ketepatan, kecocokan, kejelasan, keakuratan,
up to date, dan menciptakan kreativitas dari segi isi, desain, dan bahasanya. Penyusunan model
pembelajaran melalui R & D akan mampu melahirkan model pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu terjadi karena model integrasi Pendidikan
Karakter dalam Mata Kuliah PKn ini merupakan hasil penelitian dengan mempertimbangkan data-
data empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, serta pertimbangan praktis perkuliahan yang lebih
baik, dengan tampilan yang efektif, efisien, menarik/memberi motivasi, dapat dipergunakan, dan
dapat diterima keberadaannya. Grand desain Pendidikan Karakter Berbasis Tripusat Pendidikan di
Perguruan Tinggi dapat digambarkan sebagaimana dalam gambar 4 berikut.
Gambar 4: Grand Desain Pendidikan Karakter Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di PerguruanTinggi
276
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
C.7 Ujicoba ProdukUjicoba produk dimaksudkan untuk mencapai kriteria produk model pembelajaran
yang sahih. Ujicoba dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu a) penelitian tindakan (action
research) dan eksperimen (quasi eksperimen). Penelitian tindakan bertujuan untuk mengetahui
apakah prosedur bahan ajar sudah memenuhi syarat atau belum sedangkan eksperimen yang
dilakukan adalah quasi eksperimen atau eksperimen semu yang bertujuan untuk menguji
efektifitas dan dan kebermanfaatan model. Bagan alur (flowchart) ujicoba produk terlihat
dalam gambar 5 sebagai berikut:
Gambar 5: Alur (flowchart) Ujicoba Produk
C.8 Produk Dan Pubikasi Hasil Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Project
Netizen ACPI yang Dikembangkan
Sebagai produk dari Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Project Netizen Aku
Cinta Produk Indonesia maka hasil pengembangannya diwujudkan dalam sebuah karya
mahasiswa yang berupa tugas kelompok pembuatan project netizen yang
pengembangannya diambilkan dari konsep proyek kewarganegaraan atau project citizen.
Karakteristik produk “Model Pendidikan Karakter Proyek Netizen Aku Cinta Produk
Indonesia dapat digambarkan dalam skema / gambar 6 berikut.
277
MODEL HIPOTETIKRekonstruk
si Model Pendikar Berbasis Ttripilar
Pendidikan
IMPLEMENTASI MODEL
1.Penelitian Tindakan (Action research)
2.Penelitian Eksperimen (Eksperimen one group pre &
post test)
EVALUASI DAN REVISI
MODEL
FINAL PENDIKAR BERBASIS TRIPILAR
PUSAT PENDIDI-
KAN
IMPLEMENTASI DAN ESKUSI
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Gambar 6: Karakteristik Produk “Model Pendikar Pronet ACPI
Sedangkan bentuk viral dari project netizen aku cinta produk Indonesia dapat dilihat
dan diakses langsung oleh mahasiswa dan semua pihak yang berkepentingan termasuk
orang tua dan dosen dari internet yaitu melalui You Tube, dan nanti nya akan dibuatkan
sebuah rumah (Webb blog. Pronet Aku Cinta Produk Indonesia) . Disamping itu kedepan
juga dapat dikembangkan melalui Media Sosial yang lain, seperti Whats App (WA),
Instagram, Telegram maupun Vlog (Video blog).
D. PenutupBerdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa Rekonstruksi model pendidikan
karakter (model pembelajaran) pada Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya
melalui rangkaian penelitian pengembangan sehingga mampu melahirkan model pembelajaran
yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu terjadi karena penyusunan model tersebut telah
mempertimbangkan data-data empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, serta pertimbangan
praktis perkuliahan yang lebih baik, dengan tampilan yang efektif, efisien, menarik/memberi
motivasi, dapat dipergunakan, dan dapat diterima keberadaannya.
Penelitian tersebut akan lebih baik lagi jika dilaksanakan oleh institusi yang memiliki
kewenangan dan kapabilitas yang memadai. Asosiasi Pendidik Pancasila dan
278
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Kewarganegaraan Indonesia misalnya diharapkan dapat menjadi salah satu institusi pendukung
dan pelaksana penelitian ini, agar perguruan tinggi segera melaksanakan mata kuliah PKn yang
sesuai dengan capaian pembelajaran atau learning outcomes (LO) yang diharapkan pemerintah
dan masyarakat.
E. Referensi
Bakker, A., 2004. “Design Research In Statistics Education: On Symbolizing And Computer Tools”. Desertasi Doktor. Utrech University : Tidak diterbitkan.
Banathy, B., & Jenlink, P. M., 2004. Systems Inquiry and Its Application In Education. In D. H. Jonassen (Ed.), Handbook of research for educational communications and technology (2nd edn) (pp. 74–92). New York: Simon & Schuster Macmillan.
Belferik, M., 2013. “Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045”. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2016
Bruner, J. S., 2006. In Search Of Pedagogy. New York: Routledge.
Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O., 2000. The Systematic Design Of Introction (Fifth Edition). New York: Longman
Doni, K.A., 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.
Gagne, R. M., Wager, W. W., Goals, K. C., & Keller, J. M., 2005. Principles of instructional Design. (5th edn). CA: Wadsworth/Thomson Learning, Publishers.
Gustafson, K. L., & Branch, R. M., 2002. Surveyof Instructional Development Models (4•h ed.). Syracuse University, Syracuse, NY: ERIC Clearinghouse on Information & Technology.
Kemendiknas, 2010. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014. Jakarta: Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas.
Kemendiknas, 2011. Panduan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Kebukuan Kemendiknas
Kirschenbaum, H., 2000. ”From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20
Megawangi, R., 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: BP Migas Energy.
Molenda, M. In search of the ellusive ADDIE model. Pervormance improvement, 42 (5), 34-36. Submitted for publication in A. Kovalchick & K. Dawson, Ed’s,
Educational Technologi: An Encyclopedia. Copyright by ABC-Clio, Santa Barbara, CA, 2003. ( http : / / w w w.indi a n. e d u ) diak s e s p a da 25 Desesember 2015
Morrison, G. R., Ross, S. M., & Kemp, J.E. (2007). Designing effective instruction (5'h ed.). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Morrison, G.R., Ross, S.M., & Kemp, J.E, 2001. Designing Effective Instruction (Third Edition). New York: John & Sons, Inc
279
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Plomp, 2007. “Educational Design Research: An Introduction”, dalam An Introduction to Educational Research. Enschede, Netherland: National Institute for Curriculum Development
Pusat Kurikulum Depdiknas, 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta: Kemendiknas
Raiser, AR & John Depsey, Trend and Issue in Instructional Design and Technology (new jersey : Pearson Education. Inc )
Richey, R.C., & Klein, J.D., 2007. Design and Development Research. New York: Routledge
Robert Maribe Branch: Intructional Design The Addie Aproach. http :/ / w w w . z u l ti g a l tp.c o m ( d i a k s e s p a da 30 April 2016)
Ruyadi, Y., 2010. “Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal (Penelitian terhadap Masyarakat Adat Kampung Benda Kerep Cirebon Provinsi Jawa Barat untuk Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah)”. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.
Samani, M. dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sudrajat, Akhmad. 2010. “Karakter” (dalam h tt p :// ak h mad s u d r a j a t . wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di smp) diakses 20 Mei 2015.
Suharjana. 2011. Model Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Yogyakarta: UNY Press.
Suparman, A., 2012. Desain Instruksional Moderen: Panduan Para Pengajar & Inovator Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga
Suyanto, 2012. “Urgensi Pendidikan Karakter”, Makalah. h t tp :/ / w w w . ma n d i kd asm e n . d e p di k n as. go . i d/ w e b/ p a g e s /u rg e n s i . ht ml (diunduh tanggal 13 September 2015).
Syaifudin. M, Zuriah. N, Taufik, M. 2015. Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi – Laporan Penelitian PUPT Tahap I Tahun 2015. Ditbinlitabmas Dikti.
Syaifudin. M, Zuriah. N, Taufik, M. 2016. Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi – Laporan Penelitian PUPT Tahap II Tahun 2016. Ditbinlitabmas Dikti.
