427
HUKUM ADAT SAMAWA SEBAGAI PRINSIP HIDUP MASYARAKAT MULTIKULTURAL Abdul Sakban, Wayan Resmini Universitas Muhammadiyah Mataram, Mataram [email protected], [email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan hukum adat samawa sebagai prinsip hidup masyarakat multikultural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip hidup masyarakat samawa mengacu pada lawas samawa yaitu mana tau barang kayu, lamin to sanyaman ate, banan si sanak parana (meskipun manusia dan benda lainnya, jika mampu memberi rasa bahagia, itulah saudara kita). Kemudian yang menjadi dasar hukum adat samawa adalah adat barenti ko syara` ke syara` barenti ko kitabullah (adat Sumbawa berpedoman pada syariat, syariat yang berpedoman kepada kitabullah yaitu al-qur`an dan sunnah rasul). Pola hidup masyarakat Sumbawa sebagai daerah multikultural yaitu (1) toleransi selalu ada pada penduduk asli maupun pendatang; (2) masyarakat pendatang harus tahu diri tentang hukum adat Sumbawa yang berpinsip pada mana tau barang kayu lamin to sanyaman ate banan si sanak parana (dia datang dari suku manapun, ras manapun, etnis manapun, agama manapun jika mampu memberi rasa bahagia itulah saudara kita); (3) komunikasi harus dijaga antara penduduk asli dengan pendatang; (4) kalau sudah ada di tanah samawa harus meluluhkan dirinya menjadi orang Sumbawa; (5) toleransi orang Sumbawa tinggi dan egaliternya terbuka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hukum adat Samawa dapat dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia yang multikultural. Kata Kunci: Hukum Adat Samawa, Prinsip Hidup, Multikultural PENDAHULUAN Pluralitas budaya dapat menjadi ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai macam budaya daerah seperti adat istiadat, tradisi, agama, golongan, etnis, suku dan ras. Tilaar menyatakan bahwa keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pola pikir, tingkah laku dan karakter pribadi masing–masing sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam masyarakat dan daerah. Tradisi yang terbentuk akan berlainan dari satu suku/daerah dengan suku/daerah yang lain. 1

fish.unesa.ac.idfish.unesa.ac.id/download/GABUNGAN.doc · Web viewHUKUM ADAT SAMAWA SEBAGAI PRINSIP HIDUP MASYARAKAT MULTIKULTURAL. Abdul Sakban, Wayan Resmini. Universitas Muhammadiyah

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

HUKUM ADAT SAMAWA SEBAGAI PRINSIP HIDUP MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Abdul Sakban, Wayan ResminiUniversitas Muhammadiyah Mataram, Mataram

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan hukum adat samawa sebagai prinsip hidup masyarakat multikultural. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip hidup masyarakat samawa mengacu pada lawas samawa yaitu mana tau barang kayu, lamin to sanyaman ate, banan si sanak parana (meskipun manusia dan benda lainnya, jika mampu memberi rasa bahagia, itulah saudara kita). Kemudian yang menjadi dasar hukum adat samawa adalah adat barenti ko syara` ke syara` barenti ko kitabullah (adat Sumbawa berpedoman pada syariat, syariat yang berpedoman kepada kitabullah yaitu al-qur`an dan sunnah rasul). Pola hidup masyarakat Sumbawa sebagai daerah multikultural yaitu (1) toleransi selalu ada pada penduduk asli maupun pendatang; (2) masyarakat pendatang harus tahu diri tentang hukum adat Sumbawa yang berpinsip pada mana tau barang kayu lamin to sanyaman ate banan si sanak parana (dia datang dari suku manapun, ras manapun, etnis manapun, agama manapun jika mampu memberi rasa bahagia itulah saudara kita); (3) komunikasi harus dijaga antara penduduk asli dengan pendatang; (4) kalau sudah ada di tanah samawa harus meluluhkan dirinya menjadi orang Sumbawa; (5) toleransi orang Sumbawa tinggi dan egaliternya terbuka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hukum adat Samawa dapat dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Indonesia yang multikultural.

Kata Kunci: Hukum Adat Samawa, Prinsip Hidup, Multikultural

PENDAHULUANPluralitas budaya dapat menjadi ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia yang

memiliki berbagai macam budaya daerah seperti adat istiadat, tradisi, agama, golongan, etnis,

suku dan ras. Tilaar menyatakan bahwa keberagaman budaya di Indonesia merupakan

kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Keunikan budaya yang

beragam tersebut memberikan implikasi pola pikir, tingkah laku dan karakter pribadi masing–

masing sebagai sebuah tradisi yang hidup dalam masyarakat dan daerah. Tradisi yang

terbentuk akan berlainan dari satu suku/daerah dengan suku/daerah yang lain. Pergumulan

antar budaya memberikan peluang konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan

menghormati satu sama lain (Tilaar, 2004). Adanya perbedaan budaya, agama, etnis, dan

golongan dapat menimbulkan konflik heterogen maupun homogen apabila tidak dibentengi

dengan hidup saling menghormati dan menghargai.

Faktor penyebab konflik adalah karena adanya dominasi etnik Bali dalam kehidupan

sosial, politik,dan budaya etnik Samawa, yaitu dalam hal mengakses sumber-sumber ekonomi,

jabatan-jabatan penting di birokrasi (pemerintahan, swasta, BUMM), serta adanya perilaku dan

penampilan adat/budaya Bali yang dianggap mencolok oleh etnik Samawa (Iskandar, 2009).

Demikian juga hasil laporan liputan 6 menyampaikan terjadi bentrok antara etnis Bali dan etnis

Samawa atau Sumbawa, dalam kejadian ribuan warga etnis Samawa atau Sumbawa melakukan

sweeping terhadap rumah-rumah dan mobil-mobil etnis Bali yang berada di sepanjang jalan kota

Sumbawa Besar, kerusuhan itu berawal dari adanya informasi meninggalnya seorang gadis

1

etnis Sumbawa dengan tubuh penuh luka lebam dan pakaian dalam robek. Namun saat

keluarga korban melaporkan hal tersebut ke Mapolres Sumbawa, pihak kepolisian justru

menyatakan gadis tersebut tewas akibat kecelakaan, sementara keluarga korban mengaku anak

gadisnya ini berpacaran dengan seorang anggota polisi dari etnis Bali. Akibatnya, siang tadi

warga melakukan aksi unjuk rasa di depan Mapolres Sumbawa Besar, namun karena jawaban

dari pihak kepolisian tetap sama, warga akhirnya melakukan pengrusakan dan pembakaran

(Liputan 6, 2013).

Berbagai konflik social di atas menunjukkan bahwa keberagaman budaya, agama,

etnis, suku, dan ras dapat menjadi factor penyebab terjadinya konflik baik konflik antar agama

maupun konflik sesama agama. Untuk itu, diperlukan suatu konsep teori hukum adat agar

keberagaman budaya atau multicultural yang ada dimasyarakat tana Samawa ini dapat hidup

berdampingan dalam perbedaan, dimana hukum adat samawa berfungsi sebagai pedoman

hidup masyarakat tau samawa maupun masyarakat Indonesia yang multikultural. Penelitian ini

bertujuan untuk menjelaskan peran hukum adat samawa sebagai prinsip hidup masyarakat

multicultural.

Maladi (2010) menyatakan bahwa hukum adat Indonesia dipandang sebagai sumber

pembentukan hukum nasional karena merupakan perwujudan dari hukum asli bangsa kita.

Sopian (2015) menyatakan bahwa hukum adat terbukti memberikan perlindungan kuat terhadap

hak kebendaan dan dapat mengatasi konflik secara efektif, terutama dalam sebuah komunitas

kecil yang homogen. Selain itu, hukum adat memberikan akses yang lebih besar, lebih fleksibel,

dan memiliki legitimasi yang kuat dalam proses rekonsilitasi diantara para pihak yang

bersengketa. Dengan demikian, hukum adat samawa berpedoman pada adat dan budaya (’urf)

yang merupakan sebagai salah satu sumber hukum masyarakat Sumbawa. Maka sumber

hukum adat samawa bersumber pada Al-Quran dan Sunah (Zuhri, 2016:72). Adapun yang

menjadi pedoman hidup masyarakat samawa dalam menerapkan hukum adat samawa dengan

mengikuti syarat: 1) Adat tersebut harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau

sebagian tertentu dari masyarakat; 2) Adat harus menjadi kebiasaan pada saat ditetapkan

sebagai rujukan hukum; 3) Adat batal tatkala bertentangan dengan sumber utama hukum Islam

(Al-Qur’an dan Al-hadist); 4) Jika terjadi perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum

jika tidak ada pihak yang menolak adat tersebut.

Berkaitan dengan masyarakat multicultural, menurut Fedyani (1986) yang dikutip Kamal

(2013) menyatakan bahwa keaneragaman penyusunan yakni dari suku bangsa, agama dan

golongan-golongan sosial lainnya dengan ciri yang nyata adalah kecenderungan yang kuat

memegang identitas golongan sosial masing-masing. Orientasi yang kuat ke dalam golongan

sendiri merupakan isyarat mengenai pekanya hubungan antar golongan sosial dalam

masyarakat. Orientasi kuat ke dalam tersebut merupakan faktor yang memperkuat batas sosial

dan perbedaan. Agar tercipta integrasi dalam masyarakat majemuk maka perlu tercipta sejumlah

2

pranata-pranata yang mengikat golongan sosial sehingga warga dapat mengidentifikasikan

dirinya pada ciri yang juga dimiliki oleh warga lainnya. Kamal (2013) bahwa multikultural sebagai

sebuah konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsan dapat mengakui

keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama.

Pendidikan multikultural memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan

majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural).

Gagasan pendidikan multicultural dinilai sebagai gagasan yang mengakomodasi kesetaraan

dalam perbedaan dianggap mampu meredam konflik vertikal dan horizontal dalam masyarakat

yang heterogen dimana tuntutan akan akan pengakuan dan eksistensi dan keunikan budaya

kelompok lumrah terjadi. Demikian juga Tilaar (2004) berpendapat bahwa proses untuk

meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan Multikultural dalam

rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan

menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.

METODE PENELITIANMetode penelitian ini menggunakan penelitian hukum empirik yaitu penelitian yang

mengkaji hukum, sebagai norma yang pasif dan juga mengkaji hukum dan peraturan dan

implementasinya (Fajar dan Achmad, 2010). Waktu pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan

selama 4 bulan pada tanggal, 12 april s/d 12 Juli 2017, kemudian tempat penelitian di

Kabupaten Sumbawa. Adapun pendekatan yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan social-legal yaitu suatu pendekatan yang memperhatian keberlakuan/penerapan

aturan-aturan hukum dalam masyarakat, sehingga diketahui perbedaan antara hukum yang

berlaku (das sollen) dengan pelaksanaan di lapangan (das sain).

2. Analytical and conceptual approach (pendekatan analisis konsep) yaitu melakukan

pendekatan hukum adat dan sanksi adat yang berlaku dalam masyarakat.

3. Case studi approach (pendekatan studi kasus) yaitu untuk mengkaji secara mendalam dan

intensif satu kelompok sasaran subjek penelitian dengan mengacu kepada fakta materiel

berupa orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya (Fajar dan Achmad, 2010).

Dimana data dan informasi yang akan dikumpulkan baik dari segi pengkajiannya

maupun dari segi pengelolaannya dilakukan secara interdisipliner dan multidisipliner serta lintas

sektoral. Data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier serta informasi

tersebut kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif dengan mendalam sehingga diperoleh

gambaran mengenai hukum adat. Studi kasus digunakan untuk mengkaji secara mendalam dan

intensif satu kelompok sasaran subjek penelitian dengan mengacu kepada fakta materiel berupa

orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah kepustakaan, pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Kemudian

3

analisis data menggunakan deskriptif analitis untuk menguraikan data lapangan dengan studi

literatur dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

HASIL DAN PEMBAHASAN1. Hukum Adat Samawa

Tau samawa asal kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama lain dari

Sumbawa. Jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau masyarakat yang menempati

pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah suku yang mendiami pulau sumbawa. Samawa

adalah sebutan yang biasa digunakan oleh penduduk lokal untuk Sumbawa. Berubahnya kata

samawa menjadi Sumbawa lebih dipengaruhi oleh penjajahan belanda pada masa lampau

tepatnya pada jaman kolonial Belanda. Penjajah belanda meyebut Samawa dengan kata

Zhambava dan seiring waktu dan juga penyebutan dengan lidah indonesia Zhambava menjadi

sumbawa, sama halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Jawa menjadi Java.

Budaya dan agama dalam masyarakat Sumbawa memiliki makna yang sangat penting,

yang oleh masyarakat Sumbawa digunakan sebagai pedoman hidup, dalam konteks adat dan

budaya (’urf) juga merupakan sebagai salah satu sumber hukum masyarakat Sumbawa. Islam

berpandangan bahwa adat dapat menjadi dasar penetapan hukum dengan perasyarat adat

tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah, (Zuhri, 2016:72) dengan syarat: 1)

Adat tersebut harus secara umum dipraktikkan oleh masyarakat atau sebagian tertentu dari

masyarakat; 2) Adat harus menjadi kebiasaan pada saat ditetapkan sebagai rujukan hukum; 3)

Adat batal tatkala bertentangan dengan sumber utama hukum Islam (Al-Qur’an dan Al-hadist); 4)

Jika terjadi perselisihan, adat akan diterima sebagai sumber hukum jika tidak ada pihak yang

menolak adat tersebut.

Kemudian untuk menyelesaikan konflik atau sengketa masyarakat Sumbawa

menggunakan asas musyakarah. Menurut Zuhri (2016:77) bahwa Asas musyakara

(Musyawarah) dalam falsafah Sumbawa selalu digunakan oleh masyarakat Sumbawa dalam

memutuskan seluruh permasalahan yang ada di dalam masyarakat Sumbawa, dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, nilai saling menghormati, nilai kebenaran dan nilai

musyawarah dan mufakat, yang diayomi dengan nilai Ketauhitan akan kekuasaan Allah SWT

sebagai pemilik semesta alam dan kehidupan ini. Sehingga dalam memutuskan segala

permasalahan yang ada di dalam masyarakat selalu menggunakan metode dan cara yang islami

yaitu dengan musyakara (musyawarah dalam bahasa Sumbawa).

Namun ada pandangan lain yang membedakan antara adat istidata dengan hukum tidak

tertulus (rappang), rappang ini di masyarakat Sumbawa disebut hukum adat. Dalam sistem

budaya Sumbawa digambarkan dalam adat istiadat dan rappang (hukum tidak tertulis. Adat

istiadat muncul dari sikap tingkah laku serta kebiasaan yang baik dan dianggap baik dalam

masyarakat, sedangkan rappang adalah hukum dan aturan yang mengatur tata kehidupan

4

masyarakat untuk mencapai martabat kehidupan yang diridoi Allah baik di dunia maupun

diakhirat. Rappang dibuat oleh rakyat bersama pemimpin, sedangkan adat istiadat lahir dari

kebiasaan-kebiasaan yang baik pula. (Zulkarnaen, 2011:28).

Perbedaan antara adat dan hukum (Rappang). Rappang mengacu kepada Sunnah Rasul

dan Alquran, sedangkan adat adalah tata kebiasaan yang dianggap baik sesuai masanya tetapi

tidak bertentangan dengan rappang (Zulkarnaen, 2011:36). Ia juga menjelaskan bahwa hukum

(rappang) ini pernah digunakan oleh kerajaan Sumbawa, dimana di tuliskan dalam “buk” (naskah

kuno) yaitu transisi masa kerajaan ke kerajaan Islam bahwa riba yang berkembang sebelumnya

di kalangan penguasa dilarang oleh islam sehingga dalam maklumat sangat menekan raja untuk

menjalankan roda ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Demikian pula pada aspek-aspek

kehidupan yang lain. Kemudian berdasarkan sejarah adat istiadat dan tata kehidupan tana

samawa mendapat titik terang pada abad ke-17, ketika Tuan Syarif Maulana Ali dari Bnaten

bersama Tuan Faqieh Ismail yang memperkuat Hukum Kitab dan Hukum Adat (Zulkarnaen,

2011:37).

Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum adat Sumbawa sebenarnya tidak tertulis akan

tetapi bersifat secara lisan, hal ini sesuai dengan adat yang digunakan masyarakat sumbawa

dalam kehidupan sehari-hari yakni menjunjung tinggi sikap patriotisme kepada Negara Kesatuan

Republic Indonesia dengan mengabdi kepada negara dan bangsa Indonesia. Kemudian sikap

dan tingkah laku masyarakat Sumbawa menyesuaikan diri dengan syariat-syariat islam terutama

mengatur pola kehidupan, tata krama, bergaul, kerkomunikasi dan mengatur hubungan manusia

dengan lingkungannya. Itulah semua mengacu kepada penjelasan al-qur`an dan sunnah rasul.

Apabila hukum adat bertentangan dengan kitab suci maka hukum adat tersebut tidak berlaku,

namun hukum adat tersebut akan dikombinasikan antara fakta dan nyata yang berdasarkan al-

qur`an dan sunnah rasul atau kitab suci.

2. Prinsip Hidup Masyarakat Samawa yang MultikulturalPrinsip hidup yang berlaku pada masyarakat Samawa yang bernilai multicultural mengacu

kepada lawas atau syair kuno samawa, adapun lawas tersebut adalah sebagai berikut:

mana tau barang kayu

lamin to sanyaman ate

banan si sanak parana

Terjemahan

Meskipun manusia dan benda lainnya

Jika mampu memberi rasa bahagia

Itulah saudara kita

5

Makna lawas di atas menunjukkan bahwa masyarakat Sumbawa sangat toleransi dengan

tidak membeda-bedakan etnis, budaya, agama semasih orang-orang tersebut mampu menjaga

keharmonisan dan mampu memberikan kesejahteraan maupun kebahagian baik kepada

masyarakat Sumbawa maupun masyarakat etnik lain yang berada di Sumbawa adalah

saudaranya. Lawas Samawa tersebut berfungsi untuk menjaga hubungan persaudaraan

sesama masyarakat Sumbawa, baik penduduk asli Sumbawa maupun pendatang yang tinggal di

tanah Sumbawa dan juga memiliki berbagai etnik yang berbeda-beda.

Hal tersebut sesuai konsep hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar

hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat yang terintegrasi di dalam kehidupan

masyarakat sebagai pembimbing, pengarah pola perilaku kehidupan masyarakat sesuai dengan

adat istiadat dan pola social budaya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

(LATS, 2016:11). Kemudian dasar hukum adat Sumbawa terdapat pada:

a. Permendagri Nomor 3 tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta

pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga adat di daerah.

b. Inmendagri Nomor 15 tahun 1998 tentang petunjuk pelaksanaan pemberdayaan dan

pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan lembaga adat di

daerah.

c. Peraturan daerah kabupaten Sumbawa, Nomor 33 tahun 2007 tentang lembaga adat.

Selain itu, ada prinsip yang tidak boleh diganggu oleh orang lain tentang jati diri tau

samawa (orang sumbawa). Prinsip yang dipegang teguh masyakat Sumbawa adalah

1. Jangan ganggu agama

2. Jangan ganggu keluarganya dalam hal ini wanita

3. Jangan ganggu hartanya

Prinsip tersebut menandakan symbol kekuatan masyarakat Sumbawa untuk menjaga

harkat dan martabat sebagai manusia yang berakal, berbudi, berbudaya dan beragama. Prinsip

hidup ini jika digoyahkan atau dicuri serta diganggu maka akan menimbulkan konflik atau

sengketa. Misalnya kalau agama dijadikan alat untuk menghancurkan seseorang maka agama

lah menjadi pemicu utama dan akan melahirkan konflik baru. Demikian juga dengan keluarga

atau kekerabatan dan harta neda lainnya. Akan tetapi jangan khawatir tau samawa ini memiliki

sikap yang egaliter dan terbuka untuk siapa saja yang penting seseorang terserang tersebut

mampu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan itulah saudaramu.

Untuk menjalankan hukum adat Sumbawa, masyarakat Sumbawa memiliki lembaga adat

yaitu Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) dan bertugas membantu pemerintah daerah dalam

pengembangan pembangunan baik di bidang agama dan adat istiadat, hukum adat, sejarah dan

kebudayaan daerah, bahasa dan sastra daerah, kesenian dan permainan daerah, lingkungan

hidup, hubungan masyarakat dan kesejahteraan social, pendidikan dan penelitian dan

pengembnagan, busana dan upacara adat, usaha dan ekonomi rakyat, sarana dan prasarana

6

budaya, pagar adat, hubungan antar etnik dan budaya, dan publikasi informasi dan komunikasi

(LATS, 2016:13).

Tujuan majelis adat Sumbawa adalah sebagai berikut:

1. Melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai budaya local Sumbawa

2. Melindungi dan memelihara harta kekayaan adat istiadat Sumbawa, yang mempunyai nilai

sejarah baik bergerak maupun tidak bergerak.

3. Melakukan upaya pengembangan budaya dan adat istiadat Sumbawa yang terencana,

terpadu dan perarah.

Fungsi majelis adat Sumbawa mampu menghimpun segala urusan masyarakat Sumbawa.

Adapun fungsi tersebut, yakni:

1. Menghimpun, merumuskan, menyampaikan dan mempertahankan aspirasi Tau dan Tana

Samawa

Majelis adat samawa dalam menghimpun segala kebutuhan masyarakat Sumbawa baik

kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya dilakukan dengan cara musyakarah. Selanjutnya

aspirasi tersebut akan dirumuskan sesuai dengan kebutuhan dan efisiensi kinerja majelis

adat tana samawa. Sementara kalau kasus social dan asusila maka akan diselesaikan secara

kekeluargaan, jika terbukti maka akan diberikan sanksi adat berupa dikeluarkan dari

kampung. Untuk mempertahankan adat istidat samawa majelis adat berusaha melakukan

sosialisasi kepada masyarakat di tanah Sumbawa secara kontinu.

2. Mendidik, mencerdaskan dan menyadarkan rakyat tentang hak dan kewajibannya sebagai

Tau dan Tana Samawa

Majelis adat Sumbawa memiliki tugas untuk mendidik masyarakat Sumbawa mulai di

tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tertinggi untuk memberikan pemahaman dan

pelatihan tentang hukum adat Sumbawa, adat istiadat dan budaya sumbawa secara berkala

agar masyarakat Sumbawa mengetahui secara lebih dini. Majelis adat juga membentuk

kelompok social sebagai tempat berkumpul dan menyampaikan aspirasi masyarakat baik

masyarakat Sumbawa yang beretnik bali, etnik sasak, etnik bima, etnik bugis dan lainnya

untuk diberikan pemahaman antara hak dan kewajiban sebagai masyarakat tana samawa.

3. Sebagai filterisasi budaya asing

Adat istiadat samawa menjadi alat untuk menfilterisasi penguaruh budaya asing yang

masuk pada masyarakat Sumbawa terutama di bidang social, ekonomi, budaya, dan teknologi

informasi. Cara untuk mempertahankan budaya sendiri yaitu melestarikan budaya, dan perilaku

sesuai dengan budaya local dengan berpedoman pada adat barenti ko syara’ syara’ barenti ko

Kitabullah. Sebagai masyarakat Sumbawa wajib memelihara (memegang teguh) agama, juga

memelihara (memegang teguh) adat, sebagai pedoman hidup dalam berilaku sesuai

perkembangan jawab.

7

Keberagaman yang dimiliki tau samawa menjadikan Sumbawa sebagai salah satu

daerah yang multicultural tinggi karena memiliki berbagai macam etnis, budaya, suku, dan

agama yang hidup saling berdampingan tanpa saling bentrok. Untuk menjaga hubungan social

antar etnis di tau Samawa, maka majelis adat Samawa membentuk Paboat (badan pelaksana

adat) hubungan antar etnik.

DAFTAR PUSTAKAFajar Mukti dan Achmad, Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empirik.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ibrahim, Rustam. 2013. Pendidikan Multikultural: Pengertian, Prinsip, dan Relevansinya dengan

Tujuan Pendidikan Islam. Jurnal ADDIN, Vol. 7, No. 1, (129-154).

Iskandar, Syaifuddin. 2009. Resolusi Konflik Etnik Samawa dan Etnik Bali dl Sumbawa. Jurnal

Populasi, Volume 19 No. 1, (57-72).

Kamal, Muhiddinur. 2013. Pendidikan Multikultural Bagi Masyarakat Indonesia Yang Majemuk.

Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, Nomor 6, hlm. 451-458.

Liputan 6. Bentrok Antar-Etnis Terjadi di Sumbawa.

http://news.liputan6.com/read/494122/bentrok-antar-etnis-terjadi-di-sumbawa, diakses 12

Agustus 2017.

LATS. 2016. Susunan Pengurus Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) Pajatu Adat Masa

Khidmat 2017-2022. Sumbawa Besar: Istana Bala Kuning.

Maladi, Yannis. 2010. Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pascaamandemen.

Jurnal Mimbar Hukum. Volume 22, Nomor 3. 450-464.

Sopian, Najmul Lina. 2015. Informal Dispute Resolution Based On Adat Law: A Case Study Of

Land Dispute In Flores, East Nusa Tenggara, Indonesia. Indonesia Law Review. Volume 5

Number 2, 106 -122. ISSN: 2088-8430 | e-ISSN: 2356-2129.

Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam

Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.

Zulkarnain, Arief. 2011. Kepemimpinan dalam Adat dan Rappang Tana Samawa. Ombak:

Yogyakarta.

Zuhri, Lahmuddin. 2016. Nilai Lokal Krik Salamat sebagai Asas dalam Pembangunan Hukum.

Rechtidee, Vol. 11. No. 1, hlm. 64-83.

KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF BAGI KEPALA DAERAH, STUDI PILKADA DKI JAKARTA 2017

Agus Machfud FauziProdi Sosiologi FISH Universitas Negeri Surabaya, Surabaya

[email protected]

8

ABSTRAKTujuan penelitian ini adalah menjelaskan pentingnya menghormati perbedaan yang ada dalam proses politik membangun bangsa dan Negara Indonesia. Pencalonan kepala daerah di DKI Jakarta pada Pilkada tahun 2017 menghadirkan konflik horizontal dengan munculnya dua calon yang sama kuatnya. Pertama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang berketurunan Tionghoa dan kedua, lawannya adalah Anis Baswedan yang berketurunan Arab. Ahok sebagai calon petahana mempunyai pendukung yang besar sebab warga Jakarta merasakan hasil kinerja selama satu periode kepemimpinan setelah menggantikan Joko Widodo yang mana beliau terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Anis Baswedan mempunyai pendukung yang tidak kalah besar, sebab beliau adalah mantan menteri pendidikan nasional dan mempunyai branding sebagai pendidik yang konsisten. Sebetulnya pada putaran pertama ada Agus Hari Murti Yudhoyono (AHY) yang keturunan asli orang Jawa (Pacitan), tetapi AHY harus menerima kekalahan pada putaran pertama sehingga pada putaran kedua yang berkompetisi adalah Ahok melawan Anis. Warga Jakarta sudah tidak mempermasalahkan sang calon kepala daerah orang keturunan Indonesia asli atau tidak, sebab faktanya AHY mendapat dukungan paling sedikit. Sebagian warga DKI Jakarta memilih pemimpin karena kedekatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), tetapi yang mayoritas mereka memilih karena ada harapan besar terhadap pemimpin baru. Terpilihnya Anis Baswedan bukan karena dia sebagai seorang muslim, tetapi masyarakat lebih berharap tetap perubahan yang lebih untuk DKI Jakarta dengan hadirnya pemimpin baru. Terbukti bahwa tidak satupun petahana di DKI Jakarta mampu mempertahankan untuk periode kedua, sebab warga DKI menginginkan pemimpin baru.Kata Kunci: kewarganegaraan, Pilkada, Pemimpin Baru.

A. PendahuluanPilkada merupakan agenda lima tahun sekali yang dilaksanakan oleh setiap

pemerintahan daerah untuk memilih pemimpin baru pada semua daerah di Indonesia.

Penjadwalan Pilkada tidak tergantung kemauan kepala daerah, tetapi ia terjadwal secara pasti di

agenda Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. Akhir Masa Jabatan

Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2017, pertanda Pilkada DKI Jakarta harus

dilaksanakan sebelum AMJ datang, dan regulasi baru mengatur bahwa pelaksanaan Pilkada

secara serentak di seluruh Indonesia, untuk tahun 2017 dibersamakan yaitu pada tanggal 15

Februari 2017, DKI Jakarta salah satu daerah yang melaksanakan secara bersama tersebut.

Seseorang yang telah dicalonkan partai politik atau gabungan partai politik, maka akan

berusaha menjadi pemenang dalam konstestasi Pilkada 2017. Kehadiran tiga pasangan calon,

pertama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat diusung oleh PDI Perjuangan,

P Golkar, P Nasdem dan P Hanura, kedua Anies Baswedan – Sandiaga Uno diusung oleh P

Gerindra dan PKS, dan ketiga Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni diusung oleh P

Demokrat, PKB, PPP dan PAN, ketiganya bersaing untuk mendapatkan simpati dan keputusan

coblosan dari warga DKI Jakarta.

Para calon gubernur tersebut mempunyai sejarah kewarganegaraan yang bervariatif,

pertama Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), lahir di Manggar, Belitung Timur pada 29 Juni 1966.

Ahok merupakan warga Negara Indonesia dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen

Protestan. Ahok adalah putra pertama dari Alm. Indra Tjahaja Purnama (Tjoeng Kiem Nam) dan

Buniarti Ningsih (Boen Nen Tjauw), keluarganya adalah keturunan Tionghoa-Indonesia dari

9

Suku Hakka (Keija).1 Kedua, Anies Baswedan, dengan nama asli Anies Rasyied Baswedan, lahir

di Kuningan, Jawa Barat, 7 Mei 1969 dari pasangan Rasyid Baswedan dan Aliyah Rasyid. Anies

merupakan cucu dan pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan, salah seorang keturunan

Arab yang terlibat aktif dalam pendirian Republik Indonesia.2 Sang Kakek AR Baswedan

mencetuskan Sumpah Pemuda Keturunan Arab untuk mengakui Indonesia sebagai tanah airnya

pada 1934, bersamaan dengan itu AR Baswedan mengumpulkan para keturunan Arab dan

mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Ketiga

adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Susilo Bambang Yudhoyono dan Kristiani

Yudhoyono, lahir pada Agustus 1978 di Bandung, Jawa Barat. AHY merupakan keturunan

pribumi, tidak ada hubungannya dengan darah Cina atau Arab, apalagi sang Ayah Susilo

Bambang Yudhoyono dibesarkan di Pacitan, salah satu kabupaten di Jawa Timur bagian barat

yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. AHY mempunyai kelebihan Indonesia asli

dibanding dengan dua calon lainnya.

B. MetodologiPada penulisan atikel ini, peneliti menggunakan metodologi kualitatif dengan cara

komparasi terhadap tiga calon yang gubernur DKI Jakarta yang berlaga pada Pilkada 2017.

Keberadaan para calon wakil gubernur sebagai penambah informasi dalam perbandingan

ketiga calon gubernur, sebab pada konsetasi tersebut yang paling berpengaruh adalah tiga

calon gubernur, sedangkan tiga calon wakil gubernur pasangannya, menjadi penambah

kekuatan untuk meraih kemenangan dengan berbagai identitas, simbol dan cara perjuangan

masing-masing.

C. PembahasanPersaingan dalam kontestasi Pilkada menjadi tren lama yang harus diperjuangkan oleh

pasangan calon kepala daerah. Tanpa ada perjuangan yang serius, mustahil mereka bisa

memenangkan pertarungan. Kepemimpinan politik berbeda dengan elit politik. Memiliki

kekuasaan politik berbeda dengan memiliki kepemimpinan politik, sebab ini ditentukan jenis

1 ). https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama. Ahok memiliki tiga orang adik, yaitu Basuri Tjahaja Purnama (dokter PNS, menjadi Bupati di Kabupaten Belitung Timur), Fifi Lety (praktisi hokum), Harry Basuki (Dunia wisata dan Perhotelan). Panggilan Ahok berasal dari ayahnya, yaitu ingin Basuki menjadi seseorang yang sukses dan memberikan panggilan khusus baginya, yaitu “Banhok”. Kata “Ban” sendiri berarti puluhan ribu, sementara “Hok” memilik arti belajar, bila digabung bermakna “belajar pada segala bidang”, akhirnya panggilan Banhok berubah menjadi Ahok.2 ). http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/03/130309_tokoh_anies_baswedan. Sang kakek AR Baswedan menjadi anggota BPUPKI dan BP-KNIP, beliau pernah dipercaya menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Sutan Sjahrir III dan Kabinet Natsir. AR Baswedan juga pernah menjadi anggota parlemen dan Dewan Konstituante.

10

sumber pengaruh yang digunakan tujuan penggunaan pengaruh.3 Penjelasan ini berpengaruh

terhadap kontestasi dalam Pilkada. Beberapa rumor muncul bersamaan dengan pelaksanaan

Pilkada DKI Jakarta 2017, yaitu ia merupakan pertarungan agama sebab para calon mempunyai

latar belakang agama yang berbeda. Muncul rumor lain yaitu pertarungan etnis, sebab ibukota

yang plural penduduknya memunculkan tiga calon gubernur yang berlatar belakang suku atau

etnis yang berbeda. Juga muncul rumor ketiga, yaitu Pilkada DKI 2017 merupakan persaingan

ideologi yang ditawarkan partai politik.

Terhadap ketiga rumor tersebut, peneliti menjadikan ketiganya sebagai bahan untuk

menggali lebih mendalam, yaitu apa sebenarnya yang terjadi dengan Pilkada DKI Jakarta.

Apakah salah satu atau ketiga rumor tersebut bisa dibuktikan, atau hanya sebatas rumor yang

tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap dunia ilmu pengetahuan.

1. Bukan Perang AgamaKetiga calon mempunyai latar belakang agama yang berbeda, Ahok adalah beragama

Kristen Protestan, sedangkan Anis dan AHY beragama Islam. Seandainya dasarnya adalah

agama yang dijadikan pijakan pilihan pemilih maka keberadaan Ahok diuntungkan karena dia

beragama yang berbeda dengan Anis dan AHY, satu lawan dua. Menurut Amstrong bahwa

perang agama, yang dahulu dinamai perang salib, ia berkaitan erat dengan konflik modern dan

hubungan yang tegang selama bertahun-tahun antara agama Yahudi, Kristen dan Islam. Perang

agama menampilkan wajah terburuk agama.4 Perang agama ini membawa banyak kurban

terhadap semua pihak, baik moril atau materiil, sehingga menyisakan penyesalan di semua

pihak yang berperang. Status quo tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama. Saat ini, siapa

pun dan dimanapun bisa menjadi kurban perilaku destruktif, misalkan dalam berpolitik yang

menjadikan dunia ini terbelah.5

Memang berbeda antara perang agama yang sebenarnya di atas dibanding dengan

Pilkada DKI Jakarta 2017. Perbedaan itu terlihat dalam setting perang yang sebenarnya

dibanding dengan Pilkada yang pelaksanannya hanya sesaat, demi kepemimpinan DKI Jakarta

selama lima tahun. Persamaannya bahwa hadirnya calon yang berbeda agama sebagai

kontestan Pilkada, terlihat sepintas terjadi persaingan berebut kepemimpinan Jakarta oleh

agama. Hiruk pikuk persaingan terlihat lebih besar karena DKI Jakarta merupakan ibukota

Negara, sehingga semua kekuatan politik yang tersentral di ibukota turut untuk menyemarakkan

kontestasi Pilkada tersebut. Kekuatan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang

berpusat di Jakarta pun juga terlibat dalam arena politik lokal tersebut.

3 ). Surbakti, Hal. 170-171.4 ). Amstrong, Hal. 11-18. Sebelum tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara beiadab, para pemeluk ketiga agama tersebut telah hidup bersama dalam suasana damai dibawah naungan hokum Islam selama 460 tahun. Salahudin Al-Ayubi berhasil menaklukkan kembali Yerusalem untuk orang Islam di tahun 1187, tetapi hubungan ketiga agama tidak bisa sebaik di Yerusalem sebelum Perang Salib. Semenjak itu, masing-masing agama memandang selalu waspada diantara mereka.5 ). Kimbali, 63-64.

11

Jadi sebenarnya yang terjadi bahwa Pilkada DKI Jakarta bukan perang agama karena

identitas agama sang calon berbeda, tetapi karena kekuatan politik, organisasi kemasyarakatan

dan berbagai simbol keagamaan tersentral di Jakarta, sehingga sepertinya Pilkada DKI Jakarta

2017 perang agama. Jika dilihat dalam koalisi, partai politik yang berbasis Islam, misalkan PPP,

PAN dan PKB, meski sebagian menyatakan partai terbuka, bahwa mereka berkoalisi

mengusung AHY pada kontestasi putaran pertama, bukan memberikan dukungan kepada Anis

yang disimbulkan sebagai calon kelompok Islam. Faktanya bahwa AHY pada putaran pertama

memperoleh suara terendah dibanding dengan Anis dan Ahok. Selanjutnya pada putaran kedua,

PPP dan PKB malahan mengusung

2. Bukan Persaingan Etnis/SukuPilkada DKI Jakarta juga ditengarai sebagai pertarungan etnis/suku, sebab ketiga calon

gubernur mempunyai latar belakang etnis/suku yang berbeda. Ahok beretnis Tionghoa, Anis

beretnis Arab dan AHY beretnis Jawa. Jakarta adalah ibukota negara yang heterogin

penduduknya. Semua etnis/suku yang ada di Indonesia relatif ada, tetapi mayoritas tetap suku

Betawi, Jawa dan selanjutnya Tionghoa. Tercatat bahwa Suku Jawa 35,26%, Betawi 27,65%,

Sunda 15,27%, Tionghoa 5,53%, Batak 3,61% dan selanjutnya.6 Ini menandakan bahwa dilihat

dari sosok calon gubernur bahwa Suku Jawa menjadi penduduk mayoritas di Jakarta, meski

selain AHY calon gubernur yang berasal dari Suku Jawa, ada Djarot Saiful Hidayat yang

merupakan calon wakil pendamping gubernur Ahok yang juga berasal dari Suku Jawa.

Suku Betawi tidak ada yang menjadi representasi dari calon gubernur, ia diambil oleh

calon wakil gubernur yaitu Sylvia Murni berpasangan dengan AHY. Sedangkan yang berasal

dari Suku Tionghoa hanya diperankan oleh Ahok sebagai calon gubernur. Anis sebagai calon

gubernur tidak mempunyai dukungan kuat dari background kesukuannya, sebab dia adalah

berketurunan Arab yang di DKI Jakarta sangat minoritas. Jadi bisa disimpulkan bahwa Pilkada

DKI Jakarta 2017 bukan pertarungan etnis/suku para calon gubernur, sebab seandainya

mengandalkan kalkulasi kesukuan ini yang akan memenangkan adalah pasangan AHY –Sylvia

Murni, padahal pasangan ini memperoleh suara paling sedikit dibanding kedua pasangan

lainnya, sehingga ketika tidak ada yang mencapai 50% plus 1, regulasi mengatakan harus ada

putaran kedua, pasangan AHY-Sylvia tidak menjadi kontestan Pilkada putaran kedua.

3. Bukan Persaingan IdeologiPilkada DKI Jakarta 2017 diikuti oleh pasangan calon yang diusung oleh gabungan

partai politik, tidak ada satu pasangan yang maju dari jalur perseorangan. Ini menandakan

bahwa partai politik mendominasi peranan untuk menghadirkan pemimpin di Ibukota Negara.

Islam politik atau aliran formalistik yang menganut bersatunya agama dan Negara pernah

dominan, khususnya menjelang perumusan “Piagama Jakarta”, bahkan sampai Orde Lama. Ia

6 ). https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta12

runtuk ketika pemerintahan Orde Baru menetapkan depolitisasi agama melalui asas tunggal

“Pancasila”.7

Peta partai politik yang mengusung tidak memperlihatkan koalisi ideologi kuat dalam

berkehidupan partai politik. Koalisi PDI Perjuangan, P Golkar, P Nasdem dan P Hanura yang

mengusung pasangan calon Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hidayat. Dalam

sejarah tercatat bahwa antara PDI Perjuangan dan Partai Golongan Karya mempunyai ideologi

yang berbeda, bahkan selama sejarah Orde Baru kedua partai ini menjadi lawan politik yang

tidak bisa bertemu. Koalisi Partai Gerindra dan PKS yang mengusung pasangan calon Anies

Baswedan – Sandiaga Uno, tidak memperlihatkan sebuah Ideologi yang sama, keduanya partai

yang berideologi berbeda 180%, sebab P Gerindra merupakan berideologi nasionalis sedangkan

PKS partai yang murni berideologi Islam. Koalisi ini bertujuan memenangkan Pilkada DKI 2017

dengan tanpa melihat aspek kesamaan ideology partai yang berkoalisi.

Koalisi Partai Demokrat, PKB, PPP dan PAN yang mengusung Agus Harimurti

Yudhoyono – Sylviana Murni, menggambarkan bahwa konsolidasi Susilo Bambang Yudhoyono

dengan berbagai partai politik yang menjadi pendukung pemerintahannya ketika SBY menjadi

presiden masih bagus. Koalisis ini tidak menggambarkan ideologi tertentu, tetapi

menggambarkan pertemanan dalam pemerintahan SBY masih bagus, sehingga koalisis ini

dengan mudah dihadirkan pada detik-detik hamper habisnya masa pendaftaran calon gubernur

DKI Jakarta 2017. Dari ketiga pembahasan diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa Pilkada DKI

Jakarta 2017 yang dimenangkan oleh pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno,

kemenangannya bukan karena agama sang calon, bukan karena asal etnis/suku calon, begitu

juga bukan karena ideology partai politik sang calon. Ketiga hal tersebut tersebut tidak terbukti

menjadi penyumbang kemenangan Pilkada.

Kemenangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno dipengaruhi oleh pemilih warga DKI

Jakarta yang ingin perubahan pemimpin. Mereka mempunyai rasionalitas yang lebih dibanding

dengan daerah (provinsi) lainnya, sebab warga DKI Jakarta mayoritas berpendidikan. Ciri orang

yang yang mempunyai rasionalitas tinggi, selalu ingin menghadirkan hal yang baru yang lebih

baik.

Hal ini bisa diperbandingkan dengan Pilkada DKI Jakarta 2012, yang mana pada

waktu itu calon petahana Fauzi Bowo (Foke) juga mengalami sejarah yang sama. Foke

dikalahkan oleh Jokowi-Ahok sebagai calon baru, sebab warga DKI Jakarta lebih terpesona

terhadap sosok Jokowi yang merupakan Walikota Solo dengan berbagai catatan positifnya,

misalkan sebagai Walikota terbaik di seluruh dunia oleh salah satu media, dan sebagai Walikota

Mobil Esemka. Kekalahan Foke pada tahun 2012 dan Ahok pada tahun 2017, memperkuat tesis

bahwa warga DKI Jakarta selalu berpikir positif terhadap calon baru dengan branding yang baik,

7 ). Saidi, Hal. 6-7. Pengebirian partai politik mengakibatkan partai-partai politik yang bernaung dalam bendera Islam kehilangan eksistensinya. Pemikiran Nur Cholis Madjid Islam Yes, Partai Islam No turut memberi sumbangsih.

13

plus mempunyai tawaran yang solutif untuk kebaikan ibukota negara. Hal ini bukan berarti Foke

dan Ahok pada masanya masing-masing tidak berhasil dalam memimpin DKI Jakarta selama

lima tahun, tetapi keduanya merupakan gubernur DKI Jakarta yang relatif berhasil meskipun

berbeda dalam tingkat keberhasilannya.

D. Kesimpulan Kehidupan perpolitikan di Indonesia sudah terjadi pergeseran, sebab kemenangan

seorang calon tidak ditentukan oleh faktor mayoritas atau minoritas jumlah etnis/suku dalam

sebuah daerah. Hal ini dibuktikan terpilihnya Anies Baswedan – Sandiaga Uno di Pilkada DKI

Jakarta 2012. Kewarganegaraan transformatif di Indonesia semakin mendapatkan tempat yang

layak dan perlu dipupuk untuk dikembangkan pada Pilkada selain DKI Jakarta. Selama seorang

pemimpin mempunyai track record yang baik, dan mempunyai visi, misi serta program kerja

yang lebih baik, untuk kebaikan sebuah daerah, maka tidak salah yang bersangkutan diberi

kesempatan untuk membawa daerah lebih baik.

Referensi.Amstrong, Karen. Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk (diterjemahkan dari Holy

War: The Crusades and Their Impact on Today’s World). PT Serambi Ilmu Semesta,

Jakarta: 1998.

Kimbali, Charles. Kala Agama Jadi Bencana (diterjemahkan dari When Religion Becomes Evil).

PT Mizan Utama. Bandung: 2002.

Saidi, Anas dkk. Menekuk Agama, membangun Tahta Kebijakan Agama Orde Baru. Penerbit

Desantara, Jakarta Selatan: 2004.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Kompas Gramedia. Jakarta: 2010.

https://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama.

http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/03/130309_tokoh_anies_baswedan

https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

MENGUATKAN INTEGRASI NASIONAL DALAM KESADARANKELOMPOK ETNIK

Agus SuprijonoFakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

[email protected]

ABSTRAK

14

Tulisan ini merupakan paparan gagasan sebagai ekspresi menyikapi masifnya gerakan-gerakan idiologisasi yang mengarah pada disintegrasi nasional. Melalui kajian konseptual yang merujuk pada literatur-lilteratur relevan dihasilkan proposisi sebagai jawaban rumusan masalah “Bagaimana keberagaman budaya Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif untuk membangun kesadaran kolektif tersebut ?”. Pendidikan merupakan panasia permasalahan kemanusiaan. Pendidikan adalah humanisasi itu sendiri. Sekolah menjadi lingkungan strategis menumbuhkan-kembangkan kesadaran kritis tentang persatuan dan kesatuan. Semakin kuat kesadaran nasional dalam kesadaran kelompok etnik, semakin kuat pula kohesivitas sosial sehingga wawasan kebangsaan semakin kokoh, persatuan dan kesatuan semakin kukuh.

Kata kunci: Integrasi Nasional, Kelompok Etnik

PendahuluanFuturolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang

menguatnya kesadaran etnik (ethnic conciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai

peristiwa seperti perlawanan terhadap dominasi negara maupun terhadap kelompok-kelompok

etnik terjadi pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 ini. Berjuta-juta nyawa telah melayang

dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997)

merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar

masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban

“clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah

dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh

keberpihakan terhadap agama dan kebudayaan.

Pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa tidak jarang suatu

kebudayaan membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan bahkan peperangan.

Indonesia sebagai masyarakat majemuk senantiasa perlu menggali wawasan kebangsaannya

untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok etnik yang

kerap terjadi seharusnya menggugah bangsa ini kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan

mendasar. Bagaimana keberagaman budaya Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif

masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif untuk membangun kesadaran

kolektif tersebut ?

Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya ; Kelompok etnis menjadi

dominan di luar wilayah teritorialnya ; Beberapa etnis mempunyai jumlah yang berimbang

dengan kategori (a) perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar ; (b)

perimbangan jumlah etinis dengan etnis pendatang lebih besar ; Beberapa etnis mempunyai

jumlah yang berimbang, namun yang terbanyak adalah kumpulan beberapa etnis. Menurut

Malinowski dalam Pelly (1998 : 26) berdasarkan sudut pandang klasik kelompok etnik dipandang

sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan dalam

sebuah peta etnografi.

“Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well defined-boundaries) memisahkan

satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya. Secara de facto masing-masing kelompok etnik 15

memiliki budaya yang padu (cultural homogenity); satu sama lain dapat dibedakan baik dalam

organisasi, kekerabatan, bahasa, agama (sistem religi), ekonomi, tradisi, maupun pola-pola

hubungan kelompok antar kelompok etnik. Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu

identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara

mereka mengekspresikan atau mengartikulasikan kebudayaannya, termasuk dalam hal

bagaimana mereka mengkonsepsikan dan menata pengelolaan serta penguasaan terhadap

sumberdaya.

Konsep etnisitas dalam budaya suku yang primordialisme seiring dengan fenomena dan

demokrasi telah mengalami pergeseran makna. Menurut Barth (1969). “kelompok etnik tidak

selalu merupakan tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi di wilayah teritorial

yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain”. Batas kelompok etnik

yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial bukan teritorial. Kelompok etnik

lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan berkesinambungan tentang identifikasi

dirinya. Pengertian etnisitas karenanya tidak diaksentuasikan lagi pada isi kebudayaan yang

dimiliki oleh suatu kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul

dalam interaksi sosial.

Kajian kelompok etnik bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi

kebudayaannya tetapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkaitan dengan asal

muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dengan kata lain, jatidiri itu

dinamakan primordialitas yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan yang secara kolektif diratifikasi

dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia (lihat Geertz dalam

Suparlan, 1998). Lloyd Warner dalam tulisan Toid (1978 : 3) menjelaskan bahwa yang

terkandung dalam pengertian etnik menunjuk pada individu-individ guna mempertimbangkan di

manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya yaitu yang

didasarkan pada latar kebudayaan. Oleh sebab itu istilah etnik cenderung lebih bersifat sosio-

kultural daripada yang berkaitan dengan ras. Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa”

menjadi “kelompok etnik” (ethnic groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”. Istilah kelompok

etnik memiliki makna “kita” (“self”) sekaligus “orang lain/mereka” (“others”).

Konsep etnik lebih kepada pengungkapan jati diri atau pengidentifikasian diri dalam

proses-proses sosial yang terjadi pada masyarakat majemuk. Menurut Soekanto (2009 : 57)

dalam proses-proses sosial atau interaksi sosial terjadi (1) identifikasi ; (2) imitasi ; (3) sugesti ;

(4) simpati. Sebagai upaya menuju integrasi nasional Indonesia keanekaragaman kelompok-

kelompok etnik di Indonesia saling berinteraksi. Integrasi nasional merupakan bentuk proses-

proses sosial yang erat kaitannya dengan pertemuan dua atau lebih kelompok etnik. Integrasi

nasional merupakan produk akhir dari suatu kontak sosial yang secara politis dicita-citakan.

Interaksi antar kelompok etnik bukan dalam bentuknya secara obyektif sebagai transaksi-

transaki informasi. Dalam interaksi antar kelompok etnik bentuknya yang substantif adalah

16

proses-proses subyektif yaitu transaksi-transaksi emotif. Oleh sebab itu masalah mendasar yang

terkadung dalam integrasi adalah persoalan-persoalan psikologis.

Selain interaksi antar kelompok etnik melahirkan stereotipe, masalah lain yang muncul dari

interaksi tersebut adalah etnosentrisme. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara

bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok

etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok

lain. Sikap superior ini merupakan faktor yang juga dapat menghambat terwujudnya integrasi

nasional.

Dalam konteks etnosentrisme proses integrasi nasional selalu ditandai oleh hubungan

dominan dan minoritas. Menurut Suparlan (2004) Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam

kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status

sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat

prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini

berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong

dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa

golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong

sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber

daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka

yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya

tersebut.

. Prasangka muncul dari berbagai sebab. Faktor-faktor penyebab timbulnya prasangka

bersumber pada latar belakang sejarah, perkembangan sosio-kultural dan situasional, faktor

kepribadian, dan perbedayaan keyakinan. Dalam pluralitas budaya prasangka mendorong

munculnya sikap streotipe. Pandangan-pandangan streotiping terhadap etnik lain biasanya

timbul dan kemudian menjadi pengetahuan dan pemahaman seseorang melalui sosialisasi di

lingkungan sosial yang berkategori “kami” (in group). Pewarisan pandangan demikian kepada

kelompok sendiri diperlukan sebagai acuan tindak atau respon yang dianggap tepat ketika

seseorang berhadapan dengan orang lain yang berbeda kategori.

Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi

(Cohen, 1970). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan

karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga

dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.

Namun, tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang

membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada

keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk

ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi

etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.

17

PembahasanKeberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam

masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan

berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas

baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.

1. Menumbuhkan Asosiasi-Asosiasi Lintas Batas Dengan memahami konsep kelompok etnik sebagai identitas atau jatidiri semestinya orang

akan lebih terbuka bagi perubahan dan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda

kebudayaannya. Berikutnya akan lebih mudah pula mengembangkan paham multikulturalisme

sebagai kondisi prasyarat yang sangat penting untuk menumbuhkan apa yang dicita-citakan

masyarakat madani. Dengan paham dan penghargaan akan keberagaman maka setiap orang

akan lebih mudah memasuki banyak asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh di lingkungan

masyarakat majemuk sehingga akan tumbuh apa yang oleh Pelly (2000) disebut akumulasi

aliansi atau oleh Sibarani (2000) disebut keanggotaan saling menyilang (cross-cutting affiliation)

yang akan membuahkan kesetiaan saling menyilang (cross-cutting loyalities).

Jaring-jaring sosial yang mengikat sebanyak mungkin anggota yang beragam sudah

barang tentu lebih kuat menapis ancaman terjadinya ketegangan etinik. Robert D Putnam (2004)

memperlihatkan efektivitas dari jejaring sosial yang mampu menumbuhkan partisipasi

masyarakat di Italia sebagai modal sosial yang secara sadar didayagunakan untuk bekernya

demokrasi.

2. Membangun Kohesivitas SosialDalam masyarakat multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat

kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama

seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial.

Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu suatu

cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang

menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin saling

mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya

dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari

peradaban manusia.

Sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan

simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat: kontak

18

Masyarakat “X”

Masyarakat“Y”

sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling

beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik

masyarakat dan elemen organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata

sosial antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.

Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban(Cohen, 1970: 65)

Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah

(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik. Saling

ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan

kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan,

kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).

Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan

adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan

yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang

dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah suatu

kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam distribusi mobil dapat

menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.

3. Membangun Budaya ToleransiIstilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam

wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah

satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi

uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan,

kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan

SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparatnegara. Karena itu, toleransi lebih

banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan

masyarakat bangsa.

19

HK

Sejalan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis ideologi Pancasila

juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun

dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dalam alam reformasi, issu-

issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi

tanggungjawab 'ideologis' negara. Namun, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat

cepat sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai

pemersatu bangsa (chain of national unity). Belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang

harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.

Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai

toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari

adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati

merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh

orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan

kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan

orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya

perbedaan.

Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero

Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru menerbitkan

sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut Wacik, budaya berpikir

positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif

dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya telah hidup dalam

kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini."Semakin sering kita berpikir positif, semakin

banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat primordialisme di antara kita akan menjadi semakin

menipis. Sebaliknya, semakin sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki

musuh.

Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok

komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya.

Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam ini tentulah

tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk itu tulisan ini hanya

mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah contoh kasus dari ribuan

fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.

4. Menanamkan Multikulturalisme melalui Pembelajaran Kooperatif di Kelas HeterogenMultikulturalisme merupakan ide, gagasan, proses, dan sebuah gerakan yang

beraksentuasi pada upaya menumbuhkan kesadaran untuk memahami, mengakui, menghargai,

dan menerima kesederajatan keanekaragaman kebudayaan. Dalam ruang politik terbuka seperti

sekarang ini multikulturalisme harus ditanamkan dan ditumbuhkan seiring dengan proses-proses

20

demokratisasi. Dengan multikulturalisme masyarakat Indonesia nantinya akan mempunyai

kesadaran tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan

kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang

tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok etnik lain dari dirinya

sendiri dan akan mampu secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang

oleh kelompok atau masyarakat dominan.

Pendidikan merupakan proses humanisasi. Pendidikan adalah proses pengadaban

manusia. Pendidikan menjadikan manusia berbudaya. Pendidikan merupakan instrumen

kehidupan manusia untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Melalui pendidikan

rekonstruksi dan reformasi sosial dapat dilakukan. Tolstoy berpendapat sasaran puncak

pendidikan ada di luar pendidikan yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilai-nilai masyarakat

“beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang

saling bertentangan.

Sekolah merupakan miniatur dari suatu masyarakat. Sekolah adalah institusi yang

merefleksikan pluralitas dan diferensiasi sosial dari sebuah kehidupan sosial. Kehidupan sekolah

adalah kehidupan sosial yang penuh dengan keanekaragaman. Secara sosiologis, siswa-siswa

berasal dari berbagai lapisan masyarakat (strata sosial). Secara antropologis, siswa-siswa

berlatar etnis yang beranekaragam. Secara psikologis, siswa-siswa adalah pribadi-pribadi yang

memiliki keunikan-keunikan.

Dalam perspektif konflik keanekaragaman itu merupakan sumber konflik. Oleh karena itu

keanekaragaman latar sosial, budaya, psikis dll dari siswa-siswa di suatu sekolah adalah fakta

sosial yang harus direspon oleh para guru. Pendidikan di sekolah harus berhasil menciptakan

social equilibirium melalui pengembangan keseluruhan potensi kemanusiaan yang telah melekat

secara kodrati pada diri siswa. Pendidikan sekolah harus berhasil menumbuhkan kesadaran

pada diri siswa terhadap eksistensinya sebagai makhluk individu maupun sosial. Dalam dimensi

sosial pendidikan di sekolah harus mampu menumbuhkan kemampuan siswa-siswa untuk

memahami, bersikap, dan bersedia menerima segala perbedaan dalam mozaik kehidupan

sosialnya. Sekolah dapat dijadikan sebagai sarana pembauran multietnik. Sekolah dapat

mengembangkan pendidikan multikultur. Pendidikan multikultur merupakan proses pendidikan

yang mengembangkan pelbagai aktivitas belajar menuju ke arah kesadaran akan pengakuan

terhadap berbagai kebudayaan dari pelbagai etnis dan ras.

Daftar PustakaBarth, Fredrik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: UI Press

Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The

Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor). Pennsylvania:

International Textbook Company.

21

Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order. New

York: Simon and Schuster.

Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :Yayasan

Obor Indonesia.

Pelly, Usman, “Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Kota

Medan”, Makalah, Seminar “Menyoal Keseimbangan Tradisional Masyarakat” diadakan

oleh Madia dan KSPM Medan tahun 2004.

Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta :

Rineka Cipta.

Prabowo dan Fakurrozi, “Belajar dari Kekerasan Sosial Masa Lalu Untuk Menjadi Manusia Masa

Depan”, Makalah, Seminar Nasional Universitas Sanata Dharma, 24-25 Juli 2004.

Sibarani, Robert, 2004, “Menyikapi Pluralisme” Makalah Seminar “Menyoal Keseimbangan

Tradisional Masyarakat” diadakan oleh Madia dan KSPM Medan

Soekanto, Soerjono, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press

Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan,

Jurnal Antropologi No 58 Tahun 1999.

Suparlan, Parsudi, 2004, “Hak-Hak Minoritas dalam Lanscape Multikultural Mungkinkah di

Indonesia ?” Makalah, Wisma PKBI 10 Agustus 2004.

Toid, Brian M.du 1978, Etnicity in Modern Africa, Colorado: Westview Press.

JAMINAN PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM HAK INTELEKTUAL WARGA NEGARA DI ERA DIGITAL

Agus SuprijantoUniversitas PGRI Semarang

[email protected]

ABSTRAK

Kekayaan intelektual merupakan hasil karya yang wajib dilindungi karena merupakan sesuatu yang dihasilkan dari buah pemikiran seorang pribadi, dimana hak atas kekayaan intelektual ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (UU Hak Cipta) merupakan bagian dari hak asasi dari setiap warga negara. Karya ilmiah sebagai hak milik pribadi seseorang juga mendapatkan pengakuan untuk mendapatkan perlindungan seperti yang dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE), demikian juga terkait hak milik pribadi maka karya ilmiah juga mendapatkan pengakuan untuk mendapatkan perlindungan dalam UU No. 39 Tahun 2009 (UU HAM). Perlindungan atas kekayaan intelektual menjadi semakin penting mengingat kemajuan teknologi pada era digital memungkinkan seseorang untuk dapat mengakses hasil karya orang lain dan menggunakannya dan mengakuinya sebagai hasil karyanya sendiri. Pengakuan hasil karya orang lain sebagai karya sendiri atau pada dasarnya telah dianggap sebagai pelanggaran atas hukum yang diatur didalam berbagai regulasi, namun pada kenyataannya pelanggaran ini justru semakin meningkat. Menjadikan peraturan perundangan sebagai lokomotif terdepan penegakan hukum di Indonesia adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk dapat memberikan jaminan perlindungan dan juga kepastian hukum bagi setiap warga negara. Karenanya, memastikan bahwa regulasi

22

untuk melindungi hak milik sebuah karya ilmiah dalam memerangi pelanggaran hak cipta di Indonesia membutuhkan berbagai peraturan pelaksana yang secara efisien dan efektif mengatur pelaksanaan dari berbagai regulasi tersebut. Penulis bermaksud untuk melakukan telaah teoritis secara mendalam terkait berbagai regulasi yang terkait dengan hak intelektual setiap warga negara di Indonesia, terutama kaitannya dengan tindak plagiasi yang menjadi semakin marak karena mudahnya akses informasi pada era digital saat ini.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Kepastian Hukum, Hak Cipta

PENDAHULUANHak atas kekayaan intelektual (HAKI) merupakan hak eksklusif yang dimiliki oleh setiap

manusia ataupun sekelompok manusia untuk memiliki, menguasai dan mempergunakan

sesuatu yang tercipta atas kemampuan intelektual manusia-manusia tersebut. HAKI

memberikan kepada pencipta/ penemu hak ekonomi dan hak moral sebagai wujud penghargaan

atas hasil ciptaannya. Oleh sebab itu HAKI memberikan jaminan hukum kepada pencipta atau

penemu untuk memperoleh keuntungan ekonomis dan memberikan hak eksklusif sebagai

perlindungan atas karya ciptanya.8

Pembahasan terkait dengan HAKI menjadi sangat penting pada era digital mengingat

tingkat pelanggaran atas HAKI meningkat sangat tajam seiring dengan semakin berkembangnya

teknologi informasi di era digital. Salah satu bentuk pelanggaran serius HAKI yang berkembang

dengan pesat sejak era digital adalah budaya plagiasi karya tulis ilmiah. Dalam salah satu artikel

yang dimuat pada laman Kompas dinyatakan bahwa budaya plagiasi yang dilakukan oleh para

mahasiswa pada berbagai tingkatan strata yaitu dari diploma hingga doktoral telah berkembang

menjadi semakin mengkhawatirkan. Salah satu penyebab yang dituding menjadi faktor terbesar

adalah kemudahan akses internet untuk dapat memperoleh informasi terkait hasil karya tulis

orang lain yang kemudian diambil dan ditulis ulang lalu diakui sebagai hasil karya dari penjiplak

tersebut.9

Plagiasi atas karya tulis ciptaan orang lain yang kemudian diakui sebagai hasil karya

sendiri jelas merupakan pelanggaran atas HAKI karena terdapat dua kerugian yang dialami oleh

pemilik / pencipta karya tulis tersebut. Kerugian pertama adalah dari sisi hak moral untuk diakui

sebagai pencetus ide atau pemikir dari karya ilmiah tersebut, dan yang kedua adalah dari sisi

hak ekonomi karena untuk dapat menyusun dan menulis sebuah karya ilmiah tidak sedikit biaya

yang harus dikeluarkan oleh penciptanya. Pada artikel yang sama oleh Ramadhani tersebut

dinyatakan bahwa tingkat perkembangan plagiasi karya ilmiah di Indonesia telah berada dalam

kondisi yang mengkhawatirkan karena hampir sebagian besar karya ilmiah yang disusun oleh

8 O.K.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 330.9 Gilang Ramadhani, dalam www.kompasiana.com/ gilangramadani/penanaman-budaya-akademik-kampus-sebagai-upaya-pencegahan-plagiarisme-mahasiswa_5520b236a333113a4846cf6f, diakses pada 9 Agustus 2017, pukul 09.00 WIB.

23

para mahasiswa bersumber dari media internet sehingga kemungkinan untuk melakukan

plagiasi menjadi semakin mudah.

Melakukan perlindungan atas karya ilmiah ciptaan orang lain adalah kewajiban yang

harus dapat disediakan oleh pemerintah Indonesia. Perlindungan atas suatu karya cipta bertujuan

untuk memenuhi prinsip keadilan. Hasil karya tersebut merupakan hasil (perwujudan) daya fikir/

ego tertinggi (alter ego) dari manusia, tentunya sebuah kewajiban bagi seseorang untuk

menghargainya. Sebuah hasil karya yang sudah diciptakan membutuhkan pengorbanan, baik waktu,

pikiran, dan biaya sehingga akan sangat tidak adil jika ada orang yang ingin merubah atau

menirunya dan mendapatkan nilai ekonomis dari hasil karya tersebut. Kajian ini dilakukan untuk

dapat secara mendalam menelaah tindak pelanggaran atas HAKI oleh para warga negara dalam

proses penulisan karya ilmiahnya, dimana karya ilmiah sendiri merupakan bagian dari proses

memperoleh pengakuan gelar akademisi.

PEMBAHASANPlagiasi dan Norma Atribusi

Konsep plagiarisme tertanam dalam konteks seperangkat norma sosial yang

kompleks.10 Untuk melihat bagaimana seperangkat norma ini berfungsi, harus ditinjau dengan

proposisi bahwa orang pada umumnya menghargai harga diri orang lain, terutama rekan-rekan

mereka, sebagai contoh adalah untuk dikenali atas keaslian, kreativitas, wawasan,

pengetahuan, dan keterampilan teknis yang dimilikinya. Hal ini terutama terjadi di kalangan

penulis, seniman, dan ilmuwan, yang, selain untuk mencapai kepuasan melalui tindakan kreatif

itu sendiri, biasanya ingin melihat tindakan yang diakui oleh orang lain.11

Menurut norma atribusi, kata-kata dan gagasan dapat disalin jika dan hanya jika para

penyalin mengaitkannya dengan pencetus atau pengarangnya. Norma ini mengarah pada

bentuk kerjasama sosial dengan manfaat nyata.12 Norma ini memaksimalkan peluang penulis

untuk mendapatkan penghargaan dengan memberikan kesempatan untuk penyebaran dan

penyampaian yang luas, kata-kata dan gagasan dari si penulis, yang karenanya akan membawa

penghargaan yang tinggi dari masyarakat kepada si penulis. Dalam masyarakat Barat modern,

norma atribusi disebarluaskan secara cukup formal di sekolah-sekolah, dimulai sejak usia dini.

Bagi kebanyakan orang di dalam komunitas dengan budaya anti-plagiasi, norma atribusi

menjadi karakter utama. Anggota komunitas tersebut memandang atribusi sebagai kewajiban

moral dimana kredit yang diperoleh untuk pekerjaan orang lain sebagai hal yang tidak sah.

10 Lindsey, Tim dkk, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2006, hal. 147.11 Utomo, Tomi Suryo, Hak Kekayaan Intelektual di Era Globalisasi, Graha Ilmu, Yogjakarta, 2009, hal. 82.12 Adisumarto, Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, 1990, hal. 17.

24

Anggota komunitas ini hanya bisa mencapai kepuasan hanya jika mereka tahu bahwa pekerjaan

mereka adalah benar hasil karya mereka sendiri.13

Aturan baku harus diterapkan dalam konteks plagiarisme. Seorang penulis yang gagal

memberikan penghargaan kepada sumbernya sebagai akibat ketidaktahuan atau kesalahan

tentang peraturan atribusi harus dianggap tidak memiliki pembelaan. Membiarkan seorang

plagiat untuk berpendapat bahwa dia tidak terbiasa dengan peraturan atribusi sendiri tampaknya

akan mendorong ketidaktahuan akan peraturan semacam itu dan menyebabkan kebingungan

dan ketidakpastian di masyarakat pada umumnya, seperti ketidaktahuan akan hukum dikatakan

dalam konteks yang lebih luas.14 Di sisi lain, seorang penulis yang gagal mengkredit sumbernya

sebagai akibat kesalahan fakta yang masuk akal tentang asal usul dari sekumpulan kata-kata

seharusnya tidak dianggap sebagai penjiplak. penyelesaian kasus-kasus seperti plagiarisme

dapat menciptakan efek yang menakutkan, dimana para calon penulis bersikap hiper-hati-hati

dan bertele-tele dalam praktik ilmiah mereka, atau yang lebih buruk lagi, hindarkan diri dari

menghasilkan karya kreatif sama sekali.

Tidak diragukan lagi ada jumlah plagiarisme yang signifikan yang dilakukan dalam

keadaan disadari dan disengaja. Plagiasi ini dilakukan atas perhitungan biaya-manfaat yang

rasional namun sangat salah. Sebagai contoh adalah seorang mahasiswa mengetahui tidak

akan lulus dalam mata kuliah tertentu kecuali jika menghasilkan makalah yang dapat diterima.

Namun karena kekurangan waktu, imajinasi, atau inisiatif untuk menciptakan sebuah karya

sendiri, maka mahasiswa tersebut membeli sebuah makalah dari internet dan mencantumkan

namanya di dalamnya, atau menyalin bagian-bagian yang substansial dari sebuah buku didalam

makalah tersebut. Pertimbangan dari mahasiswa tersebut adalah gagal kredit untuk lulus karena

gagal menyusun makalah atau mendapatkan masalah karena melakukan plagiasi. Psikologinya

mirip dengan pencuri yang memperoleh harta dari tindakan mencuri atau menipu.

Norma-Norma yang Menjadi Dasar Hukum Pengaturan PlagiasiLarangan plagiarisme, seperti dijelaskan di atas, memberikan semacam paradigma

norma sosial. Mereka yang melanggar norma atribusi dengan melakukan risiko plagiarisme pada

awalnya akan mengecewakan rekan-rekan yang pendapatnya paling dia hargai. Sanksi

semacam itu sangat tepat karena plagiatornya ditolak secara tepat dengan kebaikan sosial

sehingga tindakan plagiasi yang dilakukan dalam rangka memperoleh penghargaan sosial justru

membuatnya mendapatkan sanksi tidak dihargai secara sosial.

Menjadikan tindakan plagiasi sebagai tindakan yang melanggar hak cipta dapat disikapi

apabila dapat disinambungkan antara kedua hal tersebut. Hukum hak cipta melindungi

kepentingan ekonomi terutama yang dimiliki pemilik hak cipta atas pekerjaannya (dan juga 13 Bintang, Sanusi, Hukum Hak Cipta, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 49.14 Jamie McKenzie, The New Plagiarism: Seven Antidotes to Prevent Highway Robbery in an Electronic Age, Newyork: Mc.Graw-Hill.

25

kepentingan publik yang lebih luas dalam arus gagasan yang bebas),15 sedangkan peraturan

melawan plagiarisme melindungi kepentingan pribadi atau moral. Hak cipta menuntut seseorang

memperoleh izin resmi dari pemilik hak cipta untuk menyalin karya tersebut. Aturan melawan

plagiarisme mengasumsikan bahwa penulis secara implisit memberikan izin untuk menyalin

karya tersebut, asalkan para penyalin karya tersebut memberikan atribusi yang tepat.

Jaminan Perlindungan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Terdapat dua peraturan perundang-undangan yang telah diterbitkan oleh pemerintah

Indonesia terkait dengan plagiasi karya ilmiah dengan memanfaatkan media internet. Peraturan

perundangan tersebut antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

(UU Hak Cipta).

1. Perlindungan HAKI dalam UU ITEJaminan perlindungan HAKI dalam UU ITE diatur dalam Pasal 25 yang menyatakan

bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya

intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak

Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan

peraturan dalam pasal 25 ini, maka setiap karya ilmiah yang ada dalam jaringan internet, baik

yang berada pada sebuah situs pribadi maupun yang berada pada situs milik perguruan tinggi

secara otomatis dianggap sebagai karya intelektual yang dilindungi sebagai HAKI.

Namun demikian, tampaknya UU ITE hanya mengatur perlindungan atas karya ilmiah

sebagai HAKI sebatas satu pasal tersebut diatas saja. Dalam BAB VII tentang perbuatan yang

dilarang, tidak dicantumkan larangan untuk melakukan plagiasi atas karya ilmiah yang ada pada

sebuah situs internet, terutama yang ada pada situs milik perguruan-perguruan tinggi.

Pengaturan tentang plagiasi tidak dapat diatur dalam UU ITE karena domain dari

perbuatan plagiasi lebih terkait dengan masalah hak cipta. Karenanya jaminan perlindungan

karya ilmiah dalam UU ITE secara jelas disebutkan “akan” diatur dalam peraturan perundangan

yang mengatur tentang HAKI, yaitu UU Hak Cipta.

2. Perlindungan HAKI dalam UU Hak Cipta Karya ilmiah sebagai sebuah karya intelektual dilindungi sebagai HAKI dalam UU Hak

Cipta, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3). Sebagai sebuah hak cipta, seorang

pencipta karya ilmiah memiliki hak moral dan hak ekonomi atas karya yang telah diciptakannya,

hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 sampai dengan pasal 19.

Terkait dengan tindakan plagiasi, yaitu mempergunakan hasil karya cipta orang lain

tanpa melakukan atribusi kepada pencipta dari karya tersebut, UU Hak Cipta mengaturnya

15 Ibid, hal. 102.26

sebagai perbuatan yang dilarang karena telah melanggar ketentuan didalam pasal 5 ayat (1).

Hak moral pencipta berdasarkan pasal 5 (1) tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa setiap

pencipta memiliki hak untuk dicantumkan namanya pada setiap salinan (baik sepenggal maupun

keseluruhan). Sementara terkait dengan hak ekonominya, tindakan plagiasi dianggap telah

melanggar hak ekonomi seorang pencipta yang disalin karyanya tanpa atribusi dari penyalin

seperti diatur didalam Pasal 9 ayat (1). Pada pasal 9 (1) tersebut telah dengan jelas disebutkan

bahwa seorang pencipta memiliki hak ekonomi untuk menerbitkan ciptaan, menggandakan

ciptaan dan mengumumkan ciptaan. Berdasarkan pasal 9 ayat (2) maka orang lain yang

melakukan penyalinan atas karya cipta wajib mendapatkan ijin dari penciptanya.

3. Kategorisasi Plagiasi sebagai Pelanggaran Hak CiptaPlagiasi karya ilmiah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak cipta, karena

karya ilmiah dianggap sebagai karya intelektual. Adapun dasar mengkategorikan tindakan

plagiasi sebagai tindakan pelanggaran hak cipta adalah sebagai berikut:

a. Karya ilmiah merupakan ciptaan, dan perlindungan atas karya cipta tersebut masih berlakuKarya ilmiah jelas merupakan ciptaan dari seorang penulis, yang namanya dianggap

sebagai pencipta karena tercantum pada karya ilmiah yang diciptakannya. Karya ilmiah

dianggap ciptaan mengacu pada Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa hasil karya

cipta di bidang pendidikan merupakan ciptaan yang dihasilkan atas inspirasi,

kemampuan, pikiran, imajinasi, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam

bentuk nyata. Dalam bentuk nyata disini adalah wujud dari karya ilmiah tersebut yang

telah dibuat dalam sebuah buku karya ilmiah.

Perlindungan dari sebuah karya ilmiah berlaku sejak karya ilmiah tersebut diterbitkan

hingga pencipta dari karya ilmiah tersebut meninggal dunia. Bahkan pada saat pencipta

meninggal dunia, hak cipta dari karya ilmiah tersebut diwariskan kepada ahli warisnya

atau orang-orang yang ditunjuk oleh pencipta karya ilmiah tersebut.

Berdasarkan ketentuan ini, maka jelas tindakan plagiasi karya ilmiah melanggar

ketentuan penyalinan sebuah karya cipta yang perlindungannya masih berlaku.

b. Adanya bagian dari karya ilmiah sebagai sebuah karya cipta yang diperbanyakPlagiasi karya ilmiah dilakukan dengan menyalin sebagian atau seluruh dari sebuah

karya ilmiah. Jadi jelas bahwa berdasarkan UU Hak Cipta tersebut melakukan plagiasi

karya ilmiah orang lain kedalam sebuah karya ilmiah yang diakui sebagai karya sendiri

merupakan pelanggaran.

c. Penggandaan karya cipta dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sepengetahuan penciptaPenyalinan sebuah karya ilmiah orang lain kedalam karya ilmiah sendiri tidak dianggap

sebagai pelanggaran hak cipta selama dilakukan atiribusi yang mengarah kepada

27

pencipta karya ilmiah yang disalin. Hal ini ditetapkan karena tidak dimungkinkannya

seseorang harus mendapatkan ijin dari setiap pencipta sebuah karya ilmiah dalam

rangka menyalin hasil karya pencipta tersebut kedalam karya ilmiahnya. Plagiasi menjadi

sebuah pelanggaran atas hak cipta karena dilakukan tanpa mencantumkan nama

pencipta asli dalam setiap susunan kata yang disalin dalam sebuah karya ilmiah yang

sedang disusun.

Sanksi dan Hukuman Plagiasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Non KomersialMeskipun karya ilmiah untuk kepentingan non komersial seperti banyak dilakukan oleh

para mahasiswa telah dapat dikategorikan sebagai sebuah karya cipta yang karenanya

mendapatkan Hak Cipta, namun ketentuan pidana untuk pelanggaran hak cipta karya ilmiah

sejenis ini ternyata belum diatur secara tepat dalam UU Hak Cipta. Ketentuan pidana yang

dimuat didalam BAB XVII Pasal 112 hanya menyebutkan bahwa untuk melindungi Hak Moral

dari penggunaan untuk komersial maka pelaku plagiasi dapat dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus

juta rupiah).

Ketentuan ini berarti bahwa berdasarkan pasal tersebut, apabila pelaku plagiasi karya

ilmiah tidak bermaksud untuk melakukan plagiasi demi tujuan komersial, maka ketentuan pidana

yang tercantum tidak dapat diterapkan. Mengkategorikan tindakan plagiasi karya ilmiah sebagai

tindakan “pencurian” juga tidak dapat sepenuhnya dilakukan selama plagiasi tersebut tidak untuk

kepentingan komersial. Definisi dari pencurian sendiri berdasarkan KUHP tidak dapat dipenuhi

oleh tindakan plagiasi.

Solusi Efektif Pencegahan Plagiasi Karya Ilmiah di Era DigitalApa yang harus diketahui tentang fakta bahwa begitu banyak orang yang taat hukum

secara teratur terlibat dalam pelanggaran mencolok terhadap undang-undang kekayaan

intelektual? Pada dasarnya orang menghindari melakukan tindakan yang mungkin mereka

lakukan karena mereka yakin secara moral salah melakukannya. Faktor penting kedua adalah

legitimasi hukum yang diberikan. Orang perlu menghormati institusi yang menciptakan dan

menegakkan hukum yang dengannya mereka terikat; Mereka perlu merasa bahwa institusi

semacam itu adil dan bisa dipercaya.

Dengan demikian, sebagian besar orang menahan diri untuk tidak melakukan tindakan

kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan bahkan pencurian bukan karena mereka takut

akan sanksi jika tertangkap, tetapi karena mereka telah menginternalisasi norma-norma tersebut

terhadap tindakan tersebut. Sederhananya, mereka percaya bahwa tindakan semacam itu salah

secara moral dan bahwa pemerintah dibenarkan menjadikannya kriminal. Sehubungan dengan

tindakan semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa norma-norma larangan itu diyakini dengan

sangat kuat oleh masyarakat.

28

Pada titik ini, dirasa perlu sebuah aturan alternatif yang dapat digunakan untuk melawan

plagiarisme dengan menunjukkan solusi parsial terhadap kejahatan kekayaan intelektual. Jika

negara serius memberlakukan undang-undang kekayaan intelektual, maka tidak dapat dengan

mudah langsung menerapkan sanksi pidana yang keras, dan kemudian berharap adanya

kepatuhan secara instan. Negara perlu meyakinkan masyarakat bahwa penyalahgunaan hak

kekayaan intelektual salah secara moral dan bahwa undang-undang yang melarang

penyalahgunaan tersebut sah dilakukan, dan karenanya seluruh sanksi-sanksi yang ada dan

ditetapkan didalamnya dapat diberlakukan secara tegas.

KESIMPULANPlagiasi tidak pernah bisa, dan mungkin tidak pernah seharusnya, dituntut sebagai

pencurian dan dikriminalisasi namun hukum pidana dapat menjelaskan pemahaman kita tentang

plagiasi melalui penggunaan konsep seperti niat, ketidaktahuan. Meskipun hal ini paling sering

ditangani sebagai pelanggaran etika, bukan pelanggaran hukum, paradigma dasar penyalinan

yang tidak terkait ditangani oleh serangkaian solusi perdata yang sangat luas, termasuk hak

cipta, persaingan tidak sehat, dan hak moral. Hukum yang efektif adalah produk dari norma-

norma yang efektif. Karena kesenjangan tersebut meluas antara apa hukum dan apa pendapat

orang, undang-undang kekayaan intelektual menghadapi krisis yang berkembang, yang

memanifestasikan dirinya dalam pelanggaran yang meluas dan mencolok terhadap kendala-

kendalanya. Sebaliknya, aturan pengaitan berbasis norma masih dilihat memaksakan sebuah

perintah moral yang kuat. Ketika kita mencari cara untuk membuat hukum kekayaan intelektual

kita lebih kuat, kita akan melakukannya dengan baik untuk melihat ke struktur normatif seputar

plagiarisme sebagai sebuah panduan yang tepat sehingga negara dapat memberikan

perlindungan hukum yang tepat bagi setiap warga negara terkait dengan tindak plagiasi karya

ilmiah yang dilakukan oleh warga Negara

DAFTAR PUSTAKABuku

Adisumarto, Harsono, 1909, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, penerbit Akademika

Pressindo, Jakarta.

Bintang, Sanusi, 1998, Hukum Hak Cipta, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung.

Jamie McKenzie, 2001, The New Plagiarism: Seven Antidotes to Prevent Highway

Robbery in an Electronic Age, Newyork: Mc.Graw-Hill.

Lindsey, Tim dkk, 2006, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, Alumni, Bandung.

29

Muhammad, Abdulkadir, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Penerbit PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung.

O.K.Saidin, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Utomo, Tomi Suryo, 2009, Hak Kekayaan Intelektual di Era Globalisasi, Graha Ilmu, Yogjakarta.

Suyud, Margono, 2003, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, penerbit Novindo Pustaka Mandiri,

Jakarta.

Internet:

Gilang Ramadhani. 2016. Penanaman Budaya Akademik Kampus Sebagai Upaya Pencegahan

Plagiarisme. Dalam www.kompasiana.com/ gilangramadani/penanaman-budaya-

akademik-kampus-sebagai-upaya-pencegahan-plagiarisme-

mahasiswa_5520b236a333113a4846cf6f, diakses pada 9 Agustus 2017, pukul 09.00 WIB.

Kewarganegaraan Transformatif Menuju Masyarakat Madani

Arie Supriati

Universitas Negeri Manado

ABSTRAK

Kajian ini membahas tentang Kewarganegaraan Transformatif menuju masyarakat Madani. Pembahasan ini memfokuskan pada upaya pembinaan warga negara dengan pemahaman kewarganegaraan transformatif serta konsep-konsep masyarakat madani dalam membekali warga negara dengan pemahaman dan wawasan global tentang isu-isu global, budaya, lembaga, bahkan wawasan internasional agar dapat dituangkan dalam penciptaan masyarakat madani di Indonesia. Warganegara sebagai elemen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dibina agar dapat bersinergi dengan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan bangsa. Memiliki  nilai-nilai dasar Kebangsaan  dan moral, tidak bersifat statis akan tetapi sebagai elemen dinamis dengan peran strategis demi terwujudnya masyarakat madani di Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mengemukakan gagasan tentang kewarganegaraan transformatif, urgensi dan upaya pembinaan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab pada pembangunan bangsa.

Kata Kunci: Kewarganegaraan; Transformatif;  Masyarakat Madani. 

Pendahuluan

30

Eksistensi kebangsaan Indonesia terus diuji seiring perubahan zaman dan tuntutan

modernisasi. Tentu saja hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi pendidikan

kewarganegaraan sebagai penyampai pesan-pesan ideologis untuk dijadikan pedoman bagi

warga negara Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.Oleh karena itu, sebagai warganegara

tetap terus menjaga identitasnya sebagai warganegara dan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal

Ika dengan harapan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab serta berupaya untuk

ikut serta menciptakan perdamaian global.

Oleh karena itu, penguatan akan nilai-nilai kebangsaan sebagai warga negara yang

demokratsi dan bertanggung jawab, selalu relevan dengan  tuntutan perkembangan zaman

untuk membentuk warga negara yang memiliki nilai-nilai dasar kebangsaan dan prinsip moral

serta bertindak sebagai warganegara yang sesuai dengan dasar nilai dan prinsip moral. Inilah

tindakan warganegara dalam konsep kewarganegaraan transformatif (transformative citizenship)

dimana konsep ini melibatkan tindakan warganegara yang dirancang untuk mengaktualisasikan

nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral.

Dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional tergambar jelas bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab. Hal ini mengindikasikan bahwa pembinaan warga negara diupayakan untuk membentuk

watak dan peradaban bangsa dengan tujuan mulia, baik secara individual pada diri warga

negara maupun dalam perannya sebagai warga negara dan warga bangsa yang demokratis dan

bertanggung jawab. Amanat ini jelas memberi ruang yang dinamis dalam pembangunan watak

warga negara yang peka terhadap situasi lokal, nasional, bahkan global. Dalam arti dapat

menjadi warga negara yang ikut serta bertanggung jawab mempromosikan nilai-nilai moral,

budaya, keadilan sosial dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perwujudan cita-cita untuk menciptakan masyarakat madani dianggap urgen mengingat

eskalasi politik, sosial, budaya, ekonomi ikut memberikan dampak yang kuat pada warga

negara. Arus demokratisasi yang diharapkan memberi kesempatan dan ruang yang sama bagi

warga negara, justru makin membangkitkan semangat nasionalisme kesukuan dan keagamaan

(ethnoreligious) yang mengancam integrasi bangsa. Inilah yang menjadi pertimbangan serius

untuk menyusun langkah antisipasi melalui pembinaan warganegara yang cinta pada nilai-nilai

kebangsaan, memahami pemahaman luas dan komprehensif, mencintai penegakan hukum dan

keadilan serta masyarakat damai yang menjadi tujuan masyarakat madani.

Pembahasan

31

Dalam perspektif negara dan bangsa, kedudukan warga negara sangat penting dalam

pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Bahkan kualitas suatu bangsa dan negara dapat

dilihat dari sejauh mana warga negaranya berpikir, bertindak, dan berinteraksi dengan sesama

dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global. Banks (2008: 136) mengemukakan empat

kategori kewarganegaraan seperti diuraikan berikut ini.

1.      Legal Citizenship, merupakan kewarganegaraan yang paling dangkal. Tipologi ini berlaku

untuk warga negara yang secara hukum merupakan anggota dari suatu negara-bangsa yang

memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu tetapi tidak berpartisipasi dalam sistem politik. Dengan

kata lain, ia menjadi warga negara pasif.

2.      Minimal citizenship. Tipologi ini untuk menyebut warga negara yang sah dan ikut dalam

pemilihan lokal dan nasional. Warga negara dalam tipologi ini menjadi warga negara yang

terlibat dalam menentukan pemimpin mereka. Partisipasi yang dilakukan oleh warga negara

dalam bentuk yang masih konvensional. Artinya, menentukan pilihan terhadap pemimpin

terbatas pada sekedar berpartisipasi sebagai warga negara tanpa dilandasi argumentasi

rasional terhadap pilihan mereka.

3.      Active citizenship. Tipologi ini sudah lebih berkembang dari tipologi sebelumnya. Warga

negara melibatkan diri secara aktif tidak hanya sebatas dalam pemungutan suara untuk

menentukan pemimpin mereka, tetapi juga aktif dan berpartisipasi dalam  berbagai aksi, seperti

demonstrasi atau membuat opini publik mengenai isu-isu yang berkembang dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Tindakan warga negara yang aktif dirancang untuk mendukung

dan menjaga struktur sosial dan politik.

4.      Transformative citizenship. Kewarganegaraan transformatif melibatkan tindakan warga

negara yang dirancang untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral serta cita-

cita melampaui hukum dan kebiasaan yang berlaku pada suatu negara. Warga negara

transformatif melakukan tindakan untuk mempromosikan keadilan sosial. Warga negara

transformatif adalah mereka yang mampu berpartisipasi secara aktif dengan landasan

argumentasi yang rasional, memiliki pemikiran yang kritis, dan berani menyuarakan kebenaran.

Untuk mewujudkan warga negara transformatif perlu dilakukan upaya strategis dengan 

melibatkan semua pihak. Salah satunya melalui pendidikan yang mengedepankan isu-isu global.

Wahab dan Sapriya (2011: 245-246) mengutip  The American Association of Colleges for

teacher Education (AACTE, 1994) menyebutkan bahwa globalisasi mengharuskan perubahan

dalam strategi dan metode mengajar yang dilakukan para guru di sekolah. Perubahan yang

memperhatikan keragaman nilai-nilai manusia yang bersifat universal, sistem dan isu-isu global

serta keterkaitan dengan masyarakat dunia dan sejarah global. Hal ini tentu saja diharapkan

dapat memberikan implikasi bahwa pengembangan pendidikan perlu diarahkan pada

penanaman nilai-nilai universal dan pemahaman pada isu-isu global sehingga peserta didik

32

dapat menjadi warga negara yang siap menghadapi realitas global dan menyikapinya secara

positif.

Menurut Murdiono (2015: 550), Pendidikan kewarganegaraan transformatif perlu

dikembangkan di sekolah untuk membekali peserta didik dengan berbagai pengetahuan dan

pemahaman kewarganegaraan, khususnya pengembangan wawasan global warganegara. Di

era global abad ke-21 perubahan di berbagai aspek kehidupan manusia terjadi dengan begitu

cepat. Warganegara global harus mampu menghadapi perubahan-perubahan global yang terjadi

sangat cepat dengan bekal pengetahuan dan pemahaman tentang dunia. Oleh karena itu,

pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan di sekolah harus diubah, dari sekadar

memberikan pengetahuan akademik menuju pengembangan pendidikan kewarganegaraan

transformatif yang memberikan bekal kepada peserta didik dengan berbagai kemampuan dan

keterampilan sosial sebagai warga negara, baik dalam skala lokal, nasional, maupun global.

Sekalipun hal ini akan menemui beberapa tantangan.

Oleh karena itu, pengembangan pendidikan kewarganegaraan transformatif dengan

penanaman nilai-nilai kebangsaan menuju masyarakat madani perlu diselenggarakan secara

sistematis. Kebutuhan akan adanya perubahan pada pola pikir lembaga pendidikan dalam

mengimplementasikan materi pembelajaran menjadi suatu strategi pengembangan

pembelajaran transformatif. Hal ini diharapkan memberi dampak bagi pembinaan

kewarganegaraan menuju masyarakat madani.

Masyarakat Madani di IndonesiaKonsep Masyarakat Madani  selalu berangkat dari permasalahan dan sekaligus konsep

tentang individu. Semakin baik pembinaan individu, maka akan semakin memudahkan

terwujudnya masyarakat madani. Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat madani kemudian

beranjak untuk membina atau membangun masyarakat, disinilah urgensi praktek citizenship

atau kewarganegaraan yang memahami secara konkrit implementasi kewarganegaraan yang

aktif dan produktif serta berwawasan luas.

Setelah wilayah pendidikan diberikan pengembangan pola pikir, pola sikap dan pola

tindak, selanjutnya konsep masyarakat madani diarahkan untuk mewujudkan tata hidup yang

baik. Tidak hanya bertumpu pada satu pihak, namun perlu menciptakan sinergi yang produktif

dan positif baik masyarakat (community), pemerintah (government), serta semua unsur warga

negara ikut berkolaborasi mewujudkan harapan bersama. Semua potensi bangsa Indonesia

dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita- cita   

dari bangsa ini. Masyarakat madani digambarkan sebagai masyarakat  yang berkembang sesuai

dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, menghormati sesama, mencintai,

menghargai perbedaan, tegaknya hukum dan keadilan, masyarakat yang aman damai dan

sejahtera.

33

Tantangan masyarakat Indonesia dalam membentuk masyarakat madani tidak akan

terlepaskan dari upaya menciptakan dan menjaga kesatuan bangsa ( NKRI), dengan cara

menciptakan kerukunan dan kedamaian, meminimalisir konflik dan benturan antara kelompok,

suku, golongan dan komunitas tertentu. Konflik dan benturan di masyarakat Indonesia sudah

sering terjadi dalam kurun waktu 10 sampai 20 tahun terakhir. Konflik atas dasar kelompok,

suku, golongan dan agama terus terjadi dan seakan menjadi ancaman laten yang setiap saat

bisa terjadi. Iqbal (2014:  90) menyebutkan tiga kecenderungan yang sering dihadapi

masyarakat multikultural yaitu: 1) mengidap potensi konflik yang kronis di dalam hubungan-

hubungan antar kelompok; 2) pelaku konflik melihat sebagai all out war; 3) proses integrasi

sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi atas suatu kelompok oleh kelompok lain.

Demikian pula, bangsa Indonesia pada setiap derap langkah kehidupan berbangsa dan

bernegara diarahkan  untuk menuju masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia

Indonesia akan mengalami perubahan yang fundamental yang tentu akan berbeda dengan

kehidupan masayakat pada era sebelumnya. Masyarakat madani yang dicita-citakan, dituntut

agar mampu menciptakan terwujudnya kemandirian masyarakat, terwujudnya nilai-nilai tertentu

dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan,

serta menjadi warga negara yang beriman, taqwa, jujur, dan taat hukum yang berlaku di

Indonesia.

Konsep  masyarakat  madani  merupakan  tuntutan  baru  yang  memerlukan berbagai

torobosan di  dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain,

dalam menghadap iperubahan masyarakat dan zaman.  Pengembangan   masyarakat   madani   

di   Indonesia   tidak   bisa   dipisahkan   dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri.

Nilai-nilai budaya bangsa, adat istiadat, pandangan hidup, tradisi, kebersamaan, cita-cita dan

tujuan yang sama dalam mencapai harapan bangsa yang maju akan memperkuat ke-Bhineka

Tunggal Ika-an.

Perwujudan masyarakat madani dianggap sangat urgen disebabkan karena  saat ini,

masyarakat sebagai bangsa Indonesia yang sementara hidup pada zaman yang tidak dapat

menghindar dari pergaulan global. Perkembangan informasi yang begitu pesat menimbulkan

problematika baru di samping efek positif yang kita peroleh. Oleh sebab itu, masyarakat

Indonesia menjadi tertantang untuk ikut bersama dalam pergaulan global tanpa meninggalkan

nilai-nilai dasar bangsa serta moral yang berakar dari budaya dan agama. Inilah urgensi

kewarganegaraan transformatif dalam kerangka perwujudan masyarakat madani di Indonesia.

 

KesimpulanKewarganegaraan transformatif (transformative citizenship) merupakan sebuah konsep dinamis

dalam pembinaan warga negara yang lebih aktif dalam pembangunan bangsa, memiliki

wawasan kebangsaan yang memadai serta memiliki wawasan global. Mampu

34

mengimplementasikan nilai-nilai moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia menuju

pencapaian tujuan dan cita-cita terwujudnya masyarakat madani.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan pendidikan

kewarganegaraan trasnformatif dengan harapan agar warga negara Indonesia memiliki

pengetahuan, wawasan dan pemahaman yang komprehensif tentang dunia global dengan

segala perkembangannya serta mampu mengejawantahkan dalam tatanan praktis untuk

membangun bangsa dan negara.  Tanggung jawab membangun masyarakat madani senantiasa

tersemat dalam setiap diri warga negara, sehingga bekal pemahaman yang kuat menjadi

landasan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap warga negara.

Daftar PustakaBanks, J. A. (2008). Diversity, goup identity, and citizenship educarion in a global, Educational

Researcher,37 (3), hlm. 129-139.

 

Iqbal, Mahathir M. (2014), “Pendidikan Multikultural Interteligius: Upaya Menyemai Perdamaian

dalam Heterogenitas Agama Perspektif Indonesia”, Jurnal Sosio Didaktika, Vol. 1. No. 1, 89-98.

 

Murdiono, M. ( 2015 ), Pendidikan Kewarganegaraan Transformatif untuk ,  wawasan global

peserta didik di sekolah, Prosiding Seminar Nasional: Penguatan Komitmen Akademik dalam

memperkokoh Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan. h. 539 -550.

 

Suroto, (2015), Konsep Masyarakat Madani Di Indonesia Dalam Masa Postmodern (Sebuah

Analitis Kritis),   Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 5, Nomor 9.

 

Wahab. A.A & Sapriya, (2011), Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung:

Alfabeta.