Syaifudin. M, Zuriah. N, Taufik, M. 2017. Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi – Laporan Penelitian PUPT Tahap III Tahun 2017. Ditbinlitabmas Dikti.
Wibowo, Agus. 2014. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi ; Membangun
Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
280
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Tafsir, A h m a d , 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Winarni, S., 2013. “Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Perkuliahan”. Jurnal Pendidikan Karakter, FIK Universitas Negeri Yogyakarta, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013.
Zuchdi, D. 2013. Pendidikan Karakter: Konsep Dasar dan Implementasi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
Zuriah, Nurul. 2015. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Cetakan Kelima. Jakarta: Bumi Aksara Group.
Zuriah, Nurul. 2017. Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai Budi Pekerti dalam Penguatan Pendidikan Karakter sebagai Perwujudan Nawacita dan Gerakan Nasional Revolusi Mental Masyarakat Indonesia. Makalah disajikan dalam acara Diskusi Sosialisasi Budipekerti kepada Masyarakat Indonesia, di Kantor Senawangi, TMII Jakarta, Rabu - 15 Maret 2017.
MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF DI SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI
HarmantoProgram Studi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
281
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Sekolah adalah tempat menyemaikan sikap dan perilaku peserta didik (young citizen) ke arah yang sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam keadaban transformatif berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa. Sikap dan perilaku yang berbasis nilai-nilai kewarganegaraan transformatif menjadi sangat penting khususnya di Indonesia yang multikutur. Kewarganegaraan transformatif dalam masyarakat multikultural di Indonesia perlu dibangun untuk mencapai masyarakat madani. Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui pendidikan formal. Pengembangan nilai-nilai warga negara transformatif di sekolah bukanlah pekerjaan yang mudah. Memerlukan perencanaan, pemahaman, wadah, dan isi yang berbasis kontekstual yang menyatu dalam perikehidupan di sekolah. Pengembangan nilai-nilai transformatif di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan pola yang berorientasi pada pendidikan nilai dan perilaku, berjenjang dan berkesinambungan, sistematis, terpadu, dan terstruktur. Pola yang dikembangkan dapat diitegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, budaya sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler, sehingga tidak diperlukan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Muara akhirnya adalah tertanamnya nilai-nilai warga negara transformatif bagi warga sekolah, tumbuhnya kebiasaan perilaku nilai-nilai bagi warga negara transformatif warga sekolah, dan berkembangnya kreativitas warga sekolah dalam memasyarakatkan dan membudayakan perilaku nilai-nilai warga negara transformatif.
Kata Kunci: Nilai-Nilai Warga Negara Transformatif, Pendidikan Formal, Pendekatan Integrasi
PENDAHULUAN
Kewarganegaraan transformatif dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan suatu bangsa yang multikultur. Fokus kewarganegaraan transformatif dalam
masyarakat multikultural seperti di Indonesia perlu dibangun untuk mencapai masyarakat madani.
Dalam pandangan Azra (2002:4), haruslah menjalin hubungan yang lebih kooperatif daripada
konflik. Masyarakat madani mengandung makna dan tujuan untuk a better ordering of society,
bukan penghadapan oposisional antara state dengan society. Istilah ”masyarakat” madani
menunjuk pada sebuah masyarakat yang ideal, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki
peradaban maju, yang didasarkan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat mendorong
upaya serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni maupun pelaksanaan pemerintahan
agar mengikuti undang-undang dan bukan mengikuti nafsu atau keinginan individu (Rosyada,
2000: 238). Sementara menurut Lee (2000:9-10) bahwa focus of transformative citizenship is a
concern for reconstructing society by developing a critical understanding of and engagement with
social issues and institutions. Orienting this understanding and engagement are concerns for
overcoming relations of domination and promoting a more just and equitable distribution of
society's benefits. Transformative citizenship does not necessarily entail the denial of personal
interests, goals, or preferences. It does involve the linking of one's private life and personal
experiences with the social, communal, or public realm. Pandangan yang mirip dipaparkan oleh
Raskin (1986) bahwa interconnection of these two realms, "In its best sense, citizenship...allows
the person to fulfill his or her natural abilities in social, economic, and political benefit with 282
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
others" (pp. 296-297). This type of citizenship is one "in which all members of the nation seek to
work out individual destinies and common projects, with the latter taking precedence where there
is a contradiction between the two. Transformative citizenship requires, especially in the modern
world, a civic education that emphasizes the interdependence of human beings (Lee, 2000:10).
Hal ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan transformative merupakan karakteristik warga
negara yang baik.
Kompetensi kewarganegaraan yang berupa pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan
yang mendukung “menjadi warga negara yang partisipatif dan bertanggung jawab dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara” (Komalasari dan Budimansyah, 2008:83). Hal ini
sepemahaman dengan pandangan Bronson (1998: 8-9) yang memberikan penegasan bahwa tujuan
PKn adalah “berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan
masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional”. Agar dapat berpartisipasi secara maksimal
diperlukan adanya kompetensi kewarganegaraan yaitu: “(1) penguasaan terhadap pengetahuan
dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3)
pengembangan sikap dan mental tertentu (Komalasari dan Budimansyah, 2008:76), (4) komitmen
yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi konstitusional. The National
Standards for Civivs and Government (CICED, 1999:62) merumuskan tentang aspek-aspek
kompetensi tersebut mencakup “pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan
kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic dispositions)”.
Untuk itu maka perlu kiranya nilai-nilai kewarganegaraan transformative perlu
dikembangkan dan dibangun dalam pendidikan formal (sekolah). Dalam konteks penyadaran
publik, lembaga pendidikan formal (sekolah) mempunyai tanggung jawab moral yang besar
dalam rangka menumbuhkembangkan semangat antikorupsi, karena “sekolah adalah proses
pembudayaan” (Hassan, 2004:10). Pendidikan formal bisa menjadi lading untuk menyuburkan
pola pikir, sikap, dan perilaku warga negara transformatif karena sekolah merupakan lingkungan
kedua bagi anak dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Sebagaimana pendapat
Lickona (1992) bahwa penanaman karakter yang baik diperlukan tiga komponen yaitu moral
knowing, moral feeling, dan moral action. Caranya, sekolah memberikan nuansa, atmosfer, dan
habituasi yang mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai dan etika yang hendak
ditanamkan, termasuk perilaku yang berbasis pada transformatif.
Nilai-nilai kewarganegaraan transformati yang dapat dikembangkan di sekolah antara lain
jujur, disiplin, bertanggung jawab, adil dalam kehidupan sehari-hari, toleran, menghormati
pandangan orang lain yang berbeda, respek, dan lain-lain. memiliki semangat dan komitmen
kewarganegaraan transformatif yang kuat.Berperilaku terbuka, tanggung jawab dan menjunjung 283
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
tinggi kepentingan umum.Berperilaku jujur pada diri sendiri dan orang lain dalam melakukan
transaksi. Berperilaku hanya mau menerima sesuatu yang memang menjadi hak atau miliknya
atau tidak mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
PEMBAHASAN
Pendidikan Kewarganegaraan Transformatif (PKT) di sekolah perlu menggunakan prinsip
pendidikan nilai dan perilaku yang menekankan pada aktifitas yang dapat mendorong proses
internalisasi nilai, pembentukan sikap, dan pembiasaan perilaku. Dengan demikian orientasi PKT
bukan pada penguasaan pengetahuan tentang konsep warga negara transformative secara teoritik
dan normatif. PKT dimaksudkan sebagai pendidikan watak dan karakter yang bertujuan untuk
membentuk pribadi-pribadi yang mempunyai perilaku terpuji yang dapat mendukung perilaku
yang sarat dengan nilai-nilai transformatif. PKT di Sekolah dilaksanakan mulai dari jenjang
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsnawiyah
(SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan
(SMA/MA/SMK). Penanaman nilai-nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif pada
jenjang SD/MI akan terus berlanjut secara berkesinambungan pada jenjang SMP/MTs, kemudian
terus berlanjut pada jenjang SMA/MA/SMK. Dengan demikian akan terjadi pendalaman dan
perluasan yang berbeda pada setiap jenjang terhadap suatu nilai dan perilaku kewarganegaraan
transformatif tertentu. Hal ini berarti meskipun nilai dan perilaku Kewarganegaraan transformatif
yang hendak ditanamkan pada setiap jenjang sama, tetapi kedalaman dan keluasannya berbeda
antar jenjang, disamping memang tidak dapat dihindari adanya pengulangan pada setiap jenjang.