35

Pemahaman Warga Negara Terhadap Hak dan Kewajiban Mempunyai Peran Penting Dalam Kewarganegaraan Transformatif

Badruli MartatiUniversitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya

[email protected]

ABSTRAK

Hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dari individu dalam kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat menyatu dalam bangsa dan negara melalui kontrak sosial. Sebagaimana hukum alam, setiap individu memerlukan orang lain agar bermanfaat bagi sesama. Dengan demikian masing-masing individu dan atau golongan memiliki kebutuhan yang seringkali berbenturan satu sama lain. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik di masyarakat. Konflik terjadi sesungguhnya disebabkan komunikasi yang kurang baik dalam memahami hak dan kewajiban. Konflik dalam masyarakat menjadi berkelanjutan, jika tidak diberikan win-win solution. Untuk itu, peran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi penting dalam rangka memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban kepada warga negara untuk mewujudkan masyarakat madani. Keberhasilan warga negara untuk memahami hak dan kewajiban dapat membantu terwujudnya kewarganegaraan transformatif.

Kata kunci: hak dan kewajiban, warga negara, madani, transformatif, PKn

ABSTRACT

Rights and obligations are two inseparable matters for an individual in their social life. Society is integrated in the nation and state through social contract. As a law of nature, every individual needs other people to give a mutual benefit. Thus, each individual and / or group have their needs which are often in conflict with each other. This often drives a conflict in the community. The conflict is usually caused by a bad communication among citizens to understand their rights and obligations. The conflict in society becomes sustainable, if it is not had a win-win situation. Therefore, the role of Citizenship Education is pivotal to cultivate an understanding of the citizen’s rights and obligations to create a civil society. The success of citizens to understand their rights and obligations can help to realize a transformative citizenship.

36

Key words: rights and obligations; citizen’s; civil society; transformative; citizenship education

PENDAHULUANPendidikan merupakan hal yang paling berharga bagi suatu bangsa. Hal ini telah

disadari oleh para pendiri bangsa (founding father). Pendidikan sebagai asas moral bangsa dan

negara, tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945, alenia keempat. Sutrisno menyatakan,

ketika para pendiri bangsa terutama Bung Hatta dengan sadar menuliskan alenia keempat

Pembukan Konstitusi Republik Indonesia, ia jelas-jelas menaruh proses meng-Indonesia

sebagai proses peradaban berilmu demi kemanusiaan antar kita agar semakin berkeadaban dan

adil. Selanjutnya dikatakan bahwa:

Teks kunci mencerdaskan kehidupan bangsa ”sebenarnya memuat sekaligus nilai

kultural proses pendidikan berilmu dan kepentingan kemanusiaan pendidikan untuk masa

depan bangsa ini yaitu humanisasi semakin berharkatnya orang perorang dan semakin

kultural beradabnya hubungan saudara sebangsa yang majemuk ini.” (Sutrisno, 2009:22)

Mahasiswa merupakan bagian dari warga negara yang harus memahami hak dan

kewajibannya dengan baik. Hal ini mengingat peran mereka sebagai pemegang estafet

kepemimpinan di masa mendatang. Terkait dengan peran mereka dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara maka mereka perlu pemahaman dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban

dalam kehidupan sehari-hari. Maka mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) berperan

penting untuk memberikan solusi tersebut, di mana PKn sebagai kelompok Matakuliah

Pengembangan Kepribadian (MPK) di perguruan tinggi berfungsi sebagai orientasi mahasiswa

dalam memantapkan wawasan dan semangat kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi,

kesadaran hukum, penghargaan atas keragamaan dan partisipasinya membangun bangsa

berdasar Pancasila. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus mampu mencapai

tujuan: (a). Mengembangkan sikap dan perilaku kewarganegaraan yang mengapresiasi nilai-nilai

moral-etika dan religius. (b). Menjadi warganegara yang cerdas berkarakter, menjunjung tinggi

nilai kemanusiaan (c). Menumbuhkembangkan jiwa dan semangat nasionalisme, dan rasa cinta

pada tanah air. (d). Mengembangkan sikap demokratik berkeadaban dan bertanggungjawab,

serta mengembangkan kemampuan kompetitif bangsa di era globalisasi. (e). Menjunjung tinggi

nilai-nilai keadilan.(Dirjendikti-Belmawa, 2003). Untuk itu membangun pemahaman yang tepat

dibutuhkan oleh mahasiswa agar dapat menjadi warga negara yang demokratis dan

berkeadaban.

METODE PENELITIANTujuan penelitian ini adalah untuk memperjelas masalah hak dan kewajiban warga

negara yang harus diketahui mahasiswa dan selanjutnya merupakan fakta yang ditemui dosen

37

sebelum proses pembelajaran PKn. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian

perpustakaan atau kajian literature, karena apa yang diketahui mahasiswa dan yag belum

dipahami mahasiswa yang dideskripsikan dosen dihubungkan dengan literature yang ada.

(Neolaka, 2014: 17-19). Berdasarkan tingkat kealamiahan, metode penelitian yang digunakan

adalah survei, yaitu untuk mendapatkan data dari pembelajaran dalam semester genap

2016/2017 pada mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya.

HASIL DAN PEMBAHASANPermasalahan hak dan kewajiban, menimbulkan pertanyaan lebih dahulu mana hak

atau kewajiban. Survey awal sebelum pembelajaran, mahasiswa berpendapat bahwa

kewajiban dilaksanakan baru diberikan haknya. Mereka memberikan jawaban dengan

memberikan contoh, pada saat mahasiswa setelah melakukan daftar ulang (kewajiban) setelah

itu baru diberikan (haknya) antara lain mendapatkan jas almamater, mendapatkan NIM,

mengikuti proses pembelajaran, mendapatkan nilai dan lain-lain. Menurut pendapat penulis,

maka sesungguhnya manusia menjalankan kewajiban setelah terlebih dahulu mendapatkan

haknya. Hal ini dapat diilustrasikan dalam contoh berikut seorang bayi yang lahir maka ia

mendapatkan haknya baru setelah cukup umur ia melaksanakan kewajiban sebagai seorang

anak. Pemahaman ini diharapkan mampu membangun kesadaran mahasiswa untuk lebih

menghormati orang tuanya. Di samping makin menyadari hak dan kewajibannya sebagai

makhluk individu dan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Materi hak dan

kewajiban merupakan bagian dari tema mata kuliah PKn, sebagai langkah mewujudkan

masyarakat madani dalam koridor negara demokrasi.

Urgendi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Azyumadi Azra dalam (Nasution,A.R.,

2016 ) merupakan mata kuliah yang sangat penting bagi Indonesia untuk membangun

peradaban yang demokratis dengan beberapa alasan berikut: pertama, meningkatnya gejala

dan kecenderungan political illiteracy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja

demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara; kedua, meningkatnya political

apathism dengan indikator keterlibatan yang sedikit dari warga negara dalam proses- proses

politik. Jika demokrasi adalah hal mutlak penting, tidak bisa ditawar – tawar atau

dimundurkan ( point of no return), maka upaya penyemaian budaya demokrasi dapat dilakukan

melalui PKn, sebagai komitmen kuat untuk menjadi lebih demokratis dan berkeadaban. Hal ini

untuk memberdayakan masyarakat agar mempunyai kekuatan dalam upaya sistematis dan

sistemik dalam bentuk Pendidikan Kewarganegaraan ( Civic Education ) yang secara

konseptual menjadi wahana pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM dalam konteks

pembangunan masyarakat madani (Civil Society).

Terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, mahasiswa sebagai warga negara

memiliki hak mendasar sebagai manusia yaitu hak untuk mendapat pendidikan. Dengan

38

demikian negara memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan bagi warga negara.

Dalam memahami hubungan hak dan kewajiban maka mahasiswa sebagai warga negara

memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan-selanjutnya melaksanakan kewajiban untuk

mendaftar diri di perguruan tinggi yang dituju—mendapatkan haknya begitu terjadi secara

berkesinambungan. Dalam hal perolehan pengertian bahwa warga negara memiliki hak untuk

mendapatkan pendidikan dan negara mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan

pendidikan bagi warga negaranya, sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam alenia IV

Pembukaan UUD 1945.

Warga negara adalah manusia yang memiliki kebebasan sebagai individu yang segala

aktifitas dan kreativitas dalam kehidupannya adalah bergantung kepada orang lain, yang

mendukung peran dalam memberikan manfaat sesama sebagai makhluk sosial. Peran sebagai

makhluk sosial tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang Maha

Esa. Hal ini untuk memahami bahwa manusia tidak sempurna secara kodrati, sehingga

membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Dengan demikian manusia mampu hidup dan

berkembang sesuai kodratnya jika melakukan inetraksi atau komunikasi dengan manusia

lainnya (Darmadi, 2012:77).

Kehidupan sosial di dalamnya terdapat norma-norma yang harus dipatuhi individu.

Merupakan pedoman untuk mengatur tingkah laku anggota masyarakat dalam berbagai situasi

sosial. Pedoman tingkah laku mana dan sampai batas mana yang masih dapat diterima

kelompok, dan tingkah laku anggota mana yang tidak boleh dilakukan oleh kelompok

(Budiningsih,2013:65). Dalam kehidupan sosial ini, meskipun telah ada norma-norma yang

mengaturnya, bisa jadi terjadi konflik karena adanya kepentingan yang berbeda. Konflik yang

ada antara individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Sehingga

diperlukan saluran komunikasi yang baik.

Individu dalam kehidupan sosial selanjutnya mendasarkan diri untuk hidup bersama

dalam negara. John Locke menyatakan ketika manusia dalam keadaan naturalis atau in-

abstrakto suasana kehidupan manusia bebas dan sederajat, sesuai kehendaknya sendiri.

Kondisi alamiah ini telah bersifat sosial, Karena manusia hidup rukun sesuai dengan hukum

akal (law of reason), masyarakat damai. Walaupun kehidupan alamiah tersebut terlihat damai,

tetapi menyimpan sejumlah konflik yang jika tidak dikelola akan membahayakan kehidupan

bersama. Jadi membutuhkan organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka,

maka manusia membentuk negara dengan perjanjian bersama. (Wahyudi, 2014:37).

Manusia memiliki hak kodrati yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, yaitu hak

hidup, hak kesehatan, hak kebebasan dan hak milik. Sehingga terdapat persoalan yang paling

mendasar dalam hubungan antara negara dan warga negara yaitu hak dan kewajiban. Negara

dan warga negara sama-sama memiliki hak dan kewajiban yang saling berkaitan. Berbicara hak

negara itu berarti berbicara tentang kewajiban warga negara, demikian pula sebaliknya

39

berbicara kewajiban negara adalah berbicara tentang hak warga negara. Sehingga negara dan

warga negara dapat hidup Bersama untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan.

Kesadaran akan hak dan kewajiban sangatlah penting, seseorang yang semestinya

memiliki hak namun ia tidak menyadarinya, maka akan membuka peluang bagi pihak lain untuk

menyimpangkannya. Demikian pula ketidaksadaran seseorang akan kewajibannya akan

membuat hak yang semestinya didapatkan orang lain menjadi dilanggar atau diabaikan. Hal

tersebut yang selanjutnya dapat menimbulkan konflik, di mana konflik itu jika tidak diberikan win-

win solution akan menjadi kekacauan atau kerusuhan atau pelanggarakan hak dan kewajiban.

Negara Indonesia melalui UUD 1945 mengatur hak dan kewajiban serta pelaksanaan

hak dan kewajiban negara dan warga negara di negara kita. Kewajiban negara: (1) Pembukaan

UUD 1945, alinea IV; (2) Pasal 28I, ayat 4; (3) Pasal 29, ayat 2; (4) Pasal 30, ayat 2; (5) Pasal

30, ayat 3; (6) Pasal 30, ayat 4; (7) Pasal 31, ayat 2; (8) Pasal 31, ayat 3. (9) Pasal 31, ayat 4;

(10) Pasal 31, ayat 5 (11) Pasal 32, ayat 1; (12) Pasal 32, ayat 2 (13) Pasal 33, ayat 3; (14)

Pasal 34, ayat 1; (15) Pasal 34, ayat 2; (16) Pasal 34, ayat 3). Sedangkan hak warga negara

meliputi: (1) Pasal 27 ayat 2; (2) Pasal 28), (3). Pasal28B ayat 1); (4) Pasal 28 B ayat 2; (5)

Pasal 28C ayat 1; (6) Pasal 28C ayat 2; (7) Pasal 28D ayat 1); (8) Pasal 28D ayat 2; (9) Pasal

28D ayat 3; (10) Pasal 28D ayat 3; (11) Pasal 28E ayat 1; (12) Pasal 28E ayat 2; (13) Pasal

28E ayat 3; (14) Pasal 28F; (15) Pasal 28G, ayat 1; (17) Pasal 28G, ayat 2; (18) Pasal 28H,

ayat 1;. (19) Pasal 28H, ayat 2; (20) Pasal 28H, ayat 3); (21) Pasal 28H, ayat 4; (22) Pasal

28I, ayat 1; (23) Pasal 28I, ayat 2; (24) Pasal 28I, ayat 3;. (25) Pasal 30, ayat 1; (26) Pasal 31,

ayat 1. Adapun kewajiban warga negara (1) Pasal 27 ayat 1; (2) Pasal 28J, ayat 1; (3) Pasal

28J, ayat 2 ; (4) Pasal 30, ayat 1; (5) Pasal 30, ayat 2; (6) Pasal 31, ayat 2.

Kesadaran hak dan kewajiban antara negara dan warga negara mendukung terciptanya

kewarganegaraan trnasformatif dalam masyarakat madani. Masyarakat madani menurut

Wasitohadi (ris.uksw.edu) adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri

secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki ruang publik dalam mengemukakan

pendapat, serta adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan

kepentingan publik. Malik Fadjar (1999) menyatakan bahwa kekhasan karakteristik masyarakat

madani Indonesia adalah (a) adanya keragaman budaya Indonesia yang merupakan dasar

pengembangan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional, (b). pentingnya ada saling

pengertian antara sesama anggota masyarakat, (c) adanya toleransi yang tinggi.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi

dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat

madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-haknya serta kewajibannya

terhadap negara, bangsa dan agama. Masyarakat madani sangat menjunjung tinggi hak asasi

manusia, dan masyarakat madani adalah masyarakat bermoral yang menjamin keseimbangan

40

antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat, dimana masyarakat memiliki motivasi dan

inisiatif individual.

Konsep masyarakat madani sangat kompleks. Sebab di dalamnya mengandung konsep-

konsep relasi sosial yang beradab, dan hendak ditransformasikan dalam kehidupan sosial

sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi: masyarakat, hokum, demokrasi, pemerintahan

dan kenegaraan, keterbukaan, perubahan sosial, kebudayaan, dan lain-lain relasi-relasi dan

struktur sosial. Sebagai cara untuk mentransformasikan dalam kehidupan masyarakat melalui

pendidikan yang sistematis. Pendidikan kewarganegaraan dipandang cocok untuk memaknai

dinamika perubahan sosial yang berkembang di Indonesia baik di tingkat local, nasional,

regional dan global. (Chamim, 2003:43)

Dalam upaya mewujudkan masyarakat madani, harus diperhatikan keberagaman

masyarakat, antara lain adanya stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial adalah konsep yang

menunjukkan perbedaan dan/atau pengelompokan suatu kelompok sosial (komunitas) secara

bertingkat. Yaitu strata sosial tinggi, sedang dan rendah. Strata sosial rendah meliputi keluarga

ekonomi rendah. Strata sosial menengah mempunyai ciri; penghasilan melebihi keperluan hidup,

biasa menabung, terpelajar, pendidikan sebagai alat kemajuan, dll. Strata sosial tinggi yakni

keluarga lapisan atas, cirinya kehidupan ekonomi sangat baik, kaya raya, tidak khawatir

kehidupan ekonomi dikemdia hari, dll. Soekanto menyatakan sifat sistem pelapisan di

masyarakat dapat bersifat tertutup, di mana membatasi kemungkinan perpindahan kasta

seseorang. Contoh masyarakat berkasta. Kedua, sistem terbuka, dimana masyarakat di

dalamnya memiliki kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan.

Atau sebaliknya jatuh ke lapisan yang bawah, sebagai contoh yang terjadi dalam masyarakat

demokratis. Berbagai factor penyebab adalah pendidikan dan pekerjaan.(Abdullah Idi, 2014:

178-181).

Keberadaan masyarakat madani di Indonesia, khususnya saat kondisi bangsa Indonesia

pasca- Soeharto, tumbuh banyak organisasi kemasyarakatan yang mencerminkan demokrasi.

Putnam (1993) memberikan nilai positif adanya banyak organisasi yang berbasis masyarakat

tersebut. Namun, Wirutomo menyatakan bahwa organisasi masyarakat yang tumbuh

berkembang pasca-Soeharto tidak semuanya berpengaruh positif terhadap integrasi sosial dan

nasional dalam konteks demokrasi.

Menurut Diamond dalam (Wirutomo, 2015:247) fenomena penengah yang terletak di

antara ruang pribadi dan negara. civil society mewujud pada beragam organisasi, baik yang

bersifat formal maupun informal, seperti ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok

kepentingan, lembaga-lembaga pembangunan, organisasi-organisasi berorientasi isu, dan

kelompok-kelompok yang berfokus pada isu kewarganegaraan. Sujatmiko dalam (Wirutomo,

2015:245) Civil society mengandung dua aspek, yaitu pertama aspek horizontal berkaitan

dengan budaya yang memuat gagasan civility (keberadaban), seperti pluralisme, toleransi dan

41

lain-lain. Kedua, aspek vertikal berkaitan dengan politik yang mengandung ide otonomi

masyarakat terhadap negara. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah Civil Society Organization

(CSO), trust terhadap negara serta kemampuan CSO dalam mengawasi kekuasaan pemerintah,

dan lain-lain.

KESIMPULANMahasiswa memerlukan pemahaman yang benar tentang hak dan kewajiban untuk

membangun kesadaran pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik.

Kesadaran hak dan kewajiban antara negara dan warga negara dapat mendukung terciptanya

kewarganegaraan trnasformatif dalam masyarakat madani.

DAFTAR PUSTAKABudiningsih, Asri. 2013. Pembelajaran Moral. Rineka Cipta. Jakarta.

Chamim, Asykuri Ibn. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Majelis diktilitbang PP

Muhammadiyah. Yogyakarta.

Darmadi, Hamid. 2012. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Alfabeta. Bandung.

Idi, Abdullah. 2014. Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat, dan Pendidikan. Rajawali Press,

Jakarta.

Nasution, A.R., .2016. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Karakter

Bangsa Indonesia melalui Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Jurnal Pendidikan

Ilmu-Ilmu Sosial, 8 (2) (2016): 201- 212

Neolaka, Amos. 2014. Metode Penelitian dan Statistik.PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D).

Alfabeta, Bandung

Sutrisno, SJ, Muji. 2009. Ranah-Ranah Kebudayaan. Kanisius .Yogyakarta.

Tim. 2013. Modul Pendidikan Kewarganegaraan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembelajaran dan

Kemahasiswaan. Jakarta

Wahyudi, Alwi. 2014. Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Wasitohadi, Pendidikan Kewarganegaraan Yang Transformatif Menuju Terwujudnya

Masyarakat Madani, ris.uksw.edu/download/jurnal/kode/J00861, diakses12 Agustus

2017.

Widokarti, Joko Rizkie. 2016. Kepemimpinan Transformatif Menuju Masyarakat Madani.

repository.ut.ac.id/2339/ diakses 12 Agustus 2017

42

Wirutomo, Paulus. 2012. Sistem Sosial Indonesia. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Penguatan Masyarakat Multicultural Dalam Kehidupan Bernegara di Indonesia

Bernarda Meteray Universitas Cenderawasih [email protected]

ABSTRAK

Selama ini Indonesia mengalami berbagai permasalahan berkaitan dengan adanya kenyataan bahwa Indonesia adalah negeri multicultural. Sehingga salah satu tantangan berat yang dihadapi masyarakat Indonesia yang multicultural dewasa ini adalah kemampuan negara mengatasi berbagai konflik di Indonesia demi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara NKRI tidak hanya berfungsi sebagai wadah bagi warga Negara untuk meyatukan berbagai perbedaan tetapi menjadi sarana yang berfungsi mengantar masyarakat Indonesia yang multicultural mengenal dan memahami keindonesiaan dirinya dan menjadikan wilayahnya menjadi bagian integral NKRI. Sementara tidak dapat dipungkiri adanya arus transformasi terus berlangsung dalam masyarakat Indonesia. Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur. Salah satu faktor yang menyebabkan transformasi adalah perubahan gaya hidup (Life Style) perubahan struktur dalam masyarakat, pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru. Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana transformasi yang berlangsung mempengaruhi jati diri masyarakat Indonesia tentang keindonesiaan di setiap daerah di Indonesia sebagai bagian integral NKRI. Alasan dasar yang mendorong penulisan kajian ini adalah keraguan yang muncul di masyarakat tentang “keindonesiaan diantara masyarakat Indonesia di daerah ” terutama ketika beberapa wilayah di Indonesia dalam konflik. Kajian ini bermanfaat bagi pengembangan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan(PPKN) sebagai salah satu program studi di lingkungan perguruan tinggi untuk menghasilkan warga Negara yang bertanggung jawab memperkuat keindonesiaan diantara orang muda Indonesia yang multicultural. Melalui kajian ini diharapkan: Pertama, dapat dirumuskan proses dan model bagaimana menumbuhkan kesadaran bernegara yang pancasilais di kalangan orang muda Indonesia. Kedua, dapat menjaring aktor-aktor yang berperan menumbuhkan kesadaran Indonesia di Indonesia. Kata kunci : Masyarakat, kewarganegaraan, multicultural , generasi muda, tranformasi

PendahuluanSebagai negara-bangsa multicultural yang sangat besar dan terletak di antara

kepulauan, kita patut merasa bangga karena hingga hari ini bangsa Indonesia masih berdiri

kokoh dari Sabang hingga Merauke. Keragaman budaya ini merupakan sebuah aset bagi

negara-bangsa Indonesia untuk menjadi negara kepulauan yang besar dan kuat. Menurut

Robert Cribb (dalam Putut Widjarnako, 2008), kondisi Indonesia masih dalam posisi aman.

43

Indonesia akan selamat dari disintegrasi karena kaburnya perbatasan antar wilayah dan

tiadanya agenda politik yang bisa mendukung separatisme. Pandangan Cribb di atas

mengingatkan pemerintah dan masyarakat Indonesia bahwa kemungkinan disintegrasi

sangatlah kecil.

Ternyata, pandangan Cribb di atas ini perlu ditinjau kembali. Berbagai permasalahan

internal sejak reformasi terus terjadi dari waktu ke waktu hingga dewasa ini. Kehidupan

masyarakat Indonesia di berbagai daerah dewasa ini, masih terus ditandai dengan berbagai

masalah seperti lemahnya penegakan hukum, konflik antar partai, korupsi yang merajalela,

tawuran antarpelajar dan kampung, kekerasan dalam keluarga dan sekolah, narkoba, intoleransi

dalam beragama, ancaman teroris, dan masih adanya gerakan pemisahan diri di beberapa

daerah Indonesia. Berbagai permasalahan bangsa yang disinggung di atas dapat memicu

disintegrasi bangsa.

Kondisi di atas ini menunjukkan bahwa kesadaran menjadi Indonesia di antara

masyarakat Indonesia yang sangat majemuk baik di pusat maupun daerah ” masih bermasalah”

dan “belum menjadi bagian yang penting” dalam hidup bernegara. Syamsudin Haris(2014)

menegaskan bahwa semboyan bhineka tunggal Ika selama ini hanya menjadi jargon dan

retorika para elite politik, sedangkan ide persatuan yang mengikat konsesus yang bersifat lintas

etnik, agama, daerah dan ideologis ke dalam satu Indonesia justru menjadi alat bagi kelompok-

kelompok anti demokrasi seperti golongan militer untuk memarjinalkan, menindas dan bahkan

membunuh sesama bangsanya sendiri.

Pernyataan Syamsudin Haris ini menunjukkan bahwa kesadaran berbangsa dan

bernegara memang masih lemah sehingga diperlukan pengambilan kebijakan yang tegas

menyangkut masa depan NKRI, agar nasib negara ini tidak akan mengalami kondisi yang terjadi

di Negara Yugoslavia misalnya. Ketika menyinggung tentang banyak Negara di dunia yang yang

“ seolah terbius dalam imajinasi tentang identifikasi negera dan bangsa. Clifford Geertz

mengingatkan agar jangan terkecoh dengan pemahaman yang keliru tentang bangsa dan

negera. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran Clifford Geertz. Menurut Clifford

Geertz( Kymlicka,2011):

Perang Balkan membangun [dunia] dari tidur ala Sleeping beauty itu.

Yuggoslavia merupakan contoh terang-terangan dari ketidakcocokan isi dan

kenyataan dari konsep-konsep bangsa dan negeri yang sering disamakan begitu

saja. Bekas Yugoslavia tercabik-cabik secara internal oleh kekuatan-kekuaan

nasional yang sekarang menjadi Negara-negara kecil. Bukan hanya itu, dari luar

negeri ini juga diserang lewat separatisme Makedonia, permusuhan dengan

Honggaria dan Bulgaria. Gerak penghancuran itu mulai berturut-turut dari

perang Yugoslavia, melaui perang Serbia-Kroatia dan berakhir dengan perang

Bosnia. Yugoslavis hanyalah sebuah contoh eksrem bagaimana identifikasi

44

bangsa dan negeri tidak berfungsi. Runtuhnya Yugoslavia dan komunisme

Soviet memberi hikmah. Suatu politik yang ingin melancarkan homogenisasi

atas keragaman social cultural di bawah penindasan sebuah ideology dan

kekerasan politis justru menabung dendam cultural.

Geertz juga menambahkan bahwa masyarakat modern semakin disadari sebagai sebuah

masyarakat multicultural, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari berbagai macam bentuk

kehidupan dan orientasi nilai. Oleh karena itu, Budi Hardiman (dalam Kymlicka:2011)

menegaskan bahwa mengacu pada kondisi di Yugoslavia di atas, maka sebenarnya Clifford

Geertz hendak menyatakan bahwa kondisi Indonesia sedemikian kompleksnya sehingga sulit

melukiskan anatominya secara persis. Negeri ini bukan hanya banyak etnis melainkan juga

menjadi arena pengaruh multi mental(India, Cina, Belanda, Portugis, Hindu dan Budisme, Islam,

Kristen. Indonesia adalah sejumlah bangsa dengan ukuran, makna dan karakter yangberbeda-

beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius atau semacam

yang disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama. Indonesia

pun sebuah contoh untuk menunjukkan bahwa negeri dan bangsa tidak dapat disamakan begitu

saja.

Dengan demikian tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana transformasi

yang berlangsung mempengaruhi jati diri masyarakat Indonesia tentang keindonesiaan di

setiap daerah di Indonesia sebagai bagian integral NKRI. Pertama, dapat dirumuskan proses

dan model bagaimana menumbuhkan kesadaran bernegara yang pancasilais di kalangan

orang muda Indonesia. Kedua, dapat menjaring aktor-aktor yang berperan menumbuhkan

kesadaran Indonesia di Indonesia.

Pemahaman Negara –bangsa Tidaklah salah apabila, hingga kini masih terdapat kekeliruan dalam memahami apa itu

bangsa dan Negara. Dalam banyak pikiran orang, bangsa dan Negara diartikan sama. Seperti

ditegaskan Clifford Geertz, “dalam pemakain sehari hari kita menyamakqn begitu saja konsep-

konsep, seperti bangsa(nation), Negara(state), negery(country), masyarakat(society) dan rakyat

(people). Menurut Clifford Geertz, yang paling menjadi masalah apabila konsep negara dan

bangsa disamakan. Apabila pengertian ini digunakan, maka yang dinamakan negara adalah

mereka yang memiliki satu bangsa saja. Hal ini tentu saja keliru.

Otto van Bauer menyatakan bahwa bangsa adalah suatu kelompok manusia yang

memiliki karakter (watak) yang sama yang terbentuk karena adanya perasaan senasib yang

sama. Sedangkan Jacobsen dan Lipmann mendefinisikan bangsa sebagai kelompok manusia

yang lahir karena adanya satu kesatuan budaya (cultural unity) dan satu kesatuan politik

(political unity) dan Clifford Geertz dalam(Kimlicka, 2011) mengatakan bahwa bangsa adalah

sekumpulan orang dengan bahasa, darah sejarah dan tanah yang sama dan negeri sebagai

tempat kumpulan orang-orang tersebut. Sementara, Smith (dalam Oomen:2009) menegaskan

45

bahwa kelompok besar vertical yang terintegrasi dan memiliki teori yang dinamis beserta hak

kewarganegaran dan sentiment kolektif terhadap satu(atau lebih) karateristik umum yang

membedakan anggota dengan kelompok yang mirip bersama kelompok lain tersebut anggota

bangsa melakukan aliansi atau konflik.

Sementara pemikir lainnya Ernest Gellner mengemukakan bahwa nasionalisme

merupakan sesuatu yang diciptakan sebagai akibat dari munculnya negara yang sebelumnya

tidak. Terbentuknya suatu negara dan nasionalisme bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja

tetapi merupakan suatu penemuan atau sesuatu yang diciptakan dan didasarkan atas keinginan

untuk hidup bersama karena memiliki beberapa kesamaan dan dimotori oleh kelompok elit atau

intelektual yang berada di perkotaan (Meteray:2012).

Proses munculnya kesadaran berbangsa dan bernegara.Selama ini pemahaman untuk menjadi “ Indonesia” bagi masyarakat yang sangat beragam

baik suku, budaya, agama, bahasa, geografi, pendidikan maupun ekonomi bukanlah merupakan

suatu kebanggaan semata-mata yang selama ini sering dikumandangkan dan bukan pula

sesuatu yang “ mudah” diterapkan. Kondisi ini sebenarnya sudah pernah dikemukakan

Soekarno pada akhir perjuangan merebut kemerdekaan. Soekarno menyatakan bahwa “penting

untuk disimak bahwa gagasan Indonesia, dengan segala keragamannya, belum mendapat

“rumah yang nyaman” dalam negara Indonesia yang dibangun (Elson, 2008: 222). Dengan

demikian, pernyataan Soekarno ini mengindikasikan bahwa menjadi Indonesia dalam konteks

negara-bangsa Indonesia, sebenarnya belum mencapai final karena proses membentuk

identitas diri sebagai orang Indonesia masih dalam proses.

Putut Widjanarko(2008) mengungkapkan bahwa, menjadi Indonesia adalah sebuah

proses pencarian yang tiada henti, tiada pernah tuntas. Sebab, tiap Negara memiliki alasan

historis dan filosofisnya sendiri. Karena itu tiada peralatan intelektual apa pun yang cukup kuat

untuk mendakwa atau mempertanyakan, misalnya bagaimana sebuah Negara kesatuan seperti

Cina, Iran atau Perancis dibentuk. Begitupun dengan Indonesia yang diakui Putut Widjanarko

tidak jatuh seperti Apel di kepala Newton. Wang Gungwu (dalam Suryadinata Leo, ed 2004)

menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara-bangsa adalah sebuah proses yang

diciptakan/dibuat. Begitupun dengan Magnis-Sueno dengan mengacu pada pemikiran Sukarno

tentang persatuan dan kesatuan menegaskan bahwa kesatuan bangsa Indonesia tidak bersifat

alamiah melainkan melalui proses sejarah (dalam Lanur, Aleks1995).

Ide menggagas keindonesiaan dimulai ketika Soewardi Soeryaningrat, Tjito

Mangoenkoesoemo, dan E.F.E. Douwes Dekker memulai dengan melalui “Indische partij. ”

Menurut pemahaman salah satu pendiri anggota partai ini, siapapun yang menganggap Hindia

atau Indonesia sebagai tanah airnya, tanpa peduli apakah dia orang Indonesia totok, atau

keturunan Tionghoa, Belanda, Eropa. Menurut Elson, Jawa merupakan tempat awal orang

Indonesia mulai membicarakan masalah “keindoensiaan.”

46

Ide dan gagasan para pendiri Indische partij ini terus bertumbuh diantara para

mahasiswa baik yang belajar di Jawa maupun di Belanda. Di Belanda misalnya mahasiswa

membahas sering makna keindonesiaan dalam ruang kuliah, warung kopi, dan kamar kos.

Dengan demikian, nama Indonesia di kalangan mahasiswa Indonesia di Belanda dijadikan nama

partai politik dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1922. Para pencentusnya

antara lain Mohamad Hatta, Natsir, Achmad Soebardjo dan Soekiman Wirjosandjojo. Dengan

pendirian PI maka ide tentang nasionalisme Indonesia mulai tersebar melalui media masa ke

Indonesia oleh para mahasiswa ketika mereka kembali ke Indonesia. Maka melalui upaya

berbagai organisasi pemuda yang ada di Indonesia maka peristiwa Sumpah Pemuda 1928

merupakan perwujudan adanya kesadaran berbangsa Indonesia sebagai satu bangsa.

Dengan demikian, berkaitan dengan Indonesia sebagai Negara-bangsa akhirnya

terwujud pada 17 Agustus 1945 karena didukung oleh bertumbuhnya nasionalisme Indonesia di

seluruh wilayah Indonesia. Kahin mengemukakan empat faktor utama yang turut

mengkontribusi nasionalisme Indonesia: pertama, kesamaan dalam hal agama karena 90

persen penduduk Indonesia beragama Islam; kedua, penggunaan bahasa Melayu yang

digunakan di berbagai lapisan masyarakat; ketiga, terbentuknya Volksraad yang merupakan

perwakilan dari berbagai lapisan masyarakat; keempat, munculnya media massa berupa surat

kabar dan radio. Kahin menegaskan bahwa kaum elit atau kelompok intelektual Indonesia yang

berada di daerah perkotaan berperan penting dalam membangkitkan kesadaran berbangsa di

Indonesia (Meteray : 2012).

Permasalahan Multicultur dalam masyarakat IndonesiaIndonesia memiliki dua ras besar yaitu Melayu dan Melanesia. Papua misalnya memiliki

ras Melanesia dan terdiri dari berbagai suku dan bahasa yang majemuk dan menempati wilayah

beragam maka pengalaman menjadi Indonesia pun berbeda dengan daerah lainnya di

Indonesia. Karateristik masyarakat yang memiliki ras Melanesia berbeda dengan Melayu (lihat

Meteray, 2012 dan Whiteman ed, 1975). Dewasa ini, seperti halnya daerah Jogja, Papua

menjadi Indonesia mini, sebab orang Papua juga sangat terbuka menerima berbagai semua

suku, budaya, dan agama dari daerah Indonesia lainnya. Namun, Papua masih merupakan

wilayah rawan konflik apalagi di abad globalisasi dan demokrasi. Berbagai pendekatan terus

diupayakan pemerintah untuk meminimalkan konflik di Papua. Kajian Syamsudin Haris dkk

(1999) tentang Indonesia di Ambang Perpecahan? menunjukkan Aceh dan Papua menjadi

potensi perpecahan Negara- bangsa Indonesia setelah Timor Timur lepas dari Indoensia.

Sementara di bagian wilayah Indonesia lainnya, membangun masyarakat yang

berbangsa yang adil dan bermartabat masih menjadi masalah. Rupanya belum ada kesadaran

tetang berbangsa di antara kita. Apabila seseorang jadi pemimpin di antara masyarakat yang

berbeda agama, suku dan kepentingan selalu ada rasa curiga. Kecurigaan selalu ada karena

47

selama ini yang memimpin lebih memprioritaskan kepentingan kelompok dan mengabaikan

kepentingan umum.

Dengan demikian, sangatlah relevan kajian Kaelan tentang Perbandingan Ideologi

Pancasila dengan paham ideolgi besar lainnya di dunia dengan situasi masyarakat Indonesia

yang multicultur dewasa ini. Menurut Kaelan, berdasarkan ciri khas proses dalam rangka

membentuk suatu Negara, maka bangsa Indonesia mendirikan suatu Negara memiliki suatu

karateristik, ciri khas tertentu yang karena ditentukan oleh keanekaragaman, sifat dan

karateristiknya maka bangsa ini mendirikan suatu negara berdasarkan filsafat Pancasila, yaitu,

suatu Negara pemersatu, suatu Negara kebangsaan serta suatu Negara yang bersifat

Integralistik (2010).

Dalam kehidupan masyarakat multicultur, diakui bahwa ada dampak positif dan negative.

Dampak positif yaitu pertama Keanekaragaman memberikan ruang bagi masyarakat untuk

terbuka dalam menjalin hubungan sosial maupun berbudaya, kedua, memberikan ikatan dan

hubungan antar sesama  dan ketiga, dapat saling berbagi bersahabat dan menghargai antar

setiap budaya, tanpa adanya batasan – batasan karena sebuah perbedaan. Dengan demikian,

harus diakui bahwa upaya para mahasiswa di berbagai tempat menyebabkan Kahin (1952) dan

Ricklefs (2008) menegaskan bahwa kaum elit dan intelektual Indonesia sangat penting dalam

menyebarluaskan kesadaran berbangsa Indonesia menentang penjajah Belanda demi mencapai

kemerdekaan dan mempertahankan RI. Menurut Kahin dan Leirissa(Kahin, 1952 dan Leirissa,

2006)., terbentuknya Nation State Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang didasarkan pada

wilayah bekas administrasi Hndia Belanda yang telah menyatukan masyarakat dari berbagai

bahasa dan budaya ke dalam satu kesatuan politik dan dengan demikian akan membangun

semacam kesadaran secara nasional.

Namun menurut, Bambang Purwanto(2008), kesadaran sebagai Indonesia tidak secara

otomatis melekat pada semua wilayah di bekas Hindia Belanda atau kelompok masyarakat yang

ada didalamnya ketika proklamasi Indonesia diproklamasikan di Jakarta, melainkan diperlukan

proses lanjutan agar kesadaran sebagai Indonesia benar-benar terbentuk. Gema kesadaran

nasional yang bertumbuh dan berkembang di pulau Jawa tidak dapat diterima begitu saja oleh

orang Indonesia lainnya di luar Jawa.

Dampak kehadiran Pemerintah Belanda di Indonesia telah memicu munculnya berbagai

konflik di tanah air hingga dewasa ini. Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di

Maluku dan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Maluku misalnya, sekalipun

telah terjadi kontak antar orang Maluku dengan wilayah lain di Indonesia yang diperkirakan pada

abad 15, perjalanan orang Maluku baik di utara, tengah dan tenggara, menjadi bagian dari

Indonesia melalui proses yang panjang. Pemahaman sebagai bagian dari masyarakat Indonesia

baru diawali dengan kehadiran pemuda-pemuda Ambon yang mengikuti pendidikan di Jawa

sejak 1890an. Berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia seperti di Jawa, Sumatra dan

48

Sulawesi, upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 di Maluku yang dilakukan

kelompok nasionalis lebih menggunakan jalan diplomasi dari pada konfrontasi phisik. Menurut

Leirissa dkk, penggunaan jalan diplomasi ini dilakukan karena masalah politik yang terjadi di

Maluku. Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Maluku terjadi

pemberontakan Rakyat Maluku Selatan(RMS) yang menentang proklamasi Indonesia dan

dampaknya masih dirasakan hingga dewasa ini.

Dengan demikian, respon masyarakat di Maluku dan Papua terhadap gema proklamasi

17 Agustus 1945 sangat beragam. Upaya mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945 di

Maluku didominasi orang Maluku baik yang berada di Ambon maupun Jawa dan Makasar

sementara, di Papua upaya mempertahankan dan menyebarkan berita proklamasi 17 Agustus

1945 umumnya orang yang berasal dari Jawa, Sumatra, Makasar, Menado dan Maluku.

Perbedaan respon masyarakat Maluku dan Papua terhadap pembentukan Negara bangsa

Indonesia inilah yang mewarnai perjalanan ke dua wilayah ini menjadi bagian dari NKRI.

Dari uraian-uraian di atas tampaklah, begitu kompleksnya kehidupan berbangsa di

Indonesia seperti yang singgung Clifford Geertz, maka diperlukan berbagai upaya

menghindarkan Negara dari bahaya disintegrasi. Upaya untuk mempertahankan keutuhan

Negara ini ditegaskan Abdul Wahab dan Prof.Sapriya(2011), bahwa bagi sebuah negara

bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan, maka konsep

kewarganegaraan(citizenship) menempati kedudukan yang strategis sehingga menjadi konsep

sentral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, perlu ada upaya

menyadarkan sesama warga bangsa di Indonesia untuk mengimplementasikan Pancasila,

UUD 1945, dan NKRI demi membangun persatuan dan kesatuan NKRI.Oleh karena itu perlu

dilakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan kesadaran bernegara dan berbangsa.

Penutup:

1. Pemerintah di setiap negara di dunia mempunyai cita-cita tentang warganya kedepan.

Maka program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia

mengemban tugas pokok dengan cara perlu di susun Isi, Cara-cara dan Pendekatan

yang tepat tanpa mengabaikan karateristik masyarakatnya untuk mendidik warga

negara.

2. Setiap warga negara Indonesia perlu menyadari bahwa konsep “negara-bangsa” yang

dipromosikan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta sebagai bangsa yang

besar bukanlah semata-mata didasarkan atas kesamaan etnis, budaya, agama dan

memiliki pengalaman serta keinginan yang sama melainkan negara-bangsa ini

dibangun atas proyek politik atau diciptakan dan ditemukan. Maka perlu ada kemauan

bersama menjaga dan memelihara persatuan

3. Perlu penguatan bagi warga muda di berbagai jenjang pendidikan karena mereka

merupakan sasaran penyadaran kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks

49

masyarakat multicultur. Warga muda ini dapat menjadi model dalam membangun

perdamaian dan persaudaraan.

4. Transformasi menjadi negara-bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa

Indonesia mengalami proses yang panjang dengan berbagai peristiwa baik pengaruh

internal maupun ekstenal. Hal ini hendaknya dipahami semua warga negara sebagai

bagian dari konsekuensi membangun masyarakat Indonesia yang multikultur

berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yang mengacu pada proklamasi 17 Agustus

1945.

Daftar PustakaBambang Purwanto. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris?!,Yogjakarta:

Ombak.

Djopari, John. R.G.(1993). Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka, Jakarta PT.

Gramedia.

Elson, R.E. (2009). The Idea of Indonesia Sejarah Pemikiran dan Gagasan.Serambi:

Jakarta.

Kymlicka Will, (2011) Kewarganegaraan Multikultural, LP3Es,Jakarta

Kahin George, Mc.TNationalism dan Revolution in Indonesia.New York, 1952

Lanur Aleks, ed. (1995). Pancasila Sebagai Ideologi terbuka, Problema dan

Tantangannya, Kanisius Yokyakarta.

Leirissa, RZ, (etal) Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya, Depdikbud–Diksjara Proyek

Inventaris dan Dokemun Sejarah Nasional, Jakarta 1992

Meteray, Bernarda, (2012). Nasionalisme Ganda Orang Papua, Kompas, Jakarta.

Oomen, T, (2009) Kewarganegaraan, kebangsaan, & Etnisitas, mendamaiakan

Persaingan Identititas., Kreasi Wacana,Bantul

Safroedin, Tandililing AB Bahar,( 1996). Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan Strategi.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suryadinata Leo, ed,( 2004). Ethnis Relations and Nation Building in Southeastasia, Nias

Press, Singapore.

DIGITALISASI WARGA NEGARA DAN PERAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MEWUJUDKAN GENERASI EMAS 2045

Beti Indah Sari50

Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Magister Pendidikan KewarganegaraanUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung

[email protected]

ABSTRAKKebebasan dan kemudahan dalam berkomunikasi maupun mengakses informasi yang tak terbatas merupakan hal yang lazim kita jumpai pada era digital seperti saat ini. Hal tersebut memberikan dampak baik positif maupun negatif kepada para pengguna internet, terutama media sosial. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan ialah munculnya perilaku negatif para netizen (istilah untuk pengguna media sosial) seperti penyebaran isu sara yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta maraknya cyber bullying dikalangan netizen. Perilaku negatif netizen tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan serta kesadaran netizen sebagai warga digital dalam memahami kewargaan digital yaitu yang berkaitan dengan perilaku yang tepat dan bertanggung jawab dalam penggunaan teknologi. Dalam hal ini, Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam mempersiapkan pengetahuan, pemahaman serta kesadaran akan kewargaan digital kepada para netizen agar para netizen dapat dengan bijak dalam memanfaatkan serta menggunakan media sosial.Kata Kunci: digitalisasi warga negara, internet, netizen, Pendidikan Kewarganegaraan

PENDAHULUANPerkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat saat ini

membawa perubahan serta dampak yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan. Salah

satunya ialah perubahan dalam komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Bill Gates (dalam Uma dan Amal, 2014) yang mengatakan bahwa pada era

sekarang ini sedang melintasi suatu batas teknologi yang akan merubah cara belajar, bekerja,

bergaul dan berbelanja seseorang. Batas teknologi tersebut nampak pada semakin mudahnya

berinteraksi dengan orang lain tanpa adanya batasan jarak, tempat maupun waktu. Keadaan ini

sesuai dengan istilah “global village” yang disebutkan oleh McLuhan (1994) dimana pada era

tersebut dunia digambarkan menjadi semakin sempit dan tidak ada lagi batas waktu maupun

tempat karena mudahnya perpindahan informasi dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam

waktu yang singkat dengan menggunakan teknologi internet.

Perubahan tersebut nampak pada tingkat ketergantungan masyarakat pada

penggunaan internet dalam kehidupan sehari-harinya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan

oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, dapat diketahui

bahwa sebanyak 132,7 juta dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta orang telah

menggunakan internet. Dari 132,7 juta orang pengguna internet, sebanyak 42,8% pengguna

internet di Indonesia ialah berada pada rentang usia 10-34 tahun. APJII juga menyebutkan

bahwa sebesar 97,4% pengguna internet Indonesia mengakses media sosial. Dari hasil riset

APJII tersebut dapat diketahui bahwa pengguna internet di Indonesia merupakan para remaja

yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mengupdate informasi, berkomunikasi,

maupun untuk mengekspresikan sebuah ide. Oleh karena itu, remaja sebagai bagian dari warga

negara digital harus mampu untuk menjadi warga digital yang cerdas dan mampu memilah

informasi yang diterima maupun yang akan diberikan pada orang lain melalui media sosial. Hal

51

ini sejalan dengan isu yang dikemukakan oleh Rene Hobbs berkaitan dengan literasi media

terutama bagi para remaja (dalam Prasetiyo, 2016) melalui pertanyaannya yaitu, “Should media literacy education aim to protect children and young people from negatif media influences?”

Transformasi Kewargaan Digital di Era Digitalisasi: Literasi Media sebagai Upaya Membangun Kecerdasan Digital

Ketergantungan pada gadget maupun internet pada masyarakat, mulai dari orang tua

hingga anak-anak merupakan suatu hal yang sering kita jumpai di era teknologi informasi seperti

saat ini. Mark Prensky (dalam Prasetiyo, 2016) menyebutnya dengan istilah Digital Natives yaitu

dimana terjadi perbedaan gejala yang dirasakan oleh anak-anak yang sudah mengenal teknologi

informasi dan komunikasi sejak mereka dini dengan orang dewasa yang baru mengenal

teknologi baru. Anak-anak ini memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan segala sesuatu

melalui media sosial yang mereka miliki sebagai bentuk produktivitas mereka. Jangkauan akses

internet yang luas memudahkan mereka untuk berkomunikasi serta mendapat informasi secara

random yang belum tentu berasal dari sumber yang valid.

Pemanfaatan media sosial sebagai sarana berinteraksi serta berkomunikasi dan

berbagi informasi dengan orang lain merupakan salah satu bentuk pergeseran dalam

pembentukan modal social pada masyarakat di era transformasi kewargaan digital. Modal sosial

merupakan salah satu alat perekat yang dapat menyatukan masyarakat (Tesoriero dalam

Sudarti, 2017). Oleh karena itu, kokohnya modal sosial akan berdampak pada kokohnya daya

saing atau keunggulan suatu masyarakat. Modal sosial yang kuat dapat terbentuk dari budaya

masyarakat Indonesia yang saling berinteraksi dengan cara saling menyapa satu sama lain

sebagai salah satu kebutuhan utama manusia sebagai makhluk sosial.

Pergeseran terhadap pembentukan modal sosial menjadikan masyarakat sebagai

warga digital harus pandai serta bertanggungjawab dalam membuat pilihan yang tepat dan

memanfaatkan teknologi, baik dalam mengoperasikan teknologi dalam berkomunikasi,

menerima maupun membagikan informasi kepada orang lain melalui media sosial yang dimiliki.

Dengan demikian, literasi media sangat penting karena bertujuan untuk dapat memanfaatkan

media dan menerima informasi dengan lebih bijak, artinya informasi yang diperoleh sesuai

dengan sumber yang terpecaya. Dengan demikian, pengguna internet dapat terhindar dari

berita-berita tidak benar (hoax), termasuk juga penyebaran isu sara yang akhir-akhir kerap

terjadi yang dapat mengancam dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Para warga digital harus memahami hak-hak digital dalam menggunakan dan

memanfaatkan teknologi informasi. Pemahaman hak digital (Sudarti, 2017) itu sendiri berkaitan

dengan kemampuan untuk memahami dan menjunjung tinggi hak-hak pribadi dan hukum,

termasuk hak privasi, kekayaan intelektual, kebebasan dalam berbicara hingga memberikan

52

komentar pada status netizen (istilah untuk pengguna media sosial) lain. Dengan demikian,

pengembangan kecakapan warga digital sebagai upaya membangun literasi media dan

pemahaman hak digital yang dimiliki oleh warga digital sebagai dasar dalam memanfaatkan dan

menggunakan teknologi informasi internet secara tepat, merupakan salah satu unsur pembentuk

modal sosial pada masyarakat menjadi lebih kokoh sehingga daya saing serta keunggulan

masyarakat Indonesia pun lebih meningkat.

Hal tersebut menuntut peran serta semua pihak dalam mengedukasi dan

mempersiapkan warga digital dalam membangun literasi media agar seluruh warga digital

mampu untuk memahami hak digital. Oleh karena itu, bagi generasi muda yang sebagian besar

hidupnya tergantung pada gadget diperlukan persiapan melalui pembangunan literasi media

agar mampu untuk menjadi warga digital yang baik. Literasi media dapat dikaitkan dengan

proses dalam mengakses hingga menganalisis pesan-pesan yang terdapat dalam media secara

kritis, serta mampu untuk menciptakan pesan dengan menggunakan dan memanfaatkan media

tersebut (Hobbs, 1996). Literasi media itu sendiri bertujuan untuk: (1) Membantu orang

mengembangkan pemahaman yang lebih baik; (2) Membantu mereka untuk dapat

mengendalikan pengaruh media dalam kehidupan sehari-hari dan; (3) Pengendalian dimulai

dengan kemampuan untuk mengetahui perbedaan antara pesan media yang dapat

meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan pesan media yang “merusak.” (Rahmi dalam

Prasetiyo, 2016). Hal ini menunjukkan pentingnya membangun literasi media sejak dini yaitu

melalui pembelajaran yang diberikan di sekolah.

Pembangunan melek media melalui pembelajaran di sekolah telah disebutkan dalam

Partnership for 21st Century Skill yang bertujuan untuk membangun serta mengembangkan

kecakapan pelajar sebagai bagian dari warga global di abad ke-21. Salah satu isu yang dibahas

dalam Partnership for 21st Century Skill berkaitan dengan tantangan warga negara yang semakin

kompleks di dunia yang semakin berkembang. Untuk menghadapi tantangan tersebut, banyak

tuntutan yang ditujukan kepada sekolah sebagai sarana dalam mempersiapkan siswa sebagai

warga negara global. Oleh karena itu, pengembangan kecakapan warga negara global melalui

pembelajaran di sekolah dapat dilakukan dengan cara merevitalisasi pendidikan

kewarganegaraan.

Aspek-aspek kecakapan yang dikembangkan menurut Partnership for 21st Century Skill

ialah meliputi civic literacy, global citizenship, dan digital citizenship. Pertama, civic literacy

difokuskan pada pengembangan pengetahuan warga negara tentang perannya sebagai warga

negara. Kedua, global citizenship yang pengembangannya mencakup pada penyiapan

kompetensi warga negara untuk menghadapi serta berkontribusi dalam dunia global, yang

meliputi pemahaman terhadap bangsa dan budaya asing, kemampuan untuk berbahasa asing,

mampu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan antarbudaya yang berbeda, serta mampu

untuk memahami suatu persoalan dengan menerapkan keahlian disipliner dan interdisipliner

53

(Mansilla & Jackson dalam Partnership for 21st Century Skil). Aspek terakhir, yaitu digital

citizenship yang pengembangannya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam

menggunakan teknologi, yang meliputi pemahaman tentang keamanan penggunaan internet,

mampu untuk mengoperasikan teknologi baik sebagai sarana berkomunikasi maupun sarana

untuk mengekspresikan ide yang mereka miliki, serta mampu untuk berperilaku dengan tepat

dan bertanggung jawab dalam menggunakan dan memanfaatkan teknologi.

Peran Pendidikan Kewarganegaraan di Era Transformasi Digital CitizenshipTransformasi digital citizenship (kewargaan digital) erat kaitannya dengan kecerdasan

digital yang dimiliki oleh warga digital, yaitu berkaitan dengan kemampuan dan pemahaman

literasi media para warga digital dalam menggunakan serta memanfaatkan teknologi. Warga

digital yang cerdas mampu untuk memahami hak-hak digital baik hak pribadi maupun hukum.

Untuk menjadi seorang warga digital yang cerdas, diperlukan peran serta semua pihak dalam

mengedukasi warga digital melalui pembangunan literasi media kepada para generasi muda.

Pembangunan literasi media tersebut dapat dilakukan melalui pembelajaran yang dilakukan

disekolah.

Pembelajaran sebagai upaya pembangunan literasi media kepada para generasi muda

telah disebutkan dalam Framework for 21st Century Learning, dimana pembelajaran didalamnya

lebih menekankan pada pembelajaran dan keterampilan yang inovatif, pembelajaran hidup dan

pembelajaran berkarir, serta pemanfaatan media informasi dengan memanfaatkan keterampilan

dalam menggunakan dan menguasai teknologi. Dalam hal ini, keterampilan yang diajarkan

dalam inovasi pembelajaran tersebut mencakup tentang kemampuan berpikir kritis dan

pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi serta berkreasi dan berinovasi

(4Cs) yang dikembangkan ke dalam core subject yang berisi penguatan tentang civic literacy,

global awareness, financial literacy, health literacy, dan environmental literacy.

Aspek literasi media merupakan aspek pengembangan yang paling penting sebagai

upaya agar para pengguna internet mampu untuk menyaring informasi yang diperoleh dari

media sosial. Berdasar pada hal tersebut, pengembangan literasi media menjadi tanggung

jawab semua pihak dalam mengedukasi literasi media pada para pengguna internet.

Upaya pengedukasian pengembangan literasi media dapat dilakukan dengan cara

mengintegrasikannya melalui pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk dilakukan sebagai

upaya untuk mempersiapkan para generasi millennial yang sangat bergantung pada

penggunaan internet dalam kehidupan sehari-sehari mereka. Persiapan tersebut dilakukan

dengan cara membina literasi media kepada para generasi millennial. Hal itu bertujuan agar

para generasi millennial tersebut dapat menjadi warga digital yang cerdas dan mampu untuk

memahami hal-hal apa saja yang boleh maupun tidak boleh untuk dilakukan dalam

menggunakan serta memanfaatkan media sosial sebagai bentuk dari eksistensi diri mereka.

54

Pengembangan literasi media melalui pendidikan dilakukan dengan cara

mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya menyeluruh yang melibatkan

semua warga sekolah (guru, siswa, orang tua/wali murid) dan masyarakat sebagai bagian dari

ekosistem pendidikan (dalam panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA, 2016). Program GLS

ini hanya ditujukan pada tingkatan SMA, sedangkan pada tingkat SD dan SMP pengembangan

literasi hanya berfokus pada sumber bacaan saja yang berupa media cetak. Sebagai bagian dari

generasi millennial, siswa mulai dari tingkat satuan pendidikan SD/MI sampai dengan SMA/MA

juga merupakan bagian dari komunitas technology natives (pengguna asli teknologi) yang sejak

awal sudah terbiasa berinteraksi dalam era teknologi, sementara itu para guru sebagian besar

masih termasuk dalam kategori pendatang baru (migran) dalam dunia Teknologi Informasi,

sehingga terkadang kalah cakap dari siswanya dalam menggunakan media internet (Prasetiyo,

2016).

Dalam panduan GLS di SMA, pengembangan literasi media dikembangkan ke dalam

lima komponen literasi, yaitu literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi,

dan literasi visual (2016, Hlm. 5-6). Pertama, pengembangan literasi dasar berkaitan dengan

pengembangan kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan

menghitung. Kedua, pengembangan literasi perpustakaan itu berkaitan dengan pengembangan

kemampuan untuk memahami cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi. Ketiga,

pengembangan literasi media, yaitu berkaitan dengan pengembangan kemampuan untuk

mengetahui berbagai bentuk media yang berbeda serta memahami tujuan penggunaannya.

Keempat, pengembangan literasi teknologi yaitu berkaitan dengan pengembangan kemampuan

untuk memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi seperti peranti keras (hardware),

peranti lunak (software), serta etika dan etiket dalam memanfaatkan dan memahami teknologi.

Dan komponen terakhir yaitu literasi visual yang berkaitan dengan pemahaman tingkat lanjut

antara literasi media dan literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan

belajar dengan memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara kritis dan bermartabat

(dalam Panduan GLS di SMA, 2016, Hlm. 5-6).

Pengembangan GLS yang digagas oleh pemerintah ini menunjukkan adanya kesadaran

pemerintah tentang pentingnya kemampuan berliterasi yang harus dimiliki oleh setiap warga

negara terutama para generasi muda yaitu para siswa. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing, berkarakter serta nasionalis.

Oleh karena itu, pengembangan literasi media tersebut dapat diterapkan ke dalam semua materi

pelajaran, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan. Hal tersebut terdapat dalam hasil revisi

Kurikulum 2013 yang dilakukan pada tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia. Dalam hasil revisi kurikulum tersebut nampak bahwa

pembelajaran dikelas dilakukan secara terpadu. Dengan proses pembelajaran yang dilakukan

secara terpadu, maka sumber belajar yang digunakan tidak hanya terpusat pada buku

55

pembelajaran saja, melainkan lebih menuntut siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan mereka

berkaitan dengan materi yang diajarkan. Hal tersebut mengharuskan siswa lebih aktif dalam

mencari sumber-sumber belajar melalui berbagai media, baik melalui buku, media cetak, video

maupun media internet.

Kemampuan dalam memanfaatkan internet serta mengelola proses pembelajaran bagi

para pengajar juga berlaku pada pengajar PKn. Para pengajar PKn harus mampu

memanfaatkan internet dalam mengembangkan pembelajaran PKn sesuai dengan konteks

dinamika kehidupan pada saat ini. Selain itu, tantangan pengembangan literasi media ke dalam

mata pelajaran PKn tidak hanya berlaku pada para pengajar/guru, tetapi juga berlaku bagi para

siswa dalam mengakses informasi yang berasal dari media internet. Pengembangan literasi

media melalui pembelajaran PKn dilakukan melalui pemberian tugas dengan memanfaatkan

internet dalam mencari dan mengumpulkan berbagai informasi berkaitan dengan suatu materi

tertentu dan mempresentasikan apa yang telah mereka dapatkan kepada siswa lain dan juga

guru. Dengan demikian, melalui proses ini siswa berupaya untuk mengumpulkan informasi,

mengasosiasikan serta mengkomunikasikan hasil informasi yang telah diperoleh kepada guru

dan para siswa lain melalui presentasi.

Proses berfikir secara ilmiah yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran PKn juga

berfungsi sebagai upaya agar netizen dapat terhindar dari dampak negatif penggunaan internet

seperti maraknya berita hoax di media sosial, penyebaran isu-isu sara yang dapat memecah

belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, cyber bullying, serta cyber crime. Untuk

menghalau penyebaran isu-isu yang mungkin muncul karena disebabkan oleh kurangnya

pegetahuan siswa dalam berinternet sehingga menyebabkan munculnya cyber crimes, maka

diterbitkanlah undang-undang yang mengatur tentang tata cara dalam menggunakan serta

memanfaatkan internet, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-Undang ITE tersebut bertujuan sebagai pengontrol warga digital dalam

menggunakan serta memanfaatkan internet dalam media sosial. Beberapa materi perbuatan

yang dilarang (cyber crimes) yang diatur dalam UU ITE yang terdapat dalam beberapa pasal,

antara lain:

1. Pasal 27, 28, 29 dan 30 berkaitan tentang perbuatan kesusilaan, perjudian,

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta pemerasan dan/atau

pengancaman, penyebaran berita bohong serta mengakses infornasi secara illegal;

2. Pasal 31 berkaitan dengan tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap suatu

informasi tertentu;

3. Pasal 32 berkaitan dengan tidakan illegal berupa gangguan terhadap suatu data

tertentu (data interference);

56

4. Pasal 33 berkaitan dengan tindakan illegal berupa gangguan terhadap suatu sistem

(system interference); serta

5. Pasal 34 berkaitan dengan penyalahgunaan alat dan perangkat.

Konten-konten yang terdapat pada pasal-pasal dalam UU ITE tersebut, terutama yang

berkaitan dengan perbuatan yang dilarang dapat dijadikan sebagai bahan dalam proses

pembelajaran PKn dikelas. Sehingga siswa dapat mengetahui serta memahami tindakan-

tindakan apa saja yang dilarang dalam menggunakan internet.

KESIMPULANKebebasan serta kemudahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi yang tak terbatas

seperti pada era digital saat ini memberikan dampak positif maupun negatif pada para pengguna

internet. Salah satu dampak negatif yang muncul dalam penggunaan internet ialah munculnya

perilaku cyber crime seperti munculnya beragam isu-isu sosial, yang dapat menimbulkan rasa

kecemasan sosial serta yang menganduing unsur sara sehingga dapat mengancam persatuan

dan kesatuan bangsa Indonesia. Persiapan kecakapan literasi media pada para siswa melalui

pembelajaran PKn disekolah dapat dilakukan dengan menggunakan konsep yang terdapat

dalam Framework for 21st Century Learning yang memuat konsep digital citizenship berupa

upaya pengembangan kemampuan literasi media sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas

sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing, berkarakter serta nasionalis.

Pengembangan literasi media kepada para siswa juga telah digagas oleh pemerintah melalui

Gerakan Literasi Media. Selain itu, pengembangan literasi media juga telah nampak dalam

kurikulum nasional yang diterapkan melalui proses pembelajaran secara terpadu.

DAFTAR PUSTAKABuku

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA/SMK, Dirjen Dikdas

Kemdikbud, Jakarta.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Silabus Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila

dan Kewarganegaraan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah

Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMA/MA/SMK/MAK), Kemendikbud, Jakarta.

57

McLuhan, M. 1994. Understanding Media, MIT Press, Massachusetts.

Artikel dalam Jurnal atau MajalahHobbs, R. 1996. Media Literacy, Media Activism, Telemedium. the Journal of Media Literacy,

42 (3).Penulis 1, Uma, D. M. C., Penulis 2, Amal, N. N. 2014. Media Sosial dan Perkembangan

Fashion Hijab:Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Motif, Pola dan Pengaruh Penggunaan Media

Sosial dalam Perkembangan Fashion Hijab pada Komunitas Solo Hijabers, Program Studi Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sudarti. 2017. Kecerdasan Digital dan Social Capital.

(http://jateng.tribunnews.com/2017/07/07/kecerdasan-digital-dan-social-capital) diakses pada

17 Juli 2017

Dokumen ResmiAsosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). 2016. Statistik Pengguna & Perilaku

Pengguna Internet Indonesia. Diakses dari [email protected] pada 17 Juli 2017.

Prasetiyo, W. H. 2016. Darurat Literasi Media dalam Digital Citizenship: Satu Gagasan Menuju

Warga Negara Melek Informasi. (https://www.researchgate.net/publication/309720267_Darurat

_Literasi_Media_dalam_Digital_Citizenship_Satu_Gagasan_Menuju_Warga_Negara_Melek_In

formasi) diakses pada 17 Juli 2017.

Partnership for 21st Century Skills (P21). Reimagining Citizenship for the 21st Century: a Call to

Action for Policymakers and Educators. Dokumen dapat didownload dari

http://www.p21.org/storage/documents/Reimagining_Citizenship_for_21st_Century_webversion

.pdf diakses pada pada 17 Juli 2017.

Perundang-UndanganRepublik Indonesia. 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008.

Sekretariat Negara. Jakarta.

PENANAMAN JIWA PROFETIK-PATRIOTIK DALAM PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PRASYARAT KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF

Dikdik Baehaqi Arif, Syifa Siti Aulia, Susena Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

[email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAKTulisan ini mengkaji upaya penanaman jiwa profetik-patriotik warga negara untuk mendorong tumbuhnya kewarganegaraan transformatif. Warga negara yang memiliki jiwa profetik-patriotik ditandai oleh tiga karakter utama, humanisasi, berjiwa liberasi, dan transendensi. Mereka yang berjiwa profetik-patriotik akan mampu mentransformasikan visi dan misi kenabian ke dalam realitas sosial dengan semangat Ilahiah.

58

Mereka berani membiasakan yang benar, tidak lekas putus asa, dan mampu merajut kebersamaan di antara warga negara yang beragam. Penanaman jiwa profetik-patriotik ini dapat dilakukan melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, baik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, maupun pada tingkat pendidikan tinggi. Untuk membangun jiwa profetik-patriotik, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak cukup sekadar membelajarkan warga negara tentang wawasan kewarganegaraan, kebangsaan, dan kenegaraan, melainkan perlu menanamkan nilai-nilai kebaikan utama warga negara melalui pembiasaan dan keteladanan. Nilai-nilai profetik perlu ditanamkan dan dibiasakan dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan agar warga negara memiliki rujukan keteladanan hakiki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai prasyarat kewarganegaraan transformatif.

Kata kunci: profetik-patriotik, kewarganegaraan transformatif, keteladanan, pendidikan kewarganegaraan.

PENDAHULUANDalam penggalan lagu Garuda Pancasila terselip kata “…patriot Proklamasi, sedia

berkorban untukmu”. Seorang patriot, mereka yang berjiwa pahlawan akan sedia berkorban atas

apa yang diperjuangkannya. Demikianlah warga negara Indonesia yang dicita-citakan. Mereka

adalah warga negara patriotik, yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, serta

bersedia berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.

Warga negara yang memiliki jiwa patriotik tidaklah lahir dengan sendirinya, ia

memerlukan proses-proses pendidikan teoretis maupun praktis empiris yang tepat. Untuk itu,

perintah Konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah

mengusahakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan

serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-

undang. Uniknya menurut Husaini (2017) “kurikulum sekolah tidak menjadikan iman, takwa, dan

akhlak mulia sebagai intinya….perintah konstitusi adalah tingkatkan akhlak. Tetapi yang

dikembangkan justru pendidikan karakter….”. padahal pendidikan sejatinya adalah alat utama

untuk memperkuat keimanan, ketakwaan, dan budi (akhlak) warga dalam merawat bangsa. Bagi

Husaini semestinya, proses penanaman iman, takwa, dan akhlak adalah program utama,

kurikulum inti atau kurikulernya”.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai nomenklatur untuk mata

pelajaran di sekolah, mata kuliah di perguruan tinggi, maupun aktivitas sosial budaya di

masyarakat memiliki peran dan orientasi yang relevan dalam upaya menumbuhkan rasa

kebangsaan dan cinta tanah air warga negara. Artinya, PPKn adalah pendidikan kebangsaan

yang membina wawasan kebangsaan warga negara. Pendidikan kebangsaan tidak semata-mata

hanya pada aspek intelektual yang melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, menjadi

warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab tetapi yang utama adalah aspek moral

spiritual yang membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Di sanalah, urgensi peneguhan moral sprititual warga bangsa dikuatkan melalui

PPKn profetik, yang mengintegrasikan nilai-nilai agama (Islam) dalam kajian PPKn.

59

Pada tataran praksis empiris, integrasi nilai-nilai yang bersumber pada wahyu (nilai

agama) dengan ilmu pengetahuan dan teknologi belumlah menggembirakan. Kaum intelektual

seringkali terjebak pada parameter ilmiah dan non ilmiah yang seringkali merujuk [hanya] pada

teori-teori yang banyak berasal dari dunia Barat. Demikian pula pada pembelajaran PPKn, baik

pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, maupun pada tingkat pendidikan tinggi, integrasi

nilai-nilai agama (lebih khusus nilai-nilai Islam) dengan materi kajian PPKn belumlah banyak

dilakukan. Sekalipun demikian, di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah, ikhtiar untuk

mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kajian PPKn telah dirintis oleh Lembaga

Pengembangan Penelitian, Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta yang menerbitkan buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang

di dalamnya juga menambahkan nilai-nilai Muhammadiyah dan ke-Islaman, sehingga para

pembaca dan mahasiswa dapat menginternalisasi nilai-nilai kewarganegaraan dengan tetap

berlandaskan pada nilai-nilai Islam (UMY, 2015). Buku yang telah mengalami dua kali revisi

tersebut, digunakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah

Malang, dan Universitas Muhammadiyah Surabaya. Universitas Muhammadiyah Purwokerto,

juga telah menerbitkan buku PKn yang bermuatan nilai-nilai Islam, yaitu Pendidikan

Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Taniredja, 2010). Buku itu memuat nilai-

nilai Islam, antara lain: PKn dan masyarakat madani; Pemerintahan yang bersih dan demokratis;

Transformasi nilai-nilai demokrasi; Transformasi nilai-nilai Islam dalam keluarga; Transformasi

nilai-nilai Islam dalam masyarakat; Islam, musyawarah, dan demokrasi; HAM perspektif Islam;

Sistem ekonomi Islam; dan Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam.

Beberapa buku ajar di atas, dimaksudkan agar mahasiswa dapat menginternalisasikan

nilai-nilai kewarganegaraan yang berorientasi pada pembentukan warga negara yang patriotik

dengan tetap berlandaskan dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Buku terbaru adalah yang ditulis

oleh Khilmiyah (2016) yang menulis buku ajar Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Indonesia

Berkemajuan. Pembahasan buku ini disajikan secara utuh komprehensif mencakup empat

konsensus tersebut dan ditambah tiga bab yang terkait hubungan Muhammadiyah dengan

Negara Pancasila, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, dan Indonesia Berkemajuan. 

Apa yang telah dilakukan beberapa kampus Muhammadiyah tersebut, merupakan bagian

dari perjalanan sejarah intelektual Islam di Indonesia yang menurut Kuntowijoyo (2008, hal. 520)

telah bergeser dari tradisi ideologi ke tradisi keilmuan sejak dasawarsa 1980-an lalu. Integrasi

ilmu pengetahuan (khususnya sains sosial) – PPKn merupakan kelanjutan dari tradisi

pendidikan ilmu-ilmu sosial (social studies) – dengan nilai-nilai Islam telah diusahakan oleh

kalangan intelektual di Indonesia. Melalui kajian dan refleksinya, Kuntowijoyo (2008)

menyimpulkan bahwa sejak dasawarsa 1980 telah muncul tradisi keilmuan dalam pemikiran

Islam. Ilmu-ilmu sosial (Islam) menjadi ilmu transformatif, yang mempunyai kemampuan untuk

60

merekonstruksi masyarakat. Ilmu-lmu sosial juga ilmu profetik, artinya ilmu yang melaksanakan

tugas-tugas kenabian (Kuntowijoyo, 2008).

METODE PENELITIANGagasan tentang penanaman jiwa profetik-patriotik dalam pendidikan kewarganegaraan

ini menggunakan studi pustaka sebagai salah satu tradisi dalam penelitian kualitatif. Penulis

melakukan studi atas pustaka-pustaka yang relevan. Selanjutnya, data diolah dan melalui

tahapan penyusunan data, pengkategorian data, dan pencarian keterhubungan substansi dari

berbagai data yang diperoleh dengan maksud untuk mendapatkan maknanya. Data yang

diperoleh dan dikumpulkan melalui hasil kajian pustaka disusun dan dianalisis untuk menjawab

rumusan masalah yang dikaji.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Jiwa profetik-patriotik warga negara

Tulisan Latif (2015, hal. 207) tentang usaha menjalankan revolusi Pancasila di tengah

kesemarakan gairah materialisme, hedonisme, dan banalisme sampai pada kesimpulan

perlunya kebesaran jiwa yang teguh pendirian dan berani menyimpang dari mainstream. Latif

(2015) menyebut perlunya Jiwa profetis-patriotis, yang berani membiasakan yang benar, bukan

membenarkan yang biasa; jiwa profetis-patriotis yang tidak lekas putus asa dalam menahan

cobaan dan gempuran; jiwa profetis-patriotis yang sanggup menyatukan satuan-satuan lidi

pecutan ke dalam sapu kebersamaan gempuran yang dapat melenyapkan krisis dan penyakit

sosial. Istilah profetik yang digunakan dalam artikel ini tidak dapat dilepaskan dari gagasan yang

dikemukakan oleh Kuntowijoyo tentang ilmu-ilmu sosial profetik. Ilmu-ilmu sosial profetik

menurut Kuntowijoyo (2008, hal. 482) lahir untuk menjawab pertanyaan tentang transformasi

fenomena sosial yang tidak terpecahkan dalam Ilmu Sosial Transformati (sebagai terjemahan

dari gagasan Teologi Transformatif) yang pernah diajukan oleh Moeslim Abdurrahman. Bagi

Kuntowijoyo (2008, hal. 482) ilmu sosial profetik tidak hanya menjelaskan dan mengubah

fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk

apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tapi

mengubah berdasarkan cita-cita etik dan propetik tertentu. Dalam pengertian ini, lanjutnya, maka

ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang

diidamkan masyarakat. Sedangkan kata patriotik berarti “bersifat cinta pada tanah air”.

Secara normatif-konseptual, cita-cita profetik diderivasi dari misi historis Islam

sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran ayat 110 yang artinya “Engkau adalah ummat

terbaik yang diturunkan di tengah-tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah

kemunkaran (kejahatan), dan beriman kepada Allah”. Merujuk pada ayat tersebut, ada tiga

muatan nilai yang memberikan karakteristik cita-cita profetik, yaitu amar ma’ruf (nilai humanisasi)

61

yang mengandung perngertian memanusiakan manusia; nahyi munkar (liberasi) mengandung

pengertian pembebasan, yaitu pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan

teknologi, dan pemerasan kelimpahan; dan tu’minuna billah (transendensi) yang diarahkan untuk

rekayasa masyarakat menju cita-cita sosio-etiknya pada masa depan dengan menambahkan

dimensi transendental dalam kebudayaan (Kuntowijoyo, 2008, hal. 483).

Secara peristilahan warga negara profetik-patriotik ini ditandai dengan tiga karakter

utama, humanisasi, berjiwa liberasi, dan transendensi (Kuntowijoyo 1991:288). Nilai amar ma’ruf

(nilai humanisasi) dalam konsep Kuntowijoyo mengedepankan pada pola memanusiakan

manusia dengan melibatkan Tuhan Yang Maha Esa dari kedudukan manusia sebagai makhluk

ciptaan-Nya. Nilai humanisasi ini mengarahkan dan membentuk warga negara agar mampu

memiliki sikap mencintai tanah air dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaannya yang

hakiki. Sikap cinta tanah air sebagai wujud rasa kebangsaan/nasionalisme warga negara berkait

berkelindan dengan asas keyakinan/ketuhanan. Huntington (Latif, 2011, hal. 113) menyebut

bahwa geografi peradaban yang mampu bertahan adalah geografi peradaban yang berbasis

keyakinan/ ketuhanan. Ini artinya bahwa rasa nasionalisme warga negara harus dimaknai

sebagai nasionalisme yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan. Tepatlah kiranya, para pendiri

bangsa menjadikan Ketuhanan yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila, sebab ia

menjadi pangkal utama bagi sila-sila yang lainnya secara hierarkis dan pyramidal.

Nilai nahyi munkar (liberasi) sebagai nilai kedua warga negara yang berjiwa profetik-

patriotik mengedepankan pada proses-proses dimana warga negara mampu

mentransformasikan agama menjadi dasar pengembangan ilmu pengetahuan yang objektif,

bukan dianggap sebagai sesuatu yang konservatif. Melalui nilai liberasi ini, warga negara yang

berjiwa propetik-patriotik akan berusaha melepaskan pemikiran bahwa agama hanyalah sebuah

formalitas semata, melainkan justru agama bisa menjawab permasalahan bangsa dan negara.

Dalam hal ini, jiwa-jiwa patriotik warga negara yang semakin tergerus perkembangan zaman

dapat dijawab melalui pertanyaan apakah agama sudah dijadikan ilmu untuk menjawab

permasalahan tersebut? atau apakah agama sebagai sesuatu yang terpisahkan untuk

menjawab sikap patriotisme warga negara yang mulai menghilang? Dalam rentang historis

perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai agama pada dasarnya menjadi

dasar dalam upaya memperjuangkan berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Bahkan secara

konstitusional, pengakuan akan pertolongan Tuhan dalam perjuangan merebut kemerdekaan

bangsa dan negara Indonesia secara tegas dinyatakan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD

1945.

Nilai tu’minuna billah (transendensi) yang diarahkan untuk rekayasa masyarakat menju

cita-cita sosio-etiknya pada masa depan sesungguhnya adalah upaya untuk mewujudkan warga

negara yang sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa

negara dan warga negara ini terbentuk atas rahmat dari Tuhan YME, sehingga karena fitrahnya

62

itu, warga negara sebagai manusia hendaknya bisa menjaga keutuhan negara dalam rangka

perwujudan kodratnya sebagai makhluk Tuhan YME yang memiliki peran sebagai khalifah di

muka bumi.

B. Pendidikan Kewarganegaraan dan Pembentukan Jiwa Profetik-PatriotikPendidikan kewarganegaraan memiliki andil besar dalam menguatkan pendidikan di

Indonesia, terutama dalam mengembangkan potensi peserta didik sebagai menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Dalam konteks pembelajaran PPKn, Rumusan tujuan pendidikan nasional ini menjadi

sasaran bagi tebentuknya warga negara yang memiliki jiwa profetik-patriotik. Jiwa profetik

tergambar pada rumusan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sedangkan patriotik tergambar pada rumusan menjadi warga negara yang

demokratis. Untuk membangun warga negara yang berjiwa profetik-patriotik tidaklah cukup

sekadar membelajarkan warga negara tentang wawasan kewarganegaraan, kebangsaan,

kenegaraan, dan jiwa patriotisme, melainkan perlu menanamkan nilai-nilai kebaikan utama

warga negara melalui pembiasaan dan keteladanan. Pengembangan jiwa profetik-patriotik dapat

dilakukan dengan pengembangan kompetensi kewarganegaraan. Kompetensi itu meliputi

pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skill)

yang meliputi keterampilan intelektual dan keterampilan partisipatoris warga negara, serta watak

kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat

yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional (Branson &

Quigley, 1998).

Selain ketiga kompetensi kewarganegaraan tersebut, hal penting yang perlu dibangun

adalah kecerdasan kewargaan (civic intellegence quotient). Istilah kecerdasan kewarganegaraan

ini digunakan untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia yang

akar utamanya adalah krisis jati diri (Latif, 2016:1) yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta

tanah air warga negara secara kolektif sebagai warga bangsa dan negara. Kecerdasan

kewargaan ini adalah hal utama untuk menjadikan pendidikan kewarganegaraan sebagai

pendidikan yang humanis untuk mendukung terbentuknya jiwa profetik-patriotik warga negara.

C. Kewarganegaraan Transformatif dan Indonesia BerkemajuanPeran penting PPKn dalam membentuk warga negara yang memiliki rasa kebangsaan

dan cinta tanah air, demokratis dan bertanggung jawab sesungguhnya harus dilandasi oleh

keyakinan akan nilai ilahiah bahwa manusia adalah makhluk yang ciptaan Tuhan YME yang

63

memiliki peran utama sebagai khalifah di muka bumi. Kostruksi berpikir ini memberikan landasan

dan arah bagaimana pembelajaran PPKn diselenggarakan.

Tawaran yang disampaikan Latif (2016) tentang perlunya dibangun kecerdasan

kewargaan lahir karena adanya krisis kedirian yang bersifat publik yang mencerminkan kelalaian

dunia pendidikan dan pembudayaan dalam mengembangkan kecerdasan kewargaan. Bagi Latif,

pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengabaikan usaha

mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif kewargaan.

Masing-masing individu lanjut Latif (2016) dibiarkan menjadi deret “huruf” alphabet, tanpa

disusun secara kesatuan dalam perbedaan (bhinneka tunggal ika) ke dalam “kata” dan “kalimat”

bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan

penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya). Ini artinya,

bahwa pembelajaran PPKn tidak boleh hanya melulu berkaitan dengan kecerdasan personal

warga negara. Tetapi harus bergeser agar memberi peran pada pembentukan kecerdasan

kolektif warga negara di ranah publik.

Jiwa profetik-patriotik adalah prasyarat bagi tumbuhnya kewarganegaraan transformatif.

Jiwa ini melihat sisi manusia sebagai makhluk Tuhan yang harus tunduk terhadap perintah

pencipta-Nya, disamping mendudukan warga negara sebagai kelompok yang memiliki hak dan

kewajiban dalam kehidupan berbagsa dan bernegara. Kewarganegaraan transformatif memiliki

sandaran ideologis yang kuat, yakni Pancasila. Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia.

Sebagai dasar negara, Pancasila adalah jiwanya bangsa Indonesia. Kepribadian bangsa

Indonesia adalah Pancasila yang merupakan jiwanya warga negara Indonesia (Latif, 2015:30).

Kewarganegaraan transformatif dimaksudkan pula agar cita-cita dan tujuan negara

Indonesia yang berkemajuan dapat tercapai secara optimal. Rumusan negara Indonesia

berkemajuan, diderivasi dari rumusan pemikiran Muhammadiyah dalam buku “Indonesia

Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna” yaitu sebagai berikut:

Indonesia berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinal al-fadhilah), negara

berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara berkemajuan

adalah negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung

sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia (Nashir, 2015).

Rumusan di atas menegaskan cita-cita dan tujuan negara berkemajuan sebagai negara

utama, berkemakmuran dan berkeadaban, serta negara yang sejahtera. Karena itu dalam

pandangan Nashir (2015) konsekuensi dari negara berkemajuan tersebut adalah bahwa negara

harus mampu menegakkan kedaulatan (wilayah, politik, hukum, ekonomi, dan budaya);

mendatangkan kemakmuran (terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan);

mewujudkan kebahagiaan material dan spiritual; menjamin kebebasan berpikir, berekspresi, dan

beragama; menghormati hak asasi manusia; dan menciptakan keamanan dan jaminan masa

64

depan. Artinya, negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi harus memiliki kedaulatan agar

mampu memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya.

Upaya pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara oleh negara, sekaligus

mensyaratkan perlunya upaya membangun keterlibatan warga dalam mewujudkan cita-cita dan

tujuan Indonesia berkemajuan di atas. Dengan demikian, pada setiap diri warga negara perlu

dibangun pemahaman, keterampilan, dan sikap untuk melaksanakan kewajiban konstitusional

sebagai warga negara, disamping menuntut hak konstitusional mereka sebagai warga negara,

baik secara personal maupun secara kolektif. Keseimbangan antara pemenuhan hak dan

pelaksanaan kewajiban konstitusional warga negara inilah yang melahirkan kewarganegaraan

transformatif.

KESIMPULANBerdasarkan uraian tentang jiwa profetik di atas, maka pembelajaran PPKn yang

berorientasi pada pembentukan jiwa profetik-patriotik warga negara tidak hanya dilakukan

semata untuk mengejar ketercapaian standar kompetensi dan tujuan di dalam kurikulum saja,

melainkan harus mengajak peserta didik untuk mengkontekstualisasikan apa yang sedang

dibahas dalam kajian PPKn dengan realitas sosial yang sedang terjadi, serta menyertakan nilai-

nilai agama dalam setiap kajiannya.

Melalui kontekstualisasi pembelajaran PPKn dan penghubungannya dengan nilai-nilai

agama akan lahir warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, serta

menjunjung tinggi risalah agama yang dibawa oleh para nabi. Pada gilirannya, warga negara

demikian akan memiliki kepekaan (sence of belonging) akan isu-isu kewarganegaraan yang

muncul, dan dengan kecintaannya kepada tanah air, serta keberagamaannya yang kuat, mereka

menjadikan agama sebagai petunjuk, arahan dan solusi akan masalah yang ia

hadapi. Keterlibatan warga negara dalam pemecahan isu-isu kewarganegaraan itu dilakukan

secara kolektif sebagai warga bangsa.

DAFTAR PUSTAKABranson, M. S., & Quigley, C. N. (1998). The role of civic education (Task Force Position Paper

from the Communitarian Network). A Forthcoming Education Policy.

Husaini, A. (2017). Kurtaq 24 Jam. Suara Hidayatullah: Jaringan Masyarakat Bertauhid, 61.

Imawan, R. P. (2016). Urgensi Warga Negara Transformatif. Diambil 24 Agustus 2017, dari

http://krjogja.com/web/news/read/11950/Urgensi_Warga_Negara_Transformatif

KBBI Daring. (n.d.). Arti kata profetik - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diambil

23 Agustus 2017, dari https://kbbi.web.id/profetik

Khilmiyah, A. (2016). Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Indonesia Berkemajuan.

Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.

65

Kuntowijoyo. (2008). Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. (A. Priyono, Ed.). Bandung:

Mizan.

Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Latif, Y. (2015). Revolusi Pancasila. Bandung: Mizan.

Latif, Y. (2016). Pemuda Cerdas Kewargaan. In B. Mulyono, M. Murdiono, Halili, I. Arpannudin,

& Suyato (Ed.), Penguatan Kajian Isu-Isu Aktual Kewraganegaraan dalam Konteks

Kependidikan dan Non Kependidikan (hal. 1–6). Yogyakarta: Jurusan Pendidikan

Kewarganegaraan FIS UNY.

Nashir, H. (2015). Muhammadiyah dan Rekonstruksi Politik Kebangsaan. Suara

Muhammadiyah, 12–14.

Quigley, C. N., & Bahmueller, C. F. (1991). Civitas: A Framework for Civic Education. Calabasas:

Center for Civic Education.

Samsuri. (2012). Pendidikan Karakter Warga Negara. Surakarta: Pustaka Hanif.

Somantri, M. N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja

Rosdakarya dan PPs UPI.

Taniredja, T. (2010). Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah.

Bandung: Alfabeta.

UMY. (2015). LP3M UMY Terbitkan Buku PKN Berlandaskan Nilai-Nilai Islam. Diambil 5 April

2016, dari www.umy.ac.id

Winataputra, U. S. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan untuk

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Gagasan, Instrumentasi, dan Praksis). Bandung: Widya

Aksara Press.

Perlindungan Merek Dagang Bagi IKM Sambal Pecel Di Kota Madiun untuk Bersaing Di Masyarakat Ekonomi ASEAN

Farida Styaningrum, Indriyana Dwi MustikariniUniversitas PGRI Madiun, Madiun

[email protected]

ABSTRAK

Sambal pecel merupakan salah satu produk unggulan Industri Kecil dan Menengah (IKM) sektor makanan di Kota Madiun. IKM sambal pecel di Kota Madiun harus siap menghadapi pasar bebas ASEAN atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku awal tahun 2016. Perlindungan merek dagang dapat menjadi kekuatan bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun dalam menghadapi persaingan di MEA. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai perlindungan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk mencapai keunggulan kompetitif di MEA. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif yang menganalisis beberapa peraturan dan kebijakan terkait dengan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk bersaing di MEA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Madiun belum optimal dalam menyelenggarakan pelayanan pendaftaran merek

66

dagang secara profesional dan efektif. IKM sambal pecel di Kota Madiun masih membutuhkan sosialisasi mengenai pentingnya hak merek dagang untuk meningkatkan daya saing di MEA.

Kata kunci: merek dagang; IKM sambal pecel; Masyarakat Ekonomi ASEAN

PENDAHULUANDinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pariwisata (Disperindagkoppar)

mencatat jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Madiun yang didalamnya juga termasuk Industri Kecil dan Menengah (IKM), pada akhir tahun 2016 mencapai sekitar 23.093 unit UMKM dimana 60% di antaranya merupakan UMKM yang bergerak di bidang makanan olahan. UMKM Kota Madiun dapat menyerap tenaga kerja sekitar 8.000 dengan nilai produksi mencapai Rp 65 miliar per tahunnya. Tahun 2017 bidang Perindustrian di Kota Madiun mulai dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja.

Produk unggulan IKM yang dikembangkan Pemkot Madiun antara lain, pengolahan sambal pecel, madumongso, kerupuk puli atau biasa disebut lempeng Madiun, pengolahan kayu jati, dan batik Madiun. Industri sambal pecel saat ini mendominasi sentra industri di Kota Madiun. Data Disperindagkoppar Kota Madiun mencatat, terdapat sekitar 41 IKM pengolahan sambal pecel yang masih eksis di Kota Madiun. Mereka rata-rata memproduksi 50 kilogram hingga 1 ton sambal pecel setiap bulannya dengan jumlah karyawan sekitar 150 orang. Sambal pecel diproduksi untuk memenuhi permintaan warung makan yang menyajikan menu Pecel Madiun serta untuk di jual dalam bentuk kemasan dengan ukuran tertentu.

IKM di Kota Madiun termasuk IKM sambal pecel mengambil peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendukung pertumbuhan perekonomian daerah. Diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas ASEAN pada akhir tahun 2015 menjadi tantangan tersendiri bagi IKM sambal pecel. Dalam perdagangan bebas MEA, IKM sambal pecel di Kota Madiun tidak hanya menghadapi pesaing lokal dan nasional, tetapi juga internasional. Pemerintah Kota Madiun (Pemkot Madiun) perlu melakukan pembangunan dan pemberdayaan IKM guna mewujudkan IKM yang berdaya saing baik di tingkat internasional.

Daya saing dan kemampuan IKM perlu lebih ditingkatkan agar dapat memanfaatkan sistem perdagangan bebas yang berlangsung saat ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemkot Madiun dalam meningkatkan daya saing IKM yaitu dengan memberikan perlindungan merek dagang terhadap produk IKM melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Merek dagang merupakan salah satu karya intelektual yang memiliki peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan usaha. Merek dagang digunakan untuk membedakan suatu produk dengan produk lain yang bentuknya sejenis. Pemalsuan merek dagang atas produk sambal pecel yang memiliki kualitas lebih rendah akan merugikan IKM yang memproduksi sambal pecel asli.

Sebagian besar IKM sambal pecel di Kota Madiun beranggapan bahwa mendaftarkan merek dagang bagi produk sambal pecel yang dihasilkan tidak begitu penting. IKM sambal pecel umumnya enggan melakukan upaya hukum untuk memperoleh ganti rugi atas pelanggaran merek dagang yang dimiliki. IKM sambel pecel tidak mempermasalahkan merek dagangnya yang ditiru oleh IKM yang lain. IKM sambal pecel yakin dan percaya produk sambal pecelnya akan diminati oleh konsumen jika rasa atau kualitas sambal pecelnya enak dan lezat. IKM sambal pecel juga tidak mempermasalahkan jika produknya diberi merek orang lain, yang penting produknya terjual dan menghasilkan keuntungan.

Merek dagang merupakan salah satu bagian terpenting dari suatu produk, karena dapat menjadi suatu nilai tambah bagi produk dalam menghadapai persaingan di era MEA. Dengan adanya perlindungan merek dagang bagi IKM sambal pecel, maka barang yang diproduksi tidak ditiru bahkan diakui oleh pihak yang tidak berhak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai perlindungan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk mencapai keunggulan kompetitif di MEA.

METODE PENELITIAN67

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yang menganalisis beberapa peraturan dan kebijakan terkait dengan merek dagang bagi IKM sambal pecel di Kota Madiun untuk bersaing di MEA. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis persepsi pengusaha IKM sambal pecel di Kota Madiun terhadap perlindungan merek dagang sebagai upaya mengembangkan produk untuk bersaing di MEA.

Teknik pengumpulan data atau informasi dalam penelitian ini menggunakan observasi, wawancara, dan analisis dokumen. 1. Observasi

Observasi dilaksanakan dengan cara mengadakan pengamatan secara langsung untuk mengetahui fenomena yang diselidiki melalui penglihatan dan pendengaran. Observasi difokuskan pada kekayaan intelektual berupa merek dagang yang dimiliki IKM sambal pecel di Kota Madiun.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada beberapa pihak yaitu IKM sambal pecel di Kota Madiun dan Dinas Tenaga Kerja bidang Perindustrian. Wawancara dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemanfaatan HKI atas merek dagang oleh IKM pecel di Kota Madiun dalam menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN atau MEA.

3. Analisis Dokumen

Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan data berupa catatan dari hasil observasi, wawancara, serta data-data lain yang berupa tulisan-tulisan yang mendukung penelitian. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pola penelitian induktif yang diolah dengan teknik saling terjalin atau interaktif mengalir. 1. Reduksi data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari càtatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data atau proses transformasi berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun.

2. Penyajian data

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan yang bersifat sementara dan pengambilan tindakan.

3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi

Data yang diperoleh di lapangan, sejak awal sudah ditarik kesimpulan yang masih bersifat sementara, tetapi kemudian meningkat sampai pada kesimpulan yang mantap yaitu pernyataan yang telah memiliki landasan yang kuat dari proses analisis data yang dilaksanakan.

Ketiga komponen tersebut berjalan bersama pada waktu kegiatan pengumpulan data. Setelah memperoleh data, reduksi data segera dibuat dan diteruskan dengan peyusunan sajian data. Berdasarkan sajian data tersebut, dapat dipergunakan untuk menyusun kesimpulan sementara. Kesimpulan ini masih berlangsung, jika mendapat hal baru kemungkinan kesimpulan sementara tersebut perlu diubah. Kesimpulan yang salah dapat diperbaiki sampai seluruh data selesai dikumpulkan dan disusun menjadi laporan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan data dari bidang Perindustrian Kota Madiun, jumlah IKM yang formal yaitu

IKM yang mendaftarkan diri melalui penanaman modal ada sekitar 293 IKM, sedangkan yang tidak formal ada sekitar 900 IKM. Industri sambal pecel mendominasi sentra industri makanan di

68

Kota Madiun. Sentra industri sambal pecel terdapat pada setiap kelurahan di Kota Madiun. Selain sambal pecel, Pemerintah Kota Madiun saat ini juga mengembangkan industri makanan madumongso, dan kerupuk puli atau lempeng Madiun. Akhir tahun 2016 terdapat sekitar 41 IKM pengolahan sambal pecel yang terdaftar di Disperindagkoppar Kota Madiun. Sedangkan untuk produk makanan madumongso terdapat 5 IKM, dan lempeng Madiun terdapat 7 IKM.

IKM sambal pecel saat ini harus siap menghadapi persaingan di pasar bebas ASEAN atau MEA yang sudah diresmikan akhir tahun 2015. Munculnya industri-industri baru yang memproduksi sambal pecel membuat para pengusaha sambal pecel di Kota Madiun harus berjuang untuk bersaing dalam mempertahankan usahanya. Melakukan perlindungan atas merek dagang merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan IKM sambal pecel untuk bersaing di pasar bebas. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas merek dagang bagi IKM sambal pecel dapat melindungi produknya dari pembajakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan pemilik merek dagang dapat memiliki keunggulan kompetitif di pasar global.

Peranan merek menjadi sangat penting di dalam era MEA terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, berkeadilan, pelindungan konsumen, serta pelindungan UMKM dan industri dalam negeri. Menurut UU No. 20 Tahun 2016 pasal 1 ayat (2) Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Dalam UU No. 20 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (3) Merek yang dilindungi terdiri atas tanda berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Sistem pendaftaran merek dagang di Indonesai adalah “First to File”, jadi hak merek dagang diberikan kepada pihak yang pertama kali mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI).

Pemkot Madiun selalu memberi bantuan fasilitas dalam pendaftaran merek dagang bagi IKM sambal pecel. IKM sambal pecel yang ingin memperoleh HKI atas merek dagangnya dapat langsung diproses sendiri maupun melalui Pemerintah Kota Madiun. Pemkot Madiun tidak membebankan biaya kepada pengusaha IKM selama proses pendaftaran merek dagang. Semua pembiayaan ditanggung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) lewat Pemkot Madiun. Tahun ini Pemprov Jatim menyiapkan 1.000 surat pendaftaran untuk kekayaan intelektual kepada para pelaku UMKM se-Jawa Timur. Setiap tahunnya Pemkot Madiun selalu mengajukan 5 sampai 10 IKM segala sektor untuk memperoleh hak kekayaan intelektual termasuk hak merek dagang.

Upaya Pemkot Madiun dalam memberikan pemahaman mengenai HKI atas merek dagang melalui berbagai sosialisasi belum membuat IKM sambal pecel termotivasi untuk memiliki hak merek dagang tersebut. Sebagian besar IKM sambal pecel beranggapan bahwa kekayaan intelektual yang didaftarkan melalui HKI tidak begitu penting. Pelanggan atau konsumen tidak begitu mementingkan HKI. Ada atau tidaknya HKI tidak begitu mempengaruhi penjualan produk mereka. Para pelanggan atau konsumen lebih melihat ada tidaknya sertifikat halal dari MUI dan nomor P.IRT dari Dinas Kesehatan pada produk sambal pecel yang dihasilkan. Ada juga pelanggan atau konsumen yang percaya terhadap kualitas sambal pecel, tanpa mempertimbangkan sertifikat halal dan nomor P.IRT. Kualitas produk menjadi hal utama dalam mempertahankan pelanggan dan bersaing di pasar global.

Jumlah IKM sambal pecel yang telah memiliki hak merek dagang belum terdata dengan baik oleh Pemkot Madiun. IKM sambal pecel yang telah memiliki ijin merek dagang antara lain sambal pecel merek “ Yu Gembrot”, “Jeruk Purut”, “Wahyu Tumurun”, dan “Bharata”. Jangka waktu perlindungan untuk merek dagang adalah 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan merek dagang ke Kantor Ditjen HKI. Jangka waktu perlindungan dapat diperpanjang dengan syarat masih memproduksi barang yang mendapat perlindungan merek.

Salah satu perkembangan di bidang merek adalah munculnya pelindungan terhadap tipe merek baru atau yang disebut sebagai merek nontradisional yang meliputi merek suara, merek tiga dimensi, dan merek hologram. IKM sambal pecel di Kota Madiun dapat mendaftarkan desain kemasan produk yang dihasilkan dengan mendaftarkan sebagai merek tiga dimensi. Tahun 2016 telah diundangkan UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

69

Permohonan pendaftaran desain industri atas desain kemasan produk kadang ditolak dikarenakan tidak memenuhi pasal 2 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Perlindungan desain kemasan sebagai merek tiga dimensi lebih kuat dibandingkan perlindungan desain industri. Desain kemasan akan terlindungi terhadap adanya persamaan pada kemiripan atau persamaan. Desain kemasan hanya terlindungi terhadap adanya persamaan desain saja, sehingga pihak lain dapat menggunakan desain kemasan yang memiliki kemiripan desain.

Sambal pecel merek “Yu Gembrot” memiliki desain kemasan yang menarik dan inovatif. Sering dari Pemkot Madiun menjadikan desain kemasan sambal pecel “Yu Gembrot” sebagai contoh desain kemasan unik dan inovatif bagi pengusaha IKM sambal pecel yang lain. Desain kemasan sambal pecel “Yu Gembrot” saat ini masih dalam proses pendaftaran HKI. Selain memfasilitasi dalam pendaftaran HKI bagi IKM, Pemkot Madiun juga secara rutin memberi pelatihan mengenai teknik pengemasan yang unik, menarik dan inovatif. Desain kemasan yang unik menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk membeli.

Perlindungan terhadap merek dagang tidak hanya menguntungkan produsen tetapi juga melindungi konsumen. Perlindungan merek dagang dapat melindungi konsumen dari pemalsuan barang atau jasa yang mempergunakan merek secara tidak sah. Manfaat lain dari adanya perlindungan merek dagang yaitu meningkatkan keunggulan kompetitif untuk bersaing di pasar bebas.

KESIMPULANHasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Madiun belum optimal dalam

menyelenggarakan pelayanan pendaftaran merek dagang bagi IKM sambal pecel secara profesional dan efektif. Sosialisasi mengenai peranan HKI atas merek dagang yang dilakukan Pemkot Madiun belum mencakup seluruh IKM sambal pecel, sehingga informasi yang disampaikan mengenai pentingnya hak merek dagang kurang jelas. Kurangnya informasi yang didapat para IKM sambal pecel mengenai perlindungan merek dagang mengakibatkan rendahnya kesadaran IKM sambal pecel untuk memperoleh hak merek dagang, sehingga IKM sambal pecel belum dapat mengembangkan produknya secara optimal untuk mencapai keunggulan kompetitif di pasar bebas ASEAN atau MEA.

IKM sambal pecel di Kota Madiun masih membutuhkan sosialisasi mengenai pentingnya hak merek dagang untuk meningkatkan daya saing di MEA. Pemkot Madiun perlu meningkatkan koordinasi dan kerjasama yang sinergis pada para IKM sambal pecel dalam memberdayakan sistem HKI atas merek dagang.

UCAPAN TERIMAKASIHPeneliti menyadari bahwa jurnal penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:1. Dinas gTenaga Kerja Kota Madiun Bidang Perindustrian

2. IKM sambal pecel di Kota Madiun

3. Seluruh civitas akademika Universitas PGRI Madiun.

DAFTAR PUSTAKAAdhi, I. S. 2015. Wisata Madiun: Yuk Kunjungi Sentra Industri Kota Madiun, Disinilah

Tempatnya. http://www.madiunpos.com/2015/09/25/wisata-madiun-yuk-kunjungi-sentra-industri-kota-madiun-di-sinilah-tempatnya-645957. Diakses tanggal 16 Mei 2016.

Burrone, E. 2005. Intellectual Property Right and Innovation in SMEs in OECD Countries. Journal of Intellectual Property Rights, Vol. 10, p. 34-43.

Hanel, P. 2006. Intellectual property rights business management practices: A survey of the literature. Technovation: The International Journal of Technological Innovation, Pembiayaan dalam pembuatan HKI gratis, dibiayai oleh provinsi jatim. Entrepreneurship and Technology Management. Vol. 26.

70

Mehra, R., A. Choudhary, A. Tiwari, dan N. Rohilla. 2015. Intellectual Property Rights and Strategic Partnerships in Micro, Small, and Medium Enterprises. GE-International Journal of Management Research (GE-IJMR), Vol. 3, p. 198-205.

Moleong, L.J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.Muhammad, M. Z., A. K. Char, M. Rushdan, Z. Hassan. 2010. Small and Medium Enterprises

(SMEs) Competing in the Global Business Environment: A Case of Malaysia. Journal of International Business Research. Vol. 3. p. 66-75.

Nazir, M. 2011. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.Simatupang, R. Burton. 2007. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka CiptaUndang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

MENINGKATKAN SOFTSKILL KEWIRAUSAHAAN MELALUI PROGRAM KKN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN MENGGUNAKAN

METODE SELF REGULATED LEARNING

Ratna Nurdiana, Hadi Suryanto, Yayuk Chayatun machsunahSTKIP PGRI LAMONGAN

Email :[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peningkatan karakter mahasiswa melalui self regulated learning dan meningkatkan sofskil bidang kewirausahaan. Penelitian ini dilakukan di desa tenggiring kecamatan sambeng kabupaten lamongan dengan subyek mahasiswa SKTIP PGRI Lamongan pada kelompok KKN berbasis kewirausahaan dengan tema produksi tahun 2017

Hasil penelitian Dari penemuan di lapangan menunjukkan bahwa : ( 1 ) mahasiswa yang melakukan KKN berbasis kewirausahaan subjek membuat perencanaan untuk melaksanakan kegiatannya. (2) Pengunaan metode Self-regulated learning dapat menyelesaiakan problem yang dihadapi berbeda-beda. Mahasiswa menggunakan cara yang dianggapnnya paling efektif untuk mengatasi masalahnya. (3) Metode self regulated learning dapat meningkatkan softskil kewirausahaan

71

Key Words : Karakter, Kewirausahaan, KKN berbasis Kewirausahaan dan self regulated learning

Pengertian Self-Regulated Learning Zimmerman (dalam Schunk & Zimmerman, 1998) mengatakan bahwa self-regulated

learning dapat dikatakan berlangsung bila peserta didik secara sistematik mengarahkan perilaku

dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas tugas, melakukan proses

dan mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk diingat serta

mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar (self-efficacy)

dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya.

Zimmerman (Woolfolk, 2004) mengatakan bahwa self-regulation merupakan sebuah

proses dimana seseorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan

perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan. Ketika tujuan

tersebut meliputi pengetahuan maka yang dibicarakan adalah self-regulated learning. Self-

regulated learning dapat berlangsung apabila peserta didik secara sistematis mengarahkan

perilakunya dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi-instruksi, tugas-

tugas, melakukan proses dan menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi

untuk mengingatnya serta mengembangkan dan memelihara keyakinannya positif tentang

kemampuan belajar dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya (Zimmerman dalam Schunk &

Zimmerman, 1989). Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning

adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya sendiri dengan

mengaktifkan kognitif, afektif dan perilakunya sehingga tercapai tujuan belajar.

Perkembangan Self-Regulated LearningSchunk dan Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) mengemukakan model perkembangan self-

regulated learning. Berkembangnya kompetensi self-regulated learning dimulai dari beberapa

faktor yaitu:

1. Pengaruh sumber sosial: Berkaitan dengan informasi mengenai akademik yang di

peroleh dari lingkungan teman sebaya. 

2. Pengaruh lingkungan: Berkaitan dengan orang tua dan lingkungannya, sehingga peserta

didik dapat menetapkan rencana dan tujuan akademiknya secara maksimal. 

3. Pengaruh personal atau diri sendiri. Berkaitan dengan diri sendiri peserta didik yang

memiliki andil untuk memunculkan dorongan bagi dirinya sendiri untuk mencapai tujuan

belajarnya. 

Di dalam faktor-faktor ini terdapat beberapa level berkembangnya self regulated learning.a.

Level pengamatan (observasional) Peserta didik yang baru awalnya memperoleh hampir seluruh

strategi-strategi belajar dari proses pengajaran, pengerjaan tugas, dan dorongan dari lingkungan

sosial. Pada level pengamatan ini, sebagian peserta didik dapat menyerap ciri-ciri utama strategi

72

belajar dengan mengamati model, walaupun hampir seluruh peserta didik membutuhkan latihan

untuk menguasai kemampuan self-regulated learning.

b.  Level pesamaan (emultive)

  Pada level ini peserta didik menunjukkan performansi yang hampir sama dengan kondisi

umum dari model. Peserta didik tidak secara langsung meniru model, namun mereka berusaha

menyamai gaya atau pola-pola umum saja. Oleh karena itu, mereka mungkin menyamai tipe

pertanyaan model tapi tidak meniru kata-kata yang digunakan oleh model.

c.  Level kontrol diri (self-controlled)

Peserta didik sudah menggunakan dengan sendiri strategi-strategi belajar ketika

mengerjakan tugas. Strategi-strategi yang digunakan sudah terinternalisasi, namun masih

dipengaruhi oleh gambaran standar performansi yang ditujukan oleh model dan sudah

menggunakan proses self-reward.

d.  Level pengaturan diri

Level ini merupakan level terakhir dimana peserta didik mulai menggunakan strategi-

strategi yang disesuaikan dengan situasi dan termotivasi oleh tujuan serta self-efficacy untuk

berprestasi. Peserta didik memilih kapan menggunakan strategi-strategi khusus dan

mengadaptasinya untuk kondisi yang berbeda, dengan sedikit petunjuk dari model atau tidak

ada. 

Hubungan Antara   Motivasi Belajar Dengan Self Regulated   Learning Motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya,

perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama.

Di dalam motivasi belajar terdapat dua jenis yaitu: Motivasi Instrinsik yang melibatkan motivasi

internal untuk melakukan sesuatu karena keinginan sendiri yang berdasarkan penentuan diri dan

pilihan personal, dan motivasi ekstrinsik melakukan sesuatu untuk mendapatkan untuk

mencapai tujuan yang dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman

(Santrock, 2007).

Motivasi sangat mempengaruhi sukses atau tidaknya seseorang dalam melakukan

sesuatu, serta berfungsi sebagai pendorong individu untuk memulai maupun meneruskan

kegiatannya. Misalnya, ketika peserta didik menghadapi tugas-tugas kuliah, mahasiswa yang

dihadapkan pada berbagai sumber belajar yang melimpah yang dengan kebutuhan dan tujuan

mahasiswa bersangkutan. Pada kondisi demikian, mereka harus memiliki inisiatif sendiri dan

motivasi , menganalisis kebutuhan, dan merumuskan tujuan, memilih dan menerapkan strategi

pemecahan masalah, menseleksi sumber yang relevan, serta mengevaluasi diri. Motivasi belajar

dapat dipandang sebagai suatu rantai reaksi yang dimulai dari adanya kebutuhan, kemudian

timbulnya keinginan untuk mencapai tujuan (Pujadi, 2007). Untuk mencapai tujuan belajarnya

kemampuan belajar mandiri menjadi lebih diperlukan oleh mahasiswa yang menghadapi

73

tugas/kajian mandiri, tugas dalam bentuk proyek terbuka, penyusunan skripsi atau tugas akhir,

dan sebagainya. Individu yang memiliki kemandirian belajar tinggi cenderung belajar lebih baik,

mampu memantau, mengevaluasi, dan mengatur belajarnya secara efektif, menghemat waktu

dalam menyelesaikan tugasnya, mengatur belajar dan waktu secara efisien (Hidayati, 2007).

Istilah yang berkaitan dengan penjelasan di atas adalah self regulated learning.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi dapat dipandang sebagai pendorong

dalam belajar dan belum sampai pada self regulatred learning, yang dimana self regulated

learning merupakan sebuah energi membuat peserta didik berusaha secara persisten dengan

menggunakan berbagai strategi belajar untuk meregulasi dirinya untuk mencapai tujuan yang

ditetapkan. Apabila seorang peserta didik mengaktifkan dan menopang kognisi, perilaku, dan

perasaannya yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian suatu tujuan dan ketika

tujuan tersebut meliputi pengetahuan, maka peserta didik memiliki self-regulated learning

(Zimmerman, dalam Woolfolk, 2004).

Faktor-faktor berkembangnya self-regulated learning adalah adanya pengaruh sumber

yang berkaitan dengan kemampuan akademik, dipengaruhi oleh lingkungan da dipengaruhi oleh

diri sendiri ( Zimmerman, dalam Woolfolk, 2004). Dari beberapa faktor dari self regulated

learning terdapat beberapa level,yaitu:Level pengamatan (observasional), Level pesamaan

(emultive), Level kontrol diri (self-controlled), Level pengaturan diri. Peserta didik memilih kapan

menggunakan strategi-strategi khusus dan mengadaptasikannya.

METODEPenelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey. Penelitihan ini

untuk mengetahui hubungan self regulated learning terhadap kegiatan KKN berbasis

kewirausahaan dengan meningkatkan produk Keripik singkong. Subyek penelitian adalah

mahasiswa STKIP PGRI Lamongan yang melakukan program KKN berbasis Kewirausahaan

tahun 2017 yang berjumlah 4 mahasiswa yang dari kelompok. Produksi, Untuk mengukur self

regulated learning kita menggunakan kuisioner yang dikembangkan oleh Vallerand (2000). Studi

fenomenologi

Zimmerman (1988) berpendapat bahwa dalam self regulated learning terdapat tiga

komponen self regulation, yaitu: metakognitif, motivational, behavioral. Indikator dari self

regulated learning adalah sebagai berikut:

1) Motivasi

Motivasi didefinisikan sebagai dorongan untuk belajar. Motivasi belajar terdiri dari tiga

komponen, yaitu :

74

Self efficacy, merupakan komponen yang terdiri dari pernyataan-pernyataan yang berkaitan

dengan keyakinan terhadap kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab

terhadap hasil pelaksanaan tugas.

Intrinsic value, merupakan komponen nilai-nilai intrinsik yang terdiri dari pernyataan-

pernyataan yang berkaitan dengan tujuan belajar dan keyakinan akan pentingnya tugas

serta ketertarikan terhadap tugas

Axiety test, merupakan komponen kecemasan dimana pernyataan-pernyataan komponen ini

berkaitan dengan reaksi emosional terhadap tugas yang dapat menyebabkan gangguan

terhadap proses berpikir.

2) Strategi-strategi kognitif

Strategi yang memfokuskan pada proses informasi seperti latihan (rehearsal),

pengemabangan (elaboration), dan pengorganisasian (organization).

a) Latihan (rehearsal):

usaha untuk mengingat materi dengan mengulangnya berkali-kali

b) Pengemabangan (elaboration):

berusaha menyimpulkan materiatau menjelaskan dengan bahasa sendiri

c) Pengorganisasian(organization)

Membuat catatan dan membuat konsep untuk mengorganisasikan materi-materi dalam

cara yang sama

3) Strategi-strategi metakognitif

Adalah kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar

dilakukan apa yang sudah dan belum diketahui.

a) Meyakini diri sendiri

b) Mampu mengatur diri

HASIL Aspek yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu :

Subyek 1 mengatakan program KKN berbasis Kewirausahaan ini membuat mereka untuk

termotivasi memberikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki setelah menempuh mata kuliah

kewirausahaan. Pada minggu pertama dia mencari referensi untuk mendalami tentang produksi

kripik singkong sebagai produk lokal hasil UMKM warga. Sebagai bentuk pengabdian kepada

masyarakat subyek 1 berusaha semaksimal mungkin untuk bisa melakukan inovasi produksi,

sehingga menghasilkan beberapa varian pruduksi varian krupik singkong baru. Lingkungan

masyarakat disekitar mereka menjadi motivasi lebih baik lagi bagi mereka.

Subyek 2 KKN berbasis kewirausahaan ini merupakan hal baru karena saya tidak pernah

berwira usaha. Saya merasa kebingungan dengan kegiatan ini di awal kegiatan. Semangat

kelompok saya untuk melakukan kegiatan ini dengan baik membuat saya termotivasi untuk

75

belajar berwirausaha. Saya melakukan tugas yang diberikan kepada saya sebagai bentuk

soliditas kelompok walaupun saya merasa kurang memahami. Saya beajar banyakdari kegiatan

ini dengan mencari informasi materi secara online dan tantangan ini membuat saya semakin

tertantang untuk banyak beajar.

Subyek 3. Pada awal kegiatan KKN saya merasakan kesulitan dengan masyarakat

karena saya kurang bisa berkomunikasi dengan baik. Bersama teman satu kelompok saya juga

masih mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas yang diberikan kepada saya, karena bagi

saya semua ini baru. Teman satu kelompok kami selalu melakukan kegiatan KKN ini dengan

sangat serius, hal ini memicu saya untukjuga terlibat lebih dalamkegiatan ini. saya mencoba

untuk belajar tentang kewirausahaan termasuk bagaimana mengembangkan usaha UMKM.

Motivasi saya muncul karena teman satu kelompok memang melakukan segala sesuatu dengan

semangatyang baik.

Subyek 4. Kegiatan kewirausahaan dengan inovasi produk lokal baru bagi saya, tetapi

karena ini kegiatan KKN berbasis kewirausahaan maka saya berusaha untuk belajar. Saya

mencoba melakukan pengembangan usaha kewirausahaan untuk membantu masyarakat desa

tersebut. Saya merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai generasi bangsa yang memiliki

kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi. Tugas yang diberikan kepada saya selalu saya

lakukan dengan baik, bahkan saya selalu aktif untuk melakukan berbagai terobosan agar nilai

lokal berupa usaha rakyat ini mampu bersaing secara luas di Indonesia. Semangat berbagi ilmu

saya lakukan pada kegiatan kali ini.

PEMBAHASANProgram KKN berbasis kewirausahaan merupakan suatu trobosan baru di STKIP PGRI

Lamongan. Program ini memfasilitasi mahasiswa untuk mengaplikasikan mata kuliah

kewirausahaan yang ada pada program studi PPKN. Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan

harus mampu membuat rencana kegiatan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan serta

mendapatkan pengetahuan tentang kewirasahaan sekaligus masyarakat menerima manfaat

berupa pengembangan produk mereka,

Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan harus mampu melakukan inovasi

kewirausahaan seperti yang telah direncanakan sesuai dengan tugas mereka dimana subyek

penelitian adalah kelompok produksi maka mereka memiliki beban tanggung jawab yang

berat untuk melakukan inovasi prosuk yang bisa diterima oleh masyarakat luas..

Sebagai individu mereka harus mampu untuk beradaptasi dengan kelompoknya serta

lingkungan social yang berbeda serta mengambil tanggung jawab sebagai warga negara,

mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Tuntutan sebagai mahasiswa KKN berbasis

kewirausahaan menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya

karena keterbatasan waktu yang mereka miliki.

Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan mengatasi problem yang dihadapi dengan

76

menggunakan SRL. Self-regulated learningadalah usaha individu untuk mengatur diri dalam

proses belajar dengan menggunakan kemampuannya yang meliputi penggunaan

metakognisi, pengaturan motivasi, dan pengarahan perilaku secara aktif untuk mencapai tujuan

belajar yang telah ditetapkan.

Self-regulated learning mahasiswa KKN berbasis kewirasahaan diawali dengan

pengaturan usaha dan waktu yang dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa membuat

perencanaan kegiatan yang akan dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi. Perencanaan ini juga tidak dapat lepas dari penetapan skala prioritas yang dimiliki

masing-masing mahasiswa. Perencanaan yang dilakukan mahasiswa akan direalisasikan

dalam bentuk cara belajarnya. Cara belajar yang digunakan nantinya akan dinilai oleh

mahasiswa itu sendiri. Pengaturan belajar yang dianggap efektif akan dipertahankan,

sedangkan pengaturan yang dirasa kurang efektif akan diganti dengan pengaturan yang

lebih baik.

Mahasiswa mengatur belajarnya tidak terlepas dari motivasi yang dimilikinya. Pengaturan

belajar mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan tidak terlepas dari adanya motivasi internal

mahasiswa untuk belajar. Motivasi belajar didukung dengan tuntutan lingkungan sosial

untuk mandiri sehingga mahasiswa lebih termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya

sendiri.

Perilaku aktif mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan yang menunjukkan adanya self-

regulated learning adalah adanya manajemen waktu dalam mengatur kegiatan sehari-hari.

mahasiswa harus mampu menyesuaikan diri dengan jadwal kuliah serta lingkungan sekitar.

Mahasiswa mencari bantuan dari orang lain dan mencari sumber pendukung bila mengalami

kesulitan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

KESIMPULAN Keempat subjek dalam penelitian dilakukan perlakuan dengan metode self-

regulated learning (SRL) dalam menjalankan aktifitasnya. Dari penemuan di lapangan

menunjukkan bahwa :

1. mahasiswa yang melakukan KKN berbasis kewirausahaan subjek membuat

perencanaan untuk melaksanakan kegiatannya.

2. Pengunaan metode Self-regulated learning dapat menyelesaiakan problem yang

dihadapi berbeda-beda. Mahasiswa menggunakan cara yang dianggapnnya paling

efektif untuk mengatasi masalahnya.

3. Metode self regulated learning dapat meningkatkan softskil kewirausahaan

Peneliti pada akhir pembahasan dapat menjawab pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Secara umum metode self-regulated learing pada mahasiswa KKN berbasis

kewirausahaan meliputi manajemen waktu dan usaha dalam mengatur belajarnya.

77

Mahasiswa juga mengatur lingkungan fisiknya agar kondusif sehingga menunjang aktifitas

KKN. Pengaturan yang dilakukan tidak hanya pada lingkungan fisik namun juga

lingkungan sosial.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated learning mahasiswa KKN berbasis

kewirausahaan

yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal yang mempengaruhi SRL mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan yaitu

kepribadian, tujuan yang hendak dicapai atau goal setting dari masing-masing mahasiswa,dan

kebiasaan yang efektif.

b. Faktor eksternal yang mempengaruhi SRL mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan

adalah faktor lingkungan. Lingkungan disekitar mahasiswa akan mempengaruhi bagaimana

mahasiswa mengatur proses belajarnya.

Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diberikan beberapa saran kepada pihak yang

berkepentingan pada penelitian ini:

1. Untuk Mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan

Mahasiswa sebaiknya membuat evaluasi terhadap hasil belajarnya sendiri agar

mengetahui kelemahannya serta mencari cara yang lebih efektif dan perlu mencari

lingkungan sosial yang dapat meningkatkan motivasi belajar serta dapat dijadikan model

pengaturan belajar yang efektif.

3. Untuk Penyelenggara Program KKN berbasis kewirausahaan

Penyelenggara program KKN berbasis kewirausahaan disarankan memberi informasi

yang lengkap mengenai pelaksanaan program KKN berbasis kewirausahaan kepada

mahasiswa KKN berbasis kewirausahaan, dosen dan seluruh pihak terkait. Sosialisasi,

seleksi dan rekruitmen mahasiswa program KKN berbasis kewirausahaan dimulai sejak

semester awal, agar mahasiswa dapat mempersiapkan diri dengan baik, dan dapat

mencapai hasil yang lebih optimal.

4. Untuk Peneliti Selanjutnya

Peneliti-peneliti lain diharapkan dapat lebih memperdalam lagi hasil temuan di lapangan,

karena masih sedikit penelitian self-regulated learning pada mahasiswa KKN berbasis

kewirausahaand an dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai sumber referensi

.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2002. Analisis Eksistensial untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung:

Refika Aditama.

Ablard, K.E., dan Lipschultz, R.E. 1998. Self-regulated learning in high achieving students:

relations to advanced reasoning, achievement goals, and gender. Journal of Educaional

Psychology, 90(1), 94-101.

78

Ajisukmo, Clara R.P. 1996. Self Regulated Learning in Indonesia Higher Education a Carried

Out at Atma Jaya Catholic University in Jakarta Indonesia. Jakarta: Atma Jaya

Research Centre.

Akselerasi). Jakarta:

Albert D & Mulyadi M, (2007). E-learning dan Aspek-aspek Penting dalam Penerapannya . Studi

pustaka. Diakses pada tanggal 30 januari 2012.

Arnett, Jeffrey Jensen. 2004. Emerging Adulthood. New York : Oxford University Press, Inc.

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filasafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Baron, R. A., dan Byrne, D. 2003. Psikologi Sosial Jilid 2. Edisi 10. Penerjemah: Ratna

Juwita. Jakarta: Penerbit Erlanggga.

Betz, N.E & Hackett, G (1988). Manual for the occupational self eff icacy

scale, (online), h t tp://seamon k e y .ed.asu.edu/~gail/o c cse1.htm, diakses tanggal 28 Maret

2006.

Boekaerts,M., Printrich, Paul R., Zeidner,M. 2000. Handbook of Self-Regulation : California :

Academic Press.

Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta:PT. Radjagrafindo Persada.

Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada.

Chen, C.S. 2002. Self-regulated learning Straegies and Achievement in an

Inroduction to Information of Information Systems ourse. Information Technology,

Learning, and Performancce Journal, 20, 1, 11-25.

Davis,Hilarie B&Davey, Bradford T. h il ar i n e @ t ec h f o r l e ar n i n g b ra d@ t ec h f o r l e ar n i n g .o r g NN.

(2008, Desember) Informasi Umum dan Sejarah. ( h tt p :// www. it b. a c . i d / a bou t - it b / p a g e / 2 )

NN. (2008, Desember). Fast track. ( h tt p :// www. m a t er i a l . it b. ac . i d // i nd e x .ph p ? op ti o n

=c o m _ c on t e n t & t a sk = v i e w & i d = 6 2 & I t e mi d = 8 0 )

Diknas (2007). Pedoman penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkecerdasan

istimewa (Program

Echos, J.M., dan Shadily, H. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia.

Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Aditama.

Hawadi, R. A., (2002), Identifikasi keberbakatan intelektual melalui metode non tes dengan

pendekatan konsep keberbakatan renzulli. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia

(Grasindo).

Hawadi, R. A.; Wihardjo, D., & Wiyono, M., (2001). Keberbakatan intektual: Panduan bagi

penyelenggaraan program percepatan belajar. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

Indonesia (Grasindo).

Hidayat, A. (2007). Pengaruh penggunaan e-learning terhadap motivasi dan efeltivitas

pembelajaran fisika bagi siswa SMA (Studi kasus di SMA negeri 1Depok)

79

h t tp:// k e r lin s .net/bobbi/ r esea r ch/ m y r esea r ch/s r l.html, diakses tanggal 29 Maret 2006

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Alih bahasa: Istiwidayati & Soedjarwo. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Jerusalem, M & Schawarzer , R (1993). The general self-efficacy scale, (online)

http://userpage.fu- berlin.de/~health/engscal.htm, diakses tanggal 28 maret 2006

Jourard, Sidney M. 1976. Personal Adjustment. New York: Mc. Graw-Hill. Kartono, K

dan Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV.Pionir Jaya.

Kerlin, B.A. (1992). Cognitive engagement style, self regulated learning and cooperative

learning, (On line)

Lambing, P. dan Kuehl, C.R. 2000. Entrepreneurship 2nd edition. New Jersey: Prentice

Hall Inc.

Menghadapi Era Pasar Bebas Tahun 2020. LIK UNNES, XXXI, 3, 512-529. Zimmerman, B.J.

1986. Becoming a Self-Regulated Learner: Which Are the Key

Moleong, Lexy J.. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Montalvo, F.T., and Torres, M.C.G. 2004. Self-regulated learning; Current and Future

Directions. Electronisc Journal of Research in Educational Psychology, 2(1), 1-34.

Mulia Volume 3 No.2, September 2007. Jakarta fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Munandar, U., (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Pusat

Perbukuan Departemen

Munir. (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.

Mustofa, (2008). Hubungan pengaplikasian E-learning dengan motivasi belajar mahasiswa.

Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Tanggal akses 26 juli 2012.

Papalia, Diane E. 2002. Adult Development and Aging, Second Edition. New York: Mc.Graw

Hill.

Paris, S. G. 2001. The Role of Self-regulated learning in Contextual Teaching : Principles and

Practices for Teacher Preparation. h tt p :// www. c i era .o r g /li b r a r y / a r c h i e v e / 2001 - 04h t m .

Pendidikan dan Kebudayaan dengan PT Rineka Cipta.

Vallerand, R. J (2000) Learning self regulationuestionnaire (online),

Poerwandari, Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta:

Fakultas Psikologi UI.

Pujadi, A. (2007). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Belajar Mahasiswa. Jurnal Bunda 

Santrock, J. W., (2009). Educational psychology. (2nd ed). New York: McGraw Hill

Companies,Inc.

Subprocesses?. Contemporary Educational Psychology. 11, 307-313. Zimmerman, B.J. 1989.

A Social Cognitive View of Self-Regulated Academic Learning. Journal of Education

80

Psychology, 81(3). 329-339.

Susanto, Handy. 2006. Mengembangkan Kemampuan Self Regulation untuk

Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur, 7,64-71.

Wahyono. (2008). Pengembangan model pembelajaran TIK untuk meningkatkan pengaruran diri

dalam belajar siswa. Makalah seminar nasonal pndidikan. Fakulas keguruan dan ilmu

pendidikan Universitas Tadulako. Di akses tanggal 25 januari 2012.

Wahyuningsih, Sri Endah. 2002. Peran Perguruan Tinggi di Masa Depan dalam

Winne, Philip H. 1997. Eksperimenting to Bootstrap Self-regulated learning. Journal of

Educational Psychology, 89, 3, 397-410.

Wolters, Chistopher A. 1998. Self-Regulaed Learning and

CollegeStudents’Regulaion of Motivation. Journal of Educational Psychology, 90, 2,224-

235.

Woolfolk, A. (2004). Educational Psychology. United States of America: Pearson Education, Inc.

(2007).

Yulinawati, (2009). Self regulated learig pada mahasiswa fast track.skripsi.

Zimmerman, B.J. 1994. Dimensions of Academic Self-Regulation: A Conceptual Framework for

Education. In Schunk, D.H., and Zimmerman, B.J. (Eds.), Self-Regulation of Learning

and Performance: Issues and Educational Applications (pp. 3-21). New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates, Inc.

http://psych.rochester.edu/SDT/measures/selfreg_lrn.html, diakses tanggal 28 Maret 2006

81

Problematik Hukum Perpu OrmasHananto Widodo

Universitas Negeri Surabaya

ABSTRAK

Secara konstitusional Presiden memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu). Kewenangan Presiden dalam mengeluarkan Perpu harus memiliki syarat yakni dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Syarat yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan syarat yang masih bersifat subyektif. MK telah mengatur mengenai ukuran obyektif dalam mengeluarkan Perpu melalui putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam putusan MK itu salah satu parameter adanya kegentingan yang memaksa yaitu “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai.” Dalam keluarnya suatu Perpu selalu akan nada dua aspek yang akan dikaji, yakni aspek procedural terkait terpenuhinya syarat-syarat keluarnya Perpu dan aspek substansi. Aspek substansi akan terkait dengan materi yang diatur dalam Perpu. Secara substansi Perpu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan terhadap UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dianggap oleh banyak kalangan sebagai Perpu yang represif. Perpu ini dianggap represif karena adanya shortcut terhadap mekanisme pembubaran suatu ormas yang dalam UU No. 17 Tahun 2013 diatur secara ketat menjadi lebih simple. Mekanisme pembubaran ormas yang ditiadakan dalam Perpu ini adalah mekanisme pembubaran ormas melalui pengadilan. Setelah keluarnya Perpu Ormas ini, pemerintah melalui Menteri Hukum Dan HAM (Menkumham) mengeluarkan Surat Keputusan Pencabutan Status Badan Hukum terhadap ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan alasan bahwa kegiatan HTI bertentangan dengan Pancasila.

Kata Kunci : Authority; mechanism; Perpu

I. PendahuluanSecara sosiologis suatu aturan selalu memiliki cacat bawaan. Bukti ada cacat bawaan

dari suatu aturan yakni bahwa suatu aturan tidak akan mampu untuk mengatur seluruh aspek

kehidupan masyarakat. Selalu saja ada hal yang luput dari aturan tersebut untuk diatur padahal

82

itu merupakan hal yang cukup vital dalam kehidupan masyarakat. Bukti yang lain adalah terkait

dengan kemampuan dari pembentuk undang-undang yang selalu tidak mungkin mampu untuk

mengimbangi dinamika masyarakat. Pembentuk undang-undang sulit untuk mengantisipasi

perkembangan masyarakat ke depan, sehingga gerak hukum dalam hal ini adalah legislasi akan

selalu kalah dengan gerak dinamika masyarakat. Bukti lain dan yang paling penting adalah

bahwa undang-undang merupakan produk politik. Undang-undang merupakan hasil kristalisasi

dari kepentingan-kepentingan politik yang ada di parlemen.

Menurut Mahfud MD,16 hukum bukan merupakan variable yang bebas. Artinya produk

hukum akan sangat ditentukan oleh konfigurasi politik ketika hukum tersebut dibentuk.

Konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang represif. Sementara itu,

konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif.17 Pada masa

Orde Baru konfigurasi politiknya adalah otoriter sehingga melahirkan produk hukum yang

represif. Adanya undang-undang No. 11/PNPS/1965 tentang Subversif merupakan salah satu

bukti bahwa produk hukum pada masa Orde Baru mayoritas adalah produk hukum yang

represif.

Setelah beralihnya rezim dari rezim otoritarian Orde baru menuju rezim demokratis maka

satu persatu produk hukum peninggalan Orde baru yang dianggap represif mulai ditinggalkan.

UU peninggalan Orde baru sebagian ada yang dicabut dan sebagian ada yang diganti. UU yang

dicabut antara lain adalah UU Subversif dan UU Referendum, sedangkan UU yang diganti

antara lain UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR dan DPRD, dan UU

Ormas (Susduk). Setelah Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh

Habibie, UU yang pertama kali diganti adalah UU Partai Politik, UU Pemilu dan UU Susduk.

Tujuan dibentuknya ketiga UU tersebut adalah dalam rangka percepatan pemilu yang

seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002 menjadi tahun 1999.

Berbeda dengan ketiga UU politik tersebut, yakni UU Partai Poltik, UU Pemilu dan UU

Susduk yang langsung dilakukan penggantian pasca lengsernya Soeharto, UU Organisasi

Kemasyarakatan (Ormas) merupakan UU yang paling terakhir dilakukan penggantian. UU No. 8

Tahun 1985 Tentang Ormas baru dilakukan pada tahun 2013. Tepatnya UU Ormas baru diganti

15 tahun setelah berakhirnya Orde baru. Sempat terjadi penolakan oleh Muhammadiyah dan

NU terhadap UU No. 17 Tahun 2013 Sebelum UU Ormas tersebut diberlakukan. Salah satu

alasan Muhamaddiyah menolak keberadaan RUU Ormas tersebut karena RUU Ormas tersebut

memberikan kewenangan yang sangat besar pada pemerintah dan pemerintah daerah untuk

membekukan Ormas tanpa melalui proses peradilan.18

Penolakan terhadap RUU Ormas sebagai pengganti UU No. 8 Tahun 1985 akhirnya

menemui titik kompromi. Antara lain dengan menghilangkan pasal 62 yang memberi 16 ?Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1998), hlm 15 17 ?Ibid 18 ? http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2544-detail-mengapa-ruu-ormas-harus-ditolak.html

83

kewenangan yang kuat pada pemerintah untuk membekukan suatu ormas. Dalam UU No. 17

tahun 2013 proses pembubaran Ormas diatur secara ketat. Untuk dapat membubarkan suatu

Ormas, pemerintah tidak dapat sekonyong-konyong membubarkan suatu Ormas yang dianggap

telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Pembubaran Ormas

harus melalui jalan yang sangat panjang. Di samping pembubarannya harus melalui proses

peradilan juga harus melalui proses peringatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pengaturan mengenai pembubaran ormas yang begitu ketat memang dapat mencegah

terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah agar pemerintah tidak

gampang membubarkan suatu Ormas berdasarkan pada penafsiran sepihak yang dilakukan

oleh pemerintah, karena bagaimanapun Ormas merupakan perwujudan dari hak berserikat

warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Namun di satu sisi ternyata UU Ormas ini telah

memberikan ruang bagi warga negara untuk melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam UU Ormas, khususnya terkait dengan pelanggaran terhadap

ideologi negara Pancasila.

Dengan adanya pengaturan mengenai proses pembubaran Ormas yang begitu ketat

sebagaimana diatur dalam UU ormas, maka akan sangat sulit untuk melakukan tindakan yang

tegas terhadap Ormas yang diduga kuat memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Untuk mengatasi hal ini maka Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2017 untuk melakukan shortcut terhadap proses

pembubaran suatu Ormas. Dalam makalah ini akan membahas dua aspek mengenai Perpu

tentang Ormas. Aspek pertama terkait dengan kewenangan Presiden dalam mengeluarkan

Perpu. Aspek kedua terkait dengan substansi dari Perpu tersebut, khususnya mengenai

prosedur pembubaran Ormas.

II Alasan Hukum Dikeluarkan Perpu Tentang OrmasKewenangan Presiden dalam mengeluarkan Perpu diatur dalam pasal 22 ayat UUD NRI

Tahun 1945. Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa : Dalam hal ihwal kegentingan yang

memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-

undang. Ada frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” mengandung arti bahwa Perpu

tidak bisa dikeluarkan setiap saat seperti halnya undang-undang. Namun demikian yang

berwenang untuk mengeluarkan Perpu adalah Presiden yang didasarkan pada kewenangan

subyektif yang melekat pada Presiden.

Kewenangan subyektif Presiden merupakan bentuk diskresi yang dimiliki oleh Presiden

dalam mengeluarkan Perpu. Dalam hukum administrasi, diskresi dibagi menjadi dua, yakni

diskresi yang berkaitan dengan kebebasan kebijaksanaan dan diskresi yang berkaitan dengan

kebebasan interpretasi. Kebebasan interpretasi dalam hal ini adalah dalam rangka menafsirkan

norma yang kabur. Frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan norma yang

kabur dan hanya Presiden yang berwenang untuk menafsirkan frasa tersebut.

84

Penggunaan kewenangan yang bersifat diskresi tentu akan rawan pada tindakan yang

sewenang-wenang dan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu dalam menggunakan

wewenang diskresi tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Namun demikian, jika kembali

pada adagium yang diungkapkan oleh Lord acton bahwa “power tends to corrupt and absolute

power corrupts absolutely” maka harus ada batasan pada Presiden dalam menggunakan

kewenangan subyektifnya dalam mengeluarkan Perpu.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah merumuskan ukuran objektif penerbitan Perpu dalam

putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat

sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan

Perpu, yaitu :19

1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menyelesaikan masalah hukum

secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan

hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang

secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan

keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Syarat yang ditetapkan oleh MK tersebut masih memberi ruang yang cukup luas dalam

mengeluarkan Perpu. Pada syarat kedua dinyatakan bahwa undang-undang ada tetapi tidak

memadai. Dalam mengeluarkan Perpu tentang Ormas, Presiden menganggap bahwa UU

No. 17 Tahun 2013 kurang memadai karena UU tersebut tidak bisa menjadi landasan bagi

Pemerintah dalam melakukan penertiban terhadap Ormas yang ideologinya bertentangan

dengan Pancasila.

Namun demikian, MK tidak hanya menetapkan tiga syarat bagi Presiden dalam

menerbitkan Perpu tetapi MK juga memberi hak pada warga masyarakat untuk bisa

mengajukan permohonan pengujian Perpu. Kewenangan MK dalam menguji Perpu jika dikaji

dalam konteks perlindungan hak-hak dasar warga negara memang diperlukan, meskipun

secara konstitusional MK hanya berwenangan menguji undang-undang yang bertentangan

dengan UUD. Secara konstitusional kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap

Perpu ada pada DPR (Legislative Review). Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

menyatakan bahwa : “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Sementara itu pada ayat (3) dinyatakan

bahwa : “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.

Kewenangan MK dalam menguji Perpu perlu diberikan sebab dalam rentang waktu

antara terbitnya Perpu dan persidangan DPR akan berpotensi terjadi pelanggaran terhadap

hak konstitusional warga negara terkait dengan diterbitkannya Perpu tersebut. Sebagai

19 ? http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5188b1b2dfbd2/syarat-syarat-penetapan-perpu-oleh-presiden85

contoh adalah terbitnya Perpu Ormas. Setelah terbitnya Ormas dalam waktu tidak lebih dari

seminggu, pemerintah dalam hal ini Menteri Hukum Dan Ham (MenkumHam) telah

menerbitkan kebijakan berupa pencabutan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia

(HTI). Sementara itu waktu antara pencabutan status badan hukum HTI dan persidangan

DPR masih cukup lama.

III Proses Pembubaran Ormas Menurut Perpu No. 2 Tahun 2017Suatu peraturan perundang-undangan akan mengundang reaksi dari beragam pihak jika

peraturan perundang-undangan itu terkait dengan hak-hak dasar warga negara. Apalagi jika

proses pembentukannya dianggap menyalahi prinsip-prinsip demokrasi, seperti pengaturan

mengenai Ormas yang tanpa melalui persetujuan DPR. Perpu Ormas dianggap sebagai produk

hukum yang represif karena secara substansi Perpu tersebut memberikan kewenangan yang

begitu besar kepada pemerintah untuk membubarkan Ormas tanpa melalui proses peradilan.

Untuk menganalisis apakah secara substansi Perpu Ormas memang memiliki

karakteristik represif maka mau tidak mau harus dibandingkan dengan UU No. 17 Tahun 2013

yang mengatur sebelumnya mengenai proses pembubaran Ormas. Pengaturan mengenai

sanksi terhadap Ormas diatur dalam Pasal 61 UU Ormas. Dalam Pasal 61 dinyatakan bahwa

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian bantuan dan/atau hibah;

c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan

e. status badan hukum.

Dalam Pasal 62 ayat (1) menyatakan bahwa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 61 huruf a terdiri atas :

a. peringatan tertulis kesatu;

b. peringatan tertulis kedua; dan

c. peringatan tertulis ketiga

Tiap-tiap peringatan tertulis sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1) adalah paling lama

tiga puluh hari (Pasal 62 ayat (1)). Apabila sampai Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis

ketiga maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi berupa

penghentian bantuan dan/atau hibah;dan/atau penghentian sementara kegiatan (Pasal 64 ayat

(1)). Penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap Ormas lingkup Nasional,

pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung (Pasal 65 ayat (1)).

Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara

kegiatan pemerintah baru bisa menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.

Pencabutan status badan hukum terhadap Ormas yang bersangkutan itupun bisa dilakukan oleh

86

pemerintah setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap

mengenai pembubaran ormas berbadan hukum (Pasal 68 ayat (1), (2) dan (3)).

Dari mekanisme pembubaran Ormas yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 dapat

disimpulkan bahwa tidak mudah untuk melakukan pembubaran terhadap Ormas. Sulitnya

Pemerintah dalam melakukan pembubaran terhadap Ormas justru bisa membuat potensi

pelanggaran yang dilakukan oleh Ormas semakin kuat. Apabila pelanggaran yang dilakukan

oleh Ormas itu masih dalam batas toleransi maka tidak akan menimbulkan dampak yang

membahayakan. Namun jika pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Ormas itu sudah bersifat

membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk membahayakan ideologi

negara Pancasila, maka harus ada landasan hukum yang kuat sehingga pemerintah bisa

bertindak tegas terhadap Ormas yang nyata-nyata membahayakan kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Permasalahan secara substantif dari Perpu Ormas terkait dengan mekanisme

pembubaran bukan sekedar hanya masalah Perpu tersebut represif atau responsif, tetapi juga

berkaitan dengan alur logika yang terdapat dalam Perpu Ormas tersebut apakah logis atau tidak.

Mekanisme pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 dapat

dikatakan tidak logis. Paling tidak ada dua argumentasi yang menguatkan bahwa mekanisme

pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 adalah tidak logis.

Pertama, terlalu banyaknya tahapan yang harus dilalui oleh Pemerintah dalam

melakukan pembubaran terhadap Ormas membuat posisi Ormas lebih superior dibanding Partai

Politik (Parpol). Bagaimanapun baik secara kedudukan maupun secara fungsional Parpol itu

lebih tinggi dibanding Ormas. Kedudukan Parpol yang lebih tinggi dibanding Ormas dapat dilihat

pada beberapa Ormas yang merupakan organisasi bawahan dari Parpol. Secara fungsional

Parpol juga lebih kuat dibandingkan dengan Ormas, sebab Parpol tidak hanya menjalankan

fungsi kemasyarakatan tetapi juga menjalankan fungsi politik. Namun demikian, mekanisme

pembubaran Parpol lebih mudah dibandingkan dengan mekanisme pembubaran Ormas.

Mekanisme pembubaran Parpol sangat simple, yakni pemerintah yang memiliki kedudukan

sebagai legal standing langsung mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak

perlu ada mekanisme pemberian surat peringatan 1, 2, dan 3 sebagaimana yang harus

dilakukan jika akan melakukan pembubaran terhadap Ormas.

Kedua berkaitan dengan logika penerapan sanksi hukum. Sebagaimana ditegaskan

dalam pasal 61 UU Ormas bahwa sanksi yang akan dikenakan pada Ormas yang dianggap

melakukan pelanggaran hukum adalah sanksi administrasi. Perbedaan karakteristik antara

sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah sebagai berikut :20

20 ?Philipus M Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1995), hlm 247

87

1. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya , sedangkan sanksi

pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberi hukuman berupa nestapa;

2. Sanksi administrasi dimaksudkan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan.

3. Sanksi administrasi diterapkan oleh pejabat tata usaha negara tanpa harus melalui

proses peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana

melalui proses peradilan.

Dengan demikian sangat tidak logis jika penerapan sanksi administrasi dilakukan melalui

proses peradilan. Jika Pemerintah berwenang untuk memberikan peringatan tertulis pertama,

kedua dan ketiga, maka Pemerintah juga berwenang untuk melakukan pencabutan status badan

hukum tanpa melalui proses peradilan. Justru sangat tidak logis jika Pemerintah berwenang

memberikan peringatan tertulis pertama, kedua dan ketiga tetapi ketika akan mencabut status

badan hukum justru harus melalui proses peradilan. Namun demikian, pengaturan mengenai

mekanisme pembubaran Ormas menurut Perpu Ormas juga bisa mengarah pada tindakan

sewenang-wenang. Dalam Perpu Ormas, Pemerintah dapat mencabut status badan hukum

tanpa didahului pemberian peringatan tertulis.

Dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu Ormas dinyatakan bahwa sanksi administrasi sebagaimana

dimaksud pada Pasal 60 ayat (1) terdiri atas : a. Peringatan tertulis; b. Penghentian kegiatan

dan/atau; pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Penerapan sanksi sebagaimana diatur pada Pasal 61 ayat (1) di atas bukan merupakan

tahapan-tahapan dalam menerapkan sanksi, tetapi merupakan alternatif penjatuhan sanksi

administrasi.

Pencabutan status badan hukum Ormas sebenarnya tidak ada bedanya dengan pencabutan

izin pada umumnya. Meskipun keputusan pemerintah mengenai status badan hukum Ormas

berbeda dengan izin sebagaimana pernah dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, tetapi baik

keputusan Pemerintah mengenai status badan hukum Ormas dan Izin sama-sama merupakan

Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam UU Peradilan Tata Usaha

Negara. Oleh karena itu, jika HTI atau Ormas lainnya yang merasa dirugikan akibat pencabutan

status badan hukum Ormas oleh Pemerintah, maka HTI atau Ormas lainnya itu bisa mengajukan

gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara agar keputusan mengenai pencabutan status badan

hukum Ormas yang diterbitkan oleh Pemerintah dinyatakan tidak sah, sehingga mereka bisa

memperoleh kembali hak dan kewajiban mereka sebagai Ormas yang diakui oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

IV Penutup1. KesimpulanDari uraian pembahasan terhadap problematik hukum pembubaran Ormas maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

88

a. Presiden secara konstitusional berwenang untuk menerbitkan Perpu. Meskipun MK telah

memberikan syarat untuk mengeluarkan Perpu tetapi syarat yang ditetapkan MK tersebut

masih bersifat longgar. Presiden bisa menganggap bahwa UU No. 17 Tahun 2013 tidak

memadai untuk menindak Ormas yang secara ideologi bertentangan dengan Pancasila.

b. Mekanisme pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2013

secara hukum tidak logis. Bagaimanapun mekanisme pembubaran Ormas harus lebih

simple dibandingkan dengan mekanisme Parpol, sebab baik secara kedudukan maupun

secara fungsional Parpol lebih tinggi dibandingkan dengan Ormas. Dengan demikian,

mekanisme pembubaran Ormas sebagaimana diatur dalam Perpu Ormas secara hukum

lebih logis.

2. Sarana. Jika ada Ormas yang merasa keberatan terhadap Keputusan Pemerintah mengenai

pencabutan status badan hukum maka Ormas yang bersangkutan bisa mengajukan

gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

b. Pembubaran Ormas melalui proses peradilan sangat dimungkinkan tetapi proses

pembubarannya tanpa melalui proses pemberian peringatan tertulis pertama, kedua dan

ketiga tetapi langsung diajukan ke Pengadilan oleh Pemerintah, seperti mekanisme

pembubaran Parpol.

DAFTAR PUSTAKA- Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, (Jakarta : LP3ES, 1998)

- Philipus M Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta :

Gajahmada University Press, 1995

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

- Undang-Undang No. 17 Tahun 2013

- Peraturan Pemerintah Sebagai Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2017

- http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-2544-detail-mengapa-ruu-ormas-harus-

ditolak.html

- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5188b1b2dfbd2/syarat-syarat-penetapan-

perpu-oleh-presiden

89

PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAHUNTUK MEWUJUDKAN WARGA NEGARA TRANSFORMATIF

Listyaningsih dan I Made SuwandaUniversitas Negeri Surabaya

[email protected] dan [email protected]

ABSTRAK

Masalah dekadensi moral merupakan masalah yang sangat serius dan perlu diupayakan agar tidak berkembang. Masalah tersebut bisa dilihat dari semakin meningkatnya perilaku yang tidak baik yang dilakukan oleh peserta didik di sekolah seperti bullying, tawuran antar pelajar, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pergaulan seks bebas, tidak mentaati aturan, dan sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penguatan pendidikan karakter di sekolah sangat penting dilakukan. Penguatan pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui pengintegrasian nilai karakter dalam pembelajaran, pembiasaan, keteladanan dan pembudayaan. Melalui penguatan pendidikan karakter ini diharapkan akan terbentuk pola pikir, pola sikap dan pola perilaku peserta didik agar menjadi pribadi yang positif (baik), sehingga mendukung terwujudnya warga negara transformatif.

Kata kunci: Pendidikan karakter, warga negara transformatif

PENDAHULUANSeiring dengan perkembangan zaman saat ini, pembangunan karakter memang harus

dilakukan. Beberapa kasus yang menunjukkan masalah dekadensi moral semakin meningkat

yang dilakukan oleh peserta didik di sekolah seperti bullying, tawuran antar pelajar,

penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pergaulan seks bebas, tidak mentaati aturan, dan

sebagainya. Adanya perilaku-perilaku tersebut jika tidak diperhatikan dengan serius akan

mengarah pada tindak kriminal.

Berdasarkan catatan biro pembinaan dan operasional mabes Polri, jumlah tindak

kriminalitas di Indonesia selama tahun 2013-2015 menunjukkan fluktuasi. Pada tahun 2013

terdapat 342.084 kasus, pada tahun 2014 terdapat 325.317 kasus, pada tahun 2015 terjadi

kenaikan dengan adanya 352.936 kasus. Sebagai contoh, jumlah kejahatan terkait kasus

narkotika di Indonesia, mulai tahun 2011-2015 menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2011

terdapat 18.074 kasus, tahun 2012 terdapat 16.589 kasus, tahun 2013 terdapat 19.953 kasus,

90

tahun 2014 terdapat 19.280 kasus sedangkan pada tahun 2015 menunjukkan kenaikan dengan

adanya 36.874 kasus. Selain itu kejahatan terkait dengan penipuan, penggelapan, dan korupsi

di Indonesia juga ada kecenderungan naik. Pada tahun 2011 terdapat 49.806 kasus, tahun 2012

terdapat 48.044 kasus, tahun 2013 terdapat 49.626 kasus, pada tahun 2014 terdapat 48.608

kasus dan tahun 2015 terdapat 54.115 kasus (statistik kriminal tahun 2016). Jika diperhatikan

data tentang kasus kriminalitas yang terjadi di Indonesia masih cukup tinggi. Adanya kasus-

kasus yang menjurus pada tindak kriminalitas tersebut memunculkan anggapan di masyarakat

bahwa sekolah gagal dalam membangun karakter anak bangsa. Berdasarkan latar belakang

tersebut di atas menimbulkan pertanyaan: (1) apa yang dimaksud dengan penguatan pendidikan

karakter di sekolah?, (2) Mengapa pendidikan karakter di sekolah perlu untuk dilakukan

penguatan?, dan (3) Bagaimana cara melakukan penguatan pendidikan karakter di sekolah?

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah (1) untuk memahami tentang

penguatan pendidikan karakter di sekolah, (2) Mengetahui pentingnya penguatan pendidikan

karakter di sekolah dan (3) Mengetahui cara melakukan penguatan pendidikan karakter di

sekolah.

METODE Metode yang digunakan dalam pembahasan masalah ini adalah dengan menggunakan studi

kepustakaan. Berdasarkan referensi dari berbagai sumber seperti buku, artikel ilmiah dalam

jurnal-jurnal, situs-situs internet kemudian disusun secara sistematis untuk memecahkan

permasalahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN1. Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah

Pendidikan karakter pada dasarnya adalah suatu proses yang dilakukan dalam

rangka membentuk pribadi yang bermoral dan dapat menghayati kebebasan serta tanggung

jawabnya baik dalam relasi dengan orang lain maupun lingkungannya. Lingkungan yang

dimaksud di sini meliputi lokal, nasional maupun internasional (global). Oleh karenanya

pendidikan karakter selalu berupaya mengarahkan pada pembentukan karakter pribadi yang

bermoral, cerdas dalam mengambil segala keputusan yang ditunjukkan melalui perilakunya

serta sanggup dan mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan bersama di masyarakat.

Artinya bahwa pendidikan karakter bertujuan ingin membentuk individu yang tahu, mau dan

mampu menghargai nilai-nilai kearifan lokal, nasional dan sekaligus dapat menjadi warga

negara di tengah-tengah masyarakat global dengan berbagai macam nilainya.

Pendidikan karakter merupakan sarana dan wadah bagi pembentukan pribadi yang

cerdas dan kompetitif. Melalui pendidikan karakter ingin dihasilkan pribadi cerdas yakni

insan yang memiliki karakter : a) kemampuan, yakni sesuatu yang dimiliki untuk dapat

91

menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan; b) keyakinan, yaitu pola pikir yang

memungkinkan seseorang untuk sukses; c) perilaku, yakni persepsi tentang dirinya dan

lingkungannya secara positif, d) rasa ingin tahu, yaitu naluri untuk bertanya, menyelidiki dan

motivasi diri dari dalam untuk selalu belajar dan selalu ingin tahu; e) kebiasaan, perilaku

atau pola pikir yang cederung mengarahkan supaya lebih berkembang; f) keterampilan,

yakni perilaku yang mengarahkan orang untuk menjadi efisien dan berkemampuan; dan g)

nasionalisme, yaitu pemahaman dan kesadaran berbangsa seutuhnya (Gardner dalam

Haris, 2010)

Menurut Kemendiknas (2010: 7) bahwa tujuan pendidikan karakter antara lain: (1)

Mengembangkan potensi kalbu/nurani/ afektif peserta didik sebagai manusia dan warga

negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; (2) Mengembangkan

kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal

dan tradisi budaya bangsa yang religious; (3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan

tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; (4) Mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan

kebangsaan; (5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan

belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan serta dengan penuh rasa

kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).

Sementara mengacu pada pendapat Zubaidi (2011 : 17) yang mengatakan bahwa

pendidikan karakter dipahami sebagai penanaman kecerdasan dalam berpikir,

pengahayatan dalam bentuk sikap, dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai

dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan

Tuhannya, diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa

pendidikan karakter seharusnya mengembangkan ketiga aspek yang ada pada pendidikan,

yakni : (1) aspek kognitif untuk menambah wawasan atau pembentukan pola pikir peserta

didik, (2) aspek afektif, penumbuh kembangkan sikap peserta didik, dan (3) aspek

psikomotor, yakni melatih keterampilan atau pembentukan pola perilaku peserta didik.

Beberapa pendapat di atas mengindikasikan bahwa pendidikan karakter merupakan

suatu upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka membentuk manusia Indonesia

menjadi warga negara seutuhnya. Artinya warga negara yang memiliki wawasan, sikap

serta perilaku yang baik dalam kehidupan lokal, nasional serta global. Dengan kata lain,

pendidikan karakter ditujukan demi terbentuknya warga yang baik, yakni warga yang

memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai serta norma yang ada baik

dalam kehidupan lokal, nasional maupun dunia internasional (global).

2. Pentingnya Penguatan Pendidikan Karakter

Mengacu pada tujuan pendidikan karakter sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka

dalam rangka menyiapkan warga negara transformatif, yakni warga negara yang tetap

92

memegang teguh nilai-nilai lokal dan bersikap dan berperilaku global maka penguatan

pendidikan karakter penting untuk dilakukan. Adanya masalah-masalah yang dihadapi oleh

bangsa Indonesia seperti korupsi, anarki, penyalahgunaan narkoba, rendahnya disiplin, dan

sebagainya bersumber pada karakter. Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku

yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup

keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu

yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari

keputusan yang ia buat (Suyanto, dalam Wibowo, 2012: 33). Oleh karena itu, dalam rangka

membentuk individu agar memiliki karakter yang baik maka institusi pendidikan dalam hal

ini sekolah memiliki tugas dalam menanamkan nilai-nilai karakter, baik melalui proses

pembelajaran maupun pembiasaan di sekolah.

Penguatan pendidikan karakter pada masa sekarang ini sangat penting untuk

dilakukan dalam rangka mengatasi masalah dekadensi moral yang terjadi di negara

Indonesia. Seperti yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, perilaku yang dilakukan

oleh anak-anak yang menjurus pada tindakan yang tidak bermoral bisa mengarah pada

tindakan kriminalitas. Hal tersebut, perlu diwaspadai dan diantisipasi melalui pendidikan

karakter di sekolah

Terjadinya masalah dekadensi moral ini menandakan bahwa, hasil belajar yang telah

dicapai oleh peserta didik cenderung pada ranah pengetahuan dari pada ranah sikap

maupun keterampilan. Sebagaimana yang disinyalir oleh Zubaidi (2011 : 2-3) bahwa salah

satu penyebab terjadinya tindakan a-moral adalah karena pendidikan di Indonesia lebih

menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif saja, sedangkan aspek

softskills atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan

secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Pembelajaran pendidikan karakter yang ada di

persekolahan sekarang ini cenderung masih memberikan konsep-konsep atau wawasan

(kognitif). Belum banyak guru melakukan pembelajaran yang dapat menumbuhkan sikap dan

pembiasaan sesuai dengan tujuan pendidikan karakter itu sendiri.

Dalam rangka mengatasi masalah dekadensi moral yang dihadapi bangsa Indonesia,

maka sekolah yang berbasis pada karakter perlu diwujudkan. Sulhan (2010: 7) mengatakan

bahwa, harapan ke depan, sekolah dapat menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang

handal, baik secara iman dan takwa (imtak) maupun ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Untuk itu perlu membangun kultur sekolah dengan landasan yang kokoh yaitu karakter.

3. Cara Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah

Dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah, ada beberapa strategi

yang dapat dilakukan, antara lain meliputi:

a. Materi dalam Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah

93

Supaya memudahkan di dalam melakukan penanaman serta penumbuh

kembangan nilai-nilai karakter kepada peserta didik di persekolahan, maka nilai-nilai

karakter yang ada, oleh Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas diterjemahkan ke dalam

jenjang pendidikan menjadi 18 (delapan belas) nilai yaitu : religius, jujur, toleransi,

disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,

cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar

membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Dari ke- 18 (delapan

belas) nilai karakter tersebut di atas hidup, tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan

sehari-hari dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai karakter tersebut ditanamkan melalui

berbagai bentuk antara lain: melalui ceritera rakyat, nyanyian/kidung, motto,

peribahasa dan sebagainya. Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, 18 (delapan

belas) nilai karakter tersebut di atas, disederhanakan, dipadatkan dan diklasifikasi

menjadi 4 (empat) nilai karakter yakni : (1) nilai kejujuran, (2) nilai kecerdasan, (3) nilai

kepedulian, (4) nilai ketangguhan (Suwanda, dkk. 2013). Keempat nilai karakter inilah

yang menjadi dasar, pedoman dan standar bagi masyarakat dalam berpikir, bersikap

dan bertindak serta sebagai dasar dalam melihat, memahami maupun menyelesaikan

persoalan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat..

Untuk menjadi bangsa yang maju dan bermartabat, sejajar dengan bangsa-

bangsa lain sangat diperlukan bangsa Indonesia memiliki keempat nilai karakter

sebagaimana sudah disebutkan di atas. Daniel Goeleman dalam bukunya “Emotional

Inteligence” mengatakan bahwa kepribadian manusia mendominasi 80% dari kehidupan

seseorang, dibanding dengan kecerdasan otak yang hanya berkontribusi 20%. Sudah

disadari juga oleh para teknokrat dunia bahwa betapapun sebuah kemajuan telah

dicapai, namun akan dapat menjadi perusak bilamana kemajuan tersebut tidak

dikendalikan dan diimbangi dengan karakter yang di dalamnya berisikan tentang kaidah-

kaidah etika, moral maupun nilai-nilai agama.

Pengembangan karakter membutuhkan komitmen bersama dari semua

komponen bangsa serta membutuhkan proses yang panjang dan bertahap

sebagaimana pendapat Talcott Parsons. Dan yang paling urgen adalah menentukan

karakter yang seperti apa yang mau dibentuk dan dikembangkan. Hal ini sangat penting

untuk dijadikan perhatian bersama karena apabila dalam pembentukan dan

pengembangan nilai-nilai karakter hanya mengandung nilai-nilai yang baru sama sekali

dan tidak berasal dari budaya lokal, seringkali bisa menyebabkan terjadinya anomitas

sebagaimana yang dikatakan Emille Durkheim. Beliau mengatakan bahwa dalam proses

sosialisasi nilai seringkali terjadi anomitas yakni nilai-nilai baru yang mau ditanamkan

belum dianut dan diimplementasikan oleh masyarakatnya, sementara masyarakat sudah

tidak lagi meyakini nilai-nilai yang lama, akibatnya yang terjadi kemudian adalah

94

banyaknya persoalan-persoalan social, seperti : kenakalan remaja, korupsi, dan bahkan

menimbulkan mentalitas menerabas (Koentjaraningrat, 2002). Seperti yang sedang

melanda bangsa Indonesia sekarang ini. Untuk itu dibutuhkan pemikiran matang dan

bijak dalam memilih serta menentukan pendidikan karakter yang bagaimana yang cocok

dan dibutuhkan generasi sekarang yang dapat mempercepat terwujudnya tujuan dan

cita-cita nasional. Penumbuhkembangan karakter yang mampu menjadi modal sosial

sehinga dapat menjawab tantangan-tantangan yang ada sekarang dan di masa depan

sehingga peserta didik sebagai anak bangsa ini dapat menjadi warga negara maju dan

bermartabat baik dalam kehidupan lokal, nasional dan di dunia global..

b. Strategi Penerapan Pendidikan Karakter

Dalam mengembangkan pendidikan karakter di sekolah, ada beberapa strategi

dan pendekatan yaitu (1) pengintegrasian nilai –nilai karakter pada setiap mata

pelajaran; (2) pembiasaan dan latihan; (3) pemberian contoh/ teladan; (4)

pembudayaan.

Mulai tahun 2013 kurikulum yang diterapkan di sekolah mengacu pada kurikulum

2013. Pada kurikulum 2013 terdapat 4 (empat) kompetensi inti yang harus dicapai dalam

pembelajaran untuk semua mata pelajaran yaitu (1) kompetensi sikap spiritual, berkaitan

dengan sikap beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) kompetensi

sikap social, berkaitan dengan sikap yang menunjukkan berakhlak mulia, sehat, mandiri,

dan demokratis serta bertanggung jawab; (3) kompetensi pengetahuan, berkaitan

dengan penguasaan ilmu pengetahuan; dan (4) kompetensi keterampilan berkenaan

dengan kecakapan berpikir dan bertindak secara kreatif, kritis, dan produktif. Dalam

upaya mencapai kompetensi inti tersebut, maka dalam proses pembelajaran tidak cukup

mentransfer pengetahuan saja, akan tetapi juga perlu mengintegrasikan nilai dan etika

agar kompetensi sikap spiritual, sikap sosial dan keterampilan dapat diwujudkan.

Pengintegrasian ini dilakukan dengan mencantumkan nilai-nilai karakter dalam

silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Di samping itu dalam proses

pembelajaran yang dilaksanakan oleh pendidik juga diarahkan agar nilai-nilai karakter

tersebut bisa diwujudkan. Dalam kurikulum 2013, proses pembelajaran meliputi kegiatan

mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengomunikasikan

(5M). Sebagai contoh pada aktivitas mencari informasi dan diskusi, peserta didik

melakukan dengan penuh rasa percaya diri dan tanggung jawab.

Ada beberapa indikator perbaikan dalam proses pembelajaran terkait dengan

pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah menurut Raka dkk. (2011: 121) antara lain

mencakup (1) peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran; partisipasi

ini bisa dilakukan dengan bertanya atau memberikan pendapat atau gagasannya selama

mengikuti pembelajaran; (2) meningkatnya tingkat kejujuran siswa atau menurunnya

95

tingkat kecurangan dalam proses pembelajaran, misalnya siswa harus jujur atau tidak

menyontek ketika ujian; (3) proses pembelajaran menjadi lebih menggembirakan namun

tetap terkendali, sehingga siswa akan lebih menikmati proses pembelajaran; (4)

Pendidik akan lebih kreatif baik dalam merancang maupun melaksanakan proses

pembelajaran. Dalam hal ini, pendidik dapat menerapkan model/ metode pembelajaran

yang variatif dan menyampaikan materi pelajaran lebih konkret, relevan, kontekstual dan

bermakna.

Pengintegrasian melalui pembiasaan dan latihan di sekolah dapat dilakukan

dengan pembiasaan melalui (1) kegiatan-kegiatan positif seperti salam, senyum, dan

sapa (3S) setiap hari saat anak datang dan pulang sekolah; (2) mengawali dan

mengakhiri kegiatan pembelajaran dengan berdoa, sebagai wujud sikap beriman dan

bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa; (3) pembiasaan melaksanakan sholat berjamaah

bagi pemeluk agama Islam di sekolah; (4) pembiasaan angkat tangan apabila hendak

bertanya, menjawab, berkomentar, atau berpendapat dan hanya bicara setelah

dipersilakan, dan sebagainya.

Pemberian contoh atau keteladanan ini merupakan strategi yang juga penting

dalam penguatan pendidikan karakter di sekolah. Orang Jawa mengatakan bahwa guru

itu “digugu lan ditiru”. Artinya bahwa apa yang dikatakan oleh guru atau pendidik akan

diikut oleh peserta didiknya, dan apa yang dilakukan oleh guru atau pendidik akan

dicontoh oleh peserta didik. Keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah

diharapkan dapat menjadi panutan bagi peserta didik. Jika sekolah menghendaki

peserta didik bersikap dan berperilaku yang baik maka pendidik dan tenaga

kependidikan harus bisa menjadi modelnya. Misalnya datang tepat waktu, jujur, bertutur

kata dengan sopan, dan sebagainya. Sebagaimana yang disinyalir oleh Fitri (2012: 46),

bahwa pendidikan karakter di sekolah sangat dipengaruhi oleh perilaku guru (pendidik).

Perilaku guru yang negative dapat membunuh karakter anak yang positif (seperti,

pemarah, kurang peduli, merendahkan diri anak, mempermalukan anak di depan kelas,

dan sebagainya). Sedangkan perilaku guru yang positif (seperti sabra, adil, bijaksana,

ramah, santun dan sebagainya) akan membangun dan menguatkan karakter positif

anak.

Penguatan pendidikan karakter di sekolah melalui pembudayaan meliputi

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kepala sekolah, pendidik, dan tenaga

kependidikan dengan peserta didik. Suasana di sekolah diciptakan dengan

mengembangkan sikap dan perilaku yang baik antar warga sekolah. Kepemimpinan,

keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian social, kepedulian

lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggungjawab merupakan nilai-nilai yang

dikembangkan dalam budaya sekolah (Kemendiknas, 2010: 20).

96

KESIMPULANPenguatan pendidikan karakter sangat perlu dan mendesak dilakukan di dunia

persekolahan dalam rangka membentuk warga negara yang baik (dalam skala nasional) dan

warga global. Pelaksanaan penguatan pendidikan karakter di Sekolah perlu mempertimbangkan

baik dalam pemilihan materi maupun cara atau strategi pembelajarannya. Dalam pemilihan

materi di dasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal, sedangkan dalam pembelajaran menggunakan

metode/strategi pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan sikap dan perilaku (aspek

sikap dan perilaku). Pemilihan materi dan metode/strategi yang tepat sangat menentukan

pencapaian tujuan yang diinginkan. Dengan penguatan pendidikan karakter di sekolah,

diharapkan bisa mendorong peserta didik sebagai warga negara untuk bersikap dan berperilaku

yang baik dan berkomitmen untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama serta ikut

berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKABukuBadan Pusat Statistik Indonesia. 2016. Statistik Kriminal 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Fitri, Zaenul, Agus. 2012. Pendidikan Karakter berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Yogyakarta:

Ar-Ruz Media

Goleman ,D. 1995. Emotional Intelligence ; Why It Can Matter More than IQ. New York: Batam

Books,

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa. Pedoman Sekolah. Jakarta : Kementerian Pendidikan Nasional

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit : Djambatan

Sulhan, Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Sinergi antara Sekolah dan Rumah dalam

Membentuk Karakter Anak. Surabaya: Jaring Pena

Suwanda, I Made dkk. 2013. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal

Sebagai Sumber Nilai Pembelajaran IPS. LPPM Unesa (Laporan Hasil Penelitian)

Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter. Strategi Membangun Karakter Bangsa yang

Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter. Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

97

SAYAN: MEKANISME GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT MULTIAGAMA(Studi di Desa Resapombo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar)

Katon Galih Setyawan21, Kusnul Khotimah22

ABSTRAK

Masyarakat desa di Indonesia masih erat dan kuat dalam melaksanakan gotong royong. Penelitian

ini dilaksanakan di Desa Resapombo dengan istilah gotong royong yang populer di masyarakat adalah

sayan atau gerakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif perspektif fenomenologi. Hasil

temuan penelitian menunjukkan bahwa masyarakat multiagama masih melaksanakan kegiatan sayan denga

tipe sayan rumah, sayan fasilitas umum dan sayan tempat ibadah. Ketiga bentuk sayan tersebut

dilaksanakan oleh masyarakat lintas agama.

Kata Kunci: sayan, multiagama dan masyarakat pedesaan

A. PendahuluanPada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara

manusia satu dengan yang lainnya. Suatu bentuk dan sikap hubungan gotong royong akan

mundur ataupun punah sama sekali sebagai akibat pergeseran nilai-nilai budaya. Akan tetapi

sistem dan jiwa gotong royong tidak akan punah secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena

adanya nilai-nilai budaya yang terkandung didalam sistem budaya, budaya agama Islam,

budaya nasional merupakan suatu norma yang wajib dipatuhi oleh segenap warga masyarakat

dan pemerintah. Jadi tegasnya perpaduan antara kegiatan gotong royong dalam segala

bentuknya dengan penyediaan-penyediaan dan dan fasilitas tertentu harus dikombinasikan

sedemikian rupa sehingga pembangunan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien.

Desa agraris memiliki ciri kegiatan masyarakatnya dilaksanakan secara kolektif.

Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang kegiatan masyarakatnya banyak dilaksanakan

secara individual. Masyarakat desa agraris seperti yang ada di Desa Resapombo juga memiliki

budaya gotong royong yang tinggi. Istilah gotong royong pada masyarakat Desa Resapombo

dikenal dengan sebutan sayan atau gerakan. Sayan menurut Katon (2014) merupakan salah

satu bentuk keraifan lokal untuk mengelola kerukunan antarumat beragama di masyarakat

pedesaan.

21 Dosen Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

22 Mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan IPS, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang98

B. Kajian PustakaGotong royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersamasama dan bersifat

suka rela dengan tujuan agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah

dan ringan. Menurut Koentjoroningrat (Rary, 2012), Gotong royong merupakan ciri budaya

bangsa Indonesia yang berlaku secara turun-temurun sehingga membentuk perilaku sosial yang

nyata dalam tata nilai kehidupan sosial. Nilai tersebut menjadikan kegiatan gotong royong selalu

terbina dalam kehidupan komunitas sebagai suatu warisan budaya yang patut untuk dilestarikan.

Berkenaan dengan hal ini, Bintarto (Pasya, 2000), mengemukakan bahwa:

“Nilai itu dalam sistem budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah:

(1) Manusia itu tidak sendiri di dunia ini tetapi dilingkungi oleh komunitinya,

masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Didalam sistem makrokosmos

tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh

proses peredaran alam semesta yang maha besar itu. (2) Dengan demikian manusia

pada hakikatnya tergantung dalam segala aspek kehidupannya kepada sesamanya.

(3) Karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara

hubungan baik dengan sesamanya terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan (4)

selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dengan

sesamanya dalam komuniti, terdorong oleh jiwa sama tinggi sama rendah”

Pada kutipan tersebut, Bintarto menjelaskan kaitannya gotong royong sebagai nilai

budaya. Dengan adanya nilai tersebut menjadikan gotong royong senantiasa dipertahankan dan

diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan dengan bentuk yang disesuaikan dengan kondisi

budaya komunitas yang bersangkutan tinggal.

C. Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan perspektif

fenomenologi, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, makna dan tindakan.

Penyajian data dari penelitian ini menggunakan format deskriptif yaitu dengan tujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan berbagi kondisi, berbagai situasi atau berbagai fenomena yang

timbul di masyarakat.

D. PembahasanWarga Desa Resapombo biasa melakukan sayan yang memiliki tiga bentuk yaitu sayan

rumah, sayan fasilitas umum dan sayan tempat ibadah. Ketiganya sering dilakukan sebagai

bentuk kearifan lokal yang masih dijaga sampai saat ini. Selain ketiga bentuk sayan di atas pada

dasarnya gotong royong pelaksanaan bersih desa juga bisa digolongkan sebagai bagian dari

99

kegiatan sayan, namun karena bersih desa dilaksanakan rutin setiap tahun sebagai suatu

kearifan lokal. Sayan tidak hanya dilakukan oleh salah satu agama saja. Warisan budaya ini

menjadi milik bersama yang dianggap sebagai sarana untuk meminimalisasi perbedaan agama.

Ketika melaksanakan sayan tidak ada identitas agama yang dibawa. Semua melaksanakan

dengan sukarela karena semua datang dari partisipasi pribadi masing-masing.

Menurut Raharjo (2004: 173) bahwa keberadaan lembaga gotong royong tidak terlepas

dari kebutuhan masyarakatnya. Pada awalnya masyarakat tidak terbiasa bertransaksi dengan

uang, maka pelaksanaan gotong royong ini sebagai jawaban atas kebutuhan masyarakat yang

belum terbiasa bertransaksi dengan uang. Ketika terjadi pergeseran pola ekonomi pedesaan di

masyarakat dengan adanya pasar desa dan terbiasanya masyarakat bertransaksi dengan uang

maka kegiatan gotong royong sedikit banyak ditinggalkan oleh masyarakatnya. Namun demikian

masyarakat Desa Resapombo masih melestarikan gotong royong sebagai bagian dari struktur

sosial masyarakatnya.

1. Sayan RumahSayan rumah dilakukan hanya pada saat ketika memerlukan tenaga yang besar

yaitu seperti pada saat pengecoran untuk lantai dua, memasang genteng di atas,

menurunkan genteng, membongkar tembok dan sebagainya. Kegiatan itu dilakukan hanya

dalam waktu satu hari. Dan biasanya pada awal membangun atau membongkar saja,

setelah itu kegiatan detail lainnya dilakukan oleh para tukang bangunan yang professional.

Kegiatan itu biasanya dilakukan pada pagi hari sampai siang atau bahkan sampai sore jika

memang harus banyak yang dikerjakan.

Bagi tetangga yang diminta tolong mengikuti sayan juga ada rasa tanggung jawab

untuk mengikutinya. Paling tidakbias menunjukkan kehadirannya barang sebentar kepada

tetangga yang mengadakan sayan. Ketika hanya bisa mengikuti sayan pada pagi hari

kemudian siang minta izin untuk pulang karena ada kegiatan semua warga akan

memahaminya. Ini lebih baik jika dibanding dengan tidak hadir sama sekali. Hal ini seperti

yang telah disampaikan seorang tokoh Kristen Protestan yang bernama Eko

Santoso/Bambung (39):

“Sebenarnya sayan itu hanya gerakan desa, gerakan ning tangga (di tetangga), itu hal

sepele hal kecil tapi besar efeknya bagi kerukunan antar umat beragama dan

merupakan cermin kerukunan antarumat beragama. Lho saiki lek awake dewe enek

gerakan terus diomongi terus awake dewe ora nyang, lha ndak yo dadi omongane

tangga, lha kae lo lek diomongi ratau nyang (Lho sekarang kalau kita ada gerakan

terus kita diberi tahu tidak hadir, kan jadi pembicaraan tetangga, lha itu lo diberi tahu

tidak pernah datang). Ya akan seperti itu, seperti hukuman sosial. Akan dibicarakan

oleh tetangga, walaupun sambil bercanda dalam membicarakan tangga sing ra tau

melu sayan kuwi mau (tetangga yang tidak pernah mengikuti sayan itu tadi).”

100

Sayan sebagai satu kegiatan kolektif masyarakat bagi desa yang multiagama bisa

dikatakan sebagai satu kegiatan yang efektif untuk membina kerukunan antar umat

beragama. Agama yang banyak tidak bisa disekat dengan kegiatan masyarakat yang

kolektif. Setiap warga harus hadir di setiap kegiatan sayan. Ketika satu warga tidak pernah

hadir untuk mengikuti sayan hal ini akan mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Sanksi

tersebut bisa berupa akan dibicarakan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Desa

Resapombo sebagai masyarakat yang sangat toleran tidak pernah melakukan tindakan

untuk memberi sanksi yang berlebih seperti pengusiran atau pengucilan dan lainnya. Sanksi

dibicarakan tetangga merupakan sanksi yang berat bagi masyarakat desa yang memiliki ciri

kehidupan kolektif.

Menurut Eko Santoso/Bambung (39) sebagai umat minoritas di Desa Resapombo,

umat Kristen Protestan akan selalu datang dan hadir di setiap kegiatan sayan. Bahkan

menurut tokoh muda Kristen Protestan ini jika di tetangga dekat dengar akan ada sayan

walaupun dia tidak diberi tahu akan tetap berangkat dan membantu mengikuti sayan. Hal ini

penting karena dengan mengikuti sayan berarti sudah bisa dikatakan merakyak dan bisa

melebur dengan masyarakat yang multiagama.

Keberadaan sayan rumah saat ini juga ada yang mempertanyakan kefektifannya.

Menurut Henrikus Juadi (50) tokoh masyarakat berprofesi sebagai guru dan beragama

Katholik menuturkan bahwa di Dusun Purworejo ketika diadakan sayan untuk pengecoran

lantai dua di rumah seorang warga telah terjadi insiden runtuhnya penyangga untuk tempat

pengecoran lantai dua tersebut. Insiden itu disebabkan karena banyaknya warga yang hadir

di kegiatan sayan tersebut. Henrikus Juadi masih menganggap sayan efektif untuk membina

kerukunan antar umat beragama. Kerukunan antar umat beragama bisa tercermin dalam

kegiatan sayan karena ketika mengadakan sayan tidak ada kepentingan agama apapun,

yang ada adalah kepentingan kerukunan dan kepentingan bersama.

Ketika mengadakan sayan rumah, tuan rumah sebagai pengundang memang tidak

memberi upah kerja namun akan memberi makan selama dua kali yaitu saat pagi sebelum

dimulai sayan sebagai sarapan dan siang ketika waktu istirahat. Selain memberi makan,

tuan rumah juga harus memberikan rokok dan minuman berupa kopi atau teh dan air putih.

Menurut warga yang pernah mengadakan sayan hal itu tidak merugikan tuan rumah karena

harga tenaga tetangga yang hadir mengikuti sayan jauh lebih tinggi jika dibandingkan biaya

yang dikeluarkan untuk konsumsi.

2. Sayan Fasilitas UmumAwal mula sayan adalah berupa sayan fasilitas umum. Saat ini sayan fasilitas umum

sudah banyak yang ditinggalkan dan jarang untuk dilaksanakan. Sayan fasilitas umum

101

biasanya berupa pembangunan jalan, pembangunan irigasi sawah dan pembangunan pos

kamling. Ketiga contoh yang disebutkan di atas praktis tidak pernah dilaksanakan lagi

kecuali pembangunan jalan. Pembangunan jalan masih sering dilakukan di saat jalan-jalan

dusun belum beraspal sehingga perlu pembenahan oleh masyarakat karena tidak ada

bantuan pembangunan dari pemerintah. Jalan dusun di Desa Resapombo banyak yang

berupa makadam dan berupa jalan cor. Sebagian jalan tersebut dibangun oleh swadaya

masyarakat.

Lingkungan rumah Sukardi (50) seorang pengusaha penyulingan minyak atsiri yang

beragama Islam menyatakan bahwa jalan di depan rumahnya yang berupa makadam

merupakan hasil swadaya masyarakat pada tahun 2007. Sebelum itu jalan dusun masih

berupa tanah dan berlumpur ketika musim hujan. Bersama perangkat desa dan tokoh

masyarakat dimusyawarahkan untuk mengadakan sayan pembangunan jalan berupa

makadam. Pada saat itu diputuskan untuk setiap warga mengambil batu dari sungai selama

setengah hari pada hari minggu. Batu-batu itu akan digunakan sebagai bahan baku

pembuatan makadam jalan, karena jika membeli batu akan membebani warga dengan

iurannya. Ketika itu setiap warga wajib untuk turun ke sungai untuk mengambil batu, namun

jika ada yang berhalangan atau tidak bisa turun ke sungai mereka diwajibkan untuk

membayar ganti biaya setara dengan upah pekerja setengah hari sebesar Rp 20.000,00

pada waktu itu.

Semua warga pada waktu itu bahu-membahu untuk sayan fasitas umum. Kegiatan

sayan ini dianggap sebagai bagian dari membina kerukunan antar umat beragama. Dengan

diadakannya sayan fasilitas umum semua warga yang lintas agama dapat berkumpul

bersama dan berinteraksi secara langsung sehingga mereka dapat semakin mengenal.

Kerukunan yang selalu dibina dengan kegiatan bersama ini merupakan cara untuk

meminimalisasi konflik. Cerita yang hampir sama juga disampaikan oleh Anthonius Bintoro

(41) yang menceritakan bahwa pengecoran jalan di depan rumahnya semua dilakukan oleh

warga, tidak ada bantuan dari pemerintah. Selain bantuan berupa tenaga warga yang

memiliki rezeki lebih juga memberikan bahan materian untuk digunakan. Dengan panjang

jalan sekitar empat kilometer dan dilaksanakan sendiri oleh warga menjadi ringan karena

dilaksanakan bersama-sama. Semua dilaksanakan secara kolektif dari warga, karena warga

Dusun Purworejo memiliki kesadaran yang tinggi untuk membangun daerahnya.

Bantuan sayan tidak hanya diberikan oleh mereka yang sering mengakses fasilitas

umum itu. Mereka yang tidak pernah mengakses sekalipun juga ada yang memberi bantuan

untuk kegiatan sayan tersebut. Seperti menurut Thomas Ponijo (50) juga sering memberikan

bantuan kepada warga yang mengadakan sayan di jalan pertanian. Thomas mengaku

jarang atau tidak pernah melewati jalan itu, namun ketika tahu ada sayan pembangunan

102

jalan dia memberikan bantuan dengan meminjamkan molen atau alat aduk pengecoran

yang dimiliki. Selain itu terkadang juga memberikan rokok kepada mereka.

Pelaksanaan sayan fasilitas umum saat ini tidak pernah dilakukan untuk kegiatan

semacam kerja bakti atau membersihkan lingkungan. Sudah jarang dilakukan untuk

membersihkan lingkungan. Untuk kesadaran kebersihan lingkungan belum begitu baik,

karena untuk sayan kebersihan lingkungan dilakukan karena mobilitas dari perangkat desa,

belum karena partisipasi.

3. Sayan Tempat IbadahTempat ibadah sebagai simbol benda agama merupakan tempat untuk memuji

kebesaran Tuhan. Setiap agama di Desa Resapombo memiliki tempat ibadah masing-

masing. Islam memiliki masjid dan langgar, Katholik dan Kristen Protestan memiliki gereja,

Hindhu memiliki pura dan Budha memiliki vihara. Semua ada sebagai kebutuhan pokok

setiap umat beragama. Pembangunan tempat ibadah dilakukan oleh warga secara

bersama-sama. Pembangunan tempat ibadah dibiayai dari dana umat.

Sayan juga berlaku untuk pembangunan tempat ibadah. Sayan tempat ibadah

dilakukan sama seperti dengan sayan yang lainnya. Sayan tempat ibadah juga berlaku

lintas agama bagi yang melaksanakannya. Umat Katholik biasa membantu pembangunan

masjid dan langgar, begitu juga umat Islam juga membantu pembangunan gereja. Sayan

tempat ibadah bagi Takrim al Azis (43) tokoh muslim pendiri langgar di lingkungannya

menyatakan bahwa pembangunan langgar di lingkungannnya yang dilaksanakan tahun

2009 yang lalu juga dibantu sayan dari umat agama lain yaitu Katholik dan Hindhu. Menurut

pendapat dia bahwa sayan tempat ibadah dilihat dari segi kemanfaatannya. Ditinjau dari

segi manfaat yang banyak jika mengadakan sayan untuk pembangunan tempat ibadah itu

lebih baik dan menguntungkan. Takrim al Azis (43) menjelaskan sebagai berikut:

“Dan ini tidak harus seagama itu, seperti musholla saya ini saya bangun

saat pertama kali bapak kepala desa Mulyono menjabat. Jadi Pak

Mulyono jadi kepala desa saya belum punya musholla. Ketika

mbangung pondasi musholla Pak Mul ikut ngangkati batako. Padahal

Pak Mul kan Katholik. Yang kesini itu Hindhu banyak Katholik banyak

ikut gotong royong membangun musholla…. Kalau kita mengambil

manfaatnya yang banyak Insya’ Allah berjalan dengan baik, ndak

masalah kalau ada manfaatnya, kalau ndak ada manfaatnya kita ikut-

ikutan bisa menjadi masalah.”

Sama seperti yang disampaikan oleh Takrim al Azis, salah satu umat Katholik

Anthonius Bintoro (41) juga menjelaskan bahwa pembangunan gereja Katholik di Dusun

Purworejo juga mendapat bantuan tenaga dalam bentuk sayan oleh umat muslim Dusun

103

Purworejo. Bagi warga untuk pembangunan tempat ibadah bisa dikerjakan bersama

karena pekerjaan ini bisa meringankan beban umat lain. Pandangan warga bahwa sayan

tempat ibadah adalah pekerjaan bersama yang harus diselesaikan bersama seluruh warga

lintas agama. Tidak ada pemikiran tempat ibadah membedakan warga antara satu dengan

yang lain. Warga tidak membatasi tempat ibadah antara yang satu dengan yang lainnya.

Tempat ibadah adalah milik bersama dan dibangun bersama serta dijaga bersama selama

masih ada di wilayah Desa Resapombo.

Berbeda dengan pemikiran tokoh di atas, salah satu tokoh Islam bernama H.M. Muslikh

(52) menyatakan bahwa dalam membangun tempat ibadah tidak bisa dibuat sama dengan

pembangunan fasilitas umum lainnya seperti jalan, poskamling, irigasi atau membongkar rumah

warga. Jika fasilitas umum bisa digunakan oleh semua warga lintas agama, tidak demikian

dengan tempat ibadah. Tempat ibadah hanya bisa digunakan oleh salah satu umat beragama

tertentu, sehingga tidak bisa dilakukan sayan oleh umat agama lain.

Kedua pemikiran yang berbeda ini menunjukkan bahwa pemahaman mengenai

kerukunan antar umat beragama yang berbeda pula. Pemikiran pertama yang disampaikan oleh

Takrim al Azis dan Anthonius Bintoro menunjukkan bahwa kerukunan bisa masuk dalam hal

yang sangat spesifik agama yaitu sampai pada ikut membantu pembangunan tempat ibadah.

Tempat ibadah dianggap sebagai milik bersama bukan milik salah satu agama tertentu

walaupun yang menggunakan tempat ibadah tersebut hanya salah satu agama. Merasa menjadi

tanggung jawab bersama inilah yang mengakibatkan rasa memiliki sehingga dengan mudah

untuk membantu bersama pembangunan tempat ibadah. Berbeda dengan dua tokoh itu H.M.

Muslikh seorang tokoh Islam memiliki pemikiran bahwa terdapat batas-batas tertentu atas

pembangunan tempat ibadah. Tempat ibadah merupakan simbol benda agama sehingga umat

agama lain tidak perlu untuk ikut membantu pembangunan simbol agama itu.

J.H. Boeke (dalam Rahardjo, 2004: 47) menjelaskan bahwa dalam masyarakat desa

kegiatan sosial dianggap jauh lebih penting dari kegiatan ekonomi. Sehingga kegiatan sosial itu

dianggap sebagai kegiatan yang harus diutamakan oleh setiap warga desa. Di dalam

masyarakat desa setiap orang merasa menjadi bagian dari keseluruhan, menerima tradisi dan

moral kelompok sebagai pedomannya. Tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berlatar

belakang sebagai petani akan menyetujui dan memperbolehkan mengadakan sayan tempat

ibadah lintas agama, sedangkan tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berlatar belakang

bukan sebagai petani akan tidak memperbolehkan sayan tempat ibadah lintas agama. Hal ini

dikarenakan masyarakat petani beranggapan menjadi bagian dari keseluruhan masyarakat,

sedangkan non petani relatif individualisme kelompok karena orientasi mereka pada kegiatan

ekonomi bukan pada kegiatan sosial.

E. Simpulan104

Warga Desa Resapombo biasa melakukan sayan yang memiliki tiga bentuk yaitu

sayan rumah, sayan fasilitas umum dan sayan tempat ibadah. Ketiganya sering dilakukan

sebagai bentuk kearifan lokal yang masih dijaga sampai saat ini. Sayan tidak hanya dilakukan

oleh salah satu agama saja. Warisan budaya ini menjadi milik bersama yang dianggap sebagai

sarana untuk meminimalisasi perbedaan agama. Ketika melaksanakan sayan tidak ada identitas

agama yang dibawa. Semua melaksanakan dengan sukarela karena semua datang dari

partisipasi pribadi masing-masing. Namun sayan tempat ibadah saat ini menjadi pertentangan

karena salah satu tokoh agama tidak menghendaki adanya sayan tempat ibadah, mengingat

tempat ibadah adalah urusan pribadi masing-masing agama sehingga tidak bisa

dicampuradukkan dengan kegiatan sosial. Hanya saja tokoh lain tidak sependapat dengan ini,

masih ada tokoh yang berpendapat bahwa sayan tempat ibadah masih boleh dilaksanakan lintas

agama.

DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.

(Penerjemah: Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto). Depok: Komunitas Bambu

Pasya, Gurniwan Kamil. 2000. Gotong Royong dalam Kehidupan Masyarakat. PDF. Universitas

Pendidikan Indonesia

Pranowo, M. Bambang. 2009. Memahami Islam Jawa. Tangerang: Pustaka Alvabet dan

Indonesian Institute for Society Empowermrnt (INSEP)

Rahardjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press

Setyawan, Katon Galih. 2014. Kerukunan Antarumat Beragama: Studi tentang Peran Kearifan

Lokal dalam Mengelola Kerukunan Antarumat Beragama di Desa Resapombo,

Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga. Tesis

Tidak Diterbitkan

DAKWAH TRANSFORMATIF BERBASIS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

[email protected]

Prodi PPKn STKIP PGRI Sumenep

ABSTRAK105

Trend media sosial yang terjadi hari ini menunjukkan bahwa viral media sosial telah menjadi trans-ideologi yang cukup efektif, baik sebagai perekat berbangsa dan bernegara maupun media propaganda dan pecah belah. Arus kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi berkembang begitu pesat menghapus demarkasi batas geografis antar negara. Arus informasi ini berpengaruh besar pada gaya hidup gaya hidup seseorang dan mengubahnya menjadi “tranding” dan “branding” kekayaan Indonesia berupa bangsa yang multikultur-kemajmukan. Indikasi ketergantungan pada media informasi, atau yang saat ini lebih dikenal dengan social-media, menjadikan seseorang lebih mudah menerima informasi apapun, tidak terkecuali informasi yang bersifat fitnah dan propaganda yang memecah belah. selama ini berbeda paham kebangsaan dan keagamaan, Sebagai bangsa dengan keragaman kultur buuh bekal keilmuan yang bisa menempatkan semua paradigma sesuai dengan wilayah kajiannya sehingga ketika dikaji secara komperhensip tidak dengan cara parsial, dan adanya klaim fanatisme dengan mengklaim dirinya atau kelompoknya paling benar dan yang lain dianggap salah atau tidak sah, padahal perbedaan selama bukan pada suatu perpecahan yang berujung saling menjatuhkan, intinya perbedaan tidak dilarang yang dilarang adalah perpecahan, sebab dalam suatu perbedaan didalamnya terselip sebuah kekuatan. Pendeakatan pendidikan multikultur dapat diaktualisasikan dengan pemahaman berupa nilai-nilai keberagaman agar terintegrasi secara nasional dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat, implementasinya harus tergambar dalam kehidupan sosial ekonomi, poltik dan budaya pada seluruh aspek kehidupan bangsa dalam penyelenggaraan negara agar pembangunan bangsa ini bejalan dengan dinamis dan sinergis.’

Keyword: Dakwah Transformatif, Pendidikan Multkultural

A. Konsep empowering society dakwah TransformatifSecara etimologi kata “Dakwah” berasal dari bahasa arab yaitu: yang berarti menyeru,

memanggil, mengajak, mengundang. Secara terminologi, dakwah menurut Asmuni Syukir

sebagai berikut: Pengertian dakwah dapat diartikan dari dua segi yaitu dakwah bersifat

pembinaan dan dakwah bersifat pengembangan. Pembinaan artinya suatu kegiatan

mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan

pengembangan yaitu suatu kegiatan yang mengarah kepada pembaharuan atau mengadakan

sesuatu yang belum ada.