PKT di Sekolah adalah bagian dari pembelajaran yang dilaksanakan secara terencana dan
tertata yang melibatkan semua unsur sekolah, baik siswa, guru, kepala sekolah, maupun warga
sekolah lainnya. Disamping itu juga dikembangkan melalui berbagai kegiatan pembelajaran
secara terpadu, baik pembelajaran di kelas, pembelajaran dalam kegiatan-kegiatan kesiswaan di
luar kelas, maupun pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan perilaku.
Pendekatan yang digunakan dalam PKT di Sekolah adalah terintegrasi dengan mata
pelajaran, melalui kegiatan kesiswaan, dan melaui pembiasaan. PKT di Sekolah dilaksanakan
dengan mengintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Misalnya mata pelajaran yang
paling relevan, yaitu Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn), dan Bahasa Indonesia (BI). Pendekatan ini dipilih berdasarkan
beberapa pertimbangan, yaitu:
284
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
a. Pada prinsipnya dalam setiap matapelajaran sudah mengandung muatan nilai dan perilaku
Kewarganegaraan transformatif dengan kadar tertentu yang berbeda, sehingga tinggal
memberikan pendalaman dan perluasan.
b. Dalam setiap pembelajaran dapat dirancang dengan menggunakan metode, media, dan
sumber belajar yang mengandung muatan nilai dan perilaku Kewarganegaraan transformatif
tertentu.
c. Dengan pendekatan integratif tidak akan mengganggu proses pembelajaran di kelas, bahkan
akan membuat proses pembelajaran semakin aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
d. Dengan pendekatan integrasi tidak akan menambah beban materi dan waktu belajar siswa
dan guru, yang selama ini dipandang sudah cukup padat.
Sementara PKT yang dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan kesiswaan seperti melalui
Majalah Dinding, Koperasi Siswa, Peringatan Hari-hari Besar Nasional dan Keagamaan, kegiatan
OSIS, Pramuka, Olahraga, dan sebagainya. Untuk itu maka pendekatan ini dipilih didasarkan atas
pertimbangan:
a. Kegiatan kesiswaan menuntut adanya pelaksanaan yang didasarkan atas nilai dan perilaku
tertentu yang relevan dengan nilai dan perilaku PKT, sehingga dirancang dengan baik dalam
kegiatan kesiswaan akan secara otomatis dapat dikembangkan nilai-nilai dan perilaku
kewarganegaraan transformatif.
b. Kegiatan kesiswaan akan memberikan pengalaman secara langsung kepada siswa untuk
melakukan penghayatan dan pengamalan terhadap nilai, sikap, dan perilaku hidup sehari-hari.
Sementara itu pengalaman adalah proses belajar yang paling baik, sehingga melalui kegiatan
kesiswaan terjadi proses internalisasi nilai dan tumbuhnya perilaku kewarganegaraan
transformatif akan dapat terjadi secara lebih efektif.
c. Kegiatan kesiswaan akan memberikan pengalaman kepada siswa untuk belajar dengan
berbagai sumber, selain guru dan pihak lain dari luar sekolah terutama dengan teman sejawat
sesama siswa. Belajar melalui teman sejawat sesama siswa diyakini lebih efektif, karena
terjadi dalam suasana kesetaraan dan keleluasaan. Pandangan tentang nilai tertentu dan
keputusan sikap yang diambil secara leluasa dalam suasana kesetaraan tanpa tekanan akan
tertanam lebih kuat dan mendalam.
PKT di Sekolah dikembangkan melalui pembiasaan perilaku yang dapat dikemas dalam
berbagai kegiatan dan/atau penciptaan kebiasaan perilaku tertentu. Pembiasaan perilaku ini
memerlukan kreativitas dari warga sekolah untuk membuat atmosfir yang bisa mendorong
tumbuhnya budaya kewarganegaraan transformatif di sekolah. Untuk itu diperlukan keteladanan,
285
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
kebersamaan, dan komitmen dari semua warga sekolah. Pendekatan ini dipilih berdasarkan
beberapa pertimbangan, yaitu:
a. Pembiasaan perilaku akan dapat menciptakan lingkungan sosial sekolah yang kondusif.
Sedang lingkungan sosial yang kondusif di sekolah sangat mempengaruhi terhadap
perkembangan psikhis, pola pikir, dan kebiasaan dalam menumbuhkan budaya perilaku
Kewarganegaraan transformatif.
b. Pembiasaan perilaku akan melibatkan semua unsur sekolah secara keseluruhan dan simultan,
sehingga dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama kepada semua warga sekolah
terhadap pelaksanaan PKT.
c. Pembiasaan perilaku akan mendukung proses internalisasi nilai dan tumbuhnya perilaku
kewarganegaraan transformatif berjalan secara lebih efektif. Pembiasaan akan menciptakan
otomatisasi perilaku, sehingga nilai dan sikap Kewarganegaraan transformatif dapat lebih
melekat pada karakter dan pribadi waga sekolah.
Proses pembiasaan perilaku Kewarganegaraan transformatif memerlukan adanya
komitmen yang kuat dan tahan lama. Hal ini berarti perlu membangun komitmen secara terus
menerus dengan berkelanjutan. Upaya membangun komitmen ini bisa dilakukan dengan cara
membacakan naskah “Komitmen Kewarganegaraan transformatif” pada setiap kegiatan upacara,
baik upacara setiap hari Senin maupun upacara pada hari-hari besar nasional. Pembacaan naskah
“Komitmen Kewarganegaraan Transformatif” bisa dilakukan oleh salah satu siswa untuk
kemudian ditirukan oleh semua peserta upacara.
Jika PKT hendak diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tertentu langkah awal yang
perlu dilakukan adalah dengan melakukan analisis kurikulum terhadap mata pelajaran tertentu.
Analisis itu setidaknya pada Komptensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Identifikasi
dilakukan untuk menemukan sejumlah KI dan KD yang ada dalam mata pelajaran, misalnya
dalam Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan
Bahasa Indonesia yang mengandung muatan Nilai dan Perilaku Kewarganegaraan Transformatif.
Identifikasi KI dan KD ketiga mata pelajaran ini dilakukan terhadap semua jenjang sekolah, yaitu
SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Identifikasi ini akan menghasilkan sejumlah KI dan KD
tertentu yang mengandung muatan Nilai dan Perilaku kewarganegaraan transformatif. Hasilnya
ada nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif tertentu yang terkandung dalam sejumlah
KI dan KD pada ketiga mata pelajaran tersebut di semua jenjang sekolah dan ada yang hanya
terkandung dalam sejumlah KI dan KD pada satu atau dua mata pelajaran di salah satu atau dua
jenjang sekolah.
286
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Pada prinsipnya strategi integrasi bisa dilakukan melalui pengembangan materi, metode,
media, dan sumber belajar. Integrasi melalui pengembangan materi terutama dilakukan terhadap
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Kewargenagaraan yang memang
sebagian materinya mengandung muatan nilai dan perilaku Kewarganegaraan transformatif.
Sedangkan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pengintegrasian lebih diutamakan melalui
pengembangan metode, media, dan sumber belajar. Integrasi melalui pengembangan metode,
media, dan sumber belajar juga harus dilakukan untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan
Pendidikan Kewarganegaraan.
Integrasi melalui pengembangan materi dilakukan dengan memberikan penonjolan,
penajaman, pendalaman dan atau perluasan materi pembelajaran yang terkait dengan nilai dan
perilaku kewarganegaraan transformatif tertentu sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual
siswa yang ada pada setiap jenjang sekolah. Dengan demikian suatu nilai dan perilaku
kewarganegaraan transformatif tertentu akan dikembangkan secara berbeda pada jenjang SD/MI,
SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Meskipun dikembangkan secara berbeda, namun tetap
berkesinambungan dan berkelanjutan.