Dunia dakwah hari ini harus di poles dengan Brand dan trand media sosial,

karena setiap hari kita menerima berbagai macam broadcast yang berisi pencerahan

dan dakwah, sekalipun tidak jarang juga menerima postingan yang tidak penting dan

menyulut perpecahan dalam kondisi kemajmukan bangsa Indonesia dengan seperti

inforamsi hoax dan berbagai ujaran kebencian. Dakwah merupakan suatu

rangkainan kegiatan atau proses, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.

Dakwah dimaksudkan untuk pemberi arah atau pedoman bagi gerak langkah

kegiatan saling mengingatkan dalam kebenaran dan kebaikan, sebab tanpa tujuan

yang jelas seluruh aktivitas dakwah akan sia-sia (tiada artinya). Apalagi ditinjau dari

106

segi pendekatan sistem (system approach), tujuan dakwah merupakan salah satu

dengan yang lain saling membantu, melengkapi dan mempengaruhi, berhubungan

(sama pentingnya).

Menyikapi maraknya media sosial butuh diimbangi dengan ijtihad dakwah

viral-global, maka jauh semua ini terjadi dalam al-Qur’an sudah termaktub tiga

metode dakwah. Pertama, bil hikmah yaitu dengan cara yang bijaksana, kooperatif,

egalitarianisme; tidak dilakukan dengan kekerasan (al-qaswah wa al-syiddah). Hal ini

bertujuan agar pesan yang ingin kita sampaikan mudah diterima dengan penciptaan

kesan yang baik (Ali As-Shabuni, Shofwatut Tafasir: 137). Arti hikmah sendiri adalah

pemaduan antara ilmu dan amal atau dengan bahasa lain, internalisasi teori ke

dalam hal praksis (al-tadfiq bain al-ilmi wa al-amal). Seorang da’i harus menguasi

ilmu agama yang rasikh (mendalam), memiliki pengetahuan yang luas tentang

kondisi geo-politis dan psikologis masyarakat, sehingga materi dakwah yang

disampaikan dapat diterimadan cerna dengan baik. Misalnya bagaimana Nabi

Muhammad ketika berdakwah secara keseluruhan dilakukan dengan cara hikmah.

Cara dakwah Nabi dengan selalu memberi contoh terlebih dahulu sebelum menyuruh

orang lain melakukannya. Problem kita hari ini adalah krisis keteladanan dan dakwah

hampir kehilangan “ruh” nya. Dakwah lebih bersifat seremonial dan entertain saja,

apalagi sejak “otoritas” ahli agama dalam bidang dakwah, diambil alih oleh para da’i

instan dan selebritis yang baru tanpa dietahui kapasitas dan kapbilitas keilmuannya.

Ironisnya, masyarakat kita yang “kagetan” begitu mudah menerima dan mengelu-

elukanya sebagai idola, sementara para ulama yang memiliki basis keilmuan dan

akhlaq yang baik, mulai ‘ditinggalkan”. Hal ini pandangan penulis karena kalah dalam

memberikan media yang cukup dalam membranding dai tersebut. Sehingga secara

market akan tertinggal, karena minimnya media yang menfasilitasi.

Kedua, bil mauidhotil hasanah, yaitu peringatan atau pembelajaran yang baik

kepada masyarakat. Metode ini lebih banyak digunakan di era sekarang ini baik dari

ceramah panggung ke panggung, motivasi, dan forum-forum pendidikan lainnya,

sampai menggunakan media yang menjadi trend saat ini yaitu sosial media

(sosmed). Setiap hari kita selalu menerima berbagai amacam broadcast yang berisi

pencerahan dan dakwah dengan berbagai cara dan upaya, sekalipun tidak jarang

juga menerima postingan yang tidak penting dan menyulut perpecahan. Hal ini patut

disyukuri, karena dengan kemajuan teknologi informasi, memudahkan kita

mendapatkan informasi yang kita butuhkan. Tapi di sisi lain kita harus berhati-hati, 107

karena informasi ini menjadi isu globalisme yang dijadikan media penetrasi ideologi

tertentu sebagai bentuk neo-imprealisme. Informasi yang diterima sepihak, begitu

ampuh memecah belah persatuan dan kesatuan yang susah payah dibangun oleh

pendiri bangsa ini. Bahkan secara tidak sadar kita membantu orang-orang yang ingin

memprovokasi dan mengadu domba kekuatan kita sendiri yang sering terjadi tanpa

kita sadari.

Ketiga, bil mujadalah (dialogis). Metode dialogis meniscayakan adanya

kesetaraan, egalitarianisme sehingga dialog itu bisa terjadi dan menemukan solusi

terbaik melalui munadhoroh yaitu argumentasi yang rasional dan meyakinkan.

Mujadalah juga berfungsi tabayyun (klarifikasi) dari masalah yang dihadapi, karena

menurut KH Hazim Muzadi masalah itu bisa terjadi karena salah paham atau

pahamnya yang salah. Salah paham bisa diselesaikan dengan jalan tabayyun

sedangkan paham yang salah, kebanyakan diselesaikan dengan jalan mujadalah

(dialogis). Melihat fenomena bangsa kita hari ini, tabayyun dan mujadalah selalu

ditempatkan pada ruang hampa yang tidak melahirkan maslahah. Persoalan

disintegrasi bangsa, rapuhnya sendi berbangsa dan bernegara seringkali tidak ada

tabayyun baik secara kostitusional, maupun tabayyun keagamaan, sehingga

konstitusi melahirkan praktek ketidakadilan, dan agama menampakkan wujudnya

yang tidak lagi ramah yang sejatinya menjadi nilai universal rahmatan lil alamin. Gus

Dur menawarkan solusi yang sangat mendasar bagi persoalan kebangsaan yang

tengah dihadapi dengan cara dialogis (mujadalah), karena dengan dialog semuanya

akan menemukan titik terang. Dan inilah yang dilakuan Gus Dur dalam

menyelesaikan masalah bangsa, seperti krisis ekonomi, disintegrasi, dan anti-

pluralisme, intoleran pada berbagai hal yang tidak sejalan dengan syahwat

pemahamannya yang destruktif-ekslusif.

Transformasi dakwah bukan hanya soal pemilihan metode dan media yang

akan digunakan, tapi orientasi gerakan dakwah memasuki spectrum baru yang

menjadikan seorang da’i (harus) memiliki branding tersendiri untuk bisa

mengartikulasikan pesan ilahi (dakwah) dalam kehidupan yang begitu cepat dan

“hidonis” agar mudah diterima. Walisongo melakukan dakwah mengajak penganut

kapitayan atau paganis dengan menjadikan wayang kulit sebagai branding. Agus

Sunyoto (2012) menyebutkan sinkretisme Islam-Hinduisme, pada akhirnya

menemukan titik temu dan menjadi geneologi Islam Nusantara seperti yang menjadi

branding Nahdliyyin saat ini. 108

Substansi gerakan dakwah sendiri bertujuan pemberdayaan masyarakat

(empowering society), baik dalam wilayah agama, sosial-ekonomi dan budaya. Arti

kata dakwah sendiri adalah mengajak orang lain menuju kebaikan (jalan Allah) yang

bermanifestasi dalam bentuk amar ma;ruf (memerintah kebaikan) dan nahi mungkar

(mencegah kemungkaran). Kata “ma’ruf” sendiri berasal dari asal kata “urf” yaitu

kebiasaan atau hal yang secara kebiasaan dianggap baik yang dalam teori filsafat

disebut dengan kebenaran konsitensi, sedangkan “mungkar” adalah sesuatu yang

secara umum dingkari. Hal ini bersesuaian dengan apa yang dikemukakan Abid Al-

jabiri dalam al-aql al-akhlaqi al-‘araby bahwa sebagian besar masalah etika-agama,

menempatkan posisi “urf” inhern sebagai unsur etika itu sendiri. Hal ini juga

berkesesuaian dengan pemikiran Immanuel Kant tentang etika yang tidak berdiri

sendiri. Etika menurutnya tidak semata timbul tentang konsepsi nilai baik (legalitas),

tapi implementasi dialektif kebaikan itu sendiri yang menjadi dasar pijakannya

(moralitas). Oleh karena itu, unsur lokalitas dan partikularitas menjadi bagian yang

tidak dipisahkan dalam melihat sesuatu yang dalam ukuran norma kemasyarakatan

dipandang “urf” (baik) atau tidak23.

B. Pendekatan Bebasis Pendidikan Multikultural

Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum,

biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan pendekatan (approaches)

yang beragam. Adapun pendekatan yang dapat digunakan dalam pendidikan

multikultural adalah sebagai berikut:24

1. Pendekatan Kontribusi

Dalam penerapan pendekatan ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam

memahami dan mengapresiasi kultur lain. Pendekatan ini antara lain dengan

menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama.

Mengapresiasikan even-even bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat

dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa melibatkan pembelajar didalam pelajaran

atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga

diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau

signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.

23 M. Khalqi Kr, 2016. Dakwah Transformatif berwawasan Kebangsaan. Makalah Diskusi. Hal 1-224 Banks, J.A. An Introduction to Multicultural Education (2nd ed.). (Boston: Allyn and Bacon. 1999)

109

Namun pendekatan ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual

dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada

wilayah subjek inti.

2. Pendekatan PengayaanMateri pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam

kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Pendekatan ini memperkaya kurikulum

dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya.

Penerapan pendekatan ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai

atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi

pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-

lain.

Pendekatan ini juga menghadapi problem sama halnya pendekatan kontributif,

yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang

mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang

dominan.

3. Pendekatan TransformatifPendekatan ini secara fundamental berbeda dengan dua pendekatan

sebelumnya. Pendekatan ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari

sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Pendekatan ini memerlukan

pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan

yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.

Pendekatan ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan

pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan

agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau

kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat.

Pendekatan ini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip

kebhinekaan sebagai premis dasarnya.

4. Pendekatan Pembuatan Keputusan dan Aksi SosialPendekatan ini mengintegrasikan pendekatan transformasi dengan aktivitas nyata

dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial.

Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga

melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.

Pendekatan ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan

memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan

dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk

mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk

110

memberdayakan mereka dan membantu mereka mendapatkan sense kesadaran dan

kemujaraban berpolitik.

C. Paradigma Pendidikan MultikulturalSebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi

gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip

mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan

adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena

itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam

pelbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu

melalui pendidikan yang berwawasan multikultural. Pendidikan dengan wawasan

mutlikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu

rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai

pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup,

pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu,

kelompok maupun negara25.

Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang lebih toleran, yaitu paradigma

pendidikan multikultural. Pendidikan berparadigma multikulturalisme tersebut penting, sebab

akan mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif

terhadap realitas masyarakat yang beragam, baik dalam hal budaya, suku, ras, etnis

maupun agama. Karena ada Perbedaan-perbedaan pada diri anak didik yang harus diakui

dalam pendidikan multikultural, antara lain mencakup penduduk minoritas etnis dan ras,

kelompok pemeluk agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi ekonomi,

daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain26.

Melalui pendidikan multikultural ini anak didik diberi kesempatan dan pilihan untuk

mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai, gaya

hidup, atau bahasa.

Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada yaitu,

pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang didalamnya

melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah

menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang

diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada.

Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antar

keragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity

25 James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001), hlm. 28.

26 Baker G.C.. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). (California: Addison-Elsey Publishing Company 1994), hlm. 11

111

pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap element yang

beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal

yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi element

pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur

yang berkeadilan27.

Karena orientasi dalam pendidikan yang harus dibangun dan diperhatikan antara lain

meliputi: Pertama, Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah

nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat

universal, global, diatas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.

Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme merupakan

sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan

yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya

kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dan

unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang

masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta

negara.

Ketiga, Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan atau welvarisme merupakan suatu

kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama mi hanya dijadikan

sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan

orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi hams dibuktikan dengan

prilaku menuju path terciptanya kesejahteraan masyarakat.

Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai yang

dipandang dan aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang,

tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.

Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas

mempakan sebuah kenyataan yang tithk mungkin ditinths secara fasis dengan memunculkan

sikap fanatisme terhathp sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.

Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi

hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua

istilah tersebut tithk pernah digunakan atau bahkan dihinthri jauh-jauh oleh para pengikut

paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang

politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat28.

Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri:29

1) Tujuannya membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya.

27 James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, hlm. 3-24

28 Dawam, Ainurrofiq. Emoh Sekolah, (Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press, 2003), hlm. 18-2629 H.A.R Tilaar.. Kekuatan dan Pendidikan. (Jakarta: Grasindo 2004). hlm 59

112

2) Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai- nilai

kelompok etnis (kultural).

3) Metodenya demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman

budaya bangsa dan kelompok etnis.

4) Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi

persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.

Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip

solidaritas. Yakni, kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi

pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut agar

masyarakat melupakan upaya-upaya penguatan identitas, melainkan menuntut agar

berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural

yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan

segera terwujud.

Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan

bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di

berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah

dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan

aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana para

pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-

nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah

pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.

Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang

kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat

pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju

kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural

bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif

dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi

budaya individual.

Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk

mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan

untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya

secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan

dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam

mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa

konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat30. Pendidikan

multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam

30 Savage, T.V.,& Armstrong, D.G.. Effective Teaching in Elementary Social Studies. (Ohio: Prentice Hall, 1996)113

memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang

mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis31.

Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:

1) Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang

beraneka ragam;

2) Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan

kultural, ras, etnik, dan kelompok keagamaan;

3) Memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil

keputusan dan keterampilan sosialnya;

4) Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan

memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok32.

Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep

pendidikan untuk kebebasan33; yang bertujuan untuk:

1) Membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan

keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat;

2) Memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan

budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.

Bangsa Indonesia menyadari bahwa kemajemukan etnik atau suku, ras,

sosial, budaya dan agama merupakan kepelbagaian yang berbeda satu sama lain.

Namun, demi kepentingan bersama menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera,

kepelbagaian menjadi penguat sehingga terintegrasi secara nasional sejak Indonesia

merdeka di bawah ideologi Pancasila. Kemajemukan yang terintegrasi secara

nasional menjadi kondisi potensi nasional yang harus dapat menempatkan nilai-nilai

ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai landasan dan pedoman dalam mewujudkan

stabilitas nasional dan ketahanan nasional dengan segala aspek-aspek yang ada

didalamnya. Untuk itulah, aktualisasi pemahaman nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika

yang termaktub dalam Pancasila sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa perlu

dipahami dan dikembangkan serta diimplementasikan dalam  berinteraksi sosial,

karena nilai-nilai yang terkandung dalam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an mempunyai

fungsi sebagai motivasi dan rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,

keputusan, tindakan dan perbuatan dalam bermasyarakat dan kepemerintahan, baik

31 Farris,P.J.&Cooper,S.M. Elementary Social Studies: a Whole language Approach. (Iowa: Brown&Benchmark Publishers, 1994)

32 Skeel, D.J.. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrow”s World. (New York: Harcourt Brace College Publishers, 1995)

33 Dickerson, S.(1993). The blind men (and women) and the elephant. A case for acomprehensive multicultural program at Cambridge Rindge and Latin School. In T. A.Perry & J. W. Fraser (Eds.), Freedom's plow. Teaching in the multicultural classroom(pp. 65-89).( New York: Rout ledge.)

114

di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu,

berfungsi juga untuk mewujudkan nasionalisme yang tinggi disegala aspek

kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional dari

pada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah dengan

tetap menghormati kepentingan lain selama tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional.

D. Penutup

Dakwah dalam pemahaman kaum moderat (aswaja) sudah jelas sebagai pembela NKRI

dan paham Islam Aswaja yang tasamuh (toleran), tawassuth (selalu mencari jalan

tengah/solusi terbaik), tawazun (keseimbangan/ketelitian dalam mempertimbangkan

mafsadah dan maslahah) dan i’tidal (bersikap lurus/istiqomah). Pemberdayaan

masyarakat selalu memperhatikan keempat aspek tersebut, sehingga aspek bil hikmah

selelau dikedepankan. Tidak mungkin hikmah dapat dicapai tanpa adanya sikap

toleransi, selalu mencari jalan tengah (solusi) terbaik, selalu mempertimbangkan

mafsadah dan maslahah dan bersikap lurus dalam melakukan amar ma’ruf nahi

mungkar sebagai basis penguatan dan pemberdayaan masyarakat.

Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus dijadikan arahan, pedoman,

acuan dan tuntunan bagi setiap individu dalam bertindak dan membangun serta

memelihara tuntutan bangsa yang terintegrasi secara nasional demi keutuhan NKRI

yang dikenal dengan masyarakat multikultural. Karena itu, implementasi atau penerapan

nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus tercermin pada pola pikir, pola sikap dan

pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan NKRI daripada

kepentingan pribadi atau kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Baker G.C.. 1994. Planning dan Organizing for Multicultural Instruction. (2nd). (California: Addison-Elsey Publishing Company.

Banks, J.A. 1999. An Introduction to Multicultural Education (2nd ed.) Boston: Allyn and Bacon.

Dawam, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah, Yogyakarta: Inspealahimas Karya Press.

115

Dickerson, S., 1993. The blind men (and women) and the elephant. A case for acomprehensive multicultural program at Cambridge Rindge and Latin School. In T. A.Perry & J. W. Fraser (Eds.), Freedom's plow. Teaching in the multicultural classroom(pp. 65-89). New York: Rout ledge.

Farris,P.J.&Cooper,S.M. 1994. Elementary Social Studies: a Whole language Approach. (Iowa: Brown&Benchmark Publishers.

H.A.R Tilaar.. 2004. Kekuatan dan Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

James A. Banks. tt.“Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee.

James A.Bank dan Cherry A. McGee (ed). 2001. Handbook of Research on Multicultural Education (San Francisco: Jossey-Bass.\

Savage, T.V.,& Armstrong, D.G.. 1996. Effective Teaching in Elementary Social Studies. (Ohio: Prentice Hall.

Skeel, D.J..1995. Elementary Social Studies: Challenge for Tomarrow”s World. New York: Harcourt Brace College Publishers.

M. Khalqi Kr, 2016. Dakwah Transformatif berwawasan Kebangsaan. Makalah Diskusi.

GURU KREATIF, INOVATIF, DAN INSPIRATIF UNTUK MENCIPTAKAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN

Nur HamidahSMP Negeri 1 Cerme Gresik

Email. [email protected]

ABSTRAK

Guru profesional dituntut menguasai berbagai kompetensi mulai kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, maupun kompetensi kepribadian. Seiring dengan perkembangan zaman guru pun harus menjadi agen perubahan. Kenyataan yang ada masih banyak guru yang masih memegang teguh gaya konvensional. Hal yang sangat tidak sesuai dengan transformasi pendidikan di Indonesia dari waktu ke waktu. Guru tidak hanya harus mampu mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga mengajarkan nila-nilai yang ditunjukkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari. Peran guru sangat besar sebagai teladan bagi peserta didik. Guru harus bisa digugu dan di tiru. Pepatah jawa tersebut sangatlah tepat untuk menggambarkan unsur keteladanan yang harus dimiliki oleh seorang guru. Banyak sekali yang harus dilakukan oleh guru untuk menjadi warga negara transformatif. Guru dikatakan sebagai agen perubahan, peran guru sangatlah besar untuk mencapai tujuan pendidikan di negeri ini. Guru adalah garda terdepan dalam mengemban tujuan pendidikan di Indonesia. Faktor utama yang menentukan baik buruknya layanan pendidikan adalah baik buruknya guru. Pengabdian guru dengan totalitas yang tinggi, dalam arti sarat dengan integritas dan antusiasme yang baik, cenderung akan menghasilkan kualitas pembelajaran yang diharapkan. Sebaliknya, lemahnya komitmen dan kesungguhan guru sebagai insan pembelajar, yang berakibat menurunnya layanan terhadap peserta didik, merupakan awal mula melemahnya layanan pendidikan. Peningkatan kualitas guru memang membutuhkan waktu dan proses. Setidaknya guru harus punya kemauan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Misalnya guru harus

116

mau mengikuti pelatihan dan pengembangan diri secara mandiri, tanpa harus menunggu perintah atasan atau difasilitasi oleh pemerintah. Guru selalu dituntut untuk kreatif, inovatif dan inspiratif.

Keywords : Guru Profesional, kreatif, inovatif, dan inspiratif

PENDAHULUANDalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, pasal 1 ayat

(1) disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada jalur

pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jadi guru profesional akan

mencerminkan penampilan dalam pelaksanaan pengabdiannya yang dibekali dengan keahlian

dalam materi maupun metode pembelajaran yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan

dan pelatihan khusus.

Tuntutan terhadap idealisme seorang guru menimbulkan banyak pendapat tentang guru

profesional. Guru profesional selalu dikaitkan dengan berbagai kompetensi yang harus dimiliki

oleh seorang guru. Mulai dari kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial,

maupun kompetensi kepribadian. Tak lepas dari empat kompetensi tersebut Jamil menjelaskan

tentang ciri-ciri guru profesional antara lain, 1) guru mempunyai komitmen pada siswa dan

proses belajarnya. 2) guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang

diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada siswa. 3) guru bertanggung jawab memantau

hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku

siswa sampai tes hasil belajar. 4) guru mampu berfikir secara sistematis tentang apa yang

dilakukannya, dan belajardari pengalamannya. 5) guru seyogyanya merupakan bagian dari

masyarakat pembelajar dalam lingkungan profesinya. (2013: 74)

Nampak jelas bahwa pemerintah menaruh harapan besar terhadap sosok guru dalam

mencapai tujuan pendidikan nasional. Namun tuntutan menjadi guru profesional dirasa masih

jauh dari harapan. Kenyataan di lapangan masih terlampau jauh dari harapan. Nilai UKG yang

rendah, proses pembelajaran tidak menyenangkan, guru melakukan tindak kekerasan, kualitas

kejujuran yang masih jauh dari harapan merupakan beberapa hal yang masih mewarnai potret

guru di Indonesia. Kenyataan lain yang sangat berdampak bagi peserta didik adalah

menghadapi guru yang masih belum bisa mengikuti perkembangan dan transformasi

pendidikan. Guru masih mengajar dengan pola-pola yang konvensional. Saat ini masih banyak

dijumpai guru yang hanya datang ke sekolah, masuk kelas, menjelaskan materi, memberi tugas

pada siswa sampai kegiatan berakhir. Di era digital seperti sekarang masih jarang dijupai guru

yang kreatif, inovatif, apalagi mengisnpirasi peserta didik dalam proses pembelajaran.

Dalam memenuhi transformasi pendidikan seharusnya guru juga harus menjadi agen

transformasi itu sendiri. Idealnya seorang guru harus mampu menciptakan perubahan dalam

proses pembelajaran dari pembelajaran konvensional yang hanya berpusat pada guru. Menuju

117

ke pembelajajan modern yang berpusat pada peserta didik. Terutama di era transformasi ilmu

pengetahuan dan teknologi sekarang ini, seorang guru harus bisa lebih kreatif dan inovatif yang

mampu menginspirasi peserta didik. Oleh karena itu perlu diadakan pembahasan tentang

langkah-langkah menjadi guru yang kreatif, inovatif, dan inspiratif untuk menciptakan

transformasi pendidikan di era digital. Tujuannya adalah memberi gambaran yang nyata kepada

semua guru di Indonesia tentang cara-cara menjadi guru yang profesional sesuai dengan

tuntutan kompetensinya. Ke depan diharapkan guru-guru di Indonesia dapat menjadi agen

perubahan yang lebih kreatif, inovatif dan menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan metode library reseach dengan jenis penelitian kualitatif.

Peneliti melaksanakan kajian pustaka dari berbagai sumber selama satu bulan mulai tanggal 25

Juni sampai dengan 25 Jui 2017. Peneliti mengumpulkan data-data dari sumber literatur berupa

buku sumber dan data-data riil dari berbagai pihak. Teknik analisa data yang digunakan adalah

teknik analisa kualitatif dengan cara mengambil kesimpulan dari data-data yang telah

didapatkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Ukim Komarudin guru profesional harus memiliki enam elemen.

Pertama, value, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai yang diyakininya dan terintegrasi

dalam ucpan serta perilaku. Kedua, etthic, yaitu guru yang telah mengikat diri dalam

suatu lembaga selalu siap mengikuti aturan yang berlaku dalam lembaga tersebut.

Ketiga, attitude, yaitu menunjukkan sikap yang menyejukkan ketika bergaul dengan

sesama individu dalam komunitasnya. Keempat, habit, yaitu memiliki kebiasaan yang

positif untuk terus tumbuh, berkembang dan menjadi ahli di bidang yang digeluti.

Kelima, knowledge, yaitu menguasai pengetahuan yang terkait tanggung jawab

profesinya. Keenam, skill, yaitu mempunyai keterampilan yang mumpuni dalam

menyelesaikan segala permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya (2015:78).

Banyak hal yang harus dikuasaioleh seorang guru. Guru tidak hanya harus

mampu mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga mengajarkan nila-nilai yang

ditunjukkan dalam sikap dan perilakunya sehari-hari. Peran guru sangat besar sebagai

teladan bagi peserta didik. Guru harus bisa digugu dan di tiru pepatah jawa tersebut

sangatlah tepat untuk menggambarkan unsur keteladanan yang harus dimiliki oleh

seorang guru. Guru sebagai bagian dari masyarakat juga harus menunjukkan perilaku

118

yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku sebagai wujud dari kompetensi siosial

seorang guru.

Uraian tersebut menggambarkan bahwa untuk menjadi guru profesional

bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi di era transformasi pendidikan seperti

sekarang. Di era yang serba digital ini seorang guru dituntut harus menguasai beberapa

kompetensi atau kemampuan dalam menjalankan tugasnya.

Menurut Houle dalam (Jamil, 2013) secara akademik agar menjadi guru

profesional harus memiliki karakteristik antara lain, 1) harus memiliki landasan

pengetahuan yang kuat, 2) harus berdasarkan kompetensi individual, 3) memiliki sistem

seleksi dan sertifikasi, 4) ada kerjasama dan kompetisi yang sehat antara sejawat,

5)adanya kesadaran profesional yang tinggi, 6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik),

7) memiliki sanksi profesi, 8) adanya ilitansi individual, dan 9) memiliki organisasi

profesi. Pemerintah harus turut memikirkan upaya untuk mencetak guru-guru yang

profesional

Saat ini upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan dilakukan

dengan berbagai cara. Pemerintah mulai melakukan pembenahan dengan menaikkan

alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Perbaikan sarana dan prasarana pendidikan terus ditingkatkan. Tak

kalah penting adalah peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana

pendidikan yaitu guru. Melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang

diselenggarakan untuk mengembangkan kualitas guru di Indonesia.

Program-program tersebut tentunya tidak bisa langsung terserap oleh seluruh

guru di Indonesia. Jumlah guru yang begitu banyak sangat mempengaruhi penuntasan

program tersebut. Data jumlah guru di Indonesia sampai akhir 2014 adalah sebagai

berikut :

TABEL 1JUMLAH GURU DI INDONESAIA

119

Data tersebut menunjukkan jumlah keseluruhan guru yang tersebar di seluruh

wilayah Indonesia. Kualifikasi pendidikan guru di Indonesia sampai saat ini yaitu 40

persen guru bergelar S-1, berarti sisanya yang 60 persen di bawah S-1. Semua guru

tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab tersebut tidak

terbatas pada segi kesejahteraan guru saja melainkan juga pada peningkatan mutu dan

kualitas guru di Indonesia. Secara bertahap pemerintah telah memikirkan nasib guru di

Indonesia. Hanya saja yang masih perlu mendapat sentuhan pemerintah adalah nasib

guru tidak tetap yang jumlahnya masih banyak tersebar di berbagai daerah.

Transformasi pendidikan menuntut banyak sekali perubahan dalam dunia

pendidikan. Guru sekarang dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan

pembelajaran. Guru kreatif adalah guru yang mampu menggunakan berbagai metode,

media, model maupun pendekatan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Umumnya

guru kreatif selalu peka terhadap kebutuhan peserta didik. Guru kreatif akan selalu

mengembangkan desain pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik. Guru

kreatif tidak akan menyampaikan materi pembelajaran saja, tanpa memikirkan materi

tersebut bisa terserap atau tidak oleh peserta didik. Suasana pembelajaran yang

dilakukan bersama guru yang kreatif akan terasa menyenangkan dan jauh dari unsur

membosankan.

Sesuai dengan yang dikatakan Mulyana bahwa guru kreatif akan menciptakan

susana belajar mengajar yang kreatif dan menyenangkan sehingga tidak membuat

peserta didiknya bosan. Di tangan guru-guru kreatif inilah seharusnya peserta didik

120

mendapat pendidikan. Model, gaya, dan karakter guru kreatif inilah yang membedakan

dengan guru lainnya. (2010: 134)

Guru kreatif selalu mampu menciptakan hal-hal yang berbeda dalam proses

pembelajaran. Materi pelajaran yang berbeda akan disampaikan dengan metode, media,

teknik, maupun pendekatan yang berbeda-beda pula. Guru kreatif tak akan pernah

kehabisan cara dalam menyampaikan pelajaran dengan cara yang menyenangkan.

Dalam pembelajaran CBSA guru kratif akan menggunakan berbagai cara untuk

memaksimalkan aktifitas siswa di kelas. dalam pembelajaran CBSA guru yang tidak

kreatif akan menyuruh siswa melakukan kegiatan Catat Buku Sampai Abis. Atau

pembelajaran CTL bagi guru tidak kreatif akan diterapkan sistem Catat Tinggal Lungo.

Itu ada beberapa contoh pembelajaran yang diplesetkan oleh banyak kalangan yang

disebabkan atas keprihatinan terhadap kondisi guru yang tidak memiliki kreatifitas.

Selain itu menurut Munandar dalam Mulyana (2010), ketika menerapkan cara

belajar kreatif, guru harus mengingat falsafah sebagai berikut :

1. Belajar haruslah menyenangkan

2. Anak adalah pribadi yang unik, yang harus dihargai dan disayangi

3. Anak haruslah terlibat secara aktif dalam aktivitas belajar

4. Anak perlu rasa nyaman, tanpa tekanan dan ketegangan

5. Anak harus punya rasa kebanggaan dan punya rasa memiliki

6. Anak harus merasa nyaman dengan guru

7. Guru harus kompeten

8. Anak harus punya kebebasan mendiskusikan masalah secara terbuka dengan

semua orang

9. Perlu menumbuhkan kerja sama lebih dari sekedar berkompetisi

10. Pengalaman belajar hendaknya dekat dengan pengalaman nyata.

Untuk menjadi guru kreatif harusnya semua guru bisa menerapkan semua

falsafah tersebut. Namun sedikit sekali guru yang bisa dibilang kreatif. Inti dari semua

proses pembelajaran adalah menggunakan berbagai cara supaya proses belajar

mengajar (PBM) terasa menyenangkan. Menurut Muhammad Asrori (2009) Salah satu

kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar subyek didik merasa aman secara

psikologis sehingga mampu mengembangkan aspek kognitifnya adalah dengan model

pembelajaran yang aktif dimana guru guru menciptakan lingkungan belajar sedemikian

rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada subyek didik untuk

berinteraksi edukatif.121

Hampir semua guru-guru di Indonesia telah memiliki sertifikat pendidik. Mereka

semua bisa dikatakan memiliki kompetensi yang cukup bagus sebagai seorang pendidik.

Berikut adalah data guru di Indonesia yang telah memiliki sertifikat pendidik :

Tabel 2Data jumlah guru di Indonesia yang sudah bersertifikat pendidik

Sumber : https://data.go.id

Meski demikian, kenyataan yang terjadi masih banyak guru-guru yang tidak

menunjukkan profesionalismenya. Proses pembelajaran yang dilakukan masih mewarisi

cara belajar di era 1980 an. Pada masa serba digital seperti sekarang masih dijumpai

guru yang mengajar dengan memnyuruh siswa menyalin catatan di papan tulis. Setiap

hari siswa hanya diberi ceramah selanjutnya disuruh mengerjakan soal-soal. Bahkan hal

itu sudah menjadi rutinitas guru sehari-hari. Sementara di era yang serba canggih

sekarang ini langkah siswa sudah lebih jauh dari sang guru.

Tanpa disuruh siswa sudah bisa mencari berbagai informasi lewat internet. Jika

siswa sudah bisa berkembang jauh apalah gunanya menyalin catatan dari papan tulis.

Bukankah waktu yang digunakan untuk menyalin catatan bisa digunakan untuk kegiatan

lain yang lebih menyenangkan. Misalnya berdiskusi, menganalisi kejadian atau

fenomena yang ada hubungannya dengan konsep materi yang diajarkan. Selain itu guru

bisa memanfaatkan waktu untuk belajar di luar kelas melakukan pengamatan terhadap

berbagai hal. Bukannya mengurung siswa di kelas dengan catatan-catatan yang bisa

dicopy atau bahkan sudah ada dalam buku panduan.

Dalam kondisi tertentu metode ceramah masih dibutuhkan. Namun guru

sekarang hampir setiap hari melakukan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Siswa

hanya bertindak sebagai pendengar pasif yang selalu membayangkan hal-hal yang

disampaikan oleh guru sehingga segala yang diterima masih bersifat abstrak. Jarang

122

sekali guru yang mendesain pembelajaran kontekstual memperlihatkan kondisi nyata

tentang apa yang dipelajari oleh siswa. Pembelajaran kontekstual tidak selalu harus

dilakukan di dalam kelas. Melainkan menggunakan media yang menunjang

pembelajaran supaya lebih kontekstual.

Guru harus merubah konsep berfikir sejalan dengan perubahan paradigma

dalam hal pembelajaran. Sudah waktunya guru meninggalkan gaya mengajar dengan

model konvensional dan beralih ke paradigma baru yaitu gaya mengajar yang

kontekstual. Guru harus bisa berubah dari yang biasa menjadi luar biasa, dari yang

primitif menjadi kreatif. Untuk menjadi guru yang kreatif guru harus memiliki sifat inovatif,

muda bergaul, mampu membaca karakteristik peserta didik, peduli pada peserta didik,

cekatan serta banyak akal.

Disamping kreatif guru juga harus lebih inovatif dan inspiratif dalam

pembelajaran. Menurut Damayanti, seorang guru inspiratif dan inovatif menunjukkan

karakteristik sebagai berikut :

1. Menetapkan standar yang tinggi dengan mengajarkan cara mencapainya

2. Hari pertama menjanjikan kepada siswa bahwa mereka akan belajar bersama

3. Suasana kasih sayang dan kepedulian yang murni, ketika ia berjanji kepada siswa-

siswanya bahwa kalian akan berhasil

4. Kalian akan membantu saya untuk menolong diri kalian sendiri

5. Jika kalian tidak memberikan apapun, jangan mengharap apapun

6. Kesuksesan tidak akan menghampiri kalian, tetapi kalianlah yang harus datang

menghampirinya

7. Kesenangan terhadap proses pembelajaran yang luar biasa

8. Jika para siswa tidak bermain sesuai irama, itu karena mereka belum mempelajari

caranya

9. Bakat adalah kualitas yang dapat diperoleh

10. Menciptakan suasana asuh, penuh kepercayaan dan tidak menghakimi

11. Sangat ketat, disiplin, dan penuh kasih sayang

12. Berprinsip dengan tantangan dan asuhan

13. Mengajarisiswa untuk mencapai standart yang tinggi dengan kerja keras

14. Mencintai pembelajaran bukan pengajaran

15. Mengungkapkan kekurangan siswa kemudian memberi mereka cara untuk

mengurangi kekurangan tersebut

16. Mengajarkan kemandirian kepada siswa123

17. Memberikan pemahaman bahwa sekolah adalah untuk kepentingan siswa

18. Terus menerus belajar bersama siswa dan membiarkan siswa untuk tahu terlebih

dahulu tentang sesuatu

19. Lebih cenderung memberikan motivasi daripada mengkritik siswa

20. Menggunakan berbagai strategi dan metode pembelajaran dalam pembelajarannya.

Secara rinci terurai beberapa hal yang biasa dilakukan oleh guru inspiratif dan

inovatif mulai dari hal yang paling sederhana untuk dilakukan. Hal-hal kecil sangat

diperhatikan bagi guru inovatif untuk membangkitkan minat dan motivasi siswa. Guru

inovatif akan selalu memikirkan kepentingan siswanya, memikirkan apa yang menjadi

kesulitan siswa yang harus dipecahkan melalui cara-cara yang inovatif.

Penting sekali untuk diperhatikan bahwa guru harus terus berinovasi dalam

pembelajaran. Guru inovatif cenderung mampu menemukan hal-hal baru yang

digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Proses menemukan berbagai inovasi

tersebut karena kepandaian guru dalam mengenali karakteristik peserta didik

disesuaikan dengan karakteristik materi/mata pelajaran yang diajarkan. Hal tersebut

digunakan oleh guru dalam membuat inovasi pembelajaran yang akan memudahkan

setiap siswa untuk memahami pelajaran sehingga peserta didik tidak akan menemui

kesulitan belajar.

KESIMPULAN

Transformasi pendidikan menuntut banyak perubahan dalam dunia pendidikan.

Guru senantiasa berada dalam garda terdepan untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional. Transformasi pendidikan menuntut peningkatan profesionalisme guru. Guru

profesional adalah guru yang bisa memenuhi segala bentuk kompetensinya. Guru

profesional harus kreatif, inovatif, serta selalu mengispirasi berbagai pihak terutama

peserta didik.

Jika guru-guru mampu mengeksplorasikan kreatifitas dan inovasi pembelajaran

akan sangat mendukung kinerja mereka. Kreatifitas dan inovasi yang diciptakan akan

memberi kemudahan bagi guru maupun siswa dalam PBM. Apalagi jika hasil kreatifitas

dan inovasinya dapat dipublikasikan, akan sangat bermanfaat bagi orang lain. hal-hal

baru yang ditemukan oleh guru bisa dibagi pada teman sejawat. Belum lagi jika guru

turut serta dalam berbagai kegiatan lomba-lomba inovasi pembelajaran. Pemerintah

sangat memperhatikan inovasi seorang guru. Pemerintah akan memberikan reward bagi

guru yang benar-benar kreatif dalam menciptakan berbagai inovasi.124

DAFTAR PUSTAKADamayanti. 2016. Sukses Menjadi Guru Humoris dan Idola Yang Akan Dikenang Sepanjang

Masa. Jogjakarta: Araska Publisher

https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Nasional_Pendidikan. Diakses pada tanggal 6 Januari 2017

Jamil Suprihatiningrum, M.Pd. Si. 2013. Guru Profesional Pedoman Kinerja, Kualifikasi, dan Kompetensi Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Mulyana A.Z. 2010. Rahasia Menjadi Guru Hebat Motivasi Diri Menjadi Guru Luar Biasa. Jakarta: Grasindo

Satu Data Indonesia. https://data.go.id/dataset/guru-sertifikasi. Diakses tanggal 26 Agustus 2017

Ukim Komarudin. 2015. Arief Rachman GURU. Jakarta: Esensi

KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH:Upaya Untuk Menanamkan Nilai Keberagaman pada Peserta Didik

Oleh:Totok Suyanto*)

*) Staf edukatif Prodi PPKn, Jurusan PMP-KNFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM - UNESA

AbstrakPenanaman nilai keberagaman pada peserta didik menjadi suatu kebutuhan mengingat

situasi nasional serta beberapa hasil penelitian menunjukkan data bahwa bahwa masyarakat Indonesia semakin individualis, dan pada saat yang bersamaan menguatnya gejala intoleransi di masyarakat. Jika kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya, maka dalam jangka panjang kebhinekaan masyarakat Indonesia yang akan jadi taruhannya. Untuk itulah pendidikan multikultural yang bertujuan menanamkan nilai-nilai keberagaman pada peserta didik sudah saatnya dijadikan sebagai bagian integral kurikulum sekolah.

Kata kunci: pendidikan multikultural, nilai-nilai keberagaman , kurikulum sekolah

Pendahuluan

Bagi bangsa Indonesia kemajemukan adalah sebuah realitas sosial, dan bersifat menyejarah.

Dikatakan realitas sosial karena memang faktanya sejak awal bangsa Indonesia, susunan

kebangsaanya yang ditandai dengan keanekaragaman baik etnis, agama, dan budaya. Realita

tersebut setidaknya telah disadari oleh para pendiri negara yang kemudian dituliskan dalam

lambang negara yang bertuliskan bhineka tunggal ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.

125

Bersifat menyejarah karena tumbuh dan berkembangnya bangsa ini dengan segala dinamikanya

tidak dapat dilepaskan dari kedudukannya sebagai masyarakat yang bersifat multikultural.

Sejak awal bangsa Indonesia bercorak kebhinekaan. Posisi silang menjadi salah satu

penyebab berkembangnya masyarakat nusantara yang bercorak multikultural. Posisi silang tidak

hanya bermakna geopolitik, namun juga kebudayaan. Sebagaimana dikatakan Latif (2011)”..... di

tanah nusantara apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial

dan tata nilai setempat, dapat berkembang secara berkelanjutan”.

Untuk itu keterbukaan merupakan karakter bangsa Indonesia yang telah melekat kuat dan

tumbuh berabad-abad yang lalu. Kerelaan dan kesediaan bangsa Indonesia untuk menerima

beragam bangsa lain di dunia, yang dibuktikan oleh berbagai catatan sejarah sebagaimana

disebutkan dalam beragam peninggalan sejarah telah memperkuat pandangan di atas. Karenanya

proses persilangan budaya menjadi salah satu cirinya. Kedatangan berbagai agama besar dunia

baik Hindu, Budha, Islam, serta Katolik dan Kristen yang berlangsung ratusan tahun yang lalu

menjadi fakta historis adanya sifat keterbukan bangsa Indonesia. Kekayaan budaya nusantara

yang didasarkan atas keanekaragaman budaya menjadi landasan sekaligus roh bagi

berkembangnya paham kebhinekaan (multikulturalisme) di tanah air. Untuk mentransmisikan

nilai-nilai multikultural dari generasi pendahulu kepada generasi kemudian, diperlukan metode

pembelajaran sosial yang efektif sehingga mampu menjamin proses akulturasi akan berlangsung

dengan dinamis dan alamiah sesuai dengan slogan Bhineka Tunggal Ika.

Multikulturalisme

Multikulturalisme sebagai sebuah pemikiran sekaligus gerakan politik bersumber pada

filsafat pluralisme. Montesquieu, sebagai salah satu penganut pluralisme budaya menyatakan

bahwa keanekaragaman kultural adalah adalah sifat kehidupan manusia yang berkembang secara

evolutif dan mutlak (Parekh, 2008:84). Tidak ada dua masyarakat yang sama. Tiap masyarakat

memiliki adat, praktek, cara, sistem hukum, struktur kekeluargaan, dan bentuk pemerintahan yang

berbeda, dan masing-masing mendorong keinginan yang berbeda, moral, kebaikan dan sikap

perilaku, bentuk keunggulan dan konsepsi hidup yang baik. Keanekaragaman (multiculture)

adalah wacana baru masyarakat dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai

pengganti wacana monokultur yang bersifat rasis dan elitis (Van Dijk, 1999).

Fakta sosiologis menjelaskan bahwa kita masih hidup dengan budaya yang berbeda-

beda (cultural diversities atau multicultural) dibanding budaya yang majemuk

(multiculturalism). Kebudayaan majemuk yang kita maksudkan itu masih di level cita-cita

dan diharapkan terwujud melalui multikulturalisme itu sendiri. Dengan demikian, 126

multikulturalisme adalah sebuah teori rekayasa sosial agar multi-budaya di Indonesia terus

bersatu dalam satu bingkai yang utuh. Budaya yang utuh itu sendiri bukan berarti

meleburkan setiap budaya dalam satu adonan baru (social cohesion) atau mengabaikannya

(liberal citizenship), akan tetapi komitmen saling menghargai dengan tetap melestarikan

identitas masing-masing budaya (Umam, 2017).

Dalam konteks ini bagi bangsa Indonesia multikuluralisme lebih nampak sebagai sebuah

harapan dan cit-cita, belum sebagai sebuah ideologi. Namun demikian belajar pada pengalaman

bangsa-bangsa lain di dunia, multikulturalisme akan berkembang menjadi sebuah gerakan

(politik) yang menuntut adanya pengakuan (legalitas) dari negara. Globalisasi diduga menjadi

salah satu faktor yang ikut menyebarkan ideologi multikulturalisme melalui perangkat teknologi

komunikasi dan informasi, serta media sosial. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Anthony

Giddens (2000) yang menyatakan multikulturalisme adalah gejala baru yang menandai era

globalisasi. Dengan kata lain multikulturalisme tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.

Ditambahkannya multikulturalisme memiliki kelebihan dibandingkan dengan monokultural

terutama dalam hal kesetaraan dan keadilan.

Masyarakat Multikultural

Gagasan/idea tentang multikulturalisme akan mendapatkan tempatnya jika dipraktekkan

dalam tatakelola masyarakat yang didasarkan atas kesetaraan dan keadilan. Setiap unsur dari

mesyarakat memiliki kesempatan yang sama (yang dijamin oleh konstitusi) dalam

mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian dalam

aktualisasinya seringkali ditemui bahwa tatakelola masyarakat multikultural seringkali dijumpai

adanya konflik sosial. Semangat untuk bersatu dan saling melengkapi antara elemen masyarakat

multikultural berhadapan langsung dengan potensi konflik yang dikandungnya.

Sejalan dengan pandangan di atas Sutherland (2000) menyatakan bahwa masyarakat

multikultur selain memiliki potensi positif dalam bentuk asimilasi dan terciptanya integrasi sosial,

juga rawan bagi terjadinya konflik sosial. Proses asimilasi dan integrasi yang terjadi dalam

masyarakat multikultur antara lain dapat berbentuk melting pot, dimana masing-masing unsur

saling meleburkan diri, saling memberikan pengalaman, keterampilan dan intelektualitasnya yang

akhirnya akan memperkaya budaya masyarakat multietnik tersebut. Di samping itu, keberagaman

masyarakat yang berupa multikultur-multietnik juga berpotensi bagi terciptanya konflik dan

disintegrasi sosial. Agar masyarakat multikultur dan multietnik dapat dipertahankan maka

diperlukan tatanan masyarakat yang demokratis, yang memberikan ruang gerak bagi setiap

kelompok sosial untuk mengaktuliasasikan potensi dan kreativitasnya.127

Untuk mewujudkan masyarakat multikultural yang dicita-citakan maka dibutuhkan peran

sentral dari negara. Namun kedudukan dan peran negara sebagai sistem besar yang universal,

sebagaimana digambarkan oleh Newton sekarang ini tengah mengalami pergeseran makna.

Sebagaimana diungkapkan JF Lyotard (1989) metafora negara sebagai sistem kosmologi, kini

digantikan oleh metafora ekologis, yang menekankan sifat-sifat keanekaragaman (diversity),

perbedaan (difference), kesetaraan (egaliter), dan penyesuaian diri (adaptability). Metafora

monster Leviathan yang menggambarkan negara sebagai sistem yang kosmopolit sebagaimana

digambarkan oleh Thomas Hobbes telah digantikan oleh metafora liliput-liliput (daerah, suku,

ras, dan agama) yang berusaha menavigasikan diri di dalam habitatnya. Ringkasnya, metafora

narasi-narasi besar (grand narrative) digantikan oleh narasi-narasi kecil (yang plural) yang

mengangkat kembali nilai lokalitas, etnisitas, dan keunikan setempat (Piliang,2/1/2000).

Sementara itu Duffy (1986) menyatakan bahwa masyarakat yang bercorak multikultur

memiliki tiga ciri utama yang selalu melekat di dalamnya yakni: keanekaragaman (diversity),

persamaan (equality) dan interaksi melalui pembagian tugas (interaction through sharing).

Dalam pada itu McLean menandaskan bahwa sebuah masyarakat yang becorak multikultur

setidaknya memiliki sejumlah elemen pokok yakni: munculnya keberagaman; setidaknya

terdapat interaksi dan sharing antar anggota komunitas; kesamaan akses kepada sumberdaya

ekonomi dan pendidikan bagi semua kelompok budaya; terjaminnya hak-hak sipil dan politik

anggota masyarakat; nilai-nilai kebudayaan yang beragam; serta adanya komitmen bersama

terhadap suatu bangsa (shared commitmeent to one nation).

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah bangsa yang bercorak mutikultur

jelas dibutuhkan adanya prinsip toleransi dan saling menghormati antar komponen

kebangsaan (Hanurawan, 1997) serta menerima perbedaan sebagai realitas (kesadaran

multikultur). Curtis (1992) menyatakan bahwa kesadaran multikultur adalah kesadaran

seseorang bahwa ia hidup dalam masyarakat yang anggotanya amat beragam baik dalam etnis,

agama, budaya, pekerjaan, sosial ekonomi dan sebagainya. Tujuan keadilan sosial yang

berakar pada demokrasi merupakan suatu keharusan dalam masyarakat yang bersifat

multikultur. Berakar pada prinsip demokrasi maka kesadaran multikultur perlu

disosialisasikan pada setiap individu dalam komunitas sosial.

Pendidikan Multikultural

Untuk mensosialisasikan kesadaran multikultur kepada seluruh komponen sosial maka

diperlukan adanya pendidikan multikultur (multiculture education). Melalui pendidikan

multikultur pada siswa madrasah ibtidaiyah yang notabene sebagai sekolah berbasis agama 128

diharapkan ke depan akan menjadi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman

serta wawasan tentang apa itu multikulturalisme serta pentingnya prinsip tersebut dalam

kehidupan bersama. Diharapkan setelah memperoleh pengetahuan akan menimbulkan

kesadaran dan akhirnya menerapkan kesadaran multikulturalisme ini dalam kehidupan

sosialnya. Dalam bahasa Louis Gates Jr (1992) dinyatakan: “There is no tolerance without

respect – and without knowledge”.

Sementara itu Anita Lie (CSIS, 2000) menyatakan pendidikan yang menekankan pada

kesatuan saja akan menghasilkan pola-pola berpikir sempit dan mencerabut orang dari budaya

aslinya. Ketegangan dan kekerasan di beberapa bagian negara menunjukkan bahwa dorongan

yang berlebihan pada kesatuan yang sudah dilaksanakan selama lebih dari 30 tahun terakhir

bukan merupakan solusi yang efektif bagi resiko dan ancaman disintegrasi. Di beberapa

negara lain, “multikulturalisme merupakan terapi bagi etnosentrisme, di Indonesia

multikulturalisme bisa menjadi penyeimbang kesatuan” (Budianta, 1996). Pada saat sekarang

bangsa Indonesia sedang memulai upaya-upaya reformasi, sudah waktunya keragaman etnis,

agama, dan rasial dianggap sebagai kekayaan nasional. Dengan perspektif ini, pendidikan

multikultural dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman dan penghargaan di antara semua

warga masyarakat.

Disamping efektif untuk memberikan perspektif multikultur pada masyarakat,

pendidikan multikultur dapat pula digunakan sebagai media untuk mengurangi prasangka

kelompok satu kepada kelompok lainnya (Hanurawan, (1997). Lynch (1987)

menggarisbawahi bahwa terdapat keterkaitan antara timbulnya prasangka (prejudice) dengan

lingkungan sosial seseorang. Keterkaitan ini sangat relevan sekali dengan fakta bahwa

beberapa munculnya prasangka kelompok pada diri anak-anak diperoleh dari lingkungan

sosial mereka.

Hal itu sejalan dengan pendapat dari Bennet (1986) yang menyatakan bahwa asumsi

dasar pendidikan multikultural adalah bagaimana kelompok-kelompok etnik yang beragam

dapat menentukan sendiri budaya asli yang mereka miliki, serta pada saat yang bersamaan

dapat menjadi multikultural. Dengan kata lain orang-orang dapat belajar tentang berbagai

macam alternatif untuk mempersepsi, berperilaku, dan mengevaluasi kelompok lainnya

sehingga mereka dapat menyesuaikan kepada aspek-aspek makrokultur yang diperlukan untuk

kesejahteraan bersama masyarakat, tanpa melakukan pengurangan penerimaan akan

etnisitasnya sendiri yang orisinal.

Dengan mengambil setting pada masyarakat Amerika Serikat yang bersifat multietnis

dan multikultur, Martorella (1994) menyatakan pentingnya pendidikan multikultur. 129

Dijelaskannya pendidikan multikultur memiliki arti yang sangat signifikan bagi bangsa kita

karena kekayaan dan campuran ras dan kelompok etnis pada masyarakat kita. Juga pendidikan

multikultural akan berkaitan dengan intersect tema-tema pokok dalam sejarah kita dan

komitmen kebangsaan kita untuk memberikan perlakuan secara sederajat setiap warga negara.

Mengingat adanya kesamaan dalam batas-batas tertentu antara masyarakat Amerika

dengan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal multietnik dan multikultur, maka

pernyataan di atas menunjukkan bahwa pendidikan multikultur sangat penting bagi upaya

pembangunan watak bangsa (nation and character building).

Oleh sebab itu isu pokok dalam pendidikan multikultur adalah: Bagaimana kita dapat

menunjukkan kekayaan dan keunikan keberagaman kita dan memberikan berbagai perspektif

yang menunjukkan perbedaan-perbedaan kelompok-kelompok yang ada, serta pada saat yang

bersamaan menekankan pada pentingnya persatuan dan kesatuan untuk memperkuat bangsa

kita secara politik, ekonomi maupun sosial?

Atas dasar pendapat di atas maka dapat dinyatakan bahwa fokus perhatian pendidikan

multikultur adalah memberikan wawasan budaya kepada anggota masyarakat agar mereka

dapat hidup berdampingan secara damai dengan kelompok sosial lainnya. Hal ini sejalan

dengan hasil rekomendasi APNIEVE UNESCO yang menandaskan bahwa hasil pendidikan

tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan anak didiknya, namun juga

dalam hal penanaman dan pengembangan nilai-nilai dan afeksi mereka yakni dalam

bentuk .......”belajar hidup bersama, berpartisipasi dan bekerja sama dengan individu /

masyarakat dari kelompok budaya yang berlainan dalam segala aktivitas...” (Mutohir, 1997).

Secara lebih operasional Katz (dalam Mogdil, 1986) menyatakan bahwa terdapat 4

tujuan pendidikan multikultur. Pertama, memberikan pengalaman belajar kepeda siswa yang

mengenalkan secara kritis dan kemampuan evaluasi untuk melawan isu-isu seperti realisme,

demokrasi partisipatori dan exisme. Kedua, mengembangkan keterampilan untuk klarifikasi

nilai, termasuk kajian untuk menstransmisikan nilai-nilai yang laten dan manifest. Ketiga,

untuk menguji dinamika keberagaman budaya dan implikasinya kepada strategi pembelajaran

guru madrasah. Keempat, mengkaji variasi kebahasaan dan keberagamam gaya belajar

sebagai dasar bagi pengembangan strategi pembelajaran yang sesuai.

Agar program pendidikan multikultur berjalan sesuai dengan maksud diadakannya yakni

memberikan perspektif multikultur kepada siswa madrasah ibtidaiyah. Maka strategi desain

yang disusun mencakup 9 hal sebagai berikut :

1) Belajar bagaimana dan di mana menentukan tujuan, informasi yang akurat tentang

kelompok- kelompok kultur yang beragam130

2) Identifikasi serta periksalah aspek-aspek positif dari individu-individu atau kelompok-

kelompok etnik yang berbeda

3) Belajarlah toleran untuk keberagaman melalui eksperimentasi di dalam sekolah dan

kelas dengan praktek-praktek dan kebiasaan yang berlainan

4) Dapatkan, jika memungkinkan pengalaman positif dari tangan pertama dengan

kelompok-kelompok budaya yang beragam

5) Kembangkanlah perilaku-perilaku yang empatis melalui bermain peran (role playing)

dan simulasi.

6) Praktekan penggunaan “perspective glasses”-yakni, melihat suatu event, babakan

sejarah, atau isu-isu melalui perspektif kelompok budaya atau jender lainnya

7) Kembangkan rasa penghargaan diri (self-esteem) seluruh siswa /peserta

8) Identifikasilah dan analisislah stereotip-stereotip budaya

9) Identifikasilah seluruh kasus diskriminasi serta prasangka sosial yang berasal dari

kehidupan siswa sehari-hari (Martorella, 1994).

Penutup

Pendidikan multikultural sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai pada diri siswa,

kontennya harus mengacu dan mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan

hidup maupun ideologi negara. Tanpa mengaitkan dengan nilai-nilai Pancasila maka pendidikan

multikutural berpotensi untuk kebablasan dan menjadi media penyebaran berbagai ideologi

bangsa lain dan pada akhirnya akan menciptakan disintegrasi bangsa

Daftar Pustaka

Budianta,M.(1996). The Relevance of Multiculturalism in Indonesia. Paper presented in one-day seminar on Multiculturalism in Britain, the U.S.A, and Australia.Universitas Indonesia, March, 12.

Dijk, A.V.T.(1999). Rasisme Baru Dalam Pemberitaan Pendekatan Analisis Wacana dalam “Dari Keseragaman Menuju Keberagaman Wacana Multikultur Dalam Media .Jakarta:Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP)

Duffy,D.(1986).Remodelling Australian Society and Culture;A Sudy in Education for a Pluralistic Society.In Mogdil,C. & Verma,S & Mogdil,S (eds) Multicultural Education, the interminable Debates.London:The Falmer Press.

Hendriati,Agustina.(1999).Peran Orangtua Dalam Pendidikan Anak di Era Globalisasi .Dalam asih – Majalah Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, vol II,no.1, Maret 1999

131

Gates,H.L.,Jr.(1992).”Loose Canons:Notes on the Culture Wars. Oxford:Oxford University Press.

Latif, Yudi.(2011).Negara Paripurna.Historisitas, rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.Jakarta:PT Gramedia

Lynch,J.(1987).Prejudice Reduction and the Schools .New York:Nichols Publishing Company.

Martorella,H.,P.(1994).Social Studies For Elemntary School Children.Developing Young Citizens .New York:Merril Publishing Company

Mc.Lean,B.(1991).Multicultural Studies.In Marsh,C.(Ed)Teaching Social Studies,and Environment.Sidney:Prentice Hall

Lie,Anita.dkk,.(2000).”Keberagaman Budaya dan Otonomi Kurikulum”.Dalam Pendidikan Nasional:Reformasi atau Resolusi.Analisis CSIS No.3 Tahun XXIX/2000.

Parekh, Bikhu.(2008).Rethinking Multiculturalism:Keberagaman Budaya dan Teori Politik.Jakarta:Penerbit Kanisius

Yasraf Amir Piliang. Hiper-otonomi. (Kompas,2/1/2001).

------------------------------------------------------

132

TANTANGAN DAN HAMBATAN INTERNALISASI CIVICS LITERASIUNTUK MASYARAKAT MULTIKULTURAL

MELALUI PEMBELAJARAN TEMATIK DI SEKOLAH DASAR

FatahillahSTKIP Muhammadiyah Pringsewu Lampung

[email protected]

Abstrak

Jenjang Pendidikan Dasar merupakan masa yang krusial dalam membentuk warga negara transformatif di sebuah masyarakat kultural, karena di tahapan ini peserta didik berada pada usia awal pembentukan karakter yang akan menentukan sikap dan perilaku kelak ketika ia dewasa, oleh karena itu sejak dini setiap individu harus mendapatkan Civics Literasi mengenai bagaimana ia berlaku dan bersikap dalam masyarakat, namun seringkali proses internalisasi yang dilaksanakan di sekolah Dasar melalui pembelajarannya mengalami tantangan dan hambatan, termasuk dalam Pembelajaran Tematik yang tengah dilaksanakan berdasarkan arahan Kurikulum 2013. Penelitian ini mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi proses Internalisasi Civics Literasi yang diperlukan dalam masyarakat multikultural melalui proses Pembelajaran Tematik. Pengkajian pene litian dilaksanakan menggunakan pendekatan kualitatif dengan tradisi grounded teori dan analisis domain. Hasil temuan yang didapat berupa; Tantangan yang dihadapi dalam upaya internalisasi didapat dari dua lini yakni; a) situasi kondisi sosio kultural masyarakat di mana institusi sekolah berada dan b) kondisi psikologis peserta didik, sedangkan Hambatan yaitu; 1) Infrastruktur yang kurang mendukung; 2) Kapabilitas tenaga pendidik yang belum memenuhi harapan; 3) Kondisi Sosiologis dalam masyarakat; 4) Infiltrasi ideologis paham asing yang kurang sesuai dengan nilai-nilai; dan 5) Suasana sosio politik yang tidak mendukung.

PENDAHULUAN.Bangsa Indonesia sejak 1928 mengidentifikasi dirinya sebagai ikatan kultural majemuk

dari sejumlah suku bangsa, yang kemudian membentuk masyarakat multikultural Republik

Indonesia. Masyarakat Multikultural di Indonesia terbentuk dari kesadaran mengenai adanya

perbedaan-perbedaan ras etnis, bahasa dan kepercayaan. Keragaman disadari dan dipahami

telah menjadi realitas yang diakomodasi demi mencapai tujuan bersama membentuk negara, di

mana selama hampir selama 350 tahun kelompok-kelompok etnis, budaya dan agama yang

berada di kepulauan Nusantara ini berada di bawah cengkraman politik kolonialisme dan

imperialisme yang memberikan kesuraman dan kemelaratan bagi kaum bumiputera. Warga

Indonesia paham bahwa dirinya tidak hanya satu macam, tetapi bermacam-macam bahkan

beranekaragam. Negara pun sama mengakui, dan menjamin kebebasan pada masyarakat

133

dalam mengembangkan nilai-nilai budaya sebagai kekayaan nasional ini dapat kita lihat dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 32 ayat (1) dan (2).

Corak keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia dapat kita lihat dalam penggunaan

bahasa, kebudayaan, pandangan dan lain-lain. Parekh (Hemafitria, 2016:150) menjelaskan

Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas beberapa kebudayaan, sehingga dapat

dikatakan masyarakatnya sangat majemuk, karena memiliki berbagai macam corak ciri dan

identitas baik bersifat fisiologi, psikologis, maupun sosiologis.

Masyarakat majemuk memiliki karakteristik, a) Terjadinya segementasi kelompok-

kelompok yang memiliki perbedaan dasar kebudayaan, b) memiliki struktur sosial yang terbagi-

bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, c) secara relatif seringkali

terjadi konflik di antara kelompok lain, e) secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan

(coercion) dan saling ketergantungan di dalam ekonomi, dan f) Adanya dominasi politik oleh

suatu kelompok atas kelompok yang lainnya (Ranjabar, 2006: 186). Karakteristik ini

menimbulkan kondisi yang menimbulkan ancaman konflik di antara individu dan kelompok yang

cukup besar. Konflik sosial terjadi diakibatkan eklusivisme berlebihan yang berujung kepada

ketidakpercayaan kepada entitas sosial lainnya, sehingga terjadi gesekan perselisihan,

kadangkala berujung kekerasan, selain itu juga terjadi intoleransi, dan pandangan rasis yaitu;

kondisi yang tidak mau menerima padangan, bahkan sosok individu lainnya yang berbeda.

Kondisi Konflik akan mengakibatkan Stress Sosial kemudian menjadi kepedihan (bitterness)

Sosial, dan terakhir akan menjadi Dissintegrasi Sosial.

Berdasarkan hasil dari berbagai analisa kasus konflik sosial di Indonesia dapat terjadi

karena adanya suatu kondisi; 1) terdapat isyu kritis yang menjadi pusat perhatian untuk menjadi

bahan perdebatan di antara pihak berbeda kepentingan, 2) kepentingan dan harapan yang

tumpang tindih saling berkait antar pihak yang berbeda kepentingan. 3) gunjingan, hasutan,

gossip, dan fitnah menjadi konflik menjadi riil, 4) Kompetisi dan ketegangan sosial terpelihara, 5)

clash dan dan kekerasan menjadi masa yang mengakhirinya (Dharmawan, 2006:4). Menghindari

dampak konflik yang merusak tatanan sosial maka perlu dikembangkan paham Multikulturalisme

yakni suatu paham yang dikembangkan dari konsep masyarakat plural dengan pahamnya

pluralisme budaya (Culture Pluralism) dengan mengajarkan tentang kesederajatan budaya

dalam suatu cil masyarakat (Suparlan, 2005:98, Hemafitria, 2016:149).

Pluralisme merupakan suatu ideologi yang dikembangkan dalam rangka membangun

toleransi di tengah perbedaan dan keragaman dalam masyarakat, seperti apa yang dijelaskan

Haviland (Ibrahim, 2008: 117) Pluralisme secara ideal merupakan suatu bentuk atau paham

penolakan mengenai kefanatikan, purbasangka, rasisme, tribalisme, dan dapat menerima

keanegaraman. Oleh karena itulah pengembangan paham Multikulturalisme adalah suatu

keniscayaan yang tidak terbantahkan bagi masyarakat Indonesia guna menjaga keharmonisan

ratusan etnis, budaya dan agama serta adat istiadat yang tersebar pada 17.000 pulau besar dan

134

kecil. Upaya dan usaha pengembangan Multikulturalisme harus dikembangkan dari berbagai

cara, salah satunya melalui Kebijakan Pendidikan yang dikenal sebagai Pendidikan Multikultural.

Mendidik multikulturalisme adalah suatu keharusan menurut Lawrence (Ibrahim,

2008:119) hal itu dikarenakan 1) perlunya penegasan identitas kultural seorang individu dalam

masyarakat; 2) setiap individu harus diberi pembelajaran mengenai penghormatan dan

pemahaman mengenai kebudayaan lainnya; dan 3) Setiap Individu harus dibekali sikap

menerima dari setiap perbedaan.

Multikulturalisme haruslah menjadi sebuah Literasi bagi seorang Individu apalagi ia

merupakan bagian dari negara yakni sebagai warga negara, dimana setiap warga negara

melalui pendidikan akan ditempa mulai dari Civics Skills sampai dengan Civics Knowledge.

Pambudi (2015:1) menjelaskan penguatan Literasi melalui pembelajaran akan memberikan

kemampuan pada anak dalam membaca, menulis, dan mengapresiasi, serta merespon segala

bentuk jenis komunikasi yang kemudian diharapkan akan membentuk 18 nilai karakter bangsa

yang diharapkan yakni; bersahabat/komunikatif, rasa ingin tahu, dan gemar membaca.

Dalam upaya menghadirkan Literasi dalam ruang pikir, laku dan sikap pada peserta didik

mengenai pentingnya paham Multikulturalisme, maka secara teknis dalam kebijakan pendidikan

melalui pengguliran kurikulum sebagai acuan pembelajaran kita telah berupaya dan berusaha

untuk menginternalisasi berbagai muatan Puralisme dan Multikulturalisme sejak Kurikulum 1947

digulirkan sampai Kurikulum 2013. Di setiap Kurikulum dalam penerapannya mengalami

Tantangan dan Hambatan dalam menginternalisasikan Nilai-Nilai Multikultural tersebut, tidak

terkecuali dalam Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mencoba menggabungkan beberapa pokok

pelajaran untuk menjadi satu kesatuan pembelajaran secara integratif yang bertujuan untuk

mendorong peserta didik mengalami pengalaman belajar dalam 5 M yakni mengamati,

menanya. Mencari informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, sehingga akan terasa

nuansa kegiatan pedagogik modern yang berbasis pendekatan ilmiah (Kristiantari, 2014: 461).

Secara teori Pembelajaran Tematik akan memacu keterlibatan siswa dalam

pembelajaran, sehingga akan memberikan pemahaman langsung dari pengalaman belajarnya,

karena konsep yang diberikan adalah Konsep Learning by Doing. Namun dalam tahapan

Implementatif tentunya akan mengalami kesulitan dan kesukaran dalam meninternalisasi nilai-

nilai multicultural, dikarenakan pesan-pesan doktrinatif mengenai multikulturalisme tidak sampai

dengan mudah dikarenakan peran Guru dalam pembelajaran tematik hanya bersifat sebagai

fasilitator, bukan satu-satunya narasumber.

Terlebih lagi bagi usia peserta didik pada jenjang sekolah Dasar yang Notabene menurut

tahapan perkembangan moral Kohlberg berada di jenjang Pra Konvensional yakni; suatu

tahapan perkembangan penerimaan moral pada diri individu didasarkan kepada konsekuensi

yang akan terjadi apabila ia memberikan repons terhadap nilai-nilai yang diinternalisasi, secara

sederhana anak-anak akan patuh apabila menguntungkan, atau takut dikenai sanksi.

135

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan diatas dapat kita tarik beberapa pertanyaan sebagai

dasar kajian dalam makalah ini;

1. Tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh Pendidik dalam menginternalisasi Civics

Literasi yang penting bagi Peserta didik sebagai bagian masyarakat Multikultural melalui

pembelajaran Tematik?.

2. Hambatan apa yang dialami Pendidik dalam mengimplementasikan pembelajaran

Tematik di kelas secara umum, dan secara khusus dalam menginternalisasikan Civics

Literasi pada peserta didik?

METODE PENELITIANPenelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis dan

mengevaluasi proses Internalisasi Civics Literasi yang diperlukan dalam masyarakat multikultural

melalui proses Pembelajaran Tematik berdasarkan arahan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran

2015-2016 melalui Pendekatan Kualititatif dengan mengikuti Tradisi Penelitian Grounded

Theorie.

Pendekatan Kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang menggunakan

pandangan yang didasarkan pada pengalaman pribadi dalam mengembangkan teori atau pola

melalui kajian-kajian yang didapat dari data-data berdasarkan hasil wawancara, pengamatan,

pengamatan berperan serta, dan observasi (Emzir, 2011:28)

Grounded Theory atau Teorisasi Data (Strauss dan Corbin, 2007:21) merupakan

pendekatan penelitian kualitatif yang disusun dengan teknik dan prosedur sistematisnya yang

memenuhi kriteria kebermaknaan, kesesuaian antara teori dengan observasi, generalisasi,

dapat diteliti ulang, adanya ketepatan dan ketelitian, serta dapat dibuktikan dengan analisis yang

ketat.

Yang menjadi subyek penelitian ini adalah seluruh Sekolah yang telah menerapkan

pembelajaran tematik Kurikulum 2013 di Kecamatan Ambarawa Kabupaten Pringsewu Propinsi

Lampung, sedangkan obyeknya adalah proses internalisasi Civics Literasi melalui Pembelajaran

Tematik berdasarkan arahan Kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2016-2017.

Data diperoleh baik dari sumber Primer yakni; data yang didapat dari hasil Wawancara

terhadap Guru SD di Sekolah yang menerapkan Kurikulum K13, Pengamatan terhadap jalannya

kegiatan belajar mengajar, pengamatan berperan serta terhadap situasi dan kondisi di sekitar

lingkungan sekolah, yang kemudian akan dibandingkan dengan data dari sumber skunder yaitu

data yang diperoleh dari Referensi Pustaka, Dokumen tertulis mengenai pembelajaran dan

Peraturan Perundang-undangan yang terkait.

Selanjutnya Proses analisis data dilakukan berdasarkan format standar Penelitian

Grounded Theory yang terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengkodean (Coding)

136

Merupakan proses menguraikan data, pengkosepan, dan merekonstruksi data yang didapat

dari kegiatan pengumpulan data dengan tujuan untuk a) menyusun teori, b) mengukur

ketepatan atau efektivitas penelitian, c) mengatasi bias penelitian, dan d) memberikan

landasan penelitian.

Proses pengkodean dilakukan dalam langkah-langkah sebagai berikut; 1) Pengkodean

Terbuka (Open Coding); 2) Pengkodean berporos (Axial Coding); 3) Pengkodean Terpilih.

2. Analisis Proses

Analisis Proses dilakukan dengan cara mengaitkan urutan tindakan/interaksi, di mana

kegiatan analisis ini terdiri dari penelusuran terhadap a) Kondisi Pembelajaran menggunakan

Tematik, b) respon guru dan peserta didik dalam pembelajaran, c) Identifikasi Tantangan

yang dihadapi dalam pelaksanaan Pembelajaran Tematik secara Praksis, d) Identifikasi

Hambatan secara Pelaksanaan Pembelajaran Tematik Secara Praksis.

Selain Penggunaan urutan tindakan atau interaksi di atas dipergunakan pula analisis domain

untuk mencari gambaran menyeluruh dari Pelaksanaan Pembelajaran berbasis pendekatan

Tematik yang dilaksanakan oleh Guru di kelas berdasarkan arahan Kurikulum 2013.

3. Penyimpulan secara Teoritik.

Setelah selesai melaksanakan analisis data kemudian dilakukan penyimpulan dalam bentuk

uraian point per point berdasarkan generalisasi temuan yang didapat mengenai Tantangan

dan Hambatan dalam pelaksanaan Internalisasi Nilai-Nilai Civics Literasi melalui

Pembelajaran berbasis Pembelajaran Tematik dalam Kurikulum 2013.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Gambaran Penyampaian Civics Literasi melalui Pembelajaran Tematik.

Melalui Pendidikan dan Pengajaran sejak dini seorang anak haruslah diberi bekal

pengetahuan mengenai bagaimana ia bersikap dan menyikapi kehidupan di sekitar, sehingga ia

mengetahui kedudukan status sosial dalam masyarakat, termasuk penyadaran terhadap

berbagai fakta atau fenomena yang terjadi.

Kemampuan mengetahui pengetahuan dikenal dalam istilah Literasi yang mencakup

semua keterampilan mengenai bagaimana berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan,

sehingga ia dapat mengolah, dan mengkomunikasikan informasi selama proses belajar (Rinjani,

2017:167).

Benavot (2015, 273, Arpannudin, 2016:269) menjelaskan bahwa kemampuan Literasi

memiliki arti penting dalam pengembangan komunikasi sosial antar individu, dan masyarakat,

sehingga apabila dikaitkan dengan konteks Politik atau Kewarganegaraan, Literasi sering

disandingkan atau dikenal dalam istilah Civics Literacy yakni suatu pengetahuan dan

137

kemampuan warga yang berkaitan dengan informasi-informasi yang dapat membantu ia

mengatasi permasalahan sosial.

Civics Literacy dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan dapat dikatakan sebagai

pengejawantahan dari salah satu dari tiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan yang

dikemukakan Branson (Winarno, 2013:26) yakni; Civics Knowledge (Pengetahuan

Kewarganegaraan), Civics Skill (Keterampilan Kewarganegaraan), dan Civics Disposition (Sikap

Kewarganegaraan).

Dimana ketiga komponen tersebut memiliki keterkaitan sebagai sasaran yang hendak

dicapai dalam pembelajaran. Apabila seorang warga negara telah memiliki pengetahuan (Civics

Knowledge), maka kemungkinan ia akan memiliki keterampilan (Civics Skill) dan yang terpenting

ia akan memiliki sikap (Civics Disposition) selaras dengan arah yang menjadi tujuan yakni

membentuk Warga Negara yang cerdas dan baik (Smart and Good Citizenship)

Untuk itulah menurut Winarno (2013:117) Materi yang dikembangkan dalam

Pengetahuan kewarganegaraan akan meliputi; politik, hukum dan moral yang terdiri dari materi-

materi mengenai; prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah,

identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum, peradilan yang bebas dan tidak memihak,

korupsi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan

hak politik.

Muatan materi-materi akan dijabarkan dalam Kurikulum sebagai suatu pedoman kepada

segenap Pendidik untuk selalu berupaya dan berkinerja mencapai apa yang menjadi arah dan

tujuan pendidikan. Didorong oleh kenyataan tersebut, serta penyesuaian dengan kebutuhan

masyarakat yang selalu mengalami perubahan seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi, maka dewasa ini kemudian digulirkan pemberlakuan Kurikulum 2013 melalui

penerbitan Permendikbud No. 20, 21, 22, dan 23 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi

Lulusan, Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian Kurikulum 2013.

Secara Garis besar Kurikulum 2013 memiliki landasan Filosofis yang merujuk kepada

paham humanisme, progresivisme, esensialisme, rekonstruksionisme, dan perenalisme

(Dikdasmen Kemendikbud, 2016:3). Untuk itulah secara Filosofis Kurikulum 2013 memiliki dasar

pemikiran sebagai berikut;

1. Pendidikan harus diarahkan untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan termasuk

dalam hal ini adalah pengembangan seperti: Kerja sama, toleransi, kerja keras, intergritas,

disiplin, bermoral, dan tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap

masyarakat.

2. Pendekatan yang dipergunakan haruslah yang dapat membentuk Pribadi seutuhnya, seperti:

Pendekatan Kolaboratif, Kooperatif, Kontekstual, Konstruksivisme, Saintifik, pendekatan

bahasa menyeluruh (whole language), Pedagogical Content Knowledge (PCK), tematik

138

terpadu, PAKEM, multiliterasi dan pendekatan ilmiah lainnya (Pembelajaran Berbasis

Masalah, Inquiry, Pembelajaran Berbasis Penemuan (Discovery Learning).

3. Sekolah dipandang sebagai alat untuk mempertahankan kehidupan tradisi dan lembaga dari

perspektif kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, berdasarkan pandang maka

berdasarkan pandangan ini dianjurkan pendekatan seperti: High Order Thinking, dan

PAKEM.

4. Sekolah dipandang sebagai alat dalam memelihara warisan budaya untuk itu sepatutnya

Pendekatan Berbasis Budaya dan Pendekatan Pengalaman lebih diutamakan.

5. Setiap unit pendidikan harus mengutamakan tujuan dari pencapaian Pendidikan, maka dari

itu Kurikulum haruslah menerapakan pendekatan tujuan.

6. Sekolah berfungsi sebagai alat untuk memelihara dan memperbaiki masyarakat, sehingga

muncul pendekatan lingkungan, pendekatan berbasis aktivitas, dan pendekatan kontekstual.

7. Pengembangan Pendidikan di Sekolah harus dilandasi tiga aspek yaitu utama yakni

karakteristik pendidikan di SD, Karakteristik psikologis peserta didik, dan karakteristik sosio

budaya peserta didik.

Atas dasar pemikiran tersebut Pembelajaran Tematik diupayakan untuk hadir dalam

praktek pembelajaran di sekolah-sekolah Dasar setiap hari, dikarenakan memiliki karakteristik;

a) pengalaman dan kegiatan sesuai dengan tingkat kebutuhan anak usia Sekolah dasar, b)

semua kegiatan belajar disesuaikan dengan kebutuhan anak; c) diupayakan semua kegiatan

berkesan bagi anak; d) Menekankan pada pembentukan keterampilan berpikir anak, e)

menyajikan kegiatan pragmatis bagi anak dalam menelaah kondisi lingkungan sosial, f)

Mengembangkan keterampilan sosial siswa (Ditjen Dikdasmen Depdikbud, 2016:134).

Dengan penerapan Pembelajaran Tematik menurut Kristiantari (2014: 468) akan

memperoleh manfaat yang berupa; 1) Pengurangan tumpah tindih indikator dari berbagai materi

pembelajaran; 2) Siswa akan mampu melihat kebermaknaan suatu materi; 3) Keutuhan

pengertian terhadap materi akan lebih terjaga; 4) Penguasaan Konsep akan lebih baik karena

adanya keterpaduan antar materi.

Secara sederhana Pembelajaran tematik ialah model pembelajaran yang berupaya

mengaitkan berbagai muatan materi pembelajaran dalam satu tema, yang akan memberikan

pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik, sehingga akan dapat menggabungkan

gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai dalam satu program pembelajaran atau mata

pelajaran.

Pada kesempatan ini temuan yang didapat dalam penelitian mengenai pelaksanaan

tematik di kelas-kelas adalah sebagai berikut;

139

1. Sebagian besar guru sudah memahami apa yang dimaksud dengan pembelajaran Tematik

(bagi guru yang sudah mendapat pelatihan), dan ada pula guru yang sudah mengetahui dan

mengenal, walaupun ia mendapatkan pelatihan apapun mengenai Kurikulum K13, mereka

mengetahuinya dari Media Massa, Buku, Rekan sejawat dan sebagainya.

2. Guru menjawab kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran Tematik meliputi; 1)

mengamati; 2) menanyakan; 3) mengumpulkan data; dan 4) mengkomunikasikannya,

walaupun begitu Guru masih melakukan kegiatan konvensional dalam pembelajaran yakni;

ceramah dan Tanya jawab.

3. Dalam menumbuh kembangkan Literasi dilaksanakan melalui 1) pembiasaan dengan

menumbuh kemampuan minat baca, pembelajaran Tematik mendorong siswa untuk selalu

membaca, 2) pengembangan dengan kegiatan bercerita, dan berdiskusi kepada siswa, 3)

Pembelajaran dengan berupaya bersama-sama siswa mencari pesan-pesan pembelajaran

dari setiap tema yang disuguhkan.

4. Secara teoritis pembelajaran Tematik memosisikan Guru sebagai fasilitator, dan Tutor,

sehingga bukan dianggap sebagai satu-satunya Narasumber dalam kelas, akan tetapi dalam

praktek guru masih paling dominan dalam pembelajaran dikarenakan kesulitan tingkat

perkembangan psikologis anak yang masih membutuhkan dorongan khusus.

5. Kesulitan Guru mengkolaborasikan materi pembelajaran dalam Tematik karena kurangnya

penguasaan materi pembelajaran, karena tidak semua guru berlatar belakang pendidikan

Pendidikan Guru Sekolah Dasar, misalnya beberapa Guru berlatar belakang pendidikan

Matematika kurang mampu memberikan bimbingan apabila dalam Tema terdapat muatan

materi Pendidikan Kewarganegaraan.

6. Keluhan mengenai ketersediaan Sarana dan Prasarana yang menunjang dalam

pembelajaran tematik seperti; Buku Panduan, Buku Bacaan Rujukan, dan sebagainya sering

dilontarkan guru ketika diberi pertanyaan mengenai kesulitan apa yang dihadapi dalam

pembelajaran Tematik.

Hal-hal yang dikemukakan diatas sesuai dengan temuan dalam penelitian Kristianti

(2014:469) yang menyimpulkan; 1) Walaupun Guru memahami apa dan bagaimana Kurikulum

2013, akan tetapi masih kesulitan menerapkannya dalam pembelajaran, 2) Kurang dukungan

fasilitas pembelajaran walaupun Motivasi sangat tinggi pada guru, 3) Sekolah kesulitan

menyediakan sumber belajar dan perpustakaan, 4) perlu adanya penyiapan bagi guru dalam

pembelajaran.

Dengan demikian apabila dipersingkat Penyampaian Civics Literasi melalui pembelajaran

Tematik akan dihadapkan pada permasalahan yang berupa; 1) Kondisi kemampuan kompetensi

140

Guru dalam kegiatan belajar dan mengajar, 2) Kondisi Psikologis Siswa yang masih memerlukan

dorongan Motivasi, 3) Kondisi Sarana dan Prasarana Pembelajaran.

B. Tantangan Yang dihadapi Pendidik dalam Internalisasi Civics Literasi Bermuatan Nilai-Nilai Multikultural melalui Pembelajaran Tematik.

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk peserta didik menjadi warga

yang memiliki komitmen kuat dan konsisten dalam sebuah masyarakat multikultural untuk

menjaga ikatan di antara mereka. karena sebuah masyarakat multikultur merupakan suatu

masyarakat majemuk yang memiliki karakteristik: 1) terdapat segmentasi dalam kelompoknya; 2)

terbagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; 3) konsensus kurang

berkembang; 4) konflik sering terjadi; 5) integrasi sosial terjadi atas paksaan saling

ketergantungan dalam ekonomi; dan 6) sering terjadi dominasi politik dalam kelompok (Nasikun,

2011:75-76, Jamaludin dan Nuraedah, 2016:598).

Kemudian menurut Parekh (Amirin, 2012:7-8) kondisi masyarakat Multikultur di Indonesia

akan terbagi dalam 3 (tiga) kategori yakni; 1) Isolated Culture, Sebuah kelompok budaya yang

terisolasi dan tidak berinteraksi dengan kelompok lainnya karena hambatan kondisi geografis; 2)

Cosmopolitan Multiculture, Kebudayaan yang terjadi akibat terjadi pembauran antar kelompok

etnis, sehingga identitas antar kelompok tidak diperdulikan lagi; 3) Accomodative Culture.

Terdapat suatu kebudayaan dominan yang diikuti oleh kebudayaan-kebudayaan lainnya,

sehingga terjadi harmonisasi dalam kehidupan.

Sedangkan mengenal Multikulturalisme di Indonesia akan menghadapi berbagai

tantangan permasalahan yang meliput; 1) Keragaman Religi dan Etnis dalam masyarakatnya, 2)

Diskriminasi Etnis dan Kultur yang masih sering terjadi, 3) Isyu kesetaraan gender dan kaum

Dissabilitas

Oleh karena itu dalam masyarakat multikultural perlu dikembangkan pengajaran

mengenai: 1) Content Integration, Konten materi mengenai bagaimana mengintegrasikan

berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan

teori dalam mata pelajaran/disiplin Ilmu; 2) The Knowledge construction process, sebuah proses

pembelajaran yang dapat membawa siswa memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata

pelajaran (disiplin); 3) an equity paedagogy, berupaya memfasilitasi siswa yang beragam baik

dari segi ras dan budaya dalam belajar; 4) prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras

siswa dan menentukan metode pengajaran mereka; dan; 5) empowering school culture

menciptakan budaya akademik yang mampu menyuguhkan interaksi sosial yang kondusif

(Tilaar, 2004:132, Budimansyah dan Suryadi, 2008: 31-32).

Secara Implementatif Pendidikan Multikultural haruslah diposisikan sebagai falsafah

pendidikan, sebagai pendekatan pendidikan, dan sebagai bidang kajian bidang studi, akan tetapi

141

kemudian dalam prakteknya terutama dalam pembelajaran tematik mengalami banyak

tantangan.

Mengenai tantangan yang akan dihadapi seorang pendidik dalam menginternalisasi

Civics Literasi Nilai-Nilai Multikultural, kajian dalam penelitian menunjukkan tantangan akan

didapat dari dual ini yakni;

1. Situasi dan Kondisi Sosio Kultural di mana institusi Sekolah Berada.

Sekolah-sekolah yang menjadi obyek penelitian berada di sebuah kecamatan yang memiliki

ciri atau karakteristik masyarakat Accomodative Culture dengan satu budaya dominan yaitu

budaya Jawa.

Dikarenakan ada budaya dominan maka kondisi ini sering mengakibatkan suatu situasi

sosial: 1) Bullying terhadap siswa atau sekelompok siswa yang memiliki latar budaya

minoritas, 2) Perasaan Superior dari kelompok budaya dominan atau mayoritas: 3) Sulit

menerima hal-hal baru yang berbeda dengan konsep budayanya; 4) Perasaan curiga

berlebihan dari budaya dominan atau mayoritas terhadap kelompok siswa yang memiliki

budaya tidak dominan; dan 5) Penerimaan yang tidak selayaknya terhadap kelompok siswa

yang berbeda atau minoritas/

Sekolah dituntut harus memberikan pemahaman kepada peserta untuk dapat menerima

kebudayaan lain yang berbeda dan minoritas, untuk itu perlu dikembangkan kemampuan

kultural pada diri pendidik agar dapat di kembangkan pada peserta didik..

Evola (Moeis, 2016:517) menjelaskan kemampuan kultural merupakan sikap dan keyakinan

guru terhadap keragaman budaya, telegensi, budaya yang mencakup metakognitif, kognitif,

motivasi, dan perilaku budaya dan perilaku budaya, dan identitas etnik.

Sikap dan kemampuan kultural Guru akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa yang

berasal dari berbagai latar budaya, sehingga segala strategi yang ia jalankan terhadap

perbedaan budaya memberikan pengaruh terhadap kemampuan Literasi siswa (Moeis,

2016:517)

Menyikapinya merupakan suatu Tantangan bagi seorang Pendidik untuk memiliki sikap; 1)

Menghargai perbedaan yang terjadi di kalangan peserta didiknya; 2) Memiliki empati

terhadap realitas kehidupan siswanya; 3) Perduli dan memberikan rasa aman terhadap

kondisi sosio psikologis siswanya. Dengan memiliki sikap sedemikian maka ia dapat

menerapkan strategi pembelajaran yang mendukung perbedaan tersebut.

2. Kondisi Psikologis Peserta Didik

Setiap peserta didik memiliki Kondisi Psikologis yang berbeda-beda bergantung pada

tahapan perkembangan usianya, begitu pula apa yang terjadi dengan anak usia sekolah

Dasar.

142

Pendidik ditantang untuk dapat menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan

kondisi dan tahapan perkembangan anak pada usia Sekolah dasar. Di mana menurut Piaget

berada pada periode Late Childhood atau masa akhir anak-anak antara usia 6 sampai

sampai 13 Tahun yang secara umum diwarnai kondisi penyesuaian pribadi dan sosial anak.

Periode Late Childhood pada anak SD ini dapat dibagi dalam dua fase yakni; 1) Periode

kelas-kelas rendah SD umur 6 sampai dengan 9 tahun; dan kemudian 2) Periode kelas-kelas

tinggi umur 10 sampai dengan 13 tahun, di mana karakteristik psikologis pada umumnya;

sulit diatur, sering bertengkar, suka bermain dan suka meniru.

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Guru akan ditantang pada kondisi

Psikologis bahwa anak:

1) Senang Bermain.

Hampir semua Guru mengatakan bahwa anak didiknya senang bermain sehingga anak

kurang fokus dalam pembelajaran, begitu pula dalam pembelajaran tematik yang

notabene lebih mengutamakan belajar sambil bermain.

2) Beberapa anak ada yang mengalami Gangguan Kecemasan yang berlebihan.

Kondisi ini terjadi dikarenakan situasi kondisi keamanan dewasa ini, di mana kecemasan

orang tua terhadap anak berpengaruh faktor mentalitasnya, pengaruhnya pada aktivitas

belajar menjadi terganggu.

3) Hiveraktivitas (terlalu aktif).

Beberapa anak terlihat begitu aktif, sehingga beberapa Guru merasa sulit untuk

mengendalikan atau menertibkan di kegiatan pembelajaran di kelas-kelas.

4) Pemurung Penyendiri.

Dalam penelitian beberapa Guru mengeluhkan kondisi peserta didik yang tidak terlalu

suka bergaul dengan teman-teman, mereka kadang-kadang memahami kenapa peserta

didiknya berlaku demikian, namun seringkali mereka tidak dapat menemukannya.

5) Sulit berkomunikasi.

Kurang dapat mengutarakan apa yang dirasakan dan apakah diinginkan kadangkala

berlaku pada peserta didik, sehingga menyulitkan mereka dalam pembelajaran, terlebih

lagi dalam Pembelajaran Tematik yang menuntut anak untuk lebih aktif.

6) Arogan.

Curahan kasih sayang orang tua kepada anak dewasa ini kadangkala kala berlebihan,

orang tua kadangkala lupa untuk mengingat anak mengenai hal-hal salah atau tidak

pantas dan cenderung memanjakan dengan memenuhi apa yang diinginkan si anak.

Sehingga menimbulkan perasaan superioritas pada diri si anak, hal ini dikeluhkan oleh

143

Guru karena anak sebagai peserta didik akan memiliki sifat arogan yang cenderung

memiliki ekses buruk secara sosial pada teman-temannya.

Kondisi-Kondisi Psikologis tersebut menjadi tantangan bagi pendidik dalam

mempraktekkan pembelajaran tematik di kelas-kelas, di mana seorang pendidik tidak hanya

dituntut memiliki kompetensi kognitif akan tetapi juga dituntut memiliki kompetensi sosial.

C. Hambatan Internalisasi Civics Literasi Bermuatan Nilai-Nilai Multikultural Dalam Pembelajaran Tematik.

Sebaiknya dalam pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman belajar kepada

anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya melalui penelaahan ilmu-ilmu dalam teks

kehidupan manusia, sehingga ilmu dapat berguna secara aplikatif bagi manusia.

Pembelajaran Tematik memiliki fungsi memberikan kemudahan kepada peserta didik

dalam memahami konsep materi dalam satu tema secara kontekstual dan menyeluruh

(Dikdasmen Depdikbud, 2016:134). Bertujuan untuk: 1) memusatkan perhatian anak pada satu

tema atau satu topik; 2) mengembangkan kemampuan berpikir anak dalam mempelajari

pengetahuan dan kompetensi muatan pelajaran yang sama; 3) memiliki pemahaman terhadap

materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4) mengembangkan kemampuan berbahasa; 5)

mengembangkan kemampuan berkomunikasi; 6) dapat merasakan manfaat dan makna belajar;

6) penghematan waktu; 7) pengembangan karakter budi pekerti dan moral.

Sehingga pembelajaran tematik ini akan memiliki ciri-ciri sebagai karakteristiknya antara

lain: 1) Berpusat pada anak; 2) memberikan pengalaman langsung pada anak; 3) muatan

pelajaran menyatu sebagai satu kesatuan; 4) menyajikan beberapa konsep dan mata pelajaran

dalam satu proses; 5) bersifat luwes; 6) Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan

minat dan kebutuhan anak (Dikdasmen Depdikbud, 2016:134).

Apabila dikaitkan dengan memasukkan muatan nilai multikultural guru harus

mengembangkan suatu bentuk atau konsep pembelajaran dengan memperhatikan bagaimana

latar etnis berlaku terhadap kehidupan sosial anak. Melalui pendekatan yang mengupayakan

nilai-nilai budaya daerah dan agama di Indonesia dapat dipahami, dihargai, dan dimanfaatkan

untuk kepentingan pendidikan yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika dengan

mengedepankan toleransi dan kerukunan antar budaya antar budaya dan pemeluk agama

(Amirin, 2012:15).

Namun dalam kenyataan praktek dilapangan mengenai bagaimana

menginternalisasikannya dalam pembelajaran Tematik mengalami hambatan yang terjadi akibat:

1. Infrastruktur yang kurang mendukung.

Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi hambatan utama ketika ditanyakan kepada

Kepala Sekolah, Guru dan Siswa dalam mengaplikasikan Pembelajaran Tematik ini seperti:

144

1) Kurangnya atau tidak tersedianya Buku pedoman Guru dalam pembelajaran Tematik, 2)

Kurangnya atau tidak tersedianya Buku Siswa dalam pembelajaran Tematik; 3) Beberapa

Sekolah khusus mengatakan bahwa buku-buku hanya memuat masalah-masalah bersifat

umum artinya masalah lokal kurang diangkat; 4) ketiadaan media pembelajaran yang

memadai; dan 5) di beberapa sekolah kekurangan kelas dan ruang belajar masih menjadi

masalah.

2. Kapabilitas Tenaga Pendidik yang belum memenuhi Harapan.

Banyak temuan mengenai bagaimana kemampuan Tenaga pendidik menjadi penghambat

dalam Pembelajaran Tematik di kelas-kelas. Beberapa kepala Sekolah seringkali

mengeluhkan; 1) Guru kurang disiplin waktu dalam melengkapi administrasi belajarnya: 2)

Pemahaman tentang pengembangan tematik dalam RPP masih kurang: 3) Kemampuan

Guru yang rendah dalam menyusun RPP dan kesemua itu disebabkan karena; 1) Latar

Belakang Pendidikan yang kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dan 2) kurangnya

mendapatkan pelatihan dan pendidikan mengenai pembelajaran.

3. Kondisi Sosiologis dalam masyarakat.

Ternyata berdasarkan pengamatan Kondisi sosial dalam masyarakat menjadi tantangan

yang cukup signifikan bagi Pendidik dalam menyampaikan pesan-pesan nilai multikultural

pada masyarakat. Guru ditantang untuk memberikan pemahaman multikulturalisme,

sementara sentimen-sentimen rasial, tekanan sosial, dan paham primodial masih sangat

melekat pada benak pikiran masyarakat tidak terkecuali peserta didik, ini terlihat dalam

temuan pada sekolah-sekolah yang tengah mengalami konflik sosial di pedesaan.

4. Infiltrasi ideologis paham asing yang kurang sesuai dengan nilai-nilai.

Pengaruh Media massa Televisi, Radio, dan internet telah menginflitrasi faham-faham asing

yang tidak sesuai dengan semangat multikulturalisme Indonesia seperti: radikalisme,

fundamentalisme dan sebagainya. Kondisi ini ternyata menghambat upaya meninternalisasi

nilai-nilai multikulturalisme Indonesia ke dalam paham pemikiran siswa.

5. Suasana sosio politik yang tidak mendukung.

Politik akan mempengaruhi kebijakan yang diambil dalam bidang pendidikan, begitu pula

situasi kondisi politik dari suatu daerah akan mempengaruhi pula bagaimana suasana

pendidikan yang ada. Dalam pengamatan ternyata Pemilihan kepala Daerah yang

berlangsung pada tahun 2016 di kabupaten Pringsewu mempengaruhi bagaimana

pendidikan berlangsung.