Integrasi melalui pengembangan metode dilakukan dengan memilih dan menggunakan
metode pembelajaran yang bisa mendorong terjadinya internalisasi nilai dan tumbuhnya sikap
dan perilaku Kewarganegaraan transformatif, seperti jujur, disiplin, adil, tanggung jawab, dan
sebagainya. Beberapa metode seperti diskusi, bermain peran, demonstrasi, simulasi, curah
pendapat, dan sebagainya perlu didesain dengan skenario yang dapat mendorong terjadinya
proses internalisasi nilai dan tumbuhnya sikap dan perilaku kewarganegaraan transformatif
tertentu.
Integrasi melalui media dan sumber belajar dengan memilih penggunaan media dan
sumber belajar yang mengandung muatan nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif
tertentu dilakukan baik untuk materi pembelajaran yang secara langsung mengandung muatan
nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif dimaksud maupun tidak. Beberapa media dan
sumber belajar tersebut diantaranya adalah gambar, foto, video, berita media massa, puisi, sajak,
cerpen, prosa, pantun, dan sejenisnya yang berkaitan dengan PKT.
Penciptaan atmosfir kewarganegaraan transformatif di sekolah juga dapat dilakukan
dengan pemasangan poster atau karikatur yang mengandung nilai dan perilaku kewarganegaraan
transformatif. Poster memuat slogan yang berupa kata-kata hikmat yang bermakna dan
menimbulkan kesan mendalam. Poster hendaknya merupakan hasil karya siswa dan dipasang
secara cantik di sudut-sudut ruang atau gedung sekolah sehingga juga dapat menambah
keindahan. Begitu pula karikatur. Pengadaan karikatur Kewarganegaraan transformatif bisa 287
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
dilakukan dengan mengadakan lomba di antara para siswa.. Jika poster dan karikatur
kewarganegaraan transformatif karya siswa tersebut di pasang di sudut-sudut ruang atau geduang
sekolah akan menumbuhkan rasa bangga pada diri siswa yang selanjutnya dapat memperkuat
komitmen kewarganegaraan transformatif pada dirinya.
PENUTUP
Kewarganegaraan transformatif yang dianggap sebagai sebagai nilai dalam kehidupan
warga negara yang mengandung aspek pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan sangat
diperlukan dalam masyarakat yang multikultur dalam kerangka yang lebih luas yakni keadaban
dunia. Penanaman nilai-nilai kewarganegaraan transformatif dapat dilakukan melalui sekolah,
baik yang diintegrasikan melalui mata pelajaran maupun melalui kegiatan kesiswaaan.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.
Bronson, M. S. 1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Terjemahan Syafrudin. Yogjakarta:
LkiS.
Center For Indonesian Civic Education/CICED. (1999). Democratic Citizens in A Civic Society:
Workshop Report. Bandung: CICED.
Hassan, F. (2004). Pendidikan adalah Pembudayaan: dalam Pendidikan Manusia Indonesia.
Jakarta: Penerbit Kompas.
Komalasari, K., Budimansyah, D. 2008. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan
Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewargane-garaan Siswa SMP. Acta Civicus
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 1, Oktober 2008.
Lee, Daeill. 2002. Transformative Citizenship: A Redefinition of Citizenship in a Multicultural
Society. The Snu Journal of Education Research. 6(6), 1-17.
Lickona, T. (1991). Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Raskin, M. (1986). The common good: Its politics, policies, and philosophy. New York: Routledge & Kegan Paul.
288
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
DISKURSUS GENDER EGALITARIAN DALAM PENDIDIKAN CALON GURU SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN WARGA NEGARA TRANSFORMATIF
Oksiana Jatiningsih
AbstrakPendidikan merupakan investasi bagi penciptaan kehidupan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu fungsi pendidikan tidak hanya mentransmisikan tetapi juga mentransformasikan kehidupan; tidak hanya menjadi penguat dan pengekal status quo, tetapi juga mengubah kondisi tersebut. Pendidikan penting untuk dapat selalu beradaptasi sekaligus mengantisipasi dinamika kehidupan. Bersamaan dengan itu, pendidikan juga berfungsi partisipatoris, bahkan pendidikan adalah pencipta perubahan itu sendiri. Dalam konteks itu, pendidikan penting untuk dapat menyemaikan kehendak dan kecakapan untuk berubah menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh
289
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
karena itu, pendidikan penting untuk dapat mengubah orientasi nilai seseorang. Pendidikan berperan penting untuk membebaskan individu dari dominasi nilai yang tidak ramah terhadap ketidakadilan. Kesensitifan terhadap fenomena ketidakadilan ini yang kemudian dapat menumbuhkan sikap keterbukaan dan transformatif. Dengan sikap transformatif ini akan dapat ditumbuhkan komitmen untuk mengedepankan perubahan menuju kepentingan bersama dan kehidupan yang lebih baik. Inilah sikap yang dimiliki oleh warga negara transformatif. Dalam rangka pembentukan warga negara transformatif ini, pendidikan perlu membuka peluang bagi adanya perubahan terhadap mainstream sikap, pengetahuan, dan kecakapan akademik lama menuju sikap, pengetahuan, dan kecakapan akademik transformatif. Salah satu problematika sosial yang perlu dicermati adalah dominasi wacana gender patriarkhi atau netral gender dalam pendidikan. Iklim transformatif yang berperspektif gender ini penting untuk dibangun dalam pendidikan calon guru. Dalam konteks inilah pendidikan penting untuk dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membangun pendidikan transformatif yang dapat membongkar nilai gender dominan (status quo) dan membangun wacana gender egalitarian. Dalam jangka panjang, melalui sikap transformatif ini diharapkan lahir warga negara transformatif yang berkomitmen untuk mengubah ketidakadilan dan mengedepankan kepentingan bersama.
Keywords: diskursus gender egalitarian; pendidikan calon guru; warga negara transformatif.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan arena reproduksi dan produksi sosial. Pendidikan adalah tempat
individu dan masyarakat dikonstruksi (McLarend dan Leonard, 1993:23), Sebagai arena
reproduksi sosial, maka pendidikan menjadi arena individuu dikonstruksi; ia menjadi penguatan
kekuasaan atau diskursus dominan. Pendidikan menyiapkan peserta didik untuk belajar tentang
norma-norma sosial tentang gender dan belajar menjadi seperti harapan sosial sesuai dengan jenis
kelaminnya (McLaren dan Leonard, 1993:25). Pendidikan menjadi sarana reproduksi bagi
eksistensi hierarkhi sosial ataukah kekuatan perubahan sosial (McLean, 2006:1). Peserta didik
belajar pengetahuan dan nilai (common sense of knowledge) yang benar secara sosial agar dapat
menjalankan perannya dengan baik.
Berbeda dengan hal tersebut, sebagai arena produksi sosial, pendidikan menjadi agent of
social change. Pendidikan menjadi arena transformasi sosial dan menawarkan perubahan-
perubahan. Jones, (2005:88) mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci perubahan. Karena itu
pendidikan merupakan tempat masyarakat dikonstruksi. Pendidikan (sekolah) merupakan media
untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial (Nuryanto, 2008:6). Pendidikan merupakan
kekuatan bagi perubahan sosial dan kendaraan melakukan reproduksi sosial (McLean, 2006:1).
Untuk itu, “Pendidikan merupakan daerah istimewa untuk mendorong pemikiran kritis tentang
topik gender dan ladang subur untuk merekonstruksi konsepsi gender” (Fernández-Álvarez,
2014:270). Peserta didik dimotivasi untuk berani mengkritisi ketidakadilan sosial dan
menyampaikan pengetahuan baru untuk menumbuhkan kepekaan dan kesadaran individu
290
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
terhadap ketidakadilan, penderitaan, atau problem sosial lain. Inilah gambaran tentang warga
negara transformatif.