Guru berpendapat seringkali kebijakan mengenai teknis pembelajaran bergantung kemana

arah dukungan politik yang ada, seringkali pengambil kebijakan mengaitkan kebijakannya

berdasarkan pandangan politiknya tidak mendasarkan pada kebutuhan.

145

Seringkali sentiment primodial menyatu dengan kebijakan politik yang diambil oleh

pengambil kebijakan sehingga menghambat muatan-muatan nilai multikultural dalam teknis

pembelajaran.

Hambatan-hambatan itu telah menjadi tantangan bagi segenap Stake Houlder atau

pemangku kepentingan Pendidikan di Indonesia, untuk menyingkirkan segala rintangan demi

mewujudkan Masyarakat Indonesia yang bersatu dan berlandaskan pada Nilai-Nilai Demokrasi

Pancasila, sehingga dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

KESIMPULANDengan demikian maka jelaslah melalui penelitian ini dapat kita simpulkan Tantangan

dan Hambatan yang harus dihadapi oleh segenap pendidik dan institusi sekolah Dasar dalam

menginternalisasikan Civics Literasi berlandaskan nilai-nilai multikulturalisme bangsa Indonesia

melalui penerapan pembelajaran Tematik yang sesuai dengan arahan Kurikulum 2013 adalah

sebagai berikut;

Tantangan yang dihadapi dalam upaya internalisasi didapat dari dua lini yakni; a) situasi

kondisi sosio kultural masyarakat di mana institusi sekolah berada dan b) kondisi psikologis

peserta didik, sedangkan Hambatan yaitu; 1) Infrastruktur yang kurang mendukung; 2)

Kapabilitas tenaga pendidik yang belum memenuhi harapan; 3) Kondisi Sosiologis dalam

masyarakat; 4) Infiltrasi ideologis paham asing yang kurang sesuai dengan nilai-nilai; dan 5)

Suasana sosio politik yang tidak mendukung.

Walaupun demikian kompleksnya Tantangan dan Hambatan Multikulturalisme adalah

suatu keniscayaan untuk selalu diwujudkan dan dikembangkan agar keberlangsungan dan

eksistensi bangsa Indonesia selalu terjaga dan lestari sepanjang masa.

DAFTAR PUSTAKA.Amirin, Tatang. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural Konstekstual Berbasis Kearifan

Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan Fondasi dan Aplikasi. Volume 1

Nomor 1. Halaman 1-16.

Arpannudin, Iqbal. 2016. Literasi Warga Negara Muda Untuk Pengembangan Civic Engagement

Di Abad 21. Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan

Indonesia : Proceeding International Seminar Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai

Bidang keilmuan dan Program Pendidikan dalam Konstek Penguatan daya saing, Selasa

15-16 November 2016.

Dharnawan, Arya Hadi. 2006. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio Budaya

(Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat). Seminar dan Lokakarya Nasional

Pengembangan Perkebunan di Wilayah Perbatasan Pontianak 10-11 Januari 2007:

PERAGI.

146

Emzir, 2011. Metodelogi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kulitatif. Jakarta:RajaGrafindo

Persada.

Budimansyah, Dasim. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan dan Masyarakat Multikultural.

Bandung:Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana

Universitas Pendidikan Indonesia.

Hemafitria, 2016, “Identitas Budaya dan Kewarganegaraan: Kewarganegaraan Multikultural”

dalam Teori Sosial dan Kewarganegaraan. Dasim Budimansyah Eds, Bandung:Widya

Aksara Press.

Ibrahim, Ruslan, 2008. Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era

Pluralitas Agama. El Tharbawi Jurnal Pendidikan Islam. Vol 1 No. 1. Halaman 115-127.

Kristiantari, Made Gusti Rini. 2014. Analisis Kesiapan Guru Dalam mengimplementasikan

Pembelajaran Tematik Integratif Menyongsong Kurikulum 2013. Jurnal Pendidikan

Indonesia. Vol. 3 No. 1. Halaman 460-470.

Moeis, Isnarmi. 2016. Kompetensi Kultural Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Sebuah Gagasan Tentang Profil Lulusan. Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan

Universitas Pendidikan Indonesia : Proceeding International Seminar Pendidikan

Kewarganegaraan Sebagai Bidang keilmuan dan Program Pendidikan dalam Konstek

Penguatan daya saing, Selasa 15-16 November 2016.

Nuraedah, dan Jamaluddin. 2016. Tradisi Modero Sebagai Media Pendidikan (Simbolisasi

Kearifan Lokal di Kabupaten Poso). Laboratorium Pendidikan Kewarganegaraan

Universitas Pendidikan Indonesia : Proceeding International Seminar Pendidikan

Kewarganegaraan Sebagai Bidang keilmuan dan Program Pendidikan dalam Konstek

Penguatan daya saing, Selasa 15-16 November 2016.

Pambudi, Dolina Inang. 2015. Membangun Karakter Anak Melalui Keterampilan Literasi Dalam

IPS. Program Studi Pendidikan Dasar Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Membangun Imajinasi dan krativitas anak melalui

Literasi.

Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar. Jakarta:Ghalia

Indonesia.

Rinjani, Ersila Devi. 2017. Peran Budaya Lokal Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi Untuk

mewujudkan Bangsa Yang Unggul dan Berkarakter Di Sekolah Dasar. Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Prosiding

Seminar Nasional Membangun Literasi Di Sekolah Dasar Menuju Indonesia Cerdas

2045. Purwokerto 10 Mei 2017.

Strauss, Anselm. dan Juliet Corbin. (2007). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif Tatalangkah dan

Teknik-teknik Teorisasi data. Terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Mutaqqien. Cet

II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

147

Tim Penyusun, 2016. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat

Pembinaan Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim Penyusun, 2016. Materi Pokok dan Materi Umum Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat

Pembinaan Sekolah Dasar Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA: MAZHAB PETRUS IRIANTO JABARMASE DAN PEMBAHARUAN

Petrus Irianto, Universitas Cenderawasih, Jayapura-Papua [email protected], Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung-Jawa Barat

148

[email protected], Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung-Jawa Barat

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini menghasilkan konsep Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia yang merupakan sarana pembaharuan warga negara melalui pembelajaran bagi peserta didik dan masyarakat. Penelitian ini menghasilkan Mazhab Petrus Irianto Jabarmase sebagai Mazhab Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia. Mazhab ini menempatkan konsep Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional yang mewujudkan Indonesia maju, mandiri, sejahtera, berkeadilan, berdasarkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kata Kunci: Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia, mazhab Petrus Irianto Jabarmase, pembaharuan

PENDAHULUANPendidikan Kewarganegaraan merupakan alat dalam mewujudkan Indonesia maju,

mandiri, sejahtera dan berkeadilan melalui pembelajaran bagi peserta didik dan masyarakat.

Akan tetapi, sampai saat ini belum ada konten dan tujuan pembelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan yang mengarah pada pembudayaan pembangunan nasional.

Selanjutnya, secara global tidak ada persetujuan internasional mengenai isi dan tujuan

kurikulum Civic Education, sehingga negara-negara di dunia sangat sulit merumuskan definisi.

Oleh karena itu secara umum konsep Civic Education bertujuan untuk "membuat warga negara

yang baik" yang dilengkapi dengan pengetahuan yang tepat, keterampilan dan sifat-sifat dari

karakter. Konsep "warga negara yang baik" adalah relatif terhadap jenis rezim dan sistem politik

masyarakat. (Galston, 2001)

Lydersen (2011) menjelaskan bahwa konsep PKn Indonesia, yaitu: “patriotisme untuk

menjaga negara” dengan menyebutkan kompetensi - kompetensi dasar yang berhubungan

dengan: a) “menjelaskan pentingnya menjaga negara” b) “mengidentifikasikan jenis-jenis

menjaga negara” c) “memperlihatkan partisipasi dalam menjaga negara”. Selain itu, Jackson &

Bahrissalim. (2007) menjelaskan konsep PKn Indonesia berdasarkankombinasi konsep-konsep

Islam tentang negara dan kewarganegaraan dan konsep pemikiran dan praktik Barat pada

masyarakat sipil dan pluralisme demokrasi.

149

Artikel ini memberikan gambaran mengenai mazhab baru PKn Indonesia, yaitu Mazhab

Petrus Irianto Jabarmase yang menempatkan PKn sebagai pemandu dan penuntun warga

negara yang baik dalam konteks pendidikan pembangunan nasional. Artinya, bahwa konsep

PKn Indonesia sebagai pendidikan pembangunan nasional yang mempersiapkan warga negara

yang baik melalui pembelajaran di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan

masyarakat guna membentuk dan menciptakan pembudayaan pembangunan nasional yang

mewujudkan Indonesia mandiri, beradab dan berkeadilan.

Masalah penelitian : bagaimanakah mazhab Petrus Irianto Jabarmase sebagai mazhab

PKn Indonesia baru dan pembaharuan? Tujuan penelitian mendeskripsikan mazhab Petrus

Irianto Jabarmase dan pembaharuan pada PKn Indonesia.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan hukum normatif.Sumitro

(1988) penelitian hukum normatif dinamakan pula sebagai penelitian hukum doktrinal. Penelitian

ini menggunakan pemilihan partisipan dan tempat penelitian. Partisipan dalam penelitian ini

adalah pakar PKn yang memiliki spesialis ilmu hukum dan pakar hukum yang memiliki spesialis

PKn serta pakar Ketahanan Nasional (Tanas).Lokasi penelitian dari berbagai universitas di

Indonesia yang terkait dengan bidang kajian PKn yang memiliki spesialis ilmu hukum dan bidang

hukumyang memiliki spesialis PKn dan pakar Ketahanan Nasional. Berikut ini disajikan nama

dan kode subyek penelitian yang berhasil diwawancarai, diobservasi dan karyanya dianalisis

dalam laporan penelitian ini (lihat tabel 1).

Tabel 1Nama dan Kode Subyek Penelitian

150

HASIL DAN PEMBAHASANMazhab Petrus Irianto Jabarmase mengungkapkan konsepsi PKn sebagai pendidikan

pembangunan nasional. Konsep tersebut merupakan pembaharuan dalam rangka membentuk

warga negara yang berhak dan ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara melalui

pembelajaran di sekolah dan masyarakat.

1. Alasan Pengembangan Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase

Pembaharuan konsep PKn Indonesia, yaitu : “PKn sebagai pendidikan pembangunan

nasional” merupakan wujud dari segala masalah, kondisi dan keadaan masyarakat Indonesia

yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Alasan pengembangan konsepsional

PKn lebih luas ruang lingkupnya menyangkut pembangunan yang dilakukan antardaerah,

antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah yang

keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan

serta partisipasi masyarakat.

2. Mazhab Petrus Irianto Jabarmase dalam Perkembangan PKn Indonesia

Selanjutnya, perkembangan PKn Indonesia (sebagai civic education dan citizenship

education) berdasarkan konten dan tujuan PKn Indonesia di bagi kedalam 3 (tiga) mazhab

adalah :

a. Mazhab Soeharto (1978-1998). Penetapan Pancasila sebagai konten dan tujuan

pembelajaran PKn ditetapkan berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dengan nama PMP (Pendidikan Moral Pancasila).

Mazhab ini didukung dengan hasil penelitian Lydersen (2011) yang menjelaskan bahwa

151

No Nama Subyek Penelitian Keterangan

1. Prof. Dr.H.Abdul Aziz Wahab, M.A (Ed) (UPI)Pakar PKn dan Manajemen

Pendidikan

2. Prof. Dr.Armaidy Armawi, M.Si (UGM) Pakar Tanas

3. Prof. Dr. Udin S. Winataputra, M.A(UPI) PKn

4. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.IP.,M.Si (UPI) PKn, Politik dan Ilmu Hukum

5. Drs. Hassan Suryono, SH., MH.,M.Pd. (UNS) PKn dan Ilmu Hukum

konsep PKn Indonesia dalam hubungannya dengan kompetensi stándar yang dikembangkan

dalam pembelajaran, yaitu: “patriotisme, penjaga negara dan partisipasi untuk menjaga

negara”.

b. Mazhab UPI (1954-2014).Mazhab UPI dijadikan sumber dan induk pengembangan PKn

sebagai program Studi jenjang S1, S2 dan S3, pendirian organisasi profesi (AP3KNi) untuk

memperkuat keilmuan PKn yang diikuti seluruh Program Studi di Indonesia dari Sabang

sampai Merauke. Mazhab tersebut sesuai dengan kajian Jackson & Bahrissalim (2007) yang

menjelaskan konsep PKn Indonesia berdasarkankombinasi konsep-konsep Islam tentang

negara dan kewarganegaraan dan konsep pemikiran dan praktik Barat pada masyarakat sipil

dan pluralisme demokrasi.

c. Mazhab Petrus Irianto Jabarmase. Mazhab ini menempatkan sebagai pendidikan

pembangunan nasional yang merupakan hasil kehidupan Bangsa Indonesia yang

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan nilai Pancasila, nilai Islam

serta nilai Barat yang mempersiapkan warga negara yang baik melalui pembelajaran di

lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang mewujudkan

Indonesia mandiri, beradab dan berkeadilan.

3. Landasan Penerapan Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase

Landasan atau dasar hukum dari konsep PKn sebagai pendidikan pembangunan

nasional dan penerapan konsepsi PKn sebagai kebijakan pendidikan sebagai berikut :

a. UUD RI Tahun 1945 Pasal 30 ayat (1) “tiap-tiap warga negara berhak dan ikut serta dalam

pertahanan dan keamanan negara”.

b. Landasan hukum PKn Indonesia dibagi kedalam beberapa peraturan, yaitu :UUNomor 3

Tahun 2002 tentang Pertahanan NegaraPasal 9 ayat (2).

1) Landasan hukum PKn sebagai pembelajaran dibagi menjadi dua peraturan perundang-

undangan mengenai pembelajaran PKn pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan:

a) Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah

UUNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 37 ayat (1) dan (2)

yang diturunkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pembelajaran PKn di

pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai berikut : 1) Permendikbud No 20 Tahun

2016 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah; 2)

Permendikbud No 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah; 3)

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan

Menengah; 4) Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan;

5) Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar

152

pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Menengah; 6) Permendikbud

Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah; 7)

Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama

/ MadrasahTsanawiyah; 8) Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013

Sekolah MenengahAtas/Madrasah Aliyah; 9) Permendikbud Nomor 60 Tahun 2014 Tentang

Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan

b) Pendidikan Tinggi

UUNomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 35 (3) yang diturunkan dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur pembelajaran PKn di pendidikan tinggi

sebagai berikut: 1) Kedirjen Dikti No. 38/Dikti/KEP/2002 tentang Rambu-Rambu

Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi. Pasal 1, Pasal 2,

Pasal 3 dan Pasal 4; 2) Kedirjen Dikti No. 43/ DIKTI/ Kep/ 2006tentang Rambu-Rambu

Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi. Pasal

1, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4.

c) Landasan hukum PKn sebagai konten dan tujuan pembelajaran sebagai berikut : 1) UU No.

25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 2) UU No.17 Tahun

2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025; 3) Perpres No.

2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019; 4)

Perpres No. 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.

4. Dasar - Dasar Pengetahuan Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase

Dasar-dasar pengetahuan konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari

Petrus Irianto Jabarmase terdiri dari dasar penalaran; dasar logika, sumber pengetahuan dan

kriteria kebenaran (Suriasumantri, 2013)

a. Dasar Penalaran

Dasar penalaran konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari Petrus

Irianto Jabarmase berdasarkaan pada peraturan perundang-undangan yang terdiri dari :1) UUD

RI Tahun 1945 Pasal 30 ayat (1); 2) UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9

ayat (1); 3) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1); 4) UU

No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 35 ayat (3). Artinya, bahwa untuk

membentuk pertahanan negara yang baik harus dipersiapkan melalui pembelajaran pada

lingkungan sekolah, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat yang mengarah pada

pembudayaan pembangunan nasional.

b. Dasar Logika

Dasar logika konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari Petrus

Irianto Jabarmase mengacu pada logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif, Masyarakat

Indonesia yang baik dan aktif (umum) dikarenakan adanya perubahan konsep PKn Indonesia

153

(khusus) dan kegiatan pembelajaran PKn (khusus) diarahkan pada pelaksanaan dan

penyelenggaraan pembangunan nasional.Jadi, perubahan konsep PKn Indonesia harus

dilaksanakan pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai solusi bangsa Indonesia dalam

mewujudkan bangsa yang mandiri, beradab dan berkeadilan (kesimpulan).

c. Sumber Pengetahuan

Sumber pengetahuan konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari

Petrus Irianto Jabarmase PKn berdasarkan rasio dan pengalaman. Rasio merujuk pada premis

minor diatas, maka PKn sebagai sarana pertahanan negara melalui pembelajaran disekolah dan

dimasyarakat harus berdasarkan pada UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 dan Perpres No. 45 Tahun 2016

tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Pengalaman mengacu pada UU No 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) dan UU No 12 Tahun 2012 tentang

Pendidikan Tinggi Pasal 35 ayat (3).

d. Kriteria Kebenaran

PKn adalah sarana/alat pertahanan negara melalui pembelajaran di sekolah, keluarga

dan masyarakat, pernyataan ini adalah benar karena sifat yuridisnya, yakni Pasal 9 (2) UU No 3

Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, menyatakan bahwa keikutsertaan warga negara

dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui PKn.

Artinya, PKn merupakan hak masyarakat yang dibelajarkan pada peserta didik dan masyarakat

guna mewujudkan warga perundang-undangan.

5. Pokok - Pokok Pikiran Konsepsi PKn Indonesia Sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase

Mengenai pokok-pokok pikiran dari konsep dan konten PKn dalam pembelajaran di

lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat yang terkandung dalam konsepsi “PKn sebagai

pendidikan pembangunan nasional” dari Petrus Irianto Jabarmase didasarkan atas anggapan :

a) seluruh interaksi masyarakat dalam pembangunan nasional diatur berdasarkan peraturan

perundang-undangan; b) adanya keadilan, manfaat, dan kepastian dalam usaha bela negara; c)

PKn dapat membentuk dan membudayakan pembangunan nasional melalui pendidikan dan

pembelajaran; d) PKn menghasilkan warga negara yang aktif, inovatif terhadap berbagai

permasalahan pembangunan nasional.

6. DogmatisKonsepsi PKn Indonesia sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase

Selanjutnya, dogmatis konsepsi PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional dari

Petrus Irianto Jabarmase, yaitu : a) pembelajaran PKn untuk warga negara Indonesia diyakini

sebagai pembelajaran seumur hidup guna mewujudkan warga peraturan perundang-undangan;

b) PKn merupakan dasar ilmu dari semua ilmu yang dipelajari warga negara yang

154

baik/kewarganegaraan aktif berdasarkan peraturan perundang-undangan; c) pendekatan

pendidikan pembangunan nasional sebagai pendekatan PKn dipercaya dapat membentuk warga

negara Indonesia yang baik dan merevitalisasi Pancasila di persekolahan, keluarga dan

masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan; d) pelaksanaan konsep PKn

Indonesia sebagai keilmuan, pembelajaran, program pendidikan, gerakan komunitas dan

pendidikan karakter yang diyakini dapat menjadikan civics Indonesia sebagai normal science; e)

perumusan konten PKn Indonesia yang berdasarkan UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan Perpres No. 45 Tahun

2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 diyakini dapat mewujudkan warga

peraturan perundang-undangan; f) pencapaian tujuan pembangunan nasional adalah wujud

ketercapaian tujuan pendidikan dan pembelajaran PKn dipersekolahan, keluarga dan

masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan; g) keberhasilan PKn Indonesia

diyakini terintegrasi melalui peningkatan perkembangan intelektual, perkembangan moral, tugas-

tugas perkembangan sepanjang rentang kehidupan dan pengembangan kondisi yang

mempengaruhi minat anak pada sekolah, faktor yang mempengaruhi sikap dan minat anak

terhadap pekerjaan serta lambang status; h) PKn merupakan ilmu praktis yang mengikuti pola

pikir, pola laku dan pola rasa pembangunan nasional yang harus diyakini oleh negara dan

masyarakat sebagai usaha mewujudkan Indonesia yang mandiri, beradab dan berkeadilan

berdasarkan peraturan perundang-undangan; i) Ahli/praktisi PKn diyakini sebagai pemandu dan

penuntun keinginan dan kepentingan negara yang dibelajarkan pada seluruh masyarakat

Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.

7. Teori PKn Indonesia sebagai Pendidikan Pembangunan Nasional dari Petrus Irianto Jabarmase

Berdasarkan Konsep PKn sebagai pendidikan pembangunan nasional yang

menempatkan warga negara yang baik dan aktif harus berdasarkan peraturan perundang-

undangan, maka teori PKn dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Teori Pendidikan Pertahanan Negara

Teori pendidikan pertahanan negara adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik

sebagai pejabat publik (eksekutif dan legislatif) untuk melakukan perbuatan aktif yang

menuju Indonesia mandiri, maju, adil dan makmur.

b. Teori Pendidikan Bela Negara

Teori Pendidikan Bela Negara adalah PKn (sebagai citizenship education) merupakan garda

terdepan dalam membentuk masyarakat Indonesia yang aman dan damai dalam perbedaan,

artinya pembelajaran yang dilakukan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan untuk

mencapai sasaran pembangunan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan.

c. Teori Mak Joblang

155

Merujuk teori-teori diatas, maka penulis merumuskan teori PKn sebagai pendidikan

pembangunan nasional, adalah “Teori Mak Joblang”. Inti dari teori tersebut merupakan

perantara untuk mewujudkan warga peraturan perundang-undangan melalui pendidikan dan

pembelajaran bagi peserta didik dan masyarakat.

KESIMPULANSecara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa Mazhab Petrus Irianto Jabarmase

menuntut pemerintah merumuskan konsep, konten dan tujuan pembelajaran PKn sebagai

pendidikan pembangunan nasional yang berdasarkanUU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional 2005-2025, Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan Perpres No. 45 Tahun 2016 tentang

Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017.

DAFTAR PUSTAKAGalston, W. A. (2001).Political knowledge, political engagement, and civic education. Annual

review of political science, 4(1), 217-234

Jackson & Bahrissalim. (2007)Crafting a new democracy: Civic education in Indonesian Islamic

universities. Asia Pacific Journal of Education, 27(1), 41-54

Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/KEP/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah

Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi

Keputusan Dirjen Dikti No. 43/ DIKTI/ Kep/ 2006tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok

Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan tinggi

Lydersen. M. Kennet (2011).Democratic Citizenship Education in Indonesia post -Suharto:

Political indoctrination or critical democratization? A case study of civic education in

Yogyakarta, Indonesia. Journal of Human Development and Capabilities, Vol 7. 385-395

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional 2015-2019

Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Standar

Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi

Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor22 Tahun 2016 tentang Standar Proses

Pendidikan Dasar dan Menengah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor23 Tahun 2016 Tentang Standar

Penilaian Pendidikan

156

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti

dan Kompetensi Dasar pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan

Menengah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor57 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013

Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor58 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013

Sekolah Menengah Pertama / MadrasahTsanawiyah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013

Sekolah MenengahAtas/Madrasah Aliyah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor60 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013

Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan

Sumitro Hanitijo Ronny (1988) Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia :

Jakarta

Suriasumantri Jujun S (2013)Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar

Harapan :Jakarta

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

Undang-UndangNomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-UndangNomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-UndangNo.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

2005-2025

Ekoliterasi Sebagai Dasar Pembentukan Ecological Citizenship Siswa(Studi Pengaruh Ekoliterasi Terhadap Sikap Ecologycal Citizenship Siswa SMP Negeri 11

Surabaya)

157

Qurotul Fitriani, Fitri Uswatun Hasanah, Khalimatus Sa’diyahUniversitas Negeri Surabaya,Surabaya

[email protected]

ABSTRAK

Krisis ekologi merupakan masalah yang membutuhkan penanganan khusus dari setiap elemen masyarakat. Solusi mendasar yang dapat dilakukan adalah dengan mendidik serta memberi informasi kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan. Khususnya pada elemen masyarakat yang menjalani pendidikan formal di sekolah agar proses transformasi nilai-nilai ekologi mudah dilakukan. Ekoliterasi bertujuan agar siswa memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan peduli terhadap masalah yang terkait di dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif solusi pemecahannya. Hal ini selaras dengan tujuan Education for Sustainable Development (ESD) yang terdapat dalam hidden curriculum guna memberikan pemahaman bagi siswa karena pada misinya siswa merupakan generasi penerus bangsa yang harus memiliki karakter cinta lingkungan untuk menjaga sumber daya alam dan keseimbangan ekosistem. Ekoliterasi merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman individu atau masyarakat terhadap hakikat dan prinsip-prinsip ekologi. Melalui ekoliterasi diperkenalkan dan diperbarui pemahaman masyarakat akan pentingnya kesadaran ekologis guna menciptakan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kesanggupan bumi untuk menopangnya. Nilai-nilai ekoliterasi ditanamkan kepada siswa agar menjadi warga negara yang mencintai lingkungannya dan menjadi bagian dari ecologycal citizenship. Melalui ekoliterasi siswa diharapkan dapat berfikir kritis mengenai permasalahan lingkungan ( seperti: pengelolaan tata ruang, penangulangan pencemaran lingkungan, pola dan gaya hidup yang tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem, upaya konservasi) dan berperan aktif dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan.Kata Kunci : Ecologycal citizenship, Ekoliterasi.

PENDAHULUANPembangunan yang terjadi di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat di segala

bidang. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pembangunan yang dilakukan tidak

memperhatikan dampak untuk lingkungan sekitar. Sehingga di balik kemajuan pembangunan

yang dilakukan juga menyisakan permasalahan di bidang lain, yakni permasalahan ekologis

yang dipengaruhi oleh faktor perilaku manusia dalam kegiatan pembangunan industri.

Pembuangan limbah dari industri di kota-kota besar merupakan contoh dari permasalahan

lingkungan. Selain itu limbah juga berasal dari pemukiman masyarakat. Bahkan masyarakat

menjadi penyumbang limbah terbesar dari pada industri. Hal ini bisa dilihat dari data di

Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) tahun 2008 menyebutkan, Indonesia

menghasilkan limbah sampah sebanyak 38,5 juta ton / tahun. Pulau Jawa menjadi penyumbang

terbesar sampah dengan menghasilkan 21,2 juta ton / tahun. Disusul dengan pulau Sumatra

yang menghasilkan 8,7 juta ton / tahun sampah. Sampah tersebut berasal dari limbah

pemukiman masyarakat beserta sampah non pemukiman ( industri, rumah sakit dan lain-lain).

Dalam skala provinsi Jawa Timur menduduki peringkat kedua setelah provinsi Jawa Barat

dengan jumlah 9,99 juta ton / tahun. Dari data tersebut tentu saja krisis ekologi ini bukanlah

persoalan yang mudah. Mengingat berhubungan dengan ekosistem lingkungan hidup serta

planet bumi sebagai tempat tinggal manusia. Krisis ini merupakan problem akut yang

158

membutuhkan penanganan khusus dari setiap elemen masyarakat (Amirullah, 2015:4). Tentu

saja dalam menghadapi persoalan tersebut dibutuhkan adanya solusi yang mendasar guna

menghadapi tantangan lingkungan. Ada kebutuhan untuk mendidik serta memberi informasi

kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan. Pemberian informasi pun bisa

dilakukan di wilayah sekolah dengan sasarannya yaitu para siswa.

Pendidikan Lingkungan Hidup menurut konvensi UNESCO di Tbilisi tahun 1997

merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang

memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan peduli terhadap masalah-masalah yang terkait di

dalamnya serta memiliki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik

secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif dan untuk menghindari timbulnya

masalah-masalah lingkungan hidup. Tantangan ini bisa terjawab dengan solusi yang

berkelanjutan (sustainable). Salah satunya yaitu Education for Sustainable Development (ESG).

Meskipun dalam kurikulum terbaru, Education for Sustainable Development tidak masuk di

dalamnya, namun program tersebut tetap dilakukan melalui Hidden Curiculum (Segara,

2015:23). Karena pembangunan tersebut bersifat berkelanjutan, maka diharapkan mampu untuk

memiliki nilai-nilai berkelanjutan dalam menjaga lingkungan. Tentu saja, hal ini penting karena

dengan informasi yang telah dimiliki mengenai lingkungan hidup maka seorang siswa juga bisa

turut andil dalam menjaga lingkungan sekitar ketika mereka terjun ke dalam masyarakat.

Sasaran penelitian yang dilakukan adalah para siswa yang berada di jenjang Sekolah

Menengah Pertama namun terbatas pada sekolah yang sudah memiliki status Adiwiyata. Salah

satu sekolah Adiwiyata tersebut adalah SMPN 11 Surabaya, sekolah ini mendapatkan

penghargaan Green School Awards tingkat nasional. Padahal dulunya sekolah ini merupakan

lapangan kumuh bekas lapangan Dwikora yang pada saat itu menjadi tempat mangkal ratusan

becak di Surabaya dan menjadi semacam WC umum warga sekitar untuk kegiatan MCK. Dalam

perkembangannya pemerintah kota Surabaya membantu menjadikan sekolah ini berkonsep

Green Building. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara langsung

mengenai pemahaman ekoliterasi pada siswa terhadap sikap ecological citizenship.

Pemahaman ekoliterasi dalam dunia pendidikan sangat menunjang kehidupan siswa secara

langsung dan berdampak kepada lingkungan sekitarnya. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan konstribusi dalam bidang pendidikan, yaitu dapat mencetak generasi yang melek

lingkungan sehingga dapat memperbaiki permasalahan lingkungan.

Permasalah yang diteliti merupakan ada atau tidaknya pengaruh antara ekoliterasi

dengan pembebentukan sikap ecologycal citezenship siswa di SMP Negeri 11 Surabaya dan

mengukur sejauh mana signifikansi pengaruh tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk untuk

mengukur, menguji dan memperoleh kajian khusus tentang pengaruh tingkat pemahaman

ekoliterasi dengan pembentukan kewarganegaraan ekologi serta memahami arti penting dan

159

menumbuh kembangkan ekoliterasi sebagai salah satu sarana membangun karakter peduli

lingkungan pada diri siswa.

METODE PENELITIANPenelitian difokuskan kepada pengukuran pemahaman ekoliterasi dengan

menggunakan indikator yakni, menginterpretasikan, membandingkan, menyimpulkan,

mengklasifikasikan dan menjelaskan materi ; 3R (reduce,reuse dan recycle); hemat energi listrik

dan air; ekosistem dan elestarian lingkungan hidup; serta aspek-aspek yang meliputi

pengetahuan, sikap dan tindakan kewarganegaraan ekologi (ecological citizenship). Jenis

penelitian ini merupakan penelitian Ex Post Facto dan menggunakan analisis kausal asosiatif

yang membahas tentang derajat pengaruh antara variabel tingkat pemahaman siswa variabel

pembentukan sikap kewarganegaraan ekologi ( ecological citizenship) pada diri siswa.

Instrumen yang digunakan adalah bentuk tes pilihan ganda, kuesioner dan dokumentasi,

kemudian data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan analisis inferensial

untuk menjelaskan derajat pengaruh antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat

(dependen).

HASIL DAN PEMBAHASANSMP Negeri 11 Surabaya merupakan salah satu sekolah yang ada di Sawah Pulo Ujung

Kecamatan Semampir kota Surabaya. Lingkungan sekolah yang dekat dengan pasar Pabean

Surabaya yang cenderung kumuh dan kurang teratur. Namun dalam perkembangannya sekolah

ini telah mendapat berbagai penghargaan mengenai kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar.

Terbukti pada tahun 2014 mendapatkan penghargaan Adiwiyata Nasional dan pada tahun 2017

ini mendapat penghargaan Adiwiyata Mandiri. Hal tersebut merupakan komitmen para warga

sekolah untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem lingkungannya.

Dalam mengukur tingkat pemahaman Ekoliterasi digunakan tes dengan 6 soal kepada 92

siswa di SMPN 11 yang tersebar di kelas VII, VIII dan IX. Diperoleh gambaran ketika siswa diberi

tes mengenai pengetahuan mereka tentang konsep 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle), konsep

3R ini bertujuan agar siswa dapat menindak lanjuti mengenai masalah penegelolahan sampah di

lingkungan sekitar mereka dan menerapkan solusi atas masalah tersebut dalam kegiatan sehari-

hari. Diperoleh sebanyak 82% siswa dapat menjawab dengan benar, artinya dapat menjelaskan

dan menyimpukan dengan contoh konsep 3R, mengkategorikan karakteristik limbah/sampah,

menerapkan dan mengpresiasi kegiatan 3R serta mempunyai keterampilan mengkomunikasikan

konsep 3R. Adapun pengetahuan tentang 3R dapat dilihat dalam tabel berikut :

160

Gambar. 1 Grafik prosentase jawaban soal materi 3R

Ketika siswa diberikan 5 soal tes mengenai konsep pentingnya menghemat energi listrik

dan air dari 92 sebanyak 6,7% menjawab benar, artinya siswa telah mengerti bagaimana

tindakan untuk mengurangi energi listrik dan bijak dalam menggunakan air, siswa dapat

mengklasifikasikan dampak dari aktivitas penggunaan air dan listrik yang berlebihan,

mengintepretasikan dan berpartisipasi dalam penghematan listrik dan air juga menemukan

strategi/solusi untuk menghemat energi listrik dan air.

Gambar. 2 Grafik prosentase jawaban soal materi penghematan energi listrik dan air

Mengenai materi ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup 73 siswa dai 92 siswa

dapat menjelaskan komponen-komponen yang ada di dalam ekosistem dan dampak dari tidak

menjaganya, menunjukkan apresiasi mengenai kepedulian terhadap lingkungan dan makhluk

hidup lainnya, dan mampu secara mandiri berpikir tentang isu-isu lingkungan serta

menunjukkan sikap sosial peduli terhadap lingkungan dan orang lain.

Gambar. 3 Grafik prosentase jawaban soal materi ekosistem dan pelestarian lingkungan hidup

161

Dalam menunjukkan sikap ecologycal citizenship sekolah membuat berbagai kebijakan

melalui program-program yang dilakukan seperti pengadaan tempat sampah yang dipisahkan

sesuai jenis sampah, mengintegrasikan mata pelajaran lain untuk mendukung siswa diwajibkan

membawa limbah rumah tangga yang sudah dipilah utamanya limbah organik untuk diolah di

Rumah Kompos sekolah menjadi pupuk kompos dan sampah kering untuk diolah di Bank

Sampah. Selain itu sebagai bentuk komitmen sekolah juga mengikuti berbagai event atau

lomba yang berhubungan dengan kepedulian lingkungan. Seperti lomba eco-school, eco-

preneur, lomba karya tulis ilmiah (LKTI) dll.

Sekolah juga membentuk kader lingkungan disetiap kelas yakni menunjuk 10 orang

siswa setiap kelas untuk mengikuti pembinaan yang dilakukan, dan sampai saat ini di SMP

Negeri 11 Surabaya telah memiliki 270 kader aktif. Kader ini disiapkan untuk melakukan

sosialisasi kepada teman sebaya atau sepermainan, keluarga dan tetangga sekitar tempat

tinggal mereka mengenai permasalahan lingkungan dan solusinya. Tim kader lingkungan SMPN

11 Surabaya melakukan aksi lingkungan sebagai wujud partisipasi mereka dalam menjaga dan

melestarikan lingkungan, aksi bukan hanya dilakukan didalam sekolah tapi juga diluar sekolah

yakni meliputi warga kampung sekitar sekolah maupun siswa-ssiswa dari sekolah-sekolah lain.

Aksi meliputi pengolahan limbah, penghijauan dan konservasi air melalui kegiatan grebeg pasar,

pembuatan kompos, membuat biopori, merawat tanaman, membersihkan sungai dan saluran air

disekitar sekolah mereka.

Selain itu dilakukan pengukuran melalui kuesioner yang meliputi aspek komitmen,

tanggung jawab dan partisipasi siswa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan, diperoleh

hasil sikap ecologycal citizenship siswa sangat tinggi sebesar 79%, artinya siswa mempunyai

komitmen, tanggung jawab dan partisipasi, faktor lain yang ditemukan adalah peran besar

kebijakan sekolah yang mendukung sepenuhnya mengenai sikap ecologycal citizenship

siswanya. Adapun sikap ecologycal citizenship siswa dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar. 4 Grafik presentasi sikap ecologycal citizenship

Sekolah melakukan berbagai kebijakan untuk membentuk sikap ecologycal citizenship

siswa dengan program-program yang dijalankan, misalnya kegiatan lomba yang dilakukan untuk

memperingati hari tertentu dengan mengadakan lomba membuat taman disetiap kelas, namun

untuk menjaga komitmen para siswanya penilaian tidak hanya dilakukan ketika lomba itu 162

diadakan, namun terus dikontrol secara berkala. Kemudian untuk meningkatkan kompetensi dan

pengetahuan lingkungan mereka, siswa-siswi dibina untuk melakukan penelitian-penelitian yang

berhubungan dengan lingkungan, misalnya tentang IPAL (Instalasi Pembuangan Air Limbah).

Ketika dilakukan uji data antara variabel dependent dan predictor(constant) dengan uji

normalitas, dan diketahui hasil sebagai berikut:

Tabel. 1 Hasil Uji Normalitas

Dari hasil diatas, diketahui nilai sign untuk tingkat pemahaman ekoliterasi pada Uji

Normalitas dengan SPSS “kolmogorof smirnov” adalah : 0.647 > 0.05 dan 0.13 > 0.05, maka

dapat disimpulkan data untuk tingkat pemahaman ekoliterasi dan sikap ecological citizenship

berdistribusi Normal.Setelah diketahui bahwa data berdistribusi normal, maka kemudian dilakukan pengujian

terhadap kedua variable untuk mengetahui pengaruhnya dan menjawab hipotesis, dan diperoleh

hasil berikut :

Tabel. 2 Hasil Uji t Variabel dependent dan constant

163

Jadi, untuk pengambilan keputusan diketahui nilai sig. uji t 0,000 < 0,05 yang artinya Ho

Ditolak dan Ha Diterima. maka terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat

pemahaman ekoliterasi terhadap pembentukan sikap Ecological Citizenship di SMP N 11

Surabaya.

KESIMPULANDari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa

pemahaman ekoliterasi siswa SMPN 11 Surabaya mencapai 81,11% dari keseluruhan siswa

dapat menjawab soal dengan benar. Sikap ecologycal citizenship siswa yang meliputi aspek

komitmen, tanggung jawab dan partisipasi siswa dalam menjaga dan melestarikan lingkungan,

diperoleh hasil sikap ecologycal citizenship siswa sangat tinggi sebesar 79%. Pemahaman

ekoliterasi mempengaruhi sikap ecologycal citizenship siswa dengan nilai sig. uji t 0,000 < 0,05 ,

selain faktor internal yakni pemahaman ekoliterasi ditemukan juga bahwa ada faktor luar yang

menunjang pembentukan sikap ecologycal citizenship yakni kebijakan dan program-program

habituasi yang dilakukan oleh sekolah.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih kepada DR. Hj. Rr. Nanik Setyowati, M.Si. selaku dosen

pembimbing yang telah membimbing kami dalam penelitian ini, orang tua kami yang selalu

memberikan dorongan dan motivasi serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam

penyelesaian penelitian ini, khususnya kepada Kepala Sekolah SMPN 11 Surabaya bapak H.

Masykur, HS. Dan Ibu Suminah, S.Pd. selaku pembina lingkungan di SMPN 11 Surabaya.

164

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arifin, Z. 2011. Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.

Poesprodjo. 1987. Pemahaman Belajar. Jakarta: Rieneka Cipta Ritohardoyo. 2000. Geografi

Permukiman. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM

Sudaryono. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudijono,

Anas. 2005. pengantar Evaluasi Pendidikan. Ed.1 Cet.5. jakarta:Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: CV Alfabeta.

________. 2013 Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:CV Alfabeta

Umar, Husein. 1998. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Raja Grafindo. Jakarta.

Yuniarto, bambang. 2013. “Membangun Kesadaran Warga Negara dalam Pelestarian

Lingkungan”. Yogyakarta. CV Budi Utama.

JURNAL ONLINE/ ARTIKEL ILMIAH

Amirullah. 2015. Krisis Ekologi : Problematika Sains Modern. Jurnal Lentera Vol. XVIII ( No.1)

hlm.4. Dobson, A. Tanpa Tahun.“Ecological citizenship: A disruptive influence?” diakses

25 Mei 2017 http://www.vedegylet.hu/okopolitika/Dobson%20%20Ecological%20Citize

nship.pdf _________. 2007. “Environmental citizenship: towards sustainable

development.

Sustainable Development”. hal 280

Grounlund, N. E. (1985). Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan

Publishing Company. Hays, W.L.1976. Quantification in Psychology. New Delhi: Prentice

Hall. Kristiyanto, Netty Demak H. S. 2016. “Dinamika Kajian Ekologi Integratif, dalam

Membangun Pola Pembangunan yang Berkelanjutan”. Jurnal Ilmiah Pendidikan MIPA .

VOL 6 (No.2) hlm. 165.

Melo, Carme. Escrihuela. 2008. “Promoting Ecological Citizenship: Rights,

Duties and Political Agency” Vol 7, (No 2). Hal 117-122 diakses 25 Mei 2017

https://ojs.unbc.ca/index/php/acme/article/view/799/657 Nugraha, Rana Gustian. 2015.

Meningkatkan Ecoliteracy Siswa SD melalui Metode Field Trip Kegiatan Ekonomi pada

Mata Pelajaran Imu Pengetahuan Sosial. Jurnal Mimbar Sekolah Dasar. Vol 2 (No.1)

hlm. 4.

165

Osterlind, S. J. (1983). Test item bias. Beverly Hills, CA: Sage Publication Inc. Prasetiyo,

Wibowo Heru. Dasim Budimansyah. 2016. “Warga Negara dan

Ekologi: Studi Kasus Pengembangan Warga Negara Peduli Lingkungan

dalam Komunitas Bandung Berkebun” Jurnal Pendidikan Humaniora, Vol. 4 (No 4) hal

182-183

Sapanca, Putu Lasmi Yuliyanthi Sapanca. 2012. Efektivitas Ekoliterasi dalam

Meningkatkan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Mengenai

Education For Sustainable Development Berbasis Tanaman Pangan Lokal

(Studi Kasus Di Kecamatan Bangli). Jurnal Agrimeta: Pertanian Berbasis Keseimbangan

Ekosistem. Vol 2 (No.3) hlm. 4.

Segara, Nuansa Bayu. 2015. Educatin for Sustainable Development (ESD) Sebuah

Upaya Mewujudkan Keelestarian Lingkungan. Jurnal Sosio Didaktika. Vol 2 (No.1) hlm

22-30.

Suhartini. 2009. “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Lingkungan” . Jurnal. Jurusan Pendidikan Biologi Fmipa

Universitas Negeri Yogyakarta.

Utina, Ramli. Wahyuni, Dewi. 2009. “ Ekologi dan Lingkungan Hidup”. Gorontalo: UNG Press

Wilujeng, Sri Rahayu. “Mencari Landasan Etis bagi Upaya Membudayakan

Pengelolaan Lingkungan yang Bertanggung Jawab. Jurnal HUMANIKA. Vol 14 (No.1)

hlm. 3.

166

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA DALAM RANGKA MEMBANGUN WARGA NEGARA YANG TRANSFORMATIF

Rr Nanik Setyowati, Maya Mustika Kartika Sari dan Siti Maizul HabibahUnesa, Surabaya

[email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Proses pembelajaran yang ideal memerlukan penggunaan buku ajar dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam memahami masalah yang ada di sekitarnya. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang baik, maka proses pembelajaran yang berlangsung harus dikemas sedemikian rupa sehingga mahasiswa dilibatkan secara aktif di kelas. Untuk memperoleh hasil tersebut, salah satunya dengan meningkatkan kualitas pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, belajar mengajar adalah suatu proses yang tidak hanya mendapatkan informasi dari dosen, tetapi banyak kegiatan maupun tindakan yang hendaknya dilakukan, terutama bila menginginkan hasil belajar yang lebih baik dari mahasiswa. Misalnya pemberian tugas yang merangsang mahasiswa berpikir kritis yang diberikan maupun metode serta model pembelajaran yang diberikan. Pendekatan dalam proses pembelajaran adalah melakukan proses belajar mengajar yang menekankan pentingnya belajar melalui proses mengalami untuk memperoleh pengalaman, ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan berhasil tidaknya belajar yang diinginkan. Berpikir kritis sangat diperlukan di dalam kehidupan nyata terutama di bidang pendidikan, karena berpikir kritis dalam pendidikan adalah proses berpikir untuk membuat sebuah keputusan dari berbagai landasan seperti bukti, metode, kriteria, konteks, konseptualisasi dan sumber informasinya yang relevan. Dengan pijakan posisi sebagai warga Negara Republik Indonesia, mahasiswa diajak untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai kewarganegaraan dengan berbagai kegiatan riil. Lebih dari itu, dibalik pengembangan komitmen kewarganegaraan ini juga tersirat keinginan untuk membiasakan mahasiswa sebagai partisipan dan menjadi warga negara yang transformatif.

Kata Kunci: Peningkatan, Berpikir Kritis, Warga Negara, Transformatif

PENDAHULUANProses pembelajaran memerlukan kerjasama yang baik antara berbagai pihak. Kondisi

yang ideal, dalam menyajikan materi ajar dalam proses pembelajaran dan memudahkan peserta

didik untuk mempelajarinya, guru perlu mengorganisasikan materi ajar yang telah dikembangkan

ke dalam bahan ajar. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan berdasarkan hasil evaluasi,

supervisi, dan evaluasi masih banyak guru yang belum mampu mengembangkan bahan ajar

secara mandiri. Guru lebih banyak mengandalkan buku paket atau bahan ajar yang disusun oleh

guru lain atau yang disediakan Pemerintah. Guru kurang menyadari akan pentingnya menyusun

bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan, manfaat bahan ajar dalam penyiapan perangkat

pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran, guru kurang memahami mekanisme dan teknis

menyusun bahan ajar yang benar. Selain itu ada masalah yang dihadapi guru yaitu terbatasnya

sarana TIK di sekolah dan terbatasnya kemampuan guru dalam pemanfaatannya. (Direktorat

Pembinaan SMA menyusun dan menerbitkan Petunjuk Teknis Pengembangan Bahan Ajar

SMA).

Sebagai salah satu prodi yang meluluskan calon guru maka PPKn harus menyiapkan

cara untuk mengantisipasi hal-hal tersebut di atas, tetapi itu semua belum cukup terutama

167

dengan diterapkannya Kurikulum 2013 yang menuntut guru untuk mempunyai kemampuan

berpikir kritis. Kurikulum 2013 mengembangkan sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan

keterampilan peserta didik. (Permendikbud Nomor 54/2013). Untuk itulah perlu dilakukan

penengembangan bahan ajar pada beberapa mata kuliah yang diterima mahasiswa Prodi PPKn

sebagai calon guru PPKn kelak.

168

Dalam perkembangan terakhir sejak diterapkannya Kurikulum Kerangka Kualifikasi

Nasional Indonesia (KKNI), untuk angkatan 2015 mata kuliah Hubungan Internasional diganti

menjadi mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Global. Sebagai mata kuliah wajib di

Prodi PPKn, maka mata kuliah ini diharapkan sebagai salah satu modal untuk mengajarkan

muatan materi PPKn untuk tingkat SMP maupun SMA. Mahasiswa diharapkan memiliki

kemampuan berpikir kritis dalam memahami masalah yang ada di sekitarnya bahkan sampai di

tingkat global.

Materi Hubungan Internasional dan Politik Global merupakan muatan materi mata

pelajaran PPKn yang dapat dipakai di setiap kurikulum, baik KTSP 2006 maupun Kurikulum

2013, pada jenjang SMP maupun SMA. Sehingga mahasiswa Prodi PPKn yang nantinya

menjadi guru SMP dan SMA seharusnya memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik dalam

menguasai materi Hubungan Internasional dan Politik Global. Untuk itu diperlukan bahan ajar

dan proses pembelajaran yang baik dan benar.

Proses pembelajaran atau proses belajar mengajar adalah suatu proses yang cukup

rumit, karena tidak sekedar menyerap informasi dari dosen, tetapi juga melibatkan berbagai

kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan, terutama bila menginginkan hasil belajar yang

lebih baik. Salah satu cara belajar mengajar yang menekankan berbagai kegiatan dan tindakan

adalah menggunakan pendekatan tertentu dalam proses pembelajaran. Pendekatan dalam

proses pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu upaya dalam mengembangkan

keaktifan belajar yang dilakukan, baik oleh peserta didik maupun dosen. Artinya baik tidaknya

hasil belajar mengajar dapat dilihat dari mutu lulusan maupun proses belajar mengajarnya.

Dikatakan berhasil apabila menghasilkan banyak lulusan yang bermutu tinggi, yang sesuai

dengan kebutuhan masyarakat (stake holder), serta yang memadai. Di samping itu, juga jika

dalam prosesnya menunjukkan kegairahan yang tinggi, semangat belajar yang besar dan

percaya pada diri sendiri. Dan pada akhirnya diharapkan mahasiswa memiliki kemampuan

berpikir kritis yang baik.

169

Untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang baik melalui mata kuliah

Hubungan Internasional dan Politik Global, maka proses pembelajaran yang berlangsung harus

dikemas sedemikian rupa sehingga mahasiswa dilibatkan secara aktif di kelas. Upaya untuk

memperoleh hasil tersebut, maka salah satu caranya dengan meningkatkan kualitas

pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan di atas, belajar mengajar adalah suatu proses yang

tidak hanya mendapatkan informasi dari dosen, tetapi banyak kegiatan maupun tindakan yang

hendaknya dilakukan, terutama bila menginginkan hasil belajar yang lebih baik pada diri

mahasiswa. Misalnya dari pemberian tugas yang merangsang mahasiswa berpikir kritis yang

diberikan maupun metode pembelajaran serta model pembelajaran yang diberikan oleh dosen.

Pendekatan dalam proses pembelajaran pada dasarnya adalah melakukan proses belajar

mengajar yang menekankan pentingnya belajar melalui proses mengalami untuk memperoleh

pengalaman. Pendekatan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan berhasil

tidaknya belajar yang diinginkan.

Perumusan MasalahBertitik tolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang

diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Mengapa kemampuan berpikir kritis diperlukan mahasiswa S1 PPKn Jurusan PMP-KN FISH

Unesa?

Tujuan Penelitian Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah :

Untuk mendeskripsikan alasan diperlukannya kemampuan berpikir kritis mahasiswa S1 PPKn

Jurusan PMP-KN FISH Unesa?

METODE PENELITIANJenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan bahan ajar dalam proses

perkuliahan mata kuliah Hubungan Internasional dan Politik Global. Dalam penulisan artikel ini

difokuskan pada masalah terkait pentingnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa.

Teknik Analisis DataAdapun untuk menganalisis diperoleh melalui kajian literatur. Untuk artikel dalam seminar

ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan bahan ajar dan difokuskan pada masalah

ketiga. Untuk masalah pertama dan kedua sedang dalam proses karena penelitian sedang

berjalan.

170

HASIL DAN PEMBAHASANDalam hal pengembangan bahan ajar maka harus memperhatikan strukturnya. Struktur

isi buku minimal memuat: Judul/identitas, SK-KD, Materi Pembelajaran, Paparan Isi Materi,

Latihan dan Penilaian (Direktorat Pembinaan SMA. Petunjuk Teknis Pengembangan Bahan Ajar

SMA). Buku ajar harus memenuhi syarat-syarat tertentu, penyajiannya harus menarik,

menantang, materinya bervariasi sehingga peserta didik benar-benar termotivasi untuk

mempelajarinya.Semakin berkualitas suatu buku, semakin sempurna mata pelajaran yang

ditunjangnya. Untuk memenuhi kualitas buku ajar yang baik, maka diperlukan kriteria-kriteria

tertentu dalam penyusunan dan penulisan buku ajar, kriteria tersebut menurut Greene dan Petty

(Tarigan, 1986:22) yaitu: sudut pandang (point of view); kejelasan konsep dengan kurikulum;

menarik minat; menumbuhkan mitivasi; menstimulasi aktivitas siswa; ilustratif; harus dapat

dimengerti; menunjang mata pelajaran lain; menghargai perbedaan individu ; dan menetapkan

nilai-nilai. (Setyowati, Rr Nanik dan Siti Maizul Habibah.2015:10).

Bahan ajar yangt baik akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.

Saat ini kemampuan berpikir kritis sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, karena untuk

mengembangkan kemampuan berpikir lainnya, seperti kemampuan untuk membuat keputusan

dan menyelesaian masalah. Banyak sekali fenomena dalam kehidupan sehari-hari yang perlu

dikritisi (http://nengah235.blogspot.co.id/2013/03/apa-itu-berpikir-kritis.html diakses tanggal 22

Maret 2017).

Berpikir kritis sangat diperlukan di dalam kehidupan nyata terutama di bidang pendidikan.

Pengertian berpikir kritis dalam pendidikan adalah proses berpikir untuk membuat sebuah

keputusan dari berbagai landasan seperti bukti, metode, kriteria, konteks, konseptualisasi dan

sumber informasinya yang relevan. Seorang mahasiswa/calon guru yang berpikir kritis maka dia

akan mampu :

1. Mengenali berbagai isu di bidang pendidikan dengan mudah.

2. Mengidentifikasi, menganalisis penyebab masalah dan tingkat hubungan masalah

tertentu.

3. Mampu membuat solusi dan mengevaluasinya seperti merumuskan masalah yang terkait

dengan perlu tidaknya Unas.

4. Dengan demikian berpikir kritis dalam dunia pendidian sangat penting karena akan

meningkatkan keterampilan dan profesionalisme dalam aktivitasnya di dunia pendidikan.

Pengertian berpikir kritis adalah berpikir pada sebuah level yang kompleks dengan

menggunakan berbagai proses analisis dan proses evaluasi terhadap informasi yang

didapatkan. Menurut Beyer:1985, pengertian berpikir kritis adalah kemampuan kemampuan

untuk :

171

Menilai valid tidaknya suatu sumber informasi

Bisa membedakan mana yang relevan dan mana yang tidak relevan

Bisa membedakan mana yang fakta mana yang opini

Mampu untuk mengidentifikasi bias dan sudut pandang

Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta yang ada kemudian membuat

beberapa gagasan dan mempertahankan gagasan tersebut kemudian membuat perbandingan.

Dengan membuat beberapa perbandingan kita bisa menarik kesimpulan dan membuat sebuah

solusi atas masalah yang ada. (pengertian berpikir kritis menurut Chance : 1986). Berpikir kritis

adalah sebuah proses yang disengaja dan dilakukan secara sadar untuk menafsirkan sekaligus

mengevaluasi sebuah informasi dari pengalaman, keyakinan dan kemampuan yang ada.

(pengertian berpikir kritis menurut Mertes : 1986). Berpikir kritis menurut pandangan Islam

berarti segala sesuatu hal yang kita temui dan ketahui di kehidupan sehari-hari tidak boleh

ditelan secara mentah-mentah tetapi haruslah dikaji terlebih dahulu asal muasalnya, apa saja

informasi yang relevan kemudian menyimpulkan apakah hal tersebut bertentangan dengan

ajaran Islam atau tidak. Contoh berpikir kritis tentang perayaan tahun baru : Perayaan pesta

pora akhir tahun baru itu asal muasalnya dari mana, kenapa harus dirayakan, apakah ada

manfaat atau mudharatnya dan sebagainya.

Ciri-ciri berpikir kritis adalah melibatkan berbagai macam keahlian induktif dengan

beberapa tahapan, seperti: melakukan analisa masalah secara terbuka, menentukan sebab dan

akibat, serta menyajikan kesimpulan dengan cara memperhitungkan berbagai macam data

relevan yang didapatkan. Ketika seseorang sedang berpikir kritis, maka dia sedang melakukan

sebuah aktivitas mental di dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Hal tersebut biasanya

dilakukan dengan cara menganalisa asumsi, memberi rasional, melakukan evaluasi, melakukan

penyelidikan dan terakhir adalah proses pengambilan keputusan. Semua hal yang disebutkan

tersebut akan sangat penting di dalam proses pengambilan keputusan, dimana seseorang yang

sedang berpikir kritis akan mencari, menganalisa/mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan

hingga akhirrnya mengambil sebuah keputusan.

Orang yang berpikir kritis akan memiliki kemampuan untuk mencari dan memaparkan

hubungan sebuah masalah dengan berbagai pengalaman lainnya yang relevan dengan

permasalahan tersebut. Dalam hal ini akan dilakukan sebuah proses berpikir yang terirganisasi

untuk memecahkan sebuah permasalahn dengan cara melibatkan aktivitas mental yang

mencakup kemampuan: memberikan argumen, merumuskan masalah, melakukan induksi dan

deduksi, melakukan evaluasi, dan mengambil keputusan.

Di bawah ini adalah beberapa fungsi dari kegiatan berpikir kritis:

1. Mempunyai banyak ide kreatif dan alternatif jawaban.

172

2. Dengan membiasakan diri berpikir kritis, maka kita akan memiliki kemampuan untuk

menangani sebuah masalah dengan cara berpikir jernih dan cerdas.

3. Lebih cepat memahami sudut pandang orang lain.

4. Berpikir kritis akan membuat seseorang memiliki pandangan yang lebih fleksibel dan

tidak kaku saat menanggapi pendapat orang lain.

5. Menjadi lebih mandiri.

6. Memiliki kemampuan berpikir kritis, tentu akan membuat seseorang bisa menjadi sebuah

sosok pribadi yang mandiri dan mampu melakukan berbagai aktivitas di atas rata-rata.

7. Mudah menemukan peluang baru.

8. Di saat seseorang memiliki kebiasaan berpikir kritis, maka bisa dipastikan bila dia adalah

sosok yang sangat optimis dan selalu berpikiran positif serta memiliki kemampuan lebih

bila dibandingkan dengan yang lainnya.(http://www.pengertian menurut para

ahli.net/pengertian-berpikir-kritis-menurut-para-ahli diakses tanggal 20 Maret 2017).

Melihat fungsi dari kegiatan berpikir kritis di atas maka sangat penting diberikan pada

mahasiswa. Sekolah/kampus harus mengajarkan cara berpikir yang benar pada anak-anak.

Berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi membidik baik berpikir kritis maupun berpikir

kreatif. Salah satu bentuk berpikir adalah berpikir kritis (critical thinking). Dalam penelitian ini

menekankan kemampuan dalam hal berpikir kritis. Elaine Johnson (2002: 183) berpikir kritis

merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental

seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan

melakukan penelitian ilmiah.

Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang terorganisasi.

Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat

pribadi dan pendapat orang lain. Selanjutnya berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide

atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih,

mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna (Cece

Wijaya, 1996: 72).

Sapriya (2011:87) mengemukakan bahwa tujuan berpikir kritis ialah untuk menguji

suatu pendapat atau ide, termasuk dalam proses ini adalah melakukan pertimbangan atau

pemikiran yang didasarkan pada pendapat yang diajukan. Tujuan berpikir kritis untuk menilai

suatu pemikiran, menafsir nilai bahkan mengevaluasi pelaksanaan atau praktik suatu

pemikiran dan nilai tersebut. Bahkan berpikir kritis meliputi aktivitas mempertimbangkan

berdasarkan pada pendapat yang diketahui. Menurut Lipman dalam Elaine Johnson

(2002:144) menyatakan bahwa layaknya pertimbangan-pertimbangan ini hendaknya

didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan.Elaine Johnson (2002: 185) juga

menyatakan bahwa tujan dari berpikir kritis adalah untuk mencapai pemahaman yang

mendalam.

173

Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, pengertian

kemampuan berpikir kritis mempunyai makna yaitu kekuatan berpikir yang harus dibangun

pada siswa sehingga menjadi suatu watak atau kepribadian yang terpatri dalam kehidupan

siswa untuk memecahkan segala persoalan hidupnya dengan cara mengidentifikasi setiap

informasi yang diterimanya lalu mampu untuk mengevaluasi dan kemudian

menyimpulkannya secara sistematis lalu mampu mengemukakan pendapat dengan cara

yang terorganisasi. (http : // www.kajianteori.com/ 2014 / 02/ pengertian – kemampuan –

berpikir - kritis. html diakses tanggal 28 Maret 2017).

Agar PKn dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap proses pengembangan

individu dan masyarakat Indonesia yang demokratis, perlu ditetapkan kemampuan dasar

minimal peserta didik dalam mata pelajaran PKn pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan.

Kemampuan dasar tersebut menyangkut kemampuan belajar, berpikir, bersikap dan

bertindak dan hidup bersama dalam masyarakat. Untuk menfasilitasi pembelajaran PKn yang

efektif, perlu dikembangkan bahan belajar interaktif yang dikemas dalam berbagai bentuk

seperti bahan belajar tercetak, dan bahan belajar langsung dari masyarakat sebagai

pengalaman langsung. (Soedarsih dan Rr Nanik Setyowati, 2007:5).

Dalam rangka membangun warga negara yang transformatif maka mahasiswa harus

ditingkat kemampuan berpikir kritisnya. Khusus untuk hal-hal terkait materi kuliah Hubungan

Internasional dan Plotik Global dan secara luas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,

bermasyarakat bebangsa an bernegara.

KESIMPULANBagi mahasiswa peningkatan kemampuan berpikir kritis dalam membangun warga

negara yang transformatif dapat terwujud jika bahan ajar yang digunakan dapat merangsang

untuk mencapai hal tersebut. Hal ini mirip dengan hasil penelitian yang dilakukan Prof. Dr.

Purwo Santoso, dkk untuk mata kuliah PKn. Selama ini menurut Santoso, Purwo (2016:6)

pembelajaran dalam mata kuliah biasanya didedikasikan ‘untuk tahu’ (to know) bukan ‘untuk

menjadi ataupun mempraktekannya’ (to be). Yang lebih dipentingkan bukan hanya ontologi (nilai

atau norma) kewarganegaraan, melainkan juga aksiologisnya. Yang diharapkan tumbuh dari

pembelajaran adalah kesediaan dan kemampuan untuk mempraktekkan dan mereproduksi

nilai/norma tersebut. Pendidikan kewarganegaraan tidak diikuti dengan perubahan model

kewarganegaraan yang hendak diaktualisasikan, pada saat mereka telah memiliki otonomi dan

kebebasan. Situasi-situasi dilematis yang bisa menjebak warga negara juga tidak cukup

mengedepan. Singkat cerita, ada urgensi untuk mengembangkan proses pembelajaran

transformatif; itu memperbaiki praktek bernegara melalui kiprah warga-warga negara.

Perubahan praktek, perlu dibawa masuk ke dalam domain pendidikan.

174

Begitu juga dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa maka diharapkan

akan dapat membangun warga negara yang transformatif jika menggunakan bahan ajar yang

baik, sehingga mahasiswa tidak hanya tahu tentang materi matakuliah tetapi akan mau dan

mampu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pijakan posisi sebagai warga

Negara Republik Indonesia, mahasiswa diajak untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan

nilai-nilai kewarganegaraan dengan berbagai kegiatan riil. Lebih dari itu, dibalik pengembangan

komitmen ke-warganegara-an ini juga tersirat keinginan untuk membiasakan mahasiswa

sebagai partisipan dari gerakan pro-demokrasi secara kontekstual (berbasis daily live politics),

and contextual learning.

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Dekan FISH atas diberikannya dana kebijakan bagi terlaksananya

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKAMustadji. 2016. Penelitian Pengembangan Ajar. Disampaikan dalam Workshop Bahan Ajar di

FISH 31 Maret 2016.

Santoso, Purwo. 2016. Reproduksi Nilai Kewarganegaraan Secara Empatik dan DialogisMelalui

MOOC Bersama DEEP Network. Laporan Akhir Hibah Mooc E-Learning UGM. Tidak

dipublikasikan.

Setyowati, Rr Nanik dan Siti Maizul Habibah. 2015. Pemahaman mahasiswa terhadap materi

HAM melalui pengembangan bahan ajar Mata kuliah HAM pada mahasiswa S1 PPKn

Jurusan PMP-KN FISH Unesa. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan.

Tim. 2016. Direktorat Pengelolaan Kekayaan Intelektual Direktorat Jenderal Penguatan Riset

dan Pengembangan Kemenristek.

Tim. 2012. Direktorat Pembinaan SMA. Petunjuk Teknis Pengembangan Bahan Ajar SMA

Sumber Internet:

175

http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian–berpikir-kritis-menurut-paraahli/.html

diakses tanggal 20 Maret 2017

http://www.kajianteori.com/2014/02/pengertian-kemampuan-berpikir-kritis.html

diakses tanggal 28 Maret 2017

http://www.kajianteori.com/2014/02/ciri-ciri-kemampuan-berpikir-kritis.html

diakses tanggal 19 Maret 2017

http://nengah235.blogspot.co.id/2013/03/apa-itu-berpikir-kritis.html

diakses tanggal 22 Maret 2017.

MODEL EVALUASI COUNTENACE STAKE PADA PROGRAM PEMBELAJARAN PPKn KELAS VII SMP NEGERI 1 BOLO KABUPATEN BIMA

176

H a f s a hUniversitas Muhammadiyah Mataram, Mataram

[email protected]

ABSTRAKTujuan penelitian ini untuk membandingkan kesesuaian antara program pembelajaran PPKn yang meliputi tahap perencanaan, proses dan hasil belajar dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 mengenai standar proses pendidikan dasar dan menengah menggunakan model evaluasi countenance stake. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program pembelajaran PPKn kelas VII di SMP Negeri 1 Bolo Kabupaten Bima, pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan pembelajaran, dan hasil belajar belum sepenuhnya sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Jadi dapat disimpulkan bahwa program pembelajaran tersebut secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Alasannya karena keterhubungan antara antecedent dengan transaction, transaction dengan outcome dan antecedent, transaction dan outcomes, baik pada intens dan observation, semua hasil evaluasi secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses.

Kata kunci: Model evaluasi, Countenance Stake, Program Pembelajaran.

PENDAHULUANPermendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan

Menengah, tahap pelaksanaan pembelajaran terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti,

dan kegiatan penutup. Dalam kegiatan pendahuluan pendidik: (1) menyediakan peserta didik

secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; (2) memberi motivasi belajar

peserta didik secara kontekstual sesuai manfaat dan aplikasi materi ajar dalam kehidupan

sehari-hari, dengan memberikan contoh dan perbandingan lokal, nasional, dan internasional

serta disesuaikan dengan karakteristik dan jenjang peserta didik; (3) mengajukan pertanyaan-

pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; (4)

menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai; dan (5)

menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. Kegiatan inti

menggunakan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber

belajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan

pendekatan tematik dan /atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan

penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis

pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan

jenjang pendidikan.

Dalam kegiatan penutup, guru bersama peserta didik baik secara individual maupun

kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi: (1) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran

dan hasil-hasil yang diperoleh untuk selanjutnya secara bersama menemukan manfaat langsung

maupun tidak langsung dari hasil pembelajaran yang telah berlangsung; (2) memberikan umpan

balik terhadap proses dan hasil pembelajaran; (3) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam

bentuk pemberian tugas, baik tugas individual maupun kelompok; dan (4) menginformasikan

177

rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya. Dengan demikian, pelaksanaan

pembelajaran merupakan tahap implementasi dari perencanaan pembelajaran yang di dalamnya

terdiri atas kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup yang merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena untuk mengevaluasi program pembelajaran,

tentunya memiliki cara atau metode yang cocok sehingga hasil evaluasi program pembelajaran

itu dapat diketahui kelemahan dan kelebihannya.

Hasil observasi yang muncul dalam program pembelajaran PPKn pada tiga aspek

permasalahan, yaitu Pertama, pada aspek perencanaan pembelajaran, masih adanya guru-guru

yang belum sepenuhnya melaksanakan konsep pembelajaran PPKn secara sistematis yang

sesuai dengan Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar

dan Menengah, adanya fenomena guru yang melakukan plagiat terhadap RPP yang dibuat oleh

pemerintah, guru masih kurang dalam mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai

dengan materi pembelajaran, guru belum mampu melakukan inovasi untuk menggunakan media

pembelajaran yang sesuai dengan teknologi informasi, guru kurang teliti dalam kelengkapan

komponen-komponen RPP, , dan guru kurang dalam melaksanakan pelatihan implementasi

kurikulum 2013.

Kedua, aspek pelaksanaan pembelajaran, guru seringkali tidak secara tuntas

mengimplementasikan RPP dalam kegiatan proses belajar mengajar, tidak adanya pemberian

motivasi belajar kepada peserta didik secara kontekstual sesuai kehidupan sehari-hari, guru

tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan

materi yang akan dipelajari, guru tidak menjelaskan uraian kegiatan yang akan dilakukan sesuai

silabus. Ketiga, aspek penilaian hasil pembelajaran, banyak guru yang mengesampingkan

penilaian terhadap sikap religius dan sosial, guru masih belum memahami kesesuaian penilaian

dengan tujuan pembelajaran, guru tidak melengkapi instrumen penilaian yang mencakup soal,

kunci jawaban, dan rubrik, guru tidak melakukan program remedial terhadap hasil belajar

peserta didik yang masih di bawah KKM, dan guru tidak memberikan pengayaan terhadap hasil

belajar peserta didik yang sudah mencapai standar KKM.

Berbagai cara terus dikembangkan untuk mendapatkan solusi efektif dalam

mengevaluasi program pembelajaran terutama dalam mengevaluasi program pembelajaran

PPKn. Evaluasi program pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model

evaluasi Countenance Stake. Evaluasi dapat didefinisikan sebagai penilaian pencapaian tujuan

melalui pengumpulan dan analisis data yang berguna untuk membuat keputusan dari suatu

program. Model evaluasi berguna dalam membimbing pengelolaan, pengumpulan data dan

analisis (Wood, 2001:18). Evaluasi pembelajaran adalah kegiatan mengevaluasi hal-hal yang

dilakukan dalam proses pembelajaran meliputi perencanaan, pelaksanaan dan proses penilaian

serta dampaknya terhadap peserta didik. Evaluasi ini dilakukan dengan tujuan dapat

178

memperbaiki kekurangan dalam pembelajaran, dan dapat dijadikan dasar untuk proses

pembelajarannya selanjutnya.

Model countenance stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks

deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks pertimbangan. Matriks pertimbangan baru dapat

dikerjakan oleh evaluator setelah matriks deskripsi diselesaikan (Arikunto, 2008:43). Evaluasi

model Stake memberikan deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai pembelajaran

PPKn yang dilakukan oleh guru PPKn. Dalam model ini stake sangat menekankan peran

evaluator dalam mengembangkan tujuan pembelajaran PPKn menjadi tujuan khusus dan

terukur. Matriks deskripsi terdiri atas kategori tujuan (intent) dan observasi. Matriks

pertimbangan terdiri atas kategori standar dan pertimbangan. Pada setiap kategori terdapat tiga

fokus: (a) antecedent (konteks) yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi yang

berhubungan dengan hasil, (b) tran-saction (proses) yang merupakan proses instruksi kegiatan,

dan (c) outcomes (hasil) yaitu efek dari pengalaman, pengamatan dan hasil kerja (Stake,

1967:1-12). Worthen & Sanders, 1987, dalam Wood, (2001:19) mengemukakan bahwa Stake

menciptakan kerangka evaluasi untuk membantu evaluator dalam mengumpulkan, mengatur,

dan menafsirkan data kuantitatif dan kualitatif. Inti dari kegiatan evaluasi adalah proses

dihasilkannya informasi seba-gai alternatif keputusan (Stufflebeam, 1973, pp.3-5; Hamm, 1985,

pp.256-622; Stake, 1967, pp.2-4; Stufflebeam & Shinkfield, 1985, p.159). Tahapan evaluasi

Stake yang relevan adalah Input (Antecedent), Proses (Transaction), dan Produk (Outcomes),

(Provus, 1969, pp.2,3; Kaufman & Thomas, 1980, p.137). Gambaran Outcome model Stake

adalah dampak dari pelaksanaan program pem-belajaran (Asti Lukum, 2015).

Hal yang menarik pada evaluasi ini terletak pada perbedaan antara deskripsi tindakan

dan keputusan yang sesuai dengan program pendidikan pada antecedent, transaction dan

outcomes (Popham 1993, dalam Wood, 2001, p.19). Berdasarkan hal tersebut, keuntungan

evaluasi model countenance stake adalah penilaiannya didasarkan atas kebutuhan program

yang dievaluasi, sehingga dapat mengdeskripsikan secara kompleks program pembelajaran

yang dilaksanakan oleh guru serta memiliki potensi besar untuk memperoleh pengalaman dan

teori ter-hadap program pembelajaran yang dievaluasi.

Anteceedent adalah sebuah kondisi yang ada sebelum pembelajaran berlangsung yang

berhubungan dengan hasil, sedangkan tran-saction merupakan proses pengalaman pem-

belajaran. Ada dua cara yang dapat diguna-kan untuk memproses data evaluasi deskriptif pada

program pendidikan yaitu mene-mukan contingency (keterhubungan) antara anteseden,

transaksi, dan outcome serta congruence (kesesuaian) antara tujuan yang diharapkan dan

kondisi yang diobservasi (Stake, 1977, pp. 372-390). Perlu diperhatikan apakah rencana

pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran di kelas atau terjadi

penyimpangan.

179

Data kurikulum dikatakan congruence apabila tujuan yang diharapkan secara nyata

terpenuhi. Dalam satu garis matriks data, evaluator dapat membandingkan sel-sel yang berisi

tujuan dan observasi, untuk mencatat kesenjangan dan menjelaskan sebuah kong-ruens dengan

garis tersebut. Hubungan atau contingencies antara variabel-variabel perlu mendapat perhatian.

Dalam evaluasi prog-ram pendidikan yang mencari hubungan yang mungkin untuk peningkatan

program pendidikan, tugas evaluator adalah tergantung pada hasil identifikasi kondisi yang

terjadi pada anteseden dan kondisi yang terjadi pada transaksi. Observasi contingencies ini

tergantung pada bukti empiris (Wood, 2001:19-20). Analisis contingencies meliputi analisis logis

dan analisis empiris.

Analisis logis dilakukan untuk pem-berian pertimbangan mengenai hubungan antara

anteceedent, transaction, dan hasil dari kotak-kotak tujuan. Evaluator harus dapat menentukan

apakah anteceedent yang telah dikemukakan dalam pengembangan program pembelajaran

akan tercapai dengan ren-cana transaksi yang diajukan. Atau sebetulnya ada model transaksi

lain yang lebih efektif. Demikian pula mengenai hubungan antara transaksi dengan hasil yang

diharap-kan. Analisis kedua adalah analisis empirik. Dasar bekerjanya sama dengan analisis

logis tetapi data yang digunakan adalah data em-pirik. Hamm (1985:256-622) menyata-kan

bahwa Model Stake berguna untuk memberikan bukti yang luas untuk mendukung suatu

keberhasilan program tertentu dengan cara mendokumentasikan hubungan yang masuk akal

antara semua komponen.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, penelitian ini bertujuan

1. Untuk menjelaskan perencanaan pembelajaran PPKn yang dirumuskan dalam bentuk RPP

sesuai tidak dengan kurikulum 2013 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.

22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan dasar dan menengah menggunakan

model evaluasi Countenance Stake.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran PPKn yang dilakukan dalam bentuk kegiatan

pembelajaran sesuai tidak dengan perencanaan yang dibuat dalam bntuk RPP menggunakan

model evaluasi Countenance Stake.

3. Untuk menjelaskan penilaian hasil pembelajaran PPKn yang meliputi hasil belajar peserta

didik pada mata pelajaran PPKn baik pada ranah pengetahuan, sikap, dan keterampilan

sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan oleh satuan pendidikan dan berdasarkan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses

Pendidikan Dasar dan Menengah menggunakan model evaluasi Countenance Stake.

METODE PENELITIANJenis penelitian ini merupakan penelitian evaluasi (evaluation research). Penelitian

evaluasi merupakan suatu desain dan prosedur evaluasi dalam mengumpulkan dan

180

menganalisis data secara sistematis untuk menentukan nilai atau manfaat (worth) dari suatu

praktik pendidikan berdasarkan atas hasil pengukuran atau pengumpulan data dengan

menggunakan standar atau kriteria tertentu yang digunakan secara absolut maupun relatif

(Sukmadinata, 2011: 120). Lokasi penelitian di SMP Negeri 1 Bolo Kabupaten Bima, merupakan

salah satu sekolah di kabupaten Bima yang telah menerapkan Kurikulum 2013.

Model evaluasi yang digunakan yaitu model evaluasi Countenance Stake yang

menyatakan bahwa penekanan evaluasi pada dua jenis operasional, yaitu deskripsi dan

pertimbangan serta membedakan tiga tahapan dalam evaluasi yaitu perencanaan, proses, dan

hasil. Model ini dipilih karena peneliti ingin mengetahui pembelajaran yang sedang dilaksanakan

oleh guru dari sudut perencanaan, pelaksanaan, dan hasil pembelajaran sehingga sesuai

dengan model evaluasi Countenance Stake.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam mengkaji penelitian tentang “Penggunaan

Model Countenance Stake Pada Evaluasi Pembelajaran PPKn kelas VII SMP N 1 Bolo Kab.

Bima” yaitu pendekatan deskriptif kualitatif. Bogdan & Taylor (Djamal, 2015: 9) mengatakan

bahwa “penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis atau lisan”. Dengan perkataan lain, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang

menghasilkan data deskriptif dan berupaya menggali dari suatu fonomena.

Desain penelitian ini menggunakan model evaluasi Countenance yang dikembangkan

Stake seperti pada Gambar 1 di bawah ini:

Sebagaimana desain penelitian model evaluasi Countenance Stake yang dijelaskan pada

gambar tersebut di atas, maka akan dijelaskan secara rinci prosedur atau tahapan yang

dilakukan oleh peneliti sebagai berikut: (1) pada bagian rasional pembelajaran PPKn yaitu

menjelaskan pentingnya suatu evaluasi pembelajaran PPKn yang dalam perihal ini berkaitan

dengan evaluasi pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran

PPKn; (2) pada tahap Intens ini dilakukan pengumpulan data yang berkaitan dengan informasi 181

Gambar 1. Desain Penelitian Model Evaluasi Countenance Stake

tentang tujuan dari pembelajaran PPKn yang diharapkan. Analisis tujuan ini dilakukan pada tiga

komponen evaluasi yaitu: Antecedents (perencanaan pembelajaran PPKn), Transactions

(pelaksanaan pembelajaran PPKn), dan Outputs (penilaian hasil pembelajaran PPKn); (3) pada

tahap Observation ini bagaimana melihat apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan terkait

dengan ketiga komponen evaluasi tersebut; (4) antara Intens dan Observation tersebut terdapat

Contingency Logis dan Contingency Empiric. Contingency Logis adalah hasil pertimbangan

evaluator terhadap keterkaitan atau keselarasan logis antara kotak Antecedents (perencanaan

pembelajaran PPKn) dengan Transactions (pelaksanaan pembelajaran PPKn) dan Outputs

(penilaian hasil pembelajaran PPKn). Evaluator juga memberikan pertimbangan keterkaitan

empirik, berdasarkan data lapangan, antara Antecedents, Transactions, dan Outputs mengenai

Congruence atau kesesuaian yang terjadi antara apa yang dikerjakan dengan apa yang terjadi di

lapangan; (5) analisis Congruence terlebih dahulu dengan cara menyusun standar pengukuran

keterlaksanaan pembelajaran pada semua tahap evaluasi dengan menyusun kriteria-kriteria

yang jelas dan terukur. Standar yang digunakan oleh evaluator dalam penelitian ini adalah

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses

Pendidikan Dasar dan Menengah; (6) analisis terhadap kesesuaian standar dengan data hasil

penelitian akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan (Judgement). Pengambilan

keputusan ini dilaksanakan untuk ketiga komponen evaluasi yaitu Antecedents (perencanaan

pembelajaran PPKn), Trasactions (pelaksanaan pembelajaran PPKn), dan Outputs (penilaian

hasil pembelajaran PPKn); dan (7) langkah terakhir yang dilakukan adalah memberikan

rekomendasi terhadap hasil pertimbangan yang dilakukan sebelumnya berdasarkan hasil

evaluasi.

HASIL PENELITIANDeskripsi Data Perencanaan Pembelajaran

Intens (yang diharapkan). Komponen yang di evaluasi pada Antecedents ini adalah RRP

yang di buat oleh guru PPKn. Adapun RPP yang dibuat oleh guru PPKn di SMP Negeri 1 Bolo

Kab. Bima diharapkan sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses

pendidikan dasar dan menengah.

Adapun hasil observasi terkait perencanaan pembelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di SMP Negeri 1 Bolo

Kab. Bima, pertama merencanakan strategi pembelajaran termasuk pendekatan, metode dan

teknik yang telah di sesuaikan dengan tujuan pembelajaran, kedua menyiapkan media

pembelajaran, menyiapkan sumber belajar dan merencanakan evaluasi untuk mengetahui

sejauhmana siswa memahami pembelajaran yang kemudian dikema dalam bentuk Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No.

22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. komponen-komponen

182

yang belum sesuai dengan permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses yaitu :

belum memanfaatkan media pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan leptop dan

LCD, belum memanfaatkan lingkungan alam, dan belum menuliskan aktivitas kegiatan

pembelajaran pengayaan berupa : (1) Proyek, mengerjakan soal-soal yang menuntut

kemampuan berfikir lebih tinggi. Untuk lebih jelasnya lihat pada lampiran 1.

Adapun standar komponen RPP berdasarkan Standar Proses Pembelajaran meliputi:1)

Identitas sekolah; 2) Identitas mata pelajaran; 3) materi pokok; 4) alokasi waktu; 5) tujuan

pembelajaran yang dirumuskan berdasarkan KD; 6) kompetensi dasar dan indicator

pencapaian kompetensi; 7) materi pembelajaran, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur

yang relevan; 8) metode pembelajaran yang digunakan pendidik guna mencapai KD yang

disesuaikan dengan karak- teristik peserta didik; 9) media pembelajaran guna membantu

proses menyampaikan materi pelajaran; 10) sumber belajar dapat berupa buku, media cetak

dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang relevan ;11) langkah- langkah

pembelajaran dilakukan melalui tahapan pendahuluan, inti, dan penutup; 12) penilaian hasil

pembelajaran. Judgement (pertimbangan) Secara keseluruhan RPP yang dibuat guru PPKn

belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan

dasar dan menengah.

Berdasarkan uraian deskripsi di atas ditemukan belum adanya kesesuaian antara

ketersediaan RPP yang dibuat guru PPKn dengan Standar Proses Pembelajaran, terutama

dalam komponen media pembelajaran memanfaatkan media pembelajaran sesuai dengan

tujuan pembelajaran, pemanfaatan media pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan

pendekatan saintifik secara optimal, komponen sumber belajar memanfaatkan lingkungan alam

dan sosial, sedangkan pada komponen penutup yaitu dalam indikator membuat

rangkuman/simpulan pelajaran, melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang

sudah dilaksanakan, memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil belajar, dan

merencanakan kegiatan tindak lanjut (remedi, pengayaan, konseling, dan/atau tugas) dan

menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. Dengan demikian dpat

disimpulkan bahwa RPP yang dibuat guru PPKn di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima secara

keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses

pendidikan dasar dan menengah. Adapun komponen-komponen yang tidak sesuai dengan

permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses yaitu : belum memanfaatkan media

pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan leptop dan LCD, belum memanfaatkan

lingkungan alam, dan belum menuliskan aktivitas kegiatan pembelajaran pengayaan berupa : (1)

Proyek, mengerjakan soal-soal yang menuntut kemampuan berfikir lebih tinggi.

Pengamatan Pelaksanaan Pembelajaran

183

Intens (yang diharapkan) komponen yang dievaluasi pada Transaction ini adalah

kegiatan pelaksanaan pembelajaran PPKn di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima salah satu sekolah

yang telah menerapkan Kurikulum 2013 diharapkan sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun

2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.

Adapun hasil pengamatan peneliti selama proses pembelajaran berlangsung yaitu :

pertama dalam menyampaikan materi guru sudah menggunakan pendekatan, metode dan

teknik. Pada dasarnya metode pengajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sama

dengan mengajar ilmu-ilmu yang lain, disamping ada ciri-ciri khas, metode mengajar sangat

bermacam-macam. Karena banyak faktor yang mempengaruhinya yaitu : tujuan yang hendak

dicapai peserta didik, bahan atau materi yang akan diajarkan, fasilitas, guru, situasi, kelebihan

dan kelemahan metode tertentu. Namun ada beberapa hal yang belum dilaksanakan oleh guru

pada kegiatan pendahuluan, belum mengondisikan suasana belajar yang menyenangkan, tidak

menyampaikan lingkup dan teknik penilaian yang akan digunakan, pada kegiatan Inti belum

memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas

pembelajaran, belum menggunakan sumber belajar berbasis aneka sumber belajar dan pada

kegiatan Penutup, belum merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran

remedi, program pengayaan, layanan konseling, karna Pada dasarnya pengajaran Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan sama dengan mengajar ilmu-ilmu yang lain, disamping ada

ciri-ciri khas, metode mengajar sangat bermacam-macam. Karena banyak faktor yang

mempengaruhinya yaitu : tujuan yang hendak dicapai peserta didik, bahan atau materi yang

akan diajarkan, fasilitas, guru, situasi, kelebihan dan kelemahan metode tertentu.

Adapun standar Pelaksanaan pembelajaran berdasarkan standar proses meliputi:

1. Pendahuluan:

a) menyiapkan peserta didik secara psikiss dan fisik untuk mengikuti proses

pembelajaran;

b) memberi motivasi belajar peserta didik secara kontekstual sesuai manfaat dalam

kehidupan sehari-hari;

c) mengajukan pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi

yang akan dipelajari;

d) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kom- petensi dasar yang akan dicapai; dan

e) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

2. Kegiatan Inti:

menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan

sumber belajar yang disesuaikan dengan ka- rakteristik peserta didik dan mata pelajaran.

Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri, dan

penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis

184

pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan

jenjang pendidikan. Kegiatan Penutup

3. Kegiatan penutup

Dalam kegiatan penutup guru bersama peserta didik baik secara individual maupun

kelompok melakukan refleksi untuk mengevaluasi:

a) seluruh rangkaian aktivitas pembelajaran dan hasil-hasil yang diperoleh untuk selanjutnya

secara bersama menemukan manfaat langsung maupun tidak langsung dari hasil

pembelajaran yang telah berlangsung.

b) memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran.

c) melakukan kegiatan tindak lanjut dalam ben- tuk pemberian tugas, baik tugas individual

maupun kelompok; dan

d) menginformasikan rencana kegiatan pembelajaran untuk pertemuan berikutnya.

Judgement (pertimbangan) Keterlaksanaan pembelajaran PPKn kelas VII di SMP

Negeri 1 Bolo Kab. Bima belum sepenuhnya sesuai dengan permendikbud No.22 tahun 2016

tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.

Berdasarkan uraian di atas ditemukan belum adanya kesesuaian antara pelaksanaan

pembelajaran dengan standar proses pelaksanaan pembelajaran. Ketidaksesuaian ini terdapat

pada komponen kegiatan pendahuluan, Kegiatan Inti dan Kegiatan Penutup seperti, belum

mengondisikan suasana belajar yang menyenangkan, belum memanfaatkan teknologi informasi

dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran dan belum

merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan,

layanan konseling. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan oleh

guru PPKn kelas VII di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima secara keseluruhan belum sesuai dengan

Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.

Penilaian Hasil BelajarIntens (yang diharapkan). Hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran PPKn

memenuhi criteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 7,5 %. Adapun hasil hasil wawancara dan

dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn yang bersangkutan memuat tentang hasil

belajar peserta didik di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada ranah Kognitif, Afekrif dan

Psikomotorik dengan rata-rata nilai UTS (Ujian Tengah Semester) siswa adalah 75-90 keatas

dengan KKM untuk mata pelajaran PPKn 7,5 walaupun ada beberapa orang siswa yang nilainya

masih berada dibawah KKM. Standar penilaian hasil belajar peserta didik ranah Kognitif, Afekrif

dan Psikomotorik untuk mata pelajaran PPKn adalah 7,5 %. Judgement (pertimbangan) guru

sebaiknya menggunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assesment) yang menilai

kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh.

185

Berdasarkan hasil wawancara dan dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn

yang bersangkutan dengan standar penilaian hasil belajar peserta didik secara keseluruhan

telah di temukan kesesuaian antara dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn yang

bersangkutan memuat tentang hasil belajar peserta didik dengan Standar penilaian hasil belajar

peserta didik walaupun ada beberapa orang siswa yang nilainya masih berada dibawah KKM.

Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar peserta didik di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada

ranah Kognitif, Afekrif dan Psikomotorik dengan rata-rata nilai UTS (Ujian Tengah Semester)

siswa adalah 75-90 keatas dengan KKM untuk mata pelajaran PPKn 7,5 telah sesuai dengan

Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.

PEMBAHASANKeterhubungan antara antecedent dengan transaction, transaction dengan outcome

dan antecedent, transaction dan outcomes, baik pada intens dan observation, semua hasil

evaluasi dalam kategori cukup. Hal ini sesuai dengan fenomena hasil observasi bahwa secara

keseluruhan guru belum sepenuhnya memahami cara menyusun RPP yang baik serta

melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan RPP yang dibuat dan ini berdampak pada

tidak berhasilnya pembelajaran yang dilakukan guru. Hal ini memberikan gambaran bahwa

terdapat contingency antara perencanaan, pelaksanaan dengan hasil belajar. RPP yang dibuat

guru menggambarkan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran termasuk dalam

kategori cukup. Hal ini dipengaruhi oleh sebagian guru tidak paham menyusun RPP sehingga

rancangan pembelajaran sulit untuk diimplementasikan di kelas, Hal ini berdampak pada

pelaksanaan pembelajaran di kelas belum optimal.

Pelaksanaan pembelajaran menggambarkan kemampuan guru dalam mengelola

pembelajaran belum sesuai dengan standar proses. Faktor ini dipengaruhi oleh guru kesulitan

dalam merencanakan pembelajaran terutama dalam indikator menyebabkan peserta didik aktif

dan peserta didik mampu mengajukan pertanyaan yang menantang dalam kelas. Akibatnya,

semua yang direncanakan sulit untuk diimplementasikan di kelas. Jika guru dapat menyusun

RPP yang baik maka pelaksanaan pebelajaran di kelas baik pula sehingga berdampak pada

hasil belajar peserta didik yang baik.

Hasil belajar siswa dalam kategori cukup menggambarkan RPP dan pelaksanaan

pembelajaran PPKn belum sepenuhnya sesuai dengan standar proses pembelajaran. Akibatnya,

ditemukan masih adanya peserta didik yang tidak tuntas dalam ulangan harian, ujian tengah

semester dan ujian akhir semester. Perencanaan pembelajaran pada dasarnya merupakan

persiapan guru dalam menyampaikan dan menerima pelajaran di kelas, perencanaan dilakukan

agar meminimalkan kegagalan dalam menyampaikan pelajaran yang akan dilakukan. Guru akan

menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan materi yang akan disampaikan pada waktu

tertentu dengan metode dan media yang akan dapat menunjang proses pengajaran serta

186

pembelajaran. Bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dikembangkan dari silabus

dan silabus memiliki kompetensi inti (KI), Kompetensi dasar (KD) dan Indikator pembelajaran.

Guru kemudian akan menyusun RPP sesuai dengan kurikulum yang digunakan.

Pada Kurikulum 2013 (K13) Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) merupakan

rencana pembelajaran yang dikembangkan secara rinci mengacu pada silabus, buku teks

pelajaran, dan buku panduan guru. RPP mencakup: (1) identitas sekolah/madrasah, mata

pelajaran, dan kelas/semester; (2) alokasi waktu; (3) KI, KD, indikator pencapaian kompetensi;

(4) materi pembelajaran; (5) kegiatan pembelajaran; (6) penilaian; dan (7) media/alat, bahan,

dan sumber belajar.

Setiap guru wajib menyusun RPP untuk mata pelajaran yang diampunya.

Pengembangan RPP dilakukan sebelum semester atau tahun pelajaran dimulai, namun perlu

diperbaharui sebelum pembelajaran dilaksanakan. Pengembangan RPP dapat dilakukan oleh

guru secara mandiri dan/atau berkelompok di sekolah/madrasah dikoordinasi, difasilitasi, dan

disupervisi oleh kepala sekolah/madrasah. Pengembangan RPP dapat juga dilakukan oleh guru

secara berkelompok antarsekolah atau antarwilayah dikoordinasi, difasilitasi, dan disupervisi

oleh dinas pendidikan atau kantor Kementerian Agama setempat.

Adapun pengamatan pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada tanggal 11 sampai

22 mei yang dilaksanakan di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima. Pada kegiatan pendahuluan guru

menyiapkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran dan menyampaikan kompetensi

yang akan dicapai serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengantarkan

peserta didik pada suatu permasalahan yang akan dilakukan, tetapi belum sepenuhnya

mengondisikan suasana belajar dengan baik dan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan

yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan di pelajari, guru langsung

menyampaikan cakupan materi yang akan dibahas dan tidak menyampaikan lingkup dan teknik

penilaian yang akan digunakan.

Pada kegiatan inti guru telah meguasai dan mengembangkan materi pembelajaran

sesuia dengan tujuan yang akan dicapai serta memfasilitasi peserta didik untuk bertanya sesuai

dengan konteks materi yang dipelajari, tetapi dalam prosese pembelajaran guru seringkali tidak

memberikan penguatan menggunakan pendekatan ilmiah dan langsung memberikan apresiasi

kepada peserta didik yang dapat menjawab pertanyaan dari temannya kemudian langsung

memberikan kesempatan bertantanya kepada peserta didik yang lainnya. Dalam proses

pembelajaran guru mengembangkan ketrampilan aplikatif peserta didik seperti keterampilan

fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills), tetapi guru belum menerapkan prinsip

bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa dan dimana saja adalah kelas serta

belum memanfaatkan media teknologi informasi dan komunikasi karena masih kurangnya

sarana dan prasarana yang ada disekolah sehingga guru tidak bisa menampilkan contoh

permasalahan yang sedang dipelajari.

187

Pada kegiatan penutup guru memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil

pembelajaran, melakukan penilaian yang meliputi pengetahuan dan keterampilan, memberikan

kegiatan tindak lanjut dalam bentuk tugah kelompok berupa, tetapi guru tidak merencanakan

kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remidi dan program pengayaan dan tidak

menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

Adapun hasil pbelajar peserta didik pada ranah pengetahuan telah memenuhi standar

KKM yang telah ditentukan oleh satuan pendidikan tertentu yaitu dengan nilai rata-rata 7,5 – 90

dan pada ranah sikap spiritual serta keterampilan telah sesuai dengan pengetahuan yang

dipelajarinya seperti ikut melaksanakan ibadah solat jum’at yang diselenggarakan dimesjid

sekolah, mengajak teman sebaya untuk mengikuti kegiatan imtaq dan mengingatkan temannya

untuk sholat zhuhur disekolahnya, tetapi pada ranah sikap social belum mencermikan seperti

pada aspek pengetahuan yang dipelajarinya.

Berdasarkan hasil dokumentasi dan wawancara terhadap perencanaan pembelajaran

yang telah disusun oleh guru dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), maka

dapat dikatakan bahwa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang disusun oleh guru telah

sesuai dengan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan no.22 tahun 2016 mengenai

standar proses pendidikan dasar dan menengah walaupun ada beberapa hal masih kurang

seperti belum merumuskan tujuan pembelajaran sesuai dengan kompleksitas KD, sarana dan

prasarana yang tersedia serta tidak memanfaatkan variasi media pembelajaran dan tidak

merujuk pada materi-materi yang ada diperpustakaan.

Berdasarkan hasil observasi penelitian terhadap pelaksanaan pembelajaran dari awal

hingga akhir proses pembelajaran, maka dapat dikatakan secara keseluruhan pelaksanaan

pembelajaran belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tahap dan proses

yang direncanakan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), masih adanya hal-hal

yang belum diterapkan oleh guru seperti tidak menyampaikan lingkup dan teknik penialain yang

akan digunakan, tidak menggunakan sumber belajar berbasis aneka sumber belajar, guru tidak

tida memberikan penguatan menggunakan pendekatan ilmiah dan tidak menerapkan prinsip

bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa dan dimana saja adalah kelas, dan

respon peserta didik selama proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sebagian besar

peserta didik kurang menyukai jalannya proses belajar mengajar, hal ini disebabkan karena guru

terlalu focus pada materi sehingga peserta didik ada yang mengantuk dan bosan.

Adapun hasil belajar siswa di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada ranah pengetahuan,

sikap dan keterampilan telah mencapai KKM sesuai dengan standar yang ditentukan yaitu 7,5,

walaupun dari pengakuan guru sendiri dalam memberikan penilaian terhadap siswa guru

haruslah benar-benar teliti dalam melihat dan membaca sifat dan karakter peserta didik sebelum

memberikan nilai.