Warga negara transformatif adalah warga negara yang mampu keluar atau melepaskan diri
dari ikatan status quo dan berubah berkembang ke arah terwujudnya masyarakat yang ideal
karena inisiatif dan kemampuannya. Warganegara transformatif memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk melawan ketidakadilan, ketimpangan, atau penindasan di masyarakat. Dalam
rangka pembentukan warga negara transformatif, proses belajar semestinya dapat membuka dan
mengembangkan kepekaan dan kemampuan kecakapan berpikir peserta didik. Pendidikan
semacam ini dikenal dengan pendidikan kritis (Banks, 2008:135) atau pedagogi kritis. Giroux
berpandangan bahwa dalam pedagogi kritis, peserta didik disadarkan akan adanya kekuatan
represif di masyarakat (Hidayat, 2011:183). Peserta didik dikembangkan kemampuannya untuk
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi warga
negara mendalam (deep citizenship) (Banks, 2008:136), yaitu warganegara transformatif. Lebih
lanjut dijelaskan oleh Banks, bahwa warga negara transformatif adalah warga negara yang
mampu mengaktualisasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral serta cita-cita melampaui
hukum dan kebiasaan yang berlaku pada suatu negara. Warga negara transformatif
senantiasa memiliki pemikiran yang kritis, melakukan tindakan untuk mempromosikan
keadilan sosial, mampu berpartisipasi secara aktif dengan landasan argumentasi yang rasional,
dan berani menyuarakan kebenaran.
Terkait dengan penyiapan warga negara transformatif, maka pendidikan diharapkan dapat
berfungsi sebagai arena produksi sosial. Untuk dapat memutus mata rantai sosial yang dominan
patriarchi, maka pendidikan semestinya dikonstruksi egalitarian, karena praktik-praktik
pendidikan yang bias gender dapat menciptakan ketidakadilan sosial (Subrahmanian, 2005:405).
Di sekolah, proses ini sangat terkait dengan dan melibatkan guru sebagai tokoh kunci dalam
pengembangan kesetaraan gender (Aikman, 2003:2). Guru adalah pengambil kebijakan yang
paling berpengaruh dan sentral dalam perubahan pendidikan (Datnow 1998:9-10). Ia tidak hanya
fasilitator dalam proses pendidikan, tetapi juga pekerja kultural yang menyadari bahwa
pendidikan berfungsi sebagai pembebasan atau penguat status quo. Agar dapat bertindak sebagai
agent of change, guru harus menjadi “skilled change agentry.” Di sinilah letak pentingnya,
diskursus gender egalitarian dalam proses pendidikan calon guru.
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) memiliki power untuk mempengaruhi
dan menentukan kualitas calon guru dan pendidikan. Menurut Roth (2005:184), pendidikan tinggi
penghasil calon guru merupakan institusi yang paling bertanggung jawab atas penyiapan kualitas
dan kecakapan calon guru. Dalam perspektif Foucault, LPTK memiliki enunciative modality 291
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
untuk memproduksi pengetahuan/kebenaran di bidang pendidikan, termasuk gender. Perguruan
tinggi, termasuk LPTK, menjadi peletak dasar bagi tubuh belajar dan pengkajian prinsip-prinsip
dan dasar-dasar ilmu pengetahuan (McLean, 2006:26), melalui perannya dalam menginterpretasi,
mentransformasi, dan mengembangkan tradisi budaya masyarakat dan membentuk kesadaran
peserta didiknya, serta reproduksi dunia kehidupan sosial, budaya, dan kepribadian (McLean,
2006:63). Sebagai perguruan tinggi, LPTK merupakan ruang publik yang vital dan memiliki hak-
haknya sendiri dalam merumuskan dimensi moral dan pedagogis untuk memperbaiki kehidupan
sosial (Giroux, 1997:258-259) dengan membaca dan mendekonstruksi ketidakadilan gender
dalam kehidupan. Secara politis, LPTK memiliki potensi atau kekuatan untuk melakukan
produksi dan transformasi kehidupan yang berkeadilan gender melalui calon guru yang
dihasilkan.
Mentransformasikan Gender Patriarkhi ke Egalitarian dalam Pendidikan Calon Guru
Ideologi gender dominan pada suatu periode kehidupan (Foucault menyebutnya sebagai
episteme) menjadi dasar penciptaan norma-norma dan praktik-praktik sosial. Dalam konstruksi
nilai gender patriarkhi, laki-laki dan perempuan ditempatkan secara asimetris, laki-laki
ditempatkan lebih tinggi dan utama daripada perempuan. Sementara itu, perempuan diposisikan
menjadi komplemen, pelengkap, penunjang, atau penguat eksistensi laki-laki yang ditempatkan
sebagai sang subjek, sang absolute (Beauvoir, 1949:6). Perempuan ditempatkan sebagai the
second dan the other, sedangkan laki-laki sebagai the first dan the genuine subject (Beauvoir,
1956:20; Bauer, 1960:44). Definisi dan identitas maskulin bagi laki-laki dan feminin bagi
perempuan dibangun berdasarkan kriteria tersebut (Subhrahmanian, 2005:398). Perempuan
didefinisikan berada di lingkup domestik dan laki-laki di lingkup publik. Dampaknya, akses dan
penguasaan terhadap sumber daya produktif lebih besar pada laki-laki daripada perempuan.
Ketimpangan relasi sosial ini menciptakan powerless pada perempuan dan perempuan sebagai
pihak yang terbelenggu pun karena ketidakkuasaannya secara tidak sadar melestarikan
penindasan terhadapnya (Freire, 2004:17).
Perbedaan peran gender berpeluang menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan gender.
Bukti ketidakadilan gender telah banyak ditemui, baik di lingkup domestik maupun lingkup
publik, namun keluar dari lingkaran ketidakadilan gender bukanlah merupakan persoalan yang
mudah. Kekuatan perubahan itu dalam banyak hal belum cukup dapat mewacanakan nilai-nilai
gender egalitarian, yang lebih berkeadilan. Pihak yang dominan cenderung mencari strategi untuk
mempertahankan posisinya, sedangkan pihak yang didominasi cenderung mencari strategi untuk
memperbaiki posisinya atau memperoleh posisi baru yang lebih baik (Mutahir 2011:70-71). 292
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Seiring dengan cita-cita kesetaraan gender, pendidikan penting untuk dapat mentransformasikan
kehidupan menjadi lebih baik. Pendidikan bukanlah alat untuk menjaga stabilitas kuasa semata,
tetapi pendidikan merupakan alat perjuangan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik; lebih
berkeadilan dan berkesetaraan. Keberpihakan pendidikan pada kehidupan yang lebih baik ini
menunjukkan bahwa sebenarnya pendidikan mengakomodasi perubahan, bahkan pendidikan itu
sendiri yang memotori “perlawanan” terhadap dominasi dan eksploitasi menuju kehidupan yang
lebih baik. Pendidikan tidak boleh melihat dominasi sebagai hal yang alami atau biasa, apalagi
sebagai warisan sosial yang harus dijaga. Pendidikan yang menganggap biasa atau mengakui
adanya kekuasaan dari pihak yang kuat (the powerful) terhadap mereka yang lemah (the
powerless), akan semakin memperkuat nilai-nilai dominasi dan eksplotasi dalam kehidupan
(Hooks, 1994:28). Meskipun pendidikan juga berfungsi sebagai pemelihara nilai-nilai sosial,
namun pendidikan sangat penting memposisikan diri untuk tidak semata-mata mempertahankan
atau bahkan memperkuat status quo. Orientasi kepada kondisi dan kehidupan yang lebih baik dan
berkeadilan semestinya selalu ada.
Diskursus gender patriarkhi sebagai ideologi yang dominan terpelihara dari tahun ke tahun
melalui proses pendidikan pada berbagai tingkat pendidikan. Penelitian Jatiningsih dan
Kartikasari (2010:469) di Taman Kanak-Kanak (TK) di Surabaya menunjukkan guru cenderung
berinteraksi dengan anak secara seksis. Lebih lanjut, Sugihastuti dan Saptiawan (2010:19)
mengungkapkan bahwa guru cenderung lebih bersikap helpful kepada anak perempuan,
sedangkan anak laki-laki dituntut untuk menampilkan perilaku yang tangguh dan berani. Guru
lebih bisa menerima bahwa anak perempuan cenderung lebih manja dan cengeng daripada anak
laki-laki. Gambar atau tulisan dalam buku teks pun cenderung masih seksis.