188

KESIMPULANAdapun yang menjadi kesimpulan dalam dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Program pembelajaran PPKn di SMP Negeri 1 Bolo Kab. Bima pada bagian perencanaan

pembelajaran yang disusun dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang

meliputi : Identitas sekolah, mata pelajaran atau tema/subtema, kelas/semester, materi

pokok, dan alokasi waktu, Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Indikator Pencapaian

Kompetensi, Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran, Metode Pembelajaran, Media

Pembelajaran, Sumber Belajar, Kegiatan Pembelajaran, Penilaian, Pembelajaran, dan

Pengayaan, secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016

tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah. Adapun komponen-komponen yang

tidak sesuai dengan permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar proses yaitu : belum

memanfaatkan media pembelajaran untuk mewujudkan pembelajaran dengan leptop dan

LCD, belum memanfaatkan lingkungan alam, dan belum menuliskan aktivitas kegiatan

pembelajaran pengayaan berupa : (1) Proyek, mengerjakan soal-soal yang menuntut

kemampuan berfikir lebih tinggi.

2. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran PPKn yang dilaksanakan oleh guru yang meliputi :

kegitan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup belum sepenuhnya dilaksanakan

sesuia dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang telah disusun oleh guru

secara keseluruhan belum sesuai dengan Permendikbud No. 22 tahun 2016 tentang standar

proses pendidikan dasar dan menengah. Ketidaksesuaian ini terdapat pada komponen

kegiatan pendahuluan, Kegiatan Inti dan Kegiatan Penutup seperti, belum mengondisikan

suasana belajar yang menyenangkan, belum memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran dan belum

merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program

pengayaan, layanan konseling.

3. Pada hasil penilaian berdasarkan dokumen yang diberikan oleh Bapak/Ibu Guru PPKn yang

bersangkutan yang meliputi : hasil belajar peserta didik pada ranah pengetahuan, hasil

belajar peserta didik pada ranah keterampilan, hasil belajar peserta didik pada ranah sikap,

telah sesuai dengan peraturan mentri pendidikan dan kebudayaan no. 22 tahun 2016

mengenai standar proses pendidikan dasar dan menengah.

DAFTAR PUSTAKAAl Hakim dkk, 2016. Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Indonesia.Malang: Madani.

Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka

Cipta.

Arifin, Zainal. 2016. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, dan Prosedur. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

189

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2016. Materi Pelatihan Guru Implementasi

Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Djamal, M. 2015. Paradigma Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lukum Asti. 2015. Evaluasi Program Pembelajaran Ipa Smp Menggunakan Model Countenance

Stake. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Volume 19, No 1, (25-37).

Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 103 Tahun 2014 Tentang Pembelajaran Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan

Menengah. Berita Negara Republik Indonesia Tanggal 8 Oktober 2014 Nomor 1506.

Kepala Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Tersedia: jdih.kemdikbud.go.id/new/public/produkhukum [Rabu, 14 Desember 2016

Pukul 06:41 wita].

Republik Indonesia. 2016. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2016

Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Berita Negara RI Tanggal

28 Juni 2016 Nomor 955. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta. Tersedia:

jdih.kemdikbud.go.id [Rabu, 14 Desember 2016 Pukul 06:41 wita].

Riduwan. 2012. Skala Pengukuran Varibel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Suharsaputra, Uhar. 2014. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Bandung:

Refika Aditama.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

MERAJUT KEBHINNEKAAN MENUJU KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF

Septina AlrianingrumFISH-Unesa

[email protected]

ABSTRAKMasyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat

kompleks. Multikultural dalam masyarakat Indonesia terangkum dalam kesadaran Bhinneka Tunggal Ika digunakan sebagai acuan pendiri bangsa Indonesia sebagai perekat persatuan bangsa. Globalisasi dan modernisasi yang terus berproses telah membawa perubahan besar menuju masyarakat modern.

Pengembangan ilmu harus ditekankan menjadi suatu konsep serius membangun keberagaman multikultur bangsa ini menuju terbentuknya warga negara transformatif. Pentingnya pengembangan konsep kewarga negaraan transformatif diperlukan sinergisitas antara dunia akademis, politis, sosial dan

190

budaya. Kerangka konseptual tentang pemahaman kebhinekaan multikultur dalam pembelajaran transformatif dalam masyarakat bertujuan membangun kemandirian kewarganegaraan banyak dipengaruhi oleh perspektif instrumental dan perspektif lingkungan.

Pengembangan kesadaran kritis individu dan masyarakat tradisional ini merupakan proses perkembangan kemampuan menganalisis, berfikir kritis dan membangun skema pemikiran yang menghasilkan suatu kesadaran diri untuk mengenal dunia dan lingkungannya secara holistik. Local Genius dan local wisdom sebagai cultural identity dalam masyarakat tradisional Indonesia menjadi suatu ciri khas mempertahankan identitas dari kebhinekaan bangsa yang transformatif.

Keyword: refleksi, kebhinekaan, transformatif

PENDAHULUANMasyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tingkat keanekaragaman yang

kompleks yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, suku bangsa dan antar

golongan. Keberagaman ini memposisikan bangsa Indonesia disebut sebagai masyarakat

multikultural yang unik, rumit dan menarik untuk dikaji lebih mendalam. Keberagaman yang

kompleks ini lebih dikenal dalam istilah “kebhinekaan” yang multikultural. Multikulturalisasi

masyarakat Indonesia terangkum dan terbingkai dalam wadah kesadaran Bhinneka Tunggal Ika

dengan ciri dan karakteristik yang heterogen di tiap daerahnya, sehingga melahirkan mozaik

keragaman indah negara bangsa Indonesia. Mozaik multikultural ini telah digunakan sebagai

acuan para pendiri dan pelaksana pemerintahan bangsa Indonesia dalam mendesain

kebudayaan bangsa yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD NRI 1945. Multikultural

masyarakat Indonesia melalui Bhineka Tunggal Ika mampu dan dapat menjadi perekat

persatuan dalam untaian kemajemukan bangsa ini di era global.

Globalisasi dan modernisasi yang terus berproses mendorong terjadinya suatu perubahan

besar masyarakat tradisional Indonesia menyongsong dan menghadapi perkembangan IPTEKS

menuju perkembangan menjadi masyarakat modern. Secara umum posisi masyarakat Indonesia

masih merupakan masyarakat tradisional yang bersifat agraris dan memiliki etika, estetika dan

kepribadian agraris yang kental dalam setiap interaksinya. Hal ini mendorong posisi masyarakat

Indonesia sebagian besar masih bersikap pasif dan masif dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang terus berproses secara deret ukur. Menurut pidato Bung Karno

dalam ‘Ilmu dan Amal’ ketika menerima gelar honoris causa dari Universitas Gadjah Mada tahun

1951 memberi penekanan bahwa perkembangan ilmu harus ditekankan pada kemajuan

masyarakatnya menjadi suatu konsep serius membangun keberagaman multikultural bangsa

Indonesia ini.

Situasi ini menjadi persoalan serius di era global ini, karena proses menuju warga negara

yang transformatif merupakan PR besar bangsa Indonesia untuk “segera” untuk mengatasi

segala perubahan ini secara bersama-sama. Kenyataan ini menunjukkan bahwa ekosistem

global pada aspek sosial-budaya-ekonomi-komunikasi melahirkan suatu tatanan budaya lokal

dan budaya modern yang harus dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Industrialisasi dan

191

konsumerisme global menjadi tantangan masyarakat tradisional bangsa Indonesia mau tidak

mau harus bersikap transformatif diantara keyakinan menjaga local genius dan local wisdom-nya

di lingkungannya sendiri.

Pendekatan kebudayaan dalam bentuk penguatan modal sosial seperti pranata sosial,

pranata budaya, kearifan lokal, dan norma-norma yang terkait menjadi suatu model

pembelajaran memasyarakatkan bangsa Indonesia ke pembangunan masyarakat transformatif.

Penguatan kesadaran multikultural yang transformatif tanpa menghilangkan kearifan lokal

membutuhkan kearifan yang mampu menjaga keseimbangan masyarakat yang tidak terlepas

dari pengaruh berbagai faktor.

METODE PENELITIANBelajar trasformatif mulai dikembangkan oleh Jack Mezirow merupakan proses

pembelajaran langsung yang didasarkan pada teori belajar yang unik, abstrak, dan ideal. Hasil

akhir pembelajaran transformatif ini adalah sebuah proses refleksi kritis puncaknya yang disebut

critical reflection (renungan kritis), dan memberi makna baru terhadap pengalaman yang lebih

bijaksana dan lebih baik dari masa sebelumnya. Proses membangun persepsi skemata makna

menjadi inti pengetahuan spesifik yang didasarkan pada nilai-nilai dan keyakinan sosial budaya

suatu lingkungan sebagai pijakan membangun persepsi makna tersebut. Perspektif makna ini

menentukan masyarakat dapat bersikap arif bijaksana menangkap fenomena global modern

menjadi suatu pengalaman reflektif yang terorganisir.

Kerangka konseptual tentang pemahaman kebhinekaan multikultur dalam pembelajaran

transformatif di masyarakat yang bertujuan membangun kemandirian kewarganegaraan banyak

dipengaruhi oleh perspektif instrumental dan perspektif lingkungan. Perspektif instrumental

sebagai wadah transformasi kultural dan sosial tercermin pada aspek local genius.

Pengembangan kritis untuk mengembangkan perubahan kebutuhan dan lingkungan sosial kultur

adaptasi secara efektif dilalui dengan cara berkomunikasi dan berinteraksi langsung. Menurut

Mezirow pemahaman transformatif merupakan proses perubahan dari beberapa asumsi yang

dibangun individu dalam masyarakat multikultural untuk menafsirkan dan memahami dunianya.

Pengembangan kesadaran kritis individu dan masyarakat tradisional ini merupakan proses

perkembangan kemampuan menganalisis, berfikir kritis dan membangun skema pemikiran yang

menghasilkan suatu kesadaran diri untuk mengenal dunia dan lingkungannya secara holistik

(Rivai Achmad, 2011). Lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi menjadi dasar kerangka

berfikir kritis tentang kehidupan dan perkembangan IPTEKS saat ini yang terus berproses dan

berkelanjutan. Kemandirian dan pengalaman menjadi sumber belajar menganalisis serta

memahami perkembangan IPTEKS yang bermakna bagi kehidupan masyarakat tradisional

Indonesia tanpa meninggalkan tradisi dan interaksi sosial sebelumnya.

192

Fenomena sosial budaya, konsumerisme dan life style yang terjadi di era global ini menjadi

bahan sekaligus alat analisis dalam membangun kesadaran perspektif tersebut. Pembelajaran

dan pengalaman langsung menjadi dasar transformasi berfikir kritis memahami perubahan sosial

dan perubahan lingkungannya. Analisis dari proses transisi berfikir transformatif ini mengacu

pada kesadaran akan pentingnya kearifan lokal (local wisdom) sebagai kerangka “filter”

memaknai situasi dari perkembangan itu sendiri tanpa harus meninggalkan local genius

masyarakat Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASANPerkembangan IPTEKS yang terus berpola dan sinergis melengkapi kebutuhan

masyarakat membawa pengaruh besar pada percepatan perubahan budaya dan perubahan

sosial masyarakat itu sendiri. Menurut Su Ritohardoyo (2006: 42) menegaskan bahwa

perubahan yang terjadi pada masyarakat modern yang kompleks kebutuhannya dan maju

secara teknologis terwujud dalam proses pertumbuhan signifikan antara penemuan (discovery),

penciptaan baru (invention), difusi (persebaran unsur-unsur kebudayaan) dan percepatan

pemutakhiran teknologi, industrialisasi dan urbanisasi. Ketiga komponen tersebut secara

bersama menghasilkan proses modernisasi dalam suatu masyarakat yang bersangkutan.

Teknologi modern, percepatan pengaruh global secara disadari atau tidak sebenarnya

menciptakan keinginan dan harapan-harapan baru dalam masyarakat untuk peningkatan

kesejahteraan manusia.

Local Genius dan local wisdom sebagai cultural identity dalam masyarakat tradisional

Indonesia menjadi suatu ciri khas mempertahankan identitas dari kebhinekaan bangsa ini sudah

mulai tergradasi oleh kemajuan IPTEKS yang terus menerus berkembang seiring kebutuhan

masyarakat modern. Prospek kearifan lokal sangat dipengaruhi oleh kesadaran sosial-budaya-

ekonomi masyarakat setempat dan kemauan masyarakat untuk menjaga keseimbangan

tersebut dengan meningkatnya pengaruh dan budaya konsumtif ini. Masyarakat tradisional

Indonesia yang memperhatikan kondisi sosial budaya sebagai “filter” local wisdom memerlukan

pengelolaan yang tepat menuju masyarakat transformatif tanpa meninggalkan kearifan lokalnya.

Pemahaman kolektif tentang pembelajaran transformatif dalam masyarakat tradisional

Indonesia diperlukan suatu formula dan pendampingan informatif yang intensif dan

berkelanjutan secara sinergis. Berangkat dari pentingnya warga negara transformatif dalam

menjawab persoalan global ini diperlukan sinergisitas antara dunia akademis, politis, sosial dan

budaya. Kemampuan masyarakat Indonesia yang memiliki kepribadian ini mampu menyerap

dan mengadopsi budaya asing yang sudah mengglobal ini sesuai dengan karakteristik nilai

tradisi masing-masing suku bangsa yang heterogen dan multikultur (Ayatroehadi, 1986: 18-19).

Sedangkan kearifan lokal (local wisdom) yang berkembang dalam masyarakat ini berupa nilai,

etika, norma, kesadaran kolektif, kepercayaan, adat istiadat, tradisi dan aturan khusus sebagai

193

“perisai budaya holistik” masih dipertahankan dalam menghadapi perkembangan globalisasi dan

modernisasi dunia.

Prospek kearifan lokal sangat bergantung kepada bagaimana masyarakat melestarikan

kembali kearifan lokal yang ada secara dinamis untuk masyarakat mengubah mindsetnya yang

global kembali ke pola pikir holistik tetapi modern. Kearifan lokal sebagai bentuk warisan budaya

Indonesia memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan harmonisasi manusia, keragaman

kultur, warisan budaya dan moralitas-spiritualitas tradisional masyarakatnya. Pola pikir holistik

yang menempatkan local genius sebagai “filter” dengan aktivitas modern masyarakat Indonesia

dapat mengajak berfikir tidak parsial. Berfikir kritis menjadi salah satu inti dari proses

pemahaman transformatif agar tidak disebut sebagai transisi masyarakat tradisional menuju era

“glokal”.

Berdasarkan Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional (2004) dirumuskan

tujuan pendidikan transformatif untuk melahirkan insan cerdas komprehensif dan kompetitif

secara (1) Spiritual melalui Olah Hati; (2) Cerdas Emosional dengan Olah Rasa; (3) Cerdas

Sosial; dan (4) Cerdas Intelektual untuk mengembangkan Olah Pikir menghadapi tantangan

global; serta (5) Cerdas Kinestetis untuk tangguh melalui Olah Raga. Situasinya ini tidak serta

merta membawa pendidikan transformatif ke masyarakat tradisional bangsa Indonesia.

Pembelajaran transformatif pada masyarakat tradisional Indonesia perlu disejajarkan

pemahamannya melalui pola pikir yang berdimensi sosial dan budaya sebagai bagian dari

aktivitas dalam kehidupan bermasyarakat berbentuk sistem religius, organisasi kemasyarakatan,

pengetahuan, mata pencarian hidup dan teknologi serta pemutakhiran peralatan modern.

Aktualisasi individu dan masyarakat dipahami sebagai proses membangun makna atas

apa yang dipelajari dari lingkungan modernnya. Pengetahuan muncul di dalam kegiatan sosial

dengan mencoba memahami pengalaman baru dalam kehidupan sehari-hari sehingga

melahirkan kesadaran sosial-budaya-ekonomi yang holistik kritis. Pluralitas dan heterogenitas

yang tercermin pada bangsa Indonesia ini diikat dengan sebuah semboyan “Bhinneka Tunggal

Ika” menurut Azyumardi Azra (2004) adalah suatu landasan budaya untuk pencapaian civility

(keadaban) yang esensial bagi terwujudnya demokratisasi wawasan multikultural sebagai

kekuatan persatuan menghadapi era global. Bhinneka Tunggal Ika mempunyai kekuatan besar

mempersatukan keragaman dan perbedaan ini dengan dukungan kesadaran masyarakat

sebagai warga negara. Masyarakat transformatif dalam kewargaan negara Indonesia

memerlukan suatu pemahaman dan perspektif kritis yang ditekankan pada kesadaran pribadi

memaknai local genius menjadi local wisdom.

Proses merajut masyarakat yang tranformatif dalam kebhinekaan diawali dengan

memberikan kemudahan dalam memfasilitasi hal-hal baru yang berbasis pengetahuan global

modern sesuai dengan kemampuan reflektif perspektif masing-masing individu dalam

masyarakat. Kebersamaan dalam kebhinekaan di era global ini memerlukan jembatan transisi

194

agar terjadi perubahan sosial-budaya masyarakat Indonesia didasarkan pada interaktif untuk

menentukan kebutuhan komunikasi dan interaksi sosial-budaya-ekonominya sendiri. Tanggung

jawab yang terencana melalui kedewasaan berfikir analitis menjadi penentu pengambilan

keputusan yang arif bijaksana tanpa meninggalkan kearifan lokalnya. Kesadaran diri yang

inklusif dapat dikembangkan melalui komunikasi baik dalam media sosial dan media lainnya

sebagai wujud partisipasi moral sosial sebagai hasil local wisdom menghadapi situasi global.

Kesadaran transformatif sebagai wujud akhir dari perspektif berfikir analisis kritis

memerlukan rangkaian proses pengelolaan local genius menghadapi transformasi budaya global

menjadikan local wisdom memerlukan strategi dengan jalan:

1. Harmonisasi interaksi sosial manusia dengan lingkungan sosial budaya untuk mengadaptasi

pemutakhiran dan modernisasi IPTEKS yang terus berkembang menjadi suatu bagian dari life

style yang cerdas konsumtif.

2. Eksklusifitas komunitas sosial dalam media sosial perlu dikembalikan dalam dialog-dialognya

untuk membuka kecerdasan intelektual dan kesadaran sosial-budaya sebagai communal

resource menjaga masyarakat Indonesia menjadi masyarakat transformatif yang diakui pihak

luar/asing sebagai masyarakat yang berkarakter.

3. Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge sistem) sebagai pijakan dasar

masyarakat Indonesia memecahkan masalah-masalah global sesuai dengan kesadaran

tranformatif yang bersumber pada local genius dan local wisdom dengan memanfaatkan

kesadaran kolektif bangsa yang berkembang dan berbudaya.

4. Penguatan aturan-aturan khusus dalam masyarakat kolektif yang bersama-sama menjaga

identitas nasional bangsa yang Indonesianis sesuai.

5. Pranata dan hukum adat sebagai “filter” kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan

sosial budaya ketika budaya konsumtif mengglobal dalam masyarakat tertentu.

Kesadaran transformatif dalam setiap kewarganegaraan Indonesia yang multikultur dapat

menciptakan konsekuesi logis munculnya budaya-budaya baru dalam penguatan etos kerja

masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern melalui pengembangan diri dan refleksi diri.

Hakekat manusia Indonesia yang memiliki kemampuan ini menjadikan tatanan masyarakat

modernnya berkarakter sesuai dengan identitas bangsa melalui kesadaran sosial-budaya dan

kearifan lokal.

Berdasarkan beberapa pola pengelolaan tersebut kehidupan global bisa diminimalisir

pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia agar tetap arif menghadapi

pengaruh global tersebut dapat didesain seperti gambar di bawah ini.

 

195

Masyarakat

TradisionalIndonesia

Perkembangan IPTEKS dan Globalisasi

Kebhineka-an yang

Multikultur

Belajar interaksi bersama dengan: Olah Hati Olah Rasa Olah Pikir

(Cerdas Sosial, Cerdas Intelektual) Olah Raga

Masyarakat modern yang sarat dengan IPTEKS, etika, estetika dan kepribadian yang

unggul untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara dilalui secara bertahap.

Masyarakat transformatif Indonesia adalah sosok insan yang cerdas komprehensif dan

kompetitif di era global modern ini. Cerdas komprehensif memiliki refleksi sebagai insan yang

memiliki kesadaran reflektif yang (1) Cerdas Spiritual (Olah Hati) dengan beraktualisasi diri

melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak

mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul; (2) Cerdas Emosional (Olah Rasa)

melalui aktualisasi diri dalam olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan

kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya; (3)

Cerdas Sosial dengan beraktualisasi diri melalui interaksi sosial dalam proses membina dan

memupuk hubungan timbal balik, empatik dan simpatik menjunjung tinggi hak asasi manusia,

percaya diri menghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta berwawasan

kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara; (4) Cerdas Intelektual

(Olah Pikir) dengan cara bereraktualisasi diri melalui olah pikir untuk meningkatkan kompetensi

dan kemandirian dalam IPTEKS; dan aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan

imajinatif ; dan (5) Cerdas Kinestetis (Olah Raga) melalui olah raga untuk mewujudkan insan

yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas; aktualisasi insan adiraga.

Sedangkan cerdas secara kompetitif memiliki makna sebagai pribadi masyarakat modern

yang memiliki (1) Kepribadian unggul, semangat juang tinggi, mandiri dan pantang menyerah;

(2) Membangun dan membina jejaring sehingga terbentuk persahabatan; (3) Inovatif sebagai

agent of change; dan (4)  Produktif dengan membangun keyakinan sadar mutu yang

karakteristik sebagai proses pencitraan jati diri bangsa. Hal ini dapat dilihat dari beberapa

perubahan animo masyarakat Indonesia yang mulai kembali mencintai dan memaknai corak

batik sebagai bagian dari busananya yang sudah dimodifikasi dalam busana-busana modern di

segala usia maupun di segala suasana. Upaya mengangkat kesenian tradisional dalam tradisi

modern mulai “go internasional” melalui kemasan praktis dan menarik irama musiknya maupun

196

Kesadaran reflektif kritis memahami lingkungan

Masyarakat Transformatif

Indonesia

Local GeniusLocal Wisdom

busana adatnya masing-masing. Pemutakhiran dan modernisasi kuliner dan resep-resep

tradisional yang sudah dikemas dalam packaging modern mulai dikenal dunia global seperti

kosmetika Mustika Ratu, Sari Ayu, Ristra yang sebagian besar memanfaatkan keragaman hayati

di alam Indonesia. Panorama alam dan destinasi wisata dikembangkan sehingga membawa

perubahan eko-wisata bagi masyarakat yang dekat dengan lingkungan wisata tersebut,

contohnya Bali, Yogyakarta, Bangka Belitung dan beberapa wilayah lainnya.

Perubahan (change) kerangka kesadaran reflektif di era global ini membawa masyarakat

tradisional bangsa Indonesia mau tidak mau berpengaruh pada aspek-aspek psikologis

masyarakat. Beberapa contoh diatas memberi suatu arahan pengertian tentang kesadaran diri

dan kearifan lokal (local wisdom) adalah kunci dasar pembangunan karakter bangsa sebagai

warga negara yang bhineka tunggal ika bertransformasi menjadi tatanan masyarakat

transformatif yang cerdas, unggul,

Kesadaran reflektif kritis memahami lingkungan dalam pembelajaran dan kesadaran

transformatif yang bervisi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern di

Indonesia berusaha “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan

tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

KESIMPULANMasyarakat Indonesia berkepribadian agraris belum sepenuhnya familiar dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan ilmu harus ditekankan menjadi

suatu konsep serius membangun keberagaman multikultur.

DAFTAR PUSTAKA

Rembagy, Musthofa. 2008. Pendidikan Transformatif . Yogyakarta: Teras.

Rifai’I Achmad. 2011. Buku ajar Psikologi Belajar Orang Dewasa . Semarang: UNNES.

Trivette. C.M. et.al. 2009. Characteristics and consequences of adult learning Methods and

strategies. Research Brief. Vol. 3, No.1.

Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta : PT Gramedia.

Zakiyatur Rosidah, Kamis 22 Juni 2017 17:20 WIB, https://indonesiana.tempo.co /read/112899/

2017 /06/22/zakiyatur.rosidah/bhinneka-tunggal-ika-ciri-multikulturalisme-bangsa#13qch

JU8lCfgv3CZ.99, tanggal akses 29 Agustus 2017, jam 18.00 WIB.

197

DILEMA PILKADA LANGSUNG DAN PRAGMATISME WARGANEGARA34

oleh: Sunarto Amus35 dan Hasdin36

Abstrak

Masalah kelembagaan, sumberdaya, geografis, dan kultural merupakan sederet kendala dan kelemahan

dibalik penyelenggaraan pilkada langsung. Hal itu memicu tumbuhsuburnya pragmatisme

kewarganegaraan yang tidak sehat bagi berkembangnya budaya demokrasi substantif. Argumentasi ini

dibangun lewat sebuah penelitian di wilayah kesatuan politik-pemerintahan berbasis kepulauan di

Sulawesi Tengah. Optimalisasi pendidikan pemilih lewat pelibatan peran maksimal organisasi

kepemudaan (Karang Taruna) di tingkat desa/kelurahan bisa menekan tindakan bias warganegara akibat

sisi lemah dan kendala tersebut. Bila tidak, maka penyelenggaraan pilkada langsung terus terjebak pada

pemenuhan demokrasi prosedural yang sama sekali tidak kondusif dan kontributif bagi transformasi sikap

dan tindakan kewarganegaraan yang demokratis dan berintegritas.

Keywords: pilkada langsung; organisasi kepemudaan; pragmatisme warganegara

34 Disampaikan pada Seminar Nasional “Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural” yang diselenggarakan Prodi PPKn FISH UNESA bekerjasama dengan AP3KnI Jawa Timur, Surabaya, 30 Agustus 2017.35 Penulis adalah staf pengajar di Program Studi PPKn Jurusan P.IPS FKIP Universitas Tadulako, Palu.36 Penulis adalah staf pengajar di Program Studi PPKn Jurusan P.IPS FKIP Universitas Tadulako, Palu.

198

PendahuluanMemasuki usia tujuh puluh dua tahun usia kemerdekaan, praktik politik berdemokrasi di

Indonesia masih terus menyimpan sejumlah masalah substantif, meski negeri ini diklaim sebagai

salah satu contoh negara demokratis. Pada penyelenggaraan pilkada langsung tahun 2015,

misalnya, terdapat sejumlah masalah yang tidak mudah dipecahkan secara tuntas. Indikasinya

bisa dilihat dari maraknya kasus sengketa pilkada hingga ke Mahkamah Konstitusi. Hingga

Januari 2016 tercatat 147 kasus diajukan ke MK yang berasal dari 132 daerah. 128 perkara di

antaranya diajukan pasangan calon bupati/wakil bupati; 11 calon walikota; 6 pasangan gubernur;

dan 1 pemantau pilkada. Tujuh gugatan diterima MK, dan selebihnya ditolak karena tidak

memenuhi syarat (Harian Tempo.com, 7 April 2016). Suatu gugatan bisa diterima apabila selisih

perolehan suara pemohon dan pasangan lain maksimal dua persen, sebagaimana ketentuan

pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pada pilkada langsung gelombang kedua (15 Pebuari 2017), dari 7 provinsi, 18 kota, dan

76 kabupaten penyelenggara, terdapat 49 kasus sengketa yang diajukan ke MK (Harian

Detiknews.com, diakses 7 Maret 2017). Dua puluh permohonan sengketa ditolak karena: (1)

selisih perolehan suara tidak sesuai pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada; (2)

permohonan diajukan melebihi tenggang waktu tiga hari pasca pengumumuman rekapitulasi

hasil perolehan suara oleh KPUD (pasal 157 ayat 5); (3) permohonan diajukan oleh bukan

pasangan calon kepala daerah (pasal 157 ayat 4) (Harian Kompas.com, 3 April 2017).

Penanganan perkara oleh MK seringkali menuai banyak kontroversi sebab dipandang

tidak menyelesaikan akar masalah. Penegakan hukum lebih didasarkan pada penyesuaian

prosedur normatif sehingga cenderung mengabaikan dan/atau tidak memenuhi rasa keadilan

masyarakat, terutama para pemohon. Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie misalnya,

menilai tindakan itu sebagai hambatan demokrasi atau membatasi hak rakyat (Harian

Merdeka.com, 6 April 2016). Landasan normatif memang diperlukan, namun tidak berarti MK

melupakan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif yang umumnya didalilkan oleh

para pemohon (Saldi Isra, Liputan6.com, 7 April 2016).

Apa makna dibalik marak dan kontroversialnya sengketa pilkada? Terkandung pesan

bahwa terbuka ruang cukup lebar bagi berkembangnya manipulasi dalam pilkada langsung.

Sadar ataupun tidak, banyak hal yang mesti diperbaiki dalam penyelanggaraan pesta

demokrasi, termasuk di dalamnya pijakan hukum, kelembagaan, dan kultur masyarakat. Tulisan

ini berpretensi menunjukkan sejumlah masalah dan kendala yang lazim terjadi pada setiap

penyelenggaraan pilkada, yang meskipun keberadaannya diakui dan disadari sebagai

“pelanggaran etik”, namun tidak mudah dikualifikasi sebagai “pelanggaran normatif”. Akibatnya,

selalu ada “pelanggaran rasa” yang tidak melanggar hukum, sebab telah diantisipasi oleh

“kreator pilkada”. Karena itu, perlu ada langkah-langkah inovatif untuk terus melakukan

199

perbaikan kualitas proses berpilkada, bukan hanya pada aspek yuiridis-formal, akan tetapi juga

semangat, komitmen, integritas segenap stakeholder, termasuk meningkatkan keterlibatan dan

kesadaran politik berdemokrasi pemilik suara agar mereka benar-benar bisa menunjukkan diri

sebagai warganegara yang tahu, mau dan mampu bertindak dan bertanggungjawab sesuai

kebutuhan dan kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan agama, tidak larut oleh

kepentingan pragmatisme politik jangka pendek.

Data Pilkada Langsung: bagaimana justifikasi dibangun?Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian di Kabupaten Banggai Laut, dan Banggai

Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten yang disebut pertama telah melangsungkan

pilkada pada tahun 2015, sedangkan Kabupaten Banggai Kepulauan menyelenggarakan pilkada

pada tanggal 15 Maret 2017. Kedua daerah ini merupakan wilayah pemerintahan berbasis

kepulauan sehingga memiliki tantangan dan kendala tersendiri dalam penyelenggaraan pilkada,

tidak seperti daerah lain – yang berbasis daratan – yang mudah dijangkau dengan berbagai

sarana transportasi dan alat komunikasi modern. Proses kontestasi politik di daerah ini berujung

pada munculnya kasus sengketa pilkada hingga ke Mahkamah Konstitusi.

Data dihimpun lewat wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Proses wawancara

berlangsung dengan menggunakan pedoman tidak terstruktur (Esterberg, 2002) untuk menggali

pandangan dan penilaian sejumlah pihak terkait penyelenggaraan pilkada langsung. Observasi

dilakukan untuk memastikan perolehan data aktual saat pilkada berlangsung, termasuk

membaca ekspresi, mimik dan/atau bahasa tubuh subyek penelitian saat wawancara

berlangsung sehingga bisa ditangkap kecenderungan persepsi yang muncul dan beragam. Studi

dokumentasi dimaksudkan untuk mengungkap tehnis/mekanisme/prosedur pelaksanaan pilkada

langsung sekaligus medium konfirmasi atas sejumlah isu pilkada. Data penelitian dianalisis

dengan menggunakan pendekatan SWOT (Salusu, 1996; Rangkuti, 2004).

Kendala dan Kelemahan Penyelenggaraan Pilkada LangsungPenyelenggaraan pilkada hendaknya bisa dipahami oleh semua pihak sebagai

manifestasi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Rakyat selaku warganegara hendaknya

diposisikan sebagai subyek yang mesti diperjuangkan kepentingannya, bukan dijadikan obyek

eksploitasi oleh konstentan pilkada dengan sejumlah janji-janji kosong. Filosofi ini meski lazim

dipahami para kontentan, namun tidak selalu menjadi orientasi sentral dan tekanan utama

perjuangan dan ambisi politik mereka. Akibatnya, harapan konstituen yang sebelumnya seiring

dengan umbaran kontentan kemudian berantagonis setelah pemenang kontestasi berkuasa.

Pada titik ini, pilkada langsung belum mampu menghasilkan kepemimpinan kepala daerah yang

baik. Terbukti banyak kepala daerah yang terjebak dan terjerat kasus korupsi, mulai dari status

terperiksa, tersangka, terdakwa hingga terpidana (Budi dan Kusuma, 2013). Artinya, mereka

200

bekerja bukan untuk kepentingan rakyat – sebagaimana janji kampanye – melainkan lebih pada

pemuasan nafsu kekuasaan dan kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan.

Fenomena ini mengindikasikan adanya sejumlah hal yang patut diperbaiki dalam setiap

even penyelenggaraan pilkada langsung. Paling tidak, ada sejumlah aspek sebagai kendala dan

kelemahan yang apabila tidak segera diperbaiki, bisa melanggengkan tindakan manipulatif-

sistemik yang berujung konflik dan disintegrasi sosial sekaligus menurunkan derajat

kepercayaan atas integritas kontestan terpilih dalam masyarakat. Pertama, dari aspek

kelembagaan penyelenggara pilkada. Hingga kini masih sulit dibantah adanya tudingan miring

masyarakat atas keberpihakan penyelenggara pilkada terhadap kontestan-kontestan tertentu.

Indikasinya tidak sedikit sengketa pilkada yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi justru hendak

menggugat independensi dan integritas penyelenggara pilkada (baca: KPUD) yang diduga

bertindak subyektif, sebagaimana terjadi dalam pilkada Banggai Laut tahun 2015.

Masalahnya adalah keberatan terhadap salah satu kontestan yang berasal dari institusi

TNI yang konon tidak memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah karena masih berstatus

sebagai anggota aktif, belum memperoleh surat pemberhentian dari Mabes TNI. Kecurigaan itu

ditepis oleh penyelenggara bahwa telah memenuhi syarat, meski bukti formal persyaratan

dimaksud tidak harus dipublikasi. Alasannya bahwa ada regulasi yang harus dipatuhi bahwa

identitas tertentu dari kontestan pilkada tidak selamanya menjadi konsumsi publik. Ada hal-hal

tertentu yang cukup menjadi konsumsi penyelenggara pilkada, meski dikounter dengan asas

keterbukaan dalam penyelenggaraan pemilu sebagaimana bunyi pasal 2 UU No. 15 Tahun 2011

tentang Penyelenggara Pemilu. Setidaknya itu argumentasi yang dibangun komisioner yang

kemudian memperoleh justifikasi lewat persidangan dan kemenangan dalam sengketa di

Mahkamah Konstitusi. Di sini menunjukkan masih ada sisi lemah kelembagaan yang patut

diperbaiki. Terbitnya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diyakini anatara lain bisa menutupi

celah-celah kelemahan dimaksud.

Kedua, aspek keterbatasan sumberdaya manusia dan dana. Hal ini berimplikasi pada

minimnya frekuensi pelaksanaan sosialisasi tentang penyelenggaraan pemilu kepada

masyarakat. Tercatat hanya tiga kali berlangsung pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan

pemilu hingga tibanya pelaksanaan pencoblosan atau pemilihan kepala daerah, meski hal itu

dinilai sangat kurang. Kalaupun tingkat partisipasi pemilih di Banggai Laut dinilai paling tinggi

yakni mencapai 81% dibandingkan dengan partisipasi pemilih di tujuh kabupaten dan satu kota

penyelenggara pilkada lainnya di Sulawesi Tengah, namun itu lebih karena faktor kreatifitas dan

kampanye para kontestan kepada warga masyarakat yang bermaksud mendulang suara

semaksimal mungkin.

Ketiga, aspek kendala geografis. Faktor ini sangat terasa sebagai kendala yang tidak

mudah dipecahkan dalam penyelenggaraan pilkada khususnya bagi daerah-daerah berbasis

kepulauan semisal Banggai Laut dan Banggai Kepulauan. Meskipun wilayahnya terbilang relatif

201

kecil, namun terpisah dan terpencar-pencar ke dalam beberapa pulau-pulau kecil yang tidak

mudah dijangkau dalam waktu cepat dan tepat. Apalagi kondisi cuaca dan lingkungan laut yang

biasanya cukup ekstrim (berombak) pada waktu-waktu tertentu dan sulit diprediksi

menyebabkan tidak semua warga di daerah-daerah terpencil bisa terjangkau tepat waktu untuk

melakukan sosialisasi penyelenggaraan pemilu, misalnya. Akibatnya, pemahaman warga

masyarakat seputar filosofi pemilu sangat terbatas sehingga mudah dikooptasi, dimafaatkan,

dan direkayasa oleh kontestan yang memiliki “modal besar”. Kondisi itu turut mendorong

tumbuhsuburnya manipulasi pada setiap tahapan penyelenggaraan pilkada.

Keempat, aspek sikap dan perilaku kultural warga masyarakat yang makin pragmatis dan

hedonis. Kondisi geografis yang menyulitkan mobilitas penduduk, persaingan dan tantangan

hidup yang makin tajam, tuntutan kerja yang makin menguat, gaya hidup yang makin hedonistik

mendorong perilaku warganegara bertindak pragmatis, berpikir jangka pendek yang membawa

keuntungan sesaat. Kondisi ini, mau tidak mau menjadi pintu masuk yang cukup kondusif bagi

tumbuhsuburnya politik uang dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Apalagi memang sulit

sekali bagi siapapun untuk menghindar atau mencegah terjadinya politik uang (Rasyid, 2005;

Darmawan, 2012) di tengah tuntutan dan tantangan hidup yang semakin materialistik dan

hedonistik. Kecakapan menghindar dari jebakan politik uang belakangan ini makin canggih,

dilakukan secara terbuka dan/atau terang-terangan, dengan dalih pemberian honor kepada para

pendukung.

Maraknya politik uang bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman mengenai pondasi

dan substansi demokrasi sehingga rakyat melihat demokrasi sekadar proses ritual (pemilu,

pemungutan suara, voting, kebebasan berpendapat, dan sebagainya)(Kumorotomo, 2009), atau

karena kelemahan aturan hukum yang tidak mampu menjangkau modus operandi politik uang

yang makin canggih (Darmawan, 2012). Karena itu, tidak mengherankan bila Badan Pengawas

Pemilu menemukan 600 dugaan politik uang dari 101 daerah penyelenggara pilkada tahun 2017

(Harian Kompas.com, edisi 14 Pebruari 2017). Meski jumlahnya terbilang tidak sedikit, namun

biasanya sulit membuktikan sesuai parameter hukum sebab telah diantisipasi dengan baik oleh

praktisi politik, pendukung, dan “penasehatnya” sehingga pada akhirnya tidak bisa dikualifikasi

sebagai politik uang. Celah hukum mampu dimanfaatkan untuk melakukan tindakan bias yang

tidak berkonotaasi politik uang. Inilah bentuk kecakapan politik yang tidak beretika

kewarganegaraan. Ternyata masalah besar bangsa ini tidak mudah dipecahkan secara tuntas

lewat instrumen hukum. Karena itu, dibutuhkan instrumen kultural-spiritual guna memutus mata

rantai penyakit sosial yang membahayakan masyarakat, bangsa dan negara tersebut.

Keterlibatan Organisasi Kepemudaan dalam Penyelenggaraan Pilkada LangsungPenyelenggaraan pilkada langsung mau tidak mau, suka atau tidak suka, terpaksa atau

sukarela, harus melibatkan seluruh komponen masyarakat selaku warganegara. Ini sangat

202

penting dan efektif bagi perbaikan kualitas proses dan hasil penyelenggaraan pilkada langsung

pada khususnya, dan kehidupan politik berdemokrasi pada umumnya. Sesederhana apa dan

bagaimanapun kemampuan, pendidikan, dan profesi warga masyarakat pada umumnya tidak

boleh lagi hanya digugah, disadarkan, dan dimobilisasi menjelang pemungutan suara. Tradisi

meningkatkan partisipasi pemilih untuk sebatas menceblos di kotak suara sudah harus

ditinggalkan, direvitalisasi dengan cara menanamkan kesadaran kepada mereka mengenai

konsekuensi dan tanggung jawab yang mesti diemban atas pilihan politik mereka. Dengan cara

itu, keputusan untuk memilih di bilik suara bukan didasarkan pada kendali “kekuatan eksternal”,

tapi didorong atas pertimbangan akal sehat dan rasa personal secara independen demi

kepentingan masyarakat dan negara. Pada titik ini mereka didorong agar menjadi warganegara

tahu, mau, dan mampu bertindak selaku warganegara yang baik (good citizen).

Kita mesti berupaya secara berkesinambungan untuk mendorong tumbuh dan

berkembangnya tipologi warganegara sebagaimana dibayangkan Westheimer dan Kahne

(2004), yakni warganegara yang bukan saja (1) memiliki rasa tanggung jawab personal dalam

masyarakat, seperti menaati hukum dan membayar pajak, dan (2) berpartisipasi aktif melakukan

perbaikan dalam masyarakat, akan tetapi warganegara yang (3) berorientasi pada penegakan

keadilan, mempertanyakan dan melakukan perubahan sosio-ekonomi dan struktur politik yang

dapat mereproduksi pola ketidakadilan dari waktu ke waktu. Hal ini bisa dicapai bila warga

masyarakat terus didorong untuk memiliki political literacy dan political engagement, atau yang

Kalijernih (2011) sebut sebagai tindakan kewarganegaraan (act of citizenship), bukan

kewarganegaraan aktif (active citizenship). Salah satu bentuknya adalah pelibatan organisasi

kepemudaan seperti karang taruna dalam penyelenggaraan pilkada sebagai penggerak

kesadaran dan kemauan warga masyarakat secara bertanggungjawab.

Setidaknya ada tiga alasan dan pertimbangan mengapa komponen kepemudaan patut

dilibatkan dalam penyelenggaraan pilkada langsung. Pertama, mereka adalah elemen bangsa

dan sumberdaya potensial yang bisa didayagunakan bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan

negara. Hingga kini, potensi itu belum dikelola, dilatih dan dimanfaatkan secara optimal. Sebagai

generasi muda, mereka adalah aset bangsa dan warganegara pilihan yang siap berperan

sebagai agen perubahan sosial dan pemimpin di masa kini dan masa depan. Meski

Budimansyah (2008) menyebutnya sebagai warganegara hipotetik, yaitu warganegara yang

“belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan

kewajibannya, namun pemberian peran maksimal dalam penyelenggaraan pilkada adalah

bagian dari proses mempercepat pendewasaan sikap dan ketrampilan mereka selaku

warganegara muda (young citizen).

Kedua, dibandingkan dengan generasi tua, pemuda adalah sosok warganegara yang

memiliki idealisme tinggi, relatif belum banyak terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan

subyektif sesaat. Mereka akan tumbuh, berkembang dan berperan menjadi warganegara yang

203

baik dan bertanggungjawab bila dibentuk oleh lingkungan kemasyarakatan dan pemerintahan

yang mengasah dan mengasuh potensi dan ketrampilan bernegara secara lebih baik. Pemuda

relatif terjaga dan memiliki animo cukup kuat untuk memberantas penyimpangan kekuasaan

(abuse of power) di masyarakat. Sederhananya, pemuda relatif membenci korupsi dan

manipulasi, memiliki energi, komitmen dan integritas cukup tinggi untuk memberantas korupsi

dan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan. Potensi ini patut digali dan diberdayakan secara

maksimal bagi kepentingan masyarakat dan negara sehingga potensi kecurangan yang lazim

terjadi pada setiap penyelenggaraan pilkada, misalnya, bisa ditekan dan/atau diminimalisir

secara efektif.

Ketiga, segenap potensi pemuda merupakan energi besar dan strategis bagi pembinaan

dan pendidikan politik warga masyarakat sebagai pemilik hak suara. Mereka adalah bagian dari

dan hidup di tengah masyarakatnya, dan karena itu mereka sangat mengenal identitas dan/atau

jatidiri orang-orang sekitar. Apa dan bagaimana karakter, perilaku, dan tindakan warga

masyarakat, politisi, legislator, dan/atau kontestan pilkada akan sangat mudah dideteksi sejak

dini sebab mereka adalah bagian dari komunitas itu. Kontrol sosial atas para petarung politik

akan berlangsung alamiah sejak dini, tanpa rekayasa, dan tanpa mobilisasi. Pada titik ini,

eksistensi komponen pemuda akan sangat membantu kerja-kerja (baca: tugas) segenap

komponen penyelenggara pilkada yang memang dibentuk secara formal dan musiman, apalagi

kontrol sosial pemuda berlangsung sejak lama, dini, informal, apa adanya, tanpa rekayasa, dan

berkelanjutan. Karena itu, energi sosial-informal pemuda mesti “dikawinkan” dengan energi

politik-formal pemerintahan bila kita ingin membangun dan menciptakan penyelenggaraan

pilkada yang benar-benar berkualitas, mendidik, demokratis dan berintegritas, bukan retoris,

romantis, dan hipokrit. Mereka bisa diberdayakan sebagai agen pilkada guna memperkuat

political literacy dan political engagement warga masyarakat selaku pemilik hak suara.

PenutupUpaya melibatkan pemuda dalam setiap tahapan peyelenggaraan pilkada bukan perkara

mudah yang mau diamini semua pihak. Ada tantangan dan hambatan kultural dan/atau

struktural yang tidak bisa dipungkiri. Mulai dari persepsi negatif generasi tua tehadap pemuda,

labilitas, stereotif dan tingkat kematangan pemuda, terbatasnya pembinaan, pelibatan dan

pembiasaan peran pemuda, hingga masalah geografis, sumberdaya dan dana yang terbatas.

Tantangan dan hambatan itu tidak boleh menghalangi atau mengurangi komitmen pelibatan

pemuda bila kita tidak ingin terus terjebak pada situasi muncul dan berkembangnya sosok

warganegara yang berpikir dan bertindak pragmatis. Tanggung jawab membangun generasi

muda terletak di tangan generasi tua, baik yang berperan di sektor informal, formal maupun

informal. Lebih dari itu, penyiapan kompetensi, komitmen, dan integritas mereka sangat

bertumpu pada kemauan, kemampuan, kepedulian, konsistensi dan jiwa besar generasi tua

204

untuk melibatkan pemuda dalam penyelenggaraan pilkada guna membangun masyrakat,

bangsa dan negara yang benar-benar demokratis, berintegritas, dan relegius.

Daftar PustakaBudimansyah, D. (2008). Revitalisasi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Melalui

Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen). Acta Civicus, 1(2), hlm. 179-198.

Budi, M., & Kusuma, W. (2013). Akuntabilitas Kepala Daerah di Persimpangan Jalan (Dari

Pilkada Langsung Menuju Pilkada oleh DPRD), Prosiding Seminar Nasional FISIP UT,

Diakses dari: http://repository.ut.ac.id/2364/.

Darmawan, D. (2012). Tinjauan Terhadap Pengaturan Politik Uang dalam Peraturan

Kepemiluan. Jurnal Pemilu & Demokrasi, 12 (4), hlm. 103-122.

Esterberg, K.G. (2002). Qualitative Methode in Social Research. New York: Mc Graw Hill.

Harian Detiknews.com. (2017). MK Terima 49 Gugatan Sengketa Pilkada Serentak 2017.

Diakses dari: https://news.detik.com/berita/3437502/.

Harian Kompas.com. (2017). MK Tolak 20 Permohonan Sengketa Pilkada. Diakses dari:

http://nasional.kompas.com/read/2017/04/03/23263411/.

--------------------------------. (2017). Bawaslu Temukan 600 Dugaan Politik Uang pada Pilkada

2017. Diakses dari: http://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/19334401/.Harian Merdeka.com. (2016). Jimly: Syarat 2 persen Ajukan Sengketa Pilkada Membatasi Hak

Rakyat. Diakses dari: http://www.merdeka.com/politik/.

Harian Tempo.com. (2016). MK hanya Terima Tujuh Gugatan Sengketa Pilkada 2015. Diakses

dari: https://m.tempo.co/read/news/2016/01/26/063739564/.

Kalidjernih, F.K. (2011). Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan. Bandung: Widya

Aksara Press.

Kumorotomo, W. (2009). Intervensi Parpol, Politik Uang Dan Korupsi: Tantangan Kebijakan

Publik Setelah Pilkada Langsung. Makalah disajikan dalam Konferensi Administrasi

Negara, Surabaya, 15 Mei.

Liputan6.com. (2016). Pakar: MK Bisa Sampingkan Selisih Suara Pilkada. Diakses dari:

http://pilkada.liputan6.com/read/2425914/.

Rangkuti, F. (2004). Analisis SWOT Tehnik Membedah dalam Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Rasyid, M.R. (2005). Kata Pengantar dalam Buku 9 Kunci Sukses Tim Sukses dalam Pilkada

Langsung Karya Achmad Herry (2005). Jakarta: Galangpress Group.

Salusu. (1996). Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi

Nonprofit. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

205

Westheimer & Kahne (2004). What Kind of Citizen? The Politics of Educating for Democracy.

American Educational Research Journal, 41(2), pp. 237–269.

MENGUATKAN INTEGRASI NASIONAL DALAM KESADARAN KELOMPOK ETNIKOleh:

Agus SuprijonoSugeng Herianto

Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri [email protected]

Abstrak

Tulisan ini merupakan paparan gagasan sebagai ekspresi menyikapi masifnya gerakan-gerakan idiologisasi

yang mengarah pada disintegrasi nasional. Melalui kajian konseptual yang merujuk pada literatur-lilteratur

relevan dihasilkan proposisisebagai jawaban rumusan masalah “Bagaimana keberagaman budaya

Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif

untuk membangun kesadaran kolektif tersebut ?”. Pendidikan merupakan panasia permasalahan

kemanusiaan. Pendidikan adalah humanisasi itu sendiri. Sekolah menjadi lingkungan strategis

menumbuhkan-kembangkan kesadaran kritis tentang persatuan dan kesatuan. Semakin kuat kesadaran

nasional dalam kesadaran kelompok etnik, semakin kuat pula kohesivitas sosial sehingga wawasan

kebangsaan semakin kokoh, persatuan dan kesatuan semakin kukuh.

Kata kunci: Integrasi Nasional, Kelompok Etnik

PendahuluanFuturolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan tentang

menguatnya kesadaran etnik (ethnic conciousnes) di banyak negara pada abad ke-21. Berbagai

peristiwa seperti perlawanan terhadap dominasi negara maupun terhadap kelompok-kelompok

206

etnik terjadi pada dua dasawarsa terakhir abad ke-20 ini. Berjuta-juta nyawa telah melayang

dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington (1997)

merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya perbenturan antar

masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban

“clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini dominan dalam perang dingin, berubah

dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh

keberpihakan terhadap agama dan kebudayaan.

Pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa tidak jarang suatu

kebudayaan membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan bahkan peperangan.

Indonesia sebagai masyarakat majemuk senantiasa perlu menggali wawasan kebangsaannya

untuk menghindari ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok etnik yang

kerap terjadi seharusnya menggugah bangsa ini kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan

mendasar. Bagaimana keberagaman budaya Indonesia dapat menjadi kesadaran kolektif

masyarakat Indonesia yang pluralis ; solusi apa yang efektif untuk membangun kesadaran

kolektif tersebut ?

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan ditandai realitas

budaya objetif seperti keragaman budaya, suku, etnik, bahasa, agama dll. Berdasarkan teori

kultur dominan Bruner dalam Prabowo dan Fakurrozi (2004) masyarakat multikultur Indonesia

dalam lingkup provinsi dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu

Kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya ; Kelompok etnis menjadi

dominan di luar wilayah teritorialnya ; Beberapa etnis mempunyai jumlah yang berimbang

dengan kategori (a) perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar ; (b)

perimbangan jumlah etinis dengan etnis pendatang lebih besar ; Beberapa etnis mempunyai

jumlah yang berimbang, namun yang terbanyak adalah kumpulan beberapa etnis

Menurut Malinowski dalam Pelly (1998 : 26) berdasarkan sudut pandang klasik kelompok etnik

dipandang sebagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat

digambarkan dalam sebuah peta etnografi.

“Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well defined-boundaries) memisahkan

satu kelompok etnik dengan kelompok lainnya. Secara de facto masing-masing kelompok etnik

memiliki budaya yang padu (cultural homogenity); satu sama lain dapat dibedakan baik dalam

organisasi, kekerabatan, bahasa, agama (sistem religi), ekonomi, tradisi, maupun pola-pola

hubungan kelompok antar kelompok etnik. Dengan demikian satu kelompok etnik memiliki suatu

identitas khas yang berbeda dengan kelompok etnik lain, yang dengan mudah terlihat dari cara

mereka mengekspresikan atau mengartikulasikan kebudayaannya, termasuk dalam hal

bagaimana mereka mengkonsepsikan dan menata pengelolaan serta penguasaan terhadap

sumberdaya.

207

Konsep etnisitas dalam budaya suku yang primordialisme seiring dengan fenomena dan

demokrasi telah mengalami pergeseran makna. Menurut Barth (1969). “kelompok etnik tidak

selalu merupakan tribe yang sederhana dengan budaya yang tersusun rapi di wilayah teritorial

yang definitif serta mudah dibedakan batas-batasnya satu sama lain”. Batas kelompok etnik

yang paling penting menurut Barth adalah batas-batas sosial bukan teritorial. Kelompok etnik

lebih didasarkan kepada pernyataan dan pengakuan berkesinambungan tentang identifikasi

dirinya. Pengertian etnisitas karenanya tidak diaksentuasikan lagi pada isi kebudayaan yang

dimiliki oleh suatu kelompok etnik itu, melainkan lebih kepada jatidiri atau identitas yang muncul

dalam interaksi sosial.

Kajian kelompok etnik bukan lagi kajian mengenai kolektiva dengan isi atau taksonomi

kebudayaannya tetapi kajian mengenai organisasi sosial yang askriptif berkaitan dengan asal

muasalnya yang mendasar dan umum dari para pelakunya. Dengan kata lain, jatidiri itu

dinamakan primordialitas yaitu sebuah dunia jatidiri perorangan yang secara kolektif diratifikasi

dan secara publik diungkapkan, yang merupakan sebuah keteraturan dunia (lihat Geertz dalam

Suparlan, 1998). Lloyd Warner dalam tulisan Toid (1978 : 3) menjelaskan bahwa yang

terkandung dalam pengertian etnik menunjuk pada individu-individ guna mempertimbangkan di

manakah seseorang atau dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya yaitu yang

didasarkan pada latar kebudayaan. Oleh sebab itu istilah etnik cenderung lebih bersifat sosio-

kultural daripada yang berkaitan dengan ras. Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa”

menjadi “kelompok etnik” (ethnic groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”. Istilah kelompok

etnik memiliki makna “kita” (“self”) sekaligus “orang lain/mereka” (“others”).

Konsep etnik lebih kepada pengungkapan jati diri atau pengidentifikasian diri dalam

proses-proses sosial yang terjadi pada masyarakat majemuk. Menurut Soekanto (2009 : 57)

dalam proses-proses sosial atau interaksi sosial terjadi (1) identifikasi ; (2) imitasi ; (3) sugesti ;

(4) simpati. Sebagai upaya menuju integrasi nasional Indonesia keanekaragaman kelompok-

kelompok etnik di Indonesia saling berinteraksi.

Integrasi nasional merupakan bentuk proses-proses sosial yang erat kaitannya dengan

pertemuan dua atau lebih kelompok etnik. Integrasi nasional merupakan produk akhir dari suatu

kontak sosial yang secara politis dicita-citakan. Interaksi antar kelompok etnik bukan dalam

bentuknya secara obyektif sebagai transaksi-transaki informasi. Dalam interaksi antar kelompok

etnik bentuknya yang substantif adalah proses-proses subyektif yaitu transaksi-transaksi emotif.

Oleh sebab itu masalah mendasar yang terkadung dalam integrasi adalah persoalan-persoalan

psikologis.

Selain interaksi antar kelompok etnik melahirkan stereotipe, masalah lain yang muncul dari

interaksi tersebut adalah etnosentrisme. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara

bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok

208

etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok

lain. Sikap superior ini merupakan faktor yang juga dapat menghambat terwujudnya integrasi

nasional.

Dalam konteks etnosentrisme proses integrasi nasional selalu ditandai oleh hubungan

dominan dan minoritas. Menurut Suparlan (2004) Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam

kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status

sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat

prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini

berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong

dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa

golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong

sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber

daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka

yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya

tersebut.

. Prasangka muncul dari berbagai sebab. Faktor-faktor penyebab timbulnya prasangka

bersumber pada latar belakang sejarah, perkembangan sosio-kultural dan situasional, faktor

kepribadian, dan perbedayaan keyakinan.

Dalam pluralitas budaya prasangka mendorong munculnya sikap streotipe. Pandangan-

pandangan streotiping terhadap etnik lain biasanya timbul dan kemudian menjadi pengetahuan

dan pemahaman seseorang melalui sosialisasi di lingkungan sosial yang berkategori “kami” (in

group). Pewarisan pandangan demikian kepada kelompok sendiri diperlukan sebagai acuan

tindak atau respon yang dianggap tepat ketika seseorang berhadapan dengan orang lain yang

berbeda kategori.

Primordialisme juga merupakan faktor penghambat terwujudnya integrasi nasional. Ikatan

primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh para anggota suatu

kelompok etnik, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan, sejarah dan asal-usul

(Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan bagi para anggota suatu

kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh karena itu, identitas dasar

merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat umum, serta menjadi kerangka

dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.

Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali dimanipulasi

(Cohen, 1970). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit dapat dimungkinkan

karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu melainkan cair, sehingga

dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupan.

Namun, tidak jarang aliran identitas dasar menerjang dengan kuat bagaikan air bah yang

membobol bendungan-bendungan, serta merusak segala sesuatu yang dilaluinya. Pada

209

keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk

ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi emosional yang sangat kuat atau menjadi

etnosentrisme yang berlebihan, sehingga menjadi sumber malapetaka.

PembahasanKeberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di dalam

masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan. Tekanan

berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena ekspresi dan identitas

baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.

1. Menumbuhkan Asosiasi-Asosiasi Lintas Batas Dengan memahami konsep kelompok etnik sebagai identitas atau jatidiri semestinya orang

akan lebih terbuka bagi perubahan dan lebih mudah menerima orang lain yang berbeda

kebudayaannya. Berikutnya akan lebih mudah pula mengembangkan paham multikulturalisme

sebagai kondisi prasyarat yang sangat penting untuk menumbuhkan apa yang dicita-citakan

masyarakat madani. Dengan paham dan penghargaan akan keberagaman maka setiap orang

akan lebih mudah memasuki banyak asosiasi-asosiasi sukarela yang tumbuh di lingkungan

masyarakat majemuk sehingga akan tumbuh apa yang oleh Pelly (2000) disebut akumulasi

aliansi atau oleh Sibarani (2000) disebut keanggotaan saling menyilang (cross-cutting affiliation)

yang akan membuahkan kesetiaan saling menyilang (cross-cutting loyalities).

Jaring-jaring sosial yang mengikat sebanyak mungkin anggota yang beragam sudah

barang tentu lebih kuat menapis ancaman terjadinya ketegangan etinik. Robert D Putnam (2004)

memperlihatkan efektivitas dari jejaring sosial yang mampu menumbuhkan partisipasi

masyarakat di Italia sebagai modal sosial yang secara sadar didayagunakan untuk bekernya

demokrasi.

2. Membangun Kohesivitas SosialDalam masyarakat multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik dapat berakibat

kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu kelompok etnis sama

seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan menimbulkan ledakan sosial.

Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial, yaitu

suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang

menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan mereka semakin saling

mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya pada pihak lain, dan akhirnya

dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat dipahami sebagai bagian dari

peradaban manusia.

Sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti, identifikasi, dan

simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila memenuhi dua syarat: kontak

sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling

210

Masyarakat “X”

Masyarakat“Y”

beradaptasi pada lingkungan secara totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik

masyarakat dan elemen organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata

sosial antaretnik, dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.

Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban(Cohen, 1970: 65)

Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah

(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik.Saling

ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan hubungan

kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa: perdagangan,

kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).

Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan meningkatkan

adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban itu adalah kebudayaan

yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan diartikan cara hidup yang

dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti ‘kerjasama’ adalah suatu

kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa dalam distribusi mobil dapat

menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.

3. Membangun Budaya ToleransiIstilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal dalam

wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi menjadi salah

satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam paket ideologi

211

HK

uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan yang berbau keagamaan,

kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung dianggap sebagai pembangkangan

SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparatnegara. Karena itu, toleransi lebih

banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan bukan bagian dari proses kebudayaan

masyarakat bangsa.

Sejalan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis ideologi Pancasila

juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan bermacam-macam pola pun

dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dalam alam reformasi, issu-

issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi

tanggungjawab 'ideologis' negara. Namun, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat

cepat sehingga banyak pengamat budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai

pemersatu bangsa (chain of national unity). Belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang

harus dibayar karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.

Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan bahwa nilai

toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar toleransi bersumber dari

adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati setiap manusia. Empati

merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh

orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira ataupun berduka dengan kegembiraan dan

kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan

orang itu membangun nilai toleransi, yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya

perbedaan.

Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif. Ir. Jero

Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru menerbitkan

sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut Wacik, budaya berpikir

positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat sisi positif, optimistik, integratif

dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup, sesungguhnya telah hidup dalam

kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini."Semakin sering kita berpikir positif, semakin

banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat primordialisme di antara kita akan menjadi semakin

menipis. Sebaliknya, semakin sering kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki

musuh.

Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar kelompok

komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah membudaya.

Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat semacam ini tentulah

tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks. Untuk itu tulisan ini hanya

mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai sebuah contoh kasus dari ribuan

fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara ini.

212

4. Menanamkan Multikulturalisme melalui Pembelajaran Kooperatif di Kelas HeterogenMultikulturalisme merupakan ide, gagasan, proses, dan sebuah gerakan yang

beraksentuasi pada upaya menumbuhkan kesadaran untuk memahami, mengakui, menghargai,

dan menerima kesederajatan keanekaragaman kebudayaan. Dalam ruang politik terbuka seperti

sekarang ini multikulturalisme harus ditanamkan dan ditumbuhkan seiring dengan proses-proses

demokratisasi. Dengan multikulturalisme masyarakat Indonesia nantinya akan mempunyai

kesadaran tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan

kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang

tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok etnik lain dari dirinya

sendiri dan akan mampu secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang

oleh kelompok atau masyarakat dominan.

Pendidikan merupakan proses humanisasi. Pendidikan adalah proses pengadaban

manusia. Pendidikan menjadikan manusia berbudaya. Pendidikan merupakan instrumen

kehidupan manusia untuk memecahkan masalah-masalah sosial. Melalui pendidikan

rekonstruksi dan reformasi sosial dapat dilakukan. Tolstoy berpendapat sasaran puncak

pendidikan ada di luar pendidikan yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilai-nilai masyarakat

“beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau ajang klaim-klaim yang

saling bertentangan.

Sekolah merupakan miniatur dari suatu masyarakat. Sekolah adalah institusi yang

merefleksikan pluralitas dan diferensiasi sosial dari sebuah kehidupan sosial. Kehidupan sekolah

adalah kehidupan sosial yang penuh dengan keanekaragaman. Secara sosiologis, siswa-siswa

berasal dari berbagai lapisan masyarakat (strata sosial). Secara antropologis, siswa-siswa

berlatar etnis yang beranekaragam. Secara psikologis, siswa-siswa adalah pribadi-pribadi yang

memiliki keunikan-keunikan.

Dalam perspektif konflik keanekaragaman itu merupakan sumber konflik. Oleh karena itu

keanekaragaman latar sosial, budaya, psikis dll dari siswa-siswa di suatu sekolah adalah fakta

sosial yang harus direspon oleh para guru. Pendidikan di sekolah harus berhasil menciptakan

social equilibirium melalui pengembangan keseluruhan potensi kemanusiaan yang telah melekat

secara kodrati pada diri siswa. Pendidikan sekolah harus berhasil menumbuhkan kesadaran

pada diri siswa terhadap eksistensinya sebagai makhluk individu maupun sosial. Dalam dimensi

sosial pendidikan di sekolah harus mampu menumbuhkan kemampuan siswa-siswa untuk

memahami, bersikap, dan bersedia menerima segala perbedaan dalam mozaik kehidupan

sosialnya.Sekolah dapat dijadikan sebagai sarana pembauran multietnik. Sekolah dapat

mengembangkan pendidikan multikultur. Pendidikan multikultur merupakan proses pendidikan

yang mengembangkan pelbagai aktivitas belajar menuju ke arah kesadaran akan pengakuan

terhadap berbagai kebudayaan dari pelbagai etnis dan ras.

213

Daftar PustakaBarth, Fredrik, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta: UI Press

Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and The

Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor). Pennsylvania:

International Textbook Company.

Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order. New

York: Simon and Schuster.

Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :Yayasan

Obor Indonesia.

Pelly, Usman, “Mengkaji Ulang Keseimbangan Tradisional Dalam Kehidupan Masyarakat Kota

Medan”, Makalah, Seminar “Menyoal Keseimbangan Tradisional Masyarakat” diadakan

oleh Madia dan KSPM Medan tahun 2004.

Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta :

Rineka Cipta.

Prabowo dan Fakurrozi, “Belajar dari Kekerasan Sosial Masa Lalu Untuk Menjadi Manusia Masa

Depan”, Makalah, Seminar Nasional Universitas Sanata Dharma, 24-25 Juli 2004.

Sibarani, Robert, 2004, “Menyikapi Pluralisme” Makalah Seminar “Menyoal Keseimbangan

Tradisional Masyarakat” diadakan oleh Madia dan KSPM Medan

Soekanto, Soerjono, 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press

Suparlan, Parsudi, 1999, “Kemajemukan Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan,

Jurnal Antropologi No 58 Tahun 1999.

Suparlan, Parsudi, 2004, “Hak-Hak Minoritas dalam Lanscape Multikultural Mungkinkah di

Indonesia ?” Makalah, Wisma PKBI 10 Agustus 2004.

Toid, Brian M.du 1978, Etnicity in Modern Africa, Colorado: Westview Press.

.

214

PENDIDIKAN UNTUK ANAK-ANAK INDONESIA DI SABAH-MALAYSIA UNTUK MEMBENTUK WARGA NEGARA TRANSFORMATIF DARI LUAR NEGERI

Oleh: Yuni Wulan [email protected]

ABSTRAKPendidikan merupakan salah satu kompunen penting yang menentukan maju mundurnya suatu

negara. keberhasilan pendidikan berpengaruh pada kemajuan suatu negara, sebaliknya kegagalan pendidikan juga berpengaruh pada kegagalan suatu negara. untuk mencapai keberhasilan pendidikan selain manajeman pendidikan yang bagus juga diperlukan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Warga negara indonesia (WNI) tidak hanya tinggal di indonesia saja, beberapa ada yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara salah satunya di Sabah-Malaysia. Para TKI mempunyai anak usia sekolah yang berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak yang tinggal di Indonesia. Mulai tahun 2006 pemerintah Indonesia telah mengirimkan pendidik untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak Indonesia di Sabah-malaysia. Mendidik anak-anak Indonesia di sabah-malaysia adalah tantangan tersendiri bagi para pendidik mulai dari terbatasnya sarana dan prasarana hingga kesadaran para TKI yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Para pendidik berusaha keras memberi pengertian kepada para TKI tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan, selain itu para pendidik juga mengajarkan tentang wawasan kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada anak-anak, karena mereka sebagian besar belum pernah ke Indonesia. Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKI di Sabah- Malaysia telah berhasil membuat mereka menyadari tentang pentingnya pendidikan dan rasa cinta tanah air. Sehingga banyak anak yang memutuskan kembali ke Indonesia melanjutkan sekolah. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan cinta tanah air akan membentuk warga negara yang transformatif. Kata kunci: pendidikan; anak-anak TKI Sabah-Malaysia

PENDAHULUANLatar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu kompunen penting yang menentukan maju mundurnya

suatu negara. keberhasilan pendidikan berpengaruh pada kemajuan suatu negara, sebaliknya

kegagalan pendidikan juga berpengaruh pada kegagalan suatu negara. untuk mencapai

keberhasilan pendidikan selain manajeman pendidikan yang bagus juga diperlukan pemerataan

pendidikan kepada seluruh warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pemerataan pendidikan untuk setiap warga negara Indonesia merupakan aplikasi dari undang-

undang dasar 1945 pasal 31 dan undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dimanapun mereka

berada, baik yang tinggal di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

maupun di luar NKRI.

Warga Negara Indonesia (WNI) tidak hanya tinggal di Indonesia saja, berberapa ada

yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di berbagai negara di dunia salah satunya di

215

sabah-Malaysia. Jumlah TKI yang bekerja di sektor perkebunan sawit sabah- Malaysiahingga

tahun 2017 kurang lebih 500.000 TKI. Para TKI tersebut mempunyai anak usia sekolah yang

berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak Indonesia lainya yang tinggal di

Indonesia. Mulai tahun 2006 pemerintah Indonesia telah mengirimkan pendidik untuk mendidik

anak-anak Indonesia di sabah- Malaysia. Pengiriman pendidik ke sabah- Malaysia bertujuan

memberikan pendidikan kepada anak-anak TKI sehingga bisa merasakan pendidikan yang

sama dengan anak-anak Indonesia yang ada di Indonesia. Pendidikan di berikan dari jenjang

sekolah dasar hingga menengah atas. Menurut data kemendikbud per september 2015 ada

sebanyak 53 ribu anak –anak TKI di sabah malaysia dan baru 24 ribu yang memperoleh

pendidikan setingat Sekolah Dasar dan sekolah menengah pertama.

(https.//www.kemendikbud.go.id/main/blog/2016/09/tuntaskan-pendidikan-bagi-anak-tki-115-

guru-indonesia-dikirimkan, diakses 21 juli 2017)

Pendidikan dasar untuk anak-anak TKI diberikan dalam bentuk SD dan SMP terbuka

yang di sabah disebut sebagai Community Learning Center(CLC). Selain di CLC anak-anak

Indonesia juga belajar di pusat belajar Humana sebuah lembaga swadaya masyarakat di daerah

sabah malaysia yang secara khusus memberikan perhatian berupa layanan pendidikan bagi

anak-anak pekerja di perkebunan wilayah negara bagian sabah dan mendapat izin operasional

dari pemerintah setempat. Fasilitas dan proses pendidikan yang diperoleh oleh anak-anak TKI

tentunya berbeda dengan yang diperoleh anak-anak indonesia yang tinggal di Indonesia namun

pendidikan yang diberikan mempunyai tujuan yang sama untuk membentuk rakyat Indonesia

yang adil dan makmur.makalah ini akan membahas tentang pendidikan anak-anak TKI di sabah

malaysia sebagai salah satu cara membentuk warga negara transformatif dari luar negeri.

Rumusan masalahRumusan masalah dalam makalah ini adalah :Bagaimana pendidikan anak-anak TKI di Sabah-

Malaysia?

Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar para pembaca mengetahui pendidikan anak-anak

TKI di Sabah- Malaysia sebagai salah satu cara mewujudkan warga negara transformatif dari

luar negeri.

METODE PENELITIAN

Waktu dan tempat penelitian Penelitian tentang anak-anak TKI di Sabah-Malaysia dimulai dari Juni 2014-Mei 2017, di Litang

Estate, Kinabatangan Sabah Malaysia, Pemilihan Litang sebagai tempat penelitian karena

Litang merupakan salah satu bagian dari perusahaan hapseng yang merupakan salah satu

216

perusahaan sawit terbesar di sabah yang memperkerjakan tenaga kerja Indonesia di hampir

segala sektor kecuali esekutif.

MetodePenelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi

kasus adalah suatu metode yang berusaha memberikan gambaran yang dirinci dengan tekanan

pada situasi keseluruhan mengenai proses atau urut-urutan suatu kejadian (Moehar, Daniel.

2002:116). Selain itu, studi kasus dapat memberi nilai tambah pada pengetahuan kita secara

unik tentang fenomena individual, organisasi, sosial dan politik. Studi kasus memungkinkan

untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan

nyata seperti siklus kehidupan seseorang, proses-proses organisasional dan managerial,

perubahan lingkungan sosial, hubungan-hubungan internasional dan kematangan-kematangan

industri (Yin, 2004:4). Studi kasus dipilih dalam penelitian ini untuk: Mengambarkan secara rinci

berbagai cara yang digunakan dalam mendidik anak-anak Indonesia di Sabah-malaysia.

Teknik Pengumpulan DataPengumpulan data adalah pencatatan peristiwa-peristiwa atau hal-hal atau keterangan-

keterangan atau karateristik-karateristik sebagian atau seluruh elemen populasi yang akan

menunjang atau mendukung penelitian (Iqbal Hasan, 2002:82). Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan tiga cara yaitu oservasi, oservasi partisipan dan wawancara

mendalam. Observasi digunakan untuk memperoleh data awal yang dengan cara melakukan

pengamatan terhadap para anak-anak TKI yang ada di Litang estate.

Observasi partisipan yaitu suatu usaha untuk melakukan pengamatan dan pencatatan

yang sistematis terhadap obyek penelitian secara langsung turun ke lapangan dan ikut serta di

dalamnya. Observasi partisipan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara berinteraksi

langsung dengan anak-anak TKI baik dalam waktu belajar di sekolah maupun dalam berbagai

kegiatan di masyarakat. Interaksi langsung juga dilakukan dengan para orang tua anak-anak

TKI.

Teknik pengumpulan data lainnya adalah wawancara mendalam yang dilakukan ketika

observasi partisipan berlangsung dan setelah observasi partisipan dilakukan. Wawancara

mendalam dilakukan untuk mendapatkan informasi secara jelas dan lengkap dari apa yang akan

diteliti. Wawancara mendalam dalam penelitian ini dilakukan kepada para siswa, guru dan orang

tua yang ditemui oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang lebih banyak tentang

pendidikan anak-anak Indonesia di sabah-Malaysia sebelum dan sesudah guru Indonesia

datang. Dari wawancara mendalam diharapkan dapat diperoleh data yang lengkap, sehingga

bisa dijadikan sebagai sumber data dan dianalisa sebagai hasil penelitian.

217

Teknik analisis data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang

diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara

mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2009:244).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pendidikan anak-anak lndonesia di

Sabah-malaysia sebagai cara membentuk warga negara yang transformatif dari luar negeri,

untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan pengumpulan data, pemprosesan data,

penganalisisan data dan peginterprestasian data. Tujuan dari analisis data dalah

menyederhaakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan. Data

yang diperoleh dari lapangan kemudian dianalisis. Persiapan terbaik untuk melakukan studi

kasus ialah dengan memiliki strategi umum analisis.

HASIL DAN PEMBAHASANLatar belakang pemberian pendidikan untuk anak-anak Indonesia di Sabah - Malaysia

Anak-anak indonesia merupakan pemilik bangsa yang sesungguhnya, mereka adalah

penentu masa depan bangsa. Baik buruknya bangsa indonesia tergantung bagaimana

pendidikan anak-anak di masa sekarang sebagai bekal masa depan mereka dalam melanjutkan

kehidupan berbangsa dan bernegara. Anak-anak TKI di sabah malaysia merupakan bagian dari

anak- anak Indonesia yang tinggal di luar negeri yang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh pendidikan.

Pendidikan untuk anak-anak TKI di sabah malaysia telah diberikan oleh pemerintah

indonesia melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan mengirimkan pedidik yang bertugas

untuk mendidik anak-anak indonesia dalam jenjang setara dengan pendidikan sekolah dasar

sejak tahu 2006 hingga sekarang.

Fase pengiriman pendidik untuk anak-anak TKI di sabah malaysia dapat diketahui dalam

buku pembekalan dan keberangkatan pendidik untuk anak-anak indonesia di sabah-malaysia

tahap 5 tahun 2014-2016, di dalam buku tersebut disebutkan tiga fase pengiriman sebagai

berikut:

1. Fase I tahun 2006-2008

218

Tahun 2006 telah ditugaskan sebanyak 109 pendidikan bukan pegawai negeri sipil (PNS)

untuk pendidikan anak-anak indonesia di sabah-malaysia selama 2 tahun dan berakhir pada

tahun 2008.

2. Fase II tahun 2009-2011

Kebijakan menteri pendidikan nasional mengharuskan pendidik untuk pendidikan anak-anak

indonesia di sabah-malaysia berstaus PNS. Oleh karena itu, pada tahun 2009, dikirim 109 orang

dari lembaga penjaminan mutu pendidik (LPMP), pusat pengembangan dan pemberdayaan

pendidik dan tenaga kependidikan (P4TK), pusat pengembangan pendidikan non formal dan

informal (P2PNFI), balai pengembangan pendidikan non formal dan informal (BPPNFI), untuk

bertugas sebagai pendidik selama dua tahun, dan tidak diperpanjang dikarenakan adanya tugas

masing-masaing pendidik yang relevan di tempat asalnya bertugas.

3. Fase III tahun 2011-2016

Pendidik PNS yang telah selesai masa tugasnya, Kemendikbud mengirim kembali 290

orang pendidik bukan PNS yang telah drekrut bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan

Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai tempat penyelenggara seleksi calon pendidik yang

kompeten yaitu: Universitas negeri Medan (UNIMED), Universitas Negeri Jakarta (UNJ),

Universitas Pendidikan Indonesia-bandung (UPI), Universitas Negeri tanjung Pura-Pontianak

(UNTAN), Universita Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Surabaya (UNESA),

Universitas Negeri Makasar (UNM), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri

Semarang (UNNES), dan universitas Negeri Padang.

Pengiriman telah dilakukan dalam lima tahap yaitu:

Tahap 1 sebanyak 54 orang pendidik diberangkatkan bulan September 2011

Tahap 2 sebanyak 38 orang pendidik diberangkatkan bulan Desember 2011

Tahap 3 sebanyak 58 orang pendidik diberangkatakan bulan Juni 2012

Tahap 4 sebanyak 60 orang diberangkatkan bulan Mei 2013, dan

Tahap 5 sebanyak 80 orang diberangkatkan bulan Juni 2014

Selain tiga fase di atas pada tahun 2016 telah dikirim kembali 86 pendidik tahap 6 dan 115

pendidik tahap 7 dan pada agustus 2017 telah dikirim sebanyak 83 pendidik.

Tugas para pendidik anak-anak indonesia di Sabah- malaysiaPara pendidik anak-anak indonesia sebagian besar ditugaskan di ladang-ladang sawit yang

tersebar di sabah-malaysia. Para pendidik mengajar di comunity learning center (CLC) binaan

sekolah indonesia kota kinabalu (SIKK) dan di pusat Humana.Pusat belajar Humana adalah

219

suatu LSM di daerah sabah malaysia yang secara khusus memberikan perhatian berupa

layanan pendidikan bagi anak-anak pekerja di perkebunan wilayah negara bagian sabah dan

mendapat izin operasional dari pemerintah setempat. Nama NGO adalah borneo child Aid

society, namun didaftarkan ke pemerintah setempat dengan nama humana child aid society.

Didirikan pada tahun1991 dengan sponsor dari NGO eropa, kemudian oleh humana holland

sampai tahun 1998 sebelum akhirnya diambil alih oleh perusahaan malaysia hap seng consolida

ted’s melalui yayasan lua gek poh.

Humana meskipun terdaftar sebagai lembaga Non-formal, namun lembaga humana

menyelengarakan pendidikan seperti formal dengan mengacu pada kurikulum malaysia. Mata

pelajaran yang diajarkan di lembaga ini adalah: membaca, menulis, berhitung/matematika,

bahasa inggris, bahasa melayu, Ilmu pengetahuan Alam dan pelajaran tambahan seperti

kesenian dan olahraga. Pendidik yang ditugaskan di Humana selain mengajar sesuai kurikulum

Malaysia juga mengajarkan tentang wawasan kebangsaan negara kesatuan republik indonesia

(NKRI), sedangkan pendidik yang bertugas di clc mengajar sesuai dengan kurikulum Indonesia.

Pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah-malaysiaPendidikan untuk anak-anak TKI di Sabah-Malaysia jauh berbeda dengan pendidikan

anak-anak Indonesia yang tinggal di Indonesia. Anak-anak TKI belajar di bangunan yang

disediakan oleh pihak company, sebuah bangunan yang terdiri dari dua ruangan yang

digunakan belajar untuk siswa setingkat TK dan SD pada pagi hari dan SMP terbuka pada sore

hari. Jika pagi hari satu ruangan digunakan untuk kelas Tadika (setingkat TK jika di Indonesia) 1

dan 2, dan satu ruangan untuk Darjah (setingkat SD) 1-6. Delapan jenjang yang berbeda

tersebut setiap hari hanya diajar oleh tiga orang guru. Satu guru mengajar tadika 1 dan 2, satu

guru mengajar darjah 1-3 dan satu guru indonesia mengajar kelas 4-6. Untuk guru indonesia

sore hari masih mengajar CLC/SMP terbuka kelas 7-9.

Memberikan pendidikan untuk anak-anak Indonesia yang ada di sabah malaysia berarti

harus siap dengan segala kondisi yang ada. Anak-anak dan orang tua yang belum menyadari

tentang pentingya pendidikan adalah tantangan yang paling berat selain tantangan kondisi

lingkungan dan budaya yang berbeda. Anak-anak Indonesia di ladang sawit adalah anak-anak

dari para TKI resmi maupun tidak resmi yang telah bekerja selama puluhan tahun di

perladangan sawit Sabah. sebagaian besar TKI adalah lulusan SMP dan SMA bahkan banyak

diantara mereka yang tidak sekolah. Himpitan ekonomi yang semakin hari semakin tinggi

membuat sebagian besar orang tua lebih memilih anak-anak mereka ikut kerja di ladang

daripada sekolah. Orang tua kebanyakan masih berfikir sekolah/ pendidikan bukanlah suatu hal

yang penting, yang penting bagi mereka adalah bekerja untuk menghasilkan uang agar mampu

bertahan hidup dan tetap tinggal di ladang.

220

Hal pertama yang dilakukan oleh para pendidik bisa mengambil hati anak-anak yang

rajin sekolah dengan memberikan pembelajaran yang berbeda dengan yang selama ini

diberikan oleh pendidik lokal. Metode pembelajaran yang berbeda dan menyenangkan mampu

membuat siswa untuk lebih rajin sekolah. Cerita yang dibawa pulang oleh anak-anak menarik

minat anak-anak yang telah berhenti sekolah tertarik untuk sekolah kembali. Awalnya mereka

hanya melihat di luar kelas, lalu pendidik mengajak anak-anak belajar bersama di dalam kelas.

Masyarakat yang belum menyadari pentingnya pendidikan dan lebih mementingkan

mencari uang akan membawa anak-anak mereka bekerja di ladang sawit sebagai pemungut biji

sawit yang jatuh atau pemetik tombong. Para orang tua berpendapat bahwa sekolah hanya

menghambur-hamburkan uang dengan hasil yang tidak jelas. Pendapat ini bisa diketahui ketika

pendidik datang di awal junin 2014, anak-anak dengan usia 10-11 tahun masih duduk dibangku

tadika dan belum lancar membaca dan menulis serta berhitung. Ketidakpercayaan orang tua

terhadap sekolah juga karena beberapa oknum guru yang pernah mengajar memperlakukan

siswa dengan kasar dan kurang amanah dalam mengelola keuangan sekolah yang telah

dibayarkan oleh orang tua siswa.

Mengembalikan kepercayaan orang tua dan kesadaran masyarakat akan pentingnya

pendidikan dilakukan dengan cara melakukan kerja sama dengan pihak majikan yang

memperkerjakan para TKI. Pendidik melakukan kerjasama dengan majikan dalam hal

memberikan himbauan kepada para pekerja untuk tidak membawa anak dibawah usia 17 tahun

bekerja di ladang. Selain itu juga dilakukan pendekatan secara intensif terhadap masyarakat

dengan mendatangi satu persatu rumah para TKI yang mempunyai anak usia sekolah agar mau

menyekolahkan anaknya, dan mengurus dokumen yang seharusnya dimiliki oleh anak. Serta

melakukan perbaikan manajemen sekolah dan peningkatan pelayanan terhadap anak-anak.

Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak TKI tidak hanya tentang membaca dan

menulis saja, tetapi juga tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Selama ini anak-anak TKI

yang berada di Litang estate, sekolah di sekolah Humana yang menggunakan kurikulum

Malaysia.kedatangan pendidik di sekolah Humana selain mengajar tentang membaca, menulis

dan berhitung juga mengajar tentang wawasan kebangsaan Indonesia. Pendidikan tentang

wawasan kebangsaan harus diberikan kepada para anak-anak TKI untuk menumbuhkan rasa

cinta tanah air Indonesia di dalam dada mereka. Anak-anak TKI harus mengenal dan mencintai

tanah airnya, meskipun mereka ada di negeri orang dan belum pernah menginjakkan kaki di

Indonesia, tetapi mereka harus tahu bahwa negara tempat orang tuanya berasal adalah negara

yang besar, negara yang merindukan mereka untuk kembali pulang dan membangunnya.

Berbagai cara dilakukan oleh pendidik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya pendidikan dengan membawa anak-anak yang mempunyai bakat mengikuti

perlombaan baik ditingkat distrik maupun ditingkat sabah. Prestasi anak-anak dalam bidang

akademik dan non akademik selama pendidik berada di litang mampu menarik perhatian

221

masyarakat dan mereka kembali menyekolahkan anak-anaknya. Rasa cinta terhadap Indonesia

juga ditanamkan dengan melakukan peringatan hari-hari besar nasional yang dihadiri oleh para

TKI baik yang anaknya sekolah maupun yang tidak sekolah.

Pendidikan untuk anak-anak TKI di sabah telah menunjukkan hasil yang baik, kesadaran

orang tua untuk menyekolahkan anaknya adalah salah satu contoh yang terlihat nyata,

semangat anak-anak untuk belajar terus meningkat. Jika di awal kedatangan pendidik anak-

anak jarang masuk sekolah, pada awal 2015 anak-anak telah rajin masuk sekolah. Jika diawal

seragam siswa belum rapi maka di awal 2015 anak-anak sudah mulai berseragam dengan rapi,

dan juga menyadari akan tanggung jawabnya. Mereka telah mampu mengerjakan tugas dengan

tepat waktu, mengerjakan pekerjaan rumah, melaksanakan tugas harian dengan rutin, dan juga

mampu membuang sampah pada tempatnya serta rajin beribadah sesuai dengan agama dan

kepercayaan masing-masing.

Perubahan sikap dan perilaku anak-anak TKI tidak dapat dipisahkan dari pendidikan

yang diberikan oleh para pendidik Indonesia. Perubahan sikap dan perilaku terlihat nyata dalam

kehidupan anak-anak sehari-hari. Ketika di awal kedatangan pendidik anak-anak masih datang

terlambat, dan datang sesuka hati kesekolah, dengan pelatihan kedisplinan sekarang anak-anak

telah datang tepat waktu dan mengerjakan tanggung jawab mereka di sekolah. Anak-anak TKI

juga mulai menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk mereka meraih masa

depan, pendidikan adalah salah satu jalan membuat orang tua, guru dan bahkan negara bangga

terhadap segala usaha yang mereka lakukan, pendidikan juga salah satu jalan untuk mereka

keluar dari tradisi keluarga menjadi buruh kelapa sawit. Kesadaran itu yang membuat

bertambahnya jumlah anak-anak TKI di Litang pada khususnya meneruskan sekolah ke

Indonesia dari tahun ke tahun.

Keinginan anak-anak TKI untuk melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi tidaklah

mudah, tantangan yang pertama yang harus mereka hadapi adalah keluarga. Alasan ekonomi

menjadi salah satu faktor yang menghambat keinginan mereka, orang tua merasa keberatan

dengan biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pemulangan hingga pembayaran sekolah di

Indonesia, namun hal tersebut dapat ditangulangi dengan mencarikan donatur dan sekolah

berbeasiswa untuk anak-anak yang akan melanjutkan sekolah. Tantangan yang lain adalah

orang tua yang tidak mengizinkan anak untuk melanjutkan sekolah karena tidak mau berpisah

dengan anak dan tidak ada yang membantu bekerja di ladang. Tantangan lain yang tidak kalah

penting adalah kelengkapan dokumen anak-anak yang tidak ada, hal ini maka pendidik harus

siap sedia membantu anak-anak yang akan melanjutkan sekolah untuk membantu proses

pengurusan dokumen hingga siap pulang.

Tantangan-tantangan yang harus dihadapi anak-anak TKI yang ingin melanjutkan

sekolah ke Indonesia, tidaklah menyurutkan semangat anak-anak untuk terus memperoleh

pendidikan yang paling tinggi. Mereka tidak pernah menyerah dan lelah untuk berusaha, mereka

222

yang ingin melanjutkan sekolah ada yang dengan suka rela membagi waktu antara belajar dan

bekerja untuk mencari bekal kembali ke Indonesia, ada yang dengan sangat sabar merayu dan

memberi pengertian kepada orang tua dengan pendampingan pendidik tentang pentingnya

pendidikan, tentang keinginan mereka untuk merubah nasib di masa depan memutus rantai

bekerja di negeri orang.

Anak-anak TKI yang memilih melanjutkan pendidikannya adalah anak-anak yang

menyadari bahwa dengan bersekolah mereka bisa belajar banyak hal, bisa mendatangi tempat-

tempat yang bahkan dulu memimpikannya saja tidak pernah, bisa menatap masa depan yang

lebih cerah. Dengan meneruskan pendidikan mereka berharap cita-cita mereka untuk mengabdi

kepada Indonesia di segala bidang akan tercapai. Kesadaran anak-anak TKI untuk melanjutkan

sekolah yang lebih tinggi, dan kerelaan orang tua mereka untuk mengizinkan anak-anak mereka

untuk terus sekolah adalah bukti bahwa pendidikan untuk anak-anak TKI di sabah-malaysia

adalah salah satu cara membentuk warga negara yangtransformatif dari luar negeri .

KESIMPULANPendidikan anak-anak TKI di Sabah-Malaysia berbeda dengan pendidikan yang didapat oleh

anak-anak Indonesia di Indonesia.kurangnya sarana dan prasarana, perbedaan budaya,

kemauan belajar anak-anak yang rendah hingga kesadaran kurangnya kesadaran para TKI akan

pentingnya pendidikan, dan ketidakpercayaan mereka terhadap sekolah adalah tantangan

tersendiri bagi para pendidik anak-anak Indonesia di Sabah Malaysia. Berbagai upaya telah

dilakukan mulai dari perubahan manajemen sekolah, model dan metode pembelajaran yang

berbeda dari yang pernah diterapkan, pendekatan secara intensif kepada orang tua yang

mempunyai anak usia sekolah hingga melibatkan pihak majikan untuk memberikan perintah

kepada para pekerja untuk menyekolahkan anaknya.

Berbagai upaya yang dilakukan menunjukkan keberhasilan, hal tersebut dapat diketahui dari

para siswa yang mulai rajin sekolah dengan seragam yang rapi, kesadaran siswa tentang

kedisplinan dan kebersihan, hingga berbagai prestasi yang ditunjukkan siswa dalam berbagai

perlombaan distrik. Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga membuat anak-anak

mempunyai keinginan yang tinggi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Mereka menyadari bahwa dengan terus belajar dan menempuh pendidikan yang lebih tinggi

adalah salah satu jalan untuk bisa memutus rantai sebagi buruh sawit, dengan pendidikan

mereka bisa mengapai cita-cita mereka membuat bangga orang tua dan mengabdi kepada

tanah air Indonesia dari segala bidang.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel, Moehar. 2002. Metodelogi Penelitian Sosial Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta.

223

Hasan, Iqbal. 2002. Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, diretorat jendral pendidikan dasar, Direktorat

pembinaan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan dasar.2014. pembekalan

dan pemberangkatan pendidik untuk pendidikan anak-anak Indonesia di Sabah-

Malaysia tahap 5 tahun 2014-2016, Kementrian pendidikan dan kebudayaan,

Jakarta.

Sugiyono. 2009. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, ALFABETA, Bandung.

Yin, Robert. 2004. Studi Kasus Desain dan Metode, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

https.//www.kemendikbud.go.id/main/blog/2016/09/tuntaskan-pendidikan-bagi-anak-tki-

115-guru-indonesia-dikirimkan. , diakses 21 juli 2017)

224

URGENSI PEMBELAJARAN SOSIOLOGI SEBAGAI PENGUATAN TERHADAP PEMBERANTASAN BULLYING DI SEKOLAH PADA MATERI “PERBEDAAN, KESETARAAN

DAN HARMONI SOSIAL”Muhammad Masruro1), Yusuf Aldy Tri Utomo2)

Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri MalangE- mail:[email protected], [email protected]

ABSTRAKSetiap manusia memilki perbedaan, baik secara fisik maupun sosial. Tantangan bagi guru dan

peserta didik secara mutlak adalah melakukan proses pembelajaran dengan penguatan yang utuh demi berlangsungnya pembelajaran sosiologi sesuai dengan kompetensi dasar. Sekolah sebagai agen sosialisasi semakin runtuh dengan maraknya kasus Bullying terhadap sesama peserta didik. Berdasarkan data hasil riset Tahun 2015 oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) menyatakan 84% anak di Indonesia mengalami tindak kekerasan di Sekolah. Tingkat Bullying perlu ditekan agar tidak menjadi fenomena gunung es yang hanya terlihat dipermukaan. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara integratif melalui pembelajaran sosiologi di Sekolah pada materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni sosial sehingga peran dan penguatan terhadap tindak bullying disekolah dapat menjadi aspek preventif yang sentral. Dengan pendekatan deskripsi, tulisan ini mengadopsi rujukan kepustakaan yang disandingkan dengan realitas serta strategi pembelajaran. Urgensi pembelajaran sosiologi pada materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial dalam hal ini adalah: (1)menumbuhkan sikap toleransi dan empati sosial terhadap perbedaan sosial. (2)menerapkan prinsip- prinsip kesetaraan dalam menyikapi keberagaman untuk menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat. (3)mengaitkan dan mengimplementasikan pembelajaran sosiologi untuk menekan tindak bullying sesuai materi perbedaan, kesetaraan dan harmoni sosial. Kata Kunci: Bullying, Kesetaraan, Harmonisasi, Pembelajaran, Perbedaan

LATAR BELAKANG Konteks pembelajaran sosiologi tidak hanyaberfokus dalam mengembangkan peserta

didik dibidang kemampuan teoritis, menghafal dan melakukan berbagai aspek dalam taksonomi

konten yang secara penuh mereka pahami di kelas. Namun secara sentral tetap berpijak pada

karakter yang baik pada peserta didik itu sendiri. Maka dari itu formulasi yang dilakukan oleh

pendidik dalam hal ini, guru sosiologi tidak hanya memberikan evaluasi yang sifatnya klasik,

namun disesuaikan dengan materi yang sedang di bahas pada saat kegiatan belajar dan

mengajar di kelas. Selain itu juga tentunya dapat kita rasakan secara manifest bahwa

keberadaan teknologi dan pendidikan itu sendiri semakin berkembang pesat, maka dari itu nilai-

nilai yang seharusnya di junjung dan di aktualisasikan dalam kehidupan sehari- hari semakin

memudar. Contoh nilai yang semakin memudar dan sangat menjadi perhatian bagi pendidik

adalah masih adanya gejala sosial yang sifatnya sangat berjauhan dan sangat tidak

mencerminkan sebagai warga negara yang menganut kebhinekaan, yaitu dengan adanya

fenomena bullying di kalangan mahasiswa dan pelajar yang ada di Indonesia. Hal ini menjadikan

fokus bagi guru sosiologi pada jenjang SMA yang secara tatap muka dan tidak tatap muka

adalah tetap menjadikan pembelajaran sosiologi yang bermakna, artinya pembelajaran sosiologi

225

harus ikut andil dalam proses penekanan angka bullying yang terjadi dimanapun khususnya di

sekolah.