Bias gender ditemukan dalam pendidikan di tingkat Sekolah Dasar. Buku-buku teks di SD
tidak mendukung sosialisasi gender yang egalitarian. Penelitian Jatiningsih, Setyowati, dan
Narwati (2002) tentang pendidikan gender di SD di Surabaya mengungkapkan bahwa buku-buku
teks seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Bahasa Jawa, dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang digunakan di sekolah tidak
mendukung upaya sosialisasi gender yang egalitarian. Guru di SD juga tidak memiliki
pemahaman dan kepekaan tentang hal tersebut, bahkan mereka pun cenderung berinteraksi secara
bias gender dengan siswanya (Jatiningsih, 2003:63-66). Temuan ini konsisten dengan temuan
penelitian yang dilakukan oleh Muthali’in (2001:215-218) dalam penelitiannya tentang sosialisasi
bias gender di SD di Yogyakarta. Bias gender terjadi pada kurikulum, materi pelajaran,
pengelolaan kelas (termasuk metode dan media yang digunakan guru), kegiatan ekstrakurikuler,
maupun permainan di luar kelas. Temuan yang sama juga diungkapkan oleh Agustin (2007:138) 293
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
dan Suharyo, Irianto, dan Agus Muladi (2003). Materi ajar IPS SD mulai kelas satu sampai kelas
enam, masih cenderung bias gender. Guru juga tidak menyadari bahwa di balik teks terdapat
kekuatan ideologi yang bekerja melalui hidden curricullum yang akan berdampak pada
pengonstruksian gender anak (Jatiningsih, Susilowati, dan Setyowati, 2002:130). Slater (2003:17)
dalam penelitiannya di tiga sekolah dasar di Ohio juga mengungkapkan hal yang sama; Bias
gender banyak ditemui dalam buku teks sekolah, dan hal ini tidak disadari oleh guru.
Fenomena bias gender juga terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Meskipun tidak
sekuat kondisi di SD, fenomena bias gender pun masih ditemukan di SMP (Jatiningsih,
2008:166). Selain buku-buku teks yang masih bias gender, guru-guru SMP mengonstruksi nilai-
nilai gender yang patriarkhi. Kesensitifan dan kesadaran gender guru pun masih rendah, sehingga
dalam penyelenggaraan pembelajaran mereka pun cenderung berinteraksi sesuai dengan nilai-
nilai gender yang tradisional pula. Jadi, pendidikan di tingkat SMP pun cenderung berperan
menguatkan dan mengekalkan ideologi gender yang patriarkhi.
Sikap tidak responsif gender dari guru juga terjadi pada level pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Jatiningsih dan Listyaningsih (2013:73) mengungkapkan bahwa sekolah
pada level ini belum merespon secara formal kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) bidang
pendidikan, cenderung pasif dan menanti kebijakan dari “atas”. Kepala sekolah dan guru pun
masih belum responsif positif terhadap fenomena bias gender, meskipun mereka telah
memperoleh pelatihan tentang itu dan telah ada kebijakan formal tentang itu. Sebagaimana
dikemukakan Darmadji dan Junitasari (2007:8), “Meskipun sudah dituangkan dalam kebijakan
namun tampaknya implementasi dalam buku ajar masih sulit dilakukan, … wanita sangat dekat
dengan pekerjaan-pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki sangat dekat dengan pekerjaan-
pekerjaan publik.”
Fakta bahwa masih kuatnya bias gender terjadi di sekolah menggambarkan bahwa perlu
‘sentuhan khusus” kepada para calon guru agar mereka tidak tumbuh sebagai guru yang
kehadirannya di sekolah justru menguatkan nilai-nilai lama yang menimbulkan ketidakadilan itu.
Fungsi laten guru sebagai penyambung lidah kelas menengah (Damsar, 2011:161) pada dasarnya
menjauhkan peran guru sebagai penggerak perubahan dalam pendidikan atau masyarakat, dan
justru hanya mengekalkan status quo, yaitu nilai-nilai yang dominan meskipun menebarkan
ketidakadilan dalam kehidupan. Dalam hal seperti ini, guru justru berperan menjadi penjaga nilai-
nilai gender patriarkhi dan menjauhkan dirinya dari perannya sebagai agent of change menuju
kehidupan yang lebih baik, yang egalitarian dan membebaskan perempuan dari posisi yang
memarginalkannya.
294
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Dalam pendidikan, sedikitnya ada empat hal tentang pentingnya seorang guru
berperspektif gender. Pertama, guru adalah ujung tombak pendidikan. Perbincangan atau
aturan tentang kesetaraan gender dalam pendidikan atau perubahan buku-buku bacaan akan
sia-sia jika gurunya tidak mendukung atau masih berkarakter bias gender. Kedua, buku-buku.
Teks di sekolah masih bias gender dan perlu diubah. Ketiga, proses pembelajaran. Dalam
proses ini, guru adalah pecipta dan pengelola interaksi yang berlangsung dalam proses
pembelajaran. Dalam proses ini, baik laki-laki maupun perempuan semestinya diperlakukan
sama. Jadi kalaupun ada pembedaan, seharusnya hal itu didasarkan pada kemampuannya, bukan
disebabkan oleh jenis kelaminnya. Keempat, penghargaan terhadap guru. Sebenarnya tidak ada
kebijakan atau ketentuan bahwa tidak boleh mengambil contoh di luar buku bacaan, tetapi
guru yang seakan-akan enggan memberi contoh-contoh di luar buku teks (Saptandari dan Sawitri,
2005:85-87).
Pendidikan merupakan proses transformasi, bukan transmisi. Pendidikan bukan
merupakan arena sosialisasi semata, tetapi merupakan proses dekonstruksi bahkan rekonstruksi
kehidupan dan kebudayaan (Tilaar, 2003:43). Sebagaimana yang dapat ditemukan dari mazhab
Frankfurt dan postmodernisme, pendidikan harus berjalan secara kritis. Pendidikan merupakan
upaya mengonstruksi kehidupan yang lebih baik melalui proses empowerment dan self reflection
sebagai titik tolak untuk melakukan transformasi sosial dengan berpihak kepada powerless
(Nuryatno, 2008:5). Dalam konteks ini, pihak yang lemah adalah perempuan yang berada di
bawah penindasan struktur sosial yang berpihak kepada laki-laki (patriarkhi).
Mentransformasikan nilai gender patriarkhi menuju egalitarian bukanlah persoalan yang
sederhana. Perubahan ini menghendaki terjadinya pembongkaran sistem nilai dalam diri individu
dan sosial. Secara individual perubahan itu menuntut terjadinya kesadaran. Kesadaran
menggambarkan proses bangkitnya individu dari ketidakberdayaannya. Proses pendidikan yang
sebenarnya adalah proses bangkitnya kesadaran kritis (Freire menyebutnya sebagai
conzcientization) (Freire, 1976:19); berubahnya kesadaran individu dari kesadaran magis dan naïf
menjadi kritis. Dengan kesadaran kritisnya, individu dapat melihat secara kritis kontradiksi,
ketimpangan, penindasan, atau ketidakadilan yang ada di sekitarnya dan memiiki kemampuan
untuk mengubahnya (Nuryanto, 2008:99). Karena itu, kesadaran merupakan produk dari proses
pendidikan yang memberdayakan (empowerment) yaitu proses penyadaran akan kemampuan atau
identitas individu atau kelompok (Tilaar, 2003:57), pemberian kekuasaan untuk mandiri atau
menjadi sebagai individu atau subjek yang manusiawi (Tilaar, 2003:87; Nuryatno, 2008:38).
Individu yang telah mencapai kesadaran kritis akan semakin rasional dan menentang
dogma-dogma kuno serta menemukan kebenaran-kebenaran dalam pengalaman barunya (Smith, 295
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
2008:47). Dalam kesadaran kritis yang sudah dimiliki seseorang individu (calon guru) melalui
proses pendidikan, maka individu tidak bersikap pasif menerima sebuah keadaan penindasan,
pendominasian, penguasaan atau ketidakadilan sebagai sebuah nasib atau sekedar membela diri.
Individu yang berkesadaran kritis berpandangan bahwa sistem perlu ditransformasi karena
penyebab terjadinya penindasan itu adalah sistem yaitu norma yang menguasai penindas dan
tertindas (Smith, 2008:102). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, transformasi ini dimulai dari
penolakan dan penyingkiran ideologi penindas dan penghargaan terhadap diri sendiri dan
kekuatan komunitas. Pemikiran rasional, keberanian bertindak, mengambil resiko, dan bertindak
melepaskan diri dari ketergantungannya kepada pihak yang dominan (penindas).
Susilaningsih dan Najib (2009:31-33) mengungkapkan ada empat level integrasi yang
ditawarkan dalam strategi dan kerangka kerja untuk memasukkan materi-materi gender
dalam sebuah kurikulum, yaitu contribution approach, additive approach, transformational
approach, dan social action.
(1) Contributions Approach. Pendekatan ini dilakukan oleh sistem dan kebijakan yang ada pada
lembaga pendidikan melalui kurikulum. Masalah-masalah gender telah dimasukkan secara
eksplisit dalam kurikulum yang ada.
(2) Additive Approach. Dalam pendekatan ini variasi dan perspektif lain ditambahkan
pada kurikulum tanpa mengubah struktur kurikulum yang ada secara umum.
Pemikiran dan ide-ide baru mengenai gender dapat dimasukkan dan dikaitkan dengan
kurikulum yang ada.
(3) Transformational Approach. Pada pendekatan ini tujuan, struktur, dan perspektif yang
ada dalam kurikulum semuanya dirombak dan diganti dengan tujuan dan perspektif yang
sensitif gender.
(4) Social Action Approach. Pada pendekatan ini individu diarahkan untuk membuat keputusan
dan tindakan yang sensitif gender dalam aktivitas kehidupan supaya siswa dapat
melakukan kritik sosial bahkan dapat melakukan perubahan sosial. Hal ini dilakukan
dengan cara mendiskusikan dalam kelas mengenai konsep, peran, dan relasi gender di
masyarakat pada berbagai aspek kehidupan, seperti mengapa terjadi diskriminasi terhadap
perempuan, apa penyebab diskriminasi itu, apakah diskriminasi terjadi di dalam kelas, dan
bagaimana diskriminasi itu harus disikapi.
Mengintegrasikan gender dalam proses dan sistem pendidikan calon guru tidak mudah
dilakukan arena melibatkan berbagai macam aturan dan struktur yang telah terbangun. Melalui
partisipasi individu (terutama korban) kesadaran don komitmen individu untuk berani beruvah
dan mengubah, maka perlawanan dan perang menuju terjadinya transformasi dimulai. Perlawanan 296
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
terhadap diskursus ideologi patriarkhi yang telah menjadi dominan dalam dunia pendidikan,
bahkan kehidupan masyarakat secara umum, tentu tidak mudah dilakukan, apalagi jika
perempuan itu sendiri dengan kesadaran naifnya menerima dan menghayati peran yang diciptakan
untuknya. Kebersediaan individu untuk berubah, baik yang tergolong kelompok powerless
maupun powerfull, merupakan kekuatan untuk mentransformasi kehidupan menuju ke arah yang
lebih egalitarian. Inilah buah dari pendidikan kritis yang transformatif.
Diskursus Gender Egalitarian dan Pembentukan Warga Negara Transformatif
Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan. Proses ini membangun
kesadaran akan kemampuan kemandirian seseorang atau memberikan kekuasaan untuk menjadi
individu. Karena itu pendidikan ditandai oleh adanya proses pemberdayaan (Tilaar, 2003:87).
Inilah yang disebut dengan pendidikan transformatif. Pendidikan yang memberi ruang pada
terjadinya proses individuasi, yaitu proses yang menempatkan individu sebagai sentral proses
yang diberdayakan. Dalam pemahaman Freire, proses transformasi ini memberi ruang kepada
individu untuk menjadi dirinya sendiri yang hidup bersetara dengan yang lain, memiliki power
untuk mengkritisi fenomena yang terjadi dan mengubahya menuju kehidupan yang lebih baik.
Guru bersama peserta didik bersama mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan
(knowledge production)” (Nuryanto, 2008:38). Konsekuensinya, guru semestinya tidak bersikap
pasif atau netral gender terhadap situasi bias gender, karena Guru penting untuk memiliki
kehendak dan dipersiapkan untuk membuat sekolahnya lebih bertanggung jawab terhadap
komunitas yang lebih luas (Giroux, 1997:111). Seiring dengan kesadaran kritis dan upaya
penciptaan tatanan kehidupan yang setara gender, maka membekalkan kecakapan gender kepada
calon guru adalah kebutuhan. Oleh karena itu, pendidikan kritis dan transformatif melahirkan
individu yang memiliki sikap transformatif pula. Individu yang memiliki sikap transformatif
adalah individu yang memiliki komitmen untuk mengubah ketimpangan dan ketidakadilan dan
mengedepankan kepentingan bersama.
Rekonstruksi gender merupakan tahapan untuk meninjau ulang apakah benar pemahaman
dan pengetahuan tentang identifikasi maskulin dan feminin. Ketimpangan gender di
masyarakat antara perempuan dan laki-laki telah memunculkan berbagai ketidakadilan sosial.
Perempuan termarginalisasi, tersubordinasi, menanggung beban ganda, menjadi sasaran tindak
kekerasan, diperlakukan tidakadil karena alasan seks dan sebagainya. Diskursus gender patriarkhi
dipertanyakan dan dikritisi. Relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris diperjuangkan untuk
berubah menjadi simetris. Proses perubahan ini tentu tidak mudah karena terkait dengan struktur 297
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
nilai dan sosial yang telah begitu lama mendominasi kehidupan sosial. Sebagai episteme, nilai-
nilai gender patriarkhi telah menembus semua aspek kehidupan sehingga diterima sebagai
kebenaran dan kerangka pengetahuan semua individu. Ruang untuk mengkritisi tetap ada namun
tidak mudah melakukannya. Dalam posisi seperti ini, ruang gerak perempuan sebagai bagian dari
warga negara pun terhambat. Ruang geraknya dalam mempengaruhi dan melakukan perubahan
kehidupan sosial pun begitu sempit. Oleh karena itu, pembongkaran diskursus patriarkhi itu
penting untuk dilakukan.
Pendidikan kritis memberi ruang bagi terjadinya transformasi kehidupan. Tujuan
pendidikan transformatif bukan hanya untuk mentransformasi pribadi, tetapi juga untuk
mentransformasi sosial sehingga individu dapat menjadi produsen kreatif bagi dirinya dan
masyarakat serta hubungan politik dan ekonomi (Moore, 2005:82). Kesadaran kritis atas
berbagai persoalan dan potensi diri merupakan bagian penting dalam proses pendidikan
transformatif ini. Melalui pendidikan transformatif kesadaran individu tentang dirinya sendiri
dan lingkungan sosialnya (conscientization) tumbuh menajdi kekuatan untuk mengubah
hubungan dominasi.
Praktik pendidikan transformatif mengasah kepekaan individu warga negara dalam
melihat masalah dalam konteks sosial yang lebih luas, mengasah kemampuan mereka untuk
mengkaji secara mendalam dan kritis, mempertimbangkan berbagai pandangan dan
perspektif dalam dialog dengan orang lain, dan terlibat dalam pergaulan yang dapat
mempersiapkan mereka sebagai warga negara yang transformatif. Dalam konteks ini, institusi
pendidikan—mulai dari satuan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi—memiliki peran strategis
untuk mengimplementasikan pendidikan transformatif. Upaya pendidikan yang didasarkan
pada pendekatan pendidikan transformatif mengakui pentingnya menginternalisasi nilai-nilai
demokrasi. Praktik pembelajaran transformatif melibatkan individu (peserta didik) sebagai
pemikir kritis, partisipatif, aktif, dan visioner yang memungkinkan mereka untuk memberikan
alternatif solusi pada problematika sosial yang selalu berkembang. Dengan demikian, tujuan
pendidikan atau pembelajaran transformatif (transformatif learning) bukan sekadar
transformasi personal, tetapi juga melakukan transformasi sosial, sehingga setiap individu
memiliki peran penting dalam mengamati, mengawasi, mengontrol, mengevaluasi semua
persoalan sosial dan menghadirkan solusi bagi persoalan sosial yang terjadi.