Tentunya setiap manusia memilki perbedaan, baik secara fisik maupun sosial. Tantangan

bagi guru dan peserta didik secara mutlak adalah melakukan proses pembelajaran dengan

penguatan yang utuh demi berlangsungnya pembelajaran sosiologi sesuai dengan kompetensi

dasar. Sekolah sebagai agen sosialisasi semakin runtuh dengan maraknya kasus bullying

terhadap sesama peserta didik. Bullying adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi

berulang kali, bersifat regeneratif, menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban

(Astuti, 2008). Sejalan dengan pengertian tersebut maka realitas bullying menjadi

kecenderungan tersendiri yang terjadi lagi dan lagi khususnya di lingkungan akademik sekolah

ataupun Perguruan Tinggi. Data dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan

dan Anak mengatakan sekolah sering menjadi tempat terjadinya kekerasan terhadap anak, dan

biasanya dilakukan oleh sesama siswa. Kekerasan emosional (terutama dalam bentuk

penggunaan bahasa yang melecehkan atau mengejek) adalah bentuk yang paling sering

dilaporkan, diikuti oleh kekerasan fisik. Menurut sebuah studi yang dilakukan International

Center for Research on Women dan Plan International kepada 1.739 siswa berusia 12-15 tahun,

84 persen siswa menyatakan pernah mengalami bentuk kekerasan di sekolah, dan 75 persen

mengaku pernah melakukannya dalam 6 bulan terakhir (ICRW, 2015). Selain itu, 60 persen

siswa laki-laki dan 40 persen siswi perempuan berusia 12- 15 tahun diketahui menjadi pelaku

kekerasan emosional terhadap siswa lainnya (ICRW, 2015). Sehingga tingkat bullying perlu

ditekan agar tidak menjadi fenomena gunung es yang hanya terlihat dipermukaan.

RUMUSAN MASALAHSehubungan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini

adalah “Bagaimana penguatan dalam pembelajaran sosiologi pada materi Perbedaan,

Kesetaraan dan Harmoni Sosial untuk memberantas bullying di sekolah?”

TUJUAN PENULISAN Terkait dengan masalah tersebut yang di gagas oleh penulis, maka tujuan studi

penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Secara umum yakni untuk mendapatkan deskripsi secara integratif melalui pembelajaran

sosiologi di Sekolah pada materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni sosial sehingga

peran dan penguatan terhadap tindak bullying disekolah dapat menjadi aspek preventif

yang sentraluntuk diberantas.

2. Untuk mengetahui Urgensi Pembelajaran Sosiologi pada materi Perbedaan, Kesetaraan

dan Harmoni Sosial

3. Untuk menguraikan Relasi materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial Terhadap

Perilaku Bullying yang terjadi di Sekolah

226

4. Untuk menekankan Strategi Penguatan(Reinforcement) Pembelajaran Sosiologi untuk

menekan dan memberantas bullying di Sekolah

KAJIAN PUSTAKAOlweus mendefiniskan bahwa bullying sebagai suatu perilaku agresif yang diniatkan

untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke

waktu dan berlangsung dalam suatu hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan

atau kekuatan di dalamnya (Flynt&Morton, 2006). Pengertian lainnya menyebutkan bahwa

bullying adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi berulang kali, bersifat regeneratif,

menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban (Astuti, 2008).

Bedasarkan dari paparan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bullying

merupakan tindak kekerasan baik secara fisik maupun mental yang mengancam kepada jiwa

korban yang bersifat regeneratif dari suatu hubungan yang tidak seimbang antara kekuasaan

atau kekuatan. Sebagai serangkaian dari proses bullying tersebut penulis meyakini bahwa

beberapa aspek dari pembelajaran yang semestinya ikut andil dalam proses penanaman nilai

dan norma di sekolah ada yang runtuh dari komponen tersebut, yakni pembelajaran yang

sifatnya masih belum kuat untuk memberikan stimulus kepada peserta didik.

Pembelajaran Sosiologi terkait perannya dalam upaya menanamkan sikap- sikap positif

seperti jujur, disiplin, dan sebagainya dalam kehidupan sehari- hari, baik secara horizontal

dengan sesama manusia maupun vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa (Taupan, 2014).

Adapun tujuan dari belajar sosiologi itu sendiri adalah mencakup dua sasaran yaitu bersifat

kognitif dan praktis. Secara kognitif dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar

sosiologi agar peserta didik mampu memahami dan menelaah secara rasional komponen-

komponen dari individu, kebudayaan, dan masyarakat sebagai suatu sistem. Sasaran yang

bersifat praktis dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa

yang rasional dan kritis dalam menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan, situasi

sosial, serta berbagai masalah sosial yang ditemukan dalam kehidupan sehari hari

(Taupan,2014).

Ruang Lingkup Materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” yang terdapat pada

Buku Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas XI Kelompok Peminatan Ilmu- Ilmu Sosial.

Adapun tujuan pembelajaran dari materi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Setelah mengamati lingkungan sekitarnya, peserta didik dapat menjelaskan pengertian

perbedaan sosial.

2. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan pengertian kesetaraan sosial.

3. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan pengertian harmoni sosial.

4. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapat menjelaskan pengertian

masyarakat multikultural.

227

5. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan pengelompokan masyarakat.

6. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapatmenjelaskan mobilitas sosial

dalam masyarakat multikultural.

7. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapatmenjelaskan kondisi

masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural.

8. Setelah berdiskusi, peserta didik dapat menjelaskan perkembangan kelompok dalam

masyarakat multikultural.

9. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapatmenjelaskan dampak

masyarakat multikultural di Indonesia.

10. Setelah mengamati lingkungan sekitar, pesertadidikdapat menjelaskan strategi

menciptakan kehidupan yang harmonis.

Penguatan dalam pembelajaran sosiologi dalam hal ini bertitik tumpu pada reinforcement

itu sendiri. Dimana terdapat beberapa reinforcement yang dapat dilakukan guna memberikan

stimulus kepada peserta didik dalam memahami dan nantinya diharapkan dapat

mengaplikasikan materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” dalam kehidupan sehari-

hari. Pengertian dari reinforcement sendiri adalah salah satu keterampilan mengajar yang harus

dikuasi oleh seorang pendidik. Penguatan memicu motivasi peserta didik dalam kegiatan belajar

dan mengajar di kelas. Tujuan penguatan itu sendiri memberikan asumsi yang sentral bahwa

“Pengubahan tingkah laku siswa dapat dilakukan dengan penguatan (Djamarah, 2005)

Penguatan itulah yang dapat menjadikan aspek bagi pendidik untuk memahami secara

mutlak dan penuh agar pembelajaran sosiologi khsususnya materi Perbedaan, Kesetaraan dan

Harmoni Sosial dapat memberantas bullying yang terjadi pada peserta didik. Penguatan yang

diberikan pada peserta didik juga bertujuan untuk :

1) meningkatkan perhatian siswa pada pembelajaran;

2) meningkatkan motivasi belajar siswa;

3) memudahkan siswa untuk belajar; dan

4) mengeliminasi tingkah laku siswa yang negatif dan membina tingkah laku positif

siswa(Suwarna, 2006).

GAGASAN PENULISANPada dasarnya pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memperhatikan

komponen- komponen pembelajaran. Komponen pembelajaran yang dimaksud merupakan

bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses

untuk mencapai tujuan sistem. Jadi, komponen pendidikan adalah bagian-bagian dari sistem

proses pendidikan yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pendidikan (Slameto, 2010).

Adapun komponen Pembelajaran dapat di gambarkan sebagai berikut :

228

Gambar 1.1 Komponen- Komponen PembelajaranDalam komponen- komponen pembelajaran di atas sudah sangat mutlak dapat

memberikan sebuah perubahan kepada peserta didik. Namun dalam hal ini penulis memberikan

esensi yang sangat fokus terhadap salah satu komponen pembelajaran yang kaitanya dengan

upaya penguatan pembelajaran Sosiologi pada materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni

Sosial”. Adapun penguatan tersebut adalah pada arah komponen media pembelajaran. Alasan

penulis menggagas media pembelajaran sangat penting perannya dalam materi ini dikarenakan,

konten yang tersedia dalam cakupan materi tersebut harus benar- benar dan secara nyata

memberikan dampak yang kuat dengan penguatan kepada peserta didik. Pendidik dalam hal ini

tentunya menjadi aspek yang sangat penting dalam serangkaian proses pembelajaran,

mengingat bahwa materi sangat berkaitan dengan masalah- masalah sosial yang ada salah

satunya bullying.

Bullying yang terjadi di Lembaga Pendidikan Formal khususnya sekolah sangat erat

kaitanya dengan Pembelajaran Sosiologi bahkan Ilmu- Ilmu sosial yang lain yang menjunjung

tinggi nilai dan norma seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Oleh karena itu,

peran pembelajaran sosiologi dalam serangkaian proses belajar dan mengajar yang ada di kelas

menjawab pertanyaan dari persoalan bullying tersebut dan memecahkan masalah yang urgensi

dengan pencegahan melalui penguatan media pembelajaran sosiologi.

Adapun gagasan penulis menggambarkan penguatan tersebut dalam bentuk bagan sederhana

seperti gambar di bawah ini :

229

Gambar 1. 2 Penguatan Pembelajaran Sosiologi (Gambar di Olah Penulis)Pada gambar Penguatan Pembelajaran Sosiologi di atas penulis memaparkan dengan

mengartikan bahwa reinforcement tidak berbentuk seperti rewards ataupun hadiah yang klasik.

Namun di sini yang dimaksud adalah peran pendidik memberikan sebuah konstruk yang

integratif pada materi sosiologi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial”. Dengan itu maka

pembelajaran di gagas oleh pendidik itu sendiri ,dengan memperhatikan bahwa dan menghayati

materi yang sangat erat kaitannya dengan upaya perubahan tingkah laku peserta didik dalam

memahami perbedaan, kesetaraan hingga menciptkan keadaan yang harmoni sosial. Adapun

arah dari pembelajaran ini bersifat kesemua arah, yaitu pendidik dan peserta didik sama sama

menemukan ide yang preventif guna memecahkan masalah yang sedang terjadi di sektor

pendidikan, masalah yang paling cocok bagi penulis dalam hal ini adalah bullying. Senada

dengan yang dikatakan oleh Dywer (1967) alat bantu audiovisual dalam proses belajar

memberikan dampak yang besar, aliran ini adalah Realisme dengan asumsinya bahwa belajar

yang sempurna hanya dapat tercapai jika digunakan bahan- bahan audiovisual yang mendekati

realitas (Djamarah, 2006). Maka dari itu penulis memberikan gagasan dalam pemberian materi

perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial dalam penguatan pada peserta didik menggunakan

audiovisual.

HASIL DAN PEMBAHASANA. Urgensi Pembelajaran Sosiologi Pada Materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni

Sosial”Pendidikan Sosiologi memberikan kontribusi bagi kegiatan belajar dan mengajar yang

ada di sekolah guna menjadikan peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan

sosial yang sifatnya aplikatif. Keberadaan materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni

Sosial” tentunya menjadi sangat fundamental dan memiliki urgensi tersendiri bagi

keberlangsungan perubahan tingkah laku peserta didik. Tujuan pembelajaran Sosiologi di sini

diarahkan untuk menumbuhkan kualitas berpikir yang mampu mendorong keterlibatan

peserta didik dalam dunia publik. Dengan kata lain, pembelajaran Sosiologi mementingkan

230

penguasaan pengetahuan, nilai kemanusiaan dan keterlibatan sosial (Silabus Mata Pelajaran

Sosiologi, Kemendikbud 2016).

Sehingga peserta didik setelah menerima materi tersebut diharapkan dapat

mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun beberapa tujuan lainnya dari materi

tersebut yakni:

1) menumbuhkan sikap toleransi dan empati sosial terhadap perbedaan sosial.

2) menerapkan prinsip- prinsip kesetaraan dalam menyikapi keberagaman untuk

menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat.

3) mengaitkan dan mengimplementasikan pembelajaran sosiologi untuk menekan tindak

bullying sesuai materi perbedaan, kesetaraan dan harmoni sosial.

B. Relasi Materi Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial Terhadap Perilaku Bullying yang terjadi di Sekolah

Hakikat Materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial” Pada Jenjang SMA

Peminatan Ilmu- Ilmu Sosial memiliki konteks dan relasi yang cukup kuat terhadap perilaku

Bullying yang ada di Sekolah. Hal ini karena kompetensi dasar dari materi tersebut memuat

aspek yang sesuai dengan tindakan agar memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai dan

norma pada masyarakat. Bullying juga disebebkan adanya perbedaan antara peserta didik,

diamana perbedaan ini menjadi faktor terjadinya bulling. Peserta didik yang dianggap

berbeda dengan peserta didik lainnya kerap kali dijadikan sasaran bullying dengan cara

kekerasan, mengucapakan kata-kata kasar, sehingga koraban bullying akan meresa

tertekan.

Materi “perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” akanmenjadi kontrol bagi peserta

didik dan memperjelas bahwa setiap perbedaan yang dimiliki perserta didik meruapakan

bentuk dari masyarakat majemuk. Perbedaan yang terjadi pada peserta didik akan dijelaskan

dalam meteri tersebut sehingga peserta didik mengerti akan hakikat dari perbedaan. Tindak

bullying yang terjadi pada peserta didik di sekolah diharapakan dapat diberantas dengan

memperdalam materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” pada peserta didik.

Peserta didik yang melakukan tindak bullying biasanya masih belum mengerti dan

memahami perbedaan satu dengan lainnya. Peserta didik kurang akan sifat toleran antara

perbedaan lainnya yang kerap kali dari perbedaan tersebut peserta didik mempunyai niat

untuk tindak bullying. Penguatan materi ini akan memberikan dampak pencegahan terhadap

tindak bullying dimana peseta didik akan memahami perbedaan dan menyikapai kesetaraan

guna menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat. Sehingga Relasi yang dimaksud

adalah dapat di gambarkan pada bagan sederhana di bawah ini :

231

Gambar 1. 3 Relasi Pokok Bahasan Bullying pada Materi (Gambar di Olah Penulis)

C. Strategi Penguatan(Reinforcement) Pembelajaran Sosiologi untuk menekan dan memberantas bullying di Sekolah

Strategi Penguatan Pembelajaran Sosiologi dalam hal ini yang paling sesuai adalah

dengan menggunakan komponen Media Pembelajaran. Media Pembelajaran memberikan

dampak yang sangat mendalam bagi peserta didik, hal ini dikarenakan mereka mampu

mengingat konten- konten yang dicermati oleh peserta didik dimana kaitannya dengan materi

“Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial”. Strategi guru memberikan materi ini tentu

tidak hanya sebagai lintasan yang hanya lewat saja, akan tetapi berbagai arah dalam

pembelajaran materi tersebut sangat kuat dan proposional dengan gaya belajar peserta didik.

Pemberian materi dengan menggunakan audiovisual akan memperkuat dan memperjelas

materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” pada peserta didik. Peserta didik tidak

hanya akan memperoleh materi secara teori, akan tetapi peserta didik pada nantinya

mengetahui langsung mengenai perbedaan, kesetaraan dan harmoni sosial pada masyarakat

indonesia yang majemuk.

Keabstrakan materi “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial” memberi makna yang

cukup kuat kepada penulis bahwa guru sebagai fasilitator menjadi sangat kreatif apabila

membuat materi lebih kongkret dan sederhana hingga dapat dipahami oleh peserta didik.

Maka dari itu kehadiran media pembelajaran audiovisual pada materi ini tentunya akan

menjadi strategi yang inovatif bagi guru Sosiologi di SMA. Media dapat mewakili apa yang

kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan

bahan dalam materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial” dapat dikonkretkan

dengan kehadiran media pembelajaran (Norjanah, 2011).

Strategi Penguatan dalam hal ini yang paling fundamental dan sesuai dengan materi

tersebut adalah dengan menggunakan audiovisual. Berdasarkan hasil riset BAVA (British

Audio Visual Aids) memaparkan bahwa hasil pembelajaran yang tidak menggunakan media

hanya terserap 13% dari keseluruhan materi yang diberikan. Dengan menggunakan media

232

pembelajaran perolehan bahan ajar yang terserap dapat ditingkatkan sampai 86% (Rusman,

2012). Hal ini juga membuktikan bahwa daya serap peserta didik dalam memperoleh materi

dengan menggunakan media pembelajara sangat tinggi. Tentunya media audiovisual dalam

pembelajaran juga memiliki sifat dalam proses pembelajaran dan pengajaran, adapun

beberapa sifat antara lain:

• Kemampuan untuk meningkatkan persepsi

• Kemampuan untuk meningkatkan pengertian

• Kemampuan untuk meningkatkan transfer (pengalihan) belajar.

• Kemampuan untuk memberikan penguatan (reinforcement) atau pengetahuan

hasil yang dicapai

• Kemampuan untuk meningkatkan retensi (ingatan) (Djamarah, 2006).

Kontekstualisasi dalam materi “Perbedaan, Kesetaraan dan Harmoni Sosial” tergantung

dari guru itu sendiri. Guru dalam hal ini tetap menjadi media dan strategi yang terbaik bagi

siswa yang dapat digunakan dalam pembelajaran. Sifat yang eksploratif dengan mengasah

sensivitas kreativitasnya dalam mengolah pembelajaran yang perlu di jadikan prinsip bagi

guru (Asmaun, 2012) . Sensivitas dalam penekanan materi yaitu tetap pada kajian pokok

bahasan yang mengandung bahwa bullying merupakan tindakan yang harus diberantas dan

ditekan melalui sikap- sikap yang edukatif dengan memperhatikan keadaan sosial di

masyarakat Indonesia dan keterkaitannya dengan aspek- aspek diferensiasi sosial.

KESIMPULANBullying adalah salah satu dari perilaku agresif yang terjadi berulang kali, bersifat regeneratif,

menjadi kebiasaan atau tradisi yang mengancam jiwa korban. Data dari Kementerian

Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak mengatakan sekolah sering menjadi

tempat terjadinya kekerasan terhadap anak, dan biasanya dilakukan oleh sesama siswa.

Sehingga tingkat bullying perlu ditekan agar tidak menjadi fenomena gunung es yang hanya

terlihat dipermukaan.

Pembelajaran Sosiologi terkait perannya dalam upaya menanamkan sikap- sikap positif

seperti jujur, disiplin, dan sebagainya dalam kehidupan sehari- hari, baik secara horizontal

dengan sesama manusia maupun vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Alat bantu

audiovisual dalam proses belajar memberikan dampak yang besar, aliran ini adalah Realisme

dengan asumsinya bahwa belajar yang sempurna hanya dapat tercapai jika digunakan bahan-

bahan audiovisual yang mendekati realitas. Pendidikan Sosiologi memberikan kontribusi bagi

kegiatan belajar dan mengajar yang ada di sekolah guna menjadikan peserta didik yang memiliki

kemampuan dan kecerdasan sosial yang sifatnya aplikatif.

233

DAFTAR PUSTAKA Astuti, P.R. 2008. Meredam Bullying : 3 Cara Efektif Menanggulangi Kekerasan Pada Anak.

Jakarta: PT Grasindo

Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif Suatu

Pendekatan Teoritis Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka

Cipta

Flynt, S.W. Morton, R.C. 2006. Alabama Elementary Principals’ Perception of Bullying.

Education

Norjanah. 2011. Penggunaan Media Audio Visual Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Mata

Pelajaran PAI Materi Shalat 5 Waktu, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2011)

Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sahlan, Asmaun dan Angga Teguh Prasetyo. 2012. Desain Pembelajaran Berbasis

Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Arruz Media

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Suwarna. 2006. Pengajaran Mikro, Pendekatan Praktis dalam Menyiapkan Pendidik

Profesional. Yogyakarta: Tiara Wacana

Silabus Mata Pelajaran Sosiologi SMA/MA Kurikulum 2013. 2016. Jakarta: Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan

Taupan, M. 2014. Buku Guru Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XI Kelompok Peminatan

Ilmu- Ilmu Sosial. Bandung: Yrama Widya

234

Semnas 06

KONSEP DAN GERAKAN MULTIKULTURALISME DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM

Kunawi BasyirUIN Sunan Ampel Surabaya

Email : [email protected]

Abstrak : Memasuki abad milenium ketiga merupakan era kebangkitan pemikiran keagamaan yang dibarengi dengan maraknya konflik sosial di mana-mana sebagaimana yang kita rasakan di Indonesia selama ini. Walaupun agama bukan satu-satunya faktor utama tetapi dalam eskalasinya pemikiran keagamaan memainkan peranan penting sehingga Indonesia memasuki periode krisis yang berlangsung secara terus-menerus. Mereka sudah mulai masuk pada wilayah solidaritas primordial yang merupakan titik lemah dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesetiaan umat terhadap agamanya secara negatif cenderung melahirkan ideologi eksklusif yang berujung pada konflik intern maupun antarumat beragama. Mencermati fenomena tersebut, tulisan ini mencoba memahami dan menganalisis bagaimana Muh}ammad SAW. mengemban tugas kenabian dan kerasulannya melalui gerakan multikulturalisme menuju pluralisme. Sedang tujuan daripada penulisan ini adalah dapat digunakan sebagai salah satu referensi bagi penggiat multikulturalisme dan puralisme dalam membangun masyarakat madani di Indonesia yang selama ini diselimuti oleh kekerasan atas nama agama. Dari hasil analilisis dengan menggunakan pendekatan Durkhemian dapat digambarkan bahwa keberhasilan Muhammad SAW. dalam membangun peradaban dunia (dakwah Islamnya), ia memulainya dengan gerakan multikulturalisme di Makkah maupun di Madinah yang popular dengan sebuatan gerakan tauhid (ummatun wahidah). Muh}ammad SAW. di sini tidak menyatukan kebaradaan etnis dan agama yang ada tetapi ia mempersatukannya artinya bahwa Muh}ammad SAW. tidak mengislamkan bangsa Arab sebagaimana yang dipahami kelompok Islam eksklusif (radikal) selama ini tetapi ia mempersatukan etnis dan agama yang berbasis pada multukultural dalam membangun peradaban dunia yang akhirnya popular dengan sebutan negara modern yang terbungkus dalam “Piagam Madinah”.---------------Kata kunci : Islam, multikulturalisme

235

A. PendahuluanKeragaman dan perbedaan masyarakat Indonesia tidak bisa dipungkiri dari paradigma

masyarakat yang plural dan multikultur. Salah satu indikator yang menengarahi hal tersebut

adalah bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku,agama, etnis, dan budaya yang

kesemuanya itu terbungkus dalam ideologi Pancasila sebagai pilar pemersatu bangsa. Akan

tetapi dalam sepuluh terakhir Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara dengan motto

Bhinneka Tunggal Ika-nya, tetapi juga sebagai bangsa dengan jumlah tantangan dan masalah

yang timbul dari kemajemukan etnis, agama, sosial, dan budaya.

Dengan adanya keragaman yang ada maka menjadi persoalan tersendiri yang segera

terseleseikan sebagaimana yang disampaikan Abdul Karim Soroush bahwa setiap komunitas

beragama selalu dihadapkan pada dua persoalan penting, yaitu: local problems (problem lokal)

dan universal problems (problem universal). Menurut Soroush, problem yang dihadapi saat ini

adalah problem-problem perdamaian, hak asasi manusia. Oleh karena itu, hal-hal yang harus

dilakukan pada masyarakat beragama dewasa ini adalah bagaimana membangun sebuah

peradaban dunia yang bisa menghasilkan wajah baru yang aman, tenteram, dan berkeadilan

yang terwujud dalam iklim kehidupan yang harmonis.37

Senada apa yang disampaikan Afthonul Afif, ia menengarai bahwa hal-hal yang sering

muncul pada masyarakat multikultural adalah adanya kecenderungan di antara masing-masing

suku bangsa untuk mengekspresikan identitas budaya mereka melalui cara-cara yang spesifik

seolah-olah satu dengan lainnya tidak berhubungan. Jika kondisi ini ditampilkan secara inklusif

tanpa ada kesesuaian untuk saling mengakui dan menghargai, maka persaingan dan konflik

sosial akan menjadi ancaman yang serius dalam praktik komunikasi antarbudaya (multikultur)

karena batas-batas kesukubangsaan menjadi semakin nampak. Kondisi seperti ini suku

mayoritas akan semakin mendominasi terhadap suku minoritas melalui tindakan-tindakan yang

acap kali diskriminatif.38

Multikulturalisme akan lebih mempunyai makna apabila: Pertama, masyarakat yakin

bahwa penyadaran individu atau kelompok itu sangat ditentukan oleh informasi dan

pengetahuan, padahal informasi dan pengetahuan, padahal informasi dan pengetahuan

(termasuk informasi dan pengetahuan budaya) umumnya tidak netral. Meskipun demikian,

melalui informasi dan pengetahuan budaya itulah, kita semua dapat didorong untuk

merefleksikan maksud dan tujuan kita dalam melakukan kontrol terhadap pengambilan

keputusan. Kedua, multikulturalisme merupakan sebuah ideologi yang menolak klaim formal

tentang definisi budaya dan kebudayaan yang sudah terstruktur dalam sebutan kebudayaan

37 Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam: Essential Writing of Abdolkarim Soroush (Oxford: Oxford University Press, 2000), 63.38 Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri (Depok: Kepik, 2012), 49.

236

nasional. Struktur berpikir seperti ini ditolak, apalagi sejak globalisasi melanda dunia, konsep

kebudayaan nasional tidak dapat diterima begitu saja.39

Mencermati fenomena tersebut di atas maka kiranya perlu membongkar kembali

bagaimana Islam memandang dan memberikan konsep tentang multikulturalisme sebagai

pijakan untuk membangun masyarakat madani di tengah-tengah masyarakat multikultur. Dengan

demikian tulisan ini mencoba memahami dan menganalisis secara kritis perjalanan gerakan

multikulturalisme yang diemban oleh pembawa agama Islam (Muhammad SAW) dalam

menjalankan roda kenabian dan kerasulannya sehingga ia sukses mengantarkan bangsa Arab

sebagai cikal bakal bangunan masyarakat madaninya di tengah keragaman etnis, suku, agama,

dan budaya yang ada.

B. Multikulturalisme sebagai Realitas SosialMultikulturalisme dan pluralisme dua istilah yang sering dipertukarkan, sekalipun

keduanya memiliki nuansa yang berbeda. Multikulturalisme adalah sikap dan paham yang

menerima adanya berbagai kelompok manusia yang memiliki struktur dan kultur yang berbeda.

Sedangkan pluralisme lebih merujuk pada kesediaan untuk menerima dan terbuka pada etnis

dan budaya lain, karena etnis dan budaya lain itu bisa bernilai baik untuk warganya.40 Makna

pluralisme agama tersebut nampaknya didasari tesis Emile Durkheim bahwa “agama adalah

sebuah realitas sosial, ia merupakan suatu ekspresi dari kesadaran kolektif (moral comunity).41

Wacana multikulturalisme dalam dunia pemikiran Islam tergolong baru. Gagasan

multikulturalisme ini lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi

kultural Barat Modern dalam dunia Islam.42 Gagasan multikulturalisme menembus dan

menyusup ke wacana pemikiran Islam antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir Muslim

seperti Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Arkun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, dan sederet

pemikir-pemikir Islam lainnya. Wacana multikulturalisme mengalami perkembangan yang cukup

menggembirakan seiring dengan fenomena kebangkitan agama-agama yang dibarengi dengan

krisis modernitas. Sedangkan krisis modernitas itu bersumber dari paradigma humanisme yang

memposisikan manusia sebagai penguasa tunggal dan mengabaikan adanya “Realitas Mutlak”. 39 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur (Yogyakarta: LKiS, 2009), 55.40Samsu Rizal Panggabean,”Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural),” dalam Zakiyuddin Baidhawi dan M. Thoyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), 1541 Karena Durkheim sebagai kaum fungsionalis, maka ia membedakan agama dalam konteks ideal-suci (dimensi keyakinan) dan konteks duniawi (dimensi kemasyarakatan), kemudian diikuti oleh sosiolog yang lain seperti Roland robertson yang membedakan dimensi yang dimiliki agama seperti: dimensi keyakinan, dimensi praktik keagamaan, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan, dan dimensi konsekuensi. Sedangkan Ignas Kleden mengungkapkan bahwa agama mempunyai tiga dimensi yaitu; dimensi sakralitas, dimensi spiritualitas, dan dimensi moralitas Lebih lanjut lihat Emile Durkheim, The Elementary Form of the Religious Life (New York: Pree Press, 1947), 172. Roland Robertson, Sosiologi Agama, terj. Paul Rosyadi (Jakarta: Aksara Persada, 1986), 38. Dan juga lihat dalam Ignas Kleden, Kompas, 942 Samsu Rizal Panggabean,”Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural),” dalam Zakiyuddin Baidhawi dan M. Thoyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), 15

237

Pada perkembangan selanjutnya modernitas melahirkan corak pemikiran yang mengarah pada

rasionalisme, liberalisme, positivisme, materialisme, pragmatisme, dan juga sekularisme.

Melihat perkembangan dunia sebagaimana tersebut, maka kiranya perlu menyandingkan

wacana multikulturalisme dengan pluralisme dalam perspektif Islam. Karena di era globalisasi

sekarang ini masyarakat harus bersedia hidup melampaui sekat etnis, budaya, juga sekat

agama. Untuk menyelenggarakan kehidupan yang harmonis, mereka dituntut untuk sanggup

menghadapi realitas kebinekaan (pluralisme). Sebagai realitas sosial, multikulturalisme

merupakan diferensiasi masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi

peran. Pada level pengorganisasian, multikulturalisme merupakan kompetisi organisasi-

organisasi formal, dan pada level kemasyarakatan ia dianggap sebagai pembatasan-

pembatasan terhadap fungsi institusi.43

Multikulturalisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat

kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama. Multikulturalisme

juga tidak boleh dipahami sekadar ditilik dari kegunaanya untuk menyingkirkan fanatisme dalam

etnis, tetapi multikulturalisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinnekaan dalam

ikatan-ikatan keadaban, serta suatu keharusan bagi tersemainya prinsip keselamatan umat

manusia. Ikatan-ikatan keadaban yang dimaksud adalah sebagai nilai-nilai universal yang harus

diperjuangkan oleh setiap umat beragama dalam rangka mencari titik temu antaretnis untuk

membentuk masyarakat yang beradab. Masyarakat yang beradab hanya bisa dibangun melalui

keterbukaan, saling membantu, saling toleransi, bekerja sama dalam memperjuangkan keadilan

dan saling menghormati sisi kemanusiaan manusia secara bersama-sama.44

Namun, perlu diakui bahwa pemeliharaan keragaman itu memberi kesan bahwa

perbedaan kultur memang tidak bisa dikompromikan, sehingga hal itu justru akan menciderai

makna dan visi multikulturalisme itu sendiri, karena dengan otonomisasi kultur justru akan

melahirkan kelompok-kelompok yang eksklusif. Dewasa ini maraknya konflik yang berujung

pada kerusuhan dan kekerasan merupakan refleksi dari ketidakmampuan sebagian kelompok

atau masyarakat untuk beradaptasi dan menyikapi secara kritis perkembangan informasi budaya

yang ada. Namun pemicunya sangat beragam, dalam situasi seperti itu agama menjadi rallying

factor dan simbol-simbol agama menjadi crying banner.45 Meskipun akar permasalahanya tidak

memiliki kaitan dengan agama, tetapi konflik yang ditampakkan ke permukaan dicoba dikaitkan

dengan agama sehingga simbol agama dan dianggap perang suci, selanjutnya agama dijadikan

dasar yang paling absah untuk melakukan kekerasan, bahkan pembunuhan.46

43 Talcot Parsons, The Social System (The Mayor Exposition of the Author’s Conceptual Scheme for the Analysis of the Dynamics of the Social System (New York: The Free Press Paperback, 1964), 126.44 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 42. Lihat juga dalam Abdul Azis Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism, 29.45 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan (Bandung: Remaja Karya, 1999), 11.

238

Melihat fenomena sebagaimana tersebut di atas, maka kesadaran terhadap adanya

perbedaan (multikulturalisme) untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat madani

merupakan suatu hal yang selalu diidam-idamkan oleh setiap orang. Akan tetapi dalam

perjalanan sejarah manusia yang panjang, perdamaian seringkali tidak dapat berumur panjang.

Selalu saja terdapat pertikaian berdarah hampir di semua tempat dan waktu. Di sisi yang lain,

kerukunan dan perdamaian merupakan kebutuhan dasar manusia yang dengannya orang dapat

memperoleh rasa aman dan ketenangan. Dalam damai orang akan dapat mengembangkan

kemampuan dirinya tanpa khawatir akan gangguan orang lain.

Sebagaimana potret masyarakat Indonesia yang majemuk.Istilah masyarakat majemuk

(plural societies), pertama kali dikemukakan oleh Furnival sebagai hasil penelitianya pada

masyarakat wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada waktu itu yaitu Indonesia dan Birma. Dari

hasil penelitianya Furnival mengemukakan bahwa masyarakat majemuk yakni suatu masyarakat

yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama

lain di dalam suatu kesatuan politik. Dalam kedudukan politik masyarakat Indonesia masa itu

tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan

terdiri dari berbagai elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena itu perbedaan ras,

masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu dari pada sebagai keseluruhan yang

bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidak utuh.47

Menurut Hildred Geertz bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang

terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri, setiap sub sistem terikat ke

dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial,48 kemajemukan ini ditandai oleh adanya suku-suku

bangsa yang masing-masing mempunyai cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam

masyarakat suku bangsanya sendiri sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan

antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain, tetapi secra bersama-sama hidup

dalam satu wadah masyarakat indonesia.

Untuk membedah wacana tentang Islam dan multikulturalisme dapat ditelisik melalui

teori Fungsionalisme yang digagas Emile Durkheim. Ia melihat bahwa agama merupakan

institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Atas dasar persamaan dan kesepakatan serta

ikatan psiko-religius, kredo, dogma, kultus dan simbol, serta tatanan nilai dan norma serta cara-

cara spiritualitas tertentu yang diyakini, maka para pemeluk agama cenderung berupaya sebaik

mungkin untuk mempertahankan serta mengamalkanya.49 Bagi Durkheim, agama bukan hal

46 Tesis tersebut dapat kita liahat dalam kasus Maluku sebagai bukti, bahwa konflik yang sebenarnya bersifat sosial-budaya akhirnya mengental menjadi pertikaian agama, simbol-simbol agama dijadikan alat pengerah massa oleh kelompok-kelompok yang terlibat pertikaian. Akibatnya komunitas yang seagama yang berada jauh di luar daerah yang sedangkan bertikai ikut melibatkan diri sehingga memperburuk konflik yang sedangkan berlanjut. Selengkapnya baca Kompas, 7 Januari, 2000, 3.47 J.S. Furnival, Colonial Policy and Practice: A Comprative Study of Burma and Nedherlands India (Woshington Square: New York University Press, 1957), 156.48 Hildred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, terj. (Jakarta: YIIS, 1969), 6749 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (London: George Allen & Unwin, 1947), 105.

239

yang “imajiner” (khayalan), tetapi ia adalah suatu yang sangat nyata. Agama merupakan sebuah

ekspresi masyarakat itu sendiri. Tentunya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki agama,

karena ia merupakan suatu kesadaran kolektif berupa penyatuan dari seluruh kesadaran

individu yang kemudian menciptakan sebuah realitas terhadap dirinya sendiri.50 Durkheim

memberikan kesimpulan bahwa agama adalah kesatuan dari beberapa keyakinan dan praktik-

praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang kudus dan akan membentuk sebuah komunitas

yang berbasis pada moral.51

Bagi Durkheim maupun Weber memandang bahwa agama bukan hanya merupakan

masalah yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan saja, akan tetapi sifat dasar agama

adalah menekankan hal kolektif yang memiliki konsekuensi-konsekuensi secara keseluruhan.

Dengan demikian untuk memahami realitas sosial berupa Islam dan gerakan

multikulturalisme dapat dicari melalui pemahaman terhadap pergaulan sosial yang terwujud

dalam suatu tindakan (Muhammad SAW). Sedangkan rasionalitas suatu tindakan dapat diamati

dari hubungan antar-subjek tindakan tersebut, yaitu suatu tindakan yang didasari oleh pelaku

dan ditujukan pada individu atau subjek yang lain (komunikasi dan tndakan Muhammad SAW.

dengan masyarakat).

C. Gerakan Ummatun Wahidah : Dari Multikulturalisme menuju Pluralisme Memahami dan mengaktualisir ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu

hanya diharapkan dalam komunitas muslim saja. Tetapi Islam dapat diaplikasikan dalam

masyarakat manapun, sebab secara essensial ia merupakan agama yang memuat nilai yang

universal.52 Kendatipun dapat dipahami, bahwa Islam yang hakiki hanya dirujukkan kepada

konsep al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi, secara substansial, dampak sosial yang lahir dari

pelaksanaan ajaran Islam dapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan. Demikian pula

dalam tataran lebih luas, yaitu kehidupan multikultural (antar bangsa, suku, dan etnis) nilai-nilai

ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia daln

keadilan suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.

Melihat universalitas Islam sebagaimana tersebut di atas, tampak bahwa esensi ajaran

Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara universal dan berpihak pada

kebenaran, kebaikan, dan keadilan. Hubungan antarsesama manusia dalam Islam dikenal

dengan istilah ukhuwwah, yang berarti hubungan antarsesama yang dilandasi dengan perasaan

simpati dan empati. Dengan demikian dalam Islam, multikulturalisme merupakan gagasan

bahwa secara hakiki manusia memiliki kesatuan metafisik, karena dalam diri setiap orang

terdapat semangat ila>hi>yah. Basis teologi inilah yang pertama digunakan oleh Nabi

50 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), 89.51 Emile Durkheim, The Elementary, 110. 52 Kebenaran yang hakiki tidak ditentukan oleh identitas etnik, rasionalitas, dan atau agama, melainkan ditentukan nilai-nilai al-Qur’an. Namun karena terpengaruh oleh ambisi politik dan nilai-nilai yang bersifat primordial seringkali Islam (sebagai agama) mengorbankan universalitas kebenaran itu. Nurcholis Madjid, Islam dan Doktrin Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 183.

240

Muhammad ketika di Makkah yang populer dengan paham Ketuhanan Yang maha Esa

(tauhid).53 Pada perkembangan selanjutnya tawh}i>d telah menunjukkan kekuatannya sebagai

modal sosial umat Islam dalam mempromosikan kerukunan. Sepanjang sejarah kenabian saat

itu, Islam sebagai agama terbukti sanggup menjamin integrasi masyarakat Arab. Hal itu dapat

kita lihat dari kehidupan Rasulullah di Makkah yang memberi contoh kepada para sahabat dalam

menghormati pemeluk agama lain, seperti Yahudi, Kristen Zoroaster, Manesian, dan lain-

lainnya. Penghargaan Rasulullah tersebut merupakan nilai intrinsik ajaran Islam tentang

kesatuan kemanusiaan, sebagaimana yang dipesankan oleh Allah swt dalam QS. al-Nisa’ [4]: 1

Dari ayat tersebut dapat kita gambarkan bahwa Islam telah mengakui kebhinekaan

dalam ketunggalan. Di sinilah relevansi mengapa Allah swt. tidak menciptakan satu umat saja,

walaupun ia kuasa melakukanya. Hal ini dimaksudkan untuk menguji umat manusia atas segala

anugerah-Nya. Ia sengaja menciptakan umat manusia dalam keragaman, termasuk dalam

beragama atau memilih keyakinan, kendati sebenarnya Ia mampu untuk membuat mereka

seragam. Sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS. al-Maidah [5]: 48, QS. Hud [11]: 118, dan

QS. al-Nahl [16]: 93.

Adanya keragaman dalam kehidupan bermasyarakat, semangat dan kesadaran tawh}i>d

tetap dikedepankan untuk menghadapi agama-agama yang ada. Karena dalam ajaran agama

samawi, di mana Islam adalah salah satu varian di dalamnya—juga memberikan penegasan

atas pandangan antropologis bahwa pada awalnya umat manusia adalah tunggal. Tunggal

dalam arti asal-usulnya, tunggal dari satu jiwa (min nafs wahidah) maupun keterikatannya dalam

mengakui “Kebenaran Tunggal” (Allah swt).54 Namun sepanjang sejarah perkembangan umat

manusia, kebenaran tunggal dan asal-usul tersebut diperdebatkan, justru ketika penjelasan

mengenai kebenaran tunggal disampaikan oleh para Nabi dan Rasul dengan bermodalkan

pengetahuan yang terbatas mengenai kebenaran tersebut, dan juga dipertajam dengan agenda-

agenda tersembunyi dari tiap-tiap kelompok, mereka saling berselisih sehingga timbul

perbedaan persoalan mendasar dalam teologi agama-agama.55

Melihat fenomena itu, Abdurrahman Wahid dengan nada optimis melontarkan

“perbedaan umat adalah rahmat”. Bagi Gus Dur (panggilan akrab) perbedaan seyogianya tidak

menyebabkan perpecahan dan permusuhan. Menurutnya, justru merupakan kasih sayang yang

muncul di tengah-tengah kebinekaan. Islam, bagi Gus Dur, tidak mempersoalkan perbedaan

53 Kalimat tauhid yang terdokementasikan pada kalimah La ilaha illa Allah di sini bukan hanya merupakan gerakan teologi (keimanan) saja. Akan tetepi yang lebih urgen adalah merupakan gerakan sosial, seruan tersebut ditujukan pada masyarakat Arab yang pada waktu itu lagi menuhankan harta bendanya, etnis, dan juga menuhankan agamanya. Maka dengan kalimah tawhid itu mengingatkan kembali bahwa tidak ada Tuhan (harta benda, etnis, dan agama) kecuali Allah. Dikatakan sebagai gerakan sosial karena masih banyak didapatkan sesembahan-sesembahan berhala yang tidak dihancurkan oleh Rasulullah. Lihat dalam Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), 29. 54 Madjid, Islam Doktrin, 72.55 sebagaimana pesan Allah dalam QS. Yunus 10: 19.

241

agama, keyakinan, etnis, warna kulit, dan posisi sosial.56 Hal ini diperkuat oleh pandangan

Nurcholis Madjid, bahwa kebenaran bukan ditentukan oleh identitas etnis, rasionalitas atau

agama, namun kebenaran adalah ditentukan Islam yang termanifestasi pada wahyu Ilahi dalam

al-Qur’an. Namun, karena terpengaruh oleh ambisi politik dan nilai-nilai yang bersifat primordial

seringkali umat Islam mengorbankan universalitas kebenaran57.

Atas dasar itu pemikir kontemporer seperti Abdullah Ahmad An-Na‘im menyerukan

kepada semua masyarakat Muslim hendaknya mampu menangkap semangat kemanusiaan

yang ada dalam pluralitas tersebut sebagai basis wacana dalam mempertimbangkan

kemajemukan (diversity) antar pemeluk agama yang berbeda-beda, keanekaragaman agama

justru merupakan mobilitas sosial umat Islam dalam menciptakan perdamaian sepanjang

mereka bersedia untuk terlibat aktif dalam mengelolanya secara konstruktif.58

Salah satu pemikir kontemporer yang banyak memberikan spiritlisme di dunia Islam

adalah Jamal al-Banna. Dalam membangun pemikiran keragaman dalam masyarakat

multikultural, ia berangkat dari argumen teologis yaitu, bahwa yang esa adalah hanya “Allah”.

Segala sesuatu selain Allah pasti beragam. Alam semesta, elemen-elemen masyarakat, dan

ajaran agama sangat beragam. Tetapi Allah hanyalah satu. Dengan demikian, barangsiapa

mengakui keesaan Allah, maka ia harus mengakui keberagamaan entitas selain Allah. Tidak lain

salah satunya adalah keberagaman agama. Inilah menurut Jamal merupakan tauhid yang

murni.59 Sebagaimana yang dipesankan oleh QS. al-Baqarah [2]: 256. Dari ayat ini Jamal al-

Banna mengkritisi fuqaha’ radikal yang wajib memerangi non-Muslim atas kekafiran mereka.

Bagi Jamal, semua ayat perang dalam al-Qur’an jelas-jelas menegaskan bahwa perang

dilegalkan dalam Islam hanya dalam rangka mempertahankan diri ketika kaum Muslimin

terancam jiwa dan kebebasan beragamanya. Intinya, perang dalam Islam hanya diagendakan

untuk tujuan defensif, bukan bertujuan ofensif memerangi kekafiran.60

Fakta historis yang menguatkan adanya wacana multikulturalisme bisa kita lacak dari

kehidupan Rasulullah ketika di Makkah yang populer dengan istilah kalimat sawa’ dalam QS. Ali

Imran [3]: 64.61 Para mufassir sepakat bahwa posisi kalimat sawa’ dalam ayat tersebut adalah

56 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut, 2006), 66.57 Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995), 26.58 Abdullah Ahmad An-Na‘im, Islam and the Seculer State: Negotiating the Foture of Shari’a (New York: tp, 2008), 21.59 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, terj. Taufik Damas (Jakarta: Menara, 2006), 15.60 Jamal al-Banna, Al-Ta‘addudiyah fi Mujtama‘ Islami (Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), 29. 61 Asbabun Nuzul ayat tersebut adalah: bahwa ayat tersebut turun dalam konteks golongan Nasrani Najran. Nabi terlibat perdebatan dengan pihak Nasrani Najran. Saat itu Nabi mengajukan sejumlah argumentasi dari pendapatnya, sampai akhirnya pihak Nasrani tidak mampu menyangggah lagi. Selanjutnya Nabi mengajak mereka untuk melakukan muba halah yang tidak dapat diterima pihak Nasrani Najran karena takut. Mereka lebih memilih kesediaan untuk membayar Jizyah sebagai bentuk kompensasi. Menanggapi pilihan tersebut, Nabi saat itu sangat berharap agar mereka beriman (untuk masuk Islam) tampaknya kurang bahagia dengan pilihan kaum Nasrani Najran. Sehingga demi tercapainya hasrat Nabi Allah memberi strategi agar Nabi mengajak kaum Nasrani untuk berpedoman pada kalimat sawa’ (kalimah yang adil berposisi di tengah kedua belah pihak, artinya tidak memihak satu kelompok saja), Lihat dalam Fahruddin Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 76.

242

suatu kalimat yang adil berposisi di tengah kedua belah pihak, sehingga tidak memihak pada

salah satu kelompok saja.62 Karena itu ia sama-sama disepakati sekaligis menjadi missi kitab

Taurat, Injil, da juga al-Qur’an. Di sini toleransi atau pluralisme bukan berarti menyamakan atau

menyatukan ketiga aqidah (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang sama, akan tetapi pesan yang

disampaikan dalam kalimat sawa‘ tersebut adalah menyadari adanya perbedaan dalam

kehidupan keberagamaan, buka sebagai pijakan toleransi umat beragama. Karena menurut

Roem Rowi, bila kalimat sawa’ digunakan sebagai pijakan toleransi umat beragama justru akan

menimbulkan problem besar karena menyangkut sesuatu yang sangat sensitif, bahwa keyakinan

(agama) adalah sesuatu yang sangat privat.63

Namun demikian, hal ini bukan berati al-Qur’an atau Islam tidak mengajarkan

pemeluknya untuk bersikap toleran dan bekerjasama dengan pemeluk agama yang lain akan

tetapi ajaran atau perintah al-Qur’an tentang toleransi bukan terletak pada konsep kalimat sawa’-

nya, tetapi lebih kepada direksi yang diberikan al-Qur’an bahwa jika para ahl al-kitab menolak

untuk kembali pada kalimat sawa’, kita tidak dibenarkan untuk melakukan suatu pemaksaan,

namun harus memberikan pemakluman serta tetap menghormati mereka, di sinilah makna

pluralisme agama dalam ayat tersebut.64

Pembahasan tentang gerakan multikulturalisme dalam Islam dapat kita lacak dari

kehidupan Rasulullah ketika di Makkah, karena pada masa ini Rasulullah telah bersinggungan

dengan umat berbagai suku, etnis, dan agama, khususnya Yahudi, Nasrani, Majusi, dan kaum

paganis. Sejak masa ini Allah sudah menyinggung hubungan antaretnis dan agama tersebut

dengan saling menghormati dan tidak saling mencampuri urusan agama masing-masing,

sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an: 109: 6: Lakum dinukum wa liya din.65

Secara tidak langsung ayat ini menggaris bawahi bahwa agama adalah urusan privat. Ia

tidak bisa dipertukarkan, dinegoisasi, diintervensi, atau dipaksakan.66 Terlebih ia merupakan

intensitas keyakinan yang berkutat di hati, sehingga Allah lah yang mengetahui pasti hakekat

keberagamaan atau keimanan seseorang. Oleh karena itu, bagi Islam, toleransi menjadi hal

62 Fahruddin Al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, 76, Wahbah Al-Zuhaily, Tafsir Al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1991), 251, Muhammad Abduh, Tafsir Al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 325, 63 M. Roem Rowie,” Memahami Konsep Kalimat sawa>‘ dan Relevansinya dengan Pluralisme”, dalam Al-Afkar: Jurnal Dialogis Ilmu-Ilmu Ushuluddin, edisi IX, Januari-Juni 2004 (Surabaya: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2004), 30.64 M. Roem Roewi. Al-Afkar, 31.65Turunnya ayat ini terkait dengan kisah ajakan sekelompok orang Kafir Quraysh terhadap Nabi SAW. Untuk menyembah Tuhan mereka setahun dan sebaliknya mereka bersedia menyembah Tuhan selama setahun pula. Mereka juga berjanji akan bersedia mengikuti ajaran Nabi sekiranya Tuhan sesembahan Nabi lebih baik dan sebaliknya mereka Nabi untuk mengikuti keyakinan mereka jika ternyata justru Tuhan sesembahan mereka yang lebih baik. Merespons ajakan orang-orang kafir itu, ayat inipin turun. Lihat dalam Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari: Al-Musamma Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Vol. XII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 728.66 Terkait dengan toleransi dan kerukunan antarumat beragama pada masa Rasulullah ini, maka Allah memberikan batasan kepada Nabi Muhammad bahwa ia hanya sebagai pembawa risalah tentang kebenaran dan hanya bertugas memberi peringatan, bukan sebagai pemberi petunjuk. Karena hanya Allah lah yang berhak memberikan hidayah (petunjuk) pada setiap orang. Lihat dalam QS. Al-Ghashiyah: 88: 21 dan 22. QS. Al-Shura: 42: 48, QS. Qaf: 50: 45.

243

niscaya dalam kontkes dinamika keberagamaan yang berpuspa-ragam. Dalam rangka toleransi

itu pula umat Islam dilarang membenci, menghina, memaki atau menganiaya orang lain lantaran

perbedaan pilihan agama atau keyakinan. Pesan ini dapat kita lihat dalam firman Allah al-

Qur’an: 6:108.67

Keseimbangan multikulturalisme yang hendak dicapai melalui pesan ini adalah

pentingnya menghindari tindak penghinaan terhadap suku dan agama orang lain, seperti

memaki sesembahan maupun memaki orangnya (pemeluk agama lain). Hal ini berarti setiap

agama atau keyakinan keagamaan harus dijamin dan dilindungi hak hidupnya demi terwujudnya

toleransi dan kerukunan antarsesama umat beragama. Nabi sendiri diingatkan oleh Allah dalam

firmannya, yaitu Muhammad SAW. hanya diutus sebagai penyampai risalah, pemberi kabar

gembira dan peringatan.68

Spirit toleransi dan pengakuan atas kebebasan beragama itu terkait dengan kebebasan

memilih sebagaimana dimaklumkan dalam Q.S. al-Kahfi 18: 29. Frase ini memberi peringatan

betapa beriman atau ingkar, beragama Islam atau bukan, bagi Islam adalah pilihan. Tidak ada

paksaan dalam beragama, hanya saja dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa bagi mereka yang

tidak beriman, yakni orang-orang zalim telah disediakan neraka. Dan jika mereka meminta

minum, mereka akan diberi minum dengan air besi yang mendidih yang menghanguskan

mereka. Ini logis, karena setiap pilihan pasti mengandung konsekuensi. Konsekuensi bagi

mereka yang beriman dan yang kafir tentulah berbeda. Namun perbedaan konsekuensi sama

sekali tidak dijadikan alasan bagi Islam untuk memaksakan keberimanan seseorang.

Pembahasan tentang hubungan antaretnis dan agama sedikit disinggung pada fase

Makkah ini, karena didukung kenyataan bahwa komunitas Yahudi dan Nasrani masih sedikit

jumlahnya. Walaupun pada fase ini al-Qur’an banyak menyinggung tentang Yahudi dan Nasrani,

akan tetapi pembahasan tentang mereka bukan pada diskursus kerukunan antarumat

beragama, melainkan dalam posisi Islam dalam konteks kenabian dan keagamaan yang ada.69

Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah menandai adanya era baru dalam perkembangan

wacana toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Di sinilah umat Islam bersinggungan

dengan umat dari berbagai agama terutama Yahudi dan Nasrani sebagai agama yang diakui al-

Qur’a>n memiliki mata rantai spiritualitas yang sama, sehingga pada masa inilah, kota Madinah

dapat kita katakan sebagai tempat pembentukan ummah70 (komunitas Muslim), sedangkan 67 Q.S. al-An‘am 6: 108.68 QS. Al-Furqan 25: 56.69 Al-Qur’an cenderung memandang kaum Yahudi dan Nasrani sebagai ah}za>b (kelompok-kelompok yang keluar dari arus kenabian), sedangkan umat Islam sendiri disebut sebagai umat yang h}ani>f (yang teguh kepada monoteisme). Islam dan Yahudi serta Nasrani diyakini berasal dari tradisi yang sama, yaitu tradisi Ibrahim. Hanya saja agama-agama lain selain Islam dipandang sebagai agama yang menyimpang. Sedangkan hanya Islam yang secara konsisten yang mewarisi tradisi Ibrahim. Fazlur Rahman, Major Themes of al-Qur’an (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), 164.70 Ummah adalah komunitas yang didasarkan atas identitas dan loyalitas keimanan dengan Nabi Muhammad sebagai pimpinanya. Identitas tersebut menggantikan identitas kesukuan yang selama ini dianut oleh bangsa Arab. Tetapi perkembangan selanjutnya konsep ummah ini digunakan sebagai pijakan untuk menentukan beberapa ajaran Islam

244

ummah pada awal keberadaan Nabi Muhammad di Makkah hanyalah salah satu komunitas dari

banyak komunitas yang ada di Madinah.

Pada awalnya Nabi Muhammad hanyalah pemimpin klan Muhajirin, kenabiannya hanya

diakui oleh minoritas di Madinah, meskipun otoritasnya sebagai arbitrator71 diterima oleh

mayoritas, tetapi penerimaannya sebagai seorang Nabi oleh seluruh penduduk Madinah

membuatnya juga diterima sebagai pemimpin bagi semua. Namun demikian, kekuasaan Nabi di

Madinah tersebut berkembang seiring dengan perkembangan waktu dan keberhasilan beliau di

bidang politik yang diraih ketika di Madinah.72 Di saat inilah Madinah tumbuh dengan penguatan

otoritas Nabi Muhammad selaku pemimpin yang memiliki misi keagamaan.

Keberadaan masyarakat Madinah pada waktu itu sangat hetoregen, di mana komunitas-

komunitas yang ada di Madinah lebih dinamis dalam membela satu dengan yang lain ketika

terjadi serangaan dari luar. Nabi Muhammad pun mendirikan pertahanan dengan sebutan

“Piagam Madinah”.73

Perlu dicatat bahwa visi yang diemban dalam Piagam Madinah adalah adanya prinsip

kesetaraan. Artinya prinsip kesetaraan tidak hanya melandasi antarkomunitas beragama, tetapi

juga antarkelompok etnis. Dengan demikian, pembahasan tentang hubungan antarkomunitas

beragama juga perlu memaparkan pola hubungan antaretnis dalam komunitas Muslim. Dalam

sejarah masyarakat Muslim tidak dijumpai kemelut racism (etnic hatred), hal itu terjadi karena

Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap persoalan kesetaraan antarkelompok etnis (QS al-

H{ujara>t, 49: 13). Bukti sederhana dari kepedulian tersebut tercermin ketika Nabi Muhammad

saw. Dinyatakan sebagai the chief magistrate di kota Madinah, di antara agenda politik

pertamanya adalah mengeliminir superioritas etnis Qurays melalui “Dekrit Penyetaraan” dengan

etnis Aws dan Khazraj. Berbagai data historis bisa ditemukan untuk menegaskan kepedulian

tentang hukum, seperti zakat dan shalat. Lihat dalam Marshal G.S. Hidgson, The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization: Classical Age of Islam, Vol. I (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1977), 172.71 Muhammad sebagai hakim (arbitrator) yang menangani sengketa orang-orang Madinah. Tugas tersebut tidak terbatas kepada umat Islam saja, melainkan kepada umat yang lain. Tugas sebagai arbitrator tersebut sebenarnya telah meletakkan Nabi Muhammad saw. Dalam konteks hukum karena di Arab ketika itu tidak ada lembaga pengadilan yang mapan, selain institusi tahkim. Landasan hukum arbitrasi itu adalah kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat Madinah. Lihat dalam ‘At}i>yah Musharrafah, Al-Qada’ fi al-Islam, Cet. II (tp: Shirkah al-Sharq al-Awsat}, 1966), 13.72 Prestasi pertama yang dirahil Nabi Muhammad ketika di Madinah adalah keberhasilan beliau pada perang Badar yang berakibat pada konsolidasi kekuatan arbitrasi Nabi Muhammad di Madinah dan memungkinkan beliau memulai mengambil tndakan-tindakan militer. Di sini lah beliau dapat mendifinisakan kebijakan-kebijakan terhadap orang-orang Yahudi di Madinah. Prestasi Nabi bukan hanya berhenti pada perang Badar saja, akan tetapi prestasi yang gemilang dilanjutkan ketika terjadi perang Uhud, dan perang Khandak sebagai fase yang menentukan bagi pertumbuhan menuju pembentukan negara. Lihat dalam M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation I AD 600-750 (AH 132) (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 16.73 Piagam Madinah terdiri atas empat bagian yaitu: pertama, lebih banyak mengatur mengenai hubungan kabilah-kabilah dlam komunitas Muslim, kedua, mengatur hubungan antara umat Islam dengan Yahudi, ketiga, berisi tentang hubungan pendatang dan penerima dikalangan umat Islam, sedangkan bagian keempat berisi aturanaturan tentang kabilah-kabilah yang masuk Islam.Badri Yatim, “Muhammad SAW di Madinah”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 121.

245

Nabi Muhammad saw. Terhadap pentingnya asas kesetaraan dalam komunitas manusia.74

Eliminasi tersebut merupakan indikasi betapa penghapusan mental ethnocentrism telah

dijadikan agenda penting dalam aktivitas politik Nabi.75

Salah satu keberhasilan Nabi Muhammad saw. dalam membangun kota Madinah adalah

karena adanya persatuan dan kesatuan yang diikat oleh Piagam Madinah. Menurut Ibn Ishaq,

bahwa Rasulullah saw. menulis sebuah surat atas nama kaum Muhajirin dan Anshor yang

didalam nya beliau mengadakan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi, mengakui hak

mereka atas agama dan harta benda mereka, mengakui hak-hal mereka dan menuntut

kewajiban dari mereka. Dengan menerima kesepakatan itu, mereka menjadi satu umat dengan

kaum Muslimin dalam berhadapan dengan kaum lain.76

Dengan bergabungnya orang-orang Yahudi menjadi bagian dari “ummat”, maka

penduduk Madinah menjadi sebuah komunitas yang memiliki struktur kesetiaan yang kuat

dengan tingkat etika yang tinggi, dan dikombinasikan dengan perlindungan yang lebih memadai

dari tradisi-tradisi yang merusak, yaitu dari tradisi hukum balas dendam.77 Karena mereka umat

yang satu, maka mereka diikat oleh keharusan saling menolong dan menjaga martabatnya.

Dalam persatuan ini, kebebasan kelompok tetap jadi prioritas utama. Masing-masing kelompok

mengurusi sendiri urusan ke dalam, menyelesaikan persoalan-persoalan internal mereka

dengan aturan-aturan yang berlalu untuk kelompoknya, akan tetapi setiap orang tetap menjaga

kesatuan suara keluar.

Ketika Nabi Muhammad di Madinah berbagai rumusan mengenai kerukunan antarumat

beragama secara berangsur-angsur menjadi lebih jelas. Berangkat dari konsep ummah

sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa bangsa Madinah terdiri dari dua komunitas, yaitu

komunitas berdasarkan identitas etnis, dan komunitas berdasarkan identitas agama.

Berdasarkan identitas agama, komunitas non-Muslim identik dengan sebutan “ahl al-kitab”.78

Sebutan ahl al-kitab ini ditujukan pada orang Yahudi dan Nasrani.

Ahl al-kitab dikalangan umat Islam diasosiakan kepada agama-agama semitik khususnya

Yahudi dan Nasrani, hal ini didasarkan realitas historis bahwa agama Semitik yang serumpun 74 Peradaban Islam seperti ini juga dapat kita temukan pada masa dinasti Umayyah di Spanyol, Fatimiyah di Mesir, Turki Usmani di Turki, dan Mughal di India, Mereka membuat kebijakan terhadap kaum minoritas berdasarkan etika humanisme dalam al-Qur’a>n yang secara intrinsik ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. Ketika di Madinah. Sebagai contoh keberhasilan Fatimiyah dalam perluasan wilayah Islam dikarenakan adanya toleransi etnis dan agama yang luar biasa dan adanya stabilitas administrasi negara Fatimiyah. Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 54. Lihat juga dalam Maria Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Chistians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (Boston: Little, Brown, 2002), 164. 75 Thoha Hamim, “Islam dan Hubungan Antarumat Beragama: Tinjauan tentang Pendekatan Kultural dan Tekstual dalam Perspektif Tragedi Maluku” dalam Akademika: Jurnal Studi KeIslaman, Vol. 06, No. 2, Maret 2000 (Surabaya: Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2000), 119.76 ‘Abd al-Rahman al-Suhayli, Al-Raudh al-Unuf fi Sharh} al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisham, Vol. IV (Kairo: Dar al-Kutub al-H{adithah, 1969), 184.77 Freederick Mathewson Denny, An Introduction to Islam (New York: Macmillan Publication Co, 1994), 74.78 Ahl al-kitab adalah, umat yang diberi wahyu samawi, yaitu Yahudi dan Nasrani (Ali Imran: 3: 74 dalam Fakhr al-Din al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir, Vol. IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1990), 75.

246

dengan Islam yang ada di Madinah adalah agama Yahudi, dan Nasrani. Penggunaan istilah ini

dalam ayat-ayat al-Qur’an pun sulit dilepaskan dari relitas historis sebagaimana dalam QS. al-

An‘a>m, 6: 156. Dalam ayat ini sebagian besar ulama memberikan batasan bahwa ahl al-kitab

adalah Yahudi dan Nasrani dengan segala cabang aliran mereka.79 Selain Yahudi dan Nasrani

ada lagi sebuah istilah yang mengacu kepada kelompok agama di Madinah yang sering disebut

dalam al-Qur’an yaitu Sabi‘ah dan juga Majusi 80 sebagaimana disebut dalam QS. al-Maidah, 5:

69.

Sisi kehidupan Muhammad SAW. di Madinah dapat kita telisik dalam Piagam Madinah

yang merupakan bukti yang dapat dikemukakan bagi kerja sama antaretnis, agama, dan

golongan yang selanjutnya disebut sebagai gerakan multikulturalisme. Di antara salah satu

pernyataan yang disebutkan di Piagam Madinah adalah:

Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi Yahudi

agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Ini berlaku untuk budak-budak,

mereka dan mereka sendiri, kecuali orang yang berbuat aniaya dan berbuat dosa.

Kejahatan dari orang ini hanya mempunyai konsekuensi atas dirinya sendiri dan

keluarganya.”81

Dalam keterangan selanjutnya al-Suhaili menyebutkan bahwa kelompok-kelompok

Yahudi lain mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban Yahudi Bani

‘Awf. Mereka adalah Yahudi-Yahudi Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa‘idah, Bani Jusyam, Bani

Aus, Bani Tsalabah, dan juga Bani Syuthaibah.82

Peradaban Islam humanis sebagaimana yang pernah dikembangkan Rasulullah di

Madinah tersebut juga pernah terjadi pada masa Dinasti Umayyah di Spanyol, Fatimiyah di

Mesir, Turki Usmani di Turki, dan Mughal di India. Dinasti-dinasti tersebut dalam membuat

kebijakan terhadap kaum minoritas berdasarkan etika humanisme dalam al-Qur’an yang secara

intrinsik ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam komunitas Madinah.83 .

79Wizarah al-Awqaf wa al-Shu’un al-Islamiyyah, al-Mawsu‘ah al-Fiqhiyah, Vol. 7, Cet I (Kuwait: Dha>t al-Salasil, 1992), 14080 Sabi’ah dan Majusi adalah kaum dari Yahudi dan Nasrani yang menyembah Malaikat dan penyembah binatang. Dalam hal ini ada beberapa pendapat menyikapi tentang Sabiah dan Majusi. Menurut Madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad, Ibn Hazm, dan juga Abu Thawr, mengatakan bahwa kedua kaum itu termasuk ahl al-kitab kareana masih bagian dari Yahudi dan Nasrani. Sedangkan Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali mengatakan bahwa Sabi’ah dan majusi adalah bukan ahli kitab walaupun bagian daripada kaum Yahudi dan Nasrani, karena kedua kaum tersebut (Sabi’ah dan Majusi) adalah kedua kaum itu menyembah pada berhala. Lihat dalam Muhammad Hasan al-Himsi, Tafsir wa Bayan Mufradat al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Imam, 1999) 10. Al-Shawkani, Fath al-Qadir al-Jami‘ Bayan Fannay al-Riwayah min ‘Ilm al-Tafsir, Vol. II, Cet I (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), 118.81 ‘Abd al-Rahman al-Suhayli, Al-Rawdh al-Unf fi Sharh al-Sirah al-Nabawiyah li Ibn Hisyam (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1969), 242.82 Ibid., 251.83 Seperti contoh keberhasilan Fatimiyah di panggung politik internasional pada waktu itu dikarenakan adanya toleransi etnis dan agama yang begitu luar biasa demi stabilitas administrasi negara Fatimiyah pada waktu itu. Lihat dalam Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 54.

247

Sikap pluralitas Rasulullah di Madinah ditunjukkan bukan hanya pada pluralitas dalam

tataran etnis saja, akan tetapi juga pluralitas dalam tataran agama juga. Hal ini dapat kita lihat

tanggapan Rasulullah terhadap kaum Nasrani di Madinah, hal ini terlihat ketika delegasi Kristen

dari Najaran datang kepada Nabi. Dalam pertemuan dengan Rasulullah saw di Masjid Nabi di

Madinah itu, waktu bagi peribadatan Kristen telah tiba dan mereka ingin segera berangkat.

Rasulullah SAW. menawarkan kepada mereka untuk beribadah di masjid. Kemudian Setelah itu

terbentuklah persetujuan dengan orang-orang Kristen Najran yang menjamin kebebasan mereka

dalam beragama dan menetapkan kewajiban bagi umat Islam untuk melindungi gereja-gereja

mereka. Tidak ada gereja yang harus dihancurkan dan juga tidak akan ada satupun imam yang

akan diusir atau dikeluarkan. Hak-hak mereka juga tidak akan dikurangi dan takkan ada satupun

orang Kristen yang diminta untuk mengubah imannya. Pernyataan ini menyatakan bahwa Nabi

memberikan jaminan pribadinya. Perjanjian ini selanjutnya menyatakan bahwa jika umat Islam

ingin membantu membiayai perbaikan gereja-gereja Kristen, itu akan menjadi tindakan kebajikan

bagi mereka.84

84 Abd al-Rahman al-Suhaili, Al-Raudh al-Unuf fi Syarh, 253. Lihat juga dalam Ali Mustafa al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah (Kairo: Ali Shubaikh wa Auladuh, 1968), 129.

248

Aktualisasi Islam dan Pancasila dalam Masyarakat Multikultural Indonesia

OlehMuhammad Turhan Yani

(Dosen Prodi PPKn Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Unesa)

AbstrakTidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan pancasila oleh sebagian orang sering diperbincangkan sebagai dua hal yang dipertentangkan, dihadap-hadapkan, bahkan dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin dipertemukan sehingga ada sebagian komunitas masyarakat yang anti pancasila akan tetapi mereka pro agama, padahal kalau hendak dikaji secara mendalam, agama (Islam) dan pancasila merupakan dua hal yang bersinergi dalam membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler, akan tetapi Indonesia menjadikan agama sebagai spirit kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat pada sila-sila Pancasila, khususnya sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah menjiwai dan mendasari sila-sila lainnya. Dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai hal ini dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia.

Kata kuci : Islam, pancasila, masyarakat multikultural

PendahuluanDi tengah masyarakat multikultural Indonesia, berbagai tantangan kehidupan sangat

nyata, seperti gejala intoleransi pada sebagian kelompok yang berbasis suku, ras, agama, dan

antar golongan mulai kelihatan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang dikenal sebagai bangsa

yang majemuk, tantangan tersebut perlu diatasi dengan berbagai cara agar tidak terjadi

disintegrasi bangsa. Salah satu cara adalah menjadikan spirit yang agama (Islam) dan Pancasila

sebagai titik tolak dalam upaya mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa di tengah

masyarakat multikultural Indonesia. Spirit yang berlandaskan agama dan Pancasila ini sangat

penting agar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berlangsung dengan baik

sebagaimana cita-cita luhur para pendiri bangsa, yaitu tegaknya keutuhan bangsa dan negara

setelah sekian lama dikuasai oleh kolonial.

Hubungan Agama (Islam) dan Pancasila dalam Beberapa Perspektif1. Dari Sisi Substansi Ajaran Islam Sangat Erat Kaitannya dengan Sila-sila Pancasila,

Bahkan Terjadi Titik Temu yang Bersinergi.

Kenyataan ini telah tampak pada sila pertama dalam Pancasila yang

memposisikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang mendasari dan

menjiwai sila-sila lainnya. Kemudian sila-sila dalam Pancasila pun jikalau ditinjau dari

substansi ajaran Islam juga merupa nilai-nilai luhur universal dalam tatanan kehidupan

masyarakat bangsa dan negara, yang dalam Islam nilai-nilai Ilahiah (ketuhanan),

insaniyah (kemanusiaan), ukhuwah wathaniyahdan basyariyah (persatuan dan

persaudaraan), alhikmah (kebijaksanaan), al’adalah al-ijtima’yah (keadilan sosial).

249

Nilai-nlai luhur yang universal tersebut tentu tidak ada ruang sedikitpun bagi

seseorang atau kelompok yang hendak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila.

Oleh karena bagi siapapun yang mengarahkan Islam dan Pancasila untuk dihadap-

hadapkan pada posisi yang bertentangan maka mindset kegamaan dan kebangsaannya

perlu diluruskan kembali agar tidak menjadi embrio radikalisme yang akhir-akhir ini mulai

terasa sangat jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari sisi substansi, menurut Nurcholish Madjid, kaum muslim Indonesia dapat

menyetujui Pancasila dan UUD 1945 setidak-tidaknya ada dua pertimbangan, pertama,

nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran agama Islam, kedua, fungsinya sebagai nuktah-

nktah kesepakatan antar berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik

bersama. Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi umat Islam Indonesia

dapat dibandingkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen pertama dalam sejarah

Islam yang dikenal dengan Konstitusi Madinah bagi umat Islam kota Yatsrib (Madinah)

pada masa-masa awal setelah Nabi hijrah. Konstitusi Madinah merupakan rumusan

tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah di bawah Pimpinan

Rasulullah Saw dengan berbagai kelompok non Muslim untuk membangun masyarakat

politik bersama. Bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok

pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk

pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia,

seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan

keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan, dan lain-lain. Akan

tetapi juga ditegaskan adanya kewajiban umum, yaitu partisipasi dalam usaha

pertahanan bersama menghadapi musuh dari luar.

Apa yang telah disampaikan oleh Cendekiawan Muslim Indonesia (Cak Nur)

tersebut dapat mengingkatkan kembali kepada semua komponen bangsa untuk tidak

mencoba-coba mempersoalkan hubungan agama (Islam) dan Pancasila dalam posisi

yang bertentangan. Justru yang perlu disemaikan adalah bahwa sila-sila dalam Pancasila

merupakan ajaran universal dalam ajaran Islam.

2. Dari Sisi Historisitas Pengalaman Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Para Pendiri

Bangsa.

Para pendiri bangsa merupakan orang-orang yang memilikikomitmen yang sangat

kuat dalam merintis, mewujudkan, dan menjaga keutuhan bangsa dan negara, baik

mereka yang mendapat label sebagai tokoh religius maupun tokoh nasionalis.

Komitemen seperti ini perlu ditegaskan kembali ke dalam jiwa semua komponen bangsa

di masa sekarang agar agama dan Pancasila menjadi spirit kehidupan dalam

menjalankan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai upaya

250

mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) yang masyarakatnya sangat multikultural.

Komitemen yang berbasis pengalaman kehidupan berbangsa dan bernegara dari

para pendiri bangsa ini sangat penting ditumbuhkembangkan kembali agar masyarakat di

masa sekarang ini juga selalu ingat bagaimana perjuangan para perintis dan pendiri

bangsa yang saat itu bersusah payah merebut kemerdekaan dari kolonial, merajut

komponen bangsa yang sempat pudar akibat penjajahan, dan menyatukan kembali

anak-anak bangsa akibat pemberontakan dari sebagian kelompok.

Dari sisi historisitas (kesejarahan), menurut Hasjim Djalal, bahwapada permulaan

kemerdekaan para pendiri bangsa dan semua komponen bangsa mengatasi usaha-

usaha kolonial untuk mengembalikan penjajahan di Indonesia. Setelah itu

mengembalikan kesatuan nasional dan mengatasi sisa-sisa pengaruh dari kekuatan

kolonial di seantero Nusantara dan kemudian mengatasi pemberontakan-pemberontakan

yang berlandaskan keagamaan, kedaerahan, dan ideologi.

Sementara itu menurut Azyumardi Azra, Pancasila telah terbukti sebagai common

platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih

viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa akan datang. Pernyataan ini

menunjkkan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi final yang

sangat penting untuk dijaga dan dipertahankan karena ideologi ini telah teruji dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara telah mampu menjadikan Indonesia sebagai

sebuah negara-bangsa yang bermartabat dan bersatu padu di tengah masyarakat

multikultural Indonesia.

3. Dari Sisi Kebutuhan Masyarakat Modern Dewasa Ini

Seiring dengan perkembangan global yang berdampak pada segala bidang,

ajaran agama dan nilai-nilai pancasila menjadi benteng yang dapat memproteksi dari

pengaruh-pengaruh negatif. Tantangan dan pengaruh global dewasa ini luar biasa

besarnya, baik di bidang budaya, teknologi informasi-komunikasi, dan lain sebagainya

menuntut semua komponen bangsa untuk merapatkan barisan agar pondasi berbangsa

dan bernegara tidak tergerus oleh zaman.

Kebutuhan masyarakat modern dalam berbagai bidang memang tidak dapat

dielakkan, akan tetapi di dalam mengarungi keadaan demikian ajaran agama dan

Pancasila hendaknya tetap menjadi spirit yang dapat menjiwai kehidupannya agar

terproteksi dari dampak negatif pengaruh globalisasi yang dewasa ini semakin deras dan

cepat pergerakannya dalam berbagai bidang. Oleh karena itu Presiden RI Joko Widodo

menyampaikan bahwa para generasi muda hendaknya sering mengunggah Pancasila di

media sosial, agar mereka selalu ingat akan nilai-nilai Pancasila.

251

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan Pancasila

sebenarnya memiliki titik temu yang sama-sama menjadi sumber, baik sumber Ilahiah

(Ketuhanan) maupun sumber Insaniyah (Kemanusiaan). Agama (Islam) sumbernya

adalah Ilahiah yang terpancarkan ke dalam Pancasila yang memiliki dimensi sumber

ilahiah karena cerminan dari pancaran ajaran agama dan sekaligus dimensi insaniyah

(rumusan ijtihadiyah dari para pendiri bangsa) yang sangat arif dan bijaksana. Bahkan

menurut Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI) menyatakan bahwa sila-sila dalam

Pancasila semuanya adalah bersumber dari ajaran Islam.

Menurut Yudi Latif, Pancasila menjadi Air Mata Keteladanan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Di sinilah spirit Pancasila sebagai pondasi yang kokoh dalam

mewujudkan cita-cita bangsa dan negara yang dalam Islam dikenal dengan sebutan

Baldatun Toyyibatun Warabbun Ghafur, sebuah negeri yang rakyatnya makmur,

adil,damai, sejahtera, dan mendapat ampunan dari Allah Swt.

Cita-cita luhur bangsa dan negara sebagaimana dituangkan dalam Kitab Suci

Alquran ini sebagai suatu gambaran bahwa demikianlah cita-cita luhur sebuah bangsa

yang apabila hendak ingin mewujudkan sebuah tatanan kehidupan yang ideal maka

prasyaratnya adalah menjadikan agama dan Pancasila sebagai mata air keteladan dan

dalam perbuatan.

4. Dari Sisi Kemajemukan Bangsa Indonesia

Agama dan Pancasila merupakan spirit utama dalam membangun keutuhan

bangsa dan kebersamaan dalam masyarakat multikultural Indonesia. Keduanya

merupakan sumber spirit yang ideal dalam membangun dan mewujudkan sebauah

tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesialah yang memiliki agama dan

Pancasila dalam bingkai yang saling bersinergi. Dari sinilah masyarakat multikultural

Indonesia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan dalam semboyan Bhineka

Tunggal Ika dapat terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

yang diikat dengan komitmen menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah

masyarakat multikultural Indonesia.

Menurut Letjen TNI Agus Widjoyo, sikap yang amat terpuji dari para perintis dan

pendiri bangsa adalah begitu kentalnya komitmen terhadap persatuan dan kesatuan.

Setiap langkah yang dilakukan selalu diarahkan kepada upaya untuk dapat menjamin

kesatuan bangsa. Sikap toleran dan keinginan untuk bersatulah yang membawa para

pelaku sejarah komitmen terhadap persatuan dan kesatuan yang dimanifestasikan dalam

bentuk negara kesatuan di samping Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.

5. Dari Sisi Pendidikan Nasional

252

Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia, ajaran agama dan Pancasila

tercermin di dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu membentuk manusia yang beriman,

bertakwa, berakhlak mulia, berilmu pengetahuan, cerdas, cakap, tanggung jawab, dan

ikut andil dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan. Tujuan ini merupakan tujuan yang

sangat ideal dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa.

Sesungguhnya dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional pun spirit agama

dan Pancasila tercermin sangat jelas di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa

Indonesia merupakan bangsa yang sangat religius, di dalam basic pendidikan nasional

saja telah ditegaskan sangat jelas sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan

nasional.

SimpulanDi tengah masyarakat multikultural Indonesia tidak menjadi halangan sedikitpun

untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa apabila semua komponen bangsa

memiliki komitmen untuk menjadikan agama dan Pancasila sebagai spirit dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara karena keduanya sebagai sumber mata air

keteladanan.

Daftar Pustaka

AzyumardiAzra, Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia,Jurnal Analisis CSIS, Vol.34, No.

1, Maret 2005.

Djalal, Hasjim. Masa Depan Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam Buku Bunga Rampai

yang Berjudul Menyelamatkan Masa Depan Indonesia. Jakarta : Kompas, 2000.

Latif, Yudi. Mata Air Keteladanan.Pancasila Dalam Perbuatan.Jakarta:Mizan. 2014

Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta : Paramadina, 1999.

Saifuddin, Lukman Hakim. (Menteri Agama RI) : Sila-sila dalam Pancasila Bersumber dari Ajaran

Islam. Dialog Metro TV Menyambut HUT RI ke-72. 15 Agustus 2017.

Widjoyo, Agus (Letjen TNI). Menyelamatkan Masa Depan Indonesia. Jakarta: Kompas, 2000.

Widodo, Joko (Presiden RI) : Para Generasi Muda Hendaknya Sering Mengunggah Pancasila di

Media Sosial. Metro TV 14 Agustus 2017.

Membangun Warganegara TransformatifMelalui Pembelajaran Berbasis Masalah

Nur Wahyu Rochmadi

Abstrak

253

Pada dasarnya, kehidupan manusia selalu terkait dengan upaya pemecahan masalah kehidupan yang dialami.Oleh karena itu manusia selalu belajar dan melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah tersebut. Demikian halnya dengan masalah kewarganegaraan, yang semakin hari semakin kompleks.Pernyataan di atas selaras dengan tuntutan kompetensi sumberdaya manusia masa kini yang tidak hanya berpengetahuan dan terampil, tetapi juga harus memiliki kemampaun berpikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan masalah.Termasuk diantaranya dalam menyelesaikan masalah kewarganegaraan. Perkembangan masyarakat saat ini melaju dengan pesatnya, sebagai akibat dari kemajuan teknologi yang juga berkembang dengan pesat. Kondisi seperti ini menjadikan status kewarganegaraan menjadi masalah yang sangat serius, walau dengan status tidak jelas. Karena tidak ada lagi batasan-batasan teritorial dan politik yang membatasi aktifitas warga negara yang disebabkan oleh status kewarganegaraannya.Tuntutan tersebut berimplikasi terhadap pengembangan tujuan pendidikan dan strategi pembelajaran. Artinya tujuan pendidikan dan strategi pembelajaran yang dikembangkan harus mampu menggairahkan subjek didik untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar yang dapat menjadikannya memiliki kompetensi tersebut di atas. Salah satu strategi pembelajaran yang diakui mampu mengembangkan sumberdaya manusia dengan karakteristik kompetensi seperti tersebut di atas adalah pembelajaran berbasis masalah.Melalui strategi pembelajaran berbasis masalah dapat membangun peserta didik dalam menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, meningkatkan pengetahuan, meningkatkan motivasi belajar, serta merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak melakukan proses mental dengan menyoroti permasalahan kontekstual dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya, termasuk masalah kewarganegaraan.

Kata-kata Kunci: membangun, warganegara, transformatif, pembelajaran, masalah

Perkembangan masyarakat saat ini berlangsung secara cepat, berbanding lurus dengan

tuntutan kompetensi sumberdaya manusia (warga negara) yang harus memiliki kompetensiuntuk

mampu bersanding dan berpartisipasi dalam kehidupan global sekarang ini.

Tuntutan akan kompetensi sumberdaya manusia di era global sebagaimanayang tertulis

dalam “21st Century Partnership Learning Framework”, bahwa kompetensi dan/atau keahlian

yang harus dimiliki oleh sumberdaya manusia abad XXI, selain berpengetahuan juga harus

memiliki kemampaun berpikir secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks

pemecahan masalah (critical-thinking and problem-solving skills); kemampuan berkomunikasi,

dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak (communication and collaboration

skills); kemampuan mencipta dan membaharui serta mengembangkan kreativitas yang

dimilikinya untuk menghasilkan berbagai terobosan yang inovatif (creativity and innovation

skills); memiliki literasi teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan

aktifitas sehari-hari (information and communications technology literacy); kemampuan belajar

mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari pengembangan pribadi (contextual learning skills);

kemampuan informasi dan literasi media komunikasi untuk menyampaikan beragam gagasan

dan melaksanakan aktifitas kolaborasi serta interaksi dengan beragam pihak (information and

media literacy skills) (BSNP, 2010: 44-45).

254

Demikian halnya dengan pernyataan Cogan (1998:115), bahwa warga negara global

hendaknya memiliki karakteristik: (1) memiliki kemampuan mengenal dan mendekati masalah

sebagai warga masyarakat global; (2) memiliki kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan

memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat; (3) memiliki

kemampuan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya; (4)

memiliki kemampuan berpikir kritis dan sistematis; (5) memiliki kemampuan menyelesaikan

konflik dengan cara damai tanpa kekerasan; (6) memiliki kemampuan mengubah gaya hidup

dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan; (7) memiliki kepekaan

terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita, minoritas etnis,

anak jalanan, dansebagainya); dan (8) memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam

kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan internasional.

Berkaitan dengan tuntutan akan karakteristik sumberdaya manusia di atas, maka tujuan

dan strategi pembelajaran harus diarahkan pada pembentukan sumber daya manusia yang

memiliki kompetensi tersebut. Artinya strategi pembelajaran yang dipergunakan guru harus

mampu menggairahkan subjek didik untuk belajar dan memperoleh pengalaman belajar yang

dapat menjadikannya memiliki kompetensi tersebut di atas.

Salah satu model pembelajaran yang diakui mampu mengembangkan sumberdaya

manusia dengan karakteristik kompetensi seperti tersebut di atas adalah model pembelajaran

pemecahan masalah (Reigeluth, 1999: 527; Moore, 2005: 294; Amador, 2006: xiii; BSNP, 2010:

47).Model pembelajaran pemecahan masalah (problem solving), adalah suatu model

pembelajaran yang memfokuskan pada pemecahan masalah sebagai kajian.

Jonassen (2004: xxi) menegaskan bahwa “learning to solve problem is the most

important skill that student can learn in any setting. In professional context, people are paid to

solve problem, not to complete exams”. Sedangkan Reigeluth (2009: 147) menyatakan bahwa

“problem-based approaches to instruction are rooted inexperience-based education, research

and theory on learning suggest that by having student learn through the experience of solving

problems, they can learn both content and thinking strategies”.

Pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan dalam hal: (1) mengembangkan

berpikir kritis siswa; (2) mengembangkan kemampuan untuk menganalisis dan memecahkan

masalah riel, dan kontekstual; (3) mengembangkan kemampuan bekerjasama dan bekerja

dalam kelompok secara efektif; (4) mengembangkan kemampuan untuk menemukan, memilih,

menggunakan dan mengevaluasi berbagai macam sumber belajar; (5) mengembangkan

kemampuan berkomunikasi; (6) mengembangkan kemampuan untuk menggunakan

pengetahuan dan keterampilan intelektualnya dalam pemecahan masalah.

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

255

Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu kegiatan pembelajaran dengan

menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dalam usaha mencari

pemecahan atau jawabannya oleh siswa, biasanya dilakukan secara berkelompok, dan pola

pemecahan masalah dilakukan melalui tahap-tahap metode ilmiah. Boud & Felleti (1991)

menyatakan bahwa “problem-based learning is a way of constructing and teaching course using

problem as a stimulus and focus on student activity”. Problem-based learning (PBL) “is an

instructional method that challenges students to ‘learn to learn’, working cooperatively in groups

to seek solutions to real world problems" (Kiley, 2000). Lebih lanjut Fogarty (1997) menyatakan

bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan

membuat konfrontasi kepada pebelajar (peserta didik) dengan masalah-masalah praktis,

berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.

Menurut Ward (2002) dan Stepien (1993) pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah

suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui

tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan

dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.

Barrows and Tamblyn (1980: 18) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah (PBL)

sebagai:

the learning that results from the process of working toward the understanding or resolution of a problem. The problem is encountered first in the learning process and serves as a focus or stimulus for the application of problem solving or reasoning skills, as well as for the search for or study of information or knowledge needed to understand the mechanisms responsible for the problem and how it might be resolved.

Pembelajaran berbasis masalah oleh Cheong (2008: 47) disebutnya sebagai “a

revolutionary and radical teaching approach”. Sedangkan Hung (2011: 486) menyebut

pembelajaran berbasis masalah (PBL) sebagai “the most innovative instructional method

conceived in the history of education”.

Mengacu kepada beberapa pendapat di atas, dalam kegiatan ini pembelajaran berbasis

masalah diberi pengertian sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang memfokuskan pada

identifikasi serta pemecahan masalah riel yang ada dalam kehidupan siswa sebagai titik sentral

kajian untuk dipecahkan melalui prosedur ilmiah dalam pembelajaran, yang kegiatannya

biasanya dilaksanakan secara berkelompok.

Karakas (2008: 61) mengatakan bahwa “three characteristic set the parameters of PBL

(1) initiating learning with a problem; (2) exclusive use of ill-structured problems; (3) and using

the instructor as a facilitator”.

Newman (2005: 14-16) menegaskan bahwa ada lima kunci pokok dalam strategi

pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu: “(1) teacher as facilitator; (2) the use of an explicit

256

process to facilitate learning; (3)use of problems to stimulate, contextuaize and integrate

learning; (4) learning in small groups; and (5)assessment and problem based learning”.

Karakteristik strategi pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah: “(1) learning is driven

by challenging, open-ended, ill-defined and ill-structured problems; (2) students generally work in

collaborative groups; dan (3) teachers take on the role as facilitators of learning” (Wikimedia,

2001).

Howard (2003: 3) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah memiliki

karakteristik, sebagai berikut: “(1) meaningful activity and problems; (2) situated learning; (3)

open-ended generative tasks; (4) collaborative decision-making and problem-solving; and (5)

changed role of the instructor”.

Barrows (1996) mengemukakan ada 6 karakteristik pokok (original characteristics) dalam

pembelajaran berbasis masalah, yaitu: (1)”learning is student centered; (2) learning occurs in

small student groups; (3) teachers are facilitators or guides; (4) problems form the original focus

and stimulus for learning; (5) problems are a vehicle for the development of clinical problem

solving skills; and (6) new information is acquired through self-directed learning”.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang karakteristik pembelajaran berbasis masalah di

atas, dalam kegiatan penelitian ini karakteristik pembelajaran berbasis masalah yang menjadi

acuan adalah: (1) menggunakan masalah sebagai titik sentral kajian dalam proses

pembelajaran; (2) masalah yang dikaji untuk ditemukan pemecahannya sifatnya riel, relevan,

dan kontekstual, serta terbuka; (3) guru berperan sebagai fasilitator; (4) belajar secara

berkelompok; dan (5) penilaian hasil belajar berwujud pemecahan masalah yang dikemukakan.

Mengacu pada beberapa pendapat di atas, diketahui bahwa terdapat tiga (3) aspek yang

menjadi perhatian pada pembelajaran berbasis masalah, yaitu: (1) peran guru; (2) permasalahan

yang menjadi bahan ajar; dan (3) aktivitas belajar siswa.

Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai fasilitator, artinya guru

memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar pada diri siswa secara mandiri. Memfasilitasi artinya,

mengkondisikan suasana sedemikian rupa sehingga terjadi kegiatan belajar pada diri siswa,

mendampingi siswa dalam kegiatan belajar berkelompok, termasuk juga menyediakan berbagai

sumber belajar yang dibutuhkan serta mampu menjadi partner dialog dalam belajar sehingga

tercipta suasana fresh, bright, and clear.

Peran guru dalam kegiatan pembelajaran berbasis masalah tersebut oleh Kiley (2000,

11) diurai sebagai berikut: “(1) clarifying discussion; (2) suggesting avenues of investigation; (3)

putting a problem in context; (4) prioritizing issues; and (5) interventing in negative group

dynamics”.

Permasalahan yang dijadikan kajian dalam pembelajaran berbasis masalah adalah

masalah-masalah nyata, kontekstual, relevan dengan yang ada di lingkungan kehidupan sehari-

257

hari siswa, sifatnya open-ended, ill-defined and ill-structured problems. Bentuknya bisa berwujud

case studies, vignettes, problem scenarios, simple to complex scenarios.

Schmidt (1993: 4) menegaskan bahwa penggunaan strategi pembelajaran berbasis

masalah memiliki efek pada siswa dalam hal:

(1) initial analysis of the problem and activation of prior knowledge through small-group discussion; (2) elaboration on prior knowledge and active processing of new information; (3) restructuring of knowledge, construction of a semantic network; (4) social knowledge construction; (5) learning in context; (6) stimulation of curiosity related to presentation of a relevant problem; and (7) development of self-directed learning (SDL) skills.

Proses pembelajaran melalui pemecahan masalah dapat membiasakan siswa

menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil apabila menghadapi permasalahan

dalam kehidupan, serta merangsang pengembangan kemampuan berpikir secara kreatif dan

menyeluruh, karena dalam proses belajarnya siswa banyak melakukan proses mental dengan

menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAANPendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada hakikatnya melingkupi

pendidikan moral, pendidikan karakter berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan pendidikan

kewarganegaraan merupakan pendidikan yang mengarah pada terbentuknya warga negara

yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Secara konseptual-epistemologis, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

merupakan suatu integrated knowledge system bersifat multidimensional yang memiliki misi

menumbuhkembangkan potensi peserta didik agar memiliki civic intelligence dan civic

participation serta civic responsibility sebagai warga negara Indonesia dalam konteks watak dan

peradaban bangsa Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila (Winataputra, 2001, 2006).

Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik

memiliki kemampuan: (1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu

kewarganegaraan; (2) berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara

cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi; (3)

berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter

masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; dan (4)

berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak

langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Permendiknas No.

22/2006).

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, sebagai bagian integral dari bidang

pendidikan sosial pada dasarnya memiliki visi dan misi pengembangan democratic and beliefs

(Quigley, dkk, 1991:11) atau rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan, yang oleh

258

Lickona (1992) ditegaskan sebagai respect and responsibility, yang diyakininya sebagai inti dari

karakter warganegara yang cerdas dan baik (nation and character building).

Menurut Welton dan Mallan (dalam Winataputra, 2001) secara ontologis bidang

pendidikan sosial memusatkan perhatian pada things social, yaitu segala yang menyangkut

kehidupan manusia sebagai warga masyarakat, yang memiliki sifat multidemensional, holistik,

dan peka terhadap perubahan. Oleh karena itu paradigma bidang pendidikan sosial termasuk

pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan perlu melihat secara holistik dan kontekstual dalam

tataran ideal, instrumental dan praksis kehidupan berbangsa dan bernegara serta

bermasyarakat global.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai bidang kajian ilmu kependidikan

yang memusatkan perhatian pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis,

religius, dan berkarakter, merupakan suatu gerakan sosial-budaya kewarganegaraan yang

secara sinergis dilakukan dalam upaya membangun kebajikan warganegara (civic virtue) dan

budaya warga negara (civic culture) yang mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic

skills, civic confidence, civic commitment, dan civic competence” (Winataputra, 2001).

Civic culture merupakan budaya yang menopang kewarganegaraan yang berisikan …a

set of ideas that can be embodied effectively in cultural representations for the purpose of

shaping civic identities. Civic culture berkenaan dengan proses adaptasi psikososial individu dari

ikatan budaya komuniter (keluarga, suku, masyarakat lokal) ke dalam ikatan budaya

kewarganegaraan (Winataputra, 2001). Oleh karena itu civic culture merupakan salah satu

sumber yang sangat bermakna bagi pengembangan dan perwujudan civic education. Civic

culture pada masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila (Winataputra, 2006:7).

Identitas pribadi warganegara yang bersumber dari civic culture dikembangkan melalui

pendidikan dalam berbagai bentuk dan latar. Elemen civic culture yang paling sentral

dikembangkan pada warga negara adalah civic virtue.

Sementara itu, Cogan (1998) mengidentifikasi karakteristik yang perlu dimiliki oleh

warganegara yang baik, adalah: “(1) ability to understand, accept, and tolerate cultural

differences; (2) capacity to think in a critical and systimatic way; (3) willingness to revolve conflict

in a non-violent manner; (4) ability to work with others cooperative way and to take responsibility

for one’s rule/duties within society; (5) ability to sensitive towards and to defend human rights;

and (6) ability to participate in politics at local, national, and international levels”.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka materi pokok dalam pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan di Indonesia meliputi konsep-konsep dan nilai Pancasila, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan nilai-

nilai Bhinneka Tunggal Ika, beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara

Indonesia. Sedangkan didalam kurikulum sekolah yang berlaku dikemukkan bahwa ruang

lingkup pendidikan kewarganegaraan meliputi aspek: persatuan dan kesatuan bangsa; norma,

259

hukum dan peraturan; hak asasi manusia; kebutuhan warga negara; konstitusi negara;

kekuasan dan politik; Pancasila; dan globalisasi.

Keberadaan nilai-nilai Pancasila sebagai materi pokok pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan bersifat mutlak (Wiyono, 2012: 4), sebagai upaya pembentukan warga

negara yang mampu memahami dan melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi

warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh

Pancasila dan UUD 1945, serta mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia.

Substansi materi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia yang meliputi

konsep, prinsip, prosedur, norma, nilai dan metakognisi kehidupan kewarganegaraan,

menjadikan kegiatan pembelajarannya dituntut untuk mampu menumbuh kembangkan tidak

hanya aspek intelektual tetapi juga aspek ethics dan estehetics peserta didik melalui touching

heart secara seimbang, yang oleh Wiyono (2012) disebut dengan istilah reaktualisasi nilai-nilai

Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Agar tujuan pembentukan warganegara yang baik dan berkarakter seperti yang tersebut

di atas dapat tercapai dibutuhkan bukan hanya seperangkat substansi materi pelajaran yang

memadai, tetapi juga pilihan strategi pembelajaran yang tepat serta secara profesional dapat

dilakukan guru di kelas, efisien dan efektif.

Beberapa strategi pembelajaran yang dikategorikan mampu mengakomodasi

karakteristik tersebut adalah melalui pembelajaran partisipatif berbasis portofolio (Winataputra,

dkk, 2010: 121), bentuk-bentuk pembelajaran partisipatif dengan menerapkan metode belajar

aktif (active learning) dan belajar bersama (cooperative learning) sangat diperlukan untuk

menumbuhkembangkan personal discovery pada peserta didik (BSNP, 2010: 29).