Penutup
298
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Institusi pendidikan memiliki potensi untuk menumbuhkan penyadaran, wawasan, dan
transformasi dengan meningkatkan pemikiran kritis, menggabungkan berbagai perspektif,
dan mendorong dialog dan konstruksi pengetahuan. Pembelajaran transformatif dapat
menghasilkan perubahan yang signifikan tersebut, jauh jangkauannya, dan berdampak pada
individu peserta didik. Apa yang disebut Paulo Freire dengan penyadaran (conscientization)
adalah proses memberikan fasilitas pemahaman dan pengertian tentang efikasi diri bahwa
hubungan dominasi gender patriarkhi dapat diubah dan ditransformasikan ke dalam tatanan
kehidupan sosial yang lebih egalitarian.
Pendidikan transformatif bersama-sama mendorong partisipasi dan dukungan dialog
reflektif bagi individu peserta didik, sekaligus mendukung kehidupan dan masyarakat yang
adil dan egaliter. Pendidikan transformatif berupaya untuk mengembangkan kesadaran
individu tentang dirinya sendiri (individual’s consciousness) dan masyarakat lingkungannya
yang lebih luas. Dalam keseluruhan proses tersebut, guru berperan sangat strategis. Oleh karena
itu, pendidikan dan kesadaran kritis terkait gender sangat penting dimiliki oleh guru. Untuk tujuan
itu, pendidikan calon guru berperan penting dalam penyiapannya. Pendidikan kritis yang
berperspektif gender selanjutnya akan dapat membuka peluang bagi terbentuknya warga negara
transformatif dan terjadinya transformasi sosial dari dominasi kuasa gender patriarkhi menuju
egalitarian.
Daftar Pustaka
Adriana, Iswah, 2009. “Kurikulum Berbasis Gender. Membangun Pendidikan yang Berkesetaraan” dalam Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 200. Halaman 137-152.
Aikman, Sheila, 2003. “Developing Curricula for Gender Equality and Quality Basic Education” makalah yang disampaikan dalam seminar internasional Curricullum for Gender Equality and Quality Basic Education di Institute of Education University of London. 16 September 2003.
Banks, J. A. (2008). Diversity, Group Identity, and Ctizenship Educarion in a Global Age. dalam. Educational Researcher, 37 (3), halaman 129-139.
Bauer, Nancy, 2001. Simond de Beauvoir. Philosophy and Feminism. New York: Columbia University Press.
Beauvoir, Simond, 1956. The Second Sex. London: Jonathan Cape.
Damsar, 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
Darmadji, dan Evi Nurifah Julitasari, 2007. Studi Kebijakan Tentang Kesenjangan Gender di Bidang Pendidikan Agricultural Faculty, Widyagama Malang University .
299
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Datnow, Amanda, 1998. The Gender Politics of Educational Change. London: Falmer Press.
Dhakiri, Muh. Hanif, 2000. Paulo Freire. Islam dan Pembebasan. Jakarta: Penerbit Jambatan.
Fernández-Álvarez, Óscar, 2014. “The Gender Perspective in Managing Knowledge through CrossCurricular Studies in Higher Education.” Dalam Procedia - Social and Behavioral Sciences 161 (2014). Halaman 269 – 274.
Freire, Paulo, 2004. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Terjemahan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. “Politik Pendidikan: kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, 2004. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Terjemahan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. “Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, 2005. Pedagogy of the Oppressed. New York: The Continum International Publishing.
Freire, Paulo, 1976. Education, the practice of freedom. New York: Writers and Readers Publishing Cooperative, 1976
Giroux, Henry A., 1997. Pedagogy and the Politics of Hope. Theory, Culture, and Schooling. Central Avenue: Westview Press.
Hidayat, Rahmat, 2013. Pedagogi Kritis: Sejarah, Perkembangan, Pemikiran. Jakarta: Rajawali Press.
Hooks, Bell., 1994. Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom. New York: Routledge.
Moore, Janet. “Is Higher Education Ready for Transformatif Learning? A Question Explored in the Study of Sustainability”, Journal of Transformatif Education, Vol. 3, No. 1, January 2005.
Jatiningsih, Oksiana,, 2003. “Konstruksi Gender Siswa Sekolah Dasar.” Paradigma. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Volume 1 Nomor 2, Juli 2003. Halaman 54-71.
Jatiningsih, Oksiana, Indri Fogar Susilowati, dan Rr Nanik Setyowati, 2002. “Pengetahuan dan respon Guru SD terhadap Materi Sekolah yang Bias Gender: Studi pada Tiga Sekolah Dasar di Surabaya.” Jurnal Pendidikan Dasar, Volume 3, Nomor 2, Juni 2002. Halaman 121-132.
Jatiningsih, Oksiana, dan Maya Mustika Kartikasari, 2010. “Upaya Menyemaikan Nilai-Nilai Kesetaraan melalui Pendidikan Gender di Taman Kanak-Kanak. Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education. Teacher Education in developing National Characters and Cultures. November 8-10, 2010. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Jatiningsih, Oksiana, dan Listyaningsih, 2010. “Pengarusutamaan Gender (PUG) di Sekolah Menengah Atas Di Surabaya: Pengembangan Kebijakan Sekolah dalam Menumbuhkan Kesadaran Gender dan Kemitra-Sejajaran Laki-Laki dan Perempuan” Lentera. Jurnal Studi Perempuan. Volume 9 Nomor 1, Juni 2013. Halaman 65-75.
300
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”
FISH – UNESA, 30 Agustus 2017
Jatiningsih, Oksiana, 2010. “Model Pendidikan Gender di SMP untuk Menyiapkan Anak menuju Tatanan Kehidupan Egalitarian (Studi di SMP Negeri di Surabaya.” Makalah disampaikan pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan. Balitbang Kementrian Pendidikan nasional. Jakarta, 3-5 Agustus 2010.
Jones, Pip, 2009. Introducing Social Theory. Terjemahan oleh Achmad Fedtyani Saifuddin. (Pengantar Teori-Teori Sosial. Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
McLaren, Peter, dan Peter McLeonard, 1993. Paulo Freire A Critical Encounter. New York: Routledge.
McLean, Monica, 2006. Pedagogy and the University. Critical Theory and Practice. London: Continuum.
Merryfield, M. (1997). A framework lor teacher education in global Perspectives. Dalam M. Merryfield dan E. Jarchow, dan S. Pickert (Editors). Preparing Teachers to Teach Global Perspectives: A Handbook for Teacher Educators. California: Corwin Press.
Mutahir, Arizal, 2011. Intelektual Kolektif Piere Bourdieu. Bantul: Kreasi Wacana Murtiningsih, Siti, 2004. Pendidikan Alat Perlawanan. Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.
Nuryanto, Agus, 2008. Mahzab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Pinky Saptandari & Diah Retno Sawitri, 2995. Menuju Kebebasan: Perempuan dan Pendidikan. Surabaya: Lutfansyah Mediatama.
Simone de Beauvoir, 1956. The Second Sex. London: Jonathan Cape Thirty Badford Square.
Smith, William A., 2008. The Meaning of Conscientizacao. The Goal of Paulo Freire’s Peadagogy. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Subrahmanian, Ramya, 2005. “Gender Equality in Education: Definitions and Measurements” dalam International Journal of Educational Development 25 (2005) 395–407.
Susilaningsih & Agus M. Najib (ed), 2004, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill IISEP, 2004.
Tilaar, H.A.R., 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Indonesia Tera.
Tilaar, H.A.R., Jimmy Ph. Paat, dan Lody Paat, 2011. Pedagogik Kritis Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
301