Penggunaan strategi belajar mengajar yang memperhatikan secara penuh keberagaman

learning style dari masing-masing peserta didik hendaknya menjadi perhatian. Oleh karena

itulah model belajar yang menekankan pada ciri khas dan keberagaman perlu dikembangkan,

seperti misalnya yang diperkenalkan dalam PBL (Problem Based Learning), PLP (Personal

Learning Plans), PBA (Performance Based Assessment), Cooperative Learning, Collaborative

Learning, Meaningful Learning, dan lain sebagainya.

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN WARGANEGARA TRANFORMATIFPendidikan mempunyai peran penting untuk menjadikan manusia menjadi

berpengetahuan, dan terampil dalam menghadapi hidup. Namun, pendidikan bukanlah semata-

mata berfungsi sebagai alat penyalur ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai pendorong

berkembangnya nilai-nilai luhur yang menjadi dasar berkembangnya watak dan karakter yang

baik manusia.

Watak adalah keunggulan moral yang berperan sebagai penggerak utama seseorang di

saat ia akan melakukan tindakan. Watak merupakan kekuatan moral yang dapat berfungsi

sebagai daya yang menentukan pilihan bentuk-bentuk tindakan. Bertindak dengan watak berarti

260

melangkah atas dasar nilai-nilai yang baik, luhur, patut, dan berdaya-guna. Watak bukanlah

sesuatu yang begitu saja ada dan tumbuh dalam diri seseorang, melainkan sesuatu yang dapat

dipelajari dan dibangun seseorang dalam menjalani kehidupan.

Guru mata pelajaran PPKn memiliki peran sentral dalam keikut-sertaannya menjadikan

siswa berpengetahuan dan terampil serta dalam membangun watak dan karakter luhur siswa.

Karena itu, guru PPKn dituntut tidak saja mumpuni dalam pengetahuan dan pandai dalam

menjalankan tugas menyalurkan ilmu pengetahuan, keterampilandan sikap, tetapi juga menjadi

acuan, teladan, fasilitator, dan kreator dalam pembentukan watak dan karakter baik siswa.

Oleh karena itu, ada tuntutan untuk selalu mempergunakan berbagai macam strategi

pembelajaran yang tidak hanya efektif dan efisien dalam menyalurkan ilmu pengetahuan, sikap

dan keterampilan, tetapi juga dapat membangkitkan motivasi untuk belajar serta pembentukan

watak luhur siswa.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu strategi pembelajaran yang

diyakini mampu memberi pengalaman belajar siswa didik untuk mendapatkan pengetahuan,

berpikir kritis dan keterampilan dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah,

bekerjasama dengan sesama, serta membentuk watak dan karakterluhur siswa, sehingga

menjadi warganegara transformatif.

Pentingnya pembelajaran berbasis masalah sebagai salah satu strategi untuk memberi

pengalaman belajar bermakna bagi peserta didik sehingga mampu sehingga menjadi

warganegara transformatif didasarkan pada pernyataan teoritis dan empiris berikut.

Kajian yang dilakukan oleh Stanford Problem Based Learning Initiative, yang

menjelaskan bahwa penggunaan strategi pembelajaran berbasis masalah menjadikan siswa

belajar tentang: (1) problem-solving skills; (2) self-directed learning skills; (3) ability to find and

use appropriate resources: (4) critical thinking; (5) measurable knowledge base; (6) performance

ability; (7) social and ethical skills; (8) self-sufficient and self-motivated; (9) facility with computer;

(10) leadership skills; (11) ability to work on a team; (12) communication skills; (13) proactive

thinking; and (14) congruence with workplace skills.

Ulasan dalam CTL-Speaking of Teaching Newsletter (2001), yang menjelaskan bahwa

penggunaan strategi pembelajaran berbasis masalah is an effective method for improving

student’s problem-solving skills. Students will make strong connections between concepts when

they learn facts and skills by actively working with information rather than by passively receiving

information.

Penelitian yang dilakukan oleh Mergendoller (2006) menegaskan bahwa penggunaan

strategi pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan verbal ability, interest in

economics, preference for group work, and problem-solving efficacy dibandingkan dengan

strategi pembelajaran tradisional (ceramah-diskusi). PBL was differentially effective with students

demonstrating different levels of four aptitudes: verbal ability, interest in economics, preference

261

for group work, and problem-solving efficacy. PBL was more effective than traditional instruction

with students of average verbal ability and below, students who were more interested in learning

economics,and students who were most and least confident in their ability to solve problems.

Newby, et.al (2000) dalam artikelnya menegaskan bahwa keunggulan dari strategi

pembelajaran berbasis masalah: (1) meningkatkan pemahaman dan retensi karena siswa

diwajibkan untuk memecahkan masalah sehari-hari dengan menerapkan teori dan praktek; (2)

melibatkan level belajar yang lebih tinggi; (3) memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk

belajar dari kesalahan, dan (4) membangun tanggung jawab sehingga siswa belajar untuk

berpikir secara bebas. Melalui pembelajaran berbasis masalah siswa mempunyai peluang untuk

praktek pemecahan masalah, penilaian diri, keterampilan berkelompok, berpikir kritis, dan

keterampilan berkomunikasi secara lisan maupun tulisan (Woods, 2000) (Woods & Baley, 2006).

Paparan di atas menegaskan bahwa bila pembelajaran dilaksanakan dengan

menggunakan strategi pembelajaran berbasis masalah maka hasil belajar siswa dalam bentuk

pengetahuan menjadi meningkat, sekaligus mengembangkan keterampilan pemecahan

masalah, berpikir kritis (penalaran), keterampilan intelektual, kolaborasi, belajar mandiri,

komunikasi, meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar siswa, serta menjadikan kegiatan

belajar berlangsung secara aktif dan menyenangkan. Hal tersebut, bilamana diterapkan dalam

pembelajaran PPKn dapat menjadikan peserta didik secara singkat dikatakan sebagai

warganegara transformatif, yaitu warganegara yang memiliki kemampuan untuk menganalisis,

menghadapi masalah, mengambil keputusan, dan melakukan kegiatan/tindakan dalam bidang

sosial, politik, budaya dan ekonomidi lingkungan kehidupannya.

SIMPULANMenjadikan warganegara transformatif, yang berpengetahuan, terampil,memiliki watak

dan karakter luhur yang baik berdasarkan nilai-nilai Pancasila, memiliki kemampaun berpikir

secara kritis, lateral, dan sistemik, terutama dalam konteks pemecahan

masalahkewarganegaraan di Indonesia adalah tujuan utama pembelajaran PPKn.

Agar tujuan pembentukan warganegara seperti tersebut di atas tercapai, dibutuhkan

bukan hanya seperangkat substansi materi pelajaran yang memadai, tetapi juga pilihan strategi

pembelajaran yang tepat serta secara profesional dapat dilakukan guru di kelas, efisien dan

efektif.

Pembelajaran berbasis masalah maka hasil belajar siswa dalam bentuk pengetahuan

menjadi meningkat, sekaligus mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, berpikir kritis 262

(penalaran), keterampilan intelektual, kolaborasi, belajar mandiri, komunikasi, meningkatkan

motivasi dan aktivitas belajar siswa, serta menjadikan kegiatan belajar berlangsung secara aktif

dan menyenangkan.

Daftar RujukanAmador, J.A., Miles, L. & Peters, C.B. 2006. The Practice of Problem-Base Learning, A Guide to

Implementing PBL in the College Classroom. Bolton: Anker Publishing Company, Inc.

Barrows, H. S. 1996. Problem-Based Learning in Medicine and Beyond: A Brief Overview. In L. Wilkerson & H. Gilselaers (eds.). Bringing Problem-Based Learning to Higher Education: Theory and Practice. San Franscisco, CA: Jossey-Bass Inc.

Barrows, H. S. & Tamblyn, R. M. 1980. Problem-Based Learning. New York: Springer.

Boud, D., Feletti. & Grahamme I. 1997. The Challenge of Problem-based Learning (2nd Edition). London: Designs and Potents Act.

BSNP. 2010. Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Center for Teaching and Learning. 2001. Problem-Based Learning. Standford University Newsletter on Teaching. (Online). Winter 2001. 11 (1). www. stanford.edu /.../docs/newsletter/ problem _ based _ learning .pdfwww. stanford.edu /.../ docs/newsletter/ problem _ based _ learning .pdf . diakses 24 Agustus 2012.

Cheong, F. 2008. Using a Problem-Based Learning Approach toTeach an Intelligent Systems Course. Journal of Information Technology Education. Volume 7, 2008. Melbourne: RMIT University. (online). researchbank.rmit.edu.au/view /rmit:2490. diakses 5 Agustus 2011.

Cogan J.J. & Derricott, B.J. 1998. Multidemensional Civic Education, Tokyo: Center for Civic Education.

Hung, W. 2011. Theory to Rality: a Few Issues in Implementing Problem-Based Learning.Education Tech Research Dev. (online). 59: 529-552. DOI 10.1007/s11423-011-9198-1. diakses 19 Agustus 2011.

Jonassen, D.H. 2004. Learning to Solve Problems: an Instructional Design Guide. San Fransisco: Pfeiffer, John Wiley & Sons, Inc.

Karakas, M. 2008. Graduating Reflective Science Teachers Through Problem-Based Learning Instruction. Bulgarian Journal of Science and Education Policy (BJSEP). 2 (1): 59-71. (online). bjsep.org/index.php?page=11&volume_id=1. Diakses 23 Agustus 2012.

Kiley, M., Gerry, M., Peterson, R. & Rogers, T. 2000. Leap to Problem-based Learning. Centre for Learning and Professional Development. The University of Adelaide, Australia. (online). www. slideshare.net /Janelle84/presentation-poul-pp-orl . diakses 23 Agustus 2011.

Lickona, T. 1992. Educating for Character. New York: Bantam Books.

Mergendoller, J.R., Maxwell, N.L. & Bellisimo, Y. 2006. The Effectiveness of Problem-Based Instruction: A Comparative Study of Instructional Methods and Student Characteristics. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning.. 1 (2, 5): 49-69. (online). docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1026&context=ijpbl. Diakses 3 Juli 2011.

Moore, K.D. 2005. Effective Instructional Strategies: From Theory to Practice.London: Sage Publications Inc.

263

Newby, T.J., Stepich, D.A., Lehman, J.D., & Russekk, J.D. 2000. Instructional Technology Teaching and Learning: Designing Instruction, Inttegrating Computers, and Using Media. Mahwah, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Newman, M.J. 2005. Problem-Based Learning: An Instroduction and Overview of the Key Features of the Approach. Journal of Veterinary. JVME 32 (1). 2005. (online). wires.wiley.com/WileyCDA/WiresArticle/wisId-WCS54.html. Diakses 7 September 2012.

Quigley, C. N., Buchanan, Jr. J. H.& Bahmueller, C. F. 1991.Civitas: A Framework for Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education.

Reigeluth C.M. & Chellman, C.A. (Eds). 2009. Instructional Design Theories and Models Volume III. New York and London: Routledge, Taylor and Francis Publishers.

Reigeluth, C.M (Ed). 1999. Instructional Design Theories and Models Volume II, a New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.

Schmidt, H.G. 1993. Foundations of Problem-Based Learning: Some Explanatory Notes. Medical Education.(online). 27 (5): 422–432. doi:10.1111/j.1365-2923.1993.tb00296.x. PMID 8208146.

Torrent,R.R. 2011. The Motivation to Learn Begins with a Problem. Journal International Review of Economics Education.10 (1): 14-28. (online). pirateproxy.net/torrent/7327827/Ultimate_Guide_to_Become_an..diakses 22 Mei 2012.

Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research 5th Edition. Orlando: Harcourt Brace College Publishers.

Winataputra, U.S. 2001. Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pendidikan Demokrasi. Disertasi. Bandung: universitas Pendidikan Indonesia.

Winataputra, U.S. 2005. Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi: Tinjauan Psiko-Pedagogis dan Sosioandragogis. Jakarta: Dijen Pendidikan Tinggi (Bahan SUSCADOS Dikwar).

Winataputra, U.S. 2006. Konsep dan Strategi Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah: Tinjauan Psiko-Pedagogis. Jakarta: Panitia Semiloka Pembudayaan Nilai Pancasila, Dit. Dikdas, Ditjen Mandikdasmen (Makalah).

Wiyono, S. 2012. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: Penerbit Wisnuwardhana Press.

Woods, D.R. 2000. PBL: Decisions for Planning and action: Why? When? Who? Where? What? How?. Hamilton: Mc. Master University. (online). cll.mcmaster.ca/resources/pbl.html. diakses 23 Juli 2012.

Woods, D.R., & Baley, L. 2006. Assessing Student Performance in Problem-Based Learning. Hamilton: Mc. Master University. (online). cll.mcmaster.ca/resources/pbl.html. diakses 23 Juli 2012.

264

REKONSTRUKSI MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI VIA PROJECT NETIZEN

AKU CINTA PRODUK INDONESIA

Mohammad Syaifudin, Nurul Zuriah, Marhan Taufik

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang

[email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Pendidikan karakter bangsa mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan suatu grand desain dan pengembangan model pendidikan karakter rbagai sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa.

Artikel ini berisi hasil penelitian Unggulan Perguruan Tinggi “Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan untuk

265

memperkuat rasa cinta dan bangga akan produk Indonesia (Aku Cinta Produk Indonesia - ACPI)”, dengan mengintegrasikan pendidikan karakter pada Mata Kuliah PKn melalui Research and Development. Tujuan umum penelitian adalah menyusun dan mengembangkan model pendidikan karakter yang dapat memperkuat rasa cinta dan bangga akan produk Indonesia berbasis Tri pilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi. Rancang bangun tersebut dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: a. konsep, b. produk, dan c. ujicoba melalui penelitian tindakan dan quasi eksperimen.

Melalui rancang bangun ini dipaparkan hasil sebagai berikut: (1) Model Pendidikan Karakter yang berbasis Tripilar Pusat Pendidikan melalui Project Netizen ACPI, yang didesain berdasar teori ADDIE; (2) learning outcome produk berupa nilai karater dasar yang dikembangkan dari aspek moral Knowing (Ngerti), Moral Feeling (Ngroso) dan Moral action (Nglakoni); (3) Produk dan Pubikasi hasil rekonstruksi model Pendidikan Karakter yang dikembangkan.

Kata kunci: Rekonstruksi, Pendidikan Karakter, Project Netizen, Aku Cinta Produk Indonesia, Mata Kuliah PKn

A. Pendahuluan

Pendidikan karakter bangsa mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional.

Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan suatu grand desain pendidikan karakter sebagai

bagian dari upaya membangun karakter bangsa. Regulasi pendidikan karakter diatur dalam

(1) U U D 1 9 4 5 A m a n d e m e n , ( 2 ) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (3)

Pencapaian Visi Pembangunan Nasional yang tertuang dalam RPJPN tahun 2005-2025 (4)

Peraturan pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, (5)

Inpres No 1 tahun 2010 dan Permendiknas lainnya sebagai dasar operasionalisasinya. Bagi

suatu bangsa karakter adalah nilai-nilai keutamaan yang melekat pada setiap individu warga

negara dan kemudian mengejawantah sebagai personalitas dan identitas kolektif bangsa.

Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa

merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan

komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Dalam Rencana

Induk (Grand design) Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Kementerian Pendidikan

RI disebutkan bahwa 3 aspek pembentuk karakter luhur adalah: (a) Agama, Pancasila,

UUD 1945 dan UU Sisdiknas, (b) Teori pendidikan, Psikologi, nilai dan sosial budaya,

(c) Pengalaman terbaik dan praktik nyata.

Harkat dan martabat suatu bangsa berkaitan erat dengan pendidikan yang

dialami oleh suatu bangsa itu sendiri. Karena dengan pendidikan suatu bangsa dapat

menentukan karakter, sikap dan perilakunya ketika berhadapan dengan bangsa- bangsa lain di

dunia. Pendidikan sangatlah penting dalam pembangunan suatu bangsa, karena dengan

266

pendidikan suatu bangsa tidak mudah dijajah oleh bangsa lain, dan dengan pendidikanlah

suatu bangsa dapat mencapai kemajuan-kemajuan dan perkembangan-perkembangan yang

dapat membawanya mewujudkan cita-cita bangsa, dan dengan pendidikan pulalah suatu

bangsa dapat mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain di dunia.

Berbagai kemajuan dan pencapaian yang telah diraih bangsa Indonesia, baik itu di

bidang politik, ekonomi, keamanan dan kesejahteraan rakyat setelah kemerdekaan, masih

belum dapat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat, besar,

disegani dan dihormati keberadaannya di tengah-tengah bangsa di dunia (Wibowo, 2014). Hal

ini memberikan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan. Perubahan

yang dapat menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Bangsa yang maju ditentukan

oleh mentalitas yang tangguh, baik individual maupun kolektif dari warga negara Indonesia

sendiri.

Untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia masih memerlukan pandangan-

pandangan yang menuntut perubahan mendasar dari pola pendidikan di Indonesia selama ini.

Pandangan yang saat ini menjadi perhatian banyak pihak adalah revolusi mental yang

disampaikan oleh presiden Joko Widodo. Selanjutnya Suratno (2014) mengatakan pendidikan

karakter menjadi sangat penting karena tiga hal; 1) secara makro, telah terjadi kemerosotan

karakter bangsa ditandai oleh tingginya indeks korupsi, premanisme dan kekerasan; (2)

secara mikro dalam dunia pendidikan juga banyak kasus bullying, tawuran antar pelajar,

kelemahan sistim kurikulum dan proses pembelajaran yang tidak kondusif bagi

pembentukan karakter bangsa; (3) Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden terpilih

sejak kampanye sudah menegaskan perlunya revolusi mental terkait tiga hal utama kedaulatan

politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian dalam budaya.

Pembangunan karakter (character building) sangat penting. Perguruan Tinggi

menjadi agen utama dalam membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi

pekerti, dan mulia. Bangsa Indonesia ingin memiliki peradaban yang unggul dan mulia.

Peradaban tersebut dapat dicapai apabila masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang

baik (good society). Masyarakat idaman seperti ini dapat diwujudkan apabila bangsa

Indonesia memiliki akhlak yang baik, manusia yang bermoral dan beretika baik, serta

manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula.

Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan karakter

manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karakter yang baik, unggul dan mulia. Upaya

yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting

dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental. Melalui 267

pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang dapat menumbuhkembangkan karakter

positif, serta mengubah kebiasaan hidup yang buruk menjadi baik.

Karakter berfungsi sebagai kekuatan mental dan etik yang mendorong suatu bangsa

merealisasikan cita-cita kebangsaannya dan menampilkan keunggulan-keunggulan

komparatif, kompetitif, dan dinamis di antara bangsa-bangsa lain. Berdasarkan fenomena

yang ada dan hasil penelitian sebelumnya terdapat dua hal yang harus mendapat perhatian

secara serius. Pertama, munculnya fenomena menurunnya budi pekerti luhur di kalangan

mahasiswa. Kedua, belum adanya model pendidikan karakter di perguruan tinggi yang

sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya yang dapat membentuk karakter mahasiswa

yang mencintai produk Indonesia dan mendukung kemandirian pangan. Oleh karenanya perlu

dicari dan dirumuskan model pendidikan karakter bangsa untuk mencintai produk Indonesia

dan mendukung kemandirian pangan yang efektif, dan dapat dilaksanakan di lingkungan

perguruan tinggi.

B. Kerangka BerfikirBerdasarkan uraian di muka, sudah saatnya kampus menggalakkan

pendidikan karakter secara kongkret bagi mahasiswanya. Pencapaian intelektualitas

dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman nilai karakter dan

akhlakul kharimah yang bagus (karakter yang baik).Kemampuan manajerial dan sosial

mahasiswa harus dilandasi dengan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa, punya inisiatif dan kreatifitas memiliki sifat-sifat jujur, ikhlas,

beorientasi pengabdian, dan rendah hati yang lahir dari masing-masing individu

untuk menjalin interaksi sesama individu demi terwujudnya integritas bangsa.

Hal ini ditujukan agar mahasiswa tak hanya pintar secara intelektual dan

sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus, serta mempunyai

empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.

Zuchdi (2008:6-8) mengemukakan supaya pendidikan karakter tidak bersifat

indoktrinatif, mahasiswa perlu didorong untuk dapat menemukan alasan-alasan yang

mendasari keputusan moral, melalui peningkatan kemampuan Logical, Gramatical, dan

Retorica. Pengayaan Mata Kuliah (embedded/hidden curriculum) perlu dilakukan agar belajar

tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja melainkan lebih pada aspek learning to

think, reading skill, writing skill, articulate communication skill, wawasan kebangsaan dan

bela negara. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui aktivitas kurikuler, extra dan ko-

kurikuler. Tujuannya untuk mengembangkan kemampuan mengontrol tindakan yang

268

diperlukan agar seseorang dapat benar-benar memahami keputusan moral yang diambilnya,

dapat mengidentifikasi alasan yang baik yang harus diterima dan alasan yang tidak baik

yang harus ditolak atau diubah. Pada akhirnya mahasiswa harus mampu merumuskan

perubahan yang perlu dilakukan.

Pembelajaran mestinya menciptakan setting sosial yang memungkinkan implementasi

pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat.

Selanjutnya, pendidikan karakter/moral/nilai hendaknya difokuskan pada kaitan antara

pemikiran moral (moral thinking) dan tindakan bermoral (moral action). Konsep moralitas

perlu diintegrsasikan dengan pengalaman dalam kehidupan sosial. Pemikiran moral dapat

dikembangkan antara lain dengan dilema moral yang menuntut kemampuan untuk

mengambil keputusan dalam situasi yang sangat dilematis. Tindakan moral yang selaras

dengan pemikiran moral hanya mungkin dicapai melalui pencerdasan emosional dan spiritual

serta pembiasaan. Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif apabila

dilakukan melalui model keteladanan yang dilakukan atas kesadaran sendiri.

Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan di

kampus harus turut serta ambil bagian dalam memberikan keteladanan/contoh

yang baik kepada mahasiswa.

Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh

perilaku jujur, disiplin, kreatif, dan kritis kepada mahasiswa yunior. Dengan

lingkungan yang kondusif, penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima

dan diteladani mahasiswa baru. Dengan membiasakan diri menghindari plagiasi

dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-tugas kuliah secara jujur,

berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya. Satu hal yang

merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui integrasi

pendidikan karakter tersebut ke dalam Mata Kuliah yang diajarkan.

Untuk mewujudkan pendidikan karakter bagi mahasiswa, perlu diintegrasikan

dalam pembelajaran pada setiap Mata Kuliah. Salah satu cara yang efektif dengan mengubah

atau menyusun bahan ajar atau modul dengan mengembangkan model pendidikan karakter

dengan norma atau nilai-nilai karakter dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan

demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi

menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan mahasiswa sehari-hari

di masyarakat. Salah satunya dengan mengembangkan model pembelajaran terintegrasi

karakter ke dalam Mata Kuliah PKn. Untuk memberikan gambaran yang lebih inci dan jelas

berikut kerangka pemikiran pengembangan Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter pada 269

mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, sebagaimana digambarkan

pada Gambar 1 Landasan Pemikiran sebagai berikut.

Gambar 1. Landasan Pemikiran Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Project Netizen ACPI Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan

270

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

C. Metode Rekonstruksi Pengembangan Model Pendikar yang Diusulkan

Rekonstruksi model pendidikn Karakter dilakukan dengan 3 (tiga) Tahap, yaitu; 1) tahap

pengembangan konsep model, 2) tahap pengembangan produk model, dan 3) tahap Ujicoba

model. Gambaran alur ketiga tahap pengembangan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

C.1 Pengembangan Desain Model

Pengembangan desain model diawali dengan pengembangan konsep model. Selanjutnya

dilakukan pengembangan produk, dan diakhiri uji coba produk (lihat Gambar 4 dan 5). Model

konseptual bersifat analitis yang memberikan atau menjelaskan komponen-komponen produk

yang akan dikembangkan dan keterkaitan antarkomponennya. Sebuah model adalah

representasi atau perwujudan visual atau verbal (kata-kata) dari suatu proses

rancangan pembelajaran yang digunakan untuk mengarahkan dan melengkapi rancangan dalam

berbagai latar pendidikan dan pelatihan.

Model konseptual memperlihatkan hubungan antarkonsep yang satu dengan yang lain,

yang dalam hal ini konsep-konsep itu tidak memperlihatkan urutan secara bertahap. Konsep atau

komponen yang satu tidak lebih awal dari konsep atau komponen yang lain. Urutan boleh

diawali dari mana saja. Model konseptual lebih bersifat konstruktivistik, artinya urutan bersifat

terbuka, berulang atau rekursif dan fleksibel.

C.2 Desain dan Prosedur Pengembangan KonsepPada tahapan ini akan disampaikan sifat-sifat komponen pada setiap tahapan dalam

pengembangan, penjelasan secara analitis fungsi komponen dalam setiap tahapan

pengembangan produk, dan penjelasan hubungan antar komponen dalam sistem. Dalam

memahami model desain sistem pembelajaran perlu diketahui dan dikelompokkan model

desain system pembelajaran.

Menurut Gustafson dan Branch (2002) model desain sistem pembelajaran dapat

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pembagian klasifikasi ini didasarkan pada orientasi

penggunaan model, yaitu; 1) Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi kelas

(Classrooms oriented model), 2) Model desain pembelajaran yang berorientasi produk (Product

oriented model), dan 3) Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi sistem (System

oriented model).

Model desain sistem pembelajaran yang berorientasi pada produk, berdasarkan pada

asumsi bahwa desain model pendidikan karakter Project Netizen ACPI berbasis tripilar pusat

271

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

pendidikan sebagai penguatan Mata Kuliah PKn yang dikembangkan dalam kurun waktu

tertentu. Model desain pembelajaran ini menerapkan proses analisis kebutuhan yang sangat ketat.

Para pengguna produk model pendidikan karakter yang dihasilkan melalui penerapan

desain sistem pembelajaran pada model ini biasanya tidak memiliki kontak

langsung dengan pengembang programnya. Kontak langsung antara pengguna program dan

pengembang program hanya terjadi pada saat proses evaluasi terhadap prototipe program.

Model pendidikan karakter melalui project netizen ACPI berbasis Tripilar Pusat

Pendidikan ini dilandasi dengan empat asumsi pokok, yaitu: 1) Produk model pendidikan

karakter di Perguruan Tinggi memang sangat diperlukan, 2) Produk model pendidikan karakter

baru ini perlu diproduksi, 3) Produk model pendidikan karakter memerlukan proses uji coba

dan revisi, 4) Produk model pendidikan karakter dapat digunakan walaupun hanya dengan

bimbingan dari fasilitator.

Desain program pengembangan ini memiliki 6 (enam) komponen utama, sesuai teori yang

dikembangan oleh Richey dan Klein (2007; 3). Keenam komponen ini mengarahkan fokusnya

pada elemen-elemen yang berbeda dari usaha desain dan pengembangan, yaitu: (1)

Mahasiswa dan bagaimana mereka belajar, (2) Konteks tempat belajar dan performasi yang

muncul, (3) Hakikat isi pembelajaran dan bagaimana ia diurutkan, (4) Strategi dan aktivitas

pembelajaran yang dilaksanakan, (5) Media dan sistem penyampaian yang digunakan, dan (6)

Perancang itu sendiri dan proses yang mereka ikuti. Desain Pengembangan Produk sebagai

berikut.

Gambar 2a. Desain Pengembangan Produk PRONET ACPI

272

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Gambar 2b. Desain Pengembangan Produk PRONET ACPI

273

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Gambar 2c. Desain Pengembangan Produk PRONET ACPI

C.3 Setting KegiatanSetting kegiatan dimulai dengan mengidentifikasi jumlah karekteristik lembaga, aspek-aspek

pendidikan karakter bangsa yang gayut dan telah dikembangkan di lembaga tersebut, serta

menetapkan kompetensi yang akan dipelajari dengan memberi label pada karakter tersebut. Proses

pembelajaran di-setting secara terintegrasi antara pembelajaran teori Pendidikan Kewarganegaraan

dan praktik pembuatan project netizen AKU CINTA PRODUK INDONESIA.

C.4 PartisipanPartisipan pada tahap pengembangan ini adalah ahli (pakar) untuk validasi internal dan praktisi

(dosen) Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Validator ahli desain/teknologi pendidikan, ahli

isi/konten dan bahasa dengan persyaratan; 1) Minimal berpendidikan S3, dan 2) ahli di bidangnya.

Sedangkan praktisi adalah dosen dari PT yang dipilih. Penilaian para ahli/praktisi terhadap perangkat

pembelajaran mencakup: format, bahasa, ilustrasi dan isi. Berdasarkan masukan dari para ahli, materi

pembelajaran direvisi untuk membuatnya lebih tepat, efektif, mudah digunakan, dan memiliki

kualitas teknik yang tinggi. Diagram alirnya sebagaimana gambar 3 berikut.

Gambar 3: Alur Validasi Ahli & Praktisi Konsep Model

274

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Pada tahap expert review, konsep produk yang telah didesain dicermati, dinilai dan dievaluasi

oleh pakar. Pakar tersebut menelaah komponen, keterkaitan antar komponen, dan bahasa dari

konsep model. Saran-saran pakar digunakan untuk merevisi konsep yang dikembangkan. Pada

tahap ini, tanggapan dan saran dari pakar (validator) tentang konsep desain model yang telah dibuat

ditulis pada lembar validasi sebagai bahan merevisi dan menyatakan bahwa desain ini telah valid atau

tidak.

Responden para tahap pengembangan konsep model adalah ahli desain selaku validator

internal yang akan menvalidasi hasil pengembangan konsep model pendidikan karakter.

Responden berikutnya adalah praktisi sebagai validator eksternal yaitu dosen Mata Kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pengguna produk. Rangkaian kegiatan validasi yang

dilakukan oleh ahli dan praktisi dapat dilihat pada Gambar 3 di atas.

C.5 Instrumen PengembanganPada tahap pengembangan konsep model, instrumennya adalah peneliti sendiri, angket

(checklist) dan pedoman wawancara. Angket (cheklist) digunakan untuk memperoleh catatan dari

ahli yang menvalidasi konsep model (validasi internal) dan dari dosen pengguna (validasi

eksternal) sedangkan pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan dengan pihak

yang terkait tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan

tujuan penelitian tetapi juga berdasarkan teori yang berkaitan dengan model pendidikan karakter.

Selain itu pedoman wawancara sebagai bahan dalam menulis hasil penelitian karena jika peneliti

hanya mengandalkan kemampuan ingatan yang sangat terbatas peneliti khawatir data yang sudah

diperoleh ada yang lupa. Penggunaan model wawancara tentu saja disesuaikan dengan keberadaan

data-data di lapangan yang diperlukan penulis. Untuk wawancara terstruktur, lebih dulu disiapkan

seperangkat pertanyaan dengan mengklasifikasikan bentuk- bentuk pertanyaan. Pada tahap

pengembangan konsep model semua data bersifat kualitatif, yang mendiskripsikan keadaan atau

fenomena yang sedang terjadi.

C.6 Pengembangan ProdukProduk yang dikembangkan berupa model pendidikan karakter melalui Project Netizen ACPI

melalui penguatan pendidikan karakter berbasis tripilar pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan

masyarakat) pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi. Komponen-

komponen model yang dikembangkan difokuskan pada strategi perkuliahan atau strategi

penyampaian.

275

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter dan Pengembangan model pembelajaran yang baik

memang seyogyanya dilaksanakan melalui suatu penelitian pengembangan atau research and

depelovment (R & D). Langkah tersebut tepat untuk mencari solusi dalam memperbaiki

praktik perkuliahan. R & D merupakan perpaduan penelitian dasar (basic research) dengan

penelitian terapan (applied research).

Keduanya bertujuan untuk mengembangkan format pembelajaran, mengevaluasi diri, dan

mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan. Selama ini banyak dosen di perguruan

tinggi yang menyusun model pembelajaran namun tidak melalui rangkaian penelitian, sehingga

model yang disusun tidak memiliki landasan berpijak yang kuat, baik dari segi teoretis maupun

praktis.

Kekuatan pengembangan model pembelajaran melalui R & D terletak pada aspek metodenya, yakni

adanya ujicoba sehingga produk dapat diterima dari segi ketepatan, kecocokan, kejelasan, keakuratan,

up to date, dan menciptakan kreativitas dari segi isi, desain, dan bahasanya. Penyusunan model

pembelajaran melalui R & D akan mampu melahirkan model pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan

Kewarganegaraan yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu terjadi karena model integrasi Pendidikan

Karakter dalam Mata Kuliah PKn ini merupakan hasil penelitian dengan mempertimbangkan data-

data empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, serta pertimbangan praktis perkuliahan yang lebih

baik, dengan tampilan yang efektif, efisien, menarik/memberi motivasi, dapat dipergunakan, dan

dapat diterima keberadaannya. Grand desain Pendidikan Karakter Berbasis Tripusat Pendidikan di

Perguruan Tinggi dapat digambarkan sebagaimana dalam gambar 4 berikut.

Gambar 4: Grand Desain Pendidikan Karakter Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di PerguruanTinggi

276

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

C.7 Ujicoba ProdukUjicoba produk dimaksudkan untuk mencapai kriteria produk model pembelajaran

yang sahih. Ujicoba dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu a) penelitian tindakan (action

research) dan eksperimen (quasi eksperimen). Penelitian tindakan bertujuan untuk mengetahui

apakah prosedur bahan ajar sudah memenuhi syarat atau belum sedangkan eksperimen yang

dilakukan adalah quasi eksperimen atau eksperimen semu yang bertujuan untuk menguji

efektifitas dan dan kebermanfaatan model. Bagan alur (flowchart) ujicoba produk terlihat

dalam gambar 5 sebagai berikut:

Gambar 5: Alur (flowchart) Ujicoba Produk

C.8 Produk Dan Pubikasi Hasil Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Project

Netizen ACPI yang Dikembangkan

Sebagai produk dari Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Project Netizen Aku

Cinta Produk Indonesia maka hasil pengembangannya diwujudkan dalam sebuah karya

mahasiswa yang berupa tugas kelompok pembuatan project netizen yang

pengembangannya diambilkan dari konsep proyek kewarganegaraan atau project citizen.

Karakteristik produk “Model Pendidikan Karakter Proyek Netizen Aku Cinta Produk

Indonesia dapat digambarkan dalam skema / gambar 6 berikut.

277

MODEL HIPOTETIKRekonstruk

si Model Pendikar Berbasis Ttripilar

Pendidikan

IMPLEMENTASI MODEL

1.Penelitian Tindakan (Action research)

2.Penelitian Eksperimen (Eksperimen one group pre &

post test)

EVALUASI DAN REVISI

MODEL

FINAL PENDIKAR BERBASIS TRIPILAR

PUSAT PENDIDI-

KAN

IMPLEMENTASI DAN ESKUSI

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Gambar 6: Karakteristik Produk “Model Pendikar Pronet ACPI

Sedangkan bentuk viral dari project netizen aku cinta produk Indonesia dapat dilihat

dan diakses langsung oleh mahasiswa dan semua pihak yang berkepentingan termasuk

orang tua dan dosen dari internet yaitu melalui You Tube, dan nanti nya akan dibuatkan

sebuah rumah (Webb blog. Pronet Aku Cinta Produk Indonesia) . Disamping itu kedepan

juga dapat dikembangkan melalui Media Sosial yang lain, seperti Whats App (WA),

Instagram, Telegram maupun Vlog (Video blog).

D. PenutupBerdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa Rekonstruksi model pendidikan

karakter (model pembelajaran) pada Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan hendaknya

melalui rangkaian penelitian pengembangan sehingga mampu melahirkan model pembelajaran

yang berbeda dari sebelumnya. Hal itu terjadi karena penyusunan model tersebut telah

mempertimbangkan data-data empiris yang dapat dipertanggungjawabkan, serta pertimbangan

praktis perkuliahan yang lebih baik, dengan tampilan yang efektif, efisien, menarik/memberi

motivasi, dapat dipergunakan, dan dapat diterima keberadaannya.

Penelitian tersebut akan lebih baik lagi jika dilaksanakan oleh institusi yang memiliki

kewenangan dan kapabilitas yang memadai. Asosiasi Pendidik Pancasila dan

278

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Kewarganegaraan Indonesia misalnya diharapkan dapat menjadi salah satu institusi pendukung

dan pelaksana penelitian ini, agar perguruan tinggi segera melaksanakan mata kuliah PKn yang

sesuai dengan capaian pembelajaran atau learning outcomes (LO) yang diharapkan pemerintah

dan masyarakat.

E. Referensi

Bakker, A., 2004. “Design Research In Statistics Education: On Symbolizing And Computer Tools”. Desertasi Doktor. Utrech University : Tidak diterbitkan.

Banathy, B., & Jenlink, P. M., 2004. Systems Inquiry and Its Application In Education. In D. H. Jonassen (Ed.), Handbook of research for educational communications and technology (2nd edn) (pp. 74–92). New York: Simon & Schuster Macmillan.

Belferik, M., 2013. “Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045”. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2016

Bruner, J. S., 2006. In Search Of Pedagogy. New York: Routledge.

Dick, W., Carey, L., & Carey, J.O., 2000. The Systematic Design Of Introction (Fifth Edition). New York: Longman

Doni, K.A., 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Cet. I.

Gagne, R. M., Wager, W. W., Goals, K. C., & Keller, J. M., 2005. Principles of instructional Design. (5th edn). CA: Wadsworth/Thomson Learning, Publishers.

Gustafson, K. L., & Branch, R. M., 2002. Surveyof Instructional Development Models (4•h ed.). Syracuse University, Syracuse, NY: ERIC Clearinghouse on Information & Technology.

Kemendiknas, 2010. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014. Jakarta: Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas.

Kemendiknas, 2011. Panduan Pendidikan Karakter. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Kebukuan Kemendiknas

Kirschenbaum, H., 2000. ”From Values Clarification to Character Education: A Personal Journey.” The Journal of Humanistic Counseling, Education and Development. Vol. 39, No. 1, September, pp. 4-20

Megawangi, R., 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta: BP Migas Energy.

Molenda, M. In search of the ellusive ADDIE model. Pervormance improvement, 42 (5), 34-36. Submitted for publication in A. Kovalchick & K. Dawson, Ed’s,

Educational Technologi: An Encyclopedia. Copyright by ABC-Clio, Santa Barbara, CA, 2003. ( http : / / w w w.indi a n. e d u ) diak s e s p a da 25 Desesember 2015

Morrison, G. R., Ross, S. M., & Kemp, J.E. (2007). Designing effective instruction (5'h ed.). Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.

Morrison, G.R., Ross, S.M., & Kemp, J.E, 2001. Designing Effective Instruction (Third Edition). New York: John & Sons, Inc

279

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Plomp, 2007. “Educational Design Research: An Introduction”, dalam An Introduction to Educational Research. Enschede, Netherland: National Institute for Curriculum Development

Pusat Kurikulum Depdiknas, 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta: Kemendiknas

Raiser, AR & John Depsey, Trend and Issue in Instructional Design and Technology (new jersey : Pearson Education. Inc )

Richey, R.C., & Klein, J.D., 2007. Design and Development Research. New York: Routledge

Robert Maribe Branch: Intructional Design The Addie Aproach. http :/ / w w w . z u l ti g a l tp.c o m ( d i a k s e s p a da 30 April 2016)

Ruyadi, Y., 2010. “Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal (Penelitian terhadap Masyarakat Adat Kampung Benda Kerep Cirebon Provinsi Jawa Barat untuk Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah)”. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI Bandung, Indonesia, 8-10 November 2010.

Samani, M. dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sudrajat, Akhmad. 2010. “Karakter” (dalam h tt p :// ak h mad s u d r a j a t . wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di smp) diakses 20 Mei 2015.

Suharjana. 2011. Model Pengembangan Karakter melalui Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Yogyakarta: UNY Press.

Suparman, A., 2012. Desain Instruksional Moderen: Panduan Para Pengajar & Inovator Pendidikan. Jakarta: Penerbit Erlangga

Suyanto, 2012. “Urgensi Pendidikan Karakter”, Makalah. h t tp :/ / w w w . ma n d i kd asm e n . d e p di k n as. go . i d/ w e b/ p a g e s /u rg e n s i . ht ml (diunduh tanggal 13 September 2015).

Syaifudin. M, Zuriah. N, Taufik, M. 2015. Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi – Laporan Penelitian PUPT Tahap I Tahun 2015. Ditbinlitabmas Dikti.

Syaifudin. M, Zuriah. N, Taufik, M. 2016. Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi – Laporan Penelitian PUPT Tahap II Tahun 2016. Ditbinlitabmas Dikti.

Syaifudin. M, Zuriah. N, Taufik, M. 2017. Rekonstruksi Model Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Tripilar Pusat Pendidikan di Perguruan Tinggi – Laporan Penelitian PUPT Tahap III Tahun 2017. Ditbinlitabmas Dikti.

Wibowo, Agus. 2014. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi ; Membangun

Karakter Ideal Mahasiswa di Perguruan Tinggi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

280

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Tafsir, A h m a d , 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya

Winarni, S., 2013. “Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Perkuliahan”. Jurnal Pendidikan Karakter, FIK Universitas Negeri Yogyakarta, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013.

Zuchdi, D. 2013. Pendidikan Karakter: Konsep Dasar dan Implementasi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.

Zuriah, Nurul. 2015. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan: Menggagas Platform Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Cetakan Kelima. Jakarta: Bumi Aksara Group.

Zuriah, Nurul. 2017. Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai Budi Pekerti dalam Penguatan Pendidikan Karakter sebagai Perwujudan Nawacita dan Gerakan Nasional Revolusi Mental Masyarakat Indonesia. Makalah disajikan dalam acara Diskusi Sosialisasi Budipekerti kepada Masyarakat Indonesia, di Kantor Senawangi, TMII Jakarta, Rabu - 15 Maret 2017.

MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI KEWARGANEGARAAN TRANSFORMATIF DI SEKOLAH MELALUI PENDEKATAN INTEGRASI

HarmantoProgram Studi PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

[email protected]

Abstrak

281

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Sekolah adalah tempat menyemaikan sikap dan perilaku peserta didik (young citizen) ke arah yang sesuai dengan tata nilai yang berlaku dalam keadaban transformatif berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa. Sikap dan perilaku yang berbasis nilai-nilai kewarganegaraan transformatif menjadi sangat penting khususnya di Indonesia yang multikutur. Kewarganegaraan transformatif dalam masyarakat multikultural di Indonesia perlu dibangun untuk mencapai masyarakat madani. Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui pendidikan formal. Pengembangan nilai-nilai warga negara transformatif di sekolah bukanlah pekerjaan yang mudah. Memerlukan perencanaan, pemahaman, wadah, dan isi yang berbasis kontekstual yang menyatu dalam perikehidupan di sekolah. Pengembangan nilai-nilai transformatif di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan pola yang berorientasi pada pendidikan nilai dan perilaku, berjenjang dan berkesinambungan, sistematis, terpadu, dan terstruktur. Pola yang dikembangkan dapat diitegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, budaya sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler, sehingga tidak diperlukan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Muara akhirnya adalah tertanamnya nilai-nilai warga negara transformatif bagi warga sekolah, tumbuhnya kebiasaan perilaku nilai-nilai bagi warga negara transformatif warga sekolah, dan berkembangnya kreativitas warga sekolah dalam memasyarakatkan dan membudayakan perilaku nilai-nilai warga negara transformatif.

Kata Kunci: Nilai-Nilai Warga Negara Transformatif, Pendidikan Formal, Pendekatan Integrasi

PENDAHULUAN

Kewarganegaraan transformatif dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam

kehidupan suatu bangsa yang multikultur. Fokus kewarganegaraan transformatif dalam

masyarakat multikultural seperti di Indonesia perlu dibangun untuk mencapai masyarakat madani.

Dalam pandangan Azra (2002:4), haruslah menjalin hubungan yang lebih kooperatif daripada

konflik. Masyarakat madani mengandung makna dan tujuan untuk a better ordering of society,

bukan penghadapan oposisional antara state dengan society. Istilah ”masyarakat” madani

menunjuk pada sebuah masyarakat yang ideal, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki

peradaban maju, yang didasarkan pada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara

kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat mendorong

upaya serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni maupun pelaksanaan pemerintahan

agar mengikuti undang-undang dan bukan mengikuti nafsu atau keinginan individu (Rosyada,

2000: 238). Sementara menurut Lee (2000:9-10) bahwa focus of transformative citizenship is a

concern for reconstructing society by developing a critical understanding of and engagement with

social issues and institutions. Orienting this understanding and engagement are concerns for

overcoming relations of domination and promoting a more just and equitable distribution of

society's benefits. Transformative citizenship does not necessarily entail the denial of personal

interests, goals, or preferences. It does involve the linking of one's private life and personal

experiences with the social, communal, or public realm. Pandangan yang mirip dipaparkan oleh

Raskin (1986) bahwa interconnection of these two realms, "In its best sense, citizenship...allows

the person to fulfill his or her natural abilities in social, economic, and political benefit with 282

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

others" (pp. 296-297). This type of citizenship is one "in which all members of the nation seek to

work out individual destinies and common projects, with the latter taking precedence where there

is a contradiction between the two. Transformative citizenship requires, especially in the modern

world, a civic education that emphasizes the interdependence of human beings (Lee, 2000:10).

Hal ini menunjukkan bahwa kewarganegaraan transformative merupakan karakteristik warga

negara yang baik.

Kompetensi kewarganegaraan yang berupa pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan

yang mendukung “menjadi warga negara yang partisipatif dan bertanggung jawab dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara” (Komalasari dan Budimansyah, 2008:83). Hal ini

sepemahaman dengan pandangan Bronson (1998: 8-9) yang memberikan penegasan bahwa tujuan

PKn adalah “berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan

masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional”. Agar dapat berpartisipasi secara maksimal

diperlukan adanya kompetensi kewarganegaraan yaitu: “(1) penguasaan terhadap pengetahuan

dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3)

pengembangan sikap dan mental tertentu (Komalasari dan Budimansyah, 2008:76), (4) komitmen

yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi konstitusional. The National

Standards for Civivs and Government (CICED, 1999:62) merumuskan tentang aspek-aspek

kompetensi tersebut mencakup “pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan

kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic dispositions)”.

Untuk itu maka perlu kiranya nilai-nilai kewarganegaraan transformative perlu

dikembangkan dan dibangun dalam pendidikan formal (sekolah). Dalam konteks penyadaran

publik, lembaga pendidikan formal (sekolah) mempunyai tanggung jawab moral yang besar

dalam rangka menumbuhkembangkan semangat antikorupsi, karena “sekolah adalah proses

pembudayaan” (Hassan, 2004:10). Pendidikan formal bisa menjadi lading untuk menyuburkan

pola pikir, sikap, dan perilaku warga negara transformatif karena sekolah merupakan lingkungan

kedua bagi anak dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Sebagaimana pendapat

Lickona (1992) bahwa penanaman karakter yang baik diperlukan tiga komponen yaitu moral

knowing, moral feeling, dan moral action. Caranya, sekolah memberikan nuansa, atmosfer, dan

habituasi yang mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai dan etika yang hendak

ditanamkan, termasuk perilaku yang berbasis pada transformatif.

Nilai-nilai kewarganegaraan transformati yang dapat dikembangkan di sekolah antara lain

jujur, disiplin, bertanggung jawab, adil dalam kehidupan sehari-hari, toleran, menghormati

pandangan orang lain yang berbeda, respek, dan lain-lain. memiliki semangat dan komitmen

kewarganegaraan transformatif yang kuat.Berperilaku terbuka, tanggung jawab dan menjunjung 283

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

tinggi kepentingan umum.Berperilaku jujur pada diri sendiri dan orang lain dalam melakukan

transaksi. Berperilaku hanya mau menerima sesuatu yang memang menjadi hak atau miliknya

atau tidak mau mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

PEMBAHASAN

Pendidikan Kewarganegaraan Transformatif (PKT) di sekolah perlu menggunakan prinsip

pendidikan nilai dan perilaku yang menekankan pada aktifitas yang dapat mendorong proses

internalisasi nilai, pembentukan sikap, dan pembiasaan perilaku. Dengan demikian orientasi PKT

bukan pada penguasaan pengetahuan tentang konsep warga negara transformative secara teoritik

dan normatif. PKT dimaksudkan sebagai pendidikan watak dan karakter yang bertujuan untuk

membentuk pribadi-pribadi yang mempunyai perilaku terpuji yang dapat mendukung perilaku

yang sarat dengan nilai-nilai transformatif. PKT di Sekolah dilaksanakan mulai dari jenjang

Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsnawiyah

(SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan

(SMA/MA/SMK). Penanaman nilai-nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif pada

jenjang SD/MI akan terus berlanjut secara berkesinambungan pada jenjang SMP/MTs, kemudian

terus berlanjut pada jenjang SMA/MA/SMK. Dengan demikian akan terjadi pendalaman dan

perluasan yang berbeda pada setiap jenjang terhadap suatu nilai dan perilaku kewarganegaraan

transformatif tertentu. Hal ini berarti meskipun nilai dan perilaku Kewarganegaraan transformatif

yang hendak ditanamkan pada setiap jenjang sama, tetapi kedalaman dan keluasannya berbeda

antar jenjang, disamping memang tidak dapat dihindari adanya pengulangan pada setiap jenjang.

PKT di Sekolah adalah bagian dari pembelajaran yang dilaksanakan secara terencana dan

tertata yang melibatkan semua unsur sekolah, baik siswa, guru, kepala sekolah, maupun warga

sekolah lainnya. Disamping itu juga dikembangkan melalui berbagai kegiatan pembelajaran

secara terpadu, baik pembelajaran di kelas, pembelajaran dalam kegiatan-kegiatan kesiswaan di

luar kelas, maupun pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan perilaku.

Pendekatan yang digunakan dalam PKT di Sekolah adalah terintegrasi dengan mata

pelajaran, melalui kegiatan kesiswaan, dan melaui pembiasaan. PKT di Sekolah dilaksanakan

dengan mengintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran. Misalnya mata pelajaran yang

paling relevan, yaitu Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn), dan Bahasa Indonesia (BI). Pendekatan ini dipilih berdasarkan

beberapa pertimbangan, yaitu:

284

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

a. Pada prinsipnya dalam setiap matapelajaran sudah mengandung muatan nilai dan perilaku

Kewarganegaraan transformatif dengan kadar tertentu yang berbeda, sehingga tinggal

memberikan pendalaman dan perluasan.

b. Dalam setiap pembelajaran dapat dirancang dengan menggunakan metode, media, dan

sumber belajar yang mengandung muatan nilai dan perilaku Kewarganegaraan transformatif

tertentu.

c. Dengan pendekatan integratif tidak akan mengganggu proses pembelajaran di kelas, bahkan

akan membuat proses pembelajaran semakin aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

d. Dengan pendekatan integrasi tidak akan menambah beban materi dan waktu belajar siswa

dan guru, yang selama ini dipandang sudah cukup padat.

Sementara PKT yang dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan kesiswaan seperti melalui

Majalah Dinding, Koperasi Siswa, Peringatan Hari-hari Besar Nasional dan Keagamaan, kegiatan

OSIS, Pramuka, Olahraga, dan sebagainya. Untuk itu maka pendekatan ini dipilih didasarkan atas

pertimbangan:

a. Kegiatan kesiswaan menuntut adanya pelaksanaan yang didasarkan atas nilai dan perilaku

tertentu yang relevan dengan nilai dan perilaku PKT, sehingga dirancang dengan baik dalam

kegiatan kesiswaan akan secara otomatis dapat dikembangkan nilai-nilai dan perilaku

kewarganegaraan transformatif.

b. Kegiatan kesiswaan akan memberikan pengalaman secara langsung kepada siswa untuk

melakukan penghayatan dan pengamalan terhadap nilai, sikap, dan perilaku hidup sehari-hari.

Sementara itu pengalaman adalah proses belajar yang paling baik, sehingga melalui kegiatan

kesiswaan terjadi proses internalisasi nilai dan tumbuhnya perilaku kewarganegaraan

transformatif akan dapat terjadi secara lebih efektif.

c. Kegiatan kesiswaan akan memberikan pengalaman kepada siswa untuk belajar dengan

berbagai sumber, selain guru dan pihak lain dari luar sekolah terutama dengan teman sejawat

sesama siswa. Belajar melalui teman sejawat sesama siswa diyakini lebih efektif, karena

terjadi dalam suasana kesetaraan dan keleluasaan. Pandangan tentang nilai tertentu dan

keputusan sikap yang diambil secara leluasa dalam suasana kesetaraan tanpa tekanan akan

tertanam lebih kuat dan mendalam.

PKT di Sekolah dikembangkan melalui pembiasaan perilaku yang dapat dikemas dalam

berbagai kegiatan dan/atau penciptaan kebiasaan perilaku tertentu. Pembiasaan perilaku ini

memerlukan kreativitas dari warga sekolah untuk membuat atmosfir yang bisa mendorong

tumbuhnya budaya kewarganegaraan transformatif di sekolah. Untuk itu diperlukan keteladanan,

285

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

kebersamaan, dan komitmen dari semua warga sekolah. Pendekatan ini dipilih berdasarkan

beberapa pertimbangan, yaitu:

a. Pembiasaan perilaku akan dapat menciptakan lingkungan sosial sekolah yang kondusif.

Sedang lingkungan sosial yang kondusif di sekolah sangat mempengaruhi terhadap

perkembangan psikhis, pola pikir, dan kebiasaan dalam menumbuhkan budaya perilaku

Kewarganegaraan transformatif.

b. Pembiasaan perilaku akan melibatkan semua unsur sekolah secara keseluruhan dan simultan,

sehingga dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama kepada semua warga sekolah

terhadap pelaksanaan PKT.

c. Pembiasaan perilaku akan mendukung proses internalisasi nilai dan tumbuhnya perilaku

kewarganegaraan transformatif berjalan secara lebih efektif. Pembiasaan akan menciptakan

otomatisasi perilaku, sehingga nilai dan sikap Kewarganegaraan transformatif dapat lebih

melekat pada karakter dan pribadi waga sekolah.

Proses pembiasaan perilaku Kewarganegaraan transformatif memerlukan adanya

komitmen yang kuat dan tahan lama. Hal ini berarti perlu membangun komitmen secara terus

menerus dengan berkelanjutan. Upaya membangun komitmen ini bisa dilakukan dengan cara

membacakan naskah “Komitmen Kewarganegaraan transformatif” pada setiap kegiatan upacara,

baik upacara setiap hari Senin maupun upacara pada hari-hari besar nasional. Pembacaan naskah

“Komitmen Kewarganegaraan Transformatif” bisa dilakukan oleh salah satu siswa untuk

kemudian ditirukan oleh semua peserta upacara.

Jika PKT hendak diintegrasikan ke dalam mata pelajaran tertentu langkah awal yang

perlu dilakukan adalah dengan melakukan analisis kurikulum terhadap mata pelajaran tertentu.

Analisis itu setidaknya pada Komptensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD). Identifikasi

dilakukan untuk menemukan sejumlah KI dan KD yang ada dalam mata pelajaran, misalnya

dalam Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan

Bahasa Indonesia yang mengandung muatan Nilai dan Perilaku Kewarganegaraan Transformatif.

Identifikasi KI dan KD ketiga mata pelajaran ini dilakukan terhadap semua jenjang sekolah, yaitu

SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Identifikasi ini akan menghasilkan sejumlah KI dan KD

tertentu yang mengandung muatan Nilai dan Perilaku kewarganegaraan transformatif. Hasilnya

ada nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif tertentu yang terkandung dalam sejumlah

KI dan KD pada ketiga mata pelajaran tersebut di semua jenjang sekolah dan ada yang hanya

terkandung dalam sejumlah KI dan KD pada satu atau dua mata pelajaran di salah satu atau dua

jenjang sekolah.

286

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Pada prinsipnya strategi integrasi bisa dilakukan melalui pengembangan materi, metode,

media, dan sumber belajar. Integrasi melalui pengembangan materi terutama dilakukan terhadap

mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Kewargenagaraan yang memang

sebagian materinya mengandung muatan nilai dan perilaku Kewarganegaraan transformatif.

Sedangkan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pengintegrasian lebih diutamakan melalui

pengembangan metode, media, dan sumber belajar. Integrasi melalui pengembangan metode,

media, dan sumber belajar juga harus dilakukan untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan

Pendidikan Kewarganegaraan.

Integrasi melalui pengembangan materi dilakukan dengan memberikan penonjolan,

penajaman, pendalaman dan atau perluasan materi pembelajaran yang terkait dengan nilai dan

perilaku kewarganegaraan transformatif tertentu sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual

siswa yang ada pada setiap jenjang sekolah. Dengan demikian suatu nilai dan perilaku

kewarganegaraan transformatif tertentu akan dikembangkan secara berbeda pada jenjang SD/MI,

SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK. Meskipun dikembangkan secara berbeda, namun tetap

berkesinambungan dan berkelanjutan.

Integrasi melalui pengembangan metode dilakukan dengan memilih dan menggunakan

metode pembelajaran yang bisa mendorong terjadinya internalisasi nilai dan tumbuhnya sikap

dan perilaku Kewarganegaraan transformatif, seperti jujur, disiplin, adil, tanggung jawab, dan

sebagainya. Beberapa metode seperti diskusi, bermain peran, demonstrasi, simulasi, curah

pendapat, dan sebagainya perlu didesain dengan skenario yang dapat mendorong terjadinya

proses internalisasi nilai dan tumbuhnya sikap dan perilaku kewarganegaraan transformatif

tertentu.

Integrasi melalui media dan sumber belajar dengan memilih penggunaan media dan

sumber belajar yang mengandung muatan nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif

tertentu dilakukan baik untuk materi pembelajaran yang secara langsung mengandung muatan

nilai dan perilaku kewarganegaraan transformatif dimaksud maupun tidak. Beberapa media dan

sumber belajar tersebut diantaranya adalah gambar, foto, video, berita media massa, puisi, sajak,

cerpen, prosa, pantun, dan sejenisnya yang berkaitan dengan PKT.

Penciptaan atmosfir kewarganegaraan transformatif di sekolah juga dapat dilakukan

dengan pemasangan poster atau karikatur yang mengandung nilai dan perilaku kewarganegaraan

transformatif. Poster memuat slogan yang berupa kata-kata hikmat yang bermakna dan

menimbulkan kesan mendalam. Poster hendaknya merupakan hasil karya siswa dan dipasang

secara cantik di sudut-sudut ruang atau gedung sekolah sehingga juga dapat menambah

keindahan. Begitu pula karikatur. Pengadaan karikatur Kewarganegaraan transformatif bisa 287

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

dilakukan dengan mengadakan lomba di antara para siswa.. Jika poster dan karikatur

kewarganegaraan transformatif karya siswa tersebut di pasang di sudut-sudut ruang atau geduang

sekolah akan menumbuhkan rasa bangga pada diri siswa yang selanjutnya dapat memperkuat

komitmen kewarganegaraan transformatif pada dirinya.

PENUTUP

Kewarganegaraan transformatif yang dianggap sebagai sebagai nilai dalam kehidupan

warga negara yang mengandung aspek pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan sangat

diperlukan dalam masyarakat yang multikultur dalam kerangka yang lebih luas yakni keadaban

dunia. Penanaman nilai-nilai kewarganegaraan transformatif dapat dilakukan melalui sekolah,

baik yang diintegrasikan melalui mata pelajaran maupun melalui kegiatan kesiswaaan.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Kompas Media

Nusantara.

Bronson, M. S. 1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Terjemahan Syafrudin. Yogjakarta:

LkiS.

Center For Indonesian Civic Education/CICED. (1999). Democratic Citizens in A Civic Society:

Workshop Report. Bandung: CICED.

Hassan, F. (2004). Pendidikan adalah Pembudayaan: dalam Pendidikan Manusia Indonesia.

Jakarta: Penerbit Kompas.

Komalasari, K., Budimansyah, D. 2008. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan

Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewargane-garaan Siswa SMP. Acta Civicus

Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 1, Oktober 2008.

Lee, Daeill. 2002. Transformative Citizenship: A Redefinition of Citizenship in a Multicultural

Society. The Snu Journal of Education Research. 6(6), 1-17.

Lickona, T. (1991). Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and

Responsibility. New York: Bantam Books.

Raskin, M. (1986). The common good: Its politics, policies, and philosophy. New York: Routledge & Kegan Paul.

288

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

DISKURSUS GENDER EGALITARIAN DALAM PENDIDIKAN CALON GURU SEBAGAI UPAYA PEMBENTUKAN WARGA NEGARA TRANSFORMATIF

Oksiana Jatiningsih

AbstrakPendidikan merupakan investasi bagi penciptaan kehidupan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu fungsi pendidikan tidak hanya mentransmisikan tetapi juga mentransformasikan kehidupan; tidak hanya menjadi penguat dan pengekal status quo, tetapi juga mengubah kondisi tersebut. Pendidikan penting untuk dapat selalu beradaptasi sekaligus mengantisipasi dinamika kehidupan. Bersamaan dengan itu, pendidikan juga berfungsi partisipatoris, bahkan pendidikan adalah pencipta perubahan itu sendiri. Dalam konteks itu, pendidikan penting untuk dapat menyemaikan kehendak dan kecakapan untuk berubah menuju kehidupan yang lebih baik. Oleh

289

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

karena itu, pendidikan penting untuk dapat mengubah orientasi nilai seseorang. Pendidikan berperan penting untuk membebaskan individu dari dominasi nilai yang tidak ramah terhadap ketidakadilan. Kesensitifan terhadap fenomena ketidakadilan ini yang kemudian dapat menumbuhkan sikap keterbukaan dan transformatif. Dengan sikap transformatif ini akan dapat ditumbuhkan komitmen untuk mengedepankan perubahan menuju kepentingan bersama dan kehidupan yang lebih baik. Inilah sikap yang dimiliki oleh warga negara transformatif. Dalam rangka pembentukan warga negara transformatif ini, pendidikan perlu membuka peluang bagi adanya perubahan terhadap mainstream sikap, pengetahuan, dan kecakapan akademik lama menuju sikap, pengetahuan, dan kecakapan akademik transformatif. Salah satu problematika sosial yang perlu dicermati adalah dominasi wacana gender patriarkhi atau netral gender dalam pendidikan. Iklim transformatif yang berperspektif gender ini penting untuk dibangun dalam pendidikan calon guru. Dalam konteks inilah pendidikan penting untuk dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membangun pendidikan transformatif yang dapat membongkar nilai gender dominan (status quo) dan membangun wacana gender egalitarian. Dalam jangka panjang, melalui sikap transformatif ini diharapkan lahir warga negara transformatif yang berkomitmen untuk mengubah ketidakadilan dan mengedepankan kepentingan bersama.

Keywords: diskursus gender egalitarian; pendidikan calon guru; warga negara transformatif.

Pendahuluan

Pendidikan merupakan arena reproduksi dan produksi sosial. Pendidikan adalah tempat

individu dan masyarakat dikonstruksi (McLarend dan Leonard, 1993:23), Sebagai arena

reproduksi sosial, maka pendidikan menjadi arena individuu dikonstruksi; ia menjadi penguatan

kekuasaan atau diskursus dominan. Pendidikan menyiapkan peserta didik untuk belajar tentang

norma-norma sosial tentang gender dan belajar menjadi seperti harapan sosial sesuai dengan jenis

kelaminnya (McLaren dan Leonard, 1993:25). Pendidikan menjadi sarana reproduksi bagi

eksistensi hierarkhi sosial ataukah kekuatan perubahan sosial (McLean, 2006:1). Peserta didik

belajar pengetahuan dan nilai (common sense of knowledge) yang benar secara sosial agar dapat

menjalankan perannya dengan baik.

Berbeda dengan hal tersebut, sebagai arena produksi sosial, pendidikan menjadi agent of

social change. Pendidikan menjadi arena transformasi sosial dan menawarkan perubahan-

perubahan. Jones, (2005:88) mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci perubahan. Karena itu

pendidikan merupakan tempat masyarakat dikonstruksi. Pendidikan (sekolah) merupakan media

untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial (Nuryanto, 2008:6). Pendidikan merupakan

kekuatan bagi perubahan sosial dan kendaraan melakukan reproduksi sosial (McLean, 2006:1).

Untuk itu, “Pendidikan merupakan daerah istimewa untuk mendorong pemikiran kritis tentang

topik gender dan ladang subur untuk merekonstruksi konsepsi gender” (Fernández-Álvarez,

2014:270). Peserta didik dimotivasi untuk berani mengkritisi ketidakadilan sosial dan

menyampaikan pengetahuan baru untuk menumbuhkan kepekaan dan kesadaran individu

290

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

terhadap ketidakadilan, penderitaan, atau problem sosial lain. Inilah gambaran tentang warga

negara transformatif.

Warga negara transformatif adalah warga negara yang mampu keluar atau melepaskan diri

dari ikatan status quo dan berubah berkembang ke arah terwujudnya masyarakat yang ideal

karena inisiatif dan kemampuannya. Warganegara transformatif memiliki kemampuan dan

keterampilan untuk melawan ketidakadilan, ketimpangan, atau penindasan di masyarakat. Dalam

rangka pembentukan warga negara transformatif, proses belajar semestinya dapat membuka dan

mengembangkan kepekaan dan kemampuan kecakapan berpikir peserta didik. Pendidikan

semacam ini dikenal dengan pendidikan kritis (Banks, 2008:135) atau pedagogi kritis. Giroux

berpandangan bahwa dalam pedagogi kritis, peserta didik disadarkan akan adanya kekuatan

represif di masyarakat (Hidayat, 2011:183). Peserta didik dikembangkan kemampuannya untuk

memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi warga

negara mendalam (deep citizenship) (Banks, 2008:136), yaitu warganegara transformatif. Lebih

lanjut dijelaskan oleh Banks, bahwa warga negara transformatif adalah warga negara yang

mampu mengaktualisasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral serta cita-cita melampaui

hukum dan kebiasaan yang berlaku pada suatu negara. Warga negara transformatif

senantiasa memiliki pemikiran yang kritis, melakukan tindakan untuk mempromosikan

keadilan sosial, mampu berpartisipasi secara aktif dengan landasan argumentasi yang rasional,

dan berani menyuarakan kebenaran.

Terkait dengan penyiapan warga negara transformatif, maka pendidikan diharapkan dapat

berfungsi sebagai arena produksi sosial. Untuk dapat memutus mata rantai sosial yang dominan

patriarchi, maka pendidikan semestinya dikonstruksi egalitarian, karena praktik-praktik

pendidikan yang bias gender dapat menciptakan ketidakadilan sosial (Subrahmanian, 2005:405).

Di sekolah, proses ini sangat terkait dengan dan melibatkan guru sebagai tokoh kunci dalam

pengembangan kesetaraan gender (Aikman, 2003:2). Guru adalah pengambil kebijakan yang

paling berpengaruh dan sentral dalam perubahan pendidikan (Datnow 1998:9-10). Ia tidak hanya

fasilitator dalam proses pendidikan, tetapi juga pekerja kultural yang menyadari bahwa

pendidikan berfungsi sebagai pembebasan atau penguat status quo. Agar dapat bertindak sebagai

agent of change, guru harus menjadi “skilled change agentry.” Di sinilah letak pentingnya,

diskursus gender egalitarian dalam proses pendidikan calon guru.

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) memiliki power untuk mempengaruhi

dan menentukan kualitas calon guru dan pendidikan. Menurut Roth (2005:184), pendidikan tinggi

penghasil calon guru merupakan institusi yang paling bertanggung jawab atas penyiapan kualitas

dan kecakapan calon guru. Dalam perspektif Foucault, LPTK memiliki enunciative modality 291

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

untuk memproduksi pengetahuan/kebenaran di bidang pendidikan, termasuk gender. Perguruan

tinggi, termasuk LPTK, menjadi peletak dasar bagi tubuh belajar dan pengkajian prinsip-prinsip

dan dasar-dasar ilmu pengetahuan (McLean, 2006:26), melalui perannya dalam menginterpretasi,

mentransformasi, dan mengembangkan tradisi budaya masyarakat dan membentuk kesadaran

peserta didiknya, serta reproduksi dunia kehidupan sosial, budaya, dan kepribadian (McLean,

2006:63). Sebagai perguruan tinggi, LPTK merupakan ruang publik yang vital dan memiliki hak-

haknya sendiri dalam merumuskan dimensi moral dan pedagogis untuk memperbaiki kehidupan

sosial (Giroux, 1997:258-259) dengan membaca dan mendekonstruksi ketidakadilan gender

dalam kehidupan. Secara politis, LPTK memiliki potensi atau kekuatan untuk melakukan

produksi dan transformasi kehidupan yang berkeadilan gender melalui calon guru yang

dihasilkan.

Mentransformasikan Gender Patriarkhi ke Egalitarian dalam Pendidikan Calon Guru

Ideologi gender dominan pada suatu periode kehidupan (Foucault menyebutnya sebagai

episteme) menjadi dasar penciptaan norma-norma dan praktik-praktik sosial. Dalam konstruksi

nilai gender patriarkhi, laki-laki dan perempuan ditempatkan secara asimetris, laki-laki

ditempatkan lebih tinggi dan utama daripada perempuan. Sementara itu, perempuan diposisikan

menjadi komplemen, pelengkap, penunjang, atau penguat eksistensi laki-laki yang ditempatkan

sebagai sang subjek, sang absolute (Beauvoir, 1949:6). Perempuan ditempatkan sebagai the

second dan the other, sedangkan laki-laki sebagai the first dan the genuine subject (Beauvoir,

1956:20; Bauer, 1960:44). Definisi dan identitas maskulin bagi laki-laki dan feminin bagi

perempuan dibangun berdasarkan kriteria tersebut (Subhrahmanian, 2005:398). Perempuan

didefinisikan berada di lingkup domestik dan laki-laki di lingkup publik. Dampaknya, akses dan

penguasaan terhadap sumber daya produktif lebih besar pada laki-laki daripada perempuan.

Ketimpangan relasi sosial ini menciptakan powerless pada perempuan dan perempuan sebagai

pihak yang terbelenggu pun karena ketidakkuasaannya secara tidak sadar melestarikan

penindasan terhadapnya (Freire, 2004:17).

Perbedaan peran gender berpeluang menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan gender.

Bukti ketidakadilan gender telah banyak ditemui, baik di lingkup domestik maupun lingkup

publik, namun keluar dari lingkaran ketidakadilan gender bukanlah merupakan persoalan yang

mudah. Kekuatan perubahan itu dalam banyak hal belum cukup dapat mewacanakan nilai-nilai

gender egalitarian, yang lebih berkeadilan. Pihak yang dominan cenderung mencari strategi untuk

mempertahankan posisinya, sedangkan pihak yang didominasi cenderung mencari strategi untuk

memperbaiki posisinya atau memperoleh posisi baru yang lebih baik (Mutahir 2011:70-71). 292

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Seiring dengan cita-cita kesetaraan gender, pendidikan penting untuk dapat mentransformasikan

kehidupan menjadi lebih baik. Pendidikan bukanlah alat untuk menjaga stabilitas kuasa semata,

tetapi pendidikan merupakan alat perjuangan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik; lebih

berkeadilan dan berkesetaraan. Keberpihakan pendidikan pada kehidupan yang lebih baik ini

menunjukkan bahwa sebenarnya pendidikan mengakomodasi perubahan, bahkan pendidikan itu

sendiri yang memotori “perlawanan” terhadap dominasi dan eksploitasi menuju kehidupan yang

lebih baik. Pendidikan tidak boleh melihat dominasi sebagai hal yang alami atau biasa, apalagi

sebagai warisan sosial yang harus dijaga. Pendidikan yang menganggap biasa atau mengakui

adanya kekuasaan dari pihak yang kuat (the powerful) terhadap mereka yang lemah (the

powerless), akan semakin memperkuat nilai-nilai dominasi dan eksplotasi dalam kehidupan

(Hooks, 1994:28). Meskipun pendidikan juga berfungsi sebagai pemelihara nilai-nilai sosial,

namun pendidikan sangat penting memposisikan diri untuk tidak semata-mata mempertahankan

atau bahkan memperkuat status quo. Orientasi kepada kondisi dan kehidupan yang lebih baik dan

berkeadilan semestinya selalu ada.

Diskursus gender patriarkhi sebagai ideologi yang dominan terpelihara dari tahun ke tahun

melalui proses pendidikan pada berbagai tingkat pendidikan. Penelitian Jatiningsih dan

Kartikasari (2010:469) di Taman Kanak-Kanak (TK) di Surabaya menunjukkan guru cenderung

berinteraksi dengan anak secara seksis. Lebih lanjut, Sugihastuti dan Saptiawan (2010:19)

mengungkapkan bahwa guru cenderung lebih bersikap helpful kepada anak perempuan,

sedangkan anak laki-laki dituntut untuk menampilkan perilaku yang tangguh dan berani. Guru

lebih bisa menerima bahwa anak perempuan cenderung lebih manja dan cengeng daripada anak

laki-laki. Gambar atau tulisan dalam buku teks pun cenderung masih seksis.

Bias gender ditemukan dalam pendidikan di tingkat Sekolah Dasar. Buku-buku teks di SD

tidak mendukung sosialisasi gender yang egalitarian. Penelitian Jatiningsih, Setyowati, dan

Narwati (2002) tentang pendidikan gender di SD di Surabaya mengungkapkan bahwa buku-buku

teks seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Bahasa

Inggris, Bahasa Jawa, dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang digunakan di sekolah tidak

mendukung upaya sosialisasi gender yang egalitarian. Guru di SD juga tidak memiliki

pemahaman dan kepekaan tentang hal tersebut, bahkan mereka pun cenderung berinteraksi secara

bias gender dengan siswanya (Jatiningsih, 2003:63-66). Temuan ini konsisten dengan temuan

penelitian yang dilakukan oleh Muthali’in (2001:215-218) dalam penelitiannya tentang sosialisasi

bias gender di SD di Yogyakarta. Bias gender terjadi pada kurikulum, materi pelajaran,

pengelolaan kelas (termasuk metode dan media yang digunakan guru), kegiatan ekstrakurikuler,

maupun permainan di luar kelas. Temuan yang sama juga diungkapkan oleh Agustin (2007:138) 293

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

dan Suharyo, Irianto, dan Agus Muladi (2003). Materi ajar IPS SD mulai kelas satu sampai kelas

enam, masih cenderung bias gender. Guru juga tidak menyadari bahwa di balik teks terdapat

kekuatan ideologi yang bekerja melalui hidden curricullum yang akan berdampak pada

pengonstruksian gender anak (Jatiningsih, Susilowati, dan Setyowati, 2002:130). Slater (2003:17)

dalam penelitiannya di tiga sekolah dasar di Ohio juga mengungkapkan hal yang sama; Bias

gender banyak ditemui dalam buku teks sekolah, dan hal ini tidak disadari oleh guru.

Fenomena bias gender juga terjadi di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Meskipun tidak

sekuat kondisi di SD, fenomena bias gender pun masih ditemukan di SMP (Jatiningsih,

2008:166). Selain buku-buku teks yang masih bias gender, guru-guru SMP mengonstruksi nilai-

nilai gender yang patriarkhi. Kesensitifan dan kesadaran gender guru pun masih rendah, sehingga

dalam penyelenggaraan pembelajaran mereka pun cenderung berinteraksi sesuai dengan nilai-

nilai gender yang tradisional pula. Jadi, pendidikan di tingkat SMP pun cenderung berperan

menguatkan dan mengekalkan ideologi gender yang patriarkhi.

Sikap tidak responsif gender dari guru juga terjadi pada level pendidikan Sekolah

Menengah Atas (SMA). Jatiningsih dan Listyaningsih (2013:73) mengungkapkan bahwa sekolah

pada level ini belum merespon secara formal kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) bidang

pendidikan, cenderung pasif dan menanti kebijakan dari “atas”. Kepala sekolah dan guru pun

masih belum responsif positif terhadap fenomena bias gender, meskipun mereka telah

memperoleh pelatihan tentang itu dan telah ada kebijakan formal tentang itu. Sebagaimana

dikemukakan Darmadji dan Junitasari (2007:8), “Meskipun sudah dituangkan dalam kebijakan

namun tampaknya implementasi dalam buku ajar masih sulit dilakukan, … wanita sangat dekat

dengan pekerjaan-pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki sangat dekat dengan pekerjaan-

pekerjaan publik.”

Fakta bahwa masih kuatnya bias gender terjadi di sekolah menggambarkan bahwa perlu

‘sentuhan khusus” kepada para calon guru agar mereka tidak tumbuh sebagai guru yang

kehadirannya di sekolah justru menguatkan nilai-nilai lama yang menimbulkan ketidakadilan itu.

Fungsi laten guru sebagai penyambung lidah kelas menengah (Damsar, 2011:161) pada dasarnya

menjauhkan peran guru sebagai penggerak perubahan dalam pendidikan atau masyarakat, dan

justru hanya mengekalkan status quo, yaitu nilai-nilai yang dominan meskipun menebarkan

ketidakadilan dalam kehidupan. Dalam hal seperti ini, guru justru berperan menjadi penjaga nilai-

nilai gender patriarkhi dan menjauhkan dirinya dari perannya sebagai agent of change menuju

kehidupan yang lebih baik, yang egalitarian dan membebaskan perempuan dari posisi yang

memarginalkannya.

294

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Dalam pendidikan, sedikitnya ada empat hal tentang pentingnya seorang guru

berperspektif gender. Pertama, guru adalah ujung tombak pendidikan. Perbincangan atau

aturan tentang kesetaraan gender dalam pendidikan atau perubahan buku-buku bacaan akan

sia-sia jika gurunya tidak mendukung atau masih berkarakter bias gender. Kedua, buku-buku.

Teks di sekolah masih bias gender dan perlu diubah. Ketiga, proses pembelajaran. Dalam

proses ini, guru adalah pecipta dan pengelola interaksi yang berlangsung dalam proses

pembelajaran. Dalam proses ini, baik laki-laki maupun perempuan semestinya diperlakukan

sama. Jadi kalaupun ada pembedaan, seharusnya hal itu didasarkan pada kemampuannya, bukan

disebabkan oleh jenis kelaminnya. Keempat, penghargaan terhadap guru. Sebenarnya tidak ada

kebijakan atau ketentuan bahwa tidak boleh mengambil contoh di luar buku bacaan, tetapi

guru yang seakan-akan enggan memberi contoh-contoh di luar buku teks (Saptandari dan Sawitri,

2005:85-87).

Pendidikan merupakan proses transformasi, bukan transmisi. Pendidikan bukan

merupakan arena sosialisasi semata, tetapi merupakan proses dekonstruksi bahkan rekonstruksi

kehidupan dan kebudayaan (Tilaar, 2003:43). Sebagaimana yang dapat ditemukan dari mazhab

Frankfurt dan postmodernisme, pendidikan harus berjalan secara kritis. Pendidikan merupakan

upaya mengonstruksi kehidupan yang lebih baik melalui proses empowerment dan self reflection

sebagai titik tolak untuk melakukan transformasi sosial dengan berpihak kepada powerless

(Nuryatno, 2008:5). Dalam konteks ini, pihak yang lemah adalah perempuan yang berada di

bawah penindasan struktur sosial yang berpihak kepada laki-laki (patriarkhi).

Mentransformasikan nilai gender patriarkhi menuju egalitarian bukanlah persoalan yang

sederhana. Perubahan ini menghendaki terjadinya pembongkaran sistem nilai dalam diri individu

dan sosial. Secara individual perubahan itu menuntut terjadinya kesadaran. Kesadaran

menggambarkan proses bangkitnya individu dari ketidakberdayaannya. Proses pendidikan yang

sebenarnya adalah proses bangkitnya kesadaran kritis (Freire menyebutnya sebagai

conzcientization) (Freire, 1976:19); berubahnya kesadaran individu dari kesadaran magis dan naïf

menjadi kritis. Dengan kesadaran kritisnya, individu dapat melihat secara kritis kontradiksi,

ketimpangan, penindasan, atau ketidakadilan yang ada di sekitarnya dan memiiki kemampuan

untuk mengubahnya (Nuryanto, 2008:99). Karena itu, kesadaran merupakan produk dari proses

pendidikan yang memberdayakan (empowerment) yaitu proses penyadaran akan kemampuan atau

identitas individu atau kelompok (Tilaar, 2003:57), pemberian kekuasaan untuk mandiri atau

menjadi sebagai individu atau subjek yang manusiawi (Tilaar, 2003:87; Nuryatno, 2008:38).

Individu yang telah mencapai kesadaran kritis akan semakin rasional dan menentang

dogma-dogma kuno serta menemukan kebenaran-kebenaran dalam pengalaman barunya (Smith, 295

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

2008:47). Dalam kesadaran kritis yang sudah dimiliki seseorang individu (calon guru) melalui

proses pendidikan, maka individu tidak bersikap pasif menerima sebuah keadaan penindasan,

pendominasian, penguasaan atau ketidakadilan sebagai sebuah nasib atau sekedar membela diri.

Individu yang berkesadaran kritis berpandangan bahwa sistem perlu ditransformasi karena

penyebab terjadinya penindasan itu adalah sistem yaitu norma yang menguasai penindas dan

tertindas (Smith, 2008:102). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, transformasi ini dimulai dari

penolakan dan penyingkiran ideologi penindas dan penghargaan terhadap diri sendiri dan

kekuatan komunitas. Pemikiran rasional, keberanian bertindak, mengambil resiko, dan bertindak

melepaskan diri dari ketergantungannya kepada pihak yang dominan (penindas).

Susilaningsih dan Najib (2009:31-33) mengungkapkan ada empat level integrasi yang

ditawarkan dalam strategi dan kerangka kerja untuk memasukkan materi-materi gender

dalam sebuah kurikulum, yaitu contribution approach, additive approach, transformational

approach, dan social action.

(1) Contributions Approach. Pendekatan ini dilakukan oleh sistem dan kebijakan yang ada pada

lembaga pendidikan melalui kurikulum. Masalah-masalah gender telah dimasukkan secara

eksplisit dalam kurikulum yang ada.

(2) Additive Approach. Dalam pendekatan ini variasi dan perspektif lain ditambahkan

pada kurikulum tanpa mengubah struktur kurikulum yang ada secara umum.

Pemikiran dan ide-ide baru mengenai gender dapat dimasukkan dan dikaitkan dengan

kurikulum yang ada.

(3) Transformational Approach. Pada pendekatan ini tujuan, struktur, dan perspektif yang

ada dalam kurikulum semuanya dirombak dan diganti dengan tujuan dan perspektif yang

sensitif gender.

(4) Social Action Approach. Pada pendekatan ini individu diarahkan untuk membuat keputusan

dan tindakan yang sensitif gender dalam aktivitas kehidupan supaya siswa dapat

melakukan kritik sosial bahkan dapat melakukan perubahan sosial. Hal ini dilakukan

dengan cara mendiskusikan dalam kelas mengenai konsep, peran, dan relasi gender di

masyarakat pada berbagai aspek kehidupan, seperti mengapa terjadi diskriminasi terhadap

perempuan, apa penyebab diskriminasi itu, apakah diskriminasi terjadi di dalam kelas, dan

bagaimana diskriminasi itu harus disikapi.

Mengintegrasikan gender dalam proses dan sistem pendidikan calon guru tidak mudah

dilakukan arena melibatkan berbagai macam aturan dan struktur yang telah terbangun. Melalui

partisipasi individu (terutama korban) kesadaran don komitmen individu untuk berani beruvah

dan mengubah, maka perlawanan dan perang menuju terjadinya transformasi dimulai. Perlawanan 296

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

terhadap diskursus ideologi patriarkhi yang telah menjadi dominan dalam dunia pendidikan,

bahkan kehidupan masyarakat secara umum, tentu tidak mudah dilakukan, apalagi jika

perempuan itu sendiri dengan kesadaran naifnya menerima dan menghayati peran yang diciptakan

untuknya. Kebersediaan individu untuk berubah, baik yang tergolong kelompok powerless

maupun powerfull, merupakan kekuatan untuk mentransformasi kehidupan menuju ke arah yang

lebih egalitarian. Inilah buah dari pendidikan kritis yang transformatif.

Diskursus Gender Egalitarian dan Pembentukan Warga Negara Transformatif

Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan. Proses ini membangun

kesadaran akan kemampuan kemandirian seseorang atau memberikan kekuasaan untuk menjadi

individu. Karena itu pendidikan ditandai oleh adanya proses pemberdayaan (Tilaar, 2003:87).

Inilah yang disebut dengan pendidikan transformatif. Pendidikan yang memberi ruang pada

terjadinya proses individuasi, yaitu proses yang menempatkan individu sebagai sentral proses

yang diberdayakan. Dalam pemahaman Freire, proses transformasi ini memberi ruang kepada

individu untuk menjadi dirinya sendiri yang hidup bersetara dengan yang lain, memiliki power

untuk mengkritisi fenomena yang terjadi dan mengubahya menuju kehidupan yang lebih baik.

Guru bersama peserta didik bersama mengkritisi dan memproduksi ilmu pengetahuan

(knowledge production)” (Nuryanto, 2008:38). Konsekuensinya, guru semestinya tidak bersikap

pasif atau netral gender terhadap situasi bias gender, karena Guru penting untuk memiliki

kehendak dan dipersiapkan untuk membuat sekolahnya lebih bertanggung jawab terhadap

komunitas yang lebih luas (Giroux, 1997:111). Seiring dengan kesadaran kritis dan upaya

penciptaan tatanan kehidupan yang setara gender, maka membekalkan kecakapan gender kepada

calon guru adalah kebutuhan. Oleh karena itu, pendidikan kritis dan transformatif melahirkan

individu yang memiliki sikap transformatif pula. Individu yang memiliki sikap transformatif

adalah individu yang memiliki komitmen untuk mengubah ketimpangan dan ketidakadilan dan

mengedepankan kepentingan bersama.

Rekonstruksi gender merupakan tahapan untuk meninjau ulang apakah benar pemahaman

dan pengetahuan tentang identifikasi maskulin dan feminin. Ketimpangan gender di

masyarakat antara perempuan dan laki-laki telah memunculkan berbagai ketidakadilan sosial.

Perempuan termarginalisasi, tersubordinasi, menanggung beban ganda, menjadi sasaran tindak

kekerasan, diperlakukan tidakadil karena alasan seks dan sebagainya. Diskursus gender patriarkhi

dipertanyakan dan dikritisi. Relasi laki-laki dan perempuan yang asimetris diperjuangkan untuk

berubah menjadi simetris. Proses perubahan ini tentu tidak mudah karena terkait dengan struktur 297

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

nilai dan sosial yang telah begitu lama mendominasi kehidupan sosial. Sebagai episteme, nilai-

nilai gender patriarkhi telah menembus semua aspek kehidupan sehingga diterima sebagai

kebenaran dan kerangka pengetahuan semua individu. Ruang untuk mengkritisi tetap ada namun

tidak mudah melakukannya. Dalam posisi seperti ini, ruang gerak perempuan sebagai bagian dari

warga negara pun terhambat. Ruang geraknya dalam mempengaruhi dan melakukan perubahan

kehidupan sosial pun begitu sempit. Oleh karena itu, pembongkaran diskursus patriarkhi itu

penting untuk dilakukan.

Pendidikan kritis memberi ruang bagi terjadinya transformasi kehidupan. Tujuan

pendidikan transformatif bukan hanya untuk mentransformasi pribadi, tetapi juga untuk

mentransformasi sosial sehingga individu dapat menjadi produsen kreatif bagi dirinya dan

masyarakat serta hubungan politik dan ekonomi (Moore, 2005:82). Kesadaran kritis atas

berbagai persoalan dan potensi diri merupakan bagian penting dalam proses pendidikan

transformatif ini. Melalui pendidikan transformatif kesadaran individu tentang dirinya sendiri

dan lingkungan sosialnya (conscientization) tumbuh menajdi kekuatan untuk mengubah

hubungan dominasi.

Praktik pendidikan transformatif mengasah kepekaan individu warga negara dalam

melihat masalah dalam konteks sosial yang lebih luas, mengasah kemampuan mereka untuk

mengkaji secara mendalam dan kritis, mempertimbangkan berbagai pandangan dan

perspektif dalam dialog dengan orang lain, dan terlibat dalam pergaulan yang dapat

mempersiapkan mereka sebagai warga negara yang transformatif. Dalam konteks ini, institusi

pendidikan—mulai dari satuan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi—memiliki peran strategis

untuk mengimplementasikan pendidikan transformatif. Upaya pendidikan yang didasarkan

pada pendekatan pendidikan transformatif mengakui pentingnya menginternalisasi nilai-nilai

demokrasi. Praktik pembelajaran transformatif melibatkan individu (peserta didik) sebagai

pemikir kritis, partisipatif, aktif, dan visioner yang memungkinkan mereka untuk memberikan

alternatif solusi pada problematika sosial yang selalu berkembang. Dengan demikian, tujuan

pendidikan atau pembelajaran transformatif (transformatif learning) bukan sekadar

transformasi personal, tetapi juga melakukan transformasi sosial, sehingga setiap individu

memiliki peran penting dalam mengamati, mengawasi, mengontrol, mengevaluasi semua

persoalan sosial dan menghadirkan solusi bagi persoalan sosial yang terjadi.

Penutup

298

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Institusi pendidikan memiliki potensi untuk menumbuhkan penyadaran, wawasan, dan

transformasi dengan meningkatkan pemikiran kritis, menggabungkan berbagai perspektif,

dan mendorong dialog dan konstruksi pengetahuan. Pembelajaran transformatif dapat

menghasilkan perubahan yang signifikan tersebut, jauh jangkauannya, dan berdampak pada

individu peserta didik. Apa yang disebut Paulo Freire dengan penyadaran (conscientization)

adalah proses memberikan fasilitas pemahaman dan pengertian tentang efikasi diri bahwa

hubungan dominasi gender patriarkhi dapat diubah dan ditransformasikan ke dalam tatanan

kehidupan sosial yang lebih egalitarian.

Pendidikan transformatif bersama-sama mendorong partisipasi dan dukungan dialog

reflektif bagi individu peserta didik, sekaligus mendukung kehidupan dan masyarakat yang

adil dan egaliter. Pendidikan transformatif berupaya untuk mengembangkan kesadaran

individu tentang dirinya sendiri (individual’s consciousness) dan masyarakat lingkungannya

yang lebih luas. Dalam keseluruhan proses tersebut, guru berperan sangat strategis. Oleh karena

itu, pendidikan dan kesadaran kritis terkait gender sangat penting dimiliki oleh guru. Untuk tujuan

itu, pendidikan calon guru berperan penting dalam penyiapannya. Pendidikan kritis yang

berperspektif gender selanjutnya akan dapat membuka peluang bagi terbentuknya warga negara

transformatif dan terjadinya transformasi sosial dari dominasi kuasa gender patriarkhi menuju

egalitarian.

Daftar Pustaka

Adriana, Iswah, 2009. “Kurikulum Berbasis Gender. Membangun Pendidikan yang Berkesetaraan” dalam Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 200. Halaman 137-152.

Aikman, Sheila, 2003. “Developing Curricula for Gender Equality and Quality Basic Education” makalah yang disampaikan dalam seminar internasional Curricullum for Gender Equality and Quality Basic Education di Institute of Education University of London. 16 September 2003.

Banks, J. A. (2008). Diversity, Group Identity, and Ctizenship Educarion in a Global Age. dalam. Educational Researcher, 37 (3), halaman 129-139.

Bauer, Nancy, 2001. Simond de Beauvoir. Philosophy and Feminism. New York: Columbia University Press.

Beauvoir, Simond, 1956. The Second Sex. London: Jonathan Cape.

Damsar, 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Darmadji, dan Evi Nurifah Julitasari, 2007. Studi Kebijakan Tentang Kesenjangan Gender di Bidang Pendidikan Agricultural Faculty, Widyagama Malang University .

299

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Datnow, Amanda, 1998. The Gender Politics of Educational Change. London: Falmer Press.

Dhakiri, Muh. Hanif, 2000. Paulo Freire. Islam dan Pembebasan. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Fernández-Álvarez, Óscar, 2014. “The Gender Perspective in Managing Knowledge through CrossCurricular Studies in Higher Education.” Dalam Procedia - Social and Behavioral Sciences 161 (2014). Halaman 269 – 274.

Freire, Paulo, 2004. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Terjemahan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. “Politik Pendidikan: kebudayaan, kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Freire, Paulo, 2004. The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Terjemahan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. “Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Freire, Paulo, 2005. Pedagogy of the Oppressed. New York: The Continum International Publishing.

Freire, Paulo, 1976. Education, the practice of freedom. New York: Writers and Readers Publishing Cooperative, 1976

Giroux, Henry A., 1997. Pedagogy and the Politics of Hope. Theory, Culture, and Schooling. Central Avenue: Westview Press.

Hidayat, Rahmat, 2013. Pedagogi Kritis: Sejarah, Perkembangan, Pemikiran. Jakarta: Rajawali Press.

Hooks, Bell., 1994. Teaching to Transgress: Education as the Practice of Freedom. New York: Routledge.

Moore, Janet. “Is Higher Education Ready for Transformatif Learning? A Question Explored in the Study of Sustainability”, Journal of Transformatif Education, Vol. 3, No. 1, January 2005.

Jatiningsih, Oksiana,, 2003. “Konstruksi Gender Siswa Sekolah Dasar.” Paradigma. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, Volume 1 Nomor 2, Juli 2003. Halaman 54-71.

Jatiningsih, Oksiana, Indri Fogar Susilowati, dan Rr Nanik Setyowati, 2002. “Pengetahuan dan respon Guru SD terhadap Materi Sekolah yang Bias Gender: Studi pada Tiga Sekolah Dasar di Surabaya.” Jurnal Pendidikan Dasar, Volume 3, Nomor 2, Juni 2002. Halaman 121-132.

Jatiningsih, Oksiana, dan Maya Mustika Kartikasari, 2010. “Upaya Menyemaikan Nilai-Nilai Kesetaraan melalui Pendidikan Gender di Taman Kanak-Kanak. Proceeding of The 4th International Conference on Teacher Education. Teacher Education in developing National Characters and Cultures. November 8-10, 2010. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Jatiningsih, Oksiana, dan Listyaningsih, 2010. “Pengarusutamaan Gender (PUG) di Sekolah Menengah Atas Di Surabaya: Pengembangan Kebijakan Sekolah dalam Menumbuhkan Kesadaran Gender dan Kemitra-Sejajaran Laki-Laki dan Perempuan” Lentera. Jurnal Studi Perempuan. Volume 9 Nomor 1, Juni 2013. Halaman 65-75.

300

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Papers”Kewarganegaraan Transformatif dalam Masyarakat Multikultural”

FISH – UNESA, 30 Agustus 2017

Jatiningsih, Oksiana, 2010. “Model Pendidikan Gender di SMP untuk Menyiapkan Anak menuju Tatanan Kehidupan Egalitarian (Studi di SMP Negeri di Surabaya.” Makalah disampaikan pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan. Balitbang Kementrian Pendidikan nasional. Jakarta, 3-5 Agustus 2010.

Jones, Pip, 2009. Introducing Social Theory. Terjemahan oleh Achmad Fedtyani Saifuddin. (Pengantar Teori-Teori Sosial. Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

McLaren, Peter, dan Peter McLeonard, 1993. Paulo Freire A Critical Encounter. New York: Routledge.

McLean, Monica, 2006. Pedagogy and the University. Critical Theory and Practice. London: Continuum.

Merryfield, M. (1997). A framework lor teacher education in global Perspectives. Dalam M. Merryfield dan E. Jarchow, dan S. Pickert (Editors). Preparing Teachers to Teach Global Perspectives: A Handbook for Teacher Educators. California: Corwin Press.

Mutahir, Arizal, 2011. Intelektual Kolektif Piere Bourdieu. Bantul: Kreasi Wacana Murtiningsih, Siti, 2004. Pendidikan Alat Perlawanan. Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

Nuryanto, Agus, 2008. Mahzab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.

Pinky Saptandari & Diah Retno Sawitri, 2995. Menuju Kebebasan: Perempuan dan Pendidikan. Surabaya: Lutfansyah Mediatama.

Simone de Beauvoir, 1956. The Second Sex. London: Jonathan Cape Thirty Badford Square.

Smith, William A., 2008. The Meaning of Conscientizacao. The Goal of Paulo Freire’s Peadagogy. Diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Subrahmanian, Ramya, 2005. “Gender Equality in Education: Definitions and Measurements” dalam International Journal of Educational Development 25 (2005) 395–407.

Susilaningsih & Agus M. Najib (ed), 2004, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga dan McGill IISEP, 2004.

Tilaar, H.A.R., 2003. Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Indonesia Tera.

Tilaar, H.A.R., Jimmy Ph. Paat, dan Lody Paat, 2011. Pedagogik Kritis Perkembangan, Substansi, dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

